harry girsang c54103061 · 2019-01-25 · studi penentuan daerah penangkapan ikan tongkol melalui...

86
STUDI PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL MELALUI PEMETAAN PENYEBARAN KLOROFIL- A DAN HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU, JAWA BARAT HARRY SATRIYANSON GIRSANG SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: others

Post on 14-Jan-2020

38 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

STUDI PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL MELALUI PEMETAAN PENYEBARAN KLOROFIL-

A DAN HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU, JAWA BARAT

HARRY SATRIYANSON GIRSANG

SKRIPSI

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

STUDI PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL MELALUI PEMETAAN PENYEBARAN KLOROFIL-A DAN HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU, JAWA BARAT

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam

bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Adapun semua sumber data dan

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan sebelumnya maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2008

Harry S. Girsang

C54103061

ABSTRACT HARRY SATRIYANSON GIRSANG. A Study of Determining Auxis Sp. Fishing Ground By Mapping Chlorophyll-a Concentrations Spreading and Auxis sp. Catches in Palabuhanratu, West Java. Guided by Domu Simbolon

Palabuhanratu waters is the central of potential fish catching activities in West Java, one of it’s product which has an important value of economic is auxis fisheries. Chlorophyll-a hold an important role as the primary producer in sea ecosystem and become one of indicator in estimating fish locations. The purpose of this study are: to determine chlorophyll-a spreading profile in Palabuhanratu waters, to determine the composition of auxis catches by payang, to determine the correlation between chlorophyll-a ingredients with auxis sp catches and to determine auxis sp. Fishing ground in Palabuhanratu waters. The method used in this research is survey method.

Chlorophyll-a profile in March until May 2007 range from 0,240 mg m-3 to 0,600 mg m-3, with 0,375 mg m-3 in average. Chlorophyll-a ingredients dispose to high in March, decline in April and getting higher in the middle of May.

The amount of catches in March reach 15.345 kg with 272,27 kg/setting in CPUE’s value. The amount of auxis sp. catches in April had increase to 62.638 kg with CPUE’s value about 701,04 kg/setting. Next in May 2007, the amount of auxis sp catches remain 8.258 kg with CPUE’s value in 401,55 kg/setting. The percentage value of auxis sp. sizes catched in March until May 2007 was about 27% (23.285 kg) from 82.641 kg in totals.

Chlorophyll-a concentration in Palabuhanratu waters influenced the auxis sp. catches after 30 days. The potential fishing ground in Palabuhanratu waters in March until May 2007 include West of Guhagede, Karang Payung waters, Cimaja waters, Karang Bentang, Cikepuh, Sondong Parat waters, TI Amuran waters, and Ug. Panarikan.

Keywords : Chlorophyll-a, Auxis Sp., Palabuhanratu

ABSTRAK

HARRY S. GIRSANG. C54103061. Studi Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Melalui Pemetaan Penyebaran Klorofil-a dan Hasil Tangkapan di Palabuhanratu, Jawa Barat. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON.

Perairan Palabuhanratu merupakan sentra atau basis kegiatan penangkapan ikan yang potensial di Jawa Barat, salah satu hasil perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting adalah perikanan tongkol. Klorofil-a memegang peranan penting sebagai primary produsen dalam ekosisten bahari dan menjadi salah satu indikator dalam estimasi keberadaan ikan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan profil penyebaran klorofil-a di perairan Palabuhanratu, menentukan komposisi hasil tangkapan ikan tongkol oleh payang, menentukan hubungan antara kandungan klorofil-a dengan hasil tangkapan ikan tongkol dan menentukan zonasi penangkapan ikan tongkol di perairan Palabuhanratu. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei.

Profil klorofil-a pada bulan Maret - Mei 2007 berkisar antara 0,240 mg m-3 – 0,600 mg m-3, dengan nilai rata-rata 0,375 mg m-3. Kandungan klorofil-a cenderung tinggi pada bulan Maret, menurun pada bulan April dan tinggi pada pertengahan bulan Mei.

Jumlah tangkapan untuk bulan Maret mencapai 15.345 kg dengan CPUE sebesar 272,27 kg/setting. Jumlah hasil tangkapan ikan tongkol untuk bulan April meningkat menjadi 62.638 kg dengan CPUE sebesar 701,04 kg/setting. Selanjutnya pada bulan Mei 2007, jumlah tangkapan ikan tongkol hanya sebesar 8.258 kg dengan CPUE sebesar 401,55 kg/setting. Nilai persentase ukuran ikan layak tangkap yang didapat pada trip penangkapan nelayan payang periode bulan Maret - Mei 2007 untuk ikan tongkol hanya sebesar 27% (23.285 kg) dari total tangkapan 82.641 kg.

Konsentrasi klorofil-a yang berada pada perairan Palabuhanratu mempengaruhi hasil tangkapan setelah 30 hari. Zonasi atau fishing ground potensial di perairan Palabuhanratu pada bulan Maret-Mei 2007 meliputi daerah Guhagede bagian barat, perairan Karang Payung, perairan Cimaja, Karangbentang, Cikepuh, perairan Sodongparat, perairan Tl. Amuran, serta Ug. Penarikan.

Kata kunci : Klorofil-a, Tongkol, Palabuhanratu

@ Hak cipta milik Harry S. Girsang, 2008 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis

dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya

STUDI PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL MELALUI PEMETAAN PENYEBARAN KLOROFIL-

A DAN HASIL TANGKAPAN DI PALABUHANRATU, JAWA BARAT

Oleh:

HARRY SATRIYANSON GIRSANG

C54103061

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

SKRIPSI Judul Skripsi : Studi Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol

Melalui Pemetaan Penyebaran Klorofil-a dan Hasil Tangkapan di Palabuhanratu, Jawa Barat.

Nama Mahasiswa : Harry Satriyanson Girsang NRP : C54103061

Disetujui;

I. Pembimbing,

Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si NIP. 131 879 352

Mengetahui: Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Indra Jaya M.Sc. NIP. 131 578 799

Tanggal lulus: 16 Januari 2008

KATA PENGANTAR

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Perikanan pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah

”STUDI PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL

MELALUI PEMETAAN PENYEBARAN KLOROFIL-A DAN HASIL

TANGKAPAN DI PALABUHANRATU, JAWA BARAT.” Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Domu Simbolon M.Si. sebagai komisi pembimbing, atas segala saran dan

bimbingannya;

2. Para Penguji Tamu: Dr. Ir. Budi Wiryawan, M.Sc dan Dr. Ir. Sugeng Heri

Wisudo, M.Si yang telah banyak memberi saran serta perbaikan;

3. Bapak dan Mamak, Thanks for the life..

4. Kak ”tetot’ Ima, B’Peb dan Big ”D”;

5. Teman-teman atas dukungan yang diberikan;

6. Kang ”Best guidance” Wahyu, Bp. Hendrajat, Bp. Jajat, Mang Ijat, Bp. Dadang,

Bp. Uding, Bp. Hada, Bp. Ojak, Bp. Ibrahim, Bp. Edin, Bp. Rahman.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

penulis sehingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi

ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2008

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Bandar Lampung pada

tanggal 12 April 1985 dari pasangan Drs. S. Girsang dan

Dra. S. Ginting. Penulis adalah anak ke tiga dari empat

bersaudara. Tahun 1990 penulis mengawali pendidikan di

TK Xaverius Bandar lampung dan pada tahun 1991 penulis

melanjutkan pendidikan di SD Xaverius Bandar lampung.

Tahun 1997 penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

Negeri 25 Bandar lampung dan pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikannya

di Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Bandar lampung.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan terdaftar sebagai mahasiswa

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Program studi Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan

organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai anggota Departemen Pengembangan

Minat dan Bakat HIMAFARIN periode 2005-2006, Anggota Club Musik Rawai

binaan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan tahun 2004 hingga sekarang,

Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa MAX!! IPB (UKM Musik IPB) tahun 2004-2007,

serta anggota Unit Kegiatan Mahasiswa PMK tahun 2003 hingga sekarang. Selain itu,

penulis juga menjadi asisten Mata kuliah Daerah Penangkapan Ikan pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis melakukan penelitian dengan judul Studi Penentuan

Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Melalui Pemetaan Sebaran Klorofil-A dan Hasil

Tangkapan di Perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana perikanan pada Program studi Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan.

 

DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i

DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv

DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... v

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2 Tujuan ............................................................................................................ 3

1.3 Manfaat ........................................................................................................... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penginderaan Jarak Jauh (Remote Sensing) .................................................... 5

2.2 Aplikasi Citra Satelit untuk Pendeteksian Parameter Oseanografi ................ 8

2.2.1 Sifat-Sifat Optik Permukaan Laut ........................................................ 9

2.2.2 Aplikasi Sensor Modis untuk Pendeteksian Klorofil-a ........................ 11

2.3 Klorofil-a ........................................................................................................ 14

2.4 Deskripsi Sumberdaya Ikan Tongkol dan Penyebarannya ............................. 19

2.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Ikan Tongkol ............................................ 19

2.4.2 Daerah Penangkapan dan Penyebaran Ikan Tongkol ........................... 21

2.5 Unit Penangkapan Payang .............................................................................. 23

2.5.1 Metode Pengoperasian Payang ............................................................ 25

2.6 Keadaan Umum Teluk Palabuhanratu ............................................................ 25

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................................... 28

3.2 Bahan dan Alat ............................................................................................... 28

3.3 Metode Pengumpulan Data ............................................................................ 28

3.3.1 Posisi dan Waktu Penangkapan serta Hasil Penangkapan ................... 29

Halaman

3.3.2 Klorofil-a .............................................................................................. 29

3.4 Analisis Data ................................................................................................... 30

3.4.1 Analisis Klorofil-a ................................................................................ 30

3.4.2 Analisis Data Hasil Tangkapan ............................................................ 31

3.4.3 Analsis Hubungan Hasil Tangkapan dengan Klorofil-a ...................... 31

3.4.4 Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Potensial .................................. 32

4. HASIL

4.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Palabuhanratu .......................................... 35

4.2 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol ...................................................................... 40

4.2.1 Jumlah Hasil Tangkapan ...................................................................... 40

4.2.2 Ukuran (size) Hasil Tangkapan ............................................................ 42

4.3 Hubungan Klorofil-a dengan Hasil Tangkapan .............................................. 45

4.4 Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Potensial ............................................. 46

5. PEMBAHASAN

5.1 Penyebaran Klorofil-a Secara Temporal dan Spasial ..................................... 51

5.2 Variabilitas Hasil Tangkapan ........................................................................ 52

5.3 Pengaruh Klorofil-a Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol  .................... 54

5.4 Penyebaran Daerah Penangkapan  .................................................................. 56

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 57

6.2 Saran ............................................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 58

LAMPIRAN ............................................................................................................ 61

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kanal dan panjang gelombang yang digunakan dalam pengukuran ocean

color, klorofil-a dan biogeokimia ........................................................................ 12

2. Daerah penyebaran ikan tongkol di Indonesia ...................................................... 22

3. Kriteria kelayakan hasil tangkapan berdasarkan ukuran panjang ikan ................. 32

4. Pengklasifikasian Konsentrasi klorofil-a .............................................................. 32

5. Penilaian jumlah hasil tangkapan .......................................................................... 33

6. Penilaian Indikator DPI ........................................................................................ 34

7. Akusisi citra klorofil-a ......................................................................................... 35

8. Evaluasi daerah penangkapan ikan berdasarkan jumlah ikan, ukuran dan sebaran klorofil-a .................................................................................................. 46

9. Perubahan daerah penangkapan ikan periode Maret sampai Mei 2007 ............... 49

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Sistem Penginderaan jauh .................................................................................... 5

2. Tipe jaring makanan di lautan yang dimulai dari fitoplankton ............................ 14

3. Piramida makanan dengan fitoplankton sebagai produsen primer ...................... 15

4. Rantai makanan di lautan ..................................................................................... 16

5. Bentuk morfologi ikan tongkol (Euthynnus)........................................................ 16

6. Grafik CPUE dan persentase hasil tangkapan bulan Maret-Mei 2007 ................ 40

7. CPUE perhari pada bulan Maret 2007 ................................................................. 41

8. CPUE perhari pada bulan April 2007 .................................................................. 42

9. CPUE perhari pada bulan Mei 2007 .................................................................... 42

10. Persentase total ikan layak tangkap periode Maret - Mei 2007 ......................... 43

11. Persentase ukuran ikan layak tangkap................................................................ 43

12. Rata-rata ukuran panjang ikan pada bulan Maret 2007 ...................................... 44

13. Rata-rata ukuran panjang ikan pada bulan April 2007........................................ 44

14. Rata-rata ukuran panjang ikan pada bulan Mei 2007.......................................... 45

15. Grafik korelasi silang antara klorofil-a dengan hasil tangkapan ........................ 46

16. Daerah penangkapan potensial pada bulan Maret sampai Mei 2007 .................. 48

17. Perubahan daerah penangkapan ikan selama periode Maret sampai Mei ........... 50

18. Rantai makanan yang dimulai dari fitoplankton sampai ikan tongkol ............... 54

19. Grafik perubahan kandungan klorofil-a dan hasil tangkapan ............................ 55

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta Teluk Palabuhanratu ..................................................................................... 61

2. Sebaran klorofil-a tanggal 13 Maret sampai 21 Mei 2007 .................................... 62

3. Perhitungan korelasi silang antara klorofil-a dan hasil tangkapan ....................... 70

4. Grafik korelasi silang antara klorofil-a dengan hasil tangkapan ........................... 72

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah perairan laut Indonesia memiliki potensi sumberdaya hayati (ikan)

yang berlimpah dan beraneka ragam. Potensi perikanan tersebut terdiri atas potensi

ikan pelagis dan demersal yang tersebar pada hampir semua bagian perairan laut

Indonesia yang ada seperti pada perairan laut teritorial, perairan laut nusantara dan

perairan laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Salah satu daerah yang memiliki

potensi perikanan yang cukup besar di Jawa Barat adalah Palabuhanratu. Perairan

Palabuhanratu memiliki berbagai potensi hasil laut yang melimpah diantaranya ikan

pelagis seperti ikan tongkol, layur, dan tembang.

Namun pada kenyataannya, pemanfaatan potensi perikanan tersebut belum

dapat memberikan peranan yang signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian.

Salah satu faktor yang melatarbelakangi hal ini adalah karena kurangnya pengelolaan

potensi wilayah penangkapan akibat kurangnya informasi. Bahkan untuk saat ini, data

atau informasi tentang daerah penangkapan ikan potensial, termasuk Palabuhanratu

masih belum dapat terealisasi secara detail. Ini mengakibatkan sulitnya pelaku-pelaku

perikanan untuk meningkatkan efisiensi operasi penangkapan ikan melalui

penghematan biaya operasional.

Dalam penentuan daerah penangkapan ikan (fishing ground), nelayan

cenderung menggunakan intuisi atau naluri alamiah yang didapat secara turun

temurun dari nenek moyang. Mereka belum mampu membuat rencana operasi

penangkapan ikan akibat perubahan oseanografi atau cuaca yang sangat

mempengaruhi perubahan potensi penangkapan ikan yang dapat berubah-ubah.

Disamping itu pemakaian teknologi maju, sekalipun sudah baku seperti GPS (Global

Positioning System) sebagai alat bantu navigasi yang dapat memandu mereka mencari

lokasi yang ditunjukkan citra satelit oseanografi, sampai saat ini masih langka

dimiliki nelayan tradisionil Indonesia. Sebagai konsekuensi logisnya, seringkali

nelayan pulang membawa hasil tangkapan yang sedikit bahkan terkadang kosong

yang berpengaruh terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan.

Keberadaan daerah ikan di perairan bersifat dinamis, selalu berubah atau

berpindah mengikuti pergerakan kondisi lingkungan, yang secara alamiah ikan akan

memilih habitat yang lebih sesuai. Sedangkan habitat tersebut sangat dipengaruhi

oleh kondisi atau parameter oseonografi perairan seperti suhu permukaan laut,

salinitas, konsentrasi klorofil laut, cuaca dan sebagainya, yang berpengaruh pada

dinamika atau pergerakan air laut baik secara horizontal maupun vertikal. Seperti

peristiwa naiknya air dari dasar laut ke permukaan sebagai perbedaan gradien suhu

yang yang dinamakan Upwelling. Maka daerah Upwelling tersebut biasanya terdapat

klorofil yang merupakan makanan ikan dan diduga daerah tersebut terdapat banyak

ikan yang disebut daerah fishing ground.

Parameter-parameter laut tersebut dapat diperoleh dengan pengukuran

langsung atau survey lapangan atau dengan menggunakan satelit penginderaan jauh.

