glaukoma sekunder et causa katarak hipermatur
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pada mata normal, terdapat keseimbangan antara aliran masuk dan keluar
dari aqueous. Ketika aliran keluar dihalangi, tekanan intraokuler meningkat,
mengarah pada kerusakan saraf optik. Kondisi ini disebut glaukoma (1).
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan terbanyak kedua di seluruh
dunia dengan angka kejadian glaukoma sudut terbuka lebih banyak dibandingkan
glaukoma sudut tertutup. Di Amerika Serikat, pada tahun 2003, sekitar 120.000
orang mengalami kebutaan akibat glaukoma. Menurut Survey Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-1996 di Indonesia sebesar 1,5%
penduduknya mengalami kebutaan yang antara lain disebabkan karena katarak
(0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), gangguan retina (0,13%),
dan kelainan kornea (0,10%) (2).
Salah satu faktor penyebab terjadinya glaukoma adalah karena adanya
katarak. Katarak dapat berubah menjadi glaukoma dalam 3 cara (3):
a. Phacomorphic glaucoma
Keadaan dimana lensa yang membengkak karena absorbs cairan. Sudut yang
tertutup menghalangi jalur trabekular dan TIO meningkat. Ini merupakan jenis
glaukoma sudut tertutup sekunder.
b. Phacolytic glaucoma
Pada stadium hipermatur, protein lensa mencair ke COA dan dimakan oleh
makrofag. Makrofag yang membengkak akan menyumbat jalur trabekular dan
1
mengakibatkan peninggian TIO. Jenis ini merupakan glaukoma sudut terbuka
sekunder.
c. Phacotoxic Glaucoma
Lensa hipermatur dapat mengalami pencairan dan dapat meningkatkan TIO
karena menutup pupil atau sudut bilik depan.
Berikut ini dilaporkan kasus seorang penderita glaukoma sekunder et
causa katarak hipermatur yang dirawat di Ruang mata RSUD Ulin Banjarmasin.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. B
Umur : 64 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. RMK : 102-50-29
II. ANAMNESA
Hari/tanggal : Sabtu, 29 Desember 2012
Keluhan Utama : Mata kiri nyeri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Kurang lebih 2 minggu yang lalu, pasien merasakan mata sebelah kiri
terasa nyeri, rasa nyeri terasa seperti menusuk dan menjalar sampai ke kepala
sebelah kiri. Rasa nyeri disertai dengan mata kiri merah, berair dan terasa silau
jika melihat ke arah yang terang. Tidak ada keluhan mata gatal maupun
keluar kotoran mata yang banyak dan mata tidak pernah mengalami benturan
sebelumnya. Pasien juga mengeluh kedua matanya kabur sejak 6 bulan yang
lalu, namun sejak 4 bulan ini mata kirinya hanya bisa membedakan gelap dan
terang. Riwayat pengobatan dan penggunaan kacamata (-).
3
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien menderita tekanan darah tinggi yang baru diketahui kurang lebih 1
bulan yang lalu dengan tekanan darah antara 140-160/100 mmHg namun
tidak mengkonsumsi obat antihipertensi secara teratur. Riwayat diabetes
mellitus disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit serupa.
III.PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital : TD : 160/100 mmHg
N : 90 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,50C
Kepala : Pembesaran KGB (-)
Mata : Lihat status lokalis
Leher : Dalam batas normal
Thoraks : Dalam batas normal
Pulmo : Dalam batas normal
Jantung : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal
4
Status Lokalis :
Pemeriksaan Mata
OD OS2/60 Visus 1/~
Sentral Kedudukan SentralKe segala arah Pergerakan Ke segala arah
Edem (-) Palpebra superior
Edem (-)
Edem (-) Palpebra inferior
Edem (-)
Hiperemi (-), Sekret (-) Konjungtiva palpebra
Hiperemi (+), Sekret (-)
Hiperemi (-), Sekret (-) Konjungtiva forniks
Hiperemi (+), Sekret (-)
Hiperemi (-), Sekret (-) Konjungtiva bulbi
Hiperemi (+), Sekret (-)
Jernih Kornea KeruhPutih Sklera Putih
Dangkal COA DalamCokelat kehitaman, iris shadow (+), pseudoiris
shadow (-)
Iris Cokelat kehitaman, iris shadow (-), pseudoiris
shadow (+)Sentral, regular, Ø 3mm,
reflek cahaya (+), leukokoria (-)
Pupil Sentral, iregular, Ø 5mm, reflek cahaya (-),
leukokoria (-)Jernih Lensa Keruh
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tonometri Schiotz
T OD : 8/5,5 = 10,2 mmHg
T OS : 6/10 = 31,8 mmHg
5
IV. DIAGNOSIS KERJA
OS Glaukoma sekunder et causa katarak hipermatur
V. PENATALAKSANAAN
1. Eye drop Timolol 0,5% 2 x 1 tetes
2. Glaucon 250mg 3 x 1 tab
3. Aspar K 1 x 1 tab
6
BAB III
DISKUSI
Tekanan intraokuler diatur oleh produksi humour aqueous pada epitel
tanpa pigmen badan silier. Jaringan ini secara aktif membawa ion dan nutrient
yang diperoleh dari pembuluh darah badan silier, ke kamera okuli posterior.
