good practices pada penyelenggaraan smk · pdf filepada jenjang pendidikan dasar dan...
TRANSCRIPT
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
GGOOOODD PPRRAACCTTIICCEESS PPAADDAA PPEENNYYEELLEENNGGGGAARRAAAANN SSMMKK BBEERRTTAARRAAFF IINNTTEERRNNAASSIIOONNAALL
((SSttuuddii KKaassuuss ddii SSMMKK NNeeggeerrii 55 SSuurraabbaayyaa ddaann SSMMKK MMiikkaaeell SSoolloo))
Oleh: Tri Rijanto*), Dwi Winanto Hadi**), dan Relisa**)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mencari praktik-praktik yang baik (good practices) melalui paradigma input, proses, output, dan outcome pendidikan. Penelitian dilakukan pada 2007 dengan latar penelitian SMK Negeri 5 Surabaya dan SMK Mikael Solo. Metode yang digunakan adalah kualitatif bersifat exploratory dan explanatory yang memfokuskan pada good practices yang dilakukan sekolah. Sebagai informan kunci adalah kepala sekolah dan informan lain adalah guru mata pelajaran normatif, adaptif, produktif, siswa, dan ketua komite sekolah. Analisis dilakukan melalui langkah-langkah reduksi data, display data, simpulan dan ferifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan, dari sisi input penerimaan siswa baru di kedua sekolah menghasilkan keketatan persaingan 1:3. Dari sisi proses, SMK Negeri 5 Surabaya menerapkan lama belajar empat tahun, proses belajar mengajar tiga tahun dilakukan di sekolah dan satu tahun kegiatan magang di industri. Sekolah menjalin kerjasama dengan dunia usaha dan industri. Kerjasama tersebut diikat melalui nota kesepahaman. Layanan siswa dilakukan melalui bimbingan konseling, career path, dan bursa kerja. SMK Mikael Solo menerapkan lama belajar tiga tahun. Pembelajaran mata pelajaran produktif dilakukan terintegrasi dengan unit produksi di sekolah. Di kedua sekolah manajemen pengelolaan menggunakan standar internasional ISO 9001:2000. Output lulusan di kedua sekolah mempunyai persentase tinggi dan tingkat drop out (DO) rendah, nilai rerata UN di kedua sekolah di atas 7,0 dan rerata keterserapan lulusan tiga tahun terakhir di SMKN 5 Surabaya 90,8% dan di SMK Mikael Solo sebesar 91,25%.
Penelitian ini menyimpulkan praktik-praktik yang baik (good practices) yang dilakukan sekolah adalah: (1) penerapan proses belajar selama empat tahun dengan satu tahun terakhir magang di industri, (2) penerapan proses belajar tiga tahun dengan pembelajaran mata pelajaran produktif dilakukan terintegrasi dengan unit produksi, (3) manajemen mutu penyelenggaraan sekolah standar internasional ISO 9001-2000, (4) kerja sama dengan dunia usaha dan industri, dan (5) layanan terhadap siswa berupa bimbingan konseling, career path, dan bursa kerja. Kata Kunci: good practices, career path, SBI, dan SMK. _____________
*) Dosen Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya (UNESA). **) Staf pada Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (Puslitjaknov) Balitbang Depdiknas.
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Keinginan melakukan penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional (SBI)
dilatarbelakangi oleh tiga alasan yaitu (1) kebutuhan sumber daya manusia (SDM) di era
global, (2) adanya dasar hukum yang kuat, dan (3) landasan filosofi eksistensialisme dan
esensialisme (fungsionalisme) (Depdiknas, 2006:1-2). Era globalisasi menuntut kemam-
puan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen dan sumberdaya manusia.
Keunggulan teknologi akan menurunkan biaya produksi, meningkatkan kandungan nilai
tambah, memperluas keragaman produk, dan meningkatkan mutu produk. Keunggulan
manajemen akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Keunggulan SDM merupakan
kunci daya saing karena SDM yang akan menentukan siapa yang mampu menjaga
kelangsungan hidup, perkembangan, dan kemenangan dalam persaingan.
Penyelenggaraan SBI merupakan amanat undang-undang. Amanat tersebut
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pasal 50 Ayat (3) undang-undang tersebut menyatakan, pemerintah dan/atau
pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada
semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional. Selain undang-undang, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan juga menegaskan kembali perlunya sekolah
bertaraf internasional. Pasal 61 Ayat (1) peraturan pemerintah tersebut menyatakan,
pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan satu satuan pendidikan
pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada
jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang
bertaraf internasional. Dengan demikian penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional
dijamin oleh undang-undang.
Di samping itu penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan
esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan
harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin
melalui fasilitasi yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, kreatif,
inovatif, bermakna, serta menumbuhkembangkan bakat, minat, dan kemamampuan
peserta didik. Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan
relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
berbagai sektor, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan
globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumberdaya manusia Indonesia yang mampu
bersaing secara internasional.
Keberadaan sekolah bertaraf internasional yang dimaksud oleh undang-undang dan
peraturan pemerintah, di samping untuk memicu peningkatan mutu pendidikan,
bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan setingkat atau memiliki level yang sama
dengan sekolah-sekolah sejenis di negara-negara maju. Oleh karena itu mutu pendidikan
tidak hanya mempunyai keunggulan lokal tetapi juga keunggulan internasional atau
global.
Saat ini penyelenggaraan SBI dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah.
Beberapa sekolah menggunakan label sekolah internasional maupun kelas internasional
dengan pola penyelenggaraan yang berbeda. Ada pula sekolah penyelenggara SBI yang
memperlakukan siswa secara keseluruhan sebagai siswa internasional, bukan kelas
internasional, sedangkan dilihat dari segi ketenagaan, SBI juga memiliki karakteristik
yang berbeda-beda. Ada juga SBI yang menggunakan tenaga asing (expatriate) sebagai
tenaga pendidik dan ada pula yang menggunakan guru lokal secara keseluruhan.
Sementara itu, masing-masing SBI memiliki keunggulan kompetitif sendiri-sendiri.
Lulusan SMA diproyeksikan untuk mengembangkan kemampuan akademiknya di
perguruan tinggi, sedangkan lulusan SMK diproyeksikan untuk dapat memasuki dunia
kerja. Hal tersebut menuntut SBI dapat menghasilkan lulusan dengan keunggulan
kompetitif. Oleh karena itu penyelenggaraan SBI harus memiliki praktik-praktik yang
baik (good practices) untuk menghasilkan lulusan sesuai tuntutan dalam rangka
peningkatan mutu dan daya saing.
Gambaran di atas memperlihatkan bahwa good practices sangat penting bagi
masing-masing SBI khususnya SMK. Good practices menunjukkan ciri-ciri penting
karakteristik SBI yang dapat diadopsi atau diadaptasi oleh sekolah lainnya. Namun
demikian sebelum good practices dapat diadopsi dan diadaptasi di sekolah lain
diperlukan pengkajian secara empiris melalui penelitian. Salah satu sekolah yang
menyelenggarakan SBI adalah SMKN 5 Surabaya dan SMK Mikael Solo. Penyerapan
lulusan oleh dunia kerja di kedua sekolah tersebut menunjukkan kecenderungan
meningkat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengapa lulusannya banyak
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
terserap di dunia kerja. Untuk mendapatkan informasi tersebut perlu dilakukan
penelitian secara komprehensif.
2. Masalah dan Arti Penting Hasil Penelitian
Seiring dengan tuntutan peraturan perundangan dan era global, penyelenggaraan
SBI harus memiliki keunggulan kompetitif. Penyelenggaraan SBI pada SMK diproyek-
sikan agar lulusannya dapat segera terserap di dunia kerja, baik dalam negeri maupun
luar negeri. Penyelenggaraan SBI perlu memiliki strategi-strategi good practice untuk
menghasilkan lulusan sesuai tuntutan dunia kerja dalam rangka peningkatan mutu dan
daya saing. Artinya, good practices merupakan karakteris-tik atau ciri penting
penyelenggaraan SBI yang dapat diadopsi atau diadaptasi oleh sekolah lainnya. Dengan
demikian sebelum good practices dapat diterapkan di sekolah lain diperlukan pengkajian
secara empirik.
Penelitian ini mempunyai arti penting karena dapat memberikan informasi tentang
berbagai good practices penyelenggaraan SMK bertaraf internasional. Di samping itu
hasilnya akan digunakan sebagai bahan masukan kebijakan penyelenggaraan SMK
melalui pihak terkait dalam rangka pembinaan SMK di Indonesia. 3. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi good practices yang dilakukan
sekolah bertaraf internasional dalam rangka memberikan usulan saran kebijakan. Secara
lebih khusus studi ini bertujuan untuk memperoleh informasi good practices dilihat dari
sisi input, proses, output dan outcome pendidikan.
4. Lingkup
Ruang lingkup penelitian adalah sebagai berikut: (1) sekolah yang menjadi fokus
penelitian adalah SMK Negeri 5 Surabaya dan SMK Mikael Solo sebagai penyelenggara
sekolah bertaraf internasional, dan (2) good practices yang dilakukan sekolah bertaraf
internasional dilihat dari input, proses, output dan outcome pendidikan. Input meliputi
siswa, pendidik, tenaga kependidikan, kurikulum, sarana dan prasarana, kerjasama,
budaya sekolah, pengelolaan, dan pembiayaan. Proses meliputi persiapan, pelaksanaan,
dan penilaian. Output meliputi prestasi akademik dan non akademik, tingkat drop out
(DO), dan persentase kelulusan. Outcome meliputi masa tunggu untuk mendapatkan
pekerjaan awal dan keterserapan lulusan di dunia kerja.
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
5. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat exploratory dan
explanatory. Cara ini digunakan untuk mengungkap gejala yang ada secara menyeluruh
namun kontektual dengan fokus penelitian, yaitu untuk mengetahui praktik-praktik yang
baik (good practices) yang dijadikan ciri keberhasilan sekolah melalui paradigma input,
proses, output dan outcome pendidikan. Latar penelitian adalah SMK Negeri 5 Surabaya
dan SMK Mikael Solo dan penelitian ini dilakukan pada 2007.
Informan kunci (key informan) dalam penelitian ini adalah kepala sekolah.
Pemilihan informan (tenaga pendidik, siswa, tenaga kependidikan, dan orangtua siswa
dan informan lain) ditunjuk oleh informan kunci yang dipandang relevan untuk
memberikan informasi. Seluruh data dan informasi, selain dikumpulkan melalui kegiatan
pengamatan pada latar, daftar isian, juga melalui wawancara sehingga memungkinkan
dapat berinteraksi secara alamiah.
Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan pengamatan (observation),
wawancara, daftar isian, dan analisis dokumen. Teknik analisis data dilakukan dengan
langkah-langlah: (1) reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan atau menyingkat data dalam bentuk uraian secara rinci dan sistematis,
yakni menonjolkan hal-hal pokok yang penting agar lebih mudah dikendalikan, (2)
display data, yaitu upaya menyajikan data dengan melihat gambaran keseluruhan atau
bagian tertentu dari penelitian, (3) kesimpulkan dan verifikasi, yaitu upaya untuk
mencari makna terhadap data yang dikumpulkan dengan mencari pola, hubungan,
persamaan yang sering timbul dan sebagainya.
Pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui ketekunan pengamatan dan
triangulasi. Ketekunan pengamatan merupakan pemusatan diri pada hal-hal tertentu
secara teliti, rinci, dan berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol
sehubungan dengan fokus penelitian. Dengan demikian dapat ditemukan ciri-ciri dan
unsur-unsur dalam situasi yang relevan dengan masalah. Triangulasi merupakan upaya
untuk mencari kebenaran data dengan jalan membandingkan antara satu data dan data
lainnya. Triangulasi bukan untuk mencari pemahaman tentang beberapa fenomena,
tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang ditemukan
(Sugiono, 2006:270).
