hand-out kuliah patofisiologi 201210

17
PATOFISIOLOGI ASMA BRONKIAL Anang Endaryanto, Ariyanto Harsono Divisi Alergi Imunologi Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSU Dr. Soetomo DEFINISI GINA mendefinisikan asma secara lengkap sebagai berikut: gangguan inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel yang berperan, antara lain sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada waktu malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas dan bervariasi, sebagian besar bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap pelbagai rangsangan. DIAGNOSIS Asma Bronkial adalah penyakit obstruktif saluran nafas difus kronis dengan exaserbasi akute. Gejala utamanya adalah batuk pilek sesak pada waktu serangan, tanpa gejala diluar serangan. Diagnosis ditegakkan dengan : 1. Anamnesa 2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan foto torak 4. Pemeriksaan Laboratorium - IgE total - IgE specifik - uji kulit - RAST - Eosinofilia - eosinofil count > 300/emm - > 4% pada diff – count 5. Uji fungsi paru Uji paru sebagai sarana diagnosis pelengkap pada saat diluar serangan Asma. A. FEV 1 dan FVC Kuliah Patofisiologi 1

Upload: anisaaanr

Post on 16-Jan-2016

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ff

TRANSCRIPT

Page 1: Hand-out Kuliah Patofisiologi 201210

PATOFISIOLOGI ASMA BRONKIALAnang Endaryanto, Ariyanto Harsono

Divisi Alergi Imunologi Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSU Dr. Soetomo

DEFINISI

GINA mendefinisikan asma secara lengkap sebagai berikut: gangguan inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel yang berperan, antara lain sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada waktu malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas dan bervariasi, sebagian besar bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap pelbagai rangsangan.

DIAGNOSISAsma Bronkial adalah penyakit obstruktif saluran nafas difus kronis dengan exaserbasi akute. Gejala utamanya adalah batuk pilek sesak pada waktu serangan, tanpa gejala diluar serangan. Diagnosis ditegakkan dengan :1. Anamnesa2. Pemeriksaan fisik3. Pemeriksaan foto torak4. Pemeriksaan Laboratorium

- IgE total- IgE specifik - uji kulit

- RAST- Eosinofilia

- eosinofil count > 300/emm- > 4% pada diff – count

5. Uji fungsi paru

Uji paru sebagai sarana diagnosis pelengkap pada saat diluar serangan Asma.A. FEV1 dan FVC

pada Asma ringan nilainya > 80% prediksi normal Asma sedang 60 – 80% prediksi normal

Asma berat < 60% prediksi normalB. FEV1 Reversibility > 12%C. PEF Variability > 15%D. Exercise test penurunan FEV1 > 15%E. Bronkial Provocation test : untuk menentukan hipereaktifitas bronkus

PENCETUSAda beberapa faktor pencetus yang erat hubungannya dengan serangan asma, yaitu faktor alergen, keletihan, infeksi, ketegangan emosi, serta faktor lain seperti bahan iritan, asap

Kuliah Patofisiologi 1

Page 2: Hand-out Kuliah Patofisiologi 201210

rokok, refluks gastroesofagal, rinitis alergi, obat dan bahan kimia, endokrin, serta faktor anatomi dan fisiologi.

Alergen makananMakanan sebagai penyebab atopi khususnya dermatitis atopik dan serangan asma banyak ditemukan pada masa bayi dan anak yang masih muda. Pada bayi dan anak berumur di bawah 3 tahun terutama adalah alergi susu sapi, telur dan kedelai yang umumnya dapat mentolerir kembali sebelum anak berumur 3 tahun. Pada anak besar dan dewasa penyebab utama adalah ikan, kerang-kerangan, kacang tanah dan nuts dan penyebabnya ini sering menetap, walaupun demikian dapat diprovokasi tiap 6 bulan.

