guidebook ft bayat-karsam iageoupn2010

37
FIELDTRIP ALUMNI TG UPN VETERAN YOGYAKARTA RINGKASAN GEOLOGI DAERAH BAYAT & KARANGSAMBUNG (Jogjakarta – Bayat – Jogjakarta – Karangbolong – Karangsambung - Jogjakarta) 7 – 8 Agustus 2010 Pelaksana: Pengurus Ikatan Alumni Geologi UPN (IAGEOUPN) DAFTAR ISI PENDAHULUAN - PENGANTAR - JADWAL PERJALANAN - NAMA PESERTA RINGKASAN GEOLOGI DAERAH BAYAT & KARANGSAMBUNG - FISIOGRAFI - STRATIGRAFI - STRUKTUR REFERENSI i ii

Upload: edo-gondress

Post on 11-Jul-2016

155 views

Category:

Documents


104 download

DESCRIPTION

Makalah

TRANSCRIPT

Page 1: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

FIELDTRIP ALUMNI TG UPN VETERAN YOGYAKARTA

RINGKASAN GEOLOGI DAERAH BAYAT & KARANGSAMBUNG

(Jogjakarta – Bayat – Jogjakarta – Karangbolong – Karangsambung - Jogjakarta)

7 – 8 Agustus 2010

Pelaksana:

Pengurus Ikatan Alumni Geologi UPN (IAGEOUPN)

DAFTAR ISI PENDAHULUAN

- PENGANTAR - JADWAL PERJALANAN - NAMA PESERTA

RINGKASAN GEOLOGI DAERAH BAYAT & KARANGSAMBUNG

- FISIOGRAFI - STRATIGRAFI - STRUKTUR

REFERENSI

i ii

Page 2: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

PENDAHULUAN Ada berbagai cara untuk mempererat tali silaturahmi alumni. Mulai dari reuni, pembuatan mailist, sampai dengan mengadakan fieldtrip. Dua cara pertama, reuni dan mailist, sudah terlaksana dan memberikan hasil yang menggem-birakan, manfaatnya makin dirasakan oleh sebagian besar alumni dan ikatan alumni semakin kuat. Acara fieldtrip ini diharapkan juga mampu mempererat rasa kekeluargaan alumni disamping itu fieldtrip ini juga dapat menjadi sarana berbagi pandangan, pengetahuan dan pengalaman berkaitan dengan objek fieldtrip yang diamati. Dipilihnya Bayat dan Karangsambung sebagai objek fieldtrip karena disamping ‘aspek nostalgia’-nya yang kental (semua alumni adalah alumnus KL Bayat dan KL Karangsambung) juga karena kedua daerah tersebut memiliki pesona wisata dan keilmuan geologi yang menarik. Di kedua daerah tersebut kita kembali menengok sejarah geologi tertua di Jawa. Fieldtrip ini dilaksanakan selama 2 hari, tanggal 7 dan 8 Agustus 2010. Hari pertama kita menuju Bayat dengan stop site di Krakitan (lokasi ex-basecamp KL Bayat sampai tahun 1980-an), di Watuprau (lokasi istimewa dimana singkapan-singkapan yang ditemui hampir mewakili separuh sejarah geologi Jawa) dan di Temas (singkapan baru ‘unconformity’, memberikan informasi baru tentang geologi Bayat). Dari Bayat, dalam perjalanan ke Karangsambung, kita akan mampir pada sore hari di Karangbolong dan menginap di Hotel Candisari, Karanganyar, Kebumen. Hari kedua menuju Karangsambung dimana kita akan berkunjung ke Kampus LIPI (basecamp kuliah lapangan Karangsambung), ke tempat bentang alam “K-T boundary” di Desa Totogan, ke lokasi kepingan kerak samudera (serpentinit) Pucangan, dan ke lokasi singkapan lantai samudera Zaman Kapur di Watukelir, Seboro. Sebelum kembali ke Jogja, akan kita nikmati makan siang berlauk ‘wader’ Luk Ulo di Kampus LIPI.

JADWAL FIELDTRIP

HARI-1 (Sabtu, 7 Agustus 2010) Jam 06.30 WIB: Berkumpul di halaman gedung dekanat FTM (pintu masuk gerbang timur kampus Condongcatur), pembagian “fieldtrip kits” (kaos, topi, dan buku petunjuk fieldtrip). Jam 07.00 WIB: Berangkat dari kampus Condongcatur, menuju stop site-1 (SS-1): Rawa Jombor, Bayat (Nostalgia basecamp kuliah lapangan Bayat pertama di Krakitan). Jam 08.00-08.30 WIB: SS-1, Krakitan, Rawa Jombor, lokasi bekas basecamp “bersejarah” KL Bayat. Jam 09.00-10.00 WIB: SS-2, Watuprau, lokasi “wajib” setiap KL Bayat karena terdapat kontak 3 jenis unit batuan yang berbeda (Unit batuan metamorf Pra-Tersier –Gunung Semangu-, unit batuan sedimen Eosen –Watuprau-, dan unit batuan beku “Gunung Pendul”). Jam 10.00-11.00 WIB: SS-3, Gunung Temas, singkapan baru “nonconformity”, kontak antara batuan beku gabbro lapuk dengan batuan sedimen volkaniklastik dan karbonat. Jam 11.00-12.00 WIB: Kembali ke Jogja (mampir sebentar, 15 menit, di Komplek Kampus Lapangan Bayat UGM). Jam 12.00-13 WIB: Rumah Makan Nyonya Suharti. ISHOMA

Page 3: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Jam 13.00-16.00 WIB: Perjalanan menuju SS-4, pantai Karangbolong, Gombong. Jam 16.00-16.30 WIB: SS-4, Pantai Karangbolong. menikmati indahnya panorama pantai selatan Karangbolong dimana terdapat singkapan yang menarik juga, yakni breksi volkanik (OAF = old andesite formation) yang terpisah jauh dengan singkapan ekivalennya breksi volkanik Formasi Waturanda di Karangsambung. Jam 17.30 WIB : Tiba dan check in di Hotel Candisari, Karanganyar, Kebumen. Jam 19.00 WIB : Makan Malam, dilanjutkan dengan acara ramahtamah (dimeriahkan oleh hiburan organ dan biduanita tunggal). Jam 22.00 WIB : Istirahat.

HARI-2 (Minggu, 7 Agustus 2010) Jam 06.30 WIB: Sarapan pagi di Hotel Candisari. Jam 07.00 WIB: Berangkat menuju Kampus LIPI Karangsambung, … back to Karangsambung fieldcamp… Jam 08.00 – 08.30 WIB: SS-5, tiba di Kampus LIPI, bertukar kendaraan dengan kendaraan lokal untuk ke lokasi Totogan, Pucangan dan Seboro.

Jam 09.00 – 09.30 WIB: SS-6, Bentangalam Totogan. Menikmati bentangalam “K-T (Cretaceous-Tertiary) boundary” yang spektakuler. Jam 10.00 – 12.00 WIB: SS-7, Desa Seboro, berjalan sejauh 400 m ke lokasi G.Watukelir untuk menikmati sensasi jejak-jejak lantai samudera Zaman Kapur. Jam 12.00 – 12.30 WIB: SS-8, Pucangan, lokasi singkapan blok serpentinit yang eksotik. Jam 13.00 – 15.00 WIB: Kampus LIPI Karangsambung, makan siang dan ISHOMA (dilanjutkan dengan peninjauan kompleks Kampus LIPI Karangsambung). Jam 15.00 WIB : Kembali ke Jogja. Jam 17.30 WIB: Sampai di Jogja, tiba kembali di Kampus Condongcatur…. sayonara…

Page 4: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

DAFTAR PESERTA

1. Bambang Prastistho (67) 2. Hendrobusono (68) 3. Bambang Sugeng (71) 4. Joewono H (71) 5. Helmy Murwanto (71) 6. Zulmar Zainuddin (71) 7. Sutanto(73) 8. Habash Semimbar (74) 9. Achmad Rodhi (74) 10. Sari Bahagiarti (75) 11. Budiyono Suryosumarno (76) 12. Nur Haryanto (76) 13. Hadi Prasetyo (77) 14. Kun Yulia (77) 15. Mustoto (77) 16. Buskamal (77) 17. Djoko Sunaryanto (78) 18. M.Jauzi Arief (78) 19. Susetyadi (78) 20. C.Prasetyadi (78) 21. Achmad Subandrio 22. Premonowati (79) 23. Kunto Wibisono (81) 24. Soegino (82) 25. Rahmatul Hakim (82) 26. Sutarto (83) 27. Gde Wirawan (86) 28. Hendratmoko (87) 29. Riana Muliani (87) 30. Amir Hidayat (90) 31. Benyamin Sembiring (91) 32. Dandy Hidayat (92) 33. Arief Prasetya (97) 34. Anton P.Sukendarmono (99) 35. Ibak (99)

36. Hery Riswandi (00) 37. Vivian B Indranadi (01) 38. Purnama AS (02) 39. Adi Gunawan (04) 40. Ketua HMJ TG UPNVY 2010

Page 5: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Geologi Daerah PerbukitanJiwo – Bayat

Daerah Bayat terletak sekitar 45 Km tenggara Yogyakarta. Di daerah Bayat kelompok batuandasar Pra-Tersier yang tersingkap terdiri dari filit, sekis mika, dan marmer. Umur komplek batuandasar ini belum diketahui. Sebaran batuan Pra-Tersier di Bayat yang terdapat di Perbukitan Jiwo terbagi dua oleh aliran K. Dengkeng, daerah sebelah timur K. Dengkeng disebut Jiwo Timur dan yang di sebelah baratnya disebut Jiwo Barat seperti yang ditunjukkan oleh peta geologi Bayat (Gambar-1). Stratigrafi daerah Bayat dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar-2 (strat Bayat dskt).

