gerakan sosial iwan gardono

12
1 Gerakan Sosial dan Dinamika Masyarakat oleh Iwan Gardono Sujatmiko Kata pengantar ini berupaya menambah informasi berkaitan dengan Buku Gerakan sosial: Wahana Masyarakat Sipil bagi Demokratisasi, karya Darmawan Triwibowo, Sugeng bahagio, Beka Ulung Hapsara, Miranti Husein dan Moh. Syafi’ Alielha yang diterbitkan oleh Perkumpulan Prakarsa. Buku ini dapat memperkaya komunitas akademis dan publik dalam memahami bagaimana “civil society in action.” Pembahasan berikut akan dimulai dengan penjelasan konsep gerakan sosial baik dari segi definisi maupun posisinya dalam dinamika masyarakat. Selain itu akan dibahas berbagi organisasi dalam masyarakat sipil serta bagaimana dan mengapa gerakan sosial berinteraksi dengan dinamik dalam bidang politik dan ekonomi. Pembahasan ditutup dengan prospek gerakan sosial serta beberapa saran yang dapat meningkatkan keberhasilannya. Dalam pembahasan ini artikel artikel dalam buku ini akan dibahas sebagai ilustrasi untuk memperjelas pembahasan . Definisi Dan Posisi Gerakan Sosial Membahas suatu konsep seperti Gerakan sosial tentulah perlu dimulai dengan kejelasan konsep tersebut sehingga pembaca dapat memperoleh batasan dan koridor yang dimaksud oleh para penulis dan definisi yang berlaku dalam bidang akademis atau publik. Dalam bab pengantar oleh Darmawan Triwibowo, Gerakan sosial diartikan sebagai: ”sebentuk aksi kolektif dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor aktor yang diikat rasa solidaritas dan identitias kolektif yang kuat melebihi bentuk bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama.” (halaman I-3). Definisi ini berdasarkan dari M.Diani dan I. Bison yang dipublikasikan di Universitas Trento tahun 2004. Definisi ini tidaklah jauh berbeda dengan yang kita jumpai dalam kepustakaan sosiologi, misalnya: Social movements have traditionally been defined as organized effrots to bring about social change.” 1 Selain itu terdapat pula definisi lain yakni:”Social movements are described most simply as collective attempts to promote or resist change in a society or a group.” 1 Demikian pula definisi yang “populer” gerakan sosial adalah:” a type of group action . They are

Upload: asepnandap

Post on 11-Aug-2015

97 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

modal awal perubahan masyarakat

TRANSCRIPT

Page 1: Gerakan Sosial Iwan Gardono

1

Gerakan Sosial dan Dinamika Masyarakat

oleh

Iwan Gardono Sujatmiko

Kata pengantar ini berupaya menambah informasi berkaitan dengan Buku Gerakan

sosial: Wahana Masyarakat Sipil bagi Demokratisasi, karya Darmawan Triwibowo, Sugeng

bahagio, Beka Ulung Hapsara, Miranti Husein dan Moh. Syafi’ Alielha yang diterbitkan oleh

Perkumpulan Prakarsa. Buku ini dapat memperkaya komunitas akademis dan publik dalam

memahami bagaimana “civil society in action.” Pembahasan berikut akan dimulai dengan

penjelasan konsep gerakan sosial baik dari segi definisi maupun posisinya dalam dinamika

masyarakat. Selain itu akan dibahas berbagi organisasi dalam masyarakat sipil serta

bagaimana dan mengapa gerakan sosial berinteraksi dengan dinamik dalam bidang politik

dan ekonomi. Pembahasan ditutup dengan prospek gerakan sosial serta beberapa saran yang

dapat meningkatkan keberhasilannya. Dalam pembahasan ini artikel artikel dalam buku ini

akan dibahas sebagai ilustrasi untuk memperjelas pembahasan .

Definisi Dan Posisi Gerakan Sosial

Membahas suatu konsep seperti Gerakan sosial tentulah perlu dimulai dengan

kejelasan konsep tersebut sehingga pembaca dapat memperoleh batasan dan koridor yang

dimaksud oleh para penulis dan definisi yang berlaku dalam bidang akademis atau publik.

