ga pd atresia ani

50
BAB I PENDAHULUAN Seorang bayi laki-laki bernama By. Ny. IR dengan usia 4 hari dibawa ke RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 02 Mei 2015 di rawat di Perinatologi dengan keluhan utama Bayi lahir tidak memiliki lobang anus. Dari hasil pemeriksaan ditegakkan diagnosis Atresia Ani Letak Rendah dengan fistula perineal. Operasi dilakukan pada tanggal 05 Mei 2015 pukul 10.00 WIB oleh ahli bedah dr. Willy, Sp.BA dan ahli anastesi dr.Ade Susanti, Sp.An dengan jenis/tindakan general anestesi. 1

Upload: anya-aulia-fatihah

Post on 26-Sep-2015

229 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

general anetesi

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Seorang bayi laki-laki bernama By. Ny. IR dengan usia 4 hari dibawa ke RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 02 Mei 2015 di rawat di Perinatologi dengan keluhan utama Bayi lahir tidak memiliki lobang anus.Dari hasil pemeriksaan ditegakkan diagnosis Atresia Ani Letak Rendah dengan fistula perineal.Operasi dilakukan pada tanggal 05 Mei 2015 pukul 10.00 WIB oleh ahli bedah dr. Willy, Sp.BA dan ahli anastesi dr.Ade Susanti, Sp.An dengan jenis/tindakan general anestesi.

BAB IILAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIENNama: By. Ny. IRUmur: 4 hariJenis Kelamin: Laki-lakiAlamat: Desa Logan Tengah RT 06 Tanjab TimurRuangan: PerinatalogiDiagnosis: Atresia Ani Letak Rendah dengan fistula perinealTindakan: Anoplasty (Anterosagital Anorectoplasty)BB/TB: 2 kg / 41 cmGol. Darah: A

II. ANAMNESISA. Keluhan UtamaBayi lahir tidak memiliki lobang anus.

B. Riwayat Penyakit SekarangBayi datang via IGD rujukan dari RS Nurdin Hamzah Sabak dengan diagnosis Atresia Ani + Fistel Perineal dan distensi abdomen. Bayi lahir 2 hari yang lalu ditolong oleh bidan, bayi lahir spontan dan segera menangis. C. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Hipertensi (-)- Riwayat Operasi (-) Riwayat Asma (-)- Riwayat Alergi Obat (-) Riwayat DM (-)- Riwayat Penyakit Lain (-) Riwayat batuk (-)D. Riwayat Kebiasaan (-)E. Pemeriksaan Fisik1. Tanda VitalKesadaran : Compos MentisSuhu : 37,0 CTD : -RR : 42 x/menitNadi : 134 x/menit

2. Kepalaa. Mata: Ca -/-, SI -/-, Reflex cahaya +/+, Pupil isokor +/+ b. THT: Telinga : tidak tampak kelainanHidung : sekret -, hiperemis -/-Tenggorokkan : Mallampati sulit dinilaic. Leher: Pembesaran KGB (-)

3. ThoraksInspeksi: Datar, retraksi (-)Palpasi: Krepitasi (-), Vocal fremitus tidak dilakukan Perkusi: Tidak dilakukanAuskultasi: Pulmo : Vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-) Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

4. AbdomenInspeksi: Cembung (+), sikatriks (-)Palpasi: Distensi (+)Perkusi: hipertimpaniAuskultasi: BU (+) normal

5. Genitalia: Tidak ada kelainan

6. Ektremitas: Akral hangat (+/+) , edema (-/-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG (02 Mei 2013)1. Darah RutinPemeriksaanNilaiSatuanNilai Normal

WBCRBCHbHtTrombositCTBT10,43,4716,537,225942103 / mm3106/ mm3g/dl%103/ mm3DetikDetik3,5-103,8-5,811 16,535-50150 - 390

2. X- Ray (Tidak dilakukan pemeriksaan)3. CT- Scan (Tidak dilakukan pemeriksaan)4. Pemeriksaan Penunjang Lain (-)

IV. STATUS FISIK ASA : 1 2 3 4 5 EV. RENCANA TINDAKAN ANESTESI1. Diagnosis Pra Bedah: Atresia Ani Letak Rendah dengan fistula perineal2. Tindakan Bedah: Anoplasty (Anterosagital Anorectoplasty)3. Status Fisik ASA: : 1 2 3 4 5 E4. Metode Anestesi: Anestesi General Premedikasi : - Induksi: Sulfas Atropin 0,05 mg Pethidin 2 mg Sevoflurane 4 vol % Relaksasi: Atracurium 1 mg Pemeliharaan: Sevoflurane 2 vol %

KEADAAN PENDERITA SELAMA OPERASI :1. Posisi Penderita: Lithotomi2. Intubasi: Oral No. Tube : 2,5 (tanpa balon) Penyulit intubasi : Tidak ada Penyulit waktu Anestesi: Tidak ada3. Lama Anestesi : 60 menit4. Jumlah Cairan:Input: WIDA D10 50 ccOutput: Urin 30 ccJumlah Pendarahan: 10 cc5. Monitoring Peri OperatifJamInfusNadi (x/menit)

