genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan
DESCRIPTION
genosidaTRANSCRIPT
Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan
Jilid II
Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana
Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia
Dikompilasi oleh:
Human Rights Watch
ELSAM
Jakarta
1
Genosida, Kejahatan Perang, dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Jilid II: Saripati Kasus-Kasus Hukum dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia. Diterjemahkan dari: Human Rights Watch, Genocide, War Crimes, and Crimes Against Humanity: Topical Digests of the Case Law of the International Criminal Tribunal for Rwanda and the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, New York: Human Rights Watch, 2004. Copyright © 2004 by Human Rights Watch. All rights reserved. Penerjemah: Eddie Riyadi Aida Milasari Editor: Erasmus Cahyadi Eddie Riyadi Hak terjemahan dan penerbitan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM. Penerbitan ini didukung dengan bantuan dari Kedutaan Besar Kerajaan Denmark dan The Asia Foundation Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Penerbit: ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 25219. Email: [email protected], [email protected]. Website: www.elsam.or.id.
2
UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN
Buku ini merupakan hasil karya kompilasi yang dikerjakan oleh International Justice Program
di Human Rights Watch. Nama-nama utama di balik pengerjaan buku ini adalah antara lain
Jennifer Trahan, seorang Penasihat International Justice, dan Adela Mall, seorang Konsultan.
Selain itu, Ann Ferrari juga membantu dalam hal kasus-kasus hukum dari Pengadilan Pidana
Internasional untuk Rwanda (ICTR), dan Ivan Jovanovic untuk kasus-kasus hukum dari
Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY). Richard Dicker, Direktur
bagian International Justice Program, menjadi pemandu utama dan secara keseluruhan.
Widney Brown bertanggung-jawab untuk penyuntingan, dan Wilder Tayler dan James Ross
memberikan tinjauan legal dan kebijakan. Kemudian, Yolanda J. Revilla bertanggung-jawab
atas penyiapan dan persiapan manuskrip untuk penerbitannya.
Human Rights Watch sangat berterima kasih kepada para hakim dan staf di ICTR dan ICTY
karena telah menghasilkan dan menyelesaikan kasus-kasus hukum yang mereka tangani.
Human Rights Watch juga menyampaikan penghargaan kepada War Crimes Research Office
dan Human Rights Brief (seri ini telah menjadi sumber sangat berharga bagi Human Rights
Watch). Keduanya beroperasi di bawah Center for Human Rights and Humanitarian Law of
American University’s Washington College of Law.
3
KATA PENGANTAR
Buku ini memuat saripati dari jurisprudensi kasus-kasus hukum dalam Pengadilan Pidana
Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia (ICTY). Buku ini menyediakan ringkasan yang
padat dan mengena atau kutipan-kutipan yang tepat dan aktual dari putusan-putusan
Pengadilan. Semuanya disusun berdasarkan topiknya. Buku saripati ini berfokus pada kasus
hukum berkaitan dengan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang,
tanggung jawab individual, tanggung jawab komando, dan penghukuman. Topik-topik
tersebut tidaklah mengangkat semua isu yang muncul dalam sebuah kasus, semisal putusan
atau praktik mosi lainnya, dan hanya memasukkan putusan yang tersedia secara publik hingga
1 Oktober 2003. Banyak putusan yang dikutip berisi acuan kepada putusan lain atau
dokumen lain. Human Rights Watch tidak mereproduksi ulang semua itu di sini. Silahkan
mengacu kepada putusan resmi untuk acuan-acuan tambahan tersebut.
Buku saripati kasus-kasus hukum ICTY ini tidak berisi analisis atau komentar atas keputusan-
keputusan tersebut. Saripati (digest) merupakan alat referensi yang cepat untuk membantu
para praktisi dan peneliti sehingga mereka bisa membiasakan diri mereka dengan kasus-kasus
hukum yang memperlihatkan interpretasi terhadap Statuta dari ICTY (untuk kasus Rwanda,
lihat jili I). Saripati kasus-kasus hukum ini tidak dirancang sebagai pengganti bacaan atas
keputusan-keputusan aktual. Keputusan-keputusan dalam ICTY bisa didapatkan dalam
website http://www.un.org/icty/index.html, sementara untuk ICTR di:
http://www.ictr.org/.
4
DAFTAR ISI
RINGKASAN PUTUSAN TERHADAP TERDAKWA
DAFTAR KASUS
I. KEJAHATAN PERANG: PELANGGARAN BERAT TERHADAP KONVENSI
JENEWA 1949 (PASAL 2)
a) Statuta
b) Unsur-unsur umum pasal 2; tentang kejahatan
i) Terjadinya konflik bersenjata (unsur 1)
(1) Konflik bersenjata yang dijadikan prasyarat
(2) Definisi konflik bersenjata
(3) Durasi pelaksanaan hukum humaniter internasional
ii) Harus ada hubungan antara konflik dengan kejahatan yang didakwakan
(unsur ke-2)
iii) Konflik bersenjata harus berskala internasional (unsur ke-3)
(1) Definisi konflik bersenjata internasional
(2) Pengujian atas kontrol secara menyeluruh (Overall control test applies)
(3) Pengujian atas kontrol menyeluruh terpenuhi jika sebuah negara berperan
dalam mengorganisasi, mengkoordinasi atau merencanakan aksi militer
dari sebuah kelompok militer, serta membiayai, melatih dan melengkapi
atau menyediakan bantuan operasional
(4) Jangan hanya melihat lokalitas di mana kejahatan terjadi untuk
menentukan sebuah konflik berskala internasional
(5) Pelaksanaan
(a) Konflik antara Bosnia dan Herzegovina dan Kroasia
(b) Konflik antara Bosnia dan Herzegovina dan Republik Federal
Yugoslavia (FRY)
iv) Orang-orang atau harta benda yang harus “dilindungi” (unsur ke-4)
(1) Definisi orang-orang yang dilindungi
(2) Etnisitas atau hubungan yang substansial dan bukan nasionalitas formal
untuk menentukan status perlindungan (protected status)
5
(3) Orang-orang yang dilindungi dapat sama kebangsaaannya dengan pihak
yang menahan (captor)
(4) Definisi “di tangan Pihak yang berkonflik atau Penjajah”
c) Niat jahat (mental state/mens rea)
(i) Pengantar umum
d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)
i) Pembunuhan sengaja (willful killing)
(1) Definisi
(2) Niat jahat (mental state/mens rea)
ii) Penyiksaan atau tindakan kejam dan tidak manusiawi
(1) Penyiksaan
(2) Tindakan kejam dan tidak manusiawi
(a) Pengantar umum
(b) Perlakuan kejam
(c) Perlakuan tidak manusiawi
(d) Pelaksanaan
iii) Pemerkosaan (rape)
iv) Secara sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka serius terhadap
tubuh atau kesehatan
(1) Definisi
(2) Mensyaratkan adanya luka mental dan fisik serius, meski luka tersebut
tidak harus tetap atau tidak dapat disembuhkan
v) Penghancuran dahsyat terhadap harta benda tidak dijustifikasi karena
keterdesakan militer (military necessity)
vi) Pengurungan dan pemenjaraan tidak sah terhadap warga sipil
(1) Pengantar umum
(2) Tanggung jawab khusus bagi pihak penawan, bukan bagi pihak yang
terlibat, seperti pihak sipir penjara
(3) Tanggung jawab komandan kamp
vii) Pemindahan yang tidak sah
viii) Penahanan warga sipil
e) Lain-lain
6
i) Pendudukan (terkait dengan buruh sipil ilegal [unlawful labor of civillian],
pemindahan ilegal dan penghancuran harta benda)
(1) Di mana “pendudukan” itu relevan
(2) Definisi
(3) Pedoman untuk menentukan pendudukan (occupation)
(4) Hanya diterapkan di wilayah yang dikontrol oleh pihak yang melakukan
pendudukan
(5) Pengujian yang berbeda harus dilakukan berkaitan dengan individu, harta
benda dan hal-hal lainnya
II. KEJAHATAN PERANG: PELANGGARAN ATAS HUKUM ATAU
KEBIASAAN PERANG (PASAL 3)
a) Statuta
b) Pengantar umum
i) Pasal 3 Statuta berfungsi sebagai klausul residual, yang meliputi pelanggaran
serius terhadap hukum humaniter, yang tidak terdapat pada pasal-pasal lain
dalam Statuta
ii) Pasal 3 Statuta mencakup kejahatan konflik bersenjata internal dan
internasional
iii) Kondisi yang menentukan pelanggaran apa saja yang disebutkan Pasal 3
iv) Meliputi pelanggaran atas hukum humaniter internasional
v) Alasan mengapa Pasal 3 Umum juga termasuk
(1) Pasal 3 Umum adalah bagian dari hukum kebiasaan
(2) Pelanggaran atas Pasal 3 Umum merupakan pelanggaran serius
(3) Pasal 3 Umum berisi tanggung jawab kejahatan individual
(4) Pasal 3 Umum dapat diterapkan pada konflik bersenjata internasional
c) Unsur-unsur umum untuk kejahatan yang tertera pada Pasal 3
i) Harus terjadi konflik bersenjata, baik internal maupun konflik internasional
(unsur 1)
ii) Harus ada hubungan erat antara konflik bersenjata dengan kejahatan yang
dituduhkan (unsur ke-2)
(1) Kejahatan yang dilakukan pelaku harus terkait erat dengan peperangan
7
(2) Konflik bersenjata tidak harus menjadi penyebab kejahatan, tapi konflik
tersebut memainkan peran penting dalam pertikaian
(3) Tindak kejahatan dapat terjadi pada tempat yang jauh dari medan
pertempuran
iii) Unsur-unsur tambahan untuk Pasal 3 Umum; harus dilakukan terhadap
warga sipil atau harta milik milik warga sipil
iv) Niat jahat (mental state, mens rea)
(1) Pengantar umum
(2) Pembuktian atas niat atau motif yang diskriminatif tidak dipersyaratkan
d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)
i) Penyiksaan
(1) Definisi
(2) Larangan atas penyiksaan merupakan jus cogens
(3) Rasa sakit yang parah dan penderitaan harus terjadi (unsur ke-1)
(a) Rasa sakit permanen tidak harus menjadi syarat adanya penyiksaan
(b) Penderitaan mental dapat dikualifikasikan
(4) Niat jahat (mental state, mens rea): tindakan atau pembiaran tersebut
harus dimulai dengan niat (unsur ke-2)
(5) Harus ada maksud dan tujuan seperti yang dipersyaratkan (unsur ke-3)
(a) Tujuan yang dilarang tidak perlu merupakan tujuan paling
menentukan atau satu-satunya
(6) Peran pejabat publik tidak diperlukan
(7) Pelaksanaan
(a) Bentuk-bentuk tindakan yang termasuk dalam penyiksaan
(b) Pemerkosaan dan bentuk kekerasan seksual lain sebagai penyiksaan
ii) Pemerkosaan
iii) Perlakuan kejam
(1) Definisi
(2) Penderitaan mental lebih rendah dari tindak penyiksaan
(3) Tujuan yang dilarang (prohibited purpose) tidak dipersyaratkan
(4) Contoh-contoh
iv) Pembunuhan
(1) Definisi
8
(2) Perbandingan antara pembunuhan (murder) pada Pasal 3 dan
pembunuhan disengaja (wilfull killing) pada Pasal 2
(3) Bukti jasad korban tidak dipersyaratkan
(4) Bunuh diri sebagai pembunuhan (suicide as murder)
v) Kekerasan terhadap hidup seseorang
vi) Kekejaman terhadap martabat manusia
(1) Definisi
(2) Terjadi penghinaan yang intens sehingga korban merasa diperlakukan
sewenang-wenang
(3) Penghinaan harus terjadi secara nyata dan serius
(4) Pembunuhan bukan pelanggaran atas martabat manusia
(5) Niat jahat (mental state, mens rea)
(6) Tujuan yang dilarang tidak dipersyaratkan
(7) Niat atau motif diskriminatif tidak dipersyaratkan
(8) Contoh-contoh
vii) Penyanderaan
viii) Penghancuran sewenang-wenang tidak diakibatkan karena keterdesakan
militer
ix) Perampasan (plunder)
(1) Definisi
(2) Termasuk perampasan skala besar dan juga dilakukan oleh tentara secara
individu
(3) Perampasan harus mengakibatkan konsekuensi berat bagi korban atau
nilai uang secara signifikan
(4) Penerapan
(5) Perampasan termasuk “penjarahan”
(6) Pelaksanaan
x) Penghancuran atau perusakan disengaja terhadap lembaga-lembaga
keagamaan dan pendidikan
xi) Serangan tidak sah terhadap warga sipil dan objek-objek sipil
xii) Mempekerjakan buruh secara tidak sah
(1) Definisi
(2) Niat jahat (mental state, mens rea)
9
xiii) Perbudakan
III. GENOSIDA (PASAL 4)
a) Statuta
b) Definisi
c) Niat jahat (mental state, mens rea): niat menghancurkan, baik keseluruhan
maupun sebagian, terhadap sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama
tertentu
i) Pengantar umum
ii) Niat menghancurkan, baik keseluruhan maupun sebagian
(1) Harus terjadi serangan terhadap sebuah kelompok, dan niat untuk
berpartisipasi atau melaksanakan serangan
(2) Meski penghancuran itu bukan tujuan sebenarnya, namun dapat dianggap
sebagai tujuan juga
(3) Penghancuran sebagian
(a) Bagian “penting” dari kelompok
(b) Bukti penghancuran terhadap kepemimpinan dapat dianggap sebagai
niat untuk menghancurkan “sebagian”
(c) Genosida hanya ditujukan pada wilayah geografis tertentu
(d) Pelaksanaan
(4) Tidak diperlukan persiapan panjang
(5) Membedakan niat dari motif
(6) Niat dapat diduga
(7) Tidak perlu ada kebijakan atau perencanaan, namun kedua hal itu dapat
menjadi faktor penting
iii) “Kebangsaan, kelompok etnis, ras atau agama, atau sejenisnya”
(1) “Sejenisnya (as such)”
(a) Korban dijadikan sasaran karena keanggotaan mereka dalam sebuah
kelompok
(b) Kelompok yang menjadi target, bukan individu
(2) Kelompok-kelompok yang dilindungi oleh Pasal 4
(a) Bangsa, kelompok etnis, ras atau agama
(b) Bukan kelompok politik
10
(c) Penghancuran budaya dan identitas tidak cukup untuk menunjukkan
terjadinya genosida, tapi dapat membantu untuk memperlihatkan
adanya niat untuk menghancurkan kelompok
(d) Evaluasi penggunaan kriteria subjektif: stigmatisasi oleh masyarakat
d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)
i) Pembunuhan terhadap anggota kelompok
ii) Menyebabkan luka parah dan tekanan mental terhadap anggota kelompok
iii) Secara sengaja mengakibatkan pada sebuah kelompok kondisi kehidupan
yang diperhitungkan akan membawa kehancuran fisik baik seluruh maupun
sebagian
iv) Melakukan tindakan yang mencegah kelahiran dalam kelompok
(memandulkan)
v) Memindahkan anak-anak secara paksa dari satu kelompok ke kelompok lain
IV. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (PASAL 5)
a) Statuta
b) Unsur-unsur umum
i) Statuta mensyaratkan bahwa harus terjadi konflik bersenjata (unsur ke-1)
(1) Apakah ada kaitan antara tindakan tersangka dengan konflik bersenjata
ii) Harus terjadi “serangan” (unsur ke-2)
(1) “Serangan” dapat, tapi tidak harus selalu, menjadi bagian dari “konflik
bersenjata”
(2) “Serangan” dan “konflik bersenjata” adalah dua hal yang berbeda
(3) “Serangan” tidak terbatas pada penggunaan senjata
(4) Pada saat melakukan serangan, tidak relevan bahwa pihak lain melakukan
pembalasan (reciprocity of obligations)
iii) Tindakan tersangka harus merupakan bagian dari serangan (unsur ke-3)
iv) Serangan harus “langsung terhadap penduduk sipil” (unsur ke-4)
(1) “Langsung ditujukan”
(a) Serangan dikatakan “langsung ditujukan” terhadap penduduk sipil
apabila mereka (penduduk sipil) merupakan objek utama dari
serangan tersebut
11
(b) Tidak semua penduduk yang menjadi sasaran serangan; serangan
dapat ditujukan kepada “sebagian besar penduduk”
(2) Penduduk sipil
(a) Harus ‘didominasi’ oleh penduduk sipil
(b) Kehadiran orang-orang yang terlibat dalam konflik tidak dapat
menghilangkan karakter sipil dalam populasi tersebut
(c) Penduduk sipil termasuk orang-orang yang pernah menjadi anggota
gerakan perlawanan dan mantan tentara namun tidak lagi terlibat
dalam peperangan
(d) Menafsirkan warga sipil secara bebas
(e) Melindungi populasi masyarakat sipil
v) Serangan harus terjadi secara “meluas atau sistematik” (unsur ke-5)
(1) Meluas atau sistematik
(2) Yang dilihat adalah serangan, bukan tindakan tersangka, yang meluas
atau sistematik
(3) Meluas
(4) Sistematik
(5) Faktor-faktor yang dijadikan penilaian dalam definisi meluas atau
sistematik
(6) Jika kejahatan tunggal terkait dengan serangan meluas atau sistematik,
maka kejahatan itu dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan
(7) Apakah ada rencana atau kebijakan
vi) Niat jahat (mental state, mens rea) (unsur ke-6)
(1) Niat
(a) Pelaku harus mempunyai niat untuk melakukan kejahatan-kejahatan
utama (underlying offences)
(b) Motif tidak relevan
(c) Tidak relevan jika tersangka memiliki niat untuk melancarkan
serangan secara langsung terhadap populasi sasaran atau korban
(d) Niat diskriminatif hanya disyaratkan untuk penganiayaan
(2) Pengetahuan
12
(a) Pelaku harus secara sadar terlibat dalam serangan meluas dan
sistematik, yaitu memiliki pengetahuan atas serangan dan mengetahui
kaitan antara tindakannya dengan konteks serangan tersebut
(b) Alternatif lain, pelaku harus mengetahui latar belakang serangan dan
mengambil risiko atas keterlibatan dirinya dalam serangan tersebut.
(c) Pengetahuan atas rincian serangan tidak dipersyaratkan
(d) Tersangka tidak harus menyetujui konteks serangan
(e) Faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan dalam konteks pengetahuan
c) Kejahatan-kejahatan utama
i) Pembunuhan
(1) Unsur-unsurnya
(2) “Pembunuhan” (murder) pada Pasal 5 Statuta, dibandingkan dengan
Pasal 2 dan 3
(3) Bukti jasad korban tidak dipersyaratkan
(4) Bunuh diri sebagai pembunuhan
(5) “Pembunuhan” (murder) bukan “pembunuhan terencana” (premeditated
murder) merupakan kejahatan utama
(6) Niat jahat (mental state, mens rea)
ii) Pemusnahan (extermination)
(1) Pengantar umum
(2) Jumlah orang yang terlibat
(3) Pemusnahan harus ditujukan kepada kumpulan orang (kolektif), tidak
langsung kepada orang-per orang
(4) Niat jahat (mental state, mens rea)
(a) Niat diskriminatif tidak dipersyaratkan
iii) Perbudakan
(1) Actus reus dan mens rea
(2) Indikasi (indicia) perbudakan (enslavement)
(a) Memenjarakan seseorang tidak cukup untuk digolongkan sebagai
perbudakan
(b) Durasi perbudakan merupakan salah satu faktor, namun bukan
elemen yang dipersyarakan
13
(3) Kurangnya perlawanan bukan merupakan tanpa persetujuan; kurangnya
persetujuan bukan salah satu unsur perbudakan
iv) Pemenjaraan
v) Penyiksaan
(1) Unsur-unsur
(2) Persyaratan terjadinya luka parah atau penderitaan
(a) Pemerkosaan sering kali berdampak pada luka parah atau penderitaan
(3) Persyaratan tujuan yang dilarang
(a) Tujuan yang dilarang tidak harus mendominasi atau tidak harus
menjadi satu-satunya tujuan
(4) Niat jahat (mental state, mens rea)
(5) Peran dari pejabat negara tidak diperlukan
vi) Pemerkosaan
vii) Penganiayaan
(1) Tindakan yang dipersyaratkan (actus reus)
(a) Tingkat kejahatan penganiayaan harus sama tingkat keseriusannya
dengan kejahatan lain yang tertera pada Pasal 5
(b) Kejahatan penganiayaan termasuk kejahatan yang diatur dalam sub-
klausul Pasal 5, yaitu kejahatan yang dapat di jumpai dibeberapa Pasal
Statuta, dan tidak secara tegas dilarang dalam Statuta
(c) Menilai penganiayaan pada konteksnya, dengan melihat efek
kumulatifnya
(d) Penganiayaan harus menyebabkan kerusakan fisik dan mental atau
melanggar kebebasan individu
(e) Kejahatan tunggal dapat dianggap sebagai penganiayaan jika niat
diskriminatif dapat dibuktikan
(f) Contoh-contoh penganiayaan
a. Penghancuran terhadap bangunan atau harta benda yang menjadi
hajat hidup (means of subsistence)
b. Penahanan tidak sah atas warga sipil
c. Deportasi atau pemindahan paksa atas warga sipil
d. Pelecehan, penghinaan dan kekerasan psikologis
e. Pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan
14
f. Pelanggaran politik, sosial dan ekonomi secara umum
g. Pelanggaran hak atas hidup, kebebasan dan keamanan seseorang;
hak untuk tidak diperlakukan seperti budak atau penghambaan;
hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan kejam, tidak manusiawi
atau diperlakukan rendah atau penghukuman; dan hak untuk tidak
ditangkap, ditahan atau diasingkan secara sewenang-wenang
h. Contoh-contoh lain
i. Tindakan-tindakan yang tidak termasuk dalam penganiayaan
(2) Niat jahat (mental state, mens rea)
(a) Niat diskriminatif menjadi persyaratan dalam kejahatan penganiayaan
(b) Persyaratan niat jahat (mental state, mens rea) dalam penganiayaan
lebih tinggi tingkatannya dari kejahatan terhadap kemanusiaan lain,
tapi lebih rendah dari genosida
(c) Niat ditujukan kepada kelompok sasaran, bukan perorangan
(d) Niat diskriminatif dapat dilihat sebagai kriteria positif dan negatif
(e) Niat diskriminatif dapat dilihat dari kesadaran untuk terlibat dalam
sebuah sistem atau kerja sama yang mendiskriminasi atas dasar
politik, ras dan agama
(f) Tidak ada persyaratan untuk kebijakan diskriminatif
(g) Pengetahuan bahwa seseorang bertindak diskriminatif tidak cukup;
niat diskriminatif harus ada
(h) Niat untuk mendiskriminasi tidak harus merupakan niat utama, tapi
harus niat yang signifikan
(i) Niat diskriminatif harus berhubungan dengan tindakan-tindakan yang
dikategorikan sebagai penganiayaan, bukan pada serangannya
(j) Konsekuensi atas tindakan diskriminatif dipersyaratkan
viii) Tindakan tidak manusiawi lainnya
(1) Pengantar Umum
(2) Unsur-unsur
(a) Tingkat keseriusan/kepelikan kejahatan
(b) Luka serius dan mental
(c) Niat jahat (mental state, mens rea)
(3) Setara dengan “perlakuan kejam” berdasarkan Pasal 3
15
(4) Pelaksanaan
V. PERTANGGUNGJAWABAN INDIVIDU (PASAL 7 (1))
a) Statuta
b) Pengantar Umum
i) Tanggung jawab pidana para atasan menurut Pasal 7 (1)
ii) Tumpang tindih Pasal 7 (1) dan Pasal 7 (3)
c) Perencanaan, Penghasutan, Pemberian Perintah dan Pelaksanaan
i) Niat jahat (mental state, mens rea) secara umum
ii) Perencanaan
(1) Seseorang yang melakukan kejahatan tidak dapat dimintai
pertanggunjawaban atas perencanaan kejahatan tersebut
(2) Bukti tidak langsung dapat membuktikan perencanaan
iii) Penghasutan
(1) Pengantar umum
(2) Tindakan (actus reus)
(a) Membutuhkan kontribusi yang jelas terhadap tindakan orang lain,
tetapi tidak perlu menunjukkan bahwa kejahatan tidak akan terjadi
tanpa keterlibatan terdakwa
(b) Baik kejahatan positif dan pembiaran dapat merupakan penghasutan,
seperti mengekspresikan dan mengimplikasikan tindakan tersebut
(3) Niat jahat (mental state mens rea)
iv) Memerintahkan
(1) Pengantar umum
(2) Perintah dapat secara eksplisit atau implisit, dan dibuktikan secara tidak
langsung
(3) Perintah tidak harus diberikan secara langsung kepada orang lain yang
melakukan kejahatan
(4) Tidak perlu syarat adanya hubungan formal atasan-bawahan
(5) Tidak relevan apakah ilegalitas perintah terlihat secara nyata
v) Pelaksanaan
(1) Pengantar umum
(2) Tindakan (actus reus)
16
(a) Melibatkan individu langsung atau keterlibatan fisik
(b) Kemungkinan alternatif, membiarkan terjadinya kejahatan
(c) Bisa terdapat lebih dari satu pelaku pada kejahatan yang sama
(3) Niat jahat (mental state, mens rea)
d) Pemberian bantuan dan persekongkolan (aider and abettor)
i) Pengantar umum
ii) Berdasarkan hukum kebiasaan internasional
iii) Pendefinisian
iv) Tindakan (actus reus)
(1) Memerlukan bantuan praktis, dorongan atau dukungan moral
(2) Bisa terjadi melalui pembiaran
(3) Harus mempunyai dampak penting terhadap perbuatan kejahatan
(4) Kehadiran di tempat kejadian peristiwa
(a) Tidak menentukan, kecuali ia menggambarkan hal yang signifikan
yang mendorong dampak atau dampak yang substansial dan langsung
(b) Contoh
(c) Kedudukan otoritas dan kehadiran dalam beberapa kesempatan bisa
diinterpretasikan sebagai pembuktian dari tingkah laku
(d) Kehadiran fisik yang aktual tidak diperlukan
(5) Bantuan dapat terjadi sebelum, selama atau setelah tindakan dilakukan
(6) Pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan akan bertanggung-jawab
atas semua yang dihasilkan secara alamiah dari tindakannya
v) Niat jahat (mental state, mens rea): niat dan pengetahuan
(1) Pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan berniat memberi atau
memfasilitasi bantuan, atau menyadari bahwa bantuan tersebut dapat
menimbulkan konsekuensi yang dapat diduga sebelumnya
(2) Pelaku tidak harus mengetahui secara persis niat kejahatan atau tindak
kejahatan yang dilakukannya
(3) Tidak perlu ada niat utama, namun harus mengetahui unsur-unsur
penting pidana, termasuk mental state-nya
(4) Pelaku harus tahu bahwa tindakannya akan menyokong perbuatan pidana
(5) Niat jahat (mental state, mens rea) dapat disebabkan dari keadaan, seperti
posisi kewenangan dan kehadiran
17
(6) Niat jahat (mental state, mens rea) bagi pemberi bantuan dan pelaku
persekongkolan terhadap penganiayaan
vi) Perbedaan antara “pemberian bantuan dan persekongkolan,” dan
“keterlibatan dalam kejahatan yang dilakukan bersama” (sebagai contoh,
bertindak sesuai dengan rancangan atau tujuan)
(1) Pengantar umum
(2) Unsur-unsur yang membedakan
(3) Niat jahat yang membedakan
(4) Penerapan: penyiksaan
e) Kejahatan yang dilakukan bersama/doktrin tujuan bersama
i) Pengantar umum
ii) Tiga kategori dalam dokrin tujuan bersama
iii) Unsur-unsur
(1) Perlu untuk menetapkan adanya pengaturan atau kesepahaman
(a) Pengaturan tidak harus diekspresikan (diungkapkan), tetapi dapat
terjadi secara diam-diam
(b) Rencana atau tujuan bersama dapat terjadi tanpa persiapan
(extemporaneously)
(2) Tingkat partisipasi dalam kejahatan yang dilakukan bersama harus
signifikan
(a) Tingkat partisipasi pemberi bantuan (aider) dan pelaku
persekongkolan (abettor): harus memiliki dampak substansial
(3) Tanggung jawab kejahatan di luar tujuan bersama (common purpose)
terjadi jika dapat diprediksi bahwa kejahatan tersebut akan dilakukan dan
terdakwa bersedia menanggung risikonya
(4) Apakah partisipasi dalam kejahatan yang dilakukan bersama memiliki
hubungan yang erat dengan tindak kejahatan atau accomplice liability
iv) Niat jahat (mental state, mens rea)
(1) Jika kejahatan dilakukan dalam kejahatan yang dilakukan bersama
(a) Harus membuktikan common state of mind (niat) co-perpetrator
(b) Harus membuktikan bantuan yang diberikan kepada aider atau
abettor
18
(2) Jika kejahatan terjadi di luar kelompok, harus dibuktikan bahwa terdakwa
menyadari bahwa kejahatan selanjutnya (further crime) merupakan
konsekuensi yang mungkin terjadi dan karena itu, dengan kesadarannya,
ia berpartisipasi dalam kejahatan bersama tersebut
(3) Apabila kejahatan memerlukan niat khusus, maka niat tersebut harus
dibuktikan
v) Perbedaan antara partisipasi dalam sebuah kejahatan yang dilakukan
bersama, dengan bantuan atau persekongkolan jahat dalam kejahatan yang
dilakukan bersama
(1) Pengantar umum
(2) Perbandingan niat jahat (mental state, mens rea)
(3) Jika seorang aider atau abettor menjadi co-perpetrator
(4) Penerapan: partisipasi dalam pelaksanaan sebuah fasilitas penahanan
VI. PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO (PASAL 7(3))
a) Statuta
b) Unsur-unsur
i) Eksistensi hubungan atasan-bawahan (unsur 1)
(1) Hubungan atasan-bawahan
(a) Hubungan dengan bawahan bisa terjadi secara langsung atau tidak
langsung, termasuk struktur informal komando
(b) Hubungan antara komandan dan bawahannya tidak harus diformalkan
(c) Analisis atas realitas kekuasaan/tugas yang diemban
(d) Pemberian perintah atau pelaksanaan kekuasaan yang secara umum
dimiliki oleh seorang komandan militer merupakan indikasi kuat
seorang individu sebagai komandan, tapi bukan semata-mata faktor
yang relevan
(e) Kontrol efektif yang diperlukan: kemampuan untuk menghalangi dan
menghukum kejahatan
(f) Unit militer sementara atau komando ad hoc tidak mengesampingkan
hubungan
(g) Kontrol dapat terjadi baik secara de jure ataupun de facto
(h) Tingkat kewenangan de facto harus ekuivalen dengan otoritas de jure
19
(2) Dua atau lebih atasan bisa dimintai pertanggungjawaban
(3) Penerapan untuk pemimpin sipil: pengujian atas kontrol efektif
ii) Niat jahat (mental state, mens rea) (unsur ke-2)
(1) Pengetahuan aktual
(a) Pengetahuan dapat dibuktikan melalui bukti langsung atau bukti tidak
langsung (circumstantial evidence)
(b) Bukti yang diperlukan untuk menunjukkan adanya pengetahuan
aktual bisa berbeda tergantung pada posisi kewenangan
(c) Makin jauh jarak fisik petinggi dari (tempat) berlangsungnya tindak
kejahatan, makin banyak indikasi tambahan yang diperlukan
(d) Indikasi pengetahuan lain
(2) Alasan untuk tahu
(a) Analisis apakah atasan mempunyai informasi yang dapat
menempatkannya pada catatan
(b) Komandan yang menjalankan ketentuan tersebut dibedakan dari
situasi di mana ketiadaan pengetahuan merupakan kelalaian
(negligence).
iii) Kegagalan atasan untuk mengambil tindakan penting dan semestinya untuk
mencegah atau menghukum (unsur ke-3)
(1) Pertimbangan yang disyaratkan terbatas pada apa yang tampak jelas,
tetapi komandan harus menggunakan semua cara dalam lingkup
kewenangannya
(2) Taraf kontrol yang efektif menentukan apa yang diperlukan/disyaratkan
(3) Tidak boleh menggantikan kegagalan mencegah kejahatan dengan
menghukum bawahan setelahnya
(4) Jika tugas memanggil
(5) Apa yang disyaratkan dalam kewajiban menghukum
(6) Atasan tidak harus orang yang menjatuhkan hukuman, tapi merupakan
seseorang yang harus mengambil langkah penting sebagai bagian dari
proses pendisiplinan
(7) Atasan sipil juga mempunyai kewajiban yang sama
c) Tanggung jawab atasan bukan merupakan tanggung jawab langsung (strict
liability)
20
VII. PEMBELAAN AFIRMATIF (AFFIRMATIVE DEFENSES)
a) Paksaan tidak mendatangkan sebuah pembelaan lengkap
b) Penolakan prinsip tu quoque: argumentasi bahwa kejahatan serupa yang
dilakukan timbal balik bukan merupakan sebuah pembelaan yang sah
c) Keterlibatan dalam operasi defensif bukan sebuah pembelaan (a defense)
d) Pengurangan tanggung jawab mental (diminished mental responsibility) bukan
merupakan sebuah pembelaan
VIII. JURISDIKSI
a) Pengantar umum
IX. ETIKA
a) Menghina pengadilan
i) Pengadilan mempunyai “jurisdiksi inheren” untuk mengatasi masalah
penghinaan
ii) Penghinaan yang dilakukan dengan menghadapkan kasus yang diketahui
salah secara materil dan memanipulasi saksi
b) Imparsialitas hakim
i) Dua paket tes untuk memeriksa bias pengadilan
ii) Tuntutan yang tinggi untuk menegakkan praduga ketidakberpihakan
iii) Kualifikasi yang memainkan peran penting untuk memenuhi sebuah
persyaratan tidak boleh bias atau tidak imparsial, jika tidak ditemukan bukti
memberatkan yang jelas
iv) Penerapan
(1) Hakim Mumba bertindak sebagai perwakilan Komisi PBB untuk Status
Perempuan tidak dapat dijadikan alasan diskualifikasi
(2) Keanggotaan Hakim Benito sebagai Dewan Pengawas Dana PBB untuk
bantuan para Korban Penyiksaan, tidak dapat dijadikan alasan untuk
diskualifikasi
v) Hakim tidak didiskualifikasi dari dengar kesaksian atas dua atau lebih
pengadilan terhadap hal-hal yang di luar rangkaian kejadian yang sama
21
X. PENUNTUTAN (CHARGING), PENDAKWAAN (CONVICTION) DAN
PENGHUKUMAN (SENTENCING)
a) Tuntutan dan Dakwaan Kumulatif
i) Tuntutan kumulatif yang diperbolehkan
ii) Dakwaan kumulatif didasarkan pada kejahatan yang sama (same conduct);
yang diperbolehkan hanya jika kejahatan tersebut melibatkan unsur materil
yang berbeda
iii) Apabila kejahatan tidak berbeda secara materil, maka akan didakwa dengan
ketentuan yang lebih khusus (specific provision)
iv) Pelaksanaan
v) Dakwaan kumulatif akan berkonsekuensi pada tambahan penghukuman
b) Penghukuman/penalti
i) Instrumen yang mengatur tentang penalti
(1) Statuta ICTY, Pasal 24: Penalti
(2) Aturan 101 tentang Hukum Acara dan Pembuktian, ICTY
ii) Pengantar umum
(1) Faktor-faktor penghukuman
(2) Penghukuman yang merefleksikan berat-ringannya kejahatan
(3) “Prinsip totalitas”/diskresi dalam menjatuhkan putusan yang global,
bersamaan, berkaitan, atau percampuran antara penghukuman bersamaan
dan berkaitan (concurence and consecutive sentences)
(a) Penerapan
(4) Tujuan penghukuman
(a) Penjeraan (deterrence) dan ganti rugi (retribution)
(b) Penjeraan tidak boleh dimaksudkan sebagai tujuan utama
(c) Rehabilitasi merupakan faktor yang relevan, tapi tidak berperan
penting
(d) Pencelaan publik (public reprobation) dan stigmatisasi
(5) Konsistensi penghukuman; penghukuman yang terindividualisasi
(a) Konsistensi penghukuman
(b) Sebuah penghukuman tidak boleh berubah-ubah (capricious) atau
berlebihan (excessive)
(c) Penghukuman harus dijatuhkan kepada individu (individualized)
22
(d) Tidak boleh diberlakukan “rezim hukuman” (penal regime) dalam
penghukuman
(e) Faktor-faktor yang menentukan mengapa penghukuman berbeda
dapat diterapkan untuk jenis kejahatan yang sama
(6) Mempertimbangkan praktik penghukuman di bekas negara Yugoslavia:
dapat dijadikan pertimbangan, tapi tidak untuk mengkontrol
penghukuman
(a) Praktik penghukuman dalam negeri, selain yang diterapkan oleh
pengadilan di bekas Negara Yugoslavia, tidak dijadikan acuan utama
(7) Urutan kejahatan
(a) Apakah genosida merupakan kejahatan yang paling serius
(b) Apakah terdapat perbedaan antara tingkat keseriusan kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang
(c) Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa kejahatan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa harus dihukum lebih berat dari
kejahatan yang tidak menghilangkan nyawa
(8) Penghukuman dapat lebih lama jika terjadi kesalahan kasat mata
(discernible error)
(9) Masa penangguhan penahanan harus dihitung sebagai masa tahanan
(10) Harus memerintahkan untuk menjalankan penghukuman pada hari
dijatuhkannya penghukuman tersebut (judgement)
(11) Pengadilan dapat merekomendasikan penghukuman minimal sebelum
adanya keringanan hukuman (commutation) atau pengurangan
hukuman (sentence reduction)
(12) Faktor-faktor yang menilai berat-ringannya perkara
(a) Pengantar umum
(b) Berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan di bawah ketentuan Pasal
7(3)
(c) Pelaku dalam usaha kejahatan bersama dibandingkan dengan pelaku
utama
(13) Penghukuman harus merefleksikan peran signifikan pihak pelaku
(14) Bahaya ganda terhadap penghukuman
(15) Diskresi untuk menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup
23
iii) Faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan
(1) Pengantar umum
(2) Beban pembuktian
(3) Faktor-faktor yang memberatkan
(a) Posisi terdakwa
(b) Partisipasi aktif dan langsung
(c) Peran sebagai bagian dari pelaku (fellow-perpetrator)
(d) Niat atau pola pikir yang diskriminatif
(e) Keikutsertaan yang disengaja, suka rela, suka atau entusias dalam
tindak kejahatan
(f) Persiapan dan motif
(g) Taraf kekejaman bagaimana kejahatan dilakukan
(h) Karakter seksual, tingkat kekerasan, dan kadar ketidakmanusiawian
dari tindakan kejahatan, dan kerentanan para korban
(i) Status korban, dan dampak kejahatan terhadap mereka
(j) Partisipasi aktif atasan dalam kejahatan yang dilakukan bawahannya
(k) Pembuktian tanggung jawab pada Pasal 7(1) dan 7(3)
(l) Usia korban yang masih muda, jumlah korban dan pengulangan
kejahatan
(m) Perpanjangan periode waktu selama kejahatan dilakukan
(n) Besaran (magnitude) kejahatan dan skala peran terdakwa
(o) Tahanan sipil
(p) Karakter terdakwa
(q) Sifat kejahatan secara umum
(r) Terdakwa yang tidak memberikan kesaksian bukan sebuah faktor
yang memberatkan
(4) Faktor yang meringankan
(a) Pengantar umum
(b) Kerja sama terdakwa
(c) Pengakuan bersalah termasuk penyesalan dan rekonsiliasi
(d) Paksaan/tekanan yang melawan hukum (duress)
(e) Partisipati tidak langsung atau terpaksa
24
(f) Kelemahan mental untuk bertanggung-jawab (diminished mental
responsibility)
(g) Menyerahkan diri secara suka rela (voluntary surrender)
(h) Tindakan pasca-konflik
(i) Usia
(j) Kondisi pribadi/keluarga
(k) Karakter terdakwa
(l) Kondisi yang sakit-sakitan: hanya pada kasus tertentu
(m) Bantuan terhadap para tahanan atau korban
(n) Karakter yang lemah bukan merupakan faktor yang meringankan
XI. LAIN-LAIN
a) Keringan yang diberikan sebelum keputusan (prior decisions)
i) Sidang Banding harus mengikuti keputusan Pengadilan sebelumnya,
mengutamakan kewajiban utama atau alasan kuat yaitu untuk kepentingan
keadilan
ii) Keputusan Sidang Banding terikat dengan Sidang Pengadilan
(iii) Keputusan Sidang Pengadilan tidak terikat dengan putusan lainnya
b) Ketidakmasukakalan adalah ujian bagi tinjauan banding terhadap temuan-
temuan faktual Majelis Pengadilan
c) Prinsip “persamaan kesempatan” (equality of arms)
d) Hak istimewa pengacara-klien tidak meliputi pernyataan saksi pembelaan
sebelumnya: Sidang Pengadilan akan memerintahkan keterbukaan (keterbukaan)
e) Uji untuk penerimaan pengakuan bersalah (guilty pleas)
i) Apakah ada dasar fakta yang mencukupi untuk kejahatan dan partisipasti
terdakwa dalam kejahatan tersebut dan apakah unsur-unsur yang dihadirkan
memperkuat kejahatan yang diakui
ii) Pengakuan bersalah harus dilakukan secara suka rela, sadar dan tegas
iii) Suka rela
iv) Sadar
v) Tegas
INDEKS ALFABET
25
RINGKASAN PUTUSAN TERHADAP TERDAKWA
Zlatko Aleksovski adalah komandan pada penjara (prison facility) di Kaonik, wilayah dekat
Busovaca, Bosnia dan Herzegovina. Ia dituduh melakukan pelanggaran hukum atau custom of
war, yaitu serangkaian kebiadaban atas martabat manusia, berkaitan dengan tanggung-
jawabnya sebagai individu dan atasan (superior). Sidang Banding(The Appeals Chamber)
membantah kesimpulan Sidang Pengadilan (Trial Chamber) bahwa terdakwa tidak
bertanggung-jawab atas pelanggaran terhadap para narapidana di luar kompleks penjara dan
(Sidang Banding) menyatakan bahwa Aleksovski juga bertanggung-jawab atas pelanggaran
yang dilakukan oleh Dewan Pertahanan Kroasia (Croatian Defense Council/HVO) di luar
penjara serta menyatakan bahwa ia bersalah karena telah membantu dan bersekongkol (aiding
and abetting) dalam perkara ini. Sidang Banding (Appeals Chamber) menaikkan hukumannya
menjadi 7 tahun penjara.
Jenderal Tihomir Blaskic adalah mantan komandan pada Dewan Pertahanan Kroasia
(Croatian Defense Council/HVO). Ia didakwa atas serangkaian kekejaman yang dilakukannya
terhadap kaum muslim Bosnia antara bulan Mei 1992 dan Januari 1994 di Bosnia dan
Herzegovina, khususnya di wilayah Lembah Lasva. Dalam kapasitasnya sebagai komandan
angkatan Bosnia Kroasia, Balskic didakwa melakukan 6 (enam) jenis pelanggaran HAM berat
seperti yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, Pasal 2 Statuta ICTY (Pengadilan Pidana
Internasional untuk Negara Bekas Yugoslavia); 11 (sebelas) jenis pelanggaran atas kebiasaan
perang, di mana Penuntut menarik satu dakwaannya; dan 3 (tiga) jenis kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity), antara lain, penganiayaan (persecution), serangan ilegal
terhadap penduduk sipil dan harta benda mereka, menyandera warga sipil, pembunuhan
dengan sengaja (willful killing), secara sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka badan
yang serius, pembunuhan, perlakuan tidak manusiawi, serta penghancuran dan perampasan
harta benda penduduk sipil. Blaskic dijatuhi hukuman sampai 45 tahun penjara.
Mario Cerkez adalah mantan komandan brigade angkatan bersenjata Bosnia Kroasia
(HVO). Ia didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap
26
hukum atau kebiasan perang (laws or customs of war) dan pelanggaran berat terhadap Konvensi
Jenewa 1949. Cerkez dijatuhi hukuman 5 (lima) tahun penjara.
Zejnil Delalic didakwa oleh Sidang Pengadilan (Trial Chamber) melakukan 12 (duabelas) jenis
pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 dan pelanggaran terhadap hukum atau aturan
perang. Keputusan itu disetujui oleh Sidang Banding (Appeals Chamber).
Hazim Delic adalah wakil komandan kamp penjara (prison camp) dekat kota Celebici di pusat
Bosnia dan Herzegovina. Ia didakwa melakukan serangkaian pelanggaran berat terhadap
Konvensi Jenewa 1949. Dalam kapasitasnya sebagai wakil kamp Celebici, ia bertanggung-
jawab terhadap pembunuhan, penyiksaan, penyerangan seksual, pemukulan dan tindakan-
tindakan lain yang ditujukan kepada para tahanan seperti perlakuan kejam dan tidak
manusiawi. Korban-korbannnya adalah tahanan Bosnia Serbia di kamp Celebici. Sidang
Banding (Appeals Chamber) menjatuhkan hukuman terhadap Delic selama 18 (delapan belas)
tahun penjara.
Damir Dosen adalah pemimpin pengawan (guard shift) pada Detasemen Sabotase ke-10
tentara Republik Srpska (VRS), yang membunuh ratusan laki-laki sipil muslim dari Srebrenika
di pertanian kolektif Pilika. Ia dinyatakan bersalah karena telah melakukan pelanggaran
terhadap hukum atau kebiasaan perang dan dihukum 5 (lima) tahun penjara.
Anto Furundzija adalah komandan lokal pada unit khusus polisi militer pada Dewan
Pertahanan Kroasia (Croatian Defense Council)/HVO, dan dikenal sebagai “Jokers”. Ia didakwa
melakukan dua jenis pelanggaran atas hukum atau aturan perang, sebagai salah satu pelaku
penyiksaan dan membantu serta bersekongkol melakukan serangkaian kekerasan terhadap
martabat pribadi (outrages of personal dignity), termasuk pemerkosaan. Furundzija dihukum 10
(sepuluh) tahun penjara pada putusan pertama dan 8 (delapan) tahun penjara pada putusan
akhir, dan harus segera menjalankannya. Sidang Bandingmemperkuat tuduhan dan putusan
tersebut.
Goran Jelisic dinyatakan bersalah atas 15 (lima belas) tuduhan pelanggaran atas kejahatan
terhadap kemanusiaan dan 16 (enam belas) tuduhan pelanggaran atas hukum atau kebiasaan
perang yang terkait dengan pembunuhan, pemukulan, perampasan atas kepemilikan pribadi
27
di wilayah Municipal Brcko di Barat Daya Bosnia dan Herzegowina pada bulan Mei 1992.
Sidang Pengadilan mendakwa Jelisic melakukan 1 (satu) jenis pelanggaran genosida di mana
ia mengaku tidak bersalah pada proses persidangan. Sidang Banding (Appeals Chamber)
menyatakan bahwa meski Sidang Pengadilan (Trial Chamber) melakukan kesalahan dalam
menerapkan standard berdasarkan Aturan 98 bis sehingga menyebabkan terjadinya kekeliruan
penilaian atas kejadian genosida, namun tidak tepat untuk membalik dan membatalkan (remit)
kasus tersebut selanjutnya. Oleh karena itu, Sidang Banding (Appeals Chamber) mendukung
hukuman yang dijatuhkan oleh Sidang Pengadilan (Trial Chamber) terhadap Jelisic selama 40
(empatpuluh) tahun penjara.
Drago Josipovic adalah seorang tentara HVO. Ia didakwa oleh Sidang Pengadilan atas
penganiayaan, pembunuhan, dan tindakan tidak manusiawi seperti kejahatan terhadap
kemanusiaan yaitu serangan terhadap warga muslim Bosnia di Ahmici, yang dilakukannya
pada bulan April 1993. Ia dijatuhi hukuman 10, 15, dan 10 tahun penjara untuk berbagai
tindak kejahatan yang dilakukannya, dan menjalani hukuman selama 15 (lima belas) tahun
penjara. Sidang Banding menyetujui permohonan bandingnya dan mengurangi hukumannya
menjadi 12 (duabelas) tahun penjara.
Dragan Kolundzija adalah pemimpin pengawal di Kamp Keraterm sejak awal Juni sampai
25 Juli 1992. Ia dinyatakan bersalah atas penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan dijatuhi hukuman selama 3 (tiga) tahun penjara.
Dario Kordic adalah pemimpin regional Serikat Demokrasi Kroasia (HDZ) di Pusat Bosnia
dengan kewenangan khusus di Lembah Lasva. Ia didakwa melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan, pelanggaraan terhadap hukum dan aturan perang, serta pelanggaran berat
terhadap Konvensi Jenewa 1949. Ia dihukum selama 25 (duapuluhlima) tahun penjara atas
dakwaan tersebut.
Milojica Kos adalah warga sipil yang dimobilisasi untuk bekerja sebagai pegawai cadangan
dan ditugaskan sebagai pemimpin pengawal di kamp Omarska. Ia didakwa oleh hakim atas
penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembunuhan serta
penyiksaan sebagai pelanggaran atas hukum atau kebiasaan perang. Kejahatan tersebut
28
dilakukan di wilayah Prijedor, antara tanggal 26 Mei sampai 30 Agustus 1992, khususnya di
wilayah kamp Omarska. Ia dijatuhi hukuman selama 6 (enam) tahun penjara.
Radovir Kovac berperang di Republik Srpska selama konflik bersenjata di Municipal Foca di
Bosnia dan Herzegovina dan ia juga adalah anggota unit militer yang sebelumnya dikenal
sebagai “unit Dragan Nikolic”. Ia didakwa melakukan perbudakan dan pemerkosaan yang
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan penghinaan terhadap martabat pribadi yang
melanggar hukum atau kebiasaan perang. Kejahatan yang dilakukan Kovac merupakan bagian
dari serangan terhadap warga sipil non-Serbia yang dilakukan secara sistematik termasuk
serangan khusus terhadap perempuan Muslim yang ditahan di tempat-tempat seperti Sekolah
Kalinovic, SMU Foca, dan Gelanggang Olahraga Partizan, di mana korban diperlakukan
secara tidak manusiawi, seperti diperkosa berkali-kali. Kovac dijatuhi hukuman selama 20
(duapuluh) tahun penjara. Sidang Bandingmenguatkan keputusan Sidang Pengadilan (Trial
Chamber).
Radislav Krstic adalah Kepala Staf Kesatuan Angkatan Bersenjata Drina di Republik Sprska
(VRS) dan menjadi Komandan pada Kesatuan tersebut selama Bosnia Serbia mengambil alih
“rumah aman” PBB di Srebrenika pada bulan Juli 1995. Ia dituduh melakukan genosida,
pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan,
dan dijatuhi hukuman selama 46 (empat puluh enam) tahun penjara.
Milorad Krnojelac adalah mantan kepala penjara (sipir) pada Foca Kazneno-Popravni Dom
(KP Dom), yaitu penjara besar yang terletak di kota Foca, di wilayah timur Bosnia dan
Herzegovina, di mana terdapat sejumlah besar kaum laki-laki non-Serbia ditahan selama
periode waktu yang panjang. Ia didakwa melakukan serangkaian kejahatan terhadap
kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum atau aturan perang, dan dijatuhi hukuman
tunggal selama 7,5 (tujuh setengah) tahun penjara.
Dragoljub Kunarac adalah kepala unit mata-mata (reconnaissance) yang merupakan bagian
dari kelompok Taktis Foca (Foca Tactical Group). Ia didakwa melakukan pemerkosaan dan
penyiksaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran terhadap
hukum atau kebiasaan perang. Kejahatan yang dilakukan Kunarac merupakan bagian dari
serangan sistematik terhadap warga sipil non-Serbia yang meliputi serangan khusus terhadap
29
perempuan Muslim yang ditahan di tempat-tempat seperti Sekolah Kalinovic, SMU Foca,
dan Gelanggang Olah raga Partizan, di mana mereka diperlakukan secara tidak manusiawi,
seperti diperkosa berkali-kali. Kunarac dijatuhi hukuman tunggal selama 28 (dua puluh
delapan) tahun penjara. Sidang Banding menguatkan keputusan Sidang Pengadilan (Trial
Chamber).
Mirjan Kupreskic adalah tentara HVO. Ia didakwa oleh Sidang Pengadilan (Trial Chamber)
atas tindakan penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atas perannya
dalam serangan terhadap warga Muslim di desa Ahmici, Bosnia. Ia dijatuhi hukuman 8 tahun
penjara. Sidang Banding menolak dakwaan tersebut dengan alasan bahwa dakwaan yang
ditimpakan kepadanya tidak sempurna (defective indictment) karena tidak terdapat bukti yang
memadai atas dakwaan tersebut. Sidang Banding kemudian memerintahkan pelepasannya
sesegera mungkin.
Vlatko Kupreskic adalah pegawai pelaksana kepolisian (police operation officer), yang didakwa
oleh Sidang Pengadilan atas penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,
atas perannya pada serangan pada bulan April 1993 terhadap warga Muslim di desa Ahmici,
Bosnia. Ia dihukum 6 (enam) tahun penjara. Sidang Banding menolak dakwaan tersebut atas
dasar tidak cukupnya bukti (evidentiary grounds), dan memerintahkan pelepasannya sesegera
mungkin.
Zoran Kupreskic adalah tentara HVO; ia didakwa oleh hakim pengadilan pertama atas
penganiayaan yang dilakukannya dan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atas
perannya dalam serangan terhadap warga Muslim di desa Ahmici, Bosnia pada bulan April
1993. Ia dijatuhi hukuman selama 10 tahun. Sidang Banding (Appeals Chamber) menolak
dakwaan ini atas dasar tidak sempurnanya dakwaan yang ditimpakan kepadanya (defective
indictment) dan tidak ada bukti memadai atas dakwaan tersebut, dan kemudian memerintahkan
pelepasannya sesegera mungkin.
Miroslav Kvocka merupakan mantan polisi profesional yang ditugaskan di markas
kepolisian Omarska sebagai Wakil Komandan Kamp tersebut. Ia didakwa oleh Sidang
Pengadilan (Trial Chamber) atas penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan pembunuhan serta penyiksaan sebagai pelanggaran terhadap hukum dan
30
aturan perang di wilayah Prijedor antara tanggal 26 Mei sampai 30 Agustus 1992, secara
khusus di Kamp Omarska. Ia dijatuhi hukuman selama 7 (tujuh) tahun penjara.
Esad Landzo adalah penjaga kamp penjara (prison camp) di dekat kota Celebici di Pusat
Bosnia dan Herzegowina. Ia melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949,
di mana dalam kapasitasnya sebagai penjaga Kamp Celebici ia bertanggung-jawab atas
pembunuhan, penyiksaan, penyerangan seksual, pemukulan dan tindak kekerasan lain
terhadap tahanan Bosnia Serbia di Kamp Celebici antara lain perlakuan kejam dan tidak
manusiawi. Sidang Banding menguatkan putusan hakim pengadilan pertama dan
menjatuhkan hukuman selama 15 (limabelas) tahun penjara.
Vinko Martinovic adalah komandan kelompok anti teroris Vinko Skrobo, yang merupakan
sub-Unit Batalion Convicts (KB), yaitu kelompok militer dari Dewan Pertahanan Kroasia
(HVO). Ia didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap
hukum dan kebiasaan perang, dan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949. Ia
dihukum tunggal selama 18 (delapan belas) tahun penjara.
Zdravko Mucic adalah komandan kamp tahanan dekat kota Celebici di Pusat Bosnia dan
Herzegovina. Ia dituduh melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949.
Dalam kapasitasnya sebagai komandan pada kamp Celebici, ia bertanggung-jawab terhadap
serangkaian kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, penyerangan seksual, pemukulan dan
tindak kekerasan lain, seperti perlakuan kejam dan tidak manusiawi terhadap para tahanan
Bosnia Serbia di kamp Celebici. Sidang Banding mendukung putusan Sidang Pengadilan yang
menjatuhkan hukuman 9 (sembilan) tahun penjara bagi Mucic.
Mladen Naletilic adalah komandan kelompok militer Batalion Convict (KB), yang
merupakan bagian dari Dewan Pertahanan Kroasia (HVO). Ia didakwa melakukan kejahatan
terhadap kemanusiaan, pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang, dan pelanggaran
berat terhadap Konvensi Jenewa 1949. Ia dijatuhi hukuman tunggal selama 20 (duapuluh)
tahun penjara.
Dragon Papic didakwa oleh Sidang Pengadilan (Trial Chamber) atas tuduhan penganiayaan
yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
31
Biljana Plavsic adalah anggota Dewan Presiden Republik Srpska, dan setelah konflik ia
menjadi Presiden Republik Srpska. Ia dinyatakan bersalah atas tuduhan penganiayaan yang
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dijatuhi hukuman 11 (sebelas) tahun
penjara.
Dragoljub Prcac adalah pensiunan kepolisian bagian kejahatan yang dimobilisasi oleh
Markas Polisi Omarska dan teknisi administrasi untuk komandan di kamp Omarska. Ia
didakwa oleh Sidang Pengadilan atas tuduhan melakukan penganiayaan yang merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan, dan penyiksaan yang melanggar hukum atau
kebiasaan perang di wilayah Prijedor antara tanggal 26 Mei dan 30 Agustus 1992, dan secara
khusus di kamp Omarska. Ia dijatuhi hukuman 5 (lima) tahun penjara.
Mladjo Radic adalah seorang polisi profesional yang ditugaskan di Markas Polisi Omarska
sebagai pemimpin para penjaga di Kamp itu. Ia didakwa oleh Sidang Pengadilan (Trial
Chamber) atas penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan
dan penyiksaan sebagai pelanggaran atas hukum atau aturan perang di wilayah Prijedor, dan
secara khusus kamp Omarska, antara tanggal 26 Mei sampai 30 Agustus 1992. Ia dijatuhi
hukuman 20 (dua puluh) tahun penjara.
Vladimir Santic adalah komandan polisi dan komandan para “Joker”. Ia didakwa oleh
Sidang Pengadilan atas serangkaian penganiayaan, pembunuhan dan tindakan tidak
manusiawi yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atas perannya dalam serangan
terhadap warga Muslim Bosnia di desa Ahmici. Ia dihukum 25, 15, dan 10 tahun untuk tindak
kejahatan yang dilakukannya, dan divonis 25 (dua puluh lima) tahun penjara dan harus
menjalankan hukumannya selama itu. Sidang Banding mengabulkan permohonan bandingnya
dan menurunkan hukuman terhadapnya menjadi 18 (delapan belas) tahun penjara.
Dusko Sikirica adalah komandan keamanan (security) pada Kamp Keraterm antara tanggal 14
Juni sampai 27 Juli 1992. Ia dinyatakan bersalah karena melakukan penganiayaan yang
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dihukum 15 (lima belas) tahun penjara.
32
Milan Simic adalah Presiden Dewan Eksekutif dalam Majelis Municipal Bosanski Samac dan
sebagai anggota staf Krisis Serbia untuk kota Bosanski Samac. Ia dinyatakan bersalah atas dua
jenis penyiksaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dihukum 5 (lima)
tahun penjara.
Dusco Tadic adalah mantan Presiden Pengurus Lokal (local board) Partai Demokratik Serbia
(SDS) di Kozarac. Ia didakwa melakukan 7 jenis pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa
1949, 6 jenis pelanggaran terhadap hukum atau aturan perang dan 7 jenis kejahatan terhadap
kemanusiaan. Kejahatan ini dilakukan pada tahun 1992 di Distrik Prijedor, khususnya di kamp
Omarska, Keraterm, Trnopolje di Kozarac dan di wilayah Jaskici dan Sivci. Tadic divonis 20 (dua
puluh) tahun penjara.
Stevan Todorovic adalah mantan Kepala Polisi di Bosanski Samac. Ia dinyatakan bersalah atas
penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dihukum 10 (sepuluh)
tahun penjara.
Mitar Vasiljevic adalah anggota minoritas Serbia di Visegrad. Ia mengorganisir kelompok
kecil paramiliter yang dikenal sebagai Elang Putih (White Eagles), yang bekerjasama dengan
unit kepolisian dan militer yang bermarkas di Visegrad. Ia didakwa melakukan penganiayaan
yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembunuhan yang merupakan
pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang. Ia dijatuhi hukuman tunggal selama 20
(duapuluh) tahun penjara.
Zoran Vukovic adalah anggota angkatan bersenjata Bosnia Serbia yang berperang melawan
Angkatan Bersenjata Bosnia di Municipal Foca, Bosnia dan Herzegovina, dan anggota unit
militer yang sebelumnya dikenal sebagai “Unit Nikolic Dragan”. Ia dituduh melakukan
pemerkosaan dan penyiksaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan
pelanggaran terhadap hukum atau aturan perang. Kejahatan yang dilakukan oleh Vukovic
merupakan bagian dari serangan sistematik terhadap warga sipil non-Serbia termasuk target
khusus kepada perempuan Muslim, yang ditahan di tempat-tempat seperti sekolah Kalinovik,
SMU Foca dan Gelanggang olahraga Partizan, di mana mereka diperlakukan secara tidak
wajar termasuk pemerkosaan berkali-kali. Vukovic dihukum tunggal selama 12 (dua belas)
tahun penjara, dan Sidang Banding mendukung keputusan tersebut.
33
Zoran Zigic adalah warga sipil yang dikontrak jangka pendek (short term) yang dipekerjakan
sebagai tenaga cadangan penyedia logistik di kamp Keraterm. Ia diijinkan memasuki Kamp
Omarska, Keraterm dan Trnopolje secara reguler sebagai warga sipil. Ia didakwa oleh Sidang
Pengadilan atas serangkaian penganiayaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan
dan pembunuhan, penyiksaan serta perlakuan kejam yang merupakan pelanggaran terhadap
hukum atau kebiasaan perang. Kejahatan tersebut dilakukannya di wilayah Prijedor, antara
tanggal 26 Mei sampai 30 Agustus 1992. Zigic dihukum selama 25 (dua puluh lima) tahun
penjara.