Alergen hirupAlergen di dalam rumah (indoors) seperti tungau debu rumah, bulu kucing, bulu anjing atau binatang peliharaan lainnya. Alergen ini banyak dijumpai di negara-negara tropis, juga terdapat di negara-negara dengan 4 musim.Tungau debu rumahTungau debu rumah (TDR), termasuk spesies laba-laba, banyak terdapat di dalam debu rumah, dan di tempat tidur. Di negara tropis TDR adalah penyebab utama penyakit alergi, khususnya asma bronkial, rinitis alergi dan belakangan ini diduga sebagai penyebab dermatitis atopik. TDR tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, bahkan dengan mikroskop pun sulit dilihat tanpa sinar dari samping. Untuk hidup, TDR jenis Dermatophagoides pteronyssinus diperlukan suhu sekitar 25-30oC, dengan kelembaban nisbi diatas 50% dan untuk jenis D. farinae dapat bertahan hidup sampai suhu 15oC dan kelembaban nisbi 40%. Populasi TDR banyak ditemukan pada permukaan kasur baik dari kapuk maupun dari busa, sebab untuk makanan TDR diperlukan serpihan kulit manusia.

Infeksi saluran napasSekitar 42% eksaserbasi asma dihubungkan dengan infeksi virus, terbanyak respiratory syncytial virus (RSV) pada masa bayi dan anak kecil dan parainfluenza virus pada anak yang lebih besar. Akibat infeksi virus terjadi kerusakan sel epitel saluran napas dan pajanan alergen pada reseptor aferen nervus vagus dan berakibat suatu bronkospasme dan serangan asma. Mengi pertama pada bayi perlu dipertimbangkan antara bronkiolitis atau sebagai serangan pertama asma. Keduanya bisa disebabkan oleh RSV dan sulit dibedakan satu dengan yang lain. Demikian pula pada perjalanan penyakit selanjutnya, dimana penderita dengan bronkiolitis mempunyai kemungkinan 3 kali lebih besar untuk berlanjut dengan mengi di kemudian hari dibandingkan anak normal. Infeksi bakteri umumnya jarang ada hubungannya dengan serangan asma.

EmosiEmosi dapat meningkatkan aktivitas saraf parasimpatikus, sehingga terjadi pelepasan asetilkolin dan mengakibatkan serangan asma. Faktor pencetus dapat bersumber dari masalah antara kedua orang tua, antara orang tua dengan anak, atau masalah dengan guru di sekolah.

Latihan jasmani

Kuliah Patofisiologi 2

Page 3: Hand-out Kuliah Patofisiologi 201210

Asma yang diinduksi latihan jasmani (Exercise Induced Asthma = EIA) dapat terjadi akibat lari bebas di udara yang dingin dan kering. Bila berlari di udara yang hangat dan lembab, EIA jarang timbul. Setelah berlari 2 menit umumya terjadi dilatasi bronkus dan anak merasa lebih enak, tetapi setelah berlari antara 5-8 menit terjadilah konstriksi bronkus (respons dini), dan pada beberapa pasien juga dapat diikuti dengan respons lambat antara 4-6 jam sesudah konstriksi bronkus yang pertama.

Faktor lain Bahan iritan. Iritan sebagai pencetus asma mencakup bau cat, hair spray, parfum,

udara dan air dingin, juga ozon dan bahan industri kimia yang dapat menimbulkan hiperreaktivitas bronkus dan inflamasi.

Asap rokok. Asap rokok mengandung beberapa partikel yang dapat dihirup, seperti hidrokarbon polisiklik, karbonmonoksida, nikotin, nitrogen dioksida, dan akrolein. Asap rokok atau asap obat nyamuk bakar dapat menyebabkan kerusakan epitel bersilia, menurunkan klirens mukosiliar, dan menghambat aktivasi fagosit serta efek bakterisid makrofag, sehingga terjadi hiperreaktivitas bronkus.

Refluks gastroesofagus. Refluks isi lambung ke saluran napas dapat memperberat asma pada anak dan merupakan salah satu penyebab asma nokturnal.

