flu burung bht

31
REVISI KEBIJAKAN PEMERINTAH SERTA PENYIMPANGAN TENTANG MASALAH PENYAKIT FLU BURUNG Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Perundang-undangan dan Kebijakan Peternakan Disusun oleh: Kelompok 1 Desi Widyawati H 0507030 Arbi Nur Zaman H 0509013 Riswandha Praditya H 0509052 JURUSAN PETERNAKAN

Upload: pramusita-yoga-daniswara

Post on 29-Sep-2015

12 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

flu burung sangat berbahaya karena virusnya bisa menyebabkan kematian pada manusia dfgdrg fgfdgdfg

TRANSCRIPT

REVISI

KEBIJAKAN PEMERINTAH SERTA PENYIMPANGAN TENTANG MASALAH PENYAKIT FLU BURUNGDisusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah

Perundang-undangan dan Kebijakan Peternakan

Disusun oleh:

Kelompok 1

Desi Widyawati

H 0507030Arbi Nur Zaman

H 0509013Riswandha Praditya

H 0509052

JURUSAN PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012I. PENDAHULUAN

Penyakit influensa unggas (avian influenza), atau lebih dikenal sebagai wabah flu burung, pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 sebagai wabah yang menjangkiti ayam dan burung di Italia (Perroncito, 1878), yang disebut juga sebagai Penyakit Lombardia mengikuti nama sebuah daerah lembah di hulu sungai Po. Meskipun di tahun 1901 Centanini dan Savonucci berhasil mengidentikfikasi organisme mikro yang menjadi penyebab penyakit tersebut, baru di tahun 1955 Schafer dapat menunjukkan ciri-ciri organisme itu sebagai virus influensa A (Schafer, 1955). Dalam penjamu alami yang menjadi reservoir virus flu burung, yaitu burung-burung liar, infeksi yang terjadi biasanya berlangsung tanpa gejala (asimtomatik) karena virus influensa A itu dari jenis yang berpatogenisitas rendah dan hidup bersama secara seimbang dengan penjamu-penjamu tersebut (Webster, 1992, Alexander, 2000).Ketika turunan (strain) virus influensa unggas berpatogenisitas rendah (Low Pathogenic Avian Influenza Virus, LPAIV) ditularkan dari unggas resorvoir ke ternak unggas yang rentan, seperti ayam dan kalkun (sebuah pijakan untuk penularan lintas spesies), pada umumnya hewan-hewan itu hanya menunjukkan gejala-gejala yang ringan. Tetapi ketika spesies unggas tersebut menjadi sebab dari terjadinya beberapa siklus penularan, turunan (strain) virus tersebut dapat mengalami serangkaian mutasi yang beradaptasi dengan penjamunya yang baru. Virus influensa A subtipe H5 dan H7 bukan saja mengalami fase adaptasi dengan penjamu tetapi dapat pula berubah secara meloncat melalui mutasi insersi menjadi bentuk yang sangat patogen (Hinghly Pathogenic Avian Influenza Virus, HPAIV), yang mampu menimbulkan penyakit sistemik yang ganas dan mematikan secara cepat. Virus jenis HPAI tersebut dapat muncul secara tidak terduga dan sebagai tipe yang sama sekali baru (de novo) dalam unggas yang terkena infeksi oleh progenitor LPAI dari jenis subtipe H5 dan H7.

Infeksi oleh virus HPAI pada unggas ditandai dengan gejala yang mendadak, berat dan berlangsung singkat, dengan mortalitas mendekati 100% pada spesies yang rentan. Akibat kerugian ekonomis yang sangat besar terhadap industry ternak unggas, HPAI mendapat perhatian yang sangat besar di kalangan kedokteran hewan dunia dan segera diberlakukan sebagai penyakit yang wajib segera dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Karena potensinya untuk dapat menurunkan HPAIV, penyakit LPAI dari subtipe H5 dan H7 juga dikenakan wajib dilaporkan (OIE 2005). Sebelum tahun 1997, HPAI merupakan penyakit yang sangat jarang terjadi, dengan hanya ada 24 kejadian primer yang dicatat di seluruh dunia sejak tahun 1950-an. Tetapi akhir-akhir ini influensa unggas memperoleh perhatian dunia ketika ditemukan ada strain (turunan) dari subtipe H5N1 yang sangat patogen, yang mungkin sudah muncul di China Selatan sebelum tahun 1997, menyerang ternak unggas di seluruh Asia Tenggara dan secara tidak terduga melintasi batas antar kelas (Perkins daan Swayne, 2003) ketika terjadi penularan dari burung ke mamaliaII. PEMBAHASAN

