filsafat hukum legal realism
TRANSCRIPT
LEGAL REALISM
Oleh:
Ahsanul Minan (1006827524)
Indah Sari Septiani Putri Adi Muchtar (1006828432)
Tugas Kuliah Filsafat Hukum
Magister Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia
Angkatan 2010
2 | P a g e
I. PENGANTAR
Terminologi “mafia hukum dan mafia peradilan” kembali mencuat dan
menghiasi wacana publik dalam satu dekade terakhir ini. Berbagai kasus dari model
pelecehan atas keagungan proses hukum seperti yang dilakukan oleh Gayus
Tambunan, dugaan rekayasa peradilan terhadap Antasari Azhar, vonis bebas terhadap
banyak koruptor oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hingga penjatuhan sanksi
pidana terhadap pelanggaran kecil seperti yang dialami seorang nenek di Purbalingga,
Jawa Tengah. Proses hukum dan tindakan pengadilan seringkali tidak bijak dan tidak
mampu memberi kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan
adil pada setiap pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar.
Perkara diputuskan dengan undang-undang yang telah dipesan dengan kerjasama
antara pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatan yang kecerdasannya mampu
membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga berkembanglah
“mafia peradilan”1.
Dahsyatnya intervensi politik, lemahnya pengaturan undang-undang, dan
merosotnya integritas aparatur penegak hukum menjadi kombinasi tiga faktor yang
akhirnya memunculkan disorientasi hukum2. Akibatnya hukum menjadi kehilangan
daya dalam mencapai tujuan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, maupun
kemanfaatan.
Dalam konteks kegagalan hukum tersebut, filsafat hukum berguna untuk
menjawab berbagai macam problematika dan masalah-masalah umum abstrak
(hakekat, tujuan, ketaatan hukum), dan juga soal-soal kongkret mengenai hubungan
antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga
1 Bismar Siregar, Rasa Keadilan, PT. Bina Ilmu, Tunjungan S3E, Surabaya, 1989, hal. 78
2 Muchsan, , Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1985, hal 42
3 | P a g e
hukum di suatu negara. Filsafat hukum merupakan alat bantu untuk melakukan
refleksi dan menemukan kembali cara pandang, metode berpikir serta substansi
pemahaman atas nilai-nilai dasar yang harus dicapai melalui instrument hukum.
Roscoe Pound 3
menyatakan, bahwa ahli filsafat berupaya untuk memecahkan
persoalan tentang gagasan untuk menciptakan suatu hukum yang sempurna yang
harus berdiri teguh selamalamanya, kemudian membuktikan kepada umat manusia
bahwa hukum yang telah selesai ditetapkan, kekuasaannya tidak dipersoalkan lagi.
Filsafat hukum memegang peranan penting dalam kegiatan penalaran dan penelaahan
asas dan dasar etik dari pengawasan sosial, yang berkaitan dengan (a). tujuan-tujuan
masyarakat, (b) masalah-masalah hak asasi, (c) kodrat alam 4.
II. PERKEMBANGAN DAN ANATOMI ALIRAN FILSAFAT HUKUM
SEBELUM REALISM
Filsafat hukum tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh dialektika sejarah,
yang tidak terlepas juga dari berbagai pengaruh lingkungan baik lingkungan
pemikiran, politik, sosial dan budaya. Perkembangan lingkungan yang mempengaruhi
sistem hukum yang berlaku selalu menjadi titik picu untuk mempertanyakan landasan
filosofis dari sistem hukum yang berjalan. Ketidakefektifan atau kegagalan sistem
hukum dalam memenuhi rasa keadilan, kebenaran dan kemanfaatan seringkali
menjadi titik pijak dalam melakukan refleksi untuk menggugat kembali fondasi
pemikiran yang melandasinya.
Evolusi kemunculan aliran-aliran dalam filsafat hukum (sebagaimana
kemunculan aliran filsafat ilmu) dapat dipotret melalui perspektif sejarah yang selalu
terkait dengan perkembangan dan perubahan sosial, politik ekonomi dan budaya
masyarakat. Aliran hukum alam misalnya muncul dalam konteks sosial dimana
3 Resceu Pond, Interpretations of Legal History, Havu, L.R, Holland, 1972, hal 3
4 Leon Duguit, Law in the Modern State, Limited Amsterdam University, 1919, hal 47
4 | P a g e
konstruksi masyarakat masih sangat sederhana, sehingga konsepsi-konsepsi nilai yang
abstrak masih dianggap memadai untuk melandasi sistem hukum dalam masyarakat
yang homogen dan sederhana. Ketika perkembangan masyarakat semakin maju,
kompleksitas persoalan semakin membesar sehingga memunculkan sistem
pemerintahan yang lebih modern, maka konsepsi aliran hukum alam dianggap tidak
lagi memadai, sehingga memicu lahirnya aliran positivisme hukum.
Begitu juga ketika perkembangan masyarakat politik bergerak ke arah
semakin kuatnya peran penguasa dan kemudian memunculkan absolutisme kekuasaan
dan otoritarianisme, memicu lahirnya aliran filsafat hukum yang baru yakni
sociological jurisprudence, yang kemudian berlanjut ke arah aliran legal realisme dan
seterusnya. Dengan demikian terlihat bahwa dialektika sejarah yang diwarnai oleh
alur perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya selalu memiliki keterkaitan
dan bahkan menjadi sumber inspirasi bagi perkembangan aliran filsafat hukum.
Dalam kata lain, perkembangan filsafat hukum bukan merupakan entitas tersendiri,
yang lahir dan berkembang hanya sebatas pada perkembangan pemikiran intelektual
di ruang hampa, namun selalu dipengaruhi dan terinspirasi oleh perkembangan
masyarakat.
Guna melacak kembali perkembangan aliran filsafat hukum dan sekaligus
mengantarkan pemahaman kita kepada aliran legal realisme, ada baiknya kita
melakukan kilas balik (flash back) untuk sedikit menelusuri siklus perkembangan
aliran filasafat hukum.
1. ALIRAN HUKUM ALAM
5 | P a g e
Aliran ini merupakan fase pertama dalam perkembangan aliran filsafat
hukum, yang muncul dalam periode-periode awal sejarah peradaban manusia.
Aliran ini muncul dalam konstruksi sosial masyarakat yang masih sederhana.
Menurut aliran hukum alam, kaidah hukum adalah hasil dari titah tuhan
dan langsung berasal dari tuhan. Oleh karena itu, aliran ini mengakui adanya
suatu hukum yang benar dan abadi, sesuai dengan ukuran kodrat, serta selaras
dengan alam. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari pada hukum yang sengaja
dibentuk oleh manusia 5.
Dalam perkembangannya, aliran hukum alam ini terbagi ke dalam dua
kelompok. Mulai menguatnya pengaruh gereja dalam tata kehidupan sosial politik
yang berhadapan dengan kekuasaan raja banyak menginspirasi perkembangan
aliran hukum alam ini. Sebagai contoh dapat kita lihat bahwa pemikiran-
pemikiran Dante Alighieri (1265-1321), Piere Dubois, yang lebih cenderung
memberikan legitimasi filosofis atas kewenangan Raja, berseberangan dengan
pemikiran John Salisbury yang memberikan dukungan kepada otoritas gereja.
Pertama aliran hukum alam irasional, yang berpendapat bahwa hukum
yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari tuhan secara langsung.
Pendukung aliran hukum alam irasioanal antara lain adalah: Thomas Aquinas 6,
John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wycliffe.
5 Menurut Friedman, hukum alam itu mempunyai fungsi jamak, yakni:
Sebagai instrument utama dalam transformasi dari hukum sipil kuno pada zaman Romawi kesuatu sistem yang luas
dan cosmopolitan.
Digunakan sebagai senjata oleh kedua belah pihak dalam pertikaian antara Gereja pada abad pertengahan dan para
kaisar Jerman.
sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya hukum internasional, dan menuntut kebebasan
individu dari absolutisme.
prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para hakim Amerika (yang berhak untuk menafsirkan konstitusi)
guna menentang usaha peundang-undangan Negara untuk memodifikasi dan mengurangi kebebasan mutlak individu
dalam bidang ekonomi. 6 Filsafat Thomas aquinus berkaitan erat dengan teologia, ia mengakui bahwa di samping kebenaran wahyu juga terdapat
kebenaran akal. Menurut Aquinas ada dua pengetahuan yang berjalan bersama, yaitu: pertama, pengetahuan alamiah
(berpangkal pada akal), kedua, pengetahuan iman (berpangkal pada wahyu ilahi).
