hipertensi dlm kehamilan (andri)

Upload: daniel-lumban-gaol

Post on 06-Oct-2015

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hj

TRANSCRIPT

TERAPI MUTAKHIR HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

PAGE 1

REFERAT

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Oleh :

ANDRI RUSDIANSYAH0110006Pembimbing :Dr. dr. Ucke S. Sastrawinata, SpOG(K), MMBA-T

KSM OBSTERI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

2009

DAFTAR ISIDAFTAR ISI

HALAMANBAB I. PENDAHULUAN...............................................................................4BABII. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Definisi Hipertensi dalam Kehamilan................................6

2.2 Epidemiologi..............................................................................................102.3 Etiologi.......................................................................................................122.4 Patofisiologi...............................................................................................162.5 Faktor risiko preeklamsi............................................................................192.6 Diagnosis hipertensi dalam kehamilan......................................................202.7 Pemeriksaan Predikatif Kejadian Preeklamsi............................................232.8 Pencegahan................................................................................................302.9 Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan...........................................342.10 Efek Samping Obat.................................................................................60BABIII. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................62DAFTAR PUSTAKA......................................................................................63DAFTAR TABEL, DIAGRAM, DAN GAMBARTABEL

HALAMAN

Tabel 2.1 Diagnosis Hipertensi Dalam Kehamilan .................................................7Tabel 2.2 Gejala Klinis Berdasarkan Tingkat Keparahan pada Hipertensi dalam Kehamilan................................................................................................9

Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Kronis.................................................................10Tabel 2.4 Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara intra vena dan intra muskular untuk preeklamsi berat dan eklamsi...............................48Tabel 2.5 Pilihan Obat anti Hipertensi...................................................................54Tabel 2.6 Panduan Obat Anti Hipertensi...............................................................60Gambar 2.1 Detail of placenta and umbilical cord...14Gambar 2.2. Role of oxidative strees in the mediation of endothelial cell dysfunction in preeclampsia.15Diagram 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan...19Diagram 2.2 Skrining untuk preeklamsi................................................................34Bab I

Pendahuluan

Gangguan hipertensi pada kehamilan adalah sesuatu yang sering dan merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian, selain perdarahan dan infeksi, yang memberikan kontribusi yang yang cukup besar pada angka morbiditas da mortalitas ibu. Pada tahun 2001, berdasarkan pada National Center for Health Statistics, hipertensi gestasional ditemukan pada 150.000 wanita, atau 3,7 % kehamilan (Martin and colleagues, 2002). Berg and colleagues (2003) melaporkan hampir 16 % dari 3201 kematian pada kehamilan di Amerika Serikat pada tahun 1991-1997 merupakan akibat dari hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. Penelitian ini juga menemukan wanita kulit hitam beresiko meninggal akibat preeklampsi lebih banyak 3,1 kali lipat dibandingkan dengan wanita kulit putih.6 Pada beberapa negara di dunia, hipertensi dalam kehamilan merupakan satu-satunya penyebab utama mortalitas maternal. Mortalitas biasa diakibatkan karena hipertensi ensefalopati atau kejadian serebrovaskular yang merupakan akibat sekunder dari superimposed hipertensi berat yang diinduksi kehamilan, gagal ginjal, gagal jantung kiri, atau sindrom hemolitik mikroangiopati-uremia. Sekitar 45% kematian diakibatkan eklampsia yang terjadi pada multipara berusia tua dengan riwayat hipertensi, walaupun sekitar >80% wanita dengan eklampsia adalah primigravida muda.1,3,4,5,17 Jika preeklamsi tidak terdeteksi, dapat berlanjut menjadi sindrom hemolitik (anemia mikroangiopatik hemolitik), kerusakan hepatoselular, dan sindrom HELLP serta eklamsi. Sindrom HELLP tercatat pada 5-10% pasien dengan preeklamsi. Sebagai tambahan terhadap gejala dan tanda preeklamsi, kebanyakan pasien mengeluh nyeri perut kuadran kanan atas, mual dan muntah. Hal ini dapat menyebabkan salah diagnosis sebagai gastritis, kolesititis, atau hepatitis. Komplikasi paling serius pada hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan adalah eklamsi yang merupakan komplikasi preeklamsi berat, ditandai dengan konvulsi atau koma, merupakan akibat sekunder dari hipertensi ensefalopati. Eklamsi terjadi pada 0,2 % kehamilan dan menyebabkan terminasi 1 dalam 1000 kehamilan. 1,4,5 Hipertensi dalam kehamilan memiliki dampak peningkatan angka mortalitas maternal, fetus, dan neonatal. Padahal jika ingin cermat, deteksi dini dan penanganan yang tepat dapat menurunkan angka mortalitas tersebut. Seiring kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran, masalah deteksi terhadap hipertensi dalam kehamilan bukanlah masalah utama. Banyak alat-alat diagnostik baru seperti USG, Doppler, kemajuan teknologi laboratorium sudah luas di pakai dalam praktik kedokteran. Hal ini mempermudah dokter untuk mengidentifikasi wanita hamil yang mengalami hipertensi dan mencoba mencegah komplikasi lebih lanjut. Hal yang sampai sekarang masih menjadi masalah adalah penanganan hipertensi dalam kehamilan itu sendiri. Sebenarnya telah banyak obat anti hipertensi yang beredar di pasaran, tetapi tidak semuanya baik digunakan pada wanita hamil. Keuntungan dan bahaya dari penggunaan obat anti hipertensi tersebut dalam menangani hipertensi dalam kehamilan (ringan-berat) masih belum jelas. Sekarang ini masih terus dilakukan uji coba pengaruh obat anti hipertensi terhadap kehamilan, bagaimana pengaruhnya terhadap janin. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik membahas tentang hipertensi dalam kehamilan dan penanganannya melalui referat ini.Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Klasifikasi dan Definisi Hipertensi dalam Kehamilan Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group dari NHBPEP(2000) tampak pada table 2-1. ada 5 tipe hipertensi pada kehamilan : 1. Hipertensi gestasionalTimbulnya hipertensi pada kehamilan yang tidak disertai proteinuria hingga 12 minggu paska persalinan. Bila hipertensi menghilang setelah 12 minggu persalinan, maka dapat juga disebut hipertensi transien.2. Preeklampsia.Hipertensi dan proteinuria yang didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu. Kelainan ini sering disertai dengan kerusakan beberapa sistem organ.3. Eklampsia.Kejang pada wanita dengan preeklamsi yang bukan dikarenakan penyebab lain4. Preeklampsia superimposed pada hipertensi kronis.Hipertensi kronis yang disertai dengan proteinuria5. Hipertensi kronis.Hipertensi yang didapatkan sebelum kehamilan di bawah 20 minggu umur kehamilan dan hipertensi tidak menghilang setelah 12 minggu paska persalinan. 3,4,5,6,17,19

Tabel 21. Diagnosis Hipertensi pada Kehamilan

Hipertensi gestasional

TD 140/90 mm Hg timbul saat kehamilan

Tanpa proteinuria

TD kembali normal < 12 minggu postpartum

Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum

Mungkin ada gejala-gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri epigastrium atau trombositopenia.

Preeklampsia

Kriteria minimal

TD 140/90 mm Hg pada kehamilan >20 minggu

Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick

Kemungkinan terjadinya preeklampsia

TD 160/110 mg Hg

Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick

Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat

Trombosit 35 tahun dapat menjelaskan mengapa terjadi peningkatan frekuensi preeklamsi diantara gravida tua.3,4,5,6 Penelitian di USA menunjukkan bahwa preeklamsi merupakan komplikasi yang terjadi kira-kira 5% dari seluruh kehamilan. Preeklamsi merupakan sebab paling sering dari morbiditas dan mortalitas, sekitar 35-300 kematian per 1000 kelahiran, tergantung dari kemampuan pendukung bagian neonatal pada rumah sakit bersalin. Angka kematian ini mencapai dua kali lipat dari jumlah kematian pada wanita hamil yang normotensi. Jika preeklamsi tidak terdeteksi, dapat berlanjut menjadi sindrom hemolitik (anemia mikroangiopatik hemolitik), kerusakan hepatoselular, dan sindrom HELLP serta eklampsia. Sindrom HELLP tercatat pada 5-10% pasien dengan preeklamsi. Eklamsi terjadi pada 0,2 % kehamilan dan menyebabkan terminasi 1 dalam 1000 kehamilan.1,4,5,8 Preeklamsi terjadi pada kira-kira 5% dari semua kehamilan. Sekitar 10% terjadi pada kehamilan pertama dan 20-25% pada wanita dengan riwayat hipertensi kronis. Sekitar 20% terjadi pada nulipara, sedangkan sekitar 40% terjadi pada wanita yang memiliki riwayat penyakit ginjal dan kelainan vaskular.1,2,3,4,5,6,7 Di Eropa dan negara-negara lainnya, eklamsia terjadi pada 1 dari 2000 persalinan, sementara di negara berkembang diperhitungkan kira-kira antara 1 dari 100 sampai 1 dari 1700 persalinan. Sekitar 44% konvulsi terjadi post natal, sisanya terjadi ante partum (38%) atau intra partum (18%). Sekitar setengah juta wanita meninggal setiap tahun akibat hipertensi dalam kehamilan dan sebanyak 99% kematian ini terjadi pada negara berkembang.8,9 Angka mortalitas sebesar 14% pada negara berkembang. Tingginya angka mortalitas maternal yang didapatkan pada negara berkembang didapatkan pada pasien-pasien yang mengalami konvulsi berulang di luar rumah sakit dan tanpa kunjungan pre natal. Sebagai tambahan, tingginya angka mortalitas ini diperkuat dengan tidak adanya fasilitas Intensive Care untuk mengatasi komplikasi maternal akibat eklamsi.5,8,9,13

