hipotik pengertian dan kasus enzolawyerslab ©copyright 2010
DESCRIPTION
semoga bermanfaat kawan2.TRANSCRIPT
GUGATAN INTERVENSI PIHAK KETIGA
PERTAHANKAN HAK HIPOTIK
Kronologi Kasus
Setelah mereka membeli toko tersebut, Umar mengajukan permohonan sertifikat tanah atas
toko Mayko yang telah dibeli oleh kongsi dagang tersebut atas nama Umar pribadi tanpa
sepengetahuan Abdul Ghani dan istrinya. Tidak lama kemudian, terbitlah sertifikat tanah atas
nama Umar.
Kemudian dengan menggunakan sertifikat hak milik tanah atas toko Mayko tersebut, Umar
secara pribadi mengajukan kredit dari Bank BNI dengan jaminan tanah atas toko Mayko.
Jaminan kredit yang diberikan oleh Umar berupa Sertifikat tanah tersebut kemudian oleh Bank
BNI dibebani dengan hak hipotik no. 205 dan sertifikat tanah No. 59, Toko Mayko, Jalan Andalas
Bireuen, dipegang oleh Bank.
Pada tahun 1968, timbul sengketa dalam kongsi dagang antara Abdul Ghani dan istrinya Aisyah
dengan Umar tentang masalah pembagian hak atas toko Mayko tersebut. Mereka berusaha
menyelesaikan sengketa ini dengan jalan musyawarah, dan akhirnya pada tanggal 28
September 1968 tercapai perdamaian atas tanah dengan bangunan toko Mayko di Jalan
Andalas di Bireuen dengan kesepakatan sebagai berikut:
1. Abdul Ghani berhak 40%
2. Aisyah berhak 20%
3. Umar berhak 40%
Namun pada kenyataannya, perjanjian yang telah disepakati oleh tiga orang tersebut, tidak
ditaati oleh Umar, dalam arti Umar tetap memegang kekuasaan penuh atas toko Mayko.
Berangkat dari ketidaktaatan Umar terhadap perjanjian tersebut, maka terungkap pula
kecurangan Umar selama ini mengenai penyalahgunaan sertifikat tanah atas toko Mayko. Dan
pihak Abdul Ghani dan Aisyah baru menyadari bahwa selama ini mereka telah dirugikan oleh
Umar, kemudian Abdul Ghani dan Aisyah mengajukan gugatan terhadap Umar di Pengadilan
Negeri. Selama gugatan Abdul Ghani dan Aisyah diproses, pihak Bank BNI mengajukan gugatan
intervensi bahwa Umar terikat perjanjian kredit 19 Desember 1960 dengan menyerahkan
jaminan berupa bangunan toko, Sertifikat hak milik No. 59, dan telah diikat dan dibebani hak
hipotik dengan akta dan Sertifikat Hipotik No. 205.
Kemudian berdasarkan berbagai pertimbangan, maka Hakim memberi putusan bahwa sertifikat
yang dimiliki Umar adalah tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga Umar dihukum dengan
ketentuan menyerahkan 40% bagian kepada Abdul Ghani dan 20% kepada Aisyah. Kemudian
terhadap gugatan intervensi yang diajukan oleh Bank, Hakim menyatakn bahwa sesuai dengan
apa yang seharusnya di berikan kepada pihak yang dirugikan, Pengadilan menyatakan bahwa
sertifikat yang telah dibebani hipotik hanya berlaku untuk 40% saja.
Mungkin putusan pengadilan telah dianggap adil, akan tetapi pihak Umar mengajukan banding
ke Pengadilan Tinggi untuk dapat memenangkan perkara ini. Kemudian hasil dari banding itu
sendiri adalah membatalkan putusan pengadilan Negeri Biruen dan menyatakan bahwa
setifikat yang dimilki oleh Umar adalah sah dan berharga. Putusan di tingkat banding ini
didasari dengan pertimbangan bahwa toko Mayko adalah sah milik Umar karena didasari bukti
Sertifikat Hak Milik atas Tanah dengan nama Umar, dan kongsi dagang seperti yang telah
disebut-sebut kini sudah tidak ada lagi karena sudah dibongkar dalam rangka peremajaan kota.