6 | P a g e
Kedua aliran hukum alam rasional. Sebaliknya aliran hukum alam rasional
berpendapat, bahwa hukum yang universal berasal dari rasio manusia. Tokoh-
tokoh aliran hukum alam rasional antara lain adalah: Hugo de Groot (Grotius),
Christian Thomasius, Immanuel Kant, Samuel von Pofendrof. Menurut Grotius,
sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan
manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan
manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal (rasio) itu. Sedangkan
Pufendorf berpendapat, bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal
pikiran yang murni. Dalam dalam hal ini unsur naluriah manusia lebih berperan.
Akibatnya, ketika manusia mulai hidup di mayarakat timbul pertentangan
kepentingan satu dengan yang lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan maka
dibuatlah suatu perjanjian secara sukarela diantara rakyat. Baru setelah itu,
diadakan perjanjian berukutnya berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Dengan
adanya perjanjian itu, berarti tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua kekuasaan
itu dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan, dan tujuan dari Negara yang
didirikan.
2. POSITIVISME HUKUM
Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca
mata positivis, tiada hukum kecuali perintah penguasa (law is a commandand of
the lawgivers). Bahkan, bagian dari aliran hukum positif yang dikenal dengan
nama legalisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan
undang-undang.
Positivisme hukum dibedakan dalam dua corak: pertama, aliran hukum
positif analitis (Analytical jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin,
7 | P a g e
kedua, aliran hukum murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans
Kelsen.
Austin (1790 - 1859) menggariskan bahwa hukum adalah perintah dari
penguasa Negara. Hakikat hukum sendiri, menurut Austin, terletak pada unsur
“perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap logis, dan
tertutup. Hukum adalah perintah yang memaksa yang dapat saja bijaksana dan
adil,ataupun sebaliknya. Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua
jenis: pertama, hukum dari tuhan untuk manusia (the devine laws), dan hukum
yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia dapat
dibedakan lagi: pertama adalah, hukum yang sebenarnya, hukum ini disebut juga
dengan hukum positif, meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum
yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang
diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur: (1)
Perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty), (4) kedaulatan
(severeignty). Kedua adalah hukum yang tidak sebenarnya, mengenai hukum
yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga
tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan hukum dari suatu
organisasi olahraga.
Sedangkan Kelsen (1881 - 1973), menganggap bahwa hukum harus
dibersihkan dari anasir-anasir nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis,
histories, bahkan etis. Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma),
bukan isi (materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu
hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena
dikeluarkan oleh penguasa. Selain Kelsen disebut sebagai pencetus Teori Hukum
Murni, ia juga berjasa mengembangkan Teori Jenjang (stufentheori) yang mana
8 | P a g e
semulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl (1836 - 1896). Teori ini melihat
hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida.
Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih
tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan
sebaliknya, semakin rendah suatu norma, akan semakin konkret norma tersebut.
Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen
dengan namaGroundnorm (norma dasar) atau Ursprungnorm.
Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin,
walaupun demikian pemikiran Kelsen dengan pemikiran Austin berbeda. Kelsen
mendasarkan pemikirannya pada Neokantinisme sedangkan Austin mendasarkan
pemikirannya pada Utilitarianisme.
3. UTILITARIANISME
Aliran positivism yang meletakkan hukum murni sebagai hukum yang
harus dipisahkan dari unsur moral mendapatkan reaksi dari beberapa ahli filsafat
hukum lainnya. Penempatan hukum secara bebas nilai dianggap menghilangkan
relevansi hukum dalam konteks untuk membingkai kehidupan manusia. Hal ini
melatari munculnya aliran utilitarianisme atau Utilisme yakni aliran yang
meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini
diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya
suatu hukum, bergantung pada apakan hukum itu memberikan kebahagiaan
kepada manusia atau tidak. Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah
Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering.
Bentham lebih menekankan kepada tujuan hukum untuk memberikan
jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, meskipun dia tidak menyangkal
pentingan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan von Jhering
9 | P a g e
merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan Positivisme Hukum
dari John Austin. Perlu diketahui bahwa pemikiran yang gemilang dari Jhering
memang setelah ia melakukan studi mendalam tentang hukum Romawi. Bagi
Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam
mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya
sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan
individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan
pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.
4. MAZHAB SEJARAH 7
Tokoh penting mazhab sejarah adalah von Savigny, Puchta, dan Henry
Sumner Maine. Mazhab sejarah timbul sejalan dengan gerakan nasionalisme di
Eropa. Jika sebelumnya para ahli hukum memfokuskan perhatiannya pada
individu, penganut mazhab sejarah sudah mengarah kepada bangsa, tepatnya jiwa
bangsa (volkgeist).
Menurut Savigny, Hukum timbul bukan karena perintah dari penguasa
atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam
jiwa bangsa itu (instinktif). Dia mengatakan, “Law is expression of the common
consciousness or spirit of people.” Pendapat Savigny seperti ini bertolak
belakang pula dengan pandangan positivisme hukum. Ia mengingatkan, untuk
membangunkan hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak perlu
dilakukan.
7 Mazhab sejarah merupakan reaksi terhadap tiga hal:
rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya
berperan pada filsafat hukum, dengan terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta
sejarah, kekhususan dan kondisi nasional.
semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada
rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya), yaitu seruannya ke segala penjuru dunia.
pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat
memecahkan semua masalah hukum. Code civil dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai
suatu sistem hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alas an-alasan
yang murni.
10 | P a g e
Puchta menambahkan bahwa Hukum dapat berbentuk: pertama,
langsung berupa adat istiadat, kedua, melalui undang-undang, ketiga, melalui
ilmu hukum dalam bentuk karya ilmu hukum.Lebih lanjut Puchta membedakan
pengertian “bangsa” ini dalam dua jenis: pertama, bangsa dalam pengertian etnis,
yang disebutnya “bangsa alam,” dan kedua, bangsa dalam arti nasional sebagai
kesatuan organis yang membentuk suatu negara. Adapun yang memiliki hukum
yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan
“bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka. Keyakinan hukum
yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum
masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu
dengan membentuk undang-undang. Puchta mengutamakan pembentukan hukum
dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi
sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam adat istiadat bangsa
dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adat-istiadat bangsa hanya
berlaku sebagai hukum ketika sudah disahkan oleh negara.
5. SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE 8
Bagi aliran ini, hukum yang baik adalah hukum yang hidup di masyarakat.
Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup.
Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum dan
8 Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton, kurang tepat dan adapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih
senang menggunakan istilah “metode fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut Sociological
Jurisprudence ini dengan Functional Anthropological. Dengan menggunaka istilah “metode fungsional” seperti
diungkapkan di atas, Paton ingin menghindari kerancuan antaraSociological Jurisprudence dan sosiologi hukum.
Menurut Lili Rasyidi, perbedaan antara Sociological Jurisprudence dan sosiologi hukum adalah sebagai berikut.
Pertama,Sociological Jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah
merupakan cabang dari sosiologi. Kedua, walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbak
balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sociological Jurisprudence mengunakan
pendekatan hukum ke masyaarakat, sedangkan sosiologi hukum menggunakan pendekatan masyarakat ke hukum.
11 | P a g e
(antitesis) Mazhab Sejarah. Tokoh-tokoh aliran Sociological Jurisprudence antara
lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscou Pound.
Menurut Ehrlich, hukumpositif baru akan memiliki daya berlaku yang
efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada
kekuatan social-sosial tertentu. Hukum sendiri tidak mungkin efektif, oleh karena
ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan social terhadap hukum,
dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara.
Poun terkenal dengan teorinya bahwa hukum merupakan alat untuk
memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engenering).
Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat
penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum
yakni: a. Kepentingan umum (public interes) yang meliputi kepentingan negara
sebagai badan hokum, dan kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan
masyarakat.b. Kepentingan masyarakat (social interes) yang meliputi
kepentingan akan kedamaian dan ketertiban, perlindungan lembaga-lembaga
social, pencegah kemerosotan akhlak, pencegah pelanggaran hak, kesejahteraan
sosial. c. Kepentingan pribadi (private interes) yang terdiri atas kepentingan
individu, kepentingan keluarga, dan kepentingan hak milik.
III. LEGAL REALISM
A. Sejarah kemunculan
Qodri Azizy mengatakan bahwa aliran realisme muncul bermula dari
adanya penolakan terhadap aliran positivisme. Gagasan yang dilontarkan adalah
pernyataan bahwa kalau positivisme hukum merupakan teori hukum yang benar
maka teori itu akan mencakup semua hukum, termasuk menangani kasus-kasus
12 | P a g e
berat (hard cases). Ternyata kasus-kasus berat ini tidak diatur oleh aturan-aturan
yang ada. Atau dengan pertanyaan: “apakah legal positivism menyediakan teori
yang benar mengenai putusan peradilan, khususnya dalam menyelesaikan kasus-
kasus berat?” ternyata pertanyaan ini merupakan problem yang sukar dipecahkan
bagi pengikut positivism.9
Sebagaimana diuraikan dimuka, Austin sebagai pelopor positivisme
hukum, menyatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat,
sedangkan Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum adalah kehendak dari negara.
Atau dengan kata lain, menyatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang positif
yakni Undang-Undang (positive law) dan hukum kebiasaan (positive morality).
Tetapi positive morality bisa menjadi hukum apabila telah dikukuhkan menjadi
Undang-Undang oleh pejabat yang berwenang (Badan Legislatif).
Menanggapi hal ini, tokoh-tokoh legal realism yang berasal dari
kalangan praktisi hukum, yakni Holmes (1841-1935), Jerome Frank (1859- 1957)
dan seorang ahli ilmu sosial, Karl Nickerson Llewellyn (1893-1962), melihat
kenyataan bahwa tidak semua kasus yang ada di pengadilan, khususnya kasus-
kasus berat diatur dalam Undang-Undang. Sehingga pada kenyataannya hakim
mempunyai peranan yang lebih bebas untuk memilih dan menentukan serta lebih
kreatif didalam penerapan hukum dari pada sekadar mengambil didalam aturan-
aturan yang dibuat oleh penguasa (Undang-Undang). Dalam praktiknya ternyata
faktor seperti temperamen psikologis hakim, kelas sosial dan nilai-nilai yang ada
9 Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Gama
Media Offset, Yogyakarta, 2002, cet I h. 205.
13 | P a g e
pada hakim lebih berfungsi dalam pengambilan keputusan hukum dari pada
aturan-aturan yang tertulis 10
.
Sehubungan dengan hal ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa
menjelang abad kesembilan belas terjadi sikap skeptisisme yang sehat, yang
mengecam rasa puas diri para penganut ilmu hukum analitik. idealisme hukum
baru yang terdiri dari sebagian metafisis dan sebagian sosiologis, membelok dan
mulai menentang positivisme analitis dan berbalik mulai menyelidiki realitas
dalam masyarakat modern dalam hubungannya dengan hukum modern.11
Pragmatisme merupakan rumusan baru dari filsafat yang sangat tua, yang
mendorong kearah pendekatan baru pada hukum yang melihat ke arah barang-
barang yang terakhir, hasil-hasil dan akibat-akibat.12
Gerakan realis mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum
dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan
sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat menjelaskan bagaimana
pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan formula dalam
memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta (kenyataan).
Jadi, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah “gerakan dalam
pemikiran dan kerja tentang hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn
menyebut beberapa hal, yang terpeting diantaranya:
1. Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan
kerja tentang hukum.
10
Azizy, A. Qadri, Op Cit, h. 206. 11
Friedmann, W., alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-Teori
Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, !990) Cet ke 1 h. 187. 12
Ibid, h. 189
14 | P a g e
2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-
tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme
mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada
hukum.
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada
dan yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang
nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama
penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-
keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.
4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi- konsepsi
hukum, sepanjang ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang
sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme
menerima peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa
yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”
5. Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat
akibatnya.13
Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa
perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-
pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan masyarakat. Hukum
merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-
sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke
generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan
yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga tersebut telah terorganisir dan
13
Lihat, Friedmann, W. OpCit, h.191-192.
15 | P a g e
harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta
didukung oleh para ahli.14
Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam Undang-
Undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh
hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada kenyataan di
lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika menjatuhkan
putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu
sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang atau aturan lainnya.
Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang
merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena belum ada hukum
tertulis yang mengaturnya,15
Pokok-pokok pendekatan kaum realis yang digariskan oleh Llewellyn
antara lain:
1. Hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan
hukum yang diciptakan oleh pengadilan.
2. Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
3. Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum, karenanya selalu diperlukan
penyelidikan untuk mengetahui bagaimana hukum itu menghadapi problem-
problem sosial yang ada.
4. Guna keperluan studi harus ada perbedaan antara “is” dan “ought”
14
Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, Cet I h.
33 15
Azizy, A. Qadri, Op Cit. h. 207-208
16 | P a g e
5. Tidak mempunyai anggapan bahwa peraturan-peraturan dan konsep hukum
itu sudah mencukupi apa yang harus dilakukan oleh pengadilan. Hal ini
selalu merupakan masalah utama dalam pendekatan terhadap hukum.
6. Sehubungan dengan butir di atas, mereka juga menolak teori tradisional yang
mengatakan bahwa peraturan hukum itu merupakan faktor utama dalam
mengambil keputusan.
7. Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit sehingga
lebih nyata. Peraturan-peraturan hukum itu meliputi situasi-situasi yang
banyak dan berbeda-beda, karena itu ia bersifat umum, tidak konkret dan
tidak nyata.
8. Hendaknya hukum itu dinilai dari efektifitasnya dan kemanfaatannya untuk
menemukan efek-efek tersebut16
Akhirnya secara ringkas, Llewellyn sendiri membuat sebuah
ungkapan yang paling tepat menurutnya, “realisme bukanlah suatu filosufi,
tetapi suatu teknologi, suatu metoda, bukan yang lain”.17
B. Gerakan Kelompok Realis dalam Hukum
Frank mengklasifikasikan kelompok realis ke dalam 2 kubu, pertama
kubu "rule skeptic", yakni kelompok yang menganggap ketidakpastian hukum
hanya ada di dalam undang-undang dan berusaha menemukan keseragaman
dalam pola perilaku peradilan. Kubu kedua "fact-skeptic" yang beranggapan
bahwa unpredictabilitas putusan pengadilan hanya ada dalam fakta-fakta yang
sukar dipahami. Pengklasifikasian ke dalam 2 kelompok oleh Frank ini,
16
Azizy, A. Qadri, Op Cit, h.209. 17
Leod, Ian Mc, Legal Theory, Macmillan Press Ltd, 1999, h. 123
17 | P a g e
mendapatkan respon dari Rumble yang menemukan ada satu kelompom lagi
yakni "oppinion-skepticism" atau yang lebih dimenal dengan "judicial hunch".
Kelompok ini meyakini bahwa penalaran hukum hanyalah sebuah pengambilan
keputusan ex post facto, rasionalisasi belaka, dan dimaksudkan untuk membuat
kuputusan hakim tampak masuk akal, legal, dan tak terelakkan. Untuk
meperkuat thesisnya, Frank membuat statement yang efektif dengan
mengatakan bahwa pendekatan text-book, yang memperlakukan hukum haya
sebagai kumpulan norma yang abstrak, adalah salah arah, dan bahwa
ketidakpastian hukum adakah sesuatu yang inhern, bukan kesalahan yang
disengaja.
Aliran Legal Realisme sebagai suatu gerakan dapat dibedakan dalam
dua kelompok, yaitu Realisme Amerika, dan Realisme Skandinavia.
Pengelompokan berdasarkan zona ini sebenarnya bukan hal yang lazim.
Realisme Skandinavia lebih luas cakupannya daripada Realisme Amerika, sebab
realisme skandinavia tidak memusatkan perhatiannya kepada para fungsionaris
hukum (khususnya hakim), akan tetapi justru orang-orang yang ada di bawah
hukum. Realisme Scandinavia ini banyak menggunakan dalil-dalil psikologi
dalam menjelaskan pandangannya.