Dalam bab pengantar oleh Darmawan Triwibowo, Gerakan sosial diartikan sebagai:

”sebentuk aksi kolektif dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan

politik tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor

aktor yang diikat rasa solidaritas dan identitias kolektif yang kuat melebihi bentuk bentuk

ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama.” (halaman I-3). Definisi ini berdasarkan dari

M.Diani dan I. Bison yang dipublikasikan di Universitas Trento tahun 2004. Definisi ini

tidaklah jauh berbeda dengan yang kita jumpai dalam kepustakaan sosiologi, misalnya:

”Social movements have traditionally been defined as organized effrots to bring about social

change.”1 Selain itu terdapat pula definisi lain yakni:”Social movements are described most

simply as collective attempts to promote or resist change in a society or a group.”1 Demikian

pula definisi yang “populer” gerakan sosial adalah:” “…a type of group action. They are

Page 2: Gerakan Sosial Iwan Gardono

2

large informal groupings of individuals and/or organizations focused on specific political or

social issues, in other words, on carrying out, resisting or undoing a social change.”1

Jelaslah bahwa definisi gerakan sosial yang agak inklusif ini dapat mendeskripsikan

gejala “civil society in action.” Gerakan sosial dapat juga dibagi menjadi “Old Social

Movement” yang memfokuskan pada isu yang berkaitan dengan materi dan biasanya terkait

dengan satu kelompok (misalnya, petani atau buruh). Sementara itu “New Social Movement”

lebih berkaitan dengan masalah ide atau nilai seperti gerakan feminisme atau lingkungan.

Namun pembagian ini dalam menjelaskan kasus empirik menjadi tidaklah mudah dan

tidaklah Gerakan sosial yang “old” harus selalu jauh mendahului yang “new.” Sejarah

Indonesia menunjukkan bahwa Gerakan Sarikat Dagang Islam mungkin lebih menekankan

aspek ekonomi (“Old Social Movement”) walaupun dimensi agama (Islam) cukup terasa

juga. Demikian juga Gerakan seperti NU atau Muhamadiyah yang erat dengan masalah ide

atau “New Social Movement” ternyata secara waktu berdekatan dengan “Old Social

Movement” tersebut. Dalam hal ini penggunaan aspek waktu atau kemutakhiran dalam

menjelaskan Gerakan sosial sangatlah tidak mudah.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial berkaitan dengan aksi

organisasi atau keleompok masyarakat sipil dalam mendukung atau menentang perubahan

sosial. Namun yang masih perlu diperjelas adalah gejala sosial diluar gerakan sosial itu apa

saja? Sehingga kita dapat mempunyai peta dan mengetahui apakah sesuatu itu dapat

dikategorikan sebagai gerakan sosial atau tidak. Hal yang penting adalah padanan gerakan

sosial yang seringkali dikaitkan dengan perubahan sosial atau masyarakat sipil (seperti judul

buku ini). Seperti yang kita ketahui seringkali ada pembagian ranah antara negara (state);

perusahaan atau pasar (corporation atau market) dan masyarakat sipil (civil society).

Berdasarkan pembagian ini maka terdapat pula “gerakan politik” yang berada di ranah negara

dan “gerakan ekonomi” di ranah ekonomi. Pembagian ini telah dibahas juga oleh Sidney

Tarrow yang melihat ”political parties” berkaitan dengan ”gerakan Politik” yakni sebagai

upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh partai politik melalui pemilu.1

Sementara itu ”gerakan ekonomi” berkaitan dengan lobby dimana terdapat upaya melakukan

perubahan kebijakan publik tanpa berusaha menduduki jabatan publik tersebut. Selain itu

perbedaan ketiga ranah tersebut dibahas juga oleh Habermas yang melihat gerakan sosial

(baru atau ”new”) merupakan resistensi progresif terhadap invasi negara dan sistem

ekonomi.1 Jadi salah satu faktor yang membedakan ketiga gerakan tersebut adalah aktornya

Page 3: Gerakan Sosial Iwan Gardono

3

yakni parpol di ranah politik; lobbyist dan perusahaan di ekonomi (pasar) dan organisasi

masyarakat sipil atau kelompok sosial di ranah masyarakat sipil.1

Perbedaan ketiga Gerakan tersebut secara analitik dapat mempermudah pemahaman

kita; namun dalam empirik ketiganya dapat saja saling tumpang tindih. Berdasarkan

pemetaan diatas, pada ranah negara dapat terjadi beberapa gerakan politik yang dilakukan

oleh parpol dalam pemilu yang mengusung masalah yang juga didukung oleh gerakan sosial.

