forum kawasan timur indonesia v -...

34
Vol. V November - Desember 2010 Edisi 61 www.bakti.org LIPUTAN KHUSUS SPECIAL REPORT LIPUTAN KHUSUS SPECIAL REPORT Forum Kawasan Timur Indonesia V Forum Kawasan Timur Indonesia V

Upload: doantuyen

Post on 30-Jun-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Vol. V November - Desember 2010 Edisi 61

www.bakti .org

LIPUTAN KHUSUS SPECIAL REPORTLIPUTAN KHUSUS SPECIAL REPORT

Forum Kawasan Timur Indonesia V

Forum Kawasan Timur Indonesia V

Page 2: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 20101

Pertemuan Forum KTI V telah terlaksana dan kembali menuai sukses luar biasa. Tentu saja keberhasilan ini adalah hasil dari kerja keras dan kreatif serta semangat saling mendukung yang telah terbina dengan baik di antara semua pihak.

Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) -Sekretariat Forum Kawasan Timur Indonesia menghaturkan penghargaan yang setinggi-tinggnya kepada Pemerintah Provinsi Maluku dan Kemitraan Australia Indonesia atas kemitraan

yang luar biasa, kepercayaannya, dan dukungan yang diberikan. Terimakasih banyak juga kami haturkan kepada mitra pendukung Pemerintah Kota Ambon, Bank Maluku, CIDA, New Zealand Aid Programme, The Asia Foundation, The World

Bank, USAID, OXFAM, UNDP, INSPIRIT, CSP, Mars Symbioscience, MercyCorps, dan Harian KOMPAS.Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi yang luar biasa dari Ibu dan Bapak Anggota Kelompok Kerja Forum KTI, teman-teman Koordinator Forum KTI Wilayah, Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia, Forum Kepala BAPPEDA,

dan sahabat BaKTI di seluruh Indonesia.Semoga kerja sama ini dapat terjalin lebih erat dan terus menjadi penyemangat dalam meningkatkan pembangunan Kawasan

Timur Indonesia. Sampai bertemu kembali dalam Pertemuan Forum KTI berikutnya.

The 5th Eastern Indonesia Forum meeting was a tremendous success. Of course, this success is the result of the hard work, creativity and spirit of mutual support that was been nurtured by all.

The Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI) as the Eastern Indonesia Forum Secretariat conveys its great appreciation to the Government of Maluku province and the Australia Indonesia Partnership for exceptional partnership, trust,

and support provided. Thank you so much also to our supporting partners the City of Ambon, Maluku Bank, CIDA, New Zealand Aid Programme, The Asia Foundation, The World Bank, USAID, OXFAM, UNDP, Inspirit, CSP, Mars Symbioscience,

MercyCorps, and Harian KOMPAS.We’d also like to acknowledge the remarkable support and participation from the members of the Working Group, the EI Forum Regional Coordinators, the Researcher Network of Eastern Indonesia (JiKTI), Eastern Indonesia Heads of BAPPEDA Forum,

and friends of BaKTI throughout Indonesia.Hopefully, this cooperation can continue to grow and be part of improving the development of eastern Indonesia. Until we meet

again at the next Eastern Indonesia Forum!

Ucapan Terima KasihThank You FORUM KTI

PEMERINTAH PROVINSIMALUKU

PEMERINTAH KOTAAMBON

Page 3: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 20101

Pertemuan Forum KTI V telah terlaksana dan kembali menuai sukses luar biasa. Tentu saja keberhasilan ini adalah hasil dari kerja keras dan kreatif serta semangat saling mendukung yang telah terbina dengan baik di antara semua pihak.

Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) -Sekretariat Forum Kawasan Timur Indonesia menghaturkan penghargaan yang setinggi-tinggnya kepada Pemerintah Provinsi Maluku dan Kemitraan Australia Indonesia atas kemitraan

yang luar biasa, kepercayaannya, dan dukungan yang diberikan. Terimakasih banyak juga kami haturkan kepada mitra pendukung Pemerintah Kota Ambon, Bank Maluku, CIDA, New Zealand Aid Programme, The Asia Foundation, The World

Bank, USAID, OXFAM, UNDP, INSPIRIT, CSP, Mars Symbioscience, MercyCorps, dan Harian KOMPAS.Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi yang luar biasa dari Ibu dan Bapak Anggota Kelompok Kerja Forum KTI, teman-teman Koordinator Forum KTI Wilayah, Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia, Forum Kepala BAPPEDA,

dan sahabat BaKTI di seluruh Indonesia.Semoga kerja sama ini dapat terjalin lebih erat dan terus menjadi penyemangat dalam meningkatkan pembangunan Kawasan

Timur Indonesia. Sampai bertemu kembali dalam Pertemuan Forum KTI berikutnya.

The 5th Eastern Indonesia Forum meeting was a tremendous success. Of course, this success is the result of the hard work, creativity and spirit of mutual support that was been nurtured by all.

The Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI) as the Eastern Indonesia Forum Secretariat conveys its great appreciation to the Government of Maluku province and the Australia Indonesia Partnership for exceptional partnership, trust,

and support provided. Thank you so much also to our supporting partners the City of Ambon, Maluku Bank, CIDA, New Zealand Aid Programme, The Asia Foundation, The World Bank, USAID, OXFAM, UNDP, Inspirit, CSP, Mars Symbioscience,

MercyCorps, and Harian KOMPAS.We’d also like to acknowledge the remarkable support and participation from the members of the Working Group, the EI Forum Regional Coordinators, the Researcher Network of Eastern Indonesia (JiKTI), Eastern Indonesia Heads of BAPPEDA Forum,

and friends of BaKTI throughout Indonesia.Hopefully, this cooperation can continue to grow and be part of improving the development of eastern Indonesia. Until we meet

again at the next Eastern Indonesia Forum!

Ucapan Terima KasihThank You FORUM KTI

PEMERINTAH PROVINSIMALUKU

PEMERINTAH KOTAAMBON

Page 4: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Acara Pertemuan Forum KTI V dibuka oleh Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu, setelah sambutan pengantar dari Ketua Pokja Forum KTI, Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa dan sambutan dari Deputi Bidang Sarana Prasarana BAPPENAS,

Dr.Ir. Dedy S.Priatna, M.Sc.

Petualangan Menemukan Harta Karun dari TimurPetualangan menemukan enam harta karun di

Timur Indonesia diawali dengan pemaparan pengalaman BaKTI dan penemuan Praktik Cerdas oleh Ketua Dewan Pembina BaKTI, Willi Toisuta.

Petualangan peserta Forum KTI V dilanjutkan dengan mendengarkan kondisi terkini mengenai kawasan Timur Indonesia dari Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) yang dibacakan oleh Ma’ruf Kasim. Dalam laporan JiKTI disebutkan bahwa pemberdayaan ekonomi, pendidikan dasar, kesehatan, dan peran perempuan merupakan tantangan yang harus terus diperjuangkan. Pengembangan ekonomi lokal melalui usaha kecil dan menengah (UMKM) juga penting untuk ditingkatkan mengingat industri skala besar seperti pertambangan, minyak dan industri ekstraksi lainnya hanya menyerap 20% tenaga kerja,

sementara UMKM mampu menyerap 70% tenaga kerja. Layar Bahtera Manggurebe kemudian dinaikkan dan jangkar pun diturunkan.

Nahkoda Kapal berdiri di geladak didampingi oleh Pemburu Harta Karun. Dengan suara yang penuh wibawa, sang Nahkoda mengajak seluruh peserta Forum KTI memulai petualangan menemukan harta karun, ”Ayo kita berangkat sekarang!”.

Dari peta yang ditunjukkan Pemburu Harta Karun, ada enam harta karun yang tersebar di berbagai daerah di Timur Indonesia. Keenam harta karun itu tak lain adalah praktik cerdas dalam bidang kesetaraan gender, pendidikan, kesehatan, lingkungan, pengelolaan aset lokal, dan pengembangan ekonomi lokal.

Bahtera Manggurebe menghantarkan seluruh peserta Pertemuan Forum KTI V menjelajahi pulau demi pulau di Timur Nusantara, mengajak mereka bertemu dengan para praktisi praktik cerdas dan mendengarkan penuturan kegigihan mereka dalam melakukan perubahan besar bagi kemajuan masing-masing daerah.

Kisah-kisah inspiratif juga dituturkan oleh sembilan figur yang dalam acara ini disebut Inspirator Publik. Mereka adalah Hetty Geru (pemerhati isu perempuan, Sulawesi Utara), Sinda Titaley (aktivis gerakan perempuan, Maluku), Anike Bowaire (pemenang Olimpiade Fisika tahun 2005, Papua), Barnabas Suebu (Gubernur Papua), Iwan Bokings (Bupati Bualemo, penerima Piala Terbaik Citra Bhakti Abdi Negara 2009), Timotius Hindom (penerima penghargaan Kalpataru 2008), Longki Djanggola (Bupati Parigi Moutong), Nelci Pellandou (pemenang karya tulis Perempuan Timor Pemantau Anggaran), dan Riri Riza (Sutradara Film Laskar Pelangi).

The adventure the 5th EI Forum V participants embarked upon began by listening to the latest conditions in eastern Indonesia from the Eastern Indonesia Researcher Network (JiKTI), presented by Ma'ruf Kasim. The JiKTI report stated that economic empowerment, basic education, basic health, and the role of women are challenges that must be acknowledged. Local economic development through small and medium enterprises (SMEs) is also important considering large-scale industries such as mining, oil and other extraction industries absorb only 20% of the workforce, while SMEs are able to absorb 70% of the workforce.

The sails and anchor of the Manggurebe were then raised and the Captain stood on deck, accompanied by the Treasure Hunter. With a voice full of authority, the Captain invited all participants to begin the treasure hunt. “Let's depart!"

From the map shown by the Treasure Hunter, there were six treasures scattered in various areas in eastern Indonesia. These six treasures were none other than smart practices in the field of gender equality, education, health, environmental management, local asset management, and local economic development.

T h e M a n g g u r e b e delivered all the participants of the 5th EI Forum meeting to each island, inviting them to meet with the practitioners of each smart practice and listen to tales of their persistence in making major changes in each region.

Inspirational stories were also delivered spoken by nine regional figures, including Hetty Geru (observer of women's issues, North Sulawesi), Sinda Titaley (women's movement activist, Maluku), Anike Bowaire (winner of the 2005 Physics Olympiad, Papua), Barnabas Suebu (Governor of Papua), Iwan Bokings (District Head of Bualemo, recipient of the Citra Bhakti Abdi Award 2009), Timothy Hindom (Kalpataru award recipient 2008, Papua Barat), Longki Djanggola (District Head of Parigi Moutong), Nelci Pellandou (winner of the a Women Monitoring Budgets competition in West Timor), and Riri Riza (Director of Laskar Pelangi).

4

Dua Pelaut yang memandu peserta dalam pencarian Harta Karun “Praktik Cerdas”/

The sailors led the participants on a journey of finding the "treasures"

Sambutan Ketua Dewan Penasihat Yayasan BaKTI, Bapak Wili Toisuta/A Speech from Head

of BaKTI’s Board of Advisors, Mr. Wili Toisuta

Ma’ruf Kasim, Perwakilan Jaringan Peneliti KTI/JiKTI

Representative, Ma’ruf Kasim

Sambutan Menteri BAPPENAS yang diwakili oleh Bapak Dedy S.Priatna/Speech

from the BAPPENAS Minister, delivered by for Infrastructure Affairs, Mr. Dedy S.Priatna

Forum KTI V dihadiri oleh sekitar 280 Peserta/The 5th EI Forum was attended by 280 People

Para Presenter dari 6 Praktik Cerdas dan InspiratorThe Presenters of 6 Smart Practices and Inspirators

Forum Kawasan Timur Indonesia V

Petualangan Pe

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

PembukaanMengawali Pertemuan Forum KTI V, sebuah tarian selamat datang

ditampilkan oleh para penari cilik dari sanggar Serafim. Selanjutnya suasana penuh hikmat membahana di Ball-Room Swiss-Belhotel, Ambon seiring dengan dilantunkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh seluruh peserta Forum KTI.

OpeningYoung dancers from the Serafim dance group began the 5th Eastern Indonesia Forum, which was held at the Swiss-Bellhotel in Ambon, followed by a rousing rendition of Indonesia Raya by all participants.

The Forum was officially opened by the Governor of Maluku, Karel Albert Ralahalu, after a statement by the Head of the Eastern Indonesia Forum Working Group, Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa, and a speech by the Deputy Minister for Infrastructure Affairs B A P P E N A S , D r . I r . D e d y S.Priatna, M.Sc.

The Journey to Find the Treasures from the EastThe journey to find the six treasures of eastern Indonesia began

with a presentation of BaKTI’s experiences and the process of finding the Smart Practices by the Chairmen of BaKTI’s Board, Bapak Willi Toisuta.

erhelatan akbar Forum KTI kembali digelar. Tahun 2010 ini Pertemuan Forum KTI adalah yang kelima dan kota Ambon mendapat kehormatan menjadi tuan rumah bagi 280 peserta Forum KTI V. Forum tukar solusi yang kreatif adalah kata yang tepat untuk Pmenggambarkan Forum Kawasan Timur Indonesia V. Tahun ini konsep acara Pertemuan Forum KTI V dikemas dalam bentuk

petualangan menjelajahi Kawasan Timur Indonesia. Selama sehari peserta Forum KTI diajak mengagumi keindahan dan kegigihan masyarakatnya, serta menemukan harta karun berupa praktik-praktik yang berhasil menjawab tantangan pembangunan. Hari kedua petualangan dilanjutkan dengan menyusun resolusi kreatif yang dapat dilakukan oleh masing-masing peserta Forum KTI V setibanya kembali ke tempat kerja dan daerah masing-masing. Petualangan inspiratif Forum KTI V semakin memperkuat forum ini sebagai sebuah forum tukar solusi yang kreatif bagi pembangunan Kawasan Timur Indonesia yang efektif.

The 5th Eastern Indonesia Forum was held in Ambon and was attended by 280 participants. A creative solution exchange forum is the best way to describe the event. This year the Forum event represented a journey of exploration to uncover the treasures of eastern Indonesia. Over the course of the first day, Forum participants experienced the beauty and perseverance of their fellow community members as they watched the unveiling of several treasures in the form of smart practices providing solutions to development challenged. The second day produced a series of creative resolutions that Forum participants will implement upon returning to their respective workplaces and regions. The inspiring journey of the 5th Eastern Indonesia Forum strengthened its reputation as a solution exchange forum for more effective development in eastern Indonesia.

Bapak Karel A. Ralahalu, Gubernur Provinsi Maluku membuka dengan resmi Forum KTI V didampingi Ketua PoKJa Forum KTI, Ibu Winarni Monoarfa/ Mr. Karel A. Ralahalu, Governor of Maluku officially opened The 5th EI Forum, accompanied by the Head of EI Forum Working group Mrs. Winarni Monoarfa

Sambutan Ketua PoKJa Forum KTI, Ibu Winarni Monoarfa/

Statement from Head of EI Forum Working group, Mrs. Winarni Monoarfa

Inspiring Explorations from Eastern IndonesiaInspiring Explorations from Eastern Indonesia

tualangan Inspiratif Inspiratif dari Timur dari Timur

IndonesiaIndonesia

Page 5: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Acara Pertemuan Forum KTI V dibuka oleh Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu, setelah sambutan pengantar dari Ketua Pokja Forum KTI, Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa dan sambutan dari Deputi Bidang Sarana Prasarana BAPPENAS,

Dr.Ir. Dedy S.Priatna, M.Sc.

Petualangan Menemukan Harta Karun dari TimurPetualangan menemukan enam harta karun di

Timur Indonesia diawali dengan pemaparan pengalaman BaKTI dan penemuan Praktik Cerdas oleh Ketua Dewan Pembina BaKTI, Willi Toisuta.

Petualangan peserta Forum KTI V dilanjutkan dengan mendengarkan kondisi terkini mengenai kawasan Timur Indonesia dari Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI) yang dibacakan oleh Ma’ruf Kasim. Dalam laporan JiKTI disebutkan bahwa pemberdayaan ekonomi, pendidikan dasar, kesehatan, dan peran perempuan merupakan tantangan yang harus terus diperjuangkan. Pengembangan ekonomi lokal melalui usaha kecil dan menengah (UMKM) juga penting untuk ditingkatkan mengingat industri skala besar seperti pertambangan, minyak dan industri ekstraksi lainnya hanya menyerap 20% tenaga kerja,

sementara UMKM mampu menyerap 70% tenaga kerja. Layar Bahtera Manggurebe kemudian dinaikkan dan jangkar pun diturunkan.

Nahkoda Kapal berdiri di geladak didampingi oleh Pemburu Harta Karun. Dengan suara yang penuh wibawa, sang Nahkoda mengajak seluruh peserta Forum KTI memulai petualangan menemukan harta karun, ”Ayo kita berangkat sekarang!”.

Dari peta yang ditunjukkan Pemburu Harta Karun, ada enam harta karun yang tersebar di berbagai daerah di Timur Indonesia. Keenam harta karun itu tak lain adalah praktik cerdas dalam bidang kesetaraan gender, pendidikan, kesehatan, lingkungan, pengelolaan aset lokal, dan pengembangan ekonomi lokal.

Bahtera Manggurebe menghantarkan seluruh peserta Pertemuan Forum KTI V menjelajahi pulau demi pulau di Timur Nusantara, mengajak mereka bertemu dengan para praktisi praktik cerdas dan mendengarkan penuturan kegigihan mereka dalam melakukan perubahan besar bagi kemajuan masing-masing daerah.

Kisah-kisah inspiratif juga dituturkan oleh sembilan figur yang dalam acara ini disebut Inspirator Publik. Mereka adalah Hetty Geru (pemerhati isu perempuan, Sulawesi Utara), Sinda Titaley (aktivis gerakan perempuan, Maluku), Anike Bowaire (pemenang Olimpiade Fisika tahun 2005, Papua), Barnabas Suebu (Gubernur Papua), Iwan Bokings (Bupati Bualemo, penerima Piala Terbaik Citra Bhakti Abdi Negara 2009), Timotius Hindom (penerima penghargaan Kalpataru 2008), Longki Djanggola (Bupati Parigi Moutong), Nelci Pellandou (pemenang karya tulis Perempuan Timor Pemantau Anggaran), dan Riri Riza (Sutradara Film Laskar Pelangi).

The adventure the 5th EI Forum V participants embarked upon began by listening to the latest conditions in eastern Indonesia from the Eastern Indonesia Researcher Network (JiKTI), presented by Ma'ruf Kasim. The JiKTI report stated that economic empowerment, basic education, basic health, and the role of women are challenges that must be acknowledged. Local economic development through small and medium enterprises (SMEs) is also important considering large-scale industries such as mining, oil and other extraction industries absorb only 20% of the workforce, while SMEs are able to absorb 70% of the workforce.

The sails and anchor of the Manggurebe were then raised and the Captain stood on deck, accompanied by the Treasure Hunter. With a voice full of authority, the Captain invited all participants to begin the treasure hunt. “Let's depart!"

From the map shown by the Treasure Hunter, there were six treasures scattered in various areas in eastern Indonesia. These six treasures were none other than smart practices in the field of gender equality, education, health, environmental management, local asset management, and local economic development.

T h e M a n g g u r e b e delivered all the participants of the 5th EI Forum meeting to each island, inviting them to meet with the practitioners of each smart practice and listen to tales of their persistence in making major changes in each region.

Inspirational stories were also delivered spoken by nine regional figures, including Hetty Geru (observer of women's issues, North Sulawesi), Sinda Titaley (women's movement activist, Maluku), Anike Bowaire (winner of the 2005 Physics Olympiad, Papua), Barnabas Suebu (Governor of Papua), Iwan Bokings (District Head of Bualemo, recipient of the Citra Bhakti Abdi Award 2009), Timothy Hindom (Kalpataru award recipient 2008, Papua Barat), Longki Djanggola (District Head of Parigi Moutong), Nelci Pellandou (winner of the a Women Monitoring Budgets competition in West Timor), and Riri Riza (Director of Laskar Pelangi).

4

Dua Pelaut yang memandu peserta dalam pencarian Harta Karun “Praktik Cerdas”/

The sailors led the participants on a journey of finding the "treasures"

Sambutan Ketua Dewan Penasihat Yayasan BaKTI, Bapak Wili Toisuta/A Speech from Head

of BaKTI’s Board of Advisors, Mr. Wili Toisuta

Ma’ruf Kasim, Perwakilan Jaringan Peneliti KTI/JiKTI

Representative, Ma’ruf Kasim

Sambutan Menteri BAPPENAS yang diwakili oleh Bapak Dedy S.Priatna/Speech

from the BAPPENAS Minister, delivered by for Infrastructure Affairs, Mr. Dedy S.Priatna

Forum KTI V dihadiri oleh sekitar 280 Peserta/The 5th EI Forum was attended by 280 People

Para Presenter dari 6 Praktik Cerdas dan InspiratorThe Presenters of 6 Smart Practices and Inspirators

Forum Kawasan Timur Indonesia V

Petualangan Pe

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

PembukaanMengawali Pertemuan Forum KTI V, sebuah tarian selamat datang

ditampilkan oleh para penari cilik dari sanggar Serafim. Selanjutnya suasana penuh hikmat membahana di Ball-Room Swiss-Belhotel, Ambon seiring dengan dilantunkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh seluruh peserta Forum KTI.

OpeningYoung dancers from the Serafim dance group began the 5th Eastern Indonesia Forum, which was held at the Swiss-Bellhotel in Ambon, followed by a rousing rendition of Indonesia Raya by all participants.

The Forum was officially opened by the Governor of Maluku, Karel Albert Ralahalu, after a statement by the Head of the Eastern Indonesia Forum Working Group, Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa, and a speech by the Deputy Minister for Infrastructure Affairs B A P P E N A S , D r . I r . D e d y S.Priatna, M.Sc.

The Journey to Find the Treasures from the EastThe journey to find the six treasures of eastern Indonesia began

with a presentation of BaKTI’s experiences and the process of finding the Smart Practices by the Chairmen of BaKTI’s Board, Bapak Willi Toisuta.

erhelatan akbar Forum KTI kembali digelar. Tahun 2010 ini Pertemuan Forum KTI adalah yang kelima dan kota Ambon mendapat kehormatan menjadi tuan rumah bagi 280 peserta Forum KTI V. Forum tukar solusi yang kreatif adalah kata yang tepat untuk Pmenggambarkan Forum Kawasan Timur Indonesia V. Tahun ini konsep acara Pertemuan Forum KTI V dikemas dalam bentuk

petualangan menjelajahi Kawasan Timur Indonesia. Selama sehari peserta Forum KTI diajak mengagumi keindahan dan kegigihan masyarakatnya, serta menemukan harta karun berupa praktik-praktik yang berhasil menjawab tantangan pembangunan. Hari kedua petualangan dilanjutkan dengan menyusun resolusi kreatif yang dapat dilakukan oleh masing-masing peserta Forum KTI V setibanya kembali ke tempat kerja dan daerah masing-masing. Petualangan inspiratif Forum KTI V semakin memperkuat forum ini sebagai sebuah forum tukar solusi yang kreatif bagi pembangunan Kawasan Timur Indonesia yang efektif.

The 5th Eastern Indonesia Forum was held in Ambon and was attended by 280 participants. A creative solution exchange forum is the best way to describe the event. This year the Forum event represented a journey of exploration to uncover the treasures of eastern Indonesia. Over the course of the first day, Forum participants experienced the beauty and perseverance of their fellow community members as they watched the unveiling of several treasures in the form of smart practices providing solutions to development challenged. The second day produced a series of creative resolutions that Forum participants will implement upon returning to their respective workplaces and regions. The inspiring journey of the 5th Eastern Indonesia Forum strengthened its reputation as a solution exchange forum for more effective development in eastern Indonesia.

Bapak Karel A. Ralahalu, Gubernur Provinsi Maluku membuka dengan resmi Forum KTI V didampingi Ketua PoKJa Forum KTI, Ibu Winarni Monoarfa/ Mr. Karel A. Ralahalu, Governor of Maluku officially opened The 5th EI Forum, accompanied by the Head of EI Forum Working group Mrs. Winarni Monoarfa

Sambutan Ketua PoKJa Forum KTI, Ibu Winarni Monoarfa/

Statement from Head of EI Forum Working group, Mrs. Winarni Monoarfa

Inspiring Explorations from Eastern IndonesiaInspiring Explorations from Eastern Indonesia

tualangan Inspiratif Inspiratif dari Timur dari Timur

IndonesiaIndonesia

Page 6: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Bincang Cerdas Bersama Mitra Pembangunan Internasional

Hari kedua Pertemuan Forum KTI V dimulai dengan perbincangan bersama perwakilan mitra pembangunan internasional. Perbincangan yang dipandu oleh Chandra Sugarda, menghadirkan Sam Zappia (AusAID), Richard Manning (AusAID), Daniel Hunt (AusAID), Patricia McCullagh (CIDA), Blair King (USAID) dan Amin Subekti (Bank Dunia). Tujuan dari perbincangan ini adalah menyampaikan pikiran, program, ide, dan tanggapan atas keenam Praktik Cerdas yang ditampilkan pada hari pertama.

Seluruh perwakilan mitra pembangunan internasional dalam sesi ini mengapresiasi substansi dan pengelolaan pertemuan yang mampu membuat seluruh peserta tetap antusias mengikuti acara sampai sore hari. Adalah penting untuk menggali dan mencari contoh praktik cerdas serta mendorong replikasinya di daerah lain yang membutuhkan solusi. Ini menjadikan peran BaKTI semakin penting dalam menghubungkan mitra pembangunan internasional, pemerintah daerah, dan solusi-solusi lokal. Menutup perbincangan, para mitra pembangunan internasional melempar tantangan kepada pemerintah di 12 provinsi di KTI untuk mendukung Forum Kawasan Timur Indonesia selanjutnya.

Diskusi Kelompok untuk Resolusi Kreatif

Tidak sekedar menemukenali harta karun dari Kawasan Timur Indonesia, pada hari kedua Pertemuan Forum KTI seluruh peserta berkesempatan untuk berdiskusi langsung dengan praktisi praktik cerdas, inspirator publik, dan dengan sesama peserta lainnya. Diskusi

dibagi ke dalam enam t o p i k b e s a r berdasarkan praktik c e r d a s , y a k n i kesetaraan gender, p e n d i d i k a n , kesehatan, pelayanan publik, lingkungan, dan pengembangan ekonomi lokal.

D a l a m d i s k u s i kelompok ini, peserta menggali informasi l e b i h b a n y a k mengenai prakt ik cerdas yang berhasil

menjawab tantangan pembangunan serta ide atau strategi apa yang dapat dilakukan untuk mereplikasi praktik cerdas atau mengembangkannya. Resolusi kreatif yang dirumuskan bersama dalam diskusi kemudian dipresentasikan agar menjadi agenda masing-masing peserta sekembalinya mereka ke tempat tugas dan daerah masing-masing.

Speaking with International Development Partners

The second day of 5th EI Forum meeting began with a discussion with representatives of international development partners. The discussion was guided by Chandra Sugarda, and included Sam Zappia (AusAID), Richard Manning (AusAID), Daniel Hunt (AusAID), Patricia McCullagh (CIDA), Blair King (USAID) and Amin Subekti (World Bank). The purpose of this conversation was to transmit the thoughts, programs, ideas, and responses of the international community members to the six smart practices displayed on the first day.

All the representatives of the international development partners appreciated the substance of this session and the event that was able to hold the attention of all the participants until the evening. They also emphasized the importance of digging and searching for examples of smart practices and of encouraging replication in other areas that need similar solutions. This makes BaKTI’s role in connecting the international development partners, local governments, and local solutions increasingly important. Closing the debate, the international development partners threw a challenge back to governments in 12 provinces in eastern Indonesia to support the next Eastern Indonesia Forum.

Digging and searching for examples of smart practices such as these is important to help replicated and dissemination to other areas that need similar solutions.

Group Discussions and Creative Resolutions

Not just identifying the treasures of eastern Indonesia, on the second day all participants has the opportunity to directly engage in discussion with practitioners of the smart practices, public inspirators, and with fellow participants as well. The discussion was divided into six major topics based on s m a r t p r a c t i c e s , n a m e l y g e n d e r equality, education, health, public services, environment, and local e c o n o m i c development.

I n t h e g r o u p d i s c u s s i o n s , participants explored m o r e i n - d e p t h information about the smart practices that successfully meet the c h a l l e n g e s o f development and the ideas or strategies that can be implemented to replicate or develop these smart practices further. Creative resolutions, formulated together in discussion and then presented, became part of the agenda for each participant returning to their work task and their respective regions.

Rangkaian acara Pertemuan Forum KTI ditutup oleh Alex Retraubun, Wakil Menteri Perindustrian, yang tidak pernah meninggalkan acara sejak pembukaan. Dalam sambutannya Alex Retraubun meningatkan bahwa kepemimpinan itu penting untuk melakukan inovasi. Dari keenam praktik cerdas yang ditampilkan,

d a p a t d i l i h a t b a h w a semuanya dapat terlaksana dengan baik karena ada kepemimpinan yang kuat. Ini ter l ihat dari bagaimana seorang dokter dengan kreativitas dan berbagai terobosan barunya berhasil memotivasi gubernur untuk menyediakan layanan Malaria Center bagi publik. Pada kesempatan yang sama, A l e x R e t r a u b u n j u g a menyampaikan bahwa suatu

inovasi dikatakan berhasil jika bisa mengatasi isu sosial dan ekonomi. Menurut beliau, Praktik cerdas pengelolaan air bersih dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa menjawab kedua konteks tersebut. Karenanya Alex Retraubun berharap agar berbagai inovasi yang diangkat dalam Forum KTI V dapat direplikasi di berbagai daerah. Mengakhiri pidatonya, Alex Retraubun menyanyikan lagu Killing Me Softly (dipopulerkan oleh Roberta Flack) yang menggambarkan perasaan beliau atas kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah yang belum berpihak pada wilayah kepulauan.

Pertemuan Forum Kawasan Timur Indonesia ditutup dengan menyanyikan bersama lagu rakyat Maluku berjudul Gandong E. Lagu ini menggambarkan persaudaraan yang saling menjaga dan menyayangi di antara masyarakat Maluku. Sama halnya dengan suasana yang telah terbangun selama dua hari dalam Pertemuan Forum KTI.

Tidak banyak pertemuan pembangunan yang menciptakan rasa kekeluargaan diantara berbagai pihak dari berbagai latar belakang dan daerah. Dan lebih sedikit lagi pertemuan-pertemuan resmi pembangunan yang ditutup dengan luapan semangat kebangsaan dan energi yang besar untuk melakukan perubahan bagi kemajuan bersama. Semoga semangat ini dapat terus bertamah demi masa depan Indonesia, khususnya Kawasan Timur yang lebih baik.

The event was closed by Alex Retraubun, Deputy Minister of Industry, who never left the event from the time of the opening speech. In his speech, Alex Retraubun spoke of how leadership was important for innovation. Of the six smart practices, it was clear that strong leadership is the key. This is evident from how a doctor with the creativity was able to successfully motivate the governor to provide services to the public in the form of a Malaria Center.

Alex Retraubun also said that an innovation is successful if it overcomes the social and economic challenges. According to him, the water management smart practice in the form of a Village Owned Water Utility answered both types of challenges. Therefore, Alex Retraubun hopes many innovations presented during the 5th Eastern Indonesia Forum can be replicated in different regions. Ending his speech, Alex Retraubun sang Killing Me Softly (by Roberta Flack), which he said describes his feelings regarding the the financial imbalance between center-region which does not take into account the island regions.

The 5th Eastern Indonesia Forum closed by all participants singing a Maluku folk song called Gandong E. This song describes a brotherhood of mutual care and love between the people of Maluku, reflecting also the prevailing atmosphere of the 5th EI Forum.

Not a lot of development meetings create a sense of kinship among the various parties, all from different backgrounds and regions. And even fewer formal meetings close with a burst of national spirit and energy for making a change. Hoepfully this spirit can continue to thrive for the future of Indonesia, particularly in for a better eastern Indonesia.

PenutupClosing

Hari KeduaDay Two

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 20105 6

Para praktisi praktik cerdas dan Inspirator menerima cindera mata dari Forum KTI yang diserahkan oleh Wakil Menteri PerindustrianAlex Retraubun.

Alex Retraubun, Wakil Menteri Perindustrian/ Deputy Minister of Industry

Rangkaian kegiatan Forum KTI V direkam secara creatif/ Creative note-taking of the Forum proceedings

Forum KTI ditutup oleh Wakil Menteri Perindustrian, Bapak Alex Retraubun/ The 5th EI Forum was closed by Deputy Minister of Industry

Bincang Cerdas Bersama Enam Perwakilan Lembaga Donor Internasional/Discussion with six representatives of donor organizations

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 7: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Bincang Cerdas Bersama Mitra Pembangunan Internasional

Hari kedua Pertemuan Forum KTI V dimulai dengan perbincangan bersama perwakilan mitra pembangunan internasional. Perbincangan yang dipandu oleh Chandra Sugarda, menghadirkan Sam Zappia (AusAID), Richard Manning (AusAID), Daniel Hunt (AusAID), Patricia McCullagh (CIDA), Blair King (USAID) dan Amin Subekti (Bank Dunia). Tujuan dari perbincangan ini adalah menyampaikan pikiran, program, ide, dan tanggapan atas keenam Praktik Cerdas yang ditampilkan pada hari pertama.

Seluruh perwakilan mitra pembangunan internasional dalam sesi ini mengapresiasi substansi dan pengelolaan pertemuan yang mampu membuat seluruh peserta tetap antusias mengikuti acara sampai sore hari. Adalah penting untuk menggali dan mencari contoh praktik cerdas serta mendorong replikasinya di daerah lain yang membutuhkan solusi. Ini menjadikan peran BaKTI semakin penting dalam menghubungkan mitra pembangunan internasional, pemerintah daerah, dan solusi-solusi lokal. Menutup perbincangan, para mitra pembangunan internasional melempar tantangan kepada pemerintah di 12 provinsi di KTI untuk mendukung Forum Kawasan Timur Indonesia selanjutnya.

Diskusi Kelompok untuk Resolusi Kreatif

Tidak sekedar menemukenali harta karun dari Kawasan Timur Indonesia, pada hari kedua Pertemuan Forum KTI seluruh peserta berkesempatan untuk berdiskusi langsung dengan praktisi praktik cerdas, inspirator publik, dan dengan sesama peserta lainnya. Diskusi

dibagi ke dalam enam t o p i k b e s a r berdasarkan praktik c e r d a s , y a k n i kesetaraan gender, p e n d i d i k a n , kesehatan, pelayanan publik, lingkungan, dan pengembangan ekonomi lokal.

D a l a m d i s k u s i kelompok ini, peserta menggali informasi l e b i h b a n y a k mengenai prakt ik cerdas yang berhasil

menjawab tantangan pembangunan serta ide atau strategi apa yang dapat dilakukan untuk mereplikasi praktik cerdas atau mengembangkannya. Resolusi kreatif yang dirumuskan bersama dalam diskusi kemudian dipresentasikan agar menjadi agenda masing-masing peserta sekembalinya mereka ke tempat tugas dan daerah masing-masing.

Speaking with International Development Partners

The second day of 5th EI Forum meeting began with a discussion with representatives of international development partners. The discussion was guided by Chandra Sugarda, and included Sam Zappia (AusAID), Richard Manning (AusAID), Daniel Hunt (AusAID), Patricia McCullagh (CIDA), Blair King (USAID) and Amin Subekti (World Bank). The purpose of this conversation was to transmit the thoughts, programs, ideas, and responses of the international community members to the six smart practices displayed on the first day.

All the representatives of the international development partners appreciated the substance of this session and the event that was able to hold the attention of all the participants until the evening. They also emphasized the importance of digging and searching for examples of smart practices and of encouraging replication in other areas that need similar solutions. This makes BaKTI’s role in connecting the international development partners, local governments, and local solutions increasingly important. Closing the debate, the international development partners threw a challenge back to governments in 12 provinces in eastern Indonesia to support the next Eastern Indonesia Forum.

Digging and searching for examples of smart practices such as these is important to help replicated and dissemination to other areas that need similar solutions.

Group Discussions and Creative Resolutions

Not just identifying the treasures of eastern Indonesia, on the second day all participants has the opportunity to directly engage in discussion with practitioners of the smart practices, public inspirators, and with fellow participants as well. The discussion was divided into six major topics based on s m a r t p r a c t i c e s , n a m e l y g e n d e r equality, education, health, public services, environment, and local e c o n o m i c development.

I n t h e g r o u p d i s c u s s i o n s , participants explored m o r e i n - d e p t h information about the smart practices that successfully meet the c h a l l e n g e s o f development and the ideas or strategies that can be implemented to replicate or develop these smart practices further. Creative resolutions, formulated together in discussion and then presented, became part of the agenda for each participant returning to their work task and their respective regions.

Rangkaian acara Pertemuan Forum KTI ditutup oleh Alex Retraubun, Wakil Menteri Perindustrian, yang tidak pernah meninggalkan acara sejak pembukaan. Dalam sambutannya Alex Retraubun meningatkan bahwa kepemimpinan itu penting untuk melakukan inovasi. Dari keenam praktik cerdas yang ditampilkan,

d a p a t d i l i h a t b a h w a semuanya dapat terlaksana dengan baik karena ada kepemimpinan yang kuat. Ini ter l ihat dari bagaimana seorang dokter dengan kreativitas dan berbagai terobosan barunya berhasil memotivasi gubernur untuk menyediakan layanan Malaria Center bagi publik. Pada kesempatan yang sama, A l e x R e t r a u b u n j u g a menyampaikan bahwa suatu

inovasi dikatakan berhasil jika bisa mengatasi isu sosial dan ekonomi. Menurut beliau, Praktik cerdas pengelolaan air bersih dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa menjawab kedua konteks tersebut. Karenanya Alex Retraubun berharap agar berbagai inovasi yang diangkat dalam Forum KTI V dapat direplikasi di berbagai daerah. Mengakhiri pidatonya, Alex Retraubun menyanyikan lagu Killing Me Softly (dipopulerkan oleh Roberta Flack) yang menggambarkan perasaan beliau atas kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah yang belum berpihak pada wilayah kepulauan.

Pertemuan Forum Kawasan Timur Indonesia ditutup dengan menyanyikan bersama lagu rakyat Maluku berjudul Gandong E. Lagu ini menggambarkan persaudaraan yang saling menjaga dan menyayangi di antara masyarakat Maluku. Sama halnya dengan suasana yang telah terbangun selama dua hari dalam Pertemuan Forum KTI.

Tidak banyak pertemuan pembangunan yang menciptakan rasa kekeluargaan diantara berbagai pihak dari berbagai latar belakang dan daerah. Dan lebih sedikit lagi pertemuan-pertemuan resmi pembangunan yang ditutup dengan luapan semangat kebangsaan dan energi yang besar untuk melakukan perubahan bagi kemajuan bersama. Semoga semangat ini dapat terus bertamah demi masa depan Indonesia, khususnya Kawasan Timur yang lebih baik.

The event was closed by Alex Retraubun, Deputy Minister of Industry, who never left the event from the time of the opening speech. In his speech, Alex Retraubun spoke of how leadership was important for innovation. Of the six smart practices, it was clear that strong leadership is the key. This is evident from how a doctor with the creativity was able to successfully motivate the governor to provide services to the public in the form of a Malaria Center.

Alex Retraubun also said that an innovation is successful if it overcomes the social and economic challenges. According to him, the water management smart practice in the form of a Village Owned Water Utility answered both types of challenges. Therefore, Alex Retraubun hopes many innovations presented during the 5th Eastern Indonesia Forum can be replicated in different regions. Ending his speech, Alex Retraubun sang Killing Me Softly (by Roberta Flack), which he said describes his feelings regarding the the financial imbalance between center-region which does not take into account the island regions.

The 5th Eastern Indonesia Forum closed by all participants singing a Maluku folk song called Gandong E. This song describes a brotherhood of mutual care and love between the people of Maluku, reflecting also the prevailing atmosphere of the 5th EI Forum.

Not a lot of development meetings create a sense of kinship among the various parties, all from different backgrounds and regions. And even fewer formal meetings close with a burst of national spirit and energy for making a change. Hoepfully this spirit can continue to thrive for the future of Indonesia, particularly in for a better eastern Indonesia.

PenutupClosing

Hari KeduaDay Two

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 20105 6

Para praktisi praktik cerdas dan Inspirator menerima cindera mata dari Forum KTI yang diserahkan oleh Wakil Menteri PerindustrianAlex Retraubun.

Alex Retraubun, Wakil Menteri Perindustrian/ Deputy Minister of Industry

Rangkaian kegiatan Forum KTI V direkam secara creatif/ Creative note-taking of the Forum proceedings

Forum KTI ditutup oleh Wakil Menteri Perindustrian, Bapak Alex Retraubun/ The 5th EI Forum was closed by Deputy Minister of Industry

Bincang Cerdas Bersama Enam Perwakilan Lembaga Donor Internasional/Discussion with six representatives of donor organizations

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 8: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 20107 8

erulang kali saya diminta membuktikan cinta saya tapi selalu saya tolak. Mungkin saat itu saya lemah tapi hanya sekali itu saja saya tak kuasa menolak B

permintaannya. Sekarang saya hamil dan dia berubah menjadi kasar, suka marah dan memukul. Saya harus bagaimana, mak?”, Bunga, gadis belasan tahun itu menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Sarci Maukari mendengarkan dengan seksama penuturan Bunga. Sebagai seorang konselor bagi korban kekerasan terhadap perempuan , Sarci memang harus selalu siap kapan saja mendengarkan curahan hati mereka yang memberanikan diri mendatangi kantor Sanggar Suara Perempuan untuk mendapatkan perlindungan.

“Bagi saya, ini panggilan hidup, betapa pun beratnya perlawanan yang saya hadapi dari pihak pasangan klien dan pandangan merendahkan dari segelintir masyarakat”, Sarci yang juga ibu dari dua orang anak ini menjelaskan kenapa dirinya tetap bersemangat dalam mendampingi para klien Sanggar Suara Perempuan. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, kaum

perempuan di Soe, Kupang, dan banyak daerah lain di Nusa Tenggara Timur, tidak punya pilihan selain diam menerima perlakuan kasar. Ibu, saudara perempuan, maupun teman baik yang mengalami atau mendengarkan kisah terjadinya segala bentuk kekerasan, hanya akan menutup rapat-rapat kisah ini dan menguburnya dalam-dalam agar tak menjadi aib bagi keluarga besar.

