Transcript
Page 1: HALAMAN 24. 14-Mei 2012

LAYOUT: SURYAREDAKTUR: MISWANTO

SOCIETY KAMIS 14 JUNI 2012 Dumai Pos24 Ketika Era Digital "Menggilas" Fotografer Keliling

40 Tahun Berkeliling, Berganti18 Kamera dan Delapan Sepeda

Kamera analog tuamenggantung di dada lelaki

yang juga sudah mulaimenua. Bustamil Arifin, 62

tahun, begitulah nama lelakiyang sehari-hari berprofesisebagai tukang foto keliling.

Sudah hampir 40 tahunprofesi yang ‘langka’ ini

digelutinya. Beberapa bagianelemen kamera yang disan-

dangnya pun sudah mulaiberkarat. Ini adalah kamerakedelapanbelas miliknya. Iabegitu menyayangi kamera

‘pemberi makan’ keluarganyaitu. Bak bayi di terik mentari,

Bustamil menyelimutikamera-nya dengan selem-

bar sapu tangan.

Laporan YON RIZALSOLIHIN, Dumai

TOPI hitam berpadu biru, takmampu menahan angin yangmenghembus rambut Bustamilyang mulai memutih. Ia bergegasmeninggalkan rumahnya di Ja-lan Al Mubin Ujung RT 19, GangTimur No 15, Kelurahan TelukBinjai, Kecamatan Dumai Timurdi suatu pagi menjelang siang.

Sehari sebelumnya, ayah de-lapan anak kelahiran 13 Maret1950, Kayu Tanam, KabupatenPariaman, Provinsi SumateraBarat (Sumbar) mencuci satu rolfilm di studio foto langganannyadi Jalan Hasanudin, kawasanSukajadi. Tapi, karena mendapatkabar bahwa esok hari ada acarayang digelar sebuah organisasimasyarakat di Gedung SerbaGuna, eks Kantor Wali KotaLama, Jalan HR Soebrantas, iapun membeli dua rol film untukpersiapan.

Bagi suami Efli Zuriyati (54)kegiatan seperti ini merupakanberkah tersendiri. Sayang, mo-men-momen seperti itu tidaklahterjadi setiap hari.

Tapi, bagi Bustamil, tidaklahmenjadi persoalan serius. Karenasepeda sport tua warnahijau yang mulai kusamsiap mengantarnya ke ma-na pun ia suka. Ini adalahsepeda kedelapan yangdigunakannya selamamenggeluti profesi tukangfoto keliling.

Seperti hari biasanya.Sebelum menuju ke tem-pat acara, kendaraan be-bas polusi itu dikayuhnyamenelusuri Kota Dumai,masuk dari satu kampungke perkampungan lainnyamenawarkan jasa.

Matahari perlahan me-ninggi. Sinarnya tak lagijatuh miring. Bayanganpohon mahoni yang ber-jejer di sepanjang ruasjalan utama kian men-dekat ke batang.

Menjelang siang, Bus-tamil menyekakan lenganbaju panjang bewarna birutelur asin ke dahinya, men-gurangi tetesan keringat yangmembuat matanya memicing.Sang surya kian terik, silau,membuat picingan mata lelakitua itu kian rapat. Ia tetapmengayuh sepeda tuanya, men-gayuh asa ke Gedung Serba Gunayang kata orang-orang bakaldihadiri sejumlah petinggi negeridan tokoh masyarakat.

Perlahan, ia terus menyusurijalan di wilayah yang berjaraksekitar 250 kilo meter arah utaraKota Pekanbaru ini.

Meski Bustamil mengayuhsepeda penuh semangat, namunlelaki itu tak kuasa melawanbusur sang waktu. Jika dua atautiga puluh tahun silam, kakekdua cucu ini terus menyusurijalan tanpa perlu beristirahatlama. Sekarang tidak lagi, se-sekali berhenti, sejenak dia ber-naung di kerindangan pohonyang sempat ia temui. Lalu, iapijat sendiri betisnya.

“Kaki saya gemetar kalaulama-lama mengayuh, mungkinkarena usia saya tidak mudalagi,” kata Bustamil tertawa kecilkepada Dumai Pos sembarimemperlihatkan giginya yangmasih tetap genap meski usianyamasuk kepala enam.