34
DAFTAR KASUS YANG TERCAKUP
Penuntut v. Aleksovski, Kasus No. IT-95-14/1 (Sidang Banding), 24 Maret 2000.
Penuntut v. Aleksovski, Kasus No. IT-95-14/1 (Sidang Pengadilan ), 25 Juni 1999.
Penuntut v. Blaskic, Kasus No. IT-95-14 (Sidang Pengadilan ), 3 Maret 2000
Penuntut v. Erdemovic, Kasus No. IT-96-22 (Sidang Banding), Joint Separate Opinion Hakim
McDonald dan Hakim Vohrah, 7 Oktober 1997.
Penuntut v. Erdemovic, Kasus No. IT-96-22 (Sidang Pengadilan ), 5 Maret 1988.
Penuntut v. Furundzija, Kasus No. IT-95-17/1 (Sidang Banding ), 21 Juli 2000.
Penuntut v. Furundzija, Kasus No. IT-95-17/1 (Sidang Pengadilan ), 10 Desember 1998
Penuntut v. Jelisic, Kasus No. IT-95-10 (Sidang Banding), 5 Juli 2001.
Penuntut v. Jelisic, Kasus No. IT-95-10 (Sidang Pengadilan ), 14 Desember 1999.
Penuntut v. Kordic dan Cerkez, Kasus No. IT-95-14/2 (Sidang Pengadilan ), 26 Februari 2001.
Penuntut v. Kordic dan Cerkez, Kasus No. IT-95-14/2 (Bureau Decision), 4 Mei 1998, dan (Sidang
Pengadilan ), 21 Mei 1998.
Penuntut v. Krnojelac, Kasus No. IT-97-25 (Sidang Pengadilan ), 15 Maret 2002
Penuntut v. Krstic, Kasus No. IT-98-33, (Sidang Pengadilan ), 2 Agustus 2001.
Penuntut v. Kunarac, Kovac dan Vokovic, Kasus No IT-96-23 dan IT-96-23/1 (Sidang Banding),
12 Juni 2002.
Penuntut v. Kunarac, Kovac dan Vokovic, Kasus No. IT-96-23 dan IT-96-23/11 (Sidang
Pengadilan ), 22 Februari 2001.
Penuntut v. Kupreskic dkk., Kasus No. IT-95-16 (Sidang Pengadilan ), 14 Januari 2000.
Penuntut v. Kvocka dkk., Kasus No. IT-98-30/1 (Sidang Pengadilan ), 2 November 2001.
Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21 (Sidang Banding), 8 April 2003.
Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21 (Sidang Banding), 20 Februari 2001.
Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21 (Sidang Banding), 16 November 1998.
Penuntut v. Naletilic dan Martinovic, Kasus No. IT-98-34 (Sidang Banding), 31 Maret 2003.
Penuntut v. Plasvic, Kasus No. IT-00-39&40/1, (Sidang Banding), 27 Februari 2003.
Penuntut v. Rajic, Kasus No. IT-95-12 (Sidang Banding), Review to the Indictment pursuant to Rule
61 pada Hukum Acara dan Pembuktian, 13 September 1996
Penuntut v. Sikirica dkk., Kasus No. IT-95-8 (Sidang Pengadilan ), 3 November 2001
Penuntut v. Sikirica dkk., Kasus No. IT-95-8 (Sidang Pengadilan), 3 September 2001.
35
Penuntut v. Simic, Kasus No. IT-95-9/2-S (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002.
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), Decision on the Defence Motion for
Interlocutory Appeal in Jurisdiction, 2 Oktober 1995.
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), 31 Januari 2000.
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), 26 Januari 2000.
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT -94-1 (Sidang Banding), 15 Juli 1999
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT -94-1 (Sidang Pengadilan), 11 November 1999.
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT -94-1 (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997.
Penuntut v. Torodovic, Kasus No. IT -95-9/1 (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001.
Penuntut v. Vasiljevic, Kasus No. IT -98-32-T (Sidang Pengadilan), 29 November 2002.
36
I. KEJAHATAN PERANG: PELANGGARAN BERAT TERHADAP KONVENSI
JENEWA 1949 (PASAL 2)
a) Statuta
Statuta ICTY, Pasal 2:
“Pengadilan Internasional harus memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang
melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi
Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, terhadap seseorang atau harta benda (property) yang
dilindungi oleh pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa yang terkait dengan pelanggaran-
pelanggaran di bawah ini:
pembunuhan dengan sengaja (wilful killing);
penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi;
secara sengaja mengakibatkan penderitaan berat atau luka serius atau membahayakan
kesehatan;
penghancuran secara besar-besaran atas harta benda secara tidak sah dan sewenang-wenang
dan dilakukan bukan karena alasan keterdesakan militer;
memaksa tahanan perang atau warga sipil untuk terlibat dalam peperangan;
secara sengaja mencabut hak-hak tahanan perang atau warga sipil atas pengadilan yang adil
(fair trial);
deportasi atau transfer tidak sah atau penahanan ilegal atas warga sipil;
menyandera warga sipil.”
b) Unsur-unsur umum pasal 2; tentang kejahatan
Penuntut v. Naletilic dan Martinovic, Kasus No. IT-98-34 (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003,
Paragraf 176: “Pasal 2 Statuta mengatur tentang pelanggaran berat atas Konvensi-Konvensi
Jenewa 1949. Penerapan Pasal 2 Statuta ini mensyaratkan beberapa hal, yaitu: konflik
bersenjata harus terjadi; ada hubungan antara konflik dengan kejahatan yang dituduhkan;
konflik bersenjata harus berskala internasional; dan orang-orang atau harta benda yang
37
menjadi korban pelanggaran harus didefinisikan sebagai unsur yang ‘dilindungi’ dalam
Konvensi-Konvensi Jenewa.”
i) Terjadinya konflik bersenjata (unsur 1)
(1) Konflik bersenjata yang dijadikan prasyarat
Penuntut v. Kordic dan Cerkez, Kasus No. IT-95-14/2 (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001,
Paragraf 22: “Pasal 2 dan 3 Statuta mengatur tentang hukum perang, terutama tentang pra-
kondisi dalam pelaksanaan Pasal ini berkenaan dengan konflik bersenjata di wilayah di mana
kejahatan yang dituduhkan terjadi.”
(2) Definisi konflik bersenjata
Penuntut v. Kunarac, Kovac, dan Vokovic, Kasus No. IT-96-23 dan IT-96-23/1 (Sidang Banding),
12 Juni 2002, Paragraf 56: “Sebuah ‘konflik bersenjata’ terjadi apabila terdapat kontak
bersenjata antara Negara atau aksi kekerasan bersenjata antara pemerintah yang berwenang
dengan kelompok bersenjata terorganisir, atau antara kelompok-kelompok tersebut di dalam
sebuah Negara.” Lihat juga Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), keputusan
tentang the Defence Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction, 2 Oktober 1995, Paragraf 70
(sama).
(3) Durasi pelaksanaan hukum humaniter internasional
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), Decision in the Defence Motion for
Interlocutory Appeal on Jurisdiction, 2 Oktober 1995, Paragraf 70: “Hukum humaniter
internasional diterapkan sejak awal terjadinya konflik bersenjata dan diperpanjang selama
gencatan bersenjata sampai kesepakatan damai tercapai; atau dalam kasus konflik internal,
hukum humaniter internasional diterapkan hingga tercapainya perjanjian damai (peaceful
settlement).”
ii) Harus ada hubungan antara konflik dengan kejahatan yang didakwakan
(unsur ke-2)
38
Kasus Kordic dan Cerkez (Sidang Pengadilan ), 26 Februari 2001, Paragraf 32: “[U]ntuk
memberi kualifikasi terhadap sebuah kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hukum
humaniter internasional yang diatur berdasarkan Pasal 2 dan 3 Statuta, maka dakwaan yang
dibuat harus memiliki hubungan yang cukup antara kejahatan dengan konflik bersenjata.
Dalam kaitan ini, Sidang Banding harus menyatakan bahwa: Meskipun konflik tidak terjadi
(di wilayah khusus) pada waktu dan tempat di mana kejahatan yang didakwakan terjadi ...
hukum humaniter internasional masih dapat diterapkan. Jelas bahwa kejahatan yang
didakwakan memiliki hubungan dengan peperangan yang terjadi di wilayah lain yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.”
Penuntut v. Blaskic, Kasus No. IT-95-14 (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 69.
“[P]enting untuk mendapatkan bukti yang menunjukkan kaitan antara kejahatan yang
didakwakan dengan konflik bersenjata sebagai sebuah kesatuan. Ini tidak berarti bahwa
kejahatan harus seluruhnya dilakukan di wilayah geografis yang sama di mana konflik
bersenjata terjadi pada saat tertentu. Untuk menunjukkan hubungan antara keduanya, maka
yang harus dilakukan adalah membuktikan bahwa ‘kejahatan yang didakwakan sangat dekat
berhubungan dengan kekerasan yang terjadi di wilayah lain, yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik.’”
iii) Konflik bersenjata harus berskala internasional (unsur ke-3)
(2) Definisi konflik bersenjata internasional
Penuntut v. Tadic, Kasus No.IT-94-1 (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf. 84: “Konflik
bersenjata dikategorikan berskala internasional jika terjadi antara dua atau lebih Negara.
Tambahan pula, kasus konflik bersenjata internal yang terjadi dalam sebuah Negara dapat
menjadi konflik internasional (atau, tergantung keadaannya, dipandang memiliki karakter
internasional dalam sebuah konflik bersenjata internasional) jika (i) Negara lain melakukan
intervensi dengan mengirimkan pasukannya, atau altermatif lain jika (ii) beberapa pihak yang
terlibat dalam konflik bersenjata bertindak atas nama Negara lain.”
39
40
Kardic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 66: “Dalam kasus Tadic,
Sidang Banding melakukan review secara luas (ekstensif) terhadap hukum yang dapat
diterapkan untuk menentukan bagaimana sebuah konflik bersenjata internal menjadi konflik
internasional sesuai dengan ketentuan pada Pasal 2 Statuta. Sidang Banding menyatakan: ‘...
dalam kasus konflik bersenjata internal yang terjadi di luar wilayah suatu Negara, konflik
tersebut dapat menjadi konflik internasional (atau, tergantung keadaannya, dipandang
memiliki karakter internasional dalam sebuah konflik bersenjata internasional) jika (i) Negara
lain melakukan intervensi dalam konflik tersebut dengan mengirimkan pasukannya, atau
alternatif lain jika (ii) beberapa pihak yang terlibat dalam konflik bertindak atas nama Negara
lain.’”
(2) Pengujian atas kontrol secara menyeluruh (Overall control test applies)
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 146: “Sidang Banding menyimpulkan bahwa
dalam hukum internasional umum (general international law), harus dilakukan tiga macam
pengujian untuk menentukan apakah seseorang telah bertindak secara de facto sebagai organ
Negara. Dalam kasus terlibatnya seseorang sebagai bagian angkatan bersenjata atau unit
militer, seperti kasus kelompok terorganisir lainnya, pengujian tersebut dilakukan dalam
kendali negara).”1
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 111: Kasus Tadic
“memperlihatkan bahwa sebuah konflik bersenjata internal merupakan konflik internasional
jika Negara lain melakukan ‘kontrol menyeluruh’ terhadap kekuatan militer salah satu pihak
yang terlibat dalam konflik.”
Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21 (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 26:
“Pengujian atas ‘kontrol menyeluruh’ yang dilakukan pada Putusan Banding atas kasus Tadic
1 Untuk pembahasan tentang pengujuan atas “kontrol/kendali efektif”, “instruksi khusus”, dan “masuknya individu ke dalam organ Negara dan bertindak sebagai bagian dari struktur Negara” yang dilakukan dalam kasus Tadic, lihat Tadic (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraph 115-137, 141-144.
... merupakan kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan eksistensi konflik bersenjata
internasional.”
Penuntut v. Aleksovski, Kasus No. IT-95-14/1 (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 134,
145: “[P]engadilan Banding menyetujui Putusan atas kasus Tadic, di mana melalui analisis
yang mendalam, ditemukan bahwa tidak ada alasan untuk menyangkal kebenaran tersebut;
dan pengujian atas ‘kontrol menyeluruh’ seperti yang dilakukan pada Putusan atas kasus
Tadic, merupakan hukum yang dapat diterapkan (applicable law) dalam kasus ini. Pengujian atas
‘kontrol menyeluruh’ mengharuskan adanya penilaian secara keseluruhan terhadap unsur-
unsur yang dikendalikan, dan penentuan atas pengujian tersebut didasarkan pada tingkat
kendali yang telah ditetapkan.”
(3) Pengujian atas kontrol menyeluruh terpenuhi jika sebuah negara berperan
dalam mengorganisasi, mengkoordinasi atau merencanakan aksi militer
dari sebuah kelompok militer, serta membiayai, melatih dan melengkapi
atau menyediakan bantuan operasional
Tadic (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 137, 138: “[K]ontrol oleh Negara terhadap unit
angkatan bersenjata atau milisi atau paramiliter dapat merupakan bentuk kontrol secara
menyeluruh (dan harus terdiri lebih dari sekadar bantuan keuangan atau perlengkapan atau
pelatihan militer). Persyaratan ini tidak boleh terlalu menyimpang dari perintah khusus yang
dikeluarkan oleh Negara atau petunjuk yang diberikan kepada masing-masing operasi militer.
Berdasarkan hukum internasional, pihak yang merencanakan seluruh operasi atas unit-unit
yang menjadi kendalinya, memilih targetnya, atau memberikan instruksi khusus atas operasi
militer yang dilakukan, dan pelanggaran-pelanggaran atas hukum humaniter internasional
yang didakwakan, tidak harus merupakan pihak yang berwenang. Kontrol yang dimaksud
dalam hukum internasional dapat dianggap terjadi jika sebuan negara (atau dalam konteks
konflik bersenjata, pihak yang terlibat dalam konflik), berperan dalam pengorganisasian,
koordinasi atau merencanakan aksi militer atas kelompok militer, dan membiayai, melatih dan
melengkapi atau menyediakan bantuan operasional kepada kelompok tersebut. Tindakan
yang dilakukan oleh kelompok atau anggota kelompok tersebut dapat dianggap sebagai
tindakan organ Negara secara de facto, tanpa mempertimbangkan ada atau tidaknya intruksi
khusus oleh Negara yang melakukan kontrol atas masing-masing tindakan yang dilakukan.”
41
“[J]ika Negara yang melakukan kontrol tersebut adalah bukan Negara di mana konflik
bersenjata terjadi atau di mana unit-unit militer melakukan aksi militernya, maka pembuktian
secara meluas dan mendalam harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa Negara benar-
benar melakukan kontrol atas unit atau kelompok tertentu, di mana negara tidak hanya
membiayai kebutuhan operasionalnya, tetapi juga mengarahkan atau membantu perencanaan
aksi militer mereka.” Lihat juga kasus Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan ), 31 Maret
2003, Paragaraf 184.
(4) Jangan hanya melihat lokalitas di mana kejahatan terjadi untuk
menentukan sebuah konflik berskala internasional
Tadic, (Sidang Banding), Decision on the Defence Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction, 2
Oktober 1995, Paragraf 70: “[P]engadilan humaniter internasional terus diterapkan di seluruh
wilayah Negara yang terlibat perang, atau dalam kasus konflik internal, di seluruh wilayah
yang berada di bawah kontrol salah satu pihak yang terlibat perang, dengan tidak
mempertimbangkan apakah di wilayah tersebut terjadi peperangan atau tidak.”
Kardic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 70: “[A]dalah salah jika
menafsirkan keputusan Sidang Banding dalam kasus Tadic bahwa pembuktian konflik dalam
lokalitas tertentu sebagai konflik internasional harus berasal dari wilayah geografis khusus di
mana kejahatan dilakukan, dan bukti aktivitas tersebut berada di luar wilayah yang tidak
termasuk dalam tafsiran tersebut.”
Blakskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 64: “Dalam menentukan apakah konflik
bersenjata terjadi atau tidak, yang harus dilakukan adalah melihat keseluruhan wilayah di
mana konflik itu terjadi, dan bukan dengan cara sepotong-sepotong.”
(5) Pelaksanaan
(a) Konflik antara Bosnia dan Herzegovina dan Kroasia
Penuntut v. Rajic, Kasus No. IT-95-12 (Sidang Pengadilan), Tinjauan atas Dakwaan
berdasarkan Pasal No. 61 tentang Hukum Acara dan Pembuktian (Rules of Procedure and
42
Evidence), 13 September 1996, Paragraf 13, 26, dan 32: “[U]ntuk kepentingan pelaksanaan
pasal-pasal yang mengatur pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa IV, aksi militer yang
signifikan dan berlanjut oleh tentara Kroasia yang didukung oleh Bosnia Kroasia melawan
kekuatan pemerintah Bosnia di wilayah Bosnia Kroasia, cukup untuk memutuskan bahwa
konflik domestik antara Bosnia Kroasia dengan Pemerintah Bosnia merupakan konflik
internasional.” “[S]ekitar 5000 sampai 7000 Angkatan Bersenjata Kroasia (‘HOS’) berada di
wilayah Bosnia dan terlibat dalam konflik, baik langsung maupun melalui hubungan mereka
dengan Komunitas Kroasia Herceg-Bosnia (‘HB’) dan Dewan Pertahanan Kroasia (HVO),
berperang melawan Kekuatan Pemerintah Bosnia di Pusat dan Selatan Bosnia. [O]rang-orang
Bosnia Kroasia dapat (berdasarkan kesimpulan ini) dianggap sebagai agen Kroasia dalam
kaitannya dengan tindakan yang didakwakan, yaitu melakukan pelanggaran berat terhadap
pasal-pasal Konvensi Jenewa. Jelas bahwa Kroasia, yang membantu kaum Bosnia Kroasia ...
melibatkan pasukan bersenjatanya dalam konflik di wilayah Bosnia dan menjalankan kontrol
tingkat tinggi terhadap institusi militer dan politik Bosnia Kroasia.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 83-123: Sidang Pengadilan
menyimpulkan bahwa “berdasarkan intervensi yang dilakukan oleh Kroasia di BH (Republik
Bosnia dan Herzegovina)” terdapat “banyak bukti untuk menyatakan bahwa konflik tersebut
merupakan konflik internasional,” dam bahwa “keterlibatan Kroasia dalam mengkontrol
HVO dan HZHB (Komunitas Kroasia Herceg-Bosnia)” dan “intervensi tidak langsung”
Kroasia akan “memperkuat kesimpulan bahwa konsflik tersebut memang bersifat
internasional.” Sidang Pengadilan juga menemukan bahwa “Kroasia, khususnya mantan
Presiden Tudjman, berniat membagi Bosnia dan melakukan kontrol terhadap Kroasia Bosnia,
khususnya HVO, sehingga dapat dikatakan bahwa ia melakukan kontrol secara menyeluruh.
[H]ubungan erat antara Kroasia dan Kroasia Bosnia tidak berhenti dengan dibentuknya
HVO.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 109-146: Sidang Pengadilan
menyimpulkan bahwa isu yang terkait dengan kasus tersebut adalah: (a) Kroasia melakukan
intervensi dalam konflik bersenjata antara Muslim Bosnia dan Kroasia Bosnia di Bosnia dan
Herzegovina melalui tentaranya dan, kalau tidak, (b) Dewan Pertahanan Kroasia (HVO)
bertindak atas nama Kroasia. “Pengadilan menyimpulkan bahwa bukti-bukti atas kasus ini
43
telah terpenuhi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan ... untuk memasukkan konflik ini
menjadi konflik internasional.”
(b) Konflik antara Bosnia dan Herzegovina dan Republik Federal
Yugoslavia (FRY)
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 156, 162: “Terdapat cukup banyak fakta yang
membuktikan bahwa tentara Yugoslavia melakukan kontrol menyeluruh terhadap Angkatan
Bersenjata Serbia Bosnia (Bosnian Serb Force). Kontrol yang dilakukan tidak hanya dalam
bentuk bantuan finansial, logistik dan bantuan lainnya, tetapi yang lebih penting adalah
keterlibatannya dalam pengarahan umum (general direction), koordinasi dan pengawasan
terhadap aktivitas dan operasi VRS (Tentara Serbia dari Republik Bosnia dan
Herzegovina/Republik Sprska). Bentuk kontrol ini telah cukup memenuhi kriteria hukum
seperti yang ditetapkan oleh hukum internasional.” “[U]ntuk periode material atas kasus ini
(1992), Angkatan Bersenjata Republik Srpska bertindak di bawah kontrol dan atas nama FRY
(Republik Federal Yugoslavia {Serbia dan Montenegro}). Setelah tanggal 19 Mei 1992,
konflik bersenjata di Bosnia dan Herzegovina antara kaum Bosnia Serbia dan penguasa
Bosnia dan Herzegovina diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata internasional.” Lihat juga
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 87.
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 33, 48, 50: “Temuan Sidang
Pengadilan atas sifat konflik sebelum tanggal 19 Mei 1992 didasarkan pada fakta keterlibatan
langsung satu Negara di wilayah Negara lain. Dalam kasus Tadic, Sidang Banding
memutuskan bahwa konflik bersenjata ini merupakan konflik internasional, karena konflik
bersenjata ini terjadi di antara dua atau lebih Negara. Putusan ini mencerminkan posisi
tradisional dari hukum internasional. ...” “Meskipun Sidang Pengadilan tidak secara formal
menerapkan pengujian atas ‘kontrol menyeluruh’ yang terdapat dalam Putusan Banding Tadic,
... namun pertimbangan hukum Sidang Pengadilan dalam kasus ini (Mucic dkk.) secara
keseluruhan konsisten dengan jurisprudensi terdahulu (kasus Tadic).” “Sidang Pengadilan
akhirnya menyimpulkan, seperti dalam kasus Tadic, bahwa konflik bersenjata yang terjadi di
Bosnia dan Herzegovina setelah tanggal 19 Mei 1992 dapat dianggap sebagai konflik
internasional karena FRY tetap mengkontrol Angkatan Bersenjata Bosnia Serbia setelah
tanggal 19 Mei 1992. ... Pengadilan Banding setuju bahwa fakta-fakta yang didapat pada
44
Sidang Pengadilan pada kasus Mucic ini memenuhi persyaratan hukum (legal condition) seperti
yang terdapat dalam kasus Tadic.”
iv) Orang-orang atau harta benda yang harus “dilindungi” (unsur ke-4)
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan ), 31 Maret 2003, Paragraf 176: Persyaratan
keempat untuk pelaksanaan Pasal 2 Statuta adalah bahwa “orang-orang atau harta benda yang
menjadi subjek pelanggaran berat Konvensi Jenewa harus ‘dilindungi’.”
(2) Definisi orang-orang yang dilindungi
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf. 168: “Orang-orang yang dilindungi” adalah
mereka “yang tidak mendapatkan ... perlindungan diplomatik dari negaranya,” dan “bukan
merupakan subjek yang berada di bawah kontrol Negara di mana mereka berada.”
Dalam Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 145, disebutkan bahwa “[D]alam
situasi di mana penduduk sipil tidak memiliki perlindungan diplomatik dari Negaranya, maka
mereka harus diberikan status sebagai pihak yang dilindungi.”
Bandingkan dengan kasus Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf
147: “Pasal 4 Konvensi Jenewa IV mendefinisikan ‘orang yang dilindungi’ sebagai orang-
orang, yang pada saat itu, dan dalam keadaan apa pun juga, berada dalam konflik atau
pendudukan (occupation), dan juga pihak yang terlibat konflik atau Pihak Penjajah (Occupying
Power) yang berasal dari negara lain.”
(2) Etnisitas atau hubungan yang substansial dan bukan nasionalitas formal
untuk menentukan status perlindungan (protected status)
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 166-169; “[D]alam pendekatan hukum [untuk
menentukan perlindungan terhadap orang], dalam konteks konflik bersenjata internasional,
yang penting adalah adanya suatu hubungan substansial yang lebih dari ikatan formal.
Meskipun peperangan yang terjadi sebelumnya antara Negara-Negara yang mapan, namun
dalam konflik antar-etnis seperti yang terjadi di bekas Negara Yugoslavia, tuntutan Negara
45
baru dan etnisitas seringkali muncul selama konflik daripada nasionalitas (kebangsaan) dan
hal ini menjadi dasar dari dakwaan. Atau di lain pihak, etnisitasitas menjadi isu yang
menentukan (determinative) dari tuntutan kebangsaan. Dengan kondisi seperti ini, persyaratan
nasionalitas seringkali kurang tepat untuk menentukan orang-orang yang dilindungi.” Ini
merupakan “hubungan substantif antara pihak-pihak,” dan “bukan ... merupakan
karakterisasi hukum” mereka yang sedang memegang kendali. “[K]orban merupakan ‘pihak
yang dilindungi’ apabila mereka berada dalam kontrol tentara dari negara yang bukan
kebangsaannya,” dan mereka “menuntut (namun tidak memiliki perlindungan diplomatik)
negara (FRY) yang bertindak atas nama tentara Bosnia Serbia yang sedang bertikai.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 126-127: Sidang Pengadilan mendukung
putusan Sidang Banding atas kasus Tadic yang menyatakan bahwa “‘pendekatan hukum
memiliki relasi yang lebih penting daripada ikatan-ikatan fomal,’ ...” “Dalam konflik
bersenjata antar-etnis, latar belakang etnis seseorang dapat dianggap sebagai faktor yang
menentukan dalam memutuskan apakah kewarganegaraannya dapat digunakan untuk
menentukan statusnya sebagai korban yang dilindungi atau tidak.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 152: “[P]engadilan Banding
dalam kasus Tadic menyimpulkan bahwa ‘tuntutan terhadap pihak yang terlibat dan saling
berhubungan dalam konflik, dan dikontrol oleh Pihak yang menguasai wilayah pendudukan,
dianggap sebagai hal yang krusial.’ Dalam kasus tersebut, kebangsaan (nasionalitas) bukan hal
yang krusial dalam melakukan penuntutan terhadap salah satu pihak. [K]orban Muslim
Bosnia merupakan pihak yang dilindungi karena mereka tidak menuntut kaum Kroasia
Bosnia yang melakukan kontrol secara efektif terhadap mereka.”
(3) Orang-orang yang dilindungi dapat sama kebangsaaannya dengan pihak
yang menahan (captor)
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 81, 84: “[J]ika para korban memiliki
kebangsaan yang sama (berdasarkan hukum domestik) dengan pihak yang menahan mereka,
maka perlindungan Konvensi Jenewa yang didasarkan pada hukum nasional tersebut tidak
akan konsisten dengan tujuan Konvensi ini.” “Kebangsaan korban, sebagaimana tercantum
dalam Konvensi Jenewa IV tidak dapat dijadikan dasar formal dalam menentukan
46
perlindungan, namun penentuan ini dilakukan dengan mempertimbangkan hubungan
substansial serta perbedaan etnisitas korban dan pelaku, serta hubungannya dengan Negara
penjajah asal (foreign intervening State).”
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 151: “[D]alam keadaan tertentu, Pasal
4 Konvensi Jenewa IV dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi seseorang untuk
mendapatkan status perlindungan, meskipun kebangsaannya sama dengan para pelaku
(captors).”
(4) Definisi “di tangan Pihak yang berkonflik atau Penjajah”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 208: Pengadilan
menyatakan bahwa “penjelasan ‘di tangan pihak penjajah’ seperti yang terdapat pada Pasal 4
Konvensi Jenewa IV, mengacu pada orang-orang yang berada di wilayah yang dikendalikan
oleh pihak yang terlibat konflik atau pihak penjajah.”
c) Niat jahat (mental state/mens rea)
(i) Pengantar umum
Blaskic, (Sidang Pengadilan ), 3 Maret 2000, paragraf 152: “[M]ens rea mencakup seluruh
pelanggaran sebagaimana disebutkan Pasal 2 Statuta, yaitu meliputi niat jahat dan pembiaran
yang mungkin berkaitan dengan tindak kejahatan serius (serious criminal negligence).”
Lihat juga diskusi mengenai mens rea dalam kasus pembunuhan yang dilakukan dengan
sengaja (willful killing), Bagian (I)(d)(i)(2); mens rea untuk perusakan dahsyat atas harta benda
yang bukan didasarkan pada keterdesakan militer, Bagian (I)(d)(v); dan mens rea tentang
pemindahan ilegal (unlawful transfer), Bagian (I)(d)(vii), ICTY Digest.
d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)
i) Pembunuhan sengaja (willful killing)
47
(1) Definisi
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 229: “[D]alam kaitannya
dengan kejahatan pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (willful killing), actus reus –
kekerasan fisik yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa kejahatan tersebut benar-benar
terjadi – adalah berupa kematian korban sebagai akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh
terdakwa. [T]indakan yang dilakukan terdakwa harus menjadi penyebab utama kematian
korban, sebagai orang yang telah ‘dilindungi’.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 153: “Sebagai unsur materil kejahatan
tersebut (pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja), harus dibuktikan bahwa kematian
korban merupakan akibat dari tindakan yang dilakukan terdakwa. ...”
(2) Niat jahat (mental state/mens rea)
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 229: “Untuk memenuhi
persyaratan mens rea dalam pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (willful killing) harus
dibuktikan bahwa terdakwa berniat untuk membunuh, dan harus ditunjukkan bahwa
terdakwa berniat melakukan kejahatan yang mengakibatkan kematian korban atau
mengakibatkan luka fisik serius, yang secara jelas dapat dianggap bahwa terdakwa memahami
bahwa tindakan yang dilakukannya dapat berujung pada kematian.”
Lihat juga ulasan tentang pembunuhan berdasarkan pasal 3, Bagian (II)(d)(iv) dan
pembunuhan berdasarkan Pasal 5, Bagian (IV)(c)(i), ICTY Digest.
ii) Penyiksaan atau tindakan kejam dan tidak manusiawi
(1) Penyiksaan
Lihat ulasan tentang pembunuhan berdasarkan Pasal 3, Bagian (II)(d)(i),dan Pasal 5, Bagian
(IV)(c)(v), ICTY Digest.
(2) Tindakan kejam dan tidak manusiawi
48
(a) Pengantar umum
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 246: “[K]ejahatan,
berupa tindakan kejam dan tidak manusiawi merupakan klausul residual berdasarkan Pasal 2
dan Pasal 3 Statuta. Secara materil, unsur-unsur kejahatan ini sama.” “Tingkat penyiksaan
mental atau fisik harus dibuktikan, meskipun salah satu kejahatan yang dilakukan lebih
rendah tingkatannya daripada penyiksaan, dan ‘berada pada tingkatan yang sama dengan
kejahatan yang menyebabkan penderitaan berat dan luka serius terhadap kesehatan dan tubuh
korban.’”
(b) Perlakuan kejam
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan ), 31 Maret 2003, Paragraf 246: “Perlakuan kejam
didefinisikan sebagai: a) perbuatan atau kelalaian yang disertai niat, yang menyebabkan
penderitaan mental atau fisik atau luka serius atau serangan serius terhadap martabat manusia,
b) dilakukan terhadap seseorang yang tidak terlibat aktif dalam peperangan.”
(c) Perlakuan tidak manusiawi
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan ), 31 Maret Paragraf 246: “Perlakuan tidak
manusiawi didefinisikan sebagai: a) perbuatan atau kelalaian yang disertai niat, yang
menyebabkan penderitaan mental dan fisik yang serius atau luka atau serangan serius
terhadap martabat manusia, b) dilakukan terhadap seseorang yang dilindungi.” Lihat juga
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 26.
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 256: “[P]erlakuan tidak
manusiawi adalah tindakan atau perbuatan yang disertai niat, yang secara objektif merupakan
tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan bukan kecelakaan, yang menyebabkan
penderitaan mental atau fisik atau luka serius atau serangan serius terhadap martabat manusia.
[T]indakan tersebut harus secara langsung ditujukan kepada ‘seseorang yang berada dalam
perlindungan.’”
49
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 154-55: “‘[T]indakan tidak manusiawi
adalah tindakan atau perbuatan yang disertai niat, yang secara objektif merupakan tindakan
yang dilakukan dengan sengaja dan bukan kecelakaan, yang menyebabkan penderitaan mental
atau fisik atau luka serius atau serangan serius terhadap martabat manusia [...] Dengan
demikian, perlakuan tidak manusiawi adalah perlakuan yang disertai niat, yang bertentangan
dengan prinsip kemanusiaan, dan termasuk “pelanggaran berat” terhadap Konvensi Jenewa.
Oleh karena itu, tindakan yang digolongkan dalam Konvensi dan uraian-uraian tidak
manusiawi (inhuman), atau tidak konsisten dengan prinsip kemanusiaan, termasuk contoh-
contoh perbuatan, dapat digolongkan sebagai perlakuan tidak manusiawi.’” “[K]ategori
tindakan tidak manusiawi tidak hanya tindakan seperti penyiksaan (torture) atau perbuatan
yang secara sengaja mengakibatkan penderitaan mendalam atau mengakibatkan luka serius
pada tubuh, pikiran atau kesehatan, tetapi juga termasuk tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar perlakuan terhadap manusia, khususnya yang
terkait dengan tindakan yang merendahkan martabat manusia.”
(d) Pelaksanaan
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan ), 26 Februari 2001, Paragraf 256: “[L]uka-luka,
perlakuan tidak manusiawi terhadap tahanan, dan tindakan yang mempergunakan orang
sebagai tameng (human shields) dapat digolongkan sebagai ‘perlakuan tidak manusiawi.’”
Lihat juga ulasan tentang tindakan kejam berdasarkan Pasal 3, Bagian (II)(d)(iii), ICTY Digest.
iii) Pemerkosaan (rape)
Lihat ulasan tentang pemerkosaan pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(i)(7)(b) dan (II)(d)(ii), dan
Pasal 5, Bagian (IV)(c)(vi), ICTY Digest.
iv) Secara sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka serius terhadap
tubuh atau kesehatan
(1) Definisi
50
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 245: “[K]ejahatan yang
dilakukan dengan sengaja dan mengakibatkan penderitaan berat atau luka serius terhadap
tubuh atau kesehatan, yang merupakan tindakan atau perbuatan yang disertai niat yang
mengakibatkan penderitaan mental dan fisik atau luka, mengharuskan adanya bukti yang
cukup atas tindakan tersebut.” “Semua kejahatan ini dihukum berdasarkan Pasal 2 Statuta,
namun terdapat persyaratan lebih jauh bahwa tindakan ini harus dilakukan secara langsung
terhadap ‘orang yang berada dalam perlindungan.’”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 156: “Kejahatan ini merupakan tindakan
atau perbuatan yang disertai dengan niat, yang mengakibatkan penderitaan berat atau luka
serius terhadap tubuh atau kesehatan, termasuk kesehatan mental. Kategori kejahatan tidak
mencakupi penyiksaan, meskipun penyiksaan tersebut mungkin cocok dengan definisi yang
ditentukan. Analisis atas ekspresi ‘secara sengaja mengakibatkan penderitaan berat atau luka
serius terhadap tubuh atau kesehatan’ mengindikasikan bahwa itu merupakan sebuah
serangan tunggal yang unsur-unsurnya ditetapkan sebagai opsi alternatif.”
(2) Mensyaratkan adanya luka mental dan fisik serius, meski luka tersebut
tidak harus tetap atau tidak dapat disembuhkan
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 245: Kejahatan ini berbeda
dengan perlakuan tidak manusiawi (inhumane treatment) karena kejahatan secara sengaja ini
mensyaratkan adanya bukti luka fisik dan mental yang serius. Dengan demikian, perbuatan
yang mengakibatkan bahaya pada martabat manusia saja tidak termasuk dalam kategori
kejahatan ini.
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 339-343: “Komentar
pada Pasal 147 Konvensi Jenewa IV melukiskan tentang kejahatan yang secara sengaja
mengakibatkan penderitaan berat, seperti penyiksaan atau eksperimen biologi yang
mengakibatkan penderitaan berkepanjangan. Motif dari tindakan ini beragam; seperti
penghukuman, balas dendam atau sadisme, dan dapat juga meliputi penderitaan mental
(moral). Dalam menjelaskan luka serius terhadap tubuh atau kesehatan, dikatakan bahwa
konsep ini biasanya menggunakan kriteria lamanya waktu, di mana korban tidak dapat
menjalankan pekerjaannya. ... Kejahatan ini juga mencakupi perbuatan-perbuatan yang tidak
51
terdapat dalam kategori tindakan penyiksaan, meskipun tindakan penyiksaan sesuai dengan
definisi yang ditentukan. ... [L]uka serius tidak harus mengakibatkan cacat tetap dan tidak
dapat disembuhkan, tetapi luka yang mengakibatkan kenestapaan sementara (temporary
unhappiness), perasaan malu (embarrassment), atau direndahkan (humiliation). Luka tersebut dapat
juga mengakibatkan seseorang tidak mampu lagi menjalankan keahliannya untuk jangka
waktu yang panjang dalam menjalani hidup secara normal dan konstruktif.”
v) Penghancuran dahsyat terhadap harta benda tidak dijustifikasi karena
keterdesakan militer (military necessity)
Neletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 574-580: “[D]ua jenis
harta benda yang dilindungi pada rejim yang melakukan pelanggaran berat terhadap
Konvensi Jenewa adalah: i) harta benda (bangunan), tanpa mempertimbangkan apakah
wilayah yang diduduki memiliki fasilitas perlindungan umum berdasarkan Konvensi Jenewa
1949, seperti rumah sakit umum (civillian hospitals), angkutan udara medis dan ambulan (medical
aircraft and ambulance); dan ii) bangunan yang dilindungi oleh Pasal 53 Konvensi Jenewa IV,
baik bangunan milik perseorangan maupun bangunan di wilayah pendudukan, di mana
penghancuran tersebut dilakukan oleh pihak militer bukan karena alasan keterdesakan.
Pengadilan menyatakan bahwa Pasal 2(d) Statuta mensyaratkan adanya penghancuran meluas
tanpa melihat apakah bangunan tersebut merupakan bangunan yang dilindungi secara umum
atau berada dalam perlindungan karena terletak di wilayah yang diduduki. Contoh serangan
tunggal, untuk memenuhi persyaratan meluas adalah pengeboman terhadap rumah sakit.”
Kejahatan yang diuraikan dalam Pasal 2(d) Statuta terbukti apabila: i) persyaratan umum yang
terdapat pada Pasal 2 Statuta terpenuhi; ii) bangunan dihancurkan secara meluas (extensive); iii)
penghancuran meluas pada bangunan-bangunan yang dilindungi berdasarkan Konvensi
Jenewa 1949, atau; penghancuran meluas (ekstensif) tidak didasarkan semata-mata oleh
operasi militer terhadap bangungan yang terletak di wilayah pendudukan; iv) pelaku bertindak
dengan niat untuk menghancurkan bangunan tersebut atau sama sekali tidak mempedulikan
akibat buruk dari penghancuran tersebut.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 335-341: “[K]ejahatan
berupa penghancuran meluas terhadap bangunan-bangunan dapat dianggap sebagai
52
pelanggaran berat apabila memenuhi unsur-unsur berikut ini: (i) apabila bangunan-bangunan
yang dihancurkan dalam serangan adalah bangunan yang dilindungi Konvensi Jenewa 1949,
tanpa mempertimbangkan apakah bangunan tersebut terletak di wilayah jajahan, dan pelaku
bertindak dengan niat untuk menghancurkan bangunan tersebut atau sama sekali tidak
mempedulikan akibat buruk dari penghancuran tersebut; atau (ii) apabila bangunan yang
dihancurkan merupakan bangunan yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa, dengan
pertimbangan bahwa bangunan tersebut terletak di wilayah jajahan, dan penghancuran terjadi
dalam skala luas; dan (iii) penghancuran tersebut dilakukan tidak karena keterdesakan militer,
dan pelaku bertindak dengan adanya niat untuk menghancurkan bangunan tersebut atau sama
sekali tidak mempedulikan akibat buruk dari penghancuran tersebut.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 157: Pihak Penjajah dilarang merusak
benda-benda bergerak maupun tidak bergerak, kecuali pengrusakan tersebut dianggap perlu
bagi operasi militer. Supaya memenuhi unsur pelanggaran berat, maka pengrusakan yang
dilakukan bukan karena keterdesakan militer, dan harus terjadi secara ekstensif (meluas),
ilegal dan sewenang-wenang. Istilah ‘ekstensif’ (meluas) digunakan atas dasar fakta, misalnya
pengrusakan yang dilakukan terhadap rumah sakit, dianggap dapat memenuhi unsur
kejahatan ini.
Lihat juga ulasan tentang pengrusakan sewenang-wenang yang dilakukan bukan karena
keterdesakan militer, pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(viii), ICTY Digest.
vi) Pengurungan dan pemenjaraan tidak sah terhadap warga sipil
(1) Pengantar umum
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 322, 327: “[T]indakan pengurungan
warga sipil hanya dapat dianggap sah bila terjadi dalam kondisi seperti yang disebutkan dalam
Pasal 42 Konvensi Jenewa IV, dan bila ketentuan pada Pasal 43 (Konvensi Jenewa IV)
terpenuhi. Dengan demikian penahanan atau pengurungan terhadap warga sipil dianggap
tidak sah jika memenuhi unsur berikut: (i) jika warga sipil ditahan dengan cara yang
bertentangan dengan Pasal 42 Konvensi Jenewa IV, misalnya mereka ditahan tanpa alasan
cukup; seperti pihak Penahan berbuat seolah-olah penahanan tersebut memungkinkan; dan
53
(ii) jika prosedur dalam Pasal 43 Konvensi Jenewa IV tidak memenuhi ketentuan konvensi
mengenai penghargaan terhadap tahanan sipil, meskipun penahanan awal terhadap mereka
dapat dijustifikasi.” “Jelas pasal-pasal dalam Konvensi Jenewa IV ... tidak memperbolehkan
adanya suatu maksud terselubung (blanket power) dalam menahan semua warga sipil dari pihak
yang terlibat konflik, namun harus dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa masing-
masing warga sipil yang ditahan dianggap membahayakan keamanan Negara.” “[F]akta bahwa
seseorang memiliki kebangsaan, atau berafiliasi dengan pihak musuh tidak dapat dianggap
sebagai ancaman keamanan bagi pihak lawan di mana, dan juga tidak dapat dijadikan alasan
sah untuk mengasingkannya.”
(2) Tanggung jawab khusus bagi pihak penawan, bukan bagi pihak yang
terlibat, seperti pihak sipir penjara
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 342: “Sidang Banding yang
memeriksa seseorang yang melakukan penahanan secara tidak sah, harus membuktikan
bahwa terdapat unsur ‘keterlibatan’ dalam sistem penahanan secara umum atau operasinya
terhadap warga sipil yang ditahan. Dalam pandangan Sidang Banding, fakta tentang peran
dan kapasitas, meskipun dilakukan oleh bawahan, dalam penahanan terhadap warga sipil
secara tidak sah bukan merupakan dasar yang kuat untuk menentukan siapa yang paling
bertanggung-jawab dalam tindak kejahatan tersebut. Tanggung jawab demikian lebih tepat
ditujukan kepada pihak yang menahan secara langsung, atau pihak yang menahan seseorang,
di mana ia tidak memiliki bukti cukup, walaupun dikatakan bahwa orang yang ditahannya
membahayakan keamanan; atau seseorang berkuasa di tempat penahanan dan mengijinkan
penahanan terhadap warga sipil tanpa mengetahui alasan sebenarnya; atau seseorang yang
berkuasa melepas tahanan, tetapi wewenang tersebut tidak dijalankan meskipun tidak ada
alasan yang cukup untuk terus menahan seseorang, atau alasan penahanan yang tidak relevan.
Sidang Banding tidak dapat menerima bahwa tindakan si penjaga mengabaikan langkah yang
tidak sah untuk melepaskan tahanan dapat dijadikan alasan yang mencukupi untuk
melakukan tindakan kejahatan atas penahanan ilegal.”
(3) Tanggung jawab komandan kamp
54
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 378-379: “[S]eseorang dalam posisi
seperti Mucic (komandan kamp tahanan di desa Celebici) melakukan kejahatan penahanan
ilegal (unlawful confinement) terhadap warga sipil, di mana ia berwenang untuk melepas tahanan
sipil dan gagal menggunakan wewenang tersebut, di mana: (i) ia tidak memiliki alasan yang
cukup untuk menahan seseorang yang dituduh mengancam keamanan negara; atau (ii) ia
mengetahui bahwa mereka tidak diperlengkapi dengan jaminan prosedur yang perlu (atau
kurang menyadari apakah jaminan-jamin yang diperlukan itu sudah diupayakan atau belum).”
“Apabila seseorang yang memiliki kewenangan untuk melepaskan tahanan mengetahui bahwa
orang yang ia tahan mempunyai hak untuk mempertanyakan penahanannya dan hak tersebut
tidak dipenuhi, maka ia berkewajiban untuk melepaskan tahanan tersebut. Karena itu,
kesalahan yang dilakukan oleh orang yang berwenang untuk melepaskan tahanan, yang
diketahuinya belum diberikan hak-hak prosedural yang semestinya mereka peroleh,
merupakan kejahatan melakukan penahanan tidak sah, sekalipun jika ia tidak bertanggung-
jawab atas kesalahan memberikan mereka hak prosedur yang memang harus diberikan.”
vii) Pemindahan yang tidak sah
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 519-521; “Pemindahan
paksa adalah dipindahkannya seseorang yang dilakukan di bawah tekanan dari tempat tinggal
mereka ke tempat yang tidak mereka inginkan.” “Untuk memenuhi syarat pembuktian bahwa
telah terjadi pemindahan paksa seperti tertera pada Pasal 2(g) Statuta, maka: i) harus
memenuhi persyaratan umum seperti yang tercantum dalam Statuta ...; ii) pemindahan paksa
terjadi bukan karena alasan keamanan penduduk, atau perintah militer di mana orang
dipindahkan dari wilayah yang diduduki atau wilayah yang dijajah; iii) pelaku memiliki niat
untuk memindahkan tahanan.” “Dakwaan harus dapat membuktikan bahwa pemindahan
terhadap seseorang (orang-orang) dimaksudkan untuk menghalangi kembalinya ia (mereka)
ke tempat asalnya.”
viii) Penahanan warga sipil
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 311-314: “[S]eseorang
dapat dianggap melakukan penyanderaan terhadap warga sipil jika ia mengancam warga
55
tersebut, melakukan penahanan secara tidak sah, dan memperlakukannya secara tidak
manusiawi atau membunuhnya, sebagai upaya untuk mencapai tujuannya.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 158: “Menilik maksud pada Pasal 2
Statuta, sandera warga sipil adalah orang-orang yang dirampas kebebasannya, yang seringkali
dilakukan secara sewenang-wenang dan kadang-kadang dengan ancaman mati.” “Dakwaan
terhadapnya pelaku harus mencantumkan hal-hal berikut; bahwa penahanan terhadap sandera
ia lakukan dengan mengancam sandera untuk meminta konsesi atau mencari keuntungan.
Unsur kejahatan ini sesuai dengan ... yang terdapat pada Pasal 3 Statuta.”
Lihat juga ulasan tentang “penyanderaan” pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(vii), ICTY Digest.
e) Lain-lain
i) Pendudukan (terkait dengan buruh sipil ilegal [unlawful labor of civillian],
pemindahan ilegal dan penghancuran harta benda)
(1) Di mana “pendudukan” itu relevan
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 210: “Pendudukan
dianggap relevan bila terkait dengan buruh sipil ilegal ..., pemindahan warga sipil secara tidak
sah ... dan penghancuran terhadap harta benda/bangunan.”
Lihat ulasan tentang buruh ilegal (unlawful labor) Pasal 3, Bagian (II)(d)(xii): pemindahan tidak
sah dan penghancuran dahsyat atas harta benda/bangunan, yang dilakukan bukan karena
alasan keterdesakan militer. Kedua hal itu diatur dalam Pasal 2, Bagian (I)(d)(vii) dan (I)(d)(v),
ICTY Digest.
(2) Definisi
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan ), 31 Maret 2003, Paragraf 214-216:
“Pendudukan/penjajahan didefinisikan sebagai periode transisi setelah terjadinya invasi dan
persetujuan gencatan senjata. Perbedaan tersebut menuntut tanggung jawab yang lebih berat
56
pada pihak penjajah dibandingkan pihak yang terlibat pada konflik bersenjata internasional.”
Sidang menyetujui definisi pendudukan ini sesuai dengan Pasal 42 Regulasi Hague (Hague
Regulations), di mana “suatu wilayah dinyatakan diduduki jika wilayah tersebut berada dalam
kekuasaan pihak yang berperang. ... [P]endudukan diperpanjang hanya di wilayah di mana
pendudukan dilaksanakan.” Sidang menyatakan bahwa pengujian kendali secara keseluruhan,
seperti pada Putusan Pengadilan atas kasus Blaskic, tidak dapat diterapkan untuk menentukan
terjadinya pendudukan. ... [T]erdapat perbedaan penting antara penentuan negara
pendudukan (state of occupation) dan eksistensi konflik bersenjata internasional. Pengujian
kendali secara keseluruhan dapat diterapkan pada eksistensi konflik bersenjata internasional,
yang mana tingkat kendali tersebut digunakan untuk melangsungkan pendudukan.”
(3) Pedoman untuk menentukan pendudukan (occupation)
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 217: Sidang membuat
pedoman berikut ini untuk membantu “menentukan apakah pihak penjajah telah menduduki
wilayah pendudukannya.”
• “pihak yang melakukan pendudukan harus dalam posisi untuk menggantikan pemerintah
di wilayah pendudukan tersebut, yang secara publik telah dinyatakan tidak mampu
menjalankan fungsinya”;
• “kekuatan musuh telah menyerah, dikalahkan atau ditarik. Dalam hal ini, wilayah perang
tidak dapat dianggap sebagai wilayah pendudukan. Meskipun perlawanan lokal yang
dilakukan berhasil, tetapi hal itu tidak berpengaruh pada pendudukan”;
• “pihak penjajah memiliki kekuatan bersenjata yang cukup, atau memiliki kapasitas untuk
mengirimkan tentaranya dalam waktu yang tepat untuk menjatuhkan pemerintah di
negara yang diduduki”;
• “pemerintahan sementara dibentuk di wilayah pendudukan”;
• “pihak yang melakukan pendudukan menjalankan roda pemerintahan dan menguasai
penduduk sipil.”
(4) Hanya diterapkan di wilayah yang dikontrol oleh pihak yang melakukan
pendudukan
57
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 218: “[H]ukum
pendudukan hanya diterapkan pada wilayah-wilayah yang dikontrol oleh pihak yang
melakukan pendudukan, dan gencatan senjata dilaksanakan pada saat pihak yang melakukan
pendudukan tidak lagi memiliki kekuasaan di wilayah yang diduduki.” Pengadilan “harus
menentukan atas dasar kasus per-kasus, apakah tingkat kontrol (degree of control) ini dilakukan
pada waktu dan tempat yang relevan.” “[T]idak ada persyaratan bahwa seluruh wilayah yang
diduduki, diharuskan bahwa area-area yang tertutup di mana kekuasaan pihak yang
ditaklukkan masih berjalan ‘secara efektif lenyap dari sisa-sisa wilayah yang diduduki itu.’”
(5) Pengujian yang berbeda harus dilakukan berkaitan dengan individu, harta
benda dan hal-hal lainnya
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 222: Pengadilan
menyatakan bahwa “mereka akan melakukan uji hukum yang berbeda untuk menentukan
apakah hukum pendudukan dapat diterapkan, tergantung pada apakah hukum tersebut terkait
dengan individu atau harta benda atau hal-hal lainnya”. Dalam kasus ini, pemindahan secara
paksa terhadap warga sipil dan buruh sipil ilegal “dilarang sejak wilayah tersebut jatuh ke
tangan pihak lawan, tanpa mempertimbangkan tingkat peperangan (stage of the hostilities).”
58
II. KEJAHATAN PERANG: PELANGGARAN ATAS HUKUM ATAU
KEBIASAAN PERANG (PASAL 3)
a) Statuta
Pasal 3:
“Pengadilan internasional harus memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang
melanggar hukum atau kebiasaan perang. Pelanggaran tersebut dapat meliputi, tapi tidak
terbatas pada:
(a) penggunaan senjata beracun atau senjata lain yang dapat dianggap menyebabkan
penderitaan yang tidak perlu bagi korban;
(b) penghancuran dahsyat kota-kota besar, kota kecil atau pedesaan, atau perusakan yang
dilakukan tidak diakibatkan oleh keterdesakan militer;
(c) serangan, atau bombardir, dengan maksud apa pun, terhadap kota-kota pedesaan,
pemukiman penduduk atau bangunan, tanpa perlawanan;
(d) penggusuran, perusakan atau penghancuran secara sengaja, dilakukan terhadap
lembaga-lembaga keagamaan, bantuan sosial atau pendidikan, seni dan ilmu
pengetahuan, monumen sejarah dan karya-karya seni dan ilmu pengetahuan;
(e) perampasan terhadap harta milik pribadi.”
b) Pengantar umum
i) Pasal 3 Statuta berfungsi sebagai klausul residual, yang meliputi pelanggaran
serius terhadap hukum humaniter, yang tidak terdapat pada pasal-pasal lain
dalam Statuta
Tadic, (Sidang Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding tentang
Jurisdiksi (Decision on the Defence Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction), 2 Oktober 1995,
Paragraf 87, 91: “Penafsiran harfiah atas Pasal 3 menunjukkan bahwa: (i) Pasal tersebut
merujuk pada kategori kejahatan secara luas, yang disebut dengan ‘semua pelanggaran hukum
atau kebiasaan perang’; dan (ii) perincian pelanggaran yang terdapat pada Pasal 3 sangat
ilustratif, tidak lengkap (exhaustive).” “Pasal 3 ... menyediakan jurisdiksi Pengadilan
59
Internasional tentang kejahatan serius terhadap hukum humaniter internasional yang tidak
tercakup dalam Pasal 2, 4, atau 5. Pasal 3 merupakan ketentuan mendasar yang menyatakan
bahwa ‘pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional harus diadili oleh
Pengadilan (Tribunal) Internasional’. Dengan kata lain, Pasal 3 berfungsi sebagai klausul
residual yang dirancang untuk memastikan bahwa tidak ada pelanggaran serius terhadap
hukum humaniter internasional yang luput dari Pengadilan Internasional.”
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 68: “Pasal 3 Statuta
merupakan ‘klausul umum dan residual’ yang meliputi seluruh pelanggaran hukum humaniter
internasional yang tidak tercakup dalam Pasal 2, Pasal 4 dan Pasal 5 Statuta.”
Penuntut v. Jelisic, Kasus No. IT-95-10 (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 33:
“Pasal 3 Statuta ini merupakan pasal umum, yang merupakan klausul residual untuk mengatur
seluruh pelanggaran atas hukum humaniter internasional yang tidak tercakup pada Pasal 2, 4
dan 5 Statuta, dan yang menyatakan bahwa aturan-aturan mengenai hal itu merupakan
hukum kebiasaan perang.”
Penuntut v. Furundzija, Kasus No. IT-95-17/1, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998,
Paragraf 132-133: “Pasal 3 memiliki ruang lingkup yang sangat luas, yang mencakup
pelanggaran serius terhadap aturan hukum humaniter internasional berdasarkan hukum
kebiasaan internasional atau hukum konvensional, yang mengatur tanggung jawab individu
yang melakukan tindak kejahatan. Pasal 3 tersebut merupakan ‘aturan payung’ (umbrella rule).
Sementara pasal-pasal lain menjelaskan berbagai jenis kejahatan yang terdapat dalam Statuta,
Pasal 3 berisi tentang referensi yang bersifat buka-tutup atas seluruh aturan hukum
internasional. Menurut Pasal 3, pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional
dapat dianggap sebagai kejahatan berdasarkan ketentuan Statuta, jika ketentuan yang
dimaksud memenuhi unsur tersebut.”
ii) Pasal 3 Statuta mencakup kejahatan konflik bersenjata internal dan
internasional
Tadic, (Sidang Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding tentang
Jurisdiksi (Decision on the Defence Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction), 2 Oktober 1995,
60
Paragraf 137: “[B]erdasarkan Pasal 3, Pengadilan Internasional memiliki jurisdiksi atas seluruh
kejahatan yang dituduhkan, tanpa mempertimbangkan apakah kejahatan tersebut terjadi
dalam konflik bersenjata internal maupun internasional.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 161: “Pasal 3 Statuta dapat diterapkan
untuk konflik internal dan internasional.”
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 132: Untuk kepentingan Pasal 3
Statuta, “[s]uatu kejahatan dianggap ‘immaterial’ jika kejahatan tersebut terjadi dalam konteks
konflik bersenjata internal maupun internasional.”
iii) Kondisi yang menentukan pelanggaran apa saja yang disebutkan Pasal 3
Kunarac, Kovic dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 66: “Ada empat hal yang
harus dipenuhi sebelum sebuah kejahatan diadili berdasarkan Pasal 3 Statuta: (i) kejahatan
tersebut harus merupakan pelanggaran atas hukum humaniter internasional; (ii) aturan
tersebut merupakan hukum kebiasaan, dan jika aturan itu merupakan hukum perjanjian,
maka kondisi yang dipersyaratkan harus terpenuhi; (iii) kejahatan tersebut merupakan
pelanggaran berat atas aturan yang melindungi hal-hal penting, dan pelanggaran tersebut
mengakibatkan konsekuensi yang berat bagi korban; (iv) pelanggaran terhadap aturan
tersebut mensyaratkan adanya tanggung jawab individu pelaku pelanggaran berdasarkan
hukum kebiasaan atau hukum konvensional.” Lihat juga Penuntut v. Kvocka dkk., Kasus No.
IT-98-30/1 (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 123.
iv) Meliputi pelanggaran atas hukum humaniter internasional
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 224: “Pasal 3 Statuta
telah ditafsirkan sebagai klausul umum dan residual yang melingkupi seluruh pelanggaran atas
hukum humaniter yang tidak diatur dalam Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 5 Statuta, khususnya: (i)
pelanggaran atas hukum Den Haag tentang konflik internasional; ii) pelanggaran atas pasal-
pasal Konvensi Jenewa selain yang diklasifikasikan sebagai ‘pelanggaran berat’; (iii)
pelanggaran atas Pasal 3 Umum Konvensi Jenewa, dan hukum kebiasaan lain tentang konflik
internal; dan (iv) pelanggaran atas perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam
61
konflik, di mana perjanjian tersebut dipertimbangkan sebagai hukum perjanjian (qua treaty
law), misalnya perjanjian-perjanjian yang bukan merupakan hukum kebiasaan internasional.”
Lihat juga Tadic, (Sidang Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding
tentang Jurisdiksi, 2 Oktober 1995, Paragraf 87, 89, 91.
Lihat juga Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 136 (pelanggaran atas
Pasal 3 Umum terdapat dalam Pasal 3 Statuta); Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding),
12 Juni 2002, Paragraf 68 (sama); Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003,
Paragraf 228 (sama); Blaskic (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 168 (sama); Tadic
(Sidang Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding tentang Jurisdiksi 2
Oktober 1995, Paragraf 89 (sama).
v) Alasan mengapa Pasal 3 Umum juga termasuk
(1) Pasal 3 Umum adalah bagian dari hukum kebiasaan
Tadic, (Pengadilan tingkat Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding
tentang Jurisdiksi, 2 Oktober 1995, Paragraf 98: “[B]eberapa aturan dalam perjanjian, secara
perlahan-lahan menjadi bagian dari hukum kebiasaan. Ini juga berlaku pada Pasal 3 Umum
Konvensi Jenewa 1949... .”
Kunarac, Kovac dan Vokovic, 12 Juni 2002, Paragraf 68: Pasal 3 Umum “sesungguhnya
merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional.”
Blaskic, 3 Maret 2000, Paragraf 166: “Pasal 3 Umum harus dianggap sebagai aturan hukum
kebiasaan internasional.”
Naletilic dan Martinovic, 31 Maret 2003, Paragraf 228, “.... Sidang Pengadilan juga berpendapat
bahwa Pasal 3 Umum telah mencapai status sebagai hukum kebiasaan Internasional.”
(2) Pelanggaran atas Pasal 3 Umum merupakan pelanggaran serius
62
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000 Paragraf 176: Pelanggaran terhadap Pasal 3 Statuta
yang merupakan pelanggaran atas Aturan Den Haag (Regulation of the Hague) dan Pasal 3
Umum secara definitif merupakan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter
internasional.”
(3) Pasal 3 Umum berisi tanggung jawab kejahatan individual
Tadic, (Sidang Banding), Putusan atas Mosi Pembela untuk Pengajuan Banding tentang
Jurisdiksi, 2 Oktober 1995, Paragraf 128-129: Jelas bahwa ... Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa
tidak memiliki rujukan yang eksplisit atas tanggung jawab pelaku kejahatan terhadap
pelanggaran-pelanggaran Pasal tersebut. [P]engadilan Militer Internasional di Nuremberg
menyimpulkan bahwa tanggung jawab pidana internasional tidak dapat dihalangi hanya
karena tidak-adanya pasal-pasal dalam perjanjian yang menghukum pelanggaran tersebut.
