gatraedisi-iv

4
Edisi IV/ GATRA - edisi 12/ Feb 2006 Suplemen ini dipersembahkan The Wahid Institute, bekerja sama dengan The Asia Foundation dan Majalah GATRA. Pembaca dapat menjumpainya setiap bulan, pada pekan terakhir. Kritik dan saran kirim ke [email protected] - www.wahidinstitute.org RUANG dosen jurusan Aqidah Fil- safat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, siang itu dipadati mahasiswa. Mereka antri untuk mengikuti praktikum qira’ah (membaca al-Qur’an, red ). ”Dua tahun terakhir, praktikum qira’ah menjadi kegiatan wajib, terutama bagi mahasiswa semester awal,” kata Presiden DEMA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kaisar Abu Hanifah kepada Subhi Azhari dari the WAHID Institute. Banyak orang prihatin atas menurun- nya kemampuan membaca kitab suci di kalangan mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Padahal dalam rangking keahlian agama, itu adalah kemampuan terendah. ”Mereka harusnya mampu membaca dan memahami literatur-literatur klasik Islam, yang lazim disebut kitab kuning. Ilmu-ilmu penopang seperti nahw, sharf, balaghah , mantiq dan ma’ani, penting dikuasai,” kata Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidaya- tullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Chuzaimah Tahido Yanggo. Kenyataan sebaliknya diungkap Kama Rusdiana, dosen di universitas yang sama. ”Praktikum qira’ah saja banyak yang tidak lulus kok ,” kata Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah ini. Pandangan senada datang dari Direk- tur Pekapontren Depag Amin Haidari. Bahkan ia menilai, PTAI telah mengala- mi disorientasi. ”Harusnya PTAI diper- siapkan untuk melahirkan ulama, tapi dalam kenyataannya tidak,” katanya (baca: Semua Ma’had Aly Bisa Diakui Pemerintah). Kebekuan regenerasi ulama itu juga pernah meresahkan para tokoh muslim. Untuk mengatasi masalah itu, organisasi massa Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pun bergegas mendirikan lembaga pendidikan tinggi Islam ’alternatif ’. Seperti kisah KH As’ad Syamsul Arifin di penghujung tahun 80-an. Pengasuh Ponpes Sukorejo, Situbondo itu gundah melihat banyak kiai sepuh NU meninggal dunia. Sedang generasi baru yang mampu mengemban missi keagamaan dan kemasyarakatan organi- sasi Islam terbesar itu, belum kunjung tampak. Menurut Abdul Moqsith Ghazali dalam penelitiannya berjudul Proses Pembelajaran di Ma’had Aly Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur , dari kegundahan itu KH As’ad berencana membentuk lembaga pendidikan yang secara khusus mempersiapkan lahirnya ahli fikih. Untuk itu, pada 1989, Kiai As’ad menggelar halaqah (forum disku- si, red) dengan mengundang tak kurang dari 100 kiai. Mereka di antaranya KH Ali Yafie, KH Abdul Muchith Muzadi, KH Sahal Mahfudz, KH Abdul Wahid Zaini (alm.), KH Fahmi Saifuddin (alm.), KH Tolchah Hasan, KH Yusuf Muhammad (alm.) dan KH Masdar F. Mas’udi. Maka pada tahun 1990 berdiri Ma’had Aly Situbondo, bernama al- Ma’had al-Aly li al-’Ulum al-Islamiyah Qism al-Fiqh, dengan spesialisasi fikih dan ushul fikih. Mulai tahun 2000, Ma’had Aly Situ- bondo telah membuka kelas perempu- an, sehingga kemungkinan bagi hadir- nya sosok perempu- an yang ahli di bidang fikih semakin terbu- ka. Sejumlah buku hasil kreasi santri Ma’had Aly Situbon- do telah diterbitkan, seperti Fikih Rakyat: Pertautan Fikih dan Kekuasaan (LKiS 2002) dan lain-lain. Layaknya pergu- ruan tinggi, Ma’had Aly -selanjutnya di- singkat MA, juga memiliki kurikulum, penjenjangan, masa studi, rekruitmen, proses pembelajaran dan evaluasi pembe- lajaran. Tapi sesuai watak pondok pesantren yang beragam, wujud MA pun berbeda- beda. “Pendidikan di MA Salafiyah Sya- fi’iyah Situbondo ditempuh selama tiga tahun. Sistem SKS juga diterapkan di sana,” ujar Hendra Tirtana, alumni MA Situbondo 2002. Dijelaskannya, dengan menambah beberapa prasyarat, santri MA Situbondo setara dengan lulusan Strata 2 (S2). Ken- dati fikih dan ushul fikih diutamakan, namun pelajaran lain tak dikesam- pingkan. “Malah sekarang ada al-fikr al- hadits (pemikiran kontemporer),” imbuh mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta ini. Jika MA Situbondo mengambil spe- sialisasi fikih-ushul fikih, maka Ma’had Darus-Sunnah al-‘Aly li ‘Ulum al-Hadits Ciputat, Banten mengedepankan disiplin hadis dan ilmu hadis. “Malah kuriku- lum hadis dan ilmu hadis di sini lebih tinggi ketimbang S2 IIQ (Institut Ilmu Qur’an) maupun UIN,” terang Abdullah Syafi’i Damanhuri, musyrif (asisten dosen) MA Darus-Sunnah. Kitab-kitab yang diajarkan, imbuh- nya, adalah kitab utama dalam hadis dan ilmu hadis, seperti al-kutub al-sittah, Tadrib al-Rawi, al-Takhrij wa Dirasah al- Asanid, juga Taysir Mushthalah al-Hadits. UIN Jakarta: Pabrik Generasi Ulama Dok. The WAHID Institute

