fitria yulistiani - 23008004.pdf

77
METODOLOGI DAN USULAN PENELITIAN Semester II-2008/2009 KAJIAN TEKNO EKONOMI PABRIK KONVERSI BIOMASSA MENJADI BAHAN BAKAR FISCHER-TROPSCH MELALUI PROSES GASIFIKASI Oleh FITRIA YULISTIANI NIM : 23008004 Program Studi Teknik Kimia INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2009

Upload: tranbao

Post on 30-Dec-2016

274 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

METODOLOGI DAN USULAN PENELITIAN

Semester II-2008/2009

KAJIAN TEKNO EKONOMI PABRIK KONVERSI BIOMASSA

MENJADI BAHAN BAKAR FISCHER-TROPSCH

MELALUI PROSES GASIFIKASI

Oleh

FITRIA YULISTIANI

NIM : 23008004

Program Studi Teknik Kimia

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2009

Page 2: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

ii

LEMBAR PENGESAHAN

METODOLOGI DAN USULAN PENELITIAN

RENCANA USAHA PABRIK KONVERSI BIOMASSA

MENJADI BAHAN BAKAR FISCHER-TROPSCH

MELALUI PROSES GASIFIKASI

Oleh

Fitria Yulistiani (23008004)

Catatan

Bandung, Desember 2009

Telah diperiksa dan disetujui oleh:

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

____________________ ____________________

Prof. Dr. Herri Susanto Dr. Tri Partono Adhi

Page 3: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

iii

ABSTRAK

KAJIAN TEKNO EKONOMI PABRIK KONVERSI BIOMASSA

MENJADI BAHAN BAKAR FISCHER-TROPSCH

MELALUI PROSES GASIFIKASI

Oleh

FITRIA YULISTIANI

NIM : 23008004

ABSTRAK

Pertambahan jumlah penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan

perekonomian menyebabkan peningkatan konsumsi energi di Indonesia. Apabila

peningkatan tersebut dibiarkan, konsumsi energi Indonesia, yang didominasi oleh

bahan bakar fosil, akan menyebabkan penurunan kualitas udara sekitar dan

peningkatan emisi gas rumah kaca. Selain itu, produksi minyak dan gas Indonesia

saat ini semakin mengalami penurunan sehingga tidak mampu lagi memenuhi

kebutuhan energi. Kepedulian terhadap permasalahan-permasalahan di atas

menyebabkan pemerintah mendorong peningkatan penyediaan sumber energi

melalui pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan (EBT).

Biomassa merupakan salah satu bentuk EBT yang tersedia dalam jumlah besar.

Biomassa memiliki berbagai variasi rute konversi termokimia. Salah satu rute

yang cukup menjanjikan adalah kombinasi antara gasifikasi biomassa dan sintesis

Fischer Tropsch (BGFT). Biomassa digasifikasi kemudian produk gas yang telah

dibersihkan digunakan dalam sintesis FT untuk menghasilkan hidrokarbon rantai

panjang yang kemudian dikonversikan menjadi diesel ramah lingkungan.

Permasalahan utama dalam pengaplikasian sistem BGFT di Indonesia adalah

ketersediaan nasional yang melimpah namun tidak terpusat di satu lokasi tertentu.

Selain itu, sistem BGFT merupakan teknologi yang mahal, sehingga perlu dikaji

mengenai kapasitas sistem BGFT yang ekonomis terkait dengan ketersediaan

biomassa di Indonesia. Oleh karena itu melalui penelitian ini akan disusun

rencana usaha sistem konversi biomassa menjadi bahan bakar Fischer Tropsch

melalui rute gasifikasi.

Kata kunci : Gasifikasi, Biomassa, Fischer Tropsch, Indonesia

Page 4: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

iv

ABSTRACT

Human population, technology development, and economic development has

caused growth in Indonesia’s energy consumption. If the growth is left unchecked,

Indonesia’s energy consumption, primary met by fossil fuels, will accelerate the

country’s contribution to the deterioration of local air quality and the increase of

GHG (green house gas) emission. Despite those, Indonesian oil and gas

production is declining and can no longer meet the consumption. As a concern of

above issues, government seeks to improve the availability of energy in Indonesia

through the development of the country’s renewable energy resources. One of

those renewable energy resources is biomass.

Biomass has a lot of thermochemical conversion routes. Integrated Biomass

Gasification and Fischer Tropsch Synthesis (BGFT) is one promising route.

Biomass is gasified then gas producer is cleaned and fed into FT reactor. FT

product is long chain hydrocarbon that can be cracked into environmental

friendly diesel.

Despite its abundant resources, Indonesian biomass is available in limited volume

on spreaded area. Beside that, BGFT system is an expensive technology which

will become cheaper with bigger capacity. Because of that, economic feasibility of

BGFT system in Indonesia should be assessed especially related to biomass

availability in each area. This research is designed to create business plan for

biomass to Fischer-Tropsch plant via gasification.

Key words : Gasification, Biomass, Fischer Tropsch, Indonesia

Page 5: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan usulan

penelitian yang berjudul “Kajian Tekno Ekonomi Pabrik Konversi Biomassa

Menjadi Bahan Bakar Fischer-Tropsch Melalui Proses Gasifikasi”. Laporan ini

dibuat sebagai prasyarat kelulusan mata kuliah Metodologi dan Usulan Penelitian,

yang merupakan mata kuliah tugas akhir di Program Studi Pasca Sarjana Teknik

Kimia ITB.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah membantu penyusunan laporan penelitian ini :

Prof. Dr. Herri Susanto dan Dr. Tri Partono Adhi, selaku dosen

pembimbing, atas segala saran, bimbingan, dan arahannya,

Dr. Azis Trianto selaku ketua Program Studi Pasca Sarjana Teknik Kimia

ITB,

Dr. Conny K. Wachjoe atas berbagai masukan dan dukungannya,

orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan,

seluruh teman-teman Lab Simulasi Proses dan mahasiswa S2 Teknik

Kimia angkatan 2008 yang memberikan perhatian, semangat, dukungan,

dan kerjasama dalam menyelesaikan laporan ini,

semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan ini.

Penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca demi peningkatan

kualitas laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan terutama dalam bidang gasifikasi biomassa dan sintesis

Fischer-Tropsch di Indonesia.

Bandung, Desember 2009

Penulis

Page 6: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

vi

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii

DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

I.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

I.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 3

I.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4

I.4 Ruang Lingkup ........................................................................................ 4

I.5 Sistematika Penulisan Laporan ................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 6

II.1 Biomassa .................................................................................................. 6

II.1.1. Siklus Karbon Pemanfaatan Biomassa ............................................. 8

II.1.2. Sumber Biomassa Indonesia ............................................................ 9

II.2 Gasifikasi Biomassa .............................................................................. 10

II.2.1 Agen Gasifikasi ........................................................................... 12

II.2.2 Sistem Penyediaan Panas pada Reaktor Gasifikasi ..................... 13

II.2.3 Reaktor Gasifikasi ....................................................................... 14

II.2.4 Kondisi Operasi Proses Gasifikasi .............................................. 21

II.3 Pemrosesan Gas Sintesis ....................................................................... 23

II.4 Pembersihan Gas Hasil Gasifikasi ......................................................... 23

II.5 Sintesis Fischer Tropsch ....................................................................... 37

II.6 Pembangkitan Listrik melalui Siklus Kombinasi .................................. 43

BAB III PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN ..................................... 46

III.1 Metodologi Penelitian............................................................................ 46

III.1.1. Kajian Teknologi Proses Sistem BGFT ........................................ 47

III.1.2. Studi Ketersediaan Biomassa ........................................................ 49

III.1.3. Penyusunan Rancangan Pabrik Sistem BGFT .............................. 50

III.1.4. Kajian Ekonomi Proses BGFT ...................................................... 51

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 53

Page 7: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

vii

LAMPIRAN A.1 Produksi Kelapa Sawit (ton)...................................................... 55

LAMPIRAN A.2 Luas Lahan Kelapa Sawit (ha) .................................................. 56

LAMPIRAN A.3 Produksi Jagung (ton) ................................................................ 57

LAMPIRAN A.4 Luas Lahan Jagung (ha) ............................................................ 58

LAMPIRAN A.5 Produksi Padi (ton) .................................................................... 59

LAMPIRAN A.6 Luas Lahan Padi (ha) ................................................................. 60

LAMPIRAN B. Model Kesetimbangan Reaksi Gasifikasi .................................... 61

LAMPIRAN C.1 Perhitungan Rasio Konsumsi Reaktan FT ................................. 64

LAMPIRAN C.2 Hubungan Antara dengan selektivitas C5+ ............................. 65

LAMPIRAN C.3 Defisiensi Hidrogen dalam Hydrocracking ............................... 67

LAMPIRAN C.4 Rata-rata Massa Molekuler ........................................................ 68

Page 8: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1 Perbandingan produksi dan konsumsi energi primer Indonesia .......... 1

Gambar I.2. Sasaran bauran energi nasional 2025 .................................................. 2

Gambar II.1. Skema Sistem Integrasi Gasifikasi Biomassa .................................... 6

dengan Sintesis Fischer Tropsch ............................................................................ 6

Gambar II.2. Net-Zero Carbon Cycle ..................................................................... 8

Gambar II.3. Rute Konversi Termal Biomassa ..................................................... 11

Gambar II.4. Skema reaktor unggun tetap aliran counter-current (kiri) dan co-

current (kanan) ...................................................................................................... 16

Gambar II.5. Skema Reaktor Bubbling Fluidized Bed ......................................... 17

Gambar II.6. Skema Reaktor Circulated Fluidized Bed ....................................... 18

Gambar II.7. Skema Reaktor Entrained Flow ...................................................... 20

Gambar II.8. Teknologi Pembersihan Gas ............................................................ 24

Gambar II.9. Skema Proses OLGA ....................................................................... 32

Gambar II.10. Perbandingan Kinerja OLGA terhadap teknologi pembersihan gas

lainnnya ................................................................................................................. 33

Sumber: Boerrigter (2004) .................................................................................... 33

Gambar II.11. Distribusi Produk sintesis Fischer Tropsch berdasarkan persamaan

ASF ....................................................................................................................... 38

Gambar II.12. Konsep Trigeneration sistem BGFT ............................................. 44

Gambar II.13. Konsep Trigeneration sistem BGFT yang dilengkapi dengan unit

reaksi pergeseran ................................................................................................... 44

Gambar II.14. Neraca Energi Konsep Trigeneration sistem BGFT yang dilengkapi

dengan unit reaksi pergeseran ............................................................................... 45

Gambar II.15. Perbandingan Kebutuhan Investasi untuk berbagai konfigurasi ... 45

Gambar III.1. Metodologi Penelitian Aplikasi Sintesis FT dari gas hasil gasifikasi

biomassa ................................................................................................................ 46

Gambar III.2. Peta pemrosesan biomassa menjadi cairan Fischer Tropsch. ........ 47

Gambar III.3. Langkah-langkah studi ketersediaan biomassa .............................. 49

Gambar III.4. Rute Proses BGFT yang akan dikaji .............................................. 50

Gambar III.5. Tahapan Kajian Ekonomi Proses BGFT ........................................ 51

Page 9: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

ix

DAFTAR TABEL

Tabel I.1 Potensi Energi Nasional (2004) ............................................................... 2

Tabel II.1. Emisi CO2 yang dihasilkan dalam produksi energi menggunakan

berbagai bahan baku ................................................................................................ 9

Tabel II.2 Rincian Potensi Biomassa di Indonesia.................................................. 9

Tabel II.3. Data Analisis Proksimat dan Elemental .............................................. 10

untuk beberapa jenis biomassa .............................................................................. 10

Sumber: Laohalidanond K, Jurgen Heil, Christain Wirtgen, The Production of

Synthetic Diesel from Biomass, 2008 ................................................................... 10

Tabel II.4. Rata-rata komposisi produk yang dihasilkan untuk beberapa jenis agen

gasifikasi ............................................................................................................... 13

Tabel II.5 Aspek-aspek Teknis Gasifikasi menggunakan Fluidized Bed ............. 18

Tabel II.6 Karakteristik berbagai jenis Gasifier .................................................... 19

Tabel II.7. Rangkuman data Kondisi Operasi Beberapa jenis gasifier ................. 22

Tabel II.8. Hasil Filtrasi Alkali ............................................................................. 29

Tabel II.9. Perbandingan partikulat dan kandungan tar untuk beberapa rancangan

reaktor gasifikasi biomassa ................................................................................... 30

Tabel II.10. Efisiensi Pemisahan Tar Relatif untuk berbagai jenis scrubber ........ 31

Tabel II.11. Efisiensi Pemisahan Tar penggunaan Wet Scrubber dalam sistem

Gasifikasi Biomassa .............................................................................................. 32

Tabel II.12. Tingkat pengurangan tar dan partikulat melalui penggunaan beberapa

sistem perbersihan gas........................................................................................... 37

Tabel II.13. Kondisi Pengoperasian Reaktor Fischer Tropsch ............................. 40

Tabel II.14. Perbedaan antara proses sintesis FT dalam reaktor fixed bed dan

slurry ..................................................................................................................... 41

Tabel II.15. Selektivitas dan Perolehan Produk pada berbagai Temperatur ......... 43

Page 10: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pertambahan jumlah penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan

perekonomian menyebabkan peningkatan konsumsi energi di Indonesia. Namun

peningkatan kebutuhan akan konsumsi energi tersebut tidak diiringi dengan

kestabilan harga dan pasokan energi yang mencukupi (Gambar I.1), sehingga

memunculkan permasalahan keamanan ketersediaan energi[1]. Dalam Blue Print

Energi Nasional 2005 – 2025, dinyatakan bahwa cadangan minyak bumi nasional

hanya tersisa hingga 18 tahun ke depan. Rincian potensi energi nasional (2004)

diberikan pada Tabel I.1 [2].

Gambar I.1 Perbandingan produksi dan konsumsi energi primer Indonesia

(1965-2007)

Sumber: BP, Statistical Review of World Energy 2009

Page 11: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

2

Tabel I.1 Potensi Energi Nasional (2004)

Jenis Energi

Fosil

Sumber

Daya

Cadangan

(proven +

possible)

Produksi

(per tahun)

Rasio

Cadangan/Produksi

(tanpa eksplorasi)

Tahun

Minyak 86,9 miliar

barel 9 miliar barel 500 juta barel 18

Gas 384,7 TSCF 182 TCSF 3,0 TSCF 61

Batubara 57 miliar ton 19,3 miliar ton 130 juta ton 147

Sumber: Blueprint Energi Nasional 2005-2025

Penggunaan energi fosil seperti minyak bumi, gas, dan batu bara juga

memunculkan isu lingkungan dalam hal emisi CO2 dan pemanasan global. Gas

rumah kaca seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan NO2 membentuk

lapisan di atmosfir yang dapat menahan panas yang akan keluar dari bumi

sehingga menyebabkan atmosfir bumi semakin panas (pemanasan global). Selain

CO2, penggunaan bahan bakar fosil juga menghasilkan emisi polutan seperti CO,

NO, SO2, VOC, POP, PAH, partikulat, logam beracun (Cd, Hg, As, dll.) ke udara.