Pengadilan Nuremberg mempertimbangkan sejumlah faktor yang relevan dengan kesimpulan
mereka bahwa pelaku tindak kejahatan harus bertanggung-jawab secara individu: secara tegas
mengakui hukum perang dalam hukum internasional serta praktik di negara yang melanggar
larangan tersebut, termasuk pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah
dan organisasi-organisasi internasional, serta penghukuman atas pelanggaran oleh pengadilan
nasional dan pengadilan militer. Jika kondisi ini terpenuhi, maka pelaku harus bertanggung-
jawab atas kejahatan yang dilakukannya, karena, seperti yang disimpulkan oleh Pengadilan
Nuremberg: ‘[k]ejahatan atas hukum internasional dilakukan oleh sejumlah orang, tidak oleh
entitas abstrak, dan pasal-pasal dalam hukum internasional ditegakan hanya dengan
menghukum para pelaku kejahatan tersebut.’” “Dengan menerapkan kriteria sebelumnya atas
pelanggaran yang disebutkan di sini, kami tidak ragu bahwa mereka harus bertanggung-jawab
atas kejahatan yang dilakukannya, tanpa mempertimbangkan apakah kejahatan tersebut
merupakan konflik bersenjata internal atau internasional. Prinsip-prinsip serta aturan-aturan
hukum internasional mencerminkan ‘pertimbangan dasar kemanusian’ yang secara luas diakui
sebagai pelaksanaan mandat minimal (mandatory minimum conduct) dalam konflik bersenjata
atau sejenisnya.”
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 162, 171: “[F]akta bahwa Pasal 3
Umum tidak memiliki rujukan eksplisit terhadap tanggung jawab individu pelaku kejahatan,
tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan sanksi pidana atas pelanggaran aturan ini. IMT
63
(Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg) jelas mengikuti pendekatan seperti itu.
Seperti yang disebutkan dalam jurisdiksi keputusan Tadic, dikatakan bahwa tidak adanya pasal
pasal perjanjian yang mengatur kejahatan tersebut, tidak menghalangi keharusan seorang
individu pelaku kejahatan untuk bertanggung-jawab. Pengadilan Nuremberg menetapkan
bahwa tindakan individu yang dilarang oleh hukum internasional adalah tindak kejahatan,
meskipun tidak terdapat pasal dalam juridiksi untuk mengadili pelanggaran tersebut.” “Sidang
Banding tidak dapat menemukan alasan mengapa pelanggaran dalam konteks konflik
bersenjata internal tidak dianggap sebagai kejahatan meskipun sebuah aturan hukum
humaniter internasional diperpanjang (walaupun dalam bentuknya yang lebih ringan).”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 228: “[T]ampak dari
jurisprudensi bahwa [P]asal Umum 3 dari Statuta mensyaratkan pertanggungjawaban pidana
individual.”
Blaskic, (Sidang Banding), 3 Maret 2000, Paragraf 176: Karena pelanggaran Pasal 3 Statuta
yang mencakupi pelanggaran atas Aturan Den Haag dan Pasal 3 Umum yang secara definitif
merupakan pelanggaran serius, maka “[p]elanggaran itu dapat dibebankan sebagai tanggung
jawab pidana individu sesuai dengan Pasal 7 Statuta.” “Hukum kebiasaan internasional
berisikan tanggung jawab pidana, di mana kejahatan tersebut merupakan pelanggaran serius
atas Pasal 3 Umum.”
(4) Pasal 3 Umum dapat diterapkan pada konflik bersenjata internasional
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 140-150: “Tidak diragukan lagi
bahwa Pasal 3 Umum, yang berisi aturan minimum (a minimum core of mandatory rules),
merefleksikan prinsip-prinsip humaniter mendasar yang terdapat pada hukum humaniter
internasional secara keseluruhan, dan juga Konvensi Jenewa sebagai dasar utamanya.”
“Secara moral maupun legal, aturan-aturan yang terdapat pada Pasal 3 Umum, yaitu aturan
yang berisi perintah minimum yang dapat diterapkan pada konflik internal tidak dapat
dipertahankan (untenable), karena aturan tersebut tidak dikembangkan untuk konflik
internasional sehingga tidak dapat diterapkan pada konflik dalam skala tersebut. Aturan pada
Pasal 3 Umum dapat diterapkan pada konflik internasional. Adalah logis bahwa aturan
minimum yang diterapkan pada konflik internasional sebagai substansi aturan-aturan ini
64
merupakan aturan yang identik. Sesuatu yang dilarang dalam konflik internal juga tidak sah
(outlaw) dalam konflik internasional di mana lingkup aturan tersebut lebih luas.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 228: Pasal 3 Umum
“dapat diterapkan baik untuk konflik internal maupun internasional.”
c) Unsur-unsur umum untuk kejahatan yang tertera pada Pasal 3
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 225: “Untuk kejahatan
yang diputuskan dengan Pasal 3 Statuta, dua persyaratan pendahuluan harus dipenuhi.
Pertama, harus terjadi konlik bersenjata, baik internal maupun internasional pada saat
kejahatan yang dituduhkan dilakukan. Kedua, harus ada hubungan yang erat antara konflik
bersenjata dengan kejahatan yang dituduhkan, artinya bahwa tindakan pelaku harus ‘terkait
erat’ dengan peperangan.”
Lihat juga “unsur tambahan untuk kejahatan pada Pasal 3”, Bagian (II)(c)(iii), ICTY Digest.
i) Harus terjadi konflik bersenjata, baik internal maupun konflik internasional
(unsur 1)
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 22: “Pasal 2 dan Pasal 3
Statuta mengatur tentang ketentuan hukum perang; yaitu ketentuan tentang pra-kondisi atas
penerapan pasal-pasal ini dalam konflik bersenjata di dalam wilayah, di mana kejahatan yang
dituduhkan terjadi.”
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 258: “Telah menjadi prinsip
umum bahwa untuk menerapkan hukum humaniter internasional terlebih dahulu harus ada
konflik bersenjata. ... Untuk kepentingan Pasal 3 Statuta, sifat dari konflik bersenjata tersebut
tidak dipentingkan (irrelevant). [T]idak menjadi soal apakah kejahatan yang berat terjadi dalam
konteks konflik bersenjata internal atau internasional, sepanjang pelanggaran tersebut
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (i) pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran atas
hukum humaniter internasional; (ii) aturan tersebut harus bersifat biasa (customary in nature)
atau, jika aturan tersebut merupakan hukum perjanjian, maka ia harus memenuhi unsur-unsur
65
yang dipersyaratkan; (iii) kejahatan tersebut haruslah kejahatan serius, dalam arti bahwa
kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap aturan yang melindungi hal-hal penting, dan
harus mengakibatkan konsekuensi berat terhadap korban; (iv) pelanggaran terhadap aturan
tersebut harus membebankan tanggung jawab sebagai kejahatan individu terhadap pelaku
yang melanggar aturan tersebut, berdasarkan hukum kebiasaan atau hukum konvensional.”
ii) Harus ada hubungan erat antara konflik bersenjata dengan kejahatan yang
dituduhkan (unsur ke-2)
(1) Kejahatan yang dilakukan pelaku harus terkait erat dengan peperangan
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 32: “[U]ntuk
mengkualifikasi sebuah kejahatan tertentu sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter
internasional berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Statuta, Penuntut harus ... menetapkan
hubungan yang cukup erat antara kejahatan tersebut dengan konflik bersenjata. Dalam hal
ini, Sidang Banding menyatakan bahwa: ‘Meskipun secara substansial, konflik tidak terjadi
pada waktu dan tempat di mana kejahatan yang dituduhkan terjadi ... hukum humaniter
internasional dapat diterapkan. Cukuplan bahwa kejahtan yang dituduhkan memang terkait
erat dengan pertikaian yang terjadi di bagian lain dari wilayah yang dikontrol oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik.’”
Lihat juga ulasan tentang hubungan antara kejahatan dengan konflik bersenjata berdasarkan
Pasal 2, Bagian (I)(b)(ii), ICTY Digest.
(2) Konflik bersenjata tidak harus menjadi penyebab kejahatan, tapi konflik
tersebut memainkan peran penting dalam pertikaian
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 58-59: “Konflik
bersenjata tidak harus menjadi penyebab terjadinya kejahatan, tetapi konflik bersenjata
tersebut setidaknya memainkan peran penting yang membuat pelaku mampu melakukan
kejahatan tersebut, pelaku mengambil keputusan atas kejahatan tersebut, dan konflik
bersenjata menjadi pemicu bagi pelaku untuk melaksanakan tindakan dan tujuan kejahatan
yang dilakukan.” “Sidang Pengadilan dapat mempertimbangkan hal hal berikut ini ... untuk
66
menentukan apakah kejahatan itu memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan konflik
bersenjata, yakni: kenyataan bahwa pelaku adalah tentara (combatant); korban adalah warga
sipil; kenyataan bahwa korban adalah bagian dari pihak lawan; kenyataan bahwa tindakan itu
dapat merupakan upaya untuk mencapai tujuan kampanye militer; dan kenyataan bahwa
kejahatan itu dilakukan sebagai bagian dari tanggung jawab resmi pelaku.”
(3) Tindak kejahatan dapat terjadi pada tempat yang jauh dari medan
pertempuran
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 57: “Tidak perlu ada
korelasi antara wilayah di mana pertempuran terjadi dengan jangkauan geografis hukum
perang. Hukum perang dapat diterapkan di seluruh negara yang mengalami peperangan, atau
dalam kasus konflik bersenjata internal, seluruh wilayah yang berada dalam kendali pihak
yang terlibat dalam konflik, terlepas dari apakah di wilayah tersebut terjadi peperangan, dan
terus berlangsung sampai tercapai kesepakatan damai, atau dalam kasus konflik bersenjata
internal, sampai perjanjian perdamaian tercapai. Pelanggaran atas hukum atau kebiasaan
perang dapat terjadi pada waktu dan tempat di mana tidak terjadi pertikaian. Persyaratan
bahwa tindakan pelaku harus memiliki keterkaitan yang erat dengan konflik bersenjata tidak
dapat disangkal jika kejahatan tersebut terjadi pada tempat yang secara geografis jauh dari
medan pertempuran.”
Penuntut v. Vasiljevic, Kasus No. IT-98-32-T (Sidang Pengadilan), 29 November 2002,
Paragraf 25: “Persyaratan bahwa tindakan terdakwa memiliki kaitan yang erat dengan konflik
bersenjata tidak berarti bahwa kejahatan tersebut terjadi pada saat peperangan atau di wilayah
pertempuran.”
iii) Unsur-unsur tambahan untuk Pasal 3 Umum; harus dilakukan terhadap
warga sipil atau harta milik milik warga sipil
Penuntut v. Kvocka dkk., Kasus No. IT-98-30/1 (Sidang Pengadilan), 2 November 2001,
Paragraf 124: “Persyaratan tambahan untuk kejahatan yang terdapat pada Pasal 3 Umum
berdasarkan Pasal 3 Statuta adalah bahwa pelanggaran tersebut harus dilakukan terhadap
orang-orang ‘yang tidak terlibat aktif dalam peperangan.’”
67
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 34: “Pasal 3 Umum melindungi
‘[o]rang-orang yang tidak terlibat aktif dalam peperangan, termasuk orang-orang yang disebut
sebagai hors de combat karena sakit, terluka, ditahan, atau sebab-sebab lain.’ Korban
pembunuhan, korban luka dan korban pencurian, tercakup dalam kelompok hors de combat
dalam tahanan; sebagai korban yang dilindungi oleh Pasal 3 Umum.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 180: “Warga sipil seperti yang dimaksud
dalam Pasal 3 adalah orang-orang yang tidak, atau tidak lagi menjadi anggota tentara. Harta
milik warga sipil merupakan harta yang tidak dapat dijadikan sasaran militer (military objective).”
iv) Niat jahat (mental state, mens rea)
(1) Pengantar umum
Lihat ulasan tentang niat jahat (mental state, mens rea) dalam kejahatan-kejahatan utama
(underlying offences), Bagian (II)(d)(i)(4) (penyiksaan); (II)(d)(ii) (pemerkosaan);
(II)(d)(iv)(pembunuhan); (II)(d)(v) (pelanggaran hak hidup seseorang); (II)(d)(vi)(5)
(pelanggaran atas martabat manusia); (II)(d)(viii) (penghancuran dahsyat yang tidak
disebabkan oleh keterdesakan militer); (II)(d)(x) (pengrusakan atau penghancuran yang
dilakukan secara sengaja atas lebaga-lembaga yang bergerak di bidang keagamaan dan
pendidikan); (II)(d)(xi) (serangan tidak sah terhadap warga sipil dan objek-objek sipil);
(II)(d)(xii)(2) (buruh tidak sah); (II)(d)(xiii) (perbudakan), ICTY Digest.
(2) Pembuktian atas niat atau motif yang diskriminatif tidak dipersyaratkan
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 20: “Tidak ada keragu-raguan bahwa
kejahatan berat yang diuraikan pada Pasal 3 Statuta, atau pada Statuta secara umum, hanya
dapat dihukum jika jika kejahatan itu dilakukan dengan niat diskriminatif (discriminatory intent).
Persyaratan umum yang harus dipenuhi dalam mengadili kejahatan tersebut berdasarkan
Pasal 3 ... tidak meliputi persyaratan pembuktian atas niat atau motif yang diskriminatif.”
d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)
68
69
i) Penyiksaan
(2) Definisi
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 142: Definisi penyiksaan
memiliki unsur-unsur berikut: “(i) Penderitaan yang diakibatkan oleh tindakan atau
pembiaran, yang menimbulkan rasa sakit yang berat dan kesengsaraan, baik fisik maupun
mental; (ii) tindakan atau pembiaran tersebut harus diawali dengan niat; (iii) tindakan atau
pembiaran tersebut harus dimaksudkan untuk memperoleh informasi atau pengakuan, yang
dilakukan dengan cara menghukum, mengintimidasi atau memaksa korban atau pihak ketiga,
dengan diskriminasi atau alasan lain untuk melawan korban atau pihak ketiga.” Lihat juga
Penuntut v. Krnojelac, Kasus No. IT-97-25 (Sidang Pengadilan ), 15 Maret 2002, Paragraf 179.
Penuntut v. Furundzija, Kasus No. IT-95-17/1 (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 111:
“Sidang Pengadilan mengidentifikasi berbagai unsur kejahatan penyiksaan dalam konflik
bersenjata sebagai berikut: (i) ... penderitaan yang diakibatkan oleh suatu tindakan atau
pembiaran yang menimbulkan rasa sakit berat atau kesengsaraan, baik fisik maupun mental;
(ii) tindakan atau pembiaran ini harus disertai dengan niat; (iii) tindakan tersebut
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi atau pengakuan, yang dilakukan dengan cara
menghukum, mengintimidasi, menghina atau memaksa korban atau pihak ketiga,
mendiskriminasi atau dengan alasan apa pun, untuk melawan korban atau pihak ketiga; (iv)
tindakan tersebut harus terkait dengan konflik bersenjata. ...”2
(2) Larangan atas penyiksaan merupakan jus cogens
2 Kasus Furundzija masuk dalam persyaratan unsur kelima, yaitu “setidaknya salah seorang yang terlibat dalam proses penyiksaan adalah pejabat publik atau paling tidak bertindak dalam kapasitasnya bukan sebagai pribadi, misalnya – secara de facto adalah organ Negara atau penguasa dari entitas lain.” Namun, keputusan lebih lanjut menyatakan bahwa ini bukan sebuah persyaratan. Lihat Bagian (II)(d)(i)(6), ICTY Digest.
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 139, 153: “Tampak ... tidak
dapat ditampik bahwa penyiksaan yang dilakukan dalam masa konflik bersenjata dilarang oleh
aturan umum hukum internasional. Dalam konflik bersenjata, aturan ini dapat diterapkan
baik sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional dan – jika kondisi yang
dipersyaratkan terpenuhi – juga sebagai hukum perjanjian, yang isi larangannya sama.” “Nilai-
nilai yang dilindungi dalam hukum tersebut dianggap penting sehingga prinsip-prinsip ini
telah berkembang menjadi norma-norma peremptory atau jus cogens, yaitu norma-noma yang
menduduki tingkat teratas dalam hierarki internasional dibandingkan dengan hukum
perjanjian (treaty law) dan bahkan hukum kebiasaan. Konsekuensi dari kedudukan seperti ini
adalah, bahwa prinsip-prinsip yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bisa dikurangi dari
Negara melalui perjanjian internasional atau lokal atau kebiasaan khusus (special customs) atau
bahkan kebiasaan umum karena tidak didukung dengan kekuatan hukum normatif yang
sama.
(3) Rasa sakit yang parah dan penderitaan harus terjadi (unsur ke-1)
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 142-143: “[T]ingkat keparahan
rasa sakit dan penderitaan merupakan karakteristik yang membedakan kejahatan penyiksaan
dengan kejahatan jenis lain. Batasan dalam menentukan sejauh mana penderitaan itu dapat
dianggap memenuhi unsur penyiksaan tidak dideskripsikan secara jelas. Dalam menilai
tingkat keseriusan penyiksaan, Sidang Pengadilan pertama-tama harus mempertimbangkan
penderitaan secara objektif atas rasa sakit yang ditimbulkan. Kriteria subjektif, seperti dampak
fisik atau mental atas perlakuan tersebut terhadap korban, dan dalam beberapa kasus, faktor-
faktor seperti usia, jenis kelamin atau kesehatan korban, juga relevan dalam menilai tingkat
penderitaan (rasa sakit) yang dialami korban.”
Penuntut v. Krnojelac, Kasus No.IT-97-25 (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 182:
“Pada waktu menilai tingkat keseriusan dari tindak penyiksaan, Sidang Pengadilan harus
mempertimbangkan seluruh kondisi yang berhubungan dengan kasus tersebut, termasuk sifat
dan konteks rasa sakit, persiapan atau pelembagaan atas kejahatan tersebut (ill-treatment),
kondisi fisik korban, cara dan metode yang digunakan, dan inferioritas korban. Secara
khusus, jika korban telah mengalami penyiksaan dalam waktu yang lama, atau jika ia menjadi
korban atas berbagai bentuk tindakan sewenang-wenang yang terjadi secara berulang-ulang,
70
maka tindakan-tindakan tersebut harus dilihat secara keseluruhan dengan
mempertimbangkan lamanya tindakan itu dilakukan atau pengulangan penyiksaan, yang saling
berhubungan dengan pola yang sama dengan tujuan jahat pelaku.
(a) Rasa sakit permanen tidak harus menjadi syarat adanya penyiksaan
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 148: “[P]enyiksaan sering
mengakibatkan kerusakan permanen atas kesehatan korban, tetapi luka permanen tidak harus
menjadi syarat terjadinya penyiksaan.”
(b) Penderitaan mental dapat dikualifikasikan
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 149: “Kerusakan fisik atau
mental menjadi bahan pertimbangan dalam menilai tingkat bahaya yang ditimbulkan.
[P]enyiksaan tidak harus menyisakan luka fisik, karena penderitaan mental juga merupakan
dampak dari penyiksaan, misalnya, penderitaan mental yang diakibatkan oleh paksaan untuk
melihat penyiksaan atas korban yang masih memiliki hubungan kerabat. [P]aksaan untuk
melihat serangan seksual serius terhadap seorang perempuan yang kita kenal juga merupakan
penyiksaan. Kehadiran orang yang melihat (onlookers) pemerkosaan, khususnya anggota
keluarga, juga berakibat buruk terhadap mentalnya sama seperti korban yang mengalami
pemerkosaan itu sendiri.
(4) Niat jahat (mental state, mens rea): tindakan atau pembiaran tersebut
harus dimulai dengan niat (unsur ke-2)
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 153-156: Sidang Banding
menjelaskan perbedaan antara “niat” (intent) dan “dorongan” (motivation). Sidang Banding
menyatakan bahwa “meskipun motivasi pelaku adalah hasrat seksual, itu tidak berarti pelaku
tidak memiliki niat lain seperti menyiksa, atau tidak berarti bahwa tindakannya tidak
menyebabkan luka parah dan penderitaan, baik fisik maupun mental, apalagi ia tahu bahwa
luka atau penderitaan tersebut merupakan konsekuensi logis dari perbuatan yang
dilakukannya. Dari definisi penyiksaan, penting untuk menentukan apakah niat pelaku, yang
dilakukan dalam situasi normal, akan menyebabkan luka parah atau penderitaan, baik fisik
71
maupun mental, terhadap korbannya.” “[T]indakan kejahatan tidak harus dilakukan hanya
untuk satu tujuan seperti yang dilarang oleh hukum internasional. Jika suatu tujuan yang
dilarang terpenuhi dalam tindakan, fakta bahwa tindakan tersebut juga dimaksudkan untuk
mencapai tujuan yang tidak terdapat dalam daftar yang dilarang (bahkan soal sifat seksual)
tidak dapat dijadikan materi (immaterial).”
(5) Harus ada maksud dan tujuan seperti yang dipersyaratkan (unsur ke-3)
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 142: Unsur ketiga dari
penyiksaan adalah “[b]ahwa tindakan atau pembiaran, dilakukan dengan maksud untuk
mendapatkan informasi atau pengakuan dengan cara menghukum, mengintimidasi atau
memaksa korban atau pihak ketiga, atau mendiskriminasi dengan alasan apa pun, terhadap
korban atau pihak ketiga.”
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 180: “‘Penyiksaan’ merupakan salah
satu serangan yang serius terhadap integritas fisik dan mental seseorang. Tujuan dan
keseriusan serangan terhadap korban menyebabkan kejahatan penyiksaan dibedakan dari
bentuk-bentuk penganiayaan yang lain (mistreatment). Penyiksaan sebagai tindak kejahatan
bukanlah kekerasan yang dilakukan tanpa alasan; artinya penyiksaan dilakukan untuk
mencapai tujuan dan hasil tertentu melalui perbuatan yang menimbulkan luka fisik dan
penderitaan mental. Oleh karena itu, tanpa adanya maksud atau tujuan seperti yang tersebut
di atas, meski terdapat luka serius, tidak dapat dikualifikasikan sebagai penyiksaan seperti
yang tertuang dalam Pasal 3 atau 5.”
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 188: “Penderitaan yang diakibatkan
oleh luka serius dari sebuah tindak kejahatan harus dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh
diragukan (beyond reasonable doubt)....”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 140: “[T]ujuan terlarang yang
terdaftar dalam Konvensi Menentang Penyiksaan sebagaimana terefleksikan oleh hukum
kebiasaan internasional ‘bukanlah merupakan sebuah daftar yang lengkap, dan haruslah
dipandang semata-mata sebagai representasi saja.’” “[M]erendahkan martabat korban atau
72
pihak ketiga merupakan suatu tujuan yang dilarang bagi penyiksaan di bawah hukum
humaniter internasional.”
(a) Tujuan yang dilarang tidak perlu merupakan tujuan paling
menentukan atau satu-satunya
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 153: “[T]ujuan yang dilarang
tidak perlu merupakan satu-satunya tujuan, tidak juga sebagai tujuan utama yang
mendatangkan sakit dan penderitaan berat bagi yang dituju.”
Penuntut v. Kunarac, Kovac dan Vukovic, Kasus No. IT-96-23 dan IT-96-23/11 (Sidang
Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 486: “Tidak ada persyaratan berdasarkan hukum
kebiasaan internasional bahwa tindak kejahatan semata mata dilakukan untuk sebuah tujuan
yang dilarang (prohibited purposes). Tujuan yang dilarang harus merupakan bagian yang
memotivasi tindakan kejahatan tersebut dan hal tersebut tidak harus menjadi satu-satunya
tujuan, dan tidak harus merupakan tujuan yang dominan.”
(6) Peran pejabat publik tidak diperlukan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 148: “[K]eterlibatan
pejabat publik tidak menjadi persyaratan dalam hukum kebiasaan internasional berkaitan
dengan tanggung jawab individu atas kasus penyiksaan di luar kerangka Konvensi Menentang
Penyiksaan (Torture Convention).”
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 188: “Berdasarkan hukum humaniter
internasional secara umum, dan khususnya Pasal 3 dan 5 Statuta, kehadiran atau keterlibatan
pejabat publik (state official) atau orang yang memiliki wewenang di dalam proses penyiksaan
tidak diperlukan dalam kejahatan yang dianggap sebagai ‘penyiksaan’.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 139: “[P]ersyaratan aktor
negara (state actor) seperti yang tercantum dalam hukum HAM internasional tidak konsisten
dengan penerapan tanggung jawab pidana individual dalam krisis internasional pada hukum
humaniter internasional dan hukum pidana internasional.
73
Akan tetapi dalam kasus Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 111 disebutkan:
Unsur kelima pada kejahatan penyiksaan dalam situasi konflik bersenjata adalah “setidaknya
salah seorang yang terlibat dalam proses penyiksaan adalah pejabat publik atau paling tidak
bertindak di luar kapasitas pribadinya (non-private capacity), misalnya secara de facto sebagai
organ Negara atau entitas lain yang memiliki kewenangan.”
Lihat juga Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21, (Sidang Banding), 16 November 1998,
Paragraf 494-496: Tindak penyiksaan mengharuskan adanya suatu tindakan atau kelalaian
yang “dilakukan oleh, atau atas hasutan atau dengan kesadaran penuh dari pejabat publik atau
seseorang yang bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik.”
(7) Pelaksanaan
(a) Bentuk-bentuk tindakan yang termasuk dalam penyiksaan
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 144: “Pemukulan, kekerasan
seksual, larangan dalam waktu yang lama untuk beristirahat (tidur), makan, bantuan medis
dan kesehatan, serta ancaman penyiksaan, pemerkosaan, atau pembunuhan terhadap orang-
orang yang memiliki hubungan (kerabat) dengan korban merupakan bagian dari tindakan
penyiksaan. Mutilasi juga merupakan bagian dari tindakan yang disebut dengan penyiksaan.”
(b) Pemerkosaan dan bentuk kekerasan seksual lain sebagai penyiksaan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 149-151: “[B]eberapa
kejahatan lain juga mengakibatkan penderitaan bagi korbannya. Pemerkosaan adalah ...
tindakan semacam itu. ... Kekerasan seksual dapat mengakibatkan rasa sakit yang parah dan
penderitaan berat, baik fisik maupun mental, dan dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai
bagian dari penyiksaan. Pemerkosaan dapat merupakan tindak penyiksaan, seperti yang
disebutkan dalam definisi kejahatan penyiksaan, jika pemerkosaan itu terbukti mengakibatkan
luka parah atau penderitaan berat.”
74
75
Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21, (Sidang Pengadilan), 16 November 1998, Paragraf
494-496: Sidang Pengadilan menyatakan bahwa “pemerkosaan dan bentuk-bentuk lain dari
kekerasan seksual dapat disebut sebagai penyiksaan apabila pemerkosaan dan bentuk bentuk
lain dari kekerasan seksual tersebut memenuhi kriteria dari unsur-unsur penyiksaan, seperti
yang tercantum pada Pasal 2 dan 3 Statuta, yaitu: (i) tindakan atau pembiaran yang
menyebabkan rasa sakit atau penderitaan berat, baik mental maupun fisik, harus terjadi (ii)
tindakan atau pembiaran tersebut dilakukan dengan niat, (iii) dan dengan tujuan untuk
mendapatkan informasi atau pengakuan dari korban, atau pihak ketiga, dengan cara
menghukum korban atau pihak ketiga atau tuduhan yang ditimpakan kepadanya,
mengintimidasi atau memaksa korban atau pihak ketiga, atau berbagai alasan dengan cara
mendiskriminasi, (iv) dan tindakan atau pembiaran tersebut dilakukan oleh, atau dihasut oleh,
atau dengan kesadaran penuh dilakukan oleh pejabat publik atau orang lain yang bertindak
dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik.”3
Mucic dkk., (Sidang Pengadilan), 16 November 1998, Paragraf 495: Penderitaan psikologis
korban pemerkosaan dapat diperparah dengan kondisi sosial budaya dan dapat bersifat akut
serta berjangka panjang. Sulit untuk membayangkan bahwa pemerkosaan yang dilakukan
oleh, atau atas hasutan pejabat publik, atau dengan persetujuan pejabat publik yang dilakukan
untuk tujuan tertentu, tidak melibatkan penghukuman, pemerasan, diskriminasi atau
intimidasi, karena hal-hal tersebut secara inheren terjadi dalam situasi konflik bersenjata.”4
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 145: “[P]emerkosaan yang
mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan berat, dapat dianggap sebagai penyiksaan, jika
unsur-unsur penyiksaan, seperti tujuan yang dilarang (prohibited purpos), terpenuhi.”
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 163-164: “Pemerkosaan
dilakukan sebagai cara oleh baik interogator sendiri maupun oleh orang lain yang
berhubungan dengan proses interogasi tahanan, dengan maksud untuk menghukum,
3 Misalnya, apakah keterlibatan pejabat publik tersebut diperlukan, lihat Bagian (II)(d)(i)(6), ICTY Digest.
4 Ibid.
memaksa atau menghina korban, atau mendapatkan informasi atau pengakuan dari korban
atau pihak ketiga. Dalam hukum HAM, dalam situasi seperti itu pemerkosaan dapat
dikategorikan sebagai penyiksaan.” “Apakah pemerkosaan diklasifikasikan sebagai kejahatan
yang berbeda dari penyiksaan menurut hukum kejahatan internasional (international criminal
law) sangat tergantung pada situasi-situasi yang menyertai pemerkosaan itu sendiri
sebagaimana digambarkan di atas.”
Lihat juga ulasan tentang penyiksaan berdasarkan Pasal 5, Bagian (IV)(c)(v), ICTY Digest, dan
Pasal 5, Bagian (II)(c)(v), ICTY Digest.
ii) Pemerkosaan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 127-132: “[A]ctus reus
atas kejahatan pemerkosaan dalam hukum internasional didefinisikan sebagai; penetrasi
seksual (meskipun dangkal), pada: (a) vagina atau anus korban oleh penis pelaku atau benda
lain yang digunakan oleh pelaku; atau (b) mulut korban oleh penis pelaku; dan (c) penetrasi
seksual ini terjadi tanpa persetujuan korban. Persetujuan (consent) yang dimaksud di sini adalah
persetujuan secara suka rela yang didasarkan pada keinginan bebas korban, dalam konteks
situasi sekitarnya. Mens rea adalah niat yang mengakibatkan terjadinya penetrasi seksual, dan
kejadian itu terjadi tanpa persetujuan korban.” “Perlawanan” tidak harus ada dalam konteks
ini. “Paksaan atau ancaman jelas menggambarkan kejadian non-consent, tetapi paksaan
bukanlah unsur yang menyebabkan pemerkosaan terjadi.” “[T]erdapat ‘faktor lain di luar
paksaan yang menyebabkan terjadinya penetrasi seksual yang bersifat non-consensual (tanpa
persetujuan) atau non-voluntary (tanpa kerelaan) korban.’ Pandangan sempit tentang paksaan
atau ancaman dapat menghindarkan pelaku dari tanggung-jawabnya, di mana pihak yang
melakukan kejahatan ini mengambil keuntungan karena pertimbangannya hanya bersandar
pada paksaan fisik (physical force).”
Lihat juga ulasan tentang pemerkosaan pada Pasal 5, Bagian (IV)(c)(vi), ICTY Digest.
iii) Perlakuan kejam
(3) Definisi
76
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 265: “[P]engadilan tingkat
Pertama yang menangani kasus Celebici menyimpulkan bahwa perlakuan kejam merupakan
tindakan yang diawali dengan niat atau pembiaran, yaitu tindakan yang dinilai secara objektif,
dilakukan dengan sengaja (deliberate) dan bukan kebetulan (not accidental), yang mana tindakan
tersebut mengakibatkan luka, atau penderitaan fisik dan mental, atau tindakan yang
merupakan serangan serius terhadap martabat manusia. ‘Perlakuan kejam adalah sama dengan
tindakan tidak manusiawi lainnya dalam kerangka pelanggaran berat atas pasal-pasal dalam
Konvensi-Konvensi Jenewa.’”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf, 186: “[P]erlakuan kejam merupakan
tindakan yang dimulai dengan niat atau pembiaran ‘yang mengakibatkan luka atau
penderitaan fisik dan mental serius, atau tindakan yang merupakan serangan serius terhadap
martabat manusia. Dengan demikian tindakan tersebut memiliki arti yang sama, dan oleh
karenanya memiliki fungsi residual berdasarkan Pasal 3 Umum Statuta, sebagai perlakuan
tidak manusiawi (inhuman treatment), yang memiliki hubungan dengan pelanggaran berat
terhadap Konvensi Jenewa.’” Lihat juga kasus Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999,
Paragraf 34, 41.
(2) Penderitaan mental lebih rendah dari tindak penyiksaan
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 161: “[T]ingkat penderitaan
fisik ataupun mental dibutuhkan untuk membuktikan bahwa perlakuan kejam berkedudukan
lebih rendah daripada penyiksaan, meskipun dalam hal tertentu perlakuan kejam berada
dalam level yang sama dengan penyiksaan, yaitu ‘dengan sengaja menyebabkan terjadinya
penderitaan berat atau luka serius terhadap tubuh atau kesehatan.’ [D]erajat penderitaan
tersebut dibutuhkan untuk membuktikan bahwa perlakuan kejam atau tidak manusiawi tidak
setinggi seperti yang disyaratkan pada tindak penyiksaan.”
(3) Tujuan yang dilarang (prohibited purpose) tidak dipersyaratkan
77
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 226: “Persyaratan atas tujuan
yang dilarang (prohibited purpose) yang merupakan sifat kejahatan penyiksaan, secara material
merupakan unsur yang berbeda sehingga tidak dipersyaratkan dalam perlakuan kejam.”
(4) Contoh-contoh
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 161: “[P]enggunaan manusia
sebagai tameng merupakan perlakuan kejam seperti yang tertuang dalam Pasal 3 Statuta.”
Lihat juga ulasan tentang perlakuan kejam pada Pasal 2, Bagian (I)(d)(ii)(2), ICTY Digest.
iv) Pembunuhan
(1) Definisi
Penuntut v. Krstic, Kasus No. IT-98-33 (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 485:
“Secara konsisten, pembunuhan telah didefinisikan ... sebagai tindakan atau pembiaran
terdakwa yang dilakukan dengan niat untuk membunuh atau menyebabkan bahaya serius
yang dapat menyebabkan kematian bagi korban.”
Vasilijevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 205: “Berdasarkan hukum
kebiasaan internasional, unsur-unsur yang terdapat dalam definisi ‘pembunuhan’ adalah
sebagai berikut: (1) Korban meninggal; (2) Kematiannya disebabkan oleh tindakan atau
pembiaran yang dilakukan oleh terdakwa, atau seseorang, atau orang-orang, yang akibat dari
tindakan atau pembiaran yang dilakukan itu dapat menyeret pelakunya untuk
mempertanggungjawabkan kejahatan yang telah diperbuat; (3) Tindakan atau pembiaran yang
dilakukan terdakwa, atau seseorang, atau orang-orang itu dilakukan dengan niat untuk
membunuh atau melukai, atau mengakibatkan luka serius, dengan alasan jelas bahwa tindakan
tersebut bertujuan untuk membunuh. Lihat juga Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret
2002, Paragraf 324 (sama).
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 35: “Pembunuhan (murder)
didefinisikan sebagai perbuatan atau tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghabisi
78
nyawa seseorang. Unsur hukum dari kejahatan pembunuhan, yang secara umum diakui dalam
hukum nasional adalah: (a) korban meninggal, (b) disebabkan oleh tindakan terdakwa, (c)
dilakukan dengan niat untuk menghabisi nyawa seseorang.
(2) Perbandingan antara pembunuhan (murder) pada Pasal 3 dan
pembunuhan disengaja (wilfull killing) pada Pasal 2
Kordic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 233: “[U]nsur-unsur
kejahatan ‘pembunuhan’ pada Pasal 3 Statuta sama dengan yang didefinisikan sebagai
‘pembunuhan dengan sengaja’ pada Pasal 2 Statuta, dengan pengecualian bahwa Pasal 3
Statuta menyatakan kejahatan tersebut tidak harus ditujukan kepada ‘orang yang dilindungi’
tetapi terhadap seseorang yang ‘tidak terlibat aktif dalam peperangan’.” Lihat juga Blaskic,
(Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 181.
Lihat pula ulasan tentang pembunuhan disengaja (wilfull killing) pada Pasal 2, Bagian (I)(d)(i),
dan pembunuhan pada Pasal 5, Bagian (IV)(c)(i), ICTY Digest.
(3) Bukti jasad korban tidak dipersyaratkan
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 326: “Yang dimaksud dengan bukti
yang melampaui keraguan yang beralasan (beyond reasonable doubt), misalnya, bahwa untuk
membuktikan seseorang yang dibunuh bukti jasad korban yang telah ditemukan tidak harus
ada. [F]akta kematian korban dapat disimpulkan dari seluruh bukti yang dihadirkan pada
Sidang Pengadilan.”
(4) Bunuh diri sebagai pembunuhan (suicide as murder)
Krnojelac, (Pengadilan tingkat Banding), 15 Maret 2002, Paragraf 329: “Isu penting [untuk
menentukan apakah bunuh diri dapat dianggap sebagai pembunuhan] adalah soal penyebab
(causation) dan niat perbuatan tersebut. Relevansi perbuatan atau pembiaran yang dilakukan
terdakwa atau siapa pun yang bertanggung-jawab atas kejahatan yang menyebabkan korban
mengambil keputusan bunuh diri adalah bahwa terdakwa atau siapa pun yang bertanggung-
jawab atas kejahatan tersebut memiliki niat, yang diwujudkan dengan tindakan atau
79
pembiaran yang mengakibatkan korban bunuh diri, atau terdakwa mengetahui bahwa
tindakan bunuh diri yang dilakukan korban merupakan hasil perbuatan atau karena
pembiaran yang dilakukannya. Terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas
kejahatan yang dilakukannya kecuali apabila tindakan atau pembiaran yang dilakukannya
menyebabkan korban bunuh diri dan berakhir pada kematian korban. Dengan kata lain,
bunuh diri yang menyebabkan kematian korban merupakan konsekuensi dari tindakan atau
pembiaran yang dilakukan pelaku, atau siapa pun yang harus mempertanggungjawabkan
tindak kejahatannya.”
v) Kekerasan terhadap hidup seseorang
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 182: Kekerasan terhadap hidup
seseorang “merupakan kejahatan yang meliputi pembunuhan, pemotongan bagian-bagian
tubuh (mutilasi), perlakuan kejam, penyiksaan, dan yang didefinisikan sebagai akumulasi
berbagai unsur kejahatan khusus. Kejahatan tersebut dapat dikaitkan dengan Pasal 2(a)
Statuta (pembunuhan secara sengaja), Pasal 2(b) Statuta (perlakuan tidak manusiawi) dan
Pasal 2(c) Statuta (menyebabkan luka serius pada tubuh).” “[M]ens rea dapat dianggap ada jika
diketahui bahwa terdakwa berniat untuk melakukan kekerasan terhadap hidup korban secara
sengaja atau karena pembiaranya.”
Tapi lihat juga kasus Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 203: “Tidak
adanya indikasi yang kuat dalam praktik negara mengenai ‘kekerasan terhadap kehidupan
seseorang’ yang dinyatakan dalam Statuta di bawah hukum kebiasaan internasional membuat
Sidang Pengadilan tidak puas dengan kejahatan yang mengharuskan pelaku
mempertanggungjawabkan perbuatannya berdasarkan aturan hukum.”
vi) Kekejaman terhadap martabat manusia
(1) Definisi
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 161: “[K]ejahatan
terhadap martabat manusia mensyaratkan: (i) terdakwa secara sengaja berbuat atau terlibat
dalam suatu tindakan atau pembiaran yang dapat dianggap sebagai penyebab atas penghinaan
80
serius, perendahan dan serangan serius terhadap martabat manusia, (ii) terdakwa menyadari
bahwa tindakan yang dilakukannya dapat berakibat buruk.”
(2) Terjadi penghinaan yang intens sehingga korban merasa diperlakukan
sewenang-wenang
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 162: ‘[P]enghinaan
terhadap korban harus terjadi secara intens sehingga korban merasa diperlakukan sewenang-
wenang.” Sidang Banding menyatakan bahwa untuk menetapkan apakah telah terjadi
pelanggaran terhadap martabat manusia, Sidang Pengadilan tidak hanya tergantung pada
“penilaian subjektif korban atas tindakan tersebut, tetapi menggunakan kriteria objektif untuk
menentukan kapan sebuah tindakan dapat dianggap melanggar hak asasi tersebut.”
Penuntut v. Aleksovski, Kasus No. IT-95-14/1 (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 56-
57: Dengan menghargai actus reus dari “pelanggaran terhadap martabat manusia,”
“penghinaan terhadap korban harus terjadi secara intens sehingga korban merasa
diperlakukan secara sewenang-wenang.” “Bentuk, tingkat keparahan dan jangka waktu
kekerasan, intensitas dan jangka waktu penderitaan fisik dan mental, harus menjadi dasar
dalam menilai apakah kejahatan tersebut telah terjadi.”
(3) Penghinaan harus terjadi secara nyata dan serius
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 501: “Untuk
menyimpulkan bahwa penghinaan dan perendahan terhadap martabat manusia terjadi secara
nyata dan serius, Sidang Pengadilan tidak melihat alasan mengapa tindakan tersebut harus
‘berlangsung terus’ dengan pertimbangan bahwa korban telah pulih atau adanya efek lanjutan
dari kejahatan tersebut yang menunjukkan bahwa tindakan tersebut tidak dapat dianggap
sebagai perendahan terhadap martabat manusia. Jelas, jika penghinaan dan penderitaan yang
dirasakan hanya sejenak, maka agaknya tindakan tersebut tidak dapat dikatakan terjadi secara
nyata dan serius. Namun hal ini tidak berarti bahwa persyaratan minimum sementara atas
dampak dari sebuah pelanggaran terhadap martabat manusia merupakan unsur dari kejahatan
tersebut.”
81
Perbandingan kasus Aleksovski, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 54-56: “Pelanggaran
terhadap martabat manusia dalam Pasal 3 Statuta merupakan sebuah bentuk perlakuan tidak
manusiawi yang tercela, yang menyebabkan penderitaan yang sangat serius dibandingkan
dengan tindakan-tindakan lain yang dilarang dalam genus-nya. Pelanggaran atas martabat
manusia adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menghina martabat orang lain. Akibat dari
tindakan tersebut adalah bahwa tindakan itu menyebabkan penghinaan serius atau
perendahan korban. Tidak penting bahwa tindakan tersebut ditujukan langsung untuk
membahayakan fisik dan mental korban. Namun penting bahwa tindakan tersebut
mengakibatkan penderitaan nyata dan berkepanjangan bagi individu dari penghinaan atau
perendahan. Tingkat penderitaan yang dirasakan korban secara jelas tergantung dari
temperamen pelaku.”
(4) Pembunuhan bukan pelanggaran atas martabat manusia
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 172: “[P]embunuhan tidak
dapat digolongkan sebagai pelanggaran atas martabat manusia. Pembunuhan mengakibatkan
kematian, dan inilah yang membedakannya dari konsep penghinaan serius, perendahan atau
pengabaian terhadap martabat manusia. Fokus pelanggaran atas martabat manusia ini terletak
pada tindakan, pembiaran, atau kata-kata tidak perlu yang membahayakan fisik untuk jangka
panjang, dan merupakan kejahatan serius yang harus diganjar hukuman.”
(5) Niat jahat (mental state, mens rea)
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 164-166: “[K]ejahatan
berupa pelanggaran terhadap martabat manusia mensyaratkan bahwa terdakwa mengetahui
tindakan atau pembiarannya dapat mengakibatkan penghinaan, perendahan atau bahkan
pengabaian serius terhadap martabat manusia. [K]ejahatan tersebut ... hanya mensyaratkan
adanya kesadaran tentang ‘kemungkinan’ konsekuensi atas kejahatan atau pembiaran yang
dilakukan.”
Aleksovski (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 56: Sesuai dengan persyaratan mens rea
... pelaku harus bertindak secara sengaja atau pembiaran secara sengaja, meskipun
kesengajaan ini masih belum cukup untuk membuktikan adanya mens rea. Apabila pelaku tidak
82
mempunyai niat tertentu untuk menghina atau merendahkan korban, maka dia harus dapat
menerima hal ini sebagai konsekuensi logis dan memang selayaknya didapat dari
tindakannya.”
(6) Tujuan yang dilarang tidak dipersyaratkan
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 226: “Persyaratan adanya tujuan
yang dilarang yang dicirikan dengan tindak penyiksaan, secara materil merupakan unsur
berbeda dan tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap martabat manusia.”
(7) Niat atau motif diskriminatif tidak dipersyaratkan
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 28: “[P]elaku yang memiliki niat atau
motif diskriminatif tidak termasuk dalam unsur kejahatan pada Pasal 3 Statuta, dan juga
bukan kejahatan yang melanggar martabat pribadi.”
(8) Contoh-contoh
Aleksovski, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 229: “[P]enggunaan tahanan sebagai
tameng atau trench-digger merupakan pelanggaran terhadap martabat manusia.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 173: “[B]uruknya kondisi
tahanan,” termasuk “paksaan untuk patuh,” “paksaan untuk melepaskan pakaiannya,” dan
“terus-menerus berada dalam ketakutan akan menjadi sasaran kekerasan fisik, mental dan
seksual,” di kamp merupakan tindakan yang melanggar martabat manusia.
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 172-173: “Pemerkosaan ... dapat
dianggap ... sebagai pelanggaran hukum atau pelanggaran terhadap kebiasaan perang,” dan
pada “Pasal 3 Statuta menetapkan bahwa satu dari pelanggaran terhadap martabat manusia
adalah pemerkosaan.”
vii) Penyanderaan
83
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 319-320: “[U]nsur-unsur
kejahatan penyanderaan pada Pasal 3 Statuta secara essensial sama dengan kejahatan
penyanderaan terhadap warga sipil seperti yang diuraikan pada Pasal 2(h).”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 187: “Definisi penyanderaan harus
dipahami sama dengan penyanderaan terhadap warga sipil, yang merupakan pelanggaran
HAM berat seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Statuta, yaitu pelanggaran atas hak
kebebasan seorang secara tidak sah, dan bahkan dilakukan secara sewenang-wenang dan
seringkali dengan ancaman mati. [U]ntuk dapat dikategorikan sebagai sandera, tahanan harus
dijadikan alat untuk mencapai keinginan penyanderanya, atau untuk memastikan bahwa
pertikaian terjadi atas orang-orang atau sekelompok orang.”
Lihat juga ulasan tentang “penyanderaan” pada Pasal 2, Bagian (I)(d)(viii), ICTY Digest.
viii) Penghancuran sewenang-wenang tidak diakibatkan karena keterdesakan
militer
Kordic and Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 346-347: “[U]nsur
kejahatan berupa penghancuran sewenang-wenang yang dilakukan bukan karena
keterdesakan militer yang diatur dalam Pasal 3(b) Statuta dapat terpenuhi, jika: (i)
penghancuran atas harta milik (property) terjadi dalam skala besar; (ii) penghancuran tersebut
tidak disebabkan oleh keterdesakan militer, dan (iii) pelaku melakukannya dengan niat untuk
menghancurkan harta milik warga sipil. [A]pabila harta milik yang berada dalam wilayah
musuh tidak dilindungi oleh Konvensi Jenewa, maka tindakan tersebut tidak termasuk dalam
penghancuran meluas atas harta milik seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Jenewa
sebagai pelanggaran HAM berat, namun penghancuran tersebut di atas diatur dalam Pasal 3
Statuta.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 183: “Sama seperti pelanggaran HAM
berat yang merupakan bagian dari Pasal 2(d) Statuta, penghancuran atas harta milik dilarang,
kecuali karena keterdesakan militer. Agar penghancuran tersebut dapat dihukum, maka harus
terbukti bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan niat, atau terdakwa telah memperkirakan
konsekuensi dari tindakan tersebut.”
84
Lihat ulasan tentang penghancuran meluas yang dilakukan bukan karena keterdesakan militer
pada Pasal 2, Bagian (I)(d)(v), ICTY Digest.
ix) Perampasan (plunder)
(1) Definisi
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 612: “Kejahatan ini
didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan secara sengaja dan melanggar hukum atas harta
milik (property), seperti yang tertera pada Pasal 3(e) Statuta, yang berdampak pada harta milik
pribadi maupun publik.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 617: “Perampasan
sebagai kejahatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 3(e) Statuta dianggap terjadi apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: i) persyaratan khusus pada Pasal 3 Statuta termasuk
keseriusan pelanggaran, telah tercakupi; ii) harta milik pribadi maupun publik dilanggar
dengan sengaja dan secara tidak sah.”
Kordic dan Cerkez, (Pengadulan tingkat Pertama), 26 Februari 2001, Paragraf 352: “Esensi
kejahatan (perampasan) didefinisikan dalam kasus Celebici sebagai ‘segala bentuk perampasan
ilegal (unlawful appropriation) atas harta milik yang terjadi dalam konflik bersenjata, di mana
tanggung jawab individu dilihat berdasarkan hukum internasional, termasuk kejahatan yang
secara umum dikenal dengan penjarahan (pillagei).’”
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 48: “Perampasan didefinisikan
sebagai tindakan curang atas uang pribadi atau uang publik yang menjadi milik musuh atau
pihak musuh atau pihak lawan, yang dilakukan selama konflik bersenjata atau peristiwa-
peristiwa sejenisnya.”
(2) Termasuk perampasan skala besar dan juga dilakukan oleh tentara secara
individu
85
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 612-613: “Istilah
perampasan merupakan istilah umum, bukan hanya perampasan skala besar atas harta milik
dalam kerangka eksploitasi ekonomi yang dilakukan secara sistematik pada wilayah yang
diduduki, namun juga kejahatan yang dilakukan oleh tentara secara individu untuk
kepentingan pribadi mereka. ... [P]erampasan tidak harus dilakukan secara meluas atau
melibatkan nilai ekonomi skala besar.” Kunarac “menyatakan bahwa kata ‘perampasan’ ...
dianggap sebagai pencurian yang setidaknya dilakukan sekurang-kurangnya oleh satu orang.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 352: “Tindakan tersebut
termasuk pengambilan atau perolehan harta benda dengan cara melanggar hak-hak
pemiliknya, dan pencurian terisolasi atau perampasan yang dilakukan secara perorangan
untuk kepentingan pribadinya.”
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 48: “... ‘perampasan terhadap harta
milik pribadi pihak musuh, dan lebih luas perampasan yang dilakukan oleh tentara secara
perorangan untuk kepentingan pribadinya, dan perampasan secara terorganisasi terhadap
harta milik yang dilakukan dengan maksud eksploitasi ekonomi terhadap wilayah jajahan
adalah tindakan yang dilarang.’ [P]erampasan yang dilakukan oleh orang perorangan yang
dimotivasi oleh aspek keserakahan dapat dikenakan pertanggungjawaban individu sebagai
pelaku kejahatan.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 184: “Larangan atas perampasan secara
sewenang-wenang atas harta milik pribadi dan publik milik musuh mencakup larangan
terhadap tindakan perampasan yang dilakukan untuk kepentingan pribadi dan ‘perampasan
terorganisir atas harta milik, yang dilakukan dengan maksud eksploitasi ekonomi secara
sistematik terhadap wilayah jajahan.’”
(3) Perampasan harus mengakibatkan konsekuensi berat bagi korban atau
nilai uang secara signifikan
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 613-614: “[P]erampasan
ini berakibat fatal bagi korban sehingga tindak kejahatan ini dikategorikan sebagai
‘pelanggaran serius’.” Celebici menyatakan bahwa “untuk menyatakan bahwa perampasan
86
berkonsekuensi berat bagi korban, maka harta yang dirampas harus memiliki nilai yang setara
dan signifikan dengan ‘sejumlah uang’.” “Perampasan merupakan pelanggaran serius, bukan
hanya karena korban menderita secara ekonomi karena kejadian tersebut, tetapi tindak
kejahatan itu juga dapat berakibat buruk pada sejumlah besar orang.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 352: “‘[P]elarangan
terhadap kejahatan atas harta milik pribadi dan publik merupakan cara untuk melindungi
harta milik tersebut.’ Untuk mengukur tingkat kepentingannya, Clebici mengacu pada ‘nilai
uang secara signifikan’ atas harta milik yang dilanggar sehingga kejahatan tersebut berakibat
berat bagi korban.”
(4) Penerapan
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 615: “Pasal 3(e)
melarang perampasan (penjarahan) di seluruh wilayah konflik. ... [P]elarangan terhadap
perampasan ini tidak terbatas hanya pada wilayah pendudukan. ...”
(5) Perampasan termasuk “penjarahan”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 184: “Perampasan harus dipahami
sebagai bentuk penjarahan ilegal atas harta benda dalam konflik bersenjata, di mana tanggung
jawab pidana individu diatur di dalam hukum internasional, termasuk kejahatan yang biasanya
disebut sebagai ‘penjarahan’.”
(6) Pelaksanaan
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 49: “[T]ersangka mencuri uang, jam,
perhiasan dan barang berharga lainnya dari para tahanan pada saat mereka tiba di kamp Luka,
dan pencurian itu dilakukan dengan ancaman bahwa siapa yang tidak menyerahkan seluruh
barang yang dimilikinya akan mati. Terdakwa dalam melakukan perampasan kadang-kadang
didampingi oleh pengawal (guards) ... namun lebih sering dilakukannya sendiri. Sidang
Pengadilan menyatakan bahwa unsur ini cukup untuk menegaskan kesalahan terdakwa yang
dihukum atas dasar dakwaan perampasan.”
87
x) Penghancuran atau perusakan disengaja terhadap lembaga-lembaga
keagamaan dan pendidikan
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 185: Penghancuran atau pengrusakan
yang dilakukan secara disengaja terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan
terbukti, apabila “penghancuran atau pengrusakan tersebut dilakukan dengan niat terhadap
lembaga-lembaga keagamaan atau pendidikan yang tidak digunakan oleh militer pada saat
peristiwa itu terjadi, dan selanjutnya lembaga-lembaga tersebut tidak berada di sekitar objek-
objek atau bangunan militer.”
Lihat juga kasus Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 603-
605: “Pengadilan menolak bahwa institusi-institusi yang dilindungi ‘tidak harus berada di
sekitar bangunan militer (military objectives)’” dan “tidak sepakat dengan pandangan yang
membenarkan penghancuran atas bangunan institusi hanya karena letaknya yang ‘berdekatan
dengan bangunan militer.’” “[K]ejahatan berdasarkan Pasal 3(d) Statuta terjadi apabila: i)
persyaratan umum Pasal 3 Statuta terpenuhi; ii) penghancuran ditujukan kepada lembaga-
lembaga yang didedikasikan untuk agama; iii) property tersebut tidak digunakan untuk
kepentingan militer; iv) pelaku melakukannya dengan maksud untuk menghancurkan
property.”
xi) Serangan tidak sah terhadap warga sipil dan objek-objek sipil
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 326-328: “[S]erangan yang
dimaksud adalah serangan yang dilakukan secara sengaja terhadap warga sipil atau objek-
objek sipil dalam situasi konflik bersenjata dan serangan tersebut tidak disebabkan oleh
keterdesakan militer. Serangan tersebut harus mengakibatkan kematian dan atau luka parah
pada penduduk sipil atau kerusakan meluas pada objek-objek sipil.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 180: “[S]erangan harus mengakibatkan
kematian dan atau luka parah pada penduduk sipil atau kerusakan pada harta benda mereka.
Serangan yang ditujukan kepada warga sipil atau harta benda mereka merupakan kejahatan,
apabila serangan tersebut dilakukan bukan karena keterdesakan militer.” “Serangan tersebut
88
harus dilakukan secara sengaja, dan ditujukan kepada warga sipil atau harta benda mereka
bukan karena alasan keterdesakan militer.”
xii) Mempekerjakan buruh secara tidak sah
(1) Definisi
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 250-261:
“[M]empekerjakan tahanan perang sebagai buruh secara tidak sah dapat didefinisikan sebagai
tindak kejahatan yang dilakukan secara sengaja, atau pembiaran terhadap tahanan dengan
memaksa mereka bekerja sebagai buruh, dilarang oleh Pasal 49, 50, 51, 52 pada Konvensi
Jenewa III” dan “Pasal 3 Statuta.” “[T]idak semua aktivitas perburuhan dilarang selama
konflik bersenjata. ... Pasal 49 Konvensi Jenewa III menetapkan prinsip-prinsip perburuhan
paksa terhadap tahanan perang, di mana prinsip dasarnya yang tertera pada Paragraf 1 Pasal
49 Konvensi Jenewa III menyebutkan bahwa ‘mempekerjakan tahanan perang adalah hak
bagi Penguasa (Penjajah),’ dengan syarat 1) kerja paksa tersebut terkait dengan tahanan itu
sendiri, dan 2) sifat pekerjaan tersebut. Oleh karena itu, para tahanan perang diperbolehkan
bekerja jika itu dilakukan untuk kepentingannya sendiri, dengan mempertimbangkan usia dan
jenis kelamin, kemampuan fisik dan kedudukannya. Pasal 50 dan 52 Konvesi Jenewa III
menetapkan pekerjaan apa saja yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
Ditekankan dalam bagian Komentar bahwa: ‘yang ditekankan adalah bahwa pekerjaan
tersebut masih dalam kaitan dengan peperangan.’”
(2) Niat jahat (mental state, mens rea)
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 260: “Untuk
menentukan bahwa unsur-unsur mens rea terdapat pada kejahatan mempekerjakan tahanan
sebagai buruh secara tidak sah, maka tuntutan terhadap pelaku harus dapat membuktikan
bahwa ia mempunyai niat untuk mempekerjakan tahanan pada pekerjaan yang dilarang. Niat
itu dapat ditunjukkan dengan bukti langsung dan eksplisit (direct explisit evidence), atau, jika
tidak ditemukan bukti maka dapat dilihat pekerjaan seperti apa yang dilakukan oleh tahanan
tersebut.”
89
Ulasan tentang pendudukan yang terkait dengan unlawful labor (mempekerjakan tahanan
secara tidak sah) dapat dilihat pada Bagian (I)(e), pada ICTY Digest.
xiii) Perbudakan
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 350-351, 356, 359: “Perbudakan pada
Pasal 5 ... didefinisikan oleh Tribunal (Pengadilan) sebagai tindakan yang datang dari pelbagai
atau seluruh kekuasaan yang melekat dalam hak kepemilikan atas seorang individu. Actus reus
perbudakan adalah perwujudan dari kekuasaan tersebut, dan adanya niat untuk
mengimplementasikan kekuasaan tersebut, dan itu dilakukan secara sengaja. Meskipun tidak
disinggung dalam Pasal 3, namun perbudakan tetap dapat dihukum dengan Pasal tersebut jika
4 (empat) persyaratan khusus pada Pasal 3 ... terpenuhi.” “Sidang Pengadilan setuju bahwa
kejahatan perbudakan seperti yang disebut dalam Pasal 3 sama dengan kejahatan perbudakan
seperti yang tertuang dalam Pasal 5. Oleh karenanya, perbudakan pada Pasal 3 mensyaratkan
adanya bukti-bukti terjadinya tindak kejahatan tersebut seperti yang disinggung dalam Pasal
5.” “‘[K]erja paksa’ merupakan indikasi bahwa ‘perbudakan terjadi,’ dan menjadi ‘faktor yang
dipertimbangkan dalam menentukan apakah telah terjadi tindak kejahatan perbudakan.’”
Lihat juga ulasan tentang perbudakan pada pasal 5, Bagian (IV)(c)(iii), ICTY Digest.
90
III. GENOSIDA (PASAL 4)
a) Statuta
Statuta ICTY, Pasal 4:
“1. Pengadilan Internasional (International Tribunal) memiliki kekuasaan untuk menuntut
orang-orang yang melakukan kejahatan genosida seperti yang tertuang dalam paragraf 2 pasal
ini atau orang-orang yang melakukan tindakan lain seperti yang tertera pada paragraf 3 pasal
ini.
2. Genosida adalah tindak kejahatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan,
kebangsaan, etnis, kelompok ras atau agama baik secara keseluruhan maupun sebagian,
seperti berikut ini:
(a) Membunuh anggota kelompok;
(b) Menyebabkan luka parah atau merusak mental anggota kelompok;
(c) Dengan sengaja mengancam jiwa anggota kelompok yang menyebabkan luka fisik
baik sebagian maupun keseluruhan;
(d) Melakukan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran dalam
kelompok;
(e) Memindahkan anak-anak secara paksa dari satu kelompok ke kelompok lain.
3. Tindakan-tindakan di bawah ini layak untuk diganjar hukuman:
(a) Genosida;
(b) Konspirasi untuk melakukan genosida;
(c) Hasutan langsung untuk melakukan genosida;
(d) Upaya untuk melakukan genosida;
(e) Keterlibatan dalam genosida.”
b) Definisi
91
Krstic (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 550: “Genosida merupakan tindak
kejahatan yang dimaksudkan untuk menghancurkan, baik keseluruhan atau sebagian,
terhadap kelompok tertentu dengan maksud tertentu. Di bawah ini adalah dua unsur yang
dapat dijadikan syarat terjadinya genosida: (1) tindakan atau serangkaian tindakan ditujukan
kepada sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama tertentu; (2) tindakan atau serangkaian
tindakan harus dimaksudkan untuk menghancurkan keseluruhan atau sebagian kelompok
tertentu.”
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 580: “[H]ukum kebiasaan internasional
membatasi definisi genosida sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan
secara fisik maupun biologis keseluruhan maupun sebagian kelompok tertantu.”
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 62: “Genosida dibagi menjadi 2
aspek hukum berdasarkan Pasal 4 Statuta: (1) unsur materil kejahatan terdiri dari satu atau
lebih kejahatan sebagaimana yang tertuang dalam Paragraf 2 Pasal 4; (2) mens rea kejahatan
tersebut, yaitu ada maksud tertentu untuk menghancurkan, baik keseluruhan maupun
sebagian, terhadap sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama tertentu.”
c) Niat jahat (mental state, mens rea): niat menghancurkan, baik keseluruhan
maupun sebagian, terhadap sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama
tertentu
i) Pengantar umum
Penuntut v. Jelisic, Kasus No. IT-95-10 (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 46: “Niat
khusus mensyaratkan bahwa pelaku melakukan tindakan seperti yang tertuang dalam Pasal 4
Statuta dengan maksud untuk menghacurkan, baik keseluruhan maupun sebagian, atas
sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama tertentu.”
Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 45: “Statuta mendefinisikan niat sebagai
keinginan (niat) untuk menghancurkan kelompok tertentu. Niat ini dapat berupa niat khusus
(special intent), niat spesifik (specific intent), dolus specialis, niat tertentu (particular intent) dan niat
untuk melakukan tindakan yang bersifat genosida (genocidal intent).”
92
ii) Niat menghancurkan, baik keseluruhan maupun sebagian
(1) Harus terjadi serangan terhadap sebuah kelompok, dan niat untuk
berpartisipasi atau melaksanakan serangan
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 78: “[P]engadilan tingkat Pertama
harus memeriksa ulang bahwa telah terjadi serangan terhadap sebuah kelompok atau
terdakwa memiliki niat untuk berpartisipasi atau melaksanakan serangan tersebut.”
(2) Meski penghancuran itu bukan tujuan sebenarnya, namun dapat dianggap
sebagai tujuan juga
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 572: “Meskipun niat awal serangan
bukan untuk menghancurkan sebuah kelompok, namun selama serangan, beberapa hal dari
tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tujuan.”
(3) Penghancuran sebagian
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 584: “[S]etiap tindakan yang dilakukan
untuk menghacurkan sebagian kelompok, merupakan tindakan genosida sesuai dengan
maksud Genosida dalam Konvensi.”
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 590: “[N]iat untuk menghancurkan
sebuah kelompok, meskipun hanya sebagian, juga berarti bahwa niat tersebut ditujukan untuk
menghancurkan kelompok tertentu dalam sebuah kelompok sebagai akumulasi individu yang
terisolasi dalam kelompok tersebut. Meskipun pelaku genosida tidak bermaksud untuk
menghancurkan keseluruhan kelompok yang dilindungi Konvensi, tetapi pelaku terlebih
dahulu harus mengkaji bagian dari kelompok (the part of the group) yang mereka ingin
hancurkan sebagai sebuah entitas berbeda yang harus disingkirkan. ...”
(a) Bagian “penting” dari kelompok
93
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 634: “[N]iat untuk menghancurkan,
meskipun hanya sebagian dari sebuah kelompok dianggap merupakan bagian penting dari
kelompok tersebut, baik dalam jumlah maupun secara kualitatif.”
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 82: “[S]ecara luas diakui bahwa niat
untuk menghancurkan harus ditujukan setidaknya kepada bagian penting dari kelompok
tersebut.”
(b) Bukti penghancuran terhadap kepemimpinan dapat dianggap sebagai
niat untuk menghancurkan “sebagian”
Penuntut v. Sikirica dkk., Kasus No. IT-95-8 (Sidang Banding), 3 September 2001, Paragraf 76-
77: “[N]iat untuk menghancurkan sebagian dapat terjadi bila terdapat bukti bahwa
penghancuran itu dilakukan pada bagian yang signifikan dari sebuah kelompok, misalnya
kepemimpinan. ... Niat tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan keinginan menghancurkan
sejumlah orang yang dipilih untuk mendapatkan dampak tertentu yaitu bahwa lenyapnya
orang-orang tersebut akan mambawa dampak bagi kelompoknya. Unsur penting yang
terdapat di sini bahwa sasaran dari tindakan itu adalah sejumlah orang yang telah dipilih
secara selektif berdasarkan alasan khusus, misalnya atas kepemimpinan mereka dalam
kelompok secara keseluruhan. Hal ini menjadi penting karena viktimisasi seperti yang
tercantum dalam Pasal 4(2) (a), (b), (c) akan berdampak pada keberlangsungan kelompok.”
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 82: “Niat genosida dapat ...
dimanifestasikan dalam dua bentuk. Manifestasi tersebut adalah niat untuk membasmi
sejumlah besar anggota kelompok, di mana dalam kasus tersebut, tindakan dimaksudkan
untuk menghancurkan kelompok en masse (secara massal). Namun tindakan tersebut dapat
berupa penghancuran disengaja atas sejumlah kecil orang yang dipilih, misalnya pimpinan
kelompok dengan tujuan bahwa hilangnya mereka akan mengganggu keberlangsungan
kelompok. Kondisi ini disebut dengan niat untuk menghancurkan kelompok ‘secara
selektif’.”
(c) Genosida hanya ditujukan pada wilayah geografis tertentu
94
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 83: “[G]enosida dilakukan di wilayah
geografis tertentu.” Wilayah geografis di mana sebuah upaya untuk melenyapkan suatu
kelompok tertentu dilakukan bisa saja “dibatasi pada ukuran suatu wilayah atau ...
kabupaten.”
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 590: “[P]enghancuran fisik hanya
ditujukan pada sebagian wilayah geografis dari kelompok yang lebih besar karena pelaku
genosida bertujuan untuk membinasakan sebuah kelompok sebagai entitas nyata dalam
wilayah geografis tersebut.”
(d) Pelaksanaan
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 554: “Pengadilan menyimpulkan bahwa
kelompok yang dilindungi, seperti yang dimaksud dalam Pasal 4 Statuta, harus dilihat dalam
kasus yang terjadi baru-baru ini, yaitu kelompok Muslim Bosnia. Muslim Bosnia Srebrenica
atau Muslim Bosnia di wilayah Timur Bosnia merupakan bagian dari kelompok yang
dilindungi berdasarkan Pasal 4.”
(4) Tidak diperlukan persiapan panjang
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 572: “Pasal 4 Statuta tidak
mengharuskan bahwa tindakan genosida dipersiapkan dalam jangka panjang.”
(5) Membedakan niat dari motif
Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 49: Sidang Banding mencatat adanya “ketidak-
terkaitan” antara motif dalam hukum pidana mengangkat soal “pentingnya membedakan niat
khusus (specific intent) dari motif (motive). Motif pribadi pelaku kejahatan genosida bisa saja
misalnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi secara ekonomi, atau kepentingan politik
atau untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi eksistensi motif pribadi tidak menghalangi pelaku
untuk memiliki niat khusus untuk melakukan genosida.”
(6) Niat dapat diduga
95
Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 47: “Jika tidak ada bukti langsung secara
eksplisit, maka untuk membuktikan adanya niat khusus, dapat dimungkinkan untuk melihat
sejumlah fakta dan keadaan, misalnya persiapan tindakan kejahatan secara sistematik
ditujukan kepada kelompok yang sama, skala kejahatan yang dilakukan, sasaran kepada
korban yang ditujukan secara sistematik atas dasar keanggotaannya dalam kelompok tertentu,
atau pengulangan tindakan destruktif dan tindakan diskriminatif.”
Bandingkan dengan kasus Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 78: “[N]iat
untuk melakukan kejahatan genosida tidak dapat diduga, meskipun dalam kasus di mana
eksistensi sebagian kelompok berada dalam ancaman.”
(7) Tidak perlu ada kebijakan atau perencanaan, namun kedua hal itu dapat
menjadi faktor penting
Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 48: “[A]danya suatu perencanaan atau suatu
kebijakan bukan merupakan unsur hukum atas kejahatan. Namun dalam banyak kasus,
eksistensi rencana atau kebijakan ini menjadi faktor penting untuk membuktikan adanya niat
khusus (specific intent). Bukti yang ada bisa saja konsisten dengan eksistensi rencana atau
kebijakan, atau bahkan dapat menunjukkan kejadian tersebut, dan suatu perencanaan atau
kebijakan dapat menjadi bukti kejahatan yang terjadi.”
iii) “Kebangsaan, kelompok etnis, ras atau agama, atau sejenisnya”
(1) “Sejenisnya (as such)”
(a) Korban dijadikan sasaran karena keanggotaan mereka dalam sebuah
kelompok
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 561: “[S]asaran kejahatan genosida
didasarkan pada keanggotaan korban dalam sebuah kelompok. ... Niat untuk menghancurkan
sebuah kelompok, secara keseluruhan maupun sebagian, diperkirakan dipilih dengan alasan
keanggotaan mereka (korban) dalam kelompok yang dihancurkan. Keanggotaan korban
96
dalam sebuah kelompok yang dijadikan sasaran penghancuran tidak cukup untuk
menetapkan niat untuk menghancurkan kelompok tersebut.
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 67: “Niat khusus yang dicirikan
sebagai genosida mengharuskan pelaku untuk memilih korbanya dengan alasan bahwa
mereka adalah bagian dari kelompok yang menjadi sasaran penghancuran. Tujuan pelaku
adalah untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok, berdasarkan keanggotaan
individu dalam kelompok tertentu. Yang dijadikan kriteria dalam menentukan korban
langsung dalam kejahatan genosida adalah keanggotaan mereka (korban) dalam kelompok
bukan pada identitas individu.”
(b) Kelompok yang menjadi target, bukan individu
Sikirika dkk., (Sidang Pengadilan), 3 September 2001, Paragraf 89: “Bukti harus
menunjukkan bahwa kelompok yang dijadikan sasaran, bukan merupakan orang-orang
tertentu dalam kelompok tersebut. Inilah signifikansi penggunaan frase “as such” dalam istilah
ini. Meskipun korban dari serangkaian tindak kejahatan tersebut adalah idividu, namun
korban utama atas kejahatan genosida adalah kelompok, dan penghancuran itu merupakan
kejahatan terhadap anggota kelompok dan kepemilikan individu dalam kelompok tersebut.
Inilah yang membedakan genosida dari kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya. Meskipun
keduanya sarat dengan unsur diskriminasi, beberapa di antaranya merupakan kejahatan biasa,
misalnya dalam kasus penganiayaan, pelaku melakukan kejahatan terhadap individu dengan
latar politik, ras atau agama.”
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 551: “[G]enosida ditujukan tidak hanya
kepada satu atau beberapa orang tapi sekelompok atau sejenisnya (as such).”
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 79: Niat harus ditujukan untuk
menghancurkan kelompok “tertentu”, yaitu entitas yang terpisah dan nyata, bukan ditujukan
kepada beberapa orang karena keanggotaan mereka dalam kelompok tertentu itu. Dengan
membunuh anggota individu pada kelompok yag menjadi sasaran, pelaku dengan demikian
tidak sekadar mewujudkan kebenciannya terhadap kelompok di mana korbannya berada,
namun pelaku juga menyadari bahwa tindakannya merupakan bagian dari kejahatan yang
97
meluas dan dilakukan secara sengaja untuk menghancurkan sebuah bangsa, kelompok etnis,
ras atau agama di mana korban adalah salah satu anggotanya.”
(2) Kelompok-kelompok yang dilindungi oleh Pasal 4
(a) Bangsa, kelompok etnis, ras atau agama
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 554: “[K]onvensi Genosida tidak
melindungi semua kelompok manusia. Yang dilindungi hanyalah kelompok atas dasar
kebangsaan, etnis, ras dan agama.”
(b) Bukan kelompok politik
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 69: “Pasal 4 Statuta ... tidak
mencakupkan kelompok-kelompok politik ke dalam ketentuannya. Persiapan Konvensi
[Genosida] memperlihatkan adanya keinginan untuk membatasi pelaksanaan Konvensi untuk
melindungi kelompok-kelompok ‘tetap’ yang secara objektif telah ditentukan dan yang dari
mana individu-individu berasal terlepas dari apa keinginan mereka sendiri.”
(c) Penghancuran budaya dan identitas tidak cukup untuk menunjukkan
terjadinya genosida, tapi dapat membantu untuk memperlihatkan
adanya niat untuk menghancurkan kelompok
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 580: “[U]paya untuk menyerang karakter
sosial budaya sebuah kelompok dengan maksud menghancurkan identitas khusus sebagai ciri
khas kelompok yang membedakannya dari kelompok yang lain, tidak termasuk dalam definisi
genosida. Jika terjadi penghancuran fisik atau biologis, serangan tersebut biasanya terjadi
secara simultan terhadap identitas budaya dan agama serta simbol-simbol yang dimiliki
kelompok yang menjadi sasaran, dan serangan tersebut dapat dianggap sebagai bukti bahwa
penghancuran kelompok secara sengaja terjadi.
(d) Evaluasi penggunaan kriteria subjektif: stigmatisasi oleh masyarakat
98
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 70-71: “Meskipun penentuan yang
dilakukan secara objektif terhadap kelompok agama masih memungkinkan ..., tetapi penilaian
terhadap status kebangsaan, kelompok etnis, ras dan agama lebih tepat ditentukan
berdasarkan sudut pandang orang-orang yang menginginkan kelompok tersebut diperhatikan
dalam masyarakat. Sidang Pengadilan ... memilih untuk mengevaluasi keanggotaan dalam
sebuah bangsa, kelompok etnis, ras atau agama dengan menggunakan kriteria subjektif. Ini
merupkan stigmatisasi kelompok sebagai unit kelompok bangsa, etnis atau ras oleh
masyarakat yang memungkinkannya untuk ditentukan apakah suatu populasi yang disasar
merupakan sebuah kelompok nasional, etnis atau rasial di mata pelaku sebagai terdakwa.”
“Sebuah kelompok dapat distigmatisasi dengan cara seperti ini melalui kriteria positif dan
negatif. ‘Pendekatan positif’ ditentukan dari pelaku kejahatan yang menentukan sebuah
kelompok dengan karakter tertentu yang membedakan mereka sebagai suatu kelompok
nasional, etnis, rasial atau keagamaan. ‘Pendekatan negatif’ dilakukan dengan mengidentifikasi
individu-individu yang bukan bagian dari kelompok di mana pelaku kejahatan menyatakan
bahwa mereka merupakan bagian dan mereka memperlihatkan karakteristik kebangsaan,
etnis, ras atau agama. Oleh karena itu, semua individu yang dikesampingkan, dengan
pengecualian, akan membentuk sebuah kelompok berbeda.”
d) Kejahatan-kejahatan utama (underlying offences)
i) Pembunuhan terhadap anggota kelompok
ii) Menyebabkan luka parah dan tekanan mental terhadap anggota kelompok
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 513: “[L]uka parah atau tekanan mental
yang tercantum dalam actus reus Pasal 4 adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau
pembiaran yang menyebabkan luka parah atau penderitaan mental. [L]uka serius tidak harus
permanen atau luka yang tidak dapat disembuhkan, tetapi hal tersebut menyebabkan rasa
tidak nyaman, perasaan malu atau terhina untuk sementara. Luka tersebut menyebabkan
penderitaan jangka panjang dan berdampak buruk bagi kemampuan seseorang untuk
menjalani hidup secara normal dan konstruktif. [P]erlakuan tidak manusiawi, penyiksaan,
pemerkosaan, serangan seksual dan deportasi adalah serangkaian tindakan yang dapat
menyebabkan luka parah dan penderitaan mental.”
99
iii) Secara sengaja mengakibatkan pada sebuah kelompok kondisi kehidupan
yang diperhitungkan akan membawa kehancuran fisik baik seluruh maupun
sebagian
iv) Melakukan tindakan yang mencegah kelahiran dalam kelompok
(memandulkan)
v) Memindahkan anak-anak secara paksa dari satu kelompok ke kelompok lain
100
IV. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (PASAL 5)
a) Statuta
Pasal 5 Statuta ICTY:
“Pengadilan Internasional memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang
bertanggung-jawab dalam kejahatan yang dilakukan dalam situasi konflik bersenjata, baik
konflik bersenjata internasional ataupun konflik internal, dan kejahatan tersebut dilakukan
terhadap warga sipil. Kejahatan-kejahatan tersebut adalah:
(a) Pembunuhan (murder);
(b) Pemusnahan (extermination);
(c) Perbudakan (enslavement);
(d) Deportasi (deportation);
(e) Pemenjaraan/Pengurungan (imprisonment);
(f) Penyiksaan (torture);
(g) Pemerkosaan (rape);
(h) Penganiayaan dengan latar politik, ras dan agama (persecution);
(i) Perlakuan-perlakuan tidak manusiawi lainnya (inhuman treatment).”
b) Unsur-unsur umum
Kunarac, Kovac dan Vukovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 410: Sebagai
tambahan atas unsur-unsur yang terdapat pada Statuta berkenaan dengan situasi konflik
bersenjata, di bawah ini diuraikan beberapa unsur yang diperlukan: “(i) harus terjadi serangan;
(ii) tindakan pelaku harus merupakan bagian dari serangan tersebut; (iii) serangan harus
ditujukan ‘langsung pada penduduk sipil;’ (iv) serangan harus ‘meluas atau sistematik;’ (v)
pelaku mengetahui bahwa serangan dan tindakan yang dilancarkannya merupakan bagian dari
serangan tersebut.”
i) Statuta mensyaratkan bahwa harus terjadi konflik bersenjata (unsur ke-1)
101
Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 251: “Terjadinya konflik bersenjata dapat
terpenuhi jika ada bukti bahwa telah terjadi konflik bersenjata. ...”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 23: “Pasal 5 memberikan
kewenangan kepada Pengadilan Internasional untuk mengadili kejahatan terhadap
kemanusiaan, ‘jika kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut dilakukan dalam konflik
bersenjata, baik konflik internasional maupun internal.’”
(1) Apakah ada kaitan antara tindakan tersangka dengan konflik bersenjata
Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 251: “Kaitan antara tindakan pelaku
dengan konflik bersenjata tidak dipersyaratkan, sebagaimana ... dinyatakan dalam Putusan
Pengadilan kasus Tadic. Syarat ‘terjadinya konflik bersenjata’ terpenuhi jika terdapat bukti
adanya konflik bersenjata, seperti yang tercantum dalam Statuta, lebih daripada yang
disyaratkan dalam huku kebiasaan internasional.”
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 83: “[P]ersyaratan
seperti yang tercantum dalam Pasal 5 Statuta (dalam konflik bersenjata) adalah murni
persyaratan jurisdiksi, yang akan terpenuhi jika terdapat bukti bahwa konflik bersenjata
memang terjadi, dan secara objektif tindakan pelaku terkait dengan konflik bersenjata
tersebut, baik dalam konteks wilayah atau geografis maupun dalam konteks waktu.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 33: Pengadilan Banding
[dalam kasus Tadic] ... menyimpulkan, seperti yang tertera pada Pasal 5 Statuta, bahwa bukti
keterkaitan antara tindakan pelaku dengan konflik bersenjata tidak harus ada. ...” “Meskipun
ada syarat bahwa tindakan atau kelalaian pelaku harus dilakukan dalam situasi konflik
bersenjata, namun hubungan yang dipersyaratkan adalah hubungan antara tindakan pelaku
dengan serangan terhadap penduduk sipil.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 23. “Dalam jurisdiksi
putusan kasus Tadic, Pengadilan Banding menemukan bahwa ‘berdasarkan hukum kebiasaan
internasional, tidak ada persyaratan yang menentukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
102
harus memiliki hubungan dengan setiap konflik yang terjadi.’ Pasal 5 tidak mensyaratkan hal
tersebut kecuali eksistensi konflik bersenjata pada waktu dan tempat, di mana jurisdiksinya
masuk pada Pengadilan Internasional.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 233: “Jurisdiksi
Pengadilan Internasional seperti yang tertera pada Pasal 5 Statuta hanya mengatur tindakan-
tindakan pelaku dalam ‘konflik bersenjata’.”
ii) Harus terjadi “serangan” (unsur ke-2)
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 410: Untuk
menentukan apakah kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi, unsur “harus terjadi serangan”
perlu diperhatikan.
(1) “Serangan” dapat, tapi tidak harus selalu, menjadi bagian dari “konflik
bersenjata”
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 86: “[S]erangan
dapat terjadi lebih dahulu, lebih lama, atau berlangsung terus selama konflik bersenjata, tapi
serangan tersebut tidak harus selalu menjadi bagian dari konflik bersenjata tersebut.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003: “Serangan didefinisikan sebagai
serangkaian tindakan kekerasan. Serangan dapat terjadi lebih dahulu, lebih lama dan
berlangsung terus selama konflik bersenjata, tapi tidak harus selalu menjadi bagian dari
konflik bersenjata tersebut di bawah ketentuan hukum kebiasaan internasional.”
(2) “Serangan” dan “konflik bersenjata” adalah dua hal yang berbeda
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 30: “Konsep ‘serangan’ dan
‘konflik bersenjata’ berbeda dan bebas. Mengutip putusan Pengadilan Banding dalam kasus
Tadic: ‘serangan terhadap penduduk sipil’ dan ‘konflik bersenjata’ merupakan dua hal yang
berbeda, meskipun dalam Pasal 5 Statuta dinyatakan bahwa ‘serangan terhadap penduduk
sipil’ dapat menjadi bagian dari ‘konflik bersenjata’.”
103
(3) “Serangan” tidak terbatas pada penggunaan senjata
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 29, 30: “Dalam konteks
kejahatan terhadap kemanusiaan, kata ‘serangan’ tidak terbatas pada penggunaan konflik
bersenjata. Serangan juga dapat ditafsirkan sebagai setiap perlakuan yang tidak manusiawi
(mistreatment) terhadap penduduk sipil.” Lihat juga Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan
Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 86 (sama).
(4) Pada saat melakukan serangan, tidak relevan bahwa pihak lain melakukan
pembalasan (reciprocity of obligations)
Kunarav, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 87-88: “[K]etika
memutuskan apakah terjadi serangan terhadap penduduk sipil tertentu, tidak relevan untuk
mempertimbangkan bahwa pihak lain (pihak yang diserang) juga melakukan serangan balasan
terhadap penduduk sipil dari pihak penyerang. Serangan terhadap penduduk sipil oleh pihak
lain bukanlah alasan pembenar bagi pihak yang diserang untuk melancarkan serangan balasan
terhadap penduduk sipil pihak penyerang. Serangan terhadap penduduk sipil pihak penyerang
juga tidak dapat dibenarkan (illegitimate), dan kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Bukti bahwa telah terjadi
serangan oleh pihak yang diserang terhadap penduduk sipil pihak penyerang tidak diperlukan
kecuali bahwa bukti serangan tersebut dipakai untuk membuktikan atau tidak membuktikan
setiap tuduhan yang dibuat dalam dakwaan, dan semata-mata untuk menyangkal pendirian
Penuntut berkenaan dengan keyakinan Penuntut tersebut bahwa telah terjadi serangan
meluas dan sistematik terhadap penduduk sipil. Adanya pengaduan bahwa pihak lain
bertanggung-jawab karena telah memulai serangan tidak akan mengingkari kenyataan bahwa
telah terjadi serangan terhadap penduduk sipil tertentu.”
iii) Tindakan tersangka harus merupakan bagian dari serangan (unsur ke-3)
Tadic (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 251: “Untuk membuktikan terjadinya
serangan terhadap penduduk sipil ... maka perlu dibuktikan keterkaitan antara tindakan
tersangka dengan serangan (bersenjata) itu sendiri.”
104
Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 271: “[U]ntuk menuntut tersangka dengan
tuduhan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, harus dibuktikan bahwa kejahatan
tersebut terkait dengan serangan terhadap penduduk sipil (selama konflik bersenjata) ....”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 234: “Tindakan
tersangka tidak boleh terpisah dari serangan. Artinya bahwa tindakan tersangka tersebut,
dilihat dari sifat dan akibat yang ditimbulkannya, secara objektif merupakan bagian dari
serangan.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 33: “[Y]ang harus
diperhatikan adalah harus ada keterkaitan antara tindakan tersangka dengan serangan
(bersenjata) terhadap penduduk sipil.”
iv) Serangan harus “langsung terhadap penduduk sipil” (unsur ke-4)
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 410: Salah satu
unsur yang harus diperhatikan untuk membuktikan kejahatan terhadap kemanusiaan, adalah
bahwa serangan yang dilakukan harus ditujukan “secara langsung terhadap penduduk sipil.”
(1) “Langsung ditujukan”
(a) Serangan dikatakan “langsung ditujukan” terhadap penduduk sipil
apabila mereka (penduduk sipil) merupakan objek utama dari
serangan tersebut
Kunarac, Kovac dan Vokovic (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 90: “[E]kspresi
kalimat ‘langsung ditujukan’ merupakan pengungkapan yang ‘lebih spesifik dalam konteks
kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap penduduk sipil yang merupakan objek utama dari
serangan tersebut.’ Untuk menentukan apakah suatu serangan terjadi secara langsung, Sidang
Pengadilan akan mempertimbangkan ... cara dan metode yang digunakan dalam serangan,
status korban, jumlah korban, dan sifat diskriminatif dari serangan, sifat kejahatan dalam
105
serangan, perlawanan yang dilakukan oleh penyerang pada saat dan di mana pihak penyerang
dapat dikatakan telah memenuhi persyaratan dalam hukum perang.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 235: “Sebuah serangan
dikatakan langsung terhadap penduduk sipil apabila mereka merupakan objek utama dari
serangan tersebut.”
(b) Tidak semua penduduk yang menjadi sasaran serangan; serangan
dapat ditujukan kepada “sebagian besar penduduk”
Kunarac, Kovac dan Vokonic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 90: “[P]emakaian
kata ‘penduduk’ (population) tidak berarti bahwa keseluruhan penduduk dari entitas geografis
di mana serangan tersebut dilakukan harus menjadi target dari suatu serangan. Hal ini cukup
untuk menunjukkan bahwa sejumlah penduduk menjadi target serangan, atau mereka
menjadi target sedemikian rupa hanya untuk meyakinkan Sidang Pengadilan bahwa
kenyataannya serangan tersebut ditujukan terhadap ‘penduduk’ sipil, daripada terhadap
sejumlah kecil individual yang menjadi target secara acak.” Lihat juga Naletilic dan Martinovic,
(Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 235 (sama).
(2) Penduduk sipil
(a) Harus ‘didominasi’ oleh penduduk sipil
Kordic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 180: “Sebuah populasi
dapat dianggap sebagai ‘sipil’ meskipun tidak semua korban adalah penduduk sipil, tetapi
populasi tersebut harus ‘didominasi oleh sipil’.”
Naletilic dan Martinovic (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 235: “[K]ehadiran
sejumlah penduduk non-sipil tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa populasi tersebut
didominasi penduduk sipil.”
106
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 235: “Penduduk yang
dijadikan sasaran serangan langsung dapat dianggap penduduk sipil jika sebagian besar dari
mereka adalah sipil.”
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 54: “‘Kehadiran orang-orang yang
bukan sipil dalam sebuah populasi tidak dapat menghilangkan karakter sipil dalam populasi
tersebut.’”
(b) Kehadiran orang-orang yang terlibat dalam konflik tidak dapat
menghilangkan karakter sipil dalam populasi tersebut
Penuntut v. Kupreskic dkk., Kasus No. IT-95-16 (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf
549: “[K]ehadiran orang-orang yang terlibat dalam konflik tidak dapat menghilangkan
karakter penduduk sipil, dan orang-orang yang terlibat dalam gerakan perlawan (resistance
movement) dapat digolongkan sebagai korban kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 214: “[K]ehadiran tentara pada
penduduk sipil yang dijadikan target serangan tidak dapat mengubah sifat sipil dalam populasi
tersebut.”
(c) Penduduk sipil termasuk orang-orang yang pernah menjadi anggota
gerakan perlawanan dan mantan tentara namun tidak lagi terlibat
dalam peperangan
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 214: “Kejahatan terhadap kemanusiaan ...
tidak hanya berarti serangan terhadap warga sipil, tetapi juga termasuk kejahatan terhadap
dua kategori penduduk: yaitu orang-orang yang merupakan anggota gerakan perlawanan dan
mantan tentara, tanpa melihat apakah mereka menggunakan seragam atau tidak, (mereka
tidak lagi terlibat dalam peperangan pada saat kejahatan dilakukan, karena mereka telah keluar
dari kesatuan militer atau tidak lagi memegang senjata); atau mereka yang digolongkan
sebagai hors de combat, khususnya mereka yang terluka atau ditahan. Keadaan khusus korban
pada saat kejahatan dilakukan, harus dijadikan pertimbangan dalam menentukan posisinya
sebagai warga sipil tanpa melihat statusnya.”
107
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 54: “[I]stilah penduduk sipil seperti
yang tertera pada Pasal 5 Statuta, termasuk orang-orang sipil, dan semua yang termasuk
dalam kategori hors de combat pada saat kejahatan itu dilakukan.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 180: “[O]rang-orang yang
pada saat tertentu dimasa lalu telibat dalam gerakan perlawanan, pada suatu saat dapat
menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 235: “Definisi penduduk
sipil mencakup juga orang-orang yang pada waktu lalu melakukan gerakan perlawanan, dan
orang-orang yang dikategorikan sebagai hors de combat ....”
(d) Menafsirkan warga sipil secara bebas
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 547-549: “Definisi secara luas
atas ‘sipil’ dan ‘penduduk’ tampaknya diperlukan. Definisi ini menjamin makna dan tujuan
prinsip-prinsip umum serta aturan hukum internasional, khususnya aturan-aturan yang
melarang kejahatan terhadap kemanusiaan. Aturan yang disebut terakhir dimaksudkan untuk
menjamin nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar dengan cara menghukum (pelaku) tindak
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. [I]stilah ‘sipil’ harus diintepretasikan secara luas ...
karena keterbatasan jaminan terhadap warga sipil dan orang-orang yang bukan tentara
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 merupakan jalan masuk bagi hukum kebiasaan
internasional.”
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 54: “Hal tersebut merupakan
lanjutan dari makna dan semangat Pasal 5 itu sendiri, di mana istilah ‘penduduk sipil’ harus
ditafsirkan secara luas.”
(e) Melindungi populasi masyarakat sipil
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Pararaf 33: “Perlindungan sebagaimana
tercantum pada Pasal 5 mencakup perlindungan terhadap ‘penduduk sipil’, termasuk
108
penduduk sipil dari suatu negara, di mana negara bersangkutan terlibat dalam serangan. Oleh
karena itu, apakah korban terkait atau tidak dengan salah satu pihak yang terlibat dalam
konflik tidak perlu ditunjukkan.”
v) Serangan harus terjadi secara “meluas atau sistematik” (unsur ke-5)
(1) Meluas atau sistematik
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 236: “Serangan harus
terjadi secara sistematik atau meluas.”
(2) Yang dilihat adalah serangan, bukan tindakan tersangka, yang meluas
atau sistematik
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 431: “Hanya
serangan, dan bukan tindakan individual tersangka, yang harus terjadi secara ‘meluas atau
sistematik’.”
(3) Meluas
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 179: “[S]uatu kejahatan
dapat terjadi secara meluas dengan ‘efek kumulatif dari serangkaian tindakan tidak manusiawi
atau memiliki efek tunggal dari sebuah tindakan tidak manusiawi yang memiliki besaran yang
luar biasa.’”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 206: “Karakteristik meluas mengacu
pada skala tindakan yang dilakukan dan ditujukan kepada sejumlah korban.” Lihat juga
Neletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 236 (sama).
(4) Sistematik
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 94: “‘[P]ola
kejahatan, yang merupakan pengulangan non-insidental atas tindak kejahatan yang sama dan
109
110
dilakukan dengan cara yang teratur, merupakan gambaran umum atas kejadian yang disebut
dengan sistematik.’”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 236: “Unsur ‘sistematik’
mengharuskan adanya tindakan terorganisir yang terjadi secara acak dan luar biasa.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 203: “Karakter sistematik mengacu pada
empat unsur ... yang paling tidak dapat dirinci sebagai berikut: (1) adanya tujuan politik yang
dirancang dan direncanakan dalam serangan atau penyebaran ideologi yang dilakukan secara
luas dengan maksud untuk menghancurkan, dan melakukan penganiayaan atau melemahkan
sebuah komunitas; (2) tindak kejahatan dilakukan dalam skala yang sangat besar terhadap
sebuah kelompok warga sipil, atau tindakan tidak manusiawi yang terkait satu dengan yang
lain yang terjadi secara berulang-ulang dan berkesinambungan; (3) persiapan dan penggunaan
sumber-sumber publik atau pribadi, baik militer maupun lainnya; (4) ada implikasi terhadap
kekuasaan politik tingkat tinggi/militer dalam mendefinisikan dan melaksanakan rencana
secara metodik.”5
(5) Faktor-faktor yang dijadikan penilaian dalam definisi meluas atau
sistematik
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 95: Dalam menilai
serangan “meluas” atau “sistematik”, Pengadilan “terlebih dahulu harus mengidentifikasi
populasi mana yang dijadikan objek serangan, metode serangan, sumber dan akibat serangan,
dan memastikan apakah serangan tersebut benar-benar meluas dan sistematik.” “Persyaratan
‘meluas’ dan ‘sistematik’ ini juga dapat dipertimbangkan dari konsekuensi serangan terhadap
penduduk yang dijadikan sasaran, jumlah korban, sifat serangan, dan kemungkinan
keterlibatan pejabat atau pihak berwenang dalam pola kejahatan yang dapat diidentifikasi.”
5 Soal apakah terdapat perencanaan atau kebijakan, lihat diskusi, Bagian (IV)(b)(v)(7), ICTY Digest.
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 53: “Eksistensi kebijakan politik yang
menjadikan komunitas tertentu sebagai target sasaran serangan, keterlibatan pejabat tinggi
atau militer, penggunaan dana, sumber-sumber militer atau sumber lain serta skala atau
pengulangan kekerasan yang berkesinambungan dan tidak berubah terhadap penduduk sipil
tertentu merupakan faktor-faktor yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan
serangan yang bersifat meluas dan sistematik.”
(6) Jika kejahatan tunggal terkait dengan serangan meluas atau sistematik,
maka kejahatan itu dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 550: “[D]alam situasi tertentu,
kejahatan tunggal dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan jika dilakukan
dalam konteks khusus. Kejahatan yang terisolasi, misalnya kejahatan yang tidak terjadi dalam
konteks khusus tersebut tidak dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 178: “[J]ika kejahatan
tunggal dan terisolasi yang dilakukan tersangka terkait dengan serangan yang meluas dan
sistematik, maka kejahatan tersebut dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan.”
(7) Apakah ada rencana atau kebijakan
Kunarac, Kovac dan Vokovic (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 98: “[S]erangan atau
tindakan tersangka tidak harus didukung oleh suatu ‘kebijakan’ atau ‘perencanaan’.” Adanya
suatu kebijakan atau perencanaan “tidak diperlukan untuk membuktikan bahwa suatu
serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil dilakukan secara meluas dan sistematik,
yang merupakan unsur hukum atas kejahatan.” “Eksistensi kebijakan atau perencanaan
mungkin relevan, namun bukan merupakan unsur hukum dari kejahatan.”
Akan tetapi dalam kasus Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 204: “Rencana
[yang diperlukan untuk menentukan apakah serangan dilakukan secara sistematik] ... tidak
harus diumumkan secara terbuka atau dikemukakan secara jelas dan persis. Adanya suatu
111
perencanaan dapat diduga dari serangkaian peristiwa atas kejadian-kejadian antara lain sebagai
berikut; (a) situasi umum dan latar belakang politik secara keseluruhan di mana kejahatan
tersebut dilakukan; (b) pembentukan dan pelaksanaan struktur otonomi politik di setiap
tingkat kekuasaan dalam wilayah tertentu; (c) substansi umum atas program politik, seperti
yang terdapat dalam berbagai tulisan dan pidato-pidato; (d) propaganda media; (e)
pembentukan dan pelaksanaan struktur otonomi militer; (f) mobilisasi tentara; (g) serangan
militer yang terkoordinasi dan berulang-ulang dan bersifat sementara di wilayah tertentu; (h)
kaitan antara hierarki militer dengan struktur dan program politik; (i) perubahan komposisi
‘etnis’ dari populasi penduduk; (j) tindakan diskriminatif, baik dalam bidang administrasi
maupun bidang lainya (pelarangan aktivitas perbankan, laissez-passer, ...); (k) skala tindak
kekerasan yang dilakukan, khususnya pembunuhan, dan tindak kekerasan lain, seperti
pemerkosaan, pemenjaraan sewenang-wenang, deportasi dan perampasan atau penghancuran
harta milik warga sipil, khususnya pada situs-situs yang sakral.”
Lihat juga Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 205: Rencana untuk serangan
“tidak harus diatur di tingkat teratas dari alat-alat kekuasaan Negara (State machinery).”
vi) Niat jahat (mental state, mens rea) (unsur ke-6)
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 556: “[P]ersyaratan adanya mens
rea untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dilihat dari (1) niat untuk melakukan
kejahatan-kejahatan utama dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dikombinasikan
dengan (2) pengetahuan dalam konteks umum di mana kejahatan tersebut terjadi.”
(1) Niat
(a) Pelaku harus mempunyai niat untuk melakukan kejahatan-kejahatan
utama (underlying offences)
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 37: “[T]ersangka ... harus
mempunyai niat untuk melakukan kejahatan-kejahatan utama atau kejahatan yang dituduhkan
kepadanya....”
112
(b) Motif tidak relevan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 103: “‘[M]otif
tersangka yang membuat ia terlibat dalam serangan tidak relevan....’” “[T]ersangka tidak harus
terlibat dalam menentukan maksud dan tujuan dibelakang serangan.”
Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 270, 272: “[B]erdasarkan hukum
kebiasaan, ‘motif pribadi semata’ tidak relevan dalam menentukan apakah kejahatan terhadap
kemanusiaan telah dilakukan atau tidak.” “Dalam opini Pengadilan Banding, persyaratan
bahwa suatu tindak kejahatan dilakukan semata-mata karena motif pribadi tersangka, tidak
dapat dijadikan alasan dalam menentukan apakah tindakan tersebut telah memenuhi
persyaratan definisi kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Pasal 5 Statuta Pengadilan.
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 187: “Juga ... dijelaskan
bahwa motif tersangka tidak relevan dengan konteks ini.”
(c) Tidak relevan jika tersangka memiliki niat untuk melancarkan
serangan secara langsung terhadap populasi sasaran atau korban
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 103: “Tidak ...
relevan jika tersangka berniat untuk melancarkan serangan secara langsung terhadap populasi
sasaran atau korbannya. Serangan itulah yang ditujukan secara langsung terhadap populasi
sasaran, bukan tindakan tersangka. Tersangka hanya perlu mengetahui bahwa tindakannya
merupakan bagian dari serangan tersebut.”
(d) Niat diskriminatif hanya disyaratkan untuk penganiayaan
Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 283, 292, 305: “Maksud umum dari Pasal
5 semakin jelas bahwa ketentuan ini tidak mencakup semua kejahatan terhadap kemanusiaan
yang dilakukan dengan niat diskriminatif. Niat diskriminatif ini hanya mungkin pada
kejahatan ‘penganiayaan yang diatur dalam Pasal 5(h).’” “[H]ukum kebiasaan internasional,
yang merupakan perkembangan secara bertahap dari instumen internasional dan dari kasus-
kasus nasional yang menjadi aturan umum, tidak mengisyaratkan adanya niat diskriminatif
113
dan penganiayaan untuk semua kejahatan terhadap kemanusiaan.” “[S]idang Pengadilan
keliru dalam menyimpulkan bahwa seluruh kejahatan terhadap kemanusiaan mengharuskan
adanya niat diskriminatif. Niat tersebut merupakan unsur hukum yang tidak dapat
ditangguhkan (indispensable legal ingredient) dari kejahatan yang hanya terkait dengan kejahatan
terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 5(h) tentang berbagai bentuk penganiayaan.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 186: “Pengadilan Banding
dalam kasus Tadic melakukan klarifikasi terhadap isu-isu lain yang berkaitan dengan mens rea
dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka menolak pandangan yang menyatakan bahwa
untuk dapat disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan maka semua tindakan atau
kejahatan yang relevan harus dilakukan oleh pelaku dengan latar belakang diskriminatif.
[N]iat diskriminatif merupakan unsur hukum yang tidak dapat ditangguhkan hanya untuk
kejahatan yang termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yang dijelaskan dalam Pasal
5(h), yang berisi berbagai macam penganiayaan.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 244: “[U]ntuk memutuskan bersalah atas
kejahatan terhadap kemanusiaan, kecuali dalam kasus penganiayaan, pelaku tidak harus
memiliki niat untuk menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran karena alasan ras, agama atau
kepercayaan politiknya.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 260: “[K]ejahatan-kejahatan, seperti
pembunuhan, pemusnahan penduduk, perbudakan, deportasi, pemenjaraan, penyiksaan,
pemerkosaan atau tindakan tidak manusiawi lainnya (dengan pengecualiaan penganiayaan),
yang mengiringi ‘serangan meluas atau sistematik’, dapat digolongkan sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan, dan kejahatan-kejahatan tersebut tidak harus dilakukan dengan niat
untuk melukai warga sipil karena karakter spesifiknya. Untuk menyatakan bersalah atas
kejahatan tersebut, maka pihak-pihak yang bertanggung-jawab atas serangan itu tidak harus
bertindak dengan niat tertentu misalnya karena alasan ras, kebangsaan, agama atau niat politik
mereka.”
Penuntut v. Todorovic, Kasus No. IT-95-9/1 (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001, Paragraf 113:
Kejahatan penganiayaan adalah “satu-satunya kejahatan terhadap kemanusiaan yang
114
mensyaratkan pelakunya bertindak dengan niat diskriminatif dan, dengan sifat tersebut,
kejahatan itu berhubungan dengan kejahatan lain.”
Lihat juga diskusi tentang niat jahat (mental state, mens rea) dalam kejahatan-kejahatan utama
(underlying offences), bagian (IV)(c)(i)(6) (pembunuhan); (IV)(c)(ii)(4) (pemusnahan);
(IV)(c)(iii)(1) (perbudakan); (IV)(c)(iv) (pemenjaraan); (IV)(c)(v)(4) (penyiksaan); (IV)(c)(vi)
(pemerkosaan); (IV)(c)(vii)(2) (penganiayaan); (IV)(c)(viii)(2)(c) (tindakan tidak manusiawi
lainnya), ICTY Digest.
(2) Pengetahuan
(a) Pelaku harus secara sadar terlibat dalam serangan meluas dan
sistematik, yaitu memiliki pengetahuan atas serangan dan mengetahui
kaitan antara tindakannya dengan konteks serangan tersebut
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 102: “[P]elaku harus
mempunyai niat untuk melakukan underlying offences (kejahatan utama) atau kejahatan-
kejahatan yang dituduhkan kepadanya, dan oleh karena itu ia harus mengetahui ‘bahwa telah
terjadi serangan terhadap warga sipil, dan tindakannya merupakan bagian dari serangan
tersebut, atau paling tidak ia mengambil risiko bahwa tindakannya merupakan bagian dari
serangan.’” Lihat juga Krnojelac, (Pengadilan Banding), 15 Maret 2002, Paragraf 59 (sama).
Tadic, (Pengadilan Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 271: “Sidang Pengadilan secara jelas
mengakui bahwa kejahatan yang tidak terkait dengan serangan meluas dan sistematik
terhadap warga sipil tidak dapat diadili sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (yang terjadi
pada konflik bersenjata), dan pelaku mengetahui bahwa kejahatan yang dilakukannya sangat
terkait dengan kejahatan tersebut.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 244: “Pelaku harus secara sadar dalam
melakukan serangan meluas dan sistematik terhadap warga sipil.”
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 56: “Pelaku harus ... sadar bahwa
kejahatan yang dilakukannya merupakan bagian dari serangan meluas dan sistematik.”
115
116
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 247: “Pelaku terlebih dahulu harus
memiliki pengetahuan dalam konteks umum atas tindakannya dan kemudian kaitan antara
tindakannya dengan konteks serangan tersebut.”
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 410: Dalam kaitan
dengan persyaratan undang-undang (hukum) dalam konflik bersenjata, unsur yang diperlukan
adalah: “... v) pelaku harus mengetahui konteks kejahatan yang dilakukan secara luas dan
menyadari bahwa tindakannya merupakan bagian dari serangan tersebut.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 185: “Bagian yang
ditransformasikan sebagai tindak kejahatan individu dalam kejahatan terhadap kemanusiaan
merupakan gabungan dari tindakan dalam dimensi yang lebih besar dalam rangka
penuntutan. Oleh karena itu, yang disebut dengan pengetahuan aktual atau konstruktif atas
konteks serangan meluas, berarti bahwa tersangka harus mengetahui bahwa tindakannya
merupakan bagian dari serangan meluas dan sistematik terhadap warga sipil dan dilakukan
sesuai dengan kebijakan atau perencanaan, yang mana hal tersebut diperlukan untuk
memenuhi persyaratan mens rea yang dilakukan tersangka.”6
(b) Alternatif lain, pelaku harus mengetahui latar belakang serangan dan
mengambil risiko atas keterlibatan dirinya dalam serangan tersebut.
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 37: Pelaku “harus mengetahui
‘bahwa telah terjadi serangan terhadap penduduk sipil, dan bahwa kejahatan yang
dilakukannya merupakan bagian dari serangan tersebut, atau paling tidak [ia mengambil]
risiko bahwa tindakannya adalah bagian dari serangan.’”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 257: “Selanjutnya mens rea yang ditujukan
khusus untuk kejahatan terhadap kemanusiaan tidak mensyaratkan adanya agen yang
6 Lihat Bagian (IV)(b)(v)(7), ICTY Digest, apabila perencanaan atau kebijakan menjadi sebuah persyaratan.
diidentifikasi berdasarkan ideologi, kebijakan atau perencanaan dalam kejahatan yang
dilakukan secara massal, sekalipun agen tersebut mendukung kejahatan tersebut. Syarat mens
rea cukup dengan kesadarannya dalam mengambil risiko untuk terlibat dalam menerapkan
ideologi, kebijakan atau perencanaan yang dikeluarkan. Untuk itu harus dibuktikan antara
lain: a) tersangka bersedia melakukan tugas-tugas yang diberikan kepadanya; b) bahwa tugas-
tugas tersebut berkaitan dengan kerjasamanya dengan pejabat politik, militer atau sipil yang
merancang ideologi, kebijakan atau perancanaan yang digunakan sebagai dasar kejahatan; c) ia
menerima perintah yang terkait dengan ideologi, kebijakan atau perencanaan; dan d) bahwa ia
terlibat dalam kejahatan yang dilakukan dengan niat atau dengan cara menolak mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk menghindari keterlibatannya.”
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 59: “Cukup bahwa, melalui
tindakannya atau tugas-tugas yang diterimanya, ia (pelaku) secara sadar mengambil risiko
untuk terlibat dalam melakukan serangan.”
(c) Pengetahuan atas rincian serangan tidak dipersyaratkan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Pengadilan Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 102. “Persyaratan
[bahwa tersangka harus mengetahui bahwa terjadi serangan terhadap penduduk sipil dan
bahwa tindakannya merupakan bagian dari serangan tersebut, atau setidaknya ia mengambil
risiko bahwa tindakannya merupakan bagian dari serangan] tidak memerlukan pengetahuan
secara terinci atas serangan tersebut.”
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 59: “[T]ersangka harus mengetahui
bahwa terjadi serangan secara langsung terhadap penduduk sipil dan ia harus sadar bahwa
tindakannya merupakan bagian dari serangan, atau setidaknya ia mengambil risiko bahwa
tindakannya merupakan bagian dari serangan tersebut. Hal ini, tidak mengharuskan adanya
pengetahuan mendetail atas serangan tersebut.”
(d) Tersangka tidak harus menyetujui konteks serangan
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 185: “Tidak ada
persyaratan yang jelas dalam jurisprudensi ... bahwa pelaku harus menyetujui konteks
117
serangan di mana tindakannya merupakan bagian dari serangan tersebut, serta memiliki
pengetahuan atas hal tersebut.” “[P]ada dasarnya pelaku harus mengetahui bahwa tindakan
yang dilakukannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan mengerti seluruh konteks
tindakannya.”
(e) Faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan dalam konteks pengetahuan
Blaskic, (Pengadilan Banding), 3 Maret 2000, Paragraf 258-259: “[P]engetahuan atas konteks
politik di mana kejahatan tersebut dilakukan dapat diduga dari sejumlah fakta konkret” yang
antara lain adalah “(a) kondisi historis dan politis di mana kekerasan tersebut terjadi; (b)
tugas-tugas yang dilakukan tersangka pada saat kejahatan tersebut dilakukan; (c) tanggung-
jawabnya dalam hierarki politik atau militer; (d) hubungan langsung dan tidak langsung antara
hierarki politik dan militer; (e) lingkup dan tingkat keseriusan tindakan yang dilakukannya; (f)
sifat kejahatan yang dilakukan dan tingkat pengetahuannya atas kejahatan tersebut.”
c) Kejahatan-kejahatan utama
i) Pembunuhan
(1) Unsur-unsurnya
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan ), 14 Januari 2000, Paragraf 560: “Unsur-unsur utama
pembunuhan pada Pasal 5(a) Statuta ... menetapkan kematian korban sebagai hasil tindakan
atau pembiaran yang dilakukan terdakwa, di mana perbuatan terdakwa menjadi penyebab
penting atas kematian korban. Dapat dikatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan
pembunuhan jika ia melakukan tindakan melawan hukum, berniat membunuh orang lain atau
menyebabkan orang ini mengalami luka serius, dan mengakibatkan kematian orang tersebut.”
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 485: “Pembunuhan telah didefinisikan
secara konsisten ... sebagai kematian korban yang disebabkan oleh tindakan atau pembiaran
yang dilakukan terdakwa, di mana tindakan atau pembiaran tersebut dilakukan dengan niat
untuk membunuh atau menyebabkan bahaya serius terhadap korban, dan ia mengetahui
bahwa perbuatan tersebut dapat menyebabkan kematian korban.”
118
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 217: “[U]nsur legal dan faktual dari
tindakan pembunuhan adalah: (a) kematian korban; (b) kematian tersebut diakibatkan oleh
tindakan terdakwa atau bawahannya; (c) kejahatan tersebut diakukan oleh terdakwa atau
bawahannya dengan dorongan niat untuk membunuh korban, atau terdakwa menyebabkan
bahaya serius terhadap korban dan dapat berakhir dengan kematian.”
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 35: “Pembunuhan didefinisikan
sebagai homisida (homicide) yang dilakukan dengan niat untuk membunuh (intention to cause
death). Unsur-unsur hukum dari tindakan tersebut secara legal diakui dalam hukum nasional,
dan dapat dicirikan sebagai berikut ini: (a) korban mati, (b) akibat tindakan terdakwa, (c)
dilakukan dengan niat untuk membunuh.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 236: “Untuk menyatakan
seorang terdakwa pembunuhan bersalah, unsur-unsur berikut ini harus dibuktikan, yaitu:
kematian korban; kematian tersebut diakibatkan oleh tindakan atau pembiaran yang
dilakukan terdakwa atau bawahannya; terdakwa atau bawahannya berniat untuk membunuh
korban, atau mengakibatkan bahaya serius terhadap dirinya sehingga secara logis serangan
tersebut dapat mengakibatkan kematiannya.”
(2) “Pembunuhan” (murder) pada Pasal 5 Statuta, dibandingkan dengan
Pasal 2 dan 3
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 323-324: “[U]nsur-unsur kejahatan
pembunuhan pada Pasal 3 sama seperti Pasal 5 Statuta.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 236: “[U]nsur-unsur
pembunuhan pada Pasal 5 sama dengan unsur-unsur kajahatan yang terkait dengan
pembunuhan secara sengaja (wilful killing) pada Pasal 2 dan pembunuhan (murder) pada Pasal 3
Statuta, dengan pengecualian bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan, maka ‘pembunuhan’ tersebut harus merupakan bagian dari serangan meluas
dan sistematik terhadap penduduk sipil.”
119
Lihat juga kajian tentang pembunuhan secara sengaja (willful killing) pada Pasal 2, Bagian
(I)(d)(i), dan pembunuhan pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(iv), ICTY Digest.
(3) Bukti jasad korban tidak dipersyaratkan
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 326: “Yang dimaksud dengan bukti
yang tidak diragukan (proof beyond reasonable doubt) adalah bahwa jasad seseorang yang menjadi
korban pembunuhan tidak harusk ada. [F]akta bahwa kematian korban dapat diduga secara
kuat dari seluruh bukti yang ditunjukkan di Sidang Pengadilan.”
(4) Bunuh diri sebagai pembunuhan
Krnojelac, (Pengadilan tingkat Banding), 15 Maret 2002, Paragraf 329: “Persoalan utama
[untuk menentukan apakah bunuh diri dapat dianggap sebagai pembunuhan] dapat dilihat
dari penyebab (causation) dan niat dari perbuatan tersebut. Relevansi antara perbuatan atau
pembiaran yang dilakukan terdakwa atau siapa pun yang tindakan atau pembiarannya
menyebabkan korban mengambil keputusan untuk melakukan bunuh diri, adalah bahwa
tindakan atau pembiaran terdakwa yang menyebabkan korban bunuh diri dilakukan dengan
niat, atau terdakwa mengetahui bahwa tindakan bunuh diri yang dilakukan korban
merupakan hasil dari perbuatan atau pembiarannya. Terdakwa tidak dapat dimintai
pertanggungjawabannya kecuali dibuktikan bahwa keputusan korban untuk melakukan
bunuh diri yang berakibat pada kematiann korban itu sendiri merupakan konsekuensi dari
tindakan atau pembiaran yang dilakukan pelaku, atau siapa pun yang harus
mempertanggungjawabkan tindak kejahatannya.”
(5) “Pembunuhan” (murder) bukan “pembunuhan terencana” (premeditated
murder) merupakan kejahatan utama
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 235: “[S]idang Pengadilan
yang mengadili kasus Blaskic menyatakan bahwa ‘kasus tersebut adalah pembunuhan
(murder/meurtre), dan bukan pembunuhan yang direncanakan (premeditated murder/assassinat)
120
yang dikategorikan sebagai kejahatan-kejahatan utama dari kejahatan terhadap kemanusiaan.’”
Lihat juga Blaskic, (Sidang Pengadilan ), 3 Maret 2000, Paragraf 216 (sama).
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 51: “Sidang Pengadilan mencatat ...
bahwa teks bahasa Inggris dalam Statuta menggunakan istilah “pembunuhan” (murder) dan
“memperhatikan” bahwa “perlu mengadopsi istilah ini sebagai istilah yang dapat digunakan
dalam hukum internasional.”
(6) Niat jahat (mental state, mens rea)
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 561: “Persyaratan mens rea atas
tindak pembunuhan pada Pasal 5(a) adalah niat untuk membunuh atau niat untuk melukai
seseorang secara serius dengan mengabaikan hak untuk hidupnya. [S]tandard mens rea yang
disyaratkan adalah niat dan pembunuhan yang terencana. Yang dimaksud dengan terencana
apabila pelaku menyusun niat untuk membunuh setelah melakukan serangkaian refleksi.
Artinya niat tersebut sesuai dengan tujuan pelaku, atau pihak yang terlibat menyadari bahwa
tindakannya akan mengakibatkan sesuatu yang fatal (ordinary course of events).”
ii) Pemusnahan (extermination)
(1) Pengantar umum
Kristic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 503: “[U]ntuk menetapkan terjadinya
kejahatan pemusnahan yang merupakan persyaratan umum dalam kejahatan terhadap
kemanusiaan, harus ada bukti dalam populasi tertentu yang menjadi target, dan anggota
populasi tersebut dibunuh atau menjadi sasaran dari kondisi kehidupan yang diperhitungkan
akan mendatangkan kehancuran dalam jumlah yang signifikan dari populasi tersebut.”
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 229: “[U]nsur kejahatan
‘pemusnahan’ adalah sebagai berikut: (1) Unsur material pemusnahan merupakan tindakan
seseorang atau kombinasi tindakan yang menyebabkan terjadinya pembunuhan terhadap
orang dalam jumlah besar (actus reus); (2) Penyerang harus memiliki niat untuk membunuh,
membahayakan hidup seseorang, atau menyebabkan luka serius, dan ia sadar bahwa tindakan
121
atau pembiaran yang dilakukannya dapat mengakibakan kematian, atau penyerang berniat
untuk terlibat dalam pemusnahan terhadap sejumlah orang, dan ia mengetahui bahwa
tindakannya merupakan bagian dari pembunuhan berskala besar yang secara sistematik
sejumlah besar orang diindentifikasi sebagai sasaran pembunuhan (mens rea).
(2) Jumlah orang yang terlibat
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 502: “[D]efinisi ini harus diartikan
sebagai penghancuran terhadap sejumlah bagian yang signifikan atas populasi yang menjadi
sasaran.”
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 227: “Sidang Pengadilan
menyimpulkan ... bahwa tanggung jawab pidana untuk ‘pemusnahan’ hanya dilekatkan pada
orang-orang yang bertanggung-jawab atas kematian sejumlah besar orang, meski keterlibatan
mereka tidak secara langsung atau hanya dari jarak jauh. Kematian satu atau sejumlah kecil
orang tidak cukup untuk dikatakan sebagai pemusnahan.”
Lihat juga Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 501: “[A]pabila kejahatan
tersebut secara umum melibatkan sejumlah besar korban, maka tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai pemusnahan meskipun korban yang diakibatkan dari tindakan tersebut
terbatas.”
(3) Pemusnahan harus ditujukan kepada kumpulan orang (kolektif), tidak
langsung kepada orang-per orang
Vasiljevic (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 227: “Sidang Pengadilan ...
menyimpulakan bahwa kejahatan pemusnahan harus ditujukan kepada kumpulan orang dan
bukan kepada orang-perorang. ...”
(4) Niat jahat (mental state, mens rea)
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 228: “[T]idak cukup untuk
menetapkan bahwa pemusnahan yang dilakukan pelaku yang berniat membunuh sejumlah
122
besar orang, atau menyebabkan bahaya atas hidup orang, atau mengakibatkan luka serius,
dengan pengetahuan yang beralasan bahwa tindakan atau pembiaran tersebut dapat
menyebabkan kematian seperti halnya pembunuhan. Pelaku harus mengetahui adanya
rancangan pembunuhan secara kolektif (colective murder) dan ia bersedia terlibat dalam aksi
tersebut.”
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 229: “Pelaku harus berniat untuk
membunuh, untuk membahayakan hidup sejumlah orang, dengan pengetahuan yang
beralasan bahwa tindakan atau pembiarannya yang dilakukannya dapat menyebakan
kematian, atau pelaku berniat untuk terlibat dalam penyingkiran sejumlah orang, secara logis
bahwa tindakannya merupakan bagian dari sebuah kerja sama terorganisir di mana sejumlah
besar orang menjadi target sistematik pembunuhan atau dibunuh (mens rea).”
(a) Niat diskriminatif tidak dipersyaratkan
Krstic, (Sidang Banding), 2 Agustus 2001, Paragraf 500: “[P]emusnahan dapat terjadi apabila
kejahatan itu ditujukan langsung pada keseluruhan orang dalam kelompok meskipun tidak
ada niat diskriminatif seperti latar belakang kebangsaan, etnisitas, rasial atau agama.”
iii) Perbudakan
(1) Actus reus dan mens rea
Kunarac, Kovac dan Vokovic (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 116: “‘Actus reus kejahatan
perbudakan merupakan pelaksanaan dari satu atau seluruh kekuasaan yang dimilikinya terkait
dengan hak kepemilikannya terhadap orang lain,’ dan ‘mens rea dari kejahatan ini terdapat
pada penggunaan kekuasaan secara sengaja (intentional exersice of such powers).’”
Krnojelac, (Sidang Pengadilan ), 15 Maret 2002, Paragraf 350: “Perbudakan yang tertera pada
Pasal 5 ... telah didefinisikan oleh Pengadilan (Tribunal) sebagai perwujudan satu atau seluruh
kekuasaan dari hak kepemilikan terhadap orang lain. Actus reus perbudakan adalah
penggunaan kekuasaan tersebut, dan mens rea-nya adalah niat menggunakan kekuasaannya
itu.”
123
(2) Indikasi (indicia) perbudakan (enslavement)
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 119: Dalam menentukan
apakah perbudakan telah terjadi, indikasi perbudakan harus dapat diidentifikasi oleh Sidang
Pengadilan, yang meliputi: “kontrol atas gerak seseorang, kontrol atas lingkungan fisiknya,
kontrol psikologis, tindakan-tindakan yang diambil untuk mencegah atau menghalangi upaya
melarikan diri, ancaman kekerasan atau pemaksaan, secara khusus menjadi korban dari
tindakan kejam dan kekerasan dalam waktu tertentu, kontrol atas seksualitas dan kerja
paksa.”
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 359: “‘Penerapan kerja paksa atau
pelayanan paksa’ merupakan ‘indikasi terjadinya perbudakan,’ dan merupakan ‘faktor yang
menjadi pertimbangan dalam menentukan apakah perbudakan telah terjadi.’”
(a) Memenjarakan seseorang tidak cukup untuk digolongkan sebagai
perbudakan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 542: “Menahan
atau memenjarakan seseorang hanya merupakan indikasi lain perbudakan, dan tergantung
dari keadaan kasus tersebut; biasanya tidak dapat dikatakan sebagai perbudakan.” “Indikasi
lain atas perbudakan meliputi eksploitasi; kerja paksa atau pelayanan, sering kali dilakukan
tanpa pemberian upah, dan sering kali terjadi eksploitasi fisik; seks; prostitusi; dan
perdagangan manusia.”
(b) Durasi perbudakan merupakan salah satu faktor, namun bukan
elemen yang dipersyarakan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 121, 356: “Jangka waktu
(durasi) terjadinya perbudakan bukan salah satu unsur kejahatan. Pertanyaan selanjutnya
adalah kualitas hubungan antara terdakwa, yang ditentukan oleh sejumlah faktor, dan salah
satunya adalah jangka waktu (durasi) hubungan tersebut.” “[D]urasi dapat menjadi salah satu
faktor yang menentukan terjadinya perbudakan ‘apabila digunakan sebagai pertimbangan
124
untuk menentukan apakah seseorang telah menjadi korban perbudakan (enslaved) atau tidak.’
Artinya bahwa durasi bukan salah satu unsur kejahatan, tetapi dapat digunakan sebagai faktor
dalam membuktikan unsur-unsur kejahatan tersebut. Semakin lama periode (durasi)
perbudakan, maka kejahatan itu menjadi semakin serius.”
