geologi kuarter dataran pantai jepara, jawa …
TRANSCRIPT
Naskah diterima : 22 Oktober 2013
Revisi terakhir : 24 Januari 2014
GEOLOGI KUARTER DATARAN PANTAI JEPARA, JAWA TENGAH
QUATERNARY GEOLOGY OF JEPARA COASTAL PLAIN, CENTRAL JAVA
Oleh:
Ungkap. M. Lumban Batu, Suyatman Hidayat, Woro Sri Sukapti, dan Emma Yan Patriani
Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122
Abstrak
Untuk mengetahui dinamika Kuarter di daerah penelitian, urut-urutan lingkungan pengendapan baik secara vertikal dan
mendatar perlu dilakukan. Selain itu, untuk menafsirkan proses pengisian cekungan sedimen, korelasi beberapa
penampang stratigrafi sangat diperlukan. Pengumpulan data geologi bawah permukaan dilakukan dengan pemboran
dangkal menggunakan bor tangan. Sejumlah 52 pemboran telah dilakukan dengan kedalaman maksimum 11,50 m dan
total kedalalaman 268,61m. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa satuan batuan di daerah ini dapat dipisahkan
Tanah penutup (S), endapan dataran banjir (FP), endapan cekungan banjir (FB), endapan alur Sungai Purba), endapan
pasir dataran pantai (B), endapan pasir pematang pantai (BS), endapan rawa bakau (SW), endapan paya (LG), koral / reef
(Q), endapan laut dangkal (SM), endapan volkanik / (V), endapan pre-Holosen (pHs). Secara vertikal kombinasi urut-
urutan lingkungan pengendapan tersebut menghasilkan 16 tipe penampang. Hasilnya beberapa fenomena geologi dapat
diamati seperti adanya perulangan lingkungan endapan rawa, satu indikasi daerah yang mengalami penurunan secara
perlahan lahan. Kehadiran endapan volkanik muda berupa tuf dapat ditafsirkan sebagai hasil aktivitas Gunung api Muria
paling Muda. Indikasi proses-proses progradasi atau retrogradasi garis pantai ditunjukkan oleh proporsi mangrove yang
perlahan-lahan semakin berkurang sementara polen-polen grassland semakin meningkat. Dari kedalaman 150 cm,
kecenderungan perubahan itu berbalik yaitu proporsi polen-polen mangrove semakin bertambah sementara polen-polen
grassland semakin berkurang. Secara umum kondisi cekungan sedimen pada saat proses pengendapan adalah dalam
kondisi tenang (stabil). Dengan demikian abrasi tidak berhubungan dengan kegiatan tektonika.
Kata kunci : Dinamika kuarter, retrogradasi, progradasi, kondisi tenang
Abstract
In order to be well understand the Quaternary dynamic of studied area, vertical sequence of depositional environment is
necessary to be known. Additionally, how to interpret basin filled up, correlation of several stratigraphical cross-sections are
needed. The sub surface geological data was collected by using hand auger . More than 52 drillings has been done and it has
a maximum depth of 11,50 m and total depth of 268.61 m. It shows that depositional environment of this area can be
separated into : soil ( S ) , Food plain deposits ( FP ) , Flood basin deposits ( FB ) , Paleo Channel ( CH ) , Beach Sand ( B ) ,
Beach ridges ( BS ) , Mangrove swamp deposit ( SW ) , Marsh / Lagoon ( LG ) , Coral / Reef ( Q ), Shallow marine deposits ( SM
), Volcanic deposits (V), and pre Holocene sediments ( pHs). Vertically, combination of those depositional environment,
acquired 16 profile type. Several geological phenomena can be observed during field work such as the presence of repetition
marsh sediment environment which is indicated that area has subsided steadily. The presence of a young volcanic material
can be interpreted as the result of the youngest Muria volcanic activities. Shoreline progradation or retrogradation is
indicated by the proportion of mangrove slowly decreasing while the grassland increased. From a depth of 150 cm , the trend
was reversed : the proportion mangrove grows while grassland decrases. In General, during the deposition process the
sedimentary basin is in calm conditions (stable ). Therefore it can be deduced that abration is not related to tectonic activities
Keywords : Quaternary dynamic retrogradation, progradation, calm condition
kursi, lemari, tempat tidur, patung dan sebagainya.
Produk ukiran tersebut sudah banyak yang diekspor
ke luar negeri. Selain itu, Kabupaten Jepara memiliki
potensi pariwisata baik wisata alam, wisata budaya,
wisata sejarah, wisata religi dan museum seperti
Museum RA.Kartini.
Pendahuluan
Seperi diketahui daerah Jepara terkenal dengan
sebutan Kota Ukir, banyak menghasilkan produk –
produk ukir dari bahan kayu Jati seperti meja dan
25J.G.S.M. Vol. 15 No. 1 Februari 2014 hal. 25 - 39
JGSM
Beberapa objek wisata yang banyak dikunjungi oleh
turis antara lain Pantai Kartini, Pantai Awur, Tirta
Samudera Pulau Panjang, dan Taman Nasional Laut
Karimun Jawa.
Oleh karena itu, daerah ini mengalami pertambahan
penduduk dari waktu ke waktu. Seiring dengan
pertambahan penduduk tersebut, maka perlu
dilakukan percepatan perkembangan pembangunan
di bidang penyediaan berbagai sarana, seperti
pemukiman, perkantoran, kawasan industri, sarana
transportasi, dan sebagainya. Seperti diketahui
perencanaan pengembangan wilayah yang
berwawasan perlu mempertimbangkan potensi
sumber daya alam serta kendalanya. Potensi
sumber daya alam perlu kita analisis supaya terdapat
keseimbangan antar potensi ketersediaan sumber
daya alamnya dengan kebutuhan. Pemetaan geologi
Kuarter merupakan salah satu cara untuk menjawab
tantangan tersebut.
Endapan Kuarter adalah salah satu produk dari
proses geologi yang sifatnya sangat dinamis, dengan
kata lain endapan tersebut dapat mengalami
perubahan sifat fisik dalam waktu yang relatif
singkat. Perubahan tersebut dapat terjadi secara
alamiah dan dapat pula terjadi oleh aktivitas
manusia. Beberapa faktor yang menyebabkan fungsi
lahan dan daya dukung lahan mengalami perubahan
atau gangguan di antaranya adalah: ledakan
pertumbuhan penduduk dan industri, Hilangnya /
menyusut/ berkurangnya lahan pertanian subur,
pengembangan wilayah yang tidak terkontrol,
perusakan ekosistim, cadangan dan mutu air bersih
yang semakin menurun, potensi Sumberdaya
mineral, Terdapat bahan galian golongan C (pasir,
kerikil, lempung, gamping, trass dll), terdapat
sumber daya mineral seperti emas, intan, ilmenit,
monasit (placer deposits) serta terjadinya laterisasi
seperti bauksit, nikel dll.
