geologi batubara

51
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK GEOLOGI TUGAS GEOLOGI BATUBARA OLEH : D 611 06 018 MAKASSAR 2008

Upload: sukawan-zaky

Post on 08-Aug-2015

169 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

Geologi batubara

TRANSCRIPT

Page 1: Geologi batubara

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS HASANUDDIN

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

TUGAS

GEOLOGI BATUBARA

OLEH :

D 611 06 018

MAKASSAR

2008

Page 2: Geologi batubara

1. PENDAHULUAN

Dua tahap penting yang dapat dibedakan untuk mempelajari genesa batubara

adalah gambut dan batubara. Dua tahap ini merupakan hasil dari suatu proses yang

berurutan terhadap bahan dasar yang sama (tumbuhan). Secara definisi dapat

diterangkan sebagai berikut (Wolf, 1984) :

Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari

tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam kondisi

tertutup udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari 75% (berat) dan

kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi kering.

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari

tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya terkena

proses fisika dan kimia, yang mana mengakibatkan pengkayaan kandungan

karbonnya.

Untuk menjadi batubara, ada beberapa tahapan yang harus dilewati oleh

bahan dasar pembentuknya. Pada tiap tahapan ada proses yang terjadi dan proses-

proses tersebut unik untuk tiap tahapan. Proses-proses ini tergantung pada banyak

faktor.

Mempelajari genesa batubara secara lengkap memerlukan banyak disiplin

ilmu yang saling mendukung (Botani, Kimia, Geologi, Fisika, dsb). Pada bahan

kuliah ini akan diuraikan secara umum mulai dari perkembangan tumbuh-tumbuhan

(evolusi tumbuh-tumbuhan dalam kaitannya dengan evolusi bumi) sebagai bahan

dasar pembentuk batubara, faktor yang mempengaruhi terjadinya gambut sebagai

tahap awal terjadinya batubara dengan tipenya masing-masing, proses-proses yang

terjadi dan faktor penyebabnya selama perkembangan dari gambut menjadi batubara,

serta manfaat pengetahuan genesa untuk eksplorasi penambangan, pengolahan dan

pemanfaatan.

Sebelum mulai dengan genesa maka akan diperkenalkan klasifikasi dan

istilah rank pada batubara, sehingga tidak menjadikan penghalang untuk mengenal

tahap-tahap yang dicapai, yang akan selalu disebut dengan rank / peringkat, karena

batubara merupakan suatu nama yang mencakup semua tahap yang dicapai dalam

prosesnya setelah stadium gambut terlewati (Tabel 1).

Page 3: Geologi batubara

Istilah rank / peringkat dipakai untuk menyatakan tahap yang telah dicapai oleh

batubara dalam urutan proses pembatubaraan. Rank bukanlah suatu besaran yang

dapat diukur tetapi ditentukan berdasarkan beberapa faktor. Ada beberapa parameter

yang dipakai untuk menentukan rank batubara (Tabel 1) dan setiap parameter

mempunyai ruang pakai tersendiri dalam kaitannya dengan rank yang dicapai.

Hampir setiap negara penghasil batubara dengan jumlah yang besar memiliki istilah

tersendiri untuk menyatakan rank-nya. Sebagai contoh diberikan rank batubara

untuk ASTM (Amerika) dan DIN (Jerman). Berdasarkan rank yang dicapai maka

batubara dapat diklasifikasikan. Ada banyak sekali klasifikasi batubara. Beberapa

klasifikasi dibuat hanya untuk keperluan pemanfaatan dan perdagangan batubara

(berkaitan dengan kualitas) dan ini kebanyakan tidak berkaitan dengan genesanya,

atau mencerminkan genesanya.

Sebagai pengetahuan umum tentang batubara sebelum mempelajari genesa

maka pada bagian awal sekali disinggung sedikit tentang pengenalan orang terhadap

batubara.

Pengetahuan tentang genesa batubara tidak terlepas dari kejadian bumi

itu sendiri, karena perkembangan bumi disertai dengan perkembangan iklim yang

berikutnya dikaitkan dengan perkembangan makhluk hidup (terutama dalam hal ini

tumbuhan). Sejarah geologi perkembangan bumi membawa akibat distribusi

endapan batubara secara geografis dan secara waktu geologi seperti yang dijumpai

keberadaannya saat ini. Tidak setiap tempat di bumi ini mempunyai endapan

batubara dan tidak setiap waktu geologi menghasilkan endapan batubara yang

ekonomis.

Di dalam pegangan kuliah ini juga akan diterangkan komposisi batubara

secara makroskopis maupun mikroskopis. Pengamatan batubara secara makroskopis

bisa memberikan informasi tentang cara terjadinya endapan batubara yang

bersangkutan. Lebih lagi pengamatan secara mikroskopis akan sangat membantu

penafsiran genesa suatu endapan batubara, karena setiap komponen mikroskopis

batubara (maseral) mempunyai genesa masing-masing.

Pengetahuan kimia organik batubara sangat berperan dalam mempelajari

genesa batubara. Hampir seluruh studi tentang endapan batubara saat ini disertai

dengan hasil analysa geokimia organiknya, disamping secara mikroskopis.

Kelengkapan dengan hasil analisis paleobotanik juga sangat memberikan hasil

interpretasi yang lebih baik lagi. Dari gabungan metode ini bisa diketahui bukan saja

Page 4: Geologi batubara

lingkungan pengendapannya tetapi juga sampai pada jenis tumbuhan pembentuknya

dan juga proses yang terjadi dan dominan dari sekian banyak proses yang tercakup

dalam proses pembatubaraan.

Sebagai bagian akhir akan diperkenalkan genesa batubara Indonesia yang

terkenal dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah, kandungan vitrinit yang

selalu sangat dominan (terutama densinit, ulminit atau desmocolinit, telocolinit dan

vitrodetrinit).

2. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BATUBARA

2.1. SEJARAH BATUBARA

Diperkirakan orang China mengenal dan menambang batubara sejak

beberapa abad sebelum Masehi (Chengi mines). Lama sesudah itu Marcopolo (1280)

menyebutnya sebagai benda ajaib dari Cina. Filosof dari Yunani Theophrastos

(muridnya Aristoteles) mengenal batubara dan menyebutnya dengan “anthrax

geodes” yang merupakan asal dari kata Antrasit yang dikenal sekarang.

Sejarah geologi mengenal dua jaman (great era) pembentukan humolith (humolith

adalah suatu istilah yang diperkenalkan oleh Patonie tahun 1920 untuk mencakup

gambut, lignit dan batubara), seperti pada Tabel 2.

Pertama adalah Anthracolithicum yang dimulai dari Jaman Karbon Bawah sampai

dengan Perm. Ini merupakan masa pembentukan batubara yang maha hebat

(khususnya Jaman Karbon). Contohnya Amerika Utara dan Eropa. Sebagian besar

batubara jaman ini terjadi pada belahan bumi bagian utara. Formasi ini pernah

mencapai kedalaman lebih dari 3 mil dan membentang dari Skotlandia sampai

dengan Silesia (Polandia).

Kedua adalah dari Kretasius Bawah sampai dengan Tersier. Hampir seluruh lignit

dan brown coal terbentuk pada jaman ini. Kecuali batubara di Moskow Basin yang

berasal dari Jaman Karbon Bawah. Selanjutnya seluruh endapan gambut diasumsikan

terjadi pada Jaman Kuarter. Seluruh endapan batubara Indonesia terbentuk pada

Jaman Tersier. Walaupun demikian masih dapat dibedakan antara batubara paleogen

(endapan batubara yang terbentuk pada cekungan intramontain; Ombilin, Bayah,

Page 5: Geologi batubara

Kalimantan Tenggara, Sulawesi Selatan, dsb) dan neogen (untuk batubara yang

terbentuk pada cekungan foreland; Tanjung Enim dan delta; hampir semua endapan

batubara di Kalimantan Timur).

2.2. DISTRIBUSI ENDAPAN BATUBARA DI DUNIA

Lapangan batubara dengan produksi yang besar seperti USA, Inggris, Jerman, Rusia,

Cina, Jepang, Australia, Afrika Selatan, Canada dan India. Negara-negara tersebut

memproduksi 2/3 dari produksi batubara dunia dan dengan cadangan 96% dari

cadangan batubara dunia (Van Krevelen, 1993). Disamping itu negara-negara

tersebut memiliki batubara dengan rank dari brown coal sampai dengan antrasit dan

dengan cara penambangan konvensional bermula sejak Revolusi Industri (Inggris)

sampai dengan awal abad ini (Afrika Selatan).

2.3. PERKEMBANGAN BUMI DAN TERJADINYA ENDAPAN BATUBARA

Dengan adanya era dan distribusi endapan batubara yang tertentu di muka bumi ini

maka beberapa pertanyaan atau teka-teki kemudian timbul bagi para ahli batubara

seperti :

a. Kenapa hanya pada periode tertentu saja batubara terbentuk.

b. Kenapa hanya pada tempat tertentu saja batubara terbentuk.

c. Bagaimana bisa batubara dari tempat yang berjauhan dapat dikorelasikan

sedangkan batubara yang berdekatan sangat sulit dikorelasikan.

Pertanyaan ini bisa dijawab dengan Geologi Modern (continental drift dan

perkembangannya), Paleontologi (paleobotani/evolusi flora) dan Climatologi

(siklus iklim dalam kaitannya dengan perkembangan atau pergeseran benua).

Dulu orang beranggapan bahwa bumi itu diam. Tetapi berikutnya disepakati bahwa

bumi itu bergerak dan dinamis. Dikenal 3 fase dalam perkembangan konsep teori ini

(Van Krevelen, 1993) :

− Theories of the continental drift.

− Theories of ocean floor spreading (pemekaran lantai samudera).

− Theories of the plate tectonics (tektonik lempeng).

Page 6: Geologi batubara

Continental drift dikemukakan oleh Antonio Snider-Pellegrini tahun 1958

dan lebih dari lima puluh tahun berikutnya (1915) dikembangkan oleh Alfred

Wegener. Teori ini berikutnya bisa menerangkan pembentukan pegunungan, gempa

bumi, perubahan iklim, distribusi tumbuhan dan binatang di bumi serta perpindahan

kutub dan sebagainya. Menurut Wegener bahwa dulu benua itu menjadi satu yang

disebut Pangaea dan satu lautan Panthalassa. Pangaea pecah menjadi dua benua besar

yaitu Laurasia dan Gondwana (dinamai oleh Alex Du Toit / ahli geologi Afrika

Selatan). Berdasarkan rekonstruksi continental drift yang dibuat oleh Bambach,

Scotese dan Ziegler (1980) dari data paleomagnetik hasil penyelidikan di Greenland

maka sebelum menjadi Pangaea, benua-benua itu asalnya terpisah satu sama lain

(paleogeografi mulai 540 juta tahun yang lalu.

Sesudah Wegener maka ada lagi Holmes (sekitar tahun 1935) dengan arus konveksi

pada mantel bumi dan Vening Meinesz (hasil penelitian dasar laut dengan Kapal

Belanda dari tahun 1923 sampai dengan 1938) menemukan variasi gaya berat dasar

laut dalam. Kedua hasil ini dikombinasikan oleh Hess dan Dietz (1960) dan

menghasilkan konsep ocean floor spreading. Sebagai bagian akhir dari pemikiran

bahwa bumi itu dinamis maka muncul teori plate tectonics (tektonik lempeng)

Iklim merupakan faktor tunggal terpenting yang menentukan, kapan dan dimana

batubara terbentuk. Iklim daerah tertentu ditentukan oleh iklim global yang

bervariasi terhadap waktu geologi (Gambar 16). Posisi kontinen terhadap waktu

geologi juga menghasilkan iklim yang berbeda (akibat kontinental drift). Evolusi

spesies tumbuhan menghasilkan perubahan sangat besar dari material pembentuk

batubara (dari Cryptogam, Conifern sampai Angiosperm).

Kebanyakan tumbuhan Jaman Karbon adalah cryptogam yang terendapkan pada

iklim (sub) tropis di lagun atau rawa delta. Batubara perm termuda terendapkan pada

iklim yang dingin pada cekungan kontinental yang mengandung Glossopteris

(Ziegler et al., 1977). Pada jaman Kretasius dan Tersier, Konifern dan tumbuhan

berbunga sangat banyak. Flora Gondwana yang uniform adalah akibat tidak adanya

pegunungan atau rintangan yang lain seperti yang terjadi di Cina dan Siberia yang

merupakan akibat pengangkatan pegunungan (akibat tumbukan kontinental).

Page 7: Geologi batubara

1. FAKTOR-FAKTOR YANG PENTING DALAM PEMBENTUKAN

GAMBUT

1.1. TUMBUHNYA RAWA GAMBUT

Gambut merupakan tahap paling awal dari proses pembentukan batubara. Untuk bisa

terbentuknya gambut maka ada beberapa faktor yang menentukan. Disamping itu

dengan adanya berbagai faktor tersebut maka bisa terjadi gambut dengan bermacam

tipe. Faktor-faktor yang penting dari pengendapan gambut pada rawa-rawa :

- Evolusi tumbuhan

- Iklim

- Geografi dan posisi serta struktur daerah

1.1.1. Evolusi Tumbuhan

Ragam tumbuh-tumbuhan seperti yang dikenal pada saat ini telah mengalami proses

evolusi yang sangat panjang mulai dari Jaman Devon. Perkembangan jenis tumbuhan

untuk setiap waktu geologi terlihat pada Gambar 1. Mulai dari satu jenis

tumbuhan (Algae/ganggang) pada jaman sebelum Devon menjadi sekian banyak

pada waktu-waktu berikutnya. Perkembangan ini perlu diketahui karena ada

beberapa tumbuhan yang hanya tumbuh pada jaman tertentu saja sehingga dengan

mengenal perkembangan ini akan memudahkan untuk menginterpretasikan

genesanya. Sisa tumbuhan pembentuk batubara kadang-kadang mudah dikenal di

bawah mikroskop. Sisa tumbuhan seperti spora, tepung sari, serat, sel, dsb sering

dipakai untuk mengenal jenis tumbuhan pembentuk batubara (paleobotani atau

maseral). Disamping itu ada beberapa metoda yang lain (seperti geokimia organik)

yang sering dipakai untuk mengenal jenis tumbuhan pembentuk batubara.

