heryudo kusumo
TRANSCRIPT
Seminar Tahllnanl'engawasan Pcmanfaalan Tcnaga NlIklir - Jakarta. II Dcscmbcr 2003
DAMPAKPENERAPANBSSTERHADAPPENGA W ASAN TENAGA NUKLlR 01 INDONESIA
Hcryudo KusumoDirektorat Perizinan Instalasi Nuklir (DrIN) - BAPETEN
ISSN 1(,93 - 7<)()2
ABSTRAKDAMPAK PENERAPAN BSS TERHADAP PENGAWASAN TENAGA NUKLlR
DI INDONESIA. BSS (IAEA SS No. 115: "International Basic Safety Standard forProtection Against Ionizing Radiation and the Safety of Radiation Sources") adalahstandar keselamatan radiasi mutakhir yang direkomendasikan IAEA untuk diterapkan dinegara anggota. Penerapan BSS ini tentu saja akan memberikan dampak terhadapkeselamatan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia, khususnya dari segi pengawasanyang dilakukan BAPETEN. Beberapa isu penting yang perlu mendapat perhatiansehubungan dengan penerapan dampak BSS dimaksud diantaranya adalah: sistempembatasan dosis, pengamanan sumber, standardisasi, sistem pengaturan, sistemperizinan, sistem inspeksi, jaminan kualitas, dan pertanggungjawaban kerugian nuklir.Data pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia disajikan pula dalam makalah ini.Kata kunci : BSS, dampak penerapan BSS, pengawasan tenaga nuklir.
ABSTRACTIMPACT OF BSS APPLICATION ON NUCLEAR ENERGY CONTROL IN
INDONESIA. BSS (IAEA SS No.IIS :"International Basic Safety Standard forProtection Against Ionizing Radiation and the Safety of Radiation Sources") is the latestradiation safety standard recommended by the IAEA to be applied by the memberstates. Application of the BSS will give impact to the safety of nuclear energy uses,especially to the nuclear energy control performed by NECB (Nuclear Energy ControlBoard). The important issues which have to be considered are: the system of doselimitation, the security of radiation sources, standardization, regulation system,licensing system, inspection system, quality assurance, and nuclear liability. The data onnuclear energy uses in Indonesia will also be presented.Keywords: BSS, impact of BSS application, nuclear energy control.
Seminar Tahunan I'cngawasan I'cmant~tatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003
PENDAHULUAN
ISSN 1693 - 7902
Indonesia termasuk negara yang cukup aktif dalam pemanfaatan tenaga nuklir
untuk maksud damai. Sampai saat ini Indonesia telah mengoperasikan 3 reaktor nuklir
untuk keperluan penelitian, yaitu 1 reaktor nuklir dengan daya 2 MW di Bandung, 1
reaktor nuklir dengan daya 100 kW di Yogyakarta, dan 1 reaktor nuklir dengan daya 30
MW di Serpong. Oi samping itu Indonesia juga telah mengoperasikan berbagai instalasi
nuklir seperti instalasi produksi elemen bakar reaktor riset, instalasi elemen bakar
experimental, instalasi produksi radioisotop, instalasi radiometalurgi dan instalasi
pengolahan limbah radioaktif yang semuanya berlokasi di Serpong; serta instalasi
iradiator dan lebih dari 2400 instansi pemanfaat zat radioaktif dan sumber radiasi
lainnya di seluruh Indonesia untuk keperluan medis/kesehatan, industri dan penelitian.
Berdasarkan Keputusan Presiden No.76/1998 (diperbaharui dengan Keppres
No.1 03/200 1 dan disempurnakan dengan Keppres No.3/2002) pengawasan terhadap
pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia dilaksanakan oleh BAPETEN (Badan Pengawas
Tenaga Nuklir). Oalam hal ini BAPETEN bertindak sebagai LPND (Lembaga
Pemerintah Non Departemen) yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden, dan bertugas melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan tenaga
nuklir di Indonesia.
Sehubungan dengan rekomendasi dari badan internasional seperti ICRP
(International Commission on Radiological Protection), IAEA (International Atomic
Energy Agency), WHO (World Health Organization), dll yang merekomendasikan agar
negara pemanfaat tenaga nuklir menerapkan standar keselamatan radiasi mutakhir untuk
lebih mcningkatkan keselamatan pekelja dan masyarakat maupun lingkungan hidup,
maka mau tidak mau Indonesia hanls berupaya memenuhinya. Standar keselamatan
mutakhir ini diantaranya terdapat dalam "Basic Safety Standard (BSS) for Protection
Against Ionizing Radiation and for the Safety of Radiation Sources" yang diterbitkan
oleh IAEA pada tahun 1996 (I).
Dalam makalah ini akan disampaikan beberapa isu penting yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan dampak penerapan BSS terhadap keselamatan
pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia, khususnya dari segi pengawasan tenaga nuklir
yang dilakukan oleh BAPETEN. Isu penting tersebut diantaranya adalah: sistem
pcmbatasan dosis, pengamanan sumber radiasi, standardisasi, sistem pengaturan, sistem
2
Scminar Tahllnan I'cngawasan I'cmanfaatan Tcnaga NlIklir • Jakarta, II Dcscmbcr 2003 ISSN 1693 - 7902
perizinan, sistem inspeksi, jaminan kualitas, dan pertanggungjawaban kerugian nuklir.
