hipoksemia.docx
TRANSCRIPT
Hipoksemia (atau Hipoksemia) secara umum didefinisikan sebagai penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah, kadang-kadang khusus sebagai kurang dari yang, tanpa spesifikasi lebih lanjut, akan mencakup baik konsentrasi oksigen terlarut dan oksigen yang terikat pada hemoglobin.
Inklusi yang kedua akan mencakup anemia sebagai kemungkinan penyebab hipoksemia (yang, bagaimanapun, ini tidak terjadi pada umumnya).
Hipoksemia berbeda dari hipoksia, yang merupakan abnormal rendah ketersediaan oksigen ke tubuh atau jaringan atau organ individu.
Namun, hipoksia dapat disebabkan oleh hipoksemia, dan hipoksia semacam itu disebut sebagai''''hypoxemic hipoksia, yang dibedakan dari hipoksia anemia misalnya.
Karena penggunaan yang salah sering hipoksemia, ini kadang-kadang keliru dinyatakan
Trombosit merupakan salah satu komponen darah yang berukuran 1,5-3 μm atau 1/3-1/4
ukuran eritrosit (9) dan berjumlah 350-450 x 109/L (10). Pembentukan trombosit dipengaruhi oleh
hormon trombopoeitin (TPO) yang dibentuk di hati dan ginjal. TPO berfungsi dalam diferensiasi
dan proliferasi megakariosit. Pada permukaan megakariosit terdapat reseptor untuk TPO yang
disebut c-Mpl. Megakariosit sebagai progenitor sel akan mengalami diferensiasi menjadi
trombosit setelah berikatan dengan TPO melalui reseptor ini dan trombosit yang terbentuk akan
bersikulasi selama 9-12 hari. Tidak semua TPO yang berada disirkulasi berikatan dengan
megakariosit, sehingga jika terjadi penurunan trombosit, free-TPO ini akan mengaktivasi
megakariositopoeisis sehingga trombosit kembali normal (11). Peran trombosit dalam sistim
hemostatik terutama untuk menutup robekan pembuluh darah dengan bantuan faktor koagulasi
lainnya.
Pada keadaan tertentu dapat terjadi peningkatan trombosit. Trombositosis atau
trombositemia ini terdiri dari primer atau esensial dan sekunder atau reaktif (11). Pada
trombositemia reaktif, trombositosis terjadi karena pengaruh pembentukan sitokin seperti
interleukin-6 and interleukin-11. Pelepasan sitokin tersebut dipengaruhi oleh bermacam faktor
seperti inflamasi, infeksi, malignansi, trauma, perdarahan dan pasca splenektomi. Berbeda
dengan trombositemia reaktif, esensial trombositemia terjadi karena produksi berlebihan
megakariosit oleh sumsum tulang yang disertai adanya peningkatan sensitifitas terhadap TPO
sehingga terjadi peningkatan trombosit.
Esensial trombositositemia (ET) oleh Epstein dan Goedel pertama kali dilaporkan pada
tahun 1934 (12) dan termasuk dalam penyakit mieloproliferatif. Diagnosis ET berdasarkan
peningkatan trombosit yang berlangsung terus tanpa disertai penyakit mieloproliferatif lainnya
atau adanya reaktif trombositosis(7). Polycythemia Vera Study Group (PVSG) membuat kriteria
diagnostik ET sebagai berikut jumlah trombosit >600x109/L, hemoglobin â¤13 g/dL atau MCV�
normal (pria <36 mL/kg; wanita <32 mL/kg), adanya zat besi pada pewarnaan sumsum tulang
atau pemberian zat besi selama 1 bulan yang tidak memberikan respon baik, tidak ditemukanya
kromosom Philadelphia, tidak ditemukannya kolagen fibrosis pada sumsum tulang atau hanya
kurang dari 1/3 bagian tanpa disertai splenomegali dan lekoeritroblastosis, bukan karena reaktif
trombositosis. Pada pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai abnormalitas morfologi trombosit
berupa Giant, bizarre-shaped, hypogranular. Seringkali dijumpai megakaryocytic hapusan darah
tepi. Untuk membedakan primer dan sekunder, laju endap darah berguna dalam diferensiasinya
pada fase akut menurut Messinezy dkk. Pada sekunder trombositosis terjadi peningkatan laju
endap darah, C-reactive protein (CRP), fibrinogen, aktifitas factor VIII dan antigen von
Willebrand sedangkan pada primer trombositemia dalam batas normal. Trombositosis reaktif
juga dapat dijumpai peningkatan IL-6. Pada 60% hasil pungsi sumsum tulang ET akan dijumpai
hiperplasi, abnormalitas morfologi serta penumpukan megakariosit. Pemeriksaan sumsum tulang
dapat menyingkirkan adanya myelofibrosis dan chronic myelocytic leukemia (CML).