10.0010.1510.3010.4511.00WIDA D10 50cc + Ca glukonas 2 amp140145145135145

6. Instruksi Anestesi Bayi dipuasakan selama 24 jam Beri oksigen Terapi disesuaikan dengan terapi dr. Willy, Sp.BA

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANESTESIA PEDIATRIKDASAR ANATOMI DAN FISIOLOGI a. Jalan Nafas1,2 Bayi mempunyai kepala lebih besar (terutama oksiput) dibandingkan dengan tubuhnya, sehingga lebih sukar untuk menempatkan dalam posisi sniffing. Beri ganjalan bahu untuk mendapatkan posisi yang lebih baik. Jalan nafas sempit memerlukan usaha jalan nafas yang cukup besar untuk dapat melampaui resistensinya, sehingga sumbatan jalan nafas oleh atresia koanal atau secret dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas total. Demikian juga dengan pemasangan pipa nasogastrik, sehingga pilihan terbaik adalah pipa nasogastrik. Bayi mempunyai lidah yang relatif besar sehingga dapat menyulitkan pada saat melakukan ventilasi sungkup dan laringoskopi. Posisi pita suara pada bayi dan anak lebih sefalad (C3 pada preterm, C4 pada bayi, C5 pada dewasa) dan mempunyai epiglotis yang panjang, menyempit, dan bersudut, sehingga menyebabkan visualisasi pita suara pada saat laringoskopi menjadi lebih sulit. Pita suara akan terlihat lebih anterior sehingga untuk memvisualisasinya seringkali diperlukan penekanan krikoid pada waktu laringoskopi.

b. Fisiologi Respirasi2,3Fisiologi yang menyebabkan bayi dan neonatus mudah terjadi desaturasi : Neonatus mempunyai kebutuhan metabolik yang tinggi dengan konsumsi O2 mendekati 7-9 ml/KgBB/menit dibandingkan dengan dewasa yang hanya 3ml/KgBB/menit. Bayi mempunyai ventilasi semenit yang lebih tinggi dari FRC yang rendah perkilogram berat badan dibandingkan dewasa. Paru-paru neonatus mempunyai closing volume yang tinggi, melampaui batas terendah volume tidalnya.

c. Fisiologi Ventilasi Otot pernafasan utama pada bayi adalah diafragma, diafragma bayi lebih mudah fatigue daripada dewasa karena neonatus hanya mempunyai setengah dari jumlah serat otot oksidatif kontraksi lambat tipe I pada dewasa untuk bertahan terhadap peningkatan usaha respirasi. Ventilasi semenit yang tinggi, terutama dalam kondisi stress membatasi kemampuan untuk meningkatkan usaha ventilasi secara efektif. Terjadinya henti nafas dan ketidakstabilan kardiovaskuler akibat anestesia umum meningkat pada bayi prematur dan usia kurang dari 60 minggu pascakonsepsi seperti juga bayi yang sepsis atau mengalami infeksi sistemik. Pasien seperti ini harus dimonitor 24 jam pascabedah. Bayi aterm, usia gestasi kurang dari 46 minggu dan bayi eksprematur usia getasi kurang dari 52 minggu harus dirawat dan di monitor sepanjang malam.

d. Sistem kardiovaskular Cardiac outout neonatus 180-240 ml/KgBB/menit, dua sampai tiga kali lipat dibanding dewasa. Ventrikel nonkomplians dan mempunyai masa otot yang relative lebih kecil pada neonatus dan bayi, sehingga hanya memiliki sedikit cadangan kompensasi. Karena terdapat keterbatasan kemampuan untuk meningkatkan kontraktilitas, maka peningkatan kardiak output tergantung pada laju jantung Laju jantung dan tekanan darah bervariasi sesuai dengan usia.

UmurHRTekanan SistolikTekanan Diastolik

Preterm 1000grNewborn6 bulan2 tahun4 tahun8 tahun130-150110-15080-15085-12575-11560-1104560-75959598112252745505760

e. Cairan dan Elektrolit Pada waktu lahir, laju filtrasi glomerulus 15-30% dari nilai normal pasien dewasa dan mencapai nilai dewasa pada usia 1 tahun. Tolerasni neonatus terhadap pemberian air dan garam sangat rendah karena laju filtrasi glomerulus yang rendah dan penurunan kemampuan untuk memekatkan urin. Hipokalsemia sering terjadi pada bayi premature, kecil pada masa kehamilan, asfiksia, ibu dengan DM, atau mendapat transfusi PRC dan FFP.

f. Sistem Hematologi Volume darah pada bayi aterm 80 ml/KgBB dan akan mencapai nilai dewasa (70 ml/Kg) pada tahun pertama. Nilai hematokrit normal berubah secara bermakna pada bulan pertama kehidupan, keadaan anemia fisiologi terjadi pada usia 3 bulan dan dapat mencapai kadar yang lebih rendah dari 28% pada bayi yang sehat. Pada saat lahir, HbF lebih dominan tetapi akan segera diganti dengan HbA dalam 3-4 bulan. Pada bulan ke 6 tercapai rasio HbF/HbA yang sama dengan dewasa. Pada bayi prematur penurunan kadar hemoglobin lebih cepat dan lebih besar dan dapat mencapai 7-8gr% pada bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1500gr (karena umur eritrosit lebih pendek, pertumbuhan yang cepat, kadar epogen yang diproduksi sedikit)

g. Sistem Hepatobilier Enzim hati yang penting dalam metabolisme obat belum berkembang pada bayi, terutama yang berperan pada fase reaksi konjugasi.