Satuan Batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, Bayat oleh peneliti terdahulu diinterpretasikan memiliki tatanan tektonik mirip dengan daerah Luk Ulo, Karangsambung (Asikin, 1974; Hamilton, 1979). Beberapa peneliti telah melakukan kajian geologi secara umum di daerah ini, diantaranya Bothe (1929), Van Bemmelen (1949), Sumosusastro (1956), Sumarso dan Ismoyowati (1975), Sartono dkk. (1986, dalam Setiawan, 2000); Toha dkk. (1994); dan Setiawan (2000). Diantara penelitian terdahulu ini, Sartono dkk.(1986) dan Setiawan (2000) meneliti secara khusus tentang batuan Pra-Tersier daerah Perbukitan Jiwo, Bayat. Sartono dkk (1986) menginterpretasikan terdapatnya berbagai jenis batuan metamorf di Bayat sebagai hasil polydeformation yang berkaitan dengan orogenesa Variscia dan orogenesa Larami. Setiawan (2000) berdasarkan kemiripan arah struktur dan dijumpainya tanda-tanda berkembangnya struktur boudin di lokasi-lokasi tertentu di Jiwo Barat menginterpretasikan bahwa Komplek batuan Pra-Tersier Bayat menunjukkan kemiripan dengan Komplek Melange Luk Ulo. Kelompok batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, Bayat secara umum terdiri dari filit, sekis dan marmer (Gambar-3). Filit

merupakan litologi yang dominan dijumpai, baik di daerah Jiwo Timur dan Jiwo Barat, di lokasi-lokasi Gunung Konang, Gunung Semangu, Gunung Merak, Gunung Kebo, Gunung Budo, dan Gunung Sari. Sebagian besar singkapan filit dalam keadaan lapuk; hanya sedikit singkapan filit yang segar. Pada singkapan filit biasanya dijumpai urat-urat kuarsa dan kalsit sejajar foliasinya. Komposisi filit terdiri dari mineral kuarsa yang hadir dominan (60-70%), klorit dan serisit (20-25%), sedikit mineral opak. Sejumlah sampel filit dan sekis merupakan calc phyllite dan calc schist karena komposisi mineral kalsitnya berkisar 15-60% (Gambar-4). Singkapan sekis dijumpai setempat-setempat, seperti di Jiwo Timur dijumpai di bagian barat G.Jokotuo, G.Konang, G. Semangu, dan lereng tenggara Gunung Pendul, sedangkan di Jiwo Barat lereng selatan G. Merak. Di lokasi sekis ini terdapat sebagai fragmen dalam batulempung Eosen Formasi Wungkal-Gamping. Hasil analisis petrografi menunjukkan, bahwa mineralogi penyusun sekis ini antara lain mineral kuarsa (40-55%), felspar (10-15%), muskovit (10-35%), dan sedikit mineral opak seperti yang ditunjukkan oleh sampel BY-50 (Gambar-4b). Diantara sekis ini, sampel BY-53 (Lokasi: lereng selatan G.Konang) komposisinya ada yang mengandung garnet (15%) disamping kuarsa dan muskovit (Gambar-4c). Marmer singkapannya terdapat di daerah Jokotuo dan lereng utara Gunung Jabalkat. Terdapat menyisip di dalam filit, singkapan marmer ini memiliki sebaran tidak terlalu luas dan terpotong oleh sesar seperti yang terdapat di daerah Jokotuo. Hasil analisis petrografi memperlihatkan komposisi mineralogi yang terdiri dari mineral kalsit (85 %), kuarsa (10 %) dan sedikit mineral opak (Gambar-4h). Umur batuan Pra-Tersier di daerah Perbukitan Jiwo, Bayat diinterpretasikan berdasarkan kontak ketidakselarasan dengan batuan Eosen yang menumpang di atasnya. Belum adanya penentuan umur berdasarkan penanggalan radiometri

Page 6: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

kemungkinan karena sulitnya memperoleh singkapan batuan sekis yang segar. Penelitian ini berhasil mendapatkan beberapa sampel segar sekis kuarsa-mika yang merupakan fragmen di dalam batupasir kerikilan yang tersingkap di bagian tengah Gunung Pendul. Hanya dua sampel diantaranya yang layak untuk penanggalan K-Ar. Hasil penanggalan dua sampel sekis kuarsa-mika ini menunjukkan umur 98,049±2,10 jtl (sampel BY50-B1) dan 98,542±1.45 jtl (sampel BY50-B2) (Prasetyadi, 2007). Kedua umur absolut ini menunjukkan umur Cenomanian atau Kapur Akhir. Pada umumnya filit dan sekis yang tersingkap di daerah Perbukitan Jiwo, Bayat memiliki struktur foliasi (S1) yang berkembang dengan baik. Struktur foliasinya menunjukkan arah umum utara-timurlaut – selatan-baratdaya (Prasetyadi, 2007). Di tempat tertentu, seperti yang dijumpai di lereng barat Gunung Jokotuo, pada suatu zona dengan lebar sekitar 100 m struktur foliasi telah mengalami perlipatan membentuk lipatan-lipatan mikro dengan jurus bidang sumbu berarah barat-timur (U285ºT) dan dengan kemiringan landai 10º ke utara (Gambar-5). Zona lipatan mikro ini kemungkinan berkaitan dengan pensesaran naik dengan jurus berarah barat-timur. Disamping gejala perlipatan yang dijumpai secara lokal di tempat tertentu, satuan batuan metamorf di daerah Perbukitan Jiwo juga tersesarkan. Sesar naik dijumpai di lokasi Desa Pagerjurang, Kerikilan, K. kebo, dan Gedangan (Pendul). Sesar naik yang berkembang berjurus barat-timur dengan kemiringan ke arah selatan. Sesar mendatar geser kiri dijumpai di K. Kebo, Jokotuo dan K. Dengkeng dengan arah umum timurlaut-baratdaya.

Perbandingan antara Batuan Pra-Tersier Luk Ulo dan Perbukitan Jiwo, Bayat

Walaupun litologi batuan Pra-Tersier di Karangsambung dan Bayat ada yang mirip terutama dari komponen batuan metamorf derajat rendahnya, namun perbedaan antara keduanya cukup berarti seperti disajikan dalam tabel di

bawah ini (Prasetyadi, 2007). Daerah Bayat terletak sekitar 150 km sebelah timur Komplek Luk Ulo Karangsambung. Dengan posisi ini, jika dikaitkan dengan arah subduksi Kapur, lokasi Bayat lebih ke arah wilayah lautan daripada posisi daerah Luk Ulo Karangsambung. Berdasarkan posisinya ini batuan Pra-Tersier Komplek Bayat akan mencerminkan himpunan batuan asal lempeng samudera yang lebih menonjol dibandingkan dengan batuan Pra-Tersier Luk Ulo Karangsambung yang himpunannya menunjukkan komplek akresi. Perbandingan yang disajikan pada tabel menunjukkan bahwa himpunan batuan Pra-Tersier Komplek Bayat, berdasarkan yang tersingkap, berbeda dengan Komplek Melange Luk Ulo, Karangsambung. Batuan Pra-Tersier Luk Ulo, Karangsambung berdasarkan himpunan litologi dan strukturnya merupakan melange tektonik komplek akresi. Melange tektonik ini dicirikan oleh percampuran secara tektonik blok berbagai ukuran dan berbagai jenis batuan dalam masadasar lempung tergerus. Berdasarkan biostratigrafi radiolaria, Wakita dkk. (1994) merekonstruksi urutan awal Komplek Melange Luk Ulo. Dari bawah ke atas urutannya terdiri basalt berstruktur bantal, batugamping merah, rijang, serpih silikaan, batupasir, dan serpih. Urutan ini mencerminkan OPS (Oceanic Plate Stratigraphy) yang menunjukkan sejarah lempeng samudera mulai dari tempat pembentukannya di pematang tengah samudera hingga ke tempat subduksinya di palung. Disamping batuan metamorf derajat rendah, subduksi di palung Karangsambung ini juga menghasilkan himpunan batuan metamorf derajat tinggi seperti sekis glaukofan dan eklogit yang sekarang dijumpai sebagai sebagai blok-blok. Oleh karenanya disimpulkan bahwa Komplek Luk Ulo merupakan hasil yang khas subduksi lempeng samudera. Singkapan Komplek batuan Pra-Tersier Bayat didominasi oleh batuan metamorf yang umumnya berderajat rendah-menengah (ditandai dengan terdapatnya filit kuarsa-serisit-grafit sampai sekis kuarsa-muskovit-garnet).

Page 7: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Tabel-1: Perbandingan batuan Pra-Tersier Komplek Luk-ulo dan Batuan Pra-Tersier Komplek Bayat (Prasetyadi, 2007)

LUK ULO, KARANGSAMBUNG

PERBUKITAN JIWO, BAYAT

Variasi Litologi

- Filit kuarsa-serisit-grafit - Sekis kuarsa-muskovit-garnet;

sekis glaukofan, eklogit - Marmer - Kelompok ofiolit (serpentinit,

gabro, basalt, rijang dan gamping merah)

- Batupasir - Batulanau (hadir sebagai blok tektonik) - Batulempung tergerus (masadasar melange)

- Filit kuarsa-serisit-grafit, dan calc phillyte

- Sekis kuarsa-muscovit-garnet, dan calc schist

- Marmer

Umur

- Umur K-Ar sekis : 110-125 jtl (blok)

- Serpih silikaan : 90-115 jtl (Matrik)

- Umur K-Ar sekis: 98,5 jtl

Struktur

- Menunjukkan tectonic “block-in-matrix” structure, struktur boudin

- NNE-SSE ( sumbu panjang boudin )

- NE-SW ( sesar )

- NNE-SSW (foliasi) - NE-SW (sesar)

Posisi Tektonik

Komplek akresi : Zona subduksi (palung) Tidak diketahui

Filit dan sekis Komplek Bayat ada yang komposisinya mengandung kalsit 15-60% (calc phyllite dan calc schist), disamping kuarsa dan mika. Sementara himpunan batuan yang menunjukkan urutan OPS (oceanic plate stratigraphy),

yang terdiri dari basalt berstruktur bantal, batugamping merah, rijang, serpih silikaan, batupasir, dan serpih, seperti yang terdapat dalam Komplek Melange Luk Ulo tidak dijumpai di Bayat. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan dua interpretasi dalam membandingkan batuan Pra-Tersier Komplek Luk Ulo Karangsambung dan Komplek Bayat. Pertama, Komplek Bayat, yang didukung oleh kemiripan batuan metamorf, arah umum struktur dengan Komplek Melange Luk Ulo, merupakan bagian dari zona subduksi yang sama dengan Komplek Melange Luk Ulo. Kurangnya bukti yang menunjukkan keterdapatan struktur melange tektonik kemungkinan berkaitan dengan dimensinya, Komplek Bayat kemungkinan merupakan blok batuan metamorf yang sangat besar di dalam masadasar yang tidak tersingkap karena tertutup oleh material pelapukan yang tebal sehingga sulit menjumpai singkapan masadasarnya. Kedua, walaupun komponen Komplek Bayat ada yang mirip dengan Komplek Melange Luk Ulo namun genesa tektonik kedua komplek tersebut berbeda. Komplek Luk Ulo merupakan hasil khas dari subduksi lempeng samudera sedangkan Komplek Bayat, yang tidak menunjukkan struktur melange tektonik dan tanpa kehadiran OPS, dapat diinterpretasikan sebagai komplek konvergen yang lebih berciri asal-kontinen. Terdapatnya calc phyllite dan calc schist, yang tidak dijumpai di Komplek Luk Ulo, dan nampaknya menjadi penciri himpunan batuan metamorf Komplek Bayat, mendukung interpretasi yang kedua karena hadirnya calc phyllite dan calc schist tersebut menunjukkan batuan asal (protolit) Komplek Bayat adalah batuan sedimen yang mengandung karbonat seperti napal, batulempung gampingan, ataupun batupasir gampingan. Protolit semacam ini menunjukkan batuan metamorf Bayat lebih berasosiasi dengan batuan sedimen terigen (asal darat) yang berasosiasi dengan lingkungan kontinen.

