halaman 24. 14-mei 2012

1
LAYOUT: SURYA REDAKTUR: MISWANTO SOCIETY KAMIS 14 JUNI 2012 Dumai Pos 24 Ketika Era Digital "Menggilas" Fotografer Keliling 40 Tahun Berkeliling, Berganti 18 Kamera dan Delapan Sepeda Kamera analog tua menggantung di dada lelaki yang juga sudah mulai menua. Bustamil Arifin, 62 tahun, begitulah nama lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang foto keliling. Sudah hampir 40 tahun profesi yang ‘langka’ ini digelutinya. Beberapa bagian elemen kamera yang disan- dangnya pun sudah mulai berkarat. Ini adalah kamera kedelapanbelas miliknya. Ia begitu menyayangi kamera ‘pemberi makan’ keluarganya itu. Bak bayi di terik mentari, Bustamil menyelimuti kamera-nya dengan selem- bar sapu tangan. Laporan YON RIZAL SOLIHIN, Dumai TOPI hitam berpadu biru, tak mampu menahan angin yang menghembus rambut Bustamil yang mulai memutih. Ia bergegas meninggalkan rumahnya di Ja- lan Al Mubin Ujung RT 19, Gang Timur No 15, Kelurahan Teluk Binjai, Kecamatan Dumai Timur di suatu pagi menjelang siang. Sehari sebelumnya, ayah de- lapan anak kelahiran 13 Maret 1950, Kayu Tanam, Kabupaten Pariaman, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) mencuci satu rol film di studio foto langganannya di Jalan Hasanudin, kawasan Sukajadi. Tapi, karena mendapat kabar bahwa esok hari ada acara yang digelar sebuah organisasi masyarakat di Gedung Serba Guna, eks Kantor Wali Kota Lama, Jalan HR Soebrantas, ia pun membeli dua rol film untuk persiapan. Bagi suami Efli Zuriyati (54) kegiatan seperti ini merupakan berkah tersendiri. Sayang, mo- men-momen seperti itu tidaklah terjadi setiap hari. Tapi, bagi Bustamil, tidaklah menjadi persoalan serius. Karena sepeda sport tua warna hijau yang mulai kusam siap mengantarnya ke ma- na pun ia suka. Ini adalah sepeda kedelapan yang digunakannya selama menggeluti profesi tukang foto keliling. Seperti hari biasanya. Sebelum menuju ke tem- pat acara, kendaraan be- bas polusi itu dikayuhnya menelusuri Kota Dumai, masuk dari satu kampung ke perkampungan lainnya menawarkan jasa. Matahari perlahan me- ninggi. Sinarnya tak lagi jatuh miring. Bayangan pohon mahoni yang ber- jejer di sepanjang ruas jalan utama kian men- dekat ke batang. Menjelang siang, Bus- tamil menyekakan lengan baju panjang bewarna biru telur asin ke dahinya, men- gurangi tetesan keringat yang membuat matanya memicing. Sang surya kian terik, silau, membuat picingan mata lelaki tua itu kian rapat. Ia tetap mengayuh sepeda tuanya, men- gayuh asa ke Gedung Serba Guna yang kata orang-orang bakal dihadiri sejumlah petinggi negeri dan tokoh masyarakat. Perlahan, ia terus menyusuri jalan di wilayah yang berjarak sekitar 250 kilo meter arah utara Kota Pekanbaru ini. Meski Bustamil mengayuh sepeda penuh semangat, namun lelaki itu tak kuasa melawan busur sang waktu. Jika dua atau tiga puluh tahun silam, kakek dua cucu ini terus menyusuri jalan tanpa perlu beristirahat lama. Sekarang tidak lagi, se- sekali berhenti, sejenak dia ber- naung di kerindangan pohon yang sempat ia temui. Lalu, ia pijat sendiri betisnya. “Kaki saya gemetar kalau lama-lama mengayuh, mungkin karena usia saya tidak muda lagi,” kata Bustamil tertawa kecil kepada Dumai Pos sembari memperlihatkan giginya yang masih tetap genap meski usianya masuk kepala enam. Diusir Tak hanya kamera yang men- jadi saksi bisu sejarah panjang perjalanan hidupnya. Tetapi, sepeda kusam itu juga menyim- pan cerita yang teramat getir. Seiring dengan asa yang membuncah di benaknya, Bus- tamil pun sampai di Gedung Serba Guna milik Pemko Dumai di Jalan HR Soebrantas. Selan- jutnya, kaki lelaki tua itu memijak tanah bercampur pasir, dia pun menuntun sepeda tak jauh dari sisi pintu utama. Di sana terdapat kendaraan roda dua dan empat di parkir rapih. Kala itu, di benak Bustamil hanya ada bagaimana momen- momen bagus itu bisa diambil? Tak hanya itu, hasil jepretan tustel kesayangannya bisa menutupi biaya membeli dua rol film dan ongkos cetak, selebihnya untuk keperluan dapur. Namun asa Bustamil tak ber- tepi. Baru saja lelaki yang telah menghabiskan waktu sekitar 40 tahun atau lebih dari separuh usianya menjadi tukang foto keliling itu hendak beranjak dari sepeda, bersamaan mobil pe- tinggi negeri mulai berdatangan, salah seorang petugas meng- hampirinya. Dengan nada ketus dan tinggi dia menyuruh lelaki itu untuk segera memindahkan sepedanya. “Pak Wali (Walikota, pen) mau datang, pindahkankan sepe- danya Pak!” kata Bustamil me- nirukan ucapan petugas. Sesaat lelaki tua itu terdiam, dia tak tahu mengapa petugas tersebut mengusirnya, dan Bus- tamil hanya bisa menduga-duga. “Mungkin merusak ‘peman- dangan’. Sulit rasanya mengam- barkan perasaan saya waktu itu,” tutur Bustamil saat ditemui Du- mai Pos, disalah satu Taman Kanak-kanak (TK) ternama di kawasan Jalan Sudirman, Selasa (15/5). Siang itu, Bustamil meng- gantungkan hasil jepretan foto di pagar besi berbentuk anyaman kubus. Ya, Kamis (10/5), seluruh TK se Kota Dumai menggelar karnaval dalam rangka men- yambut hari