Dengan mengetahui parameter tersebut, maka ketika satelit melewati perairan

Indonesia, informasi daerah-daerah yang diduga terdapat ikan dapat diketahui.

Informasi tersebut dapat digunakan oleh nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan,

sehingga penangkapan ikan menjadi lebih efesien dan efektif apabila daerah

gerombolan ikan dapat diduga terlebih dahulu.

Klorofil-a merupakan salah satu pigmen yang paling dominan terdapat pada

fitoplankton dan berperan dalam proses fotosintesis. Ekosistem bahari di bumi

hampir seluruhnya bergantung pada aktivitas fotosintesis tumbuhan bahari

(Nybakken, 1992). Diantara tumbuhan bahari, fitoplankton mengikat bagian terbesar

dari energi, walaupun hanya menghuni lapisan tertentu dimana penetrasi cahaya

matahari masih memungkinkan. Menurut Effendie (2002), pada saat proses

fotosintesis, fitoplankton menghasilkan zat asam yang berguna bagi ikan.

Fitoplankton berperan sebagai primary producer atau penghasil awal dalam rantai

makanan di perairan. Selanjutnya fitoplankton akan dimakan oleh pemakan awal

(primary consumer) dan pemakan selanjutnya. Pada umumnya ikan-ikan pelagis kecil

berada pada tingkat primary consumer, yaitu pemakan plankton. Tingkat kesuburan

perairan (produktivitas perairan) juga dapat ditunjukkan dengan konsentrasi klorofil

yang terdapat di perairan tersebut, sehingga dapat menjadi daya tarik bagi ikan-ikan

pelagis yang bersifat plankton feeder.

Dewasa ini, distribusi kandungan klorofil-a dapat dideteksi dengan

menggunakan satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) dengan sensor Moderate

Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). Distribusi kandungan klorofil

tersebut kemudian dapat diimplementasikan guna menentukan daerah penangkapan

ikan. Data tersebut juga dapat diperoleh dengan mudah melalui internet atau instansi-

instansi terkait. Sehingga dengan adanya data tersebut, nelayan dapat terbantu dalam

menentukan daerah penangkapan yang potensial. Hal ini tentunya dapat menghemat

biaya operasional serta meningkatkan hasil tangkapan nelayan.

Melihat besarnya potensi perikanan Palabuhanratu serta dukungan

perkembangan teknologi pada bidang penginderaan jauh (Inderaja), maka potensi

tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal melalui penyediaan informasi daerah

penangkapan ikan yang potensial. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kepastian

hasil tangkapan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Oleh

karena itu penelitian mengenai Studi Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol

Melalui Pemetaan Penyebaran Klorofil-A dan Hasil Tangkapan di Perairan

Palabuhanratu, Jawa Barat sangat perlu dilakukan.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menentukan profil penyebaran klorofil-a di perairan Palabuhanratu

pada bulan Maret sampai bulan Mei 2007.

2. Untuk menentukan komposisi hasil tangkapan ikan tongkol oleh payang di

perairan Palabuhanratu pada bulan Maret sampai bulan Mei 2007.

3. Untuk menentukan hubungan antara kandungan klorofil-a dengan hasil

tangkapan ikan tongkol oleh payang di perairan Palabuhanratu pada bulan

Maret sampai bulan Mei 2007.

4. Untuk menentukan zonasi penangkapan ikan tongkol di perairan

Palabuhanratu.

1.3. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Informasi bagi para pelaku perikanan tangkap di Palabuhanratu untuk

mengetahui fishing ground dan selanjutnya dapat dipergunakan untuk

meningkatkan efisiensi operasi penangkapan ikan.

2. Memperkaya pengetahuan pada bidang ilmu daerah penangkapan ikan.

2

m

o

p

m

(

p

m

t

d

p

p

d

d

m

2.1 Pengind

Remo

mengetahui

obyek terseb

perekaman i

maupun laut

(airborne) a

penginderaa

mengenai ob

tekhnik ini

diinterpretas

pertanian, pe

Menu

penting; (1)

dan objek, (4

Kons

dasar radias

memiliki s

deraan Jara

ote sensing

suatu obyek

but (Dimyat

informasi, b

t, dan atmos

atau wahana

an jarak jau

bjek dan lin

menghasilk

sikan guna m

erikanan, ke

urut Sutanto

sumber tena

4) sensor.

Gambar

sep dasar tek

si dari Plan

suhu mutla

2. TIN

ak Jauh (Rem

g dapat diar

k dari jarak

ti R.D & D

biasanya dal

sfer di atasny

a satelit (sp

uh sebagai

ngkungannya

kan beberap

menghasilka

lautan, arkeo

o (1994), sist

aga elektrom

r 1 Sistem Pe

knologi peng

nck yang m

ak diatas

NJAUAN PU

mote Sensin

rtikan sebag

k tertentu tan

Dimyati M 1

lam bentuk

ya, menggun

paceborne).

suatu tekn

a dari jarak

pa bentuk c

an data yang

ologi dan bid

tem pengind

magnetik, (2

enginderaan

ginderaan jar

menyatakan

00K (-27

USTAKA

ng)

gai bidang

npa kontak

1998). Istila

citra, tentan

nakan wahan

Purbowases

nik untuk m

k jauh tanpa

citra yang

g bermanfaat

dang-bidang

deraan jauh m

) atmosfer, (

n Jauh (Sutan

rak jauh ada

bahwa sem

730C) akan

ilmu penge

atau menye

ah tersebut t

ng muka bum

na sensor pe

so (1995) m

mengumpulk

a sentuhan f

selanjutnya

t untuk aplik

g lainnya.

memiliki em

(3) interaksi

nto, 1994).

alah berdasar

mua obyek d

n memanc

etahuan unt

ntuh langsu

terbatas unt

mi, baik dar

esawat terba

mendefinisik

kan informa

fisik. Biasan

diproses d

kasi di bida

mpat kompon

i antara tena

rkan pada teo

di bumi ya

arkan ener

tuk

ung

tuk

rat

ang

kan

asi

nya

dan

ang

nen

aga

ori

ang

rgi

elektromagnetik. Sebuah obyek akan memantulkan sinar matahari atau mengemisinya

sebagai energi internal sesuai dengan vibrasi atom dan molekul obyek itu sendiri.

Radiasi dari obyek ini memberikan ciri-ciri khas sebagai identitas dari obyek tersebut.

Rambatan energi yang merupakan gelombang elektromagnetik mempunyai kecepatan

sebesar kecepatan cahaya (2,997924562 x 108 m/detik). Energi ini akan ditangkap

oleh sensor yang dibawa oleh wahana satelit ataupun wahana pesawat. Hasil

tangkapan sensor akan diterima dan dicatat pada suatu alat perekam yang selanjutnya

(khususnya pada wahana sateli) akan ditransmisikan ke stasiun penerima di bumi

(Ground Receiving Station) (La Violette, 1994).

Tenaga panas yang dipancarkan dari obyek dapat direkam dengan sensor yang

dipasang jauh dari obyeknya. Penginderaan obyek tersebut menggunakan spektrum

inframerah termal. Dengan menggunakan satelit maka akan memungkinkan untuk

memonitor daerah yang sulit dijangkau dengan metode dan wahana yang lain. Satelit

dengan orbit tertentu dapat memonitor seluruh permukaan bumi. Satelit-satelit yang

digunakan dalam penginderaan jarak jauh terdiri dari satelit lingkungan, cuaca dan

sumberdaya alam.

Widodo (1999) menjelaskan sensor adalah suatu alat yang mendeteksi dan

mengukur suatu parameter fisik, seperti radiasi, dan mengkonversikannya ke dalam

suatu bentuk yang dapat disimpan atau ditransmisikan. Dimyati (1998) membedakan

sistem sensor yang digunakan dalam remote sensing menjadi dua kelompok. Pertama,

yang menggunakan sistem pasif, yaitu yang merekam pantulan atau pancaran radiasi

elektromagnetik dari suatu obyek yang biasanya bersumber dari matahari. Contoh

yang termasuk dalam sistem ini adalah sistem fotografi analog dan sistem skener

digital. Kedua, sistem aktif yaitu perekaman dengan menggunakan sumber tenaga

dari diri sendiri, seperti sistem RADAR dan LIDAR (laser).

Sensor-sensor satelit dibatasi oleh kapabilitas dari radiasi elektromagnetik

menembus atmosfer bumi dan pengembalian data yang berguna pada ketinggian

orbit. Sensor tidak dapat memenuhi nilai aplikasi untuk karakteristik lapisan bawah

permukaan seperti salinitas. Namun demikian untuk berbagai sifat dasar yang dapat

diindera dari jauh, terutama dengan menggunakan microwaves untuk menembus

awan dan memberikan hasil-hasil yang diperlukan pada malam maupun siang hari.

Teknik ini memberikan peliputan yang bersifat global atas berbagai skala waktu

secara berulang-ulang. Sifat-sifat umum sensor satelit dapat dilihat sebagai berikut

(Widodo, 1999):

1. Bidang pandang

Keunggulan satelit yang utama bagi oceanografi adalah sifat bidang

pandangnya yang luas. Sebagai contohnya adalah satelit Aqua dengan sensor

Modis yang memiliki lebar sapuan 2.330 km pada pola scanning 550.

2. Keterbatasan meliput lingkungan

Liputan merupakan limitasi yang paling utama bagi penginderaan dengan

sinar visible maupun infra merah. Semakin panjang gelombang infra merah

semakin kurang terpencar, tetapi awan akan menghalangi radiasi sinar kasat

mata dan radiasi sinar infra merah. Oleh sebab itu, awan sangat membatasi

citra dari suhu permukaan laut dan pigmen fitoplankton.

3. Strategi penggunaan data satelit

Keuntungan yang diperoleh adalah dengan adanya satelit maka observasi

kontinen menjadi jelas, yakni cakupan area yang luas serta secara potensial

mampu melakukan peliputan secara global. Untuk pemahaman sejumlah

proses-proses fisik dan biologi kelautan dengan menggunakan metode klasik

yaitu pengumpulan data secara okasional dari kapal penelitian atau sensor

yang ditambat di suatu posisi tertentu untuk saat ini dirasakan kurang

memadai.

4. Observasi permukaan

Karena satelit hanya dapat mengukur sifat-sifat permukaan laut atau dekat

permukaan laut, tambahan pengukuran in-situ dari berbagai distribusi densitas

lapisan dalam dan berbagai paras arus laut jelas diperlukan untuk mendekati

kebanyakan masalah oseanografi fisik. Pengukuran dengan penginderaan

jarak jauh biasanya juga bertumpu pada pengukuran-pengukuran

konvensional in-situ.

Strategi optimal bagi pengembangan instrumentasi oseanografi konvensional

dalam kaitannya dengan satelit tergantung pada fenomena-fenomena yang

dipelajari. Karena kapabilitas dalam hal sampling yang bersifat global dan

kontinyu, satelit mungkin diharapkan menjadi paling berharga bagi studi

sirkulasi lautan secara global dan produktivitas.

Data satelit hasil penginderaan jarak jauh diperoleh berdasarkan konsep

interaksi antara radiasi elektromagnetik dan objek dengan kisaran spektrum yang

bervariasi tergantung dari sensor yang digunakan. Tiap sensor memiliki kepekaan

tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik yang menerima dan merekam

tenaga dari obyek di muka bumi. Selanjutnya Aboet (1985) menjelaskan bahwa

keberhasilan teknik penginderaan jauh sangat ditentukan oleh dua faktor, yaitu

ketelitian suatu sensor dan kemampuan untuk menginterpretasikan data secara tepat.

Penginderaan jarak jauh (inderaja) dapat diaplikasikan pada bidang

penangkapan dalam menentukan daerah penangkapan ikan pada wilayah perairan

tertentu. Dalam hal ini, yang terlihat bukanlah keberadaan ikan secara langsung,

tetapi berkaitan dengan parameter atau fenomena alam yang menandakan

kemungkinan adanya ikan di suatu tempat. Sebagai contohnya adalah banyaknya

tersedia makanan, suhu yang sesuai dengan jenis ikan tertentu. Citra satelit akan

menghasilkan informasi kondisi lingkungan laut yang dapat teramati diantaranya

kandungan klorofil-a, suhu permukaan laut, kondisi cuaca, dan pola arus permukaan

(Nikyuluw, 2005).

2.2 Aplikasi Citra Satelit untuk Pendeteksian Parameter Oseanografi

Sebelum awal tahun 70-an, pendeteksian parameter oseanografi pada

umumnya dilakukan melalui survei lapangan secara langsung (insitu) dengan

menggunakan kapal atau buoy di laut (Gaol, 2003). Namun setelah tahun 70-an,

sejalan dengan kemajuan teknologi penginderaan jarak jauh (inderaja) di bidang

kelautan, penelitian parameter oseanografi khususnya untuk yang berskala global

menjadi lebih mudah. Hal ini disebabkan kemampuan teknik inderaja yang bersifat

sinoptik atau mencakup daerah yang luas dalam waktu yang bersamaan.

Beberapa satelit telah dilengkapi sensor yang dapat mendapatkan data-data

mengenai parameter oseanografi di permukaan laut. Sebagai contohnya data

parameter SPL yang dapat dihasilkan dari berbagai sensor termal yang dibawa oleh

berbagai satelit penginderaan jauh, seperti NOAA-AVHRR, Landsat, Feng yun, dan

MODIS. Citra suhu permukaan laut dari suatu perairan yang luas dapat digunakan

untuk mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan

perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan

daerah potensi penangkapan ikan (Hasyim dan Priyanti, 1999).

Contoh lainnya adalah untuk pendeteksian sebaran klorofil-a di permukaan

laut. Dengan menggunakan sensor MODIS dan citra satelit SeaWifs (SeadViewing

Wide Field of View Sensor).

2.2.1 Sifat-sifat Optik Permukaan Laut

Sifat-sifat optik lapisan permukaan laut ditentukan oleh kehadiran bahan

tersuspensi dan terlarut. Dibawah kondisi normal, sinar kasat-mata memasuki

perairan laut sampai kedalaman puluhan meter. Karena konsentrasi dari sejumlah

konstituen (unsur pokok) air meningkat, air menjadi keruh, sehingga kemampuan

penetrasi dari sinar matahari menurun sebagai suatu akibat dari proses absorbsi dan

penyebaran tergantung dari karakteristik-karakteristik dari bahan (material) yang

terdapat dalam air. Proses absorbsi dan penyebaran akan bervariasi dengan panjang

gelombang dari radiasi yang datang dan membenturnya. Oleh karena itu, observasi

yang bersifat multi spektral dapat dilaksanakan untuk mengestimasi sifat alamiah dan

konsentrasi konstituen dalam air. Sejumlah sensor pasif yang bekerja dalam sejumlah

panjang gelombang yang kasat mata biasanya digunakan untuk membuat citra warna

air. Sensor aktif menghasilkan sumber iluminasi mereka sendiri, misalnya lidar, dapat

juga digunakan tetapi hanya dari pesawat udara dan untuk melakukan sampling, dari

pada digunakan untuk keperluan pembuatan citra satelit. Parameter utama yang dapat

diperoleh melalui pantulan radiasi yang keluar dari permukaan air laut adalah sebagai

berikut (Widodo, 1999):

1. Diffuse attenuation coefficient

Merupakan koefisien penipisan karena proses penyebaran pada suatu panjang

gelombang tertentu merupakan suatu sifat optik yang menonjol. Besarannya

tergantung dari distribusi sinar sebagai hasil dari penyebaran (spreading),

pemencaran (scattering), dan absorbsi yang tejadi pada titik in-situ dari

pengukuran. Parameter ini menyajikan sarana penentuan kategori air secara

fisik menurut warnanya. Nilainya dapat diinterpretasikan sebagai suatu ukuran

turbiditas (kekeruhan) air dan merupakan suatu alat yang berharga dalam

berbagai studi perikanan.

2. Bahan tersuspensi total

Sebagai tambahan terhadap parameter-parameter optik, konsentrasi total dari

bahan yang terabsorbsi dan terpencar dapat digunakan untuk membuat

klasifikasi permukaan perairan berdasarkan warnanya. Manfaat dari parameter

ini sangat cocok untuk membuat klasifikasi perairan dimana sedimen

anorganik, organik atau keduanya membuat suatu kontribusi yang sangat

penting terhadap sifat optik dari lapisan permukaan.

3. Yellow substance

Istilah ini dapat didefinisikan sebagai material yang diperoleh dari degradasi

tanah atau lahan dan bahan organik marine. Bahan ini merupakan parameter

penting untuk memonitor dalam konteks dari perairan yang tercemar.