Dari pembahasan ini diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang upaya yang periu
dilakukan oleh BAPETEN dan pemanfaat tenaga nuklir maupun pihak lain yang
berkepentingan dalam keselamatan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia sehubungan
dengan pen era pan BSS dimaksud. Untuk mengetahui seberapa luas pcmanfaatan tcnaga
nuklir di Indonesia, terlebih dahulu akan disampaikan penjelasan dan data tentang
pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia.
PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR
Pada umumnya pemanfaatan tenaga nuklir dapat dikategorikan kedalam
pemanfaatan yang berkaitan dengan reaktor nuklir, dan pemanfaatan yang berkaitan
dengan non reaktor nuklir. Pemanfaatan yang berkaitan dengan reaktor nuklir dapat
dibagi ke dalam pemanfaatan energi (produksi panas, produksi listrik), dan pemanfaatan
non-energi (penelitian, pelatihan, produksi isotop radioaktif, uji material). Sedangkan
pemanfaatan yang berkaitan dengan non reaktor nuklir dapat dibagi kedalam
pemanfaatan untuk keperluan medis/kesehatan (diagnostik, terapi, kedokteran nuklir),
industri (radiografi, logging, gauging, analisa, perunut, iradiasi, dB), dan penelitian
(pertanian, biologi, fisika, kimia, kedokteran, dB).
Sampai saat ini Indonesia telah mempunyai 3 reaktor nuklir, yaitu reaktor TRIGA
Mark 2000 kW Bandung, reaktor Kartini 250 kW Yogyakarta, dan Reaktor Serba Guna
GA Siwabessy 30 MW Serpong. Reaktor TRIGA Bandung mulai di bangun pada awal
tahun 1960an, dan mulai beroperasi pada tahun 1965 pada daya 250 kW. Pada tahun
1971 reaktor ini dinaikkan dayanya menjadi 1000 kW, dan pada tahun 2000 kembali
dinaikkan dayanya menjadi 2000 kW. Reaktor ini dimanfaatkan untuk penelitian,
pelatihan dan produksi isotop.
Reaktor Kartini Yogyakarta mulai di bangun tahun 1976 dan beroperasi pada daya
50 Kw tahun 1979, walaupun reaktor ini dirancang untuk dapat beroperasi pada daya
250 kW. Reaktor ini lebih banyak digunakan untuk penelitian dan pelatihan, dan saat ini
dapat dioperasikan pada daya 100 kW.
RSG GA Siwabessy Serpong mulai di bangun tahun 1982, mencapai kekritisan
pertama tahun 1987, dan saat ini dapat beroperasi pada daya penuh 30 MW. Sesuai
3
Scminar Tahllnan Pcnga\\'asan Pcmanl;ultan Tcnaga NlIklir - Jakarta, II Dcscmbcr 2003ISSN 1693 - 7902
dengan namanya, reaktor ini dapat dimanfaatkan untuk penelitian, pelatihan, produksi
radioisotop, dan uji material.
Scbcnarnya ada dua reaktor nuklir lain yang akan dibangun di Indonesia yaitu RPI
(Reaktor Produksi Iso top) dengan daya 10 MW dan reaktor IRT-2000 dengan daya
2000 kW di Serpong, tetapi karena berbagai alasan maka kedua reaktor ini tidak jadi
dibangun.
Oisamping reaktor nuklir yang telah disebutkan di atas, ada berbagai instalasi
nuklir lain yang telah beroperasi di Indonesia yakni: IPEBRR (instalasi produksi elemen
bakar reaktor riset), lEBE (instalasi elemen bakar eksperimental), IPLR (instalasi
pengolahan limbah radioaktif), IRM (instalasi radiometalurgi), IPR (instalasi produksi
radioisotop), iradiator (untuk pengawetan makanan, sterilisasi peralatan kedokteran,
iradiasi lateks, dB).
Oari segi pemanfaatan tenaga nuklir untuk keperluan lain, data perizinan yang ada
di BAPETEN sampai dengan akhir bulan Maret 2003 menunjukkan fakta berikut.
PERIZINAN PEMANF AAT AN TENAGA NUKLIR (Per 31 Maret 2003 )
PEMEGANG IZIN
KESEHATAN
INOUSTRI
BATAN
LlMBAH
DAMP AK PENERAP AN BSS
JUMLAHIZINIINS
1945 izin/1780 instansi
818 izin/351 instansi
96 izin (3 reaktor nuklir, 3 instalasi nuklir,40 bahan nuklir, 50 litbang)
419 izin/366 instansi
Selama lebih kurang empat dasawarsa pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia,
berbagai isu penting yang berkaitan dengan keselamatan nuklir umumnya dan
pengawasan tenaga nuklir khususnya diantaranya adalah: sistem pembatasan dosis,
pengamanan sumber radiasi, standardisasi, sistem pengaturan, sistem perizinan, sistem
inspeksi, jaminan kualitas, dan pertanggungjawaban kerugian nuklir. Berbagai isu ini
timbul sebagai dampak dari rekomendasi badan internasional seperti ICRP
(Intemational Commission on Radiological Protection), IAEA (International Atomic
4
Seminar Tahllnan Pcngawasan Pcmanfaatan Tcnaga NlIklir - Jakarta. II Dcscmocr 2003 ISSN 1693 - 7902
Energy Agency), WHO (World Health Organization), dan ILO (International Labour
Organization), yang merekomendasikan agar negara pemanfaat tenaga nuklir
menerapkan standar keselamatan nuklir terbam/mutakhir untuk melindungi dan
meningkatkan keselamatan pekerja, masyarakat, maupun lingkungan hidup. Standar
keselamatan mutakhir dimaksud diantaranya terdapat dalam "Basic Sq{ety Standard
(BSS) for Protection Against Ionizing Radiation and for The Sc!jety of Radiation
Sources" yang diterbitkan oleh IAEA pad a tahun 1996. Penerapan standar kcselamatan
nuklir terbaru/mutakhir ini dengan sendirinya menuntut komitmen dari masyarakat,
khususnya Badan Pengawas dan para stakeholdernya.