Kepedulian terhadap permasalahan-permasalahan di atas mendorong keluarnya

kebijakan pengurangan konsumsi bahan bakar fosil dan peningkatan penggunaan

energi baru terbarukan (EBT) yang dituangkan dalam bentuk sasaran bauran

energi primer nasional 2025 sebagaimana diilustrasikan pada Gambar I.2 [3].

Salah satu upaya untuk memenuhi target bauran energi nasional tersebut adalah

penggalakkan penggunaan biomassa sebagai sumber energi.

Gambar I.2. Sasaran bauran energi nasional 2025

Page 12: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

3

Biomassa merupakan salah satu bentuk EBT yang tersedia dalam jumlah besar.

Biomassa yang banyak dihasilkan di Indonesia diantaranya adalah tandan kosong

sawit, tongkol jagung, dan sekam padi. Berdasarkan data Departemen

Pertanian[4], pada tahun 2008 produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 18 juta

ton. Dari produksi tersebut dihasilkan limbah tandan kosong kelapa sawit

sebanyak 22-23 % atau sekitar 4 juta ton. Sedangkan produksi jagung Indonesia

pada tahun 2008 mencapai 16 juta ton dan tersebar di area perkebunan seluas 4

juta hektar. Dari produksi jagung tersebut dihasilkan limbah tongkol jagung

sebanyak 1 ton per hektar atau sekitar 4 juta ton. Produksi padi yang mencapai 60

juta ton pada tahun 2009 juga menghasilkan limbah biomassa berupa sekam padi

sebanyak 35 % atau sekitar 21 juta ton.

Limbah biomassa tersebut memiliki berbagai variasi rute konversi termokimia.

Salah satu rute yang cukup menjanjikan adalah kombinasi antara gasifikasi

biomassa dan sintesis Fischer Tropsch (BGFT). Biomassa digasifikasi kemudian

produk gas yang telah dibersihkan digunakan dalam sintesis FT untuk

menghasilkan hidrokarbon rantai panjang yang kemudian dikonversikan menjadi

diesel ramah lingkungan.

I.2 Rumusan Masalah

Sintesis FT dari gas hasil gasifikasi biomassa bukan merupakan hal baru dalam

hal pengembangan teknologi pemanfaatan biomassa. Permasalahan utama yang

dihadapi oleh peneliti biomassa di Indonesia adalah melimpahnya ketersediaan

biomassa nasional namun hanya terkumpul dalam jumlah yang relatif kecil. Selain

itu, ketersediaan biomassa juga tidak terpusat di satu tempat saja, melainkan

tersebar di Kabupaten/Kota. Selain itu, sistem BGFT merupakan teknologi yang

terbilang mahal untuk diterapkan di Indonesia. Sebagai ilustrasi, produksi FT

diesel dari sistem BGFT berkapasitas 150 juta galon/tahun memakan biaya

$8,1/galon.

Page 13: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

4

Oleh karena itu, penelitian ini dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

sebagai berikut:

1. Bagaimana konfigurasi sistem BGFT yang cocok untuk diterapkan pada

biomassa di Indonesia?

2. Bagaimana kelayakan teknoekonomi implementasi sistem BGFT untuk

saat ini dan jangka panjang? Terutama terkait dengan kemampuan

pengumpulan jenis biomassa di lokasi tertentu.

Untuk menjawab rumusan permasalahan di atas akan dilakukan kajian sistem

BGFT untuk biomassa di Indonesia sesuai dengan ruang lingkup yang akan

diberikan dalam sub bab selanjutnya.

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mencari konfigurasi sistem BGFT yang cocok untuk diterapkan pada

biomassa di Indonesia.

2. Menentukan kapasitas sistem BGFT yang cocok dengan ketersediaan

biomassa di Indonesia.

3. Mengkaji kelayakan teknoekonomi proses BGFT di Indonesia untuk saat

ini dan jangka panjang.

4. Mengidentifikasi permasalahan pengembangan dan komersialisasi

teknologi BGFT.

I.4 Ruang Lingkup

Lingkup penelitian aplikasi sintesis FT pada gas hasil gasifikasi biomassa adalah:

1. Kajian pustaka mengenai ketersediaan teknologi proses yang terkait

dengan BGFT;

a. Teknologi gasifikasi biomassa

b. Teknologi pembersihan dan pengkondisian gas hasil gasifikasi

biomassa

c. Teknologi sintesis Fischer Tropsch

d. Teknologi Hydrocracking

Page 14: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

5

2. Studi ketersediaan bahan baku sistem BGFT;

3. Pemilihan lokasi perencanaan aplikasi sistem BGFT dan pemilihan

konfigurasi proses BGFT;

4. Penyusunan rancangan pabrik sistem BGFT sesuai dengan hasil studi

ketersediaan biomassa;

5. Kajian ekonomi penerapan sistem BGFT beserta analisis sensitivitas; dan

6. Analisis kemungkinan penerapan sistem BGFT di lokasi lain dengan

kapasitas yang sama

I.5 Sistematika Penulisan Laporan

Proposal Penelitian ini disusun menjadi 3 (tiga) bab utama. Bab I menyampaikan

latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup

penelitian, dan sistematika penulisan laporan. Hasil review mengenai alur pikir

dan perkembangan keilmuan terkait dengan proses gasifikasi biomassa,

pembersihan dan pengkondisian gas hasil gasifikasi, serta proses sintesis FT

diberikan pada Bab II. Laporan ini ditutup dengan paparan pemilihan sistem

proses dan metodologi penelitian pada Bab III.

Page 15: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Proses integrasi gasifikasi biomassa dengan sintesis Fischer Tropsch (BGFT)

secara umum dapat dideskripsikan menggunakan gambar II.1.

Gambar II.1. Skema Sistem Integrasi Gasifikasi Biomassa

dengan Sintesis Fischer Tropsch

Uraian mengenai masing-masing unit yang terkait dengan sistem BGFT akan

diuraikan pada sub bab selanjutnya.

II.1 Biomassa

Biomassa adalah sebutan yang diberikan untuk material yang tersisa dari tanaman

atau hewan seperti kayu dari hutan, material sisa pertanian serta limbah organik

manusia dan hewan. Energi yang terkandung dalam biomassa berasal dari

matahari. Melalui fotosintesis, karbondioksida di udara ditransformasi menjadi

molekul karbon lain (misalnya gula dan selulosa) dalam tumbuhan. Energi kimia

yang tersimpan dalam dalam tanaman dan hewan (akibat memakan tumbuhan atau

hewan lain) atau dalam kotorannya dikenal dengan nama bio-energi.

Ketika biomassa dibakar, energi akan terlepas, umumnya dalam bentuk panas.

Karbon pada biomassa bereaksi dengan oksigen di udara sehingga membentuk

karbondioksida. Apabila dibakar sempurna, jumlah karbondioksida yang

dihasilkan akan sama dengan jumlah yang diserap dari udara ketika tanaman

tersebut tumbuh.

Di alam bebas, biomassa yang dibiarkan begitu saja di tanah akan terurai dalam

waktu yang lama, melepaskan karbondioksida dan energi yang tersimpan

Page 16: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

7

perlahan-lahan. Dengan membakar biomassa, energi yang tersimpan akan cepat

terlepas dengan dan dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu proses konversi

biomassa menjadi energi yang berguna meniru proses alam dengan laju yang lebih

cepat.

Biomassa dapat digunakan langsung (misalnya membakar kayu untuk pemanas

dan memasak) dan dapat juga digunakan untuk produksi biofuel cair (biodiesel

dan alkohol) atau biofuel gas (biogas) yang dapat digunakan sebagai pengganti

bahan bakar fosil. Misalnya alkohol dari tebu dapat digunakan sebagai bahan

pengganti bensin atau biogas dari kotoran hewan dapat digunakan sebagai bahan

pengganti gas alam.

Listrik juga dapat dibangkitkan dari beberapa sumber biomassa sehingga dapat

dipasarkan sebagai “green power”. Secara alami biomassa memiliki berat jenis

yang rendah (bila dibandingkan dengan bahan bakar fosil, biomassa diperlukan

dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk memproduksi jumlah energi yang

sama). Oleh karena itu transportasi dan penanganannya akan jauh lebih sulit dan

memakan biaya. Biaya tersebut dapat direduksi dengan menempatkan generator

dekat sumber biomassa seperti tempat penggergajian, penggilingan gula, atau

penggilingan bubur kayu.

Meskipun biomassa merupakan sumber energi tertua yang dikenal oleh manusia,

kontribusinya terhadap total pemanfaatan energi di Indonesia bahkan di dunia

masih sangat kecil. Pemahaman akan keterbatasan cadangan sumber energi fosil

dan kepedulian terhadap keberlangsungan penyediaan sumber energi tersebut

menyebabkan munculnya ketertarikan peneliti terhadap pemanfaatan biomassa

pada tahun 1970an. Akan tetapi harga energi yang terus menurun saat itu

menyebabkan perkembangan teknologi biomassa tidak begitu pesat. Hingga pada

tahun 1980an kepedulian terhadap emisi CO2 yang disebabkan oleh penggunaan

energi fosil mengakibatkan dikeluarkannya Kyoto Protocol yang membatasi emisi

CO2 yang boleh dilepas ke udara. Untuk mencapai tujuan Kyoto Protocol,

proporsi penggunaan energi terbarukan terhadap total penggunaan energi terus

Page 17: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

8

ditingkatkan. Sejak saat itu ketertarikan dunia terhadap pemanfaatan biomassa

mulai meningkat lagi

II.1.1. Siklus Karbon Pemanfaatan Biomassa

Tanaman dapat mengambil CO2 dari atmosfir dan menyimpannya untuk

pertumbuhan. Pembakaran biomassa di rumah tangga, proses industri, aktivitas

pembangkitan energi, ataupun transportasi mengembalikan CO2 yang tersimpan

tersebut ke atmosfir. Tanaman yang baru tumbuh akan terus menjaga

keseimbangan siklus karbon di atmosfir melalui penangkapan kembali CO2.

Siklus karbon seperti itu, atau dikenal dengan nama net-zero carbon cycle, akan

terus terjaga selama biomassa tumbuh kembali di dalam siklus-siklus selanjutnya

(Gambar II.2). Oleh karena itu penggunaan sumber biomassa yang berkelanjutan

sangat berguna untuk memastikan keberlangsungan siklus karbon tersebut.

Gambar II.2. Net-Zero Carbon Cycle

Bary Judd (2003) dalam penelitiannya menyampaikan perbandingan emisi CO2

yang dihasilkan dari proses produksi bahan bakar dari berbagai jenis bahan baku.

Perbandingan tersebut diberikan dalam Tabel II.1. Dari Tabel tersebut terlihat

bahwa produksi FT diesel dari bahan baku biomassa kayu hanya menghasilkan

emisi CO2 sebesar 17 g/MJ. Jauh lebih kecil dibandingkan emisi CO2 yang

dihasilkan dari pemrosesan minyak bumi menjadi bahan bakar diesel (86 g/MJ).

Page 18: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

9

Tabel II.1. Emisi CO2 yang dihasilkan dalam produksi energi menggunakan

berbagai bahan baku

Sumber: Feasibility of Producing Diesel from Biomass in New Zealand, Bary Judd, 2003

II.1.2. Sumber Biomassa Indonesia

Biomassa di Indonesia terutama berasal dari limbah hutan, limbah kota, dan

limbah pertanian. Salah satu biomassa yang belum terlalu banyak pemanfaatannya

adalah tongkol jagung. Dari produksi jagung sebanyak 16 juta ton yang tersebar di

area perkebunan seluas 4 juta hektar dihasilkan limbah biomassa tongkol jagung

sebanyak 1 ton per hektar atau sekitar 4 juta ton. Selain itu masih banyak lagi

limbah pertanian dan perkebunan yang berpotensi untuk dijadikan bahan baku

proses BGFT. Rincian potensi biomassa di Indonesia[4] dapat dilihat pada Tabel

II.2.

Tabel II.2 Rincian Potensi Biomassa di Indonesia

No Komoditas Produksi

(ton)

Luas lahan

(ha)

Jenis limbah

biomassa

yang

dihasilkan

Produksi

limbah

biomassa

(ton/tahun)

Lokasi

dengan

produksi

terbesar

1 Kelapa

sawit

18,089,504

7,007,876

Tandan

kosong kelapa

sawit

3,979,691

Riau,

Sumatera

Utara,

Sumatera

Selatan

2 Jagung

16,317,251

4,001,724

Tongkol

jagung

4,001,724

Jawa Timur,

Jawa

Tengah,

Lampung

3 Padi

60,325,925

12,327,425 Sekam Padi

21,114,074

Jawa Timur,

Jawa Barat,

Jawa

Tengah

Perhitungan neraca massa dalam konversi termokimia biomassa membutuhkan

data-data karakteristik biomassa yang dinyatakan dalam bentuk analisis proksimat

dan elemental. Daya analisis proksimat dan elemental untuk beberapa jenis

biomassa[5] diberikan pada Tabel II.3.

Page 19: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

10

Tabel II.3. Data Analisis Proksimat dan Elemental

untuk beberapa jenis biomassa

Sumber: Laohalidanond K, Jurgen Heil, Christain Wirtgen, The Production of Synthetic

Diesel from Biomass, 2008

II.2 Gasifikasi Biomassa

Secara umum, terdapat 3 (tiga) rute konversi termal biomassa (Gambar II.3) yaitu

melalui pembakaran menggunakan udara berlebih, gasifikasi menggunakan udara

parsial, serta pirolisis dan hidrotermal.

Page 20: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

11

Gambar II.3. Rute Konversi Termal Biomassa

Dari ketiga rute tersebut, rute yang dapat digunakan untuk menghasilkan gas

produser dengan kandungan utama CO dan H2 adalah rute gasifikasi. Kedua jenis

bahan bakar tersebut kemudian dapat digunakan untuk dikonversi menjadi bahan

kimia lainnya. Tahapan-tahapan yang terjadi dalam rute konversi biomassa hingga

menjadi gas produser disampaikan pada sub bab berikutnya.

II.2.1 Pengolahan Awal Umpan Biomassa

Sebelum memasuki proses gasifikasi, biomassa harus melalui proses perlakuan

awal (pre treatment) seperti pengeringan dan pencacahan. Semakin kering umpan

biomassa, efisiensi gasifikasi akan meningkat tetapi kandungan hidrogen dalam

produk gas sintesis akan berkurang[6][7][8][9][10]. Hal tersebut menyebabkan

produk gas sintesis menjadi kurang menarik untuk digunakan dalam sintesis

Fischer Tropsch serta meningkatkan biaya produksi akibat proses pengeringan

biomassa[11]. Menurut Faaij dkk.[9], kadar air optimum untuk aplikasi gasifikasi

biomassa yang akan dilanjutkan dengan siklus kombinasi berkisar antara 10-15%.

Pengeringan dapat dilakukan menggunakan gas buang ataupun kukus. Pada proses

sintesis FT dapat dihasilkan sejumlah kukus berkualitas rendah, oleh karena itu

pengeringan menggunakan kukus lebih disukai. Selain itu, pengeringan

menggunakan kukus menghasilkan emisi yang lebih rendah dan lebih aman

apabila mempertimbangkan kemungkinan terjadinya ledakan debu.

Page 21: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

12

II.2.2 Gasifikasi Biomassa

Proses konversi biomassa menjadi gas umpan dengan kandungan utama gas H2

dan CO2 yang dibutuhkan untuk proses sintesis Fischer Tropsch terjadi di dalam

reaktor gasifikasi.

