ggrraanndd ddeessiiggnn rreeffoorrmmaassii...

124
G G r r a a n n d d D D e e s s i i g g n n R R e e f f o o r r m m a a s s i i P P N N S S L L e e m mb b a a g g a a A A d d m mi i n n i i s s t t r r a a s s i i N N e e g g a a r r a a J J a a k k a a r r t t a a 2 2 0 0 1 1 0 0

Upload: trinhdang

Post on 11-Apr-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

GGrraanndd DDeessiiggnn RReeffoorrmmaassii PPNNSS

LLeemmbbaaggaa AAddmmiinniissttrraassii NNeeggaarraa

JJ aa kk aa rr tt aa

22001100

2

GGrraanndd DDeessiiggnn RReeffoorrmmaassii PPNNSS

Diterbitkan oleh :

Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur

Lembaga Administrasi Negara

Jl. Veteran Nomor 10, Jakarta Pusat

Telp. (021) 3868201-05 ext. 151, 152

Fax. (021) 3866857, 3865102

Cetakan I, Oktober 2010

Desain sampul : Agustinus Sulistyo

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa ijin tertulis dari Penerbit

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

GGrraanndd DDeessiiggnn RReeffoorrmmaassii PPNNSS

Oleh : Agustinus Sulistyo, et al.

Cet. 1 - Jakarta : Pusat KKSDA-LAN, 2010

xix, 163 hlm.; 21 x 16 cm

ISBN 978-602-8463-06-5

3

GGrraanndd DDeessiiggnn RReeffoorrmmaassii PPNNSS

Tim Penyusun :

Sri Hadiati, WK., SH., MA

Dra. Emma Rahmawiati, MSi.

Akhyar Effendi, SE., MSi.

Dra. Puji Hastuti, MPd.

Agustinus Sulistyo Tri P., SE., MSi.

Trimo Santoso, S.Sos., MAP

Drs. Hari Budimawan

Hartoto, SIP., MSi.

Ratri Istania, SIP., MA

Budi Sudarso, S.Sos.

Syamsuarman, S.Sos., MSi.

Rusmiyati, AMd.

Dede Sopari, SAP

Nuryati

Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur

Lembaga Administrasi Negara

J a k a r t a

2010

4

SSaammbbuuttaann

KKeeppaallaa LLeemmbbaaggaa AAddmmiinniissttrraassii NNeeggaarraa

Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

telah mencanangkan Grand Design dan Roadmap Reformasi Birokrasi yang bertujuan membentuk

birokrasi yang profesional dengan karakter: adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih

KKN, mampu melayani publik, netral, berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar serta kode

etik aparatur negara. Salah satu sasaran yang hendak direformasi dalam Grand Design dan Roadmap

Reformasi Birokrasi adalah sumber daya manusia aparatur, yaitu dengan mewujudkan sosok SDM

aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera.

Sejalan dengan tujuan tersebut, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, Lembaga

Administrasi Negara pada tahun 2010 ini melakukan kajian Grand Design Reformasi PNS untuk

mendukung reformasi birokrasi tersebut. Grand Design Reformasi PNS ini bertujuan untuk mengisi

dan merinci reformasi SDM aparatur yang ada dalam reformasi birokrasi. Selain itu juga dilengkapi

dengan roadmap yang memuat agenda-agenda prioritas sehingga sosok PNS sebagaimana diharapkan

dapat diwujudkan.

Semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat dalam upaya pelaksanaan reformasi PNS di

Indonesia. Bagi semua pihak yang membantu dalam penyusunan kajian ini diucapkan terima kasih.

Jakarta, Oktober 2010

Kepala

Lembaga Administrasi Negara

Asmawi Rewansyah

5

KKaattaa PPeennggaannttaarr

Pemerintah secara jelas menyatakan bahwa reformasi birokrasi harus dilakukan sebagai upaya

untuk memperbaiki berbagai kelemahan sistem birokrasi yang bertahun-tahun berlangsung. Setelah

relatif tertinggal dibandingkan reformasi di bidang politik, pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu II

menegaskan kembali komitmennya untuk melakukan perubahan di dalam sistem birokrasi

pemerintahan. Setidaknya melalui penguatan peran dan fungsi Kementerian PAN dan RB. Pada

tahun 2011 diharapkan semua instansi pemerintah pusat sudah melakukan program reformasi

birokrasi di lingkungannya masing-masing.

Salah satu program pemerintah dalam reformasi birokrasi adalah reformasi PNS yang juga telah

mulai dilakukan secara internal oleh beberapa instansi pemerintah sebagai pilot project dan diakui

keberhasilannya oleh publik walaupun masih banyak kekurangan yang ditemui. Kompleksitas

permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam melaksanakan reformasi PNS memaksa

pemerintah untuk tidak bisa melaksanakan program tersebut secara serentak. Di tengah semangat

yang tinggi untuk memperbaiki sistem birokrasi, termasuk didalamnya manajemen PNS maka

menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk memiliki sebuah konsep yang jelas, fokus dan terukur

dalam rangka pelaksanaan reformasi sistem birokrasi secara keseluruhan.

Lembaga Administrasi Negara sebagai salah satu instansi pemerintah yang bergelut didalam

pembangunan sistem administrasi negara perlu ikut memberikan kontribusi dalam menyiapkan

konsep reformasi birokrasi khususnya reformasi PNS melalui kajian Grand Design Reformasi PNS.

Kajian ini diharapkan dapat melengkapi kajian-kajian sebelumnya yang telah dilakukan oleh banyak

pihak, baik dari pemerintah maupun pihak lain yang peduli terhadap perbaikan sistem kepegawaian

sipil Indonesia.

Jakarta, Oktober 2010

Deputi

Bidang Kajian Kinerja Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur

Sri Hadiati WK

6

EExxeeccuuttiivvee SSuummmmaarryy

Pelaksanaan reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 sudah berjalan lebih dari

satu dasawarsa lebih. Sudah banyak perubahan yang terjadi termasuk dalam tata kelola

penyelenggaraan pemerintahan. Demokrasi semakin berkembang, masyarakat semakin terlibat dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Praktik demokrasi terlihat dari masyarakat yang sudah diberi

kesempatan secara langsung untuk memilih pemimpinnya, baik ditingkat pusat (pemilihan Presiden

secara langsung) maupun ditingkat daerah (pemilu kada).

Akan tetapi berbeda kondisinya dengan reformasi birokrasi, khususnya reformasi PNS. Terlihat

masih banyak ketinggalan. Banyak gambaran yang diberikan oleh berbagai kalangan yang

menunjukkan bahwa birokrasi atau PNS di Indonesia masih menunjukkan gambaran yang

memprihatinkan. Jumlah PNS yang mencapai sebesar 4.732.472 orang (data per Mei 2010) ternyata

masih menunjukkan kinerja yang lemah. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Meneg. PAN, Taufiq

Effendi bahwa 55% dari total PNS Indonesia yang mencapai sekitar 3,6 juta orang berkinerja buruk

(Kompas, 12 Januari 2007). Gambaran yang sama juga diberikan oleh Setya Budi (2007), yang

menyebutkan bahwa PNS mempunyai tingkat profesionalisme yang rendah, kemampuan pelayanan

yang tidak optimal, rendahnya tingkat reliability, assurance, tangibility, empathy dan responsiveness, tidak memiliki tingkat integritas sebagai pegawai pemerintah sehingga tidak mempunyai daya ikat

emosional dengan instansi dan tugas-tugasnya, tingginya penyalahgunaan wewenang (KKN), tingkat

kesejahteraan yang rendah dan tidak terkait dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan

disiplin pegawai.

Kondisi saat ini masih menunjukkan gambaran yang kurang lebih sama. Sebagaimana

diungkapkan oleh Kepala BKN dalam Seminar Grand Design Reformasi PNS (2010). Bahwa ada

beberapa masalah dalam pengelolaan PNS antara lain : mismatch yang menyebabkan sosok PNS yang

diharapkan tidak sesuai dengan tuntutan kompetensi bidang tugasnya, terjadi under employement di

kalangan PNS karena tidak jelasnya tugas dan kewenangan masing-masing pegawai, alokasi dan

distribusi PNS yang tidak seimbang dan merata baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, rendahnya

tingkat produktivitas atau kinerja PNS, penerapan sistem reward and punishment yang tidak tegas

yang berdampak tidak ada motivasi kerja, masih rendahnya tingkat kesejahteraan pegawai dan

beberapa permasalahan lainnya.

Mengapa kondisi itu terjadi? Kajian Grand Design Reformasi PNS menunjukkan bahwa

penyelesaian masalah tersebut tidak bisa dilakukan secara parsial. Penyelesaian masalah tersebut

harus dilakukan secara gradual, simultan dan komprehensif. Untuk bisa mendukung hal tersebut

maka diperlukan satu grand design yang dilengkapi dengan road map-nya. Tujuan penyusunan grand design reformasi PNS adalah untuk memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi PNS selama

kurun waktu 2010-2025 supaya pelaksanaan reformasi PNS dapat berjalan secara efektif, efisien,

terukur, konsisten, terintegrasi dan berkelanjutan. Grand design reformasi PNS memuat

penyempurnaan dan pembenahan terhadap berbagai perangkat yang terkait dengan pengelolaan PNS,

seperti profil atau sosok PNS yang diinginkan, key success factor yang bisa menjadi kunci sukses

pendorong perubahan, arah kebijakan yang jelas, penguatan posisi kelembagaan yang terkait dengan

7

pengelolaan PNS, serta manajemen PNS yang ideal sehingga bisa mewujudkan tujuan reformasi PNS

dengan baik. Sementara tujuan yang hendak dicapai dengan adanya road map adalah untuk

memberikan arah dan panduan bagi pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS di

kementerian/lembaga dan pemerintah daerah supaya efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi

dan berkelanjutan sehingga tujuan yang ada dalam grand design dapat diwujudkan dengan baik.

Reformasi sistem manajemen PNS paling tidak mencakup empat (4) bidang, yaitu : (1)

konsolidasi struktural yang memiliki empat (4) agenda : penataan ulang kewenangan instansi pusat

dan daerah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS, pembentukan KKS (Komisi

Kepegawaian Sipil), penguatan netralitas PNS, dan revitalisasi unified system untuk pengelolaan PNS

dalam konteks NKRI; (2) Penataan manajemen yang mempunyai sembilan (9) agenda : penyusunan

rencana induk kebutuhan dan pengembangan PNS, perbaikan sistem rekrutmen dan seleksi,

penyusunan sistem karier, pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan, perumusan penilaian

kinerja, penyusunan sistem penggajian, penyesuaian pola perpindahan PNS, penyusunan mekanisme

dan prosedur pemberhentian, dan penyempurnaan sistem pensiun; (3) bidang pengembangan budaya

dan kode etik PNS dengan tujuh (7) agenda : membangun nilai etika, budaya kerja dan kode etik PNS,

penguatan penegakan hukum, pengembangan budaya kerja yang berorientasi pada kinerja dan daya

saing, internalisasi nilai-nilai good governance, penerapan change management dalam proses

reformasi, penerapan local wisdom dalam proses reformasi, dan pengembangan kepemimpinan

aparatur yang efektif; dan (3) bidang penerapan dan pengembangan ICT (information and communication technology) dengan empat (4) agenda : pengembangan pengelolaan kepegawaian

berbasis IT, pembangunan database PNS nasional, pengembangan single identity number, dan

penerapan e-office. Untuk mendukung pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS, Tim menyarankan adanya

reposisi dan penguatan instansi-instansi yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan kepegawaian

(PNS). Instansi yang terlibat dalam pengelolaan PNS adalah : Kementerian Pendayagunaan Aparatur

Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan

Lembaga Administrasi Negara (LAN) serta perlunya pembentukan Komisi Kepegawaian Negara

(KKN) sebagai instansi baru yang independen dan bertugas menjaga profesionalitas PNS tanpa

dibebani kepentingan politis tertentu.

8

DDaaffttaarr IIssii

Hal.

Judul Kajian 1

Sambutan 4

Kata Pengantar 5

Executive Summary 6

Daftar Isi 8

Daftar Tabel 10

Daftar Diagram 11

Bab I Pendahuluan 12

A. Latar Belakang Masalah 12

B. Perumusan Masalah 15

C. Tujuan Kajian 16

D. Hasil yang Diharapkan 16

E. Ruang Lingkup Kajian 16

F. Signifikansi Kajian 16

G. Metode Penelitian 16

Bab II Studi Pustaka dan Studi Empiris 18

A. Konsep Reformasi PNS 18

B. Konsep Kepegawaian di Sektor Publik 23

C. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

25

D. Pengalaman Pelaksanaan Reformasi PNS 31

Bab III Pengelolaan PNS di Indonesia 48

A. Sejarah Pengelolaan PNS 48

B. Permasalahan Internal 66

C. Permasalahan Eksternal 76

Bab IV Grand Design Reformasi Sistem Manajemen PNS di Indonesia 84

A. Tujuan Grand Design 84

B. Profil PNS 84

9

C. Key Success Factor Reformasi PNS 89

D. Arah Penyempurnaan Kebijakan Pengelolaan PNS 94

E. Penguatan dan Reposisi Kelembagaan dalam Pengelolaan

PNS

98

F. Manajemen PNS yang Ideal

99

Bab V Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS di Indonesia 115

A. Pendahuluan 115

B. Tujuan 116

C. Ruang Lingkup 116

D. Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS 117

Bab VI Penutup 120

A. Kesimpulan 120

B. Saran 121

Daftar Bacaan 122

10

DDaaffttaarr TTaabbeell

Hal.

Tabel 2.1 Elemen dari Reformasi Tahap Dasar dan Reformasi Tahap

Lanjut

21

Tabel 2.2 Sistem Karir dan Sistem Posisi 22

Tabel 2.3 Jenis Pekerjaan yang Dikategorikan sebagai Kepegawaian

Negeri : Pengalaman dari 27 Negara-negara Anggota Uni

Eropa

24

Tabel 2.4 Perbedaan antara PNS yang Dipekerjakan dibawah

Undang-Undang Publik dan Pegawai yang Diatur dengan

Kontrak Swasta (Kasus di Jerman)

25

Tabel 3.1 Syarat Pengangkatan dalam Golongan 56

Tabel 5.1 Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS 117

11

DDaaffttaarr DDiiaaggrraamm

Hal.

Diagram 4.1 Mekanisme Perpindahan Pegawai atas Permintaan

Sendiri antar Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota

111

Diagram 4.2 Mekanisme Perpindahan Pegawai atas Penugasan antar

Daerah Kabupaten/Kota

112

Diagram 5.2 Road Map dan Agenda Reformasi Sistem Manajemen

PNS 2010-2025

119

12

BBaabb II

PPeennddaahhuulluuaann

A. Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan reformasi bukan merupakan suatu peristiwa yang baru bagi penyelenggaraan

pemerintahan Indonesia. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru dengan

mengeluarkan deregulasi dan debirokratisasi merupakan salah satu contoh penerapan reformasi

yang terkait dengan pembenahan birokrasi. Namun titik kulminasi wacana reformasi yang

memperoleh perhatian lebih fokus terjadi pada tahun 1998 ketika dampak krisis global melanda

Indonesia. Dimana pada saat itu, semua sistem pemerintahan yang telah disusun dan

diimplementasikan oleh pemerintahan Orde Baru selama lebih dari tiga dasa warsa tidak mampu

mengatasi krisis global yang terjadi di Indonesia.

Kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan mulai luntur dan menginginkan

adanya perubahan sistem manajemen pemerintahan yang baru. Selain itu adanya keinginan untuk

bangkit menjadi salah satu negara besar yang disegani di dunia dengan sejumlah tolok ukur

keberhasilan yang signifikan di aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu

implementasi reformasi yang dilaksanakan adalah di bidang politik yang ditandai dengan

digelarnya PEMILU yang lebih demokratis dan menghasilkan wakil-wakil rakyat (DPR dan

DPRD) yang dipilih secara langsung. Reformasi politik juga ditandai dengan semakin menguatnya

posisi DPR dan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.

Fungsi check and balances dan peran sebagai mitra pemerintah bisa lebih dimaksimalkan oleh

anggota dewan. Hasil reformasi juga terlihat dari diselenggarakannya untuk pertama kalinya

pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Kebebasan rakyat dalam

memberikan aspirasi politik lebih dihargai dan lebih didengar setelah reformasi bergulir.

Selain itu, salah satu kesalahan yang terjadi pada saat pemerintahan Orde Baru adalah

penerapan tata pemerintahan yang sentralistis, dengan sistem penerapan tata pemerintahan yang

desentralistis. Implementasi perubahan ini ditandai dengan dikeluarkannya paket Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang lebih dikenal dengan

paket Undang-Undang Otonomi Daerah. Selanjutnya pada tahun 2004 kedua undang-undang ini

13

diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004. Paket Undang-Undang ini telah memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah

daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri sehingga kemakmuran masyarakat diharapkan

lebih cepat tercapai.

Dampak langsung penerapan manajemen pemerintahan desentralistis adalah terjadinya

sejumlah pemekaran pemerintahan daerah di Indonesia (baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota).

Sampai akhir Desember 2008 telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 Provinsi,

173 Kabupaten dan 35 Kota. Dengan demikian total jumlahnya mencapai 524 daerah otonom yang

terdiri dari 33 Provinsi, 398 Kabupaten dan 93 Kota (www.depdagri.go.id). Semakin bertambahnya

jumlah wilayah administrasi atau daerah otonom tentunya mempunyai dampak yang sangat besar

menyangkut kesiapan sumber daya manusia, sarana prasarana, pembiayaan dan lain sebagainya.

Tetapi yang jelas semangat pemekaran daerah tersebut adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan

dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Implikasi dari penerapan manajemen pemerintahan yang desentralistis adalah kesiapan

sumber daya manusia yang lebih menitikberatkan pada aspek sumber daya manusia aparatur

(PNS). Secara kuantitas jumlah PNS per Mei 2010 sebesar 4.732.472 (www.bkn.go.id) sedangkan

jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus 2010 diperkirakan sebesar 235 juta jiwa, sehingga

perbandingan PNS dengan penduduk adalah 1 : 50. Berdasarkan data secara kuantitas tersebut,

terlihat tidak ada permasalahan namun fakta yang terjadi dilapangan menunjukkan sejumlah

permasalahan dalam pengelolaan PNS di Indonesia. Misalnya, masih rendahnya kinerja PNS

sebagaimana pernah disebutkan oleh mantan Meneg. PAN, Taufiq Effendi. Beliau menyebutkan

bahwa 55% dari total PNS Indonesia yang mencapai sekitar 3,6 juta orang berkinerja buruk

(Kompas, 12 Januari 2007). Kemudian ternyata kondisi ini belum berubah, dalam seminar nasional

”Pencegahan Korupsi melalui Reformasi Birokrasi”, beliau kembali mengungkapkan sejumlah

masalah yang masih melingkupi PNS, yaitu etos kerja yang rendah, kesejahteraan yang rendah

serta penyebaran pegawai yang tidak merata (Kompas, 10 Desember 2007).

Gambaran yang sama juga diberikan oleh Setya Budi (2007), PNS digambarkan mempunyai

tingkat profesionalisme yang rendah, kemampuan pelayanan yang tidak optimal, rendahnya

tingkat reliability, assurance, tangibility, empathy dan responsiveness, tidak memiliki tingkat

integritas sebagai pegawai pemerintah sehingga tidak mempunyai daya ikat emosional dengan

instansi dan tugas-tugasnya, tingginya penyalahgunaan wewenang (KKN), tingkat kesejahteraan

yang rendah dan tidak terkait dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin

pegawai. Begitu banyaknya permasalahan yang melingkupi PNS, maka tidak heran kalau mantan

14

Meneg. PAN, Taufiq Effendi menyebutkan bahwa reformasi birokrasi/PNS di seluruh departemen

dan kementerian baru bisa terwujud pada tahun 2025 (http://web.bisnis.com/, 4 Desember 2008).

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh LAN pada tahun 2005 mengenai Manajemen

PNS yang Efektif berhasil mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam pengelolaan PNS di

Indonesia. Misalnya, rendahnya profesionalisme, tingkat kesejahteraan yang belum memadai,

distribusi dan komposisi yang belum ideal, penempatan dalam jabatan yang belum didasarkan pada

kompetensi, penilaian kinerja yang belum objektif, kenaikan pangkat yang belum didasarkan pada

prestasi kerja, budaya kerja dan ethos kerja yang masih rendah, penerapan peraturan disiplin yang

tidak dilaksanakan secara konsisten serta persoalan-persoalan internal PNS lainnya. Dr. Edy Topo

Ashari, Kepala BKN dalam Seminar Grand Design Reformasi PNS menyebutkan sejumlah

permasalahan yang melingkupi PNS kita, yaitu : mismatch antara PNS yang ada dengan tuntutan

bidang tugasnya, under employement karena belum adanya target atau kontrak kinerja PNS dalam

melaksanakan tugasnya, alokasi dan distribusi PNS yang tidak seimbang terkait kualitas dan

kuantitasnya, rendahnya produktivitas PNS, database yang tidak up to date, belum diterapkannya

kebijakan reward and punishment, rendahnya kesejahteraan dan penghasilan PNS dan formasi

yang belum berbasis kebutuhan riil.

Mencermati kondisi tersebut tidak salah apabila Dr. Ismail Mohamad, Deputi Bidang

Program dan Reformasi Birokrasi, Kementerian PAN dan RB menegaskan bahwa tujuan reformasi

birokrasi adalah membentuk birokrasi yang profesional, dengan karakteristik : adaptif,

berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral,

berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara”. Selain itu beliau

juga menyebutkan bahwa salah satu sasaran utama yang dmasukkan dalam dokumen Arah

Reformasi Birokrasi adalah sumber daya aparatur. Sosok sumber daya aparatur yang diharapkan

adalah yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera

(Seminar Grand Design Reformasi PNS, LAN Jakarta 29 Juli 2010). Sasaran lainnya yang harus juga

dicapai adalah reformasi organisasi, tata laksana, peraturan perundangan, pengawasan,

akuntabilitas, pelayanan publik dan budaya kerja aparatur.

Untuk bisa mewujudkan sosok SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable,

profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera perlu didukung dengan reformasi pada aspek

kelembagaan, ketatalaksanaan, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik serta budaya kerja

aparatur. Karena itu keseluruhan aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mendukung.

Melihat kondisi tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan Reformasi Birokrasi bukanlah

merupakan pekerjaan yang mudah karena berkaitan dengan sejumlah revitalisasi, restrukturisasi

15

dan reorganisasi fungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, serta membutuhkan

anggaran yang tidak sedikit. Dengan demikian reformasi birokrasi memerlukan sejumlah langkah-

langkah secara bertahap, konkrit, realistis, sungguh-sungguh serta upaya yang luar biasa.

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi birokrasi khususnya yang

terkait dengan sistem manajemen SDM aparatur (PNS) menjadi fokus utama, karena pada

aspek inilah banyak sekali perubahan-perubahan yang harus dilakukan. Karena citra

birokrasi suatu negara sepenuhnya ditentukan oleh PNS sebagai pelaksana tugas-tugas

birokrasi pemerintahan. Melihat banyaknya permasalahan yang melingkupi sosok PNS

maka sepanjang belum mampu keluar dari segala permasalahan tersebut maka PNS dalam

derajat tertentu akan memberi beban bagi penyelenggaraan pemerintahan. Kondisi inilah

yang saat ini menjadi tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia. Undang-

Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian belum mampu

mewujudkan sosok PNS yang profesional, sejahtera dan netral. Gagasan terhadap

reformasi sistem manajemen PNS sudah sering dilontarkan dan disusun oleh banyak pakar

dan institusi yang peduli terhadap PNS. Namun upaya tersebut belum sepenuhnya

berhasil karena begitu banyaknya hambatan dan kendala yang bersifat sistemik, saling

terkait. Untuk itu diperlukan grand design dan road map tentang reformasi PNS yang memuat

semua aspek yang dibutuhkan sehubungan dengan reformasi PNS. Grand design reformasi PNS

diharapkan akan menjadi desain besar dalam rangka penyelenggaraan reformasi PNS yang disertai

dengan tahapan dan langkah-langkah strategis melalui road map yang akan disusun nanti. Untuk

itu Lembaga Administrasi Negara melalui Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur perlu

menegaskan kembali komitmennya untuk ikut berperan dalam mendorong terwujudnya reformasi

birokrasi khususnya reformasi PNS di Indonesia melalui dilakukannya kajian Grand Design

Reformasi PNS. Indonesia akan maju jika birokrasinya maju, jika PNS-nya profesional, netral dan

sejahtera.

B. Perumusan Masalah

Melihat begitu kompleksnya permasalahan yang melingkupi pengelolaan PNS di Indonesia

maka sangat perlu untuk menyusun grand design reformasi PNS. Kajian ini berupaya menyusun

grand design yang mampu memberikan pedoman dalam melakukan reformasi PNS sehingga PNS

yang handal, profesional dan beretika dapat diwujudkan. Untuk lebih memfokuskan kajian maka

permasalahan dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana grand design reformasi PNS Indonesia?

2. Bagaimana road map reformasi PNS Indonesia tahun 2010-2025?

16

C. Tujuan Kajian

Tujuan kajian Grand Design Reformasi PNS adalah :

1. Menyusun grand design reformasi PNS Indonesia;

2. Menyusun road map reformasi PNS Indonesia tahun 2010-2025.

D. Hasil yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan dalam pelaksanaan kajian Grand Design Reformasi PNS adalah :

1. Tersusunnya grand design reformasi PNS Indonesia yang memuat semua aspek desain reformasi

PNS yang dibutuhkan;

2. Tersusunnya road map reformasi PNS Indonesia yang berisikan peta kegiatan, tahapan dan

langkah-langkah strategis dalam pelaksanaan reformasi PNS mulai dari tahun 2010-2025.

E. Ruang Lingkup Kajian

Kajian Grand Design Reformasi PNS ini pada intinya akan membahas aspek-aspek yang

terkait dengan grand design reformasi PNS, khususnya tahapan-tahapan dalam sistem manajemen

atau pengelolaan PNS yang mencakup proses rekrutmen sampai pensiun serta mengidentifikasi

peta kegiatan, tahapan dan langkah-langkah strategis dalam pelaksanaan reformasi PNS mulai dari

tahun 2010-2025.

F. Signifikansi Kajian

Kajian ini memiliki nilai strategis dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Reformasi PNS sangat terkait erat dengan upaya reformasi birokrasi secara keseluruhan

yang sudah menjadi tekad pemerintahan Presiden SBY;

2. Reformasi PNS dirasakan belum dilakukan secara serius karena belum adanya arah

kebijakan reformasi PNS sehingga dirasakan perlu disusun grand design reformasi PNS

dengan pendekatan yang komprehensif;

3. Reformasi PNS selain memerlukan grand design sebagai arah kebijakan juga perlu

dilengkapi dengan road map yang memuat : tahapan kegiatan yang harus dilakukan,

jangka waktu pelaksanaannya dan peran masing-masing institusi yang terlibat dalam

pelaksanaan reformasi PNS.

G. Metode Penelitian

Kajian Grand Design Reformasi PNS di Indonesia bersifat deskriptif analitis dengan

pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan ini diharapkan data dan informasi yang diperoleh di

17

lapangan dapat dijelaskan dan diuraikan secara lengkap untuk memperoleh gambaran yang jelas

terkait substansi kajian.

Lokasi penelitian Kajian Grand Design Reformasi PNS di Indonesia ditetapkan dengan

mempertimbangkan karakteristik daerah, keterwakilan menurut lokasi geografis, keberadaan

narasumber yang ditemui serta pertimbangan lain yang dapat mempermudah penggalian data dan

informasi. Kajian Grand Design Reformasi PNS di Indonesia mengambil lokasi di enam (6)

Provinsi, yaitu Provinsi Riau, Daerah Istimewa Jogjakarta, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Nusa

Tenggara Barat dan Bali.

Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam kajian ini terdiri dari :

1. Focus Group Discussion (FGD), dilakukan untuk memperoleh kesepakatan bersama diantara

narasumber yang diundang terkait satu tema kajian. Narasumber/peserta yang dipilih untuk

kegiatan FGD adalah para akademisi dan birokrasi yang memahami mengenai tema-tema yang

dipilih dimasing-masing provinsi.

2. Wawancara mendalam (in-depth interview), wawancara ini dilakukan untuk menggali data

secara mendalam dengan narasumber (key informant) terpilih. Narasumber yang dipilih adalah

para akademisi atau birokrasi yang memahami substansi kajian. Pada prinsipnya wawancara ini

dilakukan untuk memperdalam substansi kajian dari sudut pandang nara sumber.

3. Kajian kepustakaan, kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh data pendukung kajian

melalui telaahan buku, literatur, dokumen, peraturan perundang-undangan serta sumber-

sumber lain yang relevan dengan kajian.

Key informant dan narasumber yang akan ditemui adalah para akademisi di universitas yang

ada dimasing-masing lokasi kajian dan para pejabat pemerintah provinsi yang menguasai substansi

kajian. Data yang diperlukan untuk kajian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer

adalah data dan informasi yang berupa pernyataan para key informant dan narasumber yang

disampaikan dalam proses FGD atau wawancara mendalam. Sementara data sekunder diperoleh

dari proses kajian kepustakaan.

Data dan informasi yang diperoleh tersebut selanjutnya dianalisis dengan pendekatan

deskriptif analisis, yaitu dengan memberikan makna secara analitis dengan mengkaji data dan

informasi hasil dari FGD maupun wawancara mendalam dan teori yang dikembangkan dalam

penelitian. Sedangkan data-data sekunder yang diperoleh dianalisis dan digunakan sebagai data

pendukung. Dalam melakukan analisis ini diperlukan kepekaan peneliti dalam menganalisis suatu

data atau informasi baik yang diperoleh dari key informant maupun hasil pengamatan serta dari

sumber-sumber lain.

18

BBaabb IIII

SSttuuddii PPuussttaakkaa ddaann SSttuuddii EEmmppiirriiss

A. Konsep Reformasi PNS

Untuk mendapatkan pemahaman yang jelas tentang konsep reformasi PNS dan

netralitas PNS, berikut ini disajikan ulasan terkait kedua konsep tersebut.

1. Reformasi PNS dan Modernisasi PNS

Istilah reformasi maupun modernisasi adalah dua (2) istilah yang kerap kali

dipertukarkan dan pada saat yang bersamaan dibedakan satu dengan lainnya. Namun

apakah kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sama? Menurut Cambridge Advanced Learner‟s Dictionary, reformasi atau reformation yang berasal dari kata kerja

reform adalah perbaikan atau perkembangan (kearah yang lebih baik) khususnya

perubahan perilaku seseorang atau struktur dari sesuatu (University, 2005).

Sedangkan yang dimaksud dengan modernisasi yang berasal dari kata modern, yaitu

pembuatan dan perancangan sesuatu dengan menggunakan pemikiran dan metode terbaru

(University, 2005). Dengan demikian, dalam pengertian ini reformasi biasanya terkait

dengan aspek politis selain administratif dalam arti luas karena menyangkut perubahan

sosial baik politik, sosial maupun ekonomi, terutama yang menyangkut reformasi dalam

bidang administrasi negara. Sedangkan modernisasi lebih kepada tindakan teknokratis

stratejik.

Demmke, Henökl dan Moilanen (2008) menyebutkan bahwa di semua model

reformasi manajemen sumber daya manusia di sektor publik kebanyakan bersifat politis,

judisial dan ekonomis (atau gabungan dari semuanya). Kombinasi dari kepentingan

politik, tekanan ekonomi, dan kesan yang buruk akan pelayanan publik serta reformasi

yang tergesa-gesa. Artinya, bahwa reformasi di bidang MSDM tidak selalu mengikuti

model teoritis dan tidak didasarkan pada perhitungan rasional dan fakta yang sebenarnya.

Seringkali hal ini terlihat sebagai keinginan untuk membuat administrasi yang baru dan

lebih baik sebagai suatu inspirasi, kepercayaan dan budaya dan bukan sebagai kebutuhan

nyata untuk reformasi. Misalnya keinginan untuk perubahan, fleksibilitas, kreativitas dan

kinerja tidak benar-benar menggambarkan tentang dampak dan hasil.

19

Lebih lanjut Demmke, Henökl dan Moilanen (2008) menyatakan bahwa seringkali

inisiasi untuk melakukan reformasi di bidang HRM tentang bagaimana meningkatkan

kinerja individu, tidak benar-benar memperhatikan bahwa sesungguhnya kinerja individu

tersebut telah baik. Bahkan cenderung mengabaikan kepuasan kerja dari PNS itu sendiri,

kinerja PNS bahkan dikaitkan dengan kondisi penggajian yang rendah. Seperti yang

dikatakan Algore (1993, dalam Demmke, Henökl dan Moilanen (2008)) bahwa

permasalahan mendasar dari sektor publik adalah sistemnya dan bukan PNS-nya.

OECD dalam kajiannya di tahun 2008 menyebutkan bahwa modernisasi manajemen

sumber daya merupakan produk utama dari setengah abad yang lalu, yang terkait dengan

makalah seorang profesor dari MIT, Douglas McGreggor dalam “The Human Side of the Enterprise”. Ide utamanya adalah orang akan bekerja lebih baik dan berkontribusi jika

dimotivasi, dibandingkan jika hanya diperintah.

Jin Park (2010), seorang profesor dari KDI School, Seoul, Korea Selatan dalam

tulisannya Public Sector Reform menyebutkan bahwa tujuan pelaksanaan reformasi di

sektor publik khususnya di Korea Selatan adalah to achieve a small and efficient, but better-servicing, government. Target pertama adalah untuk melakukan downsizing

birokrasi terkait dengan anggaran, pegawai dan fungsinya. Target kedua adalah

meningkatkan kemampuan pegawainya dan kemampuan formulasi kebijakan yang efektif.

Target ketiga adalah meningkatkan pelayanan dan kebijakan masyarakat. Dari tulisan

tersebut dapat disimpulkan bahwa langkah pertama dalam reformasi birokrasi di sektor

publik adalah melakukan perubahan struktur birokrasinya.

Terkait dengan reformasi PNS, Manning dan Parison (2003) menyebutkan bahwa

ada empat (4) area perencanaan reformasi kelembagaan sektor publik dan kebijakan

publik, yaitu perencanaan pembiayaan publik, manajemen SDM dan kepegawaian negeri,

struktur organisasi eksekutif, serta beban kebijakan dan peranan yang dibawakan oleh

pemerintah. Mengenai reformasi manajemen SDM dan kepegawaian negeri, Manning dan

Parison (2003) menyebutkan reformasi ini meliputi karir PNS, penentuan batas aktivitas

yang dapat dilakukan oleh pribadi seorang PNS, insentif bagi kegiatan dan penentuan

tentang bagaimana seorang PNS direkrut.

Reformasi, khususnya di sektor publik termasuk didalamnya reformasi Manajemen

PNS dilakukan melalui dua (2) tahap, yaitu reformasi dasar (basic reform) dan reformasi

tahap lanjut (advanced reforms), seperti yang disebutkan oleh Manning dan Parison

(2003). Tahapan reformasi dasar bermaksud untuk mencapai atau memperkuat disiplin

sektor publik, sedangkan reformasi tahap lanjut menyangkut pemantapan perilaku disiplin

dari PNS dan budaya organisasi yang kuat.

20

Reformasi PNS tahap dasar meliputi meningkatkan keberlangsungan kerja,

memperkuat perlindungan terhadap pengaruh politis, membuat aturan hukum bagi CPNS

dengan pengaturan umum tentang syarat dan waktu. Reformasi ini berakibat pada insentif

bagi PNS termasuk didalamnya standardisasi bagi pengajuan promosi dan penghargaan,

mendorong karir jangka panjang dalam kepegawaian negeri, membentuk sistem PNS

tertutup (Manning dan Parison, 2003).

Reformasi PNS tahap lanjut meliputi keadaan yang merupakan kebalikan daripada

kegiatan yang dilakukan pada reformasi tahap awal. Misalnya didalam manajemen karir,

pengurangan masa kerja (tenure) dan membuat syarat dan pengaturan waktu yang

mendekati dengan pengaturan yang terdapat pada sektor swasta. Kemudian juga,

pemisahan dan diversifikasi dalam penggajian juga dilakukan, selain itu target kinerja juga

semakin ditingkatkan yang mendorong insentif bagi individu meskipun penerapan

tunjangan kinerja mengundang pro dan kontra dalam penerapannya. Selain itu, juga

dilakukan rekrutmen secara terbuka untuk semua posisi dan jabatan PNS (Manning dan

Parison, 2003).

