foto period is me

14
Disusun Oleh : Asih Lestari 3415072008 Eva Zaroh 3415071985 Senny Ikhsani 3415071989 Salman Ismail 3415071993 Ari rahmawati 3415051789 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS METEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2010

Upload: galang-aga-syahya

Post on 22-Jul-2015

363 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Disusun Oleh : Asih Lestari Eva Zaroh Senny Ikhsani Salman Ismail Ari rahmawati 3415072008 3415071985 3415071989 3415071993 3415051789

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS METEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2010

FOTOPERIODISMEPendahuluan Proses perkembangan organ dengan tepat pada waktunya. Salah satu proses perkembangan yang harus tepat waktunya adalah proses perbuahan. Tumbuhan tidak boleh berbunga terlalu cepat sebelum organ organ penunjang lainnya sudah siap, misalnya sebelum akar dan daun lengkap. Sebaliknya tumbuhanpun tidak boleh berbunga terlambat, sehingga buah tumbuh tidak sempurna karena keburu musim dingin datang. Keserempakan aktivitas organisme dengan waktu musim benar-benar merupakan perwujudan yang luar biasa. Keserempakan itu sering berkaitan dengan reproduksi : sangatlah menguntungkan bagi bayi hewan untuk lahir pada waktu tertentu sepanjang tahun, bagi semua anggota spesies angiosperma untuk berbunga bersamaan (menjamin kesempatan untuk penyerbukan silang), dan bagi lumut, pakis, conifer, serta beberapa ganggang untuk membentuk bagian reproduktif pada musim tertentu. Banyak respon tumbuhan yang lain, seperti pemanjangan batang, pertumbuhan daun, dormansi, pembentukan organ penyimpan, gugur daun, dan perkembangan ketahanan terhadap embun es juga berlangsung menurut musim. Sering respon terhadap musim ini disesuaikan dengan fotoperiodisme. Berbagai hal yang berlangsung di alam terjadi karena tumbuhan dan hewan mampu mendeteksi panjang siang atau panjang malam atau keduanya. Landasan Teori Fotoperiodisme adalah respon tumbuhan terhadap lamanya penyinaran (panjang pendeknya hari), yang dapat merangsang perbungaan. Percobaan yang dilakukan oleh ahli fisiologi Perancis J. Tournois, W.W. Garner dan H.A. Alard pada tahun 1920 di Amerika Serikat, menemukan bahwa tembakau varietas Maryland Mammoth tumbuh baik secara vegetative dalam musim panas, tetapi berbunga hanya terjadi pada musim dingin di rumah kaca. Selanjutnya Garner dan Alard mendapatkan bahwa kedelai yang ditanam pada waktu yang berbeda akan berbunga pada waktu yang hampir bersamaan yaitu pada akhir musim panas.

Berdasarkan atas lamanya penyinaran yang diperlukan tumbuhan untuk merangsang perbungaannya yaitu dengan ; 1. Mendeteksi waktu musim dengan mengukur panjang hari Di wilayah tak-bergunung di katulistiwa, matahari terbit dan terbenam pada waktu yang sama setiap hari sepanjang tahun sehingga panjang siang dan malam tetap sama. Tepat di kutub, matahari berada diatas untukselama enam bulan tiap tahunnya dan dibawah ufuk selama enam bulan lainnya. Lagi-lagi siang dan malam hampir sama; masing-masing lamanya enam bulan! Bila kita melakukan perjalanan dari katulistiwa menuju kutub, siang bertambah panjang di musim panas dan lebih pendek di musim dingin. Ini karena katulistiwa bersudut 23,5o terhadap ekplisi (orbit bumi mengelilingi matahari); terjadi, selama musim dingin, kutub bersudut 23,5o menjauhi matahari dan selama musim panas bersudut 23,5o mendekati matahari. Laju perubahan panjang siang berbeda sepanjang tahun. Saat matahari terjauh dari katulistiwa pada musim panas (yaitu tanggal 21 juni) dan pada musim dingin (21 desember), ketika siang paling panjang atau paling pendek, perubahan panjang siang dari hari ke hari sangat kecil. Sementara itu, selama musim semi dan musim gugur, laju perubahan jauh lebih cepat ketika siang menjadi lebih panjang selama musim semi dan lebih pendek selama musim gugur. Jadi organisme mungkin mendeteksi musim dengan mengukur panjang siang dan malam, serta bagaimana tingkat perubahannya; tapi, karena panjang hari mutlak pada hari tertentu bergantung sekali pada lintang, organisme harus ditera terhadap lokasinya. Kajian mengenai respons organisme terhadap fotoperiode memberikan informasi yang penting dalam memahami ekosistem alam, tapi dari sekitar 300.000 spesies tumbuhan, hanya beberapa ratus diantaranya yang telah ditumbuhkan dengan fotoperiode buatan. Tidak banyak hal yang aneh dari penelitian itu. Seperti diperkirakan, tanaman yang ditumbuhkan pada lintang yang jauh dari katulistiwa ternyata tanggap dengan berbagai cara ( sebagian besar dengan cdara berbunga) terhadap hari yang lebih panjang dibandingkan