C. AMERICAN LEGAL REALISM
Realisme Amerika Serikat adalah merupakan pendekatan seara
pragmatis dan behaviouristis terhadap lembaga-lembaga sosial. Para ahli hukum
Amerika mengembangkan cara pendekatan tersebut dengan meletakkan tekanan
pada putusan-putusan pengadilan dan tindakan-tindakan hukum.
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, hakim lebih
sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan
18 | P a g e
perundang-undangan, apabila dibandingkan dengan cara berpikir aliran
positivisme sangat bertentangan karena memang aliran relisme ini merupakan
reaksi dari aliran positivisme yang lebih menekan hukum hanya sebagai segala
sesuatu yang tertuang dalam undang-undang dan aliran realisme ini berusaha
untuk merubah cara pandang para ahli hukum di Amerika. Kaum realisme
Amerika menganggap bahwa hukum itu sebagai praktek (law in action) hukum
itu adalah suatu pengalaman dan menganggap hukum itu harus bebas dari nilai-
nilai.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Llewellyn, suatu institusi hukum
harus memiliki pengalaman yang banyak dan para pekerja hukum dituntut untuk
memiliki kemampuan/keahlian untuk mengintepretasi hukum. Tokoh realisme
Amerika lain yaitu Oliver Wendell Holmes berpendapat yang dimaksud dengan
hukum adalah tindakan dari pengadilan terhadap fakta hukum yang terjadi,
pandangan hukum sebagai prediksi apa yang akan diputuskan oleh pengadilan
ini yang menekankan realisme di Amerika bersifat pragmatis dan empiris.
Menurut John Dewey Tujuan dari realisme di Amerika ini
dimaksudkan untuk menyelidiki bagaimana hukum bekerja dan bagaimana
dipergunakan dengan sesungguhnya hukum, yaitu dengan cara mengaitkan
hukum dengan fakta kehidupan yang ada dalam masyarakat. Aliran realisme di
Amerika ini menuntut pemenuhan kebutuhan hukum terhadap gejolak-gejolak
yang terjadi dalam masyarakat jadi apabila hukum itu hanya mengacu pada
suatu aturan yang tetap maka seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika,
dengan prinsip tersebut hakim menjatuhkan putuskan. Jerome Frank dalam
tulisannya “Law and The Modern Mind” hukum itu harus selalu ditemukan,
karena apabila hakim dalam memutuskan suatu perkara hanya didasarkan pada
19 | P a g e
undang-undang sesungguhnya hakim itu hanya menipu dirinya dengan
menyembunyikan fakta bahwa tiap-tiap perkara berbeda-beda jenis fakta
hukumnya dan menuntut suatu putusan yang berbeda-beda pula. Frank juga
menyatakan bahwa dalam mengambil keputusan hakim dipengaruhi faktor
politik, ekonomi, moral, simpati, dan antipati namun itu semua hanya sekedar
dijadikan pertimbangan.
Aliran realisme di Amerika juga mendapat pengaruh yang sangat besar
dari tokoh Llewellyn, dalam bukunya The Common Law Traditional, Llewellyn
mengembangkan suatu pemikiran bahwa setiap institusi hukum (hakim, jaksa,
pengacara dan pemerinntah) harus memiliki keterampilan dalam menafsirkan
hukum dan disini Llewelly menuntut dibutuhkannya logika, dan dalam bukunya
tersebut Llewellyn membagi dua konsep pemikiran yang dapat diprektekan di
pengadilan Amerika yaitu “Grand style”, tipe ini diterapkan pada saat
pengadilan tingkat banding dimana hakim di Amerika dalam membuat suatu
keputusan lebih menekankan pada logika dan keadaan disekitarnya, dan hakim
pada tingkat banding tidak meniru putusan hakim terdahulu dan mempelajari
kembali yang melatarbelakangi hakim terdahulu dalam menjatuhkan putusan.
“Formal Style” seebaliknya tipe ini lebih bersifat otoriter, formal dan logika,
hakim dalam membuat suatu keputusan diberikan ruang untuk menggunakan
logika namun hanya sebatas sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang ,
Formal Style tidak perduli pada fakta-fakta sosial.
Pada selanjutnya pemikiran Grand Style dan Formal Style ini sangat
mempengaruh situasi perkembangan hukum di Amerika, pada abad 19 Grand
Style sempat diterapkan di pengadilan Amerika dan berkembang kebentuk
Formal Style, hal ini memunculkan komentar dari Llewellyn yang
20 | P a g e
mengharapkan pengadilan di Amerika kembali kepada Grand Style karena
hakim dalam memutuskan perkara perlu melihat situasi yang ada di dalam suatu
masyarakat. Namun sayangnya dari pemikiran Llwellyn ini memunculkan suatu
tanggaapan bahwa dengan hakim diberikan kesempatan untuk menggunakan
logika dan mempertimbangkan kondisi yg ada dimasyarakat dalam menjatuhkan
keputusan menimbulkan keanekaragaman putusan hukum terhadap satu perkara
sehingga tidak ada patokan hukum yang baik itu seperti apa sehingga
masyarakat dapat menerimanya.
Grand Style Formal Style
Model aturan hukum untuk menghasilkan efek z
atau untuk alasan z jika x
Jika x kemudian y
Prinsip proposisi umum mewujudkan
kebijakan fungsinya adalah
untuk memandu tetapi tidak
untuk mengendalikan
interpretasi
aturan dari jenis umum yang
dapat digunakan sebagai
premis dasar dari silogisme
Diagnosis masalah yang
melibatkan permasalahan
hukum
lingkup x adalah diragukan ruang lingkup aturan jelas
tetapi aplikasi adalah
diragukan
Konsep peranan
pengadilan
untuk menyelesaikan
ketidakadilan dengan
menggunakan kebijaksanaan
dan akal yang bersumber
otoritatif
untuk menemukan dan
menyatakan aturan yang
berlaku dan untuk
menerapkannya pada fakta-
21 | P a g e
fakta dari kasus ini
Sumber-sumber yang
dapat dijadikan dasar
pembenaran dalam
memutuskan perkara
1. Sumber otoritatif seperti
negara dan kasus-kasus
2. Prinsip
3. Kebijakan akal dan alasan
4. temenuan penelitian di
sosial
1. sumber otoritatif seperti
undang-undang dan kasus
2. prinsip
3. logika
Tipe teknik interpretasi 1. kerusakan aturan
2. interpretasi terhadap kasus
dilakukan berdasarkan akal
dan alasan kebijakan
1. literatur aturan
2. “Simple cites”
Estetika Berfungsi untuk memperbaiki
tujuan
Cara elegan
Menurut K. Llewellyn dalam bukunya Using The New Jurisprudence
apa yang telah dikatakan mungkin dapat disimpulkan bahwa hakim dan para
pejabat ini tidak sepenuhnya bebas dan tidak harus sepenuhnya bebas membagi
pada analisis dan pemeriksaan lebih dekat menjadi dua fakta. Satu fakta yang
berkaitan dengan kontrol menahan diri, menahan hakim dan pejabat, fakta lain
yang bersangkutan dengan memungkinkan untuk mereka dari tingkat yang
terbatas dan jenis terbatas dari kelonggaran dan meletakkan pada mereka tugas
untuk latihan mereka ujung keterampilan dan penilaian dalam kelonggaran
22 | P a g e
dalam menterjemahkan satu kasus. Kedua fakta ini harus dilihat dan keduanya
harus diperhitungkan oleh yurisprudensi yang bertujuan untuk menutupi fakta
yang jelas dan kebijakan diselesaikan dari sistem hukum kita, karena ada dua
jenis kebebasan pejabat pengadilan atau lainnya yang datang dalam pertanyaan
dan jenis kedua yang sangat berbeda itu adalah fakta dalam sistem hukum kita
bahwa hakim tidak berarti bebas untuk menjadi sewenang-wenang dan
kebutuhan vital kita bahwa mereka tidak harus gratis menjadi sewenang-wenang
telah tertangkap ke dalam alasan-alasan atau doktrin tentang hukum dan bukan
laki-laki dan tentang aturan menentukan kasus tetapi juga kenyataan bahwa
sistem hukum kita tidak menyesuaikan dengan kasus individu dan perubahan
kondisi kita dan lembaga-lembaga dan fakta itu berarti bahwa hakim dan pejabat
lainnya bebas untuk beberapa derajat nyata untuk bersikap adil dan bijaksana
dan bahwa kita memiliki kebutuhan vital bahwa para hakim dan pejabat lainnya
akan terus menjadi nyata untuk beberapa derajat bebas untuk menjadi bijaksana
dan hanya fakta yang terjadi namun tidak telah terjebak ke sebuah alasan yang
sama tajam atau sama berharga atau doktrin. Namun hal yang tidak kalah
penting dari sistem hukum kita dan tugas hakim kita, ada hukum yang kita
rasakan juga impersonal dan dianggap sebagai hasil pemikiran keras untuk
menemukan hukum.