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
B. Kajian Teori
1. Pengertian Sekolah Bertaraf Internasional
Terminologi sekolah bertaraf internasional dapat ditemui dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, dan Renstra
Depdiknas Tahun 2005-2010. Ayat (3) Pasal 50 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 menyatakan bahwa, pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi suatu satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Kata
bertaraf internasional di sini memiliki arti bahwa sekolah setingkat atau memiliki level
yang sama dengan sekolah-sekolah sejenis di negara-negara lain, khususnya negara
maju. Kata setingkat atau level yang sama ini dapat merujuk pada input, proses, dan
output-nya dengan sekolah sejenis di negara maju.
Demikian pula halnya, Ayat (1) Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 19
mengamanatkan bahwa, pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelengga-
rakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk
dikembangkan menjadi suatu satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Pengertian
sekolah bertaraf internasional ini kurang lebih memiliki arti yang sama dengan
pengertian pada Ayat (3) Pasal 50 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 di atas.
Menurut Depdiknas (2006:3) SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan
peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya
internasional, sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.
Dengan pengertian ini, SBI dapat dirumuskan sebagai berikut:
SBI = SNP + X
di mana SNP adalah standar nasional pendidikan (SNP) yang meliputi: kompetensi
lulusan, isi, proses, pendidik, dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, dana
pengelolaan, dan penilaian. X merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan,
perluasan, pendalaman melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik
dari dalam maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui
secara internasional.
Meskipun secara formal belum dinamakan SBI, sebenarnya di Indonesia telah ada
sejumlah sekolah yang merintis ke arah sekolah bertaraf internasional, mulai dari
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
sekolah dasar hingga sekolah menengah atas baik umum maupun kejuruan. Sekolah-
sekolah tersebut selain siswanya berasal dari dalam negeri, ada juga yang memiliki
sejumlah siswa yang berasal dari negara-negara lain. Pada umumnya lulusan dari
sekolah-sekolah tersebut dengan mudah diterima jika melanjutkan pendidikan atau
bekerja di negara-negara maju.
Lulusan SBI diharapkan, selain menguasai SNP Indonesia, juga menguasai
kemampuan-kemampuan kunci global agar setara dengan rekannya dari negara-negara
maju. Untuk itu pengakraban peserta didik terhadap nilai-nilai progresif yang
diunggulkan dalam era global perlu digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan
SBI. Nilai-nilai progresif tersebut akan dapat mempersempit kesenjangan antara
Indonesia dan negara-negara maju khususnya dalam bidang ekonomi dan teknologi.
Perkembangan ekonomi dan teknologi sangat tergantung pada penguasaan disiplin
ilmu keras (hard science) dan disiplin ilmu lunak (soft science). Disiplin ilmu keras
meliputi matematika, fisika, kimia, biologi, astronomi, dan terapannya yaitu teknologi
yang meliputi teknologi komunikasi, transportasi, manufaktur, konstruksi, bio, energi,
dan bahan. Disiplin ilmu lunak (soft science) meliputi, misalnya sosiologi, ekonomi,
bahasa asing (terutama bahasa Inggris) dan etika global.
Ekonomi dan teknologi keduanya memiliki hubungan yang saling menghidupi
(simbiosis). Jika ingin memajukan ekonomi, maka teknologi merupakan alat utamanya.
Sebaliknya untuk memajukan teknologi, ekonomi yang dapat menghidupinya. Oleh
karena itu, pengembangan SBI perlu bekerjasama dengan satuan-satuan pendidikan,
pelatihan, industri, lembaga sertifikasi, lembaga tes, dan sebagainya dari negara-negara
tertentu yang memiliki nilai-nilai ekonomi dan teknologi lebih maju dan mereka juga
telah teruji dalam menyiapkan sumberdaya manusianya untuk mendukung pengem-
bangan ekonomi dan teknologi.
Di samping itu mengacu pada visi pendidikan nasional dan visi Depdiknas, maka
visi SBI adalah “terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara
internasional”. Visi tersebut memiliki implikasi bahwa penyiapan manusia bertaraf
internasional memerlukan upaya-upaya yang dilakukan secara intensif, terarah,
terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan bangsa yang maju, sejahtera, damai,
dihormati, dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain.
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
Berdasarkan visi tersebut, maka misi SBI adalah mewujudkan manusia Indonesia
cerdas dan kompetitif secara internasional, yang mampu bersaing dan berkolaborasi
secara global. Misi ini direalisasikan melalui kebijakan, rencana, program, dan kegiatan
SBI yang disusun secara cermat, tepat, futuristik, dan berbasis demand-driven.
Penyelenggaraan SBI bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkelas
nasional dan internasional sekaligus. Lulusan yang berkelas nasional secara jelas telah
dirumuskan dalam UU No. 20/2003 dan dijabarkan dalam PP 19/2005 dan lenbih rinci
lagi dalam Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Tujuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut. Pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan
untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Perlu dicatat bahwa sebagai upaya untuk mengembangkan pendidikan bertaraf
internasional, SBI harus tetap memegang teguh untuk mengembangkan jati diri, nilai-
nilai bangsa Indonesia, di samping mengembangkan daya progresif global yang
diupayakan secara eklektif inkorporatif melalui pengenalan, penghayatan dan penerapan
nilai-nilai yang diperlukan dalam era kesejagatan, yaitu religi, ilmu pengetahuan dan
teknologi, ekonomi, seni, solidaritas, kuasa, dan etika global. Untuk memperlancar
komunikasi global, SBI menggunakan bahasa komunikasi global, terutama Bahasa
Inggris dan menggunakan teknologi komunikasi informasi (information communication
technology, ICT).
2. Standar SBI
Mengingat SBI merupakan upaya sadar, intens, terarah, dan terencana untuk
mewujudkan citra manusia ideal yang memiliki kemampuan dan kesanggupan hidup
secara lokal, regional, nasional, dan global, maka perlu dirumuskan standard SBI yang
meliputi input, proses, dan output. Input adalah segala hal yang diperlukan untuk
berlangsungnya proses dan harus memiliki tingkat kesiapan yang memadai. Input
penyelenggaraan SBI yang ideal untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang
bertaraf internasional meliputi siswa baru (intake) yang diseleksi secara ketat dan
masukan instrumental yaitu kurikulum, pendidik, kepala sekolah, tenaga pendukung,
sarana dan prasarana, dana, dan lingkungan sekolah. Intake (siswa baru) diseleksi secara
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
ketat melalui saringan rapor SMP, hasil ujian nasional (UN), scholastic aptitude test
(SAT), kesehatan fisik, dan tes wawancara. Siswa baru SBI memiliki potensi kecerdasan
unggul, yang ditunjukkan oleh kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan
potensi untuk bekembang.
Kurikulum diperkaya (diperkuat, diperluas, dan diperdalam) agar memenuhi
standard isi SNP plus kurikulum bertaraf internasional yang digali dari berbagai sekolah
dari dalam dan dari luar negeri yang jelas-jelas memiliki reputasi internasional. Di
samping itu guru harus memiliki kompetensi professional (penguasaan matapelajaran),
pedagogik, kepribadian, dan sosial bertaraf internasional, serta kemampuan berkomu-
nikasi secara internasional yang ditunjukkan oleh penguasaan salah satu bahasa asing,
misalnya bahasa Inggris. Selain itu guru memiliki kemampuan menggunakan ICT
mutakhir dan canggih. Kepala sekolah harus memiliki kemampuan profesional dalam
manajemen, kepemimpinan, organisasi, adminsitrasi, dan kewirausahaan yang diperlu-
kan untuk menyelenggarakan SBI, termasuk kemampuan komunikasi dalam bahasa
asing, khususnya Bahasa Inggris.
Tenaga pendukung, baik jumlah, kualifikasi maupun kompetensinya memadai
untuk mendukung penyelenggaraan SBI. Tenaga pendukung yang dimaksud meliputi,
laboran, teknisi komputer, kepala TU, tenaga administrasi (keuangan, akuntansi,
kepegawaian, akademik, sarana dan prasarana, dan kesekretariatan). Sarana dan
prasarana harus lengkap dan mutakhir untuk mendukung penyelenggaraan SBI, terutama
yang terkait dlangsung dengan penyelenggaraan proses pembelajaran, baik buku teks,
referensi, modul, media pembelajaran, peralatan dan sebagainya. Organisasi,
manajemen, dan administrasi SBI memadai untuk penyelenggaraan SBI, yang
ditunjukkan oleh: (1) organisasi, kejelasan pembagian tugas dan fungsi dan koordinasi
yang baik antar tugas dan fungsi, (2) manajemen tangguh, mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, koordinasi dan evaluasi, dan (3) administrasi rapi, yang
ditunjukkan oleh pengaturan dan pendayagunaan sumberdaya pendidikan secara efektif
dan efisien. Lingkungan sekolah, baik fisik maupun nir-fisik (kultur), sangat kondusif
bagi penyelenggaraan SBI. Lingkungan nir-fisik sekolah mampu menggalang konfir-
misme perilaku warganya untuk menjadikan sekolahnya sebagai pusat gravitasi
keunggulan pendidikan yang bertaraf internasional.
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
Proses penyelenggaraan SBI mampu mengakrabkan, menghayatkan dan menerap-
kan nilai-nilai (religi, ekonomi, seni, solidaritas, dan teknologi mutakhir dan canggih),
norma-norma untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, standar-standar, dan etika global
yang menuntut kemampuan bekerjasama lintas budaya dan bangsa. Selain itu proses
pembelajaran dalam SBI harus pro-perubahan yaitu mampu menumbuhkem-bangkan
daya kreasi, inovasi, nalar dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan baru (a
joy of discovery) yang tidak tertambat pada tradisi dan kebiasaan proses pembelajaran di
sekolah yang lebih mementingkan memorisasi dan recall dibandingkan daya kreasi,
nalar, dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan baru.
Proses pembelajaran SBI harus dikembangkan melalui berbagai gaya dan selera
agar mampu mengaktualisasikan potensi peserta didik, baik intelektual, emosional
maupun spiritualnya sekaligus. Penting diharisbawahi bahwa proses pembelajaran yang
bermatra individu-sosial-kultural perlu dikembangkan sekaligus agar sikap dan perilaku
peserta didik sebagai mahkluk individu tidak terlepas dari kaitannya dengan kehidupan
masyarakat lokal, regional, dan nasional. Bahasa pengantar yang digunakan dalam
proses pembelajaran adalah Bahasa Indonesia dan bahasa asing (khususnya Bahasa
Inggris) dan menggunakan media pendidikan yang bervariasi serta berteknologi
mutakhir dan canggih, misalnya laptop, LCD, dan VCD.
Oleh karena itu tafsir ulang terhadap praksis-praksis penyelenggaraan proses
pembelajaran yang berlangsung selama ini sangat diperlukan. Proses pembelajaran di
sekolah saat ini lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh guru, tidak
ada keterbukaan dan demokrasi, tidak ada toleransi pada kekeliruan akibat kreativitas
berpikir karena yang benar adalah apa yang dipersepsikan benar oleh guru. Itulah yang
disebut memorisasi dan recall. SBI harus mengembangkan proses pembelajaran yang:
(1) mendorong keingintahuan (a sense of curiosity and wonder), (2) keterbukaan pada
kemungkinan-kemungkinan baru, (3) prioritas pada fasilitas kemerdekaan dan
kreativitas dalam mencari jawaban atau pengetahuan baru (meskipun jawaban itu salah
atau pengetahuan baru dimaksud belum dapat digunakan), dan (4) pendekatan yang
diwarnai oleh eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru
(Depdiknas, 2006:8).
