hikayat negeri tembakau
TRANSCRIPT
Page 1 of 8
Hikayat Negeri Tembakau
Oleh PUTHUT E.A. Foto oleh HAFIDZ NOVALSYAH
Dulu, profesinya dokter. Ia bahkan sempat mengambil spesialis bedah anatomi di Belanda.
Akan tetapi, sudah sejak lama justru yang melekat kuat di dirinya adalah tembakau dan lukisan.
Di usianya yang menjelang 74 tahun, ia masih bersemangat jika diajak bicara tentang kedua
hal tersebut.
Dokter Oei Hong Djien bukanlah nama yang asing di dunia seni rupa Indonesia. Banyak pelaku
seni rupa mulai dari seniman, kurator, kolektor, dan para pencinta seni rupa Indonesia yang
sepakat bahwa Hong Djien adalah kolektor terpenting nomor dua di Indonesia. Mungkin akan
timbul pertanyaan, mengapa nomor dua saja dianggap penting? Sebab yang nomor satu adalah
Soekarno, Presiden RI pertama yang memang gemar mengoleksi lukisan.
Tidak terlalu sulit mencari rumah Hong Djien di Magelang. Seorang perupa yang saya tanyai
lewat pesan pendek cukup menjelaskan dengan kalimat ringkas: Pagarnya panjang dan penuh
tanaman merambat. Dari luar pagar, rumah itu memang tidak menunjukkan apa-apa selain
memang berpagar panjang, amat panjang untuk ukuran sebuah rumah.
Tetapi begitu memasuki halaman rumahnya, siapa pun yang ke sana langsung mengerti bahwa
si empu rumah adalah pencinta seni. Berbagai karya instalasi dan patung dipajang di beranda
rumah. “Ayo masuk!” suara Hong Djien yang khas, keras, dan spontan terdengar. Laki-laki
berkacamata itu mendadak muncul di pintu lalu mengajak saya ke ruang tamunya yang juga
penuh dengan karya seni. Salah satu lukisan yang terpajang di tembok ruangan itu saya kenali
sebagai karya Nasirun.
“Saya sering mengatakan ke banyak orang, bagi saya, tembakau itu lebih dulu ada baru
kemudian lukisan. Kenapa bisa begitu? Karena tanpa uang dari tembakau mustahil saya bisa
membeli lukisan,” ujarnya sambil tertawa terkekeh. Hong Djien suka sekali tertawa.
Baginya, tembakau dan lukisan itu memiliki banyak persamaan. Profesinya sebagai grader tem-
bakau sekaligus kolektor lukisan mensyaratkan panca inderanya untuk bekerja dengan optimal.
“Bau tembakau itu ada hubungannya dengan rasa tembakau. Kalau baunya enak, rasanya pasti
enak. Kalau baunya nyegrak (menusuk), pasti tembakau itu jika diisap terasa kasar. Kalau tem-
bakau itu dipegang halus seperti sutera, pasti rasanya juga enak dan pulen. Begitu juga jika
dilihat kelirnya bagus, pasti ada pengaruhnya terhadap rasa,” kalimat-kalimat Hong Djien me-
luncur deras, cenderung cepat.
Grader adalah profesi yang tugasnya membedakan kualitas tembakau, yang berpengaruh pada
proses penentuan harga tembakau. Diperlukan keahlian dan pengalaman panjang untuk
menjadi grader yang mumpuni. Mirip dengan profesi para pencicip anggur.
Hong Djien menggeluti profesi sebagai grader karena kebetulan. Kakek buyutnya yang berasal
dari Cina mendarat di Semarang pada 1800-an. Tak lama kemudian, sang kakek buyut ke Te-
manggung dan memulai bisnis tembakau. Bisnis tersebut dilanjutkan kakeknya dan kemudian
diwariskan ke orangtuanya.
Sebetulnya orangtua Hong Djien yang lebih terdidik menginginkan anak-anaknya bekerja di
bidang yang lain. Kakak tertua Hong Djien berprofesi sebagai dokter gigi, bahkan menjadi
dokter gigi Soekarno. Hong Djien sendiri kemudian masuk kedokteran dengan spesialis bedah
anatomi, sementara adiknya kuliah di Fakultas Hukum.