21

Tabel 2.1

Elemen dari Reformasi Tahap Dasar dan Reformasi Tahap Lanjut

Reformasi tahap

dasar dimaksudkan

untuk mencapai atau

memperkuat disiplin

sektor publik

Reformasi tahap

lanjut

Reformasi

Manajemen PNS

Manajemen Karir

Memperkuat

keberlangsungan

kerja dan

perlindungan thd

intervensi politik.

Pengurangan masa

kerja (tenure).

Kesatuan PNS

Menciptakan

pengaturan umum

bagi CPNS dengan

syarat dan waktu

tertentu.

Pemisahan dan

diversifikasi sistem

penggajian.

Insentif individu

Mekanisme

pengajuan

standardisasi

promosi dan

penghargaan.

Target kinerja

tahunan.

Keterbukaan

Mendukung

pengembangan karir

dengan sistem

tertutup.

Perubahan

menuju position based system

(sistem

manajemen PNS

terbuka).

Sumber: Manning dan Parison (2003)

Dengan demikian, reformasi manajemen PNS meliputi dua tahap, yaitu : tahap awal

atas dasar yang lebih ditujukan untuk memperkuat disiplin PNS dan kestabilan sistem

PNS. Dan tahap lanjut yang lebih kepada perubahan yang mendekati sistem manajemen

SDM yang dilakukan oleh sektor swasta.

2. Sistem Karir vs Sistem Posisi

Reformasi dan modernisasi PNS dan manajemen SDM pada umum masih berkutat

pada pertanyaan tentang perlukah merubah sistem manajemen SDM dari sistem tertutup

menuju terbuka atau kebalikannya.

22

Tabel 2.2

Sistem Karir dan Sistem Posisi

Sistem Karir Sistem Posisi

I. Persyaratan untuk

masuk sebagai PNS

1. Rekrutmen hanya

untuk mengisi posisi

awal sebagai PNS;

1. Rekrutmen untuk

posisi manajemen

tengah;

2. Jenjang pendidikan

khusus untuk

mengisi posisi

terntentu;

2. Tidak dibutuhkan

jenjang pendidikan ttt,

tapi keahlian khusus

utk mengisi suatu

jabatan;

3. Diklat dan masa

percobaan pada

tahap awal karir;

3. Tidak diperlukan diklat

atau masa percobaan

diawal karir;

II. Pengembangan karir 4. Sistem promosi; 4. Tidak ada sistem

promosi;

III. Kepegawaian 5. Pekerjaan seumur

hidup;

5. Berdasarkan kontrak

seperti pada sektor

swasta;

IV. Sistem Remunerasi

6. Berdasarkan skema

yang ditetapkan

undang-undang;

6. Persetujuan kolektif

atau bersifat individual

V. Sistem Pensiun

7. Berdasarkan skema

yang ditetapkan

undang-undang;

7. Persetujuan kolektif;

VI. Kebijakan ketenaga

kerjaan

8. Kebijakan khusus

yang mengatur

tentang partisipasi

dalam organisasi

atau serikat pekerja

yang terkait dengan

pembuatan

kebijakan tentang

kondisi kerja PNS;

8. Kondisi kerja PNS

dibentuk berdasarkan

negosiasi antara

otoritas PNS dengan

serikat pekerja PNS

dalam suatu

kesepakatan kolektif.

Status keikutsertaan

dalam serikat pekerja

sama dengan yang ada

di sektor swasta;

Sumber : Auer, Demmke & Polet, 1996

23

OECD (2005) dalam Demmke, Hammerschmid dan Meyer (2007) membuat

karakteristik dari kedua sistem tersebut sebagai berikut :

1. Sistem karir, dengan ciri dengan jenjang karir PNS yang panjang, kemudian

kekhususan dalam rekrutmen, penekanan yang kuat pada pengembangan karir yang

didasarkan pada senioritas dan perbedaan yang kontras antara kepegawaian dalam

sektor publik dan sektor swasta;

2. Sistem posisi, dengan ciri dengan fokus kepada seleksi untuk mengisi jabatan pada tiap

posisi, akses yang lebih terbuka dan tingginya mobilitas antara pegawai di sektor publik

dengan swasta.

B. Konsep Kepegawaian di Sektor Publik

Istilah kepegawaian dalam sektor publik sangat beragam baik dari definisi maupun

komposisi dan jenisnya. Kepegawaian di sektor publik meliputi pegawai negeri sipil,

militer, kepolisian, diplomat, guru, profesor pada universitas, pegawai pada badan usaha

milik negara, pegawai pada badan usaha milik daerah dan lain sebagainya. Selain itu

statusnya pun beragam, dari pegawai tetap, pegawai kontrak langsung kepada pihak

pertama dalam hal ini institusi publik dan pegawai outsourching melalui pihak ketiga

yang terlibat kontrak dengan pihak pertama (institusi publik).

Namun ternyata, definisi dan kategori tentang kepegawaian di sektor publik sangat

beragam, namun ada persamaan dan perbedaan diantaranya. Untuk memudahkan

perbedaan, kepegawaian sektor publik dibagi atas kepegawaian negeri (civil service) dan

kepegawaian publik (public employee).

Secara traditional perbedaan antara PNS dengan pegawai sektor publik lainnya dapat

dilihat dari prosedur rekrutmen, pengembangan karir, sistem penggajian, kemanfaatan

jaminan sosial. Dengan berdasarkan pada kriteria-kriteria tersebut, maka secara

tradisional, perbedaannya jelas antara satu dengan lainnya (OECD, 2008).

Untuk dapat melihat dan membedakan antara PNS dengan pegawai sektor publik

serta pegawai lainnya, Bank Dunia telah membuat beberapa kriteria (dalam Demmke dan

Moilanen, 2010), yaitu:

1. PNS ditunjuk dengan keputusan dari otorisasi institusi publik yang berdasarkan pada

hukum tentang PNS. Keputusan yang dibuat oleh institusi negara itu harus didasarkan

dengan ketentuan dalam memperkerjakan PNS;

2. Sekali diangkat, maka seorang PNS akan sulit untuk diberhentikan (jaminan keamanan

pekerjaan atau keberlangsungan pekerjaan yang tinggi);

3. Banyak pembatasan yang dikenakan kepada PNS dibandingkan dengan pegawai lainnya

terkait dengan aktivitas yang dilakukannya;

24

4. Status PNS biasanya berada dalam lingkup PNS pusat atau nasional atau PNS daerah

(terkait dengan wilayah kerja seorang PNS, apakah PNS pusat atau daerah).

Demmke dan Moilanen (2010) mengatakan bahwa di semua negara anggota Uni

Eropa, PNS dipekerjakan berdasarkan pada undang-undang tentang PNS kecuali untuk

Republik Ceska, Swedia dan Inggris. Di ketiga negara ini tidak mempunyai undang-

undang yang secara khusus mengatur tentang PNS. PNS di Swedia berstatus bukan sebagai

PNS tetapi sebagai pegawai sektor publik, sehingga diatur dengan undang-undang sektor

publik. Sedangkan di Republik Ceska tidak ada pegawai publik yang dikategorikan sebagai

„PNS‟ tetapi hanya sebagai pegawai sektor publik dan pegawai publik yang bekerja pada

pemerintahan daerah (Demmke dan Moilanen, 2010).

Tabel di bawah ini akan menggambarkan dengan lebih jelas jenis pekerjaan apa saja

yang masuk dalam kategori “PNS dan bukan PNS”:

Tabel 2.3

Jenis Pekerjaan yang Dikategorikan sebagai Kepegawaian Negeri:

Pengalaman dari 27 Negara-negara Anggota Uni Eropa

(Frekuensi dalam tanda kurung)

Sektor

Administrasi

(kepegawaian)

Kepegawaian

negeri Pusat

Kepegawaian

Negeri Khusus

Non

Kepegawaian

Negeri

Total

PNS Pemerintah

Pusat 100 (27) 0 (0) 0 (0) 100 (27)

Lembaga-

lembaga

pemerintahan

85 (22) 0 (0) 15 (4) 100 (27)

Fungsi

diplomatik 59 (16) 41 (11) 0 (0) 100 (27)

Fungsi yudisial 48 (13) 33 (9) 19 (5) 100 (27)

Kepolisian 41 (11) 44 (12) 15 (4) 100 (27)

Militer 37 (10) 37 (10) 26 (7) 100 (27)

Pendidikan 19 (5) 30 (8) 52 (14) 100 (27)

Universitas 19 (5) 26 (7) 56 (16) 100 (27)

Rumah Sakit 19 (5) 26 (7) 56 (15) 100 (27)

Sumber : Demmke & Moilanen, 2010

25

Tabel 2.4

Perbedaan Antara PNS yang diperkerjakan dibawah Undang-Undang Publik dan Pegawai yang

diatur dengan Kontrak Swasta

(Kasus di Jerman)

PNS Pegawai Publik Lainnya

Undang-undang publik (Undang-undang PNS) Hukum Perdata (Privat)

Dimasukan dalam Lembar Negara (Ernnung

durch Hoenitsakt) Undang-undang tenaga kerja umum

Regulasi melalui undang-undang Regulasi melalui kontrak

Keharusan untuk memberikan pelayan

(„Obligation to care‟ Principle /

Alimentationsprinzip)

Prinsip saling memberikan keuntungan

(Mutual Exchange Principle /

Gegenleistungsprinzip)

Tidak mempuyai hak untuk melakukan mogok

kerja Hak untuk melakukan mogok kerja

Loyalitas dan netralitas Tidak ada ketentuan khusus

Pekerjaan seumur hidup Berdasarkan kontrak

Sistem karir Sistem Posisi

Skema pensiun khusus Skema pensiun umum

Sumber : Auer, Demmke & Polet, 1996

C. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) / Rencana Pembangunan Jangka

Panjang (RPJP) Berdasarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini, tantangan yang dihadapi dalam 20 tahunan

mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dan

amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945, maka Visi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 adalah : Indonesia yang mandiri, maju,

adil dan makmur.

Dengan penjelasan sebagai berikut : (1) Mandiri, bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu

mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju dengan

mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri; (2) Maju, suatu bangsa dikatakan makin

maju apabila sumber daya manusianya memiliki kepribadian bangsa, berakhlak mulia, dan

berkualitas pendidikan yang tinggi, (3) Adil, sedangkan bangsa adil berarti tidak ada diskriminasi

dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender, maupun wilayah, (4) Makmur, kemudian

26

bangsa yang makmur adalah bangsa yang sudah terpenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, sehingga

dapat memberikan makna dan arti penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia.

Untuk mewujudkan visi tersebut ada delapan (8) Misi Pembangunan Nasional adalah sebagai

berikut :

1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab

berdasarkan falsafah Pancasila, adalah memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui

pendidikan yang bertujuan membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa,

mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan antar umat beragama,

melaksanakan interaksi antarbudaya, mengembangkan modal sosial, menerapkan nilai-nilai

luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam rangka

memantapkan landasan spiritual, moral dan etika pembangunan bangsa.

2. Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing adalah mengedepankan pembangunan sumber daya

manusia berkualitas dan berdaya saing; meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan iptek

melalui penelitian; pengembangan dan penerapan menuju inovasi secara berkelanjutan;

membangun infrastruktur yang maju serta reformasi di bidang hukum dan aparatur negara; dan

memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan setiap wilayah menuju keunggulan

kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan termasuk

pelayanan jasa dalam negeri.

3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum adalah memantapkan kelembagaan

demokrasi yang lebih kokoh; memperkuat peran masyarakat sipil; memperkuat kualitas

desentralisasi dan otonomi daerah; menjamin pengembangan media dan kebebasan media

dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat; dan melakukan pembenahan struktur

hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen,

tidak diskriminatif, dan memihak rakyat kecil.

4. Mewujudkan Indonesia aman, damai dan bersatu adalah membangun kekuatan TNI hingga

melampaui kekuatan esensial minimum serta disegani di kawasan regional dan internasional;

memantapkan kemampuan dan meningkatkan profesionalisme Polri agar mampu melindungi

dan mengayomi masyarakat; mencegah tindak kejahatan dan menuntaskan tindakan

kriminalitas; membangun kapabilitas lembaga intelijen dan kontra-intelijen negara dalam

penciptaan keamanan nasional; serta meningkatkan kesiapan komponen cadangan, komponen

pendukung pertahanan dan kontribusi industri pertahanan nasional dalam sistem pertahanan

semesta.

5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan adalah meningkatkan pembangunan

daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat,

kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan

pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap berbagai

pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi; serta menghilangkan diskriminasi dalam

berbagai aspek termasuk gender.

27

6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari adalah memperbaiki pengelolaan pelaksanaan

pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaaatan, keberlanjutan,

keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga

fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan,

melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk pemukiman, kegiatan sosial

ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan

lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan

lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan; memberikan keindahan dan

kenyamanan kehidupan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman

hayati sebagai modal dasar pembangunan.

7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan

kepentingan nasional adalah menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah

agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya

manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan

kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan

pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.

8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional adalah

memantapkan diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional;

melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi

internasional dan regional; dan mendorong kerja sama internasional, regional dan bilateral

antar masyarakat, antar kelompok, serta antarlembaga di berbagai bidang.

Strategi untuk melaksanakan Visi dan Misi tersebut dijabarkan secara bertahap dalam

periode lima tahunan atau RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Masing-masing

tahap mempunyai skala prioritas dan strategi pembangunan yang merupakan kesinambungan dari

skala prioritas dan strategi pembangunan pada periode-periode sebelumnya. Tahapan skala

prioritas utama dan strategi RPJM secara ringkas adalah sebagai berikut :

1. RPJM ke-1 (2005–2009) diarahkan untuk menata kembali dan membangun Indonesia di segala

bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan

demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat.

2. RPJM ke-2 (2010–2014) ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di

segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya saing perekonomian.

3. RPJM ke-3 (2015–2019) ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh

di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian

berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta

kemampuan iptek yang terus meningkat.

28

4. RPJM ke-4 (2020–2025) ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri,

maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan

menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan

kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing.

1. Identifikasi Permasalahan

Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah

reformasi belum dilaksanakan secara sistematis dan komprehensif. Sehingga harapan untuk

dapat meningkatkan kinerja dan citra birokrasi sebagaimana dituntut masyarakat belum

mampu diwujudkan. Hal ini ditandai dengan masih adanya praktek-praktek penyalahgunaan

kewenangan, dan masih belum sinerginya berbagai peraturan perundangan dalam rangka

pelaksanaan penyelenggaraan negara. Permasalahan dan tantangan yang telah teridentifikasi

sesuai dengan draft RPJMN 2010-2014 meliputi :

1. Reformasi birokrasi dan pembangunan aparatur di Indonesia belum terkonsilidasi secara

baik, sebagaimana ditunjukan oleh variabilitas kinerja yang sangat tinggi antar sektor,

departemen/lembaga dan daerah,

2. Pelayanan publik yang terjangkau, efisien, berkualitas, berkeadilan, dan mampu menjawab

kebutuhan warga dan masyarakat masih lebih menjadi harapan daripada kenyataan,

3. Proliferasi birokrasi terjadi secara multi dimensional dan cenderung sulit dikendalikan,

4. Upaya mempercepat peningkatan profesionalisme aparatur negara masih mengalami banyak

kendala terutama dengan meningkatnya politisasi birokrasi, etnosentrisme di daerah,

hubungan kekerabatan, dan primordialisme dalam birokrasi pemerintah,

5. Perbaikan sistem akuntabilitas birokrasi dan aparaturnya masih mengalami banyak kendala,

terkait dengan ketidakjelasan ukuran kinerja, metoda penilaian, pembagian peran antar

lembaga pengawasan, dan fungsi pengawasan itu sendiri,

6. Percepatan sistem perencanaan dan penganggaran terutama di daerah yang masih perlu

dilakukan secara terus menerus.

Permasalahan tersebut diatas dapat terjadi karena adanya berbagai faktor, baik

yang bersifat internal maupun eksternal pemerintahan. Faktor internal seperti

demokrasi, desentralisasi dan birokrasi sendiri yang berdampak kepada kompleksitas

permasalahan dimaksud. Sedangkan dari faktor eksternal, adalah perkembangan

teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat, dan pengaruh globalisasi

yang masih berdampak kuat dalam mencari alternatif solusi dan kebijakan dibidang

aparatur negara.

29

2. Arah Pembangunan Jangka Menengah Ke-2 (2010-2014)

Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-1, RPJM ke-2

ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan

menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan

kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian.

Kondisi aman dan damai di berbagai daerah Indonesia terus membaik dengan meningkatnya

kemampuan dasar pertahanan dan keamanan negara yang ditandai dengan peningkatan

kemampuan postur dan struktur pertahanan negara serta peningkatan kemampuan lembaga

keamanan negara.

Kondisi itu sejalan dengan meningkatnya kesadaran dan penegakan hukum, tercapainya

konsolidasi penegakan supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia, serta kelanjutan

penataan sistem hukum nasional. Sejalan dengan itu, kehidupan bangsa yang lebih demokratis

semakin terwujud ditandai dengan membaiknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah

serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan bangsa. Posisi penting

Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar makin meningkat dengan keberhasilan

diplomasi di forum internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas

wilayah dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional. Selanjutnya, kualitas pelayanan

publik yang lebih murah, cepat, transparan, dan akuntabel makin meningkat yang ditandai

dengan terpenuhinya standar pelayanan minimum di semua tingkatan pemerintah.

Dalam RPJMN ke-2 ini ditetapkan 11 Prioritas Nasional + 3 Prioritas Nasional Lainnya.

Didalam 11 Prioritas Nasional RPJMN 2010-2014 tersebut yang berhubungan langsung dengan

Tata Kelola Kepemerintahan yaitu pada Prioritas Nasional 1, yaitu Reformasi Birokrasi dan Tata

Kelola. Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan tatanan pengelolaan manajemen yang

ditandai dengan penerapan prinsip-prinsip tertentu, antara lain : keterbukaan, akuntabilitas,

efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan, dan partisipasi. Penerapan tata kelola

pemerintahan yang baik secara konsisten dan berkelanjutan oleh sebuah negara mempunyai

peranan yang sangat penting bagi tercapainya sasaran pembangunan nasional, dan dapat

menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi secara efektif dan efisien. Terbangunnya tata

kelola pemerintahan yang baik dalam manajemen pemerintahan akan tercermin dari

berkurangnya tingkat korupsi, makin banyaknya keberhasilan pembangunan di berbagai

bidang, dan terbentuknya birokrasi pemerintahan yang profesional dan berkinerja tinggi.

Oleh karena itu, guna mewujudkan visi pembangunan nasional berupa kesejahteraan,

masyarakat, demokrasi dan keadilan, tata kelola pemerintahan yang baik dalam manajemen

30

pemerintahan harus dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Penerapan tata kelola

pemerintah yang baik tersebut harus dilakukan pada seluruh aspek manajemen

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan

pengendaliannya. Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik diharapkan terwujud dalam

pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, pelayanan publik yang berkualitas, serta kapasitas

dan akuntabilitas kinerja bikrokrasi yang tinggi. Ketiganya merupakan prasyarat keberhasilan

pembangunan. Tanpa pemerintahan yang bersih akan sulit dicapai pengelolaan sumber daya

pembangunan secara akuntabel, yang akan berakibat langsung pada menurunnya kualitas

pelayanan publik, serta menghilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Melalui penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, keadilan dan kepentingan

masyarakat luas dapat dijaga, martabat dan integritas bangsa di mata dunia ditingkatkan, dan

akhirnya makin meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara pemerintahan dan

pembangunan. Pelayanan publik juga merupakan hal yang penting karena kewajiban utama

pemerintah di setiap negara adalah memberikan pelayanan yang berkualitas kepada

masyarakatnya agar dapat hidup lebih aman, nyaman dan sejahtera. Kewajiban ini harus

dipenuhi oleh pemerintah karena rakyat, sebagai pemegang kedaulatan, telah memberikan

kewenangannya kepada pemerintah untuk menguasai dan mengolah sumber daya

pembangunan. Berbagai bentuk pelayanan publik diperlukan oleh masyarakat untuk

memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, untuk meningkatkan kesejahteraannya dan untuk

mengekspresikan dirinya secara maksimal.

Pelayanan publik yang baik juga memfasilitasi dunia usaha nasional, sehingga dapat ikut

memacu peningkatan kapasitas perekonomian nasional. Hal itu semua hanya dapat dicapai

dengan adanya kinerja birokrasi yang efektif. Birokrasi yang efektif bertujuan untuk

memastikan tercapainya tujuan utama dari kebijakan publik dan pembangunan nasional, yaitu

kesejahteraan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan. Birokrasi yang efisien bertujuan

untuk mengurangi pemborosan sumber-sumber daya negara dan agar sumber-sumber daya

negara dimanfaatkan secara optimal dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional.

Sementara itu, birokrasi yang akuntabel memastikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan

dan pembangunan nasional dapat dipertanggungjawabkan dari sisi akuntabilitas kinerjanya

kepada publik secara luas.

Tema pada prioritas 1 ini adalah pemantapan tata kelola pemerintahan yang lebih baik

melalui terobosan kinerja secara terpadu, penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum yang

berwibawa dan transparan. Peningkatan kualitas pelayanan publik yang ditopang oleh efisiensi

31

struktur pemerintah di pusat dan di daerah, kapasitas pegawai pemerintah yang memadai dan

data kependudukan yang baik.

Salah satu program unggulan dalam tema prioritas ini adalah Sumber Daya Manusia,

yaitu Penyempurnaan pengelolaan PNS yang meliputi sistem rekrutmen, pendidikan,

penempatan, promosi dan mutasi PNS secara terpusat yang diharapkan selesai pada tahun 2011

dengan rencana aksi kegiatan meliputi :

1. Penyusunan kebijakan perencanaan SDM aparatur.

Dengan sasaran : (1) tersusunnya kebijakan (PP) sistem pengadaan/rekruitmen dan seleksi

PNS; (2) tersusunnya kebijakan (PP) tentang kebutuhan pegawai (formasi).

2. Pengembangan kebijakan pemantapan pengembangan SDM aparatur.

Dengan sasaran : (1) tersusunnya kebijakan tentang manajemen kepegawaian (UU tentang

SDM Aparatur Negara); (2) tersusunnya kebijakan tentang pola dasar karir PNS; (3)

tersusunnya kebijakan tentang penilaian kinerja pegawai (SKP); (4) tersusunnya kebijakan

tentang penilaian, pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan

struktural; (5) tersusunnya kebijakan diklat jabatan PNS; (6) tersusunnya kebijakan tentang

pengangkatan PNS dalam jabatan struktural.

3. Pengembangan kebijakan kesejahteraan SDM Aparatur.

Dengan sasaran : (1) tersusunnya kebijakan (UU/PP) tentang remunerasi dan tunjangan

kinerja Pegawai Negeri; (2) tersusunnya kebijakan sistem pensiun PNS; (3) tersusunnya

kebijakan tentang sistem pengelolaan dana pensiun PNS.

D. Pengalaman Pelaksanaan Reformasi PNS

Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan sebagai bahan

perbandingan, maka kajian ini juga menyajikan pengalaman dari beberapa negara selain

pengalaman dari dalam negeri termasuk pada pemerintahan daerah dalam mengelola

kepegawaiannya dan upaya refomasi dalam pengelolaan kepegawaian yang sudah

mereka lakukan. Hal ini bisa diambil sebagai pelajaran mengenai kelemahan, kelebihan

dan tantangan yang dapat dijadikan masukan dan perhatian dalam pembuatan grand design manajamen PNS di Indonesia.

Hasil studi ini diperlukan sebagai masukan, perhatian dan pelajaran bagi

Indonesia dalam penyusunan Grand Design Reformasi PNS sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan Indonesia dan bukan dimaksudkan untuk meniru secara mutlak apa yang

telah dilakukan oleh negara lain tanpa adanya penyesuaian dengan kondisi asli

32

Indonesia. Data dan informasi terkait reformasi di Korea Selatan dan Thailand

merupakan hasil kajian Blue Print Reformasi Birokrasi yang dilakukan oleh Lembaga

Administrasi Negara pada tahun 2004. Sementara pengalaman reformasi dari Inggris

dan Amerika Serikat diperoleh melalui wawancara dengan narasumber oleh Tim

kajian. Pengalaman dari dalam negeri diambil dari Kementerian Keuangan dan

Pemerintah Provinsi Gorontalo. Data dan informasi dari Kementerian Keuangan

diperoleh dari buku Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan. Sementara data dan

informasi dari Pemerintah Provinsi Gorontalo diperoleh dari buku karya Dr. Fadel

Muhamad, Gubernur Gorontalo yang menceritakan pengalam beliau sebagai Gubernur

Gorontalo dengan berbagai inovasi, masalah serta keberhasilannya. Dalam sub bab ini

juga disajikan tentang hasil kajian terbaru (2010) mengenai kecenderungan dan hasil

reformasi kepegawaian negeri di 27 negara anggota Uni Eropa yang dilakukan oleh

Christoph Demmke dari European Institute of Public Administration (EIPA) dan Timo

Moilanen dari Universitas Helsinki.

1. Pengalaman negara lain

Beberapa negara yang dijadikan sumber referensi dalam kajian ini adalah

Republik Korea Selatan, Thailand, Inggris dan Amerika Serikat. Keempat negara ini

memiliki keunikan baik dalam bentuk negara seperti kerajaan untuk Thailand dan

Inggris yang juga menjadi negara kesatuan, negara federal untuk Amerika Serikat dan

bentuk negara kesatuan yang bukan kerajaan seperti Republik Korea Selatan.

a. Pengalaman Republik Korea Selatan Republik Korea adalah salah satu contoh negara Asia yang berhasil melakukan

reformasi birokrasi dengan meletakkan dasar-dasar kebijakan yang cukup kokoh. Hal ini

terbukti dari relatif pesatnya perkembangan kehidupan ekonomi Korea dan berkurangnya

secara signifikan tingkat korupsi di pemerintahan dalam dekade terakhir.

Beberapa kebijakan dasar yang dilakukan oleh Civil Service Commission untuk

mendukung reformasi pegawai negeri ini adalah :

1. Membangun Konsolidasi Otoritas Kepegawaian yang Terpusat (Establishment of the Central Personnel Authority) Civil Service Commission mengembangkan kebijakan-kebijakan kepegawaian yang

strategis, membangun sistem penilaian kinerja, merekrut bakat-bakat inti (core talents),

memberikan kesempatan pendidikan dan pelatihan, dan menggali ukuran-ukuran

reformatif lainnya untuk memperbaiki sistem manajemen modal manusia pemerintah.

33

Disamping itu, manajemen pegawai negeri senior akan disentralisasikan kepada Civil

Service Commission, sedangkan manajemen pegawai negeri level menengah dan bawah

didesentralisasikan kepada masing-masing instansi pemerintah.

Civil Service Commission juga menyediakan bimbingan dan dukungan yang terus

diperbaiki bagi setiap instansi pemerintah dengan terus menerus mengkaji dan

memberikan saran mengenai praktek-praktek manajemen sumber daya manusia. Selain

itu, Civil Service Commission juga memonitor kemajuan reformasi pegawai negeri dan

memastikan praktik-praktik kepegawaian berjalan secara adil di setiap instansi

pemerintah dalam rangka melindungi sistem merit.

2. Pengelolaan Database Sumber Daya Manusia bagi Pelayanan Publik (Management of HR Database for Public Service)

Pengelolaan database sumber daya manusia bagi pelayanan publik ini dibentuk untuk

mengumpulkan dan menyimpan data kepegawaian dari berbagai level dan bidang

keahlian yang nantinya dapat digunakan. Formulir untuk registrasi database ini

dikirimkan kepada perorangan dan organisasi yang terpilih. Database ini menawarkan

informasi yang akurat dan objektif tentang kecocokan calon untuk jabatan-jabatan publik

kepada otoritas yang berhak mengangkat dalam pembuatan keputusan pengangkatan

political appointee, jabatan terbuka, dan kepala badan yang berafiliasi pada pemerintah.

3. Pengembangan Metode Rekrutmen yang Beragam dan Terbuka (Development of Diverse and Open Recrutment Method)

Pengembangan metode rekrutmen ini dimaksudkan untuk menarik individu-individu

yang berbakat dan memiliki kompetensi dari berbagai latar belakang untuk masuk

menjadi pegawai negeri sehingga diharapkan dapat memperbaiki kualitas pelayanan

publik. Dalam hubungan ini ditempuh kebijakan-kebijakan :

a. Memperkenalkan metode rekrutmen yang fleksibel dan beragam untuk memenuhi

tuntutan perubahan dalam pelayanan umum. Metode seleksi yang selama ini

digunakan secara bertahap akan diganti dengan Public Service Aptitute Test (PSAT)

yang dapat menilai secara lebih baik sikap dan kecerdasan seseorang.

b. Memperluas sistem jabatan terbuka. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menarik

individu yang memiliki bakat-bakat inti (core talents) dari sektor swasta ke sektor

publik.

c. Memajukan program pertukaran personil antar kementerian, pemerintah pusat dan

daerah, serta sektor publik dan sektor swasta. Sejak 2004 mulai diperkenalkan

program pertukaran Direktur Jenderal antar kementerian, dan terdapat 80 orang staf

34

dari pemerintah pusat dan daerah ikut serta dalam program ini untuk 40 jabatan serta

terdapat 22 staf dari 13 kementerian yang bekerja di perusahaan-perusahaan swasta

sejak Juli 2004.

d. Memperluas program job posting. Job posting merupakan sistem rekrutmen yang

kompetitif dalam pegawai negeri untuk mengisi jabatan-jabatan kosong baik di dalam

mapun di luar kementerian. Jumlah kementerian yang ikut dalam job posting ini

mengalami peningkatan dari 4 kementerian pada tahun 2001 menjadi 29 kementerian

pada tahun 2003, sedangkan jumlah pekerjaan yang diisi mengalami peningkatan

tajam dari 5 (2001) menjadi 234 (2003).

e. Inovasi Sistem Pendidikan dan Pelatihan (Innovation of Training and Development System). Program-program pendidikan dan pelatihan didisain secara beragam,

memiliki standar yang tinggi, self-motivated dan sesuai kebutuhan. Untuk itu, Civil Service Commission menetapkan kebijakan pendidikan dan pelatihan, menjalan

program-program pelatihan inti, memberikan dukungan serta memonitor pelatihan-

pelatihan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi pemerintah. Masing-masing

instansi pemerintah bertanggung-jawab atas disain program pelatihan dasar dan

khusus untuk masing-masing stafnya.

f. Memajukan Keterwakilan dalam Pegawai Negeri (Promotion of Representativeness within the Civil Service). Melalui kebijakan ini, Pemerintah Korea berusaha

meningkatkan keterwakilan kelompok minoritas dalam pegawai negeri seperti

perempuan, orang cacat, ilmuwan, insinyur dan mereka yang berasal dari luar kota

Metropolitan Seoul. Kebijakan ini dapat meningkatkan nilai-nilai demokrasi dalam

pegawai negeri Republik Korea. Untuk meningkatkan porsi perempuan ini, kepada

perempuan diberikan ujian rekrutmen khusus dan tunjangan-tunjangan yang menarik

termasuk cuti untuk merawat anak (childcare leave).

g. Pembentukan Pegawai Negeri Senior (Inauguration of the Senior Civil Service).

Keseluruhan kapasitas dan kinerja pemerintahan akan didorong oleh pemeliharaan

dan penempatan pegawai negeri senior yang kompeten di seluruh jenjang

pemerintahan. Pegawai negeri senior merujuk pada Sekretaris Jenderal dan Direktur

Jenderal dari instansi pemerintah pusat yang memiliki keahlian manajerial dan

kepemimpinan yang luar biasa.

Dibandingkan sistem hierarki yang berdasarkan senioritas tradisional, pegawai negeri

senior sekarang ini dikelola melalui sistem grade yang baru yang ditentukan oleh

tingkat kesulitan pekerjaan. Pada masa lalu, gaji, tunjangan dan bonus pegawai negeri

senior ditentukan oleh pangkat dan masa kerja, sekarang ini pegawai negeri senior

dibayar sesuai dengan tingkat kesulitan pekerjaan dan kinerja.

Dibentuknya pegawai negeri senior ini – mulai tahun 2006 – akan diberlakukan secara

bertahap setelah dilakukan analisa jabatan (job analysis) secara cermat pada jabatan-

35

jabatan senior yang utama di lingkungan instansi pemerintah pusat serta berdasarkan

pertimbangan pendapat publik dan revisi peraturan perundang-undangan.

h. Pembentukan Manajemen Kinerja dan Sistem Penilaian (Establishment of Performance Management and Appraisal System). Secara umum kebijakan ini

dimaksudkan untuk mengaitkan antara kinerja dan reward sehingga pegawai negeri

menjadi lebih termotivasi untuk bekerja lebih giat. Untuk itu, langkah-langkah yang

ditempuh adalah : (a) membangun manajemen kinerja dan sistem penilaian yaitu

dengan menciptakan indeks pengukuran kinerja dan sistem mengikuti jejak kinerja

(performance tracking system); (b) menerapkan sistem manajemen kinerja untuk

grade 4 ke atas; (c) memperbaiki sistem penilaian untuk grade 5 ke bawah yaitu

dengan memisahkan evaluasi bagi kinerja, kompetensi dan perilaku individual; dan

(d) meningkatkan sistem penilaian yang menggunakan 360 derajat.

i. Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia Secara Elektronik dalam Pemerintahan

(Application of e-HRM in the Government). Personnel Policy Support System (PPSS)

menawarkan manajemen sumber daya manusia secara elektronik bagi pegawai negeri

dan setiap instansi pemerintah. Semua fungsi kepegawaian mulai dari rekrutmen

sampai pensiun dapat dikelola oleh PPSS ini secara transparan dan efisien. Melalui e-

HRM ini, dapat tersedia statistik dan analisa data dari manajemen sumber daya

manusia secara lebih terintegrasi.

j. Perencanaan Perbaikan Kondisi Kerja (Planning of Improved Working Conditions).

Untuk menciptakan kondisi kerja yang lebih menyenangkan, dilakukan

keseimbangan level gaji antara sektor publik dan sektor swasta, mengaitkan antara

tingkat kesulitan pekerjaan dengan kinerja, dan menyediakan berbagai jenis

kesejahteraan. Sehubungan dengan ini, Pemerintah Korea melakukan langkah-

langkah : (a) menetapkan perencanaan bagi sistem gaji yang seimbang antara sektor

publik dan sektor swasta dan sistem gaji yang objektif dan rasional; (b) reorganisasi

sistem gaji yang ditentukan oleh tingkat kesulitan pekerjaan dan kinerja.

Untuk itu, ditetapkan : sistem pembayaran kinerja bagi Direktur Jenderal dan jabatan

yang lebih tinggi, yang sejalan dengan pembentukan pegawai negeri senior; (b) sistem

gaji yang berdasarkan kinerja diperluas bagi Direktur Divisi dan jabatan-jabatan

penelitian; proporsi gaji yang terkait dengan kinerja secara bertahap akan

ditingkatkan; dan (c) Mengimplementasikan berbagai program tunjangan untuk

mempertinggi motivasi dan semangat pegawai negeri seperti rencana tunjangan

kafetaria, program subsidi waktu luang, dan program-program kesejahteraan lainnya.

36

Kesimpulan dan Analisis

Reformasi kepegawaian negeri di Republik Korea Selatan dilakukan melalui

serangkaian kebijakan yang dibuat oleh CSC;

Profesionalisme pengelolaan kepegawaian negeri dalam CSC mencegah

politisasi PNS;

Kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan secara simultan dan sistematis;

Keinginan politik yang kuat dan komitmen yang tinggi menjadi kunci

keberhasilan suatu upaya reformasi;

Penerapan sistem kompetisi dalam proses rekrutmen, pengisian posisi stratejik

dalam suatu sistem kepegawaian negeri yang terbuka;

Penerapan sentralisasi otorisasi kepegawaian negeri yang bersamaan dengan

desentralisasi pengelolaan manajemen kepegawaian untuk pegawai negeri level

menengah dan bawah.

b. Pengalaman Thailand Pengalaman reformasi pengelolaan manajemen PNS di Thailand dapat ditinjau dari

kepegawaian negeri di Thailand dan reformasi kepegawaian negeri di Thailand. Thailand

memiliki kondisi yang kurang lebih sama dengan Indonesia setelah keduanya mengalami

krisis keuangan pada tahun 1998 dan kemudian bangkit untuk mengatasi krisis ekonomi dan

memacu pertumbuhan ekonominya.

