best practices scbfwm 2014 regional lampung

109

Upload: mohd-yunus

Post on 16-Apr-2017

146 views

Category:

Environment


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: best practices scbfwm 2014 regional lampung
Page 2: best practices scbfwm 2014 regional lampung

Oleh: Dr. Ir. Zainal Abidin, M.E.S

. Editor:

Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc.

Diproduksi oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Way Seputih-Way Sekampung 2014

BEST PRACTICESPENGELOLAAN HUTAN DAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI BERBASIS MASYARAKAT

Page 3: best practices scbfwm 2014 regional lampung
Page 4: best practices scbfwm 2014 regional lampung

iii

KATA PENGANTAR

Penulisan buku Best Practices ini merupakan upaya untuk mendokumentasikan sebagian dari kegaitan Proyek Strengthening Community Based Forest and Watershed Management (SCBFWM) atau Penguatan Pengelolaan Hutan dan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat. Sebagaimana diketahui, proyek ini telah dilaksanakan sejak tahun 2010 dan akan berakhir pada tahun 2014 ini.

Secara umum, proyek SCBFWM untuk Regional Lampung telah menjalankan fungsinya dengan baik sesuai dengan tujuan dan goals proyek yang termaktub dalam dokumen proyek. Proyek ini berlokasi di Sub-DAS Way Besai, Kabupaten Lampung Barat.

Kerja-kerja dari proyek SCBFWM telah meninggalkan tapak yang sangat positif untuk proses pemulihan kawasan daerah aliran sungai. Sebelum proyek dimulai, daerah Way Besai telah mengalami periode yang sulit akibat dari perusakan hutan yang terjadi sejak tahun 70-80 an. Akibatnya, daerah ini menjadi daerah yang harus dipulihkan. Namun demikian, sejak tahun 2010, secara perlahan daerah ini telah berhasil mengalami pemulihan yang dicirikan dengan meningkatnya areal tutupan hutan dan berkurangnya lahan sangat kritis. Hal ini memberikan hal yang menjanjikan mengingat bahwa pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai selama ini sering mengalami kegagalan.

Namun demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa pemerintah dapat berpuas diri atas perubahan positif tersebut. Karena, perubahan positif tersebut masih sangat rentan untuk terganggu kembali bila upaya yang sistematis, terpadu, dan berkelanjutan tidak dilakukan dengan baik. Buku ini, mungkin hanyalah cerita kecil dari upaya-upaya tersebut.

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Way Sekampung mengucapkan terima kasih kepada kontributor penulisan buku ini, editor Prof. Muhajir Utomo, M.Sc., Ph.D., regional fasilitator dan fasilitator lapang, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Page 5: best practices scbfwm 2014 regional lampung

iv

Akhirnya, mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kita semua baik bagi praktisi, akadmisi, penggiat lingkungan dan kehutanan, serta masyarakat.

Kepala Balai Pengelolaan DAS Way Seputih Way Sekampung

Ir. Muswir Ayub

Page 6: best practices scbfwm 2014 regional lampung

v

Akhirnya, mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kita semua baik bagi praktisi, akadmisi, penggiat lingkungan dan kehutanan, serta masyarakat.

Kepala Balai Pengelolaan DAS Way Seputih Way Sekampung

Ir. Muswir Ayub

SEKAPUR SIRIH

Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam keberlanjutan ekosistem saat ini sedang mengalami kemunduran, terutama akibat dari tekanan penduduk dan pengelolaan yang tidak berkelanjutan. Upaya pemerintah, Lembaga Masyarakat dan Organisasi Pencinta Lingkungan pun sudah dilakukan untuk mencegah dan mengurangi degradasi lahan dan DAS tersebut. Namun kondisi DAS saat ini bahkan semakin mengkhawatirkan. Pada musim hujan, banjir, longsor dan erosi sudah terjadi dimana-mana, sebaliknya pada musim kemarau, kekekeringan pun melanda Indonesia. Kejadian kontras tersebut seolah- olah sudah menjadi kejadian biasa yang harus kita maklumi saja.

Kedepan, fungsi lahan dan DAS akan semakin besar dan berat dengan meningkatnya kebutuhan pangan dan energi Indonesia akibat dari meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya pembangunan. Daerah Aliran Sungai kedepan bukan hanya berperan dalam memasok kebutuhan air untuk meningkatkan produktivitas lahan dan kebutuhan pembangunan lainnya, tetapi juga berperan dalam penyerapan karbon dalam rangka mitigasi perubahan iklim.

Oleh karena itu, degradasi lahan dan DAS harus segera dikurangi dan kalau bisa dihentikan. Namun upaya untuk mengurangi degradasi DAS tidak bisa dilakukan dengan cara business as usual, tetapi diperlukan terobosan atau pendekatan yang berbeda dari sebelumnya seperti program SCBFWM (Strengthening Community Based Forest Management). Tujuan program ini bukan hanya menyangkut aspek lingkungan saja, tetapi juga aspek sosial ekonomi suatu DAS. Pada tataran implementasinya pun sudah melibatkan kekuatan sumberdaya lokal seperti komunitas, kelembagaan dan sumberdaya alam. Program Strengthening Community Based Forest and Watershed Management (SCBFWM) ini dilakukan di sub DAS hulu Way Besay, Lampung Barat dari tahun 2010 sampai 2014. Hasil kerja selama empat tahun yang ditunjukkan dalam buku ini merupakan bukti keberhasilan program pengelolaan DAS berbasis masyarakat. Namun program ini tidak berdampak luas jika tidak ada keberlanjutannya. Oleh karena itu, program ini perlu ditindaklanjuti dan diteruskan bahkan kalau bisa menjadi model pengelolaan DAS lainnya. Tentu dengan dievaluasi lebih dahulu dan dikembangkan lagi .

Selamat!

Muhajir Utomo

Page 7: best practices scbfwm 2014 regional lampung

vi

Page 8: best practices scbfwm 2014 regional lampung

vii

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR .................................................................................................... iii

SEKAPUR SIRIH ............................................................................................................ v

DAFTAR ISI .................................................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ............................................................................................................ ix

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... x

I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Proyek ....................................................................................... 1

1.2. Implementasi Proyek SCBFWM di Lampung ................................................ 3

1.3. Tujuan dan Keluaran Proyek SCBFWM ......................................................... 5

1.4. Manfaat dan Susunan Buku .............................................................................. 6

II. KONDISI SUB DAS WAY BESAI....................................................................... 8

2.1. Lokasi ................................................................................................................... 8

2.2. Demografi ........................................................................................................... 8

2.3. Perubahan Penutupan Lahan ............................................................................ 9

III. BEBERAPA MODEL PENGELOLAAN HUTAN DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BERBASIS MASYARAKAT .............................................. 21

Model 1. Pengelolaan Mikrohidro Berbasis Masyarakat Sebagai Bentuk Model Energi Terbarukan di SUB DAS Way Besai (oleh Gandi, Fasilitator Lokal SCBFWM Regional Lampung)........................................................................ 23

Model 2. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Pembelajaran dari HKm BinaWana dalam Melestarikan Hutan dan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat (oleh Gilang Priyatno, S.Pd., Fasilitator Lokal SCBFWM Regional Lampung)...................................................................................................................... 34

Model 3. Melalui Semangat Kewirausahaan Hutan Kelompok Wanita Tani Melati “ Menjaring Manusia Setengah Dewa” dalam Melestarikan SUB

Page 9: best practices scbfwm 2014 regional lampung

viii

DAS Way Besai (Oleh Idi Bantara S,Hut., M.Sc., Kasie Kelembagaan BP DAS Way Seputih-Sekampung ............................................................................................... 53

Model 4. Aksi Nyata Banjar Negara Sebagai Kabupaten Konservasi (oleh Nurul Ardiana, Pengendali Ekosistem Hutan BPDAS Serayu Opak Progo/Counterpart SCBFWM Regional Yogyakarta) ................................................... 64

IV. EXIT STRATEGI PROYEK SCBFWM REGIONAL LAMPUNG ............. 73

4.1. Pendahuluan ........................................................................................................ 73

4.2. Cakupan Diskusi ................................................................................................. 75

4.3. Kesimpulan ......................................................................................................... 85

V. PEMBELAJARAN ................................................................................................... 87

Page 10: best practices scbfwm 2014 regional lampung

ix

DAS Way Besai (Oleh Idi Bantara S,Hut., M.Sc., Kasie Kelembagaan BP DAS Way Seputih-Sekampung ............................................................................................... 53

Model 4. Aksi Nyata Banjar Negara Sebagai Kabupaten Konservasi (oleh Nurul Ardiana, Pengendali Ekosistem Hutan BPDAS Serayu Opak Progo/Counterpart SCBFWM Regional Yogyakarta) ................................................... 64

IV. EXIT STRATEGI PROYEK SCBFWM REGIONAL LAMPUNG ............. 73

4.1. Pendahuluan ........................................................................................................ 73

4.2. Cakupan Diskusi ................................................................................................. 75

4.3. Kesimpulan ......................................................................................................... 85

V. PEMBELAJARAN ................................................................................................... 87

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 2.1. Distribusi penduduk, sumber pendapatan, dan rumah tangga miskin Berdasarkan Kecamatan di Way Besai ................................................... 8

Tabel 2.2. Data Tutupan lahan terkini di Way Besai .............................................. 9

Tabel 2.3. Laju Erosi di areal study .......................................................................... 11

Tabel 2.4. Luas lahan kritis di catchment Sub DAS Way Besai ............................ 12

Tabel 2.5. Hasil Pengukuran Sedimen di lima lokasi yang berbeda...................... 14

Tabel 2.6. Titik-titik mata air dan potensi mikrohidro di areal study ................... 15

Tabel 3.1. Data Pohon Tenam yang telah teriventarisir ........................................ 47

Tabel 4.1. Klaster kegiatan CBO mitra SCBFWM ................................................. 79

Tabel 4.2. Bujet pemerintah daerah yang dialokasikan untuk Way Besai Tahun 2014 ................................................................................................ 82

Page 11: best practices scbfwm 2014 regional lampung

x

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1.1. Visualisasi Daerah Aliran Sungai .......................................................... 2

Gambar 2.1. Perubahan kondisi lahan di Way Besai ................................................ 21

Gambar 2.2. Peta areal lahan kritis di catchment area Sub Das Way Besai .......... 13

Gambar 2.3. Keberadaan sumber mata air di catchment area Sub Das Way Besai ......................................................................................................... 16

Gambar 2.4. Contoh vegetasi semak .......................................................................... 18

Gambar 2.5. Vegetasi agroforest berbasis kopi ......................................................... 19

Gambar 3.1. Pembangunan mikrohidro tidak terlepas dari peran serta Bapak- Bapak anggota kelompok HKm Rigis Jaya ......................................... 27

Gambar 3.2. Pembibitan Secara Swadaya oleh anggota KWT Rimba sejati.......... 28

Gambar 3.3. Gotong royong warga dalam pembangunan mikrohidro .................. 29

Gambar 3.4. Anggota keluarga penerima manfaat mikrohidro ............................... 30

Gambar 3.5. Penanaman bibit secara swadaya oleh HKm Mardi Rukun dalam Menjaga dan melindungi sumber mata air ........................................... 30

Gambar 3.6. Kelompok Jaya Tani melakukan pemasangan mikro hidro .............. 31

Gambar 3.7. Keluarga penerima manfaat penerangan mikro hidro saat Menonton televisi ................................................................................... 32

Gambar 3.8. Tata perijinan Hutan Kemasyarakatan ................................................. 37

Gambar 3.9. Kondisi Hutan Bukit Rigis di wilayah Tribudisyukur sebelum ada Program HKm ........................................................................................ 40

Gambar 3.10. Kondisi Lahan di pekon Tribudisyukur setelah adanya HKm ........ 41

Gambar 3.11. Diresmikannya HKm Center oleh Menteri Kehutanan ................... 44

Gambar 3.12. Kegiatan Diskusi Binawana ................................................................... 45

Gambar 3.13. Suasana belajar anak-anak HPPH-L di HKm Center ........................ 46

Gambar 3.14. Kegiatan HPPH-L dalam menginventarisasi pohon tenam .............. 49

Gambar 3.15. Penangkaran Anggrek ............................................................................ 50

Page 12: best practices scbfwm 2014 regional lampung

xi

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1.1. Visualisasi Daerah Aliran Sungai .......................................................... 2

Gambar 2.1. Perubahan kondisi lahan di Way Besai ................................................ 21

Gambar 2.2. Peta areal lahan kritis di catchment area Sub Das Way Besai .......... 13

Gambar 2.3. Keberadaan sumber mata air di catchment area Sub Das Way Besai ......................................................................................................... 16

Gambar 2.4. Contoh vegetasi semak .......................................................................... 18

Gambar 2.5. Vegetasi agroforest berbasis kopi ......................................................... 19

Gambar 3.1. Pembangunan mikrohidro tidak terlepas dari peran serta Bapak- Bapak anggota kelompok HKm Rigis Jaya ......................................... 27

Gambar 3.2. Pembibitan Secara Swadaya oleh anggota KWT Rimba sejati.......... 28

Gambar 3.3. Gotong royong warga dalam pembangunan mikrohidro .................. 29

Gambar 3.4. Anggota keluarga penerima manfaat mikrohidro ............................... 30

Gambar 3.5. Penanaman bibit secara swadaya oleh HKm Mardi Rukun dalam Menjaga dan melindungi sumber mata air ........................................... 30

Gambar 3.6. Kelompok Jaya Tani melakukan pemasangan mikro hidro .............. 31

Gambar 3.7. Keluarga penerima manfaat penerangan mikro hidro saat Menonton televisi ................................................................................... 32

Gambar 3.8. Tata perijinan Hutan Kemasyarakatan ................................................. 37

Gambar 3.9. Kondisi Hutan Bukit Rigis di wilayah Tribudisyukur sebelum ada Program HKm ........................................................................................ 40

Gambar 3.10. Kondisi Lahan di pekon Tribudisyukur setelah adanya HKm ........ 41

Gambar 3.11. Diresmikannya HKm Center oleh Menteri Kehutanan ................... 44

Gambar 3.12. Kegiatan Diskusi Binawana ................................................................... 45

Gambar 3.13. Suasana belajar anak-anak HPPH-L di HKm Center ........................ 46

Gambar 3.14. Kegiatan HPPH-L dalam menginventarisasi pohon tenam .............. 49

Gambar 3.15. Penangkaran Anggrek ............................................................................ 50

Gambar 3.16. Research/Penelitian oleh mahasiswa dan dosen dari Jepang............ 51

Gambar 3.17. Keuntungan usaha selama empat tahun terakhir (2010-2013).......... 57

Gambar 3.18. Beberapa produk usaha HHBK KWT Melati yang telah laku Dipasaran ................................................................................................. 62

Gambar 3.19. Semarak kelompok bersama Menteri Kehutanan .............................. 62

Gambar 3.20. Hutan Lindung Desa tempat berlindung satwa .................................. 62

Gambar 3.21. Pohon pelindung kopi yang mulai rimbun menjaga bumi ................ 62

Gambar 3.22. Pembinaan pengurus kelompok oleh Forum HKm Provinsi ........... 62

Gambar 3.23. FGD bersama tim Pemerhati di Pondok HKm Center .................... 62

Gambar 3.24. Mikro hidro wujud jasa lingkungan hutan lestari .............................. 62

Gambar 3.25. Buah kopi robusta andalan hasil HKm ................................................ 63

Gambar 3.26. Penghargaan KWT Melati dari Gubernur ........................................... 63

Gambar 4.1. Struktur organisasi SCBFWM ............................................................... 76

Page 13: best practices scbfwm 2014 regional lampung

xii

Page 14: best practices scbfwm 2014 regional lampung

1

BAB I PENDAHULUAN

Oleh: Zainal Abidin

1.1. LATAR BELAKANG PROYEK

ndang Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang

berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Sementara pada Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, secara jelas menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional.

Daerah Aliran Sungai (DAS) berperan vital dalam berkembangnya kebudayaan, sehingga DAS selalu menjadi pusat dari tumbuhnya peradaban, termasuk tentunya perkembangan penduduk. Perkembangan penduduk yang terus meningkat, lama kelamaan merubah keseimbangan harmonis antar manusia dengan sungai dan hutan yang ada di sekitarnya. Semakin bertambah jumlah penduduk, semakin berat pula tekanan yang dihadapi oleh DAS. Dalam jangka panjang, kualitas DAS dalam memberikan pelayanan terhadap manusia maupun lingkungannya juga mengalami kemunduran. Persoalan yang terakhir ini terjadi hampir di seluruh DAS di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra yang memiliki jumlah serta petumbuhan penduduk yang relatif tinggi.

U

Page 15: best practices scbfwm 2014 regional lampung

2

Gambar 1.1. Visualisasi Daerah Aliran Sungai (Brown, Peterson, Kline-Robach, Smith, dan Wolfson, 2000)

Sub DAS Way Besai dengan luas 97.671,92 ha merupakan bagian dari DAS Tulang Bawang yang memiliki luas 982.282,25 ha. Dari keseluruhan luas DAS Tulang Bawang, terdapat 22.454,45 ha areal yang tergolong sangat kritis, 93.557,05 ha kritis, 457.783,81 ha agak kritis, 242.250,52 ha potensial kritis dan hanya 122.783,62 ha yang tidak kritis. Indikator kerusakan DAS tersebut ditunjukkan dengan nilai Q (rasio nilai debit maksimum dan debit minimum) yang besar 62,42 (BP DAS WSS, 2011). Untuk tahun 2013, areal kritis, khususnya di Sub-DAS Wah Besai sudah tidak ada lagi seperti dilaporkan oleh tim Evaluasi DAS BPDAS WSS (Agustus 2014).

Kegiatan Strengthening Community Based Forest and Watershed Management (SCBFWM) adalah pada bagian hulu Sub DAS Way Besai dengan luas area tangkapan air (catchment area) 44.720 ha. Daerah hulu ini mecakup wilayah Kecamatan Way Tenong, Kecamatan Air Hitam, Kecamatan Sumberjaya, Kecamatan Kebun Tebu, dan Kecamatan Gedung Surian berpenduduk 77.877 jiwa yang sekitar 86% di antaranya bekerja pada sektor pertanian. Apabila areal non kawasan hutan (APL) seluas 25.743 (33%) dianggap sebagai lahan pertanian, maka kepadatan agraris Sub DAS Way Besai adalah 3 orang per ha, atau dengan kata lain rata-rata kepemilikan lahan pertanian di wilayah tersebut < 0,3 ha per orang. Sempitnya pemilikan lahan menyebabkan tekanan terhadap lahan, baik pertanian maupun non pertanian (hutan lindung dan taman nasional) sangat tinggi. Tekanan terhadap lahan tersebut

Batas DAS

Aliran Permukaan

Sungai

Page 16: best practices scbfwm 2014 regional lampung

3

Gambar 1.1. Visualisasi Daerah Aliran Sungai (Brown, Peterson, Kline-Robach, Smith, dan Wolfson, 2000)

Sub DAS Way Besai dengan luas 97.671,92 ha merupakan bagian dari DAS Tulang Bawang yang memiliki luas 982.282,25 ha. Dari keseluruhan luas DAS Tulang Bawang, terdapat 22.454,45 ha areal yang tergolong sangat kritis, 93.557,05 ha kritis, 457.783,81 ha agak kritis, 242.250,52 ha potensial kritis dan hanya 122.783,62 ha yang tidak kritis. Indikator kerusakan DAS tersebut ditunjukkan dengan nilai Q (rasio nilai debit maksimum dan debit minimum) yang besar 62,42 (BP DAS WSS, 2011). Untuk tahun 2013, areal kritis, khususnya di Sub-DAS Wah Besai sudah tidak ada lagi seperti dilaporkan oleh tim Evaluasi DAS BPDAS WSS (Agustus 2014).

Kegiatan Strengthening Community Based Forest and Watershed Management (SCBFWM) adalah pada bagian hulu Sub DAS Way Besai dengan luas area tangkapan air (catchment area) 44.720 ha. Daerah hulu ini mecakup wilayah Kecamatan Way Tenong, Kecamatan Air Hitam, Kecamatan Sumberjaya, Kecamatan Kebun Tebu, dan Kecamatan Gedung Surian berpenduduk 77.877 jiwa yang sekitar 86% di antaranya bekerja pada sektor pertanian. Apabila areal non kawasan hutan (APL) seluas 25.743 (33%) dianggap sebagai lahan pertanian, maka kepadatan agraris Sub DAS Way Besai adalah 3 orang per ha, atau dengan kata lain rata-rata kepemilikan lahan pertanian di wilayah tersebut < 0,3 ha per orang. Sempitnya pemilikan lahan menyebabkan tekanan terhadap lahan, baik pertanian maupun non pertanian (hutan lindung dan taman nasional) sangat tinggi. Tekanan terhadap lahan tersebut

Batas DAS

Aliran Permukaan

Sungai

menyebabkan penduduk mengopkupasi lahan untuk pertanian termasuk lahan di areal hutan lindung. Akibatnya, erosi dan sedimentasi menjadi tinggi sehingga fluktuasi debit Sub DAS Way Besai yang jauh diatas normal. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengembangkan Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak awal tahun 2000. Saat ini terdapat 21 kelompok HKm di Lampung Barat dengan izin usaha pengelolaan hutan kemasyarakat selama 35 tahun.

Dalam rangka memperbaiki kondisi DAS di Indonesia, Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dengan dukungan United Nations Development Programme (UNDP) dan Global Environmental Facilities (GED) melaksanakan berbagai kegiatan dalam skema proyek Penguatan Pengelolaan Hutan dan DAS Berbasis Masyarakat (Strengthening Community Based Forest and Watershed Management). Proyek ini dilaksanakan pada 6 daerah pilot proyek, yaitu: (1) DAS Gopgopan, Sumatra Utara, (2) Sub-DAS Way Besai, Provinsi Lampung, (3) Sub-DAS Tulis, Yogyakarta-Jawa Tengah, (4) DAS Jangkok, Nusa Tenggara Barat, (5) DAS Besiam-Noelmina, Nusa Tenggara Timur, dan (6) DAS Miu, Palu, Sulawesi Tengah.

Program ini dilaksanakan sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Namun demikian, beberapa persiapan telah dilaksanakan sebelumnya yaitu persiapan calon lokasi, penilaian, dan keputusan. Proyek ini didanai oleh Global Environmental Facilities (GEF) dan UNDP, dengan pelaksana dan pemilik proyek adalah Direktorat Pengelolaan dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (DIRPEP DAS dan PS) Kementerian Kehutanan. Menurut Dokumen Proyek, komitmen anggaran yang disediakan untuk 5 tahun adalah US $ 7 juta.

1.2. IMPLEMENTASI PROYEK SCBFWM DI LAMPUNG

Kerja-kerja proyek SCBFWM selama ini dilaksanakan dalam rangka mencapai sasaran proyek, yang meliputi:

A. Output 1. Meningkatnya kemampuan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasis masyarakat, dengan aktivitas sebagai berikut

1. Penyusunan database kondisi Sub-DAS Besai yang berisi informasi terkini kondisi Sub-DAS Besai termasuk kondisi biofisik, sosial-ekonomi, kelembagaan, kebudayaan, serta peran parapihak.

2. Kegiatan pelatihan-pelatihan kepada kelompok-kelompok masyarakat. Jenis-jenis pelatihan yang pernah dilaksanakan adalah: (a) participatory water monitoring/PWM, (b) participatory landscape appraisal (PALA), (c) penyusunan manajemen plan, (d) pelatihan pengolahan produk-produk kopi, (e) pengenalan perkebunan multistrata,

Page 17: best practices scbfwm 2014 regional lampung

4

(f) pelatihan pemintalan sutera alam, (g) recovering tanaman langka, (h) pelatihan pengemasan produk-produk hasil hutan bukan kayu, dan (i) pelatihan pengembangan keuangan mikro.

3. Pemberian hibah kecil kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam rangka mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan hutan dan DAS. Paket-paket hibah kecil yang telah diberikan berupa: (1) fasilitasi pemberian 3 unit microhydro, (2) fasilitasi konservasi hutan dengan silvopastur ternak kambing, (3) fasilitasi peningkatan pelayanan air bersih berbasis masyarakat, (4) fasilitasi pembuatan embung/cek dam untuk konservasi tanah dan air, (5) fasilitasi pembibitan tanaman buah pala dan manggis, (6) fasilitasi pembuatan sipil teknis konservasi tanah seperti pembuatan rorak, pembuatan teras, (7) fasilitasi penyusunan rencana umum dan rencana operasional HKm serta pengembangan HKm Center, (8) fasilitasi perahu karet untuk arung jeram dalam rangka meningkatkan ekoturisme, dan (9) fasilitasi optimalasasi kelebihan air bersih dengan pembuatan kolam di pekarangan. Dalam setiap paket hibah kecil, setiap kelompok masyarakat (Community Based Organization) secara swadaya menyediakan, menanam, serta memelihara bibit tanaman sebanyak 5000 pohon dengan jenis tanaman yang dipilih oleh kelompok secara partisipatif. Sampai dengan tahun 2014, telah ditanam sebanyak lebih dari 300000 bibit dengan sukses tumbuh sebanyak 74%. Sementara untuk hibah kambing, hibah kecil telah memberikan 237 ekor indukan dan 111 ekor anakan, sehingga total kambing yang terfasilitasi adalah 348 ekor.

4. Penyusunan Model DAS Mikro yang berlokasi di Pekon Sindang Pagar, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat yang dilanjutkan dengan program implementasi oleh Dinas Kehutanan, Bappeda dalam rangka mendukung konservasi dan penyelamatan hutan desa di Pekon Sindang Pagar.

5. Fasilitasi kerjasama antara Pengelola Air Bersih dengan HKm dan pemong desa dalam bentuk mekanisma manfaat pengelolaan hutan dan jasa air bersih di Pekon Gunung Terang dan Rigis Jaya dengan HKm Hijau Kembali dan HKm Bukit Rigis.

6. Fasilitasi penguatan dan pembentukan forum seperti: (1) reorganisasi Forum HKm Lampung, (2)pembentukan Forum DAS Way Besai Hulu, dan (3) Reorganisasi Forum DAS Way Besai Hulu menjadi Forum DAS Lampung Barat

7. Publikasi hasil-hasil serta best practices proyek SCBFWM baik dalam bentuk buku, bulletin, berita koran, televisi, serta booklet.

Page 18: best practices scbfwm 2014 regional lampung

5

(f) pelatihan pemintalan sutera alam, (g) recovering tanaman langka, (h) pelatihan pengemasan produk-produk hasil hutan bukan kayu, dan (i) pelatihan pengembangan keuangan mikro.

3. Pemberian hibah kecil kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam rangka mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan hutan dan DAS. Paket-paket hibah kecil yang telah diberikan berupa: (1) fasilitasi pemberian 3 unit microhydro, (2) fasilitasi konservasi hutan dengan silvopastur ternak kambing, (3) fasilitasi peningkatan pelayanan air bersih berbasis masyarakat, (4) fasilitasi pembuatan embung/cek dam untuk konservasi tanah dan air, (5) fasilitasi pembibitan tanaman buah pala dan manggis, (6) fasilitasi pembuatan sipil teknis konservasi tanah seperti pembuatan rorak, pembuatan teras, (7) fasilitasi penyusunan rencana umum dan rencana operasional HKm serta pengembangan HKm Center, (8) fasilitasi perahu karet untuk arung jeram dalam rangka meningkatkan ekoturisme, dan (9) fasilitasi optimalasasi kelebihan air bersih dengan pembuatan kolam di pekarangan. Dalam setiap paket hibah kecil, setiap kelompok masyarakat (Community Based Organization) secara swadaya menyediakan, menanam, serta memelihara bibit tanaman sebanyak 5000 pohon dengan jenis tanaman yang dipilih oleh kelompok secara partisipatif. Sampai dengan tahun 2014, telah ditanam sebanyak lebih dari 300000 bibit dengan sukses tumbuh sebanyak 74%. Sementara untuk hibah kambing, hibah kecil telah memberikan 237 ekor indukan dan 111 ekor anakan, sehingga total kambing yang terfasilitasi adalah 348 ekor.

4. Penyusunan Model DAS Mikro yang berlokasi di Pekon Sindang Pagar, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat yang dilanjutkan dengan program implementasi oleh Dinas Kehutanan, Bappeda dalam rangka mendukung konservasi dan penyelamatan hutan desa di Pekon Sindang Pagar.

5. Fasilitasi kerjasama antara Pengelola Air Bersih dengan HKm dan pemong desa dalam bentuk mekanisma manfaat pengelolaan hutan dan jasa air bersih di Pekon Gunung Terang dan Rigis Jaya dengan HKm Hijau Kembali dan HKm Bukit Rigis.

6. Fasilitasi penguatan dan pembentukan forum seperti: (1) reorganisasi Forum HKm Lampung, (2)pembentukan Forum DAS Way Besai Hulu, dan (3) Reorganisasi Forum DAS Way Besai Hulu menjadi Forum DAS Lampung Barat

7. Publikasi hasil-hasil serta best practices proyek SCBFWM baik dalam bentuk buku, bulletin, berita koran, televisi, serta booklet.

B. Output 2 berupa dukungan pemerintah yang terukur, dengan aktivitas sebagai berikut:

1. Pelatihan untuk pegawai negeri sipil dengan topik PWM dan PALA serta metode menghitung kondisi air secara cepat. Pelatihan ini telah melibatkan 67 pegawai negeri sipil di tingkat kabupaten dan kecamatan

2. Dukungan pendanaan untuk kegiatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai serta lingkungan hidup

C. Output 3 koordinasi yang baik pada berbagai tingkat pemerintahan berupa kegiatan

1. Rapat-rapat koordinasi para pihak baik pada tingkat kecamatan, kabupaten, maupun provinsi. Workshop dan rapat juga memfasilitasi peran forum seperti Forum Hutan Kemasyarakatan (HKm), Forum DAS Way Besai Hulu menjadi Forum DAS Lampung Barat, dan Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI). Dari hasil rapat, beberapa aktivitas lanjutan dalam rangka menyelesaikan persoalan tapal batas HKm telah berhasil dilaksanakan, reorganisasi Forum HKm Provinsi terbentuk pada tahun 2012 dan Forum DAS Lampung Barat tahun 2011 dan tahun 2014

2. Memfasilitasi beberapa peraturan daerah berupa draft (1) Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, (2) draft peraturan bupati tentang Jasa Lingkungan, (2) draft peraturan pekon/desa tentang pengelolaan sumberday air, (3) penyusunan RPDAS Terpadu DAS Tulang Bawang yang akhirnya terbit Peraturan Daerah No 22 tahun 2014 Provinsi Lampung Tentang Pengelolaan DAS Terpadu Provinsi Lampung, fasilitasi penyusunan dan diskusi monitoring dan evaluas Hutan Kemasyarakatan.

1.3. TUJUAN DAN KELUARAN PROYEK SCBFWM

Tujuan Proyek SCBFWM yaitu :

1. Membantu pemerintah Indonesia mengurangi degradasi hutan dan lahan pada wilayah Daerah Aliran Sungai

2. Memperkuat kelembagaan masyarakat dalam rangka mendorong inisiatif dan partisipasi masyarakat

3. Memperkuat peran serta masyarakat dalam inisiatif pengelolaan hutan dan DAS secara berkelanjutan

Page 19: best practices scbfwm 2014 regional lampung

6

Keluaran Proyek SCBFWM meliputi 4 sasaran, yaitu:

1. Penguatan pengelolaan hutan dan DAS Berbasis Masyarakat dimana masyarakat yang miskin, tidak memiliki lahan, dan kaum perempuan ikut aktif di dalamanya

2. Meningkatnya dukungan pemerintah yang terukur pada pengelolaan hutan dan DAS berbasis masyarakat

3. Meningkatnya koordinasi parapihak dalam pengelolaan hutan dan DAS Berbasis Masyarakat pada berbagai tingkatan.

4. Meningkatnya kemampuan manajemen proyek dalam pengelolaan kegiatan

1.4. MANFAAT DAN SUSUNAN BUKU

Buku ini bermanfaat sebagai pembelajaran atas pengalaman sejati dari kegiatan yang sebenarnya cukup kompleks karena kegiatan proyek ini melintasi berbagai tingkatan dari kelompok masyarakat, pemerintah kecamatan, kabupaten, dan provinsi, kelompok-kelompok swadaya masyarakat, entitas swasta, dsb. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) memang sangat penting saat ini dengan seiring dengan semakin menurunnya kemampuan DAS dalam menopang kehidupan. Berbagai kejadian bencana alam yang terjadi belakangan ini ditengarai merupakan dampak langsung dari kegagalan parapihak dalam mengelola Daerah Aliran Sungai.

Untuk peneliti, buku ini memberi manfaat tentang isu-isu yang muncul dalam pengelolaan hutan dan DAS serta membantu menguraikan permasalahan penelitan (problem statement). Dengan demikian, hal ini dapat memberikan inspirasi ide-ide penelitian yang dapat dikembangkan pada saat ini maupun pada masa yang akan datang.

Untuk pemerintah, buku ini memberi informasi tentang sebuah pendekatan yang mungkin saja untu dijadikan model pengelolaan hutan dan DAS di wilayah lain. Replikasi model dipercaya akan mempercepat proses pemulihan DAS dan Hutan di Indonesia.

Buku ini akan mendiskusikan beberapa informasi praktik terbaik yang telah dilaksanakan oleh proyek SCBFWM, khususnya di sisi kelompok-kelompok masyarakat mitra SCBFWM. Buku ini disusun dengan pokok bahasan sebagai berikut

Page 20: best practices scbfwm 2014 regional lampung

7

Keluaran Proyek SCBFWM meliputi 4 sasaran, yaitu:

1. Penguatan pengelolaan hutan dan DAS Berbasis Masyarakat dimana masyarakat yang miskin, tidak memiliki lahan, dan kaum perempuan ikut aktif di dalamanya

2. Meningkatnya dukungan pemerintah yang terukur pada pengelolaan hutan dan DAS berbasis masyarakat

3. Meningkatnya koordinasi parapihak dalam pengelolaan hutan dan DAS Berbasis Masyarakat pada berbagai tingkatan.

4. Meningkatnya kemampuan manajemen proyek dalam pengelolaan kegiatan

1.4. MANFAAT DAN SUSUNAN BUKU

Buku ini bermanfaat sebagai pembelajaran atas pengalaman sejati dari kegiatan yang sebenarnya cukup kompleks karena kegiatan proyek ini melintasi berbagai tingkatan dari kelompok masyarakat, pemerintah kecamatan, kabupaten, dan provinsi, kelompok-kelompok swadaya masyarakat, entitas swasta, dsb. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) memang sangat penting saat ini dengan seiring dengan semakin menurunnya kemampuan DAS dalam menopang kehidupan. Berbagai kejadian bencana alam yang terjadi belakangan ini ditengarai merupakan dampak langsung dari kegagalan parapihak dalam mengelola Daerah Aliran Sungai.

Untuk peneliti, buku ini memberi manfaat tentang isu-isu yang muncul dalam pengelolaan hutan dan DAS serta membantu menguraikan permasalahan penelitan (problem statement). Dengan demikian, hal ini dapat memberikan inspirasi ide-ide penelitian yang dapat dikembangkan pada saat ini maupun pada masa yang akan datang.

Untuk pemerintah, buku ini memberi informasi tentang sebuah pendekatan yang mungkin saja untu dijadikan model pengelolaan hutan dan DAS di wilayah lain. Replikasi model dipercaya akan mempercepat proses pemulihan DAS dan Hutan di Indonesia.

Buku ini akan mendiskusikan beberapa informasi praktik terbaik yang telah dilaksanakan oleh proyek SCBFWM, khususnya di sisi kelompok-kelompok masyarakat mitra SCBFWM. Buku ini disusun dengan pokok bahasan sebagai berikut

1. Bab 1 Pendahuluan yang menguraikan latarbelakang proyek SCBFWM serta intervensi dari proyek

2. Bab 2 Kondisi Way Besai menguraikan beberapa perubahan penting saat proyek dimulai dan kondisi sekarang.

3. Bab 3 tentang best practices yang telah dilaksanakan oleh Kelompok-Kelompok Masyarakat mitra SCBFWM dan Pengalaman dari Jawa Tengah

4. Bab 4 tentang Eksit Strategi Proyek SCBFWM, dan

5. Bab 5 Pembelajaran

Page 21: best practices scbfwm 2014 regional lampung

8

BAB II KONDISI SUB-DAS WAY BESAI

Oleh Ashadi Maryanto, Apriadi, dan Zainal Abidin

2.1. LOKASI

okasi Sub-DAS Way Besai berada sekitar 180 km dari Bandar Lampung dan sekitar 60 km dari kota Liwa, Ibu kota Kabupaten Lampung Barat. Dibutuhkan sekitar 4-5 jam perjalanan darat dari Bandar Lampung menuju

Way Besai dan sekitar 2 jam dari Liwa ke Way Besai. Lokasi proyek ini umumnya berbukit dengan ketinggian di atas 700 mdpl, yang menyebabkan daerah ini relatif sejuk.

2.2. DEMOGRAFI

Penduduk di Sub-DAS Way Besai tersebar di lima kecamatan yaitu Kecamatan Sumber Jaya, Air Hitam, Way Tenong, Kebun Tebu, dan Gedung Surian. Pada tahun 2011, jumlah keseluruhan penduduk di Way Besai ADALAH 92 ribu jiwa dimana populasi tertinggi berada di Kecamatan Way Tenong dan populasi terendah berada di Kecamatan Gedung Surian.

Tabel 2.1. Distribusi penduduk, sumber pendapatan, dan rumah tangga miskin berdasarkan kecamatan di Way Besai

No Kecamatan Jumlah Sumber Pendapatan Jumlah keluarga miskin Usahatani

(Rp) Non-usahatani

(Rp)

1 Kebun Tebu 17.615 531.670 895.817 971

2 Way Tenong 29.408 2.364.590 322.340 2.201

3 Air Hitam 16.290 1.429.130 2.500.000 883

L

Page 22: best practices scbfwm 2014 regional lampung

9

BAB II KONDISI SUB-DAS WAY BESAI

Oleh Ashadi Maryanto, Apriadi, dan Zainal Abidin

2.1. LOKASI

okasi Sub-DAS Way Besai berada sekitar 180 km dari Bandar Lampung dan sekitar 60 km dari kota Liwa, Ibu kota Kabupaten Lampung Barat. Dibutuhkan sekitar 4-5 jam perjalanan darat dari Bandar Lampung menuju

Way Besai dan sekitar 2 jam dari Liwa ke Way Besai. Lokasi proyek ini umumnya berbukit dengan ketinggian di atas 700 mdpl, yang menyebabkan daerah ini relatif sejuk.

2.2. DEMOGRAFI

Penduduk di Sub-DAS Way Besai tersebar di lima kecamatan yaitu Kecamatan Sumber Jaya, Air Hitam, Way Tenong, Kebun Tebu, dan Gedung Surian. Pada tahun 2011, jumlah keseluruhan penduduk di Way Besai ADALAH 92 ribu jiwa dimana populasi tertinggi berada di Kecamatan Way Tenong dan populasi terendah berada di Kecamatan Gedung Surian.

Tabel 2.1. Distribusi penduduk, sumber pendapatan, dan rumah tangga miskin berdasarkan kecamatan di Way Besai

No Kecamatan Jumlah Sumber Pendapatan Jumlah keluarga miskin Usahatani

(Rp) Non-usahatani

(Rp)

1 Kebun Tebu 17.615 531.670 895.817 971

2 Way Tenong 29.408 2.364.590 322.340 2.201

3 Air Hitam 16.290 1.429.130 2.500.000 883

L

4 Sumber Jaya 21.182 1.152.010 269.167 1.446

5 Gedung Surian

7.513 1.293.400 326.320 1.194

Total 92.008 6.695

Rata 1.354.160 862.729

Sumber: BP DAS 2011. Updating baseline data Sub-DAS Way Besai

2.3. PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN

Perubahan penutupan lahan digunakan untuk menilai laju deforestasi/degradasi dengan menggunakan citra satelit Landsat Enhanced Thematic Mapper (ETM) tahun 1986, 2002, 2009, dan 2013. Perubahan tutupan lahan dianalisis secara deskriptif yang dilakukan dengan komparasi data penutupan/penggunaan lahan tahun 1986, 2002, 2009, dan 2013.

Berdasarkan hasil analisis citra satelit Landsat ETM, didapatkan data penutupan/penggunaan lahan pada catchment area Sub DAS Way Besai seperti disajikan terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.2. Data tutupan lahan terkini di Way Besai

No.

Jenis Tutupan Lahan Tahun 2012 Luas (ha) (%)

1. Hutan lahan kering sekunder 3409,65 7,62 2. Semak belukar 2415,10 5,40 3. Pertanian lahan kering 12,80 0,03 4. Padang rumput/ Semak belukar 35,26 0,08 5. Pemukiman 367,35 0,82 6. Lahan tergenang/sawah 674,99 1,51 7. Pertanian lahan kering campur

semak* 37.750 84,42

8. Badan air 53,42 0,12 Luas Total 44.720 100,00

*Catatan: semak sebagian besar merupakan agroforest kopi Sumber: BPDAS WSS, 2014

Page 23: best practices scbfwm 2014 regional lampung

10

Data di atas menunjukkan bahwa usaha pertanian lahan kering campur semak yang dalam ground chek merupakan lahan usaha kopi campuran (kopi agroforest) merupakan areal yang paling luas mencapai 84,42% dari seluruh areal Sub-DAS Way Besai. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha kopi merupakan tulang punggung ekonomi keluarga sebagian besar masyarakat Way Besai.