Llwellyn dalam bukunya yg berjudul “My Philosophy of Law”
menjelaskan ada waktu ketika hukum menjadi perhatian para filsuf dan
dipahami sebagai bagian dari filosofi ada kekhawatiran baru-baru ini antara para
ilmuwan sosial dengan hukum sebagai ilmu sosial. Pengacara menganggap
hukum sebagai kerajinan dan sebagai profesi. Negarawan telah mengenal
hukum sebagai salah satu aspek kunci dari masyarakat sebagai panduan, sebagai
23 | P a g e
alat. Dalam hukum kebenaran masing-masing hal-hal yang telah disebutkan
adalah hal yang lebih pada bagian besar dari perselisihan antara jurisprudes
kehilangan banyak makna dan jika fase hukum yang secara khusus untuk satu
dan lain menjadi hubungan dengan hukum secara keseluruhan.
Hal yang dianggap penting adalah lembaga yang berkembang, dan
lembaga yang diperlukan dalam masyarakat. Sebuah lembaga tentu saja tidak
pernah terdiri dari aturan sendiri ataupun cita-cita saja, aturan sebagai salah satu
bagiannya. Dalam kasus hukum, institusi mengandung salah satu bagian tubuh
yang luar biasa dan sangat penting dari aturan, terorganisir (cukup longgar) di
sekitar konsep dan ditekankan melalui prinsip-prinsip. Paduan aturan-aturan dan
prinsip-prinsip hukum yang tepat, ada aturan lain dan konsep lainnya, teknik
dirumuskan preseden konstruksi dan sejenisnya untuk membimbing manipulasi
lembaga hukum. Setiap lembaga hukum akan mengandung ideologi dan ide
meresap kuat dan tidak secara eksplisit. Sebagian besar implisit, dan yang lulus
hampir tidak disebutkan dalam buku.
Llwellyn juga mengatakan apabila masyarakat menginginkan
keadilan ditegakkan dan dijunjung tinggi maka setiap “The Law Job” perlu
dilakukan pendekatan-pendekatan fungsional hukum. Sebuah institusi adalah
suatu aktivitas yang teratur yang dibuat menurut suatu pekerjaan (job) atau
sekumpulan pekerjaan suatu institusi mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang
harus dilakukan dan yang paling penting adalah untk melihat bahwa pekerjaan-
pekerjaan itu dilakukan dengan baik secara efektif. Ada 5 katagori yang harus
diperhatikan ketika “The Law Job” menjalankan fungsi dan tugasnya yaitu :
24 | P a g e
1. Penentuan kasus-kasus bermasalah : kesalahan-kesalahan, keluhan-keluhan,
dan sengketa. Hal ini dianggap the law job adalah merupakan tempat/pusat
untuk memperbaiki hukum yang dianggap rusak atau tidak sesuai lagi dengan
tuntutan perkembangan yang ada di masyarakat.
2. Pencegahan, sekaligus memberikan harapan untuk menghindari kesulitan.
3. Menghimpun peratura-peraturan hukum oleh penguasa dan mengatur
prosedur-prosedur yang menandai tindakan-tindakan apa yang tergolong
untuk itu, termasuk konstitusi;
4. Bagian positif dari pekerja (law work) melihat bagaimana mestinya (tidak
detail) secara keseluruhan organisasi masyarakat, agar dapat melakukan
penyantunan-penyantunan, arahan-arahan dan rangsangan-rangsangan;
5. Membuat metode hukum yang dapat dipergunakan sebagai acuan untuk
menyelesaikan masalah-masalah hukum dan dapat dipergunakan setersunya
dikemudian hari.
Dalam rangka melakukan tugas dan fungsi law job tersebut masyarakat
membentuk suatu institusi yang disebut law and government.
D. SCANDINAVIAN LEGAL REALISM
Aliran Scandinavia condong pada ideologi social welfare, dimana hal
ini terlihat jelas dalam tulisan-tulisan Lundstedt, meskipun dia tidak pernah
mengakui bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ideologi. Hagerstorm
dipandang sebagai Bapak dari aliran ini, meskipun masih terdapat beberapa
tokoh lain yang sangat berpengaruh dan terkenal yakni Olivecrona, Lundstet dan
Ross.
25 | P a g e
Menurut Lloyd D. dan Freeman, terdapat beberapa pokok-pokok
pikiran penting yang menjadi mainstream dari aliran ini, antara lain:
1) Law as Fact. Aliran ini berkeyakinan bahwa hukum hanya bisa dijelaskan
melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi, dan studi tentang fakta ini –yang
disebut dengan ilmu pengetahuan hukum- karenanya merupakan sebuah
ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu pengetahuan lain yang peduli dan
memfokuskan diri pada fakta dan kejadian dalam hubungan sebab-
akibat.oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran
hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property
dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika.
Bagi Olivecrona, aturan hukum merupakan “perintah yang independen”
yang termanifestasikan dalam bentuk perintah, namun tidak seperti perintah
yang berasal dari seseorang. Hukum termanifestasikan dalam “rasa” dari
rangkaian kaliman dalam undang-undang, dan ditangkap oleh alam pikiran
manusia dan selanjutnya mempengaruhi tingkah laku manusia. Lundstedt
menambahkan bahwa aturan hukum hanyalah sebuah prosedur untuk
mencapai tujuan tertentu (dalam hal ini adalah kesejahteraan sosial).
Lundstedt memandang bahwa hak dan kewajiban hanyalah merupakan
konklusi hukum. Dia mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya
hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan
tindakan-tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right
tidak muncul dari das sollen, melainkan dari das Sein.
2) Theory of Law. Ross membedakan 2 jenis ilmu hukum, pertama hukum
dalam arti yang dimuat dalam undang-undang, dan kedua kalimat-kalimat
dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori pertama bersifat
26 | P a g e
menentukan, sedangkan yang kedua lebih mengarah kepada pengetahuan
tentang apa hukum yang sebenarnya yang berisi pernyataan dan penjelasan.
Bagi Ross, validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide
normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena
hukum dalam kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan
aktifitas para hakim. Dia menyatakan bahwa norma hukum utamanya
ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk
kepada hakim. Aturan hukum adalah aturan tentang penggunaan kekuatan
dan ditujukan kepada para pejabat terkait. Contoh, larangan membunuh,
merupakan petunjuk bagi hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam
berurusan dengan kasus-kasus pembunuhan yang diajukan kepada mereka.
Dalam pandangan Ross, semakin efektif pemenuhan aturan oleh
masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya,
karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan
reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika
hakim menganggapnya mengikat. Namun, pemikiran Ross ini dianggap
banyak menimbulkan persoalan karena dianggap sulit untuk menyelidiki
pemikiran hakim.
3) Prinsip-prinsip verifiabilitas. Fakta, bagi aliran realis merupakan hal yang
tidak bisa ditawar, dan menolak metafisika. Dalam hal ini, terdapat
kemiripan antara aliran ini dengan legal positivism. Ross mengatakan
bahwa hanya ada satu dunia dan satu kognisi (kesadaran). Seluruh ilmu
pengetahuan (termasuk ilmu pengathuan hukum) hanya memustakan
perhatian kepada fakta, seluruh dalil ilmu pengetahuan menyangkut realitas,
dan seluruh yang tidak sepenuhnya logis -matematis- selalu merujuk kepada
27 | P a g e
uji pengalaman. Studi hukum doktrinal bagi Ross dianggap sebagai ilmu
pengetahuan sosial empirik. Dia juga mengatakan bahwa makna diberikan
terhadap fakta yang dapat diferivikasi, sehingga dalil-dalil yang tidak dapat
diverifikasi maka tidak bermakna. Namun demikian, Lloyd D. Dan
Freeman menganggap bahwa pandangan Ross ini bermasalah dengan
pemahaman tentang kegunaan bahasa, yang menurutnya bersifat tunggal.