Gasifikasi biomassa merupakan reaksi konversi termal endotermik yang

mengubah bahan bakar padat menjadi gas yang mudah terbakar. Oksigen, udara,

kukus, atau kombinasi dari senyawa-senyawa tersebut dalam jumlah terbatas

dapat berperan sebagai agen oksidasi. Produk gas terdiri atas karbonmonoksida

(CO), karbondioksida (CO2), hidrogen (H2), metan (CH4), sedikit hidrokarbon

berantai lebih tinggi (etena, etana), air, nitrogen (apabila menggunakan udara

sebagai oksidan), dan berbagai kontaminan seperti partikel arang, debu, tar,

hidrokarbon rantai tinggi, alkali, amoniak, asam, dan senyawa-senyawa

sejenisnya.

Peneliti-peneliti di seluruh dunia telah melakukan analisis proses gasifikasi

biomassa dengan fokus pada agen gasifikasi, sistem penyediaan panas, tekanan

proses, dan reaktor yang digunakan.

II.2.1 Agen Gasifikasi

Salah satu reaksi yang berjalan di dalam reaktor gasifikasi adalah reaksi oksidasi

komponen C dan H dalam biomassa menjadi CO2 dan H2O. Suplai oksigen

sebagai media oksidasi dapat berupa udara, oksigen murni, ataupun udara yang

kaya oksigen. Kekurangan dari proses gasifikasi menggunakan udara adalah

dominasi nitrogen dalam produk gas yang menyebabkan pembengkakan ukuran

peralatan di sektor hilir[11].

Gasifikasi dengan oksigen sebagai media oksidasi lebih menguntungkan dari segi

ukuran alat di sektor hilir, energi kompresi, dan tekanan parsial komponen Fischer

Tropsch yang lebih tinggi[11]. Oksigen murni sangat mahal, akan tetapi dapat

diakali dengan menggunakan udara yang kaya akan oksigen. Penggunaan udara

yang kaya akan oksigen memberikan kombinasi keuntungan pengurangan ukuran

Page 22: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

13

peralatan dan media yang tidak terlalu mahal. Perangkat pemisahan udara untuk

produksi udara yang kaya akan oksigen dengan kapasitas 576 ton O2/hari

memakan biaya sekitar 41,8 juta USD[11]. Tabel II.4. menunjukkan perbandingan

variasi komposisi produk gasifikasi dengan oksigen, udara, dan kukus.

Tabel II.4. Rata-rata komposisi produk yang dihasilkan untuk beberapa jenis agen

gasifikasi

Agen

Gasifikasi Udara O2 H2O

H2 15% 40% 40%

CO 20% 40% 25%

CH4 2% - 8%

CO2 15% 20% 25%

N2 48% - 2%

H2/CO 0.75 1 1.6

Sumber: Gasification of Biomass – An Overview

on Available Technologies, ZSW

II.2.2 Sistem Penyediaan Panas pada Reaktor Gasifikasi

Kebutuhan panas proses gasifikasi dapat dipenuhi melalui 2 (dua) jenis proses

yaitu autothermal dan allothermal. Pada proses autothermal, kebutuhan panas

dipenuhi dari proses oksidasi biomassa yang bersifat eksotermik. Sedangkan pada

proses allothermal, kebutuhan panas dipenuhi dari sumber eksternal. Contoh

sumber panas eksternal yang banyak digunakan adalah sirkulasi padatan panas

dan penukar panas terintegrasi.

Menurut Karellas, Karl, dan Kakaras[12], gasifikasi allothermal dapat

menghasilkan produk gas yang memiliki nilai kalor tinggi, sehingga gas tersebut

selanjutnya dapat dibakar untuk menghasilkan panas dan listrik. Akan tetapi

terdapat tantangan utama dalam gasifikasi allothermal yaitu dalam hal

perpindahan panas dari sumber panas eksternal ke dalam gasifier. Oleh karena itu

Karellas dkk. melakukan inovasi teknologi gasifikasi allothermal menggunakan

reaktor yang diberi nama Biomass Heatpipe Reformer (BioHPR). Pada teknologi

ini, perpindahan panas dari ruang pembakaran ke dalam gelembung gasifier

unggun terfluidisasi dilakukan menggunakan pipa pemanas. Penelitian Karellas

Page 23: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

14

dkk. menunjukkan bahwa sistem dengan efisiensi sangat tinggi dapat tercapai

apabila gasifikasi biomassa dilakukan pada temperatur yang tinggi dan nisbah

kukus berlebih yang rendah.

Senada dengan Karrelas dkk., Keng Tung Wu dan Hom Ti Lee[13] juga

menganjurkan penggunaan proses gasifikasi allothermal. Hasil penelitian mereka

menunjukkan bahwa proses gasifikasi allothermal dapat menghasilkan nilai panas

gas sintesis yang lebih tinggi (mencapai 12 MJ/m3) dibandingkan dengan sistem

autothermal (4,2 s.d. 6,3 MJ/m3). Selain itu, gas sintesis hasil gasifikasi

allothermal memiliki kandungan hidrogen lebih banyak dan kandungan tar lebih

sedikit. Akan tetapi jika dipandang dari neraca energi keseluruhan, keluaran

energi bersih (netto) untuk proses gasifikasi allothermal dapat menjadi lebih

rendah dibandingkan proses autothermal. Hal tersebut disebabkan fakta bahwa

sumber energi eksternal dapat mengkonsumsi lebih banyak energi dan

kemungkinan terjadinya hilang panas melalui dinding pipa.

II.2.3 Reaktor Gasifikasi

Saat ini terdapat 3 (tiga) jenis utama reaktor gasifikasi yaitu reaktor unggun tetap

(fixed bed), reaktor unggun terfluidakan (fluidized bed), dan reaktor entrained

flow. Ketiga jenis reaktor tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-

masing yang akan diuraikan pada sub bab berikutnya.

II.2.3.1. Reaktor Unggun Tetap

Di dalam reaktor unggun tetap, biomassa akan mengalir ke bawah (turun)

sedangkan gas dapat mengalir ke atas (counter-current) ataupun ke bawah (co-

current). Di dalam aliran counter-current, gas keluaran reaktor memiliki

temperatur sekitar 80-100oC dan dihasilkan banyak tar. Oleh karena itu reaktor

jenis ini biasanya langsung dipasangkan dengan combuster. Jenis reaktor aliran

counter-current ini digunakan oleh Primenergy (PRM) dan Lurgi. Keuntungan

penggunaan reaktor unggun tetap counter-current adalah sebagai berikut:

Page 24: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

15

~ Sederhana, proses lebih murah

~ Dapat menangani biomassa yang memiliki kandungan air dan material

anorganik tinggi (misalnya sampah kota)

~ Teknologi yang sudah terbukti (proven)

Sedangkan kekurangan utama dari penggunaan gasifier jenis ini adalah kandungan

tar yang mencapai 10-20% berat, sehingga dibutuhkan proses pembersihan gas

yang lebih ekstensif sebelum dilanjutkan ke unit operasi lainnya.

Di dalam reaktor unggun tetap aliran co-current, gas keluaran reaktor umumnya

memiliki temperatur 700oC. Di dalam jenis aliran ini, kandungan air harus kurang

dari 20% untuk menjaga temperatur tetap tinggi. Kandungan debu harus rendah

dan non-slagging. Umpan harus memiliki ukuran partikel yang seragam. Jenis

reaktor co-current digunakan oleh Community Power BioMAX. Keunggulan

reaktor jenis ini adalah:

~ Hampir 99,9% tar yang terbentuk dikonsumsi kembali, sehingga hampir

tidak membutuhkan proses pembersihan tar

~ Mineral terbawa dalam char/debu, sehingga kebutuhan siklon dapat

dikurangi

~ Teknologi proven, sederhana, dan biaya yang dibutuhkan lebih murah

Meskipun demikian, masih terdapat kekurangan teknologi unggun tetap co-

current ini, yaitu:

~ Membutuhkan pengeringan umpan hingga kandungan airnya <20%

~ Gas sintesis yang keluar dari reaktor memiliki temperatur yang tinggi,

sehingga membutuhkan sistem pemanfaatan panas sekunder

~ 4-7% kandungan karbon tidak terkonversikan

Skema reaktor unggun tetap diberikan pada Gambar II.4.

Page 25: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

16

Gambar II.4. Skema reaktor unggun tetap aliran counter-current (kiri) dan co-current

(kanan)

Sumber: Biomass Thermochemical Conversion, Paul Grabowski, 2004

II.2.3.2. Reaktor Unggun Terfluidakan

Terdapat 2 (dua) jenis pengoperasian reaktor unggun terfluidakan yaitu bubbling

fluidized bed (BFB) dan circulating fluidized bed (CFB). Di dalam reaktor BFB,

aliran gas mengalir ke atas melalui unggun yang terdiri atas material granuler

yang bebas bergerak (misalnya pasir). Kecepatan aliran gas harus cukup tinggi

untuk menjaga agar pasir tetap berada pada kondisi terfluidisasi. Gas yang

digunakan umumnya adalah udara, oksigen, ataupun kukus. Sedangkan material

pasir yang umum digunakan adalah dolomite, calcite, atau alumina. Jenis reaktor

unggun terfluidakan memiliki keunggulan dalam hal pencampuran yang baik serta

perpindahan massa dan panas yang baik pula. Gasifikasi yang dijalankan pada

reaktor jenis ini sangat efisien dan umumnya dapat mencapai konversi karbon 95-

99%. Debu yang terbawa oleh gas dipisahkan menggunakan siklon. Jenis reaktor

BFB (Gambar II.5) digunakan oleh EPI, GTI-RENUGAS, Carbona, Foster-

Wheeler, dan MTCI.

Keunggulan penggunaan gasifier BFB adalah:

~ Perolehan gas produk lebih seragam

~ Profil temperatur di sepanjang reaktor lebih seragam

~ Rentang ukuran partikel yang dapat dioperasikan dalam gasifier ini lebih

lebar, termasuk partikel halus

Page 26: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

17

~ Laju perpindahan panas antara material inert, bahan bakar, dan gas lebih

cepat

~ Konversi tinggi sedangkan produk tar dan karbon yang tak terkonversi

rendah

Kekurangan utama penggunaan gasifier BFB adalah kemungkinan terbentuknya

ukuran gelembung yang besar di sepanjang unggun.

Gambar II.5. Skema Reaktor Bubbling Fluidized Bed

Sumber: Biomass Thermochemical Conversion, Paul Grabowski, 2004

Apabila kecepatan aliran gas melewati 9 m/s, hampir seluruh padatan material

pasir terbawa oleh aliran sehingga pengoperasian reaktor menjadi CFB. Material

pasir dipisahkan dari aliran gas di dalam siklon sedangkan debu-debu halus

dipisahkan dari gas menggunakan dusting equipment. Jenis reaktor CFB (Gambar

II.6) digunakan oleh FERCO. Keunggulan reaktor CFB adalah:

~ cocok untuk reaksi yang berjalan dengan cepat,

~ laju perpindahan panas cepat akibat pengaruh dari kapasitas panas material

unggun yang tinggi

~ diperoleh konversi tinggi, produksi tar rendah, dan karbon tak terkonversi

rendah

Kelemahan reaktor ini adalah:

~ terbentuknya gradient temperatur di arah aliran padatan,

~ ukuran partikel sangat menentukan laju transport minimum, kecepatan

yang terlalu tinggi dapat menyebabkan erosi peralatan,

~ perpindahan panas tidak seefisien BFB.

Page 27: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

18

Gambar II.6. Skema Reaktor Circulated Fluidized Bed

Sumber: Biomass Thermochemical Conversion, Paul Grabowski, 2004

Tijmensen dkk[18] telah melakukan kajian teknis kondisi proses gasifikasi

menggunakan gasifier unggun terfluidakan. Hasil kajian tersebut diberikan pada

Tabel II.5. Mereka juga mengkaji berbagai jenis gasifier yang tersedia dan sedang

dikembangkan. Hasil kajian yang diberikan pada Tabel II.6. menunjukkan rentang

komposisi gas sintesis yang cukup luas sehingga dapat merepresentasikan variasi

CO:H2 maksimum yang masih mungkin dicapai.

Tabel II.5 Aspek-aspek Teknis Gasifikasi menggunakan Fluidized Bed Gasifikasi bertekanan

(+) Peralatan di sisi hilir lebih kecil dan secara

umum lebih murah terutama untuk

peralatan berskala besar

(-) Reaktor gasifikasi (gasifier) memakan

biaya yang lebih besar apabila skala proses

lebih kecil

(-) Sulit menjaga laju massa di dalam gasifier

agar tetap konstan, sehingga pengalaman

operasi masih terbatas pada proyek-proyek

demo

Gasifikasi atmosferik

(-) Ukuran peralatan di sisi hilir lebih besar

(+) Reaktor gasifikasi (gasifier) memakan

biaya yang lebih murah apabila skala

proses lebih kecil

(+) Terdapat banyak pengalaman komersial

menggunakan udara sebagai agen

gasifikasi

Oksigen

(-) Dibutuhkan pabrik pemisahan udara,

sehingga skala kecil kurang ekonomis

(+) Tidak terjadi pelarutan gas sintesis oleh N2

Udara

(+) Proses lebih murah

(+) Gas sintesis larut dalam N2, berpengaruh

pada selektivitas C5+

Pemanasan Langsung

(+) Produksi tar lebih sedikit

Pemanasan Tidak Langsung

(-) Produksi tar lebih banyak

Sumber: Exploration of the possibilities for production of Fischer Tropsch liquids and power

via biomass gasification, Tijmensen, 2002

Page 28: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

Tabel II.6 Karakteristik berbagai jenis Gasifier

Sumber: Exploration of the possibilities for production of Fischer Tropsch liquids and power via biomass gasification, Tijmensen, 2002

Page 29: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

II.2.3.3. Reaktor Entrained Flow

Reaktor entrained flow dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu slagging dan non

slagging. Di dalam gasifier slagging, komponen-komponen yang terbentuk dari

parikel debu dapat meleleh di dalam gasifier, mengalir turun di sepanjang dinding

reaktor, dan meninggalkan reaktor dalam bentuk slag cair. Secara umum, laju alir

massa slag sekurang-kurangnya 6 % dari laju alir bahan bakar untuk memastikan

proses berjalan dengan baik[17]. Di dalam gasifier non slagging, dinding reaktor

tetap bersih dari slag. Jenis gasifier ini cocok untuk umpan yang kandungan

partikel debu nya tidak terlalu tinggi. Skema reaktor entrained flow diberikan

pada Gambar II.7.

Gambar II.7. Skema Reaktor Entrained Flow

Sumber: Biomass Thermochemical Conversion, Paul Grabowski, 2004

Kelakuan partikel debu yang dihasilkan oleh biomassa diteliti secara detail oleh

Boerrigter dkk[17]. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa partikel debu yang

dihasilkan oleh biomassa, khususnya biomassa kayu, sulit meleleh pada

temperatur operasi gasifier entrained flow (1300-1500 oC). Hal tersebut

disebabkan kenyataan bahwa partikel debu tersebut banyak mengandung CaO.

Oleh karena itu gasifier non slagging sepertinya menjadi pilihan utama untuk

proses gasifikasi, juga dengan pertimbangan bahwa jenis gasifier ini lebih murah.

