bab ii-flu burung
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Singkat Peternakan Ayam Pedaging
Dalam konsep manajemen produksi, sistem peternakan
ayam pedaging melibatkan keterkaitan antara komponen-
komponen input atau faktor produksi, proses konversi atau
tatalaksana peternakan, dan output atau hasil produksi yang
membentuk sebuah sistem. Buffa dan Sarin (1996) dan Assauri
(1999) menyebut sistem tersebut sebagai sistem produksi dan
operasi. Faktor-faktor produksi dalam peternakan ayam pedaging
dibedakan menjadi faktor produksi tetap dan variabel. Proses
konversi dalam peternakan ayam pedaging berlangsung sejak
penyiapan kandang sampai ayam siap dipotong. Hasil produksi
dalam peternakan ayam pedaging terdiri atas hasil utama, yaitu
ayam yang siap dipotong untuk dikonsumsi dan hasil sampingan
yang meliputi pupuk kandang, karung pakan, dan dus bekas
kotak DOC. Bagian-bagian berikut menjelaskan masing-masing
komponen dalam sistem produksi tersebut.
2.1.1 Faktor Produksi Tetap dalam Peternakan Ayam
Pedaging
Dalam kegiatan produksi jangka pendek apapun, secara
umum, input dikelompokkan menjadi input atau faktor produksi
tetap atau fixed input dan input atau faktor produksi variabel
atau variable input (Koutsoyiannis, 1982; Henderson dan Quandt,
1981). Faktor produksi tetap adalah jenis input yang jumlah tidak
ditentukan oleh jumlah output yang dihasilkan. Berapapun jumlah
output yang dihasilkan, penggunaan input kelompok ini tetap
tidak berubah. Sementara, jumlah faktor produksi variabel selalu
berubah mengikuti jumlah output yang dihasilkan.
Input tetap yang penting dalam peternakan ayam pedaging
adalah tanah dan bangunan kandang yang terdapat di atasnya.
Tanah dibutuhkan selain untuk mendirikan bangunan kandang,
juga untuk mendirikan bangunan-bangunan lain seperti gudang
pakan dan alat produksi serta bangunan kantor perusahaan.
Dalam bisnis produksi ayam pedaging, bangunan kandang harus
direncanakan dengan baik. Ini karena ayam yang dipelihara di
dalam kandang membutuhkan persyaratan tertentu bagi
pertumbuhannya. Menurut Murtidjo (1993), beberapa faktor yang
harus diperhatikan dalam pembuatan bangunan kandang, yaitu
(1) kondisi yang dibutuhkan bagi pertumbuhan ayam, (2) iklim,
dan (3) bahan yang digunakan.
Pada intinya, pendirian bangunan kandang berhubungan
erat dengan uapaya untuk menghindarkan pengaruh negatif
langsung faktor lingkungan terhadap pertumbuhan ayam. Oleh
7
karena itu, kandang yang dibangun selain harus memperhatikan
efisiensi ekonomi, tetapi juga harus membuat kondisi lingkungan
dalam kandang menjadi nyaman bagi pertumbuhan ayam.
Kondisi kenyamanan ini berhubungan dengan iklim yang terdapat
diwilayah geografis tempat kandang didirikan. Di daerah tropis,
untuk mewujudkan kenyamanan ruangan kandang, maka harus
diperhatikan faktor-faktor penentu tingkat kenyamanan bagi
pertumbuhan ayam.