Kehamilan yang diperberat dengan eklamsi meningkatkan angka morbiditas maternal, seperti solusio plasenta (7-10%), DIC (7-11%), edema pulmonal (3-5%), gagal ginjal akut (5-9%), aspirasi pneumonia (2-3%), dan henti jantung paru (2-5%). Adult Respiratory Distress Syndrome dan perdarahan intraserebral merupakan komplikasi jarang dari eklamsi pada negara berkembang. Risiko koagulasi intravaskular difus (8%), Sindrom HELLP (10-15%), dan hematom hepar (1%) adalah sama antara penderita eklamsi dan preeklamsi berat. Hal yang penting untuk diketahui bahwa komplikasi maternal lebih tinggi diantara wanita yang mengalami eklamsi antepartum, yaitu mereka yang mengalami eklamsi jauh dari aterm.5,8,9,13 Sebab utama kematian maternal adalah perdarahan intrakranial. Angka kematian maternal mencapai 8-36%.4,5 Penatalaksanaan definitif dari eklampsia adalah mengakhiri kehamilan dengan persalinan. Persalinan kurang bulan dan komplikasi lain sering ikut andil dalam meningkatkan angka kematian janin sebesar 13-30%. Komplikasi lain di sini seperti infark plasenta, solustio plasenta, dan IUGR.5,8,9,13 2.3 Etiologi Pada tahun 1916, preeklamsi disebut penyakit teori. Beragam penelitian telah dilakukan untuk mencari etiologi preeklamsi yang tidak jelas. Beragam teori mengenai etiologi preeklamsi harus diperhitungkan dalam pengamatan bahwa kelainan hipertensi pada kehamilan sering timbul pada :1. Wanita yang terpapar vili korialis pertama kalinya

2. Wanita yang terpapar vili korialis yang berlimpah pada gemeli atau mola hidatidosa3. Wanita yang memiliki kelainan vaskular sebelumnya

4. Secara genetik memiliki predisposisi terhadap hipertensi dalam kehamilan.6,17Menurut Sibai, ada beberapa kemungkinan penyebab preeklamsi :

1. Invasi trofoblas abnormal

Pada implantasi normal., arteri spiralis uterina mengalami remodelling hebat ketika diinvasi oleh trofoblas endovaskular. Pada preeklamsi terjadi invasi trofoblastik yang tidak lengkap, yaitu pada pembuluh darah desidua. Menurut percobaan Madazli dan kawan-kawan, besarnya defek invasi trofoblas terhadap arteri spiralis berhubungan dengan beratnya hipertensi. Perubahan awal pada arteri penderita preeklamsi adalah kerusakan endotel, perembesan isi plasma pada dinding arteri, proliferasi sel miointimal, dan nekrosis tunika media. Akumulasi lipid pada sel-sel miointimal akan membentuk atherosis. Perubahan ini yang menyebabkan perfusi plasenta akan berkurang secara patologis yang akan menyebabkan sindrom preeklamsi.6,14

Gambar 2.1 Detail of placenta and umbilical cord2. Faktor imunologis

Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama, terdapat spekulasi bahwa terjadi reaksi imun terhadap antigen paternal sehingga menyebabkan kelainan ini.

Hanya ada sedikit data yang mendukung keberadaan teori bahwa preeklamsi adalah proses yang dimediasi sistem imun. Perubahan adaptasi pada sistem imun dalam patofisiologi preeklamsia dimulai pada awal trimester kedua. Wanita yang cenderung mengalami preeklamsi memiliki jumlah T helper cells (Th1) yang lebih sedikit.dibandingkan dengan wanita yang normotensif. Ketidakseimbangan ini terjadi karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh adenosin. Limfosit T helper ini mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu implantasi dan kerusakan pada proses ini dapat menyebabkan preeklamsi.6,14,17

3. Vaskulopati (kerusakan endotel) dan perubahan inflamasi

Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari plasenta karena terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses tertentu. Desidua juga memiliki sel-sel yang bila diaktivasi maka akan mengeluarkan agen noxious. Agen ini dapat menjadi mediator yang mengakibatkan kerusakan sel endotel. Sitokin tertentu seperti TNF-( dan interleukin memiliki kontribusi terhadap stres oksidatif yang berhubungan dengan preeklamsi. Stres oksidatif ditandai dengan adanya oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan menyebabkan pembentukan lipid peroksida. Hal ini akan menghasilkan toksin radikal yang membuat kerusakan endotel. Fenomena lain yang ditimbulkan oleh stres oksidatif meliputi pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi koagulasi intravaskular (trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas (edema dan proteinuria).6,14

Gambar 2.2. Role of oxidative strees in the mediation of endothelial cell dysfunction in preeclampsia

4. Faktor nutrisi

Beberapa defisiensi atau kelebihan suatu bahan makanan tertentu telah dijadikan penyebab preeklamsi. Bahan makanan yang tidak diperbolehkan seperti daging, protein, purin, lemak, produk susu, garam dan bahan makanan lain. Ada beberapa penelitian yang menemukan bahwa ada hubungan antara defisiensi zat tertentu dangan kejadian preeklamsi. Penelitian ini didahului oleh penelitian tentang suplementasi zinc, kalsium, dan magnesium yang dapat mencegah preeklamsi. Penelitian lain menunjukkan bahwa diet tinggi buah dan sayuran memiliki efek anti oksidan sehingga dapat menurunkan tekanan darah.6,10,145. Faktor genetik

Predisposisi herediter terhadap hipertensi tidak diragukan lagi berhubungan dengan preeklamsi dan tendensi untuk terjadinya preeklamsi juga diturunkan. Penelitian yang dilakukan oleh Kilpatrick dan kawan-kawan menunjukkan adanya hubungan antara antigen histokompatibilitas HLA-DR4 dengan hipertensi proteinuria. Menurut Hoff dan kawan-kawan, respon imun humoral maternal yang melawan antibodi imunoglobulin fetal anti HLA-DR dapat menimbulkan hipertensi gestasional.6,142.4 Patofisiologi

Walaupun mekanisme patofiologi yang jelas tidak dimengerti, preeklamsi merupakan suatu kelainan pada fungsi endotel yaitu vasospasme. Pada beberapa kasus, mikroskop cahaya menunjukkan bukti insufisiensi plasenta akibat kelainan tersebut, seperti trombosis plasenta difus, inflamasi vaskulopati desidua plasenta, dan invasi abnormal trofoblastik pada endometrium. Hal-hal ini menjelaskan bahwa pertumbuhan plasenta yang abnormal atau kerusakan plasenta akibat mikrotrombosis difus merupakan pusat perkembangan kelainan ini.4,5,6 Ada bukti yang menunjukkan bahwa adanya respon imun maternal yang terganggu terhadap jaringan plasenta atau janin memiliki kontribusi terhadap perkembangan preeklamsi. Disfungsi endotel yang luas menimbulkan manifestasi klinis berupa disfungsi multi organ, meliputi susunan saraf pusat, hepar, pulmonal, renal, dan sistem hematologi. Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran kapiler patologis yang dapat bermanifestasi pada ibu berupa kenaikan berat badan yang cepat, edema non dependen (muka atau tangan), edema pulmonal, dan hemokonsentrasi. Ketika plasenta ikut terkena kelainan, janin dapat terkena dampaknya akibat penurunan aliran darah utero-plasenta. Penurunan perfusi ini menimbulkan manifestasi klinis seperti tes laju jantung janin yang non-reassuring, skor rendah profil biofisik, oligohidramnion, dan pertumbuhan janin terhambat pada kasus-kasus yang berat.4,5,6

Hipertensi yang terjadi pada preeklamsi adalah akibat vasospasme, dengan konstriksi arterial dan penurunan volume intravaskular relatif dibandingkan dengan kehamilan normal. Sistem vaskular pada wanita hamil menunjukkan adanya penurunan respon terhadap peptida vasoaktif seperti angiotensin II dan epinefrin. Wanita yang mengalami preeklamsi menunjukkan hiperresponsif terhadap hormon-hormon ini dan hal ini merupakan gangguan yang dapat terlihat bahkan sebelum hipertensi tampak jelas. Pemeliharaan tekanan darah pada level normal dalam kehamilan tergantung pada interaksi antara curah jantung dan resistensi vaskular perifer, tetapi masing-masing secara signifikan terganggu dalam kehamilan. Curah jantung meningkat 30-50% karena peningkatan nadi dan volume sekuncup. Walaupun angiotensin dan renin yang bersirkulasi meningkat pada trimester II, tekanan darah cenderung untuk menurun, menunjukkan adanya reduksi resistensi vaskular sistemik. Reduksi diakibatkan karena penurunan viskositas darah dan sensivitas pembuluh darah terhadap angiotensin karena adanya prostaglandin vasodilator. Selama kehamilan normal, tekanan darah sistolik hanya berubah sedikit, sedangkan tekanan darah diastolik turun sekitar 10 mmHg pada usia kehamilan muda (13-20 minggu) dan naik kembali pada trimester ke III. Pembentukkan ruangan intervillair, yang menurunkan resistensi vaskular, lebih lanjut akan menurunkan tekanan darah.4,5,6 Patogenesis pada konvulsi eklamsi masih menjadi subyek penelitian dan spekulasi. Beberapa teori dan mekanisme etiologi telah dipercaya sebagai etiologi yang paling mungkin, tetapi tidak ada satupun yang dengan jelas terbukti. Beberapa mekanisme etiologi yang dipercaya sebagai patogenesis dari konvulsi eklamsi meliputi vasokonstriksi atau vasospame serebral, hipertensi ensefalopati, infark atau edema serebral, perdarahan serebral, dan ensefalopati metabolik. Akan tetapi, tidak ada kejelasan apakah penemuan ini merupakan sebab atau efek akibat konvulsi.4,5,6,8

Diagram 2.1 Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan. 32.5 Faktor risiko preeklamsi

Faktor risiko maternal : Kehamilan pertama (primigravida)

Primipaternity Usia yang ekstrim : < 18 tahun atau > 35 tahun Riwayat preeklamsi Riwayat preeklamsi dalam keluarga Ras kulit hitam.4,6Faktor risiko medikal : Hipertensi kronis

Sebab sekunder hipertensi kronis seperti hiperkortisol, hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis arteri renalis

Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), terutama dengan komplikasi mikrovaskular