Adanya tekanan osmotik, yang diaktivasi oleh transport aktif, sehingga menarik
air. Disamping itu, sebagian aqueous humour berasal dari ultrafiltrasi cairan
interstisial, yang berasal dari perbedaan tekanan antara arteriol badan silier dengan
kamera okuli posterior. Hasilnya berupa cairan tanpa warna yang mengalir secara
sentripetal melalui permukaan lensa menuju pupil lalu mengalir secara sentrifugal
ke arah trabekular meshwork ke dalam kanalis Schlemm dan melalui limbal sclera
memasuki vena aqueous dan sirkulasi umum (3).
Glaukoma diklasfikasikan sebagai berikut (4):
1. Glaukoma Primer, tidak ada penyebab peningkatan tekanan intraokuler.
Glaukoma tipe ini dibedakan menjadi glaukoma primer sudut terbuka,
glaukoma primer sudut tertutup, dan glaukoma dengan tekanan normal.
2. Glaukoma Sekunder, ada hal yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intraokuler (penyakit mata yang lain, penyakit sistemik, atau
penggunaan obat, glaukoma developmental)
Pada pasien ini didiagnosis OS glaukoma sekunder et causa katarak
hipermatur. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
7
Katarak hipermatur merupakan stadium terakhir dari katarak senile. Pada
katarak hipermatur telah terjadi proses degenerasi lanjut lensa sehingga korteks
lensa mencair dan dapat keluar melalui kapsul lensa. Lensa mengkerut dan
berwarna kuning. Akibat pengkeriputan lensa dan mencairnya korteks, nucleus
tenggelam ke arah bawah (katarak Morgagni). Lensa yang mengecil menyebabkan
bilik lensa menjadi dalam. Uji bayangan iris pseudopositif. Akibat masa lensa
yang keluar melalui kapsul lensa menyebabkan terjadinya reaksi peradangan di
bilik mata depan, anyaman trabekular menjadi edema dan tersumbat oleh protein-
protein lensa sehingga menimbulkan penyulit berupa glaukoma fakolitik dan
uveitis fakotoksik (5).
Pada anamnesis didapatkan keluhan mata kiri nyeri, berair, terasa silau dan
hanya bisa membedakan gelap dan terang Pada pemeriksaan visus didapatkan
2/60 pada mata kanan dan 1/~ pada mata kiri. Camera oculi anterior OS tampak
dalam dengan pseudoiris shadow (+), pupil tampak ireguler, tidak ada reflek pupil
terhadap cahaya dan lensa berwarna abu-abu kekuningan menunjukkan adanya
kekeruhan lensa.
Dari tonometri didapatkan tekanan intra okuler OD 10,2 mmHg dan OS 31,8
mmHg. Tekanan normal intraokuler rata-rata berkisar 15,5 mmHg (±2,6 mmHg)
dan secara statistik batas atas normal tekanan intraokuler adalah 21 mmHg. Pada
pasien ini telah terjadi kenaikan tekanan intraokuler pada OS (4).
Diagnosis pasti ditegakkan dengan gonioskopi untuk menentukan tipe
glaukoma dengan melihat sudut kamera okuli anterior. Serta dapat dilakukan
8
ophtalmoskopi untuk memeriksa saraf mata (papil saraf optik) apakah mengalami
degenerasi atau atrofi serta melihat penggaungan (cupping) papil. Papil saraf optik
yang normal memiliki gambaran nisbah cup disc (C/D) sebesar 0,2 – 0,5 (nisbah
C/D) adalah perbandingan antara diameter cupping/lekukan dan diameter diskus
papil saraf optik. Pada kerusakan papil saraf optik akibat glaukoma didapatkan
rasio C/D lebih dari 0,6 yang berarti berkurangnya serabut saraf optik yang
membentuk bingkai saraf optik (optik rim). Gangguan serabut saraf tersebut akan
mengakibatkan gangguan lapang pandang sesuai dengan daerah inervasi saraf
tersebut pada retina (5). Tetapi untuk kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan
tersebut, sehingga diagnosis hanya ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dengan tonometri Schiotz.
Prinsip terapi glaukoma (4):
1. Mempertahankan fungsi penglihatan pasien karena kerusakan penglihatan
akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
2. Menurunkan tekanan intraokuler, karena merupakan pengobatan yang dapat
diandalkan.
3. Mengatasi penyebab peningkatan tekanan intraokuler
4. Pentingnya deteksi dini, karena jika fungsi penglihatan hilang maka tidak
dapat dikembalikan.
5. Dapatkan efek maksimal dengan obat serta efek samping yang minimal.
6. Pemilihan antara obat, laser dan operasi berdasarkan individu pasien, stadium
dan tipe glaukoma.
