frak tur

52
Kebutuhan Dasar Manusia II Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Fraktur Femur Kanan, serta Bagaimana Konsep Fraktur dan Konsep Teori Tentang Nyeri Oleh : Kelompok 3 Anggota kelompok : Risman saputra 910312910106. 157 Rosmayasari 910312910106. 167 Aris ardianto 910312910106. 158 Hastuti 910312910106. 168 Wd. Sitti asrabia 910312910106. 159 Rosalinda 910312910106. 169 Esti yunita 910312910106. 160 Isra Aryani 910312906105. 172 Sarkasinur 910312910106. 161 Santiyani 910312910106. 170 Feriyanto 910312910106. 162 Ongalia nely 910312906105. 171

Upload: rirind

Post on 15-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

FRAKTUR

TRANSCRIPT

Page 1: Frak Tur

Kebutuhan Dasar Manusia II

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Fraktur Femur Kanan, serta Bagaimana Konsep

Fraktur dan Konsep Teori Tentang Nyeri

Oleh :

Kelompok 3

Anggota kelompok :

Risman saputra 910312910106. 157 Rosmayasari 910312910106. 167

Aris ardianto 910312910106. 158 Hastuti 910312910106. 168

Wd. Sitti asrabia 910312910106. 159 Rosalinda 910312910106. 169

Esti yunita 910312910106. 160 Isra Aryani 910312906105. 172

Sarkasinur 910312910106. 161 Santiyani 910312910106. 170

Feriyanto 910312910106. 162 Ongalia nely 910312906105. 171

Rajab adi putra 910312910106. 163 Arruan deka ariani 910312906105. 173

Niwis safitri 910312910106. 164

S1 Keperawatan

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Avicenna

Tahun Ajaran 2011 / 2012

Page 2: Frak Tur

KONSEP TENTANG FRAKTUR

A. PENGERTIAN FRAKTUR

Fraktur adalah Discontinuitas dari jaringan tulang (patah tulang) yang biasanya di

sebabkan oleh adanya kekerasan yang timbul secara mendadak (Bernard Bloch,

1986).

Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai tipe dan luasnya

(Harnowo, 2002).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang

umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Arif, 2000).

B. KLASIFIKASI KLINIS

1. Fraktur dahan patah (Greenstick fracture) :

Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi lainnya membengkok

Terjadi pada anak-anak, tulang patah dibawah lapisan periosteum yang elastis

dan tebal (lapisan periosteum itu sendiri tidak rusak)

2. Fissura fraktur :

Patah tulang yang tidak disertai perubahan letak yang berarti

3. Fraktur yang lengkap (complete fracture) :

Patah tulang yang disertai dengan terpisahnya bagian-bagian tulang.

4. Communited fracture :

Patah tulang menjadi beberapa fragmen.

5. Fraktur tekan (stress fracture):

Kerusakan tulang karena kelemahan yang terjadi sesudah berulang-ulang ada

tekanan berlebihan yang tidak lazim

6. Impacted fracture :

Fragmen-fragmen tulang terdorong masuk kearah dalam tulang satu sama lain,

sehingga tidak dapat terjadi gerakan diantara fragmen-fragmen itu

C. MANIFESTASI KLINIS FRAKTUR

Manifestasi klinis fraktur adalah didapatkan adanya riwayat trauma, nyeri, hilangnya

fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan local dan perubahan

warna.

Page 3: Frak Tur

Nyeri, terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.

Nyeri tekan saat dipalpasi akan terlihat pada daerah fraktur (tenderness). Spasme

otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk

meminimalkan gerakan antar fragmen tulang

Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan / hilangnya fungsi

anggota badan dan persendian-persendian yang terdekat dan cenderung bergerak

secara tidak alamiah (Gerakan luar biasa / gerakan-gerakan yang abnormal)

bukannya tetap rigid seperti normalnya.

Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan “Deformitas/

Perubahan bentuk” (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui

dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat

berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang

tempat melengketnya otot.