DiusirTak hanya kamera yang men-

jadi saksi bisu sejarah panjangperjalanan hidupnya. Tetapi,sepeda kusam itu juga menyim-pan cerita yang teramat getir.

Seiring dengan asa yangmembuncah di benaknya, Bus-

tamil pun sampai di GedungSerba Guna milik Pemko Dumaidi Jalan HR Soebrantas. Selan-jutnya, kaki lelaki tua itu memijaktanah bercampur pasir, dia punmenuntun sepeda tak jauh darisisi pintu utama. Di sana terdapatkendaraan roda dua dan empat diparkir rapih.

Kala itu, di benak Bustamilhanya ada bagaimana momen-momen bagus itu bisa diambil?Tak hanya itu, hasil jepretan tustelkesayangannya bisa menutupibiaya membeli dua rol film danongkos cetak, selebihnya untukkeperluan dapur.

Namun asa Bustamil tak ber-tepi. Baru saja lelaki yang telahmenghabiskan waktu sekitar 40tahun atau lebih dari separuhusianya menjadi tukang fotokeliling itu hendak beranjak darisepeda, bersamaan mobil pe-tinggi negeri mulai berdatangan,salah seorang petugas meng-hampirinya. Dengan nada ketusdan tinggi dia menyuruh lelaki ituuntuk segera memindahkansepedanya.

“Pak Wali (Walikota, pen)mau datang, pindahkankan sepe-danya Pak!” kata Bustamil me-nirukan ucapan petugas.

Sesaat lelaki tua itu terdiam,dia tak tahu mengapa petugastersebut mengusirnya, dan Bus-tamil hanya bisa menduga-duga.

“Mungkin merusak ‘peman-dangan’. Sulit rasanya mengam-barkan perasaan saya waktu itu,”tutur Bustamil saat ditemui Du-mai Pos, disalah satu TamanKanak-kanak (TK) ternama dikawasan Jalan Sudirman, Selasa(15/5).

Siang itu, Bustamil meng-gantungkan hasil jepretan foto dipagar besi berbentuk anyamankubus. Ya, Kamis (10/5), seluruhTK se Kota Dumai menggelarkarnaval dalam rangka men-yambut hari jadi ke 13 kota itu.“Mana tahu ada yang mengambilfoto. Sebab, saat karnaval ber-lagsung ada juga yang minta di

foto,” lanjut Bustamil duduk diteras SD tak jauh dari TK -duasekolah ini plus SMP beradadisatu lokasi-.

Tak lama berselang, sejumlahorang tua berdatangan inginmenjemput putra-putri mereka.Buru-buru Bustamil berdiri me-nghampiri mereka. Meski priasepuh ini tak pernah mengikutikursus marketing, namun takkalah hebat dengan sales ataupenjual profesional.

“Sayang anak...sayang anak.Yang sayang anak fotonya diam-bil (dibayar, pen). Yang tidakberkenan jangan marah.”

Begitulah ‘mantera’ ampuh itudiucapkan Bustamil. Dan dalamwaktu tertentu ia kembali men-gucapkan kalimat itu. Tak ayalsebagian dari orang tua murid itutersenyum mendengar ucapannan ‘menggoda’ ini. “Sayanganaklah, Pak?” sahut salah seo-rang dari mereka sembari tertawakecil.

Ternyata ‘mantera’ pemikatala Bustamil ini terbilang ampuh.Buktinya, ada diantara merekamembayar hasil jeperetannyatatkala melihat foto sang buahhati terpampang diantara deretanpanjang foto-foto. Namun sebe-lum itu sempat terjadi tawar-menawar harga, tapi akhirnyaBustamil mengalah. “Yang pen-ting jadi duit,” seloroh Bustamilsetengah berbisik kepada DumaiPos.

Tak hanya ‘mantera’ pemikat,namun Bustamil memegang te-guh janjinya kepada konsumen.

“Kemana pun foto itu mintadiantar pasti saya antar, dan tepatwaktu. Meski kaki ini terkadanggemetar karena mengayuh se-peda. Dan saya tidak ingin me-reka (konsumen, pen) kecewa.Itulah yang membuat pelanggansaya tetap setia,” ungkap Bus-tamil membuka rahasia.