Sementara itu berdasarkan penelitian data BPDAS WSS (2010) luasan hutan mengalami penurunan dalam kurun waktu 1986 – 2002 sebesar 41%. Dalam kurun waktu yang sama luas lahan untuk kopi campuran/kebun campuran meningkat sebesar 25%, sedangkan luas lahan kopi monokultur turun sebesar 88%. Hasil ini sejalan dengan hasil studi Verbist et al. (2004), pembukaan lahan hutan dengan tebas bakar (slash and burn) banyak dilakukan untuk menyiapkan lahan yang akan ditanami kopi pionir (kopi muda tanpa naungan) yang menjadi salah satu penyebab berkurangnya 40% lahan hutan di Sumber Jaya dalam kurun waktu 1978 hingga 1990-an. Mulai tahun 1990, kebun kopi tanpa naungan (kopi pionir) mulai berkembang menjadi kebun kopi multistrata sederhana/kopi campuran dengan pohon naungan (shade trees). Pada tahun 2000 jenis penggunaan lahan ini mencapai 30%. Hal ini menunjukkan bahwa rehabilitasi lahan akan terjadi setelah fase ekstraksi dan degradasi (Verbist, et al., 2004).

Menurut Verbist et al. (2004), faktor pendorong terjadinya alih guna lahan di Sub Das Way Besai (khususnya Sumber Jaya) dibedakan atas faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi pertumbuhan alami penduduk, migrasi, hujan, dan harga pasar internasional. Faktor internal meliputi inovasi teknis, pembangunan jalan dan infrastuktur, pemungutan retribusi atau pajak, subsidi, konservasi tanah dan air, serta pengaturan penguasaan tanah.

Potensi Erosi

Menurut Verbist, et al. (2004) deforestasi dan diikuti dengan konversi lahan menjadi sistem tanam kopi terbuka (clean weeding) dari aspek lingkungan dipandang tidak berkelanjutan dan dianggap sebagai faktor utama menurunnya ketersediaan air di hilir sungai dan hilangnya fungsi perlindungan DAS termasuk fungsi sebagai pencegah/penahan erosi. Perubahan penggunaan lahan dalam jangka pendek terlihat rasional secara ekonomis karena banyak nilai dan manfaat langsung yang diperoleh namun tidak untuk jangka panjang (Crook dan Clapp, 1988). Dampak yang sering terlihat adalah bertambahnya lahan-lahan dengan tingkat kesuburan rendah, meningkatnya erosi tanah dan sedimentasi di sungai. Secara sederhana erosi diawali dengan penghancuran agregat tanah (detachment) oleh butir hujan sehingga menimbulkan aliran permukaan yang mengikis lapisan tanah dan diangkut ke tempat yang lebih rendah dan kemudian terjadi sedimentasi di sungai, danau, waduk, dan laut.

Page 24: best practices scbfwm 2014 regional lampung

11

Data di atas menunjukkan bahwa usaha pertanian lahan kering campur semak yang dalam ground chek merupakan lahan usaha kopi campuran (kopi agroforest) merupakan areal yang paling luas mencapai 84,42% dari seluruh areal Sub-DAS Way Besai. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha kopi merupakan tulang punggung ekonomi keluarga sebagian besar masyarakat Way Besai.

Sementara itu berdasarkan penelitian data BPDAS WSS (2010) luasan hutan mengalami penurunan dalam kurun waktu 1986 – 2002 sebesar 41%. Dalam kurun waktu yang sama luas lahan untuk kopi campuran/kebun campuran meningkat sebesar 25%, sedangkan luas lahan kopi monokultur turun sebesar 88%. Hasil ini sejalan dengan hasil studi Verbist et al. (2004), pembukaan lahan hutan dengan tebas bakar (slash and burn) banyak dilakukan untuk menyiapkan lahan yang akan ditanami kopi pionir (kopi muda tanpa naungan) yang menjadi salah satu penyebab berkurangnya 40% lahan hutan di Sumber Jaya dalam kurun waktu 1978 hingga 1990-an. Mulai tahun 1990, kebun kopi tanpa naungan (kopi pionir) mulai berkembang menjadi kebun kopi multistrata sederhana/kopi campuran dengan pohon naungan (shade trees). Pada tahun 2000 jenis penggunaan lahan ini mencapai 30%. Hal ini menunjukkan bahwa rehabilitasi lahan akan terjadi setelah fase ekstraksi dan degradasi (Verbist, et al., 2004).

Menurut Verbist et al. (2004), faktor pendorong terjadinya alih guna lahan di Sub Das Way Besai (khususnya Sumber Jaya) dibedakan atas faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi pertumbuhan alami penduduk, migrasi, hujan, dan harga pasar internasional. Faktor internal meliputi inovasi teknis, pembangunan jalan dan infrastuktur, pemungutan retribusi atau pajak, subsidi, konservasi tanah dan air, serta pengaturan penguasaan tanah.

Potensi Erosi

Menurut Verbist, et al. (2004) deforestasi dan diikuti dengan konversi lahan menjadi sistem tanam kopi terbuka (clean weeding) dari aspek lingkungan dipandang tidak berkelanjutan dan dianggap sebagai faktor utama menurunnya ketersediaan air di hilir sungai dan hilangnya fungsi perlindungan DAS termasuk fungsi sebagai pencegah/penahan erosi. Perubahan penggunaan lahan dalam jangka pendek terlihat rasional secara ekonomis karena banyak nilai dan manfaat langsung yang diperoleh namun tidak untuk jangka panjang (Crook dan Clapp, 1988). Dampak yang sering terlihat adalah bertambahnya lahan-lahan dengan tingkat kesuburan rendah, meningkatnya erosi tanah dan sedimentasi di sungai. Secara sederhana erosi diawali dengan penghancuran agregat tanah (detachment) oleh butir hujan sehingga menimbulkan aliran permukaan yang mengikis lapisan tanah dan diangkut ke tempat yang lebih rendah dan kemudian terjadi sedimentasi di sungai, danau, waduk, dan laut.

Dari penelusuran literatur secara mendalam diperoleh data laju erosi di areal catchment area Sub Das Way Besai sebagaimana disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Laju erosi di areal studi

No. Lokasi Penelitian Laju Erosi (ton/ha/th) Sumber

1. Sumberjaya 22,7 Afandi (2002)

2. Das Besai 49,93 Sihite (2001)

3. Tepus & Laksana 1,1 – 1,5 Dariah et al.,(2004)

4. W.Tebu & W.Petai 1,8 Dariah et al., (2004)

5 Way Ringkih 33 – 37 Widianto et al.,(2004)

6. Way Ringkih 7 – 11 Verbist et al., (2009)

Sumber: BPDAS WSS, 2011

Pada Tabel 2.3 dapat dilihat bahwa laju erosi di areal studi berkisar antara 1,1 sampai 49,93 ton/ha/th. Keragaman tersebut dinilai wajar mengingat keragaman metode maupun site penelitiannya. Dapat pula mungkin disebabkan faktor-faktor penentu erosi di tempat tersebut memang rendah seperti erodibilitas tanah yang rendah. Selain itu secara umum sifat fisik tanah di daerah studi tergolong baik, dicirikan oleh berat jenis tanah yang rata-rata kurang dari 0,9 g cm-3, dengan ruang pori total mencapai 69 %, rata-rata persen pori drainase cepat/pori makro pada kedalaman 0 – 10 cm mencapai 26 %, sedangkan pada kedalaman 10 – 20 cm sebesar 20 %, dan pori air tersedia sekitar 15 – 16 %. Permeabilitas tanah pada lapisan atas (0 – 10 cm) sekitar 7 cm/jam, sedangkan permeabilitas pada lapisan bawah permukaan (10 – 20 cm) sekitar 3 cm/jam (Dariah, et al., 2004).

Areal Lahan Kritis

Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan fisik, kimia, dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman, dan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan.

Untuk mengetahui kondisi lahan kritis di catchment area Sub DAS Way Besai digunakan data lahan kritis tahun 2006 dari Kementerian Kehutanan. Data spasial

Page 25: best practices scbfwm 2014 regional lampung

12

lahan kritis diperoleh dari hasil analisis terhadap beberapa data spasial yang merupakan parameter penentu kekritisan lahan berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 yang meliputi kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi dan singkapan batuan (outcrop), dan kondisi pengelolaan (manajemen).

Luas lahan kritis di catchment area Sub DAS Way Besai disajikan pada Tabel 2.4, sedangkan distribusi lahan kritis disajikan pada Gambar 2.1.

Tabel 2.4 Luas lahan kritis di catchment area Sub DAS Way Besai

Tingkat Kritis Lahan Luas Lahan (ha)

2010 2013 Potensial Kritis 3.451,2 26.528,95 Agak Kritis 21.827,4 13.499,82 Kritis 16.455,6 2.666,58 Sangat Kritis 2.951,2 1.646,53 Tidak kritis 34,6 378,13 Jumlah 44.720 44.720

Sumber: BPDAS WSS, 2011 dan 2013

Gambar 2.1 perubahan kondisi lahan di Way Besai

0.00

5,000.00

10,000.00

15,000.00

20,000.00

25,000.00

30,000.00

2010 2013

Kritis

Sangat Kritis

Potensial Kritis

Agak Kritis

Tidak kritis

Page 26: best practices scbfwm 2014 regional lampung

13

lahan kritis diperoleh dari hasil analisis terhadap beberapa data spasial yang merupakan parameter penentu kekritisan lahan berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 yang meliputi kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi dan singkapan batuan (outcrop), dan kondisi pengelolaan (manajemen).

Luas lahan kritis di catchment area Sub DAS Way Besai disajikan pada Tabel 2.4, sedangkan distribusi lahan kritis disajikan pada Gambar 2.1.

Tabel 2.4 Luas lahan kritis di catchment area Sub DAS Way Besai

Tingkat Kritis Lahan Luas Lahan (ha)

2010 2013 Potensial Kritis 3.451,2 26.528,95 Agak Kritis 21.827,4 13.499,82 Kritis 16.455,6 2.666,58 Sangat Kritis 2.951,2 1.646,53 Tidak kritis 34,6 378,13 Jumlah 44.720 44.720

Sumber: BPDAS WSS, 2011 dan 2013

Gambar 2.1 perubahan kondisi lahan di Way Besai

0.00

5,000.00

10,000.00

15,000.00

20,000.00

25,000.00

30,000.00

2010 2013

Kritis

Sangat Kritis

Potensial Kritis

Agak Kritis

Tidak kritis

Tabel 2.4 menunjukkan bahwa pada Sub DAS Way Besai, pada periode 2010-2013 persentase luas lahan dalam kategori agak kritis mengalami penurunan yang cukup memadai dari 21,8 ribu ha menjadi sekitar 13 ribu hektar. Pada periode yang sama, lahan kategori kritis juga mengalami penurunan yang sangat nyata dari 16,4 ribu hektar menjadi hanya 2,6 ribu hektar. Sedangkan lahan tidak kritis/baik meningkat dari hanya 34 ha menjadi sekitar 370 ha. Namun, yang patut diwaspadi adalah meningkatnya lahan potensial kritis pada periode yang sama dari sekitar 3,4 ribu ha menjadi 26 ribu hektar. Hal ini memberikan indikasi bahwa upaya pemulihan kawasan Way Besai yang selama sudah cukup berhasil, memiliki potensi untuk menjadi kritis kembali pada masa yang akan datang bila upaya-upaya pengendalian pengelolaan lahan dan hutan tidak terus menerus dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan para pihak lainnya.

Pertanyaan menarik tentunya mengapa terjadi peningkatan areal potensial kritis. Menurut observasi penulis, peningkatan tersebut diduga akibat meningkatnya aktivitas budidaya pertanian pada beberapa spot areal masyarakat. Budidaya tersebut, secara temporer sering menyebabkan kondisi lahan terbuka dan masuk kategori potensial kritis. Setelah beberapa tahun, lahan tersebut akan mengalami proses recovery atau menjadi lebih baik.

Oleh sebab itu, upaya pendampingan dari petugas penyuluh setempat serta pengawasan melekat model HKm melalui Pamhut (Pengamanan Hutan) secara swadaya perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan.

Gambar 2.2 Peta areal lahan kritis di catchment area Sub DAS Way Besai (Sumber: BPDAS WSS, 2011)

Page 27: best practices scbfwm 2014 regional lampung

14

Sedimentasi

Keberadaan sedimen melayang (suspended load) di dalam air dapat diketahui dari kekeruhannya. Semakin keruh air berarti semakin tinggi konsentrasi sedimennya. Pada studi ini selain dilakukan pengukuran secara langsung mengenai keberadaan sedimen melayang juga dilakukan studi literatur secara mendalam. Hasil pengukuran laju sedimentasi di areal studi dari lima titik sampel yang berbeda disajikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Hasil pengukuran sedimen di lima lokasi yang berbeda

No Lokasi Sedimentasi (mg/L)

Titik Lokasi

1. Way Air Hitam

0,15 104025’04,046”BT 5004’33,060”LS

2. Way Besai I 0,15 104025’04,842”BT 5004’32,008”LS

3. Way Besai II 0,22 104027’12,283”BT 5005’44,559”LS

4. Way Petai 0,23 104028’40,584”BT 5000’33,372”LS

5. Way Ringkih 0,13 104025’23,160”BT 5001’41,196”LS

Rata-rata (SD) 0,18 (0,05) Sumber: BPDAS WSS, 2011

Hasil pengukuran sedimentasi tersebut belum dapat diklasifikasikan ke dalam kategori sedimentasi rendah, sedang, dan tinggi karena pengukuran yang dilakukan sesaaat pada titik-titik pengamatan. Proses erosi (yang merupakan sumber muatan sedimen) pada kenyataannya tidak hanya berlangsung dalam sesaaat, namun umumnya bisa berkali-kali dalam setahun.

Mata Air dan Potensi Mikrohidro

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan masyarakat setempat, terdapat cukup banyak sumber-sumber mata air dan potensi mikrohidro yang terdapat di lokasi penelitian. Survei lengkap terhadap seluruh sumber mata air akan sangat memakan waktu dan biaya yang lebih besar, oleh karena itu tim geofisik hanya merekam dan mengamati beberapa sumber mata air dan potensi mikrohidro yang disajikan pada Tabel 2.6.

Page 28: best practices scbfwm 2014 regional lampung

15

Sedimentasi

Keberadaan sedimen melayang (suspended load) di dalam air dapat diketahui dari kekeruhannya. Semakin keruh air berarti semakin tinggi konsentrasi sedimennya. Pada studi ini selain dilakukan pengukuran secara langsung mengenai keberadaan sedimen melayang juga dilakukan studi literatur secara mendalam. Hasil pengukuran laju sedimentasi di areal studi dari lima titik sampel yang berbeda disajikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Hasil pengukuran sedimen di lima lokasi yang berbeda

No Lokasi Sedimentasi (mg/L)

Titik Lokasi

1. Way Air Hitam

0,15 104025’04,046”BT 5004’33,060”LS

2. Way Besai I 0,15 104025’04,842”BT 5004’32,008”LS

3. Way Besai II 0,22 104027’12,283”BT 5005’44,559”LS

4. Way Petai 0,23 104028’40,584”BT 5000’33,372”LS

5. Way Ringkih 0,13 104025’23,160”BT 5001’41,196”LS

Rata-rata (SD) 0,18 (0,05) Sumber: BPDAS WSS, 2011

Hasil pengukuran sedimentasi tersebut belum dapat diklasifikasikan ke dalam kategori sedimentasi rendah, sedang, dan tinggi karena pengukuran yang dilakukan sesaaat pada titik-titik pengamatan. Proses erosi (yang merupakan sumber muatan sedimen) pada kenyataannya tidak hanya berlangsung dalam sesaaat, namun umumnya bisa berkali-kali dalam setahun.

Mata Air dan Potensi Mikrohidro

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan masyarakat setempat, terdapat cukup banyak sumber-sumber mata air dan potensi mikrohidro yang terdapat di lokasi penelitian. Survei lengkap terhadap seluruh sumber mata air akan sangat memakan waktu dan biaya yang lebih besar, oleh karena itu tim geofisik hanya merekam dan mengamati beberapa sumber mata air dan potensi mikrohidro yang disajikan pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6. Titik-titik mata air dan potensi mikrohidro di areal studi

No Titik Koordinat Waktu Pengamatan

Lokasi Keterangan

1. 104026’46,711”BT 5003’39,155”LS

06/10/2010 HKm Hijau Kembali

Mata air

2. 104026’22,346”BT 5003’46,061”LS

06/10/2010 HKm Hijau Kembali

Mata air

3. 104029’33,474BT 5000’33,020” LS

07/10/2010 HKm Mitra Wana Lestari Sejahtera

Mata air

4. 104029’31,191”BT 5000’23,156”LS

07/10/2010 HKm Mitra Wana Lestari Sejahtera

Mata air

5. 10402756,297”BT 4057’23,375”LS

08/10/2010 HKm Air Pakuan Mata air

6. 104030’51,198”BT 5001’36,651”LS

09/10/2010 HKm Bina Wana Mata air

7. 104°29`43.0”BT 05°01`41.2”LS

07/07/2011 HKm Laksana Jaya Potensi mikrohidro

8. 104°29`56.6”BT 05°01`48.9”LS

07/07/2011 HKm Laksana Bawah

Potensi mikrohidro

9. 104°29`57.4”BT 05°01`49.6”LS

07/07/2011 HKm Simpang Kodim

Potensi mikrohidro

10. 104°35`31.3”BT 05°03`19.1”LS

08/07/2011 HKm Arum Sejahtera

Potensi mikrohidro

11. 104°34`02.5”BT 05°03`26.6”

08/07/2011 HKm Wana Makmur

Potensi mikrohidro

12. 104°35`05.1”BT 05°03`58.4”

08/07/2011 HKm Wana Makmur

Potensi mikrohidro

13. 104°35`48.3”BT 05°04`48.9”

08/07/2011 HKm Bantul Jaya Potensi mikrohidro

14. 104°29`29.5”BT 05°02`19.5”

09/07/2011 HKm Mekarsari Jaya

Potensi mikrohidro

15. 104°29`30.6”BT 05°02`18.8”

09/07/2011 HKm Ulu Petai Lestari

Potensi mikrohidro

16. 104°26`52.4”BT 05°01`53.8”

10/07/2011 HKm Sumber Sari Potensi mikrohidro

17. 104°29`12.8”BT 05°01`58.0”LS

10/07/2011 HKm Tritunggal Potensi mikrohidro

18. 104°29`12.0”BT 11/07/2011 HKm Lirikan Potensi

Page 29: best practices scbfwm 2014 regional lampung

16

05°02`16.4”LS mikrohidro 19. 104°29`36.1”BT

05°02`15.3”LS 11/07/2011 HKm Lirikan Potensi

mikrohidro 20. 104°31.014”BT

05°00.329”LS 12/07/2011 Talang Senin1 Potensi

mikrohidro 21. 104°31.656”BT

05°00.168”LS 12/07/2011 Talang Senin2 Potensi

mikrohidro 22. 104°31.661”BT

05°01.586”LS 12/07/2011 Cipta Sari Potensi

mikrohidro 23. 104°31.973”BT

05°02.321”LS 12/07/2011 Cipta Mulya Potensi

mikrohidro Sumber: BPDAS WSS, 2011

Gambar 2.3. Keadaan sumber mata air di catchment area Sub DAS Way Besai (a) Mata Air 1 (HKm Hijau Kembali) (b) Mata Air 2 (HKm Hijau Kembali) (c) Mata Air Sumur 7 (HKm MWLS) (d) Mata Air 3 (HKm MWLS) (e) Mata air 4 (HKm Air Pakuan) (f) Mata air 5 (HKm Bina Wana)

b a

d c

f e

Page 30: best practices scbfwm 2014 regional lampung

17

05°02`16.4”LS mikrohidro 19. 104°29`36.1”BT

05°02`15.3”LS 11/07/2011 HKm Lirikan Potensi

mikrohidro 20. 104°31.014”BT

05°00.329”LS 12/07/2011 Talang Senin1 Potensi

mikrohidro 21. 104°31.656”BT

05°00.168”LS 12/07/2011 Talang Senin2 Potensi

mikrohidro 22. 104°31.661”BT

05°01.586”LS 12/07/2011 Cipta Sari Potensi

mikrohidro 23. 104°31.973”BT

05°02.321”LS 12/07/2011 Cipta Mulya Potensi

mikrohidro Sumber: BPDAS WSS, 2011

Gambar 2.3. Keadaan sumber mata air di catchment area Sub DAS Way Besai (a) Mata Air 1 (HKm Hijau Kembali) (b) Mata Air 2 (HKm Hijau Kembali) (c) Mata Air Sumur 7 (HKm MWLS) (d) Mata Air 3 (HKm MWLS) (e) Mata air 4 (HKm Air Pakuan) (f) Mata air 5 (HKm Bina Wana)

b a

d c

f e

Jenis dan Penyebaran Vegetasi Alami dan Buatan

Hutan lindung Register 45 B Bukit Rigis merupakan kawasan hutan yang memiliki fungsi konservasi sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Keberadaan hutan lindung Register 45 B Bukit Rigis sangat berpengaruh terhadap Sub DAS Way Besai karena letaknya berada di tengah-tengah dan hampir menutupi seluruh wilayah Sub DAS Way Besai dan juga kehidupan masyarakat di sekitar.

Vegetasi yang ditemui di Sub DAS Way Besai terdiri dari vegetasi alami dan buatan meliputi hutan dan semak belukar, vegetasi perkebunan (monokultur dan campuran), dan vegetasi lahan basah. Vegetasi tersebut umumnya menyebar secara sporadis, sehingga penyebarannya dapat dikatakan kontinyu di seluruh kawasan dalam areal kegiatan penelitian.

Vegetasi Alami

Salah satu contoh vegetasi hutan (rimba) di areal kegiatan studi adalah di areal perlindungan Kelompok Masyarakat Pengelola Hutan Mitra Wana Lestari Sejahtera, Pekon Simpang Sari, Kecamatan Sumber Jaya dan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) Hijau Kembali, Pekon Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong.

Jenis pohon yang dapat dijumpai di areal perlindungan KMPH Mitra Wana Lestari Sejahtera adalah berbagai pohon kayu hutan seperti: pohon tenam, medang, surian, pasang, rukem, cemara, mengkudu, lulus, balam, lempaung, kayu are, benda, serdang, mentru, semamung, berbagai jenis rotan, bambu betung, bambu kapur, aren hutan, anggrek hutan, salak hutan, pisang hutan, serta buah-buahan hutan lainnya dan jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui namanya oleh masyarakat setempat (KMPH Mitra Wana Lestari Sejahtera, 2002).

Di areal yang dikelola oleh kelompok tani hutan kemasyarakatan (HKm) Hijau Kembali, Pekon Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, pohon yang dapat dijumpai di areal perlindungan Hijau Kembali menurut masyarakat setempat adalah berbagai pohon kayu hutan yang dikenal dalam bahasa lokal, seperti: medang tales, medang tanduk, medang sengir, medang kuning telor, cemara batu, cemara kembang, cemara mentru, tenam, batu, tenam sabut, tenam tembaga, meranti, kelampian, surian, popohan, kiara, lanang, pasang, nikem, balam, lempaung, kayu are, sendawaran, benda, semarilpot, serdang, semantung, babakolan, rotan mas, rotan semarnbo, rotan belah kinjar, rotan slimit, rotan sabut, rotan cacing, rotan kunir, rotan suti, rotan manu, bambu betung, bambu telur, bambu suling, bambu manis, anggrek rantai,

Page 31: best practices scbfwm 2014 regional lampung

18

anggrek kumpai, anggrek bawang, dan anggrek siumbar (KMPH Hijau Kembali, 2008).

Gambar 2.4. Contoh vegetasi semak

Komunitas hutan (rimba) yang termasuk dalam kawasan hutan lindung hampir merata di seluruh areal kegiatan studi. Jenis-jenis pohon yang relatif dominan dalam kawasan hutan lindung, khususnya Register 45 B (Bukit Rigis) antara lain, adalah tenam, medang, cemara, trembesi, rotan, bambu, pasang, matru, kilarang, dan berbagai jenis pohon lainnya.

Jenis tumbuhan semak yang banyak ditemui di areal studi diantaranya adalah harendong bulu, harendong bunga ungu, alang-alang (Imperata cilindrica), dom-doman (Andropogon aciculatus), gelagah (Saccharum spontaneum), tales-talesan (Colocasia spp), putri malu (Mimmosa pudica), jukut riut (Mimosa invisa), kirinyu (Euphatorium odoratum), saliara (Lantana camara), jahe-jahean (Zingiberaceae), rumput teki (Cyperus rotundus), dan tumbuhan merambat (Mikania spp). Contoh vegetasi semak belukar disajikan pada Gambar di atas.

Vegetasi Buatan

Vegetasi buatan yang paling dominan adalah lahan perkebunan. Vegetasi perkebunan menyebar secara sporadis pada tanah marga dan tanah negara (hutan lindung). Jenis tanaman perkebunan yang ditanam adalah kopi (Coffea spp) dengan sistem penanaman monokultur (kopi) dan campuran multi strata (kopi dengan tanaman sisipan dan atau peneduh/pelindung), baik tanaman kayu-kayuan (kehutanan) dan MPTS (multi purposes tree species). Tanaman sisipan yang dikembangkan dalam kebun kopi campuran multi strata adalah duren, kemiri (Aleurites moluccana),

Page 32: best practices scbfwm 2014 regional lampung

19

anggrek kumpai, anggrek bawang, dan anggrek siumbar (KMPH Hijau Kembali, 2008).

Gambar 2.4. Contoh vegetasi semak

Komunitas hutan (rimba) yang termasuk dalam kawasan hutan lindung hampir merata di seluruh areal kegiatan studi. Jenis-jenis pohon yang relatif dominan dalam kawasan hutan lindung, khususnya Register 45 B (Bukit Rigis) antara lain, adalah tenam, medang, cemara, trembesi, rotan, bambu, pasang, matru, kilarang, dan berbagai jenis pohon lainnya.

Jenis tumbuhan semak yang banyak ditemui di areal studi diantaranya adalah harendong bulu, harendong bunga ungu, alang-alang (Imperata cilindrica), dom-doman (Andropogon aciculatus), gelagah (Saccharum spontaneum), tales-talesan (Colocasia spp), putri malu (Mimmosa pudica), jukut riut (Mimosa invisa), kirinyu (Euphatorium odoratum), saliara (Lantana camara), jahe-jahean (Zingiberaceae), rumput teki (Cyperus rotundus), dan tumbuhan merambat (Mikania spp). Contoh vegetasi semak belukar disajikan pada Gambar di atas.

Vegetasi Buatan

Vegetasi buatan yang paling dominan adalah lahan perkebunan. Vegetasi perkebunan menyebar secara sporadis pada tanah marga dan tanah negara (hutan lindung). Jenis tanaman perkebunan yang ditanam adalah kopi (Coffea spp) dengan sistem penanaman monokultur (kopi) dan campuran multi strata (kopi dengan tanaman sisipan dan atau peneduh/pelindung), baik tanaman kayu-kayuan (kehutanan) dan MPTS (multi purposes tree species). Tanaman sisipan yang dikembangkan dalam kebun kopi campuran multi strata adalah duren, kemiri (Aleurites moluccana),

petai (Parkia speciosa), pinang, alpukat (Persea americana), cempaka, suren, sonokeling (Dalbergia latifolia), dan kayu hujan (Clereasedae).

Di kebun kopi, masyarakat juga menanam tanaman peneduh/pelindung yang oleh masyarakat setempat disebut pohon bayangan. Pohon ini selain berfungi untuk melindungi tanaman kopi dari sinar matahari yang berlebihan, terpaan angin dan hujan, sekaligus dimanfaatkan sebagai media rambat tanaman lada, yaitu tanaman jenis dadap. Tanaman lain yang juga banyak ditemukan di kebun kopi adalah nangka (Artocarpus heterophyllus), pisang (Musa paradisiaca), kemiri (Aleurites moluccana), mangga (Mangifera indica), dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan hasil inventarisasi dilapangan (lokasi sumber pancuran tujuh, simpang kodim, dan hamparan air pakuan) jenis tanaman yang ditemukan selain tanaman kopi, diantaranya adalah cempaka, kayu afrika, pulai, durian, jengkol, nangka, dadap, medang, kayu hujan, dan alpukat. Berdasarkan Tim PSDHBM Watala (2004) yang melakukan transek di Pemangku Rigis Jaya II, ditemukan jenis-jenis tanaman seperti kopi, pisang, kalendra, cabe, kayu hujan, alpukat, kemiri, dadap, jati, nangka, dan mahoni.

Gambar 2.5. Vegetasi agroforest berbasis kopi

Daftar Pustaka

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Way Sekampung. 2011. Updating Baseline Data Sub-DAS Way Besai. BP DAS WSS. Bandar Lampung

Dariah, A. F. Agus, S. Arsyad, Sudarsono, dan Maswar. 2004. Erosi Dan Aliran Permukaan Pada Lahan Pertanian Berbasis Tanaman Kopi Di Sumberjaya, Lampung Barat. World Agroforestry Center. Bogor.

Page 33: best practices scbfwm 2014 regional lampung

20

KMPH Mitra Wana Lestari Sejahtera, 2002. Profil Kelompok Masyarakat Pengelola Hutan Mitra Wana Lestari Sejahter. Sumber Jaya

Verbist, B., A.E.D. Putra, S.Budidarsono. 2009. Factors driving land use change: Effects on watershed functions in a coffee agroforestry system in Lampung, Sumatra. J. Agricultural Systems 85 (2005) 254–270

Page 34: best practices scbfwm 2014 regional lampung

21

KMPH Mitra Wana Lestari Sejahtera, 2002. Profil Kelompok Masyarakat Pengelola Hutan Mitra Wana Lestari Sejahter. Sumber Jaya

Verbist, B., A.E.D. Putra, S.Budidarsono. 2009. Factors driving land use change: Effects on watershed functions in a coffee agroforestry system in Lampung, Sumatra. J. Agricultural Systems 85 (2005) 254–270

BAB III BEBERAPA MODEL PENGELOLAAN HUTAN

DAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BERBASIS MASYARAKAT

alam kurun 2010-2014, proyek SCBFWM telah melakukan berbagai aktivitas bermitra dengan masyarakat dengan memperkenalkan peluang inisiatif dalam pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai. Di antara

inisiatif masyarakat tersebut, termasuk di dalamnya:

1. Pengelolaan mikro hydro sebagai bagian dari strategi mempertahankan kondisi hutan

2. Pengelolaan air bersih berbasis masyarakat dalam rangka mempertahankan kondisi hutan dan daerah aliran sungai

3. Upaya memperkuat ekonomi rumah tangga dan hutan sebagai strategi pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai berbasis masyarakat

Pada periode tersebut, proyek SCBFWM telah mengeluarkan anggaran Rp 1,5 milyar kepada 47 kelompok masyarakat dalam bentuk hibah kecil sebagai bagian dari strategi membangun inisiatif masyarakat. Hibah kecil merupakan insentif kepada masyarakat karena peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai.

Sebagai timbal balik, kelompok menyediakan upaya swadaya pembibitan, pemeliharaan, dan penanaman, serta biaya inkinds minimal 10% dari nilai proposal yang diajukan. Berdasarkan hasil penelusuran dokumen kontrak serta monitoring dan evaluasi SCBFWM 2010-2014, jumlah pohon yang dibibitkan, ditanam, dan dipelihara yang menjadi swadaya masyarakat selama periode 2010-2014 adalah lebih dari 300 ribu pohon. Bila diasumsikan bahwa setiap bibit pohon bernilai Rp 2000, maka nilai swadaya dari pembibitan saja adalah Rp 600 juta. Bila mengikuti skema KBR, dimana setiap tanaman yang sukses diberikan kompensasi Rp 750 per pohon, maka nilai keswadayaan masyarakat untuk penanaman mencapai Rp 200 juta. Total keswadayaan dari segi penanaman adalah Rp 800 juta rupiah.

D

Page 35: best practices scbfwm 2014 regional lampung

22

Kemudian, sesuai dengan skema hibah kecil, kelompok masyarakat juga diminta untuk membiayai beberapa aktivitas terkait pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai. Hasil rekapitulasi atas seluruh kontrak hibah kecil SCBFWM untuk 47 kelompok, jumlah inkinds yang menjadi komitmen kelompok dan tercantum dalam kontrak adalah Rp 718 juta atau 48% dari nilai hibah kecil yang dialokasikan untuk kelompok-kelompok masyarakat selama 2010-2014.

Dari uraian di atas, sejak 2010-2014 skema hibah kecil proyek SCBFWM telah mampu mendorong upaya swadaya masyarakat dengan nilai sekitar Rp 1,518 miliar dengan nilai hibah kecil dari proyek SCBFWM senilai Rp 1,5 miliar. Dengan demikian, besaran nilai swadaya dan hibah SCBFWM relatif seimbang. Pembelajaran dari angka-angka tersebut adalah bahwa sebenarnya, kelompok-kelompok masyarakat memiliki modal sosial yang besar bila digali melalui pendampingan yang baik.

Faktor-faktor dari kesediaan masyarakat untuk melakukan swadaya dalam rangka mendapatkan rewards hibah kecil adalah sebagai berikut:

1. Proses hibah kecil yang transparan dari pengelola proyek SCBFWM baik dari aspek yang dibiayai, komitmen, pelaporan, keuangan, dsb.

2. Pendampingan dari fasilitator lapang serta regional fasilitator dari mulai sosialisasi, penilaian,

3. Peran kelompok dan anggota dalam proses penyusunan proposal, gagasan, dan pembiayaan yang transparan

4. Dukungan dari pihak terkait, khususnya pemerintah desa dan petugas penyuluh lapangan

5. Pelaksanaan hibah kecil dimonitor secara reguler sehingga masyarakat merasa menjadi bagian penting dari proses pelaksanaan hibah ini.

Page 36: best practices scbfwm 2014 regional lampung

23

Kemudian, sesuai dengan skema hibah kecil, kelompok masyarakat juga diminta untuk membiayai beberapa aktivitas terkait pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai. Hasil rekapitulasi atas seluruh kontrak hibah kecil SCBFWM untuk 47 kelompok, jumlah inkinds yang menjadi komitmen kelompok dan tercantum dalam kontrak adalah Rp 718 juta atau 48% dari nilai hibah kecil yang dialokasikan untuk kelompok-kelompok masyarakat selama 2010-2014.

Dari uraian di atas, sejak 2010-2014 skema hibah kecil proyek SCBFWM telah mampu mendorong upaya swadaya masyarakat dengan nilai sekitar Rp 1,518 miliar dengan nilai hibah kecil dari proyek SCBFWM senilai Rp 1,5 miliar. Dengan demikian, besaran nilai swadaya dan hibah SCBFWM relatif seimbang. Pembelajaran dari angka-angka tersebut adalah bahwa sebenarnya, kelompok-kelompok masyarakat memiliki modal sosial yang besar bila digali melalui pendampingan yang baik.

Faktor-faktor dari kesediaan masyarakat untuk melakukan swadaya dalam rangka mendapatkan rewards hibah kecil adalah sebagai berikut:

1. Proses hibah kecil yang transparan dari pengelola proyek SCBFWM baik dari aspek yang dibiayai, komitmen, pelaporan, keuangan, dsb.

2. Pendampingan dari fasilitator lapang serta regional fasilitator dari mulai sosialisasi, penilaian,

3. Peran kelompok dan anggota dalam proses penyusunan proposal, gagasan, dan pembiayaan yang transparan

4. Dukungan dari pihak terkait, khususnya pemerintah desa dan petugas penyuluh lapangan

5. Pelaksanaan hibah kecil dimonitor secara reguler sehingga masyarakat merasa menjadi bagian penting dari proses pelaksanaan hibah ini.

MODEL 1 PENGELOLAAN MIKRO HIDRO BERBASIS MASYARAKAT SEBAGAI BENTUK MODEL ENERGI TERBARUKAN DI SUB DAS WAY BESAI

Oleh: Gandi

(Fasilitator Lapangan Program SCBFWM )

Latar Belakang

Pada umumnya masyarakat di wilayah kawasan hutan Kabupaten Lampung Barat sudah mengunakan air bersih yang disalurkan melalui paralon dari sumber air untuk konsumsi masyarakat yang berdomisili di sekitarnya. Namun untuk penerangan listrik tidak semua wilayah dapat dilayani jaringan listrik baik oleh pemerintah maupun swasta karena keterbatasan infrastruktur dengan lokasi yang sangat terpencil dan sulit dijangkau. Padahal banyak sekali potensi yang dapat digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik secara mikro untuk kelompok masyarakat dengan jumlah tertentu. Secara khusus sub DAS Way Besai ini berada di Kabupaten Lampung Barat dengan wilayah 5 Kecamatan yaitu Sumber Jaya, Kebun Tebu, Gedung Surian, Way Tenong, dan Air Hitam, dimana masih ada wilayah pelosok yang belum menikmati listrik. Sehari-harinya masyarakat di daerah pelosok masih menggunakan lampu minyak tanah untuk kebutuhan penerangan pada malam hari.

Dengan kondisi tersebut program SCBFWM menawarkan peluang untuk hibah kecil, untuk mendapatkan hibah ini kelompok masyarakat melakukan urun rembug bersama dalam mengajukan usulan kegiatan untuk kebutuhan penerangan. Kelompok yang diberikan hibah kecil antara lain KWT Rimba Sejati Pekon Rigis Jaya dan kelompok Jaya Tani Pekon Suka Damai keduanya berada di Kecamatan Air Hitam, sedangkan HKm Mardi Rukun Pekon Simpang Sari berada di Kecamatan Sumber Jaya. Masing-masing kelompok masyarakat tersebut jauh dari jangkauan listrik PLN karena kondisi wilayah yang sangat terpencil, keterbatasan infrastruktur dan dekat dengan kawasan hutan lindung. Kelompok masyarakat ini dipilih melalui tim seleksi juga verifikasi lapang, dan disetujui untuk mendapatkan hibah kecil (Small Grant Programme) dalam rangka menuntaskan ide besar kelompok agar masyarakat yang bermukim di daerah pedalaman namun di luar hutan lindung dapat juga menikmati listrik dengan dikelola secara mandiri dan berkelanjutan (Buletin Bina DAS, 2011).

Dalam pelaksanaan program SCBFWM kelompok masyarakat ikut serta menanggung biaya pembangunan mikro hidro secara swadaya selain dana hibah yang

Page 37: best practices scbfwm 2014 regional lampung

24

diberikan, dan kelompok masyarakat tersebut telah menunjukkan partisipasinya mengadakan musyawarah, hasil dari musyawarah tersebut mendapatkan kesepakatan yaitu, sanggup mengadakan material secara swadaya, sanggup menyediakan bibit dalam melindungi sumber mata air serta menyediakan lokasi tempat mikro hidro.

Tujuan dan Hasil Yang Diharapkan

Tujuan dari kegiatan ini adalah memanfaatkan potensi air sebagai pembangkit tenaga listrik (mikro hidro/Turbin), meningkatnya kualitas hidup masyarakat dan pelestarian hutan di sekitar pekon.

Sedangkan hasil yang diharapkan dengan dibangunnya mikro hidro terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat setempat, adanya rencana kegiatan dan aktifitas bersama dalam pelestarian SDA/Hutan untuk menjaga debit air, terbangunnya kelembagaan yang kuat dan mampu menjadi penggerak masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial.

Manfaat

Manfaat sumber air yang tersedia untuk tenaga listrik, diharapkan akan lebih memberikan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hutan sehingga kemudian tergerak untuk melindungi potensi tersebut, di samping itu dengan dibangunnya mikro hidro/turbin diharapkan akan menguatkan kelembagaan kelompok masyarakat karena semangat kebersamaan, rasa memiliki, dan terbangunnya aturan bersama, sedangkan dari segi ekonomi dengan dibangunnya mikro hidro/turbin juga akan memperkuat permodalan usaha simpan-pinjam yang selama ini dilakukan. Adanya kesepakatan untuk membayar jasa yang diterima dari mikro hidro maka dana tersebut dapat digunakan untuk pemeliharaan, pelestaraian dan simpan pinjam. Dengan demikian kelompok mampu mendorong tumbuhnya usaha produktif anggota dan berbagai usaha baru yang berbasis listrik.

Apa itu Mikro Hidro dan Peranan Hutan Sebagai Penghasil Air?