tanaman yang tumbuh di dekat katulistiwa. Namun, sangatlah mengejutkan bahwa tanaman tropika seperti kalanchoe blossfeldiana tanggap terhadap panjang hari; tanaman ini dapat mendeteksi perubahan kecil yang tejadi pada lintang 5 sampai 20o dari katulistiwa (sekitar 1 menit pe hari pada lintang 20o pada bulan Maret atau September). Menarik untuk mengetahui bahwa ekotipe yang berlainan dalam spesies yang sama sering memberikan respons yang berbeda terhadap panjang hari. Dalam tiga kajian yang mewakili dua tumbuhan hari-pendek, lambsquarters (chenopodium rubrum; cumming 1969) dan cocklebur (xanthium strumarium; McMillan 1974), dan satu tumbuhan hari-panjang, alpine sorreal (Oxyria digyna; Mooney dan Billings, 1961), contoh tanaman ketiga spesies tersebut dikumpulkan dari berbagai lintang di seluruh Amerika Utara. Tanaman alpine sorrel juga diperoleh dari kutub utara dan cocklebur dari seluruh dunia. Dalam smua kajian, panjang hari yang mengakibatkan pembungaan ternayata lebih panjang bagi tanaman yang dikumpulkan dari wilayah lebih utara. Sering tidak ada perbedaan morfologi di antara tanaman yang mempunyai respons pembungaan sangat berbeda itu. Charles Olmsted (1994) bahkan menemukan bahwa bouteloua curtipendula mempunyai galur (ekotipe) hari-pendekb di bagian selatan dari daerah rentang tumbuhnya, dan galur hari-panjang pada ujung bagian utara. Kultivar dan varietas berbagai spesies lain (misalnya, kapas, kedelai, padi, gandum, krisan, dan rumput local lainnya) juga sama. Kajian tersebut banyak dilakukan di Skandinavia (sebagai contoh, baca Bjornseth, 1981; Hay dan Heide, 1983; Junttila dan Heide, 1981). Pada semua kasus, tanaman akan berbunga pada waktu yang tepat. Sebagai contoh, berbagai spesies cocklebur di wilayah beriklim sedang berbunga 6 sampai 8 minggu sebelum datangnya embun es yang mematikan pada musim gugur, dan ini memungkinkan tersedianya waktu untuk pematangan biji. Seperti diduga, banyak dilakukan penerapan fotoperiodisme bagi kepentingan pertanian (Vince-Prue dan Cockshull, 1981), termasuk pengaturan pembuangan pada berbagai gtanaman hias dan tanaman lapang (misalnya, pada tebu, pembuangan menurunkan hasil gula).