Obat dan bahan kimia. Aspirin dapat sebagai pencetus serangan asma melalui proses alergi dan non alergi. Angka kejadiannya pada orang dewasa adalah antara 4-28%, tetapi jarang pada anak. Obat lain yang perlu diperhatikan sebagai pencetus serangan asma adalah obat antiiflamasi seperti indometasin, ibuprofen, fenilbutason, asam mefenamat, dan -bloker. Bagi penderita yang alergi terhadap aspirin, mempunyai kemungkinan besar juga alergi terhadap bahan-bahan kimia seperti tartrazin (pewarna kuning untuk kapsul obat) dan sodium benzoat sebagai pengawet makanan atau minuman.

Hormon. Asma dapat timbul atau diperberat oleh menstruasi, segera sebelum atau setelah menstruasi. Pemakaian pil KB, terkadang dapat memperberat asma.

Interaksi pelbagai faktor pencetusSeringkali faktor pencetus tersebut timbul bersamaan, yang akan memperkuat mekanisme terjadinya asma. Misalnya, pasien asma tertentu hanya mengalami EIA (Exercise Induced Asthma) bila berolahraga pada udara dingin dan sewaktu serangan influensa. Pada pasien lain serangan asma terjadi akibat alergen tertentu dan sewaktu menderita influensa.

IMUNOPATOLOGI ASMA BRONKIALSesuai dengan definisi asma, maka hiperreaktivitas bronkus merupakan dasar terjadinya asma bronkial. Hiperreaktivitas bronkus adalah peningkatan respons bronkus dan penurunan ambang rangsang konstriksi bronkus terhadap pelbagai rangsangan, misalnya latihan fisis, udara dingin, alergen, dan zat-zat kimia, dan menimbulkan reaksi inflamasi. Derajat hiperreaktivitas bronkus bisa menetap atau makin berat bila terpajan pada faktor pencetus dalam jangka waktu lama. Besar kecilnya intensitas faktor pencetus untuk menimbulkan serangan asma sangat tergantung pada hiperreaktivitas bronkus. Makin berat derajat hiperreaktivitasnya, makin kecil intensitas faktor pencetus yang diperlukan untuk timbulnya serangan asma.

Kuliah Patofisiologi 3

Page 4: Hand-out Kuliah Patofisiologi 201210

Proses inflamasi saluran napas pasien asma tidak saja ditemukan pada pasien asma berat, tetapi juga pada pasien asma ringan, dan reaksi inflamasi ini dapat terjadi lewat jalur imunologik maupun nonimunologik.

Pada penderita Asma non atopi, mekanisme melalui rangsangan acetylcholine dimana GTP (Guanyl Tri Phosphate) akan dirubah menjadi CGMP (Cyclic Guanyl Mono Phosphate) yang menyebabkan bronko konstriksi. Pada penderita Asma atopi, mekanisme imunopatologinya seperti pada penyakit alergi yang lain dengan organ sasaran saluran pernafasan.

Patofisiologi penyakit alergi berhubungan dengan sel-sel inflamasi, mediator dan organ sasaran. Dahulu sel-sel mast dan mediatornya dianggap sebagai primadona dalam patofisiologi penyakit alergi. Belakangan ini terbukti bahwa sel-sel lain misalnya basofil, limfosit, monosit, netrofil dan eosinofil berperan secara terpisah maupun berinteraksi antar sel dan mediator-mediatornya.

Sel Mast dan BasofilPelepasan mediator dari sel mast dan basofil dapat disebabkan oleh beberapa stimulus1. alergen spesifik – IgE2. anafilatoksin3. lymphokine4. neuropeptide5. interferon6. platelet actifating factor7. adenosin8. 5-HETE, 5-HIPETE9. Prostaglandin D2Dengan proses ini beberapa mediator akan dilepaskan yaitu: histamin, SRS-A, PAF, ECF-A.

Histamin :

Histamin mempunyai efek biologis dilatasi pembuluh darah kecil, meningkatkan permeabilitas kapiler, konstriksi otot polos bronkus dan otot poloslain, merangsang kelenjar mukus dan ganglion neuron. Histamin juga sebagai mediator utama reaksi wheal and flare pada urikaria. Histamin kurang berperan pada asma, lebih berperanan pada rinitis.