Sistem Pembatasan Dosis
Untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekelja, masyarakat clan lingkungan
hidup, pengusaha instalasi yang melaksanakan setiap kegiatan pcmanfaatan tcnaga
nuklir yang dapat mengakibatkan penerimaan dosis radiasi harus memenuhi prinsip
kcschatan dan kcsclamatan yang scring discbut asas protcksi radiasi, yang tcrdiri dari
asas justifikasi (justification of practices), limitasi (dose !imitation). dan optimisasi
(optimization of protection and safety). SecaJ'a singkat, prinsip kesclamatan clan
kesehatan ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Setiap pemanfaatan tenaga. nuklir hams mempunyai manfaat lebih besar
dibanding dengan resiko yang ditimbulkan Casas justifikasi);
2. Penerimaan dosis radiasi terhadap pekerja atau masyarakat tidak me!cbihi nilai
batas dosis yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Casas limitasi);
3. Kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir hams direncanakan dan sumber racliasi harus
dirancang dan dioperasikan untuk menjamin agar paparan radiasi yang teljadi
ditekan serendah-rendahnya Casas optimisasi).
Penerapan as as justifikasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir menuntut agar
sebelum tenaga nuklir dimanfaatkan, terlebih dahulu hams dilakukan analisis resiko
manfaat. Apabila pemanfaatan tenaga nuklir menghasilkan manfaat/keuntungan yang
lebih besar dibandingkan dengan resiko akibat kerugian radiasi yang mungkin
ditimbulkannya, maka kegiatan tersebut boleh dilaksanakan. Sebaliknya, apabila
manfaat/keuntungannya lebih kecil dari resiko yang ditimbulkan, maka kegiatan
tersebut tidak boleh dilaksanakan. Berdasarkan hal ini, penangkal petir raclioaktif
sepuluh tahun yang lalu dilarang untuk digunakan di Indonesia, karcna dianggap
5
Scminar Tahunan Pcngawasan I'cmanraalan Tcnaga Nuklir - Jakarta, II Dcscmbcr 2003 ISSN 1693 - 7902
manfaatnya lebih kecil bila dibandingkan dengan resikonya. Demikian juga dengan
pemakaian radium (Ra-226) untuk terapi kanker yang direkomendasikan oleh WHO
untuk tidak dilakukan lagi. Pemanfaatan tenaga nuklir yang masih menjadi bahan
perdebatan saat ini adalah iradiasi batu mulia seperti topaz, mata kucing, dU. Beberapa
negara Eropa seperti Belanda dan Jerman dengan tegas melarangnya, namun negara
Amerika mengizinkan dengan persyaratan keselamatan yang ketal. Indonesia sendiri
belum mengambil posisi yangjelas untuk masalah ini.
Pencrapan as as limitasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir menuntut agar
penerimaan dosis radiasi oleh seseorang tidak boleh melampaui nilai batas dosis yang
ditetapkan oleh Badan Pengawas. Yang dimaksud nilai batas dosis (NBD) ini adalah
dosis radiasi yang diterima dari penyinaran eksterna dan interna selama I (satu) tahun
dan tidak tergantung pada laju dosis. Penetapan NBD ini tidak memperhitungkan
penerimaan dosis untuk tujuan medik dan yang berasal dari radiasi alam. NBD yang
berlaku saat ini adalah 50 mSv (5000 mrem) per tahun untuk pekerja radiasi dan 5 mSv
(500 mrem) per tahun untuk anggota masyarakal. Sehubungan dengan rekomendasi
IAEA agar NBD untuk pekelja radiasi diturunkan menjadi 20 mSv (2000 mrem) per
tahun untuk jangka waktu 5 tahun (dengan catatan per tahun tidak boleh melebihi 50
mSv) dan llntllk anggota masyarakat diturunkan menjadi I mSv (100 mrem) per tahun,
maka tentllnya kita hanls berhati-hati dalam mengadopsinya. Bila ketentuan ini
diberlakllkan sekarang dan semlla pemanfaat tenaga nuklir harus mengikutinya, maka
dikhawatirkan akan ban yak instalasi nllklir dan fasilitas radiasi yang terpaksa harus
ditlltllp karena tidak sesllai dengan standar keselamatan mutakhir. Hal ini disebabkan
karcna dcsain f~\silitas radiasi/instalasi nllklir tcrsebllt pad a saat diberi izin masih
mengikllti ketcntllan/standar keselamatan yang berlaku saat itu. Untuk mengatasi hal ini
penlliis mengllsllikan agar ketentuan ten tang NBD baru ini hanya diberlakukan untuk
pcmant~\at tcnaga nuklir/pcmohon izin banI. Untllk pemegang izin lama sebaiknya
dibiarkan tcnts mcngoperasikan fasilitas/instalasinya sesllai dengan kondisi izin yang
dimilikinya. Apabila terjadi peristiwa yang dapat membahayakan keselamatan pekerja,
masyarakat dan lingkungan hidup (misalnya kecelakaan radiasi), maka setelah
dilakukan upaya pcnanggulangan dan pemegang izin masih berniat llntllk
mcngopcrasikan fasilitas/instalasinya lebih lanjut, barulah ketentuan ini diberlakukan
6
Seminar Tahunan Pcngawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta. II Dcscmbcr 2003 ISSN 1693 - 7902
terhadapnya. Apabila yang bersangkutan menolak untuk mcngikuti kctcntuan barll ini,
maka sebaiknya izin pemanfaatan tenaga nuklir dicabut.