4. Pigmen klorofil

Konsentrasi dari pigmen klorofil sering ditetapkan sebagai suatu indeks dari

produktivitas biologi dan didalam lingkungan oseanik dapat dikaitkan dengan

produksi ikan. Konsentrasi klorofil diatas 0,2 mg/m3 menunjukkan nilai yang

memadai untuk menopang kelangsungan rantai makanan (Gower, 1972 dalam

Widodo, 1999). Pigmen-pigmen klorofil mempunyai karakteristik spektral

yang spesifik dan distingtif (khusus) karena mengabsorbsi sinar biru (dan

merah) serta secara kuat merefleksikan sinar hijau, dengan demikian

mempengaruhi warna perairan laut. Oleh sebab itu, observasi-observasi

multispektral dari sensor satelit dapat menarik deduksi terhadap konsentrasi

fitoplankton.

5. Makrofita

Di kawasan pantai mudah untuk mendapatkan vegetasi makrofita (rumput

laut). Hanya beberapa spesies saja yang memiliki nilai ekonomis yang

penting, tetapi hampir semua spesies memainkan peranan penting dalam

menopang kehidupan marine. Rumput laut yang bebeda memiliki sifat-sifat

merefleksikan sinar yang berbeda pula, misalnya merefleksikan lebih banyak

sinar radiasi hijau atau merah. Distingsi ini yang memungkinkan diferensiasi

beberapa spesies rumput laut dapat dideteksi dari visible sensor pasif dari

satelit.

2.2.2 Aplikasi Sensor Modis untuk Pendeteksian Klorofil-a

Penginderaan jauh cahaya tampak menggunakan sensor pada panjang

gelombang cahaya tampak, yaitu 400-700 nm (Gaol, 2003), dapat digunakan untuk

mendeteksi material terlarut dan kandungan klorofil dari fitoplankton yang ada di

permukaan perairan hingga kedalaman tertentu. Salah satu cara untuk mendeteksi

kandungan klorofil dalam perairan adalah dengan menggunakan Moderate Resolution

Imaging Spectroradiometer (MODIS) (http://modis.gsfc.nasa.gov/about/index.html).

Modis merupakan instrumen kunci pada satelit Terra (EOS AM) dan Aqua

(EOS PM). Kedua satelit ini memiliki orbit sun-synchronus. Satelit Terra pertama

kali diluncurkan pada 18 desember 1999 dan Aqua pada 4 mei 2002. Satelit Terra

melintasi bumi dari utara ke selatan pada pukul 10.30 pagi (melintas garis ekuator).

Sedangkan satelit Aqua melintasi bumi dari arah selatan ke arah utara dan melintasi

ekuator pada pukul 01.30 siang. Instrumen Modis memiliki lebar sapuan sebesar 2330

km dan dapat meliput seluruh permukaan bumi dalam waktu satu sampai dua hari.

Terra dan Aqua Modis memiliki 36 kanal (0,405 sampai 14,385µm) dengan

resolusi spasial 250 m (kanal1-2), 500 m (kanal 3-7) dan 1000 m (kanal 8-36) dengan

kuantitasi 12 bit. Produk Modis untuk perairan termasuk warna perairan (Ocean

color), suhu permukaan laut dan produksi primer perairan. Produk-produk ini dapat

digunakan untuk keperluan penelitian sirkulasi lautan, biologi laut, dan kimia laut

termasuk siklus karbon di perairan. Panjang gelombang yang digunakan untuk

mengukur klorofil-a dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kanal dan panjang gelombang yang digunakan dalam pengukuran ocean color, klorofil-a dan biogeokimia

Primary Use Band Bandwidth1 Spectral Radiance2

Required SNR3

Land/Cloud/Aerosols Boundaries

1 620 - 670 21.8 128

2 841 - 876 24.7 201 Land/Cloud/Aerosols Properties

3 459 - 479 35.3 243 4 545 - 565 29.0 228 5 1230 - 1250 5.4 74 6 1628 - 1652 7.3 275 7 2105 - 2155 1.0 110

Ocean Color/ Phytoplankton/ Biogeochemistry

8 405 - 420 44.9 880 9 438 - 448 41.9 838

10 483 - 493 32.1 802 11 526 - 536 27.9 754 12 546 - 556 21.0 750 13 662 - 672 9.5 910 14 673 - 683 8.7 1087 15 743 - 753 10.2 586 16 862 - 877 6.2 516

Atmospheric Water Vapor

17 890 - 920 10.0 167 18 931 - 941 3.6 57 19 915 - 965 15.0 250

Primary Use Band Bandwidth1 Spectral Radiance2

Required NE[delta]T(K)4

Surface/Cloud Temperature

20 3.660 - 3.840 0.45(300K) 0.05 21 3.929 - 3.989 2.38(335K) 2.00 22 3.929 - 3.989 0.67(300K) 0.07 23 4.020 - 4.080 0.79(300K) 0.07

Atmospheric Temperature

24 4.433 - 4.498 0.17(250K) 0.25 25 4.482 - 4.549 0.59(275K) 0.25

Cirrus Clouds Water Vapor

26 1.360 - 1.390 6.00 150(SNR) 27 6.535 - 6.895 1.16(240K) 0.25

Primary Use Band Bandwidth1 Spectral Radiance2

Required SNR3

28 7.175 - 7.475 2.18(250K) 0.25 Cloud Properties 29 8.400 - 8.700 9.58(300K) 0.05 Ozone 30 9.580 - 9.880 3.69(250K) 0.25 Surface/Cloud Temperature

31 10.780 - 11.280 9.55(300K) 0.05 32 11.770 - 12.270 8.94(300K) 0.05

Cloud Top Altitude

33 13.185 - 13.485 4.52(260K) 0.25 34 13.485 - 13.785 3.76(250K) 0.25 35 13.785 - 14.085 3.11(240K) 0.25 36 14.085 - 14.385 2.08(220K) 0.35

Sumber: http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php

Pada sistematika proses, sensor Modis menerima pantulan radiasi sinar

matahari dari permukaan lautan. Radiasi sinar matahari yang menuju perairan sangat

dipengaruhi oleh keadaan atmosfer permukaan bumi. Sebelum mencapai permukaan

perairan akan terlebih dahulu diserap atau dihamburkan oleh awan, molekul udara

dan aerosol. Sinar matahari yang telah mencapai permukaan laut kemudian akan

diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada dipermukaan laut, contoh

fitoplankton. Tingkat pantulan dicatat oleh sensor modis melalui kanal 9 dan kanal

12. Fitoplankton memiliki puncak spektral pada panjang gelombang 400-600 nm.

Kanal 9 (443 nm) bekerja pada daerah sinar biru, sedangkan kanal 12 (551 nm)

bekerja pada sinar hijau. Klorofil akan menyerap gelombang biru dan gelombang

merah serta maninggalkan cahaya hijau untuk dipantulkan, hal inilah yang

menyebabkan cahaya tampak yang diterima oleh sensor adalah warna hijau.

Pengukuran konsentrasi klorofil dari citra satelit dilakukan dengan

membandingkan nilai kanal yang memilki daya absorbsi maksimum dengan kanal

yang memiliki daya absorbsi minimum. Pendugaan konsentrasi klorofil dengan

penginderaan jarak jauh dapat menggunakan rasio antara dua atau tiga kanal. Pada

umumnya rasio yang digunakan adalah rasio antara kanal biru (450-520 nm) dan

kanal hijau (520-600).

Perhitungan jumlah radiasi yang diterima oleh sensor satelit berdasarkan

Rilley diacu dalam Surwagana, et al. (2000) digambarkan sebagai berikut:

D

C

R

2

a

o

g

p

j

p

b

G

Log

Chl

Dimana:

Chl = Ko

R = Re

(Pe

2.3 Klorofil

Plank

air (Nontji,

organisme t

golongan ut

penting dala

jenis hewan

produsen ut

berturut-turu

Gambar 2 T

1

(Chl) = 0,28

(mg m-3) =

onsentrasi Kl

eflektansi (44

rbandingan r

l-a

kton adalah

2005). Kem

tersebut sela

tama yakni

am ekosistem

n laut lainny

tama yang

ut dipindahk

Tipe jaring m

1992).

83 – 2,753 +

10 (0,283 – 2,75

lorofil-a

43) / Reflekt

rasio antara

organisme y

mampuan g

alu terbawa

fitoplankton

m laut, karen

ya. Pada jar

menangkap

kan ke komun

makanan di la

+ 1,457 R2 +53 + 1,457 R2 + 0

tansi (551)

kanal 9 dan

yang hidup m

geraknya, ka

oleh arus.

n dan zoop

na plankton m

ring makana

p energi ma

nitas-komun

autan yang d

0,659 R3 –0,659 R3 – 1,403 R

kanal 12)

melayang at

alaupun ada

Plankton d

plankton. Pl

menjadi bah

an di lautan

atahari (foto

nitas laut lain

dimulai dari

1,403 R4 R4)

tau mengam

a, sangat te

dapat dibagi

ankton mem

han makanan

n, fitoplankto

osintesis) ya

nnya (Gamb

fitoplankton

mbang di dala

erbatas hing

i menjadi d

miliki peran

n bagi berbag

on merupak

ang kemudi

ar 2).

n (Nybakken

am

gga

dua

nan

gai

kan

ian

n,

Pada ekosistem laut, tipe jejaring makanan yang umum terjadi membentuk

limas pakan (food pyramid). Hal ini diakibatkan oleh semakin bergerak ketingkat

lebih tinggi, perpindahan senyawa organik yang terjadi berlangsung tidak efisien.

Nontji (2005) memperkirakan bahwa tingkat efisiensi perpindahan senyawa organik

dari satu tingkat ke tingkat diatasnya hanya sekitar 10% saja dan 90% lainnya hilang

sebagai energi panas. Hal ini berarti bahwa dari 100 unit bahan senyawa organik yang

dihasilkan oleh fitoplankton hanya 10 unit bahan senyawa organik saja yang mampu

terserap oleh konsumen pertama atau herbivora, dan hanya 1 unit bahan senyawa

organik yang terserap oleh konsumen 1, dan seterusnya hingga kepada karnivor

puncak (top carnivore). Hal ini menyebabkan bentuk akumulatif senyawa organik

yang terserap pada setiap tingkatan semakin kecil ketika mendekati tingkat konsumen

puncak pada rantai makanan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Piramida makanan yang dimulai dari fitoplankton sebagai produsen primer di laut (Nontji,2005).

Fitoplankton (plankton nabati) merupakan tumbuhan yang amat banyak

ditemukan di semua perairan, tetapi karena ukurannya mikroskopis sukar dilihat

kehadirannya. Konsentrasinya bisa ribuan hingga jutaan sel per liter air laut.

Fitoplankton bisa ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut sampai

pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya

fotosintesis. Zona ini dikenal sebagai zona eufotik, kedalamannya bervariasi dari

beberapa puluh sentimeter pada air yang keruh hingga lebih dari 150 meter pada air

yang jernih.

Fitoplankton yang subur umumnya terdapat diperairan sekitar muara sungai

atau diperairan lepas pantai dimana terjadi upwelling. Pada kedua lokasi tersebut

terjadi proses penyuburan karena masuknya zat hara kedalam lingkungan tersebut.

Didepan muara sungai banyak terdapat konsentrasi zat hara yang berasal dari daratan

dan dialirkan oleh sungai ke laut, sedangkan di daerah upwelling zat hara yang kaya

akan nutrien terangkat dari lapisan bawah air ke arah permukaan. Jumlah plankton

yang melimpah pada kedua daerah tersebut memberikan daya dukung yang tinggi

terhadap ekosistem sekitarnya untuk tumbuh. Dampak lanjutnya dapat terlihat dari

melimpahnya komposisi ikan yang ada di daerah tersebut (Nontji, 2005). Pada tipe

rantai makanan lautan, produsen pertama dimulai dari tumbuhan hijau atau

fitoplankton, yang selanjutnya akan dimakan oleh konsumen pertama sampai kepada

konsumen tertinggi (Gambar 4).

Gambar 4 Rantai makanan di lautan (Nybakken, 1992).

Klorofil-a adalah zat hijau daun yang terkandung di dalam tumbuhan.

Klorofil-a adalah pigmen yang mampu melakukan fotosintesis dan terdapat di seluruh

organisme fitoplankton (Barnes dan Huges, 1988). Jumlah fitoplankton yang ada di

perairan laut umumnya dapat dilihat dari jumlah klorofil-a yang ada di perairan

tersebut. Klorofil-a tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol, dietil eter, benzen

dan aseton. Absorbsi cahaya yang maksimum oleh klorofil-a bersama pelarutnya

terjadi pada panjang gelombang 430nm dan 663nm.

Dalam mengabsorbsi cahaya matahari, sebagian besar tumbuhan laut memiliki

pigmen-pigmen pelengkap sebagai alat tambahan bagi klorofil-a. Pigmen-pigmen

tersebut berfungsi untuk menangkap dan mengumpulkan cahaya matahari lalu

disalurkan kepada klorofil-a. Pigmen-pigmen ini mampu mengabsorbsi cahaya pada

panjang gelombang yang berbeda dari klorofil-a (Basmi, 1995). Beberapa pigmen

tersebut antara lain:

1. Klorofil-b, mampu menyerap cahaya dengan panjang 450-645nm dan umumnya

terdapat pada beberapa jenis alga.

2. Karoten, mampu menyerap cahaya pada panjang gelombang 450-470nm,

sebagian besar ada pada alga.

3. Xanthophyll, mampu menyerap cahaya pada kisaran panjang gelombang 480-

540nm.

4. Phycoerithrin, dapat menyerap cahaya secara maksimal pada panjang

gelombang 540-560nm.

5. Phycocyanin, mampu menyerap cahaya pada kisaran gelombang 610-630nm.

Produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang

kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik (Nybakken,1992). Klorofil-a berkaitan

erat dengan produktifitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa

fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Fitoplankton

sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi

fotosintesis, dimana air dan karbon dioksida dengan adanya sinar matahari dan

garam-garam hara terlarut dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat.

Karena kemampuan untuk menghasilkan zat organik dari zat anorganik ini maka

fitoplankton disebut sebagai produsen primer (Nontji, 2005). Pigmen yang umum

didapat adalah klorofil a,b,c. Namun yang paling dominan adalah klorofil-a. Salah

satu fungsi klorofil adalah untuk menyerap energi elektromagnetik (cahaya) yang

datang untuk digunakan dalam proses fotosintesa (Gaol,2003). Fitoplankton pada

waktu mengadakan fotosintesa, menggunakan CO2 dan air dengan bantuan utama

cahaya matahari membuat hidrat arang dan menghasilkan zat asam yang berguna bagi

ikan (Effendie, 2002). Dengan demikian plankton tersebut dapat memproduksi zat

organik dan bahan anorganik, maka plankton tersebut dinamakan “penghasil awal”

(primary producer). Menurut Nontji (2005), perairan yang produktivitas primer

fitoplanktonnya tinggi akan mempunyai potensi sumberdaya hayati yang besar pula.

Seperti tumbuh-tumbuhan hijau yang lain, plankton membuat ikatan-ikatan

organik yang kompleks dari bahan anorganik yang sederhana (Hutabarat dan Evans,

1985). Fotosintesa adalah satu proses permulaan yang penting dimana mereka dapat

membuat atau mensintesa glukosa (karbohidrat) dari ikatan-ikatan anorganik

karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Ini menyangkut serangkaian reaksi-reaksi yang

dapat disingkat sebagai reaksi berikut ini:

Kebanyakan tumbuh-tumbuhan kemudian mengubah glukosa ini ke dalam

susunan karohidrat yang lebih kompleks seperti tepung yang kemudian disimpan

sebagai cadangan makanan. Enersi dibutuhkan untuk membantu berlangsungnya

reaksi kimia yang terjadi dalam proses fotosintesa. Sumber enersi ini diambil dari

sinar matahari yang diabsorbsi oleh klorofil (pigmen hijau yang terdapat di tumbuh-

tumbuhan). Tumbuh-tumbuhan juga mampu membuat sintesa ikatan-ikatan organik

yang lain termasuk protein selama suplai bahan makanan (nutrient) terjamin.

Untuk produktivitas fitoplankton, hanya dua faktor saja yang dapat

membatasi, yaitu cahaya dan kadar-kadar zat hara (Nybakken, 1992). Karena sinar

matahari sangat dibutuhkan untuk proses fotosintesis, maka semua tumbuh-tumbuhan

hijau tergantung pada proses ini. Mereka hanya dapat hidup baik di tempat-tempat

yang mempunyai sinar yang cukup. Akibatnya fitoplankton hanya dapat dijumpai

pada lapisan permukaan laut saja dan juga pada umumnya banyak dijumpai pada

daerah continental shelf serta disepanjang pantai di mana terdapat proses upwelling.