Reaksi Alergi Cepat dan Lambat(Immediate and Late phase Alergic Reaction)

Reaksi alergi cepat, terjadi 15-60 menit setelah paparan alergen akibat dari degranulasi akut sel mast. Mediator yang paling berperan pada reaksi ini adalah histamin. Reaksi alergi lambat terjadi 3 – 4 jam setelah reaksi cepat. Pada fase ini infiltrasi eosinofil, netrofil dan monosit. Yang memegang peranan terutama eosinofil.

Kuliah Patofisiologi 4

Page 5: Hand-out Kuliah Patofisiologi 201210

Metabolit Asam Arakidonat (2,3,4).Dilepaskan sel mast dan sel yang lain yang terlibat di dalam reaksi alergi cepat oleh stimulus yang spesifik untuk tiap sel misalnya trombin untuk platelet, peptida kemotaktik untuk netrofil dan IgE untuk sel mast. Metabolit jalur lipoxygenase misalnya 5-HETE, LTB4, LTC4, LTD4, LTE4. Masing-masing metabolit mempunyai efek biologis tersendiri dalam proses alergi (Tabel 1).

Tabel 1. Efek Biologis Metabolit Asam ArakidonatMetabolit Sel Penghasil Efek Biologis

Jalur cyclooxygenasePGE - Sel mast - Meningkatkan PMN kemikinesis

- BronkokonstriksiPGE2 - Sel mast

- Makrofag- Meningkatkan c AMP- Menyebabkan panas- Meningkatkan permeabilitas kapiler- Bronkokonstriksi

PGF-alfa - Makrofag- Sel mast

- Merangsang guanilsiklase- Bronkokonstriksi

PGF1-alfa

- Makrofag- Sel mast

- Merangsang guanilsiklase- Bronkokonstriksi

TXA2 - Platelet- Makrofag- Sel mast

- Memblokade produksi c AMPoleh rangsangan PE

PG12 - Endotel waskuler- Makrofag- Sel mast

- Meningkatkan pemeabilitas kapiler- Meningkatkan kemokinesis- BronkokonstriksiJalur lipoxygenase

5-HETE - PMN- Sel mast

- Kemotaksis PMN- Peningkatan pelepasan histamin

LBT4 - PMN- Sel makrofag

- Kemotaksis PMN- Bronkokonsttiksi

LTC4 - PMN- Makrofag- Sel mast

- Bronkokonstriksi- Peningkatan permeabilitas kapiler

LTD4 - PMN - BronkokonstriksiLTE4 - PMN - Bronkokonstriksi kuat

Platelet Activating Factor (PAF)PAF adalah fosfolipidendogendengan efek toksik yang kuat, dihasilkan oleh basofil, eosinofil, netrofil dan platelet. PAF menyebabkan bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi sembab dan kebocoran plasma. PAF juga menyebabkan inflamasi seluler karena menyebabkan agregasi platelet, kemotaksis netrofil, kemotaksis eosinofil dan aktifasi monosit.

Kuliah Patofisiologi 5

Page 6: Hand-out Kuliah Patofisiologi 201210

CHEMOTACTIC FACTORS1. Neutrophil Chemotactic Factors (NCF)

Dilepaskan oleh sel mast oleh rangsangan antigen maupun latihan.2. Eosinophil Chemotactic Factors (ECF)

Dilepaskan oleh sel mast, merupakan penarik eosinofil yang lemah3. Lymphocyte Chemotactic Factors

Dilepaskan oleh sel mast, menarik limfosit dan limfosit B.

KININPada manusia Bradykinin, berperan pada renjatan anafilaktik dan asma

COMPLEMENTTerutama C5a bersifat sebagai anafilatoksin karena menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler berperan dalam urtikaria, serum sickness dan penyakit atopi yang lain.

