hak hadhanah terhadap ibu wanita karir (analisis...

72
HAK HADHANAH TERHADAP IBU WANITA KARIR (Analisis Putusan Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/ Pengadilan Agama Depok) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : MOCHAMMAD ANSORY NIM : 105044201459 KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M

Upload: others

Post on 10-Aug-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HAK HADHANAH TERHADAP IBU WANITA KARIR (Analisis Putusan Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/

Pengadilan Agama Depok)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

MOCHAMMAD ANSORY NIM : 105044201459

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H / 2010 M

HAK HADHANAH TERHADAP IBU WANITA KARIR (ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 485/Pdt.G/2006/

PENGADILAN AGAMA DEPOK)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

MOCHAMMAD ANSORY

NIM : 105044201459

Dibawah Bimbingan

Pembimbing :

Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi

NIP : 194008051962021001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1431 H / 2010 M

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 01 Juni 2010

Mochammad Ansory

L A M P I R A N

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul HAK HADHANAH TERHADAP IBU WANITA KARIR (Analisa Putusan Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.

Jakarta, 15 Juni 2010

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012

PANITIA UJIAN 1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA. (..............................)

NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH. (..............................) NIP. 197202241998031003

3. Pembimbing : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi (..............................) NIP. 194008051962021001

4. Penguji I : Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM. (..............................) NIP 195505051982031012

5. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA. (..............................) NIP. 195003061976031001

i

KATA PENGANTAR

بسم اهللا الرحمن الرحيم

Alhamdulillah, dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Shalawat dan salam ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah

berhasil memerankan fungsi-fungsi kekhalifahan dengan baik dipentas peradaban dunia

sehingga beliau dipilih oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah bagi seluruh manusia.

Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan akademis dalam

menyelesaikan pendidikan Program Strata 1 pada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan

dorongan baik berupa moril, materil, pemikiran serta tenaga dari berbagai pihak. Oleh

sebab itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

beserta jajarannya.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, MA., Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

ii

3. Bapak Kamarusdiana, SH., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

4. Bapak Prof. Dr. H. A. Sutarmadi, dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan

waktu dan pikirannya untuk menuntun penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Pimpinan beserta Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan

Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga

Perpustakaan Umum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi

perpustakaan.

6. Ibu Dra. Maskufa, M.Ag, dosen Penasehat Akademik.

7. Ketua Pengadilan Agama Depok beserta staff yang telah menyediakan data, waktu,

dan kesempatan untuk melakukan penelitian.

8. Ayahanda Wirta Hasan dan Ibunda Nani Rochani yang selalu memberikan

dukungan baik secara moril dan materil serta do’a bagi penulis sehingga dapat

menyelesaikan proses belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Paman Agus Salam dan Bibi Siti Nurjanah di Cinangka yang telah membantu

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

10. Paman Thabrani dan Bibi Maryana di Lampung yang telah memberikan dukungan

dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Kakanda Anita Suryani dan Adinda Fauzie serta Abang Dirgantara di Lampung

yang telah membantu Penulis dan selalu memberikan dukungan moril demi

terselesaikannya penulisan skripsi ini.

iii

12. Adinda Al Komariah sebagai kekasih yang telah memberikan dukungan kepada

Penulis.

13. Rekan-rekan seperkuliahan Jurusan AKI angkatan 2005 yang banyak memberikan

sumbang saran, semangat, dan gairah dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Kepada semua pihak, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

turut andil dalam memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian

skripsi ini mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan-

kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis akan sangat

berterima kasih atas segala kritik maupun saran dari pembaca sekalian.

Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pihak-pihak yang memerlukan dan dapat menambah ilmu pengetahuan, khususnya bagi

penulis maupun pembaca sekalian.

Depok, 01 Juni 2010

Penulis

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................. iv

BAB I : PENDAHULUAN .............................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………… 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................... 7

D. Metode Penelitian .......................................................... 7

E. Tehnik Pengumpulan Data ............................................. 8

F. Analisa Data ................................................................... 9

G. Sistematika Penulisan .................................................... 9

BAB II : HADHANAH MENURUT HUKUM ISLAM ................... 11

A. Pengertian Hadhanah ..................................................... 11

B. Dasar Hukum Hadhanah ................................................ 13

C. Syarat-syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah .......... 14

D. Upah Hadhanah ............................................................. 15

E. Yang Berhak Mengasuh Anak ....................................... 18

BAB III : DESKRIPSI UMUM PENGADILAN AGAMA DEPOK.. 22

A. Sekilas Kota Depok ....................................................... 22

B. Pengadilan Agama Depok ............................................. 28

v

C. Hubungan Kerja Dengan Instansi Terkait ..................... 39

BAB IV : PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM

TERHADAP HAK HADHANAH PADA IBU WANITA

KARIR ................................................................................ 41

A. Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama

Depok ............................................................................. 41

B. Pertimbangan Hukum .................................................... 50

C. Putusan Pengadilan ........................................................ 52

D. Analisa Penulis .............................................................. 53

BAB V : PENUTUP .......................................................................... 58

A. Kesimpulan .................................................................... 58

B. Saran-Saran .................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 61

LAMPIRAN :

A. Putusan Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok,

tanggal 15 November 2006, antara Ir. Rini Prima Utari (Penggugat)

melawan Ir. Luthfy Bulaga Hutagalung (Tergugat).

B. Permohonan data / wawancara dari Pimpinan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Ketua Pengadilan

Agama Depok.

C. Permohonan kesediaan menjadi pembimbing skripsi dari Pimpinan

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

vi

kepada Prof. H.A. Sutarmadi, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Jakarta.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntunan agama.1

Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan anak yang dilahirkan. Oleh sebab

itu, orang tua mempunyai kewajiban mengurusi anak-anak yang dilahirkan dari

hasil sebuah perkawinan.

Dalam kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kehidupan

berumah tangga bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, karena didalam

kehidupan rumah tangga tidak lepas dari gejolak-gejolak yang ada. Apabila suami

istri tidak dapat melewati gejolak-gejolak tersebut, maka tidak bisa dihindarkan

lagi akan terjadi sebuah pemutusan tali pernikahan atau biasa disebut dengan

perceraian.

Perceraian adalah pemutusan tali pernikahan yang sah.2 Jika perceraian itu

terjadi, maka dapat menimbulkan sisi yang tidak baik untuk perkembangan anak.

Oleh sebab itu, sebuah perceraian tidak dianjurkan oleh Islam, karena Islam

sangat berkeinginan agar kehidupan rumah tangga tenteram dan terhindar dari

sebuah keretakan yakni perpisahan.

1 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II, (Jakarta:

Elsas, 2008), h.3

2 Kamal bin As Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Wqasaanita (Jakarta: Tiga Pilar, 2007), h.627

1

2

Apabila suami istri berpisah atau bercerai maka tidak bisa dihindarkan lagi

akan terjadi perebutan hak asuh anak, yang dalam istilah ilmu fiqih disebut

hadhanah. Dalam pada itu Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk

memberikan putusan mengenai hak asuh anak yakni hadhanah bagi anak yang

masih belum mumayyiz atau belum dewasa kepada orang yang dapat

membimbing dan mendidik anak tersebut yang masih memerlukan perhatian dan

kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Menurut para fuqaha, Hadhanah adalah hak untuk memelihara anak kecil,

baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang sehat akalnya; jadi tidak

termasuk disini pemeliharaan terhadap anak yang telah dewasa yang sehat

akalnya.3

Adapun yang terakhir ini dikala orang tua mereka bercerai maka

dipersilahkan memilih mana yang lebih dia sukai, tinggal bersama ayahnya atau

ibunya. Atau kalau dia laki-laki sudah tidak memerlukan lagi perawatan orang

tuanya. 4

Namun demikian, syari’at tetap menyuruh anak-anak dari keluarga yang

bercerai untuk berbakti kepada kedua orang tua dan memperlakukan mereka

dengan baik. Adapun bagi anak perempuan, sekalipun telah dewasa, ia tetap tidak

diperkenankan tinggal sendirian. Sehingga karena kelemahan dan tabiatnya ia

3 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah. Penerjemah Anshori Umar

Sitanggal, dkk (Semarang: Asy Syifa’, 1981), h. 450

4 Ibid, h. 450

3

takkan diperkosa orang untuk melakukan hal yang memalukan keluarganya. 5

Para ulama berpendapat tentang berakhirnya masa pengasuhan dan

konsekuensinya apabila kedua orang tuanya bercerai, ada beberapa pendapat :

1. Anak yang diasuh adalah laki-laki. Terkait dengan anak laki-laki yang telah

selesai masa pengasuhannya. Untuk hal ini ada beberapa pendapat:

a. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa ayah lebih berhak mengasuh anak.

Dengan alasan bahwa jika seorang anak laki-laki sudah bisa memenuhi

kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan adalah pendidikan dan

perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini si ayah lebih mampu dan tepat.

b. Madzhab Maliki berpendapat bahwa ibulah yang lebih berhak selama si

anak belum baligh.

c. Madzhab Asy Syafi’i dan Ahmad, anak diberi kesempatan untuk

memilih salah satu diantara keduanya.6

2. Anak yang diasuh adalah perempuan.

a. Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak tetap tinggal bersama ibunya

hingga anak perempuan tersebut menikah dan telah berhubungan intim

dengan suaminya.

b. Dengan mengacu pada pendapat Imam Ahmad, kalangan Madzhab

5 Ibid, h. 450

6 Abiyazid, ” Syarat Mendapatkan Hak Asuh Anak (Hadhanah)”, artikel diakses pada 29

Desember 2009 dari http://abiyazid. Wordpress.com/2008/03/12/syarat-mendapatkan-hak-asuh-anak-

hadhanah/.

4

Hanafi berpendapat bahwa manakala telah mengalami menstruasi anak

perempuan diserahkan kepada ayahnya.

c. Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada

ayahnya apabila telah mencapai usia 7 tahun.7

Menurut hukum Islam syarat-syarat mengasuh anak yaitu :

1. Islam

2. Berakal

3. Baligh

4. Pandai mendidik dan sanggup memberikan pendidikan

5. Dipercaya dan berakhlak baik

6. Tidak menikah

7. Merdeka (bukan budak)8

Menurut pendapat Ulama Madzhab Syafi'i meletakkan antara syarat utama

hak penjagaan anak ialah penjaga itu mestilah agama Islam, orang kafir tidak

boleh diberi amanah untuk menjaga anak muslim karena orang kafir tidak ada

kuasa perwalian ke atas orang muslim. Dalillnya ialah Firman Allah SWT (Q.S.

An-Nisa: 141). Bahkan kemungkinan penjagaan anak-anak muslim oleh orang

kafir akan membawa fitnah terhadap aqidah anak. Berkenaan pandangan ini juga

dipersetujui oleh Madzhab Hanbali.

