HAK HADHANAH TERHADAP IBU WANITA KARIR (Analisis Putusan Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/
Pengadilan Agama Depok)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
MOCHAMMAD ANSORY NIM : 105044201459
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H / 2010 M
HAK HADHANAH TERHADAP IBU WANITA KARIR (ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 485/Pdt.G/2006/
PENGADILAN AGAMA DEPOK)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
MOCHAMMAD ANSORY
NIM : 105044201459
Dibawah Bimbingan
Pembimbing :
Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi
NIP : 194008051962021001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL SYAHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H / 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 01 Juni 2010
Mochammad Ansory
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul HAK HADHANAH TERHADAP IBU WANITA KARIR (Analisa Putusan Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.
Jakarta, 15 Juni 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012
PANITIA UJIAN 1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA. (..............................)
NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH. (..............................) NIP. 197202241998031003
3. Pembimbing : Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi (..............................) NIP. 194008051962021001
4. Penguji I : Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM. (..............................) NIP 195505051982031012
5. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA. (..............................) NIP. 195003061976031001
i
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat dan salam ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
berhasil memerankan fungsi-fungsi kekhalifahan dengan baik dipentas peradaban dunia
sehingga beliau dipilih oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah bagi seluruh manusia.
Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan akademis dalam
menyelesaikan pendidikan Program Strata 1 pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan
dorongan baik berupa moril, materil, pemikiran serta tenaga dari berbagai pihak. Oleh
sebab itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta jajarannya.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, MA., Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
ii
3. Bapak Kamarusdiana, SH., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. H. A. Sutarmadi, dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan
waktu dan pikirannya untuk menuntun penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Pimpinan beserta Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan
Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga
Perpustakaan Umum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
perpustakaan.
6. Ibu Dra. Maskufa, M.Ag, dosen Penasehat Akademik.
7. Ketua Pengadilan Agama Depok beserta staff yang telah menyediakan data, waktu,
dan kesempatan untuk melakukan penelitian.
8. Ayahanda Wirta Hasan dan Ibunda Nani Rochani yang selalu memberikan
dukungan baik secara moril dan materil serta do’a bagi penulis sehingga dapat
menyelesaikan proses belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Paman Agus Salam dan Bibi Siti Nurjanah di Cinangka yang telah membantu
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Paman Thabrani dan Bibi Maryana di Lampung yang telah memberikan dukungan
dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Kakanda Anita Suryani dan Adinda Fauzie serta Abang Dirgantara di Lampung
yang telah membantu Penulis dan selalu memberikan dukungan moril demi
terselesaikannya penulisan skripsi ini.
iii
12. Adinda Al Komariah sebagai kekasih yang telah memberikan dukungan kepada
Penulis.
13. Rekan-rekan seperkuliahan Jurusan AKI angkatan 2005 yang banyak memberikan
sumbang saran, semangat, dan gairah dalam menyelesaikan skripsi ini.
14. Kepada semua pihak, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
turut andil dalam memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan-
kekurangan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis akan sangat
berterima kasih atas segala kritik maupun saran dari pembaca sekalian.
Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang memerlukan dan dapat menambah ilmu pengetahuan, khususnya bagi
penulis maupun pembaca sekalian.
Depok, 01 Juni 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................. iv
BAB I : PENDAHULUAN .............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………… 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................... 7
D. Metode Penelitian .......................................................... 7
E. Tehnik Pengumpulan Data ............................................. 8
F. Analisa Data ................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan .................................................... 9
BAB II : HADHANAH MENURUT HUKUM ISLAM ................... 11
A. Pengertian Hadhanah ..................................................... 11
B. Dasar Hukum Hadhanah ................................................ 13
C. Syarat-syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah .......... 14
D. Upah Hadhanah ............................................................. 15
E. Yang Berhak Mengasuh Anak ....................................... 18
BAB III : DESKRIPSI UMUM PENGADILAN AGAMA DEPOK.. 22
A. Sekilas Kota Depok ....................................................... 22
B. Pengadilan Agama Depok ............................................. 28
v
C. Hubungan Kerja Dengan Instansi Terkait ..................... 39
BAB IV : PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM
TERHADAP HAK HADHANAH PADA IBU WANITA
KARIR ................................................................................ 41
A. Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama
Depok ............................................................................. 41
B. Pertimbangan Hukum .................................................... 50
C. Putusan Pengadilan ........................................................ 52
D. Analisa Penulis .............................................................. 53
BAB V : PENUTUP .......................................................................... 58
A. Kesimpulan .................................................................... 58
B. Saran-Saran .................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 61
LAMPIRAN :
A. Putusan Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok,
tanggal 15 November 2006, antara Ir. Rini Prima Utari (Penggugat)
melawan Ir. Luthfy Bulaga Hutagalung (Tergugat).
B. Permohonan data / wawancara dari Pimpinan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Ketua Pengadilan
Agama Depok.
C. Permohonan kesediaan menjadi pembimbing skripsi dari Pimpinan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntunan agama.1
Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan anak yang dilahirkan. Oleh sebab
itu, orang tua mempunyai kewajiban mengurusi anak-anak yang dilahirkan dari
hasil sebuah perkawinan.
Dalam kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kehidupan
berumah tangga bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, karena didalam
kehidupan rumah tangga tidak lepas dari gejolak-gejolak yang ada. Apabila suami
istri tidak dapat melewati gejolak-gejolak tersebut, maka tidak bisa dihindarkan
lagi akan terjadi sebuah pemutusan tali pernikahan atau biasa disebut dengan
perceraian.
Perceraian adalah pemutusan tali pernikahan yang sah.2 Jika perceraian itu
terjadi, maka dapat menimbulkan sisi yang tidak baik untuk perkembangan anak.
Oleh sebab itu, sebuah perceraian tidak dianjurkan oleh Islam, karena Islam
sangat berkeinginan agar kehidupan rumah tangga tenteram dan terhindar dari
sebuah keretakan yakni perpisahan.
1 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II, (Jakarta:
Elsas, 2008), h.3
2 Kamal bin As Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Wqasaanita (Jakarta: Tiga Pilar, 2007), h.627
1
2
Apabila suami istri berpisah atau bercerai maka tidak bisa dihindarkan lagi
akan terjadi perebutan hak asuh anak, yang dalam istilah ilmu fiqih disebut
hadhanah. Dalam pada itu Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk
memberikan putusan mengenai hak asuh anak yakni hadhanah bagi anak yang
masih belum mumayyiz atau belum dewasa kepada orang yang dapat
membimbing dan mendidik anak tersebut yang masih memerlukan perhatian dan
kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Menurut para fuqaha, Hadhanah adalah hak untuk memelihara anak kecil,
baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang sehat akalnya; jadi tidak
termasuk disini pemeliharaan terhadap anak yang telah dewasa yang sehat
akalnya.3
Adapun yang terakhir ini dikala orang tua mereka bercerai maka
dipersilahkan memilih mana yang lebih dia sukai, tinggal bersama ayahnya atau
ibunya. Atau kalau dia laki-laki sudah tidak memerlukan lagi perawatan orang
tuanya. 4
Namun demikian, syari’at tetap menyuruh anak-anak dari keluarga yang
bercerai untuk berbakti kepada kedua orang tua dan memperlakukan mereka
dengan baik. Adapun bagi anak perempuan, sekalipun telah dewasa, ia tetap tidak
diperkenankan tinggal sendirian. Sehingga karena kelemahan dan tabiatnya ia
3 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah. Penerjemah Anshori Umar
Sitanggal, dkk (Semarang: Asy Syifa’, 1981), h. 450
4 Ibid, h. 450
3
takkan diperkosa orang untuk melakukan hal yang memalukan keluarganya. 5
Para ulama berpendapat tentang berakhirnya masa pengasuhan dan
konsekuensinya apabila kedua orang tuanya bercerai, ada beberapa pendapat :
1. Anak yang diasuh adalah laki-laki. Terkait dengan anak laki-laki yang telah
selesai masa pengasuhannya. Untuk hal ini ada beberapa pendapat:
a. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa ayah lebih berhak mengasuh anak.
Dengan alasan bahwa jika seorang anak laki-laki sudah bisa memenuhi
kebutuhan dasarnya, maka yang ia butuhkan adalah pendidikan dan
perilaku seorang laki-laki. Dalam hal ini si ayah lebih mampu dan tepat.
b. Madzhab Maliki berpendapat bahwa ibulah yang lebih berhak selama si
anak belum baligh.
c. Madzhab Asy Syafi’i dan Ahmad, anak diberi kesempatan untuk
memilih salah satu diantara keduanya.6
2. Anak yang diasuh adalah perempuan.
a. Madzhab Maliki berpendapat bahwa anak tetap tinggal bersama ibunya
hingga anak perempuan tersebut menikah dan telah berhubungan intim
dengan suaminya.
b. Dengan mengacu pada pendapat Imam Ahmad, kalangan Madzhab
5 Ibid, h. 450
6 Abiyazid, ” Syarat Mendapatkan Hak Asuh Anak (Hadhanah)”, artikel diakses pada 29
Desember 2009 dari http://abiyazid. Wordpress.com/2008/03/12/syarat-mendapatkan-hak-asuh-anak-
hadhanah/.
4
Hanafi berpendapat bahwa manakala telah mengalami menstruasi anak
perempuan diserahkan kepada ayahnya.
c. Kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa anak diserahkan kepada
ayahnya apabila telah mencapai usia 7 tahun.7
Menurut hukum Islam syarat-syarat mengasuh anak yaitu :
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Pandai mendidik dan sanggup memberikan pendidikan
5. Dipercaya dan berakhlak baik
6. Tidak menikah
7. Merdeka (bukan budak)8
Menurut pendapat Ulama Madzhab Syafi'i meletakkan antara syarat utama
hak penjagaan anak ialah penjaga itu mestilah agama Islam, orang kafir tidak
boleh diberi amanah untuk menjaga anak muslim karena orang kafir tidak ada
kuasa perwalian ke atas orang muslim. Dalillnya ialah Firman Allah SWT (Q.S.
An-Nisa: 141). Bahkan kemungkinan penjagaan anak-anak muslim oleh orang
kafir akan membawa fitnah terhadap aqidah anak. Berkenaan pandangan ini juga
dipersetujui oleh Madzhab Hanbali.