Pada fraktur panjang, terjadi “Pemendekan tulang” yang sebenarnya karena

kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling

melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci)

Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan

“Krepitasi/krepitus” yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan

lainnya. (Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih

berat)

Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat

trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bias baru terjadi setelah

beberapa jam atau hari setelah cedera.

Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru

tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan

saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan

pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah

tersebut. Bila berdasarkan pengamatan klinis diduga ada fraktur, maka perlakukanlah

sebagai fraktur sampai terbukti lain.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a) Radiografi pada dua bidang (cari lusensi dan diskontinuitas pada korteks tulang).

b) Tomografi, CT Scan, MRI (jarang).

Page 4: Frak Tur

c) Ultrasonografi dan scan tulang dengan radioisotope. (scan tulang terutama berguna

ketika radiografi / CT Scan memberikan hasil negative pada kecurigaan fraktur secara

klinis).

E. KOMPLIKASI FRAKTUR

1. Komplikasi segera

Lokal :

- kulit : abrasi, laserasi, penetrasi

- pembuluh darah : robek

- sistem syaraf : sumsum tulang belakang, saraf tepi motorik dan sensorik

- otot

- organ dalam : jantung, paru, hepar, limpa, kandung kemih

Umum :

- ruda paksa multipel

- syok : hemoragik, neurogenik

2. Komplikasi dini

Lokal :

- nekrosis kulit, gangren, osteomyelitis, dll

Umum :

- ARDS, emboli paru, tetanus

3. Komplikasi lama

Lokal :

- sendi : ankilosis fibrosa, dll

- tulang gagal taut/taut lama/salah taut

- patah tulang ulang

- osteomyelitis, dll

- otot/tendo: ruptur tendo, dll

- syaraf ; kelumpuhan saraf lambat

Umum :

- batu ginjal (akibat imobilisasi lama ditempat tidur)

Page 5: Frak Tur

F. PENATALAKSANAAN FRAKTUR

1. Penatalaksanaan secara umum

Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan

pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan

sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada

masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu

tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di

RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi

semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan

lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk

mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada

jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.

2. Penatalaksanaan kedaruratan

Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari

adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai

adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien

dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan

sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah

tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen

patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan

lebih lanjut.

Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan

menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang

memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen

tulang

Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan

bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang

panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai

bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang

cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan

bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk

menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.

Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk

mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan

Page 6: Frak Tur

reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah

bidai sesuai yang diterangkan diatas.

Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian

dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi

cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa

mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

3. Penatalaksanaan bedah ortopedi

Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani

pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi

stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis,

gangguan peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prpsedur

pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna

atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation).

Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang

lazim dilakukan :

Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah

setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah

Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat,

paku dan pin logam

Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk

memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang

berpenyakit.

Amputasi : penghilangan bagian tubuh

Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang

memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar)

atau melalui pembedahan sendi terbuka

Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak

Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis

Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi

dengan logam atau sintetis

Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi

Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau

mengurangi kontraktur fasia.

Page 7: Frak Tur

4. Prinsip penanganan fraktur

Prinsip-prinsip tindakan/penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan

pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi :

a. Reduksi,

Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada

kesejajarannya dan rotasi anatomis

Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi

anatomik normalnya.

Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi

terbuka. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip

yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur

sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya

akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi

fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.

Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan

dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya

saling berhubungan) dengan “Manipulasi dan Traksi manual”. Sebelum

reduksi dan imobilisasi, pasien harus dimintakan persetujuan tindakan,

analgetik sesuai ketentuan dan bila diperlukan diberi anestesia. Ektremitas

dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat

lain dipasang oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan

menstabilkan ektremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus

dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran

yang benar.

Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.

Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

Reduksi terbuka, pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.

Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna

dalam bentuk pin, kawat, sekrup, palt, paku atau batangan logam dapat

digunakan untuk mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya sampai

penyembuhan tulang yang solid terjadi.

Page 8: Frak Tur

b. Imobilisasi,

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau

dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi

penyatuan.

Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi

penyembuhan

Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat “eksternal”

bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan

alat-alat “internal” (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang, dll)

Tabel.1. Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang fraktur

No Posisi / lokasi fraktur Lamanya dalam minggu

1. Falang (jari) 3-5

2. Metakarpal 6

3. Karpal 6

4. Skafoid 10 (atau sampai terlihat penyatuan pada

sinar-x

5. Radius dan ulna 10-12

6. Humerus :

Supra kondiler

Batang

Proksimal (impaksi)

Proksimal (dengan

pergeseran)

3

8-12

3

6-8

7. Klavikula 6-10

8. Vertebra 16

9. Pelvis 6

10. Femur :

Intrakapsuler

Intratrokhanterik

Batang

Suprakondiler

24

10-12

18

12-15

11. Tibia :

Proksimal

8-10

14-20

Page 9: Frak Tur

Batang

Maleolus

6

12. Kalkaneus 12-16

13. Metatarsal 6

14. Falang (jari kaki) 3

c. Rehabilitasi,

Sasarannya meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian

yang sakit

Untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan mempertahankan

reduksi dan imobilisasi adalah peninggian untuk meminimalkan bengkak,

memantau status neurovaskuler (misalnya; pengkajian peredaran darah, nyeri,

perabaan, gerakan), mengontrol ansietas dan nyeri (mis; meyakinkan,

perubahan posisi, strategi peredaran nyeri, termasuk analgetika), latihan

isometrik dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktifitas hidup sehari-hari,

dan melakukan aktifitas kembali secara bertahap dapat memperbaiki

kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas

semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.

Tabel.2. Ringkasan tindakan terhadap fraktur

Sasaran Tindakan terhadap fraktur

Mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal (reduksi)

Mempertahankan reduksi sampai terjadi penyembuhan (imobilisasi)

Mempercepat pengembalian fungsi dan kekuatan normal bagian yang terkena

(rehabilitasi)

Metode untuk mencapai reduksi fraktur

Reduksi tertutup

Traksi

Reduksi terbuka

Metode mempertahankan imobilisasi

Alat eksterna

Alat interna

Mempertahankan dan mengembalikan fungsi

Mempertahankan reduksi dan imobilisasi

Page 10: Frak Tur

Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan

Memantau status neuruvaskuler

Mengontrol kecemasan dan nyeri

Latihan isometric dan setting otot

Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari

Kembali aktivitas secara bertahap

G. TAHAP-TAHAP PENYEMBUHAN FRAKTUR

Secara ringkas tahap penyembuhan tulang adalah sebagai berikut :

1. Stadium Pembentukan Hematom

Hematom terbentuk dari darah yang mengalir yang berasal dari pembuluh darah

yang robek

Hematom dibungkus jaringan lunak sekitar (periosteum & otot)

Terjadi sekitar 1-2 x 24 jam

2. Stadium Proliferasi sel/inflamasi

Sel-sei berproliferasi dari lapisan dalam periosteum, sekitar lokasi fraktur

Sel-sel ini menjadi precursor osteoblast

Sel-sel ini aktif tumbuh kearah fragmen tulang

Proliferasi juga terjadi di jaringan sumsum tulang

Terjadi setelah hari ke-2 kecelakaan terjadi

3. Stadium Pembentukan Kallus

Osteoblast membentuk tulang lunak (kallus)

Kallus memberikan rigiditas pada fraktur

Jika terlihat massa kallus pada X-ray berarti fraktur telah telah menyatu

Terjadi setelah 6-10 hari setelah kecelakaan terjadi

4. Stadium Konsolidasi

Kallus mengeras danerjadi proses konsolidasi. Fraktur teraba telah menyatu

Secara bertahap menjadi tulang mature

Terjadi pada minggu ke 3-10 setelah kecelakaan

5. Stadium Remodeling

Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada lokasi eks fraktur

Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklast

Page 11: Frak Tur

Pada anak-anak remodeling dapat sempurna, pada dewasa masih ada tanda

penebalan tulang

H. GANGGUAN YANG DAPAT TERJADI PADA PROSES PENYEMBUHAN

FRAKTUR

Pada proses penyembuhan patah tulang ini dapat mengalami beberapa gangguan,

diantaranya adalah :

3. Terjadi perlambatan penyembuhan patah tulang, disebut juga “pertautan

lambat”dan dengan berlalunya waktu pertautan akan terjadi.