Daerah-daerah ini biasanya merupakan suatu daerah yang kaya akan bahan-bahan

organik. Zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan

berkembang biak dengan baik ialah nitrogen (sebagai nitrat, NO3-) dan fosfor

(sebagai fosfat, PO42-).

Fenomena upwelling juga menimbulkan suatu daerah yang kaya akan larutan

nutrient, seperti nitrat dan fosfat dan karena itu mereka cenderung mengandung

fitoplankton (Hutabarat dan Evans 1985). Upwelling merupakan suatu proses dimana

massa air didorong ke lapisan atas dari kedalaman sekitar 100 sampai 200 meter.

Karena fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan di lautan, maka area

upwelling juga merupakan suatu kawasan yang subur bagi populasi ikan.

2.4 Deskripsi Sumber Daya Ikan Pelagis dan Penyebarannya

Pengelolaan sumberdaya hayati perikanan harus mempertimbangkan faktor-

faktor sebagai berikut: total biomas dari populasi, berat ikan yang ditangkap, ukuran

dan umur ikan dari populasi (Effendie, 2002). Perikanan di Indonesia memiliki stok

ikan atau populasi yang tidak diberi kesempatan tumbuh sampai pada ukuran yang

baik atau ukuran layak tangkap. Jadi walaupun jumlah ikan yang ditangkap banyak,

tetapi berat individu berkurang. Penurunan hasil tangkapan akan tajam sekali apabila

induk-induk ikan yang seharusnya ditinggalkan untuk berkembang turut diambil

sebelumnya. Dengan demikian tahun berikutnya akan sedikit jumlah ikan muda yang

masuk dan tumbuh di daerah perikanan. Oleh karena itu dalam suatu musim

penangkapan sebaiknya tidak seluruh ikan yang ada ditangkap. Ikan yang berukuran

kecil dibiarkan diberi kesempatan untuk tumbuh, sedangkan induknya diberi

kesempatan untuk berpijah.

2.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Ikan Tongkol

Taksonomi ikan tongkol dapat digolongkan sebagai berikut (Saanin, 1971):

Phylum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Perchomorphi

Sub-ordo : Scombrina

Famili : Scombiridae

Genus : Euthynnus

Spesies :Euthynnus affinis, Euthynnus

alleterus, Auxis thazard.

Gambar 5 ikan tongkol.

Menurut Djatikusumo vide Setiawan (1992), ikan tongkol memiliki ciri-ciri

morfologis sebagai berikut: mempunyai bentuk badan fusiform dan memanjang.

Panjang badan kurang lebih 3,4-3,6 kali panjang kepala dan 3,5-4 kali tinggi

badannya. Panjang kepala kurang lebih 5,7-6 kali diameter mata. Kedua rahang

mempunyai satu seri gigi berbentuk kerucut. Sisik hanya terdapat pada bagian

korselet. Garis rusuk (linea lateralis) hampir lurus dan lengkap. Sirip dada pendek,

kurang lebih hampir sama panjang dengan bagian kepala dibelakang mata. Jari-jari

keras pada sirip punggung pertama kurang lebih sama panjang dengan bagian kepala

di belakang mata, kemudian diikuti dengan jari-jari keras sebanyak 15 buah. Sirip

punggung kedua lebih kecil dan lebih pendek dari sirip punggung pertama.

Permulaan sirip dubur terletak hampir di akhir sirip punggung kedua dan bentuknya

sama dengan sirip punggung pertama. Sirip punggung pendek dan panjangnya kurang

lebih sama dengan panjang antara hidung dan mata. Bagian punggung berwarna

kelam, sedangkan bagian sisi dan perut berwarna keperak-perakan. Di bagian

punggung terdapat garis-garis miring ke belakang yang berwarna kehitam-hitaman.

Perbedaan yang dominan antara Euthynnus dan Auxis terletak pada jarak

antara sirip punggung pertama dan kedua, serta keberadaan bintik hitam di bawah

korselet. Sirip punggung pertama dan kedua pada Euthynnus saling berdekatan,

kurang lebih sama dengan diameter mata dan pada bagian bawah korselet terdapat

bintik hitam berjumlah dua atau lebih. Auxis mempunyai sirip punggung pertama dan

kedua terpisah jauh, kurang lebih sepanjang dasar sirip punggung pertama serta tidak

terdapat bintik hitam di bawah korselet (Collete & Nauen, 1983).

Ikan tongkol umumnya hidup di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik

bagian barat (Nontji, 2005). Ikan ini bersifat epipelagis berenang membentuk

schooling dan umumnya hidup pada kisaran suhu 21,60 sampai 30,50C (Anonymous,

1983). Pola tingkah laku ikan tongkol dan penyebarannya sering kali dibahas

bersama-sama dengan ikan tuna (Scombridae), kedua jenis ikan ini pemakan daging,

hidup dan berburu makanan dengan membentuk gerombolan. Ikan tongkol dan tuna

biasanya bergerombol ketika ikan tersebut aktif berburu makanan. Jenis makanan

ikan tongkol biasanya meliputi crutacea, mollusca, anellida, anthyphyta dan beberapa

ikan pelagis kecil (stolephorus sp. Sardinella sp., dan selar sp.)

Gerombolan ikan tongkol bermigrasi untuk memenuhi tuntutan dari sikus

hidupnya selain untuk menghindari tekanan kondisi lingkungan perairan di mana ikan

ini berada. Hela dan Laevastu (1970) menyatakan faktor oseanografi yang

mempengaruhi pola distribusi ikan jenis tuna dan tongkol adalah suhu, arus dan

salinitas. Ikan tongkol juga melakukan migrasi untuk tiga alasan utama, yaitu:

1. Untuk mencari makan,

2. Mencari tempat memijah,

3. Mencari kondisi lingkungan yang sesuai dengan tubuh (suhu, arus, salinitas).

Pada ikan tongkol dewasa, pemijahan umumnya terjadi di perairan dekat

pantai. Panjang rata-rata ikan tongkol yang memijah pada perairan tropis adalah

sebesar 40 cm (Collete and Naueun vide Ismajaya, 2006). Panjang fork maksimum

ikan tongkol dapat mencapai 100 cm dan berat 13,6 kg. Tetapi panjang fork rata-rata

ikan tongkol adalah antara 50-65 cm pada usia 3 tahun. Seperti famili Scombiridae

lainnya, ikan tongkol cenderung membentuk kumpulan multi spesies menurut

ukurannya, misalnya dengan kumpulan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis,

Auxis sp., dan Megalospis cardyla. Ikan ini cenderung bersifat sebagai predator,

memangsa ikan-ikan kecil lainnya, udang, dan kopepoda (Anonymous, 1983)

2.4.2 Daerah Penangkapan dan Penyebaran Ikan Tongkol

Tongkol termasuk epipelagis, neuritik dan oseanik pada perairan yang hangat,

biasanya bergerombol. Stadium larva dari Auxis mempunyai kemampuan toleran

terhadap kisaran suhu yang luas, yaitu 21,60C-30,50C. Ikan dewasa hidup pada

kisaran suhu antara 27,00C-27,90C dengan sifat salinitas oseanik. Kisaran suhu untuk

habitat Euthynnus affinis antara 180C-290C. Euthynnus affinis biasanya bergerombol

sesuai dengan ukuran, misalnya dengan Thunnus albacares muda, cakalang

(Katsuwonus pelamis), Auxis dan Megalaspis cordyla. Densitas gerombolan berkisar

antara 100 sampai lebih dari 5.000 ekor ikan (Collete and Nauen, 1983).

Penyebaran genus Auxis sangat luas, meliputi perairan tropis dan subtropis,

termasuk Samudera Pasifik, Hindia dan Atlantik, Laut Mediterania dan Laut Hitam.

Euthynnus affinis berpopulasi di perairan pantai dan dapat ditemukan di perairan

tropis dan subtropis di Lautan Hindia dan juga disepanjang negara-negara pantai dari

afrika selatan sampai ke Indonesia dan sekitar pulau Madagaskar, Mauritus, Reunion,

Scychelles dan Srilanka. Spesies ini juga terdapat di sepanjang pantai Australia Barat.

Euthynnus alleteratus tersebar di perairan tropis dan sbtropis di samudera Atlantik,

temasuk Miterania, Laut Hitam, Laut Karibia dan Teluk Meksiko. Euthynnus lineatus

tersebar di perairan tropis Pasifik Timur dai San Simeon, California ke selatan sampai

Kepulauan Galapagos dan utara Peru, juga ditemukan di Kepulauan Hawaii (Collete

and Nauen, 1983).

Penyebaran tuna dan tongkol sering mengikuti sirkulasi arus, kepadatan

populasinya pada suatu perairan sangat berhubungan dengan arah arus tersebut.

Umumnya jenis-jenis tuna mempunyai penyebaran di sepanjang poros arus dalam

kelimpahan yang lebih besar daripada di perairan perbatasan (Nakamura vide

Setiawan, 1999).

Menurut Direktorat Jendral Perikanan (1991), daerah penyebaran tongkol di

wilayah perairan Indonesia seperti tercantum pada tabel2.

Tabel 2 Daerah Penyebaran Ikan Tongkol di Indonesia

Perairan Daerah Penyebaran Daerah Penangkapan Utama Sumatera Seluruh perairan • Sekitar perairan Aceh Utara

• Di perairan Sumatera Utara, Selatan Malaka dan Selatan Bintan

• Di perairan Sumatera Utara bagian barat, Sumatera Barat, Bengkulu dan

Perairan Daerah Penyebaran Daerah Penangkapan Utama Lampung

Jawa dan Nusa Tenggara

Seluruh perairan • Selat Sunda bagian barat sampai Selatan Jawa

• Perairan Selatan Cilacap, Jawa timur dan Bali

• Perairan Flores Timur dan Timor sebelah barat

Kalimantan dan Sulawesi

Seluruh perairan • Di luar perairan pantai Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Tengah.

• Hampir semua perairan Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur

• Sekitar Teluk Palu dan pantai barat Sulawesi Selatan bagian Selatan, sebelah timur Kendari, Teluk Tomini sampai perairan Sulawesi Utara bagian selatan dan timur

Maluku dan Irian Jaya

Seluruh perairan • Sebagian pantai barat Halmahera dan Seram

• Sekitar perairan Sorong Sumber : Direktorat Jendral Perikanan, 1991.

2.5 Unit Penangkapan Payang Menurut International Standard Statistical Classification of Fishing Gear

(ISSCFG) vide Anonymous (1990), payang digoongkan ke dalam boat seine.

Desainnya terdiri atas dua sayap, badan jaring dan kantong mirip dengan trawl. Jaring

ini dioperasikan dari kapal dan ditarik dengan dua tali selambar.

Menurut klasifikasi Von Brant (1984) payang termasuk kelompok “Seine Net”

yaitu alat tangkap yang memiliki warp penarik yang sangat panjang dengan cara

melingkari wilayah seluas-luasnya dan kemudian menariknya ke kapal atau pantai.

Seine Net terdiri dari kantong dan dua buah sayap yang panjang, serta dilengkapi

dengan pelampung dan pemberat.

Jaring payang terdiri atas bagian kaki (wing), badan (body) dan kantong (cod

end). Semua bagian jaring payang ini dibuat perbagian, kemudian baru disambung-

sambungkan mulai dari bagian kantong sampai bagian kaki dimana ukuran mata

(mesh size) dari bagian kantong hingga kaki semakin membesar (Mawardi, 1990).

Ciri khusus dari jaring payang adalah tali ris bawah lebih panjang dibanding

tali ris atas, hal ini dimaksudkan untuk mencegah ikan untuk lolos dari bawah. Jaring

payang ini dioperasikan di permukaan laut dengan target ikan-ikan pelagis yang

hidup bergerombol, seperti kembung (Rastrelliger sp), layang (Decapterus sp),

tongkol (Euthynnus sp), cakalang (Katsuwonus pelamis), dan lain-lain (Mawardi,

1990).

Perahu yang digunakan dalam unit penangkapan Payang ini terbuat dari bahan

kayu, ciri khas perahu payang adalah adanya tiang pengamat diatas dek yang disebut

kakapa dan adanya meja dibagian belakang yang berfungsi untuk menaruh pemberat

saat dilakukan penarikan jaring. Perahu ini mengunakan tenaga gerak berasal dari

motor tempel.

Jumlah nelayan dalam satu unit penangkapan berkisar antara 15-20 ABK

dengan pembagian tugas sebagai berikut:

1. Juru mudi, bertugas untuk mengemudikan perahu dan bertanggung jawab

terhadap kondisi mesin.

2. Pengawas, bertugas untuk mencari atau mengintai gerombolan ikan target.

3. Petawur, bertugas untuk melemparkan jaring;

4. Juru batu, bertugas untuk membereskan pemberat, pelampung dan jaring

sebelum dan sesudah operasi penangkapan;

5. Bubulang, bertugas memperbaiki jaring yang rusak saat operasi penangkapan;

6. Pandega, bertugas untuk menarik jaring;

7. Anak payang, bertugas untuk menghalau gerombolan ikan yang hendak kabur

dari jaring payang.

Payang yang merupakan bagian dari Seine Net umumnya terbuat dari bahan

sintetis karena bahan tersebut memiliki keunggulan dibandingkan engan penggunaan

bahan alami seperti cotton, manila dan hamp. Keunggulannya tidak diserang bakteri,

tidak perlu perlakuan seperti penjemuran serta sangat kuat dan tidak banyak

menyerap air. Salah satunya adalah benang nilon (Thomson, 1969).

Seine Net dioperasikan dengan cara melingkari area perairan dengan warp

yang panjangnya tertentu. Penarikan dua warp dilakukan secara bersama, sehingga

kelompok ikan tergiring dan akhirnya masuk dalam jaring (Sainsbury, 1971).

2.5.1 Metode pengoperasian payang

Payang dioperasikan dengan cara melingkarkan jaring pada area dimana telah

terlihat kumpulan ikan sebelumnya. Lama trip opersai Payang di Palabuhanratu

umumnya one day fishing atau satu hari operasi penangkapan, yaitu berangkat pada

jam 4-6 pagi dan kembali ke pelabuhan antara jam 16.00 sampai jam 20.00.

Walaupun ada beberapa kapal yang melakukan trip sampai dua hari.

Pada awal mula operasi, kapal payang hanya berputar-putar untk mencari

kumpulan ikan target. Pengawas atau fishing master bertugas untuk mengawasi ada

atau tidaknya kumpulan ikan target. Tanda-tanda ini dapat terlihat dari beberapa

gejala yang tampak di permukaan perairan, seperti burung-burung yang bergerak

diarea tertentu dan menukik tajam ke perairan, adanya riak di air, warna perairan

yang berbeda dengan daerah sekitarnya.

Setelah mendapatkan kumpulan ikan, maka kapal digerakkan untuk mengejar

kumpulan ikan tersebut. Juru mudi bertugas untuk mengarahkan kapal untuk

mendekati kumpulan ikan. Setelah itu, jaring payang ditebarkan dengan mengitari

kumpulan ikan dengan gerakan kapal yang mengitari ikan. Anak payang diturunkan

untuk menjaga agar ikan tidak meloloskan diri dengan cara menciptakan riak atau

memukul permukaan perairan berulang-ulang. Setelah jaring telah terbentang

sempurna, jaring segera ditarik oleh para pandega. Penarikan jaring ini harus

bersamaan, yaitu antara tali selambar kiri dengan tali selambar kanan. Hasil

tangkapan diangkat dan kemudian dimasukkan kedalam palka untuk sementara lalu

dipilah-pilah untuk kemudian dimasukkan ke dalam blong-blong sesuai jenisnya.

2.6 Keadaan Umum Teluk Palabuhanratu

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu merupakan salah satu UPT

Departemen Kelautan dan Perikanan dibidang prasarana pelabuhan perikanan yang

menjadi sentra atau basis kegiatan penangkapan ikan yang berada di wilayah perairan

Jawa Barat bagian Selatan, tepatnya di Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten

Sukabumi Jawa Barat. Lokasi penelitian berada pada kawasan Teluk Palabuhanratu

dengan posisi 6058’- 7025’ LS dan 106018’ -106032’ BT. Teluk Palabuhanratu

menghadap langsung ke Samudera Hindia. Perairan Teluk Palabuhan ratu memiliki

keadaan topografi perairan dangkal sampai 300 m dari garis pantai di mana kealaman

sekitar 200m, selebihnya dijumpai lereng kontinen dengan kedalaman hingga 600 m.

pada pantai teluk bagian timur, lereng kontinen menjadi semakin curam dan pendek

dari gais pantai.