Setelah putusan banding ini, ternag saja pihak Abdul Ghani dan Aisyah merasa dirugikan.
Kemudian mereka mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, yang mana Mahkamah Agung
menyatakan bahwa putusan Pengadilan tinggi dianggap batal dan memutuskan sendiri bahwa
Umar hanya mempunyai hak 40% atas tanah dan dikenai hak hipotik.
A. Hak Hipotik dalam Konsep Hukum Perdata
1. Pengertian
Dalam KUH Perdata, hipotik diatur dalam bab III pasal 1162 s/d 1232. Sedangkan definisi dari
hipotik itu sendiri adalah hak kebendaan atas suatu benda tak bergerak untuk mengambil
pergantian dari benda bagi pelunasan suatu hutang.
Hak Hipotik merupakan hak kebendaan yang memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak
untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan jaminan bagi hutang seseorang. Menurut pasal 1131 B.W.
tentang piutang-piutang yang diistimewakan bahwa “segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Yang mana dalam
pembahasan yang dikaji dalam makalah ini khusus kepada kebendaan si berutang berupa
benda yang tidak bergerak yang dijadikan sebagai jaminan untuk hutang, inilah yang termasuk
dalam pengertian hak Hipotik seperti yang telah disebutkan di atas. Apabila orang yang
berhutang tidak dapat menepati kewajibannya, maka orang berpihutang dapat dengan pasti
dan mudah melaksanakan haknya terhadap si berhutang, atau sederhananya si berpiutang
dapat meminta benda yang dijadikan sebagai jaminan, meskipun barang itu sudah berada di
tangan orang lain.
1. Azas-azas Hipotik
1. Azas publikasi, yaitu mengharuskan hipotik itu didaftarkan supaya diketahui oleh umum.
Hipotik didaftarkan pada bagian pendaftaran tanah kantor agrarian setempat.
2. Azas spesifikasi, hipotik terletak di atas benda tak bergerak yang ditentukan secara khusus
sebagai unit kesatuan, misalnya hipotik diatas sebuah rumah. Tapi tidak aada hipotik di atas
sebuah pavileum rumah tersebut, atau atas sebuah kamar dalam rumah tersebut.
Benda tak bergerak yang dapat dibebani sebagai hipotik adalah hak milik, hak guna bangunan,
hak usaha baik yang berasal dari konvensi hak-hak barat, maupun yang berasal dari konvensi
hak-hak adaptasi, serta yang telah didapatkan dalam daftar buku tanah menurut ketentaun PP
no. 10 tahun 1961 sejak berlakunya UUPA no. 5 tahun 1960 tanggal 24 september 1960.
1. Subyek Hipotik
Sesuai dengan pasal 1168 KUH perdata, di sana dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan
mengenai siapa yang dapat memberikan hipotik dan siapa yang dapat menerima atau
mempunyai hak hipotik.
Sedangkan badan hukum menurut tata hukum tanah sekarang tidak berhak memiliki hak milik,
kecuali badan-badan hukum tertentu yang telah ditunjuk oleh pemerintah, seperti yang
tertuang dalam pasal 21 ayat 2 UUPA. Ada empat golongan badan hukum yang berhak
mempunyai tanah berdasarkan PP no. 38 tahun 1963 yaitu:
1. Badan-badan pemerintah
2. Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian
3. Badan-badan social yang ditunjuk oleh menteri dalam negeri
4. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh menteri dalam negeri.
Mengenai siapa-siapa yang dapat memberikan hipotik ialah warga negara Indonesia dan badan
hukum Indonesia sebagaimana ketentuan-ketentuan yang ada pada UUPA sendiri.
2. Obyek Hipotik
Pasal 1164 KUH perdata mengatakan bahwa yang dapat dibebani dengan hipotik ialah:
1. Benda-benda tak bergerak yang dapat dipindah tangankan beserta segala perlengkapannya.
2. Hak pakai hasil atas benda-benda tersebut beserta segala perlengkapannya
3. Hak numpang karang dan hak guna usaha
4. Bunga tanah baik yang harus dibayar dengan uang maupun yang harus dibayar dengan hasil
dengan hasil tanah dalam wujudnya.