Antrasit sudah dikenal dari “Algoncium pada Middle Huronian of Michigan“.

Batubara ini tidak berulang dan kotor, tetapi di bawah mikroskop dengan

pembesaran yang tinggi, strukturnya terlihat berasal dari tumbuhan Algae

(Ganggang) dan Fungal (Jamur) yang diisolasi oleh rijang dengan umur yang sama.

Page 8: Geologi batubara

Pada Jaman Devon Bawah tumbuhan bawah air tumbuh pada lagun yang dangkal

(terendam). Dari sini terjadi lapisan batubara yang tipis, yang diketemukan di

Haliseriten-Schichten dari Rhenish-Schiefergebirge (Jerman). Pada batuan ini ada

lapisan Vitrinit yang terbentuk dari Taeniocrada decheniana (Psilophytes).

Tumbuhan darat pertama yang mendukung terbentuknya batusabak dengan karbon

yang banyak (Carbonaceous shale, di Eiffel - Jerman) yang juga hanya

menghasilkan lapisan vitrinit yang tipis.

Penyebaran tumbuhan darat di seluruh benua mengakibatkan pembentukan lapisan

batubara yang berkemungkinan lebih potensial (Devon Tengah sampai Devon Atas).

Contohnya : Kazakhstan, Kuznetsk basin dan Bear island. Pada Devon Tengah di

Kuznetsk basin masih ada Psiliphytes, ditemukan di lapisan batubara dengan tebal 3-

4 meter. Batubara Devon Atas (Rusia, Bear Island) terbentuk dari tumbuhan yang

sama dengan batubara Jaman Karbon (Pteridophyta, Equisetophyta, Lycophyta),

tetapi masih tidak ekonomis. Sampai pada Jaman Karbon Bawah lapisan batubara

masih belum ekonomis (Karaganda, Moscow basin, West Donetz basin).

Pada Jaman Karbon Atas (Bituminous Coal Period) batubara terbentuk dari

tumbuhan (hutan) rawa, seperti Lepidodendron dan Sigillaria yang tingginya

mencapai lebih dari 30 m. Fosil Sigillaria dengan tinggi lebih dari 7 m ditemukan di

Distrik Ruhr (Jerman). Pada jaman ini juga tumbuh Calamitean yang diidentifikasi

pada Siliceous coal balls (Ruhr Carboniferous). Pada beberapa lokasi ditemukan

Paku (Leginopteris Oldhamia) atau Lepidophytean sebagai tumbuhan

karakteristiknya.

Batubara Jaman Perm di Rusia (Kuznetsk, Tunguska basin) didominasi oleh

Gymnosperm Cordaites, yang juga sebagai pembentuk batubara dengan proporsi

yang tinggi pada Jaman Karbon Atas.

Pada Jaman Mezosoikum (Jura dan Lower Cretaceous) batubara didominasi oleh

Gymnosperm (Gingkgophyta, Cycadophyta dan Conifern), ditemukan khususnya di

Siberia dan Asia Tengah.

Page 9: Geologi batubara

Cepatnya perkembangan tumbuhan pada Lower dan Upper Cretaceous mengarah

pada perkembangan Angiosperm pada Upper Cretaceous dan Tersier di rawa-rawa di

Eropa, Amerika Utara, Jepang dan Australia.

Dibandingkan dengan Flora pada Jaman Karbon maka tumbuhan rawa pada Jaman

Mezosoikum (khususnya Tersier) mempunyai ragam yang lebih banyak dan

terspesialisasi, sehingga banyak type fasies ditemukan pada lapisan gambut yang

tebal.

1.1.2. Iklim

Iklim suatu daerah secara tidak langsung bisa mengendalikan faktor yang lain. Iklim

tropis menawarkan terbentuknya gambut yang lebih cepat karena kecepatan tumbuh

dari tumbuh-tumbuhan lebih besar dengan ragam yang sangat bervariasi. Temperatur

yang tinggi dengan kelembaban yang tinggi juga berpengaruh pada proses

pembentukan gambut.

Rawa di daerah tropis bisa menghasilkan kayu yang mencapai ketinggian 30 meter

dalam waktu 7 - 9 tahun sementara tumbuhan di daerah rawa dengan iklim sedang

hanya mencapai ketinggian 5 - 6 meter dalam jangka waktu yang sama. Daerah

dengan iklim sedang miskin akan bahan makanan sehingga hanya didominasi oleh

lumut, sedangkan daerah tropis didominasi oleh pohon.

Pembentukan gambut terjadi kebanyakan di daerah yang beriklim panas, banyak air

(khususnya Karbon Atas). Formasi yang terkaya akan lapisan batubara terendapkan

pada daerah beriklim panas (termasuk juga untuk batubara yang penting pada Jaman

Upper Cretaceous dan Tersier Bawah di Amerika Utara dan di belahan bumi bagian

Selatan yang beriklim kadang dingin dan basah), contohnya : Siberia, Inter dan Post

Glacial Permo Karbon, Gondwana Coal dengan Gangamopteris Glossopteris dan

Perm dan Jura-Cretasius Bawah dari Angara Continent (Tunguska dan Lena

Regions).

Lapisan batubara yang terendapkan di daerah yang banyak air dan hangat akan

menghasilkan banyak lapisan dan tebal yang terjadi dari batang kayu yang

besar/tebal (bright coal), dan sebaliknya untuk iklim dingin. Contohnya Post Glacial

Page 10: Geologi batubara

Gondwana Coal yang terbentuk dari tumbuhan yang relatif tahan pelapukan,

biasanya merupakan hasil rombakan halus, tetapi bercampur dengan mineral

lempung yang terhembuskan dari gunung sekitarnya ke rawa (Plumstead, 1962,

dikutip dari Teichmueller 1989).

Dengan naiknya suhu tidak hanya pertumbuhan pohon menjadi lebih cepat tetapi

juga proses dekomposisi juga menjadi lebih cepat. Sebagai konsekuensinya (sampai

beberapa dekade berlalu) dianggap bahwa gambut dengan ketebalan yang tinggi

hanya akan terjadi pada daerah dengan iklim sedang. Tetapi belakangan diketemukan

gambut dengan ketebalan lebih dari 30 m di daerah tropis.

Raised bog hanya akan muncul pada iklim yang basah dimana hujan lebih besar

dari pada penguapan (suhu 8 - 90 C dengan curah hujan 700 mm cukup untuk

menghasilkan gambut). Pada daerah iklim sedang umumnya akan didominasi oleh

lumut dan spagnum (ciri khasnya). Tetapi raised bog untuk daerah tropis seperti

Sumatra dan Kalimantan (dengan curah hujan 3000-4000 mm/tahun, merata

sepanjang tahun) dicirikan oleh tumbuhan besar/kayu tetapi tidak banyak spesiesnya

(di Kalimantan hanya didominasi oleh Dipterocarp, Shorea Albida). Di Kalimantan

tinggi muka gambut mencapai 15 m dengan kemiringan pada pinggir 4 - 5 m/km.

1.1.3. Paleogeografi Dan Tektonik

Syarat untuk terbentuknya formasi batubara :

- Kenaikan secara lambat muka air tanah

- Perlindungan rawa (sand bar dsb) terhadap pantai atau sungai

- Energi relief rendah

Kalau muka air tanah cepat naik (atau penurunan dasar rawa cepat) maka kondisi

akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi endapan marine (lempung, napal

atau gamping). Kalau terlalu lambat maka tumpukan sisa tumbuhan akan menjadi

merah (teroksidasi) dan tererosi. Oleh karena itu pembentukan lapisan batubara

berhubungan dengan Paleogeografi dan struktur daerah. (Gambar 2)

1.1.3.1. Paleogeografi

Page 11: Geologi batubara

Jika air tanah cukup tingginya dan berlangsung lama maka kadang-kadang di iklim

steppe (padang rumput tanpa adanya pohon) pun bisa terjadi gambut. Ini hanya

tergantung pada penurunan permukaan. Disini bisa menghasilkan highmoors /

hochmoor / raised bog (climatically conditioned) atau topogenic low moors (akibat

erosi oleh air atau es atau dapat juga terjadi karena collapse dimana penurunan

terjadi karena pelarutan batuan karbonat di bawahnya pada daerah karst). Rawa bisa

juga terjadi pada bekas kawah gunung api.

Rawa bisa tawar atau sudah tercampur dengan air asin di tepi pantai atau di tepi

danau besar. Berdasarkan posisinya (geografi) maka endapan batubara dapat

dibedakan menjadi : paralis (sea coast/tepi pantai, contohnya batubara miosen di

Jerman Tengah yang terendapkan pada tepi delta, external distal margins of delta

dan limnis (inland / tepi danau).

Rawa di daerah delta ditumbuhi oleh banyak pepohonan sedangkan di daerah lagun

kadang sampai tidak ada pohon. Sedangkan Mangrove forest (hutan bakau) hanya

bisa terjadi di daerah pantai tropis.

Pada daerah rawa bisa terjadi regresi atau transgresi. Pada transgresi dimana air

laut mendesak air tanah, sedimen fluviatil terletak di bawah lapisan batubara

sedangkan sedimen marine berada di atasnya. Contohnya: batubara ditemukan di

dasar teluk Mexico dan berada di bawah batu gamping, contoh untuk Indonesia

adalah endapan batubara di cekungan Ombilin.

1.1.3.2. Struktur / Tektonik

Rawa gambut di daerah subsiden menghasilkan batubara dengan banyak lapisan.

Endapan seperti ini biasanya terendapkan pada Foredeep (bagian depan dari

pegunungan lipatan). Urutan sedimen tebal dengan banyak lapisan batubara yang

tipis (> 2 m) dengan penyebaran yang luas, selang-seling dengan sedimen marin. Ini

merupakan ciri khas batubara foredeeps. Contohnya : Cekungan batubara Ruhr

(Jerman) yang terendapkan pada Subvariscan (Namurian C sampai Westphalian D),

Page 12: Geologi batubara

sedimen 4000 m dengan 40 lapisan batubara yang ekonomis (workable), endapan

batubara di Belanda Bagian Selatan, Belgia Selatan, Prancis Utara, dsb.

Batubara yang terendapkan pada Appalachian foredeep adalah Lapisan batubara

jaman Karbon di Pennsylvania, W. Virginia, Kentucky, Tennessee dan Alabama.

Rocky Mountain foredeep menghasilkan formasi batubara great coal basin of the

Laramie (Kretasius sampai Eosen). Backdeep subsidence dari pegunungan lipatan

tidak banyak terjadi. Contohnya Backdeep of the Apennines in Tuscany, Italia.

Resen foredeep dan backdeep terdapat di Indonesia, sedimen dengan ketebalan

sampai 13.000 m dengan beberapa lapisan batubara.

1.2. MOOR

Pengertian moor untuk ilmu geologi (pengertian endapan dalam Ilmu Tambang)

berlaku untuk suatu lapisan gambut dengan ketebalan minimum 30 cm (dalam hal

tertentu lumpur juga termasuk di dalamnya).

Gambut terjadi akibat tumpukan sisa tumbuhan (proses sedenter) yang tidak secara

keseluruhan (memerah/teroksidasi) karena terjadi di bawah kondisi basah (di bawah

air) sehingga tidak seluruhnya berhubungan dengan udara. Untuk

highmoor/hochmoor dimana C/N-Ratio > 50 dan pH kecil menghambat proses

oksidasi. Sementara lumpur yang ada pada gambut terendapkan secara sedimentasi.

Menurut Ilmu Tanah : Gambut adalah sedimen yang mengandung > 30% substansi

Organik (kondisi kering). Menurut pengertian yang lebih baru lagi, maka ada tiga

katagori berdasarkan pada pemanasan 5500 C. Disebut Moor kalau pada temperatur

tersebut kehilangan berat 75-100%. Kalau kehilangan berat 15-75% maka disebut

Anmoor dan kalau kehilangan berat 0-15% maka disebut mineral atau tanah.

Beberapa kemungkinan bentuk morfologi moor dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Dilihat dari bentuk permukaannya maka moor dapat dibagi menjadi dua, Hochmoor

(highmoor) dan Niedemoor (lowmoor). Jenis tumbuhan yang hidup pada masing-

masing tipe moor itu berbeda. Pada Niedemoor biasanya tumbuh rumput-rumputan

dengan daun yang lebar dan tumbuhan perdu (sehingga pada musim semi dan musim

panas kelihatan sangat hijau). Sementara hochmoor ditumbuhi oleh jenis tumbuhan

Page 13: Geologi batubara

yang sangat terbatas (lumut, rumput dengan daun yang kecil). Untuk daerah yang

beriklim sedang maka hochmoor ditumbuhi oleh Sphagnum dan untuk daerah tropis

ditumbuhi oleh hutan lebat dengan bermacam tumbuhan.