PLTMH merupakan singkatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, yaitu alat yang menghasilkan listrik dengan menggunakan sumber tenaga air. Sedangkan mikro menunjukkan ukuran kapasitas pembangkit yang berkapasitas kecil yaitu antara 5 kW sampai 100 kW, cara kerja PLTMH secara sederhana yaitu air dalam jumlah tertentu yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu menggerakkan kincir yang ada pada turbin. PLTMH, kemudian putaran turbin tersebut digunakan untuk menggerakkan generator (dynamo listrik). Listrik yang dihasilkan akan dialirkan melalui kabel ke rumah-rumah. Jadi PLTMH mengubah tenaga gerak yang berasal dari air menjadi listrik (Kristian. M dkk, 2010)

Page 38: best practices scbfwm 2014 regional lampung

25

diberikan, dan kelompok masyarakat tersebut telah menunjukkan partisipasinya mengadakan musyawarah, hasil dari musyawarah tersebut mendapatkan kesepakatan yaitu, sanggup mengadakan material secara swadaya, sanggup menyediakan bibit dalam melindungi sumber mata air serta menyediakan lokasi tempat mikro hidro.

Tujuan dan Hasil Yang Diharapkan

Tujuan dari kegiatan ini adalah memanfaatkan potensi air sebagai pembangkit tenaga listrik (mikro hidro/Turbin), meningkatnya kualitas hidup masyarakat dan pelestarian hutan di sekitar pekon.

Sedangkan hasil yang diharapkan dengan dibangunnya mikro hidro terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat setempat, adanya rencana kegiatan dan aktifitas bersama dalam pelestarian SDA/Hutan untuk menjaga debit air, terbangunnya kelembagaan yang kuat dan mampu menjadi penggerak masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial.

Manfaat

Manfaat sumber air yang tersedia untuk tenaga listrik, diharapkan akan lebih memberikan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hutan sehingga kemudian tergerak untuk melindungi potensi tersebut, di samping itu dengan dibangunnya mikro hidro/turbin diharapkan akan menguatkan kelembagaan kelompok masyarakat karena semangat kebersamaan, rasa memiliki, dan terbangunnya aturan bersama, sedangkan dari segi ekonomi dengan dibangunnya mikro hidro/turbin juga akan memperkuat permodalan usaha simpan-pinjam yang selama ini dilakukan. Adanya kesepakatan untuk membayar jasa yang diterima dari mikro hidro maka dana tersebut dapat digunakan untuk pemeliharaan, pelestaraian dan simpan pinjam. Dengan demikian kelompok mampu mendorong tumbuhnya usaha produktif anggota dan berbagai usaha baru yang berbasis listrik.

Apa itu Mikro Hidro dan Peranan Hutan Sebagai Penghasil Air?

PLTMH merupakan singkatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, yaitu alat yang menghasilkan listrik dengan menggunakan sumber tenaga air. Sedangkan mikro menunjukkan ukuran kapasitas pembangkit yang berkapasitas kecil yaitu antara 5 kW sampai 100 kW, cara kerja PLTMH secara sederhana yaitu air dalam jumlah tertentu yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu menggerakkan kincir yang ada pada turbin. PLTMH, kemudian putaran turbin tersebut digunakan untuk menggerakkan generator (dynamo listrik). Listrik yang dihasilkan akan dialirkan melalui kabel ke rumah-rumah. Jadi PLTMH mengubah tenaga gerak yang berasal dari air menjadi listrik (Kristian. M dkk, 2010)

PLTMH mempunyai beberapa bagian penting yang mendukung kemampuan kerjanya. Peralatan penting yang ada antara lain :

1. Saluran Pengambilan (Intake)

Intake adalah penyadapan air bendungan sungai, atau dam atau danau ke saluran air. Biasanya berada di bibir sungai ke arah hulu sungai, Pada pintu air biasanya terdapat perangkap sampah.

2. Saluran Pembawa (Headrace).

Membawa air dari saluran pemasukan (Intake) kea rah bak pengendap

3. Bak Pengendap/Bak Penenang (Forebay)

Mengendapkan tanah yang terbawa dalam air sehingga tidak masuk ke pipa pesat. Bak Pengendap sama dengan Bak penenang pada PLTMH kecil

4. Pipa pesat (Penstock)

Penstock adalah pipa yang membawa air jatuh ke arah mesin Turbin. Disamping itu, pipa pesat juga mempertahankan tekanan air jatuh sehingga energi di dalam gerakan air tidak terbuang. Air di dalam pipa pesat tidak boleh bocor karena dapat mengakibatkan hilangnya tekanan air.

5. Rumah Pembangkit (Power House)

Power house adalah rumah tempat semua peralatan mekanik dan elektrik PLTMH. Peralatan Mekanik seperti Turbin dan Generator berada dalam rumah pembangkit, demikian pula peralatan elektrik seperti kontroler

6. Mesin PLTMH atau Turbin

Berada dalam rumah pembangkit, mesin ini mengubah tenaga air menjadi mekanik (tenaga putar/gerak) Turbin termasuk alat mekanik, Turbin dengan bantuan sabuk pemutar (v belt) memutar generator (dinamo besar penghasil listrik) untuk mengubah tenaga putar/gerak menjadi listrik. Generator termasuk alat mekanik.

7. Panel atau peralatan pengontrol listrik.

Biasanya berbentuk kotak yang di tempel di dinding. Berisi peralatan elektronik untuk mengatur listrik yang dihasilkan generator. Panel termasuk alat elektrik

Page 39: best practices scbfwm 2014 regional lampung

26

8. Jaringan Kabel listrik

Kabel yang menyalurkan listrik dari rumah pembangkit ke rumah pelanggan dengan bantuan tiang. (Kristian Mairi dkk, 2010)

Peranan Hutan Sebagai Penghasil Air

Menurut Asdak (2004), dalam suatu sistem DAS, hutan di daerah hulu merupakan “daerah penghasil air” untuk daerah di bawahnya dan diposisikan sebagai zona konservasi air. Sumber mata air yang menjadi awal munculnya anak sungai dan menentukan kontinuitas aliran sungai berada di wilayah ini. Stabilitas dan fluktuasi aliran sungai sangat tergantung pada kualitas penutupan hutan. Sehingga apabila terjadi kerusakan hutan maka konsekuensinya terjadi berbagai gangguan sistem DAS seperti banjir, longsor dan kekeringan.

Faktor yang dinilai paling strategis dalam pencapaian tujuan kelestarian fungsi hutan adalah pengembagan partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan disekitarnya yang muncul sebagai dampak dari hubungan timbal balik positif antara kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Apabila pengelola hutan sukses mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan maka sebagian besar persoalan yang dihadapi sudah terpecahkan. Kunci dari kesuksesan pengembangan partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan disekitarnya adalah apabila hutan mampu memberikan manfaat nyata bagi mereka dan masyarakat dapat melihat dan merasakan langsung keterkaitan yang tegas antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan.

Salah satu fungsi hutan yang sangat vital bagi hajat hidup manusia adalah sebagai pengatur tata air (water regulator). Hutan dan hasil air adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena air, sebagai unsur utama dalam DAS, secara alamiah mengalir dari hulu ke hilir dari atas menuju bawah, upaya pemecahan masalah dalam pengelolaan DAS juga dimulai dari pengelolaan hutan di daerah hulu baik berkaitan dengan persoalan biofisik maupun sosial ekonomi kelembagaan. Salah satu bentuk kegiatan pemanfaatan hasil air yang dilakukan sebagai bagian dari upaya menjalin hubungan baik hutan dan masyarakat yang ada di sekitarnya adalah dalam bentuk pembangunan mikro hidro elektrik. Mikro hidro elektrik adalah pembangkit listrik skala kecil (< 100 kW) yang digerakkan dengan menggunakan tenaga air, (Hadinungroho dkk, 2006).

Siapa saja yang terlayani ?

Berikut beberapa kelompok penerima hibah kecil program SCBFWM di sub DAS Way Besai yang diwujudkan dalam bentuk mikro hidro :

Page 40: best practices scbfwm 2014 regional lampung

27

8. Jaringan Kabel listrik

Kabel yang menyalurkan listrik dari rumah pembangkit ke rumah pelanggan dengan bantuan tiang. (Kristian Mairi dkk, 2010)

Peranan Hutan Sebagai Penghasil Air

Menurut Asdak (2004), dalam suatu sistem DAS, hutan di daerah hulu merupakan “daerah penghasil air” untuk daerah di bawahnya dan diposisikan sebagai zona konservasi air. Sumber mata air yang menjadi awal munculnya anak sungai dan menentukan kontinuitas aliran sungai berada di wilayah ini. Stabilitas dan fluktuasi aliran sungai sangat tergantung pada kualitas penutupan hutan. Sehingga apabila terjadi kerusakan hutan maka konsekuensinya terjadi berbagai gangguan sistem DAS seperti banjir, longsor dan kekeringan.

Faktor yang dinilai paling strategis dalam pencapaian tujuan kelestarian fungsi hutan adalah pengembagan partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan disekitarnya yang muncul sebagai dampak dari hubungan timbal balik positif antara kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Apabila pengelola hutan sukses mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan maka sebagian besar persoalan yang dihadapi sudah terpecahkan. Kunci dari kesuksesan pengembangan partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan disekitarnya adalah apabila hutan mampu memberikan manfaat nyata bagi mereka dan masyarakat dapat melihat dan merasakan langsung keterkaitan yang tegas antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan.

Salah satu fungsi hutan yang sangat vital bagi hajat hidup manusia adalah sebagai pengatur tata air (water regulator). Hutan dan hasil air adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena air, sebagai unsur utama dalam DAS, secara alamiah mengalir dari hulu ke hilir dari atas menuju bawah, upaya pemecahan masalah dalam pengelolaan DAS juga dimulai dari pengelolaan hutan di daerah hulu baik berkaitan dengan persoalan biofisik maupun sosial ekonomi kelembagaan. Salah satu bentuk kegiatan pemanfaatan hasil air yang dilakukan sebagai bagian dari upaya menjalin hubungan baik hutan dan masyarakat yang ada di sekitarnya adalah dalam bentuk pembangunan mikro hidro elektrik. Mikro hidro elektrik adalah pembangkit listrik skala kecil (< 100 kW) yang digerakkan dengan menggunakan tenaga air, (Hadinungroho dkk, 2006).

Siapa saja yang terlayani ?

Berikut beberapa kelompok penerima hibah kecil program SCBFWM di sub DAS Way Besai yang diwujudkan dalam bentuk mikro hidro :

a. KELOMPOK WANITA TANI RIMBA SEJATI

Kelompok Wanita Tani (KWT) Rimba Sejati dibentuk sebagai wadah untuk tukar informasi antar anggota, tempat pelatihan dan membangun kebersamaan baik dalam bidang sosial, agama, maupun ekonomi. KWT Rimba Sejati didirikan pada tahun 2004 yang diinisiasi oleh Watala dan aparat Pekon Gunung Terang. Saat ini kegiatan yang dilakukan adalah simpan pinjam, iuran kerja di kebun untuk membantu pertanian dari awal sampai pasca panen. Dari iuran kerja inilah terkumpul modal yang kemudian digulirkan untuk simpan pinjam. Sumber dana lainnya adalah arisan, dan tabungan yang biasanya dibagikan pada saat hari raya. Kegiatan lainnya adalah pengajian rutin. Jumlah anggota dari awal berdiri sampai sekarang tetap berjumlah 30 orang yang semuanya membantu suami yang mempunyai lahan garapan di areal HKm. Keberadaan KWT ini sudah sangat membantu kegiatan ibu-ibu walaupun masih sangat banyak keterbatasan. Untuk mengatur kegiatan kelompok diatur dalam aturan internal kelompok yang masih sederhana ini. Pembuatan mikro hidro dirasakan sebagai kebutuhan yang sangat mendesak yang dibutuhkan oleh anggota KWT Rimba Sejati, mengingat sebelum adanya mikrohidro dari SCBFWM penerangan seluruh anggota KWT Rimba Sejati adalah lampu Teplok dari minyak tanah

Menurut ibu Mariani ketua KWT Rimba Sejati, “dengan adanya mikro hidro maka anak kami bisa belajar di rumah dan tidak perlu menggunakan lampu minyak tanah lagi, dan kami sadar untuk menjaga kelestarian hutan sebagai sumber mata air bagi kelangsungan hidup kami “.

Gambar 3.1. Pembangunan mikro hidro tidak terlepas dari peran serta bapak-bapak anggota kelompok HKm Rigis Jaya

Page 41: best practices scbfwm 2014 regional lampung

28

Secara Ekonomi: Membantu menurunkan biaya pengeluaran untuk penerangan seiring adanya kebijakan pemerintah yang menghapus subsidi minyak tanah sehingga harga minyak tanah menjadi sangat mahal, bahkan mencapai Rp 12.000,- /liter. Jika dalam waktu satu bulan satu anggota rata-rata menghabiskan minyak tanah sebanyak 10 liter, maka dana yang harus dikeluarkan utuk membeli minyak tanah dalam satu bulan kira-kira sejumlah Rp 120.000,-.

Secara konservasi membantu meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya menjaga dan memellihara lingkungan. Operasional mikrohidro tergantung dari ketersediaan air, jika musim kemarau maka debit air berkurang yang mengakibatkan listrik menjadi tidak normal. Jika musim penghujan bendungan cepat penuh dengan sedimentasi pasir, sehingga dibutuhkan gotong royong untuk mengangkat pasir.

Gambar 3.2. Pembibitan secara swadaya oleh anggota kelompok KWT Rimba Sejati

Dengan adanya kenyataan yang demikian maka anggota kelompok mulai sadar bahwa penanaman pohon perlu dilakukan agar kondisi air tetap stabil dan mengurangi resiko pengikisan tanah oleh air sungai yang dapat menyebabkan penumpukan sedimen.

b. KELOMPOK HKM MARDI RUKUN

Kelompok HKm Mardi Rukun merupakan kelompok HKm yang terletak di Pekon Simpang Sari, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat. Kelompok ini memiliki anggota sebanyak 405 orang dengan luas areal kerja Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) seluas 706,5 Ha yang terdiri dari blok budidaya 646,5 Ha dan blok hutan perlindungan seluas 60 Ha. Izin UPHKm sendiri

Page 42: best practices scbfwm 2014 regional lampung

29

Secara Ekonomi: Membantu menurunkan biaya pengeluaran untuk penerangan seiring adanya kebijakan pemerintah yang menghapus subsidi minyak tanah sehingga harga minyak tanah menjadi sangat mahal, bahkan mencapai Rp 12.000,- /liter. Jika dalam waktu satu bulan satu anggota rata-rata menghabiskan minyak tanah sebanyak 10 liter, maka dana yang harus dikeluarkan utuk membeli minyak tanah dalam satu bulan kira-kira sejumlah Rp 120.000,-.

Secara konservasi membantu meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya menjaga dan memellihara lingkungan. Operasional mikrohidro tergantung dari ketersediaan air, jika musim kemarau maka debit air berkurang yang mengakibatkan listrik menjadi tidak normal. Jika musim penghujan bendungan cepat penuh dengan sedimentasi pasir, sehingga dibutuhkan gotong royong untuk mengangkat pasir.

Gambar 3.2. Pembibitan secara swadaya oleh anggota kelompok KWT Rimba Sejati

Dengan adanya kenyataan yang demikian maka anggota kelompok mulai sadar bahwa penanaman pohon perlu dilakukan agar kondisi air tetap stabil dan mengurangi resiko pengikisan tanah oleh air sungai yang dapat menyebabkan penumpukan sedimen.

b. KELOMPOK HKM MARDI RUKUN

Kelompok HKm Mardi Rukun merupakan kelompok HKm yang terletak di Pekon Simpang Sari, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat. Kelompok ini memiliki anggota sebanyak 405 orang dengan luas areal kerja Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) seluas 706,5 Ha yang terdiri dari blok budidaya 646,5 Ha dan blok hutan perlindungan seluas 60 Ha. Izin UPHKm sendiri

diterbitkan oleh Bupati Kabupaten Lampung Barat pada bulan Februari tahun 2007 yang lalu. Lokasi HKm ini relatif terpencil dan salah satu persoalan yang dihadapi oleh anggota adalah ketiadaan fasilitas listrik dari PLN. Atas dasar itulah, maka kelompok HKm ini mengusulkan pembuatan sarana pembangkit mikro hidro. Usulan tersebut meliputi pembelian turbin, pembuatan bak untuk terjunan, dan instalasi jaringan. Sementara, untuk kegiatan fisik di lapangan, kelompok melaksanakannya secara swadaya. Jumlah hibah yang diberikan adalah Rp 23 juta rupiah untuk pembelian dinamo, turbin, kabel dan lampu. Sedangkan pemasangannya dilakukan secara gotong royong. Hasil yang didapatkan adalah fasilitas listrik yang dapat melayani sekitar 20 kepala keluarga dimana masing-masing keluarga mendapat alokasi dua lampu.

Gambar 3.3. Gotong royong warga dalam pembangunan mikro hidro

Fasilitas ini benar-benar telah memberikan manfaat yang besar untuk masyarakat yang memang berada pada lokasi yang agak terpencil. Menurut Pak Suroto selaku pengurus kelompok HKm Mardi Rukun, “program ini sangat menyentuh bagi kami dimana masyarakat yang berada dilokasi terpencil seperti ini tidak mampu membangun mikro hidro kini melalui program SCBFWM bisa mendapatkan penerangan listrik. Tantangan terbesar untuk HKm Mardi Rukun adalah bagaimana fasilitas tersebut dapat tetap dikelola sehingga dapat berfungsi untuk jangka waktu yang panjang. Tentunya hal ini membutuhkan ketekunan pengurus dalam memelihara serta meningkatkan fasilitas yang telah didapat tersebut.”

Untuk memelihara turbin anggota kelompok memberikan iuran sebesar Rp. 10.000,- per/bulan, uang tersebut digunakan untuk memelihara mikro hidro dan sisanya dimasukkan ke KAS kelompok.

Page 43: best practices scbfwm 2014 regional lampung

30

Gambar 3.4. Anggota keluarga penerima manfaat mikro hidro

Sedangkan untuk menjaga sumber mata air di lokasi mikro hidro anggota melaksanakan pembibitan secara swadaya, yang terdiri dari Cempaka, Karet, Jengkol, dan Durian yang ditanam di lokasi anakan sungai tempat pembangunan mikro hidro, diharapkan fasilitas hibah SCBFWM ini memberi manfaat yang berkelanjutan.

Gambar 3.5. Penanaman bibit secara swadaya oleh HKm Mardi Rukun dalam menjaga dan melindungi sumber mata air

C. Kelompok Jaya Tani

Kelompok Jaya Tani berada di pekon Suka Damai Kecamatan Air Hitam Kabupaten Lampung Barat, kelompok ini berjumlah 17 orang yang berada diwilayah lokasi terpencil dan jauh dari jangkauan listrik, melalui program SCBFWM tahun 2014 mereka difasilitasi untuk pembangunan mikro hidro yang dapat menerangi sebanyak

Page 44: best practices scbfwm 2014 regional lampung

31

Gambar 3.4. Anggota keluarga penerima manfaat mikro hidro

Sedangkan untuk menjaga sumber mata air di lokasi mikro hidro anggota melaksanakan pembibitan secara swadaya, yang terdiri dari Cempaka, Karet, Jengkol, dan Durian yang ditanam di lokasi anakan sungai tempat pembangunan mikro hidro, diharapkan fasilitas hibah SCBFWM ini memberi manfaat yang berkelanjutan.

Gambar 3.5. Penanaman bibit secara swadaya oleh HKm Mardi Rukun dalam menjaga dan melindungi sumber mata air

C. Kelompok Jaya Tani

Kelompok Jaya Tani berada di pekon Suka Damai Kecamatan Air Hitam Kabupaten Lampung Barat, kelompok ini berjumlah 17 orang yang berada diwilayah lokasi terpencil dan jauh dari jangkauan listrik, melalui program SCBFWM tahun 2014 mereka difasilitasi untuk pembangunan mikro hidro yang dapat menerangi sebanyak

17 kepala keluarga, dengan aturan yang diterapkan yaitu 1 kepala keluarga wajib membayar iuran sebesar Rp. 10.000,- perbulan, sedangkan jika menggunakan televisi mereka menambah iuran sebesar Rp, 15.000,- perbulan. Dalam melaksanakan programnya kelompok ini mendapat fasilitas dari SCBFWM berupa I unit mikro hidro dengan anggaran Rp. 23.000.000,-. Dengan adanya mikro hidro mereka sadar untuk memelihara kawasan hutan dan sumber mata air. Sumber mata air yang bermanfaat dalam hal penerangan, serta kebutuhan lainnya seperti : magic com, setrika listrik dan TV sebagai media hiburan dan informasi bagi kelompok masyarakat di pekon Suka Damai

Gambar 3.6. Kelompok Jaya Tani melakukan pemasangan mikro hidro

Dari pemasangan mikro hidro kelompok ini tidak kesulitan lagi mendapatkan penerangan. Mayoritas masyarakat ini merupakan masyarakat pendatang yang berasal dari Jawa Barat yang sudah lama menetap di pekon Suka Damai dengan ketiadaan listrik.

Page 45: best practices scbfwm 2014 regional lampung

32

Gambar 3.7. Keluarga penerima manfaat penerangan mikro hidro saat menonton televisi

Selama ini di wilayah sub DAS Way Besai telah ada seperangkat kelompok- kelompok yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya. Umumnya kelompok-kelompok masyarakat lokal ini masih bersifat sangat tradisional dengan berbagai kekurangan-kekurangan yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern. Peranan kelompok masyarakat sangat penting untuk menjadi wadah atau saluran pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan pedesaan sekaligus sebagai pemegang estafet pemeliharaan investasi pemerintah agar berkelanjutan.

Pengembangan kelembagaan lokal memang tidak mudah sebuah kelembagaan bersama bisa berjalan dengan baik ada kesepakatan bersama dari seluruh stakeholders untuk merumuskan tujuan bersama, karena pada esensinya kelembagaan dibentuk untuk mengatur dan mengarahkan perilaku seluruh stakeholders agar mengarah pada tujuan yang sama. Kesepakatan itu penting untuk terbentuknya tujuan sosial untuk memulai suatu kerjasama. Kerjasama timbul apabila individu menyadari mempunyai tujuan yang sama/kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian diri untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Soekanto, 1990).

Salah satu faktor pendorong bertumbuhnya kelembagaan lokal yang baik di sub DAS Way Besai dalam kegiatan pembangunan mikro hidro di Kecamatan Air Hitam dan Kecamatan Sumber Jaya adalah bahwa dengan adanya PLTMH maka ada kegiatan rutin kelompok masyarakat yang menjamin kelompok ini tetap eksis seperti, terbentuknya struktur pengurus kelompok yang disepakati bersama, adanya aturan

Page 46: best practices scbfwm 2014 regional lampung

33

Gambar 3.7. Keluarga penerima manfaat penerangan mikro hidro saat menonton televisi

Selama ini di wilayah sub DAS Way Besai telah ada seperangkat kelompok- kelompok yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya. Umumnya kelompok-kelompok masyarakat lokal ini masih bersifat sangat tradisional dengan berbagai kekurangan-kekurangan yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern. Peranan kelompok masyarakat sangat penting untuk menjadi wadah atau saluran pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan pedesaan sekaligus sebagai pemegang estafet pemeliharaan investasi pemerintah agar berkelanjutan.

Pengembangan kelembagaan lokal memang tidak mudah sebuah kelembagaan bersama bisa berjalan dengan baik ada kesepakatan bersama dari seluruh stakeholders untuk merumuskan tujuan bersama, karena pada esensinya kelembagaan dibentuk untuk mengatur dan mengarahkan perilaku seluruh stakeholders agar mengarah pada tujuan yang sama. Kesepakatan itu penting untuk terbentuknya tujuan sosial untuk memulai suatu kerjasama. Kerjasama timbul apabila individu menyadari mempunyai tujuan yang sama/kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian diri untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Soekanto, 1990).

Salah satu faktor pendorong bertumbuhnya kelembagaan lokal yang baik di sub DAS Way Besai dalam kegiatan pembangunan mikro hidro di Kecamatan Air Hitam dan Kecamatan Sumber Jaya adalah bahwa dengan adanya PLTMH maka ada kegiatan rutin kelompok masyarakat yang menjamin kelompok ini tetap eksis seperti, terbentuknya struktur pengurus kelompok yang disepakati bersama, adanya aturan

kelompok yang telah disepakati bersama, adanya kegiatan rutin pemeliharaan turbin dan sarana pendukungnya, adanya kegiatan penanaman pohon dan pemeliharaan tanaman di saluran air dan cathchment area sungai menjadi sumber air penggerak turbin, adanya iuran bulanan listrik, kelengkapan administrasi kelompok dan adanya rapat rutin kelompok tiap bulan dan rapat tahunan.

Selain faktor pendorong tersebut di atas, hal yang paling penting bagi tumbuh kembangnya kelembagaan lokal adalah karena adanya tujuan bersama yang jelas yang dapat dirasakan langsung manfaatnya secara bersama-sama yaitu masyarakat dapat menikmati listrik yang murah yang selama ini mereka damba-dambakan.

KESIMPULAN

1. Adanya mikro hidro tidak hanya menjadi sumber penerangan bagi masyarakat daerah terpencil, namun juga menjadi sumber pendapatan kelompok dalam mengelola keuangan yang diperoleh dari iuran pembayaran langganan listrik.

2. Pengembangan mikro hidro tidak hanya memberi dampak pada kesejahteraan warga, namun juga dalam meningkatkan kualitas hutan dan DAS yang ada di sekitar mereka, karena setiap anggota akan terdorong untuk melindungi hutan dan DAS sebagai sumber energi terbarukan yang menggerakkan turbin mikro hidro.

3. Proses pendampingan kelompok masyarakat harus terus menerus dilakukan walaupun kegiatan pembangunan fisik selesai sampai masyarakat dianggap bisa mengelola secara mandiri pembangunan mikro hidro yang telah diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Buletin Bina DAS, 2011. Proyek Penguatan dan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat. Jakarta

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Hadinugroho, H.Y.S, 2009. Membangun Desa Mandiri Energi dengan Hasil Air dari Hutan. Booklet. Balai Penelitian Kehutanan Makasar.

Kristian Mairi, Laode Asir Tira, Iwanuddin, 2010. Penelitian Pengembangan Mikro Hidro elektrik dengan pemanfaatan hasil air DAS di Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado

Soekanto, S., 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar. P.T. Raja grafindo Persada. Jakarta.

Page 47: best practices scbfwm 2014 regional lampung

34

MODEL 2 PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT, PEMBELAJARAN

DARI HKM BINAWANA DALAM MELESTARIKAN HUTAN DAN MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Oleh : Gilang Priyatno,S.Pd

(Fasilitator Lapangan program SCBFWM)

Latar Belakang

Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) pertama kali dikeluarkan pada tahun 1995 melalui penerbitan Kepmenhut No.622/Kpts-II/1995. Tindaklanjutnya, Dirjen Pemanfaatan Hutan, didukung oleh para LSM, universitas, dan lembaga internasional, merancang proyek-proyek uji-coba di berbagai tempat dalam pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Hingga tahun 1997, bentuk pengakuan HKm masih sangat kecil. Lalu Menteri kehutanan mengeluarkan Keputusan No. 677/Kpts-II/1997, mengubah Keputusan No.622/Kpts-II/1995. Regulasi ini memberi ruang pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) yang terbatas pada pemanfaatan hutan. Menteri Kehutanan juga merancang pelayanan kredit agar masyarakat yang berminat dapat memulai unit-unit usaha berbasis hasil hutan. Promosi bentuk HKm ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.

Kemudian Keputusan Menteri kehutanan tersebut di rubah dengan mengeluarkan Kepmenhut No. 31/Kpts-II/2001. Dengan adanya keputusan ini, masyarakat diberi keleluasaan lebih besar dalam mengelola kawasan hutan. Namun lagi-lagi keputusan tersebut tidak membuahkan hasil yang maksimal karena adanya kerancuan kebijakan dan tidak terakomodasikannya hak-hak masyarakat setempat. Keputusan-keputusan terhadap Kelompok Masyarakat di atas juga pada intinya digunakan oleh pemerintah untuk melindungi kawasan hutan khususnya hutan produksi yang tidak tercakup dalam kawasan HPH skala besar.

Kebijakan itu kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan kemudian diikuti dengan perubahan-perubahannyanya (Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009, Permenhut No. P.13/Menhut-II/2010, hingga Permenhut No.P52/Menhut-

Page 48: best practices scbfwm 2014 regional lampung

35

MODEL 2 PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT, PEMBELAJARAN

DARI HKM BINAWANA DALAM MELESTARIKAN HUTAN DAN MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Oleh : Gilang Priyatno,S.Pd

(Fasilitator Lapangan program SCBFWM)

Latar Belakang

Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) pertama kali dikeluarkan pada tahun 1995 melalui penerbitan Kepmenhut No.622/Kpts-II/1995. Tindaklanjutnya, Dirjen Pemanfaatan Hutan, didukung oleh para LSM, universitas, dan lembaga internasional, merancang proyek-proyek uji-coba di berbagai tempat dalam pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Hingga tahun 1997, bentuk pengakuan HKm masih sangat kecil. Lalu Menteri kehutanan mengeluarkan Keputusan No. 677/Kpts-II/1997, mengubah Keputusan No.622/Kpts-II/1995. Regulasi ini memberi ruang pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) yang terbatas pada pemanfaatan hutan. Menteri Kehutanan juga merancang pelayanan kredit agar masyarakat yang berminat dapat memulai unit-unit usaha berbasis hasil hutan. Promosi bentuk HKm ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.

Kemudian Keputusan Menteri kehutanan tersebut di rubah dengan mengeluarkan Kepmenhut No. 31/Kpts-II/2001. Dengan adanya keputusan ini, masyarakat diberi keleluasaan lebih besar dalam mengelola kawasan hutan. Namun lagi-lagi keputusan tersebut tidak membuahkan hasil yang maksimal karena adanya kerancuan kebijakan dan tidak terakomodasikannya hak-hak masyarakat setempat. Keputusan-keputusan terhadap Kelompok Masyarakat di atas juga pada intinya digunakan oleh pemerintah untuk melindungi kawasan hutan khususnya hutan produksi yang tidak tercakup dalam kawasan HPH skala besar.

Kebijakan itu kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan kemudian diikuti dengan perubahan-perubahannyanya (Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009, Permenhut No. P.13/Menhut-II/2010, hingga Permenhut No.P52/Menhut-

II/2011). Dalam peraturan tersebut, pemerintah menjelaskan petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur untuk memperoleh hak-hak kelola HKm, termasuk rincian proses perijinan dan pemberian ijin usaha pemanfaatan pengelolaan hutan kemasyarakatan (IUPHKm).

Dalam peraturan itu disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. HKm diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat sehingga mereka mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

HKm hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Ketentuannya, hutannya tidak dibebani hak atau ijin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Ijin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. Hutan Kemasyarakatan diperuntukkan bagi masyarakat miskin setempat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan serta menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan.

Salah satu Kelompok Hutan Kemasyarakatan yang telah mendapatkan (IUPHKm) adalah Kelompok Tani Hutan Bina Wana. Kelompok Tani Hutan (KTH) “ Bina Wana” terlokasi di Desa Tribudisykur, Kecamatan Kebun Tebu, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. KTH Bina Wana dibentuk sesuai SK Kepala Desa Tribudisyukur nomer 141/08/SKPTS/2006,tanggal 3 Maret 2006 yang diketuai Bapak Engkos Kosasih. Jumlah anggota kelompok pada saat pembentukan 25 orang, sebagai Penyuluh Kehutanan pendamping Bapak Suwarman dan sebagai Instansi Pembina adalah Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, perikanan dam kehutanan (BP4K) Kabupaten Lampung Barat.

Tujuan

1. Menjelaskan kebijakan Menteri Kehutanan dalam mengelola HKm

2. Menguraikan proses dan pemebelajaran dari pelaksanaan HKM di Binawana

3. Mengidentifikasi pengaruh positif kegiatan HKM terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di Pekon Tribudisyukur

Page 49: best practices scbfwm 2014 regional lampung

36

Prosedur Perijinan Dan Proses Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (Hkm)

Pelaksanaan skema Hutan Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama, penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Bupati/Walikota/Gubernur); ketiga, pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pemegang izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan.

Untuk melaksanakan skema HKm ada empat perizinan yang dibutuhkan, yaitu

a. Permohon IUPHKM;

b. Penetapan Area Kerja HKm;

c. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm); dan

d. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam HKm (IUPHHK-HKm).

Permohonan IUPHKM diajukan oleh kelompok/koperasi masyarakat dalam bentuk surat permohonan yang diajukan kepada Bupati/Walikota untuk lokasi di dalam satu wilayah kabupaten/kota atau kepada Gubernur untuk yang berlokasi lintas kabupaten/kota. Di dalam surat tersebut dilampirkan proposal permohonan IUPHKM, surat keterangan kelompok dari Kepala Desa/Lurah, dan sketsa area kerja yang dimohon (memuat letak areal beserta titik koordinatnya, batas-batas perkiraan luasan areal, dan potensi kawasan hutan).

Areal kerja hutan kemasyarakatan adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara lestari. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan ketentuan: belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan ditetapkan oleh Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang Kehutanan

Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi. IUPHKm dapat diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan surat

Page 50: best practices scbfwm 2014 regional lampung

37

Prosedur Perijinan Dan Proses Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (Hkm)

Pelaksanaan skema Hutan Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dapat dipilah dalam 3 tingkatan: pertama, penetapan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan); kedua, perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Bupati/Walikota/Gubernur); ketiga, pengelolaan di lapangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat pemegang izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan.

Untuk melaksanakan skema HKm ada empat perizinan yang dibutuhkan, yaitu

a. Permohon IUPHKM;

b. Penetapan Area Kerja HKm;

c. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm); dan

d. Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam HKm (IUPHHK-HKm).

Permohonan IUPHKM diajukan oleh kelompok/koperasi masyarakat dalam bentuk surat permohonan yang diajukan kepada Bupati/Walikota untuk lokasi di dalam satu wilayah kabupaten/kota atau kepada Gubernur untuk yang berlokasi lintas kabupaten/kota. Di dalam surat tersebut dilampirkan proposal permohonan IUPHKM, surat keterangan kelompok dari Kepala Desa/Lurah, dan sketsa area kerja yang dimohon (memuat letak areal beserta titik koordinatnya, batas-batas perkiraan luasan areal, dan potensi kawasan hutan).

Areal kerja hutan kemasyarakatan adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara lestari. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan ketentuan: belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan ditetapkan oleh Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab dibidang Kehutanan

Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi. IUPHKm dapat diberikan kepada kelompok masyarakat setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan surat

Keputusan Menteri. IUPHKM bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan.

IUPHKm pada HUTAN LINDUNG meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan pada HUTAN PRODUKSI meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

IUPHKm dilarang dipindahtangankan, diagunkan, atau digunakan untuk untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan yang telah disahkan, serta dilarang merubah status dan fungsi kawasan hutan, Jika ketentuan ini dilanggar maka akan dikenai sanksi pencabutan izin.

Gambar 3.8. Tata Perijinan Hutan Kemasyarakatan (Sumber: Partnership Policy Paper No.4/2011, Mendorong Percepatan Program Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa)

IUPHKm diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. Permohonan perpanjangan IUPHKm diajukan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota paling lambat 3 (tiga) tahun sebelum izin berakhir. IUPHKM dapat dihapus bila jangka waktu izin telah berakhir; izin

Gubernur Bupati/Walikota

Kelompok Masyarakat

Sketsa Areal Kerja - Wilayah administrasi - Potensi - Batas Kawasan

Gubernur Bupati/Walikota

Tim Verifikasi

UPT

Menteri Kehutanan

Gubernur Bupati/Walikota

Tim Verifikasi

Tim Verifikasi

Pedoman Verifikasi

Kepastian Hak & Kesesuaian fungsi

Menteri Kehutanan Menetapkan Areal Kerja

Menteri Kehutanan

IUPHKM

IUPHHK HKm

Terima

Terima

Tolak

Page 51: best practices scbfwm 2014 regional lampung

38

dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang izin; izin diserahkan kembali oleh pemegang izin dengan pernyataan tertulis kepada pemberi izin sebelum jangka waktu izin berakhir; dalam jangka waktu izin yang diberikan, pemegang izin tidak memenuhi kewajiban sesuai ketentuan; dan secara ekologis, kondisi hutan semakin rusak;

Permohonan IUPHHK HKm diajukan oleh pemegang IUPHKm yang telah berbentuk koperasi kepada Menteri. IUPHHK-HKm hanya dapat dilakukan areal kerja yang berada di kawasan hutan produksi dan diberikan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan tanaman berkayu yang merupakanhasilpenanamannya. Dalam peraturan itu juga disebutkan bahwa penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berazaskan kepada: (a) manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, (b) musyawarah mufakat, dan (c) keadilan.

Oleh sebab itu, untuk melaksanakannya digunakan prinsip: (a) Tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan, (b) Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dilakukan dari kegiatan penanaman, (c) Mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya, (d) menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa, (e) Meningkatkan kesejahtaraan masyarakat yang berkelanjutan, (f) Memerankan masyarakat sebagai pelaku utama, (g) Adanya kepastian hukum, (h) Transparansi dan akuntabilitas publik (i) Partisipatif dalam pengambilan keputusan.

Harapannya, melalui pola pengelolaan lahan di Area Kerja Hutan Kemasyarakatan, kelestarian hutan tetap terjaga dan pembaikan fungsi hutan dapat ditingkatkan, serta manfaat penerapan sistem tanam multi guna (Multi Purpose Trees Species) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tantangan

1. Yang menjadi sulit dalam pembiayaan jika pemerintah telah memberi status ijin kepada HKm, padahal setelah mendapat ijin, masih banyak kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan seperti tata batas, rencana umum dan rencana operasional yang sangat rumit, pengamanan areal, penataan tata usaha pemanfaatan hasil hutan, dan laporan kerja pemanfatan hasil hutan kepada pemberi ijin. Serta adanya rencana pemanfaatan kayu pada kawasan HP jika masyarakat ingin memanfaatkannya. Beberapa kendala di masyarakat saat ini seperti kasus HKm di Lampung Barat adalah sulitnya pengisian terhadap rencana umum dan rencana operasional. Dengan kata lain, jika tidak ada dukungan dan fasilitasi dari pihak ketiga seperti LSM, Perguruan Tinggi dan pemerintah daerah, pengisian rencana umum dan rencana operasi HKm tidak dapat dilakukan oleh masyarakat pemegang hak HKm.

Page 52: best practices scbfwm 2014 regional lampung

39

dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang izin; izin diserahkan kembali oleh pemegang izin dengan pernyataan tertulis kepada pemberi izin sebelum jangka waktu izin berakhir; dalam jangka waktu izin yang diberikan, pemegang izin tidak memenuhi kewajiban sesuai ketentuan; dan secara ekologis, kondisi hutan semakin rusak;

Permohonan IUPHHK HKm diajukan oleh pemegang IUPHKm yang telah berbentuk koperasi kepada Menteri. IUPHHK-HKm hanya dapat dilakukan areal kerja yang berada di kawasan hutan produksi dan diberikan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan tanaman berkayu yang merupakanhasilpenanamannya. Dalam peraturan itu juga disebutkan bahwa penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berazaskan kepada: (a) manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, (b) musyawarah mufakat, dan (c) keadilan.

Oleh sebab itu, untuk melaksanakannya digunakan prinsip: (a) Tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan, (b) Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dilakukan dari kegiatan penanaman, (c) Mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya, (d) menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa, (e) Meningkatkan kesejahtaraan masyarakat yang berkelanjutan, (f) Memerankan masyarakat sebagai pelaku utama, (g) Adanya kepastian hukum, (h) Transparansi dan akuntabilitas publik (i) Partisipatif dalam pengambilan keputusan.

Harapannya, melalui pola pengelolaan lahan di Area Kerja Hutan Kemasyarakatan, kelestarian hutan tetap terjaga dan pembaikan fungsi hutan dapat ditingkatkan, serta manfaat penerapan sistem tanam multi guna (Multi Purpose Trees Species) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tantangan

1. Yang menjadi sulit dalam pembiayaan jika pemerintah telah memberi status ijin kepada HKm, padahal setelah mendapat ijin, masih banyak kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan seperti tata batas, rencana umum dan rencana operasional yang sangat rumit, pengamanan areal, penataan tata usaha pemanfaatan hasil hutan, dan laporan kerja pemanfatan hasil hutan kepada pemberi ijin. Serta adanya rencana pemanfaatan kayu pada kawasan HP jika masyarakat ingin memanfaatkannya. Beberapa kendala di masyarakat saat ini seperti kasus HKm di Lampung Barat adalah sulitnya pengisian terhadap rencana umum dan rencana operasional. Dengan kata lain, jika tidak ada dukungan dan fasilitasi dari pihak ketiga seperti LSM, Perguruan Tinggi dan pemerintah daerah, pengisian rencana umum dan rencana operasi HKm tidak dapat dilakukan oleh masyarakat pemegang hak HKm.