7 Ibid
8 Puspita Giana, ” Proses Hadhanah Dan Adopsi”, artikel diakses pada 13 Januari 2010 dari
http://puspitagiana.blogspot.com/2009/06/proses-hadhanah-dan-adopsi.html
5
Sedangkan Ulama Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan penjaganya mesti
muslim, tetapi mereka bersepakat bahwa jika aqidah dan amalan agama anak-anak
muslim itu terancam sekiranya dijaga yang bukan muslim seperti membawa anak
itu ke rumah ibadat bukan Islam, membiasakan anak itu meminum arak dan
memakan daging babi, maka hak penjagaan itu mestilah diserahkan kepada
penjaganya yang beragama Islam.9
Penelitian ini akan membahas tentang putusan Pengadilan Agama Depok
Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok, yang memutuskan hak asuh
anak diberikan kepada ibu, bukan kepada bapaknya dikarenakan anak masih
berumur dibawah 12 tahun atau belum mumayyiz. Namun dalam kenyataan sang
ibu melepas tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya, karena sebagai
wanita karir sibuk bekerja dari pagi hingga larut malam, sehingga pengasuhan
sang anak diserahkan kepada neneknya atau orang tua perempuan dari ibu, yang
beragama Protestan. Apabila pengasuhan anak ini diberikan kepada neneknya
tersebut, maka secara tidak langsung sang nenek bisa mempengaruhi sang anak
atau cucunya tersebut untuk berpindah agama. Dari permasalahan inilah penulis
melakukan penelitian tentang :
“HAK HADHANAH TERHADAP IBU WANITA KARIR
(Analisa Putusan Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/
Pengadilan Agama Depok)”
9 Majelis Ulama Isma, ”Hak Penjagaan anak: Hukum Syari’ah Dan Undang-Undang Negara”,
artikel diakses pada 19 Desember 2009 dari http://www.ismaweb.net/v2/Article1002.html.
6
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Dalam hal ini penulis mencoba untuk membahas analisis putusan
Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama
Depok, yang difokuskan pada putusan hakim menyerahkan hak asuh anak kepada
ibu bukan kepada bapak si anak.
1. Pembatasan Masalah
Dalam KHI pasal 105 dinyatakan bahwa dalam hal terjadinya perceraian,
maka :
a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaannya;
c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok dalam keputusannya
menyerahkan hak asuh anak kepada Ir. Rini Prima Utari Samil (ibu), yang
beragama Islam, namun pada kenyataannya Ir. Rini Prima Utari Samil
menyerahkan pengasuhan kedua anaknya kepada ibunya (orang tua perempuan Ir.
Rini Prima Utari Samil) yang beragama Protestan dikarenakan yang bersangkutan
adalah wanita karir.
Dengan demikian selanjutnya penulis hanya akan menganalisa putusan
hakim atas perkara tersebut yakni ”Hak Hadhanah Terhadap Ibu Wanita Karir”
dengan perumusan masalah yang dapat dibuat pertanyaan sebagai berikut :
7
2. Perumusan Masalah
1. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan
Agama Depok dalam memutuskan perkara nomor:
458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok ?
2. Apakah hakim memperhatikan masalah anak disaat membuat pertimbangan
dalam memutuskan perkara ?
3. Apakah yang menyebabkan si ibu menyerahkan hak pemeliharaan atau hak
asuh anak kepada neneknya atau orang tua perempuan dari ibu, yang
beragama Protestan ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Dengan merujuk pada pembahasan diatas maka penelitian bertujuan :
1. Mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Agama Depok
dalam memutuskan perkara nomor: 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama
Depok.
2. Mengetahui hakim memperhatikan masalah anak disaat membuat
pertimbangan dalam memutuskan perkara.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, menambah wawasan tentang hadhanah atau hak asuh anak.
2. Bagi fakultas, memberikan sumbangan kepustakaan dalam rangka
pengembangan akademis.
3. Bagi pekerja sosial, memberikan sumbangan pikiran dalam rangka
memelihara hak-hak terhadap anak
8
D. Metode Penelitian
Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan metode :
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu
dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan dan
mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan, kemudian
menghubungkannya dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan
kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki penulis dalam penulisan skripsi ini.
2. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder yaitu:
1. Data Primer.
1.1. Didapatkan dari Pengadilan Agama Depok yaitu berupa lembaran
putusan.
1.2. Wawancara atau interview yaitu suatu cara pengumpulan data yang
digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya.
2. Data Sekunder.
Adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan
yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang
dimaksud adalah buku-buku fiqih, maupun dari internet.
E. Tehnik Pengumpulan Data
1. Tehnik pengumpulan data.
9
Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1.1. Berupa putusan Pengadilan Agama Depok
1.2. Dengan mencari informasi langsung dari sumber yang berkaitan dengan
masalah yang mau diteliti oleh penulis yaitu mewawancara langsung
hakim Pengadilan Agama Depok.
F. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa
kualitatif, yaitu menganalisis dengan cara menguraikan dan mendiskripsikan
putusan tentang hak hadhanah terhadap ibu yang merupakan seorang wanita karir
sesuai putusan Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok, dan
menghubungkannya dengan hasil wawancara yang didapatkan dari hakim yang
menangani perkara tersebut, sehingga didapatkan kesimpulan yang objektif, logis,
konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam
penulisan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Agar mendapatkan gambaran isi daripada skripsi ini maka perlu disusun
sistematika penulisan, sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan.
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
metode penelitian, tehnik pengumpulan data, dan analisa data.
BAB II : Hadhanah Menurut Hukum Islam.
10
Dalam bab ini dibahas tentang pengertian, hukum, syarat-syarat, upah,
yang berhak mengasuh anak.
BAB III : Deskripsi Umum Pengadilan Agama Depok.
Dalam bab ini dibahas tentang sekilas kota Depok, Pengadilan Agama
Depok, hubungan kerja dengan instansi terkait.
BAB IV : Pertimbangan Hukum Majelis Hakim.
Dalam bab ini dibahas tentang dasar isi pertimbangan hukum majelis
hakim, pandangan ulama fiqih, analisa penulis.
BAB V : Penutup.
Dalam bab ini penulis memberikan Kesimpulan atas hasil pembahasan
yang dilakukan, dan mengemukakan Saran-saran yang dapat dijadikan
sebagai bahan masukan kepada semua pihak yang terkait pada
permasalahan ini.
11
BAB II
HADHANAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Hadhanah
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan hadhanah. Secara
etimologis, hadhanah ini berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”.10
Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum
bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya
dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya.11
Para ulama fiqh mendefinisikan Hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah
besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan
kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik
jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan
memikul tanggung jawab.12
Menurut Zainudin Ali, hadhanah yaitu pemenuhan berbagai aspek
kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu
10 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, cet. III, (Jakarta: kencana, 2004), h.292.
11 Abi Yazid, ” Hadhanah (Hak Asuh Anak)”, artikel diakses pada 29 Desember 2009 dari
http://abiyazid.Wordpress.com/hadhanah. 12 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: kencana, 2003), h.175-176
11
12
pendidikan, biaya hidup, kesehatan, ketenteraman, dan segala aspek yang
berkaitan dengan kebutuhannya.
Dalam ajaran Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi keluarga
berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup
kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada istri untuk membantu suaminya
bila suaminya tidak mampu melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, amat
penting mewujudkan kerja sama dan saling membantu antara suami istri dalam
memelihara anak sampai ia dewasa. Hal dimaksud pada prinsipnya adalah
tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya.13
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 98 menjelaskan sebagai berikut :
(2) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
(3) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
didalam dan diluar Pengadilan.
(4) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya
meninggal.
(5) Sedangkan dalam perspektif Imam al-San’ani menyatakan hadhanah adalah
memelihara seorang (anak) yang belum atau tidak bisa mandiri, mendidik,
13 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 64
13
dan memeliharanya untuk menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat
merusak dan mendatangkan madlarat atau kesengsaraan bagi anak. 14
Dalam KHI pasal 105 dinyatakan bahwa dalam hal terjadinya perceraian,
maka :
a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaannya;
c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
B. Dasar Hukum Hadhanah
Dasar hukum hadhanah atau pemeliharaan anak adalah firman Allah SWT:
0 Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS. At-Tahrim: 6)
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya
14 Zaitunah Subhan, Fiqh Pemberdayaan Perempuan (Jakarta: el-Kahfi, 2008), h. 316
14
itu melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, termasuk
anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.15
Sedangkan menurut para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu
hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam
ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah
untuk membiayai anak dan istri 16 dalam firman Allah:
............. Artinya:
”Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan
isterinya. (QS. al-Baqarah (2) ayat 233)
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama
ayah dan ibunya masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut
setelah terjadinya perceraian.17
C. Syarat-Syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah
1. Berakal sehat, karena orang gila tidak boleh menangani dan
menyelenggarakan hadhanah.
2. Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak
dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya 18
15 Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 177 16 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia:Antara Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 328 17 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia:Antara Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, cet. II, h. 328
15
3. Amanah dalam agama, sehingga wanita atau laki-laki yang fasiq tidak
dibenarkan untuk mendapatkan hak pengasuhan.
4. Lingkungan yang baik. Harus memiliki lingkungan tempat tinggal yang baik
dan aman serta tidak ada pengaruh pergaulan yang negatif, seperti maraknya
kemaksiatan dan kefasikan. Hal ini perlu agar seorang anak dapat tumbuh
dengan sehat, beriman dan shaleh.19
5. Islam. Orang kafir sama sekali tidak layak menjadi hadinah karena dikhuatiri
akan merusakkan aqidah anak tersebut.
6. Baik akhlaknya. Orang yang buruk dan rusak akhlaknya tidak layak menjadi
hadhinah.
7. Hadhinah perlu tinggal di tempat dimana kanak-kanak itu dipelihara. Oleh
sebab itu, ia akan memudahkan mereka menjalankan urusan penjagaan. 20
8. Keadaan perempuan tidak bersuami.
9. Dapat menjaga kehormatan dirinya. 21
D. Upah Hadhanah
Apabila suami isteri masih terikat dengan tali perkawinan mereka, atau
dalam menjalani masa iddah karena ditalak oleh bapak si anak, maka isterinya
18Ali Abdulloh,”Hadhanah”, artikel diakses pada 6 januari 2010 dari http://ali abdulloh.blogspot.com/2010/01/hadhanah/html.
19 Pangerans, ”Pengasuhan Anak Setelah Cerai”, artikel diakses pada 16 januari 2010 dari
http://pangerans.multiply.com/journal/item/193/Pengasuhan-Anak-Setelah-Cerai. 20 Mahir Al-Hujjah, ” Hadhanah: Suatu Pengenalan”, artikel diakses pada 3 Januari 2010 dari
http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2008/10/hadhanah-suatu-pengenalan.html. 21 Sulaiman Rasjid, Penyunting Li Sufyana, M. Bakri dan Farika, Fiqih Islam, cet. XXVII
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 428
16
hanya mendapat nafkahnya sebagai seorang isteri atau nafkah karena menjalani
masa ’iddah.22
Firman Allah SWT:
⌧ ☺
................................. Artinya:
”Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan
makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik….” (QS. Al-
Baqarah: 233)
Apabila ibu telah selesai menjalankan masa ’iddah, ia tidak berhak lagi
menerima nafkah dari bekas suaminya, karena itu ia mendapat ongkos susuan dari
ayah anaknya.23
Firman Allah SWT:
……… ......................