Desa-desa yang kering di Nusa Tenggara Timur menjadi lebih gersang tanpa senyum para ibu. Tawa anak-anak yang riang bermain tidak mampu menjadikan suasana desa lebih hidup. Seratus kilometer dari Soe, di Penfui Timur Kabupaten Kupang, Venty Sabaat mengenang kondisi masa lalu kaum perempuan di desanya. “Bahagia sepertinya terasa jauh dari kehidupan kami. Yang ada hanyalah masalah dan masalah saja. Mulai dari uang yang tak pernah cukup untuk membeli makanan, anak-anak yang sakit, sampai perselingkuhan”. Ibu berumur 43 tahun ini sadar betul, perempuan-perempuan di desanya merasa malu dan takut kalau ada yang tau mereka diperlakukan kasar. “Karena punya banyak anak, akhirnya banyak ibu tinggal diam di rumah saja, jadi sering murung, gampang marah terhadap anak, dan akhirnya sering bertengkar dan dipukuli suami”, tuturnya.

Kondisi seperti yang dihadapi Bunga, Venty Sabaat, dan banyak perempuan lain di bumi Timor ini mendorong Sanggar Suara Perempuan sejak tahun 1996 memfokuskan pekerjaan mereka pada upaya menurunkan tingkat kekerasan terhadap perempuan. Saat itu belum ada organisasi masyarakat maupun instansi pemerintah yang perduli akan permasalahan ini. Kerap kali mereka dianggap mencampuri urusan rumah tangga orang dan dipandang sebelah mata karena mau mengurusi perempuan-perempuan yang dianggap telah melakukan aib atau membuka aib keluarga.

Cemoohan masyarakat saat itu tidak menyurutkan semangat mereka. Kegiatan penyadaran lambat laun mulai mendapat dukungan dimulai dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat bidang kemanusiaan yang telah lebih dahulu berdiri. Bahkan pada tahun 2002, Sanggar Suara Perempuan mendirikan Rumah Perempuan yang diperuntukkan khusus sebagai tempat perlindungan bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga di Kota Kupang. Ini memperluas jangkauan wilayah kerja Sanggar Suara Perempuan yang sebelumnya hanya tiga puluh kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, menjadi empat puluh

“Over and over I was asked to prove my love but I always refused. Maybe I was weak, but just that one time I couldn’t reject his request. Now I’m pregnant and he has changed, become coarse, he gets angry and likes to hit me. What should I do?” asks Bunga, a teenage girl, as tears run down her face. Sarci Maukari listened carefully to Bunga’s story. As a counselor of victims of domestic violence, Sarci is always ready to listen to women brave enough to come to the Sanggar Suara Perempuan office for protection.

“For me, this is my calling in life, no matter what sort of resistance I get from the partners or clients or disparaging opinions of the community,” said Sarci, who is also a mother of two, as she explained why she continues to strongly support the clients of Sanggar Suara Perempuan. More than ten years ago, women’s groups in Soe, Kupang, and in mother other areas of Nusa Tenggara Timur, had no choice but to silently receive ill-treatment. Mothers, sisters, and even good friends all experienced or heard the stories of violence, only to seal them and bur them deep to avoid becoming a disgrace to their families.

The dry villages of Nusa Tenggara Timur become even drier without the smiles of women. Eeven the laughter the children can’t enliven the atmosphere. 100 kilometers from Soe, in Penfui Timur, Kupang district, Venty Sabaat recalls the conditions of women in her village, “ Happiness was once far removed from our lives. We had problems and only problems. Beginning with not enough money to buy food, sick children, and then to adultery.” This 43 year old mother was very aware that the women in her village were embarrasses and scared if anyone found out that they had been abused. “Because they had lots of children, most women just stayed at home, they were often moody and then angry with their kids and then fought with and were hit by their husbands,” she explained.

These conditions faced by Bunga, Venty Sabaat, and many other women in Timor encouraged Sanggar Suara Perempuan in 1996 to focus their work on efforts to reduce the level of violence against women. At that time, there was no community organization or government agency that was concerned about this issue. Often the group was seen as interfering in domestic affairs and looked at sideways because they were dealing with women who were considered to be disgraceful or revealing family disgrace.

The scorn of the community did not lessen their spirits. Their awareness raising activities slowly gathered support, beginning with community organizations in the humanitarian field. In 2002, Sanggar Suara Perempuan founded Rumah Perempuan (Women’s House) as a safe house from victims of domestic violence in households in Kupang city. This increased the working area of Sanggar Suara Perempuan, which before only covered 30 sub-districts in Timor Tengah Selatan district, to 40 sub-districts, including ten more in Kupang district and the city of Kupang.

Rumah aman menuju kesetaraan gender Safe houses towards

gender equality

Kupang, NTT dan Soe, Kab. Timor Tengah SelatanNusa Tenggara Timur

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Sejak didirikan pada tahun 2000Rumah Perempuan telah mendampingi 1239 kasus di 32 kecamatan di Timor Tengah Selatan dan 10 kecamatan di Kabupaten Kupang

Since its founding in 2000, Rumah Perempuan has been involved in 1239 cases in 32 sub-districts in Timor Tengah Selatan and 10 sub-districts in Kupang

kecamatan termasuk sepuluh kecamatan lagi di Kabupaten Kupang dan kota Kupang.

Pengalaman berjuang sendiri selama lebih sepuluh tahun mendampingi korban kekerasan, m e m b u a t S a n g g a r S u a r a Perempuan dan Rumah Perempuan lebih terbuka dan menyambut baik inisiatif dari berbagai institusi lain yang mengurusi hal yang sama. “Sanggar Suara Perempuan dan Rumah Perempuan sangat terbuka terhadap berbagai kegiatan yang diadakan oleh kami. Mereka tidak segan berbagi rahasia sukses program-program mereka agar yang lain dapat mereplikasinya. Kami dapat saling belajar dan melakuk an berbagai inis iat i f b e r s a m a , s e p e r t i l a y a n a n pendampingan hukum korban kekerasan terhadap perempuan yang terintegrasi, antara Biro Pemberdayaan Perempuan, Pengadilan Tinggi, Kepolisian, dan LSM”, tutur dr. Yovita A. Mitak, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi NTT.

Hingga saat ini Sanggar Suara Perempuan di kota Soe telah mendampingi 987 kasus dan Rumah Perempuan di kota Kupang mendampingi 1329 kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, ingkar janji menikah, dan traffiking. “Kami yakin jumlah kekerasan terhadap perempuan ini jauh lebih banyak daripada yang telah berhasil kami tangani karena masih banyak perempuan korban kekerasan yang belum berani melaporkannya” , jelas Filpin Therik, Wakil Direktur Sanggar Suara Perempuan.

“Dari seluruh kasus yang kami tangani, tantangan terbesar bagi kami adalah kasus-kasus darurat medis yang terjadi di pelosok pedesaan”, tutur Filpin, mengenang beberapa klien yang kondisinya sangat parah dan memerlukan bantuan medis secepatnya namun berada jauh dari layanan kesehatan. Belajar dari pengalaman itu, Sanggar Suara Perempuan dan Rumah Perempuan membentuk gugus tugas di tingkat desa yang terdiri dari beberapa kader yang bekerja sebagai konselor dan paralegal di tingkat komunitas. “Keberadaan gugus tugas dan kader ini dapat memberi respon yang cepat atas laporan suatu kasus sekaligus terus menerus melakukan penyadaran dan mendorong perubahan perilaku kasar untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan”, ujar Filpin.

Banyaknya kasus yang telah berhasil ditangani oleh Sanggar Suara Perempuan dan Rumah Perempuan tidak membuat kedua lembaga ini berhenti melakukan inovasi. Pada awal tahun 2009, Rumah Perempuan menangani sebuah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang mendorong mereka melakukan pendekatan baru dalam pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan, yakni melibatkan kaum pria.

“Ketika kami melakukan mediasi dengan pasangan klien, sangat sulit bagi mereka untuk bersikap terbuka kepada konselor kami yang semuanya perempuan”, ungkap Libby SinlaeLoE, Koordinator Rumah Perempuan di Kupang. “Suatu waktu, rekan aktivis yang laki-laki ikut mendampingi kami berdialog dengan pasangan klien. Keterlibatan mereka saat itu dapat mencairkan suasana yang sebelumnya kaku bahkan tegang. Pasangan klien dapat mengungkapkan lebih banyak hal dengan lebih rileks dan sebaliknya juga lebih terbuka menerima masukan-masukan dari teman kami itu”, kenang Libby.

Kejadian tersebut kemudian menginspirasi Rumah Perempuan untuk memulai program pendampingan bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dengan mulai merekrut konselor pria. “Setelah berjalan selama satu setengah tahun, saat ini telah ada tujuh konselor pria yang aktif mendampingi pasangan klien dalam memediasi kasus kekerasan terhadap perempuan”, tutur Libby bangga. “Kami yakin upaya ini dapat mengubah perilaku kasar pria terhadap perempuan. Selain itu pendekatan maskulin dalam upaya penyadaran ini dapat lebih cepat meluas di kalangan kaum pria. Jika evaluasi program ini pada akhir tahun nanti menunjukkan hasil yang baik, kami akan mengajak biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi NTT untuk bersama-sama melaksanakan inisiatif ini”, ujar Libby optimis.

Tidak melulu berfokus pada pendampingan korban kekerasan terhadap perempuan,Sanggar Suara Perempuan dan Rumah Perempuan juga berupaya menjangkau akar permasalahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Kurangnya aktivitas ekonomi produktif dan terbatasnya wawasan tentang kesetaraan gender dalam keluarga dan masyarakat dipandang sebagai faktor utama penyebab terjadinya berbagai bentuk kekerasan.

The experience of battling on their own f o r t e n y e a r s t o support victims of violence has made S a n g g a r S u a r a P e r e m p u a n a n d Rumah Perempuan more open and more accepting to initiatives f r o m o t h e r organizations doing s i m i l a r w o r k . “ S a n g g a r S u a r a P e r e m p u a n a n d Rumah Perempuan a r e v e r y o p e n i n r e l a t i o n t o o u r activities. They are not mean in sharing their secrets to success in the hope that others

will replicate them. We learn from each and undertake initiatives together, such as legal services for victims of violence that are integrated between the Women’s Empowerment Bureau, the courts, the police and NGOs,” said dr. Yovita A. Mitak, Head of the Women’s Empowerment Bureau NTT Province.

Sanggar Suara Perempuan in Soe City has handled 987 cases and Rumah Perempuan in Kupang City has had over 1,329 cases of violence against women, including domestic violence, rape, engagement breaking, and trafficking. “We believe that the true number of violence against women cases in much higher than we see, because many victims are too frightened to report it,” explained Filpin Therik, Deputy Director of Sanggar Suara Perempuan.

“Of all the cases we seem our biggest challenge are the emergency medical cases in isolated rural areas,” she added, referring to clients who are in dire condition and need medical assistance immediately, but are far from such services. Learning from these experiences, Sanggar Suara Perempuan and Rumah Perempuan created village-level task forces including counselors and paralegal at the community level. “The task forces are able to provide a fast response to reports and also raise awareness and encourage change in violent behavior to prevent violence against women,” said Filpin.

The many cases handled by Sanggar Suara Perempuan and Rumah Perempuan doesn’t stp them from continuing to innovate. In 2009, Rumah Perempuan had one domestic violence case that encouraged them to adopt a new approach, one that involved men. “We tried mediation for the husband, but it was very hard for him to be open to our counselors, who are all women,” said Libby SinlaeLoE, Coordinator of Rumah Perempuan in Kupang. “Then, an activist who was also male became involved in the process. It helped change the atmosphere, which before had been tense and awkward. The spouse of our client became more relaxed and open to inputs from our male counselor,” she added.

This inspired Rumah Perempuan to begin a program for abusers of women and begin recruiting male counselors. “After a year, there are 7 male counselors who are active in engaging spouses of clients in cases of violence against women,” said Libby proudly. “We are convinced that this can change violent behavior of men towards women. The masculine approach in awareness raising efforts spread more quickly to men. If when we evaluate the program, we find good results, we will invite the Women’s Empowerment Bureau NTT to work with us for this initiative,” said Libby optimistically.

Wati Bagang dari Rumah Perempuan, Kupang, NTT

Wati Bagang from Rumah Perempuan, Kupang, NTT

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 9: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 20107 8

erulang kali saya diminta membuktikan cinta saya tapi selalu saya tolak. Mungkin saat itu saya lemah tapi hanya sekali itu saja saya tak kuasa menolak B

permintaannya. Sekarang saya hamil dan dia berubah menjadi kasar, suka marah dan memukul. Saya harus bagaimana, mak?”, Bunga, gadis belasan tahun itu menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Sarci Maukari mendengarkan dengan seksama penuturan Bunga. Sebagai seorang konselor bagi korban kekerasan terhadap perempuan , Sarci memang harus selalu siap kapan saja mendengarkan curahan hati mereka yang memberanikan diri mendatangi kantor Sanggar Suara Perempuan untuk mendapatkan perlindungan.

“Bagi saya, ini panggilan hidup, betapa pun beratnya perlawanan yang saya hadapi dari pihak pasangan klien dan pandangan merendahkan dari segelintir masyarakat”, Sarci yang juga ibu dari dua orang anak ini menjelaskan kenapa dirinya tetap bersemangat dalam mendampingi para klien Sanggar Suara Perempuan. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, kaum

perempuan di Soe, Kupang, dan banyak daerah lain di Nusa Tenggara Timur, tidak punya pilihan selain diam menerima perlakuan kasar. Ibu, saudara perempuan, maupun teman baik yang mengalami atau mendengarkan kisah terjadinya segala bentuk kekerasan, hanya akan menutup rapat-rapat kisah ini dan menguburnya dalam-dalam agar tak menjadi aib bagi keluarga besar.

Desa-desa yang kering di Nusa Tenggara Timur menjadi lebih gersang tanpa senyum para ibu. Tawa anak-anak yang riang bermain tidak mampu menjadikan suasana desa lebih hidup. Seratus kilometer dari Soe, di Penfui Timur Kabupaten Kupang, Venty Sabaat mengenang kondisi masa lalu kaum perempuan di desanya. “Bahagia sepertinya terasa jauh dari kehidupan kami. Yang ada hanyalah masalah dan masalah saja. Mulai dari uang yang tak pernah cukup untuk membeli makanan, anak-anak yang sakit, sampai perselingkuhan”. Ibu berumur 43 tahun ini sadar betul, perempuan-perempuan di desanya merasa malu dan takut kalau ada yang tau mereka diperlakukan kasar. “Karena punya banyak anak, akhirnya banyak ibu tinggal diam di rumah saja, jadi sering murung, gampang marah terhadap anak, dan akhirnya sering bertengkar dan dipukuli suami”, tuturnya.

Kondisi seperti yang dihadapi Bunga, Venty Sabaat, dan banyak perempuan lain di bumi Timor ini mendorong Sanggar Suara Perempuan sejak tahun 1996 memfokuskan pekerjaan mereka pada upaya menurunkan tingkat kekerasan terhadap perempuan. Saat itu belum ada organisasi masyarakat maupun instansi pemerintah yang perduli akan permasalahan ini. Kerap kali mereka dianggap mencampuri urusan rumah tangga orang dan dipandang sebelah mata karena mau mengurusi perempuan-perempuan yang dianggap telah melakukan aib atau membuka aib keluarga.

Cemoohan masyarakat saat itu tidak menyurutkan semangat mereka. Kegiatan penyadaran lambat laun mulai mendapat dukungan dimulai dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat bidang kemanusiaan yang telah lebih dahulu berdiri. Bahkan pada tahun 2002, Sanggar Suara Perempuan mendirikan Rumah Perempuan yang diperuntukkan khusus sebagai tempat perlindungan bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga di Kota Kupang. Ini memperluas jangkauan wilayah kerja Sanggar Suara Perempuan yang sebelumnya hanya tiga puluh kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, menjadi empat puluh

“Over and over I was asked to prove my love but I always refused. Maybe I was weak, but just that one time I couldn’t reject his request. Now I’m pregnant and he has changed, become coarse, he gets angry and likes to hit me. What should I do?” asks Bunga, a teenage girl, as tears run down her face. Sarci Maukari listened carefully to Bunga’s story. As a counselor of victims of domestic violence, Sarci is always ready to listen to women brave enough to come to the Sanggar Suara Perempuan office for protection.

“For me, this is my calling in life, no matter what sort of resistance I get from the partners or clients or disparaging opinions of the community,” said Sarci, who is also a mother of two, as she explained why she continues to strongly support the clients of Sanggar Suara Perempuan. More than ten years ago, women’s groups in Soe, Kupang, and in mother other areas of Nusa Tenggara Timur, had no choice but to silently receive ill-treatment. Mothers, sisters, and even good friends all experienced or heard the stories of violence, only to seal them and bur them deep to avoid becoming a disgrace to their families.

The dry villages of Nusa Tenggara Timur become even drier without the smiles of women. Eeven the laughter the children can’t enliven the atmosphere. 100 kilometers from Soe, in Penfui Timur, Kupang district, Venty Sabaat recalls the conditions of women in her village, “ Happiness was once far removed from our lives. We had problems and only problems. Beginning with not enough money to buy food, sick children, and then to adultery.” This 43 year old mother was very aware that the women in her village were embarrasses and scared if anyone found out that they had been abused. “Because they had lots of children, most women just stayed at home, they were often moody and then angry with their kids and then fought with and were hit by their husbands,” she explained.

These conditions faced by Bunga, Venty Sabaat, and many other women in Timor encouraged Sanggar Suara Perempuan in 1996 to focus their work on efforts to reduce the level of violence against women. At that time, there was no community organization or government agency that was concerned about this issue. Often the group was seen as interfering in domestic affairs and looked at sideways because they were dealing with women who were considered to be disgraceful or revealing family disgrace.

The scorn of the community did not lessen their spirits. Their awareness raising activities slowly gathered support, beginning with community organizations in the humanitarian field. In 2002, Sanggar Suara Perempuan founded Rumah Perempuan (Women’s House) as a safe house from victims of domestic violence in households in Kupang city. This increased the working area of Sanggar Suara Perempuan, which before only covered 30 sub-districts in Timor Tengah Selatan district, to 40 sub-districts, including ten more in Kupang district and the city of Kupang.

Rumah aman menuju kesetaraan gender Safe houses towards

gender equality

Kupang, NTT dan Soe, Kab. Timor Tengah SelatanNusa Tenggara Timur

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Sejak didirikan pada tahun 2000Rumah Perempuan telah mendampingi 1239 kasus di 32 kecamatan di Timor Tengah Selatan dan 10 kecamatan di Kabupaten Kupang

Since its founding in 2000, Rumah Perempuan has been involved in 1239 cases in 32 sub-districts in Timor Tengah Selatan and 10 sub-districts in Kupang

kecamatan termasuk sepuluh kecamatan lagi di Kabupaten Kupang dan kota Kupang.

Pengalaman berjuang sendiri selama lebih sepuluh tahun mendampingi korban kekerasan, m e m b u a t S a n g g a r S u a r a Perempuan dan Rumah Perempuan lebih terbuka dan menyambut baik inisiatif dari berbagai institusi lain yang mengurusi hal yang sama. “Sanggar Suara Perempuan dan Rumah Perempuan sangat terbuka terhadap berbagai kegiatan yang diadakan oleh kami. Mereka tidak segan berbagi rahasia sukses program-program mereka agar yang lain dapat mereplikasinya. Kami dapat saling belajar dan melakuk an berbagai inis iat i f b e r s a m a , s e p e r t i l a y a n a n pendampingan hukum korban kekerasan terhadap perempuan yang terintegrasi, antara Biro Pemberdayaan Perempuan, Pengadilan Tinggi, Kepolisian, dan LSM”, tutur dr. Yovita A. Mitak, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi NTT.

Hingga saat ini Sanggar Suara Perempuan di kota Soe telah mendampingi 987 kasus dan Rumah Perempuan di kota Kupang mendampingi 1329 kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, ingkar janji menikah, dan traffiking. “Kami yakin jumlah kekerasan terhadap perempuan ini jauh lebih banyak daripada yang telah berhasil kami tangani karena masih banyak perempuan korban kekerasan yang belum berani melaporkannya” , jelas Filpin Therik, Wakil Direktur Sanggar Suara Perempuan.

“Dari seluruh kasus yang kami tangani, tantangan terbesar bagi kami adalah kasus-kasus darurat medis yang terjadi di pelosok pedesaan”, tutur Filpin, mengenang beberapa klien yang kondisinya sangat parah dan memerlukan bantuan medis secepatnya namun berada jauh dari layanan kesehatan. Belajar dari pengalaman itu, Sanggar Suara Perempuan dan Rumah Perempuan membentuk gugus tugas di tingkat desa yang terdiri dari beberapa kader yang bekerja sebagai konselor dan paralegal di tingkat komunitas. “Keberadaan gugus tugas dan kader ini dapat memberi respon yang cepat atas laporan suatu kasus sekaligus terus menerus melakukan penyadaran dan mendorong perubahan perilaku kasar untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan”, ujar Filpin.

Banyaknya kasus yang telah berhasil ditangani oleh Sanggar Suara Perempuan dan Rumah Perempuan tidak membuat kedua lembaga ini berhenti melakukan inovasi. Pada awal tahun 2009, Rumah Perempuan menangani sebuah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang mendorong mereka melakukan pendekatan baru dalam pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan, yakni melibatkan kaum pria.

“Ketika kami melakukan mediasi dengan pasangan klien, sangat sulit bagi mereka untuk bersikap terbuka kepada konselor kami yang semuanya perempuan”, ungkap Libby SinlaeLoE, Koordinator Rumah Perempuan di Kupang. “Suatu waktu, rekan aktivis yang laki-laki ikut mendampingi kami berdialog dengan pasangan klien. Keterlibatan mereka saat itu dapat mencairkan suasana yang sebelumnya kaku bahkan tegang. Pasangan klien dapat mengungkapkan lebih banyak hal dengan lebih rileks dan sebaliknya juga lebih terbuka menerima masukan-masukan dari teman kami itu”, kenang Libby.

Kejadian tersebut kemudian menginspirasi Rumah Perempuan untuk memulai program pendampingan bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dengan mulai merekrut konselor pria. “Setelah berjalan selama satu setengah tahun, saat ini telah ada tujuh konselor pria yang aktif mendampingi pasangan klien dalam memediasi kasus kekerasan terhadap perempuan”, tutur Libby bangga. “Kami yakin upaya ini dapat mengubah perilaku kasar pria terhadap perempuan. Selain itu pendekatan maskulin dalam upaya penyadaran ini dapat lebih cepat meluas di kalangan kaum pria. Jika evaluasi program ini pada akhir tahun nanti menunjukkan hasil yang baik, kami akan mengajak biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi NTT untuk bersama-sama melaksanakan inisiatif ini”, ujar Libby optimis.

Tidak melulu berfokus pada pendampingan korban kekerasan terhadap perempuan,Sanggar Suara Perempuan dan Rumah Perempuan juga berupaya menjangkau akar permasalahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Kurangnya aktivitas ekonomi produktif dan terbatasnya wawasan tentang kesetaraan gender dalam keluarga dan masyarakat dipandang sebagai faktor utama penyebab terjadinya berbagai bentuk kekerasan.

The experience of battling on their own f o r t e n y e a r s t o support victims of violence has made S a n g g a r S u a r a P e r e m p u a n a n d Rumah Perempuan more open and more accepting to initiatives f r o m o t h e r organizations doing s i m i l a r w o r k . “ S a n g g a r S u a r a P e r e m p u a n a n d Rumah Perempuan a r e v e r y o p e n i n r e l a t i o n t o o u r activities. They are not mean in sharing their secrets to success in the hope that others

will replicate them. We learn from each and undertake initiatives together, such as legal services for victims of violence that are integrated between the Women’s Empowerment Bureau, the courts, the police and NGOs,” said dr. Yovita A. Mitak, Head of the Women’s Empowerment Bureau NTT Province.

Sanggar Suara Perempuan in Soe City has handled 987 cases and Rumah Perempuan in Kupang City has had over 1,329 cases of violence against women, including domestic violence, rape, engagement breaking, and trafficking. “We believe that the true number of violence against women cases in much higher than we see, because many victims are too frightened to report it,” explained Filpin Therik, Deputy Director of Sanggar Suara Perempuan.

“Of all the cases we seem our biggest challenge are the emergency medical cases in isolated rural areas,” she added, referring to clients who are in dire condition and need medical assistance immediately, but are far from such services. Learning from these experiences, Sanggar Suara Perempuan and Rumah Perempuan created village-level task forces including counselors and paralegal at the community level. “The task forces are able to provide a fast response to reports and also raise awareness and encourage change in violent behavior to prevent violence against women,” said Filpin.

The many cases handled by Sanggar Suara Perempuan and Rumah Perempuan doesn’t stp them from continuing to innovate. In 2009, Rumah Perempuan had one domestic violence case that encouraged them to adopt a new approach, one that involved men. “We tried mediation for the husband, but it was very hard for him to be open to our counselors, who are all women,” said Libby SinlaeLoE, Coordinator of Rumah Perempuan in Kupang. “Then, an activist who was also male became involved in the process. It helped change the atmosphere, which before had been tense and awkward. The spouse of our client became more relaxed and open to inputs from our male counselor,” she added.

This inspired Rumah Perempuan to begin a program for abusers of women and begin recruiting male counselors. “After a year, there are 7 male counselors who are active in engaging spouses of clients in cases of violence against women,” said Libby proudly. “We are convinced that this can change violent behavior of men towards women. The masculine approach in awareness raising efforts spread more quickly to men. If when we evaluate the program, we find good results, we will invite the Women’s Empowerment Bureau NTT to work with us for this initiative,” said Libby optimistically.

Wati Bagang dari Rumah Perempuan, Kupang, NTT

Wati Bagang from Rumah Perempuan, Kupang, NTT

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 10: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 20109

Venty Sabaat dan ibu-ibu di Penfui Timur Kabupaten Kupang kini bisa tersenyum karena dapat membantu perekonomian keluarga dari usaha menenun, menjahit, dan warung kecil di rumah mereka. Kelompok Rindu Sejahtera yang dipimpin oleh Venty secara rutin bertemu untuk membahas berbagi kegiatan produktif di sebuah rumah pertemuan yang mereka bangun secara swadaya. Kelompok ini juga aktif mendorong para ibu mengikuti program keluarga berencana dan berkoordinasi dengan petugas Kecamatan untuk mengikuti program kontrasespi gratis. Mereka akhirnya meyakini, dengan jumlah anak yang lebih sedikit mereka punya lebih banyak waktu untuk melakukan kegiatan bermanfaat termasuk waktu untuk mengembangkan kapasitas diri.

Begitu juga dengan ibu-ibu dan remaja puteri di desa Kesetnana, Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang membentuk Kelompok Tani Oenunu sebagai wadah bagi mereka melakukan kegiatan ekonomi produktif, seperti menenun dan menyulam. Tempat pertemuan mereka juga menjadi pusat informasi kesehatan keluarga dimana pelayanan imunisasi bagi anak dan pemeriksaan kesehatan ibu hamil secara rutin dilakukan.

“Mimpi saya, perempuan NTT dapat bangkit dan diperhitungkan karena menghasilkan karya-karya luar biasa yang memajukan daerah ini”, tutur Sarci Maukari dengan mata yang berbinar-binar. Sambil tersenyum Sarci berjalan meninggalkan gedung perkantoran Sanggar Suara Perempuan sore itu, kembali ke rumahnya yang hangat bersama suami dan kedua anak perempuannya. Satu hari berlalu membawa satu langkah maju bagi masa depan perempuan Indonesia, penentu masa depan anak-anak, keluarga dan bangsanya.

Not only focusing on victims of violence against women, Sanggar Suara Perempuan and Rumah Perempuan also seek to address the roots of the problem of violence against women. Reduced economic activity and a lack of perspective regarding gender equality in the family and community are major factors causing different types of violence.

Venty Sabaat the women of Penfui Timur, Kabupaten Kupang can now smile because they had help their families by weaving, sewing, and running small warung from their homes. The Rindu Sejahtera group, led by Venty, routinely meets to discuss their activities in a meeting place they built themselves. This group is also active is encouraging women to join family planning programs and coordinates with sub-district staff to participate in free contraception programs. In the end, they are convinced that will fewer women they will have more time for activities, including those that increase their capacity.

This is also the case with women and teenage girls in Kesetnana village, Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, who have created the Oenunu Farmers’ Group for their economic activities, including weaving and embroidery. Their meeting place doubles as a family health information center where health checks for pregnant women and child immunization is routinely carried out.

“My dream is that NTT women can come together and be counted for their amazing work in developing this region, said Sarci Maukari with shining eyes. Smiling, Sarci walked away from the Sanggar Suara Perempuan office to head home to her husband and two daughters. One day, one step towards a better future for Indonesian women, determining the future of their children, husbands and nation.

Contact Person

Libby SinlaeLoE Koordinator Rumah PerempuanKupang

Rumah Perempuan Jl. Pegangsaan No. 17, Kelapa Lima, Kupang, NTTEmail : [email protected] Email personal: [email protected] / Fax : 0380 823117 Mobile : 081353842004

Filpin TherikWakil Direktur Sanggar Suara Perempuan, Soe

Sanggar Suara PerempuanJl. Beringin No. 1 KesetnanaSoe, Timor Tengah Selatan, NTTEmail Kantor: [email protected] Telp / Fax: 0388 21889 Mobile 081231330735

10

inspirator

atahari baru saja mulai bersinar, tapi Nelci Oisba sudah membuka matanya. Setelah Mberdoa dia beranjak dari tempat tidurnya,

kemudian mandi dan menyikat gigi. Selesai mandi, Nelci kecil mengenakan seragam sekolahnya, lalu segera menuju teras di mana mamanya telah menyajikan sarapan kesukaannya, singkong goreng. Sebelum mencomot singkong, Nelci mendadak teringat sesuatu. Tergesa-gesa ia menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya. “Sudah wangi”, kata Nelci sambil mencium jari-jari tangannya. Kembali ke teras, dengan tenang ia menyantap singkong goreng buatan sang mama.

Jam delapan kurang lima belas menit. Nelci dan mamanya berjalan menuju bangunan sekolah yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Bersama mereka, para mama bersama anak-anak yang lain melangkah menuju tempat yang sama. Di halaman sekolah anak-anak

The sun has just begun to shine, but Nelci Oisba has already opened her eyes. After praying she moves from her bed, then showers and brushes her teeth. Out of the shower, little Nelci, wearing her school uniform, rushes to the terrace where her mother is serving her favorite breakfast, fried cassava. Before the eating the cassava, Nelci suddenly remembers something. She hurries into the bathroom to wash her hands. "Fragrant now”, says Nelci, smelling her fingers. Back to the terrace, she calmly eats the fried cassava made by her mama.

At a quarter to eight, Nelci and her mama walk towards the school building, which is alocated not far from their home. Joining them are other mothers and children, all going towards the same place. In the school yard the children play, chasing each other back and forth. Soon Nelci is in the middle of a group of her friends. Eight o'clock precisely, four teachers gather the children who are busy playing. No more chasing, now the children line up neatly, ready to go into the classroom to start learning.

Membangun kepercayaan diri

dari usia dini, Cerita dari Sarmi, Papua

Building self confidence from an early age:

A Story from Sarmi, Papua

Desa Beneraf, Distrik Pantai Timur, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Di desa Beneraf : 32 siswa sekolah kampung, sekitar 120 kepala keluarga

In Beneraf Village : 32 students, about 120 households

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

ujuan pembangunan sosial adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat, meningkatnya kualitas kehidupan serta tercukupinya kebutuhan dasar. Demikianlah prinsip yang dianut oleh Sinda Titaley, seorang wanita kelahiran Ambon yang telah lebih dari 30 tahun berkecimpung sebagai T

praktisi pembangunan kunci di Maluku.Mengawali karirnya sebagai konsultan di Jakarta, Sinda Titaley terpanggil untuk membangun

tanah kelahirannya. Beliau memulai karyanya dengan menjadi Kepala Bidang Fisik prasarana BAPPEDA Tingkat I Maluku dan selanjutnya berturut-turut memegang posisi tertinggi di Dinas Pertambangan (1996-2000), Dinas Pariwisata (2000-2004), dan BAPPEDA Provinsi Maluku (2004-2006).

Sejak tahun 1999, Sinda Titaley aktif dalam berbagai gerakan perempuan dan perdamaian di Maluku termasuk dalam Gerakan Perempuan Peduli dan Yayasan Sofia. Selain itu sejak tahun 2002 beliau menjadi anggota Genuine Ambassador for Peace, sebuah jaringan internasional beranggotakan para pemimpin yang didedikasikan untuk membangun perdamaian dunia yang sejati dengan tidak melihat perbedaan ras, agama, dan suku.

Saat ini Sinda Titaley menjadi Program Manager untuk program Peace Through Development UNDP-BAPPENAS di Provinsi Maluku. Program ini dimulai sejak tahun 2006 untuk meningkatkan kapasitas pemerintah, organisasi kemasyarakatan dan badan legislatif untuk menyusun program-program pembangunan yang memiliki kepekaan terhadap konflik.

The purpose of social development is the realization of prosperity in society, increased quality of life and fulfilling basic needs. This is the principle adopted by Sinda Titaley, born in Ambon, who has had more than 30 years working as a key development practitioner in Maluku.

She began her career as a consultant in Jakarta. She became the Head of Physical Infrastructure Level I in BAPPEDA Maluku and then successively held the highest positions in the Mining Department Maluku Province (1996-200), the Tourism Department Maluku Province (2000-2004), and BAPPEDA Maluku Province (2004-2006).

Since 1999, Sinda Titaley has been active in various women's and peace movements in Maluku, including the Women Care Movement and the Sofia Foundation. In addition, since 2002, she has been a member of the Genuine Ambassador for Peace, an international network composed of leaders dedicated to building true world peace regardless of race, religion, and tribe.

Sinda Titaley is currently Program Manager for the UNDP-BAPPENAS Peace Through Development Program Maluku Province. This program began in 2006 to increase the capacity of governments, community organizations and the legislative to formulate development programs that are sensitive to conflict.

ulawesi Utara boleh berbagga karena tingkat pendidikan perempuan cukup baik. Namun tidak demikian dengan persoalan kesehatan dan keterlibatan perempuan untuk sektor ekonomi. S

Inilah yang menjadi perhatian utama bagi Hetty Geru. Semasa masih menjabat sebagai Kepala Biro Pemberdayaan

Perempuan, Hetty Geru bekerja keras untuk memajukan kaum perempuan di provinsi tersebut. Dosen sosiologi sebuah perguruan tinggi ini aktif menggelar penataran khusus bagi jaksa, hakim, polisi, camat dan istri, dan tokoh agama yang membahas tentang trafficking dan berbagai hal lain untuk mengawamkan kesetaraan gender. Hetty yang sebelumnya adalah aktivis LSM Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Sulut (PKBI) juga tak pernah segan mengembangkan kerjasama dengan jejaring yang ada di Sulawesi Utara, termasuk dengan LSM.

Saat ini Hetty Geru menjabat sebagai Koordinator Pusat Kajian Gender, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi. Ibu dari dua anak ini adalah wanita yang sangat aktif dalam berbagai upaya pembahasan perdagangan perempuan dan anak-anak di Sulawesi Utara, sebuah titik persinggahan dan titik keluar jalur perdagangan orang keluar dari Indonesia

When she served as the Head of the Women’s Empowerment Bureau, Hetty Geru worked hard to advance the status of women in the province. Now a sociology lecturer, she actively holds refresher events for prosecutors, judges, police, sub-district heads and their wives, and religious figures to discusses trafficking and various other issues to socialize gender equality. Hetty, who was also an NGO activist with the Indonesian Planned Parenthood Association of North Sulawesi (IPPA), has never hesitated in developing relationships with existing networks in North Sulawesi, including with other NGOs.

Hetty Geru currently serves as the Coordinator of the Gender Studies Center, Faculty of Social and Political Sciences, University of Sam Ratulangi. The mother of two sons is actively involved in various efforts to address trafficking in women and children in North Sulawesi, a major transit and exit point for trafficking of Indonesians abroad.

”Trafficking di SulawesiUtara dan UpayaPemerintah”

Hetty Geru

Trafficking in North Sulawesi and Government Efforts

“Kepemimpinan perempuan, dalam pembangunan”

Sinda Titaley

Women's Leadership in Development

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 11: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 20109

Venty Sabaat dan ibu-ibu di Penfui Timur Kabupaten Kupang kini bisa tersenyum karena dapat membantu perekonomian keluarga dari usaha menenun, menjahit, dan warung kecil di rumah mereka. Kelompok Rindu Sejahtera yang dipimpin oleh Venty secara rutin bertemu untuk membahas berbagi kegiatan produktif di sebuah rumah pertemuan yang mereka bangun secara swadaya. Kelompok ini juga aktif mendorong para ibu mengikuti program keluarga berencana dan berkoordinasi dengan petugas Kecamatan untuk mengikuti program kontrasespi gratis. Mereka akhirnya meyakini, dengan jumlah anak yang lebih sedikit mereka punya lebih banyak waktu untuk melakukan kegiatan bermanfaat termasuk waktu untuk mengembangkan kapasitas diri.

Begitu juga dengan ibu-ibu dan remaja puteri di desa Kesetnana, Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang membentuk Kelompok Tani Oenunu sebagai wadah bagi mereka melakukan kegiatan ekonomi produktif, seperti menenun dan menyulam. Tempat pertemuan mereka juga menjadi pusat informasi kesehatan keluarga dimana pelayanan imunisasi bagi anak dan pemeriksaan kesehatan ibu hamil secara rutin dilakukan.

“Mimpi saya, perempuan NTT dapat bangkit dan diperhitungkan karena menghasilkan karya-karya luar biasa yang memajukan daerah ini”, tutur Sarci Maukari dengan mata yang berbinar-binar. Sambil tersenyum Sarci berjalan meninggalkan gedung perkantoran Sanggar Suara Perempuan sore itu, kembali ke rumahnya yang hangat bersama suami dan kedua anak perempuannya. Satu hari berlalu membawa satu langkah maju bagi masa depan perempuan Indonesia, penentu masa depan anak-anak, keluarga dan bangsanya.

Not only focusing on victims of violence against women, Sanggar Suara Perempuan and Rumah Perempuan also seek to address the roots of the problem of violence against women. Reduced economic activity and a lack of perspective regarding gender equality in the family and community are major factors causing different types of violence.

Venty Sabaat the women of Penfui Timur, Kabupaten Kupang can now smile because they had help their families by weaving, sewing, and running small warung from their homes. The Rindu Sejahtera group, led by Venty, routinely meets to discuss their activities in a meeting place they built themselves. This group is also active is encouraging women to join family planning programs and coordinates with sub-district staff to participate in free contraception programs. In the end, they are convinced that will fewer women they will have more time for activities, including those that increase their capacity.

This is also the case with women and teenage girls in Kesetnana village, Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, who have created the Oenunu Farmers’ Group for their economic activities, including weaving and embroidery. Their meeting place doubles as a family health information center where health checks for pregnant women and child immunization is routinely carried out.

“My dream is that NTT women can come together and be counted for their amazing work in developing this region, said Sarci Maukari with shining eyes. Smiling, Sarci walked away from the Sanggar Suara Perempuan office to head home to her husband and two daughters. One day, one step towards a better future for Indonesian women, determining the future of their children, husbands and nation.

Contact Person

Libby SinlaeLoE Koordinator Rumah PerempuanKupang

Rumah Perempuan Jl. Pegangsaan No. 17, Kelapa Lima, Kupang, NTTEmail : [email protected] Email personal: [email protected] / Fax : 0380 823117 Mobile : 081353842004

Filpin TherikWakil Direktur Sanggar Suara Perempuan, Soe

Sanggar Suara PerempuanJl. Beringin No. 1 KesetnanaSoe, Timor Tengah Selatan, NTTEmail Kantor: [email protected] Telp / Fax: 0388 21889 Mobile 081231330735

10

inspirator

atahari baru saja mulai bersinar, tapi Nelci Oisba sudah membuka matanya. Setelah Mberdoa dia beranjak dari tempat tidurnya,

kemudian mandi dan menyikat gigi. Selesai mandi, Nelci kecil mengenakan seragam sekolahnya, lalu segera menuju teras di mana mamanya telah menyajikan sarapan kesukaannya, singkong goreng. Sebelum mencomot singkong, Nelci mendadak teringat sesuatu. Tergesa-gesa ia menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya. “Sudah wangi”, kata Nelci sambil mencium jari-jari tangannya. Kembali ke teras, dengan tenang ia menyantap singkong goreng buatan sang mama.

Jam delapan kurang lima belas menit. Nelci dan mamanya berjalan menuju bangunan sekolah yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Bersama mereka, para mama bersama anak-anak yang lain melangkah menuju tempat yang sama. Di halaman sekolah anak-anak

The sun has just begun to shine, but Nelci Oisba has already opened her eyes. After praying she moves from her bed, then showers and brushes her teeth. Out of the shower, little Nelci, wearing her school uniform, rushes to the terrace where her mother is serving her favorite breakfast, fried cassava. Before the eating the cassava, Nelci suddenly remembers something. She hurries into the bathroom to wash her hands. "Fragrant now”, says Nelci, smelling her fingers. Back to the terrace, she calmly eats the fried cassava made by her mama.

At a quarter to eight, Nelci and her mama walk towards the school building, which is alocated not far from their home. Joining them are other mothers and children, all going towards the same place. In the school yard the children play, chasing each other back and forth. Soon Nelci is in the middle of a group of her friends. Eight o'clock precisely, four teachers gather the children who are busy playing. No more chasing, now the children line up neatly, ready to go into the classroom to start learning.

Membangun kepercayaan diri

dari usia dini, Cerita dari Sarmi, Papua

Building self confidence from an early age:

A Story from Sarmi, Papua

Desa Beneraf, Distrik Pantai Timur, Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Di desa Beneraf : 32 siswa sekolah kampung, sekitar 120 kepala keluarga

In Beneraf Village : 32 students, about 120 households

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

ujuan pembangunan sosial adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat, meningkatnya kualitas kehidupan serta tercukupinya kebutuhan dasar. Demikianlah prinsip yang dianut oleh Sinda Titaley, seorang wanita kelahiran Ambon yang telah lebih dari 30 tahun berkecimpung sebagai T

praktisi pembangunan kunci di Maluku.Mengawali karirnya sebagai konsultan di Jakarta, Sinda Titaley terpanggil untuk membangun

tanah kelahirannya. Beliau memulai karyanya dengan menjadi Kepala Bidang Fisik prasarana BAPPEDA Tingkat I Maluku dan selanjutnya berturut-turut memegang posisi tertinggi di Dinas Pertambangan (1996-2000), Dinas Pariwisata (2000-2004), dan BAPPEDA Provinsi Maluku (2004-2006).