Page 2 of 8
Pada 1968, saat ia berada di Belanda untuk melanjutkan kuliah, bapaknya meninggal dunia.
Terpaksa Hong Djien pulang. Waktu itu bulan Juni, saat mendekati panen tembakau. Kakak
dan adiknya tidak mungkin mengambil alih bisnis tersebut. Terpaksa Hong Djien yang
memikul amanah untuk mengurus bisnis keluarga itu.
“Waktu itu petani-petani sudah mulai banyak yang berdatangan untuk menyetor tembakau.
Padahal saya sama sekali tidak menguasai bisnis itu. Akhirnya mau tidak mau saya belajar
tentang bisnis tembakau, termasuk meng-grade tembakau. Akhirnya keterusan sampai
sekarang.”
Sejak muda, Hong Djien tidak bisa lepas dari lukisan. Awalnya karena di tembok rumah
orangtuanya banyak lukisan, kebanyakan lukisan orang Belanda. “Ketika saya kuliah di
Jakarta, saya pun mulai terbiasa mengunjungi pameran-pameran lukisan. Dan, ketika saya
berada di Belanda, saya mulai membeli, walaupun sebatas membeli sketsa-sketsa.”
Begitu mulai punya uang yang cukup karena meneruskan bisnis tembakau ayahnya, ia mulai
membeli lukisan-lukisan seperti Affandi, Sudjojono, Widayat, Nasar, Nyoman Gunarsa, Ivan
Sagita, dan banyak yang lain. Di kalangan perupa Yogyakarta, Hong Djien punya tempat
tersendiri yang susah digantikan.
Saat iklim seni rupa belum sebagus sekarang, Hong Djien sudah sering membeli karya para
perupa muda, terutama dari Yogyakarta. Bagi mereka, karya mereka yang dikoleksi Hong
Djien merupakan kebanggaan tersendiri.
Kini, di umurnya yang sudah sepuh, Hong Djien masih sering didaulat bicara di berbagai forum
seni rupa penting, baik di dalam maupun di luar negeri. Ia juga menjadi semacam penasihat
bagi berbagai peristiwa seni rupa di tanah air.
Untuk menunjukkan kecintaannya pada dunia seni rupa, sosok yang mengoleksi lebih dari
2.000 karya seni rupa ini pun membuat sebuah museum seni rupa. Museum itu diresmikan pada
tanggal 5 April 2012, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-73.
Lamuk adalah nama sebuah dusun di wilayah Desa Legoksari, Temanggung. Saya tiba di dusun
itu pukul 09.00. Pada bulan April, beberapa wilayah di Temanggung memang mulai melakukan
proses penanaman tembakau.
Suasana di rumah Subakir, 45 tahun, seorang kepala desa, sudah ramai. Para penduduk ber-
kumpul untuk mempersiapkan upacara tanam tembakau. Saya melihat belasan wartawan di
rumah besar tersebut, menandakan bahwa ritual di kampung itu menarik untuk dijadikan berita.
Tidak lama kemudian, orang-orang beriringan, berjalan kaki dengan membawa beragam
sesajen menuju ke tempat upacara, di tengah area kebun tembakau yang siap ditanam.
Perjalanan menanjak cukup melelahkan bagi orang-orang yang tidak terbiasa, seperti saya.
Sampai di area ritus, altimeter di tangan saya menunjukkan angka 1.500 meter di atas
permukaan laut, dengan tingkat kemiringan yang curam. Bukit-bukit tampak kosong, siap
ditanami. Selain membawa sesajen, para penduduk juga membawa bibit-bibit tembakau yang
kira-kira setinggi sepuluh sentimeter.