Konflik politik dan sosial yang terjadi di Thailand juga terjadi di Indonesia, tentunya

dengan latar belakang dan kompleksitas yang berbeda. Dengan demikian, pengalaman

Thailand dipandang perlu untuk dijadikan bahan refleksi dan pembelajaran dalam

mereformasi kepegawaian negerinya bagi Indonesia.

Reformasi kepegawaian di Thailand terkait dengan program reformasi sektor publik

yang dilakukan sejak tahun 1997-2001 yang dipicu oleh krisis moneter yang terjadi pada

waktu tersebut. Reformasi pada sistem kepegawaian ini lebih banyak dilakukan oleh CSC

(Civil Service Commission). Perubahan yang dilakukan dalam sistem administrasi

kepegawaian diawali dari rekrutmen sampai dengan pegawai pensiun.

Peranan pegawai negeri dan pejabat politik didefinisi ulang dan gaji akan berdasar

pada performance dengan memperhatikan sektor privat. Disiplin ditegakkan namun

diimbangi dengan penerapan reward and punishment. Dengan kata lain melalui pendekatan

37

sistem manajemen pegawai yang baru organisasi akan ramping dengan pegawai yang

berkualitas, disiplin, akuntabel, netral dari unsur politik, dengan diberikan gaji yang

kompetitif dengan sektor privat.

Perubahan-perubahan strategi SDM meliputi, klasifikasi, kompensasi, rightsizing

(jumlah dan kualitas), rekruitmen dan seleksi, jenis pegawai, sistem evaluasi kinerja untuk

kenaikan gaji, sistem penilaian kinerja untuk promosi, pengembangan dan pelatihan.

1. Strategi SDM yang terintegrasi yang meliputi : struktur organisasi, budaya organisasi,

perencanaan pegawai dan pemanfaatannya, sistem informasi SDM, pelatihan bagi

pegawai, manajemen kinerja, kondisi pekerjaan, dan kualitas hidup. Semuanya

terintegrasi dan menjadi acuan bagi pelaksanaan reformasi selanjutnya.

2. Perubahan klasifikasi. Saat ini klasifikasi pegawai negeri di Thailand terdiri dari 6 cluster

dan 11 level. Pada cluster pertama (terendah) yaitu untuk tingkat umum terdiri dari level

1-3/4; level 2-4/5, dan level 3-5/6. sedangkan pada cluster kedua sampai keenam masing-

masing adalah level 7, 8,9,10, dan 11.

3. Dalam dua tahun kedepan pengclusteran ini akan diubah menjadi 4 cluster dimana

cluster general terdiri dari 4 level, cluster akademik/riset terdiri dari 5 level, cluster

manajemen terdiri dari 2 level dan cluster eksekutif terdiri dari 2 level. Masing-masing

mempunyai pay scale yang berbeda dan perpindahan ke cluster yang lebih tinggi

berdasarkan pada komptensi, kinerja, klasifikasi, dan tingkat akademik.

4. Perubahan sistem penggajian. Struktur penggajian di Thailand berdasarkan pada kinerja

pegawai dan terdiri dari gaji pokok; tunjangan jabatan (dua pertiga dari gaji pokok);

tunjangan kesejahteraan yang terdiri dari perumahan, kesehatan, transport, perjalanan,

dan pendidikan; dan bonus yang sudah masuk dalam anggaran.

5. Rightsizing. Kebijakan yang dipakai dalam program ini adalah ramping, pengurangan

biaya personel, pengurangan jumlah pegawai (meminimalisir redundancy), peningkatan

efisiensi. Sedangkan dalam pelaksanaannya adalah tidak lagi membentuk lembaga baru

atau penambahan posisi yang berdampak pada biaya personel, minus growth dalam arti

pensiun 80% diganti hanya 20%, memberikan insentif pada kementerian/departemen

yang berhasil mengurangi jumlah posisi/jabatan, perpindahan pegawai dari pusat ke

daerah, mendesain dan menerapkan program pensiun dini, fokus pada peningkatan

efisiensi dan kompensasi.

6. Rekruitmen dan Seleksi. Dalam program ini telah diterapkan kebijakan baru, yaitu

berdasarkan pada sistem merit dan kompetensi, pelaksanaan ujian yang kompetitif

dengan 3 tahap, penggunaan e-administration untuk rekrutmen dan ujian/test, diberikan

pula beasiswa untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi bagi yang terpilih,

sistem rekrutmen secara terbuka sehingga membuka peluang untuk mendapatkan

kandidat terbaik.

38

7. Disamping status pegawai negeri maka dibuka jenis kepegawaian yang baru, yaitu

pegawai kontrak dan pegawai temporer/bulanan.

8. Penilaian kinerja pegawai dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Untuk peningkatan gaji, dilakukan oleh pimpinan, sebanyak 2 kali dalam setahun,

faktor yang dinilai meliputi output dan karakteristik. Output terdiri dari kualitas,

kuantitas, hasil, dan waktu yang dipergunakan. Sedangkan karakteristik meliputi

kemampuan, disiplin, tanggung jawab, dan ketekunan.

b. Untuk promosi, dilakukan oleh pimpinan, faktor yang dinilai : pengetahuan terkait

dengan pekerjaan, kemampuan, keahlian khusus, sikap dan tingkah laku, potensialitas,

pengalaman. Untuk jabatan tinggi, yaitu senior officer sampai dengan kepala divisi ada

tambahan evaluator, yaitu melalui komisi departemen, sedangkan deputi direktur ke

atas harus melalui komisi menteri. Disamping itu ada seleksi tertulis yang meliputi

visi, research paper, dan test tertulis lainnya.

9. Pelatihan dan pengembangan. Dalam era reformasi ini diperkenalkan program fast track, yaitu program pengembangan bagi pegawai muda yang sangat potensial dan berkinerja

bagus untuk ditempatkan di departemen tertentu. Program ini mendorong fleksibilitas

dalam penerapan peraturan yang ada. Disamping itu dikembangkan pula program

”change agent” dimana dari seluruh pegawai negeri yang ada dipilih + 60 orang pertahun

untuk dilatih dan ditempatkan di departemen berbeda untuk menjadi pemimpin dan

fasilitator perubahan. Diharapkan orang-orang inilah yang nantinya menjadi motor

reformasi dan mendorong kinerja serta produktivitas pemerintah.

Kesimpulan dan Analisis

PNS di Thailand dibagi dalam 11 level dan pengelompokan PNS ini juga dibagi

dalam 4 kelompok jenis pekerjaan;

Reformasi kepegawaian negeri di Thailand merupakan bagian dari reformasi

sektor publik yang telah dimulai sejak 1997 sejak terjadinya krisis moneter di

Thailand;

Reformasi PNS di Thailand terintegrasi dalam hal kelembagaan dengan instansi

lain yang terlibat dalam reformasi sektor publik; Ada pembagian pekerjaan yang

jelas antara instansi yang bertanggungjawab dalam reformasi sektor publik sebagai

suatu sistem;

Strategi manajemen SDM di Thailand meliputi 8 (delapan) hal, yaitu strategi

yang terintegrasi, perubahan klasifikasi pekerjaan dan tingkat pekerjaan,

perubahan sistem penggajian, kebijakan right sizing, rekrutmen dan seleksi,

pembukaan jenis pegawai baru : kontrak dan pegawai bulanan, penilaian kinerja,

kebijakan promosi, dan pelatihan dan pengembangan.

39

Hasil reformasi ini belum memperlihatkan dampaknya apakah berhasil

merubahan kondisi yang kepada keadaan yang lebih baik atau tidak? Tidak ada

data yang menggambarkan tentang hasil reformasi ini.

c. Pengalaman Inggris Professor Gavin Drewry dari University of London dan Claire Cameron (Public

Administration Institute-Inggris) yang ditermui pada saat IAS-IASIA Conference, Bali 12-15

Juli 2010 mengatakan bahawa pengelolaan PNS di Inggris sepenuhnya dilakukan oleh Civil

Service Comission (CSC). CSC menjadi superior body untuk pengelolaan PNS, sebagaimana

halnya KPK dalam penanganan korupsi. CSC beranggotakan paling banyak 10 orang.

Organisasi ini bersifat independen. Agar menjadi independen maka harus tegas dan jelas

masa kerjanya. Anggotanya bisa berasal dari berbagai bidang (manajemen, hukum, ekonomi,

dan sebagainya), berasal dari berbagai latar belakang (profesional, akademisi, birokrasi,

parlemen dan sebagainya), mereka harus profesional, bersih dan paham mengenai masalah

kepegawaian.

CSC (Civil Service Commission) dibentuk di Inggris bertujuan supaya bisa memilih

ataupun memperoleh PNS yang profesional bebas dari intervensi politis. Di Inggris juga

terjadi intervensi politis karena adanya spoil system dalam pengelolaan kepegawaiannya.

Faktor strong leadership memegang peran yang sangat besar dalam upaya mewujudkan

birokrasi yang profesional. Reformasi kepegawaian negeri di Inggris dimulai dalam

pemerintahan Perdana Menteri Margaret Thatcher. Melalui kepimpinan yang kuat,

diletakkan berbagai pondasi dalam perwujudan profesionalisme PNS.

Di Inggris, pegawai pemerintah disebut dengan Queen Servant (pelayan ratu). Ada

dua (2) jalur untuk menjadi queen servant, yaitu melalui pemilihan (elected) dengan

menjadi pejabat politis (parlemen/DPR), atau melalui jalur karier dengan menjadi PNS (civil

servant). PNS dibagi dalam tiga level, yaitu top manager (senior), middle manager dan lower

manager. Di Inggris ada PNS pusat dan PNS daerah (local). Ada juga pegawai yang bekerja

untuk pemerintah tetapi tidak berstatus PNS. Pengelolaan PNS pusat dan PNS daerah

berbeda. Guru di Inggris bukan PNS, mereka diangkat oleh pemerintah daerah.

40

Kesimpulan dan Analisis

Kepemimpinan yang kuat dan komitmen secara nasional menjadi kunci reformasi

PNS di Inggris yang dimulai pada masa pemerintahan Thatcher;

Praktik spoil system dalam kepegawaian di Inggris merupakan pemicu gerakan

reformasi kepegawaian negeri;

Status pegawai yang bekerja pada bidang pemerintahan di Inggris tidak semuanya

berstatus PNS;

Peranan CSC di Inggris sangat dominan di dalam pengelolaan PNS, kedudukan

yang independen menjaganya tetap netral dari politisasi terhadap birokrasi;

Profesional CSC juga digambarkan dengan komposisi orang yang duduk dalam

CSC juga berlatar belakang profesional dari semua latar belakang profesi yang

mengerti mengenai kepegawaian;

Ketegasan dan kejelasan tugas CSC memperkuat peranannya dalam pengelolaan

PNS di Inggris yang professional.

d. Pengalaman Amerika Serikat Meredith A. Newman, Presiden American Society for Public Administration (ASPA)

yang ditemui pada saat IAS-IASIA Conference di Bali, Juli 2010, mengatakan bahwa dalam

pelaksanaan reformasi birokrasi di Amerika Serikat dilakukan oleh pucuk pimpinan, yaitu

Presiden Obama yang didukung sepenuhnya oleh parlemen. Tindakan yang dilakukan oleh

Presiden Obama adalah melakukan sejumlah implementasi kebijakan seperti penerapan

New Public Service yang merupakan pengembangan dari public service (dilakukan pada

jaman John F. Kennedy).

Hal ini merupakan salah satu perwujudan dari janji kampanye presiden Obama untuk

melakukan reformasi di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources

Management). Untuk melaksanakan hal ini maka presiden membentuk komite Manajemen

Sumber Daya Manusia merupakan organisasi non-profit.

Komite ini dipimpin oleh John Barry yang merupakan pejabat setingkat menteri dan

diangkat langsung oleh presiden. Komite ini melakukan kerjasama dengan sejumlah

kementerian dan akademisi untuk melakukan reformasi terhadap pedelition service system.

Reformasi yang akan dilakukan pada saat sekarang tentunya berbeda dengan reformasi yang

sudah dilakukan 60 tahun yang lalu yang menghasilkan suatu revolusi industri yang mampu

meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

41

Terdapat enam (6) aspek yang dilakukan oleh Amerika dalam melaksanakan reformasi

PNS antara lain: rekruitmen, reformasi di sistem pembayaran (paid system reform) yang

didalamnya memfokuskan pembayaran berdasarkan kinerja, performance management,

training in development, manajemen hubungan pegawai (labour management relation) dan

insourcing (pegawai melakukan kontrak kerja dengan pemerintah). Pelaksanaan reformasi

PNS yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada dasarnya adalah pengembangan dan

perbaikan terhadap manajemen sumber daya manusia. Begitu pula pelaksanaan reformasi

terhadap pelayanan publik juga sejalan dengan pengembangan ilmu administrasi publik.

Pelaksanaan reformasi PNS yang akan dilakukan di Indonesia dapat juga

menggabungkan sejumlah aspek yang telah dilaksanakan oleh Amerika Serikat. Usulan yang

diajukan dalam pelaksanaan reformasi PNS antara lain : reformasi di sistem pembayaran gaji.

Besaran pembayaran harus mengikuti sistem pasar yang berlaku di perusahaan besar.

Langkah berikutnya adalah melakukan rekrutmen terhadap sejumlah pegawai muda

yang profesional, energik untuk melamar menjadi PNS dengan tawaran untuk diberikan

sistem pembayaran (paid system) sesuai dengan perusahaan besar. Sehingga akan

menumbuhkan minat bagi anak-anak muda profesional untuk menjadi PNS.

Dukungan dari politisi untuk pelaksanaan reformasi PNS sangat dibutuhkan, selain itu

pula perlu diperkuat dengan peningkatan nilai, moral dan etika kepada PNS untuk

mencegah terjadinya tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Pegawai dalam melaksanakan pekerjaan pada saat sekarang sesuai dengan job

description yang sudah disepakatinya, namun dalam melakukan reformasi PNS tidak hanya

sebatas melakukan apa yang diuraikan dalam uraian pekerjaan tetapi harus melakukan lebih

dari itu, sehingga inovasi serta terobosan-terobosan baru dalam melaksanakan pekerjaannya.

Aspek insiatif pegawai memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan

pekerjaaanya.

Pimpinan harus memiliki sikap afektif (memiliki sifat empati) bukan efektif, dengan

demikian pelaksanaan reformasi PNS diharapkan akan berjalan dengan penuh perasaan

untuk dilaksanakan secara benar. (Pengalaman pelaksanaan reformasi di Latvia).

Peningkatan kompetensi di lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan, hal ini sangat

berkaitan erat dengan akuntabilitas pelaksanaan pekerjaan dengan kompetensi yang dimiliki

oleh pegawai. Harus adanya kesesuaian antara pendidikan yang dimiliki oleh PNS dengan

42

pekerjaan yang dilakukannya, sehingga akuntabilitas dari hasil pekerjaan dapat

dipertanggungjawabkan

Harus ditanamkan sifat pekerjaan dilakukan secara gotong royong (team work) bukan

sifatnya individu, hal ini disebabkan sifat pekerjaan yang harus diselesaikan membutuhkan

sejumlah keterampilan (skill) yang beragam dan tentunya dimiliki oleh sejumlah pegawai.

e. Hasil Studi Empiris tentang Reformasi PNS sebagai Studi Perbandingan Dalam makalahnya Geoffrey Shepherd (2003) menjelaskan tentang model universal

dari reformasi PNS di negara-negara berkembang bahwa sistem patronase sekarang ini

seharusnya bukanlah suatu kejahatan yang universal. Sistem ini dapat juga mempunyai

keuntungan yang bekerja dengan kondisi tertentu. Selain itu, reformasi hanya bermanfaat

ketika digerakan oleh kekuatan eksternal yang sangat berpengaruh. Namun reformasi PNS

dilakukan dibawah tradisi politik dan cara yang berbeda di negara yang berbeda. Meskipun

menuju ke arah yang sama dengan model kelembagaan yang mirip merit system.

Lebih lanjut Shepherd mengatakan bahwa tidak ada reformasi yang dilakukan secara

instant. Hukum mungkin dapat ditulis dengan cepat, tetapi perubahan dapat berlangsung

selama berpuluh-puluh tahun untuk dapat menjadi kurang lebih sama diantara kelembagaan

eksekutif. Kecenderungan menuju PNS yang profesional dengan merit system juga

dimaksudkan untuk pengembangan PNS sebagai kelembagaan sektor publik yang

berpengaruh dan kelompok kepentingannya sendiri.

Shepherd juga mengatakan bahwa reformasi sistem merit, sementara waktu

dipandang dapat menyelesaikan masalah, namun juga menciptakan masalah baru dalam

penerapannya di negara berkembang. Seperti pertentangan antara penerapan „sistem merit„

yang menuntut managemen yang „tidak flesibel‟, dan di sisi lain prinsip manajerialis yang

menuntut fleksibelitas yang tinggi, yang sering membuka upaya „politisasi‟ yang besar.

Dalam seminar tentang hasil studi yang dilakukan oleh Christoph Demmke dan Timo

Moilanen tentang “Civil Services in The EU of 27: Reform Outcomes and the future of the

Civil Service Outcomes of A Comparative Survey” menunjukkan hasil reformasi dan trend

di semua anggota Uni Eropa yaitu terdapat proses debirokratisasi yang luas diantara negara

anggota Uni Eropa dan reformasi struktur organisasi yang lebih ramping, yang meliputi :

43

1. Reformasi struktur organisasi karir;

2. Desentralisasi kewenangan kepegawaian kepada manajer lini;

3. Meningkatnya diskresi kewenangan kepada manajer lini;

4. Flesibilitas dalam hal prosedur rekrutmen, pengembangan karir dan keberlangsungan

kerja.

Selain itu adanya pertautan antara kondisi kerja PNS dengan pegawai sektor publik

lainnya dan dengan pegawai swasta. Kemudian juga kebijakan reformasi yang baru seperti

penyederhanaan hambatan administratif. Serta adanya peningkatan mobilitas PNS, seperti:

1. Mobilitas organisasional seperti pengurangan dan mengabaikan pola karir yang kaku dan

bersifat hierarkis (meningkatnya mobilitas PNS). Hal ini terjadi karena tanggungjawab

dan pekerjaan dari PNS juga didelegasikan kepada pegawai sektor publik lainnya;

2. Mobilitas PNS : mendorong kesukarelaan dan keharusan mobilitas pekerjaan;

3. Mobilitas public-private : mendorong mobilitas antara sektor publik dan sektor swasta.

Lebih lanjut, studi ini juga menemukan adanya perubahan dari kepegawaian negeri

yang tradisional menuju kepegawaian negeri yang terbuka dan fleksibel seperti tidak adanya

rekrutmen tertutup untuk semua posisi kepegawaian negeri, terbukanya peluang untuk

melakukan outsourcing (waktu sementara) bagi pengisian jabatan manajer tingkat

menengah dan tinggi, pengakuan pengalaman kerja di sektor swasta ke dalam penjumlahan

masa kerja, pengembangan karir dan penghitungan pensiun.

Kecenderungan lainnya yang ditangkap dari studi ini adalah juga tentang jaminan

keberlangsungan pekerjaan bahwa pada hakikatya jaminan keberlangsungan pekerjaan PNS

masih ada, kemudian masa kerja seumur hidup secara perlahan akan menghilang serta

semakin banyak alasan untuk memberhentikan PNS.

Selain itu, studi ini juga menemukan semakin menjauhnya praktik birokrasi

tradisional, kemudian juga tidak adanya model yang seragam dalam reformasi PNS di

negara-negara Uni Eropa, Negara-negara Uni Eropa menunjukkan prioritas dan jalur

reformasi yang berbede-beda dan reformasi yang baru tidak serta-merta menghasilkan hasil

yang lebih baik.

Sebagai gambaran tentang masa depan kepegawaian negeri, studi ini menemukan

bahawa makin banyak yang anti birokrasi, tetapi tidak ada model reformansi PNS yang

secara universal dapat diterima. Tetapi, beberapa karakteristik birokrasi tradisional

(Weberian Model) tetap ada. Namun, semakin berkurangnya PNS (dalam artian PNS

tradisional), semakin berkurangnya kondisi kerja PNS yang spesifik, semakin rampingnya

44

struktur organisasi (jenjang karir semakin memudahkan PNS). Kemudian juga semakin

kaburnya batasan antara PNS dengan pegawai sektor publik lainnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa telah

jauh meninggalkan struktur organisasi kepegawaian negeri yang hierarkis, lebih bersifat

terbuka dan fleksibel. Namun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa sistem baru lebih

baik, karena reformasi menghasilkan 2 (dua) sisi, yaitu sisi positif dan sisi buruk. New public

management, tidak menghasilkan hasil reformasi yang diinginkan. Beberapa karakteristik

dari birokrasi tradisional masih ada. Trend saat ini menggulirkan pertanyaan tentang

kebutuhan sistem kepegawaian negeri yang khusus.

2. Pengalaman dalam Negeri (Kementerian Keuangan dan Provinsi Gorontalo)

Sebagai gambaran tentang upaya reformasi kepegawaian negeri yang telah

dilakukan saat ini, kajian ini mengambil contoh pengalaman reformasi kepegawaian

yang sudah dilakukan di Kementerian Keuangan pada instansi pemerintah pusat dan

Provinsi Gorontalo pada instansi pemerintah daerah.

a. Kementerian Keuangan

Kementerian Keuangan merupakan salah satu instansi pusat yang menjadi pilot project reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan

dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007.

Dalam surat keputusan tersebut dijelaskan bahwa program reformasi birokrasi

meliputi 3 (tiga) bidang utama, yaitu : (1) penataan organisasi, (2) penyempurnaan

proses bisnis, dan (3) peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Reformasi bidang kepegawaian atau SDM di Kementerian Keuangan dilakukan

dengan melakukan perubahan mindset atau cara pandang. Pegawai atau SDM

dipandang sebagai asset yang sangat penting dan memegang peranan strategis dalam

pelaksanaan reformasi sehingga perlu dikelola dengan baik. Pengelolaan SDM

mencakup peningkatan kualitas atau kompetensi, penempatan SDM yang kompeten

pada tempat dan waktu yang sesuai, sistem pola karier yang jelas dan terukur,

pengelolaan SDM berbasis kompetensi, serta keakuratan dan kecepatan penyajian

informasi SDM sesuai kebutuhan.

Program peningkatan manajemen SDM terdiri dari penyelenggaraan diklat

berbasis kompetensi, pembangunan assessment center, penyusunan pola mutasi,

peningkatan disiplin dan pengintegrasian sistem informasi pegawai (SIMPEG).

45

Diklat berbasis kompetensi dilakukan dengan tujuan supaya kompetensi yang

terbentuk sesuai dengan tuntutan jabatan/pekerjaan. Tuntutan ini didahului dengan

dilakukannya penyusunan standar kompetensi jabatan untuk seluruh jabatan eselon

II dan sebagian eselon III yang strategis. Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan

assessment center untuk melihat profil kompetensi pejabat eselon II dan III. Apabila

dilihat ada kesenjangan (gap) antara standar kompetensi yang dipersyaratkan dengan

kompetensi yang dimiliki pejabat maka dilakukan upaya peningkatan kompetensi

melalui diklat berbasis kompetensi.

Pola mutasi juga diperbaiki untuk menjamin objektivitas dan transparansi

dalam perpindahan karier pegawai. Pola mutasi terdiri dari 3 (tiga) pola, yaitu : (1)

perpindahan jabatan vertikal (promosi), (2) perpindahan jabatan horisontal

(perpindahan jabatan struktural dalam eselon yang sama dan/atau perpindahan

jabatan fungsional dalam tingkat yang sama pada unit yang berbeda), (3)

perpindahan jabatan diagonal (perpindahan jabatan struktural kedalam jabatan

fungsional dan sebaliknya).

Pola mutasi jabatan didasarkan pada aspek : persyaratan administrasi sesuai

peraturan, unsur prestasi kerja, jangka waktu menduduki jabatan dan lokasi unit

kerjanya, peringkat jabatan, hukuman/sanksi yang pernah diterima, persyaratan

khusus untuk jabatan. Sementara untuk penegakan disiplin dikeluarkan berbagai

kebijakan teknis oleh Menteri Keuangan. Misalnya Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 29/PMK.01/2007 yang mewajibkan setiap unit eselon I menyusun kode etik

PNS sesuai karakteristik masing-masing unit. Kode etik ini menuntun pegawai

dalam bersikap dan berperilaku, dan apabila melanggar maka akan dikenakan sanksi

moral. Dengan berbagai program tersebut diharapkan kedepan SDM Kementerian

Keuangan dapat menjadi sosok yang profesional dan bertanggung jawab.

Kesimpulan dan Analisis

Adanya mandat sebagai pilot project reformasi birokrasi, kepemimpinan yang

kuat dari pimpinan puncak Kementerian Keuangan, mendukung pelaksanaan

reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan;

Pembuatan SOP (standard operating procedures) pada setiap proses bisnis yang

dilakukan telah menyediakan standardisasi bagi kegiatan yang dilakukan;

Reformasi kepegawaian yang dilakukan di Kementerian Keuangan merupakan

bagian yang integral dari reformasi birokrasi yang dilakukan secara internal;

46

Reformasi birokrasi di bidang kepegawaian terutama yang terkait dengan

perubahan mindset dari pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan;

Reformasi teknis dalam pengelolaan kepegawaian mencakup penerapan

tunjangan kinerja (remunerasi), bidang pendidikan dan pelatihan serta kebijakan

mutasi pegawai.

b. Propinsi Gorontalo

Upaya reformasi bidang SDM aparatur di Propinsi Gorontalo lebih kepada

upaya perubahan budaya kerja birokrasi yang sesuai dengan penerapan prinsip New Public Management yang dipraktikkan oleh Kepala Daerah Provinsi Gorontalo pada

saat Fadel Muhammad menjabat sebagai Gubernur. Selain itu, upaya penerapan

manajemen kinerja bagi PNS di lingkungan pemerintah Provinsi Gorontalo juga

menjadi andalan dibidang reformasi kepegawaian di provinsi tersebut.

Kepemimpinan yang kuat dan inovatif menjadi kunci reformasi bidang

pemerintahan di Gorontalo, termasuk didalamnya reformasi bidang SDM aparatur.

Lebih lanjut, upaya penerapan manajemen kinerja di Provinsi Gorontalo

didasarkan pada asumsi bahwa untuk meningkatkan kinerja harus dibedakan

terlebih dahulu menjadi kinerja aksi dan kinerja hasil. Hal ini disebabkan karena

faktor-faktor yang mempengaruhinya berbeda-beda sehingga diperlukan perlakuan

atau kebijakan yang berbeda untuk meningkatkannya. Sebagai contoh, untuk

meningkatkan kinerja aksi maka yang harus dilakukan adalah mengembangkan

kualitas manajer dan sistem manajemen organisasi pemerintah daerah.

Pengembangannya sendiri difokuskan pada kapasitas manajemen dibidang

keuangan, sumber daya manusia dan teknologi informasi (IT). Kemudian upaya

peningkatan kinerja pemerintah daerah tidak cukup dilakukan hanya dengan

membenahi kapasitas manajemen kewirausahaan saja, tetapi harus secara simultan

mempersiapkan budaya organisasi yang mendukungnya, yaitu dengan

menghadirkan national culture dan development culture.

Kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa pengembangan kapasitas

manajemen kewirausahaan merupakan prasyarat untuk meningkatkan kinerja

pemerintah daerah. Untuk mengimplementasikan tujuan tersebut, maka dibuat

agenda reformasi pemerintahan daerah di Gorontalo yang meliputi 7 (tujuh) agenda

dan diantaranya adalah mengenai agenda bagi reformasi kepegawaian seperti

melakukan refomasi birokrasi pemerintah daerah.

Reformasi ini terkait dengan upaya pengembangan kapasitas manajemen

organisasi dan personel serta membangun budaya organisasi birokrasi pemerintah

47

daerah yang berwatak kewirausahaan. Upaya yang dilakukan adalah dengan

memberikan insentif melalui tunjangan kinerja daerah yang bertujuan untuk

meningkatkan motivasi pegawai dengan menilai dan menghargai prestasi kerja

mereka.

Kesimpulan dan Analisis

Kunci reformasi kepegawaian yang terintegrasi dengan reformasi birokrasi di

Provinsi Gorontalo adalah kepemimpinan yang kuat, inovatif dan responsif;

Reformasi kepegawaian terutama diarahkan pada pelaksanaan manajemen kinerja

dan budaya kerja aparatur;

Penerapan manajemen kinerja terkait dengan tunjangan kinerja, namun belum

ada data yang menunjukkan sejauh mana dampak penerapan manajemen kinerja

terhadap kinerja PNS sendiri;

Semangat kewira-usahaan pada birokrasi menjadi instrumen bagi perubahan yang

dilakukan di Gorontalo;

Meskipun HDI (human development index) meningkat, namun belum ada data

yang kuat sejauhmana reformasi kepegawaian ini berdampak bagi kinerja

organisasi secara keseluruhan dan perubahan yang lebih baik dalam praktik

manajemen kepegawaian secara utuh dalam suatu sistem.

48

BBaabb IIIIII

PPeennggeelloollaaaann PPNNSS ddii IInnddoonneessiiaa

A. Sejarah Pengelolaan PNS

Untuk bisa menghasilkan sistem pengelolaan pegawai yang baik, maka langkah yang

bijaksana adalah dengan berkaca pada sejarah pengelolaannya dimasa-masa lalu. Dengan

melihat, mencermati dan menganalisa sistem pengelolaan pegawai yang pernah dilakukan,

maka akan diperoleh berbagai kelebihan maupun kekurangan sistem pengelolaan pada

masa itu. Memang tentunya ada perbedaan nuansa, situasi, kondisi dan perkembangan

paradigma yang berkembang pada masa itu. Pengelolaan pegawai tidak bisa dilepaskan

dengan lembaga atau instansi yang ada dalam pemerintahan. Maka dalam upaya melihat

pengelolaan pegawai juga perlu dilihat lembaga-lembaga yang ada pada masa-masa itu.

Berikut ini diuraikan sejarah singkat pengelolaan kepegawaian di Indonesia yang diambil

dari buku SANKRI, Buku II, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2003.

1. Masa Penjajahan Belanda Sebagaimana dijelaskan diawal bahwa Indonesia pernah mengalami masa penjajahan oleh

beberapa negara, diantaranya Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Belanda menjajah

Indonesia paling lama, kurang lebih selama 350 tahun. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa

nuansa Belanda masih banyak mewarnai kehidupan di Indonesia, termasuk dalam pengelolaan

kepegawaian. Bahkan istilah PNS yang dipergunakan untuk menyebut orang-orang yang

bekerja bagi pemerintah diyakini berasal dari bahasa Belanda : burgerlijk landsdienaar yang

berarti burgerlijk = sipil atau biasa (bukan militer), land = negeri atau negara dan dienaar =

pegawai yang memperoleh upah atau gaji. Sehingga burgerlijk landsdienaar bisa diartikan

sebagai orang yang bekerja bagi pemerintah, berasal dari masyarakat biasa (bukan militer) dan

memperoleh gaji. Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, PNS seringkali juga disebut dengan

istilah ambtenaar, civiel ambtenaar, atau civil personeele.

Pada masa penjajahan Belanda, birokrasi atau pemerintahan yang dibentuk adalah untuk

memperlancar urusan atau kepentingan Belanda di Indonesia terutama yang terkait dengan

perdagangannya. Jabatan-jabatan atau posisi strategis diduduki oleh orang-orang Belanda.

Sementara orang-orang pribumi atau disebut dengan golongan priyayi dijadikan wakil

49

pemerintah Belanda. Mereka dijadikan penghubung antara masyarakat dengan pemerintah

Belanda.

Dalam penataan pegawai, peraturan yang paling dominan disusun oleh Pemerintah

Belanda adalah yang terkait dengan penggajian pegawai. Ada beberapa peraturan penggajian

yang disusun pada masa penjajahan Belanda, yaitu :

1. Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1925 (BBL 1925) atau Peraturan Gaji

Pegawai Negeri Sipil Tahun 1925. Berlaku sejak tanggal 1 Pebruari 1925;

2. Herziene Bezoldegingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1934 (HBBL 1934);

3. Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1938 (BBL 1938); dan

4. Betalingsregeling Ambtenaaren en Gepensioneerden Tahun 1949 (BAG 1949) atau

Peraturan Pembayaran Pegawai dan Pensiunan Tahun 1949.

Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahannya di Indonesia, Pemerintah Belanda

menggunakan orang-orang pribumi untuk memperoleh simpati rakyat. Pegawai pemerintah

tersebut dikenal dengan istilah ambtenaar yang ditugaskan di kantor pusat pemerintahan

maupun di kantor regional. Mereka bertugas mendampingi dan mengawasi para penguasa

daerah (bupati, adipati dan sebagainya).

Para pegawai pemerintahan Belanda, selain dari orang-orang Eropa atau Belanda juga

berasal dari orang-orang pribumi atau bumi putera. Mereka membedakan jabatan-jabatan yang

boleh diduduki oleh orang Eropa/Belanda dengan jabatan-jabatan yang boleh diisi oleh orang

pribumi. Jabatan yang diperuntukkan bagi warga Eropa/Belanda adalah : Gouverneur Generaal

van Nederlandsch Indie (Gubernur Jenderal Hindia Belanda), Gouverneur (Gubernur,

memimpin Provinsi), Resident (Residen, memimpin Karesidenan), Asistent Resident (Asisten

Residen, memimpin Kabupaten) dan Controleur (Kontrol).

Sedangkan jabatan yang bisa diduduki oleh orang-orang pribumi terdiri dari : Regent

(Bupati, memimpin Kabupaten), Ronggo, Patih (Sekretaris Kabupaten), Penghulu Besar dan

Jaksa di Karesidenan, Wedono, Kliwon, Manteri Besar, Demang Kepala, Districtshoofd

(Demang) dan Onderdistrictshoofd (Asisten Demang).

Pengelolaan pegawai pada masa penjajahan Belanda terdapat diskriminasi, yang

membedakan antara pegawai orang pribumi atau bumi putera dengan pegawai orang

Eropa/Belanda. Dalam Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1925 (BBL 1925)

diatur bahwa pengangkatan pegawai dibedakan dalam beberapa skala. Skala A, yaitu kelompok

untuk pegawai dengan pangkat/jabatan rendahan diberikan untuk pegawai dari orang pribumi

50

atau bumi putera. Skala B, yaitu kelompok untuk pegawai dengan pangkat/jabatan menengah

diberikan untuk pegawai dari orang Eropa/Belanda dan orang pribumi atau bumi putera yang

mempunyai latar belakang pendidikan dan pola hidup setara dengan orang Eropa. Dan skala C,

yaitu kelompok untuk pegawai dengan pangkat/jabatan tinggi yang hanya boleh diduduki oleh

orang-orang Eropa/Belanda. Dalam BBL 1925 ini, penggajian pegawai diatur berdasarkan pada

ijasah sekolah, pangkat/jabatan (betrekking), masa kerja (dienstjaar) dan skala gajinya

(bezoldigingsschaal).

Dalam perkembangannya, BBL 1925 ini diubah pada tahun 1938, yaitu dengan

disusunnya Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1938 (BBL 1938). Dengan

perubahan ini maka diskriminasi dalam pengelolaan pegawai juga dihapuskan. Semua

kedudukan dalam kepegawaian bisa diduduki oleh semua pegawai, baik orang pribumi maupun

orang Eropa/Belanda. Tetapi pada kenyataannya, tetap ada jabatan-jabatan yang memang

khusus bagi orang Eropa/Belanda, yaitu jabatan-jabatan yang tinggi dan strategis. Dalam BBL

1938, penggajian diberikan dengan sistem horisontal dan sistem blok. Artinya, pegawai yang

mendapat kenaikan pangkat dari ruang ke ruang dalam skala yang sama ditetapkan gajinya

menurut sistem horisontal (diberikan gaji pokok menurut ruang yang baru yang segaris dengan

gaji pokok yang diterimanya dalam pangkat yang lama). Tapi apabila terjadi kenaikan pangkat

atau perpindahan kesuatu jabatan dalam skala gaji lain, akan diberikan gaji yang terdekat ke

atas dari gaji pokok yang lama (sistem blok).

Dalam mengelola pegawai, pemerintah Belanda menganut sistem tertutup. Artinya,

pengangkatan pegawai untuk menduduki suatu jabatan hanya dimungkinkan dari bawah

(promosi), yaitu dengan memperhatikan ijasah sekolah dan persyaratan lain yang ditetapkan.