h. Endokrin Faktor resiko lain terjadinya hipoglikemia pada neonatus diantaranya prematur, stress perinatal, sepsis, dan neonatus kecil sesuai masa kehamilan. Bayi baru lahir, terutama prematur dan bayo kecil sesuai masa kehamilan mempunyai hanya sediki cadangan glikogen (hanya dihati dan myokard) dan dangat mudah mengalami hipoglikemia. Kadar gula darah normal pada saat lahir adalah 40 mg/dl.

i. Pengaturan suhu Tubuh Dibandingkan dengan dewasa, bayi dan anak mempunyai permukaan tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan berat badannya, sehingga dapat menyebabkan kehilangan panas yang besar melalui radiasi, evaporasi, konveksi dan konduksi. Bayi berumur kurang dari 3 bulan tidak dapat mengkompensasi dingin dengan menggigil. Bayi merespon stress dingin dengan meningkatkan produksi norepinefrin, yang meningkatkan metabolisme lemak coklat. Selain menungkatkan produksi panas, norepinefrin juga meningkatkan vasokontriksi paru dan perifer. Jika berlanjut, bisa menyebabkan pintasan dari kanan ke kiri, hipoksia dan asidosis metabolik. Bayi sakit dan premature mempunyai cadangan lemak coklat yang terbatas sehingga lebih tidak tahan terhadap dingin.

3.2 PENERAPAN ANESTESIA4,5,6,7a. Masa Pra-anestesiaKunjungan pra-anestesia dilakukan sekurang-kurangnya dalam waktu 24 jma sebelum dilakukan tindakan anestesia. Perkenalan dengan orang tua penderita sangat penting untuk memberikan penjelanan mengenai masalah pembedahan dan anestesia yang akan dilakukan. Pada kunjungan tersebut kita melakukan penilaian keadaan umum, pemeriksaan fisik dan mental pasien.Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama puasa pre operasi neonatus dan bayi 1-6 bulan selama 4 jam sedangkan anak lebih dari 6 bulan-3tahun 6jam. Lebih dari 3 tahun 8 jam.

b. Pengaruh pada FarmakologiMetabolisme Obat :Hati adalah tempat utama metaboisme obat. Obat yang mengalami metabolisme hati mempunyai koefisien ekstraksi hepar yang tinggi atau rendah. Obat dengan koefisien ekstraksi (e.g fentanyl, morphine) tergantung dari aliran darah hati dan tidak bergantug dari ikatan protein untuk bersihan obat. Sedangkan obat dengan koefisien ekstraksi hati yang rendah (alfentil) tergantung dari fraksi obat bebas dan kinetik enzim dalam membatasi laju eliminasi obat.

Eliminasi obat:Proses nefrogenesis dimulai pada usia kehamilan 8 minggu dan menjadi sempurna pada usia 36 minggu pasca kelahiran. Perkembangan fungsi ginjal dapat merubah bersihan plasma terhadap komponen obat secara dramatis melalui ginjal, sehingga akan mempengaruhi pemilihan dosis yang sesuai umur.

Obat anestesia intravena: Secara umum neonatus membutuhkan dosis yang lebih rendah, sedangkan bayi membutuhkan dosis yang lebih besar. Propolol belum direkomendasikan penggunaanya untuk anak dibawah usia 3 tahun walaupun sudah banyak digunakan, bahkan pada neonatus. Proporsi curah jantung yang mencapai otak lebih besar pada neonatus dibandingkan pada anak yang lebih besar sehingga dosis untuk induksi intravena pada neonatus menjadi lebih kecil. Fungsi ginjal dan hati yang belum sempurna menyebabkan ekskresi obat lebih lambat sehingga interval dosis yang diberikan harus lebih lambat untuk menghindari toksis.

Obat anestesia inhalasi MAC obat anestesia inhalasi lebih besar pada anak yang lebih muda dan menurun sejalan dengan meningkatnya usia, namun neonatus membutuhkan konsentrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan bayi. Obat anestesia inhalasi yang dibutuhkan pada bayi 30% lebih besar dari normal, namun batas keamanan antara efek anestesia yang adekuat dan depresi sistem kardiovaskuler dan respirasi lebih sempit dibandingkan pada dewasa. Obat anestesia inhalasi lebih cepat mencapai otak sehingga lebih mudah untuk melakukan induksi anestesia. Waktu pulih juga lebih cepat. Ambilan obat anestesia inhalasi lebih cepat daripada dewasa atau anak besar karena : raiso antara ventilasi alveolar dan kapasitas cadangan fungsional lebih tinggi (4:1 vs 1,4 : 1) kelarutan gas dalam darah lebih kecil aliran darah ke otak lebih besar curah jantung lebih tinggi

Obat Pelumpuh otot Bayi prematur mempunyai masa otot lebih sedikit Reseptor asetil kolin mempunyai subtipe (fetal) yang berbeda Bayi prematur menunjukkan terjadi kelelahan pascatetanik dalam 15-20 menit Reseptor EMG berkurang pada neonatus aterm sampai 12 minggu PCA Reseptor pada NMJ belum matang dan jumlahnya masih sedikit pada neonatus dan bayi Dosis obat pelumpuh otot tergantung dari volume cairan ekstra sel. Volume cairan ekstraselular relatif konstan (6-8 L/m2)

Obat Analgetik Opioid Neonatus lebih sensitif terhadap analgetik opioid karena pusat pernapasan yang belum matur, sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya sleep apnue. Bersihan morfin pada anak lebih panjang 4 kali lipat dibandingkan dewasa.