Sejak tahun 1999, Sinda Titaley aktif dalam berbagai gerakan perempuan dan perdamaian di Maluku termasuk dalam Gerakan Perempuan Peduli dan Yayasan Sofia. Selain itu sejak tahun 2002 beliau menjadi anggota Genuine Ambassador for Peace, sebuah jaringan internasional beranggotakan para pemimpin yang didedikasikan untuk membangun perdamaian dunia yang sejati dengan tidak melihat perbedaan ras, agama, dan suku.

Saat ini Sinda Titaley menjadi Program Manager untuk program Peace Through Development UNDP-BAPPENAS di Provinsi Maluku. Program ini dimulai sejak tahun 2006 untuk meningkatkan kapasitas pemerintah, organisasi kemasyarakatan dan badan legislatif untuk menyusun program-program pembangunan yang memiliki kepekaan terhadap konflik.

The purpose of social development is the realization of prosperity in society, increased quality of life and fulfilling basic needs. This is the principle adopted by Sinda Titaley, born in Ambon, who has had more than 30 years working as a key development practitioner in Maluku.

She began her career as a consultant in Jakarta. She became the Head of Physical Infrastructure Level I in BAPPEDA Maluku and then successively held the highest positions in the Mining Department Maluku Province (1996-200), the Tourism Department Maluku Province (2000-2004), and BAPPEDA Maluku Province (2004-2006).

Since 1999, Sinda Titaley has been active in various women's and peace movements in Maluku, including the Women Care Movement and the Sofia Foundation. In addition, since 2002, she has been a member of the Genuine Ambassador for Peace, an international network composed of leaders dedicated to building true world peace regardless of race, religion, and tribe.

Sinda Titaley is currently Program Manager for the UNDP-BAPPENAS Peace Through Development Program Maluku Province. This program began in 2006 to increase the capacity of governments, community organizations and the legislative to formulate development programs that are sensitive to conflict.

ulawesi Utara boleh berbagga karena tingkat pendidikan perempuan cukup baik. Namun tidak demikian dengan persoalan kesehatan dan keterlibatan perempuan untuk sektor ekonomi. S

Inilah yang menjadi perhatian utama bagi Hetty Geru. Semasa masih menjabat sebagai Kepala Biro Pemberdayaan

Perempuan, Hetty Geru bekerja keras untuk memajukan kaum perempuan di provinsi tersebut. Dosen sosiologi sebuah perguruan tinggi ini aktif menggelar penataran khusus bagi jaksa, hakim, polisi, camat dan istri, dan tokoh agama yang membahas tentang trafficking dan berbagai hal lain untuk mengawamkan kesetaraan gender. Hetty yang sebelumnya adalah aktivis LSM Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Sulut (PKBI) juga tak pernah segan mengembangkan kerjasama dengan jejaring yang ada di Sulawesi Utara, termasuk dengan LSM.

Saat ini Hetty Geru menjabat sebagai Koordinator Pusat Kajian Gender, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi. Ibu dari dua anak ini adalah wanita yang sangat aktif dalam berbagai upaya pembahasan perdagangan perempuan dan anak-anak di Sulawesi Utara, sebuah titik persinggahan dan titik keluar jalur perdagangan orang keluar dari Indonesia

When she served as the Head of the Women’s Empowerment Bureau, Hetty Geru worked hard to advance the status of women in the province. Now a sociology lecturer, she actively holds refresher events for prosecutors, judges, police, sub-district heads and their wives, and religious figures to discusses trafficking and various other issues to socialize gender equality. Hetty, who was also an NGO activist with the Indonesian Planned Parenthood Association of North Sulawesi (IPPA), has never hesitated in developing relationships with existing networks in North Sulawesi, including with other NGOs.

Hetty Geru currently serves as the Coordinator of the Gender Studies Center, Faculty of Social and Political Sciences, University of Sam Ratulangi. The mother of two sons is actively involved in various efforts to address trafficking in women and children in North Sulawesi, a major transit and exit point for trafficking of Indonesians abroad.

”Trafficking di SulawesiUtara dan UpayaPemerintah”

Hetty Geru

Trafficking in North Sulawesi and Government Efforts

“Kepemimpinan perempuan, dalam pembangunan”

Sinda Titaley

Women's Leadership in Development

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 12: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201011 12

bermain, saling kejar ke sana ke mari. Tak lama kemudian Nelci sudah berada di tengah teman-temannya. Jam delapan tepat, empat orang guru mengumpulkan anak-anak yang sibuk berkejaran ke sana ke mari. Tidak lagi berkejaran, kini anak-anak itu sudah berbaris rapi, siap masuk ke kelas untuk mulai belajar.

A k t i v i t a s d i a t a s m u n g k i n merupakan hal yang sangat biasa di kota-kota besar. Namun ini adalah kisah dari Kampung Beneraf di pesisir Pantai Timur, Kabupaten Sarmi, Papua. Ada seratus duapuluh keluarga di kampung yang berjarak delapan jam perjalanan darat dari Jayapura, ibukota provinsi Papua.

Lima tahun lalu, anak-anak di k ampung in i belum mengenal kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, mandi, berdoa, dan sarapan. Banyak anak yang masih tinggal di rumah walaupun telah terdaftar sebagai murid Sekolah Dasar. Sekarang, para mama dengan bangga bercerita bagaimana anak-anak mereka mau mandi setiap pagi, mencuci tangan sebelum makan, berdoa di rumah. Mereka senang sekali saat anak-anaknya dengan mata berbinar menceritakan kegiatan mereka di Sekolah Kampung.

Sekolah kampung itu bernama Maju Bersama. Sebuah sekolah yang telah mengubah kehidupan masyarakat Kampung Benaf. Sekolah ini berdiri tahun 2007 dan dikelola sendiri oleh masyarakat kampung. Ide awal Sekolah Kampung diperkenalkan oleh John Rahail, fasilitator dari Insitut Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (ICDp) Papua. Ide ini disambut baik oleh masyarakat kampung Beneraf, Betaf, dan Yamna.

Hampir tak ada kendala yang ditemui oleh John dan kawan-kawan dalam memperkenalkan dan mengembangkan ide masyarakat mengelola sendiri sebuah sekolah. Dengan cepat ide ini disambut baik oleh para orang tua yang merindukan kehadiran sekolah bagi anak-anak mereka di kampung tersebut. Kepala Kampung bahkan mengeluarkan Surat Keputusan Penugasan para guru dan seluruh warga sepakat untuk menggunakan seluruh dana RESPEK sebesar seratus juta rupiah untuk pembangunan gedung sekolah. Anggaran operasional sekolah ini diperoleh dari usaha para guru mengolah minyak kelapa untuk dijual ke masyarakat. Secara tidak langsung, orang tua membayar iuran sekolah dengan membeli minyak kelapa tersebut.

Jumlah murid Sekolah Kampung Maju Bersama pada awal berdirinya di Beneraf adalah 57 orang. Karena sebagian besar muridnya sudah masuk Sekolah Dasar, kini ada 30 anak yang belajar di Sekolah Kampung. Setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat, sekolah ini dipadati oleh anak-anak usia tiga sampai lima tahun yang berkumpul untuk belajar membaca dan berhitung. Di sekolah ini mereka juga berbagi kebahagiaan, bernyanyi, berkreasi sambil mempelajari keterampilan dasar hidup lainnya, termasuk memelihara kebersihan dan kesehatan. Ada empat orang guru; Martinus Wainok, Silva Abi, Sarah Mafud, dan Sam Orthi yang bertugas mengajar di sekolah ini.

Sam Orthi adalah guru di Sekolah Kampung yang lain daripada yang lain. Usianya menjelang lima puluh tahun, dan telah memiliki dua orang cucu. Namun hatinya tergerak untuk mengajar dan membimbing anak-anak ini. Sam rindu melihat generasi muda di kampungnya bisa menuntut ilmu dan punya masa depan yang cerah. “Saya rasa senang. Sekarang orang- orang tua sudah mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah dasar,” katanya sambil tersenyum.

Sama halnya dengan Sam Orthi, Martinus Wainok, Kepala Sekolah Kampung, juga sangat bersyukur melihat perubahan yang terjadi di kampungnya. “Sejak ada sekolah ini, anak-anak senang sekali belajar. Mereka sudah bisa berhitung sampai duapuluh dan mengenal alfabet. Kami senang sekali, anak-anak juga sudah percaya diri memimpin doa bersama di rumah”, jelas Martinus.

Kampung tetangga, Betaf dan Yamna, juga tak ingin ketinggalan. Mencontoh keberhasilan kampung Beneraf, di sana juga ada sekitar 30 anak yang mengikuti kegiatan belajar di Sekolah Kampung. Yang menjadi guru di sana adalah para pemuda setempat. Sama dengan sekolah Maju Bersama, murid-murid di sana juga belajar membaca, berhitung, dan bernyanyi. Mereka juga dikenalkan dengan berbagai permainan yang mengasah kreativitas seperti gasing, lompat tali, menyusun balok-balok kayu, atau bermain dengan boneka binatang.

This scene maybe familiar to those living in big cities; however, this is a story from the hamlet of Beneraf, in Pantai Timur, Sarmi district, Papua. There are 120 families living in the village which is 8 hours travel from Jayapura, the capital of Papua province.

Five years ago, the children in this village were not familiar with the habit of washing hands before eating, or bathing, praying, or even breakfast. Many children just stayed at home despite being listed as primary school students. Now, mothers proudly tell me how their c h i l d r e n t a ke a b a t h e ve r y morning, wash their hands before eating, and pray at home. They are thrilled when their children, with

sparkling eyes, recount of their activities at the Village School.The school is called Maju Bersama (Advance Together).

This school has changed the lives of the people of Beneraf. The school was established in 2007 and is managed by the people of the village. The initial idea for the school came from John Rahail, a facilitator from Insitut Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (ICDp) Papua. The idea was well received by the people of Beneraf, Betaf and Yamna.

There were almost no obstacles encountered by John and his colleagues in introducing and developing the idea for the communities to manage their own school. This idea was quickly welcomed by the parents who missed the presence of a school for their children in the village. The village head even issued a decree for teachers and all the citizens agreed to use RESPEK funds (Rp100 million) for construction. The operational budget is derived from the school teachers' business of cultivating coconut oil for sale to the public. Indirectly, parents pay the school fees by buying coconut oil.

The number of pupils at Maju Bersama at its inception in Beneraf was 57. As most students have now entered elementary school, today there are 30 children studying at the school. Every Monday, Wednesday, and Friday, the school is filled with children aged three to five years who gather to learn to read and count. In this school they also share their happiness, songs and are creative while learning basic life skills, including maintaining cleanliness and health. There are four teachers- Martinus Wainok, Abby Silva, Sarah Mafud, and Sam Orthi.

Sam Orthi is a teacher in a village school like no other. He is fifty years old, and already has two grandchildren. But he is moved to teach and guide these children. Sam longs to see young people in the village study and have a bright future. "I feel happy. Now parents are willing to send their children to primary school," he said with a smile.

Similar to Sam Orthi, Martinus Wainok, the school principal, is also very grateful to see the changes that are occurring in the village. "With the school, the kids now love to learn. They can count to twenty and know the alphabet. We are delighted that the children also have self-confidence to lead the prayers at home," explained Martinus.

Neighboring villages, Yamna and Betaf, did not want to miss out. Imitating the success of Beneraf village, about 30 children from those paces now attend school. The local youths have become their teachers. Similar to Maju Bersama, the students there are also learning to read, count, and sing. They are also introduced to a variety of games that hone creativity like tops, jump rope, arranging wooden blocks, and playing with stuffed animals.

It may sound simple, but the desire to send children to a higher level of school was not common in Beneraf several years ago. In the past, people didn't think of education as an

Mungkin terdengar sederhana, tapi keinginan untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi bukanlah sesuatu yang umum di Beneraf beberapa tahun lalu. Dulu, masyarakat belum menganggap pendidikan sebagai investasi untuk perbaikan hidup di masa depan. Masyarakat menganggap bahwa begitu anak masuk sekolah dasar, sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru dan bukan orang tua. Angka partisipasi sekolah di Beneraf dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang tinggi di awal pendaftaran kelas satu SD, namun menurun di tahun-tahun berikutnya. Ini berarti tidak semua anak melanjutkan pendidikan ke jenjang kelas yang lebih tinggi.

Statistik pendidikan Kabupaten Sarmi memperlihatkan angka-angka yang sangat baik. Dari data tahun 2009, angka partisipasi sekolah tingkat SD, SMP dan SMA/SMK di atas 90 persen. Angka kelulusan siswa SD adalah 90 persen, sementara untuk SMP dan SMA/SMK di atas 70 persen. Namun ironisnya, masih banyak sekali murid SMK di daerah ini yang belum bisa membaca.

Sepanjang jalan trans Jayapura – Sarmi, banyak dijumpai gedung-gedung sekolah dengan kondisi baik, namun beberapa di antaranya sepi dari murid dan aktivitas belajar, pada hari dan jam sekolah. Padahal tercatat ada sekitar 6.500 anak yang terdaftar sebagai murid SD, 1.800 murid SMP, dan sekitar 1.500 murid SMA/SMK. Mengejutkan, namun kondisi serupa adalah kenyataan pendidikan di belahan lain Papua, atau bahkan di Kawasan Timur Indonesia secara umum.

Yang sedang terjadi di Kampung Beneraf, dan juga di Betaf dan Yamna adalah perubahan perilaku dan pola pikir. Sekolah Kampung adalah alat untuk mewujudkan kerinduan Sam Orthi dan juga para orang tua lainnya, yakni sekolah ke jenjang yang lebih tinggi untuk meningkatkan perikehidupan generasi penerus di masa mendatang.

Berhitung, mengenal alfabet, bermain sambil belajar, maupun mandi dan mencuci tangan mungkin hal yang sederhana. Namun di Kampung Beneraf, ini menunjukkan pola pikir yang mulai berubah di kalangan masyarakat: sebuah harapan baru untuk masa depan yang cerah bagi generasi muda Papua. Di lapangan berpasir, Nelci Oisba masih bermain bersama teman-temannya. Dengan bangga ia menunjukkan tulisan di baju seragamnya, “Ayo ke sekolah, membangun percaya diri!”. Langkah pertama dimulai dari tawa dan keceriaan anak-anak kecil ini.

investment to improve their lives in the future. The community assumed that once children enter elementary school, education became entirely the responsibility of the teachers and not parents. Enrollment rates in Beneraf from year to year show a high rate in first-grade enrollment, but declined in subsequent years; not all children continue their education to a higher grade.

Sarmi District education statistics figures seem very good. From the data in 2009, school enrollment rate for primary, junior high and high school / vocational school is above 90 percent. Figures for primary school student graduation is 90 percent, while for junior high and high school / vocational school it is above 70 percent. But ironically, there are very many in vocational schools who still cannot read.Along the trans Jayapura–Sarmi road, there are many school buildings in good condition, but some of them devoid of students and learning activities, even on school days and within school hours. This despite the fact that there are around 6,500 registered pupils in elementary schools, 1,800 junior high school students, and about 1,500 high school/ vocational school students. Surprising, but similar conditions are the true face of education in other parts of Papua and even in eastern Indonesia in general.

What is happening in Kampung Beneraf, and also in Betaf and Yamna, are changes in behavior and mindsets. The village school is a tool to realize the longing Sam Orthi expressed and also the desires of other parents, that school at a higher level will improve the livelihood of future generations.

Counting, recognizing the alphabet, playing while learning, bathing and washing hands may be simple, but in Kampung Beneraf, this shows a mindset that began to change in the community: a new hope for a bright future for the young generation of Papua. In a sandy field, Nelci Oisba still playing with her friends. With pride she shows off the writing on her uniform, "Come to school, build self-confidence!". The first step starts from the laughter and joy of these little children.

ompetisi First Step to Nobel Prize tahun 2005 di Polandia menghadirkan kejutan untuk Indonesia. Sebuah makalah mengenai chaos system mengalahkan ratusan makalah lain dari 23 negara peserta. Penulisnya adalah Anike Nelce Bowaire, pelajar SMA dari Serui, K

Papua. Anike seakan membuktikan ucapan lama dari Thomas Edison, si penemu lampu pijar, bahwa

kejeniusan diperoleh sembilan puluh sembilan persennya dari kerja keras (Genius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration). Memang, prestasinya dibayar di muka lewat ketekunan belajar dan berlatih. Dalam satu hari, 12 jam ia luangkan untuk belajar. Sejak tahun 2003, ia mantap mengikuti pembinaan intensif di markas Tim Olimpiade Fisika Indonesia. Walaupun berat dan banyak tantangan, tetap ia jalani hingga selesai.

Sekarang Anike kulah di Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung. Minatnya pada ilmu ini masih besar, dan semangatnya untuk mengajar belum juga surut. Ia punya harapan besar agar potensi anak-anak Papua yang sudah terlihat bisa diangkat setahap demi setahap. Konsistensi kurikulum dan peningkatan kesejahteraan guru adalah langkah awal yang bisa dilakukan. Lebih dari itu, anak-anak Papua harus punya kemauan keras dan sikap pantang menyerah.

The First Step to Nobel Prize competition held in 2005 in Poland resulted in a surprise for Indonesia. A paper on the chaos system beat hundreds of other papers from 23 participating countries. The author of that paper was Anike Nelce Bowaire, a high school student from Serui, Papua.

Anike perhaps proves Thomas Edison's saying that genius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration. Indeed, her performance was paid for in advance through her perseverance in learning and practice. In one day, she set aside up to 12 hours for her study. From 2003, she steadily attended the intensive training at the headquarters of Indonesian Physics Olympiad Team. Although the load was heavy and there were many, but she continued to the end.

Now Anike studies at the Department of Physics, Institute of Technology, Bandung. Her interest in science is still great, and her enthusiasm for teaching has not subsided. She has high hopes that the potential of the children of Papua, which is already visible, can continue to be developed. Consistency of curriculum and improving teachers' welfare is the first step that should be taken. The children of Papua should also have willpower and never give in.

inspirator

Contact Person

John Rahail Direktur ICDp PapuaMobile : 08124209941

CharlesStaf ICDp PapuaMobile : 081248268821

Martinus Wainok, Guru Sekolah Kampung Beneraf dan John Rahail dari ICDp Papua/Martinus Wainok, The Village School of Beneraf and John Rahail from Papua’s ICDp

“Melawan keterpencilan, menjadi juara”

Anike Nelce Bowaire

Battling Isolation, Winning Prizes

Anike Nelce Bowaire

Battling Isolation, Winning Prizes

“Melawan keterpencilan, menjadi juara”

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 13: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201011 12

bermain, saling kejar ke sana ke mari. Tak lama kemudian Nelci sudah berada di tengah teman-temannya. Jam delapan tepat, empat orang guru mengumpulkan anak-anak yang sibuk berkejaran ke sana ke mari. Tidak lagi berkejaran, kini anak-anak itu sudah berbaris rapi, siap masuk ke kelas untuk mulai belajar.

A k t i v i t a s d i a t a s m u n g k i n merupakan hal yang sangat biasa di kota-kota besar. Namun ini adalah kisah dari Kampung Beneraf di pesisir Pantai Timur, Kabupaten Sarmi, Papua. Ada seratus duapuluh keluarga di kampung yang berjarak delapan jam perjalanan darat dari Jayapura, ibukota provinsi Papua.

Lima tahun lalu, anak-anak di k ampung in i belum mengenal kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, mandi, berdoa, dan sarapan. Banyak anak yang masih tinggal di rumah walaupun telah terdaftar sebagai murid Sekolah Dasar. Sekarang, para mama dengan bangga bercerita bagaimana anak-anak mereka mau mandi setiap pagi, mencuci tangan sebelum makan, berdoa di rumah. Mereka senang sekali saat anak-anaknya dengan mata berbinar menceritakan kegiatan mereka di Sekolah Kampung.

Sekolah kampung itu bernama Maju Bersama. Sebuah sekolah yang telah mengubah kehidupan masyarakat Kampung Benaf. Sekolah ini berdiri tahun 2007 dan dikelola sendiri oleh masyarakat kampung. Ide awal Sekolah Kampung diperkenalkan oleh John Rahail, fasilitator dari Insitut Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (ICDp) Papua. Ide ini disambut baik oleh masyarakat kampung Beneraf, Betaf, dan Yamna.

Hampir tak ada kendala yang ditemui oleh John dan kawan-kawan dalam memperkenalkan dan mengembangkan ide masyarakat mengelola sendiri sebuah sekolah. Dengan cepat ide ini disambut baik oleh para orang tua yang merindukan kehadiran sekolah bagi anak-anak mereka di kampung tersebut. Kepala Kampung bahkan mengeluarkan Surat Keputusan Penugasan para guru dan seluruh warga sepakat untuk menggunakan seluruh dana RESPEK sebesar seratus juta rupiah untuk pembangunan gedung sekolah. Anggaran operasional sekolah ini diperoleh dari usaha para guru mengolah minyak kelapa untuk dijual ke masyarakat. Secara tidak langsung, orang tua membayar iuran sekolah dengan membeli minyak kelapa tersebut.

Jumlah murid Sekolah Kampung Maju Bersama pada awal berdirinya di Beneraf adalah 57 orang. Karena sebagian besar muridnya sudah masuk Sekolah Dasar, kini ada 30 anak yang belajar di Sekolah Kampung. Setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat, sekolah ini dipadati oleh anak-anak usia tiga sampai lima tahun yang berkumpul untuk belajar membaca dan berhitung. Di sekolah ini mereka juga berbagi kebahagiaan, bernyanyi, berkreasi sambil mempelajari keterampilan dasar hidup lainnya, termasuk memelihara kebersihan dan kesehatan. Ada empat orang guru; Martinus Wainok, Silva Abi, Sarah Mafud, dan Sam Orthi yang bertugas mengajar di sekolah ini.

Sam Orthi adalah guru di Sekolah Kampung yang lain daripada yang lain. Usianya menjelang lima puluh tahun, dan telah memiliki dua orang cucu. Namun hatinya tergerak untuk mengajar dan membimbing anak-anak ini. Sam rindu melihat generasi muda di kampungnya bisa menuntut ilmu dan punya masa depan yang cerah. “Saya rasa senang. Sekarang orang- orang tua sudah mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah dasar,” katanya sambil tersenyum.

Sama halnya dengan Sam Orthi, Martinus Wainok, Kepala Sekolah Kampung, juga sangat bersyukur melihat perubahan yang terjadi di kampungnya. “Sejak ada sekolah ini, anak-anak senang sekali belajar. Mereka sudah bisa berhitung sampai duapuluh dan mengenal alfabet. Kami senang sekali, anak-anak juga sudah percaya diri memimpin doa bersama di rumah”, jelas Martinus.

Kampung tetangga, Betaf dan Yamna, juga tak ingin ketinggalan. Mencontoh keberhasilan kampung Beneraf, di sana juga ada sekitar 30 anak yang mengikuti kegiatan belajar di Sekolah Kampung. Yang menjadi guru di sana adalah para pemuda setempat. Sama dengan sekolah Maju Bersama, murid-murid di sana juga belajar membaca, berhitung, dan bernyanyi. Mereka juga dikenalkan dengan berbagai permainan yang mengasah kreativitas seperti gasing, lompat tali, menyusun balok-balok kayu, atau bermain dengan boneka binatang.

This scene maybe familiar to those living in big cities; however, this is a story from the hamlet of Beneraf, in Pantai Timur, Sarmi district, Papua. There are 120 families living in the village which is 8 hours travel from Jayapura, the capital of Papua province.

Five years ago, the children in this village were not familiar with the habit of washing hands before eating, or bathing, praying, or even breakfast. Many children just stayed at home despite being listed as primary school students. Now, mothers proudly tell me how their c h i l d r e n t a ke a b a t h e ve r y morning, wash their hands before eating, and pray at home. They are thrilled when their children, with

sparkling eyes, recount of their activities at the Village School.The school is called Maju Bersama (Advance Together).

This school has changed the lives of the people of Beneraf. The school was established in 2007 and is managed by the people of the village. The initial idea for the school came from John Rahail, a facilitator from Insitut Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (ICDp) Papua. The idea was well received by the people of Beneraf, Betaf and Yamna.

There were almost no obstacles encountered by John and his colleagues in introducing and developing the idea for the communities to manage their own school. This idea was quickly welcomed by the parents who missed the presence of a school for their children in the village. The village head even issued a decree for teachers and all the citizens agreed to use RESPEK funds (Rp100 million) for construction. The operational budget is derived from the school teachers' business of cultivating coconut oil for sale to the public. Indirectly, parents pay the school fees by buying coconut oil.

The number of pupils at Maju Bersama at its inception in Beneraf was 57. As most students have now entered elementary school, today there are 30 children studying at the school. Every Monday, Wednesday, and Friday, the school is filled with children aged three to five years who gather to learn to read and count. In this school they also share their happiness, songs and are creative while learning basic life skills, including maintaining cleanliness and health. There are four teachers- Martinus Wainok, Abby Silva, Sarah Mafud, and Sam Orthi.

Sam Orthi is a teacher in a village school like no other. He is fifty years old, and already has two grandchildren. But he is moved to teach and guide these children. Sam longs to see young people in the village study and have a bright future. "I feel happy. Now parents are willing to send their children to primary school," he said with a smile.

Similar to Sam Orthi, Martinus Wainok, the school principal, is also very grateful to see the changes that are occurring in the village. "With the school, the kids now love to learn. They can count to twenty and know the alphabet. We are delighted that the children also have self-confidence to lead the prayers at home," explained Martinus.

Neighboring villages, Yamna and Betaf, did not want to miss out. Imitating the success of Beneraf village, about 30 children from those paces now attend school. The local youths have become their teachers. Similar to Maju Bersama, the students there are also learning to read, count, and sing. They are also introduced to a variety of games that hone creativity like tops, jump rope, arranging wooden blocks, and playing with stuffed animals.

It may sound simple, but the desire to send children to a higher level of school was not common in Beneraf several years ago. In the past, people didn't think of education as an

Mungkin terdengar sederhana, tapi keinginan untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi bukanlah sesuatu yang umum di Beneraf beberapa tahun lalu. Dulu, masyarakat belum menganggap pendidikan sebagai investasi untuk perbaikan hidup di masa depan. Masyarakat menganggap bahwa begitu anak masuk sekolah dasar, sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru dan bukan orang tua. Angka partisipasi sekolah di Beneraf dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang tinggi di awal pendaftaran kelas satu SD, namun menurun di tahun-tahun berikutnya. Ini berarti tidak semua anak melanjutkan pendidikan ke jenjang kelas yang lebih tinggi.

Statistik pendidikan Kabupaten Sarmi memperlihatkan angka-angka yang sangat baik. Dari data tahun 2009, angka partisipasi sekolah tingkat SD, SMP dan SMA/SMK di atas 90 persen. Angka kelulusan siswa SD adalah 90 persen, sementara untuk SMP dan SMA/SMK di atas 70 persen. Namun ironisnya, masih banyak sekali murid SMK di daerah ini yang belum bisa membaca.

Sepanjang jalan trans Jayapura – Sarmi, banyak dijumpai gedung-gedung sekolah dengan kondisi baik, namun beberapa di antaranya sepi dari murid dan aktivitas belajar, pada hari dan jam sekolah. Padahal tercatat ada sekitar 6.500 anak yang terdaftar sebagai murid SD, 1.800 murid SMP, dan sekitar 1.500 murid SMA/SMK. Mengejutkan, namun kondisi serupa adalah kenyataan pendidikan di belahan lain Papua, atau bahkan di Kawasan Timur Indonesia secara umum.

Yang sedang terjadi di Kampung Beneraf, dan juga di Betaf dan Yamna adalah perubahan perilaku dan pola pikir. Sekolah Kampung adalah alat untuk mewujudkan kerinduan Sam Orthi dan juga para orang tua lainnya, yakni sekolah ke jenjang yang lebih tinggi untuk meningkatkan perikehidupan generasi penerus di masa mendatang.

Berhitung, mengenal alfabet, bermain sambil belajar, maupun mandi dan mencuci tangan mungkin hal yang sederhana. Namun di Kampung Beneraf, ini menunjukkan pola pikir yang mulai berubah di kalangan masyarakat: sebuah harapan baru untuk masa depan yang cerah bagi generasi muda Papua. Di lapangan berpasir, Nelci Oisba masih bermain bersama teman-temannya. Dengan bangga ia menunjukkan tulisan di baju seragamnya, “Ayo ke sekolah, membangun percaya diri!”. Langkah pertama dimulai dari tawa dan keceriaan anak-anak kecil ini.

investment to improve their lives in the future. The community assumed that once children enter elementary school, education became entirely the responsibility of the teachers and not parents. Enrollment rates in Beneraf from year to year show a high rate in first-grade enrollment, but declined in subsequent years; not all children continue their education to a higher grade.

Sarmi District education statistics figures seem very good. From the data in 2009, school enrollment rate for primary, junior high and high school / vocational school is above 90 percent. Figures for primary school student graduation is 90 percent, while for junior high and high school / vocational school it is above 70 percent. But ironically, there are very many in vocational schools who still cannot read.Along the trans Jayapura–Sarmi road, there are many school buildings in good condition, but some of them devoid of students and learning activities, even on school days and within school hours. This despite the fact that there are around 6,500 registered pupils in elementary schools, 1,800 junior high school students, and about 1,500 high school/ vocational school students. Surprising, but similar conditions are the true face of education in other parts of Papua and even in eastern Indonesia in general.

What is happening in Kampung Beneraf, and also in Betaf and Yamna, are changes in behavior and mindsets. The village school is a tool to realize the longing Sam Orthi expressed and also the desires of other parents, that school at a higher level will improve the livelihood of future generations.

Counting, recognizing the alphabet, playing while learning, bathing and washing hands may be simple, but in Kampung Beneraf, this shows a mindset that began to change in the community: a new hope for a bright future for the young generation of Papua. In a sandy field, Nelci Oisba still playing with her friends. With pride she shows off the writing on her uniform, "Come to school, build self-confidence!". The first step starts from the laughter and joy of these little children.

ompetisi First Step to Nobel Prize tahun 2005 di Polandia menghadirkan kejutan untuk Indonesia. Sebuah makalah mengenai chaos system mengalahkan ratusan makalah lain dari 23 negara peserta. Penulisnya adalah Anike Nelce Bowaire, pelajar SMA dari Serui, K

Papua. Anike seakan membuktikan ucapan lama dari Thomas Edison, si penemu lampu pijar, bahwa

kejeniusan diperoleh sembilan puluh sembilan persennya dari kerja keras (Genius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration). Memang, prestasinya dibayar di muka lewat ketekunan belajar dan berlatih. Dalam satu hari, 12 jam ia luangkan untuk belajar. Sejak tahun 2003, ia mantap mengikuti pembinaan intensif di markas Tim Olimpiade Fisika Indonesia. Walaupun berat dan banyak tantangan, tetap ia jalani hingga selesai.

Sekarang Anike kulah di Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung. Minatnya pada ilmu ini masih besar, dan semangatnya untuk mengajar belum juga surut. Ia punya harapan besar agar potensi anak-anak Papua yang sudah terlihat bisa diangkat setahap demi setahap. Konsistensi kurikulum dan peningkatan kesejahteraan guru adalah langkah awal yang bisa dilakukan. Lebih dari itu, anak-anak Papua harus punya kemauan keras dan sikap pantang menyerah.

The First Step to Nobel Prize competition held in 2005 in Poland resulted in a surprise for Indonesia. A paper on the chaos system beat hundreds of other papers from 23 participating countries. The author of that paper was Anike Nelce Bowaire, a high school student from Serui, Papua.

Anike perhaps proves Thomas Edison's saying that genius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration. Indeed, her performance was paid for in advance through her perseverance in learning and practice. In one day, she set aside up to 12 hours for her study. From 2003, she steadily attended the intensive training at the headquarters of Indonesian Physics Olympiad Team. Although the load was heavy and there were many, but she continued to the end.

Now Anike studies at the Department of Physics, Institute of Technology, Bandung. Her interest in science is still great, and her enthusiasm for teaching has not subsided. She has high hopes that the potential of the children of Papua, which is already visible, can continue to be developed. Consistency of curriculum and improving teachers' welfare is the first step that should be taken. The children of Papua should also have willpower and never give in.

inspirator

Contact Person

John Rahail Direktur ICDp PapuaMobile : 08124209941

CharlesStaf ICDp PapuaMobile : 081248268821

Martinus Wainok, Guru Sekolah Kampung Beneraf dan John Rahail dari ICDp Papua/Martinus Wainok, The Village School of Beneraf and John Rahail from Papua’s ICDp

“Melawan keterpencilan, menjadi juara”

Anike Nelce Bowaire

Battling Isolation, Winning Prizes

Anike Nelce Bowaire

Battling Isolation, Winning Prizes

“Melawan keterpencilan, menjadi juara”

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 14: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201013

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

ebuah papan bertuliskan ”Anda Memasuki Desa Sehat” menyambut kedatangan siapa saja yang berkunjung ke Desa Bone-Bone, di S

Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Panorama alam pegunungan yang indah dan udara yang segar di desa yang terletak di lereng Gunung Latimojong ini seolah membenarkan tulisan tersebut.

Berada pada ketinggian 1.300-1500 meter dari permukaan laut, membuat kabut tebal yang dingin

selalu menyelimuti Bone-Bone. Hal ini menjadikan rokok sebagai pilihan yang menyenangkan bagi masyarakat desa ini untuk menghangatkan diri dan melengkapi perbincangan sehari-hari di tengah keluarga maupun pertemuan resmi desa yang dihadiri puluhan orang. Apalagi desa ini juga merupakan daerah penghasil kopi Arabika, kopi terbaik tingkat nasional. Adalah sangat sulit bagi warga Desa Bone Bone untuk menghentikan kebiasaan merokok.

Awal tahun 2001, Muhammad Idris, Kepala Desa Bone Bone, merasa sangat prihatin melihat banyak hal negatif yang dialami warganya karena kebiasaan merokok. Banyak uang yang terbuang hanya untuk membeli rokok. Apalagi semakin lama, semakin banyak anak yang mengikuti kebiasaan orang tua mereka merokok saat ada acara atau pertemuan desa.

A sign reading "You are Entering A Healthy Village" welcomes anyone who visits the village of Bone-Bone, Baraka sub-district, Enrekang district, South Sulawesi. The natural and scenic mountains and fresh air of the village located on the slopes of Mount Latimojong seem to justify the text.

Located at an altitude of 1,300-1,500 meters above sea level, this creates a thick, cold fog that always blankets Bone-Bone. This makes cigarettes a pleasing option for the people of this village to warm themselves and as an accompaniment to everyday conversation in their families and even in meetings with village officials. Moreover, this village is also a regional producer of Arabica coffee, judged the best coffee at a national level. It was very difficult for the residents of Bone Bone to stop smoking.

Beginning in 2001, Muhammad Idris, the Village Head of Bone Bone, began to be very concerned at seeing the negative effects experienced by residents because of their smoking habits. A lot of money was wasted just on buying cigarettes. In the long term, more and more children began to adopt their parents' smoking habits at village events or meetings.

Desa Sehat Bukan Sekedar Wacana di Bone-BoneA healthy village in more than just name in Bone-Bone

Desa Bone-Bone, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan

796 jiwa (136 Kepala Keluarga)796 People (138 Households)

” S a a t i t u k a m i m u l a i mengeluarkan aturan untuk tidak merokok di kantor desa dan sarana p u b l i k l a i n n y a . K a m i j u g a mengumpulkan semua tokoh dan warga yang mendukung aturan ini untuk membicarakan bagaimana menjadikan desa ini benar-benar bebas rokok,” ujarnya. ”Selanjutnya kami menganjurkan para pemilik warung di desa untuk tidak menjual rokok,” jelas ayah dari delapan orang anak ini.

Muhammad Idris mengakui upaya menghentikan kebiasaan m e r o k o k t i d a k l a h m u d a h dilakukan. ”Saat aturan mulai dijalankan, banyak warga yang merasa tidak puas. Bahkan ada seorang warga yang menyatakan tidak bisa menjadi tukang kayu lagi kalau ia tidak merokok”, tutur Idris. Dengan sabar ia menjelaskan kepada warganya bahwa keahlian m e r e k a t i d a k a k a n h i l a n g walaupun berhenti merokok.

K e p a l a D e s a b e r u m u r empatpuluh tahun ini telah membulatkan tekad untuk terus menerapkan aturan tidak merokok sebagai langkah awal menuju desa sehat. Setiap hari Idris berjalan mengeliling desa, menyapa warganya dan bertanya apakah mereka sudah berhenti merokok atau masih dalam proses berhenti merokok. ”Saya tidak pernah memaksa, hanya setiap kali saya bertemu dengan warga desa saya selalu mengajak mereka ngobrol seperti biasa sambil terus mengingatkan bahwa merokok tidak ada gunanya bahkan berbahaya bagi kesehatan,” jelas Idris.

Anjuran untuk berhenti merokok tidak hanya dilakukan melalui pendekatan personal Kepala Desa kepada warganya, namun juga diteruskan dalam pertemuan desa, dan dalam ibadah sembahyang Jumat dan acara pengajian desa. Selain cara persuasif, aturan untuk tidak merokok juga diikuti dengan sanksi. Jika ada warga desa yang kedapatan merokok di jalan, maka warga tersebut harus membersihkan masjid dan jalan-jalan desa. Sanksi ini terbukti efektif membantu warga desa dalam mengurangi kebiasaan merokok.

Jerih payah Idris tidak sia-sia, semakin banyak warga desa menyadari dampak buruk merokok bagi kesehatan. Mereka yang telah berhenti merokok juga mulai merasakan manfaatnya terhadap perekonomian keluarga. ”Uang yang tadinya kami pakai membeli rokok, sekarang sudah bisa digunakan untuk membeli kebutuhan sekolah anak-anak, membeli bibit, dan pupuk”, tutur seorang ibu.

Perubahan yang paling menggembirakan adalah menurunnya jumlah penderita penyakit ISPA dan paru-paru berkurang di daerahnya. ”Sekarang ini semakin sedikit warga yang memiliki penyakit ISPA,” kata perawat yang bertugas di Pusat Kesehatan Masyarakat Desa Bone-Bone. Memang sejak tahun 2007 sudah tidak ada lagi warga Desa Bone Bone yang merokok. Kini kebiasaan yang membahayakan kesehatan itu sudah tidak lagi dijumpai di sana.

Bupati Enrekang, Haji La Tinro La Tunrung, sangat mengapresiasi upaya Pak Idris dan warga Desa Bone-Bone. Selain memberi penghargaan kepada Pak Idris, Bupati juga mereplikasi program Kawasan Tanpa Rokok di Desa Bone Bone ke dua desa tetangga yaitu Desa Kadinge dan Desa Kendena. Pada dua desa tersebut Bupati mengajak Kepala Desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk membuat Memorandum of Understanding (MoU) sebagai payung hukum penerapan Kawasan Tanpa Rokok disana.

Jika di Desa Bone Bone seluruh aktivitas yang berhubungan dengan rokok dilarang, maka di dua desa yang baru mereplikasi inisiatif ini baru diterapkan pembatasan daerah merokok pada sarana publik serta gedung pemerintahan dan disediakan daerah khusus untuk merokok.

”Saya sangat menghargai inisiatif ini. Bahkan sekarang saya juga sudah berhenti merokok,” kata Pak Bupati yang kini turut menganjurkan jajarannya staff Pemerintah Kabupaten Enrekang untuk mengurangi dan menghentikan kebiasaan merokok rokok. Menyambut baik inisiatif Desa Bone-Bone untuk menjadi desa sehat, Bupati La Tinro La Tunrung kemudian memasukkan program Kawasan Tanpa Rokok kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2009-2013. Dinas Kesehatan Kabupaten Enrekang juga telah mencanangkan seluruh desa di Kecamatan Baraka sebagai Kawasan Tanpa Rokok

"We started with issuing the rules to ban smoking in the village offices and other public facilities. We also brought together all the leaders and citizens who supported the ban to discuss how to make the village is completely smoking free," he said. "Then we encouraged the owners of kiosks in the village not to sell cigarettes," explained the father of eight children.

Muhammad Idris acknowledges breaking the habit of smoking is not easy. "When the rule was f irst introduced, many people were not satisfied. There was one man who stated he could not be a carpenter if he wasn't allowed to smoke", said Idris. Patiently, he explained to the man that his expertise will not be lost if he quit smoking.

The forty-year-old Village Head was determined to continue to apply the ban as a first step towards a healthy village. Every day Idris walked through the village, greeting residents and asking whether they had quit smoking or were still in the process of quitting

smoking. "I never forced them, but every time I met with the villagers I invited them to chat as usual and continued to warn them that smoking is without benefits and harmful to their health," said Idris.

Advice to quit smoking was not only given through the personal approach of the Village Head to the inhabitants, but was also passed on in village meetings, and at Friday prayers and village events. In addition to persuasion, there are also sanctions. If there are villagers caught smoking in the street, then citizens they must clean up the mosque and village streets. Sanctions have proven effective in helping villagers stop smoking.

Idris' work was not in vain, more and more villagers became aware of the adverse effects of smoking on health. Those who had quit smoking also began to feel the benefits to the economy of the family. "The money that we once used to buy cigarettes, now can be used to buy children's school supplies, and to purchase seeds and fertilizer," said one mother.

The most exciting change is the declining number of patients with respiratory and lung diseases in the region. "Today, fewer and fewer people have respiratory diseases," said the nurse on duty at the Bone-Bone Puskemas. As of 2007 there are no Bone Bone residents who still smoke; that health endangering habit is are no longer found there.

The Bupati of Enrekang, Haji La La Tinro Tunrung, greatly appreciates the efforts of pak Idris and Bone-Bone. Apart from giving an award to Pak Idris, the Bupati also replicated the Smoking-free Village program in two neighboring, Kadinge and Kendena. In these two villages, the Bupati invited the Village Heads, community leaders and religious figures to create a Memorandum of Understanding (MoU) as a legal umbrella to apply the Smoke-free Village program there.

In the village of Bone Bone, all activities associated with smoking have been banned, but in two new villages, which are replicating this initiative, restrictions only apply to smoking in public facilities and government buildings and providing special areas for smoking.

"I really appreciate this initiative. Even I've quit smoking now," said the Bupati, who has helped to advise the staff of the Enrekang Government to reduce and stop smoking. Welcoming the initiative of the Bone-Bone to be a healthy village, La Tunrung Tinro then included the

14

Di ribuan kampung, rakyat tahu bahwa ada perubahan dan merekalah yang menciptakan perubahan itu.

Berawal dari laporan Analisa Pengeluaran Publik (PEACH) yang menyebutkan fakta dana pembangunan hanya 10% saja yang dinikmati oleh masyarakat, Barnabas Suebu mengambil langkah berani dengan memangkas belanja pegawai sampai dengan 1 trilyun rupiah dan mengalihkannya ke 3000 kampung. Tujuannya, agar setiap kampung memiliki sarana air bersih, sanitasi, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kesejahteraan kampung. Dari dana RESPEK tersebut saat ini telah ada 1500 Pusat Belajar Komunitas (Community Learning Centre) yang berfungsi sebagai tempat belajar anak usia dini, pusat informasi tentang gizi, dan layanan informasi rumah sehat. Selain itu sebanyak 200 pemuda Papua menerima beasiswa belajar ke daerah lain di luar Papua.