Faktor tersebut di atas mempelihatkan hubungan
yang sangat erat antara kegiatan manusia dan
lingkungan geologi Kuarter. Oleh karena itu studi
geologi Kuarter khususnya yang mencakup genesis
dan produk sangat terkait dengan pembentukan
lingkungan dan kehidupan manusia.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan
data geologi Kuarter bawah permukaan serta data
geologi lainnya. Data geologi bawah permukaan
dapat berupa tataan litologi berdasarkan lingkungan
pengendapannya secara vertikal maupun mendatar.
Dengan data tersebut dapat diketahui urut-urutan
satuan lingkungan pengendapannya. Tujuanya
adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan dari
masing-masing lithofasies tersebut baik secara
vertikal maupun horizontal (mendatar). Dengan
demikian proses sedimentasi di cekungan tersebut
(how basin filled up) dapat difahami.
Daerah penelitian tercakup di dalam Peta Geologi
Lembar Kudus Skala 1 : 100.000 , secara
pemerintahan termasuk ke dalam Kabupaten Jepara,
dan bagian selatan masuk ke Kabupaten Demak,
Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis daerah
penelitian terletak pada koordinat 110°30' – 110°
45' BT dan 6° 30' – 6° 45' LS. (Gambar 1).
Metodologi
Pengumpulan data geologi bawah permukaan,
dilakukan dengan pemboran dangkal menggunakan
hand auger. Pemboran dilakukan secara acak di
daerah - daerah yang ditempati oleh endapan
Kuarter. Selanjutnya setiap hasil pemboran diuraikan
jenis batuan dan lingkungan pengendapannya. Hal
ini dilakukan dengan membuat log bor skala 1 : 200
yang memuat diskripsi batuan yaitu sifat fisik, warna,
kandungan fosil, kandungan material organik,
kandungan lempung, kandungan mineral, besar
butir, bentuk butir, struktur sedimen, kekompakan
dan sifat fisik lainnya, serta ketebalan lapisan.
Berdasarkan hasil pemerian tersebut kemudian
dilakukan pengelompokan batuan sesuai dengan
lingkungan pengendapannya atau genesisnya, dan
berdasarkan korelasi beberapa penampang stratigrafi
dapat ditafsirkan hubungan dari masing-masing lito-
fasies tersebut baik secara vertikal maupun
horizontal (mendatar). Selanjutnya dapat dianalisis
proses sedimentasi di cekungan tersebut.
Tataan Geologi Umum
Geomorfologi
Daerah penelitian (Jepara dan sekitarnya ) dibagai
menjadi tiga satuan morfologi yaitu: satuan dataran
aluvium, dataran pantai, dan satuan lereng gunung api
(Lumban Batu drr, 2013) (Gambar 2). Pada Peta
Geologi Lembar Kudus (Suwarti dan Wikarno, 1992).
Satuan Dataran Aluvium dan Dataran Pantai disatukan
menjadi Satuan Dataran Rendah. Satuan Dataran
Rendah tersebar di bagian tengah yaitu dari Jepara ,
Demak di sebelah barat hingga ke daerah Kudus di
sebelah timur, memisahkan antara komplek Gunung
Muria dengan perbukitan batugamping di selatan.
26 J.G.S.M. Vol. 15 No. 1 Februari 2014 hal. 25 - 39
JGSM
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Daerah Jepara, dan sekitarnya Jawa Tengah
27Geologi Kuarter Dataran Pantai Jepara, Jawa Tengah
JGSM
Gambar 2. Peta Geomorfologi daerah Kudus dan sekitarnya Jawa Tengah (Lumban Batu., drr., 2013)
28 J.G.S.M. Vol. 15 No. 1 Februari 2014 hal. 25 - 39
JGSM
Satuan ini menempati hampir 40 % daerah
penelitian. Batuannya terutama terdiri atas kerikil,
pasir, lempung dan lanau dan sisa tumbuhan dan
bongkahan gunung api. Satuan ini mempunyai
ketinggian berkisar dari 0- 6 m di atas muka laut
Stratigrafi
Sejarah geologi di daerah ini dimulai pada Kala
Miosen Tengah yang ditandai dengan kehadiran
sebuah cekungan laut dangkal di dalamnya yang
mana diendapkan Formasi Ngrayong (Tmn) (Gambar
3) (Suwarti dan Wikarno., 1992). Cekungan ini
menerus ke arah timur (Rembang) dan ke Salatiga
(selatan). Secara berkelanjutan pada Miosen Akhir di
atas formasi ini diendapkan Formasi Bulu (Tmb).
Pada Miosen Akhir sampai Pliosen terjadi orogenesa
lemah bersamaan dengan itu diendapkan Formasi
Patiayam (Tpp) yang menindih Formasi Bulu secara
tidak selaras. Selanjutnya terjadi kubah di Daerah
Patiayam dimana Formasi Patiayam tersingkap di
permukaan.
Kegiatan gunung api Kuarter kemudian mendominasi
daerah ini. Batuan Gunung api Kuarter (Qv) tersebut
merupakan hasil dari kegiatan Gunung Muria berupa
tuf, lahar, breksi, dan lava. Hasil kegiatan dari
Gunung Genuk berupa lava, breksi gunungapi, dan
tuf serta retas basal, leusit, sienit dan andesit. Batuan
terobosan (Qb,l,s) merupakan retas di dalam batuan
gunung api, tersingkap setempat-setempat. Endapan
termuda adalah aluvium (Qa), yang tersebar di
sepanjang pantai dan bagian tengah lembar peta.