2. Ada juga persoalan ketidaksinergisan antara direktorat di Kemenhut untuk mendorong pengembangan HKm. Misal antara Dirjen BPDAS-PS, BUK dan Planologi terkhusus eselon tiga ke bawah belum sepaham dan ada kepentingan tarik menarik dalam penetapan areal HKm. Ada upaya penyederhanaan proses perijinan yang sebelumnya koordinatornya adalah Baplan sekarang ke BPDAS-PS agar proses lebih terfokus dan mudah. Namun, ego sektoral juga masih terjadi sebagai contoh dalam proses pemetaan kawasan masih terkendala juga di Baplan khususnya mengenai standar peta. Menurut Baplan, banyak peta-peta pengajuan calon lokasi HKm dianggap tidak mengikuti standar kemenhut. Saat ini memang ada wewenang untuk verifikasi peta ke BPDAS dan BPKH, namun ada persoalan kognisi sentralistik dan kebiasaan fasilitasi peta yang mendapat benefit pada perusahaan, sebaliknya pada HKm tidak. Padahal seharusnya hal tersebut sebagai tugas wajib yang telah diamanatkan oleh P.37 tahun 2007.

3. Kebijakan administrasi wilayah hutan; hingga saat ini belum ada kejelasan batasan hak masyarakat dengan areal HP. Kesalahan pemetaan HP pada jaman orde baru masih menjadi acuan dalam pencadangan areal HKm. Sehingga konflik legalitas lahan belum terselesaikan. Banyaknya kepemilikan tanah masyarakat dimana secara kesejarahan di areal HP belum tertuntaskan dengan baik. Oleh karena itu, masih diperlukan kerjasama dengan pihak pemda dan BPN dalam menyelesaian persoalan ini.

Kegiatan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat

Di tengah-tengah keprihatinan para aktivis lingkungan akibat ancaman pemanasan global, di Lampung kini muncul harapan tumbuh dan berkembangnya konservasi hutan berbasis masyarakat. Dengan mengusung semboyan”hutan lestari, rakyat sejahtera”, sejak tahun 2000 lalu sebanyak 6.537 keluarga petani yang tinggal di sekitar hutan lindung dan hutan produksi di Kabupaten Lampung Barat melaksanakan program Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Mereka berinisiatif untuk kembali membangun hutan yang kondisinya sudah kritis akibat perambahan liar dan illegal logging. Caranya, tetap mendayagunakan lahan hutan kritis sebagai sumber penghasilan sekaligus melakukan konservasi.

Di lahan kritis itu, mereka menanam tanamam bertajuk rendah, bertajuk sedang, dan bertajuk tinggi. Selain menjadi sumber kesejahteraan petani, kini kawasan hutan lindung seluas 12 ribuan hektare di Register Bukit Rigis dan Register 34 Tangkit Tebak yang dulu kritis dan gersang berubah menjadi hutan yang kembali hijau.

Page 53: best practices scbfwm 2014 regional lampung

40

Gambar. 3.9. Kondisi Hutan Bukit Rigis di wilayah Tribudisyukur sebelum ada program HKm ( koleksi Cucu Suryadi. 1997)

Dalam program itu, masyarakat diberi izin sementara selama lima tahun untuk mengelola lahan kritis di hutan produksi dan hutan lindung. Syaratnya, mereka harus membentuk kelompok dan melakukan konservasi hutan. Kelompok tersebut juga harus memiliki sistem manajemen dan aturan organisasi yang baik.

Tiap tahun mereka akan dimonitor dan dievaluasi oleh sebuah tim yang terdiri atas kepala desa, pengelola sumber daya alam (PSDA) kabupaten, kepala unit penanggung jawab areal hutan, NGO lingkungan yang bertindak sebagai pendamping, dan forum petani.

Untuk mendapatkan izin mengelola hutan, ada empat tahap yang harus dilalui petani: pembentukan kelompok, penetapan wilayah kelola, pembuatan aturan dan rencana kerja kelompok, dan pengajuan proposal perizinan. Tiap kelompok terdiri atas 50-an petani dengan luas garapan berbeda-beda.

Para anggota kelompok itu hanya punya hak kelola sehingga tidak boleh memperjualbelikan lahan. Mereka akan dimonitor dan dievaluasi tiap tahun. Jika evaluasi menunjukkan mereka gagal melakukan konservasi dan melanggar aturan, izinnya dicabut.

Page 54: best practices scbfwm 2014 regional lampung

41

Gambar. 3.9. Kondisi Hutan Bukit Rigis di wilayah Tribudisyukur sebelum ada program HKm ( koleksi Cucu Suryadi. 1997)

Dalam program itu, masyarakat diberi izin sementara selama lima tahun untuk mengelola lahan kritis di hutan produksi dan hutan lindung. Syaratnya, mereka harus membentuk kelompok dan melakukan konservasi hutan. Kelompok tersebut juga harus memiliki sistem manajemen dan aturan organisasi yang baik.

Tiap tahun mereka akan dimonitor dan dievaluasi oleh sebuah tim yang terdiri atas kepala desa, pengelola sumber daya alam (PSDA) kabupaten, kepala unit penanggung jawab areal hutan, NGO lingkungan yang bertindak sebagai pendamping, dan forum petani.

Untuk mendapatkan izin mengelola hutan, ada empat tahap yang harus dilalui petani: pembentukan kelompok, penetapan wilayah kelola, pembuatan aturan dan rencana kerja kelompok, dan pengajuan proposal perizinan. Tiap kelompok terdiri atas 50-an petani dengan luas garapan berbeda-beda.

Para anggota kelompok itu hanya punya hak kelola sehingga tidak boleh memperjualbelikan lahan. Mereka akan dimonitor dan dievaluasi tiap tahun. Jika evaluasi menunjukkan mereka gagal melakukan konservasi dan melanggar aturan, izinnya dicabut.

Gambar 3.10. Kondisi lahan di pekon Tribudisyukur setelah adanya HKM (koleksi Binawana 2010)

Pelaksanaan HKm di Lampung Barat merupakan salah daerah program percontohan untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pemerintah Lampung Barat pula yang menjadi daerah pertama di Indonesia yang menerbitkan izin pengelolaan hutan kepada masyarakat selama 35 tahun.

Saat ini, terdapat 50 kelompok HKM di lampung barat, 24 kelompok HKm telah mempunyai Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) 35 tahun dan 26 kelompok masih dalm proses mendapatkan izin. Kelompok- kelompok yang telah memgang izin mempunyai kewajiban sebagai pemegang izin, diantaranya:

1. melakukan penataan batas areal kerja;

2. menyusun rencana kerja;

3. melakukan penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan;

4. membayar provisi sumberdaya hutan sesuai ketentuan;

5. menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan hutan kemasyarakatan kepada pemberi ijin.

Kewajiban inilah yang membuat kelompok HKM meresa kesulitan untuk melaksanakan. Contohnya saja kewajiban untuk menyusun rencana kerja selama 35 tahun dari mulai tahun izin di keluarkan yang biasa dikenal dengan Rencana Umum dan Rencana Oprasional (RU/RO). Tidak semua kelompok mampu membuat dan merancang rencana kerja secara swadaya sepenuhnya. Sementara batas penyusunan

Page 55: best practices scbfwm 2014 regional lampung

42

paling lambat hanya dua tahun setelah izin dikeluarkan. Sampai saat ini di Lampung Barat hanya ada sembilan kelompok yang telah selesai membuat Rencana Umum dan Rencana Oprasional. dan ada Enam kelompok yang mampu menyelesaikan RU dan RO secara swadaya penuh dan mandiri yaitu kelompok KTH HKM MWLS , Binawana,Rigis Jaya,Setia Wana Bakti, Rimba Jaya, dan Air Pakuan. Dan kelompok yang lain dapat menyelesaikan RU dan RO melalui fasilitasi dari pihak ketiga. Contohnya Abung Jaya dan Wana Marga Rahayu Yang mendapat fasilitasi dari program SCBFWM. Ini adalah salah satu tantangan kedepan bagi pelaku hutan kemasyarakatan dan sektor yang membawahinya untuk memberikan solusi tidak hanya membantu kelompok dalam memenihu kewajiban tapi juga membantu dalam mengembangkan kelompok itu sendiri. Bantuan dari pihak ketiga sangat diperlukan untuk mendukung tercapainya program pemerintah dalam meningkatkan fungsi hutan, menjaga daerah aliran sungai dan menigkatjan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan penyelengaraan program HKM.

Sejarah Berdirinya KTH Hkm Bina Wana

Desa Tribudisyukur banyak memiliki potensi alam yang cukup besar, banyaknya sumber daya alam, kawasan perlindungan dan pemanfaan. Namuan dibalik potensi yang besar tersebut terdapat berbagai permasalahan yang ada antara lain: maraknya penebangan liar, pemanfaatan dan dimana pada musim kemarau sulit air bersih, produktivitas lahan menurun dan pendapatan masyarakat berkurang.pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air, dan belum maksimalnya pengembangan Aneka Usaha Kehutanan (AUK). Hal ini tentunya banyak menimbulkan masalah,

Banyaknya lahan kritis di desa Tribudisyukur dan daerah lain sekitarnya menimbulkan kerisauan dan kecemasan bagi Pak Engkos dan warga masyarakat lainnya, karena hal ini menimbulkan lahan kritis, erosi dan kekeringan yang akan merugikan kehidupan generasi penerus dimasa depan.

Dampak positif kegiatan yang telah dilakukan KTH Bina Wana antara lain :

1. Berkembangnya hutan rakyat swdaya seluas 334 Ha dengan memanfaatkan bibit swadaya

2. Berkembangnya sub-sub kelompok tani HKm dan saat ini sudah terbentuk, 15 sub kelompok tani HKm.

3. Terbentuknya 3 kelompok wanita tani : KWT Melati, KWT Karya Mandiri, KWT Triguna VI. Sesuai SK kepala desa nomor : 141/09/SKPTS-PKK/SKP/II/2010, 5 kelompok tani : Dwi tunggal, Triguna IV,V, Triguna

Page 56: best practices scbfwm 2014 regional lampung

43

paling lambat hanya dua tahun setelah izin dikeluarkan. Sampai saat ini di Lampung Barat hanya ada sembilan kelompok yang telah selesai membuat Rencana Umum dan Rencana Oprasional. dan ada Enam kelompok yang mampu menyelesaikan RU dan RO secara swadaya penuh dan mandiri yaitu kelompok KTH HKM MWLS , Binawana,Rigis Jaya,Setia Wana Bakti, Rimba Jaya, dan Air Pakuan. Dan kelompok yang lain dapat menyelesaikan RU dan RO melalui fasilitasi dari pihak ketiga. Contohnya Abung Jaya dan Wana Marga Rahayu Yang mendapat fasilitasi dari program SCBFWM. Ini adalah salah satu tantangan kedepan bagi pelaku hutan kemasyarakatan dan sektor yang membawahinya untuk memberikan solusi tidak hanya membantu kelompok dalam memenihu kewajiban tapi juga membantu dalam mengembangkan kelompok itu sendiri. Bantuan dari pihak ketiga sangat diperlukan untuk mendukung tercapainya program pemerintah dalam meningkatkan fungsi hutan, menjaga daerah aliran sungai dan menigkatjan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan penyelengaraan program HKM.

Sejarah Berdirinya KTH Hkm Bina Wana

Desa Tribudisyukur banyak memiliki potensi alam yang cukup besar, banyaknya sumber daya alam, kawasan perlindungan dan pemanfaan. Namuan dibalik potensi yang besar tersebut terdapat berbagai permasalahan yang ada antara lain: maraknya penebangan liar, pemanfaatan dan dimana pada musim kemarau sulit air bersih, produktivitas lahan menurun dan pendapatan masyarakat berkurang.pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi tanah dan air, dan belum maksimalnya pengembangan Aneka Usaha Kehutanan (AUK). Hal ini tentunya banyak menimbulkan masalah,

Banyaknya lahan kritis di desa Tribudisyukur dan daerah lain sekitarnya menimbulkan kerisauan dan kecemasan bagi Pak Engkos dan warga masyarakat lainnya, karena hal ini menimbulkan lahan kritis, erosi dan kekeringan yang akan merugikan kehidupan generasi penerus dimasa depan.

Dampak positif kegiatan yang telah dilakukan KTH Bina Wana antara lain :

1. Berkembangnya hutan rakyat swdaya seluas 334 Ha dengan memanfaatkan bibit swadaya

2. Berkembangnya sub-sub kelompok tani HKm dan saat ini sudah terbentuk, 15 sub kelompok tani HKm.

3. Terbentuknya 3 kelompok wanita tani : KWT Melati, KWT Karya Mandiri, KWT Triguna VI. Sesuai SK kepala desa nomor : 141/09/SKPTS-PKK/SKP/II/2010, 5 kelompok tani : Dwi tunggal, Triguna IV,V, Triguna

VI, Triguna iX, Purwa Mandiri, 1 kelompok karang taruan desa Tribudisyukur, 1 kelompok Himpunan Pemuda Peduli Hutan-lingkungan (HPPH-L) yang di ketuai oleh Dian Dinata dengan jumlah anggota 47 orang.

4. Tersedianya hijauan makanan ternak berupa rumput, setaria dan rumput gajah.

5. Tersedianya air bersih untuk keperluan rumah tangga, pertanian dan perikanan.

6. Tersususnnya peraturan desa tentang peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan dan air.

7. Berkembangnya aneka usaha kehutanan (AUK) yang dikelola kelompok wanita tani bekerja sama dengan PKK desa Tribudisyukur.

8. Meningkatkan pendapatan minimum untuk petani HKm di Desa Tribudisyukur,

Prestasi/penghargaan yang telah diperoleh Bina Wana

1. Juara 1 lomba Gerhan tingkat Kabupaten Lampung Barat tahun 2004

2. Juara 1 lomba Penghijauan dan Konservasi Alam tingkat Kabupaten Lampung Barat tahun 2008

3. Juara 1 lomba Wana Lestari Kabupaten Lampung Barat tahun 2013

4. Juara 1 Wana Lestari Tingkat Provinsi Lampung tahun 2013

Tiga fungsi kelompok tani:

a. Kelas belajar

Kelompok tani merupakan wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap (PKS) atau merubah sikap dan perilaku serta tumbuh dan kembangnya kemandirian dalam berusaha yani sehingga produktivitasnya meningkat, pendapatannya betambah serta kehidupannya yang lebih sejahtera

b. Wahana kerja sama

Kelompok tani meerupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani dalam kelompok tani dan antar kelompok tani serta dengan pihak lain. Melalui kerjasama ini diharapkan usaha taninya akan lebih efisien serta lebih mampu menghadapi ancaman, tantangan hambatan dan gangguan.

Page 57: best practices scbfwm 2014 regional lampung

44

b. Unit produksi

Usaha tani yang dilaksanakan oelh masing-masing anggota kelompok tani, secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinuitas.

Proyek SCBFWM menjadi pihak ketiga yang mendukung dan membantu penguatan penyelenggaraan program HKm. Selain membantu penguatan penyelenggaraan HKm, SCBFWM juga membantu dalam hal pengembangan kelompok HKm di Lampung Barat. Salah satunya dalah fasilitasi pembangunan pusat informasi segala sesuatu tentang kegiatan dan kebijakan HKm yang biasa disebut HKm Center. Kelompok yang menjadi perintis HKM Center adalah HKm Binawana.

Terwujudnya Pembangunan Hkm Center

Berlokasi di Pekon Tribudisyukur Kecamatan Kebun Tebu Kabupaten Lampung Barat, HKm Center yang telah diresmikan oleh Menteri Kehutanan H.Zulkifli Hasan,SE.MM pada awal tahun 2014 ini , memiliki luas 1,89 ha. Terdiri dari lahan perikanan 40%, persawahan 10% dan kebun kolektif 50%.

Gambar 3.11. Diresmikannya HKm Center oleh Menteri Kehutanan (koleksi Bina wana 2014)

Pada awalnya, tujuan didirikannya HKm Center ini adalah sebagai pusat informasi segala sesuatu yang menyangkut dengan kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Termasuk plot percontohan konservasi lahan dan lingkungan. Didirikan oleh kelompok HKm setempat Yaitu HKm Binawana dan pemerintah setempat. Yang dilatar belakangi dengan banyaknya kunjungan dari Kelompok lain yang ingin belajar, tamu study banding dari provinsi lain, bahkan tamu mancanegara untuk penelitian (research) dan sulitnya mencari tempat untuk pertemuan, maka HKm binawana

Page 58: best practices scbfwm 2014 regional lampung

45

b. Unit produksi

Usaha tani yang dilaksanakan oelh masing-masing anggota kelompok tani, secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinuitas.

Proyek SCBFWM menjadi pihak ketiga yang mendukung dan membantu penguatan penyelenggaraan program HKm. Selain membantu penguatan penyelenggaraan HKm, SCBFWM juga membantu dalam hal pengembangan kelompok HKm di Lampung Barat. Salah satunya dalah fasilitasi pembangunan pusat informasi segala sesuatu tentang kegiatan dan kebijakan HKm yang biasa disebut HKm Center. Kelompok yang menjadi perintis HKM Center adalah HKm Binawana.

Terwujudnya Pembangunan Hkm Center

Berlokasi di Pekon Tribudisyukur Kecamatan Kebun Tebu Kabupaten Lampung Barat, HKm Center yang telah diresmikan oleh Menteri Kehutanan H.Zulkifli Hasan,SE.MM pada awal tahun 2014 ini , memiliki luas 1,89 ha. Terdiri dari lahan perikanan 40%, persawahan 10% dan kebun kolektif 50%.

Gambar 3.11. Diresmikannya HKm Center oleh Menteri Kehutanan (koleksi Bina wana 2014)

Pada awalnya, tujuan didirikannya HKm Center ini adalah sebagai pusat informasi segala sesuatu yang menyangkut dengan kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKm), Termasuk plot percontohan konservasi lahan dan lingkungan. Didirikan oleh kelompok HKm setempat Yaitu HKm Binawana dan pemerintah setempat. Yang dilatar belakangi dengan banyaknya kunjungan dari Kelompok lain yang ingin belajar, tamu study banding dari provinsi lain, bahkan tamu mancanegara untuk penelitian (research) dan sulitnya mencari tempat untuk pertemuan, maka HKm binawana

Berinisiatif Untuk membuat suatu wadah tempat belajar yang dinamai “HKm Center.”

Saat ini HKm Center telah memiliki sebuah gubuk pertemuan yang didanai dari hibah kecil program SCBFWM tahun 2012. Gubuk ini dipergunakan untuk pertemuan antar kelompok, pelatihan, workshop, maupun tempat rekreasi. Sementara ini hanya bangunan ini yang dimiliki HKm center namun sangat bermanfaat dalam penggunaannya.

Berbagai kegiatan yang dilakukan di HKm Center (pelatihan, pertemuan penilitian dan diskusi-diskusi)

Gambar 3.12. kegiatan Diskusi (Binawana 2014)

Disamping itu, lahan HKm center telah banyak dimanfaatkan. Seperti; pembibitan kayu oleh HKm Binawana, Kebun Pala wija, persawahan dan kebun sayuran oleh kelompok wanita tani (KWT) melati, pembibitan benih dan pembesaran ikan oleh himpunan pemuda peduli hutan dan lingkungan (HPPH-L).

Dengan melihat potensi yang ada kini HKm center menjadi harapan baru bagi masyarakat setempat dalam memperbaiki sumber pendapatan. Mengingat penghasilan utama dari masyarakat setempat adalah kopi yang seperti kita ketahui kopi panen satu

Page 59: best practices scbfwm 2014 regional lampung

46

kali dalam setahun. Dengan adanya HKm center diharapkan akan terciptanya lapangan kerja baru. Terutama bagi para pemuda setempat. Mengingat banyaknya produk maupun kerajinaan yang dimiliki masyarakat namun terkendala pemasaran. Diharapkan dengan adanya HKm Center menjadi pemberi fasilitas pemasaran yang tepat dan membantu dalam hal promosi produk.

Pemeliharaan serta pengembangan HKm Center saat ini diserahkan sepenuhnya kepada Himpunan peduli Hutan dan Lingkungan (HPPH-L) dalam naungan HKm binawana. Sebagai bentuk Usaha reorganisasi pengurus yang berkelanjutan. Selain dijadikan sebagai plot percontohan, tempat pertemuan, pelatihan dan kegiatan konservasi bagi seluruh kepentingan HKm. Upaya yang sedang dilakukan adalah menjadikan HKm center sebagai tempat belajar bagi anak-anak muda guna memberi pengetahuan lebih mengenai hutan dan lingkungan disekitar mereka. Apa manfaat dan pentingnya menjaga hutan, mengenal beberapa jenis tumbuhan, dan belajar bagaimanaa hubungan antara hutan dan keberlangsungan hidup mahluk hidup.

Gambar 3.13. Suasana belajar anak-anak HPPH-L di HKm Center (koleksi Bina Wana 2012)

Binawana ikut serta menjaga keanekaragaman hayati melalui pemudanya

Selain tempat belajar, HKm Center juga dijadikan tempat pelestarian tumbuhan langka. Seperti pohon tenam dan anggrek. Kedua tumbuhan ini sudah sangat jarang ditemukan. Bina Wana Melalui Para pemudanya (HPPH-L) sesekali selalu menjelajahi gunung guna mengidentifikasi berbagai jenis pohon yang terdapat disana.

Page 60: best practices scbfwm 2014 regional lampung

47

kali dalam setahun. Dengan adanya HKm center diharapkan akan terciptanya lapangan kerja baru. Terutama bagi para pemuda setempat. Mengingat banyaknya produk maupun kerajinaan yang dimiliki masyarakat namun terkendala pemasaran. Diharapkan dengan adanya HKm Center menjadi pemberi fasilitas pemasaran yang tepat dan membantu dalam hal promosi produk.

Pemeliharaan serta pengembangan HKm Center saat ini diserahkan sepenuhnya kepada Himpunan peduli Hutan dan Lingkungan (HPPH-L) dalam naungan HKm binawana. Sebagai bentuk Usaha reorganisasi pengurus yang berkelanjutan. Selain dijadikan sebagai plot percontohan, tempat pertemuan, pelatihan dan kegiatan konservasi bagi seluruh kepentingan HKm. Upaya yang sedang dilakukan adalah menjadikan HKm center sebagai tempat belajar bagi anak-anak muda guna memberi pengetahuan lebih mengenai hutan dan lingkungan disekitar mereka. Apa manfaat dan pentingnya menjaga hutan, mengenal beberapa jenis tumbuhan, dan belajar bagaimanaa hubungan antara hutan dan keberlangsungan hidup mahluk hidup.

Gambar 3.13. Suasana belajar anak-anak HPPH-L di HKm Center (koleksi Bina Wana 2012)

Binawana ikut serta menjaga keanekaragaman hayati melalui pemudanya

Selain tempat belajar, HKm Center juga dijadikan tempat pelestarian tumbuhan langka. Seperti pohon tenam dan anggrek. Kedua tumbuhan ini sudah sangat jarang ditemukan. Bina Wana Melalui Para pemudanya (HPPH-L) sesekali selalu menjelajahi gunung guna mengidentifikasi berbagai jenis pohon yang terdapat disana.

Pada tahun 2014, Binawana melalui Himpunan Pemuda Peduli Hutan dan Lingkungan (HPPH-L) nya mendapat giliran menerima hibah kecil (small green) dari program SCBFWM. Fasilitasi ini di Gunakan untuk mendukung kegiatan inventarisasi penangkaran dan pembibitan pohon langka Dalam hal ini manau dan tenam . Fasilitasi yang diberikan berupa alat-alat pendukung seperti ;

GPS, DUM, Harnes, meteran, Senter, Pully fix, Carabiner, scrwo, Matras, camera. Selain alat, fasilitasi juga berupa pelatihan Identifikasi Hewan langka dan pelatihan navigasi penggunaan GPS dalam membuat titik koordinat dan tracking. Tujuan utama fasilitasi ini adalah untuk menjaga kelestarian dan mengidentifikasi keanekaragaman hayati yang ada di HL Register 45B.

Saat ini Binawana telah mengunventarisir pohon tenam sejumlah 12 pohon tenam indukan dengan berbagai ukuran dan kondisi, selain itu penangkaran anggrek dan pembibitan manau sebanyak 2000 batang, jengkol 1000 batang, jering 1000 batang, sengon smendo 800 batang dan bambu 200 batang. Kegiatan ini dilakukan sebagai usaha partisipasi kelompok pemuda Binawana yaitu HPPH-L dalam kegiatan konservasi lahan, menjaga kelestarian DAS dan menjaga keaneka ragaman hayati Bukit Rigis Register 45 B.

Tabel 3.1. Data pohon tenam yang telah terinventarisir

No Pohon Tinggi pohon

Titik Koordinat Kondisi Kode Pohon Kanopi Keliling Elevasi

1 Tenam 1 36 M EFE= 4 m S= 050 01’39.5” E= 1040 31’13.7”

Baik HPPH/T/01/25/05/14

5,50 M 1,45 M Mpdl=1172

2 Tenam 2 52 M EFE= 4m S= 050 01’39.0” E=1040 31’11.2”

Baik HPPH/T/02/25/05/14

3,3 M 1,53 M Mpdl= 1164

3 Tenam 3 64 M EFE= 5 m S= 050 01’39.4” E= 1040 31’11.0”

Baik HPPH/T/03/25/05/14

5,6 M 1,64 M Mpdl= 1146

4 Tenam 4 67 M EFE= 5 m S= 050 01’39.5” E= 1040 31’10.4”

Baik HPPH/T/04/25/05/14

6 M 1,67 M Mpdl= 1145

5 Tenam 5 40 M EFE= 6 m S= 050 01’35.1” E= 1040 31’08.9”

Baik HPPH/T/05/25/05/14

3 M 1,5 M Mpdl= 1181

6 Tenam 6 69 M EFE= 4 m Baik HPPH/T/06/ 13 M 6,5 M Mpdl= 1186

Page 61: best practices scbfwm 2014 regional lampung

48

S= 050 01’34.5” E= 1040 31’08.2”

25/05/14

7 Tenam 7 50 M EFE= 3 m S= 050 01’34.4” E= 1040 31’03.5”

Baik HPPH/T/07/25/05/14

8,3 M 2 M Mpdl= 1178

8 Tenam 8 67 M EFE= 3 m S= 050 01’34.2” E= 1040 31’02.7”

Baik HPPH/T/08/25/05/14

4,9 M 2,2 M Mpdl= 1176

9 Tenam 9 38 M EFE= 3 m S= 050 01’34.0” E= 1040 30’58.6”

Baik HPPH/T/09/25/05/14

4,6 M 9,0 M Mpdl= 1167

10 Tenam 10 45 M EFE= 5m S= 050 01’32.1” E= 1040 30’56.0”

Baik HPPH/T/10/25/05/14

4 M 1,40 M Mpdl= 1150

11 Tenam 11 32 M EFE= 5 m S= 050 01’32.0” E= 1040 30’55.7”

Baik HPPH/T/11/25/05/14

8 M 1,2 M Mpdl= 1150

12 Tenam 12 60 M EFE= 12 m S= 050 01’32.7” E= 1040 30’52.5”

Baik HPPH/T/12/25/05/14

12 M 6,24 M Mpdl= 1123

13 Tenam 30 M EFE= 3 m S= 050 01’42.0” E.1040 30’46.3”

Baik HPPH/T/13/25/05/14

7,6 M 1,82 M Mpdl= 998

Page 62: best practices scbfwm 2014 regional lampung

49

S= 050 01’34.5” E= 1040 31’08.2”

25/05/14

7 Tenam 7 50 M EFE= 3 m S= 050 01’34.4” E= 1040 31’03.5”

Baik HPPH/T/07/25/05/14

8,3 M 2 M Mpdl= 1178

8 Tenam 8 67 M EFE= 3 m S= 050 01’34.2” E= 1040 31’02.7”

Baik HPPH/T/08/25/05/14

4,9 M 2,2 M Mpdl= 1176

9 Tenam 9 38 M EFE= 3 m S= 050 01’34.0” E= 1040 30’58.6”

Baik HPPH/T/09/25/05/14

4,6 M 9,0 M Mpdl= 1167

10 Tenam 10 45 M EFE= 5m S= 050 01’32.1” E= 1040 30’56.0”

Baik HPPH/T/10/25/05/14

4 M 1,40 M Mpdl= 1150

11 Tenam 11 32 M EFE= 5 m S= 050 01’32.0” E= 1040 30’55.7”

Baik HPPH/T/11/25/05/14

8 M 1,2 M Mpdl= 1150

12 Tenam 12 60 M EFE= 12 m S= 050 01’32.7” E= 1040 30’52.5”

Baik HPPH/T/12/25/05/14

12 M 6,24 M Mpdl= 1123

13 Tenam 30 M EFE= 3 m S= 050 01’42.0” E.1040 30’46.3”

Baik HPPH/T/13/25/05/14

7,6 M 1,82 M Mpdl= 998

Gambar 3.14. Kegiatan HPPH-L dalam menginventarisasi pohon tenam (Koleksi Bina Wana)

Page 63: best practices scbfwm 2014 regional lampung

50

Gambar 3.15. Penangkaran anggrek

KESIMPULAN

Program hutan kemasyrakatan adalah program pemerintah yang tujuan utamanya adalah untuk membantu mensejahterakan masyarakat, Dengan catatan tidak merusak fungsi utama dari hutan itu sendiri. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan izin kelola HKm kepada masyarakat disertai kewajiban-kewajiban sebagai pemegang izin.

Bina Wana adalah contoh kongkrit dari program ini. Sebagai pemegang izin Bina Wana berhasil melakukan program dan memenuhi segala kewajiban yang telah ditetapkan pemerintah. Lahan hutan produksi dan hutan lindung yang dulu hanya berupa semak belukar dan tidak berproduksi kini berubah menjadi lahan pertanian kopi yang berkombinasi dengan berbagai tanaman bertajuk tinggi. sehingga dari kejauhan terlihat sebagai hutan yang berfingsi dengan baik. Itu dikarnakan kegiatan

Page 64: best practices scbfwm 2014 regional lampung

51

Gambar 3.15. Penangkaran anggrek

KESIMPULAN

Program hutan kemasyrakatan adalah program pemerintah yang tujuan utamanya adalah untuk membantu mensejahterakan masyarakat, Dengan catatan tidak merusak fungsi utama dari hutan itu sendiri. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan izin kelola HKm kepada masyarakat disertai kewajiban-kewajiban sebagai pemegang izin.

Bina Wana adalah contoh kongkrit dari program ini. Sebagai pemegang izin Bina Wana berhasil melakukan program dan memenuhi segala kewajiban yang telah ditetapkan pemerintah. Lahan hutan produksi dan hutan lindung yang dulu hanya berupa semak belukar dan tidak berproduksi kini berubah menjadi lahan pertanian kopi yang berkombinasi dengan berbagai tanaman bertajuk tinggi. sehingga dari kejauhan terlihat sebagai hutan yang berfingsi dengan baik. Itu dikarnakan kegiatan

konservasi dan menjaga keanekaragaman hayati yang terus dilakukan oleh kelompok Bina Wana.

Sampai saat ini, kegiatan itu tidak putus dilakukan. Kemajuan Bina Wana selangkah lebih maju dibandingkan kelompok lainnya. Dengan adanya HKm Center Melalui fasilitasi program SCBFWM berbagai kegiatan telah dilakukan. Banyak pelatihan, kegiatan penelitian dari berbagai intansi dan universitas. Tidak hanya dari dalam negri tapi juga dari luar negri.

Gambar 3.16. Research/penelitan oleh mahasiswa dan dosen dari jepang (koleksi Bina Wana 2014)

Dengan melihat keadaan saat ini tidaklah salah jika Bina Wana adalah contoh keberhasilan program HKm. Dari mulai merintis yang didasari keprihatinan terhadap kesulitan ekonomi masyarakat hingga saat ini meraih berbagai penghargaan. Peran seluruh masyarakat sangat besar, Peratin dan jajarannya sebagai aparat pemerintah, Bapak-bapak sebagai pengurus dan pelaku HKm, ibu-ibu sebagai pengolah hasil dan membentuk wanita tani (KWT) dan pemuda Bina Wana pun membentu kelompok pemuda yang peduli hutan dan lingkungan semuanya membentuk kesinergian yang sulit untuk ditemukan didaerah lain. Dan itulah kelebihan dari HKM Bina Wana dibandingkan kelompok didaerah lainnya.

Mimpi menjadikan Pekon Tribudisyukur sebagai Pekon wisata dan Binawana adalah pelopornya menjadi impian setiap masyarakat, Berbagai upaya dan usahapun telah dilakukan.

Page 65: best practices scbfwm 2014 regional lampung

52

Daftar Pustaka

Kemitraan. 2011. Mendorong Percepatan Program Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa, Partnership Policy Paper No.4/2011, diunduh dari www.kemitraan.or.id pada tanggal 8 Juni 2014

PermenHut No.P.37/2007, Tata cara penyelenggaraan Hutan kemasyarakatan,Jakarta 2009.

Santosa. A. dan M.Silalahi, (2011), Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapannya dalam REDD+, FKKM, Bogor.

Sudarsono. D. dan Gunanto. 2009, Panduan Memfasilitasi Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, Yayasan Masyarakat Nusa Tenggara (Samanta) dan MFP-Kehati.

Page 66: best practices scbfwm 2014 regional lampung

53

Daftar Pustaka

Kemitraan. 2011. Mendorong Percepatan Program Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa, Partnership Policy Paper No.4/2011, diunduh dari www.kemitraan.or.id pada tanggal 8 Juni 2014

PermenHut No.P.37/2007, Tata cara penyelenggaraan Hutan kemasyarakatan,Jakarta 2009.

Santosa. A. dan M.Silalahi, (2011), Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapannya dalam REDD+, FKKM, Bogor.

Sudarsono. D. dan Gunanto. 2009, Panduan Memfasilitasi Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, Yayasan Masyarakat Nusa Tenggara (Samanta) dan MFP-Kehati.

MODEL 3 Melalui Semangat Kewirausahaan Hutan

Kelompok Wanita Tani Melati “Menjaring Manusia Setengah Dewa” dalam Melestarikan Sub DAS Way Besai

Oleh IDI BANTARA

BPDAS WAY SEPUTIH WAY SEKAMPUNG

Pandangan umum terhadap peran aktif wanita terhadap kelestraian hutan, belum dipandang menjadi pemeran penting (isu gender), akan tetapi masih sebagai pelengkap. Apalagi pandangan bahwa wanita tani hutan menjadi penggerak masih sebagai angan-angan. Keadaan ini tidak mungkin dibiarkan selamanya, karena dalam pembangunan manusia di negara kita meliputi antara lain pendidikan dan ketrampilan masyarakat, interaksi hutan dan wanita tani merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan. Karenanya, peran wanita merupakan salah satu fakta, bahwa dalam pengelolaan hutan, wanita adalah sangat strategis bagi percepatan pergerakan partisipasi masyarakat terhadap hutan Indonesia.

Pemahaman secara sosial, perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan di Indonesia sudah cukup lama dibahas, namun implementasinya dalam perencanaan pembangunan masih sangat kurang, tentang pengarus utamaan gender (PUG), tertuang dalam Inpres nomor 9 tahun 2000. Melalui Inpres nomor 9 tahun 2000 diharapkan akan terjadi keadilan gender dalam proses pembangunan nasional, termasuk pembangunan hutan.

A. Hutan Kemasyarakatan Propinsi Lampung

Sejarah hubungan antara masyarakat sekitar hutan dan hutan, menunjukan hubungan keduanya merupakan satu kesatuan ekosistem yang satu sama lain mempunyai saling ketergantungan (interdependency). Oleh karena itu, pengelolaan hutan tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan unsur masyarakat yang mempunyai keterkaitan dengan keberadaan hutan tersebut. Bagi masyarakat yang telah memahami pentingnya hutan, mengartikan hutan mempunyai berbagai nilai manfaat yaitu manfaat ekonomi, sosial dan ekologis. Manfaat ekologis hutan dirasakan melalui fungsinya dalami penyediaan jasa lingkungan seperti pengaturan tata air, pengedalian iklim mikro, habitat bagi kehidupan satwa liar dan sumber plasma nutfah yang tidak

Page 67: best practices scbfwm 2014 regional lampung

54

terhitung nilainya. Perkembangan saat ini kawasan hutan juga memiliki manfaat jasa wisata yang sangat penting bagi perkembangan sektor pariwisata di daerah

Areal Kerja HKm di Lampung sesuai data BPDAS WSS (2013), tercatat mencapai ± 46.323,79 ha dengan melibatkan kelompok masyarakat setempat sebanyak ± 44.071 jiwa petani. Dari jumlah tersebut + 15 % merupakan kelompok perempuan yang perannya strategis dalam pelestraiannya. Berdasarkan komposisi tersebut, pada dasarnya kegiatan HKm di Propinsi Lampung sudah menerapkan prinsip persamaan gender walaupun implentasinya masih terbatas. Kesadaran baru pengelolaan hutan kemasyarakatan di telah menunjukan perkembangan yang cukup menggembirakan, pengelolaan hutan yang menekankan unsur teknis dan mengabaikan unsur masyarakat disekitar hutan sudah mulai berubah orientasi, dan kepada pendekatan yang partisipatif.

Hubungan masyarakat dan hutan saling menguntungkan, setapak demi setapak mampu merubah banyak pola pikir lama, dari perambah hutan, kepada “hutan untuk masyarakat dan masyarakat untuk kelestarian hutan” pandangan ini telah menjadi tema penting kehidupan masyarakat pengelola hutan kemasyarakatan. Bersyukur sistim pengelolaan hutan yang menyejahterakan telah mulai terwujud, ditandai perputaran ekonomi masyarakat Hkm yang dinamis sejahtera, dan kerusakan hutan sudah mulai berkurang. Paling tidak, saat ini tergambar nyata, jika di beberapa kota propinsi di Sumatera, masih diselimuti asap akibat kebakaran hutan, kondisi hutan di Propinsi Lampung permasalahan tersebut dudah tidak tampak lagi. Hal ini karena peran masyarakat sangat signifikan dan hutan telah memberi manfaat.

B. Wanita Tani Dalam Usaha Hutan Kemasyarakatan

Terkait persoalan yang dihadapi perempuan, fakta telah membuktikan bahwa pada kenyataannya, peran wanita tani disekitar hutan dalam menopang ekonomi keluarga sangat besar dan strategis. Justru tak jarang sebagian dari mereka harus bekerja keras menjadi penopang utama rumah tangganya. Mayoritas dari mereka berada dalam sektor informal pedesaan seperti: buruh tani, penjual sayur, pengumpul hasil hutan, buruh petik kopi dan lainnya. Mereka biasanya beraktivitas tidak jauh dari tempat tinggal desanya.

Peran wanita dalam pengelolaan sumber daya hutan sangat berhubungan dengan tanggungjawabnya dalam memenuhi kecukupan keluarganya. Salah satu kelompok yang sudah mandiri dalam usahanya dan berperan aktif pada tanggung jawabnya kepada lingkungan adalah Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati, aktif menjadi motivator pelestarian hutan HKm di wilayah hulu DAS Tulang Bawang di Sub DAS Way Besay.

Page 68: best practices scbfwm 2014 regional lampung

55

terhitung nilainya. Perkembangan saat ini kawasan hutan juga memiliki manfaat jasa wisata yang sangat penting bagi perkembangan sektor pariwisata di daerah

Areal Kerja HKm di Lampung sesuai data BPDAS WSS (2013), tercatat mencapai ± 46.323,79 ha dengan melibatkan kelompok masyarakat setempat sebanyak ± 44.071 jiwa petani. Dari jumlah tersebut + 15 % merupakan kelompok perempuan yang perannya strategis dalam pelestraiannya. Berdasarkan komposisi tersebut, pada dasarnya kegiatan HKm di Propinsi Lampung sudah menerapkan prinsip persamaan gender walaupun implentasinya masih terbatas. Kesadaran baru pengelolaan hutan kemasyarakatan di telah menunjukan perkembangan yang cukup menggembirakan, pengelolaan hutan yang menekankan unsur teknis dan mengabaikan unsur masyarakat disekitar hutan sudah mulai berubah orientasi, dan kepada pendekatan yang partisipatif.

Hubungan masyarakat dan hutan saling menguntungkan, setapak demi setapak mampu merubah banyak pola pikir lama, dari perambah hutan, kepada “hutan untuk masyarakat dan masyarakat untuk kelestarian hutan” pandangan ini telah menjadi tema penting kehidupan masyarakat pengelola hutan kemasyarakatan. Bersyukur sistim pengelolaan hutan yang menyejahterakan telah mulai terwujud, ditandai perputaran ekonomi masyarakat Hkm yang dinamis sejahtera, dan kerusakan hutan sudah mulai berkurang. Paling tidak, saat ini tergambar nyata, jika di beberapa kota propinsi di Sumatera, masih diselimuti asap akibat kebakaran hutan, kondisi hutan di Propinsi Lampung permasalahan tersebut dudah tidak tampak lagi. Hal ini karena peran masyarakat sangat signifikan dan hutan telah memberi manfaat.

B. Wanita Tani Dalam Usaha Hutan Kemasyarakatan

Terkait persoalan yang dihadapi perempuan, fakta telah membuktikan bahwa pada kenyataannya, peran wanita tani disekitar hutan dalam menopang ekonomi keluarga sangat besar dan strategis. Justru tak jarang sebagian dari mereka harus bekerja keras menjadi penopang utama rumah tangganya. Mayoritas dari mereka berada dalam sektor informal pedesaan seperti: buruh tani, penjual sayur, pengumpul hasil hutan, buruh petik kopi dan lainnya. Mereka biasanya beraktivitas tidak jauh dari tempat tinggal desanya.