1.2.1. Niedermoor / Lowmoor

Niedermoor terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan makanan (eutroph)

atau pada suatu bagian perairan (danau) yang menjadi darat (Verlandung

nahrstoffreicher Gewasser), dimana kekayaan makanan untuk tumbuhan sebagai

penyebab berlimpahnya/tumbuh suburnya vegetasi.

Air tanah atau air laut yang bergerak bisa mengakibatkan suatu penghancuran yang

cepat dari tumbuhan yang telah mati, sehingga penumpukan gambut menjadi lambat.

Dalam hal ini gambut sangat basah (banyak air). Permukaan moor dalam jangka

waktu yang panjang tertutup air (periode dalam setahun) sehingga jenis tumbuhan

yang hidup disini menyesuaikan diri. Sering permukaan moor datar atau cekung.

Hanya moor di lereng gunung bisa miring permukaannya. Moor ini tidak secara

langsung tergantung pada air hujan, karena supply airnya bisa dari sekitarnya (sungai

atau air tanah).

1.2.2. Hochmoor / Highmoor

Hochmoor bisa mencapai beberapa meter dari permukaan tanah dengan bentuk yang

cembung. Moor ini tidak tergantung pada air tanah atau air kolam karena moor ini

mempunyai system air tersendiri yang tergantung hanya pada air hujan. Moor ini

terjadi akibat neraca air yang positif (penguapan lebih kecil dari curah hujan)

sehingga air hujan tersimpan dalam gambut. Akibatnya pH menjadi kecil dan miskin

akan oksigen. Aktifitas mikroorganisme pada moor ini juga kecil karena terbatasnya

oksigen. Dengan demikian penghancuran sisa tumbuhan menjadi terhambat

(penumpukan gambut menjadi cepat). Karena miskin akan bahan makanan maka

disebut Ombrotroph. Beberapa realitas penting yang berkaitan dengan moor dapat

dilihat pada Gambar 5.

Page 14: Geologi batubara

m u k a a i r p a s a n g

m u k a a i r s u r u t

g a m b u ts e d e n t e r

g a m b u t + m i n e r a lk a r b o n a t , l e m p u n g

p a s i r

s e d i m e n t e r

l a g g

k o l ks t a d i u m

t e r e s t r i s

s e m i t e r e s t r i s

t e l m a t i s

l i m n i s

g e n e s a

o m b r o g e n

a k i b a tm u k a a i rp o s i t i f

t o p o g e n e u t r o p h

m e s o t r o p h

l o w m o o r

m o o r a n t a r a

t r o p h

o l i g o t r o p h

t y p

h i g h m o o r

Gambar 5. Skema sebuah Hochmoor (Gothlich, 1986)

Pertumbuhan sebuah hochmoor dapat terlihat pada Gambar 6. Tipe ini bisa tumbuh

langsung pada kondisi yang sangat basah dengan dasar yang tidak tembus air

(permeabel). Pada kondisi lain hochmoor bisa berasal dari suatu Niedemoor

yang tumbuh (Verlandeten Moor). Untuk topografi yang datar biasanya bentuk moor

symetris dan pada bagian pinggir timbul mata air, pada bagian tengah ada kolam-

kolam kecil (Kolk atau Blindsee)

Page 15: Geologi batubara

Dalam perkembangan dari niedemoor ke hochmoor dikenal istilah Ubergangsmoor

(kondisi pertumbuhan antara niedermoor dan hochmoor). Contohnya Schwingrasen.

Istilah Zwischenmoor kurang tepat dipakai karena ini biasanya untuk suatu bentuk

yang tidak tumbuh tetapi antara hochmoor dan niedermoor (kondisinya memang

sudah seperti itu).

2. FAKTOR-FAKTOR FASIES PADA PEMBENTUKAN GAMBUT

Fasies batubara diekspresikan melalui komposisi maseral, kandungan

mineral, komposisi kimia (S, N, H/C Vitrinit) dan tekstur. Faktor-faktor fasies yang

sangat menentukan karakteristik primer batubara, seperti :

- Tipe pengendapan (authochtonous, allochtonous)

- Rumpun tumbuhan pembentuk

- Lingkungan pengendapan (telmatic, limnic, brackish-marine/payau, Ca-rich)

- Nutrien supply (eutrophic, oligotrophic)

- pH, aktivitas bakteri, persediaan sulfur

- Temperatur gambut

- Potensial redok (aerobic, anaerobic)

2.1. TIPE PENGENDAPAN

Hampir semua endapan batubara yang terkenal (ekonomis) diendapkan secara

autochtonous, karena batubara yang diendapkan secara allochtonous biasanya berupa

detritus halus, kandungan mineral tinggi dan lapisan tipis (microlayering). Gambut

terhancurkan menjadi detritus halus dan terendapkan kembali. Dekomposisi

tumbuhan juga berlangsung selama proses transport oleh air (angin) sehingga

maseral yang tahan terhadap proses dekomposisi akan terkonsentrasi pada sedimen

klastik.

2.2. RUMPUN TUMBUHAN PEMBENTUK

Berdasarkan rumpun tumbuhan pembentuknya maka dikenal 4 tipe rawa :

- Rawa daerah terbuka dengan tumbuhan air (in part submerged).

Page 16: Geologi batubara

Pada daerah ini sebagian tumbuhan terendam air dan jenis tumbuhannya bisa

bermacam-macam. Jenis tumbuhan ini juga sangat dipengaruhi oleh pengaruh air

laut atau tidak (tawar, payau dan asin).

- Open reed swamp, sering dengan sedges

Daerah ini hanya ditumbuhi oleh jenis rumput-rumputan yang membutuhkan

banyak air.

- Forest swamps

Rawa dengan tumbuhan kayu.

- Moss swamps

Rawa dengan tumbuhan lumut-lumutan.

Pada daerah yang beriklim sedang dan lembab terjadi perkembangan rumpun

tumbuhan dari dasar ke atas, mulai dari lumpur, detritus gyttjae (lumpur organik),

reed peat, forest peat dan most peat.

Pada jaman Karbon (di Belahan Bumi Bagian Utara) perkembangan gambut

biasanya dimulai dari tumbuhan hutan rawa (Sigillaria dan Lepidodendron) dan

berakhir dengan ditutup lumpur. Sehingga bagian bawah lapisan batubara bright coal

(Vitrain/mengkilap), banyak mengandung Vitrinit dan Clarit yang miskin akan

Liptinit. Bagian atas lapisan biasanya dull coal (Durain/batubara kusam) seperti :

Duroclarit, Clarodurit dan Durit. Durit yang berada pada bagian paling atas sering

berubah menjadi carbonaceous shale (carbargillites) dan kadang-kadang menjadi

cannels dan cannel ironstones.

Pada batubara berlapis lemah (light layer) yang terendapkan di Reed moor biasanya

mengandung >90% Humodetrinit dan Sporinit ≅ 10% (lebih banyak dari di

kebanyakan dark strata yang terendapkan pada forest swamp). Coniferous Forest

Coal menghasilkan pengawetan yang lebih baik sehingga partikelnya lebih besar

(Cellular tissue/Humotelinit) dari pada yang berasal dari Angiosperm forest coal.

Reed coal type dibedakan dari kandungan hydrogen, selulose dan tar temperatur

rendahnya yang tinggi. Reed coal dan Angiosperm forest coal briquetting

propertiesnya (kedapatan untuk dijadikan briket) lebih baik dari coniferous coals.

Hampir sebagian bituminous coal dan brown coal berasal dari forest swamp

Page 17: Geologi batubara

(contohnya Pantai Timur dan Selatan USA). Di daerah yang beriklim hangat dan

basah proporsi pepohonan kayu bertambah, tidak lagi reed plant, tetapi tumbuhan

khusus yang penyebarannya luas, flat root system, khususnya aereal roots dan

broadened stem basis. Contoh yang modern/resen adalah Cypress swamp (Taxodium

distichum) di daerah Subtropis Amerika Utara. Forest swamp fasies (berhubungan

dengan element bawah air), sebagai contohnya adalah Taxodiaceae-Nyssaceae forest

coals dari lower Rhein brown coal.

Pada Carboniferous, pohon Sigilarian berkembang ke arah air dalam. Kulitnya

dijumpai sebagai Vitrit layer.

Pantai daerah tropis (saat ini) dihuni oleh hutan bakau (Mangrove) mengganti

rumput laut. Kalau tak terjadi gangguan laut maka gambut akan terakumulasi. Kalau

gangguan laut kuat dengan oxigen segar dalam air mengakibatkan batang mati yang

berada di atas air menjadi rusak sehingga yang terawetkan hanyalah akarnya saja. Di

daerah marine/payau maka rhizophora mangle tidak hanya berkembang ke arah laut

tetapi juga berkembang ke arah darat. Di daerah tropis bisa terjadi tumbuhan kayu

yang membentuk raised bog.

Secara umum material hasil tumbuhan (terbesar dari forest swamp) di daerah tropis,

sebagai contohnya : biji Erythrina dalam satu tahun untuk satu pohon bisa

menghasilkan 3,0 - 4,5 m tingginya dan 2,5 - 3,75 kg kering. Sehingga pembentukan

gambut relatif cepat pada forest swamp kalau muka air tanah bertahan cukup tinggi.

Biasanya wood rich peat (gambut yang kaya akan bahan kayu) dengan kandungan

lignin yang tinggi, terendapkan dan selama pembatubaraan akan ditransformasikan

menjadi Xylite rich soft brown coal dan Vitrain rich bituminous coal dengan

(biasanya) Telinit dan Tellocolinit.

Reed swamp dengan rerumputan, sedge dan paku secara umum membutuhkan muka

air yang lebih tinggi dari forest swamp, miskin akan lignin, strukturnya

terdekomposisi dengan kuat. Elemen bawah air dan mineral tercuci lebih baik.

Contohnya South Florida (Eleocharis, Mariscus Utricularia). Reed peat

menghasilkan Liptinit rich coal (batubara yang kaya akan liptinit) contohnya : light

Page 18: Geologi batubara

band of the Cologne Soft Brown Coal, dull layer with Exinit rich clarites, trimacerit

dan durit of bituminous coal. Vitrinitnya di dominasi oleh Desmocollinit.

Marine swamp dengan rumput Halophyte dijumpai di banyak pantai saat ini

(khususnya pantai Atlantik Amerika Utara).

Sphagnum adalah tumbuh-tumbuhan rawa di daerah beriklim sedang yang

menghasilkan gambut yang asam (pH 3 - 5) atau raised bog. Raised bog

mempertahankan airnya dengan mengandalkan air hujan, sehingga kadar abunya

sangat rendah (sering < 1%). Dengan pH yang rendah maka aktifitas bakteri

berkurang mengakibatkan pengawetan kayu menjadi lebih baik. Gambut dari Raised

bog banyak mengandung sellulose dan hemisellulose, fat dan lilin yang

berlebihan dan sedikit protein.

Batubara yang berasal dari ombrogenous moos peat di Cologne Brown Coal, berlapis

lemah, dengan detritus masa dasar yang kecil/halus dan kayu Konifern yang

terawetkan dengan baik.

Pada dasar rawa air terbuka, organic mud deposite / Gyttjae terakumulasi dari sisa

tumbuhan terapung (Nymphaeaceae, Utricularia dan tumbuhan bawah air seperti

Alge), binatang air dan bakteri. Materi lainnya seperti lempung halus, tepung sari,

spora dan debu yang berasal dari pembakaran di permukaan gambut (Charcoal

flakes), dsb.

Dull coal dengan banyak liptinit (Liptinit rich Clarit dan Durit) atau sapropilit coal

berasal dari Gyttjae. Vitrinit relatif jarang, Desmocollinit didominasi oleh

Corpocollinit. Subaquatik coal spesies secara alam banyak atau relatif kaya akan

mineral yang tidak hanya klastik tetapi juga anorganik syngenetik yang terendapkan

dari lautan seperti Siderit atau Pyrit.

2.3. LINGKUNGAN PENGENDAPAN

- Telmatis / terrestrial

Page 19: Geologi batubara

Lingkungan pengendapan ini menghasilkan gambut yang tidak terganggu dan

tumbuh di situ (forest peat, peed peat dan high moor moss peat).

- Limnis / subaquatik / lingkungan bawah air, terendapkan di rawa danau,

Batubara yang terendapkan pada lingkungan telmatis dan limnis sulit dibedakan

karena pada forest swamp biasanya ada bagian yang berada di bawah air (feed

swamp).

- Payau / marine

Batubara yang terbentuk pada lingkungan ini mempunyai ciri khas : Kaya abu, S

dan N dan mengandung fosil laut. Untuk daerah tropis biasanya terbentuk dari

mangrove (bakau) dan kaya S. Batubara Jaman Karbon yang terbentuk pada

lingkungan ini mengandung konkresi Kalsit (Calcitic Dolomitic atau Ankeritic) /

Coal ball. Vitrinitnya tidak mempunyai struktur lagi akibat pH tinggi sehingga

aktifitas bakteri tinggi. Tingginya S akibat naiknya kemampuan ion Sulphat dari

air laut dan oleh aktifitas anaerobik bakteri. Banyaknya H dan N berasal dari

protein tubuh bakteri, yang juga diperkaya oleh material Huminnya yang

kemudian membentuk Perhidrous Vitrite, Bituminit dan kemudian Macrimit.