jadi ke 13 kota itu. “Mana tahu ada yang mengambil foto. Sebab, saat karnaval ber- lagsung ada juga yang minta di foto,” lanjut Bustamil duduk di teras SD tak jauh dari TK -dua sekolah ini plus SMP berada disatu lokasi-. Tak lama berselang, sejumlah orang tua berdatangan ingin menjemput putra-putri mereka. Buru-buru Bustamil berdiri me- nghampiri mereka. Meski pria sepuh ini tak pernah mengikuti kursus marketing, namun tak kalah hebat dengan sales atau penjual profesional. “Sayang anak...sayang anak. Yang sayang anak fotonya diam- bil (dibayar, pen). Yang tidak berkenan jangan marah.” Begitulah ‘mantera’ ampuh itu diucapkan Bustamil. Dan dalam waktu tertentu ia kembali men- gucapkan kalimat itu. Tak ayal sebagian dari orang tua murid itu tersenyum mendengar ucapan nan ‘menggoda’ ini. “Sayang anaklah, Pak?” sahut salah seo- rang dari mereka sembari tertawa kecil. Ternyata ‘mantera’ pemikat ala Bustamil ini terbilang ampuh. Buktinya, ada diantara mereka membayar hasil jeperetannya tatkala melihat foto sang buah hati terpampang diantara deretan panjang foto-foto. Namun sebe- lum itu sempat terjadi tawar- menawar harga, tapi akhirnya Bustamil mengalah. “Yang pen- ting jadi duit,” seloroh Bustamil setengah berbisik kepada Dumai Pos. Tak hanya ‘mantera’ pemikat, namun Bustamil memegang te- guh janjinya kepada konsumen. “Kemana pun foto itu minta diantar pasti saya antar, dan tepat waktu. Meski kaki ini terkadang gemetar karena mengayuh se- peda. Dan saya tidak ingin me- reka (konsumen, pen) kecewa. Itulah yang membuat pelanggan saya tetap setia,” ungkap Bus- tamil membuka rahasia. Satu persatu orang tua murid mulai meninggalkan sekolah sambil menuntun putra-putri mereka. Bustamil tetap berdiri tak jauh dari deretan foto. Se- sekali ‘mantera’ pemikat kembali diucapkan. “Mana tahu ada yang masih mau mengambil foto lagi,” tukas Bustamil. Mungkin letih lantaran lama berdiri, Bustamil kembali duduk di teras. Entah bisikan darimana, ia kembali menceritakan kisah pi- lunya saat diusir oknum PNS Pemko Dumai itu. “Beginilah nasib ‘orang kecil’, yang me- mbuat saya terpukul. Sepeda itu tidak menganggu kendaraan lain, dan tidak usah pakai diusir se- gala, mungkin usia saya dengan orang tuanya sama atau lebih tua. Ya, peristiwa itu teringat terus,” kenang Bustamil dengan suara bergetar, bola matanya berkaca- kaca memandang ke arah lapa- ngan sekolah, sementara dua atau tiga anak berlarian saling berkejaran bermandikan cahaya matahari. Suasana hening, sesaat Bus- tamil berdiri menghampiri dere- tan foto yang dipajang di pagar besi. Nakalnya angin membuat sebagian posisi foto berubah. Tak jauh darinya, seorang perem- puan paruh baya gelisah mem- buang sepi menunggu pembeli makanan yang dijajakannya. Gerusan zaman dengan era digital menjadi ‘hantu’ yang sangat menakutkan, karena se- waktu-waktu dapat menggusur ‘lahan’ mata pencarian Bustamil dan fotografer keliling lainnya - yang dengan sendirinya akan mengancam ‘periuk nasi’ ke- luarga mereka-. Di era digital, sekali jepret langsung mengetahui hasil bi- dikan kamera. Namun hal itu tak menggoda Bustamil untuk ban- ting stir. Ia tetap tegar. De- dikasinya begitu tinggi melakoni peran sebagai fotografer keliling. Menjadi tukang foto keliling sudah dilakoni Bustamil semen- jak 1973. Dua tahun pertama digelutinya di Pekanbaru. Se- lanjutnya, 1975 ia menginjakkan kakinya di Dumai. Panjangnya rentetan waktu yang dilaluinya, membuat delapan kali ia harus berganti sepeda selama lebih satu generasi merambah sudut- sudut Kota Dumai ini. Bermula dari suatu kebe- tulan. Awalnya, setelah me- namatkan Sekolah Teknik Me- nengah (STM) Muhammadiyah Padang pada tahun 1970, Bus- tamil muda merantau ke Pekan- baru. Nasib mujur menyer- tainya, karena dia mendapat pekerjaan di salah satu peru- sahaan swasta. Entah memang sudah garis tangan atau me- mang suatu kebetulan, rumah kontrakannya tak jauh dari sebuah studio foto di kota Ber- tuah. Dari situlah dia belajar ‘mengeker’ kamera. Sang pemilik studio men- yarankan agar ia membeli tustel. Entah bisikan darimana, tanpa perlu berpikir panjang, ia pun mengaminkan saran tersebut. Tak lama berselang, peru- sahaan tempat ia bekerja gulung tikar. “Pertama kali saya mem- beli tustel pada 1973 seharga Rp15 ribu. Berhenti dari perusahaan saya mencoba- coba menjadi tukang foto keliling. Eh, keterusan,” kenang Bustamil tersipu. Waktu bagaikan terlem- par dan terus bergulir. Yang tadinya hanya iseng-iseng sambil menunggu peker- jaan, lambat laun Bustamil pun ‘kepincut’ dengan pro- fesi yang sebelumnya tak pernah dibayangkannya, apalagi menjadi sebuah cita- cita. Lama kelamaan tidak hanya sebatas coba-coba sekedar mengisi waktu lua- ng, perlahan tapi pasti men- jadi sandaran hidup. Ketika kamera konvensional masih menjadi barang ‘wah’ serta tustel berteknologi digital dan HP yang dilengkapi kamera belum berserak seperti sekarang ini, merupakan masa-masa keemasan baginya. “Dulu, tidak banyak yang memiliki tustel,” kata Bustamil lirih seolah-olah menembus