(3) Kurangnya perlawanan bukan merupakan tanpa persetujuan; kurangnya
persetujuan bukan salah satu unsur perbudakan
Kunarac, Kovac dan Vokovic (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 120: “Kurangnya
perlawanan atau tidak adanya persetujuan yang jelas dan konstan selama waktu penahanan”
tidak dapat ditafsirkan sebagai tanda persetujuan (consent). Kurangnya persetujuan bukan
unsur kejahatan perbudakan.
Lihat juga kajian tentang perbudakan (slavery) pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(xiii), ICTY Digest.
iv) Pemenjaraan
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 115: “Untuk menentukan kejahatan
pemenjaraan sebagai salah satu kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Pasal 5(e)
Statuta Pengadilan ... unsur-unsur berikut ini harus dipenuhi: i) kebebasan seseorang telah
dirampas; ii) perampasan kebebasan ini dilakukan secara sewenang-wenang, dalam arti tidak
ada dasar hukum yang menjustifikasi perampasan kebebasan tersebut; iii) tindakan atau
pembiaran yang terjadi dilakukan oleh terdakwa atau oleh orang-orang dengan niat untuk
merampas kebebasan fisik seseorang secara sewenang-wenang atau dengan pengetahuan yang
beralasan bahwa tindakan atau pembiaran yang dilakukannya dapat menyebabkan
terampasnya kebebasan fisik seseorang secara sewenang-wenang.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 302-303: “[I]stilah
pemenjaraan pada Pasal 5(e) Statuta harus dianggap sebagai pemenjaraan yang dilakukan
secara sewenang-wenang, artinya tindakan tersebut merupakan perampasan terhadap
kebebasan seseorang tanpa proses hukum, dan dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas dan sistematik terhadap penduduk sipil. Dalam konteks itu, Pengadilan harus menguji
keabsahan (legalitas) pemenjaraan itu, seperti halnya pedoman prosedural yang terkait dengan
125
pemenjaraan seseorang. Hal ini juga harus didasarkan pada lamanya pemenjaraan terhadap
orang atau sekelompok orang yang mengalami gugatan (in question), sebelum menentukan
apakah peristiwa tersebut merupakan bagian dari serangan meluas dan sistematik yang
ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil.”
v) Penyiksaan
(1) Unsur-unsur
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 142: Definisi
[penyiksaan] harus berdasarkan pada unsur-unsur berikut ini: “(i) Penderitaan, akibat
tindakan atau pembiaran, yang mengakibatkan luka parah dan kesengsaraan, baik fisik
maupun mental. (ii) Tindakan atau pembiaran tersebut harus diawali dengan niat. (iii)
Tindakan atau pembiaran tersebut harus dimaksudkan untuk memperoleh informasi atau
pengakuan dengan cara menghukum, mengintimidasi atau memaksa korban atau pihak
ketiga, dengan diskriminasi atau alasan lain untuk melawan korban atau pihak ketiga.” Lihat
kasus Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 179 (sama).
(2) Persyaratan terjadinya luka parah atau penderitaan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 142: Unsur pertama
untuk kejahatan penyiksaan adalah “[a]danya penderitaan yang diakibatkan oleh tindakan atau
pembiaran, yang menyebabkan luka parah atau penderitaan, baik fisik maupun mental.”
(a) Pemerkosaan sering kali berdampak pada luka parah atau penderitaan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 149-151: “[B]eberapa
kejahatan lain juga mengakibatkan penderitaan bagi korbannya. Pemerkosaan adalah ... salah
satu dari kejahatan tersebut. Kekerasan seksual mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan
berat, baik fisik maupun mental, dan dalam hal ini dapat digolongkan ke dalam penyiksaan.
Pemerkosaan menyebabkan penderitaan berat dan luka parah seperti yang disebut dalam
definisi kejahatan penyiksaan terjadi, apabila terbukti bahwa pemerkosaan tersebut
berdampak pada rasa sakit dan penderitaan.”
126
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 145: “[P]emerkosaan dapat
menyebabkan luka parah dan penderitaan seperti halnya penyiksaan, apabila unsur-unsur
penyiksaan seperti tujuan yang dilarang, terpenuhi.”
Lihat juga bahasan tentang pemerkosaan dan bentuk lain dari kekerasan seksual sebagai
bagian dari kejahatan perang berupa penyiksaan pada Pasal 3, Bagian (II)(d)( i)(7)(b), ICTY
Digest.
(3) Persyaratan tujuan yang dilarang
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 142: “Tindakan atau
pengabaian harus dimaksudkan untuk mendapatkan informasi atau pengakuan, yang
dilakukan dengan cara menghukum, mengintimidasi atau memaksa korban atau pihak ketiga,
atau dengan cara mendiskriminasi korban atau orang ketiga.” Lihat juga kasus Krnojelac,
(Sidang Pengadilan ), 15 Maret 2002, Paragraf 179 (sama).
(a) Tujuan yang dilarang tidak harus mendominasi atau tidak harus
menjadi satu-satunya tujuan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 155: “[T]indak kejahatan
tidak harus dilakukan semata-mata untuk sebuah tujuan yang dilarang oleh hukum
internasional. Jika satu tujuan yang dilarang (prohibited purpose) terpenuhi dalam tindak
kejahatan tersebut, fakta bahwa maka tindakan tersebut juga dimaksudkan untuk mencapai
tujuan yang tidak termasuk dalam daftar (bahkan tindakan sesksual) tidak menjadi materi
pertimbangan.”
Mucic dkk., (Sidang Pengadilan), 16 November 1998, Paragraf 470; Tujuan yang dilarang
(prohibitied purpose) seperti yang tertera dalam Konvensi Menentang Penyiksaan “tidak berisi
tentang daftar yang lengkap, dan harus dianggap sebagai satu-satunya daftar yang
representatif.” “Selanjutnya juga tidak ada persyaratan bahwa kejahatan tersebut semata-mata
dilakukan untuk sebuah tujuan yang dilarang akan tetapi, untuk memenuhi persyaratan ini,
127
tujuan yang dilarang harus merupakan bagian dari motivasi di balik tindak kejahatan tersebut
meskipun tidak harus mendominasi atau merupakan satu-satunya tujuan.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 153: “[T]ujuan yang dilarang
tidak harus merupakan satu-satunya atau tidak harus merupakan tujuan utama dari sebuah
tindakan yang menyebabkan luka parah dan penderitaan.”
(4) Niat jahat (mental state, mens rea)
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 153: “[M]eskipun
motivasi pelaku sepenuhnya adalah hasrat seksual, namun tidak berarti bahwa pelaku tidak
memiliki niat untuk menyiksa, atau tidak berarti bahwa tindakannya tidak mengakibatkan luka
parah dan penderitaan, baik fisik maupun mental, sebab luka dan penderitaan merupakan
konsekuensi dari perbuatan pelaku. Melihat definisinya, maka penting untuk menetapkan
bahwa, meskipun seorang pelaku mempunyai niat untuk bertindak sedemikian rupa, tetapi
dalam keadaan normal, tindakan tersebut dapat mengakibatkan luka parah dan penderitaan,
baik mental maupun fisik, kepada korbannya.”
(5) Peran dari pejabat negara tidak diperlukan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 148: “[K]eterlibatan
pejabat publik tidak disyaratkan dalam hukum kebiasaan internasional berkaitan dengan
tanggung jawab individu atas kasus penyiksaan di luar kerangka Konvensi Menentang
Penyiksaan.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 139: “[P]ersyaratan aktor
negara yang disebutkan dalam hukum hak asasi manusia internasional tidak konsisten dengan
penerapan hukum berkaitan dengan tanggung jawab individu atas kejahatan internasional
yang terdapat dalam hukum humaniter internasional dan hukum pidana internasional.”
Lihat juga bahasan tentang penyiksaan pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(i), ICTY Digest.
vi) Pemerkosaan
128
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 127-132: “Dalam hukum
internasional, actus reus kejahatan pemerkosaan didefinisikan sebagai; penetrasi seksual
(meskipun tidak penuh/dangkal) pada: (a) vagina atau anus korban oleh penis pelaku atau
benda lain yang digunakan oleh pelaku; atau (b) mulut korban oleh penis pelaku; di mana
tindakan penetrasi seksual ini terjadi tanpa persetujuan korban. Persetujuan (consent) yang
dimaksud di sini adalah persetujuan yang didasarkan pada keinginan bebas korban. Mens rea
adalah niat yang mengakibatkan terjadinya penetrasi seksual, dan kejadian itu terjadi tanpa
persetujuan korban.” “Perlawanan” tidak harus ada dalam konteks ini. “Paksaan atau
ancaman jelas menggambarkan bahwa pemerkosaan itu terjadi tanpa persetujuan, meskipun
paksaan ini bukanlah unsur penyebab pemerkosaan.” “[T]erdapat faktor di luar paksaan yang
menyebabkan terjadinya penetrasi seksual yang bersifat non-consensual (tanpa persetujuan) atau
non-voluntary (tanpa kerelaan) korban. Pandangan sempit tentang paksaan atau ancaman yang
hanya terbatas pada paksaan secara fisik (physical force) hanya menguntungkan pelaku
pemerkosaan, di mana ia dapat terhindar dari tanggung-jawabnya sebagai pelaku.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 175, 180: “Pemerkosaan secara
jelas didefinisikan dalam putusan hakim kasus Akayesu sebagai ‘invasi fisik dalam suatu
tindakan seksual, yang dilakukan dengan paksa terhadap seseorang.’” “[K]ekerasan seksual
lebih luas dari pemerkosaan, dan bentuk-bentuk kekerasan ini antara lain adalah perbudakan
seksual (sexual slavery) dan penganiayaan seksual (molestation). Namun, pengadilan kasus
Akayesu menekankan bahwa kekerasan seksual tidak harus melibatkan kontak fisik dan
penelanjangan di yang dipaksakan di depan umum, sebagai misal.”
Lihat juga kajian tentang pemerkosaan pada Pasal 3, Bagian (II)(d)(i)(7)(b) dan (II)(d)(ii),
ICTY Digest.
vii) Penganiayaan
(1) Tindakan yang dipersyaratkan (actus reus)
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 634: “Untuk menetapkan
bahwa penganiayaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan, maka unsur-
129
unsur berikut ini harus dibuktikan, yaitu: i) pelaku bertindak diskriminatif atau melakukan
pembiaran; ii) tindakan atau pembiaran tersebut dilakukan tanpa mengindahkan aturan serta
hak-hak mendasar seperti yang tercantum dalam hukum kebiasaan internasional atau
perjanjian internasional; iii) pelaku melakukan kejahatan atau pembiaran dengan maksud
mendiskriminasi atas dasar ras, agama atau politik; iv) persyaratan umum untuk kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam konteks ini diatur pada Pasal 5 Statuta.”
(a) Tingkat kejahatan penganiayaan harus sama tingkat keseriusannya
dengan kejahatan lain yang tertera pada Pasal 5
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 185: Penganiayaan yang
dilakukan, baik secara terpisah maupun bersama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan
lain, “harus memiliki tingkat keseriusan yang sama dengan kejahatan lain yang tercantum
pada Pasal 5.”
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 January, 2000, Paragraf 618-619: “[U]ntuk
mengkategorikan penganiayaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak cukup
mendefinisikan serangkaian utama tindakan dan mengabaikan tindak kejahatan lain dalam
keadaan tak tentu. Batasan dari kejahatan yang digolongkan sebagai penganiayaan harus
secara tegas didefinisikan, setidaknya kejahatan penganiayaan harus setara dengan kejahatan
lain yang tertera pada Pasal 5.” Lihat juga kasus Kordic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26
Februari 2001, Paragraf 193-195.
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 621: “Sidang Pengadilan ...
mendefinisikan penganiayaan sebagai pengabaian berat (gross denial) dan terang-terangan yang
dilakukan atas dasar diskriminasi terhadap hak-hak dasar sebagaimana tercantum dalam
hukum kebiasaan atau perjanjian internasional, yang memiliki level atau tingkat keseriusan
yang sama seperti kejahatan lain yang dilarang dalam Pasal 5.”
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 247: “Untuk menggolongkan
suatu kejahatan sebagai penganiayaan, maka kejahatan yang dilakukan atau pembiaran
tersebut harus mencapai tingkat keseriusan yang sama dengan kejahatan lain yang tertera
pada Statuta.”
130
(b) Kejahatan penganiayaan termasuk kejahatan yang diatur dalam sub-
klausul Pasal 5, yaitu kejahatan yang dapat di jumpai dibeberapa Pasal
Statuta, dan tidak secara tegas dilarang dalam Statuta
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 185: “Kasus-kasus hukum di
Sidang Pengadilan telah memberi spesifikasi terhadap penganiayaan sebagai kejahatan yang
diatur dalam sub-klausul Pasal 5, yaitu kejahatan yang dapat dijumpai dalam Statuta,
meskipun Statuta tidak menyebutkan kejahatan tersebut secara khusus; dan kejahatan
tersebut mengabaikan hak-hak mendasar yang lain. ...”
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 581, 614-615: “[S]idang
Pengadilan menolak anggapan bahwa penganiayaan harus dikaitkan dengan kejahatan yang
sering dikutip dalam Statuta Pengadilan Internasional. Tak ada persyaratan seperti itu
dikenakan terhadapnya oleh Statuta Pengadilan Internasional.” “Definisi sempit tentang
penganiayaan tidak terdapat dalam hukum kebiasaan internasional. Penganiayaan dapat
berupa perampasan hak dalam lingkup yang sangat luas.” “[T]indakan penganiayaan tidak
secara eksplisit dilarang, baik pada Pasal 5 maupun pasal-pasal lain dalam Statuta.” Lihat juga
kasus Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 185 (penganiayaan
termasuk “tindak kejahatan yang tidak disebutkan dalam Statuta ...”).
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 605-606: “[K]ejahatan yang
disebut dalam sub-klausul Pasal 5 dapat ... dianggap sebagai penganiayaan. Penafsiran sempit
tentang penganiayaan di luar sub-heading lain Pasal 5, bukan merupakan refleksi yang tepat atas
dugaan kejahatan penganiayaan yang telah muncul pada hukum kebiasaan internasional. [J]ika
penganiayaan ditafsirkan secara sempit, maka kejahatan tersebut, dengan tujuan untuk
memasukkan kejahatan yang dijumpai pada sub-heading lain dari Pasal 5, maka sebuah
kekosongan akan muncul dalam Statuta Pengadilan. Tidak akan ada konseptualisasi atas
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan secara tidak adil, tetapi yang, sebagai misal,
akan masuk semua dalam kejahatan genosida, yang mensyaratkan niat khusus untuk
‘menghancurkan, baik sebagian maupun keseluruhan yang ditujukan kepada kelompok
bangsa, ras atau agama.”
131
(c) Menilai penganiayaan pada konteksnya, dengan melihat efek
kumulatifnya
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 622: “Untuk menentukan
apakah sebuah tindakan dapat dianggap sebagai penganiayaan ... maka tindakan tersebut
harus dinilai dengan melihat konteks dan efek kumulatif yang ditimbulkannya.”
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 247: “Pada saat menentukan
apakah sebuah tindakan atau pembiaran memenuhi persyaratan ini [yaitu bahwa tindakan
atau pembiaran tersebut telah mencapai tingkat keseriusan yang setara dengan kejahatan lain
yang tercantum dalam Statuta], tindakan sebaiknya tidak dipertimbangkan dalam kerangka
tertutup tetapi mestinya diperiksa dalam konteksnya dengan mempertimbangkan efek
kumulatifnya. Meskipun setiap kejahatan yang dilakukan tidak harus melanggar hukum
internasional, namun tindakan itu harus merupakan penganiayaan baik dilakukan sendiri
maupun bersamaan dengan kejahatan lain.”
(d) Penganiayaan harus menyebabkan kerusakan fisik dan mental atau
melanggar kebebasan individu
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 246: “Tindakan atau pembiaran
yang merupakan kejahatan penganiayaan dapat dilihat dari beberapa bentuk, dan tidak ada
daftar komprehensif mengenai tindakan apa saja yang terdaftar sebagai kejahatan
penganiayaan. Kejahatan-kejahatan itu mungkin mencakup tindakan-tindakan yang terdaftar
maupun tindakan-tindakan yang tidak terdaftar dalam Statuta. Tindakan atau pengabaian
mungkin mencakup kerusakan fisik atau kerusakan mental atau melanggar kebebasan
individu.”
(e) Kejahatan tunggal dapat dianggap sebagai penganiayaan jika niat
diskriminatif dapat dibuktikan
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 624: “[P]enganiayaan sering
digunakan untuk menggambarkan rangkaian tindakan kejahatan. Namun, Pengadilan tidak
mengesampingkan kemungkinan bahwa kejahatan tunggal dapat dianggap sebagai
132
penganiayaan, dan dalam hal demikian harus terdapat bukti yang nyata bahwa tindakan
diskrimatif telah terjadi.”
(f) Contoh-contoh penganiayaan
a. Penghancuran terhadap bangunan atau harta benda yang menjadi
hajat hidup (means of subsistence)
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 234: “Dalam konteks kejahatan
penganiayaan, penghancuran bangunan atau harta benda yang dilakukan, harus dengan
maksud untuk menghancurkan kota, desa atau bangunan (harta benda) milik publik atau
perorangan pada penduduk sipil, atau penghancuran besar-besaran yang dilakukan bukan
karena keterdesakan militer, dan dilakukan dengan cara-cara melawan hukum, sewenang-
wenang dan diskriminatif.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 227: “[P]enganiayaan dapat berbentuk
mendatangkan cedra lain atas diri seseorang, khususnya tindakan-tindakan yang secara serius
dilakukan bukan dengan cara-cara yang nyata-nyata kejam tetapi diskriminasi yang dilakukan
secara langgeng untuk umat manusia. [P]enganiayaan dapat ... berbentuk pengambilalihan
atau pengrusakan terhadap tempat-tempat tinggal pribadi atau lahan-lahan bisnis, bangunan-
bangunan simbolis atau bangunan yang menjadi hajat hidup penduduk seperti yang terjadi
pada etnis Muslim Bosnia-Herzegowina.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 234: Dalam konteks kejahatan
penganiayaan, “penjarahan harta benda didefinisikan sebagai sebagai tindakan melawan
hukum yang dilakukan secara meluas dan dilakukan secara sewenang-wenang atas harta
benda milik kelompok penduduk tertentu, baik harta milik pribadi atau milik negara atau
milik bersama antara negara atau ‘kuasi-negara’ dengan kelompok publik.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 233: “[C]akupan kejahatan
‘penganiayaan’ tidak hanya meliputi perusakan dan pelanggaran fisik dan mental atas
kebebasan individu, tetapi juga kejahatan lain yang lebih ringan, misalnya harta benda,
133
sepanjang orang-orang yang menjadi korban dipilih secara khusus dengan pertimbangan soal
keterkaitannya dengan harta benda milik kelompok masyarakat tertentu.”
b. Penahanan tidak sah atas warga sipil
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 234: “Penahanan tidak sah atas warga
sipil merupakan salah satu bentuk penganiayaan, artinya merampas kebebasan sekelompok
warga sipil secara diskriminatif.”
c. Deportasi atau pemindahan paksa atas warga sipil
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 234: “Deportasi atau pemindahan paksa
warga sipil [sebagai salah bentuk kejahtan penganiayaan] berarti bahwa ‘pemindahan
penduduk yang menjadi target dengan cara kekerasan atau paksaan dari tempat mereka
tinggal, yang dilakukan tanpa alasan yang diijinkan oleh hukum internasional.’”
d. Pelecehan, penghinaan dan kekerasan psikologis
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 190: “Untuk menetapkan
sebuah kejahatan sebagai kejahatan penganiayaan; pelecehan, penghinaan dan kekerasan
psikologis sebagai kejahatan serius seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, atau seperti
kejahatan lain seperti tertera pada Pasal 5, maka semua kejahatan tersebut harus menjadi
bagian dari kejahatan yang memenuhi kriteria penganiayaan.” “[P]erlakuan merendahkan
yang membentuk bagian dari serangan yang bersifat diskriminatif terhadap sebuah penduduk
sipil bisa, bersama-sama dengan kejahatan lainnya atau, tindakan itu sendiri, dinilai sebagai
tindakan penganiayaan.”
e. Pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 600, 615: “Menurut interpretasi
pengadilan, kasus penganiayaan harus memasukan sejumlah kejahatan seperti pembunuhan,
pemusnahan, penyiksaan dan kejahatan serius lain terhadap seseorang seperti yang tertera
pada Pasal 5.”
134
f. Pelanggaran politik, sosial dan ekonomi secara umum
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 615: “Penganiayaan dapat
berupa tindakan diskriminatif yang bervariasi termasuk pelanggaran terhadap hak-hak politik,
sosial dan ekonomi.”
g. Pelanggaran hak atas hidup, kebebasan dan keamanan seseorang;
hak untuk tidak diperlakukan seperti budak atau penghambaan;
hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan kejam, tidak manusiawi
atau diperlakukan rendah atau penghukuman; dan hak untuk tidak
ditangkap, ditahan atau diasingkan secara sewenang-wenang
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 220: “[P]elanggaran atas hak-hak dasar
yang tidak dapat dicerabut dari seseorang, yaitu: ‘hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan
seseorang’, hak untuk tidak ‘diperlakukan sebagai budak’, hak untuk tidak ‘disiksa atau
diperlakukan kejam, tidak manusiawi atau diperlakukan rendah atau penghukuman’, dan hak
untuk tidak ‘ditangkap, ditahan atau diasingkan secara sewenang-wenang’ seperti yang tertera
pada Pasal 3, 4, 5, dan 9 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia secara esensial dapat
dianggap sebagai penganiayaan jika dilakukan secara diskriminatif.”
h. Contoh-contoh lain
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 186: “ICTY menyimpulkan
bahwa tindakan di bawah ini dapat dianggap sebagai penganiayaan apabila dilakukan dengan
niat diskriminatif. Tindakan-tindakan tersebut adalah: pemenjaraan, penahanan tidak sah atas
warga sipil atau pelanggaran atas kebebasan individu, pembunuhan, deportasi atau
pemindahan paksa, penyitaan, pengumpulan, segregasi dan pemindahan paksa atas warga
sipil ke kamp, penghancuran besar-besaran atas tempat tinggal dan harta benda,
penghancuran kota-kota, pedesaan dan harta (bangunan) publik dan perorangan dan
penjarahan harta, serangan terhadap kota besar, kota dan pedesaan, penggalian parit-parit
perlindungan serta penggunaan tawanan dan bukan tawanan sebagai tameng manusia,
135
pengrusakan dan penghancuran terhadap lembaga-lembaga agama dan pendidikan, serta
kekerasan seksual.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 202-207: “[T]indakan di
bawah ini dapat dikategorikan sebagai penganiayaan, apabila tindakan-tindakan tersebut
dilakukan dengan niat diskriminatif,” yaitu tindakan-tindakan seperti: (1) serangan terhadap
kota besar, kota dan pedesaan; (2) penggalian parit-parit dan penggunaan tawanan serta
tameng manusia; (3) “pengerusakan besar-besaran dan meluas dan/atau menjarah
pemukiman warga sipil seperti yang terjadi di Bosnia, bangunan-bangunan, tempat-tempat
bisnis dan harta milik perorangan dan hajat hidupnya” dapat dianggap sebagai kejahatan
penganiayaan jika efek kumulatif dari perusakan tersebut berakibat pada pindahnya warga
sipil dari komunitasnya dan kejahatan tersebut dilakukan atas dasar diskriminatif; (4)
pengrusakan atau penghancuran atas lembaga-lembaga agama dan pendidikan.
i. Tindakan-tindakan yang tidak termasuk dalam penganiayaan
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 208-210: Tindakan-
tindakan di bawah ini tidak termasuk dalam penganiayaan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan karena tidak terjadi dalam tingkat keseriusan yang sama dengan kejahatan
terhadap kemanusiaan lain seperti yang tertera Pasal 5, yakni tindakan-tindakan seperti:
mendorong dan menyebarkan kebencian atas dasar kepentingan politik; menyingkirkan dan
memindahkan orang-orang Muslim Bosnia dari pemerintahan.
(2) Niat jahat (mental state, mens rea)
(a) Niat diskriminatif menjadi persyaratan dalam kejahatan penganiayaan
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 212: “[N]iat tertentu
diperlukan, selain niat khusus (niat untuk melakukan tindakan dan menimbulkan
konsekuensi) dan niat secara umum (adanya pengetahuan objektif dalam konteks kejahatan
pelaku). Niat tertentu itu adalah niat diskriminatif yang membuat kejahatan penganiayaan
terpisah dari Pasal 5 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Niat diskriminatif ini menjadi
persyaratan dalam kejahatan penganiayaan yang berbeda dengan niat secara umum (general
136
level of intent), seperti kejahatan terhadap kemanusiaan pada Pasal 5, ketika satu-satunya
‘pengetahuan atas konteks’ serangan meluas dan sistematik terhadap warga sipil dianggap
cukup.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 235: Penganiayaan “harus dilakukan
dengan alasan khusus, misalnya pandangan politik, latar belakang ras atau keyakinan agama.
Niat itu adalah niat khusus untuk melukai seseorang karena orang tersebut merupakan bagian
dari komunitas atau kelompok khusus, lebih dari sekadar cara yang digunakan untuk
mencapainya, yang terhadapnya dikenakan sifat individualnya, tingkat keseriusan serta yang
menjustifikasi kemampuannya melakukan tindak kejahatan yang akan muncul dengan
sendirinya, tidak untuk melanggar secara langsung hak-hak dasar manusia, misalnya serangan
terhadap harta benda.”
(b) Persyaratan niat jahat (mental state, mens rea) dalam penganiayaan
lebih tinggi tingkatannya dari kejahatan terhadap kemanusiaan lain,
tapi lebih rendah dari genosida
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 636: “[P]ersyaratan mens rea
dalam penganiayaan lebih tinggi dari kejahatan terhadap kemanusiaan lain, namun lebih
rendah dari kejahatan genosida. Penganiayaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan
merupakan kejahatan yang dapat digolongkan dalam genus yang sama dengan genosida, sebab
keduanya merupakan kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang menjadi anggota
kelompok tertentu atau yang menjadi target karena keanggotaan mereka. Tanpa melihat niat
diskriminatifnya, keduanya (genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan) merupakan
tindakan yang menyerang seseorang atas dasar karakteristik etnis, ras atau agama (sama
halnya dengan kasus penganiayaan, dengan mempertimbangkan afiliasi politik korban). Niat
diskriminatif pada kasus penganiayaan dapat berupa tindakan tidak manusiawi yang
bervariasi, dan terwujud dalam berbagai bentuk kejahatan seperti pembunuhan, sedangkan
pada genosida, niat diskriminatif tersebut harus dibarengi dengan niat untuk menghancurkan,
baik sebagian maupun keseluruhan, sebuah kelompok di mana korban genosida termasuk
dalam anggota kelompok tersebut. [D]alam pandangan mens rea, genosida adalah bentuk
ekstrem dan tidak manusiawi dari kejahatan yang dilakukan dengan sengaja, di mana
kejahatan tersebut dirancang untuk menghancurkan sebuah kelompok, baik sebagian maupun
137
keseluruhan, sehingga dapat dikatakan bahwa penganiayaan seperti itu dapat dianggap sebagai
genosida.”
(c) Niat ditujukan kepada kelompok sasaran, bukan perorangan
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 636: “Alasan yang
diskriminatif terjadi pada saat seseorang menjadi target kejahatan karena alasan agama, politik
atau ras orang yang ditargetkan tersebut, misalnya karena keanggotaannya dalam kelompok
tertentu. ... [K]elompok sasaran tersebut harus ditafsirkan secara luas, dan mungkin secara
khusus termasuk orang-orang yang didefinisikan oleh pelaku sebagai bagian dari kelompok
korban karena memiliki afiliasi yang erat atau merupakan simpatisan kelompok korban.
Interpretasi ini konsisten dengan rasio ketentuan yang melarang penganiayaan, karena pelaku
yang menentukan kelompok korban yang menjadi sasaran tidak memiliki pengaruh dalam
mendefinisikan status mereka. Sidang Pengadilan menyimpulkan bahwa dalam kasus Naletilic
dan Martinovic tersebut, diskriminasi faktual yang dilekatkan pada korban merupakan fakta
diskriminatif atas dasar persepsi pelaku terhadap siapa atau apa targetnya.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 235: “Pelaku kejahatan penganiayaan
tidak secara langsung mentargetkan seseorang, tetapi kepada anggota kelompok tertentu
seperti ras, agama atau politik.”
(d) Niat diskriminatif dapat dilihat sebagai kriteria positif dan negatif
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 195: “[T]indakan diskriminatif
dapat dihasilkan dari penerapan kriteria positif atau negatif.” Misalnya, “sebuah serangan
‘yang ditujukan hanya kepada warga non-Serbia dalam sebuah populasi hanya karena mereka
penduduk non-Serbia’ dapat dilihat sebagai indikasi adanya niat yang diskriminatif.”
(e) Niat diskriminatif dapat dilihat dari kesadaran untuk terlibat dalam
sebuah sistem atau kerja sama yang mendiskriminasi atas dasar
politik, ras dan agama
138
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 201: “[N]iat diskriminatif
pelaku dapat dilihat dari kesadarannya untuk terlibat dalam sistem atau kerja sama yang
mendiskriminasi atas atas dasar alasan politik, rasial atau agama.”
(f) Tidak ada persyaratan untuk kebijakan diskriminatif
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 435: “Tidak ada persyaratan bahwa
kebijakan yang diskriminatif dalam kejahatan penganiayaan dapat dilihat dari keterlibatan
pelaku dalam merancang kebijakan yang diskriminatif tersebut atau praktik diskriminatif yang
berasal dari kewenangan pemerintah.”
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 248: “Syarat bahwa seorang
pelaku secara sadar berniat untuk mendiskriminasi tidak menjadi syarat adanya kebijakan
diskriminatif atau, di mana kebijakan tersebut telah ada, dengan keterlibatan pelaku dalam
memformulasi kebijakan diskriminatif tersebut atau praktik diskriminatif oleh pihak yang
berwenang.”
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 625: “Meskipun penganiayaan
sering kali merupakan bagian dari kebijakan yang diskriminatif, Pengadilan mengemukakan
bahwa keterlibatan terdakwa dalam merancang kebijakan atau praktik diskriminatif oleh
pejabat pemerintah tidak diperlukan untuk membutikan adanya kejahatan penganiayaan.”
Lihat juga kasus Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 220:
“[U]ntuk menentukan pentingnya unsur mens rea dalam kejahatan penganiayaan, terdakwa
harus telah menjelaskan maksud dari kebijakannya yang diskriminatif: ‘pemindahan orang-
orang dari masyarakat di mana mereka tinggal bersama dengan pelaku, atau mendiskriminasi
kemanusiaannya sendiri.’”
(g) Pengetahuan bahwa seseorang bertindak diskriminatif tidak cukup;
niat diskriminatif harus ada
139
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 248: “Terdakwa harus secara
sadar berniat untuk melakukan diskriminasi dalam kejahatan penganiayaan. Tidak cukup
bahwa terdakwa hanya sadar bahwa tindakan yang dia lakukan diskriminatif.”
Krnojelac, 15 Maret 2002, Paragraf 435: “Kejahatan penganiayaan juga memiliki karakter yang
unik dari persyaratan niat diskriminatif. Tidak cukup bagi terdakwa untuk sadar bahwa
tindakannya diskriminatif; ia harus secara sadar berniat untuk melakukan diskriminasi.”
(h) Niat untuk mendiskriminasi tidak harus merupakan niat utama, tapi
harus niat yang signifikan
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 435: “Niat untuk melakukan
diskriminasi tidak harus merupakan niat utama, tetapi bahwa niat tersebut merupakan faktor
yang signifikan.”
(i) Niat diskriminatif harus berhubungan dengan tindakan-tindakan yang
dikategorikan sebagai penganiayaan, bukan pada serangannya
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 436: “Niat diskriminatif harus terkait
dengan kejahatan khusus yang digolongkan sebagai penganiayaan dan bukan pada
serangannya secara umum, meskipun serangan tersebut mungkin dilakukan secara
diskriminatif. Ini jelas dari definisi penganiayaan yang mensyaratkan adanya tindakan atau
pembiaran yang faktanya merupakan penganiayaan. Tidak ada persyaratan, baik pada
kejahatan penganiayaan maupun berdasarkan persyaratan umum pada kejahatan terhadap
kemanusiaan, bahwa serangan tersebut dilakukan secara diskriminatif. Hukum ... telah
diterapkan oleh Pengadilan atas dasar pertimbangan bahwa alasan diskriminatif dalam
melakukan suatu serangan merupakan dasar yang cukup yang dengan itu mencapai niat
diskriminatif yang cukup untuk penganiayaan. Meskipun pendekatan tersebut dapat memberi
kesimpulan secara tepat bagi sebagian besar tindakan yang terjadi dalam konteks serangan
diskriminatif, mungkin saja ada tindakan tertentu yang dilakukan dalam konteks serangan,
baik atas dasar diskriminasi yang tidak tertera dalam Statuta, atau semata-mata karena
masalah pribadi. Oleh karena itu pendekatan ini tidak memungkinkan untuk adanya
140
kesimpulan yang akurat atas niat yang digambarkan dengan mempertimbangkan tindakan-
tindakan yang tersebut di atas.”
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 249: “[N]iat diskriminatif harus
terkait dengan kejahatan spesifik penganiayaan. Tidak cukup bahwa tindakan murni terjadi
dalam suatu serangan yang memiliki aspek diskriminatif. Kadang-kadang, hukum ini telah
diterapkan oleh Pengadilan dengan alasan bahwa serangan yang bersifat diskriminatif adalah
dasar yang cukup yang dengan itu mencapai niat diskriminatif yang cukup dari tindakan yang
dilakukan dalam konteks serangan diskriminatif, namun kemungkinan ada kejahatan yang
dilakukan dalam konteks diskriminatif yang tidak tertera dalam Statuta atau kejahatan yang
dilakukan semata-mata karena alasan pribadi. ... [P]endekatan ini tidak harus mencakupi
tindakan akurat berkenaan dengan niat untuk dilakukan yang berkaitan dengan semua
tindakan yang terjadi dalam konteks tersebut.”
(j) Konsekuensi atas tindakan diskriminatif dipersyaratkan
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 245: “[T]indak kejahatan atau
pembiaran secara nyata harus berakibat pada konsekuensi diskriminatif lebih dari pada hanya
sekadar dilakukan dengan niat diskriminatif. Niat diskriminatif saja tidak cukup. Tanpa
persyaratan ini, maka terdakwa dapat dituduh melakukan penganiayaan meskipun tak seorang
pun yang telah menjadi korban tindak kejahatan tersebut. ...”
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 432: “Jurisprudensi Pengadilan
sebelumnya ... telah mensyaratkan adanya unsur-unsur diskriminatif sebagai bagian dari actus
reus, yaitu, tindak kejahatan atau pembiaran yang secara nyata mengakibatkan konsekuensi
diskriminatif dan bukan tindak kejahatan yang semata-mata dilakukan dengan niat
diskriminatif. Niat diskriminatif saja tidak cukup. Pendekatan yang berbeda digunakan dalam
Pengadilan kasus Kvocka, dengan mengesampingkan adanya konsekuensi diskriminatif.
[S]idang Pengadilan untuk kasus ini tidak mendapati bahwa penilaian ini persuasif.
Argumentasi logis dalam persyaratan ini adalah bahwa tindakan tersebut dalam kenyataannya
memang diskriminatif. Tanpa persyaratan itu, maka terdakwa dapat dituduh melakukan
penganiayaan, meskipun tak seorang pun yang menjadi korbannya. Selain itu, perbedaan
antara kejahatan penganiayaan dan kejahatan lain mesti dinyatakan tak bermakna secara
141
virtual dengan mengesampingkan kejahatan penganiayaan dari kualitas yang membedakan
kejahatan itu dengan kejahatan lain, seperti pembunuhan dan penyiksaan, yang objeknya
adalah perlindungan terhadap individu tanpa melihat dari kelompok mana dia berasal atau
berada.”
viii) Tindakan tidak manusiawi lainnya
(1) Pengantar Umum
Neletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 247: “Pasal 5(i) Statuta
(tindakan tidak manusiawi lain) merupakan klausul residual, yang dapat diterapkan pada
kejahatan-kejahatan yang tidak termasuk dalam sub-klausul lain dalam Pasal 5 Statuta, namun
memiliki tingkat keseriusan yang sama dengan kejahatan lain yang telah disebutkan.
Perlakuan tidak manusiawi adalah ‘[...] tindak kejahatan atau pembiaran yang dimaksudkan
untuk menyengsarakan seseorang secara fisik atau mental.’ Sesuai dengan syarat kejahatan
terhadap kemanusiaan, maka tindak kejahatan ini harus dilakukan secara meluas dan
sistematik.”
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 563: “Frase ‘tindakan tidak
manusiawi lain’ dirancang sebagai kategori residual, karena dirasa tidak dikehendaki dalam
kategori ini untuk diungkapkan secara mendalam. Kategori mendalam ini (exhaustive
categorization) hanya akan menciptakan kesempatan untuk menghindari ketentuan tentang
pelarangan.”
(2) Unsur-unsur
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 234: “Unsur-unsur yang harus
dibuktikan dalam ‘kejahatan tidak manusiawi lain’ adalah sebagai berikut: (i) terjadinya tindak
kejahatan atau pembiaran yang memiliki keseriusan yang sama dengan tindakan-tindakan
yang disebutkan dalam pasal; (ii) tindak kejahatan atau pembiaran yang dilakukan
menyebabkan penderitaan fisik atau mental secara serius atau luka atau serangan serius
terhadap martabat kemanusiaan; dan (iii) tindak kejahatan atau pembiaran tersebut dilakukan
142
oleh terdakwa atau seseorang atau orang-orang yang bertanggung-jawab atas kejahatan yang
dilakukannya.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 271-272: “Dalam konteks
pembahasan atas ‘kejahatan tidak manusiawi lain,’ Pengadilan kasus Blaskic mendefinisikan
unsur-unsur yang membahayakan fisik dan mental seseorang secara serius, yaitu sebagai
berikut; korban harus menderita fisik dan mental secara serius; tingkat penderitaannya harus
dilihat atas dasar kasus-per-kasus dengan mempertimbangkan kondisinya; penderitaan yang
dirasakannya merupakan hasil dari kejahatan yang dilakukan terdakwa atau bawahannya; pada
saat kejahatan dilakukan, terdakwa atau bawahannya harus dimotivasi dengan niat untuk
menyengsarakan korban secara serius baik fisik maupun mentalnya.”
(a) Tingkat keseriusan/kepelikan kejahatan
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 235: “Untuk menilai tingkat
keseriusan sebuah kejahatan, perlu mempertimbangkan semua kondisi faktual yang
ditemukan,” yang mungkin “mencakup sifat dari tindak kejahatan atau pembiaran, konteks
terjadinya kejahatan tersebut; kondisi korban saat itu misalnya usia, jenis kelamin, kesehatan
serta dampak moral, serta fisik dan mental korban. [J]ika diketahui bahwa sebuah kejahatan
mempunyai dampak untuk jangka panjang, maka untuk menentukan tingkat keseriusan dari
kejahatan tersebut masih dianggap relevan.” Lihat juga Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret
2000, Paragraf 243.
(b) Luka serius dan mental
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 131: “Penderitaan korban yang
diakibatkan oleh sebuah kejahatan tidak harus berlangsung lama, tetapi cukup bahwa
penderitaan itu benar-benar nyata dan serius.”
(c) Niat jahat (mental state, mens rea)
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 132: “Mens rea yang dipersyaratkan
dapat terpenuhi jika pelaku utama (the principle offender), pada saat kejahatan atau pembiaran
143
tersebut berlangsung, memiliki niat untuk menyengsarakan korban secara serius, baik fisik
maupun mentalnya, atau pelaku menyerang martabat kemanusiaan korban secara serius, atau
pelaku mengetahui bahwa tindak kejahatan atau pembiaran yang dilakukannya dapat
menyebabkan penderitaan fisik dan mental yang serius bagi korban, atau pelaku melakukan
serangan secara serius atas martabat kemanusiaan korban dan pelaku bertindak ceroboh
sehingga menyebabkan penderitaan, atau penderitaan korban terjadi sebagai akibat dari
tindak kejahatan atau pembiaran pelaku.” Lihat juga kasus Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29
November 2002, Paragraf 236.
(3) Setara dengan “perlakuan kejam” berdasarkan Pasal 3
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, Paragraf 52: “Sub-karakterisasi ‘tindakan tidak
manusiawi lainnya’ seperti yang disebut pada Pasal 5 (i) Statuta merupakan suatu kejahatan
umum yang mencakupi serangkaian kejahatan. [I]stilah perlakuan kejam pada Pasal 3 Statuta
‘memiliki maksud yang sama [...] seperti perlakuan tidak manusiawi yang tertera pada
Konvensi Jenewa dan merupakan kejahatan berat.’ Karena itu ... istilah perlakuan kejam pada
Pasal 3 dan perlakuan tidak manusiawi pada Pasal 5 Statuta memiliki makna hukum yang
sama.”
(4) Pelaksanaan
Krstic, (Pengadilan tingkat Pertama), 2 Agustus 2001, Paragraf 523: “Pemindahan paksa (forced
displacement) di dalam negara maupun lintas negara merupakan tindakan tidak manusiawi
sebagaimana tercantum pada Pasal 5(i) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 208: “Mutilasi dan bentuk
kejahatan berat lain terhadap tubuh, pemukulan dan bentuk-bentuk kekerasan lain, luka fisik
dan mental, pemindahan paksa, perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat,
prostitusi secara paksa, dan penghilangan paksa merupakan daftar jurisprudensi Pengadilan
yang termasuk dalam kategori [perlakuan tidak manusiawi lain].”
144
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 239: “[L]uka fisik dan mental, kecuali
pembunuhan, tidak diragukan lagi merupakan sebuah ‘tindakan tidak manusiawi’ seperti yang
tertera pada pasal 5 Statuta.”
145
V. PERTANGGUNGJAWABAN INDIVIDU (PASAL 7 (1))
a) Statuta
Statuta ICTY, Pasal 7 (1):
“Seseorang yang merencanakan, menghasut, memerintahkan, melakukan atau membantu dan
bersekongkol dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan kejahatan seperti tertera pada
Statuta Pasal 2-5, harus mempertanggungjawabkan kejahatan yang dilakukannya secara
individual.”
b) Pengantar Umum
i) Tanggung jawab pidana para atasan menurut Pasal 7 (1)
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 367: “Pasal 7 (1) berisi
tentang hukuman bagi orang-orang yang secara langsung bertanggung-jawab atas
perencanaan, penghasutan, menyuruh, melaksanakan, atau memberi bantuan dan
bersekongkol dalam perencanaan, persiapan, atau pelaksanaan suatu kejahatan. Jadi, Pasal 7
(1) mengatur, baik pihak yang melaksanakan sendiri perbuatan melawan hukum itu, maupun
atasannya yang secara fisik tidak terlibat dalam perbuatan tersebut tetapi, bahwa atasan
tersebut terlibat dengan cara memerintahkan atau menghasut pelaku. Sebagai contoh, seorang
atasan, misalnya seorang pemimpin politik yang merencanakan penghukuman mati terhadap
warga sipil atau kelompok warga sipil tertentu, dan kemudian memerintahkan komandan
pasukan militer untuk melakukan rencana tersebut, kemungkinan bertanggung-jawab sesuai
Pasal 7 (1). Tanggung jawab kejahatan atasan, baik militer atau sipil, dalam hal ini adalah
bersifat pribadi dan langsung, sebagai akibat dari hubungan langsung mereka pada perbuatan
fisik kejahatan tersebut. Tangung jawab kejahatan dari seorang atasan pada kejahatan positif,
kecuali ketika atasan memerintahkan kejahatan tersebut dalam suatu kasus di mana ia
mungkin lebih pantas dirujuk sebagai penangggung-jawab utama bagi perbuatannya, mungkin
dapat dianggap sebagai ‘kelanjutan prinsip-prinsip umum pertanggungjawaban bawahan
(accomplice liability).’”
146
ii) Tumpang tindih Pasal 7 (1) dan Pasal 7 (3)
Kristic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 605: “[P]engadilan meyakini bahwa
seorang komandan yang terlibat dalam kejahatan, di mana ia ‘merencanakan’, ‘menghasut’,
‘memerintahkan’ untuk dilakukannya kejahatan, tanggung jawab apa pun menurut Pasal 7 (3),
juga termasuk dalam pasal 7 (1). Hal yang sama berlaku terhadap komandan yang
memunculkan tanggung jawab kejahatan menurut doktrin kejahatan bersama melalui aksi-
aksi fisik anak buahnya (bawahannya).”
Akan tetapi pada kasus Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf
79, 81: “Sidang Pengadilan Krnojelac menyatakan bahwa karena tidak pantas untuk mendakwa
orang-orang, baik menurut Pasal 7 (1) maupun Pasal 7 (3) untuk perbuatan yang sama, maka
Sidang Pengadilan memiliki diskresi (kebijakan) untuk memilih Pasal yang paling tepat.”
Sidang Pengadilan berpegang pada kasus Krnojelac, di mana Sidang Pengadilan memilih satu di
antara Pasal 7 (1) dan Pasal 7 (3) Statuta sebagai bentuk pertanggungjawaban yang paling
tepat.”
Bandingkan dengan kasus Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 337:
“[K]egagalan untuk menghukum kejahatan masa lalu, yang mengharuskan
pertanggungjawaban komandan menurut Pasal 7 (3), dan juga Pasal 7 (1) serta mengacu pada
pemenuhan syarat-syarat mens rea dan actus reus, menjadi dasar bagi pertanggungjawaban atas
tindakan berupa pemberian bantuan dan persekongkolan atau penghasutan (untuk
melakukan) tindak kejahatan lanjutan yang lain.”
Lihat juga pembuktian tanggung jawab menurut Pasal 7 (1) dan Pasal 7 (3) sebagai akibat
pemberian hukuman, Bagian (X) (b) (iii) (3) (k), ICTY Digest.
c) Perencanaan, Penghasutan, Pemberian Perintah dan Pelaksanaan
i) Niat jahat (mental state, mens rea) secara umum
147
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 278: “[B]ukti diperlukan untuk
menentukan siapa pun yang merencanakan, menghasut, memerintahkan perbuatan kejahatan,
yang mempunyai niat jahat, yaitu ia yang secara langsung maupun tidak langsung
menyebabkan dilakukannya kejahatan tersebut, atau dengan kata lain kejahatan tersebut
dilakukan atas permintaannya. [S]ecara umum, seseorang, selain orang yang merencanakan,
menghasut atau memerintahkan merupakan pelaku kejahatan actus reus.”
Kardic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 386: “[S]eorang terdakwa
hanya akan dimintai pertanggungjawabannya atas perencanaan, penghasutan atau perintah
untuk melakukan perbuatan kejahatan jika ia secara langsung ataupun tidak langsung berniat
agar kejahatan tersebut dilakukan.”
ii) Perencanaan
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000 paragraf 279: “[P]erencanaan menyiratkan bahwa
‘seseorang atau beberapa orang bermaksud merencanakan perbuatan kejahatan baik pada saat
persiapan maupun pada saat pelaksanaannya.’”
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001 Paragraf 601: “Maksud dari ‘perencanaan’ adalah
bahwa seseorang atau lebih merencanakan perbuatan jahat baik pada tahap persiapan
maupun pada tahap pelaksanaan.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2002 Paragraf 386: “[P]erencanaan
merupakan bentuk yang khusus dari tanggung jawab menurut Pasal 7 (1) Statuta tersebut,
dan seorang terdakwa mungkin dimintai pertanggungjawaban hanya pada perencanaan saja.”
(1) Seseorang yang melakukan kejahatan tidak dapat dimintai
pertanggunjawaban atas perencanaan kejahatan tersebut
Kordic dan Cerkez (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 386: “[S]eseorang yang telah
diketahui sebagai pelaku kejahatan, tidak akan dimintai pertanggungjawabanya atas
perencanaan kejahatan yang sama.”
148
(2) Bukti tidak langsung dapat membuktikan perencanaan
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 279: “[B]ukti tidak langsung dapat
memberikan bukti yang cukup terhadap sebuah perencanaan.”
iii) Penghasutan
(1) Pengantar umum
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001 Paragraf 601: “‘Penghasutan’ berarti mendorong
orang lain untuk melakukan sebuah kejahatan.” Lihat juga Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3
Maret 2000, paragraf 280 (sama).
(4) Tindakan (actus reus)
(a) Membutuhkan kontribusi yang jelas terhadap tindakan orang lain,
tetapi tidak perlu menunjukkan bahwa kejahatan tidak akan terjadi
tanpa keterlibatan terdakwa
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 252: “Actus reus yang
dibutuhkan bagi ‘penghasutan’ sebuah kejahatan merupakan tindakan apa pun yang dilakukan
oleh terdakwa, yang mendorong orang lain untuk bertindak dalam suatu bagian. Unsur ini
dapat dipenuhi jika ditunjukkan bahwa tindakan terdakwa memberi kontribusi yang jelas
terhadap tindakan orang lain. Dalam konteks ini, tidak penting untuk menunjukkan bahwa
kejahatan tidak akan terjadi tanpa keterlibatan terdakwa.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003 Paragraf 60: “Actus reus
memerlukan kontribusi yang jelas terhadap tindakan orang lain, tetapi tidak perlu
menunjukkan bahwa kejahatan tersebut tidak akan dilakukan tanpa partispasi terdakwa.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 387: “Meskipun hubungan
sebab akibat antara penghasutan dan perbuatan fisik perlu untuk diperlihatkan (misalnya,
kontribusi terdakwa pada kenyataannya berdampak terhadap tindak kejahatan tersebut),
149
tetapi tidaklah penting untuk membuktikan bahwa kejahatan tersebut tidak akan dilakukan
tanpa keterlibatan terdakwa.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000 Paragraf 278, 280: “Dalam kasus penghasutan ...
bukti dibutuhkan untuk menunjukkan hubungan sebab akibat dalam pemenuhan actus reus
kejahatan tersebut.” “Makna umum penghasutan, menguatkan opini bahwa hubungan sebab
akibat antara penghasutan dan perbuatan kejahatan fisik merupakan sebuah unsur yang
membutuhkan bukti.”
(b) Baik kejahatan positif dan pembiaran dapat merupakan penghasutan,
seperti mengekspresikan dan mengimplikasikan tindakan tersebut
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 387: “Baik kejahatan positif
maupun pembiaran dapat dianggap sebagai penghasutan. ...”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 280: “Kalimat [penghasutan] cukup
untuk menyatakan bahwa baik perbuatan kejahatan maupun pembiaran dapat dianggap
sebagai penghasutan, dan istilah ini dapat menggambarkan dan mengimplikasikan kejahatan
tersebut.”
(3) Niat jahat (mental state mens rea)
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 60: “Syarat mens rea
[untuk penghasutan] adalah adanya keinginan dari seorang terdakwa untuk memprovokasi
atau menyebabkan perbuatan kriminal, atau kesadaran atas kemungkinan yang penting bahwa
perbuatan kriminal tersebut merupakan konsekuensi yang dapat terjadi karena tindakan-
tindakan terdakwa.” Lihat juga Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001 Paragraf
252 (sama).
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 387: “[H]arus dibuktikan
bahwa terdakwa secara langsung berkeinginan untuk memprovokasi tindak kejahatan.”
iv) Memerintahkan
150
(1) Pengantar umum
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 601: “‘Memerintahkan’ berarti meminta
seseorang dalam posisi kewenangan, di mana posisi tersebut digunakan untuk meyakinkan
orang lain untuk melakukan sebuah kejahatan.”
(2) Perintah dapat secara eksplisit atau implisit, dan dibuktikan secara tidak
langsung
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 281: “Tidak penting bahwa sebuah
perintah diberikan dalam bentuk tulisan atau dalam bentuk tertentu. Perintah tersebut dapat
berupa perintah eksplisit ataupun implisit. Oleh karena itu, sebuah perintah dapat dibuktikan
melalui bukti tidak langsung.”
(3) Perintah tidak harus diberikan secara langsung kepada orang lain yang
melakukan kejahatan
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 282: “[S]ebuah perintah tidak perlu
diberikan oleh atasan secara langsung kepada orang lain yang melakukan actus reus kejahatan.
[Y]ang penting adalah terletak pada mens rea komandan (pemberi perintah), bukan pada
bagaimana bawahan melaksanakan perintah tersebut.”
(4) Tidak perlu syarat adanya hubungan formal atasan-bawahan
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 388: “[P]ersyaratan
hubungan formal atasan-bawahan tidak diperlukan untuk membuktikan ‘pemberian
perintah’, sejauh hubungan tersebut dapat ditunjukkan oleh adanya kewenangan memerintah
yang dimiliki oleh terdakwa.”
(5) Tidak relevan apakah ilegalitas perintah terlihat secara nyata
151
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 282: “[T]idak relevan untuk menentukan
bahwa ilegalitas perintah harus terlihat secara nyata.”
v) Pelaksanaan
(1) Pengantar umum
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 601: “‘Melaksanakan’ (committing)
meliputi melakukan perbuatan kriminal secara fisik atau pembiaran yang patut diberi
hukuman berdasarkan hukum pidana.”
(2) Tindakan (actus reus)
(a) Melibatkan individu langsung atau keterlibatan fisik
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 376: “[S]etiap temuan pada
tindak kejahatan langsung (direct commission) membutuhkan partisipasi personal secara fisik
dari terdakwa dalam kejahatan yang digolongkan sebagai kejahatan dengan syarat
pengetahuan dalam Statuta Pengadilan Internasional. ...”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 251: “Actus reus yang
dibutuhkan bagi pelaksanaan sebuah kejahatan adalah bahwa terdakwa berpartisipasi, secara
fisik atau sebaliknya secara langsung, dalam unsur-unsur material dari sebuah kejahatan
menurut Statuta Pengadilan. ...”
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 62: “Terdakwa hanya akan
dimintai pertanggungjawaban pidana secara individu dalam tindak kejahatan menurut Pasal 7
(1), yang membuktikan bahwa ia secara personal dan fisik telah melakukan tindakan kriminal,
atau secara personal membiarkan terjadinya pelanggaran hukum humaniter internasional.”
(b) Kemungkinan alternatif, membiarkan terjadinya kejahatan
Kunarac, Kovac dan Vukovic, (Sidang Pengadilan), 22 Pebruari 2001, Paragraf 390: “Seseorang
dapat dikatakan ‘telah melakukan’ sebuah kejahatan, ketika secara fisik ia melakukan tindak
152
kejahatan atau pembiaran yang patut dicela dan merupakan pelanggaran terhadap hukum
pidana.”
Kvocka dkk., 2 November 2001, Paragraf 251: Pelaksanaan (kejahatan) bisa melalui “tindakan
positif atau pembiaran ....”
(c) Bisa terdapat lebih dari satu pelaku pada kejahatan yang sama
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf.390: “Bisa jadi terdapat
beberapa pelaku yang berhubungan dengan kejahatan yang sama, di mana perbuatan masing-
masing orang (pelaku) memenuhi unsur-unsur pelanggaran yang substansial.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 251: “Kejahatan dapat
dilakukan secara individual atau bersama-sama dengan yang lainnya.”
(3) Niat jahat (mental state, mens rea)
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 251: “Syarat mens rea [dalam
pelaksanaan sebuah kejahatan] adalah sebagaimana bentuk keterlibatan terdakwa dalam
tindakan kejahatan lain menurut Pasal 7 (1), di mana terdakwa yang melakukan tindak
kejahatan dalam kesadaran, maka secara substansial, tindak kejahatan atau pembiaran yang
terjadi sangat mungkin merupakan konsekuensi dari tingkah lakunya.”
d) Pemberian bantuan dan persekongkolan (aider and abettor)
i) Pengantar umum
Kumara, Kovac dan Vukonic, (Sidang Pengadilan), 22 Pebruari, 2001, Paragraf 391: “Ketika
dipertentangkan dengan ‘perbuatan’ dari sebuah kejahatan, maka pemberian bantuan dan
persekongkolan merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban ‘kaki tangan’.”
ii) Berdasarkan hukum kebiasaan internasional
153
Prosecutor v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997, Paragraf 666:
“Konsep pertanggungjawaban pidana individual secara langsung dalam suatu kejahatan, dan
kesalahan individu dalam bentuk pemberian bantuan, persekongkolan atau keterlibatan
langsung, berbeda dengan perbuatan langsung dalam suatu tindak kejahatan ... memiliki dasar
dalam hukum internasional yang umum.”
iii) Pendefinisian
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 601: “‘Pemberian bantuan dan
persekongkolan’ berarti memberikan kontribusi yang penting terhadap suatu tindak
kejahatan.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 601: “[P]emberian bantuan dan
persekongkolan ‘yang tampaknya memiliki arti yang sama, sebenarnya berbeda. Pemberian
bantuan mempunyai arti memberikan bantuan kepada seseorang, di sisi yang lain,
persekongkolan berarti terlibat dalam memfasilitasi sebuah tindakan dengan bersimpati
kepada pelaku utamanya.’”
Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997 Paragraf 689: “[P]emberian bantuan dan
persekongkolan mencakup semua tindakan yang memberi bantuan melalui perkataan atau
tindakan yang mengarah pada suatu dorongan atau dukungan, sepanjang ada syarat
keinginan.”
iv) Tindakan (actus reus)
(1) Memerlukan bantuan praktis, dorongan atau dukungan moral
Furundziya, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 235, 249: “Actus reus pemberian
bantuan dan persekongkolan dalam hukum pidana internasional memerlukan bantuan
praktis, dorongan, atau dukungan moral yang kemudian berdampak pada perbuatan
kriminal.”
154
Vasiljevic, (Pengaddilan Tingkat I), 29 November 2002, Paragraf 70: “Terdakwa harus
bertanggung-jawab secara individu atas pemberian bantuan dan persekongkolan sebuah
kejahatan menurut Pasal 7 (1), yang menunjukkan bahwa terdakwa melaksanakan suatu
tindakan yang terdiri dari bantuan praktis, dorongan atau dukungan moral terhadap pelaku
utama dari kejahatan tersebut.”
(2) Bisa terjadi melalui pembiaran
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 284: “Actus reus pemberian bantuan dan
persekongkolan bisa terjadi melalui sebuah pembiaran terhadap suatu tindakan, di mana
pembiaran tersebut mempunyai dampak yang menentukan terhadap perbuatan kajahatan itu
sendiri, dan kemudian digabungkan dengan syarat mens rea.”
Vasiljevic, (Pengadilan Tingikat Pertama), 29 November 2002, Paragraf 70: “Tindakan
pemberian bantuan mungkin dapat berupa sebuah tindak kejahatan atau pembiaran. ...”
(3) Harus mempunyai dampak penting terhadap perbuatan kejahatan
Vasiljevic, (Pengadilan Tingikat Pertama), 29 November 2002, Paragraf 70: “Tindakan
pemberian bantuan tidak perlu menyebabkan adanya tindakan oleh pelaku utama, tetapi
bahwa pemberian bantuan itu harus mempunyai dampak penting terhadap perbuatan
kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan utama.”
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 234: “Kedudukan menurut
hukum kebiasaan internasional tampaknya direfleksikan secara sangat bagus, di mana
bantuan yang diberikan harus merupakan dampak yang substansial terhadap perbuatan
kejahatan.”
Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1977, Paragraf 691: “[T]indakan-tindakan tersangka harus
langsung dan substansial.”
155
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 285: “Bukti yang menunjukkan
hubungan sebab akibat antara tingkah laku pemberi bantuan dengan tindakan pelaku utama
kejahatan tidak dibutuhkan.”
(4) Kehadiran di tempat kejadian peristiwa
(a) Tidak menentukan, kecuali ia menggambarkan hal yang signifikan
yang mendorong dampak atau dampak yang substansial dan langsung
Valsiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 70: “Kehadiran semata di
tempat berlangsungnya kejahatan bukan merupakan hal yang menentukan bagi pemberian
bantuan dan persekongkolan, kecuali ditunjukkan bahwa kehadirannya mempunyai pengaruh
signifikan yang mendorong pelaku utama melakukan kejahatan.”
Kunarac, Kovac dan Vukonic, (Sidang Pengadilan), 22 Pebruari 2001, Paragraf 393: “Kehadiran
itu sendiri di tempat kejadian kejahatan tersebut bukan merupakan hal yang menentukan dari
pemberian bantuan dan persekongkolan, kecuali ia ditunjukkan mempunyai hal yang
signifikan yang melegitimasi atau mendorong dampak terhadap pelaku utama.”
Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 689, Paragraf 689: “Kehadiran itu sendiri tidak cukup untuk
membuktikan adanya bantuan jika kehadiran itu diabaikan atau tidak diinginkan. Meskipun
demikian, jika kehadirannya dapat ditunjukkan oleh bukti lain yang tidak langsung, untuk
mengetahui dan agar mempunyai dampak yang substansial dan langsung terhadap perbuatan
ilegal, maka hal itu cukup untuk mendasarkan penemuan adanya keterlibatan dan
menandakan perbuatan kriminal yang salah yang menyertainya.”
Aleksovki, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 64: “Kehadiran belaka merupakan
keterlibatan yang cukup sepanjang dapat dibuktikan bahwa kehadirannya mempunyai
dampak yang signifikan terhadap perbuatan kejahatan, dan bahwa orang tersebut memenuhi
syarat mens rea.”
(b) Contoh
156
Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997, Paragraph 690: “[K]etika seorang tertuduh hadir dan
terlibat dalam pemukulan terhadap seseorang dan tetap dengan kelompok ketika ia bergerak
untuk memukul orang lain, kehadirannya mempunyai dampak yang mendorong, dan
sekalipun ia tidak ambil bagian secara fisik dalam pemukulan kedua, namun ia seharusnya
dipandang sebagai pihak yang terlibat. Hal ini mengasumsikan bahwa tertuduh tidak secara
aktif menarik diri dari kelompok tersebut atau berbicara dengan tegas melawan tingkah laku
kelompok tersebut.”