- Ca-rich

Batubara yang terendapkan pada lingkungan yang kaya akan Ca mempunyai ciri

yang sama dengan yang terendapkan pada lingkungan marine. Lingkungan

pengendapan pada batuan gamping atau campuran air yang kaya akan Ca dari

daerah sekitarnya mengurangi keasaman gambut. Akibatnya aktifitas bakteri naik

sehingga degradasi tumbuhan menjadi makin tinggi. Pada awal Humifikasi dan

gelifikasi biokimia membentuk dopplerit (Calsium Humate). Kalau Kalsium dan

Oxigen bereaksi bersama (lingkungan aerobsi) maka sporopollenin yang tahan

juga akan terhancurkan sehingga tak akan terbentuk gambut.

Oleh karena itu maka Ca-rich coal selalu terjadi pada lingkungan bawah air dengan

kondisi oksigen terbatas. Sisa binatang (tulang yang kaya Ca) yang seharusnya

terlarutkan oleh asam humin, maka pada Ca-rich akan terawetkan dengan baik.

Sehingga pada batubara yang terendapkan pada lingkungan ini akan banyak fosilnya.

Sebagian besar batubara yang kaya Ca akan kaya dengan S dan syngenetic pyrit.

Mungkin ini akibat aktifitas bakteri yang tinggi dengan supply protein dari binatang

atau akibat adanya S yang banyak. Keberadaan unsur N pada batubara yang

Page 20: Geologi batubara

terendapkan pada lingkungan ini juga naik. Disamping itu Ca-rich coal juga akan

menghasilkan banyak bitumen.

2.4. PERSEDIAAN BAHAN MAKANAN

Rawa Eutrophic, Mesotrophic dan Oligotrophic dibedakan tergantung dari banyak

sedikitnya bahan makanan yang bisa digunakan. Topogenic low moor biasanya

eutrophic (kaya bahan makanan) karena menerima air dari air tanah yang banyak

mengandung bahan makanan terlarut. Sementara Raised bog / Hoch moor adalah

oligotropic karena hanya mengandalkan air hujan. Transisi antara topogenic low

moor dan raised bog disebut mesotrophic.

Di bawah kondisi hidrologi yang seragam maka tumbuh-tumbuhan rawa eutrophic

banyak spesiesnya. Oligotrophic di daerah beriklim sedang pada umumnya

merupakan Sphagnum bog, sedang untuk daerah tropis bisa ditumbuhi oleh hutan

kayu tetapi tidak banyak spesiesnya, karena rawa jenis ini akan asam (pH 3,5 - 4,0)

dan kandungan mineralnya sangat rendah. Gambut dari oligotrophic banyak

menyisakan kayu yang tidak terdekomposisi karena C/N ratio dan asam Humin

tinggi akibat aktifitas bakteri rendah. Kandungan nutrisi (Ca, Phosphoric acid, K dan

N) pada high moor adalah 1/5 dari low moor. Kandungan S rendah (0,06 - 0,15%)

dan biasanya bitumen yang terekstraksi akan tinggi. Disamping itu batubara yang

berasal dari oligotrophic moor akan mempunyai kandungan abu yang rendah.

Pengawetan sisa tumbuhan yang baik terlihat sebagai Textinit/ Telinit. Hasil abu atau

sisipan-sisipan tipis lapisan lempung atau napal pada batubara bisa diinterpretasikan

sebagai akibat banjir.

2.5. pH, AKTIFITAS BAKTERI DAN SULFUR

Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri sehingga dengan

demikian akan sangat mempengaruhi pengawetan sisa tumbuhan. Contohnya :

Akibat pengaruh laut / Ca-rich, lingkungan pengendapan yang Alkalin

mengakibatkan dekomposisi struktur yang kuat, dengan pembentukan Humin gel dan

produk penggambutan yang kaya akan N dan H.

- Low moor peat biasanya mempunyai pH 4,8 - 6,5

- High moor peat mempunyai pH 3,3 - 4,6

Page 21: Geologi batubara

Disamping type batuan dasar dan air yang mengalir masuk ke rawa maka keasaman

rawa tergantung pada rumpun tumbuhan yang ada, supply O2, konsentrasi asam

Humin yang sudah terbentuk.

Sphagnum peat mempunyai pH yang sangat rendah (3,3-4,6) yang diakibatkan oleh

supply O2 yang tinggi karena kondisi raised bog yang kering dan asam humin yang

terbentuk tidak terlarutkan oleh air sehingga menjadi banyak. Begitu juga dengan

raised bog di Indonesia, gambut yang dihasilkan juga sangat asam (pH = 3,5 - 4,5).

PH gambut akan naik dengan naiknya kedalaman.

Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (pH 7,0 - 7,5), kondisi makin asam

maka bakteri makin sedikit dan struktur kayu terawetkan dengan lebih baik.

Pada bagian paling atas dari gambut hanya jamur yang bisa hidup (pH = 4,0).

Kandungan N dan persediaan garam sangat penting untuk aktifitas bakteri. C/N kecil

(banyak N) atau kondisi eutrophic maka aktifitas bakteri banyak. Protein

terkonsentrasi pada low moor peat akibat aktifitas bakteri. Jumlah bakteri berkurang

dengan naiknya kedalaman dan jenisnya ditentukan oleh potensial redox. Pada

bagian paling atas dari gambut (disamping Actinomyces dan jamur) maka aerobic

bakteri mengambil O2 dari udara, membentuk Carbohidrat yang mudah larut

(seperti : gula dan kanji/starch, juga sellulose dan hemisellulose). Pada bagian

bawah anaerobic bakteri menggunakan O2 dari substansi organik yang hidup dibalik

produk sisa yang kaya H (diperkirakan bakteri ini masih hidup sampai kedalaman 10

meter).

Bakteri sulfur mempunyai peran khusus pada gambut (lumpur organik). Bakteri ini

mengambil S dari Sulphates untuk membentuk syngenetic Pyrit/Markasit.

2.6. TEMPERATUR

Temperatur permukaan gambut memegang peran yang sangat penting untuk proses

dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah membuat bakteri hidup

dengan lebih baik sehingga proses-proses kimia akibat bakteri bisa berjalan dengan

Page 22: Geologi batubara

lebih baik. Temperatur tertinggi untuk Bakteri penghancur sellulose pada gambut

adalah 35 - 400 C.

2.7. POTENSIAL REDOX

Pada rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan yang sama, maka

potensial redox (Eh) memegang peranan yang penting untuk aktifitas bakteri dan

penggambutan. Persediaan O2 menentukan apakah proses penggambutan berjalan

atau tidak (Tabel 1).

Tabel 1. Transformasi material organik dalam kaitannya dengan persediaan oksigen

P r o c e s s

d i s i n t e g r a t i o n

m o u l d e r i n g

p e a t i f i c a t i o n

p u t r e f a c t i o n

aerobi

cana

erobic dec

rease

of O-su

pply

P r o d u c t

u s u a l l y n o s o l i d r e s i d u e ,p o s s i b l y l i p t o b i o l i t h s

m o u l d

p e a t

s a p r o p e l

h u m i c c o a l s

s a p r o p e l i c c o a l s

s a p r o p e l i t e s

increase of hydrogen andnitrogen in transformationproduct

p e t r o l e u m

Secara umum urutan di tabel ini dicirikan oleh kenaikan air tanah. Air

mengalir membawa Oksigen terlarut. Makin banyak produksi organik matter maka

makin cepat pemisahan Oksigen dari air tergenang yang dikonsumsi untuk akhirnya

membentuk kondisi reduksi. Dengan tak terbatasnya persediaan Oksigen di udara

dan air maka muncul desintegrasi yang menghasilkan pembentukan gas dan produk

dekomposisi cairan. Sering sisa padatan (Resin, atau Liptinit yang resisten dan

Inertinit) tersisa terus. Selama mouldering, aerobic bakteri dan jamur ambil bagian

untuk membentuk humic substan yang miskin Oksigen yang akhirnya menjadi

Oxyfusinit dan Macrinit.

Proses penggambutan terjadi di permukaan kalau oksigen terbatas. Humic acid ciri

produknya membentuk Lignin hanya lewat oksidasi.

Page 23: Geologi batubara

Putrefication (permentasi) bisa terjadi pada kondisi reduksi kalau bakteri anaerobis

mengkonsumsi Oksigen dari organik substan dan mentransformasikannya menjadi

Bituminous yang kaya Hydrogen. Selama permentasi dari Sellulose, H, Methan,

Acetic Acid, Butyric Acid akan terbentuk carbon dioksida.

Selama bituminisasi dan pembatubaraan, maka bituminit dan Vitrinit dengan

Reflektan (R) rendah akan menghasilkan banyak bitumen yang bisa diekstraksi. Ini

merupakan produk bakteri anaerobis, karena material awal yang kaya protein (alge,

plankton, sisa bakteri) dan karena penghancuran anaerobis maka batubara

berkembang menjadi sapropel coal yang relatif kaya akan Nitrogen.

Umumnya R Vitrinit dari lapisan yang sama akan turun dengan berkurangnya

potensial redox dari gambut asalnya, namun H/O ratio dan VM naik. Perubahan ini

adalah akibat naiknya komponen lilin-getah (wax-resin component) pada Vitrinit.

1. DIAGENESA GAMBUT (PEATIFICATION/PENGGAMBUTAN)

Peatification mencakup proses mikrobial dan perubahan kimia (biochemical

coalification). Selanjutnya diikuti oleh proses geochemical coalification. Pada tahap

geochemical coalification ini bakteri tidak ikut berperan.

Alterasi yang kuat dengan jumlah oksigen terbatas di permukaan dan di bawahnya (+

50 cm) disebut peatigenic layer. Bagian ini merupakan daerah aerobic bakteri,

actinomyces dan fungi untuk aktif. Dengan bertambahnya kedalaman maka aerobic

bakteri diganti oleh anaerobic bakteri. Pada kedalaman lebih dari 10 cm tidak ada

bakteri lagi, sehingga yang terjadi hanyalah perubahan kimia saja (primarily

condensation, polymerization dan reaksi reduksi).

Page 24: Geologi batubara

Proses terpenting dari peatification adalah pembentukan humic substan atau

humication yang didorong oleh supply oksigen, kenaikan temperatur gambut (tropis)

dan lingkungan alkali. Derajat humifikasi tergantung pada fasies dan tak tergantung

pada kedalaman.

Pada profil gambut bagian permukaan kandungan karbon bertambah dengan cepat

dengan bertambahnya kedalaman sehingga substan yang kaya akan oksigen di

permukaan (sellulose dan hemi sellulose) terdekomposisi oleh mikrobiologi yang

mengakibatkan pengkayaan lignin yang kaya karbon dan terbentuknya asam humin.

Sebaliknya akibat kenaikan tekanan, maka kandungan air (moisture content)

berkurang dengan cepat sehingga kandungan air ini merupakan pengukur diagenesa

yang baik pada diagenesa gambut. Pemunculan sellulose bebas (tak bercampur

dengan lignin) juga merupakan indikator yang baik untuk derajat diagenesa. Untuk

membedakan gambut dengan soft brown coal ada beberapa hal yang dipakai :

− Kandungan air

− Kandungan karbon

− Pemunculan sellulose bebas

− Dapat dipotong atau tidak

Tabel 1. Perbedaan antara gambut dan brown coal

Gambut Brown Coal

Moisture (bed moisture) >75% <75%

% Carbon (daf) < 60% > 60%

Sellulose bebas ya tidak

Dapat dipotong ya tidak

Karena batas antara gambut dan brown coal bertahap maka sulit ditentukan secara

pasti, tetapi kira-kira untuk kondisi normal pada kedalaman mencapai 200-400 m.

2. COALIFICATION (PEMBATUBARAAN)

Page 25: Geologi batubara

Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut lewat lignit, sub

bituminous dan bituminous coal menjadi antrasit dan metaantrasit. Untuk suatu

perubahan temperatur maka batubara merupakan alat ukur yang baik untuk

diagenesa sedimen. Reaksi yang timbul bisa berupa perubahan struktur kimia atau

fisik.

Porositas menurun dan anisotropi naik paralel dengan bidang perlapisan bisa

dikorelasikan dengan tekanan overburden. Porositas bisa dilihat dari kandungan

airnya (moisture content) yang menurun dengan cepat selama proses perubahan dari

gambut menjadi brown coal. Hal ini memberikan indikasi bahwa masih terjadi

kompaksi.

Selanjutnya derajat pembatubaraan ditentukan oleh perubahan komposisi kimianya

(C, O, H dan VM) atau dengan sifat optis (reflektan dari vitrinit) yang juga

tergantung pada komposisi kimia (Gambar 1). Tiap elemen kimia mempunyai

perilaku yang berbeda terhadap derajat pembatubaraan maka untuk parameter

dipakai salah satu saja. Contohnya reflektan vitrinit diukur maseral Eu Ulminit B

untuk brown coal dan telocollinit untuk derajat berikutnya (steinkohle untuk rang

Jerman).

Kandungan air total merupakan parameter utama pada kenaikan rang pada brown

coal (hukum Schurmann).

− Soft brown coal (lignit) 4% moisture / 100 m kenaikan kedalaman

− Dull brown coal stage (lignit - sub. bit. C) 1% moisture / 100 m kenaikan

kedalaman

− Bright brown coal (sub. bit. B-A) 1% moisture / 100 m kenaikan kedalaman

Dengan turunnya kandungan air maka nilai kalori naik. Penurunan moisture content

akibat berkurangnya porositas dan juga pada dekomposisi dari hydrophylic

funktional groups, khususnya OH - group (khususnya pada tahap awal brown coal).