Starting from the Public Expenditure Analysis report (PEACH), which stated that only 10% of development funds reached the community, Barnabas Suebu has taken bold steps to cut spending on salaries by up to Rp 1 trillion and divert these funds to 3000 villages. The goal is for every village to have clean water, sanitation, access to health care, access to education and for any other activity relating to the welfare of the village. From RESPEK funds there are now 1500 Community Learning Centers that serve as places of early childhood learning, centers of information about nutrition and healthy home services. In addition, as many as 200 young Papuans have received scholarships to study in areas outside of Papua.

Kisah Inspiratif Memimpin PapuaAn Inspiring Story of Leading Papua

Barnabas Suebu

inspiratorM. Idris, Kepala Desa Bone-Bone dan

Bupati Kabupaten Enrekang, H. La Tinro Latunrung

The Head of Bone-bone Village, M.Idris and Head of Enrekang District,

H. La Tinro Latunrung

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 15: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201013

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

ebuah papan bertuliskan ”Anda Memasuki Desa Sehat” menyambut kedatangan siapa saja yang berkunjung ke Desa Bone-Bone, di S

Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Panorama alam pegunungan yang indah dan udara yang segar di desa yang terletak di lereng Gunung Latimojong ini seolah membenarkan tulisan tersebut.

Berada pada ketinggian 1.300-1500 meter dari permukaan laut, membuat kabut tebal yang dingin

selalu menyelimuti Bone-Bone. Hal ini menjadikan rokok sebagai pilihan yang menyenangkan bagi masyarakat desa ini untuk menghangatkan diri dan melengkapi perbincangan sehari-hari di tengah keluarga maupun pertemuan resmi desa yang dihadiri puluhan orang. Apalagi desa ini juga merupakan daerah penghasil kopi Arabika, kopi terbaik tingkat nasional. Adalah sangat sulit bagi warga Desa Bone Bone untuk menghentikan kebiasaan merokok.

Awal tahun 2001, Muhammad Idris, Kepala Desa Bone Bone, merasa sangat prihatin melihat banyak hal negatif yang dialami warganya karena kebiasaan merokok. Banyak uang yang terbuang hanya untuk membeli rokok. Apalagi semakin lama, semakin banyak anak yang mengikuti kebiasaan orang tua mereka merokok saat ada acara atau pertemuan desa.

A sign reading "You are Entering A Healthy Village" welcomes anyone who visits the village of Bone-Bone, Baraka sub-district, Enrekang district, South Sulawesi. The natural and scenic mountains and fresh air of the village located on the slopes of Mount Latimojong seem to justify the text.

Located at an altitude of 1,300-1,500 meters above sea level, this creates a thick, cold fog that always blankets Bone-Bone. This makes cigarettes a pleasing option for the people of this village to warm themselves and as an accompaniment to everyday conversation in their families and even in meetings with village officials. Moreover, this village is also a regional producer of Arabica coffee, judged the best coffee at a national level. It was very difficult for the residents of Bone Bone to stop smoking.

Beginning in 2001, Muhammad Idris, the Village Head of Bone Bone, began to be very concerned at seeing the negative effects experienced by residents because of their smoking habits. A lot of money was wasted just on buying cigarettes. In the long term, more and more children began to adopt their parents' smoking habits at village events or meetings.

Desa Sehat Bukan Sekedar Wacana di Bone-BoneA healthy village in more than just name in Bone-Bone

Desa Bone-Bone, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan

796 jiwa (136 Kepala Keluarga)796 People (138 Households)

” S a a t i t u k a m i m u l a i mengeluarkan aturan untuk tidak merokok di kantor desa dan sarana p u b l i k l a i n n y a . K a m i j u g a mengumpulkan semua tokoh dan warga yang mendukung aturan ini untuk membicarakan bagaimana menjadikan desa ini benar-benar bebas rokok,” ujarnya. ”Selanjutnya kami menganjurkan para pemilik warung di desa untuk tidak menjual rokok,” jelas ayah dari delapan orang anak ini.

Muhammad Idris mengakui upaya menghentikan kebiasaan m e r o k o k t i d a k l a h m u d a h dilakukan. ”Saat aturan mulai dijalankan, banyak warga yang merasa tidak puas. Bahkan ada seorang warga yang menyatakan tidak bisa menjadi tukang kayu lagi kalau ia tidak merokok”, tutur Idris. Dengan sabar ia menjelaskan kepada warganya bahwa keahlian m e r e k a t i d a k a k a n h i l a n g walaupun berhenti merokok.

K e p a l a D e s a b e r u m u r empatpuluh tahun ini telah membulatkan tekad untuk terus menerapkan aturan tidak merokok sebagai langkah awal menuju desa sehat. Setiap hari Idris berjalan mengeliling desa, menyapa warganya dan bertanya apakah mereka sudah berhenti merokok atau masih dalam proses berhenti merokok. ”Saya tidak pernah memaksa, hanya setiap kali saya bertemu dengan warga desa saya selalu mengajak mereka ngobrol seperti biasa sambil terus mengingatkan bahwa merokok tidak ada gunanya bahkan berbahaya bagi kesehatan,” jelas Idris.

Anjuran untuk berhenti merokok tidak hanya dilakukan melalui pendekatan personal Kepala Desa kepada warganya, namun juga diteruskan dalam pertemuan desa, dan dalam ibadah sembahyang Jumat dan acara pengajian desa. Selain cara persuasif, aturan untuk tidak merokok juga diikuti dengan sanksi. Jika ada warga desa yang kedapatan merokok di jalan, maka warga tersebut harus membersihkan masjid dan jalan-jalan desa. Sanksi ini terbukti efektif membantu warga desa dalam mengurangi kebiasaan merokok.

Jerih payah Idris tidak sia-sia, semakin banyak warga desa menyadari dampak buruk merokok bagi kesehatan. Mereka yang telah berhenti merokok juga mulai merasakan manfaatnya terhadap perekonomian keluarga. ”Uang yang tadinya kami pakai membeli rokok, sekarang sudah bisa digunakan untuk membeli kebutuhan sekolah anak-anak, membeli bibit, dan pupuk”, tutur seorang ibu.

Perubahan yang paling menggembirakan adalah menurunnya jumlah penderita penyakit ISPA dan paru-paru berkurang di daerahnya. ”Sekarang ini semakin sedikit warga yang memiliki penyakit ISPA,” kata perawat yang bertugas di Pusat Kesehatan Masyarakat Desa Bone-Bone. Memang sejak tahun 2007 sudah tidak ada lagi warga Desa Bone Bone yang merokok. Kini kebiasaan yang membahayakan kesehatan itu sudah tidak lagi dijumpai di sana.

Bupati Enrekang, Haji La Tinro La Tunrung, sangat mengapresiasi upaya Pak Idris dan warga Desa Bone-Bone. Selain memberi penghargaan kepada Pak Idris, Bupati juga mereplikasi program Kawasan Tanpa Rokok di Desa Bone Bone ke dua desa tetangga yaitu Desa Kadinge dan Desa Kendena. Pada dua desa tersebut Bupati mengajak Kepala Desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk membuat Memorandum of Understanding (MoU) sebagai payung hukum penerapan Kawasan Tanpa Rokok disana.

Jika di Desa Bone Bone seluruh aktivitas yang berhubungan dengan rokok dilarang, maka di dua desa yang baru mereplikasi inisiatif ini baru diterapkan pembatasan daerah merokok pada sarana publik serta gedung pemerintahan dan disediakan daerah khusus untuk merokok.

”Saya sangat menghargai inisiatif ini. Bahkan sekarang saya juga sudah berhenti merokok,” kata Pak Bupati yang kini turut menganjurkan jajarannya staff Pemerintah Kabupaten Enrekang untuk mengurangi dan menghentikan kebiasaan merokok rokok. Menyambut baik inisiatif Desa Bone-Bone untuk menjadi desa sehat, Bupati La Tinro La Tunrung kemudian memasukkan program Kawasan Tanpa Rokok kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2009-2013. Dinas Kesehatan Kabupaten Enrekang juga telah mencanangkan seluruh desa di Kecamatan Baraka sebagai Kawasan Tanpa Rokok

"We started with issuing the rules to ban smoking in the village offices and other public facilities. We also brought together all the leaders and citizens who supported the ban to discuss how to make the village is completely smoking free," he said. "Then we encouraged the owners of kiosks in the village not to sell cigarettes," explained the father of eight children.

Muhammad Idris acknowledges breaking the habit of smoking is not easy. "When the rule was f irst introduced, many people were not satisfied. There was one man who stated he could not be a carpenter if he wasn't allowed to smoke", said Idris. Patiently, he explained to the man that his expertise will not be lost if he quit smoking.

The forty-year-old Village Head was determined to continue to apply the ban as a first step towards a healthy village. Every day Idris walked through the village, greeting residents and asking whether they had quit smoking or were still in the process of quitting

smoking. "I never forced them, but every time I met with the villagers I invited them to chat as usual and continued to warn them that smoking is without benefits and harmful to their health," said Idris.

Advice to quit smoking was not only given through the personal approach of the Village Head to the inhabitants, but was also passed on in village meetings, and at Friday prayers and village events. In addition to persuasion, there are also sanctions. If there are villagers caught smoking in the street, then citizens they must clean up the mosque and village streets. Sanctions have proven effective in helping villagers stop smoking.

Idris' work was not in vain, more and more villagers became aware of the adverse effects of smoking on health. Those who had quit smoking also began to feel the benefits to the economy of the family. "The money that we once used to buy cigarettes, now can be used to buy children's school supplies, and to purchase seeds and fertilizer," said one mother.

The most exciting change is the declining number of patients with respiratory and lung diseases in the region. "Today, fewer and fewer people have respiratory diseases," said the nurse on duty at the Bone-Bone Puskemas. As of 2007 there are no Bone Bone residents who still smoke; that health endangering habit is are no longer found there.

The Bupati of Enrekang, Haji La La Tinro Tunrung, greatly appreciates the efforts of pak Idris and Bone-Bone. Apart from giving an award to Pak Idris, the Bupati also replicated the Smoking-free Village program in two neighboring, Kadinge and Kendena. In these two villages, the Bupati invited the Village Heads, community leaders and religious figures to create a Memorandum of Understanding (MoU) as a legal umbrella to apply the Smoke-free Village program there.

In the village of Bone Bone, all activities associated with smoking have been banned, but in two new villages, which are replicating this initiative, restrictions only apply to smoking in public facilities and government buildings and providing special areas for smoking.

"I really appreciate this initiative. Even I've quit smoking now," said the Bupati, who has helped to advise the staff of the Enrekang Government to reduce and stop smoking. Welcoming the initiative of the Bone-Bone to be a healthy village, La Tunrung Tinro then included the

14

Di ribuan kampung, rakyat tahu bahwa ada perubahan dan merekalah yang menciptakan perubahan itu.

Berawal dari laporan Analisa Pengeluaran Publik (PEACH) yang menyebutkan fakta dana pembangunan hanya 10% saja yang dinikmati oleh masyarakat, Barnabas Suebu mengambil langkah berani dengan memangkas belanja pegawai sampai dengan 1 trilyun rupiah dan mengalihkannya ke 3000 kampung. Tujuannya, agar setiap kampung memiliki sarana air bersih, sanitasi, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kesejahteraan kampung. Dari dana RESPEK tersebut saat ini telah ada 1500 Pusat Belajar Komunitas (Community Learning Centre) yang berfungsi sebagai tempat belajar anak usia dini, pusat informasi tentang gizi, dan layanan informasi rumah sehat. Selain itu sebanyak 200 pemuda Papua menerima beasiswa belajar ke daerah lain di luar Papua.

Starting from the Public Expenditure Analysis report (PEACH), which stated that only 10% of development funds reached the community, Barnabas Suebu has taken bold steps to cut spending on salaries by up to Rp 1 trillion and divert these funds to 3000 villages. The goal is for every village to have clean water, sanitation, access to health care, access to education and for any other activity relating to the welfare of the village. From RESPEK funds there are now 1500 Community Learning Centers that serve as places of early childhood learning, centers of information about nutrition and healthy home services. In addition, as many as 200 young Papuans have received scholarships to study in areas outside of Papua.

Kisah Inspiratif Memimpin PapuaAn Inspiring Story of Leading Papua

Barnabas Suebu

inspiratorM. Idris, Kepala Desa Bone-Bone dan

Bupati Kabupaten Enrekang, H. La Tinro Latunrung

The Head of Bone-bone Village, M.Idris and Head of Enrekang District,

H. La Tinro Latunrung

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 16: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201015 16

Penerima Manfaat Beneficiaries

ama kapal besi itu adalah Mekar Teratai. Setiap malam kapal ini mengantarkan para Npenumpangnya dari Pelabuhan Bastiong,

Ternate menuju Pelabuhan Babang di Labuha, Pulau Bacan. Penumpang sangat banyak saat itu, mereka naik berebutan dan sepertinya sedikit panik seolah-olah kapal sebentar lagi akan meninggalkan pelabuhan, padahal masih ada waktu sekitar satu jam lagi sebelum kapal benar-benar berangkat. ”Disini satu satunya alat transportasi yang diandalkan ya kapal ini,” sahut

seorang penumpang. Dari logatnya yang khas, sepertinya Bapak ini adalah perantau yang sedang mengadu nasib ke Maluku Utara. Sejak jalur penerbangan Ternate-Labuha tidak menentu, transportasi laut menjadi andalan warga untuk melakukan perjalanan.

Serupa dengan daerah lain di Kawasan Timur Indonesia, Maluku Utara memiliki wilayah perairan yang lebih banyak daripada daratan yakni 76,27% dari 140.225,32 km². Sebagian besar penduduk bermukim di daerah pesisir ketimbang di pegunungan. Kebanyakan daerah pesisir yang kini menjadi pemukiman sekarang adalah bekas rawa dengan banyak genangan air. Sebuah tempat yang ideal bagi nyamuk malaria untuk berkembang biak. Tak heran bila banyak daerah di Maluku Utara, termasuk Halmahera Selatan menjadi daerah endemis Malaria.

Halmahera Selatan mengalami Kejadian Luar Biasa akibat serangan malaria pada tahun 2003 hingga 2007. Pada masa itu daerah ini kehilangan 268 jiwa akibat penyakit malaria. Bahkan pada tahun 2005, Halmahera Selatan mengalami angka insiden tahunan malaria (Annual Malaria Incidents) tertinggi, yakitu 80,2 persen!

”Sebagai dokter, ya salah satu tugas saya adalah menyuntik penderita malaria dengan obat, tapi setelah pasien pulang dia terima suntik lagi dari nyamuk malaria. Saat itu kami memang masih berfokus pada pengobatan penderita saja,” jelas Kepala Dinas Kesehatan Halsel dr. Mohammad Alhabsyi, yang kerap dipanggil Dokter Moh.

Setelah mengalami beberapa kali kejadian luar biasa yang menelan banyak korban itu, Dokter Moh mengakui mulai ada kebutuhan pendekatan baru dalam penanganan malaria. ”Perlu penanganan bersama karena ini bukan tugas dan wewenang Dinas Kesehatan saja. Semua pihak harus ikut terlibat dan upayanya sendiri harus lintas sektoral,” tambahnya.

Saat itu Dokter Ahmad Aziz, Yudi dan Dokter Moh mulai mendesain konsep penanganan malaria terintegrasi. “Kami memulai perang melawan malaria dengan coret-coretan di selembar kertas kemudian mengembangkan ide program lintas sektoral ini ke dalam sebuah dokumen,” kenang Dokter Ahmad Azis yang rambutnya mulai memutih dengan semangat yang berkobar. ”Ada lima jurus paten yang harus diperhatikan dalam memerangi malaria yaitu kapasitas sumber daya manusia yang baik, laboratorium medis yang mendukung, sistem logistik yang kuat, anggaran yang memadai, dan sistem pencatatan dan pelaporan yang jelas,” jelas Dokter Aziz yang telah berjuang melawan malaria sejak tahun 1975.

The name of the ship is Mekar Teratai. Each night the ship takes its passengers to Bastiong Habor, Ternate, and onto to Babang harbor in Labuha, Bacan Island. The passengers are numerous and they board noisily, almost as if they are panicking that the boat may be leaving, despite the fact that it is scheduled to depart in an hour. “This is the one dependable form of transport,” said one passenger. From his strong accent, it seems the passenger is trying his luck in North Maluku. After the Ternate-Labuha flight became unreliable, sea transportation becomes the way for residents to travel.

Like many other areas in eastern Indonesia, North Maluku has more water than land, about 76% is water of its total area of 140,225.32 km ². Most of the population resides in coastal areas and in former swamp areas with lots of stagnant water bodies; places also ideal for breeding mosquitoes. It's not surprising then that North Maluku, including South Halmahera, in an endemic area for malaria. Halmahera Selatan experienced a malaria outbreak from 2003 to 2007. In that period there were 268 deaths, and in 2005 the Annual Malaria Incidents (AMI) reached a peak of 80.2%.

“As a doctor, one of my tasks is to inject malaria patients with medicine, but when the patients go home they are injected again with malaria by mosquitoes. Back then, we were still focused only on treating patients,” explained the Head of the Halmahera Selatan Health Department, Dr Mohammad Alhabsyi, who is known as Dokter Moh. After experiencing outbreaks which took many lives, Dokter Moh accepted there needed to be a new approach in combating malaria. “There needs to be an integrated approach, this is not just the task and territory of the Health Department. All stakeholders must be involved and the efforts must be cross-sectoral,” he added.

At that time, Dokter Ahmad Aziz, Yudi, and Dokter Moh began to design an integrated malaria management concept. “We began the war against malaria with lines on a piece of paper and then developed the cross-sectoral program in a number of documents,” recounted Dokter Ahmad Azis, whose hair is beginning to white but who is still enthusiastic. “There were five elements we had to take into account to battle malaria: good human resources, a medical laboratory that was suitable, a strong logistics system, enough budget, and a records and reporting system that was clear,” explained Dokter Aziz, who has been dealing with malaria since 1975.

Following up on earlier idea, the concept of Malaria Center was conceived and developed. Doctor Aziz sought support and advocated for it guerilla-style to the Governor of North Maluku and the Bupatis. Doctor Aziz had his results by 2004 when the Governor of North Maluku established an integrated Malaria Service Center, known as the Malaria Center and donated drug warehouse in Tanah Tinggi.

The approach taken in the Malaria Center requires the involvement of communities throughout the entire process. "Public participation is the key to winning the war against

Upaya terpadu untuk memerangi Malaria

di Halmahera SelatanAn integrated war

against malaria in Halmahera

Labuha, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara

250.0000 jiwa250,000 People

Lokasi Location

”Melayani publik, mendengarkan dengan hati”

Iwan Bokings

wan Bokings adalah satu dari segelintir Bupati di Indonesia yang memiliki pemikiran progresif. Tak aneh bila masyarakat Boalemo memilihnya untuk masa jabatan kedua, hingga tahun 2012. Bukan hanya karena sudah dikenal, tapi karena tingginya rasa empati dan kepedulian kepada I

publiknya. “Saya hampir tidak mengenal waktu untuk istirahat. Sabtu dan Minggu saya tetap bekerja. Saya bersilaturahmi ke rumah para pemberi amanah, yang berada di dusun-dusun, ber-kilo-kilo meter jaraknya, naik turun gunung," demikian ujarnya. "Saya harus menata pemerintahan yang saya pimpin ke arah perubahan dan mengupayakan beberapa perangkat kelembagaan untuk berfungsi lebih baik. Dengan demikian kepentingan rakyat dapat terjamin dengan baik.” Hal ini mencakup adanya birokrasi yang bersih dan efisien, adanya legislatif yang aspiratif dan tanggap terhadap kepentingan masyarakat dan menjadi alat kontrol yang baik dan kontruktif bagi birokrasi pemerintah, adanya sistem penegakan hukum yang kredibel, termasuk aparat penegak hukum yang mempunyai integritas yang baik, serta adanya masyarakat warga yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan warga serta mengontrol lembaga pemerintah. Termasuk di dalamnya, adanya distribusi kekuasaan yang seimbang dan saling mengontrol secara kontruktif, bukan demi para pemegang kekuasaan, melainkan demi kepentingan rakyat banyak. Pemikirannya dilandasi oleh pandangan bahwa kuasa rakyat adalah kuasa Tuhan, sehingga model pembangunan yang diterapkan oleh kabupaten Boalemo berlandaskan kepentingan rakyat. Tidak aneh bila datang ke Boalemo, melihat spanduk besar di depan instansi-instansi pemerintah daerah bertuliskan data penggunaan anggaran daerah. Atau melihat sistem survey kepuasan publik di pusat-pusat layanan kesehatan.

Iwan Bokings is one of a handful of Bupatis (district heads) in Indonesia who are progressive thinkers. No wonder that people Boalemo elected him to a second term; he will serve until 2012. He was re-elected not only because he is already well know, but because of his empathy and concern for the public.

“It's almost as if I don't know when to rest. Saturday and Sunday I still work. I stay in touch with those who gave me this mandate, in the hamlets, kilometers away, up and down mountains," he said. "I have to organize the government I lead towards a direction of change and ensure that the different institutions function well. This is how the people's interests can be secured properly."

This includes a clean and efficient bureaucracy; an aspirational legislature which is responsive to the interests of society and can become a good and constructive tool of control of the bureaucracy of government; a credible law enforcement system, including law enforcement officers with good integrity; and the presence of strong civil society to fight for the interests of citizens and to monitor government agencies. This should also include a balanced distribution of power and constructive mutual control mechanisms, not just from those who hold power, but for the sake of the people.

This thinking is based on the view that the power of the people is the power of God, therefore the development model adopted by the district of Boalemo is based on people's interests. It's not odd in Boalemo to see the real manifestations of these ideals, in the form of large banners in front of local government agencies displaying data and local budgets, or in the surveys of public satisfaction in local health care centers.

Serving the public, listening to the public

inspiratorinspirator

(KTR) pada tahun 2011. Enam Kecamatan lain di Kabupaten Enrekang ditargetkan menjadi kawasan tanpa rokok pada tahun 2012 dan seluruh Kecamatan pada akhir tahun 2013.

Setelah berhasil menginisiasi Kawasan Tanpa Rokok, Muhammad Idris melanjutkan langkah menuju desa sehat dengan membuat dua aturan baru, yakni larangan memperdagangkan dan memelihara ayam yang disuntik hormon dan larangan mengonsumsi makanan dan minuman berbahan pengawet dan pewarna.

”Saya lihat banyak ayam yang disuntik hormon mati mendadak karena sakit. Saya kuatir banyak ayam tersebut terkena flu burung dan menularkan pada ayam-ayam di desa kami. Ini sangat berbahaya”, kata Idris dengan wajah serius. ”Begitu juga dengan makanan dan minuman yang berwarna-warni. Rasanya mungkin enak, tapi pengaruhnya buruk bagi anak-anak kami. Gigi-gigi mereka banyak yang rusak. Selain itu anak-anak jadi malas makan sayur dan buah. Bagaimana mereka bisa jadi generasi penerus yang cerdas dan sehat kalau kurang gizi?”, lanjut Idris

Banyak tempat di berbagai belahan bumi menyatakan diri sebagai kawasan sehat, kota sehat, atau desa sehat. Tidak sedikit di antaranya yang kemudian sekedar menjadi wacana namun Bone-Bone berhasil membuktikan diri sebagai kawasan yang benar-benar sehat. ”Pemikiran saya sederhana saja. Saya hanya ingin warga desa saya sehat agar desa ini maju,” ulang Pak Idris dengan senyum yang tulus. Mungkin pak Idris belum tau bahwa pemikirannya ini sejalan dengan pemikiran Winston Churchill, seorang negarawan dan satu-satunya perdana menteri Inggris yang meraih penghargaan nobel untuk literatur, ”Masyarakat yang sehat adalah aset terbesar bagi suatu negara”.

program in the Medium Term Regional Development Plan 2009-2013. The Enrekang District Health Department also has designated all villages in the sub-district of Baraka as Smoking-free Areas in 2011. Six other sub-districts in Enrekang will be smoking free by 2012 and the entire district by the end of 2013.

After successfully initiating the Smoking –free Area, Muhammad Idris continued taking steps toward a healthy village by creating two new rules, the ban on trade of and raising chickens injected with hormones and a ban on foods and beverages made with preservatives and dyes.

"I see a lot of hormone injected chicken that die suddenly due to illness. I'm afraid a lot of chickens are affected by bird flu and will infect chickens in our village. This is very dangerous, " Idris said with a serious face. "And so are the colorful food and drinks. It probably tastes good, but the effect on our children is bad. Their teeth are damaged. In addition, the children become lazy in consuming vegetables and fruit. How can they be the next smart and healthy generation if they suffer from malnutrition? " Idris asked.

Many places in the world identify themselves as the healthy regions, healthy cities, or healthy villages. In more than a few, his is merely rhetoric, but Bone-Bone has proven itself as a village that is truly healthy. "My thinking is simple. I just wish the inhabitants of my village are healthy so we can develop," repeated Pak Idris with a sincere smile. Perhaps Pak Idris is not aware that his thinking is in line with the thoughts of Winston Churchill, a statesman and the only British prime minister who won the Nobel award for literature, "Healthy citizens are the greatest asset any country can have."

Contact Person

Muhammad IdrisKepala Desa Bone BoneMobile : 081355886694

Muhammad YaminKepala Dinas Kesehatan Kab. EnrekangMobile : 081342246666

Ishak IskandarPromosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kab. Enrekang

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 17: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201015 16

Penerima Manfaat Beneficiaries

ama kapal besi itu adalah Mekar Teratai. Setiap malam kapal ini mengantarkan para Npenumpangnya dari Pelabuhan Bastiong,

Ternate menuju Pelabuhan Babang di Labuha, Pulau Bacan. Penumpang sangat banyak saat itu, mereka naik berebutan dan sepertinya sedikit panik seolah-olah kapal sebentar lagi akan meninggalkan pelabuhan, padahal masih ada waktu sekitar satu jam lagi sebelum kapal benar-benar berangkat. ”Disini satu satunya alat transportasi yang diandalkan ya kapal ini,” sahut

seorang penumpang. Dari logatnya yang khas, sepertinya Bapak ini adalah perantau yang sedang mengadu nasib ke Maluku Utara. Sejak jalur penerbangan Ternate-Labuha tidak menentu, transportasi laut menjadi andalan warga untuk melakukan perjalanan.

Serupa dengan daerah lain di Kawasan Timur Indonesia, Maluku Utara memiliki wilayah perairan yang lebih banyak daripada daratan yakni 76,27% dari 140.225,32 km². Sebagian besar penduduk bermukim di daerah pesisir ketimbang di pegunungan. Kebanyakan daerah pesisir yang kini menjadi pemukiman sekarang adalah bekas rawa dengan banyak genangan air. Sebuah tempat yang ideal bagi nyamuk malaria untuk berkembang biak. Tak heran bila banyak daerah di Maluku Utara, termasuk Halmahera Selatan menjadi daerah endemis Malaria.

Halmahera Selatan mengalami Kejadian Luar Biasa akibat serangan malaria pada tahun 2003 hingga 2007. Pada masa itu daerah ini kehilangan 268 jiwa akibat penyakit malaria. Bahkan pada tahun 2005, Halmahera Selatan mengalami angka insiden tahunan malaria (Annual Malaria Incidents) tertinggi, yakitu 80,2 persen!

”Sebagai dokter, ya salah satu tugas saya adalah menyuntik penderita malaria dengan obat, tapi setelah pasien pulang dia terima suntik lagi dari nyamuk malaria. Saat itu kami memang masih berfokus pada pengobatan penderita saja,” jelas Kepala Dinas Kesehatan Halsel dr. Mohammad Alhabsyi, yang kerap dipanggil Dokter Moh.

Setelah mengalami beberapa kali kejadian luar biasa yang menelan banyak korban itu, Dokter Moh mengakui mulai ada kebutuhan pendekatan baru dalam penanganan malaria. ”Perlu penanganan bersama karena ini bukan tugas dan wewenang Dinas Kesehatan saja. Semua pihak harus ikut terlibat dan upayanya sendiri harus lintas sektoral,” tambahnya.

Saat itu Dokter Ahmad Aziz, Yudi dan Dokter Moh mulai mendesain konsep penanganan malaria terintegrasi. “Kami memulai perang melawan malaria dengan coret-coretan di selembar kertas kemudian mengembangkan ide program lintas sektoral ini ke dalam sebuah dokumen,” kenang Dokter Ahmad Azis yang rambutnya mulai memutih dengan semangat yang berkobar. ”Ada lima jurus paten yang harus diperhatikan dalam memerangi malaria yaitu kapasitas sumber daya manusia yang baik, laboratorium medis yang mendukung, sistem logistik yang kuat, anggaran yang memadai, dan sistem pencatatan dan pelaporan yang jelas,” jelas Dokter Aziz yang telah berjuang melawan malaria sejak tahun 1975.

The name of the ship is Mekar Teratai. Each night the ship takes its passengers to Bastiong Habor, Ternate, and onto to Babang harbor in Labuha, Bacan Island. The passengers are numerous and they board noisily, almost as if they are panicking that the boat may be leaving, despite the fact that it is scheduled to depart in an hour. “This is the one dependable form of transport,” said one passenger. From his strong accent, it seems the passenger is trying his luck in North Maluku. After the Ternate-Labuha flight became unreliable, sea transportation becomes the way for residents to travel.

Like many other areas in eastern Indonesia, North Maluku has more water than land, about 76% is water of its total area of 140,225.32 km ². Most of the population resides in coastal areas and in former swamp areas with lots of stagnant water bodies; places also ideal for breeding mosquitoes. It's not surprising then that North Maluku, including South Halmahera, in an endemic area for malaria. Halmahera Selatan experienced a malaria outbreak from 2003 to 2007. In that period there were 268 deaths, and in 2005 the Annual Malaria Incidents (AMI) reached a peak of 80.2%.

“As a doctor, one of my tasks is to inject malaria patients with medicine, but when the patients go home they are injected again with malaria by mosquitoes. Back then, we were still focused only on treating patients,” explained the Head of the Halmahera Selatan Health Department, Dr Mohammad Alhabsyi, who is known as Dokter Moh. After experiencing outbreaks which took many lives, Dokter Moh accepted there needed to be a new approach in combating malaria. “There needs to be an integrated approach, this is not just the task and territory of the Health Department. All stakeholders must be involved and the efforts must be cross-sectoral,” he added.

At that time, Dokter Ahmad Aziz, Yudi, and Dokter Moh began to design an integrated malaria management concept. “We began the war against malaria with lines on a piece of paper and then developed the cross-sectoral program in a number of documents,” recounted Dokter Ahmad Azis, whose hair is beginning to white but who is still enthusiastic. “There were five elements we had to take into account to battle malaria: good human resources, a medical laboratory that was suitable, a strong logistics system, enough budget, and a records and reporting system that was clear,” explained Dokter Aziz, who has been dealing with malaria since 1975.

Following up on earlier idea, the concept of Malaria Center was conceived and developed. Doctor Aziz sought support and advocated for it guerilla-style to the Governor of North Maluku and the Bupatis. Doctor Aziz had his results by 2004 when the Governor of North Maluku established an integrated Malaria Service Center, known as the Malaria Center and donated drug warehouse in Tanah Tinggi.

The approach taken in the Malaria Center requires the involvement of communities throughout the entire process. "Public participation is the key to winning the war against

Upaya terpadu untuk memerangi Malaria

di Halmahera SelatanAn integrated war

against malaria in Halmahera

Labuha, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara

250.0000 jiwa250,000 People

Lokasi Location

”Melayani publik, mendengarkan dengan hati”

Iwan Bokings

wan Bokings adalah satu dari segelintir Bupati di Indonesia yang memiliki pemikiran progresif. Tak aneh bila masyarakat Boalemo memilihnya untuk masa jabatan kedua, hingga tahun 2012. Bukan hanya karena sudah dikenal, tapi karena tingginya rasa empati dan kepedulian kepada I

publiknya. “Saya hampir tidak mengenal waktu untuk istirahat. Sabtu dan Minggu saya tetap bekerja. Saya bersilaturahmi ke rumah para pemberi amanah, yang berada di dusun-dusun, ber-kilo-kilo meter jaraknya, naik turun gunung," demikian ujarnya. "Saya harus menata pemerintahan yang saya pimpin ke arah perubahan dan mengupayakan beberapa perangkat kelembagaan untuk berfungsi lebih baik. Dengan demikian kepentingan rakyat dapat terjamin dengan baik.” Hal ini mencakup adanya birokrasi yang bersih dan efisien, adanya legislatif yang aspiratif dan tanggap terhadap kepentingan masyarakat dan menjadi alat kontrol yang baik dan kontruktif bagi birokrasi pemerintah, adanya sistem penegakan hukum yang kredibel, termasuk aparat penegak hukum yang mempunyai integritas yang baik, serta adanya masyarakat warga yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan warga serta mengontrol lembaga pemerintah. Termasuk di dalamnya, adanya distribusi kekuasaan yang seimbang dan saling mengontrol secara kontruktif, bukan demi para pemegang kekuasaan, melainkan demi kepentingan rakyat banyak. Pemikirannya dilandasi oleh pandangan bahwa kuasa rakyat adalah kuasa Tuhan, sehingga model pembangunan yang diterapkan oleh kabupaten Boalemo berlandaskan kepentingan rakyat. Tidak aneh bila datang ke Boalemo, melihat spanduk besar di depan instansi-instansi pemerintah daerah bertuliskan data penggunaan anggaran daerah. Atau melihat sistem survey kepuasan publik di pusat-pusat layanan kesehatan.

Iwan Bokings is one of a handful of Bupatis (district heads) in Indonesia who are progressive thinkers. No wonder that people Boalemo elected him to a second term; he will serve until 2012. He was re-elected not only because he is already well know, but because of his empathy and concern for the public.

“It's almost as if I don't know when to rest. Saturday and Sunday I still work. I stay in touch with those who gave me this mandate, in the hamlets, kilometers away, up and down mountains," he said. "I have to organize the government I lead towards a direction of change and ensure that the different institutions function well. This is how the people's interests can be secured properly."

This includes a clean and efficient bureaucracy; an aspirational legislature which is responsive to the interests of society and can become a good and constructive tool of control of the bureaucracy of government; a credible law enforcement system, including law enforcement officers with good integrity; and the presence of strong civil society to fight for the interests of citizens and to monitor government agencies. This should also include a balanced distribution of power and constructive mutual control mechanisms, not just from those who hold power, but for the sake of the people.

This thinking is based on the view that the power of the people is the power of God, therefore the development model adopted by the district of Boalemo is based on people's interests. It's not odd in Boalemo to see the real manifestations of these ideals, in the form of large banners in front of local government agencies displaying data and local budgets, or in the surveys of public satisfaction in local health care centers.

Serving the public, listening to the public

inspiratorinspirator

(KTR) pada tahun 2011. Enam Kecamatan lain di Kabupaten Enrekang ditargetkan menjadi kawasan tanpa rokok pada tahun 2012 dan seluruh Kecamatan pada akhir tahun 2013.

Setelah berhasil menginisiasi Kawasan Tanpa Rokok, Muhammad Idris melanjutkan langkah menuju desa sehat dengan membuat dua aturan baru, yakni larangan memperdagangkan dan memelihara ayam yang disuntik hormon dan larangan mengonsumsi makanan dan minuman berbahan pengawet dan pewarna.

”Saya lihat banyak ayam yang disuntik hormon mati mendadak karena sakit. Saya kuatir banyak ayam tersebut terkena flu burung dan menularkan pada ayam-ayam di desa kami. Ini sangat berbahaya”, kata Idris dengan wajah serius. ”Begitu juga dengan makanan dan minuman yang berwarna-warni. Rasanya mungkin enak, tapi pengaruhnya buruk bagi anak-anak kami. Gigi-gigi mereka banyak yang rusak. Selain itu anak-anak jadi malas makan sayur dan buah. Bagaimana mereka bisa jadi generasi penerus yang cerdas dan sehat kalau kurang gizi?”, lanjut Idris

Banyak tempat di berbagai belahan bumi menyatakan diri sebagai kawasan sehat, kota sehat, atau desa sehat. Tidak sedikit di antaranya yang kemudian sekedar menjadi wacana namun Bone-Bone berhasil membuktikan diri sebagai kawasan yang benar-benar sehat. ”Pemikiran saya sederhana saja. Saya hanya ingin warga desa saya sehat agar desa ini maju,” ulang Pak Idris dengan senyum yang tulus. Mungkin pak Idris belum tau bahwa pemikirannya ini sejalan dengan pemikiran Winston Churchill, seorang negarawan dan satu-satunya perdana menteri Inggris yang meraih penghargaan nobel untuk literatur, ”Masyarakat yang sehat adalah aset terbesar bagi suatu negara”.

program in the Medium Term Regional Development Plan 2009-2013. The Enrekang District Health Department also has designated all villages in the sub-district of Baraka as Smoking-free Areas in 2011. Six other sub-districts in Enrekang will be smoking free by 2012 and the entire district by the end of 2013.

After successfully initiating the Smoking –free Area, Muhammad Idris continued taking steps toward a healthy village by creating two new rules, the ban on trade of and raising chickens injected with hormones and a ban on foods and beverages made with preservatives and dyes.

"I see a lot of hormone injected chicken that die suddenly due to illness. I'm afraid a lot of chickens are affected by bird flu and will infect chickens in our village. This is very dangerous, " Idris said with a serious face. "And so are the colorful food and drinks. It probably tastes good, but the effect on our children is bad. Their teeth are damaged. In addition, the children become lazy in consuming vegetables and fruit. How can they be the next smart and healthy generation if they suffer from malnutrition? " Idris asked.

Many places in the world identify themselves as the healthy regions, healthy cities, or healthy villages. In more than a few, his is merely rhetoric, but Bone-Bone has proven itself as a village that is truly healthy. "My thinking is simple. I just wish the inhabitants of my village are healthy so we can develop," repeated Pak Idris with a sincere smile. Perhaps Pak Idris is not aware that his thinking is in line with the thoughts of Winston Churchill, a statesman and the only British prime minister who won the Nobel award for literature, "Healthy citizens are the greatest asset any country can have."

Contact Person

Muhammad IdrisKepala Desa Bone BoneMobile : 081355886694

Muhammad YaminKepala Dinas Kesehatan Kab. EnrekangMobile : 081342246666

Ishak IskandarPromosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kab. Enrekang

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 18: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Empatpuluh tahun yang lalu, Kampung Wukendik di Distrik Fakfak Barat, Papua Barat adalah daerah yang kering dan gersang dengan hanya sedikit saja pepohonan. Kehidupan saat itu sangat berat bagi warga kampung, termasuk bagi Timotius Hindom. Walau hanya berbekal ilmu pas-pasan dari Sekolah Dasar yang tidak tamat, Timotius tidak menyerah begitu saja.

Dengan motivasi yang kuat untuk meningkatkan ekonomi keluarganya, Timotius memulai pekerjaannya besarnya dengan menanam berbagai jenis bibit di lahan yang hanya seluas 50 hektar. Ia mengumpulkan bibit dari tepi jalan, di kebun, di mana saja. Saat itu tak ada seorang pun yang menyangka, apa yang dikerjakan Timotius ini kelak mengantarnya sebagai penerima Penghargaan Kalpataru dari Presiden Republik Indonesia.

Dalam enam tahun lahannya, berbagai jenis pohon buah siap untuk dipanen. Timotius pun menuai pendapatan tambahan bagi keluarganya. Tidak sekedar merasakan manfaat itu sendiri, Timotius mengajak beberapa keluarga lain untuk menanam berbagai jenis pohon di lahan-lahan kosong yang tak terurus. Hingga sekarang sudah ada duapuluh keluarga yang mengikuti jejaknya, termasuk Raja Adat di Kampung Werba, Bapak Onim Bay. Lahan kering yang kini produktif pun telah mencapai delapan ratus hektar.

Forty years ago, the village of Wukendik, Fakfak Barat sub-district, Papua Barat, was dry and arid with very few trees. Life was very hard for the residents of the village, including for Timotius Hindom. Although armed with only the basic knowledge of someone who did not complete elementary school, Timotius did not give up so easily.

With a strong motivation to improve his family's economy, Timothy started his work with various types of seedlings, which he planted on only 50 hectares of land. He collected seeds from the edge of the road, in the gardens, anywhere. In the beginning nobody would have thought that Timotius' work would lead him to receiving the Kalpataru Award from the President of the Republic of Indonesia.

After the first six years, various types of fruit trees were ready for harvest and Timotius reaped additional income for his family. Not only for the benefit of his family, Timotius also invited several other families to plant different species of trees on vacant pieces of land land. Today, twenty families have followed in his footsteps, including the indigenous ruler of Werba village, Onim Bay. Productive dry land now includes eight hundred acres.

Menindaklanjuti idea awal tadi, konsep Malaria Center mulai disusun dan dikembangkan. Dokter Azis bergerilya mencari dukungan dan mengadvokasi Gubernur Maluku Utara dan para Bupati. Per juangan D okter A z is menunjukkan hasil pada tahun 2004 saat Gubernur Maluku Utara mendirikan Pusat Pelayanan Malaria terpadu yang dikenal dengan M a l a r i a C e n t e r d a n menghibahkan gudang obat di Tanah Tinggi.

P e n d e k a t a n y a n g dilakukan di Malaria Center menuntut keterlibatan dari masyarakat pada seluruh proses. ”Partisipasi masyarakat merupak an kunci untuk m e m e n a n g k a n p e r a n g terhadap malaria,” jelas Dokter Azis. Metode Participatory Learning and Action (PLA) pun digunakan dalam program pemberdayaan masyarakat di Malaria Center. Bekerjasama dengan UNICEF, program ini melatih dua kader pejuang malaria dari masing-masing desa dengan misi utama mengenali apa itu malaria, melakukan musyawarah penyusunan Rencana Kegiatan Masyarakat dalam memerangi malaria dan pembentukan Komite Malaria Desa.

Dengan cara ini masyarakat desa mendapatkan edukasi tentang malaria dan selanjutnya dapat melakukan pemberantasan malaria berbasis masyarakat sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan mereka menjadi lebih sehat. Selain itu pemerintah daerah juga memberi dukungan melalui dalam Alokasi Dana Desa Khusus (ADDK) Malaria untuk membiayai berbagai kegiatan penanggulangan malaria.

