ham

Upload: daniel-derian

Post on 05-Jan-2016

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ok

TRANSCRIPT

TEMPO.CO, Jakarta - Dera Nur Anggraini, bayi yang baru berusia enam hari, meninggal lantaran sakit pada saluran pencernaannya. Ironisnya, Dera meninggal setelah ditolak oleh 10 rumah sakit yang diminta menangani operasinya."Sejak lahir pada Ahad, 10 Februari 2013, Dera divonis sakit di saluran pencernaan," kata ayah Dera, Eliyas Setia Nugroho, ketika ditemui di rumahnya, di daerah Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Senin, 18 Februari 2013. Dera dilahirkan dalam kondisi kembar. Saudara kembarnya, Dara Nur Anggraini, saat ini menjalani perawatan di Rumah Sakit Tarakan.Dera lahir di Rumah Sakit Zahira, Pasar Minggu. Dia dan kembarannya lahir dengan cara operasi caesar. Saat itu umur kandungan ibu bayi, Lisa Dera Wati, baru masuk tujuh bulan. Pasangan ini menikah pada 2012 lalu.Dera yang lahir dengan berat 1 kilogram ini langsung dinyatakan sakit dan harus dioperasi. Sayangnya, Rumah Sakit Zahira tidak mampu karena keterbatasan alat. Akhirnya, rumah sakit membuat surat rujukan untuk rumah sakit lain.Eliyas ditemani ayahnya pada Senin, 11 Februari 2013, langsung mencari rumah sakit. Pertama mereka ke Rumah Sakit Fatmawati, tapi ditolak. Mereka tidak menyerah dan membawa Dera ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. "Di sini kami ditolak karena alasan penuh," katanya.Mereka kemudian lanjut ke Rumah Sakit Harapan Kita, dan ditolak dengan alasan yang sama: penuh. Lelaki yang sehari-hari berjualan kaus kaki di pasar malam ini kemudian ke Rumah Sakit Harapan Bunda. Di sana mereka dimintai uang Rp 10 juta untuk uang muka.Hari berikutnya, Eliyas pergi ke Rumah Sakit Triadipa, Rumah Sakit Asrih, dan Rumah Sakit Budi Asih. Ketiga rumah sakit ini pun menolak. Alasannya, ruangan penuh, bahkan ada yang minta uang muka juga. Kemudian mereka ke Rumah Sakit Jakarta Medical Centre, dan ditolak juga. Terakhir mereka ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, yang juga ditolak.Akhirnya, pada Sabtu, 16 Februari 2013, pukul 18.30 WIB, Dera mengembuskan napas terakhir. Dia meninggal di Rumah Sakit Zahira. Eliyas berharap kejadian seperti ini tidak terulang kembali. "Rakyat kecil seperti kami memang serba sulit jika terbentur dengan ekonomi," katanya.Eliyas sendiri memang belum memiliki Kartu Jakarta Sehat. Hanya, saat dirawat di Zahira, keluarga ini sudah dibebaskan biaya. Mereka membawa KTP dan kartu keluarga serta surat keterangan tidak mampu.Adapun juru bicara Rumah Sakit Fatmawati, Lia Partakusuma, menjelaskan bahwa keluarga Dera memang sempat datang. "Keluarga bertanya ada tidaknya alat bantu makan (NICU)," ujarnya ketika dihubungi.Lia mengatakan, rumah sakit memang memiliki alat tersebut, tapi jumlahnya hanya satu unit. "Kami tawarkan untuk waiting list karena memang sedang dipakai oleh pasien di IGD," ujarnya.Rumah sakit lain belum dikonfirmasi mengenai kasus in

JAKARTA (Lampost.Co): Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Otto Nur Abdullah mengatakan sikap rumah sakit terhadap bayi Dera Nur Anggraini merupakan pelanggaran terhadap hak hidup. "Sikap rumah sakit terhadap bayi Dera merupakan pelanggara HAM. Tepatnya terkena Pasal 62 UU no 39/1999 tentang HAM, yang menyatakan bahwa 'setiap anak berhak utk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya',"kata Otto, Jakarta, Rabu (20-2).