Akan tetapi gasifier entrained flow jenis slagging lebih disukai untuk operasi

gasifikasi dengan umpan biomassa. Alasan yang paling penting adalah (1)

pelelehan sebagian kecil komponen partikel debu tidak akan pernah dapat

Page 30: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

21

dihindari dan (2) gasifier entrained flow jenis slagging lebih fleksibel terhadap

jenis biomassa yang akan digunakan. Fleksibilitas jenis umpan ini bahkan dapat

diperluas hingga ke batu bara. Penambahan agen fluks seperti silica atau clay

diperlukan. Selain itu recycle slag juga diperlukan.

Penggunaan reaktor entrained flow jenis slagging untuk batu bara sudah dapat

diaplikasikan. Oleh karena itu, penambahan material fluks menyebabkan slag

yang dihasilkan melalui gasifikasi biomassa menjadi mirip dngan slag yang

dihasilkan oleh gasifikasi batu bara. Sehingga tidak terdapat permasalahan untuk

proses gasifikasi itu sendiri apabila umpan yang digunakan bukan batu bara,

melainkan biomassa. Akan tetapi tantangan utama yang timbul adalah dalam hal

pengumpanan biomassa[17].Sebagaimana telah dikaji oleh peneliti-peneliti di

seluruh dunia, proses gasifikasi dapat terjadi pada tekanan yang berbeda, melalui

proses pemanasan langsung ataupun tidak langsung, serta menggunakan udara

atau oksigen.

II.2.4 Kondisi Operasi Proses Gasifikasi

Proses gasifikasi bertekanan memiliki beberapa keuntungan secara ekonomi:

ukuran reaktor gasifikasi yang dibutuhkan lebih kecil sehingga kapasitas reaktor

dapat ditingkatkan semaksimum mungkin, tidak dibutuhkan kompresi tambahan

(karena proses sintesis FT selanjutnya bertekanan tinggi), temperatur dapat dijaga

tetap tinggi apabila proses selanjutnya membutuhkan umpan bertemperatur tinggi.

Akan tetapi pada tekanan di atas 25-30 bar, gasifier harus dibangun menggunakan

bahan yang lebih tahan tekanan dan proses pengumpanan menjadi mahal[11].

Ciferno dan Marano (2002) telah melakukan benchmark terhadap berbagai

teknologi gasifikasi biomassa. Dalam studinya, mereka memberikan rangkuman

data rata-rata kondisi operasi untuk beberapa jenis gasifier yang diberikan pada

Tabel II.7.

Page 31: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

22

Tabel II.7. Rangkuman data Kondisi Operasi Beberapa jenis gasifier

Sumber: Benchmarking Biomass Gasification Technologies for Fuels, Chemicals, and

Hydrogen Production, Ciferno dan Marano, 2002

Gasifikasi biomassa di dalam interconnected fluidized beds diteliti oleh Laihong

Shen, Yang Gao, dan Jun Xiao dari China[16]. Interconnected fluidized beds

menyerupai circulating fluidized bed (CFB) yang dilengkapi dengan ekstra

bubbling fluidized bed setelah siklon. CFB dirancang untuk pembakaran umpan

menggunakan udara, sedangkan bubbling fluidized bed dirancang untuk gasifikasi

umpan menggunakan kukus. Kontak langsung antara proses gasifikasi dan

pembakaran harus dihindari; kebutuhan panas gasifikasi diperoleh dari sirkulasi

partikel unggun. Produk gas kaya H2 yang dihasilkan bebas dari larutan N2

meskipun media pembakaran yang digunakan adalah udara. Hasil-hasil yang

diperoleh antara lain:

Temperatur gasifikasi harus berada pada rentang 750 – 800 oC, sedangkan

temperatur pembakaran haruslah 920 oC, dan rasio kukus/biomassa harus

berada pada rentang 0,6-0,7.

Ketika temperatur gasifier ditingkatkan, kandungan H2 meningkat drastis,

dan mencapai nilai maksimum pada temperatur sekitar 800 oC selanjutnya

konstan. CO di dalam fuel gas meningkat seiring dengan peningkatan

temperatur gasifier, sementara CO2 dan CH4 menurun.

Kandungan H2 dan CO2 meningkat perlahan seiring dnegan peningkatan

rasio kukus/biomassa, sementara kandungan CO terus menurun

Page 32: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

23

Increment perolehan hidrogen cukup besar seiring dengan rasio

kukus/biomassa pada temperatur gasifikasi yang lebih rendah (di bawah

750 oC). Terdapat nilai optimal rasio kukus/biomassa terhadap temperatur

gasifier. Rasio kukus/biomassa terhadap perolehan hidrogen maksimal

berkurang seiring kenaikan temperatur gasifikasi.

Konversi karbon pada biomassa berkurang seiring dengan kenaikan

temperatur gasifier dan rasio kukus/biomassa. Untuk mempertahankan

temperatur gasifier, resirkulasi partikel unggun harus dijaga pada rentang

4-14 untuk temperatur pembakaran 920 oC, temperatur gasifier antara 750-

800 oC, dan rasio kukus/biomassa = 0,7.

II.3 Pemrosesan Gas Sintesis

Gas sintesis yang dihasilkan dari gasifikasi biomassa memiliki kandungan utama

H2, CO, CO2, dan CH4. Komposisi gas-gas tersebut di dalam gas sintesis dapat

disesuaikan dengan kebutuhan proses sintesis FT menggunakan proses reformasi

metana (mengkonversikan CH4 menggunakan kukus menjadi CO dan H2), reaksi

pergeseran (menyesuaikan rasio H2/CO dengan mengkonversikan CO

menggunakan kukus menjadi H2 dan CO2), dan penghilangan CO2 yang dapat

mengurangi komposisi gas-gas inert yang akan masuk ke dalam proses FT. Reaksi

reformasi metana dijalankan di dalam autothermal reformer (ATR), sedangkan

penghilangan CO2 dilakukan menggunakan proses amine treating.

II.4 Pembersihan Gas Hasil Gasifikasi

Gas sintesis yang dihasilkan dari proses gasifikasi mengandung berbagai

kontaminan seperti partikulat, tar yang mudah terkondensasi, senyawa alkali, H2S,

HCl, NH3, dan HCN. Kontaminan-kontaminan tersebut dapat menurunkan

aktivitas sintesis FT akibat peracunan katalis. Sulfur merupakan racun katalis Co

dan Fe (juga merupakan racun bagi katalis reaksi pergeseran dan reformasi),

karena dapat menutupi area aktif katalis. Toleransi terhadap kontaminan tersebut

sangat rendah, sehingga diperlukan proses pembersihan yang lebih mendalam.

Page 33: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

24

Skema teknologi berbagai strategi pembersihan gas hasil gasifikasi dan teknologi

yang sudah dikembangkan baik secara komersial maupun dalam tahap

demonstrasi diberikan dalam Gambar II.8.

Gambar II.8. Teknologi Pembersihan Gas

Sumber: Biomass Gasifier ‘Tars’: Their Nature, Formation, and Conversion

11.5.1. Teknologi Pemisahan Partikulat

Kebutuhan proses pemisahan partikulat sangat bervariasi, bergantung pada

penggunaan produk gas selanjutnya. Sebagai ilustrasi, kandungan partikulat harus

dikurangi hingga di bawah 50 mg/Nm3 apabila ingin digunakan dalam gas engine

(Abatzoglou dkk., 2000), di bawah 15 mg/Nm3 (>5m) untuk turbin, dan sekitar

0,02 mg/Nm3 untuk gas sintesis (Graham dan Bain, 1993). Jenis-jenis teknologi

yang umum digunakan untuk pemisahan partikulat antara lain: cyclonic filter,

barrier filter, electrostatic filter, dan wet scrubber. Penjelasan untuk masing-

masing teknologi akan disampaikan pada sub bab selanjutnya.

Page 34: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

25

11.5.1.1. Cyclonic Filter

Cyclonic Filter merupakan unit utama yang digunakan untuk menghilangkan

partikulat curah dari aliran gas. Siklon ini menggunakan gaya sentrifugal untuk

memisahkan padatan dari gas dengan mengarahkan aliran gas menuju jalur

melingkar. Karena pengaruh gaya inersia, partikulat tidak akan mampu mengikuti

jalur tersebut sehingga akan terpisahkan dari aliran gas. Meskipun secara fisik

pemisahan partikulat cukup kompleks, filter siklon dengan kinerja yang sudah

diprediksikan sebelumnya dapat dirancang menggunakan teknologi teoritis dan

empiris yang sudah dikembangkan selama ini.

Filter siklon (seringkali dirancang sebagai tube berbentuk U) umumnya digunakan

sebagai langkah pembersihan gas yang paling pertama di sebagian besar sistem

gasifikasi karena unit ini dipandang cukup efektif dan relatif murah untuk

dibangun dan dioperasikan. Di dalam gasifier unggun terfluidakan ataupun

entrained bed, sikon merupakan bagian terintegrasi dalam perancangan reaktor

yang digunakan untuk memisahkan material unggun dan partikulat lainnya dari

aliran gas.

Filter partikulat efektif untuk memisahkan partikel yang ukurannya lebih besar

dan dapat dioperasikan pada rentang temperatur yang cukup besar. Batasan

utamanya hanya pada segi bahan konstruksi. Filter siklon, seringkali dirancang

dalam bentuk beberapa unit yang dipasang seri (multi-clones), dapat memisahkan

>90% partikulat berdiameter 5m dengan penurunan tekanan minimum 0,01 atm.

Pemisahan partikulat dengan diameter 1-5m secara parsial juga masih

memungkinkan, namun filter siklon menjadi tidak efektif untuk memisahkan

partikel sub-micron. Karena filter siklon dapat dioperasikan pada temperatur

tinggi, panas sensible dalam produk gas dapat dipertahankan.

Filter siklon juga dapat memisahkan tar yang terkondensasi dan material alkali

dari aliran gas, namun bentuk uap dari kedua jenis kontaminan tersebut masih

akan terbawa oleh aliran gas. Dalam praktiknya, pemisahan sejumlah tar secara

signifikan dapat dilakukan secara sekuensial dengan cara memisahkan partikulat

Page 35: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

26

pada temperatur yang lebih tinggi sehingga tar akan tetap berada pada fasa gas.

Aliran gas kemudian didinginkan dan tar yang terkondensasi kemudian

dipisahkan. Cara tersebut dapat mengurangi kecenderungan menempelnya

partikulat di permukaan terlapisi tar yang dapat menyebabkan penyumbatan.

Filter siklon sangat sering digunakan dalam berbagai proses dan tersedia secara

komersial dari berbagai vendor. Teknologi filter siklon merupakan teknologi yang

sudah matang dan pengembangannya di masa depan dapat dikatakan tidak akan

terlalu signifikan.

11.5.1.2. Barrier Filter

Barrier filter terdiri atas material berpori yang dapat dilewati aliran gas namun

tidak dapat dilewati oleh partikulat. Filter jenis ini dapat memisahkan partikulat

berdiameter kecil dalam rentang 0,5-100 m. Barrier filter dapat dirancang untuk

memisahkan hampir semua ukuran partikulat, termasuk rentang sub-micron,

namun penurunan tekanan di sepanjang filter akan meningkat seiring dengan

penurunan ukuran pori. Sehingga terdapat hambatan teknik dan ekonomi dalam

penggunaan sistem tersebut untuk pemisahan partikel dengan ukuran di bawah 0,5

m.

Barrier filter dibersihkan dengan cara melewatkan pulse gas bersih secara

periodik melewati filter dengan arah yang berlawanan dengan aliran gas normal.

Untuk mengurangi beban partikulat secara keseluruhan, filter tersebut

ditempatkan setelah filter siklon. Barrier filter sangat efektif untuk memisahkan

partikulat kering namun kurang cocok untuk kontaminan yang basah dan lengket

seperti tar. Tar dapat menempel di permukaan filter hingga terjadi reaksi

karbonisasi yang menyebabkan pengerakan dan penyumbatan.

Jenis barrier filter yang cocok untuk digunakan dalam sistem biomassa antara

lain:

filter cross-flow yang dibangun menggunakan logam atau keramik

bag filter yang dibangun dari material kayu

packed bed filter

Page 36: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

27

11.5.1.3. Electrostatic Filter

Electrostatic Filter sangat sering digunakan di dalam berbagai operasi

pembersihan gas. Di dalam sistem ini, produk gas mengalir melalui elektroda

bertegangan tinggi yang mengalirkan arus listrik ke partikulat, namun tidak

mempengaruhi aliran gas permanen. Partikulat kemudian dikumpulkan sementara

aliran gas mengalir melewati pelat pengumpul pada kutub yang berlawanan.

Partikulat yang sudah dialiri arus kemudian bermigrasi ke pelat pengumpul dan

mengendap di permukaannya. Partikulat dipisahkan dari pelat menggunakan

metode basah atau kering. Scrubber kering menggunakan aksi mekanik untuk

memisahkan material dari permukaan secara periodik dan dioperasikan pada

temperatur 500 oC atau lebih. Sedangkan scrubber basah memisahkan partikulat

menggunakan aliran air yang membentuk film tipis di permukaan dan

dioperasikan pada temperatur sekitar 65 oC.

Electrostatic Filter telah banyak digunakan dalam sistem pembangkit listrik

batubara dan digunakan juga dalam beberapa fasilitas pembakaran biomassa.

Penggunaannya dalam gasifikasi skala menengah ataupun besar masih terbatas.

Electrostatic Filter paling cocok untuk digunakan dalam operasi skala besar

karena ukuran fisik dan harganya. Satu-satunya hambatan penggunaan filter ini

dalam sistem gasifikasi hanya dari segi ekonomi.

Contoh pengguna jenis filter ini adalah Easymon AG gasifier di Boizenberg

Jerman dan Harboore gasifier di Denmark. Kedua sistem tersebut memproduksi

bahan bakar untuk gas engine dan memiliki pembangkit listrik dengan kapasitas

3,5 dan 1 MW. Pada kedua kasus tersebut, gas diproduksi menggunakan gasifier

fixed bed up draft. Di Jerman, gas pertama kali didinginkan kemudian dilewatkan

pada siklon dan catalytic tar cracker. Sedangkan Electrostatic Precipitator

(kering) dipasang di bagian akhir untuk memisahkan sisa-sisa partikulat. Di

Denmark, sistem tidak memiliki tar cracker dan gas yang sudah didinginkan

melewati siklon kemudian langsung dialirkan ke electrostatic precipitator basah.

Pada kedua kasus, produk gas sama-sama dilewatkan ke wet scrubber sebelum

digunakan.

Page 37: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

28

11.5.1.4. Wet Scrubber

Wet Scrubber menggunakan penyemprot cair, umumnya air, untuk memisahkan

partikulat. Partikel dikumpulkan melalui tumbukan dengan tetesan cairan,

kemudian tetesan tersebut dipisahkan kembali dari aliran gas di dalam demister.

Wet Scrubber yang paling umum digunakan adalah venturi scrubber yang dapat

menciptakan penurunan tekanan sehingga larutan dapat disemprotkan dengan

mudah ke aliran gas. Kecepatan gas berkisar antara 60 s.d. 125 m/detik di area

„tenggorokan‟. Efisiensi pemisahan partikulat sebanding dengan penurunan

tekanan di sepanjang venturi. Dengan penurunan tekanan antara 2,5-25 kPa,

scrubber jenis ini dapat memisahkan 99,9% partikel berukuran di atas 2 m, dan

95-99% partikel 1 m (Baker dkk, 1986).

