hasil revisi kelompok 1b - referat asma bronkial.doc

Upload: nininghr

Post on 01-Mar-2016

34 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

20

REFERAT PATOLOGI ANATOMIBLOK SISTEM RESPIRASI

ASMA BRONKIAL

Disusun oleh :Kelompok 1BImelda Widyasari S.G1A011002

Gilang Rara AmrullahG1A011004

Raditya Bagas Wicaksono G1A011006

Asisten:

Rinda Puspita Angguningtyas

G1A010033KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANJURUSAN KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2013HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT PATOLOGI ANATOMI

BLOK SISTEM RESPIRASI

ASMA BRONKIAL

Kelompok 1BImelda Widyasari S.G1A011002

Gilang Rara AmrullahG1A011004

Raditya Bagas Wicaksono G1A011006

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian identifikasi laboratorium Patologi Anatomi blok Sistem Respirasi pada Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.Diterima dan disahkan,

Purwokerto, 25 Maret 2013Asisten,

Rinda Puspita AngguningtyasG1A010033

I. PENDAHULUAN

Penyakit yang menyerang sistem pernapasan akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di dalam makanan. Salah satunya penyakit sistem pernapasan diakibatkan alergi yang banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA) (Rengganis, 2008). Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter sebagai pintu pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong penderita asma, harus selalu meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan pada waktu menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan asma.II. PEMBAHASAN

A. DefinisiAsma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu. Rangsangan tersebut menyebabkan peradangan. Penting diketahui bahwa penyempitan ini bersifat sementara/reversible (Ohrui, 2003). Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (Rengganis, 2008).B. EtiologiAsma bronkial terjadi di segala usia, tetapi dominan pada anak-anak. Menurut etiologinya, asma merupakan penyakit heterogen. Faktor genetik (atopik) dan lingkungan, seperti virus, paparan pekerjaan, dan alergen, memiliki kontribusi dalam inisiasi dan kontinuasi (Kumar, 2007). Atopi merupakan faktor resiko yang paling banyak dalam perkembangan asma. Asma alergik sering kali dihubungkan dengan riwayat penyakit individu dan/atau keluarga seperti rhinitis, urtikaria, dan eksim dengan reaksi bengkak dan rasa terbakar pada kulit terhadap injeksi ekstrak antigen dari udara secara intradermal dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan/atau dengan respon positif terhadap tes provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik (Kumar, 2007).Penderita asma tanpa riwayat alergi individu maupun keluarga, dengan tes kulit yang negatif, dan dengan kadar IgE serum yang normal, yang oleh karena itu tidak dapat dikelompokkan menurut mekanisme imunologis yang telah dijelaskan sebelumnya, disebut asma nonatopik. Pada umumnya, asma yang terjadi pada anak memiliki komponen alergik yang kuat, sedangkan asma yang berkembang kemudian memiliki etiologi nonalergik atau campuran (Kumar, 2007).C. EpidemiologiKasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian. Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia (Baratawidjaja, 2006).Studi SKRT tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke- 4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik (Baratawidjaja, 2006).D. Faktor RisikoSecara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor internal (genetik) dan faktor eksternal (lingkungan) (Rengganis, 2008) :1. Faktor genetik

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus (Rengganis, 2008).b. Hipereaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan (Rengganis, 2008). Sensitivitas yang meningkat ini menyebabkan bronkus mudah mengalami hipersekresi mukus. Selain itu kemungkinan bronkokonstriksi menngkat. Edema jalan nafas juga dapat terjadi sehingga lumen bronkus makin menyempit (Rengganis, 2008).c. Jenis kelamin

Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak (Rengganis, 2008).d. Obesitas

Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan (Rengganis, 2008).2. Faktor lingkungan

a. Alergen dalam rumah seperti tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain (Rengganis, 2008).b. Alergen luar rumah seperti serbuk sari, dan spora jamur (Rengganis, 2008).3. Faktor lain

a. Alergen makanan

Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan (Rengganis, 2008).b. Alergen obat-obatan tertentu

Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain (Rengganis, 2008).c. Bahan yang mengiritasi

Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain (Rengganis, 2008).d. Ekspresi emosi berlebih

Gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Gangguan emosi yang belum diobati berakibat pada gejala asma yang lebih sulit untuk diobati (Rengganis, 2008).e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini (Rengganis, 2008).f. Exercise-induced asthma

Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagaian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut (Rengganis, 2008).g. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musin kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan) (Rengganis, 2008).E. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala utama yang bisa dijumpai pada penderita asma bronkial (Patel, 2008) adalah :

1. dispneu (sesak nafas)2. batuk

3. mengi

4. memburuk saat malam hari (nocturnal)

5. laju respirasi 25x per menit

6. denyut jantung 110x per menit

7. PEFR (peak expiratory forced volume) 50% nilai prediksi

F. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Pasien asma bronkial akan mengeluhkan gejala klasik berupa batuk, mengi, dan sesak nafas. Pada awal timbulnya gejala dada akan terasa berat. Apabila terdapat alergi maka pasien juga akan mengeluhkan pilek dan bersin. Pada fase lanjut akan ditemukan batuk disertai sekret mukoid sampai dengan purulen. Asma ini sering muncul saat malam hari dan dapat diperparah oleh kegiatan jasmani. Pasien umumnya memiliki riwayat atopi dimasa kecil (misalnya dermatitis atopi) atau rhinitis alergika yang persisten (Patel et al., 2008)

Pada penggalian riwayat keluarga akan didapatkan riwayat atopik maupun alergi pada orangtua atau saudara. Pasien akan mengeluhkan gejala setelah terpapar berbagai faktor pencetus, misalnya tungau debu rumah, asap, parfum, keadaan emosional, maupun terkait keadaan hormonal (misalnya sedang menstruasi atau hamil) (Ferri, 2011).2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dasar akan didapatkan berbagai kelainan sebagai berikut (McFadden, 2005) :a. posisi pasien duduk dengan menyangga ke depan

b. otot pernafasan bekerja keras

c. bernafas cepat dan dalam saat serangan

d. ekspirasi memanjang

e. wheezing pada auskultasi

f. dada hiperinflasi

g. laju respirasi 25x per menith. denyut jantung 110x per meniti. sianosis3. Pemeriksaan penunjanga. Pemeriksaan darah rutin (dijumpai eosinofilia >8%)b. Pemeriksaan sputum

Pada pemeriksaan ini akan dijumpai eosinofil. Namun jika ditemukan neutrofil kita dapat mencurigai bronkitis sebagai salah satu diagnosis banding. Dapat pula ditemukan kristal Churcot-leyden dan spiral curschmann secara sitologis. Kemudian pada pasien akan didapatkan nilai IgE (total dan spesifik) pada sputum yang mengalami peningkatan sehingga mendukung riwayat atopik (McFadden, 2005).c. Skin prick test

Pada pemeriksaan ini akan dijumpai pasien hipersensitif terhadap alergen tertentu yang distimulasi pada kulit sehingga mendukung riwayat atopik (McFadden, 2005).

d. Foto thorax

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain obstruksi jalan nafas (misalnya pneumothorax, atelektasis) (McFadden, 2005).

e. Spirometri

Spirometri merupakan sebuah metode pemeriksaan untuk mengetahui dan mengukur fungsi fisiologis paru serta mengetahui ada tidaknya kelainan. Dalam analisis hasil spirometri akan dijumpai penurunan FEV1 1000-2000 g