Disamping hydroxyl (-OH) group, carboxyl (-COOH) group, methoxyl (-OCH3)

group, carbonyl (>C=O) group, maka ring oksigen juga temperatur sehingga

mengakibatkan kenaikan kandungan karbon.

Page 26: Geologi batubara

Selama tahap hard brown coal (lignit - sub bituminous) maka sisa terakhir dari

sellulose dan lignin ditransformasikan menjadi material humic dan asam himic,

terkondensasi menjadi molekul yang besar dengan melepaskan sifat asamnya dan

membentuk humin yang tak terlarutkan oleh alkali. Rusia dan Jerman memakai

metoda KOH untuk membedakan brown coal dengan bituminous coal. Asam humic

bereaksi dengan KOH sedangkan humic tidak (Tabel 2).

Vollatile matter berubah sedikit selama tahap brown coal dan hasil reaksinya terdiri

dari (paling banyak dari) : CO2, air, methan (Gambar 2).

Pada batas antara dull dan bright brown coal yang paling menonjol terjadi adalah

perubahan petrografis yang diakibatkan oleh gelifikasi geokimia (vitrinitisasi) dari

substan humin batubara yang berubah menjadi hitam dan mengkilap sebagai bright

brown coal (sub bituminous C/B coal). Proses ini unik untuk tahap ini.

Kandungan karbon kurang baik untuk menentukan rang pada bituminous < 30%

VM karena perubahan yang terjadi tidak banyak (kurang sensitif).

Tahap antrasit dicirikan oleh penurunan H secara cepat (ratio H/c), khususnya

penaikan cepat dari reflektivitas dan juga anisotrop.

Methan menurun akibat penurunan H mulai pada C = 87% dan 29% VM pada tahap

bituminous.

3. PENYEBAB PROSES PEMBATUBARAAN

Proses pembatubaran terutama dikontrol oleh temperatur dan waktu. Hal ini

bisa terlihat pada kontak metamorfosa batubara (contohnya batubara Tanjung Enim).

Rang gradien geothermal dan konduktivitas panas dari batuan. Contohnya : sedimen

tersier dari upper rhein graben yang mempunyai gradien geothermal bervariasi lokal

antara 7 - 8o C/100 m menghasilkan batubara bituminous pada kedalaman 1.500 m

dan pada daerah dingin (4o C/100 m) mencapai rang tersebut pada kedalaman 2.600

m. Biasanya temperatur yang dibutuhkan untuk proses pembatubaraan di alam jauh

lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk percobaan di laboratorium. Di alam dengan

Page 27: Geologi batubara

temperatur 100 - 150o C cukup untuk pembentukan bituminous coal (berdasarkan

penyelidikan geologi, max. depth of subsidence dan gradien geothermal).

Pengaruh waktu dalam hal pembentukan batubara adalah semu. Contohnya :

gulf coast of lousiana, upper miocen rock yang mengandung batubara tenggelam

sampai 5.440 m selama 17 juta tahun, T = 140o C menghasilkan high volatile

bituminous coal (35 - 40% VM). N.W. carboniferous rock, pada kedalaman sama

untuk 270 juta tahun hanya mencapai low volatile bituminous coal (14 - 16% VM).

Waktu mempunyai efek yang penting kalau temperatur tinggi, contohnya : lignit di

Moskow Basin yang berumur karbon bawah, tetapi tidak pernah mengalami

penurunan (untuk mencapai T > 20 - 25o C).

Tekanan makin tinggi maka proses pembatubaraan makin cepat, terutama di daerah

patahan, terlipat, dan sebagainya.

Proses pembatubaraan yang diakibatkan oleh radioaktif masih jarang diamati, tetapi

sampai saat ini dilaporkan hanya menyebabkan kenaikan reflektan di sekitar inklusi

mineral redioaktif saja.

4. BITUMINISASI DAN KORELASINYA DENGAN GENESA MINYAK

BUMI

Bituminisasi adalah proses diagenesa yang selama proses berlangsung menghasilkan

suatu produk yang mobil (gas/bitumen) atau proses aromatisasi dan kondensasi dari

produk sisa padatan (kerogen pada batuan induk untuk minyak).

Proses bituminisasi bisa diketahui dari terbentuknya maseral sekunder (exshudatinit).

Hubungan antara rang batubara, sifat optik liptinit dan pembentukan hidrokarbon.

Asal batubara terutama dari lignin dan sellulose dari tumbuhan tinggi yang

mengalami proses penggambutan (biochemical humification) dengan persediaan

oksigen terbatas. Sedangkan minyak bumi berasal dari algae, plankton dan bakteri

yang mempunyai kandungan sellulose, protein, lemak dan lilin yang tinggi dengan

kondisi anaerobik. Proses pembentukan lipid dari lilin merupakan proses yang

Page 28: Geologi batubara

penting pada minyak bumi. Lipid lebih kaya dengan H kalau dibandingkan dengan

sebstan humic (pada batubara yang selanjutnya menjadi vitrinit) dimana lipid juga

mempunyai kandungan aromatik rendah dan aliphatik yang tinggi. Pada proses

biokimia dan selanjutnya diikuti oleh proses bituminisasi lipid menjadi bersatu

dengan kerogen pada batuan induk. (Menurut Welte, 1972 : Kerogen adalah padatan

organik yang kaya H dan tak larut pada pelarut organik).

Dengan naiknya temperatur kerak bumi (subsidence) minyak bumi dan gas alam

yang terlepaskan dari kerogen mulai bermigrasi untuk selanjutnya berkumpul pada

suatu tempat (endapan minyak pada batuan). Pembentukan minyak dan gas dari

kerogen mulai pada temperatur, tekanan dan waktu yang sama untuk batubara tahap

sub bituminous A dan berakhir kalau sudah mencapai rang medium volatile

bituminous coal (26% VM).

Dari Gambar 5 terlihat bahwa kandungan ekstrak mencapai maksimum pada rang

0,9% yang dibarengi oleh kandungan aromatiknya.

Pengamatan petografi batubara mendukung bahwa bituminous (petroleum like

substance/material seperti minyak bumi) terbentuk dari maseral liptinit (dan

vitrinit ?). Bituminisasi pada batubara mulai pada rang sub bituminous (high volatile

bituminous C-B). Disini terjadi loncatan proses pembatubaraan yang pertama

(coalification jump) untuk maseral grup liptinit dan grup vitrinit (hal ini

dihubungkan dengan pembentukan minyak bumi pada batuan induk). Bersamaan

dengan itu maka terbentuk maseral mikrinit yang mempunyai R yang tinggi sebagai

produk padatan.

Pada minyak bumi maka bitumen yang terbentuk akan bermigrasi ke batuan sumber

tetapi pada umumnya pada bitumen pada batubara tidak bermigrasi karena sistem

pori yang sangat kecil dari vitrinit sebagai penyaring (diadsorpsi atau berasosiasi

secara kimia).

Proses bituminisasi terjadi pada rang antara vitrinit reflektan / Rr (random reflektan)

= 0,5% (sub bituminous coal) sampai Rr vitrinit = 1,3% (medium volatile

bituminous coal). Daerah ini dikenal dengan istilah oil window / oilfenster (Tabel 3).

Page 29: Geologi batubara

Selanjutnya bitumen yang baru terbentuk akan pecah / retak untuk membentuk

molekul hidrokarbon dengan ukuran kecil dan produk sisa yang mempunyai R yang

tinggi (polykondensat).

Dekomposisi ini mulai pada rang medium volatile bituminous coal (29 - 28% VM).

Daerah ini merupakan loncatan proses pembatubaraan yang kedua. Sementara

dekomposisi berjalan makan dibarengi dengan naiknya R liptinit dan vitrinit dengan

sangat cepat dan fluorisensinya hilang.

Jumlah bitumen yang terbentuk tergantung dari material induk pembentuk batubara

dan lingkungan pengendapannya. Bitumen rich coal sering diasosiasikan dengan

lingkungan pengendapan yang marin atau dengan batuan gamping yang mana

batubaranya kaya akan mineral pyrit dan organik sulfur (mikrolitotyp bawah air

yang kaya akan liptinit dan desmocollinit). Vitrit dengan kandungan H relatif tinggi

dan tar, H2O dan R rendah tetapi fluoresen kuat.

Maseral pada batubara analog dengan mineral pada batuan atau bagian terkecil dari

batubara yang bisa teramati dengan mikroskop. Dengan mikroskop (sinar pantul)

maseral dapat dibedakan berdasarkan pada reflektifitasnya dan morfologinya.

Maseral dengan sifat optis dan susunan kimia yang sama dimasukkan dalam satu

grup maseral (Stach, 1982). Menurut ICCP (International Committee for Coal

Petrology, 1963, 1971 dan 1975), klasifikasi maseral dapat terlihat seperti Tabel 1

dan 2.

Tabel 1. Klasifikasi maseral pada browncoal (ICCP, 1975)

GRUPMASERAL SUBGRUPMASERAL MASERAL TIPE MASERAL

Textinit

Humotelinit Ulminit Texto-Ulminit

Eu-Ulminit

Humodetrinit Attrinit

Huminit Densinit

Gelinit Porigelinit

Humocollinit Levigelinit

Page 30: Geologi batubara

Corpohumin

it

Phlobaphinit

Pseudophlobaphini

t

Sporinit

Cutinit

Resinit

Liptinit Suberinit

Alginit

Liptodetrinit

Chloriphylli

nit

Fusinit

Semifusinit

Inertinit Macrinit

Sclerotinit

Inertodetrini

t

Tabel 2. Klasifikasi maseral pada hardcoal (ICCP, 1975)

GRUPMASERAL MASERAL MASERALTYP

TelinitTelicollinit

Vitrinit Collinit GelocollinitDesmocollinitCorpocollinit

VitrodetrinitSporinitCutinitResinitAlginit

Liptinit SuberinitBituminitFluorinitExsudatinit

Page 31: Geologi batubara

ChlorophyllinitLiptodetrinitFusinitSemifusinit

Inertinit SclerotinitMacrinitInertodetrinitMicrinit

Maseral grup Liptinit (Exinit) dan maseral grup Inertinit pada Browncoal dan

Hardcoal mempunyai nama yang sama. Korelasi grup maseral Huminit pada

Browncoal dan Vitrinit pada Hardcoal dapat terlihat pada Tabel 3.

Pada batubara dengan rank rendah (browncoal), maka Liptinit yang relatif kaya akan

Hidrogen, mempunyai reflektifitas yang paling rendah. Sementara Inertinit, yang

relatif kaya akan unsur karbon , mempunyai reflektifitas yang paling tinggi.

Menurut Teichmueller (1987) dan Alpern & Lemos de Sousa (1970) Liptinit pada

batubara mempunyai kandungan zat terbang paling rendah dan bisa mencapai harga

reflektifitas yang sama dengan Vitrinit pada rank batubara dengan R-Vitrinit kira-

kira 1,5% (Gambar 2).

Tabel 3. Korelasi maseral huminit dan maseral vitrinit (ICCP, 1975)

BROWNCOAL HARDCOAL

Grup

Maseral

Subgrup

Maseral

Maseral Maseraltyp Maseraltyp Maseral Grup

Maseral

Textinit

Humotel

init

Ulminit Texto-

Ulminit

Telinit 1 Telinit

Eu-Ulminit Telinit 2

Page 32: Geologi batubara

Humode

trinit

Atrinit Vitrodet

rinit

Densinit Desmocolli

nit

Huminit Detrogeli

nit

Vitrinit

Gelinit Levigelinit Telogelon

it

Telocollinit Collinit

Humoco

llinit

Eugelinit Gelocollinit

Porigelinit

Corpo-

huminit

Phlobaphinit Corpocollin

it

Pesudo-

phlobaphinit

Vitrinit pada dasarnya berasal dari selulosa (C6 H10 O5) dan lignin dinding sel pada

tumbuhan. Beberapa maseral pada grup Vitrinit berasal dari Tanin yang

terimpregnasi pada dinding sel atau sebagai pengisi rongga sel. Protein dan Lipide

juga merupakan material pembentuk dari Vitrinit (seperti Huminit). Maseral ini

dapat dikenal dari fraksi aromatik yang tinggi dan kaya akan Oksigen.

Vitrinit dan Liptinit dibedakan dari material pembentuknya. Liptinit berasal dari sisa

tumbuhan berupa : spora, resin/getah, lilin dan lemak. Maseral ini dicirikan oleh

kandungan fraksi alifatik (parafin) yang tinggi. Inertinit berasal dari material yang

sama dengan material vitrinit dan Liptinit.

1. GRUP VITRINIT

Teichmueller (1989) membagi bagian awal pembentukan maseral ini dalam dua

proses, yaitu Humifikasi dan Gelifikasi Biokimia.

Humifikasi adalah proses utama dalam stadium gambut. Proses ini terjadi paling kuat

pada bagian permukaan gambut akibat oksidasi lemah dan aktifitas mikrobiologi.

Page 33: Geologi batubara

Gelifikasi biokimia merupakan proses lanjutan dari material yang sudah

terhumifukasi. Material ini total atau sebagian struktur selnya hilang (peptidisation,

softening, plasticity, compaction dan homogenisation). Proses ini sebagian

berlangsung pada stadium gambut dan total pada stadium Weichbraunkohle.

