harmonisasi alam dalam teks kidung jerum kundangdya

168
TESIS HARMONISASI ALAM DALAM TEKS KIDUNG JERUM KUNDANGDYA AYU PUTRI SURYANINGRAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014

Upload: doancong

Post on 30-Dec-2016

362 views

Category:

Documents


30 download

TRANSCRIPT

TESIS

HARMONISASI ALAM DALAM

TEKS KIDUNG JERUM KUNDANGDYA

AYU PUTRI SURYANINGRAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

TESIS

HARMONISASI ALAM DALAM

TEKS KIDUNG JERUM KUNDANGDYA

AYU PUTRI SURYANINGRAT

NIM 1190161023

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI LINGUISTIK-WACANA SASTRA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

HARMONISASI ALAM DALAM TEKS

KIDUNG JERUM KUNDANGDYA

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Linguistik-Wacana Sastra

Program Pascasarjana Universitas Udayana

AYU PUTRI SURYANINGRAT

NIM 1190161023

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI LINGUISTIK-WACANA SASTRA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

Tanggal 2 Juli 2014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Nyoman Weda Kusuma,M.S. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum.

NIP 19570618 198303 1 001 NIP 19621214 199010 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Linguistik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Prof. Dr. I Nyoman Suparwa,M.Hum Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K).

NIP 19620310 198503 1 005 NIP 19590215 198510 2 001

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis ini Telah Diuji pada

Tanggal 2 Juli 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana,

Nomor: 2056/UN14.4/HK/2014,Tanggal 2 Juli 2014

Ketua : Prof. Dr. Nyoman Weda Kusuma, M.S.

Anggota:

1. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum.

2. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum.

3. Dr. I Ketut Jirnaya, M.Hum.

4. Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum.

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ayu Putri Suryaningrat

NIM : 1190161023

Program studi : Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra

Judul Tesis : Harmonisasi Alam dalam Teks Kidung Jerum

Kundangdya

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.

Apabila pada di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya

bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas Republik Indonesia

Nomor 17, Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 2 Juli 2014

Yang membuat pernyataan,

Ayu Putri Suryaningrat

UCAPAN TERIMAKASIH

Pertama puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa atas karunia berupa kesehatan dan tuntunan-Nya sehingga tesis yang

berjudul "Harmonisasi Alam dalam Kidung Jerum Kundangdya" dapat

diselesaikan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Nyoman Weda Kusuma,M.S, selaku

pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan kesabarannya pada saat

membimbing penulis. Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum., selaku pembimbing II,

terima kasih atas waktu yang diluangkan selama membimbing dan saran-saran

yang diberikan untuk kemajuan tesis ini.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,

Sp.P.D.KEMD., selaku Rektor Universitas Udayana dan Prof. Dr. dr. A.A. Raka

Sudewi, Sp.S(K)., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Demikian juga kepada Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana,

Prof. Dr.I Wayan Cika, M.S. terima kasih atas izin yang diberikan kepada penulis

untuk mengikuti pendidikan program Magister. Penulis juga menyampaikan rasa

terima kasih kepada Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum., selaku Ketua Program

Studi Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Dr.

Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum., Sekretaris Program Studi Magister Linguistik

Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada para dosen di Program

Studi Magister Linguistik, khususnya di Konsentrasi Wacana Sastra yang selalu

memberikan dukungan dan ilmu tanpa pamrih, juga kepada para staf administrasi

I Ketut Ebuh, S.Sos., Nyoman Adi Triani, S.E., dan I Nyoman Sadra, S. S. yang

selalu dengan sabar memberikan pelayanan setiap kali penulis mengurus

administrasi. Terima kasih pada perpustakaan Program Magister/Doktor Studi

Linguistik dan para stafnya, yang selalu membantu penulis dengan penuh

kebaikan dan keramahan.

Kepada ayah (I Wayan Mendra) dan ibu (Ida Ayu Putu Sasih) yang selalu

memberikan dukungan baik moral maupun materi selaku orang tua, terima kasih

telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan studi S2. Kakak tercinta

(Putu Ayu Ningrat, SP) yang juga selalu memberikan bantuan dan dukungan baik

moral maupun materi, adik (Ayu Diah Lemantari) dan anaknya (Bagus Diahana

Dwipa) yang setia menemani penulis.

Kepada I Gde Anom Ranuara, S.Pd., S.Sn. yang sering membantu

memberi ide untuk penelitian ini. Kepada teman seperjuangan Wacana Sastra

2011 (Ari, Widhi, Wida, Dian, Alit, Gus Suputra, Widana, Suana, Ngurah,

Artayasa, Supertama) yang selalu memberikan masukan-masukan dan dukungan

selama ini. Kepada sahabat-sahabat tercinta yang tidak bisa disebutkan satu

persatu, terimakasih karena selalu memberikan dukungan.

Terakhir, kepada seluruh saudara, teman dan pihak yang tidak bisa

disebutkan semuanya, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini

bermanfaat untuk pembaca.

Denpasar, 2 Juli 2014

Penulis

ABSTRAK

Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu karya sastra tradisional

Bali dalam bentuk kidung dengan metrum jerum yang beberapa baitnya masih

sering dinyanyikan oleh masyarakat Bali dalam upacara tertentu khususnya yang

berkaitan dengan upacara Bhuta Yadnya. Bhuta Yadnya adalah upacara yadnya

(persembahan) terhadap lingkungan atau alam semesta yang dikenal dengan

upacara bhuta yadnya. Kidung Jerum Kundangdya menceritakan kehidupan

Jerum, Kundangdya, dan Liman Tarub yang tidak lepas dari peran para Dewa.

Sumber data penelitian ini adalah teks Kidung Jerum Kundangdya dari lontar

yang ada di Gedung Kertya yang telah ditransliterasi. Fokus penelitian ini adalah

mengenai bentuk, fungsi, dan makna harmonisasi alam dalam Kidung Jerum

Kundangdya. Teori yang digunakan adalah teori Semiotik dari Riffaterre. Dalam

penelitian ini, digunakan metode deskriptif-analitik yang dibantu dengan teknik

pencatatan kemudian menggunakan metode informal dalam tahap penyajian. Hasil

yang diperoleh dari analisis ini adalah mengetahui bentuk harmonisasi alam dalam

Kidung Jerum Kundangdya berkaitan dengan keberadaan alam beserta isinya

sehingga diciptakanlah keseimbangan yang menjadikan harmonis. Mengenai

fungsinya adalah landasan cinta yang mampu sebagai penyeimbang alam semesta

sekaligus penetralisasi dan kebahagiaan kehidupan. Selanjutnya, maknanya adalah

harmonisasi ajaran Hindu, Budha, Siwa Budha dan pencerahan Siwa-Budha

Tantra.

Kata kunci : Wacana, Harmonisasi Alam, Kidung Jerum Kundangdya dan Bhuta

Yadnya.

ABSTRACT

This research analyzed the text of Kidung Jerum Kundangdya. Kidung

Jerum Kundangdya is one of literature in the form of Kidung which is still being

sung by the society in certain ceremony, especially which has strong relationship

with Bhuta Yadnya ceremony. Bhuta Yadnya is a ceremony which is related with

the nature neutralization to harmonious. Kidung Jerum Kundangdya tells about

Jerum's life Kundangdya and Liman Tarub who has strong relationship with the

Gods. The resources of this research is a tekst and story of Kidung Jerum

Kundangdya which is compiled by the manuscript printing of Balinese Classical

Letters. The focus of this research shows the function of Nature Harmonic in

Kidung Jerum Kundangdya. The teory of this research to analyze the meaning of

Kidung Jerum Kundangdya is semiotic theory from Riffaterre. The method in

analyzing data is analytical descriptive which has been helped by note taking

technique and use informal method in the presentation stages.Product from

analyzing data is we know from about nature harmony in Kidung Jerum

Kundangdya link to cretaed universe and contents the same until a composition

balancing make harmony. About fungtion is love can make balanced harmony,

netralization, and love happy is life. Next, meaning is harmonization study of

Hindu, Budha, Siwa Budha and enlightenment Siwa-Budha Tantra.

Key word : Discourse, Nature Harmony, Kidung Jerum Kundangdya and Bhuta

Yadnya

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Bali adalah masyarakat yang dikenal memiliki nilai-nilai

budaya bersifat religius. Salah satu di antaranya berupa upacara keagamaan.

Masyarakat Bali tidak pernah bisa dilepaskan dari unsur adat dan budaya yang

bersifat religius. Setiap ritual keagamaan di Bali tidak jauh dari pengaruh sastra.

Salah satu di antaranya sastra kidung. Upacara agama Hindu di Bali dan sastra

kidung menjadi sebuah kesatuan. Sastra kidung selalu hadir sebagai pengiring

upacara keagamaan. Hal itu terjadi karena dalam agama Hindu di Bali dikenal

adanya panca nada yang berarti lima nada yang terdiri atas suara mantra, genta,

gamelan, kulkul, dan kidung. Kidung menjadi salah satu nada atau suara yang

wajib hadir setiap kali umat Hindu di Bali menjalankan ritual keagamaannya.

Sastra kidung dikenal masyarakat Jawa sebagai karya sastra berbentuk

puisi. Bentuk puisi kidung merupakan puisi asli Jawa dan bahan kisahnya juga

diambil dari Jawa (Sukesi, 1999:93). Keberadaan dan perkembangan karya sastra

kidung tidak hanya sebatas di pulau Jawa, tetapi juga tumbuh dan berkembang di

Bali bersamaan dengan karya sastra lainnya, seperti kakawin dan geguritan.

Kidung merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa Kawi Bali. Sastra

kidung berasal dari zaman Majapahit hingga abad ke-16 di Jawa Timur yang

kemudian diteruskan di Bali (Adiwimarta, 1999:93). Semua Sastra Jawa

Pertengahan yang dikenal dewasa ini berasal dari Bali, tetapi tetap dengan catatan

bahwa sastra kidung tidak lahir di Bali, kidung telah dikenal di Jawa sebelum

runtuhnya Kerajaan Majapahit (Zoetmulder, 1985:33).

Penelitian kidung sesungguhnya telah dilakukan sejak lama. Dimulai dari

tahun 1925 Callenfels menganalisis Kidung Sudamala. Muncul Berg yang

meneliti Kidung Sunda (1927), Kidung Ranggalawe (1930), dan Kidung

Harsawijaya (1931). Pada tahun 1938 Prijono meneliti Kidung Sri Tanjung dan

tahun 1940 Poerbatjaraka meneliti Kidung Dewa Ruci. Pada tahun 1971 Robson

meneliti Kidung Wangbang Wideya. Pada tahun 1989 Ambara meneliti Kidung

Jerum Kundangdya dan pada tahun 1992 kembali muncul sebuah penelitian

Kidung Bima Swarga oleh Nuarca. Hingga akhirnya pada era tahun 2000-an

muncullah Vickers yang meneliti Kidung Malat (Suarka, 2007: 126--130).

Terakhir pada tahun 2007 muncullah Suarka yang meneliti Kidung Tantri

Pisacarana.

Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu teks kidung yang

dinyanyikan dengan metrum Jerum. Metrum Jerum merupakan metrum kidung

yang umumnya dinyanyikan ketika berlangsungnya upacara bhuta yadnya. Dari

sekian kidung yang dikenal dan tersebar luas di masyarakat, metrum Jerum hanya

ditemukan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Lestarinya Kidung Jerum

Kundangdya diketahui dari pembacanya yang relatif sering ditemukan di

lingkungan masyarakat Bali hingga kini. Permasalahan cinta merupakan salah

satu topik yang diceritakan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Layaknya kisah

percintaan pada umumnya dalam teks ini juga ditemukan adanya penolakan

terhadap cinta melalui pertengkaran dan dendam. Teks Kidung Jerum

Kundangdya tersimpan dalam bentuk lontar di Gedong Kirtya Singaraja dan Unit

Pelayanan Teknis Perpustakaan Lontar Universitas Udayana. Teks Kidung Jerum

Kundangdya telah ditranskripsi, diterjemahkan, dan dicetak dalam sebuah buku

yang telah diterbitkan oleh Proyek Percetakan Naskah Sastra pada tahun

1985/1986.

Dari hasil pengamatan di lingkungan Kota Denpasar, diketahui bahwa

Kidung Jerum Kundangdya bahkan menjadi salah satu kidung yang bisa

dikatakan rutin dinyanyikan sebagai pengiring upacara bhuta yajnya. Umumnya

hanya ada beberapa bait di awal yang umum dinyanyikan, ini bisa disebabkan

karena durasi berlangsungnya upacara bhuta yadnya memang tidaklah lama. Teks

Kidung Jerum Kundangdya secara keseluruhan memang belum begitu di kenal

masyarakat, namum metrum Jerum sudah umum diketahui dilingkungan

masyarakat Hindu di Bali. Dikenalnya metrum Jerum dengan membawa beberapa

bait dari teks Kidung Jerum Kundangdya memunculkan sebuah pemikiran bahwa

Kidung Jerum Kundangdya yang dinyanyikan dengan metrum Jerum menyimpan

sebuah makna yang menjadikannya diterima sebagai kidung pengiring upacara

bhuta yajnya. Makna apa yang ada di balik cerita Kidung Jerum Kundangdya

inilah yang diungkap dalam penelitian ini. Kidung Jerum Kundangdya sebagai

sebuah objek dalam penelitian ini merupakan sebuah naskah kidung yang

mengangkat permasalahan mengenai cinta antara Jerum, Kundangdya, dan Liman

Tarub. Cerita cinta tersebut dilatarbelakangi perselingkuhan. Dilihat dari urat kata

dari judul Jerum Kundangdya dapat diartikan bahwa Jerum berasal dari urat kata

jih kemudian menjadi jyu yang berarti jiwa yang kemudian ditambah dengan kata

rum yang berarti harum atau indah. Arti urat kata tersebut seakan sesuai dengan

tokoh Jerum yang digambarkan sebagai sosok wanita cantik yang memiliki

kepribadian menarik dan mampu menampilkan pesonanya hingga di surga.

Menurut I Gde Anom Ranuara (praktisi dalang), Kundangdya secara garis besar

dapat diartikan dia yang mempunyai harapan utama. Dari penjabaran urat kata

judul Kundangdya telah memberikan sebuah gambaran mengenai Kidung Jerum

Kundangdya yang secara singkat menceritakan seluk-beluk percintaan antara

Jerum, Kundangdya, dan Liman Tarub. Diawali dengan pernikahan Jerum dengan

Liman Tarub hingga akhirnya terjadi perselingkuhan antara Jerum dan

Kundangdya. Tidak dapat dihindari perselisihan antara Kundangdya dan Liman

Tarub, bahkan dendam itu berlarut-larut hingga para Dewa ikut turun tangan

membantu melerai dan menasihati mereka berdua.

Kidung Jerum Kundangdya secara garis besar mengandung cerita antara

dua perbedaan, yaitu antara cinta dan dendam yang berasal dari kebencian. Cerita

tersebut secara implisit membuat perasaan pembaca bergejolak antara rasa

menarik dan menentang. Menarik karena terhanyut dengan ungkapan-ungkapan

cintanya dan menentang karena kemunculan latar belakang cinta berupa

perselingkuhan. Dalam ajaran Hindu di Bali, cinta dan benci dapat dikaitkan

dengan sifat rwa bhinēda1. Rwa Bhinēda dikenal sebagai kata-kata yang selalu

mengajarkan manusia untuk sadar dengan perbedaan, lawan, dan hal yang

bertolak belakang. Penyajian Kidung Jerum Kundangdya yang mengandung

konsep rwa bhinēda tentu memiliki sebuah alasan yang harus ditafsirkan.

1Kata rwa bhinēda berasal dua kata dalam bahasa Jawa Kuno, yaitu rwa dan bhinēda. Rwa „dua‟

dan bhinēda „membagi, memisahkan, memecah belah‟. Rwa bhinēda adalah dua yang terbagi,

terpisah, terpecah belah atau dengan kata lain dua yang berbeda (Zoetmulder, 1994: 122 dan 967).

Dilihat dari segi jumlah baitnya, Kidung Jerum Kundangdya terdiri atas

325 bait yang seluruhnya diikat oleh metrum macapat. Oleh karena itu, setiap bait

pupuhnya memiliki jumlah suku kata yang sama dalam setiap baris dan bunyi

akhir yang sama dalam setiap baris.

Munculnya sebuah perbedaan tentu memunculkan niat membentuk

persamaan. Demikian halnya dengan rwa bhinēda yang memunculkan konsep

nyomia2 yang bertujuan untuk menyeimbangkan makrokosmos dan mikrokosmos.

Pelaksanaannya sebagai sarana penetralisasi energi alam yang bersifat buruk atau

negatif menjadi sifat-sifat positif atau kebajikan. Dalam ajaran Hindu di Bali

konsep nyomia dilakukan melalui sebuah upacara yang bernama bhuta yadnya.

Nyomia dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk penetralisasian alam yang dipenuhi

oleh kekuatan negatif dan positif sehingga menciptakan keharmonisan alam.

Mengharmoniskan dua kutub3 yang berbeda antara positif dan negatif adalah

tradisi Bali yang merupakan bagian dari ajaran Hindu. Kekuatan negatif yang

pada akhirnya menjadi kekuatan positif tergambar dari cerita pertentangan antara

Kundangdya dan Liman Tarub. Kesabaran dan rasa cintanya yang tulus terhadap

Jerum menjadikan Kundangdya mampu memperoleh kemenangannya dan berhasil

hidup bahagia dengan Jerum, seperti yang tergambar dalam Kidung Jerum

Kundangdya. Alam pun dapat dibayangkan seperti demikian.

Disharmoni yang menjadi harmoni, kekacauan pada alam yang

dinetralisasi hingga menjadi harmonis kembali. Penetralisasian alam inilah di Bali

2 Nyomia berasal dari kata somia „tenang, tenteram‟(KBI, 2008: 675). Adanya awalan nasal ny-,

memberikan arti melakukan agar menjadi tenang, tentram. Dapat diartikan sebagai sebuah

penetralisasian. 3 Kuliah umum Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., tahun 2012

khususnya pada ajaran Hindu dikenal dengan upacara bhuta yadnya. Kesabaran

dan cinta adalah hal yang mampu mengalahkan permusuhan serta dendam. Sama

halnya seperti dasar seseorang melakukan yadnya juga disebabkan oleh adanya

cinta kasih dan keikhlasan.

Kemunculan Kidung Jerum Kundangdya sebagai sebuah nyanyian

pengiring dalam upacara bhuta yadnya tentu menimbulkan permasalahan yang

perlu diteliti lebih lanjut. Hipotesis awal bahwa Kidung Jerum Kundangdya

sebagai kidung bertema cinta memiliki kesamaan dan keterkaitan dengan

harmonisasi alam. Perjuangan yang dilakukan Kundangdya hingga akhirnya

mampu meraih keharmonisan dengan Jerum karena cinta, tampak sebagai

cerminan bahwa cinta jugalah yang mampu menetralisasi keadaan alam dari yang

disharmoni menjadi harmoni.

Sejak lama peneliti sastra Bali tradisional sudah berkeinginan untuk

mengungkap keberadaan Kidung Jerum Kundangdya. Hal ini dibuktikan dengan

adanya sebuah penelitian yang dilaksanakan pada tahun 1989 oleh I Gusti Ngurah

Putu Ambara. Penelitian Kidung Jerum Kundangdya dihasilkan dalam bentuk

skripsi dengan judul “Kidung Jerum Kundangdya Analisis Struktur dan Fungsi”.

Penelitiannya diawali dengan penelitian filologi terhadap teks Kidung Jerum

Kundangdya dengan kesimpulan teks Kidung Jerum Kundangdya yang berada di

Gedong Kirtya Singaraja menjadi naskah yang paling baik dan lengkap.

Dilanjutkan dengan analisis struktur naratif dan fungsi. Dalam analisis fungsi,

Ambara hanya mengungkapkan bahwa Kidung Jerum Kundangdya dihadirkan

dalam upacara bhuta yadnya dengan alasan upacara keagamaan Hindu di Bali

memerlukan adanya nyanyian-nyanyian suci sebagai pengiring persembahan.

Dalam penelitian tersebut belum disinggung tentang keterkaitan Kidung Jerum

Kundangdya dengan harmonisasi alam. Demikianlah gambaran ringkas penelitian

yang pernah dilakukan terhadap Kidung Jerum Kundangdya pada tahun 1989 dan

hingga kini belum pernah ada penelitian kembali terhadap kidung ini. Oleh karena

itu, Kidung Jerum Kundangdya memang layak diteliti kembali. Salah satu di

antaranya dengan meneliti dan mengungkap hubungan cinta yang berlatar

belakang perselingkuhan dalam Kidung Jerum Kundangdya dalam kaitannya

dengan hamonisasi alam.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini dapat diperinci sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk harmonisasi alam dalam Kidung Jerum

Kundangdya?

2. Bagaimanakah fungsi harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya

bagi masyarakat Bali?

3. Bagaimanakah makna harmonisasi alam dalam Kidung Jerum

Kundangdya bagi masyarakat Bali?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Penelitian ini memiliki tujuan umum menggali dan mengungkap

keberadaan naskah-naskah karya sastra tradisional berupa kidung dengan harapan

mampu memunculkan manfaat lebih bagi masyarakat luas. Selain sebagai salah

satu bentuk pelestarian terhadap karya-karya sastra lama, kidung juga salah satu

naskah karya sastra tradisional berbentuk nyanyian yang dikenal sebagai salah

satu budaya leluhur yang dahulu tersebar luas di Nusantara. Sebagai sebuah

warisan budaya Nusantara, pelestarian melalui sebuah penelitian mampu menjadi

sebuah cara yang tepat untuk mejaga kelestarian dan bahkan mampu

memunculkan minat masyarakat nusantara untuk tetap membaca kidung.

1.3.2 Tujuan khusus

Secara khusus penelitian ini adalah menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan dalam rumusan masalah, yaitu sebagai berikut:

1. Mengetahui bentuk harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya.

2. Mengetahui fungsi harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya

bagi masyarakat Bali.

3. Mengetahui makna harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya

bagi masyarakat Bali.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan sumbangan

keilmuan dan praktis. Manfaat pertama adalah manfaat yang bersifat teoretis dan

manfaat kedua bersifat praktis yang dijabarkan sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis sebuah penelitian diharapkan mampu memberikan sumber

informasi untuk penelitian berikutnya yang sejenis. Selain itu untuk menambah

khazanah bahan bacaan hasil penelitian kesusastraan Bali, khususnya yang

berkaitan dengan karya sastra kidung.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis ada manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

memperkenalkan kepada masyarakat bahwa beberapa bait kidung yang umumnya

dinyanyikan ketika berlangsungnya upacara agama sesungguhnya memiliki

sebuah bangun karya yang utuh, di mana di dalamnya terjalin sebuah cerita yang

sarat akan makna kehidupan. Salah satu di antaranya adalah kidung Jerum

Kundangdya. Selain itu, mampu pula memberikan sebuah pemahaman kepada

masyarakat mengenai keterkaitan antara karya sastra kidung Jerum Kundangdya

yang bertema cinta dan harmonisasi alam.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kidung Jerum Kundangdya merupakan sebuah naskah yang sebelumnya

sudah pernah diteliti oleh I Gusti Ngurah Putu Ambara pada tahun 1989.

Penelitian Kidung Jerum Kundangdya dihasilkan dalam bentuk skripsi dengan

judul “Kidung Jerum Kundangdya Analisis Struktur dan Fungsi”. Penelitian

tersebut membahas dua masalah, yaitu struktur dan fungsi Kidung Jerum

Kundangdya. Diawali dengan peneltian filologi yang menyimpulkan naskah

Kidung Jerum Kundangdya di Gedong Kertya Singaraja menjadi naskah yang

paling baik dan lengkap. Dilanjutkan dengan analisis struktur naratif dan fungsi.

Analisis fungsi dalam penelitian Ambara lebih kepada fungsi kewacanaan dalam

Kidung Jerum Kundangdya, dimana dibagi kembali menjadi fungsi sosial,

pendidikan, dan keagamaan. Dengan penelitian fungsi yang lebih mengarah pada

fungsi sosial, pendidikan dan keagamaan tentu membedakan penelitian ini dengan

penelitian yang sebelumnya telah pernah dilakukan Ambara.

Penelitian terbaru terhadap kidung dilakukan oleh I Nyoman Suarka

(2007) dalam sebuah disertasi dengan judul Kidung Tantri Pisacarana. Penelitian

tersebut mengangkat empat permasalahan, yaitu: (1) penerimaan dan tanggapan

masyarakat Bali terhadap teks Tantri Kamandaka, (2) Tantri Pisacarana dengan

konvensinya dalam tradisi Bali, (3) keterbacaan teks Kidung Tantri Pisacarana

dalam suntingan dan terjemahan, dan (4) Kidung Tantri Pisacarana sebagai satu

fenomena semiotik. Dari keempat permasalahan tersebut dihasilkanlah sebuah

pemahaman yang kompleks mengenai Kidung Tantri Pisacarana, mulai dari

naskah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hingga makna yang

terkandung dalam Kidung Tantri Pisacarana. Hasil penelitian kidung ini dapat

dijadikan sumber inspirasi untuk meneliti naskah-naskah kidung mengingat

adanya kesamaan dari segi permasalahan yang diangkat, yaitu mencari makna

yang terkandung dalam naskah yang dibedah dengan teori semiotik.

Penelitian mengenai harmonisasi alam yang disertai dengan pelestarian

alam pernah dilakukan oleh Alit Udayana dalam sebuah penelitian yang berjudul

“Tumpek Kandang Kearifan Lokal Bali untuk Pelestarian dan Pengembangan

Sumber Daya Ternak”. Dalam penelitian tersebut, Alit Udayana menyampaikan

hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan

manusia dengan lingkungan yang pada akhirnya bertujuan untuk menciptakan

kesejahteraan jagat beserta isinya. Tri Hita Karana merupakan sebuah konsep

tentang harmonisasi yang dikenal oleh masyarakat Bali. Keseimbangan dan

keharmonisan dikaitkan dengan aktivitas masyarakat Bali itu sendiri. Salah satu

diantaranya melalui upacara bhuta yadnya seperti perayaan Tumpek Kandang

(Alit Udayana, 2008: 79--80).

Kajian pustaka-pustaka di atas dapat memberikan suatu gambaran dan

pemahaman kepada peneliti mengenai analisis karya sastra kidung kendatipun

analisis yang akan dilakukan pada naskah kidung dengan judul dan permasalahan

yang berbeda. Dalam hal ini, peneliti menganalisis Kidung Jerum Kundangdya

dilihat dari keterkaitan isi naskah dan wacana harmonisasi alam, hal itu dilakukan

karena keberadaan Kidung Jerum Kundangdya ini sebagai kidung pengiring

upacara bhuta yadnya yang merupakan upacara yang bertujuan sebagai

pengharmonis alam. Cerita yang secara eksplisit menceritakan cerita cinta

ternyata mengandung sebuah bahasan yang berkaitan dengan sebuah upacara yang

bertujuan untuk menetralisasi alam sehingga menjadi harmonis. Penelitian ini

diharapkan mampu memberikan sebuah gambaran keterkaitan upacara bhuta

yadnya dengan isi cerita Kidung Jerum Kundangdya, lebih tepatnya alasan

mengapa kidung ini dianggap pantas sebagai pengiring upacara untuk

pengharmonisan alam.

2.2 Konsep

Dalam penelitian ini dijelaskan dua konsep yang dianggap penting, yakni

terbatas pada konsep-konsep kontekstual yang benar-benar bermanfaaat untuk

memahami makna dari Kidung Jerum Kundangdya. Konsep-konsep yang perlu

dibahas di dalam tulisan ini adalah konsep kidung dan konsep harmonisasi alam.

2.2.1 Konsep Kidung Jerum Kundangdya

Kidung merupakan salah satu bentuk karya sastra Bali tradisional yang

diakui keberadaannya di samping kakawin, geguritan, dan palawakya. Istilah

kidung mempunyai dua pengertian, yaitu (1) kidung berarti nyanyian dan (2)

kidung adalah karya sastra yang menggunakan metrum berbeda dengan metrum

kakawin ataupun metrum macapat (Zoetmulder dkk,1995:498). Sebagai sebuah

bagian dari sastra, ada pandangan bahwa sastra kidung merupakan bentuk puisi

yang menggunakan matra Jawa Tengahan dan bentuk ini dinamakan pula Sekar

Tengahan (Sekar Madya) (Wicaksana dan Marhaeni, 2004: 14). Dari pandangan

di atas dapat disimpulkan bahwa kidung merupakan bentuk puisi yang mampu

dinyanyikan sesuai dengan metrumnya.

Kidung telah dikenal sejak zaman pra-Hindu dengan munculnya istilah

“mangidung” yang dipakai di Bali untuk menyebutkan suatu bentuk nyanyian

atau sekelompok orang yang sedang menyanyi. Suastika (1997: 305--307)

menjelaskan bahwa setelah masuknya pengaruh Jawa di Bali, sejak masa

pendudukan Majapahit pada tahun 1343, kegiatan sastra mengalami masa

keemasannya, khususnya pada zaman Kerajaan Gelgel dan Kerajaan Klungkung.

Pada zaman Kerajaan Gelgel lahir berbagai genre sastra. Salah satu diantaranya

adalah karya sastra kidung yang menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Pada

masa Bali Kuno di Bali, bentuk nyanyian dikenal dengan istilah gending. Pada

masa Jawa Kuno di Jawa bentuk nyanyian itu dinamakan kidung. Dapat dikatakan

bahwa tradisi mangidung di Jawa yang di Bali diperkirakan sama dengan tradisi

magending telah ada jauh sebelum kemunculan kidung dalam bentuk naskah

(Soedarsono, 1997).

Berdasarkan bahasa yang digunakan, sastra kidung dalam tradisi Bali

dapat dibedakan menjadi sastra kidung yang menggunakan bahasa Tengahan,

bahasa Bali dan sastra kidung yang menggunakan bahasa Sasak (Suarka, 2007:

135). Jika ditelusuri berdasarkan temanya, Zoetmulder (1985: 512--545) membagi

sastra kidung menjadi tiga jenis, yaitu (1) kidung historis, (2) kidung panji, dan (3)

kidung yang bersifat kerakyatan. Berbeda dengan pandangan Tim Pusat Bahasa

yang membedakan kidung berdasarkan temanya menjadi tiga yang terdiri atas (1)

kidung sejarah atau legenda, (2) kidung bertema panji, dan (3) kidung ruwat dan

penyucian diri. Kidung bersifat kerakyatan yang diungkapkan oleh Zoetmulder

kiranya dapat disamakan dengan kidung ruwat dan penyucian diri.

Dilihat dari metrumnya, sastra kidung dapat dibedakan atas kidung

bermetrum macapat dan kidung bermetrum tengahan. Metrum macapat yang

digunakan dalam kidung memiliki prosodi, antara lain terikat oleh jumlah baris

dalam satu bait, jumlah suku kata dalam setiap baris, dan bunyi akhir pada setiap

baris. Prosodi metrum kidung lebih banyak ditentukan oleh jumlah suku kata dan

bunyi akhir pada setiap bait daripada jumlah suku kata dan bunyi akhir pada setiap

larik atau baris. Dalam hal metrum, sebenarnya kidung tidak hanya mengadopsi

metrum macapat yang biasa digunakan dalam sastra geguritan atau peparikan

tetapi juga mengadopsi wirama dalam sastra kakawin. Di samping menggunakan

metrum macapat, ada pula jenis sastra kidung menggunakan metrum tengahan. Di

Bali metrum tengahan disebut sekar madia. Di Jawa dikenal istilah tembang

tengahan atau sekar madia. Sekar madia atau tembang tengahan sebagai jenis

metrum yang digunakan dalam karya sastra kidung mempunyai prosodi, terdiri

atas (1) jumlah suku kata dan bunyi akhir dihitung dalam bait, bukan setiap baris

sebagaimana dalam metrum macapat (Suarka, 2007: 133--134).

Sastra kidung sangat fungsional dalam kehidupan masyarakat Bali,

khususnya dalam bidang keagamaan. Pelaksanaan suatu upacara agama di Bali

tidak lepas dari kidung atau gita. Ada lima jenis upacara agama di Bali yang

disebut panca yajnya, yaitu upacara dewa yajnya, manusa yajnya, rsi yajnya,

bhuta yajnya dan pitra yajnya. Kidung yang dikategorikan kidung dewa yajnya

berisi hal-hal yang berkaitan dengan sistem dan praktik pemujaan kepada Dewa

sebagai manifestasi Tuhan dengan berbagai gelar dan atributnya. Kidung yang

dikategorikan sebagai kidung pitra yajnya berisi doa-doa yang ditujukan untuk

keselamatan roh mendiang agar mendapat tempat yang baik sesuai dengan

karmanya. Kidung manusa yajnya berisi doa-doa pengiring dalam upacara

manusa yajnya. Kidung rsi yajnya berisi doa-doa pengiring dalam upacara rsi

yajnya, Kidung bhuta yajnya berisi doa-doa pengiring dalam pelaksanaan upacara

bhuta yajnya yang bertujuan membersihkan dan menyucikan suatu tempat atau

alam beserta isinya dengan meruwat makhluk-makhluk halus atau bhuta kala

yang dianggap lebih rendah daripada manusia (Suarka, 2007: 139--140).

Kata Jerum Kundangdya merupakan dua kata yang diambil dari nama

tokoh, yaitu Jerum dan Kundangdya. Berdasarkan Kamus Bahasa Bali yang

disusun oleh Balai Bahasa Denpasar dan di bantu dengan Kamus Jawa Kuno

karya Zoetmulder dkk, dapatlah terungkap mengenai makna dari urat kata Jerum

dan Kundangdya. Jerum berasal dari urat kata bahasa Jawa Kuno jih dan rum. jih

yang berarti benih atau jiwa dan rum berarti harum. Jadi jerum dilihat dari arti

katanya dapat diartikan sebagai jiwa yang harum. Sedangkan berdasarkan Kamus

Bahasa Bali, Jerum adalah nama tempat tempat tidur/ peraduan dan nama salah

satu metrum kidung. Seperti yang digambarkan dalam Kidung Jerum

Kundangdya, tokoh Jerum merupakan sosok seorang wanita cantik dengan fisik

sempurna yang akhirnya memikat dua orang pria hingga tergila-gila dengannya.

Namun tidak lepas dari arti tempat tidur yang menyebabkan kehidupan Jerum

berubah. Kematian sekaligus kebahagiaannya berawal dari tempat tidur, yaitu saat

Kundangdya meniduri Jerum.

Selain dikenal sebagai judul dari kekidungan dalam Kidung Jerum

Kundangdya, Jerum juga merupakan salah satu nama metrum kidung dari prosodi

metrum macapat yang memang digunakan hanya untuk menyanyikan setiap bait

kidung Jerum Kundangdya itu sendiri. Sedangkang kata Kundangdya berasal dari

kata kundang yang artinya gadis/ gadis pilihan dan dia yang artinya rarē 'anak /

anak kecil'. Kundangdya dapat berarti anak gadis pilihan. Demikianlah seperti

yang digambarkan dalam cerita bahwa Tokoh Kundangdya memeperjuangkan

untuk dapat bersatu dengan gadis pilihannya yaitu Jerum.

Kidung Jerum Kundangdya merupakan kidung yang sering dinyanyikan

dalam upacara bhuta yadnya. Hingga kini masyarakat di Bali umumnya hanya

melantunkan satu sampai lima bait terdepan dari Kidung Jerum Kundangdya.

Didukung dengan terbitnya buku-buku Kidung Panca Yadnya yang hanya memuat

satu sampai lima bait Kidung Jerum Kundangdya dan hanya dikenal dengan

sebutan Kidung Jerum. Cerita dalam bait satu hingga lima hanya merupakan

sebuah pembukaan yang menghadirkan kata-kata awal pengarang yang

merendahkan dirinya karena telah berani membuat sebuah karangan hingga

pengenalan tokoh Kundangdya yang akan dijodohkan dengan Jerum oleh ibunya.

Dalam realitasnya sekarang, belum banyak masyarakat Bali yang mengenal

Kidung Jerum Kundangdya secara utuh dan keseluruhan namun sangat mengenal

metrum Jerum. Kidung Jerum lebih terkenal dengan bait-bait terdepan tersebut

yang memang lebih sering dinyanyikan dalam upacara-upacara keagamaan

khususnya dalam upacara bhuta yadnya. Sesungguhnya justru ada cerita menarik

dan penuh makna yang dimiliki Kidung Jerum Kundangdya dalam naskahnya

yang utuh.

2.2.2 Konsep Harmonisasi Alam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 390) harmonisasi

mengandung pengertian pengharmonisan; upaya mencari keselarasan dan alam

berarti segala yang ada di langit dan di bumi (seperti bumi, bintang, kekuatan).

Alam merupakan tempat makhluk hidup melangsungkan kehidupannya. Makhluk

hidup dan alam menjadi dua unsur yang saling membutuhkan. Alam memberikan

apa yang dibutuhkan makhluk hidup dan makhluk hidup pun berkewajiban

menjaga alam tersebut agar tidak rusak sehingga terciptalah hubungan harmonis

antara makhluk hidup dan alam.

Menurut pandangan agama Hindu, alam semesta yang mahaluas ini

disebut bhuwana agung, sedangkan manusia disebut bhuwana alit. Alam besar

disebut bhuwana agung atau macrocosmos dan alam kecil disebut bhuwana alit

atau microcosmos. Tuhanlah yang menjadi sumber awal, tengah, dan akhir dari

kedua alam tersebut. Unsur yang membentuk macrocosmos dan microcosmos

adalah unsur dasar yang sama yaitu yang disebut panca maha bhuta. Unsur panca

maha bhuta adalah prtiwi (zat padat), apah ( unsur cair), bayu (udara), teja (unsur

panas), dan akasa (eter). Itulah bahan dasar yang membentuk alam semesta dan

semua makhluk hidup yang menghuni alam semesta ini.

Alam dan isinya ini akan selalu berhubungan, saling ketergantungan, dan

merupakan suatu ekosistem. Diperlukan kebajikan manusia agar mampu

mempertahankan keharmonisan bhuwana agung dengan bhuwana alit. Di dalam

kitab Manava Dharmasastra Bab I. 5-19 dijelaskan mengenai penciptaan alam

sebagai berikut.