Upload: witjak

Post on 10-Jun-2015

187 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

Page 1: GatraEdisi-IV

Edisi

IV/

GAT

RA

- ed

isi

12/

Feb

2006

Suplemen ini dipersembahkan The Wahid Institute, bekerja sama dengan The Asia Foundation dan Majalah GATRA.Pembaca dapat menjumpainya setiap bulan, pada pekan terakhir. Kritik dan saran kirim ke [email protected] - www.wahidinstitute.org

RUANG dosen jurusan Aqidah Fil-safat Universitas Islam Negeri (UIN) SunanKalijaga Yogyakarta, siang itu dipadatimahasiswa. Mereka antri untuk mengikutipraktikum qira’ah (membaca al-Qur’an,red). ”Dua tahun terakhir, praktikumqira’ah menjadi kegiatan wajib, terutamabagi mahasiswa semester awal,” kataPresiden DEMA UIN Sunan KalijagaYogyakarta, Kaisar Abu Hanifah kepadaSubhi Azhari dari the WAHID Institute.

Banyak orang prihatin atas menurun-nya kemampuan membaca kitab suci dikalangan mahasiswa Perguruan TinggiAgama Islam (PTAI). Padahal dalamrangking keahlian agama, itu adalahkemampuan terendah.

”Mereka harusnya mampu membacadan memahami literatur-literatur klasikIslam, yang lazim disebut kitab kuning.Ilmu-ilmu penopang seperti nahw, sharf,balaghah , mantiq dan ma’ani, pentingdikuasai,” kata Guru Besar FakultasSyariah dan Hukum UIN Syarif Hidaya-tullah Jakarta Prof. Dr. Hj. ChuzaimahTahido Yanggo.

Kenyataan seba l iknya d iungkapKama Rusdiana, dosen di universitasyang sama. ”Praktikum qira’ah sajabanyak yang tidak lulus kok ,” kataSekretaris Jurusan Perbandingan Mazhabdan Hukum Fakultas Syari’ah ini.

Pandangan senada datang dari Direk-tur Pekapontren Depag Amin Haidari.Bahkan ia menilai, PTAI telah mengala-mi disorientasi. ”Harusnya PTAI diper-siapkan untuk melahirkan ulama, tapidalam kenyataannya tidak,” katanya (baca:Semua Ma’had Aly Bisa Diakui Pemerintah).