Tikar-tikar digelar. Orang-orang duduk mengelilingi sesajen. Ada sesajen yang satu nampan
khusus berisi buah-buahan, ada yang khusus tumpeng dengan ditancapi lidi-lidi yang sudah
ditempeli berbagai jenis uang kertas, ada pula yang hanya berisi berbagai jenis rokok. Saya
juga melihat tumpeng lengkap dengan ingkung ayam (ayam utuh). Namun, tampaknya, yang
menjadi sajen inti adalah tumpeng lengkap dengan ingkung ayam cemani yang dagingnya
berwarna hitam.
Page 3 of 8
Sebagai kepala desa, Subakir membuka acara dalam bahasa Jawa halus. Laki-laki berkumis
tebal itu mengucapkan rentetan ucapan terima kasih, mulai kepada Tuhan sampai dengan
kepada Ki Ageng Makukuhan. Bagi orang di wilayah Gunung Sindoro, Sumbing, dan Prau,
nama Ki Ageng Makukuhan memang selalu menjadi sebutan wajib dalam semua ritual yang
berhubungan dengan tembakau. Ia dipercaya sebagai orang pertama yang membawa bibit
tembakau di wilayah ini.
Menurut cerita lisan yang beredar di masyarakat, Ki Ageng Makukuhan adalah murid Sunan
Kudus yang berniat membuka lahan pertanian di wilayah Temanggung dan sekitarnya. Di
tengah perjalanan, salah satu sahabatnya sakit. Pada saat itulah, Ki Ageng Makukuhan
mencabut tanaman dan dikibaskan ke tubuh sahabatnya sambil berkata, “Iki tambaku!” (Ini
obat dariku). Kata “tambaku” inilah yang dipercaya masyarakat sebagai akar dari kata
tembakau atau mbako.
Usai Subakir membuka acara, ritual selanjutnya dipandu oleh seorang pemuka agama. Upacara
berlangsung dengan khidmat. Hening. Ketika upacara usai, semua orang menyantap hidangan.
Kemudian dilanjutkan dengan membawa bibit-bibit tembakau ke lahan-lahan yang sudah siap
ditanami.
Saya sempat berbincang dengan beberapa orang sepuh, yang saya taksir usia mereka di atas 70
tahun. Memang benar, seorang di antara mereka bahkan sudah berusia hampir 80 tahun. Tidak
ada yang tahu persis sejak kapan Lamuk ditanami tembakau. Jawabannya selalu: “Sejak dulu.”
Hanya, seingat mereka, dulu tembakau hanya ditanam untuk dikonsumsi sendiri. Namun,
mereka sepakat bahwa penanaman besar-besaran tembakau di Lamuk terjadi pada 1969. Hal
tersebut cukup masuk akal karena mendekati tahun tersebut industri rokok terutama rokok
kretek mulai mengalami kemajuan yang pesat.
Lamuk dulu dikenal sebagai daerah minus, dengan tanah yang cengkar dan lanskap yang
curam. Kini, Lamuk mendadak masyhur karena menghasilkan tembakau kualitas nomor satu,
yang sering disebut sebagai tembakau srintil.
Tembakau srintil menjadi masyhur karena saat panen tidak semua petani “dianugerahi”
tembakau ini, meski dari kebun yang sama. Dengan harga srintil yang berkisar antara
Rp400.000 sampai 800.000, bahkan beberapa kali tembus di atas Rp1.000.000 per kilogram,
pasti banyak orang yang mengincar lahan di daerah tersebut. Kepala desa yang saya tanya hal
tersebut tergelak, “Mas, kalau ada orang mau membeli tanah di Lamuk, orang Lamuk akan
bertanya balik: Anda punya tanah berapa, biar saya beli.”
Memang benar. Dari hasil tembakau tersebut, banyak orang dari Lamuk yang membeli tanah
ke desa lain bahkan kecamatan lain. Dengan suara bariton dan sorot matanya yang tajam,
Subakir bahkan mengatakan, “Beberapa tahun lalu tersiar berita menggegerkan karena ada
petani-petani yang sempat mencari informasi bagaimana cara membeli helikopter. Petani-
petani itu berasal dari Lamuk.”