A. Flu Burung

Flu Burung (Avian Influenza, AI) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H5N1 (H=hemagglutinin; N=neuralminida se) yang pada umumnya menyerang unggas (burung dan ayam). Penyebaran penyakit flu burung, selain antar unggas juga dapat menyerang ke spesies lain seperti anjing, kucing, babi, harimau dan manusia. Flu burung pada manusia pertama kali ditemukan di Hongkong pada tahun 1997 yang menginfeksi 18 orang diantaranya 6 orang pasien meninggal dunia. Kemudian pada awal tahun 2003 ditemukan 2 orang pasien dengan 1 orang meninggal. Virus ini kemudian merebak di Asia sejak pertengahan Desember 2003 sampai sekarang. Di Indonesia wabah flu burung telah menyebar di 23 propinsi, meliputi 151 kabupaten/kota.penyebaran virus flu burung yang semakin meluas disebakan karena kurangnya control pergerakan unggas yang terinfeksi flu burung, produk hasil unggas dan limbahnya, tenaga kerja serta kendaraan pengangkut dari wilayah terinfeksi ke wilayah yang masih bebas, serta rendahnya kapasitas kelembagaan kesehatan hewan dan tenaga kesehatan hewan yang terlatih. Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI tanggal 26 November 2006 di Indonesai terdapat 74 kasus konfirmasi dan 56 orang diantaranya meninggal.

B. Kasus Flu Burung

Beberapa kasus flu burung di Indonesia antara lain :

Kasus meninggalnya beberapa warga akibat tertular virus flu burung diharapkan tidak terlalu dibesar-besarkan mengingat virus H5N1 ini sebenarnya cukup mudah dalam mengantisipasinya selain dengan penyemprotan dis Infektan virus flu burung dapat diminimalisir dengan kebiasaan merawat unggas secara teratur dan menjaga lingkungan hal ini disampaikan Kadinas Pertanian dan Kehutanan kabupaten Sleman Ir. S Riyadi Martoyo tadi siang dipressroom pemkab sleman. Dari laporan yang masuk disampaikan bahwa sampai dengan 23 januari 2007 sejumlah 7 kecamatan telah terdeteksi tertular flu burung. Tujuh kecamatan tersebut diantaranya Kecamatan Prambanan, Berbah , Ngemplak, Ngaglik, Turi, Tempel dan Kecamatan Sleman. Dari tujuh kecamatan tersebut jumlah unggas yang mati akibat flu burung terbanyak di kecamatan ngaglik sebanyak 113 ekor. Seperti diungkapkan Kadinas Pertanian dan Kehutanan kabupaten Sleman Ir. S Riyadi MartoyoC. Kebijakan Pemerintah tentang flu burung

Kejadian flu burung di Indonesia menuntut Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang pencegahan, pengendalian serta pemberantasan virus flu burung. Kebijakan tersebut menjadi wewenang Departemen Pertanian khususnya Direktorat Kesehatan Hewan namun karena penyakit ini juga berdampak pada manusia maka kebijakan penanganan diserahkan kepada Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan.

Kebijakan dari Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) tertuang dalam Surat Edaran No. 440/93/SJ tanggal 18 Januari 2007 menjelaskan bahwa jumlah korban yang terinfeksi dan meninggal dunia akibat virus flu burung terus bertambah dan menimbulkan kewaspadaan kesehatan bagi manusia, maka diharapkan kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia segera mengambil langkah-langkah antisipasi. Tindakan antisipasi tersebut di antaranya dengan sistem stamping out atau pemusnahan massal pada unggas dalam radius tertentu, serta pengendalian dengan pemberian vaksin pada unggas. Dari sektor kesehatan, tindakan yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di antaranya adalah sebagai berikut :1. Melakukan investigasi pada pekerja, penjual dam pelaku produk ayam di beberapa daerah KLB flu burung pada ayam di Indonesia (untuk mengetahui infeksi flu burung pada manusia).