lorong waktu yang melemparkan lelaki tua ini ke masa keemasan tustel analog. Kini, semuanya telah beru- bah. Tak hanya kemajuan tekno- logi menjadi ancaman serius, ditutupnya Pelabuhan Dumai untuk umum ikut memukul mata pencariannya. Di masa keemasan ketika kamera digital tidak mewabah seperti saat ini, tukang foto keliling di Dumai lebih dari 40 orang. Namun seiring perjalanan waktu satu per satu dari mereka banting stir, beralih profesi. “Yang masih tersisa sekitar lima orang,” kata Bustamil yang siang itu mengenakan kemeja batik berpadu celana panjang hijau dongker. Dulu, saat warga bebas masuk ke kawasan areal milik PT Pela- buhan Indonesia I Cabang Du- mai sekedar refreshing menik- mati deburan ombak, ia bisa membawa pulang uang ke ru- mah sekitar Rp50 - Rp100 ribu. Sekarang, untuk memperoleh Rp30 ribu sulitnya bukan main. “Waktu itu, cukup mangkal di sekitar areal pelabuhan, pengun- jung pun berdatangan minta difoto. Terkadang, dalam sehari bisa menghabiskan tiga rol film. Sekarang terpaksa menyingkir masuk kampung ke luar kam- pung. Untuk menghabiskan satu rol saja susah,” keluh Bustamil, datar tanpa ekspresi. Dengan ditutupnya pelabuhan milik perusahaan semi plat merah itu, momen-momen tertentu termasuk pesta perkawinan men- jadi tumpuan terakhirnya untuk mencari sesuap nasi. Sayang, hal itu tidak berlangsung lama. Ban- yak studio foto dan penyewaan peralatan pesta -biasanya satu paket dengan catering dan organ tunggal- memasukan dokumen- tasi dalam paket yang mereka tawarkan ke konsumen, juga menjadi ancaman baru baginya. Di lain waktu, pernah juga Bustamil mangkal di pergelaran badut berkostum tokoh kartun Walt Disney yang ditampilkan sebuah perusahaan es krim, yang digelar di sisi SPBU Jalan Sudir- man tak jauh dari kediamannya. Sialnya, berkah itu hanya berta- han sesaat. Selanjutnya, produsen es krim itu menutup usahanya. Tak jelas apa alasannya. Lelaki sepuh ini kembali merambah ke kampung-kam- pung hingga ke pelosok pinggiran kota, agar tidak kemalaman di jalan, ia pun berangkat dari rumahnya sekitar pukul 08.00 WIB. Biasanya, menjelang mag- hrib, barulah ia sampai di rumah. Untuk makan siang, misalnya, Bustamil tak perlu repot-repot memikirkannya, sang istri telah menyiapkan rantang yang dibalut sapu tangan sebagai bekal, berisi nasi serta lauk-pauk. Seterusnya dimasukan ke dalam plastik kre- sek warna hitam yang digan- tungkan di stang sepeda. Jasa untuk satu lembar foto, Bustamil mematok harga Rp15 ribu. Ia pun menerima orderan mencuci negatif film. Untuk satu lembar, lelaki itu hanya men- gutip Rp2500. Se- lesai dicuci, foto ter- sebut diantarnya ke rumah konsumen. Terkadang, ada juga yang minta diantar- kan ke tempat ter- tentu. Beruntung studio tempat langganan- nya memberi berba- gai kemudahan. Sa- lah satunya, harga miring atau discount. Untuk satu rol film ukuran 36, misalnya, lelaki berkumis tipis ini hanya membut- uhkan modal sekitar Rp50 ribu. Itu sudah termasuk harga film plus biaya cetak. Tidak Dibayar Berbagai suka du- ka menjadi asam ga- ram perjalanan hi- dupnya sebagai tu- kang ‘keker’ kamera keliling. Dukanya, ketika ada konsumen yang ingkar janji. Se- belum dipotret tak jarang mereka mendesak agar foto itu segera diantar, karena momen itu dini- lai penting. Namun, saat ditagih mereka berdalih macam-macam. Untuk yang satu ini, Bustamil hanya memberi toleransi tiga kali. “Lebih dari itu, saya tidak datang lagi,” ujar Bustamil kembali tanpa ekspresi. Kendati kerap rugi lantaran jasanya tidak dibayar. Bustamil tidak jera. Alasannya pun teramat sederhana, menurut dia, semua pekerjaan ada resiko, tak terkecuali menjadi tukang foto keliling. Walau demikian, ada juga sukanya. Tatkala konsumen merasa puas atas hasil jepretan- nya. Kalau fotonya dirasakan bagus terkadang ada juga yang membayar lebih. Tapi paling tidak, hasil yang bagus menjadi kebanggaan tersendiri baginya. Lain lagi kisah Wahab (49), yang juga masih bertahan deng- an kamera analognya. Lelaki ini mulai menekuni profesi itu sejak 1986. Dia menuturkan, masa keemasan tukang foto keliling berakhir sampai tahun 2000. Selanjutnya, kurang menghasi- lkan lagi. Makanya, adalah hal yang lumrah, jika mereka berdua kerap tidak membawa pulang uang sepeser pun ke rumah. Karena penasaran, Dumai Pos ingin tahu seperti apa ‘markas’ sang fotografer senior ini. Untuk sampai ke Rumah Bustamil. Penelusuran harus disertai den- gan bertanya beberapa kali. Jalan semen tak sampai ke depan rumahnya. Tepat di ujung Jalan Al Mubin, akhirnya Dumai Pos bertanya kepada seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun yang saat itu sedang men- jemur pakaian. Ternyata mencari kediaman lelaki yang tunak dengan pro- fesinya itu tidaklah sulit seperti dibayangkan semula. Kendati Bustamil bukan selebritis atau pun politisi yang kerap tampil di layar kaca, namun semua orang di wilayah itu mengenalnya. “O, iya saya kenal, tukang foto keli- ling itu? -Bustamil-, dua lorong dari sini belok ke kiri sekitar tiga rumah dari ujung gang, itu