7 Ibid

8 Puspita Giana, ” Proses Hadhanah Dan Adopsi”, artikel diakses pada 13 Januari 2010 dari

http://puspitagiana.blogspot.com/2009/06/proses-hadhanah-dan-adopsi.html

5

Sedangkan Ulama Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan penjaganya mesti

muslim, tetapi mereka bersepakat bahwa jika aqidah dan amalan agama anak-anak

muslim itu terancam sekiranya dijaga yang bukan muslim seperti membawa anak

itu ke rumah ibadat bukan Islam, membiasakan anak itu meminum arak dan

memakan daging babi, maka hak penjagaan itu mestilah diserahkan kepada

penjaganya yang beragama Islam.9

Penelitian ini akan membahas tentang putusan Pengadilan Agama Depok

Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok, yang memutuskan hak asuh

anak diberikan kepada ibu, bukan kepada bapaknya dikarenakan anak masih

berumur dibawah 12 tahun atau belum mumayyiz. Namun dalam kenyataan sang

ibu melepas tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya, karena sebagai

wanita karir sibuk bekerja dari pagi hingga larut malam, sehingga pengasuhan

sang anak diserahkan kepada neneknya atau orang tua perempuan dari ibu, yang

beragama Protestan. Apabila pengasuhan anak ini diberikan kepada neneknya

tersebut, maka secara tidak langsung sang nenek bisa mempengaruhi sang anak

atau cucunya tersebut untuk berpindah agama. Dari permasalahan inilah penulis

melakukan penelitian tentang :

“HAK HADHANAH TERHADAP IBU WANITA KARIR

(Analisa Putusan Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/

Pengadilan Agama Depok)”

9 Majelis Ulama Isma, ”Hak Penjagaan anak: Hukum Syari’ah Dan Undang-Undang Negara”,

artikel diakses pada 19 Desember 2009 dari http://www.ismaweb.net/v2/Article1002.html.

6

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Dalam hal ini penulis mencoba untuk membahas analisis putusan

Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama

Depok, yang difokuskan pada putusan hakim menyerahkan hak asuh anak kepada

ibu bukan kepada bapak si anak.

1. Pembatasan Masalah

Dalam KHI pasal 105 dinyatakan bahwa dalam hal terjadinya perceraian,

maka :

a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya;

b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaannya;

c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok dalam keputusannya

menyerahkan hak asuh anak kepada Ir. Rini Prima Utari Samil (ibu), yang

beragama Islam, namun pada kenyataannya Ir. Rini Prima Utari Samil

menyerahkan pengasuhan kedua anaknya kepada ibunya (orang tua perempuan Ir.

Rini Prima Utari Samil) yang beragama Protestan dikarenakan yang bersangkutan

adalah wanita karir.

Dengan demikian selanjutnya penulis hanya akan menganalisa putusan

hakim atas perkara tersebut yakni ”Hak Hadhanah Terhadap Ibu Wanita Karir”

dengan perumusan masalah yang dapat dibuat pertanyaan sebagai berikut :

7

2. Perumusan Masalah

1. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan

Agama Depok dalam memutuskan perkara nomor:

458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok ?

2. Apakah hakim memperhatikan masalah anak disaat membuat pertimbangan

dalam memutuskan perkara ?

3. Apakah yang menyebabkan si ibu menyerahkan hak pemeliharaan atau hak

asuh anak kepada neneknya atau orang tua perempuan dari ibu, yang

beragama Protestan ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Dengan merujuk pada pembahasan diatas maka penelitian bertujuan :

1. Mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Agama Depok

dalam memutuskan perkara nomor: 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama

Depok.

2. Mengetahui hakim memperhatikan masalah anak disaat membuat

pertimbangan dalam memutuskan perkara.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, menambah wawasan tentang hadhanah atau hak asuh anak.

2. Bagi fakultas, memberikan sumbangan kepustakaan dalam rangka

pengembangan akademis.

3. Bagi pekerja sosial, memberikan sumbangan pikiran dalam rangka

memelihara hak-hak terhadap anak

8

D. Metode Penelitian

Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan metode :

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu

dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan dan

mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan, kemudian

menghubungkannya dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan

kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan

tujuan yang dikehendaki penulis dalam penulisan skripsi ini.

2. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder yaitu:

1. Data Primer.

1.1. Didapatkan dari Pengadilan Agama Depok yaitu berupa lembaran

putusan.

1.2. Wawancara atau interview yaitu suatu cara pengumpulan data yang

digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya.

2. Data Sekunder.

Adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan

yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang

dimaksud adalah buku-buku fiqih, maupun dari internet.

E. Tehnik Pengumpulan Data

1. Tehnik pengumpulan data.

9

Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

sebagai berikut :

1.1. Berupa putusan Pengadilan Agama Depok

1.2. Dengan mencari informasi langsung dari sumber yang berkaitan dengan

masalah yang mau diteliti oleh penulis yaitu mewawancara langsung

hakim Pengadilan Agama Depok.

F. Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa

kualitatif, yaitu menganalisis dengan cara menguraikan dan mendiskripsikan

putusan tentang hak hadhanah terhadap ibu yang merupakan seorang wanita karir

sesuai putusan Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok, dan

menghubungkannya dengan hasil wawancara yang didapatkan dari hakim yang

menangani perkara tersebut, sehingga didapatkan kesimpulan yang objektif, logis,

konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam

penulisan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Agar mendapatkan gambaran isi daripada skripsi ini maka perlu disusun

sistematika penulisan, sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan.

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

metode penelitian, tehnik pengumpulan data, dan analisa data.

BAB II : Hadhanah Menurut Hukum Islam.

10

Dalam bab ini dibahas tentang pengertian, hukum, syarat-syarat, upah,

yang berhak mengasuh anak.

BAB III : Deskripsi Umum Pengadilan Agama Depok.

Dalam bab ini dibahas tentang sekilas kota Depok, Pengadilan Agama

Depok, hubungan kerja dengan instansi terkait.

BAB IV : Pertimbangan Hukum Majelis Hakim.

Dalam bab ini dibahas tentang dasar isi pertimbangan hukum majelis

hakim, pandangan ulama fiqih, analisa penulis.

BAB V : Penutup.

Dalam bab ini penulis memberikan Kesimpulan atas hasil pembahasan

yang dilakukan, dan mengemukakan Saran-saran yang dapat dijadikan

sebagai bahan masukan kepada semua pihak yang terkait pada

permasalahan ini.

11

BAB II

HADHANAH MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Hadhanah

Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan hadhanah. Secara

etimologis, hadhanah ini berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”.10

Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum

bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya

dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya.11

Para ulama fiqh mendefinisikan Hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan

anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah

besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan

kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik

jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan

memikul tanggung jawab.12

Menurut Zainudin Ali, hadhanah yaitu pemenuhan berbagai aspek

kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu

10 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, cet. III, (Jakarta: kencana, 2004), h.292.

11 Abi Yazid, ” Hadhanah (Hak Asuh Anak)”, artikel diakses pada 29 Desember 2009 dari

http://abiyazid.Wordpress.com/hadhanah. 12 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: kencana, 2003), h.175-176

11

12

pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketenteraman, dan segala aspek yang

berkaitan dengan kebutuhannya.

Dalam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi keluarga

berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup

kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada istri untuk membantu suaminya

bila suaminya tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, amat

penting mewujudkan kerja sama dan saling membantu antara suami istri dalam

memelihara anak sampai ia dewasa. Hal dimaksud pada prinsipnya adalah

tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya.13

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 98 menjelaskan sebagai berikut :

(2) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,

sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum

pernah melangsungkan perkawinan.

(3) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum

didalam dan diluar Pengadilan.

(4) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang

mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya

meninggal.

(5) Sedangkan dalam perspektif Imam al-San’ani menyatakan hadhanah adalah

memelihara seorang (anak) yang belum atau tidak bisa mandiri, mendidik,

13 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 64

13

dan memeliharanya untuk menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat

merusak dan mendatangkan madlarat atau kesengsaraan bagi anak. 14

Dalam KHI pasal 105 dinyatakan bahwa dalam hal terjadinya perceraian,

maka :

a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya;

b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaannya;

c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

B. Dasar Hukum Hadhanah

Dasar hukum hadhanah atau pemeliharaan anak adalah firman Allah SWT:

0 Artinya:

”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api

neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS. At-Tahrim: 6)

Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara

keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya

14 Zaitunah Subhan, Fiqh Pemberdayaan Perempuan (Jakarta: el-Kahfi, 2008), h. 316

14

itu melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, termasuk

anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.15

Sedangkan menurut para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu

hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam

ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah

untuk membiayai anak dan istri 16 dalam firman Allah:

............. Artinya:

”Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan

isterinya. (QS. al-Baqarah (2) ayat 233)

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama

ayah dan ibunya masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut

setelah terjadinya perceraian.17

C. Syarat-Syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah

1. Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh menangani dan

menyelenggarakan hadhanah.

2. Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak

dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya 18

15 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 177 16 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia:Antara Fiqih Munakahat Dan

Undang-Undang Perkawinan, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 328 17 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia:Antara Fiqih Munakahat Dan

Undang-Undang Perkawinan, cet. II, h. 328

15

3. Amanah dalam agama, sehingga wanita atau laki-laki yang fasiq tidak

dibenarkan untuk mendapatkan hak pengasuhan.

4. Lingkungan yang baik. Harus memiliki lingkungan tempat tinggal yang baik

dan aman serta tidak ada pengaruh pergaulan yang negatif, seperti maraknya

kemaksiatan dan kefasikan. Hal ini perlu agar seorang anak dapat tumbuh

dengan sehat, beriman dan shaleh.19

5. Islam. Orang kafir sama sekali tidak layak menjadi hadinah karena dikhuatiri

akan merusakkan aqidah anak tersebut.

6. Baik akhlaknya. Orang yang buruk dan rusak akhlaknya tidak layak menjadi

hadhinah.

7. Hadhinah perlu tinggal di tempat dimana kanak-kanak itu dipelihara. Oleh

sebab itu, ia akan memudahkan mereka menjalankan urusan penjagaan. 20

8. Keadaan perempuan tidak bersuami.

9. Dapat menjaga kehormatan dirinya. 21

D. Upah Hadhanah

Apabila suami isteri masih terikat dengan tali perkawinan mereka, atau

dalam menjalani masa iddah karena ditalak oleh bapak si anak, maka isterinya

18Ali Abdulloh,”Hadhanah”, artikel diakses pada 6 januari 2010 dari http://ali abdulloh.blogspot.com/2010/01/hadhanah/html.

19 Pangerans, ”Pengasuhan Anak Setelah Cerai”, artikel diakses pada 16 januari 2010 dari

http://pangerans.multiply.com/journal/item/193/Pengasuhan-Anak-Setelah-Cerai. 20 Mahir Al-Hujjah, ” Hadhanah: Suatu Pengenalan”, artikel diakses pada 3 Januari 2010 dari

http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2008/10/hadhanah-suatu-pengenalan.html. 21 Sulaiman Rasjid, Penyunting Li Sufyana, M. Bakri dan Farika, Fiqih Islam, cet. XXVII

(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 428

16

hanya mendapat nafkahnya sebagai seorang isteri atau nafkah karena menjalani

masa ’iddah.22

Firman Allah SWT:

⌧ ☺

................................. Artinya:

”Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi

yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan

makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik….” (QS. Al-

Baqarah: 233)

Apabila ibu telah selesai menjalankan masa ’iddah, ia tidak berhak lagi

menerima nafkah dari bekas suaminya, karena itu ia mendapat ongkos susuan dari

ayah anaknya.23

Firman Allah SWT:

……… ......................