Keberadaan PPN Palabuhanratu sejak operasional pertama pada tanggal 18

Februari 1993 sampai saat ini, telah banyak memberikan kontribusi bagi

perkembangan dan pembangunan sektor kelautan dan perikanan nasional, khususnya

di Jawa Barat bagian Selatan. Dengan memperhatikan potensi perikanan terutama di

wilayah Selatan pulau Jawa (Samudera Indonesia) yang belum optimal dimanfaatkan,

maka peluang pengembangan perikanan di wilayah pantai selatan Jawa Barat,

khusunya Kabupaten Sukabumi, masih terbuka luas. Menurut Komisi Stok Perikanan

Nasional, bahwa potensi di perairan laut di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 9

masih berpeluang untuk dieksploitasi sumberdaya ikan yang ada didalamnya,

pemanfaatan kelompok ikan pelagis besar (seperti ikan tuna, cakalang, tenggiri,

marlin, dll) sebesar 366.260 Ton/Tahun dan tingkat pemanfaatannya baru sebesar

188.280 ton atau 51,41 %. Kelompok Ikan Pelagis Kecil (kembung, layang, tembang,

dll) memiliki potensi sebesar 526.570 Ton/Tahun dan tingkat pemanfaatannya

sebesar 26.560 ton atau 50,21 %. Sedangkan ikan laut dalam (kedalaman laut > 200

m) masih belum dimanfaatkan (PPN Palabuhanratu, 2005).

Teluk Palabuhanratu merupakan suatu areal perairan yang tidak terpisahkan

dengan Samudera Hindia termasuk sumberdaya ikan di dalamnya. Potensi Sumber

Daya Ikan di Teluk Palabuhanratu diplotkan kedalam suatu wilayah pengelolaan,

yaitu WPP IX. Potensi SDI itu jika diklasifikasikan berdasar habitatnya dibedakan

menjadi (PPN Palabuhanratu, 2005):

1. Ikan Pelagis (besar dan kecil)

Ikan pelagis adalah ikan yang sebagian besar dari masa hidupnya berada

dipermukaan perairan atau dekat permukan perairan.

2. Ikan Domersal (besar dan kecil)

Ikan karang adalah ikan yang sebagian besar dari masa hidupnya berada didasar

atau dekat kedasar perairan.

3. Ikan Karang (Ikan karang konsumsi dan hias)

Ikan domersal adalah ikan yang sebagian besar dari masa hidupnya berada di

dekat perairan karang atau berada pada lingkungan biota karang.

4. Non ikan (udang dan crustacea termasuk moluska dan teripang, cumi-cumi,

penyu, mamalia, terumbu karang dan rumput laut.

Berdasarkan data yang ada di lapangan ternyata pemanfaatan potensi

perikanan di Teluk Palabuhanratu selama 10 tahun terakhir menunjukan penurunan

produksi secara umum. Penurunan produksi penangkapan itu lebih besar diakibatkan

karena kesalahan dalam strategi pengelolaan (Zebblon, 2005). Pengelolaan

lingkungan perairan teluk yang kompleks dijabarkan kedalam berbagai aspek yaitu

kimia (kualitas air), fisik (suhu, kecerahan, arus dan gelombang) dan biologi

(kelimpahan plankton dan makhluk kecil lainnya) perairan teluk. Keseluruhan aspek

ini akan mendukung rantai makanan SDI yang ada di teluk. Alat tangkap yang tidak

tepat alokasi (alat tangkap bagan) dan ukuran mata jaring (gillnet, trammel net dan

serok) akan memutuskan rantai makan tesebut dan pada akhirnya akan

mengakibatkan penurunan mutu SDI ( baik dari segi kualitas dan jumlahnya) serta

akan mejadi faktor penghambat ruaya atau migrasi ikan-ikan pelagis besar ke dalam

teluk.

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah tahap

pengumpulan data di perairan Palabuhanratu, Jawa Barat (Lampiran 1) yang

dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2007. Tahap kedua dilaksanakan pada

bulan July sampai Agustus 2007 dengan men-download data sebaran klorofil-a dari

Internet (www.oceancolor.gsfc.nasa.gov).

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Alat pengukur panjang (meteran atau penggaris);

2. Kamera;

3. Personal Komputer (OS Windows dan Linux). Software yang digunakan

adalah Mixrosoft Office, SEADAS 4,7, SPSS;

4. Lembaran kuesioner;

5. Alat tulis;

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode

survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-

gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual (Nazir, 2003).

Penyelidikan dilakukan dalam waktu yang bersamaan terhadap sejumlah individu

atau unit, baik secara sensus maupun dengan menggunakan sample. Metode survei

digunakan untuk pengumpulan data primer tentang posisi penangkapan, waktu

operasi dan komposisi hasil tangkapan diperoleh melalui experimental fishing. Untuk

penentuan sampel kapal pada kegiatan experimental fishing ini dilakukan secara

sengaja atau purposive sampling, dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Sampel kapal beroperasi di perairan Palabuhanratu;

2. Sampel kapal layak beroperasi;

3. Sampel kapal terpilih dapat mewakili seluruh jenis unit penangkapan dengan

tujuan utama penangkapannya adalah ikan tongkol.

Kapal sampel yang digunakan adalah kapal payang, karena pada saat penelitian

dilakukan di perairan Teluk Palabuhanratu, ikan tongkol dominan tertangkap oleh alat

tangkap payang, sedangkan alat tangkap lainnya seperti Gillnet beoperasi di luar

perairan Teluk Palabuhanratu. Data kegiatan penangkapan ini juga diperoleh melalui

wawancara dan pengisian kuesioner terhadap responden yang ditetapkan secara

purposive sampling, yaitu terhadap juru mudi kapal Payang. Jumlah kapal yang

ditetapkan secara purposive sebanyak sepuluh unit payang.

3.3.1 Posisi dan Waktu Penangkapan serta Hasil Tangkapan

Data hasil tangkapan diperoleh dengan melakukan kegiatan experimental

fishing. Data yang dikumpulkan dari kegiatan experimental fishing adalah:

1. Posisi kapal pada saat melakukan operasi penangkapan;

2. Komposisi berat hasil tangkapan menurut spesies;

3. Ukuran spesies hasil tangkapan pada setiap posisi penangkapan.

Posisi kapal dicatat pada saat operasi penangkapan dilakukan (setting dan

hauling). Posisi kapal ditentukan dengan menggunakan alat bantu penentuan posisi

lainnya (peta perairan Palabuhanratu).

Berat dari ikan tongkol yang tertangkap dicatat tiap-tiap operasi penangkapan

(setting). Berat ikan tongkol dapat dikalkulasikan dalam satuan yang umum

digunakan oleh nelayan Payang di Palabuhanratu, yaitu 1 blong = 80 Kg. Dalam

penentuan ukuran panjang hasil tangkapan, ditarik sampel sebanyak n secara acak

dari setiap setting operasi masing-masing kapal sampel yang terpilih. Pengukuran

panjang ikan dilakukan dengan menggunakan penggaris yang telah disediakan. Untuk

mempermudah proses pengambilan data, dibagikan kuisioner kepada enumerator

(juru mudi) yang ditempatkan pada masing-masing sepuluh kapal Payang.

3.3.2 Klorofil-a

Data sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Palabuhanratu merupakan data

sekunder yang diperoleh melalui cara men-download hasil citra klorofil-a yang telah

tersedia di internet. Data diperoleh melalui situs http://oceancolor.gsfc.nasa.gov.

Data yang dipilih merupakan data harian sebaran klorofil-a Level 2 dengan batasan

posisi 6,90-7,50 LS dan 106,200-106,60BT.

Data sekunder lain yang akan dikumpulkan adalah kondisi umum perikanan di

lokasi penelitian seperti data produksi bulanan dan tahunan, unit penangkapan, curah

hujan, dan sebagainya. Data tersebut diperoleh dari dinas perikanan setempat, instansi

terkait lainnya dan studi literatur.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis klorofil-a

Data sebaran klorofil-a diketahui dengan melakukan analisis visual terhadap

citra MODIS yang telah terkoreksi dan ditampilkan dalam bentuk format gambar

JPEG. Konsentrasi klorofil-a pada daerah penangkapan ikan pada saat trip operasi

penangkapan dapat dihitung dengan menggunakan software Seadas 4.7 dalam sistem

operasi Linux. Citra klorofil-a kemudian diolah untuk mendapat konsentrasi

berdasarkan posisi penangkapan yaitu Palabuhanratu dan kemudian diproyeksikan

dengan menggunakan proyeksi mercator. Untuk memperbaiki tampilan citra terdapat

beberapa program atau fungsi dalam proyeksi analisis pada citra. Subprogram yang

digunakan pada software Seadas 4.7 antara lain:

1. Coastline; merupakan program yang berfungsi untuk menampilkan garis

pantai atau garis terluar dari pulau.

2. Color bar; program Colorbar berfungsi untuk menampilakan skala warna

konsentrasi citra yang telah dipilih.

3. Color lut; program ini digunakan untuk memilih warna yang akan dipakai

atau ditampilkan pada gambar citra.

4. Cursor position; merupakan program yang berfungsi untuk melihat nilai

konsentrasi yang terdapat pada citra secara interaktif.

5. Grid line; berfungsi untuk menampilkan garis koordinat (Longitude dan

Latitude).

6. Landmask; berfungsi untuk memberikan warna daratan pada citra.

7. Output data function; berfungsi untuk memberikan keluaran atas citra yang

ditampilkan. Keluaran tersebut dapat berupa gambar citra dengan format PNG

atau berupa data dengan format ASCII.

8. Read and Profile; digunakan untuk untuk membaca area melalui box data

area (menggunakan koordinat tertentu).

9. Rline; digunakan untuk membaca data berdasarkan pada garis yang diplot

pada citra.

10. Scale; berfungsi untuk memberikan skala warna pada citra.

Citra yang telah diolah kemudian dikeluarkan nilai konsentrasinya

berdasarkan tiap-tiap plot (kotak) posisi penangkapan. Program yang digunakan

output data function yang digunakan untuk memberi keluaran berupa data ASCII dan

kemudian diambil rata-ratanya untuk setiap posisi.

3.4.2 Analisis Data Hasil Tangkapan

Data hasil tangkapan dianalisa secara deskriptif dan selanjutnya disajikan

dalam bentuk tabel atau grafik. Data hasil tangkapan yang meliputi komposisi jenis

hasil tangkapan (spesies), komposisi berat hasil tangkapan menurut spesies, dan

ukuran panjang (size) hasil tangkapan dianalisis menurut skala ruang (penyebaran

daerah penangkapan) dan skala waktu operasi penangkapan.

3.4.3 Analisis Hubungan Hasil Tangkapan dengan Klorofil-a

Hubungan antara Hasil Tangkapan dengan sebaran klorofil-a dicari melalui

analisis deskriptif terhadap grafik Klorofil-a dan hasil tangkapan. Untuk menentukan

derajat hubungan antara variabel hasil tangkapan dan variabel Klorofil-a maka

dilakukan analisis korelasi. Semakin tinggi nilai korelasi maka hubungan antara

kedua koefisien semakin erat. Analisis korelasi dilakukan dengan menggunakan

perangkat lunak microsoft excel dan SPSS. Derajat hubungan dinyatakan dengan

koefisien korelasi (r) yang merupakan akar dari koefisien determinasi (R2). Kisaran

nilai koefisien korelasi adalah : -1 ≤ r ≤ +1. Korelasi erat jika r ≥ 0.7 dan r ≤ - 0.6 ,

dan korelasi tidak erat jika : -0.6 ‹ r ‹ 0.7

3.4.4 Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Potensial

Penentuan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) potensial didasarkan pada tiga

indikator, yaitu jumlah ikan, ukuran, serta sebaran nilai klorofil-a pada daerah

penangkapan. Sebaran nilai klorofil-a untuk daerah penelitian dianggap sebagai suatu

sistem secara keseluruhan. Untuk menilai ukuran panjang ikan digunakan metode

skoring berdasarkan penilaian subyektif terhadap ukuran panjang ikan tongkol.

Penilaian dilakukan dengan menggunakan kriteria seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kelayakan hasil tangkapan berdasarkan ukuran panjang ikan Ukuran panjang (cm) Penilaian x < 30 cm; x > 40 cm Tidak Layak Tangkap

30 cm ≤ x ≤ 40 cm Layak tangkap Sumber: Collete and Naueun vide Ismajaya, 2006

Kriteria yang disebutkan diatas berdasarkan sebaran umum ikan tongkol

untuk memijah di perairan tropis, yaitu sebesar 40 cm (Collete and Naueun vide

Ismajaya, 2006). Hal yang sama juga dilakukan terhadap konsentrasi klorofil-a di

perairan, dimana penilaian secara subyektif dikategorikan menurut Tabel 4.

Tabel 4 Pengklasifikasian konsentrasi klorofil-a

Sumber: Gower (1972) dalam Widodo (1999)

Konsentrasi Klorofil-a mg m-3 Penilaian

0,0 mg m-3 – 0,1 mg m-3 Sedikit

0,1mg m-3 – 0,2 mg m-3 Sedang

0,2 mg m-3 – 0,6mg m-3 Banyak

Pengelompokan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa konsentrasi

klorofil-a diatas 0,2 mg m-3 menurut Gower (1972) dalam Widodo (1999), telah

menunjukkan kehadiran dari kehidupan fitoplankton yang memadai untuk menopang

atau mempertahankan kelangsungan perkembangbiakan perikanan.

Penilaian terhadap jumlah hasil tangkapan sebaiknya digunakan berdasarkan

pendekatan CPUE, akan tetapi data CPUE selama satu tahun tidak diperoleh. Oleh

karena itu digunakan pendekatan UMR buruh Kabupaten Sukabumi, sebesar

Rp.450.000,00 per bulan, sebagai pembanding terhadap penerimaan nelayan atas

hasil tangkapan yang diperoleh. Nilai UMR dikonversi dalam satuan harian,

selanjutnya dibandingkan dengan nilai penjualan ikan tongkol yang tertangkap per

trip (1 trip = 5 kali setting). Harga rata-rata ikan tongkol berkisar antara Rp. 4.000,00

sampai Rp. 5.000,00. Hasil penjualan kemudian dibagi sesuai dengan jumlah ABK.

Dengan perhitungan tersebut diperoleh kategori hasil tangkapan sedikit, sedang dan

banyak sebagaimana disajikan pada tabel 5.

Tabel 5 Penilaian jumlah hasil tangkapan

Data evaluasi daerah penangkapan ikan dikategorikan dalam tiga kelas, yaitu;

potensial, sedang dan kurang potensial. Penentuab bobot atau scoring terhadap tiga

indikator dijelaskan dalam Tabel 6. Penilaian terhadap setiap indikator didasarkan

pada:

1. Untuk kategori jumlah hasil tangkapan:

− Jika jumlah hasil tangkapan banyak, diberi nilai (bobot) 6

− Jika jumlah hasil tangkapan sedang, diberi nilai (bobot) 4

− Jika jumlah hasil tangkapan kurang, diberi nilai (bobot) 2

2. Untuk ukuran hasil tangkapan:

− Jika ukuran layak tangkap, diberi nilai (bobot) 6

Jumlah HT (kg)/Trip Penilaian

≤ 300 Kg Sedikit

3400 Kg ≤ HT < 800 Kg Sedang

≥ 800 Kg Banyak

− Jika ukuran tidak layak tangkap, diberi nilai (bobot) 3

3. Untuk kandungan klorofil-a:

− Jika kandungan klorofil-a banyak, diberi nilai (bobot) 6

− Jika kandungan klorofil-a sedang, diberi nilai (bobot) 4

− Jika kandungan klorofil-a kurang, diberi nilai (bobot) 2

Adapun bobot yang ditentukan untuk setiap indikator tersebut dapat dilihat pada

Tabel 6. Pengaruh ketiga indikator terhadap penentuan DPI diasumsikan sama.

Setelah diperoleh bobot masing-masing indikator, kemudian dijumlahkan.

Tabel 6 Penilaian Indikator DPI

DPI 

Indikator DPI    Jumlah 

Tangkapan (Kg)  Ukuran (cm)  Klorofil mg m‐3  Kategori DPI    Banyak (n=6)  Layak Tangkap (n=6)  Banyak (n=6)  Potensial (n=15‐18) DPI ke‐i  Sedang (n=4)  Sedang (n=4)  Sedang (n=11‐14)    Kurang (n=2)  Tidak Layak (n=3)  Sedikit (n=2)  Kurang (n=7‐10) 

4. HASIL

4.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Palabuhanratu.

Penyebaran kandungan klorofil-a menurut waktu (temporal) dan lokasi

pengamatan (spasial) di Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 8. Sedangkan

sebaran spasial kandungan klorofil-a dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari Tabel 7

terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a di lokasi penangkapan ikan selama penelitian

berkisar dari 0,026 mg m-3 sampai 0,452 mg m-3. Dari citra pada lampiran terlihat

bahwa semakin mendekati pantai kandungan klorofil-a cenderung semakin tinggi.

