genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan

241
Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jilid II Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia Dikompilasi oleh: Human Rights Watch ELSAM Jakarta 1

Upload: prince-muabhi

Post on 02-Jan-2016

281 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

genosida

TRANSCRIPT

Page 1: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan

Terhadap Kemanusiaan

Jilid II

Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana

Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia

Dikompilasi oleh:

Human Rights Watch

ELSAM

Jakarta

1

Page 2: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jilid II: Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia. Diterjemahkan dari: Human Rights Watch, Genocide, War Crimes, and Crimes Against Humanity: Topical Digests of the Case Law of the International Criminal Tribunal for Rwanda and the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, New York: Human Rights Watch, 2004. Copyright © 2004 by Human Rights Watch. All rights reserved. Penerjemah: Eddie Riyadi Aida Milasari Editor: Erasmus Cahyadi Eddie Riyadi Hak terjemahan dan penerbitan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM. Penerbitan ini didukung dengan bantuan dari Kedutaan Besar Kerajaan Denmark dan The Asia Foundation Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Penerbit: ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 25219. Email: [email protected], [email protected]. Website: www.elsam.or.id.

2

Page 3: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN

Buku ini merupakan hasil karya kompilasi yang dikerjakan oleh International Justice Program

di Human Rights Watch. Nama-nama utama di balik pengerjaan buku ini adalah antara lain

Jennifer Trahan, seorang Penasihat International Justice, dan Adela Mall, seorang Konsultan.

Selain itu, Ann Ferrari juga membantu dalam hal kasus-kasus hukum dari Pengadilan Pidana

Internasional untuk Rwanda (ICTR), dan Ivan Jovanovic untuk kasus-kasus hukum dari

Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY). Richard Dicker, Direktur

bagian International Justice Program, menjadi pemandu utama dan secara keseluruhan.

Widney Brown bertanggung-jawab untuk penyuntingan, dan Wilder Tayler dan James Ross

memberikan tinjauan legal dan kebijakan. Kemudian, Yolanda J. Revilla bertanggung-jawab

atas penyiapan dan persiapan manuskrip untuk penerbitannya.

Human Rights Watch sangat berterima kasih kepada para hakim dan staf di ICTR dan ICTY

karena telah menghasilkan dan menyelesaikan kasus-kasus hukum yang mereka tangani.

Human Rights Watch juga menyampaikan penghargaan kepada War Crimes Research Office

dan Human Rights Brief (seri ini telah menjadi sumber sangat berharga bagi Human Rights

Watch). Keduanya beroperasi di bawah Center for Human Rights and Humanitarian Law of

American University’s Washington College of Law.

3

Page 4: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

KATA PENGANTAR

Buku ini memuat saripati dari jurisprudensi kasus-kasus hukum dalam Pengadilan Pidana

Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia (ICTY). Buku ini menyediakan ringkasan yang

padat dan mengena atau kutipan-kutipan yang tepat dan aktual dari putusan-putusan

Pengadilan. Semuanya disusun berdasarkan topiknya. Buku saripati ini berfokus pada kasus

hukum berkaitan dengan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang,

tanggung jawab individual, tanggung jawab komando, dan penghukuman. Topik-topik

tersebut tidaklah mengangkat semua isu yang muncul dalam sebuah kasus, semisal putusan

atau praktik mosi lainnya, dan hanya memasukkan putusan yang tersedia secara publik hingga

1 Oktober 2003. Banyak putusan yang dikutip berisi acuan kepada putusan lain atau

dokumen lain. Human Rights Watch tidak mereproduksi ulang semua itu di sini. Silahkan

mengacu kepada putusan resmi untuk acuan-acuan tambahan tersebut.

Buku saripati kasus-kasus hukum ICTY ini tidak berisi analisis atau komentar atas keputusan-

keputusan tersebut. Saripati (digest) merupakan alat referensi yang cepat untuk membantu

para praktisi dan peneliti sehingga mereka bisa membiasakan diri mereka dengan kasus-kasus

hukum yang memperlihatkan interpretasi terhadap Statuta dari ICTY (untuk kasus Rwanda,

lihat jili I). Saripati kasus-kasus hukum ini tidak dirancang sebagai pengganti bacaan atas

keputusan-keputusan aktual. Keputusan-keputusan dalam ICTY bisa didapatkan dalam

website http://www.un.org/icty/index.html, sementara untuk ICTR di:

http://www.ictr.org/.

4

Page 5: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

DAFTAR ISI

RINGKASAN PUTUSAN TERHADAP TERDAKWA

DAFTAR KASUS

I. KEJAHATAN PERANG: PELANGGARAN BERAT TERHADAP KONVENSI

JENEWA 1949 (PASAL 2)

a) Statuta

b) Unsur-unsur umum pasal 2; tentang kejahatan

i) Terjadinya konflik bersenjata (unsur 1)

(1) Konflik bersenjata yang dijadikan prasyarat

(2) Definisi konflik bersenjata

(3) Durasi pelaksanaan hukum humaniter internasional

ii) Harus ada hubungan antara konflik dengan kejahatan yang didakwakan

(unsur ke-2)

iii) Konflik bersenjata harus berskala internasional (unsur ke-3)

(1) Definisi konflik bersenjata internasional

(2) Pengujian atas kontrol secara menyeluruh (Overall control test applies)

(3) Pengujian atas kontrol menyeluruh terpenuhi jika sebuah negara berperan

dalam mengorganisasi, mengkoordinasi atau merencanakan aksi militer

dari sebuah kelompok militer, serta membiayai, melatih dan melengkapi

atau menyediakan bantuan operasional

(4) Jangan hanya melihat lokalitas di mana kejahatan terjadi untuk

menentukan sebuah konflik berskala internasional

(5) Pelaksanaan

(a) Konflik antara Bosnia dan Herzegovina dan Kroasia

(b) Konflik antara Bosnia dan Herzegovina dan Republik Federal

Yugoslavia (FRY)

iv) Orang-orang atau harta benda yang harus “dilindungi” (unsur ke-4)

(1) Definisi orang-orang yang dilindungi

(2) Etnisitas atau hubungan yang substansial dan bukan nasionalitas formal

untuk menentukan status perlindungan (protected status)

5

Page 6: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(3) Orang-orang yang dilindungi dapat sama kebangsaaannya dengan pihak

yang menahan (captor)

(4) Definisi “di tangan Pihak yang berkonflik atau Penjajah”

c) Niat jahat (mental state/mens rea)

(i) Pengantar umum

d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)

i) Pembunuhan sengaja (willful killing)

(1) Definisi

(2) Niat jahat (mental state/mens rea)

ii) Penyiksaan atau tindakan kejam dan tidak manusiawi

(1) Penyiksaan

(2) Tindakan kejam dan tidak manusiawi

(a) Pengantar umum

(b) Perlakuan kejam

(c) Perlakuan tidak manusiawi

(d) Pelaksanaan

iii) Pemerkosaan (rape)

iv) Secara sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka serius terhadap

tubuh atau kesehatan

(1) Definisi

(2) Mensyaratkan adanya luka mental dan fisik serius, meski luka tersebut

tidak harus tetap atau tidak dapat disembuhkan

v) Penghancuran dahsyat terhadap harta benda tidak dijustifikasi karena

keterdesakan militer (military necessity)

vi) Pengurungan dan pemenjaraan tidak sah terhadap warga sipil

(1) Pengantar umum

(2) Tanggung jawab khusus bagi pihak penawan, bukan bagi pihak yang

terlibat, seperti pihak sipir penjara

(3) Tanggung jawab komandan kamp

vii) Pemindahan yang tidak sah

viii) Penahanan warga sipil

e) Lain-lain

6

Page 7: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

i) Pendudukan (terkait dengan buruh sipil ilegal [unlawful labor of civillian],

pemindahan ilegal dan penghancuran harta benda)

(1) Di mana “pendudukan” itu relevan

(2) Definisi

(3) Pedoman untuk menentukan pendudukan (occupation)

(4) Hanya diterapkan di wilayah yang dikontrol oleh pihak yang melakukan

pendudukan

(5) Pengujian yang berbeda harus dilakukan berkaitan dengan individu, harta

benda dan hal-hal lainnya

II. KEJAHATAN PERANG: PELANGGARAN ATAS HUKUM ATAU

KEBIASAAN PERANG (PASAL 3)

a) Statuta

b) Pengantar umum

i) Pasal 3 Statuta berfungsi sebagai klausul residual, yang meliputi pelanggaran

serius terhadap hukum humaniter, yang tidak terdapat pada pasal-pasal lain

dalam Statuta

ii) Pasal 3 Statuta mencakup kejahatan konflik bersenjata internal dan

internasional

iii) Kondisi yang menentukan pelanggaran apa saja yang disebutkan Pasal 3

iv) Meliputi pelanggaran atas hukum humaniter internasional

v) Alasan mengapa Pasal 3 Umum juga termasuk

(1) Pasal 3 Umum adalah bagian dari hukum kebiasaan

(2) Pelanggaran atas Pasal 3 Umum merupakan pelanggaran serius

(3) Pasal 3 Umum berisi tanggung jawab kejahatan individual

(4) Pasal 3 Umum dapat diterapkan pada konflik bersenjata internasional

c) Unsur-unsur umum untuk kejahatan yang tertera pada Pasal 3

i) Harus terjadi konflik bersenjata, baik internal maupun konflik internasional

(unsur 1)

ii) Harus ada hubungan erat antara konflik bersenjata dengan kejahatan yang

dituduhkan (unsur ke-2)

(1) Kejahatan yang dilakukan pelaku harus terkait erat dengan peperangan

7

Page 8: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(2) Konflik bersenjata tidak harus menjadi penyebab kejahatan, tapi konflik

tersebut memainkan peran penting dalam pertikaian

(3) Tindak kejahatan dapat terjadi pada tempat yang jauh dari medan

pertempuran

iii) Unsur-unsur tambahan untuk Pasal 3 Umum; harus dilakukan terhadap

warga sipil atau harta milik milik warga sipil

iv) Niat jahat (mental state, mens rea)

(1) Pengantar umum

(2) Pembuktian atas niat atau motif yang diskriminatif tidak dipersyaratkan

d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)

i) Penyiksaan

(1) Definisi

(2) Larangan atas penyiksaan merupakan jus cogens

(3) Rasa sakit yang parah dan penderitaan harus terjadi (unsur ke-1)

(a) Rasa sakit permanen tidak harus menjadi syarat adanya penyiksaan

(b) Penderitaan mental dapat dikualifikasikan

(4) Niat jahat (mental state, mens rea): tindakan atau pembiaran tersebut

harus dimulai dengan niat (unsur ke-2)

(5) Harus ada maksud dan tujuan seperti yang dipersyaratkan (unsur ke-3)

(a) Tujuan yang dilarang tidak perlu merupakan tujuan paling

menentukan atau satu-satunya

(6) Peran pejabat publik tidak diperlukan

(7) Pelaksanaan

(a) Bentuk-bentuk tindakan yang termasuk dalam penyiksaan

(b) Pemerkosaan dan bentuk kekerasan seksual lain sebagai penyiksaan

ii) Pemerkosaan

iii) Perlakuan kejam

(1) Definisi

(2) Penderitaan mental lebih rendah dari tindak penyiksaan

(3) Tujuan yang dilarang (prohibited purpose) tidak dipersyaratkan

(4) Contoh-contoh

iv) Pembunuhan

(1) Definisi

8

Page 9: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(2) Perbandingan antara pembunuhan (murder) pada Pasal 3 dan

pembunuhan disengaja (wilfull killing) pada Pasal 2

(3) Bukti jasad korban tidak dipersyaratkan

(4) Bunuh diri sebagai pembunuhan (suicide as murder)

v) Kekerasan terhadap hidup seseorang

vi) Kekejaman terhadap martabat manusia

(1) Definisi

(2) Terjadi penghinaan yang intens sehingga korban merasa diperlakukan

sewenang-wenang

(3) Penghinaan harus terjadi secara nyata dan serius

(4) Pembunuhan bukan pelanggaran atas martabat manusia

(5) Niat jahat (mental state, mens rea)

(6) Tujuan yang dilarang tidak dipersyaratkan

(7) Niat atau motif diskriminatif tidak dipersyaratkan

(8) Contoh-contoh

vii) Penyanderaan

viii) Penghancuran sewenang-wenang tidak diakibatkan karena keterdesakan

militer

ix) Perampasan (plunder)

(1) Definisi

(2) Termasuk perampasan skala besar dan juga dilakukan oleh tentara secara

individu

(3) Perampasan harus mengakibatkan konsekuensi berat bagi korban atau

nilai uang secara signifikan

(4) Penerapan

(5) Perampasan termasuk “penjarahan”

(6) Pelaksanaan

x) Penghancuran atau perusakan disengaja terhadap lembaga-lembaga

keagamaan dan pendidikan

xi) Serangan tidak sah terhadap warga sipil dan objek-objek sipil

xii) Mempekerjakan buruh secara tidak sah

(1) Definisi

(2) Niat jahat (mental state, mens rea)

9

Page 10: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

xiii) Perbudakan

III. GENOSIDA (PASAL 4)

a) Statuta

b) Definisi

c) Niat jahat (mental state, mens rea): niat menghancurkan, baik keseluruhan

maupun sebagian, terhadap sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama

tertentu

i) Pengantar umum

ii) Niat menghancurkan, baik keseluruhan maupun sebagian

(1) Harus terjadi serangan terhadap sebuah kelompok, dan niat untuk

berpartisipasi atau melaksanakan serangan

(2) Meski penghancuran itu bukan tujuan sebenarnya, namun dapat dianggap

sebagai tujuan juga

(3) Penghancuran sebagian

(a) Bagian “penting” dari kelompok

(b) Bukti penghancuran terhadap kepemimpinan dapat dianggap sebagai

niat untuk menghancurkan “sebagian”

(c) Genosida hanya ditujukan pada wilayah geografis tertentu

(d) Pelaksanaan

(4) Tidak diperlukan persiapan panjang

(5) Membedakan niat dari motif

(6) Niat dapat diduga

(7) Tidak perlu ada kebijakan atau perencanaan, namun kedua hal itu dapat

menjadi faktor penting

iii) “Kebangsaan, kelompok etnis, ras atau agama, atau sejenisnya”

(1) “Sejenisnya (as such)”

(a) Korban dijadikan sasaran karena keanggotaan mereka dalam sebuah

kelompok

(b) Kelompok yang menjadi target, bukan individu

(2) Kelompok-kelompok yang dilindungi oleh Pasal 4

(a) Bangsa, kelompok etnis, ras atau agama

(b) Bukan kelompok politik

10

Page 11: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(c) Penghancuran budaya dan identitas tidak cukup untuk menunjukkan

terjadinya genosida, tapi dapat membantu untuk memperlihatkan

adanya niat untuk menghancurkan kelompok

(d) Evaluasi penggunaan kriteria subjektif: stigmatisasi oleh masyarakat

d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)

i) Pembunuhan terhadap anggota kelompok

ii) Menyebabkan luka parah dan tekanan mental terhadap anggota kelompok

iii) Secara sengaja mengakibatkan pada sebuah kelompok kondisi kehidupan

yang diperhitungkan akan membawa kehancuran fisik baik seluruh maupun

sebagian

iv) Melakukan tindakan yang mencegah kelahiran dalam kelompok

(memandulkan)

v) Memindahkan anak-anak secara paksa dari satu kelompok ke kelompok lain

IV. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (PASAL 5)

a) Statuta

b) Unsur-unsur umum

i) Statuta mensyaratkan bahwa harus terjadi konflik bersenjata (unsur ke-1)

(1) Apakah ada kaitan antara tindakan tersangka dengan konflik bersenjata

ii) Harus terjadi “serangan” (unsur ke-2)

(1) “Serangan” dapat, tapi tidak harus selalu, menjadi bagian dari “konflik

bersenjata”

(2) “Serangan” dan “konflik bersenjata” adalah dua hal yang berbeda

(3) “Serangan” tidak terbatas pada penggunaan senjata

(4) Pada saat melakukan serangan, tidak relevan bahwa pihak lain melakukan

pembalasan (reciprocity of obligations)

iii) Tindakan tersangka harus merupakan bagian dari serangan (unsur ke-3)

iv) Serangan harus “langsung terhadap penduduk sipil” (unsur ke-4)

(1) “Langsung ditujukan”

(a) Serangan dikatakan “langsung ditujukan” terhadap penduduk sipil

apabila mereka (penduduk sipil) merupakan objek utama dari

serangan tersebut

11

Page 12: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(b) Tidak semua penduduk yang menjadi sasaran serangan; serangan

dapat ditujukan kepada “sebagian besar penduduk”

(2) Penduduk sipil

(a) Harus ‘didominasi’ oleh penduduk sipil

(b) Kehadiran orang-orang yang terlibat dalam konflik tidak dapat

menghilangkan karakter sipil dalam populasi tersebut

(c) Penduduk sipil termasuk orang-orang yang pernah menjadi anggota

gerakan perlawanan dan mantan tentara namun tidak lagi terlibat

dalam peperangan

(d) Menafsirkan warga sipil secara bebas

(e) Melindungi populasi masyarakat sipil

v) Serangan harus terjadi secara “meluas atau sistematik” (unsur ke-5)

(1) Meluas atau sistematik

(2) Yang dilihat adalah serangan, bukan tindakan tersangka, yang meluas

atau sistematik

(3) Meluas

(4) Sistematik

(5) Faktor-faktor yang dijadikan penilaian dalam definisi meluas atau

sistematik

(6) Jika kejahatan tunggal terkait dengan serangan meluas atau sistematik,

maka kejahatan itu dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan

(7) Apakah ada rencana atau kebijakan

vi) Niat jahat (mental state, mens rea) (unsur ke-6)

(1) Niat

(a) Pelaku harus mempunyai niat untuk melakukan kejahatan-kejahatan

utama (underlying offences)

(b) Motif tidak relevan

(c) Tidak relevan jika tersangka memiliki niat untuk melancarkan

serangan secara langsung terhadap populasi sasaran atau korban

(d) Niat diskriminatif hanya disyaratkan untuk penganiayaan

(2) Pengetahuan

12

Page 13: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(a) Pelaku harus secara sadar terlibat dalam serangan meluas dan

sistematik, yaitu memiliki pengetahuan atas serangan dan mengetahui

kaitan antara tindakannya dengan konteks serangan tersebut

(b) Alternatif lain, pelaku harus mengetahui latar belakang serangan dan

mengambil risiko atas keterlibatan dirinya dalam serangan tersebut.

(c) Pengetahuan atas rincian serangan tidak dipersyaratkan

(d) Tersangka tidak harus menyetujui konteks serangan

(e) Faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan dalam konteks pengetahuan

c) Kejahatan-kejahatan utama

i) Pembunuhan

(1) Unsur-unsurnya

(2) “Pembunuhan” (murder) pada Pasal 5 Statuta, dibandingkan dengan

Pasal 2 dan 3

(3) Bukti jasad korban tidak dipersyaratkan

(4) Bunuh diri sebagai pembunuhan

(5) “Pembunuhan” (murder) bukan “pembunuhan terencana” (premeditated

murder) merupakan kejahatan utama

(6) Niat jahat (mental state, mens rea)

ii) Pemusnahan (extermination)

(1) Pengantar umum

(2) Jumlah orang yang terlibat

(3) Pemusnahan harus ditujukan kepada kumpulan orang (kolektif), tidak

langsung kepada orang-per orang

(4) Niat jahat (mental state, mens rea)

(a) Niat diskriminatif tidak dipersyaratkan

iii) Perbudakan

(1) Actus reus dan mens rea

(2) Indikasi (indicia) perbudakan (enslavement)

(a) Memenjarakan seseorang tidak cukup untuk digolongkan sebagai

perbudakan

(b) Durasi perbudakan merupakan salah satu faktor, namun bukan

elemen yang dipersyarakan

13

Page 14: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(3) Kurangnya perlawanan bukan merupakan tanpa persetujuan; kurangnya

persetujuan bukan salah satu unsur perbudakan

iv) Pemenjaraan

v) Penyiksaan

(1) Unsur-unsur

(2) Persyaratan terjadinya luka parah atau penderitaan

(a) Pemerkosaan sering kali berdampak pada luka parah atau penderitaan

(3) Persyaratan tujuan yang dilarang

(a) Tujuan yang dilarang tidak harus mendominasi atau tidak harus

menjadi satu-satunya tujuan

(4) Niat jahat (mental state, mens rea)

(5) Peran dari pejabat negara tidak diperlukan

vi) Pemerkosaan

vii) Penganiayaan

(1) Tindakan yang dipersyaratkan (actus reus)

(a) Tingkat kejahatan penganiayaan harus sama tingkat keseriusannya

dengan kejahatan lain yang tertera pada Pasal 5

(b) Kejahatan penganiayaan termasuk kejahatan yang diatur dalam sub-

klausul Pasal 5, yaitu kejahatan yang dapat di jumpai dibeberapa Pasal

Statuta, dan tidak secara tegas dilarang dalam Statuta

(c) Menilai penganiayaan pada konteksnya, dengan melihat efek

kumulatifnya

(d) Penganiayaan harus menyebabkan kerusakan fisik dan mental atau

melanggar kebebasan individu

(e) Kejahatan tunggal dapat dianggap sebagai penganiayaan jika niat

diskriminatif dapat dibuktikan

(f) Contoh-contoh penganiayaan

a. Penghancuran terhadap bangunan atau harta benda yang menjadi

hajat hidup (means of subsistence)

b. Penahanan tidak sah atas warga sipil

c. Deportasi atau pemindahan paksa atas warga sipil

d. Pelecehan, penghinaan dan kekerasan psikologis

e. Pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan

14

Page 15: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

f. Pelanggaran politik, sosial dan ekonomi secara umum

g. Pelanggaran hak atas hidup, kebebasan dan keamanan seseorang;

hak untuk tidak diperlakukan seperti budak atau penghambaan;

hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan kejam, tidak manusiawi

atau diperlakukan rendah atau penghukuman; dan hak untuk tidak

ditangkap, ditahan atau diasingkan secara sewenang-wenang

h. Contoh-contoh lain

i. Tindakan-tindakan yang tidak termasuk dalam penganiayaan

(2) Niat jahat (mental state, mens rea)

(a) Niat diskriminatif menjadi persyaratan dalam kejahatan penganiayaan

(b) Persyaratan niat jahat (mental state, mens rea) dalam penganiayaan

lebih tinggi tingkatannya dari kejahatan terhadap kemanusiaan lain,

tapi lebih rendah dari genosida

(c) Niat ditujukan kepada kelompok sasaran, bukan perorangan

(d) Niat diskriminatif dapat dilihat sebagai kriteria positif dan negatif

(e) Niat diskriminatif dapat dilihat dari kesadaran untuk terlibat dalam

sebuah sistem atau kerja sama yang mendiskriminasi atas dasar

politik, ras dan agama

(f) Tidak ada persyaratan untuk kebijakan diskriminatif

(g) Pengetahuan bahwa seseorang bertindak diskriminatif tidak cukup;

niat diskriminatif harus ada

(h) Niat untuk mendiskriminasi tidak harus merupakan niat utama, tapi

harus niat yang signifikan

(i) Niat diskriminatif harus berhubungan dengan tindakan-tindakan yang

dikategorikan sebagai penganiayaan, bukan pada serangannya

(j) Konsekuensi atas tindakan diskriminatif dipersyaratkan

viii) Tindakan tidak manusiawi lainnya

(1) Pengantar Umum

(2) Unsur-unsur

(a) Tingkat keseriusan/kepelikan kejahatan

(b) Luka serius dan mental

(c) Niat jahat (mental state, mens rea)

(3) Setara dengan “perlakuan kejam” berdasarkan Pasal 3

15

Page 16: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(4) Pelaksanaan

V. PERTANGGUNGJAWABAN INDIVIDU (PASAL 7 (1))

a) Statuta

b) Pengantar Umum

i) Tanggung jawab pidana para atasan menurut Pasal 7 (1)

ii) Tumpang tindih Pasal 7 (1) dan Pasal 7 (3)

c) Perencanaan, Penghasutan, Pemberian Perintah dan Pelaksanaan

i) Niat jahat (mental state, mens rea) secara umum

ii) Perencanaan

(1) Seseorang yang melakukan kejahatan tidak dapat dimintai

pertanggunjawaban atas perencanaan kejahatan tersebut

(2) Bukti tidak langsung dapat membuktikan perencanaan

iii) Penghasutan

(1) Pengantar umum

(2) Tindakan (actus reus)

(a) Membutuhkan kontribusi yang jelas terhadap tindakan orang lain,

tetapi tidak perlu menunjukkan bahwa kejahatan tidak akan terjadi

tanpa keterlibatan terdakwa

(b) Baik kejahatan positif dan pembiaran dapat merupakan penghasutan,

seperti mengekspresikan dan mengimplikasikan tindakan tersebut

(3) Niat jahat (mental state mens rea)

iv) Memerintahkan

(1) Pengantar umum

(2) Perintah dapat secara eksplisit atau implisit, dan dibuktikan secara tidak

langsung

(3) Perintah tidak harus diberikan secara langsung kepada orang lain yang

melakukan kejahatan

(4) Tidak perlu syarat adanya hubungan formal atasan-bawahan

(5) Tidak relevan apakah ilegalitas perintah terlihat secara nyata

v) Pelaksanaan

(1) Pengantar umum

(2) Tindakan (actus reus)

16

Page 17: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(a) Melibatkan individu langsung atau keterlibatan fisik

(b) Kemungkinan alternatif, membiarkan terjadinya kejahatan

(c) Bisa terdapat lebih dari satu pelaku pada kejahatan yang sama

(3) Niat jahat (mental state, mens rea)

d) Pemberian bantuan dan persekongkolan (aider and abettor)

i) Pengantar umum

ii) Berdasarkan hukum kebiasaan internasional

iii) Pendefinisian

iv) Tindakan (actus reus)

(1) Memerlukan bantuan praktis, dorongan atau dukungan moral

(2) Bisa terjadi melalui pembiaran

(3) Harus mempunyai dampak penting terhadap perbuatan kejahatan

(4) Kehadiran di tempat kejadian peristiwa

(a) Tidak menentukan, kecuali ia menggambarkan hal yang signifikan

yang mendorong dampak atau dampak yang substansial dan langsung

(b) Contoh

(c) Kedudukan otoritas dan kehadiran dalam beberapa kesempatan bisa

diinterpretasikan sebagai pembuktian dari tingkah laku

(d) Kehadiran fisik yang aktual tidak diperlukan

(5) Bantuan dapat terjadi sebelum, selama atau setelah tindakan dilakukan

(6) Pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan akan bertanggung-jawab

atas semua yang dihasilkan secara alamiah dari tindakannya

v) Niat jahat (mental state, mens rea): niat dan pengetahuan

(1) Pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan berniat memberi atau

memfasilitasi bantuan, atau menyadari bahwa bantuan tersebut dapat

menimbulkan konsekuensi yang dapat diduga sebelumnya

(2) Pelaku tidak harus mengetahui secara persis niat kejahatan atau tindak

kejahatan yang dilakukannya

(3) Tidak perlu ada niat utama, namun harus mengetahui unsur-unsur

penting pidana, termasuk mental state-nya

(4) Pelaku harus tahu bahwa tindakannya akan menyokong perbuatan pidana

(5) Niat jahat (mental state, mens rea) dapat disebabkan dari keadaan, seperti

posisi kewenangan dan kehadiran

17

Page 18: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(6) Niat jahat (mental state, mens rea) bagi pemberi bantuan dan pelaku

persekongkolan terhadap penganiayaan

vi) Perbedaan antara “pemberian bantuan dan persekongkolan,” dan

“keterlibatan dalam kejahatan yang dilakukan bersama” (sebagai contoh,

bertindak sesuai dengan rancangan atau tujuan)

(1) Pengantar umum

(2) Unsur-unsur yang membedakan

(3) Niat jahat yang membedakan

(4) Penerapan: penyiksaan

e) Kejahatan yang dilakukan bersama/doktrin tujuan bersama

i) Pengantar umum

ii) Tiga kategori dalam dokrin tujuan bersama

iii) Unsur-unsur

(1) Perlu untuk menetapkan adanya pengaturan atau kesepahaman

(a) Pengaturan tidak harus diekspresikan (diungkapkan), tetapi dapat

terjadi secara diam-diam

(b) Rencana atau tujuan bersama dapat terjadi tanpa persiapan

(extemporaneously)

(2) Tingkat partisipasi dalam kejahatan yang dilakukan bersama harus

signifikan

(a) Tingkat partisipasi pemberi bantuan (aider) dan pelaku

persekongkolan (abettor): harus memiliki dampak substansial

(3) Tanggung jawab kejahatan di luar tujuan bersama (common purpose)

terjadi jika dapat diprediksi bahwa kejahatan tersebut akan dilakukan dan

terdakwa bersedia menanggung risikonya

(4) Apakah partisipasi dalam kejahatan yang dilakukan bersama memiliki

hubungan yang erat dengan tindak kejahatan atau accomplice liability

iv) Niat jahat (mental state, mens rea)

(1) Jika kejahatan dilakukan dalam kejahatan yang dilakukan bersama

(a) Harus membuktikan common state of mind (niat) co-perpetrator

(b) Harus membuktikan bantuan yang diberikan kepada aider atau

abettor

18

Page 19: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(2) Jika kejahatan terjadi di luar kelompok, harus dibuktikan bahwa terdakwa

menyadari bahwa kejahatan selanjutnya (further crime) merupakan

konsekuensi yang mungkin terjadi dan karena itu, dengan kesadarannya,

ia berpartisipasi dalam kejahatan bersama tersebut

(3) Apabila kejahatan memerlukan niat khusus, maka niat tersebut harus

dibuktikan

v) Perbedaan antara partisipasi dalam sebuah kejahatan yang dilakukan

bersama, dengan bantuan atau persekongkolan jahat dalam kejahatan yang

dilakukan bersama

(1) Pengantar umum

(2) Perbandingan niat jahat (mental state, mens rea)

(3) Jika seorang aider atau abettor menjadi co-perpetrator

(4) Penerapan: partisipasi dalam pelaksanaan sebuah fasilitas penahanan

VI. PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO (PASAL 7(3))

a) Statuta

b) Unsur-unsur

i) Eksistensi hubungan atasan-bawahan (unsur 1)

(1) Hubungan atasan-bawahan

(a) Hubungan dengan bawahan bisa terjadi secara langsung atau tidak

langsung, termasuk struktur informal komando

(b) Hubungan antara komandan dan bawahannya tidak harus diformalkan

(c) Analisis atas realitas kekuasaan/tugas yang diemban

(d) Pemberian perintah atau pelaksanaan kekuasaan yang secara umum

dimiliki oleh seorang komandan militer merupakan indikasi kuat

seorang individu sebagai komandan, tapi bukan semata-mata faktor

yang relevan

(e) Kontrol efektif yang diperlukan: kemampuan untuk menghalangi dan

menghukum kejahatan

(f) Unit militer sementara atau komando ad hoc tidak mengesampingkan

hubungan

(g) Kontrol dapat terjadi baik secara de jure ataupun de facto

(h) Tingkat kewenangan de facto harus ekuivalen dengan otoritas de jure

19

Page 20: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(2) Dua atau lebih atasan bisa dimintai pertanggungjawaban

(3) Penerapan untuk pemimpin sipil: pengujian atas kontrol efektif

ii) Niat jahat (mental state, mens rea) (unsur ke-2)

(1) Pengetahuan aktual

(a) Pengetahuan dapat dibuktikan melalui bukti langsung atau bukti tidak

langsung (circumstantial evidence)

(b) Bukti yang diperlukan untuk menunjukkan adanya pengetahuan

aktual bisa berbeda tergantung pada posisi kewenangan

(c) Makin jauh jarak fisik petinggi dari (tempat) berlangsungnya tindak

kejahatan, makin banyak indikasi tambahan yang diperlukan

(d) Indikasi pengetahuan lain

(2) Alasan untuk tahu

(a) Analisis apakah atasan mempunyai informasi yang dapat

menempatkannya pada catatan

(b) Komandan yang menjalankan ketentuan tersebut dibedakan dari

situasi di mana ketiadaan pengetahuan merupakan kelalaian

(negligence).

iii) Kegagalan atasan untuk mengambil tindakan penting dan semestinya untuk

mencegah atau menghukum (unsur ke-3)

(1) Pertimbangan yang disyaratkan terbatas pada apa yang tampak jelas,

tetapi komandan harus menggunakan semua cara dalam lingkup

kewenangannya

(2) Taraf kontrol yang efektif menentukan apa yang diperlukan/disyaratkan

(3) Tidak boleh menggantikan kegagalan mencegah kejahatan dengan

menghukum bawahan setelahnya

(4) Jika tugas memanggil

(5) Apa yang disyaratkan dalam kewajiban menghukum

(6) Atasan tidak harus orang yang menjatuhkan hukuman, tapi merupakan

seseorang yang harus mengambil langkah penting sebagai bagian dari

proses pendisiplinan

(7) Atasan sipil juga mempunyai kewajiban yang sama

c) Tanggung jawab atasan bukan merupakan tanggung jawab langsung (strict

liability)

20

Page 21: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

VII. PEMBELAAN AFIRMATIF (AFFIRMATIVE DEFENSES)

a) Paksaan tidak mendatangkan sebuah pembelaan lengkap

b) Penolakan prinsip tu quoque: argumentasi bahwa kejahatan serupa yang

dilakukan timbal balik bukan merupakan sebuah pembelaan yang sah

c) Keterlibatan dalam operasi defensif bukan sebuah pembelaan (a defense)

d) Pengurangan tanggung jawab mental (diminished mental responsibility) bukan

merupakan sebuah pembelaan

VIII. JURISDIKSI

a) Pengantar umum

IX. ETIKA

a) Menghina pengadilan

i) Pengadilan mempunyai “jurisdiksi inheren” untuk mengatasi masalah

penghinaan

ii) Penghinaan yang dilakukan dengan menghadapkan kasus yang diketahui

salah secara materil dan memanipulasi saksi

b) Imparsialitas hakim

i) Dua paket tes untuk memeriksa bias pengadilan

ii) Tuntutan yang tinggi untuk menegakkan praduga ketidakberpihakan

iii) Kualifikasi yang memainkan peran penting untuk memenuhi sebuah

persyaratan tidak boleh bias atau tidak imparsial, jika tidak ditemukan bukti

memberatkan yang jelas

iv) Penerapan

(1) Hakim Mumba bertindak sebagai perwakilan Komisi PBB untuk Status

Perempuan tidak dapat dijadikan alasan diskualifikasi

(2) Keanggotaan Hakim Benito sebagai Dewan Pengawas Dana PBB untuk

bantuan para Korban Penyiksaan, tidak dapat dijadikan alasan untuk

diskualifikasi

v) Hakim tidak didiskualifikasi dari dengar kesaksian atas dua atau lebih

pengadilan terhadap hal-hal yang di luar rangkaian kejadian yang sama

21

Page 22: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

X. PENUNTUTAN (CHARGING), PENDAKWAAN (CONVICTION) DAN

PENGHUKUMAN (SENTENCING)

a) Tuntutan dan Dakwaan Kumulatif

i) Tuntutan kumulatif yang diperbolehkan

ii) Dakwaan kumulatif didasarkan pada kejahatan yang sama (same conduct);

yang diperbolehkan hanya jika kejahatan tersebut melibatkan unsur materil

yang berbeda

iii) Apabila kejahatan tidak berbeda secara materil, maka akan didakwa dengan

ketentuan yang lebih khusus (specific provision)

iv) Pelaksanaan

v) Dakwaan kumulatif akan berkonsekuensi pada tambahan penghukuman

b) Penghukuman/penalti

i) Instrumen yang mengatur tentang penalti

(1) Statuta ICTY, Pasal 24: Penalti

(2) Aturan 101 tentang Hukum Acara dan Pembuktian, ICTY

ii) Pengantar umum

(1) Faktor-faktor penghukuman

(2) Penghukuman yang merefleksikan berat-ringannya kejahatan

(3) “Prinsip totalitas”/diskresi dalam menjatuhkan putusan yang global,

bersamaan, berkaitan, atau percampuran antara penghukuman bersamaan

dan berkaitan (concurence and consecutive sentences)

(a) Penerapan

(4) Tujuan penghukuman

(a) Penjeraan (deterrence) dan ganti rugi (retribution)

(b) Penjeraan tidak boleh dimaksudkan sebagai tujuan utama

(c) Rehabilitasi merupakan faktor yang relevan, tapi tidak berperan

penting

(d) Pencelaan publik (public reprobation) dan stigmatisasi

(5) Konsistensi penghukuman; penghukuman yang terindividualisasi

(a) Konsistensi penghukuman

(b) Sebuah penghukuman tidak boleh berubah-ubah (capricious) atau

berlebihan (excessive)

(c) Penghukuman harus dijatuhkan kepada individu (individualized)

22

Page 23: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(d) Tidak boleh diberlakukan “rezim hukuman” (penal regime) dalam

penghukuman

(e) Faktor-faktor yang menentukan mengapa penghukuman berbeda

dapat diterapkan untuk jenis kejahatan yang sama

(6) Mempertimbangkan praktik penghukuman di bekas negara Yugoslavia:

dapat dijadikan pertimbangan, tapi tidak untuk mengkontrol

penghukuman

(a) Praktik penghukuman dalam negeri, selain yang diterapkan oleh

pengadilan di bekas Negara Yugoslavia, tidak dijadikan acuan utama

(7) Urutan kejahatan

(a) Apakah genosida merupakan kejahatan yang paling serius

(b) Apakah terdapat perbedaan antara tingkat keseriusan kejahatan

terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang

(c) Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa kejahatan yang

mengakibatkan hilangnya nyawa harus dihukum lebih berat dari

kejahatan yang tidak menghilangkan nyawa

(8) Penghukuman dapat lebih lama jika terjadi kesalahan kasat mata

(discernible error)

(9) Masa penangguhan penahanan harus dihitung sebagai masa tahanan

(10) Harus memerintahkan untuk menjalankan penghukuman pada hari

dijatuhkannya penghukuman tersebut (judgement)

(11) Pengadilan dapat merekomendasikan penghukuman minimal sebelum

adanya keringanan hukuman (commutation) atau pengurangan

hukuman (sentence reduction)

(12) Faktor-faktor yang menilai berat-ringannya perkara

(a) Pengantar umum

(b) Berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan di bawah ketentuan Pasal

7(3)

(c) Pelaku dalam usaha kejahatan bersama dibandingkan dengan pelaku

utama

(13) Penghukuman harus merefleksikan peran signifikan pihak pelaku

(14) Bahaya ganda terhadap penghukuman

(15) Diskresi untuk menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup

23

Page 24: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

iii) Faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan

(1) Pengantar umum

(2) Beban pembuktian

(3) Faktor-faktor yang memberatkan

(a) Posisi terdakwa

(b) Partisipasi aktif dan langsung

(c) Peran sebagai bagian dari pelaku (fellow-perpetrator)

(d) Niat atau pola pikir yang diskriminatif

(e) Keikutsertaan yang disengaja, suka rela, suka atau entusias dalam

tindak kejahatan

(f) Persiapan dan motif

(g) Taraf kekejaman bagaimana kejahatan dilakukan

(h) Karakter seksual, tingkat kekerasan, dan kadar ketidakmanusiawian

dari tindakan kejahatan, dan kerentanan para korban

(i) Status korban, dan dampak kejahatan terhadap mereka

(j) Partisipasi aktif atasan dalam kejahatan yang dilakukan bawahannya

(k) Pembuktian tanggung jawab pada Pasal 7(1) dan 7(3)

(l) Usia korban yang masih muda, jumlah korban dan pengulangan

kejahatan

(m) Perpanjangan periode waktu selama kejahatan dilakukan

(n) Besaran (magnitude) kejahatan dan skala peran terdakwa

(o) Tahanan sipil

(p) Karakter terdakwa

(q) Sifat kejahatan secara umum

(r) Terdakwa yang tidak memberikan kesaksian bukan sebuah faktor

yang memberatkan

(4) Faktor yang meringankan

(a) Pengantar umum

(b) Kerja sama terdakwa

(c) Pengakuan bersalah termasuk penyesalan dan rekonsiliasi

(d) Paksaan/tekanan yang melawan hukum (duress)

(e) Partisipati tidak langsung atau terpaksa

24

Page 25: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(f) Kelemahan mental untuk bertanggung-jawab (diminished mental

responsibility)

(g) Menyerahkan diri secara suka rela (voluntary surrender)

(h) Tindakan pasca-konflik

(i) Usia

(j) Kondisi pribadi/keluarga

(k) Karakter terdakwa

(l) Kondisi yang sakit-sakitan: hanya pada kasus tertentu

(m) Bantuan terhadap para tahanan atau korban

(n) Karakter yang lemah bukan merupakan faktor yang meringankan

XI. LAIN-LAIN

a) Keringan yang diberikan sebelum keputusan (prior decisions)

i) Sidang Banding harus mengikuti keputusan Pengadilan sebelumnya,

mengutamakan kewajiban utama atau alasan kuat yaitu untuk kepentingan

keadilan

ii) Keputusan Sidang Banding terikat dengan Sidang Pengadilan

(iii) Keputusan Sidang Pengadilan tidak terikat dengan putusan lainnya

b) Ketidakmasukakalan adalah ujian bagi tinjauan banding terhadap temuan-

temuan faktual Majelis Pengadilan

c) Prinsip “persamaan kesempatan” (equality of arms)

d) Hak istimewa pengacara-klien tidak meliputi pernyataan saksi pembelaan

sebelumnya: Sidang Pengadilan akan memerintahkan keterbukaan (keterbukaan)

e) Uji untuk penerimaan pengakuan bersalah (guilty pleas)

i) Apakah ada dasar fakta yang mencukupi untuk kejahatan dan partisipasti

terdakwa dalam kejahatan tersebut dan apakah unsur-unsur yang dihadirkan

memperkuat kejahatan yang diakui

ii) Pengakuan bersalah harus dilakukan secara suka rela, sadar dan tegas

iii) Suka rela

iv) Sadar

v) Tegas

INDEKS ALFABET

25

Page 26: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

RINGKASAN PUTUSAN TERHADAP TERDAKWA

Zlatko Aleksovski adalah komandan pada penjara (prison facility) di Kaonik, wilayah dekat

Busovaca, Bosnia dan Herzegovina. Ia dituduh melakukan pelanggaran hukum atau custom of

war, yaitu serangkaian kebiadaban atas martabat manusia, berkaitan dengan tanggung-

jawabnya sebagai individu dan atasan (superior). Sidang Banding(The Appeals Chamber)

membantah kesimpulan Sidang Pengadilan (Trial Chamber) bahwa terdakwa tidak

bertanggung-jawab atas pelanggaran terhadap para narapidana di luar kompleks penjara dan

(Sidang Banding) menyatakan bahwa Aleksovski juga bertanggung-jawab atas pelanggaran

yang dilakukan oleh Dewan Pertahanan Kroasia (Croatian Defense Council/HVO) di luar

penjara serta menyatakan bahwa ia bersalah karena telah membantu dan bersekongkol (aiding

and abetting) dalam perkara ini. Sidang Banding (Appeals Chamber) menaikkan hukumannya

menjadi 7 tahun penjara.

Jenderal Tihomir Blaskic adalah mantan komandan pada Dewan Pertahanan Kroasia

(Croatian Defense Council/HVO). Ia didakwa atas serangkaian kekejaman yang dilakukannya

terhadap kaum muslim Bosnia antara bulan Mei 1992 dan Januari 1994 di Bosnia dan

Herzegovina, khususnya di wilayah Lembah Lasva. Dalam kapasitasnya sebagai komandan

angkatan Bosnia Kroasia, Balskic didakwa melakukan 6 (enam) jenis pelanggaran HAM berat

seperti yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, Pasal 2 Statuta ICTY (Pengadilan Pidana

Internasional untuk Negara Bekas Yugoslavia); 11 (sebelas) jenis pelanggaran atas kebiasaan

perang, di mana Penuntut menarik satu dakwaannya; dan 3 (tiga) jenis kejahatan terhadap

kemanusiaan (crimes against humanity), antara lain, penganiayaan (persecution), serangan ilegal

terhadap penduduk sipil dan harta benda mereka, menyandera warga sipil, pembunuhan

dengan sengaja (willful killing), secara sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka badan

yang serius, pembunuhan, perlakuan tidak manusiawi, serta penghancuran dan perampasan

harta benda penduduk sipil. Blaskic dijatuhi hukuman sampai 45 tahun penjara.

Mario Cerkez adalah mantan komandan brigade angkatan bersenjata Bosnia Kroasia

(HVO). Ia didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap

26

Page 27: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

hukum atau kebiasan perang (laws or customs of war) dan pelanggaran berat terhadap Konvensi

Jenewa 1949. Cerkez dijatuhi hukuman 5 (lima) tahun penjara.

Zejnil Delalic didakwa oleh Sidang Pengadilan (Trial Chamber) melakukan 12 (duabelas) jenis

pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 dan pelanggaran terhadap hukum atau aturan

perang. Keputusan itu disetujui oleh Sidang Banding (Appeals Chamber).

Hazim Delic adalah wakil komandan kamp penjara (prison camp) dekat kota Celebici di pusat

Bosnia dan Herzegovina. Ia didakwa melakukan serangkaian pelanggaran berat terhadap

Konvensi Jenewa 1949. Dalam kapasitasnya sebagai wakil kamp Celebici, ia bertanggung-

jawab terhadap pembunuhan, penyiksaan, penyerangan seksual, pemukulan dan tindakan-

tindakan lain yang ditujukan kepada para tahanan seperti perlakuan kejam dan tidak

manusiawi. Korban-korbannnya adalah tahanan Bosnia Serbia di kamp Celebici. Sidang

Banding (Appeals Chamber) menjatuhkan hukuman terhadap Delic selama 18 (delapan belas)

tahun penjara.

Damir Dosen adalah pemimpin pengawan (guard shift) pada Detasemen Sabotase ke-10

tentara Republik Srpska (VRS), yang membunuh ratusan laki-laki sipil muslim dari Srebrenika

di pertanian kolektif Pilika. Ia dinyatakan bersalah karena telah melakukan pelanggaran

terhadap hukum atau kebiasaan perang dan dihukum 5 (lima) tahun penjara.

Anto Furundzija adalah komandan lokal pada unit khusus polisi militer pada Dewan

Pertahanan Kroasia (Croatian Defense Council)/HVO, dan dikenal sebagai “Jokers”. Ia didakwa

melakukan dua jenis pelanggaran atas hukum atau aturan perang, sebagai salah satu pelaku

penyiksaan dan membantu serta bersekongkol melakukan serangkaian kekerasan terhadap

martabat pribadi (outrages of personal dignity), termasuk pemerkosaan. Furundzija dihukum 10

(sepuluh) tahun penjara pada putusan pertama dan 8 (delapan) tahun penjara pada putusan

akhir, dan harus segera menjalankannya. Sidang Bandingmemperkuat tuduhan dan putusan

tersebut.

Goran Jelisic dinyatakan bersalah atas 15 (lima belas) tuduhan pelanggaran atas kejahatan

terhadap kemanusiaan dan 16 (enam belas) tuduhan pelanggaran atas hukum atau kebiasaan

perang yang terkait dengan pembunuhan, pemukulan, perampasan atas kepemilikan pribadi

27

Page 28: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

di wilayah Municipal Brcko di Barat Daya Bosnia dan Herzegowina pada bulan Mei 1992.

Sidang Pengadilan mendakwa Jelisic melakukan 1 (satu) jenis pelanggaran genosida di mana

ia mengaku tidak bersalah pada proses persidangan. Sidang Banding (Appeals Chamber)

menyatakan bahwa meski Sidang Pengadilan (Trial Chamber) melakukan kesalahan dalam

menerapkan standard berdasarkan Aturan 98 bis sehingga menyebabkan terjadinya kekeliruan

penilaian atas kejadian genosida, namun tidak tepat untuk membalik dan membatalkan (remit)

kasus tersebut selanjutnya. Oleh karena itu, Sidang Banding (Appeals Chamber) mendukung

hukuman yang dijatuhkan oleh Sidang Pengadilan (Trial Chamber) terhadap Jelisic selama 40

(empatpuluh) tahun penjara.

Drago Josipovic adalah seorang tentara HVO. Ia didakwa oleh Sidang Pengadilan atas

penganiayaan, pembunuhan, dan tindakan tidak manusiawi seperti kejahatan terhadap

kemanusiaan yaitu serangan terhadap warga muslim Bosnia di Ahmici, yang dilakukannya

pada bulan April 1993. Ia dijatuhi hukuman 10, 15, dan 10 tahun penjara untuk berbagai

tindak kejahatan yang dilakukannya, dan menjalani hukuman selama 15 (lima belas) tahun

penjara. Sidang Banding menyetujui permohonan bandingnya dan mengurangi hukumannya

menjadi 12 (duabelas) tahun penjara.

Dragan Kolundzija adalah pemimpin pengawal di Kamp Keraterm sejak awal Juni sampai

25 Juli 1992. Ia dinyatakan bersalah atas penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap

kemanusiaan dan dijatuhi hukuman selama 3 (tiga) tahun penjara.

Dario Kordic adalah pemimpin regional Serikat Demokrasi Kroasia (HDZ) di Pusat Bosnia

dengan kewenangan khusus di Lembah Lasva. Ia didakwa melakukan kejahatan terhadap

kemanusiaan, pelanggaraan terhadap hukum dan aturan perang, serta pelanggaran berat

terhadap Konvensi Jenewa 1949. Ia dihukum selama 25 (duapuluhlima) tahun penjara atas

dakwaan tersebut.

Milojica Kos adalah warga sipil yang dimobilisasi untuk bekerja sebagai pegawai cadangan

dan ditugaskan sebagai pemimpin pengawal di kamp Omarska. Ia didakwa oleh hakim atas

penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembunuhan serta

penyiksaan sebagai pelanggaran atas hukum atau kebiasaan perang. Kejahatan tersebut

28

Page 29: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

dilakukan di wilayah Prijedor, antara tanggal 26 Mei sampai 30 Agustus 1992, khususnya di

wilayah kamp Omarska. Ia dijatuhi hukuman selama 6 (enam) tahun penjara.

Radovir Kovac berperang di Republik Srpska selama konflik bersenjata di Municipal Foca di

Bosnia dan Herzegovina dan ia juga adalah anggota unit militer yang sebelumnya dikenal

sebagai “unit Dragan Nikolic”. Ia didakwa melakukan perbudakan dan pemerkosaan yang

merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan penghinaan terhadap martabat pribadi yang

melanggar hukum atau kebiasaan perang. Kejahatan yang dilakukan Kovac merupakan bagian

dari serangan terhadap warga sipil non-Serbia yang dilakukan secara sistematik termasuk

serangan khusus terhadap perempuan Muslim yang ditahan di tempat-tempat seperti Sekolah

Kalinovic, SMU Foca, dan Gelanggang Olahraga Partizan, di mana korban diperlakukan

secara tidak manusiawi, seperti diperkosa berkali-kali. Kovac dijatuhi hukuman selama 20

(duapuluh) tahun penjara. Sidang Bandingmenguatkan keputusan Sidang Pengadilan (Trial

Chamber).

Radislav Krstic adalah Kepala Staf Kesatuan Angkatan Bersenjata Drina di Republik Sprska

(VRS) dan menjadi Komandan pada Kesatuan tersebut selama Bosnia Serbia mengambil alih

“rumah aman” PBB di Srebrenika pada bulan Juli 1995. Ia dituduh melakukan genosida,

pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan,

dan dijatuhi hukuman selama 46 (empat puluh enam) tahun penjara.

Milorad Krnojelac adalah mantan kepala penjara (sipir) pada Foca Kazneno-Popravni Dom

(KP Dom), yaitu penjara besar yang terletak di kota Foca, di wilayah timur Bosnia dan

Herzegovina, di mana terdapat sejumlah besar kaum laki-laki non-Serbia ditahan selama

periode waktu yang panjang. Ia didakwa melakukan serangkaian kejahatan terhadap

kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum atau aturan perang, dan dijatuhi hukuman

tunggal selama 7,5 (tujuh setengah) tahun penjara.

Dragoljub Kunarac adalah kepala unit mata-mata (reconnaissance) yang merupakan bagian

dari kelompok Taktis Foca (Foca Tactical Group). Ia didakwa melakukan pemerkosaan dan

penyiksaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran terhadap

hukum atau kebiasaan perang. Kejahatan yang dilakukan Kunarac merupakan bagian dari

serangan sistematik terhadap warga sipil non-Serbia yang meliputi serangan khusus terhadap

29

Page 30: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

perempuan Muslim yang ditahan di tempat-tempat seperti Sekolah Kalinovic, SMU Foca,

dan Gelanggang Olah raga Partizan, di mana mereka diperlakukan secara tidak manusiawi,

seperti diperkosa berkali-kali. Kunarac dijatuhi hukuman tunggal selama 28 (dua puluh

delapan) tahun penjara. Sidang Banding menguatkan keputusan Sidang Pengadilan (Trial

Chamber).

Mirjan Kupreskic adalah tentara HVO. Ia didakwa oleh Sidang Pengadilan (Trial Chamber)

atas tindakan penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atas perannya

dalam serangan terhadap warga Muslim di desa Ahmici, Bosnia. Ia dijatuhi hukuman 8 tahun

penjara. Sidang Banding menolak dakwaan tersebut dengan alasan bahwa dakwaan yang

ditimpakan kepadanya tidak sempurna (defective indictment) karena tidak terdapat bukti yang

memadai atas dakwaan tersebut. Sidang Banding kemudian memerintahkan pelepasannya

sesegera mungkin.

Vlatko Kupreskic adalah pegawai pelaksana kepolisian (police operation officer), yang didakwa

oleh Sidang Pengadilan atas penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,

atas perannya pada serangan pada bulan April 1993 terhadap warga Muslim di desa Ahmici,

Bosnia. Ia dihukum 6 (enam) tahun penjara. Sidang Banding menolak dakwaan tersebut atas

dasar tidak cukupnya bukti (evidentiary grounds), dan memerintahkan pelepasannya sesegera

mungkin.

Zoran Kupreskic adalah tentara HVO; ia didakwa oleh hakim pengadilan pertama atas

penganiayaan yang dilakukannya dan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atas

perannya dalam serangan terhadap warga Muslim di desa Ahmici, Bosnia pada bulan April

1993. Ia dijatuhi hukuman selama 10 tahun. Sidang Banding (Appeals Chamber) menolak

dakwaan ini atas dasar tidak sempurnanya dakwaan yang ditimpakan kepadanya (defective

indictment) dan tidak ada bukti memadai atas dakwaan tersebut, dan kemudian memerintahkan

pelepasannya sesegera mungkin.

Miroslav Kvocka merupakan mantan polisi profesional yang ditugaskan di markas

kepolisian Omarska sebagai Wakil Komandan Kamp tersebut. Ia didakwa oleh Sidang

Pengadilan (Trial Chamber) atas penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap

kemanusiaan, dan pembunuhan serta penyiksaan sebagai pelanggaran terhadap hukum dan

30

Page 31: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

aturan perang di wilayah Prijedor antara tanggal 26 Mei sampai 30 Agustus 1992, secara

khusus di Kamp Omarska. Ia dijatuhi hukuman selama 7 (tujuh) tahun penjara.

Esad Landzo adalah penjaga kamp penjara (prison camp) di dekat kota Celebici di Pusat

Bosnia dan Herzegowina. Ia melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949,

di mana dalam kapasitasnya sebagai penjaga Kamp Celebici ia bertanggung-jawab atas

pembunuhan, penyiksaan, penyerangan seksual, pemukulan dan tindak kekerasan lain

terhadap tahanan Bosnia Serbia di Kamp Celebici antara lain perlakuan kejam dan tidak

manusiawi. Sidang Banding menguatkan putusan hakim pengadilan pertama dan

menjatuhkan hukuman selama 15 (limabelas) tahun penjara.

Vinko Martinovic adalah komandan kelompok anti teroris Vinko Skrobo, yang merupakan

sub-Unit Batalion Convicts (KB), yaitu kelompok militer dari Dewan Pertahanan Kroasia

(HVO). Ia didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap

hukum dan kebiasaan perang, dan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949. Ia

dihukum tunggal selama 18 (delapan belas) tahun penjara.

Zdravko Mucic adalah komandan kamp tahanan dekat kota Celebici di Pusat Bosnia dan

Herzegovina. Ia dituduh melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949.

Dalam kapasitasnya sebagai komandan pada kamp Celebici, ia bertanggung-jawab terhadap

serangkaian kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, penyerangan seksual, pemukulan dan

tindak kekerasan lain, seperti perlakuan kejam dan tidak manusiawi terhadap para tahanan

Bosnia Serbia di kamp Celebici. Sidang Banding mendukung putusan Sidang Pengadilan yang

menjatuhkan hukuman 9 (sembilan) tahun penjara bagi Mucic.

Mladen Naletilic adalah komandan kelompok militer Batalion Convict (KB), yang

merupakan bagian dari Dewan Pertahanan Kroasia (HVO). Ia didakwa melakukan kejahatan

terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang, dan pelanggaran

berat terhadap Konvensi Jenewa 1949. Ia dijatuhi hukuman tunggal selama 20 (duapuluh)

tahun penjara.

Dragon Papic didakwa oleh Sidang Pengadilan (Trial Chamber) atas tuduhan penganiayaan

yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

31

Page 32: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Biljana Plavsic adalah anggota Dewan Presiden Republik Srpska, dan setelah konflik ia

menjadi Presiden Republik Srpska. Ia dinyatakan bersalah atas tuduhan penganiayaan yang

merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dijatuhi hukuman 11 (sebelas) tahun

penjara.

Dragoljub Prcac adalah pensiunan kepolisian bagian kejahatan yang dimobilisasi oleh

Markas Polisi Omarska dan teknisi administrasi untuk komandan di kamp Omarska. Ia

didakwa oleh Sidang Pengadilan atas tuduhan melakukan penganiayaan yang merupakan

kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan, dan penyiksaan yang melanggar hukum atau

kebiasaan perang di wilayah Prijedor antara tanggal 26 Mei dan 30 Agustus 1992, dan secara

khusus di kamp Omarska. Ia dijatuhi hukuman 5 (lima) tahun penjara.

Mladjo Radic adalah seorang polisi profesional yang ditugaskan di Markas Polisi Omarska

sebagai pemimpin para penjaga di Kamp itu. Ia didakwa oleh Sidang Pengadilan (Trial

Chamber) atas penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan

dan penyiksaan sebagai pelanggaran atas hukum atau aturan perang di wilayah Prijedor, dan

secara khusus kamp Omarska, antara tanggal 26 Mei sampai 30 Agustus 1992. Ia dijatuhi

hukuman 20 (dua puluh) tahun penjara.

Vladimir Santic adalah komandan polisi dan komandan para “Joker”. Ia didakwa oleh

Sidang Pengadilan atas serangkaian penganiayaan, pembunuhan dan tindakan tidak

manusiawi yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atas perannya dalam serangan

terhadap warga Muslim Bosnia di desa Ahmici. Ia dihukum 25, 15, dan 10 tahun untuk tindak

kejahatan yang dilakukannya, dan divonis 25 (dua puluh lima) tahun penjara dan harus

menjalankan hukumannya selama itu. Sidang Banding mengabulkan permohonan bandingnya

dan menurunkan hukuman terhadapnya menjadi 18 (delapan belas) tahun penjara.

Dusko Sikirica adalah komandan keamanan (security) pada Kamp Keraterm antara tanggal 14

Juni sampai 27 Juli 1992. Ia dinyatakan bersalah karena melakukan penganiayaan yang

merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dihukum 15 (lima belas) tahun penjara.

32

Page 33: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Milan Simic adalah Presiden Dewan Eksekutif dalam Majelis Municipal Bosanski Samac dan

sebagai anggota staf Krisis Serbia untuk kota Bosanski Samac. Ia dinyatakan bersalah atas dua

jenis penyiksaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dihukum 5 (lima)

tahun penjara.

Dusco Tadic adalah mantan Presiden Pengurus Lokal (local board) Partai Demokratik Serbia

(SDS) di Kozarac. Ia didakwa melakukan 7 jenis pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa

1949, 6 jenis pelanggaran terhadap hukum atau aturan perang dan 7 jenis kejahatan terhadap

kemanusiaan. Kejahatan ini dilakukan pada tahun 1992 di Distrik Prijedor, khususnya di kamp

Omarska, Keraterm, Trnopolje di Kozarac dan di wilayah Jaskici dan Sivci. Tadic divonis 20 (dua

puluh) tahun penjara.

Stevan Todorovic adalah mantan Kepala Polisi di Bosanski Samac. Ia dinyatakan bersalah atas

penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dihukum 10 (sepuluh)

tahun penjara.

Mitar Vasiljevic adalah anggota minoritas Serbia di Visegrad. Ia mengorganisir kelompok

kecil paramiliter yang dikenal sebagai Elang Putih (White Eagles), yang bekerjasama dengan

unit kepolisian dan militer yang bermarkas di Visegrad. Ia didakwa melakukan penganiayaan

yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembunuhan yang merupakan

pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang. Ia dijatuhi hukuman tunggal selama 20

(duapuluh) tahun penjara.

Zoran Vukovic adalah anggota angkatan bersenjata Bosnia Serbia yang berperang melawan

Angkatan Bersenjata Bosnia di Municipal Foca, Bosnia dan Herzegovina, dan anggota unit

militer yang sebelumnya dikenal sebagai “Unit Nikolic Dragan”. Ia dituduh melakukan

pemerkosaan dan penyiksaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan

pelanggaran terhadap hukum atau aturan perang. Kejahatan yang dilakukan oleh Vukovic

merupakan bagian dari serangan sistematik terhadap warga sipil non-Serbia termasuk target

khusus kepada perempuan Muslim, yang ditahan di tempat-tempat seperti sekolah Kalinovik,

SMU Foca dan Gelanggang olahraga Partizan, di mana mereka diperlakukan secara tidak

wajar termasuk pemerkosaan berkali-kali. Vukovic dihukum tunggal selama 12 (dua belas)

tahun penjara, dan Sidang Banding mendukung keputusan tersebut.