Murtidjo (1993) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
menentukan tingkat kenyamanan kandang adalah suhu,
kelembaban udara, sirkulasi udara (ventilasi kandang), dan
tingkat penyinaran panas matahari. Faktor-faktor ini akan
menentukan indeks kenyamanan kandang bagi pertumbuhan
ayam. Indeks kenyamanan merupakan batas toleransi suhu,
pergerakan, dan kelembaban udara yang mendukung
pertumbuhan ayam pedaging. Pada peternakan di daerah tropis,
suhu udara kandang yang baik bagi pertumbuhan ayam pedaging
adalah sekitar 26 oC. Murtidjo (1993) mengemukakan bahwa
indeks kenyamanan kandang ditentukan dengan menggunakan
rumus:
T = p + 0,25 (tl + ts) + 0,1 ku – 0,1 (37,8 – tl)/v
………………………….. (2.1)
Dengan ketentuan:
T : Tingkat suhu kenyamanan, indeks kenyamanan S = 260C – T
8
tl : Suhu udara di dalam kandang
ts : Suhu udara di luar kandang
ku : Kelembaban udara di dalam kandang
v : Kecepatan angin pada ketinggian 0,5 meter di atas lantai
kandang
p : Konstanta, yaitu 10,6 untuk musim kemarau
Berdasarkan indeks kenyamanan kandang dapat
ditentukan ukuran kenyamanan ayam pedaging di dalam
kandang tersebut sebagaimana tampak dalam Tabel 1.
Tabel 1. Angka Indeks Kenyamanan Kandang di Daerah Tropis
Indeks Kenyamanan (S)
Kenyamanan Ayam
-3-2-10
+1+2
+3 - +5
Sangat tidak nyamanTidak nyamanKurang nyamanBatas minimal kenyamananCukup nyamanNyamanSangat nyaman
Keterangan: S = 260C – T
Sumber: Murtidjo, 1993
Dalam upaya pemenuhan persyaratan kenyamanan
kandang, perlu dipertimbangkan bahan-bahan dalam bangunan
kandang. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam memilih bahan-
bahan kandang adalah iklim, keawetan bahan, konstruksi
9
kandang, dan keekonomisan. Prinsipnya, bahan bangunan
kandang tersebut harus sedapat mungkin tidak menyerap panas
secara kuat. Dengan demikian, hal penting dalam pembuatan
kandang adalahmenentukan bahan atap kandang yang dapat
mendukung indeks kenyamanan yang diharapkan. Oleh karena
itu, bahan atap, ventilasi udara, dan bahan lantai kandang
merupakan bagian-bagian yang perlu mendapat perhatian khusus
yang harus diperhatikan dalam pembuatan kandang karena
langsung berhubungan dengan penyerapan panas.
Bahan atap yang dipilih, menurut Murtidjo (1993),
sebaiknya memiliki warna muda karena mempunyai daya serap
panas relatif rendah. Beberapa daya serap panas bahan-bahan
atap dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kemampuan Penyerapan Panas Beberapa Bahan Atap
Kandang
Bahan Atap Kandang Tingkat Penyerapan Panas (%)
Asbes semen baruAsbes semen lamaSeng berombak baruSeng berombak lamaGenteng merah muda baruGenteng merah muda lama
407074904765
Sumber: Murtidjo, 1993
10
Selain atap, kandang yang memberikan tingkat
kenyamanan yang baik bagi ayam pedaging adalah kandang
yang memungkinkan pertukaran udara secara terus-menerus
sehingga dapat menjaga kesegaran udara dalam kandang.
Pertukaran udara ini diwujudkan melalui ventilasi udara kandang.
Ventilasi udara kandang berfungsi mengalirkan oksigen yang
dibutuhkan dan mengeluarkan karbondioksida yang tidak
dibutuhkan oleh ayam. Ventilasi udara yang baik diwujudkan
melalui pembentukan kandang dengan ukuran dan bahan yang
memungkinkan udara mudah masuk dan mudah keluar dengan
kecepatan yang sedang, yaitu tidak terlalu lambat dan tidak
terlalu cepat.
Terakhir, pembentukan kandang juga harus memperhatikan
sistem dan bahan alas kandang. Terdapat dua macam sistem
alas kandang, yaitu kandang sistem lantai dan kandang sistem
panggung (Murtidjo, 1993). Kandang sistem lantai banyak
digunakan oleh para peternak karena secara ekonomis lebih
mudah dan murah, terutama di daerah-daerah peternakan yang
banyak terdapat bahan alas lantai seperti sekam sisa
penggilingan padi. Namun, pada kandang jenis ini, peternak
harus melakukan pembalikan dan penebalan alas lantai secara
teratur karena alas lantai yang sering basah. Jika tidak, maka alas
lantai yang basah dapat berdampak negatif terhadap ayam yang
terdapat di atasnya. Selain itu, alas lantai kandang juga tidak
11
boleh digunakan secara terus-menerus, tetapi harus mengalami
penggantai secara periodik. Ini bertujuan untuk mengurangi
tingginya kadar amonia yang dapat menimbulkan serangan
penyakit radang pernafasan, gejala mata berair, kelopak mata
yang lengket, konversi makanan rendah, dan tingkat kematian
ayam yang tinggi (Murtidjo, 1993).
