ggrraanndd ddeessiiggnn rreeffoorrmmaassii...
TRANSCRIPT
GGrraanndd DDeessiiggnn RReeffoorrmmaassii PPNNSS
LLeemmbbaaggaa AAddmmiinniissttrraassii NNeeggaarraa
JJ aa kk aa rr tt aa
22001100
2
GGrraanndd DDeessiiggnn RReeffoorrmmaassii PPNNSS
Diterbitkan oleh :
Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur
Lembaga Administrasi Negara
Jl. Veteran Nomor 10, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3868201-05 ext. 151, 152
Fax. (021) 3866857, 3865102
Cetakan I, Oktober 2010
Desain sampul : Agustinus Sulistyo
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari Penerbit
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
GGrraanndd DDeessiiggnn RReeffoorrmmaassii PPNNSS
Oleh : Agustinus Sulistyo, et al.
Cet. 1 - Jakarta : Pusat KKSDA-LAN, 2010
xix, 163 hlm.; 21 x 16 cm
ISBN 978-602-8463-06-5
3
GGrraanndd DDeessiiggnn RReeffoorrmmaassii PPNNSS
Tim Penyusun :
Sri Hadiati, WK., SH., MA
Dra. Emma Rahmawiati, MSi.
Akhyar Effendi, SE., MSi.
Dra. Puji Hastuti, MPd.
Agustinus Sulistyo Tri P., SE., MSi.
Trimo Santoso, S.Sos., MAP
Drs. Hari Budimawan
Hartoto, SIP., MSi.
Ratri Istania, SIP., MA
Budi Sudarso, S.Sos.
Syamsuarman, S.Sos., MSi.
Rusmiyati, AMd.
Dede Sopari, SAP
Nuryati
Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur
Lembaga Administrasi Negara
J a k a r t a
2010
4
SSaammbbuuttaann
KKeeppaallaa LLeemmbbaaggaa AAddmmiinniissttrraassii NNeeggaarraa
Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
telah mencanangkan Grand Design dan Roadmap Reformasi Birokrasi yang bertujuan membentuk
birokrasi yang profesional dengan karakter: adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih
KKN, mampu melayani publik, netral, berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar serta kode
etik aparatur negara. Salah satu sasaran yang hendak direformasi dalam Grand Design dan Roadmap
Reformasi Birokrasi adalah sumber daya manusia aparatur, yaitu dengan mewujudkan sosok SDM
aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera.
Sejalan dengan tujuan tersebut, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, Lembaga
Administrasi Negara pada tahun 2010 ini melakukan kajian Grand Design Reformasi PNS untuk
mendukung reformasi birokrasi tersebut. Grand Design Reformasi PNS ini bertujuan untuk mengisi
dan merinci reformasi SDM aparatur yang ada dalam reformasi birokrasi. Selain itu juga dilengkapi
dengan roadmap yang memuat agenda-agenda prioritas sehingga sosok PNS sebagaimana diharapkan
dapat diwujudkan.
Semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat dalam upaya pelaksanaan reformasi PNS di
Indonesia. Bagi semua pihak yang membantu dalam penyusunan kajian ini diucapkan terima kasih.
Jakarta, Oktober 2010
Kepala
Lembaga Administrasi Negara
Asmawi Rewansyah
5
KKaattaa PPeennggaannttaarr
Pemerintah secara jelas menyatakan bahwa reformasi birokrasi harus dilakukan sebagai upaya
untuk memperbaiki berbagai kelemahan sistem birokrasi yang bertahun-tahun berlangsung. Setelah
relatif tertinggal dibandingkan reformasi di bidang politik, pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu II
menegaskan kembali komitmennya untuk melakukan perubahan di dalam sistem birokrasi
pemerintahan. Setidaknya melalui penguatan peran dan fungsi Kementerian PAN dan RB. Pada
tahun 2011 diharapkan semua instansi pemerintah pusat sudah melakukan program reformasi
birokrasi di lingkungannya masing-masing.
Salah satu program pemerintah dalam reformasi birokrasi adalah reformasi PNS yang juga telah
mulai dilakukan secara internal oleh beberapa instansi pemerintah sebagai pilot project dan diakui
keberhasilannya oleh publik walaupun masih banyak kekurangan yang ditemui. Kompleksitas
permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam melaksanakan reformasi PNS memaksa
pemerintah untuk tidak bisa melaksanakan program tersebut secara serentak. Di tengah semangat
yang tinggi untuk memperbaiki sistem birokrasi, termasuk didalamnya manajemen PNS maka
menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk memiliki sebuah konsep yang jelas, fokus dan terukur
dalam rangka pelaksanaan reformasi sistem birokrasi secara keseluruhan.
Lembaga Administrasi Negara sebagai salah satu instansi pemerintah yang bergelut didalam
pembangunan sistem administrasi negara perlu ikut memberikan kontribusi dalam menyiapkan
konsep reformasi birokrasi khususnya reformasi PNS melalui kajian Grand Design Reformasi PNS.
Kajian ini diharapkan dapat melengkapi kajian-kajian sebelumnya yang telah dilakukan oleh banyak
pihak, baik dari pemerintah maupun pihak lain yang peduli terhadap perbaikan sistem kepegawaian
sipil Indonesia.
Jakarta, Oktober 2010
Deputi
Bidang Kajian Kinerja Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur
Sri Hadiati WK
6
EExxeeccuuttiivvee SSuummmmaarryy
Pelaksanaan reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 sudah berjalan lebih dari
satu dasawarsa lebih. Sudah banyak perubahan yang terjadi termasuk dalam tata kelola
penyelenggaraan pemerintahan. Demokrasi semakin berkembang, masyarakat semakin terlibat dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Praktik demokrasi terlihat dari masyarakat yang sudah diberi
kesempatan secara langsung untuk memilih pemimpinnya, baik ditingkat pusat (pemilihan Presiden
secara langsung) maupun ditingkat daerah (pemilu kada).
Akan tetapi berbeda kondisinya dengan reformasi birokrasi, khususnya reformasi PNS. Terlihat
masih banyak ketinggalan. Banyak gambaran yang diberikan oleh berbagai kalangan yang
menunjukkan bahwa birokrasi atau PNS di Indonesia masih menunjukkan gambaran yang
memprihatinkan. Jumlah PNS yang mencapai sebesar 4.732.472 orang (data per Mei 2010) ternyata
masih menunjukkan kinerja yang lemah. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Meneg. PAN, Taufiq
Effendi bahwa 55% dari total PNS Indonesia yang mencapai sekitar 3,6 juta orang berkinerja buruk
(Kompas, 12 Januari 2007). Gambaran yang sama juga diberikan oleh Setya Budi (2007), yang
menyebutkan bahwa PNS mempunyai tingkat profesionalisme yang rendah, kemampuan pelayanan
yang tidak optimal, rendahnya tingkat reliability, assurance, tangibility, empathy dan responsiveness, tidak memiliki tingkat integritas sebagai pegawai pemerintah sehingga tidak mempunyai daya ikat
emosional dengan instansi dan tugas-tugasnya, tingginya penyalahgunaan wewenang (KKN), tingkat
kesejahteraan yang rendah dan tidak terkait dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan
disiplin pegawai.
Kondisi saat ini masih menunjukkan gambaran yang kurang lebih sama. Sebagaimana
diungkapkan oleh Kepala BKN dalam Seminar Grand Design Reformasi PNS (2010). Bahwa ada
beberapa masalah dalam pengelolaan PNS antara lain : mismatch yang menyebabkan sosok PNS yang
diharapkan tidak sesuai dengan tuntutan kompetensi bidang tugasnya, terjadi under employement di
kalangan PNS karena tidak jelasnya tugas dan kewenangan masing-masing pegawai, alokasi dan
distribusi PNS yang tidak seimbang dan merata baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, rendahnya
tingkat produktivitas atau kinerja PNS, penerapan sistem reward and punishment yang tidak tegas
yang berdampak tidak ada motivasi kerja, masih rendahnya tingkat kesejahteraan pegawai dan
beberapa permasalahan lainnya.
Mengapa kondisi itu terjadi? Kajian Grand Design Reformasi PNS menunjukkan bahwa
penyelesaian masalah tersebut tidak bisa dilakukan secara parsial. Penyelesaian masalah tersebut
harus dilakukan secara gradual, simultan dan komprehensif. Untuk bisa mendukung hal tersebut
maka diperlukan satu grand design yang dilengkapi dengan road map-nya. Tujuan penyusunan grand design reformasi PNS adalah untuk memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi PNS selama
kurun waktu 2010-2025 supaya pelaksanaan reformasi PNS dapat berjalan secara efektif, efisien,
terukur, konsisten, terintegrasi dan berkelanjutan. Grand design reformasi PNS memuat
penyempurnaan dan pembenahan terhadap berbagai perangkat yang terkait dengan pengelolaan PNS,
seperti profil atau sosok PNS yang diinginkan, key success factor yang bisa menjadi kunci sukses
pendorong perubahan, arah kebijakan yang jelas, penguatan posisi kelembagaan yang terkait dengan
7
pengelolaan PNS, serta manajemen PNS yang ideal sehingga bisa mewujudkan tujuan reformasi PNS
dengan baik. Sementara tujuan yang hendak dicapai dengan adanya road map adalah untuk
memberikan arah dan panduan bagi pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS di
kementerian/lembaga dan pemerintah daerah supaya efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi
dan berkelanjutan sehingga tujuan yang ada dalam grand design dapat diwujudkan dengan baik.
Reformasi sistem manajemen PNS paling tidak mencakup empat (4) bidang, yaitu : (1)
konsolidasi struktural yang memiliki empat (4) agenda : penataan ulang kewenangan instansi pusat
dan daerah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS, pembentukan KKS (Komisi
Kepegawaian Sipil), penguatan netralitas PNS, dan revitalisasi unified system untuk pengelolaan PNS
dalam konteks NKRI; (2) Penataan manajemen yang mempunyai sembilan (9) agenda : penyusunan
rencana induk kebutuhan dan pengembangan PNS, perbaikan sistem rekrutmen dan seleksi,
penyusunan sistem karier, pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan, perumusan penilaian
kinerja, penyusunan sistem penggajian, penyesuaian pola perpindahan PNS, penyusunan mekanisme
dan prosedur pemberhentian, dan penyempurnaan sistem pensiun; (3) bidang pengembangan budaya
dan kode etik PNS dengan tujuh (7) agenda : membangun nilai etika, budaya kerja dan kode etik PNS,
penguatan penegakan hukum, pengembangan budaya kerja yang berorientasi pada kinerja dan daya
saing, internalisasi nilai-nilai good governance, penerapan change management dalam proses
reformasi, penerapan local wisdom dalam proses reformasi, dan pengembangan kepemimpinan
aparatur yang efektif; dan (3) bidang penerapan dan pengembangan ICT (information and communication technology) dengan empat (4) agenda : pengembangan pengelolaan kepegawaian
berbasis IT, pembangunan database PNS nasional, pengembangan single identity number, dan
penerapan e-office. Untuk mendukung pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS, Tim menyarankan adanya
reposisi dan penguatan instansi-instansi yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan kepegawaian
(PNS). Instansi yang terlibat dalam pengelolaan PNS adalah : Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan
Lembaga Administrasi Negara (LAN) serta perlunya pembentukan Komisi Kepegawaian Negara
(KKN) sebagai instansi baru yang independen dan bertugas menjaga profesionalitas PNS tanpa
dibebani kepentingan politis tertentu.
8
DDaaffttaarr IIssii
Hal.
Judul Kajian 1
Sambutan 4
Kata Pengantar 5
Executive Summary 6
Daftar Isi 8
Daftar Tabel 10
Daftar Diagram 11
Bab I Pendahuluan 12
A. Latar Belakang Masalah 12
B. Perumusan Masalah 15
C. Tujuan Kajian 16
D. Hasil yang Diharapkan 16
E. Ruang Lingkup Kajian 16
F. Signifikansi Kajian 16
G. Metode Penelitian 16
Bab II Studi Pustaka dan Studi Empiris 18
A. Konsep Reformasi PNS 18
B. Konsep Kepegawaian di Sektor Publik 23
C. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
25
D. Pengalaman Pelaksanaan Reformasi PNS 31
Bab III Pengelolaan PNS di Indonesia 48
A. Sejarah Pengelolaan PNS 48
B. Permasalahan Internal 66
C. Permasalahan Eksternal 76
Bab IV Grand Design Reformasi Sistem Manajemen PNS di Indonesia 84
A. Tujuan Grand Design 84
B. Profil PNS 84
9
C. Key Success Factor Reformasi PNS 89
D. Arah Penyempurnaan Kebijakan Pengelolaan PNS 94
E. Penguatan dan Reposisi Kelembagaan dalam Pengelolaan
PNS
98
F. Manajemen PNS yang Ideal
99
Bab V Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS di Indonesia 115
A. Pendahuluan 115
B. Tujuan 116
C. Ruang Lingkup 116
D. Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS 117
Bab VI Penutup 120
A. Kesimpulan 120
B. Saran 121
Daftar Bacaan 122
10
DDaaffttaarr TTaabbeell
Hal.
Tabel 2.1 Elemen dari Reformasi Tahap Dasar dan Reformasi Tahap
Lanjut
21
Tabel 2.2 Sistem Karir dan Sistem Posisi 22
Tabel 2.3 Jenis Pekerjaan yang Dikategorikan sebagai Kepegawaian
Negeri : Pengalaman dari 27 Negara-negara Anggota Uni
Eropa
24
Tabel 2.4 Perbedaan antara PNS yang Dipekerjakan dibawah
Undang-Undang Publik dan Pegawai yang Diatur dengan
Kontrak Swasta (Kasus di Jerman)
25
Tabel 3.1 Syarat Pengangkatan dalam Golongan 56
Tabel 5.1 Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS 117
11
DDaaffttaarr DDiiaaggrraamm
Hal.
Diagram 4.1 Mekanisme Perpindahan Pegawai atas Permintaan
Sendiri antar Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota
111
Diagram 4.2 Mekanisme Perpindahan Pegawai atas Penugasan antar
Daerah Kabupaten/Kota
112
Diagram 5.2 Road Map dan Agenda Reformasi Sistem Manajemen
PNS 2010-2025
119
12
BBaabb II
PPeennddaahhuulluuaann
A. Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan reformasi bukan merupakan suatu peristiwa yang baru bagi penyelenggaraan
pemerintahan Indonesia. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru dengan
mengeluarkan deregulasi dan debirokratisasi merupakan salah satu contoh penerapan reformasi
yang terkait dengan pembenahan birokrasi. Namun titik kulminasi wacana reformasi yang
memperoleh perhatian lebih fokus terjadi pada tahun 1998 ketika dampak krisis global melanda
Indonesia. Dimana pada saat itu, semua sistem pemerintahan yang telah disusun dan
diimplementasikan oleh pemerintahan Orde Baru selama lebih dari tiga dasa warsa tidak mampu
mengatasi krisis global yang terjadi di Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan mulai luntur dan menginginkan
adanya perubahan sistem manajemen pemerintahan yang baru. Selain itu adanya keinginan untuk
bangkit menjadi salah satu negara besar yang disegani di dunia dengan sejumlah tolok ukur
keberhasilan yang signifikan di aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu
implementasi reformasi yang dilaksanakan adalah di bidang politik yang ditandai dengan
digelarnya PEMILU yang lebih demokratis dan menghasilkan wakil-wakil rakyat (DPR dan
DPRD) yang dipilih secara langsung. Reformasi politik juga ditandai dengan semakin menguatnya
posisi DPR dan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Fungsi check and balances dan peran sebagai mitra pemerintah bisa lebih dimaksimalkan oleh
anggota dewan. Hasil reformasi juga terlihat dari diselenggarakannya untuk pertama kalinya
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Kebebasan rakyat dalam
memberikan aspirasi politik lebih dihargai dan lebih didengar setelah reformasi bergulir.
Selain itu, salah satu kesalahan yang terjadi pada saat pemerintahan Orde Baru adalah
penerapan tata pemerintahan yang sentralistis, dengan sistem penerapan tata pemerintahan yang
desentralistis. Implementasi perubahan ini ditandai dengan dikeluarkannya paket Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang lebih dikenal dengan
paket Undang-Undang Otonomi Daerah. Selanjutnya pada tahun 2004 kedua undang-undang ini
13
diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004. Paket Undang-Undang ini telah memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah
daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri sehingga kemakmuran masyarakat diharapkan
lebih cepat tercapai.
Dampak langsung penerapan manajemen pemerintahan desentralistis adalah terjadinya
sejumlah pemekaran pemerintahan daerah di Indonesia (baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota).
Sampai akhir Desember 2008 telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 Provinsi,
173 Kabupaten dan 35 Kota. Dengan demikian total jumlahnya mencapai 524 daerah otonom yang
terdiri dari 33 Provinsi, 398 Kabupaten dan 93 Kota (www.depdagri.go.id). Semakin bertambahnya
jumlah wilayah administrasi atau daerah otonom tentunya mempunyai dampak yang sangat besar
menyangkut kesiapan sumber daya manusia, sarana prasarana, pembiayaan dan lain sebagainya.
Tetapi yang jelas semangat pemekaran daerah tersebut adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Implikasi dari penerapan manajemen pemerintahan yang desentralistis adalah kesiapan
sumber daya manusia yang lebih menitikberatkan pada aspek sumber daya manusia aparatur
(PNS). Secara kuantitas jumlah PNS per Mei 2010 sebesar 4.732.472 (www.bkn.go.id) sedangkan
jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus 2010 diperkirakan sebesar 235 juta jiwa, sehingga
perbandingan PNS dengan penduduk adalah 1 : 50. Berdasarkan data secara kuantitas tersebut,
terlihat tidak ada permasalahan namun fakta yang terjadi dilapangan menunjukkan sejumlah
permasalahan dalam pengelolaan PNS di Indonesia. Misalnya, masih rendahnya kinerja PNS
sebagaimana pernah disebutkan oleh mantan Meneg. PAN, Taufiq Effendi. Beliau menyebutkan
bahwa 55% dari total PNS Indonesia yang mencapai sekitar 3,6 juta orang berkinerja buruk
(Kompas, 12 Januari 2007). Kemudian ternyata kondisi ini belum berubah, dalam seminar nasional
”Pencegahan Korupsi melalui Reformasi Birokrasi”, beliau kembali mengungkapkan sejumlah
masalah yang masih melingkupi PNS, yaitu etos kerja yang rendah, kesejahteraan yang rendah
serta penyebaran pegawai yang tidak merata (Kompas, 10 Desember 2007).
Gambaran yang sama juga diberikan oleh Setya Budi (2007), PNS digambarkan mempunyai
tingkat profesionalisme yang rendah, kemampuan pelayanan yang tidak optimal, rendahnya
tingkat reliability, assurance, tangibility, empathy dan responsiveness, tidak memiliki tingkat
integritas sebagai pegawai pemerintah sehingga tidak mempunyai daya ikat emosional dengan
instansi dan tugas-tugasnya, tingginya penyalahgunaan wewenang (KKN), tingkat kesejahteraan
yang rendah dan tidak terkait dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin
pegawai. Begitu banyaknya permasalahan yang melingkupi PNS, maka tidak heran kalau mantan
14
Meneg. PAN, Taufiq Effendi menyebutkan bahwa reformasi birokrasi/PNS di seluruh departemen
dan kementerian baru bisa terwujud pada tahun 2025 (http://web.bisnis.com/, 4 Desember 2008).
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh LAN pada tahun 2005 mengenai Manajemen
PNS yang Efektif berhasil mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam pengelolaan PNS di
Indonesia. Misalnya, rendahnya profesionalisme, tingkat kesejahteraan yang belum memadai,
distribusi dan komposisi yang belum ideal, penempatan dalam jabatan yang belum didasarkan pada
kompetensi, penilaian kinerja yang belum objektif, kenaikan pangkat yang belum didasarkan pada
prestasi kerja, budaya kerja dan ethos kerja yang masih rendah, penerapan peraturan disiplin yang
tidak dilaksanakan secara konsisten serta persoalan-persoalan internal PNS lainnya. Dr. Edy Topo
Ashari, Kepala BKN dalam Seminar Grand Design Reformasi PNS menyebutkan sejumlah
permasalahan yang melingkupi PNS kita, yaitu : mismatch antara PNS yang ada dengan tuntutan
bidang tugasnya, under employement karena belum adanya target atau kontrak kinerja PNS dalam
melaksanakan tugasnya, alokasi dan distribusi PNS yang tidak seimbang terkait kualitas dan
kuantitasnya, rendahnya produktivitas PNS, database yang tidak up to date, belum diterapkannya
kebijakan reward and punishment, rendahnya kesejahteraan dan penghasilan PNS dan formasi
yang belum berbasis kebutuhan riil.
Mencermati kondisi tersebut tidak salah apabila Dr. Ismail Mohamad, Deputi Bidang
Program dan Reformasi Birokrasi, Kementerian PAN dan RB menegaskan bahwa tujuan reformasi
birokrasi adalah membentuk birokrasi yang profesional, dengan karakteristik : adaptif,
berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral,
berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara”. Selain itu beliau
juga menyebutkan bahwa salah satu sasaran utama yang dmasukkan dalam dokumen Arah
Reformasi Birokrasi adalah sumber daya aparatur. Sosok sumber daya aparatur yang diharapkan
adalah yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera
(Seminar Grand Design Reformasi PNS, LAN Jakarta 29 Juli 2010). Sasaran lainnya yang harus juga
dicapai adalah reformasi organisasi, tata laksana, peraturan perundangan, pengawasan,
akuntabilitas, pelayanan publik dan budaya kerja aparatur.
Untuk bisa mewujudkan sosok SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable,
profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera perlu didukung dengan reformasi pada aspek
kelembagaan, ketatalaksanaan, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik serta budaya kerja
aparatur. Karena itu keseluruhan aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mendukung.
Melihat kondisi tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan Reformasi Birokrasi bukanlah
merupakan pekerjaan yang mudah karena berkaitan dengan sejumlah revitalisasi, restrukturisasi
15
dan reorganisasi fungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, serta membutuhkan
anggaran yang tidak sedikit. Dengan demikian reformasi birokrasi memerlukan sejumlah langkah-
langkah secara bertahap, konkrit, realistis, sungguh-sungguh serta upaya yang luar biasa.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi birokrasi khususnya yang
terkait dengan sistem manajemen SDM aparatur (PNS) menjadi fokus utama, karena pada
aspek inilah banyak sekali perubahan-perubahan yang harus dilakukan. Karena citra
birokrasi suatu negara sepenuhnya ditentukan oleh PNS sebagai pelaksana tugas-tugas
birokrasi pemerintahan. Melihat banyaknya permasalahan yang melingkupi sosok PNS
maka sepanjang belum mampu keluar dari segala permasalahan tersebut maka PNS dalam
derajat tertentu akan memberi beban bagi penyelenggaraan pemerintahan. Kondisi inilah
yang saat ini menjadi tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia. Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian belum mampu
mewujudkan sosok PNS yang profesional, sejahtera dan netral. Gagasan terhadap
reformasi sistem manajemen PNS sudah sering dilontarkan dan disusun oleh banyak pakar
dan institusi yang peduli terhadap PNS. Namun upaya tersebut belum sepenuhnya
berhasil karena begitu banyaknya hambatan dan kendala yang bersifat sistemik, saling
terkait. Untuk itu diperlukan grand design dan road map tentang reformasi PNS yang memuat
semua aspek yang dibutuhkan sehubungan dengan reformasi PNS. Grand design reformasi PNS
diharapkan akan menjadi desain besar dalam rangka penyelenggaraan reformasi PNS yang disertai
dengan tahapan dan langkah-langkah strategis melalui road map yang akan disusun nanti. Untuk
itu Lembaga Administrasi Negara melalui Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur perlu
menegaskan kembali komitmennya untuk ikut berperan dalam mendorong terwujudnya reformasi
birokrasi khususnya reformasi PNS di Indonesia melalui dilakukannya kajian Grand Design
Reformasi PNS. Indonesia akan maju jika birokrasinya maju, jika PNS-nya profesional, netral dan
sejahtera.
B. Perumusan Masalah
Melihat begitu kompleksnya permasalahan yang melingkupi pengelolaan PNS di Indonesia
maka sangat perlu untuk menyusun grand design reformasi PNS. Kajian ini berupaya menyusun
grand design yang mampu memberikan pedoman dalam melakukan reformasi PNS sehingga PNS
yang handal, profesional dan beretika dapat diwujudkan. Untuk lebih memfokuskan kajian maka
permasalahan dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana grand design reformasi PNS Indonesia?
2. Bagaimana road map reformasi PNS Indonesia tahun 2010-2025?
16
C. Tujuan Kajian
Tujuan kajian Grand Design Reformasi PNS adalah :
1. Menyusun grand design reformasi PNS Indonesia;
2. Menyusun road map reformasi PNS Indonesia tahun 2010-2025.
D. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dalam pelaksanaan kajian Grand Design Reformasi PNS adalah :
1. Tersusunnya grand design reformasi PNS Indonesia yang memuat semua aspek desain reformasi
PNS yang dibutuhkan;
2. Tersusunnya road map reformasi PNS Indonesia yang berisikan peta kegiatan, tahapan dan
langkah-langkah strategis dalam pelaksanaan reformasi PNS mulai dari tahun 2010-2025.
E. Ruang Lingkup Kajian
Kajian Grand Design Reformasi PNS ini pada intinya akan membahas aspek-aspek yang
terkait dengan grand design reformasi PNS, khususnya tahapan-tahapan dalam sistem manajemen
atau pengelolaan PNS yang mencakup proses rekrutmen sampai pensiun serta mengidentifikasi
peta kegiatan, tahapan dan langkah-langkah strategis dalam pelaksanaan reformasi PNS mulai dari
tahun 2010-2025.
F. Signifikansi Kajian
Kajian ini memiliki nilai strategis dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Reformasi PNS sangat terkait erat dengan upaya reformasi birokrasi secara keseluruhan
yang sudah menjadi tekad pemerintahan Presiden SBY;
2. Reformasi PNS dirasakan belum dilakukan secara serius karena belum adanya arah
kebijakan reformasi PNS sehingga dirasakan perlu disusun grand design reformasi PNS
dengan pendekatan yang komprehensif;
3. Reformasi PNS selain memerlukan grand design sebagai arah kebijakan juga perlu
dilengkapi dengan road map yang memuat : tahapan kegiatan yang harus dilakukan,
jangka waktu pelaksanaannya dan peran masing-masing institusi yang terlibat dalam
pelaksanaan reformasi PNS.
G. Metode Penelitian
Kajian Grand Design Reformasi PNS di Indonesia bersifat deskriptif analitis dengan
pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan ini diharapkan data dan informasi yang diperoleh di
17
lapangan dapat dijelaskan dan diuraikan secara lengkap untuk memperoleh gambaran yang jelas
terkait substansi kajian.
Lokasi penelitian Kajian Grand Design Reformasi PNS di Indonesia ditetapkan dengan
mempertimbangkan karakteristik daerah, keterwakilan menurut lokasi geografis, keberadaan
narasumber yang ditemui serta pertimbangan lain yang dapat mempermudah penggalian data dan
informasi. Kajian Grand Design Reformasi PNS di Indonesia mengambil lokasi di enam (6)
Provinsi, yaitu Provinsi Riau, Daerah Istimewa Jogjakarta, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Nusa
Tenggara Barat dan Bali.
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam kajian ini terdiri dari :
1. Focus Group Discussion (FGD), dilakukan untuk memperoleh kesepakatan bersama diantara
narasumber yang diundang terkait satu tema kajian. Narasumber/peserta yang dipilih untuk
kegiatan FGD adalah para akademisi dan birokrasi yang memahami mengenai tema-tema yang
dipilih dimasing-masing provinsi.
2. Wawancara mendalam (in-depth interview), wawancara ini dilakukan untuk menggali data
secara mendalam dengan narasumber (key informant) terpilih. Narasumber yang dipilih adalah
para akademisi atau birokrasi yang memahami substansi kajian. Pada prinsipnya wawancara ini
dilakukan untuk memperdalam substansi kajian dari sudut pandang nara sumber.
3. Kajian kepustakaan, kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh data pendukung kajian
melalui telaahan buku, literatur, dokumen, peraturan perundang-undangan serta sumber-
sumber lain yang relevan dengan kajian.
Key informant dan narasumber yang akan ditemui adalah para akademisi di universitas yang
ada dimasing-masing lokasi kajian dan para pejabat pemerintah provinsi yang menguasai substansi
kajian. Data yang diperlukan untuk kajian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer
adalah data dan informasi yang berupa pernyataan para key informant dan narasumber yang
disampaikan dalam proses FGD atau wawancara mendalam. Sementara data sekunder diperoleh
dari proses kajian kepustakaan.
Data dan informasi yang diperoleh tersebut selanjutnya dianalisis dengan pendekatan
deskriptif analisis, yaitu dengan memberikan makna secara analitis dengan mengkaji data dan
informasi hasil dari FGD maupun wawancara mendalam dan teori yang dikembangkan dalam
penelitian. Sedangkan data-data sekunder yang diperoleh dianalisis dan digunakan sebagai data
pendukung. Dalam melakukan analisis ini diperlukan kepekaan peneliti dalam menganalisis suatu
data atau informasi baik yang diperoleh dari key informant maupun hasil pengamatan serta dari
sumber-sumber lain.
18
BBaabb IIII
SSttuuddii PPuussttaakkaa ddaann SSttuuddii EEmmppiirriiss
A. Konsep Reformasi PNS
Untuk mendapatkan pemahaman yang jelas tentang konsep reformasi PNS dan
netralitas PNS, berikut ini disajikan ulasan terkait kedua konsep tersebut.
1. Reformasi PNS dan Modernisasi PNS
Istilah reformasi maupun modernisasi adalah dua (2) istilah yang kerap kali
dipertukarkan dan pada saat yang bersamaan dibedakan satu dengan lainnya. Namun
apakah kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sama? Menurut Cambridge Advanced Learner‟s Dictionary, reformasi atau reformation yang berasal dari kata kerja
reform adalah perbaikan atau perkembangan (kearah yang lebih baik) khususnya
perubahan perilaku seseorang atau struktur dari sesuatu (University, 2005).
Sedangkan yang dimaksud dengan modernisasi yang berasal dari kata modern, yaitu
pembuatan dan perancangan sesuatu dengan menggunakan pemikiran dan metode terbaru
(University, 2005). Dengan demikian, dalam pengertian ini reformasi biasanya terkait
dengan aspek politis selain administratif dalam arti luas karena menyangkut perubahan
sosial baik politik, sosial maupun ekonomi, terutama yang menyangkut reformasi dalam
bidang administrasi negara. Sedangkan modernisasi lebih kepada tindakan teknokratis
stratejik.
Demmke, Henökl dan Moilanen (2008) menyebutkan bahwa di semua model
reformasi manajemen sumber daya manusia di sektor publik kebanyakan bersifat politis,
judisial dan ekonomis (atau gabungan dari semuanya). Kombinasi dari kepentingan
politik, tekanan ekonomi, dan kesan yang buruk akan pelayanan publik serta reformasi
yang tergesa-gesa. Artinya, bahwa reformasi di bidang MSDM tidak selalu mengikuti
model teoritis dan tidak didasarkan pada perhitungan rasional dan fakta yang sebenarnya.
Seringkali hal ini terlihat sebagai keinginan untuk membuat administrasi yang baru dan
lebih baik sebagai suatu inspirasi, kepercayaan dan budaya dan bukan sebagai kebutuhan
nyata untuk reformasi. Misalnya keinginan untuk perubahan, fleksibilitas, kreativitas dan
kinerja tidak benar-benar menggambarkan tentang dampak dan hasil.
19
Lebih lanjut Demmke, Henökl dan Moilanen (2008) menyatakan bahwa seringkali
inisiasi untuk melakukan reformasi di bidang HRM tentang bagaimana meningkatkan
kinerja individu, tidak benar-benar memperhatikan bahwa sesungguhnya kinerja individu
tersebut telah baik. Bahkan cenderung mengabaikan kepuasan kerja dari PNS itu sendiri,
kinerja PNS bahkan dikaitkan dengan kondisi penggajian yang rendah. Seperti yang
dikatakan Algore (1993, dalam Demmke, Henökl dan Moilanen (2008)) bahwa
permasalahan mendasar dari sektor publik adalah sistemnya dan bukan PNS-nya.
OECD dalam kajiannya di tahun 2008 menyebutkan bahwa modernisasi manajemen
sumber daya merupakan produk utama dari setengah abad yang lalu, yang terkait dengan
makalah seorang profesor dari MIT, Douglas McGreggor dalam “The Human Side of the Enterprise”. Ide utamanya adalah orang akan bekerja lebih baik dan berkontribusi jika
dimotivasi, dibandingkan jika hanya diperintah.
Jin Park (2010), seorang profesor dari KDI School, Seoul, Korea Selatan dalam
tulisannya Public Sector Reform menyebutkan bahwa tujuan pelaksanaan reformasi di
sektor publik khususnya di Korea Selatan adalah to achieve a small and efficient, but better-servicing, government. Target pertama adalah untuk melakukan downsizing
birokrasi terkait dengan anggaran, pegawai dan fungsinya. Target kedua adalah
meningkatkan kemampuan pegawainya dan kemampuan formulasi kebijakan yang efektif.
Target ketiga adalah meningkatkan pelayanan dan kebijakan masyarakat. Dari tulisan
tersebut dapat disimpulkan bahwa langkah pertama dalam reformasi birokrasi di sektor
publik adalah melakukan perubahan struktur birokrasinya.
Terkait dengan reformasi PNS, Manning dan Parison (2003) menyebutkan bahwa
ada empat (4) area perencanaan reformasi kelembagaan sektor publik dan kebijakan
publik, yaitu perencanaan pembiayaan publik, manajemen SDM dan kepegawaian negeri,
struktur organisasi eksekutif, serta beban kebijakan dan peranan yang dibawakan oleh
pemerintah. Mengenai reformasi manajemen SDM dan kepegawaian negeri, Manning dan
Parison (2003) menyebutkan reformasi ini meliputi karir PNS, penentuan batas aktivitas
yang dapat dilakukan oleh pribadi seorang PNS, insentif bagi kegiatan dan penentuan
tentang bagaimana seorang PNS direkrut.
Reformasi, khususnya di sektor publik termasuk didalamnya reformasi Manajemen
PNS dilakukan melalui dua (2) tahap, yaitu reformasi dasar (basic reform) dan reformasi
tahap lanjut (advanced reforms), seperti yang disebutkan oleh Manning dan Parison
(2003). Tahapan reformasi dasar bermaksud untuk mencapai atau memperkuat disiplin
sektor publik, sedangkan reformasi tahap lanjut menyangkut pemantapan perilaku disiplin
dari PNS dan budaya organisasi yang kuat.
20
Reformasi PNS tahap dasar meliputi meningkatkan keberlangsungan kerja,
memperkuat perlindungan terhadap pengaruh politis, membuat aturan hukum bagi CPNS
dengan pengaturan umum tentang syarat dan waktu. Reformasi ini berakibat pada insentif
bagi PNS termasuk didalamnya standardisasi bagi pengajuan promosi dan penghargaan,
mendorong karir jangka panjang dalam kepegawaian negeri, membentuk sistem PNS
tertutup (Manning dan Parison, 2003).
Reformasi PNS tahap lanjut meliputi keadaan yang merupakan kebalikan daripada
kegiatan yang dilakukan pada reformasi tahap awal. Misalnya didalam manajemen karir,
pengurangan masa kerja (tenure) dan membuat syarat dan pengaturan waktu yang
mendekati dengan pengaturan yang terdapat pada sektor swasta. Kemudian juga,
pemisahan dan diversifikasi dalam penggajian juga dilakukan, selain itu target kinerja juga
semakin ditingkatkan yang mendorong insentif bagi individu meskipun penerapan
tunjangan kinerja mengundang pro dan kontra dalam penerapannya. Selain itu, juga
dilakukan rekrutmen secara terbuka untuk semua posisi dan jabatan PNS (Manning dan
Parison, 2003).
21
Tabel 2.1
Elemen dari Reformasi Tahap Dasar dan Reformasi Tahap Lanjut
Reformasi tahap
dasar dimaksudkan
untuk mencapai atau
memperkuat disiplin
sektor publik
Reformasi tahap
lanjut
Reformasi
Manajemen PNS
Manajemen Karir
Memperkuat
keberlangsungan
kerja dan
perlindungan thd
intervensi politik.