Peran wanita dalam pengelolaan sumber daya hutan sangat berhubungan dengan tanggungjawabnya dalam memenuhi kecukupan keluarganya. Salah satu kelompok yang sudah mandiri dalam usahanya dan berperan aktif pada tanggung jawabnya kepada lingkungan adalah Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati, aktif menjadi motivator pelestarian hutan HKm di wilayah hulu DAS Tulang Bawang di Sub DAS Way Besay.

Jenis hasil hutan yang telah digarap menjadi produk olahan diantaranya gula aren kristal, gula arean cetak, kopi bubuk, tanaman obat, usaha madu, padi hutan, dan usaha kreatif lainya. Peran kelompok tersebut, tidak hanya usaha dagang semata, tetapi juga memiliki kesadaran sendiri, mampu menyisihkan sebagian keuntungan usaha kelompok untuk pelestarian sumber daya hutan.

Siapa sebenarnya KWT Melati, dan bagaimana strategi minimal yang dilakukan KWT Melati dalam membangun lingkungan berbasis bisnis sosial tersebut, serta strategi yang sudah dikerjakan sehingga kelompok tersebut mampu mandiri dan konsisten.

C. Kiprah Kewirausahaan Sosial KWT Melati

Melalui tulisan ini, penulis mencoba menyampaikan catatan aktifitas KWT Melati, yang direkam langsung kurun waktu dua tahun berjalan, sejak tahun 2012 hingga sekarang, juga melalui informasi, komunikasi kelompok dan beberapa fasilitasi pertemuan yang penulis ikuti. Beberapa kiprah yang terekam, disajikan sebagai berikut:

a) Mengenal Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati

Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati, beralamat di Desa Tribudisyukur, Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat, kelompok ini merupakan kelompok tani yang tergabung dalam komunitas kelompok Hutan Kemsayarakatan (HKm) Sumber Jaya. KWT Melati memiliki struktur organisasi yang diketuai oleh Ibu Yayah Suryani, sekretaris Ibu Suspita, Bendahara Ibu Sumiarsih, saat ini didukung oleh anggota sebanyak 77 orang. KWT Melati juga sudah memiliki badan usaha berbentuk Koperasi, didalamnya memiliki struktur kepengurusan usaha pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan upaya pelestarian Lingkungan Hidup melalui Pembibitan. Sumber daya alam yang menopang kegiatan kelompok berada di daerah tangkapan air di Sub DAS Way Besai yang memiliki luas ± 44.720 Ha, dari luas tersebut luas hutan lindung ± 13.652 Ha (30,53%) dan telah menjadi hak kelola kelompok tani HKm. Hasil HKm terbesar adalah kopi mencapai ± 11.000 ton, dan beberapa HHBK lainya seperti gula aren setiap bulannya dihasilkan 2 ton, kemiri, empon empon, dan madu mencapai 2 ton per tahunnya.

b) Awal Usaha Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati

Berdirinya usaha KWT Melati sangatlah sederhana, tidak tergambar sedikitpun berkembang sebagaimana saat ini. Awal berdirinya KWT hanyalah kumpulan sesama kelompok arisan penderes karet (ngoret), pemetik kopi (buruh petik), buruh

Page 69: best practices scbfwm 2014 regional lampung

56

tanam padi dan beberapa usaha tani. Dari perjalanan usaha yang dijalani, mereka bersepakat membentuk kelompok usaha hasil hutan dalam bentuk kelompok wanita tani. Maka, pada tanggal 8 Oktober 1993 yang disaksikan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan saat itu, berdirilah kelompok wanita tani “Melati”.

Diawal berdiri kelompok, jumlah anggota tercatat 48 orang. Setiap anggota diwajibkan membayar iuran pokok sebesar Rp. 5000 (lima ribu rupiah), dan simpanan wajib setiap bulan sebesar Rp. 250 (dua ratus rupiah). Nilai yang kecil saat ini, namun saat awal berdiri, uang tersebut tergolong sangat besar. Anehnya, sampai tahun 2010 iuran wajib jumlahnya tetap Rp. 250.-, alasannya semangat iuran saat itu dimaksudkan hanya untuk mengikat kebersamaan pendiri KWT, sedangkan untuk pengembangan modal usaha sudah disisihkan dari sisa hasil usaha yang terkumpul ± 16 tahun sejak berdirinya kelompok. Perkembangan KWT banyak tantangan, jalanya si Melati tertatih tatih antara hidup dan mati, perjuangan selama 16 tahun anggota yang bertahan tercatat tinggal 28 orang. Pada tahun 2010, KWT Melati menjadi mitra pendampingan oleh program pemberdayaan yang digagas oleh Kementerian Kehutanan melalui Proyek Penguatan pengelolan Hutan dan DAS berbasis masyarakat/ Strengthening Community-Based Forest and Watershed Management (SCBFWM), kegiatan ini menggugah wanita tani lainya mulai tertarik bergabung di dalam kegiatan kelompok, saat ini anggota menjadi 77 orang. Perjalanan KWT menjadi sebuah catatan pelajaran sikap bagi para perintis usaha, bahwa keteguhannya telah menguatkanya, sehingga tetap ada dan berjalan.

c) Jenis Usaha Yang Dikembangkan KWT Melati Dan Cara Penguatan Modal Usaha

Catatan usaha pada buku kas KWT Melati tertulis beberapa jenis usaha, antara lain kopi luwak mencapai 3-4 kg per minggu, kopi bubuk biasa 70 kg/minggu, gula aren cetak 70 kg/minggu, gula aren kristal aren 5 kg/bulan, keripik pisang 5 kg/minggu, keripik singkong 10 kg/minggu, madu alam 2 botol/minggu, dan jasa penggilingan kopi 350 kg/minggu. Selain usaha tersebut juga mengembangkan kegiatan arisan kerja dengan omzet Rp 20 juta hingga Rp 30 juta per tahun, warung dengan omzet Rp 900.000 per bulan, dan usaha pembibitan pohon bernilai Rp 1,5 juta per tahun. Omset total yang diperoleh sampai pada tahun 2012 mencapai Rp.107 juta, dan pada tahun 2013 KWT melakukan diversivikasi usaha ternak.

Jenis jenis yang diusahakan KWT dan sumber dana yang digunakan sebagai berikut:

Page 70: best practices scbfwm 2014 regional lampung

57

tanam padi dan beberapa usaha tani. Dari perjalanan usaha yang dijalani, mereka bersepakat membentuk kelompok usaha hasil hutan dalam bentuk kelompok wanita tani. Maka, pada tanggal 8 Oktober 1993 yang disaksikan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan saat itu, berdirilah kelompok wanita tani “Melati”.

Diawal berdiri kelompok, jumlah anggota tercatat 48 orang. Setiap anggota diwajibkan membayar iuran pokok sebesar Rp. 5000 (lima ribu rupiah), dan simpanan wajib setiap bulan sebesar Rp. 250 (dua ratus rupiah). Nilai yang kecil saat ini, namun saat awal berdiri, uang tersebut tergolong sangat besar. Anehnya, sampai tahun 2010 iuran wajib jumlahnya tetap Rp. 250.-, alasannya semangat iuran saat itu dimaksudkan hanya untuk mengikat kebersamaan pendiri KWT, sedangkan untuk pengembangan modal usaha sudah disisihkan dari sisa hasil usaha yang terkumpul ± 16 tahun sejak berdirinya kelompok. Perkembangan KWT banyak tantangan, jalanya si Melati tertatih tatih antara hidup dan mati, perjuangan selama 16 tahun anggota yang bertahan tercatat tinggal 28 orang. Pada tahun 2010, KWT Melati menjadi mitra pendampingan oleh program pemberdayaan yang digagas oleh Kementerian Kehutanan melalui Proyek Penguatan pengelolan Hutan dan DAS berbasis masyarakat/ Strengthening Community-Based Forest and Watershed Management (SCBFWM), kegiatan ini menggugah wanita tani lainya mulai tertarik bergabung di dalam kegiatan kelompok, saat ini anggota menjadi 77 orang. Perjalanan KWT menjadi sebuah catatan pelajaran sikap bagi para perintis usaha, bahwa keteguhannya telah menguatkanya, sehingga tetap ada dan berjalan.

c) Jenis Usaha Yang Dikembangkan KWT Melati Dan Cara Penguatan Modal Usaha

Catatan usaha pada buku kas KWT Melati tertulis beberapa jenis usaha, antara lain kopi luwak mencapai 3-4 kg per minggu, kopi bubuk biasa 70 kg/minggu, gula aren cetak 70 kg/minggu, gula aren kristal aren 5 kg/bulan, keripik pisang 5 kg/minggu, keripik singkong 10 kg/minggu, madu alam 2 botol/minggu, dan jasa penggilingan kopi 350 kg/minggu. Selain usaha tersebut juga mengembangkan kegiatan arisan kerja dengan omzet Rp 20 juta hingga Rp 30 juta per tahun, warung dengan omzet Rp 900.000 per bulan, dan usaha pembibitan pohon bernilai Rp 1,5 juta per tahun. Omset total yang diperoleh sampai pada tahun 2012 mencapai Rp.107 juta, dan pada tahun 2013 KWT melakukan diversivikasi usaha ternak.

Jenis jenis yang diusahakan KWT dan sumber dana yang digunakan sebagai berikut:

1. Usaha sembako, bersumber dari dana swadaya tahun 2009

2. Usaha penggilingan kopi bubuk, bersumber dari bantuan SCBFWM tahun 2010

3. Usaha penggorengan kopi, bersumber dari bantuan SCBFWM tahun 2010

4. Usaha pemasaran kopi bubuk, bersumber dari dana swadaya KWT dan Angsuran pokok anggota tahun 2010

5. Usaha Penjualan BBM, bersumber dari dana swadaya tahun 2010

6. Usaha penjualan kripik pisang, bersumber dari dana bantuan SCBFWM tahun 2010

7. Pengemasan Kopi bubuk, bersumber dari bantuan dari Kementerian PDT tahun 2010

8. Usaha kebun kolektif bantuan berasal dari dana KWT dan SCBFWM tahun 2011

9. Usaha pengolahan tanaman herbal, bersumber dari SCBFWM tahun 2013

10. Usaha penjualan pulsa, sumber dana swadaya tahun 2013

Gambar 3.17. Keuntungan Usaha Selama Empat Tahun Terakhir 2010-2013

d) Sosialisasi dan Pemasaran Produk KWT Melati

Kegiatan ini dilakukan melalui jejaring usaha, yaitu dilingkungan wilayah Kabupaten Lampung Barat termasuk warga desa terdekat. Pemasaran juga dilakukan di wilayah kota Propinsi Lampung melalui jejaraing yang dikenal saat temu usaha HKm dan pameran pembangunan. Sedangkan pemasaran antar propinsi dikenalkan pada saat pameran tingkat nasional di Indogreen, Pekan Raya Pertanian dan setiap pertemuan tingkat nasional yang diikuti, konsep usahanya adalah maju bersama sahabat. Saat ini hasil pasar antar propinsi belum menunjukan

0

50000000

100000000

150000000

200000000

1 2 3 4

3,991,450 20,509,950

143,101,232

195,971,533

Page 71: best practices scbfwm 2014 regional lampung

58

target pasar yang diharapkan, namun demikian, walau usaha tersebut belum menghasilkan untung, investasi melalui promosi produk hasil hutan ke kota luar propinsi masih dijalankan, dengan target untuk mengenalkan hasil hutan yang ramah lingkungan dan mendapatkan dukungan pelestariannya.

e) Perlombaan dan Penghargaan

Kegiatan Perlombaan dan Penghargaan merupakan kegiatan rutin diikuti oleh KWT Melati. Kelompok sering ditunjuk mewakili perlombaan bidang kewirausahaan berbasis lingkungan tingkat Kabupaten, tingkat Propinsi dan tingkat Nasional. Beberapa lomba yang telah diikuti dan beberapa penghargaan yang telah diterima oleh kelompok diantaranya, Juara I Ketahanan Pangan Tingkat Kabupaten, Juara II Ketahanan Pangan Tingkat Propinsi keduanya tahun 2011, dan pada tahun 2012 mendapat Juara II Lomba Usaha Kopi tingkat Propinsi Lampung. Pada Tahun 2013 kinerja KWT Melati juga mendapat perhatian dan penghargaan dibidang kewirausahaan sosial dari Britis Concil .

Kegiatan lomba dan penghargaan, sangat memotivasi kemajuan anggota kelompok, karena kegiatan tersebut dirasakan sangat membantu dan dirasakan sangat koordinatif antara pelaku usaha, pemerintah, kelompok tani hutan kemasyarakatan, dan para pengusaha hutan kemasyarakatan.

f) Pemupukan Modal Kelompok, Perguliran Dana dan Penumbuhan Lembaga Keuangan Mikro :

Upaya kegiatan usaha penguatan modal kelompok, KWT Melati menjalin kepercayaan dari berbagai instansi. Sejak tahun 2010 KWT Melati sebagai mitra pendampingan oleh program pemberdayaan dari Strengthening Community-Based Forest and Watershed Management (SCBFWM). Atas pendampingan SCBFWM tersebut, KWT Melati mampu meningkatkan kepercayaan kelompok, dan meyakinkan ke beberapa lembaga yang berpartisipasi mendukung kegiatan kelompok, antara lain : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lampung Barat, yang telah ikut peduli melalui bantuan pelatihan dan penguatan kelembagaan evaluasi HKm; Dinas Kesehatan Lampung Barat, telah membina melalui bantuan pemberian Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga ( SPP-IRT ); Dinas Koperasi dan Perdagangan Lampung Barat, memberdayakan melalui pemberian bantuan Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) berupa peralatan industri rumah tangga; Dinas Kehutanan Propinsi Lampung dan Forum HKm Propinsi, membantu fasilitasi pengutanan jaringan usaha kelompok HKm; Central HKm Lampung Barat, membangun swadaya pondok HKm sebagai wadah curah pikir dan sebagai home base HKm lampung barat, BPDAS WSS memfasilitasi perijinan HKm yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung

Page 72: best practices scbfwm 2014 regional lampung

59

target pasar yang diharapkan, namun demikian, walau usaha tersebut belum menghasilkan untung, investasi melalui promosi produk hasil hutan ke kota luar propinsi masih dijalankan, dengan target untuk mengenalkan hasil hutan yang ramah lingkungan dan mendapatkan dukungan pelestariannya.

e) Perlombaan dan Penghargaan

Kegiatan Perlombaan dan Penghargaan merupakan kegiatan rutin diikuti oleh KWT Melati. Kelompok sering ditunjuk mewakili perlombaan bidang kewirausahaan berbasis lingkungan tingkat Kabupaten, tingkat Propinsi dan tingkat Nasional. Beberapa lomba yang telah diikuti dan beberapa penghargaan yang telah diterima oleh kelompok diantaranya, Juara I Ketahanan Pangan Tingkat Kabupaten, Juara II Ketahanan Pangan Tingkat Propinsi keduanya tahun 2011, dan pada tahun 2012 mendapat Juara II Lomba Usaha Kopi tingkat Propinsi Lampung. Pada Tahun 2013 kinerja KWT Melati juga mendapat perhatian dan penghargaan dibidang kewirausahaan sosial dari Britis Concil .

Kegiatan lomba dan penghargaan, sangat memotivasi kemajuan anggota kelompok, karena kegiatan tersebut dirasakan sangat membantu dan dirasakan sangat koordinatif antara pelaku usaha, pemerintah, kelompok tani hutan kemasyarakatan, dan para pengusaha hutan kemasyarakatan.

f) Pemupukan Modal Kelompok, Perguliran Dana dan Penumbuhan Lembaga Keuangan Mikro :

Upaya kegiatan usaha penguatan modal kelompok, KWT Melati menjalin kepercayaan dari berbagai instansi. Sejak tahun 2010 KWT Melati sebagai mitra pendampingan oleh program pemberdayaan dari Strengthening Community-Based Forest and Watershed Management (SCBFWM). Atas pendampingan SCBFWM tersebut, KWT Melati mampu meningkatkan kepercayaan kelompok, dan meyakinkan ke beberapa lembaga yang berpartisipasi mendukung kegiatan kelompok, antara lain : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lampung Barat, yang telah ikut peduli melalui bantuan pelatihan dan penguatan kelembagaan evaluasi HKm; Dinas Kesehatan Lampung Barat, telah membina melalui bantuan pemberian Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga ( SPP-IRT ); Dinas Koperasi dan Perdagangan Lampung Barat, memberdayakan melalui pemberian bantuan Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) berupa peralatan industri rumah tangga; Dinas Kehutanan Propinsi Lampung dan Forum HKm Propinsi, membantu fasilitasi pengutanan jaringan usaha kelompok HKm; Central HKm Lampung Barat, membangun swadaya pondok HKm sebagai wadah curah pikir dan sebagai home base HKm lampung barat, BPDAS WSS memfasilitasi perijinan HKm yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung

Barat berupa Ijin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) juga memfasilitasi peralatan wirausaha, memfasilitasi pemasaran pada pameran pembangunan tingkat nasional dan daerah, memfasilitasi kunjungan instansi lain, dan lainya; Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Watala dan Forum Komunikasi HKm Lampung Barat, ICRAF, UNDP dan lainya ikut aktif dalam penguatan kelembagaan, administrasi kelembagaan, jejaring antar kelompok, pengetahuan serta ketrampilan terkait dengan peran masyarakat dan kelestarian hutan, dan masih banyak kepedulian dari berbagai lembaga terkait yang menguatkan usaha KWT Melati.

Rintisan usaha baru saat ini adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Lembaga keuangan tersebut dibentuk berupa Lembaga Dana Kredit Kelompok (LDKK), nantinya diharapkan akan menjadi cikal bakal lembaga keuangan mikro di desa Tribudisyukur, dan menjadi penguat ekonomi para petani hutan di pedesaan.

g) Pemanfaatan Dana Penguatan Modal Kelompok :

Bantuan penguatan modal kelompok yang diterima, merupakan realisasi sesuai usulan (proposal) yang diusulkan. Dana yang diterima melalui tranfer ke rekening kelompok, sebelum modal digunakan selalu dibahas bersama anggota dan pengurus, dan harus dapat menguatkan modal dalam kelompok. Hasil pengembangan modal usaha tersebut tercatat hingga bulan Agustus 2013 modal usaha kelompok telah meningkatkan menjadi Rp. 304.319.500,. (tiga ratus empat juta tigaratus sembilan belas ribu lima ratus rupiah). Jumlah tersebut dihitung dari kekayaan modal swadaya sebesar Rp. 108.998.000, modal usaha dari bantuan hibah kecil SCBFWM, bantuan kementerian Pembangunan Desa Tertinggal (PDT), bantuan dari BPMP dan Dinas KOPERINDAG, hasil penjualan di pasar Lampung Barat, total senilai Rp. 180.091.500. selain juga ada tambahan modal dari anggota baru sebesar Rp. 15.230.000.

Beberapa pengembangan usaha baru yang dilakukan kelompok dari hasil bantuan penguatan modal tersebut, antara lain digunakan untuk :

1) Pengadaan sarana produksi, benih/bibit, bibit ternak/bakalan, usaha kebun sayur dan tanaman obat, kegiatan sarana teknologi pasca panen dan pengolahan hasil ;

2) Modal usaha penunjang usaha HKm (non-farm) seperti jasa pengolahan kopi, jasa penjualan BBM dan pulsa, jasa tenaga kerja, simpan-pinjam, dan lainnya;

3) Kegiatan pengembangan kelembagaan seperti memperbesar jangkauan pasar, membuka bidang usaha penunjang usaha HKm, membangun jaringan kerja dengan mitra usaha luar kabupaten Lampung Barat melalui penjualan gula

Page 73: best practices scbfwm 2014 regional lampung

60

aren kristal di beberapa toko di Bandar Lampung, juga mulai merintis penjualan kopi kemasan (sasetan) di Jawa seperti kota Nganjuk, Bogor, Solo dan Jakarta;

4) Pembinaan kelompok untuk peningkatan dan pengembangan kemampuan pengurus/anggota kelompok, kegiatan ini mendapatkan fasilitas dari Penyuluh Kehutanan, Penyuluh Swakarsa, Mitra Usaha, Lembaga Penggerak Swadaya Masyarakat. Sedangkan peningkatan daya saing usaha, dibina oleh instasni teknis di daerah melalui pengenalan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembinaan penerapan teknologi dilakukan melalui penyediaan teknologi terapan, salah satu produknya adalah pengolahan kopi kemasan tardisional menjadi pengemasan kopi saset. Kegiatan init dilakukan secara terpadu melibatkan dinas terkait, tujuannya agar terjaga produktivitasnya, kontinuitas pasokan produknya dan kualitas serta mengurangi kehilangan dan kerusakan hasil.

h) Sistim Monotoring, Evaluasi, Pelaporan dan Keuangan KWT Melati

Pengurus KWT Melati diwajibkan mampu menyusun pertanggungjawaban usaha, sebagaimana sistim pelaporan dan keuangan yang ditetapkan dalam aturan kelompok. Mekanisme yang dimiliki dalam mengontrol jalanya usaha diatur dalam sistem akuntansi dan pelaporan keuangan kelompok, yaitu pertanggungjawaban pengurus kepada anggota. Melalui sistem tersebut di samping pengurus mempertanggungjawabkan penggunaan dana, barang dan modal, pengurus kelompok juga melaporkan segala kegiatan ekstra lainya. Pertanggungjawaban pelaksanaan penggunaan dana dilakukan terpisah dengan pelaksanaan usaha. Pertanggungjawaban pelaksanaan dimaksud berupa Laporan Keuangan dan Laporan Jenis Usaha.

Monitoring dan evaluasi merupakan salah satu bagian dari siklus manajemen KWT Melati. Hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan usaha diperlukan agar mendapatkan umpan balik dalam proses perencanaan kegiatan kelompok selanjutnya; perumusan rencana anggota; dan pengambilan keputusan kelompok. Evaluasi kegiatan menggunakan alat ukur sederhana yaitu mengukur berapa pemasukan, berapa pengeluaran dan berapa keuntungan usaha, juga tertulis berapa jumlah jaringan dan manfaat usaha bagi kelompok. Indikator kinerja ini digunakan untuk meyakinkan bahwa usaha kelompok (kinerja) yang dilakukan menunjukkan kemajuan usaha atau perlu perbaikan bersama.

Page 74: best practices scbfwm 2014 regional lampung

61

aren kristal di beberapa toko di Bandar Lampung, juga mulai merintis penjualan kopi kemasan (sasetan) di Jawa seperti kota Nganjuk, Bogor, Solo dan Jakarta;

4) Pembinaan kelompok untuk peningkatan dan pengembangan kemampuan pengurus/anggota kelompok, kegiatan ini mendapatkan fasilitas dari Penyuluh Kehutanan, Penyuluh Swakarsa, Mitra Usaha, Lembaga Penggerak Swadaya Masyarakat. Sedangkan peningkatan daya saing usaha, dibina oleh instasni teknis di daerah melalui pengenalan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembinaan penerapan teknologi dilakukan melalui penyediaan teknologi terapan, salah satu produknya adalah pengolahan kopi kemasan tardisional menjadi pengemasan kopi saset. Kegiatan init dilakukan secara terpadu melibatkan dinas terkait, tujuannya agar terjaga produktivitasnya, kontinuitas pasokan produknya dan kualitas serta mengurangi kehilangan dan kerusakan hasil.

h) Sistim Monotoring, Evaluasi, Pelaporan dan Keuangan KWT Melati

Pengurus KWT Melati diwajibkan mampu menyusun pertanggungjawaban usaha, sebagaimana sistim pelaporan dan keuangan yang ditetapkan dalam aturan kelompok. Mekanisme yang dimiliki dalam mengontrol jalanya usaha diatur dalam sistem akuntansi dan pelaporan keuangan kelompok, yaitu pertanggungjawaban pengurus kepada anggota. Melalui sistem tersebut di samping pengurus mempertanggungjawabkan penggunaan dana, barang dan modal, pengurus kelompok juga melaporkan segala kegiatan ekstra lainya. Pertanggungjawaban pelaksanaan penggunaan dana dilakukan terpisah dengan pelaksanaan usaha. Pertanggungjawaban pelaksanaan dimaksud berupa Laporan Keuangan dan Laporan Jenis Usaha.

Monitoring dan evaluasi merupakan salah satu bagian dari siklus manajemen KWT Melati. Hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan usaha diperlukan agar mendapatkan umpan balik dalam proses perencanaan kegiatan kelompok selanjutnya; perumusan rencana anggota; dan pengambilan keputusan kelompok. Evaluasi kegiatan menggunakan alat ukur sederhana yaitu mengukur berapa pemasukan, berapa pengeluaran dan berapa keuntungan usaha, juga tertulis berapa jumlah jaringan dan manfaat usaha bagi kelompok. Indikator kinerja ini digunakan untuk meyakinkan bahwa usaha kelompok (kinerja) yang dilakukan menunjukkan kemajuan usaha atau perlu perbaikan bersama.

i) KWT Melati, Sumber Daya Hutan Kemasyarakatan dan DAS

KWT Melati telah diakui banyak pihak berperan sebagai pendidik lingkungan di sekitar Desa Tribudisyukur. Peran yang melekat sebagai wanita dapat mendidik masyarakat sekitarnya untuk mencintai lingkungan. Hal ini telah dijalankanya dengan menyediakan bibit, mengajak menanam dan memelihara pohon, juga mensosialisasikan untuk tidak mengganggu dan membunuh satwa liar di hutan lindung penyangga kehidupan desa Tribudisyukur. Agar gerakan cinta tanam oleh masyarakat berjalan, kelompok setiap tahunya menyisihkan sisa hasil usaha untuk pembuatan bibit sejumlah 5000 batang/tahun, berupa bibit kayu juga tersedia bibit bukan kayu atau MPTS (multy purpose trees spescies). Bibit tersebut ditanan bersama di hutan lindung desa Tribudisyukur dan perlindungan mata air. Kegiatan ini memunculkan sikap positif dan budaya masyarakat sekitarnya menjadi semangat cinta menanam dan memelihara pohon. Hasilnya hutan lindung desa aman terjaga.

Kalimat sakral “surga di bawah telapak kaki ibu” menjadi pengingat semua dalam bertindak dan memperlakukan sikap baik wanita (ibu) kita. Dengan restu seorang wanita (ibu) sesuatu yang mustahil bisa saja terjadi. Kita ingat hebatnya wanita Indonesia yang mampu menggerakkan masyarakat untuk memperbaiki lingkungan yang kritis, bahkan beberapa di antaranya telah mendapat penghargaan Kalpataru. Sebagai contoh, pemenang Kalpataru tahun 2002 untuk kategori Pengabdi Lingkungan diberikan kepada Ibu Endang Maryatun. Selain itu, Ir Tri Mumpuni menciptakan Energi Listrik Mikrohidro dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, yang merupakan pemenang Kalpataru tahun 2005. Upaya yang dilakukan oleh KWT Melati juga wujud tekad pelestari, yaitu menyeimbangkan antara sumber daya alam dan kewirausahaan dalam prinsip kelestarian. Perjalanan usahannya telah mampu menjaring banyak “Manusia Setengah Dewa”, karena pada dasarnya hanya orang bijak yang mampu menjaring jiwa, melihat dengan cerdas pentingnya sumber daya alam, untuk kehidupan di Bumi ini. Apabila banyak yang bijak, maka hutan semestinya tidak perlu dijaga petugas khusus. Karena, sesuatu yang sangat ironis dan mustahil, jika faktanya petugas dan sarana yang terbatas menjaga hutan yang begitu luas. Kisah KWT merupakan salah satu fakta lain, mereka mampu menunjukan peran masyarakat yang efektif bagi kelestarian hutan dan DAS. Kita tahu Pemerintah telah mengatur mekanismenya dengan sangat jelas dan tegas, tinggal pemahaman semua pihak terhadap ketentuan tersebut, karena hanya dengan kecerdasan pikir, kecerdasan jiwa dan ketulusan hati, akan bisa menelaaah secara seksama, makna hutan ada, dan keberadaan manusia disekitar hutan.

Page 75: best practices scbfwm 2014 regional lampung

62

Tema Hutan Lestari menjadi renungan, karena sering menjadi bahasan rimbawan dimanapun, semoga yang dimaksud adalah hutan yang lebih bersahabat dan memartabatkan manusia. Hutan dan ekosistem DAS adalah sumber daya alam sebagai modal kehidupan, dan alat menghasikan nafkah hidup, sebagimana amanat pasal 33 UUD 45 poin 3 dengan jelas agar “dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat’, hal itu telah dibuktikan oleh KWT Melati dan pejuang sumber daya alam lainya. Bahwa sumberdaya Hutan dan DAS adalah sebagai modal hidup, karena sebagai modal, maka mereka menjaganya, agar modal tersebut lestari dan menghidupinya.

Gambar 3.18. Beberapa produk usaha HHBK KWT Melati yang telah laku di pasaran

Gbr.3.19.

Semarak kelompok Bersama Menteri

Kehutanan

Gbr.3.20. Hutan Lindung Desa tempat berlindung

satwa terjaga lestari

Gbr. 3.21. Pohon pelindung kopi yang

mulai rimbun menjaga bumi

Gbr. 3.22. Pembinaan pengurus kelompok oleh Forum HKm Propinsi

Gbr. 3.23. FGD bersama tim pemerhati di Pondok

HKm Center

Gbr. 3.24. Micro hydro, wujud jasa lingkungan hutan

lestari

Page 76: best practices scbfwm 2014 regional lampung

63

Tema Hutan Lestari menjadi renungan, karena sering menjadi bahasan rimbawan dimanapun, semoga yang dimaksud adalah hutan yang lebih bersahabat dan memartabatkan manusia. Hutan dan ekosistem DAS adalah sumber daya alam sebagai modal kehidupan, dan alat menghasikan nafkah hidup, sebagimana amanat pasal 33 UUD 45 poin 3 dengan jelas agar “dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat’, hal itu telah dibuktikan oleh KWT Melati dan pejuang sumber daya alam lainya. Bahwa sumberdaya Hutan dan DAS adalah sebagai modal hidup, karena sebagai modal, maka mereka menjaganya, agar modal tersebut lestari dan menghidupinya.

Gambar 3.18. Beberapa produk usaha HHBK KWT Melati yang telah laku di pasaran

Gbr.3.19.

Semarak kelompok Bersama Menteri

Kehutanan

Gbr.3.20. Hutan Lindung Desa tempat berlindung

satwa terjaga lestari

Gbr. 3.21. Pohon pelindung kopi yang

mulai rimbun menjaga bumi

Gbr. 3.22. Pembinaan pengurus kelompok oleh Forum HKm Propinsi

Gbr. 3.23. FGD bersama tim pemerhati di Pondok

HKm Center

Gbr. 3.24. Micro hydro, wujud jasa lingkungan hutan

lestari

Gbr. 3.25. Buah kopi robusta andalan hasil HKm

Gbr.3.26. Penghargaan kepada KWT melati dari Gubernur Lampung

D. Ringkasan Penulis

Hutan sudah menjadi ketergantungan kehidupan masyarakat saat ini dan akan lebih besar dimasa mendatang. Hutan sangat penting bagi ekonomi masyarakat, banyak produk yang secara komersial menggunakan kayu, obat, bahan pewarna, minyak dan damar disediakan oleh hutan. Tanah hutan juga sangat penting bagi usaha agroforestry dan industri pariwisata.

Hutan telah terbukti mempunyai pengaruh positif pada kehidupan masyarakat, kadang kala manusia yang memberikan perlakuan yang sangat buruk pada hutan. Pengalaman buruk yang pernah terjadi di hutan lindung DAS Way Besay tentu tidak akan terulang, di mana kayu digunakan sebagai bahan bakar dan pohon-pohon disingkirkan untuk keperluan usaha tani, hutan menjadi gundul. Pelajaran masa lalu memberikan kesadaran baru, kelompok masyarakat dan pemerintah bersama sama mengelola dan telah memanfaatkan sumber daya mereka dengan bijak, pelestarian hutan sekarang telah menjadi panggilan hidupnya.

Kalau saja setiap orang mau menanam sebatang pohon, maka laju peningkatan kerusakan hutan dan DAS bahkan isu pemanasan global bisa dihentikan. Karenanya, dimanapun lahan yang ada dan sesempit pekarangan yang dimiliki, menanam sudah tentu bisa tumbuh besar di kemudian hari.

Pertambahan umur manusia menjadikan tua, demikian juga pohon menjadi tua. Tua manusia lemah kekuatanya, tua pohon tinggi harganya. Maka menanam memberikan juga harapan, disaat tidak berharga dan lemah (loyo) masih tersimpan pengharapan, pohon masih mampu menghidupi dan memberi nafkah pada si empunya. Ayo Menanam Hidup.

Page 77: best practices scbfwm 2014 regional lampung

64

MODEL 4 AKSI NYATA BANJARNEGARA SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI

Nurul Ardiana *Pengendali Ekosistem Hutan BPDAS Serayu Opak Progo

*Counterpart Project SCBFWM Regional Yogyakarta

Dalam mengelola suatu Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) sejatinya tidak bisa secara parsial. Bicara DAS memang sesuatu yang kompleks karena lintas sektor, lintas wilayah administrasi pemerintahan dan lintas disiplin ilmu. Karena itu diperlukan keterpaduan pengelolaan berbagai sektor dari daerah hulu sampai hilir dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan. Lalu bagaimana kita menjawab permasalahan mendasar dalam sektor pengelolaan DAS? Bagaimana cara menyelesaikan persoalan yang terjadi? siapa pihak yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya permasalahan tersebut? Jawabannya bisa sangat beragam dan bervariasi tergantung pada cara pandang dan persepsi, pengalaman, kepentingan dan pemahaman yang menjawabnya. Sebagian besar saya yakin akan menjawab permasalahan utamanya adalah karena pembangunan nasional yang berorientasi pada keuntungan secara ekonomi. Sehingga tingginya laju eksploitasi sumber daya alam terjadi dimana-mana, yang disertai dengan tingkat kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Keuntungan yang diterima oleh negara dari sisi finansial ternyata tidak seimbang dengan perubahan sosial dan ekologi. Siapa yang bertanggung jawab? Sektor mana yang harusnya bertindak? Sejauh ini masih terjadi saling tuding dan lempar tanggung jawab.

Pengelolaan DAS sangat erat kaitannya dengan Isu lingkungan. Isu ini kini menjadi isu yang ”seksi” dan ditempatkan sebagai “pemadam kebakaran” bagi kerusakan dan konflik sosial yang terjadi. Telah banyak program yang dijalankan untuk mengatasinya namun lagi-lagi pendekatan dirasakan masih belum sepenuhnya berhasil untuk menjangkau akar masalah atau penyebab dari kerusakan. Masih banyak bencana yang terjadi seperti banjir, longsor, pencemaran, kebakaran hutan, dan berdampak pada perubahan iklim. Sangat disayangkan, peraturan dan kebijakan yang ada belum bisa menyelesaikan permasalahan lingkungan dan yang menyakitkan lagi, selalu saja petani-petani subsisten dikambinghitamkan sebagai perusak hutan.

Seperti halnya keresahan dan kegalauan yang dirasakan di Kabupaten Banjarnegara. Lahan kritis setiap tahun semakin meningkat, tingkat sedimentasi yang semakin tinggi dan banyak kekeringan di berbagai tempat. Para pihak mulai menyadari dampak dari kerusakan yang terjadi. Banjarnegara memang berada pada kawasan penyangga bagi kabupaten di sekitarnya yaitu Purbalingga, Banyumas dan Cilacap.

Page 78: best practices scbfwm 2014 regional lampung

65

MODEL 4 AKSI NYATA BANJARNEGARA SEBAGAI KABUPATEN KONSERVASI

Nurul Ardiana *Pengendali Ekosistem Hutan BPDAS Serayu Opak Progo

*Counterpart Project SCBFWM Regional Yogyakarta

Dalam mengelola suatu Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) sejatinya tidak bisa secara parsial. Bicara DAS memang sesuatu yang kompleks karena lintas sektor, lintas wilayah administrasi pemerintahan dan lintas disiplin ilmu. Karena itu diperlukan keterpaduan pengelolaan berbagai sektor dari daerah hulu sampai hilir dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan. Lalu bagaimana kita menjawab permasalahan mendasar dalam sektor pengelolaan DAS? Bagaimana cara menyelesaikan persoalan yang terjadi? siapa pihak yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya permasalahan tersebut? Jawabannya bisa sangat beragam dan bervariasi tergantung pada cara pandang dan persepsi, pengalaman, kepentingan dan pemahaman yang menjawabnya. Sebagian besar saya yakin akan menjawab permasalahan utamanya adalah karena pembangunan nasional yang berorientasi pada keuntungan secara ekonomi. Sehingga tingginya laju eksploitasi sumber daya alam terjadi dimana-mana, yang disertai dengan tingkat kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Keuntungan yang diterima oleh negara dari sisi finansial ternyata tidak seimbang dengan perubahan sosial dan ekologi. Siapa yang bertanggung jawab? Sektor mana yang harusnya bertindak? Sejauh ini masih terjadi saling tuding dan lempar tanggung jawab.

Pengelolaan DAS sangat erat kaitannya dengan Isu lingkungan. Isu ini kini menjadi isu yang ”seksi” dan ditempatkan sebagai “pemadam kebakaran” bagi kerusakan dan konflik sosial yang terjadi. Telah banyak program yang dijalankan untuk mengatasinya namun lagi-lagi pendekatan dirasakan masih belum sepenuhnya berhasil untuk menjangkau akar masalah atau penyebab dari kerusakan. Masih banyak bencana yang terjadi seperti banjir, longsor, pencemaran, kebakaran hutan, dan berdampak pada perubahan iklim. Sangat disayangkan, peraturan dan kebijakan yang ada belum bisa menyelesaikan permasalahan lingkungan dan yang menyakitkan lagi, selalu saja petani-petani subsisten dikambinghitamkan sebagai perusak hutan.

Seperti halnya keresahan dan kegalauan yang dirasakan di Kabupaten Banjarnegara. Lahan kritis setiap tahun semakin meningkat, tingkat sedimentasi yang semakin tinggi dan banyak kekeringan di berbagai tempat. Para pihak mulai menyadari dampak dari kerusakan yang terjadi. Banjarnegara memang berada pada kawasan penyangga bagi kabupaten di sekitarnya yaitu Purbalingga, Banyumas dan Cilacap.

Sebagai salah satu kabupaten yang dilalui oleh sungai cukup besar yaitu Sungai Serayu. Serayu telah menjadi sumber penghidupan sejak dahulu kala. Ditambah lagi keberadaan PT. Indonesia Power di Banjarnegara yang memiliki pembangkit energi listrik terbesar di Propinsi Jawa Tengah yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) PB. Soedirman mampu menghasilkan 180,90 MW. Sehingga air menjadi sumber daya yang sangat penting untuk penggerak mesin pembangkit disamping manfaat lain seperti pengairan, perikanan, dll.

Hidup di Planet Potatoes

Potensi alam di Banjarnegara bagian hulu masuk pada dataran Dieng. Kawasan ini memiliki potensi lahan yang sangat subur, sehingga mendukung untuk pengembangan tanaman sayur mayur. Tanaman kentang sampai saat ini masih menjadi andalan utama masyarakat dataran Dieng. Pola hidup instan yang mengharapkan segera mendapatkan uang menjadi salah satu penyebabnya. Dengan biaya produksi kecil dapat menghasilkan panenan melimpah, uang dengan mudah diraih oleh petani kentang. Namun dibalik kekayaan sumber daya alam yang dimiliki tersebut, telah terjadi berbagai permasalahan lingkungan:

1. Budaya petani dalam penanaman kentang dan sayur mayur di lereng-lereng yang curam dengan pola pembuatan teras yang searah lereng atau tidak dengan model sabuk gunung. Pada saat musim hujan, rentan longsor dan erosi tanah yang terbawa air sangat besar. Data yang diperoleh tingkat erosi bisa mencapai 150 juta m3/tahun.

2. Banyak sumber mata air yang mengering di daerah tangkapan akibat kurangnya tutupan lahan oleh tanaman kayu sebagai tempat penyimpan air. Di Banjarnegara ada sekitar 4 Telaga yang masih baik yaitu Telaga Merdada, Telaga Sidringo, Telaga Sewiwi dan Telaga Balekambang. Pada saat musim kemarau, air di telaga ini dieksploitasi secara besar-besaran oleh masyarakat untuk mengairi tanaman kentang.

3. Kualitas dan kesuburan tanah terus menurun akibat dari penggunaan pupuk kimia dan pestisida dari tahun ke tahun terus meningkat, sementara produktivitas tanaman kentang justru semakin menurun.

4. Terjadi pencemaran sungai Serayu yang ternyata telah mematikan berbagai jenis ikan seperti ikan tambra, mbeong, sidat/ pelus.

5. Terjadi penurunan ragam keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna yang hilang akibat habitatnya terganggu.