"Ketahuilah, mula pertama alam semesta ini gelap, tidak diketahui tanpa

ciri-cirinya, demikian pula tidak terpikirkan oleh daya akal, tidak diketahui,

sebagai halnya dengan orang yang tidur lelap.

Kemudian dengan kekuatan tapa-Nya, Ia Tuhan Yang Mahaada

menciptakan ini disebut maha bhuta (unsur alam semesta) dan lainnya, nyata

terlihat melenyapkan kegelapan.

Ia hanya terlihat oleh pikiran, suksma (= gaib), tak terbagikan, kekal, citta

(bersifat berpikir), dari pada-Nya-lah semua ciptaannya ini, yang tak terkirakan

banyaknya memancar laksana kemauan sendiri.

Ia yang menciptakan berbagai ciptaan, menjadi dari diri-Nya sendiri,

diciptakannya makhluk-makhluk hidup yang beraneka ragam, mulai dengan

memikirkannya, diciptakannya air dan meletakkan benih di dalamnya.

Benih menjadi telur alam semesta yang mahasuci, cemerlang laksana

jutaan sinar; dari dalam telur itu, ia dijadikan menjadi brahman, pencipta cikal

bakal alam semesta.

Air, Nara namanya, karena sesungguhnya air itu dari Nara dan sebagai

delapan tempat (ayana) dari yang pertama, karena itu Ia digelari Narayana.

Dari asal itu, ia yang tak nyata, kekal dan nyata tak nyata, Ia menciptakan

Purusa. Dikenal di dunia dengan gelar Brahma.

Di dalam telur itu, Ia Bhagawan, telah tinggal, selama setahun, kemudian

melalui daya pikirnya sendiri, Ia bagi dirinya menjadi dua bagian. Dari dua bagian

itu ia ciptakan langit dan bumi. Di tengah-tengahnya Wyoma (atmosfer) delapan

penjuru mata angin dan tempat abadi untuk air.

Ia juga ciptakan manah (akal budi) dari dirinya dengan sifatnya yang tak

nyata, demikian selanjutnya dari akal budi diciptakannya ahamkara yang

menguasai kesadaran.

Laksana Yang Mahaagung, demikian pula atman dan ciptaan-Nya

dipengaruhi oleh tri guna, dan menurut sifatnya panca indria mengenal benda-

benda lahiriah itu.

Dengan menggabung-gabungkan unsur-unsur yang enam dengan unsur

lain dari diri-Nya sendiri yang mempunyai kekuatan yang tak terkirakan, Ia

ciptaan makhluk seisi alam semesta.

Karena bentuk ciptaan itu bersifat gaib (sukma), menjiwai (a-sri) serba ada

(saat) ini, tak termusnahkan (siryate), orang bijaksana menamakan bentuk sarira

(badan).

Bhuta-bhuta dengan fungsi mereka bersama dan pikiran, ia jadikan badan-

badan gaib yang abadi menjadi sarwa bhuta (semua makhluk hidup).

Dari ketujuh unsur itu, Purusa Yang Mahasakti, terjadilah alam semesta ini

dari yang termusnahkan menjadi termusnahkan" (Pudja dan Sudharta, 2002: 28--

42).

Planet bumi tempat semua makhluk hidup menyelenggarakan

kehidupannya ini dibangun oleh lima unsur yang disebut panca maha bhuta dalam

ajaran agama Hindu. Panca maha bhuta itu terdiri atas unsur padat seperti tanah

yang disebut prthivi. Unsur cair seperti air yang disebut apah, unsur panas yang

disebut teja, unsur udara yang disebut bayu, dan unsur eter yang disebut akasa.

Semua unsur alam ini memiliki hukum-hukumnya sendiri untuk bisa bereksistensi

memberikan kontribusi pada kehidupan makhluk lain isi alam ini. Angin

berembus dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Air selalu mengalir

dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Sifat api membakar, sifat air

membasahi dst. Semua gerak laku alam itu memiliki makna bagi kehidupan

makhluk hidup isi alam ini (Wiana, 2007: 155). Eksistensi fungsi unsur alam

tersebut tentunya akan berjalan lancar kalau aspek asasi dari unsur alam itu tidak

terganggu. Unsur-unsur alam itu akan tidak dapat berfungsi sesuai dengan hukum

alam apabila unsur alam tersebut diganggu asasinya. Jika keberadaan alam itu

dilindungi dengan sebaik-baiknya, maka semua bentuk dan kontribusi alam itu

akan memberikan kontribusi pada kehidupan semua makhluk hidup di dunia ini.

Demikianlah penciptaan alam semesta yang diuraikan dalam kitab Manava

Dharmasastra dan manusia menjadi makhluk yang mengisi alam semesta yang

berkewajiban menjaga keharmonisan alam semesta tersebut karena di antara

makhluk hidup yang lain hanya manusia yang memiliki "idep" atau kecerdasan

spiritual dan kecerdasan intelektual. Banyak hal dapat dilakukan manusia untuk

menjaga keharmonisan alam salah satunya dimulai dengan menjaga keharmonisan

diri.

Di lingkungan masyarakat Hindu di Bali dikenal sebuah upacara yang

bertujuan untuk mengharmoniskan kekuatan alam. Upacara tersebut disebut bhuta

yadnya. Bhuta yadnya di kalangan umat Hindu di Bali masih dianggap sebagai

persembahan yang disuguhkan kepada bhuta kala, agar bhuta kala tersebut

menyantapnya dan dibayangkan rupa bhuta kala sangat mengerikan. Pandangan

demikian dianggap keliru oleh I.B. Sudarsana melalui bukunya yang berjudul

Ajaran Agama Hindu Makna Upacara Bhuta Yajnya. Menurut pandangan beliau,

kata bhuta berasal dari suku kata “bhu” yang artinya menjadi, ada, gelap,

berbentuk, makhluk, kemudian menjadi kata “bhuta” yang artinya telah dijadikan

atau diwujudkan. Kata “kala” artinya energi, waktu. Bhuta kala berarti: energi

yang timbul dan mengakibatkan kegelapan (Sudarsana, 2001: 19).

Umat Hindu di Bali meyakini bahwa bhuta kala sebagai kekuatan-

kekuatan yang bersifat negatif yang sering menimbulkan gangguan serta bencana.

Dengan melakukan upacara bhuta yajnya, maka kekuatan-kekuatan tersebut akan

dapat menolong dan melindungi kehidupan manusia. Butha yajnya bermakna

upacara pengorbanan/persembahan suci yang tulus ikhlas, dengan makhluk-

makhluk yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), yang bertujuan

untuk menjaga keseimbangan, kelestarian, dan keselarasan antara jagat raya ini

dan diri kita. Hal yang dapat memunculkan keseimbangan alam disebabkan oleh

adanya cinta kasih. Dari cinta menjadikan seimbang, lestari, dan selarasnya

hubungan antara alam atau jagat raya ini dan makhluk hidup, tentu memunculkan

sebuah keharmonisan yang pada akhirnya menciptakan kedamaian dunia. Dalam

teks Siwagama termuat bahwa upacara yadnya wajib dilakukan oleh penganut

ajaran karma sanyasa yang berpandangan bahwa upacara yadnya sangat penting

dilaksanakan untuk menyucikan alam semesta. Jika alam semesta tidak dibuatkan

upacara yajnya, maka segalanya akan menjadi kotor, dunia bagaikan tanpa

kekuatan spiritual, tanah akan menjadi tandus dan gersang, hasil bumi menjadi

tidak suci dan tidak mempunyai rasa. Agama Hindu mengajarkan keseimbangan.

Untuk itu, dilakukan upacara yajnya sebagai salah satu cara memelihara

keseimbangan (Suarka dkk, 2005: 318--320).

Wiana (2004 : 153--154) dalam bukunya yang berjudul Mengapa Bali

disebut Bali? menulis bahwa makna upacara bhuta yadnya menanamkan nilai-

nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dan dengan kesadaran ini

melakukan upaya untuk melestarikan kesejahteraan alam. Upacara bhuta yadnya

di Bali sering diterjemahkan sebagai yadnya dengan persembahan berupa

binatang. Masyarakat di Bali mengenal sebuah kepercayaan bahwa tumbuh-

tumbuhan dan binatang yang digunakan sebagai sarana upacara yadnya akan

mengalami peningkatan pada reinkarnasi kehidupan berikutnya. Oleh karena itu,

tumbuhan dan binatang sering kali digunakan sebagai sarana upacara yadnya di

Bali sebagai salah satu wujud tolong-menolong dan saling mencintai antara

manusia dan lingkungan (termasuk di dalamnya tumbuhan dan binatang) sehingga

pada akhirnya menciptakan keharmonisan alam. Dalam upacara bhuta yadnya,

binatang bahkan menjadi persembahan pokok yang bertujuan untuk meningkatkan

sitat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan hingga

akhirnya meningkat menuju sifat-sifat kedewaan. Bhuta yadnya jika dimaknai

lebih dalam tidak hanya sebatas persembahan kepada bhuta kala, tetapi

merupakan salah satu wujud manusia memperbaiki dan introspeksi diri untuk

berusaha menghilangkan sifat-sifat bhuta layaknya sifat binatang yang

dikorbankan hingga akhirnya sang manusia mampu menciptakan sebuah

keharmonisan.

Dalam Konsep Hindu di Bali mengenal Tri Hita Karana membahas

tentang cara menjaga hubungan baik antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan),

hubungan baik antara manusia dengan manusia (Pawongan), dan hubungan baik

antara manusia dengan alam sekitar (Palemahan). Tri Hita Karana adalah filosofi

hidup yang menjadi bagian dari hidup manusia. Ketika sikap hidup dibentuk

karena pola pikir menerapkan Tri Hita Karana, disitulah keharmonisan akan

selalu terjaga.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan semiotik sebagai teori utama untuk

menganalisis Kidung Jerum Kundangdya. Semiotika berasal dari kata semeion,

yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika

berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara

kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Kehidupan manusia

dipenuhi oleh tanda. Dengan perantaraan tanda-tanda proses kehidupan menjadi

efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan

sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia.

Dengan demikian, manusia adalah homo semioticu (Ratna, 2004: 97).

Dalam konteks semiotik, tanda mempunyai dua aspek, yakni aspek

penanda signifian/signified dan aspek petanda atau signifie (Sudjiman dan Zoest,

1992: 59). Lebih lanjut Sudjiman dan Zoest menjelaskan berdasarkan hubungan

antara penanda dan petanda maka tanda dapat dipilih menjadi ikon, indeks, dan

simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya keserupaan yang bersifat

alamiah antara penanda dan petandanya. Keserupaan itu adalah hubungan

persamaan. Misalnya gambar kuda sebagai penanda, menandai kuda sebagai

petanda atau artinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal

atau sebab akibat antara penanda dengan petandanya. Misalnya adanya asap

menandai api, penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya. Simbol

adalah kesepakatan atau konvensi umum tentang tanda-tanda yang menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petanda, hubungannya

bersifat arbitrer atau semau-maunya. Dalam hal ini arti tanda sangat diperlukan

oleh konvensi. Misalnya ibu adalah simbol, artinya ditentukan oleh masyarakat

Indonesia, orang Inggris menyebutnya mother (Sudjiman dan Zoest, 1992:59--60).

Karya sastra merupakan aktivitas bahasa yang secara tidak langsung

bersifat hipogramatik. Fenomena sastra merupakan suatu dialektik antara teks dan

pembaca serta dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Gagasan itu

didasarkan atas prinsip bahwa puisi (karya sastra) merupakan suatu aktivitas

bahasa. Akan tetapi, aktivitas bahasa itu adalah tidak langsung. Ada tiga hal yang

menyebabkan ketidaklangsungan itu, yakni displacing of meaning, distorting of

meaning, dan creating of meaning. Displacing of meaning muncul ketika tanda-

tanda berpindah dari satu arti ke arti yang lain, ketika satu kata “menggantikan”

kata yang lain sebagai metafora dan metonimi. Distorting of meaning terjadi

akibat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsens. Sementara itu, creating of meaning

ditentukan oleh suatu organisasi prinsip untuk tanda-tanda di luar item-item

linguistik (Riffaterre, 1978: 1--2).

Dalam penelitian ini, pemilihan teori semiotik akan lebih mengacu pada

pendapat Riffaterre mengingat kidung juga merupakan salah satu bentuk puisi

tradisional. Penelitian mengenai representasi cinta dalam kidung Jerum

Kundangdya memuat tanda-tanda yang dapat diinterpretsikan. Interpretasi tanda-

tanda dapat mengarahkan pada suatu pemahaman yang kompleks mengenai isi

karya. Dalam konteks penelitian ini, teori semiotik digunakan untuk

mengungkapkan bentuk, fungsi, dan makna harmonisasi alam dalam kidung

Jerum Kundangdya.

2.4. Model Penelitian

TEORI SEMIOTIK

HARMONISASI

ALAM DALAM

KIDUNG JERUM

KUNDANGDYA

MAKROKOSMOS

DAN

MIKROKOSMOS

Fungsi Harmonisasi Alam

dalam Kidung Jerum

Kundangdya

Makna Harmonisasi

Alam dalam Kidung

Jerum Kundangdya

Bentuk Harmonisasi

Alam dalam Kidung

Jerum Kundangdya

Keterangan Model Penelitian

= Merupakan Objek Penelitian

= Merupakan teori yang dipakai dalam penelitian

= Merupakan hasil penelitian

= Merupakan garis penghubung antara sesama objek,

dari teori ke objek, dan dari objek ke hasil

penelitian.

Penjelasan Model Penelitian

Kidung Jerum Kundangdya dikaji dengan teori semiotika. Teori semiotik

digunakan untuk menemukan keterkaitan makrokosmos yaitu alam semesta dan

isinya yaitu mikrokosmos dengan wacana harmonisasi alam dalam Kidung Jerum

Kundangdya. Pada akhirnya penelitian ini memiliki hasil akhir berupa

pemahaman mengenai harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya, baik

dari segi bentuk, fungsi maupun makna.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian memiliki empat tahapan penting. Tahapan-tahapan tersebut

meliputi tahap persiapan, tahap pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap

penyajian hasil analisis. Tahap persiapan dalam hal ini meliputi pemilihan judul,

studi pustaka, perumusan masalah, perumusan tujuan, penentuan metode

penelitian, dan penetapan waktu penelitian. Pemilihan judul dilakukan dengan

terlebih dahulu membaca kidung Jerum Kundangdya. Setelah membaca dan

memahami isinya dilanjutkan dengan mencari suatu permasalahan yang menjadi

titik kemenarikan dari karya tersebut.

Langkah selanjutnya dalam tahap persiapan adalah studi pustaka. Studi

pustaka dilakukan untuk mengumpulkan bahan-bahan serta literatur yang

menunjang proses penelitian. Pemilihan dan pengumpulan bahan-bahan serta

literatur penunjang tentu saja dikaitkan dengan rumusan masalah serta tujuan yang

ingin dicapai dalam penelitian ini. Perumusan masalah dalam penelitian ini

dilakukan dengan pola pemikiran yang diutarakan oleh Marzuki (1989:26), yaitu

manageable (topik penelitian terjangkau oleh peneliti), ontainable (permasalahan

dirumuskan dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan-bahan pustaka),

significance (masalah yang digarap cukup penting untuk diteliti), dan interest

(masalah yang diangkat mengaktifkan niat).

Selanjutnya adalah tahapan analisis yang meliputi editing dan coding.

Tahapan editing bertujuan untuk melihat keakuratan dan reliabilitas data dengan

permasalahan yang hendak dipecahkan. Coding merupakan tahap memberikan

tanda pada data-data yang telah ditemukan untuk selanjutnya diklasifikasikan

sesuai dengan yang dibutuhkan dalam penelitian. Kemudian, tahap terakhir dalam

sebuah penelitian adalah tahap penyajian hasil analisis data.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis penelitian ini bersifat kualitatif dengan data primer berupa teks

Kidung Jerum Kundangdya yang telah melalui proses transliterasi dari naskah asli

yang masih berbetuk lontar yang disimpan di Gedong Kirtya Singaraja. Didukung

juga dengan naskah Kidung Jerum Kundangdya yang disusun oleh Proyek

Percetakan Naskah Sastra Klasik Daerah Bali dan dari Perpustakaan Lontar milik

Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Selain dari teks Kidung Jerum

Kundangdya, sumber data juga diperoleh dari informan yang mengetahui Kidung

Jerum Kundangdya dalam posisinya sebagai kidung pengiring upacara bhuta

yajnya.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data paling berperan untuk berhasil tidaknya suatu

penelitian. Kesalahan dalam penggunaan metode pengumpulan data berakibat

fatal terhadap hasil penelitian yang dilakukan. Metode pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode pembacaan teks. Pembacaan teks

yang dilakukan bertujuan untuk pemaknaan terhadap karya sastra Kidung Jerum

Kundangdya. Dengan kata lain, peneliti berusaha untuk menemukan sumber-

sumber atau bahan bacaan yang ada relevansinya dengan topik penelitian.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam tahap analisis data adalah deskriptif-

analitik. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan terlebih dahulu untuk

menemukan unsur-unsurnya yang kemudian dilanjutkan dengan analisis, tentunya

juga dengan bantuan teknik pencatatan. Dalam penelitian ini, data yang telah

ditemukan dideskripsikan kemudian dianalisis dengan teori semiotik untuk

mengungkap makna yang terkadung dalam kidung yang kemudian dikaitkan

dengan harmonisasi alam. Dengan munculnya keterkaitan Kidung Jerum

Kundangdya dengan harmonisasi alam di Bali menjadikan metode hermeneutik

tidak bisa dilepaskan dari penelitian ini mengingat perlunya sebuah penafsiran dan

interpretasi, baik untuk karya maupun dalam kaitannya dengan harmonisasi alam

di Bali. Untuk mendapatkan data tambahan untuk melengkapi penelitian,

dilakukan juga metode wawancara yang dibantu dengan teknik catat dan

perekaman dengan bantuan alat perekam.

3.5 Penyajian Hasil Penelitian

Tahap terakhir dalam sebuah penelitian adalah tahap penyajian hasil

analisis data. Pada tahapan ini metode yang digunakan adalah metode informal,

yaitu cara penyajian dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145). Dalam

penelitian ini penyajian akan dilakukan dengan menggunakan kalimat dan kata-

kata dalam bahasa Indonesia.

BAB IV

BENTUK WACANA HARMONISASI ALAM DALAM KIDUNG JERUM

KUNDANGDYA

4.1 Deskripsi Teks Kidung Jerum Kundangdya

Teks Kidung Jerum Kundangdya yang digunakan dalam penelitian ini

diambil dari sebuah naskah yang telah berbentuk buku dengan tulisan Latin.

Berikut identifikasi naskah Kidung Jerum Kundangdya yang digunakan dalam

penelitian ini :

1. Judul : Kidung Jerum Kundang Dia

2. Jumlah bait : 325 bait

3. Jumlah hal. buku : 105 halaman

4. Kalimat awal : Om awignam astu nama sidam. Tangeh ana

munturida........

5. Kalimat akhir : ......genep muang Paduka matur

6. Tahun ditranskripsi : 1985/ 1986

7. Pentranskripsi : dikerjakan dalam sebuah proyek Percetakan Naskah

Sastra Klasik Daerah Bali

Buku yang berjudul Kidung Jerum Kundang Dia ini merupakan hasil

transkripsi dari lontar milik Gedong Kirtya di Singaraja no. 845, yang aslinya

berasal dari milik Nang Rembun, Desa Lenganan, Kecamatan Bajra dan disalin

oleh Ketut Rumiasta asal Banjar Paketan, Singaraja. Pentranskripsian lontar ini

dikerjakan pada tahun 1985/1986 dalam sebuah proyek percetakan naskah sastra

klasik daerah Bali. Dalam kata pengantar buku tersebut, telah disinggung

bagaimana kepopuleran Kidung Jerum Kundangdya di masyarakat pada era tahun

1920-an hingga 1930-an. Ketika itu kidung ini banyak dinyanyikan oleh

kelompok-kelompok atau sekaa-sekaa. Kidung ini umumnya diiringi oleh rebab,

suling, dan kadang juga gēnggong. Ada beberapa sekaa yang terkenal dari daerah

Kabupaten Buleleng, seperti sekaa dari Desa Pengelatan, Padangbulia,

Nagasepeha, dan Kubutambahan.

"Kidung Jerum Kundangdya". Judul kidung ini diambil dari dua orang

nama tokoh utama. Ini sesuai dengan isi cerita yang sebagian besar menceritakan

kehidupan dua tokoh dalam judul tersebut, yaitu Jerum dan Kundangdya. Cinta

menjadi permasalahan yang mendominasi diceritakan dalam teks, dimulai dari

penolakan sebuah perjodohan Kundangdya terhadap Jerum lalu munculnya rasa

cinta Kundangdya terhadap Jerum hingga membuat Kundangdya nekat meniduri

Jerum yang ketika itu telah sah menjadi saudara sepupunya, yaitu Liman Tarub.

Perjuangan Kundangdya untuk dapat bersatu dengan Jerum yang disertai dengan

dendam Liman Tarub terhadap Kundangdya menjadi sebuah jalinan cerita

menarik. Cinta dan dendam menjadi hal yang paling berperan menghidupkan

cerita dari teks ini. Kemunculan tokoh para Dewa dan adanya cerita mengenai

reinkarnasi menjadi sebuah pendukung cerita yang menambahkan sisi menarik di

dalam teks.

Kidung Jerum Kundangdya dalam kesehariannya lebih dikenal sebagai

kekidungan atau nyanyian pengiring upacara Bhuta Yadnya. Di Bali, upacara

bhuta yadnya merupakan salah satu upacara keagamaan yang berkaitan dengan

sebuah persembahan terhadap bhuta. Bhuta diidentikkan dengan kekuatan waktu

yang mampu memberikan pengaruh terhadap keharmonisan alam semesta. Oleh

karena itu, masyarakat Hindu di Bali memiliki sebuah kepercayaan untuk

melakukan sebuah ritual persembahan terhadap bhuta dengan diiringi oleh Kidung

Jerum Kundangdya. Seperti yang disampaikan dalam Suarka (2007: 139--140),

Kidung Bhuta Yajnya berisi doa-doa pengiring dalam pelaksanaan upacara bhuta

yajnya yang bertujuan membersihkan dan menyucikan suatu tempat atau alam

beserta isinya dengan meruwat makhluk-makhluk halus atau bhuta kala yang

dianggap lebih rendah daripada manusia.

4.2 Sinopsis

Kidung Jerum Kundangdya yang diambil dari buku dapat diceritakan

sebagai berikut.

Bait 12

Permulaan yang diawali dengan latar belakang pengarang hingga akhirnya

menggubah sebuah kidung yang mengangkat asmara

Bait 35

Kundangdya akan dijodohkan dengan Nini Jerum oleh ibunya. Dalam bait

ini disampaikan bagaimana kecantikan paras Nini Jerum. Niat ibunya ditolak

begitu saja oleh Kundangdya dengan alasan nama Nini Jerum yang buruk tentu

akan berpengaruh dengan parasnya.

Bait 616

Di tempat lain diceritakan saudara sepupu Kundangdya yang bernama

Liman Tarub ingin menikahi Nini Jerum. Dilanjutkan dengan cerita persiapan

untuk melangsungkan pernikahan yang begitu mewah. Dari makanan, tamu,

hiburan hingga keindahan pakaian diceritakan dengan lengkap. Semua undangan

terpana dan bahagia melihat pernikahan Liman Tarub dan Nini Jerum. Pesta

pernikahan benar-benar meriah.

Bait 17

Diceritakan Kundangdya hingga pingsan melihat kecantikan Nini Jerum

dan melihat Nini Jerum menjadi milik Liman Tarub. Ketidakrelaannya melihat hal

itu membuat ia kehilangan tenaga hingga jatuh pingsan.

Bait 1823

Mulai diceritakan Liman Tarub telah di peraduan bersama Nini Jerum.

Siang malam bermesraan dan saling memberikan rayuan.

Bait 2428

Kembali diceritakan Kundangdya yang akhirnya siuman dan berkeinginan

pulang. Dia benar-benar merasa lesu dan kehilangan semangat karena tidak bisa

mendapatkan Nini Jerum.

Bait 2935

Diceritakan Liman Tarub mohon izin pada Nini Jerum untuk pergi ke

Jimur untuk mengambil perhiasan dan kain sutra. Mimpi buruk yang dialami oleh

Nini Jerum membuat ia melarang suaminya untuk pergi. Namun, larangan itu

tidak diindahkan oleh Liman Tarub dan ia akhirnya pergi meninggalkan istrinya

dalam keadaan menangis karena tidak rela ditinggalkan.

Bait 3653

Kundangdya diceritakan sudah pulang ke rumah dengan wajah murung

karena sakit asmara. Banyak kata kiasan yang melukiskan sakitnya perasaan

Kundangdya karena tidak mampu mendapatkan Ni Jerum. Hingga akhirnya

ibunya berusaha menenangkan Kundangdya dengan menyarankan untuk menikah

dengan wanita cantik lainnya, hal itu ditolaknya dan bersikeras untuk tetap

mendapatkan Nini Jerum. Siang malam Kundangdya menyebut-nyebut nama

Jerum karena kerinduannya. Ibunya pun menjadi semakin pusing menghadapi

tingkah anaknya yang sedang terkena sakit asmara karena Ni Jerum

Bait 5481

Diceritakan Kundangdya nekat mendatangi Nini Jerum. Ia meloncati

tembok dan memasuki kamar tidur Jerum. Kerinduannya pada Nini Jerum

membuat ia lupa diri hingga berani menggagahi dan meniduri Jerum. Diceritakan

bagaimana keindahan tubuh Jerum yang membuat Kundangdya semakin tergila-

gila. Ketika Jerum tersadar didatangi oleh Kundangdya, ia mulai takut dan

meyuruh Kundangdya untuk segera pergi sebelum ada yang mengetahui

keberadaannya. Kata-kata cinta yang disampaikan oleh Kundangdya pada Jerum

membuatnya benar-benar terpesona hingga akhirnya mereka berjanji untuk selalu

bersama, dalam keadaan mati sekalipun. Mereka berdua seakan yakin akan mati

bersama karena kesalahannya.

Bait 82114

Ni Jerum bersiap-siap akan menyambut kedatangan suaminya. Dengan

penuh hormat Jerum menyambut dan melayani suaminya hingga akhirnya pada

saat makan, Jerum disuruh untuk memanggil adik Liman Tarub, yaitu Ki

Panamun. Saat itu Ki Panamun menceritakan kedatangan seseorang yang

mendatangi Jerum. Ni Jerum akhirnya menceritakan semuanya bahwa

Kundangdya telah datang menginap. Liman tarub menjadi sangat marah dan

memburu istrinya, keris pun segera digerinda dan ia pun datang ke rumah

Kundangdya dan membunuhnya. Nini Jerum yang mendengar kabar Kundangdya

telah dibunuh oleh Liman Tarub akhirnya bergegas untuk berdandan. Ia

berdandan layaknya akan menikah dan akan memenuhi janjinya untuk bertemu

dengan lelaki tampan, yaitu Kundangdya. Ki Liman Tarub akhirnya menikam

Nini Jerum karena telah berani berbuat serong. Setelah keduanya meninggal,

Liman Tarub masih menahan marah hingga ia menyumpah dan mengutuk istrinya.

Bait 115149

Liman Tarub memutuskan pergi ke gunung, berjalan dengan wajah sendu.

Diceritakan keindahan alam yang dilalui oleh Liman Tarub. Hingga akhirnya ia

bertemu dengan Hyang Batur. Dengan rambut dipotong dan menggenakan sinjang

Ki Liman Tarub berganti nama menjadi Ki Sarayuda.

Bait 150167

Diceritakan roh Kundangdya akhirnya bertemu dengan roh Nini Jerum.

Mereka benar-benar saling menepati janji. Mereka disambut oleh Hyang Indra dan

ditujukan menuju sebuah wisma kosong yang berhiaskan emas.

Bait 168213

Ki Sarayuda diutus oleh Hyang Guru melaksnakan upacara besar. Hyang

Guru bersabda mengenai keterkaitan alam dengan tubuh manusia (hubungan

bhuwana agung dan bhuwana alit) dan ajaran dharma. Ki Sarayuda akhirnya

berangkat menuju surga dan tanpa sengaja bertemulah ia dengan Kundangdya dan

Jerum yang sedang berjualan. Ki Sarayuda mengamuk dan datanglah Sri

Bhagawan yang memegangnya hingga akhirnya ia diinterogasi dan menceritakan

semua kejadian yang menimpanya. Singkat cerita Sarayuda dinobatkan menjadi

Dewa karena dianggap telah melewati tapanya di gunung.

Bait 214254

Kundangdya dan Jerum menghadap Bhatara Wisnu. Bhatara Wisnu

kembali menghidupkan mereka. Mereka pun mendatangi badan kasarnya. Hyang

Narada menyuruh mereka memasuki badan kasarnya dan diperciki air suci,

kemudian mereka hidup kembali. Kundangdya bergegas menemui ibunya yang

selama ini sangat tersiksa karena ditinggalkan olehnya. Setelah kembali bersama,

ketiganya diceritakan merasakan kebahagiaan

Bait 255325

Ki Sarayuda sudah mendengar kabar bahwa Kundangdya dan Jerum telah

kembali ke dunia. Ia pun diam-diam turun ke dunia berniat mencari musuhnya.

Terjadilah pertempuran antara Ki Sarayuda dan Kundangdya. Wibawa perang

antara mereka berdua tidak ada yang kalah menyebabkan Bhatara Narada tergesa-

gesa turun ke dunia. Sarayuda diborgol dan tidak diizinkan menghadap ke surga

karena telah berbuat salah. Hyang Guru akhirnya datang memberikan Ki Sarayuda

sabda untuk menaati ajaran kependetaan dan Ki Sarayuda pun akhirnya diajak

kembali ke gunung. Sebaliknya Kundangdya dan Jerum hidup bahagia menjadi

raja dan ratu yang sangat arif dan bijaksana.

Dilihat dari penggunaan bahasanya, Kidung Jerum Kundangdya

menggunakan bahasa Bali yang banyak mendapat pengaruh bahasa Kawi Bali.

Unsur kata nira 'aku' dan ngawe 'membuat' yang merupakan unsur bahasa

tengahan juga tampak dalam tampak. Tindakan memasukkan unsur bahasa yang

dianggap lebih tua daripada bahasa Bali disebut ngwayahang basa bertujuan

membuat sesuatu agar terkesan lebih arkais (Suarka, 2007: 136).

Zoetmulder (1985 : 512-545) membagi sastra kidung berdasarkan tema-

nya menjadi tiga jenis, yaitu (1) kidung-kidung historis, (2) kidung panji, dan (3)

kidung yang bersifat kerakyatan. Sementara itu, Tim Pusat Bahasa (2001: 270-

273) juga membagi sastra kidung berdasarkan temanya menjadi tiga jenis, yaitu

(1) kidung sejarah atau legenda, (2) kidung bertema panji, dan (3) kidung ruwat

dan penyucian diri. Istilah kidung ruwat dan penyucian diri tampak dipakai

menggantikan istilah sastra kidung yang bersifat kerakyatan menurut Zoetmulder

(1985) (dalam Suarka, 2007 :136).

4.3 Bahasa dan Gaya (Estetika) dalam Teks Kidung Jerum Kundangdya

Penciptaan karya-karya sastra dalam tradisi Bali secara dinamik

memperlihatkan adanya saling keterkaitan antar unsur, seperti unsur pengarang,

unsur kepada siapa karya itu diciptakan, unsur materi cerita, unsur pilihan genre

dan tematik yang diangkat. Unsur-unsur tersebut terjalin dalam suatu sistem yang

"mapan". Proses Kreatif dan penciptaan itu secara esensial berorientasi kepada

suatu nilai penciptaan yang menganut prinsip-prinsip: (a) ibadat kepada

keindahan; (b) karya sastra sebagai persembahan; dan (c) karya sastra sebagai

bagian integral (fungsional) dalam sistem religius atau karya sebagai bagian dari

tindak kebaktian dan adat (Pusat Bahasa, 2001: 35).

Setiap karya sastra sudah tentu mengandung nilai estetika termasuk karya

sastra kidung. Zoetmulder (1985: 203-218) menjelaskan bahwa sang kawi

memulai karya kakawinnya dengan menyembah dewa pilihan atau istadewata,

yang dipuja sebagai dewa keindahan. Sang kawi memohon bantuan dan mencoba

mempersatukan diri degan dewa pilihannya. Persatuan dengan dewa pilihannya

sebagai dewa keindahan merupakan sarana dan sekaligus tujuan sang kawi.

Sebagai sarana, persatuan itu menyebabkan sang kawi "bertunas keindahan"

sehingga ia berhasil menggubah kakawin.

Sebagai tujuan, persatuan dengan dewa pilihan itu sang kawi berharap

dapat mencapai kelepasan. Pada tataran ini dapat dikatakan bahwa penciptaan

kakawin adalah dalam rangka ibadat keindahan. Kakawin menjadi candi atau

tempat semayam dewa keindahan dan silunglung atau bekal kematian sang kawi.

Persatuan dengan dewa keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang

khas sebagai sang kawi, yakni yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa keindahan

sebagai Yang Mutlak dalam alam transenden, berkat semadi sang kawi berkenan

turun dan bersemayam di atas padma di dalam hati atau jiwa sang kawi sebagai

alam imanen-transenden. Karena itu, sang kawi berharap mampu melihat dewa

keindahan menjelma di alam imanen melalui pengembaraan dan sekaligus

perburuannya ke tengah hutan, pegunungan, pantai, desa-desa, medan

pertempuran ataupun dalam kecantikan wanita, dalam percintaan, dan dalam

bunga itu sendiri. Penciptaan karya sastra kidung pun tidak jauh berbeda dengan

penciptaan kekawin. Bahasa Kawi Bali adalah bahasanya kidung, diketahui diberi

nama Kawi Bali dikarenakan itu merupakan bahasanya para pengawi atau

pengarang.

Mengingat Kidung adalah karya sastra puisi, jika dilihat dari unsur-

unsurnya, puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur yaitu struktur batin dan

struktur fisik. Struktur batin puisi sering pula disebut dengan hakikat puisi, yang

meliputi Tema/ makna, Rasa (feeling), Nada (tone), dan Amanat/ tujuan/ maksud

(itention) (http://riniintama.wordpress.com). Tataran bahasa sudah tentu

berhubungan dengan makna. Sudah tentu puisi juga memiliki makna, baik makna

tiap kata, baris, bait maupun makna keseluruhan. Seperti halnya dalam Kidung

Jerum Kundangdya, yang masing-masing kata, baris, bait maupun keseluruhan

katanya yang dalam bahasa Kawi juga mengandung makna. Kidung Jerum

Kundangdya merupakan salah satu puisi tradisional.

Bahasa puisi adalah bahasa yang melewati batas-batas maknanya yang

lazim. Melewati maknanya yang harfiah. Dengan makna yang konotatif itu ingin

dibentuk suatu imaji atau citra tertentu di dalam sebuah puisi (Esten, 1992: 37).

Pembicaraan tentang denotasi dan konotasi tidak bisa dilepaskan dari puisi.

Sebuah kata memiliki dua aspek arti yaitu denotasi, ialah artinya yang menunjuk

benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu sedangkan konotasi adalah arti

tambahannya (Pradopo, 1987: 58). Dalam Kidung Jerum Kundagdya, jika dilihat

dari alur cerita keseluruhan secara makna denotatif akan tampak sebagai cerita

yang bertemakan cinta yang lengkap dengan konflik perselingkuhan. Jika lebih

mendalami lagi barulah tampak bahwa dalam Kidung Jerum Kundangdya ada

sebuah makna untuk sebuah penyadaran pentingnya menjaga keharmonisan.

Sebelum masuk ke dalam makna secara keseluruhan yang dimunculkan dalam

Kidung Jerum Kundangdya, dapat ditemukan beberapa makna denotatif maupun

konotatif dalam beberapa bait atau pada berikut yang akhirnya mendukung

munculnya makna keseluruhan.

"Siwa Madia manca warna, "Siwa di tengah beraneka warna,

tumpuking ati nggon ipun, berada di hati,

sami mangke ingitung!" semua sudah disebut!"

Sarayuda mojar alon : Sarayuda berkata perlahan :

"Kamoksan lan kalepasan, "Kamoksan dan Kalepasan,

darma muang ta pujan ipun, Dharma dan mantra pujaannya,

trusakena alon ala, diteruskanlah,

amerih pinegating laku". sebagai tali ikatan tingkah laku".

pada ke- 174

Hyang Guru lingniangucap : Hyang Guru lalu bersabda:

"Sarayuda anak ingsun, "Sarayuda anakku,

tan akeh darma iku, dharma itu tidak banyak,

tindak tanduk eling mangko, hanyalah kesadaran tindak dan tanduk,

lintang kena ginamelan, diabaikan untuk di terapkan,

agung tan kena pinanduk". besar namun tidak kena perhatian".

"Ewuh kaki sang atapa, "Karena itu sulit bagi seorang pertapa,

unggwanira Sang Hyang Ayu". menuju tempatnya Sang Hyang Ayu".

pada ke-175

Dari keseluruhan bait Kidung Jerum Kundangdya, bagian di atas

merupakan bait yang menceritakan ketika Liman Tarub telah diberi nama

Sarayuda dan ia mulai memilih untuk menjadi orang suci. Dalam bait di atas ada

baris yang berbunyi Siwa Madia manca warna yang artinya 'Siwa di tengah

beraneka warna'. Dalam ajaran Hindu di Bali, ada sebuah pandangan bahwa

masing-masing Dewa memiliki arah dan warnanya masing-masing yang berfungsi

untuk menjaga keseimbangan tempat dan menjaga kerharmonisannya, sedangkan

Siwa berada di tengah-tengah dengan aneka warna. Dari sekian bait yang

menceritakan tentang percintaan dan keindahan Jerum sebagai wanita paling

cantik dalam cerita, ada bait-bait seperti yang di kutip di atas yang mengajarkan

akan pentingnya sebuah ajaran kebaikan (dharma). Ajaran dharma yang sangat

sederhana, hanya dengan kesadaran tindak tanduk. Dari bait-bait ini mengandung

makna yang juga menyumbangkan makna bagi teks Kidung Jerum Kundangdya

secara keseluruhan, yaitu mengenai ajaran kebenaran untuk bertindak selalu

dalam kesadaran hingga mampu menciptakan lingkungan harmonis. Kesadaran

tindak tanduk yang yanng diucapkan dengan mudah namun susah untuk

diterapkan, untuk itu diperlukan keyakinan diri untuk tetap mampu menjaga setiap

tindak tanduk agar selalu melangkah di jalan yang benar. Dua bait di atas seakan

mampu mewakilkan isi teks yang tidak hanya mengangkat tema cinta, tetapi lebih

kepada bagaimana menjaga cinta tersebut agar mampu menjadikan seseorang

selalu menjaga hubungan baik dengan siapapun dan mampu menciptakan alam

yang harmonis.