Artinya:

”… Kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu, maka berikanlah kepada

mereka upahnya….. (QS. At-Thalaq:6)

22 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 145

23 Ibid, h. 145

17

Demikian pula apabila yang melaksanakan pengasuhan itu selain daripada

ibu, ia berhak mendapat ongkos hidup anak, karena ia terikat dengan tugas

melaksanakan pengasuhan itu. 24

Sedangkan menurut Huzaemah Tahido Yanggo, mengenai upah

hadhanah :

a. Hak ibu untuk mendapatkan upah hadhanah.

Jika pengasuh anak itu adalah ibunya anak yang diasuh (ibu kandung) baik

dalam konteks hubungan suami istri atau tidak, maka :

1. Jika ia adalah istri bagi ayah anak yang diasuh, maka ia tidak berhak

mendapatkan upah. Hal ini sesuai dengan pendapat madzhab Hanafi,

Maliki, dan Syafi’i. Alasannya, bahwa istri itu ibu bagi anak yang mesti

diasuhnya; ia berkewajiban secara agama atau sebagai konsekuensinya

sebagai muslimah untuk melakukan kewajibannya terhadap anak dengan

menyusui, dan mengasuh, serta mendidiknya. Dengan syarat, hubungan

suami-istri masih berjalan secara baik dan harmonis. Sebab, nafkah

untuk dirinya pun menjadi kewajiban suaminya. Baik ia mempunyai

anak darinya, atau tidak mempunyai anak.25

2. Dalam keadaan ibu telah ditalak, baik ia masih dalam masa ’iddah dari

talak raj’iy (dapat kembali) atau masa ’iddah karena talak ba’in, atau

24 Ibid, h. 145 25 Huzaemah Tahido Yanggo, editor Ahmad Zubaidi dan Syaiful Hadi, Fiqih Anak Metode Islam

Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak (Jakarta: P.T. Al-Mawardi Prima, 2004), h. 136

18

mungkin masa ’iddahnya telah habis. Untuk kasus yang disebut terakhir,

maka ketentuannya sebagai berikut :

a) Adapun istri yang sedang mengalami masa ’iddah dari talak raj’iy,

madzhab Hanafi menyamakan antara wanita tersebut dengan wanita

yang masih berada dalam naungan hubungan suami-istri. Karena ia

wajib mendapatkan nafkah atas suaminya selama masih dalam masa

’iddahnya. Sehingga tidak mungkin ayah dibebani kewajiban

memberikan dua macam nafkah. Apalagi jika ternyata ia masih

dalam masa ’iddah raj’iy, maka ia masih dalam masa persiapan untuk

kembali lagi ke suami, jika suaminya merujuknya tanpa akad baru

atau tanpa mahar yang baru.

b) Adapun istri yang sedang melalui masa ’iddah dari talak ba'in,

mereka tidak menetapkan adanya upah hidhanah baginya selama

masa ’iddahnya itu. Sebagaimana mereka pun tidak menetapkan

upah hidhanah tersebut bagi istri yang sedang melewati masa ’iddah

dari talak raj’iy. Sebab mereka mewajibkan atas suami untuk

memberinya nafkah dan menyediakan tempat tinggal bagi istri yang

sedang ditalak seperti itu. 26

b. Upah pemeliharaan anak oleh selain ibunya.

Pengasuh (hadhinah) itu berhak mendapatkan upah. Hal ini

sebagaimana dalam madzhab Maliki dalam sebagian keadaan/konteks

26 Ibid, h. 137

19

tertentu. Juga itulah pendapat madzhab Syafi’i dan Ibadhiah. Alasannya,

bahwa ia berhak mendapatkan balasan atas usahanya untuk berbagai

kemaslahatan anak, dan imbalan atas kesungguhannya dalam mengurus

segala kebutuhannya, serta ganjaran atas perhatiannya terhadap

perikehidupan anak tersebut. 27

E. Yang Berhak Mengasuh Anak

1. Ibu anak tersebut.

2. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas.

3. Nenek dari pihak ayah.

4. Saudara kandung perempuan anak tersebut.

5. Saudara perempuan seibu.

6. Saudara perempuan seayah.

7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung.

8. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah. 28

9. Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya.

10. Saudara perempuan ibu yang seibu dengannya (bibi).

11. Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi).

12. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah.

13. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung.

14. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. 29

27 Ibid, h. 137 28 Muhammad Uwaidah dan Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita. Penerjemah M. Abdul

Ghofar, dkk, cet. XIV, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 456

20

15. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah.

16. Saudara perempuan ayah yang sekandung dengannya.

17. Saudara perempuan ayah yang seibu.

18. Saudara perempuan ayah yang seayah.

19. Bibinya ibu dari pihak ibunya.

20. Bibinya ayah dari pihak ibunya.

21. Bibinya ibu dari pihak ayahnya.

22. Bibinya ayah dari pihak ayahnya. 30

No. 19-22 dengan mengutamakan yang sekandung pada masing-masingnya. Jika

anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram diatas,

atau ada tapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuhan anak itu beralih kepada

kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memiliki hubungan darah (nasab)

dengannya sesuai dengan urutan masing-masing dalam persoalan waris. Dan

pengasuhan anak itu beralih kepada :

23. Ayah kandung anak itu.

24. Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas.

25. Saudara laki-laki sekandung. 31

26. Saudara laki-laki seayah.

27. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.

29 Ibid, h. 456 30 Ibid ,h. 456 31 Syaikh Hasan Ayyub, Fiqhul Asrotul Muslimah. Penerjemah M. Abdul Ghofar, dkk, cet. V,

(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 395

21

28. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.

29. Paman yang sekandung dengan ayah.

30. Paman yang seayah dengan ayah.

31. Pamannya ayah yang sekandung.

32. Pamannya ayah yang seayah dengan ayah. 32

Jika tidak ada seorang pun kerabat dari mahram laki-laki tersebut, atau ada tetapi

tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada mahram-

mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu :

33. Ayah ibu (kakek).

34. Saudara laki-laki seibu.

35. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu.

36. Paman yang seibu dengan ayah.

37. Paman yang sekandung dengan ibu.

38. Paman yang seayah dengan ibu. 33

32 Ibid, h. 395 33 Ibid, h. 395

22

BAB III

DESKRIPSI UMUM PENGADILAN AGAMA DEPOK

A. Sekilas Kota Depok

a. Dasar Pembentukan dan Perkembangan Kota Depok

Berdasarkan kajian sejarah, Pemerintahan Kota Depok dikenal dengan

sebutan ”Depok” adalah sebagai sebutan terhadap sebuah dusun terpencil

yang terletak di tengah hutan belantara. Dalam perkembangan kultur

masyarakat tatar sunda sering juga dipergunakan kata ”Padepokan” sebuah

tempat terpencil yang dipergunakan untuk melakukan aktivitas/kegiatan

yang sifatnya pendalam sebuah ilmu.34

Dalam perkembangannya, pada tanggal 18 mei 1696 seorang Pejabat

Tinggi VOC Cornelis Chastelin membeli tanah yang meliputi daerah Depok

dan sebagian kecil wilayah Jakarta Selatan serta Ratujaya, Bojong Gede

adalah perpaduan kultur sunda dan betawi, yang selanjutnya Tahun 1871

Pemerintahan Belanda mengizinkan daerah Depok membentuk

pemerintahan dan presiden sendiri.35

Keputusan tersebut berlaku sampai tahun 1942 dikenal dengan sebutan

”Gomeente Depok” diperintah oleh seorang presiden sebagai Badan

Pemerintah Tertinggi di bawah kekuasaannya terdapat kecamatan-kecamatan

yang membawahi Mandat (sembilan mandor) dan dibantu oleh para

34 Dokumen Pengadilan AgamaDepok, Selayang Pandang (Depok:Pengadilan Agama,2005), h. 3 35 Ibid, h. 3

22

23

pencalang Polisi Desa serta pemikir atau Menteri Lumbung.36

Daerah teritorial Gemeente Depok meliputi 1.244 Ha., namun pada

tahun 1952 dihapus setelah terjadi perjanjian pelepasan hak antara

pemerintah RI dan pimpinan Gomeente Depok, tapi tidak termasuk tanah-

tanah eigendom dan beberapa hak lainnya.37

Bermula dari sebuah kecamatan yang berada dalam lingkungan

Kewedanaan (pembantu bupati) wilayah Parung yang meliputi 21 Desa, dan

dalam perkembangan berikutnya pada tahun 1976 perumahan-perumahan

mulai dibangun dan berkembang terus yang akhirnya pada tahun 1981

pemerintah membentuk pemerintah Administratif Depok. Peresmian kota

Administratif Depok dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri

Dalam Negeri dimana saat itu di jabat oleh H. Amir Machmud.38

Selama kurun waktu 17 tahun Kota Administratif Depok mengalami

pergantian kepemimpinan dari mulai : wali kota pertama Drs. Moch.

Rukasah Suradimadja (alm.) (tahun 1982- 1984), wali kota kedua Drs.

H.M.I. Tamji (tahun 1984-1988), wali kota ketiga Drs. H. Abdul Wahyan

(tahun 1988-1991), wali kota keempat Drs. H. Moch. Masduki (tahun 1991-

1992), wali kota kelima Drs. H. Sofyan Safari Hamim (tahun 1992-1996)

dan terakhir dijabat oleh Drs. H. Badrul Kamal (1997-1999) yang pada

tanggal 27 April 1999 dilantik menjadi Pejabat Walikotamadya/Kepala

36 Ibid, h. 3 37 Ibid, h. 3 38 Ibid, h. 4

24

Daerah Tingkat II Depok sekaligus peresmian Kota Depok dan berakhir

pada tanggal 15 Maret 2005. Kemudian seiring terjadinya perubahan sistem

pemerintahan sentralisasi kepada desentralisasi yang melahirkan UU No. 22

tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dengan perubahan oleh UU No. 32

tahun 2004, maka Kotamadya/Daerah Tingkat II Depok berubah menjadi

Kota Depok.39

b. Letak dan Luas Wilayah Pemerintahan Kota Depok serta Kondisi

Demografis.