Demikian pula upaya lobby dalam ranah ekonomi dapat pula seolah-olah sebagai suatu

gerakan sosial. Sebagai contoh, dukungan atau lobby suatu perusahaan agar suatu daerah

dilarang untuk dieksplorasi seperti juga tuntutan gerakan lingkungan dapat saja upaya untuk

mematikan saingan perusahaan tersebut. Dalam beberapa kasus, suatu gerakan sosial oleh

organisasi masyarakat sipil seperti mereka yang pro atau anti RUU APP mempunyai kaitan

dengan kelompok atau parpol di ranah politik. Demikian juga gerakan ini juga

bersinggungan dengan perusahaan seperti kasus ormas yang melakukan demonstrasi dan

perusakan kantor majalah Playboy Indonesia.

Selain definisi gerakan sosial yang berada di ranah masyarakat sipil (”civil society”)

maka para aktor atau kelompok yang terlibatpun perlu diperjelas. Selama ini ada yang

melihat bahwa Ornop (NGO) atau LSM merupakan (satu-satunya) wakil atau penjelmaan

masyarakat sipil. Namun sebenarnya Ornop hanya merupakan salah satu dari organisasi

masyarakat sipil (”Civil Society Organizations” atau ”CSOs”) yang berdampingan dengan

Organisasi massa (”Mass Organizations”), terutama organisasi massa keagamaan; organisasi

komunitas (”neighborhood organizations”, seperti RT dan RW); organisasi profesi (IDI,

Peradin, ISEI), media, lembaga pendidikan serta lembaga lain yang tidak termasuk dalam

ranah politik dan ekonomi. Namun dapat dikatakan bahwa Ornop seringkali merupakan

organisasi masyarakat sipil yang paling fokus dan konsisten pada suatu masalah dalam

perubahan sosial. Dalam Bab II buku Gerakan sosial ini kasus ketiga tokoh Lery Mboeik,

Muspani dan Imam Azis dapat dilihat peran mereka dalam Ornop walaupun ada kaitan

dengan Ormas. Begitu pula dalam Bab 3 yang membahas Ornop Perempuan dan Bab 4

tentang Ornop Lembaga Bantuan Hukum serta Bab 5 dan Bab 6 dimana dibahas ornop di

luar negeri yakni Kanada dan Afrika Selatan. Tentulah dalam gerakannya Ornop tersebut

berhubungan dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS atau ”CSOs”) lainnya. Dilihat dari

skalanya maka Ornop bisa lebih gesit dan berfungsi seperti ”partai kader.” Namun

kelemahannya adalah dalam hal memobilisasi massa yang tidak semudah organisasi massa

yang seperti ”partai massa.”

Page 4: Gerakan Sosial Iwan Gardono

4

Cakupan Gerakan Sosial

Gerakan sosial yang beragam ini dapat disederhanakan dan ditipologikan dilihat dari

”Besarnya perubahan sosial yang dikehendaki” (skala) dan ”Tipe Perubahan yang

dikehendaki” seperti yang terlihat dalam tipologi David Aberle berikut:”1

BESARNYA TIPE

Perubahan Perorangan Perubahan Sosial

Sebagian Alternative Movements Reformative Movements Menyeluruh Redemptive Movements Transformative Movements

Alternative Movements berupaya untuk mengubah sebagian perilaku orang seperti

tidak merokok. Sementara Redemptive Movements mencoba mengubah perilaku perorangan

secara menyeluruh seperti dalam bidang keagamaan. Tipe berikutnya yakni Reformative

Movements mencoba mengubah masyarkat namun dengan luang lingkup yang terbatas seperti

gerakan persamaan hak kaum perempuan. Transformative Movements adalah gerakan yang

mencoba mengubah masyarakat secara menyeluruh seperti gerakan Komunis di Kamboja.1

Berbagai kasus dalam buku ini menunjukkan bahwa Gerakan sosial yang dibahas lebih

bersifat transformative dimana fokusnya pada dimensi tertentu seperti demokrasi, HAM,

keadilan sosial, lingkungan, bantuan hukum dan perempuan.