Pada kandang sistem panggung tidak dibutuhkan alas
lantai kandang. Meskipun lebih mahal, kandang sistem
panggung sesuai untuk lokasi peternakan yang sulit mencari
bahan alas kandang. Di samping itu, kandang jenis ini bisa
dipergunakan secara terpadu dengan bisnis produksi perikanan
sebagai usaha tambahan dengan memanfaatkan kotoran ayam
sebagai pakan ikan. Alas kandang juga dapat dibuat dari bahan
yang murah, misalnya bambu.
2.1.2 Faktor Produksi Variabel dalam Peternakan Ayam
Pedaging
Sebagaimana telah dikemukakan Input atau faktor produksi
variabel adalah kelompok input yang jumlah berubah sesuai
dengan jumlah hasil produksi. Dalam peternakan ayam pedaging,
faktor produksi variabel ini terdiri atas DOC (ayam umur satu
hari), ransum (pakan), vitamin, vaksin, obat-obatan, tenaga kerja
produksi, dan energi listrik. Anak ayam DOC adalah input
variabel utama dalam peternakan ayam pedaging. Anak ayam ini
12
dibeli peternak dari perusahaan pembibitan ayam broiler yang
bekerjasama dengan perusahaan penhasil induk ayam broiler di
luar negeri.
Ransum atau pakan juga merupakan input yang penting
dalam peternakan ayam pedaging. Ini terjadi karena ayam
dipelihara dalam lingkungan kandang yang tidak memungkinkan
terdapat bahan pakan secara alami. Murtidjo ( 1993)
mengemukakan bahwa untuk mendapatkan efisiensi pakan yang
tinggi, pada pemeliharaan ayam periode awal (1 – 5 minggu),
pakan harus mengandung protein yang tinggi dan energi yang
rendah. Ini karena pada periode tersebut ayam lebih suka
menyimpan energi dalam bentuk protein. Selanjutnya, pada
periode akhir (6 – 8 minggu), energi disimpan dalam bentuk
lemak sehingga pakan yang diberikan dianjurkan memiliki
kandungan protein rendah dan energi tinggi. Pakan ayam
tersebut diperoleh peternak dengan cara membeli pakan hasil
produksi pabrik pakan ternak yang tersedia di toko-toko
peternakan.
Vitamin dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ayam
yang sedang dipelihara. Sementara, vaksin dibutuhkan untuk
memberikan kekebalan ayam terhadap serangan penyakit
tertentu, misalnya tetelo. Obat-obatan dibutuhkan untuk
mencegah atau mengobati serangan penyakit. Tenaga kerja
produksi adalah tenaga kerja yang berhubungan langsung dalam
13
proses produksi ayam pedaging sejak hari pertama sampai hari
panen pada usia delapan minggu. Terakhir, energi listrik
diperlukan selain untuk penerangan kandang juga untuk
pembuatan induk buatan ketika pada pemeliharaan periode
sangat awal.
2.1.3 Tatalaksana Produksi Ayam Pedaging
Proses konversi ayam pedaging berbeda dengan proses
konversi pada perusahaan manufaktur. Proses konversi pada
peternakan ayam pedaging tidak menggunakan mesin produksi
yang mengubah input menjadi output dalam waktu yang relatif
cepat (Assauri, 1999), tetapi memanfaatkan pertumbuhan ayam.
Proses konversi peternakan ayam pedaging adalah membesarkan
dan menggemukkan DOC menjadi ayam yang siap dipotong.
Proses konversi ini berlangsung selama delapan minggu dengan
tahapan persiapan dan pemeliharaan minggu pertama sampai
minggu kedelapan.