Artinya:
”… Kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu, maka berikanlah kepada
mereka upahnya….. (QS. At-Thalaq:6)
22 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 145
23 Ibid, h. 145
17
Demikian pula apabila yang melaksanakan pengasuhan itu selain daripada
ibu, ia berhak mendapat ongkos hidup anak, karena ia terikat dengan tugas
melaksanakan pengasuhan itu. 24
Sedangkan menurut Huzaemah Tahido Yanggo, mengenai upah
hadhanah :
a. Hak ibu untuk mendapatkan upah hadhanah.
Jika pengasuh anak itu adalah ibunya anak yang diasuh (ibu kandung) baik
dalam konteks hubungan suami istri atau tidak, maka :
1. Jika ia adalah istri bagi ayah anak yang diasuh, maka ia tidak berhak
mendapatkan upah. Hal ini sesuai dengan pendapat madzhab Hanafi,
Maliki, dan Syafi’i. Alasannya, bahwa istri itu ibu bagi anak yang mesti
diasuhnya; ia berkewajiban secara agama atau sebagai konsekuensinya
sebagai muslimah untuk melakukan kewajibannya terhadap anak dengan
menyusui, dan mengasuh, serta mendidiknya. Dengan syarat, hubungan
suami-istri masih berjalan secara baik dan harmonis. Sebab, nafkah
untuk dirinya pun menjadi kewajiban suaminya. Baik ia mempunyai
anak darinya, atau tidak mempunyai anak.25
2. Dalam keadaan ibu telah ditalak, baik ia masih dalam masa ’iddah dari
talak raj’iy (dapat kembali) atau masa ’iddah karena talak ba’in, atau
24 Ibid, h. 145 25 Huzaemah Tahido Yanggo, editor Ahmad Zubaidi dan Syaiful Hadi, Fiqih Anak Metode Islam
Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak (Jakarta: P.T. Al-Mawardi Prima, 2004), h. 136
18
mungkin masa ’iddahnya telah habis. Untuk kasus yang disebut terakhir,
maka ketentuannya sebagai berikut :
a) Adapun istri yang sedang mengalami masa ’iddah dari talak raj’iy,
madzhab Hanafi menyamakan antara wanita tersebut dengan wanita
yang masih berada dalam naungan hubungan suami-istri. Karena ia
wajib mendapatkan nafkah atas suaminya selama masih dalam masa
’iddahnya. Sehingga tidak mungkin ayah dibebani kewajiban
memberikan dua macam nafkah. Apalagi jika ternyata ia masih
dalam masa ’iddah raj’iy, maka ia masih dalam masa persiapan untuk
kembali lagi ke suami, jika suaminya merujuknya tanpa akad baru
atau tanpa mahar yang baru.
b) Adapun istri yang sedang melalui masa ’iddah dari talak ba'in,
mereka tidak menetapkan adanya upah hidhanah baginya selama
masa ’iddahnya itu. Sebagaimana mereka pun tidak menetapkan
upah hidhanah tersebut bagi istri yang sedang melewati masa ’iddah
dari talak raj’iy. Sebab mereka mewajibkan atas suami untuk
memberinya nafkah dan menyediakan tempat tinggal bagi istri yang
sedang ditalak seperti itu. 26
b. Upah pemeliharaan anak oleh selain ibunya.
Pengasuh (hadhinah) itu berhak mendapatkan upah. Hal ini
sebagaimana dalam madzhab Maliki dalam sebagian keadaan/konteks
26 Ibid, h. 137
19
tertentu. Juga itulah pendapat madzhab Syafi’i dan Ibadhiah. Alasannya,
bahwa ia berhak mendapatkan balasan atas usahanya untuk berbagai
kemaslahatan anak, dan imbalan atas kesungguhannya dalam mengurus
segala kebutuhannya, serta ganjaran atas perhatiannya terhadap
perikehidupan anak tersebut. 27
E. Yang Berhak Mengasuh Anak
1. Ibu anak tersebut.
2. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas.
3. Nenek dari pihak ayah.
4. Saudara kandung perempuan anak tersebut.
5. Saudara perempuan seibu.
6. Saudara perempuan seayah.
7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung.
8. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah. 28
9. Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya.
10. Saudara perempuan ibu yang seibu dengannya (bibi).
11. Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi).
12. Anak perempuan dari saudara perempuan seayah.
13. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung.
14. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. 29
27 Ibid, h. 137 28 Muhammad Uwaidah dan Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita. Penerjemah M. Abdul
Ghofar, dkk, cet. XIV, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 456
20
15. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah.
16. Saudara perempuan ayah yang sekandung dengannya.
17. Saudara perempuan ayah yang seibu.
18. Saudara perempuan ayah yang seayah.
19. Bibinya ibu dari pihak ibunya.
20. Bibinya ayah dari pihak ibunya.
21. Bibinya ibu dari pihak ayahnya.
22. Bibinya ayah dari pihak ayahnya. 30
No. 19-22 dengan mengutamakan yang sekandung pada masing-masingnya. Jika
anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram diatas,
atau ada tapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuhan anak itu beralih kepada
kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memiliki hubungan darah (nasab)
dengannya sesuai dengan urutan masing-masing dalam persoalan waris. Dan
pengasuhan anak itu beralih kepada :
23. Ayah kandung anak itu.
24. Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas.
25. Saudara laki-laki sekandung. 31
26. Saudara laki-laki seayah.
27. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
29 Ibid, h. 456 30 Ibid ,h. 456 31 Syaikh Hasan Ayyub, Fiqhul Asrotul Muslimah. Penerjemah M. Abdul Ghofar, dkk, cet. V,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 395
21
28. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
29. Paman yang sekandung dengan ayah.
30. Paman yang seayah dengan ayah.
31. Pamannya ayah yang sekandung.
32. Pamannya ayah yang seayah dengan ayah. 32
Jika tidak ada seorang pun kerabat dari mahram laki-laki tersebut, atau ada tetapi
tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada mahram-
mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu :
33. Ayah ibu (kakek).
34. Saudara laki-laki seibu.
35. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu.
36. Paman yang seibu dengan ayah.
37. Paman yang sekandung dengan ibu.
38. Paman yang seayah dengan ibu. 33
32 Ibid, h. 395 33 Ibid, h. 395
22
BAB III
DESKRIPSI UMUM PENGADILAN AGAMA DEPOK
A. Sekilas Kota Depok
a. Dasar Pembentukan dan Perkembangan Kota Depok
Berdasarkan kajian sejarah, Pemerintahan Kota Depok dikenal dengan
sebutan ”Depok” adalah sebagai sebutan terhadap sebuah dusun terpencil
yang terletak di tengah hutan belantara. Dalam perkembangan kultur
masyarakat tatar sunda sering juga dipergunakan kata ”Padepokan” sebuah
tempat terpencil yang dipergunakan untuk melakukan aktivitas/kegiatan
yang sifatnya pendalam sebuah ilmu.34
Dalam perkembangannya, pada tanggal 18 mei 1696 seorang Pejabat
Tinggi VOC Cornelis Chastelin membeli tanah yang meliputi daerah Depok
dan sebagian kecil wilayah Jakarta Selatan serta Ratujaya, Bojong Gede
adalah perpaduan kultur sunda dan betawi, yang selanjutnya Tahun 1871
Pemerintahan Belanda mengizinkan daerah Depok membentuk
pemerintahan dan presiden sendiri.35
Keputusan tersebut berlaku sampai tahun 1942 dikenal dengan sebutan
”Gomeente Depok” diperintah oleh seorang presiden sebagai Badan
Pemerintah Tertinggi di bawah kekuasaannya terdapat kecamatan-kecamatan
yang membawahi Mandat (sembilan mandor) dan dibantu oleh para
34 Dokumen Pengadilan AgamaDepok, Selayang Pandang (Depok:Pengadilan Agama,2005), h. 3 35 Ibid, h. 3
22
23
pencalang Polisi Desa serta pemikir atau Menteri Lumbung.36
Daerah teritorial Gemeente Depok meliputi 1.244 Ha., namun pada
tahun 1952 dihapus setelah terjadi perjanjian pelepasan hak antara
pemerintah RI dan pimpinan Gomeente Depok, tapi tidak termasuk tanah-
tanah eigendom dan beberapa hak lainnya.37
Bermula dari sebuah kecamatan yang berada dalam lingkungan
Kewedanaan (pembantu bupati) wilayah Parung yang meliputi 21 Desa, dan
dalam perkembangan berikutnya pada tahun 1976 perumahan-perumahan
mulai dibangun dan berkembang terus yang akhirnya pada tahun 1981
pemerintah membentuk pemerintah Administratif Depok. Peresmian kota
Administratif Depok dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri
Dalam Negeri dimana saat itu di jabat oleh H. Amir Machmud.38
Selama kurun waktu 17 tahun Kota Administratif Depok mengalami
pergantian kepemimpinan dari mulai : wali kota pertama Drs. Moch.
Rukasah Suradimadja (alm.) (tahun 1982- 1984), wali kota kedua Drs.
H.M.I. Tamji (tahun 1984-1988), wali kota ketiga Drs. H. Abdul Wahyan
(tahun 1988-1991), wali kota keempat Drs. H. Moch. Masduki (tahun 1991-
1992), wali kota kelima Drs. H. Sofyan Safari Hamim (tahun 1992-1996)
dan terakhir dijabat oleh Drs. H. Badrul Kamal (1997-1999) yang pada
tanggal 27 April 1999 dilantik menjadi Pejabat Walikotamadya/Kepala
36 Ibid, h. 3 37 Ibid, h. 3 38 Ibid, h. 4
24
Daerah Tingkat II Depok sekaligus peresmian Kota Depok dan berakhir
pada tanggal 15 Maret 2005. Kemudian seiring terjadinya perubahan sistem
pemerintahan sentralisasi kepada desentralisasi yang melahirkan UU No. 22
tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dengan perubahan oleh UU No. 32
tahun 2004, maka Kotamadya/Daerah Tingkat II Depok berubah menjadi
Kota Depok.39
b. Letak dan Luas Wilayah Pemerintahan Kota Depok serta Kondisi
Demografis.
1. Kondisi Geografis
Secara geografis Kota Depok terletak pada kordinat 6° 19’ 00” -
6° 28’ 00” Lintang Selatan (LS) dan 106° 43’ 00”- 106° 55’ 30” Bujur
Timur (BT). Bentang alam Depok dari Selatan ke Utara merupakan
daerah dataran rendah perbukitan bergelombang lemah dengan elevasi di
atas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15 persen.40
Kota Depok sebagai salah satu wilayah termuda di provinsi Jawa
Barat, memiliki luas wilayah sekitar 200,29 Km2 dengan mewilayahi 6
kota kecamatan, 63 Kelurahan, 776 Rukun Warga dan 3. 914 Rukun
Tetangga. Hampir sebagian besar kelurahan di Kota Depok sudah
terklasifikasi, yakni : sebanyak 50 kelurahan berstatus swasembada dan
39 Ibid, h. 4 40 Ibid, h. 5
25
13 kelurahan lainnya masuk dalam klasifikasi Swakarya.41
Wilayah Kota Depok berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu
provinsi, yaitu:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten
Tanggerang;
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede, Kota
Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri;
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan
Kecacamatan Bojong Gede; dan,
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan
Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.