Penerapan asas optimisasi menuntut agar paparan radiasi yang diterima seseorang
hams ditekan serendah-rendahnya dibawah NBD dengan memperhitungkan faktor
ekonomi dan sosial. Apabila dalam satu lokasi terdapat beberapa fasilitas pemanfaatan
tenaga nuklir, pengusaha instalasi hams menetapkan tingkat dosis yang lebih rendah.untuk masing-masing instalasi, agar dosis kumulatif tidak melampaui NED. Tingkat
dosis yang lebih rendah ~ni disebut "dosis pembatas" (dose conslraint) digllnakan dalam
proses optimisasi fasilitas yang bersangkutan, untuk meyakinkan bahwa NBD tidak
terlampaui sebagai akibat adanya beberapa fasilitas di satll lokasi. Dcmikian pula
pelepasan zat radioaktif ke lingkungan hidup dari semua fasilitas dimaksud tidak boleh
mengakibatkan NBD untuk anggota masyarakat dilampalli. Sampai saat ini as as
optimisasi ini belum diterapkan di Indonesia.
Pengamanan Sumbcr Radiasi
Sampai beberapa dasawarsa pemanfaatan tenaga nuklir di dllnia, perhatian lebih
dicurahkan untuk mengamankan instalasi nuklir yang besar seperti reaktor nllklir,
khususnya PL TN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir), dibandingkan dengan
pemanfaatan zat radioaktif dan sumber radiasi lainnya di bidang industri, kesehatan,
pertambangan, dll. Hal ini dapat dimengerti, oleh karena pada dasarnya reaktor nllklir
mengandung sejumlah besar bahan radioaktif yang apabila tidak ditangani dan diawasi
dengan semestinya, dapat menimbulkan bahaya radiasi terhadap pckclja, masyarakat
dan lingkungan hidup. Berdasarkan hal ini jumlah standar keselamatan nllklir yang
diterbitkan/direkomendasikan oleh IAEA untllk rcaktor nllklir jallh Icbih banyak
dibandingkan dengan standar keselamatan nuklir untllk bidang lain seperti kcschatan,
industri, dll.
Fakta menunjukkan bahwa selama 56 tahun beroperasinya instalasi nllklir di
dunia, hanya terjadi"8 kecelakaan nuklir dengan jumlah korban terkena radiasi sebanyak
186 orang dan 47 orang diantaranya meninggal dunia. Dalam kurun waktll yang sama,
telah terjadi 25 kecelakaan pada fasilitas radiasi untuk indllstri dan layanan kcschatan
dengan jumlah korban sebanyak 280 orang terkena paparan radiasi dan 101 orang
diantaranya meninggal dunia (2) Hal ini menunjukkan bahwa jumlah korban yang
7
SClllinm T"hunan I'cngaw"s"n PCIll"nfnatan Tcnngn Nuklir - jnknrtn, II Dcsclllbcr 2003. ISSN 1693 - 7902
terkena paparan radiasi maupun yang meninggal dunia akibat kecelakaan di fasilitas
radiasi lebih besar bila dibandingkan dengan di instalasi nuklir.
Salah satu penyebab terjadinya kecelakaan radiasi tersebut adalah karena kurang
baiknya pengamanan sumber radiasi, terutama zat radioaktif yang sudah tidak
digunakan lagi atau telah menjadi limbah radioaktif. Kecelakaan radiasi yang terjadi di
Goania Brazil dan di Thailand belum lama ini merupakan contoh dari lemahnya
pengamanan sumber radiasi terse but, dimana sumber radiasi yang telah tidak terpakai
lagi dicuri oleh seseorang yang tidak menyadari bahaya radiasi.. Sehubungan dengan
maraknya aksi teroris dewasa ini berupa peledakan gedung/fasilitas publik, ada
kekhawatiran bahwa zat radioaktif ini akan digunakan sebagai "dirty bomb" oleh para
teroris. "Dirty bomb" adalah peledak konvensional yang dicampur dengan zat
radioaktif, sehingga bisa dibayangkan akibatnya bila "dirty bomb" ini diledakkan di
tempatlfasilitas umum.