Dalam Malaria Center sendiri terdapat berbagai komponen, seperti BAPPEDA, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, bahkan Dinas Pendidikan. Ini menjadikan Malaria Center sebagai sebuah pusat untuk koordinasi, komunikasi, informasi dan aktivitas pemberantasan malaria. ”Anak-anak kami belajar mengenali jentik nyamuk malaria, tempat perkembangbiakannya, dan bagaimana memberantas malaria. Dengan demikian mereka dapat menyadari dan mengerti bahaya malaria serta bagaimana menghindarinya,” ujar Bakri Samad, Staff Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Selatan.

Tidak hanya memberantas malaria, Malaria Center juga berfungsi sebagai pendukung pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan balita. Bekerjasama dengan posyandu di tingkat desa dan dibantu oleh kader-kader posyandu, dilakukan pemeriksaan berkala dan diagnosis cepat malaria (Rapid Diagnostic Test-RDT) bagi ibu hamil dan balita. Malaria Center mengawamkan penggunaan kelambu berinsektisida bagi ibu hamil dan anak yang telah menerima imunisasi lengkap. ”Integrasi pencegahan dan pengobatan malaria dengan layanan kesehatan ibu dan balita adalah keunikan Malaria Center. Belum ada program serupa di negara lain”, jelas Dokter Santi, Malaria Officer dari UNICEF dengan bangga.

Malaria Center banyak menemui banyak tantangan dalam perjuangannya. ”Kondisi geografis Maluku Utara yang cukup sulit, menyebabkan distribusi obat sering terhambat. Memang kendala terbesar yang kami hadapi di daerah seeperti ini adalah dalam hal logistik”, aku Firmansyah, Pengelola Program Malaria Dinkes Halsel.

Perjuangan dan kerja keras memerangi malaria kini telah menampakan hasil. ”Saat ini angka penurunan malaria cukup signifikan, yakni sekitar 45 persen jika dibandingkan dengan tahun 2003 sampai tahun 2008,” ujar Iswahyudi, Pengelola Program Malaria Dinkes Provinsi Maluku Utara. Khusus di Halmahera Selatan dimana Malaria Center beroperasi sejak 24 April 2010 jumlah penderita malaria menurun drastis. Jika pada tahun 2005 angka insiden malaria tahunan daerah ini adalah 80, maka tahun 2009 angka insiden malaria tahunan dipangkas menjadi 40,2 persen.

Hal lain yang menggembirakan adalah bahwa angka parasit malaria bagi anak-anak berumur kurang dari 9 tahun (Angka parasite Rate-PR) juga menurun dari 58,7 persen pada tahun 2007 menjadi 41,5 persen di tahun 2009. Jika pada tahun 2003 malaria menelan korban 205 orang maka di tahun 2009 korban meninggal akibat penyakit ini tinggal 1 orang saja.

Kerjasama antar berbagai pihak dan komitmen yang kuat dari Pemerintah pada berbagai tingkat dan lintas sektoral serta partisipasi yang baik dari masyarakat adalah kunci keberhasilan perjuangan melawan malaria. Perang melawan malaria belum usai, namun kini semua pihak telah bekerja sama dan bergandeng tangan untuk

malaria," said Dr. A ziz. Methods of Participatory Learning and Action (PLA) were used in community empowerment programs in t h e M a l a r i a C e n t e r. I n cooperation with UNICEF, the program has trained two cadres of malaria fighters from two villages with the main mission of recognizing m a l a r i a , c o n d u c t i n g m e e t i n g s p r e p a r i n g Community Action Plans in the fight against malaria and the establishment of Village Malaria Committees.

In this way, the villagers can obtain further education about malaria and can conduct community-based m a l a r i a c o n t r o l w h i l e improving the quality of their lives to become healthier. In addition, local governments

also provide support through the Special Village Allocation Fund (ADDK) for Malaria to finance a variety of malaria prevention activities.

In the Malaria Center itself there are various components, including BAPPEDA, Village Community Empowerment Board, Fisheries Department, Public Works Department, and even the Department of Education. The Malaria Center is a center for coordination, communication, information and activities to eradicate malaria. "Our children learn to recognize the malaria mosquito larvae, breeding places, and how to combat malaria. Thus they can realize and understand the dangers of malaria and how to avoid it," said Bakri Samad, staff of the Education Department of South Halmahera.

Not only helping to eradicate malaria, the Malaria Center also provides supporting health services for pregnant women and infants. Working with the neighborhood health center (posyandu) at the village level and assisted by the posyandu cadre, periodic inspection and Rapid Diagnostic Test - RDT for pregnant women and infants are carried out. The Malaria Center is socializing the use of insecticide treated bed nets for pregnant women and children who have received complete immunization. "The integration of prevention and treatment of malaria with mother and toddler care is the uniqueness of the Malaria Center. There are no similar programs in other countries," explained Dr. Santi, UNICEF Malaria Officer with pride.

The Malaria Center has encountered many obstacles along the way. “the geographic conditions of North Maluku are challenging and it means distribution of medicine is often delayed. The biggest challenges we face in this reason are logistical,” said Firmansyah, manager of the Malaria Program for the Health Department of Halamera Selatan.

The struggle and hard work to combat malaria has now revealed its results. "The rate of malaria has decreased significantly, about 45% when compared with the year 2003-2008," said Iswahyudi, Malaria Program Manager, North Maluku Provincial Health Department. Especially in South Halmahera, where the Malaria Center has operated since 24 April 2010, the number of malaria patients has dropped dramatically; in 2005 the annual malaria incidence rate in this region was 80%, in 2009 the annual malaria incidence rate dropped to 40.2%.

Another happy decrease is the malaria parasite rate for children younger than 9 years, which has also declined from 58.7% in 2007 to 41.5% in 2009. In 2003 malaria cost the lives of 205 people, in 2009 only one person died from this disease.

Cooperation between stakeholders, a strong commitment from the government at various levels and across sectors, and good participation from the community are the keys to the success of the struggle against malaria.

Contact Person

Dr. Ahmad Aziz Team Leader Malaria Center Maluku UtaraMobile : 081340749589

Dr. Mohammad AlhabsyiKepala Dinas Kesehatan Kab. Halmahera Selatan

FirmanPelaksana Program Malaria Kab. Halmahera SelatanGedung Malaria center, Jl. Kebun karet, Kec Bacan, Halmahera Selatan 97791

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201017 18

”Mengolah tantangan alam menjadi modal pembangunan”

Timotius Hindom

Managing Natural Challenges to Become Development Capital

inspirator

memenangkan peperangan ini. Sayup-sayup terdengar suara warga desa bernyanyi ”Marilah berantas nyamuk malaria, yang suka menggigit warga desa kita, berantas berantas nyamuk malaria, agar warga desa sehat sejahtera.......”

The fight against malaria has not been won, but now all parties are working together and have joined hands to win this war. We leave with the faint sound of villagers singing, "Let's eradicate malarial mosquitoes, which bite our villagers, eradicate, eradicate malarial mosquitoes, for healthy prosperous villagers ......."

dr. Ahmad Azis dari Malaria Center/dr. Ahmad Azis from Malaria Center

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Mengucapkan

Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia

25 Desember 2010

Page 19: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Empatpuluh tahun yang lalu, Kampung Wukendik di Distrik Fakfak Barat, Papua Barat adalah daerah yang kering dan gersang dengan hanya sedikit saja pepohonan. Kehidupan saat itu sangat berat bagi warga kampung, termasuk bagi Timotius Hindom. Walau hanya berbekal ilmu pas-pasan dari Sekolah Dasar yang tidak tamat, Timotius tidak menyerah begitu saja.

Dengan motivasi yang kuat untuk meningkatkan ekonomi keluarganya, Timotius memulai pekerjaannya besarnya dengan menanam berbagai jenis bibit di lahan yang hanya seluas 50 hektar. Ia mengumpulkan bibit dari tepi jalan, di kebun, di mana saja. Saat itu tak ada seorang pun yang menyangka, apa yang dikerjakan Timotius ini kelak mengantarnya sebagai penerima Penghargaan Kalpataru dari Presiden Republik Indonesia.

Dalam enam tahun lahannya, berbagai jenis pohon buah siap untuk dipanen. Timotius pun menuai pendapatan tambahan bagi keluarganya. Tidak sekedar merasakan manfaat itu sendiri, Timotius mengajak beberapa keluarga lain untuk menanam berbagai jenis pohon di lahan-lahan kosong yang tak terurus. Hingga sekarang sudah ada duapuluh keluarga yang mengikuti jejaknya, termasuk Raja Adat di Kampung Werba, Bapak Onim Bay. Lahan kering yang kini produktif pun telah mencapai delapan ratus hektar.

Forty years ago, the village of Wukendik, Fakfak Barat sub-district, Papua Barat, was dry and arid with very few trees. Life was very hard for the residents of the village, including for Timotius Hindom. Although armed with only the basic knowledge of someone who did not complete elementary school, Timotius did not give up so easily.

With a strong motivation to improve his family's economy, Timothy started his work with various types of seedlings, which he planted on only 50 hectares of land. He collected seeds from the edge of the road, in the gardens, anywhere. In the beginning nobody would have thought that Timotius' work would lead him to receiving the Kalpataru Award from the President of the Republic of Indonesia.

After the first six years, various types of fruit trees were ready for harvest and Timotius reaped additional income for his family. Not only for the benefit of his family, Timotius also invited several other families to plant different species of trees on vacant pieces of land land. Today, twenty families have followed in his footsteps, including the indigenous ruler of Werba village, Onim Bay. Productive dry land now includes eight hundred acres.

Menindaklanjuti idea awal tadi, konsep Malaria Center mulai disusun dan dikembangkan. Dokter Azis bergerilya mencari dukungan dan mengadvokasi Gubernur Maluku Utara dan para Bupati. Per juangan D okter A z is menunjukkan hasil pada tahun 2004 saat Gubernur Maluku Utara mendirikan Pusat Pelayanan Malaria terpadu yang dikenal dengan M a l a r i a C e n t e r d a n menghibahkan gudang obat di Tanah Tinggi.

P e n d e k a t a n y a n g dilakukan di Malaria Center menuntut keterlibatan dari masyarakat pada seluruh proses. ”Partisipasi masyarakat merupak an kunci untuk m e m e n a n g k a n p e r a n g terhadap malaria,” jelas Dokter Azis. Metode Participatory Learning and Action (PLA) pun digunakan dalam program pemberdayaan masyarakat di Malaria Center. Bekerjasama dengan UNICEF, program ini melatih dua kader pejuang malaria dari masing-masing desa dengan misi utama mengenali apa itu malaria, melakukan musyawarah penyusunan Rencana Kegiatan Masyarakat dalam memerangi malaria dan pembentukan Komite Malaria Desa.

Dengan cara ini masyarakat desa mendapatkan edukasi tentang malaria dan selanjutnya dapat melakukan pemberantasan malaria berbasis masyarakat sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan mereka menjadi lebih sehat. Selain itu pemerintah daerah juga memberi dukungan melalui dalam Alokasi Dana Desa Khusus (ADDK) Malaria untuk membiayai berbagai kegiatan penanggulangan malaria.

Dalam Malaria Center sendiri terdapat berbagai komponen, seperti BAPPEDA, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, bahkan Dinas Pendidikan. Ini menjadikan Malaria Center sebagai sebuah pusat untuk koordinasi, komunikasi, informasi dan aktivitas pemberantasan malaria. ”Anak-anak kami belajar mengenali jentik nyamuk malaria, tempat perkembangbiakannya, dan bagaimana memberantas malaria. Dengan demikian mereka dapat menyadari dan mengerti bahaya malaria serta bagaimana menghindarinya,” ujar Bakri Samad, Staff Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Selatan.

Tidak hanya memberantas malaria, Malaria Center juga berfungsi sebagai pendukung pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan balita. Bekerjasama dengan posyandu di tingkat desa dan dibantu oleh kader-kader posyandu, dilakukan pemeriksaan berkala dan diagnosis cepat malaria (Rapid Diagnostic Test-RDT) bagi ibu hamil dan balita. Malaria Center mengawamkan penggunaan kelambu berinsektisida bagi ibu hamil dan anak yang telah menerima imunisasi lengkap. ”Integrasi pencegahan dan pengobatan malaria dengan layanan kesehatan ibu dan balita adalah keunikan Malaria Center. Belum ada program serupa di negara lain”, jelas Dokter Santi, Malaria Officer dari UNICEF dengan bangga.

Malaria Center banyak menemui banyak tantangan dalam perjuangannya. ”Kondisi geografis Maluku Utara yang cukup sulit, menyebabkan distribusi obat sering terhambat. Memang kendala terbesar yang kami hadapi di daerah seeperti ini adalah dalam hal logistik”, aku Firmansyah, Pengelola Program Malaria Dinkes Halsel.

Perjuangan dan kerja keras memerangi malaria kini telah menampakan hasil. ”Saat ini angka penurunan malaria cukup signifikan, yakni sekitar 45 persen jika dibandingkan dengan tahun 2003 sampai tahun 2008,” ujar Iswahyudi, Pengelola Program Malaria Dinkes Provinsi Maluku Utara. Khusus di Halmahera Selatan dimana Malaria Center beroperasi sejak 24 April 2010 jumlah penderita malaria menurun drastis. Jika pada tahun 2005 angka insiden malaria tahunan daerah ini adalah 80, maka tahun 2009 angka insiden malaria tahunan dipangkas menjadi 40,2 persen.

Hal lain yang menggembirakan adalah bahwa angka parasit malaria bagi anak-anak berumur kurang dari 9 tahun (Angka parasite Rate-PR) juga menurun dari 58,7 persen pada tahun 2007 menjadi 41,5 persen di tahun 2009. Jika pada tahun 2003 malaria menelan korban 205 orang maka di tahun 2009 korban meninggal akibat penyakit ini tinggal 1 orang saja.

Kerjasama antar berbagai pihak dan komitmen yang kuat dari Pemerintah pada berbagai tingkat dan lintas sektoral serta partisipasi yang baik dari masyarakat adalah kunci keberhasilan perjuangan melawan malaria. Perang melawan malaria belum usai, namun kini semua pihak telah bekerja sama dan bergandeng tangan untuk

malaria," said Dr. A ziz. Methods of Participatory Learning and Action (PLA) were used in community empowerment programs in t h e M a l a r i a C e n t e r. I n cooperation with UNICEF, the program has trained two cadres of malaria fighters from two villages with the main mission of recognizing m a l a r i a , c o n d u c t i n g m e e t i n g s p r e p a r i n g Community Action Plans in the fight against malaria and the establishment of Village Malaria Committees.

In this way, the villagers can obtain further education about malaria and can conduct community-based m a l a r i a c o n t r o l w h i l e improving the quality of their lives to become healthier. In addition, local governments

also provide support through the Special Village Allocation Fund (ADDK) for Malaria to finance a variety of malaria prevention activities.

In the Malaria Center itself there are various components, including BAPPEDA, Village Community Empowerment Board, Fisheries Department, Public Works Department, and even the Department of Education. The Malaria Center is a center for coordination, communication, information and activities to eradicate malaria. "Our children learn to recognize the malaria mosquito larvae, breeding places, and how to combat malaria. Thus they can realize and understand the dangers of malaria and how to avoid it," said Bakri Samad, staff of the Education Department of South Halmahera.

Not only helping to eradicate malaria, the Malaria Center also provides supporting health services for pregnant women and infants. Working with the neighborhood health center (posyandu) at the village level and assisted by the posyandu cadre, periodic inspection and Rapid Diagnostic Test - RDT for pregnant women and infants are carried out. The Malaria Center is socializing the use of insecticide treated bed nets for pregnant women and children who have received complete immunization. "The integration of prevention and treatment of malaria with mother and toddler care is the uniqueness of the Malaria Center. There are no similar programs in other countries," explained Dr. Santi, UNICEF Malaria Officer with pride.

The Malaria Center has encountered many obstacles along the way. “the geographic conditions of North Maluku are challenging and it means distribution of medicine is often delayed. The biggest challenges we face in this reason are logistical,” said Firmansyah, manager of the Malaria Program for the Health Department of Halamera Selatan.

The struggle and hard work to combat malaria has now revealed its results. "The rate of malaria has decreased significantly, about 45% when compared with the year 2003-2008," said Iswahyudi, Malaria Program Manager, North Maluku Provincial Health Department. Especially in South Halmahera, where the Malaria Center has operated since 24 April 2010, the number of malaria patients has dropped dramatically; in 2005 the annual malaria incidence rate in this region was 80%, in 2009 the annual malaria incidence rate dropped to 40.2%.

Another happy decrease is the malaria parasite rate for children younger than 9 years, which has also declined from 58.7% in 2007 to 41.5% in 2009. In 2003 malaria cost the lives of 205 people, in 2009 only one person died from this disease.

Cooperation between stakeholders, a strong commitment from the government at various levels and across sectors, and good participation from the community are the keys to the success of the struggle against malaria.

Contact Person

Dr. Ahmad Aziz Team Leader Malaria Center Maluku UtaraMobile : 081340749589

Dr. Mohammad AlhabsyiKepala Dinas Kesehatan Kab. Halmahera Selatan

FirmanPelaksana Program Malaria Kab. Halmahera SelatanGedung Malaria center, Jl. Kebun karet, Kec Bacan, Halmahera Selatan 97791

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201017 18

”Mengolah tantangan alam menjadi modal pembangunan”

Timotius Hindom

Managing Natural Challenges to Become Development Capital

inspirator

memenangkan peperangan ini. Sayup-sayup terdengar suara warga desa bernyanyi ”Marilah berantas nyamuk malaria, yang suka menggigit warga desa kita, berantas berantas nyamuk malaria, agar warga desa sehat sejahtera.......”

The fight against malaria has not been won, but now all parties are working together and have joined hands to win this war. We leave with the faint sound of villagers singing, "Let's eradicate malarial mosquitoes, which bite our villagers, eradicate, eradicate malarial mosquitoes, for healthy prosperous villagers ......."

dr. Ahmad Azis dari Malaria Center/dr. Ahmad Azis from Malaria Center

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Mengucapkan

Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia

25 Desember 2010

Page 20: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

20Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201019

digunakan untuk pengelola, dana desa, badan perwakilan desa, dan biaya administrasi.

Pengelola PAMDES (kesemuanya berjumlah 12 orang) t idak mener ima gaj i , namun mendapatkan insentif atau persentasi dari total pembayaran yang terkumpul setiap bulan. Ini berarti setiap orang mendapatkan Rp. 50.000. Juga terdapat sebuah tim 'pengawas' yang biasanya disebut dengan Tim 9, terdiri dari sembilan orang yang bertanggung jawab menyelesaikan berbagi hal terkait keterlambatan pembayaran. Walaupun kasus-kasus terlambat membayar ini jarang terjadi karena adanya denda yang lebih besar dari nilai iuran, biasanya pelanggan biasanya berhenti membayar. Dalam hal ini mereka biasanya diberikan surat peringatan dan jika masih tidak melakukan pembayaran, suplai airnya akan d i h e n t i k a n s a m p a i m e r e k a m e l a k u k a n pembayaran kembali.

PAMDES diketuai oleh Haji M. Tahir, seorang pensiunan guru sekolah berumur 80 tahun. Ia sering kali ingin menyerahkan tanggung jawab ini kepada anggota masyarakat yang lebih muda agar ada regenerasi namun masyarakat terus memint kesediannya menjadi Ketua PAMDES. Tidak seorang pun pengurus PAMDES pernah mengikuti pelatihan formal. Semuanya belajar sendiri atau mengaplikasikan keterampilan yang mereka pelajari di sekolah atau dari pengalaman mengelola koperasi namun ini tidak menghalangi mereka dalam menyediakan layanan yang luar biasa baik.

Berbagai laporan mengenai kebocoran atau gangguan suplai air dapat langsung dikirimkan melalui telepon genggam kepada bagian pemeliharaan, yang biasanya dalam beberapa jam akan langsung melakukan perbaikan. Pembayaran iuran harus dilakukan sebelum tanggal 20 setiap bulan, dan staff administrasi bertugas mulai dari jam 8 sampai 12 siang di kantor yang terletak di pusat desa untuk menerima dan mencatat pembayaran, berdasarkan buku pencatatan meteran air. Untuk ini ada seorang petugas pencatat meteran air di setiap wilayah.

Ada banyak manfaat dari perusahaan air ini. Pertama, perusahan ini berhasil mengurangi derajat konflik masyarakat atas sumberdaya air. Kedua adalah manfaat kesehatan. Beberapa anggota masyarakat melaporkan gangguan pencernaan dan penyakit kulit akibat penggunaan air yang tidak bersih. Air yang disalurkan PAMDES diperiksa secara teratur oleh Pusat Kesehatan Masyarakat dan terbukti memiliki derajat kontaminasi yang sangat rendah. Indrawati, seorang petugas kesehatan di Puskesmas Lendang Nangka menyatakan, “Dengan adanya PAMDES, kami melihat peningkatan tingkat penggunaan sarana MCK. Dahulu, tidak adanya air menjadi alasan masyarakat untuk tidak menggunakan sarana MCK”. Ia juga melaporkan penurunan kasus gangguan pencernaan. Pada kenyataannya Puskesmas Lendang Nangka lebih memilih menggunakan layanan air bersih PAMDES ketimbang PDAM karena suplai air PDAM sering kali macet.

Manfaat lain dari adanya PAMDES adalah lebih terbukanya peluang usaha rumah tangga, termasuk usaha cuci mobil dan motor serta pembuatan es. Seorang ibu, Baiq Rauhun, memiliki usaha pembuatan es yang meraup keuntungan sebesar Rp. 300.000 sebulan. Ia membuat es batu dan es manis untuk dijual di beberapa toko di sekitar tempat tinggalnya. Ketua PAMDES, Pak Tahir juga melihat ada manfaat bagi lingkungan hidup. “Sebelumnya masyarakat boros menggunakan air bersih, misalnya untuk membuat kolam ikan dan menyiram kebun, sekarang masyarakat lebih bijaksana menggunakan air bersih”.

PAMDES Asih Tigasa tidak lagi menerima pelanggan baru karena keterbatasan daya tampung reservoir. Ini adalah tantangan terbesar bagi pengembangannya ke depan; pembuatan bak reservoir baru membutuhkan biaya sebesar Rp. 100 juta. Walaupun demikian, pembuatan bak reservoir baru juga harus memeprtimbangkan pengguna lain yang menggunakan air dari sumber yang sama untuk irigasi. Saat ini penggunaan air bersih untuk desa dan irigasi cukup berimbang.

Sejauh ini pemeliharaan belum menjadi masalah. Dari sekitar 300 meter pipa yang ada, hanya 20 meter yang telah diperbaiki atau diganti. Untuk mengganti meteran air, pelanggan membayar sebesar 40% dari total biaya dan sisanya dibayar oleh PAMDES. Walaupun nanti pipa-pipa yang ada harus diganti, namun saat ini isu kebocoran masih belum menghawatirkan. Sayangnya proses pembukuan PAMDES ini seluruhnya

'enforcement' team, often referred to as Team 9, consisting of nine people who are responsible for resolving issues of non-payment. While it is rare for cases of non-payment to arise due to the fines imposed, which are greater sometimes than the payment, occasionally customers will stop paying. In that case they are given warning letters and if they still do not pay their water is cut off. Once they pay they are reconnected to the system. The PAMDES is led by Haji M. Tahir, an 80 year old retired school teacher. He has often tried to step town and hand his duties to a younger community member for the sake of renewal but the community continues to ask that he stay on as head of the PAMDES.

None of the staff have had formal training. All are self taught or use skills they learnt in school or from cooperative experiences, but that doesn't prevent them from providing excellent service. Reports of leaks and interrupted water supply can be made directly to the mobile phone of the maintenance staff who, often within hours, will attend to the problem. Payment must be made before the 20th of each month, and administration staff standby from 8- 12 pm in the office in the center of town to take and record payments, based on their water meter record books. There is one water meter reader in each hamlet.

The benefits of the water company are many. First, it has reduced the level of conflict in the community over water resources. Second, the health benefits are marked. Community members speak of the decrease in gastro-intestinal diseases and skin diseases from unclean water. The water is tested regularly by the Health Clinic and has very low levels of contaminants. Indrawati, a staff member at the Lendang Nangka Puskesmas, said, “with the PAMDES, we've seen access improve to toilets. Before that was people's excuse not to build toilets, because they had no water.” She also spoke of the decrease in cases of gasto-intestinal diseases. In fact, the Lendang Nangka Puskesmas prefers to use the PAMDES water supply over the PDAM supply because the PDAM supply often runs dry.

Another benefit has been the greater opportunities for home enterprise, including car and bike washing businesses and ice making. One woman, Baiq Rauhun, has an ice making business that nets her around Rp 300,000 a month. She makes plain ice and sweet ice for local kiosks. The head of the PAMDES, Pak Tahir also notes the environmental benefit. “Before people would use water indiscriminately and make ponds and water their yards, now people are more conservative in their water use,” he said.

PAMDES Asih Tigasa is no longer accepting new customers due to the limitations of the reservoir. This a major obstacle to future development; expanding the current reservoir would cost around Rp 100 million. Although, expanding the reservoir would also have to take into account the water users who take water directly from the sources for irrigation. Currently the balance between village water use and irrigation is balanced.

So far maintenance has not been an issue. Off the original 300 meters, only 20 have had to be repaired or replaced. To replace a meter, the customer pays 40% of costs and the rest is paid by the

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

“Rasa merdeka ada air ini.” H.M Tahir, Ketua BAPAMDES Asih Tigasa

Air bers ih adalah sebuah k emerdek aan, kemerdekaan yang bermanifestasi sebagai kesehatan yang lebih baik, produktivitas yang meningkat, resolusi konflik, dan standar kehidupan yang lebih baik bagi seluruh anggota masyarakat. Kisah tentang air bersih di Lendang Nangka dimulai

pada tahun 1976 saat UNICEF memperkenalkan pipanisasi, membawa air langsung dari sumbernya ke desa, yang berjarak sekitar 1.800 meter. Air ditampung dalam 8 tangki dan masyarakat datang untuk mengambil air dari tangki-tangki tersebut. Saat itu pungutan biaya yang dikenakan adalah Rp. 1.500 per keluarga namun tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan atau perbaikan sarana ini.

Lendang Nangka dikelilingi oleh beberapa mata air; sebuah mata air yang terdekat bahkan digunakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Lombok Timur untuk mengalirkan air ke lima kecamatan, namun Lendang Nangka sendiri tidak mendapatkan akses ke layanan PDAM tersebut. Karenanya pada tahun 2002, masyarakat memutuskan untuk melanjutkan sarana pengairan yang dibuat oleh UNICEF dulu dan membentuk Perusahaan Air berbasis desa, yang kemudian mereka namakan Perusahaan Air Minum Desa (PAMDES) 'Asih Tigasah'. Pertemuan awal dihadiri oleh beberapa kelompok masyarakat dan prosesnya berjalan terbuka dan transparan sejak awalnya, sebuah fakta yang terus diidentifikasi oleh para pemangku kepentingan sebagai kunci keberhasilan dari PAMDES.

Masyarakat memulai pembangunan sebuah bak penampungan baru dan pipa-pipa baru pada akhir tahun 2002. Masyarakat mengerjakan sendiri seluruh pekerjaan, termasuk menggali drainase sedalam dua meter untuk meletakkan pipa. Seluruh kegiatan didanai oleh masyarakat, dengan sumbangan awal untuk membeli 280 water meter dari BAPPEDA Kabupaten Lombok Timur, sistem fisiknya sendiri dibentuk tiga bulan kemudian. Satu dari kekuatan utama sistem ini adalah aturan, tata laksana, dan penggunaan dana yang jelas. Kesemuanya ini disusun dan disepakati oleh masyarakat melalui serangkaian sesi konsultasi. Pada tahun 2005, keberadaan PAMDES menjadi lebih formal dengan diterbitkannya Peraturan Desa (Keputusan Kepala Desa Lendang Nangka Nomor 01 dan 02 Tahun 2005).

Dimulai dengan 502 kepala rumah tangga, kini pada tahun 2010 PAMDES menyalurkan air kepada 744 kepala keluarga. Setiap pelanggan PAMDES memiliki water meter (yang dapat digunakan bersama dua atau tiga keluarga) dan tarif yang dikenakan adalah Rp. 200 per kubik meter, nilai yang jauh lebih murah dibandingkan tarif PDAM Rp. 600 – 700. Pada mulanya tarif yang ditetapkan adalah Rp. 100 namun dinaikkan pada tahu 2010 setelah konsultasi publik. Rata-rata setiap keluarga membayar Rp. 10.000. Dari uang yang terkumpul (biasanya Rp. 6-7 juta per bulan), sebesar 45% diberikan untuk masjid desa Lendang Nangka. Setiap bulan, laporan keuangan dibacakan dalam ibadah shalat Jumat. Lalu Gafar Ismail, yang pertama mengusulkan ide penggunaan water meter, berkata,”Dengan demikian, di mata masyarakat air menjadi 'milik' masjid dan karenanya tidak seorang pun yang akan mencuri dari masjid”. Ia melihat ini sebagai sebuah keunikan dari PAMDES. Selebihnya uang yang terkumpul

"There is freedom with this water" H.M Tahir, Chairman of the Asih Tigasa Village-

managed Water Company

Clean water is a freedom, a freedom which manifests as better health, increased productivity, conflict resolution and a better standard of living for all members of the community. The story of clean water in Lendang Nangka began in 1976 when UNICEF came with pipes, bringing water from the source into the village directly, covering a distance of around 1,800 meters. The water was then stored in 8 tanks and community members came to the tanks to collect their water. The water rates at the time were Rp 1,500 per family but no-one was responsible for maintenance or repairs.

Lendang Nangka is surrounded by sources of water; one nearby source is even used by the Regional Water Utility Company (PDAM) of Lombok Timur district to supply 5 sub-districts, but Lendang Nangka itself has never gained access to the PDAM system. Therefore, in 2002, the community decided to build on the pipes laid by UNICEF and create its own village- managed Water Company, the Asih Tigasa Water Company, or PAMDES. The initial meeting was attended by all groups within the community and the process was open and transparent from the beginning, a fact which is continually identified by stakeholders as being a key to the success of the PAMDES.

The community began construction of a new reservoir and laying pipes in late 2002. The community did all the work, even digging out two meter deep trenches for the pipes. Entirely funded by the community, with an initial donation of 280 water meters by the BAPPEDA of Lombok Timur district, the physical system was created within three months. One of the major strengths of the system is the clear rules, regulations and use of funds. These were all formulated and agreed upon by the community during community consultations sessions. In 2005, the existence of the PAMDES was institutionalized even more formally through Village Regulation (Keputusan Kepala Desa Lendang Nangka Nomor 01 dan 02 Tahun 2005).

Beginning with 502 households, in 2010 the PAMDES supplies 744 households. Each PAMDES customer has a water meter (this can be shared between two to four families) and the rate is Rp 200 per cubic meter of water, a much cheaper rate than the PDAM rate of Rp 600-700. In the beginning the rate was only Rp100 but it was increased at the beginning of 2010, after public consultation. The most any family pays is Rp 10,000. Of the money collected (usually around Rp 6-7 million per month), 45% goes directly to the mosque of Lendang Nangka village. Each month, the financial report is read out during a Friday prayer session. Lalu Gafar Ismail, who first suggested the idea of using water meters, said, “The water therefore 'belongs' to the mosque in the community's eyes and therefore no-one will steal from the mosque”. He considers this a unique point of the PAMDES. The rest of the money goes to staff, the village budget, the village council, and to administration costs.

PAMDES staff (12 in total) are not paid wages, but rather incentives or percentages of total payments collected each month. This works out to about Rp 50,000 per person. There is also an

Badan usaha milik desa untuk pengelolaan air kami A village owned water company to manage our water

Lendang Nangka, Kec. Masbagik, Kab. Lombok Timur, NTB

744 Kepala Keluarga (2.976 Orang)744 households (2,976 people)

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Lendang Nangka, Kec. Masbagik, Kab. Lombok Timur, NTB

744 Kepala Kaluarga (sekitar 2,976 jiwa)744 Households (About 2,976 people)

Bapak Supratman dan H.M. Tahir,

Mr. Supratman dan Mr. H.M. Tahir,

Ketua BAPAMDES Asih Tigasa/

Head of BAPAMDES Asih Tigasa

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 21: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

20Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201019

digunakan untuk pengelola, dana desa, badan perwakilan desa, dan biaya administrasi.

Pengelola PAMDES (kesemuanya berjumlah 12 orang) t idak mener ima gaj i , namun mendapatkan insentif atau persentasi dari total pembayaran yang terkumpul setiap bulan. Ini berarti setiap orang mendapatkan Rp. 50.000. Juga terdapat sebuah tim 'pengawas' yang biasanya disebut dengan Tim 9, terdiri dari sembilan orang yang bertanggung jawab menyelesaikan berbagi hal terkait keterlambatan pembayaran. Walaupun kasus-kasus terlambat membayar ini jarang terjadi karena adanya denda yang lebih besar dari nilai iuran, biasanya pelanggan biasanya berhenti membayar. Dalam hal ini mereka biasanya diberikan surat peringatan dan jika masih tidak melakukan pembayaran, suplai airnya akan d i h e n t i k a n s a m p a i m e r e k a m e l a k u k a n pembayaran kembali.

PAMDES diketuai oleh Haji M. Tahir, seorang pensiunan guru sekolah berumur 80 tahun. Ia sering kali ingin menyerahkan tanggung jawab ini kepada anggota masyarakat yang lebih muda agar ada regenerasi namun masyarakat terus memint kesediannya menjadi Ketua PAMDES. Tidak seorang pun pengurus PAMDES pernah mengikuti pelatihan formal. Semuanya belajar sendiri atau mengaplikasikan keterampilan yang mereka pelajari di sekolah atau dari pengalaman mengelola koperasi namun ini tidak menghalangi mereka dalam menyediakan layanan yang luar biasa baik.

Berbagai laporan mengenai kebocoran atau gangguan suplai air dapat langsung dikirimkan melalui telepon genggam kepada bagian pemeliharaan, yang biasanya dalam beberapa jam akan langsung melakukan perbaikan. Pembayaran iuran harus dilakukan sebelum tanggal 20 setiap bulan, dan staff administrasi bertugas mulai dari jam 8 sampai 12 siang di kantor yang terletak di pusat desa untuk menerima dan mencatat pembayaran, berdasarkan buku pencatatan meteran air. Untuk ini ada seorang petugas pencatat meteran air di setiap wilayah.

Ada banyak manfaat dari perusahaan air ini. Pertama, perusahan ini berhasil mengurangi derajat konflik masyarakat atas sumberdaya air. Kedua adalah manfaat kesehatan. Beberapa anggota masyarakat melaporkan gangguan pencernaan dan penyakit kulit akibat penggunaan air yang tidak bersih. Air yang disalurkan PAMDES diperiksa secara teratur oleh Pusat Kesehatan Masyarakat dan terbukti memiliki derajat kontaminasi yang sangat rendah. Indrawati, seorang petugas kesehatan di Puskesmas Lendang Nangka menyatakan, “Dengan adanya PAMDES, kami melihat peningkatan tingkat penggunaan sarana MCK. Dahulu, tidak adanya air menjadi alasan masyarakat untuk tidak menggunakan sarana MCK”. Ia juga melaporkan penurunan kasus gangguan pencernaan. Pada kenyataannya Puskesmas Lendang Nangka lebih memilih menggunakan layanan air bersih PAMDES ketimbang PDAM karena suplai air PDAM sering kali macet.

Manfaat lain dari adanya PAMDES adalah lebih terbukanya peluang usaha rumah tangga, termasuk usaha cuci mobil dan motor serta pembuatan es. Seorang ibu, Baiq Rauhun, memiliki usaha pembuatan es yang meraup keuntungan sebesar Rp. 300.000 sebulan. Ia membuat es batu dan es manis untuk dijual di beberapa toko di sekitar tempat tinggalnya. Ketua PAMDES, Pak Tahir juga melihat ada manfaat bagi lingkungan hidup. “Sebelumnya masyarakat boros menggunakan air bersih, misalnya untuk membuat kolam ikan dan menyiram kebun, sekarang masyarakat lebih bijaksana menggunakan air bersih”.

PAMDES Asih Tigasa tidak lagi menerima pelanggan baru karena keterbatasan daya tampung reservoir. Ini adalah tantangan terbesar bagi pengembangannya ke depan; pembuatan bak reservoir baru membutuhkan biaya sebesar Rp. 100 juta. Walaupun demikian, pembuatan bak reservoir baru juga harus memeprtimbangkan pengguna lain yang menggunakan air dari sumber yang sama untuk irigasi. Saat ini penggunaan air bersih untuk desa dan irigasi cukup berimbang.

Sejauh ini pemeliharaan belum menjadi masalah. Dari sekitar 300 meter pipa yang ada, hanya 20 meter yang telah diperbaiki atau diganti. Untuk mengganti meteran air, pelanggan membayar sebesar 40% dari total biaya dan sisanya dibayar oleh PAMDES. Walaupun nanti pipa-pipa yang ada harus diganti, namun saat ini isu kebocoran masih belum menghawatirkan. Sayangnya proses pembukuan PAMDES ini seluruhnya

'enforcement' team, often referred to as Team 9, consisting of nine people who are responsible for resolving issues of non-payment. While it is rare for cases of non-payment to arise due to the fines imposed, which are greater sometimes than the payment, occasionally customers will stop paying. In that case they are given warning letters and if they still do not pay their water is cut off. Once they pay they are reconnected to the system. The PAMDES is led by Haji M. Tahir, an 80 year old retired school teacher. He has often tried to step town and hand his duties to a younger community member for the sake of renewal but the community continues to ask that he stay on as head of the PAMDES.

None of the staff have had formal training. All are self taught or use skills they learnt in school or from cooperative experiences, but that doesn't prevent them from providing excellent service. Reports of leaks and interrupted water supply can be made directly to the mobile phone of the maintenance staff who, often within hours, will attend to the problem. Payment must be made before the 20th of each month, and administration staff standby from 8- 12 pm in the office in the center of town to take and record payments, based on their water meter record books. There is one water meter reader in each hamlet.

The benefits of the water company are many. First, it has reduced the level of conflict in the community over water resources. Second, the health benefits are marked. Community members speak of the decrease in gastro-intestinal diseases and skin diseases from unclean water. The water is tested regularly by the Health Clinic and has very low levels of contaminants. Indrawati, a staff member at the Lendang Nangka Puskesmas, said, “with the PAMDES, we've seen access improve to toilets. Before that was people's excuse not to build toilets, because they had no water.” She also spoke of the decrease in cases of gasto-intestinal diseases. In fact, the Lendang Nangka Puskesmas prefers to use the PAMDES water supply over the PDAM supply because the PDAM supply often runs dry.

Another benefit has been the greater opportunities for home enterprise, including car and bike washing businesses and ice making. One woman, Baiq Rauhun, has an ice making business that nets her around Rp 300,000 a month. She makes plain ice and sweet ice for local kiosks. The head of the PAMDES, Pak Tahir also notes the environmental benefit. “Before people would use water indiscriminately and make ponds and water their yards, now people are more conservative in their water use,” he said.

PAMDES Asih Tigasa is no longer accepting new customers due to the limitations of the reservoir. This a major obstacle to future development; expanding the current reservoir would cost around Rp 100 million. Although, expanding the reservoir would also have to take into account the water users who take water directly from the sources for irrigation. Currently the balance between village water use and irrigation is balanced.

So far maintenance has not been an issue. Off the original 300 meters, only 20 have had to be repaired or replaced. To replace a meter, the customer pays 40% of costs and the rest is paid by the

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

“Rasa merdeka ada air ini.” H.M Tahir, Ketua BAPAMDES Asih Tigasa

Air bers ih adalah sebuah k emerdek aan, kemerdekaan yang bermanifestasi sebagai kesehatan yang lebih baik, produktivitas yang meningkat, resolusi konflik, dan standar kehidupan yang lebih baik bagi seluruh anggota masyarakat. Kisah tentang air bersih di Lendang Nangka dimulai

pada tahun 1976 saat UNICEF memperkenalkan pipanisasi, membawa air langsung dari sumbernya ke desa, yang berjarak sekitar 1.800 meter. Air ditampung dalam 8 tangki dan masyarakat datang untuk mengambil air dari tangki-tangki tersebut. Saat itu pungutan biaya yang dikenakan adalah Rp. 1.500 per keluarga namun tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan atau perbaikan sarana ini.

Lendang Nangka dikelilingi oleh beberapa mata air; sebuah mata air yang terdekat bahkan digunakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Lombok Timur untuk mengalirkan air ke lima kecamatan, namun Lendang Nangka sendiri tidak mendapatkan akses ke layanan PDAM tersebut. Karenanya pada tahun 2002, masyarakat memutuskan untuk melanjutkan sarana pengairan yang dibuat oleh UNICEF dulu dan membentuk Perusahaan Air berbasis desa, yang kemudian mereka namakan Perusahaan Air Minum Desa (PAMDES) 'Asih Tigasah'. Pertemuan awal dihadiri oleh beberapa kelompok masyarakat dan prosesnya berjalan terbuka dan transparan sejak awalnya, sebuah fakta yang terus diidentifikasi oleh para pemangku kepentingan sebagai kunci keberhasilan dari PAMDES.

Masyarakat memulai pembangunan sebuah bak penampungan baru dan pipa-pipa baru pada akhir tahun 2002. Masyarakat mengerjakan sendiri seluruh pekerjaan, termasuk menggali drainase sedalam dua meter untuk meletakkan pipa. Seluruh kegiatan didanai oleh masyarakat, dengan sumbangan awal untuk membeli 280 water meter dari BAPPEDA Kabupaten Lombok Timur, sistem fisiknya sendiri dibentuk tiga bulan kemudian. Satu dari kekuatan utama sistem ini adalah aturan, tata laksana, dan penggunaan dana yang jelas. Kesemuanya ini disusun dan disepakati oleh masyarakat melalui serangkaian sesi konsultasi. Pada tahun 2005, keberadaan PAMDES menjadi lebih formal dengan diterbitkannya Peraturan Desa (Keputusan Kepala Desa Lendang Nangka Nomor 01 dan 02 Tahun 2005).

Dimulai dengan 502 kepala rumah tangga, kini pada tahun 2010 PAMDES menyalurkan air kepada 744 kepala keluarga. Setiap pelanggan PAMDES memiliki water meter (yang dapat digunakan bersama dua atau tiga keluarga) dan tarif yang dikenakan adalah Rp. 200 per kubik meter, nilai yang jauh lebih murah dibandingkan tarif PDAM Rp. 600 – 700. Pada mulanya tarif yang ditetapkan adalah Rp. 100 namun dinaikkan pada tahu 2010 setelah konsultasi publik. Rata-rata setiap keluarga membayar Rp. 10.000. Dari uang yang terkumpul (biasanya Rp. 6-7 juta per bulan), sebesar 45% diberikan untuk masjid desa Lendang Nangka. Setiap bulan, laporan keuangan dibacakan dalam ibadah shalat Jumat. Lalu Gafar Ismail, yang pertama mengusulkan ide penggunaan water meter, berkata,”Dengan demikian, di mata masyarakat air menjadi 'milik' masjid dan karenanya tidak seorang pun yang akan mencuri dari masjid”. Ia melihat ini sebagai sebuah keunikan dari PAMDES. Selebihnya uang yang terkumpul

"There is freedom with this water" H.M Tahir, Chairman of the Asih Tigasa Village-

managed Water Company

Clean water is a freedom, a freedom which manifests as better health, increased productivity, conflict resolution and a better standard of living for all members of the community. The story of clean water in Lendang Nangka began in 1976 when UNICEF came with pipes, bringing water from the source into the village directly, covering a distance of around 1,800 meters. The water was then stored in 8 tanks and community members came to the tanks to collect their water. The water rates at the time were Rp 1,500 per family but no-one was responsible for maintenance or repairs.