Berdasarkan tipologi diatas maka dapat dikatakan bahwa berbagai gerakan

Transformative di Indonesia terutama yang mendasar tidaklah banyak seperti revolusi

kemerdekaan 1945 atau upaya revolusi PKI tahun 1963-1965. Dalam peristiwa tersebut

terlihatlah bahwa organisasi yang terlibat bukan hanya di ranah sosial saja melainkan di

politik dan ekonomi. Kasus PKI menunjukkan bagaimana suatu gerakan politik (dipelopori

oleh PKI) yang juga memasuki dan melibatkan ormas (buruh, petani, guru) dan RT/RW.

Sementara itu, gerakan yang reformative yang sering dianggap berada di ranah

masyarakat sipil, misalnya KB, sebenarnya merupakan mobilisasi oleh negara. Demikian

juga gerakan anti Soeharto yang dipelopori oleh mahasiswa yang gagal pada tahun 1974

namun berhasil pada tahun 1998 dapat dikatakan merupakan ”gerakan moral,” terutama

berkaitan dengan pemberantasan KKN. Namun dalam realitanya melibatkan berbagai

kelompok dan organisasi masyarakat sipil dan negara sebagai pembonceng.

Page 5: Gerakan Sosial Iwan Gardono

5

Pada tataran empirik gerakan sosial seringkali tidak homogen dimana ada satu pihak

yang menginginkan perubahan dan ada pihak lain yang menentangnya. Kasus RUU APP

yang merupakan kebijakan politik namun pertarungan di arena ranah sosial lebih ramai dari

arena politik resmi di DPR. Gerakan sosial dalam masyarakat sipil ini dapat bersifat

horizontal terutama yang berkaitan dengan nilai dan identitas dan hal ini akhirnya akan

masuk ke ranah politik karena titik keseimbangan atau yang dianggap adil oleh kedua pihak

memerlukan keputusan politik atau kebijakan publik.

Gerakan Sosial Dan Ranah Politik

Jika dilihat dari tipologi diatas maka mayoritas gerakan sosial yang dilakukan Ornop

adalah Reformative dimana mereka berupaya mengubah salah satu aspek atau lembaga

dalam masyarakat. Hal ini tidaklah mudah dan seandainya terdapat jaringan dengan Ormas

atau Organisasi komunitas maka gerakan sosial Ornop tersebut dapat menjadi lebih kuat.

Kasus Lerry Mboeik (PIAR) yang melakukan advokasi dalam bidang demokrasi, HAM dan

lingkungan menunjukkan pengaruh organisasi keagamaan dalam pengembangan karyanya.

Namun dalam gerakan selanjutnya ia mulai masuk keranah politik dan pemilu untuk

mencoba menjadi anggota DPD. Disini terdapat bahwa upaya advokasi yang reformatif

tersebut dilakukan dari luar dan dari dalam negara. Terlihatlah bahwa Lerry mencoba

bergeser dari gerakan sosial dengan dimensi moral yang tinggi ke ranah politik yang amoral

(dimana moral sering kali tidak relevan). Namun keberadaan dalam ranah politik ini

mendekatkan ke kebijakan dimana perubahan dapat dilakukan secara legal.

Pola serupa terjadi pula dengan Muspani seorang tokoh Ornop yang berhasil menjadi

anggota DPD Propinsi Bengkulu dan sebelumnya aktif di parpol. Ia berasal dan berlatih

dalam ranah masyarakat sipil di universitas dan Ornop. Sebagai seorang aktor alumni

gerakan sosial sepertinya iapun merasa bahwa perubahan kebijakan dapat juga—dan

mungkin lebih mudah—dilakukan dari dalam atau pusat kebijakan. Kepindahan para tokoh

gerakan sosial dari ranah masyarakat sipil ke ranah politik menunjukkan bahwa: pertama,

pengakuan bahwa untuk mensukseskan gerakan sosial perlu juga dilakukan dari dalam atau

mengubah sistem dari dalam; kedua, perpindahan ini dapat bersifat positif dimana ranah

politik memperoleh tokoh yang bersih dan telah teruji dalam ranah masyarakat sipil. Hal ini

juga menunjukkan bahwa batas batas antar ranah tidaklah ketat apalagi jika sistem politik

sudah demokratis maka perpindahan ini tidaklah selalu dilihat secara negatif. Hal ini berbeda

jika perpindahan ini dilakukan dalam sistem yang otoriter dimana partisipasi anggota Ornop