Selain tema, juga ada rasa. Pengungkapan rasa (feeling) dalam puisi erat

kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair. Kidung Jerum

Kundagdya merupakan karya anonim, hingga kini tidak diketahui siapa yang

mengarang Kidung Jerum Kundangdya. Oleh karena itu, cukup sulit menemukan

latar belakang atau psikologi penyair layaknya karya-karya puisi modern. Namun

di bait awal tampak bahwa sang pengarang tidak ingin menonjolkan dirinya dalam

karya. Ungkapan-ungkapan kerendahan hati ia selipkan di bait-bait awal, seperti

dalam bait pertama berikut :

Tangeh anamun turida, Banyak kejadian kalau ditimpa asmara,

salimur tan kasalimur, dihibur tak terhibur,

prakerti ya bayeng dangu, janji lahir semenjak dahulu,

tumuwuh anadi wong, hidup sebagai manusia,

rasa tan kadi ageman, seperti memang bukan pegangan,

marmanira misreng kidung, makanya menggubah kidung,

tan atuting pupuh basa, tak sepadan antara lagu dan bahasa,

pinahēwa dē Sang Wiku. menimbulkan gusar Sang Pendeta.

pada ke-1

Dari bait tersebut tampak pengarang ingin menggubah sebuah kidung yang

menceritakan tentang perasaan yang sedang tertimpa asmara, namun dengan

segala kerendahan hatinya ia mengatakan bahwa karyanya tidaklah sepadan antara

lagu dan bahasa yang bisa kita simpulkan bahwa karyanya menurut dia belumlah

baik sehingga dianggap menimbulkan kegusaran para pendeta yaitu orang-orang

suci yang juga pintar. Dengan melihat isi karyanya, dapat dijelaskan bahwa

pengarang memahami ajaran agama Hindu dengan baik, ini dibuktikan dengan

ditemukannya konsep ajaran-ajaran Hindu yang disampaikan secara implisit

melalui percakapan tokoh seperti dalam kutipan berikut:

"Siwa Madia manca warna, "Siwa di tengah beraneka warna,

tumpuking ati nggon ipun, berada di hati,

sami mangke ingitung!" semua sudah disebut!"

Sarayuda mojar alon : Sarayuda berkata perlahan :

"Kamoksan lan kalepasan, "Kamoksan dan Kalepasan,

darma muang ta pujan ipun, Dharma dan mantra pujaannya,

trusakena alon ala, diteruskanlah,

amerih pinegating laku". sebagai tali ikatan tingkah laku".

Pada ke- 174

Pengarang membahas tentang ajaran moksa dan kalepasan, yaitu ajaran mengenai

perjalanan arwah ketika telah lepas dari badannya. Dengan mampu

menyampaikan hal itu melalui karyanya, menandakan pengarang paham mengenai

ajaran tersebut dan tidaklah serendah seperti ia merendahkan dirinya seperti dalam

bait di awal.

Selain Rasa (feeling), ada Nada (tone) adalah sikap peyair terhadap

pembacanya. Nada berhubungan dengan tema dan rasa. Berbicara nada dikaitkan

dengan Kidung yang merupakan bagian dari puisi tradisional, tentu ada yang

berbeda. Nada yang dalam puisi modern akan berkaitan dengan intonasi yang

disampaikan penyair dalam karyanya, sedangkan dalam nada Kidung khususnya

Kidung Jerum Kundangdya berkaitan dengan gending atau nyanyian. Jika pada

masa Bali Kuna di Bali, bentuk nyanyian dikenal dengan istilah gending maka

pada masa Jawa Kuna di Jawa bentuk nyanyian ini dinamakan kidung (Suarka,

2007: 128). Menurut lontar Prakempa, dalam instrumen dan nyanyian Bali

tradisional dikenal nada-nada, terdiri atas nada dasar, yaitu dong, deng, dung,

dang, ding atau ndong, ndeng, ndung, ndang, nding. Nada-nada tersebut

menempati penjur alam, yaitu nada dong bersama ndong berada di tengah, nada

deng berada di barat, nada ndeng berada di barat laut, nada dung berada di utara,

nada ndung berada di timur laut, nada dang berada di timur, nada ndang berada di

tenggara, nada ding berada di selatan, dan nding berada di barat daya (Bandem,

1986: 42--43). Sesungguhnya kidung diesensikan oleh bunyi-bunyi o, e, u, a, i.

Dalam bahasa Bali, bunyi o, e, u, a, i dinamakan aksara suara atau bunyi vokal.

Untuk bisa menjadi nada, maka suara o, e, u, a, i,harus disusun secara beraturan

menurut tinggi rendah bunyi-bunyi tersebut. Dengan demikian, prinsip dasar

penyusunan metrum kidung menurut Kidung Rangsang, adalah dimulai dengan

menyusun bunyi-bunyi itu secara teratur, lalu menghitung jumlah suku kata

menurut melodi, dan menyusun kembali pada baris berikutnya (Suarka, 2007:

129). Jadi, jika berbicara tentang nada dari Kidung Jerum Kundangdya akan

berkaitan dengan nada-nada lagu dengan suara o, e, u, a, i. Setelah nada, ada

Amanat/ tujuan/ maksud (itention) yaitu berkaitan tujuan penyair menciptakan

puisi. Kidung Jerum Kundangdya memanglah merupakan kidung yang

menceritakan tentang cerita asmara antara Kundangdya, Jerum dan Liman Tarub.

Dari cinta yang terjalin dalam sebuah pernikahan hingga akhirnya muncul pihak

ketiga dan mengalami perselingkuhan. Secara garis besar, hal itu yang dapat

diketahui, namun berbeda ketika setelah mendalami dan memahaminya. Dalam

teks Kidung Jerum Kundangdya banyak muncul ajaran-ajaran keagamaan yang

menyadarkan pembacanya untuk menjadi seseorang yang selalu dalam kesadaran

hingga mampu tetap di jalan yang benar. Dengan sadar akan setiap tindak tanduk

itu, barulah seseorang mampu menemukan tempat yang indah. Sebuah sikap yang

yang dituntut untuk melihat keindahan itu adalah awal terciptanya keharmonisan

alam.

Jika melihat dari struktur fisiknya, yang disebut pula metode puisi, ada

sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi

seperti Perwajahan Puisi, Diksi, Imaji, Kata Kongkret, dan Bahasa Figuratif. Dari

keseluruhan unsur-unsur ini tidak semuanya digunakan dalam Kidung Jerum

Kundangdya karena mengingat Kidung merupakan puisi tradisional. Dalam karya

sastra termasuk puisi tradisional, alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran

sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan

dalam mempergunakan kata-kata dan segala kemungkinan di luar kata tak dapat

dipergunakan (Slametmuljana, 1956: 7). Ada pemilihan kata-kata yang tepat

untuk mengungkapkan setiap keindahan objek yang hidup maupun tidak hidup di

dalam karya sastra. Sebagai sebuah karya yang berbentuk puisi, Kidung Jerum

Kundangdya juga tetap mengenal diksi atau pilihan kata. Menurut Gorys Keraf,

ada tiga kesimpulan mengenai pilihan kata yang tepat atau diksi. Pertama, pilihan

kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk

menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata

yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana

yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi

adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan

yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai

(cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat

pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh

penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu.

Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa

adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa (Keraf, 2008: 24).

Sesuai degan pengertian diksi di atas, dalam Kidung Jerum Kundangdya

ada penggunaan diksi yang digunakan untuk mengungkapkan keindahan sekaligus

juga merupakan wujud harmonisasi alam. Harmonis sudah tentu memiliki

keserasian, ketika mata mampu memandang suatu objek yang dapat dianggap

serasi muncul kedamaian. Sebuah kepiawaian pengarang untuk memilih dan

merangkai kata sehingga maksud yang dituju tidak hanya tersampaikan begitu

saja, tapi melainkan didukung dengan ungkapan tertentu untuk lebih meyakinkan

dan memperindah kata ketika dibaca. Dalam naskah tampak ketika Pernikahan

Jerum dan Liman Tarub. Jerum yang cantik bersanding dengan Liman Tarub yang

tampan, yang akhirnya membuat orang-orang yang melihat ikut bahagia. seperti

dalam kutipan berikut:

Lalampahan silih-asih, Lakon bernama silih-asih,

ujar ikang wong andulu, kata orang melihat,

kepenetan tingal ipun : terpesona matanya :

"I Panganten pekik anom, "Si pengantin muda dan tampan,

rupane tinimbang worat, rupa tampak sepadan,

pekike masanding ayu, tampan bersanding ayu,

sama ya panuwuhira", usianya sama-sama bersesuaian",

sami ya masahur manuk. mereka berkata sahut menyahut.

pada ke- 12

Sakwehing wong kalulutan, Banyak orang jadi terpana,

sami ya suka andulu, sama-sama suka melihat,

sakweh pada wong gumuyu, orang-orang pada tertawa,

bingar pada anonton, semua gembira yang menonton,

semunē karagan-ragan, air muka merasakan cinta,

kasmaran kandehan lulut, kasmaran menahan kasih sayang,

kuneng sira si pangantian, tersebutlah kini sang pengantin ,

munggah kapasilih sampun. sudah berada di balai upacara.

pada ke- 13

Keserasian antara wajah pengantin pria dan wanita, antara Liman Tarub

dan Jerum adalah sesuatu yang indah di lihat orang. Ketika itu seseorang

menganggap itu adalah keharmonisan. Keharmonisan terkadang sesuatu yang

sederhana yang membuat nyaman yang melihat. Ketika sesuatu itu dipandang

baik, orang yang melihat juga menjadi senang maka disitulah letaknya harmonis.

Keharmonisan mampu menciptakan kebahagiaan.

Dilihat dari segi bahasanya, dalam kutipan di atas ada pemilihan bahasa

dalam bahasa kawi yang memang sengaja ditambahkan pengarang untuk

menggambarkan begitu serasinya pengantin pria dan pengantin wanita ketika

bersanding. Tidak hanya ungkapan keserasian dari wajah cantik pengantin wanita

yang serasi dengan ketampanan pengantin pria, namun ditambahkan bagaimana

orang-orang yang melihat menjadi terpesona dan ikut merasakan cinta. Di situ

seakan keserasian pengantin ikut juga memeberi kebahagiaan bagi yang melihat.

Pilihan kata di pada ke-13 hanya untuk lebih meyakinkan pembaca bahwa

pengantin tersebut sangatlah serasi hingga yang melihatpun ikut bahagia dan

merasakan cinta.

Selain tersebut di atas, umumnya karya sastra tradisional selain membahas

cinta, perempuan merupakan salah satu objek yang sangat dikagumi dalam sastra.

Para pengawi seringkali mengungkapkan keindahan seorang wanita dengan

bahasa yang sempurna yang membuat pembaca ikut berfantasi membayangkan

kecantikan wanita yang hanya disampaikan berbentuk tulisan dalam bait-bait

kidung, seperti dalam Kidung Jerum Kundangdya terdapat dalam kutipan berikut :

Sampun kēsah paduning sinjang, Setelah lepas paduan kain dalam,

sinimpenan sinjang kampuh, bersama kain sudah disimpan,

arsania apulang lulut, dengan senang melampiaskan asmara,

sundarin sang ari mangko, si adik lalu diliat lewat lampu penerang,

dēnira Ki Kundangdya, oleh Ki Kundangdya

katon ayu rupanipun, nampak cantik rupanya,

rupa kaya Dēwi Kēndran, wajah seperti Dewi Keindran,

tuhu guruning wong ayu. benar-benar gurunya wanita ayu.

pada ke- 60

Rahinane mulan purnama, Wajah bak bulan purnama,

rambutē gempuk mabelun, rambutnya tebal dan empuk,

alisē tajep nyalikur, alisnya lancip melengkung,

luir sasangka tanggal pindo, bagaikan bulan sabit,

susu nyangkih bunter nyalang, susu ramping bulat terang,

raga lempung luir mas tabur, tubuhnya padat berisi bagaikan emas urai,

madianē meros anglunggang pinggang ramping elok gemulai,

sumangkin mahimbuh ayu. makin bertambah-tambah ayu.

pada ke- 61

Sarira angwlaseng cita, Tubuhnya membuat hati terpesona,

pupu lempung gading lumlum, paha montok indah kekuning-kuningan,

warnanen mingsoring pupu, tersebutlah di bawah paha,

luir pudak cinaga karo, bagaikan dua buah bunga pudak,

tan ilang takonakena, yang tak tersurat rasakan sendiri,

Kundangdya tan pangitung, Kundagdya tak terkatakan,

garegetan magaras-aras, mencium-cium dengan bernafsu,

Ni Jerum nora awungu. Ni Jerum tak terjaga.

pada ke- 62

Dalam untaian pilihan kata yang digunakan untuk mengungkapkan

kecantikan Jerum, pengarang mulai menggunakan gaya bahasa kiasan. Gaya

bahasa kiasan pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan dan persamaan.

membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba

menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut

(Keraf, 2008: 136).

Jika ditemukan yang lebih spesifik lagi dari penggunaan gaya bahasa

kiasan di atas, gaya bahasa persamaan atau simile menjadi pilihan utama.

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit yaitu secara

langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain (Keraf, 2008: 138). Wajah

ayunya diandaikan seperti Dewi Keindran yaitu dewi cantik yang tinggal di

keindran atau surga dengan bentuk wajah seperti bulan purnama yang tampak

cerah dan bersinar. Rambut yang tebal dan empuk yang menandakan rambutnya

sehat dan indah. Alis yang lancip melengkung seperti bulan tanggal dua yaitu

bulan sabit dengan lengkungan yang indah. Susu atau payudara yang bulat dengan

warna yang cerah menandakan payudaranya indah dan montok. Badan yang

ramping elok gemulai yang memesona. Keindahan badan Jerum itu yang

membuat Kundangdya tertarik dan semakin bernafsu. Keindahan Jerum yang

ditatap oleh Kundangdya dari lampu penerang digambarkan dengan sempurna.

Seorang wanita dengan paras ayu tanpa satu bagian pun yang kurang. Dari wajah,

rambut, payudara, pinggang hingga paha semuanya digambarkan dengan

pengandaian yang pas.

Demikian lengkapnya pengarang menggambarkan kecantikan seorang

wanita seperti Jerum. Kecantikan merupakan sesuatu yang indah, dan dalam

kodratnya manusia akan selalu tertarik dengan keindahan. Dari hanya menatap

keindahan manusia mampu bahagia, karena keindahan mampu menjadikan pikiran

seseorang harmonis. Lepas dari perselingkuhan yang dilakukan Kundangdya

terhadap Jerum, pada mulanya Kundangdya tertarik pada Jerum dikarenakan

kecantikan Jerum. Kecantikan yang memesona hingga ketertarikan itu menjadikan

perasaan nyaman dan bahagia yang menimbulkan keharmonisan.

Terlepas dari pilihan kata yang digunakan untuk mengungkapkan wanita,

pengarang juga menggambarkan panorama alam dengan segala keasriannya.

seperti yang tampak dalam kutipan berikut :

manuknia keh asawuran, banyak burung-burung bersahut-sahutan,

muni ring luhur ikang kayu, berbunyi di atas pohon kayu,

kasidan adulur-dulur, bisa datang berbondong-bondong,

ramē pada ngrebut anggon, ramai pada berebut tempat,

angrak suarania sawuran, suaranya menjerit hingar bingar,

lanang wadon samadulur, bersama datang betina dan jantan,

wanciran anjrit ring jurang, wancira menjerit di dalam jurang,

pada ngrebut buktinipun. sama-sama merebut makanan.

pada ke- 125

Kungkang muni asahuran, Kungkang berbunyi bersahut-sahutan,

aganti muani umung, bergantian bersuara ramai,

umuni Lor ana Kidul, di Utara dan di Selatan,

karungu suarane alon, terdengar bunyinya perlahan,

ana ta mangkē pangagan, dan kini ada tegal-tegal pesawahan,

ana jenar ana biru, ada yang kuning ada yang biru,

tales ring pinggiring marga, pohon talas di pinggir jalan,

adas panyelag tan kantun. tak ketinggalan menyela pohon adas.

pada ke- 128

Pilihan kata yang digunakan untuk mengajak pembaca ikut

membayangkan situasi latar cerita. Kicauan suara burung dan indahnya tetanaman

digambarkan ketika Liman Tarub dalam keadaan bersedih sedang menyusuri

jalanan hutan mau menuju gunung. Pengarang dengan lengkap menggambarkan

panorama hutan sepanjang perjalanan Liman Tarub, dari kicauan para burung

yang saling bersahutan, binatang-binatang yang sedang berebut makanan,

indahnya tegal-tegal persawahan hingga tanaman-tanaman yang tumbuh dipinggir

jalan. Diksi demikian menjadikan pembaca ikut berimajinasi tentang keadaan

alam yang digambarkan pengarang dalam karya.

Berbicara tentang imaji bisa mengungkapkan pengalaman indrawi seperti

penglihatan, pendengaran dan perasaan. Jadi ada sebuah kesan yang ditangkap

pembaca, baik itu dari suara, penglihatan maupun dari sentuhan. Imajinasi yang

muncul dari suara dapat ditemukan dalam bait berikut:

Kendang gong muniasawuran, Suara gong dan gendang bersahut-sahutan,

sangka parērēt ambarung, sangka kerang dan terompet beradu tenaga,

tuwek dadap supenuh, perisai dan tombak penuh berjajar,

pajeng kober pajeng ijo, payung bendera payung hijau,

umiang suaraning Gandarwa, para Gandarwa riuh rendah,

asurak-surak gumuruh, gemuruh sorak sorai,

ring tengah jempana emas, di dalam usungan emas.

gagrantangan abra murub. gagrantangan bercahaya gemerlap.

pada ke-164

Dengan apik pengarang menggambarkan suara gong dan gendang yang

bersahut-sahutan di surga ketika arwah Jerum dan arwah Kundangdya bertemu.

Ini mengantarkan pembaca ikut berada dalam kondisi itu. Selain dari segi suara,

muncul pula imaji yang ditangkap dari penglihatan, seperti dalam kutipan berikut:

Tuhu asri papajangan, Perhiasan sangat indahnya,

pamreman asri dinulu, tempat tidur sangat asri dilihat,

gagandania mrebuk arum, wangi-wangian harum semerbak,

pamreman aris kang Lor, balai-balai sebelah utara,

wus sinrung binalungbang, di sekelilingnya dihiasi dengan membuat

telaga,

tinanem tunjung biru, dan tanaman teratai biru,

langsēnē malalampahan, rentangan kain dengan lakon,

mapinda wedus katempur menggambarkan domba bertarung.

pada ke-9

Sarira angwlaseng cita, Tubuhnya membuat hati terpesona,

pupu lempung gading lumlum, paha montok indah kekuning-kuningan,

warnanen mingsoring pupu, tersebutlah di bawah paha,

luir pudak cinaga karo, bagaikan dua buah bunga pudak,

tan ilang takonakena, yang tak tersurat rasakan sendiri,

Kundangdya tan pangitung, Kundangdya tak terkatakan,

garegetan mangaras-aras, mencium dengan bernafsu,

Ni Jerum nora awungu. Ni Jerum tak terjaga.

pada ke- 62

Dalam kutipan di atas ampak di mata pembaca bagaimana pengarang

menggambarkan keindahan tempat tidur pengantin yang sangat indah sehingga

pembaca ikut berimajinasi seakan berada dalam ruangan tersebut. Demikian juga

dalam bait berikutnya ketika Kundangdya diam-diam masuk ke kamar Jerum dan

melihat kemolekan tubuh Jerum. Pembaca seakan membayangkan bagaimana

kemolekan Jerum hingga akhirnya Kundangdya hingga bernafsu untuk memeluk

dan mencium Jerum. Pelukan dan Ciuman tentu merupakan kontak fisik berupa

sentuhan. Di situ pembaca berimaji dalam sentuhan. Demikianlah kepiawaian

pengarang untuk mengajak pembaca terhanyut dalam cerita karya, dan semua itu

hanya disampaikan dalam betuk rangkaian bahasa. Dari bahasa mampu

menjadikan pembaca seperti ikut melihat, mendengar dan merasakan sentuhan.

Mendukung munculnya imaji, ada yang disebut kata kongkret, kata yang

berhubungan dengan kiasan atau lambang yang akhirnya memunculkan imaji.

Dalam Kidung Jerum Kundangdya misalnya ditemukan ada kata sorga smaralaya

'surga dengan penuh cinta' dalam pada ke-28. Harapan Kundangdya untuk dapat

bersama Jerum di sorga smaralaya, bayangannya adalah sebuah tempat di surga

yang tentunya penuh dengan keindahan ditambah dengan mampu bersama dengan

orang yang dicintai. Demikian juga dalam kata sumengkēng gunung 'naik gunung'

dalam pada ke-161. Liman Tarub yang diceritakan menaiki gunung dan

meninggalkan kerajaannya, ketika itu gunung merupakan tempat untuk

menyucikan diri. Liman Tarub yang menuju gunung menandakan ia ingin melepas

sifat keduniawiannya. Dalam kata Tirta Kamandalu 'air suci kehidupan' dalam

pada ke-218. Ketika Hyang Narada ingin menghidupkan kembali Jerum dan

Kundangdya, ia membawa tirta kamandalu yaitu air suci yang dipercaya mampu

menghidupkan kembali makhluk hidup yang telah mati. Demikianlah contoh-

contoh kata konkret yang ditemukan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Seluruh

bahasa maupun gaya merupakan sebuah estetika karya. Dengan keindahan

penikmat akan mampu mencerna karya dengan baik sehingga dengan mudah

mampu menerima ajaran-ajaran positif yang menjadi tujuan pengarang membuat

karya.

Keindahan yang mampu terjaga dan dapat dinikmati sewajarnya, disitulah

muncul kebahagiaan yang merupakan bentuk dari harmonis itu sendiri. Di dalam

alam terdapat bhuana alit seperti manusia, hewan maupun tumbuhan. Ketika ini

semua mampu hidup berdampingan dengan penuh kedamaian, disitulah letak

keharmonisan. Harmonis mampu berawal dari sebuah keindahan yang akhirnya

menciptakan kedamaian. Salah satunya saja, dengan mengajak pembaca

berimajinasi dengan keindahan alam yang masih asri dengan tetanaman dan

hewan-hewan yang masih hidup bebas di alam terbuka, tentu meninggalkan kesan

bahagia di hati pembaca. Dengan harapan manusia itu haruslah mampu menjaga

alam sekitarnya sehingga keharmonisan itu terwujud.

4.4 Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit

Alam dalam konsep Hindu dapat dibagi menjadi 2 yaitu Bhuwana Agung

dan Bhuwana Alit. Bhuwana Alit sebutan badan jasmani dan Bhuwana Agung

sebutan alam semesta. Tantra mengajarkan segala yang ada di Bhuwana Agung

juga ada di Bhuwana Alit, dan sebaliknya. Apa yang ada di sini ada juga di tempat

lain, apa yang tidak ada di sini tidak ada di tempat lain. Segala jenis air di dalam

Bhuwana Alit dianggap samudra di dalam Bhuwana Agung. Semua pembuluh-

nadi di Bhuwana Alit dipandang sebagai sungai di Bhuwana Agung. Substansi

Bhuwana Alit seperti daging, darah, kulit, lemak dipandang sebagai tujuh pulau di

Bhuwana Agung. Jiwa yang menghidupkan Bhuwana Alit disebut jiwatma, dan

jiwa yang menghidupkan bhuwana semesta raya adalah paramatma (Palguna,

2008: 17).

Bhuwana Agung dibagi menjadi tiga lapisan alam semesta yang disebut

Tri Loka, yakni Bhur Loka, Bwah Loka dan Swah Loka. Bhur Loka sering

diistilahkan sebagai alam kegelapan atau alam bawah. Disebut alam kegelapan

karena suasana alam ini memang cukup remang-remang atau bahkan gelap.

Disebut alam bawah bukan karena lokasinya di bawah, tapi karena tingkat

kesadaran jiwa-jiwa di alam ini rendah atau lebih di bawah. Bhur loka adalah

alam yang dihuni oleh jiwa-jiwa yang bathinnya dalam avidya dan hidupnya

penuh adharma atau mereka yang menyalahgunakan kesaktian semasa hidupnya.

umumnya kita menyebut mereka sebagai makhluk-makhluk alam bawah (Bhuta

Kala). Bwah Loka sering diistilahkan sebagai alam tengah, disebut alam tengah

bukan karena lokasinya di tengah, tapi karena tingkat spiritual jiwa-jiwa di alam

ini terletak di tengah, bisa buruk yang dianggap turun ataupun baik yang dianggap

naik. Bwah Loka adalah alam siklus samsara, siklus kehidupan dan kematian.

Swah Loka sering diistilahkan sebagai alam terang alam cahaya atau alam atas.

Disebut alam terang karena suasana alam ini memang terang dengan cahaya yang

indah dan damai. Disebut alam atas bukan karena lokasinya di atas, tapi karena

tingkat kesadaran jiwa-jiwa di alam ini tinggi atau lebih di atas. Jadi alam atas

adalah alam yang dihuni oleh mereka yang tingkat kesadaran dan tingkat

kebijaksanaannya paling tinggi. Swah Loka adalah alam yang di huni oleh jiwa-

jiwa yang batinnya bersih, serta hidupnya penuh welas asih dan kebaikan, sampai

pada yang kesadarannya sudah luas. Umumnya kita menyebut mereka sebagai

Pitara, Bidadari, Bhatara atau Dewa. Dengan makhluk-makhluk alam atas sudah

selayaknya kita memiliki rasa hormat dan sopan santun. Banyak kitab-kitab Hindu

yang menerangkan bagaimana cara menghormati para Dewa yang kita kenal

dengan Dewa Yadnya.

Bhuwana Alit yang merupakan perwujudan diri manusia memiliki unsur-

unsur pembentuknya yang di sebut Panca Maha Bhuta. Unsur-unsur pembentuk

tubuh manusia ini juga terdapat dalam Bhuwana Agung. Panca Maha Bhuta

terdiri dari akasa adalah udara, bayu adalah angin, teja adalah sinar, apah adalah

air, dan pertiwi adalah tanah. Konsep harmonisasi alam di Bali bertujuan untuk

menyelaraskan hubungan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Upaya harmonisasi

alam yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali melalui upacara dan upakara.

Dalam lontar Tutur Andhabhuwana, dikatakan bahwa Panca Maha Bhuta

telah bersemayam ke setiap makhluk terutama manusia, sehingga isi alam dengan

alamnya selalu berhubungan, saling ketergantungan dan merupakan suatu

ekosistem sesuai ajaran Tri Hita Karana. Oleh karena itu diperlukan pemeliharaan

agar keharmonisan bhuwana agung dan bhuwana alit tetap bisa dipertahankan,

hal inilah yang membutuhkan upacara atau yadnya dari manusia (Dhaksa

Darmita, 2011: 111). Upacara dalam kamus bahasa Bali-Indonesia, kata upacara

yang dikaitkan dengan upakara berarti sesajen. Dalam kamus bahasa Jawa Kuna

kata upacara seringkali disamakan dengan upakara berarti keperluan, yang

dibutuhkan, barang tambahan, perhiasan atau dandanan yang pantas,

perlengkapan, peralatan, lencana, tingkah laku atau kelakuan yang pantas atau

patut, tata cara, etiket (Zoetmulder, 2004: 1336). Upacara agama adalah salah satu

bagian dari pelaksanaan yadnya sebagai dasar pengembalian Tri Rna. Dalam

agama Hindu mengenal adanya lima macam yadnya yang disebut panca yadnya.

Panca Yadnya adalah lima macam korban suci yang terdiri dari: 1) Dewa Yadnya

yaitu korban suci kepada Ida Sang Hyang Widhi, 2) Pitra Yadnya yaitu korban

suci kepada para leluhur, 3) Rsi Yadnya yaitu korban suci kepada para Rsi yang

mengamalkan Ilmu Pengetahuan yang diberikannya, 4) Manusa Yadnya yaitu

korban suci yang dilakukan oleh manusia seperti ngotonin, potong gigi dan

sebagainya, 5) Bhuta Yadnya yaitu korban suci kepada makhluk rendahan seperti

ngejot selesai memasak, mecaru dan lain sebagainya (Bali Aga, 2006: 77).

Melalui upacara Panca Yadnya, masyarakat Hindu di Bali melakukan

pengharmonisan alam. Upacara panca yadnya ini juga sejalan dengan konsep Tri

Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana membahas tentang cara menjaga hubungan

baik antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan baik antara manusia

dengan manusia (Pawongan), dan hubungan baik antara manusia dengan alam

sekitar (Palemahan). Sebuah upacara yadnya tidak akan lepas dari upakara.

Upakara menurut kamus bahasa Bali berarti sesajen (2008: 802). Upakara disebut

juga sesajen, banten, dan yadnya yaitu berupa persembahan yang akan

dikurbankan, yang terdiri dari beberapa bahan matang dan mentah. Bahan upakara

yang digunakan dalam upacara yadnya bersumber dari tumbuhan dan hewan.

Digunakannya tumbuhan maupun hewan langka sebagai sarana yadnya, hal ini

menuntut manusia untuk menjaga dan melestarikan bahan-bahan yadnya tersebut.

Ini menjadi salah satu bentuk pelestarian alam melalui yadnya. Selain

pemanfaatan unsur-unsur alam, dalam pelaksanaan upacara dan upakara juga

tidak terlepas dari unsur bunyi-bunyian yang dikenal dengan nama Panca Gita.

Panca Gita adalah lima unsur bunyi-bunyian yang mengiringi jalannya sebuah

upacara, yang terdiri dari bunyi genta seorang pendeta, bunyi mantra yang

diucapkan oleh pendeta, bunyi dari kidung atau nyanyian-nyanyian suci, bunyi

gong atau alat musik pengiring yadnya dan bunyi kentongan (kulkul). Kidung

menjadi salah satu unsur bunyi yang memiliki peran penting dalam upacara

keagamaan di Bali. Makidung di dalam tradisi umat Hindu telah berlangsung

cukup lama.

Dalam lontar Wrhaspatitattwa terdapat dialog seorang guru spiritual yaitu

Sang Hyang Iswara dengan seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan

Wrhaspati yang membahas tentang unsur kesadaran yang disebut cetana dan

unsur ketidaksadaran atau disebut acetana. Kedua unsur cetana dan acetana ini

bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada (Tim Penyusun, 2003: 7).

Ketika seseorang mampu berbuat baik ia dianggap berada di pihak positif dengan

tindakan dalam tingkat sadar, namun apabila seseorang telah berbuat sebah

kesalahan maupun kejahatan, itu dianggap sebagai unsur dari kekuatan negatif

yang menandakan yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar.

Dalam Kidung Jerum Kundangdya Tokoh Kundangdya dan Ki Liman

Tarub merupakan dua tokoh yang saling berseteru. Di dalam diri merekapun

dilingkupi oleh unsur positif dan negatif. Kundangdya adalah sosok welas asih,

pintar mencintai pasangan, dan sangat menghormati ibunya, tetapi ketika ia

dilingkupi oleh perasaan emosi dan dikendalikan oleh perasaan cintanya terhadap

Jerum yang tidak mampu ia kendalikan menyebabkan ia melakukan sebuah

tindakan di luar kesadarannya. Kundangdya hingga bertandang ke rumah Nini

Jerum yang ketika itu telah menjadi istri Liman Tarub adalah sebuah kesalahan

yang dilakukan karena dorongan rasa rindunya terhadap Jerum yang tidak mampu

ia kendalikan. Sebuah ketidaksadaran ini memunculkan tindakan negatif yaitu

perselingkuhan yang akhirnya menggiring Kundangdya pada musibah. Ia akhirnya

dibunuh oleh Liman Tarub karena telah lancang mendatangi dan meniduri Nini

Jerum. Demikian juga dengan Ki Liman Tarub, ia digambarkan sebagai sosok

seorang suami yang berusaha menyayangi istrinya dengan harta benda namun

kurang memperhatikan perasaan istrinya. Hingga akhirnya istrinya ditiduri oleh

Kundangdya, disitu barulah ia merasa sangat marah dan dalam kondisi marah ia

membunuh Kundangdya dan Istrinya. Kesedihannya membuat ia memutuskan

untuk mengembara dan belajar untuk tidak terikat dengan keduniawian. Ki Liman

Tarub akhirnya bertemu dengan Bhatara Batur hingga akhirnya ia diijinkan untuk

menjaga Surga oleh Bhatara Guru, namun ketika dalam keadaan suci itupun ia

ternyata masih menyimpan dendam. Setelah melihat Kundangdya dan Jerum

berada di Surga, Ki Liman Tarub yang ketika itu telah berubah nama menjadi Ki

Sarayuda akhirnya mengejar-ngejar Kundangdya dan Jerum karena ingin

membunuhnya kembali. Hingga akhirnya muncullah pertempuran antara

Kundangdya dan Ki Liman Tarub yang akhirnya dilerai oleh Bhatara Guru.

Dendam yang dirasakan oleh Ki Liman Tarub adalah bentuk sebuah

ketidaksadaran hingga akhirnya ia mendapat teguran oleh Bhatara Guru. Seorang

yang awalnya sudah menyucikan diri hingga mampu diangkat sebagai Dewa

akhirnya dalam keadaan tidak sadar melampiaskan dendamnya pada Kundangdya.

Ketidaksadaran merupakan sebuah kekuatan negatif yang menggiring seseorang

pada hal-hal yang kurang baik. Baik dan tidak baik, positif dan negatif, sadar dan

tidak sadar menjadi unsur yang selalu ada dalam bhuwana agung yaitu alam

semesta ini dan juga pada bhuwana alit yaitu unsur-unsur yang memenuhi alam

semesta ini. Welas asih, kasih dan cinta menjadi unsur positif dan bagian dari

tindakan sadar berbanding terbalik dengan kemarahan, dendam dan emosi

menjadi unsur kekuatan negatif dan bagian dari tidakan di luar kesadaran atau

tidak sadar.

Tradisi kidung sebenarnya sudah dimulai zaman Regveda. Pustaka suci ini

berasal dari urat kata rks yang berarti 'nyanyian pujaan'. Di dalam Regveda

banyak sekali petunjuk bahwa para penyembah atau bakta memuliakan dan

memuja Tuhan dalam bentuk mengidungkan sloka. Di dalam Regveda

ditunjukkan bahwa para bakta sebaiknya bernyanyi atau makidung dalam

melaksanakan persembahyangan. Di dalam Regveda, banyak sekali sloka yang

mendukung dan menguatkan bahwa di dalam persembahyangan sebaiknya disertai

dengan bernyanyi. Di bawah ini akan dikutip salah satu sloka Regveda yang

mengharapkan agar bakta bernyanyi bila memuja Tuhan.

Regveda VIII.69.9 menyatakan sebagai berikut:

Nyanyikanlah, nyanyikanlah lagumu

Oh Priyambadha, nyanyikanlah

Pujalah Dia laksana istana yang kokoh

Sloka-sloka itu memberi bukti betapa kuat harapan para rsi yang menerima

wahyu itu untuk memuliakan Tuhan dengan cara bernyanyi atau makidung.

Anjuran dan harapan itu dianggap belum kuat sehingga berulang-ulang dipertegas

dalam pustaka suci yang muncul setelah zaman Veda (Jendra, 1998: 55-56).

Menurut Zoetmulder, jenis sastra kidung di bagi menurut temanya menjadi

tiga jenis, yaitu 1) kidung-kidung historis, 2) kidung panji, dan 3) kidung yang

bersifat kerakyatan. Sementara itu tim pusat bahasa juga membagi sastra kidung

berdasarkan temanya menjadi tiga jenis, yaitu: 1) kidung sejarah atau kidung

legenda, 2) kidung bertema panji, dan 3) kidung ruwat dan penyucian diri. Sastra

kidung yang dogolongkan ke dalam kidung historis adalah sastra kidung yang

mengambil bahan cerita dari tradisi sejarah kerajaan. Kidung yang bertemakan

panji dapat dikenal melalui ciri-cirinya memiliki unsur-unsur romantik dicampur

dengan legenda yang tidak masuk akal dan deskripsi-deskripsi realistis mengenai

dunia orang jawa karena semua cerita panji terjadi di pulau jawa. Sementara itu

kidung-kidung yang digolongkan ke dalam jenis kidung-kidung ruwat dan

penyucian antara lain kidung sudamala dan kidung Sri Tanjung. Sedangkan jenis

kidung yang bertemakan keagamaan atau religius seperti kidung Wargasari,

kidung Jerum dan kidung Tantri Pitra Yadnya (dalam Suarka, 2007: 136-138).

Sebagai sebuah nyanyian pengiring yadnya, kekidungan di Bali juga di golongkan

kembali berdasarkan kegunaanya. Seperti kidung Wargasari yang umumnya

dinyanyikan untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya, dan kidung Jerum

dinyanyikan untuk mengiringi upacara Bhuta Yadnya.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan mengenai Konsep Harmonisasi

Alam sebagai berikut:

ALAM

BHUWANA

AGUNG

HARMONISASI

UPACARA

UPAKARA

PANCA GITA

BHUWANA ALIT

Dapat diterangkan bahwa alam ini memang terdiri dari bhuwana agung atau nama

lain dari alam semesta ini, sedangkan bhuwana alit adalah isi dari alam semesta

ini dari tumbuhan, hewan hingga manusia. Apapun yang diajak hidup

berdampingan harus menciptakan keharmonisan demi terciptanya kenyamanan

dan kedamaian, demikian juga antara bhuwana agung dan bhuwana alit harus

tercipta sebuah keharmonisan untuk mampu menciptakan kedamaian. Dalam

kepercayaan Hindu di Bali, Keharmonisan antara bhuwana agung dan bhuwana

alit dapat diciptakan melalui upacara, upakara dan panca gita selain juga

menumbuhkan rasa kecintaan dan keinginan menciptakan keharmonisan tersebut

dimulai dari diri sendiri.

