fisioterapi jurnal ilmiah fisioterapi · beberapa rumah sakit dan klinik fisioterapi yang terpilih...
TRANSCRIPT
ISSN 2302-3929
FISIOTERAPI
JURNAL ILMIAH FISIOTERAPI
Jurnal Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 April 2014
Program Studi Fisioterapi STIKes Binawan
Pengembangan Diri Pada Fisioterapi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Dan Pengalaman Kerja Di
Wilayah Dki Jakarta Dan Sekitarnya Tahun 2013
Imam Waluyo, Ririn Cholisotul Mu’awanah, Muh Arsyad Subu, Kurnia Refta Novianti,
Gambaran Karakteristik Pasien Terhadap Kepuasan Pasien Berdasarkan Pelayanan Fisioterapi di
Beberapa Rumah Sakit dan Klinik Fisioterapi yang Terpilih di DKI Jakarta Dan Sekitarnya Tahun
2013
Slamet Sumarno, Atik Freeyanti, Sarkosih, Noraeni Arsyad
Perbedaan Tingkat Depresi Antara Persalinan Normal Dengan Operasi Sesar Pada Wanita
Postpartum Di Pelayanan Kota Sukabumi, Jawa Barat Tahun 2013
Sri yani, Muammar Syadzali, Septian Arif Gandaputra, Tilawaty Apriana
Hubungan Komunikasi Fisioterapis Dengan Pengalaman Kerja Di Rumah Sakit Jakarta Dan
Sekitarnya Tahun 2013
Sri Yani, Danang Subur, Muhammad Arsyad Subu, Djadjang Aditaruna
Perbedaan Kepuasan Pasien Di Rumah Sakit Negeri Dengan Rumah Swasta Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia Dan Tingkat Pendidikan Di Dki Jakarta Dan Sekitarnya Tahun 2013
Slamet Soemarno, Inswiasri, Desi Kurniawati, Septian Arif Gandaputra
FISIOTERAPI JURNAL ILMIAH FISIOTERAPI
SUSUNAN PENGURUS JURNAL FISIOTERAPI
PEMIMPIN UMUM : Imam Waluyo, SMPh., MBA PEMIMPIN REDAKSI : Imam Waluyo, SMPh., MBA
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI : Sarkosih,SST,Drs,MKKK
REDAKSI : Inswiasri, Mkes, Dr : Siswo Poerwanto, Msc,MPH,PhD : Dwi Susilowati, dr, Sp.GK,Dr
: Slamet Sumarno, Drs, M,Fis REDAKSI AHLI TAMU : Dave Holmes, Prof. (Ottawa University, Canada)
REDAKSI KONTRIBUTOR : Muhammad Arsyad Subu (Ottawa University, Canada)
: Septian Arif Gandaputra (Asia University, Taiwan)
: Galih Nindy (Germany) PENYUNTING PENGELOLA : Sriyani,SST.Ft, MSi
BAGIAN PROMOSI : Lika Efriandini, ST.Ft BAGIAN TATA USAHA : Noraeni Arsyad, SST.Ft
Sekretariat: Pusat Pengelola Jurnal Ilmiah Fisioterapi STIKes Binawan
Jl. Kalibata Raya No. 25 – 30 Jakarta 13630 Indonesia Website: www.binawan-ihs.ac.id email: [email protected]
FISIOTERAPI JURNAL ILMIAH FISIOTERAPI
Daftar Isi Pengembangan Diri Pada Fisioterapi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Dan Pengalaman Kerja Di Wilayah Dki Jakarta Dan Sekitarnya Tahun 2013
………………………………........................................................................................................... 1 Imam Waluyo, Ririn Cholisotul Mu’awanah,Muh Arsyad Subu, Kurnia Refta Novianti,
Gambaran Karakteristik Pasien Terhadap Kepuasan Pasien Berdasarkan Pelayanan Fisioterapi di
Beberapa Rumah Sakit dan Klinik Fisioterapi yang Terpilih di DKI Jakarta dan Sekitarnya Tahun 2013
………………………………………………………………..………………………………………….………………............. 11 Slamet Sumarno, Atik Freeyanti, Sarkosih, Noraeni Arsyad
Perbedaan Tingkat Depresi Antara Persalinan Normal Dengan Operasi Sesar Pada Wanita Postpartum Di
Pelayanan Kota Sukabumi, Jawa Barat Tahun 2013
……………………................................................................................................................. 20 Sri yani, Muammar Syadzali, Septian Arif Gandaputra, Tilawaty Apriana
Hubungan Komunikasi Fisioterapis Dengan Pengalaman Kerja Di Rumah Sakit Jakarta Dan Sekitarnya
Tahun 2013
................................................................................................................................................... 27 Sri Yani, Danang Subur, Muhammad Arsyad Subu, Djadjang Aditaruna
Perbedaan Kepuasan Pasien Di Rumah Sakit Negeri Dengan Rumah Swasta Berdasarkan Jenis Kelamin,
Usia Dan Tingkat Pendidikan Di Dki Jakarta Dan Sekitarnya Tahun2013
…………………………………………………………………………………………………………..……………………… 35
Slamet Soemarno, Inswiasri, DesiK urniawati, Septian Arif Gandaputra
Sebagai Mitra Bestari untuk penerbitan: Dr. dr. YettyRamli, Sp.S
FISIOTERAPI JURNAL ILMIAH FISIOTERAPI
Kata Pengantar
Sejak tahun 2012 jurnal Fisioterapi mendapat dukungan dari Canada Prof Dave Holmes sebagai
redaksi ahli disamping adanya konstributor dari Taiwan, Canada danJerman yang merupakan
alumni fisioterapi yang melanjutkan kuliah dan bekerja di negara-negara tersebut.
Pada volume 4 no 1 tahun 2014 ini selain tentang kesehatan wanita paska melahirkan juga
berisi artikel yang menyangkut kinerja professional fisioterapi terkait dengan kepuasan
pasiennya di lingkungan Rumah Sakit atau Klinik Fisioterapi yang ada di Jakarta dan
perkembangan anak
Pada penerbitan kali ini sebagai mitra bestari adalah Dr. dr. Yetty Ramli, Sp.S
Semoga artikel pada penerbitan kali dapat bermanfaat dan kami juga mengharapkan saran dan
kritik membangun untuk meningkatkan mutu Jurnal Fisioterapi Stikes Binawan
Salam
Redaksi
FISIOTERAPIJURNAL ILMIAH FISIOTERAPI
Copyright by Program StudiFisioterapiSTIKesBinawan, 2012
Copyright by Fisioterapi STIKes Binawan, 2014
ISSN 2302-3929
1 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014 (Edisi April)
PENGEMBANGAN DIRI PADA FISIOTERAPI BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN KERJA DI WILAYAH
DKI JAKARTA DAN SEKITARNYA TAHUN 2013
Imam Waluyo2, Muh Arsyad Subu3, Kurnia Refta Novianti1, Ririn Cholisotul Mu’awanah1 1 Peneliti dan Staff Pengajar Prodi Fisioterapi STIKes Binawan
2 Staf Pengajar, Peneliti Pusat Studi Wellness & CAM Prodi Fisioterapi STIKes Binawan
Jl. Kalibata Raya No. 25 – 30 Jakarta 13630 Indonesia 3. Ottawa University , Canada
Abstract
This study was determine self directed learning physical therapy based on level education and work experience in Jakarta and around at 2013. This study was using cross sectional survey design with a group consisting 104 population and all of population used to sample. The instrument in this study was modification from Self Directed Learning Readiness Scale for Nurse Education (SDLRSNE) and Physical Therapy Profile Questionnaire (PTPQ). 65,4 % physical therapist in Jakarta and around has low desire of learning, 67,3 % physical therapist in Jakarta and around has low self control and 64,4 % physical therapist in Jakarta and around has low self management. The correlation between Level education and of self directed learning (desire of learning, self control and self management), (p = 0.84, 0.26, and 0.02). And the correlation between work experience and self directed learning (desire of learning, self control and self management), (p = 0,9, 0,8, and 0,9). There are no significant correlation between self directed learning (desire of learning and self-control) of physical therapist and level education and There is significant correlation between self directed learning (self management) of physical therapist and level education. And There are no significant correlation between self directed learning (desire of learning, self-control and self management) of physical therapist and work experience. Keywords : Desire for learning, Self control, Self management, Self directed learning, Physical therapist, Level education and Work experience
Pendahuluan
Profesionalisme adalah sebuah kunci
fisioterapis untuk maju ke depan, dimana di dalam profesionalisme ini terdapat tiga bagian penting, yaitu: pendidikan, praktisi
dan riset. (Rogers EM dan Shoemaker FF, 1971).
Menurut Panduan Conduct Profesional American Physical Therapy Association
(2004), Seorang fisioterapis memiliki tanggung jawab profesi, untuk menjaga kompetensi selama seumur hidup melalui
self-assessment berkelanjutan, pendidikan, dan peningkatan pengetahuan dan
keterampilan. Seorang fisioterapis memiliki tanggung jawab untuk memperbarui
keterampilan mereka dan menerapkan pengetahuan mereka secara efisien dan aman untuk meningkatkan praktek klinis.
(Elizabeth A, et all. 1985). Pengembangan diri erat kaitannya
dengan pengembangan profesi, hampir sebagian besar fisioterapi di dunia seperti
Kanada, Inggris dan Australia, sadar akan pentingnya pengembangan diri, hal ini dapat diketahui melalui kesadaran mereka
akan pengembangan diri.
2 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014 (Edisi April)
Pengembangan diri bagi fisioterapis merupakan suatu bentuk pembelajaran
mandiri yang di dapat melalui pembelajaran formal dan non formal selama sepanjang usia mereka. Seorang fisioterapis
berkewajiban memperbarui ilmu pengetahuan mereka sehingga dapat memberikan pelayanan yang holistik dan
terbaik bagi pasien. Selain itu, organisasi profesi juga menuntut seorang fisioterapis untuk selalu memperbarui ilmu
pengetahuan mereka, dan memberi kesempatan mereka untuk mengembangkan pengetahuan sesuai dengan kode etik
profesi. Sehingga seorang fisioterapis diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan profesionalisme dan melengkapi diri dengan keterampilan yang memadai. (Kode Etik
Profesi Fisioterapi, 2001). Berdasarkan hasil penelitian Choudhry,
Fletcher dan Soumerai (2001), disebutkan
bahwa 94% penurunan kompetensi profesi terjadi seiring dengan makin bertambahnya usia seseorang.
Pengembangan Diri Knowles (1975) mendefinisikan
pengembangan diri sebagai suatu proses yang dilakukan individu untuk mengambil suatu inisiasi, dengan atau tanpa bantuan
orang lain, kemudian mengidentifikasikan kebutuhan pembelajaran, membentuk tujuan pembelajaran, mengidentifikasikan
sumber daya untuk pembelajaran, memilih dan menerapkan strategi pembelajaran dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
Long (1987) mendefinisikan pengembangan diri sebagai suatu proses pengarahan mental yang bertujuan pribadi, yang disertai
dan didukung oleh kegiatan lain yang terlibat dalam identifikasi dan proses pencarian informasi.
Candy (1991) memiliki pandangan bahwa ada hubungan timbal balik antara pengembangan diri dan pendidikan seumur
hidup. Dimana di satu sisi, pengembangan diri adalah proses pembelajaran sepanjang masa hidup mereka atau selama menerima
pendidikan formal. Sedangkan di sisi lain, pengembangan diri adalah pembelajaran
yang melengkapi orang-orang dengan keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melanjutkan pendidikan
mereka sendiri, yaitu di luar pendidikan formal. Dalam pengertian ini, pengembangan diri merupakan sebuah
proses pembelajaran secara bersamaan dan berlangsung seumur hidup.
Pengembangan Diri Fisioterapis Berdasarkan Tingkat Pendidikan Dan Pengalaman Kerja
Perbedaan pengetahuan dan pengalaman pada setiap orang juga akan menentukan tanggung jawab dan kebijakan yang berbeda pula, sesuai dengan pengetahuan
dan pengalaman seseorang tersebut. (Van Norman, 1998). Pengalaman kerja sangat erat kaitannya
dengan pengembangan diri. Hal ini terlihat dari kemampuan fisioterapis tersebut dalam melakukan proses fisioterapi, dimulai dari
anamesa sampai dengan evaluasi pasien. Richardson berpendapat, tindakan fisioterapis yang kurang pengalaman sangat
dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan persepsi rekan-rekan senior. (Richardson, 1999). Lopopolo menyatakan bahwa
anggota kelompok kerja terang-terangan "berusaha untuk mempengaruhi individu agar sesuai dengan harapan kelompok
tentang bagaimana peran yang harus ditetapkan." (Lopopolo, 2001). Fisioterapis yang kurang pengalaman
memiliki rasa penekanan profesional yang kuat untuk melanjutkan pendidikan, hal ini disebabkan karena peserta kegiatan
pendidikan lebih besar, mereka sadar akan pentingnya peran pendidikan dalam profesi mereka, atau dipengaruhi oleh penekanan
profesi lanjutan. Fisioterapis berpengalaman, biasanya lebih profesional dan memiliki rasa kepemilikan peran
organisasi yang lebih besar jika dibanding fisioterapis yang kurang pengalaman. Sedangkan fisioterapis yang kurang
3 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014 (Edisi April)
berpengalaman dengan tuntutan untuk produktivitas yang lebih besar telah
disosialisasikan ke lingkungan rumah sakit. (Lopopolo, 2002). Dalam penelitiannya, Jensen, et all.
(1990) melaporkan bahwa fisioterapis berpengalaman menghabiskan lebih banyak waktu dengan pasien daripada fisioterapis
pemula dalam memberikan perawatan, mencari informasi, dan mengevaluasi dan mendidik pasien. Fisioterapis
berpengalaman tampaknya mampu menangani interupsi dari intervensi langsung, lebih efisien daripada fisioterapis
pemula. Dan fisioterapis yang berpengalaman juga menghabiskan waktu lebih banyak saat interaksi sosial dengan pasien, dan dengan pendidikan pasien,
daripada yang dilakukan oleh fisioterapis pemula. Selain itu juga, dalam penelitian Joan Mc
Mekeen, et all (2005) juga disebutkan bahwa bahwa fisioterapis membutuhkan pendidikan lebih lanjut untuk
pengembangan profesi mereka, contohnya fisioterapis pemula membutuhkan akses untuk mengembangkan profesi mereka dan
memperdalam kemampuan dan pengetahuan. Sedangkan fisioterapis ahli membutuhkan pendidikan formal untuk
mengembangkan spesialisasinya. Dan para karyawan menyatakan bahwa mereka membutuhkan pendidikan lebih
lanjut pada area tertentu, contohnya: pediatrik, manajemen kecacatan, fisioterapi perkotaan, fisioterapi komunitas dan
fisioterapi pada sektor sekolah. Metode
Fisher dan Targue (2001), membagi pengembangan diri dalam 3 bagian yaitu: keinginan belajar, manajemen diri dan
pengendalian diri, sehingga dapat dibuat sebuah kerangka alur yang menjadi konsep dalam penelitian ini, yang terfokus kepada
pengembangan diri fisioterapis dan karakteristik individu fisioterapis (tingkat pendidikan akhir dan pengalaman kerja).
Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian cross sectional atau potong melintang yang
mengambil data secara bersamaan antara variabel yang akan dibuat deskripsi. Dan sebagai unit analisis adalah fisioterapis yang
berada di pelayanan kesehatan (Rumah sakit dan klinik) di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Wilayah DKI
Jakarta dan sekitarnya. Waktu penelitian dilakukan selama 4 bulan, bulan Juni - September tahun 2013
Populasi, Sampel, Kriteria Inklusi dan Ekslusi Populasi pada penelitian ini adalah semua
fisioterapis yang berada di pelayanan kesehatan di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Subyek penelitian yang diambil
dari unit analisa adalah fisioterapis yang berada di pelayanan kesehatan di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Sedangkan
sampel pada penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Didapatkan sampel minimun sebanyak 81 orang,
dengan cadangan sebanyak 11 orang maka dibulatkan menjadi 92 orang. Yang termasuk dalam kriteria inklusi pada
penelitian ini adalah fisioterapis yang telah berkerja selama lebih dari 3 tahun. Yang termasuk dalam kriteria eksklusi pada
penelitian ini adalah fisioterapis yang berkerja kurang dari 3 tahun.
Pengambilan Data Sampel yang digunakan pada penelitian
ini adalah seluruh fisioterapis yang berada
di unit analisis, yang memenuhi kriteria inklusi.
Sebelum memberikan instrument
penelitian, peneliti menjelaskan tentang apa saja kegiatan yang akan dilakukan oleh subyek dan meminta kesediaan subyek
4 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014 (Edisi April)
dengan cara mengisi isian formulir informed consent. Instrument yang digunakan dalam
penelitian ini adalah modifikasi instrumen dari Learning Readiness Scale for Nurse Education (SDLRSNE) dan Physical Therapy
Profile Questionnaire (PTPQ). Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara kuisioner.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Analisa deskriptif dilakukan untuk
mengetahui distribusi karakteristik tiap - tiap variabel (keinginan belajar, pengendalian diri, manajemen diri, tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja) yaitu mean, standar deviasi dan frekuensi dari sampel dengan mengunakan analisa univariat.
Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui apakah apakah ada hubungan antara variabel independen (tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja) dengan variabel dependen (keinginan belajar, pengendalian diri dan manajemen diri).
Yang disajikan secara deskriptif dalam tabel silang.
Sebelum melakukan analisa bivariat,
perlu dilakukan uji pengujian pendahuluan yaitu uji normalitas. Uji ini berguna untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi
data dari variabel tersebut. Uji normalitas dilakukan hanya pada variabel pengalaman kerja, karena variabel ini mengunakan skala
data interval, sedangkan uji normalitas yang digunakan adalah uji kolmogrov.
Hasil Deskripsi Penelitian
Jumlah responden yang digunakan
dalam penelitian ini sebanyak 104 responden untuk diolah dalam penelitian ini dari 109 total kuisioner yang disebarkan.