33

Page 34: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Zoran Zigic adalah warga sipil yang dikontrak jangka pendek (short term) yang dipekerjakan

sebagai tenaga cadangan penyedia logistik di kamp Keraterm. Ia diijinkan memasuki Kamp

Omarska, Keraterm dan Trnopolje secara reguler sebagai warga sipil. Ia didakwa oleh Sidang

Pengadilan atas serangkaian penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan

dan pembunuhan, penyiksaan serta perlakuan kejam yang merupakan pelanggaran terhadap

hukum atau kebiasaan perang. Kejahatan tersebut dilakukannya di wilayah Prijedor, antara

tanggal 26 Mei sampai 30 Agustus 1992. Zigic dihukum selama 25 (dua puluh lima) tahun

penjara.

34

Page 35: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

DAFTAR KASUS YANG TERCAKUP

Penuntut v. Aleksovski, Kasus No. IT-95-14/1 (Sidang Banding), 24 Maret 2000.

Penuntut v. Aleksovski, Kasus No. IT-95-14/1 (Sidang Pengadilan ), 25 Juni 1999.

Penuntut v. Blaskic, Kasus No. IT-95-14 (Sidang Pengadilan ), 3 Maret 2000

Penuntut v. Erdemovic, Kasus No. IT-96-22 (Sidang Banding), Joint Separate Opinion Hakim

McDonald dan Hakim Vohrah, 7 Oktober 1997.

Penuntut v. Erdemovic, Kasus No. IT-96-22 (Sidang Pengadilan ), 5 Maret 1988.

Penuntut v. Furundzija, Kasus No. IT-95-17/1 (Sidang Banding ), 21 Juli 2000.

Penuntut v. Furundzija, Kasus No. IT-95-17/1 (Sidang Pengadilan ), 10 Desember 1998

Penuntut v. Jelisic, Kasus No. IT-95-10 (Sidang Banding), 5 Juli 2001.

Penuntut v. Jelisic, Kasus No. IT-95-10 (Sidang Pengadilan ), 14 Desember 1999.

Penuntut v. Kordic dan Cerkez, Kasus No. IT-95-14/2 (Sidang Pengadilan ), 26 Februari 2001.

Penuntut v. Kordic dan Cerkez, Kasus No. IT-95-14/2 (Bureau Decision), 4 Mei 1998, dan (Sidang

Pengadilan ), 21 Mei 1998.

Penuntut v. Krnojelac, Kasus No. IT-97-25 (Sidang Pengadilan ), 15 Maret 2002

Penuntut v. Krstic, Kasus No. IT-98-33, (Sidang Pengadilan ), 2 Agustus 2001.

Penuntut v. Kunarac, Kovac dan Vokovic, Kasus No IT-96-23 dan IT-96-23/1 (Sidang Banding),

12 Juni 2002.

Penuntut v. Kunarac, Kovac dan Vokovic, Kasus No. IT-96-23 dan IT-96-23/11 (Sidang

Pengadilan ), 22 Februari 2001.

Penuntut v. Kupreskic dkk., Kasus No. IT-95-16 (Sidang Pengadilan ), 14 Januari 2000.

Penuntut v. Kvocka dkk., Kasus No. IT-98-30/1 (Sidang Pengadilan ), 2 November 2001.

Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21 (Sidang Banding), 8 April 2003.

Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21 (Sidang Banding), 20 Februari 2001.

Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21 (Sidang Banding), 16 November 1998.

Penuntut v. Naletilic dan Martinovic, Kasus No. IT-98-34 (Sidang Banding), 31 Maret 2003.

Penuntut v. Plasvic, Kasus No. IT-00-39&40/1, (Sidang Banding), 27 Februari 2003.

Penuntut v. Rajic, Kasus No. IT-95-12 (Sidang Banding), Review to the Indictment pursuant to Rule

61 pada Hukum Acara dan Pembuktian, 13 September 1996

Penuntut v. Sikirica dkk., Kasus No. IT-95-8 (Sidang Pengadilan ), 3 November 2001

Penuntut v. Sikirica dkk., Kasus No. IT-95-8 (Sidang Pengadilan), 3 September 2001.

35

Page 36: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Penuntut v. Simic, Kasus No. IT-95-9/2-S (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002.

Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), Decision on the Defence Motion for

Interlocutory Appeal in Jurisdiction, 2 Oktober 1995.

Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), 31 Januari 2000.

Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), 26 Januari 2000.

Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT -94-1 (Sidang Banding), 15 Juli 1999

Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT -94-1 (Sidang Pengadilan), 11 November 1999.

Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT -94-1 (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997.

Penuntut v. Torodovic, Kasus No. IT -95-9/1 (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001.

Penuntut v. Vasiljevic, Kasus No. IT -98-32-T (Sidang Pengadilan), 29 November 2002.

36

Page 37: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

I. KEJAHATAN PERANG: PELANGGARAN BERAT TERHADAP KONVENSI

JENEWA 1949 (PASAL 2)

a) Statuta

Statuta ICTY, Pasal 2:

“Pengadilan Internasional harus memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang

melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi

Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, terhadap seseorang atau harta benda (property) yang

dilindungi oleh pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa yang terkait dengan pelanggaran-

pelanggaran di bawah ini:

pembunuhan dengan sengaja (wilful killing);

penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi;

secara sengaja mengakibatkan penderitaan berat atau luka serius atau membahayakan

kesehatan;

penghancuran secara besar-besaran atas harta benda secara tidak sah dan sewenang-wenang

dan dilakukan bukan karena alasan keterdesakan militer;

memaksa tahanan perang atau warga sipil untuk terlibat dalam peperangan;

secara sengaja mencabut hak-hak tahanan perang atau warga sipil atas pengadilan yang adil

(fair trial);

deportasi atau transfer tidak sah atau penahanan ilegal atas warga sipil;

menyandera warga sipil.”

b) Unsur-unsur umum pasal 2; tentang kejahatan

Penuntut v. Naletilic dan Martinovic, Kasus No. IT-98-34 (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003,

Paragraf 176: “Pasal 2 Statuta mengatur tentang pelanggaran berat atas Konvensi-Konvensi

Jenewa 1949. Penerapan Pasal 2 Statuta ini mensyaratkan beberapa hal, yaitu: konflik

bersenjata harus terjadi; ada hubungan antara konflik dengan kejahatan yang dituduhkan;

konflik bersenjata harus berskala internasional; dan orang-orang atau harta benda yang

37

Page 38: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

menjadi korban pelanggaran harus didefinisikan sebagai unsur yang ‘dilindungi’ dalam

Konvensi-Konvensi Jenewa.”

i) Terjadinya konflik bersenjata (unsur 1)

(1) Konflik bersenjata yang dijadikan prasyarat

Penuntut v. Kordic dan Cerkez, Kasus No. IT-95-14/2 (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001,

Paragraf 22: “Pasal 2 dan 3 Statuta mengatur tentang hukum perang, terutama tentang pra-

kondisi dalam pelaksanaan Pasal ini berkenaan dengan konflik bersenjata di wilayah di mana

kejahatan yang dituduhkan terjadi.”

(2) Definisi konflik bersenjata

Penuntut v. Kunarac, Kovac, dan Vokovic, Kasus No. IT-96-23 dan IT-96-23/1 (Sidang Banding),

12 Juni 2002, Paragraf 56: “Sebuah ‘konflik bersenjata’ terjadi apabila terdapat kontak

bersenjata antara Negara atau aksi kekerasan bersenjata antara pemerintah yang berwenang

dengan kelompok bersenjata terorganisir, atau antara kelompok-kelompok tersebut di dalam

sebuah Negara.” Lihat juga Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), keputusan

tentang the Defence Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction, 2 Oktober 1995, Paragraf 70

(sama).

(3) Durasi pelaksanaan hukum humaniter internasional

Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), Decision in the Defence Motion for

Interlocutory Appeal on Jurisdiction, 2 Oktober 1995, Paragraf 70: “Hukum humaniter

internasional diterapkan sejak awal terjadinya konflik bersenjata dan diperpanjang selama

gencatan bersenjata sampai kesepakatan damai tercapai; atau dalam kasus konflik internal,

hukum humaniter internasional diterapkan hingga tercapainya perjanjian damai (peaceful

settlement).”

ii) Harus ada hubungan antara konflik dengan kejahatan yang didakwakan

(unsur ke-2)

38

Page 39: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kasus Kordic dan Cerkez (Sidang Pengadilan ), 26 Februari 2001, Paragraf 32: “[U]ntuk

memberi kualifikasi terhadap sebuah kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hukum

humaniter internasional yang diatur berdasarkan Pasal 2 dan 3 Statuta, maka dakwaan yang

dibuat harus memiliki hubungan yang cukup antara kejahatan dengan konflik bersenjata.

Dalam kaitan ini, Sidang Banding harus menyatakan bahwa: Meskipun konflik tidak terjadi

(di wilayah khusus) pada waktu dan tempat di mana kejahatan yang didakwakan terjadi ...

hukum humaniter internasional masih dapat diterapkan. Jelas bahwa kejahatan yang

didakwakan memiliki hubungan dengan peperangan yang terjadi di wilayah lain yang

dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.”

Penuntut v. Blaskic, Kasus No. IT-95-14 (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 69.

“[P]enting untuk mendapatkan bukti yang menunjukkan kaitan antara kejahatan yang

didakwakan dengan konflik bersenjata sebagai sebuah kesatuan. Ini tidak berarti bahwa

kejahatan harus seluruhnya dilakukan di wilayah geografis yang sama di mana konflik

bersenjata terjadi pada saat tertentu. Untuk menunjukkan hubungan antara keduanya, maka

yang harus dilakukan adalah membuktikan bahwa ‘kejahatan yang didakwakan sangat dekat

berhubungan dengan kekerasan yang terjadi di wilayah lain, yang dilakukan oleh pihak-pihak

yang terlibat dalam konflik.’”

iii) Konflik bersenjata harus berskala internasional (unsur ke-3)

(2) Definisi konflik bersenjata internasional

Penuntut v. Tadic, Kasus No.IT-94-1 (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf. 84: “Konflik

bersenjata dikategorikan berskala internasional jika terjadi antara dua atau lebih Negara.

Tambahan pula, kasus konflik bersenjata internal yang terjadi dalam sebuah Negara dapat

menjadi konflik internasional (atau, tergantung keadaannya, dipandang memiliki karakter

internasional dalam sebuah konflik bersenjata internasional) jika (i) Negara lain melakukan

intervensi dengan mengirimkan pasukannya, atau altermatif lain jika (ii) beberapa pihak yang

terlibat dalam konflik bersenjata bertindak atas nama Negara lain.”

39

Page 40: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

40

Kardic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 66: “Dalam kasus Tadic,

Sidang Banding melakukan review secara luas (ekstensif) terhadap hukum yang dapat

diterapkan untuk menentukan bagaimana sebuah konflik bersenjata internal menjadi konflik

internasional sesuai dengan ketentuan pada Pasal 2 Statuta. Sidang Banding menyatakan: ‘...

dalam kasus konflik bersenjata internal yang terjadi di luar wilayah suatu Negara, konflik

tersebut dapat menjadi konflik internasional (atau, tergantung keadaannya, dipandang

memiliki karakter internasional dalam sebuah konflik bersenjata internasional) jika (i) Negara

lain melakukan intervensi dalam konflik tersebut dengan mengirimkan pasukannya, atau

alternatif lain jika (ii) beberapa pihak yang terlibat dalam konflik bertindak atas nama Negara

lain.’”

(2) Pengujian atas kontrol secara menyeluruh (Overall control test applies)

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 146: “Sidang Banding menyimpulkan bahwa

dalam hukum internasional umum (general international law), harus dilakukan tiga macam

pengujian untuk menentukan apakah seseorang telah bertindak secara de facto sebagai organ

Negara. Dalam kasus terlibatnya seseorang sebagai bagian angkatan bersenjata atau unit

militer, seperti kasus kelompok terorganisir lainnya, pengujian tersebut dilakukan dalam

kendali negara).”1

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 111: Kasus Tadic

“memperlihatkan bahwa sebuah konflik bersenjata internal merupakan konflik internasional

jika Negara lain melakukan ‘kontrol menyeluruh’ terhadap kekuatan militer salah satu pihak

yang terlibat dalam konflik.”

Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21 (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 26:

“Pengujian atas ‘kontrol menyeluruh’ yang dilakukan pada Putusan Banding atas kasus Tadic

1 Untuk pembahasan tentang pengujuan atas “kontrol/kendali efektif”, “instruksi khusus”, dan “masuknya individu ke dalam organ Negara dan bertindak sebagai bagian dari struktur Negara” yang dilakukan dalam kasus Tadic, lihat Tadic (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraph 115-137, 141-144.

Page 41: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

... merupakan kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan eksistensi konflik bersenjata

internasional.”

Penuntut v. Aleksovski, Kasus No. IT-95-14/1 (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 134,

145: “[P]engadilan Banding menyetujui Putusan atas kasus Tadic, di mana melalui analisis

yang mendalam, ditemukan bahwa tidak ada alasan untuk menyangkal kebenaran tersebut;

dan pengujian atas ‘kontrol menyeluruh’ seperti yang dilakukan pada Putusan atas kasus

Tadic, merupakan hukum yang dapat diterapkan (applicable law) dalam kasus ini. Pengujian atas

‘kontrol menyeluruh’ mengharuskan adanya penilaian secara keseluruhan terhadap unsur-

unsur yang dikendalikan, dan penentuan atas pengujian tersebut didasarkan pada tingkat

kendali yang telah ditetapkan.”

(3) Pengujian atas kontrol menyeluruh terpenuhi jika sebuah negara berperan

dalam mengorganisasi, mengkoordinasi atau merencanakan aksi militer

dari sebuah kelompok militer, serta membiayai, melatih dan melengkapi

atau menyediakan bantuan operasional

Tadic (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 137, 138: “[K]ontrol oleh Negara terhadap unit

angkatan bersenjata atau milisi atau paramiliter dapat merupakan bentuk kontrol secara

menyeluruh (dan harus terdiri lebih dari sekadar bantuan keuangan atau perlengkapan atau

pelatihan militer). Persyaratan ini tidak boleh terlalu menyimpang dari perintah khusus yang

dikeluarkan oleh Negara atau petunjuk yang diberikan kepada masing-masing operasi militer.

Berdasarkan hukum internasional, pihak yang merencanakan seluruh operasi atas unit-unit

yang menjadi kendalinya, memilih targetnya, atau memberikan instruksi khusus atas operasi

militer yang dilakukan, dan pelanggaran-pelanggaran atas hukum humaniter internasional

yang didakwakan, tidak harus merupakan pihak yang berwenang. Kontrol yang dimaksud

dalam hukum internasional dapat dianggap terjadi jika sebuan negara (atau dalam konteks

konflik bersenjata, pihak yang terlibat dalam konflik), berperan dalam pengorganisasian,

koordinasi atau merencanakan aksi militer atas kelompok militer, dan membiayai, melatih dan

melengkapi atau menyediakan bantuan operasional kepada kelompok tersebut. Tindakan

yang dilakukan oleh kelompok atau anggota kelompok tersebut dapat dianggap sebagai

tindakan organ Negara secara de facto, tanpa mempertimbangkan ada atau tidaknya intruksi

khusus oleh Negara yang melakukan kontrol atas masing-masing tindakan yang dilakukan.”

41

Page 42: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

“[J]ika Negara yang melakukan kontrol tersebut adalah bukan Negara di mana konflik

bersenjata terjadi atau di mana unit-unit militer melakukan aksi militernya, maka pembuktian

secara meluas dan mendalam harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa Negara benar-

benar melakukan kontrol atas unit atau kelompok tertentu, di mana negara tidak hanya

membiayai kebutuhan operasionalnya, tetapi juga mengarahkan atau membantu perencanaan

aksi militer mereka.” Lihat juga kasus Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan ), 31 Maret

2003, Paragaraf 184.

(4) Jangan hanya melihat lokalitas di mana kejahatan terjadi untuk

menentukan sebuah konflik berskala internasional

Tadic, (Sidang Banding), Decision on the Defence Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction, 2

Oktober 1995, Paragraf 70: “[P]engadilan humaniter internasional terus diterapkan di seluruh

wilayah Negara yang terlibat perang, atau dalam kasus konflik internal, di seluruh wilayah

yang berada di bawah kontrol salah satu pihak yang terlibat perang, dengan tidak

mempertimbangkan apakah di wilayah tersebut terjadi peperangan atau tidak.”

Kardic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 70: “[A]dalah salah jika

menafsirkan keputusan Sidang Banding dalam kasus Tadic bahwa pembuktian konflik dalam

lokalitas tertentu sebagai konflik internasional harus berasal dari wilayah geografis khusus di

mana kejahatan dilakukan, dan bukti aktivitas tersebut berada di luar wilayah yang tidak

termasuk dalam tafsiran tersebut.”

Blakskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 64: “Dalam menentukan apakah konflik

bersenjata terjadi atau tidak, yang harus dilakukan adalah melihat keseluruhan wilayah di

mana konflik itu terjadi, dan bukan dengan cara sepotong-sepotong.”

(5) Pelaksanaan

(a) Konflik antara Bosnia dan Herzegovina dan Kroasia

Penuntut v. Rajic, Kasus No. IT-95-12 (Sidang Pengadilan), Tinjauan atas Dakwaan

berdasarkan Pasal No. 61 tentang Hukum Acara dan Pembuktian (Rules of Procedure and

42

Page 43: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Evidence), 13 September 1996, Paragraf 13, 26, dan 32: “[U]ntuk kepentingan pelaksanaan

pasal-pasal yang mengatur pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa IV, aksi militer yang

signifikan dan berlanjut oleh tentara Kroasia yang didukung oleh Bosnia Kroasia melawan

kekuatan pemerintah Bosnia di wilayah Bosnia Kroasia, cukup untuk memutuskan bahwa

konflik domestik antara Bosnia Kroasia dengan Pemerintah Bosnia merupakan konflik

internasional.” “[S]ekitar 5000 sampai 7000 Angkatan Bersenjata Kroasia (‘HOS’) berada di

wilayah Bosnia dan terlibat dalam konflik, baik langsung maupun melalui hubungan mereka

dengan Komunitas Kroasia Herceg-Bosnia (‘HB’) dan Dewan Pertahanan Kroasia (HVO),

berperang melawan Kekuatan Pemerintah Bosnia di Pusat dan Selatan Bosnia. [O]rang-orang

Bosnia Kroasia dapat (berdasarkan kesimpulan ini) dianggap sebagai agen Kroasia dalam

kaitannya dengan tindakan yang didakwakan, yaitu melakukan pelanggaran berat terhadap

pasal-pasal Konvensi Jenewa. Jelas bahwa Kroasia, yang membantu kaum Bosnia Kroasia ...

melibatkan pasukan bersenjatanya dalam konflik di wilayah Bosnia dan menjalankan kontrol

tingkat tinggi terhadap institusi militer dan politik Bosnia Kroasia.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 83-123: Sidang Pengadilan

menyimpulkan bahwa “berdasarkan intervensi yang dilakukan oleh Kroasia di BH (Republik

Bosnia dan Herzegovina)” terdapat “banyak bukti untuk menyatakan bahwa konflik tersebut

merupakan konflik internasional,” dam bahwa “keterlibatan Kroasia dalam mengkontrol

HVO dan HZHB (Komunitas Kroasia Herceg-Bosnia)” dan “intervensi tidak langsung”

Kroasia akan “memperkuat kesimpulan bahwa konsflik tersebut memang bersifat

internasional.” Sidang Pengadilan juga menemukan bahwa “Kroasia, khususnya mantan

Presiden Tudjman, berniat membagi Bosnia dan melakukan kontrol terhadap Kroasia Bosnia,

khususnya HVO, sehingga dapat dikatakan bahwa ia melakukan kontrol secara menyeluruh.

[H]ubungan erat antara Kroasia dan Kroasia Bosnia tidak berhenti dengan dibentuknya

HVO.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 109-146: Sidang Pengadilan

menyimpulkan bahwa isu yang terkait dengan kasus tersebut adalah: (a) Kroasia melakukan

intervensi dalam konflik bersenjata antara Muslim Bosnia dan Kroasia Bosnia di Bosnia dan

Herzegovina melalui tentaranya dan, kalau tidak, (b) Dewan Pertahanan Kroasia (HVO)

bertindak atas nama Kroasia. “Pengadilan menyimpulkan bahwa bukti-bukti atas kasus ini

43

Page 44: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

telah terpenuhi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan ... untuk memasukkan konflik ini

menjadi konflik internasional.”

(b) Konflik antara Bosnia dan Herzegovina dan Republik Federal

Yugoslavia (FRY)

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 156, 162: “Terdapat cukup banyak fakta yang

membuktikan bahwa tentara Yugoslavia melakukan kontrol menyeluruh terhadap Angkatan

Bersenjata Serbia Bosnia (Bosnian Serb Force). Kontrol yang dilakukan tidak hanya dalam

bentuk bantuan finansial, logistik dan bantuan lainnya, tetapi yang lebih penting adalah

keterlibatannya dalam pengarahan umum (general direction), koordinasi dan pengawasan

terhadap aktivitas dan operasi VRS (Tentara Serbia dari Republik Bosnia dan

Herzegovina/Republik Sprska). Bentuk kontrol ini telah cukup memenuhi kriteria hukum

seperti yang ditetapkan oleh hukum internasional.” “[U]ntuk periode material atas kasus ini

(1992), Angkatan Bersenjata Republik Srpska bertindak di bawah kontrol dan atas nama FRY

(Republik Federal Yugoslavia {Serbia dan Montenegro}). Setelah tanggal 19 Mei 1992,

konflik bersenjata di Bosnia dan Herzegovina antara kaum Bosnia Serbia dan penguasa

Bosnia dan Herzegovina diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata internasional.” Lihat juga

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 87.

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 33, 48, 50: “Temuan Sidang

Pengadilan atas sifat konflik sebelum tanggal 19 Mei 1992 didasarkan pada fakta keterlibatan

langsung satu Negara di wilayah Negara lain. Dalam kasus Tadic, Sidang Banding

memutuskan bahwa konflik bersenjata ini merupakan konflik internasional, karena konflik

bersenjata ini terjadi di antara dua atau lebih Negara. Putusan ini mencerminkan posisi

tradisional dari hukum internasional. ...” “Meskipun Sidang Pengadilan tidak secara formal

menerapkan pengujian atas ‘kontrol menyeluruh’ yang terdapat dalam Putusan Banding Tadic,

... namun pertimbangan hukum Sidang Pengadilan dalam kasus ini (Mucic dkk.) secara

keseluruhan konsisten dengan jurisprudensi terdahulu (kasus Tadic).” “Sidang Pengadilan

akhirnya menyimpulkan, seperti dalam kasus Tadic, bahwa konflik bersenjata yang terjadi di

Bosnia dan Herzegovina setelah tanggal 19 Mei 1992 dapat dianggap sebagai konflik

internasional karena FRY tetap mengkontrol Angkatan Bersenjata Bosnia Serbia setelah

tanggal 19 Mei 1992. ... Pengadilan Banding setuju bahwa fakta-fakta yang didapat pada

44

Page 45: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Sidang Pengadilan pada kasus Mucic ini memenuhi persyaratan hukum (legal condition) seperti

yang terdapat dalam kasus Tadic.”

iv) Orang-orang atau harta benda yang harus “dilindungi” (unsur ke-4)

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan ), 31 Maret 2003, Paragraf 176: Persyaratan

keempat untuk pelaksanaan Pasal 2 Statuta adalah bahwa “orang-orang atau harta benda yang

menjadi subjek pelanggaran berat Konvensi Jenewa harus ‘dilindungi’.”

(2) Definisi orang-orang yang dilindungi

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf. 168: “Orang-orang yang dilindungi” adalah

mereka “yang tidak mendapatkan ... perlindungan diplomatik dari negaranya,” dan “bukan

merupakan subjek yang berada di bawah kontrol Negara di mana mereka berada.”

Dalam Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 145, disebutkan bahwa “[D]alam

situasi di mana penduduk sipil tidak memiliki perlindungan diplomatik dari Negaranya, maka

mereka harus diberikan status sebagai pihak yang dilindungi.”

Bandingkan dengan kasus Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf

147: “Pasal 4 Konvensi Jenewa IV mendefinisikan ‘orang yang dilindungi’ sebagai orang-

orang, yang pada saat itu, dan dalam keadaan apa pun juga, berada dalam konflik atau

pendudukan (occupation), dan juga pihak yang terlibat konflik atau Pihak Penjajah (Occupying

Power) yang berasal dari negara lain.”

(2) Etnisitas atau hubungan yang substansial dan bukan nasionalitas formal

untuk menentukan status perlindungan (protected status)

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 166-169; “[D]alam pendekatan hukum [untuk

menentukan perlindungan terhadap orang], dalam konteks konflik bersenjata internasional,

yang penting adalah adanya suatu hubungan substansial yang lebih dari ikatan formal.

Meskipun peperangan yang terjadi sebelumnya antara Negara-Negara yang mapan, namun

dalam konflik antar-etnis seperti yang terjadi di bekas Negara Yugoslavia, tuntutan Negara

45

Page 46: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

baru dan etnisitas seringkali muncul selama konflik daripada nasionalitas (kebangsaan) dan

hal ini menjadi dasar dari dakwaan. Atau di lain pihak, etnisitasitas menjadi isu yang

menentukan (determinative) dari tuntutan kebangsaan. Dengan kondisi seperti ini, persyaratan

nasionalitas seringkali kurang tepat untuk menentukan orang-orang yang dilindungi.” Ini

merupakan “hubungan substantif antara pihak-pihak,” dan “bukan ... merupakan

karakterisasi hukum” mereka yang sedang memegang kendali. “[K]orban merupakan ‘pihak

yang dilindungi’ apabila mereka berada dalam kontrol tentara dari negara yang bukan

kebangsaannya,” dan mereka “menuntut (namun tidak memiliki perlindungan diplomatik)

negara (FRY) yang bertindak atas nama tentara Bosnia Serbia yang sedang bertikai.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 126-127: Sidang Pengadilan mendukung

putusan Sidang Banding atas kasus Tadic yang menyatakan bahwa “‘pendekatan hukum

memiliki relasi yang lebih penting daripada ikatan-ikatan fomal,’ ...” “Dalam konflik

bersenjata antar-etnis, latar belakang etnis seseorang dapat dianggap sebagai faktor yang

menentukan dalam memutuskan apakah kewarganegaraannya dapat digunakan untuk

menentukan statusnya sebagai korban yang dilindungi atau tidak.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 152: “[P]engadilan Banding

dalam kasus Tadic menyimpulkan bahwa ‘tuntutan terhadap pihak yang terlibat dan saling

berhubungan dalam konflik, dan dikontrol oleh Pihak yang menguasai wilayah pendudukan,

dianggap sebagai hal yang krusial.’ Dalam kasus tersebut, kebangsaan (nasionalitas) bukan hal

yang krusial dalam melakukan penuntutan terhadap salah satu pihak. [K]orban Muslim

Bosnia merupakan pihak yang dilindungi karena mereka tidak menuntut kaum Kroasia

Bosnia yang melakukan kontrol secara efektif terhadap mereka.”

(3) Orang-orang yang dilindungi dapat sama kebangsaaannya dengan pihak

yang menahan (captor)

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 81, 84: “[J]ika para korban memiliki

kebangsaan yang sama (berdasarkan hukum domestik) dengan pihak yang menahan mereka,

maka perlindungan Konvensi Jenewa yang didasarkan pada hukum nasional tersebut tidak

akan konsisten dengan tujuan Konvensi ini.” “Kebangsaan korban, sebagaimana tercantum

dalam Konvensi Jenewa IV tidak dapat dijadikan dasar formal dalam menentukan

46

Page 47: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

perlindungan, namun penentuan ini dilakukan dengan mempertimbangkan hubungan

substansial serta perbedaan etnisitas korban dan pelaku, serta hubungannya dengan Negara

penjajah asal (foreign intervening State).”

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 151: “[D]alam keadaan tertentu, Pasal

4 Konvensi Jenewa IV dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi seseorang untuk

mendapatkan status perlindungan, meskipun kebangsaannya sama dengan para pelaku

(captors).”

(4) Definisi “di tangan Pihak yang berkonflik atau Penjajah”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 208: Pengadilan

menyatakan bahwa “penjelasan ‘di tangan pihak penjajah’ seperti yang terdapat pada Pasal 4

Konvensi Jenewa IV, mengacu pada orang-orang yang berada di wilayah yang dikendalikan

oleh pihak yang terlibat konflik atau pihak penjajah.”

c) Niat jahat (mental state/mens rea)

(i) Pengantar umum

Blaskic, (Sidang Pengadilan ), 3 Maret 2000, paragraf 152: “[M]ens rea mencakup seluruh

pelanggaran sebagaimana disebutkan Pasal 2 Statuta, yaitu meliputi niat jahat dan pembiaran

yang mungkin berkaitan dengan tindak kejahatan serius (serious criminal negligence).”

Lihat juga diskusi mengenai mens rea dalam kasus pembunuhan yang dilakukan dengan

sengaja (willful killing), Bagian (I)(d)(i)(2); mens rea untuk perusakan dahsyat atas harta benda

yang bukan didasarkan pada keterdesakan militer, Bagian (I)(d)(v); dan mens rea tentang

pemindahan ilegal (unlawful transfer), Bagian (I)(d)(vii), ICTY Digest.

d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)

i) Pembunuhan sengaja (willful killing)

47

Page 48: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(1) Definisi

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 229: “[D]alam kaitannya

dengan kejahatan pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (willful killing), actus reus –

kekerasan fisik yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa kejahatan tersebut benar-benar

terjadi – adalah berupa kematian korban sebagai akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh

terdakwa. [T]indakan yang dilakukan terdakwa harus menjadi penyebab utama kematian

korban, sebagai orang yang telah ‘dilindungi’.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 153: “Sebagai unsur materil kejahatan

tersebut (pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja), harus dibuktikan bahwa kematian

korban merupakan akibat dari tindakan yang dilakukan terdakwa. ...”

(2) Niat jahat (mental state/mens rea)

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 229: “Untuk memenuhi

persyaratan mens rea dalam pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (willful killing) harus

dibuktikan bahwa terdakwa berniat untuk membunuh, dan harus ditunjukkan bahwa

terdakwa berniat melakukan kejahatan yang mengakibatkan kematian korban atau

mengakibatkan luka fisik serius, yang secara jelas dapat dianggap bahwa terdakwa memahami

bahwa tindakan yang dilakukannya dapat berujung pada kematian.”

Lihat juga ulasan tentang pembunuhan berdasarkan pasal 3, Bagian (II)(d)(iv) dan

pembunuhan berdasarkan Pasal 5, Bagian (IV)(c)(i), ICTY Digest.

ii) Penyiksaan atau tindakan kejam dan tidak manusiawi

(1) Penyiksaan

Lihat ulasan tentang pembunuhan berdasarkan Pasal 3, Bagian (II)(d)(i),dan Pasal 5, Bagian

(IV)(c)(v), ICTY Digest.

(2) Tindakan kejam dan tidak manusiawi

48

Page 49: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(a) Pengantar umum

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 246: “[K]ejahatan,

berupa tindakan kejam dan tidak manusiawi merupakan klausul residual berdasarkan Pasal 2

dan Pasal 3 Statuta. Secara materil, unsur-unsur kejahatan ini sama.” “Tingkat penyiksaan

mental atau fisik harus dibuktikan, meskipun salah satu kejahatan yang dilakukan lebih

rendah tingkatannya daripada penyiksaan, dan ‘berada pada tingkatan yang sama dengan

kejahatan yang menyebabkan penderitaan berat dan luka serius terhadap kesehatan dan tubuh

korban.’”

(b) Perlakuan kejam

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan ), 31 Maret 2003, Paragraf 246: “Perlakuan kejam

didefinisikan sebagai: a) perbuatan atau kelalaian yang disertai niat, yang menyebabkan

penderitaan mental atau fisik atau luka serius atau serangan serius terhadap martabat manusia,

b) dilakukan terhadap seseorang yang tidak terlibat aktif dalam peperangan.”

(c) Perlakuan tidak manusiawi

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan ), 31 Maret Paragraf 246: “Perlakuan tidak

manusiawi didefinisikan sebagai: a) perbuatan atau kelalaian yang disertai niat, yang

menyebabkan penderitaan mental dan fisik yang serius atau luka atau serangan serius

terhadap martabat manusia, b) dilakukan terhadap seseorang yang dilindungi.” Lihat juga

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 26.

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 256: “[P]erlakuan tidak

manusiawi adalah tindakan atau perbuatan yang disertai niat, yang secara objektif merupakan

tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan bukan kecelakaan, yang menyebabkan

penderitaan mental atau fisik atau luka serius atau serangan serius terhadap martabat manusia.

[T]indakan tersebut harus secara langsung ditujukan kepada ‘seseorang yang berada dalam

perlindungan.’”

49

Page 50: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 154-55: “‘[T]indakan tidak manusiawi

adalah tindakan atau perbuatan yang disertai niat, yang secara objektif merupakan tindakan

yang dilakukan dengan sengaja dan bukan kecelakaan, yang menyebabkan penderitaan mental

atau fisik atau luka serius atau serangan serius terhadap martabat manusia [...] Dengan

demikian, perlakuan tidak manusiawi adalah perlakuan yang disertai niat, yang bertentangan

dengan prinsip kemanusiaan, dan termasuk “pelanggaran berat” terhadap Konvensi Jenewa.

Oleh karena itu, tindakan yang digolongkan dalam Konvensi dan uraian-uraian tidak

manusiawi (inhuman), atau tidak konsisten dengan prinsip kemanusiaan, termasuk contoh-

contoh perbuatan, dapat digolongkan sebagai perlakuan tidak manusiawi.’” “[K]ategori

tindakan tidak manusiawi tidak hanya tindakan seperti penyiksaan (torture) atau perbuatan

yang secara sengaja mengakibatkan penderitaan mendalam atau mengakibatkan luka serius

pada tubuh, pikiran atau kesehatan, tetapi juga termasuk tindakan-tindakan yang

bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar perlakuan terhadap manusia, khususnya yang

terkait dengan tindakan yang merendahkan martabat manusia.”

(d) Pelaksanaan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan ), 26 Februari 2001, Paragraf 256: “[L]uka-luka,

perlakuan tidak manusiawi terhadap tahanan, dan tindakan yang mempergunakan orang

sebagai tameng (human shields) dapat digolongkan sebagai ‘perlakuan tidak manusiawi.’”

Lihat juga ulasan tentang tindakan kejam berdasarkan Pasal 3, Bagian (II)(d)(iii), ICTY Digest.

iii) Pemerkosaan (rape)

Lihat ulasan tentang pemerkosaan pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(i)(7)(b) dan (II)(d)(ii), dan

Pasal 5, Bagian (IV)(c)(vi), ICTY Digest.

iv) Secara sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka serius terhadap

tubuh atau kesehatan

(1) Definisi

50

Page 51: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 245: “[K]ejahatan yang

dilakukan dengan sengaja dan mengakibatkan penderitaan berat atau luka serius terhadap

tubuh atau kesehatan, yang merupakan tindakan atau perbuatan yang disertai niat yang

mengakibatkan penderitaan mental dan fisik atau luka, mengharuskan adanya bukti yang

cukup atas tindakan tersebut.” “Semua kejahatan ini dihukum berdasarkan Pasal 2 Statuta,

namun terdapat persyaratan lebih jauh bahwa tindakan ini harus dilakukan secara langsung

terhadap ‘orang yang berada dalam perlindungan.’”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 156: “Kejahatan ini merupakan tindakan

atau perbuatan yang disertai dengan niat, yang mengakibatkan penderitaan berat atau luka

serius terhadap tubuh atau kesehatan, termasuk kesehatan mental. Kategori kejahatan tidak

mencakupi penyiksaan, meskipun penyiksaan tersebut mungkin cocok dengan definisi yang

ditentukan. Analisis atas ekspresi ‘secara sengaja mengakibatkan penderitaan berat atau luka

serius terhadap tubuh atau kesehatan’ mengindikasikan bahwa itu merupakan sebuah

serangan tunggal yang unsur-unsurnya ditetapkan sebagai opsi alternatif.”

(2) Mensyaratkan adanya luka mental dan fisik serius, meski luka tersebut

tidak harus tetap atau tidak dapat disembuhkan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 245: Kejahatan ini berbeda

dengan perlakuan tidak manusiawi (inhumane treatment) karena kejahatan secara sengaja ini

mensyaratkan adanya bukti luka fisik dan mental yang serius. Dengan demikian, perbuatan

yang mengakibatkan bahaya pada martabat manusia saja tidak termasuk dalam kategori

kejahatan ini.

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 339-343: “Komentar

pada Pasal 147 Konvensi Jenewa IV melukiskan tentang kejahatan yang secara sengaja

mengakibatkan penderitaan berat, seperti penyiksaan atau eksperimen biologi yang

mengakibatkan penderitaan berkepanjangan. Motif dari tindakan ini beragam; seperti

penghukuman, balas dendam atau sadisme, dan dapat juga meliputi penderitaan mental

(moral). Dalam menjelaskan luka serius terhadap tubuh atau kesehatan, dikatakan bahwa

konsep ini biasanya menggunakan kriteria lamanya waktu, di mana korban tidak dapat

menjalankan pekerjaannya. ... Kejahatan ini juga mencakupi perbuatan-perbuatan yang tidak

51

Page 52: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

terdapat dalam kategori tindakan penyiksaan, meskipun tindakan penyiksaan sesuai dengan

definisi yang ditentukan. ... [L]uka serius tidak harus mengakibatkan cacat tetap dan tidak

dapat disembuhkan, tetapi luka yang mengakibatkan kenestapaan sementara (temporary

unhappiness), perasaan malu (embarrassment), atau direndahkan (humiliation). Luka tersebut dapat

juga mengakibatkan seseorang tidak mampu lagi menjalankan keahliannya untuk jangka

waktu yang panjang dalam menjalani hidup secara normal dan konstruktif.”

v) Penghancuran dahsyat terhadap harta benda tidak dijustifikasi karena

keterdesakan militer (military necessity)

Neletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 574-580: “[D]ua jenis

harta benda yang dilindungi pada rejim yang melakukan pelanggaran berat terhadap

Konvensi Jenewa adalah: i) harta benda (bangunan), tanpa mempertimbangkan apakah

wilayah yang diduduki memiliki fasilitas perlindungan umum berdasarkan Konvensi Jenewa

1949, seperti rumah sakit umum (civillian hospitals), angkutan udara medis dan ambulan (medical

aircraft and ambulance); dan ii) bangunan yang dilindungi oleh Pasal 53 Konvensi Jenewa IV,

baik bangunan milik perseorangan maupun bangunan di wilayah pendudukan, di mana

penghancuran tersebut dilakukan oleh pihak militer bukan karena alasan keterdesakan.

Pengadilan menyatakan bahwa Pasal 2(d) Statuta mensyaratkan adanya penghancuran meluas

tanpa melihat apakah bangunan tersebut merupakan bangunan yang dilindungi secara umum

atau berada dalam perlindungan karena terletak di wilayah yang diduduki. Contoh serangan

tunggal, untuk memenuhi persyaratan meluas adalah pengeboman terhadap rumah sakit.”

Kejahatan yang diuraikan dalam Pasal 2(d) Statuta terbukti apabila: i) persyaratan umum yang

terdapat pada Pasal 2 Statuta terpenuhi; ii) bangunan dihancurkan secara meluas (extensive); iii)

penghancuran meluas pada bangunan-bangunan yang dilindungi berdasarkan Konvensi

Jenewa 1949, atau; penghancuran meluas (ekstensif) tidak didasarkan semata-mata oleh

operasi militer terhadap bangungan yang terletak di wilayah pendudukan; iv) pelaku bertindak

dengan niat untuk menghancurkan bangunan tersebut atau sama sekali tidak mempedulikan

akibat buruk dari penghancuran tersebut.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 335-341: “[K]ejahatan

berupa penghancuran meluas terhadap bangunan-bangunan dapat dianggap sebagai

52

Page 53: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

pelanggaran berat apabila memenuhi unsur-unsur berikut ini: (i) apabila bangunan-bangunan

yang dihancurkan dalam serangan adalah bangunan yang dilindungi Konvensi Jenewa 1949,

tanpa mempertimbangkan apakah bangunan tersebut terletak di wilayah jajahan, dan pelaku

bertindak dengan niat untuk menghancurkan bangunan tersebut atau sama sekali tidak

mempedulikan akibat buruk dari penghancuran tersebut; atau (ii) apabila bangunan yang

dihancurkan merupakan bangunan yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa, dengan

pertimbangan bahwa bangunan tersebut terletak di wilayah jajahan, dan penghancuran terjadi

dalam skala luas; dan (iii) penghancuran tersebut dilakukan tidak karena keterdesakan militer,

dan pelaku bertindak dengan adanya niat untuk menghancurkan bangunan tersebut atau sama

sekali tidak mempedulikan akibat buruk dari penghancuran tersebut.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 157: Pihak Penjajah dilarang merusak

benda-benda bergerak maupun tidak bergerak, kecuali pengrusakan tersebut dianggap perlu

bagi operasi militer. Supaya memenuhi unsur pelanggaran berat, maka pengrusakan yang

dilakukan bukan karena keterdesakan militer, dan harus terjadi secara ekstensif (meluas),

ilegal dan sewenang-wenang. Istilah ‘ekstensif’ (meluas) digunakan atas dasar fakta, misalnya

pengrusakan yang dilakukan terhadap rumah sakit, dianggap dapat memenuhi unsur

kejahatan ini.

Lihat juga ulasan tentang pengrusakan sewenang-wenang yang dilakukan bukan karena

keterdesakan militer, pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(viii), ICTY Digest.

vi) Pengurungan dan pemenjaraan tidak sah terhadap warga sipil

(1) Pengantar umum

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 322, 327: “[T]indakan pengurungan

warga sipil hanya dapat dianggap sah bila terjadi dalam kondisi seperti yang disebutkan dalam

Pasal 42 Konvensi Jenewa IV, dan bila ketentuan pada Pasal 43 (Konvensi Jenewa IV)

terpenuhi. Dengan demikian penahanan atau pengurungan terhadap warga sipil dianggap

tidak sah jika memenuhi unsur berikut: (i) jika warga sipil ditahan dengan cara yang

bertentangan dengan Pasal 42 Konvensi Jenewa IV, misalnya mereka ditahan tanpa alasan

cukup; seperti pihak Penahan berbuat seolah-olah penahanan tersebut memungkinkan; dan

53

Page 54: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(ii) jika prosedur dalam Pasal 43 Konvensi Jenewa IV tidak memenuhi ketentuan konvensi

mengenai penghargaan terhadap tahanan sipil, meskipun penahanan awal terhadap mereka

dapat dijustifikasi.” “Jelas pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa IV ... tidak memperbolehkan

adanya suatu maksud terselubung (blanket power) dalam menahan semua warga sipil dari pihak

yang terlibat konflik, namun harus dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa masing-

masing warga sipil yang ditahan dianggap membahayakan keamanan Negara.” “[F]akta bahwa

seseorang memiliki kebangsaan, atau berafiliasi dengan pihak musuh tidak dapat dianggap

sebagai ancaman keamanan bagi pihak lawan di mana, dan juga tidak dapat dijadikan alasan

sah untuk mengasingkannya.”

(2) Tanggung jawab khusus bagi pihak penawan, bukan bagi pihak yang

terlibat, seperti pihak sipir penjara

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 342: “Sidang Banding yang

memeriksa seseorang yang melakukan penahanan secara tidak sah, harus membuktikan

bahwa terdapat unsur ‘keterlibatan’ dalam sistem penahanan secara umum atau operasinya

terhadap warga sipil yang ditahan. Dalam pandangan Sidang Banding, fakta tentang peran

dan kapasitas, meskipun dilakukan oleh bawahan, dalam penahanan terhadap warga sipil

secara tidak sah bukan merupakan dasar yang kuat untuk menentukan siapa yang paling

bertanggung-jawab dalam tindak kejahatan tersebut. Tanggung jawab demikian lebih tepat

ditujukan kepada pihak yang menahan secara langsung, atau pihak yang menahan seseorang,

di mana ia tidak memiliki bukti cukup, walaupun dikatakan bahwa orang yang ditahannya

membahayakan keamanan; atau seseorang berkuasa di tempat penahanan dan mengijinkan

penahanan terhadap warga sipil tanpa mengetahui alasan sebenarnya; atau seseorang yang

berkuasa melepas tahanan, tetapi wewenang tersebut tidak dijalankan meskipun tidak ada

alasan yang cukup untuk terus menahan seseorang, atau alasan penahanan yang tidak relevan.

Sidang Banding tidak dapat menerima bahwa tindakan si penjaga mengabaikan langkah yang

tidak sah untuk melepaskan tahanan dapat dijadikan alasan yang mencukupi untuk

melakukan tindakan kejahatan atas penahanan ilegal.”

(3) Tanggung jawab komandan kamp

54

Page 55: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 378-379: “[S]eseorang dalam posisi

seperti Mucic (komandan kamp tahanan di desa Celebici) melakukan kejahatan penahanan

ilegal (unlawful confinement) terhadap warga sipil, di mana ia berwenang untuk melepas tahanan

sipil dan gagal menggunakan wewenang tersebut, di mana: (i) ia tidak memiliki alasan yang

cukup untuk menahan seseorang yang dituduh mengancam keamanan negara; atau (ii) ia

mengetahui bahwa mereka tidak diperlengkapi dengan jaminan prosedur yang perlu (atau

kurang menyadari apakah jaminan-jamin yang diperlukan itu sudah diupayakan atau belum).”

“Apabila seseorang yang memiliki kewenangan untuk melepaskan tahanan mengetahui bahwa

orang yang ia tahan mempunyai hak untuk mempertanyakan penahanannya dan hak tersebut

tidak dipenuhi, maka ia berkewajiban untuk melepaskan tahanan tersebut. Karena itu,

kesalahan yang dilakukan oleh orang yang berwenang untuk melepaskan tahanan, yang

diketahuinya belum diberikan hak-hak prosedural yang semestinya mereka peroleh,

merupakan kejahatan melakukan penahanan tidak sah, sekalipun jika ia tidak bertanggung-

jawab atas kesalahan memberikan mereka hak prosedur yang memang harus diberikan.”

vii) Pemindahan yang tidak sah

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 519-521; “Pemindahan

paksa adalah dipindahkannya seseorang yang dilakukan di bawah tekanan dari tempat tinggal

mereka ke tempat yang tidak mereka inginkan.” “Untuk memenuhi syarat pembuktian bahwa

telah terjadi pemindahan paksa seperti tertera pada Pasal 2(g) Statuta, maka: i) harus

memenuhi persyaratan umum seperti yang tercantum dalam Statuta ...; ii) pemindahan paksa

terjadi bukan karena alasan keamanan penduduk, atau perintah militer di mana orang

dipindahkan dari wilayah yang diduduki atau wilayah yang dijajah; iii) pelaku memiliki niat

untuk memindahkan tahanan.” “Dakwaan harus dapat membuktikan bahwa pemindahan

terhadap seseorang (orang-orang) dimaksudkan untuk menghalangi kembalinya ia (mereka)

ke tempat asalnya.”

viii) Penahanan warga sipil

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 311-314: “[S]eseorang

dapat dianggap melakukan penyanderaan terhadap warga sipil jika ia mengancam warga

55

Page 56: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

tersebut, melakukan penahanan secara tidak sah, dan memperlakukannya secara tidak

manusiawi atau membunuhnya, sebagai upaya untuk mencapai tujuannya.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 158: “Menilik maksud pada Pasal 2

Statuta, sandera warga sipil adalah orang-orang yang dirampas kebebasannya, yang seringkali

dilakukan secara sewenang-wenang dan kadang-kadang dengan ancaman mati.” “Dakwaan

terhadapnya pelaku harus mencantumkan hal-hal berikut; bahwa penahanan terhadap sandera

ia lakukan dengan mengancam sandera untuk meminta konsesi atau mencari keuntungan.

Unsur kejahatan ini sesuai dengan ... yang terdapat pada Pasal 3 Statuta.”

Lihat juga ulasan tentang “penyanderaan” pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(vii), ICTY Digest.

e) Lain-lain

i) Pendudukan (terkait dengan buruh sipil ilegal [unlawful labor of civillian],

pemindahan ilegal dan penghancuran harta benda)

(1) Di mana “pendudukan” itu relevan

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 210: “Pendudukan

dianggap relevan bila terkait dengan buruh sipil ilegal ..., pemindahan warga sipil secara tidak

sah ... dan penghancuran terhadap harta benda/bangunan.”

Lihat ulasan tentang buruh ilegal (unlawful labor) Pasal 3, Bagian (II)(d)(xii): pemindahan tidak

sah dan penghancuran dahsyat atas harta benda/bangunan, yang dilakukan bukan karena

alasan keterdesakan militer. Kedua hal itu diatur dalam Pasal 2, Bagian (I)(d)(vii) dan (I)(d)(v),

ICTY Digest.

(2) Definisi

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan ), 31 Maret 2003, Paragraf 214-216:

“Pendudukan/penjajahan didefinisikan sebagai periode transisi setelah terjadinya invasi dan

persetujuan gencatan senjata. Perbedaan tersebut menuntut tanggung jawab yang lebih berat

56

Page 57: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

pada pihak penjajah dibandingkan pihak yang terlibat pada konflik bersenjata internasional.”

Sidang menyetujui definisi pendudukan ini sesuai dengan Pasal 42 Regulasi Hague (Hague

Regulations), di mana “suatu wilayah dinyatakan diduduki jika wilayah tersebut berada dalam

kekuasaan pihak yang berperang. ... [P]endudukan diperpanjang hanya di wilayah di mana

pendudukan dilaksanakan.” Sidang menyatakan bahwa pengujian kendali secara keseluruhan,

seperti pada Putusan Pengadilan atas kasus Blaskic, tidak dapat diterapkan untuk menentukan

terjadinya pendudukan. ... [T]erdapat perbedaan penting antara penentuan negara

pendudukan (state of occupation) dan eksistensi konflik bersenjata internasional. Pengujian

kendali secara keseluruhan dapat diterapkan pada eksistensi konflik bersenjata internasional,

yang mana tingkat kendali tersebut digunakan untuk melangsungkan pendudukan.”

(3) Pedoman untuk menentukan pendudukan (occupation)

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 217: Sidang membuat

pedoman berikut ini untuk membantu “menentukan apakah pihak penjajah telah menduduki

wilayah pendudukannya.”

• “pihak yang melakukan pendudukan harus dalam posisi untuk menggantikan pemerintah

di wilayah pendudukan tersebut, yang secara publik telah dinyatakan tidak mampu

menjalankan fungsinya”;

• “kekuatan musuh telah menyerah, dikalahkan atau ditarik. Dalam hal ini, wilayah perang

tidak dapat dianggap sebagai wilayah pendudukan. Meskipun perlawanan lokal yang

dilakukan berhasil, tetapi hal itu tidak berpengaruh pada pendudukan”;

• “pihak penjajah memiliki kekuatan bersenjata yang cukup, atau memiliki kapasitas untuk

mengirimkan tentaranya dalam waktu yang tepat untuk menjatuhkan pemerintah di

negara yang diduduki”;

• “pemerintahan sementara dibentuk di wilayah pendudukan”;

• “pihak yang melakukan pendudukan menjalankan roda pemerintahan dan menguasai

penduduk sipil.”

(4) Hanya diterapkan di wilayah yang dikontrol oleh pihak yang melakukan

pendudukan

57

Page 58: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 218: “[H]ukum

pendudukan hanya diterapkan pada wilayah-wilayah yang dikontrol oleh pihak yang

melakukan pendudukan, dan gencatan senjata dilaksanakan pada saat pihak yang melakukan

pendudukan tidak lagi memiliki kekuasaan di wilayah yang diduduki.” Pengadilan “harus

menentukan atas dasar kasus per-kasus, apakah tingkat kontrol (degree of control) ini dilakukan

pada waktu dan tempat yang relevan.” “[T]idak ada persyaratan bahwa seluruh wilayah yang

diduduki, diharuskan bahwa area-area yang tertutup di mana kekuasaan pihak yang

ditaklukkan masih berjalan ‘secara efektif lenyap dari sisa-sisa wilayah yang diduduki itu.’”

(5) Pengujian yang berbeda harus dilakukan berkaitan dengan individu, harta

benda dan hal-hal lainnya

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 222: Pengadilan

menyatakan bahwa “mereka akan melakukan uji hukum yang berbeda untuk menentukan

apakah hukum pendudukan dapat diterapkan, tergantung pada apakah hukum tersebut terkait

dengan individu atau harta benda atau hal-hal lainnya”. Dalam kasus ini, pemindahan secara

paksa terhadap warga sipil dan buruh sipil ilegal “dilarang sejak wilayah tersebut jatuh ke

tangan pihak lawan, tanpa mempertimbangkan tingkat peperangan (stage of the hostilities).”

58

Page 59: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

II. KEJAHATAN PERANG: PELANGGARAN ATAS HUKUM ATAU

KEBIASAAN PERANG (PASAL 3)

a) Statuta

Pasal 3:

“Pengadilan internasional harus memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang

melanggar hukum atau kebiasaan perang. Pelanggaran tersebut dapat meliputi, tapi tidak

terbatas pada:

(a) penggunaan senjata beracun atau senjata lain yang dapat dianggap menyebabkan

penderitaan yang tidak perlu bagi korban;

(b) penghancuran dahsyat kota-kota besar, kota kecil atau pedesaan, atau perusakan yang

dilakukan tidak diakibatkan oleh keterdesakan militer;

(c) serangan, atau bombardir, dengan maksud apa pun, terhadap kota-kota pedesaan,

pemukiman penduduk atau bangunan, tanpa perlawanan;

(d) penggusuran, perusakan atau penghancuran secara sengaja, dilakukan terhadap

lembaga-lembaga keagamaan, bantuan sosial atau pendidikan, seni dan ilmu

pengetahuan, monumen sejarah dan karya-karya seni dan ilmu pengetahuan;

(e) perampasan terhadap harta milik pribadi.”

b) Pengantar umum

i) Pasal 3 Statuta berfungsi sebagai klausul residual, yang meliputi pelanggaran

serius terhadap hukum humaniter, yang tidak terdapat pada pasal-pasal lain

dalam Statuta

Tadic, (Sidang Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding tentang

Jurisdiksi (Decision on the Defence Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction), 2 Oktober 1995,

Paragraf 87, 91: “Penafsiran harfiah atas Pasal 3 menunjukkan bahwa: (i) Pasal tersebut

merujuk pada kategori kejahatan secara luas, yang disebut dengan ‘semua pelanggaran hukum

atau kebiasaan perang’; dan (ii) perincian pelanggaran yang terdapat pada Pasal 3 sangat

ilustratif, tidak lengkap (exhaustive).” “Pasal 3 ... menyediakan jurisdiksi Pengadilan

59

Page 60: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Internasional tentang kejahatan serius terhadap hukum humaniter internasional yang tidak

tercakup dalam Pasal 2, 4, atau 5. Pasal 3 merupakan ketentuan mendasar yang menyatakan

bahwa ‘pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional harus diadili oleh

Pengadilan (Tribunal) Internasional’. Dengan kata lain, Pasal 3 berfungsi sebagai klausul

residual yang dirancang untuk memastikan bahwa tidak ada pelanggaran serius terhadap

hukum humaniter internasional yang luput dari Pengadilan Internasional.”

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 68: “Pasal 3 Statuta

merupakan ‘klausul umum dan residual’ yang meliputi seluruh pelanggaran hukum humaniter

internasional yang tidak tercakup dalam Pasal 2, Pasal 4 dan Pasal 5 Statuta.”

Penuntut v. Jelisic, Kasus No. IT-95-10 (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 33:

“Pasal 3 Statuta ini merupakan pasal umum, yang merupakan klausul residual untuk mengatur

seluruh pelanggaran atas hukum humaniter internasional yang tidak tercakup pada Pasal 2, 4

dan 5 Statuta, dan yang menyatakan bahwa aturan-aturan mengenai hal itu merupakan

hukum kebiasaan perang.”

Penuntut v. Furundzija, Kasus No. IT-95-17/1, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998,

Paragraf 132-133: “Pasal 3 memiliki ruang lingkup yang sangat luas, yang mencakup

pelanggaran serius terhadap aturan hukum humaniter internasional berdasarkan hukum

kebiasaan internasional atau hukum konvensional, yang mengatur tanggung jawab individu

yang melakukan tindak kejahatan. Pasal 3 tersebut merupakan ‘aturan payung’ (umbrella rule).

Sementara pasal-pasal lain menjelaskan berbagai jenis kejahatan yang terdapat dalam Statuta,

Pasal 3 berisi tentang referensi yang bersifat buka-tutup atas seluruh aturan hukum

internasional. Menurut Pasal 3, pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional

dapat dianggap sebagai kejahatan berdasarkan ketentuan Statuta, jika ketentuan yang

dimaksud memenuhi unsur tersebut.”

ii) Pasal 3 Statuta mencakup kejahatan konflik bersenjata internal dan

internasional

Tadic, (Sidang Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding tentang

Jurisdiksi (Decision on the Defence Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction), 2 Oktober 1995,

60

Page 61: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Paragraf 137: “[B]erdasarkan Pasal 3, Pengadilan Internasional memiliki jurisdiksi atas seluruh

kejahatan yang dituduhkan, tanpa mempertimbangkan apakah kejahatan tersebut terjadi

dalam konflik bersenjata internal maupun internasional.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 161: “Pasal 3 Statuta dapat diterapkan

untuk konflik internal dan internasional.”

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 132: Untuk kepentingan Pasal 3

Statuta, “[s]uatu kejahatan dianggap ‘immaterial’ jika kejahatan tersebut terjadi dalam konteks

konflik bersenjata internal maupun internasional.”

iii) Kondisi yang menentukan pelanggaran apa saja yang disebutkan Pasal 3

Kunarac, Kovic dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 66: “Ada empat hal yang

harus dipenuhi sebelum sebuah kejahatan diadili berdasarkan Pasal 3 Statuta: (i) kejahatan

tersebut harus merupakan pelanggaran atas hukum humaniter internasional; (ii) aturan

tersebut merupakan hukum kebiasaan, dan jika aturan itu merupakan hukum perjanjian,

maka kondisi yang dipersyaratkan harus terpenuhi; (iii) kejahatan tersebut merupakan

pelanggaran berat atas aturan yang melindungi hal-hal penting, dan pelanggaran tersebut

mengakibatkan konsekuensi yang berat bagi korban; (iv) pelanggaran terhadap aturan

tersebut mensyaratkan adanya tanggung jawab individu pelaku pelanggaran berdasarkan

hukum kebiasaan atau hukum konvensional.” Lihat juga Penuntut v. Kvocka dkk., Kasus No.

IT-98-30/1 (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 123.

iv) Meliputi pelanggaran atas hukum humaniter internasional

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 224: “Pasal 3 Statuta

telah ditafsirkan sebagai klausul umum dan residual yang melingkupi seluruh pelanggaran atas

hukum humaniter yang tidak diatur dalam Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 5 Statuta, khususnya: (i)

pelanggaran atas hukum Den Haag tentang konflik internasional; ii) pelanggaran atas pasal-

pasal Konvensi Jenewa selain yang diklasifikasikan sebagai ‘pelanggaran berat’; (iii)

pelanggaran atas Pasal 3 Umum Konvensi Jenewa, dan hukum kebiasaan lain tentang konflik

internal; dan (iv) pelanggaran atas perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam

61

Page 62: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

konflik, di mana perjanjian tersebut dipertimbangkan sebagai hukum perjanjian (qua treaty

law), misalnya perjanjian-perjanjian yang bukan merupakan hukum kebiasaan internasional.”

Lihat juga Tadic, (Sidang Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding

tentang Jurisdiksi, 2 Oktober 1995, Paragraf 87, 89, 91.

Lihat juga Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 136 (pelanggaran atas

Pasal 3 Umum terdapat dalam Pasal 3 Statuta); Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding),

12 Juni 2002, Paragraf 68 (sama); Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003,

Paragraf 228 (sama); Blaskic (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 168 (sama); Tadic

(Sidang Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding tentang Jurisdiksi 2

Oktober 1995, Paragraf 89 (sama).

v) Alasan mengapa Pasal 3 Umum juga termasuk

(1) Pasal 3 Umum adalah bagian dari hukum kebiasaan

Tadic, (Pengadilan tingkat Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding

tentang Jurisdiksi, 2 Oktober 1995, Paragraf 98: “[B]eberapa aturan dalam perjanjian, secara

perlahan-lahan menjadi bagian dari hukum kebiasaan. Ini juga berlaku pada Pasal 3 Umum

Konvensi Jenewa 1949... .”

Kunarac, Kovac dan Vokovic, 12 Juni 2002, Paragraf 68: Pasal 3 Umum “sesungguhnya

merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional.”

Blaskic, 3 Maret 2000, Paragraf 166: “Pasal 3 Umum harus dianggap sebagai aturan hukum

kebiasaan internasional.”

Naletilic dan Martinovic, 31 Maret 2003, Paragraf 228, “.... Sidang Pengadilan juga berpendapat

bahwa Pasal 3 Umum telah mencapai status sebagai hukum kebiasaan Internasional.”

(2) Pelanggaran atas Pasal 3 Umum merupakan pelanggaran serius

62

Page 63: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000 Paragraf 176: Pelanggaran terhadap Pasal 3 Statuta

yang merupakan pelanggaran atas Aturan Den Haag (Regulation of the Hague) dan Pasal 3

Umum secara definitif merupakan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter

internasional.”

(3) Pasal 3 Umum berisi tanggung jawab kejahatan individual

Tadic, (Sidang Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding tentang

Jurisdiksi, 2 Oktober 1995, Paragraf 128-129: Jelas bahwa ... Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa

tidak memiliki rujukan yang eksplisit atas tanggung jawab pelaku kejahatan terhadap

pelanggaran-pelanggaran Pasal tersebut. [P]engadilan Militer Internasional di Nuremberg

menyimpulkan bahwa tanggung jawab pidana internasional tidak dapat dihalangi hanya

karena tidak-adanya pasal-pasal dalam perjanjian yang menghukum pelanggaran tersebut.