Output SBI memiliki kemampuan-kemampuan bertaraf nasional plus internasional
sekaligus, yang ditunjukkan oleh penguasaan SNP Indonesia dan penguasaan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
kemampuan-kemampuan kunci yang harus dimiliki dalam era global. SNP merupakan
standar minimal yang harus diikuti oleh semua satuan pendidikan yang berakar
Indonesia, namun tidak berarti bahwa output satuan pendidikan tidak boleh melampaui
SNP. SNP boleh dilampaui asal memberikan nilai tambah yang positif bagi
pengaktualan potensi peserta didik, baik intelektual, emosional, maupun spiritualnya.
Selain itu, nilai tambah yang dimaksud harus mendukung penyiapan manusia-manusia
Indonesia abad ke-21 yang kemampuannya berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi,
beretika global, dan sekaligus berjiwa dan bermental kuat, integritas etik dan moralnya
tinggi, dan peka terhadap tuntutan keadilan sosial. Penguasaan kemampuan-kemampuan
kunci yang diperlukan dalam era global merupakan kemampuan-kemampuan yang
diperlukan untuk bersaing dan berkolaborasi secara global dengan bangsa-bangsa lain,
yang setidaknya meliputi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir yang
canggih serta kemampuan berkomunikasi secara global.
3. Pendidikan Kejuruan
Ditinjau secara sistemik, pendidikan kejuruan pada dasarnya merupakan subsistem
dari sistem pendidikan. Terdapat banyak definisi yang diajukan oleh para ahli tentang
pendidikan kejuruan dan definisi-definisi tersebut berkembang seirama dengan persepsi
dan harapan masyarakat tentang peran yang harus dimainkannya (Samani, 1992:14).
Evans & Edwin (1978:24) mengemukakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan
bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan individu pada suatu pekerjaan atau
kelompok pekerjaan. Harris seperti yang dikutip oleh Slamet (1990:2), menyatakan
pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk suatu pekerjaan atau beberapa jenis
pekerjaan yang disukai individu untuk kebutuhan sosialnya. Menurut House Committee
on Education and Labour (HCEL) pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk
pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan yang
mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan (Malik,
1990:94). Dari definisi tersebut terdapat satu pengertian yang bersifat universal seperti
yang dinyatakan oleh National Council for Research into Vocational Education
Amereka Serikat (NCRVE, 1981:15), yaitu bahwa pendidikan kejuruan merupakan
subsistem pendidikan yang secara khusus membantu peserta didik dalam
mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja. Dari batasan yang diajukan oleh Evans,
Harris, HCEL, dan NCRVE tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri pendidikan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
kejuruan dan yang sekaligus membedakan dengan jenis pendidikan lain adalah
orientasinya pada penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja.
Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh Evans, Harris, HCEL, dan
NCRVE, Finch & Crunkilton (1984:161) menyebutkan pendidikan kejuruan sebagai
pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk bekerja guna menopang
kehidupannya (education for earning a living).
Dari definisi yang diajukan oleh Evans & Edwin, Harris, HCEL, NCRVE maupun
Finch & Crunkilton dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan mempersiapkan
peserta didik untuk dapat bekerjaa pada bidang tertentu, berarti pula mempersiapkan
mereka agar dapat memperoleh kehidupan yang layak melalui pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuan masing-masing serta norma-norma yang berlaku.
Ciri pendidikan kejuruan sebagai persiapan untuk memasuki dunia kerja dapat
dimengerti karena secara historis pendidikan kejuruan merupakan perkembangan dari
latihan dalam pekerjaan (on the job training) dan pola magang (apprenticeship) (Evans
& Edwin, 1978:36). Pada pola latihan dalam pekerjaan peserta didik belajar sambil
langsung bekerja sebagai karyawan baru tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk
sebagai instruktur, sehingga tidak ada jaminan bahwa peserta didik akan mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Walaupun demikian pola latihan dalam
pekerjaan memiliki keunggulan karena peserta didik dapat langsung belajar pada
keadaan yang sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri (Elliot,
1983:15).
Pada pola magang terdapat seorang karyawan senior yang secara khusus ditugasi
sebagai instruktur bagi keryawan baru (peserta didik) yang sedang belajar. Instruktur
tersebut bertanggungjawab untuk membimbing dan mengajarkan pengetahuan serta
keterampilan yang sesuai dengan tugas karyawan baru yang menjadi asuhannya. Dengan
demikian pola magang relatif lebih terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan
dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola
latihan dalam pekerjaan (Evans & Edwin, 1978:38).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih membawa
pengaruh terhadap pola kerja manusia. Pekerjaan menjadi kompleks dan memerlukan
bekal pengetahuan dan keterampilan yang makin tinggi, sehingga pola magang dan
latihan dalam pekerjaan kurang memadai karena tidak memberikan dasar teori dan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja sebagai karyawan baru.
Oleh karena itu kemudian berkembang bentuk sekolah dan latihan kejuruan yang
diselenggarakan oleh sekolah kejuruan bekerja sama dengan kalangan industri dengan
tujuan memberikan bekal teori dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki
lapangan kerja.
Perlu diingat bahwa pembagian pendidikan kejuruan menjadi beberapa model
tersebut bukanlah suatu pembagian yang bersifat ekskusif dan tumpang tindih. Semua
model tersebut tetap berjalan bahkan sering digunakan secara saling melengkapi.
Banyak sekolah atau latihan kejuruan yang pada saat tertentu menerapkan latihan dalam
pekerjaan atau magang di perusahaan yang sesuai dengan programnya.
Ditinjau dari tujuannya, menurut Thorogood (1982:328) di sebagian besar negara
Organization for Economic cooperation and Development (OECD) pendidikan kejuruan
bertujuan untuk: (1) memberikan bekal keterampilan individual dan keterampilan yang
laku di masyarakat, sehingga peserta didik secara ekonomis dapat menopang
kehidupannya, (2) membantu peserta didik memperoleh atau mempertahankan pekerjaan
dengan jalan memberikan bekal keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan yang
diinginkannya, (3) mendorong produktivitas ekonomi secara regional maupun nasional,
(4) mendorong terjadinya tenaga terlatih untuk menopang perkembangan ekonomi dan
industri, (5) mendorong dan meningkatkan kualitas masyarakat.
Agak berbeda dengan Thorogood, Evans seperti yang dikutip oleh Wenrich &
Wenrich (1974:63) menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk: (1)
menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh masyarakat, (2) meningkatkan pilihan
pekerjaan yang dapat diperoleh oleh setiap peserta didik, dan (3) memberikan motivasi
kerja kepada peserta didik untuk menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya.
Dari tujuan pendidikan kejuruan yang diajukan oleh Thorogood dan Evans tersebut
dapat disimpulkan bahwa di samping mengemban tugas pendidikan secara umum,
pendidikan kejuruan mengemban misi khusus, yaitu memberikan bekal pengetahuan dan
keterampilan kepada peserta didik untuk memasuki lapangan kerja dan sekaligus
menghasilkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Di samping tujuan khusus yang diajukan oleh Thorogood dan Evans tersebut,
Crunkilton (1984:25) menyebutkan bahwa salah satu tujuan utama pendidikan kejuruan
adalah meningkatkan kemampuan peserta didik sehingga memperoleh kehidupan yang
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
lebih baik dari sebelumnya. Menurut Miner (1974:48-56) bekal yang dipelajari dalam
pendidikan kejuruan akan merupakan bekal untuk mengembangkan diri dalam bekerja.
Dengan bekal kemampuan mengembangkan diri tersebut diharapkan karier yang
bersangkutan dapat meningkat dan pada gilirannya kehidupan mereka akan makin baik
(Karabel & Hasley, 1977:14). Penelitian yang dilakukan Nurhadi (1988) dan Samani
(1992) ternyata memperkuat pendapat Miner serta Karabel dan Hasley tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia misi pendidikan kejuruan, seperti diungkapkan oleh
Crunkilton tersebut, sangat penting karena pada umumnya siswa sekolah kejuruan
berasal dari masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah (Brotosiswoyo, 1991:8),
sehingga apabila sekolah kejuruan berhasil mewujudkan misinya berarti akan membantu
menaikkan status sosiala ekonomi masyarakat tingkat bawah. Dengan kata lain sekolah
kejuruan dapat membantu meningkatkan mobilitas vertikal dalam masyaarakat (Elliot,
1983:42).
Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan berdasarkan jenjang dan menurut
struktur programnya. Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat didasarkan atas jenjang
kecanggihan keterampilan yang dipelajari atau jenjang pendidikan formal yang berlaku
(Zulbakir & Fazil, 1988:7). Jenjang pendidikan formal yang berlaku dikenal pendidikan
kejuruan tingkat sekolah menengah (secondary) atau Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) dengan berbagai program keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur,
Elektronika Otomasi, Metals, Otomotif, Teknik Pendingin, Gambar Bangunan,
Konstruksi Baja, Tata Busana, Tata Boga, Travel and Tourism, dan sebagainya serta
tingkat di atas sekolah menengah (post secondary) misalnya politeknis (IEES,
1986:124).
Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam kaitan dengan bagaimana
sekolah kejuruan mendekatkan programnya dengan dunia kerja, Evans seperti yang
dikutip oleh Hadiwiratama (1980:60-69) membagi sekolah kejuruan menjadi lima
kategori, yaitu (1) program pengarahan kerja (pre vocational guidance education), (2)
program persiapan kerja (employability preparation education), (3) program persiapan
bidang pekerjaan secara umum (occupational area preparation education), (4) program
persiapan bidang kerja spesifik (occupational specific education), dan (5) program
pendidikan kejuruan khusus (job specific education).
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
Pada program pengarahan kerja, sekolah memberikan pengetahuan dasar dan
umum tentang berbagai jenis pekerjaan di masyarakat sekaligus menumbuhkan apresiasi
terhadap berbagai pekerjaan tersebut, sedangkan pada program persiapan kerja, sekolah
memberikan dasar-dasar sikap dan keterampilan kerja, meskipun masih bersifat umum.
Dengan program ini diharapkan peserta didik mempunyai peluang yang lebih besar
untuk mendapatkan pekerjaan, meskipun tentunya masih harus melalui latihan di dalam
pekerjaan.
Untuk program persiapan bidang pekerjaan secara umum, sekolah memberikan
bekal guna meningkatkan kemampuan bekerja untuk bidang pekerjaan yang
memerlukan pengetahuan, peralatan yang sejenis. Dengan program ini diharapkan
peserta didik mempunyai pilihan lapangan pekerjaan yang lebih jelas dan lebih cepat
mengikuti latihan di dalam pekerjaan.
Program persiapan kerja yang spesifik memberikan bekal yang sudah mengarah
kepada jenis pekerjaan tertentu, meskipun belum pada suatu perusahaan tertentu. Lebih
khusus lagi adalah program pendidikan kejuruan khusus yang sudah terarah pada
pekerjaan khusus, yaitu mendidik siswa untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh
suatu perusahaan tertentu.
Penjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang disebutkan oleh Evans di atas
berarti juga kesiapan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Makin khusus jenis
pendidikan kejuruan akan makin siap lulusannya memasuki lapanan kerja, tetapi juga
makin sempit bidang pekerjaan yang dapat dimasuki. Walaupun demikian, kecuali untuk
keperluan tertentu pendidikan kejuruan yang khusus (job specific education) sangat sulit
diterapkan di Indonesia, mengingat jenis industri di Indonesia sangat bervariasi. Di sini
mulai timbulnya dilema antara siap pakai atau siap latih dalam pendidikan kejuruan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Semiawan (1991:6), yang penting adalah
kesiapan mental untuk mengembangkan dirinya serta keterampilan dasar untuk setiap
kali dapat menyesuaikan diri kembali pada perubahan tertentu (retrainability). Dengan
bekal tersebut diharapkan lulusan sekolah kejuruan tidak hanya terpancang pada jenis
pekerjaan yang ada, tetapi juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja baru
dengan mengembangkan prakarsa dan kreativitasnya secara optimal. Sejalan dengan itu
Tilaar (1991:12) menegaskan bahwa pendidikan formal (sekolah kejuruan) seharusnya
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
menghasilkan lulusan yang memiliki kualifikasi siap latih yang kemudian diteruskan
dengan program pelatihan, baik di dalam industri atau lembaga pelatihan tertentu.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Input
1.1 Siswa Baru (Raw Input)
Masukan atau input berupa siswa baru sangat penting agar dapat menghasilkan
lulusan dengan kompetensi yang diinginkan. Untuk mendapatkan masukan tersebut
SMKN 5 Surabaya melakukan penjaringan siswa baru melalui penerimaan siswa baru
(PSB) secara on-line, pelaksanaannya dilakukan satu kali dalam setahun, yaitu pada
bulan Juli. Persyaratan pendaftaran meliputi: (1) Nilai Ujian Nasional (UN), (2) sehat
jasmani dan rohani, dan (3) tidak buta warna. Penentuan nilai UN ditentukan
berdasarkan rangking nilai UN sesuai dengan pagu tiap-tiap program keahlian. Dari hasil
seleksi tiga tahun terakhir diperoleh nilai UN tertinggi dan terendah untuk tiga mata
pelajaran (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika), yaitu pada tahun 2005
nilai tersebut 29,25 dan 27,16 pada tahun 2006 29,17 dan 26,83 sedangkan pada tahun
2007 nilai UN tertinggi adalah 29,00 dan terendah adalah 26,53. Dengan demikikan
rerata nilai UN yang diterima pada program keahlian Otomotif untuk tiga tahun terakhir
di atas 8,00 dan keketatan persaingan 1:3. Artinya, satu bangku diperebutkan oleh tiga
calon siswa baru.
Di samping persyaratan di atas SMK Mikael Solo menentukan persyaratan lain,
yaitu: (1) nilai raport SMP, (2) kerajinan, (3) latar belakang siswa, (4) tes kemampuan
akademik, (5) tes Bahasa Inggris, dan (6) wawancara. Nilai raport SMP digunakan untuk
memperoleh data tentang catatan prestasi akademik dan afektif siswa. Nilai raport
memiliki rerata 7,00 tiap semester dan mempunyai kecenderungan meningkat tiap
semesternya. Latar belakang siswa untuk memperoleh data tentang status sosial ekonomi
orangtua. Tes kemampuan akademik dan bahasa Inggris untuk memperoleh data tentang
kemampuan akademik siswa dan kemampuan bahasa Inggris siswa. Wawancara
dilakukan untuk memperoleh data tentang motivasi siswa memasuki SMK. Jumlah
perdaftar tahun pelajaran 2004/2005 sebanyak 361 orang, tahun 2005/2006 sebanyak
392 orang, tahun 2006/2007 sebanyak 322 orang, dan tahun 2007/2008 sebanyak 350
orang, sedangkan pagu sekolah sebanyak 120 orang. Dengan demikian keketatan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
persaingan masuk 1:3 atau satu bangku diperebutkan oleh tiga calon siswa baru dan
siswa yang diterima sebagian besar berasal dari SMP negeri dan swasta favorit. Dengan
demikian diperoleh siswa baru yang berkualitas dan data siswa yang lebih komprehensif.
Melalui PSB di kedua sekolah dapat dijaring input (siswa baru) dengan kualitas
baik dan keketatan persaingan 1:3. Keketatan persaingan tersebut menunjukkan bahwa
sekolah penyelenggara SBI sudah menjadi tujuan lulusan SMP untuk melanjutkan
studinya. Di samping itu dengan rerata nilai UN yang tinggi memudahkan sekolah untuk
mengembangkan potensi peserta didikya lebih lanjut sesuai dengan tujuan
penyelenggaraan SMK SBI. Dengan demikian rerata UN yang tinggi dan keketatan
persaingan merupakan ciri penting keberhasilan penyelenggaraan SMK SBI.
Persyaratan, pola menerimaan, dan ketetatan persaingan masuk di kedua sekolah
tersebut dapat disebut sebagai good practice SMK bertaraf internasional. Hal ini
didukung data output dengan kualitas yang tinggi, yaitu (rerata hasil UN yang tinggi,
tingkat kelulusan yang tinggi, dan tingkat DO yang rendah). Di samping itu didukung
pula oleh data outcome berupa keterserapan lulusan yang tinggi oleh dunia kerja.
Dengan demikian penerimaan siswa baru tersebut merupakan good practice dilihat dari
sisi input pada sekolah kejuruan bertaraf internasional.
Dilihat dari pola pikir yang dimiliki, input siswa di SMK bertaraf internasional
merupakan input yang baik. Di kedua sekolah tersebut sebagian besar siswa telah
mempunyai pola pikir cukup tinggi yang ditunjukkan oleh sikap mereka terhadap
kebutuhan sumber informasi, diskusi kelompok, diskusi dengan guru dan bahkan
berbeda pendapat, dan suka mendemonstrasikan hasil karyanya. Di samping itu
pereubahan pola pikir ditunjukkan oleh sikap siswa terhadap perbedaan pendapat,
memiliki akternatif untuk meningkatkan pengetahuannya, kesiapan melanjutkan sekolah
ke luar negeri, bahasa bukan menjadi faktor penghalang, siswa memiliki akses sumber
belajar internet sekolah, dan akses sumber belajar diperpustakaan sekolah. Ciri
perubahan pola pikir tersebut merupakan salah satu ciri penyelenggaraan SBI.
1.2 Pendidik
Dilihat dari latar belakang pendidikannya, data di SMKN 5 Surabaya
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan guru adalah sarjana (S1), bahkan terdapat guru
produktif dengan ijazah magister (S2) yang diperoleh guru setelah mereka dalam
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
jabatan. Di SMK Mikael Solo guru yang mengampu mata pelajaran produktif
mempunyai sertifikasi yang telah berstandar nasional atau internasional.
Rekruitmen tenaga pendidik di SMKN 5 Surabaya dilakukan melalui Dinas
Pendidikan, dengan persyaratannya: (1) sarjana/S1 sesuai dengan kebutuhan, (2) tes dan
wawancara. Tes dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan sekolah menerima guru sesuai
dengan penempatan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan, sehingga sekolah tidak
dapat merekrut guru sesuai dengan kebutuhan program keahlian yang ada di sekolah. Ini
merupakan salah satu kelemahan rekruitmen yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan di
mana sekolah tidak mempunyai posisi tawar untuk menentukan kualitas guru yang
diinginkan.
Di SMK Mikael Solo rekruitmen tenaga pendidik dilakukan melalui Human
Resources and Development (HRD). Persyaratannya adalah di samping persyaratan
terdahulu terdapat persyaratan lain, yaitu psikotes dan tes kemampuan mengajar. Dari
psikotes dan tes kemampuan mengajar diambil nilai tertinggi di antara peserta tes.
Dengan persyaratan tersebut diperoleh tenaga pendidik sesuai dengan kebutuhan
sekolah. SMK Mikael Solo juga menerapkan syarat lain, yaitu kemampuan berbahasa
Inggris dengan indikator skor TOEFL minimal 450 dan pengalaman industri yang untuk
guru mata pelajaran produktif. Jadi, pendidik pada SBI mempunyai standar pendidikan
minimal S1 dan mempunyai sertifikat nasional atau internasional untuk guru mata
pelajaran produktif.
1.3 Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan (laboran dan tata usaha) di kedua sekolah berijazah SMA dan
sederajat serta telah mempunyai kompetensi aplikasi perangkat lunak (soft ware)
komputer dan menguasai bahasa Inggris secara memadai. Untuk kepala tata usaha dan
pustakawan berpendidikan sarjana (S1) sesuai dengan bidang tugasnya. Seleksi
penerimaan tenaga kependidikan di SMKN 5 Surabaya dilakukan oleh dinas pendidikan
dan seleksi melalui HRD dilakukan oleh SMK Mikael Solo. Seleksi yang dilakukan
melalui HRD lebih dapat menjamin diperoleh tenaga kependidikan yang diinginkan
dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan oleh dinas pendidikan. Seleksi yang
dilakukan oleh dinas pendidikan diikuti oleh banyak peserta karena ada harapan
diangkat menjadi pegawai negeri. Dengan demikian tenaga kependidikan (laboran dan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
tata usaha) berijazah SMA dan mempunyai kompetensi aplikasi perangkat lunak (soft
ware) komputer, sedangkan kepala tata usaha dan kepala perpustakaan berijazah S1.
1.4 Kurikulum
Kedua sekolah menggunakan Kurikulum Nasional 2004 (KBK) dan KTSP
(kurikulum sekolah). Kurikulum sekolah (KTSP) untuk mata pelajaran normatif dan
adaptif diambil dari Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sedangkan
untuk mata pelajaran produktif menggunakan SKKNI (Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia) sesuai dengan program studinya. Meskipun menggunakan SKKNI
untuk mata pelajaran produktif, kurikulum disusun dengan melibatkan pihak industri
pasangan yang telah diakui secara nasional maupun internasional, misalnya Astra
Internasional untuk SMKN 5 Surabaya dan ATMI Solo untuk SMK Mikael Solo. Model
penyusunan kurikulum tersebut dilakukan agar lulusannya terserap di dunia kerja. Hal
ini didukung oleh data keterserapan lulusan empat tahun terakhir berturut-turut 89,94%,
86,58%, 94,48%, dan 92,14% untuk SMKN 5 Surabaya. Bahkan di SMK Mikael Solo
menunjukkan sekolah belum dapat memenuhi pesanan tenaga kerja dari dunia kerja.
Model penyusunan kurikulum yang melibatkan pihak industri pasangan merupakan
salah satu good practice dalam pengelolaan SMK bertaraf internasional.
Penyusunan kurikulum disusun di kedua sekolah oleh tim khusus pengembang
kurikulum dan guru mata pelajaran serta melibatkan pihak industri pasangan.
Penyusunan kurikulum ini dilakukan terutama untuk mata pelajaran produktif. Evaluasi
kurikulum dilakukan oleh guru mata pelajaran. Aspek-aspek yang dinilai meliputi
mencapaian standar kompetensi, sillabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) serta
alokasi waktunya. Evaluasi ini dilakukan tiap tahun dan hasil evaluasi digunakan untuk
perbaikan kurikulum berikutnya. Dengan demikian kurikulum yang digunakan akan
selalu mengikuti perkembangan jaman dan relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Jumlah jam mata pelajaran sebanyak 4 jam untuk normatif, 7 jam untuk adaptif,
dan 7 jam pelajaran untuk produktif (satu jam pelajaran @ 45 menit). Jumlah alokasi
waktu jam pelajaran per minggu 48 sampai dengan 50 jam pelajaran. Batasan jumlah
minimal jam mengajar guru sebanyak 18 jam dan maksimal sebanyak 40 jam per
minggu. SMKN 5 Surabaya menerapkan lama belajar 4 (empat) tahun dan disebut SMK
4 tahun. Satu tahun terakhir (kelas empat) proses belajar mengajar dilakukan di dunia
kerja dalam bentuk magang. Model ini dilakukan untuk mendekatkan siswa dengan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
dunia kerja sebenarnya, sehingga melalui magang dapat ditanamkan nilai-nilai kerja,
disiplin kerja, dan menumbuhkan etos kerja siswa. Dengan kata lain penerapan
kurikulum yang demikian merupakan salah satu good practice ciri penyelenggaraan
SMK bertaraf internasional.
SMK Mikael Solo dalam menyusun kurikulum relatif sama dengan SMKN 5
Surabaya, jumlah jam pelajaran rata-rata 50 jam pelajaran per minggu. Sekolah ini
mempunyai unit produksi yang dapat memproduksi barang atau jasa yang laku dijual.