Padahal dalam kenyataannya kegunaan bahasa dapat bermacam-macam.
Meskipun demikian, dalam perkembangan berikutnya, aliran ini lebih
bersikap toleran terhadap keragamaan kegunaan bahasa. MacCormak
mengatakan bahwa keragaman fungsi bahasa dan realitas psikologis dari
keyakinan dan perasaan adalah elemen utama dari penjelasan Ross dan
Olivecrona mengenai aturan hukum dan viliditasnya, dan juga hak-hak
hukum. Ross membuat 3 perbedaan atas perkataan yang digunakan dalam
aturan hukum: indicative, directive dan emotive. Sedangkan Olivecrona
membedakan bahasa hukum ke dalam 2 kategori: technical (yang bersifat
pasif), dan performative (yang bersifat kreatif).
4) Asal mula hukum. Dalam pandangan Olivecrona, asal mula hukum
sejatinya adalah pertanyaan tentang asal mula histori dan faktual tentang
perkembangan “aturan yang luar biasa, bersifat magis-religius yang
ditemukan dalam masyarakat kuno”.
5) Reductionism dan legal concept. Menurut Ross, konsep dapat selalu
direduksi dengan analisa atas serangkaian dalil yang setara, atau dapat
disubtitusikan.
6) Feature of law. Menurut Olivecrona, kinerja sistem hukum tidaklah mistis,
atau didasarkan pada enititas yang fiktif, misalnya negara atau sifat
28 | P a g e
mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh
sekumpulan orang yang berada dalam sebuah organisasi negara yang
mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya,
dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat menghadirkan
tekanan psikologis terhadap masyarakat.
7) Hukum dan moralitas. Dalam pemikiran aliran Skandinavia, gagasan-
gagasan moral sebenarnya dibentuk oleh hukum. Hukum menjadi faktor
utama yang mempangaruhi standard moral, terutama karena
kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkanya. Teori
ini memang sangat rentan untuk diperdebatkan, terutama jika dipertanyakan
tentang mana yang lebih dulu hadir, apakah moral ataukah hukum.
8) Ideologi hukum-method of Justice dan Social Welfare. Kebanyakan
kelompok realis mendukung konsep legal ideology atau method of justice
dengan menyandarkan diri pada tujuan material hukum, mengutamakan
sistem hukum yang aktual, sehingga menolak aspek metafisika, atau
penggunaan hukum alam atau nilai keadilan sebagai parameter penilaian
objective, karena menurut aliran realis, sebuah penilaian pastilah subjectif.
Bagi Lundstedt, jurisprudence haruslah berdasarkan observasi atas fakta,
bukannya berdasarkan atas penilaian individual atau metafisika.
1. Perbedaan Realisme Amerika dan Skandinavia
Meskipun sama-sama dalam satu aliran Realisme, namun terdapat
sedikit perbedaan antara aliran Scandinavian Realism dan Amerika. Lloyd
D. dan Freeman mencatat perbedaan antara keduanya sebagai berikut:
1. Realisme Amerika lebih memfokuskan diri pada kerja praktis untuk
mengkaji proses hukum, berbeda dengan Realisme Skanidnavia yang
29 | P a g e
lebih berfokus kepada operasi teoritis atas sistem hukum secara
keseluruhan.
2. Skandinavia memang merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem,
namun Amerika justru yang paling depan dalam menekankan
pentingnya sutdi faktual dalam rangka mencari solusi atas problem
hukum. Skandinavia tampak lebih mengandalkan pada argumen apriori
dalam menemukan solusi atas problem hukum.
3. Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa,
sedangkan realisme Amerika lebih dipengaruhi oleh karakter empirisme
Inggris.
2. Pemikiran Tokoh Scandinavian Realism
Aliran Realisme Skandinavia digawangi oleh banyak tokoh,
seperti Axel Hagerstrom yang dianggap sebagai Bapak dari aliran ini.
Hagerstrom bukanlah ahli hukum, melainkan ahli filsafat yang
memfokuskan perhatian kepada hukum dan etika sebagai sumber yang
subur bai metafisika. Dia berambisi untuk menjadikan hukum sebagai alat
bantu untuk mereorganisasi masyarakat sebagaimana ilmu pengetahuan
alam telah berhasil mentransformasikan kehidupan manusia. Untuk
mencapainya, dia menganggap bahwa ilmu hukum harus dibebaskan dari
mitos, teologi dan metafisika. Logika dan bahasa hukum menurutnya
dipenuhi oleh konsep-konsep palsu. Oleh karena itu, untuk menghancurkan
pengaruh metafisika transedental, maka jalan untuk memulainya paling
tepat adalah melalui hukum.
Hak, kewajiban, kehendak negara, dan lain-lain merupakan
permainan kata-kata belaka, namun tampaknya ilmu hukum tidak bisa
30 | P a g e
melepaskan diri darinya. Kesalahan ini harus diperbaiki, dan teori obyektif
tentang pengetahuan harus ditegakkan. Filsafat hukum baginya adalah
sebuah sosiologi hukum tanpa investigasi empirik, tapi dibangun di atas
analisis konseptual, historis dan prikologis. Tulisan Hagerstrom kebanyakan
merupakan kritik atas kesalahan cara berpikir hakim.
Di samping itu, terdapat beberapa tokoh lain, yakni Ross,
Olivecrona, Julius Stone, Jhon Rawls, dan lain-lain. Makalah ini akan
mencoba untuk lebih menyoroti secara lebih mendalam atas pemikiran
Olivecrona, dan dilanjutkan ringkasan gagasan utama dari tokoh lainnya.
a. Karl Olivecrona (1897 - 1980)
Olivecrona adalah seorang ahli hukum dan filsafat yang
berkebangsan Swedia. Dia belajar hukum di Universitas Upsala (1915-
1920) dan menjadi murid Hagerstrom. Selanjutnya dia menjadi
professor di bidang prosedur hukum dan filsafat hukum di Universitas
Lund. Tulisan-tulisan beliau banyak menekankan kepada arti penting
psikologi dalam gagasan hukum.
Beberapa pemikiran penting Olivecrona antara lain:
1) Hukum sebagai fakta
Dalam tulisan yang dipublikasikan pertama pada tahun
1939, terdapat beberapa pemikiran penting yang termuat di
dalamnya, yakni:
a) Binding force of law. Olivecrona meyakini bahwa hukum
berasal dari kreasi manusia. Hukum dibuat melalui proses
legislasi atau oleh orang biasa. Dengan kata lain, hukum dibuat
melalui proses alami, yang menghasilkan dampak yang alami
31 | P a g e
juga dalam bentuk tekanan kepada masyarakat. Aturan hukum
dianggap sebagai tindakan hakim dalam memeriksa kasus-
kasus terkait dengan perilaku masyarakat dalam hubungannya
dengan masyarakat yang lain. Dengan demikian, para pembuat
hukum sebenarnya mempengaruhi dan membentuk perilaku
masyarakat.
Hukum merupakan kaitan antara sebab dan akibat, hukum
berada di antara waktu dan tempat. Sehingga baginya hukum
yang dianggap berada dalam proses alami dan efek alami, tidak
dapat berada pula dalam di luar itu (sesuatu yang metafisik).
Aturan hukum adalah gagasan tentang aksi imaginatif dari
hakim dalam situasi yang imaginatif. Hukum tidak berada di
ruang hampa, namun selalu terkait dengan situasi dan aturan
lainnya, dimana keterkaitan ini selalu dapat diteliti. Sebagai
contoh, tuduhan terhadap pelaku pembunuhan harus dikaitkan
dengan persyaratan umur dari tertuduh, pemahaman dia tentang
tuduhan yang diarahkan kepadanya,
Dalam kontruksi pemikian yang demikian, maka daya mengikat
dari hukum muncul dari gagasan dalam alam pikiran manusia.
b) Aturan hukum bukanlah perintah yang tepat/jelas. Ada 2
pertanyaan mendasar yang berusaha dijawab oleh Olivecrane.
