Download - Gerakan Sosial Iwan Gardono
1
Gerakan Sosial dan Dinamika Masyarakat
oleh
Iwan Gardono Sujatmiko
Kata pengantar ini berupaya menambah informasi berkaitan dengan Buku Gerakan
sosial: Wahana Masyarakat Sipil bagi Demokratisasi, karya Darmawan Triwibowo, Sugeng
bahagio, Beka Ulung Hapsara, Miranti Husein dan Moh. Syafi’ Alielha yang diterbitkan oleh
Perkumpulan Prakarsa. Buku ini dapat memperkaya komunitas akademis dan publik dalam
memahami bagaimana “civil society in action.” Pembahasan berikut akan dimulai dengan
penjelasan konsep gerakan sosial baik dari segi definisi maupun posisinya dalam dinamika
masyarakat. Selain itu akan dibahas berbagi organisasi dalam masyarakat sipil serta
bagaimana dan mengapa gerakan sosial berinteraksi dengan dinamik dalam bidang politik
dan ekonomi. Pembahasan ditutup dengan prospek gerakan sosial serta beberapa saran yang
dapat meningkatkan keberhasilannya. Dalam pembahasan ini artikel artikel dalam buku ini
akan dibahas sebagai ilustrasi untuk memperjelas pembahasan .
Definisi Dan Posisi Gerakan Sosial
Membahas suatu konsep seperti Gerakan sosial tentulah perlu dimulai dengan
kejelasan konsep tersebut sehingga pembaca dapat memperoleh batasan dan koridor yang
dimaksud oleh para penulis dan definisi yang berlaku dalam bidang akademis atau publik.
Dalam bab pengantar oleh Darmawan Triwibowo, Gerakan sosial diartikan sebagai:
”sebentuk aksi kolektif dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan
politik tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor
aktor yang diikat rasa solidaritas dan identitias kolektif yang kuat melebihi bentuk bentuk
ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama.” (halaman I-3). Definisi ini berdasarkan dari
M.Diani dan I. Bison yang dipublikasikan di Universitas Trento tahun 2004. Definisi ini
tidaklah jauh berbeda dengan yang kita jumpai dalam kepustakaan sosiologi, misalnya:
”Social movements have traditionally been defined as organized effrots to bring about social
change.”1 Selain itu terdapat pula definisi lain yakni:”Social movements are described most
simply as collective attempts to promote or resist change in a society or a group.”1 Demikian
pula definisi yang “populer” gerakan sosial adalah:” “…a type of group action. They are
2
large informal groupings of individuals and/or organizations focused on specific political or
social issues, in other words, on carrying out, resisting or undoing a social change.”1
Jelaslah bahwa definisi gerakan sosial yang agak inklusif ini dapat mendeskripsikan
gejala “civil society in action.” Gerakan sosial dapat juga dibagi menjadi “Old Social
Movement” yang memfokuskan pada isu yang berkaitan dengan materi dan biasanya terkait
dengan satu kelompok (misalnya, petani atau buruh). Sementara itu “New Social Movement”
lebih berkaitan dengan masalah ide atau nilai seperti gerakan feminisme atau lingkungan.
Namun pembagian ini dalam menjelaskan kasus empirik menjadi tidaklah mudah dan
tidaklah Gerakan sosial yang “old” harus selalu jauh mendahului yang “new.” Sejarah
Indonesia menunjukkan bahwa Gerakan Sarikat Dagang Islam mungkin lebih menekankan
aspek ekonomi (“Old Social Movement”) walaupun dimensi agama (Islam) cukup terasa
juga. Demikian juga Gerakan seperti NU atau Muhamadiyah yang erat dengan masalah ide
atau “New Social Movement” ternyata secara waktu berdekatan dengan “Old Social
Movement” tersebut. Dalam hal ini penggunaan aspek waktu atau kemutakhiran dalam
menjelaskan Gerakan sosial sangatlah tidak mudah.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial berkaitan dengan aksi
organisasi atau keleompok masyarakat sipil dalam mendukung atau menentang perubahan
sosial. Namun yang masih perlu diperjelas adalah gejala sosial diluar gerakan sosial itu apa
saja? Sehingga kita dapat mempunyai peta dan mengetahui apakah sesuatu itu dapat
dikategorikan sebagai gerakan sosial atau tidak. Hal yang penting adalah padanan gerakan
sosial yang seringkali dikaitkan dengan perubahan sosial atau masyarakat sipil (seperti judul
buku ini). Seperti yang kita ketahui seringkali ada pembagian ranah antara negara (state);
perusahaan atau pasar (corporation atau market) dan masyarakat sipil (civil society).