(c) Kedudukan otoritas dan kehadiran dalam beberapa kesempatan bisa
diinterpretasikan sebagai pembuktian dari tingkah laku
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 284: “[K]ehadiran belaka seseorang yang
memegang otoritas, seperti komandan militer, pada tempat terjadinya suatu kejahatan
merupakan indikasi sementara untuk menentukan bahwa orang tersebut mendorong atau
mendukung pelaku kejahatan.”
Aleksovki, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 65: “[K]edudukan seorang pemegang
otoritas tidak cukup untuk sampai pada kesimpulan bahwa kehadirannya merupakan sebuah
tanda yang mendorong, dan mempunyai dampak yang signifikan terhadap perbuatan
kejahatan. [K]ehadiran seseorang dengan otoritas yang terbantahkan lebih dari pelaku-pelaku
dari tindakan yang tidak sah, mungkin, dalam beberapa kesempatan, dapat diinterpretasikan
sebagai pembuktian dari tingkah laku tersebut. Kewenangan seseorang harus
dipertimbangkan untuk menjadi bukti yang penting, seperti penetapan bahwa kehadiran
belaka merupakan keterlibatan yang tidak disengaja terhadap sebuah tindakan menurut Pasal
7 (1). Namun, tanggung jawab bukan merupakan hal yang otomatis dan menuntut adanya
pertimbangan cermat terhadap latar belakang keadaan faktual.”
(d) Kehadiran fisik yang aktual tidak diperlukan
Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997, Paragraf 691: “[K]ehadiran fisik secara aktual ketika
kejahatan dilakukan tidaklah penting ... seorang tersangka dapat dipertimbangkan sebagai
pihak yang terlibat dalam sebuah kejahatan ... jika ia ditemukan ‘memberi perhatian terhadap
tindakan pembunuhan.’”
157
(5) Bantuan dapat terjadi sebelum, selama atau setelah tindakan dilakukan
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 70: Tindakan membantu “dapat
terjadi sebelum atau selama tindakan pelaku utama.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 285: “[K]eterlibatan dapat terjadi
sebelum, selama, atau setelah tindakan dilakukan dan dipisahkan secara geografis di antara
mereka (pelaku utama dan pemberi bantuan).”
Aleksovki, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 62: “Keterlibatan dapat terjadi
sebelum, selama atau setelah tindakan tersebut dilaksanakan. Hal itu dapat, sebagai contoh,
menghasilkan cara-cara untuk melakukan kejahatan atau menjanjikan untuk menunjukkan
tindakan-tindakan tertentu setelah kejahatan dilakukan, yaitu perilaku yang dapat secara jelas
bisa merupakan penghasutan atau persekongkolan dari pelaku-pelaku kejahatan.”
(6) Pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan akan bertanggung-jawab
atas semua yang dihasilkan secara alamiah dari tindakannya
Tadic, (Sidang Pengadilan), 7 Mei 1997, Paragraf 692: Pemberi bantuan dan pelaku
persekongkolan “akan ... bertanggung-jawab terhadap semua hal yang secara alamiah
diakibatkan oleh tindakan kejahatan yang didakwakan kepada mereka.”
v) Niat jahat (mental state, mens rea): niat dan pengetahuan
(1) Pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan berniat memberi atau
memfasilitasi bantuan, atau menyadari bahwa bantuan tersebut dapat
menimbulkan konsekuensi yang dapat diduga sebelumnya
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 286: “[P]emberi bantuan dan pelaku
persekongkolan berniat untuk memberi bantuan, atau setidaknya, ia menyadari bahwa
bantuan seperti itu menimbulkan konsekuensi yang dapat diduga sebelumnya.” Lihat juga
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 255 (sama).
158
(2) Pelaku tidak harus mengetahui secara persis niat kejahatan atau tindak
kejahatan yang dilakukannya
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 246: “[T]idak dipentingkan
apakah pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan mengetahui niat dan tempat kejadian
kejahatan dilakukan. Jika ia menyadari bahwa satu dari sejumlah kejahatan akan dilakukan,
dan salah satu dari sejumlah kejahatan tersebut benar-benar telah dilakukan, dan ia memiliki
niat untuk memfasilitasi perbuatan kejahatan tersebut, maka ia dapat dianggap bersalah
sebagai pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan.” Lihat juga Kvocka dkk., (Sidang
Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 255 (sama).
(3) Tidak perlu ada niat utama, namun harus mengetahui unsur-unsur
penting pidana, termasuk mental state-nya
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 162: “[T]idaklah penting untuk
menunjukkan bahwa pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan berbagi mens rea, tetapi
harus ditunjukkan bahwa pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan menyadari mens rea
yang relevan. Jelas bahwa pemberi bantuan atau pelaku persekongkolan menyadari unsur-
unsur penting dari kejahatan yang dilakukan.”
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 245: “[T]idaklah penting bagi
bawahan untuk berbagi mens rea dengan pelaku dalam konteks niat untuk melakukan tindak
kejahatan.”
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 71: “Pemberi bantuan dan
pelaku persekongkolan harus menyadari unsur-unsur penting dari kejahatan yang dilakukan
oleh pelaku utama, termasuk niat yang dimilikinya. Bagaimanapun juga, pemberi bantuan dan
pelaku persekongkolan tidak harus berbagi niat dengan pelaku utama. Keadaan ini secara
umum dapat mengurangi perbuatan kejahatan yang dilakukannya secara bersama-sama
dengan pelaku utama.”
(4) Pelaku harus tahu bahwa tindakannya akan menyokong perbuatan pidana
159
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 71: “Untuk menetapkan mens rea
dari pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan, harus ditunjukkan bahwa pemberi bantuan
dan pelaku persekongkolan mengetahui (secara sadar) bahwa tindakannya mengiringi
perbuatan kejahatan yang dilakukan pelaku utama.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 286: Penting kiranya untuk menunjukkan
“pengetahuan bahwa tindakan-tindakan [yang terkait] akan menyokong berlangsungnya suatu
tindak pidana ...”
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 245, 249: “[S]yarat yang nyata
pada kebanyakan kasus-kasus besar adalah adanya pengetahuan bahwa tindakan-tindakan
yang dilakukan akan mengiringi perbuatan pidana yang dilakukan pelaku.” “Mens rea yang
dipersyaratkan dalam hal ini adalah pengetahuan bahwa tindakan-tindakan ini akan
membantu terjadinya perbuatan pidana.”
(5) Niat jahat (mental state, mens rea) dapat disebabkan dari keadaan, seperti
posisi kewenangan dan kehadiran
Aleksovki, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 65: “Mens rea dapat disebabkan oleh
keadaan, dan posisi kewenangan seseorang dipertimbangkan dalam menetapkan bahwa
seseorang yang melawan pihak yang mengklaim mengetahui secara langsung dan
kehadirannya dapat ditafsirkan pelaku sebagai tanda bahwa ia mendukung atau mendorong
perbuatan pidana yang dilakukannya.”
(6) Niat jahat (mental state, mens rea) bagi pemberi bantuan dan pelaku
persekongkolan terhadap penganiayaan
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 262: “Pemberi bantuan atau
pelaku persekongkolan dalam kejahatan penganiayaan, sebagai sebuah kejahatan dengan ‘niat
khusus’, tidak harus hanya memiliki pengetahuan tentang kejahatan yang hendak dibantu dan
difasilitasi. Pelaku persekongkolan dan pemberi bantuan ini juga harus sadar bahwa kejahatan
yang dibantu atau didukungnya dilakukan dengan sebuah niat diskriminatif. Pemberi bantuan
160
161
atau pelaku persekongkolan dalam kejahatan penganiayaan tidak perlu berbagi niat
diskriminatif, tetapi ia harus menyadari konteks diskriminatif secara luas dan mengetahui
bahwa bantuan atau dukungan yang ia berikan memiliki dampak yang signifikan terhadap
setiap perbuatan pidana dan setiap tindakan diskriminatif, meskipun tindakan diskriminatif
tersebut tidak harus diketahui atau diniatkan oleh pemberi bantuan atau pelaku
persekongkolan. Pemberi bantuan atau pelaku persekongkolan dalam kejahatan penganiayaan
harus bertanggung-jawab atas tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pihak lain sebagai
bagian dari perbuatan dan pemberian bantuan atau dorongan yang dilakukan oleh pelaku.”
vi) Perbedaan antara “pemberian bantuan dan persekongkolan,” dan
“keterlibatan dalam kejahatan yang dilakukan bersama” (sebagai contoh,
bertindak sesuai dengan rancangan atau tujuan)
(1) Pengantar umum
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 288: “[A]da perbedaaan antara
pemberian bantuan (aiding) dan persekongkolan (abetting) serta keterlibatan dalam melakukan
kejahatan sesuai dengan tujuan atau rancangan yang umum.”7
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 249: “Istilah pemberian bantuan
dan persekongkolan dibedakan dari rancangan umumnya, di mana actus reus kejahatan
tersebut terdiri dari keterlibatan dalam kejahatan yang dilakukan bersama dan mens rea yang
dipersyaratkan adalah niat untuk terlibat atau berpartisipasi dalam kejahatan tersebut.”
(2) Unsur-unsur yang membedakan
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 229: “Sidang Banding membedakan “antara
kejahatan yang dilakukan berdasarkan tujuan atau rancangan umum, dan pemberian bantuan
dan persekongkolan.” “Pertama, pada prinsipnya, pemberian bantuan dan persekongkolan
7 Partisipasi dalam kejahatan yang dilakukan bersama, misalnya bertindak sesuai dengan rancangan atau tujuan umum, didiskusikan dalam Bagian (V)(e), ICTY Digest.
selalu merupakan bagian dari kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Kedua, dalam kasus
pemberian bantuan dan persekongkolan (aiding and abetting), pembuktian atas adanya rencana
umum yang dibuat bersama (a common concerted plan) tidak diperlukan. Yang dipentingkan
adalah pra-eksistensi perencanaan tersebut. Perencanaan atau persetujuan tidak
dipersyaratkan, khususnya jika pelaku utama tidak mengetahui kontribusi bawahannya
(accomplice’s contribution). Ketiga, pihak pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan melakukan
kejahatan secara langsung untuk membantu, mendorong dan memberikan dukungan moral
untuk terlaksananya kejahatan tertentu (misalnya pembunuhan, pemusnahan, pemerkosaan,
penyiksaan, penghancuran sewenang-wenang atas harta milik warga sipil, dan sebagainya),
dan dukungan ini berdampak besar atas terlaksananya kegiatan. Dalam kasus, di mana pelaku
bertindak dengan maksud untuk mencapai tujuan atau rancangan umum dari sebuah
kejahatan, maka pihak yang terlibat cukup melakukan tindak pidana yang dalam beberapa
cara dilakukan secara langsung untuk memungkinkan tercapainya rencana atau tujuan umum
kejahatan itu. Keempat, dalam kasus pemberian bantuan dan persekongkolan, unsur mental
yang dipersyaratkan adalah adanya pengetahuan pada pemberi bantuan dan pelaku
persekongkolan bahwa tindakannya berkontribusi, yang membuat kejahatan tertentu yang
dilakukan oleh pelaku utama (principal) terjadi. Secara kontras, pada kejahatan yang dirancang
untuk tujuan bersama (common purpose), diperlukan (misalnya, niat untuk melakukan kejahatan
atau niat untuk mencapai tujuan kejahatan serta kejahatan di luar tujuan bersama juga
dilakukan)...”
(3) Niat jahat yang membedakan
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 229: “Dalam pemberian bantuan dan
persekongkolan, unsur mental yang dipersyaratkan adalah adanya suatu pengetahuan, yaitu
bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pemberi bantuan dan pelaku persekongkolan
membantu terjadinya kejahatan tertentu oleh pelaku utama (principal). Sebaliknya, pada
kejahatan dengan rancangan atau tujuan bersama (common purpose) dibutuhkan lebih dari itu
(yaitu entah niat untuk melakukan kejahatan atau niat untuk mencapai tujuan dari kejahatan
tersebut serta niat untuk melakukan kejahatan di luar tujuan bersama yang mungkin akan
dilakukan)....”
162
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 75: “Tingkat keseriusan dari tindakan
yang dilakukan oleh seorang pelaku dalam sebuah kejahatan yang dilakukan bersama (a joint
criminal enterprise) yang bukan merupakan pelaku utama, secara signifikan lebih besar daripada
kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang semata-mata membantu dan bersekongkol
dengan pelaku utama (principal offender). Hal itu disebabkan karena seseorang yang membantu
dan bersekongkol dengan pelaku utama hanya perlu menyadari bahwa ia berbagi niat dengan
pelaku utama.”
(4) Penerapan: penyiksaan
Furundjiza, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 118: “[D]ua macam pertanggungjawaban
untuk keterlibatan dalam kejahatan (criminal participation) ‘termuat dan terkristalisasi dalam
hukum internasional – salah satu pelaku (co-perpetrator) yang terlibat dalam kejahatan yang
dilakukan bersama, di satu sisi, dan pemberi bantuan dan persekongkol, pada sisi yang lain.’
[U]ntuk membedakan co-perpetrator dengan aidder atau abettor, ‘yang harus dilakukan adalah
memastikan apakah seseorang yang terlibat dalam proses penyiksaan juga mengambil bagian
dalam menentukan maksud penyiksaan tersebut (penyiksaan adalah kejahatan yang disertai
dengan niat untuk memperoleh informasi atau pengakuan, dengan cara menghukum,
mengintimidasi, menghina atau memaksa korban atau pihak ketiga, atau mendiskriminasi
dengan alasan apa pun terhadap korban atau pihak ketiga).’ [U]ntuk dapat didakwa sebagai
seorang yang terlibat dalam kejahatan (co-perpetrator), harus ada bukti yang menunjukkan
bahwa terdakwa ‘berpartisipasi secara integral dalam penyiksaan dan mengambil bagian
dalam menetapkan maksud kejahatan tersebut (yaitu niat untuk mendapatkan informasi atau
sebuah pengakuan, dengan cara menghukum, mengintimidasi, atau menghina, memaksa atau
mendiskriminasi korban atau pihak ketiga).’”
Furundjiza, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 257: “(i) [U]ntuk dapat
dinyatakan bersalah sebagai pelaku, atau sebagai pihak yang mengambil bagian dalam
penyiksaan, terdakwa harus terlibat secara integral dan mengambil bagian dalam menetapkan
maksud penyiksaan, yaitu niat untuk memperoleh informasi atau sebuah pengakuan, yang
dilakukan dengan cara menghukum atau mengintimidasi, menghina, memaksa atau
mendiskriminasi korban atau pihak ketiga. (ii) [U]ntuk dapat dinyatakan bersalah sebagai
pihak yang memberikan bantuan, dan pelaku persekongkolan, harus dapat dibuktikan bahwa
163
terdakwa memiliki pengaruh yang besar untuk membantu terjadinya kejahatan tersebut, dan
memiliki pengetahuan tentang penyiksaan yang dilakukan.”
e) Kejahatan yang dilakukan bersama/doktrin tujuan bersama
i) Pengantar umum
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 190: “[J]urisdiksi Statuta tidak terbatas pada
seseorang yang merencanakan, menghasut, memerintah, melakukan kejahatan secara fisik
atau membantu dan bersekongkol dalam merencanakan, mempersiapkan atau melaksanakan
suatu kejahatan. Statuta tidak berhenti pada hal itu saja. Statuta tidak mengesampingkan
bentuk-bentuk keterlibatan dalam tindak kejahatan, di mana beberapa orang memiliki tujuan
bersama yang merupakan awal dilakukannya suatu tindak kejahatan. Adanya tujuan bersama
ini membuat kejahatan tersebut dilakukan baik secara bersama-sama maupun oleh beberapa
anggota kelompok ini. Siapa pun yang terlibat dalam kejahatan, baik dilakukan secara
berkelompok atau oleh beberapa anggota kelompok dalam melakukan tujuan kejahatan
bersama, harus bertanggung-jawab secara pidana, dan menjadi pihak yang dikenakan
hukuman (subject to certain conditions).”
Krstic, (Sidang Pengadilan ), 2 Agustus 2001, Paragraf 601: “‘Kejahatan yang dilakukan
bersama’ merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban pidana yang dinyatakan pengadilan
secara implisit diatur pada Pasal 7(1) Statuta. Kejahatan tersebut mengharuskan adanya
tanggung jawab individu karena keterlibatannya dalam suatu kejahatan yang dilakukan
bersama.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 307: “Suatu kejahatan yang
dilakukan bersama dapat terjadi jika dua atau lebih orang terlibat dalam sebuah usaha
kejahatan, dan dalam kejahatan yang dilakukan bersama ini sangat mungkin terdapat usaha
kegiatan subsider (subsidiary criminal enterprises).”
ii) Tiga kategori dalam dokrin tujuan bersama
164
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 195-196, 202-204: “[I]stilah tujuan bersama
mencakup tiga yang kategori berbeda dari kejahatan kolektif (collective criminality).” “Kategori
pertama direpresentasikan dengan beberapa kasus, di mana co-defendants (para terdakwa)
bertindak dalam rangka mencapai tujuan bersama, dan memiliki niat kejahatan yang sama,
misalnya memformulasikan rencana di antara para pelaku (co-perpetrator) untuk membunuh,
yang berpengaruh dalam menjalankan rencana bersama ini. ... Kategori kedua yaitu kasus yang
hampir sama dengan yang dijelaskan di atas, tetapi kasus pada kategori kedua ini berkaitan
dengan apa yang disebut kasus ‘kamp konsentrasi’. Istilah tujuan bersama diterapkan pada
kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer atau unit-unit pemerintah (administrative unit),
seperti pihak-pihak yang mengelola kamp konsentrasi yang bertindak untuk mencapai tujuan
bersama. Kategori ketiga, yaitu yang berkaitan dengan kasus-kasus yang melibatkan rancangan
bersama atau keinginan untuk bertindak di mana salah satu pelaku melakukan kejahatan yang,
mungkin saja di luar rancangan sebelumnya, ternyata merupakan suatu konsekuensi dari
adanya tujuan yang umum.”
Untuk melihat lebih detail tentang tiga kategori ini, lihat Tadic¸(Sidang Banding), 15 Juli 1999,
Paragraf 220.
iii) Unsur-unsur
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 227: “[U]nsur objektif (actus reus) dari
keterlibatan dalam salah satu kejahatan yang dinyatakan dalam Statuta (berdasarkan masing-
masing kategori kasus) adalah sebagai berikut: (i) Pluralitas individu. Individu ini tidak harus
terorganisasi dalam struktur militer, politik atau pemerintah (adminstratif). (ii) Adanya
rencana bersama, rancangan atau tujuan yang mendorong terjadinya kejahatan seperti yang
disebut dalam Statuta. (iii) Partisipasi terdakwa dalam merancang rencana bersama yang
mengakibatkan dilakukannya salah satu jenis kejahatan seperti yang tertera pada Statuta.
Partisipasi ini tidak harus melibatkan diri ketika dilakukannya kejahatan tertentu seperti yang
tercantum dalam Statuta (misalnya, pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan, pemerkosaan,
dll.), namun partisipasi ini dalam berupa bantuan, atau kontribusi, atas pelaksanaan rencana
atau tujuan bersama.”
165
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 67: “Seseorang terlibat dalam
kejahatan yang dilakukan bersama dapat terjadi melalui apabila secara pribadi ia melakukan
kejahatan yang disepakati oleh pelaku utama, atau sebagai co-perpetrator yang memberikan
bantuan kepada pelaku utama dengan cara melibatkan dirinya dalam kejahatan yang
dilakukan oleh pelaku utama, atau mendorong berjalannya sistem tertentu di mana ia terlibat
dalam kejahatan berdasarkan posisi kewenangan atau posisi fungsionalnya, dan kejahatan itu
dilakukan atas dasar pengetahuan terhadap sifat dari sistem dan adanya niat untuk
menjalankan sistem itu. Jika kejahatan yang telah disepakati sebelumnya dilakukan oleh satu
atau lebih pelaku sebagai kejahatan bersama, maka semua pelaku dinyatakan bersalah atas
kejahatan yang dilakukannya tanpa memandang peran yang diambil tiap-tiap pelaku.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 312: Untuk
pertanggungjawaban kejahatan bersama, “seorang terdakwa harus melakukan tindakan yang
secara substansial membantu atau secara signifikan mendorong terjadinya kejahatan yang
dilakukan bersama, dengan alasan bahwa tindakan atau pembiaran tersebut dilakukan oleh
terdakwa untuk memudahkan terjadinya kejahatan melalui usaha bersama.”
(1) Perlu untuk menetapkan adanya pengaturan atau kesepahaman
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 227: Salah satu unsur yang diperlukan adalah:
“eksistensi rencana, rancangan atau tujuan bersama yang mendorong dilakukannya suatu
kejahatan seperti yang tercantum dalam Statuta.”
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 66: “Penuntut harus menetapkan
bahwa ada sebuah pengaturan atau kesepahaman yang mendorong adanya persetujuan antara
dua orang atau lebih di mana kejahatan tertentu akan dilakukan.”
(a) Pengaturan tidak harus diekspresikan (diungkapkan), tetapi dapat
terjadi secara diam-diam
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 66: “Pengaturan atau
kesepahaman tidak harus diekspresikan, dan hal ini dapat disimpulkan dari semua keadaan.
Fakta bahwa dua atau lebih orang terlibat dalam suatu tindak kejahatan tertentu dapat terjadi
166
secara diam-diam (unspoken), atau pengaturan yang mendorong terjadinya kesepakatan dibuat
di antara mereka dan selanjutnya kejahatan tersebut dilakukan.”
(b) Rencana atau tujuan bersama dapat terjadi tanpa persiapan
(extemporaneously)
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 227: “Rencana, rancangan atau tujuan bersama
tidak harus dirumuskan sebelumnya. Rencana atau tujuan bersama dapat terjadi tanpa
dipersiapkan sebelumnya, dan hal ini dapat diduga dari fakta keterlibatan sejumlah orang
secara serentak dalam melakukan kejahatan yang dilakukan bersama. ...”
(2) Tingkat partisipasi dalam kejahatan yang dilakukan bersama harus
signifikan
Kvocka, (Sidang Pengadilan), 2 November 2001 Paragraf 309: “Partisipasi dalam suatu
kejahatan yang dilakukan bersama harus signifikan. Oleh Sidang Pengadilan, kata signifikan
berarti bahwa tindakan atau pembiaran yang memungkinkan terjadinya kejahatan bersama
dilakukan secara efektif dan efisien; misalnya, keterlibatan pelaku yang memungkinkan sistem
berjalan lancar. Tindakan fisik atau langsung dalam suatu kejahatan yang serius berkontribusi
pada tercapainya persekongkolan kejahatan (criminal enterprise). [P]artisipasi harus dinilai kasus
per-kasus, khususnya bagi pelaku tingkat bawah atau menengah yang tidak secara fisik
melakukan kejahatan tersebut. Mungkin saja, seseorang dengan kewenangan atau pengaruh
tertentu yang disadarinya telah gagal melakukan komplain atau protes, secara otomatis telah
memberikan bantuan atau dukungan penting atas tindak kejahatan dengan cara menyatakan
persetujuannya secara diam-diam (approving silence), khususnya jika persetujuan tersebut
diberikan pada saat kejahatan terjadi. Pada banyak kasus, pemberi bantuan atau pelaku
persekongkolan atau co-perpetrator bukanlah seseorang yang dapat dialihkan posisinya. Ia
biasanya memiliki posisi yang lebih tinggi dalam hierarki tertentu atau memiliki keahlian,
bakat atau keterampilan khusus.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 311: “Tingkat partisipasi
dikaitkan dengan keadaan pelaku, dan untuk menentukan apakah partisipasinya dianggap
signifikan, tergantung pada berbagai faktor, termasuk besarnya usaha kejahatan, fungsi-fungsi
167
yang digunakan, posisi terdakwa, waktu yang digunakan untuk melakukan kejahatan, upaya
untuk menghindari tindak kejahatan atau menghalangi berfungsinya sistem secara efisien,
tingkat keseriusan dan lingkup kejahatan, dan kekejaman yang dipraktikkan oleh pelaku.
Penting juga untuk menentukan bukti langsung dari niat bersama atau bukti mengenai
kesepakatan untuk melakukan tindak kejahatan, seperti keterlibatan yang berulang-ulang,
berlanjut atau ekstensif, dan ekspresi verbal. Dari sejumlah faktor tersebut, tampaknya faktor
yang paling penting untuk menentukan peran terdakwa dilihat dari tingkat keseriusan dan
lingkup kejahatan yang dilakukannya.”
(a) Tingkat partisipasi pemberi bantuan (aider) dan pelaku
persekongkolan (abettor): harus memiliki dampak substansial
Kvocka, (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 289: “Bantuan atau fasilitasi yang
diberikan oleh aider atau abettor harus memiliki dampak yang substansial pada kejahatan yang
dilakukan oleh co-perpetrator. Partisipasi awal dalam kejahatan yang dilakukan bersama belum
ditentukan, tapi ‘dalam beberapa hal ... partisipasi tersebut terjadi secara langsung dan
memungkinkan terjadinya kejahatan sesuai dengan rencana atau tujuan bersama.’”
(3) Tanggung jawab kejahatan di luar tujuan bersama (common purpose)
terjadi jika dapat diprediksi bahwa kejahatan tersebut akan dilakukan dan
terdakwa bersedia menanggung risikonya
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 228: “[T]anggung jawab terhadap kejahatan di
luar kejahatan yang telah disepakati bersama dapat terjadi hanya jika kejahatan tersebut (i)
dapat diprediksi bahwa kejahatan tersebut akan dilakukan oleh satu atau lebih anggota
kelompok dan (ii) terdakwa bersedia menanggung risikonya.”
(4) Apakah partisipasi dalam kejahatan yang dilakukan bersama memiliki
hubungan yang erat dengan tindak kejahatan atau accomplice liability
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 642-643: “Dalam Putusan Banding
kasus Tadic, Sidang Banding mengacu pada ‘istilah rancangan bersama (common design) sebagai
bagian dari pertanggungjawaban bawahan (accomplice liability),’ yaitu frase yang digunakan
168
Sidang Pengadilan II untuk membedakan kata ‘pelaksanaan’ (committing) dengan
‘pertanggungjawaban tujuan bersama’ (common purpose liability) pada Pasal 7 (1). Sidang
Pengadilan yang memeriksa kasus Krstic ini memandang bahwa komentar dalam Putusan
Banding kasus Tadic (Appeals Judgement) bukan merupakan bagian dari racio decidendi dalam
Putusan tersebut, dan Pengadilan kasus Krstic tidak percaya bahwa setiap keterlibatan dalam
kejahatan yang dilakukan bersama, secara otomatis mengesampingkan pertanggungjawaban
terdakwa dalam kasus ‘genosida’ seperti tertera pada Pasal 4(3)(e). ... [P]engadilan Krstic tidak
melihat dasar penolakan terhadap status co-perpetrator sebagai bagian dari kejahatan bersama
dalam genosida, di mana keterlibatan pelaku sangat penting, yaitu sebagai pemimpin.” “Jelas
bahwa ‘accomplice liability’ merupakan bentuk kedua dari tanggung jawab seseorang atas
partisipasinya dalam melakukan kejahatan, yang berkebalikan dengan tanggung jawab pelaku
langsung atau pelaku utama. Sidang Pengadilan memandang perbedaan ini serupa antara
‘genosida’ dan ‘complicity in genocide’ pada Pasal 4(3). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
apakah ... seorang peserta (participant) dalam kejahatan bersama dapat dikategorikan sebagai
pelaku langsung atau pelaku utama, atau sebagai figur kedua (secondary figure) dalam peran
tradisional seorang bawahan.”
Lihat juga Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 77: “Sidang Pengadilan ...
tidak menerima keabsahan perbedaan sebagaimana digambarkan oleh Sidang Pengadilan I
kasus Krstic, yaitu perbedaan antara seorang co-perpetrator dan seorang bawahan. Pengadilan
Krnojelac lebih condong mengikuti pendapat Sidang Banding kasus Tadic, bahwa
pertanggungjawaban peserta dalam kejahatan yang dilakukan bersama yang bukan merupakan
pelaku utama disebut dengan bawahan (accomplice).”
iv) Niat jahat (mental state, mens rea)
(1) Jika kejahatan dilakukan dalam kejahatan yang dilakukan bersama
(a) Harus membuktikan common state of mind (niat) co-perpetrator
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 613: “Jika kejahatan yang diadili
merupakan objek dari kejahatan yang dilakukan bersama, maka Penuntut harus menetapkan
169
bahwa pelaku berbagi kejahatan dengan orang lain yang secara personal melakukan tindak
pidana state of mind (niat) yang dipersyaratkan dalam kejahatan tersebut.”
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 68-69: Untuk menentukan
adanya mens rea pada kejahatan yang dilakukan bersama, Penuntut harus menetapkan bahwa
seseorang yang diadili telah berbagi common state of mind (niat bersama) dengan seseorang yang
secara personal melakukan tindak kejahatan, di mana orang tersebut diadili sebagai ‘pelaku
utama’, dan menetapkan bahwa kejahatan yang dituduhkan harus telah dilakukan berdasarkan
niat tersebut. Apabila Penuntut melakukan pembuktian terhadap niat (state of mind) dengan
cara menarik kesimpulan (inference), maka kesimpulan tersebut haruslah satu-satunya
kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang didapat. Apabila Sidang Pengadilan tidak puas
atas bukti bahwa terdakwa berbagi niat pada setiap kejahatan di mana ia diduga berpartisipasi
menurut joint criminal enterprise (kejahatan yang dilakukan bersama-sama), maka Sidang
Pengadilan boleh mempertimbangkan apakah dengan demikian dapat dibuktikan bahwa
terdakwa bertanggung-jawab secara pidana atas setiap kejahatan itu sebagai aider dan abettor
atas perbuatan yang telah mereka lakukan.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 284, 271: “[S]eorang co-
perpretator pada kejahatan yang dilakukan bersama (joint criminal enterprise) adalah seorang yang
berbagi niat bersama untuk melakukan kejahatan tersebut, dan tindakan atau pengabaian
merupakan kelanjutan dari kejahatan bersama tersebut.” “Shared intent (berbagi niat) ini dapat,
dan seringkali akan, diketahui dari pengetahuan pelaku atas rencana dan partisipasinya dalam
pengembangan rencana tersebut. Tindakan dengan niat sedemikian ini – yang terlihat atau
yang diperoleh – sebagaimana tindakan sesuai dengan rancangan kejahatan biasa.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 284: “Dalam sebuah kasus
kejahatan yang berlanjut, shared intent dari terdakwa yang berpartisipasi dalam sebuah
kejahatan bersama dapat diperoleh dari pengetahuannya mengenai kejahatan bersama
tersebut dan keterlibatannya yang berlanjut, dan juga dari dampaknya.”
Lihat juga Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 204, untuk diskusi tentang mens rea
(niat) yang diperlukan untuk tiga kategori rancangan umum, didiskusikan pada Bagian
(V)(e)(ii).
170
(b) Harus membuktikan bantuan yang diberikan kepada aider atau
abettor
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 271: “[P]ertanggungjawaban
sebagai dasar dari suatu kejahatan yang dilakukan bersama memerlukan bantuan atau
dorongan kepada aider atau abettor. ...”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 284: “[B]ukti yang diperlukan
dari seorang aider atau abettor dalam sebuah kejahatan yang dilakukan bersama adalah bukti
bahwa ia menyadari kontribusinya melalui bantuan yang dia berikan, atau bahwa ia
memfasilitasi sebuah kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 284: “Seorang aider atau abettor
tidak harus berbagi niat sebagai co-perpetrator.”
(2) Jika kejahatan terjadi di luar kelompok, harus dibuktikan bahwa terdakwa
menyadari bahwa kejahatan selanjutnya (further crime) merupakan
konsekuensi yang mungkin terjadi dan karena itu, dengan kesadarannya,
ia berpartisipasi dalam kejahatan bersama tersebut
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 613: “Jika kejahatan yang dituduhkan
kepada terdakwa berada di luar objek kejahatan bersama, maka tuntutan harus menetapkan
bahwa terdakwa sadar mengenai kejahatan lanjutan yang akan terjadi sebagai konsekuensi
yang timbul dari pelaksanaan kejahatan tersebut, dan bahwa ia terlibat dalam kejahatan
bersama itu dengan kesadarannya.”
Lihat juga Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, Paragraf 228, untuk diskusi tentang mens rea
yang diperlukan bagi tiga kategori raancangan umum, didiskusikan pada Bagian (V)(e)(ii).
(3) Apabila kejahatan memerlukan niat khusus, maka niat tersebut harus
dibuktikan
171
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 228: “Apabila kejahatan
memerlukan niat khusus, misalnya kejahatan penganiayaan ... maka jika terdakwa sebagai co-
perpetrator, ia juga harus memenuhi persyaratan tambahan yang dibutuhkan seperti niat untuk
melakukan diskriminasi atas dasar alasan politik, rasial atau agama, jika ia seorang.”
v) Perbedaan antara partisipasi dalam sebuah kejahatan yang dilakukan
bersama, dengan bantuan atau persekongkolan jahat dalam kejahatan yang
dilakukan bersama
(1) Pengantar umum
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 285, 287: “Terdakwa dapat
digolongkan sebagai seorang aider atau abettor ataupun co-perpetrator berdasarkan tingkat dan
sifat partisipasinya dalam suatu kejahatan.” “Tingkat partisipasi yang diperlukan untuk
menyatakan seseorang terlibat dalam sebuah kejahatan yang dilakukan bersama lebih rendah
dari tingkat partisipasi yang dibutuhkan untuk menentukan seseorang sebagai aider atau abettor
menjadi co-perpetrator dalam kejahatan tersebut.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 312: “Aider atau abettor atau co-
perpetrator dalam kejahatan yang dilakukan bersama berkontribusi atas terlaksananya kejahatan
dengan cara menjalankan perannya masing-masing sehingga sistemnya berfungsi.”
(2) Perbandingan niat jahat (mental state, mens rea)
Lihat Bagian (V)(e)(iv)(1)(a) dan (b), ICTY Digest.
(3) Jika seorang aider atau abettor menjadi co-perpetrator
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 284-285: “Biasanya, aider atau
abettor, yaitu seseorang yang membantu atau memfasilitasi persekongkolan kejahatan adalah
seorang bawahan, dapat menjadi co-perpetrator, meskipun secara fisik ia tidak terlibat dalam
kejahatan itu. Hal itu terjadi jika partisipasinya pada waktu sebelumnya terjadi secara ekstensif
atau ia terlibat langsung dalam memfungsikan persekongkolan jahat tersebut. Dengan berbagi
172
niat dalam kejahatan yang dilakukan bersama, aider atau abettor dapat menjadi seorang co-
perpetrator. Ketika ... seorang terdakwa terlibat dalam sebuah kejahatan, di mana kejahatan
tersebut memungkinkan tercapainya tujuan dari sebuah persekongkolan, maka bentuk
keterlibatannya dalam persekongkolan tersebut adalah sebagai seorang co-perpetrator.” “Jika
bukti menunjukkan bahwa seseorang secara substansial membantu dalam persekongkolan
dengan cara berbagi tujuan kejahatan tersebut, maka ia menjadi seorang co-perpetrator.”
(4) Penerapan: partisipasi dalam pelaksanaan sebuah fasilitas penahanan
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 306: “[A]pabila sebuah fasilitas
penahanan dioperasikan sedemikian rupa sehingga niat diskriminatif dan niat penganiayaan
menjadi jelas, maka seseorang yang diketahui berpartisipasi secara signifikan dalam
mengoperasikan fasilitas atau membantu atau memfasilitasi aktivitas tersebut akan dikenakan
pertanggungjawaban pidana secara individual dalam keterlibatannya pada persekongkolan
sebuah kejahatan, baik sebagai co-perpetrator atau seorang aider dan abettor, tergantung pada
posisinya dalam hierarki organisasi dan tingkat partisipasinya.”
173
VI. PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO (PASAL 7(3))
a) Statuta
Statuta ICTY, Pasal 7(3):
“Fakta bahwa setiap tindakan yang terdapat pada Pasal 2 sampai Pasal 5 Statuta dilakukan
oleh bawahan (subordinate) tidak membebaskan seorang atasan dari pertanggungjawaban
pidana tersebut, jika atasan mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa
bawahannya akan melakukan kejahatan atau telah menjalankan kejahatan tersebut, tetapi
atasan gagal mengambil langkah-langkah penting untuk mencegah tindakan tersebut atau
untuk menghukum pelakunya (bawahan).”
b) Unsur-unsur
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 401: “[T]iga unsur yang
harus dibuktikan dalam pertanggungjawaban atasan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh
bawahannya adalah: (1) adanya hubungan atasan dan bawahan antara terdakwa dengan pelaku
tindak kejahatan yang dimaksud (underlying offence); (2) unsur mental, atau pengetahuan atasan
bahwa bawahannya telah melakukan atau akan melakukan tindak kejahatan; (3) kegagalan
atasan untuk menghalangi terjadinya kejahatan atau untuk menghukum pelaku
(bawahannya).”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 294: “[U]ntuk mendakwa tindak
kejahatan yang tertera pada Pasal 7(3) Statuta, maka pembuktian diperlukan jika: (1) terdapat
hubungan atasan bawahan antara komandan (terdakwa) dan pelaku kejahatan; (2) terdakwa
mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa kejahatan akan dilakukan atau
telah dilakukan oleh bawahannya; dan (3) terdakwa gagal mengambil tindakan yang
diperlukan untuk menghalangi terjadinya kejahatan atau untuk menghukum pelakunya.” Lihat
juga Music dkk., (Sidang Pengadilan, 16 November 1998, Paragraf 346.
174
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 76: “Pasal 7(3) menguraikan kriteria
hukum pertanggung-jawaban komando, serta menjelaskan arti kata ‘komandan’ secara
hukum, yang dalam ketentuan tersebut dapat diterapkan jika seorang atasan dengan unsur
mental yang dipersyaratkan gagal menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi
bawahannya melakukan kejahatan atau gagal menghukum pelakunya setelah kejadian itu.
Ketentuan ini juga dapat diterapkan pada seorang atasan yang memiliki kewenangan
sedemikian rupa tetapi gagal mempergunakan kewenangannya itu. Jika fakta kasus memenuhi
kriteria kewenangan atasan sebagaimana tertera pada Pasal 7(3), maka secara hukum terdakwa
digolongkan sebagai seorang atasan (a superior) seperti yang dimaksud dalam ketentuan
tersebut.”
i) Eksistensi hubungan atasan-bawahan (unsur 1)
(1) Hubungan atasan-bawahan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 396: Untuk
menyatakan adanya pertanggungjawaban komando, maka harus ada hubungan antara atasan-
bawahan.
(a) Hubungan dengan bawahan bisa terjadi secara langsung atau tidak
langsung, termasuk struktur informal komando
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 248-268: “[H]ubungan atasan-
bawahan didasarkan pada kontrol yang dapat dijalankan secara langsung maupun tidak
langsung dalam suatu hierarki, sehingga hubungan atasan-bawahan itu sendiri dapat berupa
hubungan langsung dan tidak langsung.” “Sidang Banding menganggap bahwa Sidang
Pengadilan telah mengakui kemungkinan adanya hubungan langsung atau tidak langsung
antara atasan dengan bawahan, dan kemudian Sidang Banding menyetujui bahwa kasus Mucic
dkk. ini mungkin sebuah kasus dengan kontrol yang efektif.” “Persyaratan ‘hubungan atasan-
bawahan’, menurut Komentar atas Protokol Tambahan I, harus dilihat dalam suatu hierarki
dengan konsep kontrol, dan secara khusus merupakan kontrol problematis dalam situasi yang
terjadi di bekas Negara Yugoslavia selama periode terjadinya kasus tersebut, yaitu situasi di
mana sebelumnya keberadaan struktur formal telah hancur, dan selama periode antara,
175
struktur kontrol dan komando yang baru (kemungkinan merupakan improvisasi) bersifat
ambigu dan tidak diatur secara baik (ill-defined). Sidang Pengadilan menyimpulkan ... bahwa
orang-orang yang secara efektif berada pada posisi komandan dalam struktur informal, serta
memiliki kekuasaan untuk menghalangi dan menghukum pelaku kejahatan yang berada dalam
kontrol mereka, dalam kondisi tertentu dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan
yang dilakukannya.”
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 193: “Struktur komando, yang
diorganisir secara terburu-buru (hastily), mungkin juga tidak beraturan dan bersifat primitif.
Untuk menegakkan hukum diperlukan sebuah akuntabilitas yang tidak hanya ditujukan
kepada pelaku individu, tetapi juga ditujukan pada para komandan (commanders) atau atasan
lain, yang berdasarkan bukti memiliki kontrol terhadap pelaku individu tanpa perjanjian
formal.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 301: “[S]eorang komandan dapat
dikenakan tanggung jawab pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang secara formal bukan
bawahannya (langsung), tetapi komandan tersebut melakukan kontrol terhadap mereka.”
Untuk diskusi mengenai “kontrol yang efektif”, lihat Bagian (VI)(b)(i)(1)(e), ICTY Digest.
(b) Hubungan antara komandan dan bawahannya tidak harus diformalkan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 397: “Hubungan
antara komandan dengan bawahannya tidak harus diformalkan. Kesepakatan (persetujuan)
secara diam-diam atau secara implisit di antara mereka karena posisi satu sama lain dianggap
telah cukup untuk menggambarkan adanya hubungan ini.”
(c) Analisis atas realitas kekuasaan/tugas yang diemban
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 419-424: “Hal penting
pertama yang harus diketahui adalah posisi resmi terdakwa. Otoritas yang aktual tidak dapat
ditentukan hanya dengan posisi formal saja. Baik secara de jure atau de facto, militer atau sipil,
eksistensi dari sebuah posisi kewenangan harus berdasarkan pada penilaian terhadap realitas
176
kewenangan yang dimiliki terdakwa.” “Posisi otoritas formal dapat merujuk pada penugasan
resmi atau wewenang resmi yang diakui. Kapasitas untuk menandatangani perintah akan
memperlihatkan tingkat kekuasaan. Otoritas untuk mengeluarkan perintah dapat diasumsikan
sebagai de facto.” “Status atasan, jika tidak secara jelas disebutkan dalam perintah perjanjian
(appointment order), dapat diturunkan melalui analisis atas tugas yang diemban oleh terdakwa
yang dimaksud.”
(d) Pemberian perintah atau pelaksanaan kekuasaan yang secara umum
dimiliki oleh seorang komandan militer merupakan indikasi kuat
seorang individu sebagai komandan, tapi bukan semata-mata faktor
yang relevan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 397: “Pemberian
perintah atau pelaksanaan kekuasaan secara umum yang biasanya dimiliki oleh seorang
komandan militer merupakan indikasi kuat bahwa seseorang benar-benar seorang komandan.
Tapi ini bukan merupakan satu-satunya faktor yang relevan.”
(e) Kontrol efektif yang diperlukan: kemampuan untuk menghalangi dan
menghukum kejahatan
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 256: “Dalam konsep kontrol efektif
seorang atasan terhadap bawahan, dalam kaitannya dengan kemampuan materil atasan
tersebut untuk menghalangi atau menghukum – jika kontrol tersebut dijalankan – adalah
permulaan untuk sampai pada penentuan hubungan atasan-bawahan seperti maksud Pasal
7(3) Statuta.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 335: “Atasan” adalah “seseorang yang
menjalankan ‘kontrol efektif’ terhadap bawahannya.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 300-302: “‘[U]ntuk menerapkan prinsip
pertanggungjawaban atasan, maka penting mengetahui bahwa seorang atasan mempunyai
kontrol efektif terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran terhadap hukum
humaniter internasional, dan bahwa ia memiliki kemampuan materil untuk menghalangi dan
177
menghukum tindak kejahatan ini.” “[S]eorang komandan dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidana atas kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang meskipun
tidak secara formal (tidak langsung) menjadi bawahannya, tetapi ia menerapkan kontrol
efektif terhadap mereka. Meskipun ... ‘kemampuan aktual’ seorang komandan merupakan
kriteria yang relevan, tetapi ia tidak harus mempunyai kewenangan hukum untuk
menghalangi atau menghukum tindak kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya. Yang
menjadi pertimbangan adalah kemampuan materil, yaitu selain ia dapat mengeluarkan
perintah atau mengambil tindakan disipliner, ia juga memiliki kewenangan misalnya membuat
laporan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil langkah-langkah yang seharusnya ia
lakukan.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 416: “[T]anggung jawab
pidana hanya dapat dikenakan pada para atasan yang secara de jure atau de facto, baik dari
militer maupun sipil, yang benar-benar merupakan bagian dari rantai komando, baik langsung
atau tidak langsung, yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan kontrol atau untuk
menghukum tindak kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya.”
(f) Unit militer sementara atau komando ad hoc tidak mengesampingkan
hubungan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 339: “Orang-
orang atau siapa saja yang secara permanen maupun sementara berada di bawah komando
seseorang, dapat dianggap berada dalam kontrol efektif orang tersebut. Unit militer yang
bersifat sementara tidak mengesampingkan adanya hubungan subordinasi antara anggota dari
unit tersebut dengan komandannya. Untuk dapat bertanggung-jawab atas tindak kejahatan
yang dilakukan oleh seseorang atau orang-orang di bawah kontrolnya baik secara ad hoc atau
sementara, maka harus dapat dibuktikan bahwa, pada saat kejahatan tersebut dilakukan
sebagaimana yang dituduhkan dalam dakwaan, orang-orang tersebut berada dalam kontrol
efektif dari orang tersebut.”
(g) Kontrol dapat terjadi baik secara de jure ataupun de facto
178
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 192-194: “Berdasarkan Pasal 7(3),
seorang komandan atau atasan adalah ... orang yang mempunyai kekuasaan atau otoritas baik
secara de jure maupun de facto untuk menghalangi kejahatan yang dilakukan bawahannya atau
berwenang menghukum pelaku setelah kejahatan tersebut dilakukan.” “Kekuasaan atau
otoritas untuk mencegah atau untuk menghukum tidak sepenuhnya berasal dari kewenangan
de jure yang didapat melalui pengangkatan secara resmi. Dalam beberapa konflik masa kini,
kekuasaan de facto saja, misalnya pemerintahan yang diumumkan sendiri dan oleh karena itu,
tentara-tentara de facto dan kelompok-kelompok paramiliter merupakan subordinat
pemerintah tersebut. Pada hakikatnya kekuasaan atau otoritas seperti itu juga memiliki
kekuasaan untuk mencegah atau menghukum kejahatan yang dilakukan bawahannya. Struktur
komando yang diorganisir secara sembrono (hastily), bisa jadi kacau dan primitif. Untuk
menegakkan hukum dalam situasi seperti itu diperlukan kepastian akuntabilitas tidak hanya
kepada pelaku-pelaku individual, tetapi komandan-komandan mereka atau atasan-atasan lain,
yang berdasarkan bukti, memiliki kekuasaan untuk mengkontrol pelaku-pelaku individual
tersebut meskipun tanpa pengangkatan secara formal.” “‘[W]alaupun pengangkatan formal
(de jure) merupakan aspek penting dalam menjalankan kewenangan komando atau otoritas
atasan, tetapi dalam hal tidak adanya pengangkatan secara formal, pelaksanaan kewenangan
yang sebenarnya (de facto) sudah memadai untuk menjatuhkan tanggung jawab pidana kepada
komandan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, faktor yang paling penting untuk menjalankan
tanggung jawab komando adalah apakah seorang komandan secara nyata memiliki atau tidak
memiliki kekuasaan untuk mengkontrol tindakan-tindakan dari bawahannya.’”
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 396: “[S]uatu
hubungan tidak hanya ditentukan dengan melihat status formalnya saja. Oleh karena itu,
penunjukkan formal (formal designation) seseorang sebagai komandan tidak diperlukan untuk
menjatuhkan tanggung jawab komando kepadanya, sebab pada dasarnya tanggung-jawabnya
sebagai komandan adalah bersifat de facto, dan de jure.”
Aleksovski, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 76: “Tanggung jawab atasan tidak
hanya diterapkan untuk pejabat resmi. Setiap orang yang bertindak secara de facto sebagai
seorang atasan dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 7(3). Kriteria yang
tegas dalam menentukan siapa atasan menurut hukum kebiasaan internasional tidak hanya
dilihat dari status legal formal terdakwa tetapi juga kemampuannya sebagaimana ditunjukkan
179
oleh kompetensi dan tugasnya untuk menggunakan kontrol yang dimilikinya. ‘[F]aktor yang
menentukan kemampuan seseorang untuk jenis tanggung jawab pidana ini adalah apakah ia
secara nyata memiliki kewenangan untuk mengkontrol tindakan-tindakan yang dilakukan
bawahannya, atau tidak. Penunjukkan formal sebagai seorang komandan tidak harus
dipertimbangkan sebagai sebuah syarat untuk membebankan tanggung jawab pidana, karena
itu tanggung jawab semacam ini dapat diterapkan kepada seseorang yang secara de facto serta
de jure, memiliki posisi sebagai komandan.’”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 300: “[D]alam rangka menerapkan Pasal
7(3) Statuta, terdakwa harus dalam posisi sebagai komandan. Prinsip ini tidak terbatas pada
individu yang ditunjuk secara resmi sebagai komandan, tapi juga meliputi komandan de facto
dan de jure.”
(h) Tingkat kewenangan de facto harus ekuivalen dengan otoritas de jure
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 416: Sidang Banding dalam
kasus Mucic dkk., menyatakan bahwa tingkat kewenangan de facto atau kekuasaan untuk
mengkontrol yang disyaratkan menurut Doktrin Tanggung Jawab Atasan, sama dengan syarat
kewenangan de jure. Meskipun tingkat kontrol yang dimiliki oleh atasan secara de jure atau de
facto (mungkin) memiliki bentuk yang berbeda, seorang atasan de facto yang mempunyai
kekuasan kontrol yang secara substansial sama terhadap bawahannya dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidana atas tindakan-tindakan yang dilakukan bawahannya.”
(2) Dua atau lebih atasan bisa dimintai pertanggungjawaban
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 93: “Dua atau lebih atasan dapat
dimintai pertanggungjawaban untuk kejahatan yang sama yang dilakukan oleh individu yang
sama jika diketahui bahwa pelaku utama berada di bawah komando dua atasan pada saat yang
relevan.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 303: “[P]engujian atas pelaksanaan
kontrol yang efektif oleh komandan mengakibatkan lebih dari satu orang dapat dimintai
pertanggungjawaban untuk kejahatan yang sama yang dilakukan oleh seorang bawahannya.”
180
(3) Penerapan untuk pemimpin sipil: pengujian atas kontrol efektif
Mucic dkk., (Sidang Pengadilan), 16 November 1998, Paragraf 377-378: “[S]idang Pengadilan
menyatakan bahwa seorang atasan, baik militer maupun sipil, dapat dikenakan
pertanggungjawaban atasan atas dasar kewenangan yang dimilikinya secara de facto. ...”
“[U]ntuk menerapkan prinsip pertanggungjawaban atasan, harus diketahui bahwa atasan
tersebut memiliki kontrol yang efektif terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran
terhadap hukum humaniter internasional seperti yang dimaksud, karena ia (atasan)
mempunyai kemampuan materil untuk mencegah dan menghukum pelanggaran ini.
Kewenangan tersebut dapat berkarakter de facto maupun de jure ... doktrin
pertanggungjawaban atasan dapat dikenakan kepada atasan sipil hanya apabila mereka
menjalankan kontrol terhadap bawahannya sama seperti kontrol yang dilakukan oleh
komandan militer.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 415-416: “Apabila sipil
menempati posisi kewenangan yang berhubungan dengan bagian sebuah wilayah, maka sipil
tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban atasan, dan pertanggungjawaban tersebut
hanya akan dilakukan apabila sipil tersebut diketahui memiliki kekuasaan untuk mengkontrol
para pelaku.” “[S]eorang pejabat pemerintah hanya akan dikenakan pertanggungjawaban
komando jika ia merupakan bagian dari hubungan atasan-bawahan, meskipun hubungan itu
terjadi secara tidak langsung. Meskipun kontrol yang diyakini efektif bisa dicapai melalui
pengaruh yang substansial, penerapan kekuatan pengaruh semacam itu tidak akan memadai
jika tak ada tindakan nyata bahwa ia memiliki kontrol yang efektif terhadap para bawahannya,
karena ia memiliki kemampuan material untuk mencegah kejahatan yang dilakukan
bawahannya atau menghukum pelaku bawahannya (subordinate offenders) setelah kejahatan itu
dilakukan. Tindakan nyata dari kekuasan bahwa seorang pegawai benar-benar merupakan
orang yang berpengaruh tidak menjadi alasan yang cukup.”
Bandingkan Aleksovski, (Sidang Pengadilan), 25 Juni 1999, Paragraf 78: “[S]eorang warga sipil
dapat digolongkan sebagai seorang atasan sebagaimana ketentuan Pasal 7(3) jika secara de jure
atau de facto ia mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan perintah pencegahan terhadap
suatu tindak kejahatan dan memberi sangsi kepada pelakunya.” “Kekuasaan sipil untuk
181
182
menjatuhkan sangsi, bagaimanapun juga harus ditafsirkan secara luas.” “Tidak dapat
diharapkan bahwa kewenangan sebuah otoritas sipil mempunyai terhadap bawahannya sama
seperti kewenangan yang dimiliki oleh otoritas militer dalam posisi komandan.”
“[K]emampuan atasan baik de jure maupun de facto untuk menjatuhkan sangsi tidak
dipentingkan. Kemungkinan pengiriman laporan kepada pihak yang pantas berkuasa, yang
merupakan salah satu kewenangan sipil melalui posisinya dalam hierarki, diharapkan untuk
melaporkan kejahatan yang terjadi kapan pun, dan oleh karena itu, dalam posisi ini, sangat
mungkin bahwa laporan-laporan tersebut akan memicu investigasi atau menyebabkan
hukuman disipliner atau bisa jadi tindakan kejahatan justru terus berlanjut.”
ii) Niat jahat (mental state, mens rea) (unsur ke-2)
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 294: Unsur kedua adalah bahwa
“terdakwa mengetahui atau mempunyai alasan untuk tahu bahwa kejahatan akan dilakukan
atau telah dilakukan. ...”
(1) Pengetahuan aktual
(a) Pengetahuan dapat dibuktikan melalui bukti langsung atau bukti tidak
langsung (circumstantial evidence)8
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 307: “Pengetahuan tidak dapat dikira-kira
(presumed). Namun, ‘pengetahuan’ dapat dibuktikan melalui bukti langsung atau bukti tidak
langsung (circumstantial).”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 427: “Pengetahuan aktual,
yang mungkin dinyatakan sebagai kesadaran bahwa kejahatan yang relevan dilakukan atau
kira-kira akan dilakukan, dapat diketahui melalui bukti langsung atau bukti circumstantial. Bukti
8 Berdasarkan penjelasan Kamus Encarta, yang dimaksud dengan circumstantial evidence adalah bukti yang mengandung atau didasarkan pada fakta-fakta yang memperbolehkan pengadilan membuat kesimpulan bahwa seseorang itu bersalah tanpa didukung bukti-bukti yang meyakinkan (conclusive proof)
tidak langsung (circumstantial) adalah bukti yang diperoleh dari sebuah kesimpulan bahwa
atasan ‘harus sudah mengetahui’ tindak kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya.”
(b) Bukti yang diperlukan untuk menunjukkan adanya pengetahuan
aktual bisa berbeda tergantung pada posisi kewenangan
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 428: “Untuk menentukan
posisi kewenangan yang dimiliki seorang atasan, secara de jure atau de facto, dan level tanggung-
jawabnya dalam rantai komando, bukti yang diperlukan untuk menunjukan pengetahuan yang
aktual mungkin berbeda antara atasan militer dengan atasan sipil. [P]engetahuan aktual dari
seorang komandan militer mungkin lebih mudah untuk dibuktikan, mengingat fakta bahwa ia
diasumsikan sebagai bagian dari sebuah struktur yang terorganisir dengan sistem monitoring
dan pelaporan yang telah mapan. Dalam kasus para komandan de facto dari struktur militer
yang lebih informal, atau para pemimpin sipil yang memegang kekuasaan de facto, standard
pembuktian menjadi lebih tinggi.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 308: “[P]osisi komandan per se individu
merupakan indicia (tanda awal) yang signifikan bahwa ia mengetahui tentang kejahatan yang
dilakukan oleh bawahannya.”
(c) Makin jauh jarak fisik petinggi dari (tempat) berlangsungnya tindak
kejahatan, makin banyak indikasi tambahan yang diperlukan
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 72: “Mempertimbangkan
kondisi geografis dan temporal ... makin jauh jarak fisik sang petinggi dari tindak kejahatan,
makin banyak indikasi tambahan yang diperlukan untuk membuktikan bahwa ia mengetahui
adanya kejahatan tersebut. Di pihak lain, jika kejahatan tersebut terjadi berdekatan dengan
posisi di mana dia berada, hal ini sudah mencukupi sebagai indikasi bahwa sang petinggi itu
mempunyai pengetahuan akan kejahatan tersebut, apalagi jika kejahatan tersebut dilakukan
berulang-ulang.”
(d) Indikasi pengetahuan lain
183
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 427: “[I]ndikasi yang
diuraikan oleh Komisi Ahli PBB dapat digunakan untuk menentukan jumlah, jenis dan
lingkup tindakan melawan hukum; waktu yang dipergunakan; jumlah dan kesatuan tentara
yang terlibat; logistik yang digunakan, jika ada; lokasi geografis; meluasnya tindakan
(widespread of occurance); taktik operasi; modus operandi dari tindakan ilegal semacamnya; pejabat
atau staf yang terlibat, dan lokasi komandan pada saat itu.”
(2) Alasan untuk tahu
(a) Analisis apakah atasan mempunyai informasi yang dapat
menempatkannya pada catatan
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 222-241: “Sebuah petunjuk bahwa
seorang atasan mempunyai informasi umum yang dipegangnya, yang menempatkan dia dalam
catatan akan tindakan ilegal yang dilakukan oleh para bawahannya merupakan alasan yang
cukup untuk membuktikan bahwa ia ‘mempunyai alasan untuk tahu’. Menyangkut bentuk
informasi yang terdapat di pihaknya, informasi tersebut dapat berupa tertulis atau lisan, dan
tidak harus dalam bentuk laporan khusus sebagai bagian dari sistem monitoring yang
diterapkan. Informasi ini juga tidak harus berisi tentang informasi khusus tentang tindakan
melawan hukum yang telah dilakukan dan akan dilakukan. Akhirnya, informasi relevan hanya
perlu diberikan atau disediakan kepada atasan, atau ... ‘dalam kepemilikannya’. Tidak menjadi
keharusan bahwa ia secara nyata mengerti tentang informasi tersebut. [S]uatu penilaian
tentang unsur niat yang disyaratkan dalam Pasal 7(3) Statuta harus diterapkan dalam situasi
spesifik dari masing-masing kasus, dengan mempertimbangkan situasi khusus atasan yang
sedang bertugas pada saat itu.” “[S]eorang atasan akan dikenakan tanggung jawab pidana
sebagai atasan hanya jika ia memiliki informasi yang dapat membuatnya dikenakan tanggung
jawab pidana yang dilakukan oleh bawahannya.”
(b) Komandan yang menjalankan ketentuan tersebut dibedakan dari
situasi di mana ketiadaan pengetahuan merupakan kelalaian
(negligence).
184
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 332: “[J]ika seorang komandan telah
menjalankan ketentuan dalam pemenuhan kewajibannya dengan kurangnya pengetahuan
bahwa kejahatan akan dilakukan atau telah dilakukan, maka ketiadaan pengetahuan yang
dimilikinya membuatnya tidak dapat dikenakan hukuman. Namun, dengan
mempertimbangkan posisinya saat itu sebagai komandan dan keadaan yang berlaku saat itu,
maka pengabaian tersebut tidak dapat dijadikan sebuah pembelaan di mana ketiadaan
pengetahuan merupakan akibat dari kelalaian dia akan kewajibannya.”
iii) Kegagalan atasan untuk mengambil tindakan penting dan semestinya untuk
mencegah atau menghukum (unsur ke-3)
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 294: Elemen ketiga adalah “kegagalan
terdakwa dalam mengambil tindakan yang penting dan semestinya untuk mencegah kejahatan
atau menghukum pelakunya.”
(1) Pertimbangan yang disyaratkan terbatas pada apa yang tampak jelas,
tetapi komandan harus menggunakan semua cara dalam lingkup
kewenangannya
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 95: “Pertimbangan-pertimbangan yang
disyaratkan atas sang atasan terbatas pada hal-hal yang tampak jelas saja dalam seluruh
lingkup kejadian dan terbatas ‘dalam kewenangannya saja’.” Seorang atasan tidak diwajibkan
untuk mengambil tindakan yang tidak mungkin dilakukan (impossible), tetapi ia mempunyai
tugas untuk menjalankan kekuasaan yang dimilikinya dalam batas-batas kewenangan yang
dimilikinya.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 441, 445: “Pasal 7(3)
Statuta mengatur tentang tanggung jawab atasan untuk mencegah kejahatan yang akan
dilakukan oleh bawahan atau menghukum pelaku kejahatan tersebut, dengan cara ‘mengambil
tindakan yang penting dan dianggap perlu’.” “[S]eorang atasan telah melepaskan diri dari
kewajibannya untuk mencegah atau menghukum jika ia menggunakan setiap cara yang
dibolehkan dalam kewenangannya untuk bertindak demikian. Pembatasan ini didasarkan
pada kondisi dari masing-masing kasus.”
