gangguan elektrolit

28
BAB 1 PENDAHULUAN Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan, dengan perkiraan sekitar 50-60% dari total berat badan orang dewasa. Cairan tubuh dibagi dalam dua kompartemen utama yaitu cairan ekstrasel (60%) dan cairan intrasel (40%). Cairan ekstrasel dapat dibagi lagi menjadi dua subkompartemen antara lain cairan interstitial (30%) dan cairan intravaskuler (10%). Membran sel lipid-soluble yang membatasi cairan ekstra- dan intrasel bersifat semipermeabel yang bebas dilewati air, namun tidak bebas dilewati oleh solut yang ada pada kedua kompartemen tersebut. 1,2 Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solut berupa elektrolit (kation dan anion) yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel. Natrium pada cairan ekstrasel dan kalium pada cairan intrasel merupakan dua kation utama yang mempengaruhi tekanan osmotik cairan dan langsung berhubungan dengan fungsi sel. Kation lain yang terdapat pada cairan ekstrasel adalah kalium, kalsium dan magnesium. Untuk menjaga netralitas atau elektronetral, di dalam cairan intrasel terdapat anion fosfat, sedangkan anion ekstrasel berupa klorida, bikarbonat, dan albumin. 1,2,3,4 Beberapa kondisi tertentu dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara cairan inra- dan ekstrasel. 1

Upload: dicogunawijaya

Post on 12-Dec-2015

25 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

gangguan elektrolit

TRANSCRIPT

Page 1: gangguan elektrolit

BAB 1

PENDAHULUAN

Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan, dengan perkiraan sekitar 50-60%

dari total berat badan orang dewasa. Cairan tubuh dibagi dalam dua kompartemen

utama yaitu cairan ekstrasel (60%) dan cairan intrasel (40%). Cairan ekstrasel dapat

dibagi lagi menjadi dua subkompartemen antara lain cairan interstitial (30%) dan

cairan intravaskuler (10%). Membran sel lipid-soluble yang membatasi cairan ekstra-

dan intrasel bersifat semipermeabel yang bebas dilewati air, namun tidak bebas

dilewati oleh solut yang ada pada kedua kompartemen tersebut.1,2

Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solut berupa elektrolit

(kation dan anion) yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel.

Natrium pada cairan ekstrasel dan kalium pada cairan intrasel merupakan dua kation

utama yang mempengaruhi tekanan osmotik cairan dan langsung berhubungan

dengan fungsi sel. Kation lain yang terdapat pada cairan ekstrasel adalah kalium,

kalsium dan magnesium. Untuk menjaga netralitas atau elektronetral, di dalam cairan

intrasel terdapat anion fosfat, sedangkan anion ekstrasel berupa klorida, bikarbonat,

dan albumin.1,2,3,4

Beberapa kondisi tertentu dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara cairan

inra- dan ekstrasel. Gangguan ini selanjutnya mempengaruhi perbandingan antara

jumlah solut dan air, atau disebut dengan osmolalitas. Solut-solut yang berperan

dalam osmolalitas ini antara lain natrium, kalium, glukosa, dan urea. Apabila

keseimbangan elektrolit terganggu, maka akan terjadi gangguan keseimbangan cairan

dan sekaligus gangguan fungsi tubuh secara sistemik. Pada tulisan ini akan dibahas

mengenai fisiologi serta gangguan elektrolit yang sering dijumpai, yaitu natrium,

kalium, dan kalsium.2,5,6

1

Page 2: gangguan elektrolit

BAB 2

SARI PUSTAKA

2.1 Natrium

2.1.1 Fisiologi Natrium

Natrium berperan dalam menentukan status volume cairan tubuh. Keseimbangan

natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme, yaitu kadar natrium

yang sudah tetap dalam batas tertentu (set-point) serta keseimbangan natrium

yang masuk dan keluar (steady-state). Perubahan kadar natrium intra- dan

ekstrasel akan mempengaruhi kadar beberapa hormon terkait seperti hormon

antidiuretik (ADH), sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA), atrial

natriuretic peptide (ANP), dan brain natriuretic peptide (BNP). Hormon-hormon

tersebut akan mempengaruhi ekskresi natrium dalam urin.2,3

Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus

dan reabsorpsi tubulus ginjal. Laju filtrasi glomerulus akan meningkat pada

hipervolemia serta peningkatan asupan natrium, dan begitu pula sebaliknya.