Page 8: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Satuan Batuan Paleogen (Eosen) Menumpang secara tidak selaras di atas satuan batuan Pra-Tersier adalah Formasi Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Tengah dan terdiri dari konglomerat, batupasir kuarsa, batugamping numulit, dan batulempung. Berdasarkan kandungan fosil nanno, batulempungnya menunjukkan umur akhir Eosen Tengah (Setiawan, 2000). Formasi Wungkal-Gamping ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Kebobutak yang singkapannya terdapat di bagian tenggara daerah Bayat dan terdiri dari lava basaltik-andesitik, batupasir volkanik dengan sisipan batulanau dan laminasi tuf. Umur formasi ini adalah Oligosen Akhir sampai Miosen Awal (Surono dkk., 1992). Formasi Kebobutak diinterpretasikan sebagai sedimen laut dalam yang terendapkan di lingkungan kipas bawah-laut (Toha dkk, 1994). Formasi-formasi ini diterobos oleh intrusi mikrodiorit (Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Formasi Tersier termuda di daerah Perbukitan Jiwo, Bayat adalah Formasi Wonosari yang berumur Miosen Akhir (Surono dkk., 1992) dan menumpang secara tidak selaras di atas formasi-formasi yang lebih tua. Formasi Wonosari terdiri dari batugamping klastik yang berselang-seling dengan napal, batugamping terumbu, dan batugamping tufan. Tidak seperti yang dijumpai di daerah Luk Ulo, Karangsambung dan Nanggulan dimana satuan batuan Eosen tersingkap secara menerus pada suatu daerah yang cukup luas, singkapan batuan Eosen di daerah Perbukitan Jiwo, Bayat terdapat secara terpisah-pisah, sesuai kondisi perbukitan Jiwo yang terpisah oleh Kali Dengkeng, menjadi Perbukitan Jiwo Barat dan Jiwo Timur. Oleh karenanya kondisi singkapan batuan Eosen di daerah ini tidak sebanyak dan sebaik seperti yang dijumpai di daerah Luk Ulo, Karangsambung dan Nanggulan. Kemungkinan karena kondisi singkapannya yang tidak menerus inilah tidak banyak penelitian batuan Eosen dilakukan di daerah ini sejak penelitian pertama dilakukan oleh Verbeek dan Fennema (1986, dalam Sumarso dan Ismoyowati, 1975), Boethe (1929),

dan disusul 20 tahun kemudian oleh Sumosusastro (1957). Dalam kajiannya tentang batuan-dasar di daerah ini Boethe (1929) menemukan fosil Orbitolina yang berumur Kapur di dalam bongkah batugamping dari konglomerat Neogen yang berdekatan dengan singkapan batuan Pra-Tersier. Laporan tentang penemuan ini tidak banyak berarti karena tidak disertai dengan rincian letak lokasi penemuan sehingga sulit ditelusuri kembali keberadaannya. Di dalam batuan Eosen penelitian-penelitian awal ini mengidentifikasi keterdapatan fosil foram besar, yang terdapat di dalam lensa-lensa batugamping, yang terdiri dari Assilina spira, A.exponens, A.granulosa, Nummulites javanus, N. bagelensis, Discocyclina dispansa, D. javana, dan D. omphala. Asosiasi fosil ini menunjukkan Eosen Tengah. Jika peneliti-peneliti awal memusatkan perhatiannya pada kehadiran foram besar di dalam batuan Eosen, maka Sumarso dan Ismoyowati (1975) mencermati kehadiran foram plankton sebagai dasar untuk menyusun stratigrafi Perbukitan Jiwo dan daerah di selatannya. Batuan Eosen di daerah Perbukitan Jiwo dibagi oleh Bothe (1929) menjadi dua satuan litostratigrafi. Satuan bagian bawah yang terdiri dari batupasir kuarsa dan batugamping foram yang berumur Eosen Tengah disebutnya sebagai Wungkal Beds. Nama “Wungkal” berasal dari nama Gunung Wungkal di Jiwo Barat. Gunung ini telah habis ditambang oleh penduduk setempat dan saat ini telah berubah menjadi daerah pemukiman, sedangkan satuan bagian atas, terdiri dari batulempung dan batulanau gampingan berumur Eosen Tengah sampai Eosen Akhir, disebut sebagai Gamping Beds. Nama “Gamping” diambil dari nama Gunung Gamping di Jiwo Timur yang sekarang ini berubah namanya menjadi Desa Gamping. Oleh peneliti selanjutnya (Surono dkk, 1992) kedua nama satuan batuan Eosen tersebut digabung dan disebut sebagai Formasi Wungkal-Gamping.

Page 9: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Batuan Eosen di Perbukitan Jiwo dijumpai secara terpisah-pisah di dua tempat, yakni di daerah Jiwo Barat dan Jiwo Timur (lihat Gambar-1). Di daerah Jiwo Barat, batuan Eosen tersingkap di Gunung Cakaran dan di daerah sebelah baratlautnya, di tengah-tengah pemukiman Desa Sekarbolo. Di Gunung Cakaran semua litologi satuan batuan Eosen dijumpai, namun karena tertutup soil pelapukan yang tebal singkapannya terdapat secara setempat-setempat sehingga kontak litologinya tidak dapat diamati. Pada lereng barat Gunung Cakaran, dari bagian bawah lereng ke atas, dijumpai mulai dari filit yang telah lapuk, di atasnya setempat-setempat dijumpai konglomerat, kemas tertutup dengan butiran saling bersinggungan, butirannya sampai berukuran kerakal, kebanyakan fragmennya terdiri dari kuarsit, filit yang telah lapuk, sedikit rijang, dan sekis. Di atas konglomerat, tanpa teramati kontaknya, dijumpai batupasir kuarsa, keras, masif tak berlapis, berbutir sedang sampai kasar. Pada level ketinggian yang sama dijumpai lensa batugamping foram besar yang mengandung Nummulites dan Discocyclina. Di bagian atas serpih, abu-abu, gampingan, dengan kedudukan miring ke arah baratdaya dengan kemiringan 23º (Gambar-6). Pada lokasi dengan jarak sekitar 1 km dari Gunung Cakaran ke arah baratlaut, di daerah Sekarbolo, dijumpai singkapan menerus batupasir kuarsa dan perlapisan batugamping foram. Secara stratigrafi batupasir kuarsa berada di bawah perlapisan batugamping foram dengan kedudukan miring ke arah baratdaya dengan kemiringan 35º. Di daerah Jiwo Timur, batuan Eosen tersingkap di Desa Padasan-Watuprau dan di daerah sebelah selatannya, di Desa Gamping, di lereng tenggara Gunung Pendul. Di Desa Padasan dijumpai singkapan penting yang menunjukkan kontak antara satuan filit dengan batugamping foram. Kontak ketidakselarasan antara dua jenis batuan ini ditandai dengan terdapatnya lapisan tipis konglomerat yang terdiri dari fragmen filit dan sekis dan kuarsit di bawah lapisan

batugamping foram (Gambar-7). Hubungan yang sama antara satuan batuan filit dengan batuan Eosen juga dijumpai di daerah Watuprau. Disini dijumpai kontak langsung secara tidak-selaras antara batugamping foram yang menumpang di atas filit. Di atas batugamping terdapat batupasir kuarsa, berlaminasi sejajar, agak lapuk dengan kedudukan perlapisannya miring ke selatan sebesar 42º. Urutan batuan ini diterobos oleh intrusi gabro Gunung Pendul. Ke arah selatan dari lokasi Watuprau berjarak sekitar 200 m, di Desa Gamping dijumpai singkapan batuan sedimen klastik berukuran halus yang terdiri dari batulanau dan serpih (Gambar-8). Bagian atas satuan serpih dijumpai bongkah-bongkah filit dan sekis berukuran sampai 15 cm dan individu fosil foram besar. Oleh Smyth dkk (2005) satuan ini disebut Pendul Slump. Bagian atas dari satuan serpih ini di satu tempat dijumpai batupasir kerakalan yang mengandung fragmen-fragmen batuan Eosen dan batuan metamorf, seperti yang dijumpai di lereng tenggara Gunung Pendul. Batupasir kerakalan ini bersortasi buruk, terdiri dari fragmen-fragmen batuan-dasar yang segar (filit, sekis, urat kuarsa) dan batuan Eosen (batupasir, batugamping Nummulites) berbentuk menyudut dengan ukuran 0,5 – 40 cm.