Olch karena itu sejak beberapa tahun belakangan ini IAEA mulai lebih
mencurahkan perhatiannya pada pengamanan sumber yang digunakan di fasilitas radiasi
baik untuk layanan kesehatan maupun industri. Tujuan utama pengamanan sumber
radiasi ada!ah agar sumbcr radiasi tcrscbut tidak dicuri at au disabotasc, atau digunakan
untuk pcmbuatan "dir'y hOlJ1b ", Salahsatu upaya yang direkomendasikan IAEA adalah
menerapkan l~llsaf~lh clcsain keselamatan "pertahanan berlapis" (defence in depth) yang
biasa cligunakan dalam instalasi nuklir, terhadap sumber yang digunakan di fasilitas
radiasi. lmp!ementasi desain keselamatan pertahanan berlapis ini memerlukan upaya
yang ticlak muclah mengingat belum begitu dikenalnya prinsip terse but oleh pengusaha
insta!asi fasilitas radiasi. Salah satu upaya yang dilakukan IAEA dalam kaitan ini adalah
menyelcnggarakan "international Conference on Security of Radioactive Sources" di
Wina, Austria, pada tanggal 10 - 13 Maret 2003 yang lalu, dimana dalam konferensi
tersebut telah diperoleh banyak masukan dari berbagai negara tentang pengamanan
sumbcr radiasi. Oi negara maju seperti USA, upaya pengamanan terhadap sumber
radiasi clilakukan sepcrti yang dilakukan terhadap instalasi nuklir dan bahan nuklir,
yaitu dcngan mclcngkapi fasilitas racliasi terse~ut dengan sistem proteksi fisik
berdasarkan falsal~lh clesain keselamatan pertahanan berlapis.
8
Scminar Tahunan I'cngawasan Pcmanl;latan Tcnaga Nuklir - Jakarta. II [)cscmocr 2003
Standardisasi
ISSN 1693 - 7902
Masalah standardisasi dalam era globalisasi dewasa ini semakin memegang
peranan penting. Dari segi pemanfaatan tenaga nuklir, pengusaha instalasi dituntut
untuk menerapkan standar keselamatan yang semakin lama semakin ketaL Hal ini
dimaksudkan untuk melindungi pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup terhadap
bahaya radiasi yang mungkin diakibatkan oleh pemanfaatan tenaga nuklir. Oari segi
perizinan, beberap1! persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon izin adalah bahwa
pemohon izin harus mempunyai fasilitas, petugas ahli, peralatan teknik dan peralatan
keselamatan, serta prosedur kerja yang memenuhi syarat sebelum diberi izin
pemanfaatan oleh BAPETEN. Fasilitas, petugas ahli dan peralatan tcknik/keselamatan
harus memenuhi persyaratan standar tertentu yang dibuktikan dengan sertifikat dari
Lembaga Sertifikasi yang telah diakreditasi, misalnya: sertifikat pengujian, sertifikat
personil, sertifikat produk, dll. Khusus untuk alat ukur dan sum bel' radiasi (misalnya
yang digunakan untuk terapi kanker) juga harus mempllnyai scrtilikat kalibrasi.
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.1 02/2000
tentang Standardisasi Nasional, maka standar yang berlaku di Indonesia dewasa ini
adalah SNI (Standar Nasional Indonesia) yang ditetapkan oleh BSN (Badan
Standardisasi Nasional). Oalam hal ini BAPETEN berwenang memberlakukan SNI
dalam pemanfaatan tenaga nuklir untuk menjamin keselamatan pekerja, masyarakat dan
lingkungan hidup, dan melakukan pengawasan terhadap penerapan SNI tersebut. Oalam
catatan penulis, sampai saat ini baru ada sekitar 30 SNI dalam bidang keselamatan
nuklir dan beberapa diantaranya (misalnya SNI tentang kualifikasi operator dan
supervisor reaktor, baku mutu tingkat radioaktivitas di lingkungan, dll) telah
kadaluwarsa sehingga perlu direvisi. Menurut perkiraan pcnlllis, dipcrlukan !cbih dari
100 SNI keselamatan nuklir (misalnya SNI tentang bungkusan zat radioaktif untuk
keperluan pengangkutan, kamera radiografi, pesawat sinar-x, dll) agar pemanfaatan
tenaga nuklir dapat dilakukan dengan aman di Indonesia.
Sistem Pengaturan
Untuk dapat melakukan pengawasan dengan baik diperlukan sekitar 100 pcraturan
perundangan, baik dalam bentuk UU, PP, Keppres, maupun Keplltusan Kcpala
BAPETEN, baik yang memuat ketentuan maupun yang bcrisi pcdoman lIntllk
9
Scminar T,lhllnan I'cngawasan I'cmanl:lalan Tcnaga NlIklir - Jakarta, II Dcscmbcr 2003 ISSN 1693 - 7902
melaksanakan kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir tertentu. Sampai saat ini BAPETEN
banI bcrhasil mcnyusun sckitar 40 peraturan perundangan, beberapa diantaranya sudah
kadal uwarsa atau tidak sesuai dengan standar keselamatan mutakhir seperti yang
direkoll1cndasikan oleh IAEA, sehingga diperlukan upaya yang keras untuk menangani
sisanya. belum upaya yang diperlukan untuk merevisi peraturan yang kadaluwarsa.