Berdasarkan pembagian ini maka terdapat pula “gerakan politik” yang berada di ranah negara
dan “gerakan ekonomi” di ranah ekonomi. Pembagian ini telah dibahas juga oleh Sidney
Tarrow yang melihat ”political parties” berkaitan dengan ”gerakan Politik” yakni sebagai
upaya perebutan dan penguasaan jabatan politik oleh partai politik melalui pemilu.1
Sementara itu ”gerakan ekonomi” berkaitan dengan lobby dimana terdapat upaya melakukan
perubahan kebijakan publik tanpa berusaha menduduki jabatan publik tersebut. Selain itu
perbedaan ketiga ranah tersebut dibahas juga oleh Habermas yang melihat gerakan sosial
(baru atau ”new”) merupakan resistensi progresif terhadap invasi negara dan sistem
ekonomi.1 Jadi salah satu faktor yang membedakan ketiga gerakan tersebut adalah aktornya
3
yakni parpol di ranah politik; lobbyist dan perusahaan di ekonomi (pasar) dan organisasi
masyarakat sipil atau kelompok sosial di ranah masyarakat sipil.1
Perbedaan ketiga Gerakan tersebut secara analitik dapat mempermudah pemahaman
kita; namun dalam empirik ketiganya dapat saja saling tumpang tindih. Berdasarkan
pemetaan diatas, pada ranah negara dapat terjadi beberapa gerakan politik yang dilakukan
oleh parpol dalam pemilu yang mengusung masalah yang juga didukung oleh gerakan sosial.
Demikian pula upaya lobby dalam ranah ekonomi dapat pula seolah-olah sebagai suatu
gerakan sosial. Sebagai contoh, dukungan atau lobby suatu perusahaan agar suatu daerah
dilarang untuk dieksplorasi seperti juga tuntutan gerakan lingkungan dapat saja upaya untuk
mematikan saingan perusahaan tersebut. Dalam beberapa kasus, suatu gerakan sosial oleh
organisasi masyarakat sipil seperti mereka yang pro atau anti RUU APP mempunyai kaitan
dengan kelompok atau parpol di ranah politik. Demikian juga gerakan ini juga
bersinggungan dengan perusahaan seperti kasus ormas yang melakukan demonstrasi dan
perusakan kantor majalah Playboy Indonesia.
Selain definisi gerakan sosial yang berada di ranah masyarakat sipil (”civil society”)
maka para aktor atau kelompok yang terlibatpun perlu diperjelas. Selama ini ada yang
melihat bahwa Ornop (NGO) atau LSM merupakan (satu-satunya) wakil atau penjelmaan
masyarakat sipil. Namun sebenarnya Ornop hanya merupakan salah satu dari organisasi
masyarakat sipil (”Civil Society Organizations” atau ”CSOs”) yang berdampingan dengan
Organisasi massa (”Mass Organizations”), terutama organisasi massa keagamaan; organisasi
komunitas (”neighborhood organizations”, seperti RT dan RW); organisasi profesi (IDI,
Peradin, ISEI), media, lembaga pendidikan serta lembaga lain yang tidak termasuk dalam
ranah politik dan ekonomi. Namun dapat dikatakan bahwa Ornop seringkali merupakan
organisasi masyarakat sipil yang paling fokus dan konsisten pada suatu masalah dalam
perubahan sosial. Dalam Bab II buku Gerakan sosial ini kasus ketiga tokoh Lery Mboeik,
Muspani dan Imam Azis dapat dilihat peran mereka dalam Ornop walaupun ada kaitan
dengan Ormas. Begitu pula dalam Bab 3 yang membahas Ornop Perempuan dan Bab 4
tentang Ornop Lembaga Bantuan Hukum serta Bab 5 dan Bab 6 dimana dibahas ornop di
luar negeri yakni Kanada dan Afrika Selatan. Tentulah dalam gerakannya Ornop tersebut
berhubungan dengan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS atau ”CSOs”) lainnya. Dilihat dari
skalanya maka Ornop bisa lebih gesit dan berfungsi seperti ”partai kader.” Namun
kelemahannya adalah dalam hal memobilisasi massa yang tidak semudah organisasi massa
yang seperti ”partai massa.”