4.5 Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dengan Konsep Ketuhanan

Terciptanya keharmonisan alam semesta beserta isinya tentu diawali dari

keharmonisan tiap individunya (manusia), sama halnya dengan keharmonisan

bhuwana agung yang tentunya juga bersumber dari keharmonisan bhuwana alit.

Seperti yang telah lumrah diketahui bahwa alam semesta (bhuwana agung)

dengan segala isinya dan manusia (bhuwana alit) adalah ciptaan-Nya. Semua

ciptaan-Nya merupakan wujud mayanya yang bersifat tidak kekal karena dapat

mengalami kehancuran. Pada saat mengalami kehancuran semua ciptaan-Nya itu

akan kembali kepada-Nya karena itu adalah asal dan tujuan.

Tingkatan-tingkatan alam dalam bhuwana agung bila dihubungkan

dengan tubuh manusia (bhuwana alit) akan ditemukan pada bagian-bagian tubuh

manusia dari alam yang paling bawah sampai dengan yang tertinggi, yaitu alam

kamoksan. Pada setiap bagian yang merupakan simbol alam dalam tubuh manusia

berstana dewa-dewa, di mana Sanghyang Parama Nirbana Siwa adalah dewa yang

tertinggi yang harus dijadikan objek dalam kamoksan. Pada dasarnya tubuh ini

terbentuk dari unsur-unsur panca maha bhuta. Tubuh ini disebut dengan bhuwana

alit, alam kecil, yang sebenarnya merupakan tiruan dari bhuwana agung, alam

besar. Bhuwana alit merupakan refleksi dari tubuh ini, sedangkan alam semesta

merupakan perwujudan bhuwana agung, begitu halnya dengan unsur-unsur panca

maha bhuta terdapat pada dua alam ini. Sungai-sungai dalam bhuwana agung

diwujudkan dengan nadi dalam tubuh yang jumlahnya sangat banyak. Dalam

tubuh juga terdapat wayu yang merupakan tenaga penggerak tubuh (Pemerintah

Tim Penyusun, 2003: 5--6).

Antara unsur-unsur dalam badan berkaitan dengan alam atau bhuwana

agung dan keterkaitannya dengan dewa penguasa alam semesta yang menempati

setiap penjuru mata angin. Dalam kepercayaan Hindu di Bali ada sembilan dewa

utama yang dianggap menguasai kesembilan arah mata angin yang biasa disebut

Dewata Nawa Sanga. Dewata Nawa Sanga merupakan sembilan dewa utama

dalam agama Hindu. Adapun posisi Dewata Nawa Sanga di sembilan penjuru

mata angin adalah sebagai berikut.

1. Dewa Iswara penguasa arah timur

2. Dewa Wisnu penguasa arah utara

3. Dewa Rudra penguasa arah barat daya

4. Dewa Mahadewa penguasa arah barat

5. Dewa Maheswara penguasa arah tenggara

6. Dewa Sambu penguasa arah timur laut

7. Dewa Sangkara penguasa arah barat laut

8. Dewa Brahma penguasa arah selatan

9. Dewa Siwa penguasa arah pusat yang berada di tengah (Gus Japa dkk,

2008: 26-27).

Selain Kesembilan dewa tersebut menguasai arah mata angin, dewa dan

unsur-unsur dalam alam semesta ini pun memiliki keterkaitan dengan organ tubuh

seperti yang tampak dalam bagan berikut.

No Cakra Lokasi Petal/

Lembar

Dewa

Pelindung

(kekuatan)

Fungsi Warna Kelenjar Elemen

1 Dasar tulang

ekor

4 Ganesa

(Dakini)

pusat

pertahanan,

energi bumi,

materi, tubuh

fisik

Merah - Tanah

2 Sex tulang

pelvis

6 Wisnu

(Rakini)

Kreativitas

rendah tertarik

antar manusia,

perjalanan

astral

Orange Ovari/

Testes

Api

3 Pusar pusar 10 Rudpa

(Lakini

Sakti)

Pusat

Kekuatan, ego,

identitas,

kepercayaan

diri

Kuning Andrenalin,

Ginjal

Air

4 Jantung tengah 12 Jagadamba

(Kakini

Sakti)

Cinta kasih

dan perasaan

halus lainnya

Hijau/

Merah

Muda

Timus Udara

5 Tenggor

okan

Tenggo

rokan

16 Sadasiva

(Arawanari

swara)

Komunikasi,

kreativitas

tinggi

intelektual,

bahasa

Biru Tiroid,

Paratiroid

Eter

6 Mata

Ketiga

Antaralis 2 Paramesiwa

(Hakini/

Sudhakali)

Pusat persepsi,

jendela jiwa

Ungu Pituitary Cahaya

7 Mahkota Puncak

Kepala

1000+12 Kalki Pintu

hubungan ke

Ilahian

Putih/

Ungu

elektrik

Pineal -

(Effendi, 2011: 93)

Keterkaitan letak kesembilan dewa dalam Dewata Nawa Sanga dengan

unsur bhuwana alit, yaitu organ tubuh manusia tergambar secara jelas dalam

Kidung Jerum Kundangdya, tepatnya ketika Hyang Guru memberikan sabdanya

kepada Sarayuda yang ketika itu sedang belajar kedharman, seperti tampak dalam

kutipan berikut.

Hyang Guru lingirangucap : Hyang Guru bersabda:

"Sarayuda anakingsun, "Sarayuda anakku,

rungunen wuwus ingsun, dengarlah ucapanku,

wangsitira Hyang tan katon, sabda Hyang yang tak nampak,

jaba jro Hyang Pramana, luar dan dalam Hyang Pramana,

angga nunggal soring luhur, tubuh menunggal atas dan bawah,

kalangkahan kasurupan, terlangkahi dan dirasuki,

tan ana wētan muwang Kidul tidak ada timur dan selatan.

pada ke- 171

"Putih Purwa Hyang Iswara, "Putih di Timur Hyang Iswara,

pupusuh mangkē nggonipun, berada di jantung,

Kidul abang puniku, Selatan berwarna merah,

Hyang Brahma ring ati mangko, Hyang Brahma berada di hati,

Kuning kulon ring ungsilan, Barat berwarna kuning adalah ungsilan,

Hyang Mahadēwa puniku, di situlah Hyang Mahadewa,

Lor ireng rupanira, Utara berwarna hitam,

Wisnu ring ampru nggonipun. Bhatara Wisnu berada di empedu.

pada ke- 172

"Geneyan dadu rupanira, "Tenggara berwarna dadu,

Mahisora paparu nggonipun, Dewa Mahisora berada di paru-paru,

Naritiya jingga iku, Barat daya berwarna jingga,

Rudra ring usus gung mangko, Dewa Rudra berada di perut besar,

ijo limpa ring Wayabia, Warna hijau pada limpa arah barat laut,

Hyang Sangkara dewan ipun, Dewatanya Hyang Sangkara,

biru Ersania ineban, Biru timur laut ineban,

Bhatara Sambu puniku. Dewatanya Bhatara Sambu.

pada ke-173

"Siwa Madia manca-warna, "Siwa di tengah beraneka warna,

tumpuking ati nggonipun, berada di tumpuking hati,

sami mangkē ingitung!" semua sudah disebut!"

Sarayuda mojar alon : Sarayuda berkata perlahan :

"Kamoksan lan kalepasan, "Kamoksan dan kalepasan,

darma muang ta pujan ipun, Dharma dan mantra pujaannya,

trusakena alon ala, teruskanlah diwejangkan,

amerih pinegating laku" sebagai tali ikatan tingkah laku"

pada ke- 174

Kepercayaan agama Hindu Bali bahwa Hyang Guru atau Bhatara Guru

adalah dewa tertinggi. Hyang Guru dalam Kidung Jerum Kundangdia diwujudkan

sebagai dewa tertinggi yang memberikan sabda kepada Sarayuda mengenai unsur-

unsur organ tubuh manusia dalam kaitannya dengan dewata nawa sanga. Melalui

kidung Jerum Kundangdya terkandung sebuah bentuk penyadaran terhadap

keterkaitan bhuwana alit (unsur organ tubuh manusia) dengan bhuwana agung

(alam semesta). Ada hubungannya yang sempurna dalam tubuh manusia dengan

alam semesta. Dari pinggang ke bawah melambangkan alam bawah tanah dan di

bagian atas pinggang melambangkan alam atas bumi. Ujung jari kaki

melambangkan alam tala, tumit melambangkan alam tatala, paha melambangkan

rasatala dan pinggul melambangkan alam patala. Pusar melambangkan alam

bhurloka, hati melambangkan svahloka, kerongkongan melambangkan alam

mahaloka, wajah melambangkan janaloka, dahi melambangkan tapaloka, dan

pucak kepala adalah satyaloka (Watra, 2006: 84--85). Para dewa ber-stana sesuai

dengan unsur-unsur organ tubuh tersebut. Dengan mengaitkan keberadaan para

dewa dengan organ-organ tubuh ini merupakan salah satu bagian dari penyadaran

agar manusia mencintai dirinya sendiri. Badan merupakan salah satu anugerah

yang diberikan agar atma mampu menjalani kehidupan sebagai manusia, sebagai

bentuk rasa terima kasihnya sudah seharusnya ia menjaga dan menghormati setiap

unsur anggota badannya dengan jalan mencintai tubuhnya sendiri. Ketika

seseorang berusaha mencintai tubuhnya, ia akan berusaha menjaga kesehatan

badan, baik dengan cara makan-makanan yang sehat, olahraga, maupun

menciptakan pikiran yang sehat. Pikiran yang sehat tentu terbebas dari pikiran

negatif, yang mampu menciptakan pikiran harmonis. Liman Tarub ketika

terbelenggu dalam masalah kehancuran rumah tangganya akhirnya memilih untuk

mengasingkan diri ke gunung untuk berusaha menenangkan diri hingga akhirnya

ia mampu bertemu dengan Hyang Guru yang memberikan sabda mengenai

keterkaitan letak para dewa dalam tubuh manusia tanpa melupakan untuk selalu

menerapkan ajaran dharma. "Dalam tubuh yang sehat ada jiwa yang sehat".

Slogan yang umum didengar di lingkungan masyarakat Indonesia ini memang ada

benarnya. Ketika seseorang dalam keadaan sehat tentu ia mampu belajar untuk

berpikir yang sehat dan positif. Pikiran positiflah yang membentuk lingkungan

sehat dan positif. Inilah keterkaitan bhuwana alit dan bhuwana agung. Ketika diri

telah harmonis, maka akan berimbas pada keharmonisan lingkungan yang pada

akhirnya menciptakan keharmonisan alam semesta. Pembentuk keharmonisan

alam sesungguhnya berawal dari harmonisnya unsur-unsur dalam diri. Salah satu

cara tercapainya keharmonisan diri itu adalah tapa brata seperti yang dilakukan

oleh Liman Tarub. Ia berusaha menjaga kesehatan organ badan dan kesehatan

pikiran yang pada akhirnya mencapai kamoksan dan kalepasan.

Keharmonisan sangatlah dijunjung dalam kehidupan masyarakat Bali.

Hingga banyak beranggapan bahwa di Bali unsur baik dan buruk itu mampu

berdampingan. Bhuwana agung atau dengan kata lain alam semesta merupakan

tempat makhluk hidup dan yang lainnya melangsungkan kehidupan. Tanpa alam

makhluk hidup tidak bisa hidup, tanpa makhluk hidup pun alam tidak akan ada

gunanya. Keterkaitan saling membutuhkan ini menuntut makhluk hidup seperti

manusia, yang diberikan kelebihan untuk mampu merasakan dan berpikir

seharusnya berkewajiban memeliharan keharmonisan keduanya, baik bhuwana

agung maupun bhuwana alit. Bentuk pemeliharaan bhuwana agung di Bali yaitu

melalui upacara yadnya. Sekian upacara-upacara yadnya yang ada di Bali.

Upacara bhuta yadnya merupakan upacara yang memang bertujuan untuk

mengharmoniskan kekuatan baik dan buruk dengan harapan mampu menciptakan

keharmonisan alam. Upacara bhuta yadnya memiliki dua bagian. Pertama,

upacara caru yang merupakan bagian dari upacara bhuta yadnya yang memiliki

kuantitas nista, madia, utama tergantung dari keperluan dan kemampuan. Adapun

kualitasnya sama sesuai dengan macam dan fungsi caru. Pelaksanaan upacara

pecaruan ini biasanya bersifat berkala. Kedua, upakara/ yadnya sesa

(palelabanan) yang merupakan bagian dari bhuta yadnya hanya materialnya lebih

sedikit. Namun, pelaksanaan upakara palelaban ini, ada yang bersifat berkala dan

ada juga yang bersifat rutin setiap hari (Sudarsana, 2001: 5-6).

Berbicara tentang keharmonisan di lingkungan alam di Bali, tidak

terlepas dari konsep tri hita karana. Secara leksikal tri hita karana berarti tiga

penyebab kesejahteraan (tri = tiga, hita = sejahtera, karana = penyebab). Pada

hakikatnya tri hita karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan

itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara (1) manusia dan Tuhan, (2)

manusia dan alam lingkungannya, (3) manusia dan sesamanya. Penerapan tri hita

karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut.

a. Hubungan antara manusia dan Tuhan diwujudkan dengan dewa yadnya.

b. Hubungan antara manusia dan alam lingkungannya diwujudkan dengan

bhuta yadnya.

c. Hubungan antara manusia dan sesamanya diwujudkan dengan pitra, resi,

manusa yadnya (Pemerintah Provinsi Bali, 2003: 77--78).

Demi mempertahankan hubungan baik dengan kekuatan bhuwana agung,

ajaran tri hita karana bisa dirujuk sebagai landasan falsafahnya. Ajaran ini

menyerukan pentingnya "keselarasan" dalam segala sisi kehidupan manusia dan

menempatkan manusia (bhuwana alit) sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dengan jagat raya ini (bhuwana agung). Prinsip keselarasan itu bisa dilihat dari

perlakuan umat Hindu di Bali terhadap kekuatan bhuwana agung yang disebutnya

bhuta kala. Bhuta berarti alam semesta, jagat raya ini, kala adalah energi atau

kekeuatan yang menyertai prakrti (alam). Kekuatan alam itu bisa merusak apabila

diganggu, ia pun menyejahterakan apabila didamaikan. Kekuatan alam ini

dianggap berada di pihak manusia jika mereka dapat menyelaraskan diri

dengannya. Oleh karena itu, bhuta kala harus didamaikan kembali melalui

upacara bhuta yadnya (Yudiantara, 2001: 19--20). Berkaitan dengan konsep tri

hita karana, upacara bhuta yadnya menjadi salah satu cara untuk

mengharmoniskan alam beserta isinya. Upacara bhuta yadnya lebih pada yadnya

yang bertujuan untuk menetralisir alam, menyeimbangkan kekuatan negatif dan

positif. Digunakannya kidung Jerum Kundangdya sebagai pengiring upacara

bhuta yadnya memiliki sebuah alasan karena ceritanya yang mengandung sebuah

unsur keterkaitan dengan kekuatan negatif dan positif. Dalam kidung Jerum

Kundangdya muncullah dua orang tokoh pria yang saling menaruh dendam

dengan dihadiri seorang tokoh wanita yang sama-sama sangat dicintai oleh kedua

pria tersebut. Setiap unsur dalam alam semesta selalu tercipta berpasangan,

termasuk juga kekuatan positif dan negatif yang memenuhi alam semesta juga

memenuhi diri manusia. Kekuatan positif dan negatif menandakan adanya unsur

kesadaran dan ketidaksadaran.

Macam-macam upacara bhuta yadnya ada banyak, dari yang sederhana

hingga tingkat utama. Seluruh rangkaian upacara baik dari yang kecil hingga

utama inipun tidak lepas dari tujuan harmonisasi. Selain rangkaian upacara bhuta

yadnya yang memang diperuntukkan untuk pengharmonisan alam, tradisi Hindu

di Bali juga memiliki rangkaian upacara keagamaan yang memang muncul guna

sebagai bentuk penyelarasan terhadap alam, yaitu upacara tumpek. Tumpek

merupakan salah satu dari sekian banyak hari raya agama Hindu berdasarkan

pawukon (wuku). Berdasarkan pergantian dari wuku-wukunya itu, maka dalam

kurun waktu selama enam bulan akan terjadi perayaan tumpek selama enam kali,

yang masing-masing berbeda nama, jenis, dan tujuannya. Hari raya tumpek,

merupakan saat turunnya Hyang Widhi menciptakan Sang Hyang Dharma dan

tattwa-tattwa atau ilmu pengetahuan. Pelaksanaan upacaranya diwajibkan kepada

manusia sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna untuk mengatur keadaan

hidup di dunia secara lahirnya agar tetap terjaga keserasian dan kelestarian

lingkungan hidupnya. Jenis-jenis tumpek ada enam. Pertama, tumpek landep yaitu

upacara yang diselenggarakan oleh manusia untuk memohon keselamatan

kehadapan Tuhan dalam manifestasinya yang disebut sebagai dewanya senjata

(alat peperangan yang dibuat dari besi, logam, perak, emas dan lain sejenisnya)

yang dipergunakan oleh manusia dalam kehidupannya. Kedua, tumpek wariga,

yaitu memohon keselamatan melalui upacara ke hadapan Tuhan dalam

manifestasi-Nya sebagai dewa tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia

untuk memenuhi keperluan hidupnya. Ketiga, tumpek kuningan, yang

diselenggarakan manusia untuk memohon keselamatan ke hadapan para leluhur

termasuk dewa dan pitaranya. Keempat, tumpek krulut, yang diselenggarakan

manusia untuk memohon keselamatan kehadapan Tuhan dalam manifestasi-Nya

sebagai dewa rasa senang yang luar biasa. Kelima, tumpek uye, yang

diselenggarakan oleh manusia untuk memohon keselamatan ke hadapan Tuhan

dalam manifestasi-Nya sebagai dewa para binatang yang hidupnya dikandangkan

dan digunakan oleh manusia sebagai teman hidup yang ikut membantu bekerja

dan memenuhi sarana keperluannya. Keenam, tumpek wayang, diselenggarakan

oleh manusia untuk memohon keselamatan ke hadapan Tuhan dalam manifestasi-

Nya sebagai dewa segala jenis tetabuhan dan wayang, yang digunakan oleh

manusia (Arwati, 1992: 5--8).

Wujud perayaan tumpek memberikan gambaran mengenai usaha manusia

untuk selalu harmonis dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Perayaan

Tumpek Wariga mampu menjadi salah satu contoh bentuk usaha untuk mencapai

keharmonisan dengan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan merupakan saudara

manusia sesama ciptaan Tuhan yang selalu membantu kehidupan manusia

khususnya di bidang pangan. Selain itu, tumbuh-tumbuhan juga kembali

digunakan untuk sarana persembahan atau banten dalam sebuah upacara yang

kembali diperuntukkan untuk Tuhan. Ketika perayaan Tumpek Wariga, tumbuh-

tumbuhan disucikan dengan berbagai upakara dan ketika itu manusia

memohonkan agar tumbuhan mampu hidup dengan baik, menghasilkan buah dan

bunga yang baik yang dapat membantu hidup manusia. Di sini muncul wujud

syukur dan rasa terima kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan. Ketika

Tumpek Wariga manusia dilarang memetik, bahkan menebang pohon. Muncul

sebuah pengembangan cinta manusia terhadap tumbuh-tumbuhan yang selama

hidupnya telah setia membantu manusia. Harapan manusia ketika tumbuh-

tumbuhan mampu tumbuh subur, baik melalui upacara keagamaan (secara

niskala) maupun melalui sebuah perawatan (secara niskala) maka kehidupan

manusia akan lebih bahagia. Manusia tidak akan mampu hidup tanpa tumbuhan,

demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, sebagai manusia yang terlahir

sempurna tentu menjadi sebuah kewajiban untuk menciptakan keharmonisan

alam. Salah satu caranya adalah dengan memelihara kehidupan tumbuh-

tumbuhan. Demikian juga halnya dengan perayaan tumpek yang lainnya yang

telah memiliki tujuannya masing-masing yang sama-sama untuk sebuah

harmonisasi. Inilah sebagai bentuk harmonisasi bhuwana agung.

Keharmonisan mampu tercipta apabila ada keseimbangan antara

kekuatan negatif dan positif, bagaimana mengubah kekuatan yang bersifat

keburukan menjadi bersifat kebajikan dan di sinilah diperlukan upacara bhuta

yadnya. Konsep harmonisasi sesungguhnya telah dimunculkan dalam Kidung

Jerum Kundangdya, itu menjadi alasan kuat mengapa Kidung Jerum Kundangdya

diterima sebagai salah satu kidung pengiring jalannya upacara bhuta yadnya.

Berawal dari Kundangdya, karena kebutaannya melihat kecantikan

Jerum, ia menjadi lupa diri. Ia dibutakan oleh cintanya terhadap Jerum. Rasa cinta

dan ketertarikannya yang berlebihan ini memeunculkan nafsu, ketika nafsu sudah

tidak mampu dikendalikan maka muncullah keinginannya untuk melakukan

perbuatan di luar kebajikan, yaitu pemerkosaan. Kundangdya nekat meniduri

Jerum merupakan sebuah kesalahan karena ketika itu Jerum telah terikat

pernikahan dengan Liman Tarub. Tindakan Kundangdya dianggap sebuah

tindakan perselingkuhan karena mengambil orang lain yang bukan pasangannya.

Selanjutya Jerum, Jerum menikah dengan Liman Tarub dan telah berjanji

saling mencintai. Namun, kekecewaan Jerum muncul ketika sarannya tidak

digubris oleh suaminya. Bersamaan dengan itu datanglah Kundangdya yang diam-

diam masuk ke kamarnya dan merayunya dengan segenap kata-kata cinta. Rayuan

dan keterpesonaan Jerum melihat manis dan tampannya Kundangdya membuat ia

terhanyut dan berjanji akan selalau bersama, baik hidup maupun mati. Janji

dengan pria lain yang bukan suami sendiri juga merupakan sebuah kesalahan

sehingga dianggap tindakan perselingkuhan. Janji terhadap Kundangdya membuat

Jerum pasrah jikalau akhirnya tindakan tersebut diketahui oleh suaminya.

Akhirnya Jerum dibunuh oleh suaminya sendiri karena dianggap telah berkhianat.

Dalam masyarakat Bali perselingkuhan yang dilakukan oleh Jerum dan

Kundangdya dianggap sebagai sebah kesalahan yang mampu mengotori

lingkungan, biasa disebut ngaletehin gumi.

Liman Tarub, ia menjadi suami yang baik. Namun, ia tidak mampu dan

kurang mau memberikan perhatian terhadap istrinya. Hal itu dibuktikan dari

tindakannya yang tidak peduli dengan permohonan Jerum untuk tidak

meninggalkannya. Cinta terhadap istrinya, tetapi tidak mampu memberikan

perhatian. Perhatian dengan hadiah berupa harta dianggap utama oleh Liman

Tarub. Perselingkuhan Jerum dengan Kundangdya membuat Liman Tarub gelap

mata dan membunuh mereka berdua. Pembunuhan merupakan suatu tindakan

yang tidak dibenarkan sekalipun yang bersangkutan melakukan kesalahan.

Demikianlah dalam kehidupan tentu dipenuhi dengan hal positif maupun

negatif. Kejahatan dan kebaikan akan selalu berdampingan, dan manusialah yang

dituntut untuk tetap sadar sehingga mampu memilah dan memilih tindakan yang

tepat untuk dilakukan. Ada saatnya manusia salah bertindak ketika hilang

kesadaran, dan ketika itulah diperlukan unsur-unsur lain untuk dapat

menetralisirnya kembali untuk dapat menjadi baik. Tuhan menciptakan alam

semesta beserta isinya, ketika makhluk-makhluk yang mengisi alam ini

melakukan kesalahan, tentu itu berdampak pula pada keharmonisan alam semesta.

Alam akan ikut menjadi kotor ketika makhluk-makhluk dalam alam itu

melakukan tindakan kotor, untuk itu muncullah tindakan-tindakan yang dilakukan

manusia untuk menetralisir keberadaan alam tersebut untuk mampu kembali

menjadi harmonis.

Upacara dan upakara merupakan salah satu cara untuk menetralisir alam

agar kekuatan positif dan negatif di alam mampu harmonis kembali. Sama halnya

dalam Kidung Jerum Kundangdya, ketika Kundandya dan Jerum melakukan

kesalahan maka ia dengan kerelaan dan kesadarannya ia menyerahkan diri untuk

dibunuh dan mampu lepas dari ikatan dunia. Sedangkan Liman Tarub yang telah

melakukan tindak pembunuhan, dengan kesadarannya ia melakukan tapa semedi

untuk membayar kesalahannya dan mampu menjadi lebih baik. Kesalahan terjadi

ketika manusia kurang menyadari tindak dan tanduknya, dan untuk

mengembalikan semuanya maka manusia tersebut harus kembali sadar akan

dirinya. Kesadaran diri untuk melakukan tindakan yang patut merupakan awal

terciptanya keharmonisan alam.

BAB V

FUNGSI HARMONISASI ALAM DALAM KIDUNG JERUM

KUNDANGDYA BAGI MASYARAKAT BALI

5.1 Landasan Cinta

Cinta dan keharmonisan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Di

mana ada keharmonisan sudah tentu ada cinta, tetapi di mana ada cinta belum

tentu menimbulkan keharmonisan. Pada umumnya cinta memang selalu

memberikan kebahagiaan, tetapi pernyataan ini perlu digarisbawahi hanya untuk

cinta yang bersifat tulus ikhlas. Cinta yang hanya mengharapkan balasan sering

kali hanya menimbulkan sebuah keterikatan yang berakhir pada rasa cemburu

yang menghancurkan. Oleh karena itulah, cinta belum tentu menimbulkan

keharmonisan, tetapi keharmonisan pasti dibentuk oleh cinta. Tidak ada hubungan

harmonis yang tidak berlandaskan cinta. Keharmonisan pun pasti diwujudkan

karena adanya cinta yang tulus.

Apabila keharmonisan dan kerukunan sesama umat ciptaan Tuhan di

usahakan dan diupayakan secara terus-menerus dengan segala kemampuan yang

dimiliki serta berpedoman pada sastra agama, maka kedamaian yang menjadi

dambaan akan dapat diciptakan dan dengan kedamaian kebahagiaan akan dapat

dirasakan. Kedamaian dan ketenteraman batin merupakan dambaan setiap

makhluk, tidak hanya untuk umat manusia, tetapi juga untuk tumbuhan atau

tanaman dan binatang. Tanggung jawab manusia adalah menjaga harmonisasi

alam dengan melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad besar (alam

semesta) dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus-rumus (kodrat) Tuhan.

Wujud harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya dapat

terlukiskan dalam kisah cinta antara Jerum dan Kundangdya. Cinta merupakan

salah satu bentuk Representatif Harmonisasi Alam, Dengan kata lain wujud

harmonisasi alam dapat terealisasikan dalam wujud cinta . Menurut kamus umum

bahasa Indonesia karya W.J.S Poerwa Darminta, cinta adalah rasa sangat suka

(kepada) atau (rasa) sayang (kepada), ataupun (rasa) sangat kasih atau sangat

tertarik hatinya. Sedangkan kata kasih artinya perasaan sayang atau cinta kepada

atau menaruh belas kasihan, dengan demikian arti cinta dan kasih hampir

bersamaan, sehingga kata kasih memperkuat rasa cinta. Karena itu cinta kasih

dapat diartikan sebagai perasaan suka (sayang) kepada seseorang yang disertai

dengan menaruh belas kasih. Walaupun cinta kasih memegang peranan yang

penting dalam kehidupan manusia, sebab cinta merupakan landasan dalam

kehidupan perkawinan, pembentukan keluarga dan pemeliharaan anak, hubungan

yang erat dimasyarakat dan hubungan manusiawi yang akrab. Demikian pula cinta

adalah pengikat yang kokoh antara manusia dengan Tuhannya sehingga manusia

menyembah Tuhan dengan ikhlas, mengikuti perintahNya, dan berpegang teguh

pada ajaran-Nya.

Cinta merupakan salah satu hal yang menjadi bagian dari keberadaan

makhluk hidup. Cinta seringkali menjadi pembahasan menarik yang tidak pernah

habis untuk ditelusuri dan dipahami. Bahkan pada tahun 416 SM, cinta menjadi

salah satu topik pembahasan menarik bagi sebagian ilmuwan. Ketika itu, Sokrates

pernah melakukan dialog yang khusus membahas cinta pada sebuah acara jamuan

makan malam dan pesta yang direkam oleh Plato muridnya.

Dialog tentang cinta yang pernah dilakukan oleh Sokrates dan kawan-

kawannya memunculkan banyak pemikiran dan pandangan mengenai cinta. Ada

beberapa hasil dialog tersebut yang terekam oleh seorang muridnya, yaitu Plato.

Dalam dialog tersebut, Phaidros mengatakan bahwa cinta adalah Dewi Agung

serta indah di bumi dan di surga. Cinta adalah sumber segalanya, hanya cinta yang

menjadi tuntunan kehidupan kalau ia ingin hidup yang lebih baik. Bukan darah

bangsawan, kedudukan, kekayaan, dan sebagainya, melainkan hanya semata-mata

cinta yang bisa menanamkan kebaikan lebih daripada apa pun. Karena itu, tanpa

cinta, maka mustahil manusia ataupun negara bisa menghasilkan keindahan dan

keagungan dalam karya mereka (Plato, 1986: 5--6). Sokrates beranggapan, bahwa

dalam pengertian umun cinta berarti semua keinginan akan hal-hal yang baik dan

kebahagiaan dengan simpulan bahwa cinta sesungguhnya berarti selalu senang

memiliki yang baik untuk diri sendiri. Jalan memburunya atau tindakan ketulusan

yang diungkapkannya agar bisa disebut cinta tak lain adalah dengan asuhan dalam

keindahan, baik jasmani maupun rohani. Indah berarti harmonis (Plato, 1986: 31--

32).

Dari kutipan beberapa isi dialog tentang cinta yang pernah dilakukan oleh

Sokrates mampu meyakinkan bahwa kehidupan yang indah atau harmonis tidak

mampu dilepaskan dari keberadaan cinta. Cinta menjadi sebuah kekuatan yang

memunculkan ketulusan dan sikap positif yang menciptakan kehidupan harmonis.

Menurut Wijayananda, pada aspek tertentu wujud cinta dapat pula disebut

dengan bhakti. Bhakti berarti cinta kasih yang tulus. Istilah bhakti ini digunakan

untuk pernyataan cinta kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan), cinta kepada

negara ataupun pribadi-pribadi yang disayangi atau dihormati. Bhakti dapat dibagi

atas dua tingkatan, yaitu apara bhakti dan parabhakti. Apara bhakti adalah cinta

kasih yang perwujudannya masih lebih rendah dan dipraktikkan oleh mereka yang

belum mempunyai tingkat kerohanian yang tinggi. Sebaliknya parabhakti adalah

cinta kasih dalam perwujudannya yang lebih tinggi dan kerohaniannya sudah

meningkat (Wijayananda, 2004: 25). Bakti atau cinta akan menimbulkan suatu

keikhlasan untuk berbuat dan berkorban. Kerelaan berkorban tentu memunculkan

rasa pengertian dan saling memaafkan hingga mampu menghasilkan kedamaian.

Cinta seakan selalu diibaratkan sebagai sumber keindahan dan kebahagiaan.

Cinta adalah kekuatan terbesar dalam hidup yang dianugerahkan oleh

Tuhan kepada manusia. Ungkapan tersebut terungkap dan terlontar secara alami

serta terlukis secara amat puitis (Khalil Gibran dalam Antono, 2008: 7).

Pembahasan mengenai cinta masih sering menjadi perbincangan karena

keingintahuan manusia sekalipun telah diketahui bahwa semua makhluk hidup

mengenal cinta. Untuk itu cinta tidak perlu dipelajari. Cinta datang pada saatnya

dan sudah ada dalam diri setiap makhluk. Cinta memenuhi alam semesta dan

mampu melahirkan simbol-simbol dan kias-kias yang menyebabkan imajinasi

berkembang dan lahirlah seni (Putra: 15--19). Seni adalah sebuah keindahan dan

itu dianggap bersumber dari cinta. Kekuatan cinta inilah yang mampu

menciptakan keindahan dan keharmonisan alam. Cinta dapat dianggap sebagai

landasan munculnya keharmonisan. Tidak ada sebuah keharmonisan tanpa cinta.

Kidung Jerum Kundangdya sebagai salah satu kidung pengharmonis alam

yang menggambarkan kehidupan dengan segala permasalahan yang bersumber

dari cinta. Secara eksplisit, setiap permasalahan yang muncul dalam kidung

berawal dari masalah cinta. Cinta dalam kaitannya dengan harmonisasi alam dapat

dilihat dari dua sisi yang saling berbeda. Satu sisi cinta selalu menimbulkan

kebahagiaan dan sudah tentu bahagia itu juga berarti harmonis. Sebaliknya, di sisi

lain cinta mampu menimbulkan keterikatan yang berujung pada rasa cemburu dan

kemarahan yang berakhir pada kehancuran.

Dalam ajaran Hindu di Bali dikenal adanya Tri Hita Karana seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya. Dasar pengertian Tri Hita Karana adalah tiga unsur

asal kebahagiaan, yaitu atman, manusia, dan alam. Ini bermakna agar manusia

dapat hidup penuh kebahagiaan dan kedamaian, maka harus dibangun tiga

wilayah, yaitu parhyangan untuk tempat memuja Tuhan sebagai asal dari atman

manusia, pawongan tempat untuk hidup bermasyarakat dan palemahan tempat

untuk penunjang kehidupan (Nala dkk., 2012: 156--157). Baranowski menemukan

kunci untuk hidup bahagia, yaitu empat huruf "love" yang berarti cinta. Hidup

sukses akan terwujud sepanjang dasarnya adalah "love" atau cinta kasih yang

murni tanpa pamrih (Wiana, 2012: 40). Sebagai pengharmonis alam demi

kebahagiaan setiap makhluk maka dalam ajaran Hindu di Bali dikenal upacara

bhuta yadnya. Yang dimaksud dengan bhuta adalah unsur-unsur dari panca maha

bhuta yang terdiri atas udara (bayu), air (apah), api (teja), tanah (pertiwi) dan

ruang (akasa). Bhuta dapat bersifat baik dan buruk. Kroda dari bhuta inilah yang

harus dikendalikan oleh manusia agar dunia aman dan sejahtera. Manusia harus

berani berkorban untuk mengendalikan bhuta agar tetap baik dan tidak berubah

menjadi ganas dan kroda. Bila terjadi pencemaran atau keseimbangannya

berubah, tentu akan menimbulkan bahaya. Manusia yang tidak tahu ilmu

pengetahuan, merusak keseimbangan alam mengakibatkan bhuta menjadi marah

dan menghancurkan manusia itu sendiri (Nala dkk., 2012: 267). Seperti yang

terdapat dalam Kidung Jerum Kundangdya, cinta yang mampu menciptakan

kebahagiaan dan kemarahan dan dendam menimbulkan sebuah malapetaka.

Walaupun dianggap sebagai hubungan terlarang, cinta yang dimiliki

Kundangdya terhadap Jerum begitu tulus dan murni. Cinta kasih yang tulus inilah

yang menciptakan kebahagiaan antara Kundangdya dan Jerum hingga bahaya

yang akan menimpa mereka pun tidak dapat membuat mereka takut, seperti dalam

kutipan berikut.

Liman Tarub gagēpēran, Liman Tarub gemetaran,

ginamelan Ni Jerum, Ni Jerum dipegang,

tumuli angunus duhung: sambil menghunus keris:

"Masa ko urip dēningong, "Masak kau hidup denganku,

lakinko Ki Kundang-Dia", laki-lakimu Ki Kundang-Dia",

Tur sinuduk Ni Jerum pindo:, Ni Jerum ditikam dua kali:

"Ana ingsun kaka suarga, "Kakak aku akan masuk surga,

mati satia lan wong bagus" setia dan mati bersama lelaki tampan".

pada ke-108

Dalam kutipan diceritakan bahwa Jerum merasa sangat tidak menyesal

mengenal Kundangdya. Jerum dengan rela dibunuh oleh suaminya sendiri dengan

keyakinan ia akan akan masuk surga dan bertemu dan setia dengan lelaki tampan,

yaitu Kundangdya. Kemesraan antara Kundangdya dan Jerum dapat ditemukan

dalam beberapa bait Kidung Jerum Kundangdya hingga pada bagian akhir. Ini

sebagai bukti bagaimana cinta yang dijaga melalui hubungan kemesraan ini

mampu menciptakan kebahagiaan. Mesra adalah wujud keharmonisan, dan

keharmonisan adalah hal yang diciptakan oleh cinta. Kemesraan hubungan antara

Kundangdya dan Jerum berulang-ulang kali disebutkan dalam beberapa pada.

Salah satu di antaranya adalah sebagai berikut.

Sumrik gandaning kusuma, Sangat harum aroma bunga-bunga

jebad kasturi arum, jebad kasturi harum,

enti suka Nini Jerum, betapa gembiranya Nini Jerum,

rasa tan mintara mangko, ingin tak beranjak dari situ,

kasrepan dēning kasukan, terlena oleh kesenangan,

lewih asatiyēng wong bagus, terlebih setia pada lelaki tampan,

lewih sukaning sampura, seperti lulus dari segala ampunan,

sasangi tan koneneng itung. bagai kaul yang tidak bisa dihitung

pada ke- 245

Terlena dengan kesenangan membuat Nini Jerum tidak sedikit pun berniat

beranjak meninggalkan Kundangdya. Kundangdya yang digambarkan sebagai

sosok pria yang amat tampan dengan kesetiaan yang sudah terbukti, tentu

memunculkan daya tarik bagi para wanita. Sebaliknya, Nini jerum yang juga amat

cantik dengan tubuh yang sangat sempurna juga menjadikan setiap pria tertarik.