Satu persatu orang tua muridmulai meninggalkan sekolahsambil menuntun putra-putrimereka. Bustamil tetap berdiritak jauh dari deretan foto. Se-sekali ‘mantera’ pemikat kembalidiucapkan. “Mana tahu ada yangmasih mau mengambil foto lagi,”tukas Bustamil.

Mungkin letih lantaran lamaberdiri, Bustamil kembali dudukdi teras. Entah bisikan darimana,ia kembali menceritakan kisah pi-lunya saat diusir oknum PNSPemko Dumai itu. “Beginilahnasib ‘orang kecil’, yang me-mbuat saya terpukul. Sepeda itu

tidak menganggu kendaraan lain,dan tidak usah pakai diusir se-gala, mungkin usia saya denganorang tuanya sama atau lebih tua.Ya, peristiwa itu teringat terus,”kenang Bustamil dengan suarabergetar, bola matanya berkaca-kaca memandang ke arah lapa-ngan sekolah, sementara duaatau tiga anak berlarian salingberkejaran bermandikan cahayamatahari.

Suasana hening, sesaat Bus-tamil berdiri menghampiri dere-tan foto yang dipajang di pagarbesi. Nakalnya angin membuatsebagian posisi foto berubah. Takjauh darinya, seorang perem-puan paruh baya gelisah mem-buang sepi menunggu pembelimakanan yang dijajakannya.

Gerusan zaman dengan eradigital menjadi ‘hantu’ yangsangat menakutkan, karena se-waktu-waktu dapat menggusur‘lahan’ mata pencarian Bustamildan fotografer keliling lainnya -yang dengan sendirinya akanmengancam ‘periuk nasi’ ke-luarga mereka-.

Di era digital, sekali jepretlangsung mengetahui hasil bi-dikan kamera. Namun hal itu takmenggoda Bustamil untuk ban-ting stir. Ia tetap tegar. De-dikasinya begitu tinggi melakoniperan sebagai fotografer keliling.

Menjadi tukang foto kelilingsudah dilakoni Bustamil semen-jak 1973. Dua tahun pertamadigelutinya di Pekanbaru. Se-lanjutnya, 1975 ia menginjakkankakinya di Dumai. Panjangnya

rentetan waktu yang dilaluinya,membuat delapan kali ia harusberganti sepeda selama lebihsatu generasi merambah sudut-sudut Kota Dumai ini.

Bermula dari suatu kebe-tulan. Awalnya, setelah me-namatkan Sekolah Teknik Me-nengah (STM) MuhammadiyahPadang pada tahun 1970, Bus-tamil muda merantau ke Pekan-baru. Nasib mujur menyer-tainya, karena dia mendapatpekerjaan di salah satu peru-sahaan swasta. Entah memangsudah garis tangan atau me-mang suatu kebetulan, rumahkontrakannya tak jauh darisebuah studio foto di kota Ber-tuah. Dari situlah dia belajar‘mengeker’ kamera.

Sang pemilik studio men-yarankan agar ia membeli tustel.Entah bisikan darimana, tanpaperlu berpikir panjang, ia punmengaminkan saran tersebut.

Tak lama berselang, peru-sahaan tempat ia bekerjagulung tikar.

“Pertama kali saya mem-beli tustel pada 1973 sehargaRp15 ribu. Berhenti dariperusahaan saya mencoba-coba menjadi tukang fotokeliling. Eh, keterusan,”kenang Bustamil tersipu.

Waktu bagaikan terlem-par dan terus bergulir. Yangtadinya hanya iseng-isengsambil menunggu peker-jaan, lambat laun Bustamilpun ‘kepincut’ dengan pro-fesi yang sebelumnya takpernah dibayangkannya,apalagi menjadi sebuah cita-cita.

Lama kelamaan tidakhanya sebatas coba-cobasekedar mengisi waktu lua-ng, perlahan tapi pasti men-jadi sandaran hidup.

Ketika kamera konvensionalmasih menjadi barang ‘wah’ sertatustel berteknologi digital danHP yang dilengkapi kamerabelum berserak seperti sekarangini, merupakan masa-masakeemasan baginya.