Pasal 1167 KUH perdata menyebutkan pula bahwa benda bergerak tidak dapat dibebani
dengan hipotik. Maksudnya adalah sebagai berikut:
1. Benda tetap karena sifatnya (pasal 506 KUH Perdata)
2. Benda tetap karena peruntukan (pasal 507 KUH Perdata)
3. Benda tetap karena UU (pasal 508 KUH Perdata)
1. Prosedur Pengadaan Hak Hipotik
Syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika akan mengadakan hipotik adalah: 1) Harus ada
perjanjian hutang piutang, 2) Harus ada benda tak bergerak untuk dijadikan sebagai jaminan
hutang.
Setelah syarat di atas dipenuhi, kemudian dibuat perjanjian hipotik secara tertulis dihadapan
para pejabat pembuat akta tanah atau disingkat PPAT (pasal 19 PP no. 10 tahun 1961), yang
dihadiri oleh kresitur, debitur dan dua orang saksi yang mana salah satu saksi tersebut biasanya
adalah kepala desa atau kelurahan setempat di mana tanah itu terletak. Kemudian akta hipotik
itu didaftarkan pada bagian pendaftaran tanah kantor agrarian yang bersangkutan.
E. Hapusnya Hipotik
Menurut pasal 1209 ada tiga cara hapusnya hipotik, yaitu:
2. Karena hapusnya ikatan pokok
3. Karena pelepasan hipotik oleh si berpiutang atau kreditur
4. Karena penetapan oleh hakim
Adapun hapusnya hipotik di luar ketentuan KUH Perdata yaitu:
1. Hapusnya hutang yang dijamin oleh hipotik
2. Afstan hipotik
3. Lemyapnya benda hipotik
4. Pencampuran kedudukan pemegang dan pemberi hipotik
5. Pencoretan, karena pembersihan atau kepailitan
6. Pencabutan hak milik
Mungkin juga apabila ada penghapusan hak atas tanah yang bersangkutan berdasarkan surat
menteri dalam negeri. Namun dalam hal ini yang hapus hanya perjanjian hipotiknya, tidak
menghapuskan perutangan yang pokok. Oleh karenanya, pihak perbankan harus berhati-hati
dan seksama dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, agar tidak mengakibatkan
kerugian bagi kreditur dengan mencantumkan janji-janji tertentu di dalam pembebanannya.
Dan perlu dingat, bahwa hak hipotik ini sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan
UU no. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan
di Indonesia, akan tetapi secara substansial mempunyai kesamaan.
A. Analisis Kasus
Hak hipotik sebenarnya sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut dengan UU no. 4 tahun
1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan Indonesia.
Namun karena kasus yang dianalisis oleh penulis dalam makalah ini terjadi pada tahun 1960,
maka kasus ini tetap dapat dijadikan sebagai bahan analisis kasus hukum perdata khususnya
mengenai hak hipotik.
Pada awalnya terjadi kerjasama dagang antara tiga orang yaitu Abdul Ghani, Aisyah (istri Abdul
Ghani) dan Umar dalam bentuk kongsi. Setelah itu mereka membeli tanah di atas toko, untuk
kemudian dijadikan sebagai tempat usaha dagang sebagaimana tujuan kerjasama itu diadakan.
Dari sini bisa dilihat, bahwa sebidang tanah yang dibeli dengan uang bersama tiga orang, maka
tanah tersebut adalah hak milik bersama tiga orang tersebut. Masing-masing berhak atas
bagian tertentu (prosentase) dari tanah tersebut, sesuai dengan jumlah/besarnya uang yang
diserahkan masing-masing orang untuk membeli tanah tersebut.
Namun pada kenyataannya setelah mereka membeli tanah, tidak dilakukan pembagian tanah,
sehingga kesempatan ini dimanfaatkan Umar untuk diam-diam mengajukan permohonan
sertifikat tanah atas toko Mayko yang telah dibeli oleh kongsi dagang tersebut atas nama Umar
pribadi.
