filsafat hukum islam muhammad rasyid ridha · pdf filefilsafat hukum islam adalah salah satu...

27
1 FILSAFAT HUKUM ISLAM MUHAMMAD RASYID RIDHA I. PENDAHULUAN Filsafat Hukum Islam adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang penting untuk dipelajari. Filsafat hukum akan memulai tugasnya jika ilmu pengetahuan hukum berakhir, artinya dia tidak mampu lagi menjawab berbagai masalah. Dan yang menjadi objek pemikiran filsafat ini adalah semua masalah hukum. Keterkaitan pembahasan ilmu ini dengan pembahasan ilmu-ilmu lain yang searah seperti ilmu ushul fiqh, filsafat, hukum dan sebagainya, memang sangat jelas dan sangat diperlukan, dalam rangka saling melengkapi dan bahkan dalam keadaan tertentu sulit dibedakan mana filsafatnya dan mana pula ushul fiqhnya. Dengan mempelajari hukum Islam dari segi falsafahnya, akan diketemukan rahasia-rahasia hukum Allah (Asrar ahkam al-syar’i) yang akan dapat memperkokoh keyakinan dan keimanan seseorang. Dalam berbagai tulisan tentang filsafat Hukum Islam banyak sekali ulama ushul (usuliyun) telah merangkum beberapa filosofi ketetapan hukum dalam Islam seperti al-Ghazali dalam al-Mustasfa membahas tentang Kuliyatul Khams (pokok-pokok ajaran yang lima), al-Syatibi dalam al-Muwafaqat mengkaji masalah maqasid al-syariah (tujuan Hukum Islam), Ibn Hazm di dalam al-Ihkam membahas tentang logika Hukum Islam tentang teori al-dalil dan sebagainya.

Upload: dinhbao

Post on 31-Jan-2018

243 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

FILSAFAT HUKUM ISLAM

MUHAMMAD RASYID RIDHA

I. PENDAHULUAN

Filsafat Hukum Islam adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang

penting untuk dipelajari. Filsafat hukum akan memulai tugasnya jika ilmu

pengetahuan hukum berakhir, artinya dia tidak mampu lagi menjawab berbagai

masalah. Dan yang menjadi objek pemikiran filsafat ini adalah semua masalah

hukum. Keterkaitan pembahasan ilmu ini dengan pembahasan ilmu-ilmu lain yang

searah seperti ilmu ushul fiqh, filsafat, hukum dan sebagainya, memang sangat

jelas dan sangat diperlukan, dalam rangka saling melengkapi dan bahkan dalam

keadaan tertentu sulit dibedakan mana filsafatnya dan mana pula ushul fiqhnya.

Dengan mempelajari hukum Islam dari segi falsafahnya, akan diketemukan

rahasia-rahasia hukum Allah (Asrar ahkam al-syar’i) yang akan dapat

memperkokoh keyakinan dan keimanan seseorang. Dalam berbagai tulisan

tentang filsafat Hukum Islam banyak sekali ulama ushul (usuliyun) telah

merangkum beberapa filosofi ketetapan hukum dalam Islam seperti al-Ghazali

dalam al-Mustasfa membahas tentang Kuliyatul Khams (pokok-pokok ajaran yang

lima), al-Syatibi dalam al-Muwafaqat mengkaji masalah maqasid al-syariah

(tujuan Hukum Islam), Ibn Hazm di dalam al-Ihkam membahas tentang logika

Hukum Islam tentang teori al-dalil dan sebagainya.

2

Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah: 269;

ومن يؤت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا

Dan sesungguhnya siapa yang diberikan kepadanya hikmah, maka sungguh

telah dianugerahkan kepadanya kebajikan yang banyak. 1

II. PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Muhammad Rasyid Rida

Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan

Tarablus Syam pada tahun 1282-1354 H/1865-1935 M. Dia adalah Muhammad

Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Muhamad Bahauddin Ibn

Manla Ali Khalifah. Keluarganya dari keturunan terhormat berhijrah dari Bagdad

dan menetap di Qalmun. Kelahirannya tepat pada 27 Jumadil Tsani tahun

1282 H/18 Oktober tahun 1865 M.2

Ayah dan ibu Ridha berasal dari keturunan Al-husayn, Putera Ali Bin Abi

At-thalib dengan Fatimah, puteri Rasulullah saw. Itulah sebabnya, Ridha

menyandang gelar Al-sayyid di depan namanya dan sering menyebut tokoh-tokoh

Ahl-Al-bayt, seperti Ali ibn Abi Thalib, Al-Husayn, dan Ja’far Al-Shadiq dengan

jadduna (nenek moyang kami).