Pengadilan Nuremberg mempertimbangkan sejumlah faktor yang relevan dengan kesimpulan

mereka bahwa pelaku tindak kejahatan harus bertanggung-jawab secara individu: secara tegas

mengakui hukum perang dalam hukum internasional serta praktik di negara yang melanggar

larangan tersebut, termasuk pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah

dan organisasi-organisasi internasional, serta penghukuman atas pelanggaran oleh pengadilan

nasional dan pengadilan militer. Jika kondisi ini terpenuhi, maka pelaku harus bertanggung-

jawab atas kejahatan yang dilakukannya, karena, seperti yang disimpulkan oleh Pengadilan

Nuremberg: ‘[k]ejahatan atas hukum internasional dilakukan oleh sejumlah orang, tidak oleh

entitas abstrak, dan pasal-pasal dalam hukum internasional ditegakan hanya dengan

menghukum para pelaku kejahatan tersebut.’” “Dengan menerapkan kriteria sebelumnya atas

pelanggaran yang disebutkan di sini, kami tidak ragu bahwa mereka harus bertanggung-jawab

atas kejahatan yang dilakukannya, tanpa mempertimbangkan apakah kejahatan tersebut

merupakan konflik bersenjata internal atau internasional. Prinsip-prinsip serta aturan-aturan

hukum internasional mencerminkan ‘pertimbangan dasar kemanusian’ yang secara luas diakui

sebagai pelaksanaan mandat minimal (mandatory minimum conduct) dalam konflik bersenjata

atau sejenisnya.”

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 162, 171: “[F]akta bahwa Pasal 3

Umum tidak memiliki rujukan eksplisit terhadap tanggung jawab individu pelaku kejahatan,

tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan sanksi pidana atas pelanggaran aturan ini. IMT

63

Page 64: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg) jelas mengikuti pendekatan seperti itu.

Seperti yang disebutkan dalam jurisdiksi keputusan Tadic, dikatakan bahwa tidak adanya pasal

pasal perjanjian yang mengatur kejahatan tersebut, tidak menghalangi keharusan seorang

individu pelaku kejahatan untuk bertanggung-jawab. Pengadilan Nuremberg menetapkan

bahwa tindakan individu yang dilarang oleh hukum internasional adalah tindak kejahatan,

meskipun tidak terdapat pasal dalam juridiksi untuk mengadili pelanggaran tersebut.” “Sidang

Banding tidak dapat menemukan alasan mengapa pelanggaran dalam konteks konflik

bersenjata internal tidak dianggap sebagai kejahatan meskipun sebuah aturan hukum

humaniter internasional diperpanjang (walaupun dalam bentuknya yang lebih ringan).”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 228: “[T]ampak dari

jurisprudensi bahwa [P]asal Umum 3 dari Statuta mensyaratkan pertanggungjawaban pidana

individual.”

Blaskic, (Sidang Banding), 3 Maret 2000, Paragraf 176: Karena pelanggaran Pasal 3 Statuta

yang mencakupi pelanggaran atas Aturan Den Haag dan Pasal 3 Umum yang secara definitif

merupakan pelanggaran serius, maka “[p]elanggaran itu dapat dibebankan sebagai tanggung

jawab pidana individu sesuai dengan Pasal 7 Statuta.” “Hukum kebiasaan internasional

berisikan tanggung jawab pidana, di mana kejahatan tersebut merupakan pelanggaran serius

atas Pasal 3 Umum.”

(4) Pasal 3 Umum dapat diterapkan pada konflik bersenjata internasional

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 140-150: “Tidak diragukan lagi

bahwa Pasal 3 Umum, yang berisi aturan minimum (a minimum core of mandatory rules),

merefleksikan prinsip-prinsip humaniter mendasar yang terdapat pada hukum humaniter

internasional secara keseluruhan, dan juga Konvensi Jenewa sebagai dasar utamanya.”

“Secara moral maupun legal, aturan-aturan yang terdapat pada Pasal 3 Umum, yaitu aturan

yang berisi perintah minimum yang dapat diterapkan pada konflik internal tidak dapat

dipertahankan (untenable), karena aturan tersebut tidak dikembangkan untuk konflik

internasional sehingga tidak dapat diterapkan pada konflik dalam skala tersebut. Aturan pada

Pasal 3 Umum dapat diterapkan pada konflik internasional. Adalah logis bahwa aturan

minimum yang diterapkan pada konflik internasional sebagai substansi aturan-aturan ini

64

Page 65: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

merupakan aturan yang identik. Sesuatu yang dilarang dalam konflik internal juga tidak sah

(outlaw) dalam konflik internasional di mana lingkup aturan tersebut lebih luas.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 228: Pasal 3 Umum

“dapat diterapkan baik untuk konflik internal maupun internasional.”

c) Unsur-unsur umum untuk kejahatan yang tertera pada Pasal 3

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 225: “Untuk kejahatan

yang diputuskan dengan Pasal 3 Statuta, dua persyaratan pendahuluan harus dipenuhi.

Pertama, harus terjadi konlik bersenjata, baik internal maupun internasional pada saat

kejahatan yang dituduhkan dilakukan. Kedua, harus ada hubungan yang erat antara konflik

bersenjata dengan kejahatan yang dituduhkan, artinya bahwa tindakan pelaku harus ‘terkait

erat’ dengan peperangan.”

Lihat juga “unsur tambahan untuk kejahatan pada Pasal 3”, Bagian (II)(c)(iii), ICTY Digest.

i) Harus terjadi konflik bersenjata, baik internal maupun konflik internasional

(unsur 1)

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 22: “Pasal 2 dan Pasal 3

Statuta mengatur tentang ketentuan hukum perang; yaitu ketentuan tentang pra-kondisi atas

penerapan pasal-pasal ini dalam konflik bersenjata di dalam wilayah, di mana kejahatan yang

dituduhkan terjadi.”

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 258: “Telah menjadi prinsip

umum bahwa untuk menerapkan hukum humaniter internasional terlebih dahulu harus ada

konflik bersenjata. ... Untuk kepentingan Pasal 3 Statuta, sifat dari konflik bersenjata tersebut

tidak dipentingkan (irrelevant). [T]idak menjadi soal apakah kejahatan yang berat terjadi dalam

konteks konflik bersenjata internal atau internasional, sepanjang pelanggaran tersebut

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (i) pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran atas

hukum humaniter internasional; (ii) aturan tersebut harus bersifat biasa (customary in nature)

atau, jika aturan tersebut merupakan hukum perjanjian, maka ia harus memenuhi unsur-unsur

65

Page 66: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

yang dipersyaratkan; (iii) kejahatan tersebut haruslah kejahatan serius, dalam arti bahwa

kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap aturan yang melindungi hal-hal penting, dan

harus mengakibatkan konsekuensi berat terhadap korban; (iv) pelanggaran terhadap aturan

tersebut harus membebankan tanggung jawab sebagai kejahatan individu terhadap pelaku

yang melanggar aturan tersebut, berdasarkan hukum kebiasaan atau hukum konvensional.”

ii) Harus ada hubungan erat antara konflik bersenjata dengan kejahatan yang

dituduhkan (unsur ke-2)

(1) Kejahatan yang dilakukan pelaku harus terkait erat dengan peperangan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 32: “[U]ntuk

mengkualifikasi sebuah kejahatan tertentu sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter

internasional berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Statuta, Penuntut harus ... menetapkan

hubungan yang cukup erat antara kejahatan tersebut dengan konflik bersenjata. Dalam hal

ini, Sidang Banding menyatakan bahwa: ‘Meskipun secara substansial, konflik tidak terjadi

pada waktu dan tempat di mana kejahatan yang dituduhkan terjadi ... hukum humaniter

internasional dapat diterapkan. Cukuplan bahwa kejahtan yang dituduhkan memang terkait

erat dengan pertikaian yang terjadi di bagian lain dari wilayah yang dikontrol oleh pihak-pihak

yang terlibat dalam konflik.’”

Lihat juga ulasan tentang hubungan antara kejahatan dengan konflik bersenjata berdasarkan

Pasal 2, Bagian (I)(b)(ii), ICTY Digest.

(2) Konflik bersenjata tidak harus menjadi penyebab kejahatan, tapi konflik

tersebut memainkan peran penting dalam pertikaian

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 58-59: “Konflik

bersenjata tidak harus menjadi penyebab terjadinya kejahatan, tetapi konflik bersenjata

tersebut setidaknya memainkan peran penting yang membuat pelaku mampu melakukan

kejahatan tersebut, pelaku mengambil keputusan atas kejahatan tersebut, dan konflik

bersenjata menjadi pemicu bagi pelaku untuk melaksanakan tindakan dan tujuan kejahatan

yang dilakukan.” “Sidang Pengadilan dapat mempertimbangkan hal hal berikut ini ... untuk

66

Page 67: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

menentukan apakah kejahatan itu memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan konflik

bersenjata, yakni: kenyataan bahwa pelaku adalah tentara (combatant); korban adalah warga

sipil; kenyataan bahwa korban adalah bagian dari pihak lawan; kenyataan bahwa tindakan itu

dapat merupakan upaya untuk mencapai tujuan kampanye militer; dan kenyataan bahwa

kejahatan itu dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab resmi pelaku.”

(3) Tindak kejahatan dapat terjadi pada tempat yang jauh dari medan

pertempuran

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 57: “Tidak perlu ada

korelasi antara wilayah di mana pertempuran terjadi dengan jangkauan geografis hukum

perang. Hukum perang dapat diterapkan di seluruh negara yang mengalami peperangan, atau

dalam kasus konflik bersenjata internal, seluruh wilayah yang berada dalam kendali pihak

yang terlibat dalam konflik, terlepas dari apakah di wilayah tersebut terjadi peperangan, dan

terus berlangsung sampai tercapai kesepakatan damai, atau dalam kasus konflik bersenjata

internal, sampai perjanjian perdamaian tercapai. Pelanggaran atas hukum atau kebiasaan

perang dapat terjadi pada waktu dan tempat di mana tidak terjadi pertikaian. Persyaratan

bahwa tindakan pelaku harus memiliki keterkaitan yang erat dengan konflik bersenjata tidak

dapat disangkal jika kejahatan tersebut terjadi pada tempat yang secara geografis jauh dari

medan pertempuran.”

Penuntut v. Vasiljevic, Kasus No. IT-98-32-T (Sidang Pengadilan), 29 November 2002,

Paragraf 25: “Persyaratan bahwa tindakan terdakwa memiliki kaitan yang erat dengan konflik

bersenjata tidak berarti bahwa kejahatan tersebut terjadi pada saat peperangan atau di wilayah

pertempuran.”

iii) Unsur-unsur tambahan untuk Pasal 3 Umum; harus dilakukan terhadap

warga sipil atau harta milik milik warga sipil

Penuntut v. Kvocka dkk., Kasus No. IT-98-30/1 (Sidang Pengadilan), 2 November 2001,

Paragraf 124: “Persyaratan tambahan untuk kejahatan yang terdapat pada Pasal 3 Umum

berdasarkan Pasal 3 Statuta adalah bahwa pelanggaran tersebut harus dilakukan terhadap

orang-orang ‘yang tidak terlibat aktif dalam peperangan.’”

67

Page 68: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 34: “Pasal 3 Umum melindungi

‘[o]rang-orang yang tidak terlibat aktif dalam peperangan, termasuk orang-orang yang disebut

sebagai hors de combat karena sakit, terluka, ditahan, atau sebab-sebab lain.’ Korban

pembunuhan, korban luka dan korban pencurian, tercakup dalam kelompok hors de combat

dalam tahanan; sebagai korban yang dilindungi oleh Pasal 3 Umum.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 180: “Warga sipil seperti yang dimaksud

dalam Pasal 3 adalah orang-orang yang tidak, atau tidak lagi menjadi anggota tentara. Harta

milik warga sipil merupakan harta yang tidak dapat dijadikan sasaran militer (military objective).”

iv) Niat jahat (mental state, mens rea)

(1) Pengantar umum

Lihat ulasan tentang niat jahat (mental state, mens rea) dalam kejahatan-kejahatan utama

(underlying offences), Bagian (II)(d)(i)(4) (penyiksaan); (II)(d)(ii) (pemerkosaan);

(II)(d)(iv)(pembunuhan); (II)(d)(v) (pelanggaran hak hidup seseorang); (II)(d)(vi)(5)

(pelanggaran atas martabat manusia); (II)(d)(viii) (penghancuran dahsyat yang tidak

disebabkan oleh keterdesakan militer); (II)(d)(x) (pengrusakan atau penghancuran yang

dilakukan secara sengaja atas lebaga-lembaga yang bergerak di bidang keagamaan dan

pendidikan); (II)(d)(xi) (serangan tidak sah terhadap warga sipil dan objek-objek sipil);

(II)(d)(xii)(2) (buruh tidak sah); (II)(d)(xiii) (perbudakan), ICTY Digest.

(2) Pembuktian atas niat atau motif yang diskriminatif tidak dipersyaratkan

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 20: “Tidak ada keragu-raguan bahwa

kejahatan berat yang diuraikan pada Pasal 3 Statuta, atau pada Statuta secara umum, hanya

dapat dihukum jika jika kejahatan itu dilakukan dengan niat diskriminatif (discriminatory intent).

Persyaratan umum yang harus dipenuhi dalam mengadili kejahatan tersebut berdasarkan

Pasal 3 ... tidak meliputi persyaratan pembuktian atas niat atau motif yang diskriminatif.”

d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)

68

Page 69: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

69

i) Penyiksaan

(2) Definisi

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 142: Definisi penyiksaan

memiliki unsur-unsur berikut: “(i) Penderitaan yang diakibatkan oleh tindakan atau

pembiaran, yang menimbulkan rasa sakit yang berat dan kesengsaraan, baik fisik maupun

mental; (ii) tindakan atau pembiaran tersebut harus diawali dengan niat; (iii) tindakan atau

pembiaran tersebut harus dimaksudkan untuk memperoleh informasi atau pengakuan, yang

dilakukan dengan cara menghukum, mengintimidasi atau memaksa korban atau pihak ketiga,

dengan diskriminasi atau alasan lain untuk melawan korban atau pihak ketiga.” Lihat juga

Penuntut v. Krnojelac, Kasus No. IT-97-25 (Sidang Pengadilan ), 15 Maret 2002, Paragraf 179.

Penuntut v. Furundzija, Kasus No. IT-95-17/1 (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 111:

“Sidang Pengadilan mengidentifikasi berbagai unsur kejahatan penyiksaan dalam konflik

bersenjata sebagai berikut: (i) ... penderitaan yang diakibatkan oleh suatu tindakan atau

pembiaran yang menimbulkan rasa sakit berat atau kesengsaraan, baik fisik maupun mental;

(ii) tindakan atau pembiaran ini harus disertai dengan niat; (iii) tindakan tersebut

dimaksudkan untuk mendapatkan informasi atau pengakuan, yang dilakukan dengan cara

menghukum, mengintimidasi, menghina atau memaksa korban atau pihak ketiga,

mendiskriminasi atau dengan alasan apa pun, untuk melawan korban atau pihak ketiga; (iv)

tindakan tersebut harus terkait dengan konflik bersenjata. ...”2

(2) Larangan atas penyiksaan merupakan jus cogens

2 Kasus Furundzija masuk dalam persyaratan unsur kelima, yaitu “setidaknya salah seorang yang terlibat dalam proses penyiksaan adalah pejabat publik atau paling tidak bertindak dalam kapasitasnya bukan sebagai pribadi, misalnya – secara de facto adalah organ Negara atau penguasa dari entitas lain.” Namun, keputusan lebih lanjut menyatakan bahwa ini bukan sebuah persyaratan. Lihat Bagian (II)(d)(i)(6), ICTY Digest.

Page 70: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 139, 153: “Tampak ... tidak

dapat ditampik bahwa penyiksaan yang dilakukan dalam masa konflik bersenjata dilarang oleh

aturan umum hukum internasional. Dalam konflik bersenjata, aturan ini dapat diterapkan

baik sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional dan – jika kondisi yang

dipersyaratkan terpenuhi – juga sebagai hukum perjanjian, yang isi larangannya sama.” “Nilai-

nilai yang dilindungi dalam hukum tersebut dianggap penting sehingga prinsip-prinsip ini

telah berkembang menjadi norma-norma peremptory atau jus cogens, yaitu norma-noma yang

menduduki tingkat teratas dalam hierarki internasional dibandingkan dengan hukum

perjanjian (treaty law) dan bahkan hukum kebiasaan. Konsekuensi dari kedudukan seperti ini

adalah, bahwa prinsip-prinsip yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bisa dikurangi dari

Negara melalui perjanjian internasional atau lokal atau kebiasaan khusus (special customs) atau

bahkan kebiasaan umum karena tidak didukung dengan kekuatan hukum normatif yang

sama.

(3) Rasa sakit yang parah dan penderitaan harus terjadi (unsur ke-1)

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 142-143: “[T]ingkat keparahan

rasa sakit dan penderitaan merupakan karakteristik yang membedakan kejahatan penyiksaan

dengan kejahatan jenis lain. Batasan dalam menentukan sejauh mana penderitaan itu dapat

dianggap memenuhi unsur penyiksaan tidak dideskripsikan secara jelas. Dalam menilai

tingkat keseriusan penyiksaan, Sidang Pengadilan pertama-tama harus mempertimbangkan

penderitaan secara objektif atas rasa sakit yang ditimbulkan. Kriteria subjektif, seperti dampak

fisik atau mental atas perlakuan tersebut terhadap korban, dan dalam beberapa kasus, faktor-

faktor seperti usia, jenis kelamin atau kesehatan korban, juga relevan dalam menilai tingkat

penderitaan (rasa sakit) yang dialami korban.”

Penuntut v. Krnojelac, Kasus No.IT-97-25 (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 182:

“Pada waktu menilai tingkat keseriusan dari tindak penyiksaan, Sidang Pengadilan harus

mempertimbangkan seluruh kondisi yang berhubungan dengan kasus tersebut, termasuk sifat

dan konteks rasa sakit, persiapan atau pelembagaan atas kejahatan tersebut (ill-treatment),

kondisi fisik korban, cara dan metode yang digunakan, dan inferioritas korban. Secara

khusus, jika korban telah mengalami penyiksaan dalam waktu yang lama, atau jika ia menjadi

korban atas berbagai bentuk tindakan sewenang-wenang yang terjadi secara berulang-ulang,

70

Page 71: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

maka tindakan-tindakan tersebut harus dilihat secara keseluruhan dengan

mempertimbangkan lamanya tindakan itu dilakukan atau pengulangan penyiksaan, yang saling

berhubungan dengan pola yang sama dengan tujuan jahat pelaku.

(a) Rasa sakit permanen tidak harus menjadi syarat adanya penyiksaan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 148: “[P]enyiksaan sering

mengakibatkan kerusakan permanen atas kesehatan korban, tetapi luka permanen tidak harus

menjadi syarat terjadinya penyiksaan.”

(b) Penderitaan mental dapat dikualifikasikan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 149: “Kerusakan fisik atau

mental menjadi bahan pertimbangan dalam menilai tingkat bahaya yang ditimbulkan.

[P]enyiksaan tidak harus menyisakan luka fisik, karena penderitaan mental juga merupakan

dampak dari penyiksaan, misalnya, penderitaan mental yang diakibatkan oleh paksaan untuk

melihat penyiksaan atas korban yang masih memiliki hubungan kerabat. [P]aksaan untuk

melihat serangan seksual serius terhadap seorang perempuan yang kita kenal juga merupakan

penyiksaan. Kehadiran orang yang melihat (onlookers) pemerkosaan, khususnya anggota

keluarga, juga berakibat buruk terhadap mentalnya sama seperti korban yang mengalami

pemerkosaan itu sendiri.

(4) Niat jahat (mental state, mens rea): tindakan atau pembiaran tersebut

harus dimulai dengan niat (unsur ke-2)

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 153-156: Sidang Banding

menjelaskan perbedaan antara “niat” (intent) dan “dorongan” (motivation). Sidang Banding

menyatakan bahwa “meskipun motivasi pelaku adalah hasrat seksual, itu tidak berarti pelaku

tidak memiliki niat lain seperti menyiksa, atau tidak berarti bahwa tindakannya tidak

menyebabkan luka parah dan penderitaan, baik fisik maupun mental, apalagi ia tahu bahwa

luka atau penderitaan tersebut merupakan konsekuensi logis dari perbuatan yang

dilakukannya. Dari definisi penyiksaan, penting untuk menentukan apakah niat pelaku, yang

dilakukan dalam situasi normal, akan menyebabkan luka parah atau penderitaan, baik fisik

71

Page 72: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

maupun mental, terhadap korbannya.” “[T]indakan kejahatan tidak harus dilakukan hanya

untuk satu tujuan seperti yang dilarang oleh hukum internasional. Jika suatu tujuan yang

dilarang terpenuhi dalam tindakan, fakta bahwa tindakan tersebut juga dimaksudkan untuk

mencapai tujuan yang tidak terdapat dalam daftar yang dilarang (bahkan soal sifat seksual)

tidak dapat dijadikan materi (immaterial).”

(5) Harus ada maksud dan tujuan seperti yang dipersyaratkan (unsur ke-3)

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 142: Unsur ketiga dari

penyiksaan adalah “[b]ahwa tindakan atau pembiaran, dilakukan dengan maksud untuk

mendapatkan informasi atau pengakuan dengan cara menghukum, mengintimidasi atau

memaksa korban atau pihak ketiga, atau mendiskriminasi dengan alasan apa pun, terhadap

korban atau pihak ketiga.”

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 180: “‘Penyiksaan’ merupakan salah

satu serangan yang serius terhadap integritas fisik dan mental seseorang. Tujuan dan

keseriusan serangan terhadap korban menyebabkan kejahatan penyiksaan dibedakan dari

bentuk-bentuk penganiayaan yang lain (mistreatment). Penyiksaan sebagai tindak kejahatan

bukanlah kekerasan yang dilakukan tanpa alasan; artinya penyiksaan dilakukan untuk

mencapai tujuan dan hasil tertentu melalui perbuatan yang menimbulkan luka fisik dan

penderitaan mental. Oleh karena itu, tanpa adanya maksud atau tujuan seperti yang tersebut

di atas, meski terdapat luka serius, tidak dapat dikualifikasikan sebagai penyiksaan seperti

yang tertuang dalam Pasal 3 atau 5.”

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 188: “Penderitaan yang diakibatkan

oleh luka serius dari sebuah tindak kejahatan harus dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh

diragukan (beyond reasonable doubt)....”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 140: “[T]ujuan terlarang yang

terdaftar dalam Konvensi Menentang Penyiksaan sebagaimana terefleksikan oleh hukum

kebiasaan internasional ‘bukanlah merupakan sebuah daftar yang lengkap, dan haruslah

dipandang semata-mata sebagai representasi saja.’” “[M]erendahkan martabat korban atau

72

Page 73: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

pihak ketiga merupakan suatu tujuan yang dilarang bagi penyiksaan di bawah hukum

humaniter internasional.”

(a) Tujuan yang dilarang tidak perlu merupakan tujuan paling

menentukan atau satu-satunya

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 153: “[T]ujuan yang dilarang

tidak perlu merupakan satu-satunya tujuan, tidak juga sebagai tujuan utama yang

mendatangkan sakit dan penderitaan berat bagi yang dituju.”

Penuntut v. Kunarac, Kovac dan Vukovic, Kasus No. IT-96-23 dan IT-96-23/11 (Sidang

Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 486: “Tidak ada persyaratan berdasarkan hukum

kebiasaan internasional bahwa tindak kejahatan semata mata dilakukan untuk sebuah tujuan

yang dilarang (prohibited purposes). Tujuan yang dilarang harus merupakan bagian yang

memotivasi tindakan kejahatan tersebut dan hal tersebut tidak harus menjadi satu-satunya

tujuan, dan tidak harus merupakan tujuan yang dominan.”

(6) Peran pejabat publik tidak diperlukan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 148: “[K]eterlibatan

pejabat publik tidak menjadi persyaratan dalam hukum kebiasaan internasional berkaitan

dengan tanggung jawab individu atas kasus penyiksaan di luar kerangka Konvensi Menentang

Penyiksaan (Torture Convention).”

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 188: “Berdasarkan hukum humaniter

internasional secara umum, dan khususnya Pasal 3 dan 5 Statuta, kehadiran atau keterlibatan

pejabat publik (state official) atau orang yang memiliki wewenang di dalam proses penyiksaan

tidak diperlukan dalam kejahatan yang dianggap sebagai ‘penyiksaan’.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 139: “[P]ersyaratan aktor

negara (state actor) seperti yang tercantum dalam hukum HAM internasional tidak konsisten

dengan penerapan tanggung jawab pidana individual dalam krisis internasional pada hukum

humaniter internasional dan hukum pidana internasional.

73

Page 74: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Akan tetapi dalam kasus Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 111 disebutkan:

Unsur kelima pada kejahatan penyiksaan dalam situasi konflik bersenjata adalah “setidaknya

salah seorang yang terlibat dalam proses penyiksaan adalah pejabat publik atau paling tidak

bertindak di luar kapasitas pribadinya (non-private capacity), misalnya secara de facto sebagai

organ Negara atau entitas lain yang memiliki kewenangan.”

Lihat juga Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21, (Sidang Banding), 16 November 1998,

Paragraf 494-496: Tindak penyiksaan mengharuskan adanya suatu tindakan atau kelalaian

yang “dilakukan oleh, atau atas hasutan atau dengan kesadaran penuh dari pejabat publik atau

seseorang yang bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik.”

(7) Pelaksanaan

(a) Bentuk-bentuk tindakan yang termasuk dalam penyiksaan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 144: “Pemukulan, kekerasan

seksual, larangan dalam waktu yang lama untuk beristirahat (tidur), makan, bantuan medis

dan kesehatan, serta ancaman penyiksaan, pemerkosaan, atau pembunuhan terhadap orang-

orang yang memiliki hubungan (kerabat) dengan korban merupakan bagian dari tindakan

penyiksaan. Mutilasi juga merupakan bagian dari tindakan yang disebut dengan penyiksaan.”

(b) Pemerkosaan dan bentuk kekerasan seksual lain sebagai penyiksaan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 149-151: “[B]eberapa

kejahatan lain juga mengakibatkan penderitaan bagi korbannya. Pemerkosaan adalah ...

tindakan semacam itu. ... Kekerasan seksual dapat mengakibatkan rasa sakit yang parah dan

penderitaan berat, baik fisik maupun mental, dan dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai

bagian dari penyiksaan. Pemerkosaan dapat merupakan tindak penyiksaan, seperti yang

disebutkan dalam definisi kejahatan penyiksaan, jika pemerkosaan itu terbukti mengakibatkan

luka parah atau penderitaan berat.”

74

Page 75: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

75

Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21, (Sidang Pengadilan), 16 November 1998, Paragraf

494-496: Sidang Pengadilan menyatakan bahwa “pemerkosaan dan bentuk-bentuk lain dari

kekerasan seksual dapat disebut sebagai penyiksaan apabila pemerkosaan dan bentuk bentuk

lain dari kekerasan seksual tersebut memenuhi kriteria dari unsur-unsur penyiksaan, seperti

yang tercantum pada Pasal 2 dan 3 Statuta, yaitu: (i) tindakan atau pembiaran yang

menyebabkan rasa sakit atau penderitaan berat, baik mental maupun fisik, harus terjadi (ii)

tindakan atau pembiaran tersebut dilakukan dengan niat, (iii) dan dengan tujuan untuk

mendapatkan informasi atau pengakuan dari korban, atau pihak ketiga, dengan cara

menghukum korban atau pihak ketiga atau tuduhan yang ditimpakan kepadanya,

mengintimidasi atau memaksa korban atau pihak ketiga, atau berbagai alasan dengan cara

mendiskriminasi, (iv) dan tindakan atau pembiaran tersebut dilakukan oleh, atau dihasut oleh,

atau dengan kesadaran penuh dilakukan oleh pejabat publik atau orang lain yang bertindak

dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik.”3

Mucic dkk., (Sidang Pengadilan), 16 November 1998, Paragraf 495: Penderitaan psikologis

korban pemerkosaan dapat diperparah dengan kondisi sosial budaya dan dapat bersifat akut

serta berjangka panjang. Sulit untuk membayangkan bahwa pemerkosaan yang dilakukan

oleh, atau atas hasutan pejabat publik, atau dengan persetujuan pejabat publik yang dilakukan

untuk tujuan tertentu, tidak melibatkan penghukuman, pemerasan, diskriminasi atau

intimidasi, karena hal-hal tersebut secara inheren terjadi dalam situasi konflik bersenjata.”4

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 145: “[P]emerkosaan yang

mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan berat, dapat dianggap sebagai penyiksaan, jika

unsur-unsur penyiksaan, seperti tujuan yang dilarang (prohibited purpos), terpenuhi.”

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 163-164: “Pemerkosaan

dilakukan sebagai cara oleh baik interogator sendiri maupun oleh orang lain yang

berhubungan dengan proses interogasi tahanan, dengan maksud untuk menghukum,

3 Misalnya, apakah keterlibatan pejabat publik tersebut diperlukan, lihat Bagian (II)(d)(i)(6), ICTY Digest.

4 Ibid.

Page 76: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

memaksa atau menghina korban, atau mendapatkan informasi atau pengakuan dari korban

atau pihak ketiga. Dalam hukum HAM, dalam situasi seperti itu pemerkosaan dapat

dikategorikan sebagai penyiksaan.” “Apakah pemerkosaan diklasifikasikan sebagai kejahatan

yang berbeda dari penyiksaan menurut hukum kejahatan internasional (international criminal

law) sangat tergantung pada situasi-situasi yang menyertai pemerkosaan itu sendiri

sebagaimana digambarkan di atas.”

Lihat juga ulasan tentang penyiksaan berdasarkan Pasal 5, Bagian (IV)(c)(v), ICTY Digest, dan

Pasal 5, Bagian (II)(c)(v), ICTY Digest.

ii) Pemerkosaan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 127-132: “[A]ctus reus

atas kejahatan pemerkosaan dalam hukum internasional didefinisikan sebagai; penetrasi

seksual (meskipun dangkal), pada: (a) vagina atau anus korban oleh penis pelaku atau benda

lain yang digunakan oleh pelaku; atau (b) mulut korban oleh penis pelaku; dan (c) penetrasi

seksual ini terjadi tanpa persetujuan korban. Persetujuan (consent) yang dimaksud di sini adalah

persetujuan secara suka rela yang didasarkan pada keinginan bebas korban, dalam konteks

situasi sekitarnya. Mens rea adalah niat yang mengakibatkan terjadinya penetrasi seksual, dan

kejadian itu terjadi tanpa persetujuan korban.” “Perlawanan” tidak harus ada dalam konteks

ini. “Paksaan atau ancaman jelas menggambarkan kejadian non-consent, tetapi paksaan

bukanlah unsur yang menyebabkan pemerkosaan terjadi.” “[T]erdapat ‘faktor lain di luar

paksaan yang menyebabkan terjadinya penetrasi seksual yang bersifat non-consensual (tanpa

persetujuan) atau non-voluntary (tanpa kerelaan) korban.’ Pandangan sempit tentang paksaan

atau ancaman dapat menghindarkan pelaku dari tanggung-jawabnya, di mana pihak yang

melakukan kejahatan ini mengambil keuntungan karena pertimbangannya hanya bersandar

pada paksaan fisik (physical force).”

Lihat juga ulasan tentang pemerkosaan pada Pasal 5, Bagian (IV)(c)(vi), ICTY Digest.

iii) Perlakuan kejam

(3) Definisi

76

Page 77: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 265: “[P]engadilan tingkat

Pertama yang menangani kasus Celebici menyimpulkan bahwa perlakuan kejam merupakan

tindakan yang diawali dengan niat atau pembiaran, yaitu tindakan yang dinilai secara objektif,

dilakukan dengan sengaja (deliberate) dan bukan kebetulan (not accidental), yang mana tindakan

tersebut mengakibatkan luka, atau penderitaan fisik dan mental, atau tindakan yang

merupakan serangan serius terhadap martabat manusia. ‘Perlakuan kejam adalah sama dengan

tindakan tidak manusiawi lainnya dalam kerangka pelanggaran berat atas pasal-pasal dalam

Konvensi-Konvensi Jenewa.’”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf, 186: “[P]erlakuan kejam merupakan

tindakan yang dimulai dengan niat atau pembiaran ‘yang mengakibatkan luka atau

penderitaan fisik dan mental serius, atau tindakan yang merupakan serangan serius terhadap

martabat manusia. Dengan demikian tindakan tersebut memiliki arti yang sama, dan oleh

karenanya memiliki fungsi residual berdasarkan Pasal 3 Umum Statuta, sebagai perlakuan

tidak manusiawi (inhuman treatment), yang memiliki hubungan dengan pelanggaran berat

terhadap Konvensi Jenewa.’” Lihat juga kasus Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999,

Paragraf 34, 41.

(2) Penderitaan mental lebih rendah dari tindak penyiksaan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 161: “[T]ingkat penderitaan

fisik ataupun mental dibutuhkan untuk membuktikan bahwa perlakuan kejam berkedudukan

lebih rendah daripada penyiksaan, meskipun dalam hal tertentu perlakuan kejam berada

dalam level yang sama dengan penyiksaan, yaitu ‘dengan sengaja menyebabkan terjadinya

penderitaan berat atau luka serius terhadap tubuh atau kesehatan.’ [D]erajat penderitaan

tersebut dibutuhkan untuk membuktikan bahwa perlakuan kejam atau tidak manusiawi tidak

setinggi seperti yang disyaratkan pada tindak penyiksaan.”

(3) Tujuan yang dilarang (prohibited purpose) tidak dipersyaratkan

77

Page 78: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 226: “Persyaratan atas tujuan

yang dilarang (prohibited purpose) yang merupakan sifat kejahatan penyiksaan, secara material

merupakan unsur yang berbeda sehingga tidak dipersyaratkan dalam perlakuan kejam.”

(4) Contoh-contoh

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 161: “[P]enggunaan manusia

sebagai tameng merupakan perlakuan kejam seperti yang tertuang dalam Pasal 3 Statuta.”

Lihat juga ulasan tentang perlakuan kejam pada Pasal 2, Bagian (I)(d)(ii)(2), ICTY Digest.

iv) Pembunuhan

(1) Definisi

Penuntut v. Krstic, Kasus No. IT-98-33 (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 485:

“Secara konsisten, pembunuhan telah didefinisikan ... sebagai tindakan atau pembiaran

terdakwa yang dilakukan dengan niat untuk membunuh atau menyebabkan bahaya serius

yang dapat menyebabkan kematian bagi korban.”

Vasilijevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 205: “Berdasarkan hukum

kebiasaan internasional, unsur-unsur yang terdapat dalam definisi ‘pembunuhan’ adalah

sebagai berikut: (1) Korban meninggal; (2) Kematiannya disebabkan oleh tindakan atau

pembiaran yang dilakukan oleh terdakwa, atau seseorang, atau orang-orang, yang akibat dari

tindakan atau pembiaran yang dilakukan itu dapat menyeret pelakunya untuk

mempertanggungjawabkan kejahatan yang telah diperbuat; (3) Tindakan atau pembiaran yang

dilakukan terdakwa, atau seseorang, atau orang-orang itu dilakukan dengan niat untuk

membunuh atau melukai, atau mengakibatkan luka serius, dengan alasan jelas bahwa tindakan

tersebut bertujuan untuk membunuh. Lihat juga Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret

2002, Paragraf 324 (sama).

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 35: “Pembunuhan (murder)

didefinisikan sebagai perbuatan atau tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghabisi

78

Page 79: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

nyawa seseorang. Unsur hukum dari kejahatan pembunuhan, yang secara umum diakui dalam

hukum nasional adalah: (a) korban meninggal, (b) disebabkan oleh tindakan terdakwa, (c)

dilakukan dengan niat untuk menghabisi nyawa seseorang.

(2) Perbandingan antara pembunuhan (murder) pada Pasal 3 dan

pembunuhan disengaja (wilfull killing) pada Pasal 2

Kordic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 233: “[U]nsur-unsur

kejahatan ‘pembunuhan’ pada Pasal 3 Statuta sama dengan yang didefinisikan sebagai

‘pembunuhan dengan sengaja’ pada Pasal 2 Statuta, dengan pengecualian bahwa Pasal 3

Statuta menyatakan kejahatan tersebut tidak harus ditujukan kepada ‘orang yang dilindungi’

tetapi terhadap seseorang yang ‘tidak terlibat aktif dalam peperangan’.” Lihat juga Blaskic,

(Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 181.

Lihat pula ulasan tentang pembunuhan disengaja (wilfull killing) pada Pasal 2, Bagian (I)(d)(i),

dan pembunuhan pada Pasal 5, Bagian (IV)(c)(i), ICTY Digest.

(3) Bukti jasad korban tidak dipersyaratkan

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 326: “Yang dimaksud dengan bukti

yang melampaui keraguan yang beralasan (beyond reasonable doubt), misalnya, bahwa untuk

membuktikan seseorang yang dibunuh bukti jasad korban yang telah ditemukan tidak harus

ada. [F]akta kematian korban dapat disimpulkan dari seluruh bukti yang dihadirkan pada

Sidang Pengadilan.”

(4) Bunuh diri sebagai pembunuhan (suicide as murder)

Krnojelac, (Pengadilan tingkat Banding), 15 Maret 2002, Paragraf 329: “Isu penting [untuk

menentukan apakah bunuh diri dapat dianggap sebagai pembunuhan] adalah soal penyebab

(causation) dan niat perbuatan tersebut. Relevansi perbuatan atau pembiaran yang dilakukan

terdakwa atau siapa pun yang bertanggung-jawab atas kejahatan yang menyebabkan korban

mengambil keputusan bunuh diri adalah bahwa terdakwa atau siapa pun yang bertanggung-

jawab atas kejahatan tersebut memiliki niat, yang diwujudkan dengan tindakan atau

79

Page 80: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

pembiaran yang mengakibatkan korban bunuh diri, atau terdakwa mengetahui bahwa

tindakan bunuh diri yang dilakukan korban merupakan hasil perbuatan atau karena

pembiaran yang dilakukannya. Terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas

kejahatan yang dilakukannya kecuali apabila tindakan atau pembiaran yang dilakukannya

menyebabkan korban bunuh diri dan berakhir pada kematian korban. Dengan kata lain,

bunuh diri yang menyebabkan kematian korban merupakan konsekuensi dari tindakan atau

pembiaran yang dilakukan pelaku, atau siapa pun yang harus mempertanggungjawabkan

tindak kejahatannya.”

v) Kekerasan terhadap hidup seseorang

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 182: Kekerasan terhadap hidup

seseorang “merupakan kejahatan yang meliputi pembunuhan, pemotongan bagian-bagian

tubuh (mutilasi), perlakuan kejam, penyiksaan, dan yang didefinisikan sebagai akumulasi

berbagai unsur kejahatan khusus. Kejahatan tersebut dapat dikaitkan dengan Pasal 2(a)

Statuta (pembunuhan secara sengaja), Pasal 2(b) Statuta (perlakuan tidak manusiawi) dan

Pasal 2(c) Statuta (menyebabkan luka serius pada tubuh).” “[M]ens rea dapat dianggap ada jika

diketahui bahwa terdakwa berniat untuk melakukan kekerasan terhadap hidup korban secara

sengaja atau karena pembiaranya.”

Tapi lihat juga kasus Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 203: “Tidak

adanya indikasi yang kuat dalam praktik negara mengenai ‘kekerasan terhadap kehidupan

seseorang’ yang dinyatakan dalam Statuta di bawah hukum kebiasaan internasional membuat

Sidang Pengadilan tidak puas dengan kejahatan yang mengharuskan pelaku

mempertanggungjawabkan perbuatannya berdasarkan aturan hukum.”

vi) Kekejaman terhadap martabat manusia

(1) Definisi

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 161: “[K]ejahatan

terhadap martabat manusia mensyaratkan: (i) terdakwa secara sengaja berbuat atau terlibat

dalam suatu tindakan atau pembiaran yang dapat dianggap sebagai penyebab atas penghinaan

80

Page 81: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

serius, perendahan dan serangan serius terhadap martabat manusia, (ii) terdakwa menyadari

bahwa tindakan yang dilakukannya dapat berakibat buruk.”

(2) Terjadi penghinaan yang intens sehingga korban merasa diperlakukan

sewenang-wenang

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 162: ‘[P]enghinaan

terhadap korban harus terjadi secara intens sehingga korban merasa diperlakukan sewenang-

wenang.” Sidang Banding menyatakan bahwa untuk menetapkan apakah telah terjadi

pelanggaran terhadap martabat manusia, Sidang Pengadilan tidak hanya tergantung pada

“penilaian subjektif korban atas tindakan tersebut, tetapi menggunakan kriteria objektif untuk

menentukan kapan sebuah tindakan dapat dianggap melanggar hak asasi tersebut.”

Penuntut v. Aleksovski, Kasus No. IT-95-14/1 (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 56-

57: Dengan menghargai actus reus dari “pelanggaran terhadap martabat manusia,”

“penghinaan terhadap korban harus terjadi secara intens sehingga korban merasa

diperlakukan secara sewenang-wenang.” “Bentuk, tingkat keparahan dan jangka waktu

kekerasan, intensitas dan jangka waktu penderitaan fisik dan mental, harus menjadi dasar

dalam menilai apakah kejahatan tersebut telah terjadi.”

(3) Penghinaan harus terjadi secara nyata dan serius

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 501: “Untuk

menyimpulkan bahwa penghinaan dan perendahan terhadap martabat manusia terjadi secara

nyata dan serius, Sidang Pengadilan tidak melihat alasan mengapa tindakan tersebut harus

‘berlangsung terus’ dengan pertimbangan bahwa korban telah pulih atau adanya efek lanjutan

dari kejahatan tersebut yang menunjukkan bahwa tindakan tersebut tidak dapat dianggap

sebagai perendahan terhadap martabat manusia. Jelas, jika penghinaan dan penderitaan yang

dirasakan hanya sejenak, maka agaknya tindakan tersebut tidak dapat dikatakan terjadi secara

nyata dan serius. Namun hal ini tidak berarti bahwa persyaratan minimum sementara atas

dampak dari sebuah pelanggaran terhadap martabat manusia merupakan unsur dari kejahatan

tersebut.”

81

Page 82: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Perbandingan kasus Aleksovski, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 54-56: “Pelanggaran

terhadap martabat manusia dalam Pasal 3 Statuta merupakan sebuah bentuk perlakuan tidak

manusiawi yang tercela, yang menyebabkan penderitaan yang sangat serius dibandingkan

dengan tindakan-tindakan lain yang dilarang dalam genus-nya. Pelanggaran atas martabat

manusia adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menghina martabat orang lain. Akibat dari

tindakan tersebut adalah bahwa tindakan itu menyebabkan penghinaan serius atau

perendahan korban. Tidak penting bahwa tindakan tersebut ditujukan langsung untuk

membahayakan fisik dan mental korban. Namun penting bahwa tindakan tersebut

mengakibatkan penderitaan nyata dan berkepanjangan bagi individu dari penghinaan atau

perendahan. Tingkat penderitaan yang dirasakan korban secara jelas tergantung dari

temperamen pelaku.”

(4) Pembunuhan bukan pelanggaran atas martabat manusia

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 172: “[P]embunuhan tidak

dapat digolongkan sebagai pelanggaran atas martabat manusia. Pembunuhan mengakibatkan

kematian, dan inilah yang membedakannya dari konsep penghinaan serius, perendahan atau

pengabaian terhadap martabat manusia. Fokus pelanggaran atas martabat manusia ini terletak

pada tindakan, pembiaran, atau kata-kata tidak perlu yang membahayakan fisik untuk jangka

panjang, dan merupakan kejahatan serius yang harus diganjar hukuman.”

(5) Niat jahat (mental state, mens rea)

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 164-166: “[K]ejahatan

berupa pelanggaran terhadap martabat manusia mensyaratkan bahwa terdakwa mengetahui

tindakan atau pembiarannya dapat mengakibatkan penghinaan, perendahan atau bahkan

pengabaian serius terhadap martabat manusia. [K]ejahatan tersebut ... hanya mensyaratkan

adanya kesadaran tentang ‘kemungkinan’ konsekuensi atas kejahatan atau pembiaran yang

dilakukan.”

Aleksovski (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 56: Sesuai dengan persyaratan mens rea

... pelaku harus bertindak secara sengaja atau pembiaran secara sengaja, meskipun

kesengajaan ini masih belum cukup untuk membuktikan adanya mens rea. Apabila pelaku tidak

82

Page 83: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

mempunyai niat tertentu untuk menghina atau merendahkan korban, maka dia harus dapat

menerima hal ini sebagai konsekuensi logis dan memang selayaknya didapat dari

tindakannya.”

(6) Tujuan yang dilarang tidak dipersyaratkan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 226: “Persyaratan adanya tujuan

yang dilarang yang dicirikan dengan tindak penyiksaan, secara materil merupakan unsur

berbeda dan tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap martabat manusia.”

(7) Niat atau motif diskriminatif tidak dipersyaratkan

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 28: “[P]elaku yang memiliki niat atau

motif diskriminatif tidak termasuk dalam unsur kejahatan pada Pasal 3 Statuta, dan juga

bukan kejahatan yang melanggar martabat pribadi.”

(8) Contoh-contoh

Aleksovski, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 229: “[P]enggunaan tahanan sebagai

tameng atau trench-digger merupakan pelanggaran terhadap martabat manusia.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 173: “[B]uruknya kondisi

tahanan,” termasuk “paksaan untuk patuh,” “paksaan untuk melepaskan pakaiannya,” dan

“terus-menerus berada dalam ketakutan akan menjadi sasaran kekerasan fisik, mental dan

seksual,” di kamp merupakan tindakan yang melanggar martabat manusia.

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 172-173: “Pemerkosaan ... dapat

dianggap ... sebagai pelanggaran hukum atau pelanggaran terhadap kebiasaan perang,” dan

pada “Pasal 3 Statuta menetapkan bahwa satu dari pelanggaran terhadap martabat manusia

adalah pemerkosaan.”

vii) Penyanderaan

83

Page 84: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 319-320: “[U]nsur-unsur

kejahatan penyanderaan pada Pasal 3 Statuta secara essensial sama dengan kejahatan

penyanderaan terhadap warga sipil seperti yang diuraikan pada Pasal 2(h).”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 187: “Definisi penyanderaan harus

dipahami sama dengan penyanderaan terhadap warga sipil, yang merupakan pelanggaran

HAM berat seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Statuta, yaitu pelanggaran atas hak

kebebasan seorang secara tidak sah, dan bahkan dilakukan secara sewenang-wenang dan

seringkali dengan ancaman mati. [U]ntuk dapat dikategorikan sebagai sandera, tahanan harus

dijadikan alat untuk mencapai keinginan penyanderanya, atau untuk memastikan bahwa

pertikaian terjadi atas orang-orang atau sekelompok orang.”

Lihat juga ulasan tentang “penyanderaan” pada Pasal 2, Bagian (I)(d)(viii), ICTY Digest.

viii) Penghancuran sewenang-wenang tidak diakibatkan karena keterdesakan

militer

Kordic and Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 346-347: “[U]nsur

kejahatan berupa penghancuran sewenang-wenang yang dilakukan bukan karena

keterdesakan militer yang diatur dalam Pasal 3(b) Statuta dapat terpenuhi, jika: (i)

penghancuran atas harta milik (property) terjadi dalam skala besar; (ii) penghancuran tersebut

tidak disebabkan oleh keterdesakan militer, dan (iii) pelaku melakukannya dengan niat untuk

menghancurkan harta milik warga sipil. [A]pabila harta milik yang berada dalam wilayah

musuh tidak dilindungi oleh Konvensi Jenewa, maka tindakan tersebut tidak termasuk dalam

penghancuran meluas atas harta milik seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Jenewa

sebagai pelanggaran HAM berat, namun penghancuran tersebut di atas diatur dalam Pasal 3

Statuta.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 183: “Sama seperti pelanggaran HAM

berat yang merupakan bagian dari Pasal 2(d) Statuta, penghancuran atas harta milik dilarang,

kecuali karena keterdesakan militer. Agar penghancuran tersebut dapat dihukum, maka harus

terbukti bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan niat, atau terdakwa telah memperkirakan

konsekuensi dari tindakan tersebut.”

84

Page 85: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Lihat ulasan tentang penghancuran meluas yang dilakukan bukan karena keterdesakan militer

pada Pasal 2, Bagian (I)(d)(v), ICTY Digest.

ix) Perampasan (plunder)

(1) Definisi

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 612: “Kejahatan ini

didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan secara sengaja dan melanggar hukum atas harta

milik (property), seperti yang tertera pada Pasal 3(e) Statuta, yang berdampak pada harta milik

pribadi maupun publik.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 617: “Perampasan

sebagai kejahatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 3(e) Statuta dianggap terjadi apabila

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: i) persyaratan khusus pada Pasal 3 Statuta termasuk

keseriusan pelanggaran, telah tercakupi; ii) harta milik pribadi maupun publik dilanggar

dengan sengaja dan secara tidak sah.”

Kordic dan Cerkez, (Pengadulan tingkat Pertama), 26 Februari 2001, Paragraf 352: “Esensi

kejahatan (perampasan) didefinisikan dalam kasus Celebici sebagai ‘segala bentuk perampasan

ilegal (unlawful appropriation) atas harta milik yang terjadi dalam konflik bersenjata, di mana

tanggung jawab individu dilihat berdasarkan hukum internasional, termasuk kejahatan yang

secara umum dikenal dengan penjarahan (pillagei).’”

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 48: “Perampasan didefinisikan

sebagai tindakan curang atas uang pribadi atau uang publik yang menjadi milik musuh atau

pihak musuh atau pihak lawan, yang dilakukan selama konflik bersenjata atau peristiwa-

peristiwa sejenisnya.”

(2) Termasuk perampasan skala besar dan juga dilakukan oleh tentara secara

individu

85

Page 86: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 612-613: “Istilah

perampasan merupakan istilah umum, bukan hanya perampasan skala besar atas harta milik

dalam kerangka eksploitasi ekonomi yang dilakukan secara sistematik pada wilayah yang

diduduki, namun juga kejahatan yang dilakukan oleh tentara secara individu untuk

kepentingan pribadi mereka. ... [P]erampasan tidak harus dilakukan secara meluas atau

melibatkan nilai ekonomi skala besar.” Kunarac “menyatakan bahwa kata ‘perampasan’ ...

dianggap sebagai pencurian yang setidaknya dilakukan sekurang-kurangnya oleh satu orang.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 352: “Tindakan tersebut

termasuk pengambilan atau perolehan harta benda dengan cara melanggar hak-hak

pemiliknya, dan pencurian terisolasi atau perampasan yang dilakukan secara perorangan

untuk kepentingan pribadinya.”

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 48: “... ‘perampasan terhadap harta

milik pribadi pihak musuh, dan lebih luas perampasan yang dilakukan oleh tentara secara

perorangan untuk kepentingan pribadinya, dan perampasan secara terorganisasi terhadap

harta milik yang dilakukan dengan maksud eksploitasi ekonomi terhadap wilayah jajahan

adalah tindakan yang dilarang.’ [P]erampasan yang dilakukan oleh orang perorangan yang

dimotivasi oleh aspek keserakahan dapat dikenakan pertanggungjawaban individu sebagai

pelaku kejahatan.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 184: “Larangan atas perampasan secara

sewenang-wenang atas harta milik pribadi dan publik milik musuh mencakup larangan

terhadap tindakan perampasan yang dilakukan untuk kepentingan pribadi dan ‘perampasan

terorganisir atas harta milik, yang dilakukan dengan maksud eksploitasi ekonomi secara

sistematik terhadap wilayah jajahan.’”

(3) Perampasan harus mengakibatkan konsekuensi berat bagi korban atau

nilai uang secara signifikan

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 613-614: “[P]erampasan

ini berakibat fatal bagi korban sehingga tindak kejahatan ini dikategorikan sebagai

‘pelanggaran serius’.” Celebici menyatakan bahwa “untuk menyatakan bahwa perampasan

86

Page 87: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

berkonsekuensi berat bagi korban, maka harta yang dirampas harus memiliki nilai yang setara

dan signifikan dengan ‘sejumlah uang’.” “Perampasan merupakan pelanggaran serius, bukan

hanya karena korban menderita secara ekonomi karena kejadian tersebut, tetapi tindak

kejahatan itu juga dapat berakibat buruk pada sejumlah besar orang.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 352: “‘[P]elarangan

terhadap kejahatan atas harta milik pribadi dan publik merupakan cara untuk melindungi

harta milik tersebut.’ Untuk mengukur tingkat kepentingannya, Clebici mengacu pada ‘nilai

uang secara signifikan’ atas harta milik yang dilanggar sehingga kejahatan tersebut berakibat

berat bagi korban.”

(4) Penerapan

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 615: “Pasal 3(e)

melarang perampasan (penjarahan) di seluruh wilayah konflik. ... [P]elarangan terhadap

perampasan ini tidak terbatas hanya pada wilayah pendudukan. ...”

(5) Perampasan termasuk “penjarahan”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 184: “Perampasan harus dipahami

sebagai bentuk penjarahan ilegal atas harta benda dalam konflik bersenjata, di mana tanggung

jawab pidana individu diatur di dalam hukum internasional, termasuk kejahatan yang biasanya

disebut sebagai ‘penjarahan’.”

(6) Pelaksanaan

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 49: “[T]ersangka mencuri uang, jam,

perhiasan dan barang berharga lainnya dari para tahanan pada saat mereka tiba di kamp Luka,

dan pencurian itu dilakukan dengan ancaman bahwa siapa yang tidak menyerahkan seluruh

barang yang dimilikinya akan mati. Terdakwa dalam melakukan perampasan kadang-kadang

didampingi oleh pengawal (guards) ... namun lebih sering dilakukannya sendiri. Sidang

Pengadilan menyatakan bahwa unsur ini cukup untuk menegaskan kesalahan terdakwa yang

dihukum atas dasar dakwaan perampasan.”

87

Page 88: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

x) Penghancuran atau perusakan disengaja terhadap lembaga-lembaga

keagamaan dan pendidikan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 185: Penghancuran atau pengrusakan

yang dilakukan secara disengaja terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan

terbukti, apabila “penghancuran atau pengrusakan tersebut dilakukan dengan niat terhadap

lembaga-lembaga keagamaan atau pendidikan yang tidak digunakan oleh militer pada saat

peristiwa itu terjadi, dan selanjutnya lembaga-lembaga tersebut tidak berada di sekitar objek-

objek atau bangunan militer.”

Lihat juga kasus Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 603-

605: “Pengadilan menolak bahwa institusi-institusi yang dilindungi ‘tidak harus berada di

sekitar bangunan militer (military objectives)’” dan “tidak sepakat dengan pandangan yang

membenarkan penghancuran atas bangunan institusi hanya karena letaknya yang ‘berdekatan

dengan bangunan militer.’” “[K]ejahatan berdasarkan Pasal 3(d) Statuta terjadi apabila: i)

persyaratan umum Pasal 3 Statuta terpenuhi; ii) penghancuran ditujukan kepada lembaga-

lembaga yang didedikasikan untuk agama; iii) property tersebut tidak digunakan untuk

kepentingan militer; iv) pelaku melakukannya dengan maksud untuk menghancurkan

property.”

xi) Serangan tidak sah terhadap warga sipil dan objek-objek sipil

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 326-328: “[S]erangan yang

dimaksud adalah serangan yang dilakukan secara sengaja terhadap warga sipil atau objek-

objek sipil dalam situasi konflik bersenjata dan serangan tersebut tidak disebabkan oleh

keterdesakan militer. Serangan tersebut harus mengakibatkan kematian dan atau luka parah

pada penduduk sipil atau kerusakan meluas pada objek-objek sipil.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 180: “[S]erangan harus mengakibatkan

kematian dan atau luka parah pada penduduk sipil atau kerusakan pada harta benda mereka.

Serangan yang ditujukan kepada warga sipil atau harta benda mereka merupakan kejahatan,

apabila serangan tersebut dilakukan bukan karena keterdesakan militer.” “Serangan tersebut

88

Page 89: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

harus dilakukan secara sengaja, dan ditujukan kepada warga sipil atau harta benda mereka

bukan karena alasan keterdesakan militer.”

xii) Mempekerjakan buruh secara tidak sah

(1) Definisi

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 250-261:

“[M]empekerjakan tahanan perang sebagai buruh secara tidak sah dapat didefinisikan sebagai

tindak kejahatan yang dilakukan secara sengaja, atau pembiaran terhadap tahanan dengan

memaksa mereka bekerja sebagai buruh, dilarang oleh Pasal 49, 50, 51, 52 pada Konvensi

Jenewa III” dan “Pasal 3 Statuta.” “[T]idak semua aktivitas perburuhan dilarang selama

konflik bersenjata. ... Pasal 49 Konvensi Jenewa III menetapkan prinsip-prinsip perburuhan

paksa terhadap tahanan perang, di mana prinsip dasarnya yang tertera pada Paragraf 1 Pasal

49 Konvensi Jenewa III menyebutkan bahwa ‘mempekerjakan tahanan perang adalah hak

bagi Penguasa (Penjajah),’ dengan syarat 1) kerja paksa tersebut terkait dengan tahanan itu

sendiri, dan 2) sifat pekerjaan tersebut. Oleh karena itu, para tahanan perang diperbolehkan

bekerja jika itu dilakukan untuk kepentingannya sendiri, dengan mempertimbangkan usia dan

jenis kelamin, kemampuan fisik dan kedudukannya. Pasal 50 dan 52 Konvesi Jenewa III

menetapkan pekerjaan apa saja yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

Ditekankan dalam bagian Komentar bahwa: ‘yang ditekankan adalah bahwa pekerjaan

tersebut masih dalam kaitan dengan peperangan.’”

(2) Niat jahat (mental state, mens rea)

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 260: “Untuk

menentukan bahwa unsur-unsur mens rea terdapat pada kejahatan mempekerjakan tahanan

sebagai buruh secara tidak sah, maka tuntutan terhadap pelaku harus dapat membuktikan

bahwa ia mempunyai niat untuk mempekerjakan tahanan pada pekerjaan yang dilarang. Niat

itu dapat ditunjukkan dengan bukti langsung dan eksplisit (direct explisit evidence), atau, jika

tidak ditemukan bukti maka dapat dilihat pekerjaan seperti apa yang dilakukan oleh tahanan

tersebut.”

89

Page 90: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Ulasan tentang pendudukan yang terkait dengan unlawful labor (mempekerjakan tahanan

secara tidak sah) dapat dilihat pada Bagian (I)(e), pada ICTY Digest.

xiii) Perbudakan

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 350-351, 356, 359: “Perbudakan pada

Pasal 5 ... didefinisikan oleh Tribunal (Pengadilan) sebagai tindakan yang datang dari pelbagai

atau seluruh kekuasaan yang melekat dalam hak kepemilikan atas seorang individu. Actus reus

perbudakan adalah perwujudan dari kekuasaan tersebut, dan adanya niat untuk

mengimplementasikan kekuasaan tersebut, dan itu dilakukan secara sengaja. Meskipun tidak

disinggung dalam Pasal 3, namun perbudakan tetap dapat dihukum dengan Pasal tersebut jika

4 (empat) persyaratan khusus pada Pasal 3 ... terpenuhi.” “Sidang Pengadilan setuju bahwa

kejahatan perbudakan seperti yang disebut dalam Pasal 3 sama dengan kejahatan perbudakan

seperti yang tertuang dalam Pasal 5. Oleh karenanya, perbudakan pada Pasal 3 mensyaratkan

adanya bukti-bukti terjadinya tindak kejahatan tersebut seperti yang disinggung dalam Pasal

5.” “‘[K]erja paksa’ merupakan indikasi bahwa ‘perbudakan terjadi,’ dan menjadi ‘faktor yang

dipertimbangkan dalam menentukan apakah telah terjadi tindak kejahatan perbudakan.’”

Lihat juga ulasan tentang perbudakan pada pasal 5, Bagian (IV)(c)(iii), ICTY Digest.

90

Page 91: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

III. GENOSIDA (PASAL 4)

a) Statuta

Statuta ICTY, Pasal 4:

“1. Pengadilan Internasional (International Tribunal) memiliki kekuasaan untuk menuntut

orang-orang yang melakukan kejahatan genosida seperti yang tertuang dalam paragraf 2 pasal

ini atau orang-orang yang melakukan tindakan lain seperti yang tertera pada paragraf 3 pasal

ini.

2. Genosida adalah tindak kejahatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan,

kebangsaan, etnis, kelompok ras atau agama baik secara keseluruhan maupun sebagian,

seperti berikut ini:

(a) Membunuh anggota kelompok;

(b) Menyebabkan luka parah atau merusak mental anggota kelompok;

(c) Dengan sengaja mengancam jiwa anggota kelompok yang menyebabkan luka fisik

baik sebagian maupun keseluruhan;

(d) Melakukan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam

kelompok;

(e) Memindahkan anak-anak secara paksa dari satu kelompok ke kelompok lain.

3. Tindakan-tindakan di bawah ini layak untuk diganjar hukuman:

(a) Genosida;

(b) Konspirasi untuk melakukan genosida;

(c) Hasutan langsung untuk melakukan genosida;

(d) Upaya untuk melakukan genosida;

(e) Keterlibatan dalam genosida.”

b) Definisi

91

Page 92: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Krstic (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 550: “Genosida merupakan tindak

kejahatan yang dimaksudkan untuk menghancurkan, baik keseluruhan atau sebagian,

terhadap kelompok tertentu dengan maksud tertentu. Di bawah ini adalah dua unsur yang

dapat dijadikan syarat terjadinya genosida: (1) tindakan atau serangkaian tindakan ditujukan

kepada sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama tertentu; (2) tindakan atau serangkaian

tindakan harus dimaksudkan untuk menghancurkan keseluruhan atau sebagian kelompok

tertentu.”