“Dulu, tidak banyak yangmemiliki tustel,” kata Bustamillirih seolah-olah menembuslorong waktu yang melemparkanlelaki tua ini ke masa keemasantustel analog.

Kini, semuanya telah beru-bah. Tak hanya kemajuan tekno-logi menjadi ancaman serius,ditutupnya Pelabuhan Dumaiuntuk umum ikut memukulmata pencariannya.

Di masa keemasan ketikakamera digital tidak mewabahseperti saat ini, tukang fotokeliling di Dumai lebih dari 40orang. Namun seiring perjalananwaktu satu per satu dari merekabanting stir, beralih profesi.“Yang masih tersisa sekitar limaorang,” kata Bustamil yang siangitu mengenakan kemeja batikberpadu celana panjang hijaudongker.

Dulu, saat warga bebas masukke kawasan areal milik PT Pela-buhan Indonesia I Cabang Du-mai sekedar refreshing menik-mati deburan ombak, ia bisamembawa pulang uang ke ru-mah sekitar Rp50 - Rp100 ribu.Sekarang, untuk memperolehRp30 ribu sulitnya bukan main.

“Waktu itu, cukup mangkal disekitar areal pelabuhan, pengun-jung pun berdatangan minta

difoto. Terkadang, dalam seharibisa menghabiskan tiga rol film.Sekarang terpaksa menyingkirmasuk kampung ke luar kam-pung. Untuk menghabiskan saturol saja susah,” keluh Bustamil,datar tanpa ekspresi.

Dengan ditutupnya pelabuhanmilik perusahaan semi plat merahitu, momen-momen tertentutermasuk pesta perkawinan men-jadi tumpuan terakhirnya untukmencari sesuap nasi. Sayang, halitu tidak berlangsung lama. Ban-yak studio foto dan penyewaanperalatan pesta -biasanya satupaket dengan catering dan organtunggal- memasukan dokumen-tasi dalam paket yang merekatawarkan ke konsumen, jugamenjadi ancaman baru baginya.

Di lain waktu, pernah jugaBustamil mangkal di pergelaranbadut berkostum tokoh kartunWalt Disney yang ditampilkansebuah perusahaan es krim, yangdigelar di sisi SPBU Jalan Sudir-man tak jauh dari kediamannya.Sialnya, berkah itu hanya berta-han sesaat. Selanjutnya, produsenes krim itu menutup usahanya.Tak jelas apa alasannya.

Lelaki sepuh ini kembalimerambah ke kampung-kam-pung hingga ke pelosok pinggirankota, agar tidak kemalaman dijalan, ia pun berangkat darirumahnya sekitar pukul 08.00WIB. Biasanya, menjelang mag-hrib, barulah ia sampai di rumah.Untuk makan siang, misalnya,Bustamil tak perlu repot-repotmemikirkannya, sang istri telahmenyiapkan rantang yang dibalutsapu tangan sebagai bekal, berisinasi serta lauk-pauk. Seterusnyadimasukan ke dalam plastik kre-sek warna hitam yang digan-tungkan di stang sepeda.

Jasa untuk satu lembar foto,Bustamil mematok harga Rp15ribu. Ia pun menerima orderanmencuci negatif film.Untuk satu lembar,lelaki itu hanya men-gutip Rp2500. Se-lesai dicuci, foto ter-sebut diantarnya kerumah konsumen.Terkadang, ada jugayang minta diantar-kan ke tempat ter-tentu.

Beruntung studiotempat langganan-nya memberi berba-gai kemudahan. Sa-lah satunya, hargamiring atau discount.Untuk satu rol filmukuran 36, misalnya,lelaki berkumis tipisini hanya membut-uhkan modal sekitarRp50 ribu. Itu sudahtermasuk harga filmplus biaya cetak.

Tidak DibayarBerbagai suka du-

ka menjadi asam ga-ram perjalanan hi-dupnya sebagai tu-kang ‘keker’ kamerakeliling. Dukanya,ketika ada konsumenyang ingkar janji. Se-belum dipotret tak jarang merekamendesak agar foto itu segeradiantar, karena momen itu dini-lai penting. Namun, saat ditagihmereka berdalih macam-macam.Untuk yang satu ini, Bustamilhanya memberi toleransi tiga kali.“Lebih dari itu, saya tidak datang

lagi,” ujar Bustamil kembalitanpa ekspresi.