Pada masa ini sudah disusun daftar urut kepangkatan (ranglijst) yang menunjukkan urutan

pegawai yang didasarkan pada ijasah yang dimiliki pegawai dan kecakapannya. Ijasah sangat

penting dalam penentuan kariernya. Apabila pegawai tidak mempunyai pendidikan yang lebih

tinggi maka sampai akhir masa kariernya dia akan berada di jabatan tersebut karena dia tidak

akan dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi.

Pengelolaan pensiun bagi pegawai juga sudah dilakukan pada masa pemerintahan

Belanda, tepatnya sejak tahun 1887. Pada tahun 1926 peraturan pensiun diperbarui dan

diberlakukan bagi semua pegawai baik pegawai pribumi maupun pegawai Belanda yang dikenal

dengan nama Indische Burgelijk Pensioen Reglement. Untuk membiayai dana pensiun maka

disusun sistem dana pensiun yang menjaga ketersediaan dana untuk membiayai pembayaran

pensiun pegawai.

51

2. Masa Penjajahan Inggris Pada masa penjajahan Inggris, yang menjalankan pemerintahan di Indonesia adalah

Letnan Gubernur Raffles yang menggunakan sistem yang lebih bersifat demokratis. Dengan

kata lain, pemerintahan yang lebih mendekat ke masyarakat. Semboyan Raffles yang terkenal

adalah “from the people, by the people and for the people”. Sehingga kebijakan

pemerintahannya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan meningkatkan taraf

kehidupan masyarakat.

Pada masa pemerintahan Raffles, banyak posisi, jabatan, kedudukan yang ada pada masa

penjajahan Belanda dihapuskan, misalnya jabatan Bupati, Demang atau pamong praja lainnya.

Karena menurut Raffles, para pejabat tersebut justru mengganggu, bahkan melakukan

pemerasan kepada masyarakat sehingga menghambat kemajuannya. Sebagai gantinya diangkat

Residen yang bertanggung jawab langsung kepada Raffles. Kebijakan yang ditempuh oleh

Raffles untuk mengurangi peran para pimpinan/pamong praja adalah dengan memberikan

status hukum kepada rakyat (orang dewasa dan kepala keluarga). Salah satu kebijakan yang

dilakukan adalah dengan menyatakan semua tanah dimiliki negara dan rakyat dijadikan

penyewa/penggarap tanah (landrent). Di daerah-daerah dilakukan pengukuran luas tanah dan

registrasi tanah yang dimiliki oleh masyarakat dan selanjutnya diambil alih oleh negara dan

ditetapkan sewanya (landrente) yang harus dibayar.

Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Raffles adalah segala sesuatu diolah dan

diputuskan di pusat selanjutnya diinstruksikan pelaksanaannya kepada pejabat-pejabat di

daerah. Struktur organisasi pemerintahan dan administrasi yang disusun pada masa

pemerintahan Raffles adalah : The Secretary‟s Office (Sekretariat Negara);

The Revenue Committee (Direktorat Jenderal Pajak); The Commercial Committee (Direktorat

Jenderal Perdagangan); The General Treasury (Direktorat Jenderal Keuangan); The Civil Pay

Office (Badan Administrasi Kepegawaian); The Accountants Office (Direktorat Jenderal

Pengawasan Keuangan Negara); The Post Department (Direktorat Jenderal Pos dan

Telekomunikasi); The Superintendent of Public Building and Works (Direktorat Jenderal

Pekerjaan Umum); The Salt Department (Direktorat Jenderal Urusan Garam); The Forest

Department (Direktorat Jenderal Kehutanan); dan The Supreme Court of Justice (Mahkamah

Agung).

52

Dalam menjalankan pemerintahannya, Raffles dibantu oleh pegawai-pegawai bangsa

Inggris yang kebanyakan adalah perwira militer yang berpengalaman dalam pemerintahan di

India. Mereka menduduki jabatan-jabatan di direktorat jenderal, residen dan asisten residen.

Beberapa kebijakan pada masa pemerintahan Raffles yang terpenting adalah :

1. Adanya job description dan instruksi yang jelas bagi para pejabat terutama residen dan

bupati beserta adanya sumber-sumber pendapatan yang sah dari pemerintah;

2. Adanya perbaikan kedudukan kepala desa dan instruksi yang jelas untuk administrasi

negara;

3. Hak milik atas tanah diberikan kepada petani yang rajin dan produktif;

4. Kerja rodi, kerja paksa dan kerja sukarela dihapuskan, demikian juga pemerasan dan

pemaksaan penyerahan produk pertanian;

5. Lalu lintas perdagangan bebas, penghapusan berbagai biaya yang tidak perlu, pengurangan

biaya eksport import;

6. Peningkatan budidaya kopi dan sistem perdagangannya;

7. Monopoli pemerintah dalam produksi garam untuk mengurangi monopoli pengusaha

Tionghoa.

3. Masa Penjajahan Jepang Terkait dengan pengelolaan pegawai, pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan gaji

pegawai yang dimuat dalam Osamu Seizin Nomor 13 tanggal 1 Juni 1943 tentang Pengangkatan

dan Gaji Pegawai Negeri di Jawa dan Osamu Seizin Nomor 122 tanggal 12 Juli 1943 tentang

Aturan Pengangkatan dan Gaji Pegawai Bantuan. Pada masa pemerintahan Jepang, pegawai

dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu : golongan pekerja, pegawai rendah, pegawai

menengah dan pegawai tinggi. Pengelompokan pegawai ini menjadi dasar dalam pemberian gaji

pegawai. Ijasah sekolah dipergunakan sebagai ukuran kecakapan atau pengetahuan pegawai

bukan sebagai dasar dalam perhitungan gajinya. Pemberian uang pensiun pegawai diganti

dengan pemberian onyokin atau uang kurnia.

4. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1949) Masa pemerintahan Indonesia dimulai pada tanggal 17 Agustus 1945 pada saat Indonesia

memproklamasikan kemerdekaannya. Pada saat itu disepakati bahwa dasar negara adalah

Pancasila dan UUD 1945, dan menetapkan Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan dr. M. Hatta

sebagai Wakil Presiden RI. Ini adalah masa awal Indonesia untuk mengelola bangsa dan

negaranya secara mandiri tanpa campur tangan penjajah bangsa lain. Semua syarat untuk

mewujudkan satu negara yang berdaulat telah dipenuhi, yaitu : adanya rakyat yang berdaulat,

53

adanya wilayah negara, adanya kedaulatan negara, adanya pemerintahan, adanya tujuan negara

dan adanya bentuk negara.

Tujuan dari pembentukan negara Indonesia secara jelas dan tegas tercantum dalam

pembukaan UUD 1945, yaitu : (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; (4)

Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial.

Pada masa awal pemerintahan Indonesia, birokrasi dirasakan tidak ada kekompakan

karena masih kuatnya kepentingan politik di dalam departemen-departemen yang dibentuk.

Kondisi ini berdampak pada masa-masa awal kemerdekaan ini pemerintahan belum stabil dan

seringkali mengalami perubahan. Berikut ini dijelaskan secara singkat Kabinet yang pernah

dibentuk pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden

Soekarno.

Pada tahun 1948 dibentuk Kantor Urusan Pegawai (KUP) berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948. KUP berkedudukan di Jogjakarta dan bertugas menangani

urusan pegawai pemerintah Indonesia yang terkait dengan kedudukan dan gaji pegawai negeri

serta mengawasi supaya peraturan-peraturan yang terkait dengan masalah tersebut dapat

dijalankan dengan semestinya. Dalam bukunya yang berjudul Manajemen Kepegawaian Sipil di

Indonesia (2008), Miftah Thoha menjelaskan bahwa KUP dalam perkembangannya menjadi

cikal bakal terbentuknya Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN). KUP dipimpin

oleh seorang Kepala yang diangkat oleh Presiden atas usul Perdana Menteri dan berkedudukan

langsung dibawah dan bertanggung jawab kepada Perdana Menteri.

Tugas Kepala KUP dalam rangka menata administrasi kepegawaian meliputi hal-hal

berikut ini :

1. Mengawasi supaya peraturan yang terkait kedudukan dan gaji pegawai negeri bisa

dilaksanakan dengan baik;

2. Memberikan petunjuk dan kalau perlu mengadakan tindakan korektif;

3. Mengusulkan kepada pemerintah tentang perubahan atau penambahan peraturan yang

terkait;

4. Jika dipandang perlu atau ada usulan, dapat mengusulkan kepada yang berwajib (pejabat

yang berwenang) untuk mengadakan peraturan mengenai kedudukan dan gaji pegawai

negeri.

54

Sedangkan hak yang dimiliki oleh Kepala KUP ada dua, yaitu : (1) meminta kepada

semua pegawai (baik sipil maupun militer) untuk memberikan keterangan yang diperlukan

untuk melaksanakan tugasnya; dan (2) meminta pengiriman laporan-laporan dari kementerian,

jawatan dan perusahaan negeri.

Untuk menjamin supaya koordinasi dapat dilaksanakan dengan baik, maka semua

peraturan yang mengatur mengenai pegawai negeri harus dengan persetujuan Kepala KUP. Dan

apabila ada perselisihan atau perbedaan pendapat terkait penafsiran/pemahaman terkait

peraturan kepegawaian antara Menteri dengan Kepala KUP, maka pendapat Kepala KUP yang

dianggap benar atau harus diputuskan oleh Perdana Menteri. Disini terlihat bagaimana

strategisnya posisi Kepala KUP, sehingga dituntut menguasai masalah administrasi

kepegawaian.

Terkait dengan sistem penggajian pegawai, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21

Tahun 1948 dikeluarkan Peraturan Gaji Pegawai 1948 atau dikenal dengan istilah PGP 1948.

Dalam PGP 1948 ini, banyak diadopsi sistem penggajian masa penjajahan Belanda (BBL 1938)

dengan menghilangkan adanya diskriminasi dalam pengangkatan pegawai. Gaji pegawai

didasarkan pada harga kebutuhan hidup yang meliputi 36 komponen kebutuhan hidup yang

layak. Dengan dasar perhitungan tahun 1940, pengeluaran minimum seorang PNS yang sudah

berkeluarga adalah sebesar Rp 42,67,- maka gaji minimum PNS ditetapkan sebesar Rp 45,- dan

gaji tertinggi adalah Rp 750,- atau (1 : 17), perubahan/kenaikan gaji menggunakan sistem

horisontal.

Pada masa awal kemerdekaan ini, masih ada beberapa wilayah yang dikuasai oleh

Belanda (wilayah timur Indonesia, sebagian pulau Sumatera dan sebagian pulau Jawa). Sehingga

untuk menjalankan pemerintahannya Belanda (NICA) mendirikan pemerintahan federal yang

tunduk kepada kerajaan Belanda. Pegawainya adalah bekas pegawai yang bekerja untuk

pemerintah Jepang dan Hindia Belanda. Untuk mengkoordinasikannya, dibentuk Dienst

Algemene Personele Zaken (DAPZ) berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Dalam perkembangannya DAPZ disebut Djawatan Umum Urusan Pegawai (DUUP).

5. Masa Republik Indonesia Serikat (RIS) (1949-1950) Pada masa ini pemerintah Indonesia berbentuk pemerintahan federal dengan konstitusi

UUD Sementara RIS. Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh daerah Indonesia yang terdiri

dari Negara Republik Indonesia dan negara-negara Federal bentukan Belanda, yaitu : Negara

55

Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan (termasuk Distrik Federal

Jakarta), Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur (termasuk Asahan

Selatan dan Labuhan Baru), Negara Sumatera Selatan, Daerah lain yang berdiri sendiri, yaitu

Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar,

Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.

Pembentukan RIS berdampak pada pengelolaan pegawai negeri sipilnya, yaitu

dilakukannya penyatuan antara PNS RI dengan PNS negara federal. Dalam praktiknya,

penyatuan ini ternyata bermasalah karena adanya perbedaan yang mencolok, khususnya dalam

penggajian. PNS RI sesuai PGP (Peraturan Gaji Pegawai) 1948 gaji minimalnya sebesar Rp 45

dan gaji maksimalnya sebesar Rp 750 atau 1 : 17. Sementara PNS federal yang diatur dengan

BAG (Betalingsregeling Ambtenaren en Gepensioneereen) 1949, gaji minimalnya sebesar Rp 30

dan gaji maksimalnya sebesar Rp 1.925 atau 1 : 64. Untuk mengatasi masalah tersebut maka,

pemerintahan RIS menetapkan kenaikan untuk PNS RIS menjadi Rp 67,5 untuk gaji minimal

dan Rp 1.125 untuk gaji maksimal, atau 1 : 20.

Selain adanya perbedaan dalam gaji, juga ada perbedaan dalam hal kecakapan atau

pengetahuan yang dimiliki. Pegawai RI dianggap lebih setia kepada pemerintah RI tetapi

kecakapan atau pengetahuannya kurang. Sementara pegawai federal dianggap kurang setia

kepada pemerintah RI tetapi mempunyai kecakapan atau pengetahuan yang lebih bagus.

Sehingga dalam penggabungannya, posisi-posisi strategis atau pimpinan selalu diberikan kepada

pegawai RI sementara pegawai federal hanya mendapat posisi yang kurang strategis. Pegawai

federal atau pegawai yang bekerja untuk pemerintah Belanda disebut golongan “ko”. Pegawai-

pegawai “ko” ini mendapat diskriminasi dalam penempatan, promosi atau pengangkatan dalam

jabatan. Mereka dinomorduakan karena dianggap tidak setia kepada pemerintah RI.

Dalam pengelolaan pegawainya, Pemerintah RIS mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 16 Tahun 1950 tentang Peraturan Sementara tentang Penetapan Jabatan dan Gaji PNS.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur tentang syarat pengangkatan dalam masing-masing

golongan, sebagai berikut :

56

Tabel 3.1

Syarat Pengangkatan dalam Golongan

No Golongan Persyaratan

1. I Sekedar dapat membaca dan menulis.

2. II Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Rakyat (SR sekarang

SD) 6 tahun atau pengetahuan yang sederajat.

3. II A Sekurang-kurangnya berijasah SR 6 tahun ditambah fak

(kejuruan) sekurang-kurangnya 1 tahun.

4. III Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Menengah Umum

Bagian Pertama (SMUP, sekarang SLTP) atau mempunyai

pengetahuan yang sederajat.

5. III A Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Menengah Umum

Bagian Atas (SMUA sekarang SLTA) ditambah pelajaran fak

khusus 1 tahun.

6. IV Sekurang-kurangnya berijasah SMUA atau pengetahuan

yang sederajat.

7. V Sekurang-kurangnya berijasah SMUA ditambah pelajaran

fak khusus 2 tahun

8. VI Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Tinggi (akademi)

atau pengetahuan lain yang dianggap sederajat dengan itu.

Sumber : Buku SANKRI II, LAN 2004

6. Masa Berlakunya UUD Sementara 1950 (1950-1959) Pada masa ini, pegawai-pegawai yang bekerja bagi pemerintah Indonesia terdiri dari

pegawai yang sebelumnya bekerja bagi pemerintah Belanda dan pegawai yang sebelumnya

bekerja bagi pemerintah Jepang. Mereka tetap bekerja seperti biasa, melanjutkan tugas-

tugasnya yang memang tidak banyak mengalami perubahan. Permasalahan yang muncul adalah

57

terkait dengan peraturan kepegawaian yang berlaku. Pada saat itu, pemerintah Indonesia belum

bisa atau belum mampu menyusun peraturan-peraturan untuk mengelola pegawainya, maka

peraturan-peraturan kepegawaian yang berlaku pada masa Belanda dan Jepang masih tetap

dipergunakan. Penggunaan peraturan-peraturan Belanda dan Jepang ini ternyata membawa

permasalahan tersendiri karena kebanyakan peraturan tersebut masih dalam bahasa Belanda

dan Jepang. Padahal tidak semua pegawai pemerintah Indonesia mampu berbahasa Belanda

atau Jepang.

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka secara berangsur-angsur pemerintah Indonesia

mulai mengeluarkan peraturan-peraturan kepegawaian sendiri. Antara lain :

1. Undang-Undang Darurat Nomor 25 Tahun 1950 dan Undang-Undang Darurat Nomor 34

Tahun 1950 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian PNS RIS. Undang-Undang ini

kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1961.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun Tahun 1951 tentang Istirahat karena Hamil.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun Tahun 1951 tentang Pernyataan sebagai Pegawai

Negeri Tetap.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun Tahun 1952 tentang Pemberhentian Sementara

sebagai PNS.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun Tahun 1952 tentang Daftar Susunan Pangkat dan

Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun Tahun 1952 tentang Daftar Pernyataan Kecakapan

Pegawai Negeri.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun Tahun 1952 tentang Hukuman Jabatan.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun Tahun 1952 tentang Larangan Mencari Penghasilan

dan Memimpin Perusahaan dalam Lapangan Partikulir.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun Tahun 1955 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri

Sipil Republik Indonesia (PGPN 1955). Dan lain sebagainya.

Dalam pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut, Kepala Kantor Urusan Pegawai (KUP)

dapat mengeluarkan petunjuk teknis pelaksanaan peraturan. Tujuannya supaya ada kesamaan

pengertian dan keseragaman dalam pelaksanaan. Pada masa ini pengelolaan kepegawaian masih

dilakukan oleh dua instansi, yaitu KUP yang mengelola PNS Republik Indonesia dan DUUP

(Djawatan Urusan Umum Pegawai) yang mengelola PNS Belanda. Dalam perkembangannya

pada tahun 1950, kedua instansi ini digabung menjadi satu dengan nama KUP. Penggabungan

ini dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950.

58

7. Masa Berlakunya UUD 1945 (1959-1966) Pada masa ini ada perubahan peraturan terkait dengan sistem penggajian pegawai. PGPN

1955 yang merupakan peraturan penggajian untuk PNS diganti dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 200 Tahun 1961 tentang Peraturan Gaji PNS RI atau biasa disebut PGPN 1961. Dalam

PGPN 1961 digunakan satu skala gaji untuk semua PNS. Gaji pokok ditetapkan berdasarkan

tingkat pendidikan, pangkat dan masa kerja. Perbandingan gaji pokok terendah dan tertinggi

adalah 1 : 20. Selain gaji pokok, seorang PNS juga menerima tunjangan keluarga dan tunjangan

kemahalan. Selain itu masih ada tunjangan lain, yaitu : tunjangan kompensasi atas resiko

pekerjaan, tunjangan ganti rugi, tunjangan perpindahan dan tunjangan ujian kenaikan pangkat.

Pada masa ini penetapan pangkat PNS pertama kali didasarkan pada ijasah sekolah/kursus

yang disyaratkan pada pengangkatan pertama. Pada umumnya seorang pegawai dapat naik

pangkat yang lebih tinggi sebanyak empat kali dalam satu rangkaian jabatan sesuai ijasahnya.

Untuk bisa naik pangkat ke rangkaian jabatan yang lebih tinggi, pegawai wajib mengikuti ujian

kenaikan pangkat. Kepangkatan ini akan menentukan golongan gaji yang diterima oleh

pegawai.

Dalam PGPN 1955 peraturan gaji anggota POLRI masih menyatu dengan gaji PNS. Pada

masa berlakunya UUD 1945 kembali maka POLRI dipisahkan dengan PNS dan mempunyai

dasar hukum sendiri. Peraturan gaji untuk PNS diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor

200 Tahun 1961 (PGPN 1961) dan peraturan gaji bagi anggota POLRI dengan Peraturan Gaji

Polisi Tahun 1961 (PGPol 1961).

Pada masa awal kemerdekaan sampai pada masa ini, berbagai peraturan pemerintah,

peraturan presiden, keputusan presiden yang dikeluarkan pemerintah didasarkan pada UUD

(UUD 1945, UUD RIS, UUDS RI). Kondisi ini membuat kebijakan yang dikeluarkan

pemerintah seringkali kurang menguntungkan bagi PNS. Kondisi ini menuntut pemerintah

mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kepegawaian. UU ini berupaya meletakkan dasar-dasar dalam pembinaan PNS yang meliputi

kedudukan, kewajiban, hak dan pembinaan PNS Indonesia.

8. Masa Orde Baru (1966-1998) Masa Orde Baru selalu identik dengan kekuasaan absolut Presiden Soeharto yang

menguasai pemerintahan Indonesia selama 30 tahun lebih. Pada masa Orde Baru pengawasan

pemerintah terhadap partai dilakukan secara ketat dan mendalam. Hanya ada tiga partai yang

59

diijinkan ikut dalam pemilu, yaitu : partai pemerintah, Golongan Karya (Golkar), Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Golkar merupakan

wajah politik partisan dari birokrasi negara. Pegawai pemerintah dilarang bergabung dengan

PPP atau PDI. Bahkan, Korpri dibentuk sebagai mesin politik birokrasi yang mengikat seluruh

PNS di Indonesia untuk memilih Golkar. Pejabat dan tentara pensiunan dijadikan pemimpin

Golkar di tingkat nasional, provinsi maupun lokal.

Pengelolaan kepegawaian (PNS) pada masa pemerintahan Presiden Soeharto

menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian. Pelaksanaan pengelolaan PNS menurut UU ini secara umum bersifat sentralistik.

Pemberlakuan sistem sentralistik ini diterapkan pada hampir semua proses manajemen PNS,

yaitu mulai dari proses rekrutmen sampai dengan pensiun. Pemerintah Daerah baik ditingkat

Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang merupakan sub ordinat dalam pemerintahan hanya

melaksanakan semua kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Pusat.

Beberapa pokok pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1974 adalah terkait dengan rekrutmen. Sebelum melakukan rekrutmen pegawai

didahului dengan proses penyusunan formasi PNS yang diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 5 Tahun 1976. Formasi adalah jumlah dan susunan pangkat PNS

yang diperlukan oleh suatu satuan organisasi negara untuk mampu melaksanakan tugas

pokok untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung

jawab dalam bidang penertiban dan penyempurnaan aparatur negara. Penetapan

formasi bertujuan supaya masing-masing satuan organisasi negara mempunyai jumlah

dan mutu pegawai yang sesuai kebutuhan. Setelah kebutuhan formasi PNS disusun,

tahapan selanjutnya adalah melakukan pengadaan pegawai. Dengan kata lain,

pengadaan pegawai adalah proses kegiatan untuk mengisi formasi yang lowong.

Kebijakan tentang pengadaan pegawai diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6

Tahun 1976 tentang pengadaan PNS. Pengadaan dilakukan melalui seleksi yang

meliputi seleksi administrasi maupun seleksi kompetensi. Bagi calon yang lolos seleksi

maka diangkat dalam menjadi Calon PNS (CPNS). Selanjutnya CPNS wajib mengikuti

masa percobaan selama kurang lebih dua tahun sebelum diangkat menjadi PNS.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 juga diatur mengenai promosi yang

merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi pegawai yang berprestasi untuk

memangku tanggung jawab yang lebih besar, berupa pemberian kenaikan pangkat atau

jabatan. Terkait kenaikan pangkat PNS ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3

Tahun 1980. Kenaikan pangkat PNS dapat dilakukan dalam empat (4) cara, yaitu

60

kenaikan reguler, kenaikan pilihan, kenaikan istimewa dan kenaikan pengabdian.

Kenaikan reguler adalah kenaikan pangkat secara otomatis apabila PNS sudah bekerja

selama 4 tahun atau lebih dalam pangkat yang sama dengan hasil penilaian kinerja baik.

Kenaikan pangkat pilihan diberlakukan bagi PNS yang menjabat jabatan fungsional,

dimana apabila bisa memenuhi angka kredit tertentu maka bisa dinaikkan pangkatnya.

Kenaikan pangkat istimewa diberikan bagi PNS yang mempunyai prestasi kerja yang

luar biasa dan memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Sementara kenaikan

pangkat pengabdian adalah kenaikan pangkat yang diberikan bagi PNS yang sudah

memasuki Batas Usia Pensiun (BUP).

Selain berupa kenaikan pangkat, promosi juga dapat diberikan berupa pemberian

jabatan tertentu. Jabatan adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung

jawab, wewenang dan hak seorang PNS dalam suatu susunan organisasi dan bisa berupa

jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Secara umum hal-hal yang dijadikan

pertimbangan untuk penempatan dalam jabatan adalah sebagai berikut : penilaian

pelaksanaan pekerjaan, keahlian, perhatian (interest), Daftar Urut Kepangkatan (DUK),

kesetiaan, pengalaman, dapat dipercaya, kemungkinan pengembangan.

Pemberian gaji kepada PNS diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun

1977 tentang Penggajian PNS. Besar atau kecilnya gaji seseorang PNS ditentukan oleh

pangkat dan masa kerja yang dimiliki. Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan

tingkat seseorang PNS dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai

dasar penggajian. Kepada PNS yang diangkat dalam suatu pangkat diberikan gaji pokok

berdasarkan golongan ruang yang ditetapkan untuk pangkat itu sebagaimana tersebut

dalam lampiran Peraturan Pemerintah. Gaji pokok untuk CPNS adalah sebesar 80%

dari gaji pokok yang diberikan untuk PNS. Apabila CPNS tersebut telah mempunyai

masa kerja yang dapat diperhitungkan untuk menetapkan gaji pokok, diberikan gaji

pokok yang segaris dengan pengalaman kerjanya yang diakui sebagai masa kerja

golongan. Pemberian gaji pokok tersebut diatas setinggi-tingginya berdasarkan gaji

pokok maksimum dalam golongan ruang yang bersangkutan dikurangi 2 (dua) kali

kenaikan gaji berkala yang terakhir dalam golongan ruang tersebut. Kepada seorang

yang diangkat langsung menjadi PNS apabila telah mempunyai pengalaman kerja yang

dapat diperhitungkan untuk menetapkan gaji pokok, diberikan gaji pokok yang segaris

dengan pengalaman kerja yang ditetapkan sebagai masa kerja golongan. Masa kerja

yang dapat diperhitungkan untuk menetapkan gaji pokok bagi CPNS dan PNS

ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 diatur juga mengenai

pendidikan dan pelatihan (diklat) PNS. Tujuannya supaya ada jaminan keserasian pembinaan

61

terhadap PNS. Pengaturannya sendiri meliputi kegiatan perencanaan, termasuk perencanaan

anggaran, penentuan standar, pemberian akreditasi, penilaian dan pengawasan.

Pada prinsipnya diklat PNS ada 2 (dua), yaitu : Diklat Pra Jabatan dan Diklat Dalam

Jabatan. Diklat Pra Jabatan (pre service trainning) adalah diklat yang diberikan kepada CPNS

dengan tujuan supaya bisa terampil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Sementara

Diklat Dalam Jabatan (in service trainning) adalah diklat yang bertujuan untuk meningkatkan

mutu, keahlian, kemampuan dan keterampilan PNS. Diklat Pra Jabatan merupakan diklat yang

wajib diikuti oleh semua CPNS. CPNS yang tidak lulus dari Diklat Pra Jabatan tidak dapat

diangkat menjadi PNS. CPNS yang tidak lulus dari Diklat Pra Jabatan diberikan kesempatan

mengikuti sekali lagi. Apabila tetap tidak lulus, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai

CPNS.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah berusaha meningkatkan

kesejahteraan PNS dengan tujuan supaya PNS dapat memusatkan perhatian sepenuhnya untuk

melaksanakan tugas-tugasnya. Kesejahteraan ini meliputi kesejahteraan material dan spiritual,

seperti jaminan hari tua, bantuan perawatan kesehatan, bantuan kematian, bantuan

perumahan, dan lain-lain yang serupa dengan itu. Penyelenggaraan program kesejahteraan PNS

diatur dan dibina oleh Pemerintah Pusat.

Untuk membiayai usaha-usaha kesejahteraan PNS tersebut, maka setiap PNS dipungut

iuran sebesar 10% dari penghasilan setiap bulan, dengan perincian sebagai berikut : 43/4% untuk

iuran dana pensiun, 2% untuk iuran pemeliharaan kesehatan, 31/4% untuk iuran tabungan hari

tua. Ketentuan mengenai iuran ini diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1974 dan

diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 8 tahun 1977.

Dalam masa pemerintahan Orde baru, disusun suatu Peraturan Pemerintah yang

mengatur mengenai disiplin pegawai. Pengaturan ini untuk menjamin supaya PNS bisa menjadi

sosok Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan

kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah serta bersatu padu, bermental baik,

berwibawa, berdaya guna, berhasil guna, bersih, bermutu tinggi dan sadar akan tanggung

jawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Selain daripada itu

dalam Peraturan Pemerintah juga diatur mengenai tata cara pemeriksaan, tata cara penjatuhan

dan penyampaian hukuman disiplin, serta tata cara pengajuan keberatan apabila PNS yang

dijatuhi hukuman disiplin itu merasa keberatan atas hukuman disiplin yang dijatuhkan

kepadanya. Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik PNS yang

62

melakukan pelanggaran disiplin. Oleh sebab itu setiap pejabat yang berwenang wajib

memeriksa lebih dahulu dengan seksama PNS yang melakukan pelanggaran itu.

Pada masa orde baru juga dikeluarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai

pensiun PNS, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969. Dalam Undang-Undang ini yang

dimaksud dengan pensiun adalah jaminan hari tua dan berfungsi sebagai balas jasa terhadap

PNS yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri kepada negara. Pada hari tua, kekuatan

jasmani seseorang semakin berkurang, daya tahan jasmani semakin lemah dan menyebabkan

lebih sering terserang penyakit, tanggungan ada kalanya tidak makin berkurang, yang

semuanya ini memerlukan pembiayaan yang cukup banyak, tetapi pendapatan makin

berkurang. Inilah yang menjadi perhatian Pemerintah supaya PNS tidak kehilangan semangat

bekerja.

Dasar pensiun yang dipakai untuk menentukan besarnya pensiun pokok, ialah gaji pokok

terakhir sebulan yang berhak diterima oleh pegawai yang berkepentingan berdasarkan

peraturan gaji yang berlaku baginya. Pemberian pensiun ditentukan oleh pejabat yang berhak

memberhentikan pegawai yang bersangkutan, di bawah pengawasan dan koordinasi Kepala

BAKN (sekarang BKN).

Pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil berhak

menerima pensiun, jika pada saat pemberhentiannya sebagai PNS :

(1) Telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan mempunyai masa

kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun;

(2) Oleh badan/pejabat yang ditunjuk oleh Departemen Kesehatan berdasarkan peraturan

tentang pengujian kesehatan PNS, dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan

apapun juga karena keadaan jasmani atau rohani yang disebabkan oleh dan karena ia

menjalankan kewajibannya, atau;

(3) Mempunyai masa-kerja sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun dan oleh badan/pejabat yang

ditunjuk oleh Departemen Kesehatan berdasarkan pengaturan tentang pengujian

kesehatan PNS, dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga karena

keadaan jasmani atau rohani, yang tidak disebabkan oleh dan karena ia menjalankan

kewajiban jabatannya.

63

9. Masa Orde Reformasi (1998 – Sekarang)

a. Masa Transisi (Presiden BJ. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden

Megawati) Pemerintahan Presiden Gus Dur dapat dikatakan tidak mempunyai komitmen yang

jelas dalam upaya perbaikan birokrasi yang dipimpinnya. Bahkan pada saat itu, berkembang

isu putera daerah dalam jabatan-jabatan birokrasi, terutama di tingkat daerah. Posisi-posisi

strategis dalam pemerintahan diduduki oleh orang-orang asli daerah bahkan saudara-

saudara pimpinan. Bahkan pada masa ini banyak dilakukan kenaikan pangkat yang tidak

sesuai peraturan untuk mengejar posisi-posisi tersebut. Hal ini sering disebut dengan

“pangkat Naga Bonar”. Kondisi ini berdampak pada pelaksanaan pemerintahan yang

tersendat-sendat dan tidak efektif. Banyak pimpinan instansi yang tidak/kurang mampu

melaksanakan tugas dan kewajibannya karena memang tidak mempunyai kemampuan

sebagaimana dibutuhkan.

Pasar terus bergolak dalam kondisi tidak menentu, friksi yang terjadi diantara elit

politik (anggota dewan) dan elit birokrasi (pemerintah) menjadi sebuah dikotomi masalah

yang memperlemah posisi birokrasi dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan

pembangunan. Bahkan anggota dewan disebut “anak-anak TK” oleh Presiden Gus Dur

karena ketidakmampuan mereka untuk memahami, mengerti dan bekerjasama dengan

pemerintah. Pada masa ini birokrasi hanya menjadi elemen bangsa yang tersubordinasi

terhadap kepentingan-kepentingan politik lain. Birokrasi menjadi mandeg, statis dan

stagnan, keinginan untuk segera pulih dari krisis tidak terjadi. Pada masa pemerintahan

Presiden Gus Dur terjadi pembubaran dua Departemen, yaitu Departemen Sosial dan

Departemen Penerangan. Alasan pembubaran ini dengan alasan : tugas kedua Departemen

tersebut bisa dilaksanakan oleh sektor swasta atau masyarakat. Pembubaran kedua

Departemen ini membawa dampak yang cukup rumit terkait dengan distribusi pegawainya.

Berbagai permasalahan yang muncul pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur ini,

terutama friksi yang terjadi dengan anggota dewan pada akhirnya membawa Presiden Gus

Dur pada impeachment. Anggota dewan akhirnya meminta Presiden Gus Dur untuk

mundur.

Pengganti Presiden Gus Dur adalah yang dahulu menjabat sebagai Wakil Presiden,

yaitu Megawati. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, dua Departemen yang pada

masa Presiden Gus Dur dibubarkan, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Penerangan

dihidupkan kembali. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati dapat dikatakan kondisi

Indonesia semakin membaik, stabilitas ekonomi tercapai dan konflik kepentingan antar elit

64

berkurang. Hal ini dimungkinkan karena statusnya sebagai seorang Presiden perempuan

sehingga pendekatan yang dilakukan lebih lembut dan ramah khas seorang ibu. Juga

statusnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sering dizalimi

oleh pemerintah telah meningkatkan simpati dan dukungan masyarakat kepadanya.

Kondisi-kondisi inilah yang membuat pemerintahan Presiden Megawati bisa membawa arah

yang lebih baik. Bisa dikatakan walaupun belum sepenuhnya berhasil membawa Indonesia

keluar dari kubangan krisis, Presiden Megawati mampu mengawali sebuah proses demokrasi

sebagai era baru bagi Indonesia dalam menyongsong era demokratisasi.

b. Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono atau lebih dikenal

dengan Presiden SBY merupakan masa pemerintahan yang lebih baik dalam aspek

reformasi birokrasi. Pemerintahan Presiden SBY saat ini memasuki periode kedua

dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan Jilid II. Pemerintahan Presiden SBY

ditandai dengan adanya kontrak kinerja antara Presiden dengan para Menterinya.

Kontrak kinerja ini merupakan salah satu komitmen Presiden untuk bisa melakukan

evaluasi terhadap kinerja Menteri dan atau Kementeriannya. Pada masa pemerintahan Presiden SBY, birokrasi Indonesia berada pada kondisi yang

cukup mengenaskan. Beberapa kondisi misalnya sebagaimana dicatat oleh Global

Competitiveness Index (GCI, 2009) disebutkan bahwa the most problematic factors for

doing businesses di Indonesia, mencakup : inefficient government bureaucracy, policy

instability, corruption, dan restrictive labor regulations. Sementara data Corruption

Percention Index (CPI, 2009) dari Transparency International yang dianggap mencerminkan

“kebersihan birokrasi”, Indonesia masih berada pada kelompok peringkat terbawah dengan

skor 2.8, dari skala 1 sampai 10. Kemudian dari survey yang dilakukan oleh Political and

Economy Risk Consultancy (PERC, 2010) di 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik,

Indonesia dikategorikan sebagai negara paling korup dengan skor 9.27, turun secara

signifikan dibandingkan skor tahun 2009 yaitu, 8.32 (dalam skala 0-10). Kondisi inilah yang

harus diperbaiki oleh Presiden SBY dengan program reformasi birokrasi.

Keseriusan pemerintahan Presiden SBY diwujudkan dengan memberikan tugas

tambahan pada Kementerian PAN. Kementerian PAN dimandatkan menjai koordinator

pelaksanaan reformasi birokrasi dan menambahkan nama kementeriannya menjadi

Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. Dengan adanya kelembagaan yang secara resmi

menangani reformasi birokrasi secara khusus diharapkan pelaksanaannya menjadi lebih

65

baik. Dalam Seminar Reformasi Birokrasi untuk Mewujudkan Aparatur Negara yang

Profesional, Efektif dan Efesien dalam Rangka Peningkatan Pelayanan Publik pada tanggal

13 April 2010, Dr. Ismail Muhammad (Deputi KemenPAN dan RB) menyebutkan beberapa

permasalahan internal birokrasi antara lain : efektivitas peraturan perundang-undangan

dibidang aparatur negara yang masih tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, multi tafsir,

pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain; pola pikir

(mind-set) dan budaya kerja (culture-set) belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang

profesional serta benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat dan pencapaian

kinerja yang lebih baik, masih adanya praktek penyimpangan dan penyalahgunaan

wewenang dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, serta belum mantapnya

akuntabilitas kinerja pemerintah.

