gegar budaya dan motivasi...
TRANSCRIPT
12
BAB II
GEGAR BUDAYA DAN MOTIVASI BERPRESTASI
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai dasar teori yang dianggap relevan
dengan permasalahan yang diteliti, yaitu untuk menjelaskan hubungan antara
gegar budaya dengan motivasi berprestasi pada mahasiswa perantau di Jurusan
Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia angkatan 2009 dan 2010.
A. Gegar Budaya
Pada umumnya individu tidak menyadari secara nyata budaya yang
mengatur dan membentuk kepribadian dan perilakunya, karena budaya termasuk
dalam konstruk psikologis. Ketika individu dipisahkan dari budayanya, baik
secara fisik maupun psikis dan menghadapi kondisi yang berbeda atau bertolak-
belakang dengan gambaran dan asumsi yang dipercaya sebelumnya, maka pada
saat itulah individu menjadi sepenuhnya sadar akan sistem kontrol dari budayanya
yang selama ini tersembunyi (Gudykunst dan Kim, 2003).
Memasuki budaya yang berbeda membuat individu menjadi orang asing
dibudaya tersebut, dimana individu dihadapkan pada situasi yang kebiasaan-
kebiasaannya menjadi diragukan. Hal ini dapat menimbulkan keterkejutan dan
stres bahkan depresi. Keterkejutan akan menyebabkan terguncangnya konsep diri
dan identitas kultural individu sehingga mengakibatkan kecemasan. Kondisi
seperti ini akan menyebabkan individu mengalami gangguan mental dan fisik,
setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Reaksi terhadap situasi tersebut oleh
13
Oberg disebut dengan istilah gegar budaya, sehingga dapat dikatakan bahwa
frame pertemuan antar budaya sebagai sumber ketidakpastian dan kecemasan
(Gudykunst dan Kim, 2003).
1. Definisi Gegar Budaya
Istilah gegar budaya pertama kali dikenalkan oleh seorang antropolog
bernama Kalervo Oberg di akhir tahun 1960, yaitu sebagai penyakit yang diderita
oleh individu ketika hidup di luar lingkungan kulturnya yang amat berbeda dari
kulturnya yang lama dalam usaha untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan
barunya tersebut. Istilah ini mengandung pengertian timbulnya rasa frustrasi yang
ditandai dengan adanya perasaan cemas, hilangnya arah dan timbul perasaan
bingung apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan
sesuatu karena ia kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan
sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi seribu satu cara yang ia lakukan dalam
mengendalikan diri sendiri pada saat menghadapi situasi sehari-hari, seperti kapan
berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan pada saat kita bertemu orang,
kapan dan bagaimana menerima tip, kapan membuat pernyataan dengan sungguh-
sungguh dan kapan sebaliknya demikian seterusnya. Dan hal ini terjadi saat
individu tersebut tinggal di lingkungan yang memiliki budaya baru dalam jangka
waktu relatif lama (Oberg dalam Mulyana dan Rakhmat, 2003).
Tanda-tanda yang dimaksud ini dapat berbentuk pola berkomunikasi yang
diungkap dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, pakaian,
kebiasaan-kebiasaan, tradisi atau norma-norma bahkan cara berfikir yang
14
diperoleh sepanjang perjalanan hidup individu tersebut sejak kecil. Bila individu
memasuki suatu budaya asing, maka semua atau hampir semua tanda-tanda ini
akan lenyap. Hal ini terjadi karena semua simbol-simbol tersebut berbeda antara
budaya yang satu dengan yang lainnya, sehingga individu tersebut bagaikan ikan
yang keluar dari air dan ia akan kehilangan pegangan dan shock lalu mengalami
frustasi bahkan dapat menjadi depresi (Oberg dalam Mulyana dan Rakhmat,
2003).
Hal ini juga selaras dengan pernyataan Adler (1975) yang menekankan
bahwa gegar budaya adalah suatu rangkaian reaksi emosional sebagai akibat dari
hilangnya penguatan (reinforcement) yang selama ini diperoleh dari kulturnya
yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru yang terasa tak memiliki arti,
dan karena adanya kesalahpahaman pada pengalaman yang baru dan berbeda.
Perasaan ini mungkin meliputi rasa tak berdaya, mudah tersinggung, perasaan
takut bahwa orang lain akan berbuat curang padanya karena ketidaktahuannya,
perasaan terluka dan perasaan diabaikan oleh orang lain.
Gudykunst dan Kim (2003) mengemukakan bahwa gegar budaya adalah
reaksi-reaksi yang muncul terhadap situasi dimana individu mengalami
keterkejutan dan tekanan karena berada dalam lingkungan yang berbeda, yang
menyebabkan terguncangnya konsep diri, identitas kultural dan menimbulkan
kecemasan temporer yang tidak beralasan.
Dari pernyataan-pernyataan yang telah disebutkan dapat disimpulkan
bahwa gegar budaya adalah kondisi keterkejutan yang menimbulkan stres atau
frustrasi bahkan sampai depresi yang dialami seseorang dalam rangka
15
penyesuaiannya di lingkungan baru yang memiliki kultur berbeda, di mana
kebiasaannya yang lama terasa tidak memiliki arti di lingkungan barunya
sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu yang bersangkutan. Hal ini
tentu juga disebabkan oleh perbandingan jumlah emik yang lebih besar dibanding
jumlah etik di lingkungan yang barunya tersebut.