Proses gelifikasi biokimia berlangsung pada fase gambut dan braunkohle dibawah air

atau subaquatik (Teichmueller, 1950, 1898 ; Chaffe et.al., 1984; Cohen et. al., 1987;

Lamberson et. al., 1991; Calder et. al. 1991).

Keberadaan selulosa akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman karena

dengan bertambahnya kedalaman maka aktifitas algae dan bakteri aerobik berkurang

dan diganti dengan bakteri anaerobik (Cassagrande et. al. ; 1985). Penurunan

selulosa akan teramati dibawah mikroskop berupa penurunan sifat anisotropinya dan

hilangnya autofluoresen pada dinding sel. Kejadian ini khas untuk Humifikasi

(Teichmueller, 1987).

Pembatubaraan Pada Grup Huminit

Proses gelifikasi geokimia adalah proses pembatubaraan dimana Huminit berubah

menjadi Vitrinit (Vitrinittization). Proses ini berbeda dengan gelifikasi biokimia

yang tergantung pada fasies. Vitrinitisasi berlangsung di antara studium browncoal

dan Hard coal. Proses ini memberikan banyak perubahan pada kenampakan

petrografi dimana warna berubah dari coklat ke hitam dari kusam ke mengkilap dan

dari lunak ke keras (Teichmueller, 1987).

Gambaran di bawah mikroskop menunjukkan perubahan dari material yang berasal

selulosa dan lignin (lepas-lepas dan terdiri dari macam-macam maseral huminit) ke

material Vitrinit yang homogen dan kompak. Penyebab proses ini adalah kenaikan

temperatur dan tekanan.

Cook dan Struckmeyer (1986) mengatakan bahwa tekanan merupakan penyebab

utama dari Vitrinitisasi karena proses fisika utama yang terjadi adalah mengurangan

air. Pengurangan air terjadi karena porositas berkurang. Namun tekanan tidak

menyebabkan gelifikasi selama pembatubaraan pada studium browncoal (kira-kira

sampai lignit) karena gelifikasi geokimia (vitrinitisasi) akan disertai oleh

pembentukan Bitumen cair (oil window).

Page 34: Geologi batubara

Bitumenisasi adalah bagian dari proses pembatubaraan (antara sub bituminous coal

dan high volatile bituminous coal). Dibawah mikroskop proses ini menghasilkan

pembentukan Exsudatinit (maseral pada Liptinit grup). Penelitian kombinasi antara

mikroskopi dan geokimia organik memberikan gambaran bahwa selama proses

bitumenisasi maka jumlah ektrak dari Humiccoal meningkat (Radke et. al, 1980).

Bitumenisasi mengakibatkan pelunakan dan aglomerasi dari vitrinit dan ini

merupakan alasan sifat pengkokasan dari Bituminous Coal.

Reflektifitas maseral Huminit dan Vitrinit naik secara teratur selama proses

pembatubaraan (Teichmueller, 1987, 1989; Stach, 1982; Alpern & Lemos de Sousa,

1970).

Berdasarkan morfologinya maka maseral pada grup Huminit dibagi menjadi :

- Subgrup maseral Humotelinit : berasal dari dinding sel dan terdiri dari Textinit

dan Ulminit.

- Subgrup maseral Humodetrinit : berasal dari detritus dan terdiri dari Attrinit dan

Densinit.

- Subgrup maseral Humocollinit : berasal dari gel dan terdiri dari Gelinit dan

Corpohuminit.

Pembagian Humotelinit (begitu juga Humodetrinit dan Humogelinit) menjadi dua

maseral adalah berdasarkan tingkat gelifikasinya. Seperti contohnya :

Textinit = belum tergelifikasi

Ulminit = tergelifikasi lemah

Textinit A dikenal dari reflektifitasnya yang rendah akibat dari sisa selulosa atau

resin yang terimpregnasi pada dinding sel, walaupun impregnasi resin pada dinding

sel ini terjadi hanya pada tumbuhan Konifera (Jurasky, 1940 ; dikutip dari

Teichmueller, 1989). Russel & Barron (1984) menulis bahwa maseral textinit masih

mengandung selulosa. Kebanyakan textinit dan Ulminit pada Browncoal berasal dari

tumbuhan Konifern karena Angiosperm dan serat kulit kayu tumbuhan perdu yang

tidak sempat tergelifikasi akibat strukturnya yang mudah termusnahkan

(Teichmueller, 1989). Schneider (1984) dengan penelitiannya yang sempurna

terhadap bermacam-macam Humotelinit pada browncoal mengklasifikasikan :

Page 35: Geologi batubara

- Xylo-textinit berasal dari kayu

- Peridermo-textinit berasal dari kulit kayu

- Phyllo-textinit berasal dari daun

- Rhizo-textinit berasal dari akar.

Pengawetan akar jauh lebih baik karena akar terlindung dari proses oksidasi

dipermukaan gambut (peatigenic layer).

Sesudah gelifikasi geokimia maka Humotelinit pada browncoal akan berubah

menjadi Telinit dan Telocollinit pada hardcoal. Telinit dan Telocollinit dibedakan

dari sel struktur yang tersisa, dimana Telocollinit tidak lagi menunjukkan adanya sisa

sel struktur. Struktur bisa diamati kalau di etching (etsa).

Ruang sel pada telinit sering terisi oleh Collinit, terkadang juga oleh Resinit,

Mikrinit dan mineral. Telocollinit tumbuh dari selserat terhumifikasi dan terawetkan

baik. Material asalnya adalah sisa tumbuhan yang kaya Lignin yang berubah secara

pelan dalam humus. Oleh karena itu maka telocollinit merupakan indikator untuk

kumpulan tumbuhan kayu (tumbuhan besar).

Humodetrinit berasal dari campuran pragmen sel, amorf dan partikel humickoloid,

jumlahnya naik dengan naiknya tingkat gelifikasi. Gelifikasi mulai dari maseral

Attrinit melalui Densinit dan kemudian berakhir pada Detrogelinit yang merupakan

maseraltyp pada grup Humocollinit (Teichmueller, 1989). Biasanya Humodetrinit

berasal dari tumbuhan perdu dan Angiosperm karena mudah terhancurkan. Von der

Brelie dan Wolf (1981a) mengatakan bahwa Humodetrinit bisa dihasilkan dari hutan

gambut yang teroksidasi.

Sesudah gelifikasi geokimia maka Humodetrinit berubah menjadi Desmocollinit

pada hardcoal. Kandungan abu Desmocollinit (inherent ash) relatif tinggi dan

komposisinya heterogen (Alpern & Quesson, 1956; dikutip dari Teichmueller,

1989).

Desmocollinit menggambarkan kumpulan detritus tumbuhan dan humusgel. Ini

terbentuk melalui sisa tumbuhan yang kaya selulosa dan terhumifikasi kuat dan

akhirnya bergelifikasi geokimia, yang mana akhirnya partikel detritus dan humus gel

ini menjadi satu kesatuan massa. (Teichmueller, 1982a). Diessel (1982) mengatakan

Page 36: Geologi batubara

bahwa bahan dasar dari Humodetrinit adalah kemungkinan didominasi oleh serat

tumbuhan yang kaya selulosa dan mudah rusak seperti : daun-daunan, rumput dan

tumbuhan perdu.

Alpern (1966) membagi Collinit menjadi dua sub maseral, yakni Humocollinit

(Telocollinit menurut ICCP) dan Heterocollinit (Desmocollinit menurut ICCP) dan

untuk kedua Collinit ini Brown et. al. (1964) menyebut masing-masing dengan

Vitrinit A dan Vitrinit B.

Berlawanan dengan Desmocollinit maka ada Pseudovitrinit (Benedict et. al., 1968).

Desmocollinit kaya akan hidrogen (perhidrous) dan Pseudovitrinit adalah subhidrous

dan dapat dikenali dari reflektifitasnya yang tinggi dan potensial untuk kokas yang

rendah. Material asal dari pseudovitrinit ini sampai sekarang masih belum

jelas. Pseudovitrinit sering masih menunjukkan sel strukturnya tetapi sering juga

teramati sebagai Vitrinit yang homogen dengan struktur khasnya yaitu : Struktur

koma dan pinggiran butir yang berbentuk tangga (Benedict et. al., 1968; Kaegi,

1985). Reflektifitas pseudovitrinit berada sedikit lebih tinggi dari Telocollinit.

Banyak penulis mengatakan bahwa Pseudovitrinit merupakan produk awal dari

oksidasi, tetapi Kaegi (1985) dengan percobaan oksidasi temperatur rendah terhadap

batubara Medium Volatile Bituminous Coal tidak bisa sepaham. Teichmueller

(1989) mengatakan bahwa Pseudovitrinit mewakili vitrinit yang kaya akan

Asphalten. Maseral ini mencapai tingkat kematangan yang lebih sehingga sering

muncul pada Low Volatile Bituminous Coal (Fett & Esskohle). Pemunculan

Pseudovitrinit merupakan indikator lingkungan pengendapan terestrial, sewaktu

waktu mencapai kondisi eorobik.

Gelinit pada browncoal adalah serat tumbuhan yang secara total tergelifikasi

geokimia (Telogelinit) atau humic detritus yang tergelifikasi (Detrogelinit) atau gel

murni yang berasal dari larutan koloid pengisi ruang sel (Eugelinit).

Gelifikasi Geokimia meningkat dibawah air. Kondisi ini khas untuk type fasies

anaerobik di bawah permukaan air, seperti Humic Gyttjae (Teichmueller, 1950;

Diessel, 1986; Lamberson et.al., 1991). Bagaimanapun juga oksidasi karena air

dalam gambut dan browncoal mengakibatkan oksidasi dini.

Page 37: Geologi batubara

Batubara yang kaya akan Kalsium kaya akan Gelinit. Sering terpresipitasi sebagai

Ca-Humat (Dopplerit). Gelinit pada stadium browncoal terkorelasi dengan Collinit

pada Hardcoal.

Corpohuminit adalah pengisi ruang sel dan merupakan produk primer (diperkirakan)

dari tumbuhan hidup atau produk langsung setelah sel tertentu mati (khususnya kulit

kayu). Secara kimia Corpohuminit adalah produk oksidasi atau produk kondensasi

dari Tanin. SOOS (1963, 1966 ; dikutip dari Teichmueller, 1989) meneliti tentang

Corpohuminit pada browncoal dan menamakannya dengan Phlobaphenites

(Phlobaphinit menurut ICCP). Juga mungkin Corpohuminit merupakan hasil proses

biokimia yang telah mengisi ruang sel yang kosong.

Walaupun Corpohuminit tidak mempunyai hubungan dengan gelifikasi geokimia

namun pada stadium hardcoal dinamakan Corpocollinit. Corpocollinit teramati

sebagai suatu yang homogen, butir Vitrinit bulat sampai oval, sering terisolasi pada

Desmocollinit dan juga sebagai pengisi sel pada Telinit (insitu). Ini bisa

mencerminkan ketahanan terhadap penghancuran dari produk primer sel hidup atau

terbentuk sekunder akibat pengisian ruang sel oleh humus gel (Teichmueller, 1982a).

Corpohuminit atau Corpocollinit sangat resistan sehingga sering pada Coal Ball

sebagai material batubara yang tidak terbatukan tetapi dinding selnya yang dari

karbonat/silika terbatukan.

Sementara Vitrodetrinit adalah Vitrinit dengan ukuran < 20 mikrometer, bersudut

dan sering terendapkan pada daerah yang kaya mineral lempung. Reflektifitasnya

bisa berada antara Desmocollinit dan Telocollinit.

2. GRUP LIPTINIT

Liptinit berasal dari organ tumbuhan (ganggang, spora, kotak spora, kutikula dan

getah), yang relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen

(Techmueller, 1982; Wolf, 1988) atau bisa juga sekunder, terjadi selama proses

pembatubaraan dari bitumen.

Page 38: Geologi batubara

Sifat optis (Refektivitas rendah dan fluoresense tinggi) dari Liptinit mulai gambut

dan batubara pada rank rendah sampai pada batubara sub-bituminus relatif stabil

(Techmueller, 1989).

Pembatubaraan Pada Grup Liptinit

Naiknya reflektivitas dibarengi sifat fluoresense menurun (Gambar 3). Warna

fluoresense berubah dari panjang gelombang yang pendek (hijau dan kuning) ke

panjang gelombang yang lebih tinggi (merah). Liptinit-liptinit tertentu mempunyai

loncatan proses pembatubaraan masing-masing, seperti: Sporinit mempunyai

loncatan pertama (R vitrinit = 0.5%) dimana substansi seperti minyak terbentuk.

Loncatan kedua (R vitrinit = 0.8-1.0%) adalah pada oilgeneration yang maksimum.

Loncatan ketiga (R vitrinit = 1.3%) adalah pada batas akhir oilgeneration dimana

Sporinit mencapai R vitrinit dan fluoresensenya menghilang.

Perubahan mikroskopis disertai dengan perubahan komposisi dan jumlah ekstrak dari

batubara yang kaya akan Liptinit (Radke et. al. 1980).

Sesudah oilgeneration (bituminisasi) beberapa Liptinit menghilang dan akan

membentuk mikrinit yang berupa sisa padatan (dari Resinit dan Bituminit). Liptinit-

liptinit yang lain (Sporinit dan Kutinit) berkurang kemudian mencapai reflektivitas

yang lebih tinggi dari reflektivitas vitrinit.