ru- mahnya,” terang peremuan itu sembari menunjuk mulut gang. Tanah masih basah, hujan tadi malam membuat sebagian sisi jalan becek dan tergenang air. Tak lama berselang, Dumai Pos sampai di rumah model pangg- ung berdinding papan tempat Bustamil dan keluarga berteduh dari ‘pelukan’ matahari dan dinginnya malam. Meski rumah itu terbilang sederhana -untuk ukuran seba- gian orang-, namun bagi Bus- tamil punya kebanggaan tersen- diri, suaranya sempat bergetar tatkala mengisahkan perjuan- gannya mendapatkan rumah itu. “Tanah dan rumah itu hasil je- pretan foto. Ya, hasil keringat masuk kampung ke luar kam- pung,” kata lelaki yang raut wajahnya mulai keriput ini. “Sudah tiga hari ini abang tidak dapat uang,” tutur Efli Zuriyati, istri Bustamil saat Du- mai Pos sampai di kediamannya, Sabtu pekan lalu. Beruntung, dibalik kepahitan itu, perempuan berambut panjang ini dapat memahami profesi yang digeluti sang suami. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Bustamil dan Wahab mengandal- kan profesi itu, “Karena bukan permintaan, ya, saya tidak mema- sang tarif. Fotonya sudah diambil saja, saya sudah bersyukur,” ungkap Wahab getir dengan mata menerawang menatap langit- langit saat dijumpai Dumai Pos di sebuah acara seremonial be- berapa waktu lalu. Tetapi, dari profesi ini, dia berhasil men- yekolahkan salah satu putranya hingga menjadi seorang polisi. Itu pula yang membuat Bus- tamil tidak berkecil hati ketika tak satu pun dari ketiga putranya mengikuti jejaknya menjadi tu- kang foto keliling. “Mereka mem- punyai jalan hidup masing-ma- sing,” kata Bustamil mencoba bersikap arif. Menjadi Teknik Dasar Kendati keberadaan tukang foto keliling kini berada di tepi zaman, namun eksistensi profesi itu memiliki jasa tersendiri di mata Anggraini (32). Bagi ibu muda ini, berkat jasa Bustamil maka rentetan kebersamaan dengan sang buah hati masih terangkai, meski sebatas hasil jepretan foto. “Entah mengapa sebelum meninggal, hati saya kuat me- manggil tukang foto keliling datang ke rumah untuk difoto dengan anak pertama saya - meningal berusia 11 bulan terke- na ISPA, kalau saja tidak ada mereka, wah, tidak ada kenang- kenangan. Lagian tahun 2004 Hp berkamera masih jarang tidak seperti saat ini,” kilah Anggraini kepada Dumai Pos sembari jemari tangannya yang lentik itu memperlihatkan jepretan foto- nya dengan sang buah hati hasil ‘kekeran’ tukang foto keliling. Termarjinalnya tukang foto keliling menurut Ketua Komunitas Fotografi Dumai (KFD) Hendri Kuswoyo (34) adalah bentuk me- taformosis kemajuan teknologi, dan tidak bisa dihindari. Kendati demikian, sambung dia, sejatinya kamera analog adalah teknik dasar bagi seorang fotografer. “Biar bagaimana pun cang- gihnya kamera digital, analog adalah basic fotografi. Ya, ada peralihan era, dari analog ke digital. Jadi, yang biasa analog tidak terlalu sukar saat ke digital. Idealnya, seorang fotografer mengetahui atau memahami analog, tidak instan,” tukas Ketua KFD, wadah tempat bernaung lebih dari 200 fotografer amatir maupun profesional di Dumai. Lebih jauh Hendri berpendapat bahwa fotografer juga bagian dari seni. Alasannya pun teramat seder- hana, ketika tukang foto mulai mengeker satu momen maka seja- tinya selain pencahayaan dan kecepatan mereka juga mem- perhatikan lingkungan sekitarnya termasuk ekspresi objek. “Ya, fotografer juga bagian dari seni, karena menyangkut jiwa, nilai dan lainnya,” paparnya. Seperti pelaku seni lainnya di negeri ini yang identik -sebagian besar- dengan minimnya per- ekonomian mereka. “Karena pang- gilan jiwa dan demi kepuasan batin maka materi bukanlah se- gala-galanya,” katanya. Saat disodorkan na- ma Bustamil, Hendri spontan mengacung- kan jempol. “Saya ke- nal, salut. Karena masih tetap bertahan dian- tara tuntutan dan idea- lisme,” papar pria yang akrab dipanggil Toy Jepreter ini. Lantas, bagaimana nasib foto-foto yang tidak diambil konsum- en itu? Secara terpisah, Bustamil dan Wahab menjelaskan, foto terse- but disimpan di rumah. Akan tetapi, dalam waktu tertentu berkar- ung-karung foto itu ter- paksa dibakar, karena tidak ada lagi ruang tersisa untuk menyim- pannya. Hanya cintalah yang membuat mereka berd- ua masih tetap berta- han, meski profesi tu- kang foto keliling sudah tidak menjanjikan lagi. “Saya tetap bertahan, sampai badan ini tidak kuat lagi,” kata Bus- tamil tersenyum lepas tanpa beban. Lalu, karena ingin mengantar foto ke konsumen, siang itu Bus- tamil kembali mengayuh sepe- danya, membawa nasibnya. Ma- suk kampung ke luar kampung. Entah ke mana. Entah sampai kapan? *** F-YON RIZAL SOLIHIN 40TAHUN: Hampir 40 tahun Bustamil Arifin menjadi fotografer keliling. Sehari-hari dia mengayuh sepeda tua menelusuri Kota Dumai menawarkan jasa pemotretan foto , Selasa (15/5). F-YON RIZAL SOLIHIN Bustamil Arifin membidikan kamera analog saat mengambil foto . F:YON RIZAL SOLIHIN Foto hasil jepretan dipajang di pagar sekolah, dan Bustamil berharap foto itu menghasilkan rupiah demi rupiah agar dapurnya tetap mengebul, Selasa (12/6).