1. Kondisi Geografis

Secara geografis Kota Depok terletak pada kordinat 6° 19’ 00” -

6° 28’ 00” Lintang Selatan (LS) dan 106° 43’ 00”- 106° 55’ 30” Bujur

Timur (BT). Bentang alam Depok dari Selatan ke Utara merupakan

daerah dataran rendah perbukitan bergelombang lemah dengan elevasi di

atas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15 persen.40

Kota Depok sebagai salah satu wilayah termuda di provinsi Jawa

Barat, memiliki luas wilayah sekitar 200,29 Km2 dengan mewilayahi 6

kota kecamatan, 63 Kelurahan, 776 Rukun Warga dan 3. 914 Rukun

Tetangga. Hampir sebagian besar kelurahan di Kota Depok sudah

terklasifikasi, yakni : sebanyak 50 kelurahan berstatus swasembada dan

39 Ibid, h. 4 40 Ibid, h. 5

25

13 kelurahan lainnya masuk dalam klasifikasi Swakarya.41

Wilayah Kota Depok berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu

provinsi, yaitu:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten

Tanggerang;

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede, Kota

Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri;

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan

Kecacamatan Bojong Gede; dan,

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan

Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.

Karena sangat rapat dan berbatasan dengan Jakarta sebagai Ibu

Kota Negara, maka kemudian Depok mendapat julukan sebagai

”Kota Penyangga dan Pemukiman”. Karena kebanyakan penduduk

Kota Depok adalah mereka para pekerja dari Pusat ibu Kota

Jakarta.42

2. Kondisi Demografis

Menurut hasil penghitungan proyeksi kependudukan tahun 2001,

jumlah penduduk Kota Depok berjumlah 1.204.687 jiwa, dengan

perbandingan jenis kelamin yaitu: 609.225 jiwa laki-laki dan 595.462

41 Ibid, h. 5 42 Ibid, h. 6

26

jiwa perempuan, dengan rasio jenis kelamin 102.43

Dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan

keamanan, wilayah ini berbatasan dengan daerah khusus ibu kota Jakarta

yang nota bene merupakan pusat kekuasaan, dan pusat perdagangan, di

samping merupakan wilayah penyangga perkembangan demografis DKI

Jakarta.44

3. Kondisi Sosial Ekonomi

Secara ekonomis Kota Depok memiliki Pendapatan Asli Daerah

yang tidak jelek. Penerimaan melalui sektor pajak daerah, Retribusi

daerah, Pos bagian BUMD (PDAM), bagi hasil pajak, bagian

sumbangan/subsidi, bagian bantuan pembangunan dan pos-pos

penerimaan lainnya yang mencapai Rp 33.462.077.000.00 menjadikan

Kota Depok diperhitungkan para investor.45

Sebagian besar mata pencaharian penduduk berada pada sektor

perdagangan dan jasa, yaitu 126.616 orang (35,42%), sektor

pemerintahan/Pegawai Negeri (Sipil/ABRI) yaitu 82.237 orang

(23,02%), sektor pertanian 24.468 orang (6,85%), sektor pengrajin 2.267

orang (0,63%), pengusaha 657 orang (0,18%) dan lain-lain 121.207

43 Ibid, h. 6 44 Ibid, h. 6 45 Ibid, h. 6

27

orang (33,9%)..46

4. Kondisi sosial Budaya/Pendidikan

Sebagai kota penyangga yang prospektif Depok telah

menyiapkan lembaga-lembaga yang menghasilkan Sumber Daya

Manusia (SDM) yang baik untuk menghadapi persaingan global yang

semakin lama semakin menuntut perbaikan di masa mendatang. Fasilitas

pendidikan yang dimiliki Kota Depok adalah sebagai berikut :

Fasilitas Sekolah/Pendidikan

No. Jenis Sekolah/Pendidikan Jumlah

1 Taman Kanak-kanak/RA 17 buah

2 SD/Madrasah Ibtidaiyyah 442 buah

3 SMP/MTSN 194 buah

4 SMU/MA 91 buah

5 Perguruan Tinggi 9 buah

6 SLB 4 buah

Sumber Data : BPS Kota Depok Tahun 2001

Fasilitas Kesehatan

No Fasilitas Kesehatan Jumlah

1 Rumah Sakit Umum 4 buah

2 Puskesmas 24 buah

3 Pos Yandu 637 buah

4 Klinik KB 176 buah

5 Apotik 77 buah

Sumber Data : BPS Kota Depok Tahun 200147

46 Ibid, h. 7

28

5. Kondisi Sosial Keagamaan.

Depok yang memiliki akar sejarah panjang dalam hal pembinaan

keagamaan, pada perencanaan pembangunan Depok Modern telah

memposisikan tempat-tempat ibadah sebagai salah satu media

meningkatkan derajat keimanan dan ketakwaan masyarakat di Kota

Depok.48

Kondisi seperti ini telah menempatkan Kota Depok sebagai kota

religius yang memegang teguh asas saling menghormati antar umat

beragama dan menjunjung tinggi perbedaan dan toleransi.49

Secara spesifik, bagi umat Islam dari 6 kecamatan yang ada telah

memiliki TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) sebanyak 582 buah

dengan jumlah murid 23.284 orang serta 1.023 guru/pengajar.50

B. Pengadilan Agama Depok

a. Dasar Pembentukan dan Yuridiksi.

1. Dasar Pembentukan

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kota Depok

yang berawal dari suatu wilayah Kecamatan Depok berkembang menjadi

sebuah Kota Administratif sebagai bagian dari kabupaten Bogor

kemudian menjadi Kota Madya, yang pada saat ini menjadi sebuah

47 Ibid, h. 8 48 Ibid, h. 9 49 Ibid, h. 9 50 Ibid, h. 9

29

pemerintahan Kota Depok dibentuk pula Pengadilan Agama (PA) Depok

berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun

2002 tanggal 28 Agustus 2002. Pembentukan PA Depok ini bersamaan

dengan dibentuknya 11 PA lainnya sesuai KEPRES dimaksud yaitu PA

Muara Tebo, PA Sengeti, PA Gunung Sugih, PA Blambangan Umpa, PA

Cilegon, PA Bontang, PA Sangatta, PA Buol, PA Bungku, PA Banggai,

dan PA Tilamuta. PA Depok yang peresmian operasional oleh Walikota

Depok dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2003 di Balai Kota Depok

mulai menjalankan fungsi peradilan sejak 1 Juli 2003, Di samping dasar

pembentukan dan dasar operasional sebagaimana tersebut di atas, yang

menjadi dasar pertimbangan perlunya dibentuk PA Depok adalah antara

lain :51

a. Depok telah menjadi sebuah pemerintahan kota, yang berdiri

sendiri lepas dari Pemerintah kabupaten Bogor yang perlu dibentuk

sebuah Pengadilan Agama sesuai pasal 4 ayat (1) Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989.

b. Perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh PA Cibinong, 55%

berasal dari penduduk yang berdomisili di Depok, sesuai hasil studi

kelayakan.

c. Untuk melaksanakan asas cepat dalam penyelesaian perkara,

51 Ibid, h. 10

30

karena pemerintah kota Depok harus menuju ke PA Cibinong.52

2. Yuridiksi

Daerah hukum PA Depok adalah meliputi wilayah Pemerintahan

Kota Depok, sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang

dalam Keputusan Presiden RI Nomor 62 tahun 2002 pasal 2 ayat (5)

disebutkan bahwa ”Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi

wilayah pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat”. Yang pada saat

ini wilayah yuridiksinya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.53

b. Struktur Organisasi dan Uraian Tugas

Pengadilan Agama Depok merupakan PA kelas II, karena ia baru

dibentuk, yang saat ini dipimpin oleh seorang Ketua (Drs. Kurtubi Kosim,

SH, M. Hum) dan seorang wakil Ketua (H. Asril Nasional, SH, M. Hum).

Adapun struktur organisasi PA Depok, sebagai berikut:

1. Pimpinan : Ketua dan Wakil Ketua

2. Tenaga fungsional : Para Hakim

3. Kepaniteraan/Keseketariatan :

a. Panitera Sekretaris dibantu oleh : Wakil Panitera, Panitera Muda

Permohonan, Panitera Gugatan, dan Panitera Hukum serta beberapa

orang Panitera Pengganti dan Jurusita Pengganti.54

b. Sekretaris dibantu oleh : Wakil Sekretaris yang dilengkapi dengan :

52 Ibid, h. 11 53 Ibid, h. 11 54 Ibid, h. 11

31

Kepala Urusan Kepegawaian, Kepala Urusan Keuangan, dan Kepala

Urusan Umum.55

c. Gedung/Kantor dan Perlengkapannya.

1. Tanah dan Gedung.

Pengadilan Agama Depok yang baru dibentuk pada tahun 2002

dan diresmikan operasionalnya pada bulan Juni 2003, saat ini belum

memiliki gedung sendiri, untuk sementara kegiatan dan pelaksanaan

tugas dan fungsinya menempati sebuah bangunan dengan status

mengontrak, terletak di Jalan Bahagia Raya Nomor 11 Rt 04/08

Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok Timur, Kota

Depok. Namun demikian, untuk selanjutnya, PA Depok akan

menempati sebuah bangunan gedung yang didirikan di atas sebidang

tanah hasil pemberian dari Pemerintah Kota Depok seluas 636 M2.

Kantor yang sedang dibangun ini terletak di pusat perkantoran Kota

Depok berdekatan dengan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kota Depok. Pemberian tanah dari Pemerintah Kota Depok tersebut,

dikarenakan Pemerintah Kota sangat meyambut baik kehadiran lembaga

penegakan hukum di kotanya, hal ini juga terlihat bagaimana ketika

Pemerintah Kota Depok menerima kehadiran Tim study kelayakan untuk

pendirian PA Depok.56

55 Ibid, h. 12 56 Ibid, h. 12

32

Pada tahun 2000 Pemerintah Kota menjanjikan pemberian

sebidang tanah dan menunjukkan lokasi yang akan ditempatkan

kantor/gedung PA Depok (langsung di lapangan). Tanah yang ada saat

ini, untuk ukuran PA kelas II luasnya belum sesuai dengan standar tanah

yang ditetapkan yaitu 1600 M2. Sedangkan pembangunan gedungnya

masih dalam proses, karena baru diselesaikan tahap I berupa Fondasi dan

tiang pancang. Luas bangunan gedung tersebut, adalah 213 M2. dengan

bertolak dari standarisasi, maka luas bangunan tersebut juga belum

memenuhi standar untuk PA kelas II.

Pada tahun 2005 pembangunan dimaksud dilanjutkan pada tahap

II dengan dana yang sudah dialokasikan sebesar Rp. 325.000.000,-57

2. Perlengkapan Lainnya

Di samping tanah dan gedung, PA Depok juga dilengkapi dengan

sarana lainnya berupa alat transportasi, informasi komunikasi, alat tulis

kantor, meubelair, dan brankas serta perlengkapan lainnya, antara lain

berupa:

- Kendaraan roda 4 sebanyak 2 (dua) buah, berasal dari swadaya 1

(satu) buah dan hibah/pemberian dari Wali Kota Depok 1 (satu)

buah.

- Kendaraan roda 2 sebanyak 1 (satu) buah berasal dari Depag Pusat.

- Komputer 6 unit dan printer 3 unit.