Umur batuan Paleogen Batugamping foram di Jiwo Barat mengandung fosil foram besar yang terdiri dari Assilina spira, A.exponens, A.granulosa, Nummulites javanus, N. bagelensis, Discocyclina dispansa, D. javana, dan D. omphala yang menunjukkan umur Eosen Tengah. Sementara batugamping di Jiwo Timur, di Desa Padasan, dijumpai fosil foram besar Assilina sp., Nummulites javanus, N. bagelensis, dan Discocyclina javana yang juga menunjukkan umur Eosen Tengah. Pada bagian serpih gampingan di Jiwo Timur, di lereng tenggara Gunung Pendul, terdapat fosil foram plankton Truncorotaloides rohri, Globorotalia cerroazulensis pomeroli, G. cerroazulensis

Page 10: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

cerroazulensis, Globigerina linaperta, G.compacta, dan G. cryptomphala yang menunjukkan umur Eosen Akhir (Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Penelitian mutakhir batuan Eosen di daerah Perbukitan Jiwo dilakukan oleh Umiyatun dkk.(2006) dan Ekojati dkk. (2006) yang meninjau kembali umur batuan Eosen berdasarkan fosil foram besar dan fosil nanno (Gambar-9). Hasilnya menunjukkan kisaran umur yang tidak jauh berbeda dengan penentuan umur oleh peneliti terdahulu.

Lingkungan Pengendapan Urutan batuan Eosen di daerah Perbukitan Jiwo, Bayat menunjukkan penghalusan ke arah atas yang mencerminkan suatu endapan transgresif. Bagian bawah urutannya dimulai dengan konglomerat polimik, ditumpangi oleh batupasir kuarsa dan batugamping foram besar. Asosiasi batuan bagian bawah ini menunjukkan pengendapan di lingkungan laut dangkal yang terbuka dimana foram besar dapat hidup dengan baik. Semakin ke atas batulanau dan serpih gampingan yang mengandung foram plankton menunjukkan lingkungan pengendapannya semakin dalam. Makin dalamnya lingkungan pengendapan ini memungkinkan terdapatnya lereng-lereng yang curam di bagian tepinya yang memung-kinkan terendapkannya Pendul Slump dan batupasir kerikilan yang mengandung fragmen batuan-dasar dan batuan Eosen.

Kontak dengan Satuan Batuan Lain Batuan Eosen Bayat secara tidak selaras menumpang di atas Satuan Batuan Metamorf Pra-Tersier seperti telah diuraikan di atas. Disamping itu, batuan Eosen (Formasi Wungkal-Gamping) diterobos oleh intrusi yang terdiri dari gabro dan basalt yang pada umumnya berupa dike (Gambar-10 & Gambar-11). Dike basalt, dengan ketebalan beberapa meter, umumnya memotong filit atau sekis. Di Dusun Brumbung (Jiwo Barat) kontak basalt dengan filit memberikan efek bakar dan

meskipun lapuk efek bakar tersebut masih dapat diamati. Singkapan dike basalt yang lain dijumpai di Gunung Sari, Kali Kebo, Gunung Merak dan Gunung Cakaran. Sedangkan gabro merupakan dike yang mempunyai ketebalan lebih dari 25 meter seperti yang terdapat di Dusun Bendungan, Gunung Pendul dan lereng selatan Gunung Temas. G.Pendul merupakan yang terbesar. Di Dusun Bendungan intrusi ini menerobos Formasi Gamping-Wungkal dan menyebabkan terbentuknya hornfels, sedang di Gunung Temas gabro tertutup secara tidak selaras oleh Formasi Oyo. Batuan beku ini oleh Bothe (1929) dan Van Bemmelen (1949) disebut diorit/mikro-diorit. Pada sayatan tipis komposisinya terutama terdiri dari piroksen dan plagioklas yang sebagian sudah mengalami alterasi. Jenis plagioklasnya labradorit dan bertekstur diabasik. Kandungan SiO2 pada analisis kimia kebanyakan kurang dari 50% (berkisar antara 47,13-50,90%) (Sutanto, 2004; Setiawan, 2000) (Tabel-2). Berdasarkan pengamatan petrografi dan analisis kimia tersebut menunjukkan batuan beku Bayat adalah gabro atau diabas. Penanggalan K-Ar menunjukkan bahwa gabro dan basalt di Perbukitan Jiwo berumur 39,82 Ma sampai 31,3 Ma, atau Eosen hingga Oligosen Awal, berkomposisi basaltik dan berafinitas calk alkali yang genesanya berhubungan dengan penunjaman kerak samudera (Sutanto dkk, 1994). Kontak batuan Eosen Bayat dengan formasi di atasnya, Formasi Kebobutak, tidak teramati karena tertutup oleh hasil pelapukan yang tebal. Namun di Desa Mojosari, terdapat singkapan yang diperkirakan bagian bawah Formasi Kebobutak yang terdiri dari perlapisan batupasir tufan, kerikilan, menunjukkan struktur slump. Batupasir kerikilannya mengandung fragmen-fragmen batuan yang lebih tua seperti filit, konglomerat, batupasir kuarsa, dan batugamping numulit (Gambar-12). Terdapatnya fragmen-fragmen batuan Pra-Tersier dan batuan Eosen tersebut menunjukkan hubungan ketidak-selarasan antara batuan

Page 11: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Eosen (Formasi Wungkal-Gamping) dengan Formasi Kebo-Butak di atasnya. Tabel-2: Hasil analisis kimia batuan beku daerah Bayat

Setiawan (2000) Sutanto (2004)

Pgj-01

Kk-01

Gjy-01

Pdl-01 BY-47 BY-

48 BY-49

BY-50

BY-51

SiO2 47,75 49,79 47,13 49,16 50,85 50,90 48,83 51,20 49,17

TiO2 1,76 1,35 1,16 1,24 1,48 1,58 0,97 1,98 1,02

Al2O3 16,72 17,22 16,72 13,29 14,68 14,85 16,01 14,29 15,21

Fe2O3 9,50 10,15 9,24 9,21 10,94 11,20 8,67 11,71 8,25

MnO 0,13 0,25 0,18 0,19 0,18 0,18 0,13 0,19 0,12

MgO 5,25 6,20 7,25 7,20 6,02 5,10 8,25 5,78 7,96

CaO 7,05 7,67 9,04 11,26 9,53 7,58 10,8 7,76 9,6

Na2O 4,63 3,17 3,61 3,97 2,78 3,6 3,16 3,30 3,30

K2O 2,83 1,16 0,53 1,59 0,55 0,73 0,30 0,50 1,14

P2O5 0,19 0,17 0,14 0,09 0,10 0,19 0,05 0,2 0,08

LOI 3,24 2,85 4,52 2,39 2,97 3,28 3,03 2,92 4,07

Total 99,05 99,98 99,52 99,78 100,08 99,19 100,2 99,83 99,92

Page 12: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gam

bar-

1. P

eta

geol

ogi d

aera

h Ba

yat

(Pra

sety

adi,

200

7).

Gam

bar-

2: K

rono

stra

tigr

afi J

awa

Teng

ah s

elat

an (

term

asuk

Bay

at)(

Pras

etya

di &

Indr

anad

i, 2

007)

.

Page 13: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-4: Fotomikrograf (nikol silang) sayatan tipis batuan (A-B) sekis muskovit-kuarsa-garnet (G.Pendul), (C-E) sekis kalsit-kuarsa-grafit (G.Jokotuo dan G.Merak), (F) marmer (G.Jokotuo), (G) meta-batupasir (G.Merak), dan (H) meta-serpih (G.Merak), yang merupakan penyusun utama Komplek Batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, Bayat (Prasetyadi, 2007)

Gam

bar-

3: S

ingk

apan

bat

uan

met

amor

f f

ilit

(A &

B),

dan

mar

mer

(C)

(Pr

aset

yadi

, 20

07).

Page 14: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-5: Struktur lipatan mikro pada foliasi satuan filit, daerah Rondonom. Kedudukan bidang sumbu mendekati horisontal (U285ºT/10º). (Lokasi: BY-73, lereng barat G.Jokotuo, Jiwo Timur) (Prasetyadi, 2007)

Gambar-6: Singkapan batuan Eosen Formasi Wungkal-Gamping di G. Cakaran, Jiwo Barat, (A) serpih, (B) konglomerat, dan (C) batupasir kuarsa (Prasetyadi, 2007).

Page 15: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-7: Kontak antara filit dengan batugamping numulit (A), kontak ditandai dengan konglomerat alas yang mengandung butiran urat kuarsa dari filit (B), fragmen filit di dalam batugamping numulit (C), lokasi di Desa Padasan, Jiwo Timur (Prasetyadi, 2007).

Gambar-8: Singkapan bagian atas Formasi Wungkal-Gamping di Desa Gamping, lereng timur G.Pendul, Jiwo Timur, terdiri dari: (A) serpih, (B) blok filit dan sekis di dalam serpih, dan (C) Batulanau dengan struktur laminasi sejajar (Prasetyadi, 2007).

Page 16: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-9: Foto sayatan foram besar Eosen di daerah Bayat (Umiyatun dkk, 2006).

Gambar-10: Singkapan intrusi gabro Perbukitan Jiwo yang terdapat di lokasi-lokasi: (A) G. Jabalkat, Jiwo Barat, (B) G. Pendul (C) G. Temas, dan (D-E) Desa Gamping, Jiwo Timur (Prasetyadi, 2007).

Page 17: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-11: Fotomikrograf (nikol silang) sayatan tipis intrusi gabro Perbukitan Jiwo (A) G. Jabalkat, (B) G. Pendul (C) G. Temas, (D) Desa Gamping, (E) G. Cakaran, (F) Desa Jerukan (utara G. Pendul), komposisi terdiri dari piroksen dan plagioklas (labradorit), bertekstur diabasik (C, D, E dan F) dan telah teralterasi sebagian (Prasetyadi, 2007).

Gambar-12: Singkapan batupasir tufan-kerikilan yang merupakan bagian bawah Formasi Kebo-Butak, mengandung fragmen-fragmen batuan yang lebih tua seperti filit, konglomerat, batupasir kuarsa, dan batugamping Nummulites (Lokasi Ds. Mojosari) (Prasetyadi, 2007).