2. Jenis-jenis Perantau
Dalam membedakan pengunjung asing (perantau) yang mendatangi suatu
lingkungan yang secara kultur berbeda dengan tempat asalnya menurut lamanya ia
tinggal diberikan istilah sojourners (pengunjung sementara) dan imigran (orang
yang mengambil tempat tinggal tetap).
2.1 Sojourners
Menurut Martin and Nakayama (2007), sojourners merupakan pengunjung
yang memilih pergi ke lingkungan yang secara budaya berbeda dalam priode
waktu yang terbatas dengan maksud dan tujuan tertentu, seperti mahasiswa
(pelajar), turis, diplomat, tentara yang sedang ditugaskan ke negeri lain, expatriate
bisnis dan missionaris. Lamanya sojourners tinggal di lingkungan barunya
tersebut secara umum berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun.
2.2 Imigran
Istilah imigran digunakan kepada mereka yang memilih meninggalkan
kampung halamannya dengan maksud untuk menetap di negara lain karena alasan
16
tertentu, seperti adanya reunian keluarga, diskriminasi rasial dan demi
pengembangan karir (Martin and Nakayama, 2007).
Menurut Bochner (dalam Samovar, 2000), karena respek mereka terhadap
pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun
berbeda. Imigran berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat
barunya, sedangkan sojourners berada dalam landasan sementara, meskipun
kesementaraannya bervariasi antara turis dalam beberapa hari sampai mahasiswa
dalam beberapa tahun dan mereka belum tentu berada dalam proses membuat
komitmen tetap pada masyarakat barunya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gegar Budaya
Parrillo (2008) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi gegar
budaya yaitu:
1) Faktor intrapersonal, diantaranya keterampilan komunikasi, pengalaman
dalam setting lintas budaya, trait personal (mandiri atau toleransi), dan
akses ke sumber daya. Karakteristik fisik seperti penampilan, umur,
kesehatan, kemampuan sosialisasi juga mempengaruhi. Penelitian
menunjukkan umur dan jenis kelamin berhubungan dengan gegar budaya.
Individu yang lebih muda cenderung mengalami gegar budaya yang lebih
tinggi dari pada individu yang lebih tua dan wanita lebih mengalami gegar
budaya daripada pria (Kazantzis dalam Pederson, 1995).
17
2) Variasi budaya mempengaruhi transisi dari satu budaya ke budaya lain.
Gegar budaya terjadi lebih cepat jika budaya tersebut semakin berbeda, hal
ini meliputi sosial, perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam
masyarakat dan bahasa. Pederson (1995) menyatakan bahwa semakin beda
antar dua budaya, maka interaksi sosial dengan mahasiswa lokal akan
semakin rendah.
3) Manifestasi sosial politik juga mempengaruhi gegar budaya. Sikap dari
masyarakat setempat dapat menimbulkan prasangka, stereotype dan
intimidasi.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa geger budaya
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal yang ada pada diri individu
yang bersangkutan. Faktor internalnya adalah adanya pengaruh intrapersonal
dalam diri individu sedangkan faktor eksternalnya antara lain adanya variasi antar
budaya yang berbeda dan manifestasi sosial politik yang meliputi prasangka,
stereotype dan intimidasi.
4. Dinamika Munculnya Gegar Budaya
Ada berbagai macam variasi reaksi terhadap gegar budaya dan perbedaan
jangka waktu dalam penyesuaian diri di lingkungan barunya (Oberg dalam
Mulyana dan Rakhmat, 2003), menurut Oberg (1960) biasanya sojourners akan
melewati empat tahapan utama gegar budaya sebagai sebuah proses penyesuaian
18
diri terhadap budaya asing. Keempat tahapan ini juga dapat digambarkan sebagai
kurva U, sehingga disebut juga u-curve:
1) Fase Kegembiraan dan Optimistik (Honeymoon). Fase yang pertama ini
divisualisasikan berada di ujung sebelah kiri dalam kurva U, dan
berlangsung setidaknya dalam jangka waktu beberapa hari hingga
beberapa bulan. Pada fase ini segala sesuatunya tampak baru, menarik dan
mengagumkan. Biasanya penuh dengan rasa gembira, harapan-harapan
dan euforia seperti yang dialami individu pada saat baru memasuki
lingkungan baru. Penduduk asli begitu terasa bersikap sangat santun,
ramah dan sangat menerima terhadap para pendatang baru.
2) Fase Gegar Budaya (Crisis). Fase kedua ini dimulai ketika individu
menyadari akan kenyataan dari ruang lingkup yang berbeda dan beberapa
masalah awal mulai berkembang. Tahap ini merupakan periode
munculnya masa krisis, sehingga kesulitan dalam beradaptasi dan
komunikasi mulai muncul. Individu menemukan dirinya dalam situasi
kekecewaan atau penolakan dari budaya baru sebagai hasil dari
ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, hal ini terutama terjadi
kerena adanya perbedaan dalam bahasa, nilai, keyakinan atau simbol
sosial dari budaya tuan rumah sehingga individu mulai merasa bingung,
cemas dan heran dengan lingkungan yang baru ini. Rasa frustrasi yang
muncul ini dapat membuat individu tersebut gampang tersinggung, tidak
sabar, mudah marah, memiliki sikap bermusuhan atau menolak terhadap
19
budaya tuan rumah, dan bahkan tidak mampu mengerjakan tugas-tugasnya
dengan baik (tidak kompeten).
