guru merangkap kerja
TRANSCRIPT
GURU MERANGKAP KERJA (Tugas Mata Kuliah Profesi Kependidikan)
Jika anda menyimak lingkungan pendidikan di sekitar anda, mungkin anda akan
menemukan fenomena luarbiasa yang jadi ‘biasa-biasa saja’, fenomena guru yang
merangkap kerja. Ada yang melakukan pekerjaan lain sebagai guru privat, tutor
bimbingan belajar, pelatih olahraga, atau distributor buku pelengkap pelajaran (sebut
saja LKS). Selama masih berkaitan dengan profesinya sebagai pendidik, tentu hal inio
tak menjadi soal, bahkan bisa mendukung aktivitasnya di institusi pendidikan tempat ia
belerja. Akan tetapi, cobalah melihat lebih dalam. Simak beberapa kisah hidup mereka
yang pekerjaan sampingannya tidak berkaitan dengan bidang pendidikan secara
langsung. Misalnya di daerah tempat tinggal penulis, cukup banyak guru SD atau SMP
yang merangkap kerja menjadi petani, sales kosmetik, pedagang sayur atau tukang ojek.
Guru-guru di daerah terpencil waktunya mungkin juga dihabiskan untuk mengajar dan
mencari penghasilan tambahan, karena sering kali di daerah-daerah tersebut jumlah
guru tidak sebanding dengan jumlah murid dan kelas (alias kekurangan guru), sehingga
mereka harus merangkap. Pun tak jauh dari pusat pemerintahan Indonesia, ada Pak
Mahmud, kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah Safinatul Husnah di Cengkareng Barat.
Tigapuluh dua tahun beliau mengabdi sebagai guru honorer tidak cukup untuk
menghidupi keluarga, membuatnya berani mengambil pekerjaan sampingan sebagai
pemulung. Bahkan seorang guru bernama Widodo di Bekasi, disamping sebagai guru
juga merangkap kerja sebagai juru parkir, pekerjaan yang dipandang sebelah mata oleh
banyak kalangan.
Di antara kisah sedih tersebut, ada pula sebuah kisah yang cukup menginspirasi. Berikut
cuplikan dari situs Berita Indonesia Kreatif edisi 16 Desember 2009
“Di sela-sela kesibukan sebagai guru sekolah, Triyono mendirikan usaha pembuatan alat
permainan edukatif. Tidak sekadar membangun usaha beromzet puluhan juta rupiah sebulan,
tetapi ia juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Ini belum termasuk 10
kelompok usaha serupa yang dilatihnya dan kini beranjak mandiri. Setiap bulan Triyono bisa
memproduksi sekitar 120 paket alat permainan edukatif untuk pendidikan anak usia dini (PAUD)
dan taman kanak-kanak. Omzetnya rata-rata setiap bulan Rp 75 juta. Kualitas barang yang
memadai dan jenis yang beragam membuat produk milik Triyono merambah berbagai kabupaten
dan kota sampai ke Kalimantan dan Sumatera. Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan
Nonformal dan Informal (P2PNFI) Regional II Semarang Ade Kusmiadi mengakui jaminan
kualitas produk Triyono. Dia yakin bahwa alat permainan edukatif tersebut mampu bersaing
apabila dipasarkan ke luar negeri.”
Pertanyaan yang sering timbul ketika membaca kisah tersebut adalah “Apakah
profesi mereka tidak terlantar? Bagaimana nasib peserta didik kalau gurunya jarang
hadir di kelas, sibuk dengan obyekannya yang lain? Di mana sih kepedulian
pemerintah?”
Guru Merangkap Kerja, Nasib Murid Bagaimana?
Lalu bagaimana jika kesibukan mengajar dan mencari tambahan pendapatan
mengakibatkan guru terganggu profesionalismenya? Membuat mereka tidak sempat
melakukan pengembangan diri, dengan membuat penelitian atau berbagai desain
pembelajaran, atau bahkan menelantarkan murid-muridnya?