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 580: “[H]ukum kebiasaan internasional

membatasi definisi genosida sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan

secara fisik maupun biologis keseluruhan maupun sebagian kelompok tertantu.”

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 62: “Genosida dibagi menjadi 2

aspek hukum berdasarkan Pasal 4 Statuta: (1) unsur materil kejahatan terdiri dari satu atau

lebih kejahatan sebagaimana yang tertuang dalam Paragraf 2 Pasal 4; (2) mens rea kejahatan

tersebut, yaitu ada maksud tertentu untuk menghancurkan, baik keseluruhan maupun

sebagian, terhadap sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama tertentu.”

c) Niat jahat (mental state, mens rea): niat menghancurkan, baik keseluruhan

maupun sebagian, terhadap sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama

tertentu

i) Pengantar umum

Penuntut v. Jelisic, Kasus No. IT-95-10 (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 46: “Niat

khusus mensyaratkan bahwa pelaku melakukan tindakan seperti yang tertuang dalam Pasal 4

Statuta dengan maksud untuk menghacurkan, baik keseluruhan maupun sebagian, atas

sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama tertentu.”

Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 45: “Statuta mendefinisikan niat sebagai

keinginan (niat) untuk menghancurkan kelompok tertentu. Niat ini dapat berupa niat khusus

(special intent), niat spesifik (specific intent), dolus specialis, niat tertentu (particular intent) dan niat

untuk melakukan tindakan yang bersifat genosida (genocidal intent).”

92

Page 93: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

ii) Niat menghancurkan, baik keseluruhan maupun sebagian

(1) Harus terjadi serangan terhadap sebuah kelompok, dan niat untuk

berpartisipasi atau melaksanakan serangan

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 78: “[P]engadilan tingkat Pertama

harus memeriksa ulang bahwa telah terjadi serangan terhadap sebuah kelompok atau

terdakwa memiliki niat untuk berpartisipasi atau melaksanakan serangan tersebut.”

(2) Meski penghancuran itu bukan tujuan sebenarnya, namun dapat dianggap

sebagai tujuan juga

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 572: “Meskipun niat awal serangan

bukan untuk menghancurkan sebuah kelompok, namun selama serangan, beberapa hal dari

tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tujuan.”

(3) Penghancuran sebagian

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 584: “[S]etiap tindakan yang dilakukan

untuk menghacurkan sebagian kelompok, merupakan tindakan genosida sesuai dengan

maksud Genosida dalam Konvensi.”

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 590: “[N]iat untuk menghancurkan

sebuah kelompok, meskipun hanya sebagian, juga berarti bahwa niat tersebut ditujukan untuk

menghancurkan kelompok tertentu dalam sebuah kelompok sebagai akumulasi individu yang

terisolasi dalam kelompok tersebut. Meskipun pelaku genosida tidak bermaksud untuk

menghancurkan keseluruhan kelompok yang dilindungi Konvensi, tetapi pelaku terlebih

dahulu harus mengkaji bagian dari kelompok (the part of the group) yang mereka ingin

hancurkan sebagai sebuah entitas berbeda yang harus disingkirkan. ...”

(a) Bagian “penting” dari kelompok

93

Page 94: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 634: “[N]iat untuk menghancurkan,

meskipun hanya sebagian dari sebuah kelompok dianggap merupakan bagian penting dari

kelompok tersebut, baik dalam jumlah maupun secara kualitatif.”

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 82: “[S]ecara luas diakui bahwa niat

untuk menghancurkan harus ditujukan setidaknya kepada bagian penting dari kelompok

tersebut.”

(b) Bukti penghancuran terhadap kepemimpinan dapat dianggap sebagai

niat untuk menghancurkan “sebagian”

Penuntut v. Sikirica dkk., Kasus No. IT-95-8 (Sidang Banding), 3 September 2001, Paragraf 76-

77: “[N]iat untuk menghancurkan sebagian dapat terjadi bila terdapat bukti bahwa

penghancuran itu dilakukan pada bagian yang signifikan dari sebuah kelompok, misalnya

kepemimpinan. ... Niat tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan keinginan menghancurkan

sejumlah orang yang dipilih untuk mendapatkan dampak tertentu yaitu bahwa lenyapnya

orang-orang tersebut akan mambawa dampak bagi kelompoknya. Unsur penting yang

terdapat di sini bahwa sasaran dari tindakan itu adalah sejumlah orang yang telah dipilih

secara selektif berdasarkan alasan khusus, misalnya atas kepemimpinan mereka dalam

kelompok secara keseluruhan. Hal ini menjadi penting karena viktimisasi seperti yang

tercantum dalam Pasal 4(2) (a), (b), (c) akan berdampak pada keberlangsungan kelompok.”

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 82: “Niat genosida dapat ...

dimanifestasikan dalam dua bentuk. Manifestasi tersebut adalah niat untuk membasmi

sejumlah besar anggota kelompok, di mana dalam kasus tersebut, tindakan dimaksudkan

untuk menghancurkan kelompok en masse (secara massal). Namun tindakan tersebut dapat

berupa penghancuran disengaja atas sejumlah kecil orang yang dipilih, misalnya pimpinan

kelompok dengan tujuan bahwa hilangnya mereka akan mengganggu keberlangsungan

kelompok. Kondisi ini disebut dengan niat untuk menghancurkan kelompok ‘secara

selektif’.”

(c) Genosida hanya ditujukan pada wilayah geografis tertentu

94

Page 95: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 83: “[G]enosida dilakukan di wilayah

geografis tertentu.” Wilayah geografis di mana sebuah upaya untuk melenyapkan suatu

kelompok tertentu dilakukan bisa saja “dibatasi pada ukuran suatu wilayah atau ...

kabupaten.”

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 590: “[P]enghancuran fisik hanya

ditujukan pada sebagian wilayah geografis dari kelompok yang lebih besar karena pelaku

genosida bertujuan untuk membinasakan sebuah kelompok sebagai entitas nyata dalam

wilayah geografis tersebut.”

(d) Pelaksanaan

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 554: “Pengadilan menyimpulkan bahwa

kelompok yang dilindungi, seperti yang dimaksud dalam Pasal 4 Statuta, harus dilihat dalam

kasus yang terjadi baru-baru ini, yaitu kelompok Muslim Bosnia. Muslim Bosnia Srebrenica

atau Muslim Bosnia di wilayah Timur Bosnia merupakan bagian dari kelompok yang

dilindungi berdasarkan Pasal 4.”

(4) Tidak diperlukan persiapan panjang

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 572: “Pasal 4 Statuta tidak

mengharuskan bahwa tindakan genosida dipersiapkan dalam jangka panjang.”

(5) Membedakan niat dari motif

Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 49: Sidang Banding mencatat adanya “ketidak-

terkaitan” antara motif dalam hukum pidana mengangkat soal “pentingnya membedakan niat

khusus (specific intent) dari motif (motive). Motif pribadi pelaku kejahatan genosida bisa saja

misalnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi secara ekonomi, atau kepentingan politik

atau untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi eksistensi motif pribadi tidak menghalangi pelaku

untuk memiliki niat khusus untuk melakukan genosida.”

(6) Niat dapat diduga

95

Page 96: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 47: “Jika tidak ada bukti langsung secara

eksplisit, maka untuk membuktikan adanya niat khusus, dapat dimungkinkan untuk melihat

sejumlah fakta dan keadaan, misalnya persiapan tindakan kejahatan secara sistematik

ditujukan kepada kelompok yang sama, skala kejahatan yang dilakukan, sasaran kepada

korban yang ditujukan secara sistematik atas dasar keanggotaannya dalam kelompok tertentu,

atau pengulangan tindakan destruktif dan tindakan diskriminatif.”

Bandingkan dengan kasus Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 78: “[N]iat

untuk melakukan kejahatan genosida tidak dapat diduga, meskipun dalam kasus di mana

eksistensi sebagian kelompok berada dalam ancaman.”

(7) Tidak perlu ada kebijakan atau perencanaan, namun kedua hal itu dapat

menjadi faktor penting

Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 48: “[A]danya suatu perencanaan atau suatu

kebijakan bukan merupakan unsur hukum atas kejahatan. Namun dalam banyak kasus,

eksistensi rencana atau kebijakan ini menjadi faktor penting untuk membuktikan adanya niat

khusus (specific intent). Bukti yang ada bisa saja konsisten dengan eksistensi rencana atau

kebijakan, atau bahkan dapat menunjukkan kejadian tersebut, dan suatu perencanaan atau

kebijakan dapat menjadi bukti kejahatan yang terjadi.”

iii) “Kebangsaan, kelompok etnis, ras atau agama, atau sejenisnya”

(1) “Sejenisnya (as such)”

(a) Korban dijadikan sasaran karena keanggotaan mereka dalam sebuah

kelompok

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 561: “[S]asaran kejahatan genosida

didasarkan pada keanggotaan korban dalam sebuah kelompok. ... Niat untuk menghancurkan

sebuah kelompok, secara keseluruhan maupun sebagian, diperkirakan dipilih dengan alasan

keanggotaan mereka (korban) dalam kelompok yang dihancurkan. Keanggotaan korban

96

Page 97: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

dalam sebuah kelompok yang dijadikan sasaran penghancuran tidak cukup untuk

menetapkan niat untuk menghancurkan kelompok tersebut.

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 67: “Niat khusus yang dicirikan

sebagai genosida mengharuskan pelaku untuk memilih korbanya dengan alasan bahwa

mereka adalah bagian dari kelompok yang menjadi sasaran penghancuran. Tujuan pelaku

adalah untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok, berdasarkan keanggotaan

individu dalam kelompok tertentu. Yang dijadikan kriteria dalam menentukan korban

langsung dalam kejahatan genosida adalah keanggotaan mereka (korban) dalam kelompok

bukan pada identitas individu.”

(b) Kelompok yang menjadi target, bukan individu

Sikirika dkk., (Sidang Pengadilan), 3 September 2001, Paragraf 89: “Bukti harus

menunjukkan bahwa kelompok yang dijadikan sasaran, bukan merupakan orang-orang

tertentu dalam kelompok tersebut. Inilah signifikansi penggunaan frase “as such” dalam istilah

ini. Meskipun korban dari serangkaian tindak kejahatan tersebut adalah idividu, namun

korban utama atas kejahatan genosida adalah kelompok, dan penghancuran itu merupakan

kejahatan terhadap anggota kelompok dan kepemilikan individu dalam kelompok tersebut.

Inilah yang membedakan genosida dari kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya. Meskipun

keduanya sarat dengan unsur diskriminasi, beberapa di antaranya merupakan kejahatan biasa,

misalnya dalam kasus penganiayaan, pelaku melakukan kejahatan terhadap individu dengan

latar politik, ras atau agama.”

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 551: “[G]enosida ditujukan tidak hanya

kepada satu atau beberapa orang tapi sekelompok atau sejenisnya (as such).”

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 79: Niat harus ditujukan untuk

menghancurkan kelompok “tertentu”, yaitu entitas yang terpisah dan nyata, bukan ditujukan

kepada beberapa orang karena keanggotaan mereka dalam kelompok tertentu itu. Dengan

membunuh anggota individu pada kelompok yag menjadi sasaran, pelaku dengan demikian

tidak sekadar mewujudkan kebenciannya terhadap kelompok di mana korbannya berada,

namun pelaku juga menyadari bahwa tindakannya merupakan bagian dari kejahatan yang

97

Page 98: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

meluas dan dilakukan secara sengaja untuk menghancurkan sebuah bangsa, kelompok etnis,

ras atau agama di mana korban adalah salah satu anggotanya.”

(2) Kelompok-kelompok yang dilindungi oleh Pasal 4

(a) Bangsa, kelompok etnis, ras atau agama

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 554: “[K]onvensi Genosida tidak

melindungi semua kelompok manusia. Yang dilindungi hanyalah kelompok atas dasar

kebangsaan, etnis, ras dan agama.”

(b) Bukan kelompok politik

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 69: “Pasal 4 Statuta ... tidak

mencakupkan kelompok-kelompok politik ke dalam ketentuannya. Persiapan Konvensi

[Genosida] memperlihatkan adanya keinginan untuk membatasi pelaksanaan Konvensi untuk

melindungi kelompok-kelompok ‘tetap’ yang secara objektif telah ditentukan dan yang dari

mana individu-individu berasal terlepas dari apa keinginan mereka sendiri.”

(c) Penghancuran budaya dan identitas tidak cukup untuk menunjukkan

terjadinya genosida, tapi dapat membantu untuk memperlihatkan

adanya niat untuk menghancurkan kelompok

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 580: “[U]paya untuk menyerang karakter

sosial budaya sebuah kelompok dengan maksud menghancurkan identitas khusus sebagai ciri

khas kelompok yang membedakannya dari kelompok yang lain, tidak termasuk dalam definisi

genosida. Jika terjadi penghancuran fisik atau biologis, serangan tersebut biasanya terjadi

secara simultan terhadap identitas budaya dan agama serta simbol-simbol yang dimiliki

kelompok yang menjadi sasaran, dan serangan tersebut dapat dianggap sebagai bukti bahwa

penghancuran kelompok secara sengaja terjadi.

(d) Evaluasi penggunaan kriteria subjektif: stigmatisasi oleh masyarakat

98

Page 99: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 70-71: “Meskipun penentuan yang

dilakukan secara objektif terhadap kelompok agama masih memungkinkan ..., tetapi penilaian

terhadap status kebangsaan, kelompok etnis, ras dan agama lebih tepat ditentukan

berdasarkan sudut pandang orang-orang yang menginginkan kelompok tersebut diperhatikan

dalam masyarakat. Sidang Pengadilan ... memilih untuk mengevaluasi keanggotaan dalam

sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama dengan menggunakan kriteria subjektif. Ini

merupkan stigmatisasi kelompok sebagai unit kelompok bangsa, etnis atau ras oleh

masyarakat yang memungkinkannya untuk ditentukan apakah suatu populasi yang disasar

merupakan sebuah kelompok nasional, etnis atau rasial di mata pelaku sebagai terdakwa.”

“Sebuah kelompok dapat distigmatisasi dengan cara seperti ini melalui kriteria positif dan

negatif. ‘Pendekatan positif’ ditentukan dari pelaku kejahatan yang menentukan sebuah

kelompok dengan karakter tertentu yang membedakan mereka sebagai suatu kelompok

nasional, etnis, rasial atau keagamaan. ‘Pendekatan negatif’ dilakukan dengan mengidentifikasi

individu-individu yang bukan bagian dari kelompok di mana pelaku kejahatan menyatakan

bahwa mereka merupakan bagian dan mereka memperlihatkan karakteristik kebangsaan,

etnis, ras atau agama. Oleh karena itu, semua individu yang dikesampingkan, dengan

pengecualian, akan membentuk sebuah kelompok berbeda.”

d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)

i) Pembunuhan terhadap anggota kelompok

ii) Menyebabkan luka parah dan tekanan mental terhadap anggota kelompok

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 513: “[L]uka parah atau tekanan mental

yang tercantum dalam actus reus Pasal 4 adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau

pembiaran yang menyebabkan luka parah atau penderitaan mental. [L]uka serius tidak harus

permanen atau luka yang tidak dapat disembuhkan, tetapi hal tersebut menyebabkan rasa

tidak nyaman, perasaan malu atau terhina untuk sementara. Luka tersebut menyebabkan

penderitaan jangka panjang dan berdampak buruk bagi kemampuan seseorang untuk

menjalani hidup secara normal dan konstruktif. [P]erlakuan tidak manusiawi, penyiksaan,

pemerkosaan, serangan seksual dan deportasi adalah serangkaian tindakan yang dapat

menyebabkan luka parah dan penderitaan mental.”

99

Page 100: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

iii) Secara sengaja mengakibatkan pada sebuah kelompok kondisi kehidupan

yang diperhitungkan akan membawa kehancuran fisik baik seluruh maupun

sebagian

iv) Melakukan tindakan yang mencegah kelahiran dalam kelompok

(memandulkan)

v) Memindahkan anak-anak secara paksa dari satu kelompok ke kelompok lain

100

Page 101: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

IV. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (PASAL 5)

a) Statuta

Pasal 5 Statuta ICTY:

“Pengadilan Internasional memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang

bertanggung-jawab dalam kejahatan yang dilakukan dalam situasi konflik bersenjata, baik

konflik bersenjata internasional ataupun konflik internal, dan kejahatan tersebut dilakukan

terhadap warga sipil. Kejahatan-kejahatan tersebut adalah:

(a) Pembunuhan (murder);

(b) Pemusnahan (extermination);

(c) Perbudakan (enslavement);

(d) Deportasi (deportation);

(e) Pemenjaraan/Pengurungan (imprisonment);

(f) Penyiksaan (torture);

(g) Pemerkosaan (rape);

(h) Penganiayaan dengan latar politik, ras dan agama (persecution);

(i) Perlakuan-perlakuan tidak manusiawi lainnya (inhuman treatment).”

b) Unsur-unsur umum

Kunarac, Kovac dan Vukovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 410: Sebagai

tambahan atas unsur-unsur yang terdapat pada Statuta berkenaan dengan situasi konflik

bersenjata, di bawah ini diuraikan beberapa unsur yang diperlukan: “(i) harus terjadi serangan;

(ii) tindakan pelaku harus merupakan bagian dari serangan tersebut; (iii) serangan harus

ditujukan ‘langsung pada penduduk sipil;’ (iv) serangan harus ‘meluas atau sistematik;’ (v)

pelaku mengetahui bahwa serangan dan tindakan yang dilancarkannya merupakan bagian dari

serangan tersebut.”

i) Statuta mensyaratkan bahwa harus terjadi konflik bersenjata (unsur ke-1)

101

Page 102: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 251: “Terjadinya konflik bersenjata dapat

terpenuhi jika ada bukti bahwa telah terjadi konflik bersenjata. ...”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 23: “Pasal 5 memberikan

kewenangan kepada Pengadilan Internasional untuk mengadili kejahatan terhadap

kemanusiaan, ‘jika kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut dilakukan dalam konflik

bersenjata, baik konflik internasional maupun internal.’”

(1) Apakah ada kaitan antara tindakan tersangka dengan konflik bersenjata

Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 251: “Kaitan antara tindakan pelaku

dengan konflik bersenjata tidak dipersyaratkan, sebagaimana ... dinyatakan dalam Putusan

Pengadilan kasus Tadic. Syarat ‘terjadinya konflik bersenjata’ terpenuhi jika terdapat bukti

adanya konflik bersenjata, seperti yang tercantum dalam Statuta, lebih daripada yang

disyaratkan dalam huku kebiasaan internasional.”

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 83: “[P]ersyaratan

seperti yang tercantum dalam Pasal 5 Statuta (dalam konflik bersenjata) adalah murni

persyaratan jurisdiksi, yang akan terpenuhi jika terdapat bukti bahwa konflik bersenjata

memang terjadi, dan secara objektif tindakan pelaku terkait dengan konflik bersenjata

tersebut, baik dalam konteks wilayah atau geografis maupun dalam konteks waktu.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 33: Pengadilan Banding

[dalam kasus Tadic] ... menyimpulkan, seperti yang tertera pada Pasal 5 Statuta, bahwa bukti

keterkaitan antara tindakan pelaku dengan konflik bersenjata tidak harus ada. ...” “Meskipun

ada syarat bahwa tindakan atau kelalaian pelaku harus dilakukan dalam situasi konflik

bersenjata, namun hubungan yang dipersyaratkan adalah hubungan antara tindakan pelaku

dengan serangan terhadap penduduk sipil.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 23. “Dalam jurisdiksi

putusan kasus Tadic, Pengadilan Banding menemukan bahwa ‘berdasarkan hukum kebiasaan

internasional, tidak ada persyaratan yang menentukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan

102

Page 103: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

harus memiliki hubungan dengan setiap konflik yang terjadi.’ Pasal 5 tidak mensyaratkan hal

tersebut kecuali eksistensi konflik bersenjata pada waktu dan tempat, di mana jurisdiksinya

masuk pada Pengadilan Internasional.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 233: “Jurisdiksi

Pengadilan Internasional seperti yang tertera pada Pasal 5 Statuta hanya mengatur tindakan-

tindakan pelaku dalam ‘konflik bersenjata’.”

ii) Harus terjadi “serangan” (unsur ke-2)

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 410: Untuk

menentukan apakah kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi, unsur “harus terjadi serangan”

perlu diperhatikan.

(1) “Serangan” dapat, tapi tidak harus selalu, menjadi bagian dari “konflik

bersenjata”

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 86: “[S]erangan

dapat terjadi lebih dahulu, lebih lama, atau berlangsung terus selama konflik bersenjata, tapi

serangan tersebut tidak harus selalu menjadi bagian dari konflik bersenjata tersebut.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003: “Serangan didefinisikan sebagai

serangkaian tindakan kekerasan. Serangan dapat terjadi lebih dahulu, lebih lama dan

berlangsung terus selama konflik bersenjata, tapi tidak harus selalu menjadi bagian dari

konflik bersenjata tersebut di bawah ketentuan hukum kebiasaan internasional.”

(2) “Serangan” dan “konflik bersenjata” adalah dua hal yang berbeda

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 30: “Konsep ‘serangan’ dan

‘konflik bersenjata’ berbeda dan bebas. Mengutip putusan Pengadilan Banding dalam kasus

Tadic: ‘serangan terhadap penduduk sipil’ dan ‘konflik bersenjata’ merupakan dua hal yang

berbeda, meskipun dalam Pasal 5 Statuta dinyatakan bahwa ‘serangan terhadap penduduk

sipil’ dapat menjadi bagian dari ‘konflik bersenjata’.”

103

Page 104: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(3) “Serangan” tidak terbatas pada penggunaan senjata

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 29, 30: “Dalam konteks

kejahatan terhadap kemanusiaan, kata ‘serangan’ tidak terbatas pada penggunaan konflik

bersenjata. Serangan juga dapat ditafsirkan sebagai setiap perlakuan yang tidak manusiawi

(mistreatment) terhadap penduduk sipil.” Lihat juga Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan

Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 86 (sama).

(4) Pada saat melakukan serangan, tidak relevan bahwa pihak lain melakukan

pembalasan (reciprocity of obligations)

Kunarav, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 87-88: “[K]etika

memutuskan apakah terjadi serangan terhadap penduduk sipil tertentu, tidak relevan untuk

mempertimbangkan bahwa pihak lain (pihak yang diserang) juga melakukan serangan balasan

terhadap penduduk sipil dari pihak penyerang. Serangan terhadap penduduk sipil oleh pihak

lain bukanlah alasan pembenar bagi pihak yang diserang untuk melancarkan serangan balasan

terhadap penduduk sipil pihak penyerang. Serangan terhadap penduduk sipil pihak penyerang

juga tidak dapat dibenarkan (illegitimate), dan kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari

serangan dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Bukti bahwa telah terjadi

serangan oleh pihak yang diserang terhadap penduduk sipil pihak penyerang tidak diperlukan

kecuali bahwa bukti serangan tersebut dipakai untuk membuktikan atau tidak membuktikan

setiap tuduhan yang dibuat dalam dakwaan, dan semata-mata untuk menyangkal pendirian

Penuntut berkenaan dengan keyakinan Penuntut tersebut bahwa telah terjadi serangan

meluas dan sistematik terhadap penduduk sipil. Adanya pengaduan bahwa pihak lain

bertanggung-jawab karena telah memulai serangan tidak akan mengingkari kenyataan bahwa

telah terjadi serangan terhadap penduduk sipil tertentu.”

iii) Tindakan tersangka harus merupakan bagian dari serangan (unsur ke-3)

Tadic (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 251: “Untuk membuktikan terjadinya

serangan terhadap penduduk sipil ... maka perlu dibuktikan keterkaitan antara tindakan

tersangka dengan serangan (bersenjata) itu sendiri.”

104

Page 105: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 271: “[U]ntuk menuntut tersangka dengan

tuduhan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, harus dibuktikan bahwa kejahatan

tersebut terkait dengan serangan terhadap penduduk sipil (selama konflik bersenjata) ....”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 234: “Tindakan

tersangka tidak boleh terpisah dari serangan. Artinya bahwa tindakan tersangka tersebut,

dilihat dari sifat dan akibat yang ditimbulkannya, secara objektif merupakan bagian dari

serangan.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 33: “[Y]ang harus

diperhatikan adalah harus ada keterkaitan antara tindakan tersangka dengan serangan

(bersenjata) terhadap penduduk sipil.”

iv) Serangan harus “langsung terhadap penduduk sipil” (unsur ke-4)

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 410: Salah satu

unsur yang harus diperhatikan untuk membuktikan kejahatan terhadap kemanusiaan, adalah

bahwa serangan yang dilakukan harus ditujukan “secara langsung terhadap penduduk sipil.”

(1) “Langsung ditujukan”

(a) Serangan dikatakan “langsung ditujukan” terhadap penduduk sipil

apabila mereka (penduduk sipil) merupakan objek utama dari

serangan tersebut

Kunarac, Kovac dan Vokovic (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 90: “[E]kspresi

kalimat ‘langsung ditujukan’ merupakan pengungkapan yang ‘lebih spesifik dalam konteks

kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap penduduk sipil yang merupakan objek utama dari

serangan tersebut.’ Untuk menentukan apakah suatu serangan terjadi secara langsung, Sidang

Pengadilan akan mempertimbangkan ... cara dan metode yang digunakan dalam serangan,

status korban, jumlah korban, dan sifat diskriminatif dari serangan, sifat kejahatan dalam

105

Page 106: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

serangan, perlawanan yang dilakukan oleh penyerang pada saat dan di mana pihak penyerang

dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan dalam hukum perang.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 235: “Sebuah serangan

dikatakan langsung terhadap penduduk sipil apabila mereka merupakan objek utama dari

serangan tersebut.”

(b) Tidak semua penduduk yang menjadi sasaran serangan; serangan

dapat ditujukan kepada “sebagian besar penduduk”

Kunarac, Kovac dan Vokonic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 90: “[P]emakaian

kata ‘penduduk’ (population) tidak berarti bahwa keseluruhan penduduk dari entitas geografis

di mana serangan tersebut dilakukan harus menjadi target dari suatu serangan. Hal ini cukup

untuk menunjukkan bahwa sejumlah penduduk menjadi target serangan, atau mereka

menjadi target sedemikian rupa hanya untuk meyakinkan Sidang Pengadilan bahwa

kenyataannya serangan tersebut ditujukan terhadap ‘penduduk’ sipil, daripada terhadap

sejumlah kecil individual yang menjadi target secara acak.” Lihat juga Naletilic dan Martinovic,

(Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 235 (sama).

(2) Penduduk sipil

(a) Harus ‘didominasi’ oleh penduduk sipil

Kordic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 180: “Sebuah populasi

dapat dianggap sebagai ‘sipil’ meskipun tidak semua korban adalah penduduk sipil, tetapi

populasi tersebut harus ‘didominasi oleh sipil’.”

Naletilic dan Martinovic (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 235: “[K]ehadiran

sejumlah penduduk non-sipil tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa populasi tersebut

didominasi penduduk sipil.”

106

Page 107: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 235: “Penduduk yang

dijadikan sasaran serangan langsung dapat dianggap penduduk sipil jika sebagian besar dari

mereka adalah sipil.”

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 54: “‘Kehadiran orang-orang yang

bukan sipil dalam sebuah populasi tidak dapat menghilangkan karakter sipil dalam populasi

tersebut.’”

(b) Kehadiran orang-orang yang terlibat dalam konflik tidak dapat

menghilangkan karakter sipil dalam populasi tersebut

Penuntut v. Kupreskic dkk., Kasus No. IT-95-16 (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf

549: “[K]ehadiran orang-orang yang terlibat dalam konflik tidak dapat menghilangkan

karakter penduduk sipil, dan orang-orang yang terlibat dalam gerakan perlawan (resistance

movement) dapat digolongkan sebagai korban kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 214: “[K]ehadiran tentara pada

penduduk sipil yang dijadikan target serangan tidak dapat mengubah sifat sipil dalam populasi

tersebut.”

(c) Penduduk sipil termasuk orang-orang yang pernah menjadi anggota

gerakan perlawanan dan mantan tentara namun tidak lagi terlibat

dalam peperangan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 214: “Kejahatan terhadap kemanusiaan ...

tidak hanya berarti serangan terhadap warga sipil, tetapi juga termasuk kejahatan terhadap

dua kategori penduduk: yaitu orang-orang yang merupakan anggota gerakan perlawanan dan

mantan tentara, tanpa melihat apakah mereka menggunakan seragam atau tidak, (mereka

tidak lagi terlibat dalam peperangan pada saat kejahatan dilakukan, karena mereka telah keluar

dari kesatuan militer atau tidak lagi memegang senjata); atau mereka yang digolongkan

sebagai hors de combat, khususnya mereka yang terluka atau ditahan. Keadaan khusus korban

pada saat kejahatan dilakukan, harus dijadikan pertimbangan dalam menentukan posisinya

sebagai warga sipil tanpa melihat statusnya.”

107

Page 108: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 54: “[I]stilah penduduk sipil seperti

yang tertera pada Pasal 5 Statuta, termasuk orang-orang sipil, dan semua yang termasuk

dalam kategori hors de combat pada saat kejahatan itu dilakukan.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 180: “[O]rang-orang yang

pada saat tertentu dimasa lalu telibat dalam gerakan perlawanan, pada suatu saat dapat

menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 235: “Definisi penduduk

sipil mencakup juga orang-orang yang pada waktu lalu melakukan gerakan perlawanan, dan

orang-orang yang dikategorikan sebagai hors de combat ....”

(d) Menafsirkan warga sipil secara bebas

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 547-549: “Definisi secara luas

atas ‘sipil’ dan ‘penduduk’ tampaknya diperlukan. Definisi ini menjamin makna dan tujuan

prinsip-prinsip umum serta aturan hukum internasional, khususnya aturan-aturan yang

melarang kejahatan terhadap kemanusiaan. Aturan yang disebut terakhir dimaksudkan untuk

menjamin nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar dengan cara menghukum (pelaku) tindak

kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. [I]stilah ‘sipil’ harus diintepretasikan secara luas ...

karena keterbatasan jaminan terhadap warga sipil dan orang-orang yang bukan tentara

sebagaimana diatur dalam Pasal 5 merupakan jalan masuk bagi hukum kebiasaan

internasional.”

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 54: “Hal tersebut merupakan

lanjutan dari makna dan semangat Pasal 5 itu sendiri, di mana istilah ‘penduduk sipil’ harus

ditafsirkan secara luas.”

(e) Melindungi populasi masyarakat sipil

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Pararaf 33: “Perlindungan sebagaimana

tercantum pada Pasal 5 mencakup perlindungan terhadap ‘penduduk sipil’, termasuk

108

Page 109: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

penduduk sipil dari suatu negara, di mana negara bersangkutan terlibat dalam serangan. Oleh

karena itu, apakah korban terkait atau tidak dengan salah satu pihak yang terlibat dalam

konflik tidak perlu ditunjukkan.”

v) Serangan harus terjadi secara “meluas atau sistematik” (unsur ke-5)

(1) Meluas atau sistematik

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 236: “Serangan harus

terjadi secara sistematik atau meluas.”

(2) Yang dilihat adalah serangan, bukan tindakan tersangka, yang meluas

atau sistematik

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 431: “Hanya

serangan, dan bukan tindakan individual tersangka, yang harus terjadi secara ‘meluas atau

sistematik’.”

(3) Meluas

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 179: “[S]uatu kejahatan

dapat terjadi secara meluas dengan ‘efek kumulatif dari serangkaian tindakan tidak manusiawi

atau memiliki efek tunggal dari sebuah tindakan tidak manusiawi yang memiliki besaran yang

luar biasa.’”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 206: “Karakteristik meluas mengacu

pada skala tindakan yang dilakukan dan ditujukan kepada sejumlah korban.” Lihat juga

Neletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 236 (sama).

(4) Sistematik

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 94: “‘[P]ola

kejahatan, yang merupakan pengulangan non-insidental atas tindak kejahatan yang sama dan

109

Page 110: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

110

dilakukan dengan cara yang teratur, merupakan gambaran umum atas kejadian yang disebut

dengan sistematik.’”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 236: “Unsur ‘sistematik’

mengharuskan adanya tindakan terorganisir yang terjadi secara acak dan luar biasa.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 203: “Karakter sistematik mengacu pada

empat unsur ... yang paling tidak dapat dirinci sebagai berikut: (1) adanya tujuan politik yang

dirancang dan direncanakan dalam serangan atau penyebaran ideologi yang dilakukan secara

luas dengan maksud untuk menghancurkan, dan melakukan penganiayaan atau melemahkan

sebuah komunitas; (2) tindak kejahatan dilakukan dalam skala yang sangat besar terhadap

sebuah kelompok warga sipil, atau tindakan tidak manusiawi yang terkait satu dengan yang

lain yang terjadi secara berulang-ulang dan berkesinambungan; (3) persiapan dan penggunaan

sumber-sumber publik atau pribadi, baik militer maupun lainnya; (4) ada implikasi terhadap

kekuasaan politik tingkat tinggi/militer dalam mendefinisikan dan melaksanakan rencana

secara metodik.”5

(5) Faktor-faktor yang dijadikan penilaian dalam definisi meluas atau

sistematik

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 95: Dalam menilai

serangan “meluas” atau “sistematik”, Pengadilan “terlebih dahulu harus mengidentifikasi

populasi mana yang dijadikan objek serangan, metode serangan, sumber dan akibat serangan,

dan memastikan apakah serangan tersebut benar-benar meluas dan sistematik.” “Persyaratan

‘meluas’ dan ‘sistematik’ ini juga dapat dipertimbangkan dari konsekuensi serangan terhadap

penduduk yang dijadikan sasaran, jumlah korban, sifat serangan, dan kemungkinan

keterlibatan pejabat atau pihak berwenang dalam pola kejahatan yang dapat diidentifikasi.”

5 Soal apakah terdapat perencanaan atau kebijakan, lihat diskusi, Bagian (IV)(b)(v)(7), ICTY Digest.

Page 111: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 53: “Eksistensi kebijakan politik yang

menjadikan komunitas tertentu sebagai target sasaran serangan, keterlibatan pejabat tinggi

atau militer, penggunaan dana, sumber-sumber militer atau sumber lain serta skala atau

pengulangan kekerasan yang berkesinambungan dan tidak berubah terhadap penduduk sipil

tertentu merupakan faktor-faktor yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan

serangan yang bersifat meluas dan sistematik.”

(6) Jika kejahatan tunggal terkait dengan serangan meluas atau sistematik,

maka kejahatan itu dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 550: “[D]alam situasi tertentu,

kejahatan tunggal dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan jika dilakukan

dalam konteks khusus. Kejahatan yang terisolasi, misalnya kejahatan yang tidak terjadi dalam

konteks khusus tersebut tidak dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 178: “[J]ika kejahatan

tunggal dan terisolasi yang dilakukan tersangka terkait dengan serangan yang meluas dan

sistematik, maka kejahatan tersebut dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan.”

(7) Apakah ada rencana atau kebijakan

Kunarac, Kovac dan Vokovic (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 98: “[S]erangan atau

tindakan tersangka tidak harus didukung oleh suatu ‘kebijakan’ atau ‘perencanaan’.” Adanya

suatu kebijakan atau perencanaan “tidak diperlukan untuk membuktikan bahwa suatu

serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil dilakukan secara meluas dan sistematik,

yang merupakan unsur hukum atas kejahatan.” “Eksistensi kebijakan atau perencanaan

mungkin relevan, namun bukan merupakan unsur hukum dari kejahatan.”

Akan tetapi dalam kasus Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 204: “Rencana

[yang diperlukan untuk menentukan apakah serangan dilakukan secara sistematik] ... tidak

harus diumumkan secara terbuka atau dikemukakan secara jelas dan persis. Adanya suatu

111

Page 112: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

perencanaan dapat diduga dari serangkaian peristiwa atas kejadian-kejadian antara lain sebagai

berikut; (a) situasi umum dan latar belakang politik secara keseluruhan di mana kejahatan

tersebut dilakukan; (b) pembentukan dan pelaksanaan struktur otonomi politik di setiap

tingkat kekuasaan dalam wilayah tertentu; (c) substansi umum atas program politik, seperti

yang terdapat dalam berbagai tulisan dan pidato-pidato; (d) propaganda media; (e)

pembentukan dan pelaksanaan struktur otonomi militer; (f) mobilisasi tentara; (g) serangan

militer yang terkoordinasi dan berulang-ulang dan bersifat sementara di wilayah tertentu; (h)

kaitan antara hierarki militer dengan struktur dan program politik; (i) perubahan komposisi

‘etnis’ dari populasi penduduk; (j) tindakan diskriminatif, baik dalam bidang administrasi

maupun bidang lainya (pelarangan aktivitas perbankan, laissez-passer, ...); (k) skala tindak

kekerasan yang dilakukan, khususnya pembunuhan, dan tindak kekerasan lain, seperti

pemerkosaan, pemenjaraan sewenang-wenang, deportasi dan perampasan atau penghancuran

harta milik warga sipil, khususnya pada situs-situs yang sakral.”

Lihat juga Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 205: Rencana untuk serangan

“tidak harus diatur di tingkat teratas dari alat-alat kekuasaan Negara (State machinery).”

vi) Niat jahat (mental state, mens rea) (unsur ke-6)

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 556: “[P]ersyaratan adanya mens

rea untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dilihat dari (1) niat untuk melakukan

kejahatan-kejahatan utama dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dikombinasikan

dengan (2) pengetahuan dalam konteks umum di mana kejahatan tersebut terjadi.”

(1) Niat

(a) Pelaku harus mempunyai niat untuk melakukan kejahatan-kejahatan

utama (underlying offences)

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 37: “[T]ersangka ... harus

mempunyai niat untuk melakukan kejahatan-kejahatan utama atau kejahatan yang dituduhkan

kepadanya....”

112

Page 113: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(b) Motif tidak relevan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 103: “‘[M]otif

tersangka yang membuat ia terlibat dalam serangan tidak relevan....’” “[T]ersangka tidak harus

terlibat dalam menentukan maksud dan tujuan dibelakang serangan.”

Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 270, 272: “[B]erdasarkan hukum

kebiasaan, ‘motif pribadi semata’ tidak relevan dalam menentukan apakah kejahatan terhadap

kemanusiaan telah dilakukan atau tidak.” “Dalam opini Pengadilan Banding, persyaratan

bahwa suatu tindak kejahatan dilakukan semata-mata karena motif pribadi tersangka, tidak

dapat dijadikan alasan dalam menentukan apakah tindakan tersebut telah memenuhi

persyaratan definisi kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Pasal 5 Statuta Pengadilan.

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 187: “Juga ... dijelaskan

bahwa motif tersangka tidak relevan dengan konteks ini.”

(c) Tidak relevan jika tersangka memiliki niat untuk melancarkan

serangan secara langsung terhadap populasi sasaran atau korban

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 103: “Tidak ...

relevan jika tersangka berniat untuk melancarkan serangan secara langsung terhadap populasi

sasaran atau korbannya. Serangan itulah yang ditujukan secara langsung terhadap populasi

sasaran, bukan tindakan tersangka. Tersangka hanya perlu mengetahui bahwa tindakannya

merupakan bagian dari serangan tersebut.”

(d) Niat diskriminatif hanya disyaratkan untuk penganiayaan

Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 283, 292, 305: “Maksud umum dari Pasal

5 semakin jelas bahwa ketentuan ini tidak mencakup semua kejahatan terhadap kemanusiaan

yang dilakukan dengan niat diskriminatif. Niat diskriminatif ini hanya mungkin pada

kejahatan ‘penganiayaan yang diatur dalam Pasal 5(h).’” “[H]ukum kebiasaan internasional,

yang merupakan perkembangan secara bertahap dari instumen internasional dan dari kasus-

kasus nasional yang menjadi aturan umum, tidak mengisyaratkan adanya niat diskriminatif

113

Page 114: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

dan penganiayaan untuk semua kejahatan terhadap kemanusiaan.” “[S]idang Pengadilan

keliru dalam menyimpulkan bahwa seluruh kejahatan terhadap kemanusiaan mengharuskan

adanya niat diskriminatif. Niat tersebut merupakan unsur hukum yang tidak dapat

ditangguhkan (indispensable legal ingredient) dari kejahatan yang hanya terkait dengan kejahatan

terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 5(h) tentang berbagai bentuk penganiayaan.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 186: “Pengadilan Banding

dalam kasus Tadic melakukan klarifikasi terhadap isu-isu lain yang berkaitan dengan mens rea

dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka menolak pandangan yang menyatakan bahwa

untuk dapat disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan maka semua tindakan atau

kejahatan yang relevan harus dilakukan oleh pelaku dengan latar belakang diskriminatif.

[N]iat diskriminatif merupakan unsur hukum yang tidak dapat ditangguhkan hanya untuk

kejahatan yang termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yang dijelaskan dalam Pasal

5(h), yang berisi berbagai macam penganiayaan.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 244: “[U]ntuk memutuskan bersalah atas

kejahatan terhadap kemanusiaan, kecuali dalam kasus penganiayaan, pelaku tidak harus

memiliki niat untuk menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran karena alasan ras, agama atau

kepercayaan politiknya.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 260: “[K]ejahatan-kejahatan, seperti

pembunuhan, pemusnahan penduduk, perbudakan, deportasi, pemenjaraan, penyiksaan,

pemerkosaan atau tindakan tidak manusiawi lainnya (dengan pengecualiaan penganiayaan),

yang mengiringi ‘serangan meluas atau sistematik’, dapat digolongkan sebagai kejahatan

terhadap kemanusiaan, dan kejahatan-kejahatan tersebut tidak harus dilakukan dengan niat

untuk melukai warga sipil karena karakter spesifiknya. Untuk menyatakan bersalah atas

kejahatan tersebut, maka pihak-pihak yang bertanggung-jawab atas serangan itu tidak harus

bertindak dengan niat tertentu misalnya karena alasan ras, kebangsaan, agama atau niat politik

mereka.”

Penuntut v. Todorovic, Kasus No. IT-95-9/1 (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001, Paragraf 113:

Kejahatan penganiayaan adalah “satu-satunya kejahatan terhadap kemanusiaan yang

114

Page 115: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

mensyaratkan pelakunya bertindak dengan niat diskriminatif dan, dengan sifat tersebut,

kejahatan itu berhubungan dengan kejahatan lain.”

Lihat juga diskusi tentang niat jahat (mental state, mens rea) dalam kejahatan-kejahatan utama

(underlying offences), bagian (IV)(c)(i)(6) (pembunuhan); (IV)(c)(ii)(4) (pemusnahan);

(IV)(c)(iii)(1) (perbudakan); (IV)(c)(iv) (pemenjaraan); (IV)(c)(v)(4) (penyiksaan); (IV)(c)(vi)

(pemerkosaan); (IV)(c)(vii)(2) (penganiayaan); (IV)(c)(viii)(2)(c) (tindakan tidak manusiawi

lainnya), ICTY Digest.

(2) Pengetahuan

(a) Pelaku harus secara sadar terlibat dalam serangan meluas dan

sistematik, yaitu memiliki pengetahuan atas serangan dan mengetahui

kaitan antara tindakannya dengan konteks serangan tersebut

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 102: “[P]elaku harus

mempunyai niat untuk melakukan underlying offences (kejahatan utama) atau kejahatan-

kejahatan yang dituduhkan kepadanya, dan oleh karena itu ia harus mengetahui ‘bahwa telah

terjadi serangan terhadap warga sipil, dan tindakannya merupakan bagian dari serangan

tersebut, atau paling tidak ia mengambil risiko bahwa tindakannya merupakan bagian dari

serangan.’” Lihat juga Krnojelac, (Pengadilan Banding), 15 Maret 2002, Paragraf 59 (sama).

Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 271: “Sidang Pengadilan secara jelas

mengakui bahwa kejahatan yang tidak terkait dengan serangan meluas dan sistematik

terhadap warga sipil tidak dapat diadili sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (yang terjadi

pada konflik bersenjata), dan pelaku mengetahui bahwa kejahatan yang dilakukannya sangat

terkait dengan kejahatan tersebut.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 244: “Pelaku harus secara sadar dalam

melakukan serangan meluas dan sistematik terhadap warga sipil.”

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 56: “Pelaku harus ... sadar bahwa

kejahatan yang dilakukannya merupakan bagian dari serangan meluas dan sistematik.”

115

Page 116: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

116

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 247: “Pelaku terlebih dahulu harus

memiliki pengetahuan dalam konteks umum atas tindakannya dan kemudian kaitan antara

tindakannya dengan konteks serangan tersebut.”

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 410: Dalam kaitan

dengan persyaratan undang-undang (hukum) dalam konflik bersenjata, unsur yang diperlukan

adalah: “... v) pelaku harus mengetahui konteks kejahatan yang dilakukan secara luas dan

menyadari bahwa tindakannya merupakan bagian dari serangan tersebut.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 185: “Bagian yang

ditransformasikan sebagai tindak kejahatan individu dalam kejahatan terhadap kemanusiaan

merupakan gabungan dari tindakan dalam dimensi yang lebih besar dalam rangka

penuntutan. Oleh karena itu, yang disebut dengan pengetahuan aktual atau konstruktif atas

konteks serangan meluas, berarti bahwa tersangka harus mengetahui bahwa tindakannya

merupakan bagian dari serangan meluas dan sistematik terhadap warga sipil dan dilakukan

sesuai dengan kebijakan atau perencanaan, yang mana hal tersebut diperlukan untuk

memenuhi persyaratan mens rea yang dilakukan tersangka.”6

(b) Alternatif lain, pelaku harus mengetahui latar belakang serangan dan

mengambil risiko atas keterlibatan dirinya dalam serangan tersebut.

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 37: Pelaku “harus mengetahui

‘bahwa telah terjadi serangan terhadap penduduk sipil, dan bahwa kejahatan yang

dilakukannya merupakan bagian dari serangan tersebut, atau paling tidak [ia mengambil]

risiko bahwa tindakannya adalah bagian dari serangan.’”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 257: “Selanjutnya mens rea yang ditujukan

khusus untuk kejahatan terhadap kemanusiaan tidak mensyaratkan adanya agen yang

6 Lihat Bagian (IV)(b)(v)(7), ICTY Digest, apabila perencanaan atau kebijakan menjadi sebuah persyaratan.

Page 117: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

diidentifikasi berdasarkan ideologi, kebijakan atau perencanaan dalam kejahatan yang

dilakukan secara massal, sekalipun agen tersebut mendukung kejahatan tersebut. Syarat mens

rea cukup dengan kesadarannya dalam mengambil risiko untuk terlibat dalam menerapkan

ideologi, kebijakan atau perencanaan yang dikeluarkan. Untuk itu harus dibuktikan antara

lain: a) tersangka bersedia melakukan tugas-tugas yang diberikan kepadanya; b) bahwa tugas-

tugas tersebut berkaitan dengan kerjasamanya dengan pejabat politik, militer atau sipil yang

merancang ideologi, kebijakan atau perancanaan yang digunakan sebagai dasar kejahatan; c) ia

menerima perintah yang terkait dengan ideologi, kebijakan atau perencanaan; dan d) bahwa ia

terlibat dalam kejahatan yang dilakukan dengan niat atau dengan cara menolak mengambil

langkah-langkah yang diperlukan untuk menghindari keterlibatannya.”

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 59: “Cukup bahwa, melalui

tindakannya atau tugas-tugas yang diterimanya, ia (pelaku) secara sadar mengambil risiko

untuk terlibat dalam melakukan serangan.”

(c) Pengetahuan atas rincian serangan tidak dipersyaratkan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 102. “Persyaratan

[bahwa tersangka harus mengetahui bahwa terjadi serangan terhadap penduduk sipil dan

bahwa tindakannya merupakan bagian dari serangan tersebut, atau setidaknya ia mengambil

risiko bahwa tindakannya merupakan bagian dari serangan] tidak memerlukan pengetahuan

secara terinci atas serangan tersebut.”

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 59: “[T]ersangka harus mengetahui

bahwa terjadi serangan secara langsung terhadap penduduk sipil dan ia harus sadar bahwa

tindakannya merupakan bagian dari serangan, atau setidaknya ia mengambil risiko bahwa

tindakannya merupakan bagian dari serangan tersebut. Hal ini, tidak mengharuskan adanya

pengetahuan mendetail atas serangan tersebut.”

(d) Tersangka tidak harus menyetujui konteks serangan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 185: “Tidak ada

persyaratan yang jelas dalam jurisprudensi ... bahwa pelaku harus menyetujui konteks

117

Page 118: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

serangan di mana tindakannya merupakan bagian dari serangan tersebut, serta memiliki

pengetahuan atas hal tersebut.” “[P]ada dasarnya pelaku harus mengetahui bahwa tindakan

yang dilakukannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan mengerti seluruh konteks

tindakannya.”

(e) Faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan dalam konteks pengetahuan

Blaskic, (Pengadilan Banding), 3 Maret 2000, Paragraf 258-259: “[P]engetahuan atas konteks

politik di mana kejahatan tersebut dilakukan dapat diduga dari sejumlah fakta konkret” yang

antara lain adalah “(a) kondisi historis dan politis di mana kekerasan tersebut terjadi; (b)

tugas-tugas yang dilakukan tersangka pada saat kejahatan tersebut dilakukan; (c) tanggung-

jawabnya dalam hierarki politik atau militer; (d) hubungan langsung dan tidak langsung antara

hierarki politik dan militer; (e) lingkup dan tingkat keseriusan tindakan yang dilakukannya; (f)

sifat kejahatan yang dilakukan dan tingkat pengetahuannya atas kejahatan tersebut.”

c) Kejahatan-kejahatan utama

i) Pembunuhan

(1) Unsur-unsurnya

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan ), 14 Januari 2000, Paragraf 560: “Unsur-unsur utama

pembunuhan pada Pasal 5(a) Statuta ... menetapkan kematian korban sebagai hasil tindakan

atau pembiaran yang dilakukan terdakwa, di mana perbuatan terdakwa menjadi penyebab

penting atas kematian korban. Dapat dikatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan

pembunuhan jika ia melakukan tindakan melawan hukum, berniat membunuh orang lain atau

menyebabkan orang ini mengalami luka serius, dan mengakibatkan kematian orang tersebut.”

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 485: “Pembunuhan telah didefinisikan

secara konsisten ... sebagai kematian korban yang disebabkan oleh tindakan atau pembiaran

yang dilakukan terdakwa, di mana tindakan atau pembiaran tersebut dilakukan dengan niat

untuk membunuh atau menyebabkan bahaya serius terhadap korban, dan ia mengetahui

bahwa perbuatan tersebut dapat menyebabkan kematian korban.”

118

Page 119: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 217: “[U]nsur legal dan faktual dari

tindakan pembunuhan adalah: (a) kematian korban; (b) kematian tersebut diakibatkan oleh

tindakan terdakwa atau bawahannya; (c) kejahatan tersebut diakukan oleh terdakwa atau

bawahannya dengan dorongan niat untuk membunuh korban, atau terdakwa menyebabkan

bahaya serius terhadap korban dan dapat berakhir dengan kematian.”

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 35: “Pembunuhan didefinisikan

sebagai homisida (homicide) yang dilakukan dengan niat untuk membunuh (intention to cause

death). Unsur-unsur hukum dari tindakan tersebut secara legal diakui dalam hukum nasional,

dan dapat dicirikan sebagai berikut ini: (a) korban mati, (b) akibat tindakan terdakwa, (c)

dilakukan dengan niat untuk membunuh.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 236: “Untuk menyatakan

seorang terdakwa pembunuhan bersalah, unsur-unsur berikut ini harus dibuktikan, yaitu:

kematian korban; kematian tersebut diakibatkan oleh tindakan atau pembiaran yang

dilakukan terdakwa atau bawahannya; terdakwa atau bawahannya berniat untuk membunuh

korban, atau mengakibatkan bahaya serius terhadap dirinya sehingga secara logis serangan

tersebut dapat mengakibatkan kematiannya.”

(2) “Pembunuhan” (murder) pada Pasal 5 Statuta, dibandingkan dengan

Pasal 2 dan 3

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 323-324: “[U]nsur-unsur kejahatan

pembunuhan pada Pasal 3 sama seperti Pasal 5 Statuta.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 236: “[U]nsur-unsur

pembunuhan pada Pasal 5 sama dengan unsur-unsur kajahatan yang terkait dengan

pembunuhan secara sengaja (wilful killing) pada Pasal 2 dan pembunuhan (murder) pada Pasal 3

Statuta, dengan pengecualian bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan, maka ‘pembunuhan’ tersebut harus merupakan bagian dari serangan meluas

dan sistematik terhadap penduduk sipil.”

119

Page 120: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Lihat juga kajian tentang pembunuhan secara sengaja (willful killing) pada Pasal 2, Bagian

(I)(d)(i), dan pembunuhan pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(iv), ICTY Digest.

(3) Bukti jasad korban tidak dipersyaratkan

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 326: “Yang dimaksud dengan bukti

yang tidak diragukan (proof beyond reasonable doubt) adalah bahwa jasad seseorang yang menjadi

korban pembunuhan tidak harusk ada. [F]akta bahwa kematian korban dapat diduga secara

kuat dari seluruh bukti yang ditunjukkan di Sidang Pengadilan.”

(4) Bunuh diri sebagai pembunuhan

Krnojelac, (Pengadilan tingkat Banding), 15 Maret 2002, Paragraf 329: “Persoalan utama

[untuk menentukan apakah bunuh diri dapat dianggap sebagai pembunuhan] dapat dilihat

dari penyebab (causation) dan niat dari perbuatan tersebut. Relevansi antara perbuatan atau

pembiaran yang dilakukan terdakwa atau siapa pun yang tindakan atau pembiarannya

menyebabkan korban mengambil keputusan untuk melakukan bunuh diri, adalah bahwa

tindakan atau pembiaran terdakwa yang menyebabkan korban bunuh diri dilakukan dengan

niat, atau terdakwa mengetahui bahwa tindakan bunuh diri yang dilakukan korban

merupakan hasil dari perbuatan atau pembiarannya. Terdakwa tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya kecuali dibuktikan bahwa keputusan korban untuk melakukan

bunuh diri yang berakibat pada kematiann korban itu sendiri merupakan konsekuensi dari

tindakan atau pembiaran yang dilakukan pelaku, atau siapa pun yang harus

mempertanggungjawabkan tindak kejahatannya.”

(5) “Pembunuhan” (murder) bukan “pembunuhan terencana” (premeditated

murder) merupakan kejahatan utama

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 235: “[S]idang Pengadilan

yang mengadili kasus Blaskic menyatakan bahwa ‘kasus tersebut adalah pembunuhan

(murder/meurtre), dan bukan pembunuhan yang direncanakan (premeditated murder/assassinat)

120

Page 121: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

yang dikategorikan sebagai kejahatan-kejahatan utama dari kejahatan terhadap kemanusiaan.’”

Lihat juga Blaskic, (Sidang Pengadilan ), 3 Maret 2000, Paragraf 216 (sama).

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 51: “Sidang Pengadilan mencatat ...

bahwa teks bahasa Inggris dalam Statuta menggunakan istilah “pembunuhan” (murder) dan

“memperhatikan” bahwa “perlu mengadopsi istilah ini sebagai istilah yang dapat digunakan

dalam hukum internasional.”

(6) Niat jahat (mental state, mens rea)

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 561: “Persyaratan mens rea atas

tindak pembunuhan pada Pasal 5(a) adalah niat untuk membunuh atau niat untuk melukai

seseorang secara serius dengan mengabaikan hak untuk hidupnya. [S]tandard mens rea yang

disyaratkan adalah niat dan pembunuhan yang terencana. Yang dimaksud dengan terencana

apabila pelaku menyusun niat untuk membunuh setelah melakukan serangkaian refleksi.

Artinya niat tersebut sesuai dengan tujuan pelaku, atau pihak yang terlibat menyadari bahwa

tindakannya akan mengakibatkan sesuatu yang fatal (ordinary course of events).”

ii) Pemusnahan (extermination)

(1) Pengantar umum

Kristic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 503: “[U]ntuk menetapkan terjadinya

kejahatan pemusnahan yang merupakan persyaratan umum dalam kejahatan terhadap

kemanusiaan, harus ada bukti dalam populasi tertentu yang menjadi target, dan anggota

populasi tersebut dibunuh atau menjadi sasaran dari kondisi kehidupan yang diperhitungkan

akan mendatangkan kehancuran dalam jumlah yang signifikan dari populasi tersebut.”

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 229: “[U]nsur kejahatan

‘pemusnahan’ adalah sebagai berikut: (1) Unsur material pemusnahan merupakan tindakan

seseorang atau kombinasi tindakan yang menyebabkan terjadinya pembunuhan terhadap

orang dalam jumlah besar (actus reus); (2) Penyerang harus memiliki niat untuk membunuh,

membahayakan hidup seseorang, atau menyebabkan luka serius, dan ia sadar bahwa tindakan

121

Page 122: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

atau pembiaran yang dilakukannya dapat mengakibakan kematian, atau penyerang berniat

untuk terlibat dalam pemusnahan terhadap sejumlah orang, dan ia mengetahui bahwa

tindakannya merupakan bagian dari pembunuhan berskala besar yang secara sistematik

sejumlah besar orang diindentifikasi sebagai sasaran pembunuhan (mens rea).

(2) Jumlah orang yang terlibat

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 502: “[D]efinisi ini harus diartikan

sebagai penghancuran terhadap sejumlah bagian yang signifikan atas populasi yang menjadi

sasaran.”

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 227: “Sidang Pengadilan

menyimpulkan ... bahwa tanggung jawab pidana untuk ‘pemusnahan’ hanya dilekatkan pada

orang-orang yang bertanggung-jawab atas kematian sejumlah besar orang, meski keterlibatan

mereka tidak secara langsung atau hanya dari jarak jauh. Kematian satu atau sejumlah kecil

orang tidak cukup untuk dikatakan sebagai pemusnahan.”

Lihat juga Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 501: “[A]pabila kejahatan

tersebut secara umum melibatkan sejumlah besar korban, maka tindakan tersebut dapat

dikategorikan sebagai pemusnahan meskipun korban yang diakibatkan dari tindakan tersebut

terbatas.”

(3) Pemusnahan harus ditujukan kepada kumpulan orang (kolektif), tidak

langsung kepada orang-per orang

Vasiljevic (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 227: “Sidang Pengadilan ...

menyimpulakan bahwa kejahatan pemusnahan harus ditujukan kepada kumpulan orang dan

bukan kepada orang-perorang. ...”

(4) Niat jahat (mental state, mens rea)

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 228: “[T]idak cukup untuk

menetapkan bahwa pemusnahan yang dilakukan pelaku yang berniat membunuh sejumlah

122

Page 123: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

besar orang, atau menyebabkan bahaya atas hidup orang, atau mengakibatkan luka serius,

dengan pengetahuan yang beralasan bahwa tindakan atau pembiaran tersebut dapat

menyebabkan kematian seperti halnya pembunuhan. Pelaku harus mengetahui adanya

rancangan pembunuhan secara kolektif (colective murder) dan ia bersedia terlibat dalam aksi

tersebut.”

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 229: “Pelaku harus berniat untuk

membunuh, untuk membahayakan hidup sejumlah orang, dengan pengetahuan yang

beralasan bahwa tindakan atau pembiarannya yang dilakukannya dapat menyebakan

kematian, atau pelaku berniat untuk terlibat dalam penyingkiran sejumlah orang, secara logis

bahwa tindakannya merupakan bagian dari sebuah kerja sama terorganisir di mana sejumlah

besar orang menjadi target sistematik pembunuhan atau dibunuh (mens rea).”

(a) Niat diskriminatif tidak dipersyaratkan

Krstic, (Sidang Banding), 2 Agustus 2001, Paragraf 500: “[P]emusnahan dapat terjadi apabila

kejahatan itu ditujukan langsung pada keseluruhan orang dalam kelompok meskipun tidak

ada niat diskriminatif seperti latar belakang kebangsaan, etnisitas, rasial atau agama.”

iii) Perbudakan

(1) Actus reus dan mens rea

Kunarac, Kovac dan Vokovic (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 116: “‘Actus reus kejahatan

perbudakan merupakan pelaksanaan dari satu atau seluruh kekuasaan yang dimilikinya terkait

dengan hak kepemilikannya terhadap orang lain,’ dan ‘mens rea dari kejahatan ini terdapat

pada penggunaan kekuasaan secara sengaja (intentional exersice of such powers).’”

Krnojelac, (Sidang Pengadilan ), 15 Maret 2002, Paragraf 350: “Perbudakan yang tertera pada

Pasal 5 ... telah didefinisikan oleh Pengadilan (Tribunal) sebagai perwujudan satu atau seluruh

kekuasaan dari hak kepemilikan terhadap orang lain. Actus reus perbudakan adalah

penggunaan kekuasaan tersebut, dan mens rea-nya adalah niat menggunakan kekuasaannya

itu.”

123

Page 124: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(2) Indikasi (indicia) perbudakan (enslavement)

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 119: Dalam menentukan

apakah perbudakan telah terjadi, indikasi perbudakan harus dapat diidentifikasi oleh Sidang

Pengadilan, yang meliputi: “kontrol atas gerak seseorang, kontrol atas lingkungan fisiknya,

kontrol psikologis, tindakan-tindakan yang diambil untuk mencegah atau menghalangi upaya

melarikan diri, ancaman kekerasan atau pemaksaan, secara khusus menjadi korban dari

tindakan kejam dan kekerasan dalam waktu tertentu, kontrol atas seksualitas dan kerja

paksa.”

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 359: “‘Penerapan kerja paksa atau

pelayanan paksa’ merupakan ‘indikasi terjadinya perbudakan,’ dan merupakan ‘faktor yang

menjadi pertimbangan dalam menentukan apakah perbudakan telah terjadi.’”

(a) Memenjarakan seseorang tidak cukup untuk digolongkan sebagai

perbudakan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 542: “Menahan

atau memenjarakan seseorang hanya merupakan indikasi lain perbudakan, dan tergantung

dari keadaan kasus tersebut; biasanya tidak dapat dikatakan sebagai perbudakan.” “Indikasi

lain atas perbudakan meliputi eksploitasi; kerja paksa atau pelayanan, sering kali dilakukan

tanpa pemberian upah, dan sering kali terjadi eksploitasi fisik; seks; prostitusi; dan

perdagangan manusia.”