Peraturan yang te!ah kadaluwarsa dan perlu segera direvisi diantaranya adalah PP
(Peraturan Pemerintah) No.63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan
Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion (4), PP No.64 Tahun 2000 tentang Perizinan
Pemant'aatan Tcnaga Nuklir (5), dll.
Dari segi sistem pengaturan, BAPETEN perlu menetapkan apakah akan memilih
"prescript ive regulations" at au "performance regulations". "Prescriptive regulations"
dianut oleh USA, dimana pengaturan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir dilakukan
dengan sangat terinci sampai hal yang kecil-kecil. Sebagai contoh, untuk mengatur
pembangunan dan pengoperasian PL TN diterbitkan lebih dari 160 pedoman oleh NRC
(Nuclear Regulatory Commission). Sebaliknya, "performance regulations" yang dianut
oleh Kanada hanya mengatur hal-hal yang besar-besar seperti persyaratan umum dan
kriteria saja, sedangkan pemenuhan terhadap persyaratan dan kriteria dimaksud dari
segi tcknis diserahkan scpenuhnya kepada pemohon izin. Oleh karena itu untuk
mengatur pembangunan dan pengoperasian PL TN di Kanada tidak diperlukan peraturan
dalall1 bentuk pedoman sebanyak seperti di USA. Penerapan sistem pengaturan
dimaksud sangat tergantung dari infrastruktur keselamatan radiasi di suatu negara
maupun oleh jenis pemanfaatan tenaga nuklir. Untuk pemanfaatan tenaga nuklir
sederhana ll1isalnya untuk keperluan diagnostik dalam bidang kesehatan atau radiografi
dalam bidang industri mungkin diperlukan pengaturan yang lebih terinci dan teknis
(prescriptive regulations). Namun untuk instalasi nuklir yang besar seperti reaktor
nuklir menurut pendapat penulis sebaiknya diterapkan pengaturan yang kurang terinci
(perj()f'/II0 nee regul at iom).
Sistcm Pcrizinan
Sall1pai saat ini BAPETEN masih menganut sistem perizinan lama, yakni: setiap
orang atau badan yang akan memanfaatkan tenaga nuklir wajib mengajukan
perll1ohonan kepada BAPETEN. Bila pemanfaatan tenaga nuklir tersebut hanya
ll1elibatkan aktivitas dan paparan radiasi sangat rendah sehingga tidak membahayakan
10
Seminar Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Tenaga Nuklir - Jakarta, II Desember 2003 ISSN 1693 - 7902
pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup, maka pemohon dibebaskan dari kewajiban
memiliki izin (seperti diatur dalam Keputusan Kepala BAPETEN No.19/Ka
BAPETEN/IX-99). Bila pemanfaatan tersebut diperkirakan dapat membahayakan
pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup, maka pemohon harus melengkapi
persyaratan tertentu agar dapat diberi izin pemanfaatan tenaga nuklir.
Dengan diterbitkannya PP No.64/2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga
Nuklir dan sesuai pula dengan rekomendasi IAEA, pemanfaatan tenaga nuklir
seharusnya menganut sistem pemberitahuan (notification system) kepada Badan
Pengawas. Badan atau seseorang yang akan memanfaatkan tenaga nuklir harus
menyampaikan pemberitahuan kepada BAPETEN. Selanjutnya BAPETEN akan
memutuskan apakah badan atau seseorang tersebut perIu memiliki izin ~icense), atau
tidak perIu memiliki izin tetapi harus memenllhi persyaratan tertentll (registration), atall
dikecualikan dari kewajiban izin (exemption). Di samping itu masih ada bentllk lain
berupa pembebasan dari izin (clearance), yaitu apabila tenaga nllklir (sllmber radiasi)
yang pada awalnya memiliki izin ternyata dikemudian hari aktivitasnya mauplln
paparan radiasinya menllrun menjadi di bawah NBD yang ditetapkan oleh BAPETEN,
maka atas persetujuan BAPETEN sllmber radiasi itu tidak memerIukan izin lagi, tetapi
masih perIu terus diawasi penyimpanannya. Penentuan apakah pemanfaatan tenaga
nuklir tersebut memerIukan izin, atau tidak memerIukan izin tetapi perIu diregistrasi,
atau dikecualikan dari izin tergantung dari resiko/potensi bahaya radiasi yang
terkandung di dalam pemanfaatan sumber radiasi tersebut.
Sistem Inspeksi
Sampai saat ini BAPETEN belum menerapkan sepenllhnya sistem inspeksi yang
direkomendasikan BSS yakni compliance monitoring (pemantauan kepatllhan). Pada
dasarnya compliance monitoring terdiri dari inspeksi di lokasi, pengkajian keselamatan
radiologi, notifikasi dan investigasi kecelakaan, serta laporan berkala dari pemegang
izin tentang parameter lltama keselamatan operasi. Frekuensi dan prioritas pelaksanaan
inspeksi tergantung dari resiko dan kerumitan pemanfaatan tenaga nuklir. Semakin
tinggi resiko radiasi sllatll instalasi nllklir/fasilitas radiasi, semakin tinggi prioritas dan
frekuensi inspeksi yang perIu dilakukan. Dalam hal ini instalasi yang termasuk resiko
tinggi diantaranya adalah reaktor nuklir, instalasi daur bahan nuklir, instalasi produksi
radioisotop, iradiator, instalasi pengolahan limbah radioaktif, instalasi radioterapi, dU.