Perubahan yang terjadi pada laju ini akan mempengaruhi reabsorpsi natrium di

tubulus. Sebanyak 60-65% natrium yang difiltrasi direabsorpsi di tubulus

proksimal, 25-30% di lengkung Henle, 5% di tubulus distal, dan 4% di duktus

kolingentes.2,5,6

Sumber utama ADH adalah bagian magnoseluler nukleus supraoptikus

pada hipotalamus. Stimulus berjalan sepanjang akson pada traktus supraoptikus-

hipofisis yang menuju ke kalenjar pituitari posterior (neurohipofisis), setelahnya

hormon beredar ke sirkulasi sistemik. Salah satu efek utama ADH adalah

meningkatkan permeabilitas tubulus distal ginjal yang mana akan meningkatkan

reabsorbsi air, selanjutnya mengencerkan darah yang bersirkulasi dan membuat

urin menjadi pekat. Peningkatan osmolaritas serum adalah stimulus utama

pengeluaran ADH; stimulus lainnya adalah penurunan volume intravaskuler.1

2.1.2 Hipernatremia

Kadar serum natrium >150 mEq/L didefinisikan sebagai hipernatremia. Respon

fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaran ADH dari

2

Page 3: gangguan elektrolit

hipotalamus, sehingga ekskresi urin berkurang dan osmolalitas urin tinggi.

Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah hipernatremia oleh karena

rangsangan ‘rasa haus’ yang timbul akan dijawab dengan peningkatan asupan

air.1,2,6 Adapun penyebab hipernatremia antara lain:2

Ekskresi air melebihi ekskresi natrium; seperti peningkatan insensible

water-loss, diare osmotik, diabetes insipidus, diuresis osmotik, dan

gangguan pusat ‘rasa haus’ di hipotalamus.

Asupan natrium yang kurang

Penambahan natrium yang melebihi jumlah cairan; seperti koreksi

natrium bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik.

Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel; seperti peningkatan asam

laktat setelah olahraga berat yang meningkatkan osmolalitas sel.

Dalam kaitan dengan hipernatremia, harus dibedakan antara dehidrasi

dengan deplesi volume. Dehidrasi adalah keluarnya air tanpa natrium, yang

berarti hipotonik. Sedangkan deplesi volume adalah keluarnya air bersama

natrium, yang berarti isotonik. Pengurangan cairan intra- dan ekstrasel terjadi

pada dehidrasi, sedangkan deplesi volume hanya menyebabkan pengurangan

cairan ekstrasel.2

2.1.2.1 Diabetes Insipidus (DI)

DI disebabkan oleh insufisiensi ADH dan mengakibatkan peningkatan

ekskresi air melalui ginjal. Berdasarkan etiologinya, DI dapat dibedakan

menjadi DI neurogenik akibat disfungsi aksis hipotalamus-pituitari dan DI

nefrogenik akibat resistensi relatif ginjal terhadap ADH. Adapun penyebab

DI neurogenik antara lain genetik, idiopatik, pasca-trauma, tumor,

granuloma, infeksi, autoimun, dan vaskuler. DI nefrogenik dapat

disebabkan oleh kondisi genetik, hipokalemia, hiperkalsemia, sindrom

Sjögren, obat-obatan, dan gagal ginjal.1,2,7

Diperkirakan sekitar 85% kapasitas pengeluaran ADH telah menurun

sebelum diagnosis DI ditegakkan. Tanda dan gejala DI yang khas adalah

poliuria dengan osmolaritas urin rendah dan polidipsia pada pasien yang

sadar.1,2,7 DI neurogenik dapat dijumpai dalam kondisi berikut:1

3

Page 4: gangguan elektrolit

1. Operasi trans-spenoidal atau pengangkatan kraniofaringioma

terkadang menyebabkan kerusakan pada pituitari posterior dengan

tiga pola gejala yang mungkin muncul.

a. Transient DI: poliurin dan polidipsia 12-36 jam pasca operasi.

b. Prolonged DI: poliuria dalam periode yang lebih lama sampai

berbulan-bulan bahkan permanen. Hanya sepertiga pasien yang

tidak kembali normal satu tahun pasca operasi.

c. Triphasic response

- Fase 1: kerusakan pituitari menurukan ADH selama 4-5 hari.

- Fase 2: kematian sel meningkatkan ADH selama 4-5 hari

berikutnya, menyebabkan normalisasi sementara atau

SIADH-like water retention.

- Fase 3: sekresi ADH menurun atau menghilang sama sekali

(transient atau prolonged DI).

2. Massa yang menekan hipotalamus seperti aneurisme.

3. Pasca cedera kepala, khususnya pada fraktur basis kranii.

4. Encefalitis atau meningitis.

5. Penggunaan obat-obatan contohnya etanol, fenitoin, dan steroid

yang dapat menghambat pelepasan ADH.

6. Proses inflamasi seperti hipofisitis limfositik atau infundibulo-

neurohipofisitis limfositik.