Pada pasien ini, selain terjadi peningkatan trombosit juga didapatkan peningkatan lekosit
dan hemoglobin. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria diagnostik dari PVSG, terlebih pungsi
sumsum tulang tidak dilakukan. Sehingga dengan adanya peningkatan dari komponen darah
tersebut maka diagnosa banding yang paling dekat adalah polisitemia vera, dimana
trombositosis, lekositosis dan peningkatan hemoglobin juga bisa terjadi. Kendati demikian pada
trombositemia tidak disertai adanya eritrositosis. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan ET akan
didapat splenomegali pada 40% kasus (10) dan pada beberapa kasus juga dapat disertai adanya
hepatomegali. Sedangkan pada echokardiografi dapat dijumpai gangguan katup aorta dan mitral
akan tetapi tidak diketahui keterkaitannya dengan ET (10). Pada pasien ini splenomegali dan
hepatomegali tidak dijumpai, tapi dijumpai kardiomegali yang pada echokardiografi didapatkan
gambaran normal dan tidak ditemukan sumber emboli pada jantung yang merupakan penyebab
tersering stroke iskemik pada usia muda.
Manifestasi klinis ET dapat bersifat asimptomatik maupun simptomatik, perdarahan dan
trombotik merupakan komplikasi utama pada ET. Perdarahan terjadi pada keadaan ekstrem
trombositosis (>2000x109/L ) (10) dan seperti halnya pada gangguan fungsi platelet dan pembuluh
darah, manifestasi perdarahan bersifat superfisial dan terjadi spontan atau oleh trauma yang
minimal. Selain itu lokasi perdarahan juga sering terjadi pada mukosa dan traktus digestifus.
Manifestasi trombotik dapat terjadi pada 22-84% kasus dan terjadi baik pada pembuluh arteri
maupun vena. Kendati 25% kasus terjadi trombosis vena dalam, trombosis arteri lebih sering
terjadi pada ET (10). Hal ini disebabkan oleh perbedaan shear stress pada kedua pembuluh(9).
Lokasi trombosis arteri terutama pada pembuluh serebral, perifer dan koroner. Pada 26% ET
dapat terjadi manifestasi neurologis berupa oklusi pembuluh serebral, nyeri kepala, dizziness,
mononeuritis multiplex, sinus vein trombosis dan epilepsi (8). Proses trombosis karena
trombophilia arterial ini sudah mulai terjadi saat trombosit >400x 109/l (13) tapi pada literatur lain
dikatakan tidak ada hubungan antara jumlah trombosit dengan trombosis(6).
Pada pasien ini terjadi manifestasi neurologis berupa oklusi pada arteri serebri media
kanan yang ditandai dengan kelemahan anggota gerak kiri dan pada pemeriksaan laboratorium
terdapat trombositosis. Sesuai dengan penjelasan diatas, adanya peningkatan trombosit akan
memicu terbentuknya trombus. Selain karena adanya kerusakan endotel pembuluh darah,
pembentukan trombus juga dapat dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah dan komposisi
komponen darah (9). Pasien ini juga pernah mengalami kelemahan sebelumnya yang sembuh
sendiri, kejadian transient iskemik attack ini menunjukan terjadinya trombus yang bersifat labil.
Pada pemeriksaan penunjang neurosonologi maupun arteriografi jelas tervisualisasi adanya
oklusi arteri. Pembentukan trombus dipengaruhi oleh keadaan dinding pembuluh, fungsi
trombosit, kecepatan alirah darah dan komposisi komponen darah (14). Dinding pembuluh yang
terdiri dari sel endotel berperan penting dalam mencegah terjadinya trombus karena merupakan
barier antara trombosit dan jaringan ikat subendotel yang bersifat trombogenik. Didalam lapisan
endotel terjadi keseimbangan antara faktor prokoagulan dan antikoagulan. Saat terjadi kerusakan
endotel maka akan terjadi aktivasi dan agregsi trombosit. Saat jaringan subendotel terpapar maka
kofaktor esensial adhesi â faktor von Willebrand- yang berada pada jaringan kolagen akan��
berikatan dengan GPIb dan GPIIb/IIIa yang berada pada permukaan trombosit. Proses adhesi ini
akan dilanjutkan dengan agregasi yang diawali dengan degranulisasi dense dan alfa granul.
Kedua komponen ini merupakan organel sel trombosit. Dense granul akan melepaskan ADP
sedangkan platelet faktor 4 dan beta tromboglobulin akan dilepaskan oleh alfa granul.
Bersamaan dengan proses degranulisasi ini juga terbentuk tromboksan A2, trombin dan P-
selektin yang akan memperkuat stimulus aktivasi dan agregasi trombosit. Selanjutnya trombin
yang terbentuk dari kaskade koagulasi akan menstimulasi fibrinogen menjadi fibrin guna
stabilisasi trombus. Proses agregasi ini akan dihambat oleh faktor antikoagulan endotel yang
sehat dan antitrombin III (14).
Penalaksanaan ET berdasarkan adanya manifestasi trombotik atau perdarahan yang
terjadi. Secara garis besar tatalaksana ET dilakukan dengan pemberian antiplatelet dan platelet
inhibitor. Preparat yang digunakan antara lain hidroksiurea (Hydrea®), interferon alfa atau
anegrilide (Agrylin®). Hidroksiurea bekerja dengan menghambat sintesis RNA dan merupakan
terapi lini pertama pada penyakit mieloproliferatif. Dosis 20-30 mg/kg/hari PO yang diberikan
tiap 6 jam selama 2-6 minggu (12). Pada beberapa penelitian, preparat ini dapat mencegah
kejadian trombotik pada 24% kasus. Anagrelide atau imidazoquinazolin merupakan suatu
selektif trombositopenik yang bekerja cepat dan merupakan suatu inhibitor nonsitotoksik yang
bekerja menghambat pematangan megakariosit. Kerja preparat ini pada fase postmitotik
megakariosit sehingga akan memperlambat pematangan platelet. Preparat ini dapat menurunkan
trombosit hingga < 600.000/mm3 akan tetapi tidak ada peneltian randomisasi akan kegunaan
preparat ini dalam mencegah resiko terjadinya proses trombotik. Kendati demikian preparat ini
digunakan pada intoleransi hidroksiurea atau pada penggunaan jangka panjang pada pasien
muda. Dosis awal yang direkomendasikan 0,5 mg setiap 6 jam atau 1 mg setiap 12 jam. Dosis
pemeliharaan adalah 0,5mg tiap 12jam hingga 1 mg per 6jam. Total dosis sehari tidak lebih dari
10mg atau 2,5mg pada dosis tunggal. Dosis dapat dinaikan tiap minggu dan tidak melebihi 0,5
mg sehari. Penurunan jumlah platelet terjadi pada hari kelima dan mencapai normal pada hari
12-14. Efek samping yang sering terjadi berupa sefalgia, palpitasi, diare hingga noniskemik
kardiomiopati yang jarang terjadi, akan tetapi keluhan ini akan hilang dengan titrasi dosis.