4. Patah tulang tidak menyambung sama sekali, meskipun ditunggu berapa lama

Gagalnya pertautan mengakibatkan pseudartrosis atau sendi palsu karena bagian

bekas patah tulang ini dapat digerakkan seperti sendi

3. Terjadi pertautan namun dalam posisi yang salah, keadaan ini disebut juga “salah-

taut”.

I. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENYEMBUHAN

FRAKTUR

a. Faktor yang mengganggu penyembuhan fraktur

1. Imobilisasi yang tidak cukup

Imobilisasi dalam balutan gips umumnya memenuhi syarat imobilisasi,

asalkan persendian proksimal dan distal dari patah tulang turut di imobilisasi.

Gerakan minimal pada ujung pecahan patah tulang di tengah otot dan di dalam

lingkaran kulit dalam gips, yang misalnya disebabkan oleh latihan ekstremitas

yang patah tulang tidak mengganggu, bahkan dapat merangsang

perkembangan kalus. Hal ini berlaku nutuk atah tulang yang ditangani gips

maupun traksi.

2. Infeksi

Infeksi di daerah patah tulang merupakan penyulit berat

Hematom merupakan lingkungan subur untuk kuman patologik yang dapat

menyebabkan osteomyelitis di kedua ujung patah tulang, sehingga proses

penyembuhan sama sekali tidak dapat berlangsung.

5. Interposisi

Interposisi jaringan seperti otot atau tendo antara kedua fragmen patah tulang

dapat menjadi halangan perkembangan kalus antara ujung patahan tulang

Page 12: Frak Tur

Penyebab yang lain, karena distraksi yang mungkin disebabkan oleh kelebihan

traksi atau karena tonus dan tarikan otot.

4. Gangguan perdarahan setempat

Pendarahan jaringan tulang yang mencukupi untuk membentuk tulang baru

merupakan syarat mutlak penyatuan fraktur.

5. Trauma local ekstensif

6. Kehilangan tulang

7. Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang

8. Keganasan local

9. Penyakit tulang metabolic (mis; penyalit paget)

10. Radiasi (nekrosis radiasi

11. Nekrosis avaskuler

12. Fraktur intra artikuler (cairan sinovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis

bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendala

13. Usia (lansia sembuh lebih lama)

14. Kortikosteroid (menghambat kecepata perbaikan)

b. Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur

a. Imobilisasi fragmen tulang

b. Kontak fragmen tulang maksimal

c. Asupan darah yang memadai

d. Nutrisi yang baik

e. Latihan-pembebanan berat badan untuk tulang panjang

f. Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid kalsitonin, vitamain D, steroid anabolic

g. Potensial listrik pada patahan tulang

Pengkajian Keperawatan

1. Riwayat keperawatan

a. Riwayat perjalanan penyakit

Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan keseh

Apa penyebabnya, kapan terjadinya kecelakaan atau trauma

Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak

Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan

Kehilangan fungsi

Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis

Page 13: Frak Tur

b. Riwayat pengobatan sebelumnya

Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis kortikosteroid dalam

jangka waktu lama

Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama pada wanita

Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut

Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir

c. Proses pertolongan pertama yang dilakukan

Pemasangan bidai sebelum memindahkan dan pertahankan gerakan diatas/di

bawah tulang yang fraktur sebelum dipindahkan

Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi edema

2. Pemeriksaan fisik

a. Mengidentifikasi tipe fraktur

b. Inspeksi daerah mana yang terkena

Deformitas yang nampak jelas

Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera

Laserasi

Perubahan warna kulit

Kehilangan fungsi daerah yang cidera

c. Palpasi

Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran

Krepitasi

Nadi, dingin

Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur

Diagnosa Keperawatan pada Fraktur Femur

1. Resiko terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak

2. Gangguan rasa nyaman: Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan

lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemas, Potensial infeksi sehubungan

dengan luka terbuka.

3. Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri,

immobilisasi.

4. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengobatan sehubungan

dengan kesalahan dalam penafsiran, tidak familier dengan sumber informasi.

Page 14: Frak Tur

Rencana Keperawatan

Diagnosa 1

Resiko terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak

Intervensi

Indenpenden:

a) Observasi tanda-tanda vital.

b) Mengkaji sumber, lokasi, dan banyaknya per darahan

c) Memberikan posisi supinasi

d) Memberikan banyak cairan (minum)

Kolaborasi:

a) cairan per infuse

b) Pemberian obat koagulan sia (vit.K, Adona) dan penghentian perdarahan dgn

fiksasi.

c) Pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht)

Rasional:

a) Untuk mengetahui tanda-tanda syok sedini mungkin

b) Untuk menentukan tindak an

c) Untuk mengurangi perdarahan dan mencegah kekurangan darah ke otak.

d) Untuk mencegah kekurangan cairan(mengganti cairan yang hilang)

e) Pemberian cairan perinfus.

f) Membantu proses pembekuan darah dan untuk menghentikan perdarahan.

g) Untuk mengetahui kadar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.

Diagnosa 2

Gangguan rasa nyaman:

Nyeri s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab,

stress, dan cemas

Intervensi

Independen:

a) Mengkaji karakteristik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan

menggunakan skala nyeri (0-10)

Page 15: Frak Tur

b) Mempertahankan immobilisasi (back slab)

c) Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.

d) Menjelaskan seluruh prosedur di atas

Kolaborasi:

a. Pemberian obat-obatan analgesik

Rasional

a) Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan jenis tindak

annya.

b) Mencegah pergeseran tulang dan penekanan pada jaringan yang luka.

c) Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan mengurangi nyeri.

d) Untuk mempersiapkan mental serta agar pasien berpartisipasi pada setiap

tindakan yang akan dilakukan.

e) Mengurangi rasa nyeri

Diagnosa 3

Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri,

immobilisasi.

Intervensi

Independen:

a) Kaji tingkat immobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien

tentang immobilisasi tersebut.

b) Mendorong partisipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca kora,

dll ).

c) Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang

cedera maupun yang tidak.

d) Membantu pasien dalam perawatan diri

e) Auskultasi bising usus, monitor kebiasa an eliminasi dan menganjurkan agar

b.a.b. teratur.

f) Memberikan diit tinggi protein , vitamin , dan mineral.

Kolaborasi:

a) Konsul dengan bagian fisioterapi Pasien akan membatasi gerak karena salah

persepsi (persepsi tidak proposional)

Page 16: Frak Tur

b) Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memusatkan perhatian,

meningkatkan perasaan mengontrol diri pasien dan membantu dalam

mengurangi isolasi sosial.

c) Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot,

mempertahankan mobilitas sendi, mencegah kontraktur / atropi dan reapsorbsi

Ca yang tidak digunakan.

d) Meningkatkan kekuatan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam

mengontrol situasi, meningkatkan kemauan pasien untuk sembuh.

e) Bedrest, penggunaan analgetika dan perubahan diit dapat menyebabkan

penurunan peristaltik usus dan konstipasi.

f) Mempercepat proses penyembuhan, mencegah penurunan BB, karena pada

immobilisasi biasanya terjadi penurunan BB (20 – 30 lb).

Catatan : Untuk sudah dilakukan traksi.

Untuk menentukan program latihan.

Diagnosa 4

Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengo- batan sehubungan

dengan kesalahan dalam pe- nafsiran, tidak familier dengan sumber in- formasi.

Intervensi

Independen:

a) Menjelaskan tentang kelainan yang muncul prognosa, dan harapan yang akan

datang.

b) Memberikan dukungan cara-cara mobilisasi dan ambulasi sebagaimana yang

dianjurkan oleh bagian fisioterapi.

c) Memilah-milah aktifitas yang bisa mandiri dan yang harus dibantu.

d) Mengidentifikasi pelayanan umum yang tersedia seperti team rehabilitasi,

perawat keluarga (home care)

e) Mendiskusikan tentang perawatan lanjutan.