Kebekuan regenerasi ulama itu jugapernah meresahkan para tokoh muslim.Untuk mengatasi masalah itu, organisasimassa Islam seperti Nahdlatul Ulama(NU) dan Muhammadiyah pun bergegasmendirikan lembaga pendidikan tinggiIslam ’alternatif ’.

Seperti kisah KH As’ad SyamsulArif in di penghujung tahun 80-an.

Pengasuh Ponpes Sukorejo, Situbondoitu gundah melihat banyak kiai sepuhNU meninggal dunia. Sedang generasibaru yang mampu mengemban missikeagamaan dan kemasyarakatan organi-sasi Islam terbesar itu, belum kunjungtampak.

Menurut Abdul Moqsith Ghazalidalam penelitiannya berjudul ProsesPembelajaran di Ma’had Aly Sukorejo,Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, darikegundahan itu KH As’ad berencanamembentuk lembaga pendidikan yangsecara khusus mempersiapkan lahirnyaahli fikih. Untuk itu, pada 1989, KiaiAs’ad menggelar halaqah (forum disku-si, red) dengan mengundang tak kurangdari 100 kiai.

Mereka di antaranya KH Ali Yafie,KH Abdul Muchith Muzadi, KH SahalMahfudz, KH Abdul Wahid Zaini(alm.), KH Fahmi Saifuddin (alm.),KH Tolchah Hasan , KH YusufMuhammad (alm.) dan KH Masdar F.Mas’udi. Maka pada tahun 1990 berdiriMa’had Aly Situbondo, bernama al-Ma’had al-Aly li al-’Ulum al-IslamiyahQism al-Fiqh, dengan spesialisasi fikihdan ushul fikih.

Mulai tahun 2000, Ma’had Aly Situ-bondo telah membuka kelas perempu-an, sehingga kemungkinan bagi hadir-nya sosok perempu-an yang ahli di bidangfikih semakin terbu-ka . Se jumlah bukuhas i l k r e a s i s an t r iMa’had Aly Situbon-do telah diterbitkan,seperti Fikih Rakyat:Pertautan Fikih danKekuasaan (LKiS 2002)dan lain-lain.

Layaknya pergu-ruan tinggi, Ma’hadAly -selanjutnya di-s i n g k a t M A , j u g amemiliki kur ikulum,

penjenjangan, masa studi, rekruitmen,proses pembelajaran dan evaluasi pembe-lajaran. Tapi sesuai watak pondok pesantrenyang beragam, wujud MA pun berbeda-beda. “Pendidikan di MA Salafiyah Sya-fi’iyah Situbondo ditempuh selama tigatahun. Sistem SKS juga diterapkan disana,” ujar Hendra Tirtana, alumni MASitubondo 2002.

Dijelaskannya, dengan menambahbeberapa prasyarat, santri MA Situbondosetara dengan lulusan Strata 2 (S2). Ken-dati fikih dan ushul fikih diutamakan,namun pe la j a ran l a in t ak d ikesam-pingkan. “Malah sekarang ada al-fikr al-hadits (pemikiran kontemporer),” imbuhmahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta ini.

Jika MA Situbondo mengambil spe-sialisasi fikih-ushul fikih, maka Ma’hadDarus-Sunnah al-‘Aly li ‘Ulum al-HaditsCiputat, Banten mengedepankan disiplinhadis dan ilmu hadis. “Malah kuriku-lum hadis dan ilmu hadis di sini lebihtinggi ketimbang S2 IIQ (Institut IlmuQur’an) maupun UIN,” terang AbdullahSyaf i ’ i Damanhur i , musyr i f (as is tendosen) MA Darus-Sunnah.

Kitab-kitab yang diajarkan, imbuh-nya, adalah kitab utama dalam hadis danilmu hadis, seperti al-kutub al-sittah,Tadrib al-Rawi, al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, juga Taysir Mushthalah al-Hadits.