Menurut Murtidjo (1993), tahap persiapan dalam
peternakan ayam pedaging adalah mengadakan seluruh input
yang dibutuhkan dalam proses konversi. Selain kandang dan
peralatan produksi, persiapan yang diperlukan adalah kotak DOC,
tirai plastik, lampu pemanas, dan termometer. Kotak DOC
diletakkan satu meter di atas lantai kandang; 100 ekor DOC
membutuhkan kotak dengan luas dua meter persegi. Tirai plastik
14
dipasang pada keempat sisi kotak DOC. Lampu pemanas untuk
induk buatan digantung 15 cm dari lantai kotak DOC dengan
kekuatan 100 – 125 watt untuk setiap 100 ekor DOC. Termometer
diperlukan untuk mengontrol panas agar terjaga konstan 350C
atau 950F. Termometer ini dipasang secara tergantung atau
diikatkan pada sisi kotak DOC.
Pemeliharaan pada minggu pertama hari pertama meliputi
pemindahan DOC yang baru dibeli ke kotak DOC yang sudah
disiapkan, pengistirahatan DOC selama 25 menit, pemberian
minum, dan pemberian pakan. Pada hari kedua dan hari ketiga
dilakukan pemeliharaan yang hampir sama dengan hari pertama,
hanya saja air minum ayam ditambah antibiotik. Pada hari
keempat, selain memberi minum dan makan, dilakukan
vaksinisasi ND (tetelo). Pemeliharaan hari kelima sampai ketujuh
sama dengan pemeliharaan hari ketiga.
Dalam minggu kedua ayam masih memerlukan pemanas,
tetapi tirai plastik salah satu penutup sisi kotak dibuka untuk
memperlancar pertukaran udara. Suhu pemanas diturunkan
menjadi 320C atau 900F dengan cara meninggikan gantungan
lampu pemanas. Pada minggu kedua berat badan rata-rata setiap
ayam adalah 275 gram. Pemeliharaan harian pada minggu kedua
adalah sebagai berikut. Pada hari pertama dilakukan
penambahan jatah makanan dan minuman. Kebutuhan pakan
setiap ekor ayam rata-rata 33 gram dan kebutuhan minum rata-
15
rata 0,06 liter/ekor/hari. Pemberian makanan dan minuman pada
hari kedua sampai ketujuh sama dengan hari pertama.
Dalam minggu ketiga, meskipun ayam masih
membutuhkan alat pemanas, tetapi karena pertumbuhan bulu
sudah cukup baik maka dua tirai plastik penutup kotak dapat
dibuka. Suhu pemanas juga diturunkan menjadi 290C atau 850F
dengan cara mengganti bola lampu atau lebih meninggikan lagi
letak pemanas. Pada minggu ini berat ayam rata-rata mencapai
483 gram/ekor. Pemeliharaan hari pertama pada minggu ketiga
adalah menambah jatah pemberian makanan dan minuman
menjadi 4,8 kg pakan dan 7,6 liter air minum per 100 ekor ayam
per hari. Pemberian makanan dan minuman hari kedua sampai
hari keempat sama dengan hari pertama. Pada hari kelima dan
keenam, air minum dicampur antibiotika dan pemberian makan
masi sama dengan hari sebelumnya. Pada hari ketujuh dilakukan
pemberian makanan dan minuman yang sama dengan hari
keenam ditambah vaksinasi ND yang kedua.
Dalam minggu keempat, ayam dapat dipindahkan dari
kotak ke kandang lantai atau panggung. Karena bulu ayam sudah
lebat, mulai minggu keempat alat pemanas sudah tidak
diperlukan lagi. Berat ayam rata-rata pada minggu ini adalah 733
gram atau 0,733 kg per ekor. Pemeliharaan hari pertama pada
minggu ini adalah menambah jatah pemberian makanan dan
minuman menjadi 6,5 kg pakan dan 9,90 liter air minum per 100
16
ekor per hari. Jika sampai sore pakan tidak habis, sebaiknya pada
malam hari diberi penerangan mulai pukul 18.00. Pemeliharaan
hari kedua sampai hari ketujuh minggu ini sama dengan
pemeliharaan hari pertama.