(b) Durasi perbudakan merupakan salah satu faktor, namun bukan

elemen yang dipersyarakan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 121, 356: “Jangka waktu

(durasi) terjadinya perbudakan bukan salah satu unsur kejahatan. Pertanyaan selanjutnya

adalah kualitas hubungan antara terdakwa, yang ditentukan oleh sejumlah faktor, dan salah

satunya adalah jangka waktu (durasi) hubungan tersebut.” “[D]urasi dapat menjadi salah satu

faktor yang menentukan terjadinya perbudakan ‘apabila digunakan sebagai pertimbangan

124

Page 125: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

untuk menentukan apakah seseorang telah menjadi korban perbudakan (enslaved) atau tidak.’

Artinya bahwa durasi bukan salah satu unsur kejahatan, tetapi dapat digunakan sebagai faktor

dalam membuktikan unsur-unsur kejahatan tersebut. Semakin lama periode (durasi)

perbudakan, maka kejahatan itu menjadi semakin serius.”

(3) Kurangnya perlawanan bukan merupakan tanpa persetujuan; kurangnya

persetujuan bukan salah satu unsur perbudakan

Kunarac, Kovac dan Vokovic (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 120: “Kurangnya

perlawanan atau tidak adanya persetujuan yang jelas dan konstan selama waktu penahanan”

tidak dapat ditafsirkan sebagai tanda persetujuan (consent). Kurangnya persetujuan bukan

unsur kejahatan perbudakan.

Lihat juga kajian tentang perbudakan (slavery) pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(xiii), ICTY Digest.

iv) Pemenjaraan

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 115: “Untuk menentukan kejahatan

pemenjaraan sebagai salah satu kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Pasal 5(e)

Statuta Pengadilan ... unsur-unsur berikut ini harus dipenuhi: i) kebebasan seseorang telah

dirampas; ii) perampasan kebebasan ini dilakukan secara sewenang-wenang, dalam arti tidak

ada dasar hukum yang menjustifikasi perampasan kebebasan tersebut; iii) tindakan atau

pembiaran yang terjadi dilakukan oleh terdakwa atau oleh orang-orang dengan niat untuk

merampas kebebasan fisik seseorang secara sewenang-wenang atau dengan pengetahuan yang

beralasan bahwa tindakan atau pembiaran yang dilakukannya dapat menyebabkan

terampasnya kebebasan fisik seseorang secara sewenang-wenang.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 302-303: “[I]stilah

pemenjaraan pada Pasal 5(e) Statuta harus dianggap sebagai pemenjaraan yang dilakukan

secara sewenang-wenang, artinya tindakan tersebut merupakan perampasan terhadap

kebebasan seseorang tanpa proses hukum, dan dilakukan sebagai bagian dari serangan yang

meluas dan sistematik terhadap penduduk sipil. Dalam konteks itu, Pengadilan harus menguji

keabsahan (legalitas) pemenjaraan itu, seperti halnya pedoman prosedural yang terkait dengan

125

Page 126: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

pemenjaraan seseorang. Hal ini juga harus didasarkan pada lamanya pemenjaraan terhadap

orang atau sekelompok orang yang mengalami gugatan (in question), sebelum menentukan

apakah peristiwa tersebut merupakan bagian dari serangan meluas dan sistematik yang

ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil.”

v) Penyiksaan

(1) Unsur-unsur

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 142: Definisi

[penyiksaan] harus berdasarkan pada unsur-unsur berikut ini: “(i) Penderitaan, akibat

tindakan atau pembiaran, yang mengakibatkan luka parah dan kesengsaraan, baik fisik

maupun mental. (ii) Tindakan atau pembiaran tersebut harus diawali dengan niat. (iii)

Tindakan atau pembiaran tersebut harus dimaksudkan untuk memperoleh informasi atau

pengakuan dengan cara menghukum, mengintimidasi atau memaksa korban atau pihak

ketiga, dengan diskriminasi atau alasan lain untuk melawan korban atau pihak ketiga.” Lihat

kasus Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 179 (sama).

(2) Persyaratan terjadinya luka parah atau penderitaan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 142: Unsur pertama

untuk kejahatan penyiksaan adalah “[a]danya penderitaan yang diakibatkan oleh tindakan atau

pembiaran, yang menyebabkan luka parah atau penderitaan, baik fisik maupun mental.”

(a) Pemerkosaan sering kali berdampak pada luka parah atau penderitaan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 149-151: “[B]eberapa

kejahatan lain juga mengakibatkan penderitaan bagi korbannya. Pemerkosaan adalah ... salah

satu dari kejahatan tersebut. Kekerasan seksual mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan

berat, baik fisik maupun mental, dan dalam hal ini dapat digolongkan ke dalam penyiksaan.

Pemerkosaan menyebabkan penderitaan berat dan luka parah seperti yang disebut dalam

definisi kejahatan penyiksaan terjadi, apabila terbukti bahwa pemerkosaan tersebut

berdampak pada rasa sakit dan penderitaan.”

126

Page 127: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 145: “[P]emerkosaan dapat

menyebabkan luka parah dan penderitaan seperti halnya penyiksaan, apabila unsur-unsur

penyiksaan seperti tujuan yang dilarang, terpenuhi.”

Lihat juga bahasan tentang pemerkosaan dan bentuk lain dari kekerasan seksual sebagai

bagian dari kejahatan perang berupa penyiksaan pada Pasal 3, Bagian (II)(d)( i)(7)(b), ICTY

Digest.

(3) Persyaratan tujuan yang dilarang

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 142: “Tindakan atau

pengabaian harus dimaksudkan untuk mendapatkan informasi atau pengakuan, yang

dilakukan dengan cara menghukum, mengintimidasi atau memaksa korban atau pihak ketiga,

atau dengan cara mendiskriminasi korban atau orang ketiga.” Lihat juga kasus Krnojelac,

(Sidang Pengadilan ), 15 Maret 2002, Paragraf 179 (sama).

(a) Tujuan yang dilarang tidak harus mendominasi atau tidak harus

menjadi satu-satunya tujuan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 155: “[T]indak kejahatan

tidak harus dilakukan semata-mata untuk sebuah tujuan yang dilarang oleh hukum

internasional. Jika satu tujuan yang dilarang (prohibited purpose) terpenuhi dalam tindak

kejahatan tersebut, fakta bahwa maka tindakan tersebut juga dimaksudkan untuk mencapai

tujuan yang tidak termasuk dalam daftar (bahkan tindakan sesksual) tidak menjadi materi

pertimbangan.”

Mucic dkk., (Sidang Pengadilan), 16 November 1998, Paragraf 470; Tujuan yang dilarang

(prohibitied purpose) seperti yang tertera dalam Konvensi Menentang Penyiksaan “tidak berisi

tentang daftar yang lengkap, dan harus dianggap sebagai satu-satunya daftar yang

representatif.” “Selanjutnya juga tidak ada persyaratan bahwa kejahatan tersebut semata-mata

dilakukan untuk sebuah tujuan yang dilarang akan tetapi, untuk memenuhi persyaratan ini,

127

Page 128: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

tujuan yang dilarang harus merupakan bagian dari motivasi di balik tindak kejahatan tersebut

meskipun tidak harus mendominasi atau merupakan satu-satunya tujuan.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 153: “[T]ujuan yang dilarang

tidak harus merupakan satu-satunya atau tidak harus merupakan tujuan utama dari sebuah

tindakan yang menyebabkan luka parah dan penderitaan.”

(4) Niat jahat (mental state, mens rea)

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 153: “[M]eskipun

motivasi pelaku sepenuhnya adalah hasrat seksual, namun tidak berarti bahwa pelaku tidak

memiliki niat untuk menyiksa, atau tidak berarti bahwa tindakannya tidak mengakibatkan luka

parah dan penderitaan, baik fisik maupun mental, sebab luka dan penderitaan merupakan

konsekuensi dari perbuatan pelaku. Melihat definisinya, maka penting untuk menetapkan

bahwa, meskipun seorang pelaku mempunyai niat untuk bertindak sedemikian rupa, tetapi

dalam keadaan normal, tindakan tersebut dapat mengakibatkan luka parah dan penderitaan,

baik mental maupun fisik, kepada korbannya.”

(5) Peran dari pejabat negara tidak diperlukan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 148: “[K]eterlibatan

pejabat publik tidak disyaratkan dalam hukum kebiasaan internasional berkaitan dengan

tanggung jawab individu atas kasus penyiksaan di luar kerangka Konvensi Menentang

Penyiksaan.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 139: “[P]ersyaratan aktor

negara yang disebutkan dalam hukum hak asasi manusia internasional tidak konsisten dengan

penerapan hukum berkaitan dengan tanggung jawab individu atas kejahatan internasional

yang terdapat dalam hukum humaniter internasional dan hukum pidana internasional.”

Lihat juga bahasan tentang penyiksaan pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(i), ICTY Digest.

vi) Pemerkosaan

128

Page 129: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 127-132: “Dalam hukum

internasional, actus reus kejahatan pemerkosaan didefinisikan sebagai; penetrasi seksual

(meskipun tidak penuh/dangkal) pada: (a) vagina atau anus korban oleh penis pelaku atau

benda lain yang digunakan oleh pelaku; atau (b) mulut korban oleh penis pelaku; di mana

tindakan penetrasi seksual ini terjadi tanpa persetujuan korban. Persetujuan (consent) yang

dimaksud di sini adalah persetujuan yang didasarkan pada keinginan bebas korban. Mens rea

adalah niat yang mengakibatkan terjadinya penetrasi seksual, dan kejadian itu terjadi tanpa

persetujuan korban.” “Perlawanan” tidak harus ada dalam konteks ini. “Paksaan atau

ancaman jelas menggambarkan bahwa pemerkosaan itu terjadi tanpa persetujuan, meskipun

paksaan ini bukanlah unsur penyebab pemerkosaan.” “[T]erdapat faktor di luar paksaan yang

menyebabkan terjadinya penetrasi seksual yang bersifat non-consensual (tanpa persetujuan) atau

non-voluntary (tanpa kerelaan) korban. Pandangan sempit tentang paksaan atau ancaman yang

hanya terbatas pada paksaan secara fisik (physical force) hanya menguntungkan pelaku

pemerkosaan, di mana ia dapat terhindar dari tanggung-jawabnya sebagai pelaku.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 175, 180: “Pemerkosaan secara

jelas didefinisikan dalam putusan hakim kasus Akayesu sebagai ‘invasi fisik dalam suatu

tindakan seksual, yang dilakukan dengan paksa terhadap seseorang.’” “[K]ekerasan seksual

lebih luas dari pemerkosaan, dan bentuk-bentuk kekerasan ini antara lain adalah perbudakan

seksual (sexual slavery) dan penganiayaan seksual (molestation). Namun, pengadilan kasus

Akayesu menekankan bahwa kekerasan seksual tidak harus melibatkan kontak fisik dan

penelanjangan di yang dipaksakan di depan umum, sebagai misal.”

Lihat juga kajian tentang pemerkosaan pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(i)(7)(b) dan (II)(d)(ii),

ICTY Digest.

vii) Penganiayaan

(1) Tindakan yang dipersyaratkan (actus reus)

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 634: “Untuk menetapkan

bahwa penganiayaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan, maka unsur-

129

Page 130: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

unsur berikut ini harus dibuktikan, yaitu: i) pelaku bertindak diskriminatif atau melakukan

pembiaran; ii) tindakan atau pembiaran tersebut dilakukan tanpa mengindahkan aturan serta

hak-hak mendasar seperti yang tercantum dalam hukum kebiasaan internasional atau

perjanjian internasional; iii) pelaku melakukan kejahatan atau pembiaran dengan maksud

mendiskriminasi atas dasar ras, agama atau politik; iv) persyaratan umum untuk kejahatan

terhadap kemanusiaan dalam konteks ini diatur pada Pasal 5 Statuta.”

(a) Tingkat kejahatan penganiayaan harus sama tingkat keseriusannya

dengan kejahatan lain yang tertera pada Pasal 5

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 185: Penganiayaan yang

dilakukan, baik secara terpisah maupun bersama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan

lain, “harus memiliki tingkat keseriusan yang sama dengan kejahatan lain yang tercantum

pada Pasal 5.”

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 January, 2000, Paragraf 618-619: “[U]ntuk

mengkategorikan penganiayaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak cukup

mendefinisikan serangkaian utama tindakan dan mengabaikan tindak kejahatan lain dalam

keadaan tak tentu. Batasan dari kejahatan yang digolongkan sebagai penganiayaan harus

secara tegas didefinisikan, setidaknya kejahatan penganiayaan harus setara dengan kejahatan

lain yang tertera pada Pasal 5.” Lihat juga kasus Kordic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26

Februari 2001, Paragraf 193-195.

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 621: “Sidang Pengadilan ...

mendefinisikan penganiayaan sebagai pengabaian berat (gross denial) dan terang-terangan yang

dilakukan atas dasar diskriminasi terhadap hak-hak dasar sebagaimana tercantum dalam

hukum kebiasaan atau perjanjian internasional, yang memiliki level atau tingkat keseriusan

yang sama seperti kejahatan lain yang dilarang dalam Pasal 5.”

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 247: “Untuk menggolongkan

suatu kejahatan sebagai penganiayaan, maka kejahatan yang dilakukan atau pembiaran

tersebut harus mencapai tingkat keseriusan yang sama dengan kejahatan lain yang tertera

pada Statuta.”

130

Page 131: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(b) Kejahatan penganiayaan termasuk kejahatan yang diatur dalam sub-

klausul Pasal 5, yaitu kejahatan yang dapat di jumpai dibeberapa Pasal

Statuta, dan tidak secara tegas dilarang dalam Statuta

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 185: “Kasus-kasus hukum di

Sidang Pengadilan telah memberi spesifikasi terhadap penganiayaan sebagai kejahatan yang

diatur dalam sub-klausul Pasal 5, yaitu kejahatan yang dapat dijumpai dalam Statuta,

meskipun Statuta tidak menyebutkan kejahatan tersebut secara khusus; dan kejahatan

tersebut mengabaikan hak-hak mendasar yang lain. ...”

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 581, 614-615: “[S]idang

Pengadilan menolak anggapan bahwa penganiayaan harus dikaitkan dengan kejahatan yang

sering dikutip dalam Statuta Pengadilan Internasional. Tak ada persyaratan seperti itu

dikenakan terhadapnya oleh Statuta Pengadilan Internasional.” “Definisi sempit tentang

penganiayaan tidak terdapat dalam hukum kebiasaan internasional. Penganiayaan dapat

berupa perampasan hak dalam lingkup yang sangat luas.” “[T]indakan penganiayaan tidak

secara eksplisit dilarang, baik pada Pasal 5 maupun pasal-pasal lain dalam Statuta.” Lihat juga

kasus Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 185 (penganiayaan

termasuk “tindak kejahatan yang tidak disebutkan dalam Statuta ...”).

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 605-606: “[K]ejahatan yang

disebut dalam sub-klausul Pasal 5 dapat ... dianggap sebagai penganiayaan. Penafsiran sempit

tentang penganiayaan di luar sub-heading lain Pasal 5, bukan merupakan refleksi yang tepat atas

dugaan kejahatan penganiayaan yang telah muncul pada hukum kebiasaan internasional. [J]ika

penganiayaan ditafsirkan secara sempit, maka kejahatan tersebut, dengan tujuan untuk

memasukkan kejahatan yang dijumpai pada sub-heading lain dari Pasal 5, maka sebuah

kekosongan akan muncul dalam Statuta Pengadilan. Tidak akan ada konseptualisasi atas

kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan secara tidak adil, tetapi yang, sebagai misal,

akan masuk semua dalam kejahatan genosida, yang mensyaratkan niat khusus untuk

‘menghancurkan, baik sebagian maupun keseluruhan yang ditujukan kepada kelompok

bangsa, ras atau agama.”

131

Page 132: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(c) Menilai penganiayaan pada konteksnya, dengan melihat efek

kumulatifnya

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 622: “Untuk menentukan

apakah sebuah tindakan dapat dianggap sebagai penganiayaan ... maka tindakan tersebut

harus dinilai dengan melihat konteks dan efek kumulatif yang ditimbulkannya.”

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 247: “Pada saat menentukan

apakah sebuah tindakan atau pembiaran memenuhi persyaratan ini [yaitu bahwa tindakan

atau pembiaran tersebut telah mencapai tingkat keseriusan yang setara dengan kejahatan lain

yang tercantum dalam Statuta], tindakan sebaiknya tidak dipertimbangkan dalam kerangka

tertutup tetapi mestinya diperiksa dalam konteksnya dengan mempertimbangkan efek

kumulatifnya. Meskipun setiap kejahatan yang dilakukan tidak harus melanggar hukum

internasional, namun tindakan itu harus merupakan penganiayaan baik dilakukan sendiri

maupun bersamaan dengan kejahatan lain.”

(d) Penganiayaan harus menyebabkan kerusakan fisik dan mental atau

melanggar kebebasan individu

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 246: “Tindakan atau pembiaran

yang merupakan kejahatan penganiayaan dapat dilihat dari beberapa bentuk, dan tidak ada

daftar komprehensif mengenai tindakan apa saja yang terdaftar sebagai kejahatan

penganiayaan. Kejahatan-kejahatan itu mungkin mencakup tindakan-tindakan yang terdaftar

maupun tindakan-tindakan yang tidak terdaftar dalam Statuta. Tindakan atau pengabaian

mungkin mencakup kerusakan fisik atau kerusakan mental atau melanggar kebebasan

individu.”

(e) Kejahatan tunggal dapat dianggap sebagai penganiayaan jika niat

diskriminatif dapat dibuktikan

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 624: “[P]enganiayaan sering

digunakan untuk menggambarkan rangkaian tindakan kejahatan. Namun, Pengadilan tidak

mengesampingkan kemungkinan bahwa kejahatan tunggal dapat dianggap sebagai

132

Page 133: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

penganiayaan, dan dalam hal demikian harus terdapat bukti yang nyata bahwa tindakan

diskrimatif telah terjadi.”

(f) Contoh-contoh penganiayaan

a. Penghancuran terhadap bangunan atau harta benda yang menjadi

hajat hidup (means of subsistence)

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 234: “Dalam konteks kejahatan

penganiayaan, penghancuran bangunan atau harta benda yang dilakukan, harus dengan

maksud untuk menghancurkan kota, desa atau bangunan (harta benda) milik publik atau

perorangan pada penduduk sipil, atau penghancuran besar-besaran yang dilakukan bukan

karena keterdesakan militer, dan dilakukan dengan cara-cara melawan hukum, sewenang-

wenang dan diskriminatif.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 227: “[P]enganiayaan dapat berbentuk

mendatangkan cedra lain atas diri seseorang, khususnya tindakan-tindakan yang secara serius

dilakukan bukan dengan cara-cara yang nyata-nyata kejam tetapi diskriminasi yang dilakukan

secara langgeng untuk umat manusia. [P]enganiayaan dapat ... berbentuk pengambilalihan

atau pengrusakan terhadap tempat-tempat tinggal pribadi atau lahan-lahan bisnis, bangunan-

bangunan simbolis atau bangunan yang menjadi hajat hidup penduduk seperti yang terjadi

pada etnis Muslim Bosnia-Herzegowina.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 234: Dalam konteks kejahatan

penganiayaan, “penjarahan harta benda didefinisikan sebagai sebagai tindakan melawan

hukum yang dilakukan secara meluas dan dilakukan secara sewenang-wenang atas harta

benda milik kelompok penduduk tertentu, baik harta milik pribadi atau milik negara atau

milik bersama antara negara atau ‘kuasi-negara’ dengan kelompok publik.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 233: “[C]akupan kejahatan

‘penganiayaan’ tidak hanya meliputi perusakan dan pelanggaran fisik dan mental atas

kebebasan individu, tetapi juga kejahatan lain yang lebih ringan, misalnya harta benda,

133

Page 134: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

sepanjang orang-orang yang menjadi korban dipilih secara khusus dengan pertimbangan soal

keterkaitannya dengan harta benda milik kelompok masyarakat tertentu.”

b. Penahanan tidak sah atas warga sipil

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 234: “Penahanan tidak sah atas warga

sipil merupakan salah satu bentuk penganiayaan, artinya merampas kebebasan sekelompok

warga sipil secara diskriminatif.”

c. Deportasi atau pemindahan paksa atas warga sipil

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 234: “Deportasi atau pemindahan paksa

warga sipil [sebagai salah bentuk kejahtan penganiayaan] berarti bahwa ‘pemindahan

penduduk yang menjadi target dengan cara kekerasan atau paksaan dari tempat mereka

tinggal, yang dilakukan tanpa alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.’”

d. Pelecehan, penghinaan dan kekerasan psikologis

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 190: “Untuk menetapkan

sebuah kejahatan sebagai kejahatan penganiayaan; pelecehan, penghinaan dan kekerasan

psikologis sebagai kejahatan serius seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, atau seperti

kejahatan lain seperti tertera pada Pasal 5, maka semua kejahatan tersebut harus menjadi

bagian dari kejahatan yang memenuhi kriteria penganiayaan.” “[P]erlakuan merendahkan

yang membentuk bagian dari serangan yang bersifat diskriminatif terhadap sebuah penduduk

sipil bisa, bersama-sama dengan kejahatan lainnya atau, tindakan itu sendiri, dinilai sebagai

tindakan penganiayaan.”

e. Pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 600, 615: “Menurut interpretasi

pengadilan, kasus penganiayaan harus memasukan sejumlah kejahatan seperti pembunuhan,

pemusnahan, penyiksaan dan kejahatan serius lain terhadap seseorang seperti yang tertera

pada Pasal 5.”

134

Page 135: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

f. Pelanggaran politik, sosial dan ekonomi secara umum

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 615: “Penganiayaan dapat

berupa tindakan diskriminatif yang bervariasi termasuk pelanggaran terhadap hak-hak politik,

sosial dan ekonomi.”

g. Pelanggaran hak atas hidup, kebebasan dan keamanan seseorang;

hak untuk tidak diperlakukan seperti budak atau penghambaan;

hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan kejam, tidak manusiawi

atau diperlakukan rendah atau penghukuman; dan hak untuk tidak

ditangkap, ditahan atau diasingkan secara sewenang-wenang

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 220: “[P]elanggaran atas hak-hak dasar

yang tidak dapat dicerabut dari seseorang, yaitu: ‘hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan

seseorang’, hak untuk tidak ‘diperlakukan sebagai budak’, hak untuk tidak ‘disiksa atau

diperlakukan kejam, tidak manusiawi atau diperlakukan rendah atau penghukuman’, dan hak

untuk tidak ‘ditangkap, ditahan atau diasingkan secara sewenang-wenang’ seperti yang tertera

pada Pasal 3, 4, 5, dan 9 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia secara esensial dapat

dianggap sebagai penganiayaan jika dilakukan secara diskriminatif.”

h. Contoh-contoh lain

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 186: “ICTY menyimpulkan

bahwa tindakan di bawah ini dapat dianggap sebagai penganiayaan apabila dilakukan dengan

niat diskriminatif. Tindakan-tindakan tersebut adalah: pemenjaraan, penahanan tidak sah atas

warga sipil atau pelanggaran atas kebebasan individu, pembunuhan, deportasi atau

pemindahan paksa, penyitaan, pengumpulan, segregasi dan pemindahan paksa atas warga

sipil ke kamp, penghancuran besar-besaran atas tempat tinggal dan harta benda,

penghancuran kota-kota, pedesaan dan harta (bangunan) publik dan perorangan dan

penjarahan harta, serangan terhadap kota besar, kota dan pedesaan, penggalian parit-parit

perlindungan serta penggunaan tawanan dan bukan tawanan sebagai tameng manusia,

135

Page 136: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

pengrusakan dan penghancuran terhadap lembaga-lembaga agama dan pendidikan, serta

kekerasan seksual.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 202-207: “[T]indakan di

bawah ini dapat dikategorikan sebagai penganiayaan, apabila tindakan-tindakan tersebut

dilakukan dengan niat diskriminatif,” yaitu tindakan-tindakan seperti: (1) serangan terhadap

kota besar, kota dan pedesaan; (2) penggalian parit-parit dan penggunaan tawanan serta

tameng manusia; (3) “pengerusakan besar-besaran dan meluas dan/atau menjarah

pemukiman warga sipil seperti yang terjadi di Bosnia, bangunan-bangunan, tempat-tempat

bisnis dan harta milik perorangan dan hajat hidupnya” dapat dianggap sebagai kejahatan

penganiayaan jika efek kumulatif dari perusakan tersebut berakibat pada pindahnya warga

sipil dari komunitasnya dan kejahatan tersebut dilakukan atas dasar diskriminatif; (4)

pengrusakan atau penghancuran atas lembaga-lembaga agama dan pendidikan.

i. Tindakan-tindakan yang tidak termasuk dalam penganiayaan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 208-210: Tindakan-

tindakan di bawah ini tidak termasuk dalam penganiayaan sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan karena tidak terjadi dalam tingkat keseriusan yang sama dengan kejahatan

terhadap kemanusiaan lain seperti yang tertera Pasal 5, yakni tindakan-tindakan seperti:

mendorong dan menyebarkan kebencian atas dasar kepentingan politik; menyingkirkan dan

memindahkan orang-orang Muslim Bosnia dari pemerintahan.

(2) Niat jahat (mental state, mens rea)

(a) Niat diskriminatif menjadi persyaratan dalam kejahatan penganiayaan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 212: “[N]iat tertentu

diperlukan, selain niat khusus (niat untuk melakukan tindakan dan menimbulkan

konsekuensi) dan niat secara umum (adanya pengetahuan objektif dalam konteks kejahatan

pelaku). Niat tertentu itu adalah niat diskriminatif yang membuat kejahatan penganiayaan

terpisah dari Pasal 5 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Niat diskriminatif ini menjadi

persyaratan dalam kejahatan penganiayaan yang berbeda dengan niat secara umum (general

136

Page 137: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

level of intent), seperti kejahatan terhadap kemanusiaan pada Pasal 5, ketika satu-satunya

‘pengetahuan atas konteks’ serangan meluas dan sistematik terhadap warga sipil dianggap

cukup.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 235: Penganiayaan “harus dilakukan

dengan alasan khusus, misalnya pandangan politik, latar belakang ras atau keyakinan agama.

Niat itu adalah niat khusus untuk melukai seseorang karena orang tersebut merupakan bagian

dari komunitas atau kelompok khusus, lebih dari sekadar cara yang digunakan untuk

mencapainya, yang terhadapnya dikenakan sifat individualnya, tingkat keseriusan serta yang

menjustifikasi kemampuannya melakukan tindak kejahatan yang akan muncul dengan

sendirinya, tidak untuk melanggar secara langsung hak-hak dasar manusia, misalnya serangan

terhadap harta benda.”

(b) Persyaratan niat jahat (mental state, mens rea) dalam penganiayaan

lebih tinggi tingkatannya dari kejahatan terhadap kemanusiaan lain,

tapi lebih rendah dari genosida

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 636: “[P]ersyaratan mens rea

dalam penganiayaan lebih tinggi dari kejahatan terhadap kemanusiaan lain, namun lebih

rendah dari kejahatan genosida. Penganiayaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan

merupakan kejahatan yang dapat digolongkan dalam genus yang sama dengan genosida, sebab

keduanya merupakan kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang menjadi anggota

kelompok tertentu atau yang menjadi target karena keanggotaan mereka. Tanpa melihat niat

diskriminatifnya, keduanya (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) merupakan

tindakan yang menyerang seseorang atas dasar karakteristik etnis, ras atau agama (sama

halnya dengan kasus penganiayaan, dengan mempertimbangkan afiliasi politik korban). Niat

diskriminatif pada kasus penganiayaan dapat berupa tindakan tidak manusiawi yang

bervariasi, dan terwujud dalam berbagai bentuk kejahatan seperti pembunuhan, sedangkan

pada genosida, niat diskriminatif tersebut harus dibarengi dengan niat untuk menghancurkan,

baik sebagian maupun keseluruhan, sebuah kelompok di mana korban genosida termasuk

dalam anggota kelompok tersebut. [D]alam pandangan mens rea, genosida adalah bentuk

ekstrem dan tidak manusiawi dari kejahatan yang dilakukan dengan sengaja, di mana

kejahatan tersebut dirancang untuk menghancurkan sebuah kelompok, baik sebagian maupun

137

Page 138: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

keseluruhan, sehingga dapat dikatakan bahwa penganiayaan seperti itu dapat dianggap sebagai

genosida.”

(c) Niat ditujukan kepada kelompok sasaran, bukan perorangan

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 636: “Alasan yang

diskriminatif terjadi pada saat seseorang menjadi target kejahatan karena alasan agama, politik

atau ras orang yang ditargetkan tersebut, misalnya karena keanggotaannya dalam kelompok

tertentu. ... [K]elompok sasaran tersebut harus ditafsirkan secara luas, dan mungkin secara

khusus termasuk orang-orang yang didefinisikan oleh pelaku sebagai bagian dari kelompok

korban karena memiliki afiliasi yang erat atau merupakan simpatisan kelompok korban.

Interpretasi ini konsisten dengan rasio ketentuan yang melarang penganiayaan, karena pelaku

yang menentukan kelompok korban yang menjadi sasaran tidak memiliki pengaruh dalam

mendefinisikan status mereka. Sidang Pengadilan menyimpulkan bahwa dalam kasus Naletilic

dan Martinovic tersebut, diskriminasi faktual yang dilekatkan pada korban merupakan fakta

diskriminatif atas dasar persepsi pelaku terhadap siapa atau apa targetnya.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 235: “Pelaku kejahatan penganiayaan

tidak secara langsung mentargetkan seseorang, tetapi kepada anggota kelompok tertentu

seperti ras, agama atau politik.”

(d) Niat diskriminatif dapat dilihat sebagai kriteria positif dan negatif

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 195: “[T]indakan diskriminatif

dapat dihasilkan dari penerapan kriteria positif atau negatif.” Misalnya, “sebuah serangan

‘yang ditujukan hanya kepada warga non-Serbia dalam sebuah populasi hanya karena mereka

penduduk non-Serbia’ dapat dilihat sebagai indikasi adanya niat yang diskriminatif.”

(e) Niat diskriminatif dapat dilihat dari kesadaran untuk terlibat dalam

sebuah sistem atau kerja sama yang mendiskriminasi atas dasar

politik, ras dan agama

138

Page 139: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 201: “[N]iat diskriminatif

pelaku dapat dilihat dari kesadarannya untuk terlibat dalam sistem atau kerja sama yang

mendiskriminasi atas atas dasar alasan politik, rasial atau agama.”

(f) Tidak ada persyaratan untuk kebijakan diskriminatif

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 435: “Tidak ada persyaratan bahwa

kebijakan yang diskriminatif dalam kejahatan penganiayaan dapat dilihat dari keterlibatan

pelaku dalam merancang kebijakan yang diskriminatif tersebut atau praktik diskriminatif yang

berasal dari kewenangan pemerintah.”

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 248: “Syarat bahwa seorang

pelaku secara sadar berniat untuk mendiskriminasi tidak menjadi syarat adanya kebijakan

diskriminatif atau, di mana kebijakan tersebut telah ada, dengan keterlibatan pelaku dalam

memformulasi kebijakan diskriminatif tersebut atau praktik diskriminatif oleh pihak yang

berwenang.”

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 625: “Meskipun penganiayaan

sering kali merupakan bagian dari kebijakan yang diskriminatif, Pengadilan mengemukakan

bahwa keterlibatan terdakwa dalam merancang kebijakan atau praktik diskriminatif oleh

pejabat pemerintah tidak diperlukan untuk membutikan adanya kejahatan penganiayaan.”

Lihat juga kasus Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 220:

“[U]ntuk menentukan pentingnya unsur mens rea dalam kejahatan penganiayaan, terdakwa

harus telah menjelaskan maksud dari kebijakannya yang diskriminatif: ‘pemindahan orang-

orang dari masyarakat di mana mereka tinggal bersama dengan pelaku, atau mendiskriminasi

kemanusiaannya sendiri.’”

(g) Pengetahuan bahwa seseorang bertindak diskriminatif tidak cukup;

niat diskriminatif harus ada

139

Page 140: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 248: “Terdakwa harus secara

sadar berniat untuk melakukan diskriminasi dalam kejahatan penganiayaan. Tidak cukup

bahwa terdakwa hanya sadar bahwa tindakan yang dia lakukan diskriminatif.”

Krnojelac, 15 Maret 2002, Paragraf 435: “Kejahatan penganiayaan juga memiliki karakter yang

unik dari persyaratan niat diskriminatif. Tidak cukup bagi terdakwa untuk sadar bahwa

tindakannya diskriminatif; ia harus secara sadar berniat untuk melakukan diskriminasi.”

(h) Niat untuk mendiskriminasi tidak harus merupakan niat utama, tapi

harus niat yang signifikan

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 435: “Niat untuk melakukan

diskriminasi tidak harus merupakan niat utama, tetapi bahwa niat tersebut merupakan faktor

yang signifikan.”

(i) Niat diskriminatif harus berhubungan dengan tindakan-tindakan yang

dikategorikan sebagai penganiayaan, bukan pada serangannya

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 436: “Niat diskriminatif harus terkait

dengan kejahatan khusus yang digolongkan sebagai penganiayaan dan bukan pada

serangannya secara umum, meskipun serangan tersebut mungkin dilakukan secara

diskriminatif. Ini jelas dari definisi penganiayaan yang mensyaratkan adanya tindakan atau

pembiaran yang faktanya merupakan penganiayaan. Tidak ada persyaratan, baik pada

kejahatan penganiayaan maupun berdasarkan persyaratan umum pada kejahatan terhadap

kemanusiaan, bahwa serangan tersebut dilakukan secara diskriminatif. Hukum ... telah

diterapkan oleh Pengadilan atas dasar pertimbangan bahwa alasan diskriminatif dalam

melakukan suatu serangan merupakan dasar yang cukup yang dengan itu mencapai niat

diskriminatif yang cukup untuk penganiayaan. Meskipun pendekatan tersebut dapat memberi

kesimpulan secara tepat bagi sebagian besar tindakan yang terjadi dalam konteks serangan

diskriminatif, mungkin saja ada tindakan tertentu yang dilakukan dalam konteks serangan,

baik atas dasar diskriminasi yang tidak tertera dalam Statuta, atau semata-mata karena

masalah pribadi. Oleh karena itu pendekatan ini tidak memungkinkan untuk adanya

140

Page 141: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

kesimpulan yang akurat atas niat yang digambarkan dengan mempertimbangkan tindakan-

tindakan yang tersebut di atas.”

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 249: “[N]iat diskriminatif harus

terkait dengan kejahatan spesifik penganiayaan. Tidak cukup bahwa tindakan murni terjadi

dalam suatu serangan yang memiliki aspek diskriminatif. Kadang-kadang, hukum ini telah

diterapkan oleh Pengadilan dengan alasan bahwa serangan yang bersifat diskriminatif adalah

dasar yang cukup yang dengan itu mencapai niat diskriminatif yang cukup dari tindakan yang

dilakukan dalam konteks serangan diskriminatif, namun kemungkinan ada kejahatan yang

dilakukan dalam konteks diskriminatif yang tidak tertera dalam Statuta atau kejahatan yang

dilakukan semata-mata karena alasan pribadi. ... [P]endekatan ini tidak harus mencakupi

tindakan akurat berkenaan dengan niat untuk dilakukan yang berkaitan dengan semua

tindakan yang terjadi dalam konteks tersebut.”

(j) Konsekuensi atas tindakan diskriminatif dipersyaratkan

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 245: “[T]indak kejahatan atau

pembiaran secara nyata harus berakibat pada konsekuensi diskriminatif lebih dari pada hanya

sekadar dilakukan dengan niat diskriminatif. Niat diskriminatif saja tidak cukup. Tanpa

persyaratan ini, maka terdakwa dapat dituduh melakukan penganiayaan meskipun tak seorang

pun yang telah menjadi korban tindak kejahatan tersebut. ...”

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 432: “Jurisprudensi Pengadilan

sebelumnya ... telah mensyaratkan adanya unsur-unsur diskriminatif sebagai bagian dari actus

reus, yaitu, tindak kejahatan atau pembiaran yang secara nyata mengakibatkan konsekuensi

diskriminatif dan bukan tindak kejahatan yang semata-mata dilakukan dengan niat

diskriminatif. Niat diskriminatif saja tidak cukup. Pendekatan yang berbeda digunakan dalam

Pengadilan kasus Kvocka, dengan mengesampingkan adanya konsekuensi diskriminatif.

[S]idang Pengadilan untuk kasus ini tidak mendapati bahwa penilaian ini persuasif.

Argumentasi logis dalam persyaratan ini adalah bahwa tindakan tersebut dalam kenyataannya

memang diskriminatif. Tanpa persyaratan itu, maka terdakwa dapat dituduh melakukan

penganiayaan, meskipun tak seorang pun yang menjadi korbannya. Selain itu, perbedaan

antara kejahatan penganiayaan dan kejahatan lain mesti dinyatakan tak bermakna secara

141

Page 142: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

virtual dengan mengesampingkan kejahatan penganiayaan dari kualitas yang membedakan

kejahatan itu dengan kejahatan lain, seperti pembunuhan dan penyiksaan, yang objeknya

adalah perlindungan terhadap individu tanpa melihat dari kelompok mana dia berasal atau

berada.”

viii) Tindakan tidak manusiawi lainnya

(1) Pengantar Umum

Neletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 247: “Pasal 5(i) Statuta

(tindakan tidak manusiawi lain) merupakan klausul residual, yang dapat diterapkan pada

kejahatan-kejahatan yang tidak termasuk dalam sub-klausul lain dalam Pasal 5 Statuta, namun

memiliki tingkat keseriusan yang sama dengan kejahatan lain yang telah disebutkan.

Perlakuan tidak manusiawi adalah ‘[...] tindak kejahatan atau pembiaran yang dimaksudkan

untuk menyengsarakan seseorang secara fisik atau mental.’ Sesuai dengan syarat kejahatan

terhadap kemanusiaan, maka tindak kejahatan ini harus dilakukan secara meluas dan

sistematik.”

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 563: “Frase ‘tindakan tidak

manusiawi lain’ dirancang sebagai kategori residual, karena dirasa tidak dikehendaki dalam

kategori ini untuk diungkapkan secara mendalam. Kategori mendalam ini (exhaustive

categorization) hanya akan menciptakan kesempatan untuk menghindari ketentuan tentang

pelarangan.”

(2) Unsur-unsur

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 234: “Unsur-unsur yang harus

dibuktikan dalam ‘kejahatan tidak manusiawi lain’ adalah sebagai berikut: (i) terjadinya tindak

kejahatan atau pembiaran yang memiliki keseriusan yang sama dengan tindakan-tindakan

yang disebutkan dalam pasal; (ii) tindak kejahatan atau pembiaran yang dilakukan

menyebabkan penderitaan fisik atau mental secara serius atau luka atau serangan serius

terhadap martabat kemanusiaan; dan (iii) tindak kejahatan atau pembiaran tersebut dilakukan

142

Page 143: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

oleh terdakwa atau seseorang atau orang-orang yang bertanggung-jawab atas kejahatan yang

dilakukannya.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 271-272: “Dalam konteks

pembahasan atas ‘kejahatan tidak manusiawi lain,’ Pengadilan kasus Blaskic mendefinisikan

unsur-unsur yang membahayakan fisik dan mental seseorang secara serius, yaitu sebagai

berikut; korban harus menderita fisik dan mental secara serius; tingkat penderitaannya harus

dilihat atas dasar kasus-per-kasus dengan mempertimbangkan kondisinya; penderitaan yang

dirasakannya merupakan hasil dari kejahatan yang dilakukan terdakwa atau bawahannya; pada

saat kejahatan dilakukan, terdakwa atau bawahannya harus dimotivasi dengan niat untuk

menyengsarakan korban secara serius baik fisik maupun mentalnya.”

(a) Tingkat keseriusan/kepelikan kejahatan

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 235: “Untuk menilai tingkat

keseriusan sebuah kejahatan, perlu mempertimbangkan semua kondisi faktual yang

ditemukan,” yang mungkin “mencakup sifat dari tindak kejahatan atau pembiaran, konteks

terjadinya kejahatan tersebut; kondisi korban saat itu misalnya usia, jenis kelamin, kesehatan

serta dampak moral, serta fisik dan mental korban. [J]ika diketahui bahwa sebuah kejahatan

mempunyai dampak untuk jangka panjang, maka untuk menentukan tingkat keseriusan dari

kejahatan tersebut masih dianggap relevan.” Lihat juga Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret

2000, Paragraf 243.

(b) Luka serius dan mental

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 131: “Penderitaan korban yang

diakibatkan oleh sebuah kejahatan tidak harus berlangsung lama, tetapi cukup bahwa

penderitaan itu benar-benar nyata dan serius.”

(c) Niat jahat (mental state, mens rea)

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 132: “Mens rea yang dipersyaratkan

dapat terpenuhi jika pelaku utama (the principle offender), pada saat kejahatan atau pembiaran

143

Page 144: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

tersebut berlangsung, memiliki niat untuk menyengsarakan korban secara serius, baik fisik

maupun mentalnya, atau pelaku menyerang martabat kemanusiaan korban secara serius, atau

pelaku mengetahui bahwa tindak kejahatan atau pembiaran yang dilakukannya dapat

menyebabkan penderitaan fisik dan mental yang serius bagi korban, atau pelaku melakukan

serangan secara serius atas martabat kemanusiaan korban dan pelaku bertindak ceroboh

sehingga menyebabkan penderitaan, atau penderitaan korban terjadi sebagai akibat dari

tindak kejahatan atau pembiaran pelaku.” Lihat juga kasus Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29

November 2002, Paragraf 236.

(3) Setara dengan “perlakuan kejam” berdasarkan Pasal 3

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 52: “Sub-karakterisasi ‘tindakan tidak

manusiawi lainnya’ seperti yang disebut pada Pasal 5 (i) Statuta merupakan suatu kejahatan

umum yang mencakupi serangkaian kejahatan. [I]stilah perlakuan kejam pada Pasal 3 Statuta

‘memiliki maksud yang sama [...] seperti perlakuan tidak manusiawi yang tertera pada

Konvensi Jenewa dan merupakan kejahatan berat.’ Karena itu ... istilah perlakuan kejam pada

Pasal 3 dan perlakuan tidak manusiawi pada Pasal 5 Statuta memiliki makna hukum yang

sama.”

(4) Pelaksanaan

Krstic, (Pengadilan tingkat Pertama), 2 Agustus 2001, Paragraf 523: “Pemindahan paksa (forced

displacement) di dalam negara maupun lintas negara merupakan tindakan tidak manusiawi

sebagaimana tercantum pada Pasal 5(i) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 208: “Mutilasi dan bentuk

kejahatan berat lain terhadap tubuh, pemukulan dan bentuk-bentuk kekerasan lain, luka fisik

dan mental, pemindahan paksa, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat,

prostitusi secara paksa, dan penghilangan paksa merupakan daftar jurisprudensi Pengadilan

yang termasuk dalam kategori [perlakuan tidak manusiawi lain].”

144

Page 145: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 239: “[L]uka fisik dan mental, kecuali

pembunuhan, tidak diragukan lagi merupakan sebuah ‘tindakan tidak manusiawi’ seperti yang

tertera pada pasal 5 Statuta.”

145

Page 146: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

V. PERTANGGUNGJAWABAN INDIVIDU (PASAL 7 (1))

a) Statuta

Statuta ICTY, Pasal 7 (1):

“Seseorang yang merencanakan, menghasut, memerintahkan, melakukan atau membantu dan

bersekongkol dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan kejahatan seperti tertera pada

Statuta Pasal 2-5, harus mempertanggungjawabkan kejahatan yang dilakukannya secara

individual.”

b) Pengantar Umum

i) Tanggung jawab pidana para atasan menurut Pasal 7 (1)

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 367: “Pasal 7 (1) berisi

tentang hukuman bagi orang-orang yang secara langsung bertanggung-jawab atas

perencanaan, penghasutan, menyuruh, melaksanakan, atau memberi bantuan dan

bersekongkol dalam perencanaan, persiapan, atau pelaksanaan suatu kejahatan. Jadi, Pasal 7

(1) mengatur, baik pihak yang melaksanakan sendiri perbuatan melawan hukum itu, maupun

atasannya yang secara fisik tidak terlibat dalam perbuatan tersebut tetapi, bahwa atasan

tersebut terlibat dengan cara memerintahkan atau menghasut pelaku. Sebagai contoh, seorang

atasan, misalnya seorang pemimpin politik yang merencanakan penghukuman mati terhadap

warga sipil atau kelompok warga sipil tertentu, dan kemudian memerintahkan komandan

pasukan militer untuk melakukan rencana tersebut, kemungkinan bertanggung-jawab sesuai

Pasal 7 (1). Tanggung jawab kejahatan atasan, baik militer atau sipil, dalam hal ini adalah

bersifat pribadi dan langsung, sebagai akibat dari hubungan langsung mereka pada perbuatan

fisik kejahatan tersebut. Tangung jawab kejahatan dari seorang atasan pada kejahatan positif,

kecuali ketika atasan memerintahkan kejahatan tersebut dalam suatu kasus di mana ia

mungkin lebih pantas dirujuk sebagai penangggung-jawab utama bagi perbuatannya, mungkin

dapat dianggap sebagai ‘kelanjutan prinsip-prinsip umum pertanggungjawaban bawahan

(accomplice liability).’”

146

Page 147: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

ii) Tumpang tindih Pasal 7 (1) dan Pasal 7 (3)

Kristic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 605: “[P]engadilan meyakini bahwa

seorang komandan yang terlibat dalam kejahatan, di mana ia ‘merencanakan’, ‘menghasut’,

‘memerintahkan’ untuk dilakukannya kejahatan, tanggung jawab apa pun menurut Pasal 7 (3),

juga termasuk dalam pasal 7 (1). Hal yang sama berlaku terhadap komandan yang

memunculkan tanggung jawab kejahatan menurut doktrin kejahatan bersama melalui aksi-

aksi fisik anak buahnya (bawahannya).”

Akan tetapi pada kasus Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf

79, 81: “Sidang Pengadilan Krnojelac menyatakan bahwa karena tidak pantas untuk mendakwa

orang-orang, baik menurut Pasal 7 (1) maupun Pasal 7 (3) untuk perbuatan yang sama, maka

Sidang Pengadilan memiliki diskresi (kebijakan) untuk memilih Pasal yang paling tepat.”

Sidang Pengadilan berpegang pada kasus Krnojelac, di mana Sidang Pengadilan memilih satu di

antara Pasal 7 (1) dan Pasal 7 (3) Statuta sebagai bentuk pertanggungjawaban yang paling

tepat.”

Bandingkan dengan kasus Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 337:

“[K]egagalan untuk menghukum kejahatan masa lalu, yang mengharuskan

pertanggungjawaban komandan menurut Pasal 7 (3), dan juga Pasal 7 (1) serta mengacu pada

pemenuhan syarat-syarat mens rea dan actus reus, menjadi dasar bagi pertanggungjawaban atas

tindakan berupa pemberian bantuan dan persekongkolan atau penghasutan (untuk

melakukan) tindak kejahatan lanjutan yang lain.”

Lihat juga pembuktian tanggung jawab menurut Pasal 7 (1) dan Pasal 7 (3) sebagai akibat

pemberian hukuman, Bagian (X) (b) (iii) (3) (k), ICTY Digest.

c) Perencanaan, Penghasutan, Pemberian Perintah dan Pelaksanaan

i) Niat jahat (mental state, mens rea) secara umum

147

Page 148: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 278: “[B]ukti diperlukan untuk

menentukan siapa pun yang merencanakan, menghasut, memerintahkan perbuatan kejahatan,

yang mempunyai niat jahat, yaitu ia yang secara langsung maupun tidak langsung

menyebabkan dilakukannya kejahatan tersebut, atau dengan kata lain kejahatan tersebut

dilakukan atas permintaannya. [S]ecara umum, seseorang, selain orang yang merencanakan,

menghasut atau memerintahkan merupakan pelaku kejahatan actus reus.”

Kardic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 386: “[S]eorang terdakwa

hanya akan dimintai pertanggungjawabannya atas perencanaan, penghasutan atau perintah

untuk melakukan perbuatan kejahatan jika ia secara langsung ataupun tidak langsung berniat

agar kejahatan tersebut dilakukan.”

ii) Perencanaan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000 paragraf 279: “[P]erencanaan menyiratkan bahwa

‘seseorang atau beberapa orang bermaksud merencanakan perbuatan kejahatan baik pada saat

persiapan maupun pada saat pelaksanaannya.’”

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001 Paragraf 601: “Maksud dari ‘perencanaan’ adalah

bahwa seseorang atau lebih merencanakan perbuatan jahat baik pada tahap persiapan

maupun pada tahap pelaksanaan.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2002 Paragraf 386: “[P]erencanaan

merupakan bentuk yang khusus dari tanggung jawab menurut Pasal 7 (1) Statuta tersebut,

dan seorang terdakwa mungkin dimintai pertanggungjawaban hanya pada perencanaan saja.”

(1) Seseorang yang melakukan kejahatan tidak dapat dimintai

pertanggunjawaban atas perencanaan kejahatan tersebut

Kordic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 386: “[S]eseorang yang telah

diketahui sebagai pelaku kejahatan, tidak akan dimintai pertanggungjawabanya atas

perencanaan kejahatan yang sama.”

148

Page 149: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(2) Bukti tidak langsung dapat membuktikan perencanaan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 279: “[B]ukti tidak langsung dapat

memberikan bukti yang cukup terhadap sebuah perencanaan.”

iii) Penghasutan

(1) Pengantar umum

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001 Paragraf 601: “‘Penghasutan’ berarti mendorong

orang lain untuk melakukan sebuah kejahatan.” Lihat juga Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3

Maret 2000, paragraf 280 (sama).

(4) Tindakan (actus reus)

(a) Membutuhkan kontribusi yang jelas terhadap tindakan orang lain,

tetapi tidak perlu menunjukkan bahwa kejahatan tidak akan terjadi

tanpa keterlibatan terdakwa

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 252: “Actus reus yang

dibutuhkan bagi ‘penghasutan’ sebuah kejahatan merupakan tindakan apa pun yang dilakukan

oleh terdakwa, yang mendorong orang lain untuk bertindak dalam suatu bagian. Unsur ini

dapat dipenuhi jika ditunjukkan bahwa tindakan terdakwa memberi kontribusi yang jelas

terhadap tindakan orang lain. Dalam konteks ini, tidak penting untuk menunjukkan bahwa

kejahatan tidak akan terjadi tanpa keterlibatan terdakwa.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003 Paragraf 60: “Actus reus

memerlukan kontribusi yang jelas terhadap tindakan orang lain, tetapi tidak perlu

menunjukkan bahwa kejahatan tersebut tidak akan dilakukan tanpa partispasi terdakwa.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 387: “Meskipun hubungan

sebab akibat antara penghasutan dan perbuatan fisik perlu untuk diperlihatkan (misalnya,

kontribusi terdakwa pada kenyataannya berdampak terhadap tindak kejahatan tersebut),

149

Page 150: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

tetapi tidaklah penting untuk membuktikan bahwa kejahatan tersebut tidak akan dilakukan

tanpa keterlibatan terdakwa.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000 Paragraf 278, 280: “Dalam kasus penghasutan ...

bukti dibutuhkan untuk menunjukkan hubungan sebab akibat dalam pemenuhan actus reus

kejahatan tersebut.” “Makna umum penghasutan, menguatkan opini bahwa hubungan sebab

akibat antara penghasutan dan perbuatan kejahatan fisik merupakan sebuah unsur yang

membutuhkan bukti.”

(b) Baik kejahatan positif dan pembiaran dapat merupakan penghasutan,

seperti mengekspresikan dan mengimplikasikan tindakan tersebut

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 387: “Baik kejahatan positif

maupun pembiaran dapat dianggap sebagai penghasutan. ...”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 280: “Kalimat [penghasutan] cukup

untuk menyatakan bahwa baik perbuatan kejahatan maupun pembiaran dapat dianggap

sebagai penghasutan, dan istilah ini dapat menggambarkan dan mengimplikasikan kejahatan

tersebut.”

(3) Niat jahat (mental state mens rea)

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 60: “Syarat mens rea

[untuk penghasutan] adalah adanya keinginan dari seorang terdakwa untuk memprovokasi

atau menyebabkan perbuatan kriminal, atau kesadaran atas kemungkinan yang penting bahwa

perbuatan kriminal tersebut merupakan konsekuensi yang dapat terjadi karena tindakan-

tindakan terdakwa.” Lihat juga Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001 Paragraf

252 (sama).

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 387: “[H]arus dibuktikan

bahwa terdakwa secara langsung berkeinginan untuk memprovokasi tindak kejahatan.”

iv) Memerintahkan

150

Page 151: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(1) Pengantar umum

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 601: “‘Memerintahkan’ berarti meminta

seseorang dalam posisi kewenangan, di mana posisi tersebut digunakan untuk meyakinkan

orang lain untuk melakukan sebuah kejahatan.”

(2) Perintah dapat secara eksplisit atau implisit, dan dibuktikan secara tidak

langsung

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 281: “Tidak penting bahwa sebuah

perintah diberikan dalam bentuk tulisan atau dalam bentuk tertentu. Perintah tersebut dapat

berupa perintah eksplisit ataupun implisit. Oleh karena itu, sebuah perintah dapat dibuktikan

melalui bukti tidak langsung.”

(3) Perintah tidak harus diberikan secara langsung kepada orang lain yang

melakukan kejahatan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 282: “[S]ebuah perintah tidak perlu

diberikan oleh atasan secara langsung kepada orang lain yang melakukan actus reus kejahatan.

[Y]ang penting adalah terletak pada mens rea komandan (pemberi perintah), bukan pada

bagaimana bawahan melaksanakan perintah tersebut.”

(4) Tidak perlu syarat adanya hubungan formal atasan-bawahan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 388: “[P]ersyaratan

hubungan formal atasan-bawahan tidak diperlukan untuk membuktikan ‘pemberian

perintah’, sejauh hubungan tersebut dapat ditunjukkan oleh adanya kewenangan memerintah

yang dimiliki oleh terdakwa.”

(5) Tidak relevan apakah ilegalitas perintah terlihat secara nyata

151

Page 152: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 282: “[T]idak relevan untuk menentukan

bahwa ilegalitas perintah harus terlihat secara nyata.”

v) Pelaksanaan

(1) Pengantar umum

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 601: “‘Melaksanakan’ (committing)

meliputi melakukan perbuatan kriminal secara fisik atau pembiaran yang patut diberi

hukuman berdasarkan hukum pidana.”

(2) Tindakan (actus reus)

(a) Melibatkan individu langsung atau keterlibatan fisik

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 376: “[S]etiap temuan pada

tindak kejahatan langsung (direct commission) membutuhkan partisipasi personal secara fisik

dari terdakwa dalam kejahatan yang digolongkan sebagai kejahatan dengan syarat

pengetahuan dalam Statuta Pengadilan Internasional. ...”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 251: “Actus reus yang

dibutuhkan bagi pelaksanaan sebuah kejahatan adalah bahwa terdakwa berpartisipasi, secara

fisik atau sebaliknya secara langsung, dalam unsur-unsur material dari sebuah kejahatan

menurut Statuta Pengadilan. ...”

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 62: “Terdakwa hanya akan

dimintai pertanggungjawaban pidana secara individu dalam tindak kejahatan menurut Pasal 7

(1), yang membuktikan bahwa ia secara personal dan fisik telah melakukan tindakan kriminal,

atau secara personal membiarkan terjadinya pelanggaran hukum humaniter internasional.”

(b) Kemungkinan alternatif, membiarkan terjadinya kejahatan

Kunarac, Kovac dan Vukovic, (Sidang Pengadilan), 22 Pebruari 2001, Paragraf 390: “Seseorang

dapat dikatakan ‘telah melakukan’ sebuah kejahatan, ketika secara fisik ia melakukan tindak

152

Page 153: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

kejahatan atau pembiaran yang patut dicela dan merupakan pelanggaran terhadap hukum

pidana.”

Kvocka dkk., 2 November 2001, Paragraf 251: Pelaksanaan (kejahatan) bisa melalui “tindakan

positif atau pembiaran ....”

(c) Bisa terdapat lebih dari satu pelaku pada kejahatan yang sama

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf.390: “Bisa jadi terdapat

beberapa pelaku yang berhubungan dengan kejahatan yang sama, di mana perbuatan masing-

masing orang (pelaku) memenuhi unsur-unsur pelanggaran yang substansial.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 251: “Kejahatan dapat

dilakukan secara individual atau bersama-sama dengan yang lainnya.”

(3) Niat jahat (mental state, mens rea)

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 251: “Syarat mens rea [dalam

pelaksanaan sebuah kejahatan] adalah sebagaimana bentuk keterlibatan terdakwa dalam

tindakan kejahatan lain menurut Pasal 7 (1), di mana terdakwa yang melakukan tindak

kejahatan dalam kesadaran, maka secara substansial, tindak kejahatan atau pembiaran yang

terjadi sangat mungkin merupakan konsekuensi dari tingkah lakunya.”

d) Pemberian bantuan dan persekongkolan (aider and abettor)

i) Pengantar umum

Kumara, Kovac dan Vukonic, (Sidang Pengadilan), 22 Pebruari, 2001, Paragraf 391: “Ketika

dipertentangkan dengan ‘perbuatan’ dari sebuah kejahatan, maka pemberian bantuan dan

persekongkolan merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban ‘kaki tangan’.”

ii) Berdasarkan hukum kebiasaan internasional

153

Page 154: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Prosecutor v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997, Paragraf 666:

“Konsep pertanggungjawaban pidana individual secara langsung dalam suatu kejahatan, dan

kesalahan individu dalam bentuk pemberian bantuan, persekongkolan atau keterlibatan

langsung, berbeda dengan perbuatan langsung dalam suatu tindak kejahatan ... memiliki dasar

dalam hukum internasional yang umum.”

iii) Pendefinisian

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 601: “‘Pemberian bantuan dan

persekongkolan’ berarti memberikan kontribusi yang penting terhadap suatu tindak

kejahatan.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 601: “[P]emberian bantuan dan

persekongkolan ‘yang tampaknya memiliki arti yang sama, sebenarnya berbeda. Pemberian

bantuan mempunyai arti memberikan bantuan kepada seseorang, di sisi yang lain,

persekongkolan berarti terlibat dalam memfasilitasi sebuah tindakan dengan bersimpati

kepada pelaku utamanya.’”

Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997 Paragraf 689: “[P]emberian bantuan dan

persekongkolan mencakup semua tindakan yang memberi bantuan melalui perkataan atau

tindakan yang mengarah pada suatu dorongan atau dukungan, sepanjang ada syarat

keinginan.”

iv) Tindakan (actus reus)

(1) Memerlukan bantuan praktis, dorongan atau dukungan moral

Furundziya, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 235, 249: “Actus reus pemberian

bantuan dan persekongkolan dalam hukum pidana internasional memerlukan bantuan

praktis, dorongan, atau dukungan moral yang kemudian berdampak pada perbuatan

kriminal.”

154

Page 155: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Vasiljevic, (Pengaddilan Tingkat I), 29 November 2002, Paragraf 70: “Terdakwa harus

bertanggung-jawab secara individu atas pemberian bantuan dan persekongkolan sebuah

kejahatan menurut Pasal 7 (1), yang menunjukkan bahwa terdakwa melaksanakan suatu

tindakan yang terdiri dari bantuan praktis, dorongan atau dukungan moral terhadap pelaku

utama dari kejahatan tersebut.”

(2) Bisa terjadi melalui pembiaran

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 284: “Actus reus pemberian bantuan dan

persekongkolan bisa terjadi melalui sebuah pembiaran terhadap suatu tindakan, di mana

pembiaran tersebut mempunyai dampak yang menentukan terhadap perbuatan kajahatan itu

sendiri, dan kemudian digabungkan dengan syarat mens rea.”

Vasiljevic, (Pengadilan Tingikat Pertama), 29 November 2002, Paragraf 70: “Tindakan

pemberian bantuan mungkin dapat berupa sebuah tindak kejahatan atau pembiaran. ...”

(3) Harus mempunyai dampak penting terhadap perbuatan kejahatan

Vasiljevic, (Pengadilan Tingikat Pertama), 29 November 2002, Paragraf 70: “Tindakan

pemberian bantuan tidak perlu menyebabkan adanya tindakan oleh pelaku utama, tetapi

bahwa pemberian bantuan itu harus mempunyai dampak penting terhadap perbuatan

kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan utama.”

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 234: “Kedudukan menurut

hukum kebiasaan internasional tampaknya direfleksikan secara sangat bagus, di mana

bantuan yang diberikan harus merupakan dampak yang substansial terhadap perbuatan

kejahatan.”

Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1977, Paragraf 691: “[T]indakan-tindakan tersangka harus

langsung dan substansial.”

155

Page 156: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 285: “Bukti yang menunjukkan

hubungan sebab akibat antara tingkah laku pemberi bantuan dengan tindakan pelaku utama

kejahatan tidak dibutuhkan.”

(4) Kehadiran di tempat kejadian peristiwa

(a) Tidak menentukan, kecuali ia menggambarkan hal yang signifikan

yang mendorong dampak atau dampak yang substansial dan langsung

Valsiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 70: “Kehadiran semata di

tempat berlangsungnya kejahatan bukan merupakan hal yang menentukan bagi pemberian

bantuan dan persekongkolan, kecuali ditunjukkan bahwa kehadirannya mempunyai pengaruh

signifikan yang mendorong pelaku utama melakukan kejahatan.”

Kunarac, Kovac dan Vukonic, (Sidang Pengadilan), 22 Pebruari 2001, Paragraf 393: “Kehadiran

itu sendiri di tempat kejadian kejahatan tersebut bukan merupakan hal yang menentukan dari

pemberian bantuan dan persekongkolan, kecuali ia ditunjukkan mempunyai hal yang

signifikan yang melegitimasi atau mendorong dampak terhadap pelaku utama.”

Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 689, Paragraf 689: “Kehadiran itu sendiri tidak cukup untuk

membuktikan adanya bantuan jika kehadiran itu diabaikan atau tidak diinginkan. Meskipun

demikian, jika kehadirannya dapat ditunjukkan oleh bukti lain yang tidak langsung, untuk

mengetahui dan agar mempunyai dampak yang substansial dan langsung terhadap perbuatan

ilegal, maka hal itu cukup untuk mendasarkan penemuan adanya keterlibatan dan

menandakan perbuatan kriminal yang salah yang menyertainya.”

Aleksovki, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 64: “Kehadiran belaka merupakan

keterlibatan yang cukup sepanjang dapat dibuktikan bahwa kehadirannya mempunyai

dampak yang signifikan terhadap perbuatan kejahatan, dan bahwa orang tersebut memenuhi

syarat mens rea.”

(b) Contoh

156

Page 157: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997, Paragraph 690: “[K]etika seorang tertuduh hadir dan

terlibat dalam pemukulan terhadap seseorang dan tetap dengan kelompok ketika ia bergerak

untuk memukul orang lain, kehadirannya mempunyai dampak yang mendorong, dan

sekalipun ia tidak ambil bagian secara fisik dalam pemukulan kedua, namun ia seharusnya

dipandang sebagai pihak yang terlibat. Hal ini mengasumsikan bahwa tertuduh tidak secara

aktif menarik diri dari kelompok tersebut atau berbicara dengan tegas melawan tingkah laku

kelompok tersebut.”

(c) Kedudukan otoritas dan kehadiran dalam beberapa kesempatan bisa

diinterpretasikan sebagai pembuktian dari tingkah laku

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 284: “[K]ehadiran belaka seseorang yang

memegang otoritas, seperti komandan militer, pada tempat terjadinya suatu kejahatan

merupakan indikasi sementara untuk menentukan bahwa orang tersebut mendorong atau

mendukung pelaku kejahatan.”

Aleksovki, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 65: “[K]edudukan seorang pemegang

otoritas tidak cukup untuk sampai pada kesimpulan bahwa kehadirannya merupakan sebuah

tanda yang mendorong, dan mempunyai dampak yang signifikan terhadap perbuatan

kejahatan. [K]ehadiran seseorang dengan otoritas yang terbantahkan lebih dari pelaku-pelaku

dari tindakan yang tidak sah, mungkin, dalam beberapa kesempatan, dapat diinterpretasikan

sebagai pembuktian dari tingkah laku tersebut. Kewenangan seseorang harus

dipertimbangkan untuk menjadi bukti yang penting, seperti penetapan bahwa kehadiran

belaka merupakan keterlibatan yang tidak disengaja terhadap sebuah tindakan menurut Pasal

7 (1). Namun, tanggung jawab bukan merupakan hal yang otomatis dan menuntut adanya

pertimbangan cermat terhadap latar belakang keadaan faktual.”

(d) Kehadiran fisik yang aktual tidak diperlukan

Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997, Paragraf 691: “[K]ehadiran fisik secara aktual ketika

kejahatan dilakukan tidaklah penting ... seorang tersangka dapat dipertimbangkan sebagai

pihak yang terlibat dalam sebuah kejahatan ... jika ia ditemukan ‘memberi perhatian terhadap

tindakan pembunuhan.’”

157

Page 158: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(5) Bantuan dapat terjadi sebelum, selama atau setelah tindakan dilakukan

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 70: Tindakan membantu “dapat

terjadi sebelum atau selama tindakan pelaku utama.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 285: “[K]eterlibatan dapat terjadi

sebelum, selama, atau setelah tindakan dilakukan dan dipisahkan secara geografis di antara

mereka (pelaku utama dan pemberi bantuan).”

Aleksovki, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 62: “Keterlibatan dapat terjadi

sebelum, selama atau setelah tindakan tersebut dilaksanakan. Hal itu dapat, sebagai contoh,

menghasilkan cara-cara untuk melakukan kejahatan atau menjanjikan untuk menunjukkan

tindakan-tindakan tertentu setelah kejahatan dilakukan, yaitu perilaku yang dapat secara jelas

bisa merupakan penghasutan atau persekongkolan dari pelaku-pelaku kejahatan.”

(6) Pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan akan bertanggung-jawab

atas semua yang dihasilkan secara alamiah dari tindakannya

Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997, Paragraf 692: Pemberi bantuan dan pelaku

persekongkolan “akan ... bertanggung-jawab terhadap semua hal yang secara alamiah

diakibatkan oleh tindakan kejahatan yang didakwakan kepada mereka.”

v) Niat jahat (mental state, mens rea): niat dan pengetahuan

(1) Pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan berniat memberi atau

memfasilitasi bantuan, atau menyadari bahwa bantuan tersebut dapat

menimbulkan konsekuensi yang dapat diduga sebelumnya

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 286: “[P]emberi bantuan dan pelaku

persekongkolan berniat untuk memberi bantuan, atau setidaknya, ia menyadari bahwa

bantuan seperti itu menimbulkan konsekuensi yang dapat diduga sebelumnya.” Lihat juga

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 255 (sama).

158

Page 159: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(2) Pelaku tidak harus mengetahui secara persis niat kejahatan atau tindak

kejahatan yang dilakukannya

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 246: “[T]idak dipentingkan

apakah pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan mengetahui niat dan tempat kejadian

kejahatan dilakukan. Jika ia menyadari bahwa satu dari sejumlah kejahatan akan dilakukan,

dan salah satu dari sejumlah kejahatan tersebut benar-benar telah dilakukan, dan ia memiliki

niat untuk memfasilitasi perbuatan kejahatan tersebut, maka ia dapat dianggap bersalah

sebagai pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan.” Lihat juga Kvocka dkk., (Sidang

Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 255 (sama).

(3) Tidak perlu ada niat utama, namun harus mengetahui unsur-unsur

penting pidana, termasuk mental state-nya

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 162: “[T]idaklah penting untuk

menunjukkan bahwa pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan berbagi mens rea, tetapi

harus ditunjukkan bahwa pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan menyadari mens rea

yang relevan. Jelas bahwa pemberi bantuan atau pelaku persekongkolan menyadari unsur-

unsur penting dari kejahatan yang dilakukan.”

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 245: “[T]idaklah penting bagi

bawahan untuk berbagi mens rea dengan pelaku dalam konteks niat untuk melakukan tindak

kejahatan.”

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 71: “Pemberi bantuan dan

pelaku persekongkolan harus menyadari unsur-unsur penting dari kejahatan yang dilakukan

oleh pelaku utama, termasuk niat yang dimilikinya. Bagaimanapun juga, pemberi bantuan dan

pelaku persekongkolan tidak harus berbagi niat dengan pelaku utama. Keadaan ini secara

umum dapat mengurangi perbuatan kejahatan yang dilakukannya secara bersama-sama

dengan pelaku utama.”

(4) Pelaku harus tahu bahwa tindakannya akan menyokong perbuatan pidana

159

Page 160: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 71: “Untuk menetapkan mens rea

dari pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan, harus ditunjukkan bahwa pemberi bantuan

dan pelaku persekongkolan mengetahui (secara sadar) bahwa tindakannya mengiringi

perbuatan kejahatan yang dilakukan pelaku utama.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 286: Penting kiranya untuk menunjukkan

“pengetahuan bahwa tindakan-tindakan [yang terkait] akan menyokong berlangsungnya suatu

tindak pidana ...”

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 245, 249: “[S]yarat yang nyata

pada kebanyakan kasus-kasus besar adalah adanya pengetahuan bahwa tindakan-tindakan

yang dilakukan akan mengiringi perbuatan pidana yang dilakukan pelaku.” “Mens rea yang

dipersyaratkan dalam hal ini adalah pengetahuan bahwa tindakan-tindakan ini akan

membantu terjadinya perbuatan pidana.”

(5) Niat jahat (mental state, mens rea) dapat disebabkan dari keadaan, seperti

posisi kewenangan dan kehadiran

Aleksovki, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 65: “Mens rea dapat disebabkan oleh

keadaan, dan posisi kewenangan seseorang dipertimbangkan dalam menetapkan bahwa

seseorang yang melawan pihak yang mengklaim mengetahui secara langsung dan

kehadirannya dapat ditafsirkan pelaku sebagai tanda bahwa ia mendukung atau mendorong

perbuatan pidana yang dilakukannya.”

(6) Niat jahat (mental state, mens rea) bagi pemberi bantuan dan pelaku

persekongkolan terhadap penganiayaan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 262: “Pemberi bantuan atau

pelaku persekongkolan dalam kejahatan penganiayaan, sebagai sebuah kejahatan dengan ‘niat

khusus’, tidak harus hanya memiliki pengetahuan tentang kejahatan yang hendak dibantu dan

difasilitasi. Pelaku persekongkolan dan pemberi bantuan ini juga harus sadar bahwa kejahatan

yang dibantu atau didukungnya dilakukan dengan sebuah niat diskriminatif. Pemberi bantuan

160

Page 161: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

161

atau pelaku persekongkolan dalam kejahatan penganiayaan tidak perlu berbagi niat

diskriminatif, tetapi ia harus menyadari konteks diskriminatif secara luas dan mengetahui

bahwa bantuan atau dukungan yang ia berikan memiliki dampak yang signifikan terhadap

setiap perbuatan pidana dan setiap tindakan diskriminatif, meskipun tindakan diskriminatif

tersebut tidak harus diketahui atau diniatkan oleh pemberi bantuan atau pelaku

persekongkolan. Pemberi bantuan atau pelaku persekongkolan dalam kejahatan penganiayaan

harus bertanggung-jawab atas tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pihak lain sebagai

bagian dari perbuatan dan pemberian bantuan atau dorongan yang dilakukan oleh pelaku.”

vi) Perbedaan antara “pemberian bantuan dan persekongkolan,” dan

“keterlibatan dalam kejahatan yang dilakukan bersama” (sebagai contoh,

bertindak sesuai dengan rancangan atau tujuan)

(1) Pengantar umum

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 288: “[A]da perbedaaan antara

pemberian bantuan (aiding) dan persekongkolan (abetting) serta keterlibatan dalam melakukan

kejahatan sesuai dengan tujuan atau rancangan yang umum.”7

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 249: “Istilah pemberian bantuan

dan persekongkolan dibedakan dari rancangan umumnya, di mana actus reus kejahatan

tersebut terdiri dari keterlibatan dalam kejahatan yang dilakukan bersama dan mens rea yang

dipersyaratkan adalah niat untuk terlibat atau berpartisipasi dalam kejahatan tersebut.”

(2) Unsur-unsur yang membedakan

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 229: “Sidang Banding membedakan “antara

kejahatan yang dilakukan berdasarkan tujuan atau rancangan umum, dan pemberian bantuan

dan persekongkolan.” “Pertama, pada prinsipnya, pemberian bantuan dan persekongkolan

7 Partisipasi dalam kejahatan yang dilakukan bersama, misalnya bertindak sesuai dengan rancangan atau tujuan umum, didiskusikan dalam Bagian (V)(e), ICTY Digest.

Page 162: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

selalu merupakan bagian dari kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Kedua, dalam kasus

pemberian bantuan dan persekongkolan (aiding and abetting), pembuktian atas adanya rencana

umum yang dibuat bersama (a common concerted plan) tidak diperlukan. Yang dipentingkan

adalah pra-eksistensi perencanaan tersebut. Perencanaan atau persetujuan tidak

dipersyaratkan, khususnya jika pelaku utama tidak mengetahui kontribusi bawahannya

(accomplice’s contribution). Ketiga, pihak pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan melakukan

kejahatan secara langsung untuk membantu, mendorong dan memberikan dukungan moral

untuk terlaksananya kejahatan tertentu (misalnya pembunuhan, pemusnahan, pemerkosaan,

penyiksaan, penghancuran sewenang-wenang atas harta milik warga sipil, dan sebagainya),

dan dukungan ini berdampak besar atas terlaksananya kegiatan. Dalam kasus, di mana pelaku

bertindak dengan maksud untuk mencapai tujuan atau rancangan umum dari sebuah

kejahatan, maka pihak yang terlibat cukup melakukan tindak pidana yang dalam beberapa

cara dilakukan secara langsung untuk memungkinkan tercapainya rencana atau tujuan umum

kejahatan itu. Keempat, dalam kasus pemberian bantuan dan persekongkolan, unsur mental

yang dipersyaratkan adalah adanya pengetahuan pada pemberi bantuan dan pelaku

persekongkolan bahwa tindakannya berkontribusi, yang membuat kejahatan tertentu yang

dilakukan oleh pelaku utama (principal) terjadi. Secara kontras, pada kejahatan yang dirancang

untuk tujuan bersama (common purpose), diperlukan (misalnya, niat untuk melakukan kejahatan

atau niat untuk mencapai tujuan kejahatan serta kejahatan di luar tujuan bersama juga

dilakukan)...”

(3) Niat jahat yang membedakan

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 229: “Dalam pemberian bantuan dan

persekongkolan, unsur mental yang dipersyaratkan adalah adanya suatu pengetahuan, yaitu

bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan

membantu terjadinya kejahatan tertentu oleh pelaku utama (principal). Sebaliknya, pada

kejahatan dengan rancangan atau tujuan bersama (common purpose) dibutuhkan lebih dari itu

(yaitu entah niat untuk melakukan kejahatan atau niat untuk mencapai tujuan dari kejahatan

tersebut serta niat untuk melakukan kejahatan di luar tujuan bersama yang mungkin akan

dilakukan)....”

162

Page 163: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 75: “Tingkat keseriusan dari tindakan

yang dilakukan oleh seorang pelaku dalam sebuah kejahatan yang dilakukan bersama (a joint

criminal enterprise) yang bukan merupakan pelaku utama, secara signifikan lebih besar daripada

kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang semata-mata membantu dan bersekongkol

dengan pelaku utama (principal offender). Hal itu disebabkan karena seseorang yang membantu

dan bersekongkol dengan pelaku utama hanya perlu menyadari bahwa ia berbagi niat dengan

pelaku utama.”

(4) Penerapan: penyiksaan

Furundjiza, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 118: “[D]ua macam pertanggungjawaban

untuk keterlibatan dalam kejahatan (criminal participation) ‘termuat dan terkristalisasi dalam

hukum internasional – salah satu pelaku (co-perpetrator) yang terlibat dalam kejahatan yang

dilakukan bersama, di satu sisi, dan pemberi bantuan dan persekongkol, pada sisi yang lain.’

[U]ntuk membedakan co-perpetrator dengan aidder atau abettor, ‘yang harus dilakukan adalah

memastikan apakah seseorang yang terlibat dalam proses penyiksaan juga mengambil bagian

dalam menentukan maksud penyiksaan tersebut (penyiksaan adalah kejahatan yang disertai

dengan niat untuk memperoleh informasi atau pengakuan, dengan cara menghukum,

mengintimidasi, menghina atau memaksa korban atau pihak ketiga, atau mendiskriminasi

dengan alasan apa pun terhadap korban atau pihak ketiga).’ [U]ntuk dapat didakwa sebagai

seorang yang terlibat dalam kejahatan (co-perpetrator), harus ada bukti yang menunjukkan

bahwa terdakwa ‘berpartisipasi secara integral dalam penyiksaan dan mengambil bagian

dalam menetapkan maksud kejahatan tersebut (yaitu niat untuk mendapatkan informasi atau

sebuah pengakuan, dengan cara menghukum, mengintimidasi, atau menghina, memaksa atau

mendiskriminasi korban atau pihak ketiga).’”

Furundjiza, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 257: “(i) [U]ntuk dapat

dinyatakan bersalah sebagai pelaku, atau sebagai pihak yang mengambil bagian dalam

penyiksaan, terdakwa harus terlibat secara integral dan mengambil bagian dalam menetapkan

maksud penyiksaan, yaitu niat untuk memperoleh informasi atau sebuah pengakuan, yang

dilakukan dengan cara menghukum atau mengintimidasi, menghina, memaksa atau

mendiskriminasi korban atau pihak ketiga. (ii) [U]ntuk dapat dinyatakan bersalah sebagai

pihak yang memberikan bantuan, dan pelaku persekongkolan, harus dapat dibuktikan bahwa

163

Page 164: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

terdakwa memiliki pengaruh yang besar untuk membantu terjadinya kejahatan tersebut, dan

memiliki pengetahuan tentang penyiksaan yang dilakukan.”

e) Kejahatan yang dilakukan bersama/doktrin tujuan bersama

i) Pengantar umum

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 190: “[J]urisdiksi Statuta tidak terbatas pada

seseorang yang merencanakan, menghasut, memerintah, melakukan kejahatan secara fisik

atau membantu dan bersekongkol dalam merencanakan, mempersiapkan atau melaksanakan

suatu kejahatan. Statuta tidak berhenti pada hal itu saja. Statuta tidak mengesampingkan

bentuk-bentuk keterlibatan dalam tindak kejahatan, di mana beberapa orang memiliki tujuan

bersama yang merupakan awal dilakukannya suatu tindak kejahatan. Adanya tujuan bersama

ini membuat kejahatan tersebut dilakukan baik secara bersama-sama maupun oleh beberapa

anggota kelompok ini. Siapa pun yang terlibat dalam kejahatan, baik dilakukan secara

berkelompok atau oleh beberapa anggota kelompok dalam melakukan tujuan kejahatan

bersama, harus bertanggung-jawab secara pidana, dan menjadi pihak yang dikenakan

hukuman (subject to certain conditions).”

Krstic, (Sidang Pengadilan ), 2 Agustus 2001, Paragraf 601: “‘Kejahatan yang dilakukan

bersama’ merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban pidana yang dinyatakan pengadilan

secara implisit diatur pada Pasal 7(1) Statuta. Kejahatan tersebut mengharuskan adanya

tanggung jawab individu karena keterlibatannya dalam suatu kejahatan yang dilakukan

bersama.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 307: “Suatu kejahatan yang

dilakukan bersama dapat terjadi jika dua atau lebih orang terlibat dalam sebuah usaha

kejahatan, dan dalam kejahatan yang dilakukan bersama ini sangat mungkin terdapat usaha

kegiatan subsider (subsidiary criminal enterprises).”

ii) Tiga kategori dalam dokrin tujuan bersama

164

Page 165: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 195-196, 202-204: “[I]stilah tujuan bersama

mencakup tiga yang kategori berbeda dari kejahatan kolektif (collective criminality).” “Kategori

pertama direpresentasikan dengan beberapa kasus, di mana co-defendants (para terdakwa)

bertindak dalam rangka mencapai tujuan bersama, dan memiliki niat kejahatan yang sama,

misalnya memformulasikan rencana di antara para pelaku (co-perpetrator) untuk membunuh,

yang berpengaruh dalam menjalankan rencana bersama ini. ... Kategori kedua yaitu kasus yang

hampir sama dengan yang dijelaskan di atas, tetapi kasus pada kategori kedua ini berkaitan

dengan apa yang disebut kasus ‘kamp konsentrasi’. Istilah tujuan bersama diterapkan pada

kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer atau unit-unit pemerintah (administrative unit),

seperti pihak-pihak yang mengelola kamp konsentrasi yang bertindak untuk mencapai tujuan

bersama. Kategori ketiga, yaitu yang berkaitan dengan kasus-kasus yang melibatkan rancangan

bersama atau keinginan untuk bertindak di mana salah satu pelaku melakukan kejahatan yang,

mungkin saja di luar rancangan sebelumnya, ternyata merupakan suatu konsekuensi dari

adanya tujuan yang umum.”

Untuk melihat lebih detail tentang tiga kategori ini, lihat Tadic¸(Sidang Banding), 15 Juli 1999,

Paragraf 220.

iii) Unsur-unsur

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 227: “[U]nsur objektif (actus reus) dari

keterlibatan dalam salah satu kejahatan yang dinyatakan dalam Statuta (berdasarkan masing-

masing kategori kasus) adalah sebagai berikut: (i) Pluralitas individu. Individu ini tidak harus

terorganisasi dalam struktur militer, politik atau pemerintah (adminstratif). (ii) Adanya

rencana bersama, rancangan atau tujuan yang mendorong terjadinya kejahatan seperti yang

disebut dalam Statuta. (iii) Partisipasi terdakwa dalam merancang rencana bersama yang

mengakibatkan dilakukannya salah satu jenis kejahatan seperti yang tertera pada Statuta.

Partisipasi ini tidak harus melibatkan diri ketika dilakukannya kejahatan tertentu seperti yang

tercantum dalam Statuta (misalnya, pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan, pemerkosaan,

dll.), namun partisipasi ini dalam berupa bantuan, atau kontribusi, atas pelaksanaan rencana

atau tujuan bersama.”

165

Page 166: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 67: “Seseorang terlibat dalam

kejahatan yang dilakukan bersama dapat terjadi melalui apabila secara pribadi ia melakukan

kejahatan yang disepakati oleh pelaku utama, atau sebagai co-perpetrator yang memberikan

bantuan kepada pelaku utama dengan cara melibatkan dirinya dalam kejahatan yang

dilakukan oleh pelaku utama, atau mendorong berjalannya sistem tertentu di mana ia terlibat

dalam kejahatan berdasarkan posisi kewenangan atau posisi fungsionalnya, dan kejahatan itu

dilakukan atas dasar pengetahuan terhadap sifat dari sistem dan adanya niat untuk

menjalankan sistem itu. Jika kejahatan yang telah disepakati sebelumnya dilakukan oleh satu

atau lebih pelaku sebagai kejahatan bersama, maka semua pelaku dinyatakan bersalah atas

kejahatan yang dilakukannya tanpa memandang peran yang diambil tiap-tiap pelaku.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 312: Untuk

pertanggungjawaban kejahatan bersama, “seorang terdakwa harus melakukan tindakan yang

secara substansial membantu atau secara signifikan mendorong terjadinya kejahatan yang

dilakukan bersama, dengan alasan bahwa tindakan atau pembiaran tersebut dilakukan oleh

terdakwa untuk memudahkan terjadinya kejahatan melalui usaha bersama.”

(1) Perlu untuk menetapkan adanya pengaturan atau kesepahaman

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 227: Salah satu unsur yang diperlukan adalah:

“eksistensi rencana, rancangan atau tujuan bersama yang mendorong dilakukannya suatu

kejahatan seperti yang tercantum dalam Statuta.”

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 66: “Penuntut harus menetapkan

bahwa ada sebuah pengaturan atau kesepahaman yang mendorong adanya persetujuan antara

dua orang atau lebih di mana kejahatan tertentu akan dilakukan.”

(a) Pengaturan tidak harus diekspresikan (diungkapkan), tetapi dapat

terjadi secara diam-diam

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 66: “Pengaturan atau

kesepahaman tidak harus diekspresikan, dan hal ini dapat disimpulkan dari semua keadaan.

Fakta bahwa dua atau lebih orang terlibat dalam suatu tindak kejahatan tertentu dapat terjadi

166

Page 167: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

secara diam-diam (unspoken), atau pengaturan yang mendorong terjadinya kesepakatan dibuat

di antara mereka dan selanjutnya kejahatan tersebut dilakukan.”

(b) Rencana atau tujuan bersama dapat terjadi tanpa persiapan

(extemporaneously)

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 227: “Rencana, rancangan atau tujuan bersama

tidak harus dirumuskan sebelumnya. Rencana atau tujuan bersama dapat terjadi tanpa

dipersiapkan sebelumnya, dan hal ini dapat diduga dari fakta keterlibatan sejumlah orang

secara serentak dalam melakukan kejahatan yang dilakukan bersama. ...”

(2) Tingkat partisipasi dalam kejahatan yang dilakukan bersama harus

signifikan

Kvocka, (Sidang Pengadilan), 2 November 2001 Paragraf 309: “Partisipasi dalam suatu

kejahatan yang dilakukan bersama harus signifikan. Oleh Sidang Pengadilan, kata signifikan

berarti bahwa tindakan atau pembiaran yang memungkinkan terjadinya kejahatan bersama

dilakukan secara efektif dan efisien; misalnya, keterlibatan pelaku yang memungkinkan sistem

berjalan lancar. Tindakan fisik atau langsung dalam suatu kejahatan yang serius berkontribusi

pada tercapainya persekongkolan kejahatan (criminal enterprise). [P]artisipasi harus dinilai kasus

per-kasus, khususnya bagi pelaku tingkat bawah atau menengah yang tidak secara fisik

melakukan kejahatan tersebut. Mungkin saja, seseorang dengan kewenangan atau pengaruh

tertentu yang disadarinya telah gagal melakukan komplain atau protes, secara otomatis telah

memberikan bantuan atau dukungan penting atas tindak kejahatan dengan cara menyatakan

persetujuannya secara diam-diam (approving silence), khususnya jika persetujuan tersebut

diberikan pada saat kejahatan terjadi. Pada banyak kasus, pemberi bantuan atau pelaku

persekongkolan atau co-perpetrator bukanlah seseorang yang dapat dialihkan posisinya. Ia

biasanya memiliki posisi yang lebih tinggi dalam hierarki tertentu atau memiliki keahlian,

bakat atau keterampilan khusus.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 311: “Tingkat partisipasi

dikaitkan dengan keadaan pelaku, dan untuk menentukan apakah partisipasinya dianggap

signifikan, tergantung pada berbagai faktor, termasuk besarnya usaha kejahatan, fungsi-fungsi

167

Page 168: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

yang digunakan, posisi terdakwa, waktu yang digunakan untuk melakukan kejahatan, upaya

untuk menghindari tindak kejahatan atau menghalangi berfungsinya sistem secara efisien,

tingkat keseriusan dan lingkup kejahatan, dan kekejaman yang dipraktikkan oleh pelaku.

Penting juga untuk menentukan bukti langsung dari niat bersama atau bukti mengenai

kesepakatan untuk melakukan tindak kejahatan, seperti keterlibatan yang berulang-ulang,

berlanjut atau ekstensif, dan ekspresi verbal. Dari sejumlah faktor tersebut, tampaknya faktor

yang paling penting untuk menentukan peran terdakwa dilihat dari tingkat keseriusan dan

lingkup kejahatan yang dilakukannya.”

(a) Tingkat partisipasi pemberi bantuan (aider) dan pelaku

persekongkolan (abettor): harus memiliki dampak substansial

Kvocka, (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 289: “Bantuan atau fasilitasi yang

diberikan oleh aider atau abettor harus memiliki dampak yang substansial pada kejahatan yang

dilakukan oleh co-perpetrator. Partisipasi awal dalam kejahatan yang dilakukan bersama belum

ditentukan, tapi ‘dalam beberapa hal ... partisipasi tersebut terjadi secara langsung dan

memungkinkan terjadinya kejahatan sesuai dengan rencana atau tujuan bersama.’”

(3) Tanggung jawab kejahatan di luar tujuan bersama (common purpose)

terjadi jika dapat diprediksi bahwa kejahatan tersebut akan dilakukan dan

terdakwa bersedia menanggung risikonya

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 228: “[T]anggung jawab terhadap kejahatan di

luar kejahatan yang telah disepakati bersama dapat terjadi hanya jika kejahatan tersebut (i)

dapat diprediksi bahwa kejahatan tersebut akan dilakukan oleh satu atau lebih anggota

kelompok dan (ii) terdakwa bersedia menanggung risikonya.”

(4) Apakah partisipasi dalam kejahatan yang dilakukan bersama memiliki

hubungan yang erat dengan tindak kejahatan atau accomplice liability

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 642-643: “Dalam Putusan Banding

kasus Tadic, Sidang Banding mengacu pada ‘istilah rancangan bersama (common design) sebagai

bagian dari pertanggungjawaban bawahan (accomplice liability),’ yaitu frase yang digunakan

168

Page 169: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Sidang Pengadilan II untuk membedakan kata ‘pelaksanaan’ (committing) dengan

‘pertanggungjawaban tujuan bersama’ (common purpose liability) pada Pasal 7 (1). Sidang

Pengadilan yang memeriksa kasus Krstic ini memandang bahwa komentar dalam Putusan

Banding kasus Tadic (Appeals Judgement) bukan merupakan bagian dari racio decidendi dalam

Putusan tersebut, dan Pengadilan kasus Krstic tidak percaya bahwa setiap keterlibatan dalam

kejahatan yang dilakukan bersama, secara otomatis mengesampingkan pertanggungjawaban

terdakwa dalam kasus ‘genosida’ seperti tertera pada Pasal 4(3)(e). ... [P]engadilan Krstic tidak

melihat dasar penolakan terhadap status co-perpetrator sebagai bagian dari kejahatan bersama

dalam genosida, di mana keterlibatan pelaku sangat penting, yaitu sebagai pemimpin.” “Jelas

bahwa ‘accomplice liability’ merupakan bentuk kedua dari tanggung jawab seseorang atas

partisipasinya dalam melakukan kejahatan, yang berkebalikan dengan tanggung jawab pelaku

langsung atau pelaku utama. Sidang Pengadilan memandang perbedaan ini serupa antara

‘genosida’ dan ‘complicity in genocide’ pada Pasal 4(3). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah

apakah ... seorang peserta (participant) dalam kejahatan bersama dapat dikategorikan sebagai

pelaku langsung atau pelaku utama, atau sebagai figur kedua (secondary figure) dalam peran

tradisional seorang bawahan.”

Lihat juga Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 77: “Sidang Pengadilan ...

tidak menerima keabsahan perbedaan sebagaimana digambarkan oleh Sidang Pengadilan I

kasus Krstic, yaitu perbedaan antara seorang co-perpetrator dan seorang bawahan. Pengadilan

Krnojelac lebih condong mengikuti pendapat Sidang Banding kasus Tadic, bahwa

pertanggungjawaban peserta dalam kejahatan yang dilakukan bersama yang bukan merupakan

pelaku utama disebut dengan bawahan (accomplice).”

iv) Niat jahat (mental state, mens rea)

(1) Jika kejahatan dilakukan dalam kejahatan yang dilakukan bersama

(a) Harus membuktikan common state of mind (niat) co-perpetrator

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 613: “Jika kejahatan yang diadili

merupakan objek dari kejahatan yang dilakukan bersama, maka Penuntut harus menetapkan

169

Page 170: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

bahwa pelaku berbagi kejahatan dengan orang lain yang secara personal melakukan tindak

pidana state of mind (niat) yang dipersyaratkan dalam kejahatan tersebut.”

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 68-69: Untuk menentukan

adanya mens rea pada kejahatan yang dilakukan bersama, Penuntut harus menetapkan bahwa

seseorang yang diadili telah berbagi common state of mind (niat bersama) dengan seseorang yang

secara personal melakukan tindak kejahatan, di mana orang tersebut diadili sebagai ‘pelaku

utama’, dan menetapkan bahwa kejahatan yang dituduhkan harus telah dilakukan berdasarkan

niat tersebut. Apabila Penuntut melakukan pembuktian terhadap niat (state of mind) dengan

cara menarik kesimpulan (inference), maka kesimpulan tersebut haruslah satu-satunya

kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang didapat. Apabila Sidang Pengadilan tidak puas

atas bukti bahwa terdakwa berbagi niat pada setiap kejahatan di mana ia diduga berpartisipasi

menurut joint criminal enterprise (kejahatan yang dilakukan bersama-sama), maka Sidang

Pengadilan boleh mempertimbangkan apakah dengan demikian dapat dibuktikan bahwa

terdakwa bertanggung-jawab secara pidana atas setiap kejahatan itu sebagai aider dan abettor

atas perbuatan yang telah mereka lakukan.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 284, 271: “[S]eorang co-

perpretator pada kejahatan yang dilakukan bersama (joint criminal enterprise) adalah seorang yang

berbagi niat bersama untuk melakukan kejahatan tersebut, dan tindakan atau pengabaian

merupakan kelanjutan dari kejahatan bersama tersebut.” “Shared intent (berbagi niat) ini dapat,

dan seringkali akan, diketahui dari pengetahuan pelaku atas rencana dan partisipasinya dalam

pengembangan rencana tersebut. Tindakan dengan niat sedemikian ini – yang terlihat atau

yang diperoleh – sebagaimana tindakan sesuai dengan rancangan kejahatan biasa.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 284: “Dalam sebuah kasus

kejahatan yang berlanjut, shared intent dari terdakwa yang berpartisipasi dalam sebuah

kejahatan bersama dapat diperoleh dari pengetahuannya mengenai kejahatan bersama

tersebut dan keterlibatannya yang berlanjut, dan juga dari dampaknya.”

Lihat juga Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 204, untuk diskusi tentang mens rea

(niat) yang diperlukan untuk tiga kategori rancangan umum, didiskusikan pada Bagian

(V)(e)(ii).

170

Page 171: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(b) Harus membuktikan bantuan yang diberikan kepada aider atau

abettor

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 271: “[P]ertanggungjawaban

sebagai dasar dari suatu kejahatan yang dilakukan bersama memerlukan bantuan atau

dorongan kepada aider atau abettor. ...”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 284: “[B]ukti yang diperlukan

dari seorang aider atau abettor dalam sebuah kejahatan yang dilakukan bersama adalah bukti

bahwa ia menyadari kontribusinya melalui bantuan yang dia berikan, atau bahwa ia

memfasilitasi sebuah kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 284: “Seorang aider atau abettor

tidak harus berbagi niat sebagai co-perpetrator.”

(2) Jika kejahatan terjadi di luar kelompok, harus dibuktikan bahwa terdakwa

menyadari bahwa kejahatan selanjutnya (further crime) merupakan

konsekuensi yang mungkin terjadi dan karena itu, dengan kesadarannya,

ia berpartisipasi dalam kejahatan bersama tersebut

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 613: “Jika kejahatan yang dituduhkan

kepada terdakwa berada di luar objek kejahatan bersama, maka tuntutan harus menetapkan

bahwa terdakwa sadar mengenai kejahatan lanjutan yang akan terjadi sebagai konsekuensi

yang timbul dari pelaksanaan kejahatan tersebut, dan bahwa ia terlibat dalam kejahatan

bersama itu dengan kesadarannya.”

Lihat juga Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 228, untuk diskusi tentang mens rea

yang diperlukan bagi tiga kategori raancangan umum, didiskusikan pada Bagian (V)(e)(ii).

(3) Apabila kejahatan memerlukan niat khusus, maka niat tersebut harus

dibuktikan

171

Page 172: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 228: “Apabila kejahatan

memerlukan niat khusus, misalnya kejahatan penganiayaan ... maka jika terdakwa sebagai co-

perpetrator, ia juga harus memenuhi persyaratan tambahan yang dibutuhkan seperti niat untuk

melakukan diskriminasi atas dasar alasan politik, rasial atau agama, jika ia seorang.”

v) Perbedaan antara partisipasi dalam sebuah kejahatan yang dilakukan

bersama, dengan bantuan atau persekongkolan jahat dalam kejahatan yang

dilakukan bersama

(1) Pengantar umum

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 285, 287: “Terdakwa dapat

digolongkan sebagai seorang aider atau abettor ataupun co-perpetrator berdasarkan tingkat dan

sifat partisipasinya dalam suatu kejahatan.” “Tingkat partisipasi yang diperlukan untuk

menyatakan seseorang terlibat dalam sebuah kejahatan yang dilakukan bersama lebih rendah

dari tingkat partisipasi yang dibutuhkan untuk menentukan seseorang sebagai aider atau abettor

menjadi co-perpetrator dalam kejahatan tersebut.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 312: “Aider atau abettor atau co-

perpetrator dalam kejahatan yang dilakukan bersama berkontribusi atas terlaksananya kejahatan

dengan cara menjalankan perannya masing-masing sehingga sistemnya berfungsi.”

(2) Perbandingan niat jahat (mental state, mens rea)

Lihat Bagian (V)(e)(iv)(1)(a) dan (b), ICTY Digest.

(3) Jika seorang aider atau abettor menjadi co-perpetrator

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 284-285: “Biasanya, aider atau

abettor, yaitu seseorang yang membantu atau memfasilitasi persekongkolan kejahatan adalah

seorang bawahan, dapat menjadi co-perpetrator, meskipun secara fisik ia tidak terlibat dalam

kejahatan itu. Hal itu terjadi jika partisipasinya pada waktu sebelumnya terjadi secara ekstensif

atau ia terlibat langsung dalam memfungsikan persekongkolan jahat tersebut. Dengan berbagi

172

Page 173: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

niat dalam kejahatan yang dilakukan bersama, aider atau abettor dapat menjadi seorang co-

perpetrator. Ketika ... seorang terdakwa terlibat dalam sebuah kejahatan, di mana kejahatan

tersebut memungkinkan tercapainya tujuan dari sebuah persekongkolan, maka bentuk

keterlibatannya dalam persekongkolan tersebut adalah sebagai seorang co-perpetrator.” “Jika

bukti menunjukkan bahwa seseorang secara substansial membantu dalam persekongkolan

dengan cara berbagi tujuan kejahatan tersebut, maka ia menjadi seorang co-perpetrator.”

(4) Penerapan: partisipasi dalam pelaksanaan sebuah fasilitas penahanan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 306: “[A]pabila sebuah fasilitas

penahanan dioperasikan sedemikian rupa sehingga niat diskriminatif dan niat penganiayaan

menjadi jelas, maka seseorang yang diketahui berpartisipasi secara signifikan dalam

mengoperasikan fasilitas atau membantu atau memfasilitasi aktivitas tersebut akan dikenakan

pertanggungjawaban pidana secara individual dalam keterlibatannya pada persekongkolan

sebuah kejahatan, baik sebagai co-perpetrator atau seorang aider dan abettor, tergantung pada

posisinya dalam hierarki organisasi dan tingkat partisipasinya.”

173

Page 174: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

VI. PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO (PASAL 7(3))

a) Statuta

Statuta ICTY, Pasal 7(3):

“Fakta bahwa setiap tindakan yang terdapat pada Pasal 2 sampai Pasal 5 Statuta dilakukan

oleh bawahan (subordinate) tidak membebaskan seorang atasan dari pertanggungjawaban

pidana tersebut, jika atasan mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa

bawahannya akan melakukan kejahatan atau telah menjalankan kejahatan tersebut, tetapi

atasan gagal mengambil langkah-langkah penting untuk mencegah tindakan tersebut atau

untuk menghukum pelakunya (bawahan).”

b) Unsur-unsur

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 401: “[T]iga unsur yang

harus dibuktikan dalam pertanggungjawaban atasan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh

bawahannya adalah: (1) adanya hubungan atasan dan bawahan antara terdakwa dengan pelaku

tindak kejahatan yang dimaksud (underlying offence); (2) unsur mental, atau pengetahuan atasan

bahwa bawahannya telah melakukan atau akan melakukan tindak kejahatan; (3) kegagalan

atasan untuk menghalangi terjadinya kejahatan atau untuk menghukum pelaku

(bawahannya).”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 294: “[U]ntuk mendakwa tindak

kejahatan yang tertera pada Pasal 7(3) Statuta, maka pembuktian diperlukan jika: (1) terdapat

hubungan atasan bawahan antara komandan (terdakwa) dan pelaku kejahatan; (2) terdakwa

mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa kejahatan akan dilakukan atau

telah dilakukan oleh bawahannya; dan (3) terdakwa gagal mengambil tindakan yang

diperlukan untuk menghalangi terjadinya kejahatan atau untuk menghukum pelakunya.” Lihat

juga Music dkk., (Sidang Pengadilan, 16 November 1998, Paragraf 346.

174

Page 175: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 76: “Pasal 7(3) menguraikan kriteria

hukum pertanggung-jawaban komando, serta menjelaskan arti kata ‘komandan’ secara

hukum, yang dalam ketentuan tersebut dapat diterapkan jika seorang atasan dengan unsur

mental yang dipersyaratkan gagal menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi

bawahannya melakukan kejahatan atau gagal menghukum pelakunya setelah kejadian itu.

Ketentuan ini juga dapat diterapkan pada seorang atasan yang memiliki kewenangan

sedemikian rupa tetapi gagal mempergunakan kewenangannya itu. Jika fakta kasus memenuhi

kriteria kewenangan atasan sebagaimana tertera pada Pasal 7(3), maka secara hukum terdakwa

digolongkan sebagai seorang atasan (a superior) seperti yang dimaksud dalam ketentuan

tersebut.”

i) Eksistensi hubungan atasan-bawahan (unsur 1)

(1) Hubungan atasan-bawahan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 396: Untuk

menyatakan adanya pertanggungjawaban komando, maka harus ada hubungan antara atasan-

bawahan.

(a) Hubungan dengan bawahan bisa terjadi secara langsung atau tidak

langsung, termasuk struktur informal komando

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 248-268: “[H]ubungan atasan-

bawahan didasarkan pada kontrol yang dapat dijalankan secara langsung maupun tidak

langsung dalam suatu hierarki, sehingga hubungan atasan-bawahan itu sendiri dapat berupa

hubungan langsung dan tidak langsung.” “Sidang Banding menganggap bahwa Sidang

Pengadilan telah mengakui kemungkinan adanya hubungan langsung atau tidak langsung

antara atasan dengan bawahan, dan kemudian Sidang Banding menyetujui bahwa kasus Mucic

dkk. ini mungkin sebuah kasus dengan kontrol yang efektif.” “Persyaratan ‘hubungan atasan-

bawahan’, menurut Komentar atas Protokol Tambahan I, harus dilihat dalam suatu hierarki

dengan konsep kontrol, dan secara khusus merupakan kontrol problematis dalam situasi yang

terjadi di bekas Negara Yugoslavia selama periode terjadinya kasus tersebut, yaitu situasi di

mana sebelumnya keberadaan struktur formal telah hancur, dan selama periode antara,

175

Page 176: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

struktur kontrol dan komando yang baru (kemungkinan merupakan improvisasi) bersifat

ambigu dan tidak diatur secara baik (ill-defined). Sidang Pengadilan menyimpulkan ... bahwa

orang-orang yang secara efektif berada pada posisi komandan dalam struktur informal, serta

memiliki kekuasaan untuk menghalangi dan menghukum pelaku kejahatan yang berada dalam

kontrol mereka, dalam kondisi tertentu dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan

yang dilakukannya.”

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 193: “Struktur komando, yang

diorganisir secara terburu-buru (hastily), mungkin juga tidak beraturan dan bersifat primitif.

Untuk menegakkan hukum diperlukan sebuah akuntabilitas yang tidak hanya ditujukan

kepada pelaku individu, tetapi juga ditujukan pada para komandan (commanders) atau atasan

lain, yang berdasarkan bukti memiliki kontrol terhadap pelaku individu tanpa perjanjian

formal.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 301: “[S]eorang komandan dapat

dikenakan tanggung jawab pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang secara formal bukan

bawahannya (langsung), tetapi komandan tersebut melakukan kontrol terhadap mereka.”

Untuk diskusi mengenai “kontrol yang efektif”, lihat Bagian (VI)(b)(i)(1)(e), ICTY Digest.

(b) Hubungan antara komandan dan bawahannya tidak harus diformalkan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 397: “Hubungan

antara komandan dengan bawahannya tidak harus diformalkan. Kesepakatan (persetujuan)

secara diam-diam atau secara implisit di antara mereka karena posisi satu sama lain dianggap

telah cukup untuk menggambarkan adanya hubungan ini.”

(c) Analisis atas realitas kekuasaan/tugas yang diemban

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 419-424: “Hal penting

pertama yang harus diketahui adalah posisi resmi terdakwa. Otoritas yang aktual tidak dapat

ditentukan hanya dengan posisi formal saja. Baik secara de jure atau de facto, militer atau sipil,

eksistensi dari sebuah posisi kewenangan harus berdasarkan pada penilaian terhadap realitas

176

Page 177: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

kewenangan yang dimiliki terdakwa.” “Posisi otoritas formal dapat merujuk pada penugasan

resmi atau wewenang resmi yang diakui. Kapasitas untuk menandatangani perintah akan

memperlihatkan tingkat kekuasaan. Otoritas untuk mengeluarkan perintah dapat diasumsikan

sebagai de facto.” “Status atasan, jika tidak secara jelas disebutkan dalam perintah perjanjian

(appointment order), dapat diturunkan melalui analisis atas tugas yang diemban oleh terdakwa

yang dimaksud.”

(d) Pemberian perintah atau pelaksanaan kekuasaan yang secara umum

dimiliki oleh seorang komandan militer merupakan indikasi kuat

seorang individu sebagai komandan, tapi bukan semata-mata faktor

yang relevan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 397: “Pemberian

perintah atau pelaksanaan kekuasaan secara umum yang biasanya dimiliki oleh seorang

komandan militer merupakan indikasi kuat bahwa seseorang benar-benar seorang komandan.

Tapi ini bukan merupakan satu-satunya faktor yang relevan.”

(e) Kontrol efektif yang diperlukan: kemampuan untuk menghalangi dan

menghukum kejahatan

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 256: “Dalam konsep kontrol efektif

seorang atasan terhadap bawahan, dalam kaitannya dengan kemampuan materil atasan

tersebut untuk menghalangi atau menghukum – jika kontrol tersebut dijalankan – adalah

permulaan untuk sampai pada penentuan hubungan atasan-bawahan seperti maksud Pasal

7(3) Statuta.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 335: “Atasan” adalah “seseorang yang

menjalankan ‘kontrol efektif’ terhadap bawahannya.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 300-302: “‘[U]ntuk menerapkan prinsip

pertanggungjawaban atasan, maka penting mengetahui bahwa seorang atasan mempunyai

kontrol efektif terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum

humaniter internasional, dan bahwa ia memiliki kemampuan materil untuk menghalangi dan

177

Page 178: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

menghukum tindak kejahatan ini.” “[S]eorang komandan dapat dikenakan

pertanggungjawaban pidana atas kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang meskipun

tidak secara formal (tidak langsung) menjadi bawahannya, tetapi ia menerapkan kontrol

efektif terhadap mereka. Meskipun ... ‘kemampuan aktual’ seorang komandan merupakan

kriteria yang relevan, tetapi ia tidak harus mempunyai kewenangan hukum untuk

menghalangi atau menghukum tindak kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya. Yang

menjadi pertimbangan adalah kemampuan materil, yaitu selain ia dapat mengeluarkan

perintah atau mengambil tindakan disipliner, ia juga memiliki kewenangan misalnya membuat

laporan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil langkah-langkah yang seharusnya ia

lakukan.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 416: “[T]anggung jawab

pidana hanya dapat dikenakan pada para atasan yang secara de jure atau de facto, baik dari

militer maupun sipil, yang benar-benar merupakan bagian dari rantai komando, baik langsung

atau tidak langsung, yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan kontrol atau untuk

menghukum tindak kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya.”

(f) Unit militer sementara atau komando ad hoc tidak mengesampingkan

hubungan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 339: “Orang-

orang atau siapa saja yang secara permanen maupun sementara berada di bawah komando

seseorang, dapat dianggap berada dalam kontrol efektif orang tersebut. Unit militer yang

bersifat sementara tidak mengesampingkan adanya hubungan subordinasi antara anggota dari

unit tersebut dengan komandannya. Untuk dapat bertanggung-jawab atas tindak kejahatan

yang dilakukan oleh seseorang atau orang-orang di bawah kontrolnya baik secara ad hoc atau

sementara, maka harus dapat dibuktikan bahwa, pada saat kejahatan tersebut dilakukan

sebagaimana yang dituduhkan dalam dakwaan, orang-orang tersebut berada dalam kontrol

efektif dari orang tersebut.”

(g) Kontrol dapat terjadi baik secara de jure ataupun de facto

178

Page 179: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 192-194: “Berdasarkan Pasal 7(3),

seorang komandan atau atasan adalah ... orang yang mempunyai kekuasaan atau otoritas baik

secara de jure maupun de facto untuk menghalangi kejahatan yang dilakukan bawahannya atau

berwenang menghukum pelaku setelah kejahatan tersebut dilakukan.” “Kekuasaan atau

otoritas untuk mencegah atau untuk menghukum tidak sepenuhnya berasal dari kewenangan

de jure yang didapat melalui pengangkatan secara resmi. Dalam beberapa konflik masa kini,

kekuasaan de facto saja, misalnya pemerintahan yang diumumkan sendiri dan oleh karena itu,

tentara-tentara de facto dan kelompok-kelompok paramiliter merupakan subordinat

pemerintah tersebut. Pada hakikatnya kekuasaan atau otoritas seperti itu juga memiliki

kekuasaan untuk mencegah atau menghukum kejahatan yang dilakukan bawahannya. Struktur

komando yang diorganisir secara sembrono (hastily), bisa jadi kacau dan primitif. Untuk

menegakkan hukum dalam situasi seperti itu diperlukan kepastian akuntabilitas tidak hanya

kepada pelaku-pelaku individual, tetapi komandan-komandan mereka atau atasan-atasan lain,

yang berdasarkan bukti, memiliki kekuasaan untuk mengkontrol pelaku-pelaku individual

tersebut meskipun tanpa pengangkatan secara formal.” “‘[W]alaupun pengangkatan formal

(de jure) merupakan aspek penting dalam menjalankan kewenangan komando atau otoritas

atasan, tetapi dalam hal tidak adanya pengangkatan secara formal, pelaksanaan kewenangan

yang sebenarnya (de facto) sudah memadai untuk menjatuhkan tanggung jawab pidana kepada

komandan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, faktor yang paling penting untuk menjalankan

tanggung jawab komando adalah apakah seorang komandan secara nyata memiliki atau tidak

memiliki kekuasaan untuk mengkontrol tindakan-tindakan dari bawahannya.’”

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 396: “[S]uatu

hubungan tidak hanya ditentukan dengan melihat status formalnya saja. Oleh karena itu,

penunjukkan formal (formal designation) seseorang sebagai komandan tidak diperlukan untuk

menjatuhkan tanggung jawab komando kepadanya, sebab pada dasarnya tanggung-jawabnya

sebagai komandan adalah bersifat de facto, dan de jure.”

Aleksovski, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 76: “Tanggung jawab atasan tidak

hanya diterapkan untuk pejabat resmi. Setiap orang yang bertindak secara de facto sebagai

seorang atasan dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 7(3). Kriteria yang

tegas dalam menentukan siapa atasan menurut hukum kebiasaan internasional tidak hanya

dilihat dari status legal formal terdakwa tetapi juga kemampuannya sebagaimana ditunjukkan

179

Page 180: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

oleh kompetensi dan tugasnya untuk menggunakan kontrol yang dimilikinya. ‘[F]aktor yang

menentukan kemampuan seseorang untuk jenis tanggung jawab pidana ini adalah apakah ia

secara nyata memiliki kewenangan untuk mengkontrol tindakan-tindakan yang dilakukan

bawahannya, atau tidak. Penunjukkan formal sebagai seorang komandan tidak harus

dipertimbangkan sebagai sebuah syarat untuk membebankan tanggung jawab pidana, karena

itu tanggung jawab semacam ini dapat diterapkan kepada seseorang yang secara de facto serta

de jure, memiliki posisi sebagai komandan.’”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 300: “[D]alam rangka menerapkan Pasal

7(3) Statuta, terdakwa harus dalam posisi sebagai komandan. Prinsip ini tidak terbatas pada

individu yang ditunjuk secara resmi sebagai komandan, tapi juga meliputi komandan de facto

dan de jure.”

(h) Tingkat kewenangan de facto harus ekuivalen dengan otoritas de jure

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 416: Sidang Banding dalam

kasus Mucic dkk., menyatakan bahwa tingkat kewenangan de facto atau kekuasaan untuk

mengkontrol yang disyaratkan menurut Doktrin Tanggung Jawab Atasan, sama dengan syarat

kewenangan de jure. Meskipun tingkat kontrol yang dimiliki oleh atasan secara de jure atau de

facto (mungkin) memiliki bentuk yang berbeda, seorang atasan de facto yang mempunyai

kekuasan kontrol yang secara substansial sama terhadap bawahannya dapat dikenakan

pertanggungjawaban pidana atas tindakan-tindakan yang dilakukan bawahannya.”

(2) Dua atau lebih atasan bisa dimintai pertanggungjawaban

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 93: “Dua atau lebih atasan dapat

dimintai pertanggungjawaban untuk kejahatan yang sama yang dilakukan oleh individu yang

sama jika diketahui bahwa pelaku utama berada di bawah komando dua atasan pada saat yang

relevan.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 303: “[P]engujian atas pelaksanaan

kontrol yang efektif oleh komandan mengakibatkan lebih dari satu orang dapat dimintai

pertanggungjawaban untuk kejahatan yang sama yang dilakukan oleh seorang bawahannya.”

180

Page 181: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(3) Penerapan untuk pemimpin sipil: pengujian atas kontrol efektif

Mucic dkk., (Sidang Pengadilan), 16 November 1998, Paragraf 377-378: “[S]idang Pengadilan

menyatakan bahwa seorang atasan, baik militer maupun sipil, dapat dikenakan

pertanggungjawaban atasan atas dasar kewenangan yang dimilikinya secara de facto. ...”

“[U]ntuk menerapkan prinsip pertanggungjawaban atasan, harus diketahui bahwa atasan

tersebut memiliki kontrol yang efektif terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran

terhadap hukum humaniter internasional seperti yang dimaksud, karena ia (atasan)

mempunyai kemampuan materil untuk mencegah dan menghukum pelanggaran ini.

Kewenangan tersebut dapat berkarakter de facto maupun de jure ... doktrin

pertanggungjawaban atasan dapat dikenakan kepada atasan sipil hanya apabila mereka

menjalankan kontrol terhadap bawahannya sama seperti kontrol yang dilakukan oleh

komandan militer.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 415-416: “Apabila sipil

menempati posisi kewenangan yang berhubungan dengan bagian sebuah wilayah, maka sipil

tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban atasan, dan pertanggungjawaban tersebut

hanya akan dilakukan apabila sipil tersebut diketahui memiliki kekuasaan untuk mengkontrol

para pelaku.” “[S]eorang pejabat pemerintah hanya akan dikenakan pertanggungjawaban

komando jika ia merupakan bagian dari hubungan atasan-bawahan, meskipun hubungan itu

terjadi secara tidak langsung. Meskipun kontrol yang diyakini efektif bisa dicapai melalui

pengaruh yang substansial, penerapan kekuatan pengaruh semacam itu tidak akan memadai

jika tak ada tindakan nyata bahwa ia memiliki kontrol yang efektif terhadap para bawahannya,

karena ia memiliki kemampuan material untuk mencegah kejahatan yang dilakukan

bawahannya atau menghukum pelaku bawahannya (subordinate offenders) setelah kejahatan itu

dilakukan. Tindakan nyata dari kekuasan bahwa seorang pegawai benar-benar merupakan

orang yang berpengaruh tidak menjadi alasan yang cukup.”

Bandingkan Aleksovski, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 78: “[S]eorang warga sipil

dapat digolongkan sebagai seorang atasan sebagaimana ketentuan Pasal 7(3) jika secara de jure

atau de facto ia mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan perintah pencegahan terhadap

suatu tindak kejahatan dan memberi sangsi kepada pelakunya.” “Kekuasaan sipil untuk

181

Page 182: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

182

menjatuhkan sangsi, bagaimanapun juga harus ditafsirkan secara luas.” “Tidak dapat

diharapkan bahwa kewenangan sebuah otoritas sipil mempunyai terhadap bawahannya sama

seperti kewenangan yang dimiliki oleh otoritas militer dalam posisi komandan.”

“[K]emampuan atasan baik de jure maupun de facto untuk menjatuhkan sangsi tidak

dipentingkan. Kemungkinan pengiriman laporan kepada pihak yang pantas berkuasa, yang

merupakan salah satu kewenangan sipil melalui posisinya dalam hierarki, diharapkan untuk

melaporkan kejahatan yang terjadi kapan pun, dan oleh karena itu, dalam posisi ini, sangat

mungkin bahwa laporan-laporan tersebut akan memicu investigasi atau menyebabkan

hukuman disipliner atau bisa jadi tindakan kejahatan justru terus berlanjut.”

ii) Niat jahat (mental state, mens rea) (unsur ke-2)

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 294: Unsur kedua adalah bahwa

“terdakwa mengetahui atau mempunyai alasan untuk tahu bahwa kejahatan akan dilakukan

atau telah dilakukan. ...”

(1) Pengetahuan aktual

(a) Pengetahuan dapat dibuktikan melalui bukti langsung atau bukti tidak

langsung (circumstantial evidence)8

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 307: “Pengetahuan tidak dapat dikira-kira

(presumed). Namun, ‘pengetahuan’ dapat dibuktikan melalui bukti langsung atau bukti tidak

langsung (circumstantial).”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 427: “Pengetahuan aktual,

yang mungkin dinyatakan sebagai kesadaran bahwa kejahatan yang relevan dilakukan atau

kira-kira akan dilakukan, dapat diketahui melalui bukti langsung atau bukti circumstantial. Bukti

8 Berdasarkan penjelasan Kamus Encarta, yang dimaksud dengan circumstantial evidence adalah bukti yang mengandung atau didasarkan pada fakta-fakta yang memperbolehkan pengadilan membuat kesimpulan bahwa seseorang itu bersalah tanpa didukung bukti-bukti yang meyakinkan (conclusive proof)

Page 183: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

tidak langsung (circumstantial) adalah bukti yang diperoleh dari sebuah kesimpulan bahwa

atasan ‘harus sudah mengetahui’ tindak kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya.”

(b) Bukti yang diperlukan untuk menunjukkan adanya pengetahuan

aktual bisa berbeda tergantung pada posisi kewenangan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 428: “Untuk menentukan

posisi kewenangan yang dimiliki seorang atasan, secara de jure atau de facto, dan level tanggung-

jawabnya dalam rantai komando, bukti yang diperlukan untuk menunjukan pengetahuan yang

aktual mungkin berbeda antara atasan militer dengan atasan sipil. [P]engetahuan aktual dari

seorang komandan militer mungkin lebih mudah untuk dibuktikan, mengingat fakta bahwa ia

diasumsikan sebagai bagian dari sebuah struktur yang terorganisir dengan sistem monitoring

dan pelaporan yang telah mapan. Dalam kasus para komandan de facto dari struktur militer

yang lebih informal, atau para pemimpin sipil yang memegang kekuasaan de facto, standard

pembuktian menjadi lebih tinggi.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 308: “[P]osisi komandan per se individu

merupakan indicia (tanda awal) yang signifikan bahwa ia mengetahui tentang kejahatan yang

dilakukan oleh bawahannya.”

(c) Makin jauh jarak fisik petinggi dari (tempat) berlangsungnya tindak

kejahatan, makin banyak indikasi tambahan yang diperlukan

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 72: “Mempertimbangkan

kondisi geografis dan temporal ... makin jauh jarak fisik sang petinggi dari tindak kejahatan,

makin banyak indikasi tambahan yang diperlukan untuk membuktikan bahwa ia mengetahui

adanya kejahatan tersebut. Di pihak lain, jika kejahatan tersebut terjadi berdekatan dengan

posisi di mana dia berada, hal ini sudah mencukupi sebagai indikasi bahwa sang petinggi itu

mempunyai pengetahuan akan kejahatan tersebut, apalagi jika kejahatan tersebut dilakukan

berulang-ulang.”

(d) Indikasi pengetahuan lain

183

Page 184: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 427: “[I]ndikasi yang

diuraikan oleh Komisi Ahli PBB dapat digunakan untuk menentukan jumlah, jenis dan

lingkup tindakan melawan hukum; waktu yang dipergunakan; jumlah dan kesatuan tentara

yang terlibat; logistik yang digunakan, jika ada; lokasi geografis; meluasnya tindakan

(widespread of occurance); taktik operasi; modus operandi dari tindakan ilegal semacamnya; pejabat

atau staf yang terlibat, dan lokasi komandan pada saat itu.”

(2) Alasan untuk tahu

(a) Analisis apakah atasan mempunyai informasi yang dapat

menempatkannya pada catatan

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 222-241: “Sebuah petunjuk bahwa

seorang atasan mempunyai informasi umum yang dipegangnya, yang menempatkan dia dalam

catatan akan tindakan ilegal yang dilakukan oleh para bawahannya merupakan alasan yang

cukup untuk membuktikan bahwa ia ‘mempunyai alasan untuk tahu’. Menyangkut bentuk

informasi yang terdapat di pihaknya, informasi tersebut dapat berupa tertulis atau lisan, dan

tidak harus dalam bentuk laporan khusus sebagai bagian dari sistem monitoring yang

diterapkan. Informasi ini juga tidak harus berisi tentang informasi khusus tentang tindakan

melawan hukum yang telah dilakukan dan akan dilakukan. Akhirnya, informasi relevan hanya

perlu diberikan atau disediakan kepada atasan, atau ... ‘dalam kepemilikannya’. Tidak menjadi

keharusan bahwa ia secara nyata mengerti tentang informasi tersebut. [S]uatu penilaian

tentang unsur niat yang disyaratkan dalam Pasal 7(3) Statuta harus diterapkan dalam situasi

spesifik dari masing-masing kasus, dengan mempertimbangkan situasi khusus atasan yang

sedang bertugas pada saat itu.” “[S]eorang atasan akan dikenakan tanggung jawab pidana

sebagai atasan hanya jika ia memiliki informasi yang dapat membuatnya dikenakan tanggung

jawab pidana yang dilakukan oleh bawahannya.”

(b) Komandan yang menjalankan ketentuan tersebut dibedakan dari

situasi di mana ketiadaan pengetahuan merupakan kelalaian

(negligence).

184

Page 185: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 332: “[J]ika seorang komandan telah

menjalankan ketentuan dalam pemenuhan kewajibannya dengan kurangnya pengetahuan

bahwa kejahatan akan dilakukan atau telah dilakukan, maka ketiadaan pengetahuan yang

dimilikinya membuatnya tidak dapat dikenakan hukuman. Namun, dengan

mempertimbangkan posisinya saat itu sebagai komandan dan keadaan yang berlaku saat itu,

maka pengabaian tersebut tidak dapat dijadikan sebuah pembelaan di mana ketiadaan

pengetahuan merupakan akibat dari kelalaian dia akan kewajibannya.”

iii) Kegagalan atasan untuk mengambil tindakan penting dan semestinya untuk

mencegah atau menghukum (unsur ke-3)

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 294: Elemen ketiga adalah “kegagalan

terdakwa dalam mengambil tindakan yang penting dan semestinya untuk mencegah kejahatan

atau menghukum pelakunya.”