1 Asmawi, Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. VI-VII

2 Muhammad Imarah, Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami diterjemahkan oleh Muhammad

Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari Format Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 1

3

Setelah mendapat asuhan yang religius dari keluarganya dan mencapai usia

tujuh tahun, Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke sebuah lembaga pendidikan

dasar tradisional yang disebut kuttab yang ada di desanya. Di lembaga itulah,

Ridha mulai belajar membaca, menghapal Al-Qur’an, menulis, dan matematika.

Setelah menamatkan pelajarannya di kuttab, Ridha tidak langsung

melanjutkan pelajarannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi, tetapi hanya

melanjutkannya dengan belajar pada orang tuanya dan para ulama setempat. Baru

beberapa tahun kemudian setelah itu, Ridha meneruskan pelajarannya di madrasah

Ibtidaiyah Al-Rusydiah di Tripoli. Di madrasah itu diajarkan ilmu nahwu, ilmu

sharaf, ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu bumi, dan matematika. Namun, bahasa

pengantar yang dipakai di madrasah tersebut bukanlah bahasa arab, melainkan

bahasa Turki.3

Dalam pembentukan intelektual dan keilmuan, ia lebih cenderung pada

materi-materi klasik. Kemudian corak pemikirannya berubah setelah membaca

buku Hujjat Al-Islam Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H/1111-1058 M), Ihya

Ulumuddin. Buku itulah yang membuat ia mengenal zuhud, tasawuf, serta

ubudiyah. Kemudian ia bergabung dalam suluk “Tarekat Naqsyabandiyah.” .4

Di umurnya yang kedua puluh delapan (1310 H/1892 M) terjadilah

perubahan besar dalam orientasi pemikirannya. Hal tersebut terjadi setelah ia

membaca beberapa lembaran majalah Al-urwah Al-wutsqa koleksi ayahnya yang

diterbitkan di Paris (1301 H/1884 M) oleh Jamaluddin Al-afghani

(1254-1314 H/1838-1897 M) dan Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905

3 A. Athaillah, Rasyid Ridha, konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-manar, (TK,

Penerbit Erlangga, 2006), h. 26-27 4 Muhammad Imarah, Op Cit, h. 1-2

4

M). kemudian ia mulai mencari dan menyempurnakan lembaran-lembaran

tersebut untuk menjadi sebuah eksemplar ke delapan belas yang sempurna.

Lembaran-lembaran tersebut ia temukan di perpustakaan gurunya Husin al-Jisr

(1261-1327 H/1845-1909 M) yang kemudian ia salin kembali dan ia tekuni dalam

mempelajarinya baik dari segi metode, pemikiran maupun tujuan-tujuannya.5

Majalah Al-Urwah al-Wutsqa lah yang membuatnya berubah dari sifat zuhud

(Tarekat Naqsyabandiyah) di dunia menuju sifat keislaman yang moderat. 6

Sepeninggalnya Al-Afghani (1314 H/1897 M), Rasyid Ridha berkeinginan

untuk hijrah ke Mesir. Di sana ia menemui Muhammad Abduh sebagai pengganti

Al-Afghani. Ia menemukan bahwa iklim kebebasan yang ada di Mesir sangat

penting dalam mewujudkan ambisinya yang baru. Sebagaimana yang ia katakan,

“aku yakin seandainya aku tetap di Syria maka obsesiku ini akan pudar.