Komitment pemerintahan Presiden SBY dalam upaya pelaksanaan reformasi birokrasi

juga diwujudkan dengan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun

2005-2025. Masa 20 tahun ini selanjutnya dibagi dalam program lima tahunan yang disebut

dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RPJM I (2005-2010) berfokus

pada penataan kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman dan damai, adil dan

demokratis dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. RPJM II (2010-2015) berfokus

pada pemantapan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan

ilmu dan teknologi serta memperkuat daya saing perekonomian. RPJM III (2015-2020)

berfokus pada pemantapan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan

pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA dan SDM yang

berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi. RPJM IV (2020-2025) berfokus pada

upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui

percepatan pembangunan di segala bidang dengan struktur perekonomian yang kokoh

berlandaskan keunggulan kompetitif.

Reformasi birokrasi diawali dengan adanya pilot project pelaksanaan reformasi

birokrasi dengan menggunakan ukuran-ukuran yang jelas dan tegas terkait kinerja. Ada tiga

(3) kementerian yang dijadikan pilot project, yaitu Kementerian Keuangan, BPKP dan MA.

Reformasi dilakukan pada tiga (3) bidang utama, yaitu penataan kelembagaan,

penyempurnaan proses bisnis dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tujuan

reformasi birokrasi ini secara spesifik adalah untuk menciptakan aparatur negara yang

bersih, profesional dan bertanggung jawab, serta menciptakan birokrasi yang efisien dan

efektif sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang prima. Pemberian remunerasi

66

yang besar bukanlah tujuan utama dari pelaksanaan reformasi tetapi sebagai dampak

semakin baiknya kinerja seorang pegawai atau instansinya.

Pada saat pemerintahan Presiden SBY inilah bisa dikatakan pilar-pilar reformasi

birokrasi mulai kelihatan wujudnya. Meskipun ada juga beberapa kasus yang muncul,

sebagai contoh kasus di perpajakan yang melibatkan Gayus (pegawai golongan III di Dirjen

Pajak Kementerian Keuangan). Kasus ini dikenal dengan kasus mafia pajak. Kemudian

muncul lagi berbagai kasus yang melibatkan berbagai insitusi terkait mafia kasus (markus).

Kondisi-kondisi ini justeru menunjukkan keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi.

Kasus-kasus yang dahulunya tidak kelihatan menjadi terangkat ke permukaan dan

terungkap.

B. Permasalahan Internal PNS

Dari data dan informasi yang diperoleh dari lapangan dapat disampaikan bahwa

permasalahan internal yang ada dalam pengelolaan PNS mencakup hampir di semua

tahapan. Sejak perencanaan kebutuhan pegawai, seleksi atau rekrutmennya,

penempatannya, promosinya, penikaian kinerjanya, penggajiannya, pengembangannya

sampai pemberhentiannya. Semua tahap tersebut diindikasikan mengandung

permasalahan yang berdampak pada pengelolaan pegawai yang tidak maksimal sehingga

PNS menjadi tidak profesional. Hampir semua narasumber yang ditemui dilapangan

menyatakan bahwa ada masalah dalam pengelolaan pegawai. Berikut ini disampaikan data

dan informasi yang ditemukan di lapangan terkait permasalahan internal tersebut.

a. Penentuan Formasi

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi

Pegawai Negeri Sipil yang merupakan Perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 5

Tahun 1976, terdapat beberapa pengertian formasi. Pertama, formasi diartikan sebagai

penetapan jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan oleh suatu organisasi

berdasarkan kebutuhan yang nyata, dengan memperhitungkan perluasan dan

penyempitan organisasi; kedua, formasi dapat juga didefinisikan sebagai pengendalian

pengadaan yang terarah dan terinci, yang harus disusun berdasarkan struktur

organisasi, jenis, sifat, beban kerja dan menggambarkan susunan pokok piramida

kepegawaian yang serasi, sehingga dapat diambil kepastian adanya kelebihan atau

kekurangan pegawai; dan ketiga, formasi diartikan pula sebagai jumlah dan susunan

67

pangkat PNS yang diperlukan oleh suatu organisasi negara untuk mampu melaksanakan

tugas pokok dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang

bertanggungjawab dalam bidang penertiban dan penyempurnaan aparatur negara

(Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1976).

Tujuan ditetapkannya formasi adalah agar satuan-satuan organisasi tersebut dapat

mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang memadai sesuai dengan beban kerja dan

tanggung jawab pada masing-masing organisasi. Lowongan formasi pada suatu

organisasi pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu : 1) adanya PNS yang berhenti

karena alasan mengundurkan diri, diberhentikan dengan tidak hormat, meninggal

dunia, atau 2) adanya perluasan organisasi sehingga membutuhkan tambahan pegawai.

Penetapan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) secara nasional ditentukan oleh

Kementerian PAN dan RB untuk tiap-tiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah

Daerah, yang memuat jumlah formasi, nama jabatan dan kualifikasi pendidikan tiap-

tiap jabatan dimaksud.

Selama ini penentuan jumlah formasi CPNS setiap tahun yang ditetapkan oleh

Kantor Kementerian PAN dan RB bagi tiap-tiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah

Daerah, belum sepenuhnya didasarkan pada kebutuhan nyata tiap-tiap instansi yang

didasarkan pada hasil analisis beban kerja (ABK) maupun analisis jabatan (anjab).

Padahal penyusunan formasi ini menurut narasumber dari Pemerintah Provinsi

Jogjakarta, merupakan kunci utama dalam melakukan reformasi kepegawaian. Pada saat

penyusunan formasi inilah ditentukan mau seperti apa pegawai yang mau direkrut. Apa

kompetensi yang dibutuhkan, berapa jumlahnya dan sebagainya. Bahkan untuk cara

mudahnya, seringkali penentuan jumlah formasi hanya didasarkan pada jumlah

pegawai yang akan pensiun (masuk BUP). Disisi yang lain, secara nasional penentuan

jumlah formasi CPNS tiap-tiap instansi lebih didasarkan pada ketersediaan jumlah

anggaran yang disetujui oleh Kementerian Keuangan. Jumlah anggaran yang disediakan

untuk membayar gaji pegawai baru ini jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan

dengan jumlah kebutuhan riil tiap-tiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

Hal ini berakibat pada sulitnya organisasi dalam memenuhi baik dari segi kualitas

maupun dari segi kuantitas pegawai yang memadai sesuai dengan beban kerja dan

tanggung jawab tiap-tiap organisasi.

Formasi yang disusun sebagaimana dijelaskan didepan adalah formasi untuk PNS.

Dari hasil analisis terhadap data lapangan ditemukan bahwa tidak semua pekerjaan

yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan harus dikerjakan oleh seorang PNS.

Ada beberapa karakteristik pekerjaan yang tidak perlu dilakukan oleh seorang pegawai

dengan status PNS. Menurut Prof. Dr. Sofian Effendi, Guru Besar UGM Jogjakarta,

68

dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak perlu semua dipegang oleh PNS. Perlu ada

pegawai-pegawai non PNS untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu.

Misalnya pegawai profesional yang bekerja di bidang pendidikan dan kesehatan tidak

perlu berstatus PNS. Kemudian pegawai-pegawai yang bekerja di sektor pendukung

yang tidak strategis, seperti tenaga sopir, tenaga keamanan atau lainnya juga tidak perlu

berstatus PNS tetapi cukup tenaga honorer. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Prof.

Dr. Miftah Thoha, MPA, Guru Besar UGM Jogjakarta, yang menyebutkan bahwa tidak

semua tugas/pekerjaan yang ada di lingkup pemerintah harus dikerjakan oleh PNS

tetapi bisa dilakukan oleh pihak swasta (outsourching). Menurut beliau, dengan kondisi

ini dirasakan akan lebih menguntungkan. Misalnya dilihat dari aspek beban anggaran

tentu lebih ringan karena pemerintah tidak perlu menanggung tunjangan anak, istri

dan pensiun. Selain itu apabila ada masalah terkait kinerja maka bisa sewaktu-waktu

diganti dengan yang lain. Kedua Guru Besar UGM tersebut juga menyebutkan bahwa

kedepan semua formasi PNS harus diisi dengan jabatan-jabatan fungsional yang bisa

menunjukkan spesifikasi pekerjaan tertentu. Sehingga begitu formasi ditetapkan bisa

langsung diketahui tuntutan kompetensi yang dibutuhkan dan begitu formasi tersebut

diisi, CPNS bisa langsung tahu apa tugas dan tanggung jawab pekerjaannya.

b. Rekrutmen

Proses berikutnya setelah ditetapkannya formasi adalah rekrutmen. Yang

dimaksud dengan rekrutmen adalah suatu proses mencari, menemukan dan menarik

calon-calon pegawai untuk dipekerjakan dalam suatu organisasi sebagai langkah awal

mendapatkan calon pegawai yang setepat-tepatnya guna melakukan suatu pekerjaan

atau menduduki suatu jabatan yang tersedia (Pusat Kajian Kinerja SDA, LAN, Evaluasi

Sistem Rekrutmen PNS, 2007).

Rekrutmen PNS atau pengadaan PNS (terminologi yang digunakan dalam

Peraturan Pemerintah) merupakan aspek yang sangat penting untuk mendapatkan

calon-calon pegawai yang tepat. Kegiatan rekrutmen mempunyai peran yang sangat

penting dan menentukan bagi keberhasilan suatu organisasi. Berawal dari sub sistem

inilah baik buruknya organisasi ditentukan, apakah akan menjadi organisasi yang maju

atau justru akan tenggelam. Sistem rekrutmen yang berkualitas menjamin organisasi

memperoleh pegawai yang kompeten sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga

pengelolaan pegawai kedepan akan lebih baik. Namun sebaliknya jika rekrutmen

dilakukan secara sembarangan maka sesungguhnya organisasi melakukan kesalahan

yang sangat besar terhadap investasi pegawainya. Hal ini akan berakibat pada sulitnya

69

dalam : pengembangan pegawai baik, penerapan sistem karir, pemberian reward yang

memadai bagi pegawai dan lain sebagainya.

Banyaknya kecurangan dalam proses rekrutmen, seperti adanya titipan pejabat

atau motif lain berlatar belakang koneksitas dan KKN, jual beli kursi, bocornya soal

ujian, hasil ujian yang dimanipulasi atau lainnya merupakan sebagian kasus rendahnya

kualitas rekrutmen PNS selama ini. Hal ini merupakan salah satu titik lemah dan salah

satu akar masalah yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan. Apabila rekrutmen

pegawai dilakukan dengan cara-cara seperti ini, tidak mengherankan jika kualitas

pegawai yang dihasilkan tidak akan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi

organisasi. Bahkan ada saran dari salah satu narasumber di FISIP Universitas Udayana

Bali yang menyarankan supaya penyelenggaraan tes rekrutmen dikelola secara terpusat.

Pengelolaan ini meliputi pembuatan soal dan pemeriksaan soalnya. Sehingga bisa

dikontrol kualitas dan keamanannya. Sementara dalam penyelenggaraan tesnya bisa

melibatkan pemerintah daerah tetapi tetap dengan supervisi dari pusat. Dalam

penyelenggaraannya harus transparan dan profesional dan tidak ada muatan politis

apapun.

Pada saat rekrutmen inilah seringkali ditemukan berbagai kendala yang bisa

membuat pengelolaan pegawai menjadi tidak baik. Sebagaimana dijelaskan oleh

narasumber dari Pemerintah Provinsi Jogjakarta yang menyebutkan bahwa selama ini

tes rekrutmen yang dilakukan baru mampu mengukur kemampuan akademik saja,

tetapi tidak mampu mengukur perilaku dan moralitasnya. Sehingga seringkali

ditemukan pegawai mempunyai kompetensi tinggi tetapi tidak mampu bekerja

maksimal dan perilakunya tidak terpuji. Maka disarankan dalam rekrutmen ada tes

kognitif untuk mengukur kemampuan akademik dan tes afektif untuk mengukur

perilakunya. Terkait dengan rekrutmen PNS, narasumber dari FISIP Unair Surabaya

menyebutkan bahwa tes rekrutmen yang dilaksanakan saat ini tidak sesuai dengan

kebutuhan formasi yang ada. Karena apapun lowongan formasi yang ada tes yang

dilaksanakan sama. Misalnya formasi untuk dokter, guru, sekretaris atau formasi yang

lain materi tes yang diujikan sama, hanya dibedakan menurut tingkat pendidikannya

saja (SLTA, D3 atau Sarjana). Sehingga spesifikasi kemampuan yang dibutuhkan untuk

masing-masing formasi hanya dilihat dari ijasahnya saja.

c. Penempatan

Penempatan PNS pada posisi yang tepat bukan saja menjadi idaman setiap

instansi, tetapi menjadi keinginan setiap PNS. Dengan demikian maka PNS dapat

mengetahui ruang lingkup pekerjaan yang diberikan, disamping juga dapat

70

meningkatkan semangat dan kegairahan kerja serta disiplin kerjanya. Kesesuaian antara

kemampuan yang dimiliki pegawai dengan tuntutan tugas dan tanggung jawab dalam

jabatannya menjadi kunci utama dalam peningkatan kinerja pegawai. Maka prinsip

right man on the right place harus benar-benar menjadi pegangan utama dalam tahap

penempatan pegawai. Akan tetapi pada kenyataannya, pada saat ini penempatan PNS

masih jauh dari prinsip tersebut. Hal ini berakibat pada tidak terpenuhinya kebutuhan

suatu unit akan pegawai yang mempunyai kompetensi sesuai kebutuhannya. Sementara

pegawai yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan justeru ditempatkan pada unit

yang tidak membutuhkan kompetensi tersebut. Di lingkungan PNS kondisi seperti ini

hampir terjadi pada setiap instansi.

Penempatan pegawai yang terkait dengan promosi jabatan khususnya dalam

jabatan struktural juga menghadapi permasalahan yang sama. Promosi pegawai untuk

menempati jabatan struktural lebih banyak ditentukan oleh selera pimpinan,

sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang narasumber di Pemerintah Provinsi Nusa

Tenggara Barat. Kondisi ini semakin berkembang sejak kebijakan otonomi daerah

diluncurkan pemerintah. Dimana pemerintah daerah diberi kewenangan yang cukup

luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Bahkan narasumber di FISIP

Universitas Udayana Bali mencatat bahwa ada penempatan yang tidak sesuai dengan

formasi yang dilamar. Seharusnya penempatan seorang pegawai harus sesuai dengan

formasi yang dilamar, yang artinya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, latar

belakang pendidikannya dan juga tentu saja pengalaman kerja yang dimilikinya.

Kondisi ini diperparah karena manajemen kepegawaian saat ini belum

menerapkan sistem merit secara sungguh-sungguh. Meskipun secara kebijakan sudah

diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian, yang menegaskan bahwa pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan

sistim prestasi kerja dan sistim karier yang dititikberatkan pada sistim prestasi kerja.

Sistem merit mendorong terciptanya kompetisi yang sehat, berdasarkan kompetensi

dan kinerja pegawai. Hanya pegawai yang berprestasi dan memiliki kinerja unggul yang

berhak menduduki suatu jabatan. Inilah pola karier yang ideal yang didasarkan pada

prestasi kerja. Namun kenyataan yang terjadi selama ini, promosi pegawai tidak

didasarkan pada prestasi kerjanya tetapi lebih ditentukan oleh selera pimpinan, unsur

kedekatan, serta pertimbangan administratif yang belum menjamin kualitas atau

kompetensi yang dimiliki pegawai. Dampaknya banyak promosi pejabat struktural yang

tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya sehingga pada akhirnya tidak mampu

melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya dengan baik. Pola karier yang

terbangun menjadi tidak menentu, tidak sejalur atau sesuai antara tuntutan kompetensi

71

jabatan dengan kompetensi yang dimiliki pegawai. Hal ini sebagaimana diungkapkan

oleh narasumber dari Pemerintah Provinsi Riau yang menyebutkan bahwa pola karier

PNS seharusnya segaris dalam kompetensinya. Misalnya seorang pegawai yang

berkarier dan menguasai kompetensi terkait keuangan maka diharapkan karier

tertingginya adalah Kepala Bagian Keuangan atau Asisten Bidang Ekonomi. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa, pegawai ditingkat bawah sebaiknya mempunyai kompetensi

teknis yang spesifik/khusus, selanjutnya seiring dengan peningkatan kariernya maka

kompetensi yang dimiliki menjadi semakin general (khususnya untuk kompetensi yang

bersifat administrasi/ manajerial), tetapi kemampuan teknis yang dimiliki tetap spesifik

dan menjadi semakin detail atau semakin menjadi pakar.

Melihat kondisi tersebut maka penempatan pegawai seharusnya didasarkan pada

analisis jabatan, analisis kompetensi serta kinerja pegawai. Demikian pula halnya

dengan promosi pegawai bukan lagi semata-mata bagi-bagi jabatan kepada pegawai

yang secara personal dekat dengan pimpinan, akan tetapi harus didasarkan pada

pertimbangan profesional. Tantangannya adalah, bagaimana lingkungan birokrasi

mengangkat dan menempatkan pegawai atas dasar kompetensi dan kemampuan

pegawai. Posisi PNS saat ini sangat lemah dalam hal kariernya, sebagaimana dijelaskan

oleh narasumber dari Pemerintahan Provinsi Riau, seorang PNS mau kerja rajin atau

malas, mau berkinerja tinggi atau rendah tetap tidak tahu mau kemana kariernya

karena yang menentukan adalah pejabat politis. Apakah mau dipromosi, dimutasi atau

bahkan diberhentikan tidak bisa menolak. Dalam hal ini, narasumber dari

Pemerintahan Provinsi Riau mengusulkan perlunya Baperjakat (Badan Pertimbangan

Jabatan dan Kepangkatan) sebagai badan yang berwenang dan bertanggung jawab

dalam promosi pegawai untuk memperhatikan masukan data dari pihak yang

berkompeten (misalnya bagian kepegawaian), yaitu dengan mencermati track record

pegawai yang akan dipromosi.

d. Pengembangan Pegawai Membahas pengembangan SDM aparatur pemerintah tentu tidak akan terlepas dari

peraturan yang mendasarinya, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun

1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pertimbangan yang memunculkan undang-undang

ini adalah adanya keyakinan bahwa untuk mencapai tujuan nasional Republik Indonesia

diperlukan PNS yang terampil menjalankan perannya sebagai abdi masyarakat yang

menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, serta menjaga persatuan dan kesatuan

bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini diperlukan

sosok PNS yang mampu melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan secara

72

profesional dan bertanggung jawab, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Kebutuhan

ini tentu saja menuntut dilakukannya penyempurnaan pada upaya-upaya pengelolaan PNS.

Dalam pengelolaan PNS harus diupayakan agar setiap PNS mempunyai kesempatan

untuk menampilkan prestasi kerja secara optimal. Karena prestasi kerja inilah yang menjadi

dasar dalam pengambilan keputusan untuk penempatan PNS. Untuk kepentingan itu, maka

dalam manajemen PNS dilakukan pengaturan dalam penyelenggaraan pendidikan dan

pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan dan

keterampilan PNS. Hal ini bertujuan supaya seorang PNS mampu melaksanakan tugas dan

tanggung jawabnya sehingga bisa menghasilkan prestasi kerja sebagaimana yang diharapkan.

Dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan harus diawali dengan melakukan analisis

kebutuhan pendidikan dan pelatihan (Training Needs Asessment). Dalam kegiatan ini yang

dilakukan adalah mengidentifikasi adanya kesenjangan kemampuan antara tuntutan jabatan

dengan kemampuan nyata yang dikuasai pegawai. Hasil dari analisis kebutuhan diklat tersebut

selanjutnya menjadi acuan dalam menyusun desain program pendidikan dan pelatihan mulai

dari penetapan tujuan pelatihan, penetapan kurikulum/silabi, penetapan metode, penetapan

peserta dan tenaga pengajar, strategi, evaluasi maupun sarana dan prasana yang diperlukan.

Sebagaimana disarankan oleh narasumber dari Universitas Riau, bahwa dalam rangka tersebut

maka diperlukan database kepegawaian yang selalu di-update. Database ini harus memuat

berbagai informasi yang bukan hanya memuat data identitas pegawai saja tetapi juga memuat

data kompetensinya. Dengan demikian program pendidikan dan pelatihan yang

diselenggarakan benar-benar mampu mengatasi kesenjangan kompetensi dan mampu

membentuk PNS menjadi profesional, memiliki pengetahuan, sikap atau nilai etika

pemerintahan yang baik (good governance) dan keahlian yang diperlukan dalam meningkatkan

kualitas kinerja pelayanan publik.

e. Penggajian dan Reward Salah satu fokus utama dalam reformasi birokrasi di Indonesia adalah penataan gaji PNS.

Sistem penggajian PNS saat ini banyak yang mengkritik. Dari hasil kajian yang dilakukan LAN

pada tahun 2008 dengan judul Sistem Penggajian PNS di Indonesia, berhasil diidentifikasi

empat permasalahan dalam system penggajian PNS, yaitu : (1) terkait dengan nilai nominal

yang menyatakan masih jauh dari jumlah ideal untuk meningkatkan kesejahteraannya, (2)

terkait dengan sistem pembayarannya yang dibayar diawal bulan sehingga kurang memotivasi

73

PNS untuk bekerja maksimal, (3) terkait dengan sistemnya yang belum mengakomodasi beban

kerja, tanggung jawab dan pada prestasi kerja sehingga semua PNS dalam golongan yang sama

menerima nominal gaji yang sama tanpa melihat apakah dia rajin atau malas, pandai atau bodoh

dan berkinerja atau tidak, (4) terkait dengan variabel penggajian yang melihat pada aspek masa

kerja dan golongan/ruang.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2009 tentang Peraturan Gaji PNS

disebutkan bahwa gaji pokok PNS terendah adalah sebesar Rp 1.040.000 (PNS Gol. I/a dengan

masa kerja 0 tahun) dan gaji tertinggi adalah sebesar Rp 2.306.500 (PNS Gol. IV/e dengan masa

kerja 0 tahun). Dari besaran tersebut terlihat bahwa perbandingan antara gaji terendah dengan

gaji tertinggi kurang lebih adalah 1 : 3. Kondisi ini tentu kurang rasional apabila dilihat dari

perbedaan masa kerja PNS yang selama 32 tahun. Kondisi inilah yang membuat sistem

penggajian PNS saat ini kurang mempertimbangkan rasa keadilan. Demikian pula halnya

dengan tidak adanya perbedaan antara gaji PNS diberbagai daerah yang tingkat kebutuhan

beban hidupnya berbeda-beda. Nilai uang satu juta di daerah Jogjakarta tentu tidak sama

dengan di daerah Papua. Kondisi ini tentu harus diakomodasi dalam sistem penggajian PNS

yang baru apabila pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan kesejahteraan PNS-nya.

Dampak selanjutnya dari sistem penggajian PNS yang kurang bagus adalah tingkat

kesejahteraan PNS yang masih rendah. Kondisi kesejahteraan yang memprihatinkan ini sangat

mempengaruhi kinerja dan perilaku PNS.

Narasumber dari Universitas Brawijaya Malang menyarankan perlunya perbaikan dalam

system penggajian PNS dengan mempertimbangkan pay for performance, pay for person, pay

for position dan pay for live. Pay for performance untuk mengakomodasi kinerja, pay for

person untuk mengakomodasi kompetensi, pay for position untuk mengakomodasi jabatan/

tanggung jawab dan pay for live untuk mengakomodasi perbedaan beban hidup. Ini konsep ini

diyakini PNS akan bisa bekerja dengan maksimal dan termotivasi untuk selalu meningkatkan

kinerjanya.

f. Penilaian Kinerja

Pada hakekatnya penilaian kinerja adalah suatu proses untuk mengevaluasi atau

menilai kinerja pegawai. Penilaian kinerja yang dilaksanakan dengan baik dan tertib,

akan dapat membantu meningkatkan motivasi kerja dan loyalitas pegawai. Dengan

dilaksanakannya penilaian kinerja yang baik, paling tidak para pegawai akan

mengetahui sampai dimana dan bagaimana prestasi kerjanya diukur dan dinilai oleh

atasan dan tim penilai. Kelebihan maupun kekurangan yang ada dari hasil penilaian

74

tersebut akan dapat memberikan motivasi bagi kemajuan-kemajuan pegawai pada masa

yang akan datang. Pada saat ini sebagaimana dikemukakan oleh Miftah Thoha MPA,

Guru Besar UGM Jogjakarta, penilaian kinerja PNS dengan menggunakan DP3 tidak

jelas, tidak tegas dan tidak transparan. Kondisi ini berdampak hasil pengukuran

kinerjanya bukan merupakan kinerja nyata pegawai.

Hal yang sama juga oleh narasumber dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang

menyatakan bahwa DP3 saat ini tidak relevan lagi untuk menilai kinerja pegawai.

Bahkan dalam praktiknya, seringkali ada yang mengisi sendiri nilai-nilai dalam DP3-

nya. Kemudian nilainya tidak boleh turun dari nilai tahun sebelumnya. Narasumber ini

juga menjelaskan berbagai kelemahan dalam DP3, misalnya DP3 tidak mempunyai

standar penilaiannya, sehingga apabila pegawai pindah dari satu unit ke unit lainnya

nilai DP3-nya bisa tertinggi atau terendah. Hal ini bisa terjadi karena ada atasan atau

pejabat penilai yang royal dalam memberi nilai tetapi ada juga pejabat yang pelit.

Disinilah kelemahan DP3 yang lain, yaitu subjektivitas penilai karena tidak adanya

standar dalam pemberian nilai DP3. Narasumber dari Provinsi Nusa Tenggara Barat

menambahkan bahwa penilaian kinerja dengan DP3 tidak terkait dengan langsung

dengan reward and punishment system. DP3 hanya dijadikan sebagai persyaratan

administrasi saja khususnya untuk keperluan kenaikan pangkat dan jabatan. DP3 juga

dinilai tidak objektif, bias subjektivitasnya yang tinggi.

Penilaian kinerja pegawai sebaiknya dilakukan secara sistematik terhadap hasil

kinerja dan potensi yang dimiliki pegawai dalam upaya mengembangkan diri untuk

kepentingan organisasinya. Dalam penilaian kinerja, sasaran yang menjadi obyek

penilaian antara lain kecakapan dan kemampuan dalam melaksanakan tugas, cara

membuat laporan atas pelaksanaan tugas, ketegaran jasmani maupun rohani dalam

bekerja dan sebagainya. Hasil penilaian kinerja yang tinggi akan diberikan kepada

pegawai yang memiliki disiplin dan dedikasi yang baik, berinisiatif positif, sehat

jasmani dan rohani, bersemangat bekerja dan mengembangkan diri dalam pelaksanaan

tugas, pandai bergaul dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut maka penilaian kinerja harus dikelola secara

profesional dan oleh orang yang profesional, mengingat wilayah yang ditangani adalah

wilayah yang paling sensitif sebab menyangkut kinerja itu sendiri, penilaian kinerja

berikut dampaknya pada suasana kerja, dan pemberian kompensasi serta berbagai

bentuk penghargaan lainnya kepada pegawai yang bekerja dalam suatu organisasi.

Pengelolaan penilaian kinerja pegawai, selama ini kita kenal dengan istilah manajemen

prestasi kerja atau manajemen kinerja.

75

Pada situs www.menpan.go.id disebutkan bahwa saat ini Kantor Kementerian

PAN dan RB tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang

Penilaian Kinerja PNS. Perubahan yang sangat mendasar pada sistem penilaian yang

sedang digarap tersebut adalah adanya unsur Sasaran Kinerja Individu (SKI). Penilaian

ini bertujuan untuk lebih mendorong karier PNS, karena instrumen penilaian berupa

SKI, yang melibatkan seorang PNS mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan output

yang dibebankan kepada PNS yang bersangkutan. Apabila penilaian sasaran kinerja

individunya tidak baik, maka penilaiannya tidak baik. Masih dalam situs yang sama

disebutkan oleh Deputi Bidang SDM Aparatur PAN, bahwa setiap PNS harus

menyusun SKI berdasarkan Rencana Kerja Tahunan. SKI disetujui dan ditetapkan oleh

pejabat penilai yang memuat kegiatan tugas pokok jabatan, bobot kegiatan, sasaran

kerja dan target yang harus dicapai. SKI bersifat nyata dan dapat diukur. Nilai bobot

kegiatan didasarkan pada tingkat kesulitan dan prioritas dengan jumlah bobot

keseluruhan 100 yang ditetapkan setiap tahun pada bulan Januari.

g. Pemberhentian Permasalahan yang berhasil diidentifikasi Tim terkait masalah pemberhentian adalah

sulitnya memberhentikan atau “memecat” seorang PNS dan tidak jelasnya tata cara dalam

perpanjangan BUP (batas usia pensiun). Sulitnya memecat PNS karena tidak tegasnya peraturan

yang ada dan masih lemahnya penegakan peraturan tersebut. Seorang PNS yang melanggar

peraturan maka harus dilakukan teguran lisan apabila masih melakukan pelanggaran maka

dilanjutkan dengan melalui surat peringatan pertama, kedua dan ketiga. Sebagai contoh

sulitnya memecat seorang PNS adalah apabila PNS yang tidak masuk kerja selama 3 (tiga) bulan

berturut-turut bisa dikeluarkan. Pada praktiknya PNS tidak mungkin tidak masuk kerja selama

tiga bulan berturut-turut karena mereka akan masuk pada saat mengambil gaji. Sehingga

prasyarat tiga bulan berturut-turut tidak bisa terpenuhi.

Selanjutnya dalam perpanjangan BUP, Tim juga mengidentifikasi adanya ketidakjelasan

dalam pengaturannya. Menurut narasumber dari Universitas Riau, perpanjangan BUP ini sering

diberikan kepada pejabat-pejabat yang dekat dengan pejabat politis. Bukan karena

pertimbangan yang profesional, misalnya karena kemampuan yang dimiliki, belum ada

pengganti yang tepat atau lainnya tetapi lebih karena alasan politis tertentu.

76

C. Permasalahan Eksternal PNS

Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi yang menjadi cikal bakal jajaran PNS Indonesia

adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi

berkaitan dengan birokrasi tersebut diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa

daripada pemenuhan hak sipil warga Negara. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang

dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan

sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Misi utama birokrasi menurut paham kolonial tersebut adalah untuk mempertahankan kekuasaan

dan mengontrol perilaku individu. Ungkapan yang sering didengar adalah "kalau bisa dibuat sulit,

mengapa harus dimudahkan". Ini fakta sosial, birokrasi lebih seperti pangreh praja dari pada

pamong praja, lebih ingin dilayani dari pada melayani. Anekdot seperti penyebutan istilah pamong

raja yang dipelintir menjadi among raja atau pelayan raja juga merendahkan martabat jajaran

birokrasi tersebut.

Buruknya mentalitas birokrasi yang kemudian disebut sebagai PNS kita saat ini, tidak

terlepas dari warisan mentalitas, birokrasi kolonial, yang berfungsi mengawasi dan mengontrol,

serta menguasai masyarakat, bukan melaksanakan dan menjalankan pemerintahan dengan baik,

dalam melayani dan melindungi masyarakat dari kesewenangan. Kewenangan yang terlalu besar

itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana

kebijakan, lebih bersifat menguasai dari pada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika

kemudian PNS lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber

solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Fenomena itu terjadi karena tradisi PNS yang

dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dengan segala sumber dayanya,

bahkan kemudian terjadi politisasi PNS.

Dengan kata lain, PNS dijadikan mesin negara dalam mengontrol perilaku masyarakat,

sekaligus memanfaatkannya untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam kultur demikian, korupsi,

kolusi dan nepotisme adalah hal biasa dalam dunia kerja PNS. Kooptasi terhadap PNS ini berlarut-

larut, tidak saja terjadi pada masa kolonial, bahkan pada masa Orde Baru PNS tak bisa dibedakan

dengan single majority Golkar sebagai penguasa.

Reformasi politik 1998 adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika

politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi PNS. Fakta

sosial menunjukkan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga kini, akibatnya

masyarakat tidak dapat banyak memetik manfaat nyata dari reformasi politik tahun 1998. Sebagai

bukti nyata atas situasi tersebut adalah buruknya pelayanan publik, misalnya biaya yang harus

77

dikeluarkan masyarakat secara ilegal dalam pengurusan berbagai dokumen, seperti pengurusan

KTP, pembuatan SIM, perpanjangan STNK, pengurusan IMB, sertifikat tanah, ijin usaha, tata

kelola pengadaan barang dan jasa pemerintah yang banyak menimbulkan kerugian negara, dan

lain-lain.

Setelah reformasi 1998 bergulir, kooptasi terhadap PNS tidak berhenti, tetapi mengalami

metamorfosis yang dicirikan dengan multikooptasi oleh beragam partai politik dan kepentingan.

Keadaan ini membentuk tidak saja sikap, perilaku, nilai, kultur para pejabat, dan sistem kerja,

tetapi juga cara pandang dan budaya interaksi rakyat terhadap PNS. Bahkan praktik pemilihan

langsung kepala daerah menyebabkan instabilitas dalam tubuh PNS. Promosi jabatan dipenuhi

kepentingan dan afiliasi politik PNS terhadap kepala daerah.

Aspek politik dan hukum menjadi begitu penting, reformasi PNS menjadi isu penting untuk

mendapat kajian tersendiri, serta direalisasikan secara konsisten. Terlebih lagi, dikarenakan jajaran

PNS pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi

keterpurukan Bangsa Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan. PNS yang telah dibangun oleh

pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya kental dengan korupsi, kolusi dan

nepotisme (KKN). Namun demikian, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin

keberlangsungan reformasi PNS dapat terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah

pasca reformasi terhadap reformasi PNS ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya

komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam

PNS pemerintahan Indonesia selama ini.

Tidak berbeda dengan rezim sebelum Orde Baru, di era pasca reformasi PNS menjadi alat

mempertahankan kekuasaan. Para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah

ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan non-karier.

Sikap mental seperti ini dapat membawa PNS dalam pemerintahan Indonesia kembali kepada

kondisi PNS pada masa lalu.

Lahirnya Undang-undang 22 Tahun 1999 melahirkan persoalan baru, termasuk pengelolaan

kepegawaian. Undang-undang 32/2004 sebagai perubahan dari Undang-undang 22 Tahun 1999

masih memunculkan permasalahan dalam tata kelola PNS khususnya hubungan antara PNS pusat

dan daerah yang banyak diwarnai intervensi politik. Menurut Gamawan Fauzi, Menteri Dalam

Negeri, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dalam wawancara dengan Tempo Interaktif (2010),

terbukti dari hasil evaluasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang

Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, perkembangan 57 daerah otonom baru

78

dengan usia dibawah 3 tahun menunjukkan 80 persen bermasalah berkaitan dengan belum

terlaksananya antara lain penyerahan personel.

Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti, terdapat beberapa

permasalahan eksternal dalam pengelolaan PNS sebagaimana dijelaskan berikut ini :

1. Permasalahan Pertama “Pembina Kepegawaian”

Semenjak diberlakukannya otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berikut perubahannya, Undang-undang Nomor

32 Tahun 2004, berbagai persoalan muncul antara PNS pusat dan daerah terutama dalam

masalah pembinaan kepegawaian. Menurut Prof. Dr. Sofian Effendi dari Universitas

Gadjah Mada, berpendapat bahwa salah satu sumber masalah pembinaan kepegawaian

karena Ryaas Rasyid sebagai Menteri Negara Otonomi Daerah yang membidani lahirnya

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyetujui lahirnya Peraturan Pemerintah

Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural,

menempatkan pejabat politis, Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati dan pejabat politis

lainnya menjadi pembina PNS. Masalah pembina kepegawaian menjadi simpang siur

karena kepentingan politis di dalam PNS pemerintahan tidak dapat tertahan.