Pengurangan masa
kerja (tenure).
Kesatuan PNS
Menciptakan
pengaturan umum
bagi CPNS dengan
syarat dan waktu
tertentu.
Pemisahan dan
diversifikasi sistem
penggajian.
Insentif individu
Mekanisme
pengajuan
standardisasi
promosi dan
penghargaan.
Target kinerja
tahunan.
Keterbukaan
Mendukung
pengembangan karir
dengan sistem
tertutup.
Perubahan
menuju position based system
(sistem
manajemen PNS
terbuka).
Sumber: Manning dan Parison (2003)
Dengan demikian, reformasi manajemen PNS meliputi dua tahap, yaitu : tahap awal
atas dasar yang lebih ditujukan untuk memperkuat disiplin PNS dan kestabilan sistem
PNS. Dan tahap lanjut yang lebih kepada perubahan yang mendekati sistem manajemen
SDM yang dilakukan oleh sektor swasta.
2. Sistem Karir vs Sistem Posisi
Reformasi dan modernisasi PNS dan manajemen SDM pada umum masih berkutat
pada pertanyaan tentang perlukah merubah sistem manajemen SDM dari sistem tertutup
menuju terbuka atau kebalikannya.
22
Tabel 2.2
Sistem Karir dan Sistem Posisi
Sistem Karir Sistem Posisi
I. Persyaratan untuk
masuk sebagai PNS
1. Rekrutmen hanya
untuk mengisi posisi
awal sebagai PNS;
1. Rekrutmen untuk
posisi manajemen
tengah;
2. Jenjang pendidikan
khusus untuk
mengisi posisi
terntentu;
2. Tidak dibutuhkan
jenjang pendidikan ttt,
tapi keahlian khusus
utk mengisi suatu
jabatan;
3. Diklat dan masa
percobaan pada
tahap awal karir;
3. Tidak diperlukan diklat
atau masa percobaan
diawal karir;
II. Pengembangan karir 4. Sistem promosi; 4. Tidak ada sistem
promosi;
III. Kepegawaian 5. Pekerjaan seumur
hidup;
5. Berdasarkan kontrak
seperti pada sektor
swasta;
IV. Sistem Remunerasi
6. Berdasarkan skema
yang ditetapkan
undang-undang;
6. Persetujuan kolektif
atau bersifat individual
V. Sistem Pensiun
7. Berdasarkan skema
yang ditetapkan
undang-undang;
7. Persetujuan kolektif;
VI. Kebijakan ketenaga
kerjaan
8. Kebijakan khusus
yang mengatur
tentang partisipasi
dalam organisasi
atau serikat pekerja
yang terkait dengan
pembuatan
kebijakan tentang
kondisi kerja PNS;
8. Kondisi kerja PNS
dibentuk berdasarkan
negosiasi antara
otoritas PNS dengan
serikat pekerja PNS
dalam suatu
kesepakatan kolektif.
Status keikutsertaan
dalam serikat pekerja
sama dengan yang ada
di sektor swasta;
Sumber : Auer, Demmke & Polet, 1996
23
OECD (2005) dalam Demmke, Hammerschmid dan Meyer (2007) membuat
karakteristik dari kedua sistem tersebut sebagai berikut :
1. Sistem karir, dengan ciri dengan jenjang karir PNS yang panjang, kemudian
kekhususan dalam rekrutmen, penekanan yang kuat pada pengembangan karir yang
didasarkan pada senioritas dan perbedaan yang kontras antara kepegawaian dalam
sektor publik dan sektor swasta;
2. Sistem posisi, dengan ciri dengan fokus kepada seleksi untuk mengisi jabatan pada tiap
posisi, akses yang lebih terbuka dan tingginya mobilitas antara pegawai di sektor publik
dengan swasta.
B. Konsep Kepegawaian di Sektor Publik
Istilah kepegawaian dalam sektor publik sangat beragam baik dari definisi maupun
komposisi dan jenisnya. Kepegawaian di sektor publik meliputi pegawai negeri sipil,
militer, kepolisian, diplomat, guru, profesor pada universitas, pegawai pada badan usaha
milik negara, pegawai pada badan usaha milik daerah dan lain sebagainya. Selain itu
statusnya pun beragam, dari pegawai tetap, pegawai kontrak langsung kepada pihak
pertama dalam hal ini institusi publik dan pegawai outsourching melalui pihak ketiga
yang terlibat kontrak dengan pihak pertama (institusi publik).
Namun ternyata, definisi dan kategori tentang kepegawaian di sektor publik sangat
beragam, namun ada persamaan dan perbedaan diantaranya. Untuk memudahkan
perbedaan, kepegawaian sektor publik dibagi atas kepegawaian negeri (civil service) dan
kepegawaian publik (public employee).
Secara traditional perbedaan antara PNS dengan pegawai sektor publik lainnya dapat
dilihat dari prosedur rekrutmen, pengembangan karir, sistem penggajian, kemanfaatan
jaminan sosial. Dengan berdasarkan pada kriteria-kriteria tersebut, maka secara
tradisional, perbedaannya jelas antara satu dengan lainnya (OECD, 2008).
Untuk dapat melihat dan membedakan antara PNS dengan pegawai sektor publik
serta pegawai lainnya, Bank Dunia telah membuat beberapa kriteria (dalam Demmke dan
Moilanen, 2010), yaitu:
1. PNS ditunjuk dengan keputusan dari otorisasi institusi publik yang berdasarkan pada
hukum tentang PNS. Keputusan yang dibuat oleh institusi negara itu harus didasarkan
dengan ketentuan dalam memperkerjakan PNS;
2. Sekali diangkat, maka seorang PNS akan sulit untuk diberhentikan (jaminan keamanan
pekerjaan atau keberlangsungan pekerjaan yang tinggi);
3. Banyak pembatasan yang dikenakan kepada PNS dibandingkan dengan pegawai lainnya
terkait dengan aktivitas yang dilakukannya;
24
4. Status PNS biasanya berada dalam lingkup PNS pusat atau nasional atau PNS daerah
(terkait dengan wilayah kerja seorang PNS, apakah PNS pusat atau daerah).
Demmke dan Moilanen (2010) mengatakan bahwa di semua negara anggota Uni
Eropa, PNS dipekerjakan berdasarkan pada undang-undang tentang PNS kecuali untuk
Republik Ceska, Swedia dan Inggris. Di ketiga negara ini tidak mempunyai undang-
undang yang secara khusus mengatur tentang PNS. PNS di Swedia berstatus bukan sebagai
PNS tetapi sebagai pegawai sektor publik, sehingga diatur dengan undang-undang sektor
publik. Sedangkan di Republik Ceska tidak ada pegawai publik yang dikategorikan sebagai
„PNS‟ tetapi hanya sebagai pegawai sektor publik dan pegawai publik yang bekerja pada
pemerintahan daerah (Demmke dan Moilanen, 2010).
Tabel di bawah ini akan menggambarkan dengan lebih jelas jenis pekerjaan apa saja
yang masuk dalam kategori “PNS dan bukan PNS”:
Tabel 2.3
Jenis Pekerjaan yang Dikategorikan sebagai Kepegawaian Negeri:
Pengalaman dari 27 Negara-negara Anggota Uni Eropa
(Frekuensi dalam tanda kurung)
Sektor
Administrasi
(kepegawaian)
Kepegawaian
negeri Pusat
Kepegawaian
Negeri Khusus
Non
Kepegawaian
Negeri
Total
PNS Pemerintah
Pusat 100 (27) 0 (0) 0 (0) 100 (27)
Lembaga-
lembaga
pemerintahan
85 (22) 0 (0) 15 (4) 100 (27)
Fungsi
diplomatik 59 (16) 41 (11) 0 (0) 100 (27)
Fungsi yudisial 48 (13) 33 (9) 19 (5) 100 (27)
Kepolisian 41 (11) 44 (12) 15 (4) 100 (27)
Militer 37 (10) 37 (10) 26 (7) 100 (27)
Pendidikan 19 (5) 30 (8) 52 (14) 100 (27)
Universitas 19 (5) 26 (7) 56 (16) 100 (27)
Rumah Sakit 19 (5) 26 (7) 56 (15) 100 (27)
Sumber : Demmke & Moilanen, 2010
25
Tabel 2.4
Perbedaan Antara PNS yang diperkerjakan dibawah Undang-Undang Publik dan Pegawai yang
diatur dengan Kontrak Swasta
(Kasus di Jerman)
PNS Pegawai Publik Lainnya
Undang-undang publik (Undang-undang PNS) Hukum Perdata (Privat)
Dimasukan dalam Lembar Negara (Ernnung
durch Hoenitsakt) Undang-undang tenaga kerja umum
Regulasi melalui undang-undang Regulasi melalui kontrak
Keharusan untuk memberikan pelayan
(„Obligation to care‟ Principle /
Alimentationsprinzip)
Prinsip saling memberikan keuntungan
(Mutual Exchange Principle /
Gegenleistungsprinzip)
Tidak mempuyai hak untuk melakukan mogok
kerja Hak untuk melakukan mogok kerja
Loyalitas dan netralitas Tidak ada ketentuan khusus
Pekerjaan seumur hidup Berdasarkan kontrak
Sistem karir Sistem Posisi
Skema pensiun khusus Skema pensiun umum
Sumber : Auer, Demmke & Polet, 1996
C. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) / Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) Berdasarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini, tantangan yang dihadapi dalam 20 tahunan
mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dan
amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, maka Visi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 adalah : Indonesia yang mandiri, maju,
adil dan makmur.
Dengan penjelasan sebagai berikut : (1) Mandiri, bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu
mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju dengan
mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri; (2) Maju, suatu bangsa dikatakan makin
maju apabila sumber daya manusianya memiliki kepribadian bangsa, berakhlak mulia, dan
berkualitas pendidikan yang tinggi, (3) Adil, sedangkan bangsa adil berarti tidak ada diskriminasi
dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender, maupun wilayah, (4) Makmur, kemudian
26
bangsa yang makmur adalah bangsa yang sudah terpenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, sehingga
dapat memberikan makna dan arti penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia.
Untuk mewujudkan visi tersebut ada delapan (8) Misi Pembangunan Nasional adalah sebagai
berikut :
1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila, adalah memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui
pendidikan yang bertujuan membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan antar umat beragama,
melaksanakan interaksi antarbudaya, mengembangkan modal sosial, menerapkan nilai-nilai
luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam rangka
memantapkan landasan spiritual, moral dan etika pembangunan bangsa.
2. Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing adalah mengedepankan pembangunan sumber daya
manusia berkualitas dan berdaya saing; meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan iptek
melalui penelitian; pengembangan dan penerapan menuju inovasi secara berkelanjutan;
membangun infrastruktur yang maju serta reformasi di bidang hukum dan aparatur negara; dan
memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan setiap wilayah menuju keunggulan
kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan termasuk
pelayanan jasa dalam negeri.
3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum adalah memantapkan kelembagaan
demokrasi yang lebih kokoh; memperkuat peran masyarakat sipil; memperkuat kualitas
desentralisasi dan otonomi daerah; menjamin pengembangan media dan kebebasan media
dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat; dan melakukan pembenahan struktur
hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen,
tidak diskriminatif, dan memihak rakyat kecil.
4. Mewujudkan Indonesia aman, damai dan bersatu adalah membangun kekuatan TNI hingga
melampaui kekuatan esensial minimum serta disegani di kawasan regional dan internasional;
memantapkan kemampuan dan meningkatkan profesionalisme Polri agar mampu melindungi
dan mengayomi masyarakat; mencegah tindak kejahatan dan menuntaskan tindakan
kriminalitas; membangun kapabilitas lembaga intelijen dan kontra-intelijen negara dalam
penciptaan keamanan nasional; serta meningkatkan kesiapan komponen cadangan, komponen
pendukung pertahanan dan kontribusi industri pertahanan nasional dalam sistem pertahanan
semesta.
5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan adalah meningkatkan pembangunan
daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat,
kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan
pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap berbagai
pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi; serta menghilangkan diskriminasi dalam
berbagai aspek termasuk gender.
27
6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari adalah memperbaiki pengelolaan pelaksanaan
pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaaatan, keberlanjutan,
keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga
fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan,
melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk pemukiman, kegiatan sosial
ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan
lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan; memberikan keindahan dan
kenyamanan kehidupan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman
hayati sebagai modal dasar pembangunan.
7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan
kepentingan nasional adalah menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah
agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya
manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan
kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan
pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional adalah
memantapkan diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional;
melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi
internasional dan regional; dan mendorong kerja sama internasional, regional dan bilateral
antar masyarakat, antar kelompok, serta antarlembaga di berbagai bidang.
Strategi untuk melaksanakan Visi dan Misi tersebut dijabarkan secara bertahap dalam
periode lima tahunan atau RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Masing-masing
tahap mempunyai skala prioritas dan strategi pembangunan yang merupakan kesinambungan dari
skala prioritas dan strategi pembangunan pada periode-periode sebelumnya. Tahapan skala
prioritas utama dan strategi RPJM secara ringkas adalah sebagai berikut :
1. RPJM ke-1 (2005–2009) diarahkan untuk menata kembali dan membangun Indonesia di segala
bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan
demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat.
2. RPJM ke-2 (2010–2014) ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di
segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia
termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya saing perekonomian.
3. RPJM ke-3 (2015–2019) ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh
di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian
berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta
kemampuan iptek yang terus meningkat.
28
4. RPJM ke-4 (2020–2025) ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri,
maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan
menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan
kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing.
1. Identifikasi Permasalahan
Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah
reformasi belum dilaksanakan secara sistematis dan komprehensif. Sehingga harapan untuk
dapat meningkatkan kinerja dan citra birokrasi sebagaimana dituntut masyarakat belum
mampu diwujudkan. Hal ini ditandai dengan masih adanya praktek-praktek penyalahgunaan
kewenangan, dan masih belum sinerginya berbagai peraturan perundangan dalam rangka
pelaksanaan penyelenggaraan negara. Permasalahan dan tantangan yang telah teridentifikasi
sesuai dengan draft RPJMN 2010-2014 meliputi :
1. Reformasi birokrasi dan pembangunan aparatur di Indonesia belum terkonsilidasi secara
baik, sebagaimana ditunjukan oleh variabilitas kinerja yang sangat tinggi antar sektor,
departemen/lembaga dan daerah,
2. Pelayanan publik yang terjangkau, efisien, berkualitas, berkeadilan, dan mampu menjawab
kebutuhan warga dan masyarakat masih lebih menjadi harapan daripada kenyataan,
3. Proliferasi birokrasi terjadi secara multi dimensional dan cenderung sulit dikendalikan,
4. Upaya mempercepat peningkatan profesionalisme aparatur negara masih mengalami banyak
kendala terutama dengan meningkatnya politisasi birokrasi, etnosentrisme di daerah,
hubungan kekerabatan, dan primordialisme dalam birokrasi pemerintah,
5. Perbaikan sistem akuntabilitas birokrasi dan aparaturnya masih mengalami banyak kendala,
terkait dengan ketidakjelasan ukuran kinerja, metoda penilaian, pembagian peran antar
lembaga pengawasan, dan fungsi pengawasan itu sendiri,
6. Percepatan sistem perencanaan dan penganggaran terutama di daerah yang masih perlu
dilakukan secara terus menerus.
Permasalahan tersebut diatas dapat terjadi karena adanya berbagai faktor, baik
yang bersifat internal maupun eksternal pemerintahan. Faktor internal seperti
demokrasi, desentralisasi dan birokrasi sendiri yang berdampak kepada kompleksitas
permasalahan dimaksud. Sedangkan dari faktor eksternal, adalah perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat, dan pengaruh globalisasi
yang masih berdampak kuat dalam mencari alternatif solusi dan kebijakan dibidang
aparatur negara.
29
2. Arah Pembangunan Jangka Menengah Ke-2 (2010-2014)
Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-1, RPJM ke-2
ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan
menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian.
Kondisi aman dan damai di berbagai daerah Indonesia terus membaik dengan meningkatnya
kemampuan dasar pertahanan dan keamanan negara yang ditandai dengan peningkatan
kemampuan postur dan struktur pertahanan negara serta peningkatan kemampuan lembaga
keamanan negara.
Kondisi itu sejalan dengan meningkatnya kesadaran dan penegakan hukum, tercapainya
konsolidasi penegakan supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia, serta kelanjutan
penataan sistem hukum nasional. Sejalan dengan itu, kehidupan bangsa yang lebih demokratis
semakin terwujud ditandai dengan membaiknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan bangsa. Posisi penting
Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar makin meningkat dengan keberhasilan
diplomasi di forum internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas
wilayah dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional. Selanjutnya, kualitas pelayanan
publik yang lebih murah, cepat, transparan, dan akuntabel makin meningkat yang ditandai
dengan terpenuhinya standar pelayanan minimum di semua tingkatan pemerintah.
Dalam RPJMN ke-2 ini ditetapkan 11 Prioritas Nasional + 3 Prioritas Nasional Lainnya.
Didalam 11 Prioritas Nasional RPJMN 2010-2014 tersebut yang berhubungan langsung dengan
Tata Kelola Kepemerintahan yaitu pada Prioritas Nasional 1, yaitu Reformasi Birokrasi dan Tata
Kelola. Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan tatanan pengelolaan manajemen yang
ditandai dengan penerapan prinsip-prinsip tertentu, antara lain : keterbukaan, akuntabilitas,
efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan, dan partisipasi. Penerapan tata kelola
pemerintahan yang baik secara konsisten dan berkelanjutan oleh sebuah negara mempunyai
peranan yang sangat penting bagi tercapainya sasaran pembangunan nasional, dan dapat
menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi secara efektif dan efisien. Terbangunnya tata
kelola pemerintahan yang baik dalam manajemen pemerintahan akan tercermin dari
berkurangnya tingkat korupsi, makin banyaknya keberhasilan pembangunan di berbagai
bidang, dan terbentuknya birokrasi pemerintahan yang profesional dan berkinerja tinggi.
Oleh karena itu, guna mewujudkan visi pembangunan nasional berupa kesejahteraan,
masyarakat, demokrasi dan keadilan, tata kelola pemerintahan yang baik dalam manajemen
30
pemerintahan harus dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Penerapan tata kelola
pemerintah yang baik tersebut harus dilakukan pada seluruh aspek manajemen
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendaliannya. Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik diharapkan terwujud dalam
pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, pelayanan publik yang berkualitas, serta kapasitas
dan akuntabilitas kinerja bikrokrasi yang tinggi. Ketiganya merupakan prasyarat keberhasilan
pembangunan. Tanpa pemerintahan yang bersih akan sulit dicapai pengelolaan sumber daya
pembangunan secara akuntabel, yang akan berakibat langsung pada menurunnya kualitas
pelayanan publik, serta menghilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Melalui penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, keadilan dan kepentingan
masyarakat luas dapat dijaga, martabat dan integritas bangsa di mata dunia ditingkatkan, dan
akhirnya makin meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara pemerintahan dan
pembangunan. Pelayanan publik juga merupakan hal yang penting karena kewajiban utama
pemerintah di setiap negara adalah memberikan pelayanan yang berkualitas kepada
masyarakatnya agar dapat hidup lebih aman, nyaman dan sejahtera. Kewajiban ini harus
dipenuhi oleh pemerintah karena rakyat, sebagai pemegang kedaulatan, telah memberikan
kewenangannya kepada pemerintah untuk menguasai dan mengolah sumber daya
pembangunan. Berbagai bentuk pelayanan publik diperlukan oleh masyarakat untuk
memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, untuk meningkatkan kesejahteraannya dan untuk
mengekspresikan dirinya secara maksimal.
Pelayanan publik yang baik juga memfasilitasi dunia usaha nasional, sehingga dapat ikut
memacu peningkatan kapasitas perekonomian nasional. Hal itu semua hanya dapat dicapai
dengan adanya kinerja birokrasi yang efektif. Birokrasi yang efektif bertujuan untuk
memastikan tercapainya tujuan utama dari kebijakan publik dan pembangunan nasional, yaitu
kesejahteraan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan. Birokrasi yang efisien bertujuan
untuk mengurangi pemborosan sumber-sumber daya negara dan agar sumber-sumber daya
negara dimanfaatkan secara optimal dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Sementara itu, birokrasi yang akuntabel memastikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan nasional dapat dipertanggungjawabkan dari sisi akuntabilitas kinerjanya
kepada publik secara luas.
Tema pada prioritas 1 ini adalah pemantapan tata kelola pemerintahan yang lebih baik
melalui terobosan kinerja secara terpadu, penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum yang
berwibawa dan transparan. Peningkatan kualitas pelayanan publik yang ditopang oleh efisiensi
31
struktur pemerintah di pusat dan di daerah, kapasitas pegawai pemerintah yang memadai dan
data kependudukan yang baik.
Salah satu program unggulan dalam tema prioritas ini adalah Sumber Daya Manusia,
yaitu Penyempurnaan pengelolaan PNS yang meliputi sistem rekrutmen, pendidikan,
penempatan, promosi dan mutasi PNS secara terpusat yang diharapkan selesai pada tahun 2011
dengan rencana aksi kegiatan meliputi :
1. Penyusunan kebijakan perencanaan SDM aparatur.
Dengan sasaran : (1) tersusunnya kebijakan (PP) sistem pengadaan/rekruitmen dan seleksi
PNS; (2) tersusunnya kebijakan (PP) tentang kebutuhan pegawai (formasi).
2. Pengembangan kebijakan pemantapan pengembangan SDM aparatur.
Dengan sasaran : (1) tersusunnya kebijakan tentang manajemen kepegawaian (UU tentang
SDM Aparatur Negara); (2) tersusunnya kebijakan tentang pola dasar karir PNS; (3)
tersusunnya kebijakan tentang penilaian kinerja pegawai (SKP); (4) tersusunnya kebijakan
tentang penilaian, pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan
struktural; (5) tersusunnya kebijakan diklat jabatan PNS; (6) tersusunnya kebijakan tentang
pengangkatan PNS dalam jabatan struktural.
3. Pengembangan kebijakan kesejahteraan SDM Aparatur.
Dengan sasaran : (1) tersusunnya kebijakan (UU/PP) tentang remunerasi dan tunjangan
kinerja Pegawai Negeri; (2) tersusunnya kebijakan sistem pensiun PNS; (3) tersusunnya
kebijakan tentang sistem pengelolaan dana pensiun PNS.
D. Pengalaman Pelaksanaan Reformasi PNS
Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan sebagai bahan
perbandingan, maka kajian ini juga menyajikan pengalaman dari beberapa negara selain
pengalaman dari dalam negeri termasuk pada pemerintahan daerah dalam mengelola
kepegawaiannya dan upaya refomasi dalam pengelolaan kepegawaian yang sudah
mereka lakukan. Hal ini bisa diambil sebagai pelajaran mengenai kelemahan, kelebihan
dan tantangan yang dapat dijadikan masukan dan perhatian dalam pembuatan grand design manajamen PNS di Indonesia.
Hasil studi ini diperlukan sebagai masukan, perhatian dan pelajaran bagi
Indonesia dalam penyusunan Grand Design Reformasi PNS sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan Indonesia dan bukan dimaksudkan untuk meniru secara mutlak apa yang
telah dilakukan oleh negara lain tanpa adanya penyesuaian dengan kondisi asli
32
Indonesia. Data dan informasi terkait reformasi di Korea Selatan dan Thailand
merupakan hasil kajian Blue Print Reformasi Birokrasi yang dilakukan oleh Lembaga
Administrasi Negara pada tahun 2004. Sementara pengalaman reformasi dari Inggris
dan Amerika Serikat diperoleh melalui wawancara dengan narasumber oleh Tim
kajian. Pengalaman dari dalam negeri diambil dari Kementerian Keuangan dan
Pemerintah Provinsi Gorontalo. Data dan informasi dari Kementerian Keuangan
diperoleh dari buku Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan. Sementara data dan
informasi dari Pemerintah Provinsi Gorontalo diperoleh dari buku karya Dr. Fadel
Muhamad, Gubernur Gorontalo yang menceritakan pengalam beliau sebagai Gubernur
Gorontalo dengan berbagai inovasi, masalah serta keberhasilannya. Dalam sub bab ini
juga disajikan tentang hasil kajian terbaru (2010) mengenai kecenderungan dan hasil
reformasi kepegawaian negeri di 27 negara anggota Uni Eropa yang dilakukan oleh
Christoph Demmke dari European Institute of Public Administration (EIPA) dan Timo
Moilanen dari Universitas Helsinki.
1. Pengalaman negara lain
Beberapa negara yang dijadikan sumber referensi dalam kajian ini adalah
Republik Korea Selatan, Thailand, Inggris dan Amerika Serikat. Keempat negara ini
memiliki keunikan baik dalam bentuk negara seperti kerajaan untuk Thailand dan
Inggris yang juga menjadi negara kesatuan, negara federal untuk Amerika Serikat dan
bentuk negara kesatuan yang bukan kerajaan seperti Republik Korea Selatan.
a. Pengalaman Republik Korea Selatan Republik Korea adalah salah satu contoh negara Asia yang berhasil melakukan
reformasi birokrasi dengan meletakkan dasar-dasar kebijakan yang cukup kokoh. Hal ini
terbukti dari relatif pesatnya perkembangan kehidupan ekonomi Korea dan berkurangnya
secara signifikan tingkat korupsi di pemerintahan dalam dekade terakhir.
Beberapa kebijakan dasar yang dilakukan oleh Civil Service Commission untuk
mendukung reformasi pegawai negeri ini adalah :
1. Membangun Konsolidasi Otoritas Kepegawaian yang Terpusat (Establishment of the Central Personnel Authority) Civil Service Commission mengembangkan kebijakan-kebijakan kepegawaian yang
strategis, membangun sistem penilaian kinerja, merekrut bakat-bakat inti (core talents),
memberikan kesempatan pendidikan dan pelatihan, dan menggali ukuran-ukuran
reformatif lainnya untuk memperbaiki sistem manajemen modal manusia pemerintah.
33
Disamping itu, manajemen pegawai negeri senior akan disentralisasikan kepada Civil
Service Commission, sedangkan manajemen pegawai negeri level menengah dan bawah
didesentralisasikan kepada masing-masing instansi pemerintah.
Civil Service Commission juga menyediakan bimbingan dan dukungan yang terus
diperbaiki bagi setiap instansi pemerintah dengan terus menerus mengkaji dan
memberikan saran mengenai praktek-praktek manajemen sumber daya manusia. Selain
itu, Civil Service Commission juga memonitor kemajuan reformasi pegawai negeri dan
memastikan praktik-praktik kepegawaian berjalan secara adil di setiap instansi
pemerintah dalam rangka melindungi sistem merit.
2. Pengelolaan Database Sumber Daya Manusia bagi Pelayanan Publik (Management of HR Database for Public Service)
Pengelolaan database sumber daya manusia bagi pelayanan publik ini dibentuk untuk
mengumpulkan dan menyimpan data kepegawaian dari berbagai level dan bidang
keahlian yang nantinya dapat digunakan. Formulir untuk registrasi database ini
dikirimkan kepada perorangan dan organisasi yang terpilih. Database ini menawarkan
informasi yang akurat dan objektif tentang kecocokan calon untuk jabatan-jabatan publik
kepada otoritas yang berhak mengangkat dalam pembuatan keputusan pengangkatan
political appointee, jabatan terbuka, dan kepala badan yang berafiliasi pada pemerintah.
3. Pengembangan Metode Rekrutmen yang Beragam dan Terbuka (Development of Diverse and Open Recrutment Method)
Pengembangan metode rekrutmen ini dimaksudkan untuk menarik individu-individu
yang berbakat dan memiliki kompetensi dari berbagai latar belakang untuk masuk
menjadi pegawai negeri sehingga diharapkan dapat memperbaiki kualitas pelayanan
publik. Dalam hubungan ini ditempuh kebijakan-kebijakan :
a. Memperkenalkan metode rekrutmen yang fleksibel dan beragam untuk memenuhi
tuntutan perubahan dalam pelayanan umum. Metode seleksi yang selama ini
digunakan secara bertahap akan diganti dengan Public Service Aptitute Test (PSAT)
yang dapat menilai secara lebih baik sikap dan kecerdasan seseorang.
b. Memperluas sistem jabatan terbuka. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menarik
individu yang memiliki bakat-bakat inti (core talents) dari sektor swasta ke sektor
publik.
c. Memajukan program pertukaran personil antar kementerian, pemerintah pusat dan
daerah, serta sektor publik dan sektor swasta. Sejak 2004 mulai diperkenalkan
program pertukaran Direktur Jenderal antar kementerian, dan terdapat 80 orang staf
34
dari pemerintah pusat dan daerah ikut serta dalam program ini untuk 40 jabatan serta
terdapat 22 staf dari 13 kementerian yang bekerja di perusahaan-perusahaan swasta
sejak Juli 2004.
d. Memperluas program job posting. Job posting merupakan sistem rekrutmen yang
kompetitif dalam pegawai negeri untuk mengisi jabatan-jabatan kosong baik di dalam
mapun di luar kementerian. Jumlah kementerian yang ikut dalam job posting ini
mengalami peningkatan dari 4 kementerian pada tahun 2001 menjadi 29 kementerian
pada tahun 2003, sedangkan jumlah pekerjaan yang diisi mengalami peningkatan
tajam dari 5 (2001) menjadi 234 (2003).
e. Inovasi Sistem Pendidikan dan Pelatihan (Innovation of Training and Development System). Program-program pendidikan dan pelatihan didisain secara beragam,
memiliki standar yang tinggi, self-motivated dan sesuai kebutuhan. Untuk itu, Civil Service Commission menetapkan kebijakan pendidikan dan pelatihan, menjalan
program-program pelatihan inti, memberikan dukungan serta memonitor pelatihan-
pelatihan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi pemerintah. Masing-masing
instansi pemerintah bertanggung-jawab atas disain program pelatihan dasar dan
khusus untuk masing-masing stafnya.
f. Memajukan Keterwakilan dalam Pegawai Negeri (Promotion of Representativeness within the Civil Service). Melalui kebijakan ini, Pemerintah Korea berusaha
meningkatkan keterwakilan kelompok minoritas dalam pegawai negeri seperti
perempuan, orang cacat, ilmuwan, insinyur dan mereka yang berasal dari luar kota
Metropolitan Seoul. Kebijakan ini dapat meningkatkan nilai-nilai demokrasi dalam
pegawai negeri Republik Korea. Untuk meningkatkan porsi perempuan ini, kepada
perempuan diberikan ujian rekrutmen khusus dan tunjangan-tunjangan yang menarik
termasuk cuti untuk merawat anak (childcare leave).
g. Pembentukan Pegawai Negeri Senior (Inauguration of the Senior Civil Service).
Keseluruhan kapasitas dan kinerja pemerintahan akan didorong oleh pemeliharaan
dan penempatan pegawai negeri senior yang kompeten di seluruh jenjang
pemerintahan. Pegawai negeri senior merujuk pada Sekretaris Jenderal dan Direktur
Jenderal dari instansi pemerintah pusat yang memiliki keahlian manajerial dan
kepemimpinan yang luar biasa.
Dibandingkan sistem hierarki yang berdasarkan senioritas tradisional, pegawai negeri
senior sekarang ini dikelola melalui sistem grade yang baru yang ditentukan oleh
tingkat kesulitan pekerjaan. Pada masa lalu, gaji, tunjangan dan bonus pegawai negeri
senior ditentukan oleh pangkat dan masa kerja, sekarang ini pegawai negeri senior
dibayar sesuai dengan tingkat kesulitan pekerjaan dan kinerja.
Dibentuknya pegawai negeri senior ini – mulai tahun 2006 – akan diberlakukan secara
bertahap setelah dilakukan analisa jabatan (job analysis) secara cermat pada jabatan-
35
jabatan senior yang utama di lingkungan instansi pemerintah pusat serta berdasarkan
pertimbangan pendapat publik dan revisi peraturan perundang-undangan.
h. Pembentukan Manajemen Kinerja dan Sistem Penilaian (Establishment of Performance Management and Appraisal System). Secara umum kebijakan ini
dimaksudkan untuk mengaitkan antara kinerja dan reward sehingga pegawai negeri
menjadi lebih termotivasi untuk bekerja lebih giat. Untuk itu, langkah-langkah yang
ditempuh adalah : (a) membangun manajemen kinerja dan sistem penilaian yaitu
dengan menciptakan indeks pengukuran kinerja dan sistem mengikuti jejak kinerja
(performance tracking system); (b) menerapkan sistem manajemen kinerja untuk
grade 4 ke atas; (c) memperbaiki sistem penilaian untuk grade 5 ke bawah yaitu
dengan memisahkan evaluasi bagi kinerja, kompetensi dan perilaku individual; dan
(d) meningkatkan sistem penilaian yang menggunakan 360 derajat.
i. Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia Secara Elektronik dalam Pemerintahan
(Application of e-HRM in the Government). Personnel Policy Support System (PPSS)
menawarkan manajemen sumber daya manusia secara elektronik bagi pegawai negeri
dan setiap instansi pemerintah. Semua fungsi kepegawaian mulai dari rekrutmen
sampai pensiun dapat dikelola oleh PPSS ini secara transparan dan efisien. Melalui e-
HRM ini, dapat tersedia statistik dan analisa data dari manajemen sumber daya
manusia secara lebih terintegrasi.
j. Perencanaan Perbaikan Kondisi Kerja (Planning of Improved Working Conditions).
Untuk menciptakan kondisi kerja yang lebih menyenangkan, dilakukan
keseimbangan level gaji antara sektor publik dan sektor swasta, mengaitkan antara
tingkat kesulitan pekerjaan dengan kinerja, dan menyediakan berbagai jenis
kesejahteraan. Sehubungan dengan ini, Pemerintah Korea melakukan langkah-
langkah : (a) menetapkan perencanaan bagi sistem gaji yang seimbang antara sektor
publik dan sektor swasta dan sistem gaji yang objektif dan rasional; (b) reorganisasi
sistem gaji yang ditentukan oleh tingkat kesulitan pekerjaan dan kinerja.
Untuk itu, ditetapkan : sistem pembayaran kinerja bagi Direktur Jenderal dan jabatan
yang lebih tinggi, yang sejalan dengan pembentukan pegawai negeri senior; (b) sistem
gaji yang berdasarkan kinerja diperluas bagi Direktur Divisi dan jabatan-jabatan
penelitian; proporsi gaji yang terkait dengan kinerja secara bertahap akan
ditingkatkan; dan (c) Mengimplementasikan berbagai program tunjangan untuk
mempertinggi motivasi dan semangat pegawai negeri seperti rencana tunjangan
kafetaria, program subsidi waktu luang, dan program-program kesejahteraan lainnya.
36
Kesimpulan dan Analisis
Reformasi kepegawaian negeri di Republik Korea Selatan dilakukan melalui
serangkaian kebijakan yang dibuat oleh CSC;
Profesionalisme pengelolaan kepegawaian negeri dalam CSC mencegah
politisasi PNS;
Kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan secara simultan dan sistematis;
Keinginan politik yang kuat dan komitmen yang tinggi menjadi kunci
keberhasilan suatu upaya reformasi;
Penerapan sistem kompetisi dalam proses rekrutmen, pengisian posisi stratejik
dalam suatu sistem kepegawaian negeri yang terbuka;
Penerapan sentralisasi otorisasi kepegawaian negeri yang bersamaan dengan
desentralisasi pengelolaan manajemen kepegawaian untuk pegawai negeri level
menengah dan bawah.
b. Pengalaman Thailand Pengalaman reformasi pengelolaan manajemen PNS di Thailand dapat ditinjau dari
kepegawaian negeri di Thailand dan reformasi kepegawaian negeri di Thailand. Thailand
memiliki kondisi yang kurang lebih sama dengan Indonesia setelah keduanya mengalami
krisis keuangan pada tahun 1998 dan kemudian bangkit untuk mengatasi krisis ekonomi dan
memacu pertumbuhan ekonominya.