c. PremedikasiTujuan utama melakukan premedikasi pada anak adalah untuk memfasilitasi perpisahan dengan orang tua agar lebih nyaman, sehingga kecemasan pada saat induksi anestesi berkurang. Bayi berusia kurang dari 6 bulan dapat dipisahkan dengan mudah dari orang tuanya, hanya dengan membuat lingkungannya senyaman mungkin, seperti diberi selimut atau boneka yang lembut, atau dibiarkan memakai empeng. Bayi diatas 6 bulan sampai usia toddler membutuhkan premedikasi untuk memudahkan pemisahan dengan orang tua, begitu juga dengan anak yang sudah berkali-kali masuk RS atau anak dengan gangguan komunikasi. Atropin, hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan suksinilkolin halotan, prostigmin atau eter. Dosisnya ialah 0,01-0,02 mg/kgbb. Penenang, Diazepam diberikan 0,2-0,4 mg/kgbb dapat diberikan baik secara oral atau rektal. Suntikan i.m atau i.v kurang disukai karena sering menimbulkan nyeri. Droperidol 0,15 mg/kg kadang diberikan pada anak secara i.m atau i.v. Midazolam (0,07-0,2 mg/kgBB) Premedikasi i.m diberikan 30-60 menit sebelum induksi anestesia, sedangkan secara i.v 5 menit sebelum induksi.

d. Masa Anestesia Induksi Intravena Thiopental (3mg/kg neonate, 5-6 mg/kg untuk infant dan anak) Ketamin 1-2 mg/kgBBInduksi Inhalasi Sevoflurane dan Halotan dengan O2 atau campuran N2O dalam oksigen 50%. Konsentrasi halotan berawal 1 volume % kemudian dinaikan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur.

e. IntubasiLaringoskopi pada bayi dan anak tidak membutuhkan bantal kepala. Kepala bayi terutama neonatus oksiputnya menonjol. Perbedaan anatomi, lebih mudah menggunakan laringoskop dengan bilah lurus pada bayi. Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa kaf. Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh pakai kaf pada kasus laparatomi atau jika takut terjadi aspirasi. Bayi prematur biasa menggunakan pipa bergaris tengah 2-2,5mm, bayi cukup bulan 2,5-3,5mm. Sampai 6 bulan 3-4mm dan sampai 1 tahun 3,5-4,5mm. Usia diatas 1 tahun gunakan rumus : umur (tahun) / 4 + 4mm. Intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan trauma perdarahan adenoid dan infeksi.

f. Pemeliharaan AnestesiaDianjurkan dengan intubasi dan pernafasan kendali. Pada umunya menggunakan anestesi N2O/O2 dengan kombinasi halotan, isofluran, ataupun sevoflurane. Pelumpuh otot golongan non depolarisasisangat sensitive sehingga harus diencerkan dan pemberiannya secara sedikit demi sedikit.

g. Cairan perioperatif dan transfusi darah pada pediatriTerapi cairan perioperatif digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu penggantian kekurangan cairan yang terjadi sebelum operasi, pemberian cairan rumatan dan pengganti kehilangan selama operasi (mencukupi volume cairan untuk mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat).Kebutuhan cairan pengganti defisit sebelum operasiPada dehidrasi ringan, tanda/gejala klinis yang berguna adalah rasa haus dan mukosa yang kering. Pada dehidrasu sedang tanda tambahan yang lain adalah takipnue, kulit dingin, akral pucat dengan waktu pengisian kapiler (CRT) yang memanjang, turgor kulit yang menurun dan mata sayu. Pada dehidrasi berat tanda/gejala tambahan lain adalah iritabel, letargi nafas cepat dan dalam (kusmaul) dan ubun-ubun cekung.Pada anak yag melakukan puasa perioperatif seperti yang dianjurkan oleh ASA, kehilangan cairan karena puasa sangat sedikit, sehingga tidak diperhitungkan dalam perhitungan cairan intraoperatif.Hipovolemia harus dikoreksi dengan pemberian cairan inisial sebanyak 10-20 ml/kg berupa cairan isotonis atau koloid, dan bisa diulangi sesuai dengan kebutuhan.

Puasa Perioperatif

Jika terjadi kehilangan darah yang masif, harus dilakukan transfusi darahKoreksi kehilangan cairan sebanyak 1 % akibat dehidrasi membutuhkan cairan sebanyak 10 cc/kgBB. Kecepatan pemberian cairan tergantung dari seberapa berat kekurangan cairan yang terjadi. Kehilangan darah diganti dengan perbandingan 1:1 jika diberikan produk darah atau koloid, dan 3:1 jika diberikan cairan pengganti kristaloid.

Kebutuhan cairan rumatanKebutuhan cairan rumatan dihitung berdasarkan rekomendasi dari Holliday dan Segar (rumurs 4:2:1) untuk anak dan bayi berusia lebih dari 4 minggu menggunakan berat badannya. Neonatus aterm (>36 minggu usia kehamilan) kebutuhan cairan hingga 10-15% BB pada masa ini.Kebutuhan cairan rumatan harus ditambah pada anak dengan demam, keringat yang banyak, status hipermetabolik seperti luka bakar atau pada penggunaan penghangat dan fototerapi.Holliday dan Segar 100c/kg/24jamBB < 10kg(untuk 24 jam)+ 50 cc/kg/24 jamBB 10-2- kg+ 20 cc/kg/24jam BB >20 kg