Sistem pembelajaran praktik dilakukan melalui sistem production base education and
training (PBET), yaitu sistem yang memadukan antara praktik dan produksi sebagai
bentuk implementasi link and macth sehingga dapat memberikan pengalaman produksi
dan aplikasi bagi para siswa. Pelaksanaan pembelajarannya menggunakan mesin standar
internasional. Di samping itu diterapkan total block system, capasity oriented dengan
dua shift. Jadi ciri-ciri tersebut merupakan salah satu good practice penyelenggaraan
SMK bertaraf internasional.
SMKN 5 Surabaya menggunakan Kurikulum Nasional 2004 dan KTSP untuk
normatif dan adaptif sedangkan untuk produktif menggunakan Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Program Keahlian Mekanik Otomotif menggunakan
standar astra internasional dan penyusunan kurikulum melibatkan industri pasangan. Hal
ini dilakukan agar kompetensi lulusannya sesuai dengan kompetensi yang dituntut oleh
dunia kerja terutama industri pasangan. Pemilihan isi kurikulum produktif berdasarkan
standar internasional (Astra Internasional) sudah tepat. Hanya saja yang perlu diingat
adalah implementasi kurikulum harus sesuai dengan standar astra pula, baik proses
maupun evaluasi kinerja siswa. Jika semua proses dan implementasi kurikulum sesuai
dengan standar, lulusannya akan dapat bekerja di seluruh dunia sepanjang terdapat
pekerjaan yang berstandar astra.
Demikian juga di SMK Mikael Solo, kurikulum yang digunakan adalah Kurikulum
Nasional 2004 dan KTSP untuk normatif dan adaptif sedangkan untuk produktif
menggunakan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Kurikulum
disusun berdasarkan kebutuhan pangsa pasar yang dilakukan sekolah bersama dengan
perusahaan dan sekolah partner (ATMI), sehingga sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Kurikulum yang digunakan di kedua sekolah di atas (khususnya untuk mata
pelajaran produktif) menggunakan pendekatan fungsional, yaitu penentuan isi kurikulum
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
dilakukan dengan cara yang lebih obyektif. Pendekatan ini didasari oleh asumsi bahwa
peserta didik yang belajar melalui SMK SBI harus mempelajari fungsi-fungi apa yang
harus ada untuk menjamin kelangsungan kerja suatu industri atau dunia usaha tertentu
dan kemudian dijabarkan menjadi penampilan-penampilan (performance) yang terkait
dengan fungsi atau tugas tertentu untuk dijadikan masukan bagi perencanaan kurikulum
(Sukamto, 1988:98). Pendekatan kurikulum secara fungsional akan meningkatkan
relevansi kompetensi lulusan dengan fungsi pekerjaan di dunia kerja dan merupakan
good practice dalam pengelolaan SMK bertaraf internasional.
Untuk meningkatkan hasil yang sudah dicapai SMKN 5 Surabaya dalam rencana 4
(empat) tahunan menuangkan program-programnya ke dalam rencana kerja. Dalam
rencana tersebut terdapat 11 (sebelas) kegiatan penting, yaitu: (1) pengembangan sistem
manajemen mutu ISO 9001:2000, (2) minimal 4 (empat) pelajaran produktif meng-
gunakan bahasa Inggris, (3) advanced training workshop, (4) teaching factory, (5)
lingkungan, (6) adanya orang asing untuk pembelajaran komunikasi bahasa Inggris, (7)
mitra asing, (8) lulusan ke luar negeri, (9) skor TOEC lebih besar 400, (10) program
ICT, sistem administrasi sekolah atau SAS, (11) sertifikasi internasional. Demikian
dengan SMK Mikael Solo, terdapat 12 (dua belas) janji kinerja yang juga merupakan
program kegiatan penting, yaitu: (1) pengembangan SMM-ISO 9001-2000, (2) minimal
4 pelajaran produktif menggunakan Bahasa Inggris, (3) standard training workshop, (4)
advance training workshop, (5) teaching factory, (6) lingkungan, (7) self access study
dan komunikasi dalam bahasa asing, (8) partner asing, (9) lulusan ke luar negeri, (10)
score TOEIC lebih besar 400, (11) program ICT, dan (12) sertifikasi internasional.
Dengan demikian melalui program kerja tersebut sekolah betul-betul merencanakan
lulusannya tidak hanya dapat memenuhi lapangan kerja nasional tetapi juga internasional
atau global.
Program yang direncanakan cukup apresiatif untuk menuju sekolah berstandar
iternasional, misalnya minimal 4 (empat) pelajaran produktif menggunakan bahasa
Inggris, lulusan ke luar negeri, adanya orang asing untuk pembelajaran komunikasi
bahasa Inggris, dan lulusan ke luar negeri. Akan tetapi perlu dipikirkan untuk mencapai
harapan tersebut belum disebutkan masukan (input) siswa yang bagaimana agar dapat
dicapai tujuan tersebut. Di samping itu belum tampak adanya aspek keberlanjutannya
(sustainability) dari program tersebut. Dikhawatirkan program tersebut tidak akan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
tercapai jika tidak ada keberlanjutan dukungan dana, baik dari pemerintah pusat, daerah,
maupun orangtua dan masyarakat.
1.5 Biaya
Di SMKN 5 Surabaya sumber pembiayaan sekolah berasal dari sumbangan awal
tahun untuk siswa baru sebesar Rp 1.000.000,00 (Satu juta rupiah), SPP sebesar Rp
100.000,00 (Seratus ribu rupiah) per bulan, dan kegiatan ekstra kurikuler sebesar Rp
50.000,00 (Lima puluh ribu rupiah) per semester. Biaya masuk untuk siswa baru sebesar
Rp 1.150.000,- sedangkan besarnya SPP tetap sampai siswa tersebut lulus. Penetapan
besarnya sumbangan awal, SPP, dan kegiatan ekstra tersebut didasarkana pada petunjuk
dari Dinas Pendidikan, sekolah tidak diperbolehkan menentukan sendiri. Dengan
demikian terkait dengan penyelenggaraan SBI sekolah tidak mempunyai kewenangan
menentukan besarnya dana dari masyarakat. Hal ini berakibat sekolah tidak dapat
merencanakan biaya penyelenggaraan proses pembelajaran dari sumber dana masyarakat
dan dikhawatirkan meyelenggaraan pembelajaran terganggu.
Di SMK Mikael Solo komponen pembiayaan terdiri dari sumbangan pembinaan
pendidikan (SPP) sebesar Rp 100.000,00 (Seratus ribu rupiah) per bulan untuk kelas dua
dan tiga, sedangkan untuk kelas satu sebesar Rp 150.000,00 (Seratus lima puluh ribu
rupiah) tiap bulan. Sumbangan awal masuk tiap siswa sebesar Rp 3.750.000,00 (Tiga
juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Dengan demikian besarnya biaya masuk untuk
siswa baru sebesar Rp 3.900.000,- sedangkan besarnya SPP tetap sampai siswa lulus.
Jadi besarnya baiaya pada SBI sekolah swasta lebih mahal daripada sekolah negeri.
Di samping itu SMK Mikael Solo mempunyai unit produksi dan telah
menghasilkan keuntungan (profit). Data menunjukkan bahwa pada tahun 2007 memiliki
gross profit sebesar Rp 390.430.000,00 (Tiga ratus sembilan puluh juta empat ratus tiga
puluh ribu rupiah). Sumber keuntungan ini didapat dari unit produksi dan pendapatan
GTC (training and production) dan keuntungan tersebut masih terus dapat ditingkatkan.
Hal ini menunjukkan bahwa mengelolaan unit produksi secara profesional dan
menghasilkan keuntungan menjadi salah satu ciri penting pengelolaan SBI.
1.6 Sarana Prasarana
Luas tanah 47.565 m2, di atas tanah tersebut berdiri ruang kelas 1.529 m2, ruang
guru 280 m2, ruang rapat 80 m2, ruang laboratorium/workshop 1.032 m2, perpustakaan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
105 m2, lapangan upacara 194 m2, taman sekolah 1.800 m2, lahan dan tempat parkir 450
m2, lapangan dan tempat olah raga 1.800 m2, dan kebun sekolah 200 m2. Luas bangunan
SMKN 5 Surabaya 9.600 m2, terdiri dari ruang kelas sebanyak 41 ruang, laboratorium
bahasa dua buah, laboratorium komputer dua buah (dapat mengakses internet dengan 30
klien), dua buah kantin, dua buah ruang TU, dua buah pos jaga, dua buah bangsal
kendaraan siswa, dua unit rumah dinas penjaga, tujuh taman sekolah, empat buah
lapangan bermain, dan masing-masing satu buah yaitu ruang perpustakaan, aula,
lapangan upacara, lapangan sepak bola, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK,
ruang UKS, ruang pramuka, tempat ibadah, ruang olah raga, ruang OSIS, ruang
koperasi, ruang rapat, ruang tamu, gudang, ruang dapur, bangsal kendaraan guru, dan
pagar sekolah. Letak sekolah mudah dijangkau oleh kendaraan umum dari semua
jurusan. Melalui kelebihan luas lahan memungkinkan untuk penambahan gedung dan
sarana pendidikan yang lain.
Sarana penting bagi penyelenggaraan SMK adalah workshop. Workshop mekanik
otomotif terdiri dari dua unit, yaitu workshop sepeda motor dan mobil. Workshop sepeda
motor berstandar Ahass Astra, sedangkan workshop mobil berstandar Advance Astra
Internasional di antaranya terdiri dari Digital Scanner Tools, Digital Spooring
Balancing, mesin pengukur kadar emisi, dan berbagai tipe mesin toyota. Di samping itu
untuk proses pembelajaran guru dapat menggunakan laptop dan LCD projector. Jadi
sarana prasarana tersebut merupakan aset dan salah satu ciri sarana prasarana yang
dimiliki sekolah dalam menyelenggarakan SBI.
SMK Makael Solo mempunyai luas bangunan 2.526 m2, termasuk di dalamnya
unit produksi (ruang praktik mesin) dengan luas 832 m2. Ruang teori sebanyak delapan
buah (512 m2), kamar mandi/WC sebanyak tiga buah (144 m2), masing-masing satu
buah terdiri dari: ruang administrasi (32 m2), ruang kepala sekolah (64 m2), ruang guru
(32 m2), ruang TU (32 m2), ruang BP/BK (32 m2), ruang kurikulum (32 m2), ruang
kesiswaan/pamong (32 m2), lab fisika dan kimia (32 m2), lab komputer (90 m2), lab
bahasa (64 m2), ruang perpustakaan (64 m2), ruang OSIS (32 m2), dan aula (300 m2).
Lokasi sekolah terletak di Kelurahan Karangasem Kecamatan Laweyan, termasuk
daerah perkotaan atau dalam kota, jarak ke pusat kecamatan 2 km dan jarak ke pusat
pemerintah kota 8 km, sehingga mudah dijangkau. Lokasi sekolah yang mudah
dijangkau merupakan sarana penting untuk pengembangan SBI.
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
Merupakan sarana penting di SMK Mikael Solo adalah ruang gambar dan ruang
praktik mesin. Ruang gambar seluas 200 m2 terdiri dari meja gambar manual dan gambar
menggunakan bantuan komputer. Workshop praktik mesin disebut juga unit produksi
terdiri dari mesin bubut dari manual hingga CNC dengan berbagai jenis peralatan
pendukung lainnya. Melalui peralatan tersebut dihasilkan produk sesuai dengan standard
industri. Dengan demikian unit produksi yang dapat menghasilkan produk sesuai dengan
standard industri merupakan sarana prasarana (best practice) dalam penyelenggaraan
SBI.