Page 6: Gerakan Sosial Iwan Gardono

6

masuk kedalam sistem politik dilihat sebagai kompromi atau ”pengkhianatan.” Walaupun

demikian dalam sistem yang demokratis dan relatif bebaspun masih banyak tokoh gerakan

sosial yang ingin tetap berada di ranah masyarakat sipil, misalnya almarhum Munir.

Contoh lain adalah gerakan sosial dibidang gender tidak terlepas dari upaya

mengubah kebijakan publik dan arena politik. Adanya tuntutuan atau anjuran kuota bagi

perempuan (misalnya 30%) dalam parpol atau pemilu menunjukkan Strategi Gerakan sosial

tidak dapat meniadakan kemungkinan untuk mengubah dari dalam. Dalam Bab 2 terlihat

bagaimana terdapat upaya untuk menjaring dan menawarkan caleg perempuan yang

berpotensi untuk memajukan perempuan yang dilakukan oleh Cetro. Dalam hal ini terjadilah

kombisani gerakan sosial dengan gerakan politik. Bahkan dalam beberapa kasus Ornop yang

aktif dalam gerakan sosial lingkungan telah mengubah diri menjadi partai politik seperti

partai Hijau (Green Party). Hal ini menunjukkan gejala adanya ”politicization of civil

society” dan ”civilization of the state.”1

Pembahasan diatas menunjukkan bahwa gerakan sosial mempunyai dimensi politik

atau kebijakan dan upaya keberhasilannya salah satunya adalah dengan mengubah kebijakan

yang ada. Disini terlihat bahwa gerakan sosial para aktor masyarakat sipil baik yang berasal

dari Ornop, Ormas, atau Organisasi komunnitas dalam mencapai tujuannya (“terpaksa’)

harus masuk ke arena politik. Tekanan dari luar seringkali tidak menimbulkan hasil seperti

yang diinginkan. Hal ini agak berbeda dengan Gerakan ekonomi (kelompok lobby) yang

dapat mengubah kebijakan tanpa mereka harus masuk arena politik dan menduduki jabatan

politik. Mereka dengan kekuatan lobbynya (uang) dapat mempengaruhi pihak yang berkuasa

(politikus dan birokrat). Walaupun demikian, pola penguasaan posisi politik, khususnya

dalam bidang atau departemen ekonomi, oleh para pengusaha telah terjadi juga. Seringkali

pengusaha yang memegang jabatan politik ini merupakan pengusaha besar yang dapat

menjaga bahkan memperbesar usahanya. Selain itu posisi politik ini dapat menambah status

dan ego sehingga mereka menjadi tokoh di ranah ekonomi dan politik serta seringkali

dilengkapi lagi dengan aktifitas di ranah sosial juga, seperti aktif mendirikan yayasan.

Singkatnya, ”wealth, power dan prestige” di ketiga ranah itu menghasilkan kekuasaan

lengkap atau complete power yang saling mendukung posisi mereka diketiga ranah

tersebut.

Suatu hal yang penting dibahas dalam gerakan sosial dan potensi keberhasilannya

adalah keterlibatan massa yang seringkali merupakan bagian dari Ormas. Kasus Ornop

bantuan hukum yang dibahas di Bab 4 menunjukkan bahwa tidak terlibatnya universitas