Lendang Nangka is surrounded by sources of water; one nearby source is even used by the Regional Water Utility Company (PDAM) of Lombok Timur district to supply 5 sub-districts, but Lendang Nangka itself has never gained access to the PDAM system. Therefore, in 2002, the community decided to build on the pipes laid by UNICEF and create its own village- managed Water Company, the Asih Tigasa Water Company, or PAMDES. The initial meeting was attended by all groups within the community and the process was open and transparent from the beginning, a fact which is continually identified by stakeholders as being a key to the success of the PAMDES.

The community began construction of a new reservoir and laying pipes in late 2002. The community did all the work, even digging out two meter deep trenches for the pipes. Entirely funded by the community, with an initial donation of 280 water meters by the BAPPEDA of Lombok Timur district, the physical system was created within three months. One of the major strengths of the system is the clear rules, regulations and use of funds. These were all formulated and agreed upon by the community during community consultations sessions. In 2005, the existence of the PAMDES was institutionalized even more formally through Village Regulation (Keputusan Kepala Desa Lendang Nangka Nomor 01 dan 02 Tahun 2005).

Beginning with 502 households, in 2010 the PAMDES supplies 744 households. Each PAMDES customer has a water meter (this can be shared between two to four families) and the rate is Rp 200 per cubic meter of water, a much cheaper rate than the PDAM rate of Rp 600-700. In the beginning the rate was only Rp100 but it was increased at the beginning of 2010, after public consultation. The most any family pays is Rp 10,000. Of the money collected (usually around Rp 6-7 million per month), 45% goes directly to the mosque of Lendang Nangka village. Each month, the financial report is read out during a Friday prayer session. Lalu Gafar Ismail, who first suggested the idea of using water meters, said, “The water therefore 'belongs' to the mosque in the community's eyes and therefore no-one will steal from the mosque”. He considers this a unique point of the PAMDES. The rest of the money goes to staff, the village budget, the village council, and to administration costs.

PAMDES staff (12 in total) are not paid wages, but rather incentives or percentages of total payments collected each month. This works out to about Rp 50,000 per person. There is also an

Badan usaha milik desa untuk pengelolaan air kami A village owned water company to manage our water

Lendang Nangka, Kec. Masbagik, Kab. Lombok Timur, NTB

744 Kepala Keluarga (2.976 Orang)744 households (2,976 people)

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

Lendang Nangka, Kec. Masbagik, Kab. Lombok Timur, NTB

744 Kepala Kaluarga (sekitar 2,976 jiwa)744 Households (About 2,976 people)

Bapak Supratman dan H.M. Tahir,

Mr. Supratman dan Mr. H.M. Tahir,

Ketua BAPAMDES Asih Tigasa/

Head of BAPAMDES Asih Tigasa

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 22: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201021 22

ir mata selalu mengalir di wajah Wa Ode Pancu (50), seorang janda warga Desa Poogalampa, Ajika mengingat anaknya, La Ode Amli, yang saat

ini sedang bertugas sebagai anggota TNI di Kota Makassar. Sejak kecil, Amli memang bercita-cita menjadi anggota TNI. Tiga tahun lalu, saat ayahnya sedang dalam keadaan sakit keras, ia mencoba mengikuti tes penerimaan calon anggota TNI. Masa itu adalah salah satu masa tersulit yang pernah dialami Wa Ode Pancu, sebagai seorang petani ia tidak memiliki dana yang

cukup besar untuk biaya pengobatan suaminya dan juga biaya persiapan anaknya mengikuti tes, namun sebagai seorang Ibu, ia tentunya bangga jika dapat mewujudkan cita-cita anaknya.

Wa Ode Pancu berusaha mencari pinjaman ke keluarga dan para tetangganya namun hasilnya nihil. Beruntung ia menjadi anggota Bina Usaha Kelompok Produktif Mata Mosobu. Meskipun simpanannya di koperasi ini tidak banyak, ia bisa mendapatkan pinjaman dana dengan bunga yang relatif kecil tanpa pelu menjaminkan sesuatu.

BUKP Mata Mosobu adalah sebuah koperasi simpan pinjam yang dikelola oleh Ibu-Ibu di Desa Poogalampa Kecamatan Batauga Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara yang sebagian besar anggotanya adalah perempuan. Enam belas tahun yang lalu Mata Mosobu hanyalah sebuah kelompok arisan keluarga di Desa Poogalampa. Pada tahun 1994 LSM SINTESA memberikan bantuan sebesar 1,5 juta sebagai modal awal. Bermula dari bantuan inilah, anggota arisan bersepakat membentuk Bina Usaha Kelompok Produktif Mata Mosobu dengan jenis usaha simpan pinjam, yang bertujuan mengajak masyarakat untuk mengelola keuangan rumah tangganya secara baik dan proporsional.

Para anggota menerapkan aturan yang disepakati bersama, yakni untuk menjadi anggota, setiap orang wajib menyetor simpanan pokok sebesar duapuluh limaribu rupiah dan menyetor simpanan wajib setiap bulan sebesar seribu rupiah. Nilai yang sangat kecil namun punya pengaruh besar dikemudian hari. Selain simpanan wajib, anggota juga disarankan untuk menabung dalam bentuk simpanan sukarela yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anggota. Dana yang terkumpul kemudian dikelola oleh koperasi untuk dipinjamkan kepada anggota yang membutuhkan sebagai modal usaha atau kebutuhan pokok lainnya dengan persyaratan yang mudah dan tanpa agunan dengan suku bunga dua persen setiap bulan.

“Dulu, kasur buatan saya hanya untuk memenuhi pemintaan di Kabupaten Buton saja, namun setelah saya mengajukan pinjaman sebesar sepuluh juta kepada Mata Mosobu untuk membeli mesin pemisah kapuk, dalam setahun saya bisa memproduksi kasur lebih dari duaratus buah,

Tears flow down the face of Wa Ode Pancu (50), a widow in Poogalampa village, when she remembers her son, La Ode Amli, who is currently serving as a member of the Indonesian Armed Forces in Makassar. Since childhood, Amli aspired to join the Army. Three years ago, when his father was gravely ill, he took the test to join. This period was one of the most difficult ever experienced by Wa Ode Pancu, who as a farmer had no funds for her husband's medical expenses or to pay for her son to take the test; however, as a mother, she is proud that she was able to make her child's dream come true.

Wa Ode Pancu tried to find a loan from her family and neighbors, but it was to no avail. Luckily, she was a member of the Mata Mosobu Productive Enterprise Development Group. Although the savings in the cooperative are not much, she could get a loan with a relatively low interest rate and without having to have a guarantee.

BUKP Mosobu Eye is a savings and credit cooperatives run by women in Poogalampa village, Batauga sub-district, Buton district, Southeast Sulawesi, and most of the members are also women. Sixteen years ago, Mata Mosobu was just a family arisan group in the village of Poogalampa. In 1994, SINTESA provided assistance of 1.5 million as initial capital. Beginning with this assistance, members agreed to form a group or cooperative for lending and borrowing to encourage members to manage their household finances properly and proportionately.

The members agreed to apply the jointly agreed upon rules, namely to become a member a person had to put in Rp25,000 and then make a mandatory savings deposit of Rp 1,000 every month. The amount is very small but it may have major influence on the future. In addition to mandatory savings, members are also advised to save money voluntarily, in accordance with the capacity of each member. Funds collected and managed by cooperatives and then lent to members are used for venture capital or other basic needs; the loans have simple requirements, don't require collateral and have an interest rate of two percent per month.

"Before, I only made mattresses to meet the demand in Buton district, but after I took a loan of Rp 10 million from Mata Mosobu to buy a kapok sorter, in one year I was able to produce more than two hundred mattresses, a mattress I made can even can be found up in North Maluku," said Wa Ode Hasrah (40), a housewife who opened a mattresses business.

Koperasi perempuan untuk perbaikan kualitas

hidup masyarakatWomen's

cooperative for a better quality of life

Desa Poogalampa, Kec. Batauga, Kab. Buton, Prov. Sulawesi Tenggara

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

500 Penduduk500 people

“ Sebenarnya masyarakat desa itu punya kekuatan, punya nilai yang bisa dikembangkan, punya dana dari penghasilan sendiri yang bisa dikelola. Anggapan bahwa masyarakat desa itu miskin dan bodoh adalah salah. Jika masyarakat diperkuat dengan pemahaman bagaimana mengelola dana swadaya mereka, maka dapat memutus mata rantai bantuan-bantuan dari luar yang selama ini memanjakan mereka”

Syukri Rauf (Direktur SINTESA)

“ Actually, village communities have strengths, worth that can be developed, and wealth from their activities that can be managed. Perceptions that village communities are poor and stupid are false. If these communities are strengthened with an understanding of how to manage their own money, this can break the chains of outside aid which bid them.”

Syukri Rauf (SINTESA Director)

elama lima tahun memimpin Parigi Moutong, Longki Djanggola telah berhasil meletakkan p o n d a s i p r o g r a m p e m b a n g u n a n u n t u k S

mewujudkan visi Kabupaten Parimo menjadi Kabupaten Terdepan di Sulawesi Tengah tahun 2020. Pesatnya pembangunan di Kabupaten Parigi Moutong

juga telah diakui oleh pemerintah pusat. Dibawah kepemimpinan Longki, Kabupaten Parigi Moutong masuk dalam salah satu dari sepuluh kabupaten pemekaran paling cepat akselerasi pembangunannya di Indonesia.Kebijakan pembangunan yang berpihak pada

masyarakat tercermin dari alokasi anggaran dalam APBD dimana 60 hingga 65 persen dialokasikan untuk pemberdayaan dan hanya sekitar 35-40 persen saja untuk pembangunan fisik. Indikator-indikator sosial seperti angka harapan hidup, pendapatan masyarakat, angka melek huruf menunjukkan peningkatan positif. Sementara pemeliharaan perdamaian dan

pencegahan konflik dilakukan dengan mendorong toleransi dan keterlibatan multipihak dalam berbagai sektor pembangunankitasiapkan sekarang. Pendidikan kewirausahaan menuntut danya kreativitas.Belajar jangan memori, tapi harus kreatif!

In the five years he has led the district of Parigi Moutong, Longki Djanggola has been successful in laying the foundation of development programs to help realize the vision of Parigi Moutong as the Most Advanced District in Sulawesi Tengah by 2020. The rapid development in the district has also been acknowledged by the Central Government. Under Longki’s leadership, Parigi Moutong has become one of ten of the fastest developing ‘pemekaran’ produced districts in Indonesia.

Pro-people development policies are reflected in the APBD allocations where 60 to 65% has been allocated for empowerment and only 30-45% for physical development. Social indicators like life expectancy, income, and illiteracy have all experienced positive increases. Peace building and conflict prevention have also been undertaken to encourage tolerance and multi-stakeholder involvement in the development sector.

Longki Djanggola

Contact Person

H.M Tahir, Ketua BAPAMDES ”Asih Tigasa”

SupratmanAnggota Tim Pengawas BAPAMDES ”Asih Tigasa”Mobile : 08175784710

masih menggunakan cara manual dan pengelola berharap kelak dapat melakukan komputerisasi pembukuan. Sebagai usaha tambahan, PAMDES berkeinginan untuk melakukan usaha produksi air minum kemasan (air galon) utuk dijual ke desa-desa tetangga.

Desa-desa lain di sekitar Lendang Nangka mencoba menerapkan sistem serupa, seringkali dengan harga yang lebih tinggi. Namun belum ada satu pun yang mampu menciptakan sistem terpadu seperti yang dilakukan Lendang Nangka.

PAMDES. Eventually the pipes will have to be replaced, but for the time being the issue of leaks is not a worry. However, the book-keeping is still entirely manual and the PAMDES would like to computerize it is the future. An additonal venture the PAMDES is thinking of taking on is the production of bottled drinking water (air galon) to sell to neighboring villages.

Neighboring villages and hamlets are experimenting with similar systems, often with higher prices for water. None have been yet able to create an integrated system like Lendang Nangka's.

”Memahami potensi yang kita miliki untuk perencanaan yang lebih baik”.Understanding Our Potential For Better Planning

inspirator

Sumber/source : Kompas

”Perempuan pemantau anggaran dana desa”

Nelci Pellandou

Women Monitoring Village Budgets

elci V. Pellondou-Kuaein adalah satu dari sedikit wanita desa yang bersedia kembali dan mengabdi di desa setelah meraih gelar Sarjana Perikanan pada Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Sejak 2004, Nelci menjadi Kepala Urusan Umum di Desa Manusak dan N

pada tahun 2006 sampai dengan 2009 Nelci diangkat menjadi Sekretaris Desa Manusak. Pada Februari 2010, Nelci menjuarai kompetisi menulis bertema Perempuan Timor Barat Menggugat Anggaran yang diadakan oleh Nusa Tenggara Timur Policy Forum. Dalam tulisannya Nelci menekankan bahwa penggunaan anggaran publik harus untuk

kepentingan publik, sesuai aturan dan peruntukkannya, ser ta harus dipertanggungjawabkan sesuai aturan yang berlaku kepada publik. Nelci aktif dalam berbagai forum sosial kemasyarakatan dan menjadi Bendahara pad Forum Keserasian Sosial yang memberikan bantuan kepada komunitas eks-warga Timor Timur yang mengungsi ke Timor Barat.

Nelci V. Pellondou-Kuaein is one of the few village women willing to return and serve in the village after obtaining a Bachelor of Fisheries from Artha Wacana Christian University in Kupang. In 2004, Nelci became the Head of Public Affairs in her village of Manusak and from 2006 to 2009 was appointed Village Secretary.

In February 2010, Nelci won a writing competition (West Timor Women Monitoring Budgets) which was held by the Nusa Tenggara Timur Policy Forum. In her writings Nelci emphasizes that public funds should be used for public good, according to existing rules and allocation, and must be accounted for according to the rules that apply to the public. Nelci is active in various social forums and became Treasurer of the Social Harmony Forum which provides assistance to the community of ex-East Timorese who fled to West Timor.

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 23: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201021 22

ir mata selalu mengalir di wajah Wa Ode Pancu (50), seorang janda warga Desa Poogalampa, Ajika mengingat anaknya, La Ode Amli, yang saat

ini sedang bertugas sebagai anggota TNI di Kota Makassar. Sejak kecil, Amli memang bercita-cita menjadi anggota TNI. Tiga tahun lalu, saat ayahnya sedang dalam keadaan sakit keras, ia mencoba mengikuti tes penerimaan calon anggota TNI. Masa itu adalah salah satu masa tersulit yang pernah dialami Wa Ode Pancu, sebagai seorang petani ia tidak memiliki dana yang

cukup besar untuk biaya pengobatan suaminya dan juga biaya persiapan anaknya mengikuti tes, namun sebagai seorang Ibu, ia tentunya bangga jika dapat mewujudkan cita-cita anaknya.

Wa Ode Pancu berusaha mencari pinjaman ke keluarga dan para tetangganya namun hasilnya nihil. Beruntung ia menjadi anggota Bina Usaha Kelompok Produktif Mata Mosobu. Meskipun simpanannya di koperasi ini tidak banyak, ia bisa mendapatkan pinjaman dana dengan bunga yang relatif kecil tanpa pelu menjaminkan sesuatu.

BUKP Mata Mosobu adalah sebuah koperasi simpan pinjam yang dikelola oleh Ibu-Ibu di Desa Poogalampa Kecamatan Batauga Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara yang sebagian besar anggotanya adalah perempuan. Enam belas tahun yang lalu Mata Mosobu hanyalah sebuah kelompok arisan keluarga di Desa Poogalampa. Pada tahun 1994 LSM SINTESA memberikan bantuan sebesar 1,5 juta sebagai modal awal. Bermula dari bantuan inilah, anggota arisan bersepakat membentuk Bina Usaha Kelompok Produktif Mata Mosobu dengan jenis usaha simpan pinjam, yang bertujuan mengajak masyarakat untuk mengelola keuangan rumah tangganya secara baik dan proporsional.

Para anggota menerapkan aturan yang disepakati bersama, yakni untuk menjadi anggota, setiap orang wajib menyetor simpanan pokok sebesar duapuluh limaribu rupiah dan menyetor simpanan wajib setiap bulan sebesar seribu rupiah. Nilai yang sangat kecil namun punya pengaruh besar dikemudian hari. Selain simpanan wajib, anggota juga disarankan untuk menabung dalam bentuk simpanan sukarela yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anggota. Dana yang terkumpul kemudian dikelola oleh koperasi untuk dipinjamkan kepada anggota yang membutuhkan sebagai modal usaha atau kebutuhan pokok lainnya dengan persyaratan yang mudah dan tanpa agunan dengan suku bunga dua persen setiap bulan.

“Dulu, kasur buatan saya hanya untuk memenuhi pemintaan di Kabupaten Buton saja, namun setelah saya mengajukan pinjaman sebesar sepuluh juta kepada Mata Mosobu untuk membeli mesin pemisah kapuk, dalam setahun saya bisa memproduksi kasur lebih dari duaratus buah,

Tears flow down the face of Wa Ode Pancu (50), a widow in Poogalampa village, when she remembers her son, La Ode Amli, who is currently serving as a member of the Indonesian Armed Forces in Makassar. Since childhood, Amli aspired to join the Army. Three years ago, when his father was gravely ill, he took the test to join. This period was one of the most difficult ever experienced by Wa Ode Pancu, who as a farmer had no funds for her husband's medical expenses or to pay for her son to take the test; however, as a mother, she is proud that she was able to make her child's dream come true.

Wa Ode Pancu tried to find a loan from her family and neighbors, but it was to no avail. Luckily, she was a member of the Mata Mosobu Productive Enterprise Development Group. Although the savings in the cooperative are not much, she could get a loan with a relatively low interest rate and without having to have a guarantee.

BUKP Mosobu Eye is a savings and credit cooperatives run by women in Poogalampa village, Batauga sub-district, Buton district, Southeast Sulawesi, and most of the members are also women. Sixteen years ago, Mata Mosobu was just a family arisan group in the village of Poogalampa. In 1994, SINTESA provided assistance of 1.5 million as initial capital. Beginning with this assistance, members agreed to form a group or cooperative for lending and borrowing to encourage members to manage their household finances properly and proportionately.

The members agreed to apply the jointly agreed upon rules, namely to become a member a person had to put in Rp25,000 and then make a mandatory savings deposit of Rp 1,000 every month. The amount is very small but it may have major influence on the future. In addition to mandatory savings, members are also advised to save money voluntarily, in accordance with the capacity of each member. Funds collected and managed by cooperatives and then lent to members are used for venture capital or other basic needs; the loans have simple requirements, don't require collateral and have an interest rate of two percent per month.

"Before, I only made mattresses to meet the demand in Buton district, but after I took a loan of Rp 10 million from Mata Mosobu to buy a kapok sorter, in one year I was able to produce more than two hundred mattresses, a mattress I made can even can be found up in North Maluku," said Wa Ode Hasrah (40), a housewife who opened a mattresses business.

Koperasi perempuan untuk perbaikan kualitas

hidup masyarakatWomen's

cooperative for a better quality of life

Desa Poogalampa, Kec. Batauga, Kab. Buton, Prov. Sulawesi Tenggara

Lokasi

Penerima Manfaat

Location

Beneficiaries

500 Penduduk500 people

“ Sebenarnya masyarakat desa itu punya kekuatan, punya nilai yang bisa dikembangkan, punya dana dari penghasilan sendiri yang bisa dikelola. Anggapan bahwa masyarakat desa itu miskin dan bodoh adalah salah. Jika masyarakat diperkuat dengan pemahaman bagaimana mengelola dana swadaya mereka, maka dapat memutus mata rantai bantuan-bantuan dari luar yang selama ini memanjakan mereka”

Syukri Rauf (Direktur SINTESA)

“ Actually, village communities have strengths, worth that can be developed, and wealth from their activities that can be managed. Perceptions that village communities are poor and stupid are false. If these communities are strengthened with an understanding of how to manage their own money, this can break the chains of outside aid which bid them.”

Syukri Rauf (SINTESA Director)

elama lima tahun memimpin Parigi Moutong, Longki Djanggola telah berhasil meletakkan p o n d a s i p r o g r a m p e m b a n g u n a n u n t u k S

mewujudkan visi Kabupaten Parimo menjadi Kabupaten Terdepan di Sulawesi Tengah tahun 2020. Pesatnya pembangunan di Kabupaten Parigi Moutong

juga telah diakui oleh pemerintah pusat. Dibawah kepemimpinan Longki, Kabupaten Parigi Moutong masuk dalam salah satu dari sepuluh kabupaten pemekaran paling cepat akselerasi pembangunannya di Indonesia.Kebijakan pembangunan yang berpihak pada

masyarakat tercermin dari alokasi anggaran dalam APBD dimana 60 hingga 65 persen dialokasikan untuk pemberdayaan dan hanya sekitar 35-40 persen saja untuk pembangunan fisik. Indikator-indikator sosial seperti angka harapan hidup, pendapatan masyarakat, angka melek huruf menunjukkan peningkatan positif. Sementara pemeliharaan perdamaian dan

pencegahan konflik dilakukan dengan mendorong toleransi dan keterlibatan multipihak dalam berbagai sektor pembangunankitasiapkan sekarang. Pendidikan kewirausahaan menuntut danya kreativitas.Belajar jangan memori, tapi harus kreatif!

In the five years he has led the district of Parigi Moutong, Longki Djanggola has been successful in laying the foundation of development programs to help realize the vision of Parigi Moutong as the Most Advanced District in Sulawesi Tengah by 2020. The rapid development in the district has also been acknowledged by the Central Government. Under Longki’s leadership, Parigi Moutong has become one of ten of the fastest developing ‘pemekaran’ produced districts in Indonesia.

Pro-people development policies are reflected in the APBD allocations where 60 to 65% has been allocated for empowerment and only 30-45% for physical development. Social indicators like life expectancy, income, and illiteracy have all experienced positive increases. Peace building and conflict prevention have also been undertaken to encourage tolerance and multi-stakeholder involvement in the development sector.

Longki Djanggola

Contact Person

H.M Tahir, Ketua BAPAMDES ”Asih Tigasa”

SupratmanAnggota Tim Pengawas BAPAMDES ”Asih Tigasa”Mobile : 08175784710

masih menggunakan cara manual dan pengelola berharap kelak dapat melakukan komputerisasi pembukuan. Sebagai usaha tambahan, PAMDES berkeinginan untuk melakukan usaha produksi air minum kemasan (air galon) utuk dijual ke desa-desa tetangga.

Desa-desa lain di sekitar Lendang Nangka mencoba menerapkan sistem serupa, seringkali dengan harga yang lebih tinggi. Namun belum ada satu pun yang mampu menciptakan sistem terpadu seperti yang dilakukan Lendang Nangka.

PAMDES. Eventually the pipes will have to be replaced, but for the time being the issue of leaks is not a worry. However, the book-keeping is still entirely manual and the PAMDES would like to computerize it is the future. An additonal venture the PAMDES is thinking of taking on is the production of bottled drinking water (air galon) to sell to neighboring villages.

Neighboring villages and hamlets are experimenting with similar systems, often with higher prices for water. None have been yet able to create an integrated system like Lendang Nangka's.

”Memahami potensi yang kita miliki untuk perencanaan yang lebih baik”.Understanding Our Potential For Better Planning

inspirator

Sumber/source : Kompas

”Perempuan pemantau anggaran dana desa”

Nelci Pellandou

Women Monitoring Village Budgets

elci V. Pellondou-Kuaein adalah satu dari sedikit wanita desa yang bersedia kembali dan mengabdi di desa setelah meraih gelar Sarjana Perikanan pada Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Sejak 2004, Nelci menjadi Kepala Urusan Umum di Desa Manusak dan N

pada tahun 2006 sampai dengan 2009 Nelci diangkat menjadi Sekretaris Desa Manusak. Pada Februari 2010, Nelci menjuarai kompetisi menulis bertema Perempuan Timor Barat Menggugat Anggaran yang diadakan oleh Nusa Tenggara Timur Policy Forum. Dalam tulisannya Nelci menekankan bahwa penggunaan anggaran publik harus untuk

kepentingan publik, sesuai aturan dan peruntukkannya, ser ta harus dipertanggungjawabkan sesuai aturan yang berlaku kepada publik. Nelci aktif dalam berbagai forum sosial kemasyarakatan dan menjadi Bendahara pad Forum Keserasian Sosial yang memberikan bantuan kepada komunitas eks-warga Timor Timur yang mengungsi ke Timor Barat.

Nelci V. Pellondou-Kuaein is one of the few village women willing to return and serve in the village after obtaining a Bachelor of Fisheries from Artha Wacana Christian University in Kupang. In 2004, Nelci became the Head of Public Affairs in her village of Manusak and from 2006 to 2009 was appointed Village Secretary.

In February 2010, Nelci won a writing competition (West Timor Women Monitoring Budgets) which was held by the Nusa Tenggara Timur Policy Forum. In her writings Nelci emphasizes that public funds should be used for public good, according to existing rules and allocation, and must be accounted for according to the rules that apply to the public. Nelci is active in various social forums and became Treasurer of the Social Harmony Forum which provides assistance to the community of ex-East Timorese who fled to West Timor.

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 24: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201023 24

Pada rapat anggota tahunan tersebut dilaporkan perkembangan yang cukup menggembirakan, total keuntungan bersih sebesar Rp. 57.273.000,- atau naik sebesar Rp. 16 juta dari tahun sebelumnya. Total keuntungan bersih yang telah dihasilkan tersebut kemudian dibagi berdasarkan presentase seperti tigapuluh persen untuk dana tambahan modal, empatpuluh persen untuk anggota, sepuluh persen untuk dana pendidikan & sosial dan duapuluh persen untuk pengurus.

Komitmen Koperasi Mata Mosobu ditunjukkan tidak hanya kepada anggotanya tetapi juga kepada pembangunan desa. Koperasi ini bahkan menyisihkan sepuluh persen dari keuntungan yang diperoleh untuk dana pendidikan dan sosial. Dana yang terkumpul ini digunakan untuk membangun rumah belajar taman pendidikan pra sekolah dan memperbaiki fasilitas keagamaan di desa.

Melihat pengelolaan dan pelayanan Koperasi Mata Mosobu yang sangat baik serta cukup membantu, membuat Sarlia terpanggil untuk menyertakan modalnya melalui fasilitas simpanan sukarela. Hampir setiap bulan Sarlia menyisihkan keuntungan usaha kiosnya untuk disimpan pada Koperasi Mata Mosobu, dan setiap pertemuan tiga bulanan dia pun mendapatkan jasa bunga dari simpanan sukarelanya. Kini Sarlia telah memiliki usaha kios yang menjanjikan, uang tabungan dalam bentuk simpanan sukarela pada Koperasi Mata Mosobu dan rumah yang cukup layak sebagai tempat hidup yang nyaman bersama keluarganya.

of Rp 57,273,000, - an increase of Rp 16 million from the previous year. Total net gains generated were then divided by percentages: 30% percent for capital funds, 40% for members, 10% for education & social funds and 20% to administrators.

The commitment of the Mata Mosobu Cooperative has been proven not only to its members but also to village development. The cooperative sets aside 10% of the profits to fund education and social activities. Funds collected were used to build a learning space and park for preschool education and to improve religious facilities in the village.

Seeing the management and services from the cooperative, which are very good and helpful, made Sarlia feel compelled to use the voluntary deposit facilities. Almost every month, Sarlia sets aside profits from her kiosk to be stored in the cooperative, and every quarterly meeting she gets the interest accrued from her savings. Sarlia now have a promising kiosk business, is saving money in the form of voluntary savings, and has a decent home to live with her family.

sehingga kasur buatan saya bisa dijumpai hingga di Maluku Utara sana.” Kata Wa Ode Hasrah (40), seorang ibu rumah tangga yang membuka usaha pembuatan kasur.

“ D a l a m p e r j a l a n a n ny a , koperasi Mata Mosobu beberapa kali mendapatkan bantuan modal d a r i S I N T E S A y a n g pengembaliannya kami cicil, namun sejak tahun ke enam hingga saat ini, kami sudah mengelola murni dana swadaya masyarakat tanpa bantuan modal dari manapun”, ujar Wa Ode S a b a r i a h ( 4 1 ) , s a n g K e t u a Koperasi.

P e r k e m b a n g a n d a n keberhasilan Koperasi Mata Mosobu juga mempengaruhi kesejahteraan anggotanya, Sarlia (36) sebagai ibu rumah tangga telah banyak mendapat manfaat dari keberadaan Koperasi Mata Mosobu. Dana yang diperlukan untuk tambahan modal usaha kios di depan rumahnya dengan harapan tanpa agunan pada Koperasi Mata Mosobu mendapat respon dari pengurus sehingga diperbolehkan mengajukan pinjaman sebesar Rp. 5 juta rupiah selama kurun waktu sepuluh bulan dengan bunga pinjaman dua persen setiap bulan. Dana tersebut sangat membantu dalam melengkapi jenis dan jumlah barang jualan pada kios yang dikelolanya, selain itu dia juga sudah dapat memanfaatkan keahliannya membuat kue-kue tradisional untuk lebih meramaikan sekaligus menambah pendapatan usaha kiosnya.

Sukses mengelola usaha kios yang menyediakan kebutuhan pokok rumah tangga dengan modal pinjaman dari Koperasi Mata Mosobu, Sarlia kembali menghitung kesanggupannya jika dia mengajukan pinjaman untuk memperbaiki bangunan rumah miliknya, setelah sepuluh bulan berjalan dan proses angsuran pinjaman pertama selesai tanpa kendala, selanjutnya Sarlia mengajukan kembali pinjaman kedua untuk kebutuhan perbaikan rumah tempat tinggalnya dan ternyata pengurus koperasi pun menyahuti permohonannya.

Tidak seperti koperasi pada umumnya yang tidak memberikan pinjaman untuk keperluan konsumtif, Mata Mosobu justru meminjamkan dananya limapuluh persen untuk biaya pendidikan, tigapuluh persen untuk modal usaha dan duapuluh persen untuk biaya perbaikan tempat tinggal.

“Kami berani menerapkan kebijakan ini, karena kami melihat, dulunya di Desa Poogalampa ini yang bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi hanya anak para pegawai negeri saja, namun saat ini, dengan bantuan pinjaman koperasi Mata Mosobu, petani dan nelayan pun sudah bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi, dengan pengembalian mencapai seratus persen”, ujar Sabariah. “Selama pengurus menilai calon peminjam tersebut mampu membayar angsuran serta jasa bulanannya, kami tidak punya alasan untuk menolak permohonan mereka”, tambahnya.

Jika pada awal berdirinya Mata Mosobu hanya beranggotakan 16 orang saja, saat ini 130 orang warga Desa Poogalampa mempercayakan dana mereka untuk disimpan dan dikelola oleh koperasi ini. Apalagi Mata Mosobu hanya mengenakan bunga sebesar satu persen saja, sebuah nilai yang cukup bersaing dengan bunga yang ditawarkan oleh lembaga keuangan lainnya. Total tabungan anggota mata Mosobu mencapai 312 juta rupiah dengan jumlah simpanan yang bervariasi, mulai dari limaratus ribu hingga delapanpuluh delapan juta rupiah. Serta akumulasi dana yang bergulir di anggota dalam bentuk pinjaman sudah mencapai 2,2 miliar rupiah.

“Kami tidak pernah menyangka akan berhasil seperti ini, karena sebagai pengurus kami tidak memiliki banyak pengetahuan, saya saja hanya lulusan SMA 21 tahun yang lalu, komputerpun saya tidak tau megang” ujar Ibu Sabariah ketika ditanya soal keberhasilannya mengelola koperasi ini .

“Mungkin karena kami menerapkan sistem partisipasi dan keterbukaan, sehingga para anggota merasa memiliki koperasi ini. Selain pembagian sisa hasil usaha, setiap tahunnya dari keuntungan koperasi kami sisihkan untuk memberikan hadiah lebaran kepada semua anggota, meski hanya berupa sabun mandi atau satu minyak goreng,” terang Ibu Nurlina (35), bendahara koperasi Mata Mosobu.

Bulan Januari tahun 2010 lalu, Mata Mosobu mengadakan rapat anggota tahunan dan pembagian sisa hasil usaha untuk tahun buku 2009 yang juga dihadiri oleh pemerintah desa, perwakilan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Buton, serta Yayayasan SINTESA sebagai pendamping.

“In its lifetime, the Mata Mosobu cooperative has received capital injections from SINTESA, which we have paid back in installments, but now in our sixth year we are managing funds from the community without any other funds from outside,” said Wa Ode Sabriah (41), the head of the cooperative.

T h e d e v e l o p m e n t a n d success of the Mata Mosobu cooperative also affects the welfare of its members. Sarlia (36), a housewife, has greatly benefited from the cooperative. She needed funds to make a kiosk in front of her house and she hoped that the cooperative could lend her the

funds without requiring collateral. Mata Mosobu's board allowed a loan of Rp. 5 million rupiah over a period of ten months with two percent interest per month. The funds were very helpful in allowing her to build up her stock of goods and she was also able to utilize her expertise in making traditional cakes to increase her revenue.

Successfully managing the kiosk that supplies basic goods using capital from the cooperative, Sarlia started evaluate to her ability to take on another if she applied for a loan to repair her house; after ten months of running the kiosk and the first loan installment is complete without any obstacles, Sarlia applied for another loan for home improvement and the cooperative granted her petition.

Unlike other cooperatives which don't allow loans for consumptive purposes, Mata Mosobu loans over 50% of its funds to fulfill education costs, 30% for business capital, and 20% for home repairs.

“We are brave enough to have this policy because in Poogalampa we used to see that the only people able to reach higher levels of education were children of civil servants, but now, after the cooperative loans, even farmers and fishermen can send their children to school and repay 100% of the loan,” said Sabariah. “As long as the board evaluates the borrower as being able to repay the loan, we have no reason to reject their request,” she added.

If at the beginning of Mata Mosobu had only 16 members, today 130 people in Poogalampa entrust their funds to be stored and managed by the cooperative. Moreover, Mata Mosobu charges only one percent interest, an amount that can't compete with the rate offered by other financial institutions. The total savings of Mata Mosobu members has reached 312 million rupiah, with the amount of savings ranging from Rp 500,000 to Rp 88 million. The accumulated revolving funds in the form of loans have reached 2.2 billion rupiah.

“We never suspected it would be as successful as this, because the board doesn't have a lot of knowledge, I only graduated high school and that was 21 years ago. I don't even have a computer,” said Ibu Sabariah, when she was asked about her success in managing the cooperative.

“Maybe it's because we implemented a partcipative and open system, so that all members feel a sense of ownership. Aside from diving the profits, each year also give all members Lebaran bonuses from the profits, even if it's just soap or cooking oil,” explained Ibu Nurlina (35), the Mata Mosobu treasurer.

In January 2010, Mata Mosobu held an annual members meeting and distribution of the net income for the 2009 fiscal year which was also attended by the village government, representatives of the Department of Cooperatives and Small and Medium Enterprises Buton District, and Yayasan SINTESA as a supporting organization. At the annual meeting, the group reported a total net profit Source : riririza.blogspot.com

inspirator

“Melangkah bersama menggapai mimpi”Realizing Our Dreams Together

Riri Riza

ahir di Makassar 2 Oktober 1970. Riri Riza lulus dari program Diploma III Penyutradaraan Film Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1993. Mengerjakan L

beberapa film dokumenter antara lain film biografi Sutan Takdir Alisyahbana, dan penyair Agam Wispi. Ia juga terlibat sebagai sutradara dalam dua episode dokudrama Anak Seribu Pulau pada tahun 1996. Riri juga membuat film iklan televisi dan musik video, sebelum membuat film cerita secara gerilya berjudul KULDESAK yang diputar di bioskop di Indonesia pada tahun 1998.

Bersama dengan produser Mira Lesmana di Miles Films, Riri kemudian memfokuskan diri pada produksi film cerita dengan menyutradarai Petualangan Sherina tahun 2000, Eliana Eliana tahun 2002, GIE dan Untuk Rena di tahun 2005. Riri mendapat beasiswa Chevening Awards pada tahun 2000 dan menyelesaikan program Master in Feature Films Screenwriting dari Royal Holloway University of London pada tahun 2001. Riri Riza telah mendapat beberapa award berupa grant untuk penulisan skenario dari beberapa lembaga funding di Belanda (Hubert Bals Fund), Swedia (Goteborg Film Fund), dan Amerika Serikat (Global Initiative Fund). Film GIE juga mendapat penghargaan di dua festival International di Taiwan dan Singapura. Pada FFI 2005, GIE meraih penghargaan film terbaik.

Film LASKAR PELANGI, yang dirilis pada September 2008, memecahkan rekor penonton film di Indonesia, dengan menjual lebih dari 4 juta tiket bioskop. Laskar Pelangi juga terseleksi untuk masuk dalam ajang prestisius Berlin International Film Festival 2009.

Born in Makassar October 2, 1970. Riri Riza graduated from the Diploma III Film Directing Program from the Institute Kesenian Jakarta in 1993. Working on several documentary films including the movie biographies of Sutan Takdir Alisyahbana, and poet Agam Wispi. He was involved as a director in two episodes of the Anak Seribu Pulau Docudrama in 1996. Riri also makes the film a television commercial and music video, before making a guerrilla-style feature film titled KULDESAK, which was released in Indonesian cinemas in 1998.

Together with producer Mira Lesmana and Miles Films, Riri directed Petualangan Sherina in 2000, Eliana Eliana in 2002, GIE and Untuk Rena in 2005. Riri received a Chevening Scholarship Award in 2000 and completed a Masters in Feature Film Screenwriting from Royal Holloway University of London in 2001.

Riri Riza has received several awards in the form of grants for writing from several funding agencies in the Netherlands (Hubert Bals Fund), Sweden (Goteborg Film Fund), and the United States (Global Initiative Fund). GIE also received awards at two international festivals in Taiwan and Singapore. At the 2005 Indonesia Film Festival GIE won the Best Film award.

His film, Laskar Pelangi, released in September 2008, is a record-breaking movie in Indonesia, selling more than 4 million cinema tickets. Laskar Pelangi was also selected for entry in the prestigious Berlin International Film Festival 2009.

Contact Person

Wa Ode SabariahKetua BUKP Mata Mosobu Mobile : 081341797675

Syukri RaufDirektur LSM SintesaMobile : 08114001781, e-mail : [email protected]

Wa Ode Sabaria dan Syukri RaufWa Ode Sabaria and Syukri Rauf

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 25: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201023 24

Pada rapat anggota tahunan tersebut dilaporkan perkembangan yang cukup menggembirakan, total keuntungan bersih sebesar Rp. 57.273.000,- atau naik sebesar Rp. 16 juta dari tahun sebelumnya. Total keuntungan bersih yang telah dihasilkan tersebut kemudian dibagi berdasarkan presentase seperti tigapuluh persen untuk dana tambahan modal, empatpuluh persen untuk anggota, sepuluh persen untuk dana pendidikan & sosial dan duapuluh persen untuk pengurus.

Komitmen Koperasi Mata Mosobu ditunjukkan tidak hanya kepada anggotanya tetapi juga kepada pembangunan desa. Koperasi ini bahkan menyisihkan sepuluh persen dari keuntungan yang diperoleh untuk dana pendidikan dan sosial. Dana yang terkumpul ini digunakan untuk membangun rumah belajar taman pendidikan pra sekolah dan memperbaiki fasilitas keagamaan di desa.

Melihat pengelolaan dan pelayanan Koperasi Mata Mosobu yang sangat baik serta cukup membantu, membuat Sarlia terpanggil untuk menyertakan modalnya melalui fasilitas simpanan sukarela. Hampir setiap bulan Sarlia menyisihkan keuntungan usaha kiosnya untuk disimpan pada Koperasi Mata Mosobu, dan setiap pertemuan tiga bulanan dia pun mendapatkan jasa bunga dari simpanan sukarelanya. Kini Sarlia telah memiliki usaha kios yang menjanjikan, uang tabungan dalam bentuk simpanan sukarela pada Koperasi Mata Mosobu dan rumah yang cukup layak sebagai tempat hidup yang nyaman bersama keluarganya.

of Rp 57,273,000, - an increase of Rp 16 million from the previous year. Total net gains generated were then divided by percentages: 30% percent for capital funds, 40% for members, 10% for education & social funds and 20% to administrators.

The commitment of the Mata Mosobu Cooperative has been proven not only to its members but also to village development. The cooperative sets aside 10% of the profits to fund education and social activities. Funds collected were used to build a learning space and park for preschool education and to improve religious facilities in the village.

Seeing the management and services from the cooperative, which are very good and helpful, made Sarlia feel compelled to use the voluntary deposit facilities. Almost every month, Sarlia sets aside profits from her kiosk to be stored in the cooperative, and every quarterly meeting she gets the interest accrued from her savings. Sarlia now have a promising kiosk business, is saving money in the form of voluntary savings, and has a decent home to live with her family.

sehingga kasur buatan saya bisa dijumpai hingga di Maluku Utara sana.” Kata Wa Ode Hasrah (40), seorang ibu rumah tangga yang membuka usaha pembuatan kasur.

“ D a l a m p e r j a l a n a n ny a , koperasi Mata Mosobu beberapa kali mendapatkan bantuan modal d a r i S I N T E S A y a n g pengembaliannya kami cicil, namun sejak tahun ke enam hingga saat ini, kami sudah mengelola murni dana swadaya masyarakat tanpa bantuan modal dari manapun”, ujar Wa Ode S a b a r i a h ( 4 1 ) , s a n g K e t u a Koperasi.

P e r k e m b a n g a n d a n keberhasilan Koperasi Mata Mosobu juga mempengaruhi kesejahteraan anggotanya, Sarlia (36) sebagai ibu rumah tangga telah banyak mendapat manfaat dari keberadaan Koperasi Mata Mosobu. Dana yang diperlukan untuk tambahan modal usaha kios di depan rumahnya dengan harapan tanpa agunan pada Koperasi Mata Mosobu mendapat respon dari pengurus sehingga diperbolehkan mengajukan pinjaman sebesar Rp. 5 juta rupiah selama kurun waktu sepuluh bulan dengan bunga pinjaman dua persen setiap bulan. Dana tersebut sangat membantu dalam melengkapi jenis dan jumlah barang jualan pada kios yang dikelolanya, selain itu dia juga sudah dapat memanfaatkan keahliannya membuat kue-kue tradisional untuk lebih meramaikan sekaligus menambah pendapatan usaha kiosnya.