Konflik politik dan sosial yang terjadi di Thailand juga terjadi di Indonesia, tentunya
dengan latar belakang dan kompleksitas yang berbeda. Dengan demikian, pengalaman
Thailand dipandang perlu untuk dijadikan bahan refleksi dan pembelajaran dalam
mereformasi kepegawaian negerinya bagi Indonesia.
Reformasi kepegawaian di Thailand terkait dengan program reformasi sektor publik
yang dilakukan sejak tahun 1997-2001 yang dipicu oleh krisis moneter yang terjadi pada
waktu tersebut. Reformasi pada sistem kepegawaian ini lebih banyak dilakukan oleh CSC
(Civil Service Commission). Perubahan yang dilakukan dalam sistem administrasi
kepegawaian diawali dari rekrutmen sampai dengan pegawai pensiun.
Peranan pegawai negeri dan pejabat politik didefinisi ulang dan gaji akan berdasar
pada performance dengan memperhatikan sektor privat. Disiplin ditegakkan namun
diimbangi dengan penerapan reward and punishment. Dengan kata lain melalui pendekatan
37
sistem manajemen pegawai yang baru organisasi akan ramping dengan pegawai yang
berkualitas, disiplin, akuntabel, netral dari unsur politik, dengan diberikan gaji yang
kompetitif dengan sektor privat.
Perubahan-perubahan strategi SDM meliputi, klasifikasi, kompensasi, rightsizing
(jumlah dan kualitas), rekruitmen dan seleksi, jenis pegawai, sistem evaluasi kinerja untuk
kenaikan gaji, sistem penilaian kinerja untuk promosi, pengembangan dan pelatihan.
1. Strategi SDM yang terintegrasi yang meliputi : struktur organisasi, budaya organisasi,
perencanaan pegawai dan pemanfaatannya, sistem informasi SDM, pelatihan bagi
pegawai, manajemen kinerja, kondisi pekerjaan, dan kualitas hidup. Semuanya
terintegrasi dan menjadi acuan bagi pelaksanaan reformasi selanjutnya.
2. Perubahan klasifikasi. Saat ini klasifikasi pegawai negeri di Thailand terdiri dari 6 cluster
dan 11 level. Pada cluster pertama (terendah) yaitu untuk tingkat umum terdiri dari level
1-3/4; level 2-4/5, dan level 3-5/6. sedangkan pada cluster kedua sampai keenam masing-
masing adalah level 7, 8,9,10, dan 11.
3. Dalam dua tahun kedepan pengclusteran ini akan diubah menjadi 4 cluster dimana
cluster general terdiri dari 4 level, cluster akademik/riset terdiri dari 5 level, cluster
manajemen terdiri dari 2 level dan cluster eksekutif terdiri dari 2 level. Masing-masing
mempunyai pay scale yang berbeda dan perpindahan ke cluster yang lebih tinggi
berdasarkan pada komptensi, kinerja, klasifikasi, dan tingkat akademik.
4. Perubahan sistem penggajian. Struktur penggajian di Thailand berdasarkan pada kinerja
pegawai dan terdiri dari gaji pokok; tunjangan jabatan (dua pertiga dari gaji pokok);
tunjangan kesejahteraan yang terdiri dari perumahan, kesehatan, transport, perjalanan,
dan pendidikan; dan bonus yang sudah masuk dalam anggaran.
5. Rightsizing. Kebijakan yang dipakai dalam program ini adalah ramping, pengurangan
biaya personel, pengurangan jumlah pegawai (meminimalisir redundancy), peningkatan
efisiensi. Sedangkan dalam pelaksanaannya adalah tidak lagi membentuk lembaga baru
atau penambahan posisi yang berdampak pada biaya personel, minus growth dalam arti
pensiun 80% diganti hanya 20%, memberikan insentif pada kementerian/departemen
yang berhasil mengurangi jumlah posisi/jabatan, perpindahan pegawai dari pusat ke
daerah, mendesain dan menerapkan program pensiun dini, fokus pada peningkatan
efisiensi dan kompensasi.
6. Rekruitmen dan Seleksi. Dalam program ini telah diterapkan kebijakan baru, yaitu
berdasarkan pada sistem merit dan kompetensi, pelaksanaan ujian yang kompetitif
dengan 3 tahap, penggunaan e-administration untuk rekrutmen dan ujian/test, diberikan
pula beasiswa untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi bagi yang terpilih,
sistem rekrutmen secara terbuka sehingga membuka peluang untuk mendapatkan
kandidat terbaik.
38
7. Disamping status pegawai negeri maka dibuka jenis kepegawaian yang baru, yaitu
pegawai kontrak dan pegawai temporer/bulanan.
8. Penilaian kinerja pegawai dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Untuk peningkatan gaji, dilakukan oleh pimpinan, sebanyak 2 kali dalam setahun,
faktor yang dinilai meliputi output dan karakteristik. Output terdiri dari kualitas,
kuantitas, hasil, dan waktu yang dipergunakan. Sedangkan karakteristik meliputi
kemampuan, disiplin, tanggung jawab, dan ketekunan.
b. Untuk promosi, dilakukan oleh pimpinan, faktor yang dinilai : pengetahuan terkait
dengan pekerjaan, kemampuan, keahlian khusus, sikap dan tingkah laku, potensialitas,
pengalaman. Untuk jabatan tinggi, yaitu senior officer sampai dengan kepala divisi ada
tambahan evaluator, yaitu melalui komisi departemen, sedangkan deputi direktur ke
atas harus melalui komisi menteri. Disamping itu ada seleksi tertulis yang meliputi
visi, research paper, dan test tertulis lainnya.
9. Pelatihan dan pengembangan. Dalam era reformasi ini diperkenalkan program fast track, yaitu program pengembangan bagi pegawai muda yang sangat potensial dan berkinerja
bagus untuk ditempatkan di departemen tertentu. Program ini mendorong fleksibilitas
dalam penerapan peraturan yang ada. Disamping itu dikembangkan pula program
”change agent” dimana dari seluruh pegawai negeri yang ada dipilih + 60 orang pertahun
untuk dilatih dan ditempatkan di departemen berbeda untuk menjadi pemimpin dan
fasilitator perubahan. Diharapkan orang-orang inilah yang nantinya menjadi motor
reformasi dan mendorong kinerja serta produktivitas pemerintah.
Kesimpulan dan Analisis
PNS di Thailand dibagi dalam 11 level dan pengelompokan PNS ini juga dibagi
dalam 4 kelompok jenis pekerjaan;
Reformasi kepegawaian negeri di Thailand merupakan bagian dari reformasi
sektor publik yang telah dimulai sejak 1997 sejak terjadinya krisis moneter di
Thailand;
Reformasi PNS di Thailand terintegrasi dalam hal kelembagaan dengan instansi
lain yang terlibat dalam reformasi sektor publik; Ada pembagian pekerjaan yang
jelas antara instansi yang bertanggungjawab dalam reformasi sektor publik sebagai
suatu sistem;
Strategi manajemen SDM di Thailand meliputi 8 (delapan) hal, yaitu strategi
yang terintegrasi, perubahan klasifikasi pekerjaan dan tingkat pekerjaan,
perubahan sistem penggajian, kebijakan right sizing, rekrutmen dan seleksi,
pembukaan jenis pegawai baru : kontrak dan pegawai bulanan, penilaian kinerja,
kebijakan promosi, dan pelatihan dan pengembangan.
39
Hasil reformasi ini belum memperlihatkan dampaknya apakah berhasil
merubahan kondisi yang kepada keadaan yang lebih baik atau tidak? Tidak ada
data yang menggambarkan tentang hasil reformasi ini.
c. Pengalaman Inggris Professor Gavin Drewry dari University of London dan Claire Cameron (Public
Administration Institute-Inggris) yang ditermui pada saat IAS-IASIA Conference, Bali 12-15
Juli 2010 mengatakan bahawa pengelolaan PNS di Inggris sepenuhnya dilakukan oleh Civil
Service Comission (CSC). CSC menjadi superior body untuk pengelolaan PNS, sebagaimana
halnya KPK dalam penanganan korupsi. CSC beranggotakan paling banyak 10 orang.
Organisasi ini bersifat independen. Agar menjadi independen maka harus tegas dan jelas
masa kerjanya. Anggotanya bisa berasal dari berbagai bidang (manajemen, hukum, ekonomi,
dan sebagainya), berasal dari berbagai latar belakang (profesional, akademisi, birokrasi,
parlemen dan sebagainya), mereka harus profesional, bersih dan paham mengenai masalah
kepegawaian.
CSC (Civil Service Commission) dibentuk di Inggris bertujuan supaya bisa memilih
ataupun memperoleh PNS yang profesional bebas dari intervensi politis. Di Inggris juga
terjadi intervensi politis karena adanya spoil system dalam pengelolaan kepegawaiannya.
Faktor strong leadership memegang peran yang sangat besar dalam upaya mewujudkan
birokrasi yang profesional. Reformasi kepegawaian negeri di Inggris dimulai dalam
pemerintahan Perdana Menteri Margaret Thatcher. Melalui kepimpinan yang kuat,
diletakkan berbagai pondasi dalam perwujudan profesionalisme PNS.
Di Inggris, pegawai pemerintah disebut dengan Queen Servant (pelayan ratu). Ada
dua (2) jalur untuk menjadi queen servant, yaitu melalui pemilihan (elected) dengan
menjadi pejabat politis (parlemen/DPR), atau melalui jalur karier dengan menjadi PNS (civil
servant). PNS dibagi dalam tiga level, yaitu top manager (senior), middle manager dan lower
manager. Di Inggris ada PNS pusat dan PNS daerah (local). Ada juga pegawai yang bekerja
untuk pemerintah tetapi tidak berstatus PNS. Pengelolaan PNS pusat dan PNS daerah
berbeda. Guru di Inggris bukan PNS, mereka diangkat oleh pemerintah daerah.
40
Kesimpulan dan Analisis
Kepemimpinan yang kuat dan komitmen secara nasional menjadi kunci reformasi
PNS di Inggris yang dimulai pada masa pemerintahan Thatcher;
Praktik spoil system dalam kepegawaian di Inggris merupakan pemicu gerakan
reformasi kepegawaian negeri;
Status pegawai yang bekerja pada bidang pemerintahan di Inggris tidak semuanya
berstatus PNS;
Peranan CSC di Inggris sangat dominan di dalam pengelolaan PNS, kedudukan
yang independen menjaganya tetap netral dari politisasi terhadap birokrasi;
Profesional CSC juga digambarkan dengan komposisi orang yang duduk dalam
CSC juga berlatar belakang profesional dari semua latar belakang profesi yang
mengerti mengenai kepegawaian;
Ketegasan dan kejelasan tugas CSC memperkuat peranannya dalam pengelolaan
PNS di Inggris yang professional.
d. Pengalaman Amerika Serikat Meredith A. Newman, Presiden American Society for Public Administration (ASPA)
yang ditemui pada saat IAS-IASIA Conference di Bali, Juli 2010, mengatakan bahwa dalam
pelaksanaan reformasi birokrasi di Amerika Serikat dilakukan oleh pucuk pimpinan, yaitu
Presiden Obama yang didukung sepenuhnya oleh parlemen. Tindakan yang dilakukan oleh
Presiden Obama adalah melakukan sejumlah implementasi kebijakan seperti penerapan
New Public Service yang merupakan pengembangan dari public service (dilakukan pada
jaman John F. Kennedy).
Hal ini merupakan salah satu perwujudan dari janji kampanye presiden Obama untuk
melakukan reformasi di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources
Management). Untuk melaksanakan hal ini maka presiden membentuk komite Manajemen
Sumber Daya Manusia merupakan organisasi non-profit.
Komite ini dipimpin oleh John Barry yang merupakan pejabat setingkat menteri dan
diangkat langsung oleh presiden. Komite ini melakukan kerjasama dengan sejumlah
kementerian dan akademisi untuk melakukan reformasi terhadap pedelition service system.
Reformasi yang akan dilakukan pada saat sekarang tentunya berbeda dengan reformasi yang
sudah dilakukan 60 tahun yang lalu yang menghasilkan suatu revolusi industri yang mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
41
Terdapat enam (6) aspek yang dilakukan oleh Amerika dalam melaksanakan reformasi
PNS antara lain: rekruitmen, reformasi di sistem pembayaran (paid system reform) yang
didalamnya memfokuskan pembayaran berdasarkan kinerja, performance management,
training in development, manajemen hubungan pegawai (labour management relation) dan
insourcing (pegawai melakukan kontrak kerja dengan pemerintah). Pelaksanaan reformasi
PNS yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada dasarnya adalah pengembangan dan
perbaikan terhadap manajemen sumber daya manusia. Begitu pula pelaksanaan reformasi
terhadap pelayanan publik juga sejalan dengan pengembangan ilmu administrasi publik.
Pelaksanaan reformasi PNS yang akan dilakukan di Indonesia dapat juga
menggabungkan sejumlah aspek yang telah dilaksanakan oleh Amerika Serikat. Usulan yang
diajukan dalam pelaksanaan reformasi PNS antara lain : reformasi di sistem pembayaran gaji.
Besaran pembayaran harus mengikuti sistem pasar yang berlaku di perusahaan besar.
Langkah berikutnya adalah melakukan rekrutmen terhadap sejumlah pegawai muda
yang profesional, energik untuk melamar menjadi PNS dengan tawaran untuk diberikan
sistem pembayaran (paid system) sesuai dengan perusahaan besar. Sehingga akan
menumbuhkan minat bagi anak-anak muda profesional untuk menjadi PNS.
Dukungan dari politisi untuk pelaksanaan reformasi PNS sangat dibutuhkan, selain itu
pula perlu diperkuat dengan peningkatan nilai, moral dan etika kepada PNS untuk
mencegah terjadinya tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pegawai dalam melaksanakan pekerjaan pada saat sekarang sesuai dengan job
description yang sudah disepakatinya, namun dalam melakukan reformasi PNS tidak hanya
sebatas melakukan apa yang diuraikan dalam uraian pekerjaan tetapi harus melakukan lebih
dari itu, sehingga inovasi serta terobosan-terobosan baru dalam melaksanakan pekerjaannya.
Aspek insiatif pegawai memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan
pekerjaaanya.
Pimpinan harus memiliki sikap afektif (memiliki sifat empati) bukan efektif, dengan
demikian pelaksanaan reformasi PNS diharapkan akan berjalan dengan penuh perasaan
untuk dilaksanakan secara benar. (Pengalaman pelaksanaan reformasi di Latvia).
Peningkatan kompetensi di lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan, hal ini sangat
berkaitan erat dengan akuntabilitas pelaksanaan pekerjaan dengan kompetensi yang dimiliki
oleh pegawai. Harus adanya kesesuaian antara pendidikan yang dimiliki oleh PNS dengan
42
pekerjaan yang dilakukannya, sehingga akuntabilitas dari hasil pekerjaan dapat
dipertanggungjawabkan
Harus ditanamkan sifat pekerjaan dilakukan secara gotong royong (team work) bukan
sifatnya individu, hal ini disebabkan sifat pekerjaan yang harus diselesaikan membutuhkan
sejumlah keterampilan (skill) yang beragam dan tentunya dimiliki oleh sejumlah pegawai.
e. Hasil Studi Empiris tentang Reformasi PNS sebagai Studi Perbandingan Dalam makalahnya Geoffrey Shepherd (2003) menjelaskan tentang model universal
dari reformasi PNS di negara-negara berkembang bahwa sistem patronase sekarang ini
seharusnya bukanlah suatu kejahatan yang universal. Sistem ini dapat juga mempunyai
keuntungan yang bekerja dengan kondisi tertentu. Selain itu, reformasi hanya bermanfaat
ketika digerakan oleh kekuatan eksternal yang sangat berpengaruh. Namun reformasi PNS
dilakukan dibawah tradisi politik dan cara yang berbeda di negara yang berbeda. Meskipun
menuju ke arah yang sama dengan model kelembagaan yang mirip merit system.
Lebih lanjut Shepherd mengatakan bahwa tidak ada reformasi yang dilakukan secara
instant. Hukum mungkin dapat ditulis dengan cepat, tetapi perubahan dapat berlangsung
selama berpuluh-puluh tahun untuk dapat menjadi kurang lebih sama diantara kelembagaan
eksekutif. Kecenderungan menuju PNS yang profesional dengan merit system juga
dimaksudkan untuk pengembangan PNS sebagai kelembagaan sektor publik yang
berpengaruh dan kelompok kepentingannya sendiri.
Shepherd juga mengatakan bahwa reformasi sistem merit, sementara waktu
dipandang dapat menyelesaikan masalah, namun juga menciptakan masalah baru dalam
penerapannya di negara berkembang. Seperti pertentangan antara penerapan „sistem merit„
yang menuntut managemen yang „tidak flesibel‟, dan di sisi lain prinsip manajerialis yang
menuntut fleksibelitas yang tinggi, yang sering membuka upaya „politisasi‟ yang besar.
Dalam seminar tentang hasil studi yang dilakukan oleh Christoph Demmke dan Timo
Moilanen tentang “Civil Services in The EU of 27: Reform Outcomes and the future of the
Civil Service Outcomes of A Comparative Survey” menunjukkan hasil reformasi dan trend
di semua anggota Uni Eropa yaitu terdapat proses debirokratisasi yang luas diantara negara
anggota Uni Eropa dan reformasi struktur organisasi yang lebih ramping, yang meliputi :
43
1. Reformasi struktur organisasi karir;
2. Desentralisasi kewenangan kepegawaian kepada manajer lini;
3. Meningkatnya diskresi kewenangan kepada manajer lini;
4. Flesibilitas dalam hal prosedur rekrutmen, pengembangan karir dan keberlangsungan
kerja.
Selain itu adanya pertautan antara kondisi kerja PNS dengan pegawai sektor publik
lainnya dan dengan pegawai swasta. Kemudian juga kebijakan reformasi yang baru seperti
penyederhanaan hambatan administratif. Serta adanya peningkatan mobilitas PNS, seperti:
1. Mobilitas organisasional seperti pengurangan dan mengabaikan pola karir yang kaku dan
bersifat hierarkis (meningkatnya mobilitas PNS). Hal ini terjadi karena tanggungjawab
dan pekerjaan dari PNS juga didelegasikan kepada pegawai sektor publik lainnya;
2. Mobilitas PNS : mendorong kesukarelaan dan keharusan mobilitas pekerjaan;
3. Mobilitas public-private : mendorong mobilitas antara sektor publik dan sektor swasta.
Lebih lanjut, studi ini juga menemukan adanya perubahan dari kepegawaian negeri
yang tradisional menuju kepegawaian negeri yang terbuka dan fleksibel seperti tidak adanya
rekrutmen tertutup untuk semua posisi kepegawaian negeri, terbukanya peluang untuk
melakukan outsourcing (waktu sementara) bagi pengisian jabatan manajer tingkat
menengah dan tinggi, pengakuan pengalaman kerja di sektor swasta ke dalam penjumlahan
masa kerja, pengembangan karir dan penghitungan pensiun.
Kecenderungan lainnya yang ditangkap dari studi ini adalah juga tentang jaminan
keberlangsungan pekerjaan bahwa pada hakikatya jaminan keberlangsungan pekerjaan PNS
masih ada, kemudian masa kerja seumur hidup secara perlahan akan menghilang serta
semakin banyak alasan untuk memberhentikan PNS.
Selain itu, studi ini juga menemukan semakin menjauhnya praktik birokrasi
tradisional, kemudian juga tidak adanya model yang seragam dalam reformasi PNS di
negara-negara Uni Eropa, Negara-negara Uni Eropa menunjukkan prioritas dan jalur
reformasi yang berbede-beda dan reformasi yang baru tidak serta-merta menghasilkan hasil
yang lebih baik.
Sebagai gambaran tentang masa depan kepegawaian negeri, studi ini menemukan
bahawa makin banyak yang anti birokrasi, tetapi tidak ada model reformansi PNS yang
secara universal dapat diterima. Tetapi, beberapa karakteristik birokrasi tradisional
(Weberian Model) tetap ada. Namun, semakin berkurangnya PNS (dalam artian PNS
tradisional), semakin berkurangnya kondisi kerja PNS yang spesifik, semakin rampingnya
44
struktur organisasi (jenjang karir semakin memudahkan PNS). Kemudian juga semakin
kaburnya batasan antara PNS dengan pegawai sektor publik lainnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa telah
jauh meninggalkan struktur organisasi kepegawaian negeri yang hierarkis, lebih bersifat
terbuka dan fleksibel. Namun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa sistem baru lebih
baik, karena reformasi menghasilkan 2 (dua) sisi, yaitu sisi positif dan sisi buruk. New public
management, tidak menghasilkan hasil reformasi yang diinginkan. Beberapa karakteristik
dari birokrasi tradisional masih ada. Trend saat ini menggulirkan pertanyaan tentang
kebutuhan sistem kepegawaian negeri yang khusus.
2. Pengalaman dalam Negeri (Kementerian Keuangan dan Provinsi Gorontalo)
Sebagai gambaran tentang upaya reformasi kepegawaian negeri yang telah
dilakukan saat ini, kajian ini mengambil contoh pengalaman reformasi kepegawaian
yang sudah dilakukan di Kementerian Keuangan pada instansi pemerintah pusat dan
Provinsi Gorontalo pada instansi pemerintah daerah.
a. Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan merupakan salah satu instansi pusat yang menjadi pilot project reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan
dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007.
Dalam surat keputusan tersebut dijelaskan bahwa program reformasi birokrasi
meliputi 3 (tiga) bidang utama, yaitu : (1) penataan organisasi, (2) penyempurnaan
proses bisnis, dan (3) peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Reformasi bidang kepegawaian atau SDM di Kementerian Keuangan dilakukan
dengan melakukan perubahan mindset atau cara pandang. Pegawai atau SDM
dipandang sebagai asset yang sangat penting dan memegang peranan strategis dalam
pelaksanaan reformasi sehingga perlu dikelola dengan baik. Pengelolaan SDM
mencakup peningkatan kualitas atau kompetensi, penempatan SDM yang kompeten
pada tempat dan waktu yang sesuai, sistem pola karier yang jelas dan terukur,
pengelolaan SDM berbasis kompetensi, serta keakuratan dan kecepatan penyajian
informasi SDM sesuai kebutuhan.
Program peningkatan manajemen SDM terdiri dari penyelenggaraan diklat
berbasis kompetensi, pembangunan assessment center, penyusunan pola mutasi,
peningkatan disiplin dan pengintegrasian sistem informasi pegawai (SIMPEG).
45
Diklat berbasis kompetensi dilakukan dengan tujuan supaya kompetensi yang
terbentuk sesuai dengan tuntutan jabatan/pekerjaan. Tuntutan ini didahului dengan
dilakukannya penyusunan standar kompetensi jabatan untuk seluruh jabatan eselon
II dan sebagian eselon III yang strategis. Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan
assessment center untuk melihat profil kompetensi pejabat eselon II dan III. Apabila
dilihat ada kesenjangan (gap) antara standar kompetensi yang dipersyaratkan dengan
kompetensi yang dimiliki pejabat maka dilakukan upaya peningkatan kompetensi
melalui diklat berbasis kompetensi.
Pola mutasi juga diperbaiki untuk menjamin objektivitas dan transparansi
dalam perpindahan karier pegawai. Pola mutasi terdiri dari 3 (tiga) pola, yaitu : (1)
perpindahan jabatan vertikal (promosi), (2) perpindahan jabatan horisontal
(perpindahan jabatan struktural dalam eselon yang sama dan/atau perpindahan
jabatan fungsional dalam tingkat yang sama pada unit yang berbeda), (3)
perpindahan jabatan diagonal (perpindahan jabatan struktural kedalam jabatan
fungsional dan sebaliknya).
Pola mutasi jabatan didasarkan pada aspek : persyaratan administrasi sesuai
peraturan, unsur prestasi kerja, jangka waktu menduduki jabatan dan lokasi unit
kerjanya, peringkat jabatan, hukuman/sanksi yang pernah diterima, persyaratan
khusus untuk jabatan. Sementara untuk penegakan disiplin dikeluarkan berbagai
kebijakan teknis oleh Menteri Keuangan. Misalnya Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 29/PMK.01/2007 yang mewajibkan setiap unit eselon I menyusun kode etik
PNS sesuai karakteristik masing-masing unit. Kode etik ini menuntun pegawai
dalam bersikap dan berperilaku, dan apabila melanggar maka akan dikenakan sanksi
moral. Dengan berbagai program tersebut diharapkan kedepan SDM Kementerian
Keuangan dapat menjadi sosok yang profesional dan bertanggung jawab.
Kesimpulan dan Analisis
Adanya mandat sebagai pilot project reformasi birokrasi, kepemimpinan yang
kuat dari pimpinan puncak Kementerian Keuangan, mendukung pelaksanaan
reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan;
Pembuatan SOP (standard operating procedures) pada setiap proses bisnis yang
dilakukan telah menyediakan standardisasi bagi kegiatan yang dilakukan;
Reformasi kepegawaian yang dilakukan di Kementerian Keuangan merupakan
bagian yang integral dari reformasi birokrasi yang dilakukan secara internal;
46
Reformasi birokrasi di bidang kepegawaian terutama yang terkait dengan
perubahan mindset dari pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan;
Reformasi teknis dalam pengelolaan kepegawaian mencakup penerapan
tunjangan kinerja (remunerasi), bidang pendidikan dan pelatihan serta kebijakan
mutasi pegawai.
b. Propinsi Gorontalo
Upaya reformasi bidang SDM aparatur di Propinsi Gorontalo lebih kepada
upaya perubahan budaya kerja birokrasi yang sesuai dengan penerapan prinsip New Public Management yang dipraktikkan oleh Kepala Daerah Provinsi Gorontalo pada
saat Fadel Muhammad menjabat sebagai Gubernur. Selain itu, upaya penerapan
manajemen kinerja bagi PNS di lingkungan pemerintah Provinsi Gorontalo juga
menjadi andalan dibidang reformasi kepegawaian di provinsi tersebut.
Kepemimpinan yang kuat dan inovatif menjadi kunci reformasi bidang
pemerintahan di Gorontalo, termasuk didalamnya reformasi bidang SDM aparatur.
Lebih lanjut, upaya penerapan manajemen kinerja di Provinsi Gorontalo
didasarkan pada asumsi bahwa untuk meningkatkan kinerja harus dibedakan
terlebih dahulu menjadi kinerja aksi dan kinerja hasil. Hal ini disebabkan karena
faktor-faktor yang mempengaruhinya berbeda-beda sehingga diperlukan perlakuan
atau kebijakan yang berbeda untuk meningkatkannya. Sebagai contoh, untuk
meningkatkan kinerja aksi maka yang harus dilakukan adalah mengembangkan
kualitas manajer dan sistem manajemen organisasi pemerintah daerah.
Pengembangannya sendiri difokuskan pada kapasitas manajemen dibidang
keuangan, sumber daya manusia dan teknologi informasi (IT). Kemudian upaya
peningkatan kinerja pemerintah daerah tidak cukup dilakukan hanya dengan
membenahi kapasitas manajemen kewirausahaan saja, tetapi harus secara simultan
mempersiapkan budaya organisasi yang mendukungnya, yaitu dengan
menghadirkan national culture dan development culture.
Kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa pengembangan kapasitas
manajemen kewirausahaan merupakan prasyarat untuk meningkatkan kinerja
pemerintah daerah. Untuk mengimplementasikan tujuan tersebut, maka dibuat
agenda reformasi pemerintahan daerah di Gorontalo yang meliputi 7 (tujuh) agenda
dan diantaranya adalah mengenai agenda bagi reformasi kepegawaian seperti
melakukan refomasi birokrasi pemerintah daerah.
Reformasi ini terkait dengan upaya pengembangan kapasitas manajemen
organisasi dan personel serta membangun budaya organisasi birokrasi pemerintah
47
daerah yang berwatak kewirausahaan. Upaya yang dilakukan adalah dengan
memberikan insentif melalui tunjangan kinerja daerah yang bertujuan untuk
meningkatkan motivasi pegawai dengan menilai dan menghargai prestasi kerja
mereka.
Kesimpulan dan Analisis
Kunci reformasi kepegawaian yang terintegrasi dengan reformasi birokrasi di
Provinsi Gorontalo adalah kepemimpinan yang kuat, inovatif dan responsif;
Reformasi kepegawaian terutama diarahkan pada pelaksanaan manajemen kinerja
dan budaya kerja aparatur;
Penerapan manajemen kinerja terkait dengan tunjangan kinerja, namun belum
ada data yang menunjukkan sejauh mana dampak penerapan manajemen kinerja
terhadap kinerja PNS sendiri;
Semangat kewira-usahaan pada birokrasi menjadi instrumen bagi perubahan yang
dilakukan di Gorontalo;
Meskipun HDI (human development index) meningkat, namun belum ada data
yang kuat sejauhmana reformasi kepegawaian ini berdampak bagi kinerja
organisasi secara keseluruhan dan perubahan yang lebih baik dalam praktik
manajemen kepegawaian secara utuh dalam suatu sistem.
48
BBaabb IIIIII
PPeennggeelloollaaaann PPNNSS ddii IInnddoonneessiiaa
A. Sejarah Pengelolaan PNS
Untuk bisa menghasilkan sistem pengelolaan pegawai yang baik, maka langkah yang
bijaksana adalah dengan berkaca pada sejarah pengelolaannya dimasa-masa lalu. Dengan
melihat, mencermati dan menganalisa sistem pengelolaan pegawai yang pernah dilakukan,
maka akan diperoleh berbagai kelebihan maupun kekurangan sistem pengelolaan pada
masa itu. Memang tentunya ada perbedaan nuansa, situasi, kondisi dan perkembangan
paradigma yang berkembang pada masa itu. Pengelolaan pegawai tidak bisa dilepaskan
dengan lembaga atau instansi yang ada dalam pemerintahan. Maka dalam upaya melihat
pengelolaan pegawai juga perlu dilihat lembaga-lembaga yang ada pada masa-masa itu.
Berikut ini diuraikan sejarah singkat pengelolaan kepegawaian di Indonesia yang diambil
dari buku SANKRI, Buku II, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2003.
1. Masa Penjajahan Belanda Sebagaimana dijelaskan diawal bahwa Indonesia pernah mengalami masa penjajahan oleh
beberapa negara, diantaranya Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Belanda menjajah
Indonesia paling lama, kurang lebih selama 350 tahun. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa
nuansa Belanda masih banyak mewarnai kehidupan di Indonesia, termasuk dalam pengelolaan
kepegawaian. Bahkan istilah PNS yang dipergunakan untuk menyebut orang-orang yang
bekerja bagi pemerintah diyakini berasal dari bahasa Belanda : burgerlijk landsdienaar yang
berarti burgerlijk = sipil atau biasa (bukan militer), land = negeri atau negara dan dienaar =
pegawai yang memperoleh upah atau gaji. Sehingga burgerlijk landsdienaar bisa diartikan
sebagai orang yang bekerja bagi pemerintah, berasal dari masyarakat biasa (bukan militer) dan
memperoleh gaji. Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, PNS seringkali juga disebut dengan
istilah ambtenaar, civiel ambtenaar, atau civil personeele.
Pada masa penjajahan Belanda, birokrasi atau pemerintahan yang dibentuk adalah untuk
memperlancar urusan atau kepentingan Belanda di Indonesia terutama yang terkait dengan
perdagangannya. Jabatan-jabatan atau posisi strategis diduduki oleh orang-orang Belanda.
Sementara orang-orang pribumi atau disebut dengan golongan priyayi dijadikan wakil
49
pemerintah Belanda. Mereka dijadikan penghubung antara masyarakat dengan pemerintah
Belanda.
Dalam penataan pegawai, peraturan yang paling dominan disusun oleh Pemerintah
Belanda adalah yang terkait dengan penggajian pegawai. Ada beberapa peraturan penggajian
yang disusun pada masa penjajahan Belanda, yaitu :
1. Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1925 (BBL 1925) atau Peraturan Gaji
Pegawai Negeri Sipil Tahun 1925. Berlaku sejak tanggal 1 Pebruari 1925;
2. Herziene Bezoldegingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1934 (HBBL 1934);
3. Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1938 (BBL 1938); dan
4. Betalingsregeling Ambtenaaren en Gepensioneerden Tahun 1949 (BAG 1949) atau
Peraturan Pembayaran Pegawai dan Pensiunan Tahun 1949.
Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahannya di Indonesia, Pemerintah Belanda
menggunakan orang-orang pribumi untuk memperoleh simpati rakyat. Pegawai pemerintah
tersebut dikenal dengan istilah ambtenaar yang ditugaskan di kantor pusat pemerintahan
maupun di kantor regional. Mereka bertugas mendampingi dan mengawasi para penguasa
daerah (bupati, adipati dan sebagainya).
Para pegawai pemerintahan Belanda, selain dari orang-orang Eropa atau Belanda juga
berasal dari orang-orang pribumi atau bumi putera. Mereka membedakan jabatan-jabatan yang
boleh diduduki oleh orang Eropa/Belanda dengan jabatan-jabatan yang boleh diisi oleh orang
pribumi. Jabatan yang diperuntukkan bagi warga Eropa/Belanda adalah : Gouverneur Generaal
van Nederlandsch Indie (Gubernur Jenderal Hindia Belanda), Gouverneur (Gubernur,
memimpin Provinsi), Resident (Residen, memimpin Karesidenan), Asistent Resident (Asisten
Residen, memimpin Kabupaten) dan Controleur (Kontrol).
Sedangkan jabatan yang bisa diduduki oleh orang-orang pribumi terdiri dari : Regent
(Bupati, memimpin Kabupaten), Ronggo, Patih (Sekretaris Kabupaten), Penghulu Besar dan
Jaksa di Karesidenan, Wedono, Kliwon, Manteri Besar, Demang Kepala, Districtshoofd
(Demang) dan Onderdistrictshoofd (Asisten Demang).
Pengelolaan pegawai pada masa penjajahan Belanda terdapat diskriminasi, yang
membedakan antara pegawai orang pribumi atau bumi putera dengan pegawai orang
Eropa/Belanda. Dalam Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1925 (BBL 1925)
diatur bahwa pengangkatan pegawai dibedakan dalam beberapa skala. Skala A, yaitu kelompok
untuk pegawai dengan pangkat/jabatan rendahan diberikan untuk pegawai dari orang pribumi
50
atau bumi putera. Skala B, yaitu kelompok untuk pegawai dengan pangkat/jabatan menengah
diberikan untuk pegawai dari orang Eropa/Belanda dan orang pribumi atau bumi putera yang
mempunyai latar belakang pendidikan dan pola hidup setara dengan orang Eropa. Dan skala C,
yaitu kelompok untuk pegawai dengan pangkat/jabatan tinggi yang hanya boleh diduduki oleh
orang-orang Eropa/Belanda. Dalam BBL 1925 ini, penggajian pegawai diatur berdasarkan pada
ijasah sekolah, pangkat/jabatan (betrekking), masa kerja (dienstjaar) dan skala gajinya
(bezoldigingsschaal).
Dalam perkembangannya, BBL 1925 ini diubah pada tahun 1938, yaitu dengan
disusunnya Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1938 (BBL 1938). Dengan
perubahan ini maka diskriminasi dalam pengelolaan pegawai juga dihapuskan. Semua
kedudukan dalam kepegawaian bisa diduduki oleh semua pegawai, baik orang pribumi maupun
orang Eropa/Belanda. Tetapi pada kenyataannya, tetap ada jabatan-jabatan yang memang
khusus bagi orang Eropa/Belanda, yaitu jabatan-jabatan yang tinggi dan strategis. Dalam BBL
1938, penggajian diberikan dengan sistem horisontal dan sistem blok. Artinya, pegawai yang
mendapat kenaikan pangkat dari ruang ke ruang dalam skala yang sama ditetapkan gajinya
menurut sistem horisontal (diberikan gaji pokok menurut ruang yang baru yang segaris dengan
gaji pokok yang diterimanya dalam pangkat yang lama). Tapi apabila terjadi kenaikan pangkat
atau perpindahan kesuatu jabatan dalam skala gaji lain, akan diberikan gaji yang terdekat ke
atas dari gaji pokok yang lama (sistem blok).
Dalam mengelola pegawai, pemerintah Belanda menganut sistem tertutup. Artinya,
pengangkatan pegawai untuk menduduki suatu jabatan hanya dimungkinkan dari bawah
(promosi), yaitu dengan memperhatikan ijasah sekolah dan persyaratan lain yang ditetapkan.