Berdasarkan masukan dari beberapa narasumber, antara lain Sekretaris, Kepala

Bidang Mutasi dan beberapa pejabat struktural lain di lingkungan Badan Kepegawaian

Daerah (BKD) Provinsi Sulawesi Selatan juga didukung pernyataan dari Dekan FISIP dan

para dosen dari Universitas Hasanuddin, mengatakan bahwa persoalan tersebut diatas

dapat ditangulangi dengan cara menempatkan sekretaris daerah sebagai pejabat karir

tertinggi dalam birokrasi di daerah demi menghindari intervensi kuat terhadap PNS, jika

pembina kepegawaian dipegang oleh kepala daerah. Logikanya, Sekretaris Daerah, Daerah,

BKD Lombok Tengah, dan BKD Kota Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat,

mengatakan bahwa pembina kepegawaian dipegang oleh pejabat politis sangat tidak tepat

karena mereka hanya berkuasa lima tahun. Sebaliknya, menurut narasumber dari BKD

Provinsi Bali, bahwa seorang Sekretaris Daerah merupakan pejabat senior yang meniti

karier dari bawah lebih memahami dan mengetahui seluk beluk permasalahan PNS dan

mampu memberikan solusi bagi perbaikan kinerja PNS. Sayangnya, posisi sekretaris

daerah saat ini terhitung paling rawan terkait dengan politisasi birokrasi. Menurut

narasumber Sekretaris Daerah, Kepala BKD, Kepala Biro Hukum dan Organisasi

Perundangan Provinsi Riau, tidak jarang, sekretaris daerah dengan mudahnya dicopot

79

karena berseberangan dengan kepala daerah, Bupati/Walikota, untuk kemudian menjadi

staf ahli sampai masuk usia pensiun.

Prof. Dr. Miftah Thoha dari MAP Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta juga

didukung oleh BKD Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, berpendapat bahwa

saat ini kewenangan sekretaris daerah tidak terlepas dari pejabat politik. Oleh karena itu

narasumber memandang penting adanya Undang-Undang Birokrasi Pemerintah yang di

dalamnya ada ketentuan mengatur partai politik yang membina PNS. Intervensi pejabat

politik dapat dibendung melalui pengetatan standar dan prosedur pengelolaan PNS yang

memungkinkan perpindahan pegawai kabupaten ke provinsi. Sebagai perwakilan

Pemerintah Pusat di daerah baru kemudian diatur oleh Pemerintah Pusat.

2. Permasalahan Kedua “PNS Perekat Kesatuan dan Persatuan Bangsa”

Upaya resentralisasi pembinaan kepegawaian PNS melalui Undang-undang Nomor 32

Tahun 2004, Pasal 129 yang menyebutkan “pemerintah melakukan pembinaan manajemen PNS

daerah yang meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,

penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, maupun pengembangan

kompetensi dan pengendalian jumlah, ternyata tidak juga memecahkan masalah karena sudah

terlanjur ada stigma pegawai daerah diurus oleh daerah, sedangkan pusat hanya mengurus pegawai

pusat saja. Akibatnya, nasib PNS daerah masih bergantung pada kebijaksanaan, wisdom, kepala

daerah, bukan sekretaris daerah yang diharapkan lebih mengerti bagaimana kebutuhan sumber

daya manusia di lingkungan pemerintahan. Menurut Sekretaris, Kepala Bidang Mutasi, dan

beberapa pejabat struktural di lingkungan Provinsi Sulawesi Selatan, tidak perlu ada pengkotakan

antara PNS pusat dan daerah. Konsekuensiya, PNS sebagai perekat persatuan bangsa hanya hanya

ada satu yaitu PNS Indonesia.

Di lain pihak, adanya kesenjangan kompetensi dan kinerja antara pegawai pusat dan daerah

dimana pegawai daerah belum mampu mengejar ketertinggalan dari rekan-rekannya di pusat

sangat memerlukan perhatian bersama. Upaya untuk memukul rata kemampuan pegawai daerah

sama dengan pusat melalui otonomi daerah akan sia-sia belaka apabila pemerintah daerah tidak

paham bagaimana membina pegawai mereka. Untuk itu, pentingnya pengelolaan PNS satu pintu

terutama dalam hal pembinaan masih dirasa perlu demi menghindari masuknya orang-orang baru

yang sama sekali tidak mengenal etos kerja PNS yang pada akhirnya merusak jenjang karir mereka

di daerah sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Miftah Thoha, dari MAP Universitas

Gadjah Mada, mengatakan bahwa saat ini pimpinan lembaga bertanggung jawab dalam

pengelolaan pegawai tidak mempunyai komitmen dan pemahaman yang memadai terkait

80

substansi, kondisi ini berdampak pada kebijakan yang dikeluarkan menjadi bersifat parsial tidak

holistik, khususnya dalam melakukan reformasi PNS.

Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto (Guru Besar Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta)

mengungkapkan bahwa PNS di negara manapun mempunyai tiga peran mendasar, yaitu : pertama,

sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Kedua,

melakukan fungsi manajemen pelayanan publik, dan ketiga, PNS harus mampu mengelola

pemerintahan. Didalam melaksanakan peran PNS tersebut, maka sosok PNS dituntut memiliki

integritas dan berkepribadian sehingga amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, yaitu PNS

sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara dapat diwujudkan.

Oleh karena itu, PNS sebaiknya juga tidak perlu dibedakan antara PNS pusat dan daerah.

Kebijakan non-diskriminatif tersebut sangat diperlukan guna meningkatkan rasa persatuan dan

kesatuan bangsa. Seperti disampaikan oleh narasumber dari Universitas Hasanuddin, sebaiknya

PNS dapat berkarier di seluruh wilayah Indonesia. Istilah PNS pusat dan PNS daerah, hanya

menunjukkan lokasi tugas bukan dalam hal kebijakan pengelolaannya sebagaimana disampaikan

oleh Prof. Dr. Sofian Effendi dari Universitas Gadjah Mada.

3. Permasalahan Ketiga “Netralitas PNS”

Berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung pada pertengahan

tahun 2005 serta diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menurut

pendapat narasumber Sekretaris, Kepala Bidang Mutasi, dan beberapa pejabat struktural di

lingkungan Provinsi Sulawesi Selatan, membuka peluang bagi kepala daerah dan institusi politik

afiliasinya memanfaatkan PNS untuk kepentingan-kepentingan politik kepala daerah. Terlebih

lagi, menurut pendapat dari narasumber BKD di Provinsi Bali, aturan terkait dengan pemilukada

tidak memberikan penjelasan bagaimana adanya larangan calon kepala daerah incumbent

menggunakan fasilitas sarana dan prasarana milik negara sebagai modal untuk pelaksanaan

kampanye calon incumbent sehingga perlu ketegasan.

Senada dengan narasumber dari Provinsi Sulawesi Selatan, narasumber dari Universitas

Hasanuddin mengatakan bahwa kuatnya intervensi elite daerah dalam menentukan formasi

jabatan di daerah khususnya kepala daerah sangat terasa sehingga amanat peraturan perundangan

tentang netralitas PNS sulit terwujud. Terlebih lagi, kebijakan otonomi daerah memunculkan isu

tambahan tentang konsep putera daerah yang mengesampingkan kemampuan seorang PNS karena

81

adanya pertalian kekerabatan. Apabila isu putera daerah tetap dibiarkan mengemuka dapat

berakibat merebaknya praktek nepotisme yang berujung pada korupsi dan kolusi dikalangan

birokrasi pemerintahan daerah. Mutasi terkendala dengan adanya kepala daerah, Bupati/Walikota,

yang tidak mau menerima pindahan pegawai dari daerah lain karena alasan mengembangkan

pegawainya sendiri. Akhirnya, peluang menjadi PNS di daerah hanya terbuka bagi penduduk

daerah setempat saja.

Berdasarkan pendapat dari Prof. Dr. Sofian Effendi dari MAP Universitas Gadjah Mada,

diperlukan adanya pemisahan antara pejabat politik dan karir. Batasan antara wilayah birokrasi

dan wilayah politis harus dipertegas agar tidak terjadi penyimpangan dan intervensi ke wilayah

birokrasi. Pertimbangannya, political will dari para pejabat politik terutama Presiden dirasa masih

kurang terutama dengan pengangkatan menteri yang berasal dari partai politik. Menteri yang

bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS, ternyata terbukti tidak kompeten dalam memahami

permasalahan pengelolaan PNS. Pejabat politik secara garis besar tidak memiliki kemampuan

seperti pejabat karir (PNS) sehingga pejabat politik tidak boleh memimpin pejabat karir. Persoalan

di daerah menunjukkan besarnya intervensi politis karena batasan wilayah birokrasi dan politis

masih banyak wilayah abu-abu (grey area), sehingga menyuburkan politisasi PNS. Upaya

mempertegas pemisahan pejabat politik dan karir ini akan mendukung netralitas PNS agar tidak

berpolitik praktis serta mengurangi terjadinya politisasi birokrasi.

Selanjutnya, narasumber dari Universitas Riau menegaskan pentingnya memudarkan

wilayah abu-abu tersebut didalam lingkungan PNS karena adanya dua (2) jenis jabatan pimpinan,

yaitu pejabat yang elected dan pejabat yang appointed. Saat ini, kedua jabatan ini ditentukan oleh

pejabat politis yang lebih tinggi. Pangkal masalahnya adalah pejabat yang elected (dipilih) adalah

pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis, misalnya kepala daerah, merasa lebih

berhak mengatur pejabat appointed. Pada prakteknya, pejabat elected memiliki kompetensi yang

tidak/kurang sesuai dengan jabatannya karena mereka menjabat lebih karena menonjolkan

popularitasnya. Oleh karena itu, keberadaan mereka perlu didukung oleh para pejabat appointed

(ditunjuk) yang didukung dengan kompetensi yang sesuai dengan jabatan yang diduduki, misalnya

posisi-posisi strategis, seperti menteri, staf ahli dan sebagainya.

Pendapat Prof. Dr. Miftah Thoha dari MAP Universitas Gadjah Mada, mengatakan

perlunya sistem yang mampu membuat PNS netral dalam bentuk kebijakan, yaitu berupa

peraturan yang jelas dan tegas dalam mengatur batas dan sanksinya. Dengan cara ini,

menurut narasumber dari FISIP Universitas Airlangga, kebijakan-kebijakan politis yang

terkait dengan pengelolaan PNS seperti pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS tidak

82

akan terjadi lagi. Selain itu, aturan semisal mengenai seleksi PNS di provinsi sudah harus

menyertakan pihak ketiga (independen) sehingga bisa meminimalisir kepentingan-

kepentingan tertentu dari para pejabat politis.

4. Permasalahan Keempat “Lembaga Independen atau Komisi Kepegawaian Negara”

Masalah pengelolaan PNS di Indonesia tidak dapat diserahkan begitu saja kepada

pemerintah pusat maupun daerah tanpa ada kejelasan terkait kewenangan dalam hak dan

kewajiban apabila terjadi permasalahan akibat intervensi politik dalam birokrasi. Dalam

kondisi ini memang diperlukan satu lembaga yang independen untuk menentukan

berbagai posisi dalam birokrasi (pemerintahan, jabatan karier). Menurut Prof. Dr. Sofian

Effendi dari MAP Universitas Gadjah Mada, keberadaan Badan Pertimbangan Jabatan

Nasional (Baperjanas) harus diketuai oleh Presiden walau dalam pengambilan

keputusannya tetap memerlukan anggota yang independen, tidak berafiliasi dengan

kepentingan politis (anggota para politik, menteri dan sebagainya). Komisi Kepegawaian

Negara (KKN) seperti diamanatkan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 perlu segera

dibentuk sebagai lembaga regulator dan evaluator untuk rekrutmen sampai pensiun

terutama dalam penetapan norma. Keputusan KKN mengikat bagi PNS, dan sebagai

evaluator bisa memberi sanksi kepada PNS melalui instansi terkait.

Berdasarkan pendapat narasumber dari Provinsi Sulawesi Selatan, demi menjaga

integritas KKN, syarat independensi keanggotaan pada KKN wajib dipenuhi. KKN diisi

oleh akademisi, birokrat dan bisnis atau swasta. Anggota KKN dipilih oleh Presiden

sebagai kepala negara bukan sebagai kepala pemerintahan. Sekretariatnya pun dengan

demikian harus lepas dari eksekutif. Berkaca dari pengalaman pengelolaan manajemen PNS di Inggris, Prof. Gavin Drewry dari

University of London dan Claire Cameron dari Public Administration Institute, keduanya

mengungkapkan pentingnya keberadaan Civil Service Commission (CSC) dengan tujuan supaya

dapat memilih atau memperoleh PNS yang profesional bebas dari intervensi politis. Mereka tidak

memungkiri bahwa di negara mereka, para PNS juga tidak bebas dari intervensi politis karena

adanya spoil system dalam pengelolaan kepegawaiannya. Oleh karena itu, Prof. Drewry dan

Cameron berpendapat bahwa faktor strong leadership memegang peran yang sangat besar dalam

upaya mewujudkan birokrasi yang profesional. Selanjutnya untuk menghindari pengaruh politis

lebih jauh ke dalam dunia PNS, mereka memandang bahwa penegasan tugas dan kewenangan PNS

wajib dituangkan di dalam suatu kebijakan atau peraturan, termasuk di dalamnya mengatur fungsi

dan kedudukan top leader dalam birokrasi yang memang pejabat politis (Presiden, Gubernur,

Bupati, Menteri). Pejabat politis menurut kedua narasumber tidak bersifat permanen karena

83

mereka dipilih lima tahun sekali sehingga sangat mungkin banyak kepentingan yang menjadi

agenda dalam lima tahun tersebut.

5. Permasalahan Kelima “Budaya Kerja PNS”

Permasalahan eksternal tentu saja tidak dapat diselesaikan semata-mata hanya

dengan menuntaskan persoalan manajemen, akan tetapi persoalan budaya kerja

memerlukan perhatian sangat serius. Menurut pendapat Prof. Dr. Sofian Effendi dari MAP

Universitas Gadjah Mada, perombakan budaya kerja PNS sangatlah rumit sehingga

berbeda dengan dunia kerja swasta karena seluruh sumber daya yang ada akan

mendukung. Di dalam lingkungan birokrasi pemerintahan, perubahan budaya kerja tidak

serius dilakukan. Local wisdom atau kearifan lokal belum mendapatkan porsi yang tepat di

dalam pengelolaan PNS terutama di daerah sehingga tak jarang intervensi politis kerap

dibenturkan dengan budaya lokal.

Berdasarkan masukan narasumber dari Provinsi Yogyakarta, kasus di Yogyakarta

membuktikan bahwa kearifan lokal dalam mengurangi dampak permasalahan eksternal

dalam pengelolaan PNS secara tepat. Dapat dikatakan bahwa secara umum tidak ada

masalah terkait dengan pejabat politis di Yogjakarta karena tidak ada pejabat politis.

Kepatuhan jajaran PNS terhadap budaya kerajaan sangat kental tidak membuat mereka

anti terhadap fit and proper test dalam penempatan pejabat struktural dalam jabatan PNS.

Di dalam tahap akhir test, rapat internal dengan Tim Baperjakat tetap dilakukan tanpa

campur tangan Gubernur dengan didukung data dan fakta yang jelas termasuk track record, kemampuan atau kompetensi dan sebagainya. Dengan demikian, Daerah Istimewa

Yogyakarta meskipun berbentuk kerajaan akan tetapi suasana demokratisnya sangat kuat.

Lain halnya dengan kebanyakan daerah lain, pengaruh kearifan lokal dalam

menanggulangi permasalahan eksternal pengelolaan PNS masih belum diberlakukan.

Intervensi kepentingan masih saling tumpang-tindih dalam lingkungan PNS masih

menolak perubahan sehingga praktek KKN semakin subur di kalangan PNS baik pusat

maupun daerah.

84

BBaabb IIVV

GGrraanndd DDeessiiggnn RReeffoorrmmaassii SSiisstteemm MMaannaajjeemmeenn PPNNSS

ddii IInnddoonneessiiaa

A. Tujuan Grand Design

Untuk mewujudkan PNS yang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan yang

semakin kompleks, perlu disusun suatu grand design reformasi PNS. Tujuannya adalah untuk

memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi PNS selama kurun waktu 2010-2025 supaya

pelaksanaan reformasi PNS dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi

dan berkelanjutan. Grand design ini memuat penyempurnaan dan pembenahan terhadap berbagai

perangkat yang terkait dengan pengelolaan PNS, seperti profil atau sosok PNS yang diinginkan,

key success factor yang bisa menjadi kunci sukses pendorong perubahan, arah kebijakan yang jelas

dan tegas, penguatan posisi kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan PNS, serta manajemen

PNS yang ideal sehingga bisa mewujudkan tujuan reformasi PNS dengan baik.

Kajian yang dilakukan menemukan fakta bahwa permasalahan kepegawaian (PNS) di

Indonesia saat ini sangatlah kompleks, misalnya terkait posisi PNS diantara penyelenggara

pemerintahan. Melihat kondisi tersebut maka Tim perlu melakukan pengelompokan terhadap

penyelenggara pemerintah ini. Selanjutnya dari kajian yang dilakukan terlihat perlunya

pendefinisian ulang terhadap pengertian PNS sebagaimana dijelaskan dibawah ini. Dari penjelasan

tersebut ada perubahan pengertian, yaitu PNS yang dipahami saat ini adalah Pegawai Sipil (PS)

sebagaimana dijelaskan dibawah ini. PNS dipahami sebagai Pegawai Negara Sipil sedangkan PS

dipahami sebagai Pegawai Sipil yang identik dengan pengertian PNS saat ini. Sehingga dalam

tulisan PNS seringkali dipergunakan secara bergantian. Untuk itu perlu dipahami konteksnya,

apabila konteksnya adalah kondisi ideal maka yang dimaksud dengan PNS adalah PS, sementara

apabila konteksnya adalah kondisi existing maka pengertian PNS adalah sama dengan PNS yang

dipahami selama ini. Berikut ini diberikan penjelasan selengkapnya.

B. Profil PNS Gambaran sejarah menunjukkan bahwa ada perubahan yang cukup signifikan terhadap

profil atau sosok PNS di Indonesia. Tri Widodo (2010) menunjukkan gambaran sebagai berikut :

85

(1) pada jaman penjajahan sampai Orde Lama, sosok PNS menunjukkan gambaran sebagai pangreh

praja, yang mempunyai ciri-ciri mengabdi untuk penjajah bukan untuk rakyat, bersifat eksploitatif

dan cenderung minta dilayani bukan melayani. (2) pada jaman Orde Baru sampai saat ini, sosok

PNS menunjukkan gambaran sebagai pamong praja, yang mempunyai ciri-ciri mengerjakan tugas-

tugas pemerintahan, bekerja untuk kepentingan bangsa sendiri, bersifat mengayomi, membina,

membimbing, mengarahkan, menuntun, memberi semangat dan bekerja tanpa pamrih. Tetapi

gambaran tersebut belumlah cukup, menurut Tri Widodo dimasa depan, PNS harus mempunyai

sosok sebagai pamukti praja, yaitu sosok PNS yang bekerja sepenuhnya untuk kepentingan

masyarakat, dunia usaha dan kemajuan wilayah, memberikan pelayanan untuk merangsang

pertumbuhan ekonomi dan menciptakan iklim usaha yang kondusif, bersifat memberdayakan

masyarakat, mengoptimalkan potensi daerah, mendorong daya saing produk lokal,

mengembangkan daerah supaya menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan.

Sementara itu dalam pedoman arah reformasi birokrasi Kementerian PAN dan RB secara

tegas disebutkan bahwa profil PNS yang diharapkan atau ingin diwujudkan adalah sosok PNS yang

berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera. Gambaran

yang lebih ringkas dari profil PNS adalah sebagaimana disampaikan Kepala BKN dalam akronim

PNS (Profesional, Netral dan Sejahtera). Namun demikian tentu bukan sesederhana itu untuk

mendeskripsikan profil PNS Indonesia dan tidak sederhana pula cara mewujudkannya. Beberapa

hal berikut ini perlu dicermati untuk bisa memahami profil PNS.

1. Jenis Pegawai Pemerintah

Apabila dicermati saat ini banyak yang menyamakan semua pegawai negeri dalam satu

kategori, yaitu PNS. Padahal tidak bisa disederhanakan seperti itu. Berikut ini disajikan

berbagai pemikiran terkait dengan pengelompokan pegawai pemerintah, yaitu pegawai yang

bekerja untuk pemerintah dan dibiayai dengan APBN. Berdasarkan kajian yang dilakukan, Tim

memberikan pengertian baru yang diharapkan bisa memberikan ketegasan terhadap definisi

pegawai-pegawai pemerintah sehingga mempertegas posisi, tugas dan fungsi serta

kewenangannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

a. Penyelenggara Negara

Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih

dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan yang dimaksud dengan

penyelenggara negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif,

86

atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan

penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Dari kajian yang dilakukan, Tim menyimpulkan bahwa tidak semua penyelenggara

negara adalah pejabat negara, sehingga Tim memberikan pengertian baru, yaitu unsur

penyelenggara negara yang bertugas dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan

pemerintahan negara yang terdiri dari pejabat negara dan pegawai negara.

Pengertian tersebut memberikan penegasan bahwa ada dua (2) kategori penyelenggara

negara, yaitu pejabat negara dan pegawai negara. Sementara tugas dan tanggung jawabnya

sama, yaitu dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang pada prinsipnya meliputi

fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif.

b. Pejabat Negara

Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih

dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan bahwa penyelenggara negara

adalah pejabat negara. Pengertian tersebut menegaskan bahwa semua penyelenggara adalah

pejabat negara. Padahal belum tentu demikian, tidak semua penyelenggara adalah pejabat

negara. Mencermati hal tersebut maka Tim memberikan pengertian pejabat negara adalah

penyelenggara negara yang menjadi pimpinan dan atau anggota lembaga negara

sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan pejabat negara lainnya yang ditetapkan oleh

undang-undang.

c. Pegawai Negara

Sebagaimana dijelaskan didepan, bahwa penyelenggara negara terdiri dari pejabat negara

dan pegawai negara. Pengertian pegawai negara adalah penyelenggara negara yang tidak

menjadi pimpinan atau menjadi anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD

1945 dan pejabat negara lainnya yang ditetapkan oleh undang-undang.

Pengertian ini mempertegas bahwa penyelenggara negara terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu

pejabat negara dan pegawai negara. Pegawai negara sendiri terdiri dari 2 (dua), yaitu

pegawai negara militer (anggota TNI) dan pegawai negara sipil (PNS).

87

d. Pegawai Negara Militer (anggota TNI)

Pengertian anggota TNI adalah pegawai negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk

tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman

bersenjata sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e. Pegawai Negara Sipil (PNS)

Pengertian Pegawai Negara Sipil (PNS) adalah pegawai negara yang diserahi tugas dalam

jabatan sipil atau diserahi tugas negara lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pegawai Negara Sipil (PNS) terdiri dari anggota POLRI, Pegawai Sipil (PS) dan Pegawai

Tidak Tetap (PTT).

f. Polisi Negara Republik Indonesia (anggota POLRI)

Pengertian anggota POLRI adalah pegawai negara yang diberi tugas dibidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyarakat sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

g. Pegawai Sipil (PS)

Pengertian Pegawai Sipil (PS) adalah pegawai negara yang diberi tugas di bidang

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai peraturan

perundangan yang berlaku. Pengertian PS ini sama dan identik dengan pengertian

PNS yang dipahami saat ini.

Pegawai Sipil terdiri dari pegawai kementerian, pegawai lembaga non kementerian,

pegawai non militer yang bekerja di institusi TNI, pegawai non polisi yang bekerja di

institusi POLRI, pegawai pemerintah daerah, pegawai sekretariat lembaga negara,

sekretariat lembaga non struktural, pegawai Badan Layanan Umum (BLU) dan

pegawai sipil lainnya yang dipekerjakan dan atau diperbantukan di instansi lainnya.

h. Pegawai Tidak Tetap (PTT)

Pengertian Pegawai Tidak Tetap (PTT) adalah pegawai negara yang bekerja dalam

jangka waktu tertentu sesuai kontraknya dan diangkat oleh pejabat yang berwenang

sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

88

Dengan adanya pengelompokan ini diharapkan masing-masing penyelenggara

bisa fokus pada tugas dan fungsi serta tanggung jawab masing-masing. Dalam hal

kebijakan atau peraturan pengelolaan pun dirasakan akan lebih mudah karena masing-

masing jenis penyelenggara negara mempunyai hak dan kewajiban serta model

pengelolaan yang berbeda.

2. Jumlah dan Komposisi PNS

Menurut data yang dipublikasikan, pada bulan Mei 2010, jumlah PNS adalah sebesar

4.732.472 orang. Sementara jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus 2010 diperkirakan

sebesar 235 juta jiwa. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa perbandingan PNS dengan

penduduk adalah kurang lebih 1 : 50. Dilihat dari jumlahnya, tersebut dirasakan masih kurang

karena melihat luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk Indonesia yang harus

mendapat pelayanan. Pendapat ini didukung oleh Prijono Tjiptoherijanto dan juga Ryaas

Rasyid yang mengatakan bahwa idealnya pegawai negeri (birokrasi) bisa mencapai empat

hingga lima persen dari jumlah penduduk agar pelayanan kepada masyarakat bisa maksimal

(Tim Peneliti Puslitbang BKN). Apabila mengikuti gambaran ideal tersebut maka dibutuhkan

jumlah PNS sebanyak 9 (sembilan) juta sampai 11 (sebelas) juta orang. Dua sampai tiga kali lipat

dari PNS yang ada saat ini.

Akan tetapi di lapangan, Tim menemukan bahwa di PNS terjadi fenomena under

emplyoment (pengangguran). Hal ini disebabkan karena begitu banyaknya pegawai yang ada

sementara tugas dan pekerjaan tidak ada. Akan tetapi Tim juga menemukan adanya bentuk

kekurangan pegawai, sehingga pegawai harus kerja over time. Dari kondisi tersebut dapat

disimpulkan bahwa permasalahan utamanya bukanlah pada jumlahnya tetapi lebih pada

distribusi yang tidak merata. Distribusi ini meliputi antar sektor, antar instansi, antar daerah

maupun secara nasional. Selain itu tidak tepatnya proses perencanaan kebutuhan pegawai juga

memegang peranan penting dalam menetapkan jumlah pegawai yang sesuai beban kerja nyata

organisasinya.

Selain jumlah, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam profil PNS adalah komposisinya.

Pengertian komposisi disini tidak hanya mencakup jenis kelamin atau tingkat pendidikan saja

melainkan mencakup semua hal yang menunjukkan kualifikasi pegawai. Komposisi harus

mencakup hal-hal yang bisa menggambarkan kompetensi dan potensi yang dimiliki seorang

PNS. Sebagai contoh, misalnya pendidikan yang pernah diikuti baik struktural maupun teknis,

89

track record jabatan yang pernah dijabat dan pengalaman kerja yang dimiliki. Dan yang paling

utama adalah catatan kinerjanya atau prestasi kerjanya.

Untuk bisa mendukung hal ini maka penyusunan database kepegawaian yang selalu di-

update menjadi suatu kebutuhan yang pokok. Database pegawai harus dibangun dengan sistem

yang sama, sebagaimana saat ini sedang dibangun oleh BKN dengan SAPK (sistem aplikasi

pelayanan kepegawaian). SAPK dibangun oleh semua instansi, baik di tingkat pusat maupun

daerah dan harus mengikuti standar yang ditetapkan oleh BKN sebagai instansi yang

bertanggung jawab dalam administrasi kepegawaian. Sistem yang dibangun dan dikembangkan

haruslah sama dan on line atau terhubung dengan semua jaringan.

C. Key Success Factor Reformasi PNS Proses percepatan pelaksanaan reformasi PNS tentunya tidak akan terlepas dari sejumlah

key success factor (faktor kunci sukses) dalam proses pelaksanaannya. Dengan adanya faktor kunci

sukses ini diharapkan mampu menjadi pendorong terjadinya proses pelaksanaan reformasi PNS.

Faktor kunci sukses ini harus diwujudkan terlebih dahulu atau bisa juga disebut sebagai prasyarat

(pre requisit condition) yang harus disiapkan terlebih dahulu untuk mendukung pelaksanaan

reformasi sistem manajemen PNS.

Sejumlah faktor kunci sukses yang diharapkan mampu mendorong pelaksanaan reformasi

PNS adalah sebagai berikut :

1. Strong Leadership

Salah satu aspek pendorong perubahan selalu dimulai dan berakhir dengan faktor

manusia. Demikian pula untuk perubahan Manajemen Sumber Daya Aparatur yang akan

dilakukan harus terlebih dahulu dimulai dari pucuk pimpinan tertinggi. Implementasi

pelaksanaan demokrasi menghasilkan suatu pimpinan yang terpilih secara demokratis sehingga

diharapkan mampu sebagai pengungkit utama dalam menjalankan suatu perubahan.

Kriteria yang harus dimiliki oleh pimpinan untuk menjadi seorang pemimpin perubahan

adalah : pertama, pemimpin harus mampu membuat pengikutnya mengagumi, menghormati,

dan sekaligus mempercayainya, dimensi pertama disebut idealized influence (pengaruh ideal).

Kedua, pemimpin harus mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap keinginan

bawahan (masyarakatnya), mengimplementasikan komitmennya terhadap perwujudan visi,

90

misi yang telah dicanangkan, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui

penumbuhan antusiasme dan optimisme. Kriteria kedua ini disebut inspirational motivational

(motivasi inspirasi). Ketiga, pemimpin harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan

solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi, dan memberikan

motivasi ke bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan

tugas-tugas organisasi. Kriteria ketiga ini disebut intelellectual stimulation (stimulasi

intelektual), sedangkan kriteria keempat adalah individualized consideration (konsiderasi

individu), dalam dimensi ini pemimpin mau mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap

masukan-masukan yang diberikan oleh bawahan dan secara khusus memperhatikan

kebutuhan-kebutuhan bawahan dalam proses pengembangan karir.

Keempat kriteria inilah yang harus dimiliki oleh pimpinan yang dimulai dari tingkat

yang paling tinggi, yaitu Kepala Negara sampai pada pimpinan eselon yang paling rendah di

tingkat Kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah.

2. Political Will

Aspek kemauan politik merupakan salah satu faktor kunci sukses yang bisa

mendukung terlaksananya Reformasi PNS. Kemauan politik merupakan dukungan

yang memiliki dampak yang positif bagi terlaksananya Reformasi PNS. Kemauan politik

untuk mendukung terlaksananya reformasi PNS dapt berasal dari sejumlah stake holder

seperti politisi, masyarakat, dan pemerintah.

Usulan untuk melaksanakan reformasi PNS harus disosialisasikan dan

didiskusikan di lingkungan politisi, hal ini disebabkan politisi memegang peranan yang

sangat penting bagi terbitnya sejumlah peraturan yang terkait dengan reformasi PNS.

Percepatan penerbitan peraturan perundang-undangan yang dilakukan di lingkungan

parlemen terkait dengan implementasi reformasi PNS akan mampu mengawal

pelaksanaan reformasi PNS sesuai dengan yang direncanakan. Dengan adanya

komunikasi yang intensif dan efektif antara pihak eksekutif dan legislative dalam

menyusun kebijakan/peraturan yang terkait reformasi PNS merupakan dua sisi mata

uang yang saling mendukung bagi terlaksananya reformasi PNS. Namun selain itu dukungan politik juga dapat berasal dari masyarakat, dukungan ini

dapat berasal dari organisasi masyarakat serta sejumlah lembaga-lembaga swadaya masyarakat

untuk mendorong terjadinya proses reformasi PNS. Dukungan yang diberikan oleh masyarakat

memiliki sifat yang membangun bagi perbaikan PNS di masa mendatang

91

3. Civil Service Commission

Pembentukan Civil Service Comission (Komisi Pegawai Sipil) merupakan salah satu

amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, yang disebut sebagai Komisi Kepegawaian

Negara (KKN). Karena KKN ini fokus pada pengelolaan Pegawai Sipil (PS) maka nama yang

lebih tepat adalah Komisi Kepegawaian Sipil (KKS). KKS dibentuk sebagai suatu lembaga

independen yang memiliki otoritas pengelolaan dalam pelaksanaan reformasi PNS. Anggota

KKS dipilih secara terbuka dan diuji melalui fit and proper test dan tidak memegang jabatan di

instansi lain. Pemilihan anggota KKS dilakukan oleh Tim yang dibentuk oleh Presiden. KKS

dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan masa kerja selama 5 (lima) tahun, serta Ketua

dan Wakil Ketua KKS dipilih secara aklamasi oleh masing-masing anggotanya. Anggota KKS

terdiri dari perwakilan dari unsur pemerintah, praktisi/swasta, tokoh masyarakat, pakar dan

Pegawai Sipil aktif. Keberadaan KKS ini diharapkan tidak akan menimbulkan permasalahan

dengan otoritas pengelolaan kepegawaian PNS yang sudah ada.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan

RB) bertugas bertanggungjawab dalam penetapan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan

Pegawai Sipil. Lembaga Administrasi Negara (LAN) bertanggungjawab dalam kegiatan

pengkajian, penelitian dan pengembangan, pembinaan dan penyelenggaraan diklat bagi

Penyelenggara Negara. Badan Kepegawaian Negara (BKN) bertanggungjawab dalam kegiatan

pembinaan pengelolaan dan administrasi kepegawaian sipil. Sementara Komisi Kepegawaian

Sipil (KKS) bertugas membantu Presiden memberikan pertimbangan dibidang kebijakan

kepegawaian khususnya dalam penetapan formasi nasional dan promosi untuk pejabat

struktural eselon I serta memberikan saran dan arah kebijakan strategis dibidang kepegawaian

sipil, menjaga netralitas Pegawai Sipil dan menjaga bahwa sistem merit berjalan dilingkungan

Pegawai Sipil.

4. Netralitas PNS

Netralitas PNS diperlukan sebagai upaya depolitisasi PNS terhadap kepentingan-

kepentingan politis tertentu yang ingin memanfaatkan PNS dan birokrasi bagi kepentingan

politik dan partai politik dari pejabat politik yang ada dalam birokrasi. Netralitas PNS menjadi

sangat penting untuk menjamin profesionalisme PNS dan stabilitas birokrasi dari pengaruh

politis. Profesionalisme PNS didefinisikan sebagai PNS yang keberadaanya didasarkan pada asas

92

yang menunjukkan bahwa pengelolaan pegawai negara didasarkan pada kompetensi,

profesionalisme dan prestasi kerja.

Merujuk pada definisi diatas, maka jika asas ini ditegakkan, maka dapat dihindari banyak

kasus tentang rentannya posisi PNS terhadap pengaruh politis dari pejabat politis yang ada

dalam birokrasi. Seperti misalnya tidak berdayanya Sekretaris Daerah dalam menolak

keputusan daerah yang memindahkan atau memutasikannya tanpa berdasarkan alasan

kebijakan kepegawaian yang jelas. Selain itu juga, ketidakberdayaan sekretaris daerah dan

pejabat kepegawaian lainnya (jika tidak dilibatkan) didalam menentukan penempatan orang

bagi jabatan strategis seperti kepala dinas-kepala dinas di daerah dan hal-hal lainnya yang

terkait dengan kebijakan dalam pengelolaan PNS yang ada di daerah.

Idealnya hal-hal diatas dapat dihindari jika netralitas PNS dapat benar-benar ditegakkan

sehingga PNS dapat tetap bekerja dalam tugas dan fungsinya tanpa harus khawatir akan

dipolitisasi oleh pejabat politis karena adanya perlindungan terhadap fungsi dan kedudukannya

yang semata-mata didasarkan pada kinerjanya dan bukan kepada keputusan pribadi pimpinan

politis. Jaminan tentang profesionalime PNS dalam birokrasi diperlukan sebagai upaya

perlindungan akan berjalannya kinerja PNS secara profesional, untuk itu seorang PNS yang

netral adalah pegawai yang netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta

berkewajiban memberdayakan mayarakat. Untuk menjamin netralitas sebagaimana dimaksud

diatas, maka PNS dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik.

5. Perubahan Peraturan

Salah satu faktor kunci sukses yang tidak boleh ditinggalkan adalah dilakukannya

perubahan peraturan yang terkait dengan pengelolaan PNS. Sebagaimana diketahui dari hasil

kajian yang dilakukan oleh LAN pada tahun 2005 tentang Efektivitas Peraturan di Bidang

Kepegawaian, ditemukan berbagai kelemahan yang terkait dengan peraturan tersebut.

Peraturan yang terkait dengan pengelolaan kepegawaian baik Undang-Undang maupun

Peraturan pelaksanaannya harus dilakukan revisi, diganti, diubah atau malah dicabut.