Sukses mengelola usaha kios yang menyediakan kebutuhan pokok rumah tangga dengan modal pinjaman dari Koperasi Mata Mosobu, Sarlia kembali menghitung kesanggupannya jika dia mengajukan pinjaman untuk memperbaiki bangunan rumah miliknya, setelah sepuluh bulan berjalan dan proses angsuran pinjaman pertama selesai tanpa kendala, selanjutnya Sarlia mengajukan kembali pinjaman kedua untuk kebutuhan perbaikan rumah tempat tinggalnya dan ternyata pengurus koperasi pun menyahuti permohonannya.

Tidak seperti koperasi pada umumnya yang tidak memberikan pinjaman untuk keperluan konsumtif, Mata Mosobu justru meminjamkan dananya limapuluh persen untuk biaya pendidikan, tigapuluh persen untuk modal usaha dan duapuluh persen untuk biaya perbaikan tempat tinggal.

“Kami berani menerapkan kebijakan ini, karena kami melihat, dulunya di Desa Poogalampa ini yang bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi hanya anak para pegawai negeri saja, namun saat ini, dengan bantuan pinjaman koperasi Mata Mosobu, petani dan nelayan pun sudah bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi, dengan pengembalian mencapai seratus persen”, ujar Sabariah. “Selama pengurus menilai calon peminjam tersebut mampu membayar angsuran serta jasa bulanannya, kami tidak punya alasan untuk menolak permohonan mereka”, tambahnya.

Jika pada awal berdirinya Mata Mosobu hanya beranggotakan 16 orang saja, saat ini 130 orang warga Desa Poogalampa mempercayakan dana mereka untuk disimpan dan dikelola oleh koperasi ini. Apalagi Mata Mosobu hanya mengenakan bunga sebesar satu persen saja, sebuah nilai yang cukup bersaing dengan bunga yang ditawarkan oleh lembaga keuangan lainnya. Total tabungan anggota mata Mosobu mencapai 312 juta rupiah dengan jumlah simpanan yang bervariasi, mulai dari limaratus ribu hingga delapanpuluh delapan juta rupiah. Serta akumulasi dana yang bergulir di anggota dalam bentuk pinjaman sudah mencapai 2,2 miliar rupiah.

“Kami tidak pernah menyangka akan berhasil seperti ini, karena sebagai pengurus kami tidak memiliki banyak pengetahuan, saya saja hanya lulusan SMA 21 tahun yang lalu, komputerpun saya tidak tau megang” ujar Ibu Sabariah ketika ditanya soal keberhasilannya mengelola koperasi ini .

“Mungkin karena kami menerapkan sistem partisipasi dan keterbukaan, sehingga para anggota merasa memiliki koperasi ini. Selain pembagian sisa hasil usaha, setiap tahunnya dari keuntungan koperasi kami sisihkan untuk memberikan hadiah lebaran kepada semua anggota, meski hanya berupa sabun mandi atau satu minyak goreng,” terang Ibu Nurlina (35), bendahara koperasi Mata Mosobu.

Bulan Januari tahun 2010 lalu, Mata Mosobu mengadakan rapat anggota tahunan dan pembagian sisa hasil usaha untuk tahun buku 2009 yang juga dihadiri oleh pemerintah desa, perwakilan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Buton, serta Yayayasan SINTESA sebagai pendamping.

“In its lifetime, the Mata Mosobu cooperative has received capital injections from SINTESA, which we have paid back in installments, but now in our sixth year we are managing funds from the community without any other funds from outside,” said Wa Ode Sabriah (41), the head of the cooperative.

T h e d e v e l o p m e n t a n d success of the Mata Mosobu cooperative also affects the welfare of its members. Sarlia (36), a housewife, has greatly benefited from the cooperative. She needed funds to make a kiosk in front of her house and she hoped that the cooperative could lend her the

funds without requiring collateral. Mata Mosobu's board allowed a loan of Rp. 5 million rupiah over a period of ten months with two percent interest per month. The funds were very helpful in allowing her to build up her stock of goods and she was also able to utilize her expertise in making traditional cakes to increase her revenue.

Successfully managing the kiosk that supplies basic goods using capital from the cooperative, Sarlia started evaluate to her ability to take on another if she applied for a loan to repair her house; after ten months of running the kiosk and the first loan installment is complete without any obstacles, Sarlia applied for another loan for home improvement and the cooperative granted her petition.

Unlike other cooperatives which don't allow loans for consumptive purposes, Mata Mosobu loans over 50% of its funds to fulfill education costs, 30% for business capital, and 20% for home repairs.

“We are brave enough to have this policy because in Poogalampa we used to see that the only people able to reach higher levels of education were children of civil servants, but now, after the cooperative loans, even farmers and fishermen can send their children to school and repay 100% of the loan,” said Sabariah. “As long as the board evaluates the borrower as being able to repay the loan, we have no reason to reject their request,” she added.

If at the beginning of Mata Mosobu had only 16 members, today 130 people in Poogalampa entrust their funds to be stored and managed by the cooperative. Moreover, Mata Mosobu charges only one percent interest, an amount that can't compete with the rate offered by other financial institutions. The total savings of Mata Mosobu members has reached 312 million rupiah, with the amount of savings ranging from Rp 500,000 to Rp 88 million. The accumulated revolving funds in the form of loans have reached 2.2 billion rupiah.

“We never suspected it would be as successful as this, because the board doesn't have a lot of knowledge, I only graduated high school and that was 21 years ago. I don't even have a computer,” said Ibu Sabariah, when she was asked about her success in managing the cooperative.

“Maybe it's because we implemented a partcipative and open system, so that all members feel a sense of ownership. Aside from diving the profits, each year also give all members Lebaran bonuses from the profits, even if it's just soap or cooking oil,” explained Ibu Nurlina (35), the Mata Mosobu treasurer.

In January 2010, Mata Mosobu held an annual members meeting and distribution of the net income for the 2009 fiscal year which was also attended by the village government, representatives of the Department of Cooperatives and Small and Medium Enterprises Buton District, and Yayasan SINTESA as a supporting organization. At the annual meeting, the group reported a total net profit Source : riririza.blogspot.com

inspirator

“Melangkah bersama menggapai mimpi”Realizing Our Dreams Together

Riri Riza

ahir di Makassar 2 Oktober 1970. Riri Riza lulus dari program Diploma III Penyutradaraan Film Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1993. Mengerjakan L

beberapa film dokumenter antara lain film biografi Sutan Takdir Alisyahbana, dan penyair Agam Wispi. Ia juga terlibat sebagai sutradara dalam dua episode dokudrama Anak Seribu Pulau pada tahun 1996. Riri juga membuat film iklan televisi dan musik video, sebelum membuat film cerita secara gerilya berjudul KULDESAK yang diputar di bioskop di Indonesia pada tahun 1998.

Bersama dengan produser Mira Lesmana di Miles Films, Riri kemudian memfokuskan diri pada produksi film cerita dengan menyutradarai Petualangan Sherina tahun 2000, Eliana Eliana tahun 2002, GIE dan Untuk Rena di tahun 2005. Riri mendapat beasiswa Chevening Awards pada tahun 2000 dan menyelesaikan program Master in Feature Films Screenwriting dari Royal Holloway University of London pada tahun 2001. Riri Riza telah mendapat beberapa award berupa grant untuk penulisan skenario dari beberapa lembaga funding di Belanda (Hubert Bals Fund), Swedia (Goteborg Film Fund), dan Amerika Serikat (Global Initiative Fund). Film GIE juga mendapat penghargaan di dua festival International di Taiwan dan Singapura. Pada FFI 2005, GIE meraih penghargaan film terbaik.

Film LASKAR PELANGI, yang dirilis pada September 2008, memecahkan rekor penonton film di Indonesia, dengan menjual lebih dari 4 juta tiket bioskop. Laskar Pelangi juga terseleksi untuk masuk dalam ajang prestisius Berlin International Film Festival 2009.

Born in Makassar October 2, 1970. Riri Riza graduated from the Diploma III Film Directing Program from the Institute Kesenian Jakarta in 1993. Working on several documentary films including the movie biographies of Sutan Takdir Alisyahbana, and poet Agam Wispi. He was involved as a director in two episodes of the Anak Seribu Pulau Docudrama in 1996. Riri also makes the film a television commercial and music video, before making a guerrilla-style feature film titled KULDESAK, which was released in Indonesian cinemas in 1998.

Together with producer Mira Lesmana and Miles Films, Riri directed Petualangan Sherina in 2000, Eliana Eliana in 2002, GIE and Untuk Rena in 2005. Riri received a Chevening Scholarship Award in 2000 and completed a Masters in Feature Film Screenwriting from Royal Holloway University of London in 2001.

Riri Riza has received several awards in the form of grants for writing from several funding agencies in the Netherlands (Hubert Bals Fund), Sweden (Goteborg Film Fund), and the United States (Global Initiative Fund). GIE also received awards at two international festivals in Taiwan and Singapore. At the 2005 Indonesia Film Festival GIE won the Best Film award.

His film, Laskar Pelangi, released in September 2008, is a record-breaking movie in Indonesia, selling more than 4 million cinema tickets. Laskar Pelangi was also selected for entry in the prestigious Berlin International Film Festival 2009.

Contact Person

Wa Ode SabariahKetua BUKP Mata Mosobu Mobile : 081341797675

Syukri RaufDirektur LSM SintesaMobile : 08114001781, e-mail : [email protected]

Wa Ode Sabaria dan Syukri RaufWa Ode Sabaria and Syukri Rauf

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 26: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

RIRI RIZA Cari Inspirasi

Sutradara Riri Riza (40) sengaja meluangkan waktu untuk menghadiri Forum Kawasan Timur Indonesia V di Ambon, Maluku, 1-2 November. Di tengah kesibukannya mempersiapkan ”Drama Musikal Laskar Pelangi”, Riri mencari inspirasi untuk pembuatan film tentang KTI suatu saat nanti.

Riri sempat takjub seusai menyimak pemaparan enam praktik cerdas di beberapa daerah. ”Wah, ternyata KTI (kawasan timur Indonesia) merupakan ladang inspirasi cerita yang luar biasa,” tutur lelaki kelahiran Makassar, 2 Oktober 1970, itu. Salah satu yang membuat Riri salut adalah inisiatif warga di 12 provinsi di kawasan itu untuk memberdayakan kehidupannya tanpa uluran tangan pemerintah.

”Saya selalu tertarik dengan kisah inspiratif. Perjuangan warga di KTI yang hidup dalam keterbatasan membuat saya yakin Indonesia akan bangkit dari keterpurukan,” ungkap pria bernama lengkap Mohammad Rivai Riza ini.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/03165547/cari.inspirasi

25 26

Liputan MediaMedia Coverage

ERITB A

Kota Ambon Jadi Tuan Rumah Forum KTI V

Ambon, NTT Online - Kota Ambon akan menjadi tuan rumah pertemuan forum Kawasan Timur Indonesia (KTI) Ke-V, pada 1-2 November 2010. Kegiatan ini dilaksanakan di Swiss belHotel Ambon dan rencannya akan dibuka secara resmi oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas), Armida Alisjahbana yang juga akan menjadi salah satu pembicara pada kegiatan tersebut. Walikota Ambon, M.J Papilaja, Sabtu (23/10), menjelaskan kegiatan yang melibatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku, Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon, LSM, Akademisi, lembaga donor asing serta stakeholder lainnya itu, mengusung tema “Praktik Cerdas untuk Kemajuan Kawasan Timur Indonesia”. http://www.nttonlinenews.com/ntt/index.php?option=com_content&view=article&id=8177:kota-ambon-jadi-tuan-rumah-forum-kti-ke-v&catid=52:lain-lain&Itemid=70

NTT Online 26 Oktober 2010 16:47

Gubernur-Forum KTI Dorong Percepatan Pembangunan Nasional

Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu mengatakan forum Kawasan Timur Indonesia yang dilaksanakan di Kota Ambon, Provinsi Maluku, diharapkan mampu mendorong percepatan pembangunan nasional. “Forum ini strategis bagi pemerintah untuk mendorong peningkatan keterpaduan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka percepatan pembangunan nasional,” katanya saat membuka Forum KTI V di Ambon, Senin. Menurut dia, kunci utama keberhasilan pencapaian pembangunan yakni hubungan kerja sama yang konstruktif antara pemerintah daerah di KTI dengan pemerintah pusat.

http://www.antaramaluku.com/maluku/gubernur-forum-kti-dorong-percepatan-pembangunan-nasional

ANTARA News Indonesia Senin, 1 November, 2010 - 17:25:52

Kawasan Timur IndonesiaMandiri Dengan Rumput Laut Dan Kepiting

Lupakan sejenak infrastruktur buruk di Kawasan Timur Indonesia. Di balik masalah itu, penduduk di tiga wilayah, yaitu Tual, Takalar, dan Hoaulu, ternyata punya semangat kemandirian.

Mengapresiasi dan mengaktualisasikan semangat kemandirian warga KTI, lembaga swadaya masyarakat Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti), Senin dan Selasa (1-2 November), menggelar Forum KTI V di Ambon. Forum ini mengangkat tema ”Praktik Cerdas untuk Kemajuan KTI”, yang akan diikuti 12 provinsi.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/01/04582050/mandiri.dengan.rumput.laut.dan.kepiting...

KOMPAS Senin, 1 November 2010 | 04:58 WIB

Dari Desa Bebas Rokok sampai Malaria Center

Rasanya sulit dipercaya jika salah satu desa di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, yang terletak 1.500 meter di atas

KOMPAS Selasa, 2 November 2010 | 09:48 WIB

Praktik Cerdas Mencerahkan

AMBON, KOMPAS - Enam praktik cerdas yang dipaparkan pada Forum Kawasan Timur Indonesia di Ambon, Maluku, membangkitkan rasa optimisme kalangan masyarakat di 12 provinsi sekawasan ini. Inovasi-inovasi tersebut tercipta di tengah situasi keterpurukan yang menggelisahkan masyarakat.

Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun saat menutup Forum KTI yang berlangsung di Hotel Swiss-Belhotel, Ambon, Selasa (2/11), menegaskan perlunya praktik-praktik cerdas tersebut disebarluaskan ke seluruh kabupaten/kota di wilayah yang bercorak kepulauan ini.

Sejumlah kepala daerah di KTI hadir dalam acara selama dua hari tersebut di antaranya Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu dan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Hadir pula Wali Kota Ambon (Maluku) Jopi Papilaja, Wali Kota Palu (Sulteng) Rusdi Mastura, Bupati Enrekang (Sulsel) La Tinro La Tunrung, dan Bupati Boalemo (Gorontalo) Iwan Bokings.Alex mengatakan, inovasi yang lahir dalam setiap praktik cerdas tersebut bisa mendidik masyarakat di KTI untuk mandiri sekaligus memecah kebuntuan sarana dan prasarana infrastruktur yang membebani warga.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/03/04082941/praktik.cerdas.mencerahkan

KOMPAS Rabu, 3 November 2010 | 04:08 WIB

KOMPAS Sabtu, 6 November 2010 | 03:16 WIB

permukaan laut, memiliki seorang tokoh yang luar biasa bijak. Ia tidak saja mewajibkan warganya yang akan menikah untuk menanam lima batang pohon, tetapi juga berhasil membuat desanya menjadi kawasan bebas asap rokok.

Sejak di Desa Bone-Bone-demikian nama desa itu-ditemukan kasus flu burung, warga juga diminta tidak lagi beternak ayam ras, cukup ayam kampung. Terakhir, sang tokoh bahkan mengimbau warga untuk tidak memasukkan makanan berbahan pengawet.

Tak hanya Bone-Bone yang berbagi ”keberhasilan” di forum tersebut. Ada juga sejumlah praktik cerdas lainnya. Tentunya dengan berbagai penjelasan rinci dan alasan yang sangat masuk akal sehingga tidak jarang tepuk tangan meriah menggema... http://cetak.kompas.com/read/2010/11/02/03503665/dari.desa.bebas.rokok.sampai.malaria.center

ameran Pembangunan adalah salah satu bagian paling menarik dari Pertemuan Forum KTI. Ini merupakan kesempatan bagi Pberbagai stakeholder pembangunan di Kawasan Timur

Indonesia untuk memamerkan hasil kerja mereka sekaligus berinteraksi satu sama lain untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan para pelaku perubahan baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.

Kegiatan yang telah menjadi bagian dari pertemuan tahunan Forum KTI diikuti oleh Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon, Kemitraan Indonesia Australia, Perhimpunan Burung Indonesia, Yayasan Bahasa Indonesia Australia, Unicef Maluku, EGSLP-CIDA, Pokja Pengendali PNPM, The Asia Foundation, The World Bank, Mercy Corps, PT. Mars Symbioscience, Cocoa Sustainability Program, WWF-M3 Joint Campaign Sulawesi, OXFAM dan Yayasan BaKTI.

Berbeda dengan Pameran Pembangunan pada tahun-tahun sebelumnya, sebuah area khusus di ruang pameran disulap menjadi semacam lounge bagi beberapa institusi untuk melakukan presentasi dapat dilakukan dalam suasana yang lebih santai dan nyaman. Hari pertama presentasi dilakukan oleh Perhimpunan Burung Indonesia dan PT, Mars Symbioscience. Pada kesempatan ini salah satu perusahaan industri kakao terbesar di dunia ini, memaparkan program berkelanjutan terkait upaya mendukung perlindungan lingkungan di Indonesia. Di hari kedua pameran, pengunjung juga mendapat informasi peluang beasiswa S2 dan S3 dari The World Bank Indonesia yang memaparkan dua jenis beasiswa serta peluang beasiwa S2 dan S3 di New Zealand yang disampaikan oleh New Zealand Aid Programme.

The Development Exhibition is one of the most interesting parts of Eastern Indonesia Forum meeting. This is an opportunity for various development stakeholders in eastern Indonesia to showcase their work, while interacting with one another and agents of change to share their experiences and knowledge at a local, regional, national or international level.

Exhibition participants included the Provincial Government of Maluku, the Ambon City Government, Australia Indonesia Partnership, Burung Indonesia, IALF, Unicef Maluku, EGSLP-CIDA, PNPM Working Group, The Asia Foundation, The World Bank, Mercy Corps, PT. Mars Symbioscience, Cocoa Sustainability Programme, WWF-M3 Sulawesi Joint Campaign, OXFAM and BaKTI itself.

In contrast to the exhibition of previous years, a special area in the exhibit hall was transformed into a lounge for institutions make presentations in a more relaxed atmosphere. The first presentations were made by the Burung Indonesia and PT Mars Symbioscience. Mars Symbioscience, of the largest cocoa industry companies in the world, and Burung presented programs related to their continuous efforts to support environmental protection in Indonesia. On the second day of the exhibition, visitors were able to obtain information on post-graduate scholarship opportunities from The World Bank Indonesia and New Zealand Aid Programme.

Suasana Pameran dan Presentasi lembaga Donor pada Pameran pembangunan Forum KTI V / The atmoshere within The 5th EI ForumDevelopment Exhibition

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010 Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Pameran Pembangunan Forum KTI V5th Eastern Indonesia Forum Development Exhibition

Pameran Pembangunan Forum KTI V5th Eastern Indonesia Forum Development Exhibition

Page 27: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

RIRI RIZA Cari Inspirasi

Sutradara Riri Riza (40) sengaja meluangkan waktu untuk menghadiri Forum Kawasan Timur Indonesia V di Ambon, Maluku, 1-2 November. Di tengah kesibukannya mempersiapkan ”Drama Musikal Laskar Pelangi”, Riri mencari inspirasi untuk pembuatan film tentang KTI suatu saat nanti.

Riri sempat takjub seusai menyimak pemaparan enam praktik cerdas di beberapa daerah. ”Wah, ternyata KTI (kawasan timur Indonesia) merupakan ladang inspirasi cerita yang luar biasa,” tutur lelaki kelahiran Makassar, 2 Oktober 1970, itu. Salah satu yang membuat Riri salut adalah inisiatif warga di 12 provinsi di kawasan itu untuk memberdayakan kehidupannya tanpa uluran tangan pemerintah.

”Saya selalu tertarik dengan kisah inspiratif. Perjuangan warga di KTI yang hidup dalam keterbatasan membuat saya yakin Indonesia akan bangkit dari keterpurukan,” ungkap pria bernama lengkap Mohammad Rivai Riza ini.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/03165547/cari.inspirasi

25 26

Liputan MediaMedia Coverage

ERITB A

Kota Ambon Jadi Tuan Rumah Forum KTI V

Ambon, NTT Online - Kota Ambon akan menjadi tuan rumah pertemuan forum Kawasan Timur Indonesia (KTI) Ke-V, pada 1-2 November 2010. Kegiatan ini dilaksanakan di Swiss belHotel Ambon dan rencannya akan dibuka secara resmi oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas), Armida Alisjahbana yang juga akan menjadi salah satu pembicara pada kegiatan tersebut. Walikota Ambon, M.J Papilaja, Sabtu (23/10), menjelaskan kegiatan yang melibatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku, Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon, LSM, Akademisi, lembaga donor asing serta stakeholder lainnya itu, mengusung tema “Praktik Cerdas untuk Kemajuan Kawasan Timur Indonesia”. http://www.nttonlinenews.com/ntt/index.php?option=com_content&view=article&id=8177:kota-ambon-jadi-tuan-rumah-forum-kti-ke-v&catid=52:lain-lain&Itemid=70

NTT Online 26 Oktober 2010 16:47

Gubernur-Forum KTI Dorong Percepatan Pembangunan Nasional

Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu mengatakan forum Kawasan Timur Indonesia yang dilaksanakan di Kota Ambon, Provinsi Maluku, diharapkan mampu mendorong percepatan pembangunan nasional. “Forum ini strategis bagi pemerintah untuk mendorong peningkatan keterpaduan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka percepatan pembangunan nasional,” katanya saat membuka Forum KTI V di Ambon, Senin. Menurut dia, kunci utama keberhasilan pencapaian pembangunan yakni hubungan kerja sama yang konstruktif antara pemerintah daerah di KTI dengan pemerintah pusat.

http://www.antaramaluku.com/maluku/gubernur-forum-kti-dorong-percepatan-pembangunan-nasional

ANTARA News Indonesia Senin, 1 November, 2010 - 17:25:52

Kawasan Timur IndonesiaMandiri Dengan Rumput Laut Dan Kepiting

Lupakan sejenak infrastruktur buruk di Kawasan Timur Indonesia. Di balik masalah itu, penduduk di tiga wilayah, yaitu Tual, Takalar, dan Hoaulu, ternyata punya semangat kemandirian.

Mengapresiasi dan mengaktualisasikan semangat kemandirian warga KTI, lembaga swadaya masyarakat Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti), Senin dan Selasa (1-2 November), menggelar Forum KTI V di Ambon. Forum ini mengangkat tema ”Praktik Cerdas untuk Kemajuan KTI”, yang akan diikuti 12 provinsi.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/01/04582050/mandiri.dengan.rumput.laut.dan.kepiting...

KOMPAS Senin, 1 November 2010 | 04:58 WIB

Dari Desa Bebas Rokok sampai Malaria Center

Rasanya sulit dipercaya jika salah satu desa di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, yang terletak 1.500 meter di atas

KOMPAS Selasa, 2 November 2010 | 09:48 WIB

Praktik Cerdas Mencerahkan

AMBON, KOMPAS - Enam praktik cerdas yang dipaparkan pada Forum Kawasan Timur Indonesia di Ambon, Maluku, membangkitkan rasa optimisme kalangan masyarakat di 12 provinsi sekawasan ini. Inovasi-inovasi tersebut tercipta di tengah situasi keterpurukan yang menggelisahkan masyarakat.

Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun saat menutup Forum KTI yang berlangsung di Hotel Swiss-Belhotel, Ambon, Selasa (2/11), menegaskan perlunya praktik-praktik cerdas tersebut disebarluaskan ke seluruh kabupaten/kota di wilayah yang bercorak kepulauan ini.

Sejumlah kepala daerah di KTI hadir dalam acara selama dua hari tersebut di antaranya Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu dan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Hadir pula Wali Kota Ambon (Maluku) Jopi Papilaja, Wali Kota Palu (Sulteng) Rusdi Mastura, Bupati Enrekang (Sulsel) La Tinro La Tunrung, dan Bupati Boalemo (Gorontalo) Iwan Bokings.Alex mengatakan, inovasi yang lahir dalam setiap praktik cerdas tersebut bisa mendidik masyarakat di KTI untuk mandiri sekaligus memecah kebuntuan sarana dan prasarana infrastruktur yang membebani warga.

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/03/04082941/praktik.cerdas.mencerahkan

KOMPAS Rabu, 3 November 2010 | 04:08 WIB

KOMPAS Sabtu, 6 November 2010 | 03:16 WIB

permukaan laut, memiliki seorang tokoh yang luar biasa bijak. Ia tidak saja mewajibkan warganya yang akan menikah untuk menanam lima batang pohon, tetapi juga berhasil membuat desanya menjadi kawasan bebas asap rokok.

Sejak di Desa Bone-Bone-demikian nama desa itu-ditemukan kasus flu burung, warga juga diminta tidak lagi beternak ayam ras, cukup ayam kampung. Terakhir, sang tokoh bahkan mengimbau warga untuk tidak memasukkan makanan berbahan pengawet.

Tak hanya Bone-Bone yang berbagi ”keberhasilan” di forum tersebut. Ada juga sejumlah praktik cerdas lainnya. Tentunya dengan berbagai penjelasan rinci dan alasan yang sangat masuk akal sehingga tidak jarang tepuk tangan meriah menggema... http://cetak.kompas.com/read/2010/11/02/03503665/dari.desa.bebas.rokok.sampai.malaria.center

ameran Pembangunan adalah salah satu bagian paling menarik dari Pertemuan Forum KTI. Ini merupakan kesempatan bagi Pberbagai stakeholder pembangunan di Kawasan Timur

Indonesia untuk memamerkan hasil kerja mereka sekaligus berinteraksi satu sama lain untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan para pelaku perubahan baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.

Kegiatan yang telah menjadi bagian dari pertemuan tahunan Forum KTI diikuti oleh Pemerintah Provinsi Maluku, Pemerintah Kota Ambon, Kemitraan Indonesia Australia, Perhimpunan Burung Indonesia, Yayasan Bahasa Indonesia Australia, Unicef Maluku, EGSLP-CIDA, Pokja Pengendali PNPM, The Asia Foundation, The World Bank, Mercy Corps, PT. Mars Symbioscience, Cocoa Sustainability Program, WWF-M3 Joint Campaign Sulawesi, OXFAM dan Yayasan BaKTI.

Berbeda dengan Pameran Pembangunan pada tahun-tahun sebelumnya, sebuah area khusus di ruang pameran disulap menjadi semacam lounge bagi beberapa institusi untuk melakukan presentasi dapat dilakukan dalam suasana yang lebih santai dan nyaman. Hari pertama presentasi dilakukan oleh Perhimpunan Burung Indonesia dan PT, Mars Symbioscience. Pada kesempatan ini salah satu perusahaan industri kakao terbesar di dunia ini, memaparkan program berkelanjutan terkait upaya mendukung perlindungan lingkungan di Indonesia. Di hari kedua pameran, pengunjung juga mendapat informasi peluang beasiswa S2 dan S3 dari The World Bank Indonesia yang memaparkan dua jenis beasiswa serta peluang beasiwa S2 dan S3 di New Zealand yang disampaikan oleh New Zealand Aid Programme.

The Development Exhibition is one of the most interesting parts of Eastern Indonesia Forum meeting. This is an opportunity for various development stakeholders in eastern Indonesia to showcase their work, while interacting with one another and agents of change to share their experiences and knowledge at a local, regional, national or international level.

Exhibition participants included the Provincial Government of Maluku, the Ambon City Government, Australia Indonesia Partnership, Burung Indonesia, IALF, Unicef Maluku, EGSLP-CIDA, PNPM Working Group, The Asia Foundation, The World Bank, Mercy Corps, PT. Mars Symbioscience, Cocoa Sustainability Programme, WWF-M3 Sulawesi Joint Campaign, OXFAM and BaKTI itself.

In contrast to the exhibition of previous years, a special area in the exhibit hall was transformed into a lounge for institutions make presentations in a more relaxed atmosphere. The first presentations were made by the Burung Indonesia and PT Mars Symbioscience. Mars Symbioscience, of the largest cocoa industry companies in the world, and Burung presented programs related to their continuous efforts to support environmental protection in Indonesia. On the second day of the exhibition, visitors were able to obtain information on post-graduate scholarship opportunities from The World Bank Indonesia and New Zealand Aid Programme.

Suasana Pameran dan Presentasi lembaga Donor pada Pameran pembangunan Forum KTI V / The atmoshere within The 5th EI ForumDevelopment Exhibition

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010 Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Pameran Pembangunan Forum KTI V5th Eastern Indonesia Forum Development Exhibition

Pameran Pembangunan Forum KTI V5th Eastern Indonesia Forum Development Exhibition

Page 28: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201027 Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010 28

Creative Resolutions from the 5th Eastern Indonesia ForumResolusi Kreatif dari Forum KTI V

Replikasi Sekolah Kampung di Daerah Terisolasi/ Terpencil di Kawasan Timur Indonesia

Semua Bisa Sekolah

1. Strategi: Mengembangkan kurikulum Sekolah Kampung sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Muatan pendidikan disesuaikan dengan pengembangannya.

2. Kebijakan Baru: Ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung pendir ian dan pengembangan Sekolah Kampung serta Pendidikan Anak Usia Dini sehingga dapat mengalokasikan anggaran pengelolaannya.

3. Ide: Mereplikasi Sekolah Kampung di berbagai daerah lain di KTI.

1. Kebijakan alokasi anggaran Dana Khusus yang diberikan kepada masyarakat desa untuk dikelola secara swadaya.

2. Membangun sistem pengawasan yang terlembaga untuk sistem anggaran dan penyelenggaraan pendidikan.

3. Menyediakan rumah baca di setiap desa Anggota Kelompok.

Pendidikan

Pertahankan Praktek Cerdas Kesehatan1. Mengaktifkan layanan kesehatan berbasis masyarakat yang

melemah, misalnya posyandu.2. Mengkampanyekan perilaku hidup sehat sederhana dan

menarik untuk mendorong kesadaran masyarakat, contohnya bernyanyi.

3. Mengkampanyekan perilaku hidup sehat dimulai sejak usia dini.

4. Keteladanan pemimpin sangat penting. 5. Memperbanyak duta-duta inovasi kesehatan, misalnya

Dokter Kecil.6. Menggunakan pendekatan kreatif berbasis lokal.

Kesehatan Berbasis Komunitas1. Menjaga konsistensi kebijakan pelaksanaan dan

penganggaran kesehatan pro-rakyat.2. Kebijakan pembangunan kesehatan perlu berbasis ’spesifik

wilayah’.3. Pengembangan pelajaran muatan lokal kesehatan sesuai

dengan permasalahan kesehatan yang dihadapi.

EducationReplication of Village Schools in Isolated Regions/ Eastern Indonesia

All At Schools

1. Strategy: Develop a village school curriculum according to the needs of local communities. Education adapted to their development.

2. New Policy: Policies should be issued by the government to support the establishment and development of Village Schools and Early Childhood Education to allow for budget allocation

3. Idea: Replicate Village Schools in other areas in eastern Indonesia.

1. Special Funds budget allocation should be given to villagers to manage.

2. Build an institutionalized system of supervision for the implementation of the budget and education.

3. Provide a small library in every group member’s village

Smart Practices in Health1. Strengthen weakened community-based health services, such as

neighborhood health centers.2. Campaigns for healthy behavior that are simple and attractive to

encourage public awareness, for example use of songs.3. Campaign for healthy behavior should begin at an early age.4. Exemplary leadership is very important.5. Ambassadors for health innovations, such as the Little Doctor

program.6. Use a locally based creative approach.

Local Wisdom for the Environment1. Implement planning process with residents, including the

identification of basic data, clustering, adaptation to local knowledge, and prioritization.

2. Strengthen synergy of stakeholders3. Establish learning communities to exchange information and

enhance capacity4. Revitalize the role of supportive local institutions / customs 5. Create regulations that support the revitalization of local

institutions / customs as a legal umbrella

Pembangunan Berkelanjutan1. Segera membenahi desentralisasi pengelolaan hutan yang

masih setengah hati2. Mengalokasikan anggaran khusus untuk lingkungan yang

besarnya minimal 1% dari APBN/APBD dan harus lintas administrasi antar seluruh departemen.

3. Membuat Peraturan Daerah atau Peraturan Desa tentang Pembangunan Berkelanjutan secara partisipatif.

4. Mengadvokasi Praktek Cerdas bidang lingkungan melalui berbagai pertemuan informal kepada Pemerintah Daerah.

5. Memperkuat Kerjasama Daerah sesuai dengan Undang-Undang No. 32/1996.

Kearifan Lokal Menuju Lingkungan yang Baik1. Melaksanakan perencanaan partisipatif dengan warga,

meliputi identifikasi data dasar wilayah, clustering, adaptasi kearifan lokal, dan penyusunan prioritas.

2. Menguatkan sinergitas para pihak 3. Membuat simpul belajar masyarakat untuk bertukar informasi

dan meningkatkan kapasitas4. Merevitalitasi peran institusi lokal / adat didukung 5. Membuat regulasi yang mendukung revitalisasi institusi

lokal/adat sebagai payung hukum.

Pembangunan Berkelanjutan1. Segera membenahi desentralisasi pengelolaan hutan yang

masih setengah hati2. Mengalokasikan anggaran khusus untuk lingkungan yang

besarnya minimal 1% dari APBN/APBD dan harus lintas administrasi antar seluruh departemen.

3. Membuat Peraturan Daerah atau Peraturan Desa tentang Pembangunan Berkelanjutan secara partisipatif.

4. Mengadvokasi Praktek Cerdas bidang lingkungan melalui berbagai pertemuan informal kepada Pemerintah Daerah.

5. Memperkuat Kerjasama Daerah sesuai dengan Undang-Undang No. 32/1996.

Kearifan Lokal Menuju Lingkungan yang Baik1. Melaksanakan perencanaan partisipatif dengan warga,

meliputi identifikasi data dasar wilayah, clustering, adaptasi kearifan lokal, dan penyusunan prioritas.

2. Menguatkan sinergitas para pihak 3. Membuat simpul belajar masyarakat untuk bertukar informasi

dan meningkatkan kapasitas4. Merevitalitasi peran institusi lokal / adat didukung 5. Membuat regulasi yang mendukung revitalisasi institusi

lokal/adat sebagai payung hukum.

Lingkungan HidupLingkungan HidupLingkungan Hidup EnvironmentEnvironmentEnvironmentSustainable Development1. Immediately fix the decentralization of forest management

which is still half-hearted2. Allocate special budget for the environment (at least 1% of the

budget) and have better cross-departmental administration.3. Creation of local regulations or village regulations on

sustainable development in a participatory manner.4. Advocate Smart Practices in the environmental field through

informal meetings to local government.5. Strengthen regional cooperation in accordance with Law No.

32/1996.

Local Wisdom for the Environment1. Implement planning process with residents, including the

identification of basic data, clustering, adaptation to local knowledge, and prioritization.

2. Strengthen synergy of stakeholders3. Establish learning communities to exchange information and

enhance capacity4. Revitalize the role of supportive local institutions / customs 5. Create regulations that support the revitalization of local

institutions / customs as a legal umbrella

Sustainable Development1. Immediately fix the decentralization of forest management

which is still half-hearted2. Allocate special budget for the environment (at least 1% of the

budget) and have better cross-departmental administration.3. Creation of local regulations or village regulations on

sustainable development in a participatory manner.4. Advocate Smart Practices in the environmental field through

informal meetings to local government.5. Strengthen regional cooperation in accordance with Law No.

32/1996.

Local Wisdom for the Environment1. Implement planning process with residents, including the

identification of basic data, clustering, adaptation to local knowledge, and prioritization.

2. Strengthen synergy of stakeholders3. Establish learning communities to exchange information and

enhance capacity4. Revitalize the role of supportive local institutions / customs 5. Create regulations that support the revitalization of local

institutions / customs as a legal umbrella

HealthHealthHealthKesehatanKesehatanKesehatan

Page 29: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 201027 Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010 28

Creative Resolutions from the 5th Eastern Indonesia ForumResolusi Kreatif dari Forum KTI V

Replikasi Sekolah Kampung di Daerah Terisolasi/ Terpencil di Kawasan Timur Indonesia

Semua Bisa Sekolah

1. Strategi: Mengembangkan kurikulum Sekolah Kampung sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Muatan pendidikan disesuaikan dengan pengembangannya.

2. Kebijakan Baru: Ada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung pendir ian dan pengembangan Sekolah Kampung serta Pendidikan Anak Usia Dini sehingga dapat mengalokasikan anggaran pengelolaannya.

3. Ide: Mereplikasi Sekolah Kampung di berbagai daerah lain di KTI.

1. Kebijakan alokasi anggaran Dana Khusus yang diberikan kepada masyarakat desa untuk dikelola secara swadaya.

2. Membangun sistem pengawasan yang terlembaga untuk sistem anggaran dan penyelenggaraan pendidikan.

3. Menyediakan rumah baca di setiap desa Anggota Kelompok.

Pendidikan

Pertahankan Praktek Cerdas Kesehatan1. Mengaktifkan layanan kesehatan berbasis masyarakat yang

melemah, misalnya posyandu.2. Mengkampanyekan perilaku hidup sehat sederhana dan

menarik untuk mendorong kesadaran masyarakat, contohnya bernyanyi.

3. Mengkampanyekan perilaku hidup sehat dimulai sejak usia dini.

4. Keteladanan pemimpin sangat penting. 5. Memperbanyak duta-duta inovasi kesehatan, misalnya

Dokter Kecil.6. Menggunakan pendekatan kreatif berbasis lokal.

Kesehatan Berbasis Komunitas1. Menjaga konsistensi kebijakan pelaksanaan dan

penganggaran kesehatan pro-rakyat.2. Kebijakan pembangunan kesehatan perlu berbasis ’spesifik

wilayah’.3. Pengembangan pelajaran muatan lokal kesehatan sesuai

dengan permasalahan kesehatan yang dihadapi.

EducationReplication of Village Schools in Isolated Regions/ Eastern Indonesia

All At Schools

1. Strategy: Develop a village school curriculum according to the needs of local communities. Education adapted to their development.

2. New Policy: Policies should be issued by the government to support the establishment and development of Village Schools and Early Childhood Education to allow for budget allocation

3. Idea: Replicate Village Schools in other areas in eastern Indonesia.

1. Special Funds budget allocation should be given to villagers to manage.

2. Build an institutionalized system of supervision for the implementation of the budget and education.

3. Provide a small library in every group member’s village

Smart Practices in Health1. Strengthen weakened community-based health services, such as

neighborhood health centers.2. Campaigns for healthy behavior that are simple and attractive to

encourage public awareness, for example use of songs.3. Campaign for healthy behavior should begin at an early age.4. Exemplary leadership is very important.5. Ambassadors for health innovations, such as the Little Doctor

program.6. Use a locally based creative approach.

Local Wisdom for the Environment1. Implement planning process with residents, including the

identification of basic data, clustering, adaptation to local knowledge, and prioritization.

2. Strengthen synergy of stakeholders3. Establish learning communities to exchange information and

enhance capacity4. Revitalize the role of supportive local institutions / customs 5. Create regulations that support the revitalization of local

institutions / customs as a legal umbrella

Pembangunan Berkelanjutan1. Segera membenahi desentralisasi pengelolaan hutan yang

masih setengah hati2. Mengalokasikan anggaran khusus untuk lingkungan yang

besarnya minimal 1% dari APBN/APBD dan harus lintas administrasi antar seluruh departemen.

3. Membuat Peraturan Daerah atau Peraturan Desa tentang Pembangunan Berkelanjutan secara partisipatif.

4. Mengadvokasi Praktek Cerdas bidang lingkungan melalui berbagai pertemuan informal kepada Pemerintah Daerah.

5. Memperkuat Kerjasama Daerah sesuai dengan Undang-Undang No. 32/1996.

Kearifan Lokal Menuju Lingkungan yang Baik1. Melaksanakan perencanaan partisipatif dengan warga,

meliputi identifikasi data dasar wilayah, clustering, adaptasi kearifan lokal, dan penyusunan prioritas.

2. Menguatkan sinergitas para pihak 3. Membuat simpul belajar masyarakat untuk bertukar informasi

dan meningkatkan kapasitas4. Merevitalitasi peran institusi lokal / adat didukung 5. Membuat regulasi yang mendukung revitalisasi institusi

lokal/adat sebagai payung hukum.

Pembangunan Berkelanjutan1. Segera membenahi desentralisasi pengelolaan hutan yang

masih setengah hati2. Mengalokasikan anggaran khusus untuk lingkungan yang

besarnya minimal 1% dari APBN/APBD dan harus lintas administrasi antar seluruh departemen.

3. Membuat Peraturan Daerah atau Peraturan Desa tentang Pembangunan Berkelanjutan secara partisipatif.

4. Mengadvokasi Praktek Cerdas bidang lingkungan melalui berbagai pertemuan informal kepada Pemerintah Daerah.

5. Memperkuat Kerjasama Daerah sesuai dengan Undang-Undang No. 32/1996.

Kearifan Lokal Menuju Lingkungan yang Baik1. Melaksanakan perencanaan partisipatif dengan warga,

meliputi identifikasi data dasar wilayah, clustering, adaptasi kearifan lokal, dan penyusunan prioritas.

2. Menguatkan sinergitas para pihak 3. Membuat simpul belajar masyarakat untuk bertukar informasi

dan meningkatkan kapasitas4. Merevitalitasi peran institusi lokal / adat didukung 5. Membuat regulasi yang mendukung revitalisasi institusi

lokal/adat sebagai payung hukum.

Lingkungan HidupLingkungan HidupLingkungan Hidup EnvironmentEnvironmentEnvironmentSustainable Development1. Immediately fix the decentralization of forest management

which is still half-hearted2. Allocate special budget for the environment (at least 1% of the

budget) and have better cross-departmental administration.3. Creation of local regulations or village regulations on

sustainable development in a participatory manner.4. Advocate Smart Practices in the environmental field through

informal meetings to local government.5. Strengthen regional cooperation in accordance with Law No.

32/1996.

Local Wisdom for the Environment1. Implement planning process with residents, including the

identification of basic data, clustering, adaptation to local knowledge, and prioritization.