2 Proses
2.1 Pengelolaan
Kedua sekolah memiliki visi, misi, dan tujuan yang disusun berdasarkan pada
tujuan pendidikan nasional, visi, misi, dan tujuan sekolah/yayasan, serta rencana
pengembangan sekolah. Rencana sekolah disusun untuk kurun waktu tahunan dan empat
tahunan. Rencana sekolah tahunan merupakan penjabaran rencana kerja sekolah empat
tahunan. Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan sekolah unsur-unsur internal dan
eksternal dikoordinasikan oleh kelompok kerja (team work). Strategi dalam mengelola
sumber daya manusia untuk mencapai tujuan sekolah dilakukan dengan jalan
memberikan kesejahteraan yang memadai, motivasi internal, kesempatan berkembang,
dan aktualisasi diri.
Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah dikedua sekolah mensosialisasikan
visi, misi, tujuan, dan Standar Operasi Prosedur (SOP) sekolah kepada guru, siswa,
karyawan, orangtua, dan stakeholder. Di samping itu kepala sekolah juga mendorong
budaya inkuiri, misalnya mengajak guru-guru untuk melaksanakan penelitian tindakan
kelas (PTK), ikut membantu membimbing peserta didik mengikuti lomba, misalnya
Lomba Keterampilan Siswa (LKS) dan lomba matapelajaran dan lain-lain. Model
pengelolaan kepala sekolah yang demikian merupakan ciri SBI.
Hubungan dengan warga sekolah dilakukan menggunakan komunikasi positif
dan rapat-rapat staf. Hubungan dengan pihak luar dilakukan dengan melakukan
kunjungan ke dunia usaha dan dunia industri, telepon, dan surat menyurat. Sekolah
menjalin hubungan dengan dunia usaha dan dunia industri, dinas pendidikan dan
kebudayaan, perguruan tinggi, orangtua siswa, maupun lulusan. Ciri pengelolaan
manajemen komunikasi tersebut merupakan salah satu ciri komunikasi dalam SBI.
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
Manajemen bidang akademik di kedua sekolah meliputi perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, pengawasan, pelaporan. Strategi yang dilakukan untuk
mengorganisasikan pembelajaran dengan melihat kesuaian perencanaan pembelajaran
dengan aktivitas pembelajaran (ketuntasan materi). Untuk kelas tiga materi harus selesai
satu semester dan semester berikutnya dilakukan latihan ujian nasional (drill). Sistem
penilaian dilakukan tiap kali selesai satu kompetensi dan teknik penilaiannya
menggunakan tes tulis (paper and pencil test) dan lisan. Penilaian dilakukan oleh guru
tiap selesai satu kompetensi dan frekuensinya 2/3 kali semester. Dengan demikian hal
tersebut merupakan ciri manajemen bidang akademik dalam penyelenggaraan SBI.
Manajemen kesiswaaan berupa layanan terhadap siswa yang meliputi bimbingan
konseling, career path, dan bursa kerja. Layanan tersebut dilakukan sepanjang semester
dan sepanjang tahun (tidak terbatas). Di samping itu untuk membantu lulusan siswa
mendapatkan pekerjaan, dibentuk tim untuk menangani bursa kerja. Layanan bimbingan
dan bursa kerja tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu indikator layanan kesiswaan
pada SBI.
Manajemen bidang sarana prasarana di kedua sekolah, seperti perpustakaan
menyediakan ruang baca dan peminjaman buku atau sirkulasi. Di samping itu
laboratorium/workshop menyediakan layanan berupa peminjaman penggunaan alat dan
fasilitasnya. Laboratorium komputer dengan layanan internet meskipun dalam jumlah
terbatas sudah dapat memotivasi siswa mengakses internet jika guru memberikan tugas
pelajaran tertentu. Perbandingan guru dan siswa untuk mata pelajaran normatif dan
adaptif adalah satu guru untuk satu kelas (35 orang). Untuk mata pelajaran produktif
rasionya satu guru untuk setengah kelas dan di bantu oleh toolman. Penempatan guru
sesuai dengan matapelajaran yang diampu.
2.2 Pembelajaran
Di SMKN 5 Surabaya guru matapelajaran produktif lulusan sarjana pendidikan
yang sesuai dengan program studinya, memiliki akta mengajar IV dan memperoleh
kesempatan melanjutkan studi pascasarjana (S2) ITB Bandung Jurusan Metalurgi. Di
keedua sekolah guru pengajar mata pelajaran adaptif lulusan sarjana pendidikan sesuai
dengan mata pelajaran yang diampu. Di samping mengajar mata pelajaran adaptif juga
memiliki keterampilan yaitu komputer dan bahasa Inggris. Di SMK Mikael Solo guru
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
mata pelajaran produktif memiliki akta mengajar IV dan mempunyai pengalaman
industri.
Di kedua sekolah persiapan guru dalam proses pembelajaran dilakukan dengan
menyusun rencana pembelajaran pada awal tahun ajaran dengan melihat kalender
akademik. Perumusan tujuan pembelajaran telah dituliskan secara jelas mengandung
perilaku hasil belajar sehingga dan tidak menimbulkan penafsiran ganda. Materi ajar
disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan tujuan pembelajaran. Di samping itu
materi ajar diorganisasikan dengan runtut, sistematis, dan sesuai dengan alokasi waktu.
Pemilihan sumber/media pembelajaran dengan tepat sesuai dengan tujuan, materi, dan
karakteristik peserta didik. Sumber materi ajar yang dikomunikasikan kepada peserta
didik berupa latihan soal dan terdapat kesesuaian metode pembelajaran dengan tujuan
pembelajaran. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 75%. Di samping itu
evaluasi direncanakan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran yang
dikelola seperti di atas merupakan salah satu indikator SBI.
Di kedua sekolah jumlah siswa dalam satu kelas maksimal sebanyak 32 orang.
Pembelajaran didukung oleh alat pembelajaran yang lengkap terutama untuk mata
pelajaran produktif dan memberikan perhatian pada siswa dalam bentuk memberian
tugas presentasi setelah ada penjelasan dari guru secara berkelompok, tiap kelompok
terdiri dari dua sampai tiga orang siswa. Guru memelihara disiplin dalam melaksanakan
pembelajaran dengan cara memberi hukuman kepada siswa yang tidak disiplin sesuai
dengan tingkat pelanggarannya.
Di kedua sekolah strategi yang dilaksanakan dalam mengorganisasikan
pembelajaran dilakukan secara tatap muka, presentasi, dan tanya jawab. Guru merasa
senang dalam mengajar. Perilaku atau tujuan pembelajaran yang diharapkan
disampaikan terlebih dahulu kepada siswa. Siswa mengetahui di mana memperoleh
bantuan akademik melalui penjelasan guru. Guru mendorong sekolah untuk memberi
pengakuan atas perilaku positif siswa, jika ada siswa yang kurang baik perilakunya
dibicarakan dengan ketua program studi. Di samping itu guru mengembangkan
kecakapan komunikasi siswa melalui presentasi di depan kelas. Pengembangan
kemampuan literasi media dan informasi dilakukan dengan cara penugasan di
perpustakaan dan mengunduh (download) informasi melalui internet. Setiap akhir
pelajaran guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya sebagai feedback
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
terhadap pelaksanaan pembelajaran. Guru mendapat informasi siswa mana yang perlu
diberi bantuan dan bantuan apa yang akan diberikan. Bimbingan lebih intensif diberikan
oleh BP dan kesiswaan melalui kelompok bimbingan belajar. Siswa dapat memberikan
saran (ada Kotak Saran) dan terbuka kepada Wali Kelas apabila menemukan hambatan.
Strategi pegorganisasian yang demikian dapat dijadikan indikator pengorganisasian
pembelajaran dalam SBI.
Di SMKN 5 Surabaya untuk program keahlian otomotif, guru mengembangkan
kemampuan siswa melalui metode pembelajaran trouble shooting, baik untuk sepeda
motor maupun mobil. Metode tersebut meliputi langkah-langkah: mengidentifikasi,
merumuskan masalah, menganalisis, dan membuat alternatif penyelesaian masalah.
Strategi pembelajaran tersebut dilakukan pada pembelajaran mata pelajaran produktif,
strategi tersebut dikenal dengan keterampilan proses. Di samping itu guru memberikan
kesempatan pada siswa dalam mengembangkan keingintahuan intelektual dan kreatifitas
dengan jalan memberi kesempatan eksperimen kepada siswa. Karakteristik pengem-
bangan kemampuan siswa yang demikian dalam proses pembelajaran merupakan salah
satu ciri pembelajaran SBI.
Di SMK Mikael Solo pembelajaran mata pelajaran produktif menggunakan
pendekatan production base education training (PBET). Pembelajaran ini dilakukan di
unit produksi dan merupakan satu-satunya SMK di Indonesia yang menerapkan sistem
PBET. Sistem ini memadukan antara praktik dan produksi sebagai bentuk implementasi
link and match sehingga dapat memberikan pengalaman produksi dan aplikasi serta
nilai-nilai kerja bagi peserta didik. Sistem ini didukung oleh unit produksi dengan
menerapkan sistem blok secara penuh (total block system) dengan dua shift praktik. Di
samping itu unit produksi tersebut mulai dari pengembangan materi praktik, penilaian,
produksi, sampai pada pemasaran hasil bekerjasama dengan unit produksi Akademi
Teknik Mesin dan Industri (ATMI) Solo. Unit produksi ini telah mendapatkan
pengakuan baik nasional maupun internasional. Hal ini dibuktikan dengan telah
diterimanya produk yang dihasilkan oleh customer dari dalam dan luar negeri.
Di SMKN 5 Surabaya dan SMK Mikael Solo, guru ikut mengembangkan
kemampuan siswa tentang pilihan jurusannya. Di samping itu ia juga mengembangkan
kemampuan adaptif dan tanggungjawab dengan cara memberi pengarahan untuk
bertanggungjawab terhadap kewajiban sekolah. Tanggungjawab sosial dikembangkan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
dengan cara memberi pengarahan toleransi terhadap sesama temannya. Pengembangkan
kemampuan interpersonal pada diri siswa dikembangkan guru dengan cara memberi
penjelasan lisan dan demonstrasi. Guru juga mengembangkan kemampuan interpersonal
siswa dengan cara belajar berkomunikasi dengan sesama. Meningkatkan kemampuan
berpikir kritis dan kolaborasi melalui penggunaan teknologi informasi dengan cara
memberi kesempatan pada saat diskusi berkelompok. Guru menggunakan aplikasi
perangkat lunak untuk mengumpulkan, mengelola, dan menganalisis data. Proses
pembelajaran dilakukan guru dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk
membangun pengetahuannya sendiri. Guru juga menggunakan model pembelajaran yang
variatif, misalnya pemecahan masalah (trouble shooting) dalam pembelajaran praktik.
Pembelajaran didukung oleh ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi dengan
menggunakan warung internet (warnet).
Di SMKN 5 Surabaya dalam proses pembelajaran guru memberikan kesempatan
pada siswa untuk mengungkapkan hasil temuannya, strateginya terletak pada pemberian
masalah (trouble) dan siswa mencari penyelesaiannya. Jumlah jam tatap muka pelajaran
cukup memberikan kesempatan siswa untuk memahami pelajaran produktif. Jumlah jam
sebanyak 6 jam pelajaran dengan 4 hari per minggu dan jumlah jam tersebut mendukung
peningkatan keterampilan khusus siswa. Di samping itu guru memiliki strategi dalam
meningkatkan ketuntasan belajar siswa berupa studi kasus. Metode tersebut digunakan
dengan alasan dalam implementasinya di dunia kerja siswa dihadapkan pada
penyelesaian masalah (trouble shooting). Ciri proses pembelajaran tersebut merupakan
salah satu ciri SBI.