Partikulat basah dari venturi kemudian dipisahkan dari aliran gas menggunakan

demister. Demister dapat berbentuk siklon, packed bed, ataupun jenis pengumpul

lainnya. Proses Wet Scrubbing mengharuskan air tetap berada pada fasa cair,

sehingga produk gas harus didinginkan hingga di bawah 100 oC. Kehilangan

panas sensible tersebut biasanya tidak diinginkan.

Sebagian besar sistem gasifikasi biomassa yang menggunakan Wet Scrubber

umumnya menggunakan teknologi tersebut semata-mata untuk memisahkan tar,

bukan partikulat. Penghilangan partikulat secara terpisah dapat mencegah

kondensasi tar lengket pada permukaan partikulat, sehingga pengerakan dan

penyumbatan dapat dicegah. Penggunaan Wet Scrubber untuk memisahkan tar

akan dijelaskan lebih detail pada sub bab selanjutnya.

11.5.2. Teknologi Pemisahan Senyawa Alkali

Mineral dalam biomassa bung gaanyak mengandung garam-garam alkali,

terutama potasium. Pada temperatur sekitar 800 0C garam alkali dapat menguap

sehingga apabila didinginkan di sisi hilir akan mengendap dan menimbulkan

masalah. Umumnya gasifier yang digunakan dalam skala besar bekerja pada

temperatur 700-900 oC, oleh karena itu senyawa alkali sangat mungkin muncul

pada berbagai sistem gasifikasi. Senyawa alkali akan tetap berada pada fasa uap di

Page 38: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

29

dalam aliran gas hingga terjadi kondensasi ketika gas didinginkan hingga

temperatur di bawah 650 oC. Uap alkali akan terkondensasi menjadi partikulat

kecil (<5 m) dan dapat juga terkondensasi di permukaan partikulat lain ataupun

di permukaan sistem. Pemisahan material terkondensasi ini sangat penting apabila

gas akan digunakan pada aplikasi seperti tubin gas. Karena pada aplikasi tersebut,

senyawa alkali akan teruapkan kembali pada temperatur tinggi dan terbawa ke

zona pembakaran.

Pada kebanyakan sistem gasifikasi saat ini, uap alkali dipisahkan dengan cara

mendinginkan produk gas hingga temperatur di bawah 600 oC agar senyawa alkali

dapat terkondensasi menjadi partikulat padat. Padatan kemudian dipisahkan

menggunakan berbagai sistem filtrasi yang telah dijabarkan sebelumnya. Pada

sistem yang sensitif terhadap endapan garam alkali, sistem filtrasi harus

memperhitungkan ukuran partikel yang sangat kecil dan kelakuan kimia dari

material alkali yang terkondensasi tersebut. Siklon misalnya, akan menjadi tidak

efektif untuk memisahkan padatan berukuran < 5 m.

Saat ini, metode yang paling efektif untuk memisahkan alkali adalah dengan cara

mendinginkan produk gas hingga temperatur operasi teknologi pemisahan padatan

lainnya seperti electrostatic filter, bag filter, atau wet scrubber. Meskipun sistem

tersebut cukup efektif, kebutuhan pendinginan produk gas dan kehilangan panas

sensible dapat mengurangi efisiensi sistem.

Turn dkk. (1999) melakukan kajian pemisahan alkali dari sebuah sistem gasifikasi

yang dijalankan pada temperatur 825 oC yang dilengkapi dengan filter bauksit

pada temperatur 650-725 oC. Hasil penelitiannya diberikan dalam Tabel II.8.

Tabel II.8. Hasil Filtrasi Alkali

Alkali Konsentrasi terukur

tanpa filter bauksit

(ppm)

Konsentrasi terukur

dengan filter bauksit

(ppm)

Na 28 0,07

K 11 0,58 Sumber: Turn, dkk. (1999)

Page 39: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

30

Dari Tabel II.8 dapat dilihat bahwa penggunaan filter gas panas dapat mengurangi

konsentrasi sodium dan potassium di dalam aliran gas secara signifikan.

11.5.3. Teknologi Pemisahan Tar

Pemisahan tar dari aliran gas sangat penting dalam sistem gasifikasi. Ketika

produk gas mendingin, tar yang teruapkan akan terkondensasi pada permukaan

yang lebih dingin ataupun pada permukaan partikulat. Proses pemisahan tar

menjadi penting karena ketika gas harus didinginkan akibat kebutuhan aplikasi

selanjutnya, tar terkondensasi dapat menyebabkan permasalahan operasional.

Untuk berbagai sistem yang sensitif terhadap pembentukan tar, sangat penting

untuk mengurangi produksi tar yang terkandung dalam gas keluaran gasifier. Hal

ini dapat dilakukan melalui pemilihan dan optimasi rancangan gasifier seperti

disampaikan dalam Tabel II.9.

Tabel II.9. Perbandingan partikulat dan kandungan tar untuk beberapa rancangan

reaktor gasifikasi biomassa

Jenis

Gasifier

Partikulat (g/Nm3) Tar (g/Nm

3)

Rendah Tinggi Rentang Minimum Maksimum Rentang

Unggun

Tetap

Downdraft 0,01 10 0,1-0,2 0,04 6 0,1-1,2

Updraft 0,1 3 0,1-1 1 150 20-100

Unggun

Bergerak

Fluidized

Bed

1 100 2-20 <0,1 23 1-15

Circulated

Fluidized

Bed

8 100 10-35 <1 30 1-15

Sumber: Graham dan Bain, 1993; Neeft, dkk., 1999

Mencocokkan jenis gasifier yang digunakan dengan aplikasi penggunaan produk

gas selanjutnya merupakan langkah yang paling krusial untuk mencegah

permasalahan akumulasi tar. Pemisahan tar dapat dilakukan melalui proses fisik

maupun melalui proses berkatalis. Penjelasan mengenai kedua proses tersebut

akan disampaikan dalam sub bab selanjutnya.

Page 40: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

31

11.5.3.1. Teknologi Pemisahan Tar secara Fisik

Proses pemisahan tar yang paling umum dilakukan saat ini adalah melalui

pendinginan produk gas sehingga tar dapat terkondensasi pada permukaan tetesan

aerosol dan kemudian tetesan tersebut dipisahkan menggunakan teknologi yang

mirip dengan pemisahan partikulat. Teknologi tersebut antara lain wet scrubber,

electrostatic precipitator, atau siklon. Partikulat dihilangkan secara terpisah

dengan tar. Namun apabila memungkinkan, pemisahan partikulat dan tar dapat

dilakukan secara simultan.

Wet scrubber akan mengumpulkan tar dengan cara melewatkan material tersebut

ke dalam tetesan air. Tar dan cairan mengalir ke dalam demister atau decanter

untuk kemudian dipisahkan. Penggunaan air di dalam scrubber ini menyebabkan

aliran gas harus berada pada temperatur 35-60oC. Berbagai penelitian telah

dilakukan untuk mencari pengganti air seperti berbagai jenis minyak, namun

penelitian-penelitian tersebut masih dalam tahap eksperimen.

Berbagai rancangan scrubber tersedia secara komersial seperti spray tower,

impingement scrubber, baffle scrubber, dan venturi scrubber. Kaitan antara

kompleksitas dan efisiensi scrubber tersebut diberikan dalam Tabel II.10. Wet

scrubber telah banyak digunakan dalam industri pemrosesan gas dan kinerjanya

sudah sangat baik.

Tabel II.10. Efisiensi Pemisahan Tar Relatif untuk berbagai jenis scrubber

Pressure drop, cm air Ukuran partikel (m)

untuk pengumpulan

hingga 80%

Spray Tower 1,5-4 10

Impingiment 5-125 1-5

Packed Bed 5-125 1-10

Venturi 10-250 0,2-0,8 Sumber: Baker dll, 1986

Wet Scrubber juga sudah banyak digunakan untuk pembersihan gas hasil

gasifikasi biomassa. Kinerja untuk beberapa jenis scrubber disampaikan dalam

Tabel II.11.

Page 41: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

32

Tabel II.11. Efisiensi Pemisahan Tar penggunaan Wet Scrubber dalam sistem

Gasifikasi Biomassa

Teknologi Efisiensi Pemisahan Tar

Spray Tower

11-25% tar berat

40-60% PAH

0-60% senyawa fenolik

Spray Tower 29% tar berat

Venturi scrubber 50-90%

Venturi dan spray scrubber 83-99% material yang mudah terkondensasi

Venturi + cyclonic

demister

93-99 % senyawa organik yang mudah

terkondensasi

Vortex scrubber 66-78% residu penguapan Sumber: Neeft dkk, 1999

Selain itu, terdapat proses pemisahan berbasis scrubbing menggunakan media

berbasis minyak[23]. Salah satu proses yang sudah terbukti dapat memisahkan tar

secara efisien dan memenuhi spesifikasi FTS adalah teknologi OLGA (paten

ECN). Skema proses OLGA diberikan pada Gambar II.9.

Gambar II.9. Skema Proses OLGA

Sumber: Boerrigter (2004)

Unit OLGA terdiri atas scrubber yang berfungsi untuk memisahkan tar dari gas

dan stripper yang berfungsi untuk meregenerasi cairan pencuci. Karakterisitik

yang perlu diperhatikan adalah penggunaan cairan pencuci khusus dan rentang

temperatur operasi. Temperatur masukan OLGA harus lebih tinggi dari titik

Page 42: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

33

embun tar (umumnya di atas 300 oC) untuk menghindari pengerakan tar di sisi

hulu sistem OLGA. Temperatur keluaran harus dijaga di atas titik embun air

untuk menghindari pencampuran kondensat air dengan cairan pencuci yang

mengandung tar.

Perbandingan kinerja teknologi OLGA dibandingkan dengan teknologi

pembersihan gas konvensional lainnya diberikan pada Gambar II.10.

Gambar II.10. Perbandingan Kinerja OLGA terhadap teknologi pembersihan gas lainnnya

Sumber: Boerrigter (2004)

Berbagai jenis proses pembersihan gas lainnya yang sudah dikembangkan oleh

peneliti-peneliti di dunia diberikan pada Tabel II.6.

Wet electrostatic precipitator juga dapat digunakan untuk memisahkan tar dari

aliran gas produk. Pemisahan tar dilakukan menggunakan prinsip yang sama

dengan pemisahan partikulat. Jenis teknologi pemisahan ini sangat efisien untuk

memisahkan tar dan partikulat dari aliran gas dan dapat menyingkirkan hingga

99% material berdiameter < 0,1 m. Teknologi ini merupakan teknologi yang

sudah matang dan tersedia secara komersial untuk berbagai jenis aplikasi.

Barrier filter sudah banyak digunakan untuk pemisahan tar dalam sistem

gasifikasi biomassa. Tar ditangkap dengan cara melewatkan aerosol terkondensasi

ke permukaan filter. Karena terdapat dalam bentuk cairan, tar menjadi lebih sulit

Page 43: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

34

dipisahkan dari permukaan filter dibandingkan partikulat kering. Permasalahan

pemisahan tar dari permukaan filter menjadi lebih kompleks apabila partikulat

juga terdeposit karena filter cake yang dihasilkan tidak dapat langsung dipisahkan

dari permukaan filter. Oleh karena itu barrier filter kurang cocok untuk digunakan

sebagai teknologi pemisahan tar.

Cyclone filter dan berbagai unit pemisahan berbasis gaya sentrifugal lainnya juga

dapat digunakan untuk memisahkan tar. Teknologi ini dapat dioperasikan

menggunakan prinsip yang sama dengan pemisahan partikulat, menggunakan

gaya sentrifugal untuk memisahkan padatan dan aerosol dari aliran gas. Teknologi

ini cocok untuk memisahkan material dengan ukuran yang lebih besar dari 5 m.

Pada praktiknya, siklon dan pemisahan berbasis gaya sentrifugal lainnya tidak

digunakan untuk memisahkan tar dalam sistem gasifikasi biomassa. Kombinasi

partikulat dan tar lengket di dalam aliran gas dapat membentuk endapan material

di permukaan siklon sehingga sulit dihilangkan pada kondisi operasi normal.

11.5.3.2. Teknologi Pemisahan Tar melalui proses berkatalis dan

bertemperatur tinggi.

Proses berkatalis atau penghancuran menggunakan panas juga merupakan metode

yang banyak digunakan untuk memisahkan tar dari produk gas. Dalam proses ini,

tar mengalami dekomposisi secara thermal untuk membentuk tambahan gas

produk dan arang. Penghancuran tar dapat dilakukan menggunakan energi panas

pada temperatur sekitar 1200 oC atau menggunakan katalis pada temperatur yang

lebih moderat (750-900 oC).

Penghancuran tar menggunakan proses berkatalis

Proses ini menggunakan katalis untuk membantu mempercepat proses

perengkahan dan penghancuran tar. Berbagai penelitian dan pengembangan telah

dilaksanakan menggunakan berbagai katalis berbasis logam maupun non logam di

dalam gasifier ataupun pada vessel di luar gasifier.

Page 44: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

35

Penelitian katalis yang dapat digunakan untuk merengkahkan ataupun

menghancurkan tar berpusat pada penggunaan dolomit yang harganya murah. Tar

direngkahkan menjadi molekul yang lebih kecil di permukaan katalis. Konsep

utama dari proses ini adalah penghancuran tar segera setelah tar terbentuk

sehingga tidak menimbulkan permasalahan di sisi hilir. Aliran turbulen dan

temperatur tinggi pada penggunaan gasifier fluidized bed menyebabkan katalis

mengalami pengikisan dan deaktivasi. Di dalam gasifier fixed bed, kontak antara

katalis dengan tar seringkali tidak maksimal sehingga penghancuran tar menjadi

tidak sempurna.

Penghancuran tar menggunakan proses thermal

Tar juga dapat direngkahkan secara termal tanpa katalis pada temperatur 1200 oC

atau lebih. Kesulitan utama pelaksanaan perengakahan termal berada pada

pengoperasian dan pertimbangan ekonomi, sehingga thermal cracking menjadi

kurang menarik untuk digunakan.

11.5.4. Teknologi Pemisahan Senyawa Nitrogen

Pemisahan senyawa amoniak dari aliran gas biomassa cukup penting terutama

dalam segi lingkungan. Ketika gas dibakar, amoniak akan terkonversi menjadi

NOx yang emisinya dibatasi. Terdapat 2 (dua) pendekatan pembersihan amoniak

yaitu penghancuran amoniak menggunakan katalis dan teknologi wet scrubbing.

Penghancuran amoniak menggunakan katalis dapat dilakukan menggunakan

katalis dolomit, katalis berbasis nikel, katalis berbasis besi (Leppälahti, dkk, 1994,

1991; Simmel, dkk, 1997). Penghancuran amoniak menggunakan katalis dolomit

dan nikel efektif pada temperatur yang sama dengan temperatur operasi

perengkahan tar. Sedangkan penggunaan katalis besi harus dilakukan pada

temperatur yang lebih tinggi (sekitar 900 oC). Dengan katalis-katalis tersebut,

penghancuran >99% amoniak masih dimungkinkan. Pendekatan ini cukup

menarik karena berpotensi untuk menghilangkan amoniak dan tar dari gas produk

dengan tetap menjaga panas gas produk.