4
Cakupan Gerakan Sosial
Gerakan sosial yang beragam ini dapat disederhanakan dan ditipologikan dilihat dari
”Besarnya perubahan sosial yang dikehendaki” (skala) dan ”Tipe Perubahan yang
dikehendaki” seperti yang terlihat dalam tipologi David Aberle berikut:”1
BESARNYA TIPE
Perubahan Perorangan Perubahan Sosial
Sebagian Alternative Movements Reformative Movements Menyeluruh Redemptive Movements Transformative Movements
Alternative Movements berupaya untuk mengubah sebagian perilaku orang seperti
tidak merokok. Sementara Redemptive Movements mencoba mengubah perilaku perorangan
secara menyeluruh seperti dalam bidang keagamaan. Tipe berikutnya yakni Reformative
Movements mencoba mengubah masyarkat namun dengan luang lingkup yang terbatas seperti
gerakan persamaan hak kaum perempuan. Transformative Movements adalah gerakan yang
mencoba mengubah masyarakat secara menyeluruh seperti gerakan Komunis di Kamboja.1
Berbagai kasus dalam buku ini menunjukkan bahwa Gerakan sosial yang dibahas lebih
bersifat transformative dimana fokusnya pada dimensi tertentu seperti demokrasi, HAM,
keadilan sosial, lingkungan, bantuan hukum dan perempuan.
Berdasarkan tipologi diatas maka dapat dikatakan bahwa berbagai gerakan
Transformative di Indonesia terutama yang mendasar tidaklah banyak seperti revolusi
kemerdekaan 1945 atau upaya revolusi PKI tahun 1963-1965. Dalam peristiwa tersebut
terlihatlah bahwa organisasi yang terlibat bukan hanya di ranah sosial saja melainkan di
politik dan ekonomi. Kasus PKI menunjukkan bagaimana suatu gerakan politik (dipelopori
oleh PKI) yang juga memasuki dan melibatkan ormas (buruh, petani, guru) dan RT/RW.
Sementara itu, gerakan yang reformative yang sering dianggap berada di ranah
masyarakat sipil, misalnya KB, sebenarnya merupakan mobilisasi oleh negara. Demikian
juga gerakan anti Soeharto yang dipelopori oleh mahasiswa yang gagal pada tahun 1974
namun berhasil pada tahun 1998 dapat dikatakan merupakan ”gerakan moral,” terutama
berkaitan dengan pemberantasan KKN. Namun dalam realitanya melibatkan berbagai
kelompok dan organisasi masyarakat sipil dan negara sebagai pembonceng.
5
Pada tataran empirik gerakan sosial seringkali tidak homogen dimana ada satu pihak
yang menginginkan perubahan dan ada pihak lain yang menentangnya. Kasus RUU APP
yang merupakan kebijakan politik namun pertarungan di arena ranah sosial lebih ramai dari
arena politik resmi di DPR. Gerakan sosial dalam masyarakat sipil ini dapat bersifat
horizontal terutama yang berkaitan dengan nilai dan identitas dan hal ini akhirnya akan
masuk ke ranah politik karena titik keseimbangan atau yang dianggap adil oleh kedua pihak
memerlukan keputusan politik atau kebijakan publik.
Gerakan Sosial Dan Ranah Politik
Jika dilihat dari tipologi diatas maka mayoritas gerakan sosial yang dilakukan Ornop
adalah Reformative dimana mereka berupaya mengubah salah satu aspek atau lembaga
dalam masyarakat. Hal ini tidaklah mudah dan seandainya terdapat jaringan dengan Ormas
atau Organisasi komunitas maka gerakan sosial Ornop tersebut dapat menjadi lebih kuat.
Kasus Lerry Mboeik (PIAR) yang melakukan advokasi dalam bidang demokrasi, HAM dan
lingkungan menunjukkan pengaruh organisasi keagamaan dalam pengembangan karyanya.
Namun dalam gerakan selanjutnya ia mulai masuk keranah politik dan pemilu untuk
mencoba menjadi anggota DPD. Disini terdapat bahwa upaya advokasi yang reformatif
tersebut dilakukan dari luar dan dari dalam negara. Terlihatlah bahwa Lerry mencoba
bergeser dari gerakan sosial dengan dimensi moral yang tinggi ke ranah politik yang amoral
(dimana moral sering kali tidak relevan). Namun keberadaan dalam ranah politik ini
mendekatkan ke kebijakan dimana perubahan dapat dilakukan secara legal.