Upload: dumai-pos

Post on 30-Mar-2016

217 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Semangat Riau Pesisir

TRANSCRIPT

Page 1: HALAMAN 24. 14-Mei 2012

LAYOUT: SURYAREDAKTUR: MISWANTO

SOCIETY KAMIS 14 JUNI 2012 Dumai Pos24 Ketika Era Digital "Menggilas" Fotografer Keliling

40 Tahun Berkeliling, Berganti18 Kamera dan Delapan Sepeda

Kamera analog tuamenggantung di dada lelaki

yang juga sudah mulaimenua. Bustamil Arifin, 62

tahun, begitulah nama lelakiyang sehari-hari berprofesisebagai tukang foto keliling.

Sudah hampir 40 tahunprofesi yang ‘langka’ ini

digelutinya. Beberapa bagianelemen kamera yang disan-

dangnya pun sudah mulaiberkarat. Ini adalah kamerakedelapanbelas miliknya. Iabegitu menyayangi kamera

‘pemberi makan’ keluarganyaitu. Bak bayi di terik mentari,

Bustamil menyelimutikamera-nya dengan selem-

bar sapu tangan.

Laporan YON RIZALSOLIHIN, Dumai

TOPI hitam berpadu biru, takmampu menahan angin yangmenghembus rambut Bustamilyang mulai memutih. Ia bergegasmeninggalkan rumahnya di Ja-lan Al Mubin Ujung RT 19, GangTimur No 15, Kelurahan TelukBinjai, Kecamatan Dumai Timurdi suatu pagi menjelang siang.

Sehari sebelumnya, ayah de-lapan anak kelahiran 13 Maret1950, Kayu Tanam, KabupatenPariaman, Provinsi SumateraBarat (Sumbar) mencuci satu rolfilm di studio foto langganannyadi Jalan Hasanudin, kawasanSukajadi. Tapi, karena mendapatkabar bahwa esok hari ada acarayang digelar sebuah organisasimasyarakat di Gedung SerbaGuna, eks Kantor Wali KotaLama, Jalan HR Soebrantas, iapun membeli dua rol film untukpersiapan.

Bagi suami Efli Zuriyati (54)kegiatan seperti ini merupakanberkah tersendiri. Sayang, mo-men-momen seperti itu tidaklahterjadi setiap hari.

Tapi, bagi Bustamil, tidaklahmenjadi persoalan serius. Karenasepeda sport tua warnahijau yang mulai kusamsiap mengantarnya ke ma-na pun ia suka. Ini adalahsepeda kedelapan yangdigunakannya selamamenggeluti profesi tukangfoto keliling.

Seperti hari biasanya.Sebelum menuju ke tem-pat acara, kendaraan be-bas polusi itu dikayuhnyamenelusuri Kota Dumai,masuk dari satu kampungke perkampungan lainnyamenawarkan jasa.

Matahari perlahan me-ninggi. Sinarnya tak lagijatuh miring. Bayanganpohon mahoni yang ber-jejer di sepanjang ruasjalan utama kian men-dekat ke batang.

Menjelang siang, Bus-tamil menyekakan lenganbaju panjang bewarna birutelur asin ke dahinya, men-gurangi tetesan keringat yangmembuat matanya memicing.Sang surya kian terik, silau,membuat picingan mata lelakitua itu kian rapat. Ia tetapmengayuh sepeda tuanya, men-gayuh asa ke Gedung Serba Gunayang kata orang-orang bakaldihadiri sejumlah petinggi negeridan tokoh masyarakat.

Perlahan, ia terus menyusurijalan di wilayah yang berjaraksekitar 250 kilo meter arah utaraKota Pekanbaru ini.

Meski Bustamil mengayuhsepeda penuh semangat, namunlelaki itu tak kuasa melawanbusur sang waktu. Jika dua atautiga puluh tahun silam, kakekdua cucu ini terus menyusurijalan tanpa perlu beristirahatlama. Sekarang tidak lagi, se-sekali berhenti, sejenak dia ber-naung di kerindangan pohonyang sempat ia temui. Lalu, iapijat sendiri betisnya.

“Kaki saya gemetar kalaulama-lama mengayuh, mungkinkarena usia saya tidak mudalagi,” kata Bustamil tertawa kecilkepada Dumai Pos sembarimemperlihatkan giginya yangmasih tetap genap meski usianyamasuk kepala enam.

DiusirTak hanya kamera yang men-

jadi saksi bisu sejarah panjangperjalanan hidupnya. Tetapi,sepeda kusam itu juga menyim-pan cerita yang teramat getir.

Seiring dengan asa yangmembuncah di benaknya, Bus-

tamil pun sampai di GedungSerba Guna milik Pemko Dumaidi Jalan HR Soebrantas. Selan-jutnya, kaki lelaki tua itu memijaktanah bercampur pasir, dia punmenuntun sepeda tak jauh darisisi pintu utama. Di sana terdapatkendaraan roda dua dan empat diparkir rapih.

Kala itu, di benak Bustamilhanya ada bagaimana momen-momen bagus itu bisa diambil?Tak hanya itu, hasil jepretan tustelkesayangannya bisa menutupibiaya membeli dua rol film danongkos cetak, selebihnya untukkeperluan dapur.

Namun asa Bustamil tak ber-tepi. Baru saja lelaki yang telahmenghabiskan waktu sekitar 40tahun atau lebih dari separuhusianya menjadi tukang fotokeliling itu hendak beranjak darisepeda, bersamaan mobil pe-tinggi negeri mulai berdatangan,salah seorang petugas meng-hampirinya. Dengan nada ketusdan tinggi dia menyuruh lelaki ituuntuk segera memindahkansepedanya.

“Pak Wali (Walikota, pen)mau datang, pindahkankan sepe-danya Pak!” kata Bustamil me-nirukan ucapan petugas.

Sesaat lelaki tua itu terdiam,dia tak tahu mengapa petugastersebut mengusirnya, dan Bus-tamil hanya bisa menduga-duga.

“Mungkin merusak ‘peman-dangan’. Sulit rasanya mengam-barkan perasaan saya waktu itu,”tutur Bustamil saat ditemui Du-mai Pos, disalah satu TamanKanak-kanak (TK) ternama dikawasan Jalan Sudirman, Selasa(15/5).