Rasional:

a) Pasien mengetahui kondisi saat ini dan hari depan sehingga pasien dapat

menentukan pilihan.

Page 17: Frak Tur

b) Sebagian besar fraktur memerlukan penopang dan fiksasi selama proses

penyembuhan sehingga keterlambatan penyembuhan disebabkan oleh

penggunaan alat bantu yang kurang tepat.

c) Mengorganisasikan kegiatan yang diperlu kan dan siapa yang perlu

menolongnya. (apakah fisioterapi, perawat atau keluarga).

d) Membantu meng- fasilitaskan perawatan mandiri memberi support untuk

mandiri.

e) Penyembuhan fraktur tulang kemungkinan lama (kurang lebih 1 tahun)

sehingga perlu disiapkan untuk perencanaan perawatan lanjutan dan pasien

koopratif.

KONSEP DASAR NYERI

A. PENGERTIAN NYERI

Page 18: Frak Tur

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori

subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan

kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya

kerusakan

B. FISIOLOGI NYERI

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.

Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit

yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor

nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang

bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh

yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral,

karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang

berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah

ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus)

terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab

nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat

pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang,

pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur

reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit

dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ

viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor

Page 19: Frak Tur

ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap

penekanan, iskemia dan inflamasi.

BAGAN.

C. TEORI PENGONTROLAN NYERI (GATE CONTROL THEORY)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat

menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba

menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap

paling relevan (Tamsuri, 2007)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri

dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat.

Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan

impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut

merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari

otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C

melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain

Stimulus

Kerusakan jaringan

Rangsangan zat-zat kimia endogen

Aktivasi nosireseptor

Transmisi impuls nociceptif ke SSP

Respon Nyeri

Page 20: Frak Tur

itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang

melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari

serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme

penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan

lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang

dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan

tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan

ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur

saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh

nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan

dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian

plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

D. RESPON PSIKOLOGIS

respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang

terjadi atau arti nyeri bagi klien.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :

1) Bahaya atau merusak

2) Komplikasi seperti infeksi

3) Penyakit yang berulang

4) Penyakit baru

5) Penyakit yang fatal

6) Peningkatan ketidakmampuan

7) Kehilangan mobilitas

8) Menjadi tua

9) Sembuh

10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa

12) Tantangan

13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

14) Sesuatu yang harus ditoleransi

15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi,

pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya.

Page 21: Frak Tur

E. RESPON FISIOLOGIS TERHADAP NYERI

1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

F. RESPON TINGKAH LAKU TERHADAP NYERI

1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari &

tangan

5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari

kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan

nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat

berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis.

Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih

atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks

Page 22: Frak Tur

dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap

nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa

mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar

tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam

fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif,

maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap

nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang

mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri

dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah

akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat

toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya

orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah

nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang

berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda

tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu

dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi

wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang

digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri.

Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit

mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan

nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan

bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Page 23: Frak Tur

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih

membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga

dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami

episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah

kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri

untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

G. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON NYERI

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon

nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis

dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang

dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani

dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri

diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam

merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki

mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri

misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang

harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika

ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan

bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi

persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan

nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri

yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi

nyeri.

6) Ansietas

Page 24: Frak Tur

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang

cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri

yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya

seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi

nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya

pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau

teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.

H. INTENSITAS NYERI

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu,

pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam

intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua

orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin

adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,

pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri

itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) Skala intensitas nyeri deskriti

2) Skala identitas nyeri numerik

Page 25: Frak Tur

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,

menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat

mengikuti perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi

nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas

panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas

nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,

sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari

waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

Page 26: Frak Tur

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih

obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah

garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang

sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai

“nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta

klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan

seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak

menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk

mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri

dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas

nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai

nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah

suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi

verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk

mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri

yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari

pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak

mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca

dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat

bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi

perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala

menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau

peningkatan (Potter, 2005).