Pola serupa terjadi pula dengan Muspani seorang tokoh Ornop yang berhasil menjadi
anggota DPD Propinsi Bengkulu dan sebelumnya aktif di parpol. Ia berasal dan berlatih
dalam ranah masyarakat sipil di universitas dan Ornop. Sebagai seorang aktor alumni
gerakan sosial sepertinya iapun merasa bahwa perubahan kebijakan dapat juga—dan
mungkin lebih mudah—dilakukan dari dalam atau pusat kebijakan. Kepindahan para tokoh
gerakan sosial dari ranah masyarakat sipil ke ranah politik menunjukkan bahwa: pertama,
pengakuan bahwa untuk mensukseskan gerakan sosial perlu juga dilakukan dari dalam atau
mengubah sistem dari dalam; kedua, perpindahan ini dapat bersifat positif dimana ranah
politik memperoleh tokoh yang bersih dan telah teruji dalam ranah masyarakat sipil. Hal ini
juga menunjukkan bahwa batas batas antar ranah tidaklah ketat apalagi jika sistem politik
sudah demokratis maka perpindahan ini tidaklah selalu dilihat secara negatif. Hal ini berbeda
jika perpindahan ini dilakukan dalam sistem yang otoriter dimana partisipasi anggota Ornop
6
masuk kedalam sistem politik dilihat sebagai kompromi atau ”pengkhianatan.” Walaupun
demikian dalam sistem yang demokratis dan relatif bebaspun masih banyak tokoh gerakan
sosial yang ingin tetap berada di ranah masyarakat sipil, misalnya almarhum Munir.
Contoh lain adalah gerakan sosial dibidang gender tidak terlepas dari upaya
mengubah kebijakan publik dan arena politik. Adanya tuntutuan atau anjuran kuota bagi
perempuan (misalnya 30%) dalam parpol atau pemilu menunjukkan Strategi Gerakan sosial
tidak dapat meniadakan kemungkinan untuk mengubah dari dalam. Dalam Bab 2 terlihat
bagaimana terdapat upaya untuk menjaring dan menawarkan caleg perempuan yang
berpotensi untuk memajukan perempuan yang dilakukan oleh Cetro. Dalam hal ini terjadilah
kombisani gerakan sosial dengan gerakan politik. Bahkan dalam beberapa kasus Ornop yang
aktif dalam gerakan sosial lingkungan telah mengubah diri menjadi partai politik seperti
partai Hijau (Green Party). Hal ini menunjukkan gejala adanya ”politicization of civil
society” dan ”civilization of the state.”1
Pembahasan diatas menunjukkan bahwa gerakan sosial mempunyai dimensi politik
atau kebijakan dan upaya keberhasilannya salah satunya adalah dengan mengubah kebijakan
yang ada. Disini terlihat bahwa gerakan sosial para aktor masyarakat sipil baik yang berasal
dari Ornop, Ormas, atau Organisasi komunnitas dalam mencapai tujuannya (“terpaksa’)
harus masuk ke arena politik. Tekanan dari luar seringkali tidak menimbulkan hasil seperti
yang diinginkan. Hal ini agak berbeda dengan Gerakan ekonomi (kelompok lobby) yang
dapat mengubah kebijakan tanpa mereka harus masuk arena politik dan menduduki jabatan
politik. Mereka dengan kekuatan lobbynya (uang) dapat mempengaruhi pihak yang berkuasa
(politikus dan birokrat). Walaupun demikian, pola penguasaan posisi politik, khususnya
dalam bidang atau departemen ekonomi, oleh para pengusaha telah terjadi juga. Seringkali
pengusaha yang memegang jabatan politik ini merupakan pengusaha besar yang dapat
menjaga bahkan memperbesar usahanya. Selain itu posisi politik ini dapat menambah status
dan ego sehingga mereka menjadi tokoh di ranah ekonomi dan politik serta seringkali
dilengkapi lagi dengan aktifitas di ranah sosial juga, seperti aktif mendirikan yayasan.
Singkatnya, ”wealth, power dan prestige” di ketiga ranah itu menghasilkan kekuasaan
lengkap atau complete power yang saling mendukung posisi mereka diketiga ranah
tersebut.