Keindahan merupakan sesuatu yang patut dikagumi. Setiap individu pasti

dilahirkan memiliki sifat mengagumi keindahan, hanya keindahan di dalam benak

tiap-tiap orang itu yang sifatnya relatif. Kagum memiliki makna yang hampir

sama dengan tertarik. Ketertarikan sudah tentu memunculkan rasa suka yang

lama-lama menjadi cinta. Ketika cinta mampu hadir secara tulus dan mampu

diterima dengan baik, ketika itulah muncul kebahagiaan yang secara langsung

telah menciptakan keharmonisan, seperti yang dilakukan Kundangdya dan Jerum.

Karena mereka saling mencintai, mereka saling memberikan perhatian dan

pelayanan hingga mampu saling memberikan kebahagiaan.

Jika rasa cinta ini dikembangkan di mana saja, tentu itu akan menimbulkan

kebahagiaan di manapun kita tinggal. Tanpa disadari cinta itu juga memiliki

hukum timbal balik. Ketika kita mampu memberikan cinta dan objek yang kita

berikan cinta juga membalas memberikan cinta, maka ketika itulah terwujud

keharmonisan. Dalam kehidupan, manusia tidak hanya hidup dengan pasangan

yang dicintai saja. Jadi sudah menjadi kewajiban jika manusia juga harus

mencintai makhluk lain. Pada jaman sekarang, munculnya kasus orang yang

depresi karena merasa tidak ada yang mencintai sudah sangat sering terjadi. Hal

itu bisa disebabkan oleh tingkah lakunya yang memang membuat orang lain

enggan mencintainya atau bisa juga pola pikirnya saja yang beranggapan

demikian. Sesungguhnya ketika cinta yang tulus mampu diciptakan maka

seseorang akan mampu menerima setiap keadaan dengan bijaksana dan

kebahagiaan pun pasti akan diperoleh. Oleh karena itulah, kebahagiaan dan

keharmonisan alam harus diciptakan dengan selalu menciptakan cinta yang tulus,

baik cinta diperuntukkan untuk Tuhan, sesama manusia, maupun alam sekitar

lainnya.

5.2 Penyeimbang Alam Semesta

Ada tiga manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang dikaitkan dengan tiga

aktivitas utama, yaitu penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan. Brahma sebagai

pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, dan Siwa untuk melebur kembali. Ketiganya

disebut Tri Murti, tiga wujud utama (Dharmita, 2011: 105).

Sesungguhnya Tuhan hanya satu, hanya umat Hindu di Indonesia

memberikan gelar Sang Hyang Wisdhi Wasa. Widhi artinya takdir dan Wasa yang

Mahakuasa. Widhi Wasa berarti Yang Mahakuasa yang menakdirkan segala yang

ada. Sebagai pencipta beliau bergelar Brahma (utpatti) di dalam aksara ia

disimbolkan dengan huruf "A". Sebagai pemelihara dan pelindung (sthiti) ia

disebut Wisnu, sebagai simbolnya ialah huruf "U", dan sebagai Tuhan yang

mengembalikan segala isi alam kepada sumber asalnya (pralina) beliau bernama

Siwa Rudra. Siwa Rudra sering disebut Iswara, simbolnya dalam aksara ialah

"M". Dalam perwujudannya sebagai Brahma pencipta, Wisnu pemelihara, dan

Siwa Rudra pengembali ke asalnya Beliau disebut tri murti. Tri murti adalah tiga

perwujudan dari tiga kemahakuasaan Tuhan Siwa Yang Mahatunggal yang

disebut trisakti yaitu utpatti (mencipta), sthiti (memelihara), dan pralina

(mengembalikan keasalnya). Tuhan Siwa Mahadewa, Yang Maha Esa dan Maha-

kuasa disimbolkan dengan aksara "OM" (AUM) yang disebut juga Omkara. Oleh

karena itulah, tiap-tiap mantra harus dimulai dengan suara OM, sebagai inti

kekuatan doa mantra itu, hendaknya juga dapat menggetarkan dan menggerakkan

alam semesta (Punyatmaja, 1992: 37--38).

Setiap kali umat Hindu melantunkan doa. Tiap kali itu pula diawali dengan

kata "OM". Secara tidak langsung menyadarkan manusia dengan keberadaan alam

yang diciptakan, dipelihara, dan akan dilebur oleh Sang Hyang Tri Murti.

Lantunan doa sebagai bentuk ingatan terhadap Sang Hyang Tri Murti dan wujud

terima kasih karena telah diciptakan, dipelihara, dan pada akhirnya akan dilebur

kembali, dari ada, berlangsung, dan kembali tiada. Demikianlah setiap kehidupan

itu berlalu dengan seimbangnya ketiga proses ini. Ketika salah satu dari unsur ini

menimbulkan ketidakseimbangan maka mustahil akan tercipta keharmonisan.

Andai dalam proses kehidupan kelahiran atau penciptaan sangat jarang terjadi,

bisa dibayangkan di dunia akan sepi karena kekurangan isi, demikian juga jika

peleburan jarang terjadi, maka dunia pun akan kepenuhan. Demikian halnya

dengan pemeliharaan, apabila dunia tercipta, tetapi tanpa dipelihara maka

kehancuran akan lebih cepat terjadi. Inilah bentuk keseimbangan alam.

Keseimbangan ini mampu terjaga apabila manusia sebagai makhluk yang

memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang

lainnya mampu berterima kasih dengan cara berdoa. Di samping itu, juga menjaga

setiap hasil ciptaan beliau hingga akhirnya hasil ciptaan tersebut dilebur dengan

cara yang wajar.

Konsep Tri Murti ini juga dikenalkan melalui Kidung Jerum Kundangdya.

Dewa Brahma sebagai dewa pencipta juga disampaikan secara jelas ketika Ki

Jaksa memberikan wejangan pada Sarayuda, seperti dalam kutipan berikut.

Tan panut kramaning jagat, Tak sesuai dengan kehendak dunia,

tuara tutut tigang wegung, belum sampai tiga bulan,

wenang bencana rawuh, sudah waktunya bencana datang

tan panuta kramaningong, tidak sebagaimana mestinya,

tan yogia brahma muaha, Dewa Brahma tidak akan menciptakan

kembali

wus pejah akalihan sampun, berdua sudah meninggal dunia,

apan sitohana jiwa, karena mempertaruhkan jiwa,

dēnē Kundangdya sampun oleh Kundangdya.

pada ke-198

Dari kutipan di atas ada sebuah pengakuan bahwa Dewa Brahma memang

dianggap sebagai pencipta. Dewa Brahma dianggap tidak akan menciptakan

kembali orang yang telah meninggal yang dalam cerita yang dimaksud adalah

Kundangdya dan Jerum yang ingin dibunuh kembali oleh Sarayuda. Hal itu

menjadi mustahil karena menurut Ki Jaksa, orang yang meninggal tidak akan

dapat hidup kembali karena tidak mungkin Dewa Brahma menciptakan kembali

orang yang telah meninggal. Jika dikaitkan dengan hukum keseimbangan dalam

kosep Tri Murti, ketika seseorang telah meninggal kembali dihidupkan oleh Dewa

Brahma, maka suatu kesalahan telah dilakukan oleh Dewa Brahma terhadap Dewa

Siwa Rudra. Melebur, membunuh, menghancurkan, dan meniadakan adalah

wewenang Dewa Siwa Rudra. Apabila Dewa Brahma kembali menghidupkan

yang telah dilebur oleh Dewa Siwa Rudra, itu menjadi sebuah kesalahan karena

mengambil wewenang yang salah. Jerum adalah istri Liman Tarub, karena

kenekatan Kundangdya meniduri Jerum itu menjadi sebuah kesalahan yang besar,

maka mereka pun akhirnya mati dibunuh karena kemarahan Liman Tarub.

Selain Brahma, Dewa Wisnu juga tidak lepas dari bagian cerita Kidung

Jerum Kundangdya, seperti yang tampak dalam kutipan berikut:

Bhatara Wisnu angandika : Bhatara Wisnu bersabda:

Kundangdya sira mantuk, Pulanglah kau Kundangdya,

kalawan Nini Jerum, bersama Nini Jerum,

ring Mrecapada mangko, pulang ke Mrecapada,

durung teka ring samaya, belum sampai pada janji,

moga mu amukti ratu, semoga kau berdua dapat mengenyam

pemerintahan,

pangabaktianing buwana, disembah oleh anak negeri,

Narēswari Nini Jerum. dengan Permaisuri Nini Jerum.

pada ke- 215

Dewa Wisnu dalam wewenangnya adalah sebagai pemelihara, tetapi dalam kaitan

cerita Kidung Jerum Kundangdya yang dikutip di atas, Dewa Wisnu dianggap

menghidupkan Ni Jerum dan Kundangdya. Dewa Wisnu yang menyuruh Nini

Jerum dan Kundangdya pulang atau kembali ke mrecapada atau dunia tempat kita

tinggal tidak berperan sebagai pencipta. Namun, berposisi sebagai pemelihara roh

Ni Jerum dan Kundangdya yang ketika itu harus meninggal karena di bunuh oleh

Liman Tarub. Kewajiban-kewajiban yang mengharuskan Ni Jerum dan

Kundangdya kembali ke dunia menjadi alasan kuat mengapa ia dapat hidup

kembali. Sebagai dewa pemelihara, Dewa Wisnu senantiasa memelihara setiap hal

yang mampu menciptakan kedamaian dunia. Kundangdya dan Jerum adalah dua

orang yang saling mencintai. Walaupun pasangan ini tidak diikat pernikahan,

mereka berjanji hidup setia saling mencintai, baik di dunia maupun di akhirat.

Cinta dapat diselaraskan dengan titik awal sebuah kebahagiaan, kesuburan,

kemakmuran, dan tentunya keharmonisan. Anak-anak mampu tumbuh dengan

baik disebabkan oleh cinta. Tumbuhan dapat tumbuh subur juga karena cinta.

Seluruh alam semesta ini dapat harmonis karena berdasarkan cinta.

Selain sebagai pemelihara, Dewa Wisnu juga dikenal sebagai dewa air

dengan saktinya Dewi Sri yang dikenal dengan Dewi Padi atau Dewi kesuburan.

Padi dapat tumbuh ketika disiram oleh air. Padi yang tumbuh dengan baik akan

menghasilkan beras yang menjadi bahan makanan makhluk hidup di dunia.

Demikian kiranya dapat digambarkan peran cinta bagi keharmonisan alam yang

digambarkan dengan Cinta Kundangdya terhadap Jerum dan juga sebaliknya.

Keharmonisan Kundangdya dan Jerum inilah dianggap mampu menciptakan

dunia yang penuh cinta. Oleh karena itu, selayaknya air yang akan selalu turun ke

tempat yang lebih rendah dengan selalu membawa kesuburan, maka diturunkanlah

Kundangdya dan Jerum kembali ke dunia oleh Dewa Wisnu. Orang-orang dengan

penuh cintalah yang mampu memelihara keharmonisan dunia.

Sebagai pelebur, penghancur, atau yang melenyapkan muncullah Dewa

Siwa Rudra. Beliau memiliki banyak sebutan. Beliau disebut juga Bhatara Siwa

pelindung yang termulia. Diberi gelar Sang Hyang Mahadewa, Dewa yang

tertinggi. Dalam Kidung Jerum Kundangdya, Dewa Siwa Rudra disebut dengan

nama Hyang Guru yang menjadi seorang penuntun ajaran kebenaran. Hyang Guru

berulang-ulang kali hadir dan mewariskan ajaran-ajaran kebenaran kepada Liman

Tarub yang diubah namanya menjadi Ki Sarayuda, seperti yang terdapat dalam

kutipan berikut:

Hyang Guru lingniangucap, Hyang Guru bersabda,

Anak ingsun Liman Tarub, Anakku Liman Tarub,

sun parabakena tengsun, aku ganti namamu,

Sarayuda arane mangko, dengan nama Sarayuda,

Liman Tarub lingniangucap, Liman Tarub berdatang sembah,

angabakti ring Hyang Guru: menghaturkan bakti kepada Hyang Guru:

"Sandika yan pakanira, Segala titah,

kawula mangkē anuhun". hamba junjung"

pada ke- 147

Kutipan di atas diawali dari cerita Liman Tarub yang putus asa karena

merasa dikhianati oleh istrinya kemudian memilih untuk menyucikan diri ke

dalam hutan. Akhirnya ia bertemu dengan Hyang Guru. Hyang Gurulah yang

mengajarkan cara menjalani kehidupan dengan penuh kebenaran hingga mencapai

kebahagiaan yang sempurna, seperti yang disampaikan dalam kutipan berikut.

Hyang Guru lingniangucap: Hyang Guru lalu bersabda:

Sarayuda anakingsun, Sarayuda anakku,

tan akēh darma iku, dharma itu tidak banyak,

tindak tanduk ēling mangko, hanyalah kesadaran tindak dan tanduk,

lintang kena ginamelan, diabaikan untuk di terapkan,

agung tan kena pinanduk, besar namun tidak kena perhatian.

ewuh kaki sang atapa, "karena itu sulit bagi seorang pertapa,

ungguanira Sang Hyang Ayu. menuju tempatnya Sang Hyang Ayu.

pada ke-175

Seperti seorang guru yang memberikan sebuah ajaran dan pemahaman

kepada muridnya, demikianlah Hyang Guru memberikan wejangannya kepada Ki

Sarayuda. Ajaran dharma atau kebenaran itu tidaklah banyak, hanya sebuah

kesadaran tindak dan tanduk hingga akhirnya dapat mencapai tempat Sang Hyang

Ayu, yaitu tempat terindah atau surga. Hyang Guru yang digambarkan

memberikan ajaran kebajikan ini tidak terlepas dari peran beliau sebagai

penghancur atau pelebur. Menghancurkan tidak semata-mata melenyapkan setiap

hal yang bisa dilenyapkan, tetapi sebagai asal mula setiap isi alam semesta ini,

beliau juga berhak mengajarkan makhluk mengenai kebenaran hingga ketika

badan kasar dilebur, sang atma yang tidak pernah mati itu mampu mendapat

tempat yang layak, seperti ketika Sarayuda salah bertindak. Ketika Sarayuda telah

menjadi seseorang yang dianggap suci, justru diam-diam ia masih menaruh

dendam terhadap Kundangdya. Ia diam-diam menyusul Kundangdya ke dunia

hingga melakukan peperangan. Ini membuat Hyang Narada marah dan tergesa-

gesa melerai mereka. Ketika itulah layaknya seorang guru, Hyang Guru kembali

hadir untuk mengingatkan dan menasihati Liman Tarub, seperti yang terdapat

dalam kutipan berikut:

Hyang Guru lingirangucap: Hyang Guru bersabda:

Sarayuda anak ingsun, Sarayuda anakku,

yan sira ngidepana wuwus, kalau engkau mendengarkan kata-kataku,

anganggo darma kawikon, menggunakan ajaran kependetaan,

idepen ta ujar inguang, camkanlah perkataanku,

tan panirnaken laku, jangan melakukan perbuatan sia-sia,

katemuha ri niskala, bertemu di alam rohani,

awalia andadi luhung. kembali menjadi mulia.

pada ke- 285

Demikianlah keberadaan Tri Murti yang tersampaikan melalui karya

Kidung Jerum Kundangdya. Pemahaman mengenai keberadaan Tri Murti tidak

bisa dilepaskan dari unsur keseimbangan alam. Ada berlangsung hingga hilangnya

alam ini karena beliau. Ketiga unsur yang terdiri atas mencipta, memelihara, dan

melebur telah menjadi sebuah jalinan yang harus berlangsung seimbang.

Menyeimbangkan ketiga unsur tersebut tidak lepas dari sifat dan perbuatan

manusia sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan

makhluk lainnya. Manusia yang memiliki pikiran, tentu dapat berusaha

melakukan sesuatu yang baik untuk menjaga alam ini. Banyak cara dilakukan

manusia untuk menyadarkan manusia agar selalu mengambil tindakan yang benar.

Salah satu diantaranya adalah melalui karya sastra seperti Kidung Jerum

Kundangdya ini. Peran Tri Murti dalam kehidupan makhluk di bumi telah

tersampaikan dalam karya.

5.3 Penetralisasi Alam

Kidung merupakan karya sastra yang menggunakan bahasa Kawi Bali.

Sastra kidung berasal dari zaman Majapahit hingga abad ke-16 di Jawa Timur

yang kemudian diteruskan di Bali (Adiwimarta, 1999:93). Semua sastra Jawa

Pertengahan yang dikenal dewasa ini berasal dari Bali, tetapi tetap dengan catatan

bahwa sastra kidung tidak lahir di bali, tetapi kidung telah dikenal di Jawa

sebelum runtuhnya Kerajaan Majapahit (Zoetmulder, 1985:33). Begitu mendengar

kata kidung, umumnya yang terlintas dalam benak pendengar adalah lantunan

nada-nada indah yang bernuansa tradisi dan religius. Demikianlah istilah kidung

yang umum dikenal di Nusantara, Bali khususnya. Di Bali kidung akan selalu

diidentikkan dengan upacara keagamaan utamanya kegiatan ber-yadnya. Dari lima

macam yadnya yang dikenal dalam tradisi Hindu di Bali hampir kelimanya

memiliki kekidungan yang berbeda-beda. Itulah salah satu ciri kekayaan karya

sastra di Bali. Seperti pendapat yang telah disampaikan oleh Adiwimarta di atas,

bahwa kidung memang bukanlah karya sastra yang menggunakan bahasa Bali

lumrah layaknya bahasa Bali yang umum digunakan saat ini. Kidung

menggunakan bahasa Kawi Bali. Dalam sejarah perkembangan bahasa Bali di

Bali, bahasa Kawi Bali atau sering juga disebut bahasa Bali Tengahan muncul

ketika peralihan bahasa Bali Kuno menuju bahasa Bali Lumrah, di antaranya ada

bahasa Bali Tengahan yang dianggap sebagai bahasa yang sering digunakan untuk

karya-karya sastra, seperti kidung, babad, wariga, usada, usana, niti, dan

sebagainya (Suarjana, 2011: 44). Bahasa Kawi Bali digunakan dalam kekidungan

dapat menambah nilai kesakralan karya tersebut walaupun tidak banyak

pendengar dan penyanyi yang melantunkan kekidungan yang memahami isi dan

arti kidung yang dikidungkan. Mereka cenderung hormat karena kepercayaan

mereka terhadap kidung sebagai nyanyian keagamaan yang umumnya

disakralkan. Di Bali, tidak disetiap tempat seseorang boleh melantunkan

kekidungan apalagi dengan isi yang berkaitan dengan ketuhanan.

Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu karya sastra kidung

berbahasa Bali Kawi yang lestari dan cukup dikenal di Bali. Di Bali Kidung

Jerum Kundangdya dikenal sebagai nyanyian pengiring ketika berlangsungnya

upacara bhuta yajnya. Ketika upacara penetralisasian alam melalui upacara bhuta

yajnya dilaksanakan, ketika itu diangkatlah Kidung Jerum Kundangdya sebagai

nyanyian pengiringnya. Budaya Hindu di Bali memang sangat mengutamakan

makna keharmonisan. Indah dan damai adalah salah satu wujud keharmonisan.

Layaknya nyanyian, kidung termasuk Kidung Jerum Kundangdya disusun oleh

kumpulan-kumpulan nada yang akan indah didengar ketika dilagukan.

Harmonisnya nada-nada itu menciptakan kekidungan yang enak didengar ketika

berlangsungnya upacara bhuta yajnya.

Selain dipandang harmonis dari segi nada dan lagunya ketika dilantunkan,

makna utama yang dimunculkan dari Kidung Jerum Kundangdya dalam kaitannya

sebagai penetralisasian alam adalah ketika Jerum menjadi salah satu titik tolak

yang menciptakan kekacauan dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang dirasakan oleh

Liman Tarub terletak pada Jerum begitu pula kebahagiaan bagi Kundangdya ada

hanya ketika ia mampu bersama Jerum. Jerum adalah seorang tokoh wanita yang

digambarkan cantik dan sempurna. Cantik sudah tentu memiliki unsur keindahan.

Tidak seorang manusia pun tidak tertarik kepada sesuatu yang indah. Keindahan

yang dimiliki oleh Jerum sudah tentu menjadi daya tarik bagi Kundangdya dan

Liman Tarub. Ketika daya tarik dalam diri tersebut sudah tidak dapat lagi

dikendalikan, hal itu justru menjadi hal yang buruk dan tidak lagi bersifat indah.

Tokoh Jerum, Kundangdya, dan Ki Liman Tarub dalam kidung

sesungguhnya menggambarkan kekuatan bhuta yang ada di dalam diri. Dalam

tubuh terdapat kekuatan positif dan negatif. Kekuatan negatif ini yang bisa disebut

juga dengan kekuatan bhuta. Bhuta diidentikkan dengan sesuatu yang bersifat

jahat, lupa, gelap, atau buta. Kehancuran dan kekacauan hidup Jerum,

Kundangdya, dan Liman Tarub berawal dari menangnya kekuatan negatif dan

kegelapan atau kebutaan batin. Terbunuhnya Kundangdya oleh Liman Tarub itu

berawal dari Kundangdya yang dibutakan oleh kecantikan Jerum sehingga ia

berani berbuat nekat meniduri Jerum yang telah menjadi istri Liman Tarub. Jerum

pun terbunuh karena dibutakan oleh rayuan cinta dan ketampanan Kundangdya.

Sedangkan di pihak lain Liman Tarub nekat membunuh Jerum dan Kundangdya

juga karena dibutakan oleh rasa cinta dan terikatnya terhadap Jerum. Penyebab

kekacauan hidup ketiga tokoh tersebut adalah cinta. Cinta terkadang menciptakan

keterikatan, dan keterikatan inilah yang rawan memunculkan perselisihan

penyebab marah dan dendam. Dendam yang dirasakan Liman Tarub terhadap

Jerum dan Kundangdya merupakan salah satu bukti dari dampak keterikatan

terhadap cinta. Rasa dendam Liman Tarub terhadap Kundangdya menyebabkan ia

bersikeras membunuh Kundangdya untuk kesekian kalinya. Berawal dari dendam

akhirnya muncul perang antara mereka berdua hingga akhirnya para Dewa ikut

melerai mereka. Sebuah keharmonisan diri sesungguhnya sangat berpengaruh

terhadap keharmonisan alam. Ketika seseorang mencintai badannya sendiri, ia

berusaha menjaga diri untuk tetap sehat dan berpikir sehat. Orang yang demikian

tentu tidak akan melukai badan dan perasaannya dengan cara menyiksa diri dan

orang lain yang akhirnya merusak keharmonisan alam sekitarnya.

Pada hakikatnya setiap hal tercipta berpasangan, ada baik ada buruk, ada

kanan ada kiri, ada positif ada negatif, demikian pula ada atas ada bawah. Dua hal

yang berbeda ini dalam konsep Hindu di Bali sering diberi nama rwa bhineda.

Beragamanya pasangan yang saling berbeda ini tentu harus diciptakan sebuah

keseimbangan hingga mampu menjadi harmonis. Termasuk setiap elemen

kehidupan di dunia terdiri atas beragam perbedaan yang harus diseimbangkan

hingga memunculkan keharmonisan. Di Bali terutama dalam budaya yang

dimiliki oleh agama Hindu terdapat sebuah upacara keagamaan yang bertujuan

untuk mengharmoniskan alam semesta ini, yaitu upacara bhuta yadnya.

Menurut pandangan agama Hindu, alam semesta yang mahaluas ini

disebut bhuwana agung sedangkan manusia disebut bhuwana alit. Kedua-duanya

menurut keyakinan Hindu adalah ciptaan Tuhan. Di samping itu, Tuhanlah yang

menjadi jiwa bhuwana agung dan bhuwana alit itu. Tuhan yang menjadi jiwa

bhuwana agung disebut brahman, sedangkan Tuhan yang menjadi jiwa bhuwana

alit disebut atman. Jadi atman adalah bagian dari brahman. Jiwa dalam alam

besar dan alam kecil adalah Tuhan itu sendiri. Alam besar yang disebut bhuwana

agung atau macrocosmos dan alam kecil yang disebut bhuwana alit atau

microcosmos. Tuhan menjadi sumber awal, tengah, dan akhir dari kedua alam

tersebut. Demikianlah unsur dasar yang membentuk macrocosmos dan

microcosmos adalah unsur dasar yang sama, yaitu panca maha bhuta. Unsur

panca maha bhuta adalah prtiwi (zat padat), apah (unsur cair), bayu (udara), teja

(unsur panas), dan akasa (ether). Bahan dasar alam semesta ini adalah panca

maha bhuta, demikian juga degan semua makhluk hidup yang menghuni alam

semesta juga dibentuk dari unsur yang disebut panca maha bhuta. Kelima unsur

ini memiliki hukumnya sendiri untuk bisa bereksistensi memberikan kontribusi

pada kehidupan makhluk lain isi alam ini.

Kidung Jerum Kundangdya dapat dikaitkan langsung dengan keberadaan

konsep panca maha bhuta. Liman Tarub adalah unsur teja (panas) yang

diibaratkan seperti api. Kemarahan dan dendam menjadi unsur yang tidak bisa

dilepaskan dari karakter diri seorang Liman Tarub. Semenjak berseteru dengan

Kundangdya, bahkan ia menyimpan dendam itu selamanya sekalipun ketika itu ia

telah melewati masa penyucian diri hingga diberikan nama Sarayuda. Jerum yang

pernah menjadi seseorang yang sangat dicintainya pun dibenci karena

kesalahannya. Dendam dan kemarahan terlalu menguasai Liman Larub, seperti

dalam kutipan berikut:

Liman Tarub lingniangucap, Liman Tarub berkata,

manemahin rabiningsun: menyumpah dan mengutuk istrinya:

"Tulah manuh Nini Jerum, "Manusia laknat Nini Jerum,

wastu iba tan pahenggon, Semoga kamu tak punya tempat,

wastu sira tan pajanma, semoga tak menjelma manusia,

munggah tumurun tan patut, naik dan turun tiada patut,

ping sapta andadi janma, tujuh kali menjelma menjadi manusia,

tan kapanggih lawan ingsun. tak bertemu dengan diriku.

pada ke- 112

"Yan kita andadi sega, "kalau kamu jadi nasi,

tan kena pangan ingsun, aku tak sudi memakanmu",

yan sira andadi banyu, "kalau kau jadi air,

tan kena inum dēningong, aku tak sudi meminummu",

yan sira andadi wastra, kalau kau jadi kain,

tan kena anggonen tēngsun, aku tak mau memakaimu",

sakuehing panadian kita, "semua jelmaan kamu,

tan kapanggiha dēningsun". tak akan bertemu denganku".

pada ke- 113

Dalam kutipan di atas tampak bagaimana dendam Liman Tarub terhadap

istrinya. Kebencian dan kemarahannya seakan melenyapkan besarnya rasa cinta

yang pernah dimiliki terhadap Jerum. Demikianlah sebuah kemarahan yang

membuat seorang lupa akan cinta dan kasih sayang, layaknya api yang mampu

membakar setiap hal yang ada di hadapannya. Sosok tokoh Liman Tarub dapat

disamakan dengan unsur panas yang menciptakan dunia.

Di sisi lain Kundangdya adalah unsur apah (cair). Umumnya air selalu

membawa sifat menyejukkan sekalipun dalam keadaan terdesak dan diliputi

kemarahan. Demikian jugalah karakter Kundangdya yang digambarkan dalam

Kidung Jerum Kundangdya. Dalam keadaan terdesak ketika ia telah diketahui

dengan berani meniduri istri orang lain, Kundangdya tetap dalam keadaan tenang

menghadapi kemarahan Liman Tarub karena ia siap untuk mati.

Kundangdya sampun wikan, Kundangdya sudah tahu,

karepe Ki Liman Tarub, akan maksud Ki Liman Tarub,

adulura Ki Panamun: bersama Ki Panamun:

"Nora dudu satrun ingong, "Tidak lain inilah musuhku,

rupa rasa mawēh dana, rupa-rupanya sedang membawa sedekah,

kadi anggawa Nini Jerum, seperti membawa Nini Jerum,

maka tambaning kasmaran", untuk obat asmara",

anolih asemu guyu. menoleh menyeringai.

pada ke- 96

Kundangdya lingniangucap: Berkata Kundagdya :

"Lah bagēya kakang ingsun, "Sungguh bahagia saudaraku,

napi wenten karyaningsun, ada yang bisa saya bantu,

ulat ana karya mangko", rupa-rupanya sedang ada pekerjaan?"

Wenten yayi karyan inguang, "Ada pekerjaanku dik,

ingsun amalampah sawung, aku sedang mencari ayam kinantan,

wiring kuning rambang tingal, wiring kuning mata rambang,

punika katujuningsun". itulah yang aku cari".

pada ke- 97

Ketika Liman Tarub datang mencari Kundangdya untuk membunuhnya,

ketika itu ia dengan tenang menghadapi Liman Tarub, bahkan kedatangan Liman

Tarub seperti membawa Jerum sebagai obat asmaranya. Dengan keyakinan dan

bersahabat Kundangdya menanyakan hal apa yang bisa dibantu untuk Liman

Tarub, sekalipun ketika itu ia telah mengetahui bahwa maksud kedatangan Liman

tarub adalah untuk membunuhnya. Seperti itu kiranya sifat air yang selalu tenang,

tetapi dapat menghanyutkan. Demikan juga ketika niatnya untuk memiliki Jerum

yang berakhir pada sikap nekatnya mendatangi rumah Jerum dan menidurinya.

Dengan tenang ia menyusup ke kamar Jerum dan melampiaskan kerinduannya

terhadap Jerum dan ketika Jerum terbangun pun tak mampu berbuat apa.

Kelembutan dan kata-kata manis yang disampaikan Kundangdya membuat Jerum

luluh terpesona dan hanyut dalam suasana, seperti yang terdapat dalam kutipan

berikut.

Mangkē tan pangelong larane, Kini tak bisa diredakan rindunya,

Kundangdya mangkiaturu, Si Kundangdya tidur bersama,

tangania angimur-imur, tangannya meremas-remas,

tur angaras pipi alon, seraya mencium pipi perlahan-lahan,

tur anesep payodara, Menyedot puting susu,

Ni Jerum ēnak aturu, Ni Jerum enak saja tertidur,

Kundangdya ngaras-aras, Si Kundangdya memeluk cium,

aris anglukarin kampuh. seraya melukar kain.

pada ke- 59

Alengeng pangucapira, Sangat tenang suaranya,

sor kang gendis mawor madu, mengalahkan gula bercampur madu,

pangucapnia dres alus: kata-katanya gencar tetapi halus :

"Paran ana karep ingong, "ada yang aku inginkan,

tur laksana luir purusa, serupa perbuatan jantan,

sira angraksa iringsun, engkau memelihara diriku,

apan sira amisanan, karena aku saudara misan,

kalawan Ki Liman Tarub. oleh Ki Liman Tarub.

pada ke- 65

Kerinduan Kundangdya terhadap Jerum membuat ia tidak mampu

mengendalikan dirinya hingga nekat untuk mendatangi rumah Jerum walaupun ia

mengetahui Jerum telah menikah dengan saudara sepupunya yaitu Liman Tarub.

Tenang, tetapi menghanyutkan, dengan pasti malam-malam ia melangkah menuju

rumah Jerum dan masuk ke kamarnya hingga akhirnya meniduri Jerum. Kata-kata

yang halus dan penuh rayuan membuat Jerum pun terlena dalam pelukan

Kundangdya hingga akhirnya pagi tiba dengan tenang pula ia pulang ke

rumahnya.

Tokoh Jerum dapat disamakan dengan unsur prtiwi (zat padat) yang dalam

unsur alam diidentikkan dengan tanah. Ibu Pertiwi atau lebih dikenal dengan

Bhumi Pertiwi memiliki sifat bijaksana, pemberani, mengayomi dan melindungi.

Kurang lebihnya seperti demikian jugalah gambaran sifat yang dimiliki oleh

Jerum.

Metu saking jro kmamasan, Keluar dari kamar keemasan,

bēla aran I Mbok Jerum, yang bersedia mati bernama Ni Mbok

Jerum,

akuēh sanaknia ngrubung, sanak keluarga datang menyongsong,

Liman Tarub prapta mangko: Maka datanglah Liman Tarub :

"Kalianganē ko tan tresna, "Apalagi kamu berlaku serong,

laki lawan awak ingsun" bersuamikan diriku",

Ni Jerum alon angucap : Ni Jerum berkata perlahan :

"Pajaraken utangingsun". "Katakanlah utang karmaku".

pada ke- 107

Sekalipun dalam perwujudan wanita, Jerum adalah sosok seorang pemberani yang

berani mengakui kesalahannya. Dia bersedia dibunuh suaminya karena telah

berani tidur bersama Kundangdya. Memenuhi janjinya terhadap Kundangdya

untuk mampu saling mencintai sehidup semati dan akan bertemu pula di surga.

Hal itu pun akhirnya mampu terwujud setelah Liman Tarub membunuh

Kundangdya dan Jerum. Kesungguhan mereka untuk menepati janji akhirnya

membuat arwah Kundangdya dan Jerum bertemu kembali di surga. Keberanian

Jerum mencerminkan sebuah kekuatan seperti halnya bumi pertiwi yang kuat dan

selalu menjadi pelindung, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.

Mangkin srengen I Sarayuda, Kini Sarayuda beringas,

dēnira angrenga wuwus, mendengarkan kata-katanya,

dres lakunia tumedun, langkahnya menderas turun,

gēgēr malayu wonging jero, Orang istana berlari geger,

Ni Jerum anambut pedang: Ni Jerum menghunus pedang:

"Ingsun matia sadulur, "Aku mau mati bersama,

masa molih labda karya". kalau tidak bisa membunuhmu".

Sarayuda ngunus duwung. Sarayuda menghunus keris.

pada ke-265

Jerum hingga berani menghunus pedang di hadapan Liman Tarub yang ketika itu

telah bernama Sarayuda, yaitu seseorang yang telah membunuhnya dan

membunuh Kundangdya. Keberaniannya itu karena Jerum tidak ingin tampak

lemah di hadapan Liman Tarub yang telah menjadi musuhnya.

Demikianlah gambaran ketiga tokoh dalam Kidung Jerum Kundangdya

jika dikaitkan dengan unsur-unsur penciptaan alam semesta ini. Liman Tarub yang

akhirnya dikenal juga dengan sebutan Sarayuda merupakan perwujudan api,

Kundangdya perwujudan air, dan Jerum perwujudan tanah. Air, tanah, dan api

tidak bisa dilepaskan dari unsur bawah, tengah, dan atas. Pada kenyataannya air

dan api tidak pernah bersahabat, api dapat dipadamkan oleh air, air pun akan dapat

menguap jika ada panas (api). Air akan selalu memunculkan kesejukan,

sedangkan api akan selalu memunculkan panas. Demikian jugalah sifat tokoh

yang dilukiskan dalam Kidung Jerum Kundangdya. Hingga habis masanya Liman

Tarub tetap menyimpan panas hati atau kemarahan terhadap Jerum, sedangkan

Kundangdya hingga berakhir pun tetap menjadi sosok yang tenang dan

menyejukkan. Oleh karena itulah, para Dewa akhirnya memisahkan Liman Tarub

dan Kundangdya.

Niatnya untuk menjadi orang yang mampu lepas dari ikatan keduniawian

membuat Liman tarub atau dikenal juga dengan nama Sarayuda memilih untuk

bertapa di gunung hingga akhirnya ia mendapat kepercayaan memasuki surga.

Sarayuda apengingan, Sarayuda mengheningkan pikiran,

angastuti maring gunung, bertapa di gunung,

amoring awun-awun, seakan bersatu dengan awan,

munggah nuhut kukus mangko, naik mengikuti asap konon,

jeg tumurun maring ungguan, tiba-tiba sampai di tempat tujuan,

sakti tan pamangan sekul, menjadi sakti karena tidak memakan nasi,

Sarayuda kang kinucap, Sarayuda dikatakan sangat tersohor

dahat kasaktinipun. tersohor karena kesaktiannya.

pada ke- 178

Tekad Liman Tarub yang dikenal juga dengan nama Sarayuda memang

patut dijadikan contoh. Setelah membunuh Kundangdya dan Jerum, Liman Tarub

merasa kesepian. Hal itu menjadi alasan ia memilih mengasingkan diri untuk

bertapa di gunung. Akhirnya harapannya untuk lepas dari keduniawian memang

menjadi kenyataan. Dalam kutipan di atas tampak bagaimana Liman Tarub atau

Sarayuda akhirnya memeroleh kesaktian karena mampu menahan diri. Salah satu

diantaranya adalah dengan tidak memakan nasi. Kesaktian yang akhirnya dimiliki

oleh Sarayuda inilah akhirnya mengizinkan ia memasuki surga. Ternyata di balik

ketulusan dan tekadnya menjadi orang suci, ia masih menyimpan dendam

terhadap Kundangdya dan Jerum. Setibanya ia di Surga dan melihat Jerum dan

Kundangdya sedang bermesraan, kembali muncul niatnya untuk membunuh

Kundangdya dan Jerum. Setelah dilerai dan ditenangkan, diputuskanlah oleh

Bhatara Wisnu agar Kundangdya dan Jerum kembali ke dunia.

Bhatara Wisnu angandika : Bhatara Wisnu bersabda :

Kundangdya sira mantuk, "Pulanglah kau Kundangdya,

kalawan Nini Jerum, bersama Nini jerum,

ring mrecapada mangko, pulang ke Mercapada,

durung teka ring samaya, belum sampai pada janji,

moga mu amukti ratu, semoga kau berdua dapat mengenyam

pemerintahan,

pangabaktianing buwana, disembah oleh anak negeri,

Narēsuari Nini Jerum dengan permaisuri Nini Jerum.

pada ke- 215

Kundangdya dan Nini Jerum kembali dihidupkan dan dipulangkan ke

dunia oleh Bhatara Wisnu untuk menjadi seorang raja dan ratu yang nantinya

dapat mengenyam pemerintahan yang baik yang bisa disembah dan dijunjung oleh

masyarakatnya. Di pihak lain, kembalinya Kundangdya dan Jerum ke dunia

membuat Liman Tarub merasa tidak tenang. Dendamnya terhadap Kundangdya

dan Jerum membuat Liman Tarub atau disebut juga dengan Sarayuda

memutuskan kembali ingin mencoba membunuh Kundangdya dan Jerum. Hal ini

diketahui oleh Bhatara Narada yang membuat beliau marah hingga tidak

mengizinkan Sarayuda kembali ke surga. Hingga datanglah Hyang Guru dan

bersabda pada Sarayuda agar kembali ke ajaran kependetaan dan menjadi mulia.