Interferon alfa yang diberikan subkutan 21-35 juta unit tiap minggu selama 4-6 minggu dapat
mengurangi jumlah trombosit. Dosis pemeliharaan 3 juta unit seminggu 3 kali diberikan jika
sudah terjadi remisi komplet (<450.000/uL) atau parsial (<600.000/ul) (12). Selain platelet
inhibitor seperti yang disebut diatas, aspirin merupakan antiplatelet yang digunakan jika didapat
oklusi vaskular. Tatalaksan ET dilakukan berdasarkan faktor resikonya, pada pasien trombosit
<1,500x109/L, usia muda dan asimptomatik pemberian terapi tidak diberikan, jika terjadi oklusi
mikrovaskular seperti eritromelalgia atau transient iskemik attack maka pemberian aspirin 100-
300mg/hari dapat diberikan (15). Sedangkan pada pasien usia >60 tahun, trombosit >1,500x109/L
dan disertai kejadian trombosis merupakan keadaan resiko tinggi pada ET sehingga disarankan
pemberian hidroksiurea dengan aspirin (15). Akan tetapi hidroksiurea dapat memicu terjadinya
leukemogenik (16).
Pada pasien ini tatalaksana stroke dilakukan dengan prinsip terapi reperfusi dan
neuroproteksi. Berbeda pada miokard infark dimana trombus berasal dari plak atrosklerotik, pada
stroke emboli trombus berasal dari proksimal arteri ekstrakranial atau jantung. Trombolisis
intraarteri pada beberapa guideline dikatakan bermanfaat pada kasus dengan oklusi arteri serebri
media (level 1) akan tetapi rekomendasi efektifitas pemberiannya < 6jam (Grade B)(17),
penatalaksanaan awal pada pasien ini menggunakan aspirin dan pentoksifilin. Sebagai
antiplatelet aspirin banyak direkomendasikan pemberiannya hingga hari kedua (grade A).
Pemberian neuroprotektif masih merupakan kontroversi, akan tetapi A.Lise dkk mengatakan
citicholine 2000mg perhari memberikan keluaran yang baik dibandingkan pada pemberian dosis
1000mg perhari (18). Pada pasien ini digunakan cilostazol pada hari kedua perawatan, sebagai
selektif inhibitor phosphodiesterase 3, preparat ini akan menghambat inhibisi tombosit dengan
komplikasi perdarahan lebih rendah dibandingkan preparat antiplatelet lainnya. Penggunaan
cilostazol lebih banyak pada kejadian klaudikasio intermiten, bahkan pada kejadian restenosis
pada bidang kardiologi cukup terbukti efektifitasnya. Pada stenosis intrakranial, suatu penelitian
multisenter didapatkan efektitasnya mencegah restenosis pada penggunaan 6 bulan dengan dosis
200mg (19).
Penatalaksanaan ET menurut Italian Society of Hematology, pemberian inhibitor platelet
diberikan pada pasien > 60 tahun disertai kejadian trombosis atau perdarahan dan dengan jumlah
trombosit > 1500x103/L (grade A). Sedangkan pada pasien 40-60 tahun dengan resiko
kardiovaskular (rokok, hipertensi,hiperkolesterol dan diabetes) serta trombosit > 1000x103/L
perlu diberikan platelet inhibotor (grade D) (20). Target terapi trombosit 400x103/L (grade D).
Prognosis; ad vitam bonam karena keadaan klinis saat perawatan relatif stabil dengan
faktor penyulit minimal. Ad functionam dubia ad bonam, NIHSS merupakan prediktor kuat
keadaan paska stroke dan NIHSS<6 akan memberikan keluaran klinis yang baik (21). Ad
Sanasionam dubia ad bonam, seperti halnya dengan penyakit mieloproliferatif lainnya, kejadian
konversi lekemia akut dapat terjadi pada <10% kasus dan 5% kasus dapat menjadi MF.
Pengendalian trombosit diharapkan dapat mencegah trombosis dengan pemilihan preparat yang
tidak leukemogenik, akan tetapi perubahan bentuk ET menjadi acute myeloblastic leukemia
(AML), myelofibrosis/AMM atau myelodysplastic syndrome (MDS) menunjukan adanya
progresifitas dengan prognosis yang buruk.