185
(2) Taraf kontrol yang efektif menentukan apa yang diperlukan/disyaratkan
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 335: “[A]dalah taraf kontrol efektif sang
komandan, dan kemampuan materialnya, yang akan menuntun Pengadilan dalam
menentukan apakah ia mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah
kejahatan atau menghukum pelakunya. [I]ni berimplikasi pada kondisi tertentu, di mana
seorang komandan menggunakan kewajibannya untuk mencegah atau menghukum pelaku
dengan cara melaporkan masalah ini ke pejabat yang berwenang.”
(3) Tidak boleh menggantikan kegagalan mencegah kejahatan dengan
menghukum bawahan setelahnya
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 336: “[K]ewajiban untuk ‘mencegah atau
menghukum’ tidak menyediakan bagi terdakwa dua alternatif dan pilihan yang memuaskan.
Jelas bahwa, apabila terdakwa mengetahui atau mempunyai alasan untuk mengetahui bahwa
bawahannya akan melakukan tindak kejahatan dan dia sebagai atasan gagal untuk
mencegahnya, maka ia tidak boleh menggantikan kegagalan tersebut dengan menghukum
bawahannya setelah itu.”
(4) Jika tugas memanggil
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 445-446: “Tugas untuk
mencegah seharusnya dipahami sebagai sesuatu yang diemban oleh seorang atasan pada
berbagai tingkatan sebelum dilakukannya kejahatan oleh bawahan jika ia (atasan) memiliki
pengetahuan bahwa kejahatan tersebut sedang dipersiapkan atau direncanakan, atau jika ia
mempunyai alasan yang jelas untuk mencurigai kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya.”
“Tugas untuk menghukum biasanya terjadi setelah sebuah kejahatan dilakukan. Seseorang
komandan bertugas untuk menghukum pelaku setelah pelaku tersebut melakukan kejahatan
tersebut.”
186
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 317: “Tindakan diperlukan di
pihak atasan dengan dasar pemikiran bahwa ia ‘mengetahui atau mempunyai alasan untuk
tahu’ kejahatan yang telah dilakukan atau akan dilakukan oleh bawahan.”
(5) Apa yang disyaratkan dalam kewajiban menghukum
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 446: “Tanggung jawab ini
setidaknya meliputi kewajiban untuk melakukan investigasi terhadap kejahatan untuk
mendapatkan fakta-fakta yang diperlukan, dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak
yang berwenang jika atasan tersebut tidak mempunyai kekuasaan untuk memberikan sanksi
kepada pelaku.”
(6) Atasan tidak harus orang yang menjatuhkan hukuman, tapi merupakan
seseorang yang harus mengambil langkah penting sebagai bagian dari
proses pendisiplinan
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 316: “Atasan tidak harus orang
yang menjatuhkan hukuman, tapi merupakan seseorang yang harus mengambil langkah
penting sebagai bagian dari proses pendisiplinan.”
(7) Atasan sipil juga mempunyai kewajiban yang sama
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 446: “Atasan sipil
mempunyai kewajiban yang sama seperti atasan militer – berkenaan dengan tugas untuk
mencegah atau menghukum – tergantung kekuasaan efektif yang dijalankannya dan apakah
kekuasaan itu termasuk kemampuannya untuk meminta pihak yang berkompeten supaya
mengambil tindakan.”
c) Tanggung jawab atasan bukan merupakan tanggung jawab langsung (strict
liability)
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 197, 239: “Doktrin
pertanggungjawaban komando didasarkan pada kekuasaan atasan untuk mengkontrol
187
tindakan bawahannya. Kewajiban ini terletak pada atasan yang dipergunakan untuk mencegah
dan menekan kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, dan jika ia gagal melakukan
kewajibannya itu maka ia dikenakan sanksi sesuai dengan doktrin pertanggungjawaban
komando, yaitu tanggung jawab pidana individu.” “[P]ertanggungjawaban komando bukanlah
tanggung jawab langsung atau strict liability. Seorang atasan hanya akan dimintai
pertanggungjawabannya atas tindak kejahatan yang dilakukan bawahannya jika diketahui
bahwa ia ‘telah mengetahui atau mempunyai alasan untuk mengetahui’ peristiwa tersebut.
Sidang Banding tidak akan mendeskripsikan tanggung jawab atasan sebagai doktrin tanggung
jawab tidak langsung atau vicarious liability, karena pertanggungjawaban tidak langsung bisa
bermakna sebagai sebentuk tanggung jawab langsung yang terdapat dalam rangkaian
keterkaitan.”
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 369: “Tanggung jawab
yang dimaksud pada Pasal 7(3) didasarkan pada kelalaian dalam melakukan tindakan positif
(positive conduct). Harus ditekankan bahwa doktrin pertanggungjawaban komando tidak
dikenakan pada seseorang hanya karena ia berada dalam posisi sebagai pemegang otoritas
(position of authority), tetapi seseorang akan dikenakan pertanggungjawaban komando apabila
dapat dibuktikan bahwa ia ‘telah mengetahui atau mempunyai alasan untuk mengetahui’
tentang kejahatan-kejahatan yang dilakukan bawahannya tetapi ia gagal mengambil tindakan
untuk mencegah atau menghukum pelakunya. Tanggung jawab atasan, merupakan bentuk
tanggung jawab terkait (imputed responsibility), karena itu tanggung jawab ini bukan merupakan
tanggung jawab langsung atau (strict liability).”
188
VII. PEMBELAAN AFIRMATIF (AFFIRMATIVE DEFENSES)
a) Paksaan tidak mendatangkan sebuah pembelaan lengkap
Penuntut v. Erdemovic, Kasus No. IT-96-22 (Sidang Banding), Gabungan pendapat yang
berbeda (Joint Separate Opinion) antara Hakim McDonald dan Hakim Vohrah, 7 Oktober 1997,
Paragraf 55, 66, 72, 75, 88: Pengadilan menyatakan bahwa “tidak ada aturan yang dijumpai
pada hukum kebiasaan internasional tentang mungkin atau tidaknya paksaan pembelaan atas
perintah membunuh orang-orang yang tidak bersalah.” Karena tidak adanya hukum
kebiasaan yang mengatur hal tersebut, pengadilan memakai “prinsip-prinsip hukum yang
diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (civilised nations)” dan menyatakan bahwa terdapat
“sebuah prinsip umum atas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab bahwa seorang
terdakwa tidaklah pantas dan tidaklah semestinya dikenakan hukuman penuh kalau dia
ternyata melakukan beberapa tindakan yang dilarang itu karena dipaksa,” di mana
“pemaksaan” (duress) berarti “ancaman hilangnya nyawa si terdakwa jika ia menolak untuk
melakukan kejahatan tersebut.” Namun, pengadilan menyatakan “[j]elas bahwa dari posisi
berbeda terhadap prinsip sistem hukum dunia, di mana tidak ada hukum konkret yang
konsisten yang menjawab pertanyaan apakah duress (paksaan) merupakan sebuah pembelaan
atas pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.” Pengadilan menyatakan
keprihatinannya bahwa “dalam kaitannya dengan kejahatan-kejahatan yang paling mengerikan
(the most heinous crimes) yang dikenal selama ini, prinsip-prinsip hukum yang kami jadikan
sebagai sandaran kepercayaan [ICTY] memiliki efek normatif yang tepat atas para prajurit
yang menggunakan senjata pemusnah dan atas para komandan yang mengkontrol mereka
dalam situasi konflik bersenjata,” dan menyimpulkan bahwa “hukum internasional ... tidak
mengakui paksaan (duress) dalam kasus-kasus yang melibatkan pembunuhan besar-besaran
terhadap manusia dalam skala yang besar.” Pengadilan menyatakan bahwa “paksaan (duress)
tidak dapat dijadikan dasar pembelaan lengkap bagi seorang tentara yang dituntut dengan
tuduhan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang dalam hukum
internasional yang menyebabkan tercerabutnya nyawa orang-orang tidak berdosa. Kami
bertindak demikian setelah mempertimbangkan kewajiban kami berdasarkan mandat dari
Statuta untuk memastikan bahwa hukum humaniter internasional, yang memberikan
189
perlindungan atas manusia, tidak begitu saja diabaikan.” (Hakim Li, dalam Opini Terpisah
dan Berbeda/Separate and Disenting Opinion, yang disepakati oleh Hakim Mc.Donald dan
Vohrah tentang isu paksaan, duress).
Lihat juga pembahasan tentang duress dan penghukuman (putusan), Bagian (X)(b)(iii)(4)(d),
ICTY Digest.
b) Penolakan prinsip tu quoque: argumentasi bahwa kejahatan serupa yang
dilakukan timbal balik bukan merupakan sebuah pembelaan yang sah
Kupreskic dkk., (Sidang Pengadilan), 14 Januari 2000, Paragraf 51, 515-520: Argumen pada isu
“jumlah untuk mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum humaniter
internasional, yang dilakukan oleh musuh, membenarkan pelanggaran-pelanggaran yang sama
yang dilakukan oleh negara yang berperang.” Namun, “pembelaan tu quoque tidak dinyatakan
dalam hukum humaniter internasional saat ini.” Pengadilan menolak prinsip tu quoque karena
dianggap “menyesatkan dan tidak dapat diterapkan” dalam hukum humaniter internasional.
Prinsip tersebut telah “ditolak secara universal” dan “cacat secara prinsip” karena “[ia]
menggambarkan hukum humaniter sebagai sebuah pertukaran bilateral sempit antara hak dan
kewajiban.” Lebih lanjut, “sebagian dari badan hukum ini mempunyai kewajiban absolut,
yaitu kewajiban yang tidak bersyarat atau dengan kata lain tidak didasarkan pada kewajiban
timbal balik (reciprocity obligations).”
c) Keterlibatan dalam operasi defensif bukan sebuah pembelaan (a defense)
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 448-452: “[K]eterlibatan
seseorang dalam sebuah ‘operasi defensif’ bukan merupakan alasan untuk menjatuhkan
tanggung jawab pidana kepadanya.”
d) Pengurangan tanggung jawab mental (diminished mental responsibility) bukan
merupakan sebuah pembelaan
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 282: “[I]su tentang pengurangan
tanggung jawab mental hanya relevan jika putusan pengadilan akan dijatuhkan kepada
190
terdakwa. Bukanlah suatu pembelaan yaitu bahwa jika pengurangan diberikan akan
berdampak pada terbebasnya sang terdakwa.”
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 590: “Sidang Banding menerima
bahwa prinsip umum hukum, yang terhadapnya baik sistem common law maupun civil law
berlaku, yaitu bahwa pengurangan tanggung jawab mental si terdakwa relevan degnan
hukuman yang akan diberikan dan bukan merupakan sebuah pembelaan yang mengarah pada
pembebasan dalam arti sebenarnya.”
Lihat juga kajian tentang pengurangan tanggung jawab mental dan putusan pengadilan, pada
Bagian (X)(b)(iii)(4)(f), ICTY Digest.
191
VIII. JURISDIKSI
a) Pengantar umum
Tadic, (Sidang Banding), Decision on the Defence Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction, 2
Oktober 1995, Paragraf 2, 36, 40, 47, 64, 145, 146: Dusko Tadic menolak jurisdiksi dan
keabsahan eksistensi ICTY dengan tiga alasan: (1) ketidakabsahan hukum ICTY (illegal
foundation); (2) keutamaan yang disalahartikan dari ICTY atas pengadilan nasional; dan (3)
kurangnya subjektivitas jurisdiksi (subject-matter). Sidang Banding menyatakan bahwa
kemampuan sebuah pengadilan judicial dan arbitrase “untuk menentukan jurisdiksinya”
merupakan “bagian yang penting” dalam jurisdiksi insidental dan bersifat inheren. Sidang
Banding menyatakan bahwa ICTY didirikan dengan kekuasaan Dewan Keamanan PBB
berdasarkan Pasal 41 Piagam PBB, dan menyatakan bahwa ICTY secara hukum telah
dibentuk sebagai langkah yang direkomendasikan pada Bab VII Piagam PBB, dan oleh
karena itu ICTY “didirikan atas dasar hukum”. Sidang Banding menyatakan bahwa telah
terjadi ancaman terhadap perdamaian di negara bekas Yugoslavia sehingga memberikan
justifikasi kepada Dewan Keamanan PBB untuk menjalankan mandat Bab VII Piagam PBB,
dan selanjutnya Pasal 41 Bab VII merupakan dasar hukum untuk mendirikan pengadilan
pidana internasional. Sidang Banding menyatakan bahwa alasan kedua yang diajukan oleh
Tadic tidak berdasar dan menyimpulkan bahwa pengadilan mempunyai jurisdiksi subjektif
(subject-matter jurisdiction) atas kasus tersebut.
192
IX. ETIKA
a) Menghina pengadilan
i) Pengadilan mempunyai “jurisdiksi inheren” untuk mengatasi masalah
penghinaan
Penuntut v. Tadic, Kasus No.IT-94-1 (Sidang Banding), 31 Januari 2000, Paragraf 13,14, 26:
Tindakan penghinaan (contempt proceedings) dikenakan kepada Milan Vujin, mantan Pengacara
Dusko Tadic. Dalam mengatasi masalah ini, Sidang Banding membahas apakah ICTY
mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah tindakan penghinaan dan
menghukum para pelaku yang dinyatakan bersalah telah melakukan penghinaan. Sidang
Banding menyatakan bahwa meskipun “[t]idak disebutkan dalam Statuta Pengadilan tentang
kewenangan Pengadilan untuk mengatasi masalah penghinaan, tetapi sesungguhnya,
pengadilan mempunyai jurisdiksi inheren, yang diperoleh dari fungsi judisialnya, untuk
memastikan bahwa pengadilan dapat menjalankan jurisdiksi yang secara nyata diberikan
kepadanya oleh Statuta dan tidak dapat dicegah, sehingga jurisdiksi tersebut dianggap sebagai
fungsi hukum mendasar yang dilindungi.” “Jurisdiksi inheren ini” secara jelas dikemukakan
dalam kalimat yang terdapat pada Aturan No. 77.
ii) Penghinaan yang dilakukan dengan menghadapkan kasus yang diketahui
salah secara materil dan memanipulasi saksi
Tadic, (Sidang Banding), 31 Januari 2000, Paragraf 134, 160, 166, 167, 174: Untuk menyatakan
bahwa Milan Vujin, mantan Pengacara Dusko Tadic, melakukan penghinaan, Sidang Banding
mengemukakan bahwa Vujin “telah memasukkan sebuah kasus ... yang diketahuinya palsu
secara materil,” dan karenanya ia telah “memanipulasi Saksi A dan B dengan upaya untuk
menghindari adanya identifikasi oleh mereka dalam pernyataan pembuktian mereka tentang
orang yang mungkin bertanggung-jawab atas kejahatan yang telah dilakukan Tadic.” Sidang
Banding mengemukakan bahwa penghinaan itu dilakukan secara “serius” karena “tindakan
Vujin bertentangan dengan kepentingan kliennya,” di mana ia “menyerang dengan keras
193
sistem pengadilan pidana.” Sidang Banding memerintahkan Vujin “untuk membayar denda
sebesar Dfl 15,000 kepada Panitera Pengadilan” dan memerintahkan pihak Panitera
Pengadilan untuk “mempertimbangkan dihapuskan” namanya “dari daftar pengacara tugas
dan melaporkan kelakuannya ke badan profesional pengacara yang menaunginya.” Vujin
menyatakan banding atas putusan ini dan pada 27 Februari 2001, Sidang Banding menolak
pengajuan bandingnya dan mendukung putusan Pengadilan sebelumnya. Pada 8 Juni 2001,
pihak Panitera Pengadilan memerintahkan untuk mencoret nama Vujin dari daftar pengacara
tugas (assigned counsel).
b) Imparsialitas hakim
i) Dua paket tes untuk memeriksa bias pengadilan
Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 189-190: “[T]erdapat aturan umum yang
menyatakan bahwa secara subjektif seorang Hakim harus terbebas dari bias, tetapi juga
bahwa tidak boleh ada apa pun di sekitarnya yang mempengaruhi hakim sehingga
mendatangkan bias. [P]engadilan Banding mempertimbangkan bahwa prinsip-prinsip yang
harus ditafsirkan secara langsung dan diterapkan secara imparsial seperti yang disyaratkan
oleh Statuta: A. Seorang hakim tidak imparsial jika ternyata bahwa bias nyata-nyata muncul;
B. Bias yang terjadi tidak dapat diterima jika: i) seorang hakim merupakan pihak dalam kasus
tersebut, atau mempunyai kepentingan finansial atau kepemilikan atas kasus tersebut, atau
jika keputusan Hakim akan mengarah pada munculnya penyebab di mana dia terlibat,
bersama salah satu pihak. Dalam situasi ini, maka hakim tersebut secara otomatis akan
didiskualifikasi; atau ii) keadaan ini akan mengarahkan seorang pengamat yang beralasan,
yang memiliki informasi secara tepat, kepada bias yang sangat nyata.” “Berkaitan dengan poin
kedua dari prinsip kedua ini, Sidang Banding mengadopsi pendekatan bahwa ‘seorang yang
rasional haruslah seorang yang memiliki pengetahuan terhadap segala keadaan yang relevan
termasuk tradisi integritas dan imparsialitas yang merupakan bagian dari latar belakang dan
juga fakta bahwa imparsialitas merupakan salah satu tugas yang harus dijalankan hakim sesuai
dengan sumpah jabatannya.’”
ii) Tuntutan yang tinggi untuk menegakkan praduga ketidakberpihakan
194
Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 197: “[J]ika tidak ditemukan bukti yang
bertentangan, maka harus diasumsikan bahwa Hakim Pengadilan Internasional ‘dapat tidak
melanggar hati nurani mereka tentang pelbagai keyakinan personal dan sikap batin yang tidak
relevan.’ Adalah hak pembanding untuk mengajukan bukti yang cukup untuk menunjukkan
kepada Sidang Banding bahwa Hakim tidak imparsial dalam kasus ini. Ada tuntutan yang
tinggi yang harus dicapai untuk menegakkan prinsip praduga ketidakberpihakan.
‘[D]iskualifikasi hanya akan dilakukan jika dapat dibuktikan bahwa terdapat sebuah
kekhawatiran yang beralasan atas bias dengan alasan praduga (prejudgement) dan hal ini harus
secara jelas dinyatakan (established).’”
iii) Kualifikasi yang memainkan peran penting untuk memenuhi sebuah
persyaratan tidak boleh bias atau tidak imparsial, jika tidak ditemukan bukti
memberatkan yang jelas
Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 205: “Sidang Banding tidak
mempertimbangkan bahwa seorang Hakim akan didiskualifikasi berdasarkan kualifikasi yang
dimilikinya, yang secara umum memainkan peran penting dan memenuhi ketentuan
persyaratan.” “Pasal 13(1) bukan merupakan bagian dari kategori persoalan atau aktivitas
yang dapat mengindikasikan bias, pengalaman pada bidang khusus juga diidentifikasi. Dengan
kata lain, adanya pengalaman yang dimiliki seorang hakim tidak dapat dianggap sebagai bukti
adanya bias atau parsialitas, tanpa adanya bukti yang memberatkan dan jelas.”
iv) Penerapan
(1) Hakim Mumba bertindak sebagai perwakilan Komisi PBB untuk Status
Perempuan tidak dapat dijadikan alasan diskualifikasi
Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 200-202: Dalam menilai apakah Hakim
Mumba yang bertindak sebagai perwakilan negaranya dalam Komisi PBB untuk Status
Perempuan (UNCSW) dijadikan alasan untuk mendiskualifikasikannya dalam menangani
sebuah kasus kekerasan yang meliputi pemerkosaan, Sidang Banding mengemukakan bahwa:
“meskipun telah diputuskan bahwa Hakim Mumba secara jelas membawa misi (maksud dan
tujuan) UNCSW ... dalam mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan,
195
kecenderungan tersebut ... berbeda dari kecenderungan untuk mengimplementasikan maksud
dan tujuan tersebut sebagai seorang hakim dalam sebuah kasus tertentu. Selanjutnya ia tetap
dapat menangani kasus kekerasan yang meliputi pemerkosaan itu, dan secara imparsial
memutuskan kasus yang berdampak pada perempuan tersebut. [B]ahkan jika Hakim Mumba
menjalankan kerjanya sesuai dengan tujuan UNCSW, namun tujuan ini juga merupakan
tujuan PBB yang direalisasikan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB yang mendirikan
Mahkamah Pidana Internasional.” “‘Kepeduliannya untuk mencapai kesetaraan bagi
perempuan, seperti yang terdapat dalam Piagam PBB, tidak dapat digunakan untuk
melakukan praduga dalam pelbagai bentuknya dalam pengadilan kasus pemerkosaan yang
akan datang.’ Untuk meyakinkan pandangan bahwa pemerkosaan merupakan kejahatan yang
sadis dan pihak yang bertanggung-jawab atas kejahatan tersebut harus diadili oleh hukum,
maka keterbatasan-keterbatasan yang ada tidak boleh dijadikan alasan untuk mendiskualifikasi
kejahatan pemerkosaan tersebut.”
(2) Keanggotaan Hakim Benito sebagai Dewan Pengawas Dana PBB untuk
bantuan para Korban Penyiksaan, tidak dapat dijadikan alasan untuk
diskualifikasi
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 697-699, 707: Dalam menangkis
gugatan banding terdakwa bahwa Hakim Pengadilan Odio Benito harus didiskualifikasi
karena keanggotaannya sebagai Dewan Pengawas Dana PBB untuk Bantuan para Korban
Penyiksaan, Sidang Banding menyatakan bahwa “pertanyaan yang relevan yang perlu diajukan
... adalah ... apakah reaksi hipotesis seorang peninjau yang rasional/fair-minded (yang
mempunyai pengetahuan cukup untuk membuat putusan yang adil) akan membuat Hakim
Benito tidak imparsial dan berprasangka (prejudice) atas kasus yang ditanganinya. Penggunaan
bias haruslah masuk akal. Keadaan-keadaan semacam itu dalam pengetahuan peninjau yang
rasional (fair-minded observer) mencakupi tradisi integritas dan imparsialitas yang diucapkan
seorang hakim secara sungguh-sungguh sebelum menjalankan tugasnya, sehingga pada saat
menjalankan tugas dan menggunakan kekuasaannya, ia bertindak secara ‘terhormat, jujur,
imparsial dan berhati-hati.’ [D]engan menerima jabatan sebagai Dewan Pengawas, Hakim
Odio Benito bertindak dalam kapasitas pribadinya untuk menjalankan mandat Dana untuk
bantuan para Korban Penyiksaan.... Seperti yang tercantum dalam putusan Banding kasus
Furundzija, tuduhan pribadi (personal conviction) dan opini Hakim tidak dengan sendirinya
196
dijadikan dasar kesimpulan mengenai tidak adanya imparsialitas. Sidang Banding telah
menekankan bahwa, perlu ada batasan yang jelas (high threshold) yang harus dicapai untuk
menangkal asumsi imparsialitas, dan sebelum seorang hakim didiskualifikasi, pemahaman
yang rasional atas bias tersebut harus ‘benar-benar nyata’. Alasan batasan yang jelas ini
adalah, sama seperti kenyataan real dari sikap bias hakim dalam proses pengadilan
(administration of justice), hal itu akan menjadi ancaman besar terhadap sikap imparsial dan
penegakan keadilan jika hakim mendiskualifikasikan diri mereka sendiri berdasarkan tuduhan
bias yang tidak berdasar dan tanpa bukti.”
v) Hakim tidak didiskualifikasi dari dengar kesaksian atas dua atau lebih
pengadilan terhadap hal-hal yang di luar rangkaian kejadian yang sama
Penuntut v. Kordic dan Cerkez, Kasus No. IT-95-14/2 (Keputusan Biro), 4 Mei 1998 dan
(Sidang Pengadilan), 21 Mei 1998: “[A]dalah hak dasar semua orang untuk diadili pada
pengadilan yang independen dan imparsial. [P]engadilan dituntun oleh prinsip imparsial dan
melarang adanya bias atau prasangka (prejudice) dan parsialitas. Oleh karena itu, jika keadaan-
keadaan meciptakan prasangka yang masuk akal, maka hal tersebut mungkin dapat dijadikan
alasan untuk diskualifikasi, meskipun faktanya tidak terdapat bias (actual bias) atau prasangka.
Namun ... hal itu tidak menjadikan seorang hakim didiskualifikasi dari kesempatan untuk
mendengarkan kesaksian atas dua atau lebih pengadilan kejahatan yang muncul di luar
rangkaian kejadian yang sama, di mana ia dihadapkan pada bukti yang berkaitan dengan hal-
hal dalam kedua kasus. Seorang Hakim diasumsikan akan bertindak secara imparsial. Sifat
jurisdiksi Pengadilan adalah bahwa kasus sebelumnya tidak dapat dihindarkan tumpang-tindih
(overlap). Di satu sisi, isu dan bukti yang sama seringkali terjadi secara tumpang-tindih, dan di
sisi lain, Pengadilan hanya memiliki Hakim dalam jumlah yang terbatas.”
197
X. PENUNTUTAN (CHARGING), PENDAKWAAN (CONVICTION) DAN
PENGHUKUMAN (SENTENCING)
a) Tuntutan dan Dakwaan Kumulatif
i) Tuntutan kumulatif yang diperbolehkan
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 400: “Tuntutan kumulatif hanya
diperbolehkan dengan pertimbangan bahwa, sebelum dilakukan presentasi dari keseluruhan
bukti, tidak mungkin ditentukan secara tegas soal tuntutan-tuntutan mana yang akan
diarahkan terhadap terdakwa akan dibuktikan. Sidang Pengadilan lebih baik meminta waktu,
setelah masing-masing pihak mempresentasikan bukti-buktinya, untuk mengevaluasi
tuntutan-tuntutan mana saja yang harus dipakai, berdasarkan memadai tidaknya bukti yang
ada Selain itu, tuntutan kumulatif merupakan praktik yang biasa pada Pengadilan ini [ICTY
dan ICTR].”
Naletilic dan Martinovic, 31 Maret 2003, Paragraf 718: “Tuntutan kumulatif diijinkan sesuai
dengan praktik yang dijalankan oleh Pengadilan, jika Sidang Pengadilan dalam posisi
mengevaluasi tuntutan untuk tetap dipertahankan setelah presentasi pelbagai bukti.”
ii) Dakwaan kumulatif didasarkan pada kejahatan yang sama (same conduct);
yang diperbolehkan hanya jika kejahatan tersebut melibatkan unsur materil
yang berbeda
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 405, 412: Sidang Banding mencatat
bahwa “dakwaan berlapis (multiple convictions) pada tindak kejahatan yang sama kadang-kadang
dilakukan, dengan isu-isu ketidakadilan yang potensial terhadap terdakwa pada tahap
penghukuman,” tetapi dinyatakan juga bahwa “alasan keadilan (fairness) bagi terdakwa dan
pertimbangan bahwa hanya kejahatan yang berbeda yang dapat diterapkan dalam dakwaan
berlapis, sehingga kesimpulannya bahwa dakwaan berlapis dilakukan dengan ketentuan
Statuta berbeda tetapi berdasarkan tindakan yang sama diperbolehkan hanya jika tiap-tiap
198
ketentuan statuta yang digunakan mempunyai unsur material berbeda yang tidak ada di
tempat lain. Materi dikatakan berbeda secara materil jika bukti dari sebuah fakta pada satu
kejahatan tidak diperlukan pada kejahatan yang lainnya.”
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 173: “Dengan dasar
pertimbangan keadilan bagi terdakwa, Sidang Banding hanya akan memperbolehkan dakwaan
berlapis pada kasus-kasus, di mana tindak kejahatan yang sama atau transaksi serupa secara
jelas melanggar dua ketentuan (Pasal) yang berbeda pada Statuta. dan masing-masing
ketentuan (Pasal) Statuta tersebut mengharuskan adanya bukti dari fakta lain yang tidak
dimiliki oleh ketentuan yang lainnya.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 718: “Dakwaan berlapis
untuk beberapa tindak kejahatan yang sama diperbolehkan jika tiap kejahatan memiliki unsur
materil yang berbeda, yang mengharuskan adanya bukti dari sebuah fakta pada satu kejahatan
yang tidak diperlukan pada kejahatan yang lain. ... Dalam menentukan apakah sebuah
ketentuan (Pasal) mempunyai unsur materil yang berbeda, maka semua unsur kejahatan
tersebut harus dipertimbangkan, termasuk persyaratan penentu utama (chapeau).”
iii) Apabila kejahatan tidak berbeda secara materil, maka akan didakwa dengan
ketentuan yang lebih khusus (specific provision)
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 413: “Jika pengujian yang dilakukan
untuk memperbolehkan dakwaan berlapis tidak terpenuhi, maka Hakim harus memutuskan
pasal mana yang dijadikan acuan dalam dakwaan. Hal ini harus dilakukan dengan prinsip
bahwa dakwaan harus dilakukan dengan menggunakan pasal yang lebih khusus. Dengan
demikian, jika serangkaian fakta diatur dalam dua ketentuan (pasal), yang salah satunya berisi
unsur materil yang berbeda (materially distinct element), maka dakwaan harus dilakukan dengan
mengacu pada pasal yang berbeda tersebut.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 718: “Dalam peristiwa di
mana pengujian (yang menentukan apakah dilakukan dakwaan berlapis) tidak terpenuhi,
maka Sidang harus merujuk pada ketentuan (pasal) yang lebih khusus.”
199
iv) Pelaksanaan
Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 82: “Pasal 3 mengharuskan adanya hubungan
yang erat antara tindakan terdakwa dengan konflik bersenjata, di mana unsur ini tidak
dipersyaratkan dalam Pasal 5. Di sisi lain, Pasal 5 mensyaratkan adanya bukti yang
menunjukkan bahwa kejahatan yang terjadi merupakan serangan meluas dan sistematik
terhadap warga sipil, di mana unsur tersebut tidak dipersyaratkan pada Pasal 3. Karena itu
setiap pasal tersebut mempunyai unsur yang mewajibkan adanya bukti sebuah fakta yang
tidak dipersyaratkan pada pasal yang lain.”
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 503: “Dakwaan atas kejahatan seperti
yang tercantum pada Pasal 3 dan 5 yang didasarkan pada kejahatan yang sama (same conduct),
diperbolehkan jika masing-masing kejahatan mempunyai unsur materil yang berbeda. Unsur
materil berbeda dari kejahatan yang dipersyaratkan pada Pasal 3 adalah adanya suatu
hubungan yang erat antara tindakan terdakwa dengan konflik bersenjata. Pada Pasal 3 (Article
3 offences) disebutkan bahwa kejahatan tersebut dilakukan dalam konteks serangan meluas dan
sistematik yang ditujukan terhadap warga sipil. [D]akwaan terhadap perlakuan kejam dan
penganiayaan (sesuai dengan Pasal 3 dan 5 yang disebut sebelumnya), yang didasarkan pada
kejahatan yang sama diperbolehkan dan karenanya dakwaan tersebut dapat dimasukkan ke
Pengadilan.”
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 503: “[J]adi jelas bahwa baik kejahatan
dalam pemenjaraan maupun perlakuan tidak manusiawi, sebagaimana tercantum pada Pasal
5, memiliki unsur yang secara materil berbeda dari kejahatan penganiayaan. Penganiayaan
mengharuskan adanya unsur materil yang berbeda yaitu tindakan diskriminatif dan niat
diskriminatif, dan memerlukan ketentuan yang lebih khusus. Dakwaan tersebut dimasukkan
ke Pengadilan untuk kasus penganiayaan, dan bukan untuk pemenjaraan dan tindakan tidak
manusiawi.”
v) Dakwaan kumulatif akan berkonsekuensi pada tambahan penghukuman
Penuntut v. Mucic dkk., Kasus No. IT-96-21 (Sidang Banding), 8 April 2003, Paragraf 25:
“Dapat diterima bahwa dakwaan kumulatif akan berkonsekuensi pada tambahan
200
penghukuman – tidak hanya karena alasan stigmatisasi sosial yang inheren didakwa pada
kejahatan tambahan, namun juga risiko bahwa, berdasarkan hukum Negara yang
mengharuskan adanya penghukuman, pertimbangan terhadap seorang terdakwa untuk
dibebaskan lebih cepat (early release) akan tergantung pada beberapa hal, antara lain jumlah
dan sifat dakwaan yang diajukan. Pembatalan atas dakwaan kumulatif secara pasti akan
menghilangkan penghukuman yang terdapat dalam dakwaan tambahan itu sendiri.”
b) Penghukuman/penalti
i) Instrumen yang mengatur tentang penalti
(1) Statuta ICTY, Pasal 24: Penalti
“1. Hukuman yang dijatuhkan oleh Sidang Pengadilan harus dibatasi pada pemenjaraan.
Dalam menentukan istilah pemenjaraan, Sidang Pengadilan harus mempunyai rujukan
terhadap praktik umum hukuman penjara di pengadilan bekas Negara Yugoslavia.
2. Dalam menjatuhkan hukuman, Sidang Pengadilan harus mempertimbangkan faktor-faktor
semacam itu sebagai daya tarik dari serangan dan dari keadaan-keadaan individual terdakwa.
3. Sebagai tambahan terhadap pemenjaraan, Sidang Pengadilan bisa memerintahkan
pengembalian pelbagai hak milik dan proses yang disyaratkan dalam perbuatan kejahatan,
termasuk paksaan, kepada orang-orang yang memang berhak memilikinya.”
(2) Aturan 101 tentang Hukum Acara dan Pembuktian, ICTY
“(A) Seorang yang didakwa dapat dihukum penjara selama jangka waktu tertentu hingga sisa
hidup si terdakwa.
(B) Dalam memutuskan sebuah perkara, Sidang Pengadilan harus mempertimbangkan faktor-
faktor yang tercantum pada Pasal 24, Paragraf ke-2, Statuta, seperti tersebut berikut ini:
(i) Keadaan yang memberatkan perkara;
201
(ii) Keadaan yang meringankan perkara termasuk kerja sama terdakwa dengan
Penuntut sebelum dan setelah dakwaan;
(iii) Praktik umum tentang hukuman penjara di Pengadilan Negara Bekas Yugoslavia
(iv) Cakupan jangkauan pelbagai hukuman yang diberikan oleh suatu pengadilan
tiap-tiap Negara terhadap si terdakwa untuk tindakan yang sama yang telah
diproses, seperti yang tertera pada Pasal 10, paragraf ke-3, Statuta.
(C) Penghargaan (credit) dapat diberikan kepada terdakwa dalam periode tertentu, jika ada,
selama ia ditahan dalam kurungan karena tunduk pada pengangguhan persidangan atau
penangguhan pengadilan (pending trial) atau banding.”
ii) Pengantar umum
(1) Faktor-faktor penghukuman
Penuntut v. Simic, Kasus No. IT-95-9/2S (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 32:
“Faktor-faktor yang patut dipertimbangkan untuk menentukan penghukuman terhadap
seorang terdakwa, tercantum pada Pasal 24 Statuta dan Aturan 101 (B) dalam Hukum Acara
dan Pembuktian. Pertimbangan tersebut mencakup berat-ringannya perkara, faktor-faktor
yang memberatkan dan meringankann sebagaimana yang selama ini dipraktikkan secara
umum di Pengadilan bekas Negara Yugoslavia.”
(2) Penghukuman yang merefleksikan berat-ringannya kejahatan
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 731: “Hukuman yang dijatuhkan
harus merefleksikan berat ringannya kejahatan yang dilakukan terdakwa. Penentuan atas
berat-ringannya kejahatan, mengharuskan adanya pertimbangan terhadap berbagai kondisi
yang terdapat dalam kejahatan itu sendiri, misalnya bentuk dan tingkat partisipasi terdakwa
dalam melakukan kejahatan. [B]erat ringannya kejahatan merupakan pertimbangan utama
dalam menentukan putusan pengadilan.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 718: “[D]alam
menjatuhkan putusan terhadap sebuah perkara, yang dipertimbangkan adalah berat atau
202
ringannya perkara tersebut. Sidang Banding menyatakan bahwa faktor ini adalah hal yang
penting untuk dipertimbangkan. ‘Pertimbangan atas sejumlah keadaan tertentu dari kasus
tersebut, misalnya bentuk dan tingkat partisipasi terdakwa dalam kejahatan,’ diperlukan untuk
menentukan berat atau ringannya kejahatan itu.”
(3) “Prinsip totalitas”/diskresi dalam menjatuhkan putusan yang global,
bersamaan, berkaitan, atau percampuran antara penghukuman bersamaan
dan berkaitan (concurence and consecutive sentences)
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 428-430: “Jika ... sebuah keputusan
dicapai berdasarkan dakwaan kumulatif atas kejahatan yang sama, Sidang Pengadilan harus
mempertimbangkan dampaknya bahwa hal ini akan diterapkan dalam penghukuman. Di
masa lalu, sebelum ICTY dan ICTR dibentuk, dakwaan untuk kejahatan kumulatif telah
berakibat pada penerapan penghukuman yang berbeda-beda, dan mengharuskan adanya
penghukuman bersamaan. Penjatuhan hukuman secara global, bersamaan atau berkaitan, atau
kombinasi antara bersamaan dan berkaitan merupakan diskresi Sidang Pengadilan. Kriteria
yang diatur berkaitan dengan putusan akhir yang dijatuhkan oleh Pengadilan adalah bahwa
putusan tersebut harus merefleksikan keseluruhan dari kejahatan yang dinyatakan bersalah
(culpable conduct) atau disebut dengan prinsip ‘totalitas’, atau secara umum, putusan tersebut
harus merefleksikan berat-ringannya kejahatan dan (culpability of offender) sehingga lebih adil
dan tepat (appropriate). Penjatuhan putusan harus untuk memastikan bahwa akhir atau jumlah
(berat atau ringannya) hukuman merefleksikan totalitas kejahatan yang dilakukan dan
keseluruhan kesalahan pelaku. Ini dapat dicapai melalui pengenaan satu hukuman untuk
semua kejahatan atau beberapa hukuman dijatuhkan secara bersamaan, berkaitan atau
keduanya. Pertanyaan bagaimana putusan ini dapat dicapai merupakan diskresi Sidang
Pengadilan.”
Mucic dkk., (Sidang Banding), 8 April 2003, Paragraf 46: “[P]utusan yang terkait dengan lebih
dari satu serangan melibatkan lebih dari sekadar suatu penilaian atas periode yang tepat
pemenjaraan untuk masing-masing serangan dan penambahan dari jangka waktu tersebut
yang dihitung secara matematis. Hukuman tunggal yang total, hukuman total yang efektif di
mana beberapa hukuman dijatuhkan, harus merefleksikan totalitas kejahatan yang dilakukan
tersangka, namun putusan tersebut tidak boleh melebihi ketentuan yang mengaturnya. Jika
203
beberapa putusan dilakukan secara bersamaan, hasilnya adalah bahwa hukuman individual
harus kurang dari yang seharusnya mereka dapatkan jika sendirian, atau mereka harus
diperintahkan untuk mendapatkan hukuman secara bersamaan atau bersamaan dalam taraf
tertentu saja.”
(a) Penerapan
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 805-807: “[K]etentuan Aturan 101 dari
Hukum Acara dan Pembuktian tidak mencakupi pemberian hukuman tunggal untuk
beberapa kejahatan. Di sini, kejahatan yang dikaitkan dengan si terdakwa telah digambarkan
dalam beberapa cara yang berbeda-beda tetapi membentuk serangkaian tunggal kejahatan
yang dilakukan di suatu wilayah geografis tertentu selama jangka waktu tertentu, yang
lamanya akan menentukan apakah perbuatan mereka merupakan bagian dari kejahatan
terhadap kemanusiaan, tanpa kemungkinannya membedakan niat jahat dari motif jahat.
[K]ejahatan selain kejahatan penganiayaan yang dituduhkan terhadap terdakwa dilandaskan
sepenuhnya pada fakta yang sama dengan kejahatan yang sama yang berada di bawah jenis
kejahatan lainnya yang terhadapnya si terdakwa telah dihukum. Sidang Pengadilan
menyatakan bahwa ada alasan untuk menjatuhkan hukuman tunggal untuk semua kejahatan
kepada terdakwa di mana ia telah dinyatakan bersalah.”
(4) Tujuan penghukuman
(a) Penjeraan (deterrence) dan ganti rugi (retribution)
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 739: “Penjeraan
(deterrance) dan ganti rugi (retribution) merupakan prinsip utama dalam kaitannya dengan tujuan
penghukuman terhadap seseorang oleh Pengadilan. Retribusi bertujuan untuk menjatuhkan
hukuman setimpal atas kejahatan yang dilakukan terdakwa, sedangkan penjeraan
dimaksudkan agar hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa membuat orang lain takut
untuk melakukan kejahatan tersebut.”
204
Furudzaja, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 288: “Sidang Pengadilan
menerima dua hal penting berkenaan dengan fungsi penghukuman yaitu retribusi (ganti rugi)
dan penjeraan.”
Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 33: “[J]urisprudensi Pengadilan ...
mendukung penjeraan dan retribusi sebagai faktor penghukuman yang utama. Sidang
Pengadilan memahami maksud ini, yaitu pertama; penghukuman harus sesuai dengan berat
atau ringannya perkara dan tingkat tanggung jawab pelaku; kedua, penghukuman tersebut
harus membuat terdakwa jera dan memastikan bahwa orang-orang yang berniat melakukan
kejahatan serupa akan takut, serta untuk menghormati aturan hukum dan mengakui bahaya
dari kejahatan tersebut bagi korban.”
(b) Penjeraan tidak boleh dimaksudkan sebagai tujuan utama
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 185: Sidang Banding menerima
“penjeraan secara umum sebagai sebuah pertimbangan dalam penghukuman terhadap
kejahatan-kejahatan internasional,” tetapi kemudian menyatakan bahwa “faktor [penjeraan]
ini tidak boleh dimaksudkan sebagai pertimbangan utama dalam melakukan penilaian secara
keseluruhan yang akan dijatuhkan kepada seseorang yang didakwa melakukan kejahatan pada
Pengadilan Internasional. Faktor penting lainnya adalah retribusi (ganti rugi). Ganti rugi tidak
boleh dipahami sebagai cara memenuhi keinginan untuk balas dendam tetapi dilakukan
secara wajar sebagai bentuk ekspresi dari keprihatinan masyarakat internasional atas
kekejaman yang dilakukan pelaku kejahatan ini.”
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 801: “[S]alah satu tujuan Pengadilan,
yaitu ‘menghukum’ orang-orang yang bertanggung-jawab atas pelanggaran serius terhadap
hukum humaniter internasional, sehingga pelaku jera untuk melakukan kejahatan dimasa
mendatang. Dengan mempertimbangkan efek jera dari penghukuman, Sidang Banding
menerima ‘penjeraan’ sebagai salah satu pertimbangan yang penting dalam penghukuman
terhadap kejahatan-kejahatan internasional. Sidang Banding menerima bahwa faktor
penjeraan tidak boleh dianggap sebagai pertimbangan utama dalam melakukan penilaian
secara keseluruhan atas penghukuman yang akan dijatuhkan kepada orang-orang yang
didakwa pada Pengadilan Internasional.”
205
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 48: “Sidang
Banding menerima bahwa [prinsip penjeraan] ini dijadikan sebagai sebuah pertimbangan
dalam memutuskan penghukuman. Sidang Banding juga menerima bahwa faktor ini tidak
boleh dianggap sebagai pertimbangan utama dalam seluruh penilaian atas putusan yang akan
dijatuhkan kepada orang-orang yang didakwa di Pengadilan Internasional.”
(c) Rehabilitasi merupakan faktor yang relevan, tapi tidak berperan
penting
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 806: “Baik jurisdiksi nasional,
intrumen HAM regional maupun internasional, menyatakan bahwa rehabilitasi harus
dianggap sebagai salah satu cara yang penting bagi sebuah pengadilan dalam menentukan
putusan (penghukuman), namun rehabilitasi tidak boleh dijadikan sebagai satu-satunya faktor
yang berperan dalam proses pengambilan keputusan oleh Sidang Pengadilan. Sebaliknya
Sidang Banding (dan Sidang Pengadilan ICTY dan ICTR) mengemukakan bahwa terdapat
dua tujuan utama penghukuman terhadap kejahatan yaitu penjeraan dan ganti rugi. Karena
itu, meskipun rehabilitasi – yang berkaitan dengan standard HAM internasional – dianggap
sebagai faktor yang relevan, namun tidak dapat dijadikan sebagai faktor yang meringankan
hukuman (undue weight).”
(d) Pencelaan publik (public reprobation) dan stigmatisasi
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 761-764: “‘[P]engadilan Internasional
menganggap pencelaan publik dan stigmatisasi oleh masyarakat internasional, yang dengan
itu mengekspresikan kebenciannya terhadap kejahatan mengerikan dan mendiskreditkan
pelaku, sebagai salah satu fungsi penting dari putusan penjara atas kejahatan terhadap
kemanusiaan. Alasan tersebut tidak dapat diterapkan hanya pada kejahatan terhadap
kemanusiaan tetapi juga pada kejahatan perang dan pelanggaran serius terhadap hukum
humaniter internasional lainnya.”
(5) Konsistensi penghukuman; penghukuman yang terindividualisasi
206
(a) Konsistensi penghukuman
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 756-757: “Salah satu unsur penting
dalam sistem pengadilan yang rasional dan adil adalah konsistensi dalam menjatuhkan
penghukuman. Hal ini merupakan refleksi penting dalam mewujudkan keadilan yang setara
(equal justice).” “Ini tidak berarti bahwa Sidang Pengadilan terikat dalam menjatuhkan
penghukuman terhadap satu kasus untuk sama dengan kasus yang lain hanya karena kondisi
kedua kasus tersebut serupa. Karena jumlah penghukuman yang dikeluarkan pengadilan
semakin banyak, maka lama-lama akan muncul suatu rentang atau pola penghukuman yang
sama secara umum. Ketika rentang atau pola semacam itu telah muncul, maka Sidang
Pengadilan wajib mempertimbangkan tingkat atau pola penghukuman, tanpa terikat padanya
(being bound by it), untuk memastikan bahwa penghukuman yang dijatuhkan tidak
menyebabkan terjadinya perbedaan yang akan mengakibatkan kurangnya kepercayaan publik
atas integritas penegakan keadilan dari Pengadilan.” “Saat ini, untuk menghindari perbedaan
yang tidak diinginkan, maka Pengadilan dimungkinkan untuk memperhatikan penghukuman-
penghukuman yang telah dikeluarkan olehnya dalam keadaan yang secara umum serupa baik
terhadap serangan maupun penyerangnya yang harus dilakukan secara hati-hati.
[P]erbandingan penghukuman yang dijatuhkan pada kasus lain tidak akan tertangani kecuali
kalau sifat kasus tersebut secara substansial serupa. Namun, pada kasus-kasus yang
mempunyai kondisi faktual serupa dan dakwaan sama, khususnya apabila penghukuman yang
dikeluarkan pada kasus-kasus tersebut merupakan subjek pertimbangan oleh Sidang Banding,
maka perbedaan substansial dalam penghukuman tersebut tidak harus ada kecuali dijustifikasi
oleh keadaan-keadaan terdakwa yang khusus.”
(b) Sebuah penghukuman tidak boleh berubah-ubah (capricious) atau
berlebihan (excessive)
Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 96: “Apakah praktik [penghukuman] oleh
Pengadilan cukup maju mengungkapkan pola, hal itu masih belum jelas. Sebuah
penghukuman tidak boleh berubah-ubah dan berlebihan. Pada prinsipnya, sebuah
penghukuman dapat dikatakan berubah-ubah atau berlebihan jika penghukuman tersebut di
luar proporsi jenis penghukuman dalam keadaan serupa untuk serangan yang sama. Jika
terdapat perbedaan, maka Sidang Banding bisa menegaskan bahwa ada pengingkaran kriteria
207
standard yang dengannya penghukuman penghukuman dinilai, sebagamaimana ditentukan
oleh Statuta dan dijabarkan dalam Aturannya (Hukum Acara dan Pembuktian). Namun sulit
dan tidak dimungkinkan untuk menetapkan aturan yang cepat dan tepat pada titik itu karena
ada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan pada tiap-tiap kasus.”
(c) Penghukuman harus dijatuhkan kepada individu (individualized)
Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 101: “[P]enghukuman yang dijatuhkan oleh
Sidang Pengadilan harus ditujukan kepada individu, dan secara umum perbandingan satu
kasus dengan kasus lain tidak berguna, kecuali bahwa kasus-kasus tersebut saling berkaitan
dalam satu kejahatan yang dilakukan dalam kondisi yang secara substansial sama.”
(d) Tidak boleh diberlakukan “rezim hukuman” (penal regime) dalam
penghukuman
Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 237: “Masih sangat dini untuk
membicarakan ‘penal regime’ dan hubungannya dengan praktik penghukuman yang
dimaksudkannya. Benar bahwa isu tertentu yang terkait dengan penghukuman saat ini telah
ditangani secara mendalam; namun, beberapa di antaranya masih belum ditangani. Pada
tahap ini, tidak mungkin mengidentifikasi sebuah ‘penal regime’. Alih-alih, perhatian harus
diberikan terhadap ketentuan relevan dalam Statuta dan Hukum Acara dan Pembuktian yang
mengatur tentang penghukuman, seperti jurisprudensi yang relevan pada Pengadilan ITCY
dan ICTR, dan tentu saja mempertimbangkan kondisi tiap-tiap kasus.”
(e) Faktor-faktor yang menentukan mengapa penghukuman berbeda
dapat diterapkan untuk jenis kejahatan yang sama
Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 249-250: “Dalam memutuskan untuk
menjatuhkan penghukuman yang berbeda untuk jenis kejahatan yang sama, Sidang
Pengadilan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu seperti kondisi dan sifat kejahatan yang
dilakukan dan tingkat keseriusannya. Jika kejahatan yang tersebut dikategorikan sebagai
kekejaman yang diatur dalam Pasal 3 Statuta, maka secara definitif, kejahatan itu akan
dianggap sebagai kejahatan serius, dan bahkan beberapa di antaranya dianggap lebih serius
208
dari kejahatan lainnya. ‘[P]enghukuman yang dijatuhkan harus merefleksikan berat atau
ringannya kejahatan yang dilakukan terdakwa.’” “Ketentuan mengenai penghukuman pada
Statuta dan Hukum Acara memberikan diskresi bagi Sidang Pengadilan untuk
mempertimbangkan kondisi tiap-tiap kasus dalam menjatuhkan penghukuman atas kasus
tersebut. Penghukuman yang diambil sebelumnya akan menjadi petunjuk jika itu
berhubungan dengan kejahatan yang sama dan dilakukan dalam kondisi yang secara
substansial serupa; sebab jika tidak, Pengadilan hanya akan mengacu pada ketentuan Statuta
dan Hukum Acara secara terbatas.”
(6) Mempertimbangkan praktik penghukuman di bekas negara Yugoslavia:
dapat dijadikan pertimbangan, tapi tidak untuk mengkontrol
penghukuman
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 813, 816: “Pasal 24(1) Statuta
menyatakan bahwa, dalam menentukan penghukuman, ‘Sidang Pengadilan seharusnya
mengacu pada praktik umum tentang penghukuman penjara di pengadilan bekas Negara
Yugoslavia.’ Pertanyaan tentang apakah ‘acuan’ ini bersifat mengikat atau tidak, secara
konsisten dan sama telah ditafsirkan oleh Pengadilan [Tribunal]. Sekarang telah menjadi
praktik pakem bahwa meskipun Sidang Pengadilan harus ‘mempunyai acuan’ dan seharusnya
‘mempertimbangkan’ praktik umum mengenai penghukuman penjara di pengadilan bekas
Negara Yugoslavia, tetapi hal itu tidak mewajibkan Sidang Pengadilan untuk
mempertimbangkan praktik tersebut. Sidang Pengadilan tidak terikat dengan praktik
pengadilan di bekas Negara Yugoslavia untuk menentukan penghukuman yang pantas
dijatuhkan kepada seorang yang didakwa. Prinsip ini dapat diterapkan untuk kejahatan-
kejahatan yang dilakukan baik sebelum dan setelah pendirian Pengadilan ICTY.”
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 12 Juni 2002, Paragraf 377: “[S]idang
Pengadilan harus mempertimbangkan, namun tidak terikat oleh, praktik penghukuman di
bekas Negara Yugoslavia. Ini dilakukan jika praktik penghukuman ini tidak sesuai atau tidak
memadai dalam kaca mata hukum internasional di mana Sidang Pengadilan akan
mempertimbangkan pendekatan oleh mereka sendiri.”
209
Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 116-117: “[P]engadilan akan diberitahu dalam
sebuah kasus yang tepat dengan praktik penghukuman pengadilan atas satu atau lebih
konstituen republik bekas Negara Yugoslavia, di mana terdapat alasan yang meyakinkan
bahwa pertimbangan khusus itu akan digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan ‘praktik
umum [...] di Pengadilan bekas Negara Yugoslavia.’ Kalimat terakhir jelas akan diambil secara
keseluruhan; divergensi individu dari norma/aturan tertentu republik tidak menunjukkan
‘praktik umum’.” “‘[P]raktik umum’ akan memberikan petunjuk yang bersifat umum dan
tidak mengikat Sidang Pengadilan untuk bertindak sama persis seperti yang dilakukan oleh
pengadilan bekas Negara Yugoslavia. Misalnya, meskipun praktik umum berkebalikan,
namun hal tersebut tidak menghalangi dijatuhkannya penghukuman penjara seumur hidup;
lebih tegasnya, praktik itu tidak akan menghilangkan penghukuman penjara 40 tahun.”
Tadic, (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 21: “Jurisprudensi Pengadilan ini secara
konsisten menyatakan bahwa apabila hukum dan praktik pengadilan di bekas Negara
Yugoslavia dijadikan pertimbangan oleh Sidang Pengadilan dalam menjatuhkan
penghukuman, maka kalimat pada Sub-Aturan 101 (A) Hukum Acara, yang menjamin
kekuasaan Sidang Pengadilan untuk memenjarakan terdakwa di sisa hidupnya, menunjukkan
bahwa Sidang Pengadilan memiliki diskresi untuk menjatuhkan penghukuman, di mana
putusannya tidak terikat oleh waktu pemenjaraan maksimal yang diterapkan oleh sistem
nasional.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 759-760: “[S]idang Pengadilan mengacu
pada praktik umum tentang penghukuman penjara di pengadilan bekas Negara Yugoslavia.
Rujukan terhadap praktik di bekas negara Yugoslavia tersebut tidak bersifat mengikat. Jika
memungkinkan, Pengadilan menentukan teks dan praktik hukum yang relevan di bekas
Negara Yugoslavia, tetapi praktik ini tidak mengikat mereka dalam menentukan
penghukuman dan sanksi yang dikenakan pada kejahatan-kejahatan yang terjadi di bawah
jurisdiksinya. [S]idang Pengadilan tidak dibatasi oleh praktik pengadilan di bekas Negara
Yugoslvia dan praktik tersebut akan dijadikan sebagai sumber hukum lain dalam rangka
menentukan penghukuman yang semestinya.”
(a) Praktik penghukuman dalam negeri, selain yang diterapkan oleh
pengadilan di bekas Negara Yugoslavia, tidak dijadikan acuan utama
210
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 758: “Kejahatan yang diadili oleh
Pengadilan mempunyai sifat tertentu, sehingga bantuan atau kegunaan yang didapat dari
pola-pola penghukuman (sentencing patterns) yang berkaitan dengan kejahatan yang secara
mendasar berbeda pada jurisdiksi domestik sangat kecil. Selain itu, Pengadilan merujuk pada
pola-pola penghukuman yang diterapkan oleh pengadilan di bekas Negara Yugoslavia, yang
dikaitkan dengan Pasal 24 pada Statuta Pengadilan.”
(7) Urutan kejahatan
(a) Apakah genosida merupakan kejahatan yang paling serius
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 700: “Dapat ... diajukan argumentasi
[bahwa] genosida merupakan kejahatan yang paling serius karena kejahatan itu mempunyai
niat untuk menghancurkan, baik keseluruhan maupun sebagian, kelompok-kelompok
kebangsaan, etnis, ras atau agama. Dalam konteks ini, meskipun tindakan kejahatan yang
terjadi pada kejahatan genosida tidak berbeda dari kejahatan terhadap kemanusiaan atau
kejahatan terhadap hukum dan tata cara perang, orang yang didakwa karena niat yang lebih
khusus, lebih pantas untuk disalahkan. Namun, ini tidak mengecilkan tugas Sidang
Pengadilan untuk memutuskan hukuman yang setimpal berdasarkan fakta-fakta yang didapat
pada tiap-tiap kasus.”
Bandingkan kasus Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 800-802: “ICTR
memiliki ... hierarki kejahatan yang lebih jelas” di mana ditetapkan bahwa genosida dijadikan
“kejahatan atas kejahatan,” tetapi “... ICTY masih belum mengubah hierarki kejahatan dalam
tahap-tahap penghukuman. [T]ampaknya kasus-hukum ICTY masih belum ditentukan.”
(b) Apakah terdapat perbedaan antara tingkat keseriusan kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang
Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 247: “[T]idak ada perbedaan hukuman
antara kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan perang, dalam kaitan dengn
tindakan yang sama, bahwa kejahatan pertama akan dihukum lebih berat dari kejahatan yang
211
disebut terakhir. Dengan demikian lamanya hukuman yang dijatuhkan pada kasus-kasus
kejahatan terhadap kemanusiaan tidak membatasi lamanya hukuman terhadap kasus-kasus
kejahatan perang.”
Tadic, (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 69: “[D]alam hukum tidak ada perbedaan
antara keseriusan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan perang. Sidang
Pengadilan tidak menemukan dasar perbedaan tersebut dalam Statuta atau Hukum
Pengadilan Internasional, yang terkait dengan hukum kebiasaan internasional. Hukuman
(penalty) yang diberikan pada dua kejahatan tersebut sama, tetapi tingkat kasus tertentu akan
dipertimbangkan dari sifat kasus tersebut.”
Lihat juga kasus Erdemovic, (Sidang Banding), Gabungan Pendapat yang Berbeda (Joint Separate
Opinion) Hakim McDonald dan Hakim Vohrah, 7 Oktober 1997, Paragraf 20-21: “[S]uatu
kejahatan yang dapat dihukum, jika dapat dibuktikan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan, merupakan kejahatan serius dan seharusnya dihukum lebih berat daripada
kejahatan perang.” “Memang hakikatnya adalah bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
sangatlah berbeda dari kejahatan-kejahatan perang. Meskipun hukum yang mengatur
kejahatan perang menekankan tindakan kejahatan dari pelaku terhadap objek yang seharusnya
dilindungi, aturan yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan menekankan
bahwa pelaku melakukan hal itu tidak hanya terarah pada korban yang langsung melainkan
juga terhadap keseluruhan umat manusia.” “Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
sebentuk kejahatan keji (odious crime) dan juga merupakan bagian dari praktik atau kebijakan
meluas dan sistematik. Karena tingkat kekejian dan kedahsyatannya, kejahatan tersebut
memperlihatkan serangan sadis terhadap martabat manusia, melukai rasa kemanusiaan.
Sebagai akibatnya, kejahatan tersebut berdampak atau akan berdampak, pada setiap dan
seluruh umat manusia apa pun kebangsaan, etnis maupun tempat mereka berada.” “Aspek
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai sesuatu yang melukai kepentingan lebih luas
daripada sekadar korban yang langsung dan karena itu juga sebagai kejahatan yang sifatnya
lebih serius ketimbang kejahatan perang ditunjukkan oleh elemen-elemen intrinsiknya, yaitu
elemen serangan dari kejahatan terhadap kemanusiaan.”
212
(c) Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa kejahatan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa harus dihukum lebih berat dari
kejahatan yang tidak menghilangkan nyawa
Furundzija, (Sidang Banding), 21 Juli 2000, Paragraf 246: Sidang Banding mempertimbangkan
bahwa pandangan yang menyatakan bahwa “kejahatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa
dihukum lebih berat dari kejahatan yang tidak mengakibatkan hilangnya nyawa” “dianggap
sebagai pandangan yang kaku dan mekanistik.”
Tapi lihat juga kasus Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 732: Berkenaan
dengan tanggung jawab komando, “kegagalan atasan untuk mencegah dan menghukum
pelaku pembunuhan atau penyiksaan yang dilakukan oleh bawahannya harus dilihat sebagai
kejahatan yang lebih serius daripada misalnya, kegagalan atasan untuk mencegah atau
menghukum tindakan penjarahan (plunder).”
(8) Penghukuman dapat lebih lama jika terjadi kesalahan kasat mata
(discernible error)
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 187: Sidang Banding “tidak boleh
mengintervensi diskresi Sidang Pengadilan dalam hal penghukuman yang dikeluarkan kecuali
terjadi ‘kesalahan yang kasat mata’ (discernible error).” Sidang Banding menyatakan bahwa
“terjadi kesalahan kasat mata dalam diskresi Sidang Pengadilan pada saat menjatuhkan
penghukuman” dan “[k]esalahan tersebut yaitu memberikan keringanan hukuman (insufficient
weight) atas kejahatan pihak banding (appellant) dan gagal memposisikan diri dan memakai
kewenangannya sebagai komandan, sebagai sosok yang mempunyai pengaruh, dalam kaitan
dengan tanggung-jawabnya sesuai ketentuan Pasal 7(1).”
(9) Masa penangguhan penahanan harus dihitung sebagai masa tahanan
Tadic, (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 38, 75: “Berdasarkan Sub-Aturan 101(D),
terdakwa kasus Banding (Appellant) berhak diperhitungkan waktu penahannya di Republik
Federal Jerman hanya pada masa penangguhan penyerahannya (surrender) kepada Pengadilan
Internasional. Namun, Sidang Banding menyatakan bahwa persidangan-persidangan pidana
213
terhadap Terdakwa Banding di Republik Federal Jerman mengesampingkan hal itu untuk
tindak kejahatan yang dilakukannya dengan alasan bahwa si terdakwa sekarang didakwa di
bawah Pengadilan Internasional. Karena itu, keadilan mensyaratkan dicabutnya pertimbangan
soal masa penahanan si terdakwa di Republik Federal Jerman sebelum adanya pendakwaan
secara resmi oleh Pengadilan Internasional.”