3) Fase Penyesuaian dan Pemulihan (Adjustment). Apabila seseorang telah
melalui fase kedua dengan baik, maka tahap yang akan ia lalui selanjutnya
adalah fase penyesuaian dan pemulihan (adjustment). Dalam fase ini
individu mulai mengerti elemen kunci dari budaya barunya yang
mencakup nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan, prilaku dan lain
sebagainya, sehingga ia mulai merasa nyaman dan dapat berfungsi secara
efektif di lingkungan barunya tersebut.
4) Fase Penguasaan (Mastery). Fase terakhir ini divisualisasikan berada di
ujung sebelah kanan kurva U. Tahap ini ditandai dengan adanya perasaan
puas, mandiri dan menikmati pada diri individu yang bersangkutan. Pada
tahap ini individu juga telah menyadari bahwa antara budaya yang satu
dengan yang lainnya tidak lebih baik atau lebih buruk dari yang lainnya,
yang terjadi hanya karena pada setiap budaya memiliki ciri berbeda yang
berbeda pula dalam menangani setiap masalah dalam kehidupannya.
Biasanya individu yang telah melewati tahap ini menjadi memiliki
kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda (budaya asalnya
dan budaya yang baru). Namun beberapa hal menyatakan bahwa untuk
dapat hidup dalam 2 budaya tersebut individu akan perlu beradaptasi
kembali dengan budayanya yang lama.
20
Gambar 2.1 U-Curve (Oberg, 1960)
5. Reaksi pada Gegar Budaya
Perubahan dapat menyebabkan stres seperti ketika seseorang memasuki
budaya baru hingga akhirnya ia mengalami gegar budaya. Perubahan dan ketidak-
familiaran yang dialami akan mempengaruhi penyesuaian psikologis
(psychological adjustment) dan keikutsertaan mereka terhadap lingkungan
barunya tersebut. Perasaan bingung dan ketidaknyamanan akan memiliki dampak
negatif bagi keadaan psikis seseorang dan berpotensi memunculkan berbagai
simptom psikologis. Meskipun tidak semua orang akan mengalami simptom-
simptom tersebut, tetapi hampir setiap orang akan mengalami berbagai simptom-
simptom psikologis ini. Simptom yang sering muncul antara lain ialah depresi,
21
kecemasan dan perasaan akan ketidakberdayaan (Mio, 1999). Lebih lanjut lagi
Irwin (2007) menyebutkan bahwa segala bentuk distres mental maupun fisik yang
dialami di lokasi asing disebut sebagai gejala gegar budaya.
Apabila dampak negatif dari gegar budaya ini tidak segera ditangani, maka
individu yang bersangkutan akan terus mengalami kesulitan dalam mempelajari
kultur barunya sehingga dapat mengalami psychological disorientation.
Psychological disorientation merupakan keadaan ketidakmampuan seseorang
untuk menyesuaikan diri pada aspek spatial, temporal dan contextual di
lingkungannya.
Dalam banyak kasus psychological disorientation dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam membuat keputusan dan memecahkan masalah
sehingga menurunkan minat seseorang tersebut untuk mempelajari kultur barunya
(Ferraro, 2009). Individu yang mengalami ini biasanya akan cenderung mencari
perlindungan dengan berkumpul bersama teman-temannya setanah air atau yang
sebudaya dengannya, dan di dalam perkumpulan-perkumpulan seperti ini sering
menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut stereotype pada budaya
tuan rumah dengan cara negatif (Mulyana, 2006).
Guanipa (1998) menambahkan bahwa perasaan tidak nyaman akibat gegar
budaya tidak hanya melulu reaksi emosioanal, tetapi juga meliputi reaksi fisik
yang diderita individu ketika mereka berada di tempat yang berbeda dari tempat
asalnya. Pengalaman ini juga bisa disebabkan bukan saja karena budaya, dan
norma-norma masyarakat yang berbeda, tetapi juga karena iklim, makanan bahkan
teknologi yang berbeda dari tempat asal dengan tempat yang didatanginya.
22
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka secara umum
reaksi-reaksi yang mungkin terjadi terhadap individu yang mengalami gegar
budaya, antara lain:
1) Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan,
kecemasan dan disorientasi yang mengakibatkan munculnya stereotype
negatif terhadap lingkangan barunya.
2) Menjadi lebih khawatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang
dari negara yang lebih maju, biasanya menjadi lebih sensitif terhadap
masalah kebersihan di tempat yang baru. Tidak bersedia makan atau
minum dari makanan setempat, karena ketakutan akan berbagai penyakit
dan sangat kuatir akan kehigienisan makanan dan penduduk setempat.
3) Menderita rasa sakit akibat psikosomatis di berbagai areal tubuh seperti
muncul berbagai alergi, serta gangguan-gangguan kesehatan lainnya,
seperti diare, maag, sakit kepala dll.
4) Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah, rapuh
dan merasa tidak berdaya.
5) Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk
berinteraksi dengan orang lain.
6) Selalu membanding-bandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur asal
secara berlebihan.
7) Kehilangan kemampuan untuk belajar dan bekerja secara efektif.
8) Homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama.
23
9) Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama
ini diyakininya. Misalnya sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah
orang yang cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh,
aneh, tidak menarik dll.
10) Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di
lingkungan barunya (karena rasa cemas ingin menguasai/memahami
lingkungannya) yang justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan.
11) Kehilangan kepercayaan diri.
12) Adanya keinginan untuk terus bergantung kepada orang yang sekultur
dengannya.