Page 7: Gerakan Sosial Iwan Gardono

7

(dengan sumber dayanya yakni dosen dan mahasiswa) membuat gerakan tersebut tidak

optimal. Bahkan hal ini seringkfali diperlemah dengan adanya konflik internal dalam

organisasi antara para pendiri yang merasa sebagai pemegang saham (”shareholders”) dengan

para pegiat yang merupakan ”stakeholders.” Keengganan universitas dan ornop untuk

bersinergi karena ego masing-masing pihak akhinrya membuat bantuan hukum tersebut

menjadi sporadis dan terbatas. Seandainya para dosen dan mahasiswa mau berpartisipasi

secara sistemik maka gerakan tersebut akan berkesinambungan. Hal ini dapat dimulai dengan

diintegrasikannya bantuan hukum dalam kurikulum dimana para mahasiswa menjadi relawan

sebagai program pengabdian masyarakat sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Demikian pula seandainya fakultas hukum terutama univeritas negeri yang telah disubsidi

oleh pemerintah (dan rakyat) mewajibkan alumninya untuk menyisihkan sebagian waktunya

(misalnya 1 hari dalam 1 bulan selama 1 tahun) maka program ini akan berdampak luas. Pola

dokter inpres yang membantu warga dalam masa tertentu bukanlah hal yang terlalu sulit jika

universitas sebagai bagian dari masyarakat sipil berpartisipasi dalam gerakan sosial

meningkatkan keadilan baagi masyarakat.

Disini telihatlah bahwa gerakan sosial di ranah masyarakat sipil yang didukung oleh

energi idealisme dan moral membutuhkan ”social capital.” Hal serupa terjadi pula dalam

ranah politik dimana arena sangat ditentukan oleh ”political capital” dalam bentuk kekuatan

suara atau dukungan massa. Sementara itu dalam ranah ekonomi peran ”economic capital,”

khususnya uang menjadi alat yang ampuh menembus ranah politik maupun sosial.

Suatu gejala penting lain yang menarik yang terjadi setelah Reformasi 1998 adalah

dibentuk dan dikembangkannya Komisi Negara sebagai lembaga ”quasi” atau ”auxillary.”

Komisi ini merespon masalah masalah dalam gerakan sosial seperti HAM, Perempuan, atau

KKN. Sebagai lembaga ”quasi negara” yang mayoritas diisi oleh tokoh masyarakat sipil

mereka mempunyai kebebasan untuk bergerak namun kelemahannya tidak dapat

menentukan secara langsung kebijakan negara. Komisi ini merupakan ”penetrasi” masyarakat

sipil ke ranah negara sesuai dengan dinamika reformasi dan hal ini merupakan kebalikan

”penetrasi” dan intervensi negara ke masyarakat sipil dengan pola korporatisme negara

dalam jaman Orde Baru. Namun keberadaan komisi negara ini memang tidak mudah karena

mereka lebih merupakan kader dengan massa yang terbatas.

Salah satu potensi masyarakat sipil untuk memasuki arena politik dan parpol adalah

ormas dan di Indonesia hal ini diwakili oleh NU dan Muhammadiyah. Partisipasi ormas

dalam parpol yang berpotensi untuk melaksanakan agenda gerakan sosial seringkali justru

Page 8: Gerakan Sosial Iwan Gardono

8

tidak terjadi. Bukannya ormas yang dapat mengendalikan parpol melalui tokoh tokoh mereka

namun yang terjadi adalah digunakannya ormas dan parpol untuk kepentingan peribadi dan

kelompok para pimpinannya. Ormas gagal menjadi alat kontrol anggotanya yang masuk ke

parpol dan parlemen dan ”sosial capital” ditinggalkan demi ”political capital” (dan juga

”economic capital”).

Pada masa kini terapat beberapa cerita sukses dari gerakan sosial (berdasarkan kelas)

yang dilakukan oleh serikat buruh dan masuk ke arena politik seperti penentangan revisi UU

Naker. Gerakan buruh ini sebenarnya berada di ranah ekonomi namun karena gagal (dalam

lembaga bipartit dan tripartit) akhirnya mereka ke ranah politik. Demikian juga berbagai

pemogokan oleh karyawan IPTN atau penerbang komersial relatif lebih sukses. Hal ini

memang tidak terlepas dari tingginya posisi tawar mereka karena mereka dibutuhkan dalam

proses ekonomi tersebut. Keadaan ini berlainan dengan berbagai kelompok yang dianggap

tidak vital seperti bidang lingkungan atau HAM yang menghadapi resistensi dari pihak yang

menentang.