Kendati kerap rugi lantaranjasanya tidak dibayar. Bustamiltidak jera. Alasannya pun teramatsederhana, menurut dia, semuapekerjaan ada resiko, tak terkecualimenjadi tukang foto keliling.

Walau demikian, ada jugasukanya. Tatkala konsumenmerasa puas atas hasil jepretan-nya. Kalau fotonya dirasakanbagus terkadang ada juga yangmembayar lebih. Tapi palingtidak, hasil yang bagus menjadikebanggaan tersendiri baginya.

Lain lagi kisah Wahab (49),yang juga masih bertahan deng-an kamera analognya. Lelaki inimulai menekuni profesi itu sejak1986. Dia menuturkan, masakeemasan tukang foto kelilingberakhir sampai tahun 2000.Selanjutnya, kurang menghasi-lkan lagi. Makanya, adalah halyang lumrah, jika mereka berduakerap tidak membawa pulanguang sepeser pun ke rumah.

Karena penasaran, Dumai Posingin tahu seperti apa ‘markas’sang fotografer senior ini. Untuksampai ke Rumah Bustamil.Penelusuran harus disertai den-gan bertanya beberapa kali.

Jalan semen tak sampai kedepan rumahnya. Tepat di ujungJalan Al Mubin, akhirnya DumaiPos bertanya kepada seorangperempuan berusia sekitar 40tahun yang saat itu sedang men-jemur pakaian.

Ternyata mencari kediamanlelaki yang tunak dengan pro-fesinya itu tidaklah sulit sepertidibayangkan semula. KendatiBustamil bukan selebritis ataupun politisi yang kerap tampil dilayar kaca, namun semua orangdi wilayah itu mengenalnya. “O,iya saya kenal, tukang foto keli-ling itu? -Bustamil-, dua lorongdari sini belok ke kiri sekitar tigarumah dari ujung gang, itu ru-mahnya,” terang peremuan itusembari menunjuk mulut gang.

Tanah masih basah, hujan tadimalam membuat sebagian sisijalan becek dan tergenang air.Tak lama berselang, Dumai Possampai di rumah model pangg-ung berdinding papan tempatBustamil dan keluarga berteduhdari ‘pelukan’ matahari dandinginnya malam.

Meski rumah itu terbilangsederhana -untuk ukuran seba-gian orang-, namun bagi Bus-tamil punya kebanggaan tersen-diri, suaranya sempat bergetartatkala mengisahkan perjuan-gannya mendapatkan rumah itu.“Tanah dan rumah itu hasil je-pretan foto. Ya, hasil keringatmasuk kampung ke luar kam-pung,” kata lelaki yang rautwajahnya mulai keriput ini.

“Sudah tiga hari ini abangtidak dapat uang,” tutur EfliZuriyati, istri Bustamil saat Du-mai Pos sampai di kediamannya,Sabtu pekan lalu. Beruntung,dibalik kepahitan itu, perempuanberambut panjang ini dapat

memahami profesi yang digelutisang suami.

Padahal, untuk memenuhikebutuhan hidup keluarganya,Bustamil dan Wahab mengandal-kan profesi itu, “Karena bukanpermintaan, ya, saya tidak mema-sang tarif. Fotonya sudah diambil

saja, saya sudah bersyukur,”ungkap Wahab getir dengan matamenerawang menatap langit-langit saat dijumpai Dumai Pos disebuah acara seremonial be-berapa waktu lalu. Tetapi, dariprofesi ini, dia berhasil men-yekolahkan salah satu putranyahingga menjadi seorang polisi.

Itu pula yang membuat Bus-tamil tidak berkecil hati ketika taksatu pun dari ketiga putranyamengikuti jejaknya menjadi tu-kang foto keliling. “Mereka mem-punyai jalan hidup masing-ma-sing,” kata Bustamil mencobabersikap arif.