Page 45: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

36

Dalam sistem yang mendinginkan produk gas terlebih dahulu, amoniak juga dapat

dihilangkan menggunakan wet scrubbing. Amoniak yang diperoleh dari scrubber

kemudian dapat diinjeksikan kembali ke dalam gasifier untuk mengkompensasi

pengurangan amoniak akibat kesetimbangan termal dan agar bereaksi dengan NOx

yang terbentuk dalam proses gasifikasi.

11.5.5. Teknologi Pemisahan Senyawa Sulfur

Sebagian besar sumber biomassa umumnya tidak terlalu banyak mengandung

sulfur sehingga pemisahan senyawa sulfur tidak begitu penting untuk dilakukan.

Namun untuk sumber biomassa seperti limbah yang banyak mengandung sulfur,

proses pembakaran akan menyebabkan kandungan sulfur akan dikonversikan

menjadi sulfur oksida (SOx). Wet scrubber tersedia secara komersial untuk

memisahkan SOx dan sudah terbukti cukup handal.

Untuk aplikasi gas sintesis, kandungan sulfur dibatasi hingga 0,1 mg/Nm3

(Graham dan Bain, 1993). Sistem fuel cell juga membutuhkan konsentrasi sulfur

di bawah 1 ppm. Selain itu sulfur dapat meracuni katalis yang digunakan untuk

sintesis kimia, misalnya pada katalis berbasis Cu yang digunakan dalam sintesis

methanol.

Hasler dkk. (1999) dalam studinya telah mengidentifikasi tingkat pengurangan tar

dan partikulat lainnya dalam penggunaan berbagai sistem pembersihan gas

produser. Identifikasi tersebut disampaikan dalam Tabel II.12.

Page 46: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

37

Tabel II.12. Tingkat pengurangan tar dan partikulat melalui penggunaan beberapa

sistem perbersihan gas

Sumber: Hasler dkk. (1999)

II.5 Sintesis Fischer Tropsch

Reaksi pertumbuhan rantai Fischer Tropsch dapat menghasilkan produk yang

berada pada rentang: hidrokarbon ringan (C1 dan C2), LPG (C3-C4), nafta (C5-

C12), diesel (C13-C19), dan wax (C20+). Saat ini sintesis FT dioperasikan secara

komersial oleh Sasol Afrika Selatan (berbasis batubara) dan Shell Malaysia

(berbasis gas alam). Mekanisme utama dalam reaksi FT adalah sebagai berikut:

CO + 2 H2 -CH2- + H2O, H0

FT = -165 kJ/mol

Komponen –CH2- merupakan komponen dasar rantai hidrokarbon yang lebih

panjang, Karakteristik utama terkait dengan kinerja sintesis FT adalah selektivitas.

Selektivitas proses FT ditentukan oleh probabilitas pertumbuhan rantai yang

menyatakan kemungkinan pertumbuhan rantai –CH2- dengan grup –CH2- lainnya.

Produk yang terbentuk dari reaksi FT merupakan hidrokarbon yang memiliki

panjang yang berbeda. Selektivitas rantai panjang (SC5+) diperlukan untuk

Page 47: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

38

mencapai jumlah maksimum hidrokarbon rantai panjang. Perolehan C1-C4

berkurang apabila SC5+ bertambah, C1-C4 yang terdapat di dalam gas buang dapat

dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik di dalam gas buang.

Hubungan antara perolehan hidrokarbon dengan probabilitas pertumbuhan rantai

digambarkan melalui persamaan distribusi rantai karbon sebagai berikut:

wn = nn-1

(1-)2 (1)

Dengan: = probabilitas pertumbuhan rantai, bergantung pada

jenis katalis yang digunakan

n = jumlah atom C dalam rantai hidrokarbon

wn = fraksi massa hidrokarbon yang memiliki n buah

atom C

Persamaan (1) menunjukkan fraksi massa rantai karbon yang dinyatakan oleh wn

dan (1-) menunjukkan kemungkinan terminasi rantai –CH2-. Distribusi produk

Fischer Tropsch berdasarkan persamaan (1) diberikan pada Gambar II.11.

Gambar II.11. Distribusi Produk sintesis Fischer Tropsch berdasarkan persamaan ASF

Untuk katalis besi, nilai adalah 0,67 s.d. 0,71. Sedangkan untuk katalis Co, nilai

adalah 0,76 s.d. 0.83. Untuk katalis Co, tekanan yang lebih tinggi akan

menghasilkan rantai yang lebih panjang. Saat ini berbagai penelitian tengah

Page 48: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

39

dilakukan untuk mendapatkan katalis yang bisa memberikan nilai = 0,9. Selain

jenis katalis, faktor lain yang mempengaruhi distribusi produk FT adalah

temperatur. Temperatur operasi yang lebih rendah akan menghasilkan rantai

karbon yang lebih panjang, rantai tidak bercabang, dan senyawa oksigenates yang

tebentuk lebih sedikit.

Selektivitas sangat dipengaruhi oleh faktor katalis (logam Co atau Fe, penyangga,

penyiapan, pengondisian awal, dan umur katalis) dan faktor non katalis (rasio

H2/CO di dalam umpan, temperatur, tekanan, dan jenis reaktor). Pengelompokkan

berdasarkan katalis Fe dan Co relevan karena reaksi pergeseran air hanya terjadi

secara signifikan apabila katalis yang digunakan adalah katalis besi. Sintesis FT

menggunakan rasio H2/CO yang mendekati angka 2,1:1, bergantung pada

selektivitas. Karena gasifikasi biomassa pada kebanyakan kasus menghasilkan gas

sintesis yang memiliki rasio H2/CO rendah maka reaksi pergeseran perlu

dilakukan. Tekanan parsial H2 dan CO yang lebih tinggi dapat menghasilkan

selektivitas SC5+ yang lebih tinggi pula. Semakin banyak kandungan inert di dalam

gas sintesis dapat mengurangi tekanan parsial H2 dan CO yang berakibat pada

penurunan selektivitas SC5+.

Dari segi kondisi operasi, reaktor FT dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu

HTFT (high temperature FT) dan LTFT (low temperature FT). Perbedaan kedua

jenis reaktor tersebut disampaikan dalam Tabel II.13.

Page 49: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

40

Tabel II.13. Kondisi Pengoperasian Reaktor Fischer Tropsch

HTFT

(High Temperature FT)

LTFT

(Low Temperature FT)

Temperatur 300-350 oC 200-240

oC

Katalis Fe Fe atau Co

Produk

Bensin dan olefin yang

memiliki massa molekul

rendah

Parafin

Oksigenat dalam jumlah

besar

Selektivitas terhadap

produk wax tinggi

Produksi Diesel

Produksi diesel dapat

dilakukan melalui

oligomerisasi olefin

Produksi diesel dilakukan

menggunakan proses

hydrocracking wax

Tekanan 20-45 bar 20-45 bar

Sumber: Development of Fischer Tropsch Catalyst for Gasified Biomass, Sara Logdberg

Terdapat 3 (tiga) jenis reaktor FT yaitu: fluidized bed reactor, fixed bed reactor,

dan slurry reactor. Menurut beberapa peneliti, reaktor fixed bed dan slurry

merupakan reaktor FT yang paling menjanjikan. Kelebihan masing-masing

reaktor sangat spesifik terhadap jenis biomassa yang digunakan, namun dari segi

sensitivitas terhadap inert (relevan untuk biomassa yang diharapkan menghasilkan

karakteristik gas dengan yang diperoleh dari gas alam) reaktor slurry lebih

menguntungkan. Kekurangan utama pada reaktor slurry adalah perlunya

penambahan unit pemisahan wax dan katalis, namun tidak terdapat informasi

lengkap mengenai unit pemisahan tersebut. Tabel II.14 menunjukkan perbedaan

utama antara reaktor fixed bed dengan reaktor slurry.

Page 50: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

41

Tabel II.14. Perbedaan antara proses sintesis FT dalam reaktor fixed bed dan slurry

Sumber: Hamelinck (2003)

Page 51: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

42

II.7. Hydrocracking

Apabila produk akhir yang diinginkan adalah diesel, diperlukan proses

hydrocracking terhadap produk FT. Hidrogen ditambahkan untuk memutuskan

ikatan rangkap, sehingga cairan-FT dapat direngkahkan secara katalitis dengan

bantuan hidrogen. Bergantung pada kondisi perengkahan wax, produk yang

dihasilkan akan memiliki komponen utama kerosin dan diesel. Efisiensi karbon

keseluruhan dalam tahap hydrocracking mendekati 100 %.

Produk FT bebas dari sulfur, nitrogen, nikel, vanadium, senyawa aspal, dan

aromatic yang umumnya terdapat di dalam produk minyak mineral. Diesel FT

dengan bilangan setan yang tinggi dapat digunakan sebagai bahan campuran

untuk meningkatkan kualitas diesel biasa. Nafta yang diperoleh dari proses FT

memiliki bilangan oktan yang lebih rendah dibandingkan nafta biasa. Sedangkan

kerosin untuk keperluan aviasi yang diperoleh melalui sintesis FT masih belum

memenuhi spesifikasi produk yang diperlukan. Oleh karena itu, berdasarkan

lebutuhan spesifikasi produk saat ini, produk sintesis FT masih memiliki nilai

yang lebih rendah dibandingkan produk nafta dan kerosein komersil. Namun

seperti halnya diesel FT, kedua jenis bahan bakar tersebut juga tidak mengandung

sulfur maupun kontaminan lainnya. Sehingga selain dapat mengurangi emisi ke

udara, bahan bakar yang dihasilkan dari sintesis FT juga diharapkan dapat

digunakan dalam kendaraan berbasis fuel cell (FCV – Fuel Cell Vehicle) yang

membutuhkan bahan bakar yang benar-benar bersih untuk mencegah kerusakan

katalis fuel cell. Karakteristik tersebut sangat penting untuk jangka yang lebih

panjang ketika FCV mulai beredar di pasaran. Pasar diesel dapat dikatakan

merupakan pasar pertama yang paling cocok untuk sintesis FT.

Proses hydrocracking selektif dilakukan untuk merengkahkan wax (C20+) menjadi

rantai diesel (C10-C19) sangat bergantung pada kondisi operasi seperti temperatur,

tekanan, dan kecepatan ruang (weight hourly space velocity/WHSV). Pengaruh

masing-masing kondisi operasi tersebut telah diteliti oleh Leckel dan Ehumbu

(2006). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa temperatur merupakan

komponen yang paling berpengaruh terhadap konversi C20+, konversi akan

Page 52: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

43

meningkat seiring dengan peningkatan temperatur. Selektivitas produk dan

perolehan yang dihasilkan dari proses hydrocracking menggunakan hidrogen

bertekanan 3,5 MPa dan rasio hidrogen/wax 1200:1 Nm3/m

3 pada kecepatan

ruang 0,5/jam diberikan pada Tabel II.15.

Tabel II.15. Selektivitas dan Perolehan Produk pada berbagai Temperatur

menggunakan Hidrogen bertekanan 3,5 MPa, WHSV 0,1/jam, dan H2/wax = 1200:1

Nm3/m

3

Temperatur

(oC)

Konversi

C20+

Selektivitas (%b/b) Perolehan (%b/b)

C1-C4 C5-C9 C10-C19 C1-C4 C5-C9 C10-C19

350 17 2,1 9,9 88 0,3 1,6 15

360 69 1,1 22 77 0,8 15 53

365 86 2,1 25 73 1,8 21 63 Sumber: Leckel dan Ehumbu (2006)

Tabel II.15. menunjukkan bahwa peningkatan temperatur operasi dengan menjaga

parameter lain konstan menghasilkan peningkatan konversi C20+ hingga 86%.

Temperatur operasi yang tinggi dapat menghasilkan konversi yang tinggi serta

perolehan diesel yang lebih tinggi pula.

II.6 Pembangkitan Listrik melalui Siklus Kombinasi

Hasil samping dari sistem BGFT adalah listrik yang dibangkitkan dari gas buang

menggunakan sistem combine cycle. Pada tekanan tinggi, gas buang dicampurkan

dengan udara bertekanan dan dibakar pada temperatur 1100-1300oC. Proses

ekspansi gas panas tersebut dapat menghasilkan listrik. Sebagian listrik yang

terbangkitkan digunakan untuk menjalankan kompresor udara.

Dalam kasus BGFT, nilai kalor gas buang masih terlalu rendah untuk langsung

dibakar di dalam turbin gas. Umumnya nilai kalor minimum yang masih dapat

digunakan dalam turbin gas komersial adalah 4-6 MJ/Nm3, dengan asumsi

dilakukan modifikasi pada burner dan variasi umpan. Co-firing dengan gas alam

dapat dilakukan untuk menghindari permasalahan tersebut dengan cara

meningkatkan nilai kalor gas buang. Secara umum dapat diperoleh efisiensi

termal yang lebih baik apabila dibandingkan dengan hanya menggunakan gas

buang saja.

Page 53: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

44

Dalam sistem BGFT juga terdapat aliran-aliran gas yang membutuhkan proses

pendinginan seperti aliran gas keluaran turbin gas dan gas sintesis keluaran proses

gasifikasi. Proses pendinginan tersebut dapat menghasilkan superheated steam

yang dapat diekspansi di dalam turbin terkondensasi parsial untuk menghasilkan

listrik. Kukus bertemperatur rendah juga dapat dimanfaatkan kembali seperti pada

proses pengeringan dan proses-proses lainnya yang membutuhkan kukus seperti

reaktor pergeseran.

Konsep trigeneration telah diteliti oleh Boerrigter dkk (2004). Penelitian tersebut

difokuskan pada konsep pembersihan gas yang dapat membantu memaksimalkan

produksi bahan bakar Fischer Tropsch (meningkatkan efisiensi konversi produk

gas menjadi produk Fischer Tropsch). Terdapat 3 (tiga) rute proses yang diteliti

dan dibandingkan satu sama lain. Ketiga proses tersebut disampaikan dalam

Gambar II.12 s.d. II.14.

Gambar II.12. Konsep Trigeneration sistem BGFT

Sumber: Boerrigter 2004

Gambar II.13. Konsep Trigeneration sistem BGFT yang dilengkapi dengan unit reaksi

pergeseran

Sumber: Boerrigter 2004

Page 54: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

45

Gambar II.14. Neraca Energi Konsep Trigeneration sistem BGFT yang dilengkapi dengan

unit reaksi pergeseran

Sumber: Boerrigter 2004

Gambar II.12. s.d. II.14. menunjukkan peningkatan konversi termal ke arah

produk FT seiring dengan penambahan unit pembersihan dan pengkondisian gas

sintesis. Apabila hanya dilihat dari perolehan produk FT saja, maka konfigurasi

pada Gambar II.14. menghasilkan konversi termal ke arah produk FT yang paling

tinggi. Namun perlu ditinjau juga dari segi ekonomi. Boerrigter dkk telah

membandingkan kebutuhan investasi untuk ketiga jenis rute konfigurasi tersebut

untuk tekanan operasi 1,3 bar dan 25 bar. Perbandingan kebutuhan investasi

tersebut diberikan pada Gambar II.15.