57 Ibid, h. 13

33

- Pesawat Telepon/Faksimili 1 unit berikut sambungan/ lainnya.

- Pesawat Televisi 1 buah.58

d. Keuangan

Tahun anggaran 2004 dan 2005 PA Depok mendapatkan dana dari

Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP), sebagai berikut :

Tahun 2004 : DIK sebesar : Rp 306.645.000,00

DIP sebesar : Rp 298.200.000,00

Tahun 2005 : DIK sebesar Rp 352.000.000,00

DIP sebesar Rp 332.961.000,00

Adapun sumber dana untuk tahun anggaran 2005 tersebut di atas, saat

ini sebenarnya tidak dikenal lagi pembedaan antara DIK dan DIP, namun

penyajiannya sedemikian rupa untuk memudahkan perbandingan besaran

anggaran semata. Jika diperhatikan angka besaran dana secara keseluruhan

antara tahun 2004 dengan 2005, maka dapat dilihat bahwa PA Depok

mendapat kenaikan/tambahan anggaran/dana sebesar Rp. 80.116.000 atau

sebesar 13,24% adapun kenaikan dana yang bersumber dari DIK sebesar Rp.

45.355.000 (14,79) sedangkan yang dari DIP sebesar Rp. 34.761.000

(11,65%).59

e. Ketenagaan

58 Ibid, h. 13 59 Ibid, h. 14

34

Tenaga pelaksana sebagai roda penggerak organisasi PA Depok yang

pada tahun 2005 berjumlah 34 orang terdiri atas 3 status kepegawaian, yaitu

pejabat fungsional, pejabat struktural dan karyawan non jabatan. Sedangkan

pada tahun 2003 berjumlah 20 orang. Pada tahun 2004 PA Depok mendapat

tambahan 13 orang pegawai yang terdiri 1 orang laki dan 12 orang Calon

Pegawai Negeri Sipil. Untuk tahun 2005 mendapat tambahan 1 (satu) orang

panitera pengganti yang didapat dari PA Jakarta timur. Rincian pegawai jika

digolongkan menurut jabatan, jenis kelamin, pangkat/golongan, pendidikan

akhir dan usia akhir tergambar sebagai berikut:

1. Jabatan

- Hakim berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari 7 (tujuh) orang

laki dan 2 (dua) orang perempuan.

- Panitera berjumlah 1 (satu) orang dan Panitera Pengganti berjumlah 6

(enam) orang. Panitera pengganti yang tidak merangkap sebagai

pejabat struktural hanya 2 (dua) orang, sedangkan 4 (empat) orang

lainnya merangkap sebagai pejabat struktural kepaniteraan.

- Juru sita pengganti berjumlah 6 (enam) orang. Juru sita tersebut

merangkap jabatan kesekretariatan 4 (empat) orang, dan hanya 2

(dua) orang yang tidak merangkap, ini pun baru diangkat pada tahun

2004.

- Panitera pengganti dan juru sita pengganti masing-masing dijabat oleh

1 (satu) orang wanita. Jika pada jabatan fungsional baik panitera

pengganti maupun juru sita pengganti yang kini merangkap jabatan

35

struktural berarti PA Depok masih kurang tenaga pejabat

fungsionalnya. Untuk itu perlu mendapat tambahan pegawai baru.

- Pejabat struktural. Seluruh jabatan struktural pada tahun 2005 baik

kepaniteraan maupun kesekretariatan seluruhnya telah terisi sejak

tahun 2003, kecuali Kepala Urusan Umum yang diisi/dilantik dalam

jabatan pada tahun 2004. Seluruh jabatan struktural PA Depok dijabat

(secara kebetulan) oleh mereka yang berjenis kelamin laki-laki.

- Karyawan lainnya. Karyawan PA Depok yang non jabatan/staf

berjumlah 14 (empat belas) orang dengan rincian 11 (sebelas) orang

bertugas di PA Depok (riil) sedangkan 3 (tiga) orang lainnya

dititipkan pada PA Bogor dan PA Cibinong oleh Pengadilan Tinggi

Agama Bandung. Karena volume dan frekwensi pekerjaan pada PA

Depok cukup tinggi yang menerima perkara mencapai 926 pada tahun

2003 dan 885 pada tahun 2004 maka sudah seharusnya 3 orang

pegawai yang dititipkan tersebut, ditugaskan langsung pada PA

Depok sebelum ada penambahan pegawai yang masih sangat

dibutuhkan.60

2. Jenis Kelamin

Dari 34 (tiga puluh empat) orang pegawai PA Depok, 26 (dua

puluh enam) orang atau 76,47% berjenis kelamin laki-laki dan 8

(delapan) orang atau 23,53% dari jabatan baik struktural maupun

60 Ibid, h. 15

36

fungsional di PA Depok yang ada kebanyakan dijabat oleh karyawan

laki-laki, bahkan seluruh jabatan struktural pejabatnya adalah laki-laki

semua, kecuali hanya ada 2 (dua) orang kelamin wanita, 1 (satu) orang

juru sita pengganti.61

3. Golongan

Tenaga pada PA Depok kesemuanya tidak ada yang mempunyai

golongan 1, mereka berpangkat/golongan II, III dan bahkan 4 orang

bergolongan IV dengan rincian sebagai berikut:

Pegawai golongan II/a sebanyak 6 orang,

Pegawai golongan II/d sebanyak 1 orang,

Pegawai golongan III/a sebanyak 9 orang,

Pegawai golongan III/b sebanyak 6 orang,

Pegawai golongan III/e dan III/d masing-masing sebanyak 4 orang,

Pegawai golongan IV/a sebanyak 3 orang,

Pegawai golongan IV/b sebanyak 1 orang.

Dari 9 (sembilan) orang hakim yang ada kesemuanya

berpangkat/golongan Hakim Pratama Madya/piñata (III/c) ke atas

dengan rincian:

Hakim Pratama Madya (III/c) 2 orang,

Hakim Pratama Utama (III/d) 3 orang,

Hakim Madya Pratama (IV/a) 3 orang,

61 Ibid, h. 15

37

Hakim Madya Muda (IV/b) 1 orang.

Hal ini berarti 45% dari jumlah 9 orang hakim di PA Depok berada pada

ruang lingkup golongan IV.62

4. Pendidikan Akhir

Semua karyawan PA Depok berada pada tahap atas, hal ini

dikarenakan 20 orang karyawan berpendidikan S1 bahkan 6 orang

karyawan sudah menyandang gelar Master (S2). Dengan kata lain

76,47% berpendidikan tinggi, dan selebihnya hanya 8 (delapan) orang

yang berijazah SLTA atau hanya 23,53% saja yang belum sarjana. Dari

26 orang karyawan yang berpendidikan Strata-1 (S1) 17 orang berasal

dari Fakultas Syari’ah, sedangkan 9 (sembilan) orang lainnya berasal

dari Fakultas Hukum. Di samping itu ada juga 3 orang yang mempunyai

gelar dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas Hukum. Bahkan 2 (dua) orang

hakimnya sedang menempuh pendidikan S3 pada UIN Syahid Jakarta

dan IAIN Bandung.63

5. Perkara

PA Depok yang dibentuk sejak tanggal 28 Agustus 2002

berdasarkan Kepres No. 62 Tahun 2002 dan beroperasi sejak tanggal 1

Juli 2003 termasuk PA kelas II yang tinggi jumlah perkaranya. Hal ini

terlihat bahwa untuk 6 (enam) bulan pertama saja yaitu bulan Juli s/d

62 Ibid, h. 16 63 Ibid, h. 16

38

Desember 2003 menerima sejumlah 410 perkara, dan tahun 2004

sejumlah 926 perkara. Sedangkan untuk tahun 2005 yaitu bulan Januari

dan Februari atau selama 2 (dua) bulan berjumlah 176 perkara. Jika

kurun waktu 20 bulan berjumlah 1.512 perkara. Bila diambil angka rata-

rata, maka PA Depok menerima 75 buah perkara lebih tiap bulannya.

Dari jumlah perkara sebanyak 1.512 itu yang diterima hanya 2 (dua)

perkara saja yang merupakan perkara waris, sedangkan yang 1.510

perkara (99,86%) adalah perkara perkawinan dengan rincian jenisnya

adalah:64

No Tahun Jenis Cerai Gugat

Jenis Cerai Talak

Ket

1 2003 254 143 6 bulan

2 2004 594 301 1 tahun

3 2005 59 27 2 bulan

Jumlah 907 471 20 bulan

6. Tata Persuratan

Disamping data perkara baik yang diterima, diputus atau perkara

yang dilakukan/mendapat upaya hukum sebagai salah satu indikator

sinergi Pengadilan Agama Depok, data aktifitas persuratan juga

merupakan hal yang dapat menunjukkan sinergi yang dimaksud. Hanya

saja, pemaparan pengelolaan tata persuratan yang kami sajikan dibatasi

64 Ibid, h. 17

39

untuk masa yang berjalan penuh 1 (satu) tahun, yaitu tahun anggaran

2004, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember. Jumlah surat

yang diterbitkan PA Depok sebanyak 821 buah dengan 14 tujuan instansi

berbeda, sedangkan jumlah surat yang masuk/diterima oleh PA Depok

sebanyak 1.135 buah surat dari 13 jenis instansi yang mengirim. Baik

surat yang keluar atau pun yang masuk yang terbanyak adalah yang

ditujukan atau yang diterima dari instansi lingkungan peradilan agama.

Dari gambaran pengelolaan data persuratan tersebut diatas terlihat

bahwa PA Depok termasuk PA kelas II yang aktifitas administrasinya

cukup tinggi.65

C. Hubungan Kerja dengan Intansi Terkait

a. Pemerintah Kota Depok

Keberadaan pengadilan agama mempunyai peranan yang cukup

strategis dalam pelayanan bidang hukum khususnya bagi umat Islam

masyarakat Kota Depok, yang sebelumnya masyarakat menyelesaikan

perkara di Pengadilan Agama Cibinong Kabupaten Bogor.66

Pemerintah Kota Depok sebagai penyelenggara pemerintahan umum

dan pelaksana pembangunan, dengan fungsi sebagai administrator

pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, terutama dalam bidang

pelayanan umum. Keberadaan Pengadilan Agama Depok sebagai pelaksana

65 Ibid, h. 21 66 Ibid, h. 22

40

kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan yang beragama

Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan

mutu dan produktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi sebagai

pelayanan bidang hukum bagi masyarakat.67

Perhatian Pemerintah Kota Depok terhadap tugas dan fungsi

Pengadilan Agama Depok sangat besar sekali, hal ini dibuktikan dengan

bantuan kendaraan operasional roda empat, sarana, dan prasarana, serta

pembangunan gedung kantor Pengadilan Agama.68

b. Departemen agama

Keberadaan Departemen Agama Kota Depok bagi Pengadilan Agama

Depok tetap memiliki peranan yang sangat penting. Departemen Agama

salah satu pelaksana tugas pemerintah bidang keagamaan khususnya bidang

perkawinan, perwakafan, dan sebagainya.