Rumah Agus Parmuji masih ramai, padahal sudah jam 21.00. Lebih dari sepuluh orang sibuk
membongkar keranjang-keranjang berisi tembakau, mengambil contoh tembakau, mencium,
lalu mencatat, memberi tanda pada keranjang-keranjang tersebut, dan kemudian me-
nyimpannya di gudang.
Laki-laki 34 tahun itu adalah kepala desa di Wonosari, Kecamatan Bulu, Temanggung. Rumah
Agus sendiri terletak di dusun Dukuh. Suatu malam pada Agustus lalu saya datang ke
rumahnya, saat sebagian besar warga Temanggung memanen tembakau. “Ini masih petikan
kedua, Mas. Srintil akan keluar setelah tanggal 24 Agustus,” ucap Agus sambil memperlihatkan
beberapa contoh tembakau kepada saya.
Page 4 of 8
Dukuh adalah saingan Lamuk. Kedua tempat tersebut merupakan penghasil srintil. Sejak kecil,
Agus sudah jatuh cinta kepada tembakau. Bahkan, ketika masih duduk di kelas lima sekolah
dasar, ia sudah rela berjalan jauh ke kota Temanggung yang kira-kira berjarak 15 kilometer
dari desanya.
Tujuannya hanya untuk tahu setelah tembakau dipetik, diperam, dirajang, dijemur, dan
dibungkus keranjang lalu dibawa ke gudang di kota, apa proses selanjutnya? Alhasil,
keluarganya bingung, warga desanya pun bingung hingga hampir semua orang mencarinya.
Selepas SMA, Agus terjun sebagai petani tembakau. Di kampungnya, ia adalah sosok kepala
desa berusia muda, namun disegani. Ia pernah memeriksakan beberapa tanah di wilayahnya ke
Institut Pertanian Bogor. Bahkan, contoh tanah itu pernah dibawa ke Amerika hanya untuk tahu
bagaimana caranya supaya bisa menghasilkan kualitas tembakau yang bagus.
“Petani itu punya tiga pegangan menanam tembakau yang merupakan warisan pengetahuan
nenek-moyang: siti (tanah), wiji (benih), wanci (cuaca atau waktu). Untuk yang pertama dan
kedua, kita sebagai petani harus bisa mengusahakan yang maksimal,” papar Agus. “Tapi soal
wanci, kita bergantung kepada Tuhan.”
Agus lalu mencontohkan panen kali ini. Saat tembakau masih butuh guyuran hujan, ternyata
hujan sudah tidak turun. Dan saat tembakau sudah tumbuh besar, angin bertiup lebat. “Akibat-
nya, akar tembakau menjadi stres dan daun tembakau menjadi kempes, tidak padat berisi
sehingga kualitasnya kurang. Tapi siapa yang bisa mengusir angin?”
Keesokan harinya, saya diajak Agus keliling desa untuk melihat bagaimana tembakau diperam,
dirajang, dan dijemur. Setelah itu, ia meminta beberapa warganya untuk mengantar saya di
daerah tembakau yang cukup tinggi. Ia tidak bisa ikut karena di siang hari banyak petani yang
menyetor hasil panen mereka ke rumahnya.
Kami naik mobil bak terbuka, menyusuri jalan menanjak tak beraspal. Di mana mata saya
memandang, yang ada hanyalah daun-daun tembakau yang berkilau diterpa panas matahari
yang menyengat. “Di saat musim seperti ini, rumput pun mati. Hanya tembakau yang bisa
hidup.” teriak seorang petani yang berada di balik kemudi, melawan deru mesin dan suara ban
yang menggilas tanah bebatuan.
Mobil berhenti tepat di ketinggian 1.450 mdpl. Puncak Gunung Sumbing terlihat jelas. Banyak
orang menyebut Dukuh dan Lamuk sebagai Negeri di Atas Awan. Karena ketika cuaca
mendukung, dari kedua dusun tersebut bisa terlihat jajaran awan di bawah.
Temanggung dan tembakau adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Maklum saja, tembakau
telah menyulap kehidupan warga Temanggung. Setidaknya ada 14 kecamatan dari 19
kecamatan yang ada di Temanggung yang menjadi sentra penghasil tembakau, dengan total
luas lahan tembakau berkisar 15.000 hektare.