Page 79: best practices scbfwm 2014 regional lampung

66

Banjarnegara berbenah

Kondisi ini telah menjadi keprihatinan bersama oleh para pihak. Tidak hanya pemerintah kabupaten, provinsi atau pusat, tetapi juga dari dunia internasional. Perhatian dunia datang melalui proyek Strengthening Community Based Forest and Watershed Management (SCBFWM) atau penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) berbasis masyarakat. Dukungan dana proyek tersebut berasal dari Global Enviromental Facilities (GEF) dengan United Nations Development Program (UNDP) Indonesia sebagai implementing agency. Proyek yang direncanakan berjalan lima tahun dari 2010-2014 salah satu lokasinya fokus dalam pemulihan kawasan di dataran tinggi Dieng dalam cakupan wilayah Sub DAS Tulis, DAS Serayu.Walaupun hulu dari DAS Serayu tidak hanya di Sub DAS Tulis saja namun prioritas penanganan sementara di wilayah ini.

Kegalauan bertahun-tahun yang dirasakan oleh pemerintah terjawab sudah. Kehadiran SCBFWM menjadi angin segar untuk percepatan pemulihan kawasan Dieng karena memang program utama dari proyek ini adalah untuk mengurangi deforestasi dan degradasi lahan melalui pendekatan yang berbasis masyarakat. Selain memberikan pendampingan dan bantuan di kelompok tani di beberapa desa juga melakukan penguatan kelembagaan pengelolaan DAS di tingkat desa sampai kabupaten. Pada tingkatan Kabupaten dibentuklah Tim Kerja Pemulihan Kawasan Dieng (TKPKD) di Banjarnegara pada tahun 2011. Langkah awalnya adalah melalui pertemuan koordinasi yang membahas sinergitas program dengan berbagai pihak. Dokumen perencanaan yang telah disusun dan disepakati bersama adalah “Roadmap Pemulihan Kawasan Dieng tahun 2011-2016” untuk wilayah Banjarnegara.

Di lain sisi penanganan pengelolaan DAS secara menyeluruh di Kabupaten Banjarnegara membutuhkan sebuah forum koordinasi. Sebenarnya sudah sejak tahun 2005 telah terbentuk Forum DAS namun belum nampak kiprah dan perannya. Sehingga pada tahun 2012 pembentukan Forum DAS dirombak dengan SK Bupati Nomor 050/640 Tahun 2012. Forum ini terdiri dari Kelompok Kerja Perencanaan dan Pengkajian serta Kelompok Kerja Advokasi Kebijakan dan Pemberdayaan Masyarakat. Forum ini mulai menyusun strategi kebijakan dalam upaya pemulihan lingkungan. Payung hukum dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kabupaten Banjarnegara lahir. Berawal dari pembahasan yang intensif melalui forum-forum para pihak, rencana penyusunan Peraturan Daerah ini menjadi topik pembicaraan yang tidak ada habisnya. Tidak mudah untuk menyamakan persepsi dan memerlukan waktu panjang yaitu sekitar 1,5 tahun. Bisa dibilang, naskah akademik ini yang terbaik sepanjang sejarah Penyusunan Perda di Banjarnegara karena dibahas bersama-sama dan melibatkan banyak pihak. Perda tentang Pengelolaan DAS Nomor

Page 80: best practices scbfwm 2014 regional lampung

67

Banjarnegara berbenah

Kondisi ini telah menjadi keprihatinan bersama oleh para pihak. Tidak hanya pemerintah kabupaten, provinsi atau pusat, tetapi juga dari dunia internasional. Perhatian dunia datang melalui proyek Strengthening Community Based Forest and Watershed Management (SCBFWM) atau penguatan pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai (DAS) berbasis masyarakat. Dukungan dana proyek tersebut berasal dari Global Enviromental Facilities (GEF) dengan United Nations Development Program (UNDP) Indonesia sebagai implementing agency. Proyek yang direncanakan berjalan lima tahun dari 2010-2014 salah satu lokasinya fokus dalam pemulihan kawasan di dataran tinggi Dieng dalam cakupan wilayah Sub DAS Tulis, DAS Serayu.Walaupun hulu dari DAS Serayu tidak hanya di Sub DAS Tulis saja namun prioritas penanganan sementara di wilayah ini.

Kegalauan bertahun-tahun yang dirasakan oleh pemerintah terjawab sudah. Kehadiran SCBFWM menjadi angin segar untuk percepatan pemulihan kawasan Dieng karena memang program utama dari proyek ini adalah untuk mengurangi deforestasi dan degradasi lahan melalui pendekatan yang berbasis masyarakat. Selain memberikan pendampingan dan bantuan di kelompok tani di beberapa desa juga melakukan penguatan kelembagaan pengelolaan DAS di tingkat desa sampai kabupaten. Pada tingkatan Kabupaten dibentuklah Tim Kerja Pemulihan Kawasan Dieng (TKPKD) di Banjarnegara pada tahun 2011. Langkah awalnya adalah melalui pertemuan koordinasi yang membahas sinergitas program dengan berbagai pihak. Dokumen perencanaan yang telah disusun dan disepakati bersama adalah “Roadmap Pemulihan Kawasan Dieng tahun 2011-2016” untuk wilayah Banjarnegara.

Di lain sisi penanganan pengelolaan DAS secara menyeluruh di Kabupaten Banjarnegara membutuhkan sebuah forum koordinasi. Sebenarnya sudah sejak tahun 2005 telah terbentuk Forum DAS namun belum nampak kiprah dan perannya. Sehingga pada tahun 2012 pembentukan Forum DAS dirombak dengan SK Bupati Nomor 050/640 Tahun 2012. Forum ini terdiri dari Kelompok Kerja Perencanaan dan Pengkajian serta Kelompok Kerja Advokasi Kebijakan dan Pemberdayaan Masyarakat. Forum ini mulai menyusun strategi kebijakan dalam upaya pemulihan lingkungan. Payung hukum dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kabupaten Banjarnegara lahir. Berawal dari pembahasan yang intensif melalui forum-forum para pihak, rencana penyusunan Peraturan Daerah ini menjadi topik pembicaraan yang tidak ada habisnya. Tidak mudah untuk menyamakan persepsi dan memerlukan waktu panjang yaitu sekitar 1,5 tahun. Bisa dibilang, naskah akademik ini yang terbaik sepanjang sejarah Penyusunan Perda di Banjarnegara karena dibahas bersama-sama dan melibatkan banyak pihak. Perda tentang Pengelolaan DAS Nomor

4 Tahun 2013 disahkan pada tanggal 23 maret 2013 oleh Bupati Kabupaten Banjarnegara.

Banjarnegara menjadi satu-satunya yang sudah memiliki Perda DAS untuk tingkat kabupaten pada saat itu. Dengan adanya Perda DAS, maka Pemerintah Kabupaten sudah memiliki payung hukum dalam upaya melestarikan dan melakukan penghijauan di kawasan Daerah Aliran Sungai, termasuk aliran Sungai Serayu. Di dalam Perda juga ditegaskan bahwa untuk praktek merusak lingkungan bisa diancam dengan hukuman denda sebanyak Rp 50 juta. Selain itu, juga diatur mengenai dana Corporate Sosial Responsibility (CSR) terhadap BUMN, BUMD, BUMS, Koperasi di Banjarnegara wajib mengalokasikan dana sebesar minila 35% untuk kepentingan konservasi lahan.

Merawat Serayu, Merawat Peradaban Banjarnegara

Peraturan daerah tentang Pengelolaan DAS setelah disahkan tidak hanya disimpan dan dijadikan dokumen kegiatan. Namun para pihak mulai beraksi dan tidak hanya berhenti pada acara-acara ceremonial saja. Untuk mewujudkan semboyan “Wani Memetri Rahayuning Praja” yang artinya “suatu tekad untuk melestarikan kemakmuran menuju kebahagiaan lahir batin bagi semua rakyat dan pemerintah”. Hal ini membutuhkan gerakan bersama dari level bawah sampai atas. Ini yang membuat menarik dari kabupaten ini, sebagai kabupaten yang kaya dengan potensi sumber daya alam namun sudah berfikir kedepan untuk kemakmuran tentu saja melalui usaha dengan menjaga lingkungan.

Banjarnegara amat kaya akan potensi yang bisa mendatangkan keuntungan kalau dikelola secara profesional. Potensi alam yang dapat diolah sangat banyak mulai dari gas alam, panas bumi, batu lapis, batu marmer dan sebagainya. Seni budaya khas Banjarnegara juga tak kalah uniknya jika dibandingkan daerah lain seperti ada Tari Geol, Tari Aplang, Tapi Jepin, Tari Ebeg dan lainnya sebenarnya sangat unik dan layak untuk dipromosikan. Karena beberapa tarian tersebut tidak dimiliki oleh daerah lain. Belum lagi potensi wisata di dataran tinggi Dieng yang sarat dengan peninggalan warisan budaya yang sangat khas dan eksotis. Hal ini bisa dikemas dan di promosikan menjadi tujuan yang menarik bagi wisatawan.

Mengingat masa peradaban dulu, kehidupan semua berawal dari sungai. Banyak sekali cerita legendaris yang menggambarkan bahwa sungai memiliki banyak sekali manfaat bagi manusia. Sungai dapat menjadi sumber air minum, mencari ikan, sarana transportasi, pembangkit listrik, bahkan tujuan wisata. Belajar dari negara lain yang memiliki sungai nan elok dan layak sebagai destinasi wisata, Banjarnegara terobsesi untuk bisa mewujudkannya yang dituangkan dalam 5 komitmen bersama yaitu 1)

Page 81: best practices scbfwm 2014 regional lampung

68

Banjarnegara sebagai Kabupaten Konservasi 2) Banjarnegara melakukan gerakan penanaman 5 juta batang pohon setiap tahun 3) Banjarnegara Hijau 4) Banjarnegara sebagai Kota Minipolitan/ Kota Perikanan 5) Menjadikan Serayu sebagai urat nadi perekonomian. Dalam mewujudkan komitmen tersebut, telah dilakukan pendekatan dan sosialisasi terhadap gerakan penyelamatan lingkungan melalui hal yang tidak biasa yaitu dengan pendekatan budaya lokal. Harapannya adalah agar semua masyarakat luas bisa lebih dekat dan ikut merasakan pentingnya menjaga lingkungan.

Event “Festival Serayu Banjarnegara” menjadi moment yang dikenang oleh banyak orang. Sosialisasi dikemas dengan mengangkat budaya masyarakat lokal. Pada saat pembukaan tanggal 24 Agustus 2013 tidak tanggung-tanggung, Gubernur Propinsi Jawa Tengah Bapak H.Ganjar Pranowo, S.H ikut mengenakan kostum Raden Gatotkaca, salah satu tokoh pewayangan, bersama Bupati Banjarnegara, H.Sutedjo Slamet Utomo S.H,M.Hum yang mengenakan kostum Werkudara, dan Wakil Bupati Banjarnegara, Drs.Hadi Supeno, M.Si dengan kostum Kresna.

Pencanangan Banjarnegara Hijau dan Kabupaten Konservasi

Kegiatan Penanaman dengan mengusung tema “Banjarnegara Hijau bersama Ebiet G Ade” diselenggarakan di kompleks Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas (TRMS) menjadi acara puncak dari Festival Serayu yang dilaksanakan tanggal 31 Agustus 2013. Acara ini juga dihadiri oleh Menteri Kehutanan Bapak Zulkifli Hasan. Melalui bait lagu “Langit terluka” musisi Ebiet G Ade berusaha mengingatkan masyarakat terhadap dampak pemanasan global yang disebabkan ulah manusia. Dia mengatakan bahwa manusia setiap detik berkewajiban memberi kontribusi positif terhadap kekayaan alam yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat akan dilakukan penanaman, bibit tanaman seketika muncul dari sungai Serayu yang dibawa oleh beberapa orang dengan menggunakan pakaian tokoh perwayangan. Menjadi tontonan yang menarik dan terdapat filosofi yang baik untuk masyakarat. Adanya ajakan untuk menanam pohon untuk mewariskan lingkungan agar tetap seimbang sehingga air sungai tetap terjaga, maka kehidupanpun akan tetap ada. Pada

Page 82: best practices scbfwm 2014 regional lampung

69

Banjarnegara sebagai Kabupaten Konservasi 2) Banjarnegara melakukan gerakan penanaman 5 juta batang pohon setiap tahun 3) Banjarnegara Hijau 4) Banjarnegara sebagai Kota Minipolitan/ Kota Perikanan 5) Menjadikan Serayu sebagai urat nadi perekonomian. Dalam mewujudkan komitmen tersebut, telah dilakukan pendekatan dan sosialisasi terhadap gerakan penyelamatan lingkungan melalui hal yang tidak biasa yaitu dengan pendekatan budaya lokal. Harapannya adalah agar semua masyarakat luas bisa lebih dekat dan ikut merasakan pentingnya menjaga lingkungan.

Event “Festival Serayu Banjarnegara” menjadi moment yang dikenang oleh banyak orang. Sosialisasi dikemas dengan mengangkat budaya masyarakat lokal. Pada saat pembukaan tanggal 24 Agustus 2013 tidak tanggung-tanggung, Gubernur Propinsi Jawa Tengah Bapak H.Ganjar Pranowo, S.H ikut mengenakan kostum Raden Gatotkaca, salah satu tokoh pewayangan, bersama Bupati Banjarnegara, H.Sutedjo Slamet Utomo S.H,M.Hum yang mengenakan kostum Werkudara, dan Wakil Bupati Banjarnegara, Drs.Hadi Supeno, M.Si dengan kostum Kresna.

Pencanangan Banjarnegara Hijau dan Kabupaten Konservasi

Kegiatan Penanaman dengan mengusung tema “Banjarnegara Hijau bersama Ebiet G Ade” diselenggarakan di kompleks Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas (TRMS) menjadi acara puncak dari Festival Serayu yang dilaksanakan tanggal 31 Agustus 2013. Acara ini juga dihadiri oleh Menteri Kehutanan Bapak Zulkifli Hasan. Melalui bait lagu “Langit terluka” musisi Ebiet G Ade berusaha mengingatkan masyarakat terhadap dampak pemanasan global yang disebabkan ulah manusia. Dia mengatakan bahwa manusia setiap detik berkewajiban memberi kontribusi positif terhadap kekayaan alam yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat akan dilakukan penanaman, bibit tanaman seketika muncul dari sungai Serayu yang dibawa oleh beberapa orang dengan menggunakan pakaian tokoh perwayangan. Menjadi tontonan yang menarik dan terdapat filosofi yang baik untuk masyakarat. Adanya ajakan untuk menanam pohon untuk mewariskan lingkungan agar tetap seimbang sehingga air sungai tetap terjaga, maka kehidupanpun akan tetap ada. Pada

saat yang bersamaan, Bupati mencanangkan Banjarnegara Hijau dan sebagai Kabupaten Konservasi. Beliau memohon dukungan agar upaya baik ini tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten tapi butuh dukungan dan peran semua pihak.

Parak Iwak

Parak iwak merupakan sebuah bentuk pengejawantahan kesadaran masyarakat di sekitar Serayu, yang telah merasakan manfaat sungai tersebut. Parak iwak artinya suatu budaya masyarakat untuk mencari ikan di sungai dengan tangan kosong. Saat ini parak iwak sudah sulit dilakukan karena sudah banyak jenis ikan yang mati akibat air yang sudah tercemari. Pesta parak iwak diawali prosesi pengambilan ikan/Ulam yang dinamai Sari Tirta Nyawiji dari telaga-telaga di Dataran Tinggi Dieng yatui Telaga Balekambang, Telaga Merdada, Telaga Sewiwi, Telaga Sidringo, Telaga Pengilon, Telaga Warna, dan Telaga Cebong. Air dimasukkan ke dalam 7 kendi atau disebut bokor Tumus Pandeleng Ing Manah, kemudian di arak dan dikirab oleh tokoh Bima melalui Kecamatan Batur, Wanayasa, Karangkobar, Banjarmangu, dan disemayamkan satu malam di Desa Kutayasa, Kecamatan Madukara. Tokoh Bima dijadikan maskot Festival Serayu karena untuk mengingatkan legenda tentang sumber mata air Sungai Serayu berasal dari tuk Bima Lukar yang berada di Dataran Tinggi Dieng. Lalu dalam perkembangannya, Pelepasan Ulam di lakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Bapak Sharif C Suratdjo. Tercatat sekitar 200 ribu orang terlibat dan mengikuti dengan antusias. Filosofi dari kegiatan ini adalah dalam mengambil sumber daya alam dan anugerah Tuhan boleh saja, asal jangan lupa untuk ikut menabar bibit agar tidak punah. Melalui festival ini, secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk tetap memelihara kearifan lokal agar kondisi lingkungan di DAS Serayu dapat tetap terjaga sehingga Serayu tetap akan menjadi denyut nadi dan sumber penghidupan masyarakat.

Page 83: best practices scbfwm 2014 regional lampung

70

Dalam perbaikan lingkungan, tidak hanya daerah tangkapan saja yang menjadi fokus penanganan. Kantor Lingkungan Hidup mengembangkan program pengembangan kota hijau (P2KH). Peran aktif diwujudkan dengan terbentuknya Forum Komunitas Kota Hijau Banjarnegara pada tahun 2013 sebagai bagian dari pelaksanaan program pengembangan kota hijau (P2KH). Apa saja yang dilakukan untuk pelestarian lingkungan, antara lain seperti bersih kota, pencabutan paku pada pohon peneduh, bersih sungai, hingga penanaman pohon. Selain itu, pemerintah juga mendukung sepenuhnya dengan adanya program sekolah sahabat lingkungan, termasuk pembuatan biopori di beberapa lokasi sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan air dalam tanah dan antisipasi bencana banjir.

Aksi Banjarnegara hijau sekaligus untuk mengajarkan pada anak-anak usia dini untuk hidup dengan pola bersih dan sehat. Saat ini sudah ditetapkan oleh Bupati untuk mewajibkan setiap siswa baru yang akan masuk sekolah pada tahun ajaran baru untuk menanam pohon baik di lingkungan sekolah maupun di sekitar rumahnya.

Gerakan Penanaman

Luas lahan kritis di Kabupaten Banjarnegara sekitar 53.323 Ha, sebagian besar berada di dataran tinggi Dieng seluas 10.000 Ha. Kegiatan penanaman setiap tahunnya ditargetkan bisa menangani 2.500 Ha. Namun tidak mudah untuk menembus luasan tersebut, karena pola tanam masyarakat hulu pada umumnya hanya mau menanam tanaman kayu di pinggir batas lahan miliknya saja. Namun adanya komitmen untuk penanaman minimal 5 juta batang tertanam setiap tahunnya justru melebihi target yang telah ditetapkan yaitu pada tahun 2011 mencapai 6.150.669 batang, pada tahun 2012 5.345,876 dan pada tahun 2013 5.279.816. Dari total jumlah batang yang ditanam sebagian besar bibit diperoleh dari kegiatan Kebun Bibit Rakyat dan Bansos Bidang Kehutanan. Selain itu sebagian besar dari CSR Perusahaan yang ada di Banjarnegara baik dari perusahaan industri kayu, industri pembangkit listrik, dll. Dalam pelaksanaan kegiatan gerakan penanaman di lapangan, pemkab dibantu oleh para penyuluh kehutanan yang jumlahnya terbanyak di Jawa Tengah yaitu sekitar 33 orang. Dari 20

Page 84: best practices scbfwm 2014 regional lampung

71

Dalam perbaikan lingkungan, tidak hanya daerah tangkapan saja yang menjadi fokus penanganan. Kantor Lingkungan Hidup mengembangkan program pengembangan kota hijau (P2KH). Peran aktif diwujudkan dengan terbentuknya Forum Komunitas Kota Hijau Banjarnegara pada tahun 2013 sebagai bagian dari pelaksanaan program pengembangan kota hijau (P2KH). Apa saja yang dilakukan untuk pelestarian lingkungan, antara lain seperti bersih kota, pencabutan paku pada pohon peneduh, bersih sungai, hingga penanaman pohon. Selain itu, pemerintah juga mendukung sepenuhnya dengan adanya program sekolah sahabat lingkungan, termasuk pembuatan biopori di beberapa lokasi sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan air dalam tanah dan antisipasi bencana banjir.

Aksi Banjarnegara hijau sekaligus untuk mengajarkan pada anak-anak usia dini untuk hidup dengan pola bersih dan sehat. Saat ini sudah ditetapkan oleh Bupati untuk mewajibkan setiap siswa baru yang akan masuk sekolah pada tahun ajaran baru untuk menanam pohon baik di lingkungan sekolah maupun di sekitar rumahnya.

Gerakan Penanaman

Luas lahan kritis di Kabupaten Banjarnegara sekitar 53.323 Ha, sebagian besar berada di dataran tinggi Dieng seluas 10.000 Ha. Kegiatan penanaman setiap tahunnya ditargetkan bisa menangani 2.500 Ha. Namun tidak mudah untuk menembus luasan tersebut, karena pola tanam masyarakat hulu pada umumnya hanya mau menanam tanaman kayu di pinggir batas lahan miliknya saja. Namun adanya komitmen untuk penanaman minimal 5 juta batang tertanam setiap tahunnya justru melebihi target yang telah ditetapkan yaitu pada tahun 2011 mencapai 6.150.669 batang, pada tahun 2012 5.345,876 dan pada tahun 2013 5.279.816. Dari total jumlah batang yang ditanam sebagian besar bibit diperoleh dari kegiatan Kebun Bibit Rakyat dan Bansos Bidang Kehutanan. Selain itu sebagian besar dari CSR Perusahaan yang ada di Banjarnegara baik dari perusahaan industri kayu, industri pembangkit listrik, dll. Dalam pelaksanaan kegiatan gerakan penanaman di lapangan, pemkab dibantu oleh para penyuluh kehutanan yang jumlahnya terbanyak di Jawa Tengah yaitu sekitar 33 orang. Dari 20

Kecamatan yang ada, jumlah tersebut cukup efektif dengan pendekatan yang berbasis pada masyarakat.

Salah satu perusahaan yang benar-benar berpihak pada pemulihan lingkungan adalah PT. Indonesia Power. Perusahaan ini tak hanya berfokus pada perkembangan bisnis pembangkitan listrik, namun kepedulian PT. Indonesia Power untuk lingkungan terus digalakkan. Baru saja PT. Indonesia Power melaunching program “Hijaunesia Power Peduli Planet”. Telah dilakukan pencanangan di Banjarnegara pada tanggal 16 Oktober 2014 dengan penanaman 10 ribu bibit Kopi Arabica sepanjang tepian Telaga Merdada di Desa Karangtengah, Kecamatan Batur.

Kegiatan penanaman ini menjadi sarana edukasi, peningkatan kepedulian, kemampuan dan kemandirian tentang pentingnya menaman dan memelihara pohon. Selain itu, untuk mengajak seluruh masyarakat melakukan penanaman dan pemeliharaan pohon secara berkelanjutan. Bibit kopi yang ditanam tersebut merupakan hasil penyemaian dari peserta Sekolah Lapangan (SL) sebagai salah satu bagian dari Program Community Development (ComDev) UBP Mrica. Setiap tahun dari kewajibannya untuk memberikan CSR tidak henti-hentinya PT.Indonesia Power memberikan bantuan bibit, sarana prasarana, menyelenggarakan Sekolah lapang dan bimbingan teknis. Tidak hanya memberi bantuan kemudian di tinggal begitu saja. Tapi menurut beberapa desa yang saya datangi, mereka secara periodik melakukan cek kegiatan ke masyarakat, apakah dilakukan secara serius atau tidak. Impiannya pada tahun 2020 PT. Indonesia Power dapat ikut menghijaukan seluruh lahan pada daerah tangkapan air sampai dengan 100%.

Dengan komitmen bersama dalam pemulihan lingkungan di Kabupaten Banjarnegara, semua optimis untuk melanjutkan kegiatan dalam pengelolaan DAS. Harapan Pemerintah Kabupaten selain memperbaiki kondisi lingkungan juga membuka pintu selebar-lebarnya bagi kabupaten lain untuk ikut belajar tentang Pengelolaan DAS di Banjarnegara. Untuk itu dukungan pihak swasta dan gerakan masyarakat benar-benar memberikan kontribusi nyata. Namun proses ini masih membutuhkan proses panjang, karena untuk menata lahan yang sudah kritis telah

Page 85: best practices scbfwm 2014 regional lampung

72

menjadi ladang pertanian butuh proses penyadaran bersama. Semua sudah bergerak, payung hukum sudah di tegakkan walaupun untuk pelaksanaan program para pihak masih menunggu pengesahan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. Mewujudkan Banjarnegara sebagai Kabupaten Konservasi menjadi mimpi besar dan harapan bersama. Kita tunggu agenda berikutnya di Banjarnegara yang tidak kalah menarik pada waktu-waktu kedepan.

Page 86: best practices scbfwm 2014 regional lampung

73

menjadi ladang pertanian butuh proses penyadaran bersama. Semua sudah bergerak, payung hukum sudah di tegakkan walaupun untuk pelaksanaan program para pihak masih menunggu pengesahan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu. Mewujudkan Banjarnegara sebagai Kabupaten Konservasi menjadi mimpi besar dan harapan bersama. Kita tunggu agenda berikutnya di Banjarnegara yang tidak kalah menarik pada waktu-waktu kedepan.

BAB IV EXIT STRATEGY PROYEK

SCBFWM REGIONAL LAMPUNG

Oleh Zainal Abidin

I. Pendahuluan

1.1 Rasional

royek SCBFWM (Strengthening Community Based Forest and Watershed Management) telah dijalankan di Provinsi Lampung sejak tahun 2010 dan akan berakhir pada triwulan 1 tahun 2015. Proyek mendapat pendanaan dari UNDP dan Global

Environmental Facilities senilai US$ 7 juta dan beroperasi di 6 Provinsi. Lokasi-lokasi proyek tersebut meliputi: Sub-DAS Gop gopan, Provinsi Sumatera Utara, Sub-DAS Way Besai, Provinsi Lampung, Khusus di Provinsi Lampung, lokasi proyek SCBFWM adalah di Sub-DAS Way Besai yang terletak lebih kurang 180 km dari Bandar Lampung dan sekitar 60 km dari Liwa, Ibukota Kabupaten Lampung Barat. Dibutuhkan sekitar 4-5 jam perjalanan darat dari Bandar Lampung menuju Way Besai dan sekitar 2 jam dari Liwa ke Way Besai. Lokasi proyek ini umumnya berbukit dengan ketinggian di atas 700 mdpl, yang menyebabkan daerah ini relatif sejuk.

Menurut Undang Undang No. 7 tahun 2004 tentang “Sumber Daya Air”, yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Sementara pada Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, secara jelas menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah

P

Page 87: best practices scbfwm 2014 regional lampung

74

Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional.

Daerah Aliran Sungai (DAS) berperan vital dalam berkembangnya kebudayaan, sehingga DAS selalu menjadi pusat dari tumbuhnya peradaban, termasuk tentunya perkembangan penduduk. Perkembangan penduduk yang terus meningkat, lama kelamaan merubah keseimbangan harmonis antar manusia dengan sungai dan hutan yang ada di sekitarnya. Semakin bertambah jumlah penduduk, semakin berat pula tekanan yang dihadapi oleh DAS. Dalam jangka panjang, kualitas DAS dalam memberikan pelayanan terhadap manusia maupun lingkungannya juga mengalami kemunduran. Persoalan yang terakhir ini terjadi hampir di seluruh DAS di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra yang memiliki jumlah serta petumbuhan penduduk yang relatif tinggi.

Sub DAS Way Besai dengan luas 97.671,92 ha merupakan bagian dari DAS Tulang Bawang yang memiliki luas 982.282,25 ha. Dari keseluruhan luas DAS Tulang Bawang, terdapat 22.454,45 ha areal yang tergolong sangat kritis, 93.557,05 ha kritis, 457.783,81 ha agak kritis, 242.250,52 ha potensial kritis dan hanya 122.783,62 ha yang tidak kritis. Indikator kerusakan DAS tersebut ditunjukkan dengan nilai Q (rasio nilai debit maksimum dan debit minimum) yang besar 62,42 (BP DAS WSS, 2011). Untuk tahun 2013, areal kritis, khususnya di Sub-DAS Wah Besai sudah tidak ada lagi seperti dilaporkan oleh tim Evaluasi DAS BPDAS WSS (Agustus 2014).

Dengan terjadinya pemekaran kabupaten Lampung Barat menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pesisir Barat pada tahun 2013, maka luas areal kabupaten mengalami penurunan yang sangat besar. Luas wilayah Kabupaten Lampung Barat sebelum pemekaran Kabupaten Pesisir Barat adalah 495.128 Ha atau 4.951,28 km2 meliputi 26 (dua puluh enam) kecamatan. Sedangkan luas Kabupaten Lampung Barat setelah pemekaran Kabupaten Pesisir Barat adalah 2.064,40 km2 (sebesar 6,0% dari luas Provinsi Lampung atau 41,7% dari luas sebelum pemekaran) dengan jumlah kecamatan sebanyak 15 (lima belas) kecamatan, 131 pekon dan 5 kelurahan (Bappeda Lampung Barat, 2013). Akibatnya, sub-DAS Way Besai dengan 5 kecamatan di dalamnya, menjadi semakin strategis bagi kabupaten Lampung Barat untuk saat ini dan pada masa-masa yang akan datang.

Kegiatan Strengthening Community Based Forest and Watershed Management (SCBFWM) adalah pada bagian hulu Sub DAS Way Besai dengan luas area tangkapan air (catchment area) 44.720 ha. Daerah hulu ini mecakup wilayah Kecamatan Way Tenong, Kecamatan Air Hitam, Kecamatan Sumberjaya, Kecamatan Kebun Tebu, dan Kecamatan Gedung Surian berpenduduk 77.877 jiwa yang sekitar 86% di

Page 88: best practices scbfwm 2014 regional lampung

75

Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional.

Daerah Aliran Sungai (DAS) berperan vital dalam berkembangnya kebudayaan, sehingga DAS selalu menjadi pusat dari tumbuhnya peradaban, termasuk tentunya perkembangan penduduk. Perkembangan penduduk yang terus meningkat, lama kelamaan merubah keseimbangan harmonis antar manusia dengan sungai dan hutan yang ada di sekitarnya. Semakin bertambah jumlah penduduk, semakin berat pula tekanan yang dihadapi oleh DAS. Dalam jangka panjang, kualitas DAS dalam memberikan pelayanan terhadap manusia maupun lingkungannya juga mengalami kemunduran. Persoalan yang terakhir ini terjadi hampir di seluruh DAS di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra yang memiliki jumlah serta petumbuhan penduduk yang relatif tinggi.

Sub DAS Way Besai dengan luas 97.671,92 ha merupakan bagian dari DAS Tulang Bawang yang memiliki luas 982.282,25 ha. Dari keseluruhan luas DAS Tulang Bawang, terdapat 22.454,45 ha areal yang tergolong sangat kritis, 93.557,05 ha kritis, 457.783,81 ha agak kritis, 242.250,52 ha potensial kritis dan hanya 122.783,62 ha yang tidak kritis. Indikator kerusakan DAS tersebut ditunjukkan dengan nilai Q (rasio nilai debit maksimum dan debit minimum) yang besar 62,42 (BP DAS WSS, 2011). Untuk tahun 2013, areal kritis, khususnya di Sub-DAS Wah Besai sudah tidak ada lagi seperti dilaporkan oleh tim Evaluasi DAS BPDAS WSS (Agustus 2014).

Dengan terjadinya pemekaran kabupaten Lampung Barat menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pesisir Barat pada tahun 2013, maka luas areal kabupaten mengalami penurunan yang sangat besar. Luas wilayah Kabupaten Lampung Barat sebelum pemekaran Kabupaten Pesisir Barat adalah 495.128 Ha atau 4.951,28 km2 meliputi 26 (dua puluh enam) kecamatan. Sedangkan luas Kabupaten Lampung Barat setelah pemekaran Kabupaten Pesisir Barat adalah 2.064,40 km2 (sebesar 6,0% dari luas Provinsi Lampung atau 41,7% dari luas sebelum pemekaran) dengan jumlah kecamatan sebanyak 15 (lima belas) kecamatan, 131 pekon dan 5 kelurahan (Bappeda Lampung Barat, 2013). Akibatnya, sub-DAS Way Besai dengan 5 kecamatan di dalamnya, menjadi semakin strategis bagi kabupaten Lampung Barat untuk saat ini dan pada masa-masa yang akan datang.

Kegiatan Strengthening Community Based Forest and Watershed Management (SCBFWM) adalah pada bagian hulu Sub DAS Way Besai dengan luas area tangkapan air (catchment area) 44.720 ha. Daerah hulu ini mecakup wilayah Kecamatan Way Tenong, Kecamatan Air Hitam, Kecamatan Sumberjaya, Kecamatan Kebun Tebu, dan Kecamatan Gedung Surian berpenduduk 77.877 jiwa yang sekitar 86% di

antaranya bekerja pada sektor pertanian. Apabila areal non kawasan hutan (APL) seluas 25.743 (33%) dianggap sebagai lahan pertanian, maka kepadatan agraris Sub DAS Way Besai adalah 3 orang per ha, atau dengan kata lain rata-rata kepemilikan lahan pertanian di wilayah tersebut < 0,3 ha per orang. Sempitnya pemilikan lahan menyebabkan tekanan terhadap lahan, baik pertanian maupun non pertanian terhadap hutan lindung dan taman nasional sangat tinggi. Tekanan terhadap lahan tersebut menyebabkan penduduk mengopkupasi lahan untuk pertanian termasuk lahan perkebuanan, khususnya kopi. Akibatnya, erosi dan sedimentasi menjadi tinggi sehingga fluktuasi debit Sub DAS Way Besai yang jauh diatas normal. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengembangkan Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak awal tahun 2000. Tujuan HKm adalah tercapainya kondisi hutan yang lestari yang diimbangi dengan masyarakat yang sejahter. Saat ini terdapat lebih dari 26 kelompok HKm di Lampung Barat dengan izin usaha pengelolaan hutan kemasyarakat selama 35 tahun dengan luas areal mencapai 16.473 ha (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2014).

Seiring dengan akan berakhirnya proyek SCBFWM pada akhir tahun 2014, adalah penting bagi pelaksana proyek untuk menyusun dokumen rencana strategi exit. Dokumen ini akan menjadi bagian dari tindakan yang diperlukan dalam memberikan jaminan bahwa hasil-hasil proyek akan tetap berkelanjutan dan pendekatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat akan semakin kuat pada masa-masa yang akan datang.

Definsi strategi eksit adalah “a means of leaving one's current situation, either after a predetermined objective has been achieved, or as a strategy to mitigate failure” (Wikipedia). Dalam konteks SCBFWM, eksit strategi merupakan langkah-langkah yang strategis yang perlu dilakukan dalam rangka menjamin bahwa berakhirnya status proyek, seperti proyek SCBFWM dapat tetap berkelanjutan walaupun status proyek sudah berakhir.

1.2 Cakupan diskusi

Diskusi strategi eksit ini akan mencakup pokok bahasan sebagai berikut:

A. Struktur B. Pemerintah Daerah dan Mitra Kerja Lainnya C. Kelompok Masyarakat mitra SCBFWM D. Kesimpulan dan Tindak Lanjut

Page 89: best practices scbfwm 2014 regional lampung

76

A. Struktur

Proyek SCBFWM di regional selama ini berkantor dan menjadi bagian dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penempatan tersebut berdasarkan pada arah pada Dokumen Proyek SFBFWM serta kesepakatan pada awal proyek SCBFWM dirancang. Sebagai PPK disepakati adalah Kepala BPDAS.

Di dalam BPDAS, SCBFWM menjadi semacam unit ad-hoc dengan dan tidak dalam struktur BPDAS seperti tersaji pada Gambar 2 di bawah.

Gambar 4.1. Struktur organisasi SCBFWM

Karena bobot kerja SCBFWM lebih banyak pada aspek penguatan kelembagaan, maka SCBFWM lebih banyak menjadi bagian dari Seksi Kelembagaan. Sejak awal, counterpart SCBFWM di BPDAS umumnya adalah berasal dari seksi kelembagaan.

Badan PDAS sendiri berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 15/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, BPDAS mempunyai tugas yaitu melaksanakan penyusunan rencana, pengembangan kelembagaan dan evaluasi pengelolaan DAS. Sedangkan fungsinya adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan rencana pengelolaan daerah aliran sungai 2. Penyusunan dan penyajian informasi daerah aliran sungai 3. Pengembangan model pengelolaan daerah aliran sungai

Page 90: best practices scbfwm 2014 regional lampung

77

A. Struktur

Proyek SCBFWM di regional selama ini berkantor dan menjadi bagian dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penempatan tersebut berdasarkan pada arah pada Dokumen Proyek SFBFWM serta kesepakatan pada awal proyek SCBFWM dirancang. Sebagai PPK disepakati adalah Kepala BPDAS.

Di dalam BPDAS, SCBFWM menjadi semacam unit ad-hoc dengan dan tidak dalam struktur BPDAS seperti tersaji pada Gambar 2 di bawah.

Gambar 4.1. Struktur organisasi SCBFWM

Karena bobot kerja SCBFWM lebih banyak pada aspek penguatan kelembagaan, maka SCBFWM lebih banyak menjadi bagian dari Seksi Kelembagaan. Sejak awal, counterpart SCBFWM di BPDAS umumnya adalah berasal dari seksi kelembagaan.

Badan PDAS sendiri berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 15/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, BPDAS mempunyai tugas yaitu melaksanakan penyusunan rencana, pengembangan kelembagaan dan evaluasi pengelolaan DAS. Sedangkan fungsinya adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan rencana pengelolaan daerah aliran sungai 2. Penyusunan dan penyajian informasi daerah aliran sungai 3. Pengembangan model pengelolaan daerah aliran sungai

4. Pengembangan kelembagaan dan kemitraan pengelolaan daerah aliran sungai 5. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan daerah aliran sungai 6. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga

Sementara kegiatan SCBFWM seperti tertulis pada bagian a.2 halaman 3 di atas memiliki tugas yang sangat menunjang BPDAS khususnya dalam menjalankan mandatnya. Dengan demikian, tidak ada konflik pelaksanaan tugas antara SCBFWM dengan tugas, pokok, dan fungsi BPDAS secara umum.

Bagaimana SCBFWM setelah proyek berakhir dalam struktur BPDAS? Sebenarnya, aktivitas SCBFWM terkait dengan seluruh seksi yaitu Seksi Program, Seksi Kelembagaan, dan Seksi Evaluasi BPDAS WSS. Hal ini karena aktivitas SCBFWM selalu terkait dan dikoordinasikan dengan ketiga seksi tersebut. Oleh sebab itu, yang menjadi perhatian paska proyek SCBFWM selesai adalah menjadikan Pengelolaan Hutan dan Daerah Alirang Sungai menjadi strategi BPDAS dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Hal yang mungkin baru dalam struktur BPDAS adalah adanya fungsi Regional Fasilitator dan Fasilitator Lokal. Kedua fasilitator tersebut menjalan tugas dan fungsi pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai dengan fokus pada areal kerja yang ditetapkan. Sementara, BPDAS selama ini menjalankan tugas dan fungsi secara luas dan tidak fokus. Oleh sebab itu rekomendasi yang diusulkan adalah

1. Menjadikan model SCBFWM sebagai model pelaksanaan. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi BPDAS seperti fungsi pengembangan model pengelolaan daerah alirang sungai. Untuk itu, ciri khas model SCBFWM berupa adanya pendamping (regional dan lapang) perlu dipertahankan dalam model ini. Personil BPDAS seperti counterpart maupun PEH dapat berperan sebagai regional fasilitator. Atau, BPDAS melakukan rekrutmen sumberdaya eksternal. Dalam konteks ini, model SCBFWM yang dilaksanakan di Way Besai direplikasi di Sub-DAS lain yang memiliki karakteristik yang berbeda. Pendekatan Model DAS Mikro yang dimodifikasi pada skala yang lebih besar yaitu Sub-DAS nampaknya opsi yang cukup relevan untuk dikembangkan. Untuk itu, dibutuhkan internalisasi model SCBFWM ke dalam struktur BPDAS WSS.

2. Melakukan masa transisi selama 1 tahun dengan komposi struktur SCBFWM reguler. Tentunya ada persolan metode pelaksanaan dan dasar pelaksanaan kegiatan ini serta bagaimana penganggarannya. Wacana seperti ini perlu juga didukung oleh Dirjen BPDAS dan PS sebagai bentuk pembuatan model pengelolaan daerah alirang sungai.

Page 91: best practices scbfwm 2014 regional lampung

78

Isu personil menjadi tantangan bila saran di atas dilaksanakan. Namun demikian, BPDAS WSS memiliki personil yang cukup besar yaitu sekitar 70 orang. Hanya saja karena kegiatan BPDAS sangat beragam dan mencakup seluruh provinsi, maka aktivitas BPDAS menjadi tidak fokus.

Selain itu, paket-paket kebijakan Kementerian Kehutanan berupa paket kredit lunak yang disediakan merupakan sumberdaya potensial yang dapat diakses oleh CBO. Hanya saja, sosialisasi terhadap kelompok-kelompok masih kurang.