Pada masa ini sudah disusun daftar urut kepangkatan (ranglijst) yang menunjukkan urutan
pegawai yang didasarkan pada ijasah yang dimiliki pegawai dan kecakapannya. Ijasah sangat
penting dalam penentuan kariernya. Apabila pegawai tidak mempunyai pendidikan yang lebih
tinggi maka sampai akhir masa kariernya dia akan berada di jabatan tersebut karena dia tidak
akan dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi.
Pengelolaan pensiun bagi pegawai juga sudah dilakukan pada masa pemerintahan
Belanda, tepatnya sejak tahun 1887. Pada tahun 1926 peraturan pensiun diperbarui dan
diberlakukan bagi semua pegawai baik pegawai pribumi maupun pegawai Belanda yang dikenal
dengan nama Indische Burgelijk Pensioen Reglement. Untuk membiayai dana pensiun maka
disusun sistem dana pensiun yang menjaga ketersediaan dana untuk membiayai pembayaran
pensiun pegawai.
51
2. Masa Penjajahan Inggris Pada masa penjajahan Inggris, yang menjalankan pemerintahan di Indonesia adalah
Letnan Gubernur Raffles yang menggunakan sistem yang lebih bersifat demokratis. Dengan
kata lain, pemerintahan yang lebih mendekat ke masyarakat. Semboyan Raffles yang terkenal
adalah “from the people, by the people and for the people”. Sehingga kebijakan
pemerintahannya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat.
Pada masa pemerintahan Raffles, banyak posisi, jabatan, kedudukan yang ada pada masa
penjajahan Belanda dihapuskan, misalnya jabatan Bupati, Demang atau pamong praja lainnya.
Karena menurut Raffles, para pejabat tersebut justru mengganggu, bahkan melakukan
pemerasan kepada masyarakat sehingga menghambat kemajuannya. Sebagai gantinya diangkat
Residen yang bertanggung jawab langsung kepada Raffles. Kebijakan yang ditempuh oleh
Raffles untuk mengurangi peran para pimpinan/pamong praja adalah dengan memberikan
status hukum kepada rakyat (orang dewasa dan kepala keluarga). Salah satu kebijakan yang
dilakukan adalah dengan menyatakan semua tanah dimiliki negara dan rakyat dijadikan
penyewa/penggarap tanah (landrent). Di daerah-daerah dilakukan pengukuran luas tanah dan
registrasi tanah yang dimiliki oleh masyarakat dan selanjutnya diambil alih oleh negara dan
ditetapkan sewanya (landrente) yang harus dibayar.
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Raffles adalah segala sesuatu diolah dan
diputuskan di pusat selanjutnya diinstruksikan pelaksanaannya kepada pejabat-pejabat di
daerah. Struktur organisasi pemerintahan dan administrasi yang disusun pada masa
pemerintahan Raffles adalah : The Secretary‟s Office (Sekretariat Negara);
The Revenue Committee (Direktorat Jenderal Pajak); The Commercial Committee (Direktorat
Jenderal Perdagangan); The General Treasury (Direktorat Jenderal Keuangan); The Civil Pay
Office (Badan Administrasi Kepegawaian); The Accountants Office (Direktorat Jenderal
Pengawasan Keuangan Negara); The Post Department (Direktorat Jenderal Pos dan
Telekomunikasi); The Superintendent of Public Building and Works (Direktorat Jenderal
Pekerjaan Umum); The Salt Department (Direktorat Jenderal Urusan Garam); The Forest
Department (Direktorat Jenderal Kehutanan); dan The Supreme Court of Justice (Mahkamah
Agung).
52
Dalam menjalankan pemerintahannya, Raffles dibantu oleh pegawai-pegawai bangsa
Inggris yang kebanyakan adalah perwira militer yang berpengalaman dalam pemerintahan di
India. Mereka menduduki jabatan-jabatan di direktorat jenderal, residen dan asisten residen.
Beberapa kebijakan pada masa pemerintahan Raffles yang terpenting adalah :
1. Adanya job description dan instruksi yang jelas bagi para pejabat terutama residen dan
bupati beserta adanya sumber-sumber pendapatan yang sah dari pemerintah;
2. Adanya perbaikan kedudukan kepala desa dan instruksi yang jelas untuk administrasi
negara;
3. Hak milik atas tanah diberikan kepada petani yang rajin dan produktif;
4. Kerja rodi, kerja paksa dan kerja sukarela dihapuskan, demikian juga pemerasan dan
pemaksaan penyerahan produk pertanian;
5. Lalu lintas perdagangan bebas, penghapusan berbagai biaya yang tidak perlu, pengurangan
biaya eksport import;
6. Peningkatan budidaya kopi dan sistem perdagangannya;
7. Monopoli pemerintah dalam produksi garam untuk mengurangi monopoli pengusaha
Tionghoa.
3. Masa Penjajahan Jepang Terkait dengan pengelolaan pegawai, pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan gaji
pegawai yang dimuat dalam Osamu Seizin Nomor 13 tanggal 1 Juni 1943 tentang Pengangkatan
dan Gaji Pegawai Negeri di Jawa dan Osamu Seizin Nomor 122 tanggal 12 Juli 1943 tentang
Aturan Pengangkatan dan Gaji Pegawai Bantuan. Pada masa pemerintahan Jepang, pegawai
dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu : golongan pekerja, pegawai rendah, pegawai
menengah dan pegawai tinggi. Pengelompokan pegawai ini menjadi dasar dalam pemberian gaji
pegawai. Ijasah sekolah dipergunakan sebagai ukuran kecakapan atau pengetahuan pegawai
bukan sebagai dasar dalam perhitungan gajinya. Pemberian uang pensiun pegawai diganti
dengan pemberian onyokin atau uang kurnia.
4. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1949) Masa pemerintahan Indonesia dimulai pada tanggal 17 Agustus 1945 pada saat Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya. Pada saat itu disepakati bahwa dasar negara adalah
Pancasila dan UUD 1945, dan menetapkan Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan dr. M. Hatta
sebagai Wakil Presiden RI. Ini adalah masa awal Indonesia untuk mengelola bangsa dan
negaranya secara mandiri tanpa campur tangan penjajah bangsa lain. Semua syarat untuk
mewujudkan satu negara yang berdaulat telah dipenuhi, yaitu : adanya rakyat yang berdaulat,
53
adanya wilayah negara, adanya kedaulatan negara, adanya pemerintahan, adanya tujuan negara
dan adanya bentuk negara.
Tujuan dari pembentukan negara Indonesia secara jelas dan tegas tercantum dalam
pembukaan UUD 1945, yaitu : (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; (4)
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Pada masa awal pemerintahan Indonesia, birokrasi dirasakan tidak ada kekompakan
karena masih kuatnya kepentingan politik di dalam departemen-departemen yang dibentuk.
Kondisi ini berdampak pada masa-masa awal kemerdekaan ini pemerintahan belum stabil dan
seringkali mengalami perubahan. Berikut ini dijelaskan secara singkat Kabinet yang pernah
dibentuk pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden
Soekarno.
Pada tahun 1948 dibentuk Kantor Urusan Pegawai (KUP) berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948. KUP berkedudukan di Jogjakarta dan bertugas menangani
urusan pegawai pemerintah Indonesia yang terkait dengan kedudukan dan gaji pegawai negeri
serta mengawasi supaya peraturan-peraturan yang terkait dengan masalah tersebut dapat
dijalankan dengan semestinya. Dalam bukunya yang berjudul Manajemen Kepegawaian Sipil di
Indonesia (2008), Miftah Thoha menjelaskan bahwa KUP dalam perkembangannya menjadi
cikal bakal terbentuknya Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN). KUP dipimpin
oleh seorang Kepala yang diangkat oleh Presiden atas usul Perdana Menteri dan berkedudukan
langsung dibawah dan bertanggung jawab kepada Perdana Menteri.
Tugas Kepala KUP dalam rangka menata administrasi kepegawaian meliputi hal-hal
berikut ini :
1. Mengawasi supaya peraturan yang terkait kedudukan dan gaji pegawai negeri bisa
dilaksanakan dengan baik;
2. Memberikan petunjuk dan kalau perlu mengadakan tindakan korektif;
3. Mengusulkan kepada pemerintah tentang perubahan atau penambahan peraturan yang
terkait;
4. Jika dipandang perlu atau ada usulan, dapat mengusulkan kepada yang berwajib (pejabat
yang berwenang) untuk mengadakan peraturan mengenai kedudukan dan gaji pegawai
negeri.
54
Sedangkan hak yang dimiliki oleh Kepala KUP ada dua, yaitu : (1) meminta kepada
semua pegawai (baik sipil maupun militer) untuk memberikan keterangan yang diperlukan
untuk melaksanakan tugasnya; dan (2) meminta pengiriman laporan-laporan dari kementerian,
jawatan dan perusahaan negeri.
Untuk menjamin supaya koordinasi dapat dilaksanakan dengan baik, maka semua
peraturan yang mengatur mengenai pegawai negeri harus dengan persetujuan Kepala KUP. Dan
apabila ada perselisihan atau perbedaan pendapat terkait penafsiran/pemahaman terkait
peraturan kepegawaian antara Menteri dengan Kepala KUP, maka pendapat Kepala KUP yang
dianggap benar atau harus diputuskan oleh Perdana Menteri. Disini terlihat bagaimana
strategisnya posisi Kepala KUP, sehingga dituntut menguasai masalah administrasi
kepegawaian.
Terkait dengan sistem penggajian pegawai, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 1948 dikeluarkan Peraturan Gaji Pegawai 1948 atau dikenal dengan istilah PGP 1948.
Dalam PGP 1948 ini, banyak diadopsi sistem penggajian masa penjajahan Belanda (BBL 1938)
dengan menghilangkan adanya diskriminasi dalam pengangkatan pegawai. Gaji pegawai
didasarkan pada harga kebutuhan hidup yang meliputi 36 komponen kebutuhan hidup yang
layak. Dengan dasar perhitungan tahun 1940, pengeluaran minimum seorang PNS yang sudah
berkeluarga adalah sebesar Rp 42,67,- maka gaji minimum PNS ditetapkan sebesar Rp 45,- dan
gaji tertinggi adalah Rp 750,- atau (1 : 17), perubahan/kenaikan gaji menggunakan sistem
horisontal.
Pada masa awal kemerdekaan ini, masih ada beberapa wilayah yang dikuasai oleh
Belanda (wilayah timur Indonesia, sebagian pulau Sumatera dan sebagian pulau Jawa). Sehingga
untuk menjalankan pemerintahannya Belanda (NICA) mendirikan pemerintahan federal yang
tunduk kepada kerajaan Belanda. Pegawainya adalah bekas pegawai yang bekerja untuk
pemerintah Jepang dan Hindia Belanda. Untuk mengkoordinasikannya, dibentuk Dienst
Algemene Personele Zaken (DAPZ) berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Dalam perkembangannya DAPZ disebut Djawatan Umum Urusan Pegawai (DUUP).
5. Masa Republik Indonesia Serikat (RIS) (1949-1950) Pada masa ini pemerintah Indonesia berbentuk pemerintahan federal dengan konstitusi
UUD Sementara RIS. Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh daerah Indonesia yang terdiri
dari Negara Republik Indonesia dan negara-negara Federal bentukan Belanda, yaitu : Negara
55
Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan (termasuk Distrik Federal
Jakarta), Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur (termasuk Asahan
Selatan dan Labuhan Baru), Negara Sumatera Selatan, Daerah lain yang berdiri sendiri, yaitu
Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar,
Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
Pembentukan RIS berdampak pada pengelolaan pegawai negeri sipilnya, yaitu
dilakukannya penyatuan antara PNS RI dengan PNS negara federal. Dalam praktiknya,
penyatuan ini ternyata bermasalah karena adanya perbedaan yang mencolok, khususnya dalam
penggajian. PNS RI sesuai PGP (Peraturan Gaji Pegawai) 1948 gaji minimalnya sebesar Rp 45
dan gaji maksimalnya sebesar Rp 750 atau 1 : 17. Sementara PNS federal yang diatur dengan
BAG (Betalingsregeling Ambtenaren en Gepensioneereen) 1949, gaji minimalnya sebesar Rp 30
dan gaji maksimalnya sebesar Rp 1.925 atau 1 : 64. Untuk mengatasi masalah tersebut maka,
pemerintahan RIS menetapkan kenaikan untuk PNS RIS menjadi Rp 67,5 untuk gaji minimal
dan Rp 1.125 untuk gaji maksimal, atau 1 : 20.
Selain adanya perbedaan dalam gaji, juga ada perbedaan dalam hal kecakapan atau
pengetahuan yang dimiliki. Pegawai RI dianggap lebih setia kepada pemerintah RI tetapi
kecakapan atau pengetahuannya kurang. Sementara pegawai federal dianggap kurang setia
kepada pemerintah RI tetapi mempunyai kecakapan atau pengetahuan yang lebih bagus.
Sehingga dalam penggabungannya, posisi-posisi strategis atau pimpinan selalu diberikan kepada
pegawai RI sementara pegawai federal hanya mendapat posisi yang kurang strategis. Pegawai
federal atau pegawai yang bekerja untuk pemerintah Belanda disebut golongan “ko”. Pegawai-
pegawai “ko” ini mendapat diskriminasi dalam penempatan, promosi atau pengangkatan dalam
jabatan. Mereka dinomorduakan karena dianggap tidak setia kepada pemerintah RI.
Dalam pengelolaan pegawainya, Pemerintah RIS mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 1950 tentang Peraturan Sementara tentang Penetapan Jabatan dan Gaji PNS.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur tentang syarat pengangkatan dalam masing-masing
golongan, sebagai berikut :
56
Tabel 3.1
Syarat Pengangkatan dalam Golongan
No Golongan Persyaratan
1. I Sekedar dapat membaca dan menulis.
2. II Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Rakyat (SR sekarang
SD) 6 tahun atau pengetahuan yang sederajat.
3. II A Sekurang-kurangnya berijasah SR 6 tahun ditambah fak
(kejuruan) sekurang-kurangnya 1 tahun.
4. III Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Menengah Umum
Bagian Pertama (SMUP, sekarang SLTP) atau mempunyai
pengetahuan yang sederajat.
5. III A Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Menengah Umum
Bagian Atas (SMUA sekarang SLTA) ditambah pelajaran fak
khusus 1 tahun.
6. IV Sekurang-kurangnya berijasah SMUA atau pengetahuan
yang sederajat.
7. V Sekurang-kurangnya berijasah SMUA ditambah pelajaran
fak khusus 2 tahun
8. VI Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Tinggi (akademi)
atau pengetahuan lain yang dianggap sederajat dengan itu.
Sumber : Buku SANKRI II, LAN 2004
6. Masa Berlakunya UUD Sementara 1950 (1950-1959) Pada masa ini, pegawai-pegawai yang bekerja bagi pemerintah Indonesia terdiri dari
pegawai yang sebelumnya bekerja bagi pemerintah Belanda dan pegawai yang sebelumnya
bekerja bagi pemerintah Jepang. Mereka tetap bekerja seperti biasa, melanjutkan tugas-
tugasnya yang memang tidak banyak mengalami perubahan. Permasalahan yang muncul adalah
57
terkait dengan peraturan kepegawaian yang berlaku. Pada saat itu, pemerintah Indonesia belum
bisa atau belum mampu menyusun peraturan-peraturan untuk mengelola pegawainya, maka
peraturan-peraturan kepegawaian yang berlaku pada masa Belanda dan Jepang masih tetap
dipergunakan. Penggunaan peraturan-peraturan Belanda dan Jepang ini ternyata membawa
permasalahan tersendiri karena kebanyakan peraturan tersebut masih dalam bahasa Belanda
dan Jepang. Padahal tidak semua pegawai pemerintah Indonesia mampu berbahasa Belanda
atau Jepang.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka secara berangsur-angsur pemerintah Indonesia
mulai mengeluarkan peraturan-peraturan kepegawaian sendiri. Antara lain :
1. Undang-Undang Darurat Nomor 25 Tahun 1950 dan Undang-Undang Darurat Nomor 34
Tahun 1950 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian PNS RIS. Undang-Undang ini
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1961.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun Tahun 1951 tentang Istirahat karena Hamil.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun Tahun 1951 tentang Pernyataan sebagai Pegawai
Negeri Tetap.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun Tahun 1952 tentang Pemberhentian Sementara
sebagai PNS.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun Tahun 1952 tentang Daftar Susunan Pangkat dan
Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun Tahun 1952 tentang Daftar Pernyataan Kecakapan
Pegawai Negeri.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun Tahun 1952 tentang Hukuman Jabatan.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun Tahun 1952 tentang Larangan Mencari Penghasilan
dan Memimpin Perusahaan dalam Lapangan Partikulir.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun Tahun 1955 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri
Sipil Republik Indonesia (PGPN 1955). Dan lain sebagainya.
Dalam pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut, Kepala Kantor Urusan Pegawai (KUP)
dapat mengeluarkan petunjuk teknis pelaksanaan peraturan. Tujuannya supaya ada kesamaan
pengertian dan keseragaman dalam pelaksanaan. Pada masa ini pengelolaan kepegawaian masih
dilakukan oleh dua instansi, yaitu KUP yang mengelola PNS Republik Indonesia dan DUUP
(Djawatan Urusan Umum Pegawai) yang mengelola PNS Belanda. Dalam perkembangannya
pada tahun 1950, kedua instansi ini digabung menjadi satu dengan nama KUP. Penggabungan
ini dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950.
58
7. Masa Berlakunya UUD 1945 (1959-1966) Pada masa ini ada perubahan peraturan terkait dengan sistem penggajian pegawai. PGPN
1955 yang merupakan peraturan penggajian untuk PNS diganti dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 200 Tahun 1961 tentang Peraturan Gaji PNS RI atau biasa disebut PGPN 1961. Dalam
PGPN 1961 digunakan satu skala gaji untuk semua PNS. Gaji pokok ditetapkan berdasarkan
tingkat pendidikan, pangkat dan masa kerja. Perbandingan gaji pokok terendah dan tertinggi
adalah 1 : 20. Selain gaji pokok, seorang PNS juga menerima tunjangan keluarga dan tunjangan
kemahalan. Selain itu masih ada tunjangan lain, yaitu : tunjangan kompensasi atas resiko
pekerjaan, tunjangan ganti rugi, tunjangan perpindahan dan tunjangan ujian kenaikan pangkat.
Pada masa ini penetapan pangkat PNS pertama kali didasarkan pada ijasah sekolah/kursus
yang disyaratkan pada pengangkatan pertama. Pada umumnya seorang pegawai dapat naik
pangkat yang lebih tinggi sebanyak empat kali dalam satu rangkaian jabatan sesuai ijasahnya.
Untuk bisa naik pangkat ke rangkaian jabatan yang lebih tinggi, pegawai wajib mengikuti ujian
kenaikan pangkat. Kepangkatan ini akan menentukan golongan gaji yang diterima oleh
pegawai.
Dalam PGPN 1955 peraturan gaji anggota POLRI masih menyatu dengan gaji PNS. Pada
masa berlakunya UUD 1945 kembali maka POLRI dipisahkan dengan PNS dan mempunyai
dasar hukum sendiri. Peraturan gaji untuk PNS diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor
200 Tahun 1961 (PGPN 1961) dan peraturan gaji bagi anggota POLRI dengan Peraturan Gaji
Polisi Tahun 1961 (PGPol 1961).
Pada masa awal kemerdekaan sampai pada masa ini, berbagai peraturan pemerintah,
peraturan presiden, keputusan presiden yang dikeluarkan pemerintah didasarkan pada UUD
(UUD 1945, UUD RIS, UUDS RI). Kondisi ini membuat kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah seringkali kurang menguntungkan bagi PNS. Kondisi ini menuntut pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kepegawaian. UU ini berupaya meletakkan dasar-dasar dalam pembinaan PNS yang meliputi
kedudukan, kewajiban, hak dan pembinaan PNS Indonesia.
8. Masa Orde Baru (1966-1998) Masa Orde Baru selalu identik dengan kekuasaan absolut Presiden Soeharto yang
menguasai pemerintahan Indonesia selama 30 tahun lebih. Pada masa Orde Baru pengawasan
pemerintah terhadap partai dilakukan secara ketat dan mendalam. Hanya ada tiga partai yang
59
diijinkan ikut dalam pemilu, yaitu : partai pemerintah, Golongan Karya (Golkar), Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Golkar merupakan
wajah politik partisan dari birokrasi negara. Pegawai pemerintah dilarang bergabung dengan
PPP atau PDI. Bahkan, Korpri dibentuk sebagai mesin politik birokrasi yang mengikat seluruh
PNS di Indonesia untuk memilih Golkar. Pejabat dan tentara pensiunan dijadikan pemimpin
Golkar di tingkat nasional, provinsi maupun lokal.
Pengelolaan kepegawaian (PNS) pada masa pemerintahan Presiden Soeharto
menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian. Pelaksanaan pengelolaan PNS menurut UU ini secara umum bersifat sentralistik.
Pemberlakuan sistem sentralistik ini diterapkan pada hampir semua proses manajemen PNS,
yaitu mulai dari proses rekrutmen sampai dengan pensiun. Pemerintah Daerah baik ditingkat
Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang merupakan sub ordinat dalam pemerintahan hanya
melaksanakan semua kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Pusat.
Beberapa pokok pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 adalah terkait dengan rekrutmen. Sebelum melakukan rekrutmen pegawai
didahului dengan proses penyusunan formasi PNS yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 1976. Formasi adalah jumlah dan susunan pangkat PNS
yang diperlukan oleh suatu satuan organisasi negara untuk mampu melaksanakan tugas
pokok untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung
jawab dalam bidang penertiban dan penyempurnaan aparatur negara. Penetapan
formasi bertujuan supaya masing-masing satuan organisasi negara mempunyai jumlah
dan mutu pegawai yang sesuai kebutuhan. Setelah kebutuhan formasi PNS disusun,
tahapan selanjutnya adalah melakukan pengadaan pegawai. Dengan kata lain,
pengadaan pegawai adalah proses kegiatan untuk mengisi formasi yang lowong.
Kebijakan tentang pengadaan pegawai diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 1976 tentang pengadaan PNS. Pengadaan dilakukan melalui seleksi yang
meliputi seleksi administrasi maupun seleksi kompetensi. Bagi calon yang lolos seleksi
maka diangkat dalam menjadi Calon PNS (CPNS). Selanjutnya CPNS wajib mengikuti
masa percobaan selama kurang lebih dua tahun sebelum diangkat menjadi PNS.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 juga diatur mengenai promosi yang
merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi pegawai yang berprestasi untuk
memangku tanggung jawab yang lebih besar, berupa pemberian kenaikan pangkat atau
jabatan. Terkait kenaikan pangkat PNS ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 1980. Kenaikan pangkat PNS dapat dilakukan dalam empat (4) cara, yaitu
60
kenaikan reguler, kenaikan pilihan, kenaikan istimewa dan kenaikan pengabdian.
Kenaikan reguler adalah kenaikan pangkat secara otomatis apabila PNS sudah bekerja
selama 4 tahun atau lebih dalam pangkat yang sama dengan hasil penilaian kinerja baik.
Kenaikan pangkat pilihan diberlakukan bagi PNS yang menjabat jabatan fungsional,
dimana apabila bisa memenuhi angka kredit tertentu maka bisa dinaikkan pangkatnya.
Kenaikan pangkat istimewa diberikan bagi PNS yang mempunyai prestasi kerja yang
luar biasa dan memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Sementara kenaikan
pangkat pengabdian adalah kenaikan pangkat yang diberikan bagi PNS yang sudah
memasuki Batas Usia Pensiun (BUP).
Selain berupa kenaikan pangkat, promosi juga dapat diberikan berupa pemberian
jabatan tertentu. Jabatan adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung
jawab, wewenang dan hak seorang PNS dalam suatu susunan organisasi dan bisa berupa
jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Secara umum hal-hal yang dijadikan
pertimbangan untuk penempatan dalam jabatan adalah sebagai berikut : penilaian
pelaksanaan pekerjaan, keahlian, perhatian (interest), Daftar Urut Kepangkatan (DUK),
kesetiaan, pengalaman, dapat dipercaya, kemungkinan pengembangan.
Pemberian gaji kepada PNS diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1977 tentang Penggajian PNS. Besar atau kecilnya gaji seseorang PNS ditentukan oleh
pangkat dan masa kerja yang dimiliki. Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan
tingkat seseorang PNS dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai
dasar penggajian. Kepada PNS yang diangkat dalam suatu pangkat diberikan gaji pokok
berdasarkan golongan ruang yang ditetapkan untuk pangkat itu sebagaimana tersebut
dalam lampiran Peraturan Pemerintah. Gaji pokok untuk CPNS adalah sebesar 80%
dari gaji pokok yang diberikan untuk PNS. Apabila CPNS tersebut telah mempunyai
masa kerja yang dapat diperhitungkan untuk menetapkan gaji pokok, diberikan gaji
pokok yang segaris dengan pengalaman kerjanya yang diakui sebagai masa kerja
golongan. Pemberian gaji pokok tersebut diatas setinggi-tingginya berdasarkan gaji
pokok maksimum dalam golongan ruang yang bersangkutan dikurangi 2 (dua) kali
kenaikan gaji berkala yang terakhir dalam golongan ruang tersebut. Kepada seorang
yang diangkat langsung menjadi PNS apabila telah mempunyai pengalaman kerja yang
dapat diperhitungkan untuk menetapkan gaji pokok, diberikan gaji pokok yang segaris
dengan pengalaman kerja yang ditetapkan sebagai masa kerja golongan. Masa kerja
yang dapat diperhitungkan untuk menetapkan gaji pokok bagi CPNS dan PNS
ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 diatur juga mengenai
pendidikan dan pelatihan (diklat) PNS. Tujuannya supaya ada jaminan keserasian pembinaan
61
terhadap PNS. Pengaturannya sendiri meliputi kegiatan perencanaan, termasuk perencanaan
anggaran, penentuan standar, pemberian akreditasi, penilaian dan pengawasan.
Pada prinsipnya diklat PNS ada 2 (dua), yaitu : Diklat Pra Jabatan dan Diklat Dalam
Jabatan. Diklat Pra Jabatan (pre service trainning) adalah diklat yang diberikan kepada CPNS
dengan tujuan supaya bisa terampil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Sementara
Diklat Dalam Jabatan (in service trainning) adalah diklat yang bertujuan untuk meningkatkan
mutu, keahlian, kemampuan dan keterampilan PNS. Diklat Pra Jabatan merupakan diklat yang
wajib diikuti oleh semua CPNS. CPNS yang tidak lulus dari Diklat Pra Jabatan tidak dapat
diangkat menjadi PNS. CPNS yang tidak lulus dari Diklat Pra Jabatan diberikan kesempatan
mengikuti sekali lagi. Apabila tetap tidak lulus, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai
CPNS.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah berusaha meningkatkan
kesejahteraan PNS dengan tujuan supaya PNS dapat memusatkan perhatian sepenuhnya untuk
melaksanakan tugas-tugasnya. Kesejahteraan ini meliputi kesejahteraan material dan spiritual,
seperti jaminan hari tua, bantuan perawatan kesehatan, bantuan kematian, bantuan
perumahan, dan lain-lain yang serupa dengan itu. Penyelenggaraan program kesejahteraan PNS
diatur dan dibina oleh Pemerintah Pusat.
Untuk membiayai usaha-usaha kesejahteraan PNS tersebut, maka setiap PNS dipungut
iuran sebesar 10% dari penghasilan setiap bulan, dengan perincian sebagai berikut : 43/4% untuk
iuran dana pensiun, 2% untuk iuran pemeliharaan kesehatan, 31/4% untuk iuran tabungan hari
tua. Ketentuan mengenai iuran ini diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1974 dan
diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 8 tahun 1977.
Dalam masa pemerintahan Orde baru, disusun suatu Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai disiplin pegawai. Pengaturan ini untuk menjamin supaya PNS bisa menjadi
sosok Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan
kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah serta bersatu padu, bermental baik,
berwibawa, berdaya guna, berhasil guna, bersih, bermutu tinggi dan sadar akan tanggung
jawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Selain daripada itu
dalam Peraturan Pemerintah juga diatur mengenai tata cara pemeriksaan, tata cara penjatuhan
dan penyampaian hukuman disiplin, serta tata cara pengajuan keberatan apabila PNS yang
dijatuhi hukuman disiplin itu merasa keberatan atas hukuman disiplin yang dijatuhkan
kepadanya. Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik PNS yang
62
melakukan pelanggaran disiplin. Oleh sebab itu setiap pejabat yang berwenang wajib
memeriksa lebih dahulu dengan seksama PNS yang melakukan pelanggaran itu.
Pada masa orde baru juga dikeluarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai
pensiun PNS, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969. Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan pensiun adalah jaminan hari tua dan berfungsi sebagai balas jasa terhadap
PNS yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri kepada negara. Pada hari tua, kekuatan
jasmani seseorang semakin berkurang, daya tahan jasmani semakin lemah dan menyebabkan
lebih sering terserang penyakit, tanggungan ada kalanya tidak makin berkurang, yang
semuanya ini memerlukan pembiayaan yang cukup banyak, tetapi pendapatan makin
berkurang. Inilah yang menjadi perhatian Pemerintah supaya PNS tidak kehilangan semangat
bekerja.
Dasar pensiun yang dipakai untuk menentukan besarnya pensiun pokok, ialah gaji pokok
terakhir sebulan yang berhak diterima oleh pegawai yang berkepentingan berdasarkan
peraturan gaji yang berlaku baginya. Pemberian pensiun ditentukan oleh pejabat yang berhak
memberhentikan pegawai yang bersangkutan, di bawah pengawasan dan koordinasi Kepala
BAKN (sekarang BKN).
Pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil berhak
menerima pensiun, jika pada saat pemberhentiannya sebagai PNS :
(1) Telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan mempunyai masa
kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun;
(2) Oleh badan/pejabat yang ditunjuk oleh Departemen Kesehatan berdasarkan peraturan
tentang pengujian kesehatan PNS, dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan
apapun juga karena keadaan jasmani atau rohani yang disebabkan oleh dan karena ia
menjalankan kewajibannya, atau;
(3) Mempunyai masa-kerja sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun dan oleh badan/pejabat yang
ditunjuk oleh Departemen Kesehatan berdasarkan pengaturan tentang pengujian
kesehatan PNS, dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga karena
keadaan jasmani atau rohani, yang tidak disebabkan oleh dan karena ia menjalankan
kewajiban jabatannya.
63
9. Masa Orde Reformasi (1998 – Sekarang)
a. Masa Transisi (Presiden BJ. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden
Megawati) Pemerintahan Presiden Gus Dur dapat dikatakan tidak mempunyai komitmen yang
jelas dalam upaya perbaikan birokrasi yang dipimpinnya. Bahkan pada saat itu, berkembang
isu putera daerah dalam jabatan-jabatan birokrasi, terutama di tingkat daerah. Posisi-posisi
strategis dalam pemerintahan diduduki oleh orang-orang asli daerah bahkan saudara-
saudara pimpinan. Bahkan pada masa ini banyak dilakukan kenaikan pangkat yang tidak
sesuai peraturan untuk mengejar posisi-posisi tersebut. Hal ini sering disebut dengan
“pangkat Naga Bonar”. Kondisi ini berdampak pada pelaksanaan pemerintahan yang
tersendat-sendat dan tidak efektif. Banyak pimpinan instansi yang tidak/kurang mampu
melaksanakan tugas dan kewajibannya karena memang tidak mempunyai kemampuan
sebagaimana dibutuhkan.
Pasar terus bergolak dalam kondisi tidak menentu, friksi yang terjadi diantara elit
politik (anggota dewan) dan elit birokrasi (pemerintah) menjadi sebuah dikotomi masalah
yang memperlemah posisi birokrasi dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan
pembangunan. Bahkan anggota dewan disebut “anak-anak TK” oleh Presiden Gus Dur
karena ketidakmampuan mereka untuk memahami, mengerti dan bekerjasama dengan
pemerintah. Pada masa ini birokrasi hanya menjadi elemen bangsa yang tersubordinasi
terhadap kepentingan-kepentingan politik lain. Birokrasi menjadi mandeg, statis dan
stagnan, keinginan untuk segera pulih dari krisis tidak terjadi. Pada masa pemerintahan
Presiden Gus Dur terjadi pembubaran dua Departemen, yaitu Departemen Sosial dan
Departemen Penerangan. Alasan pembubaran ini dengan alasan : tugas kedua Departemen
tersebut bisa dilaksanakan oleh sektor swasta atau masyarakat. Pembubaran kedua
Departemen ini membawa dampak yang cukup rumit terkait dengan distribusi pegawainya.
Berbagai permasalahan yang muncul pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur ini,
terutama friksi yang terjadi dengan anggota dewan pada akhirnya membawa Presiden Gus
Dur pada impeachment. Anggota dewan akhirnya meminta Presiden Gus Dur untuk
mundur.
Pengganti Presiden Gus Dur adalah yang dahulu menjabat sebagai Wakil Presiden,
yaitu Megawati. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, dua Departemen yang pada
masa Presiden Gus Dur dibubarkan, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Penerangan
dihidupkan kembali. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati dapat dikatakan kondisi
Indonesia semakin membaik, stabilitas ekonomi tercapai dan konflik kepentingan antar elit
64
berkurang. Hal ini dimungkinkan karena statusnya sebagai seorang Presiden perempuan
sehingga pendekatan yang dilakukan lebih lembut dan ramah khas seorang ibu. Juga
statusnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sering dizalimi
oleh pemerintah telah meningkatkan simpati dan dukungan masyarakat kepadanya.
Kondisi-kondisi inilah yang membuat pemerintahan Presiden Megawati bisa membawa arah
yang lebih baik. Bisa dikatakan walaupun belum sepenuhnya berhasil membawa Indonesia
keluar dari kubangan krisis, Presiden Megawati mampu mengawali sebuah proses demokrasi
sebagai era baru bagi Indonesia dalam menyongsong era demokratisasi.
b. Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono atau lebih dikenal
dengan Presiden SBY merupakan masa pemerintahan yang lebih baik dalam aspek
reformasi birokrasi. Pemerintahan Presiden SBY saat ini memasuki periode kedua
dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan Jilid II. Pemerintahan Presiden SBY
ditandai dengan adanya kontrak kinerja antara Presiden dengan para Menterinya.
Kontrak kinerja ini merupakan salah satu komitmen Presiden untuk bisa melakukan
evaluasi terhadap kinerja Menteri dan atau Kementeriannya. Pada masa pemerintahan Presiden SBY, birokrasi Indonesia berada pada kondisi yang
cukup mengenaskan. Beberapa kondisi misalnya sebagaimana dicatat oleh Global
Competitiveness Index (GCI, 2009) disebutkan bahwa the most problematic factors for
doing businesses di Indonesia, mencakup : inefficient government bureaucracy, policy
instability, corruption, dan restrictive labor regulations. Sementara data Corruption
Percention Index (CPI, 2009) dari Transparency International yang dianggap mencerminkan
“kebersihan birokrasi”, Indonesia masih berada pada kelompok peringkat terbawah dengan
skor 2.8, dari skala 1 sampai 10. Kemudian dari survey yang dilakukan oleh Political and
Economy Risk Consultancy (PERC, 2010) di 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik,
Indonesia dikategorikan sebagai negara paling korup dengan skor 9.27, turun secara
signifikan dibandingkan skor tahun 2009 yaitu, 8.32 (dalam skala 0-10). Kondisi inilah yang
harus diperbaiki oleh Presiden SBY dengan program reformasi birokrasi.
Keseriusan pemerintahan Presiden SBY diwujudkan dengan memberikan tugas
tambahan pada Kementerian PAN. Kementerian PAN dimandatkan menjai koordinator
pelaksanaan reformasi birokrasi dan menambahkan nama kementeriannya menjadi
Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. Dengan adanya kelembagaan yang secara resmi
menangani reformasi birokrasi secara khusus diharapkan pelaksanaannya menjadi lebih
65
baik. Dalam Seminar Reformasi Birokrasi untuk Mewujudkan Aparatur Negara yang
Profesional, Efektif dan Efesien dalam Rangka Peningkatan Pelayanan Publik pada tanggal
13 April 2010, Dr. Ismail Muhammad (Deputi KemenPAN dan RB) menyebutkan beberapa
permasalahan internal birokrasi antara lain : efektivitas peraturan perundang-undangan
dibidang aparatur negara yang masih tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, multi tafsir,
pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain; pola pikir
(mind-set) dan budaya kerja (culture-set) belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang
profesional serta benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat dan pencapaian
kinerja yang lebih baik, masih adanya praktek penyimpangan dan penyalahgunaan
wewenang dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, serta belum mantapnya
akuntabilitas kinerja pemerintah.