2. Melakukan monitoring secara ketat terhadap orang-orang yang pernah kontak dengan orang yang diduga terkena flu burung hingga terlewati dua kali masa inkubasi yaitu 14 hari. 3. Menyiapkan 44 rumah sakit di seluruh Indonesia untuk menyiapkan ruangan observasi terhadap pasien yang dicurigai mengidap flu burung. Rumah sakit harus memiliki laboratorium yang lengkap untuk menangani pasien sesuai dengan UU no.18 tahun 2009 pasal 40 ayat 4 menjelaskan bahwa menteri menetapkan laboratorium berdasarkan pada kriteria: (a) keberadaan sumber daya manusia yang kompeten, (b) sarana dan prasarana laboratorium yang memadai dan (c) metodologi yang sahih. 4. Memberlakukan kesiapsiagaan di daerah yang mempunyai resiko yaitu di provinsi jabar, DKI Jakarta dan Banten serta membentuk POSKO di Ditjen PP dan PL.

5. Menginstruksikan kepada Gubernur pemerintah provinsi untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap kemuningkinan terjangkitnya flu burung di wilayah masing-masing.

6. Meningkatkan upaya penyuluhan kesehatan masyarakat dan membangun jejaring kerja dengan berbagai pihak untuk edukasi terhadap masyarakat agar masyarakat tetap waspada dan tidak panik.

7. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan departemen pertanian dan pemerintah daerah dalam upaya penanggulangan flu burung.

8. Mengumpulkan informasi yang meliputi aspek lingkungan dan faktor resiko untuk mencari kemungkinan sumber penularan oleh tim investigasi yang terdiri dari departemen Kesehatan, Departemen Pertanian dan WHO (Depkes RI, 2007). Bappenas, 2005 menjelaskan tentang beberapa strategi pemerintah dalam pengendalian penyakit flu burung, antara lain :

1. Pengendalian penyakit Flu burung pada hewan

Tujuan dari strategi ini adalah untuk menurunkan kasus kematian hewan dan mencegah penyebaran penyakit flu burung ke daerah yang lebih luas. Salah satu tindakan yang dilakukan adalah dengan mengkarantina hewan yang sakit sesuai dengan UU no.18 tahun 2009 pasal 41 yang menjelaskan bahwa karantina hewan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia. 2. Penatalaksanaan kasus pada manusia

Tujuan dari strategi ini adalah untuk mempercepat diagnose oenyakit dan melaksanakan tatalaksana kasus sesuai standar.

3. Perlindungan kelompok resiko tinggi

Tujuan dari strategi ini adalah untuk melindungi kelompok beresiko tinggi dari penularan flu burung.

4. Surveilans epidemiologi pada hewan dan manusia

Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengembangkan sistem surveilans dan kewaspadaan dini terhadap flu burung, mengetahui epidemiologi dan dinamika penyakit serta menetapkan perwilayahan penyakit

5. Restrukturisasi sistem industri perunggasan

Tujuan dari strategi ini adalah untuk memperbaiki sistem usaha pemeliharaan perunggasan.

6. Komunikasi, informasi dan edukasi.

Tujuan dari strategi ini adalah untuk melakukan advokasi kepada pengambil kebijakan penanggulangan flu burung, mendiseminasi pengetahuan tentang flu burung kepada masyarakat, pemberdayaan masyarakat untuk ikut aktif dalam membangun jejaring terutama pada peternak skala menengah dan kecil dalam upaya pengendalian flu burung serta membangun citra Indonesia di dunia internasional tentang upaya yang telah dilakukan.

7. Penguatan dukungan peraturan.

Tujuan dari strategi ini adalah untuk memperkuat dan melengkapi peraturan perundangan dalam rangka pengendalian flu burung, mengembangkan otoritas veteriner pada institusi terkait, memperkuat lembaga yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan di setiap propinsi dan kabupaten/kota serta memperkuat pelayanan kesehatan dalam pengendalian flu burung. 8. Peningkatan kapasitasTujuan dari strategi ini adalah untuk memperbaiki struktur dan sistem kelembagaan pengendalian flu burung secara nasional, sektoral dan regional, memperkuat kelembagaan kesehatan hewan dan karantina hewan di pusat dan daerah, memperkuat lembaga penelitian, meningkatkan kapasitas laboratorium diagnosis flu burung, kapasitas rumah sakit, veteriner lapangan serta memperkuat lembaga produksi bahan biologi dan lembaga uji sertifikasi obat hewan.