Page 18: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Geologi Daerah Luk Ulo – Karangsambung

LETAK Daerah Luk Ulo, Karangsambung terletak di wilayah Kabupaten Kebumen, Propinsi Jawa Tengah dan dapat dicapai melalui jalan beraspal baik dari arah selatan, sejauh 20 km dari kota Kebumen, maupun dari arah utara, berjarak 25 km dari kota Banjarnegara. Daerah yang dikenal juga sebagai Tinggian Luk Ulo (Luk Ulo Uplift, Koesoemadinata dan Pulunggono, 1975) ini merupakan daerah perbukitan dengan arah memanjang timur-barat. Tinggian ini merupakan pemisah antara daerah fisiografi Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan dimana sungai-sungai umumnya mengalir ke arah selatan dan bermuara di Samudera Indonesia. Keistimewaan Daerah Karangsambung terutama karena daerah ini merupakan salah satu tempat tersingkapnya batuan Pra-Tersier yang secara regional terdapat di tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland) (Gambar-13). Di permukaan -di daerah Jawa bagian timur- selain di daerah Karangsambung, batuan Pra-Tersier juga tersingkap di daerah Perbukitan Jiwo, Bayat, sedangkan di bawah-permukaan batuan Pra-Tersier didapati di sumur-sumur ekplorasi minyak dan gasbumi yang menembus batuan-dasar di daerah Cekungan Jawa Timur. Tersingkapnya batuan-dasar (basement) Pra-Tersier di daerah Karangsambung memberikan peluang untuk mempelajari seluruh evolusi geologi Jawa bagian timur mulai dari Pra-Tersier (Zaman Kapur) sampai masa kini.

PENELITIAN TERDAHULU Sebagai lokasi terdapatnya singkapan batuan Pra-Tersier yang paling luas di Pulau Jawa, banyak penelitian telah dilakukan di daerah Luk Ulo Karangsambung (Harloff, 1933, dalam Suparka, 1988; Tjia, 1966; Asikin, 1974; Ketner dkk., 1976;

Suparka, 1988; Asikin dkk., 1992; Wakita dkk., 1994; Harsolumakso dkk, 1995, Harsolumakso, 1996; Condon dkk., 1996, Yuwono, 1997). Asikin (1974) adalah yang pertama menerapkan teori Tektonik Lempeng dalam penelitiannya tentang evolusi geologi daerah Karangsambung dan memberi nama himpunan batuan Pra-Tersier di daerah ini sebagai Komplek Melange Luk Ulo. Suparka (1988) menggolongkan himpunan batuan mafis-ultramafis yang menunjukkan hubungan ko-genetis sebagai Komplek Ofiolit Karangsambung Utara yang terdiri dari dismembered and metamorphosed ophiolite (Gambar-14). Wakita dkk. (1994) mempertegas umur Kapur Komplek Melange Luk Ulo dengan hasil penelitian fosil radiolaria yang terdapat di blok rijang dan matrik serpih silikaan. Geologi keseluruhan daerah Komplek Melange Luk Ulo telah dipetakan secara sistematis, di bagian utara oleh Ketner dkk. (1976) dan Condon dkk. (1996), sedangkan di bagian selatan oleh Asikin dkk. (1992). Penelitian terakhir dilakukan oleh Prasetyadi dkk. (2005) dan Prasetyadi (2007) dalam kaitannya dengan riset disertasi tentang batuan Paleogen dan berhasil menemukan terdapatnya satuan batuan Eosen baru di daerah Karangsambung bagian utara. Penemuan ini memperbaharui peta geologi terdahulu (Gambar-15). Dalam peta geologi terdahulu di daerah bagian utara satuan batuannya dipetakan sebagai batuan Pra-Tersier Komplek Melange Luk Ulo, sedangkan dalam peta geologi yang diperbaharui (Gambar-16) satuan batuan tersebut, berdasarkan fosil foram besar Nummulites sp dan Asterocyclina sp yang ditemukan, ternyata berumur Eosen dan diusulkan sebagai satuan batuan baru (Formasi Bulukuning dan Komplek Larangan, Prasetyadi (2007)).

STRATIGRAFI Sebagai tempat tersingkapnya Kompleks Melange Luk Ulo yang berumur Kapur, stratigrafi daerah Karangsambung

Page 19: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

tersusun oleh batuan Pra-Tersier dan Tersier serperti yang ditunjukkan oleh Gambar-17.

Batuan Pra-Tersier Daerah Luk Ulo – Karangsambung Himpunan batuan Pra-Tersier di daerah Karangsambung dikenal sebagai Komplek Melange Luk Ulo (Asikin, 1974). Komplek ini terdiri dari blok-blok berbagai ukuran dari batuan sedimen pelagis-hemipelagis, batuan beku basaltis, dan batuan metamorf yang tercampur secara tektonik dalam matrik batuan pelitik. Blok-blok batuan metamorf terutama tersingkap di bagian utara daerah Komplek Melange Luk Ulo dan dimasukkan kedalam sub-kelompok Melange Seboro (Asikin, 1974). Batuan metamorfnya terdiri dari mulai dari yang berderajat rendah sampai sedang seperti filit, sekis kuarsa-mika, dan marmer sampai yang berderajat tinggi seperti eklogit dan sekis biru (sekis glaukofan). Filit kuarsa-serisit-grafit merupakan batuan metamorf yang dominan seperti yang dijumpai di Kali Luk-Ulo, Desa Trenggulun. Di bagian utara, batuan metamorf terutama tersingkap di daerah selatan K. Sapi, K. Bermali, dan Desa Lamuk dan umumnya terdiri dari sekis kuarsa-muskovit. Di K. Bermali dan K. Sapi, di Karangsambung utara, sekis kuarsa-muskovit memiliki tekstur porfiroklastik. Di lokasi Desa Duren, dijumpai juga sekis yang mengandung silimanit. Di bagian selatan, batuan metamorf tersingkap dengan baik di K. Brengkok dan K. Loning dan umumnya terdiri dari sekis kuarsa-muskovit mengandung garnet. Batuan metamorf derajat-tinggi dijumpai sebagai berangkal di K. Muncar terdiri dari eklogit, sekis glaukofan dan serpentinit. Keterdapatan berangkal-berangkal batuan metamorf ini menunjukkan mereka tadinya merupakan blok tektonik yang terdapat didalam serpentinit tergerus dan diidentifikasi sebagai sekis garnet-amfibolit, eklogit, sekis jadeit-kuarsa-glaukofan (Miyazaki dkk., 1998).

Himpunan batuan mafis dan ultramafis seperti basal berstruktur bantal, retas-retas diabas, gabro dan peridotit terserpentinkan secara umum tersingkap di bagian selatan. Berdasarkan terdapatnya hubungan ko-genetis dalam himpunannya, himpunan batuan mafis-ultramafis ini oleh Suparka (1988) disebut sebagai Kelompok Ofiolit Karangsambung Utara dan menggolongkan himpunan batuan ini ke dalam jenis ofiolit terpisah-pisah dan termalihkan (dismembered and metamorphosed ophiolite). Himpunan batuan ini terdeformasi dengan kuat ditandai dengan gejala milonitisasi, breksiasi serta adanya urat-urat mineral sekunder seperti kuarsa, karbonat, epidot, dan klorit. Batas antar satuan batuannya umumnya sesar sungkup. Di dalam komplek ofiolit ini kadang-kadang ditemukan bongkah-bongkah batuan sedimen (seperti rijang, batugamping merah) dan batuan metamorf (sekis mika, sekis amfibolit, sekis glaukofan) (Gambar-18). Himpunan batuan lainnya di dalam Komplek Melange Luk Ulo adalah satuan batuan yang disebut sebagai broken formation oleh Harsolumakso dkk. (1995) (Gambar-19). Tersingkap di bagian selatan daerah Komplek Melange Luk Ulo, atau di daerah Melange Jatisamit (Asikin, 1974), satuan ini terdiri dari bongkah-bongkah perlapisan batulempung silikaan dan batupasir yang terdeformasi namun masih memperlihatkan sebagian perlapisan aslinya. Matrik atau masadasar Komplek Melange Luk Ulo umumnya terdiri dari serpih hitam dengan strukturnya yang khas, teriris oleh rekahan-rekahan gerus yang arahnya tak beraturan sehingga menunjukkan gejala telah mengalami deformasi (Gambar-20). Pada matrik serpihan yang tergerus kadang-kadang terdapat urat-urat klorit dan aggregat kristal mineral sekunder kalsit dan kuarsa membentuk struktur crenulation yang menunjukkan matrik tersebut telah mengalami proses rekristalisasi berkaitan dengan deformasi (Harsolumakso dkk, 1995). Analisis mikroskopis menunjukkan matrik ini umumnya

Page 20: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

batulempung terkristalisasi, ataupun batusabak. Batulempung terkristalisasi terdiri dari serisit atau mika berserabut (ilit, pirofilit), sedikit klorit, dan kuarsa sekunder. Di dalam batulempung semacam ini kadang-kadang dijumpai fragmen-fragmen berukuran pasir dari kuarsit, batuan lempungan, dan epidot (Suparka, 1988).

Umur Batuan Pre-Tersier Penentuan umur Komplek Melange Luk Ulo oleh penelitian terdahulu dilakukan pada komponen blok dan matriknya. Ketner dkk. (1976) melaporkan umur sekis mika 117±1.1 jtl (Kapur Awal) berdasarkan penanggalan K-Ar dan umur 85 jtl (Kapur Akhir) dari determinasi wholerock Rb-Sr pada dua sampel filit. Disamping itu diperoleh umur jejak belah 65 jtl (batas Paleosen-Kapur) dari zirkon dalam sampel porfiri kuarsa di bagian baratlaut Komplek Melange Luk Ulo. Di bagian selatan Komplek Melange Luk Ulo penanggalan K-Ar terhadap sekis mika (muskovit) menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Umur yang diperoleh adalah 101,71±5,09 jtl (Kapur Akhir) (Suparka, 1988), 110±6 jtl dan 115±6 jtl (Miyazaki dkk., 1998). Sedangkan hasil penanggalan K-Ar terhadap dua sampel blok batuan metamorf bertekanan tinggi (batuan jadeit-glaukofan-kuarsa) menunjukkan umur yang lebih tua sedikit, yakni 124±2 jtl dan 119±2 jtl (Parkinson dkk, 1998). Sedangkan penanggalan K-Ar terhadap batuan mafis (basalt dan diabas) menunjukkan umur 81±4,06jt dan 85,03±4,25 jtl; dan blok dasit berumur 67,71±3,39 jtl (Suparka, 1988). Penentuan umur komponen batuan sedimen (rijang) dan matrik serpih silikaan didasarkan pada fosil radiolaria menunjukkan kisaran umur Kapur Tengah - Akhir (Wakita dkk, 1994).