Tak heran, perputaran uang saat panen tembakau di Temanggung bisa mencapai angka lebih
dari satu triliun rupiah! Angka itu baru dari satu kabupaten, dan masih di satu titik pada hulu
dari industri rokok di negeri ini. “Coba Mas pikir, komoditas pertanian apa yang dalam skala
masif, satu kilogram harganya bisa di atas Rp800.000 selain tembakau?” Agus sempat
memberikan pertanyaan itu ketika mengantar saya memasuki mobil untuk meninggalkan
Negeri di Atas Awan itu.
Jujur saja agak mengherankan bagi saya, ketika hampir semua petani tembakau di Lombok
Tengah dan Lombok Timur yang saya temui kenal dengan sosok bernama Iskandar.
Masyarakat di kedua wilayah tersebut lebih akrab menyebut laki-laki kelahiran Krian, Sidoarjo,
Jawa Timur, 57 tahun lalu itu dengan panggilan: Haji Is. Orangnya ramah dan kebapakan.
Page 5 of 8
Sejak kecil, ia mengaku suka dengan tanaman. Di sekeliling rumahnya ia tanami sayuran dan
ketela. Maka ketika lulus SMP, Iskandar memutuskan masuk ke Sekolah Pertanian Menengah
Atas (SPMA) di Malang. Di sekolahnya, ia mempelajari tanaman semusim, salah satunya
tembakau. “Tidak tahu kenapa, saya jatuh cinta dengan tembakau. Mungkin karena nenek saya
dulu juga jualan tembakau di pasar.”
Lulus sekolah ia diterima di sebuah pabrik rokok, dan bekerja di bidang budi daya tanaman
tembakau pada 1977. Tujuh tahun kemudian, oleh perusahaan tempatnya bekerja, ia ditugaskan
untuk membuka lahan pertanian di Lombok.
Mulailah Iskandar menjelajah Lombok, memperkenalkan pertanian tembakau lewat masjid dan
kepala desa. Biasanya seusai salat Jumat ia meminta waktu ke pengurus masjid untuk bicara
soal budi daya tanaman tembakau dan potensi ekonominya.
“Saya harus mengakui kehebatan senior saya yang memberi saya tugas untuk membuka lahan
di sini. Bayangkan, pada 1984, ia sudah mampu melihat tren bahwa kelak para perokok akan
beralih dari rokok kretek nonfilter ke rokok kretek filter bahkan ke rokok light, yang
membutuhkan banyak tembakau virginia. Dan sekarang, Lombok adalah penghasil tembakau
virginia terbesar di Indonesia.”
Tahun lalu, Lombok mampu menghasilkan 45.000 ton tembakau Virginia. Itu artinya, pulau
ini menyumbang hampir 90 persen kebutuhan virginia nasional. Iskandar bukan hanya
mengurus soal budi daya, melainkan juga terjun membenahi sistem tata niaga yang sehat antara
petani dengan pabrikan yakni dengan sistem kemitraan.
“Di sini saya buat sistem, petani punya hitungan, pabrik punya hitungan. Lalu kita duduk
bersama untuk menentukan musyawarah harga, sehingga semua merasa puas dan adil.”
Kreativitas petani tembakau di Lombok memang teruji. Tembakau virginia di Lombok harus
dioven.
Para petani mendirikan dan melakukan berbagai eksperimen untuk menghasilkan bangunan
oven yang bagus, kuat, dan efisien. Bahan bakar utama mengoven adalah minyak tanah. Tetapi,
ketika Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengonversi minyak tanah menjadi gas,
petani pun melakukan uji coba untuk mengantisipasi kelangkaan minyak tanah.
Awalnya, mereka memakai kayu bakar. Tetapi, karena kayu bakar terancam habis, mereka
menggantikannya dengan batu bara. Namun saat batu bara yang didatangkan ke Lombok tidak
berkualitas bagus, para petani beralih ke kulit kemiri yang didatangkan dari Flores, dan
cangkang kelapa sawit yang didatangkan dari Kalimantan.