Semenjak itulah Sarayuda memilih kembali ke gunung.

Sarayuda anut wacana, Sarayuda menaati wejangan,

winuwusan tatalēnipun, ikatannya dilepas,

anembah maring Hyang Guru : lalu menyembah Hyang Guru :

"Kawula anuhut mangko, "Dengan rela hamba melaksanakan,

mati urip ring ancala, hidup mati di gunung,

anungkeming jeng Hyang Guru, sujud di hadapan Hyang Guru,

awirang tumoning jagat, hati dendam melihat dunia,

tembē ya dumadi ratu". karena tumben menjadi orang utama".

pada ke- 286

Mangkana Ki Sarayuda, Demikianlah Ki Sarayuda,

anjeneng sira ring gunung, berada di gunung,

tinut tingkahing guru, menuruti tingkah laku gurunya,

abresih ing Batur mangko, menyucikan diri di pertapaan Batur,

ambeciking tatanduran, memelihara tanaman,

pangajaran pinahayu, pelajaran yang utama,

panggagan lan pakubuan, menanam padi tegalan,

tan adoh lawan Hyang Guru. tidak jauh dengan Hyang Guru

pada ke- 287

Sejak itu keseharian Liman Tarub yang dikenal juga dengan nama

Sarayuda hanyalah menyucikan diri di pertapaan yang terletak di gunung yang

juga dikatakan dekat dengan keberadaan Hyang Guru. Hyang Guru tidak lain

adalah sebutan untuk Dewa Siwa. Seperti yang umum dikenal dalam kepercayaan

Hindu, Dewa Siwa diidentikkan tinggal di pegunungan. Gunung merupakan

tempat yang tinggi yang ketika pada zamannya, gunung pernah dianggap sebagai

tempat yang suci atau atas. Kembali dalam kaitan tokoh Liman Tarub yang

diibaratkan seperti api yang dalam hakikatnya akan selalu menerjang ke atas dan

mencari ketinggian sama halnya gunung yang dianggap bagian bumi yang paling

tinggi.

Berbeda dengan Kundangdya yang akhirnya kembali dikirim ke dunia oleh

Bhatara Wisnu. Kundangdya yang ketika itu telah dengan setia ditemani oleh

Jerum akhirnya dinobatkan menjadi raja dan ratu. Konotasi dunia dilihat dari

surga tempat Kundangdya dan Jerum sebelumnya tentu dianggap sebagai alam

yang lebih di bawah. Kembali dalam pengandaian Kundangdya yang disamakan

seperti air yang memang akan selalu meresap ke tempat yang lebih rendah dan

selalu memberikan kesejukan. Demikian juga dengan Jerum yang diandaikan

layaknya ibu pertiwi atau tanah. Air dalam kodratnya akan selalu dapat meresap

dan bersatu dengan tanah. Ketika air bersatu dengan tanah maka muncullah

kehidupan dan kesuburan. Bersatunya Kundangdya dan Jerum akhirnya

memunculkan kebahagiaan, baik bagi dirinya, raja-raja lain, maupun semua

penduduk.

Makasembahaning jagat, Dipuji dan disembah di dunia,

kinasihan pararatu, disayangi para raja-raja,

miwah sang parasadu, demikianlah juga oleh orang yang arif dan

bijaksana,

anungsunging sira mangko, semua memuji-muji beliau,

ilangana pamuktianira, tercapai segala keinginannya,

Narēswari Nini Jerum, Permaisuri Nini Jerum,

kadi Surya lawan Ulan, bagaikan Matahari dan Bulan,

Anuluhin jagat kasub. menerangi dunia tiada tara.

pada ke- 324

Demikianlah akhirnya Kundangdya dan Jerum menjadi raja dan ratu yang

benar-benar dikagumi oleh raja-raja lain juga masyarakatnya. Diibaratkan seperti

matahari dan bulan yang mampu menerangi dengan sempurna. Bersatunya

Kundangdya dan Jerum di dunia dalam sebuah kepepemimpinan menjadikan

dunia digambarkan penuh kebahagiaan dan kemakmuran.

Gambaran bersatunya air dan tanah yang memunculkan kesuburan tidak

berbeda dengan bersatunya Kundangdya dan Jerum yang memunculkan

kebahagiaan. Ketika Kundangdya meninggalkan ibunya, diceritakan bahwa

ibunya menahan kesedihan dan kerinduan karena ditinggalkan oleh Kundangdya.

Kesedihannya itu membuat ibunya sepanjang waktu menunggu kedatangan

anaknya, hingga akhirnya ia memilih untuk tiduran di tanah sambil memohon

dengan puja-pujaan.

"babu endi tan katona?" "Di mana ibu tak kelihatan?"

Pawongan anembah matur: Para inang berdatang sembah,

"Aneng taman pukulun, "Tuan hamba ada di taman,

aturu ring lemah mangko, tiduran di tanah,

angistia puja barata, memohon dengan puja dan tapa,

adoha kenēng tadah inum, menjauhkan makan dan minum,

yan tan kapanggihan sira, karena ingin bertemu tuanku,

kinēsti rahina dalu. berdoa siang dan malam.

pada ke-232

Keinginan untuk bertemu dengan Kundangdya menjadikan ibunya

memilih untuk menjauhkan makanan dan minuman, berdoa siang malam dan tidur

di tanah. Menghindari makanan dan minuman sebagai salah satu cara menekan

hawa nafsu dengan harapan akan mampu lebih dekat dengan Tuhan.

Keinginannya untuk tidur di tanah pun bermakna agar lebih dekat dengan Tuhan.

Ketika seseorang mengalami kematian maka semua unsur dalam badan kasar akan

dilebur dalam tanah. Tanah diandaikan sebagai ibu pertiwi atau kekuatan dunia.

Adannya tanah menyebabkan makhluk hidup mampu berpijak, mampu hidup dan

melangsungkan kehidupannya hingga akhirnya tanah jugalah yang melebur

makhluk yang telah mengalami kematian. Air dan tanah akan senantiasa mampu

bersatu jika dipertemukan. Demikianlah pengandaian terhadap Kundangdya dan

Jerum yang dinanti-nanti kedatangannya oleh ibunya. Tanah yang mengubur dan

melebur Kundangdya ketika dinyatakan meninggal, maka ibunya memiliki

harapan besar bahwa tanah dekat dengan anak yang ia diharapkan dapat kembali.

Ternyata doa ibu Kundangdya mampu menjadi kenyataan setelah Bhatara Wisnu

akhirnya kembali menghidupkan Kundangdya dan Jerum dari dalam tanah. Tanah

tidak hanya sebagai pelebur, tetapi juga sumber kehidupan. Air ada dalam tanah,

tanah menyimpan air dan pertemuan tanah dan air, menciptakan kesuburan yang

menciptakan kehidupan.

Kembali pada munculnya unsur penetralisasi, ketika api akan selalu

mencari tempat yang lebih tinggi dan air mencari tempat yang lebih rendah maka

tanah adalah bagian yang menjadi penyekat. Dalam kodratnya, api hanya mampu

menyala di atas permukaan tanah, sedangkan air akan selalu menurun dan

menyusuri tanah hingga memeroleh tempat terendah. Panasnya api dapat

dinetralisasi oleh air, demikian juga dingin air dapat dinetralisasi oleh api. Api dan

air adalah dua unsur berbeda yang sangat dibutuhkan dalam melangsungkan

kehidupan. Namun, dalam keadaan yang tidak seimbang maka kehidupan pun

terganggu. Alam pun tidak terlepas dari kekuatan panas dan dingin. Selain nyata

terlihat melalui cuaca yang panas ataupun dingin, dalam ilmu-ilmu meditasi yang

umum dikenal oleh masyarakat belakangan ini banyak yang membahas bagaimana

alam diselimuti oleh energi yang panas dan dingin yang nantinya mampu juga

memberikan pengaruh bagi kehidupan makhluk hidup di dunia. Energi alam inilah

yang penting untuk dijadikan netral di mana panas dan dinginnya seimbang.

Netralnya energi panas dan dingin menciptakan pengaruh baik terhadap seisi alam

semesta yang akhirnya mampu mengarah pada keharmonisan. Unsur-unsur inilah

yang secara implisit tersampaikan dalam karya Kidung Jerum Kundangdya hingga

dianggap sesuai sebagai pengantar upacara bhuta yadnya yang memang

merupakan upacara yang bertujuan untuk menetralisasi kekuatan alam, yang

dikenal dalam kepercayaan umat Hindu di Bali.

5.4 Kebahagiaan Kehidupan dengan Peduli Sesama dan Peduli Lingkungan

Kebahagiaan merupakan dambaan setiap orang. Bahkan, banyak agama

selalu menjanjikan kebahagiaan bagi umatnya. Kebahagiaan manusia dapat

tercipta ketika ia mampu harmonis dengan setiap elemen pendukung hidupnya

dan keharmonisan itu hanya terbentuk jika ia memiliki pikiran, sikap dan

perkataan yang baik. Membentuk dan menjadikan seseorang memiliki karakter

baik inilah yang disebut karakter bangsa. Kebahagiaan yang diinginkan bersama

berarti akan berawal jika secara bersama-sama juga memiliki karakter yag baik.

Ketika berniat mencapai satu tujuan bersama, maka yang pertama diperlukan

adalah pemikiran yang sama. Dari pemikiran yang sama itu tentu akan berusaha

dilakukan tindakan yang sama hingga pada akhirnya tercapailah tujuan yang

diharapkan bersama. Secara sederhana, tujuan yang selalu didambakan oleh setiap

orang adalah kebahagiaan. Sekaya dan sesukses apa pun seseorang belum tentu

mampu memiliki kebahagiaan. Kebahagiaan yang diinginkan bersama tentu harus

diciptakan bersama. Kebahagiaan itu sudah tentu tidak terlepas dari kesehatan

jasmani dan rohani.

Kehidupan bersama yang harmonis, humanis, dan dinamis hanya dapat

diwujudkan jika tiap-tiap individu dalam kehidupan bersama mampu menata diri

menjadi individu yang baik, baik kesehatan jiwa maupun raga yang juga termasuk

ke dalam kesehatan indriya. Kesempurnaan dan kesehatan indriya itu berada di

bawah pengendalian pikiran. Pikiran yang kuat berada di bawah kesadaran

buddhi. Kesadaran buddhi berada di bawah sinar suci Sang Hyang Atma. Kondisi

diri yang memiliki fisik yang sehat, pikiran yang cerdas, dan hati nurani yang

murni disebut kondisi diri yang ideal struktural (Wiana, 2012: 127). Individu yang

seperti inilah yang dapat diupayakan untuk membangun niat yang mulia untuk

maju bersama-sama memikirkan langkah-langkah yang tepat untuk memenuhi

kepentingan bersama. Tanpa adanya niat yang sama, hati yang sama, pikiran yang

sama tidak mungkin bisa menyamakan persepsi. Tanpa adanya kesamaan persepsi

tidak mungkin membangun visi yang sama. Tanpa visi yang sama tidak ada misi

bersama membangun kebahagiaan bersama. Upaya membangun kebersamaan

untuk mencapai hal yang baik merupakan wujud bhakti atau cinta terhadap Tuhan

Yang Mahaesa. Hal ini berkaitan dengan konsep tri hita karana yang dikenal di

lingkungan umat Hindu di Bali yang juga mendambakan hubungan harmonis,

humanis, dan dinamis.

Dalam Kidung Jerum Kundangdya, tokoh Kundangdya dan Jerum pada

akhirnya mampu saling berbahagia ketika bersama karena mereka telah

menyamakan persepsinya untuk selalu bersama dan saling mencintai.

Duh Ksepan arsanira, Aduh terkulai semangatnya,

Kundangdya mangkiang rumrum, Kundangdya membisikkan cinta,

dēnē yun ring tengahipun, Sanubarinya berkata:

"tan pahatma siraningong", "Diriku tanpa jiwa",

tan olih arep tinulak, Mana mungkin aku menolak,

nampik lungayan Ni Jerum, Ni Jerum mengkhayalkan tampikan,

Kundangdya alon angucap: dan Kundangdya berkata perlahan:

"Mati ya kalih katēngsun". "Aku bilang mati berdua"

pada ke-71

Kundangdya alon angucap: Kundangdya berkata perlahan:

"Juitaningsun sang arum, "Juitaku sang cantik jelita,

puniku sadiayangira sun", itulah yang aku kehendaki",

Kundangdya sakadi layon, "Kundagdya ibaratnya orang mati,

kari rekē kakurungan, yang tinggal hanya badan kasar,

atmanira sampun lampus, rohnya sudah lenyap,

mangungsi Banjaran Kembang, menuju banjaran bunga-bunga,

manganti maya sang arum". menunggu arwah Sang Jelita".

pada ke- 75

Dalam kutipan di atas, Kundangdya telah yakin akan mati karena ia memang

melakukan kesalahan telah berani meniduri istri orang lain. Karena cintanya

terhadap Nini Jerum, ia berjanji untuk mati berdua. Setelah mati pun ia berjanji

akan bertemu di surga. Hal ini pada akhirnya memang ditepati oleh mereka

berdua.

Kundagdya tiningalan, Dilihatnya Kundangdya,

angadeg soring trikancu, berdiri di bawah trikancu,

kagēt teka Nini Jerum, tiba-tiba datang Nini Jerum,

Kundangdya angalap sor, Kundangdya hormat membungkuk,

anambut amawēng pangkuan, menyambut dan meletakkannya di

pangkuan,

angaras-aras rinumrum: menciumnya dan membelai:

"Asuwē juwitaninguang, "Betapa lama juwitaku,

sampun sore sira rawuh. sudah sore baru datang".

pada ke- 152

"Taheningsun tan datenga, "Aku kira tak akan datang,

tuhu sira satiēng wuwus, benar-benar setia kepada janji,

dewaningsun sang arum, Dewataku sang harum,

sangkaningsun pejah mangko, makanya aku mati,

dēnē sira atma jiwa, tidak lain lantaran atma juwitaku,

tan lian sira ta pakulun, engkaulah itu",

atitah juwita tinggal, "karena titah juwitaku,

tanpanolih bapa ibu". meninggalkan ibu dan ayah".

pada ke- 153

Ni Jerum asawur semita: Ni Jerum menjawab dengan wajah

menawan;

"Paran sangkaning tan tuhu, "Mengapa justru tak benar,

insun satiyeng wuwus, karena aku setia dengan perkataan,

tekaning pangjanmaningong, sampai aku menjelma,

awates sagara sanga, dipisahkan oleh sembilan samudra,

atawinging gunung pipitu, ataupun oleh tujuh gunung,

sira juga apang teka, kau juga agar datang,

angrampak karasminingsun". memerkosa keindahanku".

pada ke-154

Kebahagiaan yang diperoleh oleh Kundangdya dan Jerum merupakan

kebahagiaan yang disebabkan oleh adanya sebuah kesepakatan untuk saling setia,

baik setia dalam hal perkataan, perbuatan, maupun pikiran. Setia dalam hal

perkataan ditunjukkan dengan setia terhadap janjinya untuk bertemu setelah

meninggal sekalipun, setia dalam hal perbuatan melalui bentuk perhatian dan

kasih sayang yang ditunjukkan Kundangdya terhadap Jerum. Belaian dan ciuman

yang diberikan Kundangdya pada Jerum merupakan salah satu wujud rasa

cintanya pada Jerum. Tindakan tersebut membuktikan kebenaranya bahwa

Kundangdya memang mencinti Jerum. Sebaliknya, dari unsur pikiran, antara

Jerum dan Kundangdya berpikir positif bahwa pasangan mereka akan selalu

menepati janji. Jika saja Jerum berpikir bahwa Kundangdya hanya datang untuk

menipu dan mempermainkannya, mungkin saja Jerum akan ragu untuk menepati

janjinya bertemu Kundangdya. Tampak jelas bahwa pikiran, perbuatan, dan

perkataan sesunguhnya menjadi satu yang padu. Untuk itulah apabila ketiga unsur

ini mampu berlaku positif maka seseorang dikatakan memiliki karakter positif,

seperti yang diharapkan dalam karakter bangsa.

Seseorang yang memiliki karakter yang baik, tentu tidak hanya

memikirkan dan mementingkan kenyamanan dirinya sendiri, tetapi juga

memikirkan kehidupan orang lain agar dapat juga menjadi baik. Kepedulian

terhadap orang lain diperlukan dalam kehidupan, terlebih dalam kehidupan sosial

yang menuntut seseorang untuk selalu dapat berinteraksi antara satu dan yang

lainnya. Masih berkaitan dengan tri hita karana yang merupakan filsafat hidup

umat Hindu di Bali khususnya, yang sangat mengedepankan keseimbangan.

Setiap hal berkaitan dengan tri hita karana bertitik tolak dari manusia karena

ketika terbangun hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, manusia dengan

manusia, dan manusia dengan alam lingkugannya maka manusialah yang pertama

merasakan kebahagiaannya. Dengan demikian, harmonis atau tidaknya alam

sesungguhnya sangat tergantung dari manusia itu sendiri. Manusia diciptakan

sebagai makhluk yang memiliki akal pikiran yang mampu menunjukkan segala

kepeduliannya terhadap makhluk lain hingga tercipta hal baik yang nantinya

didambakan oleh setiap makhluk.

Makhluk hidup yang memiliki sabda, bayu dan idep (kemampuan

berbicara, bertenaga, dan berpikir) disebut manusia. Kata "manusia" dalam bahasa

Sanskerta berasal dari kata "manu" yang berarti bijaksana. Kata "manu" dalam

bentuk genetif menjadi "manusia" artinya memiliki kebijaksanaan. Manusia

sesungguhnya memiliki suatu kekuatan yang dapat menjadikan dirinya sebagai

makhluk hidup yang paling bijaksana ciptaan Tuhan, tetapi bisa juga manusia

yang belum berhasil mengeksistensikan kekuatan kemanusiaannya menjadi

manusia yang lebih kejam daripada binatang yang paling kejam ( Wiana, 2012:

25). Manusia dianggap mampu lebih kejam daripada binatang apabila

kebinatangannya disertai oleh pikiran, yaitu ketika pikiran manusia dipengaruhi

oleh sifat kebinatangan. Intinya, manusia akan bijaksana apabila kesempurnaan

indriya-nya berada di bawah kendali pikiran. Pikiran yang positif tentu akan

menumbuhkan kepedulian positif juga pada orang lain. Demikian sebaliknya

ketika seseorang berpikir negatif tentu kepedulian negatiflah yang ditunjukkan

pada yang lain.

Berbicara tentang positif dan negatif, sudah tentu manusia tidak bisa

dipisahkan dari pikiran, sikap, dan perkataan baik yang positif maupun negatif.

Lumrah muncul kata "rwa bineda" yang berarti dua yang berbeda, setiap hal pasti

memiliki dua sisi yang berbeda, yaitu ada yang positif dan ada yang negatif.

Dalam ajaran Hindu di Bali dikenal istilah sad ripu, yaitu enam sifat tidak baik

yang dianggap menjadi musuh dalam diri manusia yang harus ditaklukan untuk

menciptakan pemikiran, sikap, dan perkataan yang baik. Sad ripu terdiri atas

enam unsur, yaitu: (1) kama artinya hawa nafsu, (2) lobha artinya tamak, (3)

kroda artinya kemarahan, (4) moha artinya kebingungan, (5) mada artinya

kemabukan, dan (6) matsarya artinya iri hati (Atmaja dkk., 2010: 64--65).

Sad ripu inilah yang banyak memengaruhi tokoh-tokoh dalam Kidung

Jerum Kundangdya yang akhirnya menciptakan rusaknya hubungan dan

hilangnya keharmonisan. Kama atau hawa nafsu adalah sumber utama yang

menyebabkan Kundangdya akhirnya terbunuh oleh Liman Tarub. Hawa nafsunya

ingin bertemu dan memiliki Jerum yang ketika itu telah jadi istri Liman Tarub

membuat Kundangdya gelap mata dan nekat mendatangi Jerum dan tidur

dengannya ketika ia sedang ditinggalkan oleh suaminya.

Nunggang gunung arepira, Hati ingin menunggang gunung,

Kundangdya metuēng lebuh, Kundangdya turun ke jalan,

kasmaran kandehen kung, terkena asmara memendam berahi,

kukuh Ni Jerum tan sah katon, sangat kukuh Ni Jerum selalu terbayang,

Kundagdya malaksana, Kundagdya berbuat,

ngendon turon lan Ni Jerum, ngendon tidur bersama Ni Jerum,

Liman Tarub norēng umah, Liman Tarub tak di rumah,

sedek lung maring Jimur. sedang bepergian ke Jimur.

pada ke- 52

Seperti yang tampak dalam kutipan di atas, Kundangdya benar-benar

tergila-gila karena sakit asmara. Ia tersiksa dengan segala niat dan birahinya untuk

bisa bertemu dan bersatu dengan Jerum. Selain itu, ia mengetahui bahwa Liman

Tarub tidak di rumah. Untuk itu, ia nekat datang dan meniduri Jerum. Hawa Nafsu

menguasai diri Kundangdya hingga ia tidak mampu lagi berpikir sehat dan positif.

Ketika hawa nafsu menguasai diri seseorang saat itulah sering dianggap manusia

dikuasai sifat kebinatangan. Layaknya binatang yang tidak memiliki akal pikiran

sehingga berlaku tanpa memikirkan akibat ke depannya. Jika saja Kundangdya

mampu menguasai hawa nafsunya untuk memiliki Jerum, tentunya ia tidak akan

nekat memilih mendatangi rumah Jerum malam-malam hanya untuk

melampiaskan birahinya. Tindakannya inilah, mengakibatkan Kundangdya dan

Jerum akhirnya berhadapan dengan kematian di tangan Liman Tarub.

Seseorang yang telah diliputi oleh hawa nafsu tidak mampu berpikir sehat

mengenai dampak dan akibat yang akan diterima, baik oleh dirinya maupun orang

lain, tidak ada lagi rasa kepedulian. Hawa nafsu yang meliputi Kundangdya

membuatnya tidak peduli terhadap nyawa dan kehidupan Jerum ke depannya,

sekalipun Jerum adalah orang yang dicintai yang seharusnya disayangi dan

dilindungi sepenuhnya. Keinginan Kundangdya hanyalah mampu bersatu dengan

Jerum sekalipun dalam keadaan meninggal asal mampu tetap bersama Jerum.

Sifat Kundangdya seperti ini tidak hanya diliputi oleh kama (hawa nafsu), tetapi

juga diliputi oleh lobha (tamak). Tamak atau keserakahan Kundangdya ingin

memiliki Jerum membuat ia gelap mata dan tidak lagi berpikir bahwa

sesungguhnya Jerum telah menjadi istri Liman Tarub yang tidak boleh ia ganggu

lagi. Diliputi hawa nafsu dan ketamakan adalah pikiran yang dimiliki oleh

Kundangdya yang akhirnya mengantarkannya pada kesulitan.

Kroda (kemarahan) merupakan salah satu musuh diri yang melingkupi

pikiran Liman Tarub ketika mengetahui istrinya telah ditiduri oleh pria lain.

Kemarahan adalah salah satu musuh diri yang mampu membuat seseorang lupa

diri. Ketika seseorang diliputi kemarahan, ia tidak lagi mampu berpikir sehat dan

realistis. Hal ini yang membuat tidak jarang orang nekat melakukan tidakan sadis

karena sedang diliputi kemarahan. Tidak ada lagi kepedulian terhadap hidup orang

lain dan dampak positif atau negatif, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain,

seperti halnya yang dialami oleh Liman Tarub yang terlihat dalam kutipan berikut.

Sampun mangkē dēra mangan, Pada waktu mereka sedang makan,

tumuli asalah sekul, menyalahi tata cara makan,

dēn binuru rabinipun, lalu istrinya diburu,

dēn unus duhungē mangko : sambil menghunus keris :

"Sapasira nemu wirang, "Siapa yang mau memihak,

masa ko urip deningsun, ia akan mati olehku,

lakinmu Ki Kundangdya, lakimu Si Kundangdya,

masa ko urip dēningsun". ia akan kubunuh!"

pada ke- 91

Sinuduk lambungē kiwa, Ditikam lambung kirinya,

terus maring walikat ipun, tembus sampai tulang belikat,

rudirania sumambur, darahnya semburat,

gēgēr kasinoman mangko, kasinoman menjadi gēgēr,

ana warah gēgērira, meributkannya ke sana kemari,

Liman Tarub mangkiangamuk, karena Liman Tarub mengamuk,

Kundangdya sampun pejah, Kundangdya sudah mati,

anēng kapandēyan Kidul. di sekitar pande besi di selatan.

pada ke- 100

Kemarahan Liman Tarub yang disebabkan oleh ketidakterimaannya

melihat istrinya ditiduri oleh orang lain membuat ia marah dan tidak lagi

memikirkan siapa yang dihadapinya. Istrinya yaitu Jerum yang sesungguhnya

menjadi satu-satunya wanita yang paling dicintai pada akhirnya karena diliputi

kemarahan juga ikut diburu ingin dibunuh. Kundangdya yang telah berani

meniduri istrinya juga tidak luput dari amukan Liman Tarub. Bahkan ia dengan

sengaja mengasah kerisnya untuk membunuh Kundangdya. Ketika diliputi

kemarahan, Liman tarub tidak ingat lagi jika Jerum adalah istri yang dulunya

sangat dikagumi dan dicintai sedangkan Kundangdya adalah saudara sepupunya

yang tidak seharusnya dibunuh. Demikianlah kemarahan yang menghilangkan

rasa kepedulian seseorang. Setelah diliputi kemarahan dan merasa berhasil

melampiaskan kemarahannya dengan cara membunuh Jerum dan Liman Tarub,

membuat ia mengalami kebingungan (moha). Liman Tarub merasa kehilangan

semangat hidup karena diliputi kebingungan.

Lumaris yāngawētan, Berangkat menuju ke timur,

lumampah asemu sendu, dengan wajah yang sendu,

lumakua angantun-antun, berjalan tahap demi tahap,

liwating paminggir lor, telah lewat di pinggiran utara,

akēh wong pada anyapa: banyak orang sama menyapa:

"Maring endi Liman Tarub, "Mau ke mana Liman Tarub,

lumampah asemu wirang", melangkah dengan wajah menimbulkan

belas kasihan",

Akuēh wong pada andulur. banyak orang menaruh perhatian.

pada ke- 120

Lumampah mangkē alon-lonan, Melangkah tak tergesa,

rupanirāsemu ngun ngun, dengan wajah yang sedih,

lumakua angantun-antun, berjalan tahap demi tahap,

anut marga jurang ajro, mengikuti jalan jurang dalam,

kasrepan tumoning jurang, terpana memandang jurang,

arērēn sira alungguh, lalu berhenti dan duduk,

katon sagarangungang, nampak lautan mengambang,

angres atinē andulu. hati maras melihatnya.

pada ke-121

Kebingungan membuat seseorang tidak mampu menjalani hidup dengan

baik karena sudah tidak mampu berpikir baik untuk mengarahkan hidupnya ke

jalan yang terbaik. Seperti halnya Liman Tarub yang tampak dalam kutipan di

atas. Setelah melampiaskan kemarahannya Liman Tarub mengalami kebingungan

sehingga ia hanya bisa murung sambil melakukan perjalanan yang tidak terarah.

Melihat jurang pun ia menjadi terpana karena ketika mengalami kebingungan ia

seakan tidak tahu apa yang terbaik buat dirinya. Dalam kehidupan sekarang ini,

seseorang yang diliputi kebingungan sering dianggap sedang stres atau depresi

yang tidak jarang menyebabkan orang itu berniat mengakhiri hidupnya.

Selain empat musuh yang telah merusak kehidupan ketiga tokoh utama

dalam Kidung Jerum Kundangdya, masih ada dua hal lagi yang juga tidak kalah

berperan mengahancurkan keharmonisan hubungan persaudaraan mereka, yaitu

mada (kemabukan) dan matsarya (iri hati). Berbicara tentang kemabukan, dalam

ajaran Hindu di Bali dikenal tujuh jenis kemabukan yang diberi istilah sapta

timira. Sapta artinya tujuh dan timira artinya lupa daratan (lupa diri atau mabuk).

Dengan demikian, sapta timira berarti tujuh macam keadaan yang menyebabkan

orang lupa daratan, lupa diri, atau mabuk. Sapta timira terdiri atas, (1) surupa atau

kemabukan karena rupa yang tampan, ganteng, atau cantik, (2) dhana atau

kemabukan karena mempunyai banyak harta benda atau kekayaan, (3) guna atau

kemabukan karena mempunyai kepintaran atau kepandaian, (4) kulina atau

kemabukan karena keturunan, (5) yohana atau kemabukan karena masa remaja

atau masa muda, (6) sura atau kemabukan karena minuman keras, dan (7) kasuran

atau kemabukan karena merasa mempunyai keberanian (Atmaja dkk., 2010: 68--

69). Kemabukan inilah yang membuat seseorang lupa diri dan kembali

memunculkan sifat kebinatangannya. Dalam Kidung Jerum Kundangdya dapat

ditemukan kemabukan yang digolongkan ke dalam Surupa. Kundangdya menjadi

lupa diri setelah melihat kecantikan Jerum. Bahkan ia, tidak memedulikan lagi

perkataan ibunya yang selalu menyadarkannya untuk mencari wanita lain karena

Jerum telah menjadi istri orang lain.

Tan kawarna kang daharan, Tak diceritakan berbagai penganan,

Kundangdya semu linglung, Kundangdya wajahnya linglung,

tumona ring Nini Jerum, setelah melihat Nini Jerum,

kēdanan ring tuas kaleson, hati tergila-gila lesu,

koyangan lara kasmaran, gelisah sakit asmara,

tumuli sira kahantu, segera lalu pingsan,

tinulung binayuan-bayuan, ditolong membangkitkan tenaga,

ring umahē Ki Panamun. di rumah Ki Panamun.

pada ke- 17

Seperti yang tampak dalam kutipan di atas, kecantikan Jerum yang baru

diketahui oleh Kundangdya ketika hari pernikahannya dengan Liman Tarub

membuat ia gelisah lalu pingsan. Jerum sesungguhnya telah ditawarkan menjadi

istrinya Kundangdya jauh sebelum menikah dengan Liman Tarub. Akan tetapi,

mendengar kata Jerum yang dalam pandangan Kundangdya pastilah hanya

seorang gadis dengan wajah yang tidak cantik karena namanya yang tidak cantik.

Peyesalan pun terjadi ketika ia melihat paras cantik Jerum. Kecantikan Jerum

membuat ia tergila-gila dan sakit asmara hingga pingsan karena tidak mampu lagi

menerima kenyataan. Setiap saat kecantikan wajah Jerum terbayang-bayang dan

muncullah keinginannya untuk memiliki. Kemabukan Kundangdya terhadap

kecantikan Jerum membuat ia nekat untuk bertandang ke rumah Jerum pada

malam hari hingga ia berani meniduri Jerum. Demikianlah kemabukan telah

menguasai Kundangdya, tidak ada lagi saran dari orang lain yang diperdulikan.

Selainitu, tidak lagi ia memedulikan akibat yang akan di alami. Kemabukan

mampu membuat seseorang lupa diri. Saat ini banyak hal dapat disaksikan dalam

kehidupan sehari-hari bagaimana orang-orang yang mengalami kemabukan akan

tidak lagi memedulikan kehidupan orang lain, bahkan kebaikan dirinya ke depan

pun tidak lagi dipedulikan.

Musuh yang terakhir adalah matsarya (iri hati). Iri hati membuat seseorang

menjadi gelisah dan mampu menggiring seseorang untuk berbuat nekat yang

akhirnya berujung pada niat ingin mencelakai orang yang ia iri. Seperti halnya

Liman Tarub yang iri setelah melihat kebahagiaan dan kemesraan Kundagdya dan

Jerum di surga. Hal ini yang memunculkan niat Liman Tarub untuk membunuh

Kundangdya dan Jerum untuk kedua kalinya. Niat itu pun berusaha kembali

dilakukan ketika mengetahui Jerum dan Kundangdya kembali diberikan

kesempatan hidup di dunia oleh Bhatara Wisnu.

Mangkin srengen I Sarayuda, Kini Sarayuda beringas,

dēnira angrenga wuwus, mendengarkan kata-katanya,

dres lakunia tumedun, langkahnya menderas turun,

gēgēr malayu wonging jero, Orang istana berlari geger,

Ni Jerum anambut pedang : Ni Jerum menghunus pedang :

"Ingsun matia sadulur, "Aku mau mati bersama,

masa molih labda karya". kalau tidak bisa membunuhmu".

Sarayuda ngunus duwung. Sarayuda menghunus keris.

pada ke- 265

Demikianlah kekuatan keenam musuh yang mampu merusak kehidupan

apabila menguasai diri seseorang. Seseorang bisa saja disamakan dengan binatang

ketika ia dikuasai oleh sifat-sifat yang tergolong sad ripu tersebut. Jika sudah

dikuasai sad ripu, tentunya tidak dapat memunculkan kepedulian positif yang

menciptakan keharmonisan. Harmonis tentu bisa tercipta apabila seseorang

mampu saling menunjukkan kepeduliannya pada sesama dan lingkungannya,

mengingat manusia tercipta sebagai makhluk sosial yang menuntutnya harus dapat

saling bersosialisasi dan menciptakan hubungan baik dalam kebersamaan. tiap-

tiap individu diciptakan lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Kelebihan dan kekurangan itu pun terletak dalam hal dan bidang yang berbeda.

Hal itu sesungguhnya yang mengharuskan manusia untuk dapat saling

berinteraksi, baik dengan sesamanya maupun dengan lingkungan tempat ia

tinggal. Memunculkan rasa peduli dengan cara berbagi dengan sesama yang

memang membutuhkan dan memerlukan tentu akan membuat semua terasa damai.

Kepedulian kecil berwujud perhatian pun bagi seorang manusia yang memiliki

hati dan perasaan sudah sungguh sangat berarti. Dalam Kidung Jerum

Kundangdya dapat dilihat bagaimana sebuah perhatian tulus yang disampaikan

melalui kata-kata penuh cinta yang tulus mampu membuat Jerum terhanyut dalam

rayuan dan cinta kasih yang diberikan Kundangdya.

Ni Jerum tan bisa molah, Ni Jerum tak bisa bergerak,

tan ēling sira aturu, tidur tak sadarkan diri,

tur kinembulan kang musuh, diserbu oleh musuh,

kampuhnia kinarang ulon, kain menjadi bantal kepala,

sampun mangkē dawuh sapta, saat menunjukkan waktu tujuh,

malih-malih salulut, lagi-lagi memadu kasih,

Ni Jerum kari kasrepan, Ni Jerum masih terlena,

pinapaging wacana arum. dipapag dengan kata-kata harum

pada ke- 78

Dalam kutipan di atas tampak bagaimana Jerum terlena dengan kata-kata

dan perhatian yang diberikan oleh Kundangdya padanya. Jika kepedulian positif

dapat diciptakan antarsesama, tentu akan merasakan indahnya hidup dalam

kebersamaan walaupun dalam banyak perbedaan, seperti di Indonesia yang warga

negaranya terdiri atas beraneka ragam suku yang masing-masing memiliki

karakter diri yang berbeda-beda pula. Jika sebuah kepedulian masih tercipta, tentu

diikuti pula oleh rasa toleransi yang mampu menciptakan keharmonisan.

Kepedulian dan menunjukkan sebuah ketulusan penuh cinta kasih, baik

terhadap sesama maupun lingkungan, juga merupakan sebuah bentuk pemujaan

terhadap Tuhan. Kemunculan agama dan berbagai kepercayaan adalah bertujuan

membentuk karakter manusia agar menjadi pribadi yang baik dan mengimbaskan

kebaikannya dengan cara peduli, baik terhadap sesama maupun lingkungannya.

Saat ini kerusakan alam dan berbagai bencana yang mengancam dunia seakan

menjadi bahasan yang masih sering dibicarakan oleh berbagai negara di dunia.

Setiap kerusakan yang terjadi saat ini sesungguhnya dapat dilimpahkan pada

kesalahan manusia, karena manusialah yang dengan segala akal pikirannya

menuntun dan membentuk keadaan. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi

alam tentu menjadikan alam rusak. Namun, jika manusia dengan baik

memanfaatkan dan memelihara alam dengan baik, maka baik jugalah keadaan

yang dirasakan oleh manusia. Rasa bhakti seseorang terhadap Tuhan dapat diukur

dari cara memperlakukan sistem alam agar alam dapat bereksistensi sesuai dengan

hukumnya. Meskipun kegiatan memuja Tuhan, baik dalam bentuk sembahyang,

upacara yadnya, maupun dalam merayakan hari raya keagamaan sangat semarak,

kalau perlakuan terhadap sesama manusia sangat jauh dari nilai-nilai

kemanusiaan, seperti pelanggaran HAM, ketidakadilan, tidak peduli pada

penderitaan orang lain, maka dapat dikatakan kegiatan berbakti pada Tuhan tidak

akan membawa kehidupan yang berbahagia (Wiana, 2012: 132). Peduli

merupakan sikap yang harus ditumbuhkan dalam setiap individu. Peduli sesama

dan peduli lingkungan dengan peduli yang bersifat positif merupakan wujud cinta

kasih pada sesama dan lingkungan. Karakter bangsa tentunya mampu hidup saling

mencintai antarsesama dan mencintai lingkungan. Kedamaian hanya akan

dirasakan manusia ketika dapat saling mencintai dan menunjukkan kepeduliannya

dengan tulus.