Komitment pemerintahan Presiden SBY dalam upaya pelaksanaan reformasi birokrasi
juga diwujudkan dengan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun
2005-2025. Masa 20 tahun ini selanjutnya dibagi dalam program lima tahunan yang disebut
dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RPJM I (2005-2010) berfokus
pada penataan kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman dan damai, adil dan
demokratis dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. RPJM II (2010-2015) berfokus
pada pemantapan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan
ilmu dan teknologi serta memperkuat daya saing perekonomian. RPJM III (2015-2020)
berfokus pada pemantapan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan
pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA dan SDM yang
berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi. RPJM IV (2020-2025) berfokus pada
upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui
percepatan pembangunan di segala bidang dengan struktur perekonomian yang kokoh
berlandaskan keunggulan kompetitif.
Reformasi birokrasi diawali dengan adanya pilot project pelaksanaan reformasi
birokrasi dengan menggunakan ukuran-ukuran yang jelas dan tegas terkait kinerja. Ada tiga
(3) kementerian yang dijadikan pilot project, yaitu Kementerian Keuangan, BPKP dan MA.
Reformasi dilakukan pada tiga (3) bidang utama, yaitu penataan kelembagaan,
penyempurnaan proses bisnis dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tujuan
reformasi birokrasi ini secara spesifik adalah untuk menciptakan aparatur negara yang
bersih, profesional dan bertanggung jawab, serta menciptakan birokrasi yang efisien dan
efektif sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang prima. Pemberian remunerasi
66
yang besar bukanlah tujuan utama dari pelaksanaan reformasi tetapi sebagai dampak
semakin baiknya kinerja seorang pegawai atau instansinya.
Pada saat pemerintahan Presiden SBY inilah bisa dikatakan pilar-pilar reformasi
birokrasi mulai kelihatan wujudnya. Meskipun ada juga beberapa kasus yang muncul,
sebagai contoh kasus di perpajakan yang melibatkan Gayus (pegawai golongan III di Dirjen
Pajak Kementerian Keuangan). Kasus ini dikenal dengan kasus mafia pajak. Kemudian
muncul lagi berbagai kasus yang melibatkan berbagai insitusi terkait mafia kasus (markus).
Kondisi-kondisi ini justeru menunjukkan keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Kasus-kasus yang dahulunya tidak kelihatan menjadi terangkat ke permukaan dan
terungkap.
B. Permasalahan Internal PNS
Dari data dan informasi yang diperoleh dari lapangan dapat disampaikan bahwa
permasalahan internal yang ada dalam pengelolaan PNS mencakup hampir di semua
tahapan. Sejak perencanaan kebutuhan pegawai, seleksi atau rekrutmennya,
penempatannya, promosinya, penikaian kinerjanya, penggajiannya, pengembangannya
sampai pemberhentiannya. Semua tahap tersebut diindikasikan mengandung
permasalahan yang berdampak pada pengelolaan pegawai yang tidak maksimal sehingga
PNS menjadi tidak profesional. Hampir semua narasumber yang ditemui dilapangan
menyatakan bahwa ada masalah dalam pengelolaan pegawai. Berikut ini disampaikan data
dan informasi yang ditemukan di lapangan terkait permasalahan internal tersebut.
a. Penentuan Formasi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi
Pegawai Negeri Sipil yang merupakan Perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 5
Tahun 1976, terdapat beberapa pengertian formasi. Pertama, formasi diartikan sebagai
penetapan jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan oleh suatu organisasi
berdasarkan kebutuhan yang nyata, dengan memperhitungkan perluasan dan
penyempitan organisasi; kedua, formasi dapat juga didefinisikan sebagai pengendalian
pengadaan yang terarah dan terinci, yang harus disusun berdasarkan struktur
organisasi, jenis, sifat, beban kerja dan menggambarkan susunan pokok piramida
kepegawaian yang serasi, sehingga dapat diambil kepastian adanya kelebihan atau
kekurangan pegawai; dan ketiga, formasi diartikan pula sebagai jumlah dan susunan
67
pangkat PNS yang diperlukan oleh suatu organisasi negara untuk mampu melaksanakan
tugas pokok dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang
bertanggungjawab dalam bidang penertiban dan penyempurnaan aparatur negara
(Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1976).
Tujuan ditetapkannya formasi adalah agar satuan-satuan organisasi tersebut dapat
mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang memadai sesuai dengan beban kerja dan
tanggung jawab pada masing-masing organisasi. Lowongan formasi pada suatu
organisasi pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu : 1) adanya PNS yang berhenti
karena alasan mengundurkan diri, diberhentikan dengan tidak hormat, meninggal
dunia, atau 2) adanya perluasan organisasi sehingga membutuhkan tambahan pegawai.
Penetapan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) secara nasional ditentukan oleh
Kementerian PAN dan RB untuk tiap-tiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah, yang memuat jumlah formasi, nama jabatan dan kualifikasi pendidikan tiap-
tiap jabatan dimaksud.
Selama ini penentuan jumlah formasi CPNS setiap tahun yang ditetapkan oleh
Kantor Kementerian PAN dan RB bagi tiap-tiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah, belum sepenuhnya didasarkan pada kebutuhan nyata tiap-tiap instansi yang
didasarkan pada hasil analisis beban kerja (ABK) maupun analisis jabatan (anjab).
Padahal penyusunan formasi ini menurut narasumber dari Pemerintah Provinsi
Jogjakarta, merupakan kunci utama dalam melakukan reformasi kepegawaian. Pada saat
penyusunan formasi inilah ditentukan mau seperti apa pegawai yang mau direkrut. Apa
kompetensi yang dibutuhkan, berapa jumlahnya dan sebagainya. Bahkan untuk cara
mudahnya, seringkali penentuan jumlah formasi hanya didasarkan pada jumlah
pegawai yang akan pensiun (masuk BUP). Disisi yang lain, secara nasional penentuan
jumlah formasi CPNS tiap-tiap instansi lebih didasarkan pada ketersediaan jumlah
anggaran yang disetujui oleh Kementerian Keuangan. Jumlah anggaran yang disediakan
untuk membayar gaji pegawai baru ini jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan
dengan jumlah kebutuhan riil tiap-tiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Hal ini berakibat pada sulitnya organisasi dalam memenuhi baik dari segi kualitas
maupun dari segi kuantitas pegawai yang memadai sesuai dengan beban kerja dan
tanggung jawab tiap-tiap organisasi.
Formasi yang disusun sebagaimana dijelaskan didepan adalah formasi untuk PNS.
Dari hasil analisis terhadap data lapangan ditemukan bahwa tidak semua pekerjaan
yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan harus dikerjakan oleh seorang PNS.
Ada beberapa karakteristik pekerjaan yang tidak perlu dilakukan oleh seorang pegawai
dengan status PNS. Menurut Prof. Dr. Sofian Effendi, Guru Besar UGM Jogjakarta,
68
dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak perlu semua dipegang oleh PNS. Perlu ada
pegawai-pegawai non PNS untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Misalnya pegawai profesional yang bekerja di bidang pendidikan dan kesehatan tidak
perlu berstatus PNS. Kemudian pegawai-pegawai yang bekerja di sektor pendukung
yang tidak strategis, seperti tenaga sopir, tenaga keamanan atau lainnya juga tidak perlu
berstatus PNS tetapi cukup tenaga honorer. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Prof.
Dr. Miftah Thoha, MPA, Guru Besar UGM Jogjakarta, yang menyebutkan bahwa tidak
semua tugas/pekerjaan yang ada di lingkup pemerintah harus dikerjakan oleh PNS
tetapi bisa dilakukan oleh pihak swasta (outsourching). Menurut beliau, dengan kondisi
ini dirasakan akan lebih menguntungkan. Misalnya dilihat dari aspek beban anggaran
tentu lebih ringan karena pemerintah tidak perlu menanggung tunjangan anak, istri
dan pensiun. Selain itu apabila ada masalah terkait kinerja maka bisa sewaktu-waktu
diganti dengan yang lain. Kedua Guru Besar UGM tersebut juga menyebutkan bahwa
kedepan semua formasi PNS harus diisi dengan jabatan-jabatan fungsional yang bisa
menunjukkan spesifikasi pekerjaan tertentu. Sehingga begitu formasi ditetapkan bisa
langsung diketahui tuntutan kompetensi yang dibutuhkan dan begitu formasi tersebut
diisi, CPNS bisa langsung tahu apa tugas dan tanggung jawab pekerjaannya.
b. Rekrutmen
Proses berikutnya setelah ditetapkannya formasi adalah rekrutmen. Yang
dimaksud dengan rekrutmen adalah suatu proses mencari, menemukan dan menarik
calon-calon pegawai untuk dipekerjakan dalam suatu organisasi sebagai langkah awal
mendapatkan calon pegawai yang setepat-tepatnya guna melakukan suatu pekerjaan
atau menduduki suatu jabatan yang tersedia (Pusat Kajian Kinerja SDA, LAN, Evaluasi
Sistem Rekrutmen PNS, 2007).
Rekrutmen PNS atau pengadaan PNS (terminologi yang digunakan dalam
Peraturan Pemerintah) merupakan aspek yang sangat penting untuk mendapatkan
calon-calon pegawai yang tepat. Kegiatan rekrutmen mempunyai peran yang sangat
penting dan menentukan bagi keberhasilan suatu organisasi. Berawal dari sub sistem
inilah baik buruknya organisasi ditentukan, apakah akan menjadi organisasi yang maju
atau justru akan tenggelam. Sistem rekrutmen yang berkualitas menjamin organisasi
memperoleh pegawai yang kompeten sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga
pengelolaan pegawai kedepan akan lebih baik. Namun sebaliknya jika rekrutmen
dilakukan secara sembarangan maka sesungguhnya organisasi melakukan kesalahan
yang sangat besar terhadap investasi pegawainya. Hal ini akan berakibat pada sulitnya
69
dalam : pengembangan pegawai baik, penerapan sistem karir, pemberian reward yang
memadai bagi pegawai dan lain sebagainya.
Banyaknya kecurangan dalam proses rekrutmen, seperti adanya titipan pejabat
atau motif lain berlatar belakang koneksitas dan KKN, jual beli kursi, bocornya soal
ujian, hasil ujian yang dimanipulasi atau lainnya merupakan sebagian kasus rendahnya
kualitas rekrutmen PNS selama ini. Hal ini merupakan salah satu titik lemah dan salah
satu akar masalah yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan. Apabila rekrutmen
pegawai dilakukan dengan cara-cara seperti ini, tidak mengherankan jika kualitas
pegawai yang dihasilkan tidak akan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi
organisasi. Bahkan ada saran dari salah satu narasumber di FISIP Universitas Udayana
Bali yang menyarankan supaya penyelenggaraan tes rekrutmen dikelola secara terpusat.
Pengelolaan ini meliputi pembuatan soal dan pemeriksaan soalnya. Sehingga bisa
dikontrol kualitas dan keamanannya. Sementara dalam penyelenggaraan tesnya bisa
melibatkan pemerintah daerah tetapi tetap dengan supervisi dari pusat. Dalam
penyelenggaraannya harus transparan dan profesional dan tidak ada muatan politis
apapun.
Pada saat rekrutmen inilah seringkali ditemukan berbagai kendala yang bisa
membuat pengelolaan pegawai menjadi tidak baik. Sebagaimana dijelaskan oleh
narasumber dari Pemerintah Provinsi Jogjakarta yang menyebutkan bahwa selama ini
tes rekrutmen yang dilakukan baru mampu mengukur kemampuan akademik saja,
tetapi tidak mampu mengukur perilaku dan moralitasnya. Sehingga seringkali
ditemukan pegawai mempunyai kompetensi tinggi tetapi tidak mampu bekerja
maksimal dan perilakunya tidak terpuji. Maka disarankan dalam rekrutmen ada tes
kognitif untuk mengukur kemampuan akademik dan tes afektif untuk mengukur
perilakunya. Terkait dengan rekrutmen PNS, narasumber dari FISIP Unair Surabaya
menyebutkan bahwa tes rekrutmen yang dilaksanakan saat ini tidak sesuai dengan
kebutuhan formasi yang ada. Karena apapun lowongan formasi yang ada tes yang
dilaksanakan sama. Misalnya formasi untuk dokter, guru, sekretaris atau formasi yang
lain materi tes yang diujikan sama, hanya dibedakan menurut tingkat pendidikannya
saja (SLTA, D3 atau Sarjana). Sehingga spesifikasi kemampuan yang dibutuhkan untuk
masing-masing formasi hanya dilihat dari ijasahnya saja.
c. Penempatan
Penempatan PNS pada posisi yang tepat bukan saja menjadi idaman setiap
instansi, tetapi menjadi keinginan setiap PNS. Dengan demikian maka PNS dapat
mengetahui ruang lingkup pekerjaan yang diberikan, disamping juga dapat
70
meningkatkan semangat dan kegairahan kerja serta disiplin kerjanya. Kesesuaian antara
kemampuan yang dimiliki pegawai dengan tuntutan tugas dan tanggung jawab dalam
jabatannya menjadi kunci utama dalam peningkatan kinerja pegawai. Maka prinsip
right man on the right place harus benar-benar menjadi pegangan utama dalam tahap
penempatan pegawai. Akan tetapi pada kenyataannya, pada saat ini penempatan PNS
masih jauh dari prinsip tersebut. Hal ini berakibat pada tidak terpenuhinya kebutuhan
suatu unit akan pegawai yang mempunyai kompetensi sesuai kebutuhannya. Sementara
pegawai yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan justeru ditempatkan pada unit
yang tidak membutuhkan kompetensi tersebut. Di lingkungan PNS kondisi seperti ini
hampir terjadi pada setiap instansi.
Penempatan pegawai yang terkait dengan promosi jabatan khususnya dalam
jabatan struktural juga menghadapi permasalahan yang sama. Promosi pegawai untuk
menempati jabatan struktural lebih banyak ditentukan oleh selera pimpinan,
sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang narasumber di Pemerintah Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Kondisi ini semakin berkembang sejak kebijakan otonomi daerah
diluncurkan pemerintah. Dimana pemerintah daerah diberi kewenangan yang cukup
luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Bahkan narasumber di FISIP
Universitas Udayana Bali mencatat bahwa ada penempatan yang tidak sesuai dengan
formasi yang dilamar. Seharusnya penempatan seorang pegawai harus sesuai dengan
formasi yang dilamar, yang artinya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, latar
belakang pendidikannya dan juga tentu saja pengalaman kerja yang dimilikinya.
Kondisi ini diperparah karena manajemen kepegawaian saat ini belum
menerapkan sistem merit secara sungguh-sungguh. Meskipun secara kebijakan sudah
diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, yang menegaskan bahwa pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan
sistim prestasi kerja dan sistim karier yang dititikberatkan pada sistim prestasi kerja.
Sistem merit mendorong terciptanya kompetisi yang sehat, berdasarkan kompetensi
dan kinerja pegawai. Hanya pegawai yang berprestasi dan memiliki kinerja unggul yang
berhak menduduki suatu jabatan. Inilah pola karier yang ideal yang didasarkan pada
prestasi kerja. Namun kenyataan yang terjadi selama ini, promosi pegawai tidak
didasarkan pada prestasi kerjanya tetapi lebih ditentukan oleh selera pimpinan, unsur
kedekatan, serta pertimbangan administratif yang belum menjamin kualitas atau
kompetensi yang dimiliki pegawai. Dampaknya banyak promosi pejabat struktural yang
tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya sehingga pada akhirnya tidak mampu
melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya dengan baik. Pola karier yang
terbangun menjadi tidak menentu, tidak sejalur atau sesuai antara tuntutan kompetensi
71
jabatan dengan kompetensi yang dimiliki pegawai. Hal ini sebagaimana diungkapkan
oleh narasumber dari Pemerintah Provinsi Riau yang menyebutkan bahwa pola karier
PNS seharusnya segaris dalam kompetensinya. Misalnya seorang pegawai yang
berkarier dan menguasai kompetensi terkait keuangan maka diharapkan karier
tertingginya adalah Kepala Bagian Keuangan atau Asisten Bidang Ekonomi. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa, pegawai ditingkat bawah sebaiknya mempunyai kompetensi
teknis yang spesifik/khusus, selanjutnya seiring dengan peningkatan kariernya maka
kompetensi yang dimiliki menjadi semakin general (khususnya untuk kompetensi yang
bersifat administrasi/ manajerial), tetapi kemampuan teknis yang dimiliki tetap spesifik
dan menjadi semakin detail atau semakin menjadi pakar.
Melihat kondisi tersebut maka penempatan pegawai seharusnya didasarkan pada
analisis jabatan, analisis kompetensi serta kinerja pegawai. Demikian pula halnya
dengan promosi pegawai bukan lagi semata-mata bagi-bagi jabatan kepada pegawai
yang secara personal dekat dengan pimpinan, akan tetapi harus didasarkan pada
pertimbangan profesional. Tantangannya adalah, bagaimana lingkungan birokrasi
mengangkat dan menempatkan pegawai atas dasar kompetensi dan kemampuan
pegawai. Posisi PNS saat ini sangat lemah dalam hal kariernya, sebagaimana dijelaskan
oleh narasumber dari Pemerintahan Provinsi Riau, seorang PNS mau kerja rajin atau
malas, mau berkinerja tinggi atau rendah tetap tidak tahu mau kemana kariernya
karena yang menentukan adalah pejabat politis. Apakah mau dipromosi, dimutasi atau
bahkan diberhentikan tidak bisa menolak. Dalam hal ini, narasumber dari
Pemerintahan Provinsi Riau mengusulkan perlunya Baperjakat (Badan Pertimbangan
Jabatan dan Kepangkatan) sebagai badan yang berwenang dan bertanggung jawab
dalam promosi pegawai untuk memperhatikan masukan data dari pihak yang
berkompeten (misalnya bagian kepegawaian), yaitu dengan mencermati track record
pegawai yang akan dipromosi.
d. Pengembangan Pegawai Membahas pengembangan SDM aparatur pemerintah tentu tidak akan terlepas dari
peraturan yang mendasarinya, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pertimbangan yang memunculkan undang-undang
ini adalah adanya keyakinan bahwa untuk mencapai tujuan nasional Republik Indonesia
diperlukan PNS yang terampil menjalankan perannya sebagai abdi masyarakat yang
menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, serta menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini diperlukan
sosok PNS yang mampu melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan secara
72
profesional dan bertanggung jawab, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Kebutuhan
ini tentu saja menuntut dilakukannya penyempurnaan pada upaya-upaya pengelolaan PNS.
Dalam pengelolaan PNS harus diupayakan agar setiap PNS mempunyai kesempatan
untuk menampilkan prestasi kerja secara optimal. Karena prestasi kerja inilah yang menjadi
dasar dalam pengambilan keputusan untuk penempatan PNS. Untuk kepentingan itu, maka
dalam manajemen PNS dilakukan pengaturan dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan dan
keterampilan PNS. Hal ini bertujuan supaya seorang PNS mampu melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya sehingga bisa menghasilkan prestasi kerja sebagaimana yang diharapkan.
Dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan harus diawali dengan melakukan analisis
kebutuhan pendidikan dan pelatihan (Training Needs Asessment). Dalam kegiatan ini yang
dilakukan adalah mengidentifikasi adanya kesenjangan kemampuan antara tuntutan jabatan
dengan kemampuan nyata yang dikuasai pegawai. Hasil dari analisis kebutuhan diklat tersebut
selanjutnya menjadi acuan dalam menyusun desain program pendidikan dan pelatihan mulai
dari penetapan tujuan pelatihan, penetapan kurikulum/silabi, penetapan metode, penetapan
peserta dan tenaga pengajar, strategi, evaluasi maupun sarana dan prasana yang diperlukan.
Sebagaimana disarankan oleh narasumber dari Universitas Riau, bahwa dalam rangka tersebut
maka diperlukan database kepegawaian yang selalu di-update. Database ini harus memuat
berbagai informasi yang bukan hanya memuat data identitas pegawai saja tetapi juga memuat
data kompetensinya. Dengan demikian program pendidikan dan pelatihan yang
diselenggarakan benar-benar mampu mengatasi kesenjangan kompetensi dan mampu
membentuk PNS menjadi profesional, memiliki pengetahuan, sikap atau nilai etika
pemerintahan yang baik (good governance) dan keahlian yang diperlukan dalam meningkatkan
kualitas kinerja pelayanan publik.
e. Penggajian dan Reward Salah satu fokus utama dalam reformasi birokrasi di Indonesia adalah penataan gaji PNS.
Sistem penggajian PNS saat ini banyak yang mengkritik. Dari hasil kajian yang dilakukan LAN
pada tahun 2008 dengan judul Sistem Penggajian PNS di Indonesia, berhasil diidentifikasi
empat permasalahan dalam system penggajian PNS, yaitu : (1) terkait dengan nilai nominal
yang menyatakan masih jauh dari jumlah ideal untuk meningkatkan kesejahteraannya, (2)
terkait dengan sistem pembayarannya yang dibayar diawal bulan sehingga kurang memotivasi
73
PNS untuk bekerja maksimal, (3) terkait dengan sistemnya yang belum mengakomodasi beban
kerja, tanggung jawab dan pada prestasi kerja sehingga semua PNS dalam golongan yang sama
menerima nominal gaji yang sama tanpa melihat apakah dia rajin atau malas, pandai atau bodoh
dan berkinerja atau tidak, (4) terkait dengan variabel penggajian yang melihat pada aspek masa
kerja dan golongan/ruang.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2009 tentang Peraturan Gaji PNS
disebutkan bahwa gaji pokok PNS terendah adalah sebesar Rp 1.040.000 (PNS Gol. I/a dengan
masa kerja 0 tahun) dan gaji tertinggi adalah sebesar Rp 2.306.500 (PNS Gol. IV/e dengan masa
kerja 0 tahun). Dari besaran tersebut terlihat bahwa perbandingan antara gaji terendah dengan
gaji tertinggi kurang lebih adalah 1 : 3. Kondisi ini tentu kurang rasional apabila dilihat dari
perbedaan masa kerja PNS yang selama 32 tahun. Kondisi inilah yang membuat sistem
penggajian PNS saat ini kurang mempertimbangkan rasa keadilan. Demikian pula halnya
dengan tidak adanya perbedaan antara gaji PNS diberbagai daerah yang tingkat kebutuhan
beban hidupnya berbeda-beda. Nilai uang satu juta di daerah Jogjakarta tentu tidak sama
dengan di daerah Papua. Kondisi ini tentu harus diakomodasi dalam sistem penggajian PNS
yang baru apabila pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan kesejahteraan PNS-nya.
Dampak selanjutnya dari sistem penggajian PNS yang kurang bagus adalah tingkat
kesejahteraan PNS yang masih rendah. Kondisi kesejahteraan yang memprihatinkan ini sangat
mempengaruhi kinerja dan perilaku PNS.
Narasumber dari Universitas Brawijaya Malang menyarankan perlunya perbaikan dalam
system penggajian PNS dengan mempertimbangkan pay for performance, pay for person, pay
for position dan pay for live. Pay for performance untuk mengakomodasi kinerja, pay for
person untuk mengakomodasi kompetensi, pay for position untuk mengakomodasi jabatan/
tanggung jawab dan pay for live untuk mengakomodasi perbedaan beban hidup. Ini konsep ini
diyakini PNS akan bisa bekerja dengan maksimal dan termotivasi untuk selalu meningkatkan
kinerjanya.
f. Penilaian Kinerja
Pada hakekatnya penilaian kinerja adalah suatu proses untuk mengevaluasi atau
menilai kinerja pegawai. Penilaian kinerja yang dilaksanakan dengan baik dan tertib,
akan dapat membantu meningkatkan motivasi kerja dan loyalitas pegawai. Dengan
dilaksanakannya penilaian kinerja yang baik, paling tidak para pegawai akan
mengetahui sampai dimana dan bagaimana prestasi kerjanya diukur dan dinilai oleh
atasan dan tim penilai. Kelebihan maupun kekurangan yang ada dari hasil penilaian
74
tersebut akan dapat memberikan motivasi bagi kemajuan-kemajuan pegawai pada masa
yang akan datang. Pada saat ini sebagaimana dikemukakan oleh Miftah Thoha MPA,
Guru Besar UGM Jogjakarta, penilaian kinerja PNS dengan menggunakan DP3 tidak
jelas, tidak tegas dan tidak transparan. Kondisi ini berdampak hasil pengukuran
kinerjanya bukan merupakan kinerja nyata pegawai.
Hal yang sama juga oleh narasumber dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang
menyatakan bahwa DP3 saat ini tidak relevan lagi untuk menilai kinerja pegawai.
Bahkan dalam praktiknya, seringkali ada yang mengisi sendiri nilai-nilai dalam DP3-
nya. Kemudian nilainya tidak boleh turun dari nilai tahun sebelumnya. Narasumber ini
juga menjelaskan berbagai kelemahan dalam DP3, misalnya DP3 tidak mempunyai
standar penilaiannya, sehingga apabila pegawai pindah dari satu unit ke unit lainnya
nilai DP3-nya bisa tertinggi atau terendah. Hal ini bisa terjadi karena ada atasan atau
pejabat penilai yang royal dalam memberi nilai tetapi ada juga pejabat yang pelit.
Disinilah kelemahan DP3 yang lain, yaitu subjektivitas penilai karena tidak adanya
standar dalam pemberian nilai DP3. Narasumber dari Provinsi Nusa Tenggara Barat
menambahkan bahwa penilaian kinerja dengan DP3 tidak terkait dengan langsung
dengan reward and punishment system. DP3 hanya dijadikan sebagai persyaratan
administrasi saja khususnya untuk keperluan kenaikan pangkat dan jabatan. DP3 juga
dinilai tidak objektif, bias subjektivitasnya yang tinggi.
Penilaian kinerja pegawai sebaiknya dilakukan secara sistematik terhadap hasil
kinerja dan potensi yang dimiliki pegawai dalam upaya mengembangkan diri untuk
kepentingan organisasinya. Dalam penilaian kinerja, sasaran yang menjadi obyek
penilaian antara lain kecakapan dan kemampuan dalam melaksanakan tugas, cara
membuat laporan atas pelaksanaan tugas, ketegaran jasmani maupun rohani dalam
bekerja dan sebagainya. Hasil penilaian kinerja yang tinggi akan diberikan kepada
pegawai yang memiliki disiplin dan dedikasi yang baik, berinisiatif positif, sehat
jasmani dan rohani, bersemangat bekerja dan mengembangkan diri dalam pelaksanaan
tugas, pandai bergaul dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka penilaian kinerja harus dikelola secara
profesional dan oleh orang yang profesional, mengingat wilayah yang ditangani adalah
wilayah yang paling sensitif sebab menyangkut kinerja itu sendiri, penilaian kinerja
berikut dampaknya pada suasana kerja, dan pemberian kompensasi serta berbagai
bentuk penghargaan lainnya kepada pegawai yang bekerja dalam suatu organisasi.
Pengelolaan penilaian kinerja pegawai, selama ini kita kenal dengan istilah manajemen
prestasi kerja atau manajemen kinerja.
75
Pada situs www.menpan.go.id disebutkan bahwa saat ini Kantor Kementerian
PAN dan RB tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Penilaian Kinerja PNS. Perubahan yang sangat mendasar pada sistem penilaian yang
sedang digarap tersebut adalah adanya unsur Sasaran Kinerja Individu (SKI). Penilaian
ini bertujuan untuk lebih mendorong karier PNS, karena instrumen penilaian berupa
SKI, yang melibatkan seorang PNS mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan output
yang dibebankan kepada PNS yang bersangkutan. Apabila penilaian sasaran kinerja
individunya tidak baik, maka penilaiannya tidak baik. Masih dalam situs yang sama
disebutkan oleh Deputi Bidang SDM Aparatur PAN, bahwa setiap PNS harus
menyusun SKI berdasarkan Rencana Kerja Tahunan. SKI disetujui dan ditetapkan oleh
pejabat penilai yang memuat kegiatan tugas pokok jabatan, bobot kegiatan, sasaran
kerja dan target yang harus dicapai. SKI bersifat nyata dan dapat diukur. Nilai bobot
kegiatan didasarkan pada tingkat kesulitan dan prioritas dengan jumlah bobot
keseluruhan 100 yang ditetapkan setiap tahun pada bulan Januari.
g. Pemberhentian Permasalahan yang berhasil diidentifikasi Tim terkait masalah pemberhentian adalah
sulitnya memberhentikan atau “memecat” seorang PNS dan tidak jelasnya tata cara dalam
perpanjangan BUP (batas usia pensiun). Sulitnya memecat PNS karena tidak tegasnya peraturan
yang ada dan masih lemahnya penegakan peraturan tersebut. Seorang PNS yang melanggar
peraturan maka harus dilakukan teguran lisan apabila masih melakukan pelanggaran maka
dilanjutkan dengan melalui surat peringatan pertama, kedua dan ketiga. Sebagai contoh
sulitnya memecat seorang PNS adalah apabila PNS yang tidak masuk kerja selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut bisa dikeluarkan. Pada praktiknya PNS tidak mungkin tidak masuk kerja selama
tiga bulan berturut-turut karena mereka akan masuk pada saat mengambil gaji. Sehingga
prasyarat tiga bulan berturut-turut tidak bisa terpenuhi.
Selanjutnya dalam perpanjangan BUP, Tim juga mengidentifikasi adanya ketidakjelasan
dalam pengaturannya. Menurut narasumber dari Universitas Riau, perpanjangan BUP ini sering
diberikan kepada pejabat-pejabat yang dekat dengan pejabat politis. Bukan karena
pertimbangan yang profesional, misalnya karena kemampuan yang dimiliki, belum ada
pengganti yang tepat atau lainnya tetapi lebih karena alasan politis tertentu.
76
C. Permasalahan Eksternal PNS
Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi yang menjadi cikal bakal jajaran PNS Indonesia
adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi
berkaitan dengan birokrasi tersebut diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa
daripada pemenuhan hak sipil warga Negara. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang
dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan
sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Misi utama birokrasi menurut paham kolonial tersebut adalah untuk mempertahankan kekuasaan
dan mengontrol perilaku individu. Ungkapan yang sering didengar adalah "kalau bisa dibuat sulit,
mengapa harus dimudahkan". Ini fakta sosial, birokrasi lebih seperti pangreh praja dari pada
pamong praja, lebih ingin dilayani dari pada melayani. Anekdot seperti penyebutan istilah pamong
raja yang dipelintir menjadi among raja atau pelayan raja juga merendahkan martabat jajaran
birokrasi tersebut.
Buruknya mentalitas birokrasi yang kemudian disebut sebagai PNS kita saat ini, tidak
terlepas dari warisan mentalitas, birokrasi kolonial, yang berfungsi mengawasi dan mengontrol,
serta menguasai masyarakat, bukan melaksanakan dan menjalankan pemerintahan dengan baik,
dalam melayani dan melindungi masyarakat dari kesewenangan. Kewenangan yang terlalu besar
itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana
kebijakan, lebih bersifat menguasai dari pada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika
kemudian PNS lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber
solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Fenomena itu terjadi karena tradisi PNS yang
dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dengan segala sumber dayanya,
bahkan kemudian terjadi politisasi PNS.
Dengan kata lain, PNS dijadikan mesin negara dalam mengontrol perilaku masyarakat,
sekaligus memanfaatkannya untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam kultur demikian, korupsi,
kolusi dan nepotisme adalah hal biasa dalam dunia kerja PNS. Kooptasi terhadap PNS ini berlarut-
larut, tidak saja terjadi pada masa kolonial, bahkan pada masa Orde Baru PNS tak bisa dibedakan
dengan single majority Golkar sebagai penguasa.
Reformasi politik 1998 adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika
politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi PNS. Fakta
sosial menunjukkan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga kini, akibatnya
masyarakat tidak dapat banyak memetik manfaat nyata dari reformasi politik tahun 1998. Sebagai
bukti nyata atas situasi tersebut adalah buruknya pelayanan publik, misalnya biaya yang harus
77
dikeluarkan masyarakat secara ilegal dalam pengurusan berbagai dokumen, seperti pengurusan
KTP, pembuatan SIM, perpanjangan STNK, pengurusan IMB, sertifikat tanah, ijin usaha, tata
kelola pengadaan barang dan jasa pemerintah yang banyak menimbulkan kerugian negara, dan
lain-lain.
Setelah reformasi 1998 bergulir, kooptasi terhadap PNS tidak berhenti, tetapi mengalami
metamorfosis yang dicirikan dengan multikooptasi oleh beragam partai politik dan kepentingan.
Keadaan ini membentuk tidak saja sikap, perilaku, nilai, kultur para pejabat, dan sistem kerja,
tetapi juga cara pandang dan budaya interaksi rakyat terhadap PNS. Bahkan praktik pemilihan
langsung kepala daerah menyebabkan instabilitas dalam tubuh PNS. Promosi jabatan dipenuhi
kepentingan dan afiliasi politik PNS terhadap kepala daerah.
Aspek politik dan hukum menjadi begitu penting, reformasi PNS menjadi isu penting untuk
mendapat kajian tersendiri, serta direalisasikan secara konsisten. Terlebih lagi, dikarenakan jajaran
PNS pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi
keterpurukan Bangsa Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan. PNS yang telah dibangun oleh
pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya kental dengan korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Namun demikian, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin
keberlangsungan reformasi PNS dapat terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah
pasca reformasi terhadap reformasi PNS ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya
komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam
PNS pemerintahan Indonesia selama ini.
Tidak berbeda dengan rezim sebelum Orde Baru, di era pasca reformasi PNS menjadi alat
mempertahankan kekuasaan. Para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah
ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan non-karier.
Sikap mental seperti ini dapat membawa PNS dalam pemerintahan Indonesia kembali kepada
kondisi PNS pada masa lalu.
Lahirnya Undang-undang 22 Tahun 1999 melahirkan persoalan baru, termasuk pengelolaan
kepegawaian. Undang-undang 32/2004 sebagai perubahan dari Undang-undang 22 Tahun 1999
masih memunculkan permasalahan dalam tata kelola PNS khususnya hubungan antara PNS pusat
dan daerah yang banyak diwarnai intervensi politik. Menurut Gamawan Fauzi, Menteri Dalam
Negeri, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dalam wawancara dengan Tempo Interaktif (2010),
terbukti dari hasil evaluasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, perkembangan 57 daerah otonom baru
78
dengan usia dibawah 3 tahun menunjukkan 80 persen bermasalah berkaitan dengan belum
terlaksananya antara lain penyerahan personel.
Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti, terdapat beberapa
permasalahan eksternal dalam pengelolaan PNS sebagaimana dijelaskan berikut ini :
1. Permasalahan Pertama “Pembina Kepegawaian”
Semenjak diberlakukannya otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berikut perubahannya, Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004, berbagai persoalan muncul antara PNS pusat dan daerah terutama dalam
masalah pembinaan kepegawaian. Menurut Prof. Dr. Sofian Effendi dari Universitas
Gadjah Mada, berpendapat bahwa salah satu sumber masalah pembinaan kepegawaian
karena Ryaas Rasyid sebagai Menteri Negara Otonomi Daerah yang membidani lahirnya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyetujui lahirnya Peraturan Pemerintah
Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural,
menempatkan pejabat politis, Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati dan pejabat politis
lainnya menjadi pembina PNS. Masalah pembina kepegawaian menjadi simpang siur
karena kepentingan politis di dalam PNS pemerintahan tidak dapat tertahan.