Tabel 7 Akusisi citra klorofil-a

Akusisi data Nama Lokasi

Posisi Kandungan Kloroil-a

(mg m-3) Lintang

(0LS) Bujur (0BT) Kisaran Rataan Dominan

12 - 03 Guhagede 7,00-7,04 106,33-106,38 0.150-0.160 0.156 0.156

13 - 03 Pel.Ratu 7,00-7,04 106,50-106.54 0.452-0.452 0.452 0.452 14 - 03 Gedogan 7,08-7,13 106,42-106,46 0.300-0.310 0.305 0.305 19 - 03 Karang Payung 6,96-7,00 106,38-106,42 0.200-0.200 0.2 0.2

Pel.Ratu 7,00-7,04 106,50-106.54 0.600-0.600 0.6 Ug. Sodongparat 7,21-7,25 106,33-106,38 0.090-0.980 0.098 Cimaja 6,96-7,00 106,46-106,50 0.110-0.121 0.119 Karang Bentang 7,13-7,17 106,42-106,46 0.590-0.600 0.597

20 - 03 Tl. Amuran 7,25-7,29 106,33-106,38 0.052-0.052 0.052 0.3271 Karang Bentang 7,13-7,17 106,42-106,46 0.327-0.327 0.327 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.050-0.060 0.055

21 - 03 Karang Bentang 7,13-7,17 106,42-106,46 0.300-0.340 0.327 0.088 Tl. Amuran 7,25-7,29 106,38-106,42 0.040-0.051 0.046 Karang Payung 7,00-7,04 106,38-106,42 0.068-0.068 0.068 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.050-0.060 0.055

Akusisi data Nama Lokasi

Posisi Kandungan Kloroil-a

(mg m-3) Lintang

(0LS) Bujur (0BT) Kisaran Rataan Dominan

Guhagede 7,00-7,04 106,33-106,38 0.088-0.088 0.088 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.055-0.055 0.055

22 - 03 Tl. Amuran 7,25-7,29 106,33-106,38 0.050-0.053 0.052 0.185 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.055-0.055 0.055 Gedogan 7,08-7,13 106,46-106,50 0.185-0.187 0.185 Ug. Sodongparat 7,21-7,25 106,33-106,38 0.037-0.037 0.037 Karang Bentang 7,13-7,17 106,42-106,46 0.320-0.333 0.327

29 - 03 Tl. Bedog 7,17-7,21 106,29-106,33 0.151-0.159 0.153 0.153 Ug. Sodongparat 7,21-7,25 106,29-106,33 0.114-0.135 0.114 Uj. Genteng 7,33-7,38 106,38-106,42 0.185-0.185 0.185

30 - 03 Uj. Genteng 7,38-7,42 106,38-106,42 0.152-0.152 0.152 0.152 31 - 03 Karang Bentang 7,13-7,17 106,38-106,42 0.160-0.166 0.162 0.162

Ug. Sodongparat 7,21-7,25 106,33-106,38 0.083-0.091 0.087 Ug. Sodongparat 7,21-7,25 106,33-106,38 0.210-0.233 0.219

1 - 04 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.030-0.030 0.03 0.025 Uj. Genteng 7,33-7,38 106,38-106,42 0.023-0.029 0.025 Uj. Genteng 7,38-7,42 106,38-106,42 0.021-0.033 0.024

2 - 04 Uj. Genteng 7,38-7,42 106,38-106,42 0.120-0.132 0.123 0.123 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.027-0.027 0.027 0.027

3 - 04 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,29-106,33 0.025-0.025 0.025 0.025 Uj. Genteng 7,33-7,38 106,38-106,42 0.050-0.057 0.055 0.055

4 - 04 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.027-0.027 0.027 0.027 Uj. Genteng 7,33-7,38 106,38-106,42 0.050-0.059 0.055 0.055

5 - 04 Ug. Sodongparat 7,21-7,25 106,33-106,38 0.130-0. 139 0.136 0.136 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.150-0.160 0.158 Tl. Amuran 7,25-7,29 106,29-106,33 0.074-0.074 0.074

6 - 04 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.158-0.158 0.158 0.158 Uj. Genteng 7,33-7,38 106,38-106,42 0.203-0.203 0.203 0.203

7 - 04 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.050-0.055 0.052 0.052 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.052-0.052 0.052

8 - 04 Uj. Genteng 7,33-7,38 106,38-106,42 0.080-0.095 0.088 0.088 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.052-0.052 0.052 0.052

9 - 04 Uj. Genteng 7,33-7,38 106,38-106,42 0.080-0.095 0.088 0.088 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.052-0.052 0.052 0.052

10 - 04 Uj. Genteng 7,33-7,38 106,38-106,42 0.088-0.088 0.088 0.088

Akusisi data Nama Lokasi

Posisi Kandungan Kloroil-a

(mg m-3) Lintang

(0LS) Bujur (0BT) Kisaran Rataan Dominan

Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.052-0.053 0.052 Uj. Genteng 7,33-7,38 106,38-106,42 0.088-0.088 0.088

11 - 04 Uj. Genteng 7,38-7,42 106,38-106,42 0.065-0.069 0.067 0.067 14 - 04 Uj. Genteng 7,38-7,42 106,38-106,42 0.042-0.042 0.042 0.042

Tl. Amuran 7,25-7,29 106,29-106,33 0.035-0.039 0.037 0.037 15 - 04 Cikepuh 7,21-7,25 106,25-106,29 0.023-0.026 0.024 0.024

Tl. Amuran 7,25-7,29 106,25-106,29 0.025-0.035 0.028 0.024 16 - 04 Gedogan 7,08-7,13 106,42-106,46 0.322-0.327 0.326 0.326 17 - 04 Ug. Sodongparat 7,21-7,25 106,29-106,33 0.078-0.078 0.078 0.078 18 - 04 Tl. Amuran 7,25-7,29 106,25-106,29 0.036-0.036 0.036 0.036 19 - 04 Karang Payung 7,00-7,04 106,38-106,42 0.091-0.099 0.093 0.093

Guhagede (barat) 7,00-7,04 106,25-106,29 0.090-0.090 0.09 0.093 21 - 04 Ug. Sodongparat 7,21-7,25 106,29-106,33 0.039-0.039 0.039 0.039

Tl. Bedog 7,17-7,21 106,25-106,29 0.030-0.039 0.034 Per. Guhagede 7,04-7,08 106,29-106,33 0.050-0.059 0.056

22 - 04 Cikepuh 7,21-7,25 106,25-106,29 0.034-0.034 0.034 0.034 Guhagede (barat) 7,00-7,04 106,25-106,29 0.191-0195 0.193 0.193

23 - 04 Per. Guhagede 7,04-7,08 106,29-106,33 0.064-0.069 0.064 0.064 24 - 04 Tl. Amuran 7,25-7,29 106,29-106,33 0.067-0.067 0.067 0.067 25 - 04 Guhagede 7,00-7,04 106,33-106,38 0.090-0.090 0.09 0.096

Cikepuh 7,21-7,25 106,38-106,42 0.124-0.124 0.124 Guhagede 7,00-7,04 106,29-106,33 0.090-0.101 0.096

26 - 04 Tl. Bedog 7,17-7,21 106,38-106,42 0.100-0.105 0.101 0.101 Per. K.bentang 7,13-7,17 106,29-106,33 0.026-0.026 0.026 0.026

29 - 04 Cimaja 7,00-7,04 106,46-106,50 0.215-0.215 0.215 0.215 Per. Guhagede 7,04-7,08 106,29-106,33 0.083-0.086 0.085 0.085

1 - 05 Guhagede (barat) 7,00-7,04 106,25-106,29 0.111-0.111 0.111 0.111 3 - 05 Karang Payung 7,00-7,04 106,38-106,42 0.090-0.090 0.09 0.09 6 - 05 Cikepuh 7,21-7,25 106,33-106,38 0.091-0.099 0.096 0.096 7 - 05 Cikepuh 7,21-7,25 106,33-106,38 0.072-0.073 0.073 0.073 9 - 05 Guhagede 7,00-7,04 106,33-106,38 0.216-0.216 0.216 0.216 17 - 05 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.072-0.074 0.072 0.072 19 - 05 Guhagede (barat) 6,96-7,00 106,25-106,29 0.599-0.600 0.6 0.6

Uj. Genteng 7,33-7,38 106,38-106,42 0.123-0.123 0.123 0.123 20 - 05 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.181-0.181 0.181 0.295

Akusisi data Nama Lokasi

Posisi Kandungan Kloroil-a

(mg m-3) Lintang

(0LS) Bujur (0BT) Kisaran Rataan Dominan

Cikepuh 7,21-7,25 106,38-106,42 0.295-0.295 0.295 Guhagede (barat) 6,96-7,00 106,25-106,29 0.490-0.498 0.491

21 - 05 Ug. Penarikan 7,29-7,33 106,33-106,38 0.090-0.093 0.091 0.091

Pada tanggal 13 Maret 2007, sebagian besar lokasi penelitian tertutup oleh

konsentrasi awan yang besar pada wilayah penangkapan Ujung Sodong Parat sampai

Ujung Genteng serta pada perairan Guhagede. Konsentasi klorofil-a pada tanggal

yang didapat berkisar antara 0,150 mg m-3 - 0,588 mg m-3 dengan nilai rata-rata

sebesar 0,481 mg m-3.

Pada tanggal 15 dan 16 Maret konsentrasi awan mencakup hampir seluruh

wilayah penelitian. Hal ini disebabkan pada bulan maret masih terpengaruh oleh

angin barat dan curah hujan yang tinggi. Konsentrasi klorofil-a pada citra satelit

MODIS tanggal 15 Maret berkisar antara 0,510 mg m-3 sampai 0,583 mg m-3 dengan

nilai rata-rata sebesar 0,565 mg m-3. Pada tanggal 16 Maret, konsentrasi klorofil-a

berkisar antara 0,170 mgm-3 sampai 0,598 mg m-3 dengan nilai rata-rata sebesar

0,424 mg m-3.

Pada tanggal 19 Maret, lokasi penelitian terlihat bebas dari awan. Kisaran

konsentrasi bervariasi antara 0,080 mg m-3 sampai 0,599 mg m-3 dengan nilai rataan

0,478 mg m-3. Akan tetapi pada tanggal 20 Maret 2007, sebagian besar daerah teluk

tertutup awan dan kandungan klorofil-a juga cenderung menurun. Nilai rataan

konsentrasi klorofil-a pada tanggal 20 Maret 2007 sebesar 0,342 mg m-3 dengan

kisaran antara 0,031 mg m-3 sampai 0,589 mg m-3.

Pada tanggal 27 Maret, kondisi perairan Pelabuhan Ratu sangat dominan

dengan konsentrasi awan. Hal ini terlihat dari hasil citraan satelit MODIS yang hanya

mendapatkan sebaran klorofil-a pada daerah yang sangat kecil. Kisaran konsentrasi

yang didapat berada pada angka 0,2472 mg m-3 sampai 0,2488 mg m-3 dengan nilai

rata-rata 0,2480 mg m-3. Namun demikian, dua hari kemudian, yaitu tanggal 29 Maret

2007, kondisi perairan Pelabuhan Ratu cukup cerah. Konsentrasi awan yang terlihat

sangat sedikit meliputi perairan lepas Ujung Genteng. Penyebaran konsentrasi

klorofil-a pada tanggal 29 Maret 2007 cukup homogen dan didominasi oleh

kandungan klorofil-a yang tinggi. Sebaran kandungan klorofil-a berkisar antara 0,080

mg m-3 sampai 0,593 mg m-3 dengan nilai rata-rata sebesar 0,491 mg m-3.

Tanggal 1 sampai 2 April 2007, konsentrasi awan di perairan Teluk

Palabuhanratu cukup tebal, terutama sepanjang garis pantai perairan Guhagede

sampai Ug Sodongparat dan wilayah teluk keseluruhan. Kandungan klorofil-a tanggal

1 April 2007 berkisar antara 0,022 mg m-3 sampai 0,565 mg m-3 dengan nilai rataan

sebesar 0,259 mg m-3. Pada tanggal 2 April 2007, kandungan klorofil-a berkisar

antara 0,027 mg m-3 sampai 0,580 mg m-3 dan nilai rataannya sebesar 0,260 mg m-3.

Kandungan klorofil-a pada tanggal 5 April 2007 cukup homogen pada

perairan yang tidak tertutup awan di bagian selatan teluk, sedangkan di bagian utara

hampir semua wilayah tertutup oleh awan. Sebaran kandungan klorofil-a berkisar

antara 0,071 mg m-3 sampai 0,600 mg m-3 dengan nilai rata-rata sebesar 0,502 mg m-

3. pada tanggal 7 April 2007 sebaran awan mulai meluas ke arah selatan dan pada

tanggal 9 April 2007, hampir seluruh perairan tertutup awan. Di lain pihak,

kandungan klorofil-a pada tanggal 7 dan 9 April 2007 semakin menurun

dibandingkan dengan kandungan klorofil-a pada tanggal 5 April 2007.

Pada tanggal 12 dan 16 April 2007 awan menutupi sebagian besar perairan

Teluk Palabuhanratu. Kandungan klorofil-a tanggal 12 April 2007 pada daerah yang

tidak tertutup awan di bagian selatan berkisar antara 0,021 mg m-3 sampai 0,372 mg

m-3 dengan nilai rata-rata sebesar 0,258 mg m-3. Sedangkan tanggal 16 April 2007,

daerah yang tidak tertutup awan terdapat di bagian utara dengan kandungan klorofil-a

yang berkisar antara 0,032 mg m-3 sampai 0,5851 mg m-3 dengan nilai rata-rata

sebesar 0,4538 mg m-3.

Pada tanggal 20, 21, 22, 23, 25 dan 28 April 2007, kandungan klorofil juga

masih cukup tinggi di sebagian kecil wilayah perairan yang tidak tertutup awan.

Penutupan awan pada periode waktu tersebut juga masih cukup banyak.

Pada tanggal 4, 7, 8 dan 9 Mei 2007, penutupan awan juga masih luas di

perairan Teluk Palabuhanratu sepertihalnya pada bulan April. Pada periode tersebut,

kandungan klorofil-a juga masih cukup tinggi. Kandungan klorofil-a pada tanggal

4,7,8 dan 9 Mei 2007 masing-masing berkisar antara 0,090 mg m-3 sampai 0,600 mg

m-3; 0,071 mg m-3 sampai 0,5975 mg m-3; 0,1941 mg m-3 sampai 0,4444 mg m-3;

0,210 mg m-3 sampai 0,5991 mg m-3, sedangkan nilai rata-ratanya adalah 0,4064 mg

m-3, 0,3707 mg m-3, 0,3064 mg m-3, dan 0,4567 mg m-3.

Pada tanggal 18 sampai 21 Mei 2007, kandungan klorofil-a juga masih dalam

kategori tinggi di perairan yang tidak tertutup oleh awan, yang arealnya semakin luas

dibandingkan dengan pengamatan sebelumnya. Namun demikian, ditemukan wilayah

perairan yang didominasi oleh kandungan klorofil-a yang rendah diperairan yang

jaraknya cukup jauh dari pantai pada tanggal 19 Mei 2007.

4.2 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol

4.2.1 Jumlah Hasil Tangkapan

Data hasil tangkapan ikan tongkol yang dikumpulkan dari sepuluh kapal

penangkapan payang memiliki sebaran yang berbeda untuk berat dan rata-rata ukuran

panjang tiap bulannya. Jumlah tangkapan untuk bulan Maret mencapai 15.345 kg

dengan CPUE sebesar 272,27 kg/setting. Jumlah hasil tangkapan ikan tongkol untuk

bulan April meningkat menjadi 62.638 kg dengan CPUE sebesar 701,04 kg/setting.

Selanjutnya pada bulan Mei 2007, jumlah tangkapan ikan tongkol hanya sebesar

8.258 kg dengan CPUE sebesar 401,55 kg/setting. Untuk lebih lengkapnya nilai

CPUE dan persentase hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 CPUE dan persentase hasil tangkapan bulan Maret-Mei 2007.

Jumlah hasil tangkapan total untuk bulan Maret sampai Mei 2007 mencapai

86.241 kg. Hasil tangkapan terbanyak didapat pada periode April, kemudian Maret

dan Mei. Hasil tangkapan untuk tiap-tiap bulannya memiliki perbandingan sebagai

berikut; 17,79 % atau sebesar 15.345 kg pada bulan Maret, 72,63 % atau sebesar

62,638 kg pada bulan April, dan 9,58 % atau sebesar 8.258 kg pada bulan Mei

(Gambar 4).