Dari sisi anggaran, BPDAS WSS memiliki anggargan yang cukup besar setiap tahunnya. Pada tahun 2014, anggaran BPDAS WSS adalah Rp 89 miliar lebi, menurun dibandingkan tahun 2013 sekitar Rp 133,5 miliar. Hanya saja delivery rate BPDAS WSS dalam pelaksanaan anggaran masih selalu di bawah 90%. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti (1) keterlambatan persetujuan anggaran dari kementerian, (2) komplikasi pada pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, (3) kesulitan dalam mengimplementasikan kegiatan akibat kesulitan membangun kerja tim dengan kabupaten-kabupaten dan kota se provinsi Lampung, (4) kendala sumberdaya manusia, dsb. Bila delivery rate ditingkatkan dan dialokasi untuk fokus pada pembuatan model seperti SCBFWM, maka secara internal BPDAS memiliki cukup dana untuk mensupport model pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai secara fokus pada sub-DAS replikasi lainnya.

Struktur dalam Pemerintahan Baru?

Sejak tanggal 27 Oktober 2014, struktur Kementerian Kehutanan telah berubah seiring dengan mulai bekerjanya Kabinet Kerja Presiden Jokowidodo. Nomenklatur Kementerian Kehutanan berubah menjadi Kementerian Lingkungan dan Kehutanan. Perubahan tersebut akan membawa perubahan yang sangat besar pada organisasi kedua kementerian.

Sampai saat ini struktur kementerian baru belum dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan dan Kehutanan belum tersusun. Beberapa skenario tentang kedudukan BPDAS adalah sebagai berikut: (1) berada dalam lingkungan Dinas Kehutanan atau Badan Lingkungan Hidup Provinsi atau (2) tetap dalam UPT yang sama, (3) bergabung dengan beberapa UPT Kementerian Kehutanan yang ada di Provinsi.

Dalam konteks ini, proyek SCBFWM nampaknya akan menjadi unik dan dikhawatirkan tidak masuk dalam kegiatan BPDAS yang “baru” nanti, kecuali dibuat surat edaran dari Direktorat Jenderal yang baru nanti terkati dengan posisi SCBFWM paska proyek selesai.

Page 92: best practices scbfwm 2014 regional lampung

79

Isu personil menjadi tantangan bila saran di atas dilaksanakan. Namun demikian, BPDAS WSS memiliki personil yang cukup besar yaitu sekitar 70 orang. Hanya saja karena kegiatan BPDAS sangat beragam dan mencakup seluruh provinsi, maka aktivitas BPDAS menjadi tidak fokus.

Selain itu, paket-paket kebijakan Kementerian Kehutanan berupa paket kredit lunak yang disediakan merupakan sumberdaya potensial yang dapat diakses oleh CBO. Hanya saja, sosialisasi terhadap kelompok-kelompok masih kurang.

Dari sisi anggaran, BPDAS WSS memiliki anggargan yang cukup besar setiap tahunnya. Pada tahun 2014, anggaran BPDAS WSS adalah Rp 89 miliar lebi, menurun dibandingkan tahun 2013 sekitar Rp 133,5 miliar. Hanya saja delivery rate BPDAS WSS dalam pelaksanaan anggaran masih selalu di bawah 90%. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti (1) keterlambatan persetujuan anggaran dari kementerian, (2) komplikasi pada pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, (3) kesulitan dalam mengimplementasikan kegiatan akibat kesulitan membangun kerja tim dengan kabupaten-kabupaten dan kota se provinsi Lampung, (4) kendala sumberdaya manusia, dsb. Bila delivery rate ditingkatkan dan dialokasi untuk fokus pada pembuatan model seperti SCBFWM, maka secara internal BPDAS memiliki cukup dana untuk mensupport model pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai secara fokus pada sub-DAS replikasi lainnya.

Struktur dalam Pemerintahan Baru?

Sejak tanggal 27 Oktober 2014, struktur Kementerian Kehutanan telah berubah seiring dengan mulai bekerjanya Kabinet Kerja Presiden Jokowidodo. Nomenklatur Kementerian Kehutanan berubah menjadi Kementerian Lingkungan dan Kehutanan. Perubahan tersebut akan membawa perubahan yang sangat besar pada organisasi kedua kementerian.

Sampai saat ini struktur kementerian baru belum dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan dan Kehutanan belum tersusun. Beberapa skenario tentang kedudukan BPDAS adalah sebagai berikut: (1) berada dalam lingkungan Dinas Kehutanan atau Badan Lingkungan Hidup Provinsi atau (2) tetap dalam UPT yang sama, (3) bergabung dengan beberapa UPT Kementerian Kehutanan yang ada di Provinsi.

Dalam konteks ini, proyek SCBFWM nampaknya akan menjadi unik dan dikhawatirkan tidak masuk dalam kegiatan BPDAS yang “baru” nanti, kecuali dibuat surat edaran dari Direktorat Jenderal yang baru nanti terkati dengan posisi SCBFWM paska proyek selesai.

B. Kelompok-Kelompok Masyarakat

Pada periode 2010-2014, proyek SCBFWM Regional Lampung telah bermitra dengan bearagam kelompok masyarakat, mulai dari (1) kelompok tani, (2) kelompok hutan kemasyarakatan, (3) kelompok wanita, dan (4) kelompok pemuda. Berdasarkan aktivitas kelompok dalam bermitra dengan SCBFWM, terdapat 9 klaster kegiatan kelompok dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 4.1. Klaster kegiatan CBO mitra SCBFWM

No Claster CBO Desa Kecamatan

1 HKm/HKm Center

Bina Wana, Sidomakmur, Abung Jaya

Tribudisukur, Gedung Surian, Pura Kencana

Kb. Tebu, Gedung Surian, Kbn Tebu

2 Pengelolaan Air Bersih Mabar Jaya Sukaraja Way Tenong

3 Konservasi Hutan, Air, dan Lahan

HKm Wana Lestari Gedung Surian Gedung Surian

4 Cek dam Maju Jaya Way Petai Sumber Jaya

5 Sustainable energy (Mikro hydro)

KWT Rimba Sejati Rigis Jaya Air Hitam

6 Sustainable livelihoods

KWT Melati Tribudisukur, Dahlia, Melati Mekarsari

Tribudisukur, Sindang Pagar, Sri Menanti

Kebun Tebu,

Sumber Jaya,

Air Hitam

7 Ekowisata PA Rakit Sukajaya Sumber Jaya

8 Silvopasture Rimba Jaya Tambak Jaya Way Tenong

9 Silvofishery KWT Melati Gunung Terang

Gunung Terang

Air Hitam

Sumber; SCBFWM, 2014

Page 93: best practices scbfwm 2014 regional lampung

80

Sembilan klaster selanjutnya disebut model pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai. Dari tersebut menunjukkan beragamnya kegiatan yang dilaksanakan oleh CBO mitra SCBFWM. Paska SCBFWM beberapa skenario yang perlu dilakukan, yaitu

1. Mengembangkan jejaring CBO dengan SKPD terkait. Jejaring tersebut saat ini sudah berjalan oleh sebagian CBO seperti CBO Bina Wana yang mendapat fasilitasi dari Dinas Kehutanan berupa KBR (2012), dan Bansos (2013), CBO Melati Tribudisukur dan Melati Mekarsari berupa fasilitasi pembuatan koperasi, bantuan peralatan, bantuan pengemasan, dsb., CO Wana Lestari berupa bantuan KBR, dsb.

2. Mengembangkan jejaring dengan swasta seperti Indocafco dan Nestle. Jejaring ini khususnya dalam konteks melakukan usahatani kopi berbasis konservasi. Indocafco telah bermitra dengan banyak CBO mitra SCBFWM.

3. Mengembangkan jejaring dengan BUMN, khususnya PLN. Fasilitasi PLN dalam mengurangi sedimentasi di Way Besai berupa kemitraan dengan CBO tertentu. Umumnya, CBO yang diberikan fasilitasi adalah CBO non mitra SCBFWM karena PLN ingin melakukan pemerataan serta dengan target dan metode tertentu.

4. Melakukan pertemuan dengan potensial partners seperti Forum Komunikasi Pengusaha Lampung (FORKAPEL) yang banyak bergerak pada isu-isu CSR (Corporate Social Responsibility). Pertemuan dan komunikasi memang belum menghasilkan bentuk konkrit kerjasama namun dengan dikenalnya CBO, maka CBO diharapkan masuk dalam daftar FORKAPEL sebagai potensi mitra untuk masa depan.

HKm Center

Salah satu fasilitasi SCBFWM khususnya dalam konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat adalah berdirinya HKm Center di Pekon Tribudisukur, Kecamatan Kebun Tebu, Kabupaten Lampung Barat. Ide HKm Center dilontarkan oleh HKm Bina Wana mengingat selama ini, Pekon Tribudisukur seringkali dikunjungi oleh berbagai pihak dalam rangka studi, belajar, penelitian, kunjungan kerja, dsb. Selama ini, rombongan kunjungan diterima di balai pekon. Terkadang, hal tersebut mengganggu aktivitas keseharian dari desa. Atas dasar hal tersebut, serta dalam rangka membangun percontohan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, maka diusulkan pembangunan HKm Center.

Page 94: best practices scbfwm 2014 regional lampung

81

Sembilan klaster selanjutnya disebut model pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai. Dari tersebut menunjukkan beragamnya kegiatan yang dilaksanakan oleh CBO mitra SCBFWM. Paska SCBFWM beberapa skenario yang perlu dilakukan, yaitu

1. Mengembangkan jejaring CBO dengan SKPD terkait. Jejaring tersebut saat ini sudah berjalan oleh sebagian CBO seperti CBO Bina Wana yang mendapat fasilitasi dari Dinas Kehutanan berupa KBR (2012), dan Bansos (2013), CBO Melati Tribudisukur dan Melati Mekarsari berupa fasilitasi pembuatan koperasi, bantuan peralatan, bantuan pengemasan, dsb., CO Wana Lestari berupa bantuan KBR, dsb.

2. Mengembangkan jejaring dengan swasta seperti Indocafco dan Nestle. Jejaring ini khususnya dalam konteks melakukan usahatani kopi berbasis konservasi. Indocafco telah bermitra dengan banyak CBO mitra SCBFWM.

3. Mengembangkan jejaring dengan BUMN, khususnya PLN. Fasilitasi PLN dalam mengurangi sedimentasi di Way Besai berupa kemitraan dengan CBO tertentu. Umumnya, CBO yang diberikan fasilitasi adalah CBO non mitra SCBFWM karena PLN ingin melakukan pemerataan serta dengan target dan metode tertentu.

4. Melakukan pertemuan dengan potensial partners seperti Forum Komunikasi Pengusaha Lampung (FORKAPEL) yang banyak bergerak pada isu-isu CSR (Corporate Social Responsibility). Pertemuan dan komunikasi memang belum menghasilkan bentuk konkrit kerjasama namun dengan dikenalnya CBO, maka CBO diharapkan masuk dalam daftar FORKAPEL sebagai potensi mitra untuk masa depan.

HKm Center

Salah satu fasilitasi SCBFWM khususnya dalam konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat adalah berdirinya HKm Center di Pekon Tribudisukur, Kecamatan Kebun Tebu, Kabupaten Lampung Barat. Ide HKm Center dilontarkan oleh HKm Bina Wana mengingat selama ini, Pekon Tribudisukur seringkali dikunjungi oleh berbagai pihak dalam rangka studi, belajar, penelitian, kunjungan kerja, dsb. Selama ini, rombongan kunjungan diterima di balai pekon. Terkadang, hal tersebut mengganggu aktivitas keseharian dari desa. Atas dasar hal tersebut, serta dalam rangka membangun percontohan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, maka diusulkan pembangunan HKm Center.

Peran HKm Center adalah untuk (1) pusat pembelajaran pengelolaan hutan berbasis masyarakat, (2) tempat saling berbagi informasi dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat, (3) sebagai wahana pendidikan untuk generasi muda dalam menumbuhkan cinta alam, (4) sebagai tempat untuk melakukan penelitian, dan (5) sebagai tempat untuk melakukan demonstrasi pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman hutan maupun tanaman lainnya.

Berdasarkan monitoring dan evaluasi SCBFWM, sampai dengan bulan September 2014 yang lalu, HKm Center telah melayani lebih dari 800 orang dengan berbagai aktivitas seperti: pertemuan, pelatihan, kunjungan kerja, video shooting, pendidikan untuk remaja, penelitian, studi banding, penulisan, dsb. Hal ini mengindikasikan bahwa peran HKm Center telah nampak nyata sejak HKm Center diresmikan oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 24 Februari 2014.

Pada masa yang akan datang, peran HKm Center akan semakin menguat mengingat telah ada rencana proyek penelitian tentang tenurial HKm yang akan dilakukan oleh ICRAF dan CIFOR untuk masa 3 tahun ke depan. Oleh sebab itu, secara keberlanjutan, proyek SCBFWM merasa konfiden atas kuatnya kelembagaaan HKm Center untuk masa-masa yang akan datang.

Pada masa yang akan datang, diharapkan peran BPDAS WSS untuk terus memfasilitasi HKm Center ini agar fungsi strategis sebagai wahana pembelajaran HKm dapat terus berjalan. Di samping itu, Dinas Kehutanan perlu mendorong dan meningkatkan peran HKm Center ini dalam membantu dan meningkatkan pelaksanaan HKm yang baik pada masa-masa yang akan datang.

Pemberlakukan Undang-Undang tentang Desa

Pemberlakukan Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa memberi peluang pada kelompok-kelompok untuk terus mengembangkan diri dalam pembangunan pedesaan. Namun, untuk itu diperlukan upaya untuk menjadikan isu pengelolaan hutan dan daerah alirang sungai sebagai isu sentral di tingkat desa. Berkenaan dengan itu, peranan BPDAS WSS maupun Pemerintah Kabupaten menjadi sangat krusial dalam menjadikan isu tersebut menjadi isu utama.

C. Pemerintah dan Mitra Kerja Lainnya

C.1 Pemerintah Daerah

Sebenarnya, peran pemerintah dalam pengembangan CBO mitra SCBFWM selama ini sudah cukup memadai. Program bantuan/hibah pemerintah daerah sudah banyak yang diberikan kepada CBO mitra SCBFWM seperti: HKm Rigis, HKm Bina

Page 95: best practices scbfwm 2014 regional lampung

82

Wana, KWT Melati Tribudisukur, KWT Dahlia, KWT Melati Mekarsari, KWT Mekar Jaya II, KT Maju Jaya, PA Rakit. Program-program pemerintah berupa hibah, insentif, dsb dikemas dalam berbagai bentuk kegiatan seperti program bantuan fisik infrastruktur, bantuan langsung masyarakat (Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan). Program unggulan pemerintah daerah yang saat ini sedang digalakkan adalah Program GMBR (Gerakan Membangun Bersama Masyarakat). Program ini mirip dengan program PNPM Mandiri, hanya saja skala dan ukurannya lebih kecil.

Kendati anggaran APBD Lampung Barat relatif tidak besar, namun selalu tersedia alokasi anggaran bantuan sosial untuk masyarakat. Persoalannya, program bantuan sosial umumnya tidak terencana dan tersusun dengan baik. Untuk itu, peran CBO dalam melakukan pendekatan kepada SKPD menjadi sangat penting sekali.

Dalam RPJMD Kabupaten, pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai tidak secara spesifik masuk di dalam strategi pemerintah daerah. Namun, pengelolaan hutan dan daerah alirang sungai lebih dialokasikan untuk kegiatan di SKPD Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, Pertamanan, dan Pasar, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, dsb. Rincian anggaran dari masing-masing SKPD tersaji pada tabel berikut ini.

Tabel 4.2. Bujet Pemerintah daerah yang dialokasikan untuk Way Besai, tahun 2014

No Satuan Kerja Jumlah (Rp) 1 Dinas Kehutanan 2.493.191.000 2 BPLHK 3.897.430.850 3 BP2KP 810.333.800 4 Dinas Pertanian 6.612.912.000 5 Dinas Perekebunan 2.102.945.000 6 BPPD 2.215.549.700 7 Dinas Energi Sumberdaya Mineral 817.253.600 8 Dinas Pekerjaan Umum 12.375.840.400 9 Dinas Koperasi Industri dan

Perdagangan 3.084.574.410

10 Kecamatan-kecamatan 38.717.681.700 11 PLN (River Care 2)*/2 500.000.000 12 Indocafco n.a.

Total */1 : perkiraan (Sumber PT PLN (Persero) Sektor Pembangkit)

Sumber: Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2014

Page 96: best practices scbfwm 2014 regional lampung

83

Wana, KWT Melati Tribudisukur, KWT Dahlia, KWT Melati Mekarsari, KWT Mekar Jaya II, KT Maju Jaya, PA Rakit. Program-program pemerintah berupa hibah, insentif, dsb dikemas dalam berbagai bentuk kegiatan seperti program bantuan fisik infrastruktur, bantuan langsung masyarakat (Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan). Program unggulan pemerintah daerah yang saat ini sedang digalakkan adalah Program GMBR (Gerakan Membangun Bersama Masyarakat). Program ini mirip dengan program PNPM Mandiri, hanya saja skala dan ukurannya lebih kecil.

Kendati anggaran APBD Lampung Barat relatif tidak besar, namun selalu tersedia alokasi anggaran bantuan sosial untuk masyarakat. Persoalannya, program bantuan sosial umumnya tidak terencana dan tersusun dengan baik. Untuk itu, peran CBO dalam melakukan pendekatan kepada SKPD menjadi sangat penting sekali.

Dalam RPJMD Kabupaten, pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai tidak secara spesifik masuk di dalam strategi pemerintah daerah. Namun, pengelolaan hutan dan daerah alirang sungai lebih dialokasikan untuk kegiatan di SKPD Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, Pertamanan, dan Pasar, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, dsb. Rincian anggaran dari masing-masing SKPD tersaji pada tabel berikut ini.

Tabel 4.2. Bujet Pemerintah daerah yang dialokasikan untuk Way Besai, tahun 2014

No Satuan Kerja Jumlah (Rp) 1 Dinas Kehutanan 2.493.191.000 2 BPLHK 3.897.430.850 3 BP2KP 810.333.800 4 Dinas Pertanian 6.612.912.000 5 Dinas Perekebunan 2.102.945.000 6 BPPD 2.215.549.700 7 Dinas Energi Sumberdaya Mineral 817.253.600 8 Dinas Pekerjaan Umum 12.375.840.400 9 Dinas Koperasi Industri dan

Perdagangan 3.084.574.410

10 Kecamatan-kecamatan 38.717.681.700 11 PLN (River Care 2)*/2 500.000.000 12 Indocafco n.a.

Total */1 : perkiraan (Sumber PT PLN (Persero) Sektor Pembangkit)

Sumber: Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2014

Bila melihat pada Tabel 2 di atas, nampaknya dana yang tersedia untuk dialokasikan ke wilayah kerja SCBFWM cukup besar. Untuk bidang kehutanan saja, ada tersedia dana hampir Rp 2,5 miliar untuk kegiatan rehabilitasi hutan, pengamanan hutan, pembinaan HKm, monitoring HKm, pendampingan hutan tanaman rakyat, dsb. Hanya saja, sumber dana tersebut sebagian besar adalah berasal dari Dana Alokasi Khusus. Jadi, sebenarnya dana yang tersedia di sektor pemerintah untuk kehutanan cukup besar. Hanya saja, pengalokasian dana yang belum tentu efektif untuk mendukung kegiatan kegiatan CBO Kehutanan.

Kegiatan sektor pertanian dan perkebunan juga cukup besar. Kedua sektor sangat erat dan selalu bekerjasama dengan beberapa CBO mitra SCBFWM, seperti KWT Melati Mekarsari, KWT Dahlia, KT Triguna VI, dsb. Program kedua sektor juga memiliki program bantuan kelompok dalam bentuk hibah maupun pinjaman yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh BPDAS serta Dinas Kehutanan.

Anggaran kecamatan juga sangat menonjol, yaitu melebihi Rp 38 M. Memang sebagian besar anggaran tersebut dialokasi untuk pelaksanaan tugas kegiatan fisik seperti rehabilitasi jaringan irigasi di tingakt kecamatan, rehabilitasi jalan maupun pembangunan jalan desa, jalan usahatani, dsb. Namun, dalam konteks pembangunan makro, maka alokasi anggaran untuk kecamatan akan memberi dampak kepada perekonomian daerah termasuk daerah alirang sungai.

Secara ringkas, sebenarnya sumberdaya anggaran untuk pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai dalam konsep yang luas, sudah cukup tersedia di pemerintah kabupaten Lampung Barat. Persoalan yang lebih crucial adalah (1) apakah dana tersebut telah teralokasikan secara baik, bebas dari persoalan vested politik lokal, (2) apakah dana tersebut teralokasikan dengan waktu atau time delivery yang cocok, sehingga menjadi efektif, (3) apakah dana-dana tersebut memiliki akuntabilitas yang baik dalam penggunaannya, sehingga dapat terlaksana prinsip-prinsip good governance.

C.2 Mitra Kerja Non Pemerintah

1. Program CSR PT. PLN

Program CSR PLN sudah dilaksanakan sejak lama, dan yang populer dikenal dengan program River Care (River Care 1 dan 2, dan dilanjutkan dengan River Care 3 dan 4). Program ini berisi reward/pengharagaan dari PLN terhadap kelompok-kelompok yang melakukan upaya konservasi tanah untuk mengurangi sedimentasi dan erosi.

Skema kerja model ini adalah PLN memilih kelompok yang akan diberikan treatment dan selanjutnya kelompok akan melakukan kegiatan konservasi hutan dan

Page 97: best practices scbfwm 2014 regional lampung

84

lahan. Sebelum dilaksanakan, dilakukan dahulu pengukuran sedimentasi dan erosi (sebagai data awal) dan setelah treatment selesai, dilakukan kembali data post kegiatan. Bila sedimentasi dan erosi menurun, maka kelompok akan diberikan reward seperti fasilitas mikrohidro atau dana tunai.

Ide ini merupakan produk dari kegiatan riset yang dilaksanakan oleh ICRAF pada awal tahun 2000an berupa program RUPES (Rewarding Uppland Poor for Environmental Services). Salah satu output dari program ini adalah muncul konsep PES yang diimplementasikan dalam model River Care 1 dan 2, serta akan dilanjutkan dengan River Care 3 dan 4. Jumlah dana yang dialokasikan oleh PLN tidak diketahui secara akurat. Namun, secara kasar, diperkirakan, setiap River Care, dialokasikan dana sekitar Rp 250 juta rupiah. Dalam River 3 dan 4 yang akan datang, PLN mengajak BPDAS WSS membantu pelaksanaannya yang ditunjukkan dengan adanya MoU pada bulan Agustus 2014 yang lalu.

Model yang dijalankan oleh PLN merupakan model yang akan terus dilakukan mengingat bahwa PLN Way Besai membutuhkan pasokan air yang baik dari sistem Sub-DAS Besai. Hanya saja, model ini dilaksanakan secara terbatas karena hanya melibatkan sedikit kelompok. Akibatnya, dampak dari model seperti hanya terbatas pada sebuah mikro DAS tertentu.

Dengan MoU antara BPDAS WSS dan PT. PLN Sektor Pembangkit, maka salah satu model Pengelolaan DAS dengan sistem pemberian penghargaan akan menjadi salah satu output BPDAS WSS model Pengelolaan DAS. Pada model ini, BPDAS WSS akan mendapat manfaat tentang cara monitoring dan evaluasi DAS secara mikro serta bagaiman setting kelembagaan CBO dipersiapkan sejak awal.

2. Program Indocafco

Indocafco adalah perusahaan internasional yang memfokuskan pada kegiatan ekspor kopi. Sebagai perusahaan besar, Indocafco memiliki kegiatan di daerah penghasil kopi besar di Tanggamus, Lampung Barat, dan Sumatera Selatan. Program Indocafco di Lampung Barat dalam membina petani kopi diarahkan untuk beberapa hal yaitu: (1) sertifikasi kopi yang ramah lingkungan, dan (2) pembinaan peningkatan kualitas kopi baik tanaman maupun paska panen dengan memperhatikan aspek konservasi. Untuk melaksanakan programnya, Indocafco memiliki kantor lapangan yang dilengkapi dengan sekitar 5 personil lapang.

Strategi pelaksanaan lapang yang dilakukan oleh Indocafco adalah bermitra dengan kelompok-kelompok tani, yang sebagiannya adalah CBO mitra SCBFWM. Sebagai insentif, Indocafco membeli produk kopi petani dengan harga yang tidak

Page 98: best practices scbfwm 2014 regional lampung

85

lahan. Sebelum dilaksanakan, dilakukan dahulu pengukuran sedimentasi dan erosi (sebagai data awal) dan setelah treatment selesai, dilakukan kembali data post kegiatan. Bila sedimentasi dan erosi menurun, maka kelompok akan diberikan reward seperti fasilitas mikrohidro atau dana tunai.

Ide ini merupakan produk dari kegiatan riset yang dilaksanakan oleh ICRAF pada awal tahun 2000an berupa program RUPES (Rewarding Uppland Poor for Environmental Services). Salah satu output dari program ini adalah muncul konsep PES yang diimplementasikan dalam model River Care 1 dan 2, serta akan dilanjutkan dengan River Care 3 dan 4. Jumlah dana yang dialokasikan oleh PLN tidak diketahui secara akurat. Namun, secara kasar, diperkirakan, setiap River Care, dialokasikan dana sekitar Rp 250 juta rupiah. Dalam River 3 dan 4 yang akan datang, PLN mengajak BPDAS WSS membantu pelaksanaannya yang ditunjukkan dengan adanya MoU pada bulan Agustus 2014 yang lalu.

Model yang dijalankan oleh PLN merupakan model yang akan terus dilakukan mengingat bahwa PLN Way Besai membutuhkan pasokan air yang baik dari sistem Sub-DAS Besai. Hanya saja, model ini dilaksanakan secara terbatas karena hanya melibatkan sedikit kelompok. Akibatnya, dampak dari model seperti hanya terbatas pada sebuah mikro DAS tertentu.

Dengan MoU antara BPDAS WSS dan PT. PLN Sektor Pembangkit, maka salah satu model Pengelolaan DAS dengan sistem pemberian penghargaan akan menjadi salah satu output BPDAS WSS model Pengelolaan DAS. Pada model ini, BPDAS WSS akan mendapat manfaat tentang cara monitoring dan evaluasi DAS secara mikro serta bagaiman setting kelembagaan CBO dipersiapkan sejak awal.

2. Program Indocafco

Indocafco adalah perusahaan internasional yang memfokuskan pada kegiatan ekspor kopi. Sebagai perusahaan besar, Indocafco memiliki kegiatan di daerah penghasil kopi besar di Tanggamus, Lampung Barat, dan Sumatera Selatan. Program Indocafco di Lampung Barat dalam membina petani kopi diarahkan untuk beberapa hal yaitu: (1) sertifikasi kopi yang ramah lingkungan, dan (2) pembinaan peningkatan kualitas kopi baik tanaman maupun paska panen dengan memperhatikan aspek konservasi. Untuk melaksanakan programnya, Indocafco memiliki kantor lapangan yang dilengkapi dengan sekitar 5 personil lapang.

Strategi pelaksanaan lapang yang dilakukan oleh Indocafco adalah bermitra dengan kelompok-kelompok tani, yang sebagiannya adalah CBO mitra SCBFWM. Sebagai insentif, Indocafco membeli produk kopi petani dengan harga yang tidak

mengikat, tergantung pada pasar harga kopi saat itu. Secara umum, harga yang diterima petani cukup baik dibandingkan bila petani menjual produk kopinya kepada pedagan pengumpul/desa.

Indocafco memiliki ketertarikan kerja model SCBFWM dan beberapa kali melakukan diskusi dengan SCBFWM dan BPDAS WSS. Namun, sampai saat ini belum ada MoU formal antarpihak. Tetapi, kegiatan SCBFWM di lapang selalu disinerjikan antara aktivitas FL dan Kantor Lapang Indocafco, khususnya saat dilakukan pertemuan forum di tingkat sub-DAS.

3. Nestle and Bvrg Co.

Nestle Bvrg Co adalah perusahan multinasional yang telah cukup lama berdiri di Indonesia serta di Lampung. Sejak tahun 80an, Nestle telah mendirikan pabrik pengolahan kopi menjadi produk akhir kopi seperti kopi instant, dan berbagai produk kopi lainnya.

Peran Nestle lebih banyak pada upaya meningkatkan pemahaman usahatani kopi yang baik dan berwawasan lingkungan. Nestle bermitra dengan banyak CBO mitra SCBFWM diantaranya HKm Bina Wana, HKm Wana Jaya, KT Maju Jaya, dsb.

Insentif yang ditawarkan oleh Nestle adalah harga kopi yang premium bila petani dapat melakukan upaya paska panen yang baik dan memenuhi kriteria Nestle. Harga premium memberi insentif agar petani dapat bekerja mengelola kebun secara baik.

5. Proyek Riset untuk Tenurial oleh CIFOR

Proyek baru yang dilaunching oleh CIFOR terkait dengan tenurial untuk Hutan Kemasyarakatan akan dilaksanakan selama 3 tahun ke depan. Proyek ini tentunya akan memberi jaminan keberlanjutan khususnya pada kelompok-kelompok HKm. Pendekatan yang dilakukan lebih menekankan pada Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, dengan isu utama pada persoalan bagaiman mengoptimalkan HKm paska pemberian izin.

4.3. Kesimpulan

1. Eksit strategi SCBFWM regional memperhatikan 3 isu penting yaitu: (1) struktur paska proyek, (2) peran pemerintah dan mitra lainnya, (3) peran CBO.

2. Dari strukutr, nampaknya BPDAS dapat mengadopsi model SCBFWM karena hal tersebut tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi BPDAS WSS. Untuk itu, saran yang ditawarkan adalah (a) membuat model replikasi ke wilayah lain dalam

Page 99: best practices scbfwm 2014 regional lampung

86

lingkup sub-DAS, (b) melakukan proses transisi 1 tahun dimana RF dan FL dipertahankan fungsinya, (c) melakukan rekrutmen pendamping HKm sebagai FL dengan menyasar spesifik program pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

3. Dari sisi pemerintah, sebenarnya banyak sekali anggaran yang tersedia di pemerintah daerah baik yang bersumber dari APBD maupun DIPA. Namun yang perlu diperhatikan adalah upaya mengawal program dan anggaran tersebut untuk fokus pada penguatan dan peningkatan mitra CBO serta pengelolaan hutan dan daerah alirang sungai.

4. Peran swasta sebenarnya sudah ada sehingga yang perlu dipertahankan adalah meningkatkan koordinasi dengan swasta dalam bentuk rapat reguler atau kerja bersama pembinaan CBO di tingkat lapangan.

5. Peran BUMN tersedia dengan fokus pengelolaan sungai melalui program River Care 3 dan 4 untuk masa yang akan datang. Hal ini dapat menjamin keberlanjuta model pengelolaan daerah aliran sungai untuk masa-masa yang akan datang

6. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat memiliki model yaitu HKm Center. Peran BPDAS WSS maupun Dinas Kehutanan untuk masa yang akan datang adalah terus meningkatkan fungsi HKm Center tersebut untuk masa-masa yang akan datang.

7. Pada masa yang akan datang, peran ICRAF/CIFOR akan kembali mengisi kekosongan dari persoalan paska HKm yaitu persoalan tenurial. Untuk masa 3 tahun yang akan datang, fasilitas dari ICRAF dan CIFOR diharapkan dapat menjamin keberlanjutan isu Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.

8. Peran pengelolaan daerah aliran sungai masih perlu ditingkatkan oleh BPDAS WSS terutama bila menyangkut areal non-hutan lindung. BPDAS WSS sering membatasi dirinya pada areal hutan lindung. Untuk itu, pada masa yang akan datang, peran BPDAS WSS dapat diperluas untuk juga masuk keareal penggunaan lain dan bersinerji dengan parapihak dalam rangka meningkatan kondisi daerah aliran sungai. Hanya saja dengan struktur pemerintah yang baru, posisi BPDAS masih tidak jelas apakah akan masuk dalam struktur pemerintah provinsi atau masih sebagai bagian dari UPT Kementerian Lingkungan dan Kehutanan.

Page 100: best practices scbfwm 2014 regional lampung

87

lingkup sub-DAS, (b) melakukan proses transisi 1 tahun dimana RF dan FL dipertahankan fungsinya, (c) melakukan rekrutmen pendamping HKm sebagai FL dengan menyasar spesifik program pengelolaan hutan berbasis masyarakat.

3. Dari sisi pemerintah, sebenarnya banyak sekali anggaran yang tersedia di pemerintah daerah baik yang bersumber dari APBD maupun DIPA. Namun yang perlu diperhatikan adalah upaya mengawal program dan anggaran tersebut untuk fokus pada penguatan dan peningkatan mitra CBO serta pengelolaan hutan dan daerah alirang sungai.

4. Peran swasta sebenarnya sudah ada sehingga yang perlu dipertahankan adalah meningkatkan koordinasi dengan swasta dalam bentuk rapat reguler atau kerja bersama pembinaan CBO di tingkat lapangan.

5. Peran BUMN tersedia dengan fokus pengelolaan sungai melalui program River Care 3 dan 4 untuk masa yang akan datang. Hal ini dapat menjamin keberlanjuta model pengelolaan daerah aliran sungai untuk masa-masa yang akan datang

6. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat memiliki model yaitu HKm Center. Peran BPDAS WSS maupun Dinas Kehutanan untuk masa yang akan datang adalah terus meningkatkan fungsi HKm Center tersebut untuk masa-masa yang akan datang.

7. Pada masa yang akan datang, peran ICRAF/CIFOR akan kembali mengisi kekosongan dari persoalan paska HKm yaitu persoalan tenurial. Untuk masa 3 tahun yang akan datang, fasilitas dari ICRAF dan CIFOR diharapkan dapat menjamin keberlanjutan isu Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.

8. Peran pengelolaan daerah aliran sungai masih perlu ditingkatkan oleh BPDAS WSS terutama bila menyangkut areal non-hutan lindung. BPDAS WSS sering membatasi dirinya pada areal hutan lindung. Untuk itu, pada masa yang akan datang, peran BPDAS WSS dapat diperluas untuk juga masuk keareal penggunaan lain dan bersinerji dengan parapihak dalam rangka meningkatan kondisi daerah aliran sungai. Hanya saja dengan struktur pemerintah yang baru, posisi BPDAS masih tidak jelas apakah akan masuk dalam struktur pemerintah provinsi atau masih sebagai bagian dari UPT Kementerian Lingkungan dan Kehutanan.

BAB V PEMBELAJARAN

engelolaan Hutan dan Daerah Aliran Sungai berbasis masyarakat memiliki beberapa dimensi penting yang harus masuk di dalamnya yaitu:

1. Dimensi sumberdaya manusia yang menjadi pelaku pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai

2. Dimensi sumberday alam dimana komunitas atau masyarakat itu memiliki dan menguasai akses atasnya.

3. Dimensi pendukung yaitu berupa insentif, kebijakan, maupun kemitraan dari parapihak yang mendorong terjadinya gerakan masyarakat

4. Dimensi partisipasi oleh masyarakat. Dimensi ini selalu menjadi isu sentral karena tanpa partisipasi masyarakat, branding “berbasis masyarakat” akan menjadi branding yang kosong.

2. Pengelolaan hutan dan daerah aliran sungai bersifat multi sektor, bukan melulu persoalan kehutanan tapi berdimensi yang lebih luas mencakup sosial, ekonomi, politik kebijakan, serta kebudayaan.

3. Pemenuhan kebutuhan dasar seperti ekonomi keluarga, kebutuhan enerji, maupun kebutuhan akan eksistensi kelembagaan merupakan konci keberhasilan

4. Persoalan good governance seperti pada model Hutan

Kemasyarakatan maupun pada model KWT Melati Tribudisukur memberi inspirasi pada kebutuhan akan prinsip transparan, kebijakan positif, dan partisipasi masyarakat. Di sisi lain, kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan tumbuh bersamaan dengan meningkatnya aksi bersama dari dalam kelompok.

5. Proyek SCBFWM ada batas dan memasuki periode akhir. Oleh sebab itu, model yang melibatkan masyarakat serta adanya fungsi fasilitasi di tingkat lokal sangat dibutuhkan agar dampak proyek SCBFWM akan bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Untuk itu, peranan parapihak sangat penting dalam menghadapi post project.

P

Page 101: best practices scbfwm 2014 regional lampung

88

6. Dana pemerintah sebenarnya cukup tersedia, terlebih dengan diberlakukannya Undang Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa dimana desa memiliki kapasitas untuk mengelola sumberdaya alamnya sendiri ditunjang dengan dukungan anggaran yang ditetapkan secara berkesinambungan, maka model SCBFWM akan tetap berkembang pada masa-masa yang akan datang. Untuk itu, diperlukan upaya menjadikan isu pengelolaan hutan dan daerah alirang sungai berbasis masyarakat sebagai isu penting di tingkat desa,

7. Modal sosial masyarakat perlu terus digerakkan karena sebanarnya modal sosial mereka sangat tinggi. Hal ini terbukti bahwa dalam insentif hibah kecil proyek SCBFWM, kelompok masyarakat bersedia untuk melakukan swadaya pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan berbagai tanaman khususnya tanaman jenis MPTS (Multi Purpose Tree Species) yang bernilai maupun tanaman kayu. Modal sosial lainnya adalah partisipasi yang tinggi serta kesediaan untuk melakukan berbagai bentuk swadaya kerja di tingkat kelompok. Potensi modal swadaya tersebut harus tetap dipupuk untuk pada masa-masa yang akan datang.

Page 102: best practices scbfwm 2014 regional lampung

89

6. Dana pemerintah sebenarnya cukup tersedia, terlebih dengan diberlakukannya Undang Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa dimana desa memiliki kapasitas untuk mengelola sumberdaya alamnya sendiri ditunjang dengan dukungan anggaran yang ditetapkan secara berkesinambungan, maka model SCBFWM akan tetap berkembang pada masa-masa yang akan datang. Untuk itu, diperlukan upaya menjadikan isu pengelolaan hutan dan daerah alirang sungai berbasis masyarakat sebagai isu penting di tingkat desa,

7. Modal sosial masyarakat perlu terus digerakkan karena sebanarnya modal sosial mereka sangat tinggi. Hal ini terbukti bahwa dalam insentif hibah kecil proyek SCBFWM, kelompok masyarakat bersedia untuk melakukan swadaya pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan berbagai tanaman khususnya tanaman jenis MPTS (Multi Purpose Tree Species) yang bernilai maupun tanaman kayu. Modal sosial lainnya adalah partisipasi yang tinggi serta kesediaan untuk melakukan berbagai bentuk swadaya kerja di tingkat kelompok. Potensi modal swadaya tersebut harus tetap dipupuk untuk pada masa-masa yang akan datang.

BIOFILE PENULIS dan EDITOR

Apriadi, S.Hut. menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Penulis saat ini adalah staf di Seksi Evaluasi Pengelolaan Daerah Alirang Sungai, Balai Pengelolaan Daerah Alirang Sungai Way Seputih-Way Sekampung. Juga penulis adalah counterpart proyek Strengthening Community Based Forest and Watershed Management Regional Lampung

Ashadi Maryanto, S.Hut, M.S. menyelesaikan Strata 1 di bidang Kehutanan pada fakultas kehutanan Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, Riau. Penulis melanjutkan studi S2 di Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis adalah staf di Seksi Program Pengelolaan Daerah Alirang Sungai, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Way Sekampung

Gandi, S.P. ([email protected]) Lahir di Way Petai, Kec. Sumber Jaya Kabupaten Lampung – Barat pada tanggal 8 September 1981. Menempuh pendidikan S1 di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan lulus pada tahun 2003. Setelah menyelesaikan S1 bekerja pada perusahaan P.T. Yakult Indonesia Persada wilayah Banten dan PT. International Chemical Industri Jakarta Barat. Penulis juga mengikuti magang di Balai Benih Induk Hortikultura Magelang sebagai pemula untuk memahami aspek keteknisan budidaya pertanian, dan sampai saat ini aktif sebagai pendamping kelompok masyarakat dalam program SCBFWM yang tersebar di 5 Kecamatan sub DAS Way Besai.

Gilang Priyatn, S.Pd. Lahir di Tribudisyukur, Kec. Sumber Jaya Kabupaten Lampung – Barat pada tanggal 18 September 1987. Menempuh pendidikan S1 di Jurusan Pendidikan bahasa inggris, Fakultas bahasa dan seni Universitas STKIP PGRI Bandar lampung dan lulus pada tahun 2011. Setelah menyelesaikan S1 bekerja sebagai tenaga pengajar honorer di SMK N 1 Kebun Tebu Lampung Barat.selain itu sebagai tenaga kontrak di dinas kehutanan Kabupaten LAMBAR sebagai PAMHUT. Saat ini aktif sebagai pendamping kelompok masyarakat dalam program SCBFWM yang tersebar di 5 Kecamatan sub DAS Way Besai.