UIN Jakarta: Pabrik Generasi UlamaDok. The WAHID Institute

Page 2: GatraEdisi-IV

Edisi IV/ GATR

A - edisi 12/ Feb 2006

Redaktur Ahli: Lies Marcoes-Natsir, Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Budhy Munawar-RachmanSidang Redaksi: Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali I Staff Redaksi: Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif | Desain: Widhi Cahya

Nurul H. Maarif, Gamal Ferdhi dan A. Suaedy

“Tapi bukan berar ti kitab fikih sepertiBidayah al-Mujtahid atau kitab ushul fikihseperti al-Asybah wa al-Nadhair dilupakanbegitu saja. Keduanya turut dikaji di sini,”jelasnya. Sistem SKS juga diterapkan di MAyang didirikan KH Ali Mustafa Yaqub pada1997 ini. Pada akhir semester, mahasantrijuga diwajibkan membuat risalah (skripsi).“Santri menempuh pendidikan di sini sela-ma delapan semester,” terangnya.

Ada juga MA yang diorientasikan men-cetak ahli tafsir dan hadis, seperti MA al-Hikmah Sirampog, Brebes yang didirikanoleh KH Masruri Mughni. Mulanya, sejak1984 ia berbentuk Takhashshush Qira’atilKutub yang dibangun untuk mengintensif-kan kajian kitab kuning. Pada 1997 lembagaitu diubah menjadi MA dengan spesialisasitafsir-hadis.

Mahasantrinya juga diwajibkan menulisrisalah di akhir semester. “MA ini bekerjasama dengan STAISA (Sekolah TinggiAgama Islam Sholahuddin al-Ayyubi) Jakartauntuk memperoleh ijazah S1,” tulis MarzukiWahid dalam artikel berjudul Ma’had Aly:Nestapa Tradisionalisme dan Tradisi Akademikyang Hilang (Tashwirul Afkar XI/2001).

Lain lagi MA Pesantren Miftahul HudaManonjaya, Tasikmalaya yang didirikan KHChoer Affandi, pada 1980. Seiring keahlianpendirinya, MA dengan masa studi tiga tahunini difokuskan pada bidang akidah. Kitab-kitab yang diajarkan misalnya, Ghayah al-Wushul, Uqud al-Juman, Fath al-Wahhab, dansebagainya.

Karena masih menerapkan sistem salafseperti halaqah (diskusi), bandongan (kiaimembaca kitab dan santri-santri mencatatketerangannya) dan sorogan (santri satu per-satu membaca kitab di hadapan kiai), MA inidinilai masih kental sistem pendidikantradisionalnya. “Di sana tidak dikenal SKS,”jelas Dudung Abdurrahman dalam peneli-tiannya, Membangun Konsep Pendidikan Ma’hadAly (Istiqro’ Vol. 3 No. 1/2004) .

Sedang MA Islam al-Mukmin, Ngruki,Sukoharjo, yang didirikan pada 1988, mena-namkan keahlian dakwah. Lembaga di bawahnaungan Yayasan Pendidikan Islam danAsuhan Yatim Muslim al-Mukmin yangdibidani Abdullah Sungkar, Abu BakarBa’asyir dan Abdullah Baraja’ ini, memfor-mulasi ilmu-ilmu keislaman dan modern.

“Selain mengajarkan tafsir, ilmu tafsir,ilmu hadis, hadis, akhlak, juga mengajarkanpsikologi, sosiologi, hukum, metodologiriset dan sebagainya, dengan sistem SKS,”ungkap Dudung.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan corakitu, tujuan awal didirikannya MA adalahuntuk mengantisipasi krisis ulama, samahalnya dengan pendirian pesantren tinggi di

lingkungan Muhammadiyah (baca:Candradimuka Kader Unggulan). “MAmerupakan institusi pencetak ulama yangmampu menguasai berbagai disiplinilmu keislaman, terutama penguasaankitab-kitab klasik yang menjadi referensipara ulama. Dalam beberapa unsur, iasetingkat dengan perguruan tinggi, tapilebih fokus pada pendidikan tinggibertradisi pesantren,” jelas Dudung.