Berkaitan dengan pembelajaran di kedua sekolah, guru memiliki karakteristik pola
pikir yang dapat menghasilkan pembelajaran yang baik. Berdasarkan data yang berhasil
dikumpulkan pola pikir guru dalam pembelajaran adalah ia memberikan layanan pada
siswa dengan memberikan berbagai macam sumber informasi pada siswa dan siap
memberikan layanan akademik pada setiap saat di sekolah. Di samping itu ia
menyediakan portofolio pembelajaran untuk siswa yang mencakup seluruh materi ajar
pada semester tersebut. Dan guru mengarahkan siswa untuk menemukan masalah dan
membimbing siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Untuk mengkaitkan informasi pembelajaran sebelumnya dilakukan dengan
memberikan penjelasan, demonstrasi, dan percobaan. Selanjutnya siswa diberi
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
penugasan dan dilihat hasilnya. Guru memberikan informasi tentang kegunaan materi
pembelajaran setelah selesai pelaksanaan pembelajaran. Untuk membangkitkan
pertanyaan kritis siswa guru memberikan permasalahan atau kasus dan siswa mencari
pemecahannya. Tugas kelompok dan cara menilai tingkat kolaborasi siswa pada
kelompok dilakukan dengan membagi kelompok-kelompok kecil pada saat praktik.
Guru memberikan ruang yang cukup pada siswa untuk mendemonstrasikan hasil
karyanya. Untuk menggali informasi yang dipelajari dari masyarakat dilakukan dengan
cara memberi tugas jika ada kendaraan dari luar milik orang rusak dan siswa yang
mengerjakan sedangkan guru memandu. Di samping itu guru memberikan pengarahan
pada siswa bagaimana membaca efektif (reading skill). Cara mencari kata kunci dalam
membaca informasi dilakukan dengan cara membuat ringkasan. Guru juga memberikan
tugas pada siswa untuk mengembangkan wacana dari sebuah artikel dan guru
mempertimbangkan berbagai aspek dalam memberikan penilaian hasil belajar siswa. Di
samping memberikan penilaian kognitif guru juga menilai sikap, tingkah laku, dan
keterampilan siswa.
Guru membuat suasana kelas menyenangkan dilakukan dengan cara memberi
kebebasan berdemokrasi tetapi terarah, dan memberi pengertian bahwa guru bukan
segala-galanya, guru juga manusia terkadang salah, hanya saja guru sudah pernah belajar
terlebih dahulu. Untuk meminta masukan tentang proses pembelajaran kepada siswa
agar dapat memberikan layanan lebih baik dilakukan dengan meminta saran dan kesan
kepada siswa setelah tatap muka. Guru juga melakukan refleksi atas tindakan yang
diberikan pada proses pembelajaran dengan membuat perbaikan terhadap siswa yang
melanggar tata tertib serta hak dan kewajiban siswa. Upaya berbaikan berkelanjutan
dilakukan dengan pendekatan terhadap siswa yang mempunyai masalah. Perubahan pola
pikir guru tersebut di atas dapat dijadikan ciri penting SBI dalam mengelola proses
pembelajaran.
2.3 Kerjasama dan Unit Produksi
SMKN 5 Surabaya menjalin kerjasama dengan dunia usaha dan industri (du/di)
lebih dari 100 perusahaan besar dan menengah baik Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) maupun swasta. Perusahaan tersebut tersebar di kota Surabaya, Gresik, Tuban,
Sidoarjo, Pasuruan dan sekitarnya. Hubungan kerjasama dengan dunia usaha dan
industri tersebut dilakukan untuk mendekatkan program sekolah dengan kebutuhan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
dunia kerja. Jalinan kerjasama tersebut diikat melalui nota kesepahaman (Memorandum
of Understanding, MoU). Manfaat kerja sama di antaranya adalah siswa dapat
melakukan Praktik Kerja Industri (PSG) secara berkelanjutan dan untuk memasarkan
lulusan.
Sejak tahun 2006 SMKN 5 Surabaya telah memperoleh sertifikat Sistem
Manajemen Mutu Standar Internasional ISO 9001-2000 sejak 2006. Terkait dengan
manajemen layanan kesiswaan, SMKN 5 Surabaya melakukan layanan bimbingan
konseling, career path, dan bursa kerja. Layanan tersebut dilakukan sepanjang semester
dan sepanjang tahun (tidak terbatas). Melalui bursa kerja dapat membantu lulusan
mendapatkan pekerjaan tanpa menunggu waktu yang relatif lama. Layanan bimbingan
dan bursa kerja tersebut merupakan good practice dalam pengelolaan SMK bertaraf
internasional.
Manfaat kerjasama adalah siswa dapat melakukan Praktik Kerja Industri (PSG)
secara berkelanjutan dan sebagai sarana promosi lulusan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Glover (1984:141) bahwa latihan yang didasarkan atas jenis kegiatan yang ada di
industri, sesuai dengan perjanjian antara peserta magang dan industri, siswa akan
memperoleh latihan kerja baik teoretis maupun praktis dalam lingkup yang luas dan
terstuktur dalam jangka waktu tertentu. Praktik kerja di industri sebagai persiapan untuk
memasuki dunia kerja dapat dimengerti karena secara historis pendidikan kejuruan
merupakan perkembangan dari latihan dalam pekerjaan (on the job training) dan pola
magang (apprenticeship) (Evans & Edwin, 1978). Dengan pola seperti itu peserta didik
dapat langsung belajar pada keadaan yang sebenarnya sehingga mendorong dia belajar
secara inkuiri (Elliot, 1983). Dengan demikian hubungan dengan dunia usaha dan
industri menjadi good practice penyelenggaraan SMK bertaraf internasional.
SMK Mikael Solo memiliki unit produksi yang terintegrasi dengan pembelajaran
mata pelajaran produktif di sekolah. Sejak 2002 sekolah memperoleh sertifikat Sistem
Manajemen Mutu Standar Internasional ISO 9001-2000. Sekolah juga dipercaya menjadi
Sister dari Indonesian German Institute (IGI) untuk pengembangan kualitas sumber daya
manusia di Indonesia melalui Program Pendidikan SMK dan Social Grassroot Training
Center (SGTC). Di samping itu sekolah memiliki tim penjamin mutu, yaitu Akademi
Teknik Mesin Industri (ATMI). SMK yang mempunyai kerjasama dengan dunia usaha
dan industri, unit produksi, sistem manajemen mutu standar internasional ISO
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
9001:2000, dan penjaminan mutu sekolah menjadi ciri penting dari pengelolaan SBI dan
merupakan salah satu good practice penyelenggaraan SMK bertaraf internasional.
Kerjasama dan unit produksi di kedua sekolah tersebut sesuai dengan teori
kejuruan yang dikemukakan Prosser & Allen, tiga di antaranya adalah: (1) latihan
kejuruan akan efektif, jika latihan kerja dilakukan dengan cara pengoperasian alat dan
mesin yang sama dengan di tempat kerja itu sendiri, (2) penumbuhan kebiasaan kerja
kepada siswa dapat efektif apabila latihan dilaksanakan di tempat kerja sesungguhnya,
bukan pada pekerjaan semu atau latihan, (3) pendidikan kejuruan akan efektif, apabila
guru telah mempunyai pengalaman yang berhasil dalam menerapkan keterampilan dan
pengalaman mengenai operasi dan proses (Champ & Hillison, 1984:13-21). Teori
kejuruan tersebut menekankan perlunya pengalaman bagi peserta didik dan guru pada
dunia kerja sesungguhnya. Jadi, kerjasama dan unit produksi yang dilakukan oleh kedua
sekolah merupakan good practice penyelenggaraan SMK bertaraf internasional.
3. Output
Output pendidikan dapat dilihat dari angka mengulang kelas, jumlah DO, nilai UN,
dan persentase lulusan. Di SMKN 5 Surabaya selama tiga tahun terakhir di program
keahlian otomotif terdapat seorang yang drop out (DO) yang terjadi pada tahun 2007.
Penyebabnya adalah faktor sikap (afektif) siswa yang tidak baik dan tidak terdapat angka
mengulang kelas. Nilai rerata UN untuk mata pelajaran Bahasa Inggris tiga tahun
terakhir (2004/2005, 2005/2006, 2006/2007) berturut-turut 7,03; 7,91; dan 8,88. Nilai
rerata UN untuk mata pelajaran Matematika tiga tahun terakhir (2004/2005, 2005/2006,
2006/2007) berturut-turut 8,26; 9,17; dan 8,56. Persentase lulusan tiga tahun terakhir
2004/2005, 2005/2006, dan 2006/2007 berturut-turut adalah 97,31%, 99,70%, dan
97,62%.
Di SMK Mikael Solo tingkat angka mengulang kelas sebesar 0,8% dan terjadi pada
tahun pelajaran 2005/2006, sedangkan pada tahun pelajaran 2004/2005 dan 2006/2007
angka mengulang kelas nol persen. Nilai rerata UN Bahasa Inggris tiga tahun terakhir
(2004/2005, 2005/2006, dan 2006/2007) berturut-turut 6,82; 8,04; dan 8,29. Nilai rerata
UN untuk mata pelajaran Matematika tiga tahun terakhir (2004/2005, 2005/2006, dan
2006/2007) berturut-turut 7,75; 7,68; dan 8,23. Persentase lulusan empat tahun terakhir
(2004, 2005, 2006, dan 2007) berturut-turut 95%; 97,5%; 100%; dan 100%. Dengan
demikian angka pengulang kelas, jumlah DO, nilai UN, dan jumlah lulusan yang
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
demikian di kedua sekolah tersebut menjadi salah satu good practice dan ciri
keberhasilan pengelolaan SMK bertaraf internasional.
Dari data tersebut kedua sekolah telah menghasilkan output yang sangat baik. Hal
ini merupakan salah satu ciri keberhasilan pengelolaan SMK bertaraf internasional.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari mutu input yang baik dengan rerata nilai UN cukup
tinggi di samping proses pembelajaran yang dilakukan. Meskipun demikian menurut
Sukamto (1988:54) keberhasilan lembaga pendidikan kejuruan berlainan dengan
pendidikan umum, kriteria untuk menentukan keberhasilan suatu lembaga pendidikan
kejuruan pada dasarnya menerapkan ukuran ganda, yaitu keberhasilan siswa di sekolah
(in-school success) dan keberhasilan di luar sekolah (out-of-school success). Kriteria
yang pertama meliputi aspek keberhasilan siswa dalam memenuhi persyaratan kurikuler
yang sudah diorientasikan ke persyaratan dunia kerja. Kriteria yang kedua diindikasikan
oleh keberhasilan atau penampilan lulusan setelah berada di dunia kerja yang
sebenarnya, seperti misalnya proporsi lulusan yang mendapat pekerjaan sesuai dengan
bidang studinya, jarak waktu antara kelulusan dan saat mendapatkan pekerjaan pertama,
dan keberhasilan lain dalam bentuk imbalan ekonomis, kriteria ini disebut juga outcome
pendidikan kejuruan.
4. Outcome
Salah satu indikator outcome adalah keterserapan lulusan di dunia kerja. Di SMKN
5 Surabaya menunjukkan bahwa selama empat tahun terakhir (2003/2004, 2004/2005,
2005/2006, dan 2006/2007) keterserapan lulusan ke dunia kerja berturut-turut sebesar
89,94%; 86,58%; 94,48%, dan 92,14%. Lulusan tersebut bekerja sesuai dengan program
keahliannya dan tingkat keterserapan lulusan oleh dunia kerja tersebut tergolong tinggi.
Di samping itu terdapat lulusan yang melanjutkan training ke luar negeri selama tiga
tahun terakhir (2004/2005, 2005/2006, dan 2006/2007) berturut-turut sebanyak 4 orang,
5 orang, dan 2 orang.