Kesiapanku ini tidak bisa aku realisasikan kecuali di Mesir, karena di sana

terdapat iklim kebebasan yang tidak didapatkan di wilayah-wilayah kekuasaan

Daulah Utsmaniyah.”7

Di Mesir, beliau menerbitkan majalah Al-Manar. Ia menjadi juru bicara

dalam aliran pemikiran yang diusungnya. Al-Manar dijadikan sarana dalam

menyampaikan metode-metode pembaruan ke seluruh penjuru Negara muslim.

Rasyid Ridha berkeinginan untuk menjadikan Al-Manar sebagai “kawat listrik”

yang menyengat dan menggugah umat Islam, sebagaimana yang ia lakukan

dengan penerbitan majalah Al-Urwah al-Wutsqa.8

5 Ibid, h. 2-3

6 Ibid, h. 3

7 Ibid, h. 5

8 Ibid, h. 6

5

Rasyid Ridha mendirikan sekolah yang bernama Ad-Da’wah wa Al-Irsyad

untuk membekali para dai dengan berbagai keahlian. Murid-murid tamatan

sekolah tersebut seperti Sayyid Amin Al-Husaini yang menjadi mufti Palestina,

Syaikh Muhammad Abd az-Zhahir Abu As-Samh yang menjadi imam Masjid Al-

Haram dan yang mendirikan Dar Al-Hadits dan lain-lainnya.9

Di antara karangan-karangan Rasyid Ridha adalah Tafsir Al-Manar,

Syubuhat An-Nashara dan Hujaj Al-Islam, Al-Wahyu Al-Muhammadi, Nida li Al-

Jinsi Al-Lathif dan Yusru Al-Islam wa Ushulu At-Tasyri’ Al-Am. Ketika Rasyid

Ridha meninggal dunia dia belum sempat menyelesaikan Tafsir Al-Manar. Dia

baru sampai menafsirkan firman Allah dalam surat Yusuf ayat 101 yang artinya,

“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugrahkan kepadaku

sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian tabir mimpi.

(ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di

akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan

orang-orang yang shaleh.” Tafsirnya tersebut kemudian diteruskan oleh Imam

Hasan Al-Banna.

Rasyid Ridha meninggal dunia pada tahun 1935 karena mengalami

kecelakaan mobil. Kecelakaan tersebut terjadi ketika dia sedang dalam perjalanan

pulang dari kota Suez menuju kota Kairo.10

9 Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah diterjemahkan

oleh Khoirul Amru Harahap, LC, MHI dan Achmad Fauzan, LC, M. Ag, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 303

10 Ibid, h. 304

6

B. Metode-Metode Filsafat Hukum Islam Muhammad Rasyid Ridha

Dalam merumuskan hukum Islam, Rasyid Ridha menggunakan metode-

metode dengan perjenjangan dari atas ke bawah. Kalau tidak ditemukan dalil dari

Al-Qur’an maka dicari dalam hadis, kalau tidak ada dalam hadis beliau

menggunakan akal begitu seterusnya. Hal tersebut serupa dengan pendapat Hans

Kelsen dalam teorinya yang terkenal dengan nama stufen theorie yang

mengatakan bahwa dasar berlakunya dan legalitet suatu peraturan terletak pada

suatu peraturan yang lebih tinggi. Seperti misalnya dasar berlakunya suatu

peraturan pemerintah adalah undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi

(undang-undang dalam arti kata formal) dan dasar berlakunya undang-undang

tersebut adalah undang-undang dasar.11

Adapun penjenjangan Rasyid Ridha

adalah sebagai berikut:

a) Al-Qur’an

Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum

Islam. Yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah Al-Qur’an harus menjadi

sumber dan rujukan bagi semua mazhab dan pemikiran keagamaan, bukannya Al-

Qur’an yang melegatimasi mazhab dan pemikiran tersebut.