Karena sangat rapat dan berbatasan dengan Jakarta sebagai Ibu
Kota Negara, maka kemudian Depok mendapat julukan sebagai
”Kota Penyangga dan Pemukiman”. Karena kebanyakan penduduk
Kota Depok adalah mereka para pekerja dari Pusat ibu Kota
Jakarta.42
2. Kondisi Demografis
Menurut hasil penghitungan proyeksi kependudukan tahun 2001,
jumlah penduduk Kota Depok berjumlah 1.204.687 jiwa, dengan
perbandingan jenis kelamin yaitu: 609.225 jiwa laki-laki dan 595.462
41 Ibid, h. 5 42 Ibid, h. 6
26
jiwa perempuan, dengan rasio jenis kelamin 102.43
Dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan
keamanan, wilayah ini berbatasan dengan daerah khusus ibu kota Jakarta
yang nota bene merupakan pusat kekuasaan, dan pusat perdagangan, di
samping merupakan wilayah penyangga perkembangan demografis DKI
Jakarta.44
3. Kondisi Sosial Ekonomi
Secara ekonomis Kota Depok memiliki Pendapatan Asli Daerah
yang tidak jelek. Penerimaan melalui sektor pajak daerah, Retribusi
daerah, Pos bagian BUMD (PDAM), bagi hasil pajak, bagian
sumbangan/subsidi, bagian bantuan pembangunan dan pos-pos
penerimaan lainnya yang mencapai Rp 33.462.077.000.00 menjadikan
Kota Depok diperhitungkan para investor.45
Sebagian besar mata pencaharian penduduk berada pada sektor
perdagangan dan jasa, yaitu 126.616 orang (35,42%), sektor
pemerintahan/Pegawai Negeri (Sipil/ABRI) yaitu 82.237 orang
(23,02%), sektor pertanian 24.468 orang (6,85%), sektor pengrajin 2.267
orang (0,63%), pengusaha 657 orang (0,18%) dan lain-lain 121.207
43 Ibid, h. 6 44 Ibid, h. 6 45 Ibid, h. 6
27
orang (33,9%)..46
4. Kondisi sosial Budaya/Pendidikan
Sebagai kota penyangga yang prospektif Depok telah
menyiapkan lembaga-lembaga yang menghasilkan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang baik untuk menghadapi persaingan global yang
semakin lama semakin menuntut perbaikan di masa mendatang. Fasilitas
pendidikan yang dimiliki Kota Depok adalah sebagai berikut :
Fasilitas Sekolah/Pendidikan
No. Jenis Sekolah/Pendidikan Jumlah
1 Taman Kanak-kanak/RA 17 buah
2 SD/Madrasah Ibtidaiyyah 442 buah
3 SMP/MTSN 194 buah
4 SMU/MA 91 buah
5 Perguruan Tinggi 9 buah
6 SLB 4 buah
Sumber Data : BPS Kota Depok Tahun 2001
Fasilitas Kesehatan
No Fasilitas Kesehatan Jumlah
1 Rumah Sakit Umum 4 buah
2 Puskesmas 24 buah
3 Pos Yandu 637 buah
4 Klinik KB 176 buah
5 Apotik 77 buah
Sumber Data : BPS Kota Depok Tahun 200147
46 Ibid, h. 7
28
5. Kondisi Sosial Keagamaan.
Depok yang memiliki akar sejarah panjang dalam hal pembinaan
keagamaan, pada perencanaan pembangunan Depok Modern telah
memposisikan tempat-tempat ibadah sebagai salah satu media
meningkatkan derajat keimanan dan ketakwaan masyarakat di Kota
Depok.48
Kondisi seperti ini telah menempatkan Kota Depok sebagai kota
religius yang memegang teguh asas saling menghormati antar umat
beragama dan menjunjung tinggi perbedaan dan toleransi.49
Secara spesifik, bagi umat Islam dari 6 kecamatan yang ada telah
memiliki TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) sebanyak 582 buah
dengan jumlah murid 23.284 orang serta 1.023 guru/pengajar.50
B. Pengadilan Agama Depok
a. Dasar Pembentukan dan Yuridiksi.
1. Dasar Pembentukan
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kota Depok
yang berawal dari suatu wilayah Kecamatan Depok berkembang menjadi
sebuah Kota Administratif sebagai bagian dari kabupaten Bogor
kemudian menjadi Kota Madya, yang pada saat ini menjadi sebuah
47 Ibid, h. 8 48 Ibid, h. 9 49 Ibid, h. 9 50 Ibid, h. 9
29
pemerintahan Kota Depok dibentuk pula Pengadilan Agama (PA) Depok
berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun
2002 tanggal 28 Agustus 2002. Pembentukan PA Depok ini bersamaan
dengan dibentuknya 11 PA lainnya sesuai KEPRES dimaksud yaitu PA
Muara Tebo, PA Sengeti, PA Gunung Sugih, PA Blambangan Umpa, PA
Cilegon, PA Bontang, PA Sangatta, PA Buol, PA Bungku, PA Banggai,
dan PA Tilamuta. PA Depok yang peresmian operasional oleh Walikota
Depok dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2003 di Balai Kota Depok
mulai menjalankan fungsi peradilan sejak 1 Juli 2003, Di samping dasar
pembentukan dan dasar operasional sebagaimana tersebut di atas, yang
menjadi dasar pertimbangan perlunya dibentuk PA Depok adalah antara
lain :51
a. Depok telah menjadi sebuah pemerintahan kota, yang berdiri
sendiri lepas dari Pemerintah kabupaten Bogor yang perlu dibentuk
sebuah Pengadilan Agama sesuai pasal 4 ayat (1) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989.
b. Perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh PA Cibinong, 55%
berasal dari penduduk yang berdomisili di Depok, sesuai hasil studi
kelayakan.
c. Untuk melaksanakan asas cepat dalam penyelesaian perkara,
51 Ibid, h. 10
30
karena pemerintah kota Depok harus menuju ke PA Cibinong.52
2. Yuridiksi
Daerah hukum PA Depok adalah meliputi wilayah Pemerintahan
Kota Depok, sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang
dalam Keputusan Presiden RI Nomor 62 tahun 2002 pasal 2 ayat (5)
disebutkan bahwa ”Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi
wilayah pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat”. Yang pada saat
ini wilayah yuridiksinya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.53
b. Struktur Organisasi dan Uraian Tugas
Pengadilan Agama Depok merupakan PA kelas II, karena ia baru
dibentuk, yang saat ini dipimpin oleh seorang Ketua (Drs. Kurtubi Kosim,
SH, M. Hum) dan seorang wakil Ketua (H. Asril Nasional, SH, M. Hum).
Adapun struktur organisasi PA Depok, sebagai berikut:
1. Pimpinan : Ketua dan Wakil Ketua
2. Tenaga fungsional : Para Hakim
3. Kepaniteraan/Keseketariatan :
a. Panitera Sekretaris dibantu oleh : Wakil Panitera, Panitera Muda
Permohonan, Panitera Gugatan, dan Panitera Hukum serta beberapa
orang Panitera Pengganti dan Jurusita Pengganti.54
b. Sekretaris dibantu oleh : Wakil Sekretaris yang dilengkapi dengan :
52 Ibid, h. 11 53 Ibid, h. 11 54 Ibid, h. 11
31
Kepala Urusan Kepegawaian, Kepala Urusan Keuangan, dan Kepala
Urusan Umum.55
c. Gedung/Kantor dan Perlengkapannya.
1. Tanah dan Gedung.
Pengadilan Agama Depok yang baru dibentuk pada tahun 2002
dan diresmikan operasionalnya pada bulan Juni 2003, saat ini belum
memiliki gedung sendiri, untuk sementara kegiatan dan pelaksanaan
tugas dan fungsinya menempati sebuah bangunan dengan status
mengontrak, terletak di Jalan Bahagia Raya Nomor 11 Rt 04/08
Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok Timur, Kota
Depok. Namun demikian, untuk selanjutnya, PA Depok akan
menempati sebuah bangunan gedung yang didirikan di atas sebidang
tanah hasil pemberian dari Pemerintah Kota Depok seluas 636 M2.
Kantor yang sedang dibangun ini terletak di pusat perkantoran Kota
Depok berdekatan dengan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kota Depok. Pemberian tanah dari Pemerintah Kota Depok tersebut,
dikarenakan Pemerintah Kota sangat meyambut baik kehadiran lembaga
penegakan hukum di kotanya, hal ini juga terlihat bagaimana ketika
Pemerintah Kota Depok menerima kehadiran Tim study kelayakan untuk
pendirian PA Depok.56
55 Ibid, h. 12 56 Ibid, h. 12
32
Pada tahun 2000 Pemerintah Kota menjanjikan pemberian
sebidang tanah dan menunjukkan lokasi yang akan ditempatkan
kantor/gedung PA Depok (langsung di lapangan). Tanah yang ada saat
ini, untuk ukuran PA kelas II luasnya belum sesuai dengan standar tanah
yang ditetapkan yaitu 1600 M2. Sedangkan pembangunan gedungnya
masih dalam proses, karena baru diselesaikan tahap I berupa Fondasi dan
tiang pancang. Luas bangunan gedung tersebut, adalah 213 M2. dengan
bertolak dari standarisasi, maka luas bangunan tersebut juga belum
memenuhi standar untuk PA kelas II.
Pada tahun 2005 pembangunan dimaksud dilanjutkan pada tahap
II dengan dana yang sudah dialokasikan sebesar Rp. 325.000.000,-57
2. Perlengkapan Lainnya
Di samping tanah dan gedung, PA Depok juga dilengkapi dengan
sarana lainnya berupa alat transportasi, informasi komunikasi, alat tulis
kantor, meubelair, dan brankas serta perlengkapan lainnya, antara lain
berupa:
- Kendaraan roda 4 sebanyak 2 (dua) buah, berasal dari swadaya 1
(satu) buah dan hibah/pemberian dari Wali Kota Depok 1 (satu)
buah.
- Kendaraan roda 2 sebanyak 1 (satu) buah berasal dari Depag Pusat.
- Komputer 6 unit dan printer 3 unit.
57 Ibid, h. 13
33
- Pesawat Telepon/Faksimili 1 unit berikut sambungan/ lainnya.