Rumus 4-2-110 kg pertama4 cc/kg/jam(kebutuhan per jam)10 20 kg2 cc/kg/jam> 20 kg1 cc/kg/jam

Kebutuhan elektrolitNa : 3 mmol/kgK: 2 mmol/kgdihitung dari jumlah lektrolit yang terkandung dalam setiap cc ASI

Anestesia umum akan menurunkan kebutuhan kalori hingga mendekati laju metabolisme basal. Selama operasi, hampir semua anak tidak membutuhka cairan yang mengandung dekstrose kecuali pada keadaan: Neonatus berusia sampai 48 jam Bayi prematur dan matur yang sudah diberikan cairan yang mengandung dekstrosa atau dalam terapi nutrisi parenteral sebelum operasi, harus dilanjutkan pemberian dekstrosa atau nutrisi selama operasi atau diperiksa kadar gula darahnya secara berkala sepanjang operasi. Pada bayi dan anak yang lebih muda, daoat diberikan cairan yang mengandung dekstrose 1 % atau 2 % dalam larutan ringer. Anak dengan berat badan rendah atau menjalani operasi yang panjang harus menerima cairan rumatan yang mengandung dekstrose (1-2,5 % dekstrose) atau diperiksa kadar gula darahnya secara berkala sepanjang operasi. Anak yang mendapatkan analgesia regional dengan respon stress yang berkurang harus menerima cairan rumatan yang mengandung dekstrose (1-2,5 % dekstrose) atau diperiksa kadar gula darahnya secara berkala sepanjang operasi.

Penggantian kehilangan cairan intraoperatifSemua kehilangan cairan selama operasi harus diganti dengan cairan isotonik kristaloid, koloid atau produk darah, bergantung kadar hematokrit anak. Pada keadaan normal, pemberian 15-20 cc/kgBB cairan kristaloid dalam 15-20 menit cukup untuk mengembalikan kestabilan kardiovaskuler. Setelah pemberian total 30 50 cc/kgBB cairan kristaloid dapat diberikan cairan koloid (albumin atau koloid sintetik) untuk mempertahankan tekanan osmotik intravaskuler.Perhitungan jumlah darah yang akan ditransfusikan berdasarkan persamaan : berat badan (kg) x peningkatan Hb (gr/dl) x 3 / (kadar hematokrit). Persamaan ini memprediksi bahwa dengan standar hematokrit 0,6, 10 cc/kg darah akan meningkatkan kadar hemoglobin sebesar 2 g/dl.

Pemantauan Anestesi Pernapasan : Stetoskop prekordial. Pada nafas spontan, gerak dada dan bagian resrvoir, warna ektremitas. Sirkulasi : Stetoskop prekordial, perabaan nadi EKG dan CVP. Suhu: Rektal, esofagus, nasofaring Perdarahan: Isi dalam botol suction. Perikasa Hb dan Ht secara serial. Air kemih: Isi dalam kantong kemih

h. Pengakhiran AnestesiPembersihan lendir dalam rongga hidung dan mulut secara hati-hati. Pemberian O2 100% selama 5-15 menit setelah agent dihentikan. Bila ada pengaruh obat non-depol dapat dlakukan penetralan dengan nostigmin (0,04mg/kg) bersama atropin (0,02mg/kg) kemudian lakukan ekstubasi. Untuk memindahkan penderita ke ruangan biasa dihitung dulu, skornya menurut Steward.PergerakanGerak bertujuanGerak tak bertujuanTidak bergerak210

PernafasanBatuk, menangisPertahankan jalan nafasPerlu bantuan210

Kesadaran MenangisBereaksi terhadap rangsanganTidak bereaksi210

Jika jumlah 5 penderita bisa dipindahkan keruangan.

3.3 ATRESIA ANIa. DefinisiAtresia berasal dari bahasa yunani, a berarti tidak dan trepsis berarti nutrisi dan makanan. Dalam istilah kedokteran yaitu suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal.8

b. EtiologiPenyebab atresia ani sampai saat ini masih belum jelas, diduga genetik juga berperan dalam munculnya kelainan ini. Namun ada sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus disebabkan oleh :8,9 Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan fusi, atau pembentukan abus dari tonjolan embriogenik. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang anus. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan. Kelaianan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum sfingter dan otot dasar panggul. Berkaitan dengan sindrom down.

c. KlasifikasiMenurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi menjadi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin, yaitu :8,91. Laki-laki Kelompok I Kelainan : fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada, invertogram (udara > 1cm dari kulit) Tindakan : kolostomi neonatus; operasi definitif pada usia 4-6 bulan Kelompok II Kelainan : fistel perineum, membrana anal, stenosis anus, fistel tidak ada, invertogram (udara < 1 cm dari kulit) Tindakan : operasi langsung pada neonatus2. Perempuan Kelompok I Kelainan : kloaka, vistel vagina, fistel anovestibuler atau retrovestibuler, atresia rektum, fistel tidak ada, invertogram (uadar > 1 cm dari kulit) Tindakan : kolostomi neonatus Kelompok II Kelainan : fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada, invertogram (udara < 1 cm dari kulit)Klasifikasi lain menurut Ladd dan Gross pada tahun 1934 mengajukan klasifikasi terdiri atas 4 tipe, yaitu : Tipe I: Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam berbagai derajat. Tipe II: Terdapat suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya membran anus. Tipe III: Anus tidak terbentuk dan rektum berakhir sebagai suatu kantung yang buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus seharusnya terbentuk (lekukan anus). Merupakan jenis yang paling sering ditemukan Tipe IV: Saluran anus dan rektum bagian bawah membentuk suatu kantung buntu yang terpisah, pada jarak tertentu dari ujung rektum yang berakhir sebagai suatu kantung buntu. Merupakan bentuk yang paling jarang dijumpai. Gambar 1. Atresia ani tanpa fistula

Gambar 2. Atresia ani dengan fistulaKelainan bentuk anorektum juga dapat dikelompokkan berdasarkan hubungan antara bagian terbawah rektum yang normal dengan otot puborektalis yang memiliki fungsi sangat penting dalam proses defekasi berdasarkan letak ujung atresia terhadap otot dasar panggul, yakni supralevator dan translevator, dikenal sebagai klasifikasi Melboume.