Penyakit ginjal

Systemic Lupus Erythematosus, obesitas, trombofilia.4,5,6

Faktor risiko plasenta : Kehamilan multipel

Hidrops fetalis

Penyakit trofoblastik gestasional

Triploidi.3,4,5,62.6 Diagnosis hipertensi dalam kehamilan

Hipertensi didiagnosis ketika tekanan darah istirahat mencapai 140/90 mmHg atau lebih, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolik. Tekanan darah sebaiknya diukur pada posis duduk dengan posisi cuff setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit.3,4,6 Dahulu terdapat kriteria diagnosis hipertensi bahwa peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 30 mmHg atau tekanan diastolik sebesar 15 mmHg walau tekanan darah yang diukur di bawah 140/90 mmHg. Kriteria ini sekarang sudah tidak digunakan lagi karena terdapat bukti-bukti yang menunjukan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami outcome kehamilan yang buruk. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke II kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Adanya edema tidak lagi digunakan sebagai kriteria diagnostik karena banyak wanita hamil yang normotensi mengalami edema menyeluruh pada kehamilan tua sehingga sulit untuk dibandingkan dengan preeklamsi. Edema dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai catatan, edema tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi-eklamsi.3,4,6,17 Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi. Penurunan tekanan darah normal fisiologis saat trimester ke II menyebabkan wanita hamil memiliki tekanan darah yang normal sebelum usia kehamilan 20 minggu.1,3,8

Diagnosis pada eklamsi adalah ditemukannya edema menyeluruh, hipertensi, proteinuria, dan konvulsi. Akan tetapi, wanita yang mengalami eklamsi menunjukkan spektrum yang luas dari gejalanya, mulai dari hipertensi dan proteinuria berat dan edema menyeluruh sampai hipertensi minimal, tidak ada proteinuria dan tidak ada edema. Hipertensi dipertimbangkan sebagai tanda diagnosis eklamsi. Hipertensi dapat berat (160/110 mmHg) pada 20-54% kasus atau ringan (140-160/90-110 mmHg) pada 30-60% kasus. Bagaimanapun juga, ada sekitar 16% kasus dimana tidak terdapat hipertensi. Sebagai tambahan, hipertensi berat lebih umum terdapat pada pasien yang mengalami antepartum eklamsi (58%) dan mereka yang mengalami eklamsi pada usia kehamilan 32 minggu atau lebih awal (71%). Lebih jauh lagi, hipertensi tidak didapatkan hanya 10% pada wanita yang mengalami eklamsi pada atau sebelum usia kehamilan 32 minggu. Diagnosis eklamsi juga berhubungan dengan proteiuria (paling tidak dipstik 1+). Pada sebuah penelitian pada 399 wanita dengan eklamsi, proteinuria substansial (dipstik 3+) terdapat pada 48% kasus, dan sekitar 14% kasus tidak didapatkan proteinuria. Penambahan berat badan abnormal (dengan atau tanpa edema) sekitar 1 kilogram per minggu selama trimester ke III dapat menjadi tanda awal onset eklamsi. Beberapa gejala klinis dapat membantu menegakkan diagnosis eklamsi. Gejala ini dapat terjadi sebelum atau sesudah onset konvulsi, gejala ini meliputi sakit kepala persisten pada daerah oksipital atau frontal, nyeri ulu hatu atau RUQ.3,4,5,8

Hampir semua kasus eklamsi (91%) terjadi pada atau setelah usia kehamilan 28 minggu. Late postpartum eclampsia didefinisikan eklamsi yang terjadi lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 4 minggu setelah persalinan. Wanita ini memiliki gejala dan tanda preeklamsi yang berhubungan dengan konvulsi. Beberapa wanita ini menunjukkan gejala preeklamsi selama persalinan(56%) atau segera sesudahnya, sementara yang lainnya(44%) setelah 48 jam post partum.8

Berikut ini adalah kriteria-kriteria yang rutin digunakan untuk menegakkan diagnosis mengenai hipertensi dalam kehamilan :

Hipertensi gestasional :

Tekanan darah ( 140/90 mmHg pertama kalinya selama kehamilan

Tidak ada proteinuria

Tekanan darah kembali normal < 12 minggu postpartum

Diagnosis akhir hanya dibuat postpartum

Dapat mempunyai tanda atau gejala preeklampsi, seperti nyeri ulu hati atau trombositopenia.3,4,6 Preeklamsi :Kriteria minimum :

Tekanan darah ( 140/90 mmHg setelah 20 minggu kehamilan

Proteinuria ( 300 mg/ 24 jam atau ( 1+ dipstik

Kemungkinan yang mengarah ke preeklampsi berat :

Tekanan darah ( 160/110 mmHg

Proteinuria 2.0 g/ 24 jam atau ( 2+ dipstik

Oliguria (< 400 ml dalam 24 jam)

Serum kreatinin > 1.2 mg/dL, kecuali memang sebelumnya sudah naik

Trombosit < 100.000/mm3 Adanya hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH)

Peningkatan ALT atau AST

Adanya nyeri kepala yang persisten atau pandangan kabur atau nyeri ulu hati.3,4,5,6,17 Eklamsi :

Konvulsi yang tidak berhubungan dengan sebab lain pada wanita dengan preeklamsi. Eklamsi kadang terjadi tiba-tiba tanpa peringatan pada wanita dengan preeklamsi ringan.3,4,5,6,8,17 Superimposed preeklamsi pada hipertensi kronis

Proteinuria ( 300 mg/24 jam pada wanita hipertensi tetapi tidak ditemukan proteinuria pada usia kehamilan di bawah 20 minggu

Peningkatan tekanan darah atau proteinuria yang tiba-tiba atau hitung trombosit < 100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu.3,4,5,6,8 Hipertensi kronis

Tekanan darah ( 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau terdiagnosa sebelum kehamilan usia 20 minggu dan tidak berhubungan dengan penyakit trofoblastik kehamilan ATAU hipertensi yang pertama kali didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu dan menetap sampai 12 minggu postpartum.3,4,6,8

2.7. Pemeriksaan Prediktif Kejadian PreeklamsiHipertensi dalam kehamilan masih merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janinnya. Bila kelainan ini dapat dicegah maka diharapkan akan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini. Pencegahan tidak hanya memerlukan pengetahuan mengenai patofisiologi tetapi juga cara-cara deteksi dini dan cara intervensi terhadap perubahan yang terjadi dalam proses penyakit tersebut. 24Gejala-gejala preeklampsia baru menjadi nyata pada usia kehamilan yang lanjut, biasanya pada trimester ketiga, walaupun sebenarnya kelainan sudah terjadi jauh lebih dini yakni pada usia kehamilan antara 8-18 minggu. Tes yang ideal untuk prediksi harus sederhana, mudah dikerjakan, tidak memakan waktu lama, sensitivitasnya tinggi, non invasif dan mempunyai nilai prediksi positif yang tinggi. 192. 7. 1 Pemeriksaan Prediktif Preeklamsi yang Telah Ada

Berikut akan dikemukakan beberapa cara prediksi preeklampsia mulai dari cara yang sederhana sampai kepada yang memerlukan pemeriksaan yang canggih.

Beberapa cara prediksi yang ada dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Pemeriksaan baku pada perawatan antenatal

2. Pemeriksaan sistem vaskuler

3. Pemeriksaan biokimia

4. Pemeriksaan hematologi

5. Ultrasonografi 192. 7. 1. 1 Pemeriksaan Baku pada Perawatan Antenatal

a. Tekanan darah

b. Kenaikan berat badan.

Seringkali gejala pertama yang mencurigakan adanya hipertensi dalam kehamilan ialah terjadi kenaikan berat badan yang melonjak tinggi dan dalam waktu singkat. Kenaikan berat badan 0,5 kg setiap minggu dianggap masih dalam batas wajar, tetapi bila kenaikan berat badan mencapai 1 kg perminggu atau 3 kg perbulan maka harus diwaspadai kemungkinan timbulnya hipertensi.19

Ciri khas kenaikan berat badan penderita hipertensi dalam kehamilan ialah kenaikan yang berlebihan dalam waktu singkat, bukan kenaikan berat badan yang merata sepanjang kehamilan, karena berat badan yang berlebihan tersebut merupakan refleksi dari pada edema. 192.7. 1. 2Pemeriksaan Sistim Vaskulara. Tes Tidur Miring (TTM)

Tes ini dikenal dengar nama Roll-over test pertama kali diperkenalkan oleh Gant dan dilakukan pada usia kehamilan 28-32 minggu. Pasien berbaring dalam sikap miring ke kiri, kemudian tekanan darah diukur, dicatat dan diulangi sampai tekanan darah tidak berubah. Kemudian penderita tidur terlentang, diukur dan dicatat kembali tekanan darahnya. Tes dianggap positif bila selisih tekanan darah diastolik antara posisi baring ke kiri dan terlentang menunjukkan 20 mmHg atau lebih. Tes ini mempunyai sensitivitas 88%, spesifitas 95%, nilai prediksi positif 93% dan nilai prediksi negatif 91b. Infus Angiotensin II

Wanita hamil yang normotensi relatif refrakter terhadap infus Angiotensin. Tes ini dikerjakan pada kehamilan 28-32 minggu, dengan memberikan Angiotensin II per infus >8 ng/kgbb/menit menghasilkan respons tekanan darah 20 mmHg, tetap normotensi selama kehamilan, sedangkan yang mengdapat < 8 ng/kgbb/menit dan terjadi kenaikan tekanan diastolik 20 mmHg, 90% akan terjadi hipertensi dalam kehamilan. Namun tes ini mahal, rumit dan memakan waktu sehingga tidak praktis dipakai sebagai tes penapisan.c. Tes Latihan Isometrik (Isometric exercise test)

Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas cukup tinggi. Degani dkk berpendapat bahwa tekanan darah diastol yang berespons terhadap tes hand grip ini menggambarkan reaktifitas vaskular pada wanita hamil, jadi dapat digunakan untuk deteksi hiperaktivitas vaskular dan untuk prediksi preeklampsia.