Gambar 3. Peta Geologi Lembar Kudus, Jawa Tengah (T. Suwarti dan R. Wikarno, 1992)
29
api
Aluvium
Lava Muria
Tuf Muria
Batuan Gunung ApiGenuk
Formasi Patiayam
Formasi Bulu
Formasi Ngrayong
Batuan Terobosan
Jalan Raya
Jalan Kereta Api
Sungai
Danau
Sesar
Geologi Kuarter Dataran Pantai Jepara, Jawa Tengah
JGSM
.Struktur dan tektonika
Struktur geologi regional di daerah ini berupa sesar,
kelurusan dan kubah. Sesar normal dijumpai di
bagian tenggara lembar peta yang mensesarkan
batugamping Formasi Bulu. Kelurusan terdapat pada
batuan tua maupun batuan muda. Secara umum
kelurusan ini baik yang di Gunung Muria maupun
yang di Gunung Genuk menunjukkan arah hampir
utara-selatan, sementara itu di bagian tengara
kelurusan mempunyai arah baratdaya-timur laut dan
hampir timur barat. Di dataran aluvial tidak terlihat
adanya gejala struktur. Namun perlu dicermati
adanya perubahan karakteristik sungai yaitu berupa
pelebaran dan penyempitan kali Serang, serta
penyebaran dari kehadiran rawa yang sebagian besar
terdapat di bagian tenggara dari daerah penelitian
ini. Struktur kubah terdapat di Patiayam, merupakan
suatu struktur diapir, namun akhir-akhir ini para ahli
menyatakannya sebagai gunung api parasiter.
Dari analisis seismik refleksi, pada bagian utara dari
Laut Jawa terdapat indikasi sesar yang hampir mirip
dengan struktur sesar regional daerah ini (McBirney
drr., 2003). Sesar regional tersebut tercermin dalam
Depresi Rembang. Menurut Mallard drr. (1991) dan
Serva (2001). Depresi Rembang terekam sebagai
cekungan pull-apart, yang dibentuk oleh dua sistem
sesar utama di wilayah ini.
Hasil Penelitian Lapangan
Jumlah titik pemboran adalah sejumlah 52 titik
(Gambar 4), dengan total kedalalaman 268,61 m.
Hasil pemboran dituangkan ke dalam log bor skala 1
: 200 yang dilengkapi dengan foto pemboran.
Kedalaman minimum adalah 0,60 m, sedangkan
kedalaman maksimum adalah 11,50 m, dan
kedalaman rata-rata adalah 6,45 m.
Gambar 4. Peta Lokasi Sebaran Titik Bor di Daerah Jepara dan sekitarnya, Jawa Tengah
30 J.G.S.M. Vol. 15 No. 1 Februari 2014 hal. 25 - 39
JGSM
Hasil analisis pemboran menunjukkan lingkungan
pengendapan dapat di bedakan menjadi:
1. Tanah penutup (S)
2. Endapan dataran banjir / food plain deposits (FP)
3. Endapan cekungan banjir/ Flood basin deposit
(FB)
4. Endapan alur sungai purba /Paleo Channel (CH)
5. Endapan pasir dataran pantai / Beach sand (B)
6. Endapan pasir pematang pantai / Beach Ridges
(BS)
7. Endapan rawa bakau (SW)
8. Endapan paya / lagoon (LG)
9. Koral / reef (Q)
10.Endapan laut dangkal (shallow marine deposit
(SM)
11.Endapan Volkanik / Volcanic deposits (V)
12.Endapan pre Holosen / pre Holocenen Sediments
(pHs)
Dari sejumlah 52 data pemboran tersebut dapat
dilihat bahwa endapan Kuarter yang terdapat di
daerah penelitian sangat berkaitan erat dengan
adanya aktivitas fluvial, gelombang serta aktifitas
arus. Fakta tersebut teridentifikasi dari variasi
lingkungan pengendapannya. Pengaruh aktivitas
tersebut menyebabkan terbentuknya lingkungan
pengendapan dengan urutan endapan yang
bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lain. Berikut ini
akan diuraikan masing masing lingkungan
pengendapannya.
Tanah penutup (Soil)
Tanah penutup merupakan bagian paling atas, dan
terdiri umumnya atas lempung lanauan, lanau,
berwarna abu-abu gelap hingga abu-abu cerah,
lunak, mengandung fragmen – fragmen batu, dan
sisa-sisa tanaman berupa daun padi, plastik dan
pecahan genting. Ketebalannya umumnya berkisar
dari 0,30 m – 1,00m
Endapan dataran banjir (Flood plain deposits)
Terbentuk pada daerah-daerah yang memiliki
morfologi rendah, umumnya terdapat di sekitar aliran
sungai. Proses pengendapan meterialnya terjadi
sewaktu air melimpah dan kemudian diendapkan
pada daerah – daerah yang elevasinya rendah.
Endapan ini terdiri atas material yang berukuran
lempung-lanau hingga pasir sangat halus, terkadang
dijumpai humus, daun dan batang kayu. Di beberapa
tempat terdiri atas lempung pasiran, sering berupa
perselingan antara endapan lapisan tipis pasir dan
lempung. Kadang kadang dijumpai Konkresi besi,
karbonat dan konkresi mangan, mengakibatkan
perubahan warna menjadi berbercak kuning
kemerahan akibat dari pengaruh fluktuasi air
permukaan. Fasies dataran banjir mempunyai
ketebalan yang cukup tebal yaitu 4.60 m (JPR 47).
Pada endapan dataran banjir di Teluk Melonggong
terdapat endapan pasir berwarna hitam yang
diperkirakan sebagai endapan biji besi. Oleh karena
itu di sepanjang pantai khususnya di Teluk
Melonggong dapat ditemukan pasir besi tersebut.
Endapan limpah banjir ini diendapkan langsung di
atas endapan laut dangkal.
Endapan cekungan banjir (Food basin deposit)
Menurut Cohen drr. (2003), dan Reineck dan Singh
(1973) lingkungan cekungan banjir merupakan
wilayah dataran rendah yang tergenang, dimana
pengaruh sungai sangat kecil dalam memasok
materialnya. Litologinya terdiri atas lempung lanau,
pasir, lempung lanauan dan lempung pasiran,
berwarna coklat kekuningan – abu-abu kekuningan,
abu-abu gelap, tidak menampakkan perlapisan,
dengan pemisahan butir tidak sempurna, bersifat
lunak /lembek hingga padat, plastis, dan lengket.
Dengan sifat yang demikian maka sangat sulit untuk
menembus lapisan ini dengan menggunakan bor
tangan.