Dalam minggu kelima, alas lantai kandang harus diaduk
serta ditambah agar tidak menjadi basah atau lembab. Berat
badan rata-rata setiap ekor ayam pada minggu ini adalah 1,033
kg. Pada hari pertama dilakukan penambahan pemberian jatah
makanan dan minuman menjadi 8,8 kg pakan dan 12,90 liter air
minum per 100 ekor per hari. Penerangan malam hari hanya
dilakukan jika jatah makanan belum habis. Pemeliharaan hari
kedua dan ketiga sama dengan hari pertama. Pada hari keempat,
meskipun jatah pemberian makanan sama dengan hari
sebelumnya, tetapi komposisi pakan dicampur antara pakan awal
dan pakan akhir dengan perbandingan 80% pakan awal dan 20%
pakan akhir. Air minum dicampur dengan obat pembasmi cacing
dengan takaran sesuai label. Pada hari kelima, jatah makanan
dan minuman sama dengan hari sebelumnya hanya saja
komposisi pakan awal diturunkan menjadi 60% dan pakan akhir
dinaikkan menjadi 40% dan air minum tidak dicampur obat
cacing. Pada hari keenam dilakukan pemeliharaan yang sama
dengahari kelima. Pada hari ketujuh, komposisi pakan diubah lagi
menjadi 20% pakan awal dan 80% pakan akhir.
17
Dalam minggu keenam dilakukan pengawasan terhadap
performa setiap ayam, khususnya bagi ayam-ayam yang siap
dijual pada akhir minggu ini. Pengadukan dan penambahan alas
lantai juga tetap dilakukan untuk menjaga lantai agar tetap
kering. Pada awal minggu ini berat rata-rata setiap ekor ayam
adalah 1,378 kg. Pemeliharaan hari pertama minggu ini adalah
menambah jatah makanan menjadi 11,7 kg pakan dan minuman
menjadi 16 liter per 100 ekor ayam per hari. Pakan yang
diberikan seluruhnya merupakan pakan akhir. Penerangan malam
hari dianjurkan berlangsung antara pukul 02.00 – 06.00 dengan
intensitas penerangan 30 watt per 20 – 30 meter persegi luas
alas kandang. Pemeliharaan hari kedua sampai kelima sama
dengan pemeliharaan hari pertama. Jika ayam akan dijual pada
akhir minggu ini dianjurkan ditambahkan jatah makanan
sebanyak 20% dari sebelumnya dan penerangan berlangsung
mulai pukul 18.00 – 06.00. Jika ayam akan dijual pada minggu
kedelapan, pemeliharaan hari keenam dan ketujuh sama dengan
hari keempat tetapi jika akan dijual pada akhir minggu keenam
maka pemeliharaan sama dengan hari kelima.
Dalam minggu ketujuh dilakukan pemeliharaan yang
hampir sama dengan minggu keenam. Berat badan rata-rata
pada awal minggu ini adalah 1,500 kg/ekor ayam. Pada hari
pertama dilakukan jatah pemberian makanan dan minuman
menjadi 13,5 kg pakan dan 18,60 liter air minum per 100 ekor
18
ayam per hari. Penerangan kandang juga dianjurkan mulai pukul
02.00 – 06.00 dengan intensitas cahaya yang sama dengan
minggu keenam. Pemeliharaan hari kedua sampai ketujuh sama
dengan pemeliharaan hari pertama.
Dalam minggu kedelapan juga dilakukan pemeliharaan
yang serupa dengan minggu keenam dan ketujuh. Berat ayam
rata-rata pada awal minggu ini mencapai 1,715 kg/ekor. Pada
hari pertama dilakukan penamabahan jatah pemberian makanan
dan minuman menjadi 14,8 kg pakan dan 20,8 liter air.