9. Penelitian kaji tindakTujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan efektivitas vaksin dan vaksinasi flu burung pada hewan, melakukan penelitian dan pengembangan vaksin flu burung, mengembangkan metode diagnose dan reagensia flu burung serta mengetahui pola trasmisi virus flu burung.

10. Monitoring dan evaluasiTujuan dari strategi ini adalah untuk mengetahui perkembangan kegiatan dan dampak serta permasalahan yang timbul akibat penyakit flu burungSesuai dengan undang-undang no.18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan dijelaskan pada :

pasal 39 ayat (1)

Yang dimaksud dengan pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan adalah tindakan untuk memantau ada tidaknya suatu penyakit hewan tertentu di suatu pulau atau kawasan pengamanan hayati hewan sebagai langkah awal dalam rangka kewaspadaan dini. Yang dimaksud dengan pencegahan penyakit hewan adalah tindakan karantina yang dilakukan dalam rangka mencegah masuknya penyakit hewan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia atau dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan pengamanan penyakit hewan adalah tindakan yang dilakukan dalam upaya perlindungan hewan dan lingkungannya dari penyakit hewan. Yang dimaksud dengan pemberantasan penyakit hewan adalah tindakan untuk membebaskan suatu wilayah dan/atau kawasan pengamanan hayati dan/atau pulau dari penyakit hewan menular yang meliputi usaha penutupan daerah tertentu terhadap keluar-masuk dan lalu-lintas hewan dan produk hewan, penanganan hewan tertular dan bangkai, serta tindakan penanganan wabah yang meliputi eradikasi penyakit hewan dan depopulasi hewan. Yang dimaksud dengan pengobatan penyakit hewan adalah tindakan untuk menghilangkan rasa sakit, penyebab sakit, mengoptimalkan kebugaran dan ketahanan hewan melalui usaha perbaikan gizi, tindakan transaksi terapetik, penyediaan dan pemakaian obat hewan, penyediaan sarana dan prasarana, pengawasan dan pemeriksaan, serta pemantauan dan evaluasi pasca pengobatan. Pasal 39 ayat (3)

Yang dimaksud dengan kebijakan kesehatan hewan nasional adalah berbagai keputusan otoritas veteriner dan prinsip tindakan yang berbasis pada keragaman jenis hewan dan lingkungan ekosistem dalam rangka penyelenggaraan kesehatan hewan. Pasal 42 menjelaskan tentang pedoman pengamanan penyakit hewan yaitu ayat (1) Pengamanan terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dilaksanakan melalui: penetapan penyakit hewan menular strategis; penetapan kawasan pengamanan penyakit hewan; penerapan prosedur biosafety dan biosecurity; pengebalan hewan; pengawasan lalu lintas hewan, produk hewan, dan media pembawa penyakit hewan lainnya di luar wilayah kerja karantina; pelaksanaan kesiagaan darurat veteriner; dan/atau penerapan kewaspadaan dini. Ayat (5) Setiap orang yang melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran hewan, produk hewan, dan/atau media pembawa penyakit wajib memenuhi persyaratan teknis kesehatan hewan. Pasal 44 Ayat (1) Pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 meliputi penutupan daerah, pembatasan lalu lintas hewan, pengebalan hewan, pengisolasian hewan sakit atau terduga sakit, penanganan hewan sakit, pemusnahan bangkai, pengeradikasian penyakit hewan, dan pendepopulasian hewan. Yang dimaksud dengan pendepopulasian hewan adalah tindakan mengurangi dan/atau meniadakan jumlah hewan dalam rangka mengendalikan dan penanggulangan penyakit hewan, menjaga keseimbangan rasio hewan jantan dan betina, dan menjaga daya dukung habitat. Depopulasi meliputi kegiatan (a) pemotongan terhadap hewan yang tidak lolos seleksi teknis kesehatan hewan, (b) pemotongan hewan bersyarat (test and slaughter), (c) pemusnahan populasi hewan di areal tertentu (stamping-out), (d) pengeliminasian hewan yang terjangkit dan/atau tersangka pembawa penyakit hewan, dan (e) pengeutanasian hewan yang tidak mungkin disembuhkan dari penyakit untuk mengurangi penderitaannya.Ayat (2) Pendepopulasian hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memerhatikan status konservasi hewan dan/atau status mutu genetik hewan.