Siang itu, Bustamil meng-gantungkan hasil jepretan foto dipagar besi berbentuk anyamankubus. Ya, Kamis (10/5), seluruhTK se Kota Dumai menggelarkarnaval dalam rangka men-yambut hari jadi ke 13 kota itu.“Mana tahu ada yang mengambilfoto. Sebab, saat karnaval ber-lagsung ada juga yang minta di

foto,” lanjut Bustamil duduk diteras SD tak jauh dari TK -duasekolah ini plus SMP beradadisatu lokasi-.

Tak lama berselang, sejumlahorang tua berdatangan inginmenjemput putra-putri mereka.Buru-buru Bustamil berdiri me-nghampiri mereka. Meski priasepuh ini tak pernah mengikutikursus marketing, namun takkalah hebat dengan sales ataupenjual profesional.

“Sayang anak...sayang anak.Yang sayang anak fotonya diam-bil (dibayar, pen). Yang tidakberkenan jangan marah.”

Begitulah ‘mantera’ ampuh itudiucapkan Bustamil. Dan dalamwaktu tertentu ia kembali men-gucapkan kalimat itu. Tak ayalsebagian dari orang tua murid itutersenyum mendengar ucapannan ‘menggoda’ ini. “Sayanganaklah, Pak?” sahut salah seo-rang dari mereka sembari tertawakecil.

Ternyata ‘mantera’ pemikatala Bustamil ini terbilang ampuh.Buktinya, ada diantara merekamembayar hasil jeperetannyatatkala melihat foto sang buahhati terpampang diantara deretanpanjang foto-foto. Namun sebe-lum itu sempat terjadi tawar-menawar harga, tapi akhirnyaBustamil mengalah. “Yang pen-ting jadi duit,” seloroh Bustamilsetengah berbisik kepada DumaiPos.

Tak hanya ‘mantera’ pemikat,namun Bustamil memegang te-guh janjinya kepada konsumen.

“Kemana pun foto itu mintadiantar pasti saya antar, dan tepatwaktu. Meski kaki ini terkadanggemetar karena mengayuh se-peda. Dan saya tidak ingin me-reka (konsumen, pen) kecewa.Itulah yang membuat pelanggansaya tetap setia,” ungkap Bus-tamil membuka rahasia.

Satu persatu orang tua muridmulai meninggalkan sekolahsambil menuntun putra-putrimereka. Bustamil tetap berdiritak jauh dari deretan foto. Se-sekali ‘mantera’ pemikat kembalidiucapkan. “Mana tahu ada yangmasih mau mengambil foto lagi,”tukas Bustamil.

Mungkin letih lantaran lamaberdiri, Bustamil kembali dudukdi teras. Entah bisikan darimana,ia kembali menceritakan kisah pi-lunya saat diusir oknum PNSPemko Dumai itu. “Beginilahnasib ‘orang kecil’, yang me-mbuat saya terpukul. Sepeda itu

tidak menganggu kendaraan lain,dan tidak usah pakai diusir se-gala, mungkin usia saya denganorang tuanya sama atau lebih tua.Ya, peristiwa itu teringat terus,”kenang Bustamil dengan suarabergetar, bola matanya berkaca-kaca memandang ke arah lapa-ngan sekolah, sementara duaatau tiga anak berlarian salingberkejaran bermandikan cahayamatahari.

Suasana hening, sesaat Bus-tamil berdiri menghampiri dere-tan foto yang dipajang di pagarbesi. Nakalnya angin membuatsebagian posisi foto berubah. Takjauh darinya, seorang perem-puan paruh baya gelisah mem-buang sepi menunggu pembelimakanan yang dijajakannya.

Gerusan zaman dengan eradigital menjadi ‘hantu’ yangsangat menakutkan, karena se-waktu-waktu dapat menggusur‘lahan’ mata pencarian Bustamildan fotografer keliling lainnya -yang dengan sendirinya akanmengancam ‘periuk nasi’ ke-luarga mereka-.

Di era digital, sekali jepretlangsung mengetahui hasil bi-dikan kamera. Namun hal itu takmenggoda Bustamil untuk ban-ting stir. Ia tetap tegar. De-dikasinya begitu tinggi melakoniperan sebagai fotografer keliling.

Menjadi tukang foto kelilingsudah dilakoni Bustamil semen-jak 1973. Dua tahun pertamadigelutinya di Pekanbaru. Se-lanjutnya, 1975 ia menginjakkankakinya di Dumai. Panjangnya

rentetan waktu yang dilaluinya,membuat delapan kali ia harusberganti sepeda selama lebihsatu generasi merambah sudut-sudut Kota Dumai ini.

Bermula dari suatu kebe-tulan. Awalnya, setelah me-namatkan Sekolah Teknik Me-nengah (STM) MuhammadiyahPadang pada tahun 1970, Bus-tamil muda merantau ke Pekan-baru. Nasib mujur menyer-tainya, karena dia mendapatpekerjaan di salah satu peru-sahaan swasta. Entah memangsudah garis tangan atau me-mang suatu kebetulan, rumahkontrakannya tak jauh darisebuah studio foto di kota Ber-tuah. Dari situlah dia belajar‘mengeker’ kamera.

Sang pemilik studio men-yarankan agar ia membeli tustel.Entah bisikan darimana, tanpaperlu berpikir panjang, ia punmengaminkan saran tersebut.

Tak lama berselang, peru-sahaan tempat ia bekerjagulung tikar.

“Pertama kali saya mem-beli tustel pada 1973 sehargaRp15 ribu. Berhenti dariperusahaan saya mencoba-coba menjadi tukang fotokeliling. Eh, keterusan,”kenang Bustamil tersipu.

Waktu bagaikan terlem-par dan terus bergulir. Yangtadinya hanya iseng-isengsambil menunggu peker-jaan, lambat laun Bustamilpun ‘kepincut’ dengan pro-fesi yang sebelumnya takpernah dibayangkannya,apalagi menjadi sebuah cita-cita.

Lama kelamaan tidakhanya sebatas coba-cobasekedar mengisi waktu lua-ng, perlahan tapi pasti men-jadi sandaran hidup.

Ketika kamera konvensionalmasih menjadi barang ‘wah’ sertatustel berteknologi digital danHP yang dilengkapi kamerabelum berserak seperti sekarangini, merupakan masa-masakeemasan baginya.