Sifat-sifat negatif yang dimiliki oleh tokoh dalam Kidung Jerum

Kundangdya juga tidak lepas dari sifat-sifat positifnya, hanya unsur yang mana

yang lebih menguasai. Ketika sifat negatif yang lebih menguasai diri tentu akan

memperburuk keadaan yang akhirnya menciptakan ketidakbahagiaan. Sebaliknya

ketika sifat positif yang lebih banyak menguasai diri tentu akan membawa pada

hal yang baik dan bahagia. Dalam Kidung Jerum Kundangdya, pengarang seakan

menampilkan dua sisi yang saling berbeda untuk memberikan gambaran pada

pembaca tentang kehidupan yang memang tidak lepas dari adanya perbedaan, baik

sisi positif maupun negatif, sehingga mampu memilih yang terbaik.

Cinta mampu menyeimbangkan alam semesta, yang awalnya kurang

harmonis mampu menjad harmonis. Keharmonisan ini dikarenakan manusia yang

mampu menjaga kepedulian dan perhatiannya terhadap sesama maupun

lingkungannya. Jika semua sudah terjaga dengan baik tentu keharmonisan itu

terwujud. Sifat-sifat baik yang mampu membawa bangsa kita menjadi lebih baik

itulah yang sering diberi nama karakter bangsa. Karakter bangsa dalam

antropologi (khususnya masa lampau) dipandang sebagai tata nilai budaya dan

keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan

memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai

kepribadian masyarakat tersebut (Armando dkk, 2008: 8). Saat ini pembahasan

"Karakter Bangsa" menjadi sesuatu yang sedang banyak dibicarakan, terutama

dalam pendidikan. Masyarakat Indonesia saat ini dianggap banyak yang kurang

memiliki karakter layaknya masyarakat Indonesia dulu yang dikenal memiliki

sopan santun yang baik, hal ini yang menyebabkan di dunia pendidikan sangat

gencar untuk membentuk dan mendidik anak-anak Indonesia untuk menjadi orang

yang memiliki karakter bangsa. Oleh karena itu dikenallah akhirnya 18 nilai

pendidikan karakter bangsa, antara lain: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja

keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta

tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar

membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. 18 nilai inilah

yang dirangkum oleh Departemen Pendidikan Nasional yang dianggap mampu

mengubah sikap dan pola pikir anak-anak penerus bangsa. Bukanlah hal yang

salah ketika suatu usaha dilakukan demi perubahan ke arah yang lebih baik,

karena pada hakikatnya semua makhluk selalu menginginkan kebaikan,

kemakmuran dan kebahagiaan. Pembelajaran karakter bangsa ini sebenarnya

sudah banyak yang terkemas langsung dalam karya-karya sastra yang diwariskan

oleh para leluhur kita, contohnya saja dalam karya sastra Bali dikenal ada banyak

karya sastra dalam bentuk Tutur maupun Tattwa yang mengajarkan kita menjadi

manusia yang memiliki tingkah laku baik yang disamakan dengan pembentukan

karakter bangsa. Kidung Jerum Kundagdya juga dapat menjadi salah satu karya

yang mampu berfungsi sebagai pembentuk karakter bangsa.

BAB VI

MAKNA HARMONISASI ALAM DALAM KIDUNG JERUM

KUNDANGDYA BAGI MASYARAKAT BALI

6.1 Harmonisasi Ajaran Hindu

Perkataan Hindu, mengingatkan kita akan nama Sindhu atau Indus yang

berkembang lebih kurang 300 tahun sebelum masehi. Lebih tepatnya Hindu

dimulai dari jaman Veda yang berkembang sejak lebih kurang tahun 1500

sebelum masehi. Pada mulanya isi kitab suci veda dihapalkan namun kemudian

akhirnya di tulis dan menjadi buku yang tertua di India. Kitab Suci Veda

mempunyai 4 bagian, yaitu (1) kitab mantra yang berisi mantra-mantra atau doa-

doa untuk berbagai keperluan yang terdiri atas 4 kumpulan (samhita) ialah Rg

Veda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda. (2) kitab suci Brahmana yaitu

tafsir 4 samhita. (3) kitab suci Aranyaka, yaitu tafsir kitab suci Brahmana yang

direnungkan dan dibaca di dalam hutan. (4) kitab suci Upanisad, yaitu kitab yang

memuat dasar-dasar filsafat tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Mengenai

kedudukan dewa-dewa di masing-masing kitab berbeda-beda, contohnya Dewa

Waruna yang menjadi dewa yang penting sekali dalam dalam kitab mantra namun

dalam kitab brahmana justru dianggap tidak penting (Surasmi, 2007: 11--12).

Dalam perkembangannya, penganut Hindu memiliki anggapan bahwa

alam memiliki kekuatan yang dapat menimbulkan kelahiran, kehidupan dan

kematian. Kekuatan alam ini, digambarkan sebagai 3 dewa yang disebut Tri

Murti, yaitu Brahma sebagai dewa atau kekuatan menciptakan, Wisnu sebagai

dewa atau kekuatan memelihara dan Siwa sebagai dewa atau kekuatan pralina

atau melebur. Umat Hindu umumnya memusatkan Dewa-Dewa mereka pada

suatu tempat tertentu, baik itu yang terjadi di India maupun di Bali. Di Bali,

masing-masing Dewa memiliki tempat berstana yang berbeda-beda.

Keharmonisan alam tentu didasari karena adanya alam yang harus

diharmoniskan. Dalam lontar Tutur Andhabhuwana, dikatakan bahwa

pancamahabhuta telah bersemayam ke setiap makhluk terutama manusia,

sehingga isi alam dengan alamnya selalu berhubungan, saling ketergantungan dan

merupakan suatu ekosistem sesuai ajaran Tri Hita Karana. Secara leksikal Tri

Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera,

Karana = penyebab). Pada hakekatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian

tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:

1) Manusia dengan Tuhannya; 2) Manusia dengan alam lingkungannya; 3)

Manusia dengan sesamanya. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat

Hindu sebagai berikut:

d. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan

Dewa Yadnya.

e. Hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan

dengan Bhuta Yadnya.

f. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra,

Resi, Manusa Yadnya (Pemerintah Provinsi Bali, 2003: 77--78).

Demi mempertahankan hubungan baik dengan kekuatan bhuwana agung,

ajaran Tri Hita Karana bisa dirujuk sebagai landasan falsafahnya. Ajaran ini

menyerukan pentingnya "keselarasan" dalam segala sisi kehidupan manusia dan

menempatkan manusia (bhuwana alit) sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dengan jagat raya ini (bhuwana agung). Prinsip keselarasan itu bisa dilihat dari

perlakuan umat Hindu di Bali terhadap kekuatan bhuwana agung yang disebutnya

bhuta kala. Bhuta berarti alam semesta, jagat raya ini. Kala adalah energi atau

kekeuatan yang menyertai prakrti (alam). kekuatan alam itu bisa merusak apabila

diganggu, ia pun menyejahterakan apabil didamaikan. Kekuatan alam ini

dianggap berada di pihak manusia jika mereka dapat menyelaraskan diri

dengannya. Oleh karena itu, bhuta kala harus didamaikan kembali melalui

upacara bhuta yadnya (Yudiantara, 2001: 19-20). Berkaitan dengan konsep Tri

Hita Karana, upacara Bhuta Yadnya menjadi salah satu cara untuk

mengharmoniskan alam beserta isinya.

Dalam kepercayaan Hindu di Bali, upacara bhuta yadnya merupakan salah

satu upacara untuk menetralisir kekuatan alam sehingga muncul keseimbangan

yang disebut harmonis. Selain upacara bhuta yadnya, dikenal ada lima yadnya

dalam agama Hindu yang sering di sebut panca yadnya. Dari kelima yadnya atau

upacara korban suci tersebut terdiri dari Dewa Yadnya yaitu korban suci pada para

Dewa, Rsi Yadnya yaitu korban suci pada para rsi, Pitra Yadnya yaitu korban suci

pada para pitara atau leluhur, Bhuta Yadnya yaitu korban suci pada para bhuta,

dan Manusa Yadnya yaitu korban pada sesama manusia. Dari kelima upacara

yadnya yang di kenal dalam ajaran Hindu di Bali ini, selalu tidak terlepas dengan

upacara bhuta yadnya. Seperti halnya dunia yang dipercaya ada tiga yaitu bhur,

bwah dan swah maka ada sebuah kewajiban untuk menjaga keharmonisan ketiga

dunia tersebut dengan selalu membuat upacara dengan tidak melupakan konsep

atas, tengah dan bawah. Oleh karena itu dalam upacara apapun selalu muncul

adanya upacara bhuta yadnya. Ambilkan contoh dalam upacara piodalan yang

merupakan rangkaian upacara dewa yadnya, juga ada unsur untuk melakukan

upacara bhuta yadnya. Ini difungsikan untuk menetralisir kekuatan alam.

Lontar Kandapat sangat sesuai dengan isi Lontar Andhabhuwana

mengenai hubungan pancamahabhuta di alam semesta (bhuwana agung) dengan

pancamahabhuta yang bersemayam di dalam badan manusia (bhuwana alit). Oleh

karena itu selalu memerlukan pemeliharaan agar keharmonisan bhuwana agung

dengan bhuwana alit tetap bisa dipertahankan, hal inilah yang membutuhkan

kebajikan (yadnya) dari manusia ( Dharmita, 2011: 111). Dalam Hindu memang

ada tiga manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang dikaitkan dengan 3 aktivitas

utama, yaitu penciptaan, pemeliharaan dan peleburan. Brahma sebagai pencipta,

Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa untuk melebur kembali. Ketiganya disebut

Tri Murti, tiga wujud utamanya.

Siwa merupakan bentuk rupa Tuhan Yang Maha Esa, aliran Siwa

merupakan salah satu cabang dari agama Hindu. Aliran Siwa mengajarkan akan

terus terwujud, memenuhi segala ruang, bebas dari segala-galanya dan bergembira

selalu. Jiwa-jiwa yang lahir di dunia ini mempunyai sifat yang berbeda. Oleh

sebab itu Dewa Siwa mengambil berbagai jenis rupa selaras dan kematangan jiwa-

jiwa tersebut supaya mereka dapat mencapai mukti (moksa). Dari sudut etimologi

istilah Siwalingga berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Siwa dan Lingga. Siwa

memiliki arti baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak

harapan, membahagiakan. Sedangkan lingga memiliki arti tanda, bukti, alat

kelamin. Siwalingga melambangkan hal yang menyebabkan ciptaan itu muncul

kembali pada awal siklus dari penciptaan yang baru (Dharmita, 2011: 107--108).

Dalam ajaran Siwa Sidantha, Siwa dengan lingganya melambangkan

perwujudan laki-laki dan lambang kesuburan. Jika menginginkan adanya

kelahiran dan penciptaan maka diperlukan adanya penyatuan antara lingga dan

yoni. Lingga ada lambang kelamin pria dan yoni adalah lambang kelamin wanita.

Banyak peninggalan Hindu kuno yang berbentuk arca lingga yoni. Pemujaan

terhadap lingga yoni ini umumnya bertujuan untuk kesuburan. Ada pandangan

bahwa lingga perwujudan Siwa dan Yoni merupakan penggabungan antara

perwujudan Brahma dan Wisnu yang merupakan perwujudan Tri Murti yang

berkaitan dengan penciptaan, pemeliharaan dan peleburan alam.

Kidung Jerum Kundangdya merupakan salah satu puisi naratif yang

didalamnya mengandung cerita yang berunsur ajaran Siwa. Tampak dari

kemunculan Hyang Guru ketika Liman Tarub berniat untuk menyucikan diri.

Hyang Guru merupakan sebutan lain untuk Dewa Siwa. Ketika sebagai penuntun

beliau bergelar Hyang Guru. Dalam kidung banyak diceritakan bahwa Hyang

Guru yang menunjukkan dan menyadarkan tentang jalan kebenaran dalam hidup.

Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:

Hyang Guru ling irangucap: Hyang Guru bersabda :

"Sarayuda anakingsun, "Sarayuda anakku,

rungunen wuwusingsun, dengarlah ucapanku,

wangsitira Hyang tan katon, sabda Hyang yang tak nampak,

jaba jro Hyang Pramana, luar dan dalam Hyang Pramana,

angga nunggal soring luhur, tubuh menunggal atas dan bawah,

kalangkahan kasurupan, terlangkahi dan dirasuki,

tan ana wētan muang Kidul. tidak ada Timur dan Selatan,

pada ke-171

"Putih Purwa Hyang Iswara, "Putih di Timur Hyang Iswara,

pupusuh mangkē nggon ipun, berada di jantung,

Kidul abang puniku, Selatan berwarna merah,

Hyang Brahma ring ati mangko, Hyang Brahma berada di hati,

Kuning Kulon ring ungsilan, Barat berwarna kuning adalah ungsilan,

Hyang Mahadewa puniku, di situlah Hyang mahadewa,

Lor ireng rupanira, Utara berwarna hitam,

Wisnu ring ampru nggon ipun. Bhatara Wisnu berada di empedu.

pada ke- 172

Seperti yang tampak dalam kutipan, Hyang Guru atau Dewa Siwa bersabda pada

Liman Tarub yang ketika itu sudah bernama Ki Sarayuda. Beliau bersabda

sebagai sosok yang tidak nampak namun ada di dalam diri, badan kasar dan halus

yang menjadi tunggal dalam diri. Seperti itulah dalam konsep ajaran Hindu,

Tuhan sesungguhnya telah ada dalam diri setip makhluk. Pernyataan tersebut

didukung dengan pernyataan yang terdapat dalam kutipan berikutnya di pada 172.

Dijelaskan disitu bagaimana Hyang Iswara yang berwarna putih bersemayam di

timur dan dalam diri seseorang bersemayam dalam jantung. Hyang Brahma yang

berwarna merah bertempat di selatan dan bersemayam dalam hati. Hyang

Mahadewa berwarna hitam bertempat di utara bersemayam di empedu.

Demikianlah seterusnya yang diuraikan dalam pada 173, 174, yang selanjutnya

menyampaikan Dewa Mahisora berada di tenggara dengan warna dadu dan

bersayam dalam paru-paru. Dewa Rudra dengan warna jingga berada di arah barat

daya bersemayam di perut besar. Dewa Shangkara dengan warna hijau bertempat

di barat laut yang bersemayam di limpa. Dewa Shambu dengan warna biru

bertempat di timur laut. Sedangkan Dewa Siwa berada di tengah dengan aneka

warna berada di tumpuking hati. Demikianlah konsep dalam Hindu yang

mempercayai bahwa ada sebuah keterkaitan antara bhuwana alit dan bhuwana

agung, yaitu antara diri manusia dengan alam. Tuhan itu bersemayam dalam diri

manusia dan disetiap arah pada alam semesta ini.

Dewa utama yang dianggap menguasai kesembilan arah mata angin biasa

disebut Dewata Nawa Sanga. Dewata Nawa Sanga merupakan sembilan dewa

utama dalam agama Hindu. Adapun posisi Dewata Nawa Sanga di sembilan

penjuru mata angin adalah sebagai berikut:

10. Dewa Iswara penguasa arah Timur

11. Dewa Wisnu penguasa arah Utara

12. Dewa Rudra penguasa arah Barat Daya

13. Dewa Mahadewa penguasa arah Barat

14. Dewa Maheswara penguasa arah Tenggara

15. Dewa Sambu penguasa arah Timur Laut

16. Dewa Sangkara penguasa arah Barat Laut

17. Dewa Brahma penguasa arah Selatan

18. Dewa Siwa penguasa arah pusat yang berada di Tengah (Gus Japa dkk,

2008: 26-27).

Dengan adanya Tuhan yang bersemayam dalam diri, dapat dimaknai

bahwa manusia sesungguhnya mampu menghormati dan menjaga dirinya sendiri.

Hal itu yang menjadikan dalam kepercayaan Hindu juga mengenal sebuah upacara

yang ditujukan untuk diri manusia yang tidak lain juga untuk mengharmoniskan

alam semesta ini. Manusia merupakan makhluk yang paling berperan demi

keharmonisan alam, karena manusia di beri kelebihan untuk mampu memikirkan

sesuatu dan mampu melakukan sebuah tindakan. Jika diri manusia itu sendiri

sudah tidak harmonis, contohkan saja manusia itu mengalami sakit maka ia tidak

mampu berpikir dan berbuat yang baik. Perbuatannya yang baik tentu

berpengaruh terhadap lingkungannya. Demikianlah konsep keharmonisan dalam

Hindu yang mengedepankan keharmonisan diri adalah awal dari keharmonisan

alam.

6.2 Harmonisasi Ajaran Budha

Berbicara ajaran Hindu, tidak mampu dilepaskan dari keterkaitannya

dengan ajaran Budha. Seperti dalam sejarah kemunculannya agama Budha , antara

Hindu dan Budha mampu hidup berdampingan. Agama Budha untuk

pertamakalinya muncul di India lebih kurang pada abad ke-6 SM yang disebarkan

oleh Siddharta yang kemudian dikenal sebagai Budha Gautama. Pada mulanya

penganut agama Budha tidak berani menggambarkan Budha dalam bentuk

manusia, tetapi hanya digambarkan dengan bentuk-bentuk lambang. Pada jaman

pemerintahan Raja Kaniska barulah terjadi suatu revolusi dalam agama Budha.

dalam agama Budha sering terjadi perselisihan paham tentang pelajaran-pelajaran

agama itu sendiri. Untuk mengetahui perselisihan dan kesulitan-kesulitan tersebut

diadakanlah muktamar-muktamar. Dalam mukatamar inilah akhirnya terjadi

perpecahan sehingga timbul 2 golongan, yaitu golongan Sthaviravada atau

Theravada ialah golongan yang berpegang pada penjelasan golongan tua.

Pemahaman golongan ini sesuai dengan isi kitab suci Pali dan rupanya merupakan

pendahuluan dari golongan yang kemudian bernama Hinayana. Golongan lainnya

menamakan diri Mahasanghika, yaitu golongan yang berpegang pada sumber-

sumber yang lebih muda dari sumber Sthaviravada yang menunjukkan persamaan

dengan paham yang kemudian bernama Mahayana (Surasmi, 2007: 17--18).

Hingga saat ini dalam agama Budha mengenal dua bagian besar yaitu Mahayana

dan Hinayana. antara Mahayana dan Hinayana ada beberapa perbedaan. Dalam

Hinayana tujuan manusia menjadi arhat dan mencapai nirwana untuk kepentingan

dirinya sendiri, sedangkan Mahayana mengutamakan cita-cita ke Budhaan yaitu

usaha untuk menjadi Budha. Dalam Hinayana menganggap bahwa Budha

Gautama hanya seorang manusia biasa saja tetapi dihormati karena ia berhasil

mencapai bodhi untuk merintis jalan dan menjadi contoh bagi umat manusia

dalam mencapai bodhi dan kebahagiaan tertinggi, sedangkan dalam Budha

Mahayana Budha Gautama dan Budha lainnya bukanlah manusia biasa, tetapi

sebagai avatara atau penjelmaan dalam bentuk manusia atau alat bagi bodhi untuk

menmpakkan diri pada manusia. Pada Hinayana Budha Gautama ialah manusia

biasa dan dihormati karena telah memberi petunjuk dan memberi contoh kepada

umat manusia tentang cara-cara untuk mencapai bodhi dan nirwana, sedangkan

menurut Mahayana yang dipuja terutama ialah Dhyanibodhisatva karena beliau

yang dianggap melindungi dan membimbing umat manusia (Surasmi, 2007: 19--

20).

Menurut ajaran Budha manusia harus mempelajari alam (dhamma vicaya)

untuk mencapai kebijaksanaan pribadi (prajna) tentang sifat hal (dharma). Umat

Budha menerima keberadaan makhluk hidup di alam yang lebih tinggi yang

dikenal sebagai Dewa, tetapi mereka seperti manusia dan belum tentu lebih

bijaksana dari manusia. Hal ini dibenarkan seperti apa yang terdapat dalam

Kidung Jerum Kundangdya, dimana ketika Liman Tarub telah dinobatkan sebagai

Ki Sarayuda dan dianggap sebagai orang suci hingga diberikan tugas menjaga

Surga, ternyata ia masih menyimpan dendam terhadap Kundangdya dan Jerum.

Seperti yang tampak dalam kutipan berikut:

"sedeng pua sira Kundangdya, "Setelah Kundangdya,

pawestri aran Ni Jerum", kawin dengan Ni Jerum",

Sarayuda amuwus : Sarayuda berkata :

"Paran olih-olihingong, "Apa yang telah kumiliki,

amati rageng ancala?' setelah bertapa di gunung?"

Sri Jaksa alon amuwus : Sri Jaksa berkata lamban :

"Dene pati yogiabrata, "Karena ajal berdasarkan tapa,

wenanga suarga dinunung". pahalanya mencapai sorga".

pada ke-199

Ni Jerum asemu bangras, Ni Jerum dengan wajah berang,

asasipta warahipun : menunjukkan sikap berkata :

"Sarayuda ko pengkuh, "Sarayuda engkau sangat angkuh,

ambekira kaya tan wong, tabiatmu tidak seperti manusia,

mawakenēng Mrecapada, kau bawa dari dunia fana,

sapangalangin budinmu, yang menjadi penghalang tabiatmu,

apan sira olih tapa, karena engkau berhasil dalam tapa,

sakti kosa teguh timbul. sakti perkasa teguh dan kebal.

pada ke-200

Seperti pada kutipan di atas tampak bahwa melalui kekutan tapa,

seseorang mampu memperoleh surga (tempat yang dianggap lebih mulia). Ki

Sarayuda hingga disejajarkan dengan kedudukan para Dewa, namun setelah ia

bertemu kembali dengan Jerum dan Kundangdya di surga tidak mampu

dihilangkan dendamnya yang ia bawa dari dunia fana. Tampak bahwa sesucinya

para Dewa hingga mendapat tempat yang baik di surga tidak menjamin ia

memiliki tabiat yang lebih baik dari manusia, seperti apa yang diajarkan dalam

ajaran Budha.

Budha selalu menekankan pada aspek etika, cinta kasih, persaudaraan,

menolak sistem kasta sehingga lebih cepat mendapat simpati masyarakat. Ia

percaya bahwa yang memberikan kebahagiaan atau nirvana bukanlah Tuhan atau

deva-deva tetapi diri sendiri. Ajarannya mengajarkan agar manusia hidup mandiri,

mencari di dalam diri sendiri. Oleh karena itu ia mulai doktrin-doktrinnya tanpa

kitab suci dan mulai merefleksikan kehidupan secara independen. Tidak ada

Tuhan di dalam ajaran-ajaran Budha. kalaupun belakangan berkembang menjadi

agama, itu adalah agama tanpa Tuhan (Godless religion) (Suamba, 2003: 323--

324).

Menurut Budha, alam semesta tidak berawal dan tidak ada yang benar-

benar awal karena alam seperti daur kehidupan. Dari muncul, berlangsung, hilang

dan mampu muncul kembali. Sang Budha mengajarkan bahwa dunia yang kita

tempati beserta surga akan mengalami penciptaan dan kehancuran secara berkala.

Ketika Siddharta Gautama mendapatkan pencerahan, hasilnya adalah Empat

Kebenaran Utama (catvari arya-satyani). Kebenaran-kebenaran tersebut adalah

(1) kebenaran bahwa ada penderitaan, (2) kebenaran bahwa ada penyebab

penderitaan, (3) kebenaran bahwa ada penghentian penderitaan, dan (4) kebenaran

bahwa ada jalan menghilangkan penderitaan. Ajaran Budha dikenal juga dengan

nama "madyama marga" ("jalan tengah"), karena ia menggali kapasitas potensi

manusia dan objek-objek eksternal, tubuh dan pikiran dalam meraih tujuan hidup

manusia. Sebagai seorang guru, ia menekankan pada meditasi dan mengikuti jalan

tengah dalam kehidupan sehari-hari (Suamba, 2003: 325). Melalui sebuah

kesadaran bahwa adanya kemunculan penderitaan dalam diri, tentu kemunculan

itu memiliki sebab dan pada akhirnya penderitaan itu juga akan berhenti. Dengan

memahami bagaimana penderitaan itu, tentu muncul jalan untuk mengantarkan

kepada penghilangan penderitaan tersebut. Dalam ajaran Budha dikenal dengan

delapan jalan utama, yaitu pandangan yang benar (samyagdrsti), determinasi yang

benar (samyaksamkalpa), perkataan yang benar (samyalgvak), perilaku yang

benar (samyakkarmanta), cara hidup yang benar (samyagajiva), usaha yang benar

(samyagvayayama), sikap pikiran yang benar (samyaksmrti) dan konsentrasi yang

benar (samyaksamadhi). Kedelapan tangga ini mampu menyingkirkan kebodohan

dan keinginan, menerangi pikiran dan menyebabkan keseimbangan dan

ketenangan sempurna. Dengan demikian penderitaan benar-benar dapat

dihilangkan dan peluang untuk lahir kembali ke dunia juga dihentikan. Pencapaian

keadaan sempurna ini disebut nirvana (Suamba, 2003: 328).

Sifat manusia yang seringkali disadarkan dalam ajaran Budha adalah sifat

manusia yang tidak pernah puas. Semua orang seringkali menggerutu dan

mengeluh tentang masalah fisik ataupun bathin. Dengan memahami situasi ini

Sang Budha telah menghentikan tumimbal lahir (rebirth). Dengan berhentinya

kelahiran maka berhentilah kesengsaraan. Pandangan ini tidak ada bedanya dalam

pandangan ajaran Hindu yang mengajarkan umatnya berbuat yang baik hingga

mampu mencapai moksa, dimana moksa adalah kesempurnaan dengan menunggal

dengan-Nya sehingga tidak lagi melewati tahap reinkarnasi. Bagi ajaran Budha

tidak mengenal Tuhan, karena dianggap Tuhan tidak dapat ditemukan dimanapun.

Yang dipahami bahwa dunia merupakan sebuah tempat penderitaan, dan mencoba

untuk lepas dari penderitaan itu.

Ajaran yang khas dalam Budha adalah praktek meditasi sebagai jalan

pencerahan, dan untuk mencapai pencerahan itu dilakukan usaha untuk mencapai

jati diri (self) yang terdalam, dan bila ia mencapai pengertian akan kesadaran

dirinya itu, berarti ia telah menyatukan diri dengan hakekat semesta atau realitas

rohani semesta (menyatu dengan Tuhan). Seperti yang dilakukan Liman Tarub

ketika ia mengalami sakit hati karena dikhianati istrinya, ia memilih untuk

mengasingkan diri ke tengah hutan, bertapa dan akhirnya menjadi suci hingga ia

mampu dianugrahkan tugas untuk menjaga Surga oleh Hyang Guru.

Kesimpulannya ajaran Budha lebih menekankan bahwa hanya diri sendiri yang

mampu menolong diri untuk lepas dari penderitaan dalam hidup.

6.3 Harmonisasi Ajaran Siwa Budha

Berdasarkan prasasti Kelurak tahun 782 bahwa antara agama Siwa dan

Budha telah terlihat berdekatan mulai periode di Jawa Tengahan. Bunyi prasasti

Kelurak antara lain menyebutkan seorang raja Indra dari keturunan Cailendra dan

memeberitakan bahwa dalam tahun 782 seorang guru dari tanah Gaudi,

Kumaraghosa mendirikan sebuah patung Bodhisatta Manyucri yang dalam dirinya

mengandung Budha, Dharma dan Sangha yang disamakan dengan Brahma, Wisnu

dan Maheswara. Ini memberi kesaksian adanya hubungan antara kedua agama

tersebut. Di Jawa Timur bentuk sinkretisme antara Siwa dan Budha lebih jelas lagi

kita saksikan dari bentuk perwujudan dalam pemakaman raja-raja Singasari yang

mempergunakan simbol Siwa-Budha. Raja Kertanegara merupakan salah satu raja

Singasari yang ketika wafatnya dimakamkan di candi Jawi sebagai Siwa dan

Budha, sedangkan di Singasari sebagai bhairawa. Di dalam buku Pararaton, raja

Kertanegara dinamakan Siwa-Budha dan dalam Negarakertagama, mokteng Siwa-

Budhaloka, sedangkan dalam prasasti-prasasti sering disebut lina ring

SiwaBudhalaya dan kadang juga lumah ri Siwabudha (Surasmi, 2007: 30--31).

Semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut "Siwa-

Budha" sebagai persenyawaan Siwa-Budha. Semenjak itu penganut Siwa-Budha

harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang

Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing bernama: 1) Pura Desa

Bale Agung untuk memuja kemuliaan Bhatara Brahma sebagai perwujudan dari

Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). 2) Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu

sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). 3) Pura Dalem untuk

memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu saktinya Bhatara Siwa sebagai

perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa. Ketiga Pura tersebut disebut Pura

Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan umat Siwa-Budha di Bali. Ada

banyak kemiripan pemahaman dalam ajaran Hindu dan Budha. Di Bali salah satu

nama Tuhan adalah Sang Hyang Embang atau Mahasunyi yang dalam Budha ada

istilah Sunyata. Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Budha yang peninggalannya

adalah meru, hasil modifikasi Pagoda Umat Budha. Padmasana yang dikenal

sebagai tempat pemujaan di kalangan masyarakat Hindu di Bali, merupakan

konsep yang diambil dari Budha Mahayana, padmasana berarti padma: bunga

padma, sana: sikap duduk. Jadi Padmasana berarti duduk di atas bunga padma.

Sang Budhalah yang duduk di atas bunga padma karena Sang Budha adalah

Awatara Wisnu yang sempurna dan yang tidak membunuh. Siddhartha Gautama,

pendiri agama Buddha. Oleh umat Hindu, Siddharta sendiri dihormati dan

diyakini sebagai salah satu penjelmaan (awatara) Tuhan. Beliau adalah awatara

kesembilan dari dasa awatara Dewa Wisnu.

Dalam kesusastraan Jawa Kuno penyatuan Siwa Budha juga tercantum

dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, yang isi pokoknya mengatakan

bahwa Sang Hyang Widhi itu satu bukan dua, walaupun ada yang mengatakan

Siwa dan Budha. Hal ini diuraikan dalam kitab Sutasoma sebagai berikut:

Rwaneka dhatu winuwus warabuda wicwa,

Bhineji rakwa ringapan kene parwa nesen,

Mangkang jiwatma kalawan ciwa tatwa tunggal,

Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Artinya:

Tuhan itu dikatakan ada dua disebut,

Budha dan Siwa, berbeda itu konon,

Namun kapan dapat dibagi dua, demikianlah,

Kebenaran Siwa dan Budha adalah satu, berbeda sebutan,

tetapi tunggal itu, tidak ada Tuhan yang dua (Surasmi, 2007: 31).

Penyatuan Siwa-Budha merupakan awal dari penyatuan nusantara yang

menjunjung semboyan bhineka tunggal ika. Penyatuan adalah wujud

keharmonisan. Seperti tokoh Jerum dan Kundangdya yang saling mencintai

kemudian dipersatukan maka muncul keharmonisan. Ketika dalam penyatuannya

dengan Jerum, Jerum dapat berlaku sebagai atau kekuatan dari Kundangdya.

Dalam keharmonisan itulah Dewa Wisnu kembali menganugrahkan kehidupan

pada Kundangdya dan Jerum dan ditugaskan memimpin negara dengan harapan

menularkan kebahagiaan dan kedamaian di dunia. Seperti yang terdapat dalam

kutipan berikut, ketika Kundangdya dan Jerum menjadi pasangan serasi yang

menciptakan kebahagiaan di hati semua orang.

Maka Sembahaning jagat, Dipuji dan disembah di dunia,

kinasihan para Ratu, disayangi para raja-raja,

miwah sang para sadu, demikian juga oleh orang yang arif

bijaksana,

anungsunging sira mangko, semua memuji-muji beliau,

ilangana pamuktianira, tercapai segala keinginannya,

Nareswari Nini Jerum, Permaisuri Nini Jerum,

kadi Surya lawan Ulan, bagaikan Matahari dan Bulan,

anuluhin jagat kasub. menerangi dunia tiada tara.

pada ke-324

I Gusti Bagus Sugriwa merupakan salah satu tokoh yang sangat

memahami ajaran Siwa-Budha yang tertuang dalam tulisan dan karya-karyanya.

Menurut beliau Bhatara Budha sangatlah gaib, dangat sulit dijamah oleh pikiran.

Ia melihat sekaligus yang dilihat, yang berpikir dan yang dipikirkan sekaligus.

pendapat tersebut serupa seperti yang terdapat dalam Kakawin Dharma Sunya

yang beranggapan bahwa Budha sangat gaib yang merupakan bayangan dalam

bathin bersaluran kepada pancendriya (Suamba, 2013:5). Keberadaan penyatuan

Siwa-Budha seperti zat yang satu namun disebut dua yaitu Budha dan Siwa.

Demikianlah keadaan Siwa dan Budha yang satu dan tidak ada kebenaran itu dua.

Dalam Kandhawa Dahana, I Gusti Bagus Sugriwa mengutip Kandhawa Dahana :

Ndan len kita buddha rupa siwa rupa pati huriping tri mandala/ Sang sangkan

paraning sarat ganalalit kita hala hayu kojaring haji/ Utpatti sthiti dadi kita

karanani paramartha sogata// yang artinya tidak lain Engkau merupakan Budha,

merupakan Siwa yang menjadi jiwa tiga buana. Engkau yang menjadi asal dan

tujuannya kembalinya dunia, berbadan besar dan kecil, mengatur baik atau buruk,

menurut ajaran agama. Lahir, hidup dan matinya sekalian makhluk, Engkaulah

yang menyebabkannya, Engkau disebut Siwa atau Budha (Suamba, 2013: 8).

Penyatuan Siwa dan Budha dikenal dalam konsep "unity in diversity" (bhineka

tunggal ika) yang relevan pada era modern sekarang ini. Ketika manusia akan

bergegas menuju ke "sana", "atas", atau "dalam", manusia memerlukan bekal

pengetahuan (jnana) karena hanya pengetahuanlah satu-satu alat menuju ke sana.

Pramana intinya upaya mendapatkan pengetahuan valid (prama), karena yang

salah atau ragu-ragu (samsaya) tidak akan bisa digunakan untuk mendapatkan

Bhatara Siwa atau Budha yang hakikatnya adalah kebenaran. Begitu banyak sifat-

sifat Bhatara Budha maupun Bhatara Siwa bisa dikategorikan menjadi dua secara

umum, yaitu sekala-niskala, wahya-dyatmika, suksma-stula, byakta-abyakta.

Beliau menjadikan kedua dunia ini diresapi sekaligus meresapi dan menguasai.

Keesaan Siwa-Budha disebut Sang Hyang Tunggal, dalam ajaran Siwa

diwujudkan dengan lambang Ongkara, sedangkan dalam ajaran Budha dengan

Hrih. Dengan sebutan Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Licin ajaran ini

menganut paham monisme, satu prinsip/ kekuatan/ realitas yang absolut, tertinggi,

tidak pernah berubah, langgeng tidak ada yang menyamai apalagi melebihi

keesaannya. Yang menarik, walaupun sama-sama tunggal, namun dipresentasikan

dengan nama berbeda : Ongkara (Siwa), Hrih (Budha) (Suamba, 2013: 8--10).

Dalam kepercayaan Hindu di Bali, ajaran Siwa Budha masih tetap

dijunjung tinggi hingga saat ini. Setiap unsur upacara maupun upakara akan

mengandung unsur Siwa-Budha. Siwa dianggap unsur dari kekuatan yang tidak

luput dari tenaga dan kemarahan dan Budha dianggap unsur dari kasih sayang,

kelembutan dan cinta kasih. Siwa-Budha harus tetap berdampingan untuk mampu

menciptakan keharmonisan. Konsep penyatuan Siwa-Budha yang dikenal melalui

tiga bangunan suci tersebut juga sampai sekarang masih diyakini oleh masyarakat

Hindu di Bali. Selain tiga pura yang terdiri dari Pura Puseh, Desa dan Dalem,

dalam lingkungan keluarga pun umumnya masyarakat membangun pelinggih

kemulan yang juga terdiri dari rong tiga atau tiga ruang yang juga memuja

Brahma, Wisnu dan Siwa/ Iswara atau sering juga disebut Bhatara Guru. Konsep

ini sesungguhnya berkaitan erat dengan apa yang disampaikan dalam Kidung

Jerum Kundangdya.

Tokoh Kundangdya yang memiliki sifat welas asih, pemaaf dan berbhakti

diidentikkan dengan karakter Budha yang merupakan perwujudan dari Wisnu

yang merupakan Dewanya Air. Bhatara Wisnu dalam perwujudan Rong Tiga di

puja di pelinggih yang paling kiri. Kemudian Di Selatan atau yang paling kanan

adalah pemujaan untuk Bhatara Brahma. Bhatara Brahma adalah Dewanya api,

api bersifat panas dan panas identik dengan kemarahan. Sifat dendam dan

pemarah yang dimiliki oleh tokoh Liman Tarub dikaitkan dengan perlambang api

atau Bhatara Brahma. Sedangkan Jerum itu sendiri adalah perwujudan Bhatari

Durga atau saktinya Siwa yang dipuja di Pura Dalem. Seperti halnya Jerum,

Bhatari Durga umumnya dilambangkan sebagai Dewi yang amat menyeramkan

ketika dalam keadaan murka, namun menjadi Dewi yang amat cantik dan

penyayang ketika berwujud Dewi Uma. Dari karakter demikian telah terjadi

sebuah harmonisasi antara kekuatan amarah dan kelembutan, antara kekuatan

panasnya api dan dinginnya air. Jerum digambarkan sebagai wanita yang amat

cantik dan mempesona, namun ketika ia megalami kemarahan, ia bahkan tidak

takut untuk mengangkat senjata demi membela kebenaran. Seperti yang terdapat

dalam kutipan berikut:

Mangkin srengen I Sarayuda, Kini Sarayuda beringas,

denira angrenga wuwus, mendengarkan kata-katanya,

dres lakunia tumedun, langkahnya menderas turun,

geger malayu wonging jero, Orang istana berlari geger,

Ni Jerum anambut pedang: Ni Jerum menghunus pedang:

"Ingsun matia sadulur, "Aku mau mati bersama,

masa molih labda karya". kalau tidak bisa membunuhmu".