Apa yang telah dinyatakan oleh Abduh tersebut telah pula menjadi

pegangan Ridha dalam mengemukakan pemikirannya tentang masalah-masalah

akidah dan hukum.12

Selanjutnya Ridha juga menjelaskan bahwa untuk masalah-

masalah yang murni agama, seperti akidah dan ibadah harus diambil dari nash-

11

Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 58-59 12

A. Athaillah, Op Cit, h. 44

7

nash Al-Qur’an, penjelasan dan sunnah Rasulullah saw, dan keterangan dari para

sahabat. Jika keterangan itu mereka sepakati, tidak ada alasan bagi seseorang

untuk menentang dan meninggalkannya. Namun jika keterangan tersebut masih

mereka perselisihkan, argumen-argumennya perlu terlebih dahulu diteliti dan

ditarjih mana di antaranya yang terkuat. Karena itu kata Ridha dalam hal apapun,

tidak dibenarkan orang membuat ibadah baru atau melakukan ibadah yang

diperoleh melalui riwayat, yang tidak dipraktikkan oleh Rasulullah dan mayoritas

sahabat. Demikian pula, tidak dapat dibenarkan kalau ibadah itu hanya didasarkan

pada kias atau ijmak orang-orang sesudah mereka, kemaslahatan dan illat-illat

atau teori-teori hukum.13

Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Al-Qur’an menurut

Ridha adalah sumber utama akidah dan hukum Islam, sedangkan sunnah Rasul

adalah sumber penjelasan terhadap apa yang telah dikemukakan di dalam kitab

suci itu.14

Kalau kelihatannya antara penjelasan di dalam sunnah Rasul

bertentangan atau berbeda dengan pernyataan di dalam Al-Qur’an, Ridha akan

mengutamakan pernyataan di dalam Al-Qur’an daripada penjelasan yang terdapat

pada sunnah Rasul itu. Misalnya, surah Al-an’am menyebutkan empat jenis

makanan yang haram dikonsumsi oleh kaum muslimin

“Katakanlah (Hai Muhammad), “aku tidak mendapatkan di dalam apa yang

telah diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan atas orang yang

memakannya, kecuali bangkai, darah mengalir, atau daging babi, karena

13

Ibid h. 45 14

Ibid, h. 46-47

8

sesungguhnya semuanya itu kotor, atau binatang yang disembelih atas

nama selain Allah…(Al-An’am : 146)

Di samping itu telah disebutkan di dalam Al-Qur’an tersebut, di dalam

beberapa hadis telah pula dijelaskan beberapa jenis binatang lain, yang haram

dimakan kaum muslim. Hadis-hadis itu antara lain seperti yang diriwayatkan oleh

Ibn Umar RA :

“Nabi saw telah melarang (kaum muslim) memakan daging himar piaraan

pada hari perang khaybar “

Hadis yang lain adalah riwayat oleh Abu Tsa’labah :

“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang (kaum muslim) memakan

setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar “

Menurut Rasyid Ridha, setiap hadis sahih yang melarang kaum muslim

mengonsumsi makanan yang tidak termasuk ke dalam empat jenis makanan yang

telah diharamkan di dalam Al-Qur’an secara definitif, tidak berarti telah

menunjukkan bahwa makanan itu haram dimakan, tetapi hanya menunjukkan

bahwa makanan tersebut makruh dimakan, atau jika dianggap haram juga,

haramnya itu adalah haram yang bersifat temporer, lantaran adanya illah aridhah,

(sebab yang bersifat sementara), seperti dilarangnya orang memakan himar

piaraan. Kalaupun di dalam hadis-hadis tersebut terdapat lafal yang menunjuk

9

kepada tahrim (mengharamkan), hadis-hadis itu sendiri diriwayatkan dengan

makna, bukan dengan lafal dan redaksi dari Rasulullah saw. sendiri.15

b) Hadis

Ridha bersikap selektif dalam memakai hadits-hadits. Tidak semua hadits

yang telah diperolehnya, dipakainya untuk menafsirkan Al-Qur’an dan

menerangkan ajaran-ajaran Islam. Riwayat-riwayat yang berasal dari Rasulullah

dan sahih, tidak dapat dikalahkan oleh riwayat-riwayat lain. Peringkat berikutnya