Menjadi Teknik DasarKendati keberadaan tukang

foto keliling kini berada di tepizaman, namun eksistensi profesiitu memiliki jasa tersendiri dimata Anggraini (32). Bagi ibumuda ini, berkat jasa Bustamilmaka rentetan kebersamaandengan sang buah hati masihterangkai, meski sebatas hasiljepretan foto.

“Entah mengapa sebelummeninggal, hati saya kuat me-manggil tukang foto kelilingdatang ke rumah untuk difotodengan anak pertama saya -meningal berusia 11 bulan terke-na ISPA, kalau saja tidak adamereka, wah, tidak ada kenang-kenangan. Lagian tahun 2004Hp berkamera masih jarang tidakseperti saat ini,” kilah Anggrainikepada Dumai Pos sembarijemari tangannya yang lentik itumemperlihatkan jepretan foto-nya dengan sang buah hati hasil‘kekeran’ tukang foto keliling.

Termarjinalnya tukang fotokeliling menurut Ketua KomunitasFotografi Dumai (KFD) HendriKuswoyo (34) adalah bentuk me-taformosis kemajuan teknologi,dan tidak bisa dihindari. Kendatidemikian, sambung dia, sejatinyakamera analog adalah teknik dasarbagi seorang fotografer.

“Biar bagaimana pun cang-gihnya kamera digital, analogadalah basic fotografi. Ya, adaperalihan era, dari analog kedigital. Jadi, yang biasa analogtidak terlalu sukar saat ke digital.Idealnya, seorang fotografermengetahui atau memahamianalog, tidak instan,” tukas KetuaKFD, wadah tempat bernaunglebih dari 200 fotografer amatirmaupun profesional di Dumai.

Lebih jauh Hendri berpendapatbahwa fotografer juga bagian dariseni. Alasannya pun teramat seder-hana, ketika tukang foto mulaimengeker satu momen maka seja-tinya selain pencahayaan dankecepatan mereka juga mem-perhatikan lingkungan sekitarnyatermasuk ekspresi objek.

“Ya, fotografer juga bagian dariseni, karena menyangkut jiwa, nilaidan lainnya,” paparnya.

Seperti pelaku seni lainnya dinegeri ini yang identik -sebagianbesar- dengan minimnya per-ekonomian mereka. “Karena pang-gilan jiwa dan demi kepuasanbatin maka materi bukanlah se-

gala-galanya,” katanya.Saat disodorkan na-

ma Bustamil, Hendrispontan mengacung-kan jempol. “Saya ke-nal, salut. Karena masihtetap bertahan dian-tara tuntutan dan idea-lisme,” papar pria yangakrab dipanggil ToyJepreter ini.

Lantas, bagaimananasib foto-foto yangtidak diambil konsum-en itu? Secara terpisah,Bustamil dan Wahabmenjelaskan, foto terse-but disimpan di rumah.

Akan tetapi, dalamwaktu tertentu berkar-ung-karung foto itu ter-paksa dibakar, karenatidak ada lagi ruangtersisa untuk menyim-pannya.

Hanya cintalah yangmembuat mereka berd-ua masih tetap berta-han, meski profesi tu-kang foto keliling sudahtidak menjanjikan lagi.“Saya tetap bertahan,sampai badan ini tidakkuat lagi,” kata Bus-

tamil tersenyum lepas tanpa beban.Lalu, karena ingin mengantar

foto ke konsumen, siang itu Bus-tamil kembali mengayuh sepe-danya, membawa nasibnya. Ma-suk kampung ke luar kampung.Entah ke mana. Entah sampaikapan? ***

F-YON RIZAL SOLIHIN

40TAHUN: Hampir 40 tahun Bustamil Arifin menjadi fotografer keliling. Sehari-hari dia mengayuhsepeda tua menelusuri Kota Dumai menawarkan jasa pemotretan foto , Selasa (15/5).

F-YON RIZAL SOLIHIN

Bustamil Arifin membidikan kamera analog saat mengambil foto .

F:YON RIZAL SOLIHIN

Foto hasil jepretan dipajang di pagar sekolah, danBustamil berharap foto itu menghasilkan rupiah demirupiah agar dapurnya tetap mengebul, Selasa (12/6).

Top Related