Eksudatinit adalah maseral sekunder pada grup Liptinit dan terbentuk selama proses

pembatubaraan (awal bituminisasi). Eksudatinit mencapai reflektivitas yang lebih

tinggi dari reflektivitas vitrinit pada awal stadium coking coal. Banyak meta-

eksudatinit dikenal dari anisotropinya yang tinggi. Secara umum R Liptinit dan

fluoresensenya berubah pada stadium oilwindow.

Sporinit terbentuk dari bagian luar dinding sel spora dan kotak spora. Secara kimia

substansi ini mengandung sporopollenin. Pada lingkungan yang kaya akan kalsium

dan relatif kering, spora dan kotak spora akan terhancur dengan kuat oleh bakteri.

Tetapi dalam lingkungan yang basah (di bawah air) spora dan kotak spora

terawetkan dengan baik (Teichmueller, 1989).

Page 39: Geologi batubara

Kulit spora sering sama-sama tertindih sehingga ruang dalam spora hanya bisa

dikenali sebagai satu garis hitam di bagian tengah (Gambar 4 dan 5). Bagian luar

spora terpisahkan secara simetris. Berdasarkan besarnya sporinit dibagi menjadi

megasporinit dan mikrosporinit. Mikrosporinit lebih kecil dari 100 mikrometer.

Berdasarkan pada ketebalan dindingnya maka mikrosporinit dibagi menjadi dua,

yaitu Tenuisporinit yang mempunyai dinding yang tipis dan Crassisporinit yang

mempunyai dinding yang tebal (Stach, 1982).

Cutinit berasal dari kutikula dan lapisan kutikula yang biasanya berada pada

permukaan daun, cabang dan bagian lain dari tumbuhan sebagai pelindung dari

kekeringan. Substansi kimianya disebut cutin dan komposisinya adalah asam lemak

dan lilin. Dalam sayatan yang tegak lurus dengan perlapisan, cutinit mempunyai

lapisan berbentuk gigi yang unik dengan berbagai ketebalan. Dalam sayatan yang

lain sering terlihat sebagai struktur jarring.

Suberinit, resinit dan fluorinit berbeda dengan sporinit, alginit dan cutinit. Material

asalnya hanya diketahui secara umum. Suberinit berasal dari lapisan suberin dari

dinding sel yang tergabuskan khususnya kulit kayu.

Suberin adalah polimer yang mengandung asam lemak dan ester gliserin (Treiber,

1957). Suberin tidak hanya terdapat pada kulit kayu tetapi juga pada permukaan

akar, buah dan berfungsi sebagai pelindung dari kekeringan. Pemunculan suberinit

sering pada brown coal tersier dimana dinding sel yang tipis, reflektivitas rendah dan

berfluoresense dari suberinit mengelilingi suatu material dengan reflektivitas tinggi,

biasanya berbentuk tabular, sebagai pengisi ruang sel dan disebut phlobaphinit. Pada

batubara mezosoikum, suberinit sangat jarang dan pada batubara karbon tidak

terdapat suberinit (Teichmueller, 1989).

Resinit berasal dari resin, balsem, lateks, lemak dan lilin. Secara kimia resinit

dibedakan menjadi terpen resin (yang berasal dari resin, balsam, copals, lateks dan

minyak essensial) dan lipid resin (berasal dari lemak dan lilin). Terpin adalah produk

hasil kondensasi yang relatif stabil dari molekul isoprene (C6H8). Lipid dari lemak

dan lilin merupakan campuran yang dapat diekstak dari asam lemak (dari ester

Page 40: Geologi batubara

gliserin atau lemak atau asam lemak dengan alkohol yang tinggi atau lilin). Secara

botani resin merupakan sekresi dari dinding sel pada ruang sel dan kanal. Beberapa

konifern menghasilkan resin (kalau terluka), dan resin ini menghasilkan resinit pada

batubara. Karena perbedaan material asal, maka resinit akan muncul dengan berbagai

sifat mikrokopis, seperti bentuk, warna, reflektan dan fluoresense (Zhao et. al.,

1990).

Resin muncul sebagai pengisi sel pada telocollinit atau terisolasi pada massa dasar

vitrinit. Bentuk resinit yang bundar, opal atau juga tidak beraturan menunjukkan

variasi yang besar pada reflektivitas dan fluoresensenya (Gambar 8).

Batubara tersier mengandung banyak resinit karena tumbuh banyak kornifern pada

jaman tersier. Di daerah tropis ada banyak angiosperm yang kaya akan resin, lateks,

minyak dan lemak sebagi sumber dari resinit (Teichmueller, 1989). Resinit

mempunyai kecenderungan untuk membentuk eksudatinit pada awal proses

pembatubaraan (Teichmueller, 1989 ; Zhao et. al., 1990).

Walaupun material asal dari fluorinit adalah minyak essensial tetapi karena sifat

optisnya yang khusus maka fluorinit dipisahkan dari resinit. Fluorinit adalah relatif

baru dan dapat diamati dengan mikroskop fluoresense (Teichmueller, 1974 a, c).

Dengan panjang gelombang yang pendek fluorinit menunjukkan warna fluoresense

yang berwarna kuning terang yang kuat. Sementara dengan sinar putih fluorinit tidak

dapat dibedakan dengan mineral lempung pada batubara. Pemunculan fluorinit

adalah khas pada sel yang kecil dari phyllovitrinit dan dikelilingi oleh cutinit.

Beberapa fluorinit berasal dari sel lipoida pada daun-daun tertentu.

Liptodetrinit adalah campuran fragmen dan sisa-sisa kecil dari produk degradasi atau

dari maseral Liptinit yang lain. Liptodetrinit banyak pada batubara sub-aquatis

(batubara sapropel atau clarit, durit dan trimaserit tertentu), karena Liptinit terbentuk

dari penghancuran mekanis dari Liptinit selama proses transport.

Eksudatinit (seperti bituminit dan fluorinit) dapat diamati dengan sinar fluoresense.

Eksudatinit adalah maseral sekunder dan pembentukannya adalah selama proses

pembatubaraan (awal bituminisasi atau antara sub-bituminous coal sampai high

volatile bitumious coal) dari Liptinit dan perhydrous vitrinit (migrabitumen menurut

Page 41: Geologi batubara

Jakob, 1985). Eksudatinit mengisi rekahan, bidang perlapisan, kekar, sel yang

kosong dari fusinit dan sclerotinit (Zhao et. al, 1990). Komposisi kimia dari

eksudatinit diperkirakan asphaltene (Teichmueller, 1989).

3. GRUP INERTINIT

Sifat khas untuk Inertinit adalah reflektivitas tinggi, sedikit atau tanpa fluoresense,

kandungan karbon yang tinggi dan sedikit kandungan hidrogen, aromatis kuat karena

beberapa penyebab, seperti pembakaran (charring), mouldering dan penghancuran

oleh jamur, gelifikasi biokimia dan oksidasi serat tumbuhan. Menurut Teichmueller

(1982 a) inertinit berasal dari melanin (inertinit primer).

Sebagian besar inertinit sudah terbentuk pada bagian awal proses pembatubaraan.

Inertinit tidak menunjukkan perubahan selama proses pembatubaraan. Hanya semi-

inertinit berubah menjadi inertinit.

Smith dan Cook (1980) mengatakan sebagian besar inertinitisasi (penaikan

reflektivitas) terjadinya tidak lebih awal dari stadium brown coal dan sub-bitumious.

Penyebab proses ini adalah reaksi yang tidak seimbang. Aromatisasi (inertinisasi)

berada disatu pihak dan pembentukan hidrokarbon disisi yang lain (Teichmueller,

1987a). Reaksi ini sama dengan pembentukan mikrinit pada rank bitumious.

Pada meta-antrasit, reflektan vitrinit menjadi lebih tinggi dari reflektan inertinit

(Alper & Lemos de Sousa, 1971). kandungan hidrogen yang tinggi dari vitrinit dan

kecenderungan pembentukan grafit yang lebih awal merupakan penyebab kondisi ini

(Teichmueller, 1987b).

Fusinit dan semi-fusinit terbentuk akibat proses pembatubaraan dari material

tumbuhan atau pembakaran pada gambut. Fusinit dan semi-fusinit akibat

pembakaran disebut pyrofusinit atau pyrosemifusinit dan mewakili tipe utama dari

inertinit pada gambut dan stadium brown coal. Batubara jaman Perm atau Karbon

kaya akan degradofusinit (khususnya degradosemifusinit), dimana pengawetan

struktur selnya dapat dibedakan dari pyrofusinit. Pyro- dan degradofusinit

Page 42: Geologi batubara

(semifusinit) merupakan indikasi dari lingkungan pengendapan yang diperkirakan

relatif kering.

Ruang sel yang bulat, oval atau memanjang pada semi fusinit dapat diisi oleh

mineral lempung, karbonat, pyrit atau kadang juga oleh eksudatinit dan resinit.

Akibat penghancuran dinding sel muncul potongan-potongan fusinit yang khas yang

disebut Bogenstruktur.

Karena gambut dan brown coal resen mengandung lebih sedikit fusinit dan

semifusinit dibanding pada hard coal maka Teichmeuller (1982 a) mengambil

kesimpulan bahwa fusinit dan begitu juga inertinit yang lain terutama terbentuk pada

proses pembatubaraan (rank fusinit). Dapat dikatakan serat kayu berubah menjadi

fusinit pada proses pembatubaraan. Konsep ini didukung pula oleh penelitian Smith

dan Cook (1980) terhadap batubara dari Australia. Diungkapkan bahwa banyak

inertinit antara gambut dan high volatile bitumious coal (Rmax = 0,2 - 0,9 %)

reflektivitasnya berubah secara drastis. Fusinit seperti ini dapat juga terjadi dari sifat

material tumbuhan awal.

Semifusinit merupakan maceral antara vitrinit dan fusinit (Stach, 1982).

Reflektivitas semifusinit sangat bervariasi. Namun demikian selalu lebih kecil dari

fusinit dan lebih besar dari vitrinit pada batubara yang sama. Dibandingkan dengan

fusinit, semifusinit pada mikroskop (sinar pantul putih) berwarna abu-abu terang,

dinding sel lebih tebal, tidak teratur, sel struktur lebih tidak jelas, begitu juga

reliefnya lebih rendah. Seperti pada fusinit maka ruang selnya diisi oleh mineral.

Makrinit mempunyai reflektivitas tinggi, amorf dan mengandung gel. Material

asalnya sampai sekarang masih belum jelas. Diperkirakan makrinit terbentuk akibat

oksidasi yang intensif, pengeringan tumbuhan dan gambut, produk metabolisma

oleh jamur dan bakteri. Karena itu makrinit jarang muncul pada gambut dan brown

coal (Teichmueller, 1989). Hipotesa Cohen et. al. (1987) yang benar-benar

berlawanan tentang pembentukan makrinit adalah material yang tergelifikasi pada

saat awal dimana dibedakan dari reflektivitasnya yang tinggi dan masih bersifat

huminit pada stadium gambut (terbentuk pada lingkungan pengendapan bawah air).

Makrinit mencapai reflektivitas inertinit pada proses pembatubaraan dalam stadium

hard coal (seperti fusinit sekunder). Beberapa makrinit berasal dari charred peat.

Page 43: Geologi batubara

Sclerotinit mewakili jamur mycelia yang mengandung melanin hitam sejak saat

hidupnya. Spora dari jamur hitam ini diserang oleh jamur karat, jamur hangus, dan

rumput-rumputan. Jamur hitam bisa hidup pada kondisi yang kurang baik tetapi

jamur yang kaya akan melanin tertentu saja yang membentuk sclerotinit. Pendapat

lama yang menyatakan bahwa chitin sebagai pembentuk utama dari jamur

menyebabkan tingginya reflektivitas sclerotinit tidak dapat diterima lagi.

Bartram et. al. (1987, dikutip dari Teichmueller 1989) dengan penelitian terhadap

batubara dari Yorkshire, England dan Goodarzi (1984, dikutip juga dari

Teichmueller, 1989) dengan penelitian batubara dari Kanada mengatakan bahwa

sclerotinit adalah transculent (transparan) dan mempunyai fluoresense (berlawanan

dengan pendapat yang lain).

Frey-Wisslyng (1959) mengatakan bahwa chitin sama seperti selulosa dalam sifat

optisnya sehingga jamur yang terendapkan pada gambut tidak akan membentuk

sclerotinit. Sekarang secara umum diperkirakan bahwa sebagian besar dari sclerotinit

dalam batubara karbon dan batubara Perm berasal dari sekresi sel (tanin dan atau

resin). Material ini terkarbonisasi sebelum atau sesaat setelah pengendapannya pada

permukaan gambut (Taylor & Cook, 1962 ; Koch, 1970).

Inertodetrinit dipakai untuk partikel inertinit yang kecil karena besar butirnya yang

lebih kecil dari 30 mikro meter sulit untuk dimasukkan ke dalam maceral lain dalam

grup inertinit. Sebagai contoh adalah pecahan dari pyrofusinit atau sisa dari

degradofusinit yang tertransport oleh udara atau air. Inertodetrinit adalah maceral

khas untuk facies bawah air atau batuan klastik (Teicmueller, 1989).

Sebagai detritus partikel inertinit dapat ditransport oleh air dan angin untuk jarak

yang jauh karena tahan terhadap pelapukan kimia. Sering pengendapan inertodetrinit

bersama sporinit dan alginit sehingga dapat menunjukkan bahwa kondisi asalnya

adalah kering, terbentuk dalam kondisi oksidasi, tertransport dan terendapkan pada

lingkungan di bawah air (sekunder).