11
Scminar Tahllnan I'cnga\\'asan I'cmani"aalan Tcnaga NlIklir - Jakarla, II I)cscmbcr 2003 ISSN 1693 - 7902
Oemikian pula semakin rumit pemanfaatan tenaga nuklir, semakin tinggi pula prioritas
dan frekuensi inspeksi yang harus dilakukan. Pemanfaatan sumber radiasi untuk
radiografi perlu lebih mendapatkan prioritas inspeksi dibandingkan dengan pemanfaatan
sumber radiasi untuk gauging maupun pemakaian pesawat sinar-x untuk keperluan
diagnostik di rumah sakit. Oi samping itu prioritas inspeksi harus diberikan pada
pemegang izin yang sering melanggar/tidak patuh pada peraturan.
Jaminan Kualitas
Sampai saat ini ketentuan untuk menerapkan jaminan kualitas baru diberlakukan
untllk instalasi nuklir yang besar seperti reaktor nuklir, instalasi bahan nuklir, dll.
Pcnerapan jaminan kualitas terhadap instalasi nuklir ini ditujukan untuk menjamin agar
instalasi nllklir dirancang, dibangun, dan dioperasikan dengan memenuhi standar
kualitas setinggi mungkin, sehingga kemungkinan terjadinya kegagalan sistem dan
komponen instalasi nllklir yang dapat berkembang menjadi kecelakaan nuklir dapat
ditekan serendah mllngkin. Penerapan jaminan kualitas ini pada hakekatnya merupakan
penerapan "lapisan keselamatan pertama" dari falsafah desain keselamatan "pertahanan
berlapis" (defence in depth). Oengan telah diterapkannya ketentuan jaminan kualitas,
maka selama 56 tahun operasi instalasi nuklir hanya terjadi 8 kecelakaan yang dapat
membahayakan kcselamatan dan kesehatan pekelja, masyarakat dan lingkungan.
Kcnyataan menunjllkkan bahwa selama 56 tahun pemanfaatan tenaga nuklir telah
tCljadi 25 kecclakaan yang memakan korban terkena radiasi maupun meninggal dunia
pad a fasilitas radiasi untuk industri dan layanan kesehatan. Salah satu penyebab dari
kcjadian ini adalah belum diterapkannya jaminan kllalitas pada fasilitas radiasi tersebllt.
I3crdasarkan kctcntllan Pasal 26 PP No.63/2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan
Tcrhadap Pcmanfaatan Radiasi Pengion, pengusaha instalasi yang mempunyai potensi
dampak radiologi tinggi dikenakan ketentuan untuk membllat dan melaksanakan
program jaminan kllalitas untllk kegiatan perencanaan, pembangunan, pengoperasian
dan perawatan instalasi, scrta pengelolaan limbah radioaktif (4). Sebelum dilaksanakan,
program jaminan kualitas tcrsebut harus disampaikan terlebih dahlliu kepada Badan
Pengawas lIntllk disctujui. Selanjutnya Badan Pengawas akan melakukan inspeksi dan
audit selama pelaksanaan program jaminan kualitas untllk menjamin efektivitas
pclaksanaannya. Instalasi yang mempunyai potensi dampak radiologi tinggi diantaranya
12
Seminar Tahunan Pcngawasan Pcmanl:,atan Tcnaga Nuklir - Jakarta. 11 Dcscmocr 2003 ISSN 1693 - 7902
adalah instalasi iradiator, akselerator. radioterapi, produksi radioisotop. dan instalasi
yang sejenis lainnya.
Pertanggungjawaban Kcrugian Nuklir
Pasal 20 UU No.1011997 menyatakan bahwa "Pengusaha instalasi nuklir wajib
bertanggurig jawab atas kerugian nuklir yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan
oleh kecelakaan nuklir yang terjadi dalam instalasi nukli: terse but" (3). Selanjutnya Pasal
34 UU No.1 0/1997 menyebutkan bahwa "(1) Pertanggllngjawaban Pengusaha instalasi
nuklir terhadap kerugian nuklir paling banyak Rp 900.000.000.000,00 (sembi/an ralus
milyar rupiah) untuk setiap kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun
untuk setiap pengangkutan bahan nuklir at au bahan nuklir bekas", "(2) Besar batas
pertanggungjawaban -sebagaimana dimaksud pada ayat (I) diatur dengan Keputusan
Presiden".