Mengapa peranan fotoperiodisme tidak dikaji lebih intensif? Sebagai mungkin karena pentingnya panjang hari tidak dipedulikan oleh tumbuhan itu sendiri sampai tumbuhan itu pindah ke lintang lain atau lintang tempat tumbuhnya; jika tidak, tumbuhan itu tidak akan dijumpai di sana sehingga ahli ekologi kemungkinan tidak memperhatikan respons panjang-hari. Ahli fisiologi tumbuhan mempedulikan hal seperti itu, tapi sjauh ini mereka menghadapi tantangan untuk memahami mekanisme fotoperiodisme, bukan peranannya secara ekologi. 2. Beberapa asas umum fotoperiodisme Sejak masa Tournios, Klebs, serta Garner dan Allard lebih dari seribu tulisan yang mengkaji fotoperiodisme telah diterbitkan. Kesan awal yang paling mengejutkan diperoleh dari berlimpahnya fakta ini adalah tidak adanya rampatan yang luas, tidak ada hukum yang umum untuk membantu memahami respons fotoperiodisme. Tiap spesies, dan sering tiap kultivar atau varietas dalam satu spesies, tampak memberikan respons yang sifatnya berlainan; mungkin tidak ada dua respons yang benar-benar sama. Keadaan seperti itu pasti memberikan tantangan bagi mahasiswa fisiologi tumbuhan dan bagi penulis buku ajar fisiologi tumbuhan! Namun, segalanya tidaklah buruk seperti tampaknya. Walaupun tiap kaidah mempunyai kekecualian, beberapa rampatan dapat dibuat; asas fotoperiodisme dapat diterapkan pada semua proses yang sedang dikendalikan, baik itu inisiasi pembungaan kedelai atau bunga betina pinus maupun perkembangan umbi kentang. 3. Fotoperiodisme slama daur hidup tumbuhan Fotoperiodisme merupakan fenomena yang tersebar luas di alam. Dalam tulisannya Garner dan Allaed (1920) mengemukakan bahwa migrasi burung mungkin dikendalikan oleh fotoperiode, dan segera fotoperiodelisme pada burung dibuktikan (Rowan, 1925). Sejak itu, banyak respons hewan terhadap fotoperiode telah didokumentasikan, termasuk beberapa perubahan perkembangan pada serangga, perubahan bulu (Kulit) pada mamalia, serta

peningkatan produksi pada serangga, reptilian, burung, dan mamalia. Pada dasarnya smua aspek pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh fotoperiode. Diantara lain ; a. Perkecambahan biji Contohnya biji birkin, yaitu berkecambah hanya pada hari panjang atau bila periode gelap yang panjang diinterupsi dengan cahaya putih ( Black dan Wareing, 1995 ). b. Beberapa sifat pucuk vegetative Contohnya conifer, yaitu pemanjangan batang akibat hari panjang. c. Akar dan organ penyimpan Contohnya lobak, umbi kentang, ketela pohon yaitu perakaran setek ditingkatkan oleh hari panjang. d. Reprodukis vegetative Contohnya tanaman arbei, yaitu membentuk batang menjalar dan membentuk planlet daun di pinggir daunnya. e. Reproduksi seksual Contohnya konifer, yaitu reproduksi dipengaruhi oleh hari panjang dan kadang hari pendek. f. Sindrom musim gugur Contohnya tanaman setahun, yaitu mongering dan mati pada akhir musim pertumbuhan, sering sebelum musim gugur tiba, hal ini dipengaruhi oleh suhu. g. Pemudaaan-kembali musim semi pada tanaman tahunan berkayu Contohnya pohon birkin, yaitu hari panjang dapat meningkatkan peristiwa berakhirnya dormansi kuncup bahkan tanpa perlakuan suhu rendah sebelumnya. 4. Jenis respons Sebagian besar kajian fotoperiodisme menekankan pada proses pembungaan, seperti uraian selanjutnya pada bab ini. Merangkum beberapa kemungkinan pengaruh panjang dari dalam daur 24-jam terhadap pembungaan

relatif. Pada tumbuhan hari-netral sejati, yang mungkin sangat jarang, pembungaan tak tergantung pada panjang hari. Pembungaan tumbuhan haripanjang (long-day plant = LDP) ditingkatkan oleh LD. Tumbuhan SD ( short day plant = SDP ) berbunga lebih lama pada LD. Seperti pada vernalisasi terdapat respons fakultatif dan mutlak terhadap fotoperiodisme. 5. Kematangan untuk tanggap ( kompetensi ) Hanya beberapa tumbuhan yang tanggap terhadap fotoperiode saat berupa bibit kecil. Pharbitis tanggap terhadap SD pada tahap kotiledon, dan beberapa spesies goosefoot atau lambsquarters tanggap dan berbunga pada saat berupa bibit kecil. Sebagian besar spesies, misalnya cocklebur, harus mencapai ukuran lebih besar, kotiledon tidak memberikan respons. Henbane harus berumur 10 sampai 30 hari sebelum tanggap terhadap LD. Spesies tertentu bambu monokarpik dan beberapa pohon polikarpik tidak akan berbunga sampai berumur 5- 40 tahun atau lebih, namun belum diketahui apakah tumbuhan itu tanggap terhadap fotoperiode. Kondisi tumbuhan yang harus dicapai sebelum berbunga sebagai respon terhadap lingkungan disebut Bluhreife oleh Klebs, yang diterjemahkan sebagai kematangan untuk berbunga atau kematangan untuk tanggap. 6. Fitrokom dan peran periode gelap Interupsi malam menghambat pembungaan tumbuhan hari pendek dan meningkatkan pembungaan tumbuhan hari panjang. Cahaya merah ( membentuk Pfr ) paling efektif, khususnya pada tumbuhan hari pendek dalam keadaan tertentu, campuran cahaya merah dan merah hijau efektif pada tumbuhan tertentu hari panjang. Dua bentuk Pfr mungkin berperan dalam induksi fotoperiode satu bentuk penting dalam proses, sedangkan satunya lagi menghambat reaksi periode gelap.