Budesonid200-400 g>400-800 g>800-1600 g

Cidesonide80 g160 g>160 g

Flutcasone100-250 g>250-500 g>500-1000 g

Mometasone200-400 g>400-800 g

c. Langkah Ketiga

Kombinasi dari kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis rendah dengan agonis 2 kerja lama (long-acting beta2 agonist / LABA) adalah pengobatan yang dianjurkan, baik sebagai kombinasi tetap atau sebagai komponen terpisah (Ukena, 2008).

d. Langkah Keempat

Pemakaian kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis tinggi pada umumnya dikombinasikan dengan LABA dan montelucast (golongan leukotrien modifier) dan mungkin juga dengan teofilin (golongan metil xantin) (Ukena, 2008).e. Langkah Kelima

Pengobatan dengan anti IgE adalah pilihan jika pasien menderita alergi dikombinasikan dengan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi (ICS) untuk pengobatan sehari-hari (Ukena, 2008).

2. Nonmedikamentosa

Menurut Morris (2003) beberapa terapi nonmedikamentosa yang bisa dilakukan pada penderita asma bronkial adalah :

a. Kontrol perkembangan asma pasien setiap 1-6 bulan. Pada setiap kunjungn harus diperiksa kepatuhan, pengendalian lingkungan, dan komorbiditas. Jika hasil kontrol pasien asma minimal 3 bulan, pengobatan dapat dikurangi perlahan tapi tetap dikontrol setiap minggu dengan dosis maintenance.

b. Menghindari alergen penyebab asma, seperti asap rokok.

c. Edukasi pasien mengenai penyakit asma beserta gejala dan tanda serta cara pencegahan dan pengobatan asma.

d. Deteksi dini asma dengan test asthma di rumah sakit.

e. Edukasi pasien mengenai penanganan asma sendiri, teknik monitoring asma sendiri, alur pengobatan, cara menggunakan inhaler, dan kontrol lingkunganJ. Terapi BaruTerobosan baru untuk diterapkan sebagai penatalaksanaan asma bronkial adalah dengan menggunakan konsep SMART (Symbicort Maintenance and Reliever Therapy) melibatkan penggunaaan kombinasi tetap budesonide dan formotrol bukan hanya sebagai dosis maintenance rendah, tetapi juga untuk mengobati gejala akut. Misalnya pada pasien dengan asma yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid inhalasi dan bronkodilator (Bateman, 2008).Selain itu, untuk pasien asma ringan dapat digunakan kombinasi tetap dari kortikosteroid inhalasi dan agonis 2 kerja lama (LABA) untuk mengurangi gejala, terbukti sama efektifnya dengan penggunaan kortikosteroid inhalasi (Bateman, 2008).Untuk mengetahui keberhasilan terapi yang telah dilakukan dapat di cek dengan cara :

1. Memeriksa kepatuhan pasien terhadap pengobatan

2. Memeriksa kebenaran teknik pemakaian inhaler pasien oleh pengamatan dokter langsung

3. Re-evaluasi diagnosis, yaitu dengan mengetahui differential diagnosis(DD) yang mungkin harus dipertimbangkan. Misalnya : emboli paru, PPOK, penyempitan saluran napas oleh tumor, paparan zat beracun, dan vaskulitis (Bateman, 2008).K. Komplikasi