Suatu hal yang penting dibahas dalam gerakan sosial dan potensi keberhasilannya
adalah keterlibatan massa yang seringkali merupakan bagian dari Ormas. Kasus Ornop
bantuan hukum yang dibahas di Bab 4 menunjukkan bahwa tidak terlibatnya universitas
7
(dengan sumber dayanya yakni dosen dan mahasiswa) membuat gerakan tersebut tidak
optimal. Bahkan hal ini seringkfali diperlemah dengan adanya konflik internal dalam
organisasi antara para pendiri yang merasa sebagai pemegang saham (”shareholders”) dengan
para pegiat yang merupakan ”stakeholders.” Keengganan universitas dan ornop untuk
bersinergi karena ego masing-masing pihak akhinrya membuat bantuan hukum tersebut
menjadi sporadis dan terbatas. Seandainya para dosen dan mahasiswa mau berpartisipasi
secara sistemik maka gerakan tersebut akan berkesinambungan. Hal ini dapat dimulai dengan
diintegrasikannya bantuan hukum dalam kurikulum dimana para mahasiswa menjadi relawan
sebagai program pengabdian masyarakat sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Demikian pula seandainya fakultas hukum terutama univeritas negeri yang telah disubsidi
oleh pemerintah (dan rakyat) mewajibkan alumninya untuk menyisihkan sebagian waktunya
(misalnya 1 hari dalam 1 bulan selama 1 tahun) maka program ini akan berdampak luas. Pola
dokter inpres yang membantu warga dalam masa tertentu bukanlah hal yang terlalu sulit jika
universitas sebagai bagian dari masyarakat sipil berpartisipasi dalam gerakan sosial
meningkatkan keadilan baagi masyarakat.
Disini telihatlah bahwa gerakan sosial di ranah masyarakat sipil yang didukung oleh
energi idealisme dan moral membutuhkan ”social capital.” Hal serupa terjadi pula dalam
ranah politik dimana arena sangat ditentukan oleh ”political capital” dalam bentuk kekuatan
suara atau dukungan massa. Sementara itu dalam ranah ekonomi peran ”economic capital,”
khususnya uang menjadi alat yang ampuh menembus ranah politik maupun sosial.
Suatu gejala penting lain yang menarik yang terjadi setelah Reformasi 1998 adalah
dibentuk dan dikembangkannya Komisi Negara sebagai lembaga ”quasi” atau ”auxillary.”
Komisi ini merespon masalah masalah dalam gerakan sosial seperti HAM, Perempuan, atau
KKN. Sebagai lembaga ”quasi negara” yang mayoritas diisi oleh tokoh masyarakat sipil
mereka mempunyai kebebasan untuk bergerak namun kelemahannya tidak dapat
menentukan secara langsung kebijakan negara. Komisi ini merupakan ”penetrasi” masyarakat
sipil ke ranah negara sesuai dengan dinamika reformasi dan hal ini merupakan kebalikan
”penetrasi” dan intervensi negara ke masyarakat sipil dengan pola korporatisme negara
dalam jaman Orde Baru. Namun keberadaan komisi negara ini memang tidak mudah karena
mereka lebih merupakan kader dengan massa yang terbatas.
Salah satu potensi masyarakat sipil untuk memasuki arena politik dan parpol adalah
ormas dan di Indonesia hal ini diwakili oleh NU dan Muhammadiyah. Partisipasi ormas
dalam parpol yang berpotensi untuk melaksanakan agenda gerakan sosial seringkali justru
8
tidak terjadi. Bukannya ormas yang dapat mengendalikan parpol melalui tokoh tokoh mereka
namun yang terjadi adalah digunakannya ormas dan parpol untuk kepentingan peribadi dan
kelompok para pimpinannya. Ormas gagal menjadi alat kontrol anggotanya yang masuk ke
parpol dan parlemen dan ”sosial capital” ditinggalkan demi ”political capital” (dan juga
”economic capital”).
Pada masa kini terapat beberapa cerita sukses dari gerakan sosial (berdasarkan kelas)
yang dilakukan oleh serikat buruh dan masuk ke arena politik seperti penentangan revisi UU
Naker. Gerakan buruh ini sebenarnya berada di ranah ekonomi namun karena gagal (dalam
lembaga bipartit dan tripartit) akhirnya mereka ke ranah politik. Demikian juga berbagai
pemogokan oleh karyawan IPTN atau penerbang komersial relatif lebih sukses. Hal ini
memang tidak terlepas dari tingginya posisi tawar mereka karena mereka dibutuhkan dalam
proses ekonomi tersebut. Keadaan ini berlainan dengan berbagai kelompok yang dianggap
tidak vital seperti bidang lingkungan atau HAM yang menghadapi resistensi dari pihak yang
menentang.
Prospek Gerakan Sosial
Gerakan sosial atau ”civil society in action” ini menunjukkan pentingnya para aktor
organisasi masyarakat sipil seperti Ormas, Ornop, Organisasi Komunnitas; Media dan
universitas. Untuk masa depan Gerakan sosial perlu memperhaikan hal hal berikut
1. Koalisi antar Organisasi Masyarakat Sipil. Dalam hal ini sebenarnya masih
terdapat potensi yang dapat dikembangkan. Sebagai contoh, universitas merupakan sumber
yang sangat besar dimana para mahasiswa dapat menjadi relawan dalam berbagai kegiatan
dan mereka selalu ada yang baru setiap tahun sehingga menjamin keberlanjutan sumber daya
mansuia. Dalam hal ini perlu pengaturan agar kegiatan tersebut diintegrasikan dalam
kurikulum, misalnya, mahasiswa di fakultas ekonomi dan hukum dapat melakukan analisis
APBD di setiap kabupaten atau propinsi mereka. Dengan pola ini (KKN Baru: Kuliah Kerja
Nyata Baru) maka akan terdapat audit yang ilmiah dan berkala yang dapat membantu
pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mengurangi KKN. Tentulah
pihak universitas dan dosen harus menjaga agar gerakan sosial mahasiswa ini tetap
merupakan gerakan moral, bukan menjadi gerakan politik atau didasarkan pada kepentingan
ekonomi pihak tertentu. Masalah ini dapat mengatasi kelemahan gerakan sosial yakni
kurangnya sumber daya manusia yang mengganggu keberlanjutannya dan mahasiswa dapat
9
menjadi massa sekaligus kader. Selain itu perlu pula diaktifkan media cetak dan elektronik
untuk mendukung agenda gerakan sosial secara sistemik dan terukur. Pembuatan opini publik
yang rutin dan tidak sporadis akan dapat menekan berbagai pihak yang menentang atau
mendukung suatu issu. Dalam hal ini perlu dihilangkan sekat sekat antar organisasi atau ego
sektoral maupun ego pribadi para tokoh masyarakat sipil. Pembahasan Bab 6 oleh
Dharmawan Triwibowo menunjukkan bagaimana inklusivisme Ornop IDASA di Afrika
Selatan dapat membantu Gerakan sosial.
Adanya koalisi Ornop dan organisasi masyarakat sipil lainnnya yang kritis pada UU
tertentu atau menawarkan draft UU merupakan contoh sukses yang perlu diperbanyak.
Demikian pula jejaring dengan Ornop diluar negeri dapat lebih mengefektifkan dan
meningatkan kapasitas Gerakan sosial. Masalah ini telah dibahas oleh Binny Buchori dalam
Bab 5 ketika membahas North South Institute di Kanada.
2. Dukungan dana dari pemerintah. Selain sumberdya manusia maka gerakan
sosial dan organisasi masyarakat sipil seringkali mengalami kekurangan dana untuk
operasional baik rutin maupun program. Dalam hal ini pemerintah perlu membantu mereka
dengan cara yang adil dan transparan, misalnya melalui kompetisi sejumlah dana secara rutin
(setiap tahun). Selain itu lembaga pendapat dana tersebut perlu transparan dan menghasilkan
”audit”nya guna kepentingan publik. Uang dari pemerintah yang sebenarnya dari rakyat ini
dikembalikan ke rakyat yang berada di masyarakat sipil. Selama ini subsidi pada organisasi
kemasyarakatan juga telah dilakukan (misalnya melalui APBD) namun sifatnya lebih berupa
bantuan (”sogokan”?) sehingga agar mereka tidak kritis terhadap pemerintah. Dukungan atau
insentif ini terjadi pula diranah politik, misalnya dukungan dan pada parpol sesuai dengan
jumlah kursi yang mereka peroleh. Demikian pula dalam ranah ekonomi berbagai subsidi
seperti penghapusan hutang (pemutihan) atau pembebasan pajak/cukai pada para pelaku
ekonoi merupakan suatu hal yang tidak luar biasa. Dukungan insentif ini hendaknya tidak
dilihat sebagai cost namun sebagai investasi, bahkan merupakan ”entitlement” publik. Agar
warga dapat berpartisipasi dengan aktif maka diperlukan dana ”O&M” (”Operation and
Maintenance”) untuk proyek demokrasi.1 Selama ini poyek fisik memperoleh anggaran
untuk ”O&M” namun proyek sosial seperti demokrasi pasca pemilu, toleransi sosial maupun
integrasi nasional masih kurang mendapat perhatian. Disini diperlukan perubahan pola pikir
para pembuat keputusan (lembaga DPR/D) dan pemerintah, terutama bagian perencanaan
pembangunan dan anggaran (Bappenas- Bappeda; Departemen Keuangan).
10
3. Aliansi dengan kekuatan di ranah politik (parpol) dan ekonomi (perusahaan).
Hal seperti ini dapat saja dianggap aneh karena gerakan sosial sebenarnya merupakan upaya
organisasi masyarakat sipil dalam mengupayakan atau menentang perubahan sosial yang
seringkali tidak mendapat perhatian dari kedua ranah tersebut. Namun yang perlu
diperhatikan adalah beragamnya organisasi dan kelompok yang berada di ranah politik dan
ekonomi tersebut sehingga masih membuka peluang untuk kerjasama. Dalam hal ini
kerjasama dengan mereka dapat saja lebih mudah dan bermanfaat ketimbang dengan sesama
organisasi masyarakat sipil yang mempunyai pendapat dan tindakan yang berbeda. Sebagai
contoh, Gerakan sosial dalam bidang perempuan dapat saja mempunyai pendukung di ranah
politik (sebagai issue kampanye) dan ekonomi (upaya Public Relation/PR atau corporate
image). Dalam hal ini perlu dibuat agenda dan rencana strategis yang membuka kesempatan
bagi partisipasi dari ranah lain tanpa mengkompromikan prinsip transparansi dan
akuntabilitas serta kepentingan masyarakat sipil yang dicoba didukung oleh berbagai
organisasi masyarakat sipil.
4. Penekanan pada ranah politik. Seringkali masalah yang dibahas dalam Gerakan
sosial berkaitan dengan keputusan politik formal seperti UU. Dalam hal ini Organisasi
Masyarakat Sipil (Ornop atau Ormas) dapat mencapai tujuan gerakan sosial dengan
melakukan penekanan pada aktor dalam ranah politik, misalnya anggota legislatif (DPR/D).
Penekanan dapat berupa petisi atau ”class actions” sehingga para aktor yang mempunyai
otoritas politik tersebut dipaksa untuk menghasilkan suatu kebijakan baru yang sesuai dengan
aspirasi masyarakat sipil yang pada awalnya dilakukan melalui gerakan sosial. Misalnya
dalam suatu kasus pencemaran lingkungan, warga dan Ornop serta Ormas menekan anggota
DPR/D tempat lokasi kejadian untuk segera bertindak jika tidak maka akan dilakukan ”class
actions.” Selain itu dapat pula dilakukan ”boikot” pada pemilu berikutnya sehingga anggota
legislatif tersebut (dan partainya) tidak akan dipilih. Dalam hal ini ”social capital”
ditransformasikan menjadi ”political capital” masyarakat sipil sehingga hal ini akan
mengurangi ”political capital” (yang berlebihan) dari para anggota legislatif tersebut.
Keadaan ini menunjukkan bahwa partisipasi warga tidak hanya terjadi pada saat pemilu saja
namun juga pada masa pasca pemilu dimana justru banyak diambil keputusan yang berkaitan
dengan kepentingan publik. Apalagi jika pada masa pasca pemilu parpol menjadi tidak aktif
dan wakil rakyat yang terpilih karena suara rakyat menjadi tidak aspiratif pula. Singkatnya
peran aktif berbagai organisasi masyarakat sipil yang mendukung warga dalam berbagai
11
gerakan sosial dapat menjadi wahana masyarakat sipil bagi demokratisasi. Hal ini sesuai
dengan pesan dan judul buku karya Perkumpulan Praksarsa ini.
12