Pengadilan Agama Depok sebagai salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan dalam bidang sengketa

perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum

Islam, serta wakaf, dan shadaqah. Dengan demikian hubungan kordinasi

dengan kedua instansi tersebut tetap berjalan dengan baik.69

67 Ibid, h. 22 68 Ibid, h. 22 69 Ibid, h. 23

41

BAB IV

PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM

TERHADAP HAK HADHANAH PADA IBU WANITA KARIR

A. Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok.

Pokok persoalan yang terjadi dapat diuraikan sebagai berikut :

Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, umur 34 tahun, agama Islam,

pekerjaan ibu rumah Tangga, bertempat tinggal di Jalan Karya Bakti Nomor 31

Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji Kota Depok; dalam hal ini berdasarkan

kekuatan surat kuasa khusus tertanggal 06 Juni 2006 diwakili oleh kuasanya A

Putra Mijaya, SH, LL.M, Tabrani Abby, SH, M. Hum, Syarifuddin Yusuf, SH,

Robi A. Marpaung, SH, Yasmin Purba, SH, Jaime Angelique, SH, Romi Leo

Rinaldo, SH, semua Advokat dan Penasihat Hukum ”Yayasan Lembaga Bantuan

Hukum Indonesia, Indonesia Legal Aid Foundation yang beralamat di jalan

Diponegoro Jakarta Pusat, yang bersangkutan adalah sebagai Penggugat.

Sedangkan Ir. Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung,

umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal di jalan

Sungai Pawan nomor 4 Rt.05/07 Kramat Pela Kb. Baru Jakarta Selatan, yang

bersangkutan adalah sebagai Tergugat.

Tentang duduk perkaranya dapat diajukan sebagai berikut:

1. Bahwa Penggugat dan Tergugat yang melangsungkan pernikahan pada

tanggal 5 Oktober 1996 bertepatan pada tanggal 29 Jumadil Awal 1417,

yang dicatatkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Beji Kota Depok,

41

42

sesuai dengan kutipan akta nikah nomor 358/23/1996 tanggal 5 Oktober

1996.

2. Bahwa Penggugat dan Tergugat sebagai suami isteri telah memilih tempat

kediaman bersama yang terakhir di Jalan Taruna Jaya No. 31 Rt.04 Rw.13

Kelurahan Cibubur Kecamatan Ciracas Jakarta.

3. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang

bernama :

Anggraita Maurizqa, umur 9 tahun

Ahmad Thoriq Arif, umur 3 tahun

4. Bahwa sampai saat ini umur perkawinan Penggugat dan Tergugat sudah

berumur 9 (sembilan) tahun 8 (delapan) bulan.

5. Bahwa pada awal pernikahan, Penggugat dan Tergugat tinggal bergantian,

2 (dua) minggu di Kebayoran (tempat mertua Penggugat) dan 2 (dua)

minggu berikutnya di Depok. Kemudian Penggugat dan Tergugat pindah ke

daerah Pasar Minggu (Rawa Bambu, seberang Poltangan) ketika Penggugat

sedang hamil anak yang pertama.

6. Bahwa rumah tersebut adalah milik mertua Penggugat yang sengaja

dibangun untuk diberikan kepada ipar-ipar perempuan Penggugat. Ketika itu

sebidang tanah dibangun menjadi 3 (tiga) kavling. Sehingga Penggugat dan

Tergugat tinggal di rumah adik Tergugat.

7. Bahwa ketika anak Penggugat dan Tergugat berumur sekitar 3 (tiga) atau 4

(empat) tahun, mertua Penggugat menawarkan rumah untuk Penggugat dan

Tergugat yang baru saja habis masa kontraknya, di daerah Cibubur.

43

8. Bahwa pada awal-awal pernikahan Penggugat dan Tergugat, ketika tinggal

di Pasar Minggu, Tergugat beserta teman-temannya bekerja di perusahaan

kontraktor, namun Tergugat tidak ikut menanam modal disana. Lalu

kemudian Tergugat keluar.

9. Bahwa ketika tinggal di Cibubur Tergugat membuka usaha sendiri yaitu jual

beli mobil bekas yang modalnya didapat dari Mertua Penggugat. Karena

kurang berhasil, maka kemudian Tergugat mengganti usahanya berupa

membuat arang batok untuk dipasarkan ke restoran-restoran sekitar Cibubur

dan usaha ini juga tidak berhasil.

10. Bahwa selanjutnya Tergugat membuka usaha Susu KPBS. Untuk itu pada

awalnya lumayan maju. Dengan memiliki 6 (enam) sampai 7 (tujuh) orang

pegawai yang tinggal di paviliun rumah. Namun lama-kelamaan usaha ini

pun menurun ditambah dengan adanya hutang kepada pihak distributor.

Sampai akhirnya pegawai Tergugat tinggal 1 (satu) orang saja. Itupun

setelah tutup Tergugat masih memiliki hutang yang dicicil ke pihak

distributor.

11. Bahwa Tergugat tidak pernah membuat lamaran kerja ke perusahaan

manapun karena Tergugat berprinsip tidak mau bekerja dibawah orang lain.

Namun pernah sekali Penggugat membuat lamaran kerja dan Penggugat

serahkan kepada teman Penggugat yang bekerja di Sinar Mas BII (valas)

sewaktu Tergugat tidak ada pekerjaan. Dan Tergugat hanya bertahan 3 (tiga)

hari saja dengan alasan Tergugat tidak bisa bekerja dibelakang meja apalagi

ruangan ber AC.

44

12. Bahwa sementara Penggugat bekerja di Yayasan Sosial yang bergerak di

bidang pemberian beasiswa bagi anak-anak tidak mampu sejak tahun 1998.

13. Bahwa sewaktu Penggugat mengandung anak kedua (memasuki bulan ke-2

usia kandungan), Tergugat mengalami serangan jantung di rumah. Ketika itu

Penggugat sedang bekerja dan Tergugat di rumah bersama anak Penggugat

dan Tergugat yang besar. Ketika itu Tergugat sedang tidak bekerja.

14. Bahwa akibat serangan jantung tersebut Tergugat dirawat di Rumah Sakit

Fatmawati selama sekitar 5 hari di ruang ICU dan sekitar 5 hari di kamar

RS. Ternyata menurut analisa dokter penyakit jantung koroner tersebut

adalah penyakit turunan dari ayah Tergugat yang juga berpenyakit yang

sama.

15. Bahwa sekitar 5 bulan berikutnya ia terkena lagi penyakit batu di ginjal.

16. Bahwa Tergugat adalah orang yang kaku dan sangat tidak romantis. Selama

perkawinan Tergugat tidak pernah mengajak Tergugat nonton berdua di

bioskop, walaupun Penggugat yang membayar.

17. Bahwa ketika anak kedua Tergugat dan Penggugat lahir, Tergugat tidak

mendampingi Penggugat dengan alasan bahwa sudah ada orang tua

Penggugat yang menemani

18. Bahwa lambat laun kehidupan rumah tangga Penggugat sering diwarnai

ketegangan karena ternyata semakin lama Penggugat dan Tergugat

menemukan banyak perbedaan prinsip dan cara pandangan kedepan

mengenai hidup berumah tangga.

19. Bahwa Penggugat merasa selalu saja salah di mata Tergugat, dan Penggugat

45

bukanlah isteri yang baik bagi Tergugat. Sampai-sampai orang tua

Penggugat selalu turun tangan untuk mendamaikan.

20. Bahwa perlu diketahui sampai saat ini Penggugat masih dibantu orang tua

dalam mencukupi rumah tangga. Misalnya televisi adalah kepunyaan

Penggugat semasa gadis, begitu juga dengan tape, radio hingga lemari

pakaian. Begitu pula dengan barang-barang lainnya adalah merupakan

pemberian orang tua Penggugat, seperti Kulkas, Mesin Cuci, Kompor Gas,

VCD, DVD, Oven, Microwave, AC sampai jemuran pakaian dan singkatnya

hampir seluruh isi rumah tersebut orang tua Penggugat yang melengkapinya.

21. Bahwa sebenarnya hubungan antara orang tua Penggugat dengan Tergugat

kurang harmonis. Hal ini dikarenakan Tergugat dan keluarganya kurang

senang dengan adanya perbedaan agama didalam keluarga Penggugat.

22. Bahwa orang tua perempuan Penggugat beragama Protestan dan ayah

Penggugat beragama Islam.

23. Bahwa Tergugat tidak pernah mau untuk bersilahturahmi kepada keluarga

besar Penggugat dengan alasan takut terpengaruh dan akan berdampak

negatif pada anak-anak. Namun dilain pihak, Penggugat harus mau menjalin

hubungan kepada keluarga besar Tergugat.

24. Bahwa sejak berumah tangga, baru setahun belakangan ini Penggugat

dibolehkan bertemu dengan sepupu, sanak saudara Penggugat. Setelah apa

yang menjadi alasan Tergugat ternyata tidak benar.

25. Bahwa hubungan Penggugat dengan kedua mertua pun sebenarnya tidak

terlalu akrab. Dikarenakan mereka sebenarnya tidak setuju kalau

46

bermantukan Penggugat. Penggugat memanggil mereka ’namboru’ untuk

mertua perempuan, dan ’amangboru’ untuk mertua lelaki. Yang dapat

diartikan ’ibu mertua/tante’ dan ‘bapak mertua/oma’. Tidak seperti Tergugat

memanggil mereka dengan sebutan; mama dan papa. Padahal kepada orang

tua Penggugat, Tergugat memanggil mami dan papi seperti layaknya

Penggugat. Saat mengetahui bahwa anak pertama adalah perempuan, mertua

Penggugat kurang suka. Terbukti, pada saat itu mereka tidak mau

menggendong anak tersebut. Baru lama-kelamaan mereka mulai bisa

menerimanya.

26. Bahwa ketidak harmonisan rumah tangga Penggugat di mulai sejak Tergugat

dalam tiga bulan terakhir, Mulai Februari, Maret, April 2006, tidak

menerima gaji tepat pada waktunya dari perusahaan pabrik steel-hardchrom,

tempat Tergugat bekerja selama hampir 2 (dua) tahun. Dikarenakan pabrik

tersebut sudah kesulitan membayar upah pegawai, yang mengakibatkan

Tergugat baru menerima gaji pada minggu kedua bahkan pernah pula pada

minggu ketiga, itupun cash bon terlebih dahulu sebesar sepertiga bagian

dari upahnya perbulan. Walaupun pada akhir bulan atau pernah juga di bulan

berikutnya akhirnya dilunasi.

27. Bahwa di bulan Februari 2006 Penggugat mendapat tawaran pekerjaan

tambahan sebagai event organizer untuk mengkoordinir artis yang

menghibur di Hotel Anggrek di daerah Slipi Tomang.