7. Pengukuran waktu dalam fotoperiodisme Ciri utama fotoperiodisme adalah pengukuran waktu musim dengan mendeteksi panjang siang dan malam. Pada tahun 1930an Erwin Bunning (1937) menghubungkan fotoperiodisme dengan jam biologis, namun sampai tahun 1960an hanya sedikit ahli fisiologi tumbuhan yang mengikutinya. Karena tampak amat logis untuk membayangkan bahwa pengukuran waktu sematamata hanyalah merupakan waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi beberapa reaksi metabolik yang masih belum diketahui. Jika waktu diukur dengan rentang waktu yang dibutuhkan bagi beberapa metabolit untuk diubah menjadi bentuk lain, hal ini sejalan dengan gelas-jam yang mengukur selang waktu yang diperlukan bagi pasir untuk jatuh dari atas ke bawah melalui celah yang sempit. Irama sirkadian yang berfungsi selama selang waktu yang panjang pada kondisi yang terang dengan suhu dan faktor lain yang konstan, tidak sama dengan gelas-jam, tapi lebih mirip bandul yang merupakan isolator. Cahaya merah (Pfr) meningkatkan pembungaan pada suatu waktu tertentu dan menghambat sekitar 12 jam kemudian. Hal ini mungkin hanya sekedar menunjukkan kebutuhan akan jumlah minimum Pfr yang dihasilkan selama siang hari. Tapi, selain itu dapat menunjukkan irama kepekaan terhadap kualitas cahaya, dengan cahaya merah (Pfr) meningkatkan pembungaan pada waktu tertentu (siang) dan menghambat pada waktu lain (malam) dalam suatu daur. Cahaya merah jauh (yang membentuk Pr dan menurunkan Pfr) mempunyai efek yang hampir berlawanan, walaupun hamper tak berpengaruh selama periode malam hari. Serangkaian percobaan dengan Xanthium dan Pharbitis. Pada kedua tanaman itu, paling tidak jelas bahwa fajar (perubahan dari gelap ke terang) menciptakan bagian siang dari irama osilasi yang mengukur waktu pada fotoperiodisme. Fase siang yang dibutuhkan paling tidak 5 atau 6 jam (bahkan dalam gelap), tapi setelah waktu itu jam tampak menuju ke semacam fase tundaan atau tahanan. Kemudian senja (perubahan dari terang ke gelap)

memulai bagian malam dari daur, yang dicirikan oleh meningkatnya kepekaan terhadap Pfr yangmencapai maksimum 8 sampai 9 jam setelah senja. Jadi, walaupun terdapat unsur pengaturan waktu gelas-jam dalam fotoperiodisme (pengalihan pigmen setelah senja, sintesis stimulus), hal ini berperan kecil dalam pengaturan waktu fotoperiode yang terutama merupakan produk pengaturan waktu osilasi. Sedikitnya pada beberapa SDP, pengatur waktu ini difase-ulang pada fajar, dapat menjadi tertunda sesudah beberapa jam pada terang, dan kemudian difase-ulang saat senja menjadi fase malam. 8. Mendeteksi fajar dan senja Pada fotoperiodisme, tumbuhan harus menafsirkan sejumlah fluks foton sebagai terang dan sejumlah fluks yang lebih rendah sebagai gelap. Jadi dapat membedakan antara siang dan malam. Karena itu tumbuhan harus mengukur lama siang, malam, atau keduanya, dan bila jangka waktunya mencapai lama yang secara genetik telah diprogram dalam tumbuhan itu, proses tertentu sperti pembungaan atau pembentukan umbi haruslah dimulai atau dikendalikan. Hughes dkk (1984) mengukur perubahan spektrum pada tiga lingkungan (daerah terbuka, hutan kayu dan lading bit gula) dan menemukan perbedaan kondisi spectrum yang sangat besar saat senja pada ketiga daerah tersebut. Tapi, mereka tidak dapat menghubungkan perubahan tersebut dengan pengaturan waktu fotoperiode, namun mereka menyimpulkan bahwa tanaman sangat mungkin tanggap terhadap perubahan dalam iradiansi mutlak, bukan terhadap kualitas spektrum, pada saat pengalihan dari cara kerja fotoperiodisme siang ke malam. Sedangkan cahaya bulan tidak cukup tinggi untuk mempengaruhi pembungaan di tengah periode gelap, walaupun kepekaan terhadap cahaya pada waktu itu meningkat sekitar satu kali lipat dibandingkan saat senja. Jadi, tumbuhan sangat tanggap terhadap perubahan pada saat fajar dan senja, mengabaikan perubahan iradiansi selama siang maupun malam, walaupun mungkin ada sedikit respon terhadap cahaya bulan.