Didalam endapan ini terdapat warna kecoklat-
coklatan sebagai pengaruh dari proses oksidasi dan
semakin ke bawah menjadi lebih abu-abu. Bagian
atas dari endapan ini dicirikan oleh banyaknya
kandungan humus dan makin ke bawah kandungan
humus ini makin berkurang. Pada bagian tertentu
mengandung sisa-sisa tumbuhan berupa akar-akar
dan daun-daunan atau potongan kayu, di bagian
bawah interval fasies ini kadang kadang ditemukan
lapisan tipis lempung berhumus, berwarna abu-abu
kecoklatan hingga kehitaman, bersisipan lanau
sampai pasir halus sedikit kerikilan. Endapan
cekungan banjir tersebut menyusun bagian atas dari
rangkaian stratigrafi, yang selanjutnya secara
berangsur ke arah atasnya ditutupi oleh tanah
penutup.
Lingkungan pengendapan pada air tawar diwakili oleh
Melanoides Sp. Dan Tarbia spp. (Gambar 5). Contoh
fosil tersebut terdapat di dalam lapisan lempung
kecoklatan, liat, lengket dan pejal, terlihat adanya
bercak bercak coklat dan kemerahan.
XX
X
31Geologi Kuarter Dataran Pantai Jepara, Jawa Tengah
JGSM
Endapan ini dikenal sebagai endapan Cekungan
Banjir (FB)
Endapan alur sungai purba /Paleo Channel (CH)
Litologi umumnya terdiri atas kerakal-kerikil hingga
pasir lempungan mengandung butiran kuarsa,
felspar, dan pecahan batuapung, berwarna coklat,
kuning hingga abu-abu gelap-hitam kecoklatan.
Bentuk butir membundar tanggung sampai sangat
menyudut. Satuan ini tidak berlapis, mengandung
unsur organik / sisa-sisa potongan kayu dan daun-
daunan. Daerah endapan alur sungai purba biasanya
merupakan perkampungan, karena terdapat airtanah
tawar, sehingga dapat dipergunakan oleh penduduk
setempat. Keadaan medannya ditandai oleh
morfologi yang sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan keadaan sekitarnya.
Endapan pasir pantai (Beach sand)
Endapan pasir pantai membentuk dataran pantai
yang penyebarannya relatif sejajar dengan garis
pantai. Endapannya terutama terdiri atas pasir kasar
yang tersusun oleh butiran dan fragmen karang serta
pecahan cangkang kerang, berwarna putih, urai dan
jenuh air. Endapan ini tersebar secara terbatas di bibir
pantai saja. Pada umumnya wilayah ini
dikembangkan menjadi wisata pantai, dan oleh
karena itu diperkirakan menjadi wilayah yang
berkembang pada waktu mendatang
Endapan pasir pematang pantai / Beach Ridges
(BS)
Endapan pasir pematang pantai terdiri atas pasir
dengan pemilahan jelek banyak mengandung
cangkang kerang, berbutir halus hingga kasar,
bersifat urai/lepas, dan jenuh air, berwarna putih
kekuning kuningan. Endapan ini ditemukan pada
daerah yang sangat terbatas, dan untuk membor
lebih dalam mengalami kesulitan.
Pasir pematang pantai dapat dipakai sebagai
indikator dari permukaan laut masa lalu atau sebagai
indikasi letak /posisi garis pantai, bahkan kondisi
iklim dan rata-rata pengangkatan isostatik (Mason,
1990 ). Lebih lanjut Otvos, 1999, menyatakan
bahwa beach-ridge or beachridge diterapkan untuk
menunjukkan bekas intertidal and supratidal ,
eolian and pantai terbangun oleh gelombang yang
terdiri atas unsur siliclastic atau calcareous clastic
dengan besar butir yang sangat variatif mulai dari
pasir halus, kerikil dan kerakal.
Endapan rawa bakau (Swamp deposit)
Secara umum endapan rawa bakau terdiri atas
lempung yang banyak mengandung sisa sisa
tumbuhan baik itu daun, ranting, potongan kayu, dan
akar akaran serta organik material lainnya). Kadang –
kadang struktur kayu ataupun dedaunan masih dapat
dikenali dengan baik. Sifat endapannya sangat
humik, lembek, plastis dan berbau busuk. Endapan
rawa pada umumnya berwarna abu abu gelap hingga
hitam.
Endapan payau (lagoon)
Endapan ini terutama terdiri atas pasir halus, lanau,
lempung, dan kadang-kadang lanau lempungan
karbonatan, kaya akan material organik. Pada
umumnya salinitasnya rendah. Bentuk sebaran dari
endapan ini umumnya berbentuk lonjong (elongate),
dan secara mendatar atupun tegak berubah dengan
cepat yang mengindikasikan perubahan lingkungan
dari lingkungan laut ke lingkungan darat
Fosil moluska yang habitatnya di air tawar – air payau
dipresentasikan oleh Melanoides (Melanoides)
fennemai (Martin) dan Ostrea sp. (Gambar 6). Fosil
tersebut terkandung di dalam endapan lempung abu-
abu kehitaman, banyak mengandung fosil moluska
dan gastropoda, dan endapan itu dikenal di lapangan
sebagai endapan Lagoon (Payau).
Koral / Reef (Q)
Koral terdapat dan tersebar secara terbatas di sekitar
pantai, pada umumnya koral merupakan alas dari
pasir koral yang tersebar di sekitar pantai, dan
pecahan koral merupan komponen utama pasir
Gambar 5. Melanoides sp, fosil yang habitatnya di perairan tawar
32 J.G.S.M. Vol. 15 No. 1 Februari 2014 hal. 25 - 39
JGSM
pantai tersebut. Umumnya koral tersebut merupakan
pecahan dari jenis koral keras (hard coral / stony
coral) dari tipe brain coral dan antler coral (staghorn
coral)
Koral ditemukan pada lingkungan laut dangkal,
dengan kondisi air yang jernih, sehingga sinar
matahari dapat tembus hingga ke dasar laut.
Dengan demikian airnya menjadi hangat, sehingga
memungkinkan untuk hidupnya plankton sebagai
sumber makanan (nutrient) bagi koral tersebut.
Oleh karena itu koral biasanya tumbuh pada
wilayah yang terbatas tidak jauh dari permukaan air
laut yaitu di euphotic zone kira kira 70 m dari
permukaan air laut.
Endapan laut dangkal (shallow marine)
Litologi endapan ini dicirikan oleh lempung, lempung
lanauan, lunak dan plastis, mengandung sisa
tumbuhan. Secara umum endapan ini berwarna abu-
abu gelap kehijauan, sering berselingan dengan
lapisan tipis pasir lanauan, mengandung pecahan-
pecahan moluska. Kadang kadang, fosil moluska dan
gastropoda terawetkan dengan baik, dengan jumlah
yang sedikit. Ketebalan lapisan pasir lanauan
berkisar antara 0.2 cm - 0.3 cm. Di daerah
Pecangaan Wetan dan Karangrandu. Endapan ini
dialasi oleh endapan pra-Holosen berupa pasir tufaan
yang mengandung kerikil andesit dan batuapung,
ketebalannya berkisar antara 6,00 m – 7,00 m.