Namun demikian, MA tidak bisadisamakan dengan perguruan tinggiIslam yang lain seperti Institut AgamaIslam (IAI) atau Sekolah Tinggi Aga-ma Islam (STAI) baik negeri maupunswasta. Ijazah formal dan ujian persa-maan untuk memperoleh ijazah negara,juga tidak pernah dikeluarkan MAkepada santri yang telah lulus.

“Secara hardware dan software, pendi-dikannya seperti pondok pesantren,dengan berbagai kultur dan tradisi yangmelingkupinya. Tapi karena kekhusu-sannya, MA di berbagai pesantren diberifasilitas khusus seperti asrama, ruangkelas, perpustakaan dan sarana aktuali-sasi seperti penerbitan atau ceramah diluar ponpes,” jelas Marzuki Wahid.

“Hal lainnya, adalah metode pembe-lajarannya yang meli-batkan santri sebagaisubyek belajar, kitabyang d ika j i re la t i ftinggi dan cara meng-kaji yang lebih kritis, ”imbuhnya.

K e p a l a S e k s iPendidikan Keaga-maan Departem e nAgama Imam Syafe’imengungkap, seba-nyak 25 MA telahmendaftar ke instan-sinya. Lembaga-lem-baga itu antara lainberada di SulawesiSelatan, KalimantanSe la tan , SumateraSelatan, Lampung, Jawa dan NusaTenggara Barat.

“Tapi baru satu MA yang diakuipemerintah yaitu MA Salafiyah Sya-fi’iyah, Situbondo. Sisanya masihmengikuti standarisasi kurikulum,”kata Imam Syafe’i kepada Rumadi darithe WAHID Institute.

Saat ini sebagian besar MA dan pe-santren tinggi yang ada tampak masihdalam perjuangan antara hidup danmati. Ada dugaan kuat, kendala-ken-dala teknis seperti persediaan dana yangrelatif minim karena hanya mengandal-

kan cadangan uang pesantren, me-nyebabkan MA kurang lincah dalambergerak. Menurut Abdul MoqsithGhazali, sebagian besar MA takditunjang oleh fasilitas yang mema-dai. Buku-buku yang tersedia dalamrak-rak perpustakaan MA jugasangat terbatas.

“Ini artinya mengelola lembagapendidikan dengan tuntutan yangdemikian tinggi tak cukup hanyadengan bermodal semangat dan niatbaik. Ada yang harus dipenuhi se-perti perpustakaan yang lengkap, disamping dosen yang bagus danlingkungan belajar yang kondusif,”kata kandidat doktor UIN SyarifHidayatullah, Jakarta ini.

Terlepas dari produk yang belummaksimal itu, apresiasi terhadap parapendiri MA dan pesantren tinggitetap harus diberikan. Komitmenpara kiai dan ulama untuk turutmemberikan kontribusi bagi pening-katan kualitas santri dan mengatasikelangkaan ulama yang bermutu dinegeri ini patut dipuji.

Itulah upaya menghindari ke-d a n g k a l a n p e m a h a m a n i l m u

k e i s l a m a n , y a n g m e n u r u tK H Abdurrahman Wahid sebagaisumber konser vat isme, bahkanterorisme.

Kita tak pernah bisa memba-yangkan, apa jadinya sebuah negeriyang hanya dimuati oleh taburanfatwa para ulama ‘karbitan’ yangberkualifikasi rendah. Kata Rasulu-llah SAW, mereka akan berfatwa takberdasarkan ilmu, sehingga merekaberada dalam ketersesatan dan akanmenyesatkan.[]

Wisuda Santri-Sarjana Pesantren Luhur IlmuHadis Darus-Sunnah 2005 Dok. Nurul H.M.