Tes dilakukan dengan cara penderita baring kesisi lateral kiri, ukur tekanan darah, kemudian penderita memijit bola karet tensimeter yang dipasang pada lengan lain, sampai kontraksi maksimal untuk 30 detik dalam waktu 3 menit. Tes dikatakan positif bila terdapat kenaikan tekanan diastolik lebih dari 20 mmHg. 192. 7. 1. 3 Pemeriksaan Biokimia

a. Kadar Asam Urat

Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi perubahan sistim hemodinamik seperti penurunan volume darah, peningkatan hematokrit dan viskositas darah. Akibat dari perubahan-perubahan tersebut akan terjadi perubahan fungsi ginjal, aliran darah ginjal menurun, kecepatan filtrasi glomerulus menurun yang mengakibatkan menurunnya klirens asam urat dan akhirnya terjadi peningkatan kadar asam urat serum. Rata-rata kadar asam urat mulai meningkat 6 minggu sebelum preeklampsia menjadi berat.

Konsentrasi asam urat > 350 umol/l merupakan pertanda suatu preeklampsia berat dan berhubungan dengan angka kematian perinatal yang tinggi khususnya pada umur kehamilan 28-36 minggu. Pada penderita yang sudah terbukti preeklampsia maka kadar asam urat serum menggambarkan beratnya proses penyakit.b. Kadar Kalsium

Beberapa peneliti melaporkan adanya hipokalsiuria dan perubahan fungsi ginjal pada pasien preeklampsia. Perubahan-perubahan tersebut terjadi beberapa waktu sebelum munculnya tanda-tanda klinis. Hal ini terlihat dari perubahan hasil tes fungsi ginjal. Rondriquez mendapatkan bahwa pada umur kehamilan 24-34 minggu bila didapatkan mikroalbumniuria dan hipoklasiuria ini dideteksi dengan pemeriksaan tera radioimunologik.c. Kadar ( - Human Chorionic Gonadotrophin ((-hCG)

Beberapa peneliti melaporkan bahwa kadar hCG meningkat pada penderita preeklampsia. Sorensen dkk melaporkan bahwa wanita hamil trimester 11 dengan kadar (-hCG > 2 kali nilai rata-rata mempunyai risiko relatif 1,7 kali lebih besar untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan wanita yang mempunyai kadar (-hCG < 2 kali nilai rata-rata. Terakhir Miller dkk melaporkan bahwa peningkatan kadar (-hCG pada kehamilan 15-20 minggu memprediksi timbulnya preeklampsia terutama preeklampsia berat. Namun hingga saat ini pemeriksaan kadar preeklampsia masih terbatas. 192. 7. 1. 4 Pemeriksaan Hematologia. Volume plasma

Pada keadaan hipertensi dalm kehamilan terjadinya penurunan volume plasma sesuai dengan beratnya penyakit. Terjadinya penurunan volume plasma sebesar 30%-40% dari nilai normal, bahkan ada beberapa peneliti yang melaporkan terjadinya penurunan volume plasma jauh sebelum munculnya manifestasi klinik hipertensi. Volume plasma diukur dengan cara : penderita tidur posisi miring ke kiri selama 30 menit, diambil 10 cc darah kemudian tambahkan dengan 3 ml Evans dye blue selanjutnya dicampur dengan 10 ml NaCL. Setiap 10 menit diambil darah untuk 3 sampel kemudian disentrifus untuk memisahkan serum. Sampel darah kemudian dibandingkan dengan serum kontrol yang mempunyai ukuran 620 nm, dengan mempergunakan spektofotometer Beckman Acta C III. Hasil yang didapat dimasukkan ke dalam rumus:

Dye injected (ug)

Volume Plasma ( ml) = --------------------------------

Konsentrasi dye ( ug/ml ) b. Kadar hemoglobin dan hematokrit

Pengurangan volume plasma pada preeklampsia tampak pada kenaikan kadar hemoglobin dan hematokrit. Murphy dkk menunjukkan bahwa pada wanita hamil terdapat korelasi yang tinggi antara terjadinya preeklampsia dan kadar Hb. Mereka mendapatkan pada primigravida frekuensi terjadinya hipertensi dalam kehamilan 7% bila kadar Hb < 10.5 gr% sampai 42% bila kadar Hb > 14.5% gr%. Gerstner menyatakan adanya hubungan langsung antara nilai Ht dengan indeks gestosis. Indeks gestosis > 7 selalu disertai Ht > 37%, dan dikatakan ada korelasi antara hematokrit dan progesivitas penyakit.

c. Kadar trombosit dan fibronectin

Redman (dikutip oleh pengemanan) menyatakan bahwa hipertensi dalam kehamilan didahului oleh menurunnya trombosit sebelum tekanan darah meningkat, dan trombositopeni merupakan tanda awal

Hiperetensi dalam kehamilan. Dikatakan trombositopenia bila kadar trombosit < 150.000/mm3. Bukti adanya kelainan proses koagulasi dan aktivasi platelet pertama kali didapatkan pada tahun 1893 dengan ditemukannya deposit fibrin dan trombosit pada pembuluh darah berbagai organ tubuh wanita yang meninggal karena eklampsia. Kelainan hemostatik yang paling sering ditemukan pada penderita preeklampsia adalah kenaikan kadar faktor VIII dan penurunan kadar anti trombin III. Pada penderita hipertensi dalam kehamilan didapatkan peningkatan kadar fibronectin. Fibronectin merupakan glikoprotein pada permukaan sel dengan berat molekul 450.000, disentesis oleh endotel dan histiosit. Kadar normalnya dalam darah 250-420 ug/ml, biasanya berkonsentrasi pada permukaan pembuluh darah. Fibronectin akan dilepaskan ke dalam sirkulasi bila terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Keadaan ini memperkuat hipotesis bahwa kerusakan pembuluh darah merupakan dasar potogenesis terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Bellenger melaporkan peningkatan kadar fibronectin sebagai tanda awal preeklampsia pada 31 dari 32 wanita dengan usia kehamilan antara 25-36 minggu. Kadar fibronectin meningkat antara 3,6 1,9 minggu lebih awal dari kenaikan tekanan darah atau proteinuria. 19 2. 7. 1. 5 Ultrasonografi

Dalam 2 dekade terakhir ultrasonografi semakin banyak dipakai alat penunjang diagnostik dalam bidang obstetri. Bahkan dengan perkembangan teknik Doppler dapat dilakukan pengukuran gelombang kecepatan aliran darah dan volume aliran darah pada pembuluh darah besar seperti arteri uterina dan arteri umbilikalis. Pada penderita HDK sering disertai dengan kelainan gelombang arteri umbilikalis, dimana dapat terlihat gelombang diastolis yang rendah, hilang atau terbalik.

Steel dkk meneliti dengan memakai teknik Doppler wanita hamil pada usia kehamilan antara 16-22 minggu mendapatkan perbedaan yang bermakna dalam frekuensi preeklampsia antara wanita hamil dengan gambaran doppler yang abnormal dibandingkan dengan yang normal.

Ducey dkk dalam penelitian terhadap 136 wanita hamil mendapatkan 43% penderita preeklampsia mempunyai gambaran SD ratio yang abnormal, dan mendapatkan adanya penurunan aliran darah arteri uterina dan arteri umbilikalis pada mayoritas penderita preeklampsia. Nilai prediktif positif pada penelitian ini sekitar 75%. Pada penelitian lain, Kofinas dkk memperlihatkan bahwa insidens preeklampsia pada plasenta letak unilateral 2,8 kali lebih besar dari pada pasien dengan plasenta letak sentral.

Penentuan letak plasenta ini dilakukan dengan pemeriksaan USG real time. Dikatakan bahwa bila plasenta terletak unilateral maka arteri uterina yang terdekat dengan plasenta mempunyai tahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lainnya, sedang pada plasenta letak sentral tahanan kedua arteri tersebut sama besarnya. Pada tahanan yang lebih besar tersebut dapat menurunkan aliran darah uteroplasenter yang merupakan salah satu kelainan dasar pada preeklampsia. Terjadinya hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu mekanisme kompensasi untuk meningkatkan aliran darah uterus yang disebabkan oleh iskemia.

Ultrasonografi dapat digunakan sebagai alat untuk pemeriksaan wanita hamil dengan risiko tinggi sebab cara ini aman, mudah dilakukan, tidak invasif dan dapat dilakukan pada kehamilan muda. 192.8. Pencegahan Beragam strategi telah digunakan dalam melakukan pencegahan terhadap terjadinya preeklamsia dan eklamsi. Setelah dilakukan evaluasi terhadap strategi-strategi ini, tidak ada satupun yang terbukti efektif secara klinis.6

2.8.1 Pencegahan preeklamsi

1. Manipulasi diet

Salah satu cara yang paling awal dalam mencegah preeklamsia adalah pembatasan garam. Setelah beberapa tahun diselidiki, pembatasan garam tidaklah penting. Pada penelitian yang dilakukan Knuist dan kawan-kawan, pembatasan garam terbukti tidak efektif dalam mencegah preeklamsia pada 361 wanita.5,6,11 Sekitar 14 penelitian secara acak dan sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa suplementasi kalsium pada waktu antenatal menghasilkan penurunan yang signifikan dari tekanan darah dan insidensi preeklamsia.6,10 Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Olsen dan kawan-kawan menunjukkan bahwa pemberian kapsul minyak ikan dalam rangka memperbaiki gangguan keseimbangan prostaglandin pada patofisiologi eklamsia tidaklah efektif.6 Herrera dan kawan-kawan melakukan sebuah penelitian dengan tujuan untuk menemukan efek suplementasi kalsium plus asam linoleat (Calcium-CLA) dalam menurunkan insidensi disfungsi endotel vaskular pada wanita hamil berisiko tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian suplemen kalsium-CLA menurunkan kejadian hipertensi dalam kehamilan dan meningkatkan fungsi endotel.6,10