Pada Gambar 7 terlihat bahwa CPUE memiliki kecenderungan untuk

meningkat dari awal bulan hingga mencapai puncaknya pada minggu ke-4 kemudian

menurun kembali. CPUE pada bulan Maret memiliki nilai terendah pada tanggal 18

yaitu sebanyak 35 kg/setting dan terbesar pada tanggal 27 yaitu sebanyak 800

kg/setting. Rata-rata untuk CPUE pada bulan Maret sebesar 272,27 kg/ kapal.

Gambar 7 Catch Per Unit Effort (CPUE) perhari pada bulan Maret 2007.

Pada Gambar 8 juga terlihat pola yang sama dengan bulan Maret 2007 yaitu

cenderung meningkat dari awal bulan hingga mencapai puncaknya pada minggu ke-4

kemudian menurun kembali. Pergerakan nilai CPUE pada awal bulan April memiliki

pola yang fluktuatif, namum secara keseluruhan memiliki kecenderungan untuk

meningkat. CPUE terkecil didapat pada tanggal 1 April sebanyak 164,5 kg/setting

dan nilai terbesar pada tanggal 12 April sebanyak 3200 kg/setting. Rata-rata nilai

CPUE pada bulan April sebanyak 701,04 kg/setting.

Gambar 8 Catch Per Unit Effort (CPUE) perhari pada bulan April 2007.

Pada periode bulan Mei 2007, nilai CPUE terbesar didapat pada tanggal 1 Mei

sebanyak 1460 kg/setting dan nilai terkecil sebanyak 95 kg/setting pada tanggal 17

Mei. Nilai rata-rata CPUE untuk bulan Mei 2007 sebanyak 401,55 kg/setting.

4

n

P

t

b

l

M

b

b

Gam

4.2.2 Ukura

Perse

nelayan pay

Pada gamba

tangkap han

Gambar

Peny

bulannya dis

layak tangka

Mei dan M

bahwa jumla

bulan Maret

mbar 9 Catch

an (size) Has

entase ukura

ang periode

ar terlihat b

nya sebesar 2

10 Persentas

yebaran hasi

sajikan pada

ap terbanyak

Maret yaitu m

ah ikan yang

t, Mei kemud

h Per Unit Ef

sil Tangkap

an ikan laya

bulan Mare

bahwa hasil

27% dari jum

se total ikan

il tangkapan

a Gambar 11

k terdapat pa

masing-masi

g masuk kate

dian menyus

ffort (CPUE)

pan

ak tangkap

et sampai Me

l tangkapan

mlah total ika

layak tangk

n yang masu

1. Dari Gam

ada bulan Ap

ing sebesar

egori tidak l

sul bulan Ap

) perhari pad

yang didapa

ei 2007 dapa

n yang masu

an yang terta

ap periode M

uk kategori l

mbar 11 terlih

pril (33%), k

23% dan 1

layak tangka

pril.

da bulan Mei

at pada trip

at dilihat pad

uk dalam k

angkap.

Maret, April,

layak tangka

hat bahwa k

kemudian m

19%. Hal in

ap terbanyak

i 2007.

p penangkap

da Gambar 1

kategori lay

, Mei 2007.

ap pada seti

komposisi ik

menyusul bul

ni juga bera

k terdapat pa

pan

10.

yak

iap

kan

lan

arti

ada

G

2

i

p

2

i

A

Panja

Gambar 12.

24,67 cm sa

ikan tongko

pada tanggal

Ga

Rata

25 cm samp

ikan terbesa

April.

Gamb

ang rata-rata

Kisaran uku

ampai 40,00

ol terbesar d

l 25 Maret.

ambar 12 Ra

-rata ukuran

ai 45 cm den

ar didapat pa

bar 11 Persen

a ikan tertan

uran panjang

cm dengan

didapat pada

ata-rata ukur

n panjang ika

ngan rata-rat

ada tanggal

ntase ukuran

ngkap perio

g ikan tongko

nilai rata-ra

a tanggal 30

ran panjang i

an tongkol p

ta 31,4 cm (G

19 April da

n ikan layak t

ode bulan M

ol yang terta

ata sebesar 2

0 Maret dan

ikan pada bu

pada bulan A

Gambar 13)

an rata-rata

tangkap.

Maret 2007 d

angkap berad

29,57 cm. Uk

n rata-rata u

ulan Maret 2

April berkisar

. Rata-rata u

terendah pa

disajikan pa

da pada sela

kuran rata-ra

ukuran terke

2007.

r pada sebar

ukuran panja

ada tanggal

ada

ang

ata

ecil

ran

ang

13

p

2

p

r

4

k

a

k

k

b

G

Ukur

pada Gamba

20 cm sam

penangkapan

rata ukuran t

G

4.3 Hubung

Hubu

korelasi sila

15). Dari gr

antara konse

korelasi yan

koefisien de

berada di pe

ambar 13 Ra

ran panjang

ar 14. Kisara

mpai 40 cm

n tertinggi d

terendah pad

Gambar 14 R

gan Klorofil

ungan antara

ang (cross c

rafik dapat

entrasi kloro

ng terjadi pad

eterminasi (R

erairan Pala

ata-rata ukur

rata-rata ik

an panjang

dengan nila

didapat pada

da tanggal 6,

Rata-rata uku

l-a dengan H

a klorofil-a

correllation)

dilihat bahw

ofil-a denga

da hari ke 30

R2) sebesar 0

abuhanratu m

ran panjang

kan tertangka

ikan tongko

ai rata-rata

a trip penan

,7,9 dan 15 M

uran panjang

Hasil Tangk

dan hasil ta

) dengan me

wa dengan m

an hasil tang

0 dengan nila

0,2. Dengan

memiliki pen

ikan pada bu

ap periode b

ol yang tertan

sebesar 30

gkapan pada

Mei.

g ikan pada b

kapan

angkapan dip

enggunakan

menggunaka

gkapan dida

ai korelasi (r

demikian, k

ngaruh terha

ulan April 20

bulan Mei 2

ngkap berad

,73 cm. Uk

a tanggal 1

bulan Mei 20

peroleh mel

software S

an metode k

apat lag ata

r) sebesar 0,

kandungan k

adap hasil ta

007.

2007 disajik

da pada sela

kuran rata-ra

Mei dan rat

007.

alui hubung

SPSS (Gamb

korelasi sila

au jarak unt

,42, sedangk

klorofil-a ya

angkapan ik

kan

ang

ata

ta-

gan

bar

ang

tuk

kan

ang

kan

tongkol pada hari ke 30 dan 20 % perubahan atau variasi dari jumlah tangkapan ikan

tongkol dapat dijelaskan oleh perubahan kandungan klorofil-a.

Gambar 15 Grafik korelasi silang antara klorofil-a dan hasil tangkapan.

4.4 Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Potensial

Penentuan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) potensial akan didasarkan pada

tiga indikator, yaitu jumlah ikan, ukuran, serta sebaran nilai klorofil-a pada daerah

penangkapan. Hasil untuk penentuan DPI potensial dalam periode bulan Maret

sampai Mei dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 16.

Tabel 8 Evaluasi Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan jumlah ikan, Ukuran, dan sebaran klorofil-a

DPI

Indikator DPI Kategori

DPI Jumlah

tangkapan (Kg) Ukuran (cm) Klorofil mg

m-3 Guhagede (barat) sedang layak tangkap banyak potensial Karang Payung kurang tidak layak banyak kurang

Cisolok kurang tidak layak banyak kurang Cimaja kurang layak tangkap banyak sedang

Guhagede (barat) sedang tidak layak banyak sedang Per. Guhagede banyak layak tangkap sedikit sedang

Guhagede kurang layak tangkap banyak sedang Karang Payung banyak layak tangkap sedang potensial

Cimaja sedang layak tangkap banyak potensial Pel.Ratu kurang layak tangkap banyak sedang

Per. Guhagede 1 banyak layak tangkap sedikit sedang per. Guhagede 2 kurang layak tangkap banyak sedang

Gedogan kurang tidak layak banyak kurang Gedogan kurang layak tangkap banyak sedang Gedogan kurang tidak layak banyak kurang

Per. K.bentang kurang layak tangkap sedikit kurang Karang Bentang 3 sedang layak tangkap banyak potensial Karang Bentang 2 kurang tidak layak banyak kurang Karang Bentang 1 kurang layak tangkap banyak sedang

Tl. Bedog 4 banyak tidak layak sedikit kurang Tl. Bedog 3 sedang tidak layak banyak sedang Tl. Bedog 2 kurang layak tangkap banyak sedang Tl. Bedog 1 kurang tidak layak banyak kurang

Ciletuh kurang layak tangkap banyak sedang Cikepuh 3 sedang layak tangkap banyak potensial

Ug. Sopdongparat banyak layak tangkap sedang potensial Cikepuh 2 kurang layak tangkap banyak sedang Cikepuh 1 kurang layak tangkap banyak sedang

Tl. Amuran 3 banyak layak tangkap sedang potensial Tl. Amuran 2 sedang layak tangkap banyak potensial Tl. Amuran 1 kurang layak tangkap banyak sedang

Ug. Penarikan 2 sedang layak tangkap banyak potensial Ug. Penarikan 1 kurang layak tangkap sedikit kurang Uj. Genteng 1 kurang layak tangkap sedang sedang Uj. Genteng 2 kurang tidak layak sedikit kurang

Gambar 16 Daerah penangkapan potensial pada bulan Maret sampai Mei 2007.

Penilaian Daerah Penangkapan potensial juga dihitung secara periode tiap

bulannya, sehingga dapat dilihat perubahan daerah penangkapan yang terjadi pada

musim peralihan Maret sampai Mei. Perubahan daerah penangkapan disajikan pada

Tabel 9 dan Gambar 17.

Tabel 9 Perubahan daerah penangkapan ikan selama periode Maret sampai Mei 2007 Posisi Maret April Mei

Guhagede (barat) - potensial potensial Karang Payung kurang - -

Cisolok kurang sedang - Cimaja sedang - -

Guhagede (barat) sedang kurang sedang Per. Guhagede - sedang -

Guhagede sedang sedang kurang Karang Payung kurang potensial kurang

Cimaja - potensial - Pel.Ratu sedang - -

Per. Guhagede 1 - sedang - per. Guhagede 2 - - sedang

Gedogan kurang sedang - Gedogan sedang - - Gedogan kurang kurang -

Per. K.bentang - kurang - Karang Bentang 3 - potensial - Karang Bentang 2 sedang sedang - Karang Bentang 1 sedang sedang -

Tl. Bedog 4 - kurang - Tl. Bedog 3 sedang sedang sedang Tl. Bedog 2 - sedang - Tl. Bedog 1 sedang kurang -

Ciletuh sedang sedang - Cikepuh 3 - potensial -

Ug. Sopdongparat sedang potensial potensial Cikepuh 2 sedang sedang kurang Cikepuh 1 - sedang sedang

Tl. Amuran 3 - potensial - Tl. Amuran 2 - potensial - Tl. Amuran 1 sedang potensial -

Ug. Penarikan 2 - potensial - Ug. Penarikan 1 sedang kurang sedang Uj. Genteng 1 sedang sedang sedang Uj. Genteng 2 sedang kurang -

Maret 2007 April 2007

Keterangan:

Mei 2007

Gambar 17 Perubahan daerah penangkapan ikan selama periode Maret sampai Mei 2007.

5. PEMBAHASAN

5.1 Penyebaran Klorofil-a Secara Temporal dan Spasial

Secara umum, konsentrasi awan yang cukup tebal terlihat pada citra satelit

bulan Maret sampai awal bulan Mei namun berkurang konsentrasinya memasuki

pertengahan bulan Mei. Hal ini disebabkan karena periode musim peralihan yang

terjadi pada bulan Maret sampai Mei, dimana pengaruh musim barat masih terasa

pada periode Maret sampai awal Mei dan mulai mendapat pengaruh musim timur saat

memasuki pertengahan bulan Mei.

Pada periode Maret sampai awal bulan Mei, terlihat kondisi cuaca yang

identik dengan musim barat. Konsentrasi awal yang tebal dominan menutupi perairan

Palabuhanratu. Pada periode tersebut ditemukan bahwa curah hujan cukup tinggi

serta angin yang bertiup kencang. Namun pada pertengahan bulan Mei, keadaan

cuaca mulai berubah. Wilayah perairan Palabuhanratu terlihat bebas dari konsentrasi

awan (Lampiran 2) serta curah hujan yang mulai berkurang. Hal ini sesuai dengan

pendapat Wyrtki (1961) yang menjelaskan musim barat terjadi sekitar bulan

Desember sampai Februari, dimana umumnya angin bertiup kencang, curah hujan

tinggi dan konsentrasi awan yang tebal. Pada musim pancaroba (peralihan) yang

terjadi pada bulan April sampai Mei, pengaruh musim barat mulai melemah.

Jika melihat periode pergerakan matahari tahunan, pada bulan Maret sampai

Mei matahari mulai bergerak dari arah selatan (23,50LS) menuju arah khatulistiwa

(00). Posisi matahari yang berada di bagian selatan menyebabkan pemanasan

maksimum di bagian lintang selatan sehingga tekanan udara menjadi rendah di

Australia dan tinggi di Asia. Hal tersebut menimbulkan pergerakan angin muson

barat yang bergerak dari Asia menuju Australia. Angin muson barat yang bertiup

banyak membawa uap air serta konsentrasi awan yang banyak untuk daerah

Indonesia. Namun konsentrasi awan yang tebal mulai berkurang memasuki

pertengahan bulan Mei, terlihat pada akusisi citra tanggal 18 sampai 21 Mei

2007(Lampiran 2). Pada saat tersebut, pengaruh musim barat mulai berkurang dan

digantikan dengan musim timur.

Tingkat kandungan klorofil-a di daerah Teluk Palabuhanratu tergolong tinggi

dengan rata-rata 0,375 mg m-3 pada daerah yang tidak tertutup awan. Nilai kandungan

klorofil-a cenderung berfluktuasi pada setiap harinya. Nilai kandungan klorofil-a di

perairan Palabuhanratu dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari serta masukan

nutrien dari daerah pantai. Pada citra satelit (Lampiran 2) dapat dilihat pergerakan

konsentrasi awan yang meliputi perairan Palabuhanratu setiap harinya. Pergerakan

awan tersebut menyebabkan perubahan penetrasi atau intensitas cahaya yang diterima

oleh perairan, selanjutnya berdampak pada proses pembentukan senyawa organik

(fotosintesis) oleh fitoplankton. Hal ini yang menyebakan terjadinya fluktuasi

kandungan klorofil-a di perairan Palabuhanratu.

Dari citra satelit juga terlihat penyebaran spasial kandungan klorofil-a, dimana

konsentrasi yang besar terdapat di daerah pantai dan semakin menurun

konsentrasinya ke arah perairan lepas pantai. Hal ini disebabkan karena daerah pantai

banyak memberi masukan nutrien kedalam perairan. Wilayah perairan Palabuhanratu

juga banyak mendapat masukan air tawar yang kaya akan nutrien dari sungai-sungai

di sekitarnya. Terdapat empat sungai yang bermura di Teluk Palabuhanratu, yaitu

sungai Cimandiri, sungai Cidadap, sungai Cibuntu dan sungai Cipalabuhan. Daerah

teluk juga memiliki fenomena long shore current atau yang lebih umum dikenal

dengan arus menyusur pantai. Arus ini membawa air serta material lainnya (nutrien)

yang berasal dari pantai menyusuri sepanjang garis pantai sampai akhirnya memasuki

perairan lepas pantai. Arus ini juga menambah tingkat kesuburan perairan pantai yang

dilewatinya.

5.2 Variabilitas Hasil Tangkapan

Nilai CPUE tertinggi didapat pada bulan April, kemudian menyusul bulan

Mei dan paling rendah pada bulan Maret (Gambar 4). Tetapi konsentrasi kandungan

klorofil-a pada bulan Maret lebih tinggi dibandingkan dengan bulan April dan bulan

Mei. Hasil tangkapan yang tinggi pada bulan April disebabkan oleh tingginya

konsentrasi klorofil pada bulan Maret, dimana klorofil-a memberikan pengaruh

terhadap hasil tangkapan ikan tongkol setelah hari ke 30.

Bulan Maret diketahui masih mendapat pengaruh yang lebih kuat dari angin

muson barat jika dibandingkan dengan bulan April dan bulan Mei. Pada bulan Maret,

dimana pengaruh angin barat lebih terasa, keadaan perairan Teluk Palabuhanratu

cenderung memiliki iklim cuaca yang lebih buruk jika dibandingkan dengan bulan

April dan Mei. Pada kondisi tersebut angin bertiup lebih kencang.