Komplikasi tersering yang terjadi adalah pneumonia, pneumothoraks atau pneumomediastinum, dan kegagalan pernapasan yang membutuhkan eksaserbasi berat (Virtual, 2011). Pneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru akibat bakteri, virus, maupun jamur. Pneumothoraks merupakan keadaan dimana cavum pleura terisi oleh udara yang bisa disebabkan oleh adanya trauma. Pneumomediastinum adalah keadaan abnormal dimana terdapat udara pada mediastinum yang bisa disebabkan antara lain oleh perforasi jalan nafas, infeksi cervicomediastinalis dan emfisema interstisial. Kegagalan pernapasan dapat terjadi akibat ekspirasi yang terus menerus mengalami gangguan sehingga bisa menyebabkan ketidakseimbangan asam basa serta mengganggu homeostasis tubuh (Patel, 2008).L. PrognosisPrognosis dari asma bronkial ini sebenarnya bervariasi. Hampir 20% penderita asma memiliki beberapa keterbatasan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun serangan asma ringan masih dapat diobati mudah dengan dosis ekstra bronkodilator inhalasi. Kadang terjadi serangan asma parah (sekunder) dapat mengakibatkan asma berkepanjangan, rawat inap, dan beberapa komplikasi. Kunci untuk terapi asma adalah pemantauan, kepatuhan ketat, dan menghindari pemicu asma (Bateman, 2008).Penyakit asma pada anak dapat diatasi pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut. Pasien dengan asma tidak terkontrol akan mengalami remodeling saluran napas yang akan menyebabkan gejala kronis dan ireversible. Penderita asma lanjut usia cenderung menyebabkan gejala kronis lanjutan (Virtual, 2011).III. KESIMPULAN

1. Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas trakea dan bronkus terhadap rangsangan tertentu yang menyebabkan peradangan dan derajatnya dapat berubah (reversible) secara spontan maupun dengan pengobatan.2. Tanda dan gejala dari asma bronkial antara lain dispneu (sesak nafas), batuk, mengi, dan memburuk saat malam hari (nocturnal). Laju respirasi 25x per menit, denyut jantung 110x per menit, PEFR (peak expiratory forced volume) 50% nilai prediksi, serta didapatkan IgE maupun eosinofil pada pemeriksaan sitologi dan histopatologi.3. Penatalaksanaan asma bronkial dapat dilakukan secara medikamentosa maupun nonmedikamentosa. Sedangkan untuk terapi baru yang dapat diterapkan adalah konsep SMART (Symbicort Maintenance and Reliever Therapy).4. Sekitar 20% pasien asma akan memiliki keterbatasan dalam beraktivitas namun dengan penatalaksanaan yang adekuat asma dapat terkontrol dan pasien dapat memiliki kualitas hidup yang baik.DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar SP, et al. 2006. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In: Shaikh WA. Editor. Principles And Practice Of Tropical Allergy And Asthma. Mumbai: Vicas Medical Publisher.707-36

Bateman, ED., Hurd, SS., Barnes, PJ., et al. 2008. Global Strategy For Asthma Management and Prevention. European Respiratory Journal 31 (1):143-78. Ferri, FF. 2011. Practical Guide to The Care of The Medical Patient. 8th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.

Fitzgerald, M. 2001. Acute Asthma. BMJ 323:841.

Kumar; Abbas; Fausto; Mitchell. 2007. Robbins: Basic Pathology. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.

McFadden, ER. 2005. Asthma. in Kasper, DL. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw and Hill.

Morris, M; et al. 2013. Asthma Treatment and Management. Medscape Feb 2013 : 296301.Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. 2003. Transient Relief Of Asthma Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of Bilirubin. Tohoku J Exp Med.199(3):193-6.Patel, H; Gwilt, C. 2008. Respiratory System. 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier.

Ram, A., Mabalirajan., Moumita, D., Indranil, B., et al. 2006. Glycyrrhizin Alleviates Experimental Allergic Asthma. International Immunopharmacology 6(9): 1468-1477.Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58; No.11.

Sherwood, L. 2010. Human Physiology: From Cells to Systems. 7th ed. California: Brooks/Cole Cengage Learning.

Ukena, D., Liat, Fishman., Wilhelm, B. 2008. Bronchial Asthma: Diagnosis and Long-Term Treatment in Adults. Deutsches Artzelblatt International. 105(21): 385394.Virtual. 2011. Bronchial Asthma, Etiology Pathogenesis, Clinical Features, Diagnostic, Treatment, and Prophylactic. Available at : http://dvirtualdoctor.hubpages.com/hub/Bronchial-asthma-Etiology-pathogenesis-clinical-features-diagnostics-treatment-and-prophylactic.