Penerangan kandang pada malam hari dianjurkan mulai pukul
18.00 – 22.00 dengan intensitas cahaya lampu 40 watt per 20
meter persegi luas alas kandang. Pemeliharaan hari kedua
sampai keempat sama dengan pemeliharaan hari pertama. Pada
hari kelima sampai ketujuh, pemeliharaan sama dengan hari
sebelumnya, hanya saja penerangan berlangsung mulai pukul
18.00 – 06.00. Pada hari ketujuh ayam siap dijual dengan rata-
rata berat badan 2,112 kg/ekor ayam.
2.1.4 Hasil Produksi Peternakan Ayam Pedaging
Sebagaimana telah dikemukakan, hasil utama peternakan
ini adalah ayam pedaging yang siap dipotong untuk dikonsumsi
atau diolah menjadi produk-produk turunannya. Seperti telah
dikemukakan pada proses konversi, pemanenan ayam pedaging
dapat dilakukan pada minggu akhir keenam atau minggu
19
kedelapan. Pada minggu akhir keenam akan didapatkan ayam
pedaging dengan bobot badan rata-rata 1,500 kg per ekor ayam
hidup. Sedangkan jika pemanenan dilakukan pada minggu
kedelapan maka akan didapatkan bobot badan rata-rata 2,112 kg
per ekor ayam hidup.
Di samping ayam hidup, bisnis produksi ini juga
menghasilkan output sampingan, yaitu pupuk kandang dan
karung bekas wadah pakan. Pupuk kandang didapatkan dari
kotoran dan bekas alas lantai kandang. Jika digunakan kandang
sistem lantai panggung maka bisnis ini dapat didiversifikasikan
dengan bisnis produksi ikan yang memanfaatkan kotoran ayam
untuk dijadikan pakan bagi ikan yang dipelihara di kolam yang
berada di bawah kandang. Dengan demikian, selain ayam juga
didapat hasil lain, yaitu ikan.
2.2 Konsep Biaya dan Keuntungan Usaha
Biaya produksi adalah nilai dari semua faktor produksi atau
input yang digunakan baik berbentuk benda maupun jasa selama
proses produksi berlangsung (Soekartawi, 1997). Sedangkan
yang dimaksud faktor produksi adalah semua korbanan yang
diberikan dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan
output yang akan dihasilkan dalam bisnis. Biaya diklasifikasikan
menjadi dua yaitu biaya tetap (fixed cost) seperti sewa atau
pembelian tanah dan pembelian alat-alat produksi. Biaya tidak
20
tetap (variable cost) meliputi biaya-biaya atas penggunaan input
yang jumlahnya berubah sesuai dengan jumlah output yang
dihasilkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa biaya
produksi adalah banyaknya input dikalikan harganya.
Indikator utama yang biasa digunakan dalam mengukur
efisiensi produksi adalah keuntungan. Keuntungan adalah selisih
antara penerimaan total dan biaya total. Penerimaan total adalah
produksi total dikalikan harga. Biaya produksi total terdiri atas
biaya variabel dan biaya tetap total. Biaya variabel total adalah
banyaknya input variabel dikalikan harganya. Sementara, biaya
tetap total merupakan nilai penggunaan input tetap pada periode
tertentu. Secara matematis, keuntungan usaha dapat dihitung
dengan cara berikut:
i = Pq. Q - Pxi. Xi – TFC ………………………………………(2.2)
i = 1
Keterangan: : Keuntungan (Rp)Pq : Harga output (Rp/unit)Q : Output (unit)Pxi : Harga faktor produksi ke-i dengan i = 1,2,3, …, n (Rp/unit)Xi : Input atau faktor produksi ke-i (unit)TFC : Total Fixed Cost atau Biaya Tetap Total (Rp)
2.3 Wabah Flu Burung pada Peternakan Ayam Pedaging
Bisnis peternakan di Indonesia mulai terkena serangan
wabah flu burung pada tahun 2003. Wabah flu burung atau
21
disebut Avian Influenza (AI) semula menyerang peternakan di
Cina yang kemudian menyebar ke negara-negara lain, seperti
Thailand, Vietnam, termasuk Indonesia. Menurut Direktorat
Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian RI,
wabah flu burung yang menyerang Indonesia, berdasarkan tes
pylogenik, sama dengan yang menyerang peternakan unggas di
Yunan Cina, tetapi berbeda dengan wabah yang menyerang di
Thailand dan Vietnam (Monitor Depok, 29 Maret 2005). Wabah flu
burung yang menyerang peternakan unggas di Indonesia
tersebut dikenal dengan nama virus H5N1.