Ketentuan pertanggungjawaban kerugian nuklir di atas dimaksudkan agar untuk
menerima ganti rugi, pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir tidak dibcbani
pembuktian ada atau tidaknya kesalahan pengusaha instalasi nuklir. Untuk mcnghindari
ganti rugi jatuh kepada pihak yang tidak berhak, pihak ketiga cukup menunjukkan bukti
yang sah bahwa kerugiannya diakibatkan oleh kecelakaan nuklir. Besar kecilnya
pertanggungjawaban kerugian nuklir tidak sama, tergantung dari besar kecilnya instalasi
nuklir. Untuk instalasi nuklir yang besar seperti PLTN, berlaku ketentuan
pertanggungjawaban kerugian nuklir maksimum, yaitu sebesar sembilan ratus miliar
rupiah. Untuk instalasi nuklir lain yang lebih kecil berlaku ketentuan di bawah nilai
tersebut. Sampai saat ini belum ada Keputusan Presiden yang mengatur tentang
besarnya batas pertanggungjawaban kerugian dimaksud, sehingga ketcntuan tcntang
pertanggungjawaban kerugian nuklir tersebut belum dapat diberlakukan di Indonesia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Demikian telah diuraikan mengenai dampak penerapan BSS tcrhadap pcngawasan
tenaga nuklir di Indonesia berikut isu penting yang menyertainya meliputi: sistem
pembatasan dosis, pengamanan sumber, standardisasi, sistem pengaturan, sistem
perizinan, sistem inspeksi, jaminan kualitas, dan pertanggungjawaban kerugian nuklir.
Sebenarnya masih ada beberapa isu lainnya seperti perlindungan pasien dalam
pelayanan kesehatan yang menggunakan tenaga nuklir, pengelolaan limbah radioaktif,
13
Scminar Tahunan Pcngawasan Pcmanl~latan Tcnaga Nuklir - Jakarta, II Dcscmbcr 2003 ISSN 1693 - 7902
dll, tetapi oleh karena isu tersebut kurang penting dibandingkan dengan delapan isu
terse but, maka isu terse but tidak dibahas disini.
Penanganan terhadap delapan isu penting di atas membutuhkan upaya yang keras
dan sungguh-sungguh dan tentu saja tidak dapat dilakukan sendiri oleh BAPETEN,
tetapi membutuhkan komitmen semua pihak yang terlibat dalam pemanfaatan tenaga
nuklir di Indonesia, khususnya para stakeholder BAPETEN, agar pemanfaatan tenaga
nuklir tcrsebut tidak menimbulkan dampak yang dapat merugikan kesehatan dan
kesclamatan pekclja, masyarakat, dan lingkungan hidup.
Pcrlu disampaikan di sini bahwa penanganan isu penting yang berkaitan dengan
penerapan BSS dimaksud seyogyanya dilakukan dengan bijaksana dan hati-hati agar
tidak menambah beban bagi para pemanfaat tenaga nuklir, yang pada gilirannya dapat
mengurangi minat untuk mcmanfaatkan tenaga nuklir di Indonesia.
DAFT AR PUST AKA
1. "International Basic Safety Standard for Protection Against Ionizing Radiation
and for the Safety of Radiation Sources", IAEA SS No.I5, 1996;
2. Kusumo H.," Pengawasan Tenaga Nuklir di Indonesia: Perkembangan dan
Keccnderllngannya", Konvensi Nasional Keselamatan Nuklir, BAPETEN,
Jakarta, 2002;
3. UU No.1 0 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran;
4. PP No.63 Tahlln 2000 tcntang Keselamatal) dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan
Radiasi Pengion;
5. PP No.64 Tahlln 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir;
6. PP No.26 Tahlln 2002 tentang Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif;
7. PP No.27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif;
8. "Laporan Keselamatan Nuklir di Indonesia Tahun 2002", BAPETEN, Jakarta.
14
Scminar Tahunan Pcngawasan Pcmanlimtan Tcnaga Nuklir - Jakarta. II Dcscmbcr 2003
DISK US I
ISSN 16<)3 - 7<)02
Pertanyaan (BY. Eko BlIdi JU111PUJ7,BHOP - BATAM
1. Pengertian keselamata radiologi dan keselamatan radiasi, sama atau berbeda?
2. BSS akan diterapkan atau hanya wujud wacana?
Jawaban (Helyudo Kus 111110, DPIN - BAPETEN)
1. Menurut hemat saya sama saja.
2. Menurut hemat saya diterapkan karena dapat lebih mcningkatkan kcselamatan dan
kesehatan pekerja, masyarakat dan lingkungan hid up. Akan diterapkan atau tidak di
Indonesia tergantung dari kebijakan pimpinan BAPETEN. saya tidak berwcnang
untuk itu.
Pertanyaan (Zainus Sali111in, P2PLR - BATAN)
Mohon penjelasan lebih lanjut mengenai kecelakaan radiasi yang menelan korban 101
orang di fasilitas kesehatan dan 47 orang di instalasi nuklir :
1. Kecelakaan terse but dari periode kapan sampai dengan kapan? di Indonesia atau
dimana?
2. Kriteria kecelakaan yang dimaksud adalah kecelakaan yang bagaimana?
Jawaban (He/Jludo KUSU1110,DPIN - BAPETEN)
1. Kecelakaan terjadi di dunia untuk kurun waktu 6 tahun , dimana akibat kecelakaan
radiasi di fasilitas industri dan kesehatan ternyata lebih besar dibanding di instalasi
nuklir seperti PL TN, reaktor nuklir dan lain-lain.
2. Kriteria kecelakaan yang dimaksud adalah kecelakaan yang berakibat l~ltal
khususnya yang menyebabkan kematian, disamping yang terkena racliasi tinggi.
15