Karakteristik subyek penelitian
N Persentase
Jenis pelayanan fisioterapi:
Rumah Sakit 88 84,6 %
negeri & swasta Klinik umum &
fisioterapi
16 15,3 %
Jenis kelamin:
Perempuan 55 52,8 % Laki- laki 49 47,1 %
Usia:
< 29 tahun 22 21,1 % 30-39 tahun 41 39,4 %
40-49 tahun 25 24,0 % ≥ 50 tahun 16 15,3 %
Tingkat pendidikan:
D3 82 78,8 % D4/S1 22 21,1 %
Pengalaman kerja:
< 10 tahun 41 39,4 % ≥ 10 tahun 63 60,5%
Jika dilihat besaran jumlah, berdasarkan tabel di atas, berdasarkan jenis pelayanan
fisioterapi, yang paling banyak adalah berasal dari rumah sakit swasta dan rumah sakit negeri, sebanyak 84,6%. Berdasarkan jenis kelamin, fisioterapis yang paling
banyak adalah perempuan sebanyak 52,8%. Jika dilihat berdasarkan usia, presentase terbesar adalah fisioterapis usia
antara 30-39 tahun, sebanyak 39,1%. Sementara berdasarkan tingkat pendidikan, presentase tertinggi adalah fisioterapis
dengan jenjang pendidikan D3, sebanyak 78,8% dan berdasarkan pengalaman kerja, fisioterapis yang paling banyak adalah
memiliki pengalaman kerja selama ≥ 10 tahun, sebanyak 60,5%.
Pengembangan diri pada fisioterapis terdiri dari 3 bagian yaitu: keinginan belajar, pengendalian diri dan manajemen diri.
Dimana masing - masing bagian ini, saling berhubungan dalam membentuk pengembangan diri.
5 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014 (Edisi April)
Berdasarkan tabel di atas, keinginan
belajar pada fisioterapis di Wilayah DKI
Jakarta dan sekitarnya tergolong kurang, kurangnya keinginan belajar pada fisioterapi di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya bernilai 65.4 %. Begitu juga pada
pengendalian diri fisioterapis di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya yang masih juga tergolong kurang, dengan presentase 67,3
%. Manajemen diri pada fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya juga tergolong kurang, yakni dengan presentase
64.4%. Pengembangan diri fisioterapis
didapatkan melalui beberapa cara antara
lain berupa: pendidikan formal, pelatihan bersertifikasi pasca lulus, seminar, rekomendasi teman, resep dari dokter,
artikel jurnal / penelitian, buku/ referensi lain dan pengalaman.
Cara pengembangan diri yang paling banyak dilakukan oleh fisioterapis di
Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya adalah melalui pendidikan formal (59,62%) dan yang paling sedikit berasal dari buku atau
referensi lainnya (0,96%). Analisis Bivariat
Mayoritas fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dengan tingkat pendidikan D3, memiliki keinginan belajar
yang kurang, yaitu sebanyak 65,9 %. Dan juga terlihat bahwa mayoritas fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dengan
tingkat pendidikan D4/ S1, memiliki keinginan belajar yang baik, yaitu sebanyak 63,6 % .
Fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta
dan sekitarnya dengan tingkat pendidikan D3, memiliki pengendalian diri yang kurang, yaitu sebanyak 64,6%. Dan mayoritas
fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dengan tingkat pendidikan D4/ S1 memiliki pengendalian diri yang kurang,
yaitu sebanyak 77,3 % Fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta
dan sekitarnya dengan tingkat pendidikan
D3 memiliki manajemen diri yang kurang apabila dibandingkan dengan manajemen diri yang baik, yaitu sebanyak 67,1 %. Serta
terlihat bahwa mayoritas fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta dengan tingkat pendidikan D4/ S1, memiliki manajemen diri
yang kurang, yaitu sebanyak 54,4%. Fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta
dan sekitarnya dengan pengalaman kerja
selama < 10 tahun memiliki keinginan belajar yang kurang, yaitu sebanyak 65,8 %. Terlihat bahwa mayoritas fisioterapis di
Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dengan pengalaman kerja selama ≥ 10 tahun memiliki keinginan belajar yang kurang,
yaitu sebanyak 65,1 %. Fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta
dan sekitarnya dengan pengalaman kerja
selama < 10 tahun memiliki pengendalian diri yang kurang, yaitu sebanyak 65,9 %. Terlihat bahwa mayoritas fisioterapis di
65.4
67.3
64.4
34.6
32.7
35.6
0 20 40 60 80
KeinginanBelajar
PengendalianDiri
Manajemen diri
Baik
Kurang
6 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014 (Edisi April)
Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dengan pengalaman kerja selama ≥ 10 tahun
memiliki pengendalian diri yang kurang, yaitu sebanyak 68,3%.
Fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta
dan sekitarnya dengan pengalaman kerja selama < 10 tahun memiliki manajemen diri yang kurang, yaitu sebanyak 63,4%.
Terlihat bahwa mayoritas fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dengan pengalaman kerja selama ≥ 10 tahun
memiliki manajemen diri yang kurang, yaitu sebanyak 65,1 %.
Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan
terhadap fisioterapis di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, didapatkan hasil bahwa
tinggi rendahnya pendidikan fisioterapis tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengembangan diri dalam hal
manajemen diri, dengan nilai r=0,02 dan p=0.84. begitu pula dalam hal keinginan belajar, tingkat pendidikan tidak
mempengaruhi secara signifikan dengan nilai r=0,1 dan nilai p=0,26. Namun tingkat pendidikan berpengaruh terhadap
pengembangan diri dalam hal pengendalian diri dengan asosiasi negative, dengan nilai r=-0,11 dan nilai p=0,02.
Sementara berdasarkan pengalaman kerja, tidak ada korelasi yang bermakna terhadap pengembangan diri fisioterapis di
wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, dengan nilai r=0,007 dan nilai p=0,9 dalam hal keinginan belajar, nilai r=-0,025 dan p=0,8
dalam hal pengendalian diri, dan nilai r=-0,01 dan p=0,8 dalam hal manajemen diri.
Daftar Pustaka Agho, A.O, Mueller, C.W & Price, J.L. (1993).
Determinants of employee job satisfaction: an empirical test of a causal model. Human Relations. 46:1007–1027.
American Physical Therapy Association. (2004). Guide for Professional Conduct. Retrieved October 29, 2004, at http://www.apta.org/PT_Practice/ethics_pt/pro_conduct (GPC 5.2).
Ariawan, Iwan. (2003). Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok. Jurusan Biostatistik dan Kependudukan. FKM UI
Association of Danish Physiotherapists. (2005). Guide til kompetenceudvikling, http://kompetenceudvikling.fysio.dk/sw68.asp electronically based guidelines - in Danish.
Australian Physiotherapy Council, (2006). Australian Standards for Physiotherapy. Australian Physiotherapy Council: Canberra, July
Bandura, A. (1995). Exercise of personal and collective efficacy in changing societies. In A. Bandura. (Ed.). Self-efficacy in changing societies. New York: Cambridge University Press.17
Boekaerts, M., Pintrich, P. R., & Zeidner M. (Eds.). (2000). Handbook of self-regulation. San Diego, California: Academic Press.
Bridges Patricia H, Bierema,L, & Valentine,T. (2007). The propensity to adopt evidence-based practice among physical Therapists. BMC Health Services Research, 7, 103 doi:10.1186/1472-6963-7-103.
Brookfield. (1980). Independent Adult Learning, Unpublished doctoral dissertation University of Leicester.
Bryan, V., & Schulz, S. F. (1995). Self-directed learning in distance education: The relationship between Self Directed Learning Readiness Scale scores and success in completing distance education programs through home-study training. In H. B. Long, & Associates (Eds.), New dimensions in self-directed learning. University of Oklahoma, College of Education: Public Managers Center, 135-157.
Candy.(1991), Self-Direction for Lifelong Learning,
San Francisco: Jossey-Bass,15-23 Campo, M.A, Weiser, S. & Koenig, K.L. (2009). Job
Strain in Physical Therapy. PHYS THER. 89:946-956.
Carré, P, Jézégou, A, Kaplan, J, Cyrot, P & Denoyel. N. (2011). L’Autoformation: The State Of Research On Self- (Directed) Learning In France. International Journal of Self-Directed Learning, 8-1,10
Chan, G. (1993). Classroom environment and approaches to learning. In J. B. Biggs, & D. Watkins (Eds.). Learning and teaching in Hong Kong: What is and what might be. Faculty of Education, University of Hong Kong.
Choudhry, Fletcher & Soumerai. (2005). Ann Intern Med, 142, 260-73.
Confessore, S. J., & Confessore, G. J. (1994). Learner profiles: A cross-sectional study of selected factors associated with self-directed learning. In H. B. Long & Associates (Eds.), New ideas about self-directed learning. Oklahoma: Oklahoma Research Center for Continuing
7 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014 (Edisi April)
Professional and Higher Education, University of Oklahoma, 201-227.
Cronbach, L. J., Schoneman, P., McKie, D. (1965). Alpha coefficient for stratified parallel tests. Educational & Psychological Measurement, 25, 291-312.
Curriculum Development Council. (2001). Learning to learn: Life-long learning and whole-person development. Hong Kong: Government Printing Department.
Daniels, Z,M, Betsy J. V, Betty J. S, Sanders, M,L & Robert L. R. (2007). Factors in Recruiting and Retaining Health Professionals for Rural Practice. National Rural Health Association, 62, 23,1.
Dizon, J, M, Grimmer, K, S, & Kumar, S. (2011). The physical therapy profile questionnaire (PTPQ): development, validation and pilot testing. BMC Research Notes, 4, 362 http://www.biomedcentral.com/1756-0500/4/362.
Dowds J, French H. (2008). Undertaking CPD in the workplace in physiotherapy. Physiotherapy Ireland. 29,11-19. http://epubs.rcsi.ie/sphysioart/2
Dron, J. (2007). Control and constraint in e-learning: Choosing when to choose. London: Idea Group Pub.
Embrey DG, Guthrie MR, White OR & Dietz J. (1996). Clinical decision making by experienced and inexperienced pediatric physical therapists for children with diplegic cerebral palsy. Phys Ther,76, 20–33.
Ellinger, A. (2004). The concept of self-directed learning and its implications for human resource development. Advances in Developing Human Resources, 6(2), 158-177
Elizabeth A. Domhlodt and Terry R.( 1985). Evaluating Research Literature: The Educated Clinician. PHYS THER, 65, 487-491,1.
Ericsson K.A, (1996). The Road to Excellence. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates Inc, 1–50.
Fishbein M, Ajzen I. (1975). Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction and theory and research. Reading, Mass: Addison-Wesley,
Fisher M, King J, & Tague G. (2001). Development of a self-directed learning readiness scale for nurse education. Nurse Education Today, 21, 516-525.
Foster, Bill. (2001). Pembinaan untuk Peningkatan Kinerja Karyawan. Jakarta: PPM
Fox RD, West RF. (1984). Medical students strategies for self-directed learning. Mobius, 4, 20-25.
Georgopoulus BS, (1981). Distinguishing organizational features of hospitals.In: Weiland GF, ed. Improving Health Care Management. Ann Arbor, Mich: Health Administration Press, chap 1
General Meeting of the European Region of the WCPT (2006), Informative paper With Recommendations on Continous Professional Development. adopted at the General Meeting 25-27 May 2006 Šibenik, Croatia
Gollwitzer, P. M. (1996). The volitional benefits of planning. In P. M. Gollwitzer & J. A. Bargh (Eds.), The psychology of action: Linking cognition and motivation to behavior, New York: Guilford, 287-312.
Green LA, Gorenflo DW, & Wyszewianski L. (2002). Validation of an instrument for selecting interventions to change physician practice patterns. A Michigan Consortium for Family Practice Research Study.
Guglielmino, L.M. (1989). Reaction to Field’s Investigation into the SDLRS. Adult Eduation, Quarterly, 39, 4, 235-245.
Guilford, J. P. (1956). Fundamental Statistics in Psychology and Education. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Inc.
Hadfield I, Murdoch G, Smithers J, Vaioleti L & Patterson H (2007): Is a professional portfolio, as a record of continued professional development, the most effective method to assess a physiotherapist’s competence?. New Zealand Journal of Physiotherapy 35(2): 72-83.
Hiemstra, R & Brockett, R.G. (1991). Self-Direction in Adult Learning: Perspectives on Theory, Research and Practice. London: Routledge,24.
Hiemstra, R & Brockett, R. (1994). Overcoming Resistance to Self-Direction in Adult Learning. San Francisco, Jossey-Bass, 24.
Hofer, B. K., & Pintrich, P. R. (1997). The development of epistemological theories: Beliefs about knowledge and knowing and their relation to learning. Review of Educational Research, 67(1), 88-140
Jensen, G.M, Shepard, K.F & Hack, L.M. (1990). The novice versus the experienced clinician: insights into the work of the physical therapist. Phys Ther. 70:314–323
Jensen GM, Shepard KF, Gwyer J & Hack LM. (1992). Attribute dimensions that distinguish master and novice physical therapy clinicians in orthopedic settings. Phys Ther. 72:711–722.
Jensen G.M, Gwyer J, Hack L.M & Shepard K.F. (1999). Expertise in Physical Therapy Practice. Boston, Mass: Butterworth-Heinemann
Jensen GM, Gwyer J, Shepard KF & Hack LM. (2000). Expert practice in physical therapy. Phys Ther. 80:28–43; discussion 44–52
Jette, D.U, Bacon, K, Batty, C., Carlson, M., Ferland, A., Hemingway, R.D., Volk, D. (2003). Evidence-Based Practise: beliefs, attitudes, knowledge, and behaviors of physical therapists. Physical therapy, 8, 786-805
8 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014 (Edisi April)
Jézégou, A. (2005). Formations ouvertes: Libertés de choix et autodirection de l'apprenant. Paris, France: L'Harmattan.
Jones, J. E. (1992). Validation study of the Self-
Directed Learning Readiness Scale with university and community art students. In H. B. Long & Associates (Eds.), Self-directed learning: Application and research Norman, OK: Oklahoma Research Center for Continuing Professional and Higher Education, University of Oklahoma, 131-145.
Katz D, Kahn R. (1978). The Social Psychology of Organizations. New York, NY; John Wiley & Sons Iic. 2, chap 7.
Kell C, Van Deursen R. (2000). The fight against professional obsolescence should begin in the undergraduate curriculum. Medical Teacher, 22,160-163.
King, P. M., & Kitchener, K. S. (1994). Developing reflective judgment: Understanding and promoting intellectual growth and critical thinking in adolescents and adults. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
King, P. M., & Kitchener, K. S. (2004). Reflective judgment: Theory and research on the development of epistemic assumptions through adulthood. Educational Psychologist, 39(1), 5-18
Knowles M. (1975). Self-directed learning. New York: Association Press.18
Kode Etik Profesi Fisioterapi Indonesia. (2001). Keputusan Ikatan Fisioterapi Indonesia. Nomor:Kep./100/VIII/2001/IFI. Ditetapkan di Jakarta, 20 Agustus 2001, VI &VII,
Kothari, C.R. (1990). Research methodology: Methods and techniques. New Delhi: Wiley Eastern Limited.
Kumar, S P. (2010). Physical Therapy: Past, Present and Future a paradigm shift. J Phys Ther,1, 58 -67. pg:64.
Last JM. (2001). A dictionary of epidemiology. Oxford: Oxford University Press.
Leach, Linda. (2000). Self-Directed Learning: theory and practice. University of Technology, Sydney, 167
Long, H.B (1987). Self-directed learning and learning theory. Unpublished paper presented at Conference of the Commission of Professors of Adult Education. Washington, DC, 3
Long, H. B. (1991b). College students’ self-directed learning readiness and educational achievement. In H. B. Long & Associates (Eds.), Self-directed learning: Consensus and conflict (pp. 107-122). Norman, OK: Oklahoma Research Center for Continuing Professional and Higher Education, University of Oklahoma.
Long, H. B., & Smith, S. W. (1996). Self-directed learning readiness and student success. In H.
B. Long & Associates (Eds.), Current developments in self-directed learning. University of Oklahoma, College of Education: Public Managers Cente, 193-200.
Long, H. B., & Stubblefield, C. H. (1994). Childhood experiences as origins of self-directed learning readiness. In H. B. Long & Associates (Eds.), New ideas about self-directed learning. Norman, OK: Oklahoma Research Center for Continuing Professional and Higher Education, University of Oklahoma, 15-22
Long, H. (2000). Understanding self-direction in learning. In H.B. Long & Associates (Eds.), Practice and theory in self-directed learning. Shaumberg, IL: Motorola University Press.14,11-24
Long, H. B. (2001a). A multi-variable theory of self-direction in learning. In H.B. Long & Associates (Eds.), Self-directed learning and the information age [CD]. Available from International Society for Self-Directed Learning at www.sdlglobal.com
Lopopolo, R.B. (2001). Development of the Professional Role Behaviors Survey (PROBES). Phys Ther.81:1317–1327.
Lopopolo, R. B (2002). Relationship of Role-Related Variables to Job Satisfaction and Commitment to the Organization in a Restructured Hospital Environment. PHYS THER.82:984-999.
Lusardi MM, LeVangie PK, Fein BD. (2002). A problem-based learning approach to facilitate evidence-based practice in entry-level education. Journal of Prosthetics and Orthotics, 4, 40-50.
Mathieu,J.E & Zajac, D. (1990). A review and meta-analysis of the antecedents, correlates, and consequences of organizational commitment. Psychol Bull. 108:171–194.
McCauley, V. (2002). The development of information technology-based self-directed learning in physics. Doctoral Thesis. University of Limerick: Limerick, Ireland.
McMeeken. Joan, Gillian Webb, Kerri-Lee Krause, Ruth Grant & Robin Garnett. (2005). Learning Outcomes and Cuririculum Development In Australian Physiotherapy Education. The University of Melbourne, Australia.
McCombs, B. L. (2001). What do we know about learners and learning? The learner-centered framework: Bringing the educational system into balance. Educational Horizons, 79(4), 182-93.
McCune, S. K., Guglielmino, L. M., & Garcia, G. (1990). Adult self-direction in learning: A meta-analytic study of research using the Self Directed Learning Readiness Scale. In H. B. Long & Associates (Eds.), Adult self directed learning: Emerging theory and practice. Norman, OK: Oklahoma Research Center for
9 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014 (Edisi April)
Continuing Professional and Higher Education, University of Oklahoma,145-156.
Mercer D (1991). Intermediate epidemiology (Coursework). New Orleans, LA: Tulane School of Public Health and Tropical Medicine.
Meyer, D. T. (2001). The measurement of intentional behavior as a prerequisite to autonomous learning (Doctoral dissertation, The George Washington University, 2001). Dissertation Abstracts International, 61(12), 4697A.
Mills A, Millsteed J. (2002). Retention: an unresolved workforce issue affecting rural occupational therapy services. Aust Occ Ther J. 49, 170-81.
Norwegian Physiotherapist Association, www.fysio.no Oddi, L. F. (1984). Development and validation of an
instrument to identify self-directed continuing learners. Adult Education Quarterly, 36, 97-107.
Oddi, L. F., Ellis, A. J., & Roberson, J. E. A. (1990). Construct validation of the Oddi Continuing Learning Inventory. Adult Education Quarterly, 40(3), 139-145.
Oliveira, A, Tomás, J, Guglielmino, S.L & Guglielmino, P,J. (2010). A Cross Cultural study of Self Directed Learning Reasiness, performance, creativity and problem Solving in a sample from Portugal. International Journal of Self-Directed Learning, 7-1, 44
Orest M. (1994). Clinician’s perceptions of self assessment in clinical practice. Phys Ther, 75, 824–829.
O’Sullivan, Julia. (2003). Unlocking the Workforce Potential: is support for effective continuing professional development the key?. Chartered Society of Physiotherapy, London: United Kingdom. Research in Post-Compulsory Education, 8(1).
Perry R. Hinton, Charlotte, Brownlow, Isabella, McMurray & Bob Cozens. (2004). SPSS Explained. Routledge,356
Phillips, D. C. (1995). The good, the bad and the ugly: The many faces of constructivism. Educational Researcher, 24 (7), 5-12.
Physiotherapists Board, (2011). Continuing Professional Development Manual for Registered Physiotherapists, Voluntary Scheme, Education Committee Physiotherapists Board Hong Kong SAR.
Pintrich, P. R. (2000). The role of goal orientation in self-regulated learning. In M. Boekaerts, P. R. Pintrich, & M. Zeidner (Eds.), Handbook of self-regulation (pp. 452-502). San Diego, CA: Academic Press
Preczewski, S. C. (1999). Measuring self-directedness for continuing learning: A cross-sectional survey approach using the Oddi Continuing Learning Inventory (OCLI). In H. B. Long & Associates (Eds,), Contemporary ideas and practices in self-directed learning (pp. 117-
126). University of Oklahoma, College of Education: Public Managers Center.
Reio, T,G Jr. & Davis,W. (2005). Age And Gender in Self Directed Learning Readiness: A Development Persective. International Journal of Self-directed Learning, 2-1, 47
Resnik, L and Hart, L D. (2003). Using Clinical Outcomes to Identify Expert Physical Therapists. PHYS THER. 83:990-1002.
Resnik, L and Jensen, G.M. (2003).Using Clinical Outcomes to Explore the Theory of Expert Practice in Physical Therapy. PHYS THER. 83:1090-1106.
Richardson, B. (1999). Professional development, 2: professional knowledge and situated learning in the workplace. Physiotherapy. 85:467–474.
Robin K, Roots and Linda, C Li. (2013). Recruitment and retention of occupational therapists and physiotherapists in rural regions: a meta-synthesis. BMC Health Services Research,13, 59. doi:10.1186/1472-6963-13-59,
Rogers EM, Shoemaker FF. (1971). Communication of innovations. New York: The Free Press.
Royal Dutch Society for Physical Therapy (KNGF). www.kngf.nl
Schommer,M. (1998). The influence of age and schooling on epistemological beliefs. The British Journal of Educational Psychology, 68, 551-562.
Stagnitti K, Schoo A, Reid C, Dunbar J. (2005). Retention of allied health professionals in south-west of Victoria. Aust J Rural Health. 13, 364-5.
Stockdale, S. L. (2003). Development of an instrument to measure self-directedness. Dissertation Abstracts International, A64/06, AAT 3092836.
Stockdale, S. L., & Brockett, R. G. (2011). Development of the PRO-SDLS: A measure of self-direction in learning based on the personal responsibility orientation model. Adult Education Quarterly, 61(2), 161-180.
Streiner DL, Norman GR (2000). Health measurement scales: A practical guide to their development and use. Oxford: Oxford University Press.
Sternberg RJ, Horvath JA. (1995). A prototype view of expert teaching. Educational Researcher. 24:9–17.
Swedish Association of Registered Physical Therapists http://www.lsr.se/index.asp?start=fou/forskning_pagar.htm
Swisher, L, L; Page G, & Catherine G. (2005). Professionalism in Physical Therapy: History, Practice; and Development. Elsevier. USA, 9, 195.
Tough, (1979). The Adult’s Learning Projects: A Fresh Approach to Theory and practice in Adult Learning, Austin,Texas: Learning Concepts.
The Physiotherapy Board of New Zealand. (2005)
10 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014 (Edisi April)
The Federation Of State Boards of Physical Therapy. (2000). Standards of Competence. Approved by the Board of Directors, Adopted: August 2000 Revised: October 19, 2006
The Chartered Society of Physiotherapy, CSP. (2001). Continuing Professional Development (CPD), Portfolio of learning. CSP: London http://www.csp.org.uk/director/libraryandpublications/publications.cfm?item_id=74C87561BC27B74AE8DFC1B03310FBAC
The Chartered Society of Physiotherapy, CSP. (2003). Continuing Professional Development (CPD), Briefing and Policy Statement. This document is not available electronically; jan.2006, but we refer to the CSP documents below,
The Chartered Society of Physiotherapy, CSP. (2003). Framework for the Creation of Successful Systems of CPD in Physiotherapy Services, CSP:London.http://www.csp.org.uk/director/libraryandpublications/publications.cfm?item_id=74C877A5AE1277A5BE07BD86FE16F3B2
The Chartered Society of Physiotherapy, CSP. (2005). Keeping a portfolio using your CD-Rom.CSP:London http://www.csp.org.uk/director/libraryandpublications/publications.cfm?item_id=2FBC9012D3000F9F78DB1B21E6039707
The Chartered Society of Physiotherapy, CSP. (2005). The CPD Process, CSP(revised2005).http://www.csp.org.uk/uploads/documents/csp_cpd30_cpd_process.pdf
Van Norman, G.(1998). Interdisciplinary Team Issues. University of Washington School of Medicine,
Vollmer HM, Mills DL. (1966). Professionalization. Englewood Cliffs, Nj: Prentice-Hall
Wainwright SF, Shepard KF, Harman LB, & Stephens J. (2010). Novice and experienced physical therapist clinicians: a comparison of how reflection is used to inform the clinical decision-making process. Phys Ther, 90,75–88
Williams E, D'Amore W & McMeeken J. (2007). Physiotherapy in rural and regional Australia. Aust J Rural Health, 15, 380-6.
Wlodkowski, R., & Westover, T. (1999). Accelerated courses as a learning format for adults. Canadian Journal for the Study of Adult Education, 13(1), 1-20,1
Zimmerman, B. J. (1998). Developing self-fulfilling cycles of academic regulation: An analysis of exemplary instructional models. In D. H. Schunk & B. J. Zimmerman (Eds.), Self-regulated learning and performance (pp. 1-19). Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum Associates
11 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN TERHADAP KEPUASAN PASIEN BERDASARKAN PELAYANAN FISIOTERAPI Di BEBERAPA
RUMAH SAKIT DAN KLINIK FISIOTERAPI YANG TERPILIH DI DKI DAN SEKITARNYA TAHUN 2013
Slamet Sumarno2, Atik Freeyanti1, Sarkosih2, Noraeni Arsyad1
1 Peneliti Pusat Studi Gerak & Stimulasi Kognitif STIKes Binawan 2 Peneliti Pusat Studi Gerak & Stimulasi Kognitif& Staf Pengajar Prodi Fisioterapi STIKes Binawan
Jl. Kalibata Raya No. 25–30 Jakarta 13630 Indonesia [email protected]
Abstrak
Indonesia is one country that is experiencing continuous developments in the field of health and professional performance of physiotherapy in Indonesia as a health care system, one of which includes the satisfaction of patients or clients to service quality physiotherapist. The higher the education of a patient, the higher the desires, hopes, and beliefs of the patient or the patient's family against any medical treatment. However, related to improving the quality of physiotherapy services it is still a lot of obstacles so that one of the ways that is expected to assess the quality of physiotherapy services. This survey using cross sectional method on 200 samples that meet the inclusion and exclusion criteria with random sampling techniques and analysis chis square. In this study also used a patient satisfaction questionnaire. With a P value> 0.05, which means that Ho is accepted where there is no connection to the educational level of patient satisfaction category physiotherapy services in hospitals and clinics in Jakarta and surrounding areas in 2013.With a P value> 0.05, which means that Ho is accepted where there is no connection to the educational level of patient satisfaction category physiotherapy services in hospitals and clinics in Jakarta and surrounding areas by 2013. However, if viewed from the distribution spread of patient satisfaction categories by level of education patients, patients with high levels of education more likely to have the satisfaction of both low satisfaction n = 33 (49.3%), satisfaction was n = 39 (50.6%) and high satisfaction n = 29 (51.6%). Keyword: Patient satisfaction, Level of Education and Physiotherapy
Pendahuluan
Konsumen pelayanan kesehatan/
pasien menginginkan kepuasan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pada dasarnya konsep pelayanan berkualitas
sebagai penilaian baik buruknya rumah sakit dapat dilihat dari empat komponen yang mempengaruhinya yaitu: 1) aspek klinik yang meliputi pelayanan dokter,
perawat, dan teknis medis, 2) efisiensi dan efektifitas, yaitu pelayanan yang murahdan tepat guna, 3) keselamatan pasien, yaitu
upaya perlindungan pasien dari hal yang membahayakan keselamatan pasien, serta 4) kepuasan pasien, yaitu tentang
kenyamanan, keramahan, dan kecepatan pelayanan (Roush, 1995; Friedman, 1987). Kepuasan pasien sebagai salah satu
indikator pelayanan berkualitas harus menjadi perhatian karena berhubungan
langsung dengan pengguna pelayanan kesehatan dan merupakan reaksi afeksi dan dinamis yang berhubungan dengan
perasaan kenyamanan, keramahan, kecepatan pelayanan serta pemberian informasi tentang kesehatan yang dibutuhkan (Yosafianty, 2010).
Kualitas pelayanan memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan konsumen kualitas dalam organisasi jasa
tertentu bukanlah sesuatu yang mudah didefinisikan karena hal tersebut sangat berhubungan erat dengan pandangan
konsumen (Djunaidi, 2006). Secara umum di katakan bahwa kualitas adalah karakteristik produk atau jasa yang di
12 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
tentukan oleh pemakai dan di peroleh melalui pengukuran proses serta melalui
perbaikan yang berkelanjutan. Kualitas pelayanan menurut wyckof adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan
pengadaan atas tingkat keunggulan tersedia tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan atau konsumen (Djunaidi, 2006;
Indraty, 2010). Taraf pendidikan masyarakat akan
mengacu pada perkembangan tekhnologi
yang dapat mempercepat atau menghambat perubahan atau pembangunan kesehatan yang selanjutnya
akan dapat mempengaruhi perilaku perorangan atau masyarakat (Reeder, 1972). Hal ini dikarenakan semakin tingginya pendidikan seorang pasien maka
semakin tinggi pula keinginan, harapan, dan kepercayaan dari pasien atau keluarga pasien terhadap segala penanganan medis
yang dilakukan oleh tim medis demi keselamatan dan kesembuhan pasien tersebut (Yuniarta, 2011; Guzman, 1988).
Pasien dengan pendidikan tinggi pun mampu memahami dengan benar informasi-informasi yang diberikan tim
medis sehingga apabila seorang pasien kurang berkenan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh tim medis, maka pasien
dapat menolak tindakan medis tersebut. Pasien dengan pendidikan rendah cenderung kurang memahami makna dari
informasi-informasi yang diberikan terhadap penanganan medis yang akan dilakukan pada pasien tersebut. Sehingga tingkat
kepuasannya pun lebih rendah dibandingkan dengan pasien berpendidikan lebih tinggi (Yuniarta, 2011; Rahmvqist,
2001). Fisioterapis merupakan tenaga
profesional yang independen maupun
sebagai bagian tim dari profesi penyedia kesehatan lainnya, memiliki fungsi untuk menyediakan pelayanan kepada individu
dan masyarakat untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak maksimum dan kemampuan fungsional
selama kehidupan. Hal ini meliputi kesejahteraan fisik, psikologis, emosional,
dan sosial (Kigin, 2009; WCPT, 2011). Standarisasi dari profesi fisioterapi meliputi: kemampuan fisioterapis dalam memberikan
komunikasi yang efektif kepada sesama anggota profesi, pengusaha, profesi kesehatan lainnya, pemerintah dan
masyarakat (WCPT, 2011), kemampuan untuk memberikan mutu pelayanan yang profesional dimana salah satunya
adalahkemampuan untuk mengukur tingkat kepuasan pasien/klien (Casserley-Feeney et al., 2008; Monnin & Perneger, 2002).
Beberapa penelitian (Cleary, 1988; Linder-Pelz, 1982; Nelson, 1990; Keith, 1998) telah mengemukakan bahwa kepuasan pasien adalah konsep
multidimensi. Dan baru-baru ini sebuah penelitian (Edgman-Levitan, 1996) telah menunjukkan bahwa sedikit yang diketahui
tentang Informasi yang paling penting bagi konsumen ketika membuat keputusan mengenai pemilihan perawatan kesehatan.
Berbagai jenis konsumen cenderung memiliki perbedaan kebutuhan meskipun tidak ada standarisasi pokok untuk
pengukuran kepuasan pasien. Studi terbaru oleh Nelson (1990) sangat membantu dalam menentukan point point yang terdiri
dari kepuasan pasien. Nelson melakukan isi sebuah analisis pada survei dari 18 layanan kesehatan yang dipilih dan berusaha untuk
mencocokkan pertanyaan dengan indikator kualitas seperti yang dijelaskan oleh Donabedian (1988) Berdasarkan kerangka
ini, ia menyimpulkan bahwa akses, administrasi manajemen teknis, manajemen teknis klinis, manajemen interpersonal, dan
kesinambungan perawatan yang domain yang menentukan kepuasan pasien. Domain ini juga terwakili di beberapa instrumen
survei kepuasan pasien saat ini digunakan oleh fisioterapis di beragam praktek (American Physical Therapy Association,
1995). Komunikasi fisioterapis dengan
pasien sangat berhubungan dengan tingkat
13 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan oleh fisioterapis. Dengan
demikian, dalam pelaksanaannya fisioterapis perlu fokus kepentingan pasien atau patient-centred commkepenting
unication (PCC) yang meliputi: kejelasan tujuan komunikasi, empati, kemampuan mendengarkan, humor, dan kedekatan
antara pasien dengan fisioterapis secara positif (Lakatoo, 2006).Di lain pihak upayameningkatkan kualitas pelayanan
fisioterapi dengan upaya meningkatkan taraf pendidikan dirasa masih banyak kendala dalam menjaga kualitas pelayanan
fisioterapi (quality ansurance), sehingga salah satu cara yang diharapkan dapat menilai kualitas pelayanan fisioterapi yaitu dengan melihat tingkat kepuasan pasien
yang mana penelitian mengenai hal tersebut khususnya belum banyak dilakukan di Indonesia.
Oleh karena itu diperlukan suatu studi penelitian kinerja profesional fisioterapi di Indonesia sebagai sistem
pelayanan kesehatan yang salah satunya meliputi kepuasan pasien atau klien terhadap kualitas pelayanan fisioterapis. Hal
ini dikarenakan semakin tingginya pendidikan seorang pasien maka semakin tinggi pula keinginan, harapan, dan
kepercayaan dari pasien atau keluarga pasien terhadap segala penanganan medis yang dilakukan oleh tim medis demi
keselamatan dan kesembuhan pasien tersebut. Namun terkait dengan upayapeningkatan kualitas pelayanan
fisioterapi dirasa masih banyak kendala sehingga salah satu cara yang diharapkan dapat menilai kualitas pelayanan fisioterapi
yaitu dengan melihat tingkat kepuasan pasien berdasarkan karakteristiknya yang mana penelitian mengenai hal tersebut
khususnya belum banyak dilakukan di Indonesia.
Hubungan Tingkat Pendidikan Pasien Dengan Kepuasan
Taraf pendidikan masyarakat akan mengacu pada perkembangan tekhnologi
yang dapat mempercepat atau menghambat perubahan atau pembangunan kesehatan yang selanjutnya
akan dapat mempengaruhi perilaku perorangan atau masyarakat (Reeder, 1972). Hal ini dikarenakan semakin
tingginya pendidikan seorang pasien maka semakin tinggi pula keinginan, harapan, dan kepercayaan dari pasien atau keluarga
pasien terhadap segala penanganan medis yang dilakukan oleh tim medis demi keselamatan dan kesembuhan pasien
tersebut (Yuniarta, 2011; Guzman, 1988). Pasien dengan pendidikan tinggi pun mampu memahami dengan benar informasi-informasi yang diberikan tim
medis sehingga apabila seorang pasien kurang berkenan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh tim medis, maka pasien
dapat menolak tindakan medis tersebut. Pasien dengan pendidikan rendah cenderung kurang memahami makna dari
informasi-informasi yang diberikan terhadap penanganan medis yang akan dilakukan pada pasien tersebut. Sehingga tingkat
kepuasannya pun lebih rendah dibandingkan dengan pasien berpendidikan lebih tinggi (Yuniarta, 2011; Rahmvqist,
2001). Menurut Kotler & Amstrong (dalam
Huriyati,2005 & Rangkuti, 2006) faktor-
faktor yang mempengaruhi kepuasan berhubungan dengan tingkah laku konsumen yang mana salah satunya adalah
faktor pribadi. Faktor pribadi merupakan keputusan seseorang dalam menerima pelayanan dan menanggapi pengalaman
sesuai dengan tahap-tahap kedewasaannya, dan salah satu faktor pribadi dari seseorang klien atau pasien yaitu pendidikan yang
merupakan proses pengajaran baik formal maupun informal (Casserley-Feeney, 2008). Hasilnya akan mempengaruhi sikap dan
perilaku seseorang dalam mendewasakan diri. Selain itu. pendidikan juga berkaitan dengan harapan. Seseorang yang tingkat
14 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
pendidikannya tinggi akan mengharapkan pelayanan yang lebih baik dan lebih tinggi
(Kamau, 2005). Metode
Penelitian ini di merupakan “cross sectional” atau potong melintang yang mengambil data secara bersamaan antar variabel yang akan di buat deskripsi dan
analisis hubungan antara variabel independen yaitu tingkat pendidikan pasien dan variabel dependen yaitu kepuasan
pasien berdasarkan pelayanan fisioterapi. Sebagai unit analisis adalah rumah sakit atau klinik yang memberikan pelayanan
fisioterapi. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit dan Klinik terpilih di wilayah Jabodetabek dengan sampel sebanyak 200 subjek penelitian. Adapun kriteria sampel
yaitu; pasien yang mendapat pelayanan fisioterapi yang sudah melakukan fisioterapi sebanyak 3 kali kunjungan atau sesi terapi
dan dapat membaca, menulis, berkomunikasi. Sampel pada dasarnya menggunakan sampel Riset
FasilitasKesehatan (RIFASKES) yang dimodifikasi ditambah beberapa RS dan klinik yang diambil secara acak dengan
kriteria:Pasien yang berobat ke layanan fisioterapi setelah kunjungan ketiga menjadi subyek penelitian yang diambil secara
random yang jumlahnya proforsional dengan jumlah fisioterapi di RS dan klinik tersebut.
Sebelum diberikan instrument penelitian, dilakukan penjelasan tentang apa saja kegiatan yang akan dilakukan dan
diminta kesediaannya dengan isian formulir informed consent.Instrumen dalam penelitian ini dikembangkan berdasarkan
instrument yang telah teruji validitas dan reabilitasnya dari beberapa negara berupa lembarkuesioner dan lembar pengamatan
kepuasan pasien yang diadaptasi dari rujukan Goldstein et al. (2000) & Monnin (2012).Pengambilan data dengan
wawancara menggunakan kuesioner KUESIONER UNTUK PASIEN (Pengenalan
Tempat, Kuesioner Identitas Pasien, Kuesioner Kepuasan).
Hasil Deskripsi data sampel dilakukan
dengan analisa univariat untuk mengetahui
distribusi karakteristik individu.
Tabel. 5.1
Distribusi frekuensi responden menurut usia pasien rawat jalan pelayanan fisioterapi
Karakteristik
FREKUENSI
PERSENTASI
Mean
Usia Muda 85 42,5 %
32,1
Usia Dewasa
58 29 %
Usia Tua 57 28,5 %
Berdasarkan tabel 5.1, diketahui dari
200 sampel di dominasi oleh pasien berusia muda sebanyak 85 sampel atau 42,5% sedangkan usia dewasa dan usia tua
masing-masing 58 sampel atau 29% dan 57 sampel atau 28,5 sampel dengan rata-rata usia pasien (mean) sama dengan 32,1.
Tabel. 5.2 Distribusi frekuensi responden menurut tingkat pendidikan pasien rawat jalan
pelayanan fisioterapi Karakteristik FREKUENSI PERSENTASI
Tingkat Pendidikan Rendah
80 40 %
Tingkat Pendidikan Sedang
19 9,5 %
15 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Tingkat Pendidikan Tinggi
101 50,5 %
Berdasarkan tabel 5.2, diketahui
tingkat pendidikan pasien rawat jalan pelayanan fisioterapi lebih banyak yang memiliki pendidikan tinggi atau setara SMA
dan perguruan tinggi sebanyak 101 sampel atau 50,5%, sedangkan yang berpendidikan rendah (belum/tidak pernah sekolah/tidak
tamat SD) sebanyak 80 sampel atau 40%, pendidikan sedang (tamat SD/Tamat SMP) sebanyak 19 sampel atau hanya 9,5%.
Tabel. 5.3
Distribusi frekuensi kepuasan pasien rawat
jalan pelayanan fisioterapi Karakteristik FREKUENSI PERSENTASI
Kepuasan Rendah
67 33,5 %
Kepuasan Sedang
77 38,5 %
Kepuasan Tinggi
56 28 %
Pada tabel 5.3, tidak ditemukan
pasien yang tidak puas terhadap pelayanan
fisioterapi sehingga kategori yang dapat dilihat yaitu kepuasan pasien yang dibagi menjadi kepuasan rendah sebanyak 67 pasien atau 33,5%, kepuasan sedang 77
pasien atau 38,5% dan kepuasn tinggi sebanyak 56 pasien atau 28%.
Mengingat dalam penelitian ini yang
ingin diketahui bagaimana hubungan tingkat pendidikan pasien terhadap kepuasan pasien pelayanan fisioterapi di
rumah sakit dan klinik terpilih di jabodetabek tahun 2013 dan tidak ditemukannya pasien yang tidak puas
terhadap pelayanan fisioterapi, maka pada tabel 5.4 dibawah ini hanya akan
menganalisis tingkat pendidikan pasien terhadap kategori kepuasan pasien.
Tabel. 5.4
Analisis Hubungan Tingkat Pendidikan Pasien Terhadap Kategori Kepuasan Pasien Pelayanan Fisioterapi Di Rumah Sakit Dan
Klinik Terpilih Di Jabodetabek Tahun 2013 Kategori Kepuasan Pasien
Tingkat Pendidikan Pasien
P
Rendah
Sedang
Tinggi
Kepuasan Rendah
29 (43,3%)
5 (7,5%)
33 (49,3%)
0,942+ Kepuas
an Sedang
30 (39%)
8 (10,4%)
39 (50,6%)
Kepuasan Tinggi
21 (37,5)
6 (10,7%)
29 (51,6%)
(*) Signifikan bermakna (p < 0,05), (+) Tidak Signifikan (p > 0,05)
Berdasarkan tabel 5.4 di atas, dengan nilai P > 0,05 yang berarti Ho diterima dimana tidak ada hubungan tingkat
pendidikan terhadap kategori kepuasan pasien pelayanan fisioterapi di rumah sakit dan klinik se-jabodetabek tahun 2013.
Pembahasan
Distribusi frekuensi responden
menurut usia pasien rawat jalan pelayanan fisioterapi di DKI Jakarta dan Sekitarnya menunjukkan dari 200 sampel didominasi
oleh pasien berusia muda < 20 tahun sebanyak 85 sampel atau 42,5% dengan rata-rata usia pasien 32,1. Berbeda dengan
yang di temukan Rahayu (2010) kecenderungan pada pengguna jasa layanan fisioterapi di poliklinik fisioterapi
16 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
RSUD Wonogiri cenderung berasal dari kelompok umur dewasa yaitu 30 – 65 tahun
sebanyak 53 (70,6%). Hal ini memungkinkan terjadi berdasarkan pengamatan dilapangan dikarenakan
beberapa rumah sakit yang diteliti dalam penelitian ini adalah Rumah Sakit Ibu dan Anak yang mana di rumah sakit umum
biasanya juga dapat ditemukan banyak pasien anak, ditambah lagi pasien dewasa atau tua lebih banyak yang menolak untuk
dilakukan wawancara karena beberapa faktor; alasan pekerjaan (tidak ada waktu), kelelahan setelah dilakukan penanganan
fisioterapi seperti exercise endurance, streaching atau strengtening dan lain sebagainya. Sehingga lebih banyak yang bersedia di wawancarai adalah orang tua
atau ibu yang sedang menunggui anaknya dilakukan penanganan fisioterapi.
Usia mempunyai dimensi kronologis
dan intelektual, artinya berdimensi kronologis karena bersifat progres berjalan terus dan tidak akan kembali sedangkan
pendidikan berdimensi intelektual berkembang melalui pendidikan dan pelatihan (Kotler & Amstrong dalam
Huriyati, 2005 & Rangkuti, 2006). diketahui tingkat pendidikan pasien
rawat jalan pelayanan fisioterapi lebih
banyak yang memiliki pendidikan tinggi atau setara SMA dan perguruan tinggi sebanyak 101 sampel atau 50,5%,
sedangkan yang berpendidikan rendah (belum/tidak pernah sekolah/tidak tamat SD) sebanyak 80 sampel atau 40%,
pendidikan sedang (tamat SD/Tamat SMP) sebanyak 19 sampel atau hanya 9,5%. Sama halnya yang di temukan Rahayu
(2010) kecenderungan tingkat pendidikan pada pengguna jasa layanan fisioterapi di poliklinik fisioterapi RSUD Wonogiri proporsi
responden terbesar memiliki tingkat pendidikan sedang (SLTP - SLTA) yaitu sebanyak 50 (66,60 ), tingkat pendidikan
rendah (SD atau tidak tamat SD) sebanyak 20 (26,1(%) dan tingkatpendidikan tinggi
(perguruan tinggi) sebanyak 5 (6,7%) responden.
Walaupun ada perbedaan kategori tingkat pendidikan namun jika dilihat jenjang pendidikan yang dimaksud seperti
SLTA pada penelitian rahayu (2010) dikategorikan pendidikan sedang, sedangkan di penelitian ini SLTA yang
setara SMA termasuk kategori pendidikan tinggi sehingga hasil yang ditemukan untuk kecenderungan tingkat pendidikan pasien
pengguna jasa fisioterapi yaitu lebih banyak berpendidikan tinggi apalagi untuk kategori wilayah DKI jakarta yang notaben
masyarakatnya lebih menjunjung pendidikan tinggi.
Rahayu (2010) menemukan Indikator kehandalan sebagai salah satu
faktor kepuasan pasien terhadap pelayanan fisioterapi di poliklinik fisioterapi RSUD Wonogiri, sebagian besar responden
pengguna jasa layanan fisioterapi yaitu sebanyak 54 (72%) menyatakan "cukup". Sebanyak 14 (18,67%) menyatakan
mutunya "baik" dan sebanyak 7 (9,33%) menyatakan mutunya "kurang". Diketahui pula dari Rustanti (2003) bahwa dari 75
responden, sebanyak 55 (73,34%) diantaranya menyatakan tingkat kepuasan terhadap pelayanan fisioterapi dalam
kategori "baik". Sebanyak 20 (26,66%) yang lain dalam kategori "kurang".
Sama halnya yang ditemukan pada
penelitian ini menunjukkan tidak ditemukan pasien yang tidak puas terhadap pelayanan fisioterapi sehingga kategori yang dapat
dilihat yaitu kepuasan pasien yang dibagi menjadi kepuasan rendah sebanyak 67 pasien atau 33,5%, kepuasan sedang 77
pasien atau 38,5% dan kepuasn tinggi sebanyak 56 pasien atau 28%. Hal ini berarti mutu kehandalan pelayanan
fisioterapi sudah cukup dengan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
Analisis Hubungan Tingkat Pendidikan Pasien Terhadap Kepuasan Pasien
17 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Pelayanan Fisioterapi Di Rumah Sakit Dan Klinik Terpilih Di Jabodetabek
Tahun 2013 Taraf pendidikan masyarakat akan
mengacu pada perkembangan tekhnologi
yang dapat mempercepat atau menghambat perubahan atau pembangunan kesehatan yang selanjutnya
akan dapat mempengaruhi perilaku perorangan atau masyarakat (Reeder, 1972). Pasien dengan pendidikan tinggi pun
mampu memahami dengan benar informasi-informasi yang diberikan tim medis sehingga apabila seorang pasien
kurang berkenan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh tim medis, maka pasien dapat menolak tindakan medis tersebut (Yuniarti, 2011).
Pasien dengan pendidikan rendah cenderung kurang memahami makna dari informasi-informasi yang diberikan terhadap
penanganan medis yang akan dilakukan pada pasien tersebut. Sehingga tingkat kepuasannya pun lebih rendah
dibandingkan dengan pasien berpendidikan lebih tinggi (Yuniarta, 2011; Rahmvqist, 2001). Seseorang yang tingkat
pendidikannya tinggi akan mengharapkan pelayanan yang lebih baik dan lebih tinggi (Kamau, 2005).
Namun pada penelitian ini nilai P > 0,05 yang berarti Ho
diterima dimana tidak ada hubungan tingkat
pendidikan terhadap kategori kepuasan pasien pelayanan fisioterapi di rumah sakit dan klinik se-jabodetabek tahun 2013.
Namun jika dilihat dari distribusi penyebaran kategori kepuasan pasien berdasarkan tingkat pendidikan pasien,
pasien yang dengan tingkat pendidikan tinggi lebih banyak yang mempunyai kepuasan baik kepuasan rendah n = 33
(49,3%), kepuasan sedang n = 39 (50,6%) dan kepuasan tinggi n = 29 (51,6%). Hal ini dikarenakan semakin tingginya pendidikan
seorang pasien maka semakin tinggi pula keinginan, harapan, dan kepercayaan dari pasien atau keluarga pasien terhadap
segala penanganan medis yang dilakukan oleh tim medis demi keselamatan dan
kesembuhan pasien tersebut (Yuniarta, 2011; Guzman, 1988).
Kesimpulan Dari 200 sampel di dominasi oleh pasien berusia muda dan diketahui tingkat
pendidikan pasien rawat jalan pelayanan fisioterapi lebih banyak yang memiliki pendidikan tinggi atau setara SMA dan
perguruan tinggi. Tidak ditemukan pasien yang tidak puas terhadap pelayanan fisioterapi sehingga kategori yang dapat
dilihat yaitu kepuasan pasien yang dibagi menjadi kepuasan rendah sebanyak 67 pasien atau 33,5%, kepuasan sedang 77 pasien atau 38,5% dan kepuasn tinggi
sebanyak 56 pasien atau 28%.Dengan nilai P > 0,05 yang berarti Ho diterima dimana tidak ada hubungan tingkat pendidikan
terhadap kategori kepuasan pasien pelayanan fisioterapi di rumah sakit dan klinik di DKI Jakarta dan sekitarnya tahun
2013. Namun jika dilihat dari distribusi penyebaran kategori kepuasan pasien berdasarkan tingkat pendidikan pasien,
pasien yang dengan tingkat pendidikan tinggi lebih banyak yang mempunyai kepuasan baik kepuasan rendah n = 33
(49,3%), kepuasan sedang n = 39 (50,6%) dan kepuasan tinggi n = 29 (51,6%).
DAFTAR PUSTAKA Awinda, D. (2004). Tingkat Kepuasan Pasien
Perusahaan Dan Pasien Pribadi Terhadap Mutu Pelayanan Ruang Rawat Inap Rs Permata Bunda Medan. Tesis Pasca Sarjana Usu, Medan.
Beattie, P. F,. Pinto, M. Nelson, M. K. & Nelson, R. (2002). Patient Satisfaction With Outpatient Physical Therapy; Instrument Validation. Physical Therapy, 82(6);562-563.
Beattie, P., Turner, C., Dowda, M., Michener, L,. & Nelson, R. (2005). The Medrisk Instrument For Measuring Patient Satisfaction With Physical Therapy Care: A Psychometric Analysis. Journal Of Orthopedics & Sport Physical Therapy, 35(1);29-31.
Casserley-Feeney, S. N., Phelan, M., Duffy, F., Roush, S., Cairns, M. C., & Hurley, D. A. (2008). Patient Satisfaction With Private Physiotherapy
18 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
For Musculoskeletal Pain. Bmc Musculoskeletal Disorders, 9, 50.
Cleary Pd, Mcneil Bj. (1988). Patient Satisfaction As An Indicator Of Quality Of Care. Inquiry;25:25–36.
Dixon Anna, Robertson Ruth, Appleby John, Burge Peter, Devlin Nancy, Magee Helen. (2010). How Patients Choose And How Providers Respon. The King’s Fund.
Davies Ar, Ware Je Jr, Kosinski M. (1995).
Standardizing Health Care Evaluations. Medical Outcomes Trust Bulletin;3(4):2–3.
Davies Ar, Ware Je Jr. (1991). Ghaa’s Consumer Satisfaction Survey And User’s Manual. Washington, Dc: Group Health Association Of America.
Donabedian A. (1988). The Quality Of Care: How Can It Be Assessed? Jama;260:1743–1748.
Djunaidi, Moch, 2006, Analisis Kepuasan Pelangan Dengan Pendekatan Fuzzy Service Quality Dalam Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan, JurnalIlmiah Teknik Industri, Vol 4, No.3, Hal 139-146
Edgman-Levitan S, Cleary Pd. (1996). What Information Do Consumers Want And Need? Health Aff (Millwood);15:42–56.
Friedman Ml, Churchill Ga. (1987). Using Consumer Perceptions And A Contingency Approach To Improve Health Care Delivery. Journal OfConsumer Research;13:492–510.
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnely, J.H. (1999). Organisasi Dan Manajemen Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga.
Guzman Pm, Sliepcevich Em, Lacey Ep,. (1988). Tapping Patient Satisfaction: A Strategy For Quality Assessment. Patient Education AndCounseling;12:225–233.
Indraty, (2010). Analisis Pengaruh Tingkat Kualtas Pelayanan Jasa Puskesmas Terhadap Kepuasan Pasien. Semarang. Universitas Diponegoro
Jacobalis Samsi, (1992). Manojemert Mutu Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta . Persi
Jennings, B. M., Heiner, S.I., Loan, L., Hemman, E. & Swanson, K. M. (2005). What Really Matter To Health Care Customers, Journal Of Nursing Administration, 35(4): 178-179.
Kamau, P. W. (2005). Patient Satisfaction with Physiotherapy Services for Low Back Pain at Selected Hospitals in Kenya. University of the Western Cape.
Kotler, Philip, 1997. Manajemen Pemasaran. Jakarta, Prenhalindo.
Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran, Jilid 2 Edisi Kesebelass, Jakarta: Pt Indeks.
Keith Ra. (1998). Patient Satisfaction And Rehabilitation Services. Arch Phys Med Rehabil;79:1122–1128.
Kigin, C. (2009). A Systems View Of Physical Therapy Care: Shifting To A New Paradigm For The Profession. Physical Therapy, 89, 1117–1119.
Lakatoo, N. M. (2006). Older Adults’ Satisfaction With Physical Therapists' Communication And Physical Therapy Treatment. Gerontology Theses, 2.
Linder-Pelz Su. (1982). Toward A Theory Of Patient
Satisfaction. Soc Sci Med;16:577–582. May, S. J. 2001. Part 1: patients satisfaction with
management of back pain. Physiotherapy, 87(1):4-9.
Marajabessy (2008). The Dimentionality Of Consumption Emotion Patterns And Consumer Satisfaction. Dikutip Dari Http://Proquest.Umi.Com/Pqdweb?Did=576212&Sid=5&%20fmt=2&Clientid=63928&Rqt=309&Vname=Pqd&Cfc=1 Pada Tanggal 9 September 2013.
Monnin, D., & Perneger, T. V. (2002). Scale To Measure Patient Satisfaction With Physical Therapy. Physical Therapy, 82, 682–91.
Nelson Cw. (1990). Patient Satisfaction Surveys: An Opportunity For Total Quality Improvement. Hospital And Health Services Administration;35:409–425.
Patient Satisfaction Instruments. (1995). A Compendium. Alexandria, Va: American Physical Therapy Association.
Ratih Hurriyati, 2005, Bauran Pemasaran Dan Loyalitas Konsumen; Bandung: Alfabeta.
Rahayu, I. N. (2010). Hubungan Antara Mutu Pelayanan Fisioterapi Dengan Kepuasan Pasien Pada Instalasi Rawat Jalan Poliklinik Fisioterapi Rsud Kabupaten Wonogiri. Jurnal Litbang Universitas Muhammadiyah Semarang.
Rangkuti, Freddy. 2006. Measuring Customer Satisfaction. Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Roush Se. (1995). The Satisfaction Of Patients With Multiple Sclerosis Regarding Services Received From Physical And Occupational Therapists. International Journal Of Rehabilitation And Health.1:155–166.
Reeder Lg. (1972). The Patient-Client As A Consumer: Some Observations On The Changing Professional-Client Relationship. J Health Soc Behav;13:406–412.
Rahmqvist, 2001. Patient Satisfaction In Relation To Age, Health Status And Other Background Factors: A Model For Comparison Of Care Units. International Journal For Quality In Health Care. Vol 13:5, Pp.385-390.
Rustanti, M. (2003). Hubungan Antara Karakteristik Dan Persepsi Pasien Tentang Mutu Pelayanan Dengan Tingkat Kepuasan Pasien Rawat Jalan Fisioterapi Pada RSO "Prof Dr R Soeharso".
19 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Jurnal Litbang Universitas Muhammadiyah Semarang.
Santoso, S. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia Di Rumahh Sakit. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
Soejadi, 1996. Efisiensi Pegelolaan Rumah Sakit, Grafik Barber Johnson Sebagai Salah Satu Indikator. Katriga Bina, Jakarta.
Steers, R. M., & L. W. Porter (1992). feel about their
jobs and how it affects their performance. Lexington Books: New York.
Sumarwan, Ujang. 2003. Perilaku Konsumen, Teori Dan Penerapan Dalam Pemasaran. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Siswanto Sutojo,. 2003. Manajemen Penjualan Yang Efektif, Cetakan Pertama, Pt. Damar Mulia Pustaka, Jakarta.
WCPT. (2011). Policy Statement: Description Of Physical Therapy. United Kingdom: The 17Th General Meeting Of Wcpt, June 2011.
Woodside, Arch G., Lisa L., And Robert Imothy Daly (1989), Lingking Service Quality, Customersatisfaction, And Bahaviour Intention, Journal Of Health Care Marketing, 9 December, 5-17.
Yosafianti & Alfiyanti, (2010). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Persiapan Pasien Pulang Terhadap Kepuasan Pasien Tentang Pelayanan Keperawatan Di Rs Romani Semarang. Unimus
Yuniarta, (2011). Hubungan Tingkat Pendidikan Pasien Terhadap Kepuasan Pemberian Informed Consent Di Bagian Bedah Rsup Dr. Kariadi Semarang. Semarang. Universitas Diponegoro
20 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI ANTARA PERSALINANNORMAL DENGAN OPERASI SESAR PADA WANITA POSTPARTUM DI
PELAYANAN KOTA SUKABUMI, JAWABARAT TAHUN 2013
Sri yani2, Muammar Syadzali1, Septian Arif Gandaputra3 , Tilawaty Apriana4
1 Peneliti Pusat Studi Gerak & Stimulasi Kognitif STIKes Binawan 2 Peneliti Pusat Studi Gerak & Stimulasi Kognitif& Staf Pengajar Prodi Fisioterapi STIKes Binawan
Jl. Kalibata Raya No. 25–30 Jakarta 13630 Indonesia 3 Asia University , Taiwan
4. Akbid Aisyiah Pontaianak [email protected]
Abstrak
One of postpartum problem is depression, which cause problem for mother and her family especially for her child. The purpose of this study is analyzed differences level of depression in women who had normal delivery and caesarean section.This study used cross-sectional, we investigateddepression level in women after delivering their children using Edinburg Postpartum Depression Scale (EPDS)in Kota Sukabumi.The data was analyzed by Chi-square test to see the significant value.Study result showed that there were no significant differences of depression level between women after normal delivery and caesarean section. This finding suggest thatfurther research is needed for women after childbirth. Keywords: Depression level, postpartum, normal delivery, caesarean section.
Pendahuluan
Menurut WHO Istilah kehamilan secara tradisional adalah telah berlalunya 260-294 hari sejak hari pertama periode
menstruasi berakhir, di katakan prematur apabila umur kehamilan kurang dari 37 minggu selesai kehamilan dan di katakan
postterm apabila umur kehamilan lebih dari 42 minggu dan seterusnya (WHO, 1992). Federasi Obstetri Ginekologi Internasional
juga mendefinisakan, kehamilan adalah fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi
atau implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40
minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana trimester
kesatu berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua adalah 15 minggu (minggu ke 13 hingga ke 27), dan trimester ketiga
adalah 13 minggu (minggu ke 28 hingga ke 40) ( Adriaansz G, 2008).
Kesehatan ibu sangat di tentukan
oleh status kesehatan jiwanya, oleh karena itu ibu perlu mendapatkan perhatian khusus, teruama bagi ibu yang mengalami
trauma psikis setelah mengalami proses persalinan. Kesehatan jiwa ibu yang terganggu akan sangat mempegaruhi
perkembangan dan pertumbuhan anaknya. Berbagai masalah psikologis yang di alami ibu setelah melahirkan sangat memerlukan
perhatian dan perawatan bagi tenaga kesehatan juga keluarganya ( Yusdiana D, 2009).
Kehamilan, periode postpartum, dan pengasuhan menyajikan berbagai tantangan bagi banyak perempuan dan
pasangannya. Temuan dari survey psikologis ibu menunjukkan bahwa banyak ibu mengalami berbagai gejala fisik dan
emosional setelah kelahiran (Declercq, E. R., Sakala, C., Corry, M. P., & Applebaum, S, 2006).
Banyak metode yang telah di kembangkan untuk menilah tinggkat depresi seorang ibu setelah melahirkan,
21 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
salah satunya adalah edinburgh postpartum depresion scale terkait dengan pemeriksaan
kondisi psikis sang ibu pasca melahirkan. Target objek pemeriksaan yaitu ibu setelah melahirkan yang mengalami depresi ringan
sampai depresi parah dari pasca kelahiran tahun pertama.
Fenomena depresi postpartum
merupakan masalah kesehatan wanita yang terus meningkat, di Amerika serikat tahun 1960 prevalensi depresi pasca persalinan
tercatat hanya 3% - 6% kemudian meningkat menjadi 20% tahun 1980 dan tahun 1990 sekitar 26%, Angka kejadian
postpartum blues di Asia cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85%, sedangkan di Indonesia angka kejadian postpartum blues antara 50-70% dari
wanita pasca persalinan (Ibrahim F, Rahma, Ikhsan M, 2012). Di Kota Sukabumi dimana dengan angka kelahiran (7264 tahun 2011)
(Dinas kesehatan Kota Sukabumi 2012) sehingga dapat menjadi asumsi awal kemungkinan adanya depresi terhadap
wanita postpartum di Kota Sukabumi, berkaitan dengan hal tersebut peneliti tertarik untuk meelakukan penelitian di Kota
Sukabumi karena hal ini belum dilakukan di Kota Sukabumi Jawa Barat.
Metode Jenis penelitian ini adalah Penelitian
survei dengan menggunakan metode
potong lintang (Cross Sectional) dimana baik variable dependen dan independen pengambilan data dilakukan sesaat pada
waktu bersamaan, hanya satu kali dan tidak ada perlakuan terhadap responden. Penelitian ini melihat perbedaan tingkat
depresi antara persalinan persalinan spontan dengan Operasi Sesar pada sekelompok orang sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi yang dapat digambarkan dengan desain sebagai berikut:
Populasi dan Sampel Populasi
Populasi target penelitian adalah wanita yang melakukan persalinan di Kota
Sukabumi Jawa Barat. Sampel Sampel adalah populasi yang memenuhi
kriteria inklusi, dimana jumlah sampel yang ditargetkan didapatkan dengan rumus dibawah ini:
Sehingga dibulatkan menjadi 70 sampel
untuk masing-masing kelompok 1 (wanita postpartum persalinan spontan) dan kelompok 2 (wanita postpartum Operasi Sesar).
Inklusi dan Eksklusi Kriteria InklusiPost partum Operasi Sesar
dan Persalinan spontan tanpa komplikasi Ibu-ibu hamil yang melahirkan di Kota Sukabumi Jawa Barat. Kriteria
EksklusiMelahirkan dengan komplikasi. Teknik Pengumpulan Data
Formulir informed consent, berisi mengenai pertanyaan kesediaan peserta menjadi subjek atau responden penelitian untuk
dapat mengikuti penelitian ini dari awal hingga akhir.Formulir kuesioner terdiri dari: identitas individu. Formulir
pemeriksaan.Prosedur Wawancara Edinburgh Postnatal Depression ScaleDepresi pasca melahirkanadalah
komplikasi yang paling umummelahirkan anak. 10-pertanyaan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) adalah cara yang
baik dan efisien untuk mengidentifikasi pasien berisiko untuk depresi "perinatal". EPDS ini mudah dijalankan dan telah
terbukti menjadi alat skrining yang efektif. Alat ukur : Kuesioner dengan 10 buah pernyataan
Metode : Pasien diminta mengisi setiap pernyataan yang dirasakan melalui kuesioner yang disediakan oleh peneliti
n = (Z1-α/2)2.[p1.(1-p1)+ p2.(1-p2)]
d2
22 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
sesuai dengan keadaan pasien secara jujur. SCORING
Khusus no 1, 2, & 4 dari atas kebawah 0 – 3, no 3, 5 – 10 dari atas kebawah 3 – 0,Maksimumskor:30KemungkinanDepresi:
10atau lebih besarSelalumelihatangka 10(pikiran untuk bunuhdiri).
Etika Penelitian Sebelum melaksanakan penelitian responden yang memenuhi persyaratan
akan mendapat penjelasan tentang tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut. Saat pengisian angket ataupun kuisioner
responden dipersilahkan untuk membaca lembar persetujuan (inform concernt) dan apabila responden bersedia, responden menandatangani lembar persetujuan dan
kuisioner responden. Hasil
Analisis Univariat Berdasarkan tabel 1 maka dilakukan pemisahan kategori untuk tingkat depresi
yang dipengaruhi oleh usia, dan tingkat pendidikan berdasarkan jenis persalinan. Pengkategorian usia saat persalinan dibagi
dalam 2 kelompok yaitu usia tidak beresiko (21-34) dan usia yang beresiko (<20 dan >35) (Riskesdas .2010). Pengkategorian
tingkat pendidikan dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu pendidikan di bawah 9 tahun ( rendah ), pendidikan 12 tahun (
cukup ), dan pendidikan di atas 12 tahun ( tinggi ) ( Herva A. 2007). Pengkategorian tingkat depresi dapat di bagi dalam dua
kelompok yaitu score <13 untuk depresi ringan, sedangkan >=14 untuk depresi berat, digunakan edinburg postpartum depression scale (EPDS) (Gibson J, McKenzie-McHarg K, Shakespeare J, Price J, Gray R. A 2009). sebagai alat ukur tingkat
depresi pada kedua jenis persalinan. Berdasarkan dari hasil pengamatan table 5.1 Dapat di gambarkan bahwa pada
kategori persalinan normal depresi berat dengan koresponden 13 memiliki presentase terbesar sebanyak 59,1%, lalu
untuk tingkat pendidikan yang memiliki presentasi tertinggi yaitu persalinan normal
dengan pendidikan rendah dengan koresponden 36 (60%). Kemudian kategori tingkat depresi persalinan sesar dengan
depresi ringan memiliki presentasi terbesar dengan 61 koresponden (51,7%)
Tabel 1. DistribusiTingkat depresi berdasarkan karakteristik individu Usia, Tingkat pendidikan pada kelompok wanita
persalinan normal dan persalinan Sesar di Kota Sukabumi Tahun 2013
Persalinan
Normal
Persalinan
Sesar
N % N %
Usia
Tidak
Berisiko
57 52,3 57 47,7
Berisiko 13 41,9 18 58,1
Tingkat pendidikan
Pendidikan rendah
36 60 24 40
Pendidkan
tinggi
34 42,5 46 57,5
Tingkat
depresi
Depresi ringan
57 48,3 61 51,7
Depresi berat
13 59,1 9 40,9
Analisis Bivariat Untuk variabel depresi ringan pada
persalinan normal dan persalinan sesar menunjukkan nilai p value yang lebih besar dari 0.05, maka Ho diterima sehingga tidak
terdapat perbedaan depresi ringan antara persalinan normal dan persalinan sesar.
Untuk variabel depresi ringan pada
persalinan normal dan persalinan sesar menunjukkan nilai p value yang lebih besar dari 0.05, maka Ho diterima sehingga tidak terdapat perbedaan depresi ringan antara
persalinan normal dan persalinan sesar.
23 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Dari hasil gambaran tabel 5.3 dilakukan pemisahan kategori untuk tingkat
depresiberat yang di pengaruhi oleh karakteristik usia ibu dan karakteristik tingkat pendidikan. Untuk variabel usia
menunjukkan nilai p value yang lebih besar dari 0.05, Ho diterima sehingga diketahui tidak terdapat perbedaan depresi ringan
berdasarkan usia antara persalinan normal dan persalinan sesar. Sedangkan untuk
variabel Tingkat pendidikan nilai p Value juga menunjukkan angka yang lebih besar dari 0.05, maka Ho diterima sehingga tidak
ditemukan adanya perbedaan depresi berat berdasarkan Tingkat pendidikan antara kedua jenis persalinan.
Tabel 2: Analisis Tingkat Depresi Pada kelompok Persalinan Normal dan Persalinan Sesar
Tingkat depresi p OR CI 95%
Persalinan Normal
Persalinan Sesar
Upper Lower
N % N %
Tingkat depresi
Depresi ringan 57 48,3 61 51,7 0,353 1,546 3,892 0,614
Depresi berat 13 59,1 9 40,9
Tabel 3: Analisis Tingkat depresi ringan Berdasarkan Usia dan Tingkat pendidikan Pada
kelompok Persalinan Normal dan Persalinan Sesar.
Depresi Ringan p OR CI 95%
Persalinan Normal
Persalinan Sesar
Upper Lower
N % N %
Usia
Tidak berisiko 46 51,1 44 48,9 0,274 0,619 1,468 0,261
Berisiko 11 39,3 17 60,7
Tingkat pendidikan
Pendidikan rendah 29 58 21 42 0,071 0,507 1,063 0,242
Pendidikan tinggi 28 41,2 40 58,8
Tabel 4: Analisis Tingkat depresi berat Berdasarkan Usia dan Tingkatpendidikan Pada kelompok Persalinan Normal dan Persalinan Sesar
Depresi Berat p OR CI 95%
Persalinan Normal Persalinan Sesar Upper Lower
N % N %
Usia
Tidak Berisiko 11 57,9 8 42,1 0,364 2,909 31,214 0,271
Berisiko 4 80 1 20
Tingkat pendidikan
Pendidikan rendah 8 72,7 3 27,3 0,341 0,438 2,437 0,079
Pendidikan tinggi 7 53,8 6 46,2
Pembahasan
Deskripsi Subjek Penelitian
Dari hasil subjek penelitian yang di lakukan
di kota sukabumi tahun 2013, dapat di lihat
24 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
bahwa 140 responden yang terpilih sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi,
sebanyak 118 responden memiliki tingkat depresi ringan dan sebanyak 22 koresponden memiliki tingkat depresi berat,
hal ini membuktikan bahwa tingkat depresi yang gejalanya bisa berlanjut terjadi pada sekita 19,2% ibu dalam periode tiga bulan
pasca melahirkan (Beck C.T, 2006). Depresi setelah melahirkan ini bisa di definisikan sebagai suatu kelainan depresi
mayor akibat pasca bersalin dan terdapat tanda-tanda bahwa gejala depresi timbul dalam jangka waktu 1-2 minggu pasca
persalinan, juga penyakit yang sering tidak terdeteksi dan biasanya ditutupi oleh wanita, yang menyebabkan dia menderita dalam keheningan. Para ibu baru yang
depresi ini dirampas kesenangan dan kegembiraan ketika melahirkan dan merawat bayinya yang baru lahir (Zauderer
C, 2009; Gondo H.K, 2012). Depresi pasca melahirkan merupakan masalah global yang sudah meluas pada
kebanyakan negara. Dan resiko depresi meningkatdengan sangat dramatis pada wanita yang mengalami kehamilan dan
setelah melahirkan, terutama wanita yang mengalami komplikasi saat melahirkan (NIHCM, 2010; Stone S.D & Menken A.E.
2008 ; Government Of Western Australia. 2006; Machmudah et al, 2012). Meningkatnya resiko depresi setelah
melahirkan menunjukkan adanya korelasi dengan berbagai macam faktor satu di antaranya adalah faktor demografi yang
meliputi usia, status pernikahan, paritas, tingkat pendidikan, dan status sosial. (Herva A, 2007).
Analisis Perbedaan Tingkat Depresi Persalinan Normal Dengan Persalinan Sesar
Hasil penelitian antara perbedaan tingkat depresi dari kedua persalinan tersebut tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang pernah di lakukan sebelumnya, yang menyebutkan bahwa perbedaan persalinan antara
persalinan normal dan persalinan sesar tidak menujukkan hasil yang signifikan
(Sankapithilu G.B, 2010; Donna E. Stewart et al, 2003). Berbeda dengan hasil penelitian lainnya yang menyatakan bahwa
adanya perbedaan tingkat depresi pada kedua jenis persalinan, terutama pada kasus kelahiran yang memiliki komplikas
dan durasi melahirkan yang lama (Machmudah et al, 2012). Peneliti berasumsi bahwa wanita banyak
beranggapan bahwa persalinan dengan operasi menjadi hal yang menakutkan, karena persalinan dengan durasi yang lebih
lama dan nyeri yang lebih banyak di laporkan menjadi salah satu masalah terjadinya depresi postpartum (Merritt T, Kuppin S, Wolper M, 2001). Selain itu jenis
persalinan bukanlah penyebab tunggal tingkat depresi (Herva A, 2007; NIHCM, 2010).
Analisis Perbedaan Usia Terhadap Tingkat Depresi Postpartum
Dari tabel 5.3 dan 5.4 dapat di tarik kesimpulan bahwa ibu yang melahirkan pada masa umur beresiko kecendrungan
mengalami depresi, pada kategori umur beresiko pada depresi berat kelahiran sesar menunjukkan presentase yang paling besar
(80%). Namun di dapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara karakteristik usia pada tingkat depresi
ringan dan depresi berat, juga hasil analisis dari depresi ringan dan depresi berat tidak memiliki hasil yang signifikan.
Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu yang pernnah di lakkukan, yang menyebutkan bahwa karakteristik usia ibu
tidak mempengaruhi tingkat depresi (Gjerdingen D, 2009; Sankapithilu G.B, 2010; Donna E et al, 2003). Namun NIHCM
foundation (2010) menyebutkan terdapat perbedaan sangat signifikan namun pada ras tertentu.
Analisis Perbedaan Tingkat Pendidikan Terhadap Tingkat Depresi Postpartum
25 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Berdasarkan data yang didapatkandi tarik kesimpulan bahwa hampir di dapatkan
perbedaan signifikan tingkat pendidikan pada depresi ringan dengan p 0,071, ibu yang melahirkan dengan tingkat pendidikan
, pada kategori tingkat pendidikan pada depresi berat kelahiran normal juga menunjukkan presentase yang paling besar
(72,7%). Namun di dapatkan dari analisis karakteristik Tingkat pendidikan pada depresi ringan dan depresi berat tidak
memiliki hasil yang signifikan. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian terdahulu yang pernnah di lakkukan, yang menyebutkan
bahwa karakteristik Tingkat pendidikan ibu tidak mempengaruhi tingkat depresi (Donna E et al, 2003; Sankapithilu G.B, 2010). Namun Fatma ibrahim (2010) menyebutkan
terdapat hubungan Tingkat pendidikan dengan tingkat depresi pada wanita yang berpendidikan tinggi di karenakan adanya
faktor tekanan soasial dan konflik peran. Kesimpulan
Tidak ada perbedaan bermakna terhadap tigkat depresi pada wanita dengan persalinan normal dan persalinan spontan
dengan p> 0.05 baik pada depresi ringan maupun deprei berat.Tidak Terdapat perbedaan tingkat depresi berdasarkan usia
antara persalinan normal dan persalinan sesar dengan p> 0.05 . sehingga dapat disimpulkan bahwa usia bukan menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya depresi didalam penelitian ini. Tidak terdapat perbedaan tingkat depresi
berdasarkan tingkat pendidikan antara persalinan normal dan persalinan sesar dengan p> 0.05 . yang dapat di simpulkan
tingkat pendidikan juga bukan merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya depresi didalam penelitian ini.
Daftar Pustaka ACOG, (2011). Postpartum Depression. The American
Collage of Obstreticians and Gynechologists. Beck, C. T. (2006). Postpartum Depression: It Isn’t
Just The Blues. The American Journal Of Nursing, 106(5), 40–50.
Beck C.T. (2002). Revision Of The Postpartum 16 Depression Predictors Inventory. JOGNN.; 31: 394-402.
Bloch M, Schmidt PJ, Danaceau M, Murphy J, Nieman
L, Rubinow DR.( 2000). Effects Of Gonadal Steroids In Women With A History Of Postpartum Depression. Am J Psychiatry,; 157: 924 30.
Zauderer C . (2009). Postpartum Depression:How Childbirth Educators Can Help Break The Silence. The Journal Of Perinatal Education | Spring 2009, Volume 18, Number 2.
Claesson I.M, Josefsson A, Sydsjö G, (2010). Prevalence Of Anxiety And Depressive Symptoms Among Obese Pregnant And Postpartum Women: An Intervention Study. BMC Public Health 2010, 10:766
Declercq, E. R., Sakala, C., Corry, M. P., & Applebaum, S. (2006). Listening To Mothers II: Report Of The Second National U.S. Survey Of Women’s Childbearing Experiences.New York: Childbirth Connection.
Dennis CL.( 2005) Psychosocial And Psychological Interventions For Prevention Of Postnatal Depression: Systematic Review. British Medical Journal.; 331: 1-8
Donna E. Stewart, E. Robertson, Cindy-Lee Dennis, Sherry L. Grace, Tamara Wallington. (2003). Postpartum Depression: Literature Review Of Risk Factors And Interventions. University Health Network Women’s Health Program.
Gjerdingen D, Fontaine P, Crow S, Mcgovern P, Center B, Miner M. (2009). Predictors Of Mothers’ Postpartum Body Dissatisfaction. National Institute Of Health.
E. R. Ellsworth-Bowers And E. J. Corwin. (2012). Nutrition And The Psychoneuroimmunology Of Postpartum Depression. University Of Colorado Anschutz Medical Campus
Ibrahim F, Rahma , Ikhsan M. (2012). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Depresi Postpartum Di Rsia Pertiwi Makassar Tahun 2012. Universitas Hasanudin.
George Adriaansz. (2008). Asuhan Antenatal. Jaringan Nasional Pelatihan Klinik – Kesehatan Reproduksi.
Gibson J, Mckenzie-Mcharg K, Shakespeare J, Price J, Gray R. A. (2009). Systematic Review Of Studies Validating The Edinburgh Postnatal Depression Scale In Antepartum And Postpartum Women. Acta Psychiatrica Scandinavica.
Government Of Western Australia. 2006. UsingThe Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) Translated Into Languages Other Than English. Goverment Of Western Australia.
Herva A, (2007).Depression In Association With Birth Weight, Age At Menarche, Obesity And
26 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Metabolic Syndrome In Young Adults. Universitatis Ouluensis.
Ing-Marie Claesson, Ann Josefsson, Gunilla Sydsjö.
(2010). Prevalence Of Anxiety And Depressive Symptoms Among Obese Pregnant And Postpartum Women:An Intervention Study. BMC Public Health.
Katrina M. Krause, Truls Østbye, Geeta K. Swamy. (2010). Occurrence And Correlates Of Postpartum Depression In Overweight And Obese Women: Results From The Active Mothers Postpartum (AMP) Study. National Institute Of Health.
Keshavarzi F, Yazdchi K, Rahimi M, Rezaei M, Farnia V , Omran, Davarinejad, Abdoli N, Jalili M, (2011). Post Partum Depression And Thyroid Function. Iran J Psychiatry 2011; 6: 117-120
Kira M. Weier,C NM,M Sna, Nd Margaretw Beal, CNM,P Hd, (2004). Complementary Therapies As Adjuncts In The Treatment Of Postpartum Depression. Journal Of Midwifery & Women's Health
Daniela Meçe, (2013).Life Events and Postpartum Depression in Tirana, Albania. Aleksander Moisiu University, Durres, Albania.
Machmudah, Setyowati, Rahmah H, Rachmawati I.N, (2012). Persalinan Komplikasi dan kemungkinan terjadinya Postpartm Blues.Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jakarta 10430,Indonesia
Merritt T, Kuppin S, Wolper M, (2001). Postpartum Depression Causes And Correlates, University Of South Florida
Michele L. Okun, Jim Luther, Aric A. Prather, James M. Perel, Stephen Wisniewski, & Katherine L. Wisner. (2011). Changes In Sleep Quality, But Not Hormones Predict Time To Postpartum
Depression Recurrence. University Of Pittsburgh School Of Medicine.
Nica L, Moldovan M, Moţoescu E.P, (2010). Clinical And Therapeutic Management
In Postpartum Depression. University Of Medicine And Dentistry Titumaiorescu
NICE, (2011). Caerarean Section. NICE clinical guideline 132
NIHCM. (2010). Identifying And Treating Maternal Depression: Strategies & Considerations For Health Plans NIHCM Foundation Issue Brief. National Institute For Health Care Management Foundation.
Queensland Goverment, (2012). Queensland Maternity And Neonatal Clinical Guideline: Normal Birth. MN12.25-V1-R17
RISKESDAS (2010). Riset Kesehatan Dasar. Bakti Husada
Roshni R Patel, Deirdre J Murphy, Tim J Peters, (2005). Operative delivery and postnatal depression. BMJ 2005;330;879
Sankapithilu G.B, (2010). A comparative study of frequency of postnatal depression among subjects with normal and caesarean deliveries. Online Journal of Health and Allied Sciences.
Stone SD, Menken AE. (2008). Perinatal Mood Disorder: An Introduction. In Perinatal And Postpartum Mood Disorder: Perspectives And Treatment Guide For Health Care Practicioner. Springer Publishing Company.
WHO, (1992). International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems.
Yusdiana.D. (2009). Perbedaan Kejadian Stress Pascatrauma Pada Ibu Post Partumdengan Seksio Sesaria Emergenci, Partus Pervaginam Dengan Vakumdan Partus Spontan Di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Universitas Sumatra Utara
27 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
HUBUNGAN KOMUNIKASI FISIOTERAPIS DENGANPENGALAMAN KERJA DI RUMAH SAKITJAKARTA
DAN SEKITARNYA TAHUN 2013
Sri Yani2, Danang Subur1, Muhammad Arsyad Subu3, Djadjang Aditaruna2
1 Peneliti Pusat Studi Gerak & Stimulasi Kognitif STIKes Binawan 2 Peneliti Pusat Studi Gerak & Stimulasi Kognitif& Staf Pengajar Prodi Fisioterapi STIKes Binawan
Jl. Kalibata Raya No. 25–30 Jakarta 13630 Indonesia 3 Ottawa University , Canada
Abstrak Physiotherapy, as one of health profession, must be professional, effective and efficient on doing their duties and function. According to WCPT, one of physiotherapy profession standard is effective communication skill. Communication skill improve message delivery capacity and make a better interaction between Physiotherapist and patient. Communication of physiotherapist and patient has strong relationship with patient satisfaction level of the Phsiotherapy service. Research found that the communication skill is influenced by the work experience and giving positive effect to the patient’s behaviour and condition.This research use cross sectional methode. Hospitals and clinics as an analyzing unit who give pt service. The research use chi square test to view the correlation between dependence and independence variable, with significancy (p) 0,05. The conclusion can be reviewed by significancy (p), if p<0,05 equals to Ha received and Ho rejected. If p>0,05 Ha rejected and Ho received.From this research we know that there is no correlation between PT communication skill and work experience with p= 0,731 (>0,05). This research found that work experience has not influence the communication skill of physiotherapist in Jakarta and around. Needs to improve the communication skill with course and training, because this skill has positif effect on improving patient and one of proffesion standart according to WCPT. Keyword: Physiotherpist, skill communication, hospital,work experience Pendahuluan
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masayarakat dengan karakteristik tersendiri yang
dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat
agar terwujud derajat kesehatan yang setingi-tingginya. Dalam mencapai peningkatan mutu dan jangkauan
pelayanan rumah sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan,
rumah sakit harus memenuhi persyaratan
lokasi, bangunan, prasarana, sumber
daya manusia, kefarmasian, dan peralatan (UU RI NO 44 Th 2009)
Pelayanan sumber daya
manusia di rumah sakit khususnya fisioterapi merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
seorang fisioterapis yang memiliki pengetahuan dasar dan atau ketrampilan melaui pendidikan formal di bidang
fisioterapi. Fisioterapi sebagai salah satu profesi kesehatan dituntut untuk melaksanakan tugas dan fungsinya
secara profesional, efektif dan efisien. Hal ini disebabkan karena pasien secara penuh mempercayakan problematik atau
permasalahan gangguan gerak dan
28 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
1
fungsi yang dialaminya untuk mendapatkan pelayanan fisioterapi yang
bermutu dan bertanggung jawab. Guna meningkatkan kinerja
fisioterapi salah satunya diperlukan
standar profesi sebagai dasar setiap fisioterapis dalam menjalankan profesinya dengan mengacu kepada standar internasonal yang dikeluarkan oleh World
Confederation For Physical Therapy (WCPT) yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia. Standar profesi
fisioterapi memiliki tujuan salah satunya untuk menilai dan mengkaji segala bentuk tuntutan dari masyarakat
pengguna jasa fisioterapi atas pelayanan yang diberikan. Bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada pasien
oleh fisioterapi untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh menggunakan penanganan
secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterpeutis dan mekanis), pelatihan fungsi, dan
komunikasi (KEPMENKES RI No 376/MENKES/SK/III/2007).
Fisioterapi adalah seseorang
yang telah lulus pendidikan formal fisioterapi dan kepadanya diberikan kewenangan tertulis untuk melakukan
tindakan fisioterapi atas dasar keilmuan dan kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Kementrian Kesehatan). World Confederation for
Physical Therapy (WCPT) mengeluarkan
kebijakan untuk profesi fisioterapi. Fisioterapi sebagai salah satu profesi tenaga kesehatan di tuntun melalukan tugas dan fungsinya secara
profesional,efektif dan efisien. Di karenakan pasien/klien fisioterapi secara penuh mempercayakan problemtik atau
permasalahan gangguan gerak dan fungsi yang dialamainya mendapatkan pelayanan fisioterapi yang bermutu dan
bertanggung wewenang dan
bertanggung jawab untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkup
kegiatan profesi fisioterapi (WCPT, 2011). WCPTmendefinisi operasional
dari profesionalisme fisioterapi yang
mandiri. Standar dari profesi fisioterapi meliputi salah satunya: kemampuan fisioterapis dalam memberikan komunikasi yang efektif kepada sesama
anggota profesi, pengusaha, profesi kesehatan lainnya, pemerintah dan masyarakat (WCPT, 2011),
Salah satu aspek yang paling penting dan di perhatikan oleh tenaga profesional kesehatan adalah komunikasi
(Lucca, 2006; Roberts & Bucksey, 2007). Dalam perkembangan jaman, aspek komunikasi merupakan daerah lingkup
fisioterapi yang dianggap paling penting tetapi kurang terwakili dalam literatur kesehatan (Roberts & Bucksey, 2007).
Saat praktisi kesehatan menunjukkan kemampuan berkomunikasi efektif dan tertantang untuk melakukannya sehingga
dapat memberikan umpan balik dan mereka akan mampu untuk bekerja lebih baik (Kigin, 2009). Memperkuat
kemampuan berkomunikasi akan membantu menambah kapasitas penyampaian pesan dan membuat
interaksi di kedua pihak dalam hal ini antara fisioterapis dengan pasiennya (Fischhoff, 2012). Komunikasi fisioterapis
dengan pasien sangat berhubungandengan tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan yang
diberikan oleh fisioterapis. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya fisioterapis perlu fokus kepentingan pasien atau patient-centred commkepenting unication (PCC) yang meliputi: kejelasan tujuan komunikasi, empati, kemampuan mendengarkan,
humor, dan kedekatan antara pasien dengan fisioterapis secara positif (Lakatoo, 2006).
29 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Kemampuan komunikasi fisioterapis berhubungan dengan nilai
pekembangan diri fisioterapi yang dipengaruhi oleh : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan akhir, persentase
waktu yang dihabiskan dalam pelayanan pada pasien, dan lama lisensi fisioterapis yang diterima. (Swisher, Beckstead, & Muriel, 2004).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Robert ditemukan bahwa komunikasi dipengaruhi oleh pengalaman
kerja dan memberikan efek positif terhadap perilaku dan perkembangan pasien (Robert et.al, 2007).
Hal serupa juga ditemukan dalam pengukuran yang dilakukan oleh Casserley di Irlandia bahwa pasien yang
mendapatkan treatment secara baik dan
komunikatif oleh terapis akan merespon secara optimal (Casserley, 2008).
Ditemukan bahwa komunikasi yang terjadi berbeda secara signifikan antara fisioterapi yang sudah lama
bekerja dan fisioterapi yang baru lulus dalam segi pendekatan dan kemampuan verbal terhadap pasien (Lucca, 2006).Kualitas komunikasi akan
berkembang dengan baik jika pengalaman kerja seorang fisioterapis memadai
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan kemampuan komunikasi fisioterapi dengan
pengalaman kerja di beberapa rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2013.
BAHAN AND CARA KERJA
Penelitian ini di merupakan “cross
sectional” atau potong melintang yang seluruh variabel diambil secara bersamaan berhubungan dengan
variabel independen dan dependen. Sebagai unit analisis adalah Rumah Sakit atau Klinik yang memberikan pelayanan
fisioterapi. Waktu yang diperlukan untuk pengumpulan data di dalam peneltian ini yaitu dari periode awal Juni 2013 sampai
akhir Agustus 2013.Populasi target penelitianadalah fisioterapisyang berada di pelayanan kesehatan di wilayah
Jakarta dan sekitarnyadengan menggunakan dari sampel penelitian induk sebesar 104 orang .
Karakteristik fisioterapi merupakan komponen yang mempengaruhi kualitas komunikasi antara fisioterapsi dan pasien pada saat
proses pelayanan fisioterapi. Karakteristik fisioterapi meliputi: pengalaman kerja, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan
dan jumlah pasien yang dilayani fisioterapis. Penelitian ini mengambil pengalaman kerja fisioterapi dihubungkan
dengan kemampuan komunikasi
fisioterapis saat melakukan proses
fisioterapi. Dibawah ini merupakan kerangka konsep dari penelitian yang dilakukan.Variabel-variabel yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi fisioterapis dengan pasien/klien. Hasil ukur pada variabel
komunikasi diambil dengan cara membagi tiga hasil jumlah skor kuesioner komunikasi pasien dengan fisioterapis
menjadi 3 bagian. Komunikasi baik skor 15 – 39. Komunikasi sedang dengan skor 40-65. Komunikasi kurang skor 66-95.
(lakato, 2006). Hasil ukur pada variabel
pengalaman kerja yang berupa 4
tingkatan diambil dari study literatur jurnal American of Physical Therapy Association. (Jette,2003). Hipotesa: Kemampuan komunikasi
berhubungan erat dengan pengalaman masa kerja fisioterapis di beberapa rumah sakit di Jakarta dan Sekitarnya
pada tahun 2013.
30 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Hasil Penelitian Deskriptif data sampel dilakukan
dengan analisa univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi menurut kelompok pengalaman kerja dan
kemampuan komunikasi fisioterapis.Berdasarkan histogram 5.1 bahwa menunjukan bahwa jumlah fisioterapis paling banyak terdapat pada
pengalaman kerja diatas 15 tahun dengan populasi 37,5 %. Pengalaman kerja 5 tahun dan 11 sampai 15 tahun
menempati posisi paling sedikit dengan populasi 19,2%. Dapat dilihat pada histogram 5.2 bahwa kemampuan
komunikasifisioterapis terbanyak pada penilaian sedang mencapai 76 orang
dengan 73,1%. Kemampuan komunikasi baik berjumlah 28 orang dengan 26,9%. Kemampuan komunikasi kurang tidak
diketemukan atau berjumlah 0 orang atau 0%.Deskriptif data sampel dilakukan dengan analisa bivariat untuk mengetahui hubungan pengalaman kerja dan
kemampuan komunikasi fisioterapis. Di bawah ini gambaran hasil analisa
distribusi frekuensi pengalaman kerja fisioterapi menurut kelompok pengalaman kerja di Rumah Sakit:
Histogram 5.1 Distribusi frekuensi Pengalaman Kerja fisioterapis menurut kelompok pengalaman kerja di Rumah Sakit Jakarta Dan Sekitarnya 2013
0%
20%
40%
60%
80%
100%
≤ 5 tahun (n=20)
6-10tahun(n=25)
11-15tahun(n=20)
> 15tahun(n=39)
19.2%24.0%
19.2%
37.5%
31 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Histogram 5.2
Distribusi frekuensi kemampuan komunikasi fisioterapis persepsi pasien di Jakarta Dan Sekitarnya 2013
Histogram 5.3
Hubungan pengalaman kerja dengan kemampuan komunikasi fisioterapis menurut persepsi pasien di Rumah Sakit Jakarta Dan Sekitarnya 2013
X2- test p = 0,731 ( p< 0,05 = berbeda bermakna )
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Baik (n=28) Sedang (n=76) Kurang(n=0)
26.9%
73.1%
0.0%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
=<5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun >15 tahun
35.0%
24.0%20.0%
28.2%
65.0%
76.0%80.0%
71.8%
Komunikasi Baik
Komunikasi Sedang
32 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Berdasarkan histogram 5.3 ternyata
secara keseluruhan kemampuan komunikasi yang dipersepsikan oleh pasien paling banyak di katagori sedang.
Pada kelompok pengalaman kerja =<5 tahun dipersepsikan pasien kemampuan paling baik. Namun secara statistik kurang bermakna.
Data dari hasil komunikasi pasien dan pengalaman kerja setelah dimasukan dengan hasil uji statistik chi sguare test
didapat nilai p= 0,731 (>0,05) yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kemampuan komunikasi
fisioterapis dengan pengalaman kerja. Didalam penelitian ini gambaran responden menurut karakteristik individu
dari pengalaman kerja.menurut hasil penelitian yang telah di lakukan di rumah sakit dan klinik di Jakarta Dan Sekitarnya
secara keseluruhan kurang bermakna dimana pengalaman kerja akan mempengaruhi kemampuan komunikasi
fisioterapis saat melakukan interaksi dengan pasien .Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh
Kreitner (2004) mengatakan bahwa masa kerja yang lama akan cenderung membuat seorang pegawai lebih merasa
betah dalam suatu organisasi, hal ini disebabkan diantaranya karena telah beradaptasi dengan lingkungannya yang
cukup lama sehingga seorang pegawai akan merasa nyaman dengan pekerjaannya.
Penelitian ini kurang bermakna kemungkinan fisioterapis Jakarta dan sekitarnya tidak memperhatikan pentingnya kemampuan komunikasi
dengan pasien. Seminar tentang komunikasi dengan pasien jarang di selenggarakan di Jakarta. Seminar lebih
banyak tentang teknis dan skill tentang metode pelaksanaan asuhan fisioterapi. Tingkat Pendidikan Fisioterapis di Jakarta
sebagian besar masih DIII, walaupun
sudah berpengalaman kerja cukup lama,
Fisioterapis di Jakarta tidak mau melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian kemampuan
komunikasi fisioterapis di Jakarta terbanyak mendapat nilai sedang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian (Bames, 2003) bahwa kompetensi internal
fisioterapis dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Hasil penelitian menunjukan kemampuan
komunikasi terbaik pada pengalaman kerja kurang 5 tahun. Penelitian tersebut tidak sejalan dengan Akinbo(2009)
bahwaFisioterapis yang memiliki pengalaman kerja kurang dari 5 tahun dibandingkan dengan pengalaman kerja
lebih dari 15 tahun memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang komunikasi (Akinbo, okunola & adebora, 2009)
Dalam penelitian ini Fisioterapis dengan pengalaman kerja kurang dari 5 tahun berkemampuan komunikasi terbaik,
kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh karena fisioterapis lulusan di bawah 5 tahun telah mendapat materi kuliah ilmu
komunikasi . Fisioterapis pada kelompok pengalaman diatas 5 tahun belum mendapat materi kuliah ilmu komunikasi.
Kemudian kemampuan komunikasi terbaik selanjutnya pada fisioterapis dengan pengalaman kerja diatas 15
tahun, kemungkinan dipengaruhi oleh fisioterapis pada kelompok ini telah terlatih berkomunikasi selama menjalani
profesinya sebagai pemberi layanan fisioterapi.
Agar dapat meningkatkan kemampuan Fisioterapis dalam
berhubungan dengan pasien perlu dikembangkan pelatihan komunikasi termasuk komunikasi terapeutik sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan Fisioterapis.
33 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Kesimpulan
Gambaran pengalaman kerja fisioterapsis terbanyak diatas 15 tahun dengan 39 orang (37,5%). Kemampuan komunikasi
fisioterapis menurut persepsi pasien terbanyak di katagorikan sedang dengan 73,1% atau 76 orang, sedang yang baik hanya 26,9% (28).Kemampuan
komunikasi fisioterapis paling baik pada pengalaman kerja =<5 Tahun diikuti dengan kelompok pengalaman kerja>15
tahun secara statistic tak bermakna.
Daftar Pustaka Akinbo, adebiyi, okunala (2009) : Evidence-Based
ractice:Knowledge, Attitudes And Beliefs Of Physiotherapists In Nigeria : Department of Physiotherapy, College of Medicine of the University of Lagos Nigeria
Asri, Marwan. 1986. Pengelolaan Karyawan. BPFE : Yogyakarta.
Bames M, Gordon S and Hamer P. 2003 : The Physiotherapy experience in private : The patient’s perspective. Australian Journal of Physiotherapy 49: 195-202.
Casserley-Feeney, S. N., Phelan, M., Duffy, F., Roush, S., Cairns, M. C., & Hurley, D. a. (2008). Patient satisfaction with private physiotherapy for musculoskeletal pain. BMC musculoskeletal disorders, 9, 50.
Fischhoff, B. (2012). Communicating Risks and Benefits: An Evidence Based User’s Guide. Government Printing Office.
Foster, Bill. 2001. Pembinaan untuk Peningkatan Kinerja Karyawan. PPM : Jakarta
Heiwe,et all ( 2010) Eviden Base Practise : Attitude, knowledge and behaviuor among allied health care professional. International journal for quality in Health care 2011. Vol 23. No.2 : PP 198-209
Higgs, J., Refshauge, K., & Ellis, E. (2001). Portrait of the physiotherapy profession. Journal ofinterprofessional care, 15, 79.
Hulme, J. B., Bach, B. W., & Lewis, J. W. (1988).Communication between physicians and physical therapists. Physical Therapy, 68, 26–31.
Jette, Diane U,Kimberly Bacon, CherylBatty, Melissa (2003), EvidenBased Practice: Beliefs, Attitudes,Knowledge, and
Behaviors, Attitudes of Physical Therapist , 791-805.
Kreitner J, Eva Grill, Erika O. Huber, Thomas Gloor-Juzi and Gerold(2004).Intervention Goals Determine Physical Therapists' Workload in the Acute Care Setting
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 376/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Fisioterapi Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Kigin, C. (2009). A systems view of physical therapy care: shifting to a new paradigm for the profession. Physical Therapy, 89, 1117–1119.
Lakatoo, N. M. (2006). Older Adults’ Satisfaction with Physical Therapists' Communication and Physical Therapy Treatment. Gerontology Theses, 2.
Lucca, J. (2006). Communication and Clinical Effectiveness in Rehabilitation. Physical Therapy, 86, 460.
Manulang. 1984. Manajemen Personalia. Ghalia Indonesia : Jakarta.
Mathieu & Zajac, 1990. A review and Metaanalysis of the antecendent, correlates, and consequences of the organizational commitment. American Psychological Association. Psycological Bulletin. Vol. 108(2). Sep 1990. 171-194
Moghimi, Chamanzamin & Shaghagi, 2013.The Relationship between communication Skills and Job Performance of the Employees, Fire Managers of Rasht City. International Journal of Business and Behavioral Sciences. Vol. 3, No.2; February 2013 Mirah. 2011. Tesis: Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan dan Word of Mouth. Universitas Udayana, Denpasar.
Ogiwara, S. (2003). Physiotherapists’ Perspectives on Professional Practice in Comparison to Occupational Therapists'. Journal of Physical Therapy Science, 15, 53–63.
Robbins, SP & Judge T.A (2006). Organizational Behaviour. (12 th Edition) Prentice Hall
Roberts, L., & Bucksey, S. J. (2007). Communicating with patients: what happens in practice? Physical Therapy, 87, 586–594.
Salbach, N. M., Guilcher, S. J., Jaglal, S. B., & Davis, D. a. (2010). Determinants of research use in clinical decision making among physical therapists providing services post-stroke: a cross-sectional study. Implementation science : IS, 5, 77.
Stern & Rone-Adams, 2006. An Alternative Model for First level clinical Educational
34 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Experience in Physical Therapy the internal journal of allied Health Sciences and Practice. Vol 4 No. 3. 540-580.
Swisher, L. L., Beckstead, J. W., & Muriel, J. (2004). Research Report Factor Analysis as a Tool for Survey Analysis Using a Professional Role Orientation Inventory as an Example.
Triezenberg,1996. The Indentification of Ethical Issue in Physical Therapy Practice.
Journal of the American Physical Therapy Association. 1996: 76: 1097-1107
Tjipto F dan Chandra G. 2007. Service Quality & Satisfaction. Yogyakarta : Penerbit ANDI.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992. Tentang Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009. Tentang Rumah Sakit
WCPT. (2011). Policy Statement: Description of Physical Therapy. United Kingdom: the 17 Th General Meeting of WCPT, June 2011
35 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
PERBEDAAN KEPUASAN PASIEN DI RUMAH SAKIT NEGERI
DENGAN RUMAH SWASTA BERDASARKAN JENIS KELAMIN, USIA DAN TINGKAT PENDIDIKAN DI DKI JAKARTA DAN SEKITARNYA
TAHUN2013
Slamet Soemarno2, Inswiasri2, Desi Kurniawati1, Septian Arif Gandaputra3 1 Peneliti Pusat Studi Gerak & Stimulasi Kognitif STIKes Binawan
2 Peneliti Pusat Studi Gerak & Stimulasi Kognitif& Staf Pengajar Prodi Fisioterapi STIKes Binawan Jl. Kalibata Raya No. 25–30 Jakarta 13630 Indonesia
3 Asia University , Taiwan [email protected]
Abstrak
This study is to know the differences between patients at public hospital and private hospital based on gender, age and level education.This study was held at Public and Private Hospitals in Around DKI Jakarta 2013.This study used cross-sectional with population20 to 50 years old.Data was analyzed by Chi-square test to see the significant value.Study result showed that there were differences of the patients satisfaction . Depend on all factors related to age, sex, and level education. Age and level education, have significant differences on patients satisfaction. However, sex has no differences. Keywords: Patient Satisfaction, Physiotherapy, Public, Private
Pendahuluan
Kepuasan pasien merupakan salah satu indikator dari kualitas pelayanan yang di berikan kepada pengguna
layanan.Indikator ini juga dapat di gunakan sebagai tolak ukur untuk memastikan kualitas pelayanan fisioterapi di fasilitas
kesehatan (Kamau, 2005). Adapun aspek yang dapat di pelajari dalam menilai kepuasan pasien adalah interaksi anatara
fisioterapis dengan pasien, profesionalissme dari pelayanan serta kemampuan dan keterampilan pemberi pelayanan fisioterapi,
privasi pasien dan lingkungan pelayanan yang memadai (Kamau, 2005). Dalam studi literaturnya, (Goldstein 2000)
mengidentifikasi tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan fisioterapi melelui beberapa dimensi seperti: akses atau
kemudahan mencapai fasilitas kesehatan termasuk jam kerja dan jarak tempuh ke fasilitas fisioterapi, ketersediaan lahan
parkir, manajemen pembayaran dan
fasilitas pembayaran, kualifikasi staf teknis, manajemen interpersonal meliputi keramahan, kenyamanan, efisiensi,
ketepatan waktu dan respon terhadap complain,perencanaan tindakan yang berkesinambungan termasuk ketepatan
diagnosis dan hasil yang di capai dari pelayanan fisioterapi (Casserley-Feeney et.al, 2008). Rohyadi tahun 2004
menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin besar keinginan dan harapannya,maka tingkat
pendidikan lebih tinggi cenderung tingkat kepuasannya lebih rendah sehingga di perlukan pelayanan yang berkualitas tinggi
untuk mendapatkan kepuasan. Kepuasan pasien merupakan salah
satu indikator dari kualitas pelayanan yang
di berikan kepada pengguna layanan.Indikator ini juga dapat di gunakan sebagai tolak ukur untukmemastikan
36 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
kualitas pelayanan fisioterapi di fasilitas kesehatan (Kamau, 2005). Adapun aspek
yang dapat di pelajari dalam menilai kepuasan pasien adalah interaksi anatara fisioterapis dengan pasien, profesionalissme
dari pelayanan serta kemampuan dan keterampilan pemberi pelayanan fisioterapi, privasi pasien dan lingkungan pelayanan
yang memadai (Kamau, 2005). Dalam studi literaturnya, (Goldstein 2000) mengidentifikasi tingkat kepuasan pasien
terhadap pelayanan fisioterapi melelui beberapa dimensi seperti: akses atau kemudahan mencapai fasilitas kesehatan
termasuk jam kerja dan jarak tempuh ke fasilitas fisioterapi, ketersediaan lahan parkir, manajemen pembayaran dan fasilitas pembayaran, kualifikasi staf teknis,
manajemen interpersonal meliputi keramahan, kenyamanan, efisiensi, ketepatan waktu dan respon terhadap
complain,perencanaan tindakan yang berkesinambungan termasuk ketepatan diagnosis dan hasil yang di capai dari
pelayanan fisioterapi (Casserley-Feeney et.al, 2008). Dapat dairumuskan permasalahan pada penelitian ini yakni
mengkaji Perbedaan kepuasan pasien di Rumah Sakit Negeri dan Swasta berdasarkan jenis kelamin, usia dan tingkat
pendidikan di DKI Jakarta dan Sekitarnya Tahun 2013”
Metode Peneliti mengunakan desain yang bersifat cross sectional tujuannya adalah untuk
mengetahui perbedaan kepuasan pasien berdasarkan usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Penelitian ini di lakukan dalam
kurun waktu 5 bulan 2013 di RS wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya.
Populasi dan Sampel Populasi target penelitian adalah seluruh pasien fisioterapi di rumah sakit Negeri dan
Swasta di Jabodetabek berjenis kelamin laki-laki dan wanita sesuai dengan kriteria inklusi.
Sampel adalah populasi yang memenuhi standar kriteria inklusi dan ekslusi. Dimana
jumlah sampel untuk mewakili populasi tersebut di hitung oleh rumus:
Dari rumus dan keterangan di atas, maka dapat di tetapkan jumlah seluruh sampel dari setiap kelompok survei yaitu pelayanan
fisioterapi dan kepuasan pasien masing-masing dibulatkan berjumlah 82 orang.
Teknik Sampling Dari beberapa rumah sakit Negeri dan Swasta di pilihlah 14 rumah sakit yang memiliki pelayanan fisoterapi di wilayah DKI
Jakarta dan Sekitarnya sebagai tempat pengambilan subyek penelitian. Pada Rumah Sakit Negeri di pilih 5 Rumah
Sakit dan Rumah Sakit Swasta di pilih 9 Rumah Sakit secara sistematik random sampling.
Rumah Sakit Negeri yang terpilih menjadi unit analisis masing-masing sampel untuk rumah sakit negeri terpilih 82 sampel dari
82 sampel induk dan untuk Rumah Sakit Swasta terpilih 82 sampel dari 233 sampel induk masing-masing kelompok sesuai
dengan perhitungan sampel di atas untuk di jadikan subyek penelitian dengan cara random dengan menggunakan komputer.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
Pasien fisoterapi yang menerima pelayanan fisioterapi yang sudah melakukan terapi sebanyak 3 kali kunjungan atau sesi terapi
dan dapat membaca dan menulis.Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Kriteria EksklusiPasien yang tidak mampu
berkomunikasi seperti pasien stroke dengan aphasia.
Teknik Pengumpulan Data Instrumen dalam penelitian ini berupa lembar kuesioner dan lembar pengamatan
n=(Z1-α/2).[p1.(1-p1)+p2.(1-p2)]/d2
d2
37 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
untuk rekam medik fisioterapi. Instrumen dikembangkan berdasarkan instrument yang
telah teruji validitas dan reabilitasnya dari beberapa negara.Pengambilan data dengan wawancara menggunakan kuesioner
meliputi:UNITPELAYANAN KESEHATAN (Pengenalan Tempat, Kuesioner Manajemen, Kuesioner Identitas dan Karakteristik Unit
Pelayanan Fisioterapi.KUESIONER UNTUK PASIEN (Kuesioner Identitas Pasien, Kuesioner Kepuasan,).Secara khusus
kuesioner dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapat/opini dari:PasienMenilai tingkat kepuasan pasien dengan cara
melingkari setiap pernyataan yang ada di kuesioner dengan pernyataan yang paling sesuai tentang kepuasan yang di rasakan pasien. 1. Sangat tidak setuju, 2. Tidak
setuju, 3. Setuju, 4. Sangat setuju.) pada no 1-20 di kuesioner II B tentang kepuasan pasien.
Etika Penelitian Sebelum melaksanakan penelitian
responden yang memenuhi persyaratan akan mendapat penjelasan tentang tujuan dengan manfaat dari penelitian, dan
kerahasiaan serta subjek boleh menolak jika tidak setuju dan apabila responden bersedia atau setuju, responden diminta
menandatangani lembar persetujuan (Informed Consent). Kajian etika untuk mendapat persetujuan etik peneliti (Ethical Approval) dari komite etik penelitian dari STIKes Binawan.
Hasil Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Tabel 1 diatas terlihat bahwa
dari keseluruhan variabel dapat dikatakan bahwa kategori puas lebih banyak pada kelompok rumah sakit swasta dengan
presentase 40.2% dari total jumlah pasien dari kategori puas.Sedangkan untuk kategori cukup puas lebih banyak pada
kelompok rumah sakit negeri dengan presentase 14.6%.
Tabel 1 Distribusi Karakteristik Individu
(Usia, Jenis Kelamin, Latar Belakang Pendidikan) dan Tingkat Kepuasan
Pada Kelompok Rumah Sakit Negeri dan
Rumah Sakit Swasta
Kepuasan Pasien
Puas Cukup puas
N % N %
Usia
<20 tahun 46 28.0 14 8.5
20-50 tahun 32 19.5 9 5.5
>50 tahun 46 28.0 17 10.4
Jenis Kelamin
Laki-Laki 48 29.3 16 9.8
Perempuan 76 46.3 24 14.6
Tingkat
pendidikan
<=SLTP 58 35.4 16 9.8
>=SMA 66 40.2 24 14.6
Kategori Rumah Sakit
RS negeri 58 35.4 24 14.6
RS swasta 66 40.2 6 9.8
Analisis Perbedaan Kepuasan pasien antara
rumah Sakit Negeri dan Rumah Sakit Swasta
Berdasarkan Tabel 2 di atas terlihat bahwa kepuasan pasien pada kategori puas lebih banyak pada rumah sakit swasta dengan
presentase 80,3% sedangkan kepuasan pasien pada kategori cukup puas lebih banyak pada rumah sakit negeri dengan presentase 29.2%.
Tabel 2
Analisis perbedaan kepuasan pasien pada
kelompok rumah sakit negeri dan swasta
Rumah Sakit p
RS negeri RS swasta
38 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Kepuasan pasien
Puas 58 (70.8) 66 (80.3) 0.146 Cukup puas 24 (29.2) 16 (19.7)
Analisis Tingkat Kepuasan (Puas)
Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, dan Latar Belakang Pendidikan Pada kelompok Rumah Sakit Negeri dan Rumah Sakit Swasta.
Berdasarkan Tabel 3 diatas terlihat bahwa kelompok rumah sakit negeri lebih banyak pasien puas yang berusia> 50 tahun
dengan presentase 28,2% sedangkan kelompok jenis kelamin terhitung lebih banyak puas pada perempuan di kelompok
rumah sakit negeri dengan presentase 31,5%.Selanjutnya untuk tingkat pendidikan lebih banyak puas pada kategori pendidikan >SMA terdapat pada rumah
sakit negeri dengan presentase 34,7% dan untuk rumah sakit swasta lebih bnyak pada kategori pendidikan <SMP dengan
presentase 34.7%.
Tabel 3.
Analisis Tingkat Kepuasan (Puas)
Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, dan Latar Belakang Pendidikan Pada kelompok Rumah
Sakit Negeri dan Rumah Sakit Swasta
X2 tingkat Kepuasan “ Puas” di Rumah
Sakit Swasta dan Rumah Sakit Negeri , usia p 0.00*, jenis kelamin p 0.202, Tingkat Pendidikan p 0.00*
Analisis Tingkat Kepuasan (Cukup Puas) Berdasarkan Usia, Jenis
Kelamin, dan Latar Belakang Pendidikan Pada kelompok Rumah Sakit Negeri dan Rumah Sakit Swasta Berdasarkan Tabel 4 diatas terlihat bahwa
kelompok rumah sakit negeri lebih banyak cukup puas pasien yang berusia > 50 tahun dengan presentase 40,0% sedangkan
kelompok jenis kelamin terhitung lebih banyak cukup puas pada perempuan di kelompok rumah sakit negeri dengan
presentase 37,5%.Selanjutnya untuk tingkat pendidikan lebih banyak pada kategori pendidikan >SMA terdapat pada
rumah sakit negeri dengan presentase 45.0%.
Tabel 4
Analisis Tingkat Kepuasan (Cukup Puas) Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, dan Latar
Belakang Pendidikan
Pada kelompok Rumah Sakit Negeri dan Rumah Sakit Swasta
Kategori Cukup Puas P RS Negri RS Swasta
N % N %
Usia
<20 tahun 5 12.5 9 22.5 0.00*
20-50
tahun
3 7.5 6 15.0
>50 tahun 16 40.0 1 2.5
Jenis Kelamin
Laki-Laki 9 22.5 7 17.5 0.693
Perempua 15 37.5 9 22.5
Kategori Puas P RS Negeri RS swasta
N % N %
Usia 0.00*
<20 tahun 4 3.2 42 33.9
20-50 tahun
19 15.3 13 10.5
>50 tahun 35 28.2 11 8.9
Total
Jenis Kelamin
Laki-Laki 19 15.3 29 23.4 0.202
Perempuan
39 31.5 37 29.8
Tingkat pendidikan
<=SLTP 15 12.1 43 34.7 0.00*
>=SMA 43 34.7 23 18.5
39 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
n
Tingkat pendidikan
<=SLTP 6 15.0 10 25.0 0.018
>=SMA 18 45.0 6 15.0
X2 tingkat Kepuasan “Cukup Puas” di
Rumah Sakit Swasta dan Rumah Sakit Negeri, usia p 0.00*, jenis kelamin p 0.693, Tingkat Pendidikan p 0.018*
Kesimpulan Karakteristik responden sebagaian besar
adalah usia >50 tahun memiiki proporsi paling banyak dengan presentase 28,2%. Karakteristik responden mayoritas berjenis
kelamin perempuan paling banyak dengan presentase 46,3%.Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan yang
mendominasi adalah ber pendidkan menengah ke atas ( ≥ SMA dan perguruan tinggi )dengan presentase sebesar
40,2%.Pada tingkat kepuasan pasien pada kategori PUAS lebih banyak pada Rumah Sakit Swasta dengan presentase 80,3% sedangkan pada kategori CUKUP PUAS
lebih banyak pada Rumah Sakit Negeri dengan presentase 29,2%.Ada perbedaan tingkat kepuasan kategori PUAS dan CUKUP
PUAS berdasarkan usia 20-50 tahun dan tingkat pendidikan antara Rumah Sakit Negeri dengan Rumah Sakit Swasta dengan
p<0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat adanya perbedaan tingkat kepuasan pasien dengan nilai perbedaan
yang bermakna.Sedangkan tingkat kepuasan kategori PUAS dan CUKUP PUAS berdasarkan jenis kelamin antara Rumah
sakit Negeri dengan Swasta dengan p>0,05 sehingga dapat di katakan tidak terdapat tingkat perbedaan kepuasan pasien antara
kedua jenis rumah sakit tidak memiliki perbedaan yang bermakna.
Daftar Pustaka Aderson, E. W., Fornell, C. & Mazvancheryl, S. K.
(2004). Customer satisfaction and
shareholder value. Journal of Marketing, 68 (4): 181
Anderson LA.( 1989): Pa- tients’ perceptions of their clinical interactions: develop- ment of the multidimensional desire for control scales. Health Educ Res 1989; 4: 383-397.
Azwar.A (1996) .Menjaga mutu pelayanan kesehatan apalikasi prinsip lingkaran pemecah masalah.Pustaka sinar harapan. Jakarta.
Bahar.L.(2006).Hubungan antara kulitas pelayanan dan kepuasan pasien di instalasi rawat inap dan rawat jalan budi lestari Bekasi 2006.Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia.Depok
Barata,A,A(2006) Dasar-dasar pelayanan prima Jakarta: PT Elex media komputindo
Barnes, James G. (2003), Secrets of Customer Relationship Management: Rahasia ManajemenHubungan Pelanggan, Terjemahan Andreas Winardi, Yogyakarta: Penerbit Andi
Beattie, P., Dowda, M., Turner, C., Michener, L. & Nelson, R. (2005b). Longitudinal continuity of care is associated with high patients satisfaction with physical therapy. Physical Therapy, 85 (10):1050 – 1051.
Beattie, P. F., Pinto, M. B., Nelson, M. K. & Nelson, R. (2002). Patient satisfaction with outpatient physical therapy: Instrument validation. Physical Therapy, 82 (6): 562-563
Beattie, P., Turner, C., Dowda, M., Michener, L. & Nelson, R. (2005a). The MedRisk instrument for measuring patient satisfaction with physical therapy care: A psychometric analysis. Journal of Orthopaedics & Sports Physical Therapy, 35 (1): 29-31
Boshoff, C. & Gray, B. (2004). The relationship between service quality, customer satisfaction and buying intentions in the private hospital industry. South Africa. Bus. Management, 35 (4): 29, 33.
Casserley-Feeney, S. N., Phelan, M., Duffy, F., Roush, S., Cairns, M. C., & Hurley, D. a. (2008). Patient satisfaction with private physiotherapy for musculoskeletal pain. BMC musculoskeletal disorders, 9, 50.
Cook, F. M. & Hassenkamp, A. M. (2000). Active Rehabilitation for chronic low back pain: The patients’ perspective. Physiotherapy, 86(2): 61,65-67.
Cohen G. (1996) Age and health status in a patient satisfaction survey. Appendix. Adjustment for background Soc Sci Med; 42: 1085–1093
Goldstein, M. S., Elliott, S. D., & Guccione, A. A. (2000). The development of an instrument to measure satisfaction with physical therapy. Physical therapy, 80, 853–63.
40 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Gunarsa. ( 2002 ). Kiat meningkatkan kepuasan pelanggan. Jakarta.
Haber, S. & Reichel, A. (2005). Identifying performance measures of small ventures- The case of tourism industry. Journal of Small Business Management, 43 (3): 261, 275
Jennings, B. M., Heiner, S.l. , Loan, L. , Hemman, E. & Swanson, K. M. (2005). What really matter to health care consumers, Journal of Nursing Administration, 35 (4): 178-179.
Kamau, P. W. (2005). Patient Satisfaction with Physiotherapy Services for Low Back Pain at Selected Hospitals in Kenya. University of the Western Cape.
Kerssens, J. J., Sluijs, E. M., Verhaak, P. F. M., Knibbe, H. J. J. & Herman, I. M. J (1999). Back care instructions in physical therapy: A trend analysis of individualised back care programmes. Physical Therapy, 79 (3): 293-294.
Kigin, C. (2009). A systems view of physical therapy care: shifting to a new paradigm for the profession. Physical Therapy, 89, 1117–1119.
Kotler, P., Bowen, J. and Makens, J.( 2003).Marketing for Hospitality andTourism, Prentice-Hall International,Englewood Cliffs, NJ.
Kotler, P. (2002). Manajemen Pemasaran, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Prenhalindo
Kurniasih ,Yuyun (2002). Hubungan Kinerja Perawat Pelaksana dalam Melakukan Asuhan Keperawatan dengan Kepuasan Pasien ditinjau dari Persepsi Pasien di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sepolisian Pusat Raden Sahid Sukanto Jakarta tahun 2002.Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.Depok.
Kuswara,(2003).Analisis faktor-faktor Kepuasan Pasien Rawat Inap Terhadap Pelayanan Keperawatan pada Badan RSUD 45 Kabupaten Kuningan tahun2003.Tesis.Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.Depok.
Lamb, Jr. C. W., Hair, Jr. J. F., MacDaniel, C., Boshoff, C.&Terblanche, N. S. (2004). Marketing. Second South African edition, Cape Town: Oxford University Press Southern Africa
Lumenta B (1989) .Pelayanan medis, citra konflik dan harapan .Yogyakarta: Kainsius
Matsuda, S. J, Clark, M. J, Schopp, L. H., Hangglund, K. J.& Mokelke, E. K. (2005) Barriers and satisfaction associated with personal assistant services: Results of consumer and personal assistant focus group. OTJR: Occupation, Participation and Health, 25 (2): 68, 71-72.
May, S. J. (2001). Part 1: Patients satisfaction with management of back pain. Physiotherapy, 87 (1):4-9
Mead, J. (2000). Patient partnership. Physiotherapy, 86 (6): 282-283
Metcalfe, C. J. & Klaber Moffett, J. A. (2005). Do patients’ expectations of physiotherapists affect treatment outcome? Part 2: Survey result. International Journal of Therapy and Rehabilitation, 12 (3): 116-118
Monnin, D., & Perneger, T. V. (2002). Scale to measure patient satisfaction with physical therapy. Physical therapy, 82, 682–91.
Notoatmodjo,S (2001).Metodologi penelitian kesehatan ,Jakarta :PT Rinekacipta
Nurhanah.Toti,(2004).Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas Cimandala Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2004.Skripsi.Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.Depok.
Penelitian kesehatan nasional tahun ( 2001 ) tentang kesehatan
Rahnawati,Windy (2006).Hubungan karakteristik pasien dengan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatn di rumah sakit islam sukapura Jakarta utara.Tesis.fakultas ilmu keperawatan universitas Indonesia.depok.
Rangkutti. Freddy (2002). Measuring customer satisfaction, teknik mengukur dan strategi meningkatkan kepuasan pelanggan. Pt :gramedia pustaka utama Jakarta.
Resmisari,R (2008 ).Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pasien terhadap pelayanan laboraturium patologi klinik.
Rohyadi,Yosep(2004).Analisa Hubungan antara Karakteristik Demografik dengan Kepuasan Pasien Tentang Pelaksanaan Fungsi Komunikasi studi di ruangrawat inap Dewasa RSU Cibabat tahun 2004.Tesis.Fakultas Ilmu Keperawatn Universitas Indonesia.Depok.
Roush, S. E. & Sonstroem, R. J. (1999). Development of the physical therapy outpatient satisfaction survey (PTOPS). Physical Therapy, 79 (2):167-168.
Santoso, Soeroso (2003),Manjemen Sumber Daya Manusia di Rumah Sakit.Penerbit buku kedokteran.Jakarta.
SJ Hossain1, J Ferdousi2, MK Biswas3, N Mahfuz4, G Biswas (2012 )Quality of Care: View of Patient Satisfaction with Physiotherapy inGovernment and Private Settings in Dhaka, Bangladesh.Faridpur Med.Coll.J.7(2):71-74.
Talvitie, U. & Reunanen, M. (2002). Interaction between physiotherapists and patients in stroke management. Physiotherapy, 88 (2): 85-87.
41 Jurnal Ilmiah Fisioterapi Volume 4 Nomor 1 2014(Edisi April)
Tjiptono, Fandi dan Gregorius Candra (2005), Service, Quality and Satisfaction, Yogyakarta:Andi Offset.
Tjiptoherijanto,P (1994 ).Ekonomi kesehatan:Rieneka cipta
Thoha, M. (2002). Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Utama,Surya,(2003). Memahami fenomena kepuasan pasien rumah sakit referensi pendukung untuk mahasiswa,akademik, pimpinan,organisasi dan praktisi kesehatan.Fakultas Kesehatan Universitas Sumatera Utara.
Undang-undang pemerintah daerah no 32 tahun 2004
Undang-undang kesehatan n0 36 tahun 2009 Yoseph.(2001). Karakteristik Pasien dan Dimensi
Mutu yang Berpengaruh terhadap Persepsi Mutu Pelayanan Rawat jalan di RS Panti Wilasa DrCipto. Semarang.
Zaini,Sarliana (2001). Analisa Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Keperawatan di Ruang Rawat inap Rumah Sakit ibu dan Anak Hermina Jatinegara Jakarta tahun 2001.Tesis. Fakultas ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.Depok.