Sekarang, baik kulit kemiri maupun cangkang sawit yang dulu adalah limbah, menjadi
komoditas yang menarik untuk lahan bisnis baru di Lombok.
Surasikin sudah berusia 79 tahun. Namun, wajah perempuan itu masih tampak segar. tangan
serta jari-jemarinya masih luwes jika memperagakan tarian Lahbako. Ia memang berasal dari
keluarga seniman. Bapaknya memiliki separangkat gamelan dan sekotak wayang. Saudara-
saudaranya yang lain juga dikenal sebagai orang-orang yang terampil menggambar. Sejak
kecil, Surasikin sudah suka menari.
Pemerintah Daerah Jember pun mengutusnya pergi ke Yogyakarta dan berlatih menari ke
almarhum Bagong Kusudihardjo, seorang seniman serba bisa, dan merupakan salah satu
maestro tari di Indonesia. Surasikin tidak ingat persis kapan dikirim ke Yogyakarta, tapi ia
masih bisa mengingat saat itu ia belajar menari selama 10 hari di rumah Bagong.
Setelah itu, ia kembali dikirim sebanyak dua kali untuk belajar ke Yogyakarta lagi. Surasikin
adalah satu dari sedikit seniman di Jember, yang menjadi saksi atas proses pembuatan tari
Page 6 of 8
Lahbako, walaupun ia tidak bisa mengingat secara tepat jika bicara soal tahun. Tetapi, saya
beruntung karena saat wawancara, Surasikin ditemani oleh Ninin (38), anak perempuannya
yang membantu mengingatkan soal tahun-tahun yang penting.
Kira-kira pada 1986, para seniman Jember berinisiatif untuk menciptakan tarian daerah yang
bisa dianggap khas dari kota itu. Tahun yang dirujuk cukup masuk akal, mengingat di sekitar
tahun tersebut memang baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah mendorong
terciptanya tarian-tarian khas setiap daerah.
Maka, para seniman itu mengundang Bagong untuk datang ke Jember, terutama untuk
membantu memotivasi dan memberi masukan atas tarian yang hendak mereka ciptakan.
Setelah melalui sekian kali diskusi, tercetuslah ide untuk membuat tari Lahbako.
Nama Lahbako sendiri merupakan akronim dari “mengolah tembakau”. Gerakan-gerakan
tarian itu diambil mulai dari proses menanam, memetik, menjemur, sampai mengolah
tembakau di gudang. Untuk menciptakan gerak tarian Lahbako, Bagong meminta agar para
inisiator tarian tersebut melihat langsung ke perkebunan tembakau dan ke gudang tembakau.
Surasikin dengan suaranya yang parau dan lirih menirukan kalimat Bagong, “Kalian ini kalau
mau menciptakan tarian jangan asal gerak, tapi harus tahu apa maksudnya. Supaya tahu, ya
kalian harus datang ke perkebunan dan gudang.”
Akhirnya, jadilah tarian Lahbako yang sampai sekarang sangat terkenal di Jember. Tarian ini
diiringi alat musik dari bambu, kendang, dan seruling. Sampai sekarang, Lahbako masih sering
ditarikan di berbagai acara di wilayah Jember, dan bahkan dibawa ke luar daerah jika ada
undangan menari.
Ninin, yang saat tarian itu dibuat masih duduk di bangku SMP, termasuk generasi pertama
yang mempraktikkan tari Lahbako. Ia sering bepergian ke luar kota untuk memperagakan tarian
Lahbako. “Dulu bupati Jember sangat mendukung kesenian. Saya sudah pergi ke mana-mana
karena Lahbako,” ungkap Ninin yang mewarisi darah seni ibunya.
Sekarang, selain mengajar tari di beberapa sekolah, perempuan berambut sepinggang tersebut
juga memiliki sebuah sanggar tari. Tarian Lahbako bukan satu-satunya produk budaya lokal
yang mengadopsi “budaya tembakau” yang telah lebih dulu ada.