Untuk itu, ia meminta agar Kementerian Kesehatan membina dan mengawasi manajemen RS agar tidak ada lagi pembiaran terhadap hak hidup pasien. "Kementerian Kesehatan harus membina dan mengorientasikan, serta mengawasi manajemen rumah sakit agar sejalan dengan amanat konstitusi 45, Pasal 28B, ayat 2 tentang 'setiap anak berhak atas kelangsung hidup'," kata dia. Metrotvnews/U-4

BPJSAnggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Muhammad Ihsan, menilai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kurang memperhatikan hak anak. Pasalnya, dalam peraturan perundang-undangan yang ada terkait BPJS, Ihsan tak melihat ada ketentuan yang mengatur khusus tentang hak anak atas kesehatan. Sekalipun menyinggung soal anak, peraturan itu hanya menyebut secara umum, tanpa menjelaskan secara detail pelayanan kesehatan seperti apa yang diperoleh anak.Lalu, bagaimana dengan anak yang tak punya orang tua? Ihsan mengaku bingung apakah tercakup BPJS Kesehatan atau tidak. Menurutnya, peraturan pelaksana BPJS Kesehatan yang ada saat ini, baik itu Peraturan Pemerintah tentang Penerima Bantuan Iuran (PP PBI) dan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan (Perpres Jamkes) tak menjawab pertanyaannya itu. Misalnya, dalam PP PBI, ketentuan yang termaktub di dalamnya hanya menekankan bahwa PBI ditujukan untuk fakir miskin dan orang tidak mampu.Padahal, Ihsan melanjutkan, dalam konstitusi disebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Mengacu hal itu, Ihsan mengatakan mestinya peraturan perundang-undangan terkait BPJS memperhatikan amanat konstitusi tersebut. Sehingga hak anak ikut terjamin dan terlindungi.Awalnya, Ihsan mengira BPJS akan mencakup seluruh anak Indonesia untuk mendapat pelayanan kesehatan. Namun, melihat peraturan perundang-undangan BPJS yang ada, Ihsan tak yakin hal itu tercapai.Atas dasar itu, dalam waktu dekat, Ihsan menyebut KPAI akan mengkaji sejauh mana BPJS perlu mencakup hak anak Indonesia. Hasilnya nanti akan digunakan sebagai masukan bagi pihak terkait untuk merevisi peraturan pelaksana BPJS atau UU BPJS itu sendiri.IIhsan berpendapat BPJS sangat penting untuk memenuhi salah satu hak dasar anak yaitu kesehatan. Mengingat kasus kematian anak karena tak mendapat pelayanan kesehatan atau ditolak rumah sakit kerap terjadi, maka keberadaan BPJS menurutnya semakin dibutuhkan.Pada kesempatan yang sama, aktivis Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan (Elkape), German Anggent, mengatakan selama ini BPJS selalu diidentikkan dengan kepentingan pekerja. Padahal, mengacu UU SJSN dan UU BPJS, BPJS dibentuk dan diselenggarakan untuk seluruh rakyat Indonesia. Namun, sejak pembentukan UU BPJS, dia menilai pemerintah tak serius dalam menggagas pembentukan peraturan itu.Ketidakseriusan itu menurut Anggent juga terlihat dari isi PP PBI dan Perpres Jamkes yang dinilai minim mengatur hak anak. Padahal dalam rancangan sebelumnya, dijelaskan cukup rinci terkait hak anak. Misalnya, jika seorang pekerja menjadi peserta BPJS, maka tiga orang anaknya tercakup BPJS. Namun, dalam peraturan pelaksana BPJS yang ada saat ini, hal tersebut tak dimasukkan.Oleh karena itu Anggent menyebut serikat pekerja sudah membuat kajian akademis atas PP PBI dan Perpres Jamkes. Serta sudah membuat rancangan perbaikan untuk merevisi peraturan pelaksana itu.Komisi IX DPR, lanjut Anggent, juga berjanji akan membantu serikat pekerja untuk mendorong pemerintah merevisi peraturan pelaksana itu. Salah satunya dengan membentuk Pansus. Menurutnya, langkah untuk mengajukan uji materi dapat dilakukan, namun untuk saat ini hal itu belum menjadi prioritas.Pasalnya, jika uji materi itu dilakukan Anggent khawatir akan menghambat pelaksanaan BPJS Kesehatan yang bakal dilaksanakan pada 2014 nanti. Anggent menilai BPJS diperlukan untuk mencakup seluruh anak, khususnya anak terlantar atau tak mampu. Pasalnya, dia memantau berbagai macam kasus yang selama ini dialami anak kerap menimpa anak dari keluarga miskin.Untuk itu Anggent menilai peran KPAI penting untuk mengkaji BPJS terkait dengan hak-hak anak. Mengingat saat ini revisi peraturan pelaksana BPJS menjadi salah satu agenda yang dituntut serikat pekerja, maka masukan dari KPAI untuk revisi itu sangat diperlukan. Itu kesempatan untuk memasukkan kepentingan anak dalam BPJS, katanya.