Gambar II.15. Perbandingan Kebutuhan Investasi untuk berbagai konfigurasi

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

1.3 bar, normal 1.3 bar, + TC 25 bar, normal 25 bar, +shift 25 bar, +TC, +shift

Pre Treatment M€ Gasification System M€ Gas Cleaning M€

Syngas Processing M€ FT Production M€ Power Generation M€

Page 55: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

46

BAB III PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN

III.1 Metodologi Penelitian

Kegiatan penelitian Aplikasi Sintesis Fischer Tropsch dari gas hasil gasifikasi

biomassa direncanakan akan dilakukan menggunakan metodologi yang diberikan

pada Gambar III.1.

Gambar III.1. Metodologi Penelitian Aplikasi Sintesis FT dari gas hasil gasifikasi biomassa

Penelitian diawali dengan review berbagai teknologi dalam sistem BGFT,

mencakup teknologi gasifikasi, pembersihan dan pengkondisian gas hasil

gasifikasi, dan sintesis Fischer Tropsch. Hasil review tersebut digunakan untuk

menentukan konfigurasi sistem BGFT. Selanjutnya dilakukan perhitungan neraca

massa dan energi untuk konfigurasi sistem terpilih. Perhitungan neraca massa dan

energi kemudian disesuaikan dengan lokasi dan ketersediaan umpan biomassa

untuk menentukan kapasitas sistem BGFT. Kajian tekno ekonomi kemudian

dilakukan untuk menentukan kelayakan teknik dan ekonomi pemasangan sistem

BGFT. Apabila hasil kajian tekno ekonomi menunjukkan bahwa pemasangan

sistem BGFT tidak layak maka ditentukan lokasi lain yang memiliki ketersediaan

umpan biomassa lebih besar. Penelitian diakhiri dengan penentuan lokasi

pemasangan sistem BGFT yang layak baik dari segi ekonomi maupun segi teknik.

Page 56: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

47

III.1.1. Kajian Teknologi Proses Sistem BGFT

Tahap pertama yang akan dilakukan adalah kajian terhadap berbagai teknologi

proses gasifikasi, pembersihan gas, pemrosesan gas sintesis, sintesis Fischer

Tropsch, dan siklus kombinasi. Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya,

pemrosesan biomassa menjadi cairan Fischer Tropsch dapat dipetakan seperti

pada Gambar III.2.

Gambar III.2. Peta pemrosesan biomassa menjadi cairan Fischer Tropsch.

Berdasarkan review hasil pengumpulan data dan penelitian-penelitian yang terkait

dengan gasifikasi biomassa dan sintesis Fischer Tropsch, dilakukan pemilihan

proses sebagai berikut:

Page 57: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

48

a. Pemilihan umpan Biomassa

Pemilihan umpan yang akan digunakan dalam simulasi dilakukan dengan

mempertimbangkan ketersediaan produk dan data karakteristik biomassa.

Berdasarkan uraian pada Tabel II.1 dan Tabel II.2, biomassa yang akan

dikaji adalah tongkol jagung.

b. Pemilihan Agen Gasifikasi

Pemilihan agen gasifikasi terutama dilakukan dengan pertimbangan dari

segi ekonomi. Berdasarkan uraian pada sub bab II.2.1, produksi oksigen

murni kurang menarik dari segi ekonomi namun memberikan keuntungan

pengurangan ukuran alat, energi kompresi, dan tekanan parsial produk

yang lebih tinggi. Oleh karena itu akan digunakan udara sebagai agen

gasifikasi.

c. Pemilihan Sistem Penyediaan Panas

Sistem penyediaan panas yang akan dikaji adalah sistem penyediaan panas

autothermal. Pemilihan tersebut dilakukan dengan pertimbangan efisiensi

energi sistem gasifikasi secara keseluruhan.

d. Pemilihan Jenis Reaktor dan Kondisi Operasi Gasifikasi

Reaktor gasifikasi yang akan digunakan dalam kajian adalah Circulated

Fluidized Bed Reactor (CFB). Jenis reaktor ini dipilih karena data-data

proses gasifikasi menggunakan reaktor CFB sudah banyak tersedia sebagai

perbandingan dalam kajian tekno ekonomi.

e. Pemilihan Proses Pembersihan Gas Sintesis

Proses pembersihan gas sintesis yang akan digunakan dalam kajian ini

adalah proses pembersihan basah dan proses pembersihan temperatur

tinggi.

Page 58: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

49

f. Pemilihan Jenis Reaktor dan Katalis Fischer Tropsch

Reaktor sintesis FT yang akan digunakan dalam perhitungan adalah slurry

type reactor. Pemilihan reaktor ini dilakukan berdasarkan kelebihan-

kelebihannya dibandingkan jenis reaktor lain sebagaimana ditunjukkan

oleh Tabel II.7. Katalis yang digunakan dalam reaksi FT adalah katalis Fe.

Hal tersebut disebabkan produk gas hasil gasifikasi menggunakan udara

memiliki rasio H2/CO ~ 0,75. Penggunaan katalis Fe dapat memicu reaksi

Water Gas Shift (WGS) yang dapat meningkatkan rasio H2/CO agar

mendekati 2,1 sehingga dapat meningkatkan konversi sintesis Fischer

Tropsch.

III.1.2. Studi Ketersediaan Biomassa

Setelah dilakukan kajian teknologi pemrosesan biomassa menjadi bahan bakar

Fischer Tropsch, dilakukan studi ketersediaan biomassa. Langkah-langkah yang

direncanakan dalam studi ketersediaan bahan baku biomassa diberikan dalam

Gambar III.3.

Gambar III.3. Langkah-langkah studi ketersediaan biomassa

Berdasarkan Gambar III.3., studi ketersediaan biomassa dimulai dengan kompilasi

dan analisis data ketersediaan biomassa nasional. Kemudian dilanjutkan dengan

kompilasi dan analisis data ketersediaan biomassa per provinsi serta ketersediaan

biomassa per Kabupaten/Kota. Data-data tersebut direncanakan akan dicari

melalui survey data sekunder dengan sumber data Departemen Pertanian dan

Perkebunan, BPS (Provinsi dalam Angka, Kabupaten/Kota dalam Angka), situs

Provinsi, dan situs Kabupaten/Kota. Hasil studi ketersediaan biomassa tersebut

kemudian dijadikan dasar penentuan rencana lokasi dan kapasitas sistem BGFT.

Page 59: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

50

III.1.3. Penyusunan Rancangan Pabrik Sistem BGFT

Berdasarkan hasil kajian teknologi akan dilakukan pemilihan konfigurasi rute

proses yang paling cocok untuk memaksimalkan perolehan hidrokarbon rantai

panjang dari sintesis FT. Rute proses yang dipilih meliputi 2 (dua) kategori

sebagai berikut:

Sintesis FT 1 (satu) aliran dengan membakar gas buang bersama-sama

dengan gas alam melalui combine cycle gas turbine & steam turbine, dan

Sintesis FT 1 (satu) aliran tanpa diikuti dengan proses pembakaran gas

buang.

Secara umum rute proses tersebut diilustrasikan di dalam Gambar III.4.

Gambar III.4. Rute Proses BGFT yang akan dikaji

Perhitungan neraca massa dan energi akan dilakukan untuk memperhitungkan

komposisi gas hasil gasifikasi biomassa dan perolehan cairan Fischer Tropsch.

Data-data hasil penelitian yang dilakukan oleh Tijmensen et al. akan digunakan

sebagai perbandingan. Kemudian hasil perhitungan untuk kedua rute proses akan

dibandingkan dari segi efisiensi termal.

Perhitungan neraca massa dan energi kemudian dikolaborasikan dengan hasil

studi ketersediaan biomassa untuk menentukan kapasitas pabrik dan skala masing-

masing unit operasi.

Page 60: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

51

III.1.4. Kajian Ekonomi Proses BGFT

Selanjutnya akan dilakukan kajian ekonomi terhadap rute proses yang lebih baik

dari segi efisiensi termal. Kajian ekonomi akan dilakukan untuk menentukan

biaya investasi yang dibutuhkan dan kelayakan ekonomi pembangunan sistem

BGFT di lokasi terpilih. Tahapan pelaksanaan kajian ekonomi disampaikan dalam

Gambar III.5.

Gambar III.5. Tahapan Kajian Ekonomi Proses BGFT

Berdasarkan Gambar III.5., tahapan pertama yang dilakukan dalam kajian

ekonomi adalah pencarian data harga masing-masing unit berdasarkan literatur.

Kemudian dengan menggunakan data harga dan hasil perhitungan skala masing-

masing unit, dilakukan penentuan kebutuhan investasi dan biaya tahunan sistem

BGFT. Berdasarkan biaya investasi dan biaya tahunan (biaya tetap, biaya

variabel, serta biaya operasi dan pemeliharaan) akan diperkirakan harga

keekonomian FT diesel. Selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas dari hasil

perhitungan tersebut terutama dalam kaitannya dengan fluktuasi biaya biomassa,

biaya tetap, dan biaya variabel tahunan.

Setelah melakukan kajian ekonomi, akan dilakukan analisis mengenai

kemungkinan implementasi sistem yang sama untuk lokasi-lokasi lainnya.

Penelitian ini juga akan dilengkapi dengan identifikasi isu-isu pemicu serta

penghambat pengembangan dan komersialisasi teknologi BGFT di Indonesia.

Page 61: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

52

III.2. Jadwal Penelitian

Penelitian direncanakan akan dibagi menjadi 8 (delapan) tahap kegiatan, yaitu:

~ Kajian berbagai teknologi proses dalam sistem BGFT,

~ Simulasi rute proses BGFT,

~ Penentuan skala proses BGFT,

~ Penentuan lokasi sistem BGFT dan kajian ekonomi,

~ Identifikasi Isu-isu pengembangan dan komersialisasi sistem BGFT,

~ Penulisan laporan,

~ Seminar, dan

~ Perbaikan Laporan.

Penelitian direncanakan akan dilaksanakan selama 12 minggu. Rencana jadwal

pelaksanaan penelitian diberikan pada Tabel III.1.

Tabel III.1. Rencana Jadwal Penelitian

No Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1

Kajian Terhadap Berbagai

Teknologi Proses dalam

Sistem BGFT

2 Penentuan Konfigurasi Proses

3 Studi Ketersediaan Bahan

Baku Biomassa

4

Pemilihan Lokasi

Perencanaan Aplikasi Sistem

BGFT

5

Penyusunan Rancangan

Pabrik Sistem BGFT

berdasarkan hasil studi

ketersediaan

6 Kajian ekonomi (analisis

sensitivitas)

7

Pertimbangan kemungkinan

penerapan sistem BGFT di

lokasi lain dengan kapasitas

yang sama

8 Penyusunan Laporan

9 Seminar

10 Perbaikan Laporan

Page 62: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

53

DAFTAR PUSTAKA

[1] BP, Statistical Review of World Energy 2009, www.bp.com, diakses

tanggal 25 Agustus 2009;

[2] Sekretariat Panitia Teknis Sumber Energi (PTE), Blueprint Energi

Nasional 2005-2025, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2007;

[3] Peraturan Presiden Nomor. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi

Nasional;

[4] Pusat Data dan Informasi Pertamian, Departemen Pertanian Republik

Indonesia, http://deptan.go.id, diakses tanggal 5 Oktober 2009;

[5] Laohalidanond K, Jurgen Heil, Christain Wirtgen, The Production of

Synthetic Diesel from Biomass, KMITL Sci. Tech. J. Vol 6 No. 1, Jan-Jun

2008;

[6] den Uil H, de Smidt RP, van Hardeveld RM, Calis HP, Faaij APC,

Hamelinck CN, Tijmensen MJA, Co Production of liquid fuels and

electricity from biomass using a BIG FT CC system: Technical and

economic feasibility, ECN, 2001;

[7] Hamelinck CN, Faaij APC, Larson E, Kreutz T, Future prospects for the

production of methanol and hydrogen from biomass, Science, Technology

and Society/Utrecht University, Uthrecht, Netherlands, 2001;

[8] Logdberg, Sara, Development of Fischer-Tropsch Catalyst for Gasified

Biomass, Licentiate Thesis in Chemical Engineering, KTH, Stockholm,

Sweden, 2007;

[9] Faaij A, Meuleman B, van Ree R, Long term perspectives of biomass

integrated gasification with combined cycle technology, Netherland agency

for energy and the environment Novem, Utrecht, 1998;

[10] van Ree R, Oudhuis A, Faaij A, Curvers A, Modelling of a biomass

integrated gasifier/combined cycle (BIG/CC) system with the flowsheet

simulation programme Aspen+, Netherland Energy Research Foundation

ECN and Utrecht University/Science Technology and Society, Petten, 1995;

Page 63: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

54

[11] Hamelinck CN, Faaij APC, den Uil H, Boerrigter H, Production of FT

transportation fuels from biomass; technical options, process analysis and

optimization, and development potential, Netherland Energy Research

Foundation ECN and Utrecht University/Science Technology and Society,

2003;

[12] Karellas S, Karl J, Kakaras E, An innovative biomass gasification process

and its coupling with microturbine and fuel cell systems, Energy 33, 2008;

[13] Wu Keng-Tung, Lee Hom-Ti, Bio-hydrogen , Energy 33, 2008;

[14] Rapagna, S., Jand, N., Foscolo, P.U., Catalytic gasification of biomass to

produce hydrogen rich gas, Int. J. Hydrogen Energy, 1998;

[15] Zuberbuhler, Ulrich, Michael Specht, Andreas Bandi, Gasification of

Biomass – An Overview on Available Technologies, Centre for Solar

Energy and Hydrogen Research (ZSW), Germany, 2006;

[16] Shen, Laihong., Yang Gao, Jun Xiao, Simulation of hydrogen production

from biomass gasification in interconnected fluidized beds, Biomass and

Bioenergy 32, 2008;

[17] van der Drift A., Boerrigter H., Coda B., Cieplik M.K., Hemmes K.,

Entrained flow Gasification of Biomass: Ash behavior, feeding issues, and

system analyses, ECN and Shell Global Solutions, 2004;

[18] Tijmensen M.J.A., Andre P.C. Faaij, Carlo N. Hamelinck, Martijn R.M. van

Hardeveld, Exploration of the possibilities for production of Fischer

Tropsch liquids and power via biomass gasification, Biomass and

Bioenergy 23 (129-152), 2002;

[19] Milne, T.A., R.J. Evans, Biomass Gasifier “Tars”: Their Nature,

Formation, and Conversion, National Renewable Energy Laboratoty, 1998;

[20] Ciferno, Jared P., John J. Marano, Benchmarking Biomass Gasification

Technologies for Fuels, Chemicals and Hydrogen Production, US

Department Of Energy and National Energy Technology Laboratory, 2002;

[21] Jansen J.P., Berends R.H., Large-scale production of biofuels through

biomass (co-)gasification and Fischer Tropsch synthesis, TNO

Environment, Energy and Process Inovation – Report, 2002;

Page 64: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

55

LAMPIRAN A.1 Produksi Kelapa Sawit (ton)

Page 65: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

56

LAMPIRAN A.2 Luas Lahan Kelapa Sawit (ha)

Page 66: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

57

LAMPIRAN A.3 Produksi Jagung (ton)

Page 67: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

58

LAMPIRAN A.4 Luas Lahan Jagung (ha)

Page 68: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

59

LAMPIRAN A.5 Produksi Padi (ton)

Page 69: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

60

LAMPIRAN A.6 Luas Lahan Padi (ha)

Page 70: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

61

LAMPIRAN B. Model Kesetimbangan Reaksi Gasifikasi

B.1. Asumsi-Asumsi

Asumsi-asumsi:

~ Biomassa direpresentasikan dengan formula umum CHxOy

~ Produk gasifikasi terdiri atas CO2, CO, H2, CH4, N2, H2O, dan sisa karbon

yang tak terbakar

~ Reaksi berada pada kesetimbangan termodinamika

~ Reaksi dijalankan pada kondisi adiabatik

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, reaksi umum gasifikasi biomassa dengan

udara dan kukus dapat dituliskan sebagai berikut:

CHxOy + z(pO2 + (1-p)N2) + kH2O aCO2 + bCO + cH2 + dCH4 + eN2 + fH2O + gC (B-1)

x menunjukkan rasio molar H/C sedangkan y menunjukkan rasio molar O/C.