“Kira-kira awal 1990-an sudah ada batik motif tembakau,” ujar Mawardi, pengusaha batik di
Desa Sumber Pakem, Kecamatan Sumber Jambe, Jember. Seingatnya, saat ia mulai membuka
usaha batik, beberapa tetangganya sudah membuat batik bermotif tembakau. Harganya pun
tidak begitu mahal, yang paling murah selembar dipatok harga Rp85.000 dan yang paling
mahal Rp400.000.
Tidak ada yang bisa memastikan sejak kapan tembakau ada di Indonesia. Berbagai literatur
sejarah menunjuk pada titimangsa yang berbeda. Ada yang menyatakan bahwa tembakau
masuk di wilayah Indonesia pada abad ke-16 dan ada pula yang berpendapat pada abad ke-17.
Bahkan, banyak pula sumber sejarah yang menyangkal kedua pendapat tersebut dan
menyatakan bahwa tradisi merokok sudah ada di Indonesia bahkan sebelum abad ke-16.
Walaupun berbeda, merujuk kepada tahun-tahun tersebut, tidak mustahil jika tembakau sudah
menjadi bagian penting dari masyarakat Indonesia sejak dulu, sejak ratusan tahun lalu. Hal ini
masih bisa kita lacak sampai sekarang, baik lewat kajian sejarah yang ditulis belakangan
maupun dari berbagai serat yang diterakan para pujangga dari keraton.
Semakin jelas jika kemudian kita melihat bahwa tembakau atau rokok menjadi salah satu
elemen sesajen yang ada di berbagai masyarakat tradisional. Maka wajar jika saat saya
Page 7 of 8
berkeliling ke beberapa daerah penghasil tembakau dan bertanya kapan kira-kira warga
setempat menanam tembakau, jawaban mereka relatif sama: sejak dulu kala.
Dan pasti mereka menolak kalau dikatakan tembakau itu bukan berasal dari wilayah mereka.
Sebab, bagi mereka, tembakau ada, menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Baik
sebagai barang dagangan, sesuatu yang dikonsumsi dan menjadi bagian dari ritual-ritual
penting dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, tampaknya para sejarawan bersepakat
mengenai kapan tembakau, sebagai industri, mulai berdenyut di Indonesia, yakni pada paruh
abad ke-19.
Soal sejarah masuknya tembakau memang bisa diperdebatkan, namun satu hal yang tidak bisa
dimungkiri, industri ini pada tahun 2011 telah memberi kontribusi cukai ke negara sebesar
Rp73,252 triliun. Itu baru uang yang didapat negara dari cukai, belum uang yang beredar di
masyarakat yang terkait dengan mata rantai tata niaga industri tembakau. Pendapatan negara
dari hasil tambang di tahun yang sama hanya sebesar Rp13,77 triliun.
Lewat status penguasaan area perkebunan tembakau, terlihat bahwa tanaman ini mempunyai
ikatan emosi dan ekonomi yang kuat dengan masyarakat. Rerata dari 2005 sampai 2009,
sebesar 97,43 persen dikuasai perkebunan rakyat. Sisanya, yang hanya 2,57 persen, dikuasai
oleh perkebunan negara dan swasta.
Indonesia juga dikenal sebagai penghasil rokok kretek, rokok yang dihasilkan dari campuran
antara tembakau dan cengkih serta rempah-rempah lain. Aromanya sangat khas. Kretek sudah
sejak lama diisap masyarakat Indonesia, tetapi sosok yang dianggap menemukan formula
kretek adalah seorang laki-laki dari Kudus bernama Haji Djamhari sekitar tahun 1870-an.
Konon ia menderita sakit bengek. Awalnya ia berusaha mengobati sakitnya dengan meng-
usapkan minyak cengkih di dadanya. Tetapi kemudian ia mencoba mencampurkan cengkih ke
dalam tembakau yang diisapnya. Sakit yang dideritanya sembuh. Djamhari kemudian
memproduksi rokok yang kelak disebut rokok kretek itu untuk dijual.
Awalnya, rokok kretek ditemukan dan diperjualbelikan di apotek-apotek dan kedai-kedai jamu.