Berdasarkan hasil analisis kandungan fosil
foraminifera mikro secara umum terlihat bahwa umur
endapan ini tidak dapat ditentukan. Namun apabila
dikorelasikan dengan keterdapatan fosil yang sama di
cekungan Jawa Timur menunjukkan kisaran umur
pada zona N15 hingga N23, atau pada umur Miosen
Akhir hingga Resen (Soeka, drr., 1980). Kecuali
percontoh batuan No F - 02 / JPR 12, menunjukkan
kisaran umur pada zona N hingga N , atau pada 22 23
umur Plistosen hingga Resen yang dikorelasikan
dengan cekungan Jawa Timur atas kehadiran
Calcarina calcar d'Orbigny dan berasosiasi dengan
Asterorotalia subtrispinosa (Ishizaki) dan
Pseudorotalia conoidea (d'Orbigny) (Soeka, drr.,
1980).
Fosil tersebut terkandung dalam lempung, abu-abu
terang, lunak, mengandung foraminifera bentonik
kecil yang sangat melimpah dengan pengawetan
cangkang (test) yang sangat baik. Jenis plangtonik
tidak ditemukan. Selain itu terdapat ostrakoda
(banyak) dan moluska (gastropoda, bivalvia dan
ostrea) hadir dengan kondisi pecah-pecah, dengan
ukuran relatif besar dan jumlah yang sangat
melimpah.
Kandungan fosil foraminifera bentonik Rotalia
beccarii (Linnè) dan moluska (gastropoda dan
bivalve), menunjukkan bahwa endapan ini
diendapkan pada lingkungan hipersalin, temperatur
hangat-tropik, pada kedalaman 0 – 50 m dan
tersebar luas pada lingkungan marginal marine.
(Murray, 2006). Fosil lainnya yang menunjukkan
lingkungan marginal marine inner shelf (Phleger,
F.B. dan Parker, F.L., 1951) antara lain :Nonionella
atlantica Cushman, Bolivina striatula Cushman var
spinata Cushman, Elphidium discoidale (d'Orbigny),
Spiroculina communis Cushman & Todd,
Q u i n q u e l o c u l i n a s e m i n u l u m ( L i n n è ) ,
Quinqueloculina boueana d'Orbigny, Tubinella
finalis Brady
Sementara itu fosil moluska yang menunjukkan
habitat di lingkungan laut dangkal dipresentasikan
oleh Hiatula diphos (Linnaeus), Ostera cf.tegalensis
Oosthing 1935, Katelysia (Hemitapes) oppenoorthi
Oosthing 1935 , Ketelysia (Hemitapes) sp. dan Thais
(Cymia) javanica (Phillipi) (Gambar 7).
Endapan Volkanik
Pemahaman akan geologi dan aktivitas Gunung
Muria perlu diketahui dengan baik. Hal ini
disebabkan oleh karena kegiatan dan produk Gunung
Muria berkaitan erat dengan material pengisi
cekungan Kuarter di daerah ini.
Gambar 6. Fosil Melanoides (Melanoides) fennemai (Martin), yang hidup di air tawar - payau
33Geologi Kuarter Dataran Pantai Jepara, Jawa Tengah
JGSM
Endapan Vulkanik terdapat di titik pemboran JPR 26,
Desa Bandungrejo yaitu sebelah timur bagian selatan
daerah pemetaan. Endapan ini terdiri atas lempung
tufaan, massif, pejal ada kerikil berupa batuapung,
warnanya kecoklatan. Endapan volkanik tersebut
belum dapat diidentifikasi apah merupakan
piroklastika (jatuhan) primer atau merupakan
rombakan. Apabila endapan volkanik tersebut
tersebut merupakan endapan piroklastika maka
dapat ditafsirkan terjadi aktivitas Gunung api Muria
pada saat itu.
Endapan pra Holosen (pHs)
Batuan alas dari endapan Holosen terdiri atas tuf,
lahar, dan tuf pasiran produk dari letusan akhir Gunung
Muria. Tuf berwarna kuning sampai coklat berbutir
lanau pasir hingga kerikil sebagian lapuk. Lahar
berkomponen pecahan batuan leusit teprit, leusit,
basal andesit, trakit dan setempat batugamping. Tuf
pasiran berukuran lanau sampai pasir. Tuf pasiran
sebagai sisipan dalam tuf. Satuan batuan ini
mempunyai sebaran yang cukup luas dan umur satuan
ini diperkirakan sama dengan Lava Muria yaitu
Plistosen – Holosen (Suwarti dan Wikarno., 1992)
Pembahasan
Secara umum, mekanisme pembentukan cekungan
sedimen difahami berhubungan dengan pergerakan
lempeng. Ada dua mekanisme pembentukan
cekungan sedimen secara umum yaitu: 1) cekungan
yang dihasilkan oleh gaya ekstensi sebagai hasil
gerakan lempeng yang divergen, dan 2) cekungan
yang dibentuk oleh gaya kompresi oleh gerakan
lempeng yang konvergen. Klasifikasi cekungan
sedimen secara rinci telah dibahas oleh Dickinson
(1974), Mitchell & Reading (1986) dan Miall (1990).
Terdapat beberapa kemungkinan mekanisme
pembentukan cekungan laut dangkal di daerah
penelitian. Hasil analisis seismik refleksi, pada
bagian utara dari Laut Jawa terdapat indikasi sesar
yang hampir mirip dengan struktur sesar regional
daerah ini Sesar regional tersebut tercermin dalam
Depresi Rembang. Menurut Mallard drr. (1991) dan
Serva (2001) depresi Rembang terekam sebagai
cekungan pull-apart, yang dibentuk oleh dua system
sesar utama di wilayah ini.
Fakta lain yang perlu dipertimbangkan adalah
kehadiran Gunung Muria di daerah ini, yang dapat
membentuk cekungan tipe foreland basin. Foreland
basin dapat terjadi karena gaya pembebanan oleh
tubuh gunung api yang mengakibatkan batuan dasar
mengalami penurunan hingga di bawah permukaan
laut. Contoh cekungan sedimen yang paling nyata
adalah di selatan Pegunungan Himalaya.