9. Konsep florigen: hormon dan penghambat pembungaan Yang dimaksud dengan florigen diduga merupakan suatu kelompok senyawa yang berperan sebagai hormon. Pada tahun 1930an, Mikhail Chailakhyan di Uni Soviet mengenten tanaman yang terinduksi ke tanaman tanpa induksiyang diletakkan pada panjang hari non-induksi dan dia mengamati bahwa stimulus itu merupakan senyawa kimia yaitu suatu hormone dan berbeda dengan stimuls listrik atau saraf. Chailakhyan menamakan stimulus hipotesis itu florigen (bahasa latin flora yang berarti bunga dan bahasa Yunani genno yang berarti menghasilkan). Pada beberapa spesies, pembungaan tampak ditekan pada kondisi tanpainduksi hanya oleh penghambat yang datang dari daun. Tumbuhan seperti itu akan berbunga bila daunnya dihilangkan. Contohnya Fragaria sp. Pada beberapa spesies, misalnya Xanthium dan Pharbitis, pemacu mungkin dominan walaupun dimodifikasi oleh penghambat. Pada spesies lain tampak adanya keseimbangan sejati (darnel ryegrass). Pada spesies lain (henbane dan kultivar arbei) penghambat mungkin dominan, tapi dimodifikasi oleh pemacu. Kita perlu mengisolasi dan mengidentifikasi florigen dan penghambat pembungaan. Sejauh ini, masih belum berhasil antara lain karena tidak adanya uji biologi yang handal. Berbagai pelarut dan teknik aplikasi telah dicoba untuk mendapatkan ekstrak dari tanaman yang diinduksi tersebut atau fraksinya pada tanaman tanpa induksi. Kegagalan untuk mengisolasi florigen telah mengakibatkan munculnya sikap skeptis tentang keberadaannya. Sachs dan Hackett mempertanyakan konsep florigen dan mengemukakan bahwa induksi fotoperiode menyebabkan penyebaran hara dalam tumbuhan, sehingga terjadi inisiasi pembungaan. Hara menuju ke kuncup mungkin menyebabkan evokasi. Efek penghambatan mungkin disebabkan oleh pemencaran ke organ pengguna selain meristem yang dapat menjadi bunga. Sachs dan Hackett mencatat, sebagai contoh, bahwa iradiansi yang tinggi kadang dapat menghapus dan menggantikan isyarat fotoperiode. Jadi, terdapat banyak bukti tak langsung bahwa inisiasi bunga dikendalikan atau sangat dipengaruhi oleh hormon: satu atau lebih florigen yang bertindak positif dan memberikan ekstrak