Kriteria diagnosis berikut ini biasanya cukup untuk menegakkan

diagnosis DI, khususnya apabila manifestasi klinis juga mendukung, yaitu

osmolaritas urin 50-150 mOsm/L, specific gravity 1,001-1,005, produksi

urin >250 mL/jam (anak: >3 mL/kgBB/jam), normo- atau hipernatremia,

dan fungsi adrenal normal. Pada kasus yang tidak khas bisa dibuat plot urin

osmolaritas urin versus osmolaritas plasma atau water deprivation test

(perlu diperhatikan bahwa tes ini dapat menyebabkan dehidrasi).1,7

Penanganan untuk DI neurogenik dapat dibagi menjadi tiga menurut

kondisi pasien:1,5,7

4

Page 5: gangguan elektrolit

1. Pasien rawat jalan; apabila DI ringan serta mekanisme ‘rasa haus’

tidak terganggu, pasien diinstruksikan untuk minum hanya ketika

haus. Hal ini biasanya dapat mengganti kehilangan cairan dan

tidak akan overhidrasi. Pasien tidak dapat memenuhi kebutuhan

cairannya pada DI berat, maka dari itu diberikan desmopresin

intranasal 2,5 µg dengan titrasi sampai 20 µg jika diperlukan. Obat

pilihan lainnya bersifat merangsang ADH, yang mana hanya

bekerja pada defisiensi parsial ADH (bukan defisiensi total),

antara lain klofibrat 500 mg PO, klorpropramid (meningkatkan

sensitivitas ginjal terhadap ADH), dan hidroklorotiazid

(meningkatkan reabsorpsi tubulus proksimal sekaligus menggeser

cairan dari tubulus distal tempat ADH bekerja).

2. Pasien rawat jalan dengan gangguan mekanisme ‘rasa haus’;

kondisi ini meningkatkan resiko dehidrasi atau overhidrasi.

Penanganannya berupa monitor cairan masuk dan cairan keluar,

catat perubahan berat badan, dan pemberian antidiuretik jika

diperlukan. Pemeriksaan laboratorium mingguan juga diperlukan,

yaitu natrium serum dan BUN.

3. Pasien rawat inap, stupor, koma, atau mati otak; monitor yang

penting dari pasien tersebut yaitu keseimbangan cairan setiap jam,

specific gravity urin setiap empat jam, serta elektrolit serum dan

osmolaritas setiap enam jam. Sebagai terapi cairan IV diberikan

basal IV rate D5 ½ NS + KCl 20 mEq/L dengan kecepatan 75-100

mL/jam, plus ½ NS sebanyak produksi urin. Jika pasien mendapat

cairan yang sigifikan selama operasi, maka wajar apabila pasien

mengalami diuresis, untuk itu diberikan ½ NS hanya dua pertiga

total produksi urin. Arginin vasopresin 5 U IV/IM setiap 4-6 jam

atau vasopresin IV kecepatan 0,2 U/menit dengan titrasi

(maksimal 0,9 U/menit) atau desmopresin 2-4 µg IV setiap 12 jam

diberikan ketika terapi cairan tidak bisa menyeimbangkan

pengeluaran urin.

5

Page 6: gangguan elektrolit

2.1.3 Hiponatremia

Apabila terjadi hiponatremia, tubuh normal akan merespon dengan menekan

pengeluaran ADH sehingga ekskresi urin meningkat. Hiponatremia dapat terjadi

bila jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi atau ketidakmampuan

menekan sekresi ADH.1,3,5,6 Berdasarkan prinsip di atas, kondisi ini dapat disertai

dengan atau tanpa peningkatan ADH.1

Tabel 1. Klasifikasi Hiponatremia Berdasarkan Kadar ADH1

Hiponatremia dengan

peningkatan ADH

Volume sirkulasi

efektif turun

Peningkatan ekskresi

natrium

-Obat diuretik

-Renal salt-wasting

-Muntah, diare

-Hipoaldosteron

Peningkatan volume air

bebas elektrolit

-Gagal jantung

-Sirosis hati

-Perdarahan

-Insufisiensi adrenal

-Hipotiroidisme

-Hipoalbuminemia

Volume sirkulasi

efektif tetap

- SIADH

Hiponatremia dengan

ADH tertekan fisiologis

- Polidipsia primer

- Gagal ginjal

Menurut waktunya, hiponatremia dibagi menjadi hiponatremia akut (<48

jam) dan kronis (>48 jam). Gejala hiponatremia ringan atau penurunan bertahap

atau kronis meliputi anoreksia, nyeri kepala, iritabel, dan kelemahan otot.