Latar Belakang Kebijakan BPJSSalah satu tujuan pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata menjangkau seluruh rakyat. Dinamika pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan berikut tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan. Salah satunya adalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik yang tertuang dalam TAP Nomor X/MPR/2001, yang menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN maka bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki system jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 5 Undang-Undang tersebut mengamanatkan pembentukan badan yang disebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang harus dibentuk dengan Undang-Undang.Pada tanggal 25 November 2011, ditetapkan Undang-Undang No 24 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan sosial yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014BPJS merupakan badan hukum dengan tujuan yaitu mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan untuk terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Dalam penyelenggaraannya BPJS ini terbagi menjadi dua yaitu BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan (Tabrany, 2009). Dengan ditetapkannya BPJS dua anomaly penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia yang bertentangan dengan prinsip-prinsip universal penyelenggaraan jaminan sosial di dunia akan diakhiri. Pertama, Negara tidak lagi mengumpulkan labadari iuran wajib Negara yang dipungut oleh badan usaha miliknya, melainkan ke depan Negara bertangungjawab atas pemenuhan hak konstitusional rakyat atas jaminan sosial. Kedua, jaminan sosial Indonesia resmi keluar dari penyelenggaraan oleh badan privat menjaadi pengelolaan oleh badan publikImplementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2011 Mengenai BPJSPada tanggal 1 januari 2014 mulai diberlakukan BPJS kesehatan di seluruh pelayanan kesehatan di Indonesia. Ujicoba BPJS sudah mulai dilaksanakan sejak tahun 2012 dengan rencana aksi dilakukan pengembangan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan dan perbaikan pada system rujukan dan infrastruktur. Evaluasi jalannya Jaminan Kesehatan nasional ini direncanakan setiap tahun dengan periode per enam bulan dengan kajian berkala tahunan elitibilitas fasilitas kesehatan, kredensialing, kualitas pelayanan dan penyesuaian besaran pembayaran harga keekonomian. Diharapkan pada tahun 2019 jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan mencukupi, distribusi merata, system rujukan berfungsi optimal, pembayaran dengan cara prospektif dan harga keekonomian untuk semua penduduk. Pelaksanaan UU BPJS melibatkan PT ASKES, PT ASABRI, PT JAMSOSTEK dan PT TASPEN. Dimana PT ASKES dan PT JAMSOSTEK beralih dari Perseroan menjadi Badan Publik mulai 1 januari 2014. Sedangkan PT ASABRI dan PT TASPEN pada tahun 2029 beralih menjadi badan public dengan bergabung ke dalam BPJS ketenagakerjaan.Masalah Yang Timbul Saat Implementasi Kebijakan BPJSPelayanan kesehatan BPJS mempunyai sasaran didalam pelaksanaan akan adanya sustainibilitas operasional dengan memberi manfaat kepada semua yang terlibat dalam BPJS, pemenuhan kebutuhan medik peserta, dan kehati-hatian serta transparansi dalam pengelolaan keuangan BPJS. Perlu perhatian lebih mendalam dalam pelaksanaan terhadap system pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System), system pembayaran (Health Care Payment