Kandungan air dalam biomassa diabaikan dan kualitas produk bergantung pada x

dan y.

Reaksi B-1 di atas menunjukkan reaksi overall, namun dalam proses gasifikasi

terdapat beberapa reaksi intermediet yang terjadi. Reaksi-reaksi tersebut antara

lain:

1. Oksidasi: C + O2 CO2 (B-2)

2. Gasifikasi kukus: C + H2O CO + H2 (B-3)

3. Reaksi Bouduard: C + CO2 2CO (B-4)

4. Reaksi Metanasi: C + 2H2 CH4 (B-5)

5. Reaksi Pergeseran Air: CO + H2O CO2 + H2 (B-6)

Empat reaksi pertama merupakan reaksi independen. Sedangkan reaksi terakhir

yaitu reaksi pergeseran air merupakan penjumlahan reaksi gasifikasi kukus dan

reaksi bouduard. Reaksi oksidasi umumnya diasumsikan berjalan sangat cepat dan

Page 71: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

62

sempurna (Von Fredersdorff dan Elliott, 1963) sedangkan reaksi bouduard,

gasifikasi kukus, dan metanasi berada pada kesetimbangan.

B.2. Model Persamaan

Dengan menggunakan neraca atom karbon, oksigen, hidrogen, dan nitrogen, dapat

diperoleh persamaan-persamaan berikut:

C: 1 = a + b + d + g (B-7)

O: y + 2pz + k = 2a + b + f (B-8)

H: x + 2k = 2c + 4d + 2f (B-9)

N: z(1-p) = e (B-10)

Hubungan kesetimbangan untuk 3 (tiga) reaksi selain reaksi oksidasi adalah

sebagai berikut:

1) Reaksi Bouduard

𝐾𝑒1 =𝑦𝐶𝑂

2 𝑃𝑡

𝑦𝐶𝑂 2 (B-11)

2) Reaksi Gasifikasi Kukus

𝐾𝑒2 =𝑦𝐶𝑂 𝑦𝐻2𝑃𝑡

𝑦𝐻2𝑂 (B-12)

3) Reaksi Metanasi

𝐾𝑒3 =𝑦𝐶𝐻 4

𝑦𝐻22 𝑃𝑡

(B-13)

Konstanta kesetimbangan dinyatakan sebagai berikut:

𝑙𝑛𝐾𝑒 = −∆𝐺0

𝑅𝑇 (B-14)

dengan G0 menyatakan energi bebas Gibbs (kJ/mol), T menyatakan temperatur

(K) dan R menyatakan konstanta gas universal.

Neraca energi dinyatakan sebagai berikut:

Panas reaksi overall untuk reaksi B-1 dinyatakan dengan:

Page 72: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

63

∆𝐻𝑅 𝑇 = ∆𝐻𝑅 𝑇𝑅 + 𝑛𝑖 𝐶𝑝𝑖𝑑𝑇𝑇

𝑇𝑅

𝑛𝑖=1 (B-15)

Pada kondisi adiabatik, panas reaksi yang dihasilkan adalah 0. Panas reaksi pada

temperatur referensi dihitung menggunakan panas pembakaran masing-masing

spesi:

∆𝐻𝑅 𝑇𝑅 = ∆𝐻𝑐𝐶 − ∆𝐻𝑐𝐶𝑂 − ∆𝐻𝑐𝐻2 − ∆𝐻𝑐𝐶𝐻4 (B-16)

0 = ∆𝐻𝑅 𝑇𝑅 + 𝑛𝑖 𝐶𝑝𝑖𝑑𝑇𝑇

𝑇𝑅

𝑛𝑖=1 (B-17)

∆𝐻𝑅 menunjukkan panas reaksi, sedangan ∆𝐻𝑐𝑖 menunjukkan panas pembakaran

spesi „i‟, 𝑛𝑖 menunjukkan jumlah mol spesi „i‟, 𝐶𝑝𝑖 menunjukkan kapasitas panas

spesi „i‟.

Kedelapan persamaan aljabar non linear di atas (B-7 s.d. B-13 dan B-17) dapat

diselesaikan secara simultan untuk memperoleh nilai a, b, c, d, e, f, g (yang

menunjukkan komposisi gas produk) dan temperatur adiabatik, pada berbagai

nilai tekanan yang berbeda. Berbagai paket program seperti MATLAB dapat

digunakan untuk menyelesaikan persamaan tersebut. Nilai GCV (Gross Calorific

Value) dapat dihitung menggunakan formula berikut ini:

𝐺𝐶𝑉 = (𝑏 ∆𝐻𝑐𝐶𝑂 + 𝑐 ∆𝐻𝑐𝐻2 + 𝑐 ∆𝐻𝑐𝐶𝐻4)/(𝑎 + 𝑏 + 𝑐 + 𝑑 + 𝑒) (B-18)

Page 73: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

64

LAMPIRAN C.1 Perhitungan Rasio Konsumsi Reaktan FT

Rasio konsumsi reaktan menunjukkan rasio konsumsi CO dan H2 yang sangat

bergantung pada selektivitas.

CO + 3H2 CH4 + H2O (C-1)

2CO + 5H2 C2H6 + 2H2O (C-2)

3CO + 7H2 C3H8 + 3H2O (C-3)

4CO + 9H2 C4H10 + 4H2O (C-4)

5CO + 11H2 C5H12 + 5H2O (C-5)

dst.

Rantai pendek relatif memerlukan hidrogen lebih banyak (sehingga rasio H2:CO

mendekati 3) dibandingkan dengan rantai panjang (rasio H2:CO mendekati 2).

Rasio antara konsumsi reaktan diekspresikan sebagai berikut:

−𝑅𝐻2

−𝑅𝐶𝑂=

3 1−𝛼 +5𝛼 1−𝛼 +7𝛼2 1−𝛼 +9𝛼3 1−𝛼 +⋯

1 1−𝛼 +2𝛼 1−𝛼 +3𝛼2 1−𝛼 +4𝛼3 1−𝛼 +⋯ (C-6)

atau:

−𝑅𝐻2

−𝑅𝐶𝑂=

3+5𝛼+7𝛼2+9𝛼3+⋯

1+2𝛼+3𝛼2+4𝛼3+⋯=

(2𝑛+1)𝛼𝑛−1∞1

𝑛𝛼𝑛−1∞1

(C-7)

−𝑅𝐻2

−𝑅𝐶𝑂=

2𝑛𝛼𝑛−1∞1 + 𝛼𝑛−1∞

1

𝑛𝛼𝑛−1∞1

= 2 + 𝛼𝑛−1∞

1

𝑛𝛼𝑛−1∞1

= 2 + 𝛼𝑛∞

0

(𝑛+1)𝛼𝑛∞0

(C-8)

𝛼𝑛∞0 =

1

1−𝛼 (C-9)

(𝑛 + 1)𝛼𝑛∞0 = 𝑛𝛼𝑛∞

0 + 𝛼𝑛∞0 (C-10)

𝑛𝛼𝑛∞0 = 0 + 𝛼 + 2𝛼2 + 3𝛼3 + 4𝛼4 + ⋯ = 𝛼(1 + 2𝛼 + 3𝛼2 + 4𝛼3 + ⋯ ) (C-11)

𝑛𝛼𝑛∞0 = 𝛼 1 + 𝛼 + 𝛼2 + ⋯ 1 + 𝛼 + 𝛼2 + ⋯ = 𝛼 𝛼𝑛∞

0 2 (C-12)

(𝑛 + 1)𝛼𝑛∞0 = 𝛼

1

1−𝛼

2

+1

1−𝛼=

𝛼

(1−𝛼)2 +1−𝛼

(1−𝛼)2 =1

(1−𝛼)2 (C-13)

Sehingga:

−𝑅𝐻2

−𝑅𝐶𝑂= 2 +

1

1−𝛼1

1−𝛼 2

= 3 − 𝛼 (C-14)

Page 74: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

65

LAMPIRAN C.2 Hubungan Antara dengan selektivitas C5+

Pertama dalam bentuk fraksi molar:

𝛼𝐶𝑛 = 𝛼𝑛−1(1 − 𝛼) (C-15)

𝛼𝐶5+ = 1 − 𝛼𝐶1 − 𝛼𝐶2 − 𝛼𝐶3 − 𝛼𝐶4 (C-16)

𝛼𝐶5+ = 1 − 𝛼0 1 − 𝛼 − 𝛼1 1 − 𝛼 − 𝛼2 1 − 𝛼 − 𝛼3(1 − 𝛼) (C-17)

𝛼𝐶5+ = 1 − 1 + 𝛼 − 𝛼 + 𝛼2 − 𝛼2 + 𝛼3 − 𝛼3 + 𝛼4 = 𝛼4 (C-18)

Sehingga dapat dideduksi bahwa selektivitas untuk seluruh rantai yang lebih

panjang dari sebuah atom C dapat dinyatakan sebagai berikut:

𝛼𝐶𝑎+ = 𝛼𝑎−1 (C-19)

Selektivitas C5+ seringkali dinyatakan dalam bentuk fraksi massa SC5+. Fraksi

molar f dinyatakan sebagai fraksi massa Sf.

𝑆𝑓 =𝑀𝑓 .𝑓

𝑀 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 (C-20)

dengan

𝑀𝑓 = rata-rata massa molar untuk fraksi f

𝑀 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = rata-rata massa molar untuk seluruh campuran

Dengan menggunakan rata-rata massa molekul untuk Ca+, sebagaimana diturunkan

dalam Lampiran C.4.

𝑆𝐶𝑎+ =𝑀𝐶𝑎 +.𝛼𝐶𝑎 +

𝑀𝐶1+ (C-21)

𝑆𝐶𝑎+ =

14.𝛼+ 14𝑎+2 .(1−𝛼)

(1−𝛼)𝛼𝑎−1

14.𝛼+16−16.𝛼

(1−𝛼)

= 14.𝛼+ 14𝑎+2 . 1−𝛼 .𝛼𝑎−1

16−2.𝛼 (C-22)

𝑆𝐶5+ = 14.𝛼+72 1−𝛼 .𝛼4

16−2.𝛼=

72−58.𝛼

16−2.𝛼𝛼4 =

36−29𝛼

8−𝛼𝛼4 (C-23)

Page 75: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

66

Sangat sulit untuk mengekspresikan 𝛼 dalam fungsi 𝑆𝐶5+. Namun persamaan C-

23 dapat didekati dengan persamaan C-24 (Louw 2002). Fitting kedua persamaan

tersebut dapat dilihat dalam Gambar C-1.

Gambar C-1. SC5+ sebagai fungsi 𝜶 (kiri) dan sebaliknya (kanan). Bulatan menunjukkan

nilai dari persamaan C-23 sedangkan tanda tambah menunjukkan nilai dari persamaan C-

24 dan C-25.

Pendekatan nilai dapat diekspresikan sebagai berikut:

𝛼 = 0.75 − 0.373. −log(𝑆𝐶5+) + 0.25. 𝑆𝐶5+ (C-25)

Dengan cara yang sama, selektivitas untuk fraksi lain dapat dihitung sebagai

berikut:

𝑆𝐶𝑎+ =𝑀𝐶𝑎 𝛼𝐶𝑎

𝑀𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 =

14𝑎+2 .(𝛼𝑎−1 . 1−𝛼 )16−2𝛼

1−𝛼

= 7𝑎+1 .(𝛼𝑎−1−2𝛼+𝛼𝑎+1)

8−𝛼 (C-26)

Page 76: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

67

LAMPIRAN C.3 Defisiensi Hidrogen dalam Hydrocracking

Seluruh rantai C20+ akan direngkahkan menjadi rantai C10 dan maksimal C19.

C20H42 + H2 2C10H22 (C-27)

C25H52 + H2 C10H22 + C15H32 (C-28)

C48H98 + 3H2 3C10H22 + C18H38 (C-29)

Jumlah atom hidrogen yang diperlukan di dalam proses perengkahan untuk

memotong rantai panjang menjadi rantai yang lebih pendek disebut defisiensi

hidrogen. Rantai C20-29 memiliki defisiensi (kekurangan) 1 H2. Rantai C30-39

memiliki kekurangan 2 H2, dst. Menggunakan persamaan C-19:

𝛼𝐶10−19 = 𝛼9 − 𝛼19 (C-30)

Sehingga rata-rata defisiensi hidrogen dapat dinyatakan sebagai berikut:

𝐷𝐻2 = 𝑛 .(𝛼10𝑛+9−𝛼10𝑛+19 )∞

0

𝛼9 = 𝑛 .𝛼9 .𝛼10𝑛∞

0 − 𝑛 .𝛼19 .𝛼10𝑛∞0

𝛼9 (C-31)

𝐷𝐻2 =(𝛼9−𝛼19 ) 𝑛 .𝛼10𝑛∞

0

𝛼9 = (1 − 𝛼10) 𝑛.𝛼10𝑛∞0 (C-32)

𝐷𝐻2 = 1 − 𝑠 𝑛. 𝑠𝑛∞0 =

1−𝑠 .𝑠

(1−𝑠)2 =𝛼10−𝛼20

(1−𝛼10 )2 (C-33)

DH2 menyatakan rata-rata defisiensi per rantai.

Page 77: Fitria Yulistiani - 23008004.pdf

68

LAMPIRAN C.4 Rata-rata Massa Molekuler

Untuk semua rantai yang memiliki a buah atom C atau lebih, rata-rata massa

molekul rantai tersebut dapat dihitung sebagai berikut:

𝑀𝐶𝑎+ = 14𝑛+2 . 1−𝛼 .𝛼𝑛−1∞𝑎

𝛼𝑎−1 =(1−𝛼) 14𝑛 .𝛼𝑛−1+2𝛼𝑛∞

𝑎

𝛼𝑎−1 (C-36)

𝑀𝐶𝑎+ =(1−𝛼) 14(𝑛+𝑎 .𝛼𝑛+𝑎−1+2𝛼𝑛+𝑎−1)∞

0

𝛼𝑎−1 (C-37)

𝑀𝐶𝑎+ =(1−𝛼)𝛼𝑎−1 (14𝑛 .𝛼𝑛+14𝑎 .𝛼𝑛+2.𝛼𝑛 )∞

0

𝛼𝑎−1 (C-38)

𝑀𝐶𝑎+ = 1 − 𝛼 . 14𝛼

(1−𝛼)2 + 14𝑎 + 2 .1

1−𝛼 =

14.𝛼+ 14𝑎+2 .(1−𝛼)

(1−𝛼) (C-39)