Ayat (3) Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Yang dimaksud dengan tidak memberikan kompensasi ditujukan kepada hewan yang tertular penyakit hewan menular eksotik. Ketentuan ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui bahwa pendepopulasian hewan yang positif terinfeksi penyakit hewan menular strategis tidak mendapatkan kompensasi mengingat hewan tersebut dipastikan akan mati. Ayat (4) Pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus didepopulasi. Yang maksud dengan pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat adalah jika penyakit tersebut bukan penyakit hewan menular eksotik, contohnya dalam pemberantasan brucellosis dan anthrax.Ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 45 ayat 1 sampai 4Ayat (1) Setiap orang, termasuk peternak, pemilik hewan, dan perusahaan peternakan yang berusaha di bidang peternakan yang mengetahui terjadinya penyakit hewan menular wajib melaporkan kejadian tersebut kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau dokter hewan berwenang setempat. Ayat (2) Menteri menetapkan status daerah sebagai daerah tertular, daerah terduga, dan daerah bebas penyakit hewan menular, serta pedoman pemberantasannya. Ayat (3) Pemerintah daerah provinsi mengawasi penerapan pedoman pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Ayat (4) Pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan pedoman pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 46

Ayat (5) Setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya dari daerah tertular dan/atau terduga ke daerah bebas. Ayat (6) Ketentuan pemberantasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pemusnaan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi bibit ternak yang diproduksi oleh perusahaan peternakan di bidang pembibitan yang dinyatakan bebas oleh otoritas veteriner. Ayat (7) Pernyataan bebas penyakit menular pada perusahaan peternakan di bidang pembibitan oleh otoritas veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pasal 47

Ayat (1) Pengobatan hewan menjadi tanggung jawab pemilik hewan, peternak, atau perusahaan peternakan, baik sendiri maupun dengan bantuan tenaga kesehatan hewan. Ayat (3) Hewan atau kelompok hewan yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan berdasarkan visum dokter hewan harus dieutanasia dan/atau dimusnahkan oleh tenaga kesehatan hewan dengan memerhatikan ketentuan kesejahteraan hewan. Ayat (4) Hewan atau kelompok hewan yang menderita penyakit menular dan tidak dapat disembuhkan berdasarkan visum dokter hewan berwenang serta membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan harus dimusnahkan atas permintaan pemilik hewan, peternak, perusahaan peternakan, Pemerintah, dan/atau Pemerintah Daerah. Ayat (5) Pemerintah tidak memberikan kompensasi bagi hewan yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus dimusnahkan. Ayat (6) Pengeutanasiaan atau pemusnahan hewan atau kelompok hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh dokter hewan dan/atau tenaga kesehatan hewan di bawah pengawasan dokter hewan dengan memerhatikan ketentuan kesejahteraan hewan. Pasal 89

Ayat (1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran atas tindakan mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, atau media pembawa penyakit hewan lainnya dari dan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (5), Pasal 58 ayat (5), dan Pasal 59 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Ayat (2) Setiap orang yang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, atau media pembawa penyakit hewan lainnya ke dalam wilayah bebas dari wilayah tertular atau terduga tertular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 60 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ayat (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). Pasal 92 Ayat (1) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi atau pejabat yang berwenang, pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 91. Ayat (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi atau pejabat yang berwenang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha, status badan hukum, atau status kepegawaian dari pejabat yang berwenang.D. Hambatan dan Masalah dalam penanganan flu burungPermasalahan dan hambatan yang dihadapi oleh Indonesia dalam upaya pengendalian flu burung antara lain:

1. Kurangnya koordinasi antar sektor dalam perencanaan dan pengendalian flu burung.

2. Kurangnya kapasitas peringatan dini dan belum adanya jejaring sistem surveilans terpadu pada hewan dan manusia. Hal ini memerlukan kesadaran dari masyarakat dan pemerintah, sesuai pasal 43 ayat (1) sampai (4) yaitu Ayat (1) Menteri menetapkan jenis penyakit hewan menular strategis dalam rangka pengamanan terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a. Ayat (2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengamanan terhadap penyakit hewan menular strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (3) Pengamanan terhadap jenis penyakit hewan selain penyakit hewan menular strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh masyarakat. Ayat (4) Setiap orang yang memelihara dan/atau mengusahakan hewan wajib melakukan pengamanan terhadap penyakit hewan menular strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3. Terbatasnya kemampuan memberikan kompensasi keuangan kepada peternak dalam rangka pemusnahan selektif (depopulasi) dan pemusnahan gtotal (stamping out). 4. Keterbatasan vaksin dan rendahnya cangkupan vaksinasi pada unggas.