System) dan system mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System). Mengingat pelaksanaan BPJS dikeluarkan melalui Undang-Undang dimana bersifat mengatur sedangkan proses penetapan pelaksanaan diperkuat melalui surat keputusan atau ketetapan dari pejabat Negara yang berwenang seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden setidaknya minimal 10 regulasi turunan harus dibuat untuk memperkuat pelaksanaan BPJS.Saat ini masalah banyak yang muncul dari implementasi BPJS (Gunawan, 2014) yaitu :1. System pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System)a. Penolakan pasien tidak mampu di fasilitas pelayanan kesehatan hal ini dikarenakan PP No. 101/2012 tentang PBI jo. Perpres 111/2013 tentang Jaminan kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI padahal menurut BPS (2011) orang miskin ada 96,7 juta. Pelaksanaan BPJS tahun 2014 didukung pendanaan dari pemerintah sebesar Rp. 26 trliun yang dianggarkan di RAPBN 2014. Anggaran tersebut dipergunakan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp. 16.07 trliun bagi 86,4 juta masyarakat miskin sedangkan sisanya bagi PNS, TNI dan Polri. Pemerintah harus secepatnya menganggarkan biaya kesehatan Rp. 400 milyar untuk gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo dan penghuni lapas (jumlahnya sekitar 1,7 juta orang). Dan tentunya jumlah orang miskin yang discover BPJS kesehatan harus dinaikkan menjadi 96,7 juta dengan konsekuensi menambah anggaran dari APBN.b. Pelaksanaan di lapangan, pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas klinik) maupun PPK II (Rumah Sakit) sampai saat ini masih bermasalah. Pasien harus mencari-cari kamar dari satu RS ke RS lainnya karena dibilang penuh oleh RS, bukanlah hal yang baru dan baru sekali terjadi.2. System pembayaran (Health Care Payment System)a. Belum tercukupinya dana yang ditetapkan BPJS dengan real cost, terkait dengan pembiayaan dengan skema INA CBGs dan Kapitasi yang dikebiri oleh Permenkes No. 69/2013. Dikeluarkannya SE No. 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan untuk memperkuat Permenkes No.69 ternyata belum bisa mengurangi masalah di lapangan.b. Kejelasan area pengawasan masih lemah baik dari segi internal maupun eksternal. Pengawasan internal seperti melalui peningkatan jumlah peserta dari 20 juta (dulu dikelola PT Askes) hingga lebih dari 111 juta peserta, perlu diantisipasi dengan perubahan system dan pola pengawasan agar tidak terjadi korupsi.Pengawasan eksternal, melalui pengawasan Otoritas jasa Keuangan (OJK), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK) masih belum jelas area pengawasannya.3. System mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System)a. Keharusan perusahaan BUMN dan swasta nasional, menengah dan kecil masuk menjadi peserta BPJS Kesehatan belum terealisasi mengingat manfaat tambahan yang diterima pekerja BUMN atau swasta lainnya melalui regulasi turunan belum selesai dibuat. Hal ini belum sesuai dengan amanat Perpres No. 111/2013 (pasal 24 dan 27) mengenai keharusan pekerja BUMN dan swasta menjadi peserta BPJS Kesehatan paling lambat 1 Januari 2015. Dan regulasi tambahan ini harus dikomunikasikan secara transparan dengan asuransi kesehatan swasta, serikat pekerja dan Apindo sehingga soal Manfaat tambahan tidak lagi menjadi masalah.b. Masih kurangnya tenaga kesehatan yang tersedia di fasilitas kesehatan sehingga peserta BPJS tidak tertangani dengan cepat.