Struktur Pada umumnya Komplek Melange Luk Ulo menunjukkan struktur yang khas, yakni struktur boudin atau fish structure. Struktur ini dihasilkan dari proses tektonik dimana ketika terjadi kompresi batuan yang lebih kompeten terfragmentasi

membentuk blok-blok berbentuk boudin atau fish sementara batulempung yang inkompeten membentuk masadasar (matrik) tergerus (Gambar-20). Komposisi antara blok dan matrik ini tidak seragam. Di bagian utara, komposisi blok lebih dominan dibandingkan matriknya dan disebut sebagai “Melange Seboro”. Sedangkan di bagian selatan, komposisi matriknya lebih dominan dibandingkan bloknya, disebut sebagai “Melange Jatisamit” (Asikin, 1974). Di bagian utara, jenis bloknya didominasi oleh batuan metamorf, kelompok ofiolit dan perselingan antara batugamping merah, rijang dan basalt. Matrik terdapat lebih sedikit dibandingkan bloknya sehingga sebagian besar blok-bloknya saling bersentuhan (Gambar-21A). Kontak antar blok ditandai oleh sesar ataupun zona-zona gerusan (shear zone) (Gambar-21B). Kadang-kadang dijumpai sesar-sesar kecil, baik sesar mendatar maupun sesar sungkup, yang memotong blok beserta matriknya. Pengukuran orientasi sesar-sesarnya menunjukkan arah umum timur-timurlaut – barat-baratdaya (Harsolumakso, 1996). Di bagian selatan, keterdapatan matrik lebih dominan dibandingkan bloknya. Dominannya matrik menghasilkan struktur boudin yang khas. Boudin terdiri dari blok-blok perlapisan batupasir, batulanau dan batulempung, dan greywake. Pengukuran arah sumbu panjang boudin menunjukan arah umum U65ºT (Harsolumakso dkk, 1995). Berdasarkan pengamatan struktur di tiga lintasan sungai, dari barat ke timur, yakni di K. Sigobang, K. Muncar, dan K. Loning (Gambar-22), terhadap kedudukan bidang-kontak antar blok (yang berupa sesar), kedudukan blok yang teramati secara tiga dimensional dalam matriknya, serta bidang penyerpihan matriknya, menunjukkan kemiringan dengan arah umum miring ke selatan-tenggara. Kemiringan umum ke selatan ini dapat diinterpretasikan juga dari citra tiga-dimensional daerah Luk Ulo (Gambar-22), yang ditunjukkan oleh perbukitan dengan lereng yang curam umumnya mengarah ke utara.

Page 21: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Model Tektonik Kompleks Melange Luk Ulo Komplek Melange Luk Ulo dianggap oleh para peneliti terdahulu sebagai bagian dari zona subduksi Kapur-Paleosen di tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland). Model-model tektonik yang dikemukakan memiliki dasar interpretasi yang berbeda-beda. Model tektonik pertama berdasarkan Konsep Tektonik Lempeng dikemukakan oleh Asikin (1974) (Gambar-24A). Berdasarkan biostratigrafi radiolaria, Wakita dkk. (1994) merekonstruksi urutan awal Komplek Melange Luk Ulo yang menunjukkan oceanic plate stratigraphy (OPS). Berdasarkan rekonstruksi ini diinterpretasikan, dari bawah ke atas urutannya terdiri basalt berstruktur bantal, batugamping merah, rijang, serpih silikaan, batupasir, dan serpih. Urutan ini menunjukkan sejarah lempeng samudera mulai dari tempat pembentukannya di pematang tengah samudera ke tempat subduksinya di palung. Oleh karenanya disimpulkan bahwa Komplek Luk Ulo merupakan hasil khas dari subduksi lempeng samudera (Gambar-13B). Berdasarkan kajian himpunan batuan mafis dan ultramafis yang menunjukkan hubungan ko-genetis, Suparka (1988) menggolongkan himpunan batuan ini ke dalam jenis ofiolit terpisah-pisah dan termalihkan (dismembered and metamorphosed ophiolite). Jenis ofiolit ini diinterpretasikan sebagai segmen dari pematang tengah samudera yang tercabik sehingga mengalami overthrust ke arah tepi kontinen, dengan kemiringan bidang overthrust ke selatan, ketika berinteraksi dengan proses subduksi di palung Luk Ulo-Karangsambung (Gambar-23A). Model yang mirip dikemukakan oleh Kamtono dkk. (1996) dan Santoso dan Suparka (1998) berdasarkan analisis data gravitasi, magnetik dan geologi yang dicirikan oleh unsur-unsur struktur melange yang kemiringannya dominan ke selatan (Gambar-23B). Kemiringan umum ke selatan komponen akresi Komplek Melange Luk Ulo seperti yang teramati selama penelitian Prasetyadi (2007) dapat dijelaskan oleh model prisma akresi dari Mascle dkk. (1986) (Gambar-25). Model ini menganggap

bahwa ujung (backstop) lempeng atas (upper plate) miring ke arah palung. Dalam perkembangannya prisma akresi yang terbentuk dapat terdiri dari tiga jenis akresi, dari arah palung ke Paparan, yakni: Akresi haluan (frontal accretion), akresi puncak (top accretion), dan akresi buritan (rear accretion). Struktur akresi haluan dicirikan oleh struktur dengan kemiringan searah pergerakan lempeng yang menyusup. Struktur akresi puncak ditandai oleh struktur sesar dengan kemiringan yang besar sampai vertikal, sedangkan akresi buritan dicirikan oleh berkembangnya sesar-sesar backthrust dengan arah kemiringan berlawanan dengan arah kemiringan akresi depan. Dengan kemiringan struktur umumnya ke arah selatan, Komplek Melange Luk Ulo diinterpretasikan sebagai bagian dari akresi buritan (rear accretion) (Prasetyadi, 2007). Zona subduksi Lesser Antilles di Amerika Tengah dapat dianggap sebagai salah satu analog moderen dari model ini (Gambar-26). Zona subduksi ini dicirikan oleh berkembangnya Barbados ridge yang merupakan prisma akresi dengan ke tiga jenis akresinya (frontal, top, and rear accretions). Berdasarkan model ini komplek akresi Luk Ulo diinterpretasikan sebagai bagian rear accretion dari prisma akresinya. Di bagian utara Komplek Melange Luk Ulo, di daerah Larangan, dijumpai hubungan struktur antara endapan slope basin dan komplek akresinya yang mirip dengan model rear accretion. Di daerah ini untuk pertama kalinya dijumpai terdapatnya endapan slope basin berumur Eosen Akhir yang terdeformasi (diusulkan sebagai Komplek Larangan) dan memiliki kontak dengan batuan metamorf Komplek Melange Luk Ulo berupa sesar naik dengan kemiringan ke selatan.

Page 22: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

 Gambar-13: Distribusi singkapan batuan Pra-Tersier Kapur di tepi tenggara Paparan Sunda (modifikasi dari Guntoro, 1996).

Gambar-14: Penelitian terdahulu di daerah Luk Ulo, Karangsambung.

Gambar-15: Peta geologi daerah Luk Ulo hasil penelitian terdahulu (Asikin, dkk, 1992; Condon dkk, 1996).

Gambar-16: Peta geologi daerah Luk Ulo hasil penelitian lebih mutakhir (Prasetyadi, 2007).

Page 23: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-17: Stratigrafi daerah Luk Ulo Karangsambung (Asikin dkk, 1992).

Gambar-18: Batuan Pra-Tersier Karangsambung: (A) serpentinit (Lokasi: Ds.Pucangan), (B) gabro (K.Medana), (C) basalt (K.Medana), (D) rijang dan gamping merah Ds.Sadang Wetan), (E) basalt berstruktur bantal (K.Muncar), (F) sekis kuarsa mika (K.Medana), (G) sekis biru (K.Muncar), dan salah satu bongkah batuan sedimen, (H.) batupasir graywacke (Ds.Wagir Sentul) (Prasetyadi, 2007).

Page 24: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

 Gambar-19: Singkapan broken formation bagian dari Melange Jatisamit, terdiri dari serpih silikaan dengan sisipan batupasir (lokasi: K. Cacaban) (Prasetyadi, 2007).

Gambar-20: Singkapan batulempung tergerus, matrik Komplek Melange Luk-ulo, mengandung fragmen-fragmen batupasir graywacke (lokasi: Ds. Wagir Sentul) (Prasetyadi, 2007).

Page 25: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-21A: Struktur boudin dalam matrik batulempung tergerus, Komplek Melange Luk-ulo (Lokasi (A) KS-101, daerah Binangun), (B) KS-206, K. Muncar) (Prasetyadi, 2007).

Gambar-21B: Kontak sesar yang menandai hubungan antar blok Komplek Melange Luk-ulo, (A) Kontak sesar antara blok basalt dengan filit (Lokasi: K. Sapi), (B) Bidang sesar naik miring ke selatan yang membatasi blok sekis (Lokasi: K. Sigobang) (Prasetyadi, 2007).

Page 26: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-22: (A) Penampang lintasan yang menunjukan arah umum kemiringan ke selatan Komplek Melange Luk-ulo, (B) citra 3-dimensi daerah Luk-ulo. Penggungan-punggungan berarah barat-timur dengan bagian lereng yang curam menghadap ke arah utara (Sumber citra-3D: Lundin Banyumas b.v.) (Prasetyadi, 2007).

Gambar-23: (A). Model pengalih-tempatan Komplek Ofiolit Karangsambung Utara (Suparka, 1988), (B). Penampang utara-selatan yang menggambar struktur Melange Seboro berdasarkan anomali gaya berat (Kamtono dkk, 1996).

Page 27: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gam

bar-

24:

(A)

Mod

el s

ubdu

ksi M

elan

ge L

uk U

lo m

enur

ut A

siki

n (

1974

), (

B) m

odel

Mel

ange

Luk

Ulo

m

enur

ut r

ekon

strk

si O

PS (

Wak

ita,

199

7),

(C)

Kom

plek

Mel

ange

Luk

Ulo

ber

dasa

rkan

ano

mal

y ga

ya

bera

t (S

anto

s &

Sup

arka

, 20

01).