Page 3: GatraEdisi-IV

Edisi

IV/

GAT

RA

- ed

isi

12/

Feb

2006

Suplemen ini dipersembahkan The Wahid Institute, bekerja sama dengan The Asia Foundation dan Majalah GATRA.Pembaca dapat menjumpainya setiap bulan, pada pekan terakhir. Kritik dan saran kirim ke [email protected] - www.wahidinstitute.org

Semua Ma’had Aly Bisa Diakui Pemerintah

Bisa dijelaskan pandangan Anda tentangMa’had Aly (MA)?MA merupakan pendidikan keagamaanyang berfungsi mempersiapkan pesertadidik untuk menjadi ahli agama (tafaqquhfi al-din). Ini tentu berbeda dengan madra-sah yang menampilkan dirinya sebagailembaga pendidikan umum berciri khasIslam. MA juga sebagai benteng terakhirdalam mempertahankan nilai-nilai kepe-santrenan, misalnya nilai kemandirian,tradisi keilmuan, nilai-nilai kesederha-naan, dan ketokohan kiainya. Karena MAberfungsi sebagai lembaga pengkaderanulama, maka lembaga ini berorientasipada pendalaman ilmu-ilmu keislaman.

Bagaiman posisi MA dalam sistempendidikan nasional?Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional dinyatakan,pendidikan keagamaan bisa diselengga-rakan dalam jalur pendidikan formal, non-formal, dan informal. Jadi, MA itu ada duamodel. MA formal yang mengikuti aturanPerguruan Tinggi (PT) dan MA takhash-shush yang tidak terikat dengan PT. PosisiMA formal berbeda dengan MA takhash-shush yang ada di pesantren-pesantren.MA takhashshush itu masuk dalamkategori pendidikan keagamaan non-formal.

Mana yang mendapat pengakuanpemerintah?Keduanya bisa dapat pengakuan daripemerintah, seperti ditegaskan dalamSNP (Standar Nasional Pendidikan) No.19 tahun 2005 pasal 93. Namun penga-kuan itu disesuaikan dengan MA bersang-kutan. Jika MA itu formal, maka lulusannyaberhak mendapat legalisasi formal (ijazahPT, red), baik untuk S1, S2, atau S3. SedangMA nonformal, pengakuannya diberikandalam bentuk sertifikat takhashshushsesuai keilmuan yang dikaji. Nantinya,sebagai lembaga pendidikan keagamaantinggi, MA harus mengikuti ketentuan PT.MA yang setara S1 misalnya, harus meng-gelar kajian-kajian keilmuan dengan bobotminimal 140 SKS.

Wawancara H. Amin Haidari, MA.

Keberadaan Ma’had Aly masih menyisakan banyak masalah. Mulai dari kompetensi alumni, standarisasi kurikulumhingga pengakuan pemerintah. Pemerintah telah memiliki rencana untuk mengatasi problem itu. Berikut wawancaraSubhi Azhari dari the WAHID Institute dengan Direktur Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Depag RI Drs.H. Amin Haidari, MA.

Lalu apa bedanya dengan PerguruanTinggi Agama Islam (PTAI)?PTAI telah mengalami disorientasi.Harusnya PTAI dipersiapkan untukmelahirkan ulama, tapi dalam ke-nyataannya tidak. Karena itu, jangansampai kita terjerumus pada kesa-lahan yang sama.

Langkahnya bagaimana?Harus ada akreditasi. Kontrol terha-dap kualitas MA itu sendiri dilakukanoleh pakar yang bersangkutan ataupraktisi MA, semacam Dewan MAyang terdiri dari pakar dan tokohpendidikan, khususnya pendidikankeagamaan. Dalam konteks ini,Depag hanya berfungsi administratifdalam pengembangan MA.

Bagaimana cara MA mendapatpenyetaraan?Penyetaraan MA dilakukan melalui

Direktur Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Depag RI

KATA “globalution” serumah de-ngan kata “globalisasi”. Dua kata terse-but mempunyai karakter dasar yang

sama, yaitu amatcepat mendunia.Dinamika kehidu-

pan bergerak danberubah dengan

semakin cepat.Sesuatu yangd i a n g g a pbaik dan ber-harga, dalam

hitungan jam, bahkan menit, dapatberubah menjadi tidak baik dan tidakbe-harga, kemudian ditinggalkan.