dan satu atau lebih penghambat yang bertindak negatif. Senyawa tersebut masih harus diidentifikasi. 10.Respon terhadap pemberian hormon tumbuhan dan zat pengatur tumbuh 1. Auksin dan etilen Pada banyak spesies, auksin menghambat pembungaan. Pada SDP, penghambatan terjadi sebelum pengangkutan florigen dari daun, sesudah itu mungkin terjadi efek peningkatan sedikit. Pada nanas dan cocklebur pemberian auksin mengakibatkan diproduksinya etilen. Etilen sendiri mempengaruhi pembungaan dengan cara yang serupa dengan auksin. 2. Giberelin King dkk (1987) menjelaskan beberapa Giberelin (GA) jauh lebih efektif dalam meningkatkan pembungaan daripada GA lainnya. Peningkatan terjadi bila GA diberikan 11 sampai 17 jam sebelum periode gelap tunggal, 24 jam kemudian dosis yang sama bersifat menghambat. 3. Sitokinin Sitokinin telah diketehui dapat meningkatkan pembentukan bunga pada beberapa spesies. Kombinasi sitokinin (benziladenin) dan GA3 menginduksi pembungaan pada salah satu kultivar SD Krisan 4. Asam absisat Saat SDP tertentu (misalnya, Pharbitis nil dan Chenopodium rubrum) sudah terinduksi sedikit, pemberian asam absisat (ABA) meningkatkan 5. Sterol Senyawa yang dinamakan TDEAP yang menghambat sintesis kolesterol pada hewan, menghambat pembungaan cocklebur dan morning glory Jepang. Pemberian berbagai sterol tidak mengatasi efek TDEAP, juga tidak ada perubahan yang nyata dalam fraksi sterol yang pembungaannya. ABA menghambat pembungaan beberapa LDP (misalnya, Spinacia).

terdeteksi selama induksi. Biosintesis sterol dapat dihambat oleh bahan selain TDEAP tanpa mempengaruhi pembungaan. 6. Senyawa lain EG Groenewald dan JH Visser (1974, 1978) menemukan bahwa berbagai zat penghambat sintesis prostaglandin, khususnya aspirin, menghambat perbungaan Pharbitis (SDP) pendek meningkatkan perkembangan bunga. Jadi, respon pembungaan sering dipengaruhi oleh pemberian zat pengatur tumbuh dan bahan lain, tapi beberapa pola yang dapat dilihat secara samar-samar, mempunyai banyak kekecualian. Beberapa bahan akan menyebabkan pembentukan bunga, tapi tidak ada bukti yang kuat bahwa florigen merupakan hormon tumbuh yang dikenal, walaupun peranan giberelin tampak semakin nyata. 11. Keadaan terinduksi Stimulus pembungaan bekerja sangat berlainan pada spesies yang berbeda. Contohnya pada cocklebur (Xanthium strumarium) daun mudanya yang dibiarkan tumbuh pada LD setelah tanaman diinduksi SD dapat dienten pada penerima vegetatif dan menyebabkannya berbunga. Daun muda tampaknya terinduksi oleh daun yang lebih tua. Pada kenyataannya, sebanyak lima tanaman vegetatif cocklebur dienten pada tanaman terinduksi pada akhir rangkaian, semuanya berbunga. Perilla, sebaliknya, bertindak sangat berbeda. Potongan daun dapat diinduksi oleh SD dan kemudian dienten pada serangkaian penerima vegetative selama beberapa bulan, menginduksi masing-masing untuk berbunga. Tapi, tak satu pun daun pada tanaman penerima yang menjadi terinduksi. Jadi, tanaman memperlihatkan paling tidak dua bentuk keadaan terinduksi: pertama, daun terinduksi dapat menginduksi daun lain, dan kedua, daun terinduksi dan tidak dapat menginduksi daun lain, tapi daun itu sendiri dapat diinduksi bila diisolasi dari tanaman. dan bahwa prostaglandin tertentu yang diberikan pada apikal pucuk Pharbitisyang tumbuh pada hari

12. Perkembangan bunga Evokasi pada meristem apical mengubah sifat perkembangan meristem dari keadaan vegetatif menjadi reproduktif dan mengakibatkan banyak perubahan fisiologis yang menarik. Pada berbagai spesies kedatangan stimulus pembungaan menyebabkan peningkatan aktivitas mitosis dengan segera, serta ukuran inti dan nukleolus sering meningkat. Sering terjadi pertambahan jumlah ribosom dan mitokondria serta banyaknya RNA di sel apikal. Pertambahan RNA mungkin berlangsung sebelum stimulus tiba. Bernier (1988) menyimpulkan bahwa evokasi merupakan suatu proses yang terdiri dari sejumlah urutan perubahan dan setiap urutan diatur sendiri-sendiri. Jadi, perubahan yang berbeda pada meristem dapat disebabkan oleh stimulus yang berlainan dan pada waktu yang berbeda. Walaupun stimulus masih harus diidentifikasi, sudah jelas bahwa beberapa atau semuanya dibentuk di daun sebagai respon terhadap fotoperiode dan faktor lingkungan lain.

Daftar Pustaka Lakitan, Benjamin. Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid tiga. Bandung : ITB Bandung. Sasmitamihardja, Dradjat dan Arbayah Siregar. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Bandung : ITB Bandung.