“Dulu, tidak banyak yangmemiliki tustel,” kata Bustamillirih seolah-olah menembuslorong waktu yang melemparkanlelaki tua ini ke masa keemasantustel analog.

Kini, semuanya telah beru-bah. Tak hanya kemajuan tekno-logi menjadi ancaman serius,ditutupnya Pelabuhan Dumaiuntuk umum ikut memukulmata pencariannya.

Di masa keemasan ketikakamera digital tidak mewabahseperti saat ini, tukang fotokeliling di Dumai lebih dari 40orang. Namun seiring perjalananwaktu satu per satu dari merekabanting stir, beralih profesi.“Yang masih tersisa sekitar limaorang,” kata Bustamil yang siangitu mengenakan kemeja batikberpadu celana panjang hijaudongker.

Dulu, saat warga bebas masukke kawasan areal milik PT Pela-buhan Indonesia I Cabang Du-mai sekedar refreshing menik-mati deburan ombak, ia bisamembawa pulang uang ke ru-mah sekitar Rp50 - Rp100 ribu.Sekarang, untuk memperolehRp30 ribu sulitnya bukan main.

“Waktu itu, cukup mangkal disekitar areal pelabuhan, pengun-jung pun berdatangan minta

difoto. Terkadang, dalam seharibisa menghabiskan tiga rol film.Sekarang terpaksa menyingkirmasuk kampung ke luar kam-pung. Untuk menghabiskan saturol saja susah,” keluh Bustamil,datar tanpa ekspresi.

Dengan ditutupnya pelabuhanmilik perusahaan semi plat merahitu, momen-momen tertentutermasuk pesta perkawinan men-jadi tumpuan terakhirnya untukmencari sesuap nasi. Sayang, halitu tidak berlangsung lama. Ban-yak studio foto dan penyewaanperalatan pesta -biasanya satupaket dengan catering dan organtunggal- memasukan dokumen-tasi dalam paket yang merekatawarkan ke konsumen, jugamenjadi ancaman baru baginya.

Di lain waktu, pernah jugaBustamil mangkal di pergelaranbadut berkostum tokoh kartunWalt Disney yang ditampilkansebuah perusahaan es krim, yangdigelar di sisi SPBU Jalan Sudir-man tak jauh dari kediamannya.Sialnya, berkah itu hanya berta-han sesaat. Selanjutnya, produsenes krim itu menutup usahanya.Tak jelas apa alasannya.

Lelaki sepuh ini kembalimerambah ke kampung-kam-pung hingga ke pelosok pinggirankota, agar tidak kemalaman dijalan, ia pun berangkat darirumahnya sekitar pukul 08.00WIB. Biasanya, menjelang mag-hrib, barulah ia sampai di rumah.Untuk makan siang, misalnya,Bustamil tak perlu repot-repotmemikirkannya, sang istri telahmenyiapkan rantang yang dibalutsapu tangan sebagai bekal, berisinasi serta lauk-pauk. Seterusnyadimasukan ke dalam plastik kre-sek warna hitam yang digan-tungkan di stang sepeda.

Jasa untuk satu lembar foto,Bustamil mematok harga Rp15ribu. Ia pun menerima orderanmencuci negatif film.Untuk satu lembar,lelaki itu hanya men-gutip Rp2500. Se-lesai dicuci, foto ter-sebut diantarnya kerumah konsumen.Terkadang, ada jugayang minta diantar-kan ke tempat ter-tentu.

Beruntung studiotempat langganan-nya memberi berba-gai kemudahan. Sa-lah satunya, hargamiring atau discount.Untuk satu rol filmukuran 36, misalnya,lelaki berkumis tipisini hanya membut-uhkan modal sekitarRp50 ribu. Itu sudahtermasuk harga filmplus biaya cetak.

Tidak DibayarBerbagai suka du-

ka menjadi asam ga-ram perjalanan hi-dupnya sebagai tu-kang ‘keker’ kamerakeliling. Dukanya,ketika ada konsumenyang ingkar janji. Se-belum dipotret tak jarang merekamendesak agar foto itu segeradiantar, karena momen itu dini-lai penting. Namun, saat ditagihmereka berdalih macam-macam.Untuk yang satu ini, Bustamilhanya memberi toleransi tiga kali.“Lebih dari itu, saya tidak datang

lagi,” ujar Bustamil kembalitanpa ekspresi.

Kendati kerap rugi lantaranjasanya tidak dibayar. Bustamiltidak jera. Alasannya pun teramatsederhana, menurut dia, semuapekerjaan ada resiko, tak terkecualimenjadi tukang foto keliling.

Walau demikian, ada jugasukanya. Tatkala konsumenmerasa puas atas hasil jepretan-nya. Kalau fotonya dirasakanbagus terkadang ada juga yangmembayar lebih. Tapi palingtidak, hasil yang bagus menjadikebanggaan tersendiri baginya.

Lain lagi kisah Wahab (49),yang juga masih bertahan deng-an kamera analognya. Lelaki inimulai menekuni profesi itu sejak1986. Dia menuturkan, masakeemasan tukang foto kelilingberakhir sampai tahun 2000.Selanjutnya, kurang menghasi-lkan lagi. Makanya, adalah halyang lumrah, jika mereka berduakerap tidak membawa pulanguang sepeser pun ke rumah.

Karena penasaran, Dumai Posingin tahu seperti apa ‘markas’sang fotografer senior ini. Untuksampai ke Rumah Bustamil.Penelusuran harus disertai den-gan bertanya beberapa kali.

Jalan semen tak sampai kedepan rumahnya. Tepat di ujungJalan Al Mubin, akhirnya DumaiPos bertanya kepada seorangperempuan berusia sekitar 40tahun yang saat itu sedang men-jemur pakaian.

Ternyata mencari kediamanlelaki yang tunak dengan pro-fesinya itu tidaklah sulit sepertidibayangkan semula. KendatiBustamil bukan selebritis ataupun politisi yang kerap tampil dilayar kaca, namun semua orangdi wilayah itu mengenalnya. “O,iya saya kenal, tukang foto keli-ling itu? -Bustamil-, dua lorongdari sini belok ke kiri sekitar tigarumah dari ujung gang, itu ru-mahnya,” terang peremuan itusembari menunjuk mulut gang.