Sedangkan pada hiponatremia berat (<120 mmol/L) atau penurunan cepat (>0,5

mmol/jam) atau akut dapat menyebabkan eksitabilitas neuromuskuler, edema

6

Page 7: gangguan elektrolit

otak, mual/muntah, kejang, sampai henti nafas, cedera otak permanen, koma,

bahkan kematian. Pasien dengan hiponatremia yang belum diketahui durasinya

kemungkinan sudah bersifat kronis jika gejalanya masih minimal, dan ditangani

secara gradual khususnya dengan terapi cairan. Hiponatremia simtomatik akut

harus ditangani segera karena edema otak yang terjadi meningkatkan resiko

herniasi dan gagal jantung-nafas.1,2,5

Pada pasien bedah saraf, kondisi hiponatremia sering terlihat pada

Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion (SIADH) dan

Cerebral Salt-Wasting (CSW). Oleh karena mekanisme kompensasi yang lambat

di otak, penurunan kadar natrium yang bertahap lebih bisa ditoleransi

dibandingkan penurunan yang cepat.1,2

2.1.3.1 Syndrome of Inappropriate ADH Secretion (SIADH)

SIADH, atau sindrom Schwartz-Bartter, diakibatkan oleh pelepasan ADH

tanpa rangsangan fisiologis. Kondisi ini menyebabkan peningkatan

osmolalitas urin dan peningkatan volume cairan ekstrasel, yang

selanjutnya memicu kelebihan cairan akibat hiponatremia dilusional.

SIADH dapat bersifat hipervolemia ataupun euvolemia. Edema tidak

terjadi, namun hal ini masih belum dapat dijelaskan.1,2,8,9 Adapun etiologi

dari SIADH antara lain:1,9

1. Keganasan, khususnya bronkogenik

2. Proses intrakranial, contohnya meningitis (khususnya anak),

trauma, peningkatan tekanan intrakranial, tumor, pasca-

kraniotomi, perdarahan sub-araknoid

3. Penyakit paru, seperti keganasan, TB paru, aspergilosis

4. Anemia

5. Kondisi-kondisi yang merangsang pelepasan ADH, seperti stres,

nyeri hebat, mual, hipotensi

6. Porfiria intermiten akut

7

Page 8: gangguan elektrolit

7. Klorpropramid (SIADH relatif dengan meningkatkan sensitivitas

ginjal terhadap ADH), oksitosin (cross-activity dengan ADH),

hidroklorotiazid, dan karbamazepin.

Tiga kriteria diagnosis SIADH adalah hiponatremia, urin pekat yang

abnormal, serta tidak ada disfungsi ginjal dan adrenal. Detailnya yaitu

hiponatremia (biasanya <134 mEq/L), penurunan osmolalitas darah (<280

mOsm/L), peningkatan natrium urin (>18 mEq/L), peningkatan rasio urin

dan osmolaritas serum (1,5-2,5:1, dapat pula 1:1), fungsi ginjal normal,

fungsi adrenal normal, tidak hipotiroid, serta tidak dehidrasi maupun

overhidrasi. Penurunan natrium yang ringan atau perlahan sering

asimtomatik; gejala biasanya timbul saat kadar natrium <120-125 mEq/L.

Water load test dapat dilakukan jika diperlukan. Pasien diminta untuk

meminum air 20 mL/kgBB sampai 1500 mL. SIADH bisa ditegakkan bila

ekskresi tidak lebih dari 65% dari total air yang diminum dalam 4 jam atau

80% dalam 5 jam tanpa gangguan ginjal dan adrenal.1,8,9

Perlu dibedakan antara SIADH dan CSW sebelum melakukan

koreksi. SIADH akut yang ringan dan asimtomatik dilakukan restriksi

cairan <1 L/hari (anak: 1 L/m2/hari), sedangkan pada SIADH berat atau

simtomatik digunakan salin hipertonis dengan atau tanpa furosemid.

Penanganan SIADH kronis meliputi restriksi cairan jangka panjang (1200-

1800 mL/hari), demeklosiklin 150-300 mg PO setiap 6 jam (antagonis

parsial terhadap ADH pada tubulus ginjal), furosemid 40 mg PO setiap 24

jam dengan diet tinggi natrium, dan fenitoin (menghambat pelepasan

ADH).1,8

2.1.3.2 Cerebral Salt-Wasting (CSW)

CSW merupakan kehilangan natrium melalui ginjal akibat proses

intrakranial, yang menyebabkan hiponatremia dan penurunan volume

cairan ekstrasel. Mekanisme gagalnya ginjal mengkonservasi natrium

belum diketahui, diduga melalui rangsangan faktor natriuretik yang belum

diketahui atau kontrol langsung dari susunan saraf pusat. Pemeriksaan

laboratorium CSW dan SIADH hampir sama, selain itu hipovolemia pada

CSW bisa merangsang pelepasan ADH. Yang membedakannya adalah

8

Page 9: gangguan elektrolit

Central Venous Pressure (CVP), Pulmonary Capillary Wedge Pressure

(PCWP), dan volume plasma rendah pada kondisi hipovolemia seperti

CSW.1,2,8 Dua perbedaan terpenting CSW dan SIADH yaitu volume

ekstrasel dan keseimbangan garam, seperti yang tercantum pada tabel 2.1

Tabel 2. Perbandingan antara CSW dan SIADH1

Parameter CSW SIADH

Volume Plasma (<35 mL/kgBB)