5. Terbatasnya persediaan obat dan belum adanya vaksin untuk manusia.6. Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap flu burung.

7. Keterbatasan sumber daya pendukung seperti sumber daya manusia, biaya, teknologi dan sarana pendukung.

8. Keterbatasan kemampuan penelitian dan pengembangan.

9. Adanya distorsi informasi yang diterima oleh masyarakat.

10. Kurangnya pengawasan lalu lintas hewan dan produknya.

11. Belum diketahui dengan pasti waktu terjadinya pandemic Influenza.

E. Penyimpangan kasus flu burungPenyimpangan pada kasus flu burung di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh masyarakat tetapi juga di pemerintahan. Penyimpangan di pemerintahan adalah adanya perbedaan biaya kompensasi yang diberikan kepada masyarakat untuk unggas yang harus dimusnahkan. Sebagai contoh biaya kompensasi di Surabaya sebesar Rp 5.000,-/ekor sedangkan di DKI Jakarta sebesar Rp 10.000,-/ekor. Padahal, pada tahun 2007 pemerintah (Deptan) mengalokasikan anggaran sebesar 23 miliyar yang mana setiap ekor ternak dihargai dengan Rp 12.500,-. Dengan keadaan ini, maka masyarakat merasa enggan untuk dengan sukarela menyerahkan ternaknya kepada petugas untuk dimusnahkan karena minimnya biaya kompensasi. III. KESIMPULANPenyakit influensa unggas (avian influenza), merupakan wabah penyakit yang berbahaya akan tetapi dapat ditanggulangi. Penyimpangan pada kasus flu burung di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh masyarakat tetapi juga di pemerintahan. Penyimpangan di pemerintahan adalah adanya perbedaan biaya kompensasi yang diberikan kepada masyarakat untuk unggas yang harus dimusnahkan.Kejadian flu burung di Indonesia menuntut Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang pencegahan, pengendalian serta pemberantasan virus flu burung. Kebijakan tersebut menjadi wewenang Departemen Pertanian khususnya Direktorat Kesehatan Hewan namun karena penyakit ini juga berdampak pada manusia maka kebijakan penanganan diserahkan kepada Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan. Kebijakan dari Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) tertuang dalam Surat Edaran No. 440/93/SJ tanggal 18 Januari 2007 menjelaskan bahwa karena jumlah korban yang terinfeksi dan meninggal dunia akibat virus flu burung terus bertambah dan menimbulkan kewaspadaan kesehatan bagi manusia, maka diharapkan kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia segera mengambil langkah-langkah antisipasi. Tindakan antisipasi tersebut di antaranya dengan sistem stamping out atau pemusnahan massal pada unggas dalam radius tertentu, serta pengendalian dengan pemberian vaksin pada unggas.IV. DAFTAR PUSTAKA

Alexander DJ. A review of avian influenza in different bird species. Vet Microbiol 2000; 74:3-13.Bappenas, 2005. Rencana Strategis Nasional Pengendalian Flu Burung (Avian Influenza) dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza 2006-2008.

Lestari, W dan Astridya Paramita. 2007. Kebijakan Pemberantasan Penyebaran Virus Flu Burung dan Ekstensi Budaya Masyarakat. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan- Vol. 10 No. 4 Oktober 2007: 356 364.

OIE. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals. Chapter 2.1.14. Avian influenza.Perroncito CE. [it. Typhoid epizootic in gallinaceous birds.] Epizoozia tifoide nei gallinacei. Torino: Annali Accademia Agricoltura 1878; 21:87126.Perkins LE, Swayne DE. Comparative susceptibility of selected avian and mammalian species to a Hong Kong-origin H5N1 high-pathogenicity avian influenza virus. Avian Dis. 2003;47(3 Suppl):956-67.Schfer W. Vergleichende sero-immunologische Untersuchungen ber die Viren der Influenza und klassischen Geflgelpest. Zeitschr Naturforschung 1955; 10b: 81-91.