 

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN FRAKTUR FEMUR KANAN

Page 27: Frak Tur

KASUS

Tn.Ridawan 35 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas (jatuh dari motor) saat dibawa ke

IGD RS Avicenna klien diterima oleh ners susi dari hasil anamneses klien mengeluh sangat

nyeri seperti teriris pada kaki kanan terutama bagian paha, klien mengatakan tidak bisa

menggerakkan kaki kanannya, dan apabila digerakkan oleh perawat nyerinya akan semakin

bertambah. Hasil pemeriksaan Ners Susi didapatkan ada luka memar pada daerah paha,

terjadi pembengkakan dan nyeri tekan, saat kaki kanan klien digerakkan klien akan Nampak

meringis kesakitan, klien mangatakan nyerinya terus-menerus sejak jatuh dari motor.

Pemeriksaan vital sign tensi 120/80 mmHg, nadi 98 kali per menit, suhu 37 °C, pernapasan

24 kali per menit.

1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

A. Pengumpulan data

1. Biodata klien

Nama : Tn.Ridwan

Umur : 35 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

2. Riwayat kesehatan / keperawatan

a. Riwayat kesehatan sekarang

1) Alasan masuk rumah sakit

Untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan setelah mengalami kecelakaan

lalu lintas (jatuh dari motor).

2) Keluhan utama

Klien mengatakan nyeri seperti teriris pada kaki kanan terutama bagian paha

dan klien tidak bisa menggerakkan kaki kanannya.

3) Riwayat keluhan utama

Mulai timbul keluhan : sejak jatuh dari motor

Sifat keluhan : terus-menerus

Lokasi : paha bagian kanan

4) Keluhan lain

Klien mengatakan nyeri dirasakan terus-menerus sejak jatuh dari motor.

Page 28: Frak Tur

Klien mengatakan nyeri bertambah ketika kaki kanannya digerakkan oleh

perawat.

b. Riwayat kesehatan masa lalu

c. Pemeriksaan fisik

3. Pemeriksaan vital sign

TD : 120/80 mmHg

N : 98 X / menit

S : 37 °C

P : 24 X / menit

4. Pemeriksaan ekstremitas bawah

Terdapat luka memar pada daerah paha kanan.

Terjadi pembengkakan pada daerah paha kanan.

Nyeri tekan pada daerah paha kanan.

5. Pemeriksaaan penunjang

Hasil pemeriksaan radiologi : fraktur femur kanan.

B. Klasifikasi data

1. Data subjektif :

Klien mengatakan nyeri seperti teriris pada paha bagian kanan.

Klien mengatakan tidak dapat menggerakkan kaki kanannya

Klien mengatakan nyeri dirasakan terus-menerus sejak jatuh dari motor.

Klien mengatakan nyeri bertambah ketika kaki kanannya digerakkan oleh

perawat

2. Data objektif :

Vital sign :

TD: 120/80 mmHg

N : 98 X / menit

S : 37 °C

P : 24 X / menit

Terdapat luka memar pada daerah paha kanan.

Terjadi pembengkakan pada daerah paha kanan.

Nyeri tekan pada daerah paha kanan.

Page 29: Frak Tur

Klien nampak meringis kesakitan ketika kaki kanannya digerakkan.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

A. Analisa data

NO SYMPTOM ETIOLOGI PROBLEM

1. Data subjektif :

Klien mengatakan nyeri seperti

teriris pada paha bagian kanan.

Klien mengatakan nyeri

dirasakan terus-menerus.

Data objektif :

Terdapat luka memar pada

daerah paha kanan.

Terjadi pembengkakan pada

daerah paha kanan.

Fraktur nyeri

2. Data subjektif :

Klien mengatakan tidak dapat

menggerakkan kaki kanannya.

Klien mengatakan nyeri

bertambah ketika kaki

kanannya digerakkan.

Data objektif :

Nyeri tekan pada daerah paha

kanan.