Dari mana perintah hukum berasal ? dan bagaimana perintah
hukum seharusnya mengambil bentuk dalam aturan hukum ?
Sebagaimana kaum relais lainnya Olivecrona meyakini bahwa
perintah hukum tidak berasal dari luar manusia. Namun untuk
32 | P a g e
menjelaskan hal ini, konotasi yang dibangun untuk menjelaskan
karakteristik manusia yang mampu memberikan perintah
hukum tidak mungkin diasosiasikan kepada manusia secara
perseorangan, karena pemberi perintah hukum haruslah
memenuhi kualifikasi super-human. Secara empirik, konotasi
ini diarahkan kepada negara.
Namun, dalam kenyataannya, negara bukanlah manusia.
Negara adalah sebuah organisasi pemerintahan yang
menjalankan negara. Tidak mungkin negara –dengan
sendirinya- mengeluarkan perintah. Oleh karena itu, Olivecrona
mengatakan bahwa pemahaman yang tepat adalah bahwa
perintah hukum muncul dari individu-individu di dalam
organisasi negara.
Terkait dengan aturan hukum sebagai perintah, pada dasarnya
perintah itu tidak sama dengan perintah yang diberikan oleh
seseorang kepada orang lain. Perintah individual ini biasanya
terwujud dalam kalimat yang jelas sesuai keinginan pemberi
perintah, sehingga perintah individual ini menimbulkan
implikasi berupa munculnya hubungan personal. Model ini
tidak muncul dalam aturan normatif hukum. Perintah dalam
aturan hukum muncul dalam dalam bentuk perintah imaginatif
yang dipahami oleh alam pikiran manusia.
c) Ordinary legislation. Olivecrona berusaha menjawab
pertanyaan klasik tentang proses legislasi, bagaimana sebuah
draft peraturan yang pada dasarnya hanya merupakan
33 | P a g e
serangkaian kalimat fiktif, dapat menjadi aturan hukum dan
memiliki dayat ikat ? Dia menjelaskan bahwa kekuatan dari
peraturan muncul dari kesepakatan awal yang tertuang dalam
konstitusi yang dipergunakan oleh negara-negara modern.
Konstitusi disepakati sebagai pedoman dasar dalam pengaturan
masyarakat, dan mengikat seluruh warga negara. Konstitusi
menjelaskan prosedur pendelegasian kepada pihak tertentu
untuk menjalankan legislasi. Kesepakatan inilah yang
selanjutnya menjadi kerangka pemahaman dalam pemikiran
warga negara yang menghasilkan kepatuhan atas produk dari
proses legislasi.
d) Penggunaan kekuatan dalam organisasi negara. Penggunaan
kekuatan oleh organisasi negara dalam penerapan hukum
merupakan sebuah kepastian, baik untuk hukum pidana
maupun perdata. Dalam konteks hukum perdata, penggunaan
kekuatan dimungkinkan jika terjadi pengingkaran terhadap
putusan hukum. Menurut Olivecrona, upaya untuk
menanggalkan penggunaan kekuatan negara atau menjadikan
penggunaan kekuatan negara sebagai prioritas kedua dalam
penegakan hukum adalah sesuatu yang naif dan tidak berguna.
Meskipun demikian, Olivecrona juga mengatakan bahwa
penggunaan kekuatan negara tidak harus selalu dikedepankan,
kekuatan atau kekerasan dapat disimpan sebagai background,
namun hal ini dapat berhasil jika kondisi masyarakat telah
berada pada situasi kedewasaan hukum.
34 | P a g e
e) Hukum mengandung aturan tentang kekuatan. Pandangan
Olivecrona mengenai hal ini pada dasarnya memperjelas relasi
antara hukum dengan penggunaan kekuatan negara. Pada
intinya, dia ingin mengatakan bahwa kekuatan negara bukanlah
penopang atau penjaga hukum. Namun, baginya, justru
penggunaan kekuatan negara itu menjadi bagian yang inheren
dalam aturan hukum. Bagaimana dalam koteks hukum perdata
? Memang dalam konteks hukum perdata yang ditekankan
adalah penggunaan unsur etis untuk memunculkan kepatuhan.
Namun, bagi Olivecrona faktor etis ini adalah merupakan
bagian lain dari kekuatan negara. Dan dalam hal ini,
masyarakat harus mengupayakan agar perilaku mereka sesuai
dengan aturan hukum (dalam hukum perdata).
f) Standard moral dan hukum. Bagi oleivecrona, asumsi bahwa
moral menjadi landasaan hukum, atau sumber inspirasi hukum,
adalah tidak tepat. Bahkan perdebatan tentang apakah ide
keadilan itu menjadi landasan dan rujukan bagi hukum juga
dianggap tidak penting. Baginya, justru yang penting untuk
didiskusikan adalah apakah ide keadilan menjadi faktor utama
dalam hukum, ataukah ide keadilan justru dibentuk oleh
hukum. Dalam hal ini, Olivecrona meyakini bahwa hukum
menjadi instrument pembentuk moralitas masyarakat, meskipun
dalam hal tertentu, karena hukum tidak bisa memprediksikan
perkembangan moral, maka dalam proses perubahan hukum,
fakta tentang ide moral juga dapat menjadi inspirasi perubahan.
35 | P a g e
Dia menggarisbawahi pentingan pengaruh moral dari hukum
untuk mengoptimalkan efektifitasnya. Namun, dia juga
mengingatkan bahwa kita tidak boleh mengandalkan dampak
moral yang terkandung dalam aturan hukum, karena dampak
moral ini bersifat sangat individual. Oleh karena itu, untuk
memaksimalkan daya atau pengaruh moral dari hukum agar
dapat meluas kepada masyarakat, maka dalam proses
pembuatan hukum diperlukan upaya untuk memastikan bahwa
aturan hukum yang dibuat harus reasonable bagi mayoritas
masyarakat, ditunjang dengan penerapan sanksi secara
konsisten dan imparsial. Dan penggunaan kekuatan negara
harus dilakukan dalam konteks propaganda untuk menyiapkan
kondisi psikologis masyarakat agar dapat menyerap dan
melaksanakan perintah hukum.
2) Bahasa Hukum dan Realitas
Hukum, keputusan pengadilan, maupun kontrak
berfungsi untuk mempengaruhi perilaku manusia, sehingga
penggunaan bahasa hukum harus didasarkan kepada upaya
pencapaian tujuan tersebut. Hal ini disebut Olivecrona sebagai
directive language, sebagai kebalikan dari reporting language. oleh
karena itu dia menyarankan agar dalam konteks hukum,
dipergunakan directive language dan menghindari reporting
language.
Dalam penggunaan bahasa hukum, dia juga menekankan
pentingnya peltakan konteks yang tepat, karena dengannya, akan
36 | P a g e
mampu menghasilkan efek psikologis yang kuat. Peletakan konteks
ini termasuk juga penggunaan institusi atau orang yang tepat untuk
melakukannya. Ibaratnya, pembuatan perintah oleh orang yang tidak
memiliki kekuasaan untuk itu, tidak akan mampu menghasilkan efek
psikologis yang mampu mendorong masyarakat untuk
mengikutinya. Untuk mengilustrasikan pemikirannya ini,
Olivecrona merujuk ilustrasi yang dibuat oleh Austin dalam
penamaan kapal Queen Elizabeth. Di samping itu, dia juga membuat
ilutrasi dalam bentuk pesta pernikahan. Terkait dengan ilustrasi ini,
dia menjelaskan lebih jauh bahwa pesta pernikahan memiliki efek
psikologis yang mengikat pasangan yang menikah, dan juga negara.
b. Alf Ross (1899 - 1979)
Ross (ahli hukum Denmark) berpendapat, bahwa hukum
adalah suatu relaitas sosial. Ross berusaha membentuk suatu teori
hukum yang empiris belaka, tetapi yang dapat
mempertanggungjawabkan keharusan normatif sebagai unsur mutlak
dari gejala hukum. Hal ini hanya mungkin, kalau berlakunya normatif
dari peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau
ungkapan simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam
realitas terdapat hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normatif
yang berupa rasionalisasi dari simbol itu, bukan realitas, melainkan
bayangan manusia tentang realitas.