(1) Pertimbangan yang disyaratkan terbatas pada apa yang tampak jelas,

tetapi komandan harus menggunakan semua cara dalam lingkup

kewenangannya

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 95: “Pertimbangan-pertimbangan yang

disyaratkan atas sang atasan terbatas pada hal-hal yang tampak jelas saja dalam seluruh

lingkup kejadian dan terbatas ‘dalam kewenangannya saja’.” Seorang atasan tidak diwajibkan

untuk mengambil tindakan yang tidak mungkin dilakukan (impossible), tetapi ia mempunyai

tugas untuk menjalankan kekuasaan yang dimilikinya dalam batas-batas kewenangan yang

dimilikinya.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 441, 445: “Pasal 7(3)

Statuta mengatur tentang tanggung jawab atasan untuk mencegah kejahatan yang akan

dilakukan oleh bawahan atau menghukum pelaku kejahatan tersebut, dengan cara ‘mengambil

tindakan yang penting dan dianggap perlu’.” “[S]eorang atasan telah melepaskan diri dari

kewajibannya untuk mencegah atau menghukum jika ia menggunakan setiap cara yang

dibolehkan dalam kewenangannya untuk bertindak demikian. Pembatasan ini didasarkan

pada kondisi dari masing-masing kasus.”

185

Page 186: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(2) Taraf kontrol yang efektif menentukan apa yang diperlukan/disyaratkan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 335: “[A]dalah taraf kontrol efektif sang

komandan, dan kemampuan materialnya, yang akan menuntun Pengadilan dalam

menentukan apakah ia mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah

kejahatan atau menghukum pelakunya. [I]ni berimplikasi pada kondisi tertentu, di mana

seorang komandan menggunakan kewajibannya untuk mencegah atau menghukum pelaku

dengan cara melaporkan masalah ini ke pejabat yang berwenang.”

(3) Tidak boleh menggantikan kegagalan mencegah kejahatan dengan

menghukum bawahan setelahnya

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 336: “[K]ewajiban untuk ‘mencegah atau

menghukum’ tidak menyediakan bagi terdakwa dua alternatif dan pilihan yang memuaskan.

Jelas bahwa, apabila terdakwa mengetahui atau mempunyai alasan untuk mengetahui bahwa

bawahannya akan melakukan tindak kejahatan dan dia sebagai atasan gagal untuk

mencegahnya, maka ia tidak boleh menggantikan kegagalan tersebut dengan menghukum

bawahannya setelah itu.”

(4) Jika tugas memanggil

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 445-446: “Tugas untuk

mencegah seharusnya dipahami sebagai sesuatu yang diemban oleh seorang atasan pada

berbagai tingkatan sebelum dilakukannya kejahatan oleh bawahan jika ia (atasan) memiliki

pengetahuan bahwa kejahatan tersebut sedang dipersiapkan atau direncanakan, atau jika ia

mempunyai alasan yang jelas untuk mencurigai kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya.”

“Tugas untuk menghukum biasanya terjadi setelah sebuah kejahatan dilakukan. Seseorang

komandan bertugas untuk menghukum pelaku setelah pelaku tersebut melakukan kejahatan

tersebut.”

186

Page 187: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 317: “Tindakan diperlukan di

pihak atasan dengan dasar pemikiran bahwa ia ‘mengetahui atau mempunyai alasan untuk

tahu’ kejahatan yang telah dilakukan atau akan dilakukan oleh bawahan.”

(5) Apa yang disyaratkan dalam kewajiban menghukum

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 446: “Tanggung jawab ini

setidaknya meliputi kewajiban untuk melakukan investigasi terhadap kejahatan untuk

mendapatkan fakta-fakta yang diperlukan, dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak

yang berwenang jika atasan tersebut tidak mempunyai kekuasaan untuk memberikan sanksi

kepada pelaku.”

(6) Atasan tidak harus orang yang menjatuhkan hukuman, tapi merupakan

seseorang yang harus mengambil langkah penting sebagai bagian dari

proses pendisiplinan

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 316: “Atasan tidak harus orang

yang menjatuhkan hukuman, tapi merupakan seseorang yang harus mengambil langkah

penting sebagai bagian dari proses pendisiplinan.”

(7) Atasan sipil juga mempunyai kewajiban yang sama

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 446: “Atasan sipil

mempunyai kewajiban yang sama seperti atasan militer – berkenaan dengan tugas untuk

mencegah atau menghukum – tergantung kekuasaan efektif yang dijalankannya dan apakah

kekuasaan itu termasuk kemampuannya untuk meminta pihak yang berkompeten supaya

mengambil tindakan.”

c) Tanggung jawab atasan bukan merupakan tanggung jawab langsung (strict

liability)

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 197, 239: “Doktrin

pertanggungjawaban komando didasarkan pada kekuasaan atasan untuk mengkontrol

187

Page 188: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

tindakan bawahannya. Kewajiban ini terletak pada atasan yang dipergunakan untuk mencegah

dan menekan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, dan jika ia gagal melakukan

kewajibannya itu maka ia dikenakan sanksi sesuai dengan doktrin pertanggungjawaban

komando, yaitu tanggung jawab pidana individu.” “[P]ertanggungjawaban komando bukanlah

tanggung jawab langsung atau strict liability. Seorang atasan hanya akan dimintai

pertanggungjawabannya atas tindak kejahatan yang dilakukan bawahannya jika diketahui

bahwa ia ‘telah mengetahui atau mempunyai alasan untuk mengetahui’ peristiwa tersebut.

Sidang Banding tidak akan mendeskripsikan tanggung jawab atasan sebagai doktrin tanggung

jawab tidak langsung atau vicarious liability, karena pertanggungjawaban tidak langsung bisa

bermakna sebagai sebentuk tanggung jawab langsung yang terdapat dalam rangkaian

keterkaitan.”

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 369: “Tanggung jawab

yang dimaksud pada Pasal 7(3) didasarkan pada kelalaian dalam melakukan tindakan positif

(positive conduct). Harus ditekankan bahwa doktrin pertanggungjawaban komando tidak

dikenakan pada seseorang hanya karena ia berada dalam posisi sebagai pemegang otoritas

(position of authority), tetapi seseorang akan dikenakan pertanggungjawaban komando apabila

dapat dibuktikan bahwa ia ‘telah mengetahui atau mempunyai alasan untuk mengetahui’

tentang kejahatan-kejahatan yang dilakukan bawahannya tetapi ia gagal mengambil tindakan

untuk mencegah atau menghukum pelakunya. Tanggung jawab atasan, merupakan bentuk

tanggung jawab terkait (imputed responsibility), karena itu tanggung jawab ini bukan merupakan

tanggung jawab langsung atau (strict liability).”

188

Page 189: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

VII. PEMBELAAN AFIRMATIF (AFFIRMATIVE DEFENSES)

a) Paksaan tidak mendatangkan sebuah pembelaan lengkap

Penuntut v. Erdemovic, Kasus No. IT-96-22 (Sidang Banding), Gabungan pendapat yang

berbeda (Joint Separate Opinion) antara Hakim McDonald dan Hakim Vohrah, 7 Oktober 1997,

Paragraf 55, 66, 72, 75, 88: Pengadilan menyatakan bahwa “tidak ada aturan yang dijumpai

pada hukum kebiasaan internasional tentang mungkin atau tidaknya paksaan pembelaan atas

perintah membunuh orang-orang yang tidak bersalah.” Karena tidak adanya hukum

kebiasaan yang mengatur hal tersebut, pengadilan memakai “prinsip-prinsip hukum yang

diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (civilised nations)” dan menyatakan bahwa terdapat

“sebuah prinsip umum atas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab bahwa seorang

terdakwa tidaklah pantas dan tidaklah semestinya dikenakan hukuman penuh kalau dia

ternyata melakukan beberapa tindakan yang dilarang itu karena dipaksa,” di mana

“pemaksaan” (duress) berarti “ancaman hilangnya nyawa si terdakwa jika ia menolak untuk

melakukan kejahatan tersebut.” Namun, pengadilan menyatakan “[j]elas bahwa dari posisi

berbeda terhadap prinsip sistem hukum dunia, di mana tidak ada hukum konkret yang

konsisten yang menjawab pertanyaan apakah duress (paksaan) merupakan sebuah pembelaan

atas pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.” Pengadilan menyatakan

keprihatinannya bahwa “dalam kaitannya dengan kejahatan-kejahatan yang paling mengerikan

(the most heinous crimes) yang dikenal selama ini, prinsip-prinsip hukum yang kami jadikan

sebagai sandaran kepercayaan [ICTY] memiliki efek normatif yang tepat atas para prajurit

yang menggunakan senjata pemusnah dan atas para komandan yang mengkontrol mereka

dalam situasi konflik bersenjata,” dan menyimpulkan bahwa “hukum internasional ... tidak

mengakui paksaan (duress) dalam kasus-kasus yang melibatkan pembunuhan besar-besaran

terhadap manusia dalam skala yang besar.” Pengadilan menyatakan bahwa “paksaan (duress)

tidak dapat dijadikan dasar pembelaan lengkap bagi seorang tentara yang dituntut dengan

tuduhan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang dalam hukum

internasional yang menyebabkan tercerabutnya nyawa orang-orang tidak berdosa. Kami

bertindak demikian setelah mempertimbangkan kewajiban kami berdasarkan mandat dari

Statuta untuk memastikan bahwa hukum humaniter internasional, yang memberikan

189

Page 190: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

perlindungan atas manusia, tidak begitu saja diabaikan.” (Hakim Li, dalam Opini Terpisah

dan Berbeda/Separate and Disenting Opinion, yang disepakati oleh Hakim Mc.Donald dan

Vohrah tentang isu paksaan, duress).

Lihat juga pembahasan tentang duress dan penghukuman (putusan), Bagian (X)(b)(iii)(4)(d),

ICTY Digest.

b) Penolakan prinsip tu quoque: argumentasi bahwa kejahatan serupa yang

dilakukan timbal balik bukan merupakan sebuah pembelaan yang sah

Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 51, 515-520: Argumen pada isu

“jumlah untuk mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum humaniter

internasional, yang dilakukan oleh musuh, membenarkan pelanggaran-pelanggaran yang sama

yang dilakukan oleh negara yang berperang.” Namun, “pembelaan tu quoque tidak dinyatakan

dalam hukum humaniter internasional saat ini.” Pengadilan menolak prinsip tu quoque karena

dianggap “menyesatkan dan tidak dapat diterapkan” dalam hukum humaniter internasional.

Prinsip tersebut telah “ditolak secara universal” dan “cacat secara prinsip” karena “[ia]

menggambarkan hukum humaniter sebagai sebuah pertukaran bilateral sempit antara hak dan

kewajiban.” Lebih lanjut, “sebagian dari badan hukum ini mempunyai kewajiban absolut,

yaitu kewajiban yang tidak bersyarat atau dengan kata lain tidak didasarkan pada kewajiban

timbal balik (reciprocity obligations).”

c) Keterlibatan dalam operasi defensif bukan sebuah pembelaan (a defense)

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 448-452: “[K]eterlibatan

seseorang dalam sebuah ‘operasi defensif’ bukan merupakan alasan untuk menjatuhkan

tanggung jawab pidana kepadanya.”

d) Pengurangan tanggung jawab mental (diminished mental responsibility) bukan

merupakan sebuah pembelaan

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 282: “[I]su tentang pengurangan

tanggung jawab mental hanya relevan jika putusan pengadilan akan dijatuhkan kepada

190

Page 191: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

terdakwa. Bukanlah suatu pembelaan yaitu bahwa jika pengurangan diberikan akan

berdampak pada terbebasnya sang terdakwa.”

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 590: “Sidang Banding menerima

bahwa prinsip umum hukum, yang terhadapnya baik sistem common law maupun civil law

berlaku, yaitu bahwa pengurangan tanggung jawab mental si terdakwa relevan degnan

hukuman yang akan diberikan dan bukan merupakan sebuah pembelaan yang mengarah pada

pembebasan dalam arti sebenarnya.”

Lihat juga kajian tentang pengurangan tanggung jawab mental dan putusan pengadilan, pada

Bagian (X)(b)(iii)(4)(f), ICTY Digest.

191

Page 192: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

VIII. JURISDIKSI

a) Pengantar umum

Tadic, (Sidang Banding), Decision on the Defence Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction, 2

Oktober 1995, Paragraf 2, 36, 40, 47, 64, 145, 146: Dusko Tadic menolak jurisdiksi dan

keabsahan eksistensi ICTY dengan tiga alasan: (1) ketidakabsahan hukum ICTY (illegal

foundation); (2) keutamaan yang disalahartikan dari ICTY atas pengadilan nasional; dan (3)

kurangnya subjektivitas jurisdiksi (subject-matter). Sidang Banding menyatakan bahwa

kemampuan sebuah pengadilan judicial dan arbitrase “untuk menentukan jurisdiksinya”

merupakan “bagian yang penting” dalam jurisdiksi insidental dan bersifat inheren. Sidang

Banding menyatakan bahwa ICTY didirikan dengan kekuasaan Dewan Keamanan PBB

berdasarkan Pasal 41 Piagam PBB, dan menyatakan bahwa ICTY secara hukum telah

dibentuk sebagai langkah yang direkomendasikan pada Bab VII Piagam PBB, dan oleh

karena itu ICTY “didirikan atas dasar hukum”. Sidang Banding menyatakan bahwa telah

terjadi ancaman terhadap perdamaian di negara bekas Yugoslavia sehingga memberikan

justifikasi kepada Dewan Keamanan PBB untuk menjalankan mandat Bab VII Piagam PBB,

dan selanjutnya Pasal 41 Bab VII merupakan dasar hukum untuk mendirikan pengadilan

pidana internasional. Sidang Banding menyatakan bahwa alasan kedua yang diajukan oleh

Tadic tidak berdasar dan menyimpulkan bahwa pengadilan mempunyai jurisdiksi subjektif

(subject-matter jurisdiction) atas kasus tersebut.

192

Page 193: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

IX. ETIKA

a) Menghina pengadilan

i) Pengadilan mempunyai “jurisdiksi inheren” untuk mengatasi masalah

penghinaan

Penuntut v. Tadic, Kasus No.IT-94-1 (Sidang Banding), 31 Januari 2000, Paragraf 13,14, 26:

Tindakan penghinaan (contempt proceedings) dikenakan kepada Milan Vujin, mantan Pengacara

Dusko Tadic. Dalam mengatasi masalah ini, Sidang Banding membahas apakah ICTY

mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah tindakan penghinaan dan

menghukum para pelaku yang dinyatakan bersalah telah melakukan penghinaan. Sidang

Banding menyatakan bahwa meskipun “[t]idak disebutkan dalam Statuta Pengadilan tentang

kewenangan Pengadilan untuk mengatasi masalah penghinaan, tetapi sesungguhnya,

pengadilan mempunyai jurisdiksi inheren, yang diperoleh dari fungsi judisialnya, untuk

memastikan bahwa pengadilan dapat menjalankan jurisdiksi yang secara nyata diberikan

kepadanya oleh Statuta dan tidak dapat dicegah, sehingga jurisdiksi tersebut dianggap sebagai

fungsi hukum mendasar yang dilindungi.” “Jurisdiksi inheren ini” secara jelas dikemukakan

dalam kalimat yang terdapat pada Aturan No. 77.

ii) Penghinaan yang dilakukan dengan menghadapkan kasus yang diketahui

salah secara materil dan memanipulasi saksi

Tadic, (Sidang Banding), 31 Januari 2000, Paragraf 134, 160, 166, 167, 174: Untuk menyatakan

bahwa Milan Vujin, mantan Pengacara Dusko Tadic, melakukan penghinaan, Sidang Banding

mengemukakan bahwa Vujin “telah memasukkan sebuah kasus ... yang diketahuinya palsu

secara materil,” dan karenanya ia telah “memanipulasi Saksi A dan B dengan upaya untuk

menghindari adanya identifikasi oleh mereka dalam pernyataan pembuktian mereka tentang

orang yang mungkin bertanggung-jawab atas kejahatan yang telah dilakukan Tadic.” Sidang

Banding mengemukakan bahwa penghinaan itu dilakukan secara “serius” karena “tindakan

Vujin bertentangan dengan kepentingan kliennya,” di mana ia “menyerang dengan keras

193

Page 194: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

sistem pengadilan pidana.” Sidang Banding memerintahkan Vujin “untuk membayar denda

sebesar Dfl 15,000 kepada Panitera Pengadilan” dan memerintahkan pihak Panitera

Pengadilan untuk “mempertimbangkan dihapuskan” namanya “dari daftar pengacara tugas

dan melaporkan kelakuannya ke badan profesional pengacara yang menaunginya.” Vujin

menyatakan banding atas putusan ini dan pada 27 Februari 2001, Sidang Banding menolak

pengajuan bandingnya dan mendukung putusan Pengadilan sebelumnya. Pada 8 Juni 2001,

pihak Panitera Pengadilan memerintahkan untuk mencoret nama Vujin dari daftar pengacara

tugas (assigned counsel).

b) Imparsialitas hakim

i) Dua paket tes untuk memeriksa bias pengadilan

Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 189-190: “[T]erdapat aturan umum yang

menyatakan bahwa secara subjektif seorang Hakim harus terbebas dari bias, tetapi juga

bahwa tidak boleh ada apa pun di sekitarnya yang mempengaruhi hakim sehingga

mendatangkan bias. [P]engadilan Banding mempertimbangkan bahwa prinsip-prinsip yang

harus ditafsirkan secara langsung dan diterapkan secara imparsial seperti yang disyaratkan

oleh Statuta: A. Seorang hakim tidak imparsial jika ternyata bahwa bias nyata-nyata muncul;

B. Bias yang terjadi tidak dapat diterima jika: i) seorang hakim merupakan pihak dalam kasus

tersebut, atau mempunyai kepentingan finansial atau kepemilikan atas kasus tersebut, atau

jika keputusan Hakim akan mengarah pada munculnya penyebab di mana dia terlibat,

bersama salah satu pihak. Dalam situasi ini, maka hakim tersebut secara otomatis akan

didiskualifikasi; atau ii) keadaan ini akan mengarahkan seorang pengamat yang beralasan,

yang memiliki informasi secara tepat, kepada bias yang sangat nyata.” “Berkaitan dengan poin

kedua dari prinsip kedua ini, Sidang Banding mengadopsi pendekatan bahwa ‘seorang yang

rasional haruslah seorang yang memiliki pengetahuan terhadap segala keadaan yang relevan

termasuk tradisi integritas dan imparsialitas yang merupakan bagian dari latar belakang dan

juga fakta bahwa imparsialitas merupakan salah satu tugas yang harus dijalankan hakim sesuai

dengan sumpah jabatannya.’”

ii) Tuntutan yang tinggi untuk menegakkan praduga ketidakberpihakan

194

Page 195: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 197: “[J]ika tidak ditemukan bukti yang

bertentangan, maka harus diasumsikan bahwa Hakim Pengadilan Internasional ‘dapat tidak

melanggar hati nurani mereka tentang pelbagai keyakinan personal dan sikap batin yang tidak

relevan.’ Adalah hak pembanding untuk mengajukan bukti yang cukup untuk menunjukkan

kepada Sidang Banding bahwa Hakim tidak imparsial dalam kasus ini. Ada tuntutan yang

tinggi yang harus dicapai untuk menegakkan prinsip praduga ketidakberpihakan.

‘[D]iskualifikasi hanya akan dilakukan jika dapat dibuktikan bahwa terdapat sebuah

kekhawatiran yang beralasan atas bias dengan alasan praduga (prejudgement) dan hal ini harus

secara jelas dinyatakan (established).’”

iii) Kualifikasi yang memainkan peran penting untuk memenuhi sebuah

persyaratan tidak boleh bias atau tidak imparsial, jika tidak ditemukan bukti

memberatkan yang jelas

Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 205: “Sidang Banding tidak

mempertimbangkan bahwa seorang Hakim akan didiskualifikasi berdasarkan kualifikasi yang

dimilikinya, yang secara umum memainkan peran penting dan memenuhi ketentuan

persyaratan.” “Pasal 13(1) bukan merupakan bagian dari kategori persoalan atau aktivitas

yang dapat mengindikasikan bias, pengalaman pada bidang khusus juga diidentifikasi. Dengan

kata lain, adanya pengalaman yang dimiliki seorang hakim tidak dapat dianggap sebagai bukti

adanya bias atau parsialitas, tanpa adanya bukti yang memberatkan dan jelas.”

iv) Penerapan

(1) Hakim Mumba bertindak sebagai perwakilan Komisi PBB untuk Status

Perempuan tidak dapat dijadikan alasan diskualifikasi

Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 200-202: Dalam menilai apakah Hakim

Mumba yang bertindak sebagai perwakilan negaranya dalam Komisi PBB untuk Status

Perempuan (UNCSW) dijadikan alasan untuk mendiskualifikasikannya dalam menangani

sebuah kasus kekerasan yang meliputi pemerkosaan, Sidang Banding mengemukakan bahwa:

“meskipun telah diputuskan bahwa Hakim Mumba secara jelas membawa misi (maksud dan

tujuan) UNCSW ... dalam mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan,

195

Page 196: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

kecenderungan tersebut ... berbeda dari kecenderungan untuk mengimplementasikan maksud

dan tujuan tersebut sebagai seorang hakim dalam sebuah kasus tertentu. Selanjutnya ia tetap

dapat menangani kasus kekerasan yang meliputi pemerkosaan itu, dan secara imparsial

memutuskan kasus yang berdampak pada perempuan tersebut. [B]ahkan jika Hakim Mumba

menjalankan kerjanya sesuai dengan tujuan UNCSW, namun tujuan ini juga merupakan

tujuan PBB yang direalisasikan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB yang mendirikan

Mahkamah Pidana Internasional.” “‘Kepeduliannya untuk mencapai kesetaraan bagi

perempuan, seperti yang terdapat dalam Piagam PBB, tidak dapat digunakan untuk

melakukan praduga dalam pelbagai bentuknya dalam pengadilan kasus pemerkosaan yang

akan datang.’ Untuk meyakinkan pandangan bahwa pemerkosaan merupakan kejahatan yang

sadis dan pihak yang bertanggung-jawab atas kejahatan tersebut harus diadili oleh hukum,

maka keterbatasan-keterbatasan yang ada tidak boleh dijadikan alasan untuk mendiskualifikasi

kejahatan pemerkosaan tersebut.”

(2) Keanggotaan Hakim Benito sebagai Dewan Pengawas Dana PBB untuk

bantuan para Korban Penyiksaan, tidak dapat dijadikan alasan untuk

diskualifikasi

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 697-699, 707: Dalam menangkis

gugatan banding terdakwa bahwa Hakim Pengadilan Odio Benito harus didiskualifikasi

karena keanggotaannya sebagai Dewan Pengawas Dana PBB untuk Bantuan para Korban

Penyiksaan, Sidang Banding menyatakan bahwa “pertanyaan yang relevan yang perlu diajukan

... adalah ... apakah reaksi hipotesis seorang peninjau yang rasional/fair-minded (yang

mempunyai pengetahuan cukup untuk membuat putusan yang adil) akan membuat Hakim

Benito tidak imparsial dan berprasangka (prejudice) atas kasus yang ditanganinya. Penggunaan

bias haruslah masuk akal. Keadaan-keadaan semacam itu dalam pengetahuan peninjau yang

rasional (fair-minded observer) mencakupi tradisi integritas dan imparsialitas yang diucapkan

seorang hakim secara sungguh-sungguh sebelum menjalankan tugasnya, sehingga pada saat

menjalankan tugas dan menggunakan kekuasaannya, ia bertindak secara ‘terhormat, jujur,

imparsial dan berhati-hati.’ [D]engan menerima jabatan sebagai Dewan Pengawas, Hakim

Odio Benito bertindak dalam kapasitas pribadinya untuk menjalankan mandat Dana untuk

bantuan para Korban Penyiksaan.... Seperti yang tercantum dalam putusan Banding kasus

Furundzija, tuduhan pribadi (personal conviction) dan opini Hakim tidak dengan sendirinya

196

Page 197: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

dijadikan dasar kesimpulan mengenai tidak adanya imparsialitas. Sidang Banding telah

menekankan bahwa, perlu ada batasan yang jelas (high threshold) yang harus dicapai untuk

menangkal asumsi imparsialitas, dan sebelum seorang hakim didiskualifikasi, pemahaman

yang rasional atas bias tersebut harus ‘benar-benar nyata’. Alasan batasan yang jelas ini

adalah, sama seperti kenyataan real dari sikap bias hakim dalam proses pengadilan

(administration of justice), hal itu akan menjadi ancaman besar terhadap sikap imparsial dan

penegakan keadilan jika hakim mendiskualifikasikan diri mereka sendiri berdasarkan tuduhan

bias yang tidak berdasar dan tanpa bukti.”

v) Hakim tidak didiskualifikasi dari dengar kesaksian atas dua atau lebih

pengadilan terhadap hal-hal yang di luar rangkaian kejadian yang sama

Penuntut v. Kordic dan Cerkez, Kasus No. IT-95-14/2 (Keputusan Biro), 4 Mei 1998 dan

(Sidang Pengadilan), 21 Mei 1998: “[A]dalah hak dasar semua orang untuk diadili pada

pengadilan yang independen dan imparsial. [P]engadilan dituntun oleh prinsip imparsial dan

melarang adanya bias atau prasangka (prejudice) dan parsialitas. Oleh karena itu, jika keadaan-

keadaan meciptakan prasangka yang masuk akal, maka hal tersebut mungkin dapat dijadikan

alasan untuk diskualifikasi, meskipun faktanya tidak terdapat bias (actual bias) atau prasangka.

Namun ... hal itu tidak menjadikan seorang hakim didiskualifikasi dari kesempatan untuk

mendengarkan kesaksian atas dua atau lebih pengadilan kejahatan yang muncul di luar

rangkaian kejadian yang sama, di mana ia dihadapkan pada bukti yang berkaitan dengan hal-

hal dalam kedua kasus. Seorang Hakim diasumsikan akan bertindak secara imparsial. Sifat

jurisdiksi Pengadilan adalah bahwa kasus sebelumnya tidak dapat dihindarkan tumpang-tindih

(overlap). Di satu sisi, isu dan bukti yang sama seringkali terjadi secara tumpang-tindih, dan di

sisi lain, Pengadilan hanya memiliki Hakim dalam jumlah yang terbatas.”

197

Page 198: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

X. PENUNTUTAN (CHARGING), PENDAKWAAN (CONVICTION) DAN

PENGHUKUMAN (SENTENCING)

a) Tuntutan dan Dakwaan Kumulatif

i) Tuntutan kumulatif yang diperbolehkan

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 400: “Tuntutan kumulatif hanya

diperbolehkan dengan pertimbangan bahwa, sebelum dilakukan presentasi dari keseluruhan

bukti, tidak mungkin ditentukan secara tegas soal tuntutan-tuntutan mana yang akan

diarahkan terhadap terdakwa akan dibuktikan. Sidang Pengadilan lebih baik meminta waktu,

setelah masing-masing pihak mempresentasikan bukti-buktinya, untuk mengevaluasi

tuntutan-tuntutan mana saja yang harus dipakai, berdasarkan memadai tidaknya bukti yang

ada Selain itu, tuntutan kumulatif merupakan praktik yang biasa pada Pengadilan ini [ICTY

dan ICTR].”

Naletilic dan Martinovic, 31 Maret 2003, Paragraf 718: “Tuntutan kumulatif diijinkan sesuai

dengan praktik yang dijalankan oleh Pengadilan, jika Sidang Pengadilan dalam posisi

mengevaluasi tuntutan untuk tetap dipertahankan setelah presentasi pelbagai bukti.”

ii) Dakwaan kumulatif didasarkan pada kejahatan yang sama (same conduct);

yang diperbolehkan hanya jika kejahatan tersebut melibatkan unsur materil

yang berbeda

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 405, 412: Sidang Banding mencatat

bahwa “dakwaan berlapis (multiple convictions) pada tindak kejahatan yang sama kadang-kadang

dilakukan, dengan isu-isu ketidakadilan yang potensial terhadap terdakwa pada tahap

penghukuman,” tetapi dinyatakan juga bahwa “alasan keadilan (fairness) bagi terdakwa dan

pertimbangan bahwa hanya kejahatan yang berbeda yang dapat diterapkan dalam dakwaan

berlapis, sehingga kesimpulannya bahwa dakwaan berlapis dilakukan dengan ketentuan

Statuta berbeda tetapi berdasarkan tindakan yang sama diperbolehkan hanya jika tiap-tiap

198

Page 199: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

ketentuan statuta yang digunakan mempunyai unsur material berbeda yang tidak ada di

tempat lain. Materi dikatakan berbeda secara materil jika bukti dari sebuah fakta pada satu

kejahatan tidak diperlukan pada kejahatan yang lainnya.”

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 173: “Dengan dasar

pertimbangan keadilan bagi terdakwa, Sidang Banding hanya akan memperbolehkan dakwaan

berlapis pada kasus-kasus, di mana tindak kejahatan yang sama atau transaksi serupa secara

jelas melanggar dua ketentuan (Pasal) yang berbeda pada Statuta. dan masing-masing

ketentuan (Pasal) Statuta tersebut mengharuskan adanya bukti dari fakta lain yang tidak

dimiliki oleh ketentuan yang lainnya.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 718: “Dakwaan berlapis

untuk beberapa tindak kejahatan yang sama diperbolehkan jika tiap kejahatan memiliki unsur

materil yang berbeda, yang mengharuskan adanya bukti dari sebuah fakta pada satu kejahatan

yang tidak diperlukan pada kejahatan yang lain. ... Dalam menentukan apakah sebuah

ketentuan (Pasal) mempunyai unsur materil yang berbeda, maka semua unsur kejahatan

tersebut harus dipertimbangkan, termasuk persyaratan penentu utama (chapeau).”

iii) Apabila kejahatan tidak berbeda secara materil, maka akan didakwa dengan

ketentuan yang lebih khusus (specific provision)

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 413: “Jika pengujian yang dilakukan

untuk memperbolehkan dakwaan berlapis tidak terpenuhi, maka Hakim harus memutuskan

pasal mana yang dijadikan acuan dalam dakwaan. Hal ini harus dilakukan dengan prinsip

bahwa dakwaan harus dilakukan dengan menggunakan pasal yang lebih khusus. Dengan

demikian, jika serangkaian fakta diatur dalam dua ketentuan (pasal), yang salah satunya berisi

unsur materil yang berbeda (materially distinct element), maka dakwaan harus dilakukan dengan

mengacu pada pasal yang berbeda tersebut.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 718: “Dalam peristiwa di

mana pengujian (yang menentukan apakah dilakukan dakwaan berlapis) tidak terpenuhi,

maka Sidang harus merujuk pada ketentuan (pasal) yang lebih khusus.”

199

Page 200: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

iv) Pelaksanaan

Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 82: “Pasal 3 mengharuskan adanya hubungan

yang erat antara tindakan terdakwa dengan konflik bersenjata, di mana unsur ini tidak

dipersyaratkan dalam Pasal 5. Di sisi lain, Pasal 5 mensyaratkan adanya bukti yang

menunjukkan bahwa kejahatan yang terjadi merupakan serangan meluas dan sistematik

terhadap warga sipil, di mana unsur tersebut tidak dipersyaratkan pada Pasal 3. Karena itu

setiap pasal tersebut mempunyai unsur yang mewajibkan adanya bukti sebuah fakta yang

tidak dipersyaratkan pada pasal yang lain.”

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 503: “Dakwaan atas kejahatan seperti

yang tercantum pada Pasal 3 dan 5 yang didasarkan pada kejahatan yang sama (same conduct),

diperbolehkan jika masing-masing kejahatan mempunyai unsur materil yang berbeda. Unsur

materil berbeda dari kejahatan yang dipersyaratkan pada Pasal 3 adalah adanya suatu

hubungan yang erat antara tindakan terdakwa dengan konflik bersenjata. Pada Pasal 3 (Article

3 offences) disebutkan bahwa kejahatan tersebut dilakukan dalam konteks serangan meluas dan

sistematik yang ditujukan terhadap warga sipil. [D]akwaan terhadap perlakuan kejam dan

penganiayaan (sesuai dengan Pasal 3 dan 5 yang disebut sebelumnya), yang didasarkan pada

kejahatan yang sama diperbolehkan dan karenanya dakwaan tersebut dapat dimasukkan ke

Pengadilan.”

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 503: “[J]adi jelas bahwa baik kejahatan

dalam pemenjaraan maupun perlakuan tidak manusiawi, sebagaimana tercantum pada Pasal

5, memiliki unsur yang secara materil berbeda dari kejahatan penganiayaan. Penganiayaan

mengharuskan adanya unsur materil yang berbeda yaitu tindakan diskriminatif dan niat

diskriminatif, dan memerlukan ketentuan yang lebih khusus. Dakwaan tersebut dimasukkan

ke Pengadilan untuk kasus penganiayaan, dan bukan untuk pemenjaraan dan tindakan tidak

manusiawi.”

v) Dakwaan kumulatif akan berkonsekuensi pada tambahan penghukuman

Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21 (Sidang Banding), 8 April 2003, Paragraf 25:

“Dapat diterima bahwa dakwaan kumulatif akan berkonsekuensi pada tambahan

200

Page 201: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

penghukuman – tidak hanya karena alasan stigmatisasi sosial yang inheren didakwa pada

kejahatan tambahan, namun juga risiko bahwa, berdasarkan hukum Negara yang

mengharuskan adanya penghukuman, pertimbangan terhadap seorang terdakwa untuk

dibebaskan lebih cepat (early release) akan tergantung pada beberapa hal, antara lain jumlah

dan sifat dakwaan yang diajukan. Pembatalan atas dakwaan kumulatif secara pasti akan

menghilangkan penghukuman yang terdapat dalam dakwaan tambahan itu sendiri.”

b) Penghukuman/penalti

i) Instrumen yang mengatur tentang penalti

(1) Statuta ICTY, Pasal 24: Penalti

“1. Hukuman yang dijatuhkan oleh Sidang Pengadilan harus dibatasi pada pemenjaraan.

Dalam menentukan istilah pemenjaraan, Sidang Pengadilan harus mempunyai rujukan

terhadap praktik umum hukuman penjara di pengadilan bekas Negara Yugoslavia.

2. Dalam menjatuhkan hukuman, Sidang Pengadilan harus mempertimbangkan faktor-faktor

semacam itu sebagai daya tarik dari serangan dan dari keadaan-keadaan individual terdakwa.

3. Sebagai tambahan terhadap pemenjaraan, Sidang Pengadilan bisa memerintahkan

pengembalian pelbagai hak milik dan proses yang disyaratkan dalam perbuatan kejahatan,

termasuk paksaan, kepada orang-orang yang memang berhak memilikinya.”

(2) Aturan 101 tentang Hukum Acara dan Pembuktian, ICTY

“(A) Seorang yang didakwa dapat dihukum penjara selama jangka waktu tertentu hingga sisa

hidup si terdakwa.

(B) Dalam memutuskan sebuah perkara, Sidang Pengadilan harus mempertimbangkan faktor-

faktor yang tercantum pada Pasal 24, Paragraf ke-2, Statuta, seperti tersebut berikut ini:

(i) Keadaan yang memberatkan perkara;

201

Page 202: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(ii) Keadaan yang meringankan perkara termasuk kerja sama terdakwa dengan

Penuntut sebelum dan setelah dakwaan;

(iii) Praktik umum tentang hukuman penjara di Pengadilan Negara Bekas Yugoslavia

(iv) Cakupan jangkauan pelbagai hukuman yang diberikan oleh suatu pengadilan

tiap-tiap Negara terhadap si terdakwa untuk tindakan yang sama yang telah

diproses, seperti yang tertera pada Pasal 10, paragraf ke-3, Statuta.

(C) Penghargaan (credit) dapat diberikan kepada terdakwa dalam periode tertentu, jika ada,

selama ia ditahan dalam kurungan karena tunduk pada pengangguhan persidangan atau

penangguhan pengadilan (pending trial) atau banding.”

ii) Pengantar umum

(1) Faktor-faktor penghukuman

Penuntut v. Simic, Kasus No. IT-95-9/2S (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 32:

“Faktor-faktor yang patut dipertimbangkan untuk menentukan penghukuman terhadap

seorang terdakwa, tercantum pada Pasal 24 Statuta dan Aturan 101 (B) dalam Hukum Acara

dan Pembuktian. Pertimbangan tersebut mencakup berat-ringannya perkara, faktor-faktor

yang memberatkan dan meringankann sebagaimana yang selama ini dipraktikkan secara

umum di Pengadilan bekas Negara Yugoslavia.”

(2) Penghukuman yang merefleksikan berat-ringannya kejahatan

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 731: “Hukuman yang dijatuhkan

harus merefleksikan berat ringannya kejahatan yang dilakukan terdakwa. Penentuan atas

berat-ringannya kejahatan, mengharuskan adanya pertimbangan terhadap berbagai kondisi

yang terdapat dalam kejahatan itu sendiri, misalnya bentuk dan tingkat partisipasi terdakwa

dalam melakukan kejahatan. [B]erat ringannya kejahatan merupakan pertimbangan utama

dalam menentukan putusan pengadilan.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 718: “[D]alam

menjatuhkan putusan terhadap sebuah perkara, yang dipertimbangkan adalah berat atau

202

Page 203: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

ringannya perkara tersebut. Sidang Banding menyatakan bahwa faktor ini adalah hal yang

penting untuk dipertimbangkan. ‘Pertimbangan atas sejumlah keadaan tertentu dari kasus

tersebut, misalnya bentuk dan tingkat partisipasi terdakwa dalam kejahatan,’ diperlukan untuk

menentukan berat atau ringannya kejahatan itu.”

(3) “Prinsip totalitas”/diskresi dalam menjatuhkan putusan yang global,

bersamaan, berkaitan, atau percampuran antara penghukuman bersamaan

dan berkaitan (concurence and consecutive sentences)

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 428-430: “Jika ... sebuah keputusan

dicapai berdasarkan dakwaan kumulatif atas kejahatan yang sama, Sidang Pengadilan harus

mempertimbangkan dampaknya bahwa hal ini akan diterapkan dalam penghukuman. Di

masa lalu, sebelum ICTY dan ICTR dibentuk, dakwaan untuk kejahatan kumulatif telah

berakibat pada penerapan penghukuman yang berbeda-beda, dan mengharuskan adanya

penghukuman bersamaan. Penjatuhan hukuman secara global, bersamaan atau berkaitan, atau

kombinasi antara bersamaan dan berkaitan merupakan diskresi Sidang Pengadilan. Kriteria

yang diatur berkaitan dengan putusan akhir yang dijatuhkan oleh Pengadilan adalah bahwa

putusan tersebut harus merefleksikan keseluruhan dari kejahatan yang dinyatakan bersalah

(culpable conduct) atau disebut dengan prinsip ‘totalitas’, atau secara umum, putusan tersebut

harus merefleksikan berat-ringannya kejahatan dan (culpability of offender) sehingga lebih adil

dan tepat (appropriate). Penjatuhan putusan harus untuk memastikan bahwa akhir atau jumlah

(berat atau ringannya) hukuman merefleksikan totalitas kejahatan yang dilakukan dan

keseluruhan kesalahan pelaku. Ini dapat dicapai melalui pengenaan satu hukuman untuk

semua kejahatan atau beberapa hukuman dijatuhkan secara bersamaan, berkaitan atau

keduanya. Pertanyaan bagaimana putusan ini dapat dicapai merupakan diskresi Sidang

Pengadilan.”

Mucic dkk., (Sidang Banding), 8 April 2003, Paragraf 46: “[P]utusan yang terkait dengan lebih

dari satu serangan melibatkan lebih dari sekadar suatu penilaian atas periode yang tepat

pemenjaraan untuk masing-masing serangan dan penambahan dari jangka waktu tersebut

yang dihitung secara matematis. Hukuman tunggal yang total, hukuman total yang efektif di

mana beberapa hukuman dijatuhkan, harus merefleksikan totalitas kejahatan yang dilakukan

tersangka, namun putusan tersebut tidak boleh melebihi ketentuan yang mengaturnya. Jika

203

Page 204: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

beberapa putusan dilakukan secara bersamaan, hasilnya adalah bahwa hukuman individual

harus kurang dari yang seharusnya mereka dapatkan jika sendirian, atau mereka harus

diperintahkan untuk mendapatkan hukuman secara bersamaan atau bersamaan dalam taraf

tertentu saja.”

(a) Penerapan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 805-807: “[K]etentuan Aturan 101 dari

Hukum Acara dan Pembuktian tidak mencakupi pemberian hukuman tunggal untuk

beberapa kejahatan. Di sini, kejahatan yang dikaitkan dengan si terdakwa telah digambarkan

dalam beberapa cara yang berbeda-beda tetapi membentuk serangkaian tunggal kejahatan

yang dilakukan di suatu wilayah geografis tertentu selama jangka waktu tertentu, yang

lamanya akan menentukan apakah perbuatan mereka merupakan bagian dari kejahatan

terhadap kemanusiaan, tanpa kemungkinannya membedakan niat jahat dari motif jahat.

[K]ejahatan selain kejahatan penganiayaan yang dituduhkan terhadap terdakwa dilandaskan

sepenuhnya pada fakta yang sama dengan kejahatan yang sama yang berada di bawah jenis

kejahatan lainnya yang terhadapnya si terdakwa telah dihukum. Sidang Pengadilan

menyatakan bahwa ada alasan untuk menjatuhkan hukuman tunggal untuk semua kejahatan

kepada terdakwa di mana ia telah dinyatakan bersalah.”

(4) Tujuan penghukuman

(a) Penjeraan (deterrence) dan ganti rugi (retribution)

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 739: “Penjeraan

(deterrance) dan ganti rugi (retribution) merupakan prinsip utama dalam kaitannya dengan tujuan

penghukuman terhadap seseorang oleh Pengadilan. Retribusi bertujuan untuk menjatuhkan

hukuman setimpal atas kejahatan yang dilakukan terdakwa, sedangkan penjeraan

dimaksudkan agar hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa membuat orang lain takut

untuk melakukan kejahatan tersebut.”

204

Page 205: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Furudzaja, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 288: “Sidang Pengadilan

menerima dua hal penting berkenaan dengan fungsi penghukuman yaitu retribusi (ganti rugi)

dan penjeraan.”

Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 33: “[J]urisprudensi Pengadilan ...

mendukung penjeraan dan retribusi sebagai faktor penghukuman yang utama. Sidang

Pengadilan memahami maksud ini, yaitu pertama; penghukuman harus sesuai dengan berat

atau ringannya perkara dan tingkat tanggung jawab pelaku; kedua, penghukuman tersebut

harus membuat terdakwa jera dan memastikan bahwa orang-orang yang berniat melakukan

kejahatan serupa akan takut, serta untuk menghormati aturan hukum dan mengakui bahaya

dari kejahatan tersebut bagi korban.”

(b) Penjeraan tidak boleh dimaksudkan sebagai tujuan utama

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 185: Sidang Banding menerima

“penjeraan secara umum sebagai sebuah pertimbangan dalam penghukuman terhadap

kejahatan-kejahatan internasional,” tetapi kemudian menyatakan bahwa “faktor [penjeraan]

ini tidak boleh dimaksudkan sebagai pertimbangan utama dalam melakukan penilaian secara

keseluruhan yang akan dijatuhkan kepada seseorang yang didakwa melakukan kejahatan pada

Pengadilan Internasional. Faktor penting lainnya adalah retribusi (ganti rugi). Ganti rugi tidak

boleh dipahami sebagai cara memenuhi keinginan untuk balas dendam tetapi dilakukan

secara wajar sebagai bentuk ekspresi dari keprihatinan masyarakat internasional atas

kekejaman yang dilakukan pelaku kejahatan ini.”

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 801: “[S]alah satu tujuan Pengadilan,

yaitu ‘menghukum’ orang-orang yang bertanggung-jawab atas pelanggaran serius terhadap

hukum humaniter internasional, sehingga pelaku jera untuk melakukan kejahatan dimasa

mendatang. Dengan mempertimbangkan efek jera dari penghukuman, Sidang Banding

menerima ‘penjeraan’ sebagai salah satu pertimbangan yang penting dalam penghukuman

terhadap kejahatan-kejahatan internasional. Sidang Banding menerima bahwa faktor

penjeraan tidak boleh dianggap sebagai pertimbangan utama dalam melakukan penilaian

secara keseluruhan atas penghukuman yang akan dijatuhkan kepada orang-orang yang

didakwa pada Pengadilan Internasional.”

205

Page 206: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 48: “Sidang

Banding menerima bahwa [prinsip penjeraan] ini dijadikan sebagai sebuah pertimbangan

dalam memutuskan penghukuman. Sidang Banding juga menerima bahwa faktor ini tidak

boleh dianggap sebagai pertimbangan utama dalam seluruh penilaian atas putusan yang akan

dijatuhkan kepada orang-orang yang didakwa di Pengadilan Internasional.”

(c) Rehabilitasi merupakan faktor yang relevan, tapi tidak berperan

penting

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 806: “Baik jurisdiksi nasional,

intrumen HAM regional maupun internasional, menyatakan bahwa rehabilitasi harus

dianggap sebagai salah satu cara yang penting bagi sebuah pengadilan dalam menentukan

putusan (penghukuman), namun rehabilitasi tidak boleh dijadikan sebagai satu-satunya faktor

yang berperan dalam proses pengambilan keputusan oleh Sidang Pengadilan. Sebaliknya

Sidang Banding (dan Sidang Pengadilan ICTY dan ICTR) mengemukakan bahwa terdapat

dua tujuan utama penghukuman terhadap kejahatan yaitu penjeraan dan ganti rugi. Karena

itu, meskipun rehabilitasi – yang berkaitan dengan standard HAM internasional – dianggap

sebagai faktor yang relevan, namun tidak dapat dijadikan sebagai faktor yang meringankan

hukuman (undue weight).”

(d) Pencelaan publik (public reprobation) dan stigmatisasi

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 761-764: “‘[P]engadilan Internasional

menganggap pencelaan publik dan stigmatisasi oleh masyarakat internasional, yang dengan

itu mengekspresikan kebenciannya terhadap kejahatan mengerikan dan mendiskreditkan

pelaku, sebagai salah satu fungsi penting dari putusan penjara atas kejahatan terhadap

kemanusiaan. Alasan tersebut tidak dapat diterapkan hanya pada kejahatan terhadap

kemanusiaan tetapi juga pada kejahatan perang dan pelanggaran serius terhadap hukum

humaniter internasional lainnya.”

(5) Konsistensi penghukuman; penghukuman yang terindividualisasi

206

Page 207: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(a) Konsistensi penghukuman

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 756-757: “Salah satu unsur penting

dalam sistem pengadilan yang rasional dan adil adalah konsistensi dalam menjatuhkan

penghukuman. Hal ini merupakan refleksi penting dalam mewujudkan keadilan yang setara

(equal justice).” “Ini tidak berarti bahwa Sidang Pengadilan terikat dalam menjatuhkan

penghukuman terhadap satu kasus untuk sama dengan kasus yang lain hanya karena kondisi

kedua kasus tersebut serupa. Karena jumlah penghukuman yang dikeluarkan pengadilan

semakin banyak, maka lama-lama akan muncul suatu rentang atau pola penghukuman yang

sama secara umum. Ketika rentang atau pola semacam itu telah muncul, maka Sidang

Pengadilan wajib mempertimbangkan tingkat atau pola penghukuman, tanpa terikat padanya

(being bound by it), untuk memastikan bahwa penghukuman yang dijatuhkan tidak

menyebabkan terjadinya perbedaan yang akan mengakibatkan kurangnya kepercayaan publik

atas integritas penegakan keadilan dari Pengadilan.” “Saat ini, untuk menghindari perbedaan

yang tidak diinginkan, maka Pengadilan dimungkinkan untuk memperhatikan penghukuman-

penghukuman yang telah dikeluarkan olehnya dalam keadaan yang secara umum serupa baik

terhadap serangan maupun penyerangnya yang harus dilakukan secara hati-hati.

[P]erbandingan penghukuman yang dijatuhkan pada kasus lain tidak akan tertangani kecuali

kalau sifat kasus tersebut secara substansial serupa. Namun, pada kasus-kasus yang

mempunyai kondisi faktual serupa dan dakwaan sama, khususnya apabila penghukuman yang

dikeluarkan pada kasus-kasus tersebut merupakan subjek pertimbangan oleh Sidang Banding,

maka perbedaan substansial dalam penghukuman tersebut tidak harus ada kecuali dijustifikasi

oleh keadaan-keadaan terdakwa yang khusus.”

(b) Sebuah penghukuman tidak boleh berubah-ubah (capricious) atau

berlebihan (excessive)

Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 96: “Apakah praktik [penghukuman] oleh

Pengadilan cukup maju mengungkapkan pola, hal itu masih belum jelas. Sebuah

penghukuman tidak boleh berubah-ubah dan berlebihan. Pada prinsipnya, sebuah

penghukuman dapat dikatakan berubah-ubah atau berlebihan jika penghukuman tersebut di

luar proporsi jenis penghukuman dalam keadaan serupa untuk serangan yang sama. Jika

terdapat perbedaan, maka Sidang Banding bisa menegaskan bahwa ada pengingkaran kriteria

207

Page 208: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

standard yang dengannya penghukuman penghukuman dinilai, sebagamaimana ditentukan

oleh Statuta dan dijabarkan dalam Aturannya (Hukum Acara dan Pembuktian). Namun sulit

dan tidak dimungkinkan untuk menetapkan aturan yang cepat dan tepat pada titik itu karena

ada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan pada tiap-tiap kasus.”

(c) Penghukuman harus dijatuhkan kepada individu (individualized)

Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 101: “[P]enghukuman yang dijatuhkan oleh

Sidang Pengadilan harus ditujukan kepada individu, dan secara umum perbandingan satu

kasus dengan kasus lain tidak berguna, kecuali bahwa kasus-kasus tersebut saling berkaitan

dalam satu kejahatan yang dilakukan dalam kondisi yang secara substansial sama.”

(d) Tidak boleh diberlakukan “rezim hukuman” (penal regime) dalam

penghukuman

Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 237: “Masih sangat dini untuk

membicarakan ‘penal regime’ dan hubungannya dengan praktik penghukuman yang

dimaksudkannya. Benar bahwa isu tertentu yang terkait dengan penghukuman saat ini telah

ditangani secara mendalam; namun, beberapa di antaranya masih belum ditangani. Pada

tahap ini, tidak mungkin mengidentifikasi sebuah ‘penal regime’. Alih-alih, perhatian harus

diberikan terhadap ketentuan relevan dalam Statuta dan Hukum Acara dan Pembuktian yang

mengatur tentang penghukuman, seperti jurisprudensi yang relevan pada Pengadilan ITCY

dan ICTR, dan tentu saja mempertimbangkan kondisi tiap-tiap kasus.”

(e) Faktor-faktor yang menentukan mengapa penghukuman berbeda

dapat diterapkan untuk jenis kejahatan yang sama

Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 249-250: “Dalam memutuskan untuk

menjatuhkan penghukuman yang berbeda untuk jenis kejahatan yang sama, Sidang

Pengadilan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu seperti kondisi dan sifat kejahatan yang

dilakukan dan tingkat keseriusannya. Jika kejahatan yang tersebut dikategorikan sebagai

kekejaman yang diatur dalam Pasal 3 Statuta, maka secara definitif, kejahatan itu akan

dianggap sebagai kejahatan serius, dan bahkan beberapa di antaranya dianggap lebih serius

208

Page 209: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

dari kejahatan lainnya. ‘[P]enghukuman yang dijatuhkan harus merefleksikan berat atau

ringannya kejahatan yang dilakukan terdakwa.’” “Ketentuan mengenai penghukuman pada

Statuta dan Hukum Acara memberikan diskresi bagi Sidang Pengadilan untuk

mempertimbangkan kondisi tiap-tiap kasus dalam menjatuhkan penghukuman atas kasus

tersebut. Penghukuman yang diambil sebelumnya akan menjadi petunjuk jika itu

berhubungan dengan kejahatan yang sama dan dilakukan dalam kondisi yang secara

substansial serupa; sebab jika tidak, Pengadilan hanya akan mengacu pada ketentuan Statuta

dan Hukum Acara secara terbatas.”

(6) Mempertimbangkan praktik penghukuman di bekas negara Yugoslavia:

dapat dijadikan pertimbangan, tapi tidak untuk mengkontrol

penghukuman

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 813, 816: “Pasal 24(1) Statuta

menyatakan bahwa, dalam menentukan penghukuman, ‘Sidang Pengadilan seharusnya

mengacu pada praktik umum tentang penghukuman penjara di pengadilan bekas Negara

Yugoslavia.’ Pertanyaan tentang apakah ‘acuan’ ini bersifat mengikat atau tidak, secara

konsisten dan sama telah ditafsirkan oleh Pengadilan [Tribunal]. Sekarang telah menjadi

praktik pakem bahwa meskipun Sidang Pengadilan harus ‘mempunyai acuan’ dan seharusnya

‘mempertimbangkan’ praktik umum mengenai penghukuman penjara di pengadilan bekas

Negara Yugoslavia, tetapi hal itu tidak mewajibkan Sidang Pengadilan untuk

mempertimbangkan praktik tersebut. Sidang Pengadilan tidak terikat dengan praktik

pengadilan di bekas Negara Yugoslavia untuk menentukan penghukuman yang pantas

dijatuhkan kepada seorang yang didakwa. Prinsip ini dapat diterapkan untuk kejahatan-

kejahatan yang dilakukan baik sebelum dan setelah pendirian Pengadilan ICTY.”

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 12 Juni 2002, Paragraf 377: “[S]idang

Pengadilan harus mempertimbangkan, namun tidak terikat oleh, praktik penghukuman di

bekas Negara Yugoslavia. Ini dilakukan jika praktik penghukuman ini tidak sesuai atau tidak

memadai dalam kaca mata hukum internasional di mana Sidang Pengadilan akan

mempertimbangkan pendekatan oleh mereka sendiri.”

209

Page 210: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 116-117: “[P]engadilan akan diberitahu dalam

sebuah kasus yang tepat dengan praktik penghukuman pengadilan atas satu atau lebih

konstituen republik bekas Negara Yugoslavia, di mana terdapat alasan yang meyakinkan

bahwa pertimbangan khusus itu akan digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan ‘praktik

umum [...] di Pengadilan bekas Negara Yugoslavia.’ Kalimat terakhir jelas akan diambil secara

keseluruhan; divergensi individu dari norma/aturan tertentu republik tidak menunjukkan

‘praktik umum’.” “‘[P]raktik umum’ akan memberikan petunjuk yang bersifat umum dan

tidak mengikat Sidang Pengadilan untuk bertindak sama persis seperti yang dilakukan oleh

pengadilan bekas Negara Yugoslavia. Misalnya, meskipun praktik umum berkebalikan,

namun hal tersebut tidak menghalangi dijatuhkannya penghukuman penjara seumur hidup;

lebih tegasnya, praktik itu tidak akan menghilangkan penghukuman penjara 40 tahun.”

Tadic, (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 21: “Jurisprudensi Pengadilan ini secara

konsisten menyatakan bahwa apabila hukum dan praktik pengadilan di bekas Negara

Yugoslavia dijadikan pertimbangan oleh Sidang Pengadilan dalam menjatuhkan

penghukuman, maka kalimat pada Sub-Aturan 101 (A) Hukum Acara, yang menjamin

kekuasaan Sidang Pengadilan untuk memenjarakan terdakwa di sisa hidupnya, menunjukkan

bahwa Sidang Pengadilan memiliki diskresi untuk menjatuhkan penghukuman, di mana

putusannya tidak terikat oleh waktu pemenjaraan maksimal yang diterapkan oleh sistem

nasional.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 759-760: “[S]idang Pengadilan mengacu

pada praktik umum tentang penghukuman penjara di pengadilan bekas Negara Yugoslavia.

Rujukan terhadap praktik di bekas negara Yugoslavia tersebut tidak bersifat mengikat. Jika

memungkinkan, Pengadilan menentukan teks dan praktik hukum yang relevan di bekas

Negara Yugoslavia, tetapi praktik ini tidak mengikat mereka dalam menentukan

penghukuman dan sanksi yang dikenakan pada kejahatan-kejahatan yang terjadi di bawah

jurisdiksinya. [S]idang Pengadilan tidak dibatasi oleh praktik pengadilan di bekas Negara

Yugoslvia dan praktik tersebut akan dijadikan sebagai sumber hukum lain dalam rangka

menentukan penghukuman yang semestinya.”

(a) Praktik penghukuman dalam negeri, selain yang diterapkan oleh

pengadilan di bekas Negara Yugoslavia, tidak dijadikan acuan utama

210

Page 211: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 758: “Kejahatan yang diadili oleh

Pengadilan mempunyai sifat tertentu, sehingga bantuan atau kegunaan yang didapat dari

pola-pola penghukuman (sentencing patterns) yang berkaitan dengan kejahatan yang secara

mendasar berbeda pada jurisdiksi domestik sangat kecil. Selain itu, Pengadilan merujuk pada

pola-pola penghukuman yang diterapkan oleh pengadilan di bekas Negara Yugoslavia, yang

dikaitkan dengan Pasal 24 pada Statuta Pengadilan.”

(7) Urutan kejahatan

(a) Apakah genosida merupakan kejahatan yang paling serius

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 700: “Dapat ... diajukan argumentasi

[bahwa] genosida merupakan kejahatan yang paling serius karena kejahatan itu mempunyai

niat untuk menghancurkan, baik keseluruhan maupun sebagian, kelompok-kelompok

kebangsaan, etnis, ras atau agama. Dalam konteks ini, meskipun tindakan kejahatan yang

terjadi pada kejahatan genosida tidak berbeda dari kejahatan terhadap kemanusiaan atau

kejahatan terhadap hukum dan tata cara perang, orang yang didakwa karena niat yang lebih

khusus, lebih pantas untuk disalahkan. Namun, ini tidak mengecilkan tugas Sidang

Pengadilan untuk memutuskan hukuman yang setimpal berdasarkan fakta-fakta yang didapat

pada tiap-tiap kasus.”

Bandingkan kasus Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 800-802: “ICTR

memiliki ... hierarki kejahatan yang lebih jelas” di mana ditetapkan bahwa genosida dijadikan

“kejahatan atas kejahatan,” tetapi “... ICTY masih belum mengubah hierarki kejahatan dalam

tahap-tahap penghukuman. [T]ampaknya kasus-hukum ICTY masih belum ditentukan.”

(b) Apakah terdapat perbedaan antara tingkat keseriusan kejahatan

terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang

Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 247: “[T]idak ada perbedaan hukuman

antara kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan perang, dalam kaitan dengn

tindakan yang sama, bahwa kejahatan pertama akan dihukum lebih berat dari kejahatan yang

211

Page 212: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

disebut terakhir. Dengan demikian lamanya hukuman yang dijatuhkan pada kasus-kasus

kejahatan terhadap kemanusiaan tidak membatasi lamanya hukuman terhadap kasus-kasus

kejahatan perang.”

Tadic, (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 69: “[D]alam hukum tidak ada perbedaan

antara keseriusan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan perang. Sidang

Pengadilan tidak menemukan dasar perbedaan tersebut dalam Statuta atau Hukum

Pengadilan Internasional, yang terkait dengan hukum kebiasaan internasional. Hukuman

(penalty) yang diberikan pada dua kejahatan tersebut sama, tetapi tingkat kasus tertentu akan

dipertimbangkan dari sifat kasus tersebut.”

Lihat juga kasus Erdemovic, (Sidang Banding), Gabungan Pendapat yang Berbeda (Joint Separate

Opinion) Hakim McDonald dan Hakim Vohrah, 7 Oktober 1997, Paragraf 20-21: “[S]uatu

kejahatan yang dapat dihukum, jika dapat dibuktikan sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan, merupakan kejahatan serius dan seharusnya dihukum lebih berat daripada

kejahatan perang.” “Memang hakikatnya adalah bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan

sangatlah berbeda dari kejahatan-kejahatan perang. Meskipun hukum yang mengatur

kejahatan perang menekankan tindakan kejahatan dari pelaku terhadap objek yang seharusnya

dilindungi, aturan yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan menekankan

bahwa pelaku melakukan hal itu tidak hanya terarah pada korban yang langsung melainkan

juga terhadap keseluruhan umat manusia.” “Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah

sebentuk kejahatan keji (odious crime) dan juga merupakan bagian dari praktik atau kebijakan

meluas dan sistematik. Karena tingkat kekejian dan kedahsyatannya, kejahatan tersebut

memperlihatkan serangan sadis terhadap martabat manusia, melukai rasa kemanusiaan.

Sebagai akibatnya, kejahatan tersebut berdampak atau akan berdampak, pada setiap dan

seluruh umat manusia apa pun kebangsaan, etnis maupun tempat mereka berada.” “Aspek

kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai sesuatu yang melukai kepentingan lebih luas

daripada sekadar korban yang langsung dan karena itu juga sebagai kejahatan yang sifatnya

lebih serius ketimbang kejahatan perang ditunjukkan oleh elemen-elemen intrinsiknya, yaitu

elemen serangan dari kejahatan terhadap kemanusiaan.”

212

Page 213: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(c) Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa kejahatan yang

mengakibatkan hilangnya nyawa harus dihukum lebih berat dari

kejahatan yang tidak menghilangkan nyawa

Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 246: Sidang Banding mempertimbangkan

bahwa pandangan yang menyatakan bahwa “kejahatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa

dihukum lebih berat dari kejahatan yang tidak mengakibatkan hilangnya nyawa” “dianggap

sebagai pandangan yang kaku dan mekanistik.”

Tapi lihat juga kasus Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 732: Berkenaan

dengan tanggung jawab komando, “kegagalan atasan untuk mencegah dan menghukum

pelaku pembunuhan atau penyiksaan yang dilakukan oleh bawahannya harus dilihat sebagai

kejahatan yang lebih serius daripada misalnya, kegagalan atasan untuk mencegah atau

menghukum tindakan penjarahan (plunder).”