Pengalaman gegar budaya ini sebenarnya dianggap hal wajar dan banyak
dialami oleh individu ketika sedang berada di dalam lingkungan yang secara
kultur berbeda dari lingkungan asalnya (Guanipa, 1998). Hanya saja, tingkat
gangguan yang dialami oleh individu tersebut berbeda dari satu orang ke orang
yang lain, tergantung dari beberapa faktor yang ada dalam diri individu tersebut.
Gegar budaya yang dialami oleh para pendatang baru ini merupakan bagian dari
proses adaptasi rutin terhadap stres kultural dan merupakan manifestasi dari
kerinduan terhadap lingkungan yang lebih dapat diprediksi, lebih stabil dan lebih
dapat dimengerti seperti yang dialami sebelumnya.
Selanjutnya menurut Oberg (1960) dalam jurnal ilmiahnya menyimpulkan
paling sedikit ada enam karakteristik negatif pada seseorang yang mengalami
gegar budaya, yaitu:
24
1) Ketegangan karena adanya usaha untuk beradaptasi secara psikis.
2) Perasaan kehilangan dan kekurangan teman, status, profesi dan
kepemilikan.
3) Perasaan tertolak atau menolak terhadap masyarakat dari budaya yang
baru tersebut.
4) Adanya kebingungan mengenai peran, harapan terhadap peran tersebut,
nilai yang dianut, perasaan dan identitas diri.
5) Keterkejutan, kecemasan, bahkan rasa jijik setelah menyadari adanya
perbedaan antara kedua budaya.
6) Adanya perasaan tidak berdaya termasuk perasaan bingung, frustrasi dan
depresi karena ketidakmampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan
yang baru.
6. Gegar Budaya pada Mahasiswa Perantau
Rantauan secara harfiah berasal dari kata perantau yang dalam kamus
besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai orang yang mencari penghidupan,
ilmu dan lain sebagainya di negri lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, 2008).
Sedangkan mahasiswa rantauan dapat diartikan sebagai seorang
mahasiswa yang berasal dari lingkungan yang secara kultur berbeda, lalu ia
mengunjungi lingkungan perkuliahan baru untuk menetap dalam jangka waktu
beberapa tahun yang termotivasi untuk menyelesaikan studinya di lingkungan
barunya tersebut. Mereka dapat dikatagorikan sebagai sojourners yang dimana
25
menurut Bochner (dalam Samovar, 2000), mereka berada dalam landasan rentang
waktu yang sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi hingga beberapa
tahun dan mereka belum tentu berada dalam proses membuat komitmen tetap
pada masyarakat barunya. Sebagai makhluk sosial mereka harus dituntut untuk
mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya yang baru.
Dalam lingkungan yang baru tersebut akan memungkinkan terdapatnya
tuntutan-tuntutan dimana mereka tidak memahami respon yang tepat bagi budaya
yang berlaku dan respon yang mereka berikan tidak menunjukkan hasil yang
dikehendaki dikarenakan adanya bahasa, adat-istiadat, tata cara dalam
berhubungan atau berkomunikasi yang berbeda dan kurang dapat dipahami,
Hal inilah yang menimbulkan gegar budaya bagi mereka. Sehingga dapat
menghasilkan sejumlah reaksi yang berpotensi mengakibatkan masalah. Paling
tidak, gegar budaya dapat menyebabkan perasaan putus asa, lelah dan tidak
nyaman (Smith dalam Samovar, 2010).
Mahasiswa yang mengalami gegar budaya biasanya dialami oleh
mahasiswa perantau yang masih berkatagori mahasiswa baru, dimana mereka
berada diantara transisi budaya yang berbeda dan dituntut untuk harus benar-benar
bisa beradaptasi dengan lingkungan dalam kondisi yang benar-benar baru, hanya
saja tingkat gegar budaya ini berbeda-beda tergantung seberapa bedanya sistim
nilai yang dimilikinya terhadap kebiasaan yang berlaku di lingkungan yang ia
datangi. Bagi sebagian mahasiswa rantauan, masalah transisi ini dapat diatasi
dengan baik setelah beberapa waktu. Mereka mampu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan kebudayaan baru yang ditemuinya, sehingga mereka dapat
26
hidup normal. Adapun sebagian lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan
baik, sehingga mempengaruhi kondisi mentalnya.
Selanjutnya menurut Huang (dalam Furnham & Bochner, 1986),
mengidentifikasikan 4 area masalah yang paling umum dihadapi oleh mahasiswa
perantau, yaitu:
1) Hambatan dalam berkomunikasi, yang disebabkan aspek-aspek linguistik
dan paralinguistik yang kompleks dan unfamiliar.
2) Mengubah patokan-patokan budaya, karena mahasiswa perantau dipaksa
untuk berpindah dari nilai-nilai budaya yang lama ke nilai budaya yang
baru.
3) Mengganti jaringan sosial yang selama ini dekat dengannya seperti
keluarga, teman-teman lama dan tetangga, di tempat baru dimana mereka
dianggap sebagai orang asing.
4) Harus bertanggung jawab kepada banyak pihak, seperti keluarga, pihak
yang mendanai dan penasihat akademis.