Keseimbangan Garam - Bervariasi

Dehidrasi + -

Berat Badan atau tetap

PCWP (<8 mmHg) atau N

CVP (<6 mmHg) atau N

Hipotensi Ortostatik + ±

Hematokrit atau tetap

Osmolalitas Serum atau N

Rasio BUN:SC N

Protein Serum N

Natrium Urin

Kalium Serum atau tetap atau tetap

Asam Urat Serum N

Target terapi CSW adalah penggantian cairan dan keseimbangan

garam yang positif. Pasien dihidrasi dengan NaCl 0,9% atau terkadang

digunakan NaCl 3%, dan garam juga bisa diganti per oral. Fludrokortison

asetat 0,2 mg PO atau IV per hari dapat meningkatkan absorpsi natrium

pada tubulus ginjal. Obat ini terbukti bermanfaat pada CSW, namun perlu

diperhatikan efek sampingnya seperti edema paru, hipokalemia, dan

hipertensi.1,2,8

9

Page 10: gangguan elektrolit

2.2 Kalium

2.2.1 Fisiologi Kalium

Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah besar dalam tubuh dan

mayoritas berada pada intrasel. Elektrolit ini berfungsi dalam sintesis protein,

kontraksi otot, konduksi saraf, pengeluaran hormon, transpor cairan, dan

perkembangan janin. Dalam menjaga kestabilan kadar kalium diperlukan

keseimbangan antara kemampuan muatan negatif intrasel untuk mengikat kalium

dan kemampuan kekuatan kimiawi mendorong kalium ke ekstrasel.

Keseimbangan ini menghasilkan kadar kalium yang tetap antara 3-3,5

mEq/L.1,2,4,5

2.2.2 Hiperkalemia

Penyebab hiperkalemia dapat digolongkan menjadi dua antara lain keluarnya

kalium dari intrasel ke ekstrasel dan berkurangnya ekskresi kalium melalui

ginjal. Kalium dapat keluar dari sel pada kondisi asidosis metabolik, defisiensi

insulin, peningkatan katabolisme jaringan, dan obat penghambat β-adrenergik.

Pada asidosis metabolik, ion hidrogen masuk ke dalam sel dan bertukar dengan

kalium, yang mana menyebabkan peningkatan kadar kalium dalam serum.

Penurunan ekskresi kalium melalui ginjal terjadi pada hipoaldosteronisme, gagal

ginjal, atau diuretik golongan potassium-sparing.1,2

Hiperkalemia dapat meningkatkan kepekaan membran sel, sehingga

potensial aksi lebih mudah terjadi dengan sedikit perubahan depolarisasi. Kondisi

ini menyebabkan kelemahan hingga kelumpuhan otot, disritmia, serta gangguan

transmisi impuls saraf. Gejala biasanya timbul saat kadar kalium serum >7

mEq/L atau kenaikan yang cepat.1,2,4,10

Prinsip penanganan hiperkalemia meliputi melindungi membran sel,

memacu pemasukan kalium ke dalam sel, dan mengeluarkan kelebihan kalium

dari tubuh.1,2

1. Melindungi Membran Sel

a. Kalsium bekerja segera dalam mengobati gangguan jantung dan

neuromuskuler yang terjadi dengan melindungi membran sel.

Kalsium glukonas 10% IV diadministrasikan selama 2-3 menit

10

Page 11: gangguan elektrolit

disertai monitor EKG. Pemberian dapat diulangi setelah lima menit

jika EKG masih menunjukkan adanya hiperkalemia. Efek kalsium

glukonas hanya bertahan selama satu jam.

2. Memacu Pemasukan Kalium ke Dalam Sel

a. Natrium bikarbonat meningkatkan pH sistemik, yang selanjutnya

merangsang ion hidrogen keluar dari sel serta ion kalium masuk ke

sel dalam 15 menit. Efek obat ini bertahan 1-2 jam. Injeksi 44 mEq

HCO3 selama lima menit, dan dapat diulang 15 menit kemudian jika

EKG masih menunjukkan adanya hiperkalemia.

b. Sepuluh U insulin dalam dekstrosa 50% sebanyak 50 mL

diadministrasikan secara bolus IV, dan dilanjutkan infus dekstrosa

5% untuk mencegah terjadinya hipoglikemia. Insulin memicu pompa

Na-K-ATPase untuk memasukkan kalium ke dalam sel, sedangkan

dekstrosa mimicu pengeluaran insulin endogen. Kombinasi ini

menyebabkan perpindahan kalium ke intrasel dalam 30-60 menit

setelah administrasi dan bertahan beberapa jam.