Sarayuda ngunus duwung. Sarayuda menghunus keris.

pada ke- 265

Karakter dari tokoh Jerum ini seperti mampu dikaitkan dengan perwujudan Dewi

Durga yang akan diliputi kemarahan dan memiliki wajah yang menyeramkan

apabila dalam keadaan menyeramkan, namun sebaliknya menjadi sosok welas

asih dan penyayang ketika berwujud Dewi Uma ataupun Dewi Katyayani.

Dapat dipahami bahwa setiap hal diliputi oleh dua unsur yang saling

bertolak belakang namun saling membutuhkan, untuk itu penting adanya sebuah

keharmonisan dari kedua unsur yag bertolak belakang tersebut. Siwa-Budha harus

menyatu agar mampu menciptakan keharmonisan. Kekuatan dan ketegasan harus

diimbangi dengan kebijaksanaan dan welas asih barulah akan tercipta sebuah

keharmonisan. Keharmonisan akan menjadi junjungan dari kedua unsur tersebut.

Seperti halnya Kundangdya dan Liman Tarub yang melihat satu yaitu Jerum.

Kundangdya dan Liman Tarub mencintai jerum karena kecantikan dan

keindahannya. Harmonis adalah indah dan itu merupakan harapan semua orang.

Dalam upacara keagaamaan di Bali, yaitu upacara Pedudusan agung ada

yang disebut dengan upacara paselang. Upacara paselang merupakan bagian dari

upacara pecaruan dengan sarana kerbau yang pada tanduknya dibungkus dengan

emas. Upacara paselang ini di pimpin oleh pendeta Siwa dan pendeta Budha.

Upacara paselang dapat dipahami sebagai upacara dimana turunnya Hyang Siwa

yang berwujud keheningan dalam tapakan pelinggih. Bersatunya pendeta Siwa

dan Budha dalam menjalankan prosesi upacara paselang sebagai bentuk bahwa

Siwa-Budha senantiasa bersatu. Budha dianggap badan dan Siwa merupakan

pikiran. Jadi dalam upacara paselang ada penyatuan jiwa dan badan.

Dalam konsep bangunanpun, pada umumnya setiap bangunan adat di Bali

akan mengacu pada konsep rong tiga atau tiga ruang. Ada ruang kanan dan kiri

dan ada satu ruang ditengah dengan ukuran yang lebih besar dan lebih tinggi.

Seperti itulah keyakinan untuk memuja keharmonisan dan persatuan yang disebut

keseimbangan. Antara kanan dan kiri harus ada ruang yang menjadi penyekat

keduanya dan ruang itu adalah kekosongan. Dalam ajaran Siwa maupun Budha,

keduanya mengenal ajaran untuk memuja kekosongan. Kedua ajaran inipun sama-

sama memiliki keyakinan bahwa semuanya berawal dari kekosongan dan

akhirnyapun akan kembali pada yang kosong tersebut. Setiap hal baik maupun

buruk itu berawal dari tidak ada menjadi ada dan suatu saat akan mampu menjadi

tidak ada kembali. Kekosongan adalah sekat sekaligus penyatuan yang disebut

juga dengan harmonisasi. Harmonisasi itu terjadi dalam penyatuan antara kanan

maupun kiri, antara positif maupun negatif, antara atas maupun bawah.

Kosong sering dilambangkan dengan nol, dan nol berbentuk bulat yang

sering dalam aksara Bali disebut dengan windu. Sesuatu yang dinyatakan bulat

sudah pasti tidak memiliki ujung, tidak ada awal maupun akhir. Berjalan dalam

lingkaran berarti berjalan dalam sebuah siklus yang tidak akan berakhir.

Demikianlah halnya dengan kehidupan, kehidupan merupakan sebuah siklus, ada

kelahiran, kehidupan dan kematian, ada muncul, berlangsung dan musnah.

Demikianlah seterusnya. Setiap hal sesungguhnya merupakan sebuah siklus yang

akan berlangsung terus menerus. Kematian bukan berarti akhir, karena setelah

kematian akan ada kehidupan lain kembali. Dalam kepercayaan Hindu di Bali

sangat mengenal adanya reinkarnasi, reinkarnasi adalah kelahiran kembali

dimana seorang yang telah meninggal, atmanya akan kembali memasuki badan

yang lain untuk kembali lahir didunia ini. Tidak jauh dari reinkarnasi, dalam alam

sendiri muncul juga konsep perputaran siklus yang dilihat dalam perubahan iklim.

Panas dan Dingin merupakan siklus yang silih berganti namun manusia tetap

membutuhkan keduanya. Demikian juga dengan air dan api, keduanya dapat

membahayakan manusia, namun tanpa keduanya manusia juga tidak akan dapat

hidup di dunia. Air akan menguap oleh panas dan nantinya akan berubah kembali

menjadi air dalam bentuk hujan, inipun juga merupakan siklus alam yang

berlangsung terus menerus silih berganti.

Demikianlah konsep Siwa-Budha yang dapat dilihat dari Kidung Jerum

Kundangdya, kekuatan amarah yang biasanya diidentikkan dengan kekuatan Siwa

dipegang teguh oleh Liman Tarub dan memang dalam cerita pun, Liman Tarub

memang menjadi tokoh kesayangan dari Bhatara Guru yang tidak lain adalah

nama lain dari Dewa Siwa. Sedangkan Kundangdya yang memiliki sifat lemah

lembut, berbhakti dan welas asih menjadi tokoh yang paling disayangi oleh

Bhatara Wisnu. Dalam konsep Siwa-Budha, Liman Tarub berposisi sebagai Siwa

dan Kundangdya adalah perwujudan Budha. Sedangkan Budha itu sendiri

merupakan awatara (perwujudan lain) Wisnu.

6.4 Pencerahan Siwa Budha Tantra

Tantra adalah wujud dari praktek yoga yang mengarah pada kebahagiaan

tertinggi melalui upacara tertentu yang menekankan pada hal yang erotis dan

terlarang. Tantra dipusatkan pada 's sakti' kekuatan wanita yang dipuja oleh

sadhaka (pemuja laki-laki) melalui sakti yang inkarnasi buminya dalam bentuk

upacara Tantra. Sementara kespiritualan Hindu menekankan pada kebebasan dari

wujud fisik, emosi dan kesenangan sesaat dan juga kebebasan dari dunia fana,

Tantra menekankan pada hal ini dan berkebalikan dengan ini (Singh, 2007: 131).

Tantra bukanlah agama, tetapi cara hidup, sistem sadhana. Tantra adalah ilmu

pengetahuan meditasi spiritual atau sadhana yang dapat dipakai oleh semua orang

tidak mempersalahkan apapun golongan agama mereka. Banyak orang yang

mencoba membeda-bedakan Tantra Hindu dan Tantra Budha yang sesungguhnya

adalah satu. Tantra itu berdasarkan satu gagasan, baik tantra budha dan Hindu

mengeskpresikan hal yang sama dengan kata-kata yang berbeda

(Anandamurti,2008: 142--143). Di dalam Encylopedia of Religion and Ethice,

tantra berarti tenunan atau keadaan bengkok, kemudia sesuatu yang terus menerus

dan rangkaian yang tak terputus putusnya dalam kebiasaan agama sebagai

peraturan atau upacara yang tertib (Surasmi, 2007 : 41).

Kepercayaan atau pemujaan kepada sakti dan upacara-upacara tantra

adalah merupakan kepercayaan India Kuno. Bermacam-macam cara dilakukan

orang untuk memuja sakti tersebut, menurut paham aliran masing-masing.

Menurut paham tantra, untuk mencapai tujuan hidup setiap orang mengucapkan

mantra-mantra dan upacara-upacara gaib, dapat bersatu dengan sakti bahkan

menjadi sakti itu sendiri. Kepercayaan atau pemujaan kepada Dewi Ibu atau

kekuasaan sakti itu dikenal di India sebelum bangsa Arya datang di India tidak

pernah lenyap, bahkan dapat mempengaruhi agama Hindu dan agama Budha.

Dalam agama Hindu terlihat pengaruhnya pada pemujaan Dewi Durga atau Kali

sebagai sakti atau permaisuri dari dewa Siwa sebagai Mahakala (Surasmi,

2007:22).

Dulu agama Hindu terdiri dari banyak sekte, dan Tantra sesungguhnya

tergolong ke dalam salah satu sekte dalam agama Hindu. Sekte ini dimasukkan

sebagai bagian dari sekte Sakti. Aliran ini disebut dengan Tantrayana karena

mendasarkan diri pada kitab-kitab Tantra. Sekte Tantra merupakan perpaduan

yang sinkretistik dari berbagai macam kepercayaan, termasuk kepercayaan

primitif di India. Aliran ini juga terdapat pada agama Budha; sementara dalam

agama Hindu terdapat dalam kalangan para pemuja Siwa (Ali, 1988; 86).

Kemunculan Agama Tantra di India sebelum bangsa Arya datang ke

daerah itu. Paham Tantra terlihat pada kebudayaan Lembah Indus, yaitu tampak

dalam pemujaan Dewi Ibu. Menurut paham tantra, untuk mencapai tujuan hidup

setiap orang mengucapkan mantra-mantra dan upacara gaib, dapat bersatu dengan

sakti bahkan menjadi sakti itu sendiri. Terkadang cara-cara pelaksanaan pemujaan

sakti menurut pemujaan paham tantra ini bagi orang yang bukan penganut tantra

menimbulkan kesan yang tidak baik, karena menurut ukuran biasa termasuk

larangan atau melanggar kesopanan. Tantrayana adalah suatu ajaran yang

bercita-cita mempersatukan diri dengan Tuhan pada waktu yang sesingkat-

singkatnya dengan jalan mempergunakan nyanyian, minuman keras, menghisap

candu dan sebagainya. Pengaruh paham tantra didapati pula dalam agama Budha

Mahayana yang dalam garis besarnya tidak berbeda dengan agama Siwa-Tantra.

Ajaran Mahayana-Tantra memberi petunjuk atau jalan yang harus dilalui agar

siapa pun dalam waktu singkat dapat mencapai tujuan yang tertinggi, yaitu

terhindar dari sengsara (Surasmi, 2007 : 22--23).

Upacara-upacara dan kepercayaan tantra adalah lebih tua dari umur agama

Budha itu sendiri. Jenis Budha Tantra dikenal sebagai Kalachakra yang telah

disempurnakan di bengal pada akhir Dinasti Pala dan kemudian disebarkan ke

Nepal dan Tibet serta Nusantara. Menurut paham tantra, sakti adalah ibu suci, ibu

alam semesta. Segala sesuatu berasal dari sakti dan akan kembali kepadanya.

Tanpa sakti, dewa tidak dapat berbuat dan menciptakan sesuatu. Dengan

demikian, menurut paham tantra, sakti merupakan sumber segala. Itulah sebabnya

penganut paham tantra lebih mementingkan pemujaan pada Dewi dan

mengesampingkan kedudukan para Dewa. Selanjutnya dalam perkembangan

agama Budha, pengaruh hukum tantra terlihat pada zaman pemerintahan raja-raja

Pala yang menyatukan banyak persamaan unsur-unsur paham agama Hindu ke

dalam agama Budha, misalnya saja konsepsi dari pemujaan sakti atau kekuatan

wanita dari Boddhisatwa dan kepercayaan pada ilmu-ilmu dan upacara-upacara

gaib (Surasmi, 2007: 45--47). Dalam Kidung jerum Kundangdya, tampak bahwa

ada sebuah sifat mengagungkan wanita dan pemujaan pada ibu pertiwi.

Kundangdya dan Liman Tarub adalah dua orang saudara yang akhirnya saling

menaruh dendam satu sama lain karena memperebutkan Jerum. Jerum adalah

sosok wanita dengan segala kesempurnaanya sebagai wanita yang menyebabkan

kedua laki-laki ini jatuh hati pada Jerum. Adanya tindakan curang yang dilakukan

Kundangdya yaitu dengan meniduri Jerum ketika telah menjadi istri Liman Tarub

menjadikan Liman Tarub dendam terhadap Jerum dan Kundangdya. Selain itu ada

sebuah kepercayaan yang muncul dalam Kidung Jerum Kundangdya mengenai

pemujaan terhadap ibu pertiwi, seperti yang tampak dalam kutipan berikut:

"Babu endi tan katona?" "Di mana ibu tak kelihatan?"

Pawongan anembah matur : Para inang berdatang sembah,

"Aneng taman pukulun, "Tuan Hamba ada di Taman,

aturu ring lemah mangko, tiduran di tanah,

angistia puja barata, memohon dengan puja dan tapa,

adoha kenēng tadah inum, menjauhkan makan dan minum,

yan tan kapanggiha sira, karena ingin bertemu tuanku,

kinēsti rahina dalu berdoa siang dan malam.

pada ke-232

Tampak dalam kutipan di atas, ibu Kundangdya hingga tiduran di tanah

untuk memohon untuk bisa bertemu kembali dengan anaknya yang ketika itu telah

mati dibunuh oleh Liman Tarub. Dalam kepercayaan Hindu, tanah melambangkan

ibu pertiwi. Ketika seseorang mati dan di kubur dalam tanah maka jasad seseorang

dianggap telah dikembalikan pada pangkuan ibu pertiwi, semua unsur dalam

badan itu akan hilang dan meresap dan menjadi satu dalam tanah. Seorang ibu

yang masih belum terima sepeninggal anaknya yang dibunuh oleh Liman Tarub,

hingga memutuskan mengasingkan diri dengan tidur di tanah sambil melakukan

tapa puja siang malam hanya untuk dapat bertemu kembali dengan anaknya yaitu

Kundangdya. Doa seorang ibu itu pun akhirnya terwujud setelah Dewa Wisnu

menghidupkan kembali Kundangdya dan Jerum.

Dengan memperhatikan isi kitab-kitab Tantra Sastra yang memuat ajaran

Tantrayana dapat dipahami, bahwa bentuk-bentuk upacara dan upacara yajna

yang diselenggarakan di Bali, secara jelas terlihat adanya pengaruh dari

Tantrayana, di samping juga mendasarkan kepada berbagai Sastragama Hindu

sebagai penjabaran dan Catur Weda, serta ditambahkan oleh produk sosial budaya

daerah yang berasal dari alam pikiran pra-Hindu di Indonesia. Pengendalian diri

melalui tapa dan brata sangat ditekankan dalam Tantrayana. Istilah tapa berasal

dan akar kata tap artinya panas. Bertapa artinya memusatkan pikiran (cita) kepada

Hyang Widhi dalam manifestasi tertentu, Di dalam melaksanakan pemusatan

pikiran itu badan akan merasa panas. Menurut Yoga-Kundalini, bahwa panas yang

muncul pada diri kita ketika memusatkan pikiran itu akan membakar kekotoran

(mala) yang melekat pada Sthulasarira, Suksmasarira dan Antahkarana

(malatraya).

Brata adalah suatu disiplin batin yang memuat dua hal yaitu : keharusan

dan larangan; apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Tantrayana mengajarkan suatu brata yang patut dilakukan yaitu : Panca tattwa

atau 5 (lima) “ma” yang terdiri dari Matsya: makan ikan sebanyak-banyaknya.

Madya: meminum tuak sebanyak mungkin. Mamsa: makan daging sebanyak-

banyaknya. Mudra: makan sejenis nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya.

Akhirnya Maithuna: melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan

wanita. Sesungguhnya Pancatattwa mengandung filosofi yang dalam. Pada

prinsipnya Pancatattwa ini merupakan suatu filosofi hubungan bhuwana agung

dan bhuwana alit yang mengandung nilai selaras serasi dan seimbang. Namun,

penerapan Pancatattwa ini sering menyimpang dari filosofinya, dikarenakan oleh

kelemahan manusia menghadapi pengaruh sadripu sehingga seringkali

Pancatattwa itu diartikan sebagai pemenuhan lima macam nafsu yang amat besar

(Arifin; 88). Pancatattwa yang secara populer disebut Panca Makara (Lima Ma),

yang terdiri dari madya (minuman keras), mamsa (daging), matsya (ikan), mudra

(sikap tangan, padi-padian), dan maithuna (bersetubuh). Dalam upacara

tantrayana, lima unsur Panca Ma ini memegang peranan penting namun bukan

berarti sadhaka dibenarkan makan daging sebanyak-banyaknya, minum sampai

mabuk dan lain sebagainya (Dange dalam Surasmi, 2007: xvi). Pancatattwa

memang dikenal dalam ajaran Tantra, namun Lima Ma tersebut akan mendapat

taggapan yang berbeda-beda dari masing-masing individu, yang kesemuanya tetap

memiliki harapan tujuan yang sama yaitu mendapatkan penyatuan sehingga

terlepas dari kesengsaraan dalam kehidupan.

Ada pengaruh-pengaruh yang tidak bisa dihilangkan antara ajaran tantra

dengan tradisi dalam ajaran agama Hindu, maka muncul juga sebuah keterkaitan

ajaran tantra tersebut dalam Kidung Jerum Kundangdya. Hubungan seks atau

penyatuan badan menjadi unsur yang sangat berperan dalam cerita Kidung Jerum

Kundangdya. Kehancuran dan kebahagiaan yang dirasakan, semuanya berawal

dari hubungan seks atau penyatuan. Dalam tantra, hubungan seks adalah utama

dan sangat diagungkan. Kelahiran dan kesuburan hanya akan muncul berawal dari

pertemuan lingga (unsur pria) dan yoni (unsur wanita) dalam hubungan seks.

Dalam Kidung Jerum Kundangdya diceritakan Kundangdya tidak mampu

menahan rasa cinta dan nafsu birahinya untuk bersatu dan memiliki Jerum.

Hingga akhirnya nekat memasuki kamar Jerum yang sesungguhnya sudah menjadi

istri Liman Tarub. Didalam kamar Jerumlah, Kundangdya melampiaskan

hasratnya hingga terjadi penyatuan antara Jerum dan Kundangdya.

Sarira angawlaseng cita, tubuhnya yang membuat hati terpesona,

pupu lempung gading lumlum, paha montok indah kekuning-kuningan,

warnanen mingsoring pupu, tersebutlah dibawah paha,

luir pudak cinaga karo, bagaikan dua buah bunga pudak,

tan ilang takonakena, yang tak tersurat rasakan sendiri,

Kundangdya tan pangitung, Kundangdya tak terkatakan,

garegetan mangaras-aras, memeluk cium sangat bernafsu,

Ni Jerum nora awungu. Ni Jerum tak terjaga.

pada ke-62

Seperti dalam kutipan di atas, demikianlah Kundangdya menikmati keindahan

tubuh Jerum tanpa sepengetahuan Jerum. Penyatuan badan dan kenikmatan seks

dirasakan oleh Kundangdya. Sekalipun ia mengetahui bahwa ia telah melakukan

kesalahan karena telah dengan berani meniduri istri saudara misannya sendiri,

namun cinta dan hasratnya yang tidak dapat dipendam itu membuatnya nekat.

Kata-kata manis dan rayuan ia lakukan terhadap Jerum yang akhirnya menyadari

kedatangan orang asing.

Kundangdya alon angucap : Kundangdya berkata perlahan :

"Juitaningsun Sang arum, "Juitaku sang cantik jelita,

puniku sadiayangira sun", itulah yang aku kehendaki",

Kundangdya sakadi layon, Kundangdya ibaratnya orang mati,

kari rekē kakurungan, yang tinggal hanya badan kasar,

atmanira sampun lampus, rohnya sudah lenyap,

mangungsi banjaran kembang, menuju banjaran bunga-bunga,

manganti maya sang arum". menunggu arwah sang jelita.

pada ke- 75

Ni Jerum meneng kēmengan, Ni Jerumberdiam diri sedih,

Kundangdya tan asantun, Kundangdya tanpa membilang suatu apa,

marikedeh amerud, bersikeras tak peduli,

aningseting madia karo, kedua tangan memeluk pinggang,

anesep ingaras-aras, menghisap memeluk cium,

Ni Jerum manulak lesu, Ni Jerum menolak lesu,

sarira madapa layuan, diri bagaikan daun layu,

kaya tambēning salulut. seakan tumben terkena asmara.

pada ke- 76

Kundangdya seakan tidak perduli dengan kesalahan yang ia lakukan, kepuasan

dan kesenangannya adalah utama. Dia tidak memperdulikan kesedihan Jerum

yang takut akan kesalahannya karena telah membiarkan orang asing masuk dan

tidur bersama dengannya. Kundangdya nekat melakukan hal itu, karena ia

memiliki keyakinan bahwa seperti telah mati dan akan menuju banajaran bunga

sambil menunggu arwah pujaan hatinya. Kundangdya telah memasrahkan dirinya,

dia tidak takut mati sekalipun asal bisa merasakan kenikmatan persatuan dengan

Jerum. Banjaran bunga-bunga sama halnya seperti surga, ia digambarkan akan

menunggu arwah sang jelita yang tidak lain berarti menunggu kedatangan arwah

Jerum ke surga. Dari pernyataan Kundangdya tersebut seakan membenarkan

sebuah hubungan seks itu terjadi sekalipun tidak dengan istri maupun suami

sendiri. Disinilah tampak jelas bahwa ada makna-makna tertentu dalam ajaran

tantra bhairawa yang tampak dalam Kidung Jerum Kundangdya.

Bagi pengikut Bhairawa Tantra, mereka berusaha mencapai kebebasan

dan pencerahan (moksa) dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Ciri-ciri mereka

adalah anti asketisme dan anti berpikir. Menurut mereka, pencerahan bisa diraih

melalui sebuah kejenuhan total terhadap kenikmatan duniawi. Tujuannya adalah

memanjakan kenikmatan hidup dan tidak mengenal kekangan moral. Dengan

memenuhi segala hasratnya, seorang pengikut sekte ini akhirnya tidak merasakan

apa pun selain rasa jijik terhadap kenikmatan tersebut (Munoz, 2009: 84). Oleh

karena itu, pengikut sekte ini justru melakukan ritual-ritual tertentu yang bagi

sebagian besar orang dianggap sebagai larangan. Hal ini sebagai usaha agar

manusia bisa secepatnya meniadakan dirinya sendiri dan mempersatukan dirinya

dengan Dewanya yang tertinggi. Ritual mereka bersifat rahasia dan sangat

mengerikan, yaitu menjalankan Pancamakarapuja atau malima (Lima Ma)

dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Praktek malima adalah

menyembelih perawan sebagai persembahan kepada dewa, kemudian meminum

darahnya bersama, tertawa-tawa, dan menari-nari dengan diiringi oleh bunyi-

bunyian dari tulang-tulang manusia yang dipukul-pukul hingga menimbulkan

suara gaduh. Ritual dilanjutkan dengan makan dan minum bersama. Setelah itu

dalam acara yang dilakukan di lapangan yang disebut ksetra, para peserta ritual

melakukan persetubuhan massal, yang kemudian diikuti dengan semedi

(Wojowasito, 1952: 148).

Pemikiran bagi penganut aliran tantra bhairawa ini tidak jauh berbeda

dengan pemikiran yang dimiliki oleh Kundangdya. Pencapaian surga pasti dapat

ia temui ketika ia mengalami penyatuan dalam hubungan seks yang akhirnya ia

lakukan dengan Jerum yang sekalipun bukan istriya sendiri. Ni jerum yang

diselimuti oleh rasa takut karena baginya hal itu sebuah kesalahan, membuatnya

resah namun rayuan Kundangdya membuatnya luluh. Seperti dalam kutipan

berikut.

Ni Jerum tan bisa molah, Ni Jerum tak bisa bergerak,

tan eling sira aturu, Tidur tak sadarkan diri,

tur kinembulan kang musuh, diserbu oleh musuh,

kampuhnia kinarang ulon, kain menjadi bantal kepala,

sampun mangke dawuh sapta, Saat menunjukkan waktu tujuh,

malih-malih salulut, lagi-lagi mamadu kasih,

Ni Jerum kari kasrepan, Ni Jerum masih terlena,

pinapaging wacana arum. dipapag dengan kata-kata harum.

pada ke- 78

Jerum dikatakan luluh hanya dengan kata-kata rayuan dari Kundangdya,

hingga akhirnya pagi menjelangpun mereka kembali memadu kasih. Bentuk

penyatuan berupa hubungan seks dimana mempertemukan lingga dan yoni, maka

disitulah dianggap akan menciptakan kebahagiaan dan itu sebuah persembahan

yang nantinya akan menuntun pada pencapaian akhirat yang baik.

Dalam tradisi keagamaan di Bali, setiap hal akan selalu mengandung unsur

lingga dan yoni. Dimana ada pertemuan lingga dan yoni maka disitulah adanya

kebahagiaan dan kemakmuran. Tidak dilupakan jika sebuah kehidupan akan

mampu tercipta berawal dari pertemuan lingga dan yoni. Hanya hubungan seks

yang membuat seseorang mampu melanjutkan keturunannya, dan itu adalah

sebuah anugrah dan kemakmuran. Hingga kini banyak tempat-tempat yang

disakralkan di Bali masih terdapat arca-arca lingga yoni, dan ini menandakan

bahwa pertemuan lingga yoni adalah sesuatu yang dianggap hal yang sakral.

Tidak mengherankan apabila dalam ajaran tantra bhairawa, hal yang sakral ini

dianggap sebagai salah satu bentuk pemujaan terhadap Tuhan yang dalam hal itu

adalah Dewa Siwa. Namun, untuk saat ini bila melakukan hubungan seks secara

berlebihan apalagi bukan dengan pasangan yang sewajar terlebih mengarah pada

pesta seks, maka itu dianggap sebagai sebuah kesalahan yang melanggar hukum.

Jadi pemujaan dan mengagungkan ritual hubungan seks itu hingga kini masih

diyakini, namun tidak dilakukan disembarang tempat dan pada sembarang orang.

Hubungan seks hanya diijinkan hanya dengan pasangan baik itu istri maupun

suami.

Selain dari unsur seks, ada juga yang tergolong Madya (minuman keras),

Mamsa (makan daging), Matsya (makan ikan). Kesemua unsur itu hingga

sekarang masih sering diterapkan dalam setiap ritual agama dan unsur kehidupan

masyarakat Hindu di Bali. Madya (minuman keras) merupakan salah satu

minuman yang lumrah di kalangan masyarakat Bali. Dalam sebuah upacara

keagamaan pun, tidak pernah terlepas dari unsur minuman keras yang dikenal

dengan sebutan petabuh. Demikian juga halnya dengan Mamsa (makan daging),

Madsya (makan ikan). Sebagian besar orang Hindu di Bali hingga kini mengenal

ada nya lawar yaitu olah-olahan daging yang menggunakan unsur darah mentah

hewan maupun daging mentah, dan hal ini juga dipersembahkan untuk para Dewa

ketika hari-hari raya tertentu. Ambil saja salah satu contoh, ketika perayaan

Galungan. Sehari sebelum Galungan diberi nama hari Penampahan Galungan.

Penampahan berasal dari kata tampah yang artinya sembelih. Umat Hindu di Bali

memang secara sengaja menyembelih hewan yang umumnya adalah babi untuk

dijadikan olah-olahan makanan yang salah satunya adalah lawar. Setelah mereka

selesai membuat lawar, mereka akan mempersembahkan sebagian olah-olahan

daging itu ke hadapan para Dewa dan setelah itulah baru ia dan keluarganya

bersama-sama memakan makanan itu. Disini ada sebuah kepercayaan bahwa

mempersembahkan daging mentah sekalipun itu adalah dibenarkan.

Dalam kaitannya dengan upacara Bhuta Yadnya yang nantinya akan

berhubungan langsung dengan Kidung Jerum Kundangdya ini, unsur-unsur seperti

lima ma ini hampir seluruhnya digunakan dalam ritual upacara bhuta yadnya.

Melalui ritual-ritual itulah dunia diharapkan mampu mencapai keharmonisan.

Jadi, ajaran-ajaran Tantra Bhairawa memang hingga kini masih diyakini dan

diterapkan dalam ajaran Hindu di Bali, dan itu juga tersirat dalam Kidung Jerum

Kundangdya. Unsur-unsur Lima Ma itu yang diyakini mampu menciptakan

kebahagiaan yang tentunya merupakan awal dari keharmonisan alam. Tentunya

tetap dalam catatan semuanya tidak dilakukan secara berlebihan. Seperti halnya

agama, ajaran Tantra tentu akan selalu mengajarkan kebaikan hanya saja

semuanya kembali pada individu yang menafsirkan ajaran tersebut. Ada yang

mengarah pada ajaran positif dan ada yang menafsirkan negatif.

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Setelah dilakukan analisis dengan seksama seperti yang telah diuraikan

pada bab sebelumnya, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.

Bentuk wacana harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya

berawal dari dunia yang terdiri dari dua yaitu Bhuwana Agung yang sering juga

disebut makrokosmos dan ada Bhuwana Alit yaitu mikrokosmos. Bhuwana Agung

adalah alam semesta ini sedangkan Bhuwana Alit adalah isinya. Ada alam tentu

ada isinya, ada atas tentu ada bawah demikianlah segala sesuatunya adalah

rwabhineda atau dua hal yang berbeda. Dalam Kidung Jerum Kundangdya

muncul tokoh Jerum dan muncul pula Kundangdya. Diantara Jerum dan

Kundangdya ada keseimbangan sehingga mampu menjadi harmonis, demikian

pula antara alam semesta dan isinya untuk dapat menjadi harmonis harus ada

keseimbangan.

Fungsi wacana harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya bagi

masyarakat Bali adalah penyeimbang alam semesta, berawal dari bahasan cinta

yang akhirnya menciptakan keharmonisan. Melalui cerita antara tokoh-tokoh

dalam kidung Jerum Kundangdya sudah tampak mengenai pentingnya

harmonisasi alam yang akhirnya lebih terlihat nyata dalam penerimaan

masyarakat terhadap Kidung Jerum Kundangdya sebagai kidung pengiring dalam

upacara Bhuta Yadnya yang merupakan salah satu upacara yang dipercaya oleh

masyarakat Bali dapat menciptakan keharmonisan.

Makna harmonisasi alam dalam Kidung Jerum Kundangdya yaitu adanya

harmonisasi dalam ajaran Hindu, harmonisasi ajaran Budha, harmonisasi yang

muncul lewat ajaran Siwa-Budha, dan pencerahan Siwa-Budha Tantra.

7.2. Saran

Analisis terhadap Kidung Jerum Kundangdya dari sudut kaitannya dengan

harmonisasi alam merupakan sebuah penelitian awal yang tentunya masih jauh

dari sempurna. Diharapkan adanya penelitian lanjutan karena masih banyak aspek

yang belum dikaji dan perlu mendapat perhatian penuh, seperti halnya kajian-

kajian lainnya yang ada dalam Kidung Jerum Kundangdya ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agastya, IB.G, dkk. Eksistensi Sadhaka dalam Agama Hindu. Denpasar: PT.

Pustaka Manikgeni.

Ali, H.A. Mukti. 1988. Agama-agama dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga

Press.

Ambara, I Gusti Ngurah Putu. 1989. Kidung Jerum Kundangdya Analisis Struktur

dan Fungsi. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Anandamurti, Shrii Shrii. 2008. Tantra Jalan Pembebasan Volume 1. Denpasar:

Penerbit Ananda Marga Indonesia

Antono, Billy. 2008. Kahlil Gibran. Romantic Voices. Yogyakarta: Mejor Books.

Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar. Jakarta: PT. Golden

Trayon Press.

Armando, Ade, dkk. 2008. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Kajian

Antropologi Indonesia.

Arwati, Ni Made Sri. 2003. Hari Raya Tumpek. Denpasar: PT. Usada Sastra.

Atmaja, Jiwa. 1982. Priangan Si Jelita Sebuah Telaah. Bandung: Penerbit

Angkasa.

Bandem, I Made. 1986. Prakempa Sebuah Lontar Gambelan Bali. Denpasar:

Akademi Seni Tari Indonesia.

Darmita, Ida Pandita Mpu Siwa-Buddha Dhaksa. 2011. Filsafat Rsigana

Penciptaan Dunia-Alam Semesta. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Eaton, Marcia Muelder. 2009. Persoalan-persoalan Dasar Estetika. Jakarta:

Salemba Humanika.

Effendi, Irmansyah. 2001. Kundalini Teknik Efektif untuk Membangkitkan,

Membersihkan, dan Memurnikan Kekuatan Luar Biasa dalam Diri Anda.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Esten, Prof.Dr.Mursal. 1992. Memahami Puisi. Bandung: Penerbit Angkasa.

Faruk. 2010. Pengiring Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai

Post-modernise. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Jendra, Wayan. 1998. Cara Mencapai Moksha di Zaman Kali. Denpasar: Yayasan

Dharma Naradha.

Keraf, Gorys. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Kutha-Ratna. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Kutha-Ratna. 2006. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maswinara, I Wayan. 1999. Dewa-Dewi Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita.

Munoz, Paul Michel. 2009. Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan

Semenanjung Malaysia; Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia

Tenggara (Jaman Prasejarah—Abad XVI).Yogyakarta: Mitra Abadi.

Nala, Gusti Ngurah dan IGK Adia Wiratmadja. 2012. Murddha Agama Hindu.

Denpasar: Upada Sastra.

Nantra, I Ketut dan I Made Atmaja. 2008. Nawa Sangga Tirthayatra Menyerap

Prana Suci Kahyangan. Surabaya: Penerbit Paramita.

Panuti-Sudjiman dan Aart van Zoest (ed). 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama.

Penyusun. 1985/1986. Kidung Jerum Kundangdya. Bali: Percetakan Naskah

Sastra Bali

Plato. 1986. Simposium Dialog Sokrates Tentang Hakekat Cinta. Bandung:

Penerbit Sinar Baru.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan

Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Punyatmaja, IB. 1992. Panca Çradha. Jakarta: Penerbit Yayasan Dharma Sarathi.

Pusat Bahasa. 2001. Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Balai Pustaka.

Putra, Ida Bagus Rai, dkk. 2013. Swastikarana Pedoman Ajaran Hindu Dharma

Parisada Hindu Dharma Indonesia. PT. Mabhakti.

Putra. - .Cudamani III kumpulan kuliah kuliah agama Hindu Bhakti Marga Cinta

Kasih dan Penyerahan Diri Kepada Tuhan. - .

R. Soekmono. 1985. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid 2.

Yogyakarta: Kanisius.

Ra, Anadas. 2008. Evolusi melalui Reinkarnasi dan Karma dari Tuhan kembali

kepada Tuhan. Surabaya: Penerbit Paramita.

Riffatere, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana

University Press.

S. Wojowasito. 1952. Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Jilid II. Jakarta: Siliwangi.

Santosa, Puji. 1990. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung:

Penerbit Angkasa.

Shipley, Joseph T. 1957. Dictionary of World Origins. Ames, Lowa: Littlefield,

Adams & Co.

Singh, Dharam Vir. 2007. Hinduisme Sebuah Pengantar. Surabaya: Penerbit

Paramita.

Slametmuljana. 1956. Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra. Bandung-Jakarta:

N.V.Ganaco.

Soedarsono, R.M. 1997. Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di

Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Suamba, I.B.Putu. 2003. Dasar-Dasar Filsafat India. Denpasar: PT. Mahabhakti.

Suamba, I.B.Putu. 2013. Pemikiran-Pemikiran Siwa-Buddha I Gusti Bagus

Sugriwa. Badung: Makalah dalam Rembug Sastra Memperingati 36 Tahun

Wafatnya I Gusti Bagus Sugriwa.

Suarjana, I Nyoman Putra. 2011. Sor-Singgih Basa Bali Ke-Bali-an Manusia Bali

dalam Dharma Papadikan, Pidarta, Sambrama Wacana dan Dharma

Wacana. Denpasar: Tohpati Grafika Utama.

Suarka, I Nyoman, dkk . 2005. Kajian Naskah Lontar Siwagama 2. Denpasar:

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan.

Suastika, I Made. 1997. Calonarang dalam Tradisi Bali. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Sudarsana, I.B.Putu. 2001. Ajaran Agama Hindu Makna Upacara Bhuta Yajnya.

Denpasar: Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Sukayana, I Nengah dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar: Balai Bahasa

Denpasar Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Sukesi-Adiwimarta, Sri. 1999. "Kidung Sunda (Sastra Daerah Jawa)", Antologi

Sastra Daerah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sukidin, dkk. 2003. Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Penerbit Insan Cendekia.

Sumardjo, Trisno. 2000. “Seni sebagai Tanggung Djawab” dalam Sejarah Sastra

Indonesia Abad XX, hal. 467 (Penyusun E. Ulrich Kratz). Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.

Surasmi, I Gusti Ayu. 2007. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar: CV. Bali Media

Adhikarsa.

Suwija, I Nyoman. 2012. Widia Sari. Denpasar: Sri Rama.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengiring Teori Sastra. Jakarta: Pustaka

Jaya-Girimukti Pasaka.

Teeuw, A.1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengiring Teori Sastra. Jakarta: PT

Dunia Pustaka Jaya.

Tim Penyusun Buku-buku Agama Hindu. 1992. Arti dan Fungsi Sarana Upakara.

Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.

Tim Penyusun. 1999. Śiwatattwa. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.

Tim Penyusun. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar:

Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali.

Tim Redaksi. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai

Pustaka.

Titib, I Made. 2004. Purāna Sumber Ajaran Hindu Komprehensip. Surabaya:

Penerbit Paramita.

Udayana, I Dewa Gede Alit. 2008. Tumpek Kandang Kearifan Lokal Bali untuk

Pelestarian dan Pengembangan Sumber Daya Ternak. Denpasar: Pustaka

Bali Post.

Watra, I Wayan. 2006. Filsafat Manusia dalam Perspektif Hindu. Surabaya:

Penerbit Paramita.

Wiana, I K. 2004. Mengapa Bali disebut Bali? Cet. I. Surabaya: Paramita.

Wiana, I K. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita.

Wicaksana, I Dewa Ketut dan Ni Komang Sekar Marheni. 2004. Buku Ajar

Tembang Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan Nasional Sekolah

Tinggi Seni Indonesia.

Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya. 2004. Makna Filosofis Upacara dan

Upakara. Surabaya: Penerbit Paramita.

Yudiantara, Kadek. 2001. Bayu Agung Rahasia Kekuatan Dasa Bayu dan Energi

Bhuvana Agung. Surabaya: Penerbit Paramita.

Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.

Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.

Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jilid I dan

II. Penerjemah Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.