Sejumlah penelitian terdahulu telah mengungkapkan adanya dampak
kesulitan penyesuaian diri ini terhadap kesehatan jasmani dan psikis. Munculnya
perasaan kesepian, merasa terasing, kelelahan fisik yang berkelanjutan, frustrasi,
kecemasan yang berlebihan, stres, kecurigaan akan lingkungan sekitar (paranoia),
psikosomatik, kecenderungan untuk menarik diri dan depresi adalah beberapa
akibat yang sering dikeluhkan oleh mahasiswa perantau yang tidak mampu untuk
beradaptasi (Adelegan dan Park, 1985; Lee dkk., 1981; Searle dan Ward, 1990).
27
Klineberg dan Hull (1979), juga mengungkapkan dalam analisisnya,
mereka menemukan bahwa depresi adalah salah satu masalah yang paling sering
dialami oleh mahasiswa perantau. Dan tentu saja depresi dapat mengakibatkan
kualitas hidup mahasiswa tersebut manjadi menurun.
B. Motivasi Berprestasi
1. Definisi Motivasi
Motivasi berasal dari kata-kata “movere” yang berarti dorongan. Dalam
istilah bahasa inggrisnya disebut “motivation”. Motivasi dapat didefinisikan
sebagai suatu usaha karena adanya dorongan (motif) pada individu atau kelompok
agar bertindak melakukan sesuatu. Istilah ini biasanya digunakan untuk
menunjukkan suatu pengertian, yang melibatkan tiga komponen utama, yaitu: (1)
pemberi daya pada tingkah laku manusia (energizing); (2) pemberi arah pada
tingkah laku manusia (directing); (3) bagaimana tingkah laku itu dipertahankan
(sustaining). Daya atau kekuatan tersebut memiliki intensitas tertentu yang sesuai
dengan apa yang ingin dicapai. Apabila sudah terarah pada tujuan, maka tingkah
laku tersebut tetap dipertahankan secara gigih agar tujuan dapat tercapai (Suryana
Sumantri 1995). Sedangkan menurut Robbins (2006) motivasi juga merupakan
akibat dari interaksi individu dengan situasi. Situasi yang menimbulkan suasana
menyenangkan akan cenderung digandrungi, sedangkan situasi yang
menimbulkan suasanan tidak menyenangkan/menjemukan bagi individu akan
cenderung dihindari atau tidak dilakukan.
Sedangkan pengertian motivasi menurut para ahli, antara lain:
28
1) Menurut Sternberg (2001) adalah suatu proses psikologis yang
memberikan suatu dorongan atau keinginan ke arah tujuan dan energi.
2) Menurut Sardiman (1994) mengemukakan “Motive is defined as a
tendency to activity, started by a drive and ended by an adjustment. The
adjustment is said to satisfy the motive”. Motif didefinisikan sebagaisuatu
kecenderungan untuk beraktivitas, dimulai dari dorongan dalam diri
(drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Penyesuaian diri dikatakan
untuk memuaskan motif.
3) Robbins (2006) motivasi itu merupakan suatu proses yang menghasilkan
suatu intensitas, tujuan dan ketekunan dalam mencapai sasaran.
4) Luthans (2002) mengemukakan “motivation is a process that starts with a
psychological deficiency or need a drive that is aimned at a goal or
incentive”. Motivasi merupakan sebuah proses yang muncul karena
adanya keadaan kesenjangan (kekurangan) psikis atau kebutuhan akan
sebuah gerakan yang ditujukan untuk mencapai suatu tujuan (goal) atau
pendorong.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah aktivitas
dalam mengarahkan kekuatan, tenaga dan kesiap-sediaan dalam diri individu
untuk bergerak ke arah tujuan tertentu karena terdapat keadaan psychological
deficiency demi memenuhi kebutuhannya baik disadari ataupun tidak disadari.
Sehingga motivasi juga dipengaruhi oleh suatu sikap yang terdapat dalam
diri orang itu. Sikap yang bisa positif atau negatif itu timbul lantaran adanya
29
persepsi atau pemberian makna terhadap suatu objek atau peristiwa. Persepsi atau
pemberian makna tersebut ditentukan oleh suatu sistem nilai, yakni suatu patokan
untuk berperilaku yang berlaku pada suatu lingkungan tertentu. Sistem nilai yang
tertanam dalam diri seseorang ini dipengaruhi oleh budaya, masyarakat, dan orang
tua.
2. Proses Motivasi
Proses motivasi menurut Luthans (2002), adalah proses interaksi dari tiga
elemen utama dalam diri manusia. Ketiga elemen tersebut adalah:
1) Kebutuhan (need), yaitu suatu keadaan kekurangan (deficiency) dalam diri,
kebutuhan muncul dari adanya ketidak-seimbangan, baik fisiologis
maupun psikologis.
2) Dorongan (drive), yaitu dorongan untuk meredakan keadaan deficiency.
3) Tujuan (goal), merupaka akhir dari proses motivasi, tujuan dapat diartikan
sebagai segala sesuatu yang dapat mengurangi kebutuhan dan dorongan.
Dengan tercapainya tujuan akan meredakan keadaan ketidak-seimbangan
dalam diri individu.
Pada dasarnya setiap manusia tentu saja memiliki berbagai kebutuhan,
yaitu terjadi bila terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dan karena
adanya kebutuhan pada setiap manusia, tentu saja setiap manusia ingin memenuhi
kebutuhannya termasuk kebutuhan berprestasi. Demikian juga dengan anak
30
remaja karena prestasi menjadi hal yang sangat penting bagi remaja (Henderson
dan Dweek dalam Santrock, 2003).