Berdasarkan uraian tersebut mekanisme
pembentukan cekungan laut dangkal di daerah ini
masih memerlukan kajian yang lebih rinci.
Berdasarkan 74 data radiometri National Technical
Team (NT., 2000) dan menurut McBirney drr. 2003,
dalam Bronto dan Sri Mulyaningsih (2007) aktivitas
vulkanisme di Semenanjung Muria dibagi menjadi
lima periode, yaitu: (1) Genuk Tua, (2) Muria Tua, (3)
Muria Tengah, (4) Genuk Muda, dan (5) Muria Muda.
Aktivitas Gunung Api Genuk Tua dimulai dengan
letusan di lingkungan laut dangkal pada sekitar 2 jtl
(juta tahun yang lalu) dan menerus hingga 1,65 jtl.
Muria Tua mulai aktif pada 0,84 jtl., dan berakhir
pada beberapa puluh ribu tahun pada awal 0,8 jtl.
Sementara itu, Gunung Api Genuk Muda mengalami
aktivitas mulai 0,8 jtl. hingga 0,49 jtl., sedangkan
Muria Tengah dan Muda meningkat aktivitasnya
hingga 0,32 jtl. Setelah pengendapan hasil erupsi
gunung api Kuarter Muria Tengah dan Muda ( 0,32
jtl.), kemudian diendapkan endapan laut dangkal.
Hal ini ditunjukkan oleh hasil pemboran yang
memperlihatkan batuan volkanik lapuk sebagai alas
dari endapan tersebut (Gambar 8). Batuan volkanik
ini tersingkap dengan baik di Ds. Jambu lebih kurang
1 km dari bibir pantai.
Variasi susunan lingkungan pengendapan secara
vertikal dapat dikelompokkan menjadi 16 tipe
penampang. Ke 16 tipe penampang tersebut
merupakan hasil kombinasi dari satuan batuan yang
terdiri atas 12 satuan batuan. Adapun ke enam belas
tipe penampang tersebut (Gambar 9) (Lumban Batu,
drr., 2013) adalah: Endapan pasir dataran pantai (B),
Gambar 7. Hiatula diphos (Linnaeus), hidup di lingkungan laut dangkal
34 J.G.S.M. Vol. 15 No. 1 Februari 2014 hal. 25 - 39
JGSM
endapan pasir dataran pantai di atas koral (B/Q),
endapan pasir dataran pantai di atas pra-Holosen
sedimen ( B/pHs), endapan laut dangkal (SM),
endapan rawa di atas endapan laut dangkal di atas
endapan rawa di atas endapan laut dangkal (
SW/SM/SW/SM), endapan limpah banjir di atas
endapan laut dekat pantai (FP/SM), endapan rawa di
atas endapan laut dangkal ( SW/SM), endapan
cekungan banjir di atas endapan rawa bakau di atas
endapan laut dangkal (FB /SW/SM), endapan cekungan
banjir di atas endapan lagoon di atas endapan laut
dangkal (FB/LG/SM), endapan laut dangkal di atas
endapan pasir pematang pantai (SM/BR), endapan
cekungan banjir di atas endapan laut dangkal di atas
endapan pra-Holosen (FB/ SM / pHs ), endapan limpah
banjir di atas endapan volkanik, di atas endapan laut
dangkal (FB/ V/SM /pHs), endapan limpah banjir di
atas endapan laut dangkal (FP/SM), endapan limpah
banjir di atas endapan laut dangkal di atas endapan
alur sungai purba di atas endapan pra-Holosen
(FP/SM/CH/pHs), endapan limpah banjir di atas
endapan pra-Holosen (FP/pHs), endapan cekungan
banjir di atas pra-Holosen (FB./pHs)
Berdasarkan variasi tipe penampang tersebut dapat
diketahui dinamika Kuarter di daerah ini. Semakin
bervariasi tipe penampang maka semakin dinamis
proses geolog i yang ter jadi pada saat
pengendapannya. Lebih lanjut, berdasarkan
penampang ideal (Gambar 10), terlihat bahwa
proses pengisian cekungan di daerah Jepara ini
sangatlah sederhana. Lingkungan pengendapan baik
secara mendatar maupun tegak tidak terjadi
perubahan secara mencolok. Di permukaan dari arah
darat ke arah laut digambarkan terjadi perubahan
lingkungan pengendapan dari endapan limpah banjir
berubah menjadi cekungan banjir.
Secara keseluruhan endapan Holosen di daerah ini
dialasai oleh endapan pra-Holosen berupa Endapan
Gunung Api Muria Muda, terdiri atas pasir tufan
mengandung kerikil andesitis dan pumis, berwarna
coklat. Semakin ke arah laut endapan limpah banjir/
dan endapan cekungan banjir tersebut dialasi oleh
endapan laut dekat pantai / nearshore deposit berupa
lempung abu-abu kehijauan, lunak, plastis, dan
lengket mengandung fosil moluska dan gastropoda.
Bagian atas kadang – kadang mengandung material
organik berupa sisa – sisa tumbukan, dan agak
berwarna kecoklatan. Sedangkan pada bagian bawah
terdapat sisipan lapisan pasir tipis – tipis (0.01 – 0.03
cm) berupa kumpulan pecahan cangkang kerang yang
sudah halus. Selanjutnya di dalam endapan laut
dangkal tersebut terdapat endapan lempung yang
kaya akan material organik dan fosil yang disebut
sebagai endapan lagoon. Di lain tempat terdapat
endapan pasir pantai yang terutama terdiri atas pasir
yang disusun oleh pecahan cangkang kerang. Pada
pantai terlihat perkembangan pasir dataran pantai
berupa pasir kasar mengandung fragmen koral putih
urai dan jenuh air, dialasi oleh koral.
Pada penampang ideal (Gambar 10) terlihat
perulangan lingkungan endapan rawa di daerah ini.
Gejala ini merupakan satu indikasi daerah yang
mengalami penurunan secara perlahan lahan. Hal
menarik lainnya yang dapat dilihat adalah
terdapatnya endapan volkanik muda berupa tuf agak
pejal, liat berwarna kecoklatan menutupi endapan
laut dekat pantai. Kehadiran endapan volkanik ini
dapat ditafsirkan sebagai hasil aktivitas Gunung api
Muria paling muda.
Secara umum kondisi wilayah ini pada saat proses
pengendapan adalah dalam kondisi tenang. Hal ini
diperlihatkan oleh susunan endapan laut dekat pantai
yang homogen mulai dari bawah (alas) yaitu bagian
paling bawah hingga ke paling atas (Gambar 8).