2. Aspirin dosis rendah

Dahulu pemberian aspirin 60 mg digunakan untuk menurunkan insidensi preeklamsi karena bekerja dalam mensupresi tromboksan dengan hasil dominansi dari prostasiklin endotel. Sekarang ini, pemberian aspirin terbukti tidak efektif dalam mencegah preeklamsi. Hal ini terbukti pada penelitian yang dilakukan Caritis dan kawan-kawan terhadap wanita risiko tinggi dan rendah. Hanya ada satu penelitian yang secara spesifik dilakukan untuk menguji efek aspirin terhadap wanita hamil dengan hipertensi kronis. Penelitian double blind placebo controlled trial dilakukan untuk melihat efek aspirin pada hipertensi kronis yang dilakukan pada 774 wanita. Dosis rendah aspirin, 60 mg sehari, yang dimulai sejak masa kehamilan 26 minggu tidak menurunkan preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat, perdarahan post partum, dan perdarahan interventrikuler neonatal.2,4,6 3. Antioksidan Antioksidan memiliki mekanisme yang mengontrol peroksidasi lipid yang berperan dalam kerusakan endotel. Penelitian yang dilakukan oleh Schiff dan kawan-kawan menunjukkan bahwa konsumsi vitamin E tidak berhubungan dengan preeklamsi. Mereka menemukan bahwa peninggian plasma vitamin E pada wanita dengan preeklamsi dan menyatakan bahwa hal ini merupakan respon terhadap stres oksidatif. Namun hal ini masih menjadi kontroversi karena ada penelitian lain yang menyatakan terapi dengan vitamin C / E dapat menurunkan aktivasi endotel yang pada akhirnya akan menurunkan preeklamsi.6. Pada penelitian lain, dengan pemberian vitamin C sebanyak 1000 mg/hari dan vitamin E 400 IU/ hari pada usia kehamilan 16 22 minggu berhubungan dengan rendahnya insidensi preeklamsi. Karena itu masih perlu dilakukan penelitian sebelum menyarankan penggunaan Vitamin C dan E untuk penggunaan secara klinis.7 4. Suplemen kalsium

Berdasarkan penelitian secara epidemiologis, terdapat hubungan antara asupan diet rendah kalsium dengan terjadinya preeklamsi. Dengan pemberian suplemen kalsium sebanyak 1,5 2 g/hari telah disarankan untuk upaya pencegahan preeklamsi. Dari hasil penelitian Cochrane, diketahui bahwa pemberian suplementasi kalsium tidak dibutuhkan pa da nulipara. Walaupun demikian, mungkin pemberiannya bisa menguntungkan untuk mereka yang termasuk kelompok dengan asupan kalsium yang memang kurang atau pada kelompok risiko tinggi, seperti mereka dengan riwayat preeklamsi berat.5. N-Acetylcystein

diduga dapat mencegah preeklamsi dikarenakan sifatnya sebagai anti radikal bebas atau antioksidan, sehingga pemberian obat ini diharapkan dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah yang diakibatkan kerusakan sel endotel pembuluh darah. Namun pemberian obat ini masih kontroversi. Meskipun demikian beberapa ahli sudah mencoba menggunakan obat ini.18

2.8.2 Pencegahan eklamsi Akibat patogenesis eklamsi tidak diketahui, strategi pencegahan eklamsi juga terbatas. Keadaan ini membuat pencegahan eklamsi adalah dengan cara mencegah terjadinya preeklamsi atau secara sekunder dengan penggunaan pendekatan farmakologis untuk mencegah konvulsi pada wanita preeklamsi. Pencegahan dapat bersifat tersier dengan mencegah konvulsi berikutnya pada wanita dengan eklamsi. Sampai sekarang belum ada terapi pencegahan untuk eklamsi. Selama beberapa dekade belakangan ini, beberapa penelitian acak telah melaporkan hasil penelitiannya tentang penggunaan restriksi protein atau garam, magnesium, suplementasi minyak ikan, aspirin dosis rendah, kalsium, dan vitamin C & E pada wanita dengan variasi faktor risiko untuk menurunkan angka kejadian atau beratnya preeklamsi. Secara umum, hasil-hasil dari penelitian ini memiliki keuntungan minimal atau malah tidak ada terhadap penurunan preeklamsi. Bahkan pada penelitian yang melaporkan penurunan angka kejadian preeklamsi, tidak memiliki keuntungan dalam outcome perinatal.8,9 Penanganan yang sekarang dilakukan untuk mencegah eklamsi adalah deteksi dini serta terapi preventif hipertensi gestasional atau preeklamsi. Beberapa rekomendasi terapi pencegahan meliputi observasi ketat, penggunaan obat anti hipertensi untuk menjaga tekanan darah maternal melebihi nilai normal, waktu persalinan, dan profilaksis magnesium sulfat selama persalinan dan segera postpartum pada pasien yang dicurigai mengalami preeklamsi.8,9 Tidak ada penelitian yang mengevaluasi efektivitas penatalaksanaan di rumah sakit pada pasien hipertensi gestasional atau preeklamsi untuk pencegahan eklamsi. Namun, beberapa data dari negara berkembang menunjukkan sekitar 50% wanita eklamsi mengalami konvulsi ketika berada di rumah sakit untuk menjalani observasi ketat, sehingga diragukan apabila hospitalisasi dini dan panjang pada wanita dengan hipertensi ringan atau preeklamsi dapat mencegah terjadinya eklamsi. Semua wanita dengan hipertensi gestasional ringan dapat ditangani secara aman dengan rawat jalan. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa tidak direkomendasikan penggunaan anti hipertensi pada wanita dengan hipertensi gestasional ringan atau preeklamsi. Profilaksis magnesium sulfat hanya direkomendasikan pada wanita yang dirawat dengan diagnosis preeklamsi. Magnesium sulfat berikan selama persalinan dan 12-24 jam postpartum. Namun tidak ada data yang mendukung pemberian profilaksis magnesium sulfat pada wanita dengan hipertensi ringan.8,9

Diagram 2.2 Skrining untuk preeklamsi

2.9. Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan

2.9.1 Pandangan umum Preeklamsi selalu dijumpai oleh para dokter kandungan. Keputusan yang tepat mengenai penatalaksanaan yang baik pada pasien preeklamsi merupakan hal yang sulit dalam bidang obstetri dan memerlukan keputusan klinik yang cerdas, serta pengetahuan mengenai beratnya penyakit dan progresi dari penyakit. Terapi paling efektif adalah pengeluaran bayi dan plasenta. Oleh karena itu, persalinan harus diinduksi pada wanita dengan kehamilan yang cukup bulan dengan keadaan serviks yang baik. Preeklamsi yang terjadi jauh dari aterm menimbulkan permasalahan yang sulit. Keputusan apakah mengeluarkan bayi prematur yang akan memerlukan perawatan intensif yang panjang dan melanjutkan terapi ekspektatif tergantung pada beratnya penyakit dan usia kehamilan.14

Laporan NHBPEP working group, menyediakan 3 panduan penatalaksanaan :

1. Persalinan merupakan terapi yang paling tepat untuk ibu, tetapi tidak demikian untuk janin. Dasar terapi di bidang obstetrik untuk preeklamsi berdasarkan apakah janin dapat hidup tanpa komplikasi neonatal serius baik dalam uterus maupun dalam perawatan rumah sakit.

2. Perubahan patofisiologi pada preeklamsi berat menunjukkan bahwa perfusi yang buruk merupakan sebab utama perubahan fisiologis maternal dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Kesempatan untuk mengatasi preeklamsi dengan diuretik atau dengan menurunkan tekanan darah dapat menimbulkan perubahan patofisiologis.

3. Perubahan patogenik pada preeklamsi telah ada jauh sebelum diagnostik klinis timbul. Penemuan ini menunjukkan bahwa perubahan ireversibel terhadap kesejahteraan janin dapat terjadi sebelum diagnosis klinis. Jika ada pertimbangan konservatif daripada persalinan, maka ditujukan untuk memperbaiki kondisi ibu agar janin dapat menjadi matur.122.9.2 Penanganan pra-kehamilan

Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder yang mungkin, kerusakan target organ, dan rencana strategis penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan harus menjalani skrining adanya faeokromositoma karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini tidak terdiagnosa pada ante partum.7

Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir trimester untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah yang tinggi ((140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk menentukan beratnya hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi yang berat akan dievaluasi secara ketat bahkan dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang ringan dapat menjalani rawat jalan.1,7

Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting diketahui mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui aman digunakan selama kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan sebelum terjadinya konsepsi atau segera setelah kehamilan terjadi.7

Perawatan di rumah sakit dilakukan dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi berat, terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat atau munculnya proteinuria. Evaluasi secara sistematis meliputi :

1. Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat badan secara cepat.

2. Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari setelahnya

3. Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari

4. Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat pertengahan tengah malam dengan pagi hari.5. Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati. Frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya penyakit

6. Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan dengan menggunakan ultrasonografi.3,4,5,6,13

Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya yang berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan pemberian sedatif. Diet harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam tidak diperlukan asal tidak berlebihan.3,62.9.3 Penatalaksanaan hipertensi kronis selama kehamilan

Kebanyakan pasien dengan hipertensi kronis mempunyai hipertensi esensial. Peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien ini adalah secara primer berhubungan dengan terjadinya preeklamsi superimposed dan solusio plasenta. Hipertensi akibat sekunder terhadap penyakit ginjal, faeokromositoma, penyakit endokrin, dan koarktasio aorta tidak umum dalam kehamilan. Faktor-faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadinya preeklamsi superimposed adalah umur ibu lebih dari 40 tahun, hipertensi lebih dari 15 tahun, tekanan darah > 160/110 mmHg pada awal kehamilan, diabetes klas B-F, kardiomiopati, dan penyakit ginjal atau autoimun.13,14 Evaluasi yang tepat memerlukan pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk funduskopi. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan meliputi urinalisis dan kultur urin, penampungan urin 24 jam untuk mengetahui total ekskresi protein dan klirens kreatinin, dan pemeriksaan elektrolit. Beberapa pasien mungkin memerlukan pemeriksaan EKG, rontgen thorax, tes antibodi antifosfolipid, antibodi antinuklear, dan katekolamin urine.13,14

Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping itu hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko preeklampsia dan penurunan berat badan seharusnya tidak dicoba bahkan pada wanita hamil yang obese. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok harus dihentikan.4,6,11,13

Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28 minggu dan kemudian setiap minggu sampai persalinan. Dalam setiap kunjungan, tekanan darah sitolik dan diastolik harus dicatat dan dilakukan tes urin untuk mengetahui adanya glukosa atau protein. Evalusai tambahan dilakukan tergantung dari beratnya penyakit, seperti pengukuran hematokrit, serum kreatinin, asam urat, klirens kreatinin, dan ekskresi protein 24 jam. Hospitalisasi diindikasikan apabila hipertensi memburuk, terjadi proteinuria yang signifikan, dan peningkatan asam urat. Peningkatan asam urat > 6 mg/dL seringkali merupakan tanda awal preeklamsi superimposed.13,14 Penggunaan obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita hipertensi kronis bervariasi pada beberapa pusat kesehatan. Beberapa klinisi lebih suka menghentikan medikasi anti hipertensi ketika menjalankan observasi ketat, termasuk penggunaan monitor tekanan darah di rumah. Pendekatan ini menggambarkan perhatian terhadap keamanan terapi obat anti hipertensi dalam kehamilan. Sebuah meta-analisis terhadap 45 penelitian acak terkontrol tentang penatalaksanaan beberapa kelas obat anti hipertensi pada hipertensi tingkat 1 dan 2 selama kehamilan menunjukkan hubungan linier langsung antara penurunan tekanan darah rata-rata karena terapi dengan proporsi bayi KMK. Hubungan ini tidak tergantung pada tipe hipertensi, tipe obat anti hipertensi, dan lamanya terapi.4,6,11,13

Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan kerusakan target organ atau yang lebih dulu memerlukan bermacam obat anti hipertensi untuk mengontrol tekanan darahnya, medikasi anti hipertensi harus dilanjutkan untuk mengontrol tekanan darahnya. Pada semua kasus, terapi harus dijalankan ketika tekanan darah mencapai 150-160 mmHg sistolik atau 100-110 mmHg diastolik untuk mencegah peningkatan tekanan darah pada tingkat yang sangat tinggi pada kehamilan. Akan tetapi ada beberapa pendapat yang merekomendasikan pemberian obat anti hipertensi saat tekanan darah mencapai ( 180/110 mmHg. Penatalaksanaan yang agresif pada hipertensi kronis yang berat pada trimester pertama sangat penting, mengingat kematian janin mencapai 50% dan angka kematian maternal yang signifikan telah banyak dilaporkan. Kebanyakan prognosis paling buruk berhubungan dengan superimposed preeklamsi. Lebih jauh lagi, wanita dengan hipertensi kronis mempunyai faktor risiko lebih tinggi dalam memperburuk prognosis neonatal jika proteinuria didapatkan pada awal kehamilan.4,6,11,13

Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol.Metil dopa merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat digunakan.6,11,13,14,20 2.9.4 Penatalaksanaan preeklamsi Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu persalinan merupakan persyaratan yang mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi. Persalinan merupakan pengobatan yang utama. Setelah diagnosis ditegakkan, penatalaksanaan selanjutnya harus berdasarkan evaluasi awal terhadap kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan hal ini, keputusan dalam penatalaksanaan dapat ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi, ekspektatif atau terminasi kehamilan serta harus memperhitungkan beratnya penyakit, keadaan ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama pengambilan strategi penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang tidak memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama.112.9.4.1 Penatalaksanaan preeklamsi ringan

Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk mengawasi perjalanan penyakit karena penyakit ini dapat memburuk sewaktu-waktu. Adanya gejala seperti sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan dan proteinuri meningkatkan risiko terjadinya eklamsi dan solusio plasenta. Pasien-pasien dengan gejala seperti ini memerlukan observasi ketat yang dilakukan di rumah sakit. Pasien harus diobservasi tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens kreatinin dan protein total seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam urat, elektrolit, dan serum albumin setiap minggu. Pada pasien preeklamsi berat, pemeriksaan fungsi pembekuan seperti protrombin time, partial tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung trombosit. Perkiraan berat badan janin diperoleh melalui USG saat masuk rumah sakit dan setiap 2 minggu. Perawatan jalan dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik, hipertensi ringan, dan keadaan janin baik. Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat tekanan darah, berat badan, ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung trombosit begitu pula keadaan janin (pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu). Sebagai tambahan, ibu harus diberitahu mengenai gejala pemburukan penyakit, seperti nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila ada tanda-tanda progresi penyakit, hospitalisasi diperlukan. Pasien yang dirawat di rumah sakit dibuat senyaman mungkin. Ada persetujuan umum tentang induksi persalinan pada preeklamsi ringan dan keadaan servik yang matang (skor Bishop >6) untuk menghindari komplikasi maternal dan janin. Akan tetapi ada pula yang tidak menganjurkan penatalaksanaan preeklamsi ringan pada kehamilan muda. Saat ini tidak ada ketentuan mengenai tirah baring, hospitalisasi yang lama, penggunaan obat anti hipertensi dan profilaksis anti konvulsan. Tirah baring umumnya direkomendasikan terhadap preeklamsi ringan. Keuntungan dari tirah baring adalah mengurangi edema, peningkatan pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi berat, dan meningkatkan outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan kecuali tekanan darah melonjak dan usia kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian sedatif dahulu digunakan, tatapi sekarang tidak dipakai lagi karena mempengaruhi denyut jantung istirahat janin dan karena salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor pembekuan yang tergantung vitamin K dalam janin. Sebanyak 3 penelitian acak menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan tirah baring baik di rumah maupun di rumah sakit walaupun tirah baring di rumah menurunkan lamanya waktu di rumah sakit. Sebuah penelitian menyatakan adanya progresi penyakit ke arah eklamsi dan persalinan prematur pada pasien yang tirah baring di rumah. Namun, tidak ada penelitian yang mengevaluasi eklamsi, solusio plasenta, dan kematian janin. Pada 10 penelitian acak yang mengevaluasi pengobatan pada wanita dengan preeklamsi ringan menunjukkan bahwa efek pengobatan terhadap lamanya kehamilan, pertumbuhan janin, dan insidensi persalinan preterm bervariasi antar penelitian. Oleh karena itu tidak terdapat keuntungan yang jelas terhadap pengobatan preeklamsi ringan.6,11,13

Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali dengan NST dan USG terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non reaktif memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan profil biofisik dan oksitosin challenge test. Amniosentesis untuk mengetahui rasio lesitin:sfingomielin (L:S ratio) tidak umum dilakukan karena persalinan awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat kematangan janin. Pemberian kortikosteroid dilakukan untuk mematangkan paru janin jika persalinan diperkirakan berlangsung 2-7 hari lagi. Jika terdapat pemburukan penyakit preeklamsi, maka monitor terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan karena adanya bahaya solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter.3,6,132.9.4.2 Penatalaksanaan preeklamsi berat

Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi, mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat terjadi di atas 36 minggu atau terdapat tanda paru janin sudah matang atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi persalinan sebelum usia kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk mendapatkan NICU yang baik.13 Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan progresif sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh karena itu persalinan segera direkomendasikan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera diindikasikan bila terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi kehamilan dengan pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan menurunkan morbiditas neonatal jangka pendek dan jangka panjang.3,5,6,11,13

Pada 3 penelitian klinis baru-baru ini, penatalaksanaan secara konservatif pada wanita dengan preeklamsi berat yang belum aterm dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal. Namun, karena hanya 116 wanita yang menjalani terapi konservatif pada penelitian ini dan karena terapi seperti itu mengundang risiko bagi ibu dan janin, penatalaksanaan konservatif hanya dikerjakan pada pusat neonatal kelas 3 dan melaksanakan observasi bagi ibu dan janin. Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi ringan harus memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi. Setiap wanita dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi berat harus dipertimbangkan persalinan dan janin sebaiknya diberi kortikosteroid. Pada pasien dengan usia kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi berat, persalinan dpat ditunda dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia kehamilan < 23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan.13

Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu hamil harus diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat. Tekanan darah dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110 mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan diastolik 105 mmHg , sedangkan yang lainnya menggunakan batasan tekanan arteri rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik < 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan pada wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah hidralazin secara IV dosis 5 mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg. Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan, atau jika ibu mengalami efek samping seperti takikardi, sakit kepala, atau mual, labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan. Akan tetapi adanya efek fetal distres terhadap terapi dengan hidralazin, beberapa peneliti merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi preeklamsi berat. Pada 9 penelitian acak yang membandingkan hidralazin dengan obat lain, hanya satu penelitian yang menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih sering didapatkan pada hidralazin.11

Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi berat dan jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium, maka regimen obat lain dapat digunakan. Setelah pengukuran tekanan darah mendekati normal, maka pemberian hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada wanita post partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih diperlukan.4,6,11,13

Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml perjam kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis, atau kehilangan darah selama persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa terjadi pada preeklamsi dan eklamsi dikarenakan pembuluh darah maternal mengalami konstriksi (vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu dilakukan secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan ekstraselular yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan intravaskular dan ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak dapat menambah hebat maldistribusi cairan tersebut sehingga meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema otak.11

Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal dihindarkan pada wanita dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan utama karena adanya hipotensi yang ditimbulkan akibat blokade simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan janin karena blokade simpatis dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi plasenta. Ketika teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini, analgesi epidural digunakan untuk memperbaiki vasospasme dan menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Selain itu, klinisi yang lebih menyenangi anestesi epidural menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat terjadi penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat menyebabkan edema pulmonal, edema serebral dan perdarahan intrakranial. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wallace dan kawan-kawan menunjukkan bahwa penggunaan anestesi baik metode anestesi umum maupun regional dapat digunakan pada persalinan dengan cara seksio sesarea pada wanita preeklamsi berat jika langkah-langkah dilakukan dengan pertimbangan yang hati-hati. Walaupun anestesi epidural dapat menurunkan tekanan darah, telah dibuktikan bahwa tidak ada keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi setelah persalinan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah anestesi epidural aman digunakan selama persalinan pada wanita dengan hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi terhadap hipertensi.5,6,11,13 Indikasi persalinan pada preeklamsi

Indikasi ibu

Usia kehamilan 38 minggu

Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3 Kerusakan progresif fungsi hepar