LYMPHOCYTESLimfosit T berperan pada reaksi alergi oleh rangsangan alergen. Setelah rangsangan alergen limfosit T CD4 melepaskan lymphokin yang bersifat sebagai protein proinflamasi.Limfosit T terdiri dari TH1 dan TH2. TH1 membuat IL2, IL3,IFN gamma, TNF-beta, TNF alfa. Th2 membuat IL3, IL4,IL5,IL6, TNF alfa, GM-CSF. Limfokin ini mempunyai efek biologis tertentu pada organ sasaran (Tabel 2)

Tabel 2. Efek Biologis Sitokin pada Alergi

Interleukin Sel Penghasil Efek BiologisIL1 * Makrofag - Aktivasi lekositIL2 * Sel T - Aktivasi eosinofil

- Rangsangan pada sel B untuk pertumbuhan & pembuatan antibodi

IL3 * CD4 - Rumatan sel mast dan eosinofil pada saluran nafasIL4 * CD4 - Sintesa IgE proliferasi sel BIL5 * CD4 - Diferensial limfosit, priming eosinofil

- Memperpanjang usia eosinofil- Adesi eosinofil pada endotel

IL6 Fibroblast Makrofag

alveoli

- Sintesa IgE

IL7 - Sel stroma - Merangsang pertumbuhan sel pre B dan pre TIL8 - Makrofag

alveoli- Monosit

- Menarik neurotrofil, kemotaksis limfosit

IL9 - Sel T - Merangsang sel mast, maturasi eritrositIL10 - Sel T

- Sel B- Makrofag

- Menghambat sintesa limfokin- Proliferasi sel mast

Kuliah Patofisiologi 6

Page 7: Hand-out Kuliah Patofisiologi 201210

IL11 - Sel stroma - Pertumbuhan megakariosit dan- Sel plasma

IL12 - Sel B - Bersama IL3 meregulasi IFN gammaIL13 - Sel T - Aktiafasi monosit, proliferasi sel B

Cell Adhesion MoleculesAdhesion molecules adalah glikoprotein pada permukaan sel yang mengatur perjalanan dan perlekatan sel dari sel ke sel atau dari sel ke matriks jaringan.Berperan dalam pengerahan sel eosinofil, netrofil dan platelet bekerjasama dengan interleukin.Sel molekul adesi yang berperanan di dalam penyakit alergi adalah :- Intracellular Adhesion Molekul-1 (ICAM01)- Endothelial leukocyte Adhesion Molecule-1 (ELAM-1)- Vascular cell adhesion molekul-1(VCAM-1)- Leukocyte Adhesion molekul on lymphocytes, granulocytes and Macrophage

(LEUCAM) dan E-Selection.

EosinofilEosinofil merupakan efektor sel utama pada inflamasi saluran nafas. Hal ini terlihat dengan diketemukannya Creola bodies dan charcot-Leyden crystals pada sputum penderita asma. Mediator-mediator yang dikeluarkan oleh eosinofil adalah eosinophil cationic protein (ECP), eosinophil derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase (EPO), major basic protein (MBP) dan beberapa metabolit asam arakidonat LTc4, LTD4 dan PAF. Terutama MBP sangat berperan pada kerusakan mukosa (Gambar 1).Gambar.

Jalur nonimunologikPolutan seperti ozon dan asap rokok secara langsung menyebabkan kerusakan epitel saluran napas tanpa melalui reaksi imunologik, dengan akibat terpaparnya dan rangsangan pada ujung nervus vagus, demikian pula infeksi virus dapat menimbulkan hiperreaktivitas bronkus lewat jalur nonimunologik dan imunologik.

PERUBAHAN FISIOLOGI :

Sebagai akibat dari mediator dan sel inflamasi diatas maka dijumpai 4 komponen dalam patologi Asma yaitu sembab mukosa, bronko konstriksi, mukus “plug”/hipersekresi mucus dan hipereaktifitas bronkus/inflamasi1. Akibat terjadinya bronkonstriksi karena spasme otot polos :

Begitu penyempitan jalan napas berlangsung maka FVC, FEV1 , PEFR akan berkurang sedangkan RV meningkat. Ini akan berakibat hipoksemia dan hiperventilasi, pernapasan penderita menjadi berat. Hal ini juga terjadi pada pneumonia, atelektasis dan pneumotoraks.