Dengan kata lain motivasi dapat dijadikan sebagai alat penggerak yang
mendorong seseorang untuk berprestasi, sehingga menimbulkan rasa percaya akan
dirinya, melakukan sesutau dengan sebaik-baiknya, lebih cepat dan lebih efisien
dengan hasil akhir yang maksimal bila dibandingkan dengan apa yang telah
dilakukan sebelumnya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Motivasi sebagai proses psikologis dalam diri seseorang sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Gouzaly (2000) mengelompokkan faktor-faktor
yang mempengaruhi motivasi seseorang kedalam dua kelompok diantaranya
yaitu:
1) Faktor ekstern, yaitu: lingkungan kerja yang menyenangkan atau
mendukung, tingkat kompensasi, supervisi yang baik, adanya penghargaan
atas prestasi, status dan tanggung jawab.
2) Faktor intern, yaitu: tingkat kematangan pribadi, tingkat pendidikan,
keinginan dan harapan pribadi, kebutuhan, kelelahan dan kebosanan.
4. Teori Motif Sosial dan Need of Achievment
Telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor yang memunculkan motivasi
adalah adanya proses interaksi dari tiga elemen utama dalam diri manusia. Ketiga
elemen tersebut adalah need, drive dan goal (Luthans, 2002). Karena adanya need
31
of achievement (kebutuhan untuk berprestasi) pada diri seseorang maka orang
tersebut akan melakukan suatu tindakan (drive) untuk memenuhi kebutuhannya
tersebut hingga mencapai target (goal) yang ia inginkan. Sehingga orang tersebut
dapat dikatakan melakukan motivasi untuk berprestasi atau memiliki motivasi
berprestasi.
Motivasi berprestasi merujuk pada dorongan yang menggerakkan
seseorang untuk melakukan keinginan yang dilandasi adanya tujuan pencapaian
prestasi yang baik, dengan demikian motivasi berprestasi dapat mendorong usaha-
usaha pencapaian hasil belajar yang maksimal (Sardiman, 1994). Teori motivasi
yang paling komprehensif mengenai motivasi berprestasi adalah teori yang
dikemukakan oleh David McClelland. McClelland (1961) mengartikan bahwa
motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan
dengan perangkat standar dan berusaha untuk mendapatkan keberhasilan.
Konsep tentang motif berprestasi diperkenalkan dan dipopulerkan pertama
kali oleh David McClelland dari istilah “N-Ach”, yang merupakan singkatan dari
need for achievement. Penelitian McClelland tersebut bertitik tolak dari
pertanyaan, mengapa suatu bangsa lebih maju dari bangsa lainnya, atau mengapa
suatu bangsa dalam kurun waktu tertentu lebih maju dibandingkan dengan kurun
waktu lainnya? Hasil penelitian McClelland menunjukan bahwa kemajuan
tersebut disebabkan karena adanya semacam “virus mental” sebagaimana
dikemukakan oleh Weiner (1966), yaitu…”A certain way of thinking that was
relatively are but which, when it occurred in an individual, tended to make him
behave in a peculiarly energetic way”. Virus mental yang ada pada suatu bangsa
32
atau perorangan itu disebut need for achievement yang lazim disebut “motif
berprestasi”. McClelland berpendapat bahwa motif berprestasilah yang membuat
para industriawan dan pelaku bisnis lainnya menjadi lebih kompetitif bekerja dan
lebih tekun.
Teori motivasi berprestasi ini lahir dari seperangkat teori motif sosial
yang dicetuskan oleh David McClelland (1961). Dalam teori tersebut ia
mengidentifikasikan tiga jenis kebutuhan dasar dalam diri manusia yang diperoleh
dan dikembangkan dari lingkungan, yaitu need of achievment (N-Ach)/motif
berprestasi, need of affiliation (N-Aff)/motif beraffiliasi dan need of power (N-
Power)/motif berkuasa. Motif-motif tersebut akan mempengaruhi tingkah laku
individu dalam interaksinya dengan lingkungan sosial. Tiga kunci motif atau
kebutuhan utama dalam teorinya tersebut adalah:
1) Need for Achievement – yaitu dorongan yang menggerakkan seseorang
menuju suatu keberhasilan dan untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik.
Individu yang memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi adalah mereka
yang menyukai tantangan dalam setiap pekerjaannya. Mereka didorong
oleh hasrat untuk menjadi yang terdepan, untuk menyelesaikan
permasalahan, dan untuk menampilkan performa kerja yang luar biasa.
Kebutuhan berprestasi juga dikaitkan dengan sikap task-oriented, dimana
individu dengan sikap ini lebih menyuikai situasi yang menawarkan risiko
kesulitan yang menengah dan mereka sangat mengharapkan umpan balik
berkaitan dengan pencapaian tujuan mereka. Tingkah laku individu yang
33
didorong oleh kebutuhan berprestasi atau motif berprestasi (N-Ach) ini
adalah:
a) Melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif.
b) Menyukai umpan balik. Individu dengan motif berprestasi
tinggi sangat terbuka terhadap umpan balik, karena melalui
umpan balik, ia dapat mengetahui hal-hal positif dan negatif
dalam dirinya yang harus dipertahankan, ditingkatkan atau
diperbaiki untuk dapat mencapai hasil kerja yang lebih baik
dikemudian hari.
c) Menyukai tantangan, menetapkan tujuann yang cukup sulit,
tetapi masih mungkin dicapai sesuai dengan kemampuannya.
d) Lebih suka memikul tanggung jawab pribadi dalam
menyelesaikan pekerjaan.