Perkembangan hukum , menurut Ross, melewati empat
tahapan. Pertama, hukum adalah suatu sistem paksaan yang actual.
37 | P a g e
Kedua, hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecendrungan
dan keinginan anggota komunitas. Tahapan ini baru diterapkan apabila
orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu
mulai ditinggalkan. Ketiga, hukum adalah suatu yang berlaku dan
mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota
komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum.
Keempat, supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-
orang yang membentuknya.
c. H.L.A. HART (1907 - 1992)
Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus
dilihat, baik dari aspek eksternal maupun internalnya. Dari segi
eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah dari penguasa,
sebagaimana dikatakan Austin. Di samping itu, ada aspek internal,
yaitu keterikatan terhadap perintah dari penguasa itu secara batiniah.
Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu norma primer
dan skunder. Norma primer adalah norma yang menetukan kelakuan
subjek-subjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus dilakukan
dan apa yang dilarang. Nnorma sekunder ini memsatikan syarat-syarat
mengenai berlakunya norma primer dan dengan demikian
menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebab itu, mereka disebut
petunjuk pengenal (rule of recognation). Disamping itu mereka
memastikan syaratbagi perubahan norma-norma itu (rule of
change) dan bagi dipecahkannya konflik dalam rangka norma-norma
itu (rule of adjudication).
38 | P a g e
Tiga sifat dari norma sekunder seperti disebutkan di atas
merupakan norma dasar. Di sini pendapat Hart agak mirip dengan
Kelsen, dalam membahas tentang Groundnorm. Menurut Hart, norma
dasar ini hanya berhubungan dengan pandangan eksternal terhadap
hukum dan dianggap sekedar suatu kenyataan. Jadi tidak mengikat
secara batiniah sepertiGroundnorm.
Dalam memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa
materi hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip
dari kenyataan hidup tertentu. Sekalipun demikian, sebagaiman
penganut Positivisme Hukum, Hart membedakan secara tegas antara
hukum (dalam arti das Sein) dan moral (das Sollen). Adapun yang
disebut hukum, hanyalah yang menyangkut aspek formal. Artinya,
suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak
layak untuk ditaati karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.
d. Julius Stone
Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan
sosial. Makna drai kenyataan sosial ini dapat ditangkap melalui suatu
penyelidikan logis-analitis, sebagaimanana telah dipraktikkan dalam
mazhab hukum Austin dan kawan-kawan. Stone bermaksud
mengerjakan suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi
tata hukum yang berlaku. Hal ini merupakan kemajuan, sebab secara
tradisional dalam mazhab hukum analitis norma-norma hukum sama
sekali tidak dipelajari.
39 | P a g e
Pandangan Stone tentang hukum tidak berbeda dengan Hart.
Ia juga berpendapat hukum harus dibedakan dari moral. Hukum adalah
semua aturan, yang menagndung aspek moral maupun tidak.
e. John Rawls (lahir 1921)
Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip
etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat
yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat
yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori
Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak
terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.
Uraian tentang keadilan yang berasal dari John Rawls,
dipandang sebagai teori yang komprehansif sampai saat ini. Teori
Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran
Utilitarianisme. Sekalipun demikian, Rawls sendiri sering dimasukkan
dalam kelompok penganut Realisme Hukum.
Rawls berpendapat, perlu ada keseimbangan antara
kepentingan pribadi dengan kepentingan kepentingan bersama.
Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang
disebut dengan keadilan . keadilan merupakan nilai yang tidak dapat
ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stbilitas
hidup manusia.
Hukum, menurut pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh
dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati
dengan orang lain, sebagaimana diajarkan Utilitarisme. Hal ini tidaklah
cukup. Menurut Rawls, hukum justru harus menjadi penuntun agar
40 | P a g e
orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan
kepentingan individunya.
Secara garis besar ada tiga prinsip yang dikemukakan oleh
Rawls, yaitu prinsip: Pertama, kebebasan yang sama besarnya. Kedua,
perbedaan, dan Ketiga, persamaan yang adil atas kesempatan.
IV. PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut
ini:
1. Filsafat hukum memiliki peran penting dalam membantu merenungkan kembali
penerapan sistem hukum serta membantu mengembalikan fungsi hukum ke arah
yang seharusnya.
2. Kemunculan dan perkembangan aliran-aliran dalam filsafat hukum selalu berjalan
seiring dengan dialektika sejarah terutama menyangkut peran hukum dalam proses
kehidupan kenegaraan. Perkembangan politik, dan relasi kekuasaan dengan
masyarakat selalu menjadi latar belakang penting yang membayangi evolusi aliran
filsafat hukum.
3. Aliran Legal Realism muncul sebagai reaksi atas aliran hukum alam dan legal
positivism. Konsepsi yang dibangun oleh aliran ini dipengaruhi sebagian oleh
pandangan-pandangan dari aliran utilaterianism.
4. Aliran legal realism dapat dibagi menjadi 2 bagian; pertama aliran legal realism
Amerika, dan kedua, aliran legal realism Skandinavia.
5. Aliran legal realism Amerika menitik beratkan pandangan bahwa :
A. hukum tidak statis dan selalu bergerak secara terus menerus sesuai dengan
perkembangan jamannya dan dinamika masyarakat dan menempatkan hakim
sebagi titik pusat perhatian dan penyelidikan hukum sehingga hakim harus
menggali hukum dan menemukan hukum.
41 | P a g e
B. Aliran legal realism Amerika memandang bahwa hal penting yang berpengaruh
dalam pembentukan hukum adalah logika, prasangka, dan gejolak yang terjadi
dalam masyarakat.
C. Aliran Legal realism Amerika adalah merupakan hasil pendekatan secara
pragmatis, empiris dan menganggap hukum itu harus bersih dari nilai-nilai
6. Aliran legal realism Scandinavia menitikberatkan pandangan bahwa:
A. Hukum adalah fakta dan hanya bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa
diobservasi. Oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran
hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property
dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika. Hak dan kewajiban hanyalah
merupakan konklusi hukum, bukan sesuatu yang muncul dari kekuatan di luar
manusia. Dia mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya hanyalah
tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan tindakan-
tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right tidak muncul
dari das sollen, melainkan dari das Sein.
B. Validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang
disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum dalam
kenyataan, yang dimaksudkan untuk memprediksikan aktifitas para hakim.
Norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun
merupakan petunjuk kepada hakim. Semakin efektif pemenuhan aturan oleh
masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya,
karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan reaksinya.
Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim
menganggapnya mengikat.
C. Kinerja sistem hukum tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang fiktif,
misalnya negara atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa
hukum diproduksi oleh sekumpulan orang yang berada dalam sebuah
42 | P a g e
organisasi negara yang mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa
yang dimilikinya, dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat
menghadirkan tekanan psikologis terhadap masyarakat.
D. Hukum menjadi faktor utama yang mempangaruhi standard moral, terutama
karena kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkanya.
7. Meskipun sama berada dalam satu aliran, terdapat perbedaan antara realisme Amerika
dan Skandinavia sebagai berikut:
A. Realisme Amerika lebih memfokuskan diri pada kerja praktis untuk mengkaji
proses hukum, berbeda dengan Realisme Skanidnavia yang lebih berfokus kepada
operasi teoritis atas sistem hukum secara keseluruhan.
B. Skandinavia memang merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem, namun
Amerika justru yang paling depan dalam menekankan pentingnya sutdi faktual
dalam rangka mencari solusi atas problem hukum. Skandinavia tampak lebih
mengandalkan pada argumen apriori dalam menemukan solusi atas problem
hukum.
C. Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa, sedangkan
realisme Amerika lebih dipengaruhi oleh karakter empirisme Inggris.
43 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Bismar Siregar, 1989, Rasa Keadilan, PT. Bina Ilmu, Tunjungan S3E, Surabaya.
Muchsan, 1985, Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Leon Duguit, 1919, Law in the Modern State, Limited Amsterdam University
Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, Gama Media Offset, Yogyakarta, 2002
Friedmann, W., alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas
Teori-Teori Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, !990)
Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali,
Jakarta, 1985
Leod, Ian Mc, Legal Theory, Macmillan Press Ltd, 1999