Undang-undang no. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Webster RG, Bean WJ, Gorman OT, Chambers TM, Kawaoka Y. Evolution and ecology of influenza A viruses. Microbiol Rev 1992; 56: 152-79.PERTANYAAN

1. Pengertian Surveilans?

Jawab: Pengertian kegiatan surveilans sesuai pasal 40 Ayat (1) UU no.18 tahun 2009 adalah pengumpulan data penyakit berdasarkan pengambilan sampel atau spesimen di lapangan dalam rangka mengamati penyebaran atau perluasan dan keganasan penyakit. Untuk melaksanakan kegiatan surveilans dan penyidikan ini diperlukan pengidentifikasian hewan. Penyidikan adalah kegiatan untuk menelusuri asal, sumber, dan penyebab penyakit hewan dalam kaitannya dengan hubungan antara induk semang dan lingkungan.2. Biaya ganti rugi pemerintah untuk peternakan yang bersifat kemitraan?

Jawab: sesuai dengan pasal 44 Ayat (3) Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Yang dimaksud dengan tidak memberikan kompensasi ditujukan kepada hewan yang tertular penyakit hewan menular eksotik. Ketentuan ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui bahwa pendepopulasian hewan yang positif terinfeksi penyakit hewan menular strategis tidak mendapatkan kompensasi mengingat hewan tersebut dipastikan akan mati. Serta ayat (4) Pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus didepopulasi. Yang maksud dengan pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat adalah jika penyakit tersebut bukan penyakit hewan menular eksotik, contohnya dalam pemberantasan brucellosis dan anthrax.3. Kebijakan pemerintah terhadap peternakan yang terkena dampak flu burung?

Jawab : sesuai dengan pasal Pasal 47 Ayat (1) UU no 18 tahun 2009 menjelaskan bahwa pengobatan hewan menjadi tanggung jawab pemilik hewan, peternak, atau perusahaan peternakan, baik sendiri maupun dengan bantuan tenaga kesehatan hewan. Dilanjutkan dengan pasal 44 Ayat (3) Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atas tindakan depopulasi terhadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Yang dimaksud dengan tidak memberikan kompensasi ditujukan kepada hewan yang tertular penyakit hewan menular eksotik. Ketentuan ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui bahwa pendepopulasian hewan yang positif terinfeksi penyakit hewan menular strategis tidak mendapatkan kompensasi mengingat hewan tersebut dipastikan akan mati. Serta ayat (4) Pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus didepopulasi. Yang maksud dengan pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan sehat adalah jika penyakit tersebut bukan penyakit hewan menular eksotik, contohnya dalam pemberantasan brucellosis dan anthrax.4. Bagaimana transportasi pemindahan ternak pada saat banyak terjadi kasus flu burung ? Jawab: Dijelaskan dalam pasal 46 Ayat (5) Setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya dari daerah tertular dan/atau terduga ke daerah bebas. Pendistribusian ternak pada saat banyak terjadi kasus flu burung, hal pertama yang dilakukan adalah melakukan vaksinasi, imunisasi (pemberian antisera), peningkatan status gizi dan hal lain yang mampu meningkatkan kekebalan hewan sesuai dengan pasal 42 ayat (1) huruf d. Diusahakan semaksimal mungkin tidak melewati daerah wabah sebagai kawasan karantina. Selain itu, petugas dan peralatan yang digunakan harus steril dari penyakit, sehingga akan memperkecil resiko terjangkitnya penyakit. Denda dijelaskan pada pasal 89 Ayat (1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran atas tindakan mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, atau media pembawa penyakit hewan lainnya dari dan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (5), Pasal 58 ayat (5), dan Pasal 59 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Ayat (2) Setiap orang yang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, atau media pembawa penyakit hewan lainnya ke dalam wilayah bebas dari wilayah tertular atau terduga tertular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 60 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).5. Penjelasan tentang keterbatasan vaksin dan rendahnya cangkupan vaksinasi pada unggas.Jawab: ketersediaan vaksin di setiap daerah berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh kurangnya dana untuk membeli vaksin dan sulitnya menjangkau daerah-daerah tertentu dalam pendistribusian vaksin. Ketersediaan Sumber daya Manusia (SDM) yang ahli untuk melakukan vaksinasi pada unggas juga berbeda-beda. Semakin sedikit SDM ahli di suatu daerah maka akan semakin rendah cangkupan vaksinasinya.