9
Glaukoma dapat diatasi dengan (3,4):
1. Medikamentosa
a) Topikal. Obat topikal yang dapat digunakan antara lain: Antagonis
adrenergik, agonis adrenergik, miotik, prostaglandin, karbonik anhidrase
inhibitor, atau kombinasi.
b) Sistemik. Obat yang dapat diberikan secara sistemik antara lain karbonik
anhidrase inhibitor dan agen hiperosmotik.
2. Laser
Laser dilakukan pada pasien tua yang tidak berespon dengan obat-obatan,
pasien yang tidak cukup terkontrol dan tidak dapat menjalani operasi.
3. Operasi
Operasi dilakukan pada pasien yang tekanan intraokuler tidak dapat
diturunkan atau mencapai target dengan penanganan lain, terkontrol borderline
dengan obat dan laser, gagal terapi dengan obat-obatan dan laser.
Pertimbangkan operasi sebagai pilihan awal jika diperlukan, bukan hanya
sebagai pilihan terakhir.
Penanganan pada pasien ini yaitu dengan pemberian tetes mata timolol 0,5%
2x1 tetes, glaukon tablet 3x250mg serta Aspar K 1x1 tab.
Tetes mata timolol 0,5% merupakan obat golongan antagonis adrenergic (β-
blocker) yang bekerja menurunkan produksi humour aqueous pada badan silier
sehingga menurunkan tekanan intraokuler. Sementara itu, glaukon mengandung
10
asetazolamid merupakan golongan carbonic anydrase yang berkerja dengan cara
mengurangi cara mengurangi akumulasi bikarbonat sehingga mengurangi influx
natrium dan cairan. Golongan carbonic anhydrase inhibitor menurunkan tekanan
intra okuler sebesar 16 % - 22 % (6-8).
Pemberian tetes mata timolol 0,5% (β-blocker) dan glaukon (carbonic
anhydrase inhibitor) diharapkan mampu menurunkan tekanan intraokuler lebih
besar dibandingkan pemberian monotherapy. Karena menurut studi di Amerika
serikat membandingkan timolol maleat sebagai monotherapy dan combination
therapy timolol maleat 0,5 % -dorzolamide ( golongan carbonic anhydrase
inhibitor ). Diperoleh hasil bahwa penurunan tekanan intra okuler 32,7 % vs 22,6
% dengan dosis fixed dosed combination 2 kali sehari dan timolol 2 kali sehari
(6).
Karena glaukon merupakan diuretik yang menyebabkan efek samping
gangguan elektrolit, hipokalemia (4), maka perlu diberikan elektrolit berupa
Aspar K (yang berisi kalium aspartat). Pada pasien ini dengan penggunaan obat-
obatan saja dapat menurunkan tekanan intraokuler, namun mengingat bahwa
penyebab glaukomanya karena adanya katarak maka operasi katarak perlu
dipertimbangkan.
11
BAB IV
PENUTUP
Telah dilaporkan kasus OS glaukoma sekunder karena katarak hipermatur
pada seorang perempuan berumur 64 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
diketahui adanya nyeri mata kiri disertai penurunan penglihatan yang hanya bisa
membedakan gelap dan terang, mata silau dan berair. Pada pemeriksaan visus
didapatkan OD 2/60 dan OS 1/~. Camera oculi anterior OS tampak dalam, pupil
ireguler tanpa reflek cahaya, pseudoiris test (+) dan lensa keruh berwarna abu-abu
kekuningan . Pengobatan pada pasien ini adalah pemberian obat tetes mata timolol
0,5% dan glaukon untuk mengurangi tekanan intraokuler serta Aspar K untuk
mengatasi efek samping dari glaukon yaitu gangguan elektrolit, hipokalemia. Saat
ini pasien menjalani perawatan di Ruang Seroja (Mata) RSUD Ulin Banjarmasin.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Lim ASM, Constable IJ, Wong TY. Colour Atlas of Ophthalmology. Fourth Edition. World Scientific: London, 2003.
2. Departement Kesehatan RI Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat. Hasil survei kesehatan Indonesia penglihatan dan pendengaran 1993-1996. Jakarta: Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas; 1998.
3. Yannof M, Duker JS, Augsburger JJ, editors. Ophthalmology 2nd Edition. Mosby: Philadelphia, 2003.
4. Japan Glaucoma society. Guidelines for Glaucoma 2nd edition. Japan society: Tokyo, 2006.
5. Ilyas S., 2009. Ilmu Penyakit Mata. 3rd edisi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
6. Netland P. Glaukoma Medical Therapy. 2nd Ed. Madison Avenue, New York: Oxford University Press; 2008;55-63;123-46.
7. Tingey D, Lisa M. Bernarnd, Daniel T. Grima, Betsy Miller, Annette Lam Intraocular pressure control and persistence ontreatment in glaucoma and ocular hypertension. Can J Ophthalmol 2005;40:161–9.
8. Optometric Glaukoma Society. Review of optometry: The Glaucoma Handbook. Pfizer Opthalmics; 2007: 15-16.
13