28. Bahwa pekerjaan Penggugat sebagai koordinator artis adalah menyusun

kegiatan musik untuk satu minggu kedepan, memimpin rapat kegiatan,

47

memberikan honor untuk artis pengisi suara perharinya, mengatur fasilitas

serta konsumsi artis pengisi acara, mengatur keuangan dan laporan,

mengatur kegiatan rapat dengan pejabat hotel, sampai mengurus

transportasi bagi pegawai manajemen.

29. Bahwa pada awalnya Tergugat mendukung pekerjaan sampingan Penggugat

tersebut. Malah Tergugat mengajarkan Penggugat bagaimana cara

memimpin dan duduk di dalam suatu keorganisasian.

30. Bahwa sejak tanggal 01 Mei 2006, ternyata Tergugat baru tahu bahwa

pekerjaan di bidang hiburan musik baru dimulai pada pukul 20.00 WIB,

sehingga Tergugat keberatan atas pekerjaan Penggugat.

31. Bahwa Penggugat baru berangkat bekerja sekitar pukul 15.00 Wib setelah

menyelesaikan segala pekerjaan rumah sebagai layaknya ibu rumah tangga.

32. Bahwa pekerjaan Penggugat selesai pukul 21.00 WIB, namun apabila ada

pekerjaan mendadak seperti dengan pihak manajemen Hotel, Penggugat

baru dapat pulang diatas pukul 22.00 WIB, dikarenakan jarak tempat kerja

dengan rumah Penggugat cukup jauh. Dan ketika pulang Penggugat tetap

mengerjakan rumah seperti mencuci piring kotor dan berbenah.

33. Bahwa pada hari Rabu tanggal 03 Mei 2006 ketika Penggugat pulang

bekerja, yang saat itu pukul 01.00 dini hari, Penggugat diantar oleh manager

dan isterinya. Ketika isteri manager hendak berpamitan dan menjelaskan

mengenai keterlambatan kepulangan Penggugat, Tergugat tidak berkenan

menemui manager dan isterinya bahkan pintu kamar dikunci dari dalam

sehingga Penggugat tidak bisa masuk. Padahal biasanya Tergugat paling

48

marah apabila kamar dikunci sebelum semua masuk kamar (Penggugat tidur

beramai-ramai dengan Tergugat dan anak-anak).

34. Bahwa pada Jum’at tanggal 05 Mei 2006, ketika Penggugat sampai di rumah

sekitar pukul 22.15 WIB, pagar rumah sudah digembok, pintu rumah

dikunci dan digerendel dari dalam sehingga walaupun Penggugat memiliki

kunci rumah, Penggugat tetap tidak bisa masuk. Dan ketika itu Penggugat

pulang bersama dengan sepupu perempuan Tergugat yang tinggal

bersebelahan dengan rumah Penggugat. Sepupu Tergugat juga bekerja di

tempat Penggugat bekerja.

35. Bahwa ketika Penggugat membunyikan bel ternyata kabel bel rumah

dicabut, begitu juga kabel rumah. Dan ketika Penggugat berusaha

menghubungi lewat ponsel Tergugat ternyata tidak diaktifkan. Akhirnya

setelah mengetuk pintu rumah selama hampir setengah jam dan tidak dibuka

juga, maka Penggugat bersama sepupu Tergugat berinisiatif untuk jalan

kebelakang rumah dan mencoba membangunkan Tergugat dari belakang

rumah, barulah Tergugat membuka pintu rumah.

36. Bahwa puncaknya adalah pada hari selasa, 09 Mei 2006, seperti biasa setiap

hari Selasa dan Kamis Penggugat bekerja di Yayasan beasiswa di Jalan

Tanjung. Dan setiap hari Selasa orang tua Penggugat menemani anak-anak

Penggugat di rumah di Cibubur sampai Penggugat dan Tergugat pulang.

37. Bahwa biasanya Tergugat sudah sampai di rumah sekitar pukul 18.00 dan

seperti biasa setelah ada yang ganti menjaga anak-anak, orang tua Penggugat

pulang ke rumahnya di Depok.

49

38. Bahwa Penggugat pulang kerja, sekitar pukul 19.00 WIB. Penggugat bilang

ke orang tua Penggugat bahwa Penggugat akan mampir dulu ke hotel untuk

memberikan pembayaran kepada personil band yang hari itu mengisi acara.

Dan Penggugat tidak mengatakan kepada orang tua Penggugat bahwa

Penggugat pulang sekitar pukul 21.00 WIB, orang tua Penggugat langsung

menyetujui. Namun sekitar pukul 20.30 WIB orang tua Penggugat kembali

menelepon Penggugat sambil marah-marah bahwa beliau tidak bisa pulang

karena Penggugat dan Tergugat belum ada yang sampai rumah. Penggugat

kaget, karena biasanya pukul 18.00 WIB Tergugat sudah sampai rumah.

Akhirnya Penggugat buru-buru pulang.

39. Bahwa Penggugat sampai di rumah sekitar pukul 21.20 WIB. Penggugat

melihat Tergugat juga baru pulang. Penggugat kemudian duduk. Namun

ternyata Tergugat bersama orang tua Penggugat memarahi dan sambil

memukuli Penggugat.

40. Bahwa Penggugat bertanya-tanya kenapa Penggugat dipukul, karena

sebelumnya pada pukul 19.00 WIB Penggugat sudah memberitahukan lewat

ponsel kepada orang tua Penggugat bahwa akan pulang pukul 21.00 WIB.

Orang tua Penggugat terus marah-marah sambil kemudian menampar kedua

pipi Penggugat dan kedua tangannya.

41. Bahwa ketika itu Tergugat memandangi Penggugat yang sedang dipukuli

oleh orang tua Penggugat dengan tersenyum. Bahkan Tergugat melarang

Penggugat untuk bicara guna menjelaskan permasalahan yang sebenarnya

mengapa Penggugat terlambat pulang. Bahkan Tergugat ikut memukuli

50

muka Penggugat secara terus menerus. Karena tidak diberi kesempatan

untuk membela diri, akhirnya Penggugat berteriak sejadi-jadinya.

Pemukulan itu berhenti saat telepon rumah berbunyi. Kesempatan ini

dipergunakan oleh Penggugat untuk menghindar. Namun Penggugat dikejar

dan kembali dipojokkan untuk duduk di kursi dekat telepon sambil tangan

serta kaki Tergugat menahan dada Penggugat sehingga Penggugat tidak bisa

bergerak. Dan kemudian Penggugat kembali dipukul secara bertubi-tubi oleh

orang tua Penggugat dan Tergugat.

B. Pertimbangan Hukum

Pertimbangan yang dijadikan dasar hukum terhadap Perkara Nomor :

458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan pengakuan Tergugat dan dari Kutipan Akta Nikah No.

358/23/1996, tanggal 5 Oktober 1996 dinyatakan terbukti bahwa Penggugat

dan Tergugat telah terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.

2. Dari jawaban dan duplik Tergugat dalam hubungannya dengan dalil-dalil

gugatan dan replik Penggugat ternyata tidak saling dibantah oleh kedua

belah pihak, dinyatakan terbukti dalam berumah tangga antara Penggugat

dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran.

3. Berdasarkan keterangan saksi-saksi Irwan dan Maryam dibawah sumpah

masing-masing, ternyata pihak keluarga telah berusaha mendamaikan

Penggugat dan Tergugat agar rukun kembali dalam berumah tangga, tetapi

tidak berhasil.

51

4. Pendapat Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang yang dimaksud

dalam Pasal 19 huruf (f) dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.

9 Tahun 1975 yang menyatakan : “Antara suami isteri terus menerus terjadi

perselisihan dan pertengakaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi

dalam rumah tangga”

5. Bahwa sekalipun baik dalam sikap maupun ucapannya di muka

persidangan, Tergugat telah menunjukkan betapa ia menolak untuk bercerai

dengan Penggugat, namun Penggugat nampaknya sama sekali tidak

terpengaruh dan masih tetap tegar dalam pendiriannya untuk bercerai

dengan Tergugat.

6. Menurut Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 “Perkawinan ialah

ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal

dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian

dapat diketahui bahwa salah satu unsur ikatan perkawinan adalah unsur

ikatan bathin, apabila unsur ini tidak ada lagi maka berarti perkawinan itu

pecah.

7. Pengadilan berpendapat bahwa perselisihan dan pertengkaran antara

Penggugat dengan Tergugat tidak saja sudah berlangsung secara terus

menerus, tetapi juga sudah tidak ada harapan akan rukun lagi dalam

berumah tangga.

8. Menurut Pasal 2 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 menyatakan

“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

52

sangat kuat atau miistaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.

9. Demi menghindarkan Penggugat dan Tergugat berlarut-larut dalam kemelut

rumah tangga dan dosa yang berkepanjangan maka gugatan Penggugat

harus dikabulkan berdasarkan Pasal 19 huruf (f) dari Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975.

10. Berdasarkan pengakuan Penggugat dan Tergugat bahwa dari perkawinan

Penggugat dan Tergugat telah dilahirkan 2 (dua) orang anak yang bernama

Anggraita Maurizqa, umur 9 tahun dan Ahmad Thoriq Arif, umur 3

tahun.

11. Bahwa kedua anak tersebut masih berumur dibawah 12 tahun atau belum

mumayyiz, maka tuntutan Penggugat agar kedua anak tersebut berada

dibawah asuhan dan pemeliharaannya dapat dikabulkan berdasarkan Pasal

105 Kompilasi Hukum Islam.

C. Putusan Pengadilan

Dalam perkara ini setelah melihat fakta-fakta yang ada dan berdasarkan

pertimbangan hukum yang diambil, maka Pengadilan telah mengadili dan

mengabulkan gugatan Penggugat dan menjatuhkan talak satu ba’in sughro

Tergugat Ir. Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung, terhadap

Penggugat Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, serta menetapkan anak

hasil pernikahan Penggugat dan Tergugat, yang masing-masing bernama

Anggraita Maurizqa, perempuan, lahir di Jakarta tanggal 16 September 1997 dan

Ahmad Thoriq Arif, laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 15 Desember 2003 berada

53

dibawah asuhan dan pemeliharaan Penggugat, serta membebankan kepada

Penggugat untuk membayar semua biaya perkara.

D. Analisis Penulis

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Perkara Nomor :

458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok, telah diputus bercerai antara Ir.

Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung, sebagai Tergugat,

dengan Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, sebagai Penggugat, oleh

Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok yang dikarenakan dalam berumah

tangga mereka sering terjadinya perselisihan dan pertengkaran akibat dari

perbedaan prinsip dan cara pandangan kedepan mengenai hidup berumah tangga,

yang pada puncaknya terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang

dilakukan oleh Tergugat.terhadap Penggugat selama masih dalam ikatan tali

pernikahan.

Dalam perkara tersebut juga diputuskan hak asuh anak (hadhanah) jatuh

kepada Penggugat yang dikarenakan kedua anak Penggugat dan Tergugat masih

berada dibawah umur 12 tahun berarti belum mumayyiz.70

Keputusan Majelis Hakim mengenai hak hadhanah jatuh kepada Penggugat

dengan dasar mempertimbangkan Kompilasi Hukum Islam yang terdapat dalam

pasal 105, sebagai berikut:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya;

70 Wawancara Pribadi dengan Hakim Anggota Pengadilan Agama Depok yakni Agus Yunih dan Sulkha Harwiyanti pada tanggal 23 April 2010.