3. Mengeluarkan kelebihan kalium dari tubuh

a. Pemberian loop-diuretic (furosemid) dan/atau hidroklorotiazid.

b. Cation-exchange resin bekerja dengan mengeluarkan kalium dari

tubuh dan lebih lambat dibandingkan ketiga obat di atas. Satu gram

Kayexalate mampu mengeluarkan satu mEq K+. Sediaan oral

dikombinasikan dengan sorbitol untuk mencegah konstipasi, 20-50 g

Kayexalate dalam 100-200 mL sorbitol 20% setiap 3-4 jam

(maksimal 4-5 dosis per hari). Sediaan enema bekerja lebih cepat,

digunakan jika sediaan oral tidak ditoleransi baik atau jika ileus.

c. Hemodialisis dilakukan jika terapi di atas tidak berhasil atau gejala-

gejala hiperkalemia sangat parah sehingga perlu penanganan yang

darurat.

2.2.3 Hipokalemia

Hipokalemia disebabkan oleh tiga kondisi berikut, yaitu asupan kalium yang

kurang, pengeluaran kalium yang berlebihan, atau peningkatan pemasukan

11

Page 12: gangguan elektrolit

kalium ke dalam sel. Pengeluaran kalium yang berlebihan dapat berupa GI-loss

(muntah, pemakaian pipa nasogastrik, diare, obat pencahar), renal-loss (diuretik,

hiperaldosteronisme, poliuria, salt-wasting nephropathy), atau sweat-loss.

Alkalosis akut memicu pertukaran ion hidrogen intrasel dengan ion kalium

ekstrasel, dan menurunkan kadar kalium darah. Pemberian insulin, pemakaian β-

agonis, dan hipotermia juga dapat menigkatkan pemasukan kalium ke dalam

sel.1,2,4,10

Gangguan sistem muskuloskeletal pada hipokalemia berupa kelemahan

otot, kelelahan, myalgia, dan penurunan refleks. Pada kondisi yang parah dapat

memicu disritmia (fibrilasi atrium, takikardi ventrikel) sampai asistol, dengan

gambaran EKG menunjukkan pendataran atau inversi gelombang T dan adanya

gelombang U. Hal ini disebabkan oleh perlambatan repolarisasi ventrikel yang

menimbulkan peningkatan arus re-entry. Level kalium <2 mmol/L menyebakan

peningkatan kreatinin fosfokinase (CPK) 30-300 kali yang memicu

rhabdomyolisis dan myoglobinuria. Hal ini mengakibatkan pelepasan kalium ke

darah, yang mana dapat menutupi kondisi hipokalemia yang terjadi.1,10

Koreksi kalium harus segera diberikan jika hipokalemia berat (<2 mEq/L),

terdapat kelemahan otot pernafasan, disertai ketoasidosis diabetikum, atau pasien

sedang dalam pengobatan digitalis. Hipokalemia ringan dapat diberikan kalium

dalam sediaan oral 40-60 mg (meningkatkan kalium 1-1,5 mEq/L) atau 135-160

mg (meningkatkan kalium 2,5-3,5 mEq/L). Pemberian kalium IV dalam bentuk

larutan KCl 10-20 mEq per jam, sedangkan pada aritmia atau kelumpuhan otot

pernafasan dapat diberikan 40-100 mEq/jam. Hindari pemberian glukosa pada

pasien hipokalemia.1,2,5

2.3 Kalsium

2.3.1 Fisiologi Kalsium

Komponen aktif kalsium adalah fraksi kalsium yang tidak terikat (terionisasi);

kadarnya sebesar 4-5,2 mg/dL atau 1-1,3 mmol/L dalam plasma yaitu sekitar

45% dari total kalsium serum. Sisanya 40% diikat oleh protein terutama albumin

sedangkan 15% membentuk kompleks dengan sitrat, sulfat, dan fosfat.2,4,11,12

12

Page 13: gangguan elektrolit

Keseimbangan kalsium diatur oleh absorbsi usus, ekskresi ginjal, dan

faktor hormonal. Absorbsi kalsium terjadi di usus halus, terutama duodenum dan

jejunum proksimal. Vitamin D dibutuhkan dalam absorbsi kalsium. Ekskresi

kalsium dalam urin diatur oleh kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus

(ultrafilterable calcium) dan kalsium yang direabsorbsi oleh tubulus. Asupan dan

ekskresi natrium juga mempengaruhi kadar kalsium; ekskresi natrium yang

meningkat pada peningkatan volume cairan ekstrasel memicu ekskresi kalsium.