Tanah masih basah, hujan tadimalam membuat sebagian sisijalan becek dan tergenang air.Tak lama berselang, Dumai Possampai di rumah model pangg-ung berdinding papan tempatBustamil dan keluarga berteduhdari ‘pelukan’ matahari dandinginnya malam.

Meski rumah itu terbilangsederhana -untuk ukuran seba-gian orang-, namun bagi Bus-tamil punya kebanggaan tersen-diri, suaranya sempat bergetartatkala mengisahkan perjuan-gannya mendapatkan rumah itu.“Tanah dan rumah itu hasil je-pretan foto. Ya, hasil keringatmasuk kampung ke luar kam-pung,” kata lelaki yang rautwajahnya mulai keriput ini.

“Sudah tiga hari ini abangtidak dapat uang,” tutur EfliZuriyati, istri Bustamil saat Du-mai Pos sampai di kediamannya,Sabtu pekan lalu. Beruntung,dibalik kepahitan itu, perempuanberambut panjang ini dapat

memahami profesi yang digelutisang suami.

Padahal, untuk memenuhikebutuhan hidup keluarganya,Bustamil dan Wahab mengandal-kan profesi itu, “Karena bukanpermintaan, ya, saya tidak mema-sang tarif. Fotonya sudah diambil

saja, saya sudah bersyukur,”ungkap Wahab getir dengan matamenerawang menatap langit-langit saat dijumpai Dumai Pos disebuah acara seremonial be-berapa waktu lalu. Tetapi, dariprofesi ini, dia berhasil men-yekolahkan salah satu putranyahingga menjadi seorang polisi.

Itu pula yang membuat Bus-tamil tidak berkecil hati ketika taksatu pun dari ketiga putranyamengikuti jejaknya menjadi tu-kang foto keliling. “Mereka mem-punyai jalan hidup masing-ma-sing,” kata Bustamil mencobabersikap arif.

Menjadi Teknik DasarKendati keberadaan tukang

foto keliling kini berada di tepizaman, namun eksistensi profesiitu memiliki jasa tersendiri dimata Anggraini (32). Bagi ibumuda ini, berkat jasa Bustamilmaka rentetan kebersamaandengan sang buah hati masihterangkai, meski sebatas hasiljepretan foto.

“Entah mengapa sebelummeninggal, hati saya kuat me-manggil tukang foto kelilingdatang ke rumah untuk difotodengan anak pertama saya -meningal berusia 11 bulan terke-na ISPA, kalau saja tidak adamereka, wah, tidak ada kenang-kenangan. Lagian tahun 2004Hp berkamera masih jarang tidakseperti saat ini,” kilah Anggrainikepada Dumai Pos sembarijemari tangannya yang lentik itumemperlihatkan jepretan foto-nya dengan sang buah hati hasil‘kekeran’ tukang foto keliling.

Termarjinalnya tukang fotokeliling menurut Ketua KomunitasFotografi Dumai (KFD) HendriKuswoyo (34) adalah bentuk me-taformosis kemajuan teknologi,dan tidak bisa dihindari. Kendatidemikian, sambung dia, sejatinyakamera analog adalah teknik dasarbagi seorang fotografer.

“Biar bagaimana pun cang-gihnya kamera digital, analogadalah basic fotografi. Ya, adaperalihan era, dari analog kedigital. Jadi, yang biasa analogtidak terlalu sukar saat ke digital.Idealnya, seorang fotografermengetahui atau memahamianalog, tidak instan,” tukas KetuaKFD, wadah tempat bernaunglebih dari 200 fotografer amatirmaupun profesional di Dumai.

Lebih jauh Hendri berpendapatbahwa fotografer juga bagian dariseni. Alasannya pun teramat seder-hana, ketika tukang foto mulaimengeker satu momen maka seja-tinya selain pencahayaan dankecepatan mereka juga mem-perhatikan lingkungan sekitarnyatermasuk ekspresi objek.

“Ya, fotografer juga bagian dariseni, karena menyangkut jiwa, nilaidan lainnya,” paparnya.

Seperti pelaku seni lainnya dinegeri ini yang identik -sebagianbesar- dengan minimnya per-ekonomian mereka. “Karena pang-gilan jiwa dan demi kepuasanbatin maka materi bukanlah se-

gala-galanya,” katanya.Saat disodorkan na-

ma Bustamil, Hendrispontan mengacung-kan jempol. “Saya ke-nal, salut. Karena masihtetap bertahan dian-tara tuntutan dan idea-lisme,” papar pria yangakrab dipanggil ToyJepreter ini.

Lantas, bagaimananasib foto-foto yangtidak diambil konsum-en itu? Secara terpisah,Bustamil dan Wahabmenjelaskan, foto terse-but disimpan di rumah.

Akan tetapi, dalamwaktu tertentu berkar-ung-karung foto itu ter-paksa dibakar, karenatidak ada lagi ruangtersisa untuk menyim-pannya.

Hanya cintalah yangmembuat mereka berd-ua masih tetap berta-han, meski profesi tu-kang foto keliling sudahtidak menjanjikan lagi.“Saya tetap bertahan,sampai badan ini tidakkuat lagi,” kata Bus-

tamil tersenyum lepas tanpa beban.Lalu, karena ingin mengantar

foto ke konsumen, siang itu Bus-tamil kembali mengayuh sepe-danya, membawa nasibnya. Ma-suk kampung ke luar kampung.Entah ke mana. Entah sampaikapan? ***

F-YON RIZAL SOLIHIN

40TAHUN: Hampir 40 tahun Bustamil Arifin menjadi fotografer keliling. Sehari-hari dia mengayuhsepeda tua menelusuri Kota Dumai menawarkan jasa pemotretan foto , Selasa (15/5).

F-YON RIZAL SOLIHIN

Bustamil Arifin membidikan kamera analog saat mengambil foto .

F:YON RIZAL SOLIHIN

Foto hasil jepretan dipajang di pagar sekolah, danBustamil berharap foto itu menghasilkan rupiah demirupiah agar dapurnya tetap mengebul, Selasa (12/6).