2) Need for Power – yaitu kebutuhan untuk mengarahkan dan mengontrol
aktivitas orang lain dan menjadi orang yang berpengaruh. Individu dengan
kebutuhan kekuasaan yang tinggi adalah mereka yang cenderung status-
oriented dan lebih termotivasi oleh kesempatan untuk memperoleh
pengaruh dan prestise dibandingkan untuk memecahkan beberapa masalah
secara pribadi atau untuk mencapai prestasi yang diinginkan. Adapun
tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan akan motif kekuasaan
(N-Power) ini adalah:
34
a) Berusaha menolong orang lain walaupun tidak diminta.
b) Sangat aktif dalam menentukan arah kegiatan organisasi dimana
ia berada.
c) Mengumpulkan Barang-barang atau menjadi anggota suatu
perkumpulan yang dapat mencerminkan prestise. Sangat peka
terhadap struktur pengaruh antar pribadi dalam kelompok atau
organisasi.
3) Need for Affiliation – yaitu keinginan untuk disukai dan diterima oleh
orang lain. Individu yang termotivasi oleh kebutuhan berafiliasi sangat
memperjuangkan persahabatan. Mereka sangat peduli dengan hubungan
interpersonal pada pekerjaan dan lebih menyukai mengerjakan suatu tugas
dengan orang lain. Mereka termotivasi oleh situasi kerja yang kooperatif
dibandingkan dengan situasi kerja yang kompetitif. Adapun tingkah laku
individu yang didorong oleh kebutuhan beraffiliasi (N-Aff) adalah sebagai
berikut:
a) Menyukai interaksi interpersonal.
b) Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam
pekerjaannya, dari pada segi tugas-tugas yang ada pada
pekerjaan itu.
c) Melakukan pekerjaannya lebih efektif apabila bekerja sama
dengan orang lain dalam suasana yang lebih kooperatif.
d) Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain.
e) Lebih suka bersama orang banyak dari pada sendirian.
35
Setiap orang akan mengembangkan N-Ach, N-Aff, atau N-Power
berdasarkan sosialisasi dan pengalaman hidupnya yang berbeda dominasinya
dengan yang lainnya. Pada umumnya hanya satu motif yang paling kuat saja yang
mendominasi tingkah laku seseorang. Dengan demikian, maka perbedaan tingkah
laku pada setiap orang dikarenakan oleh adanya perbedaan dominasi motif dalam
dirinya.
Dalam teori motif sosial ini juga disebutkan bahwa motif dalam diri
manusia terbentuk dari hasil belajar terhadap lingkungannya. Seiring dengan
adanya pengalaman tersebut maka akan muncul perasaaan tertentu, yaitu perasaan
yang manyenangkan atau yang tidak menyenangkan. Situasi atau tingkah laku
tertentu kemudian akan diasosiasikan dengan perasaan tertentu, sehingga untuk
selanjutnya pengasosiasian ini akan memberikan kekuatan atau menjadi motif
bagi individu untuk memunculkan tingkah laku tertentu. Dengan kata lain proses
belajar motif sosial mengikuti prinsip hedonistik.
Tingkah laku yang mengakibatkan sesuatu yang menyenangkan akan
cenderung untuk diulangi, sebaliknya tingkah laku yang mengakibatkan sesuatu
yang tidak menyenangkan cenderung untuk tidak diulangi. Jika seseorang
memperoleh hasil yang menyenangkan sebagai akibat dari usahanya tersebut,
maka ia akan semakin terdorong untuk terus berusaha dengan harapan mengalami
lagi hal yang menyenangkan tersebut, Seperti pengakuan, penghargaan,
kesempatan dan lain-lain. Sebaliknya, jika hanya memperoleh perasaan tidak
menyenangkan dari usahanya, misalnya perasaan lelah, gagal, hasil kerjanya
36
dinilai buruk, dan lain-lain, maka ia tidak akan terdorong untuk berprestasi. Jadi,
dengan semakin orang yakin bahwa dengan berusaha ia akan berhasil memperoleh
prestasi, maka semakin besarlah harapan untuk meraihnya dan semakin besar pula
motif berprestasinya (McClelland, 1961). Demikian juga halnya yang terjadi pada
motif beraffiliasi dan pada motif berkuasa.
Jadi, dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi
adalah suatu konsep yang digunakan untuk menerangkan dorongan yang ada pada
individu guna melakukan suatu aktivitas atau pengorganisasian tujuan dan
perilaku yang berorientasi pada tujuan untuk meningkatkan dan mencapai
keunggulan dan prestasi pribadi dimana ukuran keunggulan dan prestasi ini harus
semaksimal mungkin dan lebih baik dari prestasi yang pernah dicapai sebelumnya
dan prestasi yang dicapai oleh orang lain.
Karena pada umumnya hanya satu motif yang paling kuat saja yang
banyak mendominasi tingkah laku individu maka dalam penelitian ini motif
berafiliasi dan motif power tidak diteliti, peneliti hanya meneliti motivasi
berprestasi.