TEMPO.CO, Sleman - Majelis Jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia Pangukan, Tridadi, Sleman, melaporkan perusakan bangunan yang digunakan sebagai tempat ibadah ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin 2 Juni 2014. Perusakan oleh massa berjubah dan berpeci terjadi pada Ahad, 1 Juni 2014."Kami melaporkan kasus perusakan tempat ibadah kami," kata salah satu pengurus gereja, Yosias Imar, di Markas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 2 Juni 2014. (Baca: Warga Sleman Bubarkan Ibadah Umat Kristen)Sedikitnya enam orang melaporkan kejadian itu. Termasuk pemilik bangunan dan pendeta, yaitu Nico Lomboan.Meskipun izin mendirikan bangunan (IMB)-nya untuk rumah, tempat itu digunakan untuk ibadah sejak 1990. Dan, saat direnovasi menjadi bangunan mirip gereja pada 2010, masyarakat menolak kemudian masalah ini berlarut hingga ada penyegelan sejak 2012 lalu.Untungnya, saat jemaat beribadah dan diminta bubar oleh warga, tidak ada yang bentrok secara fisik meskipun ada ketegangan pada pagi hari. Namun pada siang hari datang sekelompok orang yang justru merusak pagar seng dan memecahkan kaca dengan lemparan batu dan palu besar.Padahal saat itu polisi dibantu tentara sudah berjaga. Namun massa nekat dan merusak bangunan.Para jemaat mayoritas adalah warga Indonesia timur yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka tidak terima tempat yang mereka gunakan untuk ibadah dirusak massa.Selama tiga tahun, kata Nico, saat rumah yang sudah diwakafkan ke gereja itu bermasalah, jemaat selalu berpindah tempat untuk ibadah. Selama tiga tahun itu pula jemaat yang berjumlah 120 orang tersebut berpindah tempat setiap minggu.Penyerangan ini bermula ketika para jemaat membuka segel bangunan itu. Sebenarnya saat itu masih hangat kasus penyerangan umat Katolik saat berdoa Rosario di Perumahan STIE YKPN di Ngaglik, Sleman. Ketika kasus ini belum selesai, para jemaat Kristen tersebut justru membuka segel bangunan dan beribadah di tempat itu. Warga pun meminta mereka bubar. (Baca: Kronologi Penyerangan Rumah Ibadah Kristen Sleman)Menurut Nico, pembukaan bangunan itu bukan merupakan rancangan atau pancingan untuk memperkeruh suasana. Para jemaat hanya ingin beribadah di lokasi itu meski harus membuka segel. "Tidak ada hubungannya dengan kasus itu. Kami hanya ingin beribadah," kata Nico.Diduga massa yang merusak bangunan itu adalah massa dari Front Jihad Islam (FJI) Yogyakarta. Pada siang hari, massa datang dan melempari kaca dengan batu dan palu besar.Dugaan keterlibatan massa dari FJI itu diakui oleh Komandan FJI Durahman. Ada sebagian anggotanya yang ikut dalam penyerangan bangunan itu. Sejak awal organisasinya memang mengawal kasus penggunaan rumah yang difungsikan sebagai gereja di Pangukan tersebut."Kalau mereka melapor ke polisi, kami siap bertanggung jawab. Kami juga akan melaporkan balik karena mereka jelas menyalahi aturan dan kesepakatan dua tahun lalu," kata Durahman.TEMPO.CO,Sleman- Tindak kekerasan dan intoleransi beragama terjadi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jemaat Santo Fransiscus Agung Gereja Banteng, Ngaglik, Sleman, yang sedang beribadah diserang oleh sekelompok pria bergamis bersenjata tajam.Kejadian itu terjadi pada Kamis malam, 29 Mei 2014. Acara kebaktian digelar di rumah Direktur Galang Press Julius Felicianus, 54 tahun, di Perumahan YKPN Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Yogyakarta.Julius dikeroyok oleh banyak orang bergamis. Akibatnya, ia mengalami luka di kepala dan tulang punggungnya retak. "Luka sudah dijahit, tulang punggung sebelah kiri patah, dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih," kata Julius, Jumat, 30 Mei 2014. (Baca:245 Kasus Intoleransi di Indonesia Dalam Setahun)Tindakan brutal sekelompok massa dengan senjata tajam dan tumpul itu merupakan tindak anarkis dan intoleran dalam kehidupan beribadah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa waktu lalu kejadian serupa juga terjadi di Gunung Kidul, yakni berupa penutupan sebuah gereja dan penganiayaan terhadap aktivis lintas agama.Peristiwa kekerasan ini berawal saat ibadah di rumah Julius digelar pada pukul 19.00 WIB. Satu jam kemudian, sekitar pukul 20.20 WIB, tiba-tiba sekelompok orang bergamis datang dan langsung melempari rumah Julius dengan batu. Lalu mereka juga merusak rumah Julius. (Baca:Ormas, Mayoritas Pelanggar HAM di Yogyakarta)Saat kejadian, Julius belum pulang dan masih berada di kantornya. Setelah diberitahu, ia pulang. Namun, sesampainya di rumah, ia justru dihadang gerombolan itu dan dikeroyok hingga terluka. "Sekitar