Kerusakan progresif fungsi ginjal

Suspek solusio plasenta

Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan

Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah

Indikasi janin

- IUGR berat

- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring

- Oligohidramnion.122.9.5 Penatalaksanaan eklamsi

2.9.5.1 Penatalaksanaan prenatal (kontrol konvulsi dan hipertensi) Kebanyakan rumah sakit merekomendasikan pemberian antikonvulsan kepada semua pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa proteinuria/edema. Obat yang digunakan tersebut harus aman bagi ibu dan janin. Pengalaman selama 50 tahun dengan menggunakan magnesium sulfat membuktikan bahwa obat ini cukup aman. Obat ini dipergunakan pada preeklamsi berat dan eklamsi. Penggunaan secara suntikan baik intramuskular intermiten maupun intra vena. Penggunaan secara intravena merupakan antikonvulsi tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat baik pada ibu maupun pada janin. Obat ini dapat pula diberikan secra intravena dengan infus kontinu. Mengingat persalinan merupakan waktu yang paling sering untuk terjadinya konvulsi, maka wanita dengan preeklamsi-eklamsi biasanya diberikan magnesium sulfat selama persalinan dan 24 jam post partum atau 24 jam setelah onset konvulsi. Perlu diingat bahwa magnesium sulfat bukan merupakan agen untuk mengatasi hipertensi.6,13

Magnesium sulfat yang diberikan secara parentral hampir seluruhnya diekskresikan lewat ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat dapat dihindari dengan memastikan bahwa keluaran urine adekuat, reflek patella positif, dan tidak adanya depresi pernafasan. Konvulsi eklamsi dan kejadian ulangannya hampir selalu dapat dicegah dengan mempertahankan kadar magnesium dalam plasme sebesar 4- 7mEq/L (4.8 8.4 mg/dL atau 2.0 3.5 mmol/L). Pemberian infus intravena awal sebesar 4-6 gram dipakai untuk membuat pemeliharaan tingkat pengobatan yang tepat dan dilanjutkan dengan injeksi intra muskular 10 gram, diikuti 5 gram setiap 4 jam atau infus kontinu 2-3 gram per jam. Jadwal dosis pemberian seperti ini diharapkan dapat mempertahankan tingkat plasma efektif sebesar 4-7 mEq/L.6,13 Reflek patella akan menghilang bila kadar plasma magnesium mencapai 10 mEq/L (sekitar 12 mg/L), hal ini dikarenakan adanya kerja kurariformis. Magnesium bebas atau ionized magnesium merupakan bahan yang dapat menurunkan eksitabilitas neuronal. Tanda ini merupakan peringatan akan adanya intoksikasi magnesium karena bila pemberian terus dilakukan maka peningkatan kadar dalam plasma yang lebih lanjut akan menyebabkan depresi pernafasan. Kadar plasma lebih besar dari 10 mEq/L akan menyebabkan depresi pernafasan, bila kadar plasma mencapai 12 mEq/L atau lebih, maka akan menyebabkan paralisis pernafasan dan henti nafas. Intoksikasi magnesium dapat ditangani dengan pemberian kalsium glukonas sebanyak 1 gram secara intravena. Namun keefektifan kerja kalsium glukonas sendiri pendek, maka bila terdapat depresi pernafasan, pemasangan intubasi trakea dan bantuan ventilasi mekanik merupakan tindakan penyelamatan hidup. Jika laju filtrasi glomerulus menurun maka akan mengganggu ekskresi magnesium sulfat. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar plasma magnesium secara periodik.6,13 Setelah pemberian 4 gram magnesium secara intravena selama 15 menit, akan terjadi penurunan sedikit pada MABP dan peningkatan cardiac index sebesar 13 %. Dengan demikian, magnesium menurunkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arteri rata-rata dan pada saat yang bersamaan meningkatkan cardiac output tanpa depresi miokardium. Hal ini tampak pada pasien berupa mual sementara dan flushing, efek kardiovaskular ini hanya menetap selama 15 menit.6,13 Penelitian yang dilakukan oleh lipton dan Rosenberg menunjukkan bahwa efek antikonvulsan adalah memblok influk neuronal kalsium melalui saluran glutamat. Penelitian lain yang dilakukan oleh cotton dan kawan-kawan pada tikus menunjukkan bahwa induksi konvulsi terjadi pada area hipokampus karena merupakan daerah dengan ambang konvulsi yang rendah dengan densitas reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang tinggi. Reseptor ini berkaitan dengan beragam bentuk epilepsi. Karena konvulsi dari hipokampus dapat dihambat oleh magnesium, maka dapat diambil kesimpulan bahwa magnesium memiliki efek terhadap susunan saraf pusat dalam memblok konvulsi.6,13 Ion magnesium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mendepresi kontraktibilitas miometrium. Namun dengan menjalani regimen yang telah ditentukan, maka tidak ada bukti penurunan kontraktibilitas miometrium. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak mengganggu induksi oleh oksitosin. Mekanisme magnesium dalam menginhibisi kontraktibilitas miometrium tidak jelas benar, tetapi diasumsikan tergantung dari efek pada kalsium intraselular. Jalur reguler kontraksi uterus adalah peningkatan kalsium bebas intraselular yang akan mengaktivasi rantai ringan miosin kinase. Konsentrasi tinggi magnesium tidak hanya menginhibisi influk kalsium ke sel-sel miometrium, tetapi juga menyebabkan kadar kalsium intraselular yang tinggi. Mekanisme penghambatan kontrasi uterus tergantung dari dosis, yaitu berkisar 8-10 mEq/L. Hal ini menjelaskan mangapa tidak pernah terjadi hambatan kontrasi uterus ketika magnesium iberikan untuk terapi dan profilaksis eklamsi dengan menggunakan regimen yang telah ditentukan.6,13 Magnesium sulfat tidak menyebabkan depresi pada janin kecuali terjadi hipermagnesemia berat saat persalinan. Gangguan neonatus setelah terapi dengan magnesium juga tidak pernah dilaporkan. Penelitian yang dilakukan oleh Nelson dan Grether menunjukkan bahwa ada kemungkinan efek protektif dari magnesiu terhadap serebral palsi terhadap bayi dengan berat badan lahir yang sangat rendah.6 Menurut penelitian Lucas dan kawan-kawan, magnesium sulfat lebih superior dibandingkan fenitoin dalam mencegah konvulsi eklamsi. Risiko solusio plasenta juga lebih rendah pada terapi dengan menggunakan magnesium sulfat. Pada penelitian Belfort dan kawan-kawan, magnesium juga lebih baik dibandingkan dengan nimodipine dalam mencegah eklamsi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Livingstone dan kawan-kawan menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak tampak menghalangi progresi preeklamsi ringan menjadi preeklamsi berat. Oleh karena itu, magnesium sulfat sudah tidak diberikan lagi pada preeklamsi ringan sejak tahun 1999.6

Tabel 2.4 Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara intra vena dan intra muskular untuk preeklamsi berat dan eklamsi.6Infus intra vena kontinu

1. Berikan 4-6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan dalam 100 mL cairan infus sekitar 15-20 menit

2. Mulai dengan dosis 2 gram/ hari dalam 100 ml cairan infus pemeliharaan

3. Ukur serum magnesium setiap 4-6 jam dan sesuaikan infus untuk menjaga level plasma 4-7 mEq/L

4. Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan

Injeksi intra muskular intermiten

1. Berikan 4 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan kecepatan tidak lebih dari 1 gram/menit

2. Dilanjutkan dengan 10 gram magnesium sulfat 50%, 5 gram diinjeksikan pada masing-masing kuadran atas bokong kanan-kiri dengan menggunakan jarum 3 inchi (tambahkan 1 ml lidocain 2% untuk mengurangi nyeri). Jika konvulsi teteap terjadi setelah 15 menit, berikan tambahan 2 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit

3. Setiap 4 jam kemudian, beikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang diinjeksikan pada kuadran kanan atas bokong secara bergantian kanan dan kiri. Hal yang harus diperhatikan : reflek patella, tidak ada depresi pernafasan, output urine dalam 4 jam lalu mencapai 100 mL

4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah persalinan

Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg. Tujuan utama pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-100 mmHg.13

2.9.5.2 Penatalaksanaan Paska salin

Beberapa bagian terapi tidak perlu dilanjutkan setelah persalinan. Karena 25% konvulsi sering terjadi postpartum, pasien dengan preeklamsi tetap melanjutkan magnesium sulfat sampai 24 jam setelah persalinan. Fenobarbital 120 mg/hari kadang-kadang digunakan pada pasien dengan hipertensi persisten dimana diuresis spontan postpartum tidak terjadi atau hiperreflek menetap 24 jam pemberian magnesium sulfat. Bila tekanan diastol tetap konstan diatas 100 mmHg selama 24 jam postpartum, beberapa obat anti hipertensi harus diberikan seperti diuretik, Ca channel blocker, ACE inhibitor, Central alpha agonist, atau beta bloker. Setelah follow-up 1 minggu, pemberian terapi anti hipertensi dapat dievaluasi kembali.6,13