- Pesawat Televisi 1 buah.58
d. Keuangan
Tahun anggaran 2004 dan 2005 PA Depok mendapatkan dana dari
Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP), sebagai berikut :
Tahun 2004 : DIK sebesar : Rp 306.645.000,00
DIP sebesar : Rp 298.200.000,00
Tahun 2005 : DIK sebesar Rp 352.000.000,00
DIP sebesar Rp 332.961.000,00
Adapun sumber dana untuk tahun anggaran 2005 tersebut di atas, saat
ini sebenarnya tidak dikenal lagi pembedaan antara DIK dan DIP, namun
penyajiannya sedemikian rupa untuk memudahkan perbandingan besaran
anggaran semata. Jika diperhatikan angka besaran dana secara keseluruhan
antara tahun 2004 dengan 2005, maka dapat dilihat bahwa PA Depok
mendapat kenaikan/tambahan anggaran/dana sebesar Rp. 80.116.000 atau
sebesar 13,24% adapun kenaikan dana yang bersumber dari DIK sebesar Rp.
45.355.000 (14,79) sedangkan yang dari DIP sebesar Rp. 34.761.000
(11,65%).59
e. Ketenagaan
58 Ibid, h. 13 59 Ibid, h. 14
34
Tenaga pelaksana sebagai roda penggerak organisasi PA Depok yang
pada tahun 2005 berjumlah 34 orang terdiri atas 3 status kepegawaian, yaitu
pejabat fungsional, pejabat struktural dan karyawan non jabatan. Sedangkan
pada tahun 2003 berjumlah 20 orang. Pada tahun 2004 PA Depok mendapat
tambahan 13 orang pegawai yang terdiri 1 orang laki dan 12 orang Calon
Pegawai Negeri Sipil. Untuk tahun 2005 mendapat tambahan 1 (satu) orang
panitera pengganti yang didapat dari PA Jakarta timur. Rincian pegawai jika
digolongkan menurut jabatan, jenis kelamin, pangkat/golongan, pendidikan
akhir dan usia akhir tergambar sebagai berikut:
1. Jabatan
- Hakim berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari 7 (tujuh) orang
laki dan 2 (dua) orang perempuan.
- Panitera berjumlah 1 (satu) orang dan Panitera Pengganti berjumlah 6
(enam) orang. Panitera pengganti yang tidak merangkap sebagai
pejabat struktural hanya 2 (dua) orang, sedangkan 4 (empat) orang
lainnya merangkap sebagai pejabat struktural kepaniteraan.
- Juru sita pengganti berjumlah 6 (enam) orang. Juru sita tersebut
merangkap jabatan kesekretariatan 4 (empat) orang, dan hanya 2
(dua) orang yang tidak merangkap, ini pun baru diangkat pada tahun
2004.
- Panitera pengganti dan juru sita pengganti masing-masing dijabat oleh
1 (satu) orang wanita. Jika pada jabatan fungsional baik panitera
pengganti maupun juru sita pengganti yang kini merangkap jabatan
35
struktural berarti PA Depok masih kurang tenaga pejabat
fungsionalnya. Untuk itu perlu mendapat tambahan pegawai baru.
- Pejabat struktural. Seluruh jabatan struktural pada tahun 2005 baik
kepaniteraan maupun kesekretariatan seluruhnya telah terisi sejak
tahun 2003, kecuali Kepala Urusan Umum yang diisi/dilantik dalam
jabatan pada tahun 2004. Seluruh jabatan struktural PA Depok dijabat
(secara kebetulan) oleh mereka yang berjenis kelamin laki-laki.
- Karyawan lainnya. Karyawan PA Depok yang non jabatan/staf
berjumlah 14 (empat belas) orang dengan rincian 11 (sebelas) orang
bertugas di PA Depok (riil) sedangkan 3 (tiga) orang lainnya
dititipkan pada PA Bogor dan PA Cibinong oleh Pengadilan Tinggi
Agama Bandung. Karena volume dan frekwensi pekerjaan pada PA
Depok cukup tinggi yang menerima perkara mencapai 926 pada tahun
2003 dan 885 pada tahun 2004 maka sudah seharusnya 3 orang
pegawai yang dititipkan tersebut, ditugaskan langsung pada PA
Depok sebelum ada penambahan pegawai yang masih sangat
dibutuhkan.60
2. Jenis Kelamin
Dari 34 (tiga puluh empat) orang pegawai PA Depok, 26 (dua
puluh enam) orang atau 76,47% berjenis kelamin laki-laki dan 8
(delapan) orang atau 23,53% dari jabatan baik struktural maupun
60 Ibid, h. 15
36
fungsional di PA Depok yang ada kebanyakan dijabat oleh karyawan
laki-laki, bahkan seluruh jabatan struktural pejabatnya adalah laki-laki
semua, kecuali hanya ada 2 (dua) orang kelamin wanita, 1 (satu) orang
juru sita pengganti.61
3. Golongan
Tenaga pada PA Depok kesemuanya tidak ada yang mempunyai
golongan 1, mereka berpangkat/golongan II, III dan bahkan 4 orang
bergolongan IV dengan rincian sebagai berikut:
Pegawai golongan II/a sebanyak 6 orang,
Pegawai golongan II/d sebanyak 1 orang,
Pegawai golongan III/a sebanyak 9 orang,
Pegawai golongan III/b sebanyak 6 orang,
Pegawai golongan III/e dan III/d masing-masing sebanyak 4 orang,
Pegawai golongan IV/a sebanyak 3 orang,
Pegawai golongan IV/b sebanyak 1 orang.
Dari 9 (sembilan) orang hakim yang ada kesemuanya
berpangkat/golongan Hakim Pratama Madya/piñata (III/c) ke atas
dengan rincian:
Hakim Pratama Madya (III/c) 2 orang,
Hakim Pratama Utama (III/d) 3 orang,
Hakim Madya Pratama (IV/a) 3 orang,
61 Ibid, h. 15
37
Hakim Madya Muda (IV/b) 1 orang.
Hal ini berarti 45% dari jumlah 9 orang hakim di PA Depok berada pada
ruang lingkup golongan IV.62
4. Pendidikan Akhir
Semua karyawan PA Depok berada pada tahap atas, hal ini
dikarenakan 20 orang karyawan berpendidikan S1 bahkan 6 orang
karyawan sudah menyandang gelar Master (S2). Dengan kata lain
76,47% berpendidikan tinggi, dan selebihnya hanya 8 (delapan) orang
yang berijazah SLTA atau hanya 23,53% saja yang belum sarjana. Dari
26 orang karyawan yang berpendidikan Strata-1 (S1) 17 orang berasal
dari Fakultas Syari’ah, sedangkan 9 (sembilan) orang lainnya berasal
dari Fakultas Hukum. Di samping itu ada juga 3 orang yang mempunyai
gelar dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas Hukum. Bahkan 2 (dua) orang
hakimnya sedang menempuh pendidikan S3 pada UIN Syahid Jakarta
dan IAIN Bandung.63
5. Perkara
PA Depok yang dibentuk sejak tanggal 28 Agustus 2002
berdasarkan Kepres No. 62 Tahun 2002 dan beroperasi sejak tanggal 1
Juli 2003 termasuk PA kelas II yang tinggi jumlah perkaranya. Hal ini
terlihat bahwa untuk 6 (enam) bulan pertama saja yaitu bulan Juli s/d
62 Ibid, h. 16 63 Ibid, h. 16
38
Desember 2003 menerima sejumlah 410 perkara, dan tahun 2004
sejumlah 926 perkara. Sedangkan untuk tahun 2005 yaitu bulan Januari
dan Februari atau selama 2 (dua) bulan berjumlah 176 perkara. Jika
kurun waktu 20 bulan berjumlah 1.512 perkara. Bila diambil angka rata-
rata, maka PA Depok menerima 75 buah perkara lebih tiap bulannya.
Dari jumlah perkara sebanyak 1.512 itu yang diterima hanya 2 (dua)
perkara saja yang merupakan perkara waris, sedangkan yang 1.510
perkara (99,86%) adalah perkara perkawinan dengan rincian jenisnya
adalah:64
No Tahun Jenis Cerai Gugat
Jenis Cerai Talak
Ket
1 2003 254 143 6 bulan
2 2004 594 301 1 tahun
3 2005 59 27 2 bulan
Jumlah 907 471 20 bulan
6. Tata Persuratan
Disamping data perkara baik yang diterima, diputus atau perkara
yang dilakukan/mendapat upaya hukum sebagai salah satu indikator
sinergi Pengadilan Agama Depok, data aktifitas persuratan juga
merupakan hal yang dapat menunjukkan sinergi yang dimaksud. Hanya
saja, pemaparan pengelolaan tata persuratan yang kami sajikan dibatasi
64 Ibid, h. 17
39
untuk masa yang berjalan penuh 1 (satu) tahun, yaitu tahun anggaran
2004, mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember. Jumlah surat
yang diterbitkan PA Depok sebanyak 821 buah dengan 14 tujuan instansi
berbeda, sedangkan jumlah surat yang masuk/diterima oleh PA Depok
sebanyak 1.135 buah surat dari 13 jenis instansi yang mengirim. Baik
surat yang keluar atau pun yang masuk yang terbanyak adalah yang
ditujukan atau yang diterima dari instansi lingkungan peradilan agama.
Dari gambaran pengelolaan data persuratan tersebut diatas terlihat
bahwa PA Depok termasuk PA kelas II yang aktifitas administrasinya
cukup tinggi.65
C. Hubungan Kerja dengan Intansi Terkait
a. Pemerintah Kota Depok
Keberadaan pengadilan agama mempunyai peranan yang cukup
strategis dalam pelayanan bidang hukum khususnya bagi umat Islam
masyarakat Kota Depok, yang sebelumnya masyarakat menyelesaikan
perkara di Pengadilan Agama Cibinong Kabupaten Bogor.66
Pemerintah Kota Depok sebagai penyelenggara pemerintahan umum
dan pelaksana pembangunan, dengan fungsi sebagai administrator
pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, terutama dalam bidang
pelayanan umum. Keberadaan Pengadilan Agama Depok sebagai pelaksana
65 Ibid, h. 21 66 Ibid, h. 22
40
kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan yang beragama
Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan
mutu dan produktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi sebagai
pelayanan bidang hukum bagi masyarakat.67
Perhatian Pemerintah Kota Depok terhadap tugas dan fungsi
Pengadilan Agama Depok sangat besar sekali, hal ini dibuktikan dengan
bantuan kendaraan operasional roda empat, sarana, dan prasarana, serta
pembangunan gedung kantor Pengadilan Agama.68
b. Departemen agama
Keberadaan Departemen Agama Kota Depok bagi Pengadilan Agama
Depok tetap memiliki peranan yang sangat penting. Departemen Agama
salah satu pelaksana tugas pemerintah bidang keagamaan khususnya bidang
perkawinan, perwakafan, dan sebagainya.