Kini, rokok kretek mendominasi pasar rokok di Indonesia dengan pangsa pasar sebesar 95
persen, sementara 5 persen sisanya adalah rokok putih.
Banyak jenis tembakau di Indonesia yang masuk dalam kategori unik dan mahal. Di
Temanggung dan Muntilan ada tembakau srintil, di Lombok ada tembakau senang, di Garut
ada tembakau mole, dan di Madura ada tembakau campalok. Dengan membawa penerjemah
yang bisa berbahasa Madura, saya datang ke lokasi tempat tembakau campalok berada, di
dusun Jembengan, desa Bakeong, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep.
Laki-laki yang saya cari sedang tiduran di atas balai-balai bambu yang sekaligus berfungsi
sebagai musala. Namanya Abdul Aziz. Kulitnya legam dan tubuhnya gempal. Ia adalah pewaris
lahan yang menghasilkan tembakau Campalok. “Karena saya petani, muka saya lebih tua
dibanding umur saya,” ia bergurau.
“Saya tidak tahu persis kenapa tembakau ini bisa terkenal. Mungkin karena faktor tanahnya
yang bagus. Tapi kalau menurut bapak dan kakek saya, dulu tanah tempat tembakau ini pernah
disinggahi seorang ratu dari Sumenep. Kebetulan di sana ada sumur kecil. Saat singgah, ia
mandi di sebelah sumur itu. Saat mandi, bunga yang ada di kepala ratu itu jatuh. Dari bunga
itu tumbuh menjadi pohon yang disebut pohon campalok. Baunya harum. Mungkin dari bau
harum tumbuhan ini, tembakau yang hidup di sekitar pohon itu jadi harum.”
Saya kemudian diajak menuju ke lahan tempat tembakau campalok tumbuh. Sayang,
kedatangan saya agak telat. Panen tembakau campalok sudah dilakukan sekitar 10 hari
sebelumnya. Namun batang-batang pohon tembakau itu masih berdiri utuh.
Page 8 of 8
Lahan itu tidak seberapa besar, hanya dua petak dengan membentuk huruf "U". Dan, memang
hanya ada satu pohon campalok yang tumbuh di sana, dan berdekatan dengan puluhan kuburan.
Lahan itu hanya menghasilkan tujuh kilogram tembakau kering. Harga per kilonya untuk tahun
ini Rp1.250.000. Harga yang cukup fantastis. Padahal, menurut Aziz, mulai bibit sampai cara
penanaman dan perawatan tembakau Campalok tidak berbeda dengan tembakau lain.
“Sesepuh saya yang menanam tembakau di sekitar pohon ini,” ujarnya sambil menunjuk pohon
campalok, “karena itu tembakaunya disebut tembakau Campalok. Jadi yang memberi nama
tembakau Campalok ya sesepuh saya.”
Saya bertanya, siapa yang membeli tembakau campalok. Aziz menjawab, Pak Haji Guntur,
seorang pedagang dan pencinta tembakau. “Saya sudah kadung dekat dengan Pak Haji Guntur,
jadi tidak menjual ke orang lain. Bahkan tembakau saya ini sudah dikontrak untuk terus dibeli
oleh beliau.”
Saya spontan bertanya, dikontrak sampai kapan? “Sampai beliau berhenti merokok.” Terang
saja jawaban Aziz membuat saya tertegun. Azis mengakui, saat ini tembakau campaloknya
sudah habis, semua dikirim ke Pak Haji Guntur.
Setelah cukup lama berbincang di lahan tembakau, kami berjalan beriringan menuju tempat
semula kami berjumpa, sebuah musala yang sederhana. Sebelum pamit pulang saya sempat
iseng berkata: dengan harga setinggi itu, kalau lahan tembakau campaloknya lebih luas lagi
tentu ia bisa kaya-raya. Aziz hanya mengulum senyum, “Sebelum meninggal dunia bapak saya
sempat berkata: Nak, tanah ini anugerah Tuhan, syukuri saja.”
Sumber: National Geographic Indonesia