Berdasarkan masukan dari beberapa narasumber, antara lain Sekretaris, Kepala
Bidang Mutasi dan beberapa pejabat struktural lain di lingkungan Badan Kepegawaian
Daerah (BKD) Provinsi Sulawesi Selatan juga didukung pernyataan dari Dekan FISIP dan
para dosen dari Universitas Hasanuddin, mengatakan bahwa persoalan tersebut diatas
dapat ditangulangi dengan cara menempatkan sekretaris daerah sebagai pejabat karir
tertinggi dalam birokrasi di daerah demi menghindari intervensi kuat terhadap PNS, jika
pembina kepegawaian dipegang oleh kepala daerah. Logikanya, Sekretaris Daerah, Daerah,
BKD Lombok Tengah, dan BKD Kota Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
mengatakan bahwa pembina kepegawaian dipegang oleh pejabat politis sangat tidak tepat
karena mereka hanya berkuasa lima tahun. Sebaliknya, menurut narasumber dari BKD
Provinsi Bali, bahwa seorang Sekretaris Daerah merupakan pejabat senior yang meniti
karier dari bawah lebih memahami dan mengetahui seluk beluk permasalahan PNS dan
mampu memberikan solusi bagi perbaikan kinerja PNS. Sayangnya, posisi sekretaris
daerah saat ini terhitung paling rawan terkait dengan politisasi birokrasi. Menurut
narasumber Sekretaris Daerah, Kepala BKD, Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Perundangan Provinsi Riau, tidak jarang, sekretaris daerah dengan mudahnya dicopot
79
karena berseberangan dengan kepala daerah, Bupati/Walikota, untuk kemudian menjadi
staf ahli sampai masuk usia pensiun.
Prof. Dr. Miftah Thoha dari MAP Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta juga
didukung oleh BKD Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, berpendapat bahwa
saat ini kewenangan sekretaris daerah tidak terlepas dari pejabat politik. Oleh karena itu
narasumber memandang penting adanya Undang-Undang Birokrasi Pemerintah yang di
dalamnya ada ketentuan mengatur partai politik yang membina PNS. Intervensi pejabat
politik dapat dibendung melalui pengetatan standar dan prosedur pengelolaan PNS yang
memungkinkan perpindahan pegawai kabupaten ke provinsi. Sebagai perwakilan
Pemerintah Pusat di daerah baru kemudian diatur oleh Pemerintah Pusat.
2. Permasalahan Kedua “PNS Perekat Kesatuan dan Persatuan Bangsa”
Upaya resentralisasi pembinaan kepegawaian PNS melalui Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, Pasal 129 yang menyebutkan “pemerintah melakukan pembinaan manajemen PNS
daerah yang meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, maupun pengembangan
kompetensi dan pengendalian jumlah, ternyata tidak juga memecahkan masalah karena sudah
terlanjur ada stigma pegawai daerah diurus oleh daerah, sedangkan pusat hanya mengurus pegawai
pusat saja. Akibatnya, nasib PNS daerah masih bergantung pada kebijaksanaan, wisdom, kepala
daerah, bukan sekretaris daerah yang diharapkan lebih mengerti bagaimana kebutuhan sumber
daya manusia di lingkungan pemerintahan. Menurut Sekretaris, Kepala Bidang Mutasi, dan
beberapa pejabat struktural di lingkungan Provinsi Sulawesi Selatan, tidak perlu ada pengkotakan
antara PNS pusat dan daerah. Konsekuensiya, PNS sebagai perekat persatuan bangsa hanya hanya
ada satu yaitu PNS Indonesia.
Di lain pihak, adanya kesenjangan kompetensi dan kinerja antara pegawai pusat dan daerah
dimana pegawai daerah belum mampu mengejar ketertinggalan dari rekan-rekannya di pusat
sangat memerlukan perhatian bersama. Upaya untuk memukul rata kemampuan pegawai daerah
sama dengan pusat melalui otonomi daerah akan sia-sia belaka apabila pemerintah daerah tidak
paham bagaimana membina pegawai mereka. Untuk itu, pentingnya pengelolaan PNS satu pintu
terutama dalam hal pembinaan masih dirasa perlu demi menghindari masuknya orang-orang baru
yang sama sekali tidak mengenal etos kerja PNS yang pada akhirnya merusak jenjang karir mereka
di daerah sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Miftah Thoha, dari MAP Universitas
Gadjah Mada, mengatakan bahwa saat ini pimpinan lembaga bertanggung jawab dalam
pengelolaan pegawai tidak mempunyai komitmen dan pemahaman yang memadai terkait
80
substansi, kondisi ini berdampak pada kebijakan yang dikeluarkan menjadi bersifat parsial tidak
holistik, khususnya dalam melakukan reformasi PNS.
Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto (Guru Besar Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta)
mengungkapkan bahwa PNS di negara manapun mempunyai tiga peran mendasar, yaitu : pertama,
sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Kedua,
melakukan fungsi manajemen pelayanan publik, dan ketiga, PNS harus mampu mengelola
pemerintahan. Didalam melaksanakan peran PNS tersebut, maka sosok PNS dituntut memiliki
integritas dan berkepribadian sehingga amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, yaitu PNS
sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara dapat diwujudkan.
Oleh karena itu, PNS sebaiknya juga tidak perlu dibedakan antara PNS pusat dan daerah.
Kebijakan non-diskriminatif tersebut sangat diperlukan guna meningkatkan rasa persatuan dan
kesatuan bangsa. Seperti disampaikan oleh narasumber dari Universitas Hasanuddin, sebaiknya
PNS dapat berkarier di seluruh wilayah Indonesia. Istilah PNS pusat dan PNS daerah, hanya
menunjukkan lokasi tugas bukan dalam hal kebijakan pengelolaannya sebagaimana disampaikan
oleh Prof. Dr. Sofian Effendi dari Universitas Gadjah Mada.
3. Permasalahan Ketiga “Netralitas PNS”
Berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung pada pertengahan
tahun 2005 serta diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menurut
pendapat narasumber Sekretaris, Kepala Bidang Mutasi, dan beberapa pejabat struktural di
lingkungan Provinsi Sulawesi Selatan, membuka peluang bagi kepala daerah dan institusi politik
afiliasinya memanfaatkan PNS untuk kepentingan-kepentingan politik kepala daerah. Terlebih
lagi, menurut pendapat dari narasumber BKD di Provinsi Bali, aturan terkait dengan pemilukada
tidak memberikan penjelasan bagaimana adanya larangan calon kepala daerah incumbent
menggunakan fasilitas sarana dan prasarana milik negara sebagai modal untuk pelaksanaan
kampanye calon incumbent sehingga perlu ketegasan.
Senada dengan narasumber dari Provinsi Sulawesi Selatan, narasumber dari Universitas
Hasanuddin mengatakan bahwa kuatnya intervensi elite daerah dalam menentukan formasi
jabatan di daerah khususnya kepala daerah sangat terasa sehingga amanat peraturan perundangan
tentang netralitas PNS sulit terwujud. Terlebih lagi, kebijakan otonomi daerah memunculkan isu
tambahan tentang konsep putera daerah yang mengesampingkan kemampuan seorang PNS karena
81
adanya pertalian kekerabatan. Apabila isu putera daerah tetap dibiarkan mengemuka dapat
berakibat merebaknya praktek nepotisme yang berujung pada korupsi dan kolusi dikalangan
birokrasi pemerintahan daerah. Mutasi terkendala dengan adanya kepala daerah, Bupati/Walikota,
yang tidak mau menerima pindahan pegawai dari daerah lain karena alasan mengembangkan
pegawainya sendiri. Akhirnya, peluang menjadi PNS di daerah hanya terbuka bagi penduduk
daerah setempat saja.
Berdasarkan pendapat dari Prof. Dr. Sofian Effendi dari MAP Universitas Gadjah Mada,
diperlukan adanya pemisahan antara pejabat politik dan karir. Batasan antara wilayah birokrasi
dan wilayah politis harus dipertegas agar tidak terjadi penyimpangan dan intervensi ke wilayah
birokrasi. Pertimbangannya, political will dari para pejabat politik terutama Presiden dirasa masih
kurang terutama dengan pengangkatan menteri yang berasal dari partai politik. Menteri yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS, ternyata terbukti tidak kompeten dalam memahami
permasalahan pengelolaan PNS. Pejabat politik secara garis besar tidak memiliki kemampuan
seperti pejabat karir (PNS) sehingga pejabat politik tidak boleh memimpin pejabat karir. Persoalan
di daerah menunjukkan besarnya intervensi politis karena batasan wilayah birokrasi dan politis
masih banyak wilayah abu-abu (grey area), sehingga menyuburkan politisasi PNS. Upaya
mempertegas pemisahan pejabat politik dan karir ini akan mendukung netralitas PNS agar tidak
berpolitik praktis serta mengurangi terjadinya politisasi birokrasi.
Selanjutnya, narasumber dari Universitas Riau menegaskan pentingnya memudarkan
wilayah abu-abu tersebut didalam lingkungan PNS karena adanya dua (2) jenis jabatan pimpinan,
yaitu pejabat yang elected dan pejabat yang appointed. Saat ini, kedua jabatan ini ditentukan oleh
pejabat politis yang lebih tinggi. Pangkal masalahnya adalah pejabat yang elected (dipilih) adalah
pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis, misalnya kepala daerah, merasa lebih
berhak mengatur pejabat appointed. Pada prakteknya, pejabat elected memiliki kompetensi yang
tidak/kurang sesuai dengan jabatannya karena mereka menjabat lebih karena menonjolkan
popularitasnya. Oleh karena itu, keberadaan mereka perlu didukung oleh para pejabat appointed
(ditunjuk) yang didukung dengan kompetensi yang sesuai dengan jabatan yang diduduki, misalnya
posisi-posisi strategis, seperti menteri, staf ahli dan sebagainya.
Pendapat Prof. Dr. Miftah Thoha dari MAP Universitas Gadjah Mada, mengatakan
perlunya sistem yang mampu membuat PNS netral dalam bentuk kebijakan, yaitu berupa
peraturan yang jelas dan tegas dalam mengatur batas dan sanksinya. Dengan cara ini,
menurut narasumber dari FISIP Universitas Airlangga, kebijakan-kebijakan politis yang
terkait dengan pengelolaan PNS seperti pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS tidak
82
akan terjadi lagi. Selain itu, aturan semisal mengenai seleksi PNS di provinsi sudah harus
menyertakan pihak ketiga (independen) sehingga bisa meminimalisir kepentingan-
kepentingan tertentu dari para pejabat politis.
4. Permasalahan Keempat “Lembaga Independen atau Komisi Kepegawaian Negara”
Masalah pengelolaan PNS di Indonesia tidak dapat diserahkan begitu saja kepada
pemerintah pusat maupun daerah tanpa ada kejelasan terkait kewenangan dalam hak dan
kewajiban apabila terjadi permasalahan akibat intervensi politik dalam birokrasi. Dalam
kondisi ini memang diperlukan satu lembaga yang independen untuk menentukan
berbagai posisi dalam birokrasi (pemerintahan, jabatan karier). Menurut Prof. Dr. Sofian
Effendi dari MAP Universitas Gadjah Mada, keberadaan Badan Pertimbangan Jabatan
Nasional (Baperjanas) harus diketuai oleh Presiden walau dalam pengambilan
keputusannya tetap memerlukan anggota yang independen, tidak berafiliasi dengan
kepentingan politis (anggota para politik, menteri dan sebagainya). Komisi Kepegawaian
Negara (KKN) seperti diamanatkan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 perlu segera
dibentuk sebagai lembaga regulator dan evaluator untuk rekrutmen sampai pensiun
terutama dalam penetapan norma. Keputusan KKN mengikat bagi PNS, dan sebagai
evaluator bisa memberi sanksi kepada PNS melalui instansi terkait.
Berdasarkan pendapat narasumber dari Provinsi Sulawesi Selatan, demi menjaga
integritas KKN, syarat independensi keanggotaan pada KKN wajib dipenuhi. KKN diisi
oleh akademisi, birokrat dan bisnis atau swasta. Anggota KKN dipilih oleh Presiden
sebagai kepala negara bukan sebagai kepala pemerintahan. Sekretariatnya pun dengan
demikian harus lepas dari eksekutif. Berkaca dari pengalaman pengelolaan manajemen PNS di Inggris, Prof. Gavin Drewry dari
University of London dan Claire Cameron dari Public Administration Institute, keduanya
mengungkapkan pentingnya keberadaan Civil Service Commission (CSC) dengan tujuan supaya
dapat memilih atau memperoleh PNS yang profesional bebas dari intervensi politis. Mereka tidak
memungkiri bahwa di negara mereka, para PNS juga tidak bebas dari intervensi politis karena
adanya spoil system dalam pengelolaan kepegawaiannya. Oleh karena itu, Prof. Drewry dan
Cameron berpendapat bahwa faktor strong leadership memegang peran yang sangat besar dalam
upaya mewujudkan birokrasi yang profesional. Selanjutnya untuk menghindari pengaruh politis
lebih jauh ke dalam dunia PNS, mereka memandang bahwa penegasan tugas dan kewenangan PNS
wajib dituangkan di dalam suatu kebijakan atau peraturan, termasuk di dalamnya mengatur fungsi
dan kedudukan top leader dalam birokrasi yang memang pejabat politis (Presiden, Gubernur,
Bupati, Menteri). Pejabat politis menurut kedua narasumber tidak bersifat permanen karena
83
mereka dipilih lima tahun sekali sehingga sangat mungkin banyak kepentingan yang menjadi
agenda dalam lima tahun tersebut.
5. Permasalahan Kelima “Budaya Kerja PNS”
Permasalahan eksternal tentu saja tidak dapat diselesaikan semata-mata hanya
dengan menuntaskan persoalan manajemen, akan tetapi persoalan budaya kerja
memerlukan perhatian sangat serius. Menurut pendapat Prof. Dr. Sofian Effendi dari MAP
Universitas Gadjah Mada, perombakan budaya kerja PNS sangatlah rumit sehingga
berbeda dengan dunia kerja swasta karena seluruh sumber daya yang ada akan
mendukung. Di dalam lingkungan birokrasi pemerintahan, perubahan budaya kerja tidak
serius dilakukan. Local wisdom atau kearifan lokal belum mendapatkan porsi yang tepat di
dalam pengelolaan PNS terutama di daerah sehingga tak jarang intervensi politis kerap
dibenturkan dengan budaya lokal.
Berdasarkan masukan narasumber dari Provinsi Yogyakarta, kasus di Yogyakarta
membuktikan bahwa kearifan lokal dalam mengurangi dampak permasalahan eksternal
dalam pengelolaan PNS secara tepat. Dapat dikatakan bahwa secara umum tidak ada
masalah terkait dengan pejabat politis di Yogjakarta karena tidak ada pejabat politis.
Kepatuhan jajaran PNS terhadap budaya kerajaan sangat kental tidak membuat mereka
anti terhadap fit and proper test dalam penempatan pejabat struktural dalam jabatan PNS.
Di dalam tahap akhir test, rapat internal dengan Tim Baperjakat tetap dilakukan tanpa
campur tangan Gubernur dengan didukung data dan fakta yang jelas termasuk track record, kemampuan atau kompetensi dan sebagainya. Dengan demikian, Daerah Istimewa
Yogyakarta meskipun berbentuk kerajaan akan tetapi suasana demokratisnya sangat kuat.
Lain halnya dengan kebanyakan daerah lain, pengaruh kearifan lokal dalam
menanggulangi permasalahan eksternal pengelolaan PNS masih belum diberlakukan.
Intervensi kepentingan masih saling tumpang-tindih dalam lingkungan PNS masih
menolak perubahan sehingga praktek KKN semakin subur di kalangan PNS baik pusat
maupun daerah.
84
BBaabb IIVV
GGrraanndd DDeessiiggnn RReeffoorrmmaassii SSiisstteemm MMaannaajjeemmeenn PPNNSS
ddii IInnddoonneessiiaa
A. Tujuan Grand Design
Untuk mewujudkan PNS yang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan yang
semakin kompleks, perlu disusun suatu grand design reformasi PNS. Tujuannya adalah untuk
memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi PNS selama kurun waktu 2010-2025 supaya
pelaksanaan reformasi PNS dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi
dan berkelanjutan. Grand design ini memuat penyempurnaan dan pembenahan terhadap berbagai
perangkat yang terkait dengan pengelolaan PNS, seperti profil atau sosok PNS yang diinginkan,
key success factor yang bisa menjadi kunci sukses pendorong perubahan, arah kebijakan yang jelas
dan tegas, penguatan posisi kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan PNS, serta manajemen
PNS yang ideal sehingga bisa mewujudkan tujuan reformasi PNS dengan baik.
Kajian yang dilakukan menemukan fakta bahwa permasalahan kepegawaian (PNS) di
Indonesia saat ini sangatlah kompleks, misalnya terkait posisi PNS diantara penyelenggara
pemerintahan. Melihat kondisi tersebut maka Tim perlu melakukan pengelompokan terhadap
penyelenggara pemerintah ini. Selanjutnya dari kajian yang dilakukan terlihat perlunya
pendefinisian ulang terhadap pengertian PNS sebagaimana dijelaskan dibawah ini. Dari penjelasan
tersebut ada perubahan pengertian, yaitu PNS yang dipahami saat ini adalah Pegawai Sipil (PS)
sebagaimana dijelaskan dibawah ini. PNS dipahami sebagai Pegawai Negara Sipil sedangkan PS
dipahami sebagai Pegawai Sipil yang identik dengan pengertian PNS saat ini. Sehingga dalam
tulisan PNS seringkali dipergunakan secara bergantian. Untuk itu perlu dipahami konteksnya,
apabila konteksnya adalah kondisi ideal maka yang dimaksud dengan PNS adalah PS, sementara
apabila konteksnya adalah kondisi existing maka pengertian PNS adalah sama dengan PNS yang
dipahami selama ini. Berikut ini diberikan penjelasan selengkapnya.
B. Profil PNS Gambaran sejarah menunjukkan bahwa ada perubahan yang cukup signifikan terhadap
profil atau sosok PNS di Indonesia. Tri Widodo (2010) menunjukkan gambaran sebagai berikut :
85
(1) pada jaman penjajahan sampai Orde Lama, sosok PNS menunjukkan gambaran sebagai pangreh
praja, yang mempunyai ciri-ciri mengabdi untuk penjajah bukan untuk rakyat, bersifat eksploitatif
dan cenderung minta dilayani bukan melayani. (2) pada jaman Orde Baru sampai saat ini, sosok
PNS menunjukkan gambaran sebagai pamong praja, yang mempunyai ciri-ciri mengerjakan tugas-
tugas pemerintahan, bekerja untuk kepentingan bangsa sendiri, bersifat mengayomi, membina,
membimbing, mengarahkan, menuntun, memberi semangat dan bekerja tanpa pamrih. Tetapi
gambaran tersebut belumlah cukup, menurut Tri Widodo dimasa depan, PNS harus mempunyai
sosok sebagai pamukti praja, yaitu sosok PNS yang bekerja sepenuhnya untuk kepentingan
masyarakat, dunia usaha dan kemajuan wilayah, memberikan pelayanan untuk merangsang
pertumbuhan ekonomi dan menciptakan iklim usaha yang kondusif, bersifat memberdayakan
masyarakat, mengoptimalkan potensi daerah, mendorong daya saing produk lokal,
mengembangkan daerah supaya menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan.
Sementara itu dalam pedoman arah reformasi birokrasi Kementerian PAN dan RB secara
tegas disebutkan bahwa profil PNS yang diharapkan atau ingin diwujudkan adalah sosok PNS yang
berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera. Gambaran
yang lebih ringkas dari profil PNS adalah sebagaimana disampaikan Kepala BKN dalam akronim
PNS (Profesional, Netral dan Sejahtera). Namun demikian tentu bukan sesederhana itu untuk
mendeskripsikan profil PNS Indonesia dan tidak sederhana pula cara mewujudkannya. Beberapa
hal berikut ini perlu dicermati untuk bisa memahami profil PNS.
1. Jenis Pegawai Pemerintah
Apabila dicermati saat ini banyak yang menyamakan semua pegawai negeri dalam satu
kategori, yaitu PNS. Padahal tidak bisa disederhanakan seperti itu. Berikut ini disajikan
berbagai pemikiran terkait dengan pengelompokan pegawai pemerintah, yaitu pegawai yang
bekerja untuk pemerintah dan dibiayai dengan APBN. Berdasarkan kajian yang dilakukan, Tim
memberikan pengertian baru yang diharapkan bisa memberikan ketegasan terhadap definisi
pegawai-pegawai pemerintah sehingga mempertegas posisi, tugas dan fungsi serta
kewenangannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
a. Penyelenggara Negara
Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan yang dimaksud dengan
penyelenggara negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif,
86
atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dari kajian yang dilakukan, Tim menyimpulkan bahwa tidak semua penyelenggara
negara adalah pejabat negara, sehingga Tim memberikan pengertian baru, yaitu unsur
penyelenggara negara yang bertugas dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara yang terdiri dari pejabat negara dan pegawai negara.
Pengertian tersebut memberikan penegasan bahwa ada dua (2) kategori penyelenggara
negara, yaitu pejabat negara dan pegawai negara. Sementara tugas dan tanggung jawabnya
sama, yaitu dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang pada prinsipnya meliputi
fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
b. Pejabat Negara
Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan bahwa penyelenggara negara
adalah pejabat negara. Pengertian tersebut menegaskan bahwa semua penyelenggara adalah
pejabat negara. Padahal belum tentu demikian, tidak semua penyelenggara adalah pejabat
negara. Mencermati hal tersebut maka Tim memberikan pengertian pejabat negara adalah
penyelenggara negara yang menjadi pimpinan dan atau anggota lembaga negara
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan pejabat negara lainnya yang ditetapkan oleh
undang-undang.
c. Pegawai Negara
Sebagaimana dijelaskan didepan, bahwa penyelenggara negara terdiri dari pejabat negara
dan pegawai negara. Pengertian pegawai negara adalah penyelenggara negara yang tidak
menjadi pimpinan atau menjadi anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945 dan pejabat negara lainnya yang ditetapkan oleh undang-undang.
Pengertian ini mempertegas bahwa penyelenggara negara terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu
pejabat negara dan pegawai negara. Pegawai negara sendiri terdiri dari 2 (dua), yaitu
pegawai negara militer (anggota TNI) dan pegawai negara sipil (PNS).
87
d. Pegawai Negara Militer (anggota TNI)
Pengertian anggota TNI adalah pegawai negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk
tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman
bersenjata sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Pegawai Negara Sipil (PNS)
Pengertian Pegawai Negara Sipil (PNS) adalah pegawai negara yang diserahi tugas dalam
jabatan sipil atau diserahi tugas negara lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pegawai Negara Sipil (PNS) terdiri dari anggota POLRI, Pegawai Sipil (PS) dan Pegawai
Tidak Tetap (PTT).
f. Polisi Negara Republik Indonesia (anggota POLRI)
Pengertian anggota POLRI adalah pegawai negara yang diberi tugas dibidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
g. Pegawai Sipil (PS)
Pengertian Pegawai Sipil (PS) adalah pegawai negara yang diberi tugas di bidang
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai peraturan
perundangan yang berlaku. Pengertian PS ini sama dan identik dengan pengertian
PNS yang dipahami saat ini.
Pegawai Sipil terdiri dari pegawai kementerian, pegawai lembaga non kementerian,
pegawai non militer yang bekerja di institusi TNI, pegawai non polisi yang bekerja di
institusi POLRI, pegawai pemerintah daerah, pegawai sekretariat lembaga negara,
sekretariat lembaga non struktural, pegawai Badan Layanan Umum (BLU) dan
pegawai sipil lainnya yang dipekerjakan dan atau diperbantukan di instansi lainnya.
h. Pegawai Tidak Tetap (PTT)
Pengertian Pegawai Tidak Tetap (PTT) adalah pegawai negara yang bekerja dalam
jangka waktu tertentu sesuai kontraknya dan diangkat oleh pejabat yang berwenang
sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
88
Dengan adanya pengelompokan ini diharapkan masing-masing penyelenggara
bisa fokus pada tugas dan fungsi serta tanggung jawab masing-masing. Dalam hal
kebijakan atau peraturan pengelolaan pun dirasakan akan lebih mudah karena masing-
masing jenis penyelenggara negara mempunyai hak dan kewajiban serta model
pengelolaan yang berbeda.
2. Jumlah dan Komposisi PNS
Menurut data yang dipublikasikan, pada bulan Mei 2010, jumlah PNS adalah sebesar
4.732.472 orang. Sementara jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus 2010 diperkirakan
sebesar 235 juta jiwa. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa perbandingan PNS dengan
penduduk adalah kurang lebih 1 : 50. Dilihat dari jumlahnya, tersebut dirasakan masih kurang
karena melihat luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk Indonesia yang harus
mendapat pelayanan. Pendapat ini didukung oleh Prijono Tjiptoherijanto dan juga Ryaas
Rasyid yang mengatakan bahwa idealnya pegawai negeri (birokrasi) bisa mencapai empat
hingga lima persen dari jumlah penduduk agar pelayanan kepada masyarakat bisa maksimal
(Tim Peneliti Puslitbang BKN). Apabila mengikuti gambaran ideal tersebut maka dibutuhkan
jumlah PNS sebanyak 9 (sembilan) juta sampai 11 (sebelas) juta orang. Dua sampai tiga kali lipat
dari PNS yang ada saat ini.
Akan tetapi di lapangan, Tim menemukan bahwa di PNS terjadi fenomena under
emplyoment (pengangguran). Hal ini disebabkan karena begitu banyaknya pegawai yang ada
sementara tugas dan pekerjaan tidak ada. Akan tetapi Tim juga menemukan adanya bentuk
kekurangan pegawai, sehingga pegawai harus kerja over time. Dari kondisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa permasalahan utamanya bukanlah pada jumlahnya tetapi lebih pada
distribusi yang tidak merata. Distribusi ini meliputi antar sektor, antar instansi, antar daerah
maupun secara nasional. Selain itu tidak tepatnya proses perencanaan kebutuhan pegawai juga
memegang peranan penting dalam menetapkan jumlah pegawai yang sesuai beban kerja nyata
organisasinya.
Selain jumlah, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam profil PNS adalah komposisinya.
Pengertian komposisi disini tidak hanya mencakup jenis kelamin atau tingkat pendidikan saja
melainkan mencakup semua hal yang menunjukkan kualifikasi pegawai. Komposisi harus
mencakup hal-hal yang bisa menggambarkan kompetensi dan potensi yang dimiliki seorang
PNS. Sebagai contoh, misalnya pendidikan yang pernah diikuti baik struktural maupun teknis,
89
track record jabatan yang pernah dijabat dan pengalaman kerja yang dimiliki. Dan yang paling
utama adalah catatan kinerjanya atau prestasi kerjanya.
Untuk bisa mendukung hal ini maka penyusunan database kepegawaian yang selalu di-
update menjadi suatu kebutuhan yang pokok. Database pegawai harus dibangun dengan sistem
yang sama, sebagaimana saat ini sedang dibangun oleh BKN dengan SAPK (sistem aplikasi
pelayanan kepegawaian). SAPK dibangun oleh semua instansi, baik di tingkat pusat maupun
daerah dan harus mengikuti standar yang ditetapkan oleh BKN sebagai instansi yang
bertanggung jawab dalam administrasi kepegawaian. Sistem yang dibangun dan dikembangkan
haruslah sama dan on line atau terhubung dengan semua jaringan.
C. Key Success Factor Reformasi PNS Proses percepatan pelaksanaan reformasi PNS tentunya tidak akan terlepas dari sejumlah
key success factor (faktor kunci sukses) dalam proses pelaksanaannya. Dengan adanya faktor kunci
sukses ini diharapkan mampu menjadi pendorong terjadinya proses pelaksanaan reformasi PNS.
Faktor kunci sukses ini harus diwujudkan terlebih dahulu atau bisa juga disebut sebagai prasyarat
(pre requisit condition) yang harus disiapkan terlebih dahulu untuk mendukung pelaksanaan
reformasi sistem manajemen PNS.
Sejumlah faktor kunci sukses yang diharapkan mampu mendorong pelaksanaan reformasi
PNS adalah sebagai berikut :
1. Strong Leadership
Salah satu aspek pendorong perubahan selalu dimulai dan berakhir dengan faktor
manusia. Demikian pula untuk perubahan Manajemen Sumber Daya Aparatur yang akan
dilakukan harus terlebih dahulu dimulai dari pucuk pimpinan tertinggi. Implementasi
pelaksanaan demokrasi menghasilkan suatu pimpinan yang terpilih secara demokratis sehingga
diharapkan mampu sebagai pengungkit utama dalam menjalankan suatu perubahan.
Kriteria yang harus dimiliki oleh pimpinan untuk menjadi seorang pemimpin perubahan
adalah : pertama, pemimpin harus mampu membuat pengikutnya mengagumi, menghormati,
dan sekaligus mempercayainya, dimensi pertama disebut idealized influence (pengaruh ideal).
Kedua, pemimpin harus mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap keinginan
bawahan (masyarakatnya), mengimplementasikan komitmennya terhadap perwujudan visi,
90
misi yang telah dicanangkan, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui
penumbuhan antusiasme dan optimisme. Kriteria kedua ini disebut inspirational motivational
(motivasi inspirasi). Ketiga, pemimpin harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan
solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi, dan memberikan
motivasi ke bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan
tugas-tugas organisasi. Kriteria ketiga ini disebut intelellectual stimulation (stimulasi
intelektual), sedangkan kriteria keempat adalah individualized consideration (konsiderasi
individu), dalam dimensi ini pemimpin mau mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap
masukan-masukan yang diberikan oleh bawahan dan secara khusus memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan bawahan dalam proses pengembangan karir.
Keempat kriteria inilah yang harus dimiliki oleh pimpinan yang dimulai dari tingkat
yang paling tinggi, yaitu Kepala Negara sampai pada pimpinan eselon yang paling rendah di
tingkat Kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah.
2. Political Will
Aspek kemauan politik merupakan salah satu faktor kunci sukses yang bisa
mendukung terlaksananya Reformasi PNS. Kemauan politik merupakan dukungan
yang memiliki dampak yang positif bagi terlaksananya Reformasi PNS. Kemauan politik
untuk mendukung terlaksananya reformasi PNS dapt berasal dari sejumlah stake holder
seperti politisi, masyarakat, dan pemerintah.
Usulan untuk melaksanakan reformasi PNS harus disosialisasikan dan
didiskusikan di lingkungan politisi, hal ini disebabkan politisi memegang peranan yang
sangat penting bagi terbitnya sejumlah peraturan yang terkait dengan reformasi PNS.
Percepatan penerbitan peraturan perundang-undangan yang dilakukan di lingkungan
parlemen terkait dengan implementasi reformasi PNS akan mampu mengawal
pelaksanaan reformasi PNS sesuai dengan yang direncanakan. Dengan adanya
komunikasi yang intensif dan efektif antara pihak eksekutif dan legislative dalam
menyusun kebijakan/peraturan yang terkait reformasi PNS merupakan dua sisi mata
uang yang saling mendukung bagi terlaksananya reformasi PNS. Namun selain itu dukungan politik juga dapat berasal dari masyarakat, dukungan ini
dapat berasal dari organisasi masyarakat serta sejumlah lembaga-lembaga swadaya masyarakat
untuk mendorong terjadinya proses reformasi PNS. Dukungan yang diberikan oleh masyarakat
memiliki sifat yang membangun bagi perbaikan PNS di masa mendatang
91
3. Civil Service Commission
Pembentukan Civil Service Comission (Komisi Pegawai Sipil) merupakan salah satu
amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, yang disebut sebagai Komisi Kepegawaian
Negara (KKN). Karena KKN ini fokus pada pengelolaan Pegawai Sipil (PS) maka nama yang
lebih tepat adalah Komisi Kepegawaian Sipil (KKS). KKS dibentuk sebagai suatu lembaga
independen yang memiliki otoritas pengelolaan dalam pelaksanaan reformasi PNS. Anggota
KKS dipilih secara terbuka dan diuji melalui fit and proper test dan tidak memegang jabatan di
instansi lain. Pemilihan anggota KKS dilakukan oleh Tim yang dibentuk oleh Presiden. KKS
dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan masa kerja selama 5 (lima) tahun, serta Ketua
dan Wakil Ketua KKS dipilih secara aklamasi oleh masing-masing anggotanya. Anggota KKS
terdiri dari perwakilan dari unsur pemerintah, praktisi/swasta, tokoh masyarakat, pakar dan
Pegawai Sipil aktif. Keberadaan KKS ini diharapkan tidak akan menimbulkan permasalahan
dengan otoritas pengelolaan kepegawaian PNS yang sudah ada.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan
RB) bertugas bertanggungjawab dalam penetapan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan
Pegawai Sipil. Lembaga Administrasi Negara (LAN) bertanggungjawab dalam kegiatan
pengkajian, penelitian dan pengembangan, pembinaan dan penyelenggaraan diklat bagi
Penyelenggara Negara. Badan Kepegawaian Negara (BKN) bertanggungjawab dalam kegiatan
pembinaan pengelolaan dan administrasi kepegawaian sipil. Sementara Komisi Kepegawaian
Sipil (KKS) bertugas membantu Presiden memberikan pertimbangan dibidang kebijakan
kepegawaian khususnya dalam penetapan formasi nasional dan promosi untuk pejabat
struktural eselon I serta memberikan saran dan arah kebijakan strategis dibidang kepegawaian
sipil, menjaga netralitas Pegawai Sipil dan menjaga bahwa sistem merit berjalan dilingkungan
Pegawai Sipil.
4. Netralitas PNS
Netralitas PNS diperlukan sebagai upaya depolitisasi PNS terhadap kepentingan-
kepentingan politis tertentu yang ingin memanfaatkan PNS dan birokrasi bagi kepentingan
politik dan partai politik dari pejabat politik yang ada dalam birokrasi. Netralitas PNS menjadi
sangat penting untuk menjamin profesionalisme PNS dan stabilitas birokrasi dari pengaruh
politis. Profesionalisme PNS didefinisikan sebagai PNS yang keberadaanya didasarkan pada asas
92
yang menunjukkan bahwa pengelolaan pegawai negara didasarkan pada kompetensi,
profesionalisme dan prestasi kerja.
Merujuk pada definisi diatas, maka jika asas ini ditegakkan, maka dapat dihindari banyak
kasus tentang rentannya posisi PNS terhadap pengaruh politis dari pejabat politis yang ada
dalam birokrasi. Seperti misalnya tidak berdayanya Sekretaris Daerah dalam menolak
keputusan daerah yang memindahkan atau memutasikannya tanpa berdasarkan alasan
kebijakan kepegawaian yang jelas. Selain itu juga, ketidakberdayaan sekretaris daerah dan
pejabat kepegawaian lainnya (jika tidak dilibatkan) didalam menentukan penempatan orang
bagi jabatan strategis seperti kepala dinas-kepala dinas di daerah dan hal-hal lainnya yang
terkait dengan kebijakan dalam pengelolaan PNS yang ada di daerah.
Idealnya hal-hal diatas dapat dihindari jika netralitas PNS dapat benar-benar ditegakkan
sehingga PNS dapat tetap bekerja dalam tugas dan fungsinya tanpa harus khawatir akan
dipolitisasi oleh pejabat politis karena adanya perlindungan terhadap fungsi dan kedudukannya
yang semata-mata didasarkan pada kinerjanya dan bukan kepada keputusan pribadi pimpinan
politis. Jaminan tentang profesionalime PNS dalam birokrasi diperlukan sebagai upaya
perlindungan akan berjalannya kinerja PNS secara profesional, untuk itu seorang PNS yang
netral adalah pegawai yang netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta
berkewajiban memberdayakan mayarakat. Untuk menjamin netralitas sebagaimana dimaksud
diatas, maka PNS dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik.
5. Perubahan Peraturan
Salah satu faktor kunci sukses yang tidak boleh ditinggalkan adalah dilakukannya
perubahan peraturan yang terkait dengan pengelolaan PNS. Sebagaimana diketahui dari hasil
kajian yang dilakukan oleh LAN pada tahun 2005 tentang Efektivitas Peraturan di Bidang
Kepegawaian, ditemukan berbagai kelemahan yang terkait dengan peraturan tersebut.
Peraturan yang terkait dengan pengelolaan kepegawaian baik Undang-Undang maupun
Peraturan pelaksanaannya harus dilakukan revisi, diganti, diubah atau malah dicabut.