Pengadilan Agama Depok sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan dalam bidang sengketa
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam, serta wakaf, dan shadaqah. Dengan demikian hubungan kordinasi
dengan kedua instansi tersebut tetap berjalan dengan baik.69
67 Ibid, h. 22 68 Ibid, h. 22 69 Ibid, h. 23
41
BAB IV
PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM
TERHADAP HAK HADHANAH PADA IBU WANITA KARIR
A. Perkara Nomor : 458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok.
Pokok persoalan yang terjadi dapat diuraikan sebagai berikut :
Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, umur 34 tahun, agama Islam,
pekerjaan ibu rumah Tangga, bertempat tinggal di Jalan Karya Bakti Nomor 31
Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji Kota Depok; dalam hal ini berdasarkan
kekuatan surat kuasa khusus tertanggal 06 Juni 2006 diwakili oleh kuasanya A
Putra Mijaya, SH, LL.M, Tabrani Abby, SH, M. Hum, Syarifuddin Yusuf, SH,
Robi A. Marpaung, SH, Yasmin Purba, SH, Jaime Angelique, SH, Romi Leo
Rinaldo, SH, semua Advokat dan Penasihat Hukum ”Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, Indonesia Legal Aid Foundation yang beralamat di jalan
Diponegoro Jakarta Pusat, yang bersangkutan adalah sebagai Penggugat.
Sedangkan Ir. Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung,
umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, bertempat tinggal di jalan
Sungai Pawan nomor 4 Rt.05/07 Kramat Pela Kb. Baru Jakarta Selatan, yang
bersangkutan adalah sebagai Tergugat.
Tentang duduk perkaranya dapat diajukan sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat yang melangsungkan pernikahan pada
tanggal 5 Oktober 1996 bertepatan pada tanggal 29 Jumadil Awal 1417,
yang dicatatkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Beji Kota Depok,
41
42
sesuai dengan kutipan akta nikah nomor 358/23/1996 tanggal 5 Oktober
1996.
2. Bahwa Penggugat dan Tergugat sebagai suami isteri telah memilih tempat
kediaman bersama yang terakhir di Jalan Taruna Jaya No. 31 Rt.04 Rw.13
Kelurahan Cibubur Kecamatan Ciracas Jakarta.
3. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang
bernama :
Anggraita Maurizqa, umur 9 tahun
Ahmad Thoriq Arif, umur 3 tahun
4. Bahwa sampai saat ini umur perkawinan Penggugat dan Tergugat sudah
berumur 9 (sembilan) tahun 8 (delapan) bulan.
5. Bahwa pada awal pernikahan, Penggugat dan Tergugat tinggal bergantian,
2 (dua) minggu di Kebayoran (tempat mertua Penggugat) dan 2 (dua)
minggu berikutnya di Depok. Kemudian Penggugat dan Tergugat pindah ke
daerah Pasar Minggu (Rawa Bambu, seberang Poltangan) ketika Penggugat
sedang hamil anak yang pertama.
6. Bahwa rumah tersebut adalah milik mertua Penggugat yang sengaja
dibangun untuk diberikan kepada ipar-ipar perempuan Penggugat. Ketika itu
sebidang tanah dibangun menjadi 3 (tiga) kavling. Sehingga Penggugat dan
Tergugat tinggal di rumah adik Tergugat.
7. Bahwa ketika anak Penggugat dan Tergugat berumur sekitar 3 (tiga) atau 4
(empat) tahun, mertua Penggugat menawarkan rumah untuk Penggugat dan
Tergugat yang baru saja habis masa kontraknya, di daerah Cibubur.
43
8. Bahwa pada awal-awal pernikahan Penggugat dan Tergugat, ketika tinggal
di Pasar Minggu, Tergugat beserta teman-temannya bekerja di perusahaan
kontraktor, namun Tergugat tidak ikut menanam modal disana. Lalu
kemudian Tergugat keluar.
9. Bahwa ketika tinggal di Cibubur Tergugat membuka usaha sendiri yaitu jual
beli mobil bekas yang modalnya didapat dari Mertua Penggugat. Karena
kurang berhasil, maka kemudian Tergugat mengganti usahanya berupa
membuat arang batok untuk dipasarkan ke restoran-restoran sekitar Cibubur
dan usaha ini juga tidak berhasil.
10. Bahwa selanjutnya Tergugat membuka usaha Susu KPBS. Untuk itu pada
awalnya lumayan maju. Dengan memiliki 6 (enam) sampai 7 (tujuh) orang
pegawai yang tinggal di paviliun rumah. Namun lama-kelamaan usaha ini
pun menurun ditambah dengan adanya hutang kepada pihak distributor.
Sampai akhirnya pegawai Tergugat tinggal 1 (satu) orang saja. Itupun
setelah tutup Tergugat masih memiliki hutang yang dicicil ke pihak
distributor.
11. Bahwa Tergugat tidak pernah membuat lamaran kerja ke perusahaan
manapun karena Tergugat berprinsip tidak mau bekerja dibawah orang lain.
Namun pernah sekali Penggugat membuat lamaran kerja dan Penggugat
serahkan kepada teman Penggugat yang bekerja di Sinar Mas BII (valas)
sewaktu Tergugat tidak ada pekerjaan. Dan Tergugat hanya bertahan 3 (tiga)
hari saja dengan alasan Tergugat tidak bisa bekerja dibelakang meja apalagi
ruangan ber AC.
44
12. Bahwa sementara Penggugat bekerja di Yayasan Sosial yang bergerak di
bidang pemberian beasiswa bagi anak-anak tidak mampu sejak tahun 1998.
13. Bahwa sewaktu Penggugat mengandung anak kedua (memasuki bulan ke-2
usia kandungan), Tergugat mengalami serangan jantung di rumah. Ketika itu
Penggugat sedang bekerja dan Tergugat di rumah bersama anak Penggugat
dan Tergugat yang besar. Ketika itu Tergugat sedang tidak bekerja.
14. Bahwa akibat serangan jantung tersebut Tergugat dirawat di Rumah Sakit
Fatmawati selama sekitar 5 hari di ruang ICU dan sekitar 5 hari di kamar
RS. Ternyata menurut analisa dokter penyakit jantung koroner tersebut
adalah penyakit turunan dari ayah Tergugat yang juga berpenyakit yang
sama.
15. Bahwa sekitar 5 bulan berikutnya ia terkena lagi penyakit batu di ginjal.
16. Bahwa Tergugat adalah orang yang kaku dan sangat tidak romantis. Selama
perkawinan Tergugat tidak pernah mengajak Tergugat nonton berdua di
bioskop, walaupun Penggugat yang membayar.
17. Bahwa ketika anak kedua Tergugat dan Penggugat lahir, Tergugat tidak
mendampingi Penggugat dengan alasan bahwa sudah ada orang tua
Penggugat yang menemani
18. Bahwa lambat laun kehidupan rumah tangga Penggugat sering diwarnai
ketegangan karena ternyata semakin lama Penggugat dan Tergugat
menemukan banyak perbedaan prinsip dan cara pandangan kedepan
mengenai hidup berumah tangga.
19. Bahwa Penggugat merasa selalu saja salah di mata Tergugat, dan Penggugat
45
bukanlah isteri yang baik bagi Tergugat. Sampai-sampai orang tua
Penggugat selalu turun tangan untuk mendamaikan.
20. Bahwa perlu diketahui sampai saat ini Penggugat masih dibantu orang tua
dalam mencukupi rumah tangga. Misalnya televisi adalah kepunyaan
Penggugat semasa gadis, begitu juga dengan tape, radio hingga lemari
pakaian. Begitu pula dengan barang-barang lainnya adalah merupakan
pemberian orang tua Penggugat, seperti Kulkas, Mesin Cuci, Kompor Gas,
VCD, DVD, Oven, Microwave, AC sampai jemuran pakaian dan singkatnya
hampir seluruh isi rumah tersebut orang tua Penggugat yang melengkapinya.
21. Bahwa sebenarnya hubungan antara orang tua Penggugat dengan Tergugat
kurang harmonis. Hal ini dikarenakan Tergugat dan keluarganya kurang
senang dengan adanya perbedaan agama didalam keluarga Penggugat.
22. Bahwa orang tua perempuan Penggugat beragama Protestan dan ayah
Penggugat beragama Islam.
23. Bahwa Tergugat tidak pernah mau untuk bersilahturahmi kepada keluarga
besar Penggugat dengan alasan takut terpengaruh dan akan berdampak
negatif pada anak-anak. Namun dilain pihak, Penggugat harus mau menjalin
hubungan kepada keluarga besar Tergugat.
24. Bahwa sejak berumah tangga, baru setahun belakangan ini Penggugat
dibolehkan bertemu dengan sepupu, sanak saudara Penggugat. Setelah apa
yang menjadi alasan Tergugat ternyata tidak benar.
25. Bahwa hubungan Penggugat dengan kedua mertua pun sebenarnya tidak
terlalu akrab. Dikarenakan mereka sebenarnya tidak setuju kalau
46
bermantukan Penggugat. Penggugat memanggil mereka ’namboru’ untuk
mertua perempuan, dan ’amangboru’ untuk mertua lelaki. Yang dapat
diartikan ’ibu mertua/tante’ dan ‘bapak mertua/oma’. Tidak seperti Tergugat
memanggil mereka dengan sebutan; mama dan papa. Padahal kepada orang
tua Penggugat, Tergugat memanggil mami dan papi seperti layaknya
Penggugat. Saat mengetahui bahwa anak pertama adalah perempuan, mertua
Penggugat kurang suka. Terbukti, pada saat itu mereka tidak mau
menggendong anak tersebut. Baru lama-kelamaan mereka mulai bisa
menerimanya.
26. Bahwa ketidak harmonisan rumah tangga Penggugat di mulai sejak Tergugat
dalam tiga bulan terakhir, Mulai Februari, Maret, April 2006, tidak
menerima gaji tepat pada waktunya dari perusahaan pabrik steel-hardchrom,
tempat Tergugat bekerja selama hampir 2 (dua) tahun. Dikarenakan pabrik
tersebut sudah kesulitan membayar upah pegawai, yang mengakibatkan
Tergugat baru menerima gaji pada minggu kedua bahkan pernah pula pada
minggu ketiga, itupun cash bon terlebih dahulu sebesar sepertiga bagian
dari upahnya perbulan. Walaupun pada akhir bulan atau pernah juga di bulan
berikutnya akhirnya dilunasi.
27. Bahwa di bulan Februari 2006 Penggugat mendapat tawaran pekerjaan
tambahan sebagai event organizer untuk mengkoordinir artis yang
menghibur di Hotel Anggrek di daerah Slipi Tomang.
28. Bahwa pekerjaan Penggugat sebagai koordinator artis adalah menyusun
kegiatan musik untuk satu minggu kedepan, memimpin rapat kegiatan,
47
memberikan honor untuk artis pengisi suara perharinya, mengatur fasilitas
serta konsumsi artis pengisi acara, mengatur keuangan dan laporan,
mengatur kegiatan rapat dengan pejabat hotel, sampai mengurus
transportasi bagi pegawai manajemen.