54

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih di antara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Seharusnya pendidikan terbaik bagi seorang anak adalah apabila ia berada di

bawah asuhan kedua orangtuanya yakni ayah dan ibunya, yang membesarkannya

dengan penuh cinta dan kasih sayang dan memberinya pendidikan yang baik,

sehingga anak akan tumbuh sehat jasmani dan rohaninya. Tetapi seandainya

kedua orang tua terpaksa bercerai, maka pemeliharaan anak yang belum

mumayyiz yakni belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk

menjadi hak asuh ibunya. Apabila si anak sudah dianggap mumayyiz, ia

dipersilahkan memilih antara ikut dengan ibu ataupun ayahnya.

Pertimbangan lain diberikannya hak asuh anak yang belum mumayyiz

kepada ibunya karena seorang ibu dianggap lebih mampu mendidik dan

memperhatikan keperluan anak dalam usianya yang masih amat muda juga lebih

sabar dan teliti daripada si ayah. Selain itu, pada umumnya seorang ibu

mempunyai waktu lebih banyak untuk melaksanakan tugasnya itu daripada

seorang ayah yang biasanya sangat disibukkan dengan pekerjaannya

Nabi Muhammad SAW. pernah memutuskan wanita yang baru saja

diceraikan suaminya, bahwa dialah yang lebih berhak memelihara anaknya selagi

belum kawin lagi dengan orang lain :

Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah

bin’Amr;

55

يا ر سو اهللا، ان ابنى هذا آان بطنى له وعاء و ثد يى له سقاء : ان امراة قا لت

ان اباه طلقنى وارادان ينز عه منى، فقال لها رسول اهللا وحجرى له حواء، و

صل اهللا عليه وسلم انت احق به مالم تنكحى

Artinya:

”Bahwa seorang wanita berkata, ”Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini,

perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetek sayalah yang telah menjadi

minumannya dan haribankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah

menceraikan daku dan hendak menceraikan dia pula dari sisiku.”

Maka bersabdalah Rasulullah SAW.: ”Engkaulah yang lebih berhak akan anak

itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”71

Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak

hadhanah, apakah hak hadhanah ini milik wanita (ibu atau yang mewakilinya)

atau hak anak yang diasuh tersebut. Ulama Mazhab Hanafi dan Maliki

mengatakan bahwa mengasuh, merawat, dan mendidik anak merupakan hak

pengasuh (ibu atau yang mewakilinya). Dengan alasan bahwa apabila pengasuh

ini menggugurkan haknya, sekalipun tanpa imbalan, boleh ia lakukan dan hak itu

gugur. Jika hadhanah ini hak anak, maka menurut mereka, hak itu tidak dapat ia

gugurkan. sedangkan jumhur ulama berpendirian bahwa hadhanah itu menjadi

hak bersama, antara kedua orang tua dan anak. Menurut Wahbah az-Zuhaili (guru

besar fikih Islam di Universitas Damascus, Suriah) hak hadhanah itu hak

71 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal,dkk, h. 450.

56

berserikat antara ibu, ayah, dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiga

orang ini, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh.

Pada kasus ini, ibu dari si anak yakni Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti

Samil adalah seorang wanita karir, yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan

ekonomi keluarga. Yang bersangkutan bekerja di 2 (dua) tempat yaitu: yayasan

sosial yang bergerak di bidang pemberian beasiswa bagi anak-anak tidak mampu

dan di Hotel Anggrek di daerah Slipi Tomang sebagai koordinator artis, sehingga

dari pagi sampai malam berada di luar rumah.

Selama yang bersangkutan bekerja kedua anaknya berada dibawah asuhan

neneknya yakni orang tua perempuan dari Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti

Samil, yang beragama Protestan.

Agama Islam telah menentukan syarat-syarat bagi orang yang akan menjaga

anak yang dipelihara dan diasuh itu, yaitu:

1. Berakal

2. Merdeka

3. Islam

4. Tidak fasik

5. Amanah

6. Mempunyai tempat tinggal

Berdasarkan pada point 3 diatas, sudah jelas bahwa hak asuh kedua anak

dari Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil kepada ibunya yang beragama

Protestan tidak memenuhi syarat ketentuan pemeliharaan anak dalam pandangan

Agama Islam, hal ini diperkuat oleh pendapat ulama fiqih madzhab Imamiyah dan

57

Syafi’i yaitu seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama Islam.

Adapun kekhawatiran pengasuhan anak pada orang yang bukan beragama

Islam, sebagai berikut :

1. Akan merubah aqidah anak.

2. Perilaku dan kebiasaan hidup, orang kafir, yang tidak sesuai dengan syariat

Islam akan berpengaruh terhadap anak, seperti :

a. Pergi ke tempat ibadah selain Masjid.

b. Makan dan minum yang diharamkan, contohnya: makan babi dan minum

arak.

c. Kemaksiatan, seperti : Berjudi dan Pergaulan bebas

d. Berpakaian yang tidak menutup aurat.

Dari kasus ini, agar tidak terjadi kekhawatiran tersebut, hak pengasuhan

anak sebaiknya diserahkan kepada orang yang memenuhi syarat-syarat

pengasuhan anak yang sesuai dengan syariat Islam.

58

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok telah mengadili dan mengabulkan

gugatan Penggugat dan menjatuhkan talak satu ba’in sughro Tergugat Ir.

Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung, terhadap Penggugat

Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, dikarenakan dalam berumah

tangga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran akibat dari perbedaan

prinsip dan cara pandangan kedepan mengenai hidup berumah tangga, yang

pada puncaknya terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang

dilakukan oleh Tergugat.terhadap Penggugat selama masih dalam ikatan tali

pernikahan.

2. Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok juga menetapkan kedua anak hasil

pernikahan Penggugat dan Tergugat, yang masing-masing bernama Anggraita

Maurizqa, perempuan, lahir di Jakarta tanggal 16 September 1997 dan Ahmad

Thoriq Arif, laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 15 Desember 2003 berada

dibawah asuhan dan pemeliharaan Penggugat, dikarenakan kedua anak

tersebut masih berada dibawah umur 12 tahun berarti belum dewasa atau

belum mumayyiz, sesuai Kompilasi Hukum Islam pasal 105.

3. Dalam kenyataannya, ibu kedua anak yang telah diberikan kuasa hak asuh

anak oleh Majelis Hakim, menyerahkan pengasuhan kedua anak tersebut

kepada neneknya atau orang tua perempuan dari ibu, yang beragama

Protestan. Hal ini dikarenakan ibu dari kedua anak tersebut merupakan

58

59

seorang wanita karir yang bekerja pada 2 (dua) tempat yakni Yayasan Sosial

dan Hotel Anggrek di daerah Slipi Tomang, sehingga dari pagi hingga malam

yang bersangkutan berada di luar rumah.

B. Saran-Saran

Setelah hasil analisis yang dilakukan terhadap kasus di atas, maka dapat

dikemukakan beberapa saran-saran yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan

kepada semua pihak terkait pada permasalahan ini, sebagai berikut :

1. Mencari solusi yang terbaik dalam setiap permasalahan yang terjadi dalam

rumah tangga.

2. Menghindari Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT yang dapat

menimbulkan trauma berkepanjangan, merupakan salah satu pemicu keretakan

dalam rumah tangga.

3. Menghindari Perceraian.

Perceraian tidak dianjurkan oleh Islam, karena Islam sangat berkeinginan agar

kehidupan rumah tangga tenteram dan terhindar dari sebuah keretakan yakni

perpisahan. Akibat dari perceraian dapat menimbulkan sisi yang tidak baik

untuk perkembangan anak.

4. Apabila perceraian tidak dapat terhindari, maka orang yang diberi kuasa hak

asuh anak, menjalankan kewajiban sesuai amanah yang diberikan kepadanya.

5. Dalam hal orang yang diberi kuasa hak asuh anak harus bekerja untuk

memenuhi ekonomi keluarga sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya,

maka pengasuhan terhadap anak tidak diberikan kepada orang yang tidak

memenuhi syarat yang ditentukan dalam Islam.

60

DAFTAR PUSTAKA

Buku Kuliah Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II,

Jakarta : Elsas, 2008. Kamal bin As Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Wanita Jakarta: Tiga Pilar, 2007. Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah. Penerjemah Anshori Umar

Sitanggal, dkk. Semarang : Asy Syifa’, 1981. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia : Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, cet. III, Jakarta : Kencana, 2004.

Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat Jakarta : Kencana, 2003. Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Zaitunah Subhan, Fiqh Pemberdayaan Perempuan Jakarta : El-Kahfi, 2008. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat

Dan Undang-Undang Perkawinan, cet. II, Jakarta : Kencana, 2007. Sulaiman Rasjid, Penyunting Li Sufyana, M. Bakri dan Farika, Fiqih Islam, cet. XXVII

Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994. Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang perkawinan Jakarta : Bulan Bintang,

1974. Huzaemah Tahido Yanggo, editor Ahmad Zubaidi dan Syaiful Hadi, Fiqih Anak

Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak Jakarta : P.T. Al-Mawardi Prima, 2004.

Muhammad Uwaidah dan Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita. Penerjemah M.

Abdul Ghofar, dkk, cet. XIV, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004. Syaikh Hasan Ayyub, Fiqhul Asrotul Muslimah. Penerjemah M. Abdul Ghofar, dkk.

cet. V, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006. Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat

Para Ulama, Bandung: Karisma, 2008.

60

61

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan),

Jakarta : Kalam Mulia, 1998. Internet Abiyazid, ” Syarat Mendapatkan Hak Asuh Anak (Hadhanah)”, artikel diakses pada 29

Desember 2009 dari http://abiyazid. Wordpress.com/2008/03/12/syarat-mendapatkan-hak-asuh-anak-hadhanah/.

Puspita Giana, ” Proses Hadhanah Dan Adopsi”, artikel diakses pada 13 Januari 2010

dari http://puspitagiana.blogspot.com/2009/06/proses-hadhanah-dan-adopsi.html.

Majelis Ulama Isma, ”Hak Penjagaan anak: Hukum Syari’ah Dan Undang-Undang

Negara”, artikel diakses pada 19 Desember 2009 dari http://www.ismaweb.net. Ali Abdulloh,”Hadhanah”, artikel diakses pada 6 januari 2010 dari

http://aliabdulloh.blogspot.com/2010/01/hadhanah/html. Pangerans, ”Pengasuhan Anak Setelah Cerai”, artikel diakses pada 16 januari 2010

dari http://pangerans.multiply.com/journal/item/193/Pengasuhan-Anak-Setelah-Cerai.

Mahir Al-Hujjah, ”Hadhanah: Suatu Pengenalan”, artikel diakses pada 3 Januari 2010

http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2008/10/hadhanah-suatu-pengenalan.html.