Peraturan-peraturan tersebut ada yang sudah tidak relevan lagi pada saat ini, overlapping,
mengatur substansi yang sama dan mengandung persepsi ganda. Kondisi tersebut apabila
dibiarkan akan menimbulkan chaos atau kekacauan dalam pengelolaan kepegawaian. Maka
perubahan peraturan menjadi suatu kebutuhan yang mutlak dalam reformasi pengelolaan PNS.
93
6. Law Enforcement Salah satu problem krusial dalam manajemen PNS adalah penegakan hukum yang masih
lemah terkait dengan penerapan sanksi yang harus dikenakan kepada PNS jika melanggar
aturan dan kode etik PNS. Kondisi ini selanjutnya mempengaruhi produktivitas PNS dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Pada tataran yang lebih nyata, lemahnya penegakan hukum
telah ikut andil dalam membentuk buruknya nilai dan budaya kerja PNS.
Stigma negatif yang selama ini disandang oleh PNS jelas diakibatkan oleh lemahnya law
enforcement terhadap ketidakdisiplinan PNS, pelanggaran kode etik, penyalahgunaan
wewenang, dan tindakan negatif lain yang merugikan negara dan publik. Penegakan law
enforcement dapat dilakukan melalui review terhadap peraturan perundangan yang berkaitan
dengan disiplin dan kode etik pegawai apakah masih relevan dengan kondisi dan kebutuhan
yang ada, dan komitmen untuk menjalankan peraturan perundangan yang ada.
7. Penerapan Manajemen Kinerja
Aspek yang memiliki pengaruh yang sedemikian besar untuk membentuk PNS
yang profesional adalah kinerja yang dihasilkan oleh masing-masing individu PNS.
Fakta yang ada adalah rendahnya kinerja PNS sehingga kegusaran ini diungkapkan oleh
MenPAN Taufik Efendy bahwa hampir 55% kinerja yang dihasilkan rendah. Maka
salah satu solusi yang ditawarkan adalah penerapan manajemen kinerja individu, yaitu
setiap individu PNS memilki target kinerja yang jelas untuk dipenuhi pada setiap
akhir tahun sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Implikasi dari implementasi
manajemen kinerja individu adalah pemberian remunerasi ke setiap individu PNS.
Pemberian remunerasi ini akan adil dengan besaran secara kuantitas terhadap kinerja
yang dihasilkan oleh masing-masing individu PNS. Dengan demikian diharapkan
individu PNS akan selalu terpicu untuk meningkatkan kinerjanya dikarenakan terkait
dengan remunerasi yang diberikan.
Agar implementasi manajemen kinerja dapat dipatuhi oleh setiap individu PNS
maka pemerintah harus menyusun Undang-Undang tentang Manajemen Kinerja
Individu PNS dengan tujuan adanya kepatuhan dari setiap penyelenggara
pemerintahan untuk melaksanakan manajemen kinerja dalam setiap melaksanakan
tugas dan tanggungjawabnya. Substansi yang mendasar dari pelaksanaan manajemen
kinerja yaitu setiap individu PNS harus memiliki target kinerja yang harus dicapai
sesuai kesepakatan dengan atasannya. Hasil capaian akhir tahun itulah merupakan
kinerja yang dihasilkan oleh setiap individu PNS.
94
Dengan adanya implementasi manajemen kinerja yang harus dimilki oleh setiap individu
PNS maka diharapkan akan dapat memicu terjadi peningkatan kinerja dari masing-masing
individu PNS. Peningkatan kinerja ini diharapkan juga mampu memberikan dampak yang
positif bagi unit maupun organisasi dimana setiap individu PNS melaksanakan tugas dan
kewajibannya.
8. Moratorium Rekrutmen PNS
Berdasarkan data BKN yang dipublikasikan per Mei 2010, jumlah PNS di
Indonesia sebesar 4.732.472 orang sedangkan jumlah penduduknya berdasarkan sensus
tahun 2010 diperkirakan sebesar 235 juta jiwa, sehingga perbandingan PNS dengan
penduduk adalah kuarnag lebih adalah 1 : 50. Berdasarkan data tersebut terlihat tidak
ada masalah yang serius, bahkan ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa
perbandingan PNS dengan penduduk kurang lebih 4% - 5%. Artinya jumlah tersebut
masih sangat kurang.
Akan tetapi ternyata di lapangan ditemukan bahwa distribusi PNS baik dari aspek
kualitas maupun kuantitas belum dapat dipetakan dengan baik. Kondisi ini berdampak
ada instansi yang kelebihan pegawai, terlihat dengan banyaknya peagwai yang
menganggur tetapi disisi lain ada instansi yang kekurangan pegawai terlihat dari
seringnya pegawai kerja lembur. Sementara itu rekrutmen pegawai terus dilakukan
bahkan semakin meningkat dari tahun ke tahun bahkan dilakukan dengan melakukan
pengangkatan tenaga honorer daerah menjadi PNS. Kondisi ini tentunya tidak bisa
dibiarkan terus menerus, pegawai harus bisa didistribusikan secara merata, baik secara
kualitas maupun kuantitas. Pegawai perlu ditata ulang, mencakup kegiatan mutasi,
promosi, penempatan sesuai dnegan tuntutan kompetensi organisasi dan kompetensi
yang dimiliki pegawai. Agar penataan ulang PNS bisa maksimal dilakukan maka perlu adanya kesepakatan
bersama dengan semua pihak untuk melakukan penghentian sementara (moratorium)
pelaksanaan rekruitmen PNS. Selama masa moratorium ini maka dilakukan penataan ulang
terhadap pegawai yang ada secara maksimal.
D. Arah Penyempurnaan Kebijakan Pengelolaan PNS Reformasi pengelolaan PNS harus sejalan dengan reformasi bidang politik yang sudah
berjalan sejak 1998. Reformasi bidang politik difokuskan pada pembenahan sistem pemerintahan,
yaitu merubah sistem pemerintahan yang cenderung sentralistik ke desentralistik dan merubah
sistem politik yang lebih demokratis. Bisa dikatakan bahwa reformasi bidang politik sudah
95
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kehidupan politik menjadi semakin demokratis
dengan diakuinya suara masyarakat dalam pemilihan pimpinan negara/daerah secara langsung
merupakan contoh keberhasilan reformasi bidang politik. Untuk mempertahankan keberhasilan
tersebut, reformasi dalam pengelolaan kepegawaian (PNS) sebagai soko guru pemerintahan
nampaknya perlu mendapat perhatian lebih. Karena untuk mendukung reformasi secara nasional
diperlukan birokrasi penyelenggara pemerintahan yang kompeten dan dikelola dengan baik.
Secara kebijakan, reformasi pengelolaan PNS tidak bisa dipisahkan dengan reformasi
birokrasi yang merupakan payungnya. Maka kedua reformasi ini harus berjalan selaras dan
selurus. Reformasi birokrasi sendiri bukanlah merupakan sebuah proses yang mudah dan
sederhana karena berkaitan dengan ribuan proses tugas dan fungsi pemerintahan, melibatkan
jutaan manusia dan membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Reformasi birokrasi memerlukan
terobosan baru (innovation breakthrough) dengan langkah-langkah secara bertahap, konkrit,
realistis, sungguh-sungguh, bersifat thinking out of the box dan adanya a new paradigm shift serta
upaya yang luar biasa (business not as usual). Reformasi birokrasi harus memiliki sebuah rencana
besar yang diuraikan dalam tahapan-tahapan pelaksanaan yang jelas, visioner, menyeluruh, taktis,
dan terukur. Rencana besar dan tahapan operasional inilah yang disebut dengan grand design dan
langkah-langkahnya disebut dengan road map reformasi birokrasi.
Arahan kebijakan reformasi birokrasi dapat dilihat dari beberapa dasar hukum antara lain
sebagai berikut :
a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJM Tahun 2005 - 2025), menyebutkan bahwa : pembangunan
aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme
aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di
daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya.
b. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2010 - 2014, menyebutkan : dalam rangka mendukung terwujudnya
Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan, kebijakan pembangunan di bidang
hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tatakelola pemerintahan yang baik. Salah satu
fokus prioritas pelaksanaannya adalah melalui : pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Dalam RPJMN 2010 - 2014 ditetapkan bahwa reformasi birokrasi sebagai Prioritas I
pembangunan nasional. Secara rinci substansi inti dari reformasi birokrasi dan tata kelola yang
menjadi Prioritas I diuraikan sebagai barikut :
96
1. Struktur : konsolidasi struktural dan peningkatan kapasitas kementerian/lembaga yang
menangani aparatur negara, yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (PAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Lembaga
Administrasi Negara (LAN) pada 2010; restrukturisasi lembaga pemerintah lainnya,
seperti dibidang keberdayaan UMKM, pengelolaan energi pemanfaatan sumber daya
kelautan, restrukturisasi BUMN, hingga pemanfaatan tanah dan penataan ruang bagi
kepentingan rakyat banyak selambat-lambatnya 2014;
2. Otonomi daerah : penataan otonomi daerah melalui : 1) penghentian/pembatasan
pemekaran wilayah; 2) peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana
perimbangan daerah; dan 3) penyempurnaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;
3. Sumber daya manusia : penyempurnaan pengelolaan PNS yang meliputi sistem
rekrutmen, pendidikan, penempatan, promosi, dan mutasi PNS secara terpusat
selambat-lambatnya 2011;
4. Regulasi : percepatan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangundangan di
tingkat pusat dan daerah hingga tercapai keselarasan arah dalam implementasi
pembangunan, diantaranya penyelesaian kajian 12.000 peraturan daerah selambat-
lambatnya 2011;
5. Sinergi antara pusat dan daerah : penetapan dan penerapan sistem Indikator Kinerja
Utama Pelayanan Publik yang selaras antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
6. Penegakan hukum : peningkatan integrasi dan integritas penerapan dan penegakan
hukum oleh seluruh lembaga dan aparat hukum
7. Data kependudukan : penetapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan
pengembangan Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK) dengan
aplikasi pertama pada kartu tanda penduduk selambat-lambatnya pada 2011. Sementara terkait dengan reformasi pengelolaan PNS, target yang ingin dicapai adalah
aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera.
Untuk mencapai target tersebut diperlukan langkah-langkah perubahan yang secara garis besar
mencakup :
a. Penataan kembali sistem rekruitmen. Sistem rekruitmen menjadi kunci masuknya
calon-calon pegawai unggul yang akan menjadi kunci peningkatan kinerja birokrasi.
Sistem rekruitmen harus didasarkan pada sistem merit. Oleh karena itu, sistem
rekuritmen harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
1). Seleksi pegawai harus dilakukan dengan proses seleksi yang kompetitif;
2). Seleksi terhadap pegawai harus dilakukan dalam kaitan dengan kebutuhan
kualifikasi dan kualitas pekerjaan yang dibutuhkan;
97
3). Seleksi juga harus dikaitkan dengan outcome dari pekerjaan yang nantinya akan
dilaksanakan oleh calon pegawai yang terpilih;
4). Seleksi didasarkan atas hasil penilaian terhadap calon dengan ketiga kriteria di atas. Dengan diterapkannya sistem merit, diharapkan tidak lagi ada spoil system, yang cenderung
lebih pada pendekatan kekerabatan, kolusi dan tidak berdasarkan kebutuhan nyata organisasi.
Sistem rekrutmen harus dibuat terbuka untuk jabatan-jabatan tertentu yang kebijakannya
ditetapkan oleh masing-masing Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah. Rekrutmen ini
akan membuka kesempatan bagi profesional dari kalangan luar birokrasi untuk ikut serta
memberikan kontribusinya pada kemajuan birokrasi.
b. Penataan sistem penggajian. Salah satu aspek penting untuk menarik calon-calon
pegawai berkualitas adalah adanya sistem penggajian yang menarik. Sistem yang saat
ini diterapkan, cenderung mengecilkan gaji pokok dan memperbesar sumber-sumber
penghasilan lainnya (tunjangan). Sistem penggajian harus dikaitkan dengan beban kerja
dan kinerja. Pegawai yang memiliki beban kerja yang lebih berat tentunya harus
memperoleh penghasilan yang lebih besar pula, dan mereka yang berkinerja lebih
tinggi harus memperoleh penghasilan yang lebih besar pula.
c. Penataan sistem pensiun. Hal lain yang juga harus menjadi perhatian adalah sistem
pensiun yang saat ini diterapkan. Perlu perubahan sistem pensiun yang komprehensif
yang meliputi kelembagaan maupun sistemnya.
d. Job analysis dan job evaluation. Job analysis dan job evaluation memiliki arti yang
sangat penting dalam menentukan rating, remunerasi dan klasifikasi jabatan. Job analysis dan job evaluation sangat diperlukan dalam kaitan dengan penerapan merit
sistem dalam penggajian. Dalam kaitan itu juga sangat diperlukan ketika dilakukan
proses penilaian kebutuhan pegawai disertai dengan klasifikasi/kualifikasi
kebutuhannya.
e. Penilaian kinerja pegawai. Penerapan sistem merit dalam penggajian perlu didukung
dengan penerapan sistem penilaian kinerja yang berkorelasi dengan kinerja yang
dihasilkannya. Harus ada kaitan antara apa yang dihasilkan oleh seorang pegawai
dengan apa yang ingin dicapai oleh unit kerja atau organisasinya.
f. Pendidikan dan pelatihan pegawai. Job analysis dan job evaluation pada dasarnya akan
menghasilkan beban kerja dan kualifikasi (standar kompetensi) posisi tertentu dalam
organisasi. Dilain pihak keduanya juga akan memberikan informasi yang sangat
bermanfaat bagi upaya untuk merancang kebutuhan diklat yang diperlukan bagi
seorang pegawai yang akan menduduki jabatan tersebut. Karena itu, sistem diklat harus
98
dirancang sesuai dengan kebutuhan jabatan dan bukan melulu digeneralisasi secara
umum atas dasar kompetensi yang generik.
g. Etika. Meskipun sudah terdapat aturan yang memberikan batasan bagi setiap PNS
untuk berperilaku sesuai dengan etika, namun demikian penegakan etika perlu lebih
ditekankan. Harus ada punishment serta reward yang jelas bagi mereka yang melanggar
etika ataupun mendorong penegakan etika.
h. Perubahan pola pikir dan budaya kerja. Aspek perubahan yang paling sulit dilakukan
adalah aspek yang terkait dengan perilaku pegawai. Untuk merubah pola pikir dan
budaya kerja yang dipandang kurang mendukung birokrasi untuk lebih dapat
berkinerja, diperlukan upaya jangka panjang yang secara terus menerus dan konsisten.
Karena itu, manajemen PNS juga harus mampu membawa setiap pegawai untuk
berperilaku menurut pola pikir dan budaya kerja yang diinginkan oleh organisasi
birokrasi. Perilaku yang diinginkan adalah : profesional, berintegritas tinggi, menjadi
pelayan masyarakat dan abdi negara.
E. Penguatan dan Reposisi Kelembagaan dalam Pengelolaan PNS Kajian Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2004 tentang Efektivitas Peraturan di
Bidang Kepegawaian menunjukkan bahwa dalam pengelolaan kepegawaan (PNS) di Indonesia
diindikasikan terjadi tumpang tindih (overlapping) dalam pelaksanaan tugas dan fungsi serta
kewenangan dari instansi-instansi yang terlibat didalamnya khususnya ditingkat pusat. Kondisi ini
berdampak pada kebijakan yang dikeluarkan oleh satu instansi seringkali tumpang-tindih dengan
kebijakan yang dikeluarkan oleh instansi lainnya. Artinya belum terdapat pembagian tugas dan
kewenangan yang jelas antar instansi dalam perumusan kebijakan pengelolaan PNS sehingga
kebijakan yang diterbitkan kurang dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Dalam struktur penataan kelembagaan instansi pemerintah pusat perlu dilakukan
konsolidasi struktural dan peningkatan kapasitas kementerian/lembaga yang menangani aparatur
negara. Hal ini dapat dilakukan melalui restrukturisasi organisasi dan tata kerja instansi, yaitu
dengan melakukan rightsizing yang didasarkan pada analisis terhadap visi, misi, strategi serta
tupoksi masing-masing instansi, sehingga diharapkan tercipta struktur kelembagaan yang
proporsional, efektif dan efisien. Penataan kelembagaan pengelola PNS masa depan setidaknya
memberikan arah dan tujuan yang jelas bagi terselenggaranya kepemerintahan yang baik (good
governance) khususnya reformasi pengelolaan PNS.
Arah reposisi kelembagaan dan konsolidasi struktural kapasitas kementerian/lembaga yang
menangani aparatur negara diharapkan dapat menghilangkan adanya tumpang-tindih
99
(overlapping) dalam pengelolaan PNS selama ini, sehingga tercipta kelembagaan yang adaptif,
inovatif, efektif dan efisien. Ada empat instansi yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan
kepegawaian (PNS) di tingkat pusat, yaitu KPS (Komisi Pegawai Sipil), Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Lembaga
Administrasi Negara (LAN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan
RB) bertugas bertanggungjawab dalam penetapan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan
Pegawai Sipil. Lembaga Administrasi Negara (LAN) bertanggungjawab dalam kegiatan pengkajian,
penelitian dan pengembangan, pembinaan dan penyelenggaraan diklat bagi Penyelenggara Negara.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) bertanggungjawab dalam kegiatan pembinaan pengelolaan dan
administrasi kepegawaian sipil. Sementara Komisi Kepegawaian Sipil (KKS) bertugas membantu
Presiden memberikan pertimbangan dibidang kebijakan kepegawaian khususnya dalam penetapan
formasi nasional dan promosi untuk pejabat struktural eselon I serta memberikan saran dan arah
kebijakan strategis dibidang kepegawaian sipil. Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi (KIS)
diantara keempat instansi ini harus kuat dan terus menerus supaya kebijakan yang diambil satu
dan padu, implementasinya juga satu dan padu sehingga output yang diharapkan dari kebijakan
bisa maksimal.
F. Manajemen PNS yang Ideal Sesuai dengan kebutuhan terhadap penataan sistem manajemen PNS yang sejalan dengan
grand design reformasi birokrasi nasional, maka perubahan sistem manajemen PNS diarahkan
sebagai berikut :
1. Rencana Induk (master plan) PNS
Agar dapat memberikan hasil yang optimal, pengelolaan PNS perlu dilakukan secara
terencana dan terukur. Rencana induk atau master plan PNS adalah perencanaan yang
menyeluruh terhadap pengelolaan PNS yang dilakukan secara nasional baik dalam jangka
panjang (25 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (tahunan). Perencanaan
induk ini merupakan rujukan bagi seluruh kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam
menjalankan praktik-praktik manajemen PNS. Sebagai rencana induk, dapat diketahui arah
kebijakan dan strategi pengelolaan PNS kedepan sehingga dapat membentuk PNS yang sesuai
dengan tujuan reformasi birokrasi, yaitu : membentuk birokrasi profesional, dengan
100
karakteristik : adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani
publik, netral, berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.
Rencana induk PNS ini berfungsi : (1) sebagai acuan bagi seluruh
kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam menjalankan praktik-praktik manajemen PNS;
(2) alat (tools) dalam menciptakan keselarasan dan sinkronisasi kebijakan pengelolaan
kepegawaian secara nasional dan (3) pengendalian terhadap keseimbangan jumlah, kualifikasi,
ketersediaan anggaran bagi PNS. Rencana induk PNS jangka panjang, menengah dan jangka
pendek disusun oleh pemerintah dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang
disampaikan oleh DPR, DPD dan Pemerintah Daerah.
Pada dasarnya rencana induk ini mencakup antara lain :
a. Kebijakan pokok mengenai pengelolaan PNS secara nasional yang diselaraskan dengan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
b. Kualitas dan kompetensi CPNS yang dibutuhkan menurut kementerian/lembaga/pemerintah
daerah.
c. Jumlah yang dibutuhkan menurut kementerian/lembaga/ pemerintah daerah.
d. Jenis dan bentuk peningkatan kompetensi yang dibutuhkan.
e. Jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan.
f. Jumlah kebutuhan anggaran untuk gaji, tunjangan, pengembangan pegawai, pensiun dan
lain-lain.
2. Rekrutmen dan Seleksi
Rekrutmen calon pegawai negeri sipil dilakukan setelah rencana induk PNS disusun.
Dengan demikian, kebijakan rekrutmen didasarkan pada analisis yang lebih rasional dan benar-
benar sesuai kebutuhan. Rekrutmen dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip :
a. Selektif, rekrutmen dan seleksi PNS dilakukan secara sangat selektif karena yang akan
dijaring adalah calon-calon PNS yang memiliki kompetensi tinggi, tidak sekedar orang-
orang yang mencari pekerjaan sebagai PNS. Disamping untuk mendapatkan tenaga-tenaga
yang berkualitas – baik pengetahuan, keterampilan maupun moralitasnya – selektifitas
penerimaan CPNS juga bertujuan untuk (a) mengefisienkan biaya pengembangan pegawai di
kemudian hari, (b) mengurangi kemungkinan munculnya PNS yang memiliki low morale
termasuk trouble maker. b. Merit, calon yang terjaring adalah mereka yang telah membuktikan dirinya mampu
melewati serangkaian ujian dan seleksi. Mekanisme pelaksanaan ujian dan seleksi dirancang
sedemikian rupa sehingga menutup peluang bagi praktik-praktik nepotisme dan kolusi.
101
Penerimaan CPNS berdasarkan merit mengandung pengertian bahwa seseorang menjadi
CPNS adalah karena semata-mata berkat usaha dan kemampuan yang bersangkutan tanpa
ada bantuan atau kemudahan yang diberikan oleh orang lain.
c. Transparan, seluruh proses seleksi dilaksanakan secara transparan. Pengumuman CPNS yang
lulus harus disertai dengan nilai akhir hasil ujian setiap mata ujian dan hasil tes potensi
akademik, psikotes dan wawancara. Melalui transparansi proses rekrutmen dan seleksi
CPNS baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
d. Memiliki Kesempatan yang Sama (Equal Opportunity), setiap warga negara Indonesia yang
telah memenuhi syarat memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi CPNS tanpa melihat
suku, jenis kelamin, agama, latar belakang budaya dan tempat KTP dikeluarkan. Prinsip ini
perlu ditekankan untuk menjamin bahwa birokrasi dibangun secara bersama-bersama dari
berbagai komponen anak bangsa.
Materi seleksi CPNS terdiri dari 5 (lima) tahap, yaitu : seleksi tahap I terdiri dari : bahasa
Indonesia, bahasa Inggris dan pengetahuan umum; seleksi tahap II terdiri dari : tes potensi
akademik dan pengetahuan substansi; seleksi tahap III terdiri dari : tes psikologi dan seleksi
tahap IV terdiri dari : wawancara I (dengan penyelenggara seleksi) dan wawancara II (dengan
user). Seleksi tahap terakhir (tahap V) adalah ujian menulis makalah, yaitu setiap CPNS
diwajibkan menulis makalah dengan tema tertentu. Peserta yang berhak untuk mengikuti
seleksi tahap II adalah mereka yang lulus tahap I. Dan yang mengikuti seleksi tahap III adalah
mereka yang lulus tahap II. Demikian seterusnya.
Untuk setiap calon yang akan diterima menjadi CPNS telah disiapkan uraian tugas (job
description) oleh Bagian/Biro Kepegawaian/Badan Kepegawaian Daerah sesuai dengan tugas
yang akan diemban. Hal ini dimaksudkan agar setiap CPNS yang diterima mengetahui secara
lebih jelas ruang lingkup, bentuk, volume tugas/pekerjaan dan tanggung jawab yang akan
diembannya. Untuk menjaga objektivitas seleksi, kementerian/lembaga/pemerintah daerah
tidak diperkenankan melaksanakan sendiri proses seleksi CPNS. Untuk mencegah terjadinya
KKN dalam proses rekrutmen dan seleksi ini, maka kedepan prosesnya menggunakan
pendekatan e-recruitment dan e-exam. Dengan pendekatan ini diharapkan kontak langsung
antara pelamar dan penyelenggara bisa diminimalisir sehingga memperkecil kemungkinan
terjadinya KKN.
3. Sistem Karier
Kebijakan karier PNS di Indonesia dapat dikatakan belum memiliki pola dasar yang kuat.
Kondisi ini menyebabkan pembinaan karier PNS yang selama ini dilakukan tidak mampu
102
mewujudkan profesionalisme PNS di dalam birokrasi. Saat ini karier PNS secara baku terdiri
dari dua jalur yaitu melalui jalur struktural dan jalur fungsional. Dalam implementasinya jalur
zig-zag dimana seorang PNS bisa pindah ke jalur lain juga dipraktikkan sesuai dengan
kebutuhan organisasi. Pada dasarnya hal ini tidak menimbulkan masalah serius didalam
organisasi sepanjang kompetensi pegawai bersangkutan memenuhi standar yang dibutuhkan.
Syarat kompetensi jabatan menjadi rujukan utama dalam penerapan pola karier pegawai.
Dimana jalur jabatan struktural mengutamakan kompetensi manajerial dan leadership
sementara jalur jabatan fungsional mengutamakan kompetensi yang bersifat sektoral atau
bidang keahlian tertentu.
Permasalahan mendasar dalam pola karier adalah belum disusunnya pola dasar karier
PNS yang jelas dari pemerintah meskipun ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Kondisi ini berdampak
kementerian/lembaga/pemerintah daerah saling menunggu dan tidak bisa menyusun kebijakan
pola karier pegawai di instansinya. Hasil kajian Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2007
tentang Penyusunan Pola Karier PNS menyebutkan bahwa pola karier pegawai seharusnya
sudah ditetapkan sebelum seorang pegawai masuk. Kotak-kotak jabatan dari jabatan yang
paling rendah sampai jabatan yang paling tinggi dari suatu instansi sudah disusun dan
ditetapkan lengkap dengan syarat kompetensi jabatannya.
Pelamar yang diterima menjadi CPNS masuk sesuai dengan formasi jabatan yang
dilamarnya. Semua pegawai mengawali kariernya sebagai pejabat fungsional yang menguasai
kompetensi teknis sesuai bidangnya. Seiring dengan berjalannya waktu dan hasil dari penilaian
kinerja serta potensi yang dimilikinya, maka seorang pegawai bisa dipromosikan. Promosi bisa
berupa peningkatan ke jenjang yang lebih tinggi dalam jalur yang sama atau promosi ke jalur
struktural karena dinilai mempunyai kompetensi dan potensi untuk bidang manajerial dan
leadership. Akan tetapi apabila hasil penilaiannya justeru menunjukkan kinerja yang kurang
bagus maka pegawai bisa dimutasi atau didemosi. Dimutasi apabila hasil penilaiannya
menunjukkan bahwa ada ketidakcocokan kompetensi yang dimiliki dengan beban tugas dan
tanggung jawabnya sehingga perlu dicarikan unit yang lebih sesuai. Sementara demosi
diberikan apabila semua sudah sesuai tetapi memang pegawainya yang kurang mampu bekerja
maka jenjangnya diturunkan sebagai konsekuensinya. Dengan format ini maka pegawai akan
selalu termotivasi untuk berkinerja tinggi karena terkait langsung dengan jenjang
kepangkatannya yang otomatis terkait dengan tunjangan dan kesejahteraan yang akan
103
diterimanya. Bahkan bagi pegawai yang memang mempunyai kompetensi tinggi dan berkinerja
maksimal maka dapat lebih cepat meniti jenjang kariernya.
Diharapkan dengan adanya format sistem karier ini maka kenaikan karier PNS tidak
terhalang karena adanya kendala senioritas. Semua pegawai bisa ditampung dalam jalurnya
masing-masing sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.
4. Pendidikan dan Pelatihan
Dalam rangka pengembangan kompetensi PNS, pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi
PNS diarahkan pada peningkatan kompetensi dan kapasitas individual PNS yang secara spesifik
dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Dengan demikian, sistem pendidikan dan
pelatihan PNS adalah pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi (competence-based
training). Pendekatan pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi perlu diletakkan
dalam arti yang sebenarnya sehingga setiap individu PNS yang selesai mengikuti diklat
merasakan adanya peningkatan kompetensinya. Selain itu diklat juga menjadi syarat utama
dalam pengembangan/promosi pegawai (khususnya diklatpim). Pegawai yang akan dipromosi
dalam jenjang jabatan yang lebih tinggi selain ditunjukkan dengan adanya peningkatan
kompetensi juga harus didukung sertifikat keikutsertaan dalam diklat yang sesuai dengan
jabatannya.
Tujuan pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan bagi PNS adalah :
a. Meningkatkan wawasan pengetahuan;
b. Meningkatkan kemampuan analisis;
c. Meningkatkan kemampuan kepemimpinan;
b. Meningkatkan keterampilan; dan
c. Meningkatkan kepribadian dan nilai-nilai luhur sebagai PNS.
Jenis-jenis dan jenjang diklat PNS seperti yang ada sekarang dinilai cukup memadai,
tetapi pendekatan dan kurikulumnya perlu lebih dipertajam. Jenis diklat yang ada saat ini,
seperti diklat kepemimpinan (diklatpim) difokuskan untuk meningkatkan kompetensi
kepemimpinan, diklat teknis dan diklat fungsional difokuskan untuk meningkatkan kompetensi
teknis/fungsional yang terkait dengan tugas dan fungsi yang menjadi tanggung jawab pegawai.
Perbedaan kompetensi, tuntutan pekerjaan/jabatan yang spesifikasinya berbeda-beda
akan membutuhkan kurikulum, jenjang, dan materi pendidikan dan pelatihan yang juga
berbeda. Identifikasi kompetensi aktual ini dapat diperoleh melalui training needs assessment
104
atau dari hasil kesepakatan kinerja. Dengan demikian, kebutuhan pendidikan dan pelatihan
bersifat spesifik antar PNS.
Kedepan perlu ada kebijakan yang menetapkan kebutuhan minimal bagi setiap PNS
untuk mengikuti setiap tahunnya. Diklat ini dapat dilakukan sendiri oleh pegawai (swadana)
maupun dibiayai oleh instansi dimana pegawai bertugas. Dengan kebijakan ini maka setiap PNS
dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya secara terus menerus tidak harus
menunggu anggaran. Konsekuensinya adalah sistem karier yang dibangun harus sesuai dengan
program diklat yang akan dilaksanakan.
5. Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja merupakan salah satu sub sistem yang sangat strategis dalam sistem
manajemen PNS. Penilaian kinerja yang objektif akan memberikan banyak manfaat bagi upaya
peningkatan kinerja seluruh PNS di tanah air. Pendekatan yang diusulkan bagi penilaian
kinerja PNS adalah manajemen kinerja. Manajemen kinerja merupakan sebuah proses yang
sistematis untuk memperbaiki kinerja orgnanisasi dengan mengembangkan kinerja individual
dan tim. Jadi, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi, maka harus meningkatkan dulu
kinerja individu dan tim. Untuk bisa meningkatkan kinerja maka kinerja harus dinilai dan ada
feed back yang jelas untuk memperbaiki kinerja.
Manajemen kinerja adalah sebuah pendekatan yang strategis dan terintegrasi yang
bertujuan untuk mencapai keberhasilan organisasi secara berkelanjutan dengan memperbaiki
kinerja dan mengembangkan kemampuan orang-orang yang bekerja dalam organisasi tersebut.
Sebelum proses manajemen kinerja dimulai, penempatan PNS perlu disesuaikan dengan
kompetensinya. Argumen yang mendasari hal ini adalah bahwa PNS tidak mungkin
menunjukkan kinerja optimal jika penempatan atau jabatan yang diemban tidak sesuai dengan
kompetensinya.
Manajemen kinerja dimulai dengan perencanaan kinerja (performance planning).
Perencanaan kinerja ini dibuat di awal tahun antara PNS dengan atasan langsungnya dalam
bentuk kesepakatan kinerja atau kontrak kerja. Kesepakatan kinerja ini memuat kesepakatan
antara kedua belah pihak terhadap target kinerja yang akan dicapai oleh bawahan.
Perencanaan kinerja memiliki fungsi yang sangat penting dalam keseluruhan proses
manajemen kinerja, yaitu :
105
a. Perencanaan kinerja adalah kerangka dasar bagi implementasi manajemen kinerja. Dengan
adanya perencanaan kinerja, atasan memiliki gambaran mengenai apa yang harus
dilakukannya dan apa yang harus dicapai oleh bawahannya.
b. Perencanaan kinerja memberikan dasar bagi pengelolaan kinerja sepanjang tahun. Dengan
berpegang pada perencanaan kinerja, seorang atasan dapat mengetahui apakah bawahannya
berhasil mencapai kinerja yang telah ditetapkan atau tidak. Dengan demikian atasan dapat
memberikan fasilitasi secara tepat dalam mengelola kinerja bawahannya.
c. Perencanaan kinerja memberikan arah bagi rencana pengembangan kapasitas dan
kompetensi individual PNS karena didalamnya terdapat rencana pengembangan personal.
d. Perencanaan kinerja merupakan dasar dalam mereview kinerja karena review kinerja
dilakukan dengan berpegang pada kesepakatan kinerja.
e. Perencanaan kinerja yang wujudnya adalah kesepakatan kinerja merupakan dasar dalam
melakukan penilaian kinerja invidual PNS. Penilaian kinerja yang dilakukan di akhir tahun
akan memperhatikan substansi yang terdapat dalam kesepakatan kinerja. Penilaian kinerja
tidak dapat dilakukan tanpa adanya kesepakatan kinerja.
f. Perencanaan kinerja pada dasarnya berfungsi untuk memperkuat komitmen setiap individu
PNS dalam rangka mencapai target kinerja tertentu yang diharapkan organisasi. Melalui
perencanaan kinerja, setiap individu PNS dituntut untuk menunjukkan komitmennya
terhadap target kinerja yang diharapkan.
g. Perencanaan kinerja juga berfungsi sebagai indikator dalam memberikan petunjuk bagi
perbaikan kinerja invidual PNS ke depan.
Kesepakatan kinerja yang dirancang untuk PNS di Indonesia memuat lima deskripsi
mengenai tanggungjawab, uraian tugas, target kinerja, rencana pengembangan personal dan
kebutuhan perlengkapan kerja. Setelah menyelesaikan perencanaan kinerja dengan
menghasilkan kesepakatan kinerja, maka PNS menjalankan tugas dan tanggungjawabnya
sehari-hari sesuai dengan apa yang telah disepakati.
Tahapan selanjutnya adalah review kinerja (performance review). Review kinerja ini
bertujuan untuk menjamin bahwa proses pencapaian target kinerja berjalan pada jalur yang
benar. Review kinerja merupakan proses diskusi yang dilakukan oleh atasan dengan bawahan
dalam rangka mereview tingkat capaian kinerja bawahan. Dengan melihat kemajuan yang
dicapai oleh seorang PNS, dapat diketahui bahwa yang bersangkutan pada akhir tahun akan
berhasil mencapai target kinerjanya atau tidak. Dari review ini juga akan diketahui masalah-
masalah yang dihadapi oleh setiap PNS. Atasan wajib memberikan dukungan kepada bawahan
sehingga target kinerja bawahan dapat dicapai pada akhir tahun. Dalam hal ini atasan berfungsi
sebagai coach, mentor, counsellor, supervisor, advisor, trainer dan facilitator bagi bawahannya.
106
Penilaian kinerja (performance evaluation) adalah kelanjutan dari perencanaan
dan review kinerja yang mengukur keberhasilan realisasi dari perencanaan kinerja.
Penilaian kinerja merupakan proses penilaian terhadap keseluruhan capaian target
kinerja yang dihasilkan oleh seorang PNS sesuai dengan jabatan dan tanggungjawab
yang diembannya dalam suatu periode waktu tertentu.
Mengingat bahwa penilaian kinerja adalah tahapan yang krusial dalam
manajemen kinerja, maka proses penilaian kinerja perlu berpegang pada sejumlah
prinsip dasar. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah :
a. Keadilan, keseluruhan proses penilaian kinerja dilandaskan pada rasa keadilan bagi
semua PNS. Nilai-nilai keadilan dikedepankan agar manajemen kinerja dapat
diimplementasikan secara efektif dan terukur.
b. Transparansi, prinsip transparansi dalam penilaian kinerja perlu dibangun oleh
atasan dan bawahan. Bawahan berhak mengetahui bukti atau alasan atas nilai kinerja
yang diberikan oleh atasan.
c. Independensi, hasil penilaian kinerja tahun tertentu tidak ada hubungannya dengan
hasil penilaian kinerja tahun sebelumnya. Artinya, hasil penilaian kinerja seorang
PNS dapat naik dan turun setiap tahun sesuai dengan kinerja yang dihasilkan.
d. Pemberdayaan, penilaian kinerja ini memberikan kesempatan kepada setiap individu
PNS untuk memberdayakan dirinya sendiri dan memberdayakan bawahannya.