Faktor hormonal yang mempengaruhi yaitu vitamin D dengan metabolit aktifnya

kalsitriol (1,25-dihidroksikolekalsiferol) dan hormon paratiroid. Kalsitriol

merupakan pengatur utama absorbsi kalsium di usus dan juga meningkatkan

reabsorbsi kalsium di ginjal. Kadar kalsium serum diatur oleh hormon paratiroid

melalui feedback mechanism. Hormon paratiroid dapat merangsang pembentukan

kalsitriol di ginjal, sedangkan kalsitriol dapat menurukan sekresi hormon

paratiroid.4,11,12

2.3.2 Hiperkalsemia

Beberapa penyakit dapat disertai dengan hiperkalsemia, seperti

hiperparatiroidisme, keganasan, intoksikasi vitamin D, sarkoidosis,

hipertiroidisme, dan insufisiensi adrenal. Kondisi ini menurunkan eksitabilitas

neuromuskuler yang menyebabkan kelemahan otot, confusion, stupor, sampai

koma. Pemeriksaan EKG akan menunjukkan pemendekan segmen Q-T.1,2,5

Adapun lima pilihan terapi hiperkalsemia adalah sebagai berikut:1,2

1. Meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal dengan infus 2 L NaCl

0,9% selama 9-12 jam. Pemberian cairan ini akan meningkatkan volume

cairan ekstrasel yang umumnya rendah akibat pengeluaran urin

berlebihan oleh karena induksi hiperkalsemia.

2. Agen penghambat resorbsi tulang, yaitu kalsitonin 4 IU/kgBB IM atau

SC setiap 12 jam yang menghambat maturasi osteoklas, bifosfonat yang

sitotoksik terhadap osteoklas, atau galim nitrat yang menghambat

pompa proton pada membran osteoklas.

3. Mengurangi absorbsi kalsium di usus dapat dilakukan dengan pemberian

prednison 20-40 mg/hari, yang mana kan mengurangi produksi

kalsitriol.

4. Kelasi kalsium terionisasi dengan Na-EDTA atau fosfat IV.

13

Page 14: gangguan elektrolit

5. Pemberian diuretik maupun hemodialisis merupakan pilihan untuk

hiperkalsemia berat, terutama apabila disertai insufisiensi ginjal atau

gagal jantung yang membatasi pemberian cairan.

2.3.3 Hipokalsemia

Hipokalsemia dapat diakibatkan oleh defisiensi vitamin D (paparan sinar

matahari yang tidak adekuat, diet rendah lemak, malabsorbsi, gangguan

metabolisme vitamin D), hipoparatiroidisme, keganasan, hiperfosfatemia,

penyakit hati atau ginjal, kelasi kalsium (sitrat pada tranfusi darah, penggunaan

kontras), pemakaian diuretik, dan obat yang dapat menurunkan availabilitas

kalsium (β-blocker, Ca-channel blocker). Gejala klinis hipokalsemia terutama

diakibatkan oleh peningkatan iritabilitas saraf, dan paling sering terlihat pada

sistem kardiovaskuler seperti hipotensi, bradikardia, disritmia (pemanjangan

interval QT, inversi gelombang T, fibrilasi ventrikel), dan kegagalan respon

terhadap calcium-mediated drugs (digitalis, epinefrin, norepinefrin, dopamin).

Dari sistem saraf akan tampak gejala tetani, tanda Chvostek, tanda Trousseau,

spasme otot, parastesia, perubahan status mental, atau kejang. Spasme laring

sampai apnea dapat muncul pada hipokalsemia. Gejala-gejala tersebut biasanya

baru timbul bila kadar kalsium terionisasi <2,8 mg/dL.1,2,11,12

Idealnya, terapi harus didasari oleh kadar kalsium yang terionisasi. Pada

keadaan asimtomatik, pasien dianjurkan meningkatkan asupan kalsium dalam

makanan sebesar 1000 mg/hari. Hipokalsemia simtomatik akut adalah suatu

kegawatdaruratan medis, dikoreksi dengan pemberian 100-200 mg kalsium

elemental IV (10 mL kalsium glukonas 10% setara 93 mg kalsium) dalam 10-20

menit, dan dilanjutkan dengan infus 0,5-1,5 mg/kgBB/jam dalam dekstrosa atau

NaCl 0,9%. Serum kalsium akan kembali normal 1-2 jam setelah pemberian

regimen ini, setelahnya dosis pemeliharaan diturunkan menjadi 0,3-0,5

mg/kgBB/jam. Preparat vitamin D seperti ergokalsiferol 50.000 U/hari,

dihidrotakisterol 100-400 µg/hari, atau kalsitriol 0,25-1 µg/hari bisa diberikan,

namun perlu diingat bahwa pemberian yang berlebihan dapat menyebabkan

hiperkalsemia.1,2

14

Page 15: gangguan elektrolit

BAB 3

SIMPULAN

Cairan tubuh dibagi dalam dua kompartemen yaitu cairan ekstrasel (60%) dan cairan

intrasel (40%). Dalam dua kompartemen tersebut terdapat elektrolit yang penting

dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel. Natrium di ekstrasel dan kalium

di intrasel adalah kation utama yang mempengaruhi tekanan osmotik cairan. Kondisi

tertentu dapat menimbulkan ketidakseimbangan elektrolit, yang selanjutnya

mempengaruhi osmolalitas dan fungsi sistemik tubuh.