Kordid dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 850: “[S]idang Pengadilan
harus memperhitungkan masa penangguhan penahanan terdakwa. ...”
(10) Harus memerintahkan untuk menjalankan penghukuman pada hari
dijatuhkannya penghukuman tersebut (judgement)
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 850: Sidang Pengadilan
“harus memerintahkan untuk menjalankan penghukuman pada hari dijatuhkannya putusan
tersebut ...”
(11) Pengadilan dapat merekomendasikan penghukuman minimal sebelum
adanya keringanan hukuman (commutation) atau pengurangan
hukuman (sentence reduction)
Kordic dan Cerkez, (Sidang Pengadilan), 26 Februari 2001, Paragraf 850: Sidang Banding
“dapat merekomendasikan penghukuman minimal untuk dijalankan terdakwa sebelum
dipertimbangkannya keringanan hukuman atau pengurangan hukuman.”
(12) Faktor-faktor yang menilai berat-ringannya perkara
(a) Pengantar umum
Penuntut v. Plasvic, Kasus No. IT-00-39&40/1 (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf
52: “Berat ringannya perkara dilihat dari ruang lingkup dan besaran penganiayaan yang
dilakukan secara massif; jumlah yang dibunuh, jumlah orang yang dideportasi dan diasingkan
secara paksa; perlakuan tidak manusiawi terhadap tahanan; dan ruang lingkup pengrusakan
yang dilakukan secara sewenang-wenang atas harta benda dan bangunan-bangunan ibadah.”
214
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 512: “Sidang Pengadilan
mempertimbangkan bahwa dampak kejahatan yang terkait langsung dengan korban tidak
relevan sebagai dasar untuk menetapkan terdakwa sebagai pihak yang bersalah, dan akan
menjadi tidak adil untuk mempertimbangkan dampak tersebut dalam menentukan sebuah
penghukuman. Konsekuensi dari sebuah kejahatan terhadap korban yang secara langsung
terluka, bagaimanapun juga, selalu relevan untuk dipertimbangkan dalam menjatuhkan
penghukuman kepada pelaku. Meskipun konsekuensi tersebut merupakan bagian dari definisi
kejahatan, tetapi hal itu tidak boleh dipandang sebagai sebuah keadaan yang menentukan
dalam menjatuhkan penghukuman; faktor relevan yang menentukan berat ringannya
kejahatan adalah tingkat penderitaan fisik, psikologis dan emosional dalam jangka panjang
yang menimpa korban secara langsung.”
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 703: “[D]engan adanya keadaan di mana
nasib para korban tahanan sangat tergantung pada kebaikan pihak penahan, maka
penderitaan fisik dan psikologis yang dirasakan selama mereka menjadi saksi kejahatan
tersebut, perlakuan dan cara yang diskriminatif, tidak seimbang, menakutkan, atau yang
kejam, yang digunakan dalam melakukan kejahatan, semuanya ini relevan dipakai untuk
menilai berat-ringannya kejahatan. ... Pertimbangan terhadap kondisi-kondisi tersebut
dilakukan dengan ‘mendengarkan aspirasi’ para korban.”
Kvocka dkk., (Sidang Pengadilan), 2 November 2001, Paragraf 702: “[H]al-hal berikut ini
harus dijadikan pertimbangan sebagai faktor-faktor yang relevan dalam menilai berat atau
ringannya suatu kejahatan, yaitu: ... repetisi atau pengulangan dan keberlanjutan kejahatan, ...
ketakutan yang sungguh-sungguh dirasakan saksi bahwa mereka akan menjadi korban
selanjutnya, ... kekerasan seksual yang menimpa perempuan, dan sifat diskriminatif dari
kejahatan tersebut.”
Kunarac, Kovac dan Vokovic (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 352: Sidang Banding
dapat mempertimbangkan “faktor kerentanan korban dalam kaitannya dengan penilaian
terhadap berat atau ringannya suatu kejahatan. Apakah kerentanan korban menjadi satu
unsur dalam kejahatan pemerkosaan, atau tidak, hal itu tidak mempengaruhi pembuktian
tindakan kejahatan, yang dapat dipertimbangkan dalam memutuskan sebuah perkara.”
215
(b) Berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan di bawah ketentuan Pasal
7(3)
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 732: “Penuntutan yang pertama-
tama diajukan adalah bahwa ada dua aspek untuk menilai sifat kejahatan yang dilakukan di
bawah ketentuan Pasal 7(3) Statuta: (1) berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan oleh
bawahan pelaku; dan (2) berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan oleh pelaku sendiri
atas kegagalannya dalam mencegah atau menghukum kejahatan-kejahatan tersebut. Sidang
Banding setuju bahwa dua hal ini harus menjadi bahan pertimbangan. Dari segi praktis,
tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan oleh atasan yang gagal mencegah atau
menghukum pelaku harus dipertimbangkan hingga pada taraf tertentu sebagai kejahatan yang
mendatangkan kegagalan. Kegagalan untuk mencegah atau menghukum tindakan
pembunuhan atau penyiksaan yang dilakukan oleh bawahan harus dianggap lebih berat
daripada – misalnya – kegagalan untuk mencegah atau menghukum tindakan penjarahan.”
(c) Pelaku dalam usaha kejahatan bersama dibandingkan dengan pelaku
utama
Krnojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 77: “Sidang Pengadilan ini berbeda
pandangan dengan Sidang Pengadilan I [kasus Krstic dan Kvocka dkk.] berkenaan dengan
kebutuhan untuk menyesuaikan fakta dari kasus yang khusus ke dalam kategori spesifik
untuk tujuan penghukuman. Contohnya, terdapat keadaan di mana seorang peserta tindakan
kejahatan yang dilakukan bersama-sama akan menerima penghukuman lebih berat dibanding
yang seharusnya diterima oleh pelaku utama. Pelaku yang terlibat dalam perencanaan untuk
penghancuran hidup secara massal, dan memerintahkan yang lainnya untuk menjalankan
rencana tersebut, juga akan dikenakan penghukuman yang lebih berat dibandingkan orang-
orang lain di antara mereka yang melakukan pembunuhan (actual killing).”
(13) Penghukuman harus merefleksikan peran signifikan pihak pelaku
Tadic, (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 55: “[K]eputusan Pengadilan, pada saat
mempertimbangkan latar-belakang jurisprudensi Pengadilan Internasional dan Pengadilan
216
Pidana Internasional untuk Rwanda, gagal mempertimbangkan penghukuman yang tepat
dalam merefleksikan peran signifikan pihak pelaku dalam konteks yang lebih luas pada
konflik di bekas Negara Yugoslavia.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 744: “[P]enghukuman
yang dijatuhkan harus merefleksikan signifikansi peran terdakwa dalam konteks konflik yang
terjadi di bekas Negara Yugoslavia. Namun, dalam mengambil penghukuman dalam kasus
ini, Pengadilan menafsirkan bahwa meskipun posisi terdakwa dalam seluruh hierarki di bekas
Negara Yugoslavia adalah kecil, tetapi tidak berarti bahwa penghukuman yang dijatuhkan
pengadilan juga secara otomatis kecil atau rendah. Oleh sebab itu, dalam konteks ini berat
atau ringannya sebuah kejahatan harus direfleksikan dari penghukuman yang dikeluarkan oleh
Pengadilan.”
(14) Bahaya ganda terhadap penghukuman
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 190: Dalam menjatuhkan sebuah
penghukuman revisi (a revised sentence), Sidang Banding mempertimbangkan unsur bahaya
ganda “di mana terdakwa harusnya sudah mendapatkan putusan penghukuman dua kali
untuk tindakan yang sama, yang menderita kecemasan dan ketakutan sebagai akibat dari hal
tersebut, dan juga karena ia telah ditahan untuk kedua kalinya setelah periode pelepasan
dalam 9 bulan. Jika penghukumannya tidak disebabkan oleh faktor-faktor tersebut, maka
penghukumannya seharusnya lebih lama.”
(15) Diskresi untuk menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup
Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, paragraf 100: “[H]ukuman penjara seumur hidup
merupakan diskresi Sidang Pengadilan. Pengadilan mempunyai diskresi yang luas untuk
mempertimbangkan faktor-faktor apa saja yang memberatkan dan faktor-faktor apa saja yang
meringankan, yang keduanya diperlukan dalam menjatuhkan sebuah penghukuman
bersangkutan.”
iii) Faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan
217
(1) Pengantar umum
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 742: “[P]engadilan harus
mempertimbangkan kondisi terdakwa, misalnya faktor-faktor yang memberatkan dan
meringankan. Sidang Banding telah menyatakan bahwa apabila faktor-faktor yang
memberatkan dan meringkankan yang dijadikan pertimbangan dalam memutuskan perkara
belum didefinisikan oleh Statuta dan Hukum Acara, maka Pengadilan mempunyai diskresi
dalam menentukan faktor-faktor tersebut. Pengadilan berkewajiban untuk
mempertimbangkan kondisi yang memberatkan dalam memutus sebuah perkara, tapi
keringanan hukuman juga menjadi diskresi mereka.”
(2) Beban pembuktian
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 763: “[H]anya kasus-kasus yang
telah dibuktikan secara benar yang akan dijadikan subjek bagi putusan perkara atau dijadikan
pertimbangan dalam putusan kasus tersebut.”
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 847: “[K]eadilan
mengharuskan Penuntut Umum untuk membuktikan faktor-faktor memberatkan yang tidak
diragukan, dan Pembela (Defence) harus membuktikan faktor-faktor yang meringankan dalam
situasi yang seimbang.”
Simic, (Sidang Banding), 17 Oktober 2002, Paragraf 40: “Faktor-faktor yang meringankan
hanya perlu dibuktikan pada dengan mempertimbangkan keseimbangan probabilitas dan dan
tidak boleh meragukan.”
(3) Faktor-faktor yang memberatkan
(a) Posisi terdakwa
Tadic, (Sidang Banding), 26 Januari 2000, Paragraf 55-56: Sidang Banding menyatakan bahwa,
pada saat penghukuman dijatuhkan, Sidang Pengadilan harus “mempertimbangkan bahwa
penghukuman yang dijatuhkan benar-benar merefleksikan peran yang signifikan dari
218
Appealant (Terdakwa Banding) dalam konteks konflik secara luas di bekas Negara
Yugoslavia.” “Meskipun tindak kejahatan yang menjadi dasar tuntutan terhadap mana si
terdakwa kini diajukan sangatlah kejam, namun peringkatnya dalam struktur komando, jika
dibandingkan dengan atasannya, misalnya komandannya, atau orang yang paling menentukan
strategi kejahatan pembersihan etnis, rendah.”
Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 57: “Sidang Pengadilan menerima
bahwa posisi terdakwa sebagai atasan merupakan faktor yang memberatkan dalam kasus ini.
Terdakwa memang tidak berada dalam peringkat yang paling atas pada sturktur
kepemimpinan (komando), di mana jabatan tersebut diduduki oleh orang lain. Dia tidak
menyusun rencana yang menyebabkan kejahatan ini dilakukan, dan perannya dalam eksekusi
kejahatan lebih rendah dari lainnya. Namun, Mrs. Plavsic saat itu menjabat sebagai Presiden,
yaitu badan sipil tertinggi, selama kampanye berlangsung dan mendorong serta mendukung
rencana tersebut melalui keterlibatannya di badan Kepresidenan dan juga melalui pernyataan-
pernyataan yang dikeluarkannya.”
Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 67: “[M]eskipun [Milan Simic] tidak
didakwa sebagai seorang atasan, namun posisi kewenangannya tetap relevan untuk dianggap
sebagai faktor yang memberatkan baginya. Mempertimbangkan posisinya, keterlibatan Milan
Sivic dalam penyiksaan para tahanan ... mesti telah meninggalkan kesan pada mereka yang
hadir bersamanya di sekolah dasar pada saat itu bahwa jenis kejahatan ini diijinkan, atau
setidaknya, diperbolehkan.”
Penuntut v. Sikirina dkk., Kasus No. IT-95-8 (Sidang Pengadilan), 13 November 2001,
Paragraf 138-139: “Dusko Sikirica telah mengakui dirinya sebagai ‘Komandan Keamanan’ di
Kamp Keraterm, dan karena posisinya itu, ia mempunyai ‘tugas yang secara teknis mencegah
masuknya orang-orang dari luar ke kamp tersebut.’” “Kegagalan Dusko Sikirica dalam
kewajibannya untuk mencegah orang-orang dari luar masuk ke kamp dan melakukan
kekerasan terhadap tahanan merupakan faktor yang memberatkan.”
Sikirica dkk., (Sidang Pengadilan), 13 November 2001, Paragraf 172: “Posisi Damir Dosen
sebagai pemimpin pengganti (shift leader) dianggap sebagai faktor memberatkan dalam kasus
ini. Dia berada dalam posisi berkewenangan yang dilanggarnya sendiri; ia mengijinkan
219
dilakukannya penganiayaan dan menutupi kekerasan terhadap orang-orang yang seharusnya ia
lindungi.”
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 709: Pejabat militer atau politisi yang
menduduki posisi tinggi tidak dengan sendirinya akan dijatuhi penghukuman lebih berat.
Tetapi seseorang yang melanggar atau menyalahgunakan kekuasaannya, layak dihukum lebih
berat daripada orang-orang yang menjalankan perintahnya. Konsekuensi atas tindakan
seseorang akan berdampak lebih serius jika ia berada pada posisi sebagai pimpinan militer
atau pada posisi tinggi dalam hierarki politik dan menggunakan posisinya untuk melakukan
kejahatan.”
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, paragraf 863: “[T]anggung
jawab pidana dari orang-orang yang memimpin lebih besar dari pengikutnya.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 778: “[D]apat dipastikan bahwa posisi
komandan dapat menyebabkan hukuman yang dijatuhkan kepadanya akan lebih tinggi.”
“Posisi komandan” diklasifikasi sebagai “faktor yang memberatkan.” “Posisi komandan
harus ... secara sistematik menaikkan hukuman dalam putusan, atau setidaknya membuat
Pengadilan mengurangi tuntutan terhadap keadaan-keadaan yang meringankan, terlepas dari
soal bentuk keikutsertaannya dalam tindak kejahatan.”
(b) Partisipasi aktif dan langsung
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 708: “Partisipasi seseorang secara
langsung dalam suatu tindak kejahatan seperti yang diatur pada Pasal 7(1), jika dikaitkan
dengan posisinya sebagai pejabat tinggi dalam rantai komando, maka partisipasinya tersebut
dapat dianggap sebagai faktor yang memberatkan baginya. [K]edua Pengadilan telah
menyatakan bahwa ada tiga jenis partisipasi langsung yaitu, ‘merencanakan, memerintah dan
menghasut’, dan ketiganya merupakan faktor yang memberatkan. Ketiga faktor ini terdapat
dalam kasus Genosida. Karena terdakwa dapat melakukan genosida tanpa bantuan dan
kerjasama pihak dari lain, terutama jika ia sebagai agen tunggal kejahatan genosida memiliki
niat diskriminatif, maka ia dapat dianggap berbeda dari komandan bersenjata atau seorang
220
Presiden dari suatu Negara yang memiliki sumber daya militer (pasukan) atau warga bangsa
yang menjalankan upaya genosida tersebut.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 790-791: “Partisipasi aktif dan langsung
dalam kejahatan berarti bahwa terdakwa melakukan sendiri kejahatan-kejahatan yang
didakwakan kepadanya. Partisipasi langsung dalam kejahatan dianggap sebagai faktor yang
memberatkan yang akan lebih sering ditujukan kepada pelaku daripada terhadap komandan.”
“[P]osisi komando dianggap sebagai faktor yang lebih memberatkan daripada partisipasi
langsung.”
(c) Peran sebagai bagian dari pelaku (fellow-perpetrator)
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 281: “[P]eran terdakwa dalam
penyiksaan adalah sebagai bagian dari pelaku kejahatan (fellow-perpetrator). Tugasnya adalah
menginterogasi Saksi A di sebuah ruang besar dan di bagian dapur, di mana ia juga
menginterogasi Saksi D, dan kemudian keduanya disiksa oleh terdakwa B. Dalam situasi
seperti ini, fellow perpetrator berperan sebagai orang yang secara langsung menyakiti dan
menyiksa korban.”
(d) Niat atau pola pikir yang diskriminatif
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 277-278: “[S]ebuah niat atau
pola pikir diskriminatif menjadi hal yang serius dalam kejahatan, tetapi hal itu mungkin tidak
menjadi faktor yang meningkatkan kejahatan. Sebuah diskriminasi niat dapat dianggap
sebagai faktor yang memberatkan, di mana niat tersebut bukan merupakan salah satu elemen
dari kejahatan. ... Keberadaan state of mind (niat) relevan dengan penghukuman yang akan
dijatuhkan baik sebagai bagian dari kejahatan atau sebagai faktor yang memberatkan, di mana
state of mind (niat) itu bukan merupakan suatu unsur dari kejahatan.”
Todorovic, (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001, Paragraf 57: “[K]ejahatan penganiayaan, yang
dianggap sebagai kejahatan yang berbeda, merupakan sebuah kejahtan yang serius. ... Niat
diskriminatif merupakan salah satu unsur utama dalam kejahatan penganiayaan, dan dalam
kasus kejahatan yang dilakukan Todorovic, aspek tersebut telah dimasukkan sebagai
221
pertimbangan dalam menjatuhkan hukuman. Niat diskriminatif dalam suatu kejahatan harus
dianggap sebagai faktor yang memberatkan.”
(e) Keikutsertaan yang disengaja, suka rela, suka atau entusias dalam
tindak kejahatan
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 792: “Partisipasi secara suka rela dan
disengaja berarti bahwa terdakwa yang berpartisipasi dalam kejahatan benar-benar sadar
dengan fakta yang dihadapinya. Faktor ini bervariasi dalam dalam setiap kasus dan tergantung
dari semangat yang dimiliki terdakwa ketika ia berpartisipasi dalam suatu kejahatan.
Partisipasi atas dasar kesadaran (informed participation) dianggap lebih rendah dari partisipasi
atas keinginan sendiri (partisipasi atas keinginan sendiri). Yang menjadi pertimbangan tidak
hanya kesadaran terdakwa atas tindak kejahatan yang dilakukannya dan konsekuensi yang
ditimbulkan dari kejahatan tersebut dan dari perilaku jahat dari bawahannya, tetapi juga
keinginan dan niat melakukannya. Jika niat tersebut telah ditetapkan, maka faktor yang
memberatkan dalam menentukan hukumannya akan bertambah.”
Penuntut v. Tadic, Kasus No. IT-94-1 (Sidang Pengadilan), 11 November 1999, Paragraf 20:
“Hakim harus mempertimbangkan faktor keinginan Dusko Tadic dalam melakukan kejahatan
dan partisipasinya dalam melakukan serangan.”
(f) Persiapan dan motif
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 711: “Persiapan dalam melakukan
kejahatan dapat ‘menjadi faktor yang memberatkan jika dilakukan secara mencolok’ dan
motif ‘dalam beberapa hal adalah faktor yang diperlukan untuk menentukan hukuman dalam
penghukuman setelah terdakwa mengakui kesalahannya.’ Dalam kejahatan genosida atau
kejahatan perang, meskipun kedua jenis kejahatan trsebut tidak memerlukan unsur persiapan,
namun direncanakan sebelumnya, maka persiapan (premediatation) dapat dianggap sebagai
faktor yang memberatkan. Partisipasi yang dipersiapkan dan dilakukan secara bersemangat
dalam sebuah tindak kejahatan menempati posisi tertinggi dalam hal tingkat keikusertaan.
Dalam menentukan penghukuman yang layak, maka harus dibuat kategori antara orang-orang
yang melibatkan diri mereka sendiri ke dalam aksi kekerasan, yang meskipun dilakukan
222
dengan enggan, dengan orang-orang yang mempunyai inisiatif atau mendorong terjadinya
kekerasan serta terlibat dalam tindak kekerasan tersebut.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 785: “Motif dalam melakukan suatu
kejahatan dapat dianggap sebagai faktor yang memberatkan jika dilakukan secara kasat mata.
Beberapa motif dapat dilihat pada beberapa kasus hukum, seperti kejahatan penganiayaan
atas dasar alasan etnis dan agama, dan keinginan untuk balas dendam serta sadisme. Dalam
kasus ini, Sidang Pengadilan mencatat diskriminasi agama dan etnis yang melatarbelakangi
kekerasan menyebabkan penderitaan korban. Sebagai konsekuensinya, pelanggaran yang
dianalisis sebagai kejahatan penganiayaan dihukum lebih berat dari kejahatan biasa.”
(g) Taraf kekejaman bagaimana kejahatan dilakukan
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 783: “Fakta bahwa kejahatan dilakukan
sangat kejam merupakan suatu kriteria kualitatif yang dapat dikenal dari sifatnya yang keji dan
tidak manusiawi.” “Serangan yang dilakukan secara ganas akan menjadi bahan pertimbangan
penting dalam menentukan penghukuman. Dalam kasus ini, kekejaman kejahatan ditentukan
oleh skala dan perencanaan rinci dari kejahatan yang dilakukan yang berakibat pada
penderitaan yang dengan sengaja ditimpakan pada ... korban tanpa memandang usia, jenis
kelamin atau statusnya.”
(h) Karakter seksual, tingkat kekerasan, dan kadar ketidakmanusiawian
dari tindakan kejahatan, dan kerentanan para korban
Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 63: “Meskipun kekerasan yang
dilakukan oleh Milan Simic terhadap korbannya tidak terjadi dalam periode yang panjang,
namun sikap dan cara yang digunakan Simic menyebabkan korban merasa sangat terhina
(despicable). Kekerasan seksual, kekerasan fisik dan penghinaan dijadikan pertimbangan oleh
hakim sebagai faktor yang memberatkan, karena tindakan-tindakan tersebut menyebabkan
penderitaan mental dan perasaan direndahkan yang dialami korban sangat berat.”
223
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 867: “[K]ejahatan
yang ditujukan secara khusus kepada perempuan dan gadis-gadis yang rentan dan tidak
berdaya juga menjadi faktor yang memberatkan dalam mempertimbangkan penghukuman.”
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 282, 283: “Pemerkosaan dan
serangan seksual serius adalah kejahatan yang sangat menakutkan. Seorang perempuan
dibawa ke dalam tahanan, ditelanjangi dan dibuat tidak berdaya di hadapan orang yang
menginterogasinya, kemudian ia diperlakukan secara kejam dan sangat barbarian. Hal
tersebut menggambarkan sebuah kekejian.”
(i) Status korban, dan dampak kejahatan terhadap mereka
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 786: “Status korban dapat dijadikan
pertimbangan sebagai faktor yang memberatkan bagi terdakwa. [D]alam kasus ini, terdakwa
(Blaskic) melancarkan serangannya kepada warga sipil biasa, dan di antara mereka terdapat
kaum perempuan dan anak-anak. Status korban dalam serangan tersebut merupakan kondisi
yang memberatkan Blaskic.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 787: “Dampak dari penderitaan fisik dan
mental yang dirasakan korban juga dilihat sebagai faktor yang memberatkan dalam
memutuskan perkara.” “[D]alam kasus Blaskic ini, Sidang Pengadilan mencatatat bahwa tidak
hanya penderitaan mental yang dirasakan korban sebagai akibat dari kejahatan dilakukan
secara merata, kekuatan yang tidak imbang, pertempuran yang menakutkan, dan cara-cara
serangan yang dilakukan, seperti ‘baby bombs’, flame-throwers, granat dan booby-trapped lorry, tetapi
juga penderitaan mental dan fisik yang dirasakan korban atas kejadian brutal ini. [B]ersamaan
dengan penderitaan fisik dan mental, penderitaan yang dirasakan korban atas kehilangan
orang-orang yang dicintai, dan kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka masih belum
dapat kembali ke kediamannya,” juga menjadi faktor yang relevan untuk dipertimbangkan
sebagai hal yang memberatkan.
(j) Partisipasi aktif atasan dalam kejahatan yang dilakukan bawahannya
224
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 736-737: “[B]ukti partisipasi aktif
seorang atasan dalam kejahatan yang dilakukan bawahannya, di mana ia gagal mencegah atau
menghukum pelaku (bawahannya) menambah berat kesalahan, dan hal tersebut juga dapat
memberatkan hukumannya. [P]elanggaran aktif yang dilakukan oleh pihak yang berwenang,
yang mungkin mencakupi keterlibatan bawahan dalam tindak kejahatan, bisa menegaskan
adanya pengaruh dari kekuasaan di atasnya: Tindakan terdakwa sebagai pelaksanaan dari
perintah atasannya bisa dilihat sebagai keadaan yang menegaskan atau mengurangi
kesalahannya. Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan yang dilakukan oleh seseorang dalam
posisi kewenangan yang berbeda dapat dianggap sebagai faktor yang memberatkan atau
meringankan dalam kesalahannya. Jelas bahwa penyalahgunaan kekuasaan atau
penyalahgunaan kepercayaan menjadi faktor yang memberatkan dalam menentukan
penghukuman. [T]idak adanya partisipasi aktif bukan merupakan faktor yang meringankan.
Kegagalan mencegah atau menghukum kejahatan merupakan kesalahan yang relevan, dan
kurangnya partisipasi aktif dalam kejahatan tidak mengurangi kesalahan terdakwa.”
(k) Pembuktian tanggung jawab pada Pasal 7(1) dan 7(3)
Mucic dkk., (Sidang Pengadilan), 20 Februari 2001, Paragraf 745: “Apabila tanggung jawab
atas suatu kejahatan didakwa dengan Pasal 7(1) dan Pasal 7(3), dan Sidang Pengadilan
menemukan bahwa, baik tanggung jawab langsung maupun tanggung jawab sebagai seorang
atasan terbukti, maka Sidang Pengadilan harus mempertimbangkan dua jenis tanggung jawab
yang telah terbukti tersebut sebagai fakta yang dipertimbangkan dalam penentuan hukuman
yang akan dijatuhkan. Penjatuhan hukuman bagi terdakwa yang melakukan dua jenis
kejahatan terpisah dalam satu pertimbangan (encompassed in the one count) seperti dalam kasus
ini harus dipertimbangakan secara tepat. Sebaliknya, kasus ini dapat dipertimbangkan dalam
konteks partisipasi langsung, seperti tertera pada Pasal 7(3) ... atau senioritas terdakwa, atau
posisi kewenangan yang dimilikinya yang menuntut tanggung jawab langsung seperti yang
diatur pada Pasal 7(1). Putusan Banding Aleksovski telah mengatur dua hal tersebut sebagai
faktor yang dipertimbangkan Sidang Pengadilan dalam menentukan sebuah penghukuman.”
Naletilic dan Martinovic, (Sidang Pengadilan), 31 Maret 2003, Paragraf 81: “Seperti yang tertera
pada Putusan Banding kasus Celebici dan Aleksovski, bentuk tanggung jawab dapat dianggap
225
sebagai faktor yang memberatkan, karena putusan final yang dijatuhkan merefleksikan
perbuatan bersalah terdakwa secara keseluruhan.”
(l) Usia korban yang masih muda, jumlah korban dan pengulangan
kejahatan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 864, 866: “Usia
korban tertentu yang masih muda pada kejahatan yang dilakukan oleh Dragoljub Kunarac,
dianggap sebagai faktor yang memberatkan. Begitu juga dengan jumlah korban yang lebih
dari satu orang juga dianggap sebagai hal yang memberatkan.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 784: “Jumlah korban dalam beberapa
tindak kejahatan merupakan faktor yang memberatkan dan jumlah korban tersebut
merefleksikan skala kejahatan yang dilakukan. Dengan memperhatikan bahwa kejahatan
tersebut dilakukan secara sistematik, Sidang Pengadilan juga mempertimbangkan bahwa
pengulangan kejahatan merupakan faktor yang memberatkan. Jumlah korban yang jatuh
dalam kasus ini juga harus dipertimbangkan dalam kaitan dengan lamanya waktu kejahatan
itu dilakukan.”
(m) Perpanjangan periode waktu selama kejahatan dilakukan
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Pengadilan), 22 Februari 2001, Paragraf 865: Faktor
memberatkan lain adalah bahwa terdakwa “melakukan kejahatan ini dalam waktu yang
panjang yang dilihat dari jumlah korbannya yang banyak.”
(n) Besaran (magnitude) kejahatan dan skala peran terdakwa
Pentuntut Umum v. Erdemovic, Kasus No. IT-96-22 (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf
15: “[B]esaran kejahatan (ratusan laki-laki sipil Bosnia dibunuh dengan cara ditembak oleh
pasukan bersenjata) dan peran terdakwa dalam kejahatan (menggunakan senjata otomatis
untuk membunuh lebih dari seratus orang dan dilakukannya sendiri) merupakan faktor yang
memberatkan dalam pertimbangan.”
226
(o) Tahanan sipil
Furundzija, (Sidang Pengadilan), 10 Desember 1998, Paragraf 283: “[F]akta bahwa Saksi A
adalah tahanan sipil di markas besar Jokers, (sebuah unit khusus polisi militer pada Dewan
Pertahanan Kroasia (HVO) dan di bawah kekuasaan penuh dari orang yang menangkapnya)
juga merupakan faktor yang memberatkan.”
(p) Karakter terdakwa
Mucic dkk., 20 Februari 2001, Paragraf 788: “Sidang Pengadilan pada Pengadilan ICTY dan
ICTR secara konsisten menggunakan sejumlah bukti untuk dipertimbangkan dalam
menjatuhkan penghukuman. Sidang Banding mencatat bahwa faktor-faktor seperti; sikap
terdakwa selama sidang pengadilan, penegasan utama (ascertain primarily) melalui persepsi
Hakim tentang terdakwa; juga dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan maupun
memberatkan terdakwa dalam menjatuhkan penghukuman. Penyesalan mendalam atas
tindakan yang telah dilakukan, atau sebaliknya terdakwa sama sekali tidak menunjukkan
simpati atau tidak menunjukan sikap penyesalannya, merupakan faktor yang juga relevan
dalam menentukan berat atau ringannya penghukuman bagi terdakwa.”
(q) Sifat kejahatan secara umum
Tadic, (Sidang Pengadilan), 11 November 1999, Paragraf 19: “Setiap kejahatan yang dilakukan
dalam kondisi yang tidak dapat memberatkan kejahatan, dan penderitaan korbannya. Dusko
Tadic menyadari kondisi menakutkan di kamp yang dibangun oleh penguasa Bosnia Serbia di
Opstina Prijedor, dan ia juga sadar terhadap berbagai perlakuan tidak manusiawi terhadap
tahanan di tempat tersebut. ... Keinginan Dusko Tadic terlibat dalam tindakan brutal yang
dilakukan dengan niat melukai serta membahayakan korbannya secara jelas membuktikan
bahwa bahwa ia dinyatakan bersalah dalam perkara ini.”
(r) Terdakwa yang tidak memberikan kesaksian bukan sebuah faktor
yang memberatkan
227
Mucic, dkk., (Sidang Pengadilan), 20 Februari 2001, Paragraf 783: “Baik Statuta maupun
Hukum Acara tidak secara jelas menyatakan bahwa kesimpulan dapat diambil dari gagalnya
seorang terdakwa memberikan bukti di pengadilan. Pada saat yang sama, keduanya juga
menyatakan bahwa kebungkaman tidak boleh ‘dijadikan sebuah pertimbangan dalam
menetapkan apakah terdakwa bersalah atau tidak.’ Jika hal itu telah diniatkan bahwa
konsekuensi berat seperti itu akan terjadi, ... maka sebuah ketentuan dan peringatan harus
dibutuhkan di bawah ketentuan Statuta, yang menentukan pengamanan yang tepat. Karena
itu ... larangan absolut terhadap pertimbangan kebungkaman terdakwa dalam menentukan
apakah ia bersalah atau tidak bersalah, dijamin dalam Statuta dan Hukum Acara. ... Begitu
juga larangan absolut terhadap pertimbangan sepihak dalam menentukan terdakwa bersalah
atau tidak bersalah dijamin dalam Statuta dan Hukum Acara. Berkaitan dengan itu,
pelarangan absolut ini harus diperluas dalam menentukan hukuman yang dijatuhkan kepada
terdakwa.”
Plasvic, Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 64: “[K]eengganan terdakwa untuk
memberikan pembuktian bukan merupakan faktor yang dapat dijadikan pertimbangan dalam
menentukan penghukuman.”
(4) Faktor yang meringankan
(a) Pengantar umum
Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 65: “Sidang Pengadilan mempunyai
diskresi untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang meringankan. Faktor ini akan
bervariasi dan tergantung kondisi kasusnya. Dalam kerja-samanya dengan Penuntut, Sidang
Pengadilan Internasional menemukan bahwa hal-hal berikut ini relevan untuk
dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan, yaitu: terdakwa menyerahkan diri secara
suka rela; adanya pernyataan bersalah; ekspresi penyesalan, mempunyai karakter yang baik
dan tidak pernah diadili sebelumnya; dan perilaku baik sang terdakwa setelah konflik.”
(b) Kerja sama terdakwa
228
Jelisic, (Sidang Banding), 5 Juli 2001, Paragraf 126: “[S]idang Pengadilan mempunyai
kewenangan untuk menentukan apakah kerja sama terdakwa dianggap penting dan menjadi
faktor yang meringankan hukuman.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 774: “Kesungguhan dan keseriusan
terdakwa dalam bekerja-sama dengan Penuntut juga merupakan alasan yang menentukan
apakah hukuman untuk terdakwa berkurang atau tidak. Oleh karena itu, penilaian tentang
kerja sama terdakwa tergantung pada kuantitas dan kualitas informasi yang ia berikan. Lebih
lanjut, Sidang Pengadilan meminta spontanitas dan kesukarelaan dalam kerja sama yang harus
dimintakan tanpa adanya tuntutan balas jasa. Mengingat bahwa kerja sama merupakan syarat
yang patut dihargai, Sidang Pengadilan menggolongkan kerja sama seperti ini sebagai ‘faktor
meringankan yang signifikan’.”
Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 63: “[P]engadilan mencatat bahwa
dalam menentukan apakah kerja sama terdakwa secara substansial penting, tergantung dari
banyaknya dan kualitas informasi yang diberikannya. Kerja sama dengan Penuntut
merupakan faktor yang meringankan terdakwa, namun tidak serta merta mengubah faktor
memberatkan atas kasus yang dihadapinya.”
Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 112: “Sidang Pengadilan menemukan
bahwa sikap Milan Simic di Unit Tahanan dan kerja-samanya secara umum dengan Sidang
Pengadilan dan Penuntut selama proses pengadilan merupakan faktor yang meringankan.”
Todorovic, (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001, Paragraf 86: “[F]akta bahwa seorang terdakwa
telah mendapatkan atau mungkin mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam kesepakatan
dengan Penuntut tidak menghalangi Sidang Pengadilan untuk mempertimbangkan kerja-
samanya yang penting sebagai keadaan yang meringankan dalam mengambil putusan.”
Erdemovic, (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf 16: Sidang Pengadilan menyatakan
bahwa “kerja sama terdakwa tanpa pertanyaan dan bantahan darinya, dan nilai kerjasamanya
dapat meringankan hukumannya.”
229
Erdemovic, (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf 21: “Adalah kepentingan Pengadilan
Pidana Internasional dan merupakan tujuan dari Pengadilan Internasional untuk memberikan
keringanan yang layak bagi terdakwa yang bersikap kooperatif. [Erdemovic] secara jujur
mengakui keterlibatannya dalam pembunuhan massal (massacre) pada saat di mana tidak ada
seorang pun berkuasa untuk menuntutnya dalam kaitan dengan dengan hal itu, dengan
mengetahui bahwa ia besar kemungkinan akan menghadapi penuntutan sebagai akibatnya.
Memahami situasi orang-orang yang menyerahkan diri ke Pengadilan Internasional dan
mengakui kesalahannya menjadi penting untuk mendorong pelaku lain atau pelaku yang tidak
dikenal untuk ikut menyerahkan diri.”
(c) Pengakuan bersalah termasuk penyesalan dan rekonsiliasi
Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 66-81: “Sidang Pengadilan menerima
[pernyataan bersalah Plasvic pada saat Sentencing Hearing], bersama dengan pernyataannya
sebelumnya yang mendukung mosi untuk mengubah penyesalannya, sebagai bentuk
penyesalan untuk dipertimbangkan sebagai bagian dari faktor meringankan yang terkait
dengan pengakuan bersalahnya. Hal ini telah menghemat waktu dan sumber daya Pengadilan
Internasional karena pengakuan bersalahnya dilakukan dihadapan pengadilan, dan terdakwa
berhak untuk mendapat pengurangan hukuman secara wajar. ... Sidang Pengadilan menerima
bahwa pengakuan dan seluruh pernyataan terbuka atas kejahatan serius yang telah dilakukan
menjadi sangat penting pada saat pencarian kebenaran yang terkait dengan kasus pidananya.
Bersamaan dengan penerimaan tanggung jawab terdakwa atas perbuatan bersalahnya, hal
tersebut akan mendorong terjadinya rekonsiliasi. [P]engadilan menyimpulkan bahwa
pernyataan bersalah Ibu Plasvic, dan keinginannya untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya, terlebih karena ia adalah mantan Presiden Republik Sprska, akan mendorong
rekonsiliasi di Bosnia dan Herzegovina secara keseluruhan. Atas pengakuan bersalah
terdakwa, serta ekspresi penyesalan dan dampak positif terhadap proses rekonsiliasi, yang
kesemuanya itu merupakan faktor meringankan, maka Sidang Pengadilan akan memberikan
keringanan secara signifikan kepadanya.”
Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 84-85: “[S]ebuah pengakuan bersalah,
pada dasarnya harus dapat meringankan hukuman bagi terdakwa dari hukuman yang
seharusnya ia terima. Sebuah pengakuan bersalah diakui memiliki kontribusi yang besar
230
terhadap kerja Pengadilan karena pengakuan bersalah tersebut dapat mempersingkat waktu
dalam proses pengadilan. ... Sebuah pernyataan bersalah akan berkontribusi pada tercapainya
keuntungan umum termasuk menghemat sumberdaya untuk investigasi, biaya pengacara dan
biaya persidangan.”
Sikirica dkk., (Sidang Pengadilan), 13 November 2001, Paragraf 150: “[A]pabila terdakwa
mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya sebelum pemrosesan persidangannya
biasanya akan mendapat pengurangan atas pengakuannya, seseorang yang menyatakan
pengakuan bersalahnya kapan saja setelah itu tetap akan mendapat pengurangan hukuman,
meski tidak sebesar yang seharusnya ia dapatkan, apabila ia menyatakan pengakuan
bersalahnya sebelum dimulai persidangan.”
Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 92: “Dalam rangka menerima rasa
penyesalan terdakwa sebagai sebuah faktor yang meringankan, Sidang Pengadilan harus yakin
bahwa ungkapan rasa bersalah tersebut dilakukan dengan tulus.”
Todorovic, (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001, Paragraf 81: “Sebuah pengakuan bersalah selalu
dianggap penting untuk mencari kebenaran yang terkait dengan kejahatan yang dilakukan.”
Erdemovic, (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf 16: “Sebuah pengakuan bersalah harus
diekspresikan secara jujur, dan penting bagi Pengadilan Internasional untuk mendorong para
pelaku yang sudah diketahui maupun pelaku yang belum diketahui. Lebih lanjut, pengakuan
bersalah yang dilakukan secara suka rela yang menghemat waktu Pengadilan Internasional
dan waktu investigasi serta proses peradilan akan sangat dihargai.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 777: “Sebuah pengakuan bersalah, yang
dinyatakan langsung, merupakan faktor yang dapat meringkankan penghukuman.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 774: “[P]erasaan menyesal harus dilihat
tidak hanya dari pernyataan terdakwa tetapi juga dari sikapnya; misalnya secara suka rela
menyerah, atau melakukan pengakuan bersalah.”
(d) Paksaan/tekanan yang melawan hukum (duress)
231
Erdemovic, (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf 17: Duress “hanya akan
dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan.” Sidang Pengadilan menyatakan telah
terjadi duress dalam kasus Erdemovic ini, dan menemukan bahwa “ada risiko terdakwa akan
dibunuh jika ia tidak mematuhi perintah. Ia menyatakan perasaannya, tapi sebenarnya ia tidak
punya pilihan saat itu; ia harus membunuh atau ia dibunuh.”
(e) Partisipati tidak langsung atau terpaksa
Krstic, (Sidang Pengadilan), 2 Agustus 2001, Paragraf 714: “Partisipasi tidak langsung adalah
satu faktor yang dapat meringakan hukuman. Suatu tindakan bantuan terhadap sebuah
kejahatan adalah suatu bentuk keikutsertaan dalam tindak kejahatan yang sering kali kurang
dipertimbangkan secara serius dibandingkan dengan keikutsertaan personal atau tindakan
personal sebagai hal yang utama dan mungkin, dengan memperhatikan keadaannya,
menjamin adanya suatu hukuman yang lebih ringan ketimbang hukuman yang dijatuhkan
pada tindakan yang langsung. Hal yang sama, dalam beberapa kasus, keterlibatan secara
terpaksa dalam sebuah kejahatan juga dianggap sebagai faktor yang meringankan.”
(f) Kelemahan mental untuk bertanggung-jawab (diminished mental
responsibility)
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 590: “[P]rinsip hukum secara umum
yang relevan ... adalah bahwa kelemahan mental untuk bertanggung-jawab tidak relevan
dengan hukuman yang dijatuhkan dan bukan merupakan sebuah pembelaan yang mengarah
ke pengurangan dalam arti sebenarnya. ... Hukum Acara Pasal 67(A)(ii)(b) harus ditafsirkan
sebagai rujukan atas kelemahan mental untuk bertanggung-jawab di mana terdakwa harus
mengungkapkan hal tersebut sebagai sebuah persoalan dalam memperingan hukuman. Ketika
seorang terdakwa meminta pengurangan hukuman, di mana ia bersandar pada kelemahan
mental untuk bertanggung-jawab, ia harus memperhatikan kondisi tersebut atas dasar
keseimbangan kemungkinan – yang lebih mungkin daripada kondisi yang terdapat pada
waktu tindakan tersebut terjadi.”
232
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 282-283: “[I]su kelemahan secara
mental untuk bertanggung-jawab (diminished mental responsibility) hanya relevan untuk
penghukuman yang akan dijatuhkan. Bukan merupakan suatu pembelaan jika hal itu
ditegaskan akan mengarah ke peringanan si terdakwa. ... [S]eorang terdakwa yang menderita
kelemahan mental untuk bertanggung-jawab (diminished mental responsibility) jika terdapat
ketidaksesuaian dalam kapasitasnya untuk mengapresiasi ketidakpatuhan hukum atas atau
sifat tindakannya atau untuk mengkontrol tindakannya demi memenuhi persyaratan hukum.”
(g) Menyerahkan diri secara suka rela (voluntary surrender)
Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 84: “Sidang Pengadilan menerima
bahwa penyerahan diri secara suka rela adalah faktor meringankan dalam mempertimbangkan
hukuman yangdijatuhkan dalam penghukuman.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 776: “Penyerahan diri secara suka rela
diaggap sebagai faktor meringankan dalam menentukan hukuman.”
(h) Tindakan pasca-konflik
Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 94: “Sidang Pengadilan merasa puas
atas peran Ibu Plasvic yang telah membantu dalam memastikan bahwa Perjanjian Dayton
diterima dan dapat dilaksanakan di Republik Srpska. Dengan demikian, ia berkontribusi besar
bagi perdamaian di wilayah tersebut dan berhak untuk mendapatkan keringanan hukuman.
Pengadilan akhirnya memberikan keringanan hukuman yang berarti (signifikan) kepadanya.”
(i) Usia
Plasvic, (Sidang Pengadilan), 27 Februari 2003, Paragraf 95-106: “[S]idang Pengadilan
menyatakan bahwa pertimbangan terhadap usia (lanjut) terdakwa penting untuk dilakukan.
Pertimbangan tersebut dilakukan dengan dua alasan, yaitu pertama, kemunduran fisik yang
terkait dengan tahun-tahun sebelumnya memperberat hukuman untuk orang yang berusia
lebih tua daripada terdakwa yang lebih muda. Kedua, ... seorang pelaku yang berusia lanjut
233
hanya mempunyai harapan hidup lebih sedikit setelah ia dibebaskan. [S]idang Pengadilan
mempertimbangkan usia lanjut terdakwa sebagai faktor yang meringankan.”
Erdemovic, (Sidang Pengadilan), 5 Maret 1998, Paragraf 16: Sidang Pengadilan menyatakan
bahwa kombinasi usia muda [Erdemovic yang berusia 26 tahun] dengan sikap serta karakter
yang dimilikinya menunjukkan bahwa ia adalah orang yang dapat berubah (reformable) dan
bukanlah orang yang membahayakan di lingkungannya.” “Berdasarkan hal tersebut, maka
seharusnya ia diberi kesempatan kedua untuk memulai hidupnya lagi setelah ia dibebaskan,
dan usianya masih sangat muda untuk melakukan kejahatan tersebut.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 778: “Kasus hukum dari dua Pengadilan
Pidana ad hoc tentang Rehabilitasi, mempertimbangkan usia muda terdakwa sebagai faktor
yang meringankan. Usia muda yang dimaksud bervariasi: usia muda menurut pertimbangan
ICTY adalah antara 19-23, sedangkan ICTR menentukan usia muda dari 32 sampai 37.
(j) Kondisi pribadi/keluarga
Kunarac, Kovac dan Vokovic, (Sidang Banding), 12 Juni 2002, Paragraf 362: “Pada prinsipnya,
kondisi keluarga terdakwa dapat dijadikan pertimbangan sebagai sebuah faktor yang
meringankan,” misalnya terdakwa adalah ayah dengan tiga orang anak yang masih kecil.
Vasiljevic, (Sidang Pengadilan), 29 November 2002, Paragraf 300: “Kondisi pribadi Terdakwa
(vasiljevic) yang telah menikah dan mempunyai dua orang anak, juga menjadi pertimbangan
oleh Pengadilan sebagai faktor meringankan.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 779: “[P]erlu untuk mengkaji sejarah
pribadi terdakwa secara sosial, profesional dan dalam keluarga, karena faktor-faktor ini dapat
meringankan penghukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan terdakwa.”
(k) Karakter terdakwa
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, Paragraf 788: “Sidang Pengadilan ICTY dan
ICTR secara konsisten mempertimbangkan karakter terdakwa dalam mengambil
234
penghukuman. Sidang Banding mencatat bahwa faktor-faktor seperti sikap terdakwa selama
persidangan, kesungguhannya dalam mendengarkan pandangan Sidang Pengadilan atas
kasusnya, dijadikan pertimbangan baik sebagai faktor meringankan maupun memberatkan
hukuman. Sikap ini relevan dengan hal-hal yang lain, misalnya penyesalan terdakwa atas
tindakan yang telah dilakukan, atau sebaliknya terdakwa sama sekali tidak bersimpati terhadap
korban.”
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 780: “Sifat dan karakter terdakwa tidak
seluruhnya dapat dijadikan acuan untuk mengetahui alasan dilakukannya kejahatan. Hal
tersebut terutama dipergunakan untuk menilai kemungkinan rehabilitasi bagi terdakwa.
Berkaitan dengan hal tersebut, standard moral yang tinggi juga merupakan indikator karakter
terdakwa.”
(l) Kondisi yang sakit-sakitan: hanya pada kasus tertentu
Simic, (Sidang Pengadilan), 17 Oktober 2002, Paragraf 98: “[B]uruknya kesehatan seorang
terdakwa seharusnya dijadikan pertimbangan dalam penghukuman yang akan dijatuhkan.
Namun pertimbangan terhadap hal tersebut hanya akan dilakukan dalam keadaan tertentu
atau ‘jarang’ dilakukan oleh Sidang Pengadilan sebagai faktor meringankan.”
(m) Bantuan terhadap para tahanan atau korban
Sikirica dkk., (Sidang Pengadilan), 13 November 2001, Paragraf 195: “Pengadilan juga telah
mempertimbangkan bukti bahwa Dosen, pemimpin pengganti (shift leader), di kamp Keraterm
sering menghibur tahanan tertentu atas kondisi tidak menyenangkan (terrible condition) yang
terjadi di kamp tersebut. Sidang Pengadilan mempertimbangkan bahwa tindakan Damir Dosen
tersebut dapat dianggap sebagai faktor yang meringankan.
Sikirica dkk., (Sidang Pengadilan), 13 November 2001, Paragraf 229: “Sidang Pengadilan telah
mendengar dan memiliki banyak bukti yang menjelaskan bahwa Dragan Kolundzija telah
melakukan upaya untuk meringankan kondisi buruk beberapa tahanan di Kamp Keraterm. ...
[A]tas dasar pengakuan dan sikap baiknya terhadap para tahanan, Dragan Kolundzija
seharusnya memperoleh keringanan hukuman secara berarti.”
235
Blaskic, (Sidang Pengadilan), 3 Maret 2000, Paragraf 781: “Indikasi lain yang menunjukkan
bahwa terdakwa mempunyai karakter baik dilihat dari bukti sikapnya dan bantuannya
terhadap para korban.”
(n) Karakter yang lemah bukan merupakan faktor yang meringankan
Krnlojelac, (Sidang Pengadilan), 15 Maret 2002, Paragraf 516: “Sidang Pengadilan tidak ...
mempertimbangkan sebagai alasan yang tepat bahwa terdakwa adalah jenis orang yang
memiliki karakter yang lemah untuk menyandingkan apa yang ia ketahui sebagai perilaku
jahat oleh orang yang terhadapnya ia memiliki kekuasaan dalam KP Dom. Terdakwa secara
suka rela menerima jabatannya, dan meskipun kenyataannya ia mengalami kesulitan dalam
menjalankan kewenangannya, tetapi bahwa hal tersebut tidak dapat mengurangi tanggung
jawab pidananya.”
236
XI. LAIN-LAIN
a) Keringan yang diberikan sebelum keputusan (prior decisions)
i) Sidang Banding harus mengikuti keputusan Pengadilan sebelumnya,
mengutamakan kewajiban utama atau alasan kuat yaitu untuk kepentingan
keadilan
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, Paragraf 104-110: “Hak untuk banding
merupakan bagian dari persyaratan pengadilan yang adil (fair trial),” dan “sebuah aspek dalam
persyaratan pengadilan yang adil adalah hak terdakwa agar kasusnya diperlakukan seperti
kasus lainnya.” “[U]ntuk kepentingan kepastian dan keterdugaan, Sidang Banding harus
mengikuti keputusan sebelumnya, namun mereka mempunyai kebebasan untuk keluar dari
hal-hal itu ke kewajiban utama untuk kepentingan keadilan.” “Prinsip hukum”, atau ratio
decidendi, harus diikuti. Namun, “kewajiban untuk mengikuti prinsip tersebut hanya dapat
dilakukan dalam kasus-kasus yang sama atau sama secara substansial,” misalnya, di mana
“pertanyaan yang diajukan didasarkan pada fakta dalam kasus selanjutnya (subsequent case)
sama seperti pertanyaan yang diputuskan oleh prinsip hukum dalam keputusan sebelumnya.”
Mucic dkk., (Sidang Banding), 20 Februari 2001, paragraf 26: “Mengikuti prinsip yang tersebut
dalam Putusan Banding kasus Aleksovski, Sidang Banding is unable to conclude bahwa keputusan
pada kasus [sic] Tadic dipertimbangkan atas dasar penerapan prinsip hukum yang salah atau
disebut dengan per incuriam ... [K]arena itu Sidang Banding tidak menemukan alasan kuat demi
kepentingan pengadilan untuk bertindak berdasarkan landasan hukum seperti yang
diidentifikasi pada Putusan Banding kasus Tadic.”
ii) Keputusan Sidang Banding terikat dengan Sidang Pengadilan
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, paragraf 112-123: Sidang Banding menyatakan
bahwa “ratio decidendi atas penghukuman diambilnya terikat dengan putusan Sidang
Pengadilan.”
237
(iii) Keputusan Sidang Pengadilan tidak terikat dengan putusan lainnya
Aleksovski, (Sidang Banding), 24 Maret 2000, paragraf 1114: “[K]eputusan Sidang Pengadilan,
yang merupakan badan yang berkoordinasi dengan jurisdiksinya, tidak terikat dengan putusan
lainnya, meski Pengadilan bebas untuk mengikuti keputusan Sidang Pengadilan lain jika
keputusan tersebut dianggap meyakinkan.”
b) Ketidakmasukakalan adalah ujian bagi tinjauan banding terhadap temuan-
temuan faktual Majelis Pengadilan
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, paragraf 64: “[S]tandard yang digunakan dalam
menentukan apakah temuan faktual Sidang Pengadilan harus ditegakkan merupakan suatu
ketidakmasukalan, yaitu, suatu kesimpulan yang tak seorang pun mampu mencapainya. Tugas
untuk mendengar, menilai dan menimbang bukti yang diajukan ke pengadilan merupakan
kewenangan Hakim pada Sidang Pengadilan. Karena itu, Sidang Banding harus memberi rasa
hormat (margin of deference) atas temuan yang dilakukan oleh Sidang Pengadilan. Hanya jika
bukti bukti yang diyakini oleh Sidang Pengadilan tidak bisa diterima dengan alasan apa pun
oleh orang yang berpikiran waras bahwa Pengadilan Banding bisa menggunakan temuannya
untuk menggantikan temuan dari Pengadilan sebelumnya. Penting untuk dicatat bahwa kedua
Hakim, yang keduanya bertindak secara rasional, bisa berbeda pendapat atas dasar bukti yang
sama.”
c) Prinsip “persamaan kesempatan” (equality of arms)
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, paragraf 43, 44, 48, 52: Pasal 20(1) Statuta menyatakan
bahwa “[P]engadilan tingkat Pertama harus memastikan bahwa sebuah persidangan dilakukan
secara adil dan tepat ...” and “persamaan kesempatan (equality of arms) berarti bahwa setiap
pihak harus punya kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya ‘dalam keadaan
yang sama dengan pihak lawan.’” Sidang Banding menyatakan bahwa prinsip “the equality of
arms dalam persidangan yang adil diatur pada Statuta.” “[D]i bawah Statuta Pengadilan
Internasional prinsip persamaan kesempatan harus ditafsirkan secara liberal dari yang
biasanya diterapkan with regard to proceedings di hadapan pengadilan domestik. Prinsip ini berarti
238
bahwa Penuntut dan Pembela harus setara di hadapan Sidang Pengadilan. Oleh karena itu,
Sidang Pengadilan harus menyiapkan seluruh fasilitas yang dijamin Hukum Acara dan Statuta
jika diminta oleh salah satu pihak sebagai alat bantu dalam mempresentasikan kasus tersebut.
Sidang Pengadilan harus waspada dengan kesulitan yang dihadapi oleh berbagai pihak dalam
mendapatkan dan memperoleh akses atas bukti-bukti di wilayah bekas Negara Yugoslavia di
mana beberapa Negara masih belum menerapkan kewajiban hukum mereka untuk bekerja-
sama dengan Pengadilan. Pasal-pasal dalam Statuta dan Hukum Acara dibuat untuk
mengatasi bermacam kesulitan yang dihadapi para pihak, sehingga setiap pihak memiliki
akses yang sama untuk memberikan kesaksian. Pengadilan didorong untuk mengeluarkan
perintah, pemanggilan, sub poena, jaminan dan perintah pemindahan yang diperlukan untuk
tujuan investigasi atau demi persiapan atau pelaksanaan persidangan.”
d) Hak istimewa pengacara-klien tidak meliputi pernyataan saksi pembelaan
sebelumnya: Sidang Pengadilan akan memerintahkan keterbukaan (keterbukaan)
Tadic, (Sidang Banding), 15 Juli 1999, paragraf 325-326: Sidang Banding menyatakan bahwa
hak istimewa pengacara-klien “tidak meliputi pernyataan Saksi Pelaku” dan “Sidang
Pengadilan dapat memerintahkan, tergantung dari situasi kasus yang sedang ditangani,
pengungkapan pernyataan saksi pembela setelah pemeriksaan utama dari saksi.”
e) Uji untuk penerimaan pengakuan bersalah (guilty pleas)
i) Apakah ada dasar fakta yang mencukupi untuk kejahatan dan partisipasti
terdakwa dalam kejahatan tersebut dan apakah unsur-unsur yang dihadirkan
memperkuat kejahatan yang diakui
Jelisic, (Sidang Pengadilan), 14 Desember 1999, paragraf 25: “Sebuah pengakuan bersalah
tidak dengan sendirinya dapat dijadikan dasar yang kuat untuk mendakwa seseorang. Meski
Sidang Pengadilan menggarisbawahi bahwa para pihak berniat untuk menyepakati kejahatan
yang dituntut, masih ada keharusan bagi para Hakim untuk menemukan unsur-unsur kasus
yang memperkuat dakwaan mereka baik secara hukum dan kenyataan bahwa terdakwa benar-
benar bersalah dalam kasus tersebut.”
239
Jelisic, (Sidang Pengadilan ), 14 Desember 1999, paragraf 26-28: Sidang Pengadilan membuat
tiga persyaratan yang harus terpenuhi sebelum sebuah pernyataan bersalah disampaikan, dan
menyatakan bahwa Para Hakim harus juga memverifikasi bahwa “ada dasar-dasar fakta yang
mencukupi untuk kejahatan dan keterlibatan Terdakwa dalam kejahatan tersebut, bisa dengan
dasar indikasi yang independen atau kelemahan setiap material ketidaksepakatan antar para
pihak berkaitan fakta-fakta dari kasus tersebut. Sidang Pengadilan juga berpendapat bahwa
“harus juga diverifikasi apakah unsur-unsur yang dihadirkan dalam guilty plea mencukupi
untuk menetapkan kejahatan yang sedang disidangkan.”
Todorovic, (Sidang Pengadilan), 31 Juli 2001, paragraf 23-26: “[D]engan [Hukum Acara Pasal
62 bis], sebuah pernyataan bersalah tidak dapat dijadikan satu-satunya dasar dakwaan bagi
seorang terdakwa: Sidang Pengadilan juga harus yakin bahwa ‘terdapat dasar faktual yang
cukup untuk membuktikan sebuah kejahatan dan partisipasi terdakwa dalam kejahatan
tersebut.’ [S]idang Pengadilan dimungkinkan untuk bersandar pada baik indikasi independen
maupun pada kurangnya ‘pelbagai ketidaksepakatan materil di antara para pihak tentang fakta
dari kasus tersebut.’”
ii) Pengakuan bersalah harus dilakukan secara suka rela, sadar dan tegas
Erdemovic, (Sidang Banding), Opini Terpisah Bersama (Joint Separate Opinion) oleh Hakim
McDonald dan Hakim Vohrah, 7 Oktober 1997, Paragraf 8: “[P]ra kondisi tertentu harus
dipenuhi sebelum pernyataan bersalah diucapkan. [P]ra-kondisi minimum tersebut adalah
sebagai berikut:
(a) Pengakuan bersalah harus dilakukan secara suka rela. Pengakuan tersebut harus
diucapkan terdakwa dalam keadaan sehat mental dan mengerti konsekuensi
pengakuan bersalah, dan ia tidak dipengaruhi oleh tekanan, bujukan atau janji-
janji;
(b) Pengakuan bersalah harus dilakukan secara sadar, artinya terdakwa harus
memahami sifat hukuman yang akan dijatuhkan padanya dan konsekuensi
pengakuan bersalah yang diucapkan mereka. Terdakwa harus tahu untuk apa ia
melakukan pengakuan bersalahnya;
240
241
(c) Pengakuan bersalah tidak boleh dilakukan secara samar (equivocal). Pengakuan
tersebut tidak boleh diiringi dengan kata-kata yang bertentangan dengan tanggung
jawab pidananya.”
iii) Suka rela
Erdemovic, (Sidang Banding), Opini Terpisah Bersama oleh Hakim McDonald dan Hakim
Vohrah, 7 Oktober 1997, Paragraf 10: “[S]ebuah pernyataan bersalah [harus] dibuat secara
suka rela. Kerelaan terbagi dalam dua unsur. Pertama, seorang terdakwa harus berada dalam
kondisi sehat mental untuk memahami konsekuensi tindakannya apabila ia melakukan
pengakuan bersalah. Kedua, pengakuan bersalah tersebut tidak boleh dilakukan karena ada
ancaman atau tekanan, kecuali mengharapkan keringanan hukuman.”
iv) Sadar
Erdemovic, (Sidang Banding), Opini Terpisah Bersama oleh Hakim McDonald dan Hakim
Vohrah, 7 Oktober 1997, paragraf 14: “[S]emua jurisdiksi menetapkan bahwa seorang
terdakwa yang mengaku salah harus memahami sifat, konsekuensi dan maksud pengakuannya
secara persis.” Dalam kasus yang ditangani saat ini, “pengakuan yang dilakukan secara sadar
menuntut bahwa sang terdakwa banding memahami: (a) sifat penghukuman yang dijatuhkan
kepadanya dan konsekuensi pengakuan bersalahnya secara umum; dan (b) sifat dan
berbedaan antara putusan alternatif dan konsekuensi pengakuan bersalah terhadap seseorang
lebih dibandingkan kepada yang lainnya.”
v) Tegas
Erdemovic, (Sidang Banding), Opini Terpisah Bersama Hakim McDonald dan Hakim Vohrah,
7 Oktober 1997, Paragraf 31: “Apakah sebuah pengakuan bersalah dilakukan secara tegas
tergantung dari pertimbangan, apakah pengakuan tersebut dilakukan dengan kata-kata yang
menggambarkan fakta yang akan menjadi dasar pembelaan dalam hukum.”