Dalam globalisasi, hal yang profandan sakral dapat terjadi dan hadir dalamwaktu dan tempat yang sama, bahkanpada orang yang sama. Pada suatu saat ia

“GLOBALUTION”

usulan dari MA ke Badan StandarNasional Pendidikan (BSNP).Memang, legalitas formal hanyadikeluarkan oleh BSNP, tetapipenentuan itu didasarkan padarumusan yang sebelumnya kitasepakati. Kami, Direktorat Peka-pontren hanya mengesahkanusulan yang diajukan dari setiap MAyang bersangkutan.

Selama ini apakah sudah ada MAyang disetarakan?Ini memang sudah dilakukan di MASalafiyah Syafiiyah Situbondo untuksetara S2.

Saran Anda untuk MA selanjutnya?MA ke depan harus mampu melahir-kan ulama yang mampu menginte-g r a s i k a n t r a d i s i k e i l m u a npesantren dan tradisi akademikperguruan tinggi.[ ]

mampu menampilkan dirinya sebagaiorang yang “saleh” sekaligus sebagai“pecundang”. Pemimpin yang lan-tang menyuarakan kepentingan rakyat,namun ia juga selingkuh dan korupsi.

Negara-negara dunia berkembangsesungguhnya menyadari, jika tidakingin tertinggal dan terisolasi, merekaharus mampu hidup dalam tatanankehidupan modern dan mengikutiaturan-aturan global isasi . Tetapinegara-negara pemberi hutang (credi-tor) yang dihadapi semakin berdayakarena kekuatan sains dan teknologi,sedang mereka (debitor) semakin tidakberdaya. Sejak di sinilah muncul istilah“globalution” yang oleh ThomasFriedman disebut “revolution from be-yond”.

MastuhuGuru Besar Fak. Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 4: GatraEdisi-IV

Edisi IV/ GATR

A - edisi 12/ Feb 2006

Redaktur Ahli: Lies Marcoes-Natsir, Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Budhy Munawar-RachmanSidang Redaksi: Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali I Staff Redaksi: Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif | Desain: Widhi Cahya

Belajar dari pengalaman, maka tidakada jalan lain bagi bangsa Indonesiakecuali membangun negara ini dengankekuatan dari dalam, local indigeneousdan local wisdom. Tidak ada ceritanyanegara merdeka dan terhor-mat yangdibangun dengan kekuatan dari luar,kecuali negara boneka.

Pada titik inilah saya ingin masukpada problem pengelolaan lembagapendidikan (tinggi) Islam, terutamatumbuhnya Ma’had Aly (MA) ataupesantren luhur (tinggi) di beberapapesantren. Sudah dibuktikan sejarahbahwa pesantren dengan berbagaivariasi kelembagaannya mampu berta-han hidup dalam berbagai situasi,namun kini tantangannya lebih beratkarena menghadapi revolution from beyond.

Sebagaimana kita ketahui, satu

dasawarsa terakhir banyak pesantrenyang mengembangkan Ma’had Alydengan spesifikasi tertentu. Institusiini cukup menarik kehadirannya, baikdalam konteks pengembangan pendi-dikan tinggi di pesantren maupunrelevansinya dengan pengembanganPTAI. Kemunculan Ma’had Aly, di-samping upaya merevitalisasi keilmuanpesantren juga merupakan kritik atasPTAI seperti IAIN/UIN/STAIN yangkompetensi keulaman alumninyasemakin dipertanyakan. Karena itu,MA bukan saja harus comparable denganPTAI lainnya, tapi harus menawarkannilai lebih.

Salah satu problem krusial pengelo-laan lembaga semacam MA adalahbagaimana menyelaraskan antarakehendak “birokrasi pendidikan”

(dalam hal ini Depag) dengan suasanakemandirian yang menjadi naturepesantren (MA). Harus diakui, Depagadalah lembaga birokrasi, bukan lem-baga akademik. Selama ini, lembagaakademik ditundukkan dan harusmengabdi pada lembaga birokrasi,sehingga muncul term “diakui”, “tidakdiakui”, dan sebagainya yang bisamengarah pada diskriminasi lembagaakademik.