29. Bahwa pada awalnya Tergugat mendukung pekerjaan sampingan Penggugat
tersebut. Malah Tergugat mengajarkan Penggugat bagaimana cara
memimpin dan duduk di dalam suatu keorganisasian.
30. Bahwa sejak tanggal 01 Mei 2006, ternyata Tergugat baru tahu bahwa
pekerjaan di bidang hiburan musik baru dimulai pada pukul 20.00 WIB,
sehingga Tergugat keberatan atas pekerjaan Penggugat.
31. Bahwa Penggugat baru berangkat bekerja sekitar pukul 15.00 Wib setelah
menyelesaikan segala pekerjaan rumah sebagai layaknya ibu rumah tangga.
32. Bahwa pekerjaan Penggugat selesai pukul 21.00 WIB, namun apabila ada
pekerjaan mendadak seperti dengan pihak manajemen Hotel, Penggugat
baru dapat pulang diatas pukul 22.00 WIB, dikarenakan jarak tempat kerja
dengan rumah Penggugat cukup jauh. Dan ketika pulang Penggugat tetap
mengerjakan rumah seperti mencuci piring kotor dan berbenah.
33. Bahwa pada hari Rabu tanggal 03 Mei 2006 ketika Penggugat pulang
bekerja, yang saat itu pukul 01.00 dini hari, Penggugat diantar oleh manager
dan isterinya. Ketika isteri manager hendak berpamitan dan menjelaskan
mengenai keterlambatan kepulangan Penggugat, Tergugat tidak berkenan
menemui manager dan isterinya bahkan pintu kamar dikunci dari dalam
sehingga Penggugat tidak bisa masuk. Padahal biasanya Tergugat paling
48
marah apabila kamar dikunci sebelum semua masuk kamar (Penggugat tidur
beramai-ramai dengan Tergugat dan anak-anak).
34. Bahwa pada Jum’at tanggal 05 Mei 2006, ketika Penggugat sampai di rumah
sekitar pukul 22.15 WIB, pagar rumah sudah digembok, pintu rumah
dikunci dan digerendel dari dalam sehingga walaupun Penggugat memiliki
kunci rumah, Penggugat tetap tidak bisa masuk. Dan ketika itu Penggugat
pulang bersama dengan sepupu perempuan Tergugat yang tinggal
bersebelahan dengan rumah Penggugat. Sepupu Tergugat juga bekerja di
tempat Penggugat bekerja.
35. Bahwa ketika Penggugat membunyikan bel ternyata kabel bel rumah
dicabut, begitu juga kabel rumah. Dan ketika Penggugat berusaha
menghubungi lewat ponsel Tergugat ternyata tidak diaktifkan. Akhirnya
setelah mengetuk pintu rumah selama hampir setengah jam dan tidak dibuka
juga, maka Penggugat bersama sepupu Tergugat berinisiatif untuk jalan
kebelakang rumah dan mencoba membangunkan Tergugat dari belakang
rumah, barulah Tergugat membuka pintu rumah.
36. Bahwa puncaknya adalah pada hari selasa, 09 Mei 2006, seperti biasa setiap
hari Selasa dan Kamis Penggugat bekerja di Yayasan beasiswa di Jalan
Tanjung. Dan setiap hari Selasa orang tua Penggugat menemani anak-anak
Penggugat di rumah di Cibubur sampai Penggugat dan Tergugat pulang.
37. Bahwa biasanya Tergugat sudah sampai di rumah sekitar pukul 18.00 dan
seperti biasa setelah ada yang ganti menjaga anak-anak, orang tua Penggugat
pulang ke rumahnya di Depok.
49
38. Bahwa Penggugat pulang kerja, sekitar pukul 19.00 WIB. Penggugat bilang
ke orang tua Penggugat bahwa Penggugat akan mampir dulu ke hotel untuk
memberikan pembayaran kepada personil band yang hari itu mengisi acara.
Dan Penggugat tidak mengatakan kepada orang tua Penggugat bahwa
Penggugat pulang sekitar pukul 21.00 WIB, orang tua Penggugat langsung
menyetujui. Namun sekitar pukul 20.30 WIB orang tua Penggugat kembali
menelepon Penggugat sambil marah-marah bahwa beliau tidak bisa pulang
karena Penggugat dan Tergugat belum ada yang sampai rumah. Penggugat
kaget, karena biasanya pukul 18.00 WIB Tergugat sudah sampai rumah.
Akhirnya Penggugat buru-buru pulang.
39. Bahwa Penggugat sampai di rumah sekitar pukul 21.20 WIB. Penggugat
melihat Tergugat juga baru pulang. Penggugat kemudian duduk. Namun
ternyata Tergugat bersama orang tua Penggugat memarahi dan sambil
memukuli Penggugat.
40. Bahwa Penggugat bertanya-tanya kenapa Penggugat dipukul, karena
sebelumnya pada pukul 19.00 WIB Penggugat sudah memberitahukan lewat
ponsel kepada orang tua Penggugat bahwa akan pulang pukul 21.00 WIB.
Orang tua Penggugat terus marah-marah sambil kemudian menampar kedua
pipi Penggugat dan kedua tangannya.
41. Bahwa ketika itu Tergugat memandangi Penggugat yang sedang dipukuli
oleh orang tua Penggugat dengan tersenyum. Bahkan Tergugat melarang
Penggugat untuk bicara guna menjelaskan permasalahan yang sebenarnya
mengapa Penggugat terlambat pulang. Bahkan Tergugat ikut memukuli
50
muka Penggugat secara terus menerus. Karena tidak diberi kesempatan
untuk membela diri, akhirnya Penggugat berteriak sejadi-jadinya.
Pemukulan itu berhenti saat telepon rumah berbunyi. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Penggugat untuk menghindar. Namun Penggugat dikejar
dan kembali dipojokkan untuk duduk di kursi dekat telepon sambil tangan
serta kaki Tergugat menahan dada Penggugat sehingga Penggugat tidak bisa
bergerak. Dan kemudian Penggugat kembali dipukul secara bertubi-tubi oleh
orang tua Penggugat dan Tergugat.
B. Pertimbangan Hukum
Pertimbangan yang dijadikan dasar hukum terhadap Perkara Nomor :
458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan pengakuan Tergugat dan dari Kutipan Akta Nikah No.
358/23/1996, tanggal 5 Oktober 1996 dinyatakan terbukti bahwa Penggugat
dan Tergugat telah terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.
2. Dari jawaban dan duplik Tergugat dalam hubungannya dengan dalil-dalil
gugatan dan replik Penggugat ternyata tidak saling dibantah oleh kedua
belah pihak, dinyatakan terbukti dalam berumah tangga antara Penggugat
dan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran.
3. Berdasarkan keterangan saksi-saksi Irwan dan Maryam dibawah sumpah
masing-masing, ternyata pihak keluarga telah berusaha mendamaikan
Penggugat dan Tergugat agar rukun kembali dalam berumah tangga, tetapi
tidak berhasil.
51
4. Pendapat Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang yang dimaksud
dalam Pasal 19 huruf (f) dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
9 Tahun 1975 yang menyatakan : “Antara suami isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengakaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga”
5. Bahwa sekalipun baik dalam sikap maupun ucapannya di muka
persidangan, Tergugat telah menunjukkan betapa ia menolak untuk bercerai
dengan Penggugat, namun Penggugat nampaknya sama sekali tidak
terpengaruh dan masih tetap tegar dalam pendiriannya untuk bercerai
dengan Tergugat.
6. Menurut Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 “Perkawinan ialah
ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal
dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian
dapat diketahui bahwa salah satu unsur ikatan perkawinan adalah unsur
ikatan bathin, apabila unsur ini tidak ada lagi maka berarti perkawinan itu
pecah.
7. Pengadilan berpendapat bahwa perselisihan dan pertengkaran antara
Penggugat dengan Tergugat tidak saja sudah berlangsung secara terus
menerus, tetapi juga sudah tidak ada harapan akan rukun lagi dalam
berumah tangga.
8. Menurut Pasal 2 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 menyatakan
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
52
sangat kuat atau miistaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
9. Demi menghindarkan Penggugat dan Tergugat berlarut-larut dalam kemelut
rumah tangga dan dosa yang berkepanjangan maka gugatan Penggugat
harus dikabulkan berdasarkan Pasal 19 huruf (f) dari Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975.
10. Berdasarkan pengakuan Penggugat dan Tergugat bahwa dari perkawinan
Penggugat dan Tergugat telah dilahirkan 2 (dua) orang anak yang bernama
Anggraita Maurizqa, umur 9 tahun dan Ahmad Thoriq Arif, umur 3
tahun.
11. Bahwa kedua anak tersebut masih berumur dibawah 12 tahun atau belum
mumayyiz, maka tuntutan Penggugat agar kedua anak tersebut berada
dibawah asuhan dan pemeliharaannya dapat dikabulkan berdasarkan Pasal
105 Kompilasi Hukum Islam.
C. Putusan Pengadilan
Dalam perkara ini setelah melihat fakta-fakta yang ada dan berdasarkan
pertimbangan hukum yang diambil, maka Pengadilan telah mengadili dan
mengabulkan gugatan Penggugat dan menjatuhkan talak satu ba’in sughro
Tergugat Ir. Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung, terhadap
Penggugat Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, serta menetapkan anak
hasil pernikahan Penggugat dan Tergugat, yang masing-masing bernama
Anggraita Maurizqa, perempuan, lahir di Jakarta tanggal 16 September 1997 dan
Ahmad Thoriq Arif, laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 15 Desember 2003 berada
53
dibawah asuhan dan pemeliharaan Penggugat, serta membebankan kepada
Penggugat untuk membayar semua biaya perkara.
D. Analisis Penulis
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Perkara Nomor :
458/Pdt.G/2006/Pengadilan Agama Depok, telah diputus bercerai antara Ir.
Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung, sebagai Tergugat,
dengan Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, sebagai Penggugat, oleh
Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok yang dikarenakan dalam berumah
tangga mereka sering terjadinya perselisihan dan pertengkaran akibat dari
perbedaan prinsip dan cara pandangan kedepan mengenai hidup berumah tangga,
yang pada puncaknya terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang
dilakukan oleh Tergugat.terhadap Penggugat selama masih dalam ikatan tali
pernikahan.
Dalam perkara tersebut juga diputuskan hak asuh anak (hadhanah) jatuh
kepada Penggugat yang dikarenakan kedua anak Penggugat dan Tergugat masih
berada dibawah umur 12 tahun berarti belum mumayyiz.70
Keputusan Majelis Hakim mengenai hak hadhanah jatuh kepada Penggugat
dengan dasar mempertimbangkan Kompilasi Hukum Islam yang terdapat dalam
pasal 105, sebagai berikut:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
70 Wawancara Pribadi dengan Hakim Anggota Pengadilan Agama Depok yakni Agus Yunih dan Sulkha Harwiyanti pada tanggal 23 April 2010.