Dari sini penulis menganalisis bahwa bilamana salah seorang yang mempunyai hubungan kerja
sama dengan orang lain, kemudian secara diam-diam membuat Sertifikat Hak Milik Tanah atas
namanya pribadi, maka Sertifikat Hak Milik Tanah tersebut adalah cacat hukum dan tidak
mempunyai kekuatan hukum. Akan tetapi Umar tidak memperhatikan hal itu, karena dia dapat
dengan mudah membuat sertifikat tanah atas toko Mayko tersebut dikarenakan dua hal, yaitu:
1. Data yang dibutuhkan untuk membuat sertifikat tanah yang berupa sertifikat jual beli atas
toko Mayko ditandatangani oleh Umar atas nama orang bertiga yang mempunyai kongsi
dagang tersebut.
2. Memang tanda tangan Umar tersebut mengatasnamakan Abdul Ghani dan Aisyah, Namun
mungkin dalam serttifikat jual beli tanah atas toko Mayko tersebut tidak mencantumkan
nama Abdul Ghani dan Aisyah, sehingga Umar dengan mudah memproses pembuatan
Sertifikat Tanah tersebut.
Setelah pembuatan sertifikat hak tanah atas nama Umar terbit, sertifikat ini digunakan Umar
untuk mengajukan kredit pada Bank BNI, yang kemudian dibebankan hak hipotik no. 205, dan
sertifikat tanah No. 59, Toko Mayko, Jalan Andalas Bireuen, dipegang oleh Bank.
Hak Hipotik merupakan hak kebendaan yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang
tidak bergerak untuk dijadikan jaminan bagi hutang seseorang. Maka yang dilakukan Umar
dengan menjadikan tanah atas toko Mayko tersebut sebagai benda yang dibebani hipotik sudah
sesuai dengan KUH Perdata pasal 1162 yang berbunyi “Hipotik adalah suatu hak benda atas
benda-benda tak bergerak, untuk mengambil pergantian dari padanya bagi pelunasan suatu
perikatan”, dan pasal 1164 KUH Perdata tentang hak yang dapat dibebani hipotik pada
ketentuan pertama, yaitu benda-benda tak bergerak yang dapat dipindah tangankan beserta
segala perlengkapannya.
Kemudian berdasarkan pasal 1166 KUH Perdata mengenai bagian yang tak terbagi dalam benda
tak bergerak yang menjadi milik kelompok, dapat difahami bahwa setelah Umar membuat
sertifikat tanah atas toko Mayko dan menjadikannya sebagai benda hipotik, maka hipotiknya
adalah seluruh bagian dari hak milih atas tanah Mayko tersebut, karena disana tidak ada
pembagian benda yang mengatur dan sertifikat yang digunakan sebagai jaminan itu dapat
ditunjukkan Umar atas namanya pribadi, bukan atas nama tiga orang. Sehingga dengan
sertifikat itu, pihak Bank juga mengakui bahwa sertifikat hak milik tanah tersebut adalah milik
Umar sepenuhnya.
Berdasarkan kronologi kasus yang telah disebutkan, di sana tidak dijelaskan apakah Umar telah
melaksanakan hipotik sesuai dengan prosedur pengadaan hipotik?, kemudian berapa jumlah
uang yang dikreditkan Bank kepada Umar?, kredit itu digunakan untuk apa oleh Umar?, dan
kapan batas waktu kredit pengembalian hutang tersebut?
Jika Umar memanfaatkan hak hipotik ini untuk kepentingan pribadi seluruhnya, maka hal ini
jelas sangat merugikan pihak Abdul Ghani dan Aisyah. Namun apabila pada waktu batas yang
telah ditentukan untuk mengembalikan hutang, dan ternyata Umar tidak bisa melunasinya,
maka kecurangan Umar terhadap Abdul Ghani dan Aisyah akan terungkap, dan Bank juga akan
mengetahui bahwa sertifikat Hak Miik Tanah tersebut ternyata bukan miik Umar sepenuhnya.
Melalui dua pihak ini Umar bisa dituntut ke pengadilan.