Peraturan-peraturan tersebut ada yang sudah tidak relevan lagi pada saat ini, overlapping,

mengatur substansi yang sama dan mengandung persepsi ganda. Kondisi tersebut apabila

dibiarkan akan menimbulkan chaos atau kekacauan dalam pengelolaan kepegawaian. Maka

perubahan peraturan menjadi suatu kebutuhan yang mutlak dalam reformasi pengelolaan PNS.

93

6. Law Enforcement Salah satu problem krusial dalam manajemen PNS adalah penegakan hukum yang masih

lemah terkait dengan penerapan sanksi yang harus dikenakan kepada PNS jika melanggar

aturan dan kode etik PNS. Kondisi ini selanjutnya mempengaruhi produktivitas PNS dalam

menjalankan tugas dan fungsinya. Pada tataran yang lebih nyata, lemahnya penegakan hukum

telah ikut andil dalam membentuk buruknya nilai dan budaya kerja PNS.

Stigma negatif yang selama ini disandang oleh PNS jelas diakibatkan oleh lemahnya law

enforcement terhadap ketidakdisiplinan PNS, pelanggaran kode etik, penyalahgunaan

wewenang, dan tindakan negatif lain yang merugikan negara dan publik. Penegakan law

enforcement dapat dilakukan melalui review terhadap peraturan perundangan yang berkaitan

dengan disiplin dan kode etik pegawai apakah masih relevan dengan kondisi dan kebutuhan

yang ada, dan komitmen untuk menjalankan peraturan perundangan yang ada.

7. Penerapan Manajemen Kinerja

Aspek yang memiliki pengaruh yang sedemikian besar untuk membentuk PNS

yang profesional adalah kinerja yang dihasilkan oleh masing-masing individu PNS.

Fakta yang ada adalah rendahnya kinerja PNS sehingga kegusaran ini diungkapkan oleh

MenPAN Taufik Efendy bahwa hampir 55% kinerja yang dihasilkan rendah. Maka

salah satu solusi yang ditawarkan adalah penerapan manajemen kinerja individu, yaitu

setiap individu PNS memilki target kinerja yang jelas untuk dipenuhi pada setiap

akhir tahun sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Implikasi dari implementasi

manajemen kinerja individu adalah pemberian remunerasi ke setiap individu PNS.

Pemberian remunerasi ini akan adil dengan besaran secara kuantitas terhadap kinerja

yang dihasilkan oleh masing-masing individu PNS. Dengan demikian diharapkan

individu PNS akan selalu terpicu untuk meningkatkan kinerjanya dikarenakan terkait

dengan remunerasi yang diberikan.

Agar implementasi manajemen kinerja dapat dipatuhi oleh setiap individu PNS

maka pemerintah harus menyusun Undang-Undang tentang Manajemen Kinerja

Individu PNS dengan tujuan adanya kepatuhan dari setiap penyelenggara

pemerintahan untuk melaksanakan manajemen kinerja dalam setiap melaksanakan

tugas dan tanggungjawabnya. Substansi yang mendasar dari pelaksanaan manajemen

kinerja yaitu setiap individu PNS harus memiliki target kinerja yang harus dicapai

sesuai kesepakatan dengan atasannya. Hasil capaian akhir tahun itulah merupakan

kinerja yang dihasilkan oleh setiap individu PNS.

94

Dengan adanya implementasi manajemen kinerja yang harus dimilki oleh setiap individu

PNS maka diharapkan akan dapat memicu terjadi peningkatan kinerja dari masing-masing

individu PNS. Peningkatan kinerja ini diharapkan juga mampu memberikan dampak yang

positif bagi unit maupun organisasi dimana setiap individu PNS melaksanakan tugas dan

kewajibannya.

8. Moratorium Rekrutmen PNS

Berdasarkan data BKN yang dipublikasikan per Mei 2010, jumlah PNS di

Indonesia sebesar 4.732.472 orang sedangkan jumlah penduduknya berdasarkan sensus

tahun 2010 diperkirakan sebesar 235 juta jiwa, sehingga perbandingan PNS dengan

penduduk adalah kuarnag lebih adalah 1 : 50. Berdasarkan data tersebut terlihat tidak

ada masalah yang serius, bahkan ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa

perbandingan PNS dengan penduduk kurang lebih 4% - 5%. Artinya jumlah tersebut

masih sangat kurang.

Akan tetapi ternyata di lapangan ditemukan bahwa distribusi PNS baik dari aspek

kualitas maupun kuantitas belum dapat dipetakan dengan baik. Kondisi ini berdampak

ada instansi yang kelebihan pegawai, terlihat dengan banyaknya peagwai yang

menganggur tetapi disisi lain ada instansi yang kekurangan pegawai terlihat dari

seringnya pegawai kerja lembur. Sementara itu rekrutmen pegawai terus dilakukan

bahkan semakin meningkat dari tahun ke tahun bahkan dilakukan dengan melakukan

pengangkatan tenaga honorer daerah menjadi PNS. Kondisi ini tentunya tidak bisa

dibiarkan terus menerus, pegawai harus bisa didistribusikan secara merata, baik secara

kualitas maupun kuantitas. Pegawai perlu ditata ulang, mencakup kegiatan mutasi,

promosi, penempatan sesuai dnegan tuntutan kompetensi organisasi dan kompetensi

yang dimiliki pegawai. Agar penataan ulang PNS bisa maksimal dilakukan maka perlu adanya kesepakatan

bersama dengan semua pihak untuk melakukan penghentian sementara (moratorium)

pelaksanaan rekruitmen PNS. Selama masa moratorium ini maka dilakukan penataan ulang

terhadap pegawai yang ada secara maksimal.

D. Arah Penyempurnaan Kebijakan Pengelolaan PNS Reformasi pengelolaan PNS harus sejalan dengan reformasi bidang politik yang sudah

berjalan sejak 1998. Reformasi bidang politik difokuskan pada pembenahan sistem pemerintahan,

yaitu merubah sistem pemerintahan yang cenderung sentralistik ke desentralistik dan merubah

sistem politik yang lebih demokratis. Bisa dikatakan bahwa reformasi bidang politik sudah

95

menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kehidupan politik menjadi semakin demokratis

dengan diakuinya suara masyarakat dalam pemilihan pimpinan negara/daerah secara langsung

merupakan contoh keberhasilan reformasi bidang politik. Untuk mempertahankan keberhasilan

tersebut, reformasi dalam pengelolaan kepegawaian (PNS) sebagai soko guru pemerintahan

nampaknya perlu mendapat perhatian lebih. Karena untuk mendukung reformasi secara nasional

diperlukan birokrasi penyelenggara pemerintahan yang kompeten dan dikelola dengan baik.

Secara kebijakan, reformasi pengelolaan PNS tidak bisa dipisahkan dengan reformasi

birokrasi yang merupakan payungnya. Maka kedua reformasi ini harus berjalan selaras dan

selurus. Reformasi birokrasi sendiri bukanlah merupakan sebuah proses yang mudah dan

sederhana karena berkaitan dengan ribuan proses tugas dan fungsi pemerintahan, melibatkan

jutaan manusia dan membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Reformasi birokrasi memerlukan

terobosan baru (innovation breakthrough) dengan langkah-langkah secara bertahap, konkrit,

realistis, sungguh-sungguh, bersifat thinking out of the box dan adanya a new paradigm shift serta

upaya yang luar biasa (business not as usual). Reformasi birokrasi harus memiliki sebuah rencana

besar yang diuraikan dalam tahapan-tahapan pelaksanaan yang jelas, visioner, menyeluruh, taktis,

dan terukur. Rencana besar dan tahapan operasional inilah yang disebut dengan grand design dan

langkah-langkahnya disebut dengan road map reformasi birokrasi.

Arahan kebijakan reformasi birokrasi dapat dilihat dari beberapa dasar hukum antara lain

sebagai berikut :

a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional (RPJM Tahun 2005 - 2025), menyebutkan bahwa : pembangunan

aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme

aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di

daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya.

b. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) Tahun 2010 - 2014, menyebutkan : dalam rangka mendukung terwujudnya

Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan, kebijakan pembangunan di bidang

hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tatakelola pemerintahan yang baik. Salah satu

fokus prioritas pelaksanaannya adalah melalui : pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi.

Dalam RPJMN 2010 - 2014 ditetapkan bahwa reformasi birokrasi sebagai Prioritas I

pembangunan nasional. Secara rinci substansi inti dari reformasi birokrasi dan tata kelola yang

menjadi Prioritas I diuraikan sebagai barikut :

96

1. Struktur : konsolidasi struktural dan peningkatan kapasitas kementerian/lembaga yang

menangani aparatur negara, yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi (PAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Lembaga

Administrasi Negara (LAN) pada 2010; restrukturisasi lembaga pemerintah lainnya,

seperti dibidang keberdayaan UMKM, pengelolaan energi pemanfaatan sumber daya

kelautan, restrukturisasi BUMN, hingga pemanfaatan tanah dan penataan ruang bagi

kepentingan rakyat banyak selambat-lambatnya 2014;

2. Otonomi daerah : penataan otonomi daerah melalui : 1) penghentian/pembatasan

pemekaran wilayah; 2) peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana

perimbangan daerah; dan 3) penyempurnaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;

3. Sumber daya manusia : penyempurnaan pengelolaan PNS yang meliputi sistem

rekrutmen, pendidikan, penempatan, promosi, dan mutasi PNS secara terpusat

selambat-lambatnya 2011;

4. Regulasi : percepatan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangundangan di

tingkat pusat dan daerah hingga tercapai keselarasan arah dalam implementasi

pembangunan, diantaranya penyelesaian kajian 12.000 peraturan daerah selambat-

lambatnya 2011;

5. Sinergi antara pusat dan daerah : penetapan dan penerapan sistem Indikator Kinerja

Utama Pelayanan Publik yang selaras antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah;

6. Penegakan hukum : peningkatan integrasi dan integritas penerapan dan penegakan

hukum oleh seluruh lembaga dan aparat hukum

7. Data kependudukan : penetapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan

pengembangan Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK) dengan

aplikasi pertama pada kartu tanda penduduk selambat-lambatnya pada 2011. Sementara terkait dengan reformasi pengelolaan PNS, target yang ingin dicapai adalah

aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera.

Untuk mencapai target tersebut diperlukan langkah-langkah perubahan yang secara garis besar

mencakup :

a. Penataan kembali sistem rekruitmen. Sistem rekruitmen menjadi kunci masuknya

calon-calon pegawai unggul yang akan menjadi kunci peningkatan kinerja birokrasi.

Sistem rekruitmen harus didasarkan pada sistem merit. Oleh karena itu, sistem

rekuritmen harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

1). Seleksi pegawai harus dilakukan dengan proses seleksi yang kompetitif;

2). Seleksi terhadap pegawai harus dilakukan dalam kaitan dengan kebutuhan

kualifikasi dan kualitas pekerjaan yang dibutuhkan;

97

3). Seleksi juga harus dikaitkan dengan outcome dari pekerjaan yang nantinya akan

dilaksanakan oleh calon pegawai yang terpilih;

4). Seleksi didasarkan atas hasil penilaian terhadap calon dengan ketiga kriteria di atas. Dengan diterapkannya sistem merit, diharapkan tidak lagi ada spoil system, yang cenderung

lebih pada pendekatan kekerabatan, kolusi dan tidak berdasarkan kebutuhan nyata organisasi.

Sistem rekrutmen harus dibuat terbuka untuk jabatan-jabatan tertentu yang kebijakannya

ditetapkan oleh masing-masing Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah. Rekrutmen ini

akan membuka kesempatan bagi profesional dari kalangan luar birokrasi untuk ikut serta

memberikan kontribusinya pada kemajuan birokrasi.

b. Penataan sistem penggajian. Salah satu aspek penting untuk menarik calon-calon

pegawai berkualitas adalah adanya sistem penggajian yang menarik. Sistem yang saat

ini diterapkan, cenderung mengecilkan gaji pokok dan memperbesar sumber-sumber

penghasilan lainnya (tunjangan). Sistem penggajian harus dikaitkan dengan beban kerja

dan kinerja. Pegawai yang memiliki beban kerja yang lebih berat tentunya harus

memperoleh penghasilan yang lebih besar pula, dan mereka yang berkinerja lebih

tinggi harus memperoleh penghasilan yang lebih besar pula.

c. Penataan sistem pensiun. Hal lain yang juga harus menjadi perhatian adalah sistem

pensiun yang saat ini diterapkan. Perlu perubahan sistem pensiun yang komprehensif

yang meliputi kelembagaan maupun sistemnya.

d. Job analysis dan job evaluation. Job analysis dan job evaluation memiliki arti yang

sangat penting dalam menentukan rating, remunerasi dan klasifikasi jabatan. Job analysis dan job evaluation sangat diperlukan dalam kaitan dengan penerapan merit

sistem dalam penggajian. Dalam kaitan itu juga sangat diperlukan ketika dilakukan

proses penilaian kebutuhan pegawai disertai dengan klasifikasi/kualifikasi

kebutuhannya.

e. Penilaian kinerja pegawai. Penerapan sistem merit dalam penggajian perlu didukung

dengan penerapan sistem penilaian kinerja yang berkorelasi dengan kinerja yang

dihasilkannya. Harus ada kaitan antara apa yang dihasilkan oleh seorang pegawai

dengan apa yang ingin dicapai oleh unit kerja atau organisasinya.

f. Pendidikan dan pelatihan pegawai. Job analysis dan job evaluation pada dasarnya akan

menghasilkan beban kerja dan kualifikasi (standar kompetensi) posisi tertentu dalam

organisasi. Dilain pihak keduanya juga akan memberikan informasi yang sangat

bermanfaat bagi upaya untuk merancang kebutuhan diklat yang diperlukan bagi

seorang pegawai yang akan menduduki jabatan tersebut. Karena itu, sistem diklat harus

98

dirancang sesuai dengan kebutuhan jabatan dan bukan melulu digeneralisasi secara

umum atas dasar kompetensi yang generik.

g. Etika. Meskipun sudah terdapat aturan yang memberikan batasan bagi setiap PNS

untuk berperilaku sesuai dengan etika, namun demikian penegakan etika perlu lebih

ditekankan. Harus ada punishment serta reward yang jelas bagi mereka yang melanggar

etika ataupun mendorong penegakan etika.

h. Perubahan pola pikir dan budaya kerja. Aspek perubahan yang paling sulit dilakukan

adalah aspek yang terkait dengan perilaku pegawai. Untuk merubah pola pikir dan

budaya kerja yang dipandang kurang mendukung birokrasi untuk lebih dapat

berkinerja, diperlukan upaya jangka panjang yang secara terus menerus dan konsisten.

Karena itu, manajemen PNS juga harus mampu membawa setiap pegawai untuk

berperilaku menurut pola pikir dan budaya kerja yang diinginkan oleh organisasi

birokrasi. Perilaku yang diinginkan adalah : profesional, berintegritas tinggi, menjadi

pelayan masyarakat dan abdi negara.

E. Penguatan dan Reposisi Kelembagaan dalam Pengelolaan PNS Kajian Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2004 tentang Efektivitas Peraturan di

Bidang Kepegawaian menunjukkan bahwa dalam pengelolaan kepegawaan (PNS) di Indonesia

diindikasikan terjadi tumpang tindih (overlapping) dalam pelaksanaan tugas dan fungsi serta

kewenangan dari instansi-instansi yang terlibat didalamnya khususnya ditingkat pusat. Kondisi ini

berdampak pada kebijakan yang dikeluarkan oleh satu instansi seringkali tumpang-tindih dengan

kebijakan yang dikeluarkan oleh instansi lainnya. Artinya belum terdapat pembagian tugas dan

kewenangan yang jelas antar instansi dalam perumusan kebijakan pengelolaan PNS sehingga

kebijakan yang diterbitkan kurang dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Dalam struktur penataan kelembagaan instansi pemerintah pusat perlu dilakukan

konsolidasi struktural dan peningkatan kapasitas kementerian/lembaga yang menangani aparatur

negara. Hal ini dapat dilakukan melalui restrukturisasi organisasi dan tata kerja instansi, yaitu

dengan melakukan rightsizing yang didasarkan pada analisis terhadap visi, misi, strategi serta

tupoksi masing-masing instansi, sehingga diharapkan tercipta struktur kelembagaan yang

proporsional, efektif dan efisien. Penataan kelembagaan pengelola PNS masa depan setidaknya

memberikan arah dan tujuan yang jelas bagi terselenggaranya kepemerintahan yang baik (good

governance) khususnya reformasi pengelolaan PNS.

Arah reposisi kelembagaan dan konsolidasi struktural kapasitas kementerian/lembaga yang

menangani aparatur negara diharapkan dapat menghilangkan adanya tumpang-tindih

99

(overlapping) dalam pengelolaan PNS selama ini, sehingga tercipta kelembagaan yang adaptif,

inovatif, efektif dan efisien. Ada empat instansi yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan

kepegawaian (PNS) di tingkat pusat, yaitu KPS (Komisi Pegawai Sipil), Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Lembaga

Administrasi Negara (LAN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan

RB) bertugas bertanggungjawab dalam penetapan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan

Pegawai Sipil. Lembaga Administrasi Negara (LAN) bertanggungjawab dalam kegiatan pengkajian,

penelitian dan pengembangan, pembinaan dan penyelenggaraan diklat bagi Penyelenggara Negara.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) bertanggungjawab dalam kegiatan pembinaan pengelolaan dan

administrasi kepegawaian sipil. Sementara Komisi Kepegawaian Sipil (KKS) bertugas membantu

Presiden memberikan pertimbangan dibidang kebijakan kepegawaian khususnya dalam penetapan

formasi nasional dan promosi untuk pejabat struktural eselon I serta memberikan saran dan arah

kebijakan strategis dibidang kepegawaian sipil. Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi (KIS)

diantara keempat instansi ini harus kuat dan terus menerus supaya kebijakan yang diambil satu

dan padu, implementasinya juga satu dan padu sehingga output yang diharapkan dari kebijakan

bisa maksimal.

F. Manajemen PNS yang Ideal Sesuai dengan kebutuhan terhadap penataan sistem manajemen PNS yang sejalan dengan

grand design reformasi birokrasi nasional, maka perubahan sistem manajemen PNS diarahkan

sebagai berikut :

1. Rencana Induk (master plan) PNS

Agar dapat memberikan hasil yang optimal, pengelolaan PNS perlu dilakukan secara

terencana dan terukur. Rencana induk atau master plan PNS adalah perencanaan yang

menyeluruh terhadap pengelolaan PNS yang dilakukan secara nasional baik dalam jangka

panjang (25 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (tahunan). Perencanaan

induk ini merupakan rujukan bagi seluruh kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam

menjalankan praktik-praktik manajemen PNS. Sebagai rencana induk, dapat diketahui arah

kebijakan dan strategi pengelolaan PNS kedepan sehingga dapat membentuk PNS yang sesuai

dengan tujuan reformasi birokrasi, yaitu : membentuk birokrasi profesional, dengan

100

karakteristik : adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani

publik, netral, berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.

Rencana induk PNS ini berfungsi : (1) sebagai acuan bagi seluruh

kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam menjalankan praktik-praktik manajemen PNS;

(2) alat (tools) dalam menciptakan keselarasan dan sinkronisasi kebijakan pengelolaan

kepegawaian secara nasional dan (3) pengendalian terhadap keseimbangan jumlah, kualifikasi,

ketersediaan anggaran bagi PNS. Rencana induk PNS jangka panjang, menengah dan jangka

pendek disusun oleh pemerintah dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang

disampaikan oleh DPR, DPD dan Pemerintah Daerah.

Pada dasarnya rencana induk ini mencakup antara lain :

a. Kebijakan pokok mengenai pengelolaan PNS secara nasional yang diselaraskan dengan

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

b. Kualitas dan kompetensi CPNS yang dibutuhkan menurut kementerian/lembaga/pemerintah

daerah.

c. Jumlah yang dibutuhkan menurut kementerian/lembaga/ pemerintah daerah.

d. Jenis dan bentuk peningkatan kompetensi yang dibutuhkan.

e. Jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan.

f. Jumlah kebutuhan anggaran untuk gaji, tunjangan, pengembangan pegawai, pensiun dan

lain-lain.

2. Rekrutmen dan Seleksi

Rekrutmen calon pegawai negeri sipil dilakukan setelah rencana induk PNS disusun.

Dengan demikian, kebijakan rekrutmen didasarkan pada analisis yang lebih rasional dan benar-

benar sesuai kebutuhan. Rekrutmen dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip :

a. Selektif, rekrutmen dan seleksi PNS dilakukan secara sangat selektif karena yang akan

dijaring adalah calon-calon PNS yang memiliki kompetensi tinggi, tidak sekedar orang-

orang yang mencari pekerjaan sebagai PNS. Disamping untuk mendapatkan tenaga-tenaga

yang berkualitas – baik pengetahuan, keterampilan maupun moralitasnya – selektifitas

penerimaan CPNS juga bertujuan untuk (a) mengefisienkan biaya pengembangan pegawai di

kemudian hari, (b) mengurangi kemungkinan munculnya PNS yang memiliki low morale

termasuk trouble maker. b. Merit, calon yang terjaring adalah mereka yang telah membuktikan dirinya mampu

melewati serangkaian ujian dan seleksi. Mekanisme pelaksanaan ujian dan seleksi dirancang

sedemikian rupa sehingga menutup peluang bagi praktik-praktik nepotisme dan kolusi.

101

Penerimaan CPNS berdasarkan merit mengandung pengertian bahwa seseorang menjadi

CPNS adalah karena semata-mata berkat usaha dan kemampuan yang bersangkutan tanpa

ada bantuan atau kemudahan yang diberikan oleh orang lain.

c. Transparan, seluruh proses seleksi dilaksanakan secara transparan. Pengumuman CPNS yang

lulus harus disertai dengan nilai akhir hasil ujian setiap mata ujian dan hasil tes potensi

akademik, psikotes dan wawancara. Melalui transparansi proses rekrutmen dan seleksi

CPNS baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, diharapkan dapat

meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

d. Memiliki Kesempatan yang Sama (Equal Opportunity), setiap warga negara Indonesia yang

telah memenuhi syarat memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi CPNS tanpa melihat

suku, jenis kelamin, agama, latar belakang budaya dan tempat KTP dikeluarkan. Prinsip ini

perlu ditekankan untuk menjamin bahwa birokrasi dibangun secara bersama-bersama dari

berbagai komponen anak bangsa.

Materi seleksi CPNS terdiri dari 5 (lima) tahap, yaitu : seleksi tahap I terdiri dari : bahasa

Indonesia, bahasa Inggris dan pengetahuan umum; seleksi tahap II terdiri dari : tes potensi

akademik dan pengetahuan substansi; seleksi tahap III terdiri dari : tes psikologi dan seleksi

tahap IV terdiri dari : wawancara I (dengan penyelenggara seleksi) dan wawancara II (dengan

user). Seleksi tahap terakhir (tahap V) adalah ujian menulis makalah, yaitu setiap CPNS

diwajibkan menulis makalah dengan tema tertentu. Peserta yang berhak untuk mengikuti

seleksi tahap II adalah mereka yang lulus tahap I. Dan yang mengikuti seleksi tahap III adalah

mereka yang lulus tahap II. Demikian seterusnya.

Untuk setiap calon yang akan diterima menjadi CPNS telah disiapkan uraian tugas (job

description) oleh Bagian/Biro Kepegawaian/Badan Kepegawaian Daerah sesuai dengan tugas

yang akan diemban. Hal ini dimaksudkan agar setiap CPNS yang diterima mengetahui secara

lebih jelas ruang lingkup, bentuk, volume tugas/pekerjaan dan tanggung jawab yang akan

diembannya. Untuk menjaga objektivitas seleksi, kementerian/lembaga/pemerintah daerah

tidak diperkenankan melaksanakan sendiri proses seleksi CPNS. Untuk mencegah terjadinya

KKN dalam proses rekrutmen dan seleksi ini, maka kedepan prosesnya menggunakan

pendekatan e-recruitment dan e-exam. Dengan pendekatan ini diharapkan kontak langsung

antara pelamar dan penyelenggara bisa diminimalisir sehingga memperkecil kemungkinan

terjadinya KKN.

3. Sistem Karier

Kebijakan karier PNS di Indonesia dapat dikatakan belum memiliki pola dasar yang kuat.

Kondisi ini menyebabkan pembinaan karier PNS yang selama ini dilakukan tidak mampu

102

mewujudkan profesionalisme PNS di dalam birokrasi. Saat ini karier PNS secara baku terdiri

dari dua jalur yaitu melalui jalur struktural dan jalur fungsional. Dalam implementasinya jalur

zig-zag dimana seorang PNS bisa pindah ke jalur lain juga dipraktikkan sesuai dengan

kebutuhan organisasi. Pada dasarnya hal ini tidak menimbulkan masalah serius didalam

organisasi sepanjang kompetensi pegawai bersangkutan memenuhi standar yang dibutuhkan.

Syarat kompetensi jabatan menjadi rujukan utama dalam penerapan pola karier pegawai.

Dimana jalur jabatan struktural mengutamakan kompetensi manajerial dan leadership

sementara jalur jabatan fungsional mengutamakan kompetensi yang bersifat sektoral atau

bidang keahlian tertentu.

Permasalahan mendasar dalam pola karier adalah belum disusunnya pola dasar karier

PNS yang jelas dari pemerintah meskipun ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor

43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Kondisi ini berdampak

kementerian/lembaga/pemerintah daerah saling menunggu dan tidak bisa menyusun kebijakan

pola karier pegawai di instansinya. Hasil kajian Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2007

tentang Penyusunan Pola Karier PNS menyebutkan bahwa pola karier pegawai seharusnya

sudah ditetapkan sebelum seorang pegawai masuk. Kotak-kotak jabatan dari jabatan yang

paling rendah sampai jabatan yang paling tinggi dari suatu instansi sudah disusun dan

ditetapkan lengkap dengan syarat kompetensi jabatannya.

Pelamar yang diterima menjadi CPNS masuk sesuai dengan formasi jabatan yang

dilamarnya. Semua pegawai mengawali kariernya sebagai pejabat fungsional yang menguasai

kompetensi teknis sesuai bidangnya. Seiring dengan berjalannya waktu dan hasil dari penilaian

kinerja serta potensi yang dimilikinya, maka seorang pegawai bisa dipromosikan. Promosi bisa

berupa peningkatan ke jenjang yang lebih tinggi dalam jalur yang sama atau promosi ke jalur

struktural karena dinilai mempunyai kompetensi dan potensi untuk bidang manajerial dan

leadership. Akan tetapi apabila hasil penilaiannya justeru menunjukkan kinerja yang kurang

bagus maka pegawai bisa dimutasi atau didemosi. Dimutasi apabila hasil penilaiannya

menunjukkan bahwa ada ketidakcocokan kompetensi yang dimiliki dengan beban tugas dan

tanggung jawabnya sehingga perlu dicarikan unit yang lebih sesuai. Sementara demosi

diberikan apabila semua sudah sesuai tetapi memang pegawainya yang kurang mampu bekerja

maka jenjangnya diturunkan sebagai konsekuensinya. Dengan format ini maka pegawai akan

selalu termotivasi untuk berkinerja tinggi karena terkait langsung dengan jenjang

kepangkatannya yang otomatis terkait dengan tunjangan dan kesejahteraan yang akan

103

diterimanya. Bahkan bagi pegawai yang memang mempunyai kompetensi tinggi dan berkinerja

maksimal maka dapat lebih cepat meniti jenjang kariernya.

Diharapkan dengan adanya format sistem karier ini maka kenaikan karier PNS tidak

terhalang karena adanya kendala senioritas. Semua pegawai bisa ditampung dalam jalurnya

masing-masing sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.

4. Pendidikan dan Pelatihan

Dalam rangka pengembangan kompetensi PNS, pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi

PNS diarahkan pada peningkatan kompetensi dan kapasitas individual PNS yang secara spesifik

dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Dengan demikian, sistem pendidikan dan

pelatihan PNS adalah pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi (competence-based

training). Pendekatan pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi perlu diletakkan

dalam arti yang sebenarnya sehingga setiap individu PNS yang selesai mengikuti diklat

merasakan adanya peningkatan kompetensinya. Selain itu diklat juga menjadi syarat utama

dalam pengembangan/promosi pegawai (khususnya diklatpim). Pegawai yang akan dipromosi

dalam jenjang jabatan yang lebih tinggi selain ditunjukkan dengan adanya peningkatan

kompetensi juga harus didukung sertifikat keikutsertaan dalam diklat yang sesuai dengan

jabatannya.

Tujuan pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan bagi PNS adalah :

a. Meningkatkan wawasan pengetahuan;

b. Meningkatkan kemampuan analisis;

c. Meningkatkan kemampuan kepemimpinan;

b. Meningkatkan keterampilan; dan

c. Meningkatkan kepribadian dan nilai-nilai luhur sebagai PNS.

Jenis-jenis dan jenjang diklat PNS seperti yang ada sekarang dinilai cukup memadai,

tetapi pendekatan dan kurikulumnya perlu lebih dipertajam. Jenis diklat yang ada saat ini,

seperti diklat kepemimpinan (diklatpim) difokuskan untuk meningkatkan kompetensi

kepemimpinan, diklat teknis dan diklat fungsional difokuskan untuk meningkatkan kompetensi

teknis/fungsional yang terkait dengan tugas dan fungsi yang menjadi tanggung jawab pegawai.

Perbedaan kompetensi, tuntutan pekerjaan/jabatan yang spesifikasinya berbeda-beda

akan membutuhkan kurikulum, jenjang, dan materi pendidikan dan pelatihan yang juga

berbeda. Identifikasi kompetensi aktual ini dapat diperoleh melalui training needs assessment

104

atau dari hasil kesepakatan kinerja. Dengan demikian, kebutuhan pendidikan dan pelatihan

bersifat spesifik antar PNS.

Kedepan perlu ada kebijakan yang menetapkan kebutuhan minimal bagi setiap PNS

untuk mengikuti setiap tahunnya. Diklat ini dapat dilakukan sendiri oleh pegawai (swadana)

maupun dibiayai oleh instansi dimana pegawai bertugas. Dengan kebijakan ini maka setiap PNS

dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya secara terus menerus tidak harus

menunggu anggaran. Konsekuensinya adalah sistem karier yang dibangun harus sesuai dengan

program diklat yang akan dilaksanakan.

5. Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja merupakan salah satu sub sistem yang sangat strategis dalam sistem

manajemen PNS. Penilaian kinerja yang objektif akan memberikan banyak manfaat bagi upaya

peningkatan kinerja seluruh PNS di tanah air. Pendekatan yang diusulkan bagi penilaian

kinerja PNS adalah manajemen kinerja. Manajemen kinerja merupakan sebuah proses yang

sistematis untuk memperbaiki kinerja orgnanisasi dengan mengembangkan kinerja individual

dan tim. Jadi, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi, maka harus meningkatkan dulu

kinerja individu dan tim. Untuk bisa meningkatkan kinerja maka kinerja harus dinilai dan ada

feed back yang jelas untuk memperbaiki kinerja.

Manajemen kinerja adalah sebuah pendekatan yang strategis dan terintegrasi yang

bertujuan untuk mencapai keberhasilan organisasi secara berkelanjutan dengan memperbaiki

kinerja dan mengembangkan kemampuan orang-orang yang bekerja dalam organisasi tersebut.

Sebelum proses manajemen kinerja dimulai, penempatan PNS perlu disesuaikan dengan

kompetensinya. Argumen yang mendasari hal ini adalah bahwa PNS tidak mungkin

menunjukkan kinerja optimal jika penempatan atau jabatan yang diemban tidak sesuai dengan

kompetensinya.

Manajemen kinerja dimulai dengan perencanaan kinerja (performance planning).

Perencanaan kinerja ini dibuat di awal tahun antara PNS dengan atasan langsungnya dalam

bentuk kesepakatan kinerja atau kontrak kerja. Kesepakatan kinerja ini memuat kesepakatan

antara kedua belah pihak terhadap target kinerja yang akan dicapai oleh bawahan.

Perencanaan kinerja memiliki fungsi yang sangat penting dalam keseluruhan proses

manajemen kinerja, yaitu :

105

a. Perencanaan kinerja adalah kerangka dasar bagi implementasi manajemen kinerja. Dengan

adanya perencanaan kinerja, atasan memiliki gambaran mengenai apa yang harus

dilakukannya dan apa yang harus dicapai oleh bawahannya.

b. Perencanaan kinerja memberikan dasar bagi pengelolaan kinerja sepanjang tahun. Dengan

berpegang pada perencanaan kinerja, seorang atasan dapat mengetahui apakah bawahannya

berhasil mencapai kinerja yang telah ditetapkan atau tidak. Dengan demikian atasan dapat

memberikan fasilitasi secara tepat dalam mengelola kinerja bawahannya.

c. Perencanaan kinerja memberikan arah bagi rencana pengembangan kapasitas dan

kompetensi individual PNS karena didalamnya terdapat rencana pengembangan personal.

d. Perencanaan kinerja merupakan dasar dalam mereview kinerja karena review kinerja

dilakukan dengan berpegang pada kesepakatan kinerja.

e. Perencanaan kinerja yang wujudnya adalah kesepakatan kinerja merupakan dasar dalam

melakukan penilaian kinerja invidual PNS. Penilaian kinerja yang dilakukan di akhir tahun

akan memperhatikan substansi yang terdapat dalam kesepakatan kinerja. Penilaian kinerja

tidak dapat dilakukan tanpa adanya kesepakatan kinerja.

f. Perencanaan kinerja pada dasarnya berfungsi untuk memperkuat komitmen setiap individu

PNS dalam rangka mencapai target kinerja tertentu yang diharapkan organisasi. Melalui

perencanaan kinerja, setiap individu PNS dituntut untuk menunjukkan komitmennya

terhadap target kinerja yang diharapkan.

g. Perencanaan kinerja juga berfungsi sebagai indikator dalam memberikan petunjuk bagi

perbaikan kinerja invidual PNS ke depan.

Kesepakatan kinerja yang dirancang untuk PNS di Indonesia memuat lima deskripsi

mengenai tanggungjawab, uraian tugas, target kinerja, rencana pengembangan personal dan

kebutuhan perlengkapan kerja. Setelah menyelesaikan perencanaan kinerja dengan

menghasilkan kesepakatan kinerja, maka PNS menjalankan tugas dan tanggungjawabnya

sehari-hari sesuai dengan apa yang telah disepakati.

Tahapan selanjutnya adalah review kinerja (performance review). Review kinerja ini

bertujuan untuk menjamin bahwa proses pencapaian target kinerja berjalan pada jalur yang

benar. Review kinerja merupakan proses diskusi yang dilakukan oleh atasan dengan bawahan

dalam rangka mereview tingkat capaian kinerja bawahan. Dengan melihat kemajuan yang

dicapai oleh seorang PNS, dapat diketahui bahwa yang bersangkutan pada akhir tahun akan

berhasil mencapai target kinerjanya atau tidak. Dari review ini juga akan diketahui masalah-

masalah yang dihadapi oleh setiap PNS. Atasan wajib memberikan dukungan kepada bawahan

sehingga target kinerja bawahan dapat dicapai pada akhir tahun. Dalam hal ini atasan berfungsi

sebagai coach, mentor, counsellor, supervisor, advisor, trainer dan facilitator bagi bawahannya.

106

Penilaian kinerja (performance evaluation) adalah kelanjutan dari perencanaan

dan review kinerja yang mengukur keberhasilan realisasi dari perencanaan kinerja.

Penilaian kinerja merupakan proses penilaian terhadap keseluruhan capaian target

kinerja yang dihasilkan oleh seorang PNS sesuai dengan jabatan dan tanggungjawab

yang diembannya dalam suatu periode waktu tertentu.

Mengingat bahwa penilaian kinerja adalah tahapan yang krusial dalam

manajemen kinerja, maka proses penilaian kinerja perlu berpegang pada sejumlah

prinsip dasar. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah :

a. Keadilan, keseluruhan proses penilaian kinerja dilandaskan pada rasa keadilan bagi

semua PNS. Nilai-nilai keadilan dikedepankan agar manajemen kinerja dapat

diimplementasikan secara efektif dan terukur.

b. Transparansi, prinsip transparansi dalam penilaian kinerja perlu dibangun oleh

atasan dan bawahan. Bawahan berhak mengetahui bukti atau alasan atas nilai kinerja

yang diberikan oleh atasan.

c. Independensi, hasil penilaian kinerja tahun tertentu tidak ada hubungannya dengan

hasil penilaian kinerja tahun sebelumnya. Artinya, hasil penilaian kinerja seorang

PNS dapat naik dan turun setiap tahun sesuai dengan kinerja yang dihasilkan.

d. Pemberdayaan, penilaian kinerja ini memberikan kesempatan kepada setiap individu

PNS untuk memberdayakan dirinya sendiri dan memberdayakan bawahannya.