Prospek Gerakan Sosial

Gerakan sosial atau ”civil society in action” ini menunjukkan pentingnya para aktor

organisasi masyarakat sipil seperti Ormas, Ornop, Organisasi Komunnitas; Media dan

universitas. Untuk masa depan Gerakan sosial perlu memperhaikan hal hal berikut

1. Koalisi antar Organisasi Masyarakat Sipil. Dalam hal ini sebenarnya masih

terdapat potensi yang dapat dikembangkan. Sebagai contoh, universitas merupakan sumber

yang sangat besar dimana para mahasiswa dapat menjadi relawan dalam berbagai kegiatan

dan mereka selalu ada yang baru setiap tahun sehingga menjamin keberlanjutan sumber daya

mansuia. Dalam hal ini perlu pengaturan agar kegiatan tersebut diintegrasikan dalam

kurikulum, misalnya, mahasiswa di fakultas ekonomi dan hukum dapat melakukan analisis

APBD di setiap kabupaten atau propinsi mereka. Dengan pola ini (KKN Baru: Kuliah Kerja

Nyata Baru) maka akan terdapat audit yang ilmiah dan berkala yang dapat membantu

pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mengurangi KKN. Tentulah

pihak universitas dan dosen harus menjaga agar gerakan sosial mahasiswa ini tetap

merupakan gerakan moral, bukan menjadi gerakan politik atau didasarkan pada kepentingan

ekonomi pihak tertentu. Masalah ini dapat mengatasi kelemahan gerakan sosial yakni

kurangnya sumber daya manusia yang mengganggu keberlanjutannya dan mahasiswa dapat

Page 9: Gerakan Sosial Iwan Gardono

9

menjadi massa sekaligus kader. Selain itu perlu pula diaktifkan media cetak dan elektronik

untuk mendukung agenda gerakan sosial secara sistemik dan terukur. Pembuatan opini publik

yang rutin dan tidak sporadis akan dapat menekan berbagai pihak yang menentang atau

mendukung suatu issu. Dalam hal ini perlu dihilangkan sekat sekat antar organisasi atau ego

sektoral maupun ego pribadi para tokoh masyarakat sipil. Pembahasan Bab 6 oleh

Dharmawan Triwibowo menunjukkan bagaimana inklusivisme Ornop IDASA di Afrika

Selatan dapat membantu Gerakan sosial.

Adanya koalisi Ornop dan organisasi masyarakat sipil lainnnya yang kritis pada UU

tertentu atau menawarkan draft UU merupakan contoh sukses yang perlu diperbanyak.

Demikian pula jejaring dengan Ornop diluar negeri dapat lebih mengefektifkan dan

meningatkan kapasitas Gerakan sosial. Masalah ini telah dibahas oleh Binny Buchori dalam

Bab 5 ketika membahas North South Institute di Kanada.

2. Dukungan dana dari pemerintah. Selain sumberdya manusia maka gerakan

sosial dan organisasi masyarakat sipil seringkali mengalami kekurangan dana untuk

operasional baik rutin maupun program. Dalam hal ini pemerintah perlu membantu mereka

dengan cara yang adil dan transparan, misalnya melalui kompetisi sejumlah dana secara rutin

(setiap tahun). Selain itu lembaga pendapat dana tersebut perlu transparan dan menghasilkan

”audit”nya guna kepentingan publik. Uang dari pemerintah yang sebenarnya dari rakyat ini

dikembalikan ke rakyat yang berada di masyarakat sipil. Selama ini subsidi pada organisasi

kemasyarakatan juga telah dilakukan (misalnya melalui APBD) namun sifatnya lebih berupa

bantuan (”sogokan”?) sehingga agar mereka tidak kritis terhadap pemerintah. Dukungan atau

insentif ini terjadi pula diranah politik, misalnya dukungan dan pada parpol sesuai dengan

jumlah kursi yang mereka peroleh. Demikian pula dalam ranah ekonomi berbagai subsidi

seperti penghapusan hutang (pemutihan) atau pembebasan pajak/cukai pada para pelaku

ekonoi merupakan suatu hal yang tidak luar biasa. Dukungan insentif ini hendaknya tidak

dilihat sebagai cost namun sebagai investasi, bahkan merupakan ”entitlement” publik. Agar

warga dapat berpartisipasi dengan aktif maka diperlukan dana ”O&M” (”Operation and