Menilik dari kasus-kasus diatas, kita tidak bisa menyalahkan secara mutlak guru
yang merangkap pekerjaan, karena sebagian besar penyebabnya pun masalah klasik:
kesejahteraan guru yang tak kunjung membaik. Harapan demi harapan terus lahir, janji
demi janji perbaikan kesejahteraan terus mengalir. Sertifikasi guru memunculkan
secercah harapan akan meningkatnya gengsi sebagai guru yang sekaligus meningkatnya
kesejahteraan guru, serta munculnya figur-figur guru yang profesional dan berkualitas.
Namun, harapan tersebut baru sekadar harapan, masih banyak guru yang tetap melarat,
hidup dengan gaji seratusan ribu rupiah sebulan, hidup dengan gaji yang sering
terlambat bahkan ada yang sampai berbulan-bulan gajinya tertunda. Kisah guru yang
tidak digaji selama dua tahun, dan terus mengajar dengan segala minimnya fasilitas
adalah fakta yang masih memperlihatkan pahit getirnya nasib guru, terutama guru
honor yang bertugas di pedalaman dan mengajar di sekolah kecil.
Seringkali guru dituding tidak profesional dan tidak bermutu, namuntak
banyak yang berpikir bagaimana mereka bisa bersikap profesional dan meningkat
kualitasnya jika fasilitas pembelajaran relatif terbatas, beban tugas profesi yang berat,
ditambah lagi beban untuk menafkahi keluarga yang jumlahnya jauh lebih besar
dibandingkan dengan gaji yang diterima, terutama bagi mereka yang masih berstatus
honorer. Satu hal lain yang cukup memberatkan, ketika seorang guru harus mengajar
lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang bukan merupakan keahliannya,
sehingga proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal. Namun, beban mereka yang
lebih berat adalah ketidakmandiriannya sebagai guru sehingga sering diintervensi oleh
berbagai kepentingan, termasuk intervensi dalam melakukan evaluasi keberhasilan
siswa, menentukan kelulusan siswa, intervensi politik, serta intervensi kepentingan
individu, golongan, atau kelompok tertentu. Berbagai intervensi ini membuat terganggu
penyelenggaraan pembelajaran baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
masih jauhnya dunia pendidikan kita dari kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Maka
akan terasa sebagai ironi, ketika seorang pejabat mengeluh soal gaji dan tunjangan
yang tak memadai, dengan serta merta ia meminta kenaikan gaji dan tunjangan. Atau
mencari tendangan dengan nyerempet-nyerempet korupsi, mark up anggaran dan
mengambil proyek mulai dari kecil-kecilan sampai yang besar. Tidak ada dari mereka
yang dengan alasan gaji tidak cukup kemudian mencari alternatif usaha lain, misalnya
membuka warung makan, jual pulsa, membuka toko kecil-kecilan. Apalagi menjadi
tukang parkir seperti guru Widodo dari Bekasi.
Begitulah klondisi para pendidik kita, tak semuanya mampu menyandarkan
hidup pada profesi mulianya tersebut. Akan tetapi, meski mengikuti berbagai macam
kegiatan untuk meningkatkan kompetensi atau memiliki pekerjaan lain, jangan sampai
tugas mengajar dinomorduakan. Bagaimanapun juga tugas untuk mendidik adalah
tugas utama seorang guru.
Patriot atau pahlawan yang ikhlas memang tak butuh dikenang atau dihargai. Mereka
selalu ingat pesan dari Tuhannya:
"Bahkan ulat yang melata pun sudah ditetapkan rizkinya oleh Allah"
"Barangsiapa yang bersyukur akan nikmat-Ku maka akan Kutambah, dan barang siapa
yang kufur, maka azabku sangatpedih"
Dan ada satu pesan dari paman penulis yang juga pensiunan guru agama: “ menjadi
guru, meski gajinya kecil, namun tak mengapa. Semoga yang sedikit itu berkah,
semoga yang nominalnya kecil itu menjadi besar dihadapan Allah.”
Jakarta, 16 November 2010
M SAHID SUNDANA
2215081393