adalah dari para ulama sahabat yang berkenaan dengan pengertian-pengertian

bahasa atau amaliah yang ada pada masa mereka. Namun, riwayat-riwayat yang

sahih dari mereka itu sedikit sekali jumlahnya. Kebanyakan tafsir bi al-ma’tsur

(tafsir dengan riwayat) bersumber dari para periwayat yang memperolehnya dari

kalangan zindik Yahudi dan Persia atau ahli kitab yang telah memeluk Islam. Hal

itu terlihat jelas pada cerita-cerita para Rasul bersama kaum mereka, kitab-kitab

suci dan mukjizat-mukjizat mereka. 16

Meskipun menurut kaidah yang dipegangi

Ahli Sunnah, semua sahabat adalah adil, kaidah tersebut bukanlah kaidah umum,

melainkan kaidah pada aghlabiyyah (pada umumnya) saja. Sebab, pada masa

Rasulullah saw sendiri terdapat orang-orang munafik. Selain itu realitas juga

menunjukkan bahwa kebanyakan hadis diriwayatkan dengan makna.17

Karena itu

Rasyid Ridha apa saja yang tidak dapat diketahui, kecuali dengan riwayat dari

Rasulullah saw, seperti yang berkenaan dengan informasi tentang hal-hal yang

ghaib, baik yang telah terjadi pada masa lalu maupun yang akan terjadi pada masa

15

Ibid, h. 47-49 16

Ibid, h. 53 17

Ibid, h. 54

10

yang akan datang, tidak dapat diterima, kecuali jika riwayat tersebut benar-benar

berupa hadis sahih yang marfu’ (sampai) kepada beliau.

Meskipun menurut Rasyid Ridha, hadis-hadis yang dapat diterima harus

hadis-hadis sahih, ternyata tidak semua hadis sahih yang telah disepakati oleh

mayoritas pakar hadis dapat diterimanya dan menjadi rujukan baginya meski

hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.18

Misalnya pada hadis berikut ini :

“Rasulullah saw memegang tanganku, kemudian bersabda, “Allah yang

Mahamulia lagi Mahaagung telah menciptakan tanah pada hari Sabtu,

menciptakan gunung pada hari Ahad, menciptakan pohon pada hari Senin,

menciptakan yang tidak disukai pada hari Selasa, menciptakan cahaya

pada hari Rabu, menciptakan binatang-binatang melata pada hari Kamis,

menciptakan Adam pada hari Jum’at….(H. R. Muslim)

Muslim dan yang lainnya meriwayatkan hadis tersebut dari Hajjaj dari

Muhammad al-A’war al-Mashish dari Ibnu Jurayj, sedangkan orang itu telah

pikun pada akhir usianya. Sebagaimana yang telah diterangkan dalam Tahdzib al-

Tahdzib dan kitab-kitab lainnya bahwa ia sudah terbukti telah meriwayatkan hadis

tersebut setelah berubah pikirannya. Ibn katsir ketika menafsirkan surah al-A’raf

ayat 54 mengatakan bahwa di dalam hadis disebutkan tujuh hari penuh untuk

penciptaan, sedangkan Allah menyatakan selama enam hari.19

18

Ibid, h. 54-55 19

Ibid, h. 56-57

11

c) Akal

Dia antara anugrah Allah yang tak ternilai harganya kepada manusia adalah

akal. Sebab dengan adanya akal itu, manusia tidak hanya berbeda dengan makhluk

lainnya, tetapi juga dapat mengunggulinya dalam berbagai hal. Dengan adanya

akal itu pula, manusia dapat melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

sangat berguna bagi keselamatan dan kesejahteraan hidupnya, baik sebagai

pribadi maupun sebagai komunitas dan umat.

Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat yang menyuruh kaum muslim

agar memfungsikan akal mereka. Misalnya dalam surah Al-Baqarah ayat 73 yang

berbunyi :

“Seperti itulah Allah menghidupkan orang yang sudah mati dan

memperlihatkan tanda-tanda kekuasaannya kepadamu, agar kamu

menggunakan akal (mengerti dan memahami).20

Sesuai dengan fungsi akal di atas, maka yang menjadi persoalan di sini

adalah bagaimanakah solusi yang harus diambil jika terdapat pertentangan antara

hasil pertimbangan akal dengan arti lahir nas, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah

Rasul yang menjelaskan ajaran-ajaran Islam tersebut. 21

Menurut Ridha yang mengutip perkataan Ibnu Taymiyah bahwa dalil naqal

dan dalil akal itu ada kalanya keduanya qath’i, dan ada kalanya pula keduanya

zhanni. Kalau kedua dalil itu qath’i, tidak mungkin terjadi pertentangan sampai

kita dapat menarjihkan mana di antara kedua dalil itu yang lebih kuat. Namun jika

20

Ibid, h. 60 21

Ibid, h. 62

12

salah satunya yang zhanni bertentangan dengan yang lainnya yang qath’i, kita

wajib menarjihkan yang qath’i secara mutlak. Akan tetapi jika kedua dalil itu

zhanni dan saling bertentangan, kita wajib menguatkan dalil naqal zhanni sebab

apa yang dapat kita ketahui dari Allah dan Rasul-Nya secara zhanni lebih utama

daripada mengikuti apa yang dapat kita ketahui melalui teori ilmiah yang

diperoleh secara zhanni, mengingat teori-teori tersebut sering keliru. Misalnya

dalam masalah akidah, pernyataan tentang ayat penciptaan Adam harus

didahulukan dari toeri-teori yang berlawanan dengan pernyataan ayat itu.22

Adapun pada bidang muamalah menurut pendapat Rasyid Ridha hukum-

hukum yang berkenaan dengannya kebanyakan diambil dari kaidah-kaidah,

pokok-pokok dan cabang-cabangnya yang terdapat di dalam Al-Qur’an, baik

melalui nash maupun melalui pengertian yang terkandung di dalamnya, atau

diambil melalui cara berikut:

a) Kias, seperti yang diterapkan oleh kalangan Hanafiyyah dan Syafiiyyah

b) Mashalih al-mursalah, seperti yang diterapkan oleh kalangan Malikiyyah

dan Hanabilah.23

Menurut Rasyid Ridha, hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an

dan sunnah tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, hukum

yang khusus berkenaan dengan perbuatan dan kejadian. Kedua, hukum yang

berkenaan dengan akidah-akidah atau peraturan-peraturan umum.

22

Ibid, h. 67 23

Ibid, h. 46

13

Hukum-hukum yang khusus itu sendiri ada yang qath’i al-riwayah dan

al-dilalah (pengertian)-nya, ada pula yang tidak qath’i. Pada hukum-hukum yang

qath’i tidak ada yang dapat dijadikan objek ijtihad dan diubah hukumnya, kecuali

karena ada halangan syar’i, seperti tidak terpenuhinya semua syarat bagi

terlaksananya hukum tersebut atau karena darurat. Misalnya, khalifah Umar

pernah menginstruksikan agar orang yang mencuri pada musim paceklik tidak

perlu dijatuhi sangsi (hukuman) had potong tangan. Sebaliknya, hukum-hukum

yang tidak qath’i baru dapat dilaksanakan apabila sudah dirumuskan melalui

ijtihad. Orang-orang yeng berwenang untuk itu adalah orang yang terlibat dalam

pelaksanaan hukum, seperti amir (gubernur), hakim, dan panglima perang.

Menurut Rasyid Ridha, yang berkenaan dengan kaidah-kaidah umum adalah

peraturan-peraturan umum yang wajib diperhatikan dalam menetapkan berbagai

hukum melalui ijtihad. Kaidah-kaidah tersebut, yaitu:

a) Kebenaran

b) Keadilan mutlak yang umum

c) Persamaan (dalam hak, kesaksian, dan hukum)

d) Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang

menjadi sumber kerusakan

e) Terjaganya urf (tradisi yang positif) dengan persyaratannya

f) Perlunya dihindari pelaksanaan had apabila terdapat syubhat (keraguan

dan kesangsian)

g) Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang

dan penilaian terhadap darurat tersebut harus sesuai dengan kriterianya

14

h) Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan

dan menjauhi keburukan.