Kemudian pada tahun 1968 terjadi pesersengketaan antara mereka bertiga tentang pembagian
hak milik atas tanah tersebut. Persengketaan itu dapat diselesaikan dengan perdamaian atas
tanah dengan bangunan toko Mayko. Namun hasil perjanjian itu tidak ditaati oleh Umar,
mengingat dia telah menjadikan seluruh hak milik tanah toko Mayko tersebut sebagai hipotik.
Secara otomatis pihak Abdul Ghani dan Aisyah merasa dirugikan oleh tindakan Umar tersebut,
sehingga mereka berdua menggugat Umar di Pengadilan Negeri dengan berbagai tuntutan
seperti yang telah ditulis dalam kronologi kasus.
Apabila pihak Abdul Ghani dan Aisyah mengetahui bahwa sejak awal bahwa sebenarnya Umar
telah menyelewengkan Sertifikat Hak Milik atas tanah, maka mereka bisa menggugat Umar,
sehingga kerugian yang dirasakan oleh mereka berdua tidak memakan jangka waktu yang lama.
Bersamaan dengan itu pihak Bank juga mengajukan gugat intervensi kepada pengadilan. Pihak
Bank menyatakan bahwa tanah dan bangunan Toko sengketa Sertifikat Hak Milik No. 59, adalah
hak milik syah dari Umar yang dibebani akta hipotik dan Sertifikat Hipotik No. 205. Dari sini
dapat diketahui bahwa pihak Bank hanya ingin mempertahankan hipotiknya atas tanah
sengketa dan bukan untuk melaksanakan eksekusi hipotiknya. Karena di awal perjanjian Umar
menyerahkan sertifikat yang menunjukkan bahwa Umar berhak penuh atas tanah tersebut. Jadi
Bank tidak mau dirugikan karena ternyata Umar hanya mempunyai hak sebesar 40% dari obyek
tanah sengketa.
Hasil sidang yang dinginkan atas gugatan pihak Abdul Ghani dan aisyah adalah, bahwa karena
Umar mengetahui bahwa tanah dengan bangunan toko tersebut masih dalam sengketa dengan
Abdul Gani, namun Umar menjaminkan tanah tersebut kepada Bank BNI 46 diatas kredit yang
diterimanya dan oleh Bank, Tanah tersebut dibebani dengan hipotik. Sehingga gugatan ini
dapat dikabulkan dan menghukum Umar dengan menyerahkan 40% harga tanah sengketa
kepada Abdul Ghani dan 20% kepada Aisyah. Dan menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik Tanah
No. 59/1978 atas tanah sengketa yang diatasnamakan Umar adalah tidak mempunyai kekuatan
hukum.
Kemudian dari gugatan yang diajukan oleh Bank, hendaknya hakim memutuskan bahwa 40%
dari tanah sengketa, sebagai jaminan hutang yang diberikan Umar kepada Bank sesuai dengan
Perjanjian Kredit.
A. Catatan
1. Sebidang tanah yang dibeli dengan uang bersama, maka tanah tersebut adalah hak milik
bersama. Masing-masing berhak atas bagian tertentu (prosentase) dari tanah tersebut,
sesuai dengan jumlah/besarnya uang yang diserahkan masing-masing peserta untuk
membeli tanah tersebut. Bilamana salah seorang, secara diam-diam, tanpa setahu yang lain
lalu membuat Sertifikat Hak Milik tanah atas namanya pribadi, maka Sertifikat Hak Milik
Tanah tersebut adalah cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
2. Agar tidak terjadi penyelewengan atas sertifikat atas hak milik tanah, maka apabila kerjasama
tersebut telah melakukan jual beli, hendaknya diadakan pembagian atas benda tersebut.
3. Hakim berkewajiban memeriksa dan mengadili gugatan intervensi yang diajukan oleh pihak
ketiga dalam gugatan pokok perkara yang sedang berlangsung persidangannya.
Saifullah, Konsep Dasar Hukum Perdata, (Malang: Fakultas Syari’ah UIN Malang, 2004), Hal. 61
Ibid., Hal. 64
Ibid., hal. 66
Ibid.
Subekti, Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita,
2006), hlm. 300
Ibid., hal. 301