Mikrinit memegang peran yang besar. Walaupun memiliki reflektivitas tinggi

namun sangat sensitif terhadap oksidasi dan pemanasan (Stach, 1936 ; Nandi &

Page 44: Geologi batubara

Montogmery, 1967). Teichmueller (1944) mengamati transisi resinit pengisi ruang

sel ke mikrinit pada batubara Bitumious rank rendah dari jaman Upper-Silesian dan

Teichmueller (1955) menyatakan bahwa banyak mikrinit (pada batubara Ruhr yang

terendapkan pada lingkungan marine diketahui dari sifat petrografi dan sifat

teknologinya), terendapkan pada lingkungan yang relatif basa. Mikrinit adalah

maceral khas untuk batubara sapropel. Diperkirakan kebanyakan mikrinit berasal

dari lipida selama proses pembatubaraan.

Pembentukan mikrinit adalah reaksi yang tidak seimbang, dimana pembentukan

minyak disatu sisi dan pembentukan material padat dengan reflektivitas yang tinggi

dari mikrinit disisi yang lain (Teichmueller, 1974 a,c).

Pemikiran selanjutnya mengatakan bahwa mikrinit merupakan maceral sekunder,

terbentuk dari oil-prone maceral (bituminit dan perhidrous vitrinit), juga resinit dan

sporinit pada batubara rank bitumious bagian bawah. Pembentukan ini dihubungkan

dengan Oil-window pada minerogenic Oil Source Rock. Cohen & Spackman (1980)

dengan penelitiannya terhadap gambut dari Florida mengatakan bahwa mikrinit

berasal dari dinding sel tertentu dari beberapa tumbuhan.

PENERAPAN PENGETAHUAN GENESA BATUBARA

Penerapan atau manfaat genesa batubara cukup banyak, tidak hanya untuk

eksplorasi batubara sendiri tetapi juga untuk keperluan yang lain. Genesa batubara

sampai saat ini sangat mendukung beberapa keperluan yang masih ada hubungan

dengan geologi, eksplorasi maupun pengolahan, pencucian ataupun pemanfaatan

batubara. Belakangan ini ilmu genesa batubara sangat banyak dipakai dalam

eksplorasi minyak bumi. Secara garis besar untuk contoh, diberikan uraian dari

masing-masing manfaat di bawah ini :

• Eksplorasi batubara

• Eksplorasi minyak dan gas bumi

• Mempelajari proses sedimentasi dan diagenesa batuan sedimen

• Mempelajari tektonik

1. UNTUK EKSPLORASI BATUBARA

Page 45: Geologi batubara

Dengan mengetahui genesa batubara suatu daerah maka akan sangat berguna untuk

keperluan eksplorasinya. Dari model genesa akan bisa ditentukan atau dipilih metoda

dan eksplorasi yang tepat.

Penafsiran luas penyebaran karena dengan tahu lokasi terjadinya (type cekungan,

dimensi cekungan) maka kita akan lebih baik dalam membatasi daerah eksplorasi,

batas penyebaran bisa diketahui dari kenampakan atau keberadaan (pemunculan)

sisipan atau kita bisa menduga dari hasil pengamatan mikroskopi (maseral).

Kemungkinan struktur bisa dikaitkan dengan cekungan tempat batubara terendapkan.

Stabilitas tektonik dan akibatnya terhadap endapan batubara baik dari segi geometri

lapisan maupun kalitas dan rank batubara.

Tipe batubara (berlapis dan tidak berlapis) tergantung pada fasies pengendapan dan

ini juga akan berkaitan dengan kualitas batubaranya.

Metoda eksplorasi yang dipakai juga dipengaruhi oleh genesa. Apakah berasosiasi

dengan batuan samping tertentu yang mudah dikenal, struktur geologi yang

menyertai sehingga keberadaanya bisa dekat permukaan atau jauh di bawah, menerus

atau setempat, horisontal atau miring dan sebagainya.

Cara pengambilan contoh apakah dengan bor, test pit, atau paritan. Hal ini sangat

tergantung pada genesa, begitu juga lokasi pengambilan contoh apakah channel

sampling dari bagian atas sampai bagian bawah lapisan, persatuan tebal, di bagian

tengah, di bagian pinggir dan sebagainya.

Kualitas dan rank batubara diketahui dengan analisa tetapi penyebaran rank dan

kualitas bisa dikejar dengan penerapan ilmu genesanya. Apakah rank yang ada akibat

suatu proses geologi yang berpengaruh luas atau lokal, dalam waktu yang panjang

atau relatif singkat. Kualitas yang terjadi apakah akibat suatu proses sesudah

pengendapan atau terjadi saat proses pembatubaraan berlangsung atau memang

merupakan hasil proses pengendapan.

2. UNTUK EKSPLORASI MINYAK DAN GAS BUMI

Genesa batubara sangat erat kaitannya dengan genesa minyak bumi sehingga

pengetahuan genesa batubara sangat dihandalkan untuk eksplorasi minyak dan gas

bumi (Gambar 5.1). Keberadaan komponen organik pada setiap batuan sedimen

Page 46: Geologi batubara

termasuk batuan induk yang mengandung minyak dan tempat terbentuknya minyak

bumi. Minyak bumi terbentuk dari komponen organik (umumnya binatang) pada

tingkat kematangan (maturity) batuan sedimen tertentu. Tingkat kematangan organik

yang ada pada sedimen dengan mudah ditentukan dari pengukuran reflektan (rank

batubara) komponen organik sisa tumbuhan yang ada pada sedimen.

Genesa batubara memberikan gambaran yang jelas untuk rank dalam kaitan dengan

terbentuknya minyak bumi. Terbentuknya maseral sekunder seperti Exsudatinit dan

mikrinit pada batubara) sebagai indikator oil window (daerah rank terbentuknya

minyak bumi pada sedimen), sehingga dengan mengetahui indikator ini maka

eksplorasi minyak dan gas bumi bisa diarahkan sesuai dengan kemungkinan arah

migrasinya.

Bahkan beberapa ahli pernah memikirkan tentang terbentuknya minyak bumi yang

bersumber dari batubara (batubara sebagai batuan induk minyak bumi). Hal ini

secara teori mungkin terbentuk tetapi migrasi untuk akumulasi dalam jumlah yang

banyak masih tidak mungkin karena pori-pori pada batubara sangat kecil.

3. UNTUK MEMPELAJARI PROSES DIAGENESA PADA BATUAN

SEDIMEN SELAIN BATUBARA

Rank pada batubara merupakan akibat dari temperatur, tekanan dalam waktu

yang relatif panjang. Sehingga hal ini analog dengan proses yang terjadi pada batuan

sedimen yang lain yang mengalami proses diagenesa. Pada batubara dengan mudah

dapat diketahui rank-nya sedangkan pada batuan sedimen yang lain agak sulit. Rank

pada batubara merupakan posisi meterial organik akibat proses pembatubaraan dan

ini merupakan proses irreversible sehingga kalau suatu rank sudah dicapai maka

tidak akan bisa kembali ke kondisi aslinya. Dengan anggapan bahwa setiap batuan

sedimen mengandung unsur organik yang bisa diukur reflektifitasnya sebagai

indikator rank maka dengan cepat dapat diketahui proses atau akibat proses

diagenesa yang dialami oleh batuan sedimen itu. Artinya walaupun keberadaannya

saat ini di permukaan (tersingkap) bukan berarti dari sejak terbetuknya tidak pernah

berada pada kedalaman yang tinggi dimana temperatur tinggi (akibat gradien

geothermal) dan tebal batuan penutup yang mengakibatkan tekanan yang tinggi juga.

Page 47: Geologi batubara

Dengan demikian komponen organik yang berasal dari tumbuhan akan mempunyai

rank yang tinggi sesuai dengan temperatur dan tekanan yang pernah dialaminya

4. MEMPELAJARI TEKTONIK

Dari rank batubara yang terdapat pada suatu cekungan bisa dipelajari sejarah

cekungan tempat terdapatnya endapan batubara tersebut. Rank batubara yang tinggi

bisa dikaitkan dengan masa lalu cekungan itu yang pernah berada turun sampai

kedalaman tertentu (tinggi). Proses naik turunnya cekungan sulit diketahui dari

sedimen yang lain, sedangkan dari komponen organik (batubara pada sedimen) itu

dapat diketahui bahwa komponen organik yang ada pada sedimen itu sudah pada

rank tertentu dengan korelasi temperatur dan beban yang pernah dialami (Gambar

5.2). Distribusi rank yang tidak merata mencerminkan keberadaan penyebab lokal.

Hal ini bisa akibat struktur sesar, pelipatan ataupun akibat intrusi. Yang penting

adalah keberadaan suatu proses yang mengakibatkan adanya temperatur atau tekanan

yang tinggi atau bahkan keduanya sekaligus.

Tidak homogennya lapisan, adanya banyak sisipan atau lapisan bercabang

mecerminkan kondisi cekungan tempat pengendapan batubara yang tidak stabil,

dalam artian penurunan cekungan yang tidak homogen.

5. UNTUK PEMANFAATAN, PENGOLAHAN DAN PENCUCIAN BATUBARA

Batubara merupakan hasil proses yang terjadi terhadap tumpukan tumbuhan

(gambut), sehingga dalam hal ini variasi batubara yang dihasilkan akan sangat

beragam. Dari genesanya bisa diketahui beberapa faktor penentu kualitas, rank dan

tipenya sehingga akan sangat membantu dalam perencanaan pemanfaatan maupun

pengolahan dan pencucian.

Disamping itu faktor penentu kualitas batubara bisa terjadi bersamaan dengan proses

pembatubaraan (tidak mencerminkan lingkungan pengendapannya).

Dari genesa bisa diinterpretasikan jenis tumbuhan pembentuknya, tempat terjadinya,

cara terjadinya dan seberapa jauh proses pembatubaraan berlangsung. Batubara

Page 48: Geologi batubara

terbentuk dari berbagai jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan pembentuk akan

bertanggung jawab terhadap komposisi maseral yang sangat menentukan

karakteristik batubara yang berkaitan dengan peruntukannya. Dalam hal ini bukan

hanya jenis tumbuhan saja yang penting tetapi juga dari bagian apanya dari

tumbuhan batubara terbentuk.

Tempat terjadinya apakah di cekungan di lingkungan darat/air tawar, payau atau

bahkan laut, akan membawa konsekuensi terhadap tipe dan kualitas batubara.

Apakah dia berlapis ataupun tidak berlapis tentu akan sangat mempengaruhi dalam

proses pemanfaatan/pengolahan.

Batubara yang terbentuk dari tipe atau fasies bawah air akan mempunyai kandungan

abu dan sulfur yang lebih tinggi dibanding yang terjadi dari gambut tipe highmoor.

Keterdapatan mineral (baik jenis maupun bentuknya) akan sangat mempengaruhi

cara pengolahan atau pencuciannya. Keterdapatan mineral ini bisa banyak ragamnya

dengan genesa yang beragam pula. Oleh karena itu keberadaan mineral dalam bentuk

yang beragam dan terjadinya juga beragam akan sangat mempengaruhi cara

pencucian, pengolahan bahkan peruntukan batubaranya.

Belum lagi kondisi batuan samping dengan lingkungan pengendapan yang beragam,

komposisi juga beragam, dapat juga mempengaruhi kualitas batubaranya. Hal ini

umumnya mempengaruhi batubara pada saat pembatubaraan berlangsung.

Komposisi meseral batubara yang merupakan produk dari ragam tumbuhan

pembentuk sangat menentukan peruntukannya. Batubara dengan komposisi dominan

atrinit yang merupakan cerminan pembentuk yang kebanyakan dari tumbuhan perdu

yang banyak tumbuh pada lingkungan yang kurang subur atau kondisi PH yang kecil

(asam) dimana hanya mengandalkan air hujan (highmoor) akan baik untuk briket.

Batubara yang banyak unsur gelinit yang diyakini merupakan produk gelifikasi

(bagian awal proses pembatubaraan yang berlangsung tergantung air) akan kurang

baik untuk briket.

Sebenarnya masih sangat banyak aplikasi ilmu genesa batubara untuk keperluan baik

ilmu perbatubaraan maupun industri perbatubaraan.

Page 49: Geologi batubara

DAFTAR PUSTAKA

1. Diessel C. F. K. (1984) : Coal Geology, Australian Mineral Foundation,

Workshop Course 274/84, Indonesia : 208 S.

2. Stach E., Mackowsky M. TH., Teichmüller M., Taylor G. H., Chandra D.,

Teichmüller R. (1982) : Stach’s Textbooks of Coal Petrology, Gebrüder

Borntraeger, Berlin-Stuttgart : 535 S.

3. Taylor G. H., Teichmueller M., Davis A., Diessel C. F. K., Littke

R., Robert P. (1998), Organic Petrologi, Gebrueder Borntraeger,

Berlin, Stuttgart.

Page 50: Geologi batubara

4. Tissot B. P., Welte D. H. (1984) : Petroleum Formation and Occurrence, 2nd

Edition, Springer Verlag, Berlin : 538 S.

5. Van Krevelen D. W. (1993) : Coal, Typology-Chemistry-Physics-Constitution,

3rd Comp. Rev. ed., Elsevier, Amsterdam, London, New York, Tokyo :

979 S.

Page 51: Geologi batubara