54
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Seharusnya pendidikan terbaik bagi seorang anak adalah apabila ia berada di
bawah asuhan kedua orangtuanya yakni ayah dan ibunya, yang membesarkannya
dengan penuh cinta dan kasih sayang dan memberinya pendidikan yang baik,
sehingga anak akan tumbuh sehat jasmani dan rohaninya. Tetapi seandainya
kedua orang tua terpaksa bercerai, maka pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz yakni belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk
menjadi hak asuh ibunya. Apabila si anak sudah dianggap mumayyiz, ia
dipersilahkan memilih antara ikut dengan ibu ataupun ayahnya.
Pertimbangan lain diberikannya hak asuh anak yang belum mumayyiz
kepada ibunya karena seorang ibu dianggap lebih mampu mendidik dan
memperhatikan keperluan anak dalam usianya yang masih amat muda juga lebih
sabar dan teliti daripada si ayah. Selain itu, pada umumnya seorang ibu
mempunyai waktu lebih banyak untuk melaksanakan tugasnya itu daripada
seorang ayah yang biasanya sangat disibukkan dengan pekerjaannya
Nabi Muhammad SAW. pernah memutuskan wanita yang baru saja
diceraikan suaminya, bahwa dialah yang lebih berhak memelihara anaknya selagi
belum kawin lagi dengan orang lain :
Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah
bin’Amr;
55
يا ر سو اهللا، ان ابنى هذا آان بطنى له وعاء و ثد يى له سقاء : ان امراة قا لت
ان اباه طلقنى وارادان ينز عه منى، فقال لها رسول اهللا وحجرى له حواء، و
صل اهللا عليه وسلم انت احق به مالم تنكحى
Artinya:
”Bahwa seorang wanita berkata, ”Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini,
perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetek sayalah yang telah menjadi
minumannya dan haribankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah
menceraikan daku dan hendak menceraikan dia pula dari sisiku.”
Maka bersabdalah Rasulullah SAW.: ”Engkaulah yang lebih berhak akan anak
itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”71
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang memiliki hak
hadhanah, apakah hak hadhanah ini milik wanita (ibu atau yang mewakilinya)
atau hak anak yang diasuh tersebut. Ulama Mazhab Hanafi dan Maliki
mengatakan bahwa mengasuh, merawat, dan mendidik anak merupakan hak
pengasuh (ibu atau yang mewakilinya). Dengan alasan bahwa apabila pengasuh
ini menggugurkan haknya, sekalipun tanpa imbalan, boleh ia lakukan dan hak itu
gugur. Jika hadhanah ini hak anak, maka menurut mereka, hak itu tidak dapat ia
gugurkan. sedangkan jumhur ulama berpendirian bahwa hadhanah itu menjadi
hak bersama, antara kedua orang tua dan anak. Menurut Wahbah az-Zuhaili (guru
besar fikih Islam di Universitas Damascus, Suriah) hak hadhanah itu hak
71 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah. Penerjemah Anshori Umar Sitanggal,dkk, h. 450.
56
berserikat antara ibu, ayah, dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiga
orang ini, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh.
Pada kasus ini, ibu dari si anak yakni Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti
Samil adalah seorang wanita karir, yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Yang bersangkutan bekerja di 2 (dua) tempat yaitu: yayasan
sosial yang bergerak di bidang pemberian beasiswa bagi anak-anak tidak mampu
dan di Hotel Anggrek di daerah Slipi Tomang sebagai koordinator artis, sehingga
dari pagi sampai malam berada di luar rumah.
Selama yang bersangkutan bekerja kedua anaknya berada dibawah asuhan
neneknya yakni orang tua perempuan dari Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti
Samil, yang beragama Protestan.
Agama Islam telah menentukan syarat-syarat bagi orang yang akan menjaga
anak yang dipelihara dan diasuh itu, yaitu:
1. Berakal
2. Merdeka
3. Islam
4. Tidak fasik
5. Amanah
6. Mempunyai tempat tinggal
Berdasarkan pada point 3 diatas, sudah jelas bahwa hak asuh kedua anak
dari Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil kepada ibunya yang beragama
Protestan tidak memenuhi syarat ketentuan pemeliharaan anak dalam pandangan
Agama Islam, hal ini diperkuat oleh pendapat ulama fiqih madzhab Imamiyah dan
57
Syafi’i yaitu seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama Islam.
Adapun kekhawatiran pengasuhan anak pada orang yang bukan beragama
Islam, sebagai berikut :
1. Akan merubah aqidah anak.
2. Perilaku dan kebiasaan hidup, orang kafir, yang tidak sesuai dengan syariat
Islam akan berpengaruh terhadap anak, seperti :
a. Pergi ke tempat ibadah selain Masjid.
b. Makan dan minum yang diharamkan, contohnya: makan babi dan minum
arak.
c. Kemaksiatan, seperti : Berjudi dan Pergaulan bebas
d. Berpakaian yang tidak menutup aurat.
Dari kasus ini, agar tidak terjadi kekhawatiran tersebut, hak pengasuhan
anak sebaiknya diserahkan kepada orang yang memenuhi syarat-syarat
pengasuhan anak yang sesuai dengan syariat Islam.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok telah mengadili dan mengabulkan
gugatan Penggugat dan menjatuhkan talak satu ba’in sughro Tergugat Ir.
Luthfy Bulaga Hutagalung Bin Drs. H. Yusuf Hutagalung, terhadap Penggugat
Ir. Rini Prima Utari Samil Binti Gusti Samil, dikarenakan dalam berumah
tangga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran akibat dari perbedaan
prinsip dan cara pandangan kedepan mengenai hidup berumah tangga, yang
pada puncaknya terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang
dilakukan oleh Tergugat.terhadap Penggugat selama masih dalam ikatan tali
pernikahan.
2. Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok juga menetapkan kedua anak hasil
pernikahan Penggugat dan Tergugat, yang masing-masing bernama Anggraita
Maurizqa, perempuan, lahir di Jakarta tanggal 16 September 1997 dan Ahmad
Thoriq Arif, laki-laki, lahir di Jakarta tanggal 15 Desember 2003 berada
dibawah asuhan dan pemeliharaan Penggugat, dikarenakan kedua anak
tersebut masih berada dibawah umur 12 tahun berarti belum dewasa atau
belum mumayyiz, sesuai Kompilasi Hukum Islam pasal 105.
3. Dalam kenyataannya, ibu kedua anak yang telah diberikan kuasa hak asuh
anak oleh Majelis Hakim, menyerahkan pengasuhan kedua anak tersebut
kepada neneknya atau orang tua perempuan dari ibu, yang beragama
Protestan. Hal ini dikarenakan ibu dari kedua anak tersebut merupakan
58
59
seorang wanita karir yang bekerja pada 2 (dua) tempat yakni Yayasan Sosial
dan Hotel Anggrek di daerah Slipi Tomang, sehingga dari pagi hingga malam
yang bersangkutan berada di luar rumah.
B. Saran-Saran
Setelah hasil analisis yang dilakukan terhadap kasus di atas, maka dapat
dikemukakan beberapa saran-saran yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan
kepada semua pihak terkait pada permasalahan ini, sebagai berikut :
1. Mencari solusi yang terbaik dalam setiap permasalahan yang terjadi dalam
rumah tangga.
2. Menghindari Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT yang dapat
menimbulkan trauma berkepanjangan, merupakan salah satu pemicu keretakan
dalam rumah tangga.
3. Menghindari Perceraian.
Perceraian tidak dianjurkan oleh Islam, karena Islam sangat berkeinginan agar
kehidupan rumah tangga tenteram dan terhindar dari sebuah keretakan yakni
perpisahan. Akibat dari perceraian dapat menimbulkan sisi yang tidak baik
untuk perkembangan anak.
4. Apabila perceraian tidak dapat terhindari, maka orang yang diberi kuasa hak
asuh anak, menjalankan kewajiban sesuai amanah yang diberikan kepadanya.
5. Dalam hal orang yang diberi kuasa hak asuh anak harus bekerja untuk
memenuhi ekonomi keluarga sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya,
maka pengasuhan terhadap anak tidak diberikan kepada orang yang tidak
memenuhi syarat yang ditentukan dalam Islam.
60
DAFTAR PUSTAKA
Buku Kuliah Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II,
Jakarta : Elsas, 2008. Kamal bin As Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Wanita Jakarta: Tiga Pilar, 2007. Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah. Penerjemah Anshori Umar
Sitanggal, dkk. Semarang : Asy Syifa’, 1981. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia : Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, cet. III, Jakarta : Kencana, 2004.
Abd Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat Jakarta : Kencana, 2003. Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Zaitunah Subhan, Fiqh Pemberdayaan Perempuan Jakarta : El-Kahfi, 2008. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat
Dan Undang-Undang Perkawinan, cet. II, Jakarta : Kencana, 2007. Sulaiman Rasjid, Penyunting Li Sufyana, M. Bakri dan Farika, Fiqih Islam, cet. XXVII
Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994. Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang perkawinan Jakarta : Bulan Bintang,
1974. Huzaemah Tahido Yanggo, editor Ahmad Zubaidi dan Syaiful Hadi, Fiqih Anak
Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktivitas Anak Jakarta : P.T. Al-Mawardi Prima, 2004.
Muhammad Uwaidah dan Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita. Penerjemah M.
Abdul Ghofar, dkk, cet. XIV, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004. Syaikh Hasan Ayyub, Fiqhul Asrotul Muslimah. Penerjemah M. Abdul Ghofar, dkk.
cet. V, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006. Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat
Para Ulama, Bandung: Karisma, 2008.
60
61
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan),
Jakarta : Kalam Mulia, 1998. Internet Abiyazid, ” Syarat Mendapatkan Hak Asuh Anak (Hadhanah)”, artikel diakses pada 29
Desember 2009 dari http://abiyazid. Wordpress.com/2008/03/12/syarat-mendapatkan-hak-asuh-anak-hadhanah/.
Puspita Giana, ” Proses Hadhanah Dan Adopsi”, artikel diakses pada 13 Januari 2010
dari http://puspitagiana.blogspot.com/2009/06/proses-hadhanah-dan-adopsi.html.
Majelis Ulama Isma, ”Hak Penjagaan anak: Hukum Syari’ah Dan Undang-Undang
Negara”, artikel diakses pada 19 Desember 2009 dari http://www.ismaweb.net. Ali Abdulloh,”Hadhanah”, artikel diakses pada 6 januari 2010 dari
http://aliabdulloh.blogspot.com/2010/01/hadhanah/html. Pangerans, ”Pengasuhan Anak Setelah Cerai”, artikel diakses pada 16 januari 2010
dari http://pangerans.multiply.com/journal/item/193/Pengasuhan-Anak-Setelah-Cerai.
Mahir Al-Hujjah, ”Hadhanah: Suatu Pengenalan”, artikel diakses pada 3 Januari 2010
http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2008/10/hadhanah-suatu-pengenalan.html.