Kelainan bentuk anorektum dikelompokkan menjadi:1. Kelainan letak rendah (infralevator)Pada kelainan letak rendah, rektum telah menembus levator sling sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm, muskulus sfingter ani interna dalam keadaan utuh, kelainan letak rendah lebih sering dijumpai pada bayi perempuan. Bentuk yang dapat ditemukan berupa stenosis anus, tertutupnya anus oleh suatu membran tipis yang seringkali disertai fistula anokutaneus, dan anus ektopik yang selalu terletak di anterior lokasi anus yang normal. Gambar 3.Fistul anokutaneus (bucket handle) anus ektopik2. Kelainan letak tinggi (supralevator)Pada kelainan letak tinggi, rektum yang buntu terletak di atas levator sling dan juga dikenal dengan istilah agenesis rektum. Kelainan letak tinggi lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki. Pada kelainan letak tinggi sering kali terdapat fistula, yang menghubungkan antara rektum dengan perineum, saluran kemih atau vagina.

Gambar 4. Atresia ani letak rendah dan letak tinggiJenis fistula yang dapat ditemukan pada perempuan adalah fistula anokutaneus, fistula rektoperineum dan fistula rektovagina. Fistula anokutaneus mencakup bentuk kelainan yang sebelumnya dikenal sebagai anus ektopik anterior atau fistula anoperineum. Pada fistula rektoperineum, fistula bermuara di sepanjang perineum mulai dari lekukan anus sampai pada batas vestibulum vagina. Sementara pada fistula rektovagina, lubang fistula bermuara pada fosa navikularis, vestibulum vagina, atau bahkan pada dinding posterior vagina. Pada laki-laki dapat dijumpai dua bentuk fistula, yaitu fistula rektourinaria dan fistula rektoperineum; jenis yang pertama lebih banyak ditemukan. Sebagian besar fistula rektourinaria berupa fistula rektouretra, muara fistula terdapat di uretra pars prostatika tepat di bawah verumontagum berdekatan dengan duktus ejakulatorius. Fistula rektourinaria juga dapat dijumpai dalam bentuk fistula rektovesika, fistula ini menghubungkan rektum dengan kandung kemih pada daerah trigonum vesika. Jenis fistula ini sangat jarang ditemukan. Pada fistula rektoperineum, muara fistula terdapat di perineum di sepanjang daerah antara lekukan anus sampai batas perineoskrotum.Fistula dapat berukuran sedemikian kecil sehingga sukar ditemukan dan tidak dapat dilalui mekoneum atau berukuran cukup besar sehingga memungkinkan pengeluaran mekoneum dari rektum yang buntu. Pada kasus kelainan bentuk anorektum disertai fistula dengan ukuran cukup besar, manifestasi obstruksi usus akibat buntunya rektum tidak terjadi, karena mekoneum dapat keluar melalui fistula.Fistula dapat ditemukan pada sekitar tiga perempat kasus dan sebagian besar di antaranya terdapat pada kasus tipe III berdasarkan klasikfikasi ladd and gross.

Gambar 5. fistule yang muncul pada atresia anid. Patofisiologi10Kelainan terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjilan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjaadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 990% dengan vistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah menuju ke uretra (rektouretralis).9

e. Diagnosis Anamnesis9 Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir Tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula Bila ada fistula pada perineum (mekkonium +) kemungkinan letak rendah Kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rektal, adanya membran anal bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulit abdomen akan kelihatan menonjol bayi muntah-muntah pada usia 24-48 jam setelah lahir

Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik pada semua bayi baru lahir harus dilakukan pemasukan thermometer melalui anusnya, tidak hanya untuk mengetahui suhu tubuh, tetapi juga untuk mengetahui apakah terdapat anus imperforate atau tidak. Pada inspeksi tidak adanya lubang anus, mekonium tidak keluar, atau keluar lewat fistula perineal/vaginal/vestibular/uretra, atau adanya tonjolan di perineum. Pada palpasi dengan jari kelingking meraba membrane untuk mengetahui sfingter ani yang kontraksi atau mekonium dengan ujung thermometer.8