Fakta geologi lain yang mengindikasikan lingkungan
pengendapan tenang adalah sebagai berikut: tidak
terlihat perubahan fasies pengendapan secara tiba
tiba baik secara tegak maupun horizontal, tidak
terdapat adanya penebalan ataupun penipisan fasies
pengendapan, tidak terlihat adanya pergeseran /
perpindahan endapan fasies alur sungai purba secara
mendatar.
Gambar 8. Kenampakan endapan laut dekat pantai yang secara menerus diendapakan mulai dari batuan alas hingga ke bagian atas (homogen).
35Geologi Kuarter Dataran Pantai Jepara, Jawa Tengah
JGSM
Gambar 9. Peta Geologi Kuarter Daerah Jepara dan sekitarnya, Jawa Tengah (Lumban Batu drr., 2013)
Hasil analisis kandungan pollen di daerah penelitian
menunjukkan bahwa Diagram Kumulatif Polen
(DKP) dan Diagram Rasio antar kelompok vegetasi
memperlihatkan dominasi polen mangrove dan
grassland. Kelompok mangrove hadir dengan
proporsi kurang dari 50% di seluruh inti bor. Polen
dari dryland/peatland dan montane/submontane
hadir dengan proporsi jauh lebih kecil jika
dibandingkan dengan mangrove dan grassland
(Gambar 11). Diagram rasio antar kelompok vegetasi
memperlihatkan adanya kaitan yang erat antara
fluktuasi polen mangrove dengan polen grassland.
Pola perubahan ini diikuti tren perubahan proporsi
komponen Pteridophytes yaitu Acrosthicumaureum,
Cyathea dan Polypodiaceae. Acrosthicum aureum
memperlihatkan perubahan proporsi yang serupa
36 J.G.S.M. Vol. 15 No. 1 Februari 2014 hal. 25 - 39
JGSM
dengan mangrove yaitu cenderung semakin
berkurang secara kronologis. Sementara Cyathea dan
Polypodiaceae cenderung mengikuti pola perubahan
proporsi yang menyerupai proporsi grassland yaitu
semakin bertambah secara kronologis. Secara
kronologis proporsi mangrove perlahan-lahan
semakin berkurang sementara polen-polen grassland
semakin meningkat. Kecenderungan perubahan ini
mencapai titik balik pada kedalaman 150 cm, yaitu
ketika polen-polen grassland mencapai proporsi dua
kali lebih besar daripada proporsi polen-polen
mangrove. Dari kedalaman 150 cm, perubahan itu
berbalik yaitu proporsi polen-polen mangrove
semakin bertambah sementara polen-polen
grassland semakin berkurang.
Besarnya proporsi polen mangrove di sepanjang inti
bor yang dianalisis menunjukkan bahwa lokasi
penelitian berada berdekatan dengan atau bahkan
berada d i l ingkungan hutan mangrove.
Kecenderungan pengurangan proporsi polen
mangrove mengindikasikan berkurangnya influx
polen mangrove ke lingkungan pengendapan yang
diteliti. Pengurangan influx ini bisa disebabkan oleh
berkurangnya populasi tumbuhan yang memproduksi
polen-polen itu (pollen producer) atau semakin
jauhnya lingkungan pengendapan itu dari hutan
mangrove akibat adanya pergeseran lajur hutan
mangrove. Pergeseran demikian dapat terjadi oleh
proses-proses progradasi atau retrogradasi garis
pantai. Penelitian sedimen permukaan di dalam
lingkungan hutan mangrove di Delta Mahakam
(Caratini drr, 1982) menunjukkan bahwa proporsi
polen mangrove dalam sedimen tersebut bisa
mencapai sekitar 50% atau lebih. Sementara sampel-
sampel yang diambil dari lingkungan di depan hutan
mangrove (shallow marine) memiliki proporsi polen
mangrove kurang dari 50%.
Semakin jauh jarak sampel itu dari hutan mangrove
semakin kecil pula proporsinya. Berlandaskan pada
hasil penelitian Caratini (1982) tersebut, dapat
diduga bahwa lingkungan pengendapan dari semua
sampel yang diteliti adalah hutan mangrove atau
berada sangat dekat dengan hutan mangrove.
Perubahan lingkungan dari semula hutan mangrove
atau berada di dekat hutan mangrove dikompensasi
oleh meluasnya lingkungan padang rumput. Ini
diindikasikan oleh peningkatan polen grassland di
dalam sedimen. Perubahan lingkungan ini terjadi
secara berangsur yang diindikasikan oleh penurunan
proporsi mangrove dan kenaikan proporsi grassland
yang berlangsung secara bertahap. Pergeseran
demikian dapat terjadi oleh proses progradasi atau
retrogradasi.
Gambar 10. Penampang ideal menjelaskan hubungan lingkungan pengendapan secara tegak dan mendatar. Nampak adanya perubahan lingkungan pengendapan dari timur ke barat (semakin ke arah pantai). Di bagian barat berkembang lingkungan, pasir pantai, koral, rawa bakau dan lagun sementara di bagian timur terdapat endapan material vulkanik, endapan sungai purba dan pasir pematang pantai
37Geologi Kuarter Dataran Pantai Jepara, Jawa Tengah
JGSM
Kesimpulan
Endapan Kuarter yang terdapat di daerah pemetaan
sangat berkaitan erat dengan adanya aktivitas
fluvial, aktivitas gelombang serta arus. Fakta tersebut
t e r i den t i f i k a s i da r i v a r i a s i l i n gkungan
pengendapannya. Hasil analisis pemboran
menunjukkan lingkungan pengendapan di bedakan
menjadi : Tanah penutup (S), endapan dataran banjir
/ flood plain deposits (FP), endapan cekungan banjir/
flood basin deposit (FB), endapan alur sungai purba
/paleo channel (CH), endapan pasir dataran pantai /
beach sand (B), endapan pasir pematang pantai /
beach ridges (BS), endapan rawa bakau (SW),
endapan paya / lagoon (LG), Koral / reef (Q), endapan
laut dangkal (shallow marine deposit (SM), endapan
volkanik / volcanic deposits (V), endapan pra-
Holosen / pre-Holocenen sediments (pHs)
Berdasarkan analisis dari data pemboran yang di
lakukan kombinasi lingkungan pengendapan yang
dikenal sebagai t ipe penampang dapat
dikelompokkan menjadi 16 tipe penampang. Di
antara ke 16 tipe penampang tersebut, menarik
untuk diperhatikan adanya perulangan endapan
rawa yang dapat dipergunakan sebagai indikator
adanya proses penurunan di wilayah ini. Selain itu,
terdapatnya endapan volkanik muda berupa tuf agak
pejal, liat berwarna kecoklatan menutupi endapan
laut dekat pantai yang ditafsirkan sebagai hasil
aktivitas Gunung Api Muria paling muda. Selain itu
keterdapatan endapan pasir pematang pantai dapat
difahami sebagai indikators dari permukaan laut
masa lalu atau sebagai indikasi letak /posisi garis
pantai, bahkan kondisi iklim dan rata-rata
pengangkatan isostatik.