Gam

bar-

25:

Mod

el p

rism

a ak

resi

dar

i Mas

cle

dkk(

1986

). K

ompl

ek M

elan

ge L

uk U

lo d

iinte

rpre

tasi

kan

seba

gai r

ear

accr

etio

n (a

kres

i bur

itan

) (P

rase

tyad

i, 2

007)

.

Page 28: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-26: Zona subdukdsi Lesser Antilles di Laut Karibia yang dianggap sebagai analog modern dari model prisma akrasi Mascle dkk. (1986); a.) keadaan masa kini, b.) perkembangan tektonik mulai dari Eosen Awal hingga Kuarter (Park,1988).

Page 29: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

SEJARAH TEKTONIK PULAU JAWA

Pemekaran Lantai Samudera Hindia Pulau Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (Sunda-land). Pada Daratan Sunda ini terdapat dua sistem gerak lempeng; Lempeng Laut Cina Selatan di utara dan Lempeng Samudera Hindia di selatan. Lempeng Laut Cina Selatan bergerak ke tenggara sejak Oligosen (Longley, 1997), sedangkan Lempeng Samudera Hindia yang berada di selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum dan menunjam ke bawah sistem busur kepulauan Sumatra dan Jawa (Liu dkk., 1983). Untuk Pulau Jawa, yang terbesar pengaruhnya adalah sistem gerak Lempeng Samudera Hindia. Oleh karena itu dalam mempelajari evolusi tektonik Pulau Jawa perlu dipahami perkembangan pemekaran lantai Samudera Hindia dari waktu ke waktu. Sebelum ditemukannya fosil pusat pemekaran Wharton Ridge, pengetahuan tentang sejarah perkembangan Samudera Hindia terbatas hanya pada terdapatnya tiga fase pemekaran lantai samudera sejak pecahnya Benua Gondwana bagian timur (Liu dkk, 1983). Fase pemekaran pertama terjadi pada Kapur Awal (127

jtl) ketika India terpisah dari Antartika dan Australia pada arah baratlaut-tenggara.

Fase pemekaran kedua terjadi antara pembentukan anomali magnetik 34 dan 22 (atau antara 82 jtl sampai 54 jtl) yang ditandai oleh India terpisah dari Antartika dan menjauh ke utara dengan cepat. Fase ini ditunjukkan oleh kelurusan anomali magnetik berarah barat-timur. Kemudian pada anomali 22 (atau 54 jtl) kecepatan pergerakan India ke utara menurun secara mencolok karena diperkirakan mulai terjadi kontak pertama antara Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia.

Fase pemekaran ketiga, atau fase yang terakhir, terjadi mulai dari anomali 19 (atau 45 jtl) sampai sekarang

ditunjukkan oleh anomali 19 sampai anomali 0 (nol) dengan arah baratlaut-tenggara yang memisahkan India dan Australia dari Antartika.

Sejarah perkembangan Samudera Hindia ini direvisi oleh Liu dkk (1983) berdasarkan hasil studi anomali magnetik Wharton Ridge, suatu pusat pemekaran berarah baratdaya-timurlaut yang berhenti aktivitasnya pada anomali 20 (45,6 jtl). Indikasi pertama keberadaan Wharton Ridge dilaporkan oleh McDonald (1977, dalam Liu dkk., 1983). Dalam studinya tentang sedimentasi dan struktur kipas bawahlaut Nicobar, yang menutupi lantai samudera di bagian baratlaut Cekungan Wharton, dikenali serangkaian tinggian batuan dasar berarah baratdaya-timurlaut di bawah lapisan sedimen dan menamakan tinggian ini sebagai Wharton Ridge. Dia juga berpendapat bahwa tinggian atau pematang ini mewakili segmen pusat pemekaran yang belum menyusup di bawah Palung Sunda. Berdasarkan identifikasi anomali magnetik di daerah sekitar Wharton Ridge serta hasil dari DSDP (Deep Sea Drilling Project) di dekatnya, Liu dkk.(1983) mengemukakan urutan perkembangan Samudera Hindia bagian timur sebagai berikut (Gambar-27) :

(1) India terpisah dari Antartika-Australia dengan arah baratlaut-tenggara pada anomali magnetik M-11 (atau sekitar 127 jtl), yang menandai pecahnya benua purba Gondawana bagian timur.

(2) Pada Kapur Tengah, antara pembentukan anomali M-0 dan anomali 34 (atau antara 110-82 jtl), terjadi reorganisasi lempeng secara besar-besaran yang pertama. Pergerakan relatif antara India dan Antartika berubah menjadi berarah utara-selatan dan Australia mulai memisahkan diri dari Antartika.

(3) Pada Kapur Akhir, selama periode pembentukan anomali 34 sampai anomali 22 (atau antara 82-54 jt), India terus bergerak ke utara dengan cepat, sementara Australia bergerak menjauh dari Antartika

Page 30: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

dengan sangat lambat. Pada saat itu terbentuk triple junction di tempat dimana sesar transform 86ºE yang berarah utara-selatan menyatu dengan pusat pemekaran India-Antartika yang berarah barat-timur. Pada saat itu India dan Australia berada di dua lempeng yang berbeda dipisahkan oleh pusat pemekaran Wharton.

(4) Antara pembentukan anomali 22 dan anomali 19 (atau antara 54jt – 45 jt), reorganisasi lempeng yang kedua terjadi ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jt). Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia pada 54 jtl.

(5) Setelah pembentukan anomali 19 (sekitar 45 jtl), aktifitas pusat pemekaran di selatan Australia (SE Indian Ridge), yang memisahkan India-Australia dan Antartika, berlangsung hingga sekarang. Pada saat itu, dengan telah matinya pusat pemekaran Wharton, India dan Australia berada pada satu lempeng tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Di bagian barat Benua India terus bergerak ke utara, membentur dengan keras (hard collision) Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya, sementara di bagian timur Lempeng Samudera Hindia terus menunjam di Palung Sunda.

Evolusi Tektonik Tersier Pulau Jawa

Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Busur Sunda yang mempunyai sejarah geodinamik aktif, yang jika dirunut perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa fase tektonik dimulai dari Kapur Akhir hingga sekarang (Gambar-28).

Periode Kapur Akhir – Paleosen Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng Indo-Australia ke arah timurlaut meng-hasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase regang-an (rifting phase) selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan graben (rendahan). Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra –Jawa-Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin) berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah. Mendekati Kapur Akhir – Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi Karangsambung-Meratus. Kehadiran allochthonous micro-continents di wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe, 1996). Basement bersifat kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi Karangsambung-Meratus dan yang mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement diorit. Docking (mera-patnya) fragmen mikro-kontinen pada bagian tepi timur Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karang-sambung-Meratus dan terang-katnya zona subduksi tersebut menghasilkan Pegunungan Meratus (Gambar-29).

Periode Eosen

(Periode Ekstensional /Regangan) Antara 54 jtl – 45 jtl (Eosen), di wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi lempeng ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jtl). Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik regangan

Page 31: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

(extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Cekungan-cekungan: Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan syn-rift. Pelamparan extension tectonics ini berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement mempengaruhi arah cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan Tenggara) (Gambar-30).

Periode Oligosen Tengah (Kompresional – Terbentuknya OAF)

Sebagian besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak selaras dengan satuan batuan di atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah Karangsambung batuan Oligosen diwakili oleh Formasi Totogan yang kontaknya dengan satuan batuan lebih tua menunjukkan ada yang selaras dan tidak selaras. Di daerah Karangsambung Selatan batas antara Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan sulit ditentukan dan diperkirakan berangsur, sedangkan ke arah utara Formasi Totogan ada yang langsung kontak secara tidak selaras dengan batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah Nanggulan kontak ketidakselarasan terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur Eosen Akhir dengan satuan breksi volkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen Tengah. Demikian pula di daerah Bayat, bagian atas Formasi Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Akhir, tanda-tanda ketidak selarasan ditunjukkan oleh terdapatnya fragmen-fragmen batuan Eosen di sekuen bagian bawah Formasi Kebobutak yang berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di Nanggulan dan Bayat merupakan ketidakselarasan menyudut yang diakibatkan oleh deformasi tektonik yang sama yang menyebabkan terdeformasinya Formasi Karangsambung. Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak

jelas teramati karena endapan Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan endapan Oligosen Formasi Kujung. Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan dengan pergerakan ke utara Benua Australia. Ketika Wharton Ridge masih aktif Benua Australia bergerak ke utara sangat lambat. Setelah matinya pusat pemekaran Wharton pada 45 jt, India dan Australia berada pada satu lempeng tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Pergerakan Australia ke utara menjadi lebih cepat dibanding ketika Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya kecepatan ini meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng Samudera Hindia di Palung Jawa dan mendorong ke arah barat, sepanjang sesar mendatar yang keberadaannya diperkirakan, Mikrokontinen Jawa Timur sehingga terjadi efek kompresional di daerah Karangsambung yang mengakibatkan terdeformasinya Formasi Karangsambung serta terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping di Bayat. Meningkatnya laju pergerakan ke utara Benua Australia diperkirakan masih berlangsung sampai Oligosen Tengah. Peristiwa ini memicu aktifitas volkanisme yang kemungkinan berkaitan erat dengan munculnya zona gunungapi utama di bagian selatan Jawa (OAF=Old Andesite Formation) yang sekarang dikenal sebagai Zona Pegunungan Selatan. Aktifitas volkanisme ini tidak menjangkau wilayah Jawa bagian utara dimana pengendapan karbonat dan silisiklastik menerus di daerah ini (Gambar-31).