Ke depan, menurut saya, paradig-manya harus digeser, “lembaga biro-krasi” harus melayani “lembaga akade-mik” dalam menjalankan tugas dantanggung jawabnya. Dengan kesadaranseperti itu, MA dan pesantren akanmampu menghadapi revolution from be-yond, tidak diombang-ambingkan danmenjadi korban dunia global.***

PONDOK Muhammadiyah HajjahNuriyah Shabran Universitas Muham-madiyah (UMS), kerap disebut PondokShabran adalah salah satu pesantrentinggi yang dimiliki Muhammadiyah.Gedung pondok ini berasal dari wakafHajjah Nuriyah Shabran kepada UMSpada tahun 80-an, sehingga nama sangpewakaf diabadikan sebagai namapondok itu.

“Pondok Shabran didirikan sebagaibagian dari program UMS,” ujar Direk-tur Pondok Shabran Syamsul Hidayatkepada Nurul H. Maarif dari TheWahid Institute.

Tak beda dengan Ma’had Aly yangberada di bawah naungan pesantren-pesantren NU, alasan pendirian pon-dok di bilangan Saripan MakamhajiKartasura, Surakarta ini juga untukmenanggulangi kian langkanya ulamadi Muhammadiyah.

”Pondok Shabran didirikan untukmengatasi kelangkaan ulama. Karenaitu, peserta diseleksi dengan ketat daripimpinan wilayah Muhammadiyahdan Aisy iyah se-Indonesia ,” u jarSyamsul.

Mahasiswa S3 jurusan Akidah Fil-safat UIN Sunan Kalijaga Yogyakartaini mengatakan Pondok Shabran ada-lah candradimuka kader unggulanMuhammadiyah. Untuk mewujudkan-

nya dibuat kesepakatan antara PPMuhammadiyah, PW Muhamma-diyah seluruh Indonesia dan Universi-tas Muhammadiyah Surakarta. “Lulu-sannya diharapkan menjadi ujungtombak penerus perjuangan dan cita-cita persyarikatan Muhammadiyah dimasa yang akan datang,” jelas Syamsul.

Diungkap Syamsul, seluruh santri-nya berlatar belakang mahasiswa.”Layaknya perguruan tinggi, pendi-dikan di sini ditempuh selama empattahun dengan sistem SKS,” katanya.Pelajaran pokok di pondok ini antaralain Dakwah dan Pemikiran Islam,dan Tafsir Hadits.

Tak sebatas teori, pondok ini jugamenerjunkan santrinya ke masyarakat.”Dakwah di masyarakat seperti padabulan Ramadhan, pembinaan masjiddan majlis taklim, juga menjadi pro-gram di sini,” jelas Syamsul.

Menurut Syamsul, pondok yangkini dihuni 40 santri putra dan 30santri putri ini, turut berperan men-cairkan kebekuan hubungan antaraMuhammadiyah dengan NU. ”Selainmengkaji tradisi Muhammadiyah,santri-santri di sini juga mengkajitradisi NU dan ormas-ormas lain,”kata alumni UMS ini.

Bahkan pondok ini acap bekerja-sama dengan pesantren mahasiswa

yang berada di bawahnaungan NU, semisalPonpes Mahasiswa al-Muayyad , Windan ,Su raka r t a a suhanKH Dian Nafi’ , un-tuk meng g e l a r s e -minar, terutama pe-r ihal ke-NU-an danK e - M u h a m m a d i -yah-an.

D i h e n t i k a n n y aseleksi kader santri daricabang dan rantingMuhammadiyah di se-luruh Indonesia pada1993, mengakibatkansantri pondok itu se-makin sedikit. ”Jadisekarang tergantungyang minat saja,” jelasSyamsul.

Namun dia mengakui, kualitassantri yang mendaftar kian hari kianmenurun. Penyebabnya, tak banyakcalon santri yang memiliki latarbelakang keahlian membaca kitabklasik.

Karena itu, untuk mengembalikanmasa keemasan, pondok ini tidak lagimenerima santri sejak dua tahunbelakangan. ”Kami mau menata ulangPondok Shabran,” katanya optimis.

Candradimuka Kader Unggulan

Gamal Ferdhi, A. Suaedy

Pondok Shabrandalam berbagaiaktifitasDok. Pondok Shabran