Nurul Ardiana, S.Hut. menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata 1 di Fakultas Kehutanan, Unviersitas Gadjahmada. Saat ini penulis bekerja sebagai Pengendali Ekosistem Hutan BPDAS Serayu Opak Progo, dan Counterpart Project SCBFWM Regional Yogyakarta

Page 103: best practices scbfwm 2014 regional lampung

90

Prof. Muhajir Utomo, M.Sc.Ph.D. adalah Profesor dalam bidang Ilmu Tanah dan telah berpengalaman dalam riset dan aktivitas pengelolaan tanah berkelanjutan. Editor menyelesaikan S1 dari Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan S2, S3 di College of Agriculture, University of Kentucky. Saat ini beliau adalah Pengurus MKTI (Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia).

Dr. Ir. Zainal Abidin, M.E.S. menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Lampung, S2 di Faculty of Environmental Studies York University, dan S3 di Bidang Ilmu Pertanian, Universitas Padjadjaran. Selain sebagai Dosen di Universitas Lampung, Saat ini penulis adalah Regional Fasilitator proyek SCBFWM Regional Lampung.

Page 104: best practices scbfwm 2014 regional lampung

91

Prof. Muhajir Utomo, M.Sc.Ph.D. adalah Profesor dalam bidang Ilmu Tanah dan telah berpengalaman dalam riset dan aktivitas pengelolaan tanah berkelanjutan. Editor menyelesaikan S1 dari Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan S2, S3 di College of Agriculture, University of Kentucky. Saat ini beliau adalah Pengurus MKTI (Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia).

Dr. Ir. Zainal Abidin, M.E.S. menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Lampung, S2 di Faculty of Environmental Studies York University, dan S3 di Bidang Ilmu Pertanian, Universitas Padjadjaran. Selain sebagai Dosen di Universitas Lampung, Saat ini penulis adalah Regional Fasilitator proyek SCBFWM Regional Lampung.

Nom

or &

Tan

ggal

Swad

aya

SCBF

WM

Tota

l Nila

i Pro

yek

T

ahun

201

0

23 A

gust

us 2

010

23 A

gust

us 2

010

23 A

gust

us 2

010

23 A

gust

us 2

010

23 A

gust

us 2

010

23 A

gust

us 2

010

23 A

gust

us 2

010

23 A

gust

us 2

010

23 A

gust

us 2

010

23 A

gust

us 2

010

TOTA

L11

3,76

0,00

0Rp

270,

000,

000

Rp

38

3,76

0,00

0Rp

SPKS

. 666

.1/V

/ BPD

AS.W

SS-1

/201

0

32,6

10,0

00Rp

35,9

60,0

00Rp

35,8

50,0

00Rp

SPKS

. 665

/V/ B

PDAS

.WSS

-1/2

010

10HK

m R

ukun

Lest

ari

Peko

n Si

ndan

g Pa

gar,

Kec

amat

an

Sum

ber J

aya

8,85

0,00

0Rp

27

,000

,000

Rp

Upa

ya P

enin

gkat

an K

onse

rvas

i Hut

an d

an D

AS M

elal

ui

Kegi

atan

Pen

gada

an P

embi

bita

n da

n Pe

latih

an

Pem

bibi

tan

Peng

emba

ngan

Ter

nak

Leba

h M

adu

Upay

a M

endu

kung

Ko

nser

vasi

Laha

n da

n Ai

r

9HK

m H

ijau

Kem

bali

Peko

n Ri

gis J

aya,

K

ecam

atan

Air

Hita

m8,

960,

000

Rp

27,0

00,0

00Rp

SP

KS. 6

66.5

/V/ B

PDAS

.WSS

-1/2

010

8

39,6

00,0

00Rp

36,7

50,0

00Rp

37,6

80,0

00Rp

42,3

10,0

00Rp

54,7

50,0

00Rp

Judu

l

Kon

serv

asi L

ahan

dan

Air

Mel

alui

Pen

gkay

aan

Tana

man

MPT

S se

baga

i Hija

uan

Paka

n Te

rnak

Kam

bing

Ke

lom

pok

Tani

Pen

gem

bang

an T

erna

k Ka

mbi

ng u

ntuk

Men

duku

ng

Pele

star

ian

Huta

n

Pem

buat

an K

ebun

Bib

it Ta

nam

an P

ala

dan

Pela

tihan

Pe

mbi

bita

n Pa

la S

ebag

ai U

paya

Kon

serv

asi L

ahan

dan

DA

S P

enin

gkat

an K

ualit

as d

n Ku

antit

as A

ir Be

rsih

Mel

alui

Pe

rbai

kan

Inst

alan

si Gu

na M

enja

ga K

ontin

uita

s Di

strib

usi d

an P

enin

gkat

an K

onse

rvas

i Hut

an d

an D

AS

Pel

esta

rian

Huta

n M

elal

ui P

eman

faat

an A

ir Se

baga

i En

ergi

List

rik d

enga

n Te

knol

ogi P

emba

ngki

t List

rik

Tena

ga M

icro

Hydr

o (P

LTM

H)

SPKS

. 666

.4/V

/ BPD

AS.W

SS-1

/201

0

SPKS

. 666

.3/V

/ BPD

AS.W

SS-1

/201

0

SPKS

. 666

.8/V

/ BPD

AS.W

SS-1

/201

0

SPKS

.666

.2/V

/ BPD

AS.W

SS-1

/201

0

KWT

Mel

ati t

ribud

i Sy

ukur

Peko

n Tr

ibud

i Syu

kur,

Kec

amat

an

Kebu

n Te

bu5,

610,

000

Rp

27,0

00,0

00Rp

Peng

emba

ngan

Ter

nak

Kam

bing

Seb

agai

Upa

ya

Men

duku

ng K

onse

rvas

i lah

an S

ekita

r Hut

an d

an D

AS

Way

Bes

ai P

engo

laha

n da

n Pe

mas

aran

Has

il Hu

tan

Buka

n Ka

yu

(HHB

K) H

utan

Kem

asya

raka

tan

untu

k M

endu

kung

Pe

lest

aria

n Hu

tan

7HK

m A

ir Pa

kuan

Peko

n Su

kapu

ra,

Kec

amat

an

Sum

ber J

aya

11,2

00,0

00Rp

27

,000

,000

Rp

6KP

AB Ja

ga T

irtha

Peko

n Si

nar J

aya,

Ke

cam

atan

Air

Hita

m3,

050,

000

Rp

27,0

00,0

00Rp

P

eles

taria

n Hu

tan

Mel

alui

Pen

gopt

imal

an

Pem

anfa

atan

Sum

ber D

aya

Air d

enga

n Pe

rbai

kan

Sara

na d

an P

enin

gkat

an D

ebit

Air B

ersih

SP

KS. 6

66/V

/BPD

AS.W

SS-1

/201

0

SPKS

. 666

.6/V

/ BPD

AS.W

SS-1

/201

0

30,0

50,0

00Rp

38,2

00,0

00Rp

5KW

T Ri

mba

Sej

ati

Peko

n Ri

gis J

aya,

K

ecam

atan

Air

Hita

m27

,750

,000

Rp

27,0

00,0

00Rp

4KP

AB W

ana

Tirt

haPe

kon

Gunu

ng T

eran

g, K

ecam

atan

Ai

r Hita

m15

,310

,000

Rp

27,0

00,0

00Rp

NoNa

ma

Kelo

mpo

kPe

kon

/ Kec

amat

anKo

ntra

k

1KW

T M

elat

iPe

kon

Sim

pang

Sar

i / K

ecam

atan

Su

mbe

rjaya

12,6

00,0

00Rp

3KT

Sin

ar ja

wa

Peko

n M

utar

Ala

m, K

ecam

atan

W

ay T

enon

g10

,680

,000

Rp

27,0

00,0

00Rp

27,0

00,0

00Rp

2HK

m S

idom

akm

urPe

kon

Pura

Mek

ar K

ecam

atan

Ge

dung

Sur

ian

9,75

0,00

0Rp

27

,000

,000

Rp

SPKS

. 666

.7/V

/ BPD

AS.W

SS-1

/201

0

Page 105: best practices scbfwm 2014 regional lampung

92

T

ahun

201

1

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

11 Ju

li 201

1

11 Ju

li 201

1TO

TAL

131,

597,

500

Rp

300,

000,

000

Rp

431,

597,

500

Rp

37,0

00,0

00Rp

26

,000

,000

Rp

27,2

95,0

00Rp

29

,857

,500

Rp

46,0

20,0

00Rp

40

,300

,000

Rp

47,5

20,0

00Rp

39

,450

,000

Rp

36,9

95,0

00Rp

29

,650

,000

Rp

36,9

10,0

00Rp

34

,600

,000

Rp

SPK.

42/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

151/

BPDA

S.W

SS-1

/201

1

SPK.

152/

BPDA

S.W

SS-1

/201

1

1,00

0,00

0Rp

25

,000

,000

Rp

2,29

5,00

0Rp

25

,000

,000

Rp

4,85

7,50

0Rp

25

,000

,000

Rp

11,9

10,0

00Rp

25,0

00,0

00Rp

9,60

0,00

0Rp

25

,000

,000

Rp

12,0

00,0

00Rp

25,0

00,0

00Rp

SPK.

46

/BPD

AS.W

SS-1

/201

1

SPK.

40/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

49/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

41/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

14,4

50,0

00Rp

25,0

00,0

00Rp

11,9

95,0

00Rp

SPK.

45/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

48/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

44/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

52/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

43/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

12HK

m. S

ido

Mak

mur

Peko

n Pu

ra M

ekar

Kec

amat

an

Gedu

ng Su

rian

Peng

emba

ngan

Usa

ha B

erba

sis H

asil H

utan

Buk

an K

ayu

(HHB

K)

Peng

emba

ngan

Ter

nak K

ambi

ng Se

baga

i Upa

ya

Men

duku

ng K

onse

rvas

i Lah

an D

i Sek

itar D

aera

h Al

iran

Sung

ai W

ay B

esai

Pele

star

ian

Huta

n Un

tuk M

enja

ga P

oten

si Ai

r Seb

agai

Us

aha

Pem

buat

an P

emba

ngkit

List

rik T

enag

a M

ikro

Hidr

o (P

LTM

H)Pe

ngem

bang

an T

erna

k Kam

bing

Seba

gai U

paya

M

endu

kung

Kon

serv

asi L

ahan

Sekit

ar H

utan

Dan

Da

erah

Alir

an Su

ngai

Way

Bes

ai

10HK

m W

ANA

MAR

GA

RAHA

YUPe

kon

Sem

aran

g Ja

ya K

ec. A

ir Hi

tam

8KW

T M

ELAT

IPe

kon

Trib

udi S

yuku

r Kec

. Keb

un

Tebu

9BI

NA K

ARYA

TAN

IPe

kon

Suka

jadi

Kec

. Air

Hita

m

6LS

M P

A-RA

KIT

Peko

n Su

kaja

ya K

ec. S

umbe

r Jay

a

7HK

M W

ANA

LEST

ARI

11HK

m. A

bung

Jaya

Peko

n Pu

ra Ja

ya K

ec. K

ebun

Teb

u

25,0

00,0

00Rp

4,65

0,00

0Rp

25

,000

,000

Rp

Peni

ngka

tan

Usah

a Ke

lom

pok D

alam

Pen

gelo

laan

Has

il Hu

tan

Buka

n Ka

yu (H

HBK)

Peng

optim

alan

Sum

ber D

aya

Ekon

omi K

elom

pok

Deng

an P

emel

ihar

aan

Daer

ah H

ulu

Seba

gai P

eles

taria

n Da

erah

Alir

an Su

ngai

Pem

buat

an D

empl

ot P

rakt

is Ko

nser

vasi

Laha

n da

n DA

S se

baga

i mod

el P

erco

ntoh

an P

enge

lola

an La

han

perta

nian

Dem

plot

Kon

serv

asi T

anah

Dan

Laha

n M

elal

ui

Pem

buat

an R

orak

Dan

Pen

anam

an St

rip R

umpu

t Ser

ta

Pem

bibi

tan

Kayu

Dem

plot

Kon

serv

asi T

anah

Dan

Laha

n M

elal

ui

Pem

buat

an R

orak

Dan

Pen

anam

an St

rip R

umpu

t Ser

ta

Pem

bibi

tan

MPT

S

Peng

emba

ngan

aru

ng je

ram

seba

gai u

paya

eko

turis

me

dan

peni

ngka

tan

kond

isi D

AS W

ay B

esai

Kons

erva

si Su

mbe

r Day

a Hu

tan

Deng

an P

enge

mba

ngan

Te

rnak

Kam

bing

21,0

20,0

00Rp

25,0

00,0

00Rp

15,3

00,0

00Rp

25,0

00,0

00Rp

Peko

n Ge

dung

Suria

n Ke

c. Ge

dung

Su

rian

4KW

T RI

MBA

SEJA

TI

2KW

T SU

MBE

R M

AKM

UR M

AJU

BERS

AMA

Peko

n Ge

dung

Suria

n Ke

c. Ge

dung

Su

rian

3KA

RYA

MUL

YAPe

kon

Faja

r Bul

an K

ec. W

ay T

enon

g

Peko

n Ri

gis J

aya

Kec.

Air H

itam

5HA

RAPA

N JA

YAPe

kon

Way

Pet

ai K

ec. S

umbe

r Jay

a

1KW

T M

ELAT

IPe

kon

Simpa

ng Sa

ri Ke

c. Su

mbe

r Ja

ya22

,520

,000

Rp

25

,000

,000

Rp

De

mpl

ot K

onse

rvas

i Tan

ah D

an La

han

Mel

alui

Pe

mbu

atan

Ror

ak D

an P

enan

aman

Strip

Rum

put S

erta

Pe

mbi

bita

n M

PTS

Page 106: best practices scbfwm 2014 regional lampung

93

T

ahun

201

1

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

25 M

ei 2

011

11 Ju

li 201

1

11 Ju

li 201

1TO

TAL

131,

597,

500

Rp

300,

000,

000

Rp

431,

597,

500

Rp

37,0

00,0

00Rp

26

,000

,000

Rp

27,2

95,0

00Rp

29

,857

,500

Rp

46,0

20,0

00Rp

40

,300

,000

Rp

47,5

20,0

00Rp

39

,450

,000

Rp

36,9

95,0

00Rp

29

,650

,000

Rp

36,9

10,0

00Rp

34

,600

,000

Rp

SPK.

42/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

151/

BPDA

S.W

SS-1

/201

1

SPK.

152/

BPDA

S.W

SS-1

/201

1

1,00

0,00

0Rp

25

,000

,000

Rp

2,29

5,00

0Rp

25

,000

,000

Rp

4,85

7,50

0Rp

25

,000

,000

Rp

11,9

10,0

00Rp

25,0

00,0

00Rp

9,60

0,00

0Rp

25

,000

,000

Rp

12,0

00,0

00Rp

25,0

00,0

00Rp

SPK.

46

/BPD

AS.W

SS-1

/201

1

SPK.

40/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

49/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

41/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

14,4

50,0

00Rp

25,0

00,0

00Rp

11,9

95,0

00Rp

SPK.

45/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

48/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

44/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

52/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

SPK.

43/B

PDAS

.WSS

-1/2

011

12HK

m. S

ido

Mak

mur

Peko

n Pu

ra M

ekar

Kec

amat

an

Gedu

ng Su

rian

Peng

emba

ngan

Usa

ha B

erba

sis H

asil H

utan

Buk

an K

ayu

(HHB

K)

Peng

emba

ngan

Ter

nak K

ambi

ng Se

baga

i Upa

ya

Men

duku

ng K

onse

rvas

i Lah

an D

i Sek

itar D

aera

h Al

iran

Sung

ai W

ay B

esai

Pele

star

ian

Huta

n Un

tuk M

enja

ga P

oten

si Ai

r Seb

agai

Us

aha

Pem

buat

an P

emba

ngkit

List

rik T

enag

a M

ikro

Hidr

o (P

LTM

H)Pe

ngem

bang

an T

erna

k Kam

bing

Seba

gai U

paya

M

endu

kung

Kon

serv

asi L

ahan

Sekit

ar H

utan

Dan

Da

erah

Alir

an Su

ngai

Way

Bes

ai

10HK

m W

ANA

MAR

GA

RAHA

YUPe

kon

Sem

aran

g Ja

ya K

ec. A

ir Hi

tam

8KW

T M

ELAT

IPe

kon

Trib

udi S

yuku

r Kec

. Keb

un

Tebu

9BI

NA K

ARYA

TAN

IPe

kon

Suka

jadi

Kec

. Air

Hita

m

6LS

M P

A-RA

KIT

Peko

n Su

kaja

ya K

ec. S

umbe

r Jay

a

7HK

M W

ANA

LEST

ARI

11HK

m. A

bung

Jaya

Peko

n Pu

ra Ja

ya K

ec. K

ebun

Teb

u

25,0

00,0

00Rp

4,65

0,00

0Rp

25

,000

,000

Rp

Peni

ngka

tan

Usah

a Ke

lom

pok D

alam

Pen

gelo

laan

Has

il Hu

tan

Buka

n Ka

yu (H

HBK)

Peng

optim

alan

Sum

ber D

aya

Ekon

omi K

elom

pok

Deng

an P

emel

ihar

aan

Daer

ah H

ulu

Seba

gai P

eles

taria

n Da

erah

Alir

an Su

ngai

Pem

buat

an D

empl

ot P

rakt

is Ko

nser

vasi

Laha

n da

n DA

S se

baga

i mod

el P

erco

ntoh

an P

enge

lola

an La

han

perta

nian

Dem

plot

Kon

serv

asi T

anah

Dan

Laha

n M

elal

ui

Pem

buat

an R

orak

Dan

Pen

anam

an St

rip R

umpu

t Ser

ta

Pem

bibi

tan

Kayu

Dem

plot

Kon

serv

asi T

anah

Dan

Laha

n M

elal

ui

Pem

buat

an R

orak

Dan

Pen

anam

an St

rip R

umpu

t Ser

ta

Pem

bibi

tan

MPT

S

Peng

emba

ngan

aru

ng je

ram

seba

gai u

paya

eko

turis

me

dan

peni

ngka

tan

kond

isi D

AS W

ay B

esai

Kons

erva

si Su

mbe

r Day

a Hu

tan

Deng

an P

enge

mba

ngan

Te

rnak

Kam

bing

21,0

20,0

00Rp

25,0

00,0

00Rp

15,3

00,0

00Rp

25,0

00,0

00Rp

Peko

n Ge

dung

Suria

n Ke

c. Ge

dung

Su

rian

4KW

T RI

MBA

SEJA

TI

2KW

T SU

MBE

R M

AKM

UR M

AJU

BERS

AMA

Peko

n Ge

dung

Suria

n Ke

c. Ge

dung

Su

rian

3KA

RYA

MUL

YAPe

kon

Faja

r Bul

an K

ec. W

ay T

enon

g

Peko

n Ri

gis J

aya

Kec.

Air H

itam

5HA

RAPA

N JA

YAPe

kon

Way

Pet

ai K

ec. S

umbe

r Jay

a

1KW

T M

ELAT

IPe

kon

Simpa

ng Sa

ri Ke

c. Su

mbe

r Ja

ya22

,520

,000

Rp

25

,000

,000

Rp

De

mpl

ot K

onse

rvas

i Tan

ah D

an La

han

Mel

alui

Pe

mbu

atan

Ror

ak D

an P

enan

aman

Strip

Rum

put S

erta

Pe

mbi

bita

n M

PTS

T

ahun

201

2

16 M

aret

201

2

16 M

aret

201

2

16 M

aret

201

2

16 M

aret

201

2

16 M

aret

201

2

16 M

aret

201

2

16 M

aret

201

2

16 M

aret

201

2

01 M

ei 2

012

01 M

ei 2

012

16 M

aret

201

2

16 M

aret

201

2

16 M

aret

201

2

16 M

aret

201

2

16 M

aret

201

2TO

TAL

2012

180,

952,

500

Rp

34

4,20

0,00

0Rp

525,

152,

500

Rp

43,2

87,5

00Rp

28,1

75,0

00Rp

32,3

74,5

00Rp

36,6

12,5

00Rp

33,7

07,0

00Rp

30,7

75,0

00Rp

31,2

50,0

00Rp

31,2

75,5

00Rp

43,2

87,5

00Rp

30,9

95,0

00Rp

30,2

08,0

00Rp

44,2

27,5

00Rp

40,4

40,0

00Rp

36,0

00,0

00Rp

32,5

37,5

00Rp

SPK.

10

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

8,25

0,00

0Rp

23

,000

,000

Rp

8,27

5,50

0Rp

23

,000

,000

Rp

SPK.

41

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

SPK.

03

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

SPK.

09

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

SPK.

07

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

SPK.

04

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

17,4

40,0

00Rp

23

,000

,000

Rp

13,0

00,0

00Rp

23

,000

,000

Rp

SPK.

05

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

SPK.

06

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

9,53

7,50

0Rp

23

,000

,000

Rp

13,9

12,5

00Rp

22

,700

,000

Rp

SPK.

12

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

SPK.

01

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

9,70

8,00

0Rp

20

,500

,000

Rp

Pele

star

ian

Huta

n M

elal

ui P

enge

lola

an d

an

Pem

anfa

atan

Sum

ber D

aya

deng

an P

emba

ngun

an

Sara

na U

ntuk

Pen

ingk

atan

Deb

it Ai

r Ber

sih

Reha

bilit

asi L

ahan

den

gan

Pene

rapa

n Te

knol

ogi

Agro

fore

stry

Sist

em S

ilvop

astu

ral d

an P

embu

atan

De

mpl

ot K

onse

rvas

i Tan

ah

Kons

erva

si H

utan

den

gan

Sist

em S

ilvop

astu

ral d

an

Peng

elol

aan

Sum

ber D

aya

Air D

aera

h Al

iran

Sung

ai

10,7

07,0

00Rp

23

,000

,000

Rp

7,77

5,00

0Rp

23

,000

,000

Rp

SPK.

11

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

SPK.

42

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

5,17

5,00

0Rp

23

,000

,000

Rp

Pem

bang

unan

Em

bung

seba

gai U

paya

Kon

serv

asi

laha

n di

Sek

itar S

umbe

r Mat

a Ai

r

Pel

esta

rian

Huta

n M

elal

ui P

eman

faat

an A

ir Se

baga

i En

ergi

List

rik d

enga

n Te

knol

ogi P

emba

ngki

t Ten

aga

Mik

ro H

idro

U

paya

Men

duku

ng P

eles

taria

n Hu

tan

Mel

alui

Pe

ngol

ahan

dan

Pem

asar

an H

asil

Huta

n Bu

kan

Kayu

(H

HBK)

Upa

ya P

erlin

dung

an d

an O

ptim

alisa

si Pe

man

faat

an

Mat

a Ai

r

9,37

4,50

0Rp

23

,000

,000

Rp

SPK.

02

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

SPK.

42

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

20,2

87,5

00Rp

23

,000

,000

Rp

20,2

87,5

00Rp

23

,000

,000

Rp

SPK.

08

/BPD

AS.W

SS-1

/201

2

Upa

ya K

onse

rvas

i Lah

an M

elal

ui P

eman

faat

an S

umbe

r Da

ya A

ir de

ngan

Per

baik

an B

endu

ngan

dan

Pem

buat

an

Bak

Uta

ma

Dem

plot

Kon

serv

asi T

anah

dan

Lah

an M

elal

ui

Pem

buat

an R

orak

dan

Pen

anam

an S

trip

Rum

put s

erta

Pe

mbu

atan

Tan

aman

Man

ggis

Pen

gelo

laan

Kon

serv

asi L

ahan

di S

ekita

r DAS

Way

Be

sai m

elal

ui P

embu

atan

Ter

as d

an P

enge

mba

ngan

Te

rnak

Kam

bing

Upa

ya M

endu

kung

Kon

serv

asi L

ahan

Mel

alui

Pe

nana

man

Rum

put d

an P

enge

mba

ngan

Ter

nak

14HK

m H

arap

an L

esta

riPe

kon

Way

Pet

ai,

K

ecam

atan

Su

mbe

r Jay

a

10KW

T M

ekar

Jaya

2Pe

kon

Tam

bak

Jaya

, Kec

amat

an

Way

Ten

ong

11KW

T M

elat

i Mek

ar

Sari

Peko

n Sr

imen

anti,

K

ecam

atan

Ai

r Hita

m

8Ke

lom

pok

Tani

Maj

u Ja

yaPe

kon

Way

Pet

ai,

Keca

mat

an S

umbe

r jay

a

9HK

m M

ardi

Ruk

unPe

kon

Sim

pang

Sar

i, Ke

cam

atan

Su

mbe

r Jay

a

6Ke

lom

pok

Tani

Wan

a Ta

niPe

kon

Mek

ar Ja

ya,

Keca

mat

an G

edun

g Su

rian

Peny

usun

an R

enca

na k

erja

Hut

an K

emas

yara

kata

n (R

U.R

O) d

alam

rang

ka P

engu

atan

Kel

emba

gaan

Hut

an

Kem

asya

raka

tan

Hara

pan

lest

ari D

i Sub

DAS

Way

Bes

ai

71HK

m W

ana

Mar

ga

raha

yuPe

kon

Sem

aran

g Ja

ya, K

ecam

atan

Ai

r Hita

m

15YP

I Pon

dok

Pesa

ntre

n Al

-Ittih

adPe

kon

Tanj

ung

Raya

, Kec

amat

an

Way

Ten

ong

12HK

m R

imba

Jaya

Peko

n Ta

mba

k Ja

ya, K

ecam

atan

W

ay T

enon

g

13HK

m M

abar

jaya

Peko

n Su

kara

ja,

Kec

amat

an

Way

Ten

ong

Kelo

mpo

k Ta

ni

Trig

una

VIPe

kon

Trib

udi S

yuku

r, Ke

cam

atan

Ke

bun

Tebu

4KP

AB W

ana

Tirt

haPe

kon

Gun

ung

Tera

ng, K

ecam

atan

Ai

r Hita

m

5HK

m W

ana

Lest

ari

Peko

n G

edun

g Su

rian,

Kec

amat

an

Ged

ung

Suria

n

2KW

T M

elat

iPe

kon

Gun

ung

Tera

ng, K

ecam

atan

Ai

r Hita

m

3Ke

lom

pok

Tani

Le

star

iPe

kon

Sina

r Jay

a,

Ke

cam

atan

Air

Hita

m21

,227

,500

Rp

23,0

00,0

00Rp

Upa

ya K

onse

rvas

i Lah

an M

elal

ui P

enan

aman

Sek

itar

Ping

gira

n W

ay B

esai

dan

Pem

anfa

atan

Air

Lim

pasa

n un

tuk

Usa

ha P

erik

anan

Upa

ya K

onse

rvas

i Tan

ah d

an A

ir m

elal

ui P

enan

aman

Pa

kan

Tern

ak K

ambi

ng

Pen

yusu

nan

Renc

ana

Um

um d

an R

enca

na O

pera

siona

l Ke

lom

pok

HKm

Wan

a M

arga

Rah

ayu

dan

Pem

bibi

tan

Tana

man

Man

ggis

dan

Tern

ak K

ambi

ng

5,99

5,00

0Rp

25

,000

,000

Rp

Page 107: best practices scbfwm 2014 regional lampung

94

T

ahun

201

3

1Ke

lom

pok

Tani

Su

mbe

r Rej

eki

Peko

n Sr

i Men

anti,

Kec

. Air

Hita

mPe

ngel

olaa

n Ja

sa L

ingk

unga

n Ai

r dar

i Lah

an M

arga

Sub

D

AS W

ay B

esai

unt

uk D

usun

Mas

yara

kat S

umbe

r Rej

eki

SPK.

132

/BPD

AS.W

SS-1

/201

3 R

p

17

,179

,000

R

p

27

,000

,000

R

p

44

,179

,000

2Ke

lom

pok

Wan

ita

Tani

Mel

ati M

ekar

Sa

riPe

kon

Srim

enan

ti, K

ec. A

ir H

itam

Kegi

atan

Kon

serv

asi T

anah

dan

Air

Sert

a Pe

mbe

rday

aan

Mas

yara

kat M

elal

ui T

anam

an B

ambu

SPK.

126

/BPD

AS.W

SS-1

/201

3 R

p

11

,300

,000

R

p

22

,600

,000

R

p

33

,900

,000

3Ke

lom

pok

Tani

Sri

Reze

kiPe

kon

Suka

pura

, Kec

. Sum

ber J

aya

Peni

ngka

tan

prod

uktiv

itas

laha

n m

elal

ui p

eman

faat

an

Ecen

g G

ondo

k un

tuk

pem

buat

an P

upuk

Kom

pos

berb

asis

pem

berd

ayaa

n ke

lom

pok

SPK.

129

/BPD

AS.W

SS-1

/201

3 R

p

5

,525

,000

R

p

23

,000

,000

R

p

28

,525

,000

4Ke

lom

pok

Wan

ita

Tani

Dah

liaPe

kon

Sind

ang

Paga

r Kec

. Sum

ber

Jaya

Peni

ngka

tan

kapa

sita

s ke

wira

usah

aan

kelo

mpo

k m

elal

ui

prod

uk o

laha

n pi

sang

SP

K. 1

27/B

PDAS

.WSS

-1/2

013

Rp

11,5

62,5

00

Rp

18,7

20,0

00

Rp

30,2

82,5

00

5Ke

lom

pok

Mek

ar

Tani

Peko

n Si

mpa

ng S

ari,

Kec.

Sum

ber

Jaya

Kons

erva

si T

anah

dan

Air

Mel

alui

Pen

anam

an K

ayu

dan

MPT

SSP

K. 1

20/B

PDAS

.WSS

-1/2

013

Rp

7,5

74,5

00

Rp

21,2

00,0

00

Rp

28,7

74,5

00

6Ke

lom

pok

Wan

ita

Tani

(KW

T) M

elat

iPe

kon

Trib

udi S

yuku

r Kec

. Keb

un

Tebu

Peng

emba

ngan

dan

pen

geol

ahan

tana

man

oba

t di l

ahan

pe

kara

ngan

ser

ta p

engk

ayaa

n H

utan

ber

basi

s pe

mbe

rday

aan

kelo

mpo

kSP

K. 1

23/B

PDAS

.WSS

-1/2

013

Rp

18,5

15,0

00

Rp

19,9

15,0

00

Rp

38,4

30,0

00

7KP

AB Ja

ga T

irtha

Peko

n Si

nar J

aya,

Kec

. Air

Hita

mPe

rbai

kan

Inst

alan

si A

ir Be

rsih

Ser

ta P

embu

atan

Pe

ratu

ran

Peko

n Se

baga

i Upa

ya U

ntuk

Mel

esta

rikan

Su

mbe

r Day

a Ai

rSP

K. 1

24/B

PDAS

.WSS

-1/2

013

Rp

2,3

00,0

00

Rp

25,0

00,0

00

Rp

27,3

00,0

00

8Ke

lom

pok

Usa

ha

Bers

ama

(KU

BE) T

ri Tu

ngga

lPe

kon

Sido

dadi

, Kec

. Air

Hita

mKe

giat

an P

eman

faat

an Ja

sa L

ingk

unga

n Ai

r Ber

sih

Sub

DAS

Air

Hita

m P

eman

gku

Srim

ukti

Peko

n Si

doda

di A

ir H

itam

SPK.

133

/BPD

AS.W

SS-1

/201

3 R

p

14

,725

,000

R

p

27

,000

,000

R

p

41

,725

,000

9Ke

lom

pok

Wan

ita

Tani

(KW

T) K

enan

gaPe

kon

Ged

ung

Suria

n, K

ec. G

edun

g Su

rian

Kegi

atan

Kon

serv

asi L

ahan

mel

alui

pen

gem

bang

an

Tana

man

Oba

t di l

ahan

pek

aran

gan

kelo

mpo

kSP

K. 1

18/B

PDAS

.WSS

-1/2

013

Rp

1,9

25,0

00

Rp

17,0

00,0

00

Rp

18,9

25,0

00

10H

Km B

ina

Wan

aPe

kon

Trib

udi S

yuku

r Kec

. Keb

un

Tebu

Pem

bang

unan

Pus

at In

form

asi d

an P

embe

laja

ran

Peng

elol

aan

Hut

an B

erba

sis

Kem

asya

raka

tan

SPK.

117

/BPD

AS.W

SS-1

/201

3 R

p

28

,770

,000

R

p

49

,850

,000

R

p

78

,620

,000

11H

Km A

bung

Jaya

Peko

n Pu

ra Ja

ya, K

ec. K

ebun

Teb

uPe

nyus

unan

Ren

cana

Um

um d

an R

enca

na O

pera

sion

al

Dal

am R

angk

a Pe

ning

kata

n Ka

pasi

tas

Kelo

mpo

k H

Km

Abun

g Ja

yaSP

K. 1

19 /

BPD

AS.W

SS-1

/201

3 R

p

27

,340

,000

R

p

15

,850

,000

R

p

43

,190

,000

12Ke

lom

pok

Tani

Tr

itung

gal

Peko

n Tu

gu S

ari,

Kec.

Sum

ber J

aya

Peng

emba

ngan

Kom

pos

raky

at d

i kel

ompo

k Ta

ni

Tritu

ngga

l SP

K. 1

28/B

PDAS

.WSS

-1/2

013

Rp

2,5

92,0

00

Rp

15,2

14,0

00

Rp

17,8

06,0

00

13Ke

lom

pok

Tani

W

anita

(KW

T) K

arya

M

andi

ri

Peko

n Tr

ibud

i Syu

kur K

ec. K

ebun

Te

buPe

rlind

unga

n da

n Pe

man

faat

an S

umbe

rday

a Ai

r Unt

uk

Perik

anan

Ser

ta P

enge

lola

an H

HBK

SP

K. 1

25/B

PDAS

.WSS

-1/2

013

Rp

5,8

50,0

00

Rp

19,8

80,0

00

Rp

25,7

30,0

00

14Ke

lom

pok

Tani

Jaya

M

andi

riPe

kon

Suka

Jaya

, Kec

. Sum

ber J

aya

Pem

bang

unan

Sar

ana

Pem

buat

an P

upuk

Kom

pos

untu

k Pe

mbe

rday

aan

Angg

ota

Kelo

mpo

k Ja

ya M

andi

ri da

lam

H

al P

erba

ikan

Kea

daan

Tan

ah d

an L

ahan

SPK.

130

/BPD

AS.W

SS-1

/201

3 R

p

10

,175

,000

R

p

29

,880

,000

R

p

40

,055

,000

15Ke

lom

pok

Wan

ita

Tani

Maj

u Le

star

iPe

kon

Sind

ang

Paga

r Kec

. Sum

ber

Jaya

Peng

olah

an P

isan

g H

asil

Tum

pang

Sar

i Pad

a La

han

HKm

Se

baga

i Sar

ana

Pem

berd

ayaa

n Ke

lom

pok

Wan

ita T

ani

Maj

u Le

star

iSP

K. 1

31/B

PDAS

.WSS

-1/2

013

Rp

10,5

25,0

00

Rp

20,0

20,0

00

Rp

30,5

45,0

00

16H

Km M

ardi

Ruk

unPe

kon

Sim

pang

Sar

i, Ke

c. S

umbe

r Ja

yaKo

nser

vasi

Lah

an M

elal

ui P

emba

ngun

an E

mbu

ng d

i Se

kita

r Sum

ber M

ata

Air

SPK.

121

/BPD

AS.W

SS-1

/201

3 R

p

3

,395

,000

R

p

39

,680

,000

R

p

43

,075

,000

17Ke

lom

pok

HKm

Sid

o M

akm

urPe

kon

Pura

Mek

ar, K

ec. G

edun

g Su

rian

Peny

usun

an R

enca

na U

mum

dan

Ren

cana

Ope

rasi

onal

Se

baga

i Upa

ya P

enin

gkat

an K

apas

itas

Kelo

mpo

k H

Km

Sido

Mak

mur

Ser

ta P

enga

daan

Air

Bers

ihSP

K. 1

22/B

PDAS

.WSS

-1/2

013

Rp

18,2

60,0

00

Rp

34,8

90,0

00

Rp

53,1

50,0

00

TOTA

L 20

1319

7,51

3,00

0Rp

42

6,69

9,00

0Rp

62

4,21

2,00

0Rp

Page 108: best practices scbfwm 2014 regional lampung

95

T

ahun

201

4

1HP

PH-L

Bin

a W

ana

Peko

n Tr

ibud

i Syu

kur K

ec. K

ebun

Te

bu K

ab. L

ampu

ng B

arat

Inve

ntar

isasi

Pena

ngka

ran

Tum

buha

n La

ngka

dan

Pe

latih

an Id

entif

ikas

i Jen

is Sa

twa

Dilin

dung

i dan

Pe

rlind

unga

nnya

SPK

.262

/BPD

AS.W

SS-1

/201

4, ta

ngga

l 8

Mei

201

4 R

p

9

,500

,000

R

p

24,

685,

000

Rp

34,1

85,0

00

2KP

AB T

irtha

Kec

ana

Peko

n Ri

gis J

aya

Keca

mat

an A

ir Hi

tam

Kab

. Lam

pung

Bar

at

Pem

anfa

atan

Air

Limpa

han

Untu

k Pe

ngem

bang

an

Budi

daya

Ikan

Seb

agai

Upa

ya U

ntuk

Men

ingk

atka

n Ke

sada

ran

Mas

yara

kat D

alam

Mel

akuk

an K

onse

rvas

i Hu

tan

dan

Laha

n

SPK

.263

/BPD

AS.W

SS-1

/201

4, ta

ngga

l 8

Mei

201

4 R

p

17,

427,

000

Rp

2

0,71

0,00

0 R

p

38

,137

,000

3KW

T M

ekar

Jaya

Sar

iPe

kon

Srim

enan

ti K

ecam

atan

Air

Hita

m K

ab. L

ampu

ng B

arat

Optim

alisa

si Pe

rlind

unga

n Hu

tan

dan

pem

anfa

atan

Su

mbe

r Mat

a Ai

r ser

ta P

enan

aman

Tan

aman

Kay

u di

Se

kita

r Mat

a Ai

r Pin

ggira

n TN

BBS

SPK

.264

/BPD

AS.W

SS-1

/201

4, ta

ngga

l 8

Mei

201

4 R

p

13,

740,

000

Rp

2

1,67

5,00

0 R

p

35

,415

,000

4Ke

lom

pok

Tani

Am

pera

Peko

n Si

ndan

g Pa

gar

Kec.

Sum

berja

ya K

ab. L

ampu

ng

Bara

t

Kons

erva

si La

han

Mel

alui

Pen

anam

an P

ohon

MPT

S da

n Pe

ngem

bang

an T

erna

k S

PK.2

65/B

PDAS

.WSS

-1/2

014,

tang

gal 8

M

ei 2

014

Rp

1

1,20

0,00

0 R

p

24,

550,

000

Rp

35,7

50,0

00

5KW

T Da

hlia

Peko

n Si

ndan

g Pa

gar

Kec.

Sum

berja

ya K

ab. L

ampu

ng

Bara

t

Peng

emba

ngan

Usa

ha K

elom

pok

Deng

an

Men

ingk

atka

n Ni

lai J

ual P

rodu

k M

elal

ui P

erba

ikan

Ke

mas

an

SPK

.266

/BPD

AS.W

SS-1

/201

4, ta

ngga

l 8

Mei

201

4 R

p

10,

450,

000

Rp

2

5,55

0,00

0 R

p

36

,000

,000

6Hk

m W

ana

Jaya

Peko

n M

ekar

Jaya

Kec

. Ged

ung

Suria

n Ka

b. La

mpu

ng B

arat

Pela

tihan

dan

pen

yusu

nan

Renc

ana

Umum

(RU)

dan

Re

ncan

a Op

eras

iona

l (RO

) HKm

Wan

a Ja

ya &

Gun

ung

Raya

SPK

.267

/BPD

AS.W

SS-1

/201

4, ta

ngga

l 8

Mei

201

4 R

p

15,

500,

000

Rp

2

3,80

0,00

0 R

p

39

,300

,000

7Ke

lom

pok

Tani

Jaya

Ta

niPe

kon

Suka

Dam

ai K

ecam

atan

Air

Hita

m K

ab. L

ampu

ng B

arat

Pem

anfa

atan

Air

Sung

ai H

itam

unt

uk P

embu

atan

Pe

mba

ngki

t List

rik T

enag

a M

ikro

Hyd

ro (P

LTM

H)

Seba

gai U

paya

Unt

uk M

enin

gkat

kan

Kesa

dara

n M

asya

raka

t dal

am m

elak

ukan

Kon

serv

asi H

utan

dan

La

han

SPK

.268

/BPD

AS.W

SS-1

/201

4, ta

ngga

l 8

Mei

201

4 R

p

16,

750,

000

Rp

2

3,50

0,00

0 R

p

40

,250

,000

TOTA

L 201

494

,567

,000

Rp

164,

470,

000

Rp

25

9,03

7,00

0Rp

Tota

l To

tal 2

010-

2014

718,

390,

000

Rp

1,50

5,36

9,00

0Rp

2,22

3,75

9,00

0Rp

32%

68%

100%

Page 109: best practices scbfwm 2014 regional lampung