C. Hubungan Gegar Budaya dengan Motivasi Berprestasi
Muchlas (dalam Wulandari, 2004) menjelaskan bahwa meskipun
seseorang mempunyai kemampuan dan kemauan, tapi mungkin saja ada
penghalang yang bisa menghambat prestasinya. Jadi seseorang yang menunjukkan
prestasi yang tidak baik, maka harus dilihat lingkungan luarnya apakah sudah
cukup membantu, seperti apakah memiliki kelengkapan peralatan dan bahan,
37
kondisi belajar yang favorable, teman kerja yang membantu, peraturan yang
mendukung dan prosedur kerja dengan alokasi waktu yang cukup. Jika semua
tidak ada maka jangan diharapkan muncul suatu prestasi kerja yang minimal
sekalipun. Penghalang disini dapat juga berupa perbedaan kebiasaan, sikap, nilai
yang dirangkum dalam sebuah budaya.
Selanjutnya (Jayasuriya et al., 1992) mengungkapkan bahwa pendidikan
dan pekerjaan dipertimbangkan sebagai faktor-faktor yang dipengaruhi oleh
penyesuaian lintas-budaya (sosio-cultural adjusment). Pendidikan sangat
berhubungan erat dengan penyesuaian diri yang baik dan level stres yang rendah
pada lingkungan belajar. Dan selama pendidikan atau pekerjaan tersebut
dihubungkan dengan sumber lain seperti memiliki pengetahuan tentang budaya
yang spesifik (culture-specific knowledge) dan kemampuan beradaptasi di budaya
tersebut.
Apabila seseorang mengalami kesulitan dalam memahami kultur barunya
di lingkungan belajar yang baru, tentu saja hal ini dapat menyebabkan tekanan
dan akan berdampak negatif apabila keadaan ini tidak diatasi, dalam hal ini ia
akan gagal untuk meyesuaikan dirinya dengan lingkungan barunya dan berpotensi
menjadi depresi hingga memungkinkan berakibat pada kompetensi akademik
siswa tersebut sehingga mempengaruhi motivasi berprestasinya. Dengan kata lain
gegar budaya dapat menjadi suatu penghalang pada seseorang yang ingin meraih
prestasi yang baik. Jadi dalam hal ini penulis berpendapat bahwa gegar budaya
berhubungan dengan motivasi berprestasi individu.
38
Gambar 2.2. Bagan Kerangka Berfikir
D. Penelitian-penelitian Terdahulu
Terdapat penelitian-penelitian terdahulu yang juga mengindikasikan
bahwa terdapat hubungan antara gegar budaya dengan motivasi berprestasi.
Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ediana (2009) mengenai Gegar
Budaya Yang Dialami Mahasiswa Perantau FISIP UAJY Angkatan 2008 Dan
Pengaruhnya Terhadap Motivasi Kuliah di FISIP UAJAY, yang menyimpulkan
bahwa:
1) Sebagian besar mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008
megalami fase optimistic di mana mereka merasa senang dan tertantang
ketika awal berpindah ke Jogja.
2) Sebagian besar mahasiswa, sekitar 83,33%, mengalami gegar budaya.
Mereka mengalami beberapa masalah kultural baik secara fisik maupun
emosional. Dari perasaan tidak nyaman ringan hingga depresi. Dari pola
makan yang tidak teratur hingga mengalami sakit.
Motivasi Berprestasi
Gegar Budaya
Mahasiswa Perantau di Jurusan
Psikologi UPI Angkatan 2009 dan
2010
Apakah terdapat hubungan negatif?
39
3) 16,67 mahasiswa yang tidak mengalami masalah kultural (gegar budaya)
yang berarti berasal dari daerah sekitar Jogja yang tidak terlalu berbeda
budayanya dengan budaya di Jogja. Sehingga, dapat disimpulkan semakin
mirip dan dekat budaya antara budaya asal dengan budaya baru maka
kemungkinan terjadinya gegar budaya pun semakin kecil.
4) Setengah sample dari populasi (52%) yang diamati mengaku terganggu
motivasi belajarnya karena mengalami gegar budaya sementara
setengahnya tidak. Data yang fifti-fifti menunjukan bahwa pengaruh
terhadap motivasi belajar relatif tidak terlalu besar tetapi juga tidak kecil.
Namun, untuk dijadikan catatan, 12 orang yang mengaku tidak terganggu
motivasi kuliahnya mengaku telah beradaptasi dengan budaya di Jogja.
Jadi, ketika mahasiswa mulai meyesuaikan dirinya dengan budaya baru di
Jogja, maka motivasi kuliah pun tidak menjadi persoalan.
5) Gangguan motivasi belajar/kuliah mahasiswa ada beberapa macam. Dari
malas dan bolos kuliah hingga tidak ingin ikut kuliah lagi. Dari tidak bisa
konsentrasi belajar hingga nilai atau IP jeblok.
6) Dari 92% (23 orang) yang mengaku telah beradaptasi dengan budaya baru
di Jogja mengaku tidak lagi mengalami gangguan motivasi belajar/kuliah.
Sementara 8% (2 orang) yang mengaku belum mampu beradaptasi dengan
budaya baru di Jogja mengaku masih mengalami gangguan kuliah dan
merasa tidak nyaman hidup di Jogja.
40
Selanjutnya menurut Ebbin, A.J & Blakenship, E.S. (1986) dalam
penelitiannya yang berjudul A Longitudinal Health Care Study: International
Versus Domestik Students mengemukakan bahwa depresi pada mahasiswa
internasional (asing) yang muncul sebagai hasil akhir dari stres
berhubungan positif dengan kesulitan melakukan penyesuaian diri di
lingkungan barunya.
Dari hasil penelitian terdahulu diatas, penulis berpendapat bahwa terdapat
hubungan antara gegar budaya dengan motivasi berprestasi.