delapan orang mengeroyok saya," kata dia.Akibat kejadian itu, ia merasa keluarganya terancam. Polisi harus melindungi. Julis mengaku tidak harus melapor ke polisi atas kejadian itu. Namun, polisilah yang harus menindaklanjuti kasus yang jelas sudah terjadi itu.Selain menganiaya Julius, sekelompok massa itu juga menganiaya jemaat. Ada yang didipukuli dengan kayu, besi, dan bahkan ada pula yang disetrum.Michel Aryawan, wartawan Kompas TV yang meliput kejadian itu, juga dihajar oleh kelompok massa itu. Kameranya bahkan dirampas oleh mereka. "Rumah saya dekat dengan lokasi. Saat ada keributan saya datang, tetapi justru dianiaya. Saya akan lapor ke Polda siang ini," kata Mika, panggilan Michel.Pada dasarnya setiap orang dilarang melakukan aborsi, demikian yang disebut dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan"). Namun, larangan tersebut dikecualikan berdasarkan [Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan]:a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; ataub. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.Menjawab pertanyaan Anda yang pertama, dari sini dapat kita ketahui bahwa aborsi itu legal untuk dilakukan terhadap kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Namun, tindakan aborsi akibat perkosaan itu hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang sebagaimana disebut dalam Pasal 75 ayat (3) UU Kesehatan.Adapun sanksi bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar sebagaimana disebut dalam Pasal 194 UU Kesehatan. Lebih lanjut mengenai pidana terkait aborsi, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Ancaman Pidana Terhadap Pelaku Aborsi Ilegal.Sebagai pelaksana dari UU Kesehatan, kini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (PP 61/2014). Ketentuan legalitas aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini diperkuat dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP 61/2014 yang antara lain mengatakan bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan kehamilan akibat perkosaan dan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.Kehamilan akibat perkosaan itupun juga harus dibuktikan dengan [Pasal 34 ayat (2) PP 61/2014]:a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; danb. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.Adapun yang dimaksud dengan ahli lain berdasarkan penjelasan Pasal 34 ayat (2) huruf b PP 61/2014 antara lain dokter spesialis psikiatri, dokter spesialis forensik, dan pekerja sosial.Aborsi kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab. Hal ini disebut dalam Pasal 35 ayat (1) PP 61/2014. Ini berarti, pada pengaturannya, wanita hamil yang ingin melakukan aborsi berhak untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab.Di samping itu, hak-hak wanita korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi tercermin dalam pengaturan Pasal 37 PP 61/2014 yang pada intinya mengatakan bahwa tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan melalui konseling, yakni pra konseling dan pasca konseling. Adapun tujuan pra konseling adalah (Pasal 37 ayat (3) PP 61/2014):a. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;b. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya;d. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi; dane. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.Sedangkan konseling pasca tindakan dilakukan dengan tujuan (Pasal 37 ayat (4) PP 61/2014):a. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;b. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi;c. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan; dand. menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.Dari tujuan-tujuan di atas sekiranya dapat kita peroleh hak-hak wanita korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi, antara lain yaitu hak untuk mendapatkan kejelasan apakah tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan, hak untuk mendapatkan kejelasan tahapan tindakan aborsi dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya, hak untuk memutuskan apakah aborsi dilakukan atau dibatalkan, hak untuk dievaluasi kondisinya setelah melakukan aborsi, dan sebagainya.Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi, korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan, demikian dikatakan dalam Pasal 38 ayat (1) PP 61/2014.Sekedar tambahan informasi untuk Anda, di luar hal-hal yang berkaitan dengan aborsi, hak lain yang juga didapat oleh wanita korban perkosaan yaitu mendapatkan pelayanan kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan. Hal ini disebut dalam Pasal 24 ayat (1) PP 61/2014.