2. Strengthen synergy of stakeholders3. Establish learning communities to exchange information and

enhance capacity4. Revitalize the role of supportive local institutions / customs 5. Create regulations that support the revitalization of local

institutions / customs as a legal umbrella

Sustainable Development1. Immediately fix the decentralization of forest management

which is still half-hearted2. Allocate special budget for the environment (at least 1% of the

budget) and have better cross-departmental administration.3. Creation of local regulations or village regulations on

sustainable development in a participatory manner.4. Advocate Smart Practices in the environmental field through

informal meetings to local government.5. Strengthen regional cooperation in accordance with Law No.

32/1996.

Local Wisdom for the Environment1. Implement planning process with residents, including the

identification of basic data, clustering, adaptation to local knowledge, and prioritization.

2. Strengthen synergy of stakeholders3. Establish learning communities to exchange information and

enhance capacity4. Revitalize the role of supportive local institutions / customs 5. Create regulations that support the revitalization of local

institutions / customs as a legal umbrella

HealthHealthHealthKesehatanKesehatanKesehatan

Page 30: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

EconomyEconomyEconomy

Reformasi Pelayanan Publik (Air Bersih)

1. Pengelolaan Air Bersih• Mengembangkan database GIS tentang lokasi sumber mata

air dan informasi faktor-faktor pendukung kelestariannya.• Mengembangkan dan menerapkan teknologi tepat guna

berbasis karakteristik lokal untuk penyediaan air bersih .• Mengembangkan pengorganisasian lembaga pengelola air

bersih yang berbasis karakteristik lokal dan kesetaraan gender.

2. Konservasi Sumberdaya Alam• Menegakkan hukum perlindungan hutan dari pembalakan liar

serta aktivitas lain yang mengancam kelestarian sumber air.• Meninjau ulang kriteria pemberian izin HPH berdasarkan

kepentingan konservasi dan konsensus lokal.• Membentuk Kaukus Lingkungan Hidup.

3. Isu Kebijakan Publik• Menyusun, merevisi, mengimplementasikan dan memantau

PERDA RTRW.• Menyusun dan mengimplementasikan Perda pemanfaatan

air permukaan dan air bawah tanah.• Menyusun dan mengimplementasikan Perda jasa

pengelolaan lingkungan.• Mengadvokasi Kebijakan Publik terhadap RUU, Raperda,

Ramperdes yang menjamin ketersediaan sumber air bersih di tingkat lokal .

Reformasi Perencanaan Pembangunan1. Merevitalisasi peran institusi lokal / adat2. Mengubah mindset birokrat untuk menjadi pelayan

masyarakat. 3. Memperbanyak stimulan kecil agar masyarakat bisa lebih

mandiri dalam setiap proses pembangunan mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.

4. Kepemimpinan dan keteladanan dari kepala daerah dan tokoh masyarakat sangat menentukan keberhasilan pelayanan publik.

5. Mengarusutamakan peran media massa termasuk pers, perfilman, untuk mempublikasikan hasil pembangunan sebagai bagian dari proses transparansi.

6. Kebijakan Pusat dan Daerah• Pusat : Mempertimbangkan infrastruktur dan kondisi

masyarakat, layanan publik , dan keterisolasian wilayah dalam mengalokasikan Dana Alokasi Umum.

• Daerah: Menyusun dan menerapkan Perda Transparansi dan Keterbukaan Informasi.

• Menerapkan local wisdom, khususnya dalam mengatasi berbagai isu pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini bisa jadi potensi ekonomi yang berarti.

• Harmonisasi yang lebih baik antara Legislatif, Eksekutif, Pelaku, BUMN, dan pengusaha.

• Memperbanyak penelitian yang aplikatif misalnya dengan mengembangkan Laboratorium Kelapa dan Laboratorium Rumput Laut.

Pengembangan Ekonomi1. Mendorong pertumbuhan dan perkembangan UMKM untuk

mengentaskan kemiskinan.2. Berfokus pada pengelolaan ikan, rumput laut, kelapa, ternak,

rempah-rempah dan hasil bumi, dan wisata bahari agar menjadi produk yang kompetitif dan berstandar internasional.

• Implement local wisdom, particularly in addressing the issues of coastal areas and small islands. This could have significant economic potential.

• Harmonization of Legislative, Executive, Actors, state enterprises, and entrepreneurs.

• Increase applicative research, for example, by developing Coconut Laboratories and Seaweed Laboratory.

Economic Development1. Encourage the growth and development of SMEs to alleviate

poverty.2. Focus on the management of fish, seaweed, coconut, livestock,

spices and produce, and marine tourism in order to develop competitive products and international standards.

Reform of Public Services (Water Supply)

1. Clean Water Management• Develop a GIS database of the location of water resources and

information on the factors supporting sustainability.• Develop and apply appropriate technology based on local

characteristics for the provision of clean water.• Develop an organization of water management institutions

based on local characteristics and gender equality.

2. Natural Resources Conservation• Enforce the law protecting the forests from illegal logging and

other activities that threaten the water source.• Review criteria for granting of concessions based on the

interests of conservation and local consensus.• Establish an Environmental Caucus.

3. Public Policy Issues• Develop, revise, implement and monitor RTRW Government

Area.• Develop and implement surface water use and regulation of

underground water.• Develop and implement environmental management

services regulation.• Advocate for Public Policy and bills, drafts, Ramperdes which

ensures the availability of fresh water resources at the local level.

Planning Reform1. Revitalize the role of local institutions / customs2. Change the mindset of bureaucrats to become public servants.3. More intensive small stimulants so society can be more

independent in every process of development from planning to monitoring and evaluation.

4. More exemplary leadership from the regional heads and community leaders will determine the success of public service.

5. Mainstream the role of mass media, including the press and cinema, to publish the results of development as part of the process of transparency.

6. Central and Regional Policy• Center: Consider the infrastructure and conditions of the

community, public services, and isolation when allocating the General Allocation Fund.

• Region: Develop and implement Transparency and Disclosure of Information.

Ekonomi Berkelanjutan Berbasis Komoditas dan Komunitas1. Adanya sistem cluster yang terintegrasi antara usaha dan

produk hulu dan hilir. Contoh komoditas utama atau unggulan adalah rumput laut, kakao, kelapa, ikan, dan rotan.

2. Para pihak yang terlibat adalah pelayan publik (Pemda / Legislatif ), pengusaha, BUMN, LSM, Ormas, Koperasi, Media, dan Forum KTI.

3. Strategi• Meningkatkan kualitas SDM dan lembaga melalui

penyuluhan untuk pelaku sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan.

• Mendekatkan akses modal terhadap nelayan, petani, dan pelaku ekonomi pada tingkat lokal dengan meningkatkan kapasitas mereka (bankable) agar dapat pinjaman modal.

4. Kebijakan :• Memetakan potensi dari berbagai daerah.• Memobilisasi dana CSR agar lebih tepat sasaran.

Budget Allocation for Victims of Violence1. Need to allocate Special Allocation Fund (DAK) and budget for the

handling of victims of violence.2. Consider the population and case histories in the region so there is

equality in the use of DAK funds.3. Transparency in the use of DAK /budget for CSOs.4. Involve more men in the campaign against violence against

women and gender equality.5. Optimize networks within the EI Forum for sharing information.

Elimination of Domestic Violence and Trafficking in Persons, and enhancing women's leadership in the public sector on all fronts1. Encourage the government to empower P2TP2A in all districts

and provinces.2. Replicate Safe Houses in other areas, either from government or

from CSOs .3. Encourage the establishment of trauma centers for the

recoveries of victims of domestic violence and trafficking, especially minors.

4. Publish Regulations (Provincial, District, or Village) for prevention and handling of domestic violence and trafficking, and Safe House operations in each region.

5. Empower communities, families, victims and perpetrators of violence to boost the economy and other social capital.

6. Consistently enforce the law and conduct monitoring and evaluation.

7. Establish inter-provincial and inter-neighboring country networks to prevent and combat trafficking in persons.

8. Increase women's leadership, which is sensitive to conflict, significantly (quantity and quality) in the public sector on all fronts- the village, district, provincial and onwards (UNSCR 1325).

Gender JusticeBudget Allocation for Victims of Violence1. Need to allocate Special Allocation Fund (DAK) and budget for the

handling of victims of violence.2. Consider the population and case histories in the region so there is

equality in the use of DAK funds.3. Transparency in the use of DAK /budget for CSOs.4. Involve more men in the campaign against violence against

women and gender equality.5. Optimize networks within the EI Forum for sharing information.

Elimination of Domestic Violence and Trafficking in Persons, and enhancing women's leadership in the public sector on all fronts1. Encourage the government to empower P2TP2A in all districts

and provinces.2. Replicate Safe Houses in other areas, either from government or

from CSOs .3. Encourage the establishment of trauma centers for the

recoveries of victims of domestic violence and trafficking, especially minors.

4. Publish Regulations (Provincial, District, or Village) for prevention and handling of domestic violence and trafficking, and Safe House operations in each region.

5. Empower communities, families, victims and perpetrators of violence to boost the economy and other social capital.

6. Consistently enforce the law and conduct monitoring and evaluation.

7. Establish inter-provincial and inter-neighboring country networks to prevent and combat trafficking in persons.

8. Increase women's leadership, which is sensitive to conflict, significantly (quantity and quality) in the public sector on all fronts- the village, district, provincial and onwards (UNSCR 1325).

Gender JusticeGender JusticeAlokasi Anggaran bagi Korban Kekerasan1. Perlu mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan APBD

untuk penanganan korban kekerasan. 2. Mempertimbangkan populasi dan sejarah kasus di daerah agar

ada unsur egaliter atau kesetaraan dalam pemanfaatan DAK.3. Transparansi pemanfaatan DAK/APBD bagi CSO . 4. Lebih melibatkan laki-laki dalam kampanye anti kekerasan

terhadap perempuan dan keseteraan gender.5. Mengoptimalkan jejaring Forum KTI untuk berbagi informasi.

Penghapusan KDRT dan Perdagangan orang, serta peningkatan kepemimpinan perempuan di sektor publik pada semua lini1. Mendorong pemerintah agar memberdayakan P2TP2A di semua

kabupaten dan provinsi.2. Mereplikasi Rumah Aman di berbagai daerah lainnya baik oleh

pemerintah maupun oleh masyarakat.3. Mendorong terbentuknya trauma center untuk pemulihan

korban KDRT dan perdagangan orang terutama anak di bawah umur.

4. Menerbitkan Peraturan (Provinsi, Kabupaten/Kota, atau Desa) tentang teknis pencegahan dan penanganan KDRT dan perdagangan orang, serta operasional Rumah Aman di tiap daerah.

5. Memberdayakan komunitas, keluarga, korban dan pelaku kekerasan untuk meningkatkan perekonomian dan modal-modal sosial lainnya.

6. Menegakkan hukum secara konsisten serta melakukan monitoring dan evaluasi.

7. Membentuk jejaring antar provinsi maupun antar negara tetangga dalam pencegahan dan penanggulangan perdagangan orang.

8. Meningkatkan kepemimpinan perempuan yang sensitif konflik secara signifikan (kuantitas maupun kualitas) di sektor publik pada semua lini desa, kabupaten, provinsi dan seturusnya (UNSCR 1325).

Alokasi Anggaran bagi Korban Kekerasan1. Perlu mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan APBD

untuk penanganan korban kekerasan. 2. Mempertimbangkan populasi dan sejarah kasus di daerah agar

ada unsur egaliter atau kesetaraan dalam pemanfaatan DAK.3. Transparansi pemanfaatan DAK/APBD bagi CSO . 4. Lebih melibatkan laki-laki dalam kampanye anti kekerasan

terhadap perempuan dan keseteraan gender.5. Mengoptimalkan jejaring Forum KTI untuk berbagi informasi.

Penghapusan KDRT dan Perdagangan orang, serta peningkatan kepemimpinan perempuan di sektor publik pada semua lini1. Mendorong pemerintah agar memberdayakan P2TP2A di semua

kabupaten dan provinsi.2. Mereplikasi Rumah Aman di berbagai daerah lainnya baik oleh

pemerintah maupun oleh masyarakat.3. Mendorong terbentuknya trauma center untuk pemulihan

korban KDRT dan perdagangan orang terutama anak di bawah umur.

4. Menerbitkan Peraturan (Provinsi, Kabupaten/Kota, atau Desa) tentang teknis pencegahan dan penanganan KDRT dan perdagangan orang, serta operasional Rumah Aman di tiap daerah.

5. Memberdayakan komunitas, keluarga, korban dan pelaku kekerasan untuk meningkatkan perekonomian dan modal-modal sosial lainnya.

6. Menegakkan hukum secara konsisten serta melakukan monitoring dan evaluasi.

7. Membentuk jejaring antar provinsi maupun antar negara tetangga dalam pencegahan dan penanggulangan perdagangan orang.

8. Meningkatkan kepemimpinan perempuan yang sensitif konflik secara signifikan (kuantitas maupun kualitas) di sektor publik pada semua lini desa, kabupaten, provinsi dan seturusnya (UNSCR 1325).

Alokasi Anggaran bagi Korban Kekerasan1. Perlu mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan APBD

untuk penanganan korban kekerasan. 2. Mempertimbangkan populasi dan sejarah kasus di daerah agar

ada unsur egaliter atau kesetaraan dalam pemanfaatan DAK.3. Transparansi pemanfaatan DAK/APBD bagi CSO . 4. Lebih melibatkan laki-laki dalam kampanye anti kekerasan

terhadap perempuan dan keseteraan gender.5. Mengoptimalkan jejaring Forum KTI untuk berbagi informasi.

Penghapusan KDRT dan Perdagangan orang, serta peningkatan kepemimpinan perempuan di sektor publik pada semua lini1. Mendorong pemerintah agar memberdayakan P2TP2A di semua

kabupaten dan provinsi.2. Mereplikasi Rumah Aman di berbagai daerah lainnya baik oleh

pemerintah maupun oleh masyarakat.3. Mendorong terbentuknya trauma center untuk pemulihan

korban KDRT dan perdagangan orang terutama anak di bawah umur.

4. Menerbitkan Peraturan (Provinsi, Kabupaten/Kota, atau Desa) tentang teknis pencegahan dan penanganan KDRT dan perdagangan orang, serta operasional Rumah Aman di tiap daerah.

5. Memberdayakan komunitas, keluarga, korban dan pelaku kekerasan untuk meningkatkan perekonomian dan modal-modal sosial lainnya.

6. Menegakkan hukum secara konsisten serta melakukan monitoring dan evaluasi.

7. Membentuk jejaring antar provinsi maupun antar negara tetangga dalam pencegahan dan penanggulangan perdagangan orang.

8. Meningkatkan kepemimpinan perempuan yang sensitif konflik secara signifikan (kuantitas maupun kualitas) di sektor publik pada semua lini desa, kabupaten, provinsi dan seturusnya (UNSCR 1325).

Ekonomi Berkelanjutan Berbasis Komoditas dan Komunitas1. Adanya sistem cluster yang terintegrasi antara usaha dan

produk hulu dan hilir. Contoh komoditas utama atau unggulan adalah rumput laut, kakao, kelapa, ikan, dan rotan.

2. Para pihak yang terlibat adalah pelayan publik (Pemda / Legislatif ), pengusaha, BUMN, LSM, Ormas, Koperasi, Media, dan Forum KTI.

3. Strategi• Meningkatkan kualitas SDM dan lembaga melalui

penyuluhan untuk pelaku sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan.

• Mendekatkan akses modal terhadap nelayan, petani, dan pelaku ekonomi pada tingkat lokal dengan meningkatkan kapasitas mereka (bankable) agar dapat pinjaman modal.

4. Kebijakan :• Memetakan potensi dari berbagai daerah.• Memobilisasi dana CSR agar lebih tepat sasaran.

EkonomiEkonomiEkonomi

29 30

Sustainable Economy and Community-Based Commodities1. Integrated cluster system for businesses and products upstream

and downstream. Examples of primary commodities include seaweed, cocoa, coconut, fish, and rattan.

2. The parties involved are public servants (government / legislative), businessmen, state enterprises, NGOs, CBOs, cooperatives, media.

3. Strategy• Improve the quality of human resources and institutions through

counseling for stakeholders of agriculture, fishery, and forestry sectors.

• Open access to capital for fishermen, farmers, and economic actors at the local level by enhancing their capacity

4. Policy:• Map the potential of various regions.• Mobilize funds for better targeted CSR.

Sustainable Economy and Community-Based Commodities1. Integrated cluster system for businesses and products upstream

and downstream. Examples of primary commodities include seaweed, cocoa, coconut, fish, and rattan.

2. The parties involved are public servants (government / legislative), businessmen, state enterprises, NGOs, CBOs, cooperatives, media.

3. Strategy• Improve the quality of human resources and institutions through

counseling for stakeholders of agriculture, fishery, and forestry sectors.

• Open access to capital for fishermen, farmers, and economic actors at the local level by enhancing their capacity

4. Policy:• Map the potential of various regions.• Mobilize funds for better targeted CSR.

• Menerapkan local wisdom, khususnya dalam mengatasi berbagai isu pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini bisa jadi potensi ekonomi yang berarti.

• Harmonisasi yang lebih baik antara Legislatif, Eksekutif, Pelaku, BUMN, dan pengusaha.

• Memperbanyak penelitian yang aplikatif misalnya dengan mengembangkan Laboratorium Kelapa dan Laboratorium Rumput Laut.

Pengembangan Ekonomi1. Mendorong pertumbuhan dan perkembangan UMKM untuk

mengentaskan kemiskinan.2. Berfokus pada pengelolaan ikan, rumput laut, kelapa, ternak,

rempah-rempah dan hasil bumi, dan wisata bahari agar menjadi produk yang kompetitif dan berstandar internasional.

• Implement local wisdom, particularly in addressing the issues of coastal areas and small islands. This could have significant economic potential.

• Harmonization of Legislative, Executive, Actors, state enterprises, and entrepreneurs.

• Increase applicative research, for example, by developing Coconut Laboratories and Seaweed Laboratory.

Economic Development1. Encourage the growth and development of SMEs to alleviate

poverty.2. Focus on the management of fish, seaweed, coconut, livestock,

spices and produce, and marine tourism in order to develop competitive products and international standards.

Reformasi Pelayanan Publik (Air Bersih)

1. Pengelolaan Air Bersih• Mengembangkan database GIS tentang lokasi sumber mata

air dan informasi faktor-faktor pendukung kelestariannya.• Mengembangkan dan menerapkan teknologi tepat guna

berbasis karakteristik lokal untuk penyediaan air bersih .• Mengembangkan pengorganisasian lembaga pengelola air

bersih yang berbasis karakteristik lokal dan kesetaraan gender.

2. Konservasi Sumberdaya Alam• Menegakkan hukum perlindungan hutan dari pembalakan liar

serta aktivitas lain yang mengancam kelestarian sumber air.• Meninjau ulang kriteria pemberian izin HPH berdasarkan

kepentingan konservasi dan konsensus lokal.• Membentuk Kaukus Lingkungan Hidup.

3. Isu Kebijakan Publik• Menyusun, merevisi, mengimplementasikan dan memantau

PERDA RTRW.• Menyusun dan mengimplementasikan Perda pemanfaatan

air permukaan dan air bawah tanah.• Menyusun dan mengimplementasikan Perda jasa

pengelolaan lingkungan.• Mengadvokasi Kebijakan Publik terhadap RUU, Raperda,

Ramperdes yang menjamin ketersediaan sumber air bersih di tingkat lokal .

Reformasi Perencanaan Pembangunan1. Merevitalisasi peran institusi lokal / adat2. Mengubah mindset birokrat untuk menjadi pelayan

masyarakat. 3. Memperbanyak stimulan kecil agar masyarakat bisa lebih

mandiri dalam setiap proses pembangunan mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.

4. Kepemimpinan dan keteladanan dari kepala daerah dan tokoh masyarakat sangat menentukan keberhasilan pelayanan publik.

5. Mengarusutamakan peran media massa termasuk pers, perfilman, untuk mempublikasikan hasil pembangunan sebagai bagian dari proses transparansi.

6. Kebijakan Pusat dan Daerah• Pusat : Mempertimbangkan infrastruktur dan kondisi

masyarakat, layanan publik , dan keterisolasian wilayah dalam mengalokasikan Dana Alokasi Umum.

• Daerah: Menyusun dan menerapkan Perda Transparansi dan Keterbukaan Informasi.

Pelayanan PublikPelayanan PublikPelayanan PublikReform of Public Services (Water Supply)

1. Clean Water Management• Develop a GIS database of the location of water resources and

information on the factors supporting sustainability.• Develop and apply appropriate technology based on local

characteristics for the provision of clean water.• Develop an organization of water management institutions

based on local characteristics and gender equality.

2. Natural Resources Conservation• Enforce the law protecting the forests from illegal logging and

other activities that threaten the water source.• Review criteria for granting of concessions based on the

interests of conservation and local consensus.• Establish an Environmental Caucus.

3. Public Policy Issues• Develop, revise, implement and monitor RTRW Government

Area.• Develop and implement surface water use and regulation of

underground water.• Develop and implement environmental management

services regulation.• Advocate for Public Policy and bills, drafts, Ramperdes which

ensures the availability of fresh water resources at the local level.

Planning Reform1. Revitalize the role of local institutions / customs2. Change the mindset of bureaucrats to become public servants.3. More intensive small stimulants so society can be more

independent in every process of development from planning to monitoring and evaluation.

4. More exemplary leadership from the regional heads and community leaders will determine the success of public service.

5. Mainstream the role of mass media, including the press and cinema, to publish the results of development as part of the process of transparency.

6. Central and Regional Policy• Center: Consider the infrastructure and conditions of the

community, public services, and isolation when allocating the General Allocation Fund.

• Region: Develop and implement Transparency and Disclosure of Information.

Public ServicesPublic ServicesPublic Services

Keadilan GenderKeadilan GenderKeadilan Gender

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010 Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 31: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi

EconomyEconomyEconomy

Reformasi Pelayanan Publik (Air Bersih)

1. Pengelolaan Air Bersih• Mengembangkan database GIS tentang lokasi sumber mata

air dan informasi faktor-faktor pendukung kelestariannya.• Mengembangkan dan menerapkan teknologi tepat guna

berbasis karakteristik lokal untuk penyediaan air bersih .• Mengembangkan pengorganisasian lembaga pengelola air

bersih yang berbasis karakteristik lokal dan kesetaraan gender.

2. Konservasi Sumberdaya Alam• Menegakkan hukum perlindungan hutan dari pembalakan liar

serta aktivitas lain yang mengancam kelestarian sumber air.• Meninjau ulang kriteria pemberian izin HPH berdasarkan

kepentingan konservasi dan konsensus lokal.• Membentuk Kaukus Lingkungan Hidup.

3. Isu Kebijakan Publik• Menyusun, merevisi, mengimplementasikan dan memantau

PERDA RTRW.• Menyusun dan mengimplementasikan Perda pemanfaatan

air permukaan dan air bawah tanah.• Menyusun dan mengimplementasikan Perda jasa

pengelolaan lingkungan.• Mengadvokasi Kebijakan Publik terhadap RUU, Raperda,

Ramperdes yang menjamin ketersediaan sumber air bersih di tingkat lokal .

Reformasi Perencanaan Pembangunan1. Merevitalisasi peran institusi lokal / adat2. Mengubah mindset birokrat untuk menjadi pelayan

masyarakat. 3. Memperbanyak stimulan kecil agar masyarakat bisa lebih

mandiri dalam setiap proses pembangunan mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.

4. Kepemimpinan dan keteladanan dari kepala daerah dan tokoh masyarakat sangat menentukan keberhasilan pelayanan publik.

5. Mengarusutamakan peran media massa termasuk pers, perfilman, untuk mempublikasikan hasil pembangunan sebagai bagian dari proses transparansi.

6. Kebijakan Pusat dan Daerah• Pusat : Mempertimbangkan infrastruktur dan kondisi

masyarakat, layanan publik , dan keterisolasian wilayah dalam mengalokasikan Dana Alokasi Umum.

• Daerah: Menyusun dan menerapkan Perda Transparansi dan Keterbukaan Informasi.

• Menerapkan local wisdom, khususnya dalam mengatasi berbagai isu pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini bisa jadi potensi ekonomi yang berarti.

• Harmonisasi yang lebih baik antara Legislatif, Eksekutif, Pelaku, BUMN, dan pengusaha.

• Memperbanyak penelitian yang aplikatif misalnya dengan mengembangkan Laboratorium Kelapa dan Laboratorium Rumput Laut.

Pengembangan Ekonomi1. Mendorong pertumbuhan dan perkembangan UMKM untuk

mengentaskan kemiskinan.2. Berfokus pada pengelolaan ikan, rumput laut, kelapa, ternak,

rempah-rempah dan hasil bumi, dan wisata bahari agar menjadi produk yang kompetitif dan berstandar internasional.

• Implement local wisdom, particularly in addressing the issues of coastal areas and small islands. This could have significant economic potential.

• Harmonization of Legislative, Executive, Actors, state enterprises, and entrepreneurs.

• Increase applicative research, for example, by developing Coconut Laboratories and Seaweed Laboratory.

Economic Development1. Encourage the growth and development of SMEs to alleviate

poverty.2. Focus on the management of fish, seaweed, coconut, livestock,

spices and produce, and marine tourism in order to develop competitive products and international standards.

Reform of Public Services (Water Supply)

1. Clean Water Management• Develop a GIS database of the location of water resources and

information on the factors supporting sustainability.• Develop and apply appropriate technology based on local

characteristics for the provision of clean water.• Develop an organization of water management institutions

based on local characteristics and gender equality.

2. Natural Resources Conservation• Enforce the law protecting the forests from illegal logging and

other activities that threaten the water source.• Review criteria for granting of concessions based on the

interests of conservation and local consensus.• Establish an Environmental Caucus.

3. Public Policy Issues• Develop, revise, implement and monitor RTRW Government

Area.• Develop and implement surface water use and regulation of

underground water.• Develop and implement environmental management

services regulation.• Advocate for Public Policy and bills, drafts, Ramperdes which

ensures the availability of fresh water resources at the local level.

Planning Reform1. Revitalize the role of local institutions / customs2. Change the mindset of bureaucrats to become public servants.3. More intensive small stimulants so society can be more

independent in every process of development from planning to monitoring and evaluation.

4. More exemplary leadership from the regional heads and community leaders will determine the success of public service.

5. Mainstream the role of mass media, including the press and cinema, to publish the results of development as part of the process of transparency.

6. Central and Regional Policy• Center: Consider the infrastructure and conditions of the

community, public services, and isolation when allocating the General Allocation Fund.

• Region: Develop and implement Transparency and Disclosure of Information.

Ekonomi Berkelanjutan Berbasis Komoditas dan Komunitas1. Adanya sistem cluster yang terintegrasi antara usaha dan

produk hulu dan hilir. Contoh komoditas utama atau unggulan adalah rumput laut, kakao, kelapa, ikan, dan rotan.

2. Para pihak yang terlibat adalah pelayan publik (Pemda / Legislatif ), pengusaha, BUMN, LSM, Ormas, Koperasi, Media, dan Forum KTI.

3. Strategi• Meningkatkan kualitas SDM dan lembaga melalui

penyuluhan untuk pelaku sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan.

• Mendekatkan akses modal terhadap nelayan, petani, dan pelaku ekonomi pada tingkat lokal dengan meningkatkan kapasitas mereka (bankable) agar dapat pinjaman modal.

4. Kebijakan :• Memetakan potensi dari berbagai daerah.• Memobilisasi dana CSR agar lebih tepat sasaran.

Budget Allocation for Victims of Violence1. Need to allocate Special Allocation Fund (DAK) and budget for the

handling of victims of violence.2. Consider the population and case histories in the region so there is

equality in the use of DAK funds.3. Transparency in the use of DAK /budget for CSOs.4. Involve more men in the campaign against violence against

women and gender equality.5. Optimize networks within the EI Forum for sharing information.

Elimination of Domestic Violence and Trafficking in Persons, and enhancing women's leadership in the public sector on all fronts1. Encourage the government to empower P2TP2A in all districts

and provinces.2. Replicate Safe Houses in other areas, either from government or

from CSOs .3. Encourage the establishment of trauma centers for the

recoveries of victims of domestic violence and trafficking, especially minors.

4. Publish Regulations (Provincial, District, or Village) for prevention and handling of domestic violence and trafficking, and Safe House operations in each region.

5. Empower communities, families, victims and perpetrators of violence to boost the economy and other social capital.

6. Consistently enforce the law and conduct monitoring and evaluation.

7. Establish inter-provincial and inter-neighboring country networks to prevent and combat trafficking in persons.

8. Increase women's leadership, which is sensitive to conflict, significantly (quantity and quality) in the public sector on all fronts- the village, district, provincial and onwards (UNSCR 1325).

Gender JusticeBudget Allocation for Victims of Violence1. Need to allocate Special Allocation Fund (DAK) and budget for the

handling of victims of violence.2. Consider the population and case histories in the region so there is

equality in the use of DAK funds.3. Transparency in the use of DAK /budget for CSOs.4. Involve more men in the campaign against violence against

women and gender equality.5. Optimize networks within the EI Forum for sharing information.

Elimination of Domestic Violence and Trafficking in Persons, and enhancing women's leadership in the public sector on all fronts1. Encourage the government to empower P2TP2A in all districts

and provinces.2. Replicate Safe Houses in other areas, either from government or

from CSOs .3. Encourage the establishment of trauma centers for the

recoveries of victims of domestic violence and trafficking, especially minors.

4. Publish Regulations (Provincial, District, or Village) for prevention and handling of domestic violence and trafficking, and Safe House operations in each region.

5. Empower communities, families, victims and perpetrators of violence to boost the economy and other social capital.

6. Consistently enforce the law and conduct monitoring and evaluation.

7. Establish inter-provincial and inter-neighboring country networks to prevent and combat trafficking in persons.

8. Increase women's leadership, which is sensitive to conflict, significantly (quantity and quality) in the public sector on all fronts- the village, district, provincial and onwards (UNSCR 1325).

Gender JusticeGender JusticeAlokasi Anggaran bagi Korban Kekerasan1. Perlu mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan APBD

untuk penanganan korban kekerasan. 2. Mempertimbangkan populasi dan sejarah kasus di daerah agar

ada unsur egaliter atau kesetaraan dalam pemanfaatan DAK.3. Transparansi pemanfaatan DAK/APBD bagi CSO . 4. Lebih melibatkan laki-laki dalam kampanye anti kekerasan

terhadap perempuan dan keseteraan gender.5. Mengoptimalkan jejaring Forum KTI untuk berbagi informasi.

Penghapusan KDRT dan Perdagangan orang, serta peningkatan kepemimpinan perempuan di sektor publik pada semua lini1. Mendorong pemerintah agar memberdayakan P2TP2A di semua

kabupaten dan provinsi.2. Mereplikasi Rumah Aman di berbagai daerah lainnya baik oleh

pemerintah maupun oleh masyarakat.3. Mendorong terbentuknya trauma center untuk pemulihan

korban KDRT dan perdagangan orang terutama anak di bawah umur.

4. Menerbitkan Peraturan (Provinsi, Kabupaten/Kota, atau Desa) tentang teknis pencegahan dan penanganan KDRT dan perdagangan orang, serta operasional Rumah Aman di tiap daerah.

5. Memberdayakan komunitas, keluarga, korban dan pelaku kekerasan untuk meningkatkan perekonomian dan modal-modal sosial lainnya.

6. Menegakkan hukum secara konsisten serta melakukan monitoring dan evaluasi.

7. Membentuk jejaring antar provinsi maupun antar negara tetangga dalam pencegahan dan penanggulangan perdagangan orang.

8. Meningkatkan kepemimpinan perempuan yang sensitif konflik secara signifikan (kuantitas maupun kualitas) di sektor publik pada semua lini desa, kabupaten, provinsi dan seturusnya (UNSCR 1325).

Alokasi Anggaran bagi Korban Kekerasan1. Perlu mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan APBD

untuk penanganan korban kekerasan. 2. Mempertimbangkan populasi dan sejarah kasus di daerah agar

ada unsur egaliter atau kesetaraan dalam pemanfaatan DAK.3. Transparansi pemanfaatan DAK/APBD bagi CSO . 4. Lebih melibatkan laki-laki dalam kampanye anti kekerasan

terhadap perempuan dan keseteraan gender.5. Mengoptimalkan jejaring Forum KTI untuk berbagi informasi.

Penghapusan KDRT dan Perdagangan orang, serta peningkatan kepemimpinan perempuan di sektor publik pada semua lini1. Mendorong pemerintah agar memberdayakan P2TP2A di semua

kabupaten dan provinsi.2. Mereplikasi Rumah Aman di berbagai daerah lainnya baik oleh

pemerintah maupun oleh masyarakat.3. Mendorong terbentuknya trauma center untuk pemulihan

korban KDRT dan perdagangan orang terutama anak di bawah umur.

4. Menerbitkan Peraturan (Provinsi, Kabupaten/Kota, atau Desa) tentang teknis pencegahan dan penanganan KDRT dan perdagangan orang, serta operasional Rumah Aman di tiap daerah.

5. Memberdayakan komunitas, keluarga, korban dan pelaku kekerasan untuk meningkatkan perekonomian dan modal-modal sosial lainnya.

6. Menegakkan hukum secara konsisten serta melakukan monitoring dan evaluasi.

7. Membentuk jejaring antar provinsi maupun antar negara tetangga dalam pencegahan dan penanggulangan perdagangan orang.

8. Meningkatkan kepemimpinan perempuan yang sensitif konflik secara signifikan (kuantitas maupun kualitas) di sektor publik pada semua lini desa, kabupaten, provinsi dan seturusnya (UNSCR 1325).

Alokasi Anggaran bagi Korban Kekerasan1. Perlu mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan APBD

untuk penanganan korban kekerasan. 2. Mempertimbangkan populasi dan sejarah kasus di daerah agar

ada unsur egaliter atau kesetaraan dalam pemanfaatan DAK.3. Transparansi pemanfaatan DAK/APBD bagi CSO . 4. Lebih melibatkan laki-laki dalam kampanye anti kekerasan

terhadap perempuan dan keseteraan gender.5. Mengoptimalkan jejaring Forum KTI untuk berbagi informasi.

Penghapusan KDRT dan Perdagangan orang, serta peningkatan kepemimpinan perempuan di sektor publik pada semua lini1. Mendorong pemerintah agar memberdayakan P2TP2A di semua

kabupaten dan provinsi.2. Mereplikasi Rumah Aman di berbagai daerah lainnya baik oleh

pemerintah maupun oleh masyarakat.3. Mendorong terbentuknya trauma center untuk pemulihan

korban KDRT dan perdagangan orang terutama anak di bawah umur.

4. Menerbitkan Peraturan (Provinsi, Kabupaten/Kota, atau Desa) tentang teknis pencegahan dan penanganan KDRT dan perdagangan orang, serta operasional Rumah Aman di tiap daerah.

5. Memberdayakan komunitas, keluarga, korban dan pelaku kekerasan untuk meningkatkan perekonomian dan modal-modal sosial lainnya.

6. Menegakkan hukum secara konsisten serta melakukan monitoring dan evaluasi.

7. Membentuk jejaring antar provinsi maupun antar negara tetangga dalam pencegahan dan penanggulangan perdagangan orang.

8. Meningkatkan kepemimpinan perempuan yang sensitif konflik secara signifikan (kuantitas maupun kualitas) di sektor publik pada semua lini desa, kabupaten, provinsi dan seturusnya (UNSCR 1325).

Ekonomi Berkelanjutan Berbasis Komoditas dan Komunitas1. Adanya sistem cluster yang terintegrasi antara usaha dan

produk hulu dan hilir. Contoh komoditas utama atau unggulan adalah rumput laut, kakao, kelapa, ikan, dan rotan.

2. Para pihak yang terlibat adalah pelayan publik (Pemda / Legislatif ), pengusaha, BUMN, LSM, Ormas, Koperasi, Media, dan Forum KTI.

3. Strategi• Meningkatkan kualitas SDM dan lembaga melalui

penyuluhan untuk pelaku sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan.

• Mendekatkan akses modal terhadap nelayan, petani, dan pelaku ekonomi pada tingkat lokal dengan meningkatkan kapasitas mereka (bankable) agar dapat pinjaman modal.

4. Kebijakan :• Memetakan potensi dari berbagai daerah.• Memobilisasi dana CSR agar lebih tepat sasaran.

EkonomiEkonomiEkonomi

29 30

Sustainable Economy and Community-Based Commodities1. Integrated cluster system for businesses and products upstream

and downstream. Examples of primary commodities include seaweed, cocoa, coconut, fish, and rattan.

2. The parties involved are public servants (government / legislative), businessmen, state enterprises, NGOs, CBOs, cooperatives, media.

3. Strategy• Improve the quality of human resources and institutions through

counseling for stakeholders of agriculture, fishery, and forestry sectors.

• Open access to capital for fishermen, farmers, and economic actors at the local level by enhancing their capacity

4. Policy:• Map the potential of various regions.• Mobilize funds for better targeted CSR.

Sustainable Economy and Community-Based Commodities1. Integrated cluster system for businesses and products upstream

and downstream. Examples of primary commodities include seaweed, cocoa, coconut, fish, and rattan.

2. The parties involved are public servants (government / legislative), businessmen, state enterprises, NGOs, CBOs, cooperatives, media.

3. Strategy• Improve the quality of human resources and institutions through

counseling for stakeholders of agriculture, fishery, and forestry sectors.

• Open access to capital for fishermen, farmers, and economic actors at the local level by enhancing their capacity

4. Policy:• Map the potential of various regions.• Mobilize funds for better targeted CSR.

• Menerapkan local wisdom, khususnya dalam mengatasi berbagai isu pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini bisa jadi potensi ekonomi yang berarti.

• Harmonisasi yang lebih baik antara Legislatif, Eksekutif, Pelaku, BUMN, dan pengusaha.

• Memperbanyak penelitian yang aplikatif misalnya dengan mengembangkan Laboratorium Kelapa dan Laboratorium Rumput Laut.

Pengembangan Ekonomi1. Mendorong pertumbuhan dan perkembangan UMKM untuk

mengentaskan kemiskinan.2. Berfokus pada pengelolaan ikan, rumput laut, kelapa, ternak,

rempah-rempah dan hasil bumi, dan wisata bahari agar menjadi produk yang kompetitif dan berstandar internasional.

• Implement local wisdom, particularly in addressing the issues of coastal areas and small islands. This could have significant economic potential.

• Harmonization of Legislative, Executive, Actors, state enterprises, and entrepreneurs.

• Increase applicative research, for example, by developing Coconut Laboratories and Seaweed Laboratory.

Economic Development1. Encourage the growth and development of SMEs to alleviate

poverty.2. Focus on the management of fish, seaweed, coconut, livestock,

spices and produce, and marine tourism in order to develop competitive products and international standards.

Reformasi Pelayanan Publik (Air Bersih)

1. Pengelolaan Air Bersih• Mengembangkan database GIS tentang lokasi sumber mata

air dan informasi faktor-faktor pendukung kelestariannya.• Mengembangkan dan menerapkan teknologi tepat guna

berbasis karakteristik lokal untuk penyediaan air bersih .• Mengembangkan pengorganisasian lembaga pengelola air

bersih yang berbasis karakteristik lokal dan kesetaraan gender.

2. Konservasi Sumberdaya Alam• Menegakkan hukum perlindungan hutan dari pembalakan liar

serta aktivitas lain yang mengancam kelestarian sumber air.• Meninjau ulang kriteria pemberian izin HPH berdasarkan

kepentingan konservasi dan konsensus lokal.• Membentuk Kaukus Lingkungan Hidup.

3. Isu Kebijakan Publik• Menyusun, merevisi, mengimplementasikan dan memantau

PERDA RTRW.• Menyusun dan mengimplementasikan Perda pemanfaatan

air permukaan dan air bawah tanah.• Menyusun dan mengimplementasikan Perda jasa

pengelolaan lingkungan.• Mengadvokasi Kebijakan Publik terhadap RUU, Raperda,

Ramperdes yang menjamin ketersediaan sumber air bersih di tingkat lokal .

Reformasi Perencanaan Pembangunan1. Merevitalisasi peran institusi lokal / adat2. Mengubah mindset birokrat untuk menjadi pelayan

masyarakat. 3. Memperbanyak stimulan kecil agar masyarakat bisa lebih

mandiri dalam setiap proses pembangunan mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.

4. Kepemimpinan dan keteladanan dari kepala daerah dan tokoh masyarakat sangat menentukan keberhasilan pelayanan publik.

5. Mengarusutamakan peran media massa termasuk pers, perfilman, untuk mempublikasikan hasil pembangunan sebagai bagian dari proses transparansi.

6. Kebijakan Pusat dan Daerah• Pusat : Mempertimbangkan infrastruktur dan kondisi

masyarakat, layanan publik , dan keterisolasian wilayah dalam mengalokasikan Dana Alokasi Umum.

• Daerah: Menyusun dan menerapkan Perda Transparansi dan Keterbukaan Informasi.

Pelayanan PublikPelayanan PublikPelayanan PublikReform of Public Services (Water Supply)

1. Clean Water Management• Develop a GIS database of the location of water resources and

information on the factors supporting sustainability.• Develop and apply appropriate technology based on local

characteristics for the provision of clean water.• Develop an organization of water management institutions

based on local characteristics and gender equality.

2. Natural Resources Conservation• Enforce the law protecting the forests from illegal logging and

other activities that threaten the water source.• Review criteria for granting of concessions based on the

interests of conservation and local consensus.• Establish an Environmental Caucus.

3. Public Policy Issues• Develop, revise, implement and monitor RTRW Government

Area.• Develop and implement surface water use and regulation of

underground water.• Develop and implement environmental management

services regulation.• Advocate for Public Policy and bills, drafts, Ramperdes which

ensures the availability of fresh water resources at the local level.

Planning Reform1. Revitalize the role of local institutions / customs2. Change the mindset of bureaucrats to become public servants.3. More intensive small stimulants so society can be more

independent in every process of development from planning to monitoring and evaluation.

4. More exemplary leadership from the regional heads and community leaders will determine the success of public service.

5. Mainstream the role of mass media, including the press and cinema, to publish the results of development as part of the process of transparency.

6. Central and Regional Policy• Center: Consider the infrastructure and conditions of the

community, public services, and isolation when allocating the General Allocation Fund.

• Region: Develop and implement Transparency and Disclosure of Information.

Public ServicesPublic ServicesPublic Services

Keadilan GenderKeadilan GenderKeadilan Gender

Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010 Edisi Khusus Forum KTI V - edisi 60November - Desember 2010

Page 32: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi
Page 33: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi
Page 34: Forum Kawasan Timur Indonesia V - bakti.or.idbakti.or.id/sites/default/files/files/baktinews/BaKTINews Edisi Khusus FKTI V_1.pdf · Ucapan terimakasih juga atas dukungan dan partisipasi