(8) Penghukuman dapat lebih lama jika terjadi kesalahan kasat mata

(discernible error)

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 187: Sidang Banding “tidak boleh

mengintervensi diskresi Sidang Pengadilan dalam hal penghukuman yang dikeluarkan kecuali

terjadi ‘kesalahan yang kasat mata’ (discernible error).” Sidang Banding menyatakan bahwa

“terjadi kesalahan kasat mata dalam diskresi Sidang Pengadilan pada saat menjatuhkan

penghukuman” dan “[k]esalahan tersebut yaitu memberikan keringanan hukuman (insufficient

weight) atas kejahatan pihak banding (appellant) dan gagal memposisikan diri dan memakai

kewenangannya sebagai komandan, sebagai sosok yang mempunyai pengaruh, dalam kaitan

dengan tanggung-jawabnya sesuai ketentuan Pasal 7(1).”

(9) Masa penangguhan penahanan harus dihitung sebagai masa tahanan

Tadic, (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 38, 75: “Berdasarkan Sub-Aturan 101(D),

terdakwa kasus Banding (Appellant) berhak diperhitungkan waktu penahannya di Republik

Federal Jerman hanya pada masa penangguhan penyerahannya (surrender) kepada Pengadilan

Internasional. Namun, Sidang Banding menyatakan bahwa persidangan-persidangan pidana

213

Page 214: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

terhadap Terdakwa Banding di Republik Federal Jerman mengesampingkan hal itu untuk

tindak kejahatan yang dilakukannya dengan alasan bahwa si terdakwa sekarang didakwa di

bawah Pengadilan Internasional. Karena itu, keadilan mensyaratkan dicabutnya pertimbangan

soal masa penahanan si terdakwa di Republik Federal Jerman sebelum adanya pendakwaan

secara resmi oleh Pengadilan Internasional.”

Kordid dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 850: “[S]idang Pengadilan

harus memperhitungkan masa penangguhan penahanan terdakwa. ...”

(10) Harus memerintahkan untuk menjalankan penghukuman pada hari

dijatuhkannya penghukuman tersebut (judgement)

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 850: Sidang Pengadilan

“harus memerintahkan untuk menjalankan penghukuman pada hari dijatuhkannya putusan

tersebut ...”

(11) Pengadilan dapat merekomendasikan penghukuman minimal sebelum

adanya keringanan hukuman (commutation) atau pengurangan

hukuman (sentence reduction)

Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 850: Sidang Banding

“dapat merekomendasikan penghukuman minimal untuk dijalankan terdakwa sebelum

dipertimbangkannya keringanan hukuman atau pengurangan hukuman.”

(12) Faktor-faktor yang menilai berat-ringannya perkara

(a) Pengantar umum

Penuntut v. Plasvic, Kasus No. IT-00-39&40/1 (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf

52: “Berat ringannya perkara dilihat dari ruang lingkup dan besaran penganiayaan yang

dilakukan secara massif; jumlah yang dibunuh, jumlah orang yang dideportasi dan diasingkan

secara paksa; perlakuan tidak manusiawi terhadap tahanan; dan ruang lingkup pengrusakan

yang dilakukan secara sewenang-wenang atas harta benda dan bangunan-bangunan ibadah.”

214

Page 215: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 512: “Sidang Pengadilan

mempertimbangkan bahwa dampak kejahatan yang terkait langsung dengan korban tidak

relevan sebagai dasar untuk menetapkan terdakwa sebagai pihak yang bersalah, dan akan

menjadi tidak adil untuk mempertimbangkan dampak tersebut dalam menentukan sebuah

penghukuman. Konsekuensi dari sebuah kejahatan terhadap korban yang secara langsung

terluka, bagaimanapun juga, selalu relevan untuk dipertimbangkan dalam menjatuhkan

penghukuman kepada pelaku. Meskipun konsekuensi tersebut merupakan bagian dari definisi

kejahatan, tetapi hal itu tidak boleh dipandang sebagai sebuah keadaan yang menentukan

dalam menjatuhkan penghukuman; faktor relevan yang menentukan berat ringannya

kejahatan adalah tingkat penderitaan fisik, psikologis dan emosional dalam jangka panjang

yang menimpa korban secara langsung.”

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 703: “[D]engan adanya keadaan di mana

nasib para korban tahanan sangat tergantung pada kebaikan pihak penahan, maka

penderitaan fisik dan psikologis yang dirasakan selama mereka menjadi saksi kejahatan

tersebut, perlakuan dan cara yang diskriminatif, tidak seimbang, menakutkan, atau yang

kejam, yang digunakan dalam melakukan kejahatan, semuanya ini relevan dipakai untuk

menilai berat-ringannya kejahatan. ... Pertimbangan terhadap kondisi-kondisi tersebut

dilakukan dengan ‘mendengarkan aspirasi’ para korban.”

Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 702: “[H]al-hal berikut ini

harus dijadikan pertimbangan sebagai faktor-faktor yang relevan dalam menilai berat atau

ringannya suatu kejahatan, yaitu: ... repetisi atau pengulangan dan keberlanjutan kejahatan, ...

ketakutan yang sungguh-sungguh dirasakan saksi bahwa mereka akan menjadi korban

selanjutnya, ... kekerasan seksual yang menimpa perempuan, dan sifat diskriminatif dari

kejahatan tersebut.”

Kunarac, Kovac dan Vokovic (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 352: Sidang Banding

dapat mempertimbangkan “faktor kerentanan korban dalam kaitannya dengan penilaian

terhadap berat atau ringannya suatu kejahatan. Apakah kerentanan korban menjadi satu

unsur dalam kejahatan pemerkosaan, atau tidak, hal itu tidak mempengaruhi pembuktian

tindakan kejahatan, yang dapat dipertimbangkan dalam memutuskan sebuah perkara.”

215

Page 216: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(b) Berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan di bawah ketentuan Pasal

7(3)

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 732: “Penuntutan yang pertama-

tama diajukan adalah bahwa ada dua aspek untuk menilai sifat kejahatan yang dilakukan di

bawah ketentuan Pasal 7(3) Statuta: (1) berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan oleh

bawahan pelaku; dan (2) berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan oleh pelaku sendiri

atas kegagalannya dalam mencegah atau menghukum kejahatan-kejahatan tersebut. Sidang

Banding setuju bahwa dua hal ini harus menjadi bahan pertimbangan. Dari segi praktis,

tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan oleh atasan yang gagal mencegah atau

menghukum pelaku harus dipertimbangkan hingga pada taraf tertentu sebagai kejahatan yang

mendatangkan kegagalan. Kegagalan untuk mencegah atau menghukum tindakan

pembunuhan atau penyiksaan yang dilakukan oleh bawahan harus dianggap lebih berat

daripada – misalnya – kegagalan untuk mencegah atau menghukum tindakan penjarahan.”

(c) Pelaku dalam usaha kejahatan bersama dibandingkan dengan pelaku

utama

Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 77: “Sidang Pengadilan ini berbeda

pandangan dengan Sidang Pengadilan I [kasus Krstic dan Kvocka dkk.] berkenaan dengan

kebutuhan untuk menyesuaikan fakta dari kasus yang khusus ke dalam kategori spesifik

untuk tujuan penghukuman. Contohnya, terdapat keadaan di mana seorang peserta tindakan

kejahatan yang dilakukan bersama-sama akan menerima penghukuman lebih berat dibanding

yang seharusnya diterima oleh pelaku utama. Pelaku yang terlibat dalam perencanaan untuk

penghancuran hidup secara massal, dan memerintahkan yang lainnya untuk menjalankan

rencana tersebut, juga akan dikenakan penghukuman yang lebih berat dibandingkan orang-

orang lain di antara mereka yang melakukan pembunuhan (actual killing).”

(13) Penghukuman harus merefleksikan peran signifikan pihak pelaku

Tadic, (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 55: “[K]eputusan Pengadilan, pada saat

mempertimbangkan latar-belakang jurisprudensi Pengadilan Internasional dan Pengadilan

216

Page 217: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Pidana Internasional untuk Rwanda, gagal mempertimbangkan penghukuman yang tepat

dalam merefleksikan peran signifikan pihak pelaku dalam konteks yang lebih luas pada

konflik di bekas Negara Yugoslavia.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 744: “[P]enghukuman

yang dijatuhkan harus merefleksikan signifikansi peran terdakwa dalam konteks konflik yang

terjadi di bekas Negara Yugoslavia. Namun, dalam mengambil penghukuman dalam kasus

ini, Pengadilan menafsirkan bahwa meskipun posisi terdakwa dalam seluruh hierarki di bekas

Negara Yugoslavia adalah kecil, tetapi tidak berarti bahwa penghukuman yang dijatuhkan

pengadilan juga secara otomatis kecil atau rendah. Oleh sebab itu, dalam konteks ini berat

atau ringannya sebuah kejahatan harus direfleksikan dari penghukuman yang dikeluarkan oleh

Pengadilan.”

(14) Bahaya ganda terhadap penghukuman

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 190: Dalam menjatuhkan sebuah

penghukuman revisi (a revised sentence), Sidang Banding mempertimbangkan unsur bahaya

ganda “di mana terdakwa harusnya sudah mendapatkan putusan penghukuman dua kali

untuk tindakan yang sama, yang menderita kecemasan dan ketakutan sebagai akibat dari hal

tersebut, dan juga karena ia telah ditahan untuk kedua kalinya setelah periode pelepasan

dalam 9 bulan. Jika penghukumannya tidak disebabkan oleh faktor-faktor tersebut, maka

penghukumannya seharusnya lebih lama.”

(15) Diskresi untuk menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup

Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, paragraf 100: “[H]ukuman penjara seumur hidup

merupakan diskresi Sidang Pengadilan. Pengadilan mempunyai diskresi yang luas untuk

mempertimbangkan faktor-faktor apa saja yang memberatkan dan faktor-faktor apa saja yang

meringankan, yang keduanya diperlukan dalam menjatuhkan sebuah penghukuman

bersangkutan.”

iii) Faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan

217

Page 218: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(1) Pengantar umum

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 742: “[P]engadilan harus

mempertimbangkan kondisi terdakwa, misalnya faktor-faktor yang memberatkan dan

meringankan. Sidang Banding telah menyatakan bahwa apabila faktor-faktor yang

memberatkan dan meringkankan yang dijadikan pertimbangan dalam memutuskan perkara

belum didefinisikan oleh Statuta dan Hukum Acara, maka Pengadilan mempunyai diskresi

dalam menentukan faktor-faktor tersebut. Pengadilan berkewajiban untuk

mempertimbangkan kondisi yang memberatkan dalam memutus sebuah perkara, tapi

keringanan hukuman juga menjadi diskresi mereka.”

(2) Beban pembuktian

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 763: “[H]anya kasus-kasus yang

telah dibuktikan secara benar yang akan dijadikan subjek bagi putusan perkara atau dijadikan

pertimbangan dalam putusan kasus tersebut.”

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 847: “[K]eadilan

mengharuskan Penuntut Umum untuk membuktikan faktor-faktor memberatkan yang tidak

diragukan, dan Pembela (Defence) harus membuktikan faktor-faktor yang meringankan dalam

situasi yang seimbang.”

Simic, (Sidang Banding), 17 Oktober 2002, Paragraf 40: “Faktor-faktor yang meringankan

hanya perlu dibuktikan pada dengan mempertimbangkan keseimbangan probabilitas dan dan

tidak boleh meragukan.”

(3) Faktor-faktor yang memberatkan

(a) Posisi terdakwa

Tadic, (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 55-56: Sidang Banding menyatakan bahwa,

pada saat penghukuman dijatuhkan, Sidang Pengadilan harus “mempertimbangkan bahwa

penghukuman yang dijatuhkan benar-benar merefleksikan peran yang signifikan dari

218

Page 219: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Appealant (Terdakwa Banding) dalam konteks konflik secara luas di bekas Negara

Yugoslavia.” “Meskipun tindak kejahatan yang menjadi dasar tuntutan terhadap mana si

terdakwa kini diajukan sangatlah kejam, namun peringkatnya dalam struktur komando, jika

dibandingkan dengan atasannya, misalnya komandannya, atau orang yang paling menentukan

strategi kejahatan pembersihan etnis, rendah.”

Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 57: “Sidang Pengadilan menerima

bahwa posisi terdakwa sebagai atasan merupakan faktor yang memberatkan dalam kasus ini.

Terdakwa memang tidak berada dalam peringkat yang paling atas pada sturktur

kepemimpinan (komando), di mana jabatan tersebut diduduki oleh orang lain. Dia tidak

menyusun rencana yang menyebabkan kejahatan ini dilakukan, dan perannya dalam eksekusi

kejahatan lebih rendah dari lainnya. Namun, Mrs. Plavsic saat itu menjabat sebagai Presiden,

yaitu badan sipil tertinggi, selama kampanye berlangsung dan mendorong serta mendukung

rencana tersebut melalui keterlibatannya di badan Kepresidenan dan juga melalui pernyataan-

pernyataan yang dikeluarkannya.”

Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 67: “[M]eskipun [Milan Simic] tidak

didakwa sebagai seorang atasan, namun posisi kewenangannya tetap relevan untuk dianggap

sebagai faktor yang memberatkan baginya. Mempertimbangkan posisinya, keterlibatan Milan

Sivic dalam penyiksaan para tahanan ... mesti telah meninggalkan kesan pada mereka yang

hadir bersamanya di sekolah dasar pada saat itu bahwa jenis kejahatan ini diijinkan, atau

setidaknya, diperbolehkan.”

Penuntut v. Sikirina dkk., Kasus No. IT-95-8 (Sidang Pengadilan), 13 November 2001,

Paragraf 138-139: “Dusko Sikirica telah mengakui dirinya sebagai ‘Komandan Keamanan’ di

Kamp Keraterm, dan karena posisinya itu, ia mempunyai ‘tugas yang secara teknis mencegah

masuknya orang-orang dari luar ke kamp tersebut.’” “Kegagalan Dusko Sikirica dalam

kewajibannya untuk mencegah orang-orang dari luar masuk ke kamp dan melakukan

kekerasan terhadap tahanan merupakan faktor yang memberatkan.”

Sikirica dkk., (Sidang Pengadilan), 13 November 2001, Paragraf 172: “Posisi Damir Dosen

sebagai pemimpin pengganti (shift leader) dianggap sebagai faktor memberatkan dalam kasus

ini. Dia berada dalam posisi berkewenangan yang dilanggarnya sendiri; ia mengijinkan

219

Page 220: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

dilakukannya penganiayaan dan menutupi kekerasan terhadap orang-orang yang seharusnya ia

lindungi.”

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 709: Pejabat militer atau politisi yang

menduduki posisi tinggi tidak dengan sendirinya akan dijatuhi penghukuman lebih berat.

Tetapi seseorang yang melanggar atau menyalahgunakan kekuasaannya, layak dihukum lebih

berat daripada orang-orang yang menjalankan perintahnya. Konsekuensi atas tindakan

seseorang akan berdampak lebih serius jika ia berada pada posisi sebagai pimpinan militer

atau pada posisi tinggi dalam hierarki politik dan menggunakan posisinya untuk melakukan

kejahatan.”

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, paragraf 863: “[T]anggung

jawab pidana dari orang-orang yang memimpin lebih besar dari pengikutnya.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 778: “[D]apat dipastikan bahwa posisi

komandan dapat menyebabkan hukuman yang dijatuhkan kepadanya akan lebih tinggi.”

“Posisi komandan” diklasifikasi sebagai “faktor yang memberatkan.” “Posisi komandan

harus ... secara sistematik menaikkan hukuman dalam putusan, atau setidaknya membuat

Pengadilan mengurangi tuntutan terhadap keadaan-keadaan yang meringankan, terlepas dari

soal bentuk keikutsertaannya dalam tindak kejahatan.”

(b) Partisipasi aktif dan langsung

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 708: “Partisipasi seseorang secara

langsung dalam suatu tindak kejahatan seperti yang diatur pada Pasal 7(1), jika dikaitkan

dengan posisinya sebagai pejabat tinggi dalam rantai komando, maka partisipasinya tersebut

dapat dianggap sebagai faktor yang memberatkan baginya. [K]edua Pengadilan telah

menyatakan bahwa ada tiga jenis partisipasi langsung yaitu, ‘merencanakan, memerintah dan

menghasut’, dan ketiganya merupakan faktor yang memberatkan. Ketiga faktor ini terdapat

dalam kasus Genosida. Karena terdakwa dapat melakukan genosida tanpa bantuan dan

kerjasama pihak dari lain, terutama jika ia sebagai agen tunggal kejahatan genosida memiliki

niat diskriminatif, maka ia dapat dianggap berbeda dari komandan bersenjata atau seorang

220

Page 221: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Presiden dari suatu Negara yang memiliki sumber daya militer (pasukan) atau warga bangsa

yang menjalankan upaya genosida tersebut.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 790-791: “Partisipasi aktif dan langsung

dalam kejahatan berarti bahwa terdakwa melakukan sendiri kejahatan-kejahatan yang

didakwakan kepadanya. Partisipasi langsung dalam kejahatan dianggap sebagai faktor yang

memberatkan yang akan lebih sering ditujukan kepada pelaku daripada terhadap komandan.”

“[P]osisi komando dianggap sebagai faktor yang lebih memberatkan daripada partisipasi

langsung.”

(c) Peran sebagai bagian dari pelaku (fellow-perpetrator)

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 281: “[P]eran terdakwa dalam

penyiksaan adalah sebagai bagian dari pelaku kejahatan (fellow-perpetrator). Tugasnya adalah

menginterogasi Saksi A di sebuah ruang besar dan di bagian dapur, di mana ia juga

menginterogasi Saksi D, dan kemudian keduanya disiksa oleh terdakwa B. Dalam situasi

seperti ini, fellow perpetrator berperan sebagai orang yang secara langsung menyakiti dan

menyiksa korban.”

(d) Niat atau pola pikir yang diskriminatif

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 277-278: “[S]ebuah niat atau

pola pikir diskriminatif menjadi hal yang serius dalam kejahatan, tetapi hal itu mungkin tidak

menjadi faktor yang meningkatkan kejahatan. Sebuah diskriminasi niat dapat dianggap

sebagai faktor yang memberatkan, di mana niat tersebut bukan merupakan salah satu elemen

dari kejahatan. ... Keberadaan state of mind (niat) relevan dengan penghukuman yang akan

dijatuhkan baik sebagai bagian dari kejahatan atau sebagai faktor yang memberatkan, di mana

state of mind (niat) itu bukan merupakan suatu unsur dari kejahatan.”

Todorovic, (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001, Paragraf 57: “[K]ejahatan penganiayaan, yang

dianggap sebagai kejahatan yang berbeda, merupakan sebuah kejahtan yang serius. ... Niat

diskriminatif merupakan salah satu unsur utama dalam kejahatan penganiayaan, dan dalam

kasus kejahatan yang dilakukan Todorovic, aspek tersebut telah dimasukkan sebagai

221

Page 222: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

pertimbangan dalam menjatuhkan hukuman. Niat diskriminatif dalam suatu kejahatan harus

dianggap sebagai faktor yang memberatkan.”

(e) Keikutsertaan yang disengaja, suka rela, suka atau entusias dalam

tindak kejahatan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 792: “Partisipasi secara suka rela dan

disengaja berarti bahwa terdakwa yang berpartisipasi dalam kejahatan benar-benar sadar

dengan fakta yang dihadapinya. Faktor ini bervariasi dalam dalam setiap kasus dan tergantung

dari semangat yang dimiliki terdakwa ketika ia berpartisipasi dalam suatu kejahatan.

Partisipasi atas dasar kesadaran (informed participation) dianggap lebih rendah dari partisipasi

atas keinginan sendiri (partisipasi atas keinginan sendiri). Yang menjadi pertimbangan tidak

hanya kesadaran terdakwa atas tindak kejahatan yang dilakukannya dan konsekuensi yang

ditimbulkan dari kejahatan tersebut dan dari perilaku jahat dari bawahannya, tetapi juga

keinginan dan niat melakukannya. Jika niat tersebut telah ditetapkan, maka faktor yang

memberatkan dalam menentukan hukumannya akan bertambah.”

Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Pengadilan), 11 November 1999, Paragraf 20:

“Hakim harus mempertimbangkan faktor keinginan Dusko Tadic dalam melakukan kejahatan

dan partisipasinya dalam melakukan serangan.”

(f) Persiapan dan motif

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 711: “Persiapan dalam melakukan

kejahatan dapat ‘menjadi faktor yang memberatkan jika dilakukan secara mencolok’ dan

motif ‘dalam beberapa hal adalah faktor yang diperlukan untuk menentukan hukuman dalam

penghukuman setelah terdakwa mengakui kesalahannya.’ Dalam kejahatan genosida atau

kejahatan perang, meskipun kedua jenis kejahatan trsebut tidak memerlukan unsur persiapan,

namun direncanakan sebelumnya, maka persiapan (premediatation) dapat dianggap sebagai

faktor yang memberatkan. Partisipasi yang dipersiapkan dan dilakukan secara bersemangat

dalam sebuah tindak kejahatan menempati posisi tertinggi dalam hal tingkat keikusertaan.

Dalam menentukan penghukuman yang layak, maka harus dibuat kategori antara orang-orang

yang melibatkan diri mereka sendiri ke dalam aksi kekerasan, yang meskipun dilakukan

222

Page 223: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

dengan enggan, dengan orang-orang yang mempunyai inisiatif atau mendorong terjadinya

kekerasan serta terlibat dalam tindak kekerasan tersebut.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 785: “Motif dalam melakukan suatu

kejahatan dapat dianggap sebagai faktor yang memberatkan jika dilakukan secara kasat mata.

Beberapa motif dapat dilihat pada beberapa kasus hukum, seperti kejahatan penganiayaan

atas dasar alasan etnis dan agama, dan keinginan untuk balas dendam serta sadisme. Dalam

kasus ini, Sidang Pengadilan mencatat diskriminasi agama dan etnis yang melatarbelakangi

kekerasan menyebabkan penderitaan korban. Sebagai konsekuensinya, pelanggaran yang

dianalisis sebagai kejahatan penganiayaan dihukum lebih berat dari kejahatan biasa.”

(g) Taraf kekejaman bagaimana kejahatan dilakukan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 783: “Fakta bahwa kejahatan dilakukan

sangat kejam merupakan suatu kriteria kualitatif yang dapat dikenal dari sifatnya yang keji dan

tidak manusiawi.” “Serangan yang dilakukan secara ganas akan menjadi bahan pertimbangan

penting dalam menentukan penghukuman. Dalam kasus ini, kekejaman kejahatan ditentukan

oleh skala dan perencanaan rinci dari kejahatan yang dilakukan yang berakibat pada

penderitaan yang dengan sengaja ditimpakan pada ... korban tanpa memandang usia, jenis

kelamin atau statusnya.”

(h) Karakter seksual, tingkat kekerasan, dan kadar ketidakmanusiawian

dari tindakan kejahatan, dan kerentanan para korban

Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 63: “Meskipun kekerasan yang

dilakukan oleh Milan Simic terhadap korbannya tidak terjadi dalam periode yang panjang,

namun sikap dan cara yang digunakan Simic menyebabkan korban merasa sangat terhina

(despicable). Kekerasan seksual, kekerasan fisik dan penghinaan dijadikan pertimbangan oleh

hakim sebagai faktor yang memberatkan, karena tindakan-tindakan tersebut menyebabkan

penderitaan mental dan perasaan direndahkan yang dialami korban sangat berat.”

223

Page 224: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 867: “[K]ejahatan

yang ditujukan secara khusus kepada perempuan dan gadis-gadis yang rentan dan tidak

berdaya juga menjadi faktor yang memberatkan dalam mempertimbangkan penghukuman.”

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 282, 283: “Pemerkosaan dan

serangan seksual serius adalah kejahatan yang sangat menakutkan. Seorang perempuan

dibawa ke dalam tahanan, ditelanjangi dan dibuat tidak berdaya di hadapan orang yang

menginterogasinya, kemudian ia diperlakukan secara kejam dan sangat barbarian. Hal

tersebut menggambarkan sebuah kekejian.”

(i) Status korban, dan dampak kejahatan terhadap mereka

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 786: “Status korban dapat dijadikan

pertimbangan sebagai faktor yang memberatkan bagi terdakwa. [D]alam kasus ini, terdakwa

(Blaskic) melancarkan serangannya kepada warga sipil biasa, dan di antara mereka terdapat

kaum perempuan dan anak-anak. Status korban dalam serangan tersebut merupakan kondisi

yang memberatkan Blaskic.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 787: “Dampak dari penderitaan fisik dan

mental yang dirasakan korban juga dilihat sebagai faktor yang memberatkan dalam

memutuskan perkara.” “[D]alam kasus Blaskic ini, Sidang Pengadilan mencatatat bahwa tidak

hanya penderitaan mental yang dirasakan korban sebagai akibat dari kejahatan dilakukan

secara merata, kekuatan yang tidak imbang, pertempuran yang menakutkan, dan cara-cara

serangan yang dilakukan, seperti ‘baby bombs’, flame-throwers, granat dan booby-trapped lorry, tetapi

juga penderitaan mental dan fisik yang dirasakan korban atas kejadian brutal ini. [B]ersamaan

dengan penderitaan fisik dan mental, penderitaan yang dirasakan korban atas kehilangan

orang-orang yang dicintai, dan kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka masih belum

dapat kembali ke kediamannya,” juga menjadi faktor yang relevan untuk dipertimbangkan

sebagai hal yang memberatkan.

(j) Partisipasi aktif atasan dalam kejahatan yang dilakukan bawahannya

224

Page 225: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 736-737: “[B]ukti partisipasi aktif

seorang atasan dalam kejahatan yang dilakukan bawahannya, di mana ia gagal mencegah atau

menghukum pelaku (bawahannya) menambah berat kesalahan, dan hal tersebut juga dapat

memberatkan hukumannya. [P]elanggaran aktif yang dilakukan oleh pihak yang berwenang,

yang mungkin mencakupi keterlibatan bawahan dalam tindak kejahatan, bisa menegaskan

adanya pengaruh dari kekuasaan di atasnya: Tindakan terdakwa sebagai pelaksanaan dari

perintah atasannya bisa dilihat sebagai keadaan yang menegaskan atau mengurangi

kesalahannya. Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan yang dilakukan oleh seseorang dalam

posisi kewenangan yang berbeda dapat dianggap sebagai faktor yang memberatkan atau

meringankan dalam kesalahannya. Jelas bahwa penyalahgunaan kekuasaan atau

penyalahgunaan kepercayaan menjadi faktor yang memberatkan dalam menentukan

penghukuman. [T]idak adanya partisipasi aktif bukan merupakan faktor yang meringankan.

Kegagalan mencegah atau menghukum kejahatan merupakan kesalahan yang relevan, dan

kurangnya partisipasi aktif dalam kejahatan tidak mengurangi kesalahan terdakwa.”

(k) Pembuktian tanggung jawab pada Pasal 7(1) dan 7(3)

Mucic dkk., (Sidang Pengadilan), 20 Februari 2001, Paragraf 745: “Apabila tanggung jawab

atas suatu kejahatan didakwa dengan Pasal 7(1) dan Pasal 7(3), dan Sidang Pengadilan

menemukan bahwa, baik tanggung jawab langsung maupun tanggung jawab sebagai seorang

atasan terbukti, maka Sidang Pengadilan harus mempertimbangkan dua jenis tanggung jawab

yang telah terbukti tersebut sebagai fakta yang dipertimbangkan dalam penentuan hukuman

yang akan dijatuhkan. Penjatuhan hukuman bagi terdakwa yang melakukan dua jenis

kejahatan terpisah dalam satu pertimbangan (encompassed in the one count) seperti dalam kasus

ini harus dipertimbangakan secara tepat. Sebaliknya, kasus ini dapat dipertimbangkan dalam

konteks partisipasi langsung, seperti tertera pada Pasal 7(3) ... atau senioritas terdakwa, atau

posisi kewenangan yang dimilikinya yang menuntut tanggung jawab langsung seperti yang

diatur pada Pasal 7(1). Putusan Banding Aleksovski telah mengatur dua hal tersebut sebagai

faktor yang dipertimbangkan Sidang Pengadilan dalam menentukan sebuah penghukuman.”

Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 81: “Seperti yang tertera

pada Putusan Banding kasus Celebici dan Aleksovski, bentuk tanggung jawab dapat dianggap

225

Page 226: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

sebagai faktor yang memberatkan, karena putusan final yang dijatuhkan merefleksikan

perbuatan bersalah terdakwa secara keseluruhan.”

(l) Usia korban yang masih muda, jumlah korban dan pengulangan

kejahatan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 864, 866: “Usia

korban tertentu yang masih muda pada kejahatan yang dilakukan oleh Dragoljub Kunarac,

dianggap sebagai faktor yang memberatkan. Begitu juga dengan jumlah korban yang lebih

dari satu orang juga dianggap sebagai hal yang memberatkan.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 784: “Jumlah korban dalam beberapa

tindak kejahatan merupakan faktor yang memberatkan dan jumlah korban tersebut

merefleksikan skala kejahatan yang dilakukan. Dengan memperhatikan bahwa kejahatan

tersebut dilakukan secara sistematik, Sidang Pengadilan juga mempertimbangkan bahwa

pengulangan kejahatan merupakan faktor yang memberatkan. Jumlah korban yang jatuh

dalam kasus ini juga harus dipertimbangkan dalam kaitan dengan lamanya waktu kejahatan

itu dilakukan.”

(m) Perpanjangan periode waktu selama kejahatan dilakukan

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 865: Faktor

memberatkan lain adalah bahwa terdakwa “melakukan kejahatan ini dalam waktu yang

panjang yang dilihat dari jumlah korbannya yang banyak.”

(n) Besaran (magnitude) kejahatan dan skala peran terdakwa

Pentuntut Umum v. Erdemovic, Kasus No. IT-96-22 (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf

15: “[B]esaran kejahatan (ratusan laki-laki sipil Bosnia dibunuh dengan cara ditembak oleh

pasukan bersenjata) dan peran terdakwa dalam kejahatan (menggunakan senjata otomatis

untuk membunuh lebih dari seratus orang dan dilakukannya sendiri) merupakan faktor yang

memberatkan dalam pertimbangan.”

226

Page 227: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(o) Tahanan sipil

Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 283: “[F]akta bahwa Saksi A

adalah tahanan sipil di markas besar Jokers, (sebuah unit khusus polisi militer pada Dewan

Pertahanan Kroasia (HVO) dan di bawah kekuasaan penuh dari orang yang menangkapnya)

juga merupakan faktor yang memberatkan.”

(p) Karakter terdakwa

Mucic dkk., 20 Februari 2001, Paragraf 788: “Sidang Pengadilan pada Pengadilan ICTY dan

ICTR secara konsisten menggunakan sejumlah bukti untuk dipertimbangkan dalam

menjatuhkan penghukuman. Sidang Banding mencatat bahwa faktor-faktor seperti; sikap

terdakwa selama sidang pengadilan, penegasan utama (ascertain primarily) melalui persepsi

Hakim tentang terdakwa; juga dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan maupun

memberatkan terdakwa dalam menjatuhkan penghukuman. Penyesalan mendalam atas

tindakan yang telah dilakukan, atau sebaliknya terdakwa sama sekali tidak menunjukkan

simpati atau tidak menunjukan sikap penyesalannya, merupakan faktor yang juga relevan

dalam menentukan berat atau ringannya penghukuman bagi terdakwa.”

(q) Sifat kejahatan secara umum

Tadic, (Sidang Pengadilan), 11 November 1999, Paragraf 19: “Setiap kejahatan yang dilakukan

dalam kondisi yang tidak dapat memberatkan kejahatan, dan penderitaan korbannya. Dusko

Tadic menyadari kondisi menakutkan di kamp yang dibangun oleh penguasa Bosnia Serbia di

Opstina Prijedor, dan ia juga sadar terhadap berbagai perlakuan tidak manusiawi terhadap

tahanan di tempat tersebut. ... Keinginan Dusko Tadic terlibat dalam tindakan brutal yang

dilakukan dengan niat melukai serta membahayakan korbannya secara jelas membuktikan

bahwa bahwa ia dinyatakan bersalah dalam perkara ini.”

(r) Terdakwa yang tidak memberikan kesaksian bukan sebuah faktor

yang memberatkan

227

Page 228: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Mucic, dkk., (Sidang Pengadilan), 20 Februari 2001, Paragraf 783: “Baik Statuta maupun

Hukum Acara tidak secara jelas menyatakan bahwa kesimpulan dapat diambil dari gagalnya

seorang terdakwa memberikan bukti di pengadilan. Pada saat yang sama, keduanya juga

menyatakan bahwa kebungkaman tidak boleh ‘dijadikan sebuah pertimbangan dalam

menetapkan apakah terdakwa bersalah atau tidak.’ Jika hal itu telah diniatkan bahwa

konsekuensi berat seperti itu akan terjadi, ... maka sebuah ketentuan dan peringatan harus

dibutuhkan di bawah ketentuan Statuta, yang menentukan pengamanan yang tepat. Karena

itu ... larangan absolut terhadap pertimbangan kebungkaman terdakwa dalam menentukan

apakah ia bersalah atau tidak bersalah, dijamin dalam Statuta dan Hukum Acara. ... Begitu

juga larangan absolut terhadap pertimbangan sepihak dalam menentukan terdakwa bersalah

atau tidak bersalah dijamin dalam Statuta dan Hukum Acara. Berkaitan dengan itu,

pelarangan absolut ini harus diperluas dalam menentukan hukuman yang dijatuhkan kepada

terdakwa.”

Plasvic, Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 64: “[K]eengganan terdakwa untuk

memberikan pembuktian bukan merupakan faktor yang dapat dijadikan pertimbangan dalam

menentukan penghukuman.”

(4) Faktor yang meringankan

(a) Pengantar umum

Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 65: “Sidang Pengadilan mempunyai

diskresi untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang meringankan. Faktor ini akan

bervariasi dan tergantung kondisi kasusnya. Dalam kerja-samanya dengan Penuntut, Sidang

Pengadilan Internasional menemukan bahwa hal-hal berikut ini relevan untuk

dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan, yaitu: terdakwa menyerahkan diri secara

suka rela; adanya pernyataan bersalah; ekspresi penyesalan, mempunyai karakter yang baik

dan tidak pernah diadili sebelumnya; dan perilaku baik sang terdakwa setelah konflik.”

(b) Kerja sama terdakwa

228

Page 229: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 126: “[S]idang Pengadilan mempunyai

kewenangan untuk menentukan apakah kerja sama terdakwa dianggap penting dan menjadi

faktor yang meringankan hukuman.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 774: “Kesungguhan dan keseriusan

terdakwa dalam bekerja-sama dengan Penuntut juga merupakan alasan yang menentukan

apakah hukuman untuk terdakwa berkurang atau tidak. Oleh karena itu, penilaian tentang

kerja sama terdakwa tergantung pada kuantitas dan kualitas informasi yang ia berikan. Lebih

lanjut, Sidang Pengadilan meminta spontanitas dan kesukarelaan dalam kerja sama yang harus

dimintakan tanpa adanya tuntutan balas jasa. Mengingat bahwa kerja sama merupakan syarat

yang patut dihargai, Sidang Pengadilan menggolongkan kerja sama seperti ini sebagai ‘faktor

meringankan yang signifikan’.”

Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 63: “[P]engadilan mencatat bahwa

dalam menentukan apakah kerja sama terdakwa secara substansial penting, tergantung dari

banyaknya dan kualitas informasi yang diberikannya. Kerja sama dengan Penuntut

merupakan faktor yang meringankan terdakwa, namun tidak serta merta mengubah faktor

memberatkan atas kasus yang dihadapinya.”

Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 112: “Sidang Pengadilan menemukan

bahwa sikap Milan Simic di Unit Tahanan dan kerja-samanya secara umum dengan Sidang

Pengadilan dan Penuntut selama proses pengadilan merupakan faktor yang meringankan.”

Todorovic, (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001, Paragraf 86: “[F]akta bahwa seorang terdakwa

telah mendapatkan atau mungkin mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam kesepakatan

dengan Penuntut tidak menghalangi Sidang Pengadilan untuk mempertimbangkan kerja-

samanya yang penting sebagai keadaan yang meringankan dalam mengambil putusan.”

Erdemovic, (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf 16: Sidang Pengadilan menyatakan

bahwa “kerja sama terdakwa tanpa pertanyaan dan bantahan darinya, dan nilai kerjasamanya

dapat meringankan hukumannya.”

229

Page 230: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Erdemovic, (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf 21: “Adalah kepentingan Pengadilan

Pidana Internasional dan merupakan tujuan dari Pengadilan Internasional untuk memberikan

keringanan yang layak bagi terdakwa yang bersikap kooperatif. [Erdemovic] secara jujur

mengakui keterlibatannya dalam pembunuhan massal (massacre) pada saat di mana tidak ada

seorang pun berkuasa untuk menuntutnya dalam kaitan dengan dengan hal itu, dengan

mengetahui bahwa ia besar kemungkinan akan menghadapi penuntutan sebagai akibatnya.

Memahami situasi orang-orang yang menyerahkan diri ke Pengadilan Internasional dan

mengakui kesalahannya menjadi penting untuk mendorong pelaku lain atau pelaku yang tidak

dikenal untuk ikut menyerahkan diri.”

(c) Pengakuan bersalah termasuk penyesalan dan rekonsiliasi

Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 66-81: “Sidang Pengadilan menerima

[pernyataan bersalah Plasvic pada saat Sentencing Hearing], bersama dengan pernyataannya

sebelumnya yang mendukung mosi untuk mengubah penyesalannya, sebagai bentuk

penyesalan untuk dipertimbangkan sebagai bagian dari faktor meringankan yang terkait

dengan pengakuan bersalahnya. Hal ini telah menghemat waktu dan sumber daya Pengadilan

Internasional karena pengakuan bersalahnya dilakukan dihadapan pengadilan, dan terdakwa

berhak untuk mendapat pengurangan hukuman secara wajar. ... Sidang Pengadilan menerima

bahwa pengakuan dan seluruh pernyataan terbuka atas kejahatan serius yang telah dilakukan

menjadi sangat penting pada saat pencarian kebenaran yang terkait dengan kasus pidananya.

Bersamaan dengan penerimaan tanggung jawab terdakwa atas perbuatan bersalahnya, hal

tersebut akan mendorong terjadinya rekonsiliasi. [P]engadilan menyimpulkan bahwa

pernyataan bersalah Ibu Plasvic, dan keinginannya untuk mempertanggungjawabkan

perbuatannya, terlebih karena ia adalah mantan Presiden Republik Sprska, akan mendorong

rekonsiliasi di Bosnia dan Herzegovina secara keseluruhan. Atas pengakuan bersalah

terdakwa, serta ekspresi penyesalan dan dampak positif terhadap proses rekonsiliasi, yang

kesemuanya itu merupakan faktor meringankan, maka Sidang Pengadilan akan memberikan

keringanan secara signifikan kepadanya.”

Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 84-85: “[S]ebuah pengakuan bersalah,

pada dasarnya harus dapat meringankan hukuman bagi terdakwa dari hukuman yang

seharusnya ia terima. Sebuah pengakuan bersalah diakui memiliki kontribusi yang besar

230

Page 231: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

terhadap kerja Pengadilan karena pengakuan bersalah tersebut dapat mempersingkat waktu

dalam proses pengadilan. ... Sebuah pernyataan bersalah akan berkontribusi pada tercapainya

keuntungan umum termasuk menghemat sumberdaya untuk investigasi, biaya pengacara dan

biaya persidangan.”

Sikirica dkk., (Sidang Pengadilan), 13 November 2001, Paragraf 150: “[A]pabila terdakwa

mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya sebelum pemrosesan persidangannya

biasanya akan mendapat pengurangan atas pengakuannya, seseorang yang menyatakan

pengakuan bersalahnya kapan saja setelah itu tetap akan mendapat pengurangan hukuman,

meski tidak sebesar yang seharusnya ia dapatkan, apabila ia menyatakan pengakuan

bersalahnya sebelum dimulai persidangan.”

Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 92: “Dalam rangka menerima rasa

penyesalan terdakwa sebagai sebuah faktor yang meringankan, Sidang Pengadilan harus yakin

bahwa ungkapan rasa bersalah tersebut dilakukan dengan tulus.”

Todorovic, (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001, Paragraf 81: “Sebuah pengakuan bersalah selalu

dianggap penting untuk mencari kebenaran yang terkait dengan kejahatan yang dilakukan.”

Erdemovic, (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf 16: “Sebuah pengakuan bersalah harus

diekspresikan secara jujur, dan penting bagi Pengadilan Internasional untuk mendorong para

pelaku yang sudah diketahui maupun pelaku yang belum diketahui. Lebih lanjut, pengakuan

bersalah yang dilakukan secara suka rela yang menghemat waktu Pengadilan Internasional

dan waktu investigasi serta proses peradilan akan sangat dihargai.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 777: “Sebuah pengakuan bersalah, yang

dinyatakan langsung, merupakan faktor yang dapat meringkankan penghukuman.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 774: “[P]erasaan menyesal harus dilihat

tidak hanya dari pernyataan terdakwa tetapi juga dari sikapnya; misalnya secara suka rela

menyerah, atau melakukan pengakuan bersalah.”

(d) Paksaan/tekanan yang melawan hukum (duress)

231

Page 232: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Erdemovic, (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf 17: Duress “hanya akan

dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan.” Sidang Pengadilan menyatakan telah

terjadi duress dalam kasus Erdemovic ini, dan menemukan bahwa “ada risiko terdakwa akan

dibunuh jika ia tidak mematuhi perintah. Ia menyatakan perasaannya, tapi sebenarnya ia tidak

punya pilihan saat itu; ia harus membunuh atau ia dibunuh.”

(e) Partisipati tidak langsung atau terpaksa

Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 714: “Partisipasi tidak langsung adalah

satu faktor yang dapat meringakan hukuman. Suatu tindakan bantuan terhadap sebuah

kejahatan adalah suatu bentuk keikutsertaan dalam tindak kejahatan yang sering kali kurang

dipertimbangkan secara serius dibandingkan dengan keikutsertaan personal atau tindakan

personal sebagai hal yang utama dan mungkin, dengan memperhatikan keadaannya,

menjamin adanya suatu hukuman yang lebih ringan ketimbang hukuman yang dijatuhkan

pada tindakan yang langsung. Hal yang sama, dalam beberapa kasus, keterlibatan secara

terpaksa dalam sebuah kejahatan juga dianggap sebagai faktor yang meringankan.”

(f) Kelemahan mental untuk bertanggung-jawab (diminished mental

responsibility)

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 590: “[P]rinsip hukum secara umum

yang relevan ... adalah bahwa kelemahan mental untuk bertanggung-jawab tidak relevan

dengan hukuman yang dijatuhkan dan bukan merupakan sebuah pembelaan yang mengarah

ke pengurangan dalam arti sebenarnya. ... Hukum Acara Pasal 67(A)(ii)(b) harus ditafsirkan

sebagai rujukan atas kelemahan mental untuk bertanggung-jawab di mana terdakwa harus

mengungkapkan hal tersebut sebagai sebuah persoalan dalam memperingan hukuman. Ketika

seorang terdakwa meminta pengurangan hukuman, di mana ia bersandar pada kelemahan

mental untuk bertanggung-jawab, ia harus memperhatikan kondisi tersebut atas dasar

keseimbangan kemungkinan – yang lebih mungkin daripada kondisi yang terdapat pada

waktu tindakan tersebut terjadi.”

232

Page 233: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 282-283: “[I]su kelemahan secara

mental untuk bertanggung-jawab (diminished mental responsibility) hanya relevan untuk

penghukuman yang akan dijatuhkan. Bukan merupakan suatu pembelaan jika hal itu

ditegaskan akan mengarah ke peringanan si terdakwa. ... [S]eorang terdakwa yang menderita

kelemahan mental untuk bertanggung-jawab (diminished mental responsibility) jika terdapat

ketidaksesuaian dalam kapasitasnya untuk mengapresiasi ketidakpatuhan hukum atas atau

sifat tindakannya atau untuk mengkontrol tindakannya demi memenuhi persyaratan hukum.”

(g) Menyerahkan diri secara suka rela (voluntary surrender)

Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 84: “Sidang Pengadilan menerima

bahwa penyerahan diri secara suka rela adalah faktor meringankan dalam mempertimbangkan

hukuman yangdijatuhkan dalam penghukuman.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 776: “Penyerahan diri secara suka rela

diaggap sebagai faktor meringankan dalam menentukan hukuman.”

(h) Tindakan pasca-konflik

Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 94: “Sidang Pengadilan merasa puas

atas peran Ibu Plasvic yang telah membantu dalam memastikan bahwa Perjanjian Dayton

diterima dan dapat dilaksanakan di Republik Srpska. Dengan demikian, ia berkontribusi besar

bagi perdamaian di wilayah tersebut dan berhak untuk mendapatkan keringanan hukuman.

Pengadilan akhirnya memberikan keringanan hukuman yang berarti (signifikan) kepadanya.”

(i) Usia

Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 95-106: “[S]idang Pengadilan

menyatakan bahwa pertimbangan terhadap usia (lanjut) terdakwa penting untuk dilakukan.

Pertimbangan tersebut dilakukan dengan dua alasan, yaitu pertama, kemunduran fisik yang

terkait dengan tahun-tahun sebelumnya memperberat hukuman untuk orang yang berusia

lebih tua daripada terdakwa yang lebih muda. Kedua, ... seorang pelaku yang berusia lanjut

233

Page 234: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

hanya mempunyai harapan hidup lebih sedikit setelah ia dibebaskan. [S]idang Pengadilan

mempertimbangkan usia lanjut terdakwa sebagai faktor yang meringankan.”

Erdemovic, (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf 16: Sidang Pengadilan menyatakan

bahwa kombinasi usia muda [Erdemovic yang berusia 26 tahun] dengan sikap serta karakter

yang dimilikinya menunjukkan bahwa ia adalah orang yang dapat berubah (reformable) dan

bukanlah orang yang membahayakan di lingkungannya.” “Berdasarkan hal tersebut, maka

seharusnya ia diberi kesempatan kedua untuk memulai hidupnya lagi setelah ia dibebaskan,

dan usianya masih sangat muda untuk melakukan kejahatan tersebut.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 778: “Kasus hukum dari dua Pengadilan

Pidana ad hoc tentang Rehabilitasi, mempertimbangkan usia muda terdakwa sebagai faktor

yang meringankan. Usia muda yang dimaksud bervariasi: usia muda menurut pertimbangan

ICTY adalah antara 19-23, sedangkan ICTR menentukan usia muda dari 32 sampai 37.

(j) Kondisi pribadi/keluarga

Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 362: “Pada prinsipnya,

kondisi keluarga terdakwa dapat dijadikan pertimbangan sebagai sebuah faktor yang

meringankan,” misalnya terdakwa adalah ayah dengan tiga orang anak yang masih kecil.

Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 300: “Kondisi pribadi Terdakwa

(vasiljevic) yang telah menikah dan mempunyai dua orang anak, juga menjadi pertimbangan

oleh Pengadilan sebagai faktor meringankan.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 779: “[P]erlu untuk mengkaji sejarah

pribadi terdakwa secara sosial, profesional dan dalam keluarga, karena faktor-faktor ini dapat

meringankan penghukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan terdakwa.”

(k) Karakter terdakwa

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 788: “Sidang Pengadilan ICTY dan

ICTR secara konsisten mempertimbangkan karakter terdakwa dalam mengambil

234

Page 235: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

penghukuman. Sidang Banding mencatat bahwa faktor-faktor seperti sikap terdakwa selama

persidangan, kesungguhannya dalam mendengarkan pandangan Sidang Pengadilan atas

kasusnya, dijadikan pertimbangan baik sebagai faktor meringankan maupun memberatkan

hukuman. Sikap ini relevan dengan hal-hal yang lain, misalnya penyesalan terdakwa atas

tindakan yang telah dilakukan, atau sebaliknya terdakwa sama sekali tidak bersimpati terhadap

korban.”

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 780: “Sifat dan karakter terdakwa tidak

seluruhnya dapat dijadikan acuan untuk mengetahui alasan dilakukannya kejahatan. Hal

tersebut terutama dipergunakan untuk menilai kemungkinan rehabilitasi bagi terdakwa.

Berkaitan dengan hal tersebut, standard moral yang tinggi juga merupakan indikator karakter

terdakwa.”

(l) Kondisi yang sakit-sakitan: hanya pada kasus tertentu

Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 98: “[B]uruknya kesehatan seorang

terdakwa seharusnya dijadikan pertimbangan dalam penghukuman yang akan dijatuhkan.

Namun pertimbangan terhadap hal tersebut hanya akan dilakukan dalam keadaan tertentu

atau ‘jarang’ dilakukan oleh Sidang Pengadilan sebagai faktor meringankan.”

(m) Bantuan terhadap para tahanan atau korban

Sikirica dkk., (Sidang Pengadilan), 13 November 2001, Paragraf 195: “Pengadilan juga telah

mempertimbangkan bukti bahwa Dosen, pemimpin pengganti (shift leader), di kamp Keraterm

sering menghibur tahanan tertentu atas kondisi tidak menyenangkan (terrible condition) yang

terjadi di kamp tersebut. Sidang Pengadilan mempertimbangkan bahwa tindakan Damir Dosen

tersebut dapat dianggap sebagai faktor yang meringankan.

Sikirica dkk., (Sidang Pengadilan), 13 November 2001, Paragraf 229: “Sidang Pengadilan telah

mendengar dan memiliki banyak bukti yang menjelaskan bahwa Dragan Kolundzija telah

melakukan upaya untuk meringankan kondisi buruk beberapa tahanan di Kamp Keraterm. ...

[A]tas dasar pengakuan dan sikap baiknya terhadap para tahanan, Dragan Kolundzija

seharusnya memperoleh keringanan hukuman secara berarti.”

235

Page 236: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 781: “Indikasi lain yang menunjukkan

bahwa terdakwa mempunyai karakter baik dilihat dari bukti sikapnya dan bantuannya

terhadap para korban.”

(n) Karakter yang lemah bukan merupakan faktor yang meringankan

Krnlojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 516: “Sidang Pengadilan tidak ...

mempertimbangkan sebagai alasan yang tepat bahwa terdakwa adalah jenis orang yang

memiliki karakter yang lemah untuk menyandingkan apa yang ia ketahui sebagai perilaku

jahat oleh orang yang terhadapnya ia memiliki kekuasaan dalam KP Dom. Terdakwa secara

suka rela menerima jabatannya, dan meskipun kenyataannya ia mengalami kesulitan dalam

menjalankan kewenangannya, tetapi bahwa hal tersebut tidak dapat mengurangi tanggung

jawab pidananya.”

236

Page 237: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

XI. LAIN-LAIN

a) Keringan yang diberikan sebelum keputusan (prior decisions)

i) Sidang Banding harus mengikuti keputusan Pengadilan sebelumnya,

mengutamakan kewajiban utama atau alasan kuat yaitu untuk kepentingan

keadilan

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 104-110: “Hak untuk banding

merupakan bagian dari persyaratan pengadilan yang adil (fair trial),” dan “sebuah aspek dalam

persyaratan pengadilan yang adil adalah hak terdakwa agar kasusnya diperlakukan seperti

kasus lainnya.” “[U]ntuk kepentingan kepastian dan keterdugaan, Sidang Banding harus

mengikuti keputusan sebelumnya, namun mereka mempunyai kebebasan untuk keluar dari

hal-hal itu ke kewajiban utama untuk kepentingan keadilan.” “Prinsip hukum”, atau ratio

decidendi, harus diikuti. Namun, “kewajiban untuk mengikuti prinsip tersebut hanya dapat

dilakukan dalam kasus-kasus yang sama atau sama secara substansial,” misalnya, di mana

“pertanyaan yang diajukan didasarkan pada fakta dalam kasus selanjutnya (subsequent case)

sama seperti pertanyaan yang diputuskan oleh prinsip hukum dalam keputusan sebelumnya.”

Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, paragraf 26: “Mengikuti prinsip yang tersebut

dalam Putusan Banding kasus Aleksovski, Sidang Banding is unable to conclude bahwa keputusan

pada kasus [sic] Tadic dipertimbangkan atas dasar penerapan prinsip hukum yang salah atau

disebut dengan per incuriam ... [K]arena itu Sidang Banding tidak menemukan alasan kuat demi

kepentingan pengadilan untuk bertindak berdasarkan landasan hukum seperti yang

diidentifikasi pada Putusan Banding kasus Tadic.”

ii) Keputusan Sidang Banding terikat dengan Sidang Pengadilan

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, paragraf 112-123: Sidang Banding menyatakan

bahwa “ratio decidendi atas penghukuman diambilnya terikat dengan putusan Sidang

Pengadilan.”

237

Page 238: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(iii) Keputusan Sidang Pengadilan tidak terikat dengan putusan lainnya

Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, paragraf 1114: “[K]eputusan Sidang Pengadilan,

yang merupakan badan yang berkoordinasi dengan jurisdiksinya, tidak terikat dengan putusan

lainnya, meski Pengadilan bebas untuk mengikuti keputusan Sidang Pengadilan lain jika

keputusan tersebut dianggap meyakinkan.”

b) Ketidakmasukakalan adalah ujian bagi tinjauan banding terhadap temuan-

temuan faktual Majelis Pengadilan

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, paragraf 64: “[S]tandard yang digunakan dalam

menentukan apakah temuan faktual Sidang Pengadilan harus ditegakkan merupakan suatu

ketidakmasukalan, yaitu, suatu kesimpulan yang tak seorang pun mampu mencapainya. Tugas

untuk mendengar, menilai dan menimbang bukti yang diajukan ke pengadilan merupakan

kewenangan Hakim pada Sidang Pengadilan. Karena itu, Sidang Banding harus memberi rasa

hormat (margin of deference) atas temuan yang dilakukan oleh Sidang Pengadilan. Hanya jika

bukti bukti yang diyakini oleh Sidang Pengadilan tidak bisa diterima dengan alasan apa pun

oleh orang yang berpikiran waras bahwa Pengadilan Banding bisa menggunakan temuannya

untuk menggantikan temuan dari Pengadilan sebelumnya. Penting untuk dicatat bahwa kedua

Hakim, yang keduanya bertindak secara rasional, bisa berbeda pendapat atas dasar bukti yang

sama.”

c) Prinsip “persamaan kesempatan” (equality of arms)

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, paragraf 43, 44, 48, 52: Pasal 20(1) Statuta menyatakan

bahwa “[P]engadilan tingkat Pertama harus memastikan bahwa sebuah persidangan dilakukan

secara adil dan tepat ...” and “persamaan kesempatan (equality of arms) berarti bahwa setiap

pihak harus punya kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya ‘dalam keadaan

yang sama dengan pihak lawan.’” Sidang Banding menyatakan bahwa prinsip “the equality of

arms dalam persidangan yang adil diatur pada Statuta.” “[D]i bawah Statuta Pengadilan

Internasional prinsip persamaan kesempatan harus ditafsirkan secara liberal dari yang

biasanya diterapkan with regard to proceedings di hadapan pengadilan domestik. Prinsip ini berarti

238

Page 239: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

bahwa Penuntut dan Pembela harus setara di hadapan Sidang Pengadilan. Oleh karena itu,

Sidang Pengadilan harus menyiapkan seluruh fasilitas yang dijamin Hukum Acara dan Statuta

jika diminta oleh salah satu pihak sebagai alat bantu dalam mempresentasikan kasus tersebut.

Sidang Pengadilan harus waspada dengan kesulitan yang dihadapi oleh berbagai pihak dalam

mendapatkan dan memperoleh akses atas bukti-bukti di wilayah bekas Negara Yugoslavia di

mana beberapa Negara masih belum menerapkan kewajiban hukum mereka untuk bekerja-

sama dengan Pengadilan. Pasal-pasal dalam Statuta dan Hukum Acara dibuat untuk

mengatasi bermacam kesulitan yang dihadapi para pihak, sehingga setiap pihak memiliki

akses yang sama untuk memberikan kesaksian. Pengadilan didorong untuk mengeluarkan

perintah, pemanggilan, sub poena, jaminan dan perintah pemindahan yang diperlukan untuk

tujuan investigasi atau demi persiapan atau pelaksanaan persidangan.”

d) Hak istimewa pengacara-klien tidak meliputi pernyataan saksi pembelaan

sebelumnya: Sidang Pengadilan akan memerintahkan keterbukaan (keterbukaan)

Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, paragraf 325-326: Sidang Banding menyatakan bahwa

hak istimewa pengacara-klien “tidak meliputi pernyataan Saksi Pelaku” dan “Sidang

Pengadilan dapat memerintahkan, tergantung dari situasi kasus yang sedang ditangani,

pengungkapan pernyataan saksi pembela setelah pemeriksaan utama dari saksi.”

e) Uji untuk penerimaan pengakuan bersalah (guilty pleas)

i) Apakah ada dasar fakta yang mencukupi untuk kejahatan dan partisipasti

terdakwa dalam kejahatan tersebut dan apakah unsur-unsur yang dihadirkan

memperkuat kejahatan yang diakui

Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, paragraf 25: “Sebuah pengakuan bersalah

tidak dengan sendirinya dapat dijadikan dasar yang kuat untuk mendakwa seseorang. Meski

Sidang Pengadilan menggarisbawahi bahwa para pihak berniat untuk menyepakati kejahatan

yang dituntut, masih ada keharusan bagi para Hakim untuk menemukan unsur-unsur kasus

yang memperkuat dakwaan mereka baik secara hukum dan kenyataan bahwa terdakwa benar-

benar bersalah dalam kasus tersebut.”

239

Page 240: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Jelisic, (Sidang Pengadilan ), 14 Desember 1999, paragraf 26-28: Sidang Pengadilan membuat

tiga persyaratan yang harus terpenuhi sebelum sebuah pernyataan bersalah disampaikan, dan

menyatakan bahwa Para Hakim harus juga memverifikasi bahwa “ada dasar-dasar fakta yang

mencukupi untuk kejahatan dan keterlibatan Terdakwa dalam kejahatan tersebut, bisa dengan

dasar indikasi yang independen atau kelemahan setiap material ketidaksepakatan antar para

pihak berkaitan fakta-fakta dari kasus tersebut. Sidang Pengadilan juga berpendapat bahwa

“harus juga diverifikasi apakah unsur-unsur yang dihadirkan dalam guilty plea mencukupi

untuk menetapkan kejahatan yang sedang disidangkan.”

Todorovic, (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001, paragraf 23-26: “[D]engan [Hukum Acara Pasal

62 bis], sebuah pernyataan bersalah tidak dapat dijadikan satu-satunya dasar dakwaan bagi

seorang terdakwa: Sidang Pengadilan juga harus yakin bahwa ‘terdapat dasar faktual yang

cukup untuk membuktikan sebuah kejahatan dan partisipasi terdakwa dalam kejahatan

tersebut.’ [S]idang Pengadilan dimungkinkan untuk bersandar pada baik indikasi independen

maupun pada kurangnya ‘pelbagai ketidaksepakatan materil di antara para pihak tentang fakta

dari kasus tersebut.’”

ii) Pengakuan bersalah harus dilakukan secara suka rela, sadar dan tegas

Erdemovic, (Sidang Banding), Opini Terpisah Bersama (Joint Separate Opinion) oleh Hakim

McDonald dan Hakim Vohrah, 7 Oktober 1997, Paragraf 8: “[P]ra kondisi tertentu harus

dipenuhi sebelum pernyataan bersalah diucapkan. [P]ra-kondisi minimum tersebut adalah

sebagai berikut:

(a) Pengakuan bersalah harus dilakukan secara suka rela. Pengakuan tersebut harus

diucapkan terdakwa dalam keadaan sehat mental dan mengerti konsekuensi

pengakuan bersalah, dan ia tidak dipengaruhi oleh tekanan, bujukan atau janji-

janji;

(b) Pengakuan bersalah harus dilakukan secara sadar, artinya terdakwa harus

memahami sifat hukuman yang akan dijatuhkan padanya dan konsekuensi

pengakuan bersalah yang diucapkan mereka. Terdakwa harus tahu untuk apa ia

melakukan pengakuan bersalahnya;

240

Page 241: Genosida, Kejahatan Perang, Dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

241

(c) Pengakuan bersalah tidak boleh dilakukan secara samar (equivocal). Pengakuan

tersebut tidak boleh diiringi dengan kata-kata yang bertentangan dengan tanggung

jawab pidananya.”

iii) Suka rela

Erdemovic, (Sidang Banding), Opini Terpisah Bersama oleh Hakim McDonald dan Hakim

Vohrah, 7 Oktober 1997, Paragraf 10: “[S]ebuah pernyataan bersalah [harus] dibuat secara

suka rela. Kerelaan terbagi dalam dua unsur. Pertama, seorang terdakwa harus berada dalam

kondisi sehat mental untuk memahami konsekuensi tindakannya apabila ia melakukan

pengakuan bersalah. Kedua, pengakuan bersalah tersebut tidak boleh dilakukan karena ada

ancaman atau tekanan, kecuali mengharapkan keringanan hukuman.”

iv) Sadar

Erdemovic, (Sidang Banding), Opini Terpisah Bersama oleh Hakim McDonald dan Hakim

Vohrah, 7 Oktober 1997, paragraf 14: “[S]emua jurisdiksi menetapkan bahwa seorang

terdakwa yang mengaku salah harus memahami sifat, konsekuensi dan maksud pengakuannya

secara persis.” Dalam kasus yang ditangani saat ini, “pengakuan yang dilakukan secara sadar

menuntut bahwa sang terdakwa banding memahami: (a) sifat penghukuman yang dijatuhkan

kepadanya dan konsekuensi pengakuan bersalahnya secara umum; dan (b) sifat dan

berbedaan antara putusan alternatif dan konsekuensi pengakuan bersalah terhadap seseorang

lebih dibandingkan kepada yang lainnya.”

v) Tegas

Erdemovic, (Sidang Banding), Opini Terpisah Bersama Hakim McDonald dan Hakim Vohrah,

7 Oktober 1997, Paragraf 31: “Apakah sebuah pengakuan bersalah dilakukan secara tegas

tergantung dari pertimbangan, apakah pengakuan tersebut dilakukan dengan kata-kata yang

menggambarkan fakta yang akan menjadi dasar pembelaan dalam hukum.”