Sengaja dirancang sesederhana mungkin, diharapkan proses penilaian kinerja ini
dapat dijalankan oleh PNS secara mandiri.
e. Non diskriminasi, dalam menilai kinerja, perlu dicatat bahwa tidak ada diskriminasi
menurut golongan, suku, agama, ataupun ras. Kinerja PNS dinilai hanya didasarkan
pada capaian kinerja yang dihasilkannya.
f. Semangat kompetisi, dengan menerapkan lima (5) prinsip diatas, diharapkan PNS
dapat terpacu untuk saling meningkatkan kinerjanya. Semangat berkompetisi dalam
meningkatkan kinerja perlu didorong bagi peningkatan kinerja PNS secara
menyeluruh.
Penilaian kinerja dalam manajemen kinerja yang dirancang untuk kebutuhan
PNS ini, memiliki tiga (3) unsur, yaitu kesepakatan kinerja, review kinerja dan
penilaian sejawat.
a. Kesepakatan kinerja, realisasi terhadap target kinerja sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam kesepakatan kinerja. Kesepakatan kinerja memuat target-target
yang akan dicapai. Pada akhir tahun dinilai sejauhmana target-target tersebut
dicapai oleh PNS.
107
b. Review Kinerja, review kinerja menjadi salah satu unsure yang membentuk
penilaian kinerja yang menyeluruh dari seorang PNS. Sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya bahwa saran atau rekomendasi yang diberikan oleh atasan kepada
bawahan pada saat melakukan review kinerja ditulis dalam formulir review kinerja.
Pada akhir tahun, atasan melihat apakah rekomendasi atau saran yang diberikan
pada pertengahan tahun tersebut ditindaklanjuti oleh bawahan. Sejauhmana tindak
lanjut tersebut dilakukan oleh bawahan adalah unsur penilaian dalam manajemen
kinerja ini. Oleh karena itu, review kinerja memberikan basis bagi penilaian kinerja
PNS.
c. Penilaian Sejawat, penilaian terhadap dua (2) unsur di atas dilakukan oleh atasan.
Atasan tetap merupakan pihak yang paling berwenang menilai kinerja bawahan.
Namun demikian, dalam rangka menuju penilaian yang 3600 dan sekaligus
meningkatkan objektifitas penilaian, maka perlu melibatkan pihak lain. Dalam hal
ini perlu melibatkan rekan sejawat (kolega). Rekan sejawat memberikan penilaian
khusus pada perilaku. Perlu digarisbawahi adalah bahwa penilaian dari rekan
sejawat hanya diperuntukkan bagi pejabat fungsional umum (JFU).
Untuk memudahkan proses penilaian terhadap ketiga unsur di atas, ditetapkan
sejumlah aspek, indikator dan parameter penilaian. Aspek menunjukkan unsur utama
penilaian, indikator menunjukkan dimensi substansial yang mengacu pada aspek
penilaian dan parameter menunjukkan dimensi penilaian yang mengandung
pernyataan operasional.
6. Penggajian
Selanjutnya terkait dengan reformasi sistem penggajian PNS. Gaji yang dimaksud disini
adalah kompensasi atau take home pay yang diterima PNS selama satu bulan kerja. Dalam
pengertian ini gaji PNS terdiri dari gaji pokok dan tunjangan. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam reformasi sistem penggajian PNS ini, pertama, sistem penggajian PNS harus
mengakomodasi adanya perbedaan tugas pokok, tanggung jawab dan beban kerja dari masing-
masing instansi. Kondisi ini berdampak instansi yang mempunyai tugas pokok, tanggung jawab
dan beban kerja berat perlu diapresiasi dengan memberikan gaji yang berbeda kepada
pegawainya. Kedua, sistem penggajian PNS harus mengakomodasi adanya perbedaan biaya
hidup di berbagai daerah. Hal ini untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999, yaitu terkait upaya peningkatan kesejahteraan PNS, dengan nominal gaji yang sama tetapi
hidup di daerah yang berbeda tentu nilai nominalnya akan berbeda, artinya tingkat
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup juga berbeda.
108
Ketiga, sistem penggajian PNS harus mengakomodasi kompetensi atau kemampuan yang
dimiliki oleh PNS. Kompetensi masing-masing PNS tentu berbeda dan perbedaan ini akan
berpengaruh pada kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. PNS yang
kemampuannya tinggi harus dihargai lebih besar daripada PNS yang kemampuannya rendah.
Keempat, sistem penggajian PNS harus berdasarkan pada prestasi kerja atau kinerja PNS. Ini
akan berdampak pada peningkatan motivasi PNS karena PNS yang berkinerja lebih tinggi akan
menerima gaji lebih besar dari PNS yang kinerjanya rendah. Terakhir, kelima, secara nominal
jumlah gaji yang diterima PNS harus mampu memenuhi kebutuhan standar hidup layak
sehingga kesejahteraan PNS dapat meningkat dengan kata lain jumlah gaji PNS bisa bersaing
dengan gaji pegawai swasta. Untuk itu maka sistem penggajian PNS diberikan berdasarkan pada
pay for position, pay for person, pay for performance dan pay for living cost.
Pay for position adalah gaji yang diberikan kepada seorang PNS karena posisi atau
jabatannya. Posisi atau jabatan ini bisa bermakna internal maupun eksternal. Makna internal
berarti posisi atau jabatan yang dibandingkan dalam satu organisasi. Misalnya pay for position
untuk eselon I dihargai lebih besar daripada eselon II, dan pay for position untuk eselon II
dihargai lebih besar daripada eselon III, demikian seterusnya. Penghargaan ini menunjukkan
bahwa beban kerja masing-masing posisi atau jabatan tersebut berbeda sesuai dengan
tingkatnya dan ruang lingkup tugasnya. Sementara makna eksternal berarti posisi atau jabatan
yang dibandingkan dengan organisasi lain. Hal ini untuk mengakomodasi bahwa beban kerja
masing-masing organisasi berbeda meskipun berada dalam tingkat jabatan yang sama. Sebagai
contoh misalnya beban kerja seorang pejabat eselon II di Kementerian Keuangan tentu berbeda
dengan pejabat eselon II di Arsip Nasional (ARNAS). Untuk bisa memberikan pay for position
yang adil maka perlu dilakukan analisis beban kerja (ABK) untuk semua jabatan atau posisi
yang ada dalam suatu organisasi, yaitu untuk menentukan harga jabatan. Selain itu ABK secara
nasional juga perlu dilakukan untuk menentukan harga suatu organisasi secara nasional.
Selanjutnya pay for person adalah gaji yang diberikan kepada seorang PNS karena
kompetensi atau kemampuan yang dimilikinya. Ini untuk menghargai adanya perbedaan
kemampuan yang dimiliki oleh pegawai, pegawai yang mempunyai kemampuan lebih baik
selayaknya dihargai lebih banyak dari pegawai yang kemampuannya lebih rendah. Pegawai
yang mempunyai kemampuan lebih diyakini akan bisa lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya
dengan kata lain lebih berkinerja. Pay for person juga untuk menghargai jabatan-jabatan yang
mempunyai karakteristik tertentu, misalnya jabatan tersebut langka, terbatas atau lainnya.
109
Sementara tunjangan pegawai diberikan berdasarkan pada pencapaian kinerja (pay for
performance) dan perbedaan lokasi bertugas (pay for living cost). Pay for performance
diberikan kepada pegawai berdasarkan pencapaian kinerjanya. Pencapaian kinerja ini dihitung
berdasarkan hasil penilaian kinerja pegawai. Untuk keperluan ini maka harus disusun
instrumen penilaian kinerja yang mampu mengukur kinerja nyata pegawai sehingga bisa
ditetapkan nilai nominal gajinya. Nilai nominal dari pay for performance ini bisa berubah-ubah
setiap bulannya tergantung pada hasil penilaian kinerja pegawai. Pada saat kinerja pegawai
tinggi maka bisa memperoleh tunjangan yang besar dan pada saat kinerjanya rendah maka
tunjangannya juga rendah. Sementara pay for living cost diberikan kepada pegawai berdasarkan
pada lokasi tugasnya. Tunjangan ini bisa juga disebut dengan istilah tunjangan kemahalan.
Tunjangan ini diberikan berbeda-beda tergantung pada hasil analisa kebutuhan hidup. Bagi
daerah-daerah yang biaya hidupnya tinggi maka diberikan tunjangan yang lebih besar daripada
daerah yang biaya hidupnya rendah. Pay for living cost ini juga untuk menghargai pegawai-
pegawai yang tempat tugasnya terpencil, sulit, terisolir dan sebagainya.
Dengan reformasi sistem penggajian sebagaimana dijelaskan tersebut diharapkan PNS
bisa hidup lebih sejahtera dan termotivasi untuk terus meningkatkan kinerjanya. Baik gaji
maupun tunjangan yang diterima tidak diberikan berdasarkan perkiraan atau sama rasa sama
rata tetapi benar-benar didasarkan pada perhitungan yang rasional.
Selain pemberian gaji, penghargaan lain juga dapat diberikan bagi PNS yang
menunjukkan prestasi kerja yang baik. Penghargaan ini dapat berupa tanda jasa atau bentuk
penghargaan lainnya. Sementara bagi PNS yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
peraturan perundangan wajib dikenakan sanksi. Jenis pelanggaran ini terdiri dari : pelanggaran
ringan, pelanggaran sedang dan pelanggaran berat. Sementara sanksi yang diberikan kepada
PNS berupa : sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana. Sanksi yang diberikan ini
disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan seorang pegawai.
7. Perpindahan antar Daerah
Sejalan dengan peran PNS sebagai perekat bangsa dan menjalin persatuan serta
kesatuan bangsa, maka perpindahan PNS antar daerah perlu lebih diperhatikan.
Adapun tujuan-tujuan yang akan dicapai dari perpindahan ini adalah untuk :
a. Menciptakan keseimbangan jumlah dan distribusi PNS antar daerah. Pemerintah
daerah yang kekurangan PNS akan mendapatkan tambahan PNS dari daerah yang
kelebihan baik antar propinsi maupun antar kabupaten/kota;
110
b. Mengembangkan karier dan potensi PNS yang bersangkutan;
c. Mendorong terjadinya transfer of knowledge;
d. Mendorong percepatan pembangunan daerah; dan
e. Mengurangi semangat primordialisme daerah dalam memandang keberadaan sumber
daya manusianya.
Perpindahan PNS antar daerah lebih didorong atas dasar perpindahan karena
alasan kepentingan nasional, bukan atas kepentingan pribadi yang selama ini banyak
diakomodir. Dalam konteks reformasi birokrasi, peran PNS dikembalikan kepada peran
yang sebenarnya yaitu sebagai pegawai Republik Indonesia, bukan pegawai suatu
kementerian/lembaga/pemerintah daerah tertentu. Oleh karena itu, PNS dapat
dipindahkan atau ditempatkan di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka
memperkuat jiwa nasionalisme.
Secara umum pola perpindahan PNS dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu :
1. Perpindahan atas permintaan sendiri. Perpindahan dapat dipenuhi apabila
memenuhi beberapa kriteria. Kriteria-kriteria tersebut adalah :
a. Daerah penerima masih mengalami kekurangan jumlah PNS;
b. Memiliki dasar alasan yang kuat baik alasan keluarga ataupun pengembangan
kapasitas individu;
Bagi PNS yang mengajukan permohonan pindah atas permintaan sendiri ini,
Pemerintah tidak menanggung biaya pindahnya.
111
Diagram 4.1
Mekanisme Perpindahan Pegawai Atas Permintaan Sendiri
Antar Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota
PERMOHONAN
PINDAH
DITERIMA
DASAR PERTIMBANGAN :
KEBUTUHAN OBJEKTIFDAERAH TUJUAN
DIPROSES BKD/
BAG KEPEGAWAIAN DAERAH
TUJUAN
DITOLAK
PENGESAHAN
OLEH PEJABAT PEMBINA
KEPEGAWAIAN
DAN KANREG BKN
PEMINDAHAN
GAJI
•PENDIDIKAN•KOMPETENSI•KINERJA •PANGKAT/GOLONGAN•KETERSEDIAAN FORMASI•USIA
DIREKOMENDASIKAN OLEH PEJABAT
PEMBINA KEPEGAWAIAN SETEMPAT
DAPAT MENGAJUKAN
SEKALI LAGI PERMOHONAN SERUPA
Sumber : Kajian Perpindahan Pegawai Antar Daerah dalam Era Otonomi Daerah, Pusat
Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur LAN, Jakarta, 2003.
2. Perpindahan karena penugasan. Prioritas Pemerintah dalam konteks perpindahan
PNS adalah perpindahan karena alasan penugasan. Dimungkinkan seorang PNS yang
direkrut oleh suatu kabupaten untuk dipindahkan ke kabupaten/kota lain setelah
jangka waktu tertentu baik di dalam propinsi yang sama atau ke propinsi yang lain.
Atas alasan kepentingan nasional, seorang PNS di daerah dapat dipindahkan ke pusat
atau sebaliknya. Dan yang bersangkutan wajib memenuhi perintah tersebut. Oleh
karena itu, semua biaya yang terkait dengan proses perpindahan ini ditanggung oleh
pemerintah. Jenis perpindahan ini lebih bersifat direktif dan lebih berorientasi bagi
pejabat struktural. Dalam bentuk diagram, mekanisme perpindahan pegawai atas
penugasan ini dapat digambarkan berikut.
Lampiran 1
112
Diagram 4.2
Mekanisme Perpindahan Pegawai Atas Penugasan
Antar Daerah Kabupaten/Kota
PENUGASAN
PINDAHDIPROSES BKD/
BAG KEPEGAWAIAN
DAERAH
TUJUAN
PENGESAHAN
GUBERNUR DAN KANREG BKN
DASAR PERTIMBANGAN
KEBUTUHAN OBJEKTIFDAERAH PENERIMA
•PENDIDIKAN
•KOMPETENSI•KINERJA •PANGKAT/GOLONGAN
•KETERSEDIAAN FORMASI
•PENGALAMAN/USIA
PEMINDAHAN
GAJI
Sumber : Kajian Perpindahan Pegawai Antar Daerah dalam Era Otonomi Daerah, Pusat
Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur LAN, Jakarta, 2003.
Dalam melakukan perpindahan pegawai, terdapat sejumlah pola perpindahan.
Dalam lingkup pemerintah daerah, pola atau bentuk perpindahan tersebut dapat
diklasifikasikan berikut ini :
1) Dari provinsi ke provinsi lainnya (antar propinsi),
2) Dari provinsi ke kabupaten dalam provinsi yang sama,
3) Dari provinsi ke kota dalam provinsi yang sama,
4) Dari provinsi ke kabupaten diluar provinsi yang bersangkutan,
5) Dari provinsi ke kota di luar provinsi yang bersangkutan,
6) Dari kabupaten ke provinsi dalam provinsi yang sama,
7) Dari kabupaten ke provinsi dalam provinsi yang berbeda,
8) Dari kabupaten ke kabupaten dalam provinsi yang sama (antar kabupaten dalam
satu provinsi),
9) Dari kabupaten ke kabupaten di luar provinsi,
10) Dari kabupaten ke kota dalam provinsi yang sama,
11) Dari kabupaten ke kota di luar provinsi,
113
12) Dari kota ke provinsi dalam provinsi yang sama,
13) Dari kota ke provinsi yang berbeda,
14) Dari kota ke kota dalam provinsi yang sama,
15) Dari kota ke kota di provinsi yang berbeda,
16) Dari kota ke kabupaten dalam provinsi yang sama,
17) Dari kota ke kabupaten di luar provinsi.
8. Pemberhentian
Pemberhentian PNS adalah hilangnya status seseorang sebagai PNS. Terdapat
beberapa klasifikasi pemberhentian PNS ditinjau dari alasannya, yaitu :
a. Pemberhentian karena permintaan sendiri,
b. Pemberhentian karena mencapai batas usia pensiun,
c. Pemberhentian karena adanya penyederhanaan organisasi,
d. Pemberhentian karena melakukan pelanggaran/tindak pidana/ penyelewengan,
e. Pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan atau rohani,
f. Pemberhentian karena meninggalkan tugas,
g. Pemberhentian karena meninggal dunia atau hilang,
h. Pemberhentian karena gagal mencapai target kinerja selama tiga tahun berturut.
Dalam rangka mendukung efektifitas penegakan disiplin di lingkungan PNS, kedepan
akan dirumuskan kebijakan yang membuat PNS lebih mudah untuk diberhentikan terutama
karena melakukan pelanggaran/tindak pidana/penyelewengan, tidak cakap jasmani/rohani,
hilang dan gagal menunjukkan kinerja sebagaimana yang diharapkan. Dengan diperketatnya
aturan tentang syarat pemberhentian PNS, diharapkan akan lebih mudah memberhentikan
PNS berdasarkan alasan-alasan tersebut. Dengan demikian, PNS lebih meningkatkan
kinerja, disiplin dan kompetensinya jika tidak ingin kehilangan statusnya sebagai PNS.
Status atau klasifikasi pemberhentian PNS disederhanakan menjadi dua (2), yaitu :
diberhentikan dengan hormat, dan diberhentikan dengan tidak hormat. Kebijakan
pemberhentian PNS, jenis-jenis pemberhentian, konsekuensi dan kewenangan serta pejabat
yang berwenang memberhentikan PNS dimuat dalam satu peraturan perundangan.
9. Pensiun
Sejalan dengan reformasi PNS ini, maka sistem pensiun PNS sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun
Janda/Duda Pegawai perlu diubah. Undang-Undang tersebut dinilai tidak sesuai lagi dengan
114
perkembangan dan kebutuhan sekarang terutama yang berkaitan dengan sifat pensiun,
pembiayaan, besaran manfaat, hak peserta dan pengelolaan dana pensiun.
Mengutip laporan “Reformasi Sistem Pensiun PNS” program kerjasama BKN dan
Partnership for Governance Reform 2006, direkomendasikan bahwa :
a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun
Janda/Duda Pegawai perlu diubah karena sifat pensiun yang dinyatakan dalam Pasal 1
Undang-Undang tersebut yang menyebutkan bahwa “pensiun merupakan hak bagi PNS
yang memenuhi syarat dan merupakan jaminan hari tua serta sebagai balas jasa terhadap
PNS yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri kepada negara” ternyata sangat
menentukan dan mempengaruhi sistem pembiayaan/ pembayaran, sistem pengelolaan
dan besaran manfaat pensiun.
b. Perlunya perubahan sistem pensiun PNS kedepan yang mengedepankan ciri-ciri sebagai
berikut :
(1) Adanya pengembalian akumulasi iuran pensiun bagi PNS yang diberhentikan tanpa
hak pensiun;
(2) Tidak perlu adanya syarat pemberhentian dengan hormat untuk mendapatkan hak
pensiun;
(3) Besarnya manfaat pensiun ditentukan dari hasil pengelolaan dana pensiun, bukan
hanya sekedar pada kemampuan keuangan Negara;
(4) Pembayaran pensiun harus dijamin oleh pemerintah;
(5) Pembayaran iuran premi dilakukan baik oleh pegawai maupun pemerintah;
(6) Keuntungan pengelolaan dana pensiun sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan
peserta;
(7) Adanya wakil peserta dalam pengelolaan dana pensiun baik sebagai pengurus
maupun sebagai dewan pengawas.
c. Kebijakan kenaikan gaji PNS dipisahkan dengan kebijakan kenaikan pensiun.
d. Pemerintah perlu membentuk Lembaga Dana Pensiun PNS, yaitu lembaga dana pensiun
yang bersifat independen.
115
BBaabb VV
RRooaadd MMaapp ddaann AAggeennddaa RReeffoorrmmaassii SSiisstteemm
MMaannaajjeemmeenn PPNNSS ddii IInnddoonneessiiaa
A. Pendahuluan
Road map diperlukan sebagai dasar untuk memberikan panduan dan arah bagi
pelaksanaan reformasi PNS. Sebagai salah satu hasil dari kajian Grand Design Reformasi
PNS, road map merupakan dokumen penting yang berisi uraian langkah-langkah dan
tahapan untuk digunakan sebagai pegangan para pengambil keputusan dalam pengelolaan
PNS untuk menjalankan reformasi PNS sehingga berhasil dan tidak keluar dari tahapan
yang telah ditentukan. Road Map dan Grand Design Reformasi PNS disusun untuk jangka waktu 15 tahun dari
tahun 2010-2025 sesuai dengan tahapan RPJM maupun RPJP. Waktu 15 tahun dinilai cukup
untuk melakukan reformasi PNS melalui program-program penataan dan perbaikan. Road Map
menjadi dokumen penting bagi pelaksanaan reformasi PNS sehingga reformasi dapat dilakukan
secara efektif, tepat sasaran dan membawa perubahan bagi sistem manajemen PNS kearah yang
diharapkan.
Road map ini berisikan agenda kegiatan yang berdasarkan analisis Tim Peneliti merupakan
agenda-agenda yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan reformasi sistem
manajemen PNS secara terukur, fokus, dan berkelanjutan yang secara spesifik akan dilakukan oleh
institusi pengelola manajemen PNS. Penguatan kelembagaan baik dalam konteks reposisi dan
revitalisasi peran dan fungsi institusi pengelola PNS adalah sangat strategis untuk dapat mengatasi
kompleksitas permasalahan kepegawaian sipil yang saling berkelindan.
Strategi perlu disusun sehingga pelaksanaan reformasi PNS dapat berjalan sesuai dengan
rencana. Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Lembaga Administrasi Negara, dan Badan
Kepegawaian Negara ditambah Komisi Kepegawaian Negara (jika terbentuk) adalah strategic
partner institusi pemerintah yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan reformasi PNS.
Reformasi PNS sebagai bagian dari reformasi birokrasi yang saat ini dilakukan pemerintah tidak
akan dapat berjalan dengan baik jika ketiga lembaga negara tersebut tidak dapat bekerja sama
116
secara baik. Road map ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan koordinasi strategis antar
institusi pemerintah pengelola manajemen PNS sehingga harapan untuk melakukan reformasi PNS
guna mewujudkan PNS yang profesional, sejahtera dan netral dapat tercapai.
B. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya road map adalah untuk memberikan arah dan
panduan bagi pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS di kementerian/lembaga dan
pemerintah daerah supaya efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi dan berkelanjutan
sehingga tujuan yang ada dalam grand design dapat diwujudkan dengan baik.
C. Ruang Lingkup
Road map reformasi sistem manajemen PNS mencakup empat (4) kegiatan dan dua puluh
empat (24) agenda. Empat kegiatan road map dan agenda kegiataannya adalah sebagai berikut : (1)
konsolidasi struktural yang memiliki empat (4) agenda : penataan ulang instansi pusat dan daerah
yang bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS, pembentukan KKN (Komisi Kepegawaian
Negara), penguatan netralitas PNS, dan revitalisasi unified system untuk pengelolaan PNS dalam
konteks NKRI; (2) Penataan manajemen yang mempunyai sembilan (9) agenda : penyusunan
rencana induk kebutuhan dan pengembangan PNS, perbaikan sistem rekrutmen dan seleksi,
penyusunan sistem karier, pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan, perumusan penilaian
kinerja, penyusunan sistem penggajian, penyesuaian pola perpindahan PNS, penyusunan
mekanisme dan prosedur pemberhentian, dan penyempurnaan sistem pensiun; (3) bidang
pengembangan budaya dan kode etik PNS dengan tujuh (7) agenda : membangun nilai etika,
budaya kerja dan kode etik PNS, penguatan penegakan hukum, pengembangan budaya kerja yang
berorientasi pada kinerja dan daya saing, internalisasi nilai-nilai good governance, penerapan
change management dalam proses reformasi, penerapan local wisdom dalam proses reformasi, dan
pengembangan kepemimpinan aparatur yang efektif; dan (3) bidang penerapan dan
pengembangan ICT (information and communication technology) dengan empat (4) agenda :
pengembangan pengelolaan kepegawaian berbasis IT, pembangunan database PNS nasional,
pengembangan single identity number, dan penerapan e-office.
117
D. Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS
Mencermati kompleksitas permasalahan yang mengemuka dalam kebijakan dan praktik
manajemen PNS serta tuntutan terhadap reformasi sistem manajemen PNS secara fundamental dan
komprehensif, maka dirumuskan roadmap reformasi sistem manajemen PNS. Roadmap ini
merupakan bentuk operasionalisasi grand disain reformasi sistem manajemen PNS yang berisikan
agenda-agenda perubahan. Dengan demikian, roadmap adalah bagian yang tidak terpisahkan
dengan grand design reformasi sistem manajemen PNS.
Perlu dicatat bahwa roadmap reformasi sistem manajemen PNS ini telah disesuaikan dengan
roadmap reformasi birokrasi nasional yang cakupannya lebih luas. Roadmap reformasi sistem
manajemen PNS ini mengacu pada reformasi birokrasi baik pada tingkatan makro, meso maupun
tingkatan mikro yaitu penataan sistem manajemen SDM aparatur. Dengan demikian, roadmap
beserta agenda-agenda dalam reformasi sistem manajemen PNS adalah elaborasi dari program
reformasi birokrasi pada penataan sistem manajemen SDM Aparatur.
Untuk mereformasi sistem manajemen PNS secara menyeluruh, terdapat empat (4) roadmap
yang perlu dilakukan yang masing-masingnya memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain.
Keempat roadmap tersebut adalah :
Tabel 5.1
Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS
1. Konsolidasi
struktural
Konsolidasi struktural adalah penataan kelembagaan
diantara instansi pemerintah pusat dan daerah yang
selama ini bertanggungjawab menyelenggarakan
kebijakan dalam manajemen PNS. Konsolidasi
struktural ini meliputi penataan tugas, peran dan
tanggungjawab dan kewenangan masing-masing
instansi sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih.
2. Penataan sistem
manajemen
Penataan sistem manajemen PNS merupakan
pembenahan terhadap seluruh aspek manajemen
kepegawaian yang meliputi penyusunan rencana
induk, rekrutmen sampai pada pensiun.
118
3. Pengembangan
budaya dan kode
etik
Pengembangan budaya dan kode etik PNS adalah
salah satu roadmap dalam reformasi sistem
manajemen PNS yang memberikan perhatian pada
penguatan milai-nilai dan budaya yang berorientasi
pada kinerja, penghargaan pada nilai-nilai dan
moralitas yang luhur. Penguatan implementasi kode
etik merupakan bagian dari roadmap ketiga ini.
4. Penerapan dan
Pengembangan
ICT
Penerapan dan pengembangan ICT merupakan salah
satu roadmap yang menjadi pendukung bagi
berlangsungnya keseluruhan reformasi sistem
manajemen PNS.
Rincian roadmap beserta agenda yang akan dilakukan untuk setiap roadmap, adalah
sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini.
119
Diagram 5.2
Roadmap dan Agenda
Reformasi Sistem Manajemen PNS 2010-2025
Konsolidasi Struktural:1. Penataan ulang
kelemb,2. Pembentukan KKN,3. Netralitas PNS.
Penataan Manajemen:1. Rencana induk,2. Sistem rekrutmen,3. Sistem karier,4. Sistem diklat,5. Penilaian kinerja,6. Sistem penggajian,7. Pola perpindahan.
Budaya & kode Etik:1. Membangun etika,2. Penegakan hukum.
ICT:1. Database,2. SIN.
Penataan Manajemen:1. Sistem Penggajian,2. Pemberhentian,3. Pensiun.
Budaya & kode Etik:1. Pengemb budaya
kerja,2. Internalisasi nilai
GG,3. Penerapan change
management.
ICT:1. Database,
Budaya & kode Etik:1. Pengemb budaya
kerja,2. Penerapan local
wisdom,3. Pengemb
kepemimpinan.
ICT:1. Pengemb IT,2. Penerapan e-office.
Tujuan:Perub sist manaj PNS
2010-2014
2015-2019
2020-2025
Pada tabel diatas sekaligus juga dirancang tahun implementasinya yang dimulai tahun 2011
sampai 2025. Implementasi satu agenda dapat berlangsung selama satu tahun atau kurang, namun
juga dapat memakan waktu selama beberapa tahun.
Pelaksanaan keseluruhan agenda pada reformasi sistem manajemen PNS akan berlangsung
selama periode 2010-2025 menyesuaikan dengan RPJM. Dalam kurun waktu 15 tahun tersebut,
diharapkan seluruh agenda dapat diimplementasikan secara efektif.
120
BBaabb VVII
PPeennuuttuupp
A. Kesimpulan
Dari kajian yang sudah dilakukan dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS memerlukan grand design dan road map
yang sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam arah reformasi birokrasi nasional
sebagai payungnya.
2. Profil PNS yang diharapkan diwujudkan dengan grand design dan road map reformasi
sistem manajemen PNS adalah PNS yang profesional, netral dan sejahtera.
3. Sejumlah key success factor atau faktor kunci sukses yang diidentifikasi adalah :
perlunya strong leadership dan political will, pembentukan civil service comission,
terjaganya netralitas PNS, dilakukannya perubahan peraturan yang terkait dengan
pengelolaan kepegawaian (PNS), adanya penegakan hukum, penerapan prinsip
manajemen kinerja dalam pengelolaan pegawai serta dilakukannya moratorium
rekrutmen untuk jangka waktu tertentu.
4. Agenda reformasi sistem manajemen PNS paling tidak mencakup empat (4) roadmap,
yaitu : (1) konsolidasi struktural yang memiliki empat (4) agenda : penataan ulang
instansi pusat dan daerah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS,
pembentukan KKN (Komisi Kepegawaian Negara), penguatan netralitas PNS, dan
revitalisasi unified system untuk pengelolaan PNS dalam konteks NKRI; (2) Penataan
manajemen yang mempunyai sembilan (9) agenda : penyusunan rencana induk
kebutuhan dan pengembangan PNS, perbaikan sistem rekrutmen dan seleksi,
penyusunan sistem karier, pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan, perumusan
penilaian kinerja, penyusunan sistem penggajian, penyesuaian pola perpindahan PNS,
penyusunan mekanisme dan prosedur pemberhentian, dan penyempurnaan sistem
pensiun; (3) bidang pengembangan budaya dan kode etik PNS dengan tujuh (7) agenda
: membangun nilai etika, budaya kerja dan kode etik PNS, penguatan penegakan
hukum, pengembangan budaya kerja yang berorientasi pada kinerja dan daya saing,
internalisasi nilai-nilai good governance, penerapan change management dalam proses
reformasi, penerapan local wisdom dalam proses reformasi, dan pengembangan
121
kepemimpinan aparatur yang efektif; dan (3) bidang penerapan dan pengembangan ICT
(information and communication technology) dengan empat (4) agenda :
pengembangan pengelolaan kepegawaian berbasis IT, pembangunan database PNS
nasional, pengembangan single identity number, dan penerapan e-office.
5. Instansi-instansi yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan kepegawaian (PNS),
yaitu : Komisi Kepegawaian Negara (KKN), Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara
(BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) perlu melakukan penguatan kapasitas
serta melakukan reposisi terhadap tugas dan kewenangannya.
6. Sistem manajemen atau pengelolaan PNS perlu dilakukan dengan menggunakan
pendekatan manajemen yang ideal.
B. Saran
Dari analisis yang dilakukan dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Segera dilakukan penyusunan dan penetapan kebijakan atau peraturan yang terkait
dengan pengelolaan kepegawaian (PNS) dalam bentuk Undang-Undang maupun
peraturan pelaksanaannya.
2. Segera dilakukan penguatan dan reposisi terhadap instansi-instansi yang terlibat dalam
pengelolaan PNS, yaitu : Komisi Kepegawaian Negara (KKN), Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Badan
Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN).
3. Penerapan manajemen yang ideal dalam pengelolaan PNS.
4. Melaksanakan grand design reformasi PNS sesuai dengan road map yang ditetapkan.
122
DAFTAR BACAAN
Auer, A., Demmke, C., and Polet, R., (1996). Civil Services in the Europe of Fifteen : current Situation and Prospects. Maastricht : EIPA.
Budi, Setia dan Sudrajat, Agus, (2007). Perbaikan Sistem Remunerasi PNS untuk Meningkatkan
Kinerja dan Menghilangkan Social Cost, dalam Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Edisi
Khusus Januari 2007, Persadi, Jakarta.
Lembaga Administrasi Negara Jakarta, (2004). Buku II SANKRI, Dalam Perspektif Perkembangan
Sejarah, Lembaga Administrasi Negara Jakarta.
Demmke, C., (2005). Are Civil Servants Different Because They Are Civil Servants?
Maastricht : EIPA.
Demmke, C., (2007). Performance Assessment in the Public Services of the EU Member States : Procedure for Performance Appraisal, for Employee Interviews and Target Agreements. Maastricht: EIPA.
Demmke, C., and Moilanen, T., (2010). Civil Services in the EU of 27 : Reform Outcomes and the Future of the Civil Service-Outcomes of A Comparative Survey. Frankfurt: Peter
Lang.
Demmke, C., Hammerschmid, G., and Meyer, R., (2007). Measuring Individual and Organisational Performance in the Public Services of EU Member States. Maastricht :
EIPA.
Demmke, C., Henökl, T., and Moilanen, T., (2008). What Are Public Services Good At? Success of Public Services in the Field of Human Resource Management, Maastricht :
EIPA.
Drewry, G., and Cameron, C., (2010). Hasil wawancara Tentang Reformasi PNS di Inggris. Eva Etzioni - Halevy, Bureaucracy & Democracy : A Political Dilemma, Paperback, Routledge &
Kegan Paul Books Ltd , November 1985.
H. Jeddawi, Murtir, Prof., Dr., (2010). Karier PNS di Persimpangan Jalan, Sebuah Refleksi atas
Kebijakan Kepegawaian di Era Otonomi Daerah, Gallery Ilmu, Yogyakarta.
http://web.bisnis.com/
Kementerian Keuangan, Profile Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan.
123
Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2007). Kajian Evaluasi
Sistem Rekrutmen PNS, Jakarta.
Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2005). Kajian Reformasi
Birokrasi, Jakarta.
Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2005). Kajian
Manajemen PNS yang Efektif, Jakarta.
Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2005). Kajian Efektivitas
Peraturan di Bidang Kepegawaian, Jakarta.
Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2004). Kajian Blue Print
Reformasi Birokrasi, Jakarta.
Manning, N., and Parison, N., (2003). International Public Administration Reform: Implications for the Russian Federation, Washington DC: World Bank.
Mohamad, Ismail., (2010). "Kebijakan Reformasi Birokrasi Nasional dan Hubungannya Dengan
Reformasi Sistem Manajemen Kepegawaian”, disampaikan pada Seminar Nasional Grand
Design Manajemen PNS, LAN, Jakarta 29 Agustus 2010.
Muhammad, Fadel, Dr., Ir., (2008). Reinventing Local Government, Pengalaman dari Daerah, PT Elex
Media Komputindo, Jakarta.
Newman, A. M., (2010). Hasil Wawancara tentang Reformasi PNS di Amerika Serikat.
OECD, (2008). The State of Public Service. Paris : OECD. Osborne dan Gaebler, (1995). Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Park, Jin, (2010). Directions and Strategies for Indonesian Bureacracy Reform: Lessons from Korea. In
P. Jin, A. Widaningrum and J. Park (Eds.), Governance Reform in Indonesia and Korea: A
Comparative Perspective. Yogyakarta : GMU Press.
Sheperd, G., (2003). Civil Service Reform in Developing Countries : Why Is It Going Badly?
11th International Anti Corruption Conference 25-38 May 2003. Seoul. Thoha, Miftah, Prof., Dr., MPA., (2008). Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
University, C., (2005). Cambridge Advanced Learner's Dictionary. Singapore : Cambridge
University Press.
124
Utomo, W, Tri Widodo, (2010). Diskusi Grand Design Reformasi PNS, Lembaga Administrasi Negara,
Jakarta, 15 Oktober 2010.
www.bkn.go.id.
www.depdagri.go.id.
www.desentralisasi.org/makalah (down load, 26 Juni 2010).
www.madina-sk.com (down load, 26 Juni 2010).
www.menpan.go.id.