Keseimbangan natrium dikontrol oleh ADH dan sistem RAA. Hipernatremia

pada DI disebabkan oleh insufisiensi ADH, dengan klinis poliuria disertai osmolaritas

urin rendah. Penanganan DI meliputi terapi cairan dengan monitor, vasopresin, serta

antidiuretik. Gejala hiponatremia meliputi cefalgia, kelemahan otot, kejang, sampai

henti nafas. SIADH diakibatkan oleh pelepasan ADH tanpa rangsangan fisiologis,

dengan tiga kriteria diagnosis yaitu hiponatremia, urin pekat, serta tanpa disfungsi

ginjal dan adrenal. SIADH diterapi dengan restriksi cairan. CSW merupakan

kehilangan natrium melalui ginjal akibat proses intrakranial yang idiopatik. Pembeda

SIADH dan CSW adalah volume ekstrasel dan keseimbangan garam. Target terapi

CSW adalah penggantian cairan dan keseimbangan garam yang positif.

Kalium berfungsi dalam kontraksi otot, konduksi saraf, dan transpor cairan.

Hiperkalemia meningkatkan kepekaan membran sel, sehingga potensial aksi lebih

mudah terjadi, yang menyebabkan kelemahan otot, disritmia, serta gangguan

transmisi saraf. Penanganan berupa pemberian Ca glukonas, Na bikarbonat, insulin,

loop-diuretic, resin, atau hemodialisis. Gejala hipokalemia berupa kelemahan otot,

kelelahan, myalgia, disritmia Koreksi kalium dapat melalui PO atau IV (larutan KCl).

Keseimbangan kalsium diatur oleh absorbsi usus, ekskresi ginjal, dan faktor

hormonal (kalsitriol, PTH). Hiperkalsemia menurunkan eksitabilitas neuromuskuler

yang menyebabkan kelemahan otot sampai koma. Adapun terapi hiperkalsemia

adalah infus NS, kalsitonin atau bifosfonat, diuretik, maupun hemodialisis. Gejala

klinis hipokalsemia seperti hipotensi, bradikardia, disritmia, tanda Chvostek, tanda

Trousseau, spasme otot, parastesia, perubahan status mental, atau kejang. Terapinya

berupa asupan kalsium oral, kalsium glukonas, maupun preparat vitamin D.

15

Page 16: gangguan elektrolit

DAFTAR PUSTAKA

1. Greenberg MS, dkk. Fluids and Electrolytes. Dalam: Greenberg MS, dkk.

Handbook of Neurosurgery. New York: Thieme; 2001. Hal14-25.

2. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam:

Tjokroprawiro A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V.

Surabaya: FK Unair; 2007. Hal175-89.

3. Guyton AC, dkk. Pengaturan Osmolaritas Cairan Ekstrasel dan Konsentrasi

Natrium. Dalam: Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi

11. Jakarta: EGC; 2008. Hal366-82.

4. Guyton AC, dkk. Pengaturan Ginjal terhadap Kalium, Kalsium, Fosfat, dan

Magnesium; Integrasi Mekanisme Ginjal untuk Pengaturan Volume Darah dan

Volume Cairan Ekstrasel. Dalam: Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2008. Hal366-82.

5. Promes S, Wang NE. Management of Electrolyte Emergencies. Hospital

Physician Emergency Medicine Board Review Manual. 2006;8(3):1-12.

6. Lobo DN, dkk. Disorders of Sodium, Potassium, Calcium, Magnesium, and

Phosphate. Dalam: Lobo DN, Lewington AJP, Allison SP. Basic Concepts of

Fluid and Electrolyte Therapy. Melsungen: Bibliomed; 2013. Hal101-11.

7. Makaryus AN, McFarlane SI. Diabetes Insipidus: Diagnosis and Treatment of a

Complex Disease. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2006;73(1):65-71.

8. Zomp A, Alexander E. Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone and

Cerebral Salt Wasting in Critically Ill Patients. AACN Advanced Critical Care.

2012;23(3):233-9.

9. Balasubramanian A, Flareau B, Sourbeer JJ. Syndrome of Inappropriate

Antidiuretic Hormone Secretion. Hospital Physician. 2007:33-39.

10. Hoskote SS, Joshi SR, Ghosh AK. Disorders of Potassium Homeostasis:

Pathophysiology and Management. JAPI. 2008;56:685-93.

11. Soares MJ, Pathak K, Calton EK. Calcium and Vitamin D in the Regulation of

Energy Balance: Where Do We Stand? Int J Mol Sci. 2014;15:4938-45.

12. Peacock M. Calcium Metabolism in Health and Disease. CJASN. 2010;5:23-

30.

16