2. Akibat edema sub mukosa : akan lebih memperburuk penyempitan jalan napas.3. Akibat hipersekresi mukus yang kental dalam saluran pernapasan.”Mucous plug” dan

“broncho spasme” terjadi tidak merata pada semua daerah sehingga mengakibatkan ventilasi yang tidak normal dan berakibat PO2 menurun. Hipoksemia bertambah buruk

Kuliah Patofisiologi 7

Page 8: Hand-out Kuliah Patofisiologi 201210

jika terjadi “Dead space”, yaitu bila ada alveoli yang biasanya mendapat ventilasi baik kemudian tidak mendapat ventilasi tetapi mendapat perfusi darah normal. Ini akan menimbulkan gejala “Right to Left Shunt”. Darah yang meninggalkan paru-paru hanya sedikit membawa O2 sehingga menyerupai campuran dengan darah vena. Kalau hal ini berlangsung terus akan terjadi “pulmonary hypertension”, hipertrofi ventrikel kanan, “cor pulmonale” akhirnya “cardiac failure”.

4. Akibat obstruksi “bronchus extrinsic” karena ekspirasi yang kuat terutama pada anak kecil karena dinding toraks yang lembek.

PERUBAHAN BIOKIMIAA. Hipoksemia : PO2 kurang dari 95 Torr. Ini disebabkan oleh kurangnya ventilasi dan

perfusi pada alveoli yaitu akibat terjadinya fenomena “right to left shunt”.B. Hiperkapnea : PCO2 lebih tinggi dari 40 Torr. Walaupun pada permulaan PCO2

menurun, berkisar antara 30-50 Torr, tapi karena ventilasi alveoler yang menurun progresif , mengakibatkan PCO2 meningkat (,7,9). Hiperkapnea menunjukkan adanya hipoventilasi, adalah fase akhir obstruksi bronkus. PCO2 lebih besar dari 60-70 Torr menyebabkan kesadaran menurun dan depresi pernapasan. Penderita bisa meninggal mendadak selama sedang tidur. PCO2 lebih dari 50 Torr sebaiknya penderita dipindahkan ke ICU untuk perawatan intensif.

C. Asidosis : pH kurang dari 7.35.“Respiratory acidosis” disebabkan karena retensi CO2 , biasanya terjadi sehubungan dengan adanya “metabolic acidosis” (‘base deficit” 4mEq/L atau lebih). Disebabkan oleh hipoksia jaringan sehingga asam-asam organik dan keto meningkat.Pengaruh “intake” kalori yang menurun karena muntah ditambah hipoksemia mengakibatkan dikeluarkannya cadangan glikogen, seterusnya akan timbul ketosis sehingga berakibat “metabolic acidosis”.Pada awal penyakit, keadaan ini dikompensasi oleh hiperventilasi dan “respiratory alkalosis”. Kemudian karena obstruksi jalan napas menghebat, dan kelelahan maka alveolar hipoventilasi yang mengakibatkan PCO2 meningkat dan terjadi kemudian “Respiratory acidosis”. Kenaikan PCO2 adalah sebuah tanda bahaya. Jika PCO2

meningkat maka PaO2 menurun, mengakibatkan arteriil pH menurun “”Respiratory acidosis”) yang memperberat “metabolic acidosis”. Akibatnya akan sangat fatal karena bisa terjadi “respiratory failure”, cardiac arrhythmia” dan “cardiao respiratory arrest”.

D. Dehidrasi dan Gangguan keseimbangan Elektrolit.Pada status asmatikus biasanya terjadi dehidrasi sekurang-kurangnya 5% dari berat badan karena beberapa hal :1. Muntah.2. “Intake” berkurang.3. “Insencibel water loss”.4. “Oxygen Consumption” yang meningkat.

Meningkatnya beban pernapasan akan meningkatkan pemakaian oksigen sebanyak 50% sebanding dengan kenaikan kebutuhan air dan kalori. Sehingga kebutuhan air diperhitungkan 50% lebih banyak dari kebutuhan basal.

5. “Diuretic Effect” dari obat-obat yang dipakai pada asma.