Dinamika Kuarter yang tergambar dalam penampang
stratigrafi baik mendatar dan vertikal menunjukkan
kondisi cekungan sedimen pada saat proses
pengendapan adalah dalam kondisi yang sangat
tenang (stabil). Fakta geologi lain yang
mengindikasikan lingkungan pengendapan tenang
adalah: tidak terlihat perubahan fasies pengendapan
secara tiba tiba baik secara tegak maupun horizontal,
tidak terdapat ketidak teraturan fasies pengendapan
secara tegak maupun mendatar, tidak terdapat
adanya penebalan ataupun penipisan fasies
pengendapan, dan tidak dijumpai adanya pergeseran
/ perpindahan endapan fasies alur sungai purba
secara mendatar, maupun tegak
Indikasi progradasi atau retrogradasi garis pantai
ditunjukkan oleh proporsi mangrove yang perlahan-
lahan semakin berkurang sementara polen-polen
grassland semakin meningkat. Dari kedalaman 150
cm, kecenderungan perubahan itu berbalik yaitu
proporsi polen-polen mangrove semakin bertambah
sementara polen-polen grassland semakin
berkurang.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemda
Propinsi Jawa Tengah atas pemberian izin untuk
melakukan penelitian di daerah Kabupaten Demak
dan Kabupaten Jepara. Terima kasih kami ucapkan
juga kepada Pemerintah Kabupaten Jepara yang
memberikan dukungan serta informasi tentang
pengembangan tata ruang di daerah penelitian.
Kepada seluruh anggota tim yang sudah bersusah
payah dan bekerja keras untuk mengumpulkan data
selama kegiatan penelitian, terutama kepada Sonny
Mawardi ST, dan ibu Dra Elina Sofiati yang telah
menyediakan data indera jauh dan peta dasar serta
dukungan dalam menganalisis kandungan fosil
moluska. Akhirnya kepada Kepala Pusat Survei
Geologi, penulis mengucapkan terima kasih atas
izinnya untuk penerbitan makalah ini.
38 J.G.S.M. Vol. 15 No. 1 Februari 2014 hal. 25 - 39
JGSM
Acuan
Caratini C., Tissot C., 1988. Paleographical evolution of Mahakam Delta in Kalimantan, Indonesia during the
Quaternary and Late Pliocene. Review of Paleobotany and Palynology. 55, p.217-228
Cohen, K.M., Gouw, M.J.P., Holten, J.P., 2003. Fluvio-deltaic floodbasin deposits recording differential subsidence within a coastal prism (central rhine-meuse delta, The Netherlands. Dalam Blum, M.D., Marriott, S.B. dan Leclair, S.F. (eds.), Fluvial Sedimentology vii. Int. Assoc. of Sedimentologist, Blackwell Scientific: 40-68.
Bronto S., dan Sri Mulyaningsih., 2007. Gunung api maar di Semenanjung Muria. Jurnal Geologi Indonesia. v.2 , no.1: 43-54.
Dickinson, W.R. 1974. Plate Tectonics and Sedimentation. In Dickinson, W.R. ed. Tectonics and Sedimentation: 1-27. Society of Economic Paleontologists and Mineralogists, Tulsa.
Lumban Batu, U.M., Suyatman Hidayat, Woro Sri Sukapti, dan Emma Yan Patriani, 2013. Laporan Akhir Pemetaan Geologi Kuarter Skala 1 : 50.000 Lembar Jepara, Jawa Tengah. Laporan intern, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Bandung (Tidak diterbitkan)
Mason, O.K., 1990. Beach Ridge Geomorphology of Kotzebue Sound: Implications or Paleoclimatology and Archeology. PhD Dissertation, University of Alaska, 262 p.
Mallard, D., Hays, W., and Serva, L., 1991. Earthquake and associated topics in relation to NPP siting. Revision I. Code of Practice. Safety Standard Series 50-SG-S1, IAEA, 70 p.
Mitchell, A.H.G. & Reading, H.G., 1986. Sedimentation and Tectonics. In Reading, H.G. ed. Sedimentary Environments and Facies Second Edition, Blackwell Science, Oxford: 471-519.
McBirney, A.R., Serva, L., Guerra, M., and Connor, C.B., 2003. Volcanic and seismic hazards at a proposed nuclear power site in Central Java. J. Volc. and Geoth. Res. 126: 11-30.
Miall, A.D. 1990. Principles of Sedimentary Basin Analysis - Second Edition. Springer Verlag, New York.
Murray, J.W., 2008. Ecology and Applications of Benthic Foraminifera. Cambridge University Press, New York.
Otvos E.R., 1999. Beach ridges — definitions and significance. Gulf Coast Research Laboratory and USM Department of Coastal Sciences, Ocean Springs, MS 39566-7000, USA, Elsivier.
Phleger, F.B. dan Parker, F.L., 1951. Ecology of Foraminifera Northwest Gulf of Mexico,Part II. Foraminifera Species. The Society of America Memoir 46.
Reineck, H.E.,and I.B. Singh 1973. Depositional Sedimentary Environment. Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York.
Serva, L., 2001, Siting of high risk industrial facilities: the role of natural phenomena such as earthquakes. Proceed. of the European Conference on Safety and Reliability, ESREL 2001, Turi. 2: 1257-1264.
Soeka, S., Suminta., Thayib, E. And Sudjaah, T., 1980. Neogen Benthic Foraminiferal Biostratigraphy and Datum-Planes of East Java Basin. Sci. Contr., No. 1, Lemigas, Jakarta.
Suwarti T., dan R. Wikarno., 1992. Peta Geologi Lembar Kudus Skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung.
39Geologi Kuarter Dataran Pantai Jepara, Jawa Tengah
JGSM
JGSM