Sengaja dirancang sesederhana mungkin, diharapkan proses penilaian kinerja ini

dapat dijalankan oleh PNS secara mandiri.

e. Non diskriminasi, dalam menilai kinerja, perlu dicatat bahwa tidak ada diskriminasi

menurut golongan, suku, agama, ataupun ras. Kinerja PNS dinilai hanya didasarkan

pada capaian kinerja yang dihasilkannya.

f. Semangat kompetisi, dengan menerapkan lima (5) prinsip diatas, diharapkan PNS

dapat terpacu untuk saling meningkatkan kinerjanya. Semangat berkompetisi dalam

meningkatkan kinerja perlu didorong bagi peningkatan kinerja PNS secara

menyeluruh.

Penilaian kinerja dalam manajemen kinerja yang dirancang untuk kebutuhan

PNS ini, memiliki tiga (3) unsur, yaitu kesepakatan kinerja, review kinerja dan

penilaian sejawat.

a. Kesepakatan kinerja, realisasi terhadap target kinerja sebagaimana yang telah

ditetapkan dalam kesepakatan kinerja. Kesepakatan kinerja memuat target-target

yang akan dicapai. Pada akhir tahun dinilai sejauhmana target-target tersebut

dicapai oleh PNS.

107

b. Review Kinerja, review kinerja menjadi salah satu unsure yang membentuk

penilaian kinerja yang menyeluruh dari seorang PNS. Sebagaimana telah diuraikan

sebelumnya bahwa saran atau rekomendasi yang diberikan oleh atasan kepada

bawahan pada saat melakukan review kinerja ditulis dalam formulir review kinerja.

Pada akhir tahun, atasan melihat apakah rekomendasi atau saran yang diberikan

pada pertengahan tahun tersebut ditindaklanjuti oleh bawahan. Sejauhmana tindak

lanjut tersebut dilakukan oleh bawahan adalah unsur penilaian dalam manajemen

kinerja ini. Oleh karena itu, review kinerja memberikan basis bagi penilaian kinerja

PNS.

c. Penilaian Sejawat, penilaian terhadap dua (2) unsur di atas dilakukan oleh atasan.

Atasan tetap merupakan pihak yang paling berwenang menilai kinerja bawahan.

Namun demikian, dalam rangka menuju penilaian yang 3600 dan sekaligus

meningkatkan objektifitas penilaian, maka perlu melibatkan pihak lain. Dalam hal

ini perlu melibatkan rekan sejawat (kolega). Rekan sejawat memberikan penilaian

khusus pada perilaku. Perlu digarisbawahi adalah bahwa penilaian dari rekan

sejawat hanya diperuntukkan bagi pejabat fungsional umum (JFU).

Untuk memudahkan proses penilaian terhadap ketiga unsur di atas, ditetapkan

sejumlah aspek, indikator dan parameter penilaian. Aspek menunjukkan unsur utama

penilaian, indikator menunjukkan dimensi substansial yang mengacu pada aspek

penilaian dan parameter menunjukkan dimensi penilaian yang mengandung

pernyataan operasional.

6. Penggajian

Selanjutnya terkait dengan reformasi sistem penggajian PNS. Gaji yang dimaksud disini

adalah kompensasi atau take home pay yang diterima PNS selama satu bulan kerja. Dalam

pengertian ini gaji PNS terdiri dari gaji pokok dan tunjangan. Ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam reformasi sistem penggajian PNS ini, pertama, sistem penggajian PNS harus

mengakomodasi adanya perbedaan tugas pokok, tanggung jawab dan beban kerja dari masing-

masing instansi. Kondisi ini berdampak instansi yang mempunyai tugas pokok, tanggung jawab

dan beban kerja berat perlu diapresiasi dengan memberikan gaji yang berbeda kepada

pegawainya. Kedua, sistem penggajian PNS harus mengakomodasi adanya perbedaan biaya

hidup di berbagai daerah. Hal ini untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun

1999, yaitu terkait upaya peningkatan kesejahteraan PNS, dengan nominal gaji yang sama tetapi

hidup di daerah yang berbeda tentu nilai nominalnya akan berbeda, artinya tingkat

kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup juga berbeda.

108

Ketiga, sistem penggajian PNS harus mengakomodasi kompetensi atau kemampuan yang

dimiliki oleh PNS. Kompetensi masing-masing PNS tentu berbeda dan perbedaan ini akan

berpengaruh pada kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. PNS yang

kemampuannya tinggi harus dihargai lebih besar daripada PNS yang kemampuannya rendah.

Keempat, sistem penggajian PNS harus berdasarkan pada prestasi kerja atau kinerja PNS. Ini

akan berdampak pada peningkatan motivasi PNS karena PNS yang berkinerja lebih tinggi akan

menerima gaji lebih besar dari PNS yang kinerjanya rendah. Terakhir, kelima, secara nominal

jumlah gaji yang diterima PNS harus mampu memenuhi kebutuhan standar hidup layak

sehingga kesejahteraan PNS dapat meningkat dengan kata lain jumlah gaji PNS bisa bersaing

dengan gaji pegawai swasta. Untuk itu maka sistem penggajian PNS diberikan berdasarkan pada

pay for position, pay for person, pay for performance dan pay for living cost.

Pay for position adalah gaji yang diberikan kepada seorang PNS karena posisi atau

jabatannya. Posisi atau jabatan ini bisa bermakna internal maupun eksternal. Makna internal

berarti posisi atau jabatan yang dibandingkan dalam satu organisasi. Misalnya pay for position

untuk eselon I dihargai lebih besar daripada eselon II, dan pay for position untuk eselon II

dihargai lebih besar daripada eselon III, demikian seterusnya. Penghargaan ini menunjukkan

bahwa beban kerja masing-masing posisi atau jabatan tersebut berbeda sesuai dengan

tingkatnya dan ruang lingkup tugasnya. Sementara makna eksternal berarti posisi atau jabatan

yang dibandingkan dengan organisasi lain. Hal ini untuk mengakomodasi bahwa beban kerja

masing-masing organisasi berbeda meskipun berada dalam tingkat jabatan yang sama. Sebagai

contoh misalnya beban kerja seorang pejabat eselon II di Kementerian Keuangan tentu berbeda

dengan pejabat eselon II di Arsip Nasional (ARNAS). Untuk bisa memberikan pay for position

yang adil maka perlu dilakukan analisis beban kerja (ABK) untuk semua jabatan atau posisi

yang ada dalam suatu organisasi, yaitu untuk menentukan harga jabatan. Selain itu ABK secara

nasional juga perlu dilakukan untuk menentukan harga suatu organisasi secara nasional.

Selanjutnya pay for person adalah gaji yang diberikan kepada seorang PNS karena

kompetensi atau kemampuan yang dimilikinya. Ini untuk menghargai adanya perbedaan

kemampuan yang dimiliki oleh pegawai, pegawai yang mempunyai kemampuan lebih baik

selayaknya dihargai lebih banyak dari pegawai yang kemampuannya lebih rendah. Pegawai

yang mempunyai kemampuan lebih diyakini akan bisa lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya

dengan kata lain lebih berkinerja. Pay for person juga untuk menghargai jabatan-jabatan yang

mempunyai karakteristik tertentu, misalnya jabatan tersebut langka, terbatas atau lainnya.

109

Sementara tunjangan pegawai diberikan berdasarkan pada pencapaian kinerja (pay for

performance) dan perbedaan lokasi bertugas (pay for living cost). Pay for performance

diberikan kepada pegawai berdasarkan pencapaian kinerjanya. Pencapaian kinerja ini dihitung

berdasarkan hasil penilaian kinerja pegawai. Untuk keperluan ini maka harus disusun

instrumen penilaian kinerja yang mampu mengukur kinerja nyata pegawai sehingga bisa

ditetapkan nilai nominal gajinya. Nilai nominal dari pay for performance ini bisa berubah-ubah

setiap bulannya tergantung pada hasil penilaian kinerja pegawai. Pada saat kinerja pegawai

tinggi maka bisa memperoleh tunjangan yang besar dan pada saat kinerjanya rendah maka

tunjangannya juga rendah. Sementara pay for living cost diberikan kepada pegawai berdasarkan

pada lokasi tugasnya. Tunjangan ini bisa juga disebut dengan istilah tunjangan kemahalan.

Tunjangan ini diberikan berbeda-beda tergantung pada hasil analisa kebutuhan hidup. Bagi

daerah-daerah yang biaya hidupnya tinggi maka diberikan tunjangan yang lebih besar daripada

daerah yang biaya hidupnya rendah. Pay for living cost ini juga untuk menghargai pegawai-

pegawai yang tempat tugasnya terpencil, sulit, terisolir dan sebagainya.

Dengan reformasi sistem penggajian sebagaimana dijelaskan tersebut diharapkan PNS

bisa hidup lebih sejahtera dan termotivasi untuk terus meningkatkan kinerjanya. Baik gaji

maupun tunjangan yang diterima tidak diberikan berdasarkan perkiraan atau sama rasa sama

rata tetapi benar-benar didasarkan pada perhitungan yang rasional.

Selain pemberian gaji, penghargaan lain juga dapat diberikan bagi PNS yang

menunjukkan prestasi kerja yang baik. Penghargaan ini dapat berupa tanda jasa atau bentuk

penghargaan lainnya. Sementara bagi PNS yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

peraturan perundangan wajib dikenakan sanksi. Jenis pelanggaran ini terdiri dari : pelanggaran

ringan, pelanggaran sedang dan pelanggaran berat. Sementara sanksi yang diberikan kepada

PNS berupa : sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana. Sanksi yang diberikan ini

disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan seorang pegawai.

7. Perpindahan antar Daerah

Sejalan dengan peran PNS sebagai perekat bangsa dan menjalin persatuan serta

kesatuan bangsa, maka perpindahan PNS antar daerah perlu lebih diperhatikan.

Adapun tujuan-tujuan yang akan dicapai dari perpindahan ini adalah untuk :

a. Menciptakan keseimbangan jumlah dan distribusi PNS antar daerah. Pemerintah

daerah yang kekurangan PNS akan mendapatkan tambahan PNS dari daerah yang

kelebihan baik antar propinsi maupun antar kabupaten/kota;

110

b. Mengembangkan karier dan potensi PNS yang bersangkutan;

c. Mendorong terjadinya transfer of knowledge;

d. Mendorong percepatan pembangunan daerah; dan

e. Mengurangi semangat primordialisme daerah dalam memandang keberadaan sumber

daya manusianya.

Perpindahan PNS antar daerah lebih didorong atas dasar perpindahan karena

alasan kepentingan nasional, bukan atas kepentingan pribadi yang selama ini banyak

diakomodir. Dalam konteks reformasi birokrasi, peran PNS dikembalikan kepada peran

yang sebenarnya yaitu sebagai pegawai Republik Indonesia, bukan pegawai suatu

kementerian/lembaga/pemerintah daerah tertentu. Oleh karena itu, PNS dapat

dipindahkan atau ditempatkan di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka

memperkuat jiwa nasionalisme.

Secara umum pola perpindahan PNS dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu :

1. Perpindahan atas permintaan sendiri. Perpindahan dapat dipenuhi apabila

memenuhi beberapa kriteria. Kriteria-kriteria tersebut adalah :

a. Daerah penerima masih mengalami kekurangan jumlah PNS;

b. Memiliki dasar alasan yang kuat baik alasan keluarga ataupun pengembangan

kapasitas individu;

Bagi PNS yang mengajukan permohonan pindah atas permintaan sendiri ini,

Pemerintah tidak menanggung biaya pindahnya.

111

Diagram 4.1

Mekanisme Perpindahan Pegawai Atas Permintaan Sendiri

Antar Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota

PERMOHONAN

PINDAH

DITERIMA

DASAR PERTIMBANGAN :

KEBUTUHAN OBJEKTIFDAERAH TUJUAN

DIPROSES BKD/

BAG KEPEGAWAIAN DAERAH

TUJUAN

DITOLAK

PENGESAHAN

OLEH PEJABAT PEMBINA

KEPEGAWAIAN

DAN KANREG BKN

PEMINDAHAN

GAJI

•PENDIDIKAN•KOMPETENSI•KINERJA •PANGKAT/GOLONGAN•KETERSEDIAAN FORMASI•USIA

DIREKOMENDASIKAN OLEH PEJABAT

PEMBINA KEPEGAWAIAN SETEMPAT

DAPAT MENGAJUKAN

SEKALI LAGI PERMOHONAN SERUPA

Sumber : Kajian Perpindahan Pegawai Antar Daerah dalam Era Otonomi Daerah, Pusat

Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur LAN, Jakarta, 2003.

2. Perpindahan karena penugasan. Prioritas Pemerintah dalam konteks perpindahan

PNS adalah perpindahan karena alasan penugasan. Dimungkinkan seorang PNS yang

direkrut oleh suatu kabupaten untuk dipindahkan ke kabupaten/kota lain setelah

jangka waktu tertentu baik di dalam propinsi yang sama atau ke propinsi yang lain.

Atas alasan kepentingan nasional, seorang PNS di daerah dapat dipindahkan ke pusat

atau sebaliknya. Dan yang bersangkutan wajib memenuhi perintah tersebut. Oleh

karena itu, semua biaya yang terkait dengan proses perpindahan ini ditanggung oleh

pemerintah. Jenis perpindahan ini lebih bersifat direktif dan lebih berorientasi bagi

pejabat struktural. Dalam bentuk diagram, mekanisme perpindahan pegawai atas

penugasan ini dapat digambarkan berikut.

Lampiran 1

112

Diagram 4.2

Mekanisme Perpindahan Pegawai Atas Penugasan

Antar Daerah Kabupaten/Kota

PENUGASAN

PINDAHDIPROSES BKD/

BAG KEPEGAWAIAN

DAERAH

TUJUAN

PENGESAHAN

GUBERNUR DAN KANREG BKN

DASAR PERTIMBANGAN

KEBUTUHAN OBJEKTIFDAERAH PENERIMA

•PENDIDIKAN

•KOMPETENSI•KINERJA •PANGKAT/GOLONGAN

•KETERSEDIAAN FORMASI

•PENGALAMAN/USIA

PEMINDAHAN

GAJI

Sumber : Kajian Perpindahan Pegawai Antar Daerah dalam Era Otonomi Daerah, Pusat

Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur LAN, Jakarta, 2003.

Dalam melakukan perpindahan pegawai, terdapat sejumlah pola perpindahan.

Dalam lingkup pemerintah daerah, pola atau bentuk perpindahan tersebut dapat

diklasifikasikan berikut ini :

1) Dari provinsi ke provinsi lainnya (antar propinsi),

2) Dari provinsi ke kabupaten dalam provinsi yang sama,

3) Dari provinsi ke kota dalam provinsi yang sama,

4) Dari provinsi ke kabupaten diluar provinsi yang bersangkutan,

5) Dari provinsi ke kota di luar provinsi yang bersangkutan,

6) Dari kabupaten ke provinsi dalam provinsi yang sama,

7) Dari kabupaten ke provinsi dalam provinsi yang berbeda,

8) Dari kabupaten ke kabupaten dalam provinsi yang sama (antar kabupaten dalam

satu provinsi),

9) Dari kabupaten ke kabupaten di luar provinsi,

10) Dari kabupaten ke kota dalam provinsi yang sama,

11) Dari kabupaten ke kota di luar provinsi,

113

12) Dari kota ke provinsi dalam provinsi yang sama,

13) Dari kota ke provinsi yang berbeda,

14) Dari kota ke kota dalam provinsi yang sama,

15) Dari kota ke kota di provinsi yang berbeda,

16) Dari kota ke kabupaten dalam provinsi yang sama,

17) Dari kota ke kabupaten di luar provinsi.

8. Pemberhentian

Pemberhentian PNS adalah hilangnya status seseorang sebagai PNS. Terdapat

beberapa klasifikasi pemberhentian PNS ditinjau dari alasannya, yaitu :

a. Pemberhentian karena permintaan sendiri,

b. Pemberhentian karena mencapai batas usia pensiun,

c. Pemberhentian karena adanya penyederhanaan organisasi,

d. Pemberhentian karena melakukan pelanggaran/tindak pidana/ penyelewengan,

e. Pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan atau rohani,

f. Pemberhentian karena meninggalkan tugas,

g. Pemberhentian karena meninggal dunia atau hilang,

h. Pemberhentian karena gagal mencapai target kinerja selama tiga tahun berturut.

Dalam rangka mendukung efektifitas penegakan disiplin di lingkungan PNS, kedepan

akan dirumuskan kebijakan yang membuat PNS lebih mudah untuk diberhentikan terutama

karena melakukan pelanggaran/tindak pidana/penyelewengan, tidak cakap jasmani/rohani,

hilang dan gagal menunjukkan kinerja sebagaimana yang diharapkan. Dengan diperketatnya

aturan tentang syarat pemberhentian PNS, diharapkan akan lebih mudah memberhentikan

PNS berdasarkan alasan-alasan tersebut. Dengan demikian, PNS lebih meningkatkan

kinerja, disiplin dan kompetensinya jika tidak ingin kehilangan statusnya sebagai PNS.

Status atau klasifikasi pemberhentian PNS disederhanakan menjadi dua (2), yaitu :

diberhentikan dengan hormat, dan diberhentikan dengan tidak hormat. Kebijakan

pemberhentian PNS, jenis-jenis pemberhentian, konsekuensi dan kewenangan serta pejabat

yang berwenang memberhentikan PNS dimuat dalam satu peraturan perundangan.

9. Pensiun

Sejalan dengan reformasi PNS ini, maka sistem pensiun PNS sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun

Janda/Duda Pegawai perlu diubah. Undang-Undang tersebut dinilai tidak sesuai lagi dengan

114

perkembangan dan kebutuhan sekarang terutama yang berkaitan dengan sifat pensiun,

pembiayaan, besaran manfaat, hak peserta dan pengelolaan dana pensiun.

Mengutip laporan “Reformasi Sistem Pensiun PNS” program kerjasama BKN dan

Partnership for Governance Reform 2006, direkomendasikan bahwa :

a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun

Janda/Duda Pegawai perlu diubah karena sifat pensiun yang dinyatakan dalam Pasal 1

Undang-Undang tersebut yang menyebutkan bahwa “pensiun merupakan hak bagi PNS

yang memenuhi syarat dan merupakan jaminan hari tua serta sebagai balas jasa terhadap

PNS yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri kepada negara” ternyata sangat

menentukan dan mempengaruhi sistem pembiayaan/ pembayaran, sistem pengelolaan

dan besaran manfaat pensiun.

b. Perlunya perubahan sistem pensiun PNS kedepan yang mengedepankan ciri-ciri sebagai

berikut :

(1) Adanya pengembalian akumulasi iuran pensiun bagi PNS yang diberhentikan tanpa

hak pensiun;

(2) Tidak perlu adanya syarat pemberhentian dengan hormat untuk mendapatkan hak

pensiun;

(3) Besarnya manfaat pensiun ditentukan dari hasil pengelolaan dana pensiun, bukan

hanya sekedar pada kemampuan keuangan Negara;

(4) Pembayaran pensiun harus dijamin oleh pemerintah;

(5) Pembayaran iuran premi dilakukan baik oleh pegawai maupun pemerintah;

(6) Keuntungan pengelolaan dana pensiun sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan

peserta;

(7) Adanya wakil peserta dalam pengelolaan dana pensiun baik sebagai pengurus

maupun sebagai dewan pengawas.

c. Kebijakan kenaikan gaji PNS dipisahkan dengan kebijakan kenaikan pensiun.

d. Pemerintah perlu membentuk Lembaga Dana Pensiun PNS, yaitu lembaga dana pensiun

yang bersifat independen.

115

BBaabb VV

RRooaadd MMaapp ddaann AAggeennddaa RReeffoorrmmaassii SSiisstteemm

MMaannaajjeemmeenn PPNNSS ddii IInnddoonneessiiaa

A. Pendahuluan

Road map diperlukan sebagai dasar untuk memberikan panduan dan arah bagi

pelaksanaan reformasi PNS. Sebagai salah satu hasil dari kajian Grand Design Reformasi

PNS, road map merupakan dokumen penting yang berisi uraian langkah-langkah dan

tahapan untuk digunakan sebagai pegangan para pengambil keputusan dalam pengelolaan

PNS untuk menjalankan reformasi PNS sehingga berhasil dan tidak keluar dari tahapan

yang telah ditentukan. Road Map dan Grand Design Reformasi PNS disusun untuk jangka waktu 15 tahun dari

tahun 2010-2025 sesuai dengan tahapan RPJM maupun RPJP. Waktu 15 tahun dinilai cukup

untuk melakukan reformasi PNS melalui program-program penataan dan perbaikan. Road Map

menjadi dokumen penting bagi pelaksanaan reformasi PNS sehingga reformasi dapat dilakukan

secara efektif, tepat sasaran dan membawa perubahan bagi sistem manajemen PNS kearah yang

diharapkan.

Road map ini berisikan agenda kegiatan yang berdasarkan analisis Tim Peneliti merupakan

agenda-agenda yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan reformasi sistem

manajemen PNS secara terukur, fokus, dan berkelanjutan yang secara spesifik akan dilakukan oleh

institusi pengelola manajemen PNS. Penguatan kelembagaan baik dalam konteks reposisi dan

revitalisasi peran dan fungsi institusi pengelola PNS adalah sangat strategis untuk dapat mengatasi

kompleksitas permasalahan kepegawaian sipil yang saling berkelindan.

Strategi perlu disusun sehingga pelaksanaan reformasi PNS dapat berjalan sesuai dengan

rencana. Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Lembaga Administrasi Negara, dan Badan

Kepegawaian Negara ditambah Komisi Kepegawaian Negara (jika terbentuk) adalah strategic

partner institusi pemerintah yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan reformasi PNS.

Reformasi PNS sebagai bagian dari reformasi birokrasi yang saat ini dilakukan pemerintah tidak

akan dapat berjalan dengan baik jika ketiga lembaga negara tersebut tidak dapat bekerja sama

116

secara baik. Road map ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan koordinasi strategis antar

institusi pemerintah pengelola manajemen PNS sehingga harapan untuk melakukan reformasi PNS

guna mewujudkan PNS yang profesional, sejahtera dan netral dapat tercapai.

B. Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya road map adalah untuk memberikan arah dan

panduan bagi pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS di kementerian/lembaga dan

pemerintah daerah supaya efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi dan berkelanjutan

sehingga tujuan yang ada dalam grand design dapat diwujudkan dengan baik.

C. Ruang Lingkup

Road map reformasi sistem manajemen PNS mencakup empat (4) kegiatan dan dua puluh

empat (24) agenda. Empat kegiatan road map dan agenda kegiataannya adalah sebagai berikut : (1)

konsolidasi struktural yang memiliki empat (4) agenda : penataan ulang instansi pusat dan daerah

yang bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS, pembentukan KKN (Komisi Kepegawaian

Negara), penguatan netralitas PNS, dan revitalisasi unified system untuk pengelolaan PNS dalam

konteks NKRI; (2) Penataan manajemen yang mempunyai sembilan (9) agenda : penyusunan

rencana induk kebutuhan dan pengembangan PNS, perbaikan sistem rekrutmen dan seleksi,

penyusunan sistem karier, pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan, perumusan penilaian

kinerja, penyusunan sistem penggajian, penyesuaian pola perpindahan PNS, penyusunan

mekanisme dan prosedur pemberhentian, dan penyempurnaan sistem pensiun; (3) bidang

pengembangan budaya dan kode etik PNS dengan tujuh (7) agenda : membangun nilai etika,

budaya kerja dan kode etik PNS, penguatan penegakan hukum, pengembangan budaya kerja yang

berorientasi pada kinerja dan daya saing, internalisasi nilai-nilai good governance, penerapan

change management dalam proses reformasi, penerapan local wisdom dalam proses reformasi, dan

pengembangan kepemimpinan aparatur yang efektif; dan (3) bidang penerapan dan

pengembangan ICT (information and communication technology) dengan empat (4) agenda :

pengembangan pengelolaan kepegawaian berbasis IT, pembangunan database PNS nasional,

pengembangan single identity number, dan penerapan e-office.

117

D. Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS

Mencermati kompleksitas permasalahan yang mengemuka dalam kebijakan dan praktik

manajemen PNS serta tuntutan terhadap reformasi sistem manajemen PNS secara fundamental dan

komprehensif, maka dirumuskan roadmap reformasi sistem manajemen PNS. Roadmap ini

merupakan bentuk operasionalisasi grand disain reformasi sistem manajemen PNS yang berisikan

agenda-agenda perubahan. Dengan demikian, roadmap adalah bagian yang tidak terpisahkan

dengan grand design reformasi sistem manajemen PNS.

Perlu dicatat bahwa roadmap reformasi sistem manajemen PNS ini telah disesuaikan dengan

roadmap reformasi birokrasi nasional yang cakupannya lebih luas. Roadmap reformasi sistem

manajemen PNS ini mengacu pada reformasi birokrasi baik pada tingkatan makro, meso maupun

tingkatan mikro yaitu penataan sistem manajemen SDM aparatur. Dengan demikian, roadmap

beserta agenda-agenda dalam reformasi sistem manajemen PNS adalah elaborasi dari program

reformasi birokrasi pada penataan sistem manajemen SDM Aparatur.

Untuk mereformasi sistem manajemen PNS secara menyeluruh, terdapat empat (4) roadmap

yang perlu dilakukan yang masing-masingnya memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain.

Keempat roadmap tersebut adalah :

Tabel 5.1

Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS

1. Konsolidasi

struktural

Konsolidasi struktural adalah penataan kelembagaan

diantara instansi pemerintah pusat dan daerah yang

selama ini bertanggungjawab menyelenggarakan

kebijakan dalam manajemen PNS. Konsolidasi

struktural ini meliputi penataan tugas, peran dan

tanggungjawab dan kewenangan masing-masing

instansi sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih.

2. Penataan sistem

manajemen

Penataan sistem manajemen PNS merupakan

pembenahan terhadap seluruh aspek manajemen

kepegawaian yang meliputi penyusunan rencana

induk, rekrutmen sampai pada pensiun.

118

3. Pengembangan

budaya dan kode

etik

Pengembangan budaya dan kode etik PNS adalah

salah satu roadmap dalam reformasi sistem

manajemen PNS yang memberikan perhatian pada

penguatan milai-nilai dan budaya yang berorientasi

pada kinerja, penghargaan pada nilai-nilai dan

moralitas yang luhur. Penguatan implementasi kode

etik merupakan bagian dari roadmap ketiga ini.

4. Penerapan dan

Pengembangan

ICT

Penerapan dan pengembangan ICT merupakan salah

satu roadmap yang menjadi pendukung bagi

berlangsungnya keseluruhan reformasi sistem

manajemen PNS.

Rincian roadmap beserta agenda yang akan dilakukan untuk setiap roadmap, adalah

sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini.

119

Diagram 5.2

Roadmap dan Agenda

Reformasi Sistem Manajemen PNS 2010-2025

Konsolidasi Struktural:1. Penataan ulang

kelemb,2. Pembentukan KKN,3. Netralitas PNS.

Penataan Manajemen:1. Rencana induk,2. Sistem rekrutmen,3. Sistem karier,4. Sistem diklat,5. Penilaian kinerja,6. Sistem penggajian,7. Pola perpindahan.

Budaya & kode Etik:1. Membangun etika,2. Penegakan hukum.

ICT:1. Database,2. SIN.

Penataan Manajemen:1. Sistem Penggajian,2. Pemberhentian,3. Pensiun.

Budaya & kode Etik:1. Pengemb budaya

kerja,2. Internalisasi nilai

GG,3. Penerapan change

management.

ICT:1. Database,

Budaya & kode Etik:1. Pengemb budaya

kerja,2. Penerapan local

wisdom,3. Pengemb

kepemimpinan.

ICT:1. Pengemb IT,2. Penerapan e-office.

Tujuan:Perub sist manaj PNS

2010-2014

2015-2019

2020-2025

Pada tabel diatas sekaligus juga dirancang tahun implementasinya yang dimulai tahun 2011

sampai 2025. Implementasi satu agenda dapat berlangsung selama satu tahun atau kurang, namun

juga dapat memakan waktu selama beberapa tahun.

Pelaksanaan keseluruhan agenda pada reformasi sistem manajemen PNS akan berlangsung

selama periode 2010-2025 menyesuaikan dengan RPJM. Dalam kurun waktu 15 tahun tersebut,

diharapkan seluruh agenda dapat diimplementasikan secara efektif.

120

BBaabb VVII

PPeennuuttuupp

A. Kesimpulan

Dari kajian yang sudah dilakukan dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1. Pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS memerlukan grand design dan road map

yang sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam arah reformasi birokrasi nasional

sebagai payungnya.

2. Profil PNS yang diharapkan diwujudkan dengan grand design dan road map reformasi

sistem manajemen PNS adalah PNS yang profesional, netral dan sejahtera.

3. Sejumlah key success factor atau faktor kunci sukses yang diidentifikasi adalah :

perlunya strong leadership dan political will, pembentukan civil service comission,

terjaganya netralitas PNS, dilakukannya perubahan peraturan yang terkait dengan

pengelolaan kepegawaian (PNS), adanya penegakan hukum, penerapan prinsip

manajemen kinerja dalam pengelolaan pegawai serta dilakukannya moratorium

rekrutmen untuk jangka waktu tertentu.

4. Agenda reformasi sistem manajemen PNS paling tidak mencakup empat (4) roadmap,

yaitu : (1) konsolidasi struktural yang memiliki empat (4) agenda : penataan ulang

instansi pusat dan daerah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS,

pembentukan KKN (Komisi Kepegawaian Negara), penguatan netralitas PNS, dan

revitalisasi unified system untuk pengelolaan PNS dalam konteks NKRI; (2) Penataan

manajemen yang mempunyai sembilan (9) agenda : penyusunan rencana induk

kebutuhan dan pengembangan PNS, perbaikan sistem rekrutmen dan seleksi,

penyusunan sistem karier, pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan, perumusan

penilaian kinerja, penyusunan sistem penggajian, penyesuaian pola perpindahan PNS,

penyusunan mekanisme dan prosedur pemberhentian, dan penyempurnaan sistem

pensiun; (3) bidang pengembangan budaya dan kode etik PNS dengan tujuh (7) agenda

: membangun nilai etika, budaya kerja dan kode etik PNS, penguatan penegakan

hukum, pengembangan budaya kerja yang berorientasi pada kinerja dan daya saing,

internalisasi nilai-nilai good governance, penerapan change management dalam proses

reformasi, penerapan local wisdom dalam proses reformasi, dan pengembangan

121

kepemimpinan aparatur yang efektif; dan (3) bidang penerapan dan pengembangan ICT

(information and communication technology) dengan empat (4) agenda :

pengembangan pengelolaan kepegawaian berbasis IT, pembangunan database PNS

nasional, pengembangan single identity number, dan penerapan e-office.

5. Instansi-instansi yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan kepegawaian (PNS),

yaitu : Komisi Kepegawaian Negara (KKN), Kementerian Pendayagunaan Aparatur

Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara

(BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) perlu melakukan penguatan kapasitas

serta melakukan reposisi terhadap tugas dan kewenangannya.

6. Sistem manajemen atau pengelolaan PNS perlu dilakukan dengan menggunakan

pendekatan manajemen yang ideal.

B. Saran

Dari analisis yang dilakukan dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Segera dilakukan penyusunan dan penetapan kebijakan atau peraturan yang terkait

dengan pengelolaan kepegawaian (PNS) dalam bentuk Undang-Undang maupun

peraturan pelaksanaannya.

2. Segera dilakukan penguatan dan reposisi terhadap instansi-instansi yang terlibat dalam

pengelolaan PNS, yaitu : Komisi Kepegawaian Negara (KKN), Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Badan

Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN).

3. Penerapan manajemen yang ideal dalam pengelolaan PNS.

4. Melaksanakan grand design reformasi PNS sesuai dengan road map yang ditetapkan.

122

DAFTAR BACAAN

Auer, A., Demmke, C., and Polet, R., (1996). Civil Services in the Europe of Fifteen : current Situation and Prospects. Maastricht : EIPA.

Budi, Setia dan Sudrajat, Agus, (2007). Perbaikan Sistem Remunerasi PNS untuk Meningkatkan

Kinerja dan Menghilangkan Social Cost, dalam Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Edisi

Khusus Januari 2007, Persadi, Jakarta.

Lembaga Administrasi Negara Jakarta, (2004). Buku II SANKRI, Dalam Perspektif Perkembangan

Sejarah, Lembaga Administrasi Negara Jakarta.

Demmke, C., (2005). Are Civil Servants Different Because They Are Civil Servants?

Maastricht : EIPA.

Demmke, C., (2007). Performance Assessment in the Public Services of the EU Member States : Procedure for Performance Appraisal, for Employee Interviews and Target Agreements. Maastricht: EIPA.

Demmke, C., and Moilanen, T., (2010). Civil Services in the EU of 27 : Reform Outcomes and the Future of the Civil Service-Outcomes of A Comparative Survey. Frankfurt: Peter

Lang.

Demmke, C., Hammerschmid, G., and Meyer, R., (2007). Measuring Individual and Organisational Performance in the Public Services of EU Member States. Maastricht :

EIPA.

Demmke, C., Henökl, T., and Moilanen, T., (2008). What Are Public Services Good At? Success of Public Services in the Field of Human Resource Management, Maastricht :

EIPA.

Drewry, G., and Cameron, C., (2010). Hasil wawancara Tentang Reformasi PNS di Inggris. Eva Etzioni - Halevy, Bureaucracy & Democracy : A Political Dilemma, Paperback, Routledge &

Kegan Paul Books Ltd , November 1985.

H. Jeddawi, Murtir, Prof., Dr., (2010). Karier PNS di Persimpangan Jalan, Sebuah Refleksi atas

Kebijakan Kepegawaian di Era Otonomi Daerah, Gallery Ilmu, Yogyakarta.

http://web.bisnis.com/

Kementerian Keuangan, Profile Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan.

123

Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2007). Kajian Evaluasi

Sistem Rekrutmen PNS, Jakarta.

Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2005). Kajian Reformasi

Birokrasi, Jakarta.

Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2005). Kajian

Manajemen PNS yang Efektif, Jakarta.

Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2005). Kajian Efektivitas

Peraturan di Bidang Kepegawaian, Jakarta.

Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2004). Kajian Blue Print

Reformasi Birokrasi, Jakarta.

Manning, N., and Parison, N., (2003). International Public Administration Reform: Implications for the Russian Federation, Washington DC: World Bank.

Mohamad, Ismail., (2010). "Kebijakan Reformasi Birokrasi Nasional dan Hubungannya Dengan

Reformasi Sistem Manajemen Kepegawaian”, disampaikan pada Seminar Nasional Grand

Design Manajemen PNS, LAN, Jakarta 29 Agustus 2010.

Muhammad, Fadel, Dr., Ir., (2008). Reinventing Local Government, Pengalaman dari Daerah, PT Elex

Media Komputindo, Jakarta.

Newman, A. M., (2010). Hasil Wawancara tentang Reformasi PNS di Amerika Serikat.

OECD, (2008). The State of Public Service. Paris : OECD. Osborne dan Gaebler, (1995). Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

Park, Jin, (2010). Directions and Strategies for Indonesian Bureacracy Reform: Lessons from Korea. In

P. Jin, A. Widaningrum and J. Park (Eds.), Governance Reform in Indonesia and Korea: A

Comparative Perspective. Yogyakarta : GMU Press.

Sheperd, G., (2003). Civil Service Reform in Developing Countries : Why Is It Going Badly?

11th International Anti Corruption Conference 25-38 May 2003. Seoul. Thoha, Miftah, Prof., Dr., MPA., (2008). Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta.

University, C., (2005). Cambridge Advanced Learner's Dictionary. Singapore : Cambridge

University Press.

124

Utomo, W, Tri Widodo, (2010). Diskusi Grand Design Reformasi PNS, Lembaga Administrasi Negara,

Jakarta, 15 Oktober 2010.

www.bkn.go.id.

www.depdagri.go.id.

www.desentralisasi.org/makalah (down load, 26 Juni 2010).

www.madina-sk.com (down load, 26 Juni 2010).

www.menpan.go.id.