Kuliah Patofisiologi 8

Page 9: Hand-out Kuliah Patofisiologi 201210

Theophylin lazim dipakai pada pengobatan status asmatikus. Obat ini juga memiliki khasiat diuretik Pemberian kortikosteroid dalam jangka lama harus waspada adanya “adrenal insuffifficiency” dimana sering timbul hiponatremia dan hiperkalaemia. Sedangkan pemberian dosis tinggi selama serangan akan menyebabkan pengeluaran natrium dan air berkurang, sedang kehilangan kalium lebih banyak. Karena kehilangan air terbanyak adalah dari insecible water loss maka kehilangan natrium dan khlorida adalah sedikit, apalagi ditambah dengan steroid yang menahan ekskresi natrium dari ginjal. Yang diperlukan adalah “maintenance” natrium dengan selalu memantau kadarnya dalam darah.Faktor lain yang harus diperhatikan adalah Anti Diuretic Hormon. Kadarnya dalam darah meningkat oleh karena menurunnya tekanan pada “stretch receptor” dalam atrium kiri (7,(). Rangsangan ini menimbulkan stimulasi hipothalamus, menyebabkan sekresi vasopresin,pengeluaran urin dikurangi. Urin lebih pekat dengan volume yang lebih sedikit, sehingga pemberian cairan yang terlalu banyak bisa menyebabkan “water intoxication”, “hyponatremia”, “cerebral oedema” dan koma. Produksi urine tidak bisa dipakai sebagai tanda bahwa penderita mengalami dehidrasi.Tekanaan pleural seringkali negatif, bersama-sama faktor lain misalnya tekanan kapiler yang meningkat dan turunnya tekanan onkotik bisa menyebabkan “pulmonary oedema” yang akan memperburuk keadaan.

Tabel 3. Pembagian derajat penyakit asma pada anakParameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru

Asma episodik jarang(Asma ringan)

Asma episodik sering(Asma sedang)

Asma persisten(Asma berat)

1. Frekwensi serangan

2. Lama serangan

3. Intensitas serangan

4. Di antara serangan

5. Tidur dan aktivitas

6. Pemeriksaan fisis di luar serangan

7. Obat pengendali (anti inflamasi)

8. Uji faal paru (di luar serangan)

9. Variabilitas faal paru (bila ada serangan)

< 1 x / bulan< 1 minggu

biasanya ringantanpa gejalatidak terganggunormal (tidak ditemukan kelainan)tidak perlu

PEF / FEV1 >80%

variabilitas 20%

> 1 x / bulan 1 minggu

biasanya sedangsering ada gejalasering terganggumungkin terganggu (ditemukan kelainan)perlu, non steroid

PEF/ FEV1 60-80%

variabilitas 20-30%

SeringHampir sepanjang tahun (tidak ada remisi)biasanya beratgejala siang & malamsangat terganggutidak pernah normal

perlu, steroid

PEF / FEV1 < 60%

variabilitas > 30%

Kuliah Patofisiologi 9

Page 10: Hand-out Kuliah Patofisiologi 201210

Tabel 4. Tatalaksana asma jangka panjang

Derajat asma Pengendali (Controller) Pereda (Reliever)

Persisten berat Terapi harian:Anti inflamasi: kortikosteroid inhalasi (dosis tinggi) danBronkodilator kerja panjang: ß2 agonis inhalasi/tablet kerja panjang, theophylline sustained-release atau Kortikosteroid/Prednisone 2mg/kg/hari (max 60 mg perhari)Anti inflamasi: kortikosteroid inhalasi (dosis rendah atau dosis tinggi)

Bronkodilator kerja cepat: ß2 agonis inhalasi Intensitas terapi tergantung pada seringnya eksaserbasi

Persisten sedang Terapi harian:Anti inflamasi: salah satu dari kortikosteroid inhalasi (dosis rendah) atau cromolyn atau nedokromil (anak-anak biasanya dimulai dari kromolin atau nedokromil). Dan jika diperlukan:Bronkodilator jangka panjang: salah satu dari 2-agonis inhalasi atau tablet kerja panjang, theophylline sustained-release atau leukotriene receptor antagonist (LRA)