2.3.1 Ciri-ciri Serangan
Selain menyerang unggas ayam, wabah ini juga menyerang
peternakan burung puyuh. Unggas-unggas yang terkena
serangan flu burung dicirikan dengan kematian tiba-tiba pada dini
hari, padahal sore harinya masih sehat. Oleh karena itu, di
Kabupaten Sragen dan Karanganyar Jawa Tengah, penyakit ini
dikenal dengan serangan subuh (Kompas, 27 Maret 2005).
Sebelum mati, ayam atau burung puyuh tersebut tidak
menampakkan gejala-gejala khas. Tetapi, pada ayam atau
burung puyuh yang mati akan tampak ciri-ciri, yaitu duburnya
berwarna merah dan ada air liur (Kompas, 27 Maret 2005)
2.3.2 Dampak Serangan Flu Burung
22
Secara langsung, wabah flu burung menyebabkan kematian
pada ayam-ayam atau unggas lain yang dipelihara peternak. Di
desa Jirapan, kecamatan Masaran, kabupaten Sragen Jawa
Tengah, sedikitnya 70 peternak harus menanggung kerugian
akibat sebagian besar atau bahkan seluruh ternak ayam
kampung mereka mati akibat flu burung (Kompas, 29 Maret
2005). Peternak burung puyuh juga mengalami kerugian akibat
kematian ternak mereka rata-rata mencapai 3000 ekor per hari.
Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab I, pada tahun 2005 ini
serangan wabah flu burung paling parah terjadi di wilayah
Sulawesi Selatan dan Jawa Barat dengan kerugian mencapai
milyaran rupiah.
Selain kerugian langsung akibat kematian ternak yang
dipelihara, peternak juga mengalami kerugian tidak langsung
akibat beredarnya isu flu burung yang dikhawatirkan menular
kepada manusia sebagaimana yang terjadi di Thailand dan
Vietnam. Akibat isu ini konsumsi ayam pedaging masyarakat
menurun. Di Kalimantan Selatan, isu flu burung ini menyebabkan
permintaan terhadap ayam pedaging menurun hingga 10%;
sementara di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, penurunan
permintaan ayam pedaging mencapai lebih dari 20% (Kompas,
29 Maret 2005). Pada akhir Maret 2005, penurunan permintaan
terhadap ayam pedaging di Jakarta mencapai 50% dan di Medan
mencapai 30%.
23
Akibat selanjutnya dari penurunan permintaan tersebut
adalah penurunan harga ayam pedaging. Di Kabupaten Sragen
Jawa Tengah, harga ayam pedaging jatuh menjadi Rp 4.700/kg
dari harga pada kondisi normal sebesar Rp 7.500/kg. Padahal,
harga pulang modal harus mencapai Rp 6.500/kg (Kompas, 27
Maret 2005). Artinya, akibat adanya isu flu burung peternak
harus bersedia menjual ayam pedaging dengan harga yang lebih
rendah dari biaya produksi. Di Kalimantan Selatan, selain terjadi
penurunan permintaan ayam pedaging, isu flu burung juga
menyebabkan penurunan harga ayam dari Rp 12.000/kg menjadi
11.500/kg (Kompas 29 Maret 2005). Semenatara itu, di
Kabupaten Sukabumi dan Cirebon Jawa Barat, isu flu burung
menyebabkan penurunan harga ayam pedaging menjadi Rp
5.500/kg dari harga pada kondisi normal Rp 7.000/kg. Turunnya
harga ini bukan saja disebabkan oleh ketakutan masyarakat
mengkonsumsi daging ayam, tetapi juga karena industri besar
peternakan ayam pedaging melakukan banting harga. Secara
pasti, hal ini akan berakibat pada turunnya harga pasar ayam
pedaging.
24
25