Maintenance”) untuk proyek demokrasi.1 Selama ini poyek fisik memperoleh anggaran

untuk ”O&M” namun proyek sosial seperti demokrasi pasca pemilu, toleransi sosial maupun

integrasi nasional masih kurang mendapat perhatian. Disini diperlukan perubahan pola pikir

para pembuat keputusan (lembaga DPR/D) dan pemerintah, terutama bagian perencanaan

pembangunan dan anggaran (Bappenas- Bappeda; Departemen Keuangan).

Page 10: Gerakan Sosial Iwan Gardono

10

3. Aliansi dengan kekuatan di ranah politik (parpol) dan ekonomi (perusahaan).

Hal seperti ini dapat saja dianggap aneh karena gerakan sosial sebenarnya merupakan upaya

organisasi masyarakat sipil dalam mengupayakan atau menentang perubahan sosial yang

seringkali tidak mendapat perhatian dari kedua ranah tersebut. Namun yang perlu

diperhatikan adalah beragamnya organisasi dan kelompok yang berada di ranah politik dan

ekonomi tersebut sehingga masih membuka peluang untuk kerjasama. Dalam hal ini

kerjasama dengan mereka dapat saja lebih mudah dan bermanfaat ketimbang dengan sesama

organisasi masyarakat sipil yang mempunyai pendapat dan tindakan yang berbeda. Sebagai

contoh, Gerakan sosial dalam bidang perempuan dapat saja mempunyai pendukung di ranah

politik (sebagai issue kampanye) dan ekonomi (upaya Public Relation/PR atau corporate

image). Dalam hal ini perlu dibuat agenda dan rencana strategis yang membuka kesempatan

bagi partisipasi dari ranah lain tanpa mengkompromikan prinsip transparansi dan

akuntabilitas serta kepentingan masyarakat sipil yang dicoba didukung oleh berbagai

organisasi masyarakat sipil.

4. Penekanan pada ranah politik. Seringkali masalah yang dibahas dalam Gerakan

sosial berkaitan dengan keputusan politik formal seperti UU. Dalam hal ini Organisasi

Masyarakat Sipil (Ornop atau Ormas) dapat mencapai tujuan gerakan sosial dengan

melakukan penekanan pada aktor dalam ranah politik, misalnya anggota legislatif (DPR/D).

Penekanan dapat berupa petisi atau ”class actions” sehingga para aktor yang mempunyai

otoritas politik tersebut dipaksa untuk menghasilkan suatu kebijakan baru yang sesuai dengan

aspirasi masyarakat sipil yang pada awalnya dilakukan melalui gerakan sosial. Misalnya

dalam suatu kasus pencemaran lingkungan, warga dan Ornop serta Ormas menekan anggota

DPR/D tempat lokasi kejadian untuk segera bertindak jika tidak maka akan dilakukan ”class

actions.” Selain itu dapat pula dilakukan ”boikot” pada pemilu berikutnya sehingga anggota

legislatif tersebut (dan partainya) tidak akan dipilih. Dalam hal ini ”social capital”

ditransformasikan menjadi ”political capital” masyarakat sipil sehingga hal ini akan

mengurangi ”political capital” (yang berlebihan) dari para anggota legislatif tersebut.

Keadaan ini menunjukkan bahwa partisipasi warga tidak hanya terjadi pada saat pemilu saja

namun juga pada masa pasca pemilu dimana justru banyak diambil keputusan yang berkaitan

dengan kepentingan publik. Apalagi jika pada masa pasca pemilu parpol menjadi tidak aktif

dan wakil rakyat yang terpilih karena suara rakyat menjadi tidak aspiratif pula. Singkatnya

peran aktif berbagai organisasi masyarakat sipil yang mendukung warga dalam berbagai

Page 11: Gerakan Sosial Iwan Gardono

11

gerakan sosial dapat menjadi wahana masyarakat sipil bagi demokratisasi. Hal ini sesuai

dengan pesan dan judul buku karya Perkumpulan Praksarsa ini.

Page 12: Gerakan Sosial Iwan Gardono

12