Periode Oligo-Miosen (Kompresional – Struktur Inversi )

Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India dan Australia berkurang secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard collision) antara India dengan Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya. Akibatnya laju penunjaman Lempeng Samudera Hindia di

Page 32: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

palung Sunda juga berkurang secara drastis. Hard collision India menyebabkan efek maksimal tektonik ekstrusi sehingga berkembang fase kompresi di wilayah Asia Tenggara. Fase kompresi ini menginversi sebagian besar endapan syn-rift Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini menginversi graben RMKS menjadi zona Sesar RMKS. Di selatan Jawa, kegiatan volkanik Oligosen menjadi tidak aktif dan mengalami pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai dengan pengen-dapan karbonat besar-besaran seperti Formasi Wonosari di Jawa Tengah dan Formasi Punung di Jawa Timur. Sedangkan di bagian utara dengan aktifnya inversi berkembang endapan syn-inversi formasi-formasi Neogen di Zona Rembang dan Zona Kendeng. Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Indian menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “busur depan” Sumatra dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip utara-selatan yang dominan sepanjang sesar-sesar turun (horst dan graben) utara-selatan yang telah ada.

Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling timur Jawa Timur, bagian basement dominan berarah timur-barat, sebagaimana secara khusus dapat diamati dengan baik mengontrol Dalaman Kendeng dan juga Dalaman Madura. Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur). Tektonik kompresi karena subduksi ke arah utara telah mengubah sesar basement Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan

Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan sedimen klastik di daerah rendahan, dan sembulan karbonat (carbonate buildup) pada tinggian yang membatasinya.

Page 33: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-27: Sejarah pemekaran lantai Samudera Hindia (Liu dkk, 1983).

Gambar-28: Tektonostratigrafi Jawa bagian timur berdasarkan penelitian geologi Paleogen di daerah Karangsambung, Nanggulan, Bayat, dan Cekungan Jawa Timur (Prasetyadi, 2007).

Page 34: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-29: Rekonstruksi skematis perkembangan tektonik Kapur-Paleosen (Prasetyadi, 2007).

Gambar-30: Rekonstruksi skematis perkembangan tektonik Eosen Tengah (Prasetyadi, 2007).

Page 35: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Gambar-31: Rekonstruksi skematis perkembangan tektonik Oligosen Tengah (Prasetyadi, 2007).

Page 36: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

REFERENSI Asikin, S. (1974) : Evolusi geologi Jawa Tengah dan sekitarnya ditinjau dari segi tektonik dunia yang baru. Laporan tidak dipublikasikan, disertasi, Dept. Teknik Geologi ITB, 103 hal. Asikin, S., Handoyo, A., Hendrobusono, dan Gafoer, S. (1992) : Geologic map of Kebumen quadrangle, Java, scale 1: 100.000, Geological Research and Development Center, Bandung. Bolliger, W. dan De Ruiter, P. A. C. (1975) : Geology of the south Central Java offshore area, Proceedings of Indonesian Petroleum Association, 4th Annual Convention, Jakarta, 67 – 81. Condon, W.H., Pardyanto, L., Ketner, K.B., Amin, T.C, Gafoer, S., dan Samodra, H. (1996) : Geological map of the Banjarnegara and Pekalongan sheet, Java, Geol. Res. And Development center (P3G), Bandung. Hall, R. (1996) : Reconstructing Cenozoic SE Asia. In: Hall, R. and Blundell, D. J. (eds.), Tectonic Evolution of Southeast Asia. Geological Society, Special Publication, 106, 152 – 184. Hamilton, W. (1979) : Tectonics of the Indonesian region. USGS Professional Paper, 1078, 345 p. Harsolumakso, A.H. (1996) : Status olistostrom di daerah Luk Ulo, Jawa Tengah: suatu tinjauan stratigrafi, umur dan deformasi. Kumpulan makalah seminar Nasional, 1996, “Peran Sumberdaya Geologi dalam PJP II”, 101-121. Harsolumakso, A.H., M.E.Suparka, D.Noeradi, R.Kapid, Y.Zaim, N.A.Magetsari, dan C.I.Abdullah. (1995) : Karateristik Struktur Melange di Daerah Luk Ulo, Kebumen, Jawa Tengah, Prosiding Seminar Sehari Geoteknologi dalam Industrialisasi, PPPG-LIPI, Bandung. Harsolumakso, A.H., Prasetyadi, C., Sapiie, B., dan Suparka, M.E. (2006) : The Luk Ulo-Karangsambung Complex of Central Java, Indonesia: From subduction to collision tectonics, Proceedings Persidangan Bersama UKM-ITB, Langkawi, Malaysia.

Hasan Sidi, F. and Herman Darman, ed. (2000) : An outline of the geology of Indonesia, IAGI, Jakarta. Kamtono, Lumban Gaol, K., dan Praptisih. (1996) : Konfigurasi batuan-dasar daerah Karangsambung dengan pendekatan studi penampang gayaberat, Proceeding of the 25th Annual Convention of IAGI. Ketner, K.B., Kastowo, Modjo, S., Naeser, C.W., Obradovich, J.D., Robinson, K., Suptandar, T., dan Wikarno. (1976) : Pre-Eocene rocks of Java, Indonesia, Journal of Research, United State Geological Survey, 14, 605-614. Koesoemadinata, R.P., dan Pulunggono, A. (1975) : Geology of the southern Sunda Shelf in reference to the tectonic framework of Tertiary sedimentary basins of Western Indonesia, Geologi Indonesia, Majalah IAGI, J. 2, No. 2, 1-11. Miyazaki, K., Sopaheluwakan, J., Zulkarnain, I., dan Wakita, K. (1998) : Jadeite-quartz-glaucophane rock from Karangsambung, Central Java, Indonesia and its tectonic implications, The Island Arc 7, 223-230. Nilsen, T.H. (2002) : Summary report on outcrop geology and general setting of the Banyumas Block, South-Central Java, Indonesia, a report submitted to Coparex Banyumas B.V, unpublished. Parkinson, C.D., Miyazaki, K., Wakita, K., Barber, A.J., dan Carswell, D.A. (1998) : An overview and tectonic synthesis of the pre-Tertiary very-high-pressure metamorphic and associated rocks of Java, Sulawesi and Kalimantan, Indonesia. The Island Arc, 7, 000-000, 184-200. Prasetyadi, C., Harsolumakso, A.H., Sapiie, B., dan Setiawan, J. (2002) : Tectonic significance of pre-Tertiary rocks of Jiwo Hill, Bayat and Luk Ulo, Karangsambung areas in Central Java: A comparative review, Proceedings 31st Annual Convention of IAGI, 680-700.

Page 37: Guidebook Ft Bayat-karsam Iageoupn2010

Prasetyadi, C., dan Maha, M. (2004) : Jiwo hills, Bayat-Klaten: A possible Eocene-origin paleohigh, Journal Ilmu Kebumian Teknologi Mineral, Fak Teknologi Mineral, UPN Veteran Yogyakarta, Vol. 17, No.2, Desember 2004, 61-64. Prasetyadi, C., Suparka, E.R., Harsolumakso, A.H., dan Sapiie, B. (2005) : Eastern Java basement rock study: Prelimenary results of recent field study in Karangsambung and Bayat areas, Proceedings JCS 2005-HAGI-IAGI-PERHAPI, Surabaya. Prasetyadi, C., Suparka, E.R., Harsolumakso, A.H., dan Sapiie, B. (2006a) : An overview of Paleogene stratigraphy of the Karangsambung area, Central Java: Discovery of a new type of Eocene rock, Proceedings Jakarta 2006 International Geoscience Conference and Exhibition, Jakarta. Prasetyadi, C., Suparka, E.R., Harsolumakso, A.H., dan Sapiie, B. (2006b) : The Larangan Complex: A newly-found Eocene tectonic melange rock in Karangsambung area, Central Java, Indonesia, Proceedings International Sedimentological Congress, Fukuoka. Prasetyadi (2007): Evolusi tektonik Paleogen Jawa Bagian Timur, disertasi ITB, tidak dipublikasikan. Raymond, L.A. (ed.) (1984) : Melanges: Their nature, origin, and significance, The Geological Society of America Special Paper No. 198. Santoso, D., dan Suparka, M.E. (2001) : Geological interpretation of the Melange Complex, Luh Ulo, Central Java Based on gravity and magnetic data. In: Special Edition of “Jurnal Geofisika”, Selected papers on the geodynamics of the Indonesian regions, Indonesian Association of Geophysicists, 399 p. Sribudiyani, Muchsin, N., Ryacudu, R., Kunto, T., Astono, P., Prasetya, I., Sapiie, B., Asikin, S., Harsolumakso, A.H., dan Yulianto, I. (2003) : The collision of the East Java Microplate and its implication for hydrocarbon occurrences in the East java Basin, Proceedings Indonesian Petroleum Association, 29th Annual Convention and Exhibition

Suparka, M.E. (1988) : Studi petrologi dan pola kimia kompleks ofiolit Karangsambung utara Luh Ulo, Jawa Tengah, Evolusi geologi Jawa Tengah, Disertasi Jurusan Teknik Geologi ITB, tidak dipublikasikan, 181 hal. Tjia, H.D. (1966) : Structural analyses of the Pre-Tertiary of the Lokulo area, Central Java, PhD dissertation, Contribut. From the Dept. of Geol., ITB, No. 63. Van Bemmelen, R. W. (1949) : The Geology of Indonesia, Vol. 1 A, Government Printing Office, Nijhoff, The Hague, 732 p. Wakita, K. (1997) : Oceanic plate stratigraphy and tectonics in East and Southeast Asia, Proceedings The International Conference on Stratigraphy and Tectonic Evolution of SE Asia and the South Pacific, Bangkok, Thailand. Wakita, K. (2000) : Cretaceous accretionary-collision complexes in central Indonesia, Journal of Asian Earth Sciences, V. 18, 739-749. Wakita, K., Miyazaki, K., Sopaheluwakan, J., Zulkarnain, I., Parkinson, C., dan Munasri (1997) : Cretaceous subduction complexes along the southeastern margin of Sundaland, Memoir of the Geological Society of Japan, No.48, June 1997, 152-161. Wakita, K., Munasri, dan Bambang, W. (1994) : Cretaceous radiolarians from the Luk-Ulo Melange Complex in the Karangsambung area, Central Java, Indonesia, Journal SE Asian Sciences, 9, 29-43. Wakita, K., Sopaheluwakan, J., Miyazaki, K., Zulkarnain, I., dan Munasri (1996) : Tectonic evolution of the Bantimala Complex, South Sulawesi, Indonesia. In: Hall, R., dan Blundell, D.J., eds., Tectonic Evolution of SE Asia, Geological Society of London Special Publication, 106, 353-364.