Klien Nampak meringis

kesakitan ketika kaki kanannya

digerakkan.

Nyeri Hambatan

mobilitas fisik

B. Patofisiologi dan penyimpangan KDM

Benturan akibat kecelakaan

Page 30: Frak Tur

Fraktur

Trauma jaringan

Adanya luka

Rangsangan mengeluarkan zat-zat bradikinin, histamine, prostaglandin menuju thalamus

dan korteks serebri

Nyeri

Pembatasan gerak tubuh

Aktivitas yang dilakukan minimal

Hambatan mobilitas fisik

C. Rumusan Diagnosis Keperawatan

1. Nyeri b/d fraktur dan kerusakan jaringan otot.

2. Hambatan mobilitas fisik b/d nyeri daerah fraktur.

3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI

Page 31: Frak Tur

1. Nyeri b/d fraktur dan

kerusakan jaringan

otot

Setelah dilakukan Asuhan

keperawatan jam tingkat

kenyamanan klien

meningkat,tingkat nyeri

terkontrol dg KH:

Klien melaporkan

nyeri berkurang dg

scala 2-3

Ekspresi wajah tenang

klien dapat istirahat

dan tidur

Manajemen nyeri :

Kaji nyeri secara

komprehensif

termasuk lokasi,

karakteristik,

durasi, frekuensi,

kualitas dan faktor

presipitasi.

Observasi reaksi

nonverbal dari

ketidak nyamanan.

Gunakan teknik

komunikasi

terapeutik untuk

mengetahui

pengalaman nyeri

klien sebelumnya.

Kontrol faktor

lingkungan yang

mempengaruhi

nyeri seperti suhu

ruangan,

pencahayaan,

kebisingan.

Kurangi faktor

presipitasi nyeri.

Pilih dan lakukan

penanganan nyeri

(farmakologis/non

farmakologis).

Ajarkan teknik non

farmakologis

(relaksasi, distraksi

dll) untuk

Page 32: Frak Tur

mengetasi nyeri..

Berikan analgetik

untuk mengurangi

nyeri.

Evaluasi tindakan

pengurang

nyeri/kontrol nyeri.

Kolaborasi dengan

dokter bila ada

komplain tentang

pemberian

analgetik tidak

berhasil.

Administrasi analgetik :.

Cek program

pemberian

analgetik; jenis,

dosis, dan

frekuensi.

Cek riwayat alergi.

Tentukan analgetik

pilihan, rute

pemberian dan

dosis optimal.

Berikan analgetik

tepat waktu

terutama saat nyeri

muncul.

Evaluasi efektifitas

analgetik, tanda dan

gejala efek

samping.

2. Hambatan mobilitas Setelah dilakukan perawatan Terapi ambulasi

Page 33: Frak Tur

fisik b/d nyeri daerah

fraktur.

terjadi peningkatan

Ambulasi :Tingkat

mobilisasi, Perawtan diri Dg

KH :

Peningkatan

aktivitas fisik

Kaji kemampuan

pasien dalam

melakukan

ambulasi

Kolaborasi dg

fisioterapi untuk

perencanaan

ambulasi

Latih pasien ROM

pasif-aktif sesuai

kemampuan

Ajarkan pasien

berpindah tempat

secara bertahap

Evaluasi pasien

dalam kemampuan

ambulasi

Pendidikan kesehatan

Edukasi pada pasien

dan keluarga

pentingnya

ambulasi dini

Edukasi pada pasien

dan keluarga tahap

ambulasi

Berikan

reinforcement

positip atas usaha

yang dilakukan

pasien.

Page 34: Frak Tur

DAFTAR PUSTAKA

1. Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen's Medikal Nursing : A Nursing Process

Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.

Page 35: Frak Tur

2. Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta,

1999.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.

4. Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.

5. Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta,

1992.

6. Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.

7. Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B.

Saunder Company, 1995.

8. Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.

9. Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.

10. Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI,

Jakarta, 2000.

11. Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

12. Pley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika,

Jakarta, 1995.

13. Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC.

14. Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC.

15. Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta :

Djambatan.

16. Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan.

17. Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC.