filsafat kosmosentris teosentris logosentris

19
FILSAFAT KOSMOSENTRIS, TEOSENTRIS, LOGOSENTRIS Paper Halaqoh Disajikan pada tanggal 4 Juni 2010 Oleh Haris Pradipta Putra Mahasiswa Semester VI Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum “Sunan Giri” Malang HALAQOH ILMIAH

Upload: haris-pradipta

Post on 19-Jun-2015

5.840 views

Category:

Documents


73 download

TRANSCRIPT

Page 1: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

FILSAFAT KOSMOSENTRIS,

TEOSENTRIS, LOGOSENTRIS

Paper Halaqoh

Disajikan pada tanggal 4 Juni 2010

Oleh

Haris Pradipta Putra

Mahasiswa Semester VI

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik

Universitas Negeri Malang dan

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum “Sunan Giri” Malang

HALAQOH ILMIAH

LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG

JUNI 2010

Page 2: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

BAB I

PENDAHULUAN

Filsafat memiliki sejarah dan sejarah itu berisi pendapat pemikir-pemikir

besar. Dari kumpulan-kumpulan yang ada tercatat filsafat-filsafat besar dari India,

China dan Barat. Dan dalam tradisi Barat ada 3 zaman filsafat yang mengalami

masa keemasan. Sewaktu zaman Yunani, dimana pemikiran-pemikiran lebih

berdasarkan kosmosentris, diikuti filsafat abad pertengahan yang bersifat

teosentris, dan kini dizaman modern dan kontemporer, perumusan pemikiran-

pemikiran lebih bersifat anthropocentris. Yang berarti bahwa pemikiran lebih

difokuskan pada manusia, bukan pada alam semesta atau Tuhan seperti pada

zaman-zaman sebelumnya. Filsafat pada zaman modern ini lebih mengarah ke

filsafat Barat yang bersifat logosentris, yang mana mereka lebih menggunakan

logika dalam berfilsafat.

1

Page 3: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

BAB II

PEMBAHASAN

Dalam pembahasan ini diterangkan mengenai pengertian filsafat

kosmosentris, teosentris dan logo sentris serta perihal yang menyangkut

ketiganya.

2.1 FILSAFAT KOSMOSENTRIS

Kosmologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta

berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi

dari suatu subjek. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi, dan agama.

Kosmologi berasal dari kata Yunani “kosmos” dan “logos”. Sedangkan

kosmosentris berarti bersifat kosmologi. “Kosmos” berarti susunan, atau

ketersusunan yang baik. Lawannya ialah “khaos”, yang berarti “kacau balau”.1

Sedangkan “logos” juga berarti “keteraturan”, sekalipun dalam “kosmologi” lebih

tepat diartikan sebagai “azas-azas rasional”.

Dalam sejarah filsafat Barat, tercatat Phytagoras (580 – 500 SM) merupakan

orang yang pertama kali memakai istilah “kosmos” sebagai terminologi filsafat.

Bahkan dalam tradisi Aristotelian, penyelidikan tentang keteraturan alam disebut

sebagai “fisika” (bukan dalam pengertian modern), dan filsafat Skolastik memakai

nama “filsafat alami” (philosophia naturalis) untuk menyebut hal yang sama.2

Istilah “kosmologi” (cosmology) dipakai pertama kali oleh Christian von Wolff

dalam bukunya “Discursus Praeliminaris de Philosophia in Genere” tahun 1728,

dengan menempatkannya dalam skema pengetahuan filsafat sebagai cabang dari

“metafisika” dan dibedakan dengan cabang-cabang metafisika yang lain seperti

“ontologi”, “teologi metafisik”, maupun “psikologi metafisik”.3

Dengan demikian, sejak “klasifikasi Christian”, “kosmologi” dimengerti

sebagai sebuah cabang filsafat yang membicarakan asal mula dan susunan alam

semesta; dan dibedakan dengan “ontologi” atau “metafisika umum” yang

1 Bakker, A.. 1995. Kosmologi Dan Ekologi, Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumah tangga Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. h. 392 Bakker, A.. Ibid. h. 403 Edward, Paul. ed. 1976. The Encyclopedia of Philosophy. New York: The Macmillan Co. and Free Press. h. 237

2

Page 4: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

merupakan suatu telaah tentang watak-watak umum dari realitas natural dan

supernatural; juga dibedakan dengan “filsafat alam” (The philosophy of nature)

yang menyelidiki hukum-hukum dasar, proses dan klasifikasi objek-objek dalam

alam.4 Namun demikian, walau secara definitif “kosmologi” dibedakan dengan

“ontologi” maupun “filsafat alam”, pemilahan yang tegas dalam analisis

konseptual antara ketiga bidang tersebut merupakan suatu usaha yang sulit

dikerjakan, mengingat objek material dan objek formal yang hampir sama.

Topik utama kosmologi filsafat menurut Hegel adalah tentang “kontingensi”

(kemestian yang merujuk pada “hukum”), “kepastian”, “keabadian”, batas-batas

dan hukum formal dunia, kebebasan manusia, dan asal mula kejahatan. Namun

rata-rata filsuf hanya mempersoalkan hakikat dan hubungan antara ruang dan

waktu, dan persoalan tentang hakikat kebebasan dan asal mula kejahatan sebagai

materi telaah di luar bidang kosmologi.5 Secara umum bangunan pemikiran

kosmologi filsafat berpijak pada prinsip-prinsip ilmu ataupun dalil-dalil metafisis,

sehingga pada satu sisi berkaitan dengan fakta-fakta empiris, pada sisi lain

berhubungan dengan kebenaran metafisis tertentu. Dengan demikian dari pijakan

ini mudah dilihat bahwa kosmologi filsafat memiliki nilai bila dia mampu

memberi kerangka pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa alami/kodrati, batas-

batas dan “hukum” ruang-waktu “dunia”, dan bagaimana “keterbatasan

manusiawi” tersebut mampu “diatasi”.

Secara historis perkembangan kosmologi filsafat (barat) dimulai dari filsuf-

filsuf alam pra-Sokratik, yang kemudian persoalan-persoalannya oleh Plato dalam

“Timaeus” dan oleh Aristoteles dalam “Physics” disistematisir dan diperluas.

Secara umum kosmologi filsafati di Yunani, dengan berbagai varian pemikiran,

sepakat bahwa ruang jagad raya ini terbatas dan di bawah pengaruh hukum-

hukum yang tidak dapat dirubah, yang memiliki ketentuan dan irama tertentu.

Perkembangan berikut, pada Abad Tengah, mulai diperkenalkan konsep-konsep

“penciptaan” dan “kiamat”, “keajaiban” dan “pemeliharaan” oleh Tuhan dalam

kosmologi. Seirama dengan perkembangan ilmu empiris, kosmologi filsafat jaman

modern sebagaimana dikemukakan oleh Descartes, Leibniz, maupun Newton

mengalihkan kecenderungan yang muncul pada Abad tengah kepada corak

4 Runnes, D.D.. 1975. Dictionary of Philosophy. New Jersey: Littlefield, Adam & Co. h. 68-695 Runnes, D.D.. Ibid . h. 69

3

Page 5: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

pemikiran yang lebih dekat dengan pemikiran Yunani. Bahkan sejak Immanuel

Kant, telaah kosmologi filsafati selalu dalam kaitan dengan isue-isue metafisika.

Varian lain yang berkembang dan perlu disebut adalah kosmologi modern yang

lebih “positif” sebagaimana dikemukakan oleh Pierce, yang menyatakan bahwa

pokok soal yang harus dijawab oleh kosmologi adalah tiga hal, yakni, prinsip-

prinsip tentang perubahan, hukum, dan kontingensi kosmis.6 Varian

“pengimbang” yang lain untuk pemikiran kontemporer adalah Whitehead, dengan

“mengembalikan” kosmologi pada lingkup “hukum kodrat” yang lebih luas terkait

dengan kebudayaan dan ilmu.7

Secara sistematis, kosmologi filsafat dibedakan dalam empat kelompok

varian besar dengan dasar pengelompokan: (1) Berpijak dari keyakinan ontis

bahwa hakikat dunia itu “jamak” ataukah “tunggal” (monisme, pluralisme); (2)

Kedudukan manusia dalam kosmis (subjektivistis, objektivistis); (3) Esensi dan

substansi manusia dengan esensi dan substansi dunia yang lain (penonjolan

“perbedaan” antara esensi dan substansi manusia dengan esensi dan substansi

dunia yang lain pada: Husserl, Scheler, Hartman, dan Heidegger; pengutamaan

pada “kesamaan” antara esensi dan substansi “pengkosmos-pengkosmos” pada:

panpsikisme dan Whitehead); Dan (4) pendekatan sintesis (Bergson, Theilard de

Chardin, dan kosmologi Pancasila).8

Klasifikasi yang dilakukan Bakker yang masih searah dengan kecenderungan

kosmologi post-Kantian, yakni mengaitkan telaah kosmologi dengan

“metafisika”, membawa kajian kosmologi pada pendekatan integratif dengan

bidang-bidang pokok filsafat yang lain, baik itu metafisika, epistemologi,

aksiologi, maupun filsafat manusia. Terdapat dua konsekuensi yang meski

diterima, bila pendekatan demikian yang dianut, yakni, pertama, kajian kosmologi

filsafati menjadi kajian yang “arbriter”, dalam arti varian-varian pandangan

metafisis dan pendekatan (orientasi epistemologis) meski dipertimbangkan dalam

suatu telaah yang “komprehensif” dan “dialogis”, karena tanpa titik awal yang

demikian yang terjadi adalah “penghakiman” atas suatu metafisika/ epistemologi

oleh metafisika/epistemologi lain. Sebuah dimensi “meta-metodologi-filsafat”

6 Runnes, D.D.. Op Cit. h. 697 Whitehead. 1976. The Adventure of Ideas. New York: Mentor Book. h. 1438 Bakker, A.. Op Cit. h. 42-52

4

Page 6: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

yang kurang disadari dalam telaah-telaah filsafat. Kedua, jangkar kajian pada

“faktisitas-kedirian” dari “aku” (subjek eksistensial) sebagaimana mencul dalam

pendekatan antropologi metafisis, membuka peluang untuk mengkaji kosmologi

filsafat tidak hanya pada tingkat “tradisi besar para filsuf” namun juga berangkat

dari “tradisi kecil” manusia “yang bukan filsuf” dengan kerangka pendekatan

“sosio-empiris”. Dengan pendekatan “sosiologi (pengetahuan) filsafat”, secara

empiris bisa dilacak “jangkar-jangkar sosial” dari sesuatu yang sudah dianggap

sebagai “suatu pandangan dunia” dari masyarakat tertentu, baik itu berkaitan

dengan “pandangan dunia secara holistik”, maupun aspek-aspek pemahaman

tertentu dari “pandangan dunia” masyarakat tersebut. Dari “pandangan dunia”

tersebut dapat dijabarkan pemahaman manusia tentang dunianya, yakni aspek

kosmologi tentang waktu, terutama berkaitan dengan “keyakinan” (antropologis)

orang tentang adanya pengaruh waktu (watak tahun, bulan, hari, dan jam)

terhadap manusia.

Secara sistematis, perspektif-perspektif kosmologi metafisis tentang

“waktu”, sebagaimana banyaknya varian pendekatan dalam kosmologi, secara

garis besar dapat dipilah dalam empat kelompok, yakni: (1) Subjektivisme yang

menyatakan bahwa waktu merupakan sesuatu yang tidak nyata, hanya bersifat

subjektif-individual. Pemikiran yang demikian dianut oleh Parmenides, Zeno,

Budhisme, Advaita Vedanta, Descartes, Leibniz, Locke, Hume, Berkeley, Fichte,

Scheling, Hegel, Kant, Morris Schlick, Reichenbach, dan Carnap; (2) Realisme

Ekstrem yang menyatakan bahwa waktu merupakan realitas absolut yang

universal, tidak mempunyai kesatuan yang intrinksik dan hanya menunjukkan

urutan-urutan murni. Kosmologi yang demikian dapat ditemukan pada kosmologi

Indonesia/Jawa, Jaina, Nyanya, Vaiseshika, Gassendi, Newton, Clarke,

Whitehead, dan Alexander; (3) Realisme lunak, yang menyatakan bahwa waktu

merupakan aspek perubahan yang nyata, sekalipun dihasilkan oleh subjek yang

berabstraksi. Corak kosmologi yang demikian nampak pada pemikiran

Aristoteles, Agustinus, Thomas Aquinas, Einstein, dan kosmologi Pancasila; Dan

(4) Subjektivisme lunak yang menerima waktu sebagai suatu yang heterogen

sebagaimana dikemukakan oleh Bergson, atau sebagai dimensi historis dari

5

Page 7: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

pribadi, sebagaimana diyakini oleh eksistensialisme.9 Dari “peta kosmologi” di

atas, terlihat bahwa tradisi kosmologi timur paling dominan diwarnai oleh

subjektivisme dan realisme ekstrem. Dari berbagai varian yang ada itu pula,

kiranya dengan mudah dapat dilihat “konsekuensi-konsekuensi logis” dari suatu

varian pemikiran kosmosentris terhadap pandangan manusia tentang aspek-aspek

lain dari kehidupannya.

2.2 FILSAFAT TEOSENTRIS

Filsafat teosentris adalah sebuah pemikiran dimana semua proses dalam

kehidupan di muka bumi ini akan kembali kepada Tuhan. Pada filsafat abad

pertengahan, pemikiran-pemikiran selalu berdasarkan peraturan agama, kitab suci,

dan tradisi agama, segala sesuatu yang bertentangan dianggap salah. Manusia

sebagai viator mundi (khalifah yang berziarah didunia ini), sedangkan zaman kini

lebih ke faber mundi (manusia yang menciptakan dunianya).

Pemikir yang terkenal menggunakan filsafat teosentris adalah al-Ghazali

dengan filsafat pendidikannya, yang didalamnya memuat asas teologis, dimana

konsep antroposentris merupakan bagian esensial dari konsep teosentris.

Kattsoff pada bukunya Elements of Phylosophy membuktikan adanya Tuhan

dengan mengibaratkan ketika seseorang terdampar sendirian di sebuah pulau dan

tiba-tiba dia menemukan suatu alat mekanis yang tersusun menjadi suatu sistem

rumit yang tersusun tertib. Maka orang tersebut akan berfikir bahwa adanya alat

mekanis yang rumit tersebut menunjukkan adanya pencipta alat tersebut dan

tujuan dibuatnya alat tersebut. Demikian halnya dengan alam semesta yang luar

biasa rumit namun tersusun dengan baik dan tertib, begitu juga dengan sistem

tubuh manusia. Susunan yang tertib tersebut pasti mengandung arti adanya suatu

tujuan, karena “tujuan” berarti “tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang/sesuatu

penciptanya”. Kemudian dari pembuktian tersebut muncul pertanyaan “Mengapa

saya ada (di sini?)”, yang maksudnya adalah mereka tidak akan ditakdirkan lahir

kecuali apabila adanya mereka mempunyai suatu tujuan.10

9 Bakker, A.. Op Cit. h. 111-11610 Kattsoff, Louis O.. 1996. Elements of Philosophy, alih bahasa oleh Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. h. 457

6

Page 8: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

William E. Hocking memiliki pemikiran dalam filsafat teosentris mengenai

Tuhan sebagai sumber segala pengetahuan. Hocking menyatakan bahwa setiap

orang pasti akan menghadapi orang lain (masyarakat), obyek-obyek kejasmanian

yang diketahui oleh indera (alam), dan obyek-obyek kejiwaan yang merupakan

diri (diri). Dan ketika seseorang meneliti ketiganya dengan sebuah metode,

akhirnya akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ada sesuatu Yang Lain

sebagai kenyataan yang di dalamnya dan melaluinya kita memperoleh

pengetahuan tersebut.

Selain itu Hocking juga memiliki sebuah pemikiran bahwa Tuhan merupakan

suatu kenyataan pendahuluan yang harus ada. Inti dari pemikiran ini terletak pada

watak alam yang mengharuskan adanya Sang Pencipta. Dengan demikian maka

Tuhan merupakan suatu premisme harus ada bagi adanya dunia dan bukan hanya

hipotesa belaka.

2.3 FILSAFAT LOGOSENTRIS

Disadari atau tidak disadari, cara berpikir manusia modern, tak lepas juga

dari pengaruh perkembangan pemikiran dalam filsafat. Meski bisa jadi seseorang

tak pernah belajar filsafat langsung, namun bukan berarti cara berpikir yang

berasal dari perkembanganfilsafat tak bisa mempengaruhi kita. Lebih jauh lagi,

dalam ilmu pengetahuanpun bisa dikatakan sebagian besar perkembangan pernik-

pernik ilmu di dalamnya begitu dipengaruhi perkembangan filsafat, yang dalam

hal ini lebih mengarah pada Filsafat Barat, ketimbang Filsafat Islam atau Filsafat

Timur. Filsafat Barat ini pada umumnya merupakan sebuah pemikiran yang

hampir selalu berpola logosentris. Di sinilah kelak muncul apa itu yang disebut

logika, dengan berbagai derivasinya.

Logosentris secara sederhana bisa dikatakan sebagai cara berpikir yang

berpusat pada logos. Secara umum, dalam terjemahan-terjemahan (yang menurut

saya juga sedikit misleading), logos kerap diterjemahkan sebagai “ilmu”. Jadi

kalau ada kata “psikologi”, maka orang-orang psikologi barangkali akrab dengan

terjemahan “Psike” plus “logos” yang diparalelkan dengan “Jiwa” plus “ilmu”,

sehingga terjemahan Psikologi adalah “Ilmu Jiwa”. Tak jauh beda dalam

terjemahan Alkitab bahasa Indonesia, logos diterjemahkan sebagai “Firman”,

7

Page 9: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

sehingga kalimat dalam Yohanes 1:1 yang berbunyi: “en arche en ho logos”

diterjemahkan sebagai “Pada awalnya adalah Firman”.

Logos sejatinya bukan secara mudah bisa diterjemahkan baik sebagai “ilmu”

maupun “firman”. Apa yang kurang-lebih tepat untuk menerjemakan logos adalah

“kata-kata yang menjadi pengetahuan”, atau dengan kata lain perkataan atau kata

sebagai manifestasi dari pikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatu

suatu jalinan yang kuat antara pikiran dan kata yang dimanifestasikan dalam

bahasa.11 Logos dalam filsafat Barat lebih sering dipahami sebagai absolusitas

yang berada di ujung sebuah alur linier. Ada banyak logos dalam filsafat: iman,

rasio, monad, atom dan lain sebagainya.

Istilah logika pertama kali digunaka pada Cicero (abad 1 SM) dalam arti seni

berdebat. Alexander Aphrodisias (± abad 3 M) adalah filusuf pertama yang

menggunakan kata logika dalam arti ilmu yang menyelidiki tingkat kelurusan

pikiran manusia. Pada dasarnya logika menjadi asas penentu pemikiran yang

lurus, tepat dan sehat. Dengan menerapkan hukum-hukum pemikiran yang lurus,

tepat dan sehat kita dimasukkan ke dalam lapangan logika, sebagai suatu

kecakapan. Hal ini menyatakan bahwa logika bukanlah teori belaka, logikan juga

merupakan suatu ketrampilan untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam

praktek. Inilah sebabnya mengapa logika disebut filsafat yang praktis.

Popkin dan Stroll menguraikan lebih dahulu perbedaan antara Etika,

Metafisika lalu Logika sebagai bagian dari filsafat. Bila seseorang memikirkan

persoalan tingkah laku, maka ia akan masuk filsafat dalam bidang etika; bila yang

menjadi perhatian baginya adalah alam semesta, maka ia masuk filsafat dalam

metafisika. Tetapi bila ia memperhatikan tentang cara berfikir itu sendiri, maka

yang dimasukinya adalah dunia filsafat dalam bidang logika (Filsafat Logo

sentris).

Sebagai salah satu cabang filsafat, maka logika dapat dibagi menjadi:

1) Logika dalam arti sempit dapat disama artikan dengan logika deduktif atau

logika formal. Logika deduktif adalah logika yang mempelajari asas-asas

penalaran yang bersifat deduktif, yaitu penalaran yang menurunkan suatu

kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirannya. Logika formal

11 Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. h. 162

8

Page 10: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

mempelajarai asas-asas, aturan-aturan atau hukum-hukum yang harus ditaati,

agar dapat berpikir dengan benar sehingga dapat memperoleh kebenaran.

2) Logika dalam arti luas mencakup perbincangan yang sistematis mengenai

pencapaian kesimpulan-kesimpulan dari pelbagai bukti dan tentang bagaimana

sistem-sistem penjelasan disusun dalam ilmu alam, termasuk penjelasan logika

di dalamnya.

3) Logika induktif adalah logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang

benar yang berawal dari hal yang khusus sampai pada kesimpulan yang bersifat

umum, yang bersifat boleh jadi atau kemungkinan.

4) Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal (sumber-sumber dan

asalnya pengetahuan), serta menguji hasil-hasil logika formal dan mengujinya.

5) Logika murni merupakan pengetahuan mengenai asas-asas dan aturan-aturan

logika yang berlaku umum pada semua segi.

6) Logika terapan adalah pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap

cabang ilmu, bidang-bidang filsafat, dan juga dalam pembicaraan yang

mempergunakan bahasa sehari-hari.

7) Logika filsafat adalah suatu ragam atau bagian logika yang berkaitan dengan

pembahasan-pembahasan dalam bidang filsafat.

8) Logika matematik merupakan suatu bentuk logika yang mengkaji penalaran

yang benar dengan menggunakan metode-metode matematik.

Di samping pembagian tersebut, Alex Lanur Ofm berpendapat bahwa logika

dapat dibedakan atas dua macam, namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu

sama lain. Kedua logika tersebut adalah:

1) Logika kodratiah adalah pengaruh dari dalam diri manusia yang timbul secara

spontan yang cenderung subyektif. Logika kodratiah seringkali menyesatkan

akal budi yang dapat bekerja secara obyektif.

2) Logika ilmiah adalah logika yang membantu logika kodratiah dengan

memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi.

9

Page 11: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

BAB III

PENUTUP

Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa filsafat

kosmosentris adalah filsafat mengenai segala sesuatu disekitar kita atau alam

semesta yang dapat dicerap secara inderawi. Dan filsafat teosentris adalah filsafat

yang memiliki pemikiran bahwa segala sesuatu jika diteliti akan kembali kepada

Tuhan. Sedangkan filsafat logosentris adalah filsafat yang sering digunakan pada

filsafat Barat yang mana pemikirannya menggunakan logika.

10

Page 12: Filsafat Kosmosentris Teosentris Logosentris

DAFTAR RUJUKAN

Bakker, A.. 1995. Kosmologi Dan Ekologi, Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumah tangga Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Edward, Paul. ed. 1976. The Encyclopedia of Philosophy. New York: The Macmillan Co. and Free Press.

Hocking, W.E.. 1921. The Meaning of God in Human Experience. New York: Yale University Press.

Kattsoff, Louis O.. 1996. Elements of Philosophy, alih bahasa oleh Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Runnes, D.D.. 1975. Dictionary of Philosophy. New Jersey: Littlefield, Adam & Co.

Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Whitehead. 1976. The Adventure of Ideas. New York: Mentor Book.

11