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan foto rontgen menurut metode Wangensteen dan Rice bermanfaat dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu. Foto diambil setelah 24 jam setelah lahir, jangan sampai kurang karena jika kurang usus bayi belum cukup berisi udara sehingga diagnosisnya nanti bisa kabur. Setelah berumur sekurang-kurangnya 24 jam, bayi kemudian diletakkan dalam posisi terbalik selama sekitar 3 menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit ekstensi, dan kemudian dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral, setelah suatu petanda diletakkan pada daerah lekukan anus. Penilaian foto rontgen dilakukan terhadap letak udara di dalam rektum dalam hubungannya dengan garis pubokoksigeus dan jaraknya terhadap lekukan anus. Udara di dalam rektum yang terlihat di sebelah proksimal garis pubokoksigeus menunjukkan adanya kelainan letak tinggi. Sebaliknya, udara di dalam rektum yang tampak di bawah bayangan tulang iskium dan amat dekat dengan petanda pada lekukan anus memberi kesan ke arah kelainan letak rendah. Pada kelainan letak tengah, ujung rektum yang buntu berada pada garis yang melalui bagian paling bawah tulang iskium sejajar dengan garis pubokoksigeus.8,9,11

Gambar 6. gambaran radiologis atresia aniPemeriksaan radiologis dapat ditemukan, antara lain :11a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil / anus imperforata, pada bayi dengan anus imperforata. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon / rektum.c. Dibuat foto anteroposterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.Dengan pemeriksaan voiding cystogram, dapat menentukan letak fistula rektouretra. Gambaran udara di dalam kandung kemih menunjukkan adanya fistula. Tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan primer anak-anak kelainan anorectal karena kepekaannya lebih lemah dibandingkan dengan distal colostography Distal colostography, Ini menjadi satu-satunya test diagnostik paling utama yang digunakan untuk memperjelas anatomi pada semua anak-anak dengan kelainan yang memerlukan colostomy. Kateter dimasukkan kedalam tubuh ditempatkan ke distal stoma, dan balon dipompa. Kateter ditekan, dan kontras yang larut dalam air disuntik dengan tangan. Tekanan ini diperlukan untuk memperlemah tekanan dari levator otot dan untuk memasukkan kontras sehingga mengalir ke bagian paling rendah kolon dan mengetahui letak fistule.Semua bayi yang mengalami kelainan bentuk anorektum perlu menjalani pemeriksaan foto rontgen seluruh bagian kolumna vertebralis dan urogram intravena untuk menemukan kelainan bawaan lainnya di daerah tersebut. Apabila belum sempat dilakukan pada masa prabedah, maka kedua pemeriksaan tersebut sebaiknya dikerjakan setelah dilakukan kolostomiSacral Radiograpi. Dilakukan Untuk melihat sakrum, posteroanterior dan lateral. Dilakukan untuk memastikan rasio sakral dan untuk melihat ada tidaknya defek pada sakral, hemivertebra dan massa presacral. Ini dilakukan sebelum operasi.USG abdomen, Spesifik Untuk memeriksa saluran kemih dan untuk melihat ada tidaknya massa lain. Dilakukan sebelum operasi dan harus diulang setelah 72 jam karena USG yang lebih awal menemukan sebab awal ultrasonography mungkin tidak cukup untuk mengesampingkan hydronephrosis akibat vesicoureteral reflux.USG spinal atau MRI, CT scan Banyak anak dengan atresia ani juga memiliki kelainan tethered spinal cord.

f. Diagnosis Banding8 Hirschsprungs diseasePada pemeriksaan barium enema memperlihatkan penyempitan segmen kolon aganglionik, biasanya di daerah rektosigmoid dan proksimal daerah patologis terdapat pelebaran usus. Tampak daerah transisi antara kolon proksimal yang melebar dan kolon distal yang sempit, dimana daerah transisi ini dapat berupa perubahan kaliber yang mendadak, bentuk corong atau bentuk terowongan. Meconium plug syndromGambaran radiologik berupa gambaran usus yang melebar disertai gambaran udara air dan kadang-kadang disertai gumpalan mekonium.

g. Tatalaksana8,10,12Penanganan awal pasien dengan atresia ani yaitu harus dihentikan masukan makanan unuk mencegah mual, muntah dan dehidrasi lebih lanjut. Dekompresi dilakukan dengan Pemasangan NGT Sebelum dilakukan tindakan operatif diberikan antibiotik sebagai profilaksi terhadap infeksi sebelum dilakukan tindakan operatif.

Penanganan lanjut Pembuatan kolostomiKolostomi adalah sebuah lubang yang dibuat oleh dokter bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen dari usus besar atau kolon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumya ditunda 9 sampai 12 bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.Prosedur dilakukannya operasi yakni pemotongan muskulus levator ani dan m, sfingter eksternus pada garis tengah sehingga memudahkan mobilisasi kantong rectum proksimal dan pemotongan fistul apapun.Gambar 7. teknik operasi PSARP Tutup kolostomiTindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB akan berkurang frekuensinya dan agak padat.

h. KomplikasiKomplikasi yang dapat timbul pada penderita atresia ani, yaitu :81. Konstipasi Feses mengeras dan tidak bisa keluar karena tidak ada lubang, atau ada lubang tetapi letaknya salah dan ukurannya kecil.2. KematianBiasanya diakibatkan oleh kelainan sistem organ lain yang menyertai atresia ani, sebagian besar akibat kelianan jantung dan sistem syaraf pusat.3. Ileus obstruksi Pada atresia ani tanpa fistula, karena gangguan pasase usus, maka akan terjadi ileus dimana bayi akan muntah, perut distende.4. Infeksi traktus urinarius yang rekurenAkibat pasase feses lewat traktus urinarius.i. Prognosis8Prognosis tergantung pada fungsi klinis. Dengan dinilai pengendalian defekasi, pencemaran pakaian dalam, sensibilitas rektum dan kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur. Fungsi kontinensia tidak hanya tergantung pada kekuatan sfingter atau sensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan mental penderita.Pada atresia letak tinggi, banyak anak-anak memiliki masalah dalam mengontrol fungsi saluran cerna atau pengendalian defekasi. Sebagian besar mengalami konstipasi. Pada anak-anak dengan atresia letak rendah secara garis besar mempunyai kontrol pencernaan yang baik, tetapi dapat pula mengalami konstipasi.