Di SMK Mikael Solo jumlah lulusan empat tahun terakhir (2004, 2005, 2006, dan
2007) yang mengisi kesempatan kerja sesuai dengan program studinya berturut-turut
sebanyak 43 orang, 57 orang, 59 orang, 60 orang. Sisanya lebih kurang 50% lulusan dari
tahun 2004, 2005, 2006, dan 2007 melanjutkan ke perguruan tinggi. Mayoritas ke
Akademik Teknik Mesin dan Industri (ATMI) Solo, Universitas Sanata Dharma,
Atmajaya Yogyakarta, dan sejumlah perguruan tinggi negeri. Masa tunggu untuk
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
mendapatkan pekerjaan pertama maksimal 1-3 bulan. Di samping itu permintaan tenaga
kerja oleh industri selama empat tahun terakhir (2004, 2005, 2006, dan 2007) berturut-
turut 42 orang, 50 orang, 43 orang, dan 50 orang. Dari permintaan tersebut hanya dapat
dipenuhi sebanyak 10 orang, 16 orang, 13 orang, dan 15 orang, sehingga terdapat
surplus permintaan sebesar 32 orang, 34 orang, 30 orang, dan 35 orang tenaga kerja.
Dengan demikian banyaknya lulusan yang terserap oleh dunia kerja, surplus permintaan
tenaga kerja, dan masa tunggu yang relatif pendek untuk mendapatkan pekerjaan
pertama merupakan good practice pengelolaan SMK bertaraf internasional.
Keterserapan lulusan SMKN 5 Surabaya di dunia kerja empat tahun terakhir rata-
rata 90,8% dan tingkat keterserapan ini tergolong tinggi. Di samping itu terdapat lulusan
yang melanjutkan training ke luar negeri. Jumlah ini memang masih sedikit, akan tetapi
lulusan yang sudah mempunyai pengalaman pelatihan di luar negeri merupakan aset
bagi sekolah. Pengertian aset bermakna: (1) memotivasi siswa yang lain, (2) sebagai
pembuka jalan bagi lulusan yang lain, dan (3) dapat dimanfaatkan sebagai instruktur
tamu. Demikian pula lulusan SMK Mikael Solo, kurang lebih 50% lulusannya terserap
di dunia kerja sesuai dengan program keahliannya dan sisanya melanjutkan ke perguruan
tinggi dan masa tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama maksimal 1-3 bulan. Di
samping itu permintaan tenaga kerja oleh industri belum dapat terpenuhi atau terdapat
surplus permintaan tenaga kerja. Artinya, outcome yang demikian di kedua sekolah
tersebut merupakan kriteria keberhasilan sekolah kejuruan (out-of-school success).
Dengan demikian banyaknya lulusan yang terserap oleh dunia kerja, surplus permintaan
tenaga kerja, dan masa tunggu yang relatif pendek untuk mendapatkan pekerjaan
pertama merupakan good practice SMK bertaraf internasional.
Keterserapan lulusan SMKN 5 Surabaya banyak dipengaruhi oleh masa studi dari
SMK tiga tahun menjadi SMK empat tahun. Di mana selama tiga tahun pertama peserta
didik belajar di sekolah dan tahun ke empat siswa melakukan praktik kerja di industri
selama satu tahun. Dengan pola ini siswa menghadapi pekerjaan secara langsung
sehingga tertanam pola pikir, pola kerja, nilai-nilai kerja, tanggungjawab, kerjasama
dalam tim, menghargai waktu, disiplin, kehati-hatian, dan sikap-sikap positif lainnya
yang tidak dapat diperoleh dalam situasi sekolah. Dengan situasi yang sama, di SMK
Mikael Solo, meskipun masa studi tiga tahun penanaman nilai-nilai kerja tersebut
dilakukan sejak kelas satu sasmpai kelas tiga melalui kegiatan praktik di unit produksi
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
yang dikelola seperti tempat kerja sesungguhnya. Sekolah dalam situasi apapun belum
mampu menanamkan nilai-nilai kerja yang diinginkan dunia kerja. Oleh karena itu hal
ini sejalan dengan teori Prosser & Allen yang telah dikemukakan terdahulu.
Di samping itu keterserapan lulusan SMKN 5 Surabaya empat tahun terakhir
menjadi fenomena menarik. Salah satunya hal ini disebabkan adanya bursa kerja sebagai
jembatan antara pencari kerja dan pemberi kerja. Bursa ini kerja ini tidak dapat berdiri
sendiri membantu menyalurkan lulusan, tetapi berkaitan dengan mutu lulusan. Pada
tahun 2006 SMK Negeri 5 Surabaya memperoleh sertifikat managemen mutu ISO 9001-
2000. Sertifikat tersebut bermakna ada komitmen meningkatkan mutu pengelolaan
pendidikan dari civitas akademika sekolah. Mulai dari kepala sekolah, guru, tenaga
kependidikan, pustakawan, laboran, tenaga kebersihan, keamanan, siswa, dan orangtua
siswa bersama-sama untuk mewujudkan terselenggaranya sekolah bermutu melalui
managemen pengelolaan yang terstandar. Pilihan ISO 9001-2001 adalah tepat karena hal
tersebut merupakan pengakuan internasional.
Wenrich & Wenrich (1974:63) berpendapat bahwa pendidikan kejuruan bertujuan
untuk: (1) menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan masyarakat, (2) meningkatkan
pilihan pekerjaan yang dapat diperoleh oleh setiap peserta didik, dan (3) memberikan
motivasi kerja kepada peserta didik untuk menerapkan berbagai pengetahuan yang
diperolehnya. Hal ini sejalan dengan kondisi lulusan di kedua sekolah yaitu ada yang
bekerja dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
D. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Berdasarkan analisis kualitatif dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan
bahwa praktik-praktik yang baik (good practices) yang dilakukan di kedua sekolah
adalah: (1) penerapan proses belajar dari tiga tahun menjadi empat tahun, tiga tahun
pertama di sekolah dan tahun keempat magang di industri telah mendekatkan
kompetensi lulusan ke dunia kerja secara fungsional, (2) penerapan proses belajar tiga
tahun dengan pembelajaran mata pelajaran produktif dilakukan terintegrasi dengan unit
produksi di sekolah dapat membentuk kompetensi siswa sesuai dengan kebutuhan dunia
kerja, (3) di kedua sekolah telah menerapkan manajemen mutu penyelenggaraan sekolah
berstandar internasional ISO 9001-2000, ini menunjukkan kesungguhan dari civitas
sekolah untuk menjadikan sekolah unggul, (4) kerja sama dengan dunia usaha dan
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
industri yang dilakukan oleh kedua sekolah telah meningkatkan mutu pembelajaran
praktik dan mendekatkan kebutuhan dunia industri akan tenaga kerja terdidik dan
terampil, dan (5) layanan terhadap siswa berupa bimbingan konseling, career path, dan
bursa kerja dapat meningkatkan keterserapan lulusan ke dunia kerja.
2. Saran
Berdasarkan simpulan di atas dikemukakan saran sebagai berikut (1) SMK lain
dapat mengadopsi atau mengadaptasi lama belajar dari tiga tahun menjadi empat tahun
dengan mempertimbangkan semua aspek secara komprehensif dengan melibatkan
komiter sekolah dan orangtua siswa. Perubahan lama belajar tersebut dilakukan untuk
mendekatkan lulusannya dengan dunia kerja baik regional, nasional, maupun
internasional, (2) lama belajar tiga tahun yang selama ini dilakukan oleh SMK lain harus
ditunjang oleh ketersediaan sarana memadai, terutama unit produksi yang dikelola
seperti keadaan dunia kerja sebenarnya, (3) pengelolaan SMK dengan manajemen
standar ISO 9001-2000 harus sudah dimulai, dengan standar tersebut pengelolaan
sekolah terstandar secara internasional, (4) kerjasama dengan dunia usaha dan industri
bagi SMK lain menjadi keharusan, kerja sama tersebut mengikat kedua belah pihak dan
saling menguntungkan, dan (5) SMK lain dapat memberikan layanan berupa bimbingan
konseling, career path, dan bursa kerja untuk meningkatkan keterserapan lulusan ke
dunia kerja.
Pustaka Pustaka Brotosiswoyo, Suprapto. (1991, Agustus). Pendidikan menengah. Makalah Pengantar
Diskusi Kelompok Rapat Kerja Nasional. Jakarta: Depdikbud. Camp, G. C. & Hillison, J. H. (1984). Prosser’s six-sixteen theorem: Time for
reconsideration. Journal of Vocational and Technical Education, 1, 13-21. Clinton, R. E. (1984). A rationale for collaboration: The view from industry.
Collaboration vocational education and the privat sector (pp.43-53). Arlington, VA: The American Vocational Association.
Depdiknas. (2005). Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
_____. (2006). Sistem Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Elliot, Janet. (1983). The organization of productive work in secondary technical and vocational education the united Kingdom. London: Unesco.
Evans, R. N. & Edwin, L. H. (1978). Foundation of vocational education. Columbus, OH: Charles E. Merril Publishing Company.
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008
Good Practices Penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional
Finch, Curtis R. & Crunkilton, John R. (1984). Curriculum Development in Vocational and Technical Education: Planning, Content, and Implementation. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Glover, R. W. (1984). Collaboration in apprentice program: Experience with in-school apprenticeship. Collaboration vocational education and the private sector (pp.141-149). Arlington, VA: The American Vocational Association.
IEES. (1986). Indonesia Education and Human Resources Sector Review. Chapter VII-Vocational/Technical Education. Jakarta: Depdikbud and USAID.
Karabel, R. L. & Hasley, R. A. (1977). Vocational Education Outcomes: Perspective for Evaluation. Columbus: NCRVE.
Malik, Oemar H. (1990). Pendidikan tenaga kerja nasional, kejuruan, kewiraswastaan, dan manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.
Miner, Jacob. (1974). Family Insvesment in Human Capital: Earning of Woman. Journal of Political Economy 82 (2). Pp.48-56.
National Council for Research into Vocational Education (NCRVE). (1981). Towards a theory of vocational educational. Columbus, Ohio: NCRVE Publication.
Nurhadi, Mulyani A. (1988). The effects of schooling factor on personal earning within the context of internal labor market in PT. Petrokimia Gresik (Persero) Indonesia. Yogyakarta: PPS IKIP Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Samani, Muchlas. (1992). Keefektifan program pendidikan STM: Studi penelitian pelacakan terhadap lulusan STM rumpun mesin tenaga dan teknologi pengerjaan logam di Kotamadya Surabaya tahun 1986 dan 1987. Disertasi doktor IKIP Jakarta, 1992.
Semiawan, Cony R. (1991, Januari). Pengembangan kirikulum untuk SMKTA menyongsong era tinggal landas. Makalah pada seminar pengembangan kurikulum PMK. Jakarta: Balitbang Dikbud.
Slamet. (1990). Pondasi pendidikan kejuruan. Lembaran perkuliahan. Yogyakarta: Pascasarjana IKIP Yogyakarta.
Sugiono. (2006). Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Tilaar, H.A.R. (1991, September). Sistem pendidikan yang modern bagi pembangunan masyarakat industri modern berdasarkan Pancasila. Makalah pada KIPNAS V, Jakarta.
Thorogood, Ray. (1982). Current themes in voational education and training policies, Part I. Industrian and Commercial Training 9, pp. 328-331.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Wenrich, Ralph C. & Wenrich, William J. (1974). Leadership in administration of vocational education. Columbus, Ohio: Charles E. Merril Publishing Co.
Zulbakir & Fazil. (1988, Juli). Program pendidikan menengah teknologi dan perkembangan IPTEK di Indonesia. Makalah disampaikan pada KOnvensi Nasional Pendidikan 1988, Bandung.
Simposium Puslitjaknov Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas 2008