Gelombang dan arus yang terjadi oleh tiupan angin dapat memberi dampak

pada ketersediaan ikan tongkol di perairan Palabuhanratu. Angin yang kencang pada

bulan Maret dapat menimbulkan badai, gelombang tinggi serta arus permukaan yang

cukup kuat. Hal tersebut merupakan faktor pembatas yang menjadi tekanan

lingkungan bagi ikan-ikan pelagis. Sehingga saat musim angin kencang ikan akan

mencari perairan yang lebih tenang untuk menghindari tekanan tersebut (Laevastu

dan Hayes, 1970). Disamping itu, nelayan juga sulit mendeteksi keberadaan ikan

pada saat operasi penangkapan ikan.

Jika melihat pada Gambar 8, nilai persentase ukuran ikan layak tangkap yang

didapat pada trip penangkapan nelayan payang periode bulan Maret sampai Mei 2007

untuk ikan tongkol hanya sebesar 27% (23.285 kg) dari total tangkapan 82.641 kg.

Hasil tangkapan pada bulan Maret yang layak tangkap hanya sebesar 19%,pada bulan

April 33% dan pada bulan Mei 23%. Hal tersebut mengindikasikan walaupun hasil

tangkapan secara finansial menguntungkan namun berdasarkan aspek lingkungan

(keberlanjutan) tidak optimum atau kurang berwawasan lingkungan. Dalam kasus ini

dibutuhkan peran serta Pemerintah Daerah untuk membuat suatu regulasi atau

kebijakan tentang pengaturan ukuran hasil tangkapan yang layak.

Nelayan payang di daerah Palabuhanratu secara keseluruhan juga tidak

memperhatikan kriteria ukuran layak tangkap pada saat operasi penangkapannya.

Disamping itu, nelayan payang memiliki ukuran mata jaring (mesh size) yang sangat

kecil, sehingga ikan tongkol dengan ukuran kecil pasti ikut tertangkap. Ikan tongkol

dengan ukuran yang kecil atau dengan nama daerah lisong merupakan hasil

tangkapan yang diminati oleh pasar. Hampir seluruh hasil tangkapan ikan tongkol

berada pada kisaran panjang tersebut.

5.3 Pengaruh Klorofil-a Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol

Konsentrasi klorofil yang terdapat di perairan tidak langsung mempengaruhi

jumlah ikan yang berada pada daerah tersebut. Terdapat lag atau waktu dimana

konsentrasi klorofil yang terdapat di wilayah perairan terlebih dahulu dimakan oleh

struktur organisme herbivora, sebagai contohnya zooplankton, atau krustacea kecil

(juvenil), dan selanjutnya dimakan oleh tingkat trofik diatasnya (Gambar 18).

Gambar 18 Rantai makanan yang dimulai dari fitoplankton sampai ikan tongkol.

Untuk melihat lag atau waktu yang terjadi selama pemindahan senyawa

organik dari fitoplankton (klorofil) sampai kepada tingkat trofik pemangsa (ikan

tongkol) digunakan analisis korelasi runut waktu (Time Series). Hasil yang diperoleh

melalui analisis cross correlation adalah lag+30 hari. Hal ini menunjukkan bahwa

konsentrasi klorofil yang berada pada perairan baru mempengaruhi hasil tangkapan

pada 30 hari kemudian dengan derajat hubungan nilai korelasi sebesar 0,42. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan linear antara peubah Klorofil-a dan

peubah Hasil Tangkapan adalah lemah, dalam kisaran nilai koefisien korelasi antara -

1 ≤ r ≤ +1. Hasil yang diperoleh untuk koefisien determinasi (R2) sebesar 0,2. Nilai

ini mengindikasikan bahwa pengaruh klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan tongkol

hanya 20% sedangkan 80% dijelaskan oleh karakteristik peubah lainnya.

Pada Gambar 19 disajikan pengaruh kandungan klorofil-a terhadap hasil

tangkapan ikan tongkol setelah hari ke 30. Dapat dilihat dengan jelas dimana

kandungan klorofil-a yang besar pada bulan Maret baru mempengaruhi hasil

tangkapan setelah 30 hari kemudian.

Gambar 19 Grafik perubahan kandungan klorofil-a dan hasil tangkapan.

Penilaian suatu hubungan yang terjadi pada karakteristik perairan dengan hasil

tangkapan merupakan suatu metode peramalan yang harus disertai dengan

karakteristik perairan lainnya. Dari hasil perhitungan statistik dapat dilihat bahwa

hanya 20 % dari keragaman klorofil-a yang dapat memprediksikan hasil tangkapan

ikan tongkol. Untuk mendapatkan hasil yang lebih lengkap, diperlukan perhitungan

yang melibatkan karakteristik perairan lainnya, seperti suhu, arus, salinitas, dan lain

lain. Disamping itu, pengaruh faktor-faktor teknis produksi seperti keterampilan

nelayan, alat tangkap, dan sebagainya diperlukan dalam penelitian-penelitian

lanjutan.

5.4 Penyebaran Daerah Penangkapan

Berdasarkan tabel penilaian (Tabel 8), maka didapat daerah potensial untuk

melakukan penangkapan ikan pada daerah Guhagede bagian barat, perairan Karang

Payung, perairan Cimaja, Karangbentang, Cikepuh, perairan Sodongparat, perairan

Tl. Amuran, serta Ug. Penarikan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Ismajaya,

2006), diperoleh empat daerah potensial penangkapan ikan tongkol berdasarkan

pendekatan parameter suhu permukaan laut pada periode Agustus sampai September

2005 yaitu: Citepus, Gedogan, Sodongparat dan Ciletuh. Hal ini mengindikasikan,

baik pada musim timur (Ismajaya, 2006) maupun peralihan barat-timur (dalam

penelitian ini), daerah Sodongparat merupakan daerah penangkapan yang potensial

bagi ikan tongkol. Namun perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan parameter

oseanografi secara lengkap untuk menentukan daerah penangkapan ikan tongkol yang

potensial dalam satu tahun.

Posisi penangkapan potensial terbanyak didapat pada bulan April (Lampiran

4), kemudian bulan Mei dan pada bulan Maret tidak memiliki titik penangkapan

potensial. Bulan April memiliki titik potensial yang banyak diduga oleh karena

besarnya pengaruh klorofil-a pada bulan Maret yang baru memberi dampak pada

hasil tangkapan setelah 30 hari (Gambar 16).

Daerah penangkapan ikan tongkol di perairan Palabuhanratu cenderung

berada pada daerah perairan pantai (Gambar 14). Daerah tersebut tersebar sepanjang

garis pantai perairan Palabuhanratu dari daerah Guhagede bagian barat sampai

perairan Uj. Genteng. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Blackburn (1965) yang

diacu dalam Ismajaya (2006), menyatakan karakteristik ikan tongkol yang menyukai

perairan pantai serta perairan yang panas.

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai studi penentuan daerah penangkapan

ikan tongkol melalui pemetaan sebaran klorofil-a dan komposisi hasil tangkapan di

perairan Palabuhanratu dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Penyebaran kandungan klorofil-a di perairan Palabuhanratu pada bulan Maret

sampai Mei berkisaran antara 0,240 mg m-3 sampai 0,600 mg m-3 dengan nilai

rata-rata 0,375 mg m-3.

2. Hasil tangkapan ikan tongkol memiliki nilai tertinggi pada bulan April

kemudian bulan Mei dan Maret. Hasil tangkapan ikan tongkol tersebut

umumnya masih didominasi oleh ikan yang tidak layak tangkap.

3. Kandungan klorofil-a berpengaruh terhadap jumlah tangkapan ikan tongkol di

perairan Palabuhanratu pada hari ke-30.

4. Zonasi atau fishing ground potensial di perairan Palabuhanratu meliputi

daerah Guhagede bagian barat, perairan Karang Payung, perairan Cimaja,

Karangbentang, Cikepuh, perairan Sodongparat, perairan Tl. Amuran, serta

Ug. Penarikan.

6.2 Saran

Saran yang dapat diberikan mengenai karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui variabilitas hasil tangkapan dibutuhkan penelitian dengan

data time series CPUE secara lengkap.

2. Diperlukan penelitian lanjutan tentang karakteristik oseanografi lainnya yang

mempengaruhi keberadaan ikan tongkol di perairan Palabuhanratu.

3. Diperlukan suatu regulasi khusus yang mengatur batasan ukuran (size)

penangkapan ikan tongkol untuk mendukung terjadinya operasi penangkapan

yang berwawasan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 1983. Scombrids of the world an annoted and illustrated catalogue of

Tunas, Mackerels, Bonitos, and related species known to date. FAO Species Catalogue Vol2. 85p.

Anonymous. 1990. Definition and Classification of Fishing Gear Categories. FAO

Technical Paper 222 Rev.1. 92p. Aboet. 1985. Penginderaan Jauh Melalui Satelit: Suatu Alternatif Penelitian

Oseanograf. Prosding Lokakarya Pemanfaatan Data Satelit Lingkungan dan Cuaca, 18-19 september 1985. Jakarta. Hal 214-230.

Barnes, R.S.K and R.N. Huges. 1988. An Introduction to Marine Ecology. 2nd edition.

Oxford: Balckwell Scientific. 351 hal. Basmi, J. 1995. Planktonologi: Produksi Primer. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, IPB. 44 hal. Blackburn, 1965. Oceanography and The Ecology of Thunnus. In Barnes (Editor).

Oceanography and The Marine Biology. Vol III. London: G. Allen and Unwin Ltd. P299-322.

Collete, B.B and C.E. Nauen. 1983. Scombrids of The World : An Annotated and

Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerels, Bonitos, And Related Species Known To Date. FAO Species Catalogue Vol 2: P 27-37.

Dimyati, R.D. dan Dimyati M. 1998. Remote Sensing Dan Sistem Informasi

Geografis Untuk Perencanaan. Jakarta: CV RESOTA. 166 hal.

Direktorat Jendral Perikanan. 1991. Gillnet and Trammel Net. Jakarta: Departemen

Pertanian. 25 hal. Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

163 hal. Gaol, J.L. 2003. Kajian Karakter Oseanografi Samudera Hindia bagian timur

dengan menggunakan multisensor citra satelit dan hubungannya dengan hasil tangkapan Tuna mata besar (Thunnus obesus). Disertasi (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Pasca Sarjana, IPB.

Gower, J.F.R. & J.R. Apel (eds.). 1972. Opportunities and problems in satellite

measurements of the sea. UNESCO Tech. Pap. 46. 70 p. Hasyim, B., dan N.S. Priyanti. 1999. Analisis Distribusi Suhu Permukaan Laut dan

Kaitannya dengan Lokasi Penangkapan Ikan. Prosiding Seminar Validasi Data Inderaja untuk Bidang Perikanan. Jakarta, 14 April 1999. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. ISBN;979-95760-1-6. (III-22-III-46).

Hela, I and T. Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography and Ecology. New Oceans

Environmental Service. London: Fishing News (Books) Ltd. 238p. Hutabarat, S dan SM. Evans, 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta: UI-Press. 159

hal. Ismajaya. 2006. Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Daerah Penangkapan Ikan

Tongkol pada Musim Timur di Perairan Teluk Palabuhanratu, Jawa Barat. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

La Violette, P.E. 1994. Lecture Notes On The Application Of Satellite Remote

Sensing To Oceanographic Analysis. Bogor: LPIU, Marine Science Education Project, Kampus IPB Darmaga 16680. 70p.

Mawardi, W. 1990. Studi Modifikasi Jaring Payang untuk Meningkatkan Efesiensi

dan Efektifitas Penangkapan Ikan I Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 544 hal.

Nikyuluw, LLU. 2005. Kajian Variasi Musiman Suhu Permukaan Laut dan Klorofil dalam Hubungannya Dengan Penangkapan Lemuru di Perairan Selatan Bali. [Disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, IPB.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Sjambatan. 372 hal. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT.

Gramedian. 459 hal. PPN Palabuhanratu. 2005. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Palabuhanratu: PPN Palabuhanratu. Hal 1-2. Purbowaseso, B. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Jakarta: Universitas Indonesia

Press. 467 hal. Saanin, H. 1971. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta. 245 hal. Sainsbury, J. C. 1971. Commercial Fishing Methos on Introduction Vessel and Gear.

London: Fishing News Book Ltd. 110 Fleet Street London. E.C.4. 207 hal. Surwagana, N., A. Muchlisin, S. Hamzah. 2000. Penentuan Suhu Permukaan Laut

dan Konsentrasi Klorofil untuk Pengembangan Model Prediksi SST atau Fishing Ground dengan Menggunakan Data Modis. Jakarta: LAPAN.

Setiawan, L.B. 1992. Studi Tentang Aspek Target Strenght Ikan Tongkol (Euthynnus

affinis). Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Setiawan, R. 1999. Analisis Potensi Tingkat Pemanfaatan dan Pola Musim

Penangkapan Tongkol di Perairan Binuangeun, Jawa Barat. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid II. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press. 381 hal. Thomson, D. B. 1969. The Seine Net-its Origin, Evolution an Use. London: Fishing

News Books Ltd. 110 Fleet Street. 192p. Von Brandt, A. 1984. Fishing Catching Methods of The World. Surrey: Fishing News

Books Ltd. 393p. Widodo, J. 1999. Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Perikanan di

Indonesia. Prosiding Seminar Validasi Data Inderaja untuk Bidang

Perikanan. Jakarta 14 April 1999. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. ISBN;979-95760-1-6. (II-1-II-21).

Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of Southeast Asian Water. Naga Report.

Vol 2. The University of California La Jolla. California. Zebblon, C.P. 2005. Potensi Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu.

Palabuhanratu: PPN Palabuhanratu. Hal 1-3. Lampiran 1. Peta Teluk Palabuhanratu

Lampiran 2. Sebaran klorofil-a tanggal 13 Maret 2007 sampai 21 Mei 2007

13 Maret 2007

15 Maret 2007 16 Maret 2007 Lampiran 2 (lanjutan) 19 Maret 2007 20 Maret 2007

27 Maret 2007 29 Maret 2007

Lampiran 2 (lanjutan) 1 April 2007 2 April 2007

Lampiran 2 (lanjutan) 5 April 2007

7 April 2007 9 April 2007

Lampiran 2 (lanjutan)

12 April 2007 16 April 2007

20 April 2007 21 April 2007

Lampiran 2 (lanjutan)

22 April 2007 23 April 2007

25 April 2007 28 April 2007

Lampiran 2 (lanjutan)

4 Mei 2007 7 Mei 2007

8 Mei 2007 9 Mei 2007 Lampiran 2 (lanjutan)

18 Mei 2007 19 Mei 2007

20 Mei 2007 21 Mei 2007

Lampiran 3. Perhitungan korelasi silang hubungan antara klorofil-a dan hasil tangkapan

Lag Cross

Correlation Std.Error(a) -40 .035 .258-39 -.006 .250-38 -.046 .243-37 .203 .236-36 .004 .229-35 .001 .224-34 -.031 .218-33 .026 .213-32 -.016 .209-31 .102 .204-30 .100 .200-29 .062 .196-28 .059 .192-27 .067 .189-26 .180 .186-25 .156 .183-24 -.058 .180-23 -.077 .177-22 .132 .174-21 .142 .171-20 .013 .169-19 .247 .167-18 .160 .164-17 .051 .162-16 .125 .160

Lag Cross

Correlation Std.Error(a) -15 .063 .158 -14 .083 .156 -13 -.004 .154 -12 .146 .152 -11 -.012 .151 -10 -.020 .149 -9 -.041 .147 -8 .059 .146 -7 -.031 .144 -6 -.127 .143 -5 -.097 .141 -4 -.089 .140 -3 .103 .139 -2 -.234 .137 -1 -.199 .136 0 -.263 .135 1 -.203 .136 2 -.167 .137 3 -.143 .139 4 -.075 .140 5 -.079 .141 6 -.035 .143 7 -.131 .144 8 -.171 .146 9 -.244 .147

Lag Cross

Correlation Std.Error(a) 10 -.294 .14911 -.293 .15112 -.181 .15213 -.153 .15414 -.105 .15615 .000 .15816 -.086 .16017 -.089 .16218 -.126 .16419 -.089 .16720 -.074 .16921 -.035 .17122 -.149 .17423 .210 .17724 .079 .18025 .123 .18326 .048 .18627 .160 .18928 .080 .19229 .272 .19630 .418 .20031 .070 .20432 .056 .20933 .041 .21334 .166 .21835 .087 .22436 .159 .22937 .187 .23638 .157 .24339 .111 .25040 .140 .258

Lampiran 4. Grafik korelasi silang antara klorofil-a dengan hasil tangkapan