BAB IVPEMBAHASAN

Seorang bayi laki-laki bernama By. Ny. IR dengan usia 4 hari dibawa ke RSUD Raden Mattaher Jambi pada tanggal 02 Mei 2015 di rawat di Perinatologi dengan keluhan utama Bayi lahir tidak memiliki lobang anus.Dari hasil pemeriksaan ditegakkan diagnosis Atresia Ani Letak Rendah dengan fistula perineal.Operasi dilakukan pada tanggal 05 Mei 2015 pukul 10.00 WIB oleh ahli bedah dr. Willy, Sp.BA dan ahli anastesi dr.Ade Susanti, Sp.An dengan jenis/tindakan general anestesi.Dalam persiapan operasi, bayi dipuasakan, tidak boleh diberi ASI dan diit. Dilakukan premedikasi dengan memberikan sulfas atropin yang diencerkan sebanyak (0,01-0,02)mg x 2 kg = 0,02 sampai 0,08 mg (diambil interval yaitu 0,05mg) sebagai golongan antikolenergik sehingga meningkatkan sistem saraf simpatis dan juga bekerja memblok asetilkolin endogen maupun eksogen. Pada saluran nafas efeknya adalah untuk mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus. Pada saluran pencernaan sebagai antispasmodik (menghambat peristaltik lambung dan usus). Phetidin (1 2 mg/kgBB) x 2 kg = 2 4 mg bertujuan untuk mengurangi rangsang nyeri pada saaat operasi. Dan induksi dilakukan dengan menggunakan sevoflurane 4 vol %. Medikasi muscle relaxan Atracuriun (0,5 0,6 mg/kgBB) x 2 kg = 1 1,2 mg yang memiliki kerja lebih cepat, keuntungan adalah tidak mengganggu fungsi ginjal dan aliran darah otak, sedangkan kerugiannya adalah tejadinya gangguan fungsi hati dan efek kerjanya lebih lama. Lalu dilakukan intubasi dengan ETT No. 2,5. Pemeliharaan anestesi menggunakan O2 : N2O = 1:1 ditambah sevoflurane 2 vol %. Pengakhiran anestesi dengan pembersihan lendir dalam rongga hidung dan mulut. Pemberian O2 100% selama 5-15menit setelah agent dihentikan dan dilakukan ekstubasi. Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik penderita dipindahkan keruang pulih. Untuk memindahkan penderita ke ruangan perinatologi dihitung dulu skornya menurut Steward, skor 5 penderita bisa dipindahkan keruangan perinatologi.Terapi maintenance cairan pasien dihitung dengan rumus 100 ml x kgBB/24jam sehingga didapatkan 100 ml x 2 kg = 200 ml/24 jam.Kecepatan tetesan infus bisa dihitung :Jumlah tetes/menit (mikrodrip) = (jumlah cairan x 60) / (lama infus x 60) jadi kecepatannya didapatkan (200 ml x 60) / (24 x 60) = 12000 / 1440 = 8,33 = 8 tetes/menit

BAB VKESIMPULAN

Anestesia pada anak memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dari pada anestesia pada pasien dewasa. Dikarenakan dengan kesulitan hubungan anatomi dan fisiologi terutama karena perkembangannya sesuai usia pasien.Dari manajemen anestesia anak juga melibatkan banyak hal lain yang ditujukan bagi keamanan pasien; misalnya suhu tubuh dan suhu kamar operasi, pemilihan peralatan yang digunakan dan pemilihan pemantuahan selama anestesia. Dalam kasus By. Ny. IR ini selama operasi berlangsung tidak ada penyulit yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Secara umum pelaksanaan operasi dan penangan anestesi berlangsung dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC. 20072. Sunarto RF, Susilo C. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI/RSCM. 2012. Hal: 375-396.3. Latief s, Suryadi KA, Dahlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Indonesia. 2001. Hal 30-45.4. Sadikin, Z.D. & Elysabeth. Anestetik Umum. Dalam: Farmakologi dan Terapi. G.G, Sulistia. Ed. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009. Hal: 122-160.5. S.M, Darto. & Thaib, R. Obat Anestetik Intravena. Dalam: Anestesiologi. Muhiman, M. Thaib, . Eds.Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta: FKUI. 1989. Hal: 65-71.6. A.L, Said & Suntoro, A. Anestesia Pediatrik. Dalam: Anestesiologi. Muhiman, M. Thaib, . Eds.Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta: FKUI. 1989. Hal: 115-122.7. Keat S, Bate ST, Bown A, dan Lanham S. Anaesthesia On The Move. Matthews P, editor. Jakarta: Indeks. 2013.8. Jong, Wime De, Sjamsuhidayat, R, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1998, Hal : 664-6709. FK USU. Atresia Ani. Fakultas Kedokteran Universitas Utara. 200610. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah Kesehatan Anak I, FK-UI, Jakarta, 1985, Hal : 204-511. Bedah UGM. Atresia Ani. http://www.bedahugm.net12. Sabiston D.C, Fr, Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1992, Hal : 262

1