Prioritas utama penatalaksanaan eklamsi adalah mencegah kerusakan maternal dan menjaga fungsi respirasi dan kardiovaskular. Selama atau segera setalah episode konvulsi akut, terapi suportif harus diberikan untuk mencegah kerusakan serius maternal dan aspirasi. Penjagaan jalan nafas dilakukan dengan penyangga lidah yang dimasukkan diantara gigi dan diberikan oksigenisasi maternal. Untuk meminimalisasikan risiko aspirasi, pasien harus berbaring dengan posisi dekubitus lateral. Muntah dan sekresi oral harus dihisap bila diperlukan. Selama terjadi konvulsi, hipoventilasi dan asidosis respiratoar sering terjadi. Walaupun konvulsi pertama hanya berlangsung selama beberapa menit, penting untuk menjaga oksigenisasi dengan pemberian oksigen lewat face mask dengan atau tanpa reservoir sebesar 8-10 L/menit. Setelah konvulsi berhenti, pasien mulai bernafas kembali dan oksigenisasi menjadi masalah lagi. Hipoksemia maternal dan asidosis dapat terjadi pada pasien yang mengalami konvulsi berulang, pneumonia aspirasi, edema pulmonal, atau kombinasi faktor-faktor ini. Ada kebijakan untuk menggunakan transcutaneus pulse oxymetri untuk monitor oksigenasi pada semua pasien eklamsi. Bila hasil pulse oksimetri abnormal (saturasi oksigen < 92%), maka perlu dilakukan analisis gas darah. Hal yang selanjutnya diperlukan untuk mencegah terjadinya konvulsi berulang adalah pemberian magnesium sulfat sesuai regimen yang telah tersedia di masing-masing rumah sakit. Sekitar 10% wanita eklamsi akan mengalami konvulsi ke dua setelah menerima magnesium sulfat. Langkah selanjutnya dalam penanganan eklamsi adalah menurunkan tekanan darah dalam batas aman, tetapi pada saat yang sama menghindari terjadinya hipotensi. Tujuan objektif dalam terapi hipertensi berat adalah menghindari kehilangan autoregulasi serebral dan untuk mencegah gagal jantung kongestif tanpa mengganggu perfusi serebral atau membahayakan aliran darah uteroplasenter yang sudah tereduksi pada wanita dengan eklamsi. Ada kebijakan untuk menjaga tekanan sistolik sebesar 140-160 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 90-110 mmHg. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian hidralazin atau labetalol (2040m g IV) setiap 15 menit. Bila diperlukan, nifedipin 10-20 mg oral setiap 30 menit sampai dosis maksimal 50 mg dalam satu jam.8,13 Hipoksemia maternal dan hiperkarbia dapat menyebabkan perubahan denyut jantung janin dan aktivitas rahim selama dan segara setelah konvulsi. Perubahan denyut jantung janin meliputi bradikardi, deselerasi lambat transien, penurunan beat-to-beat variabilitas, dan takikardi kompensasi. Perubahan aktivitas uterus meliputi peningkatan frekuensi dan tonus. Hal ini biasanya membaik secara spontan dalam 3-10 menit setelah terminasi konvulsi dan koreksi hipoksemia maternal. Bagaimanapun juga, penting untuk tidak melakukan persalinan pada keadaan ibu yang tidak stabila, bahkan bila terjadi fetal distres. Setelah konvulsi dapat diatasi, tekanan darah sudah dikoreksi, dan hipoksia sudah diatasi, persalinan dapat dimulai. Pasien ini tidak perlu buru-buru dilakukan seksio, terutama bila kondisi maternal tidak stabil. Lebih baik bagi janin untuk bertahan dalam uterus untuk perbaikan hipoksia dan hiperkarbia akibat konvulsi maternal. Namun, bila bradikardi dan/atau deselerasi lambat berulang menetap lebih dari 10-15 menit setelah segala usaha resusitasi, diagnosis solusio plasenta harus ditegakkan. Adanya eklamsi bukan indikasi untuk dilakukan seksio. Keputusan untuk mengadakan seksio harus berdasarkan usia janin, kondisi janin, dan skor bishop. Direkomendasikan untuk mengadakan seksio pada wanita yang mengalami eklamsi sebelum usia kehamilan 30 minggu yang tidak dalam fase pembukaan dan skor bishop kurang dari 5. Pasien yang mengalami ruptur membran atau pembukaan diperbolehkan untuk menjalani persalinan per vaginam bila tidak terdapat komplikasi obstetrik. Anestesi rasa nyeri maternal selama pembukaan dan persalinan dapat dilakukan dengan anestesi epidural yang direkomendasikan pada wanita dengan preeklamsi berat. Untuk persalinan dengan seksio, regional anestesi seperti epidural, spinal, atau teknik kombinasi dapat dipergunakan. Anestesi regional dikontraindikasikan bila terdapat koagulopati atau trombositopeni berat (< 50.000 mm3). Pada wanita dengan eklamsi, anestesi umum meningkatkan risiko aspirasi dan gagal intubasi karena edema jalan nafas dan peningkatan tekanan darah sistemik (transient reflex hypertension) dan serebral selama intubasi.8,13 Setelah persalinan, pasien eklamsi harus diobservasi ketat terhadap tanda vital, intake-otput cairan, dan gejala selama 48 jam. Wanita ini biasanya menerima cairan IV yang banyak selama fase pembukaan, persalinan, dan post partum. Sebagai tambahan, selama post partum terjadi pergeseran cairan ekstraselular sehingga terjadi peningkatan volume cairan intravaskular. Hasilnya, wanita dengan eklamsi, terutama dengan gangguan fungsi ginjal, solusio plasenta, hipertensi kronis, memiliki risiko terjadinya edema pulmonal. Magnesium perenteral harus dilanjutkan selama 24 jam setelah persalinan dan/atau selama 24 jam setelah konvulsi terakhir. Jika pasien mengalami oliguria (< 100 mL/4 jam), pemberian infus dan dosis magnesium sulfat harus dikurangi. Setelah persalinan terjadi, agen anti hipertensi oral seperti labetalol atau nifedipine dapat digunakan untuk menjaga tekanan sistolik di bawah 155 mmHg dan tekanan diastolik di bawah 105 mmHg. Rekomendasi labetalol oral adalah 200 mg setiap 8 jam (dosis max 2400 mg/hari) dan rekomendasi dosis nifedipine 10 mg oral setiap 6 jam (dosis max 120 mg/hari).8,13 Sebagai tambahan, penting untuk mengarahkan penatalaksanaan pasien dengan hipertensi berat agar terhindar dari konvulsi serta menurunkan tekanan darahnya dan kontrol keseimbangan cairan yang menjadi dua sebab utama mortalitas maternal.9

Penatalaksanaan cairan dilakukan karena salah satu sebab mortalitas maternal adalah gangguan kardiorespiratori. Wanita eklamsi, walaupun mungkin hipovolemia, mengalami overload cairan bila dihitung total cairan dalam tubuhnya. Hal ini terjadi karena edema yang sering terjadi pada pasien ini. Untuk menghindari komplikasi iatrogenik pada pasien eklamsi, seperti edema pulmonal, ARDS, dan gagal jantung kiri, keseimbangan input dan output harus dijaga dengan ketat. Dalam usaha untuk meningkatkan tekanan osmotik plasma, cairan koloid sering digunakan. Cairan IV diberikan dengan jumlah 80 ml/jam (1 ml/kgBB/jam) atau output urine jam sebelumnya ditambah 30 ml. Output urin dimonitor dengan baik bila menggunakan kateter. Untuk membantu monitor keseimbangan cairan, dapat digunakan Central Venous Pressure (CVP) kateter, dan dijaga agar tekanan < 5 cmH2O.9

Protokol : 9Penatalaksanaan segera pada konvulsi eklamsi

Letakkan pasien dalam posisi recovery

Amankan dan jaga jalan nafas

Berikan oksigen lewat face mask

Lakukan akses venas dan berikan diazepam 10 mg IV lebih dari 2 menit

Monitor denyut jantung dan respirasi

Berikan magnesium sulfat

Prinsip penatalaksanaan eklamsi

Lindungi jalan nafas maternal

Kontrol konvulsi

Pencegahan konvulsi berulang

Atasi hipertensi berat

Monitor keseimbangan cairan

Persalinan buatan secara aman secepatnya

Atasi komplikasi apapun yang mungkin terjadi 2.9.6 Penatalaksanaan Sindroma HELLP

Klasifikasi :

1. Klasifikasi missisippi

Klas I : trombosit 50.000 / mm3, serum LDH 600.000 IU/L, AST dan / atau ALT 40 IU/L

Klas II : trombosit > 50.000 sampai 100.000 / mm3, serum LDH 600.000 IU/L, AST dan / atau ALT 40 IU/L

Klas III : trombosit > 100.000 / ml sampai 150.000 / mm32. Klasifikasi Tennesse :Klas lengkap : trombosit < 100.000 / mm3, LDH 600.000 IU/L, AST 70 IU/L

Klas tidak lengkap : bila ditemukan hanya satu atau dua tanda-tand di atas

Terapi medikamentosa :

1. Mengikuti terapi medikamentosa : preeklamsi-eklamsi

2. Pemeriksaan laboratorium untuk trombosit dan LDH tiap 12 jam

3. Bila trombosit < 50.000 / mm3 atau ada tanda koagulopati konsumtif, maka harus diperiksa waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan fibrinogen.

4. Pemberian dexamethason rescue Pada masa antepartum diberikan double dose deksametason jika didapatkan trombosit < 100.000, maka diberikan deksametason 10 mg V tiap 12 jam. Pada masa postpartum, diberikan 10 mg IV tiap 12 jam 2 kali, kemudian diikuti 5 mg IV tiap 12 jam 2 kali. Terapi deksametason dihentikan bila telah terjadi perbaikan laboratorium (trombosit > 100.000 / mm3 dan penurunan LDH) atau perbaikan tanda-tanda dan gejala klinik preeklamsi-eklamsi

5. Dapat dipertimbangkan pemberian transfusi trombosit bila < 50.000 / mm3 dan anti oksidan

Pengelolaan obstetrik :

Sikap terhadap kehamilan pada sindrom HELLP ialah aktif, yaitu terminasi kehamilan tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan per vaginam atau per abdomen.3a. Pilihan obat anti hipertensi Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan.

Tabel 2.5 Pilihan Obat anti Hipertensi OBAT ANTI HIPERTENSIPENDAPAT

Metil dopaLebih disukai berdasarkan studi jangka panjang yang menunjukkan keamananya

Beta blokerSecara umum aman, ada beberapa laporan tentang IUGR (Atenolol)

LabetalolEfek samping sedikit

KlonidinData terbatas

Kalsium antagonisData terbatas, tidak ada peningkatan teratogenitas

DiuretikBukan terapi lini 1, kemungkinan aman

ACEI, ARBKontra indikasi, toksisitas fetal dan kematian

Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi kronis, dengan insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi selama 4 tahun atau lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan pada preeklamsi meliputi identifikasi wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis dan laboratorium, pengamatan intensif atau terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan preeklamsi meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya. Banyak wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi sebelumnya sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi. Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat progresi penyakit dan menyediakan waktu bagi fetus untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah memburuk sejalan dengan waktu.5,6,11 Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi ibu, haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu. Selain memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat janin intra uterin, atau IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah, gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan per vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari penambahan stress akibat operasi.3,4,11 Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg.6,13,18 Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan : 1) Hidralazine

Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.6,13,15 Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi.6,13,15,21

2) Labetalol

Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat 1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.13,15 Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok (1 dan non selektif , dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.13,153) Obat anti hipertensi lain

NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.6,13,15 Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 men