Bronkodilator kerja cepat: ß-2 agonis inhalasi untuk mengatasi gejala. Meski demikian, penggunaan ß-2 agonis lebih dari 3-4 kali perhari atau penggunaan teratur setiap hari mengindikasikan perlunya pengobatan tambahan

Episodik ringan Tidak diperlukan terapi harian Bronkodilator kerja cepat: ß2 agonis inhalasi untuk mengatasi gejala. Intensitas terapi tergantung pada seringnya eksaserbasi ß2 agonis inhalasi, cro-molyn sebelum olahraga

KEPUSTAKAAN :

1. Bierman CW; Shapiro GG, Furukawa CT; Pierson WE: Status Asthmaticus. The critically ill child 3rd Ed Philadelphia WB Saunders 1985 : 299

2. Durham SR;Till SY: Immunologic changes associated with allergen immunotherapy.J Allergy Clin Immunol 1998,102:876-877.

3. Eliss EF. Asthma in Infancy and Childhood. Dalam: Adkinson NF, penyunting. Middleton’s Allergy. Principles and Practice. 6th ed. St Louis 2003, pp 1225-62.

4. Frankel DJ; Halgate ST: Etiology of Asthma : Pathology and mediators, Allergy Asthma and Immunology from infancy to Adulthood, 3rd Ed, Philadelphia, WB Saunders 1996 : 443 – 471.

Kuliah Patofisiologi 10

Page 11: Hand-out Kuliah Patofisiologi 201210

5. Galants SP : Status Asthmaticus. Quick Reference to Pediatric Emergencies 3 rd Ed. Philadelphia JB Lippincott 1978: 27 – 31.

6. Global initiative for Asthma (GINA). Global Strategy for Asthma Management and Treatment NHBL1/WHO workshop report 1995

7. Harsono A; Endaryanto A;Faizi M: Immunomodulatory effects of of human milk upon immune function in infants.Paediatr Indones 1999,39:243-250.

8. Harsono A; Partana JS;Partana L:The Allergy management of Bronchial Asthma in Children in Surabaya.Paediatr Indones 1990,30:266-269.

9. Kravanth RE: Asthma : Water and electrolytes in Pediatrics Philadelphia WB Saunders 1982 : 206 – 211.

10. Larche M, Robinson DS, Kay AB. The role of T lymphocytes in the patogenesis of asthma. J Allergy Clin Immunol. 2003; 111:450-463.

11. Lemanske RF, Busse WW. Asthma. J Allergy Clin Immunol. 2003; 111:S502-S519.12. Lemanske RF, Green CG. Asthma in Infancy and Childhood. Dalam: Middleton E Jr,

Ellis EF, penyunting. Allergy, Principle & Practice. 5th ed. St Louis, Mosby 1998, pp 877-900.

13. Lenny DYM: Allergic Immune Response, in : Bierman CW, Pearlman DS, Shapiro GG (eds) : Allergy Asthma and Immunology from infancy to Adulthood, 3 rd Ed, Philadelphia, WB Saunders 1996 : 68 – 78.

14. Pearlman DS, Bierman CW: Allergic disorders in Stichm ER (Ed) : Immunology disorders in infants & children 4th Ed, Philadelphia WB Saunders 1996 : 603 – 643.

15. Saner S: Morley J, Smith D :L Properties of PAF relevant to Asthma in : Isolm G, Moerley J (eds) : PAF in Asthma, London, Academic Press, 1995 : 59 – 76.

16. Sigal LH; Rony. The Prostaglandins, leukotrienes, lipoxins and Platelet activating Factors. Immunology and inflamation New York, Mc Grant Hill 1995 : 271 – 286.

17. Siwik JP, Nowak RM, Zoratti EM. The evaluation and management of acute, severe asthma. Med Clin Amer. 2002;86

18. UKK Pulmonologi. Konsensus Nasional Asma Anak. PP IDAI, Jakarta 2000.19. Warner JO. Guidelines for treatment of asthma. Dalam: Leung DYM, Sampson HA,

Geha RS, Szefler SJ, penyunting. Pediatric Allergy; Principles and practice. St Louis 2003,pp 350-356.

Kuliah Patofisiologi 11