Berbeda dengan Rasyid Ridha yang menggunakan kaidah-kaidah di atas,

menurut Radbruch hukum terbatas memenuhi pada tiga macam yaitu keadilan,

kegunaan, dan kepastian hukum.24

Sedangkan menurut Bellefroid isi hukum harus

ditentukan menurut dua asas yaitu keadilan dan faedah. 25

C. Filsafat Hukum Islam Muhammad Rasyid Ridha

Dalam bidang fiqih, Ridha sering mengutip pendapat-pendapat dan

pemikiran-pemikiran teruatama ulama-ulama Salafiyah, seperti Ibn Taymiyah, Ibn

al-Qayyim al-Jawziah, Ibn al-Katsir dan Muhammad ibn Abdulwahhab,26

namun

tidak berarti ia bertaklid kepada mereka. Sikapnya terhadap pemikiran-pemikiran

mereka itu menurut Ridha tidak keluar dari apa yang dikatakan oleh Imam Malik

bahwa setiap orang boleh diterima, diikuti, atau ditolak ucapannya, kecuali ucapan

Nabi Muhammad saw.27

Dan dengan sikap kritisnya Ridha juga sering berbeda

pendapat dengan mereka.

Perbedaan-perbedaan tersebut, antara lain terlihat pada pendapat-pendapat

Ridha tentang masalah-masalah berikut:

a) Tayamum

Dalam masalah tayamum, misalnya Ridha berpendapat bahwa orang yang

sedang musafir boleh bertayamum meski padanya ada air dan tidak ada halangan

yang menyebabkannya untuk memakai air.

24

Chainur Arrasjid, Op Cit, h. 15 25

Ibid, h. 42 26

A. Athaillah, Op Cit, h. 76 27

Ibid, h. 77

15

Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:

Terpeliharanya kemaslahatan

Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang

b) Ayat wasiat

Dalam masalah ayat wasiat, ia berpendapat ayat tersebut adalah ayat

muhkam dan tidak di mansukh oleh ayat mawarits (yang berkenaan dengan waris

mewaris).

Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:

Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi

sumber kerusakan.

Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang

Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan

menjauhi keburukan

c) Mukjizat

Dalam masalah mukjizat, ia berpendapat bahwa mukjizat yang indrawi

bukanlah mukjizat Rasulullah saw.

Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:

Kebenaran

Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi

sumber kerusakan.

16

d) Peringatan maulid Rasulullah saw.

Dalam masalah memperingati maulid Rasulullah saw, Ridha berpendapat

sangat baik dilaksanakan karena banyak mamfaat yang dapat diambil dari

peringatan tersebut. Bahkan, ia juga telah menulis sebuah risalah yang berjudul

Dzikra al-Mawlid al-Nabawi untuk dibaca dalam peringatan-peringatan tersebut.

Di dalam risalah tersebut diterangkan sejarah hidup Rasulullah saw, hadis-hadis,

dan keutamaan-keutamaan beliau. Semuanya itu dibaca agar dapat dijadikan

ikhtibar dan pelajaran bagi orang-orang yang membaca dan mendengarkannya.

Sebaliknya, Muhammad Ibn Abdulwahhab berpendapat bahwa melaksanakan

peringatan maulid Rasulullah saw dan menganggap hari kelahiran beliau adalah

hari istimewa termasuk perbuatan bid’ah dalam Islam, yang wajib dijauhi. Sebab,

jika hal itu baik, tentu para sahabat juga telah melaksanakannya, mengingat

kecintaan mereka kepada Rasulullah saw melebihi kecintaan kita kepada beliau.28

Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:

Terjaganya urf (tradisi yang positif) dengan persyaratannya

Terpeliharanya kemaslahatan

Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan

menjauhi keburukan.

28

Ibid, h. 77-78

17

Adapun pendapat-pendapat Rasyid Ridha yang lainnya yaitu:

a) Poligami

Rasyid Rida menyatakan bahwa diperbolehkannya poligami hanyalah

dalam keadaan darurat atau membutuhkan yang akan disesuaikan dengan konteks

tertentu. Oleh karena itu, poligami bukanlah merupakan kewajiban ataupun

kesunahan, akan tetapi sekedar rukhsah atau keringanan yang dapat diberlakukan

dengan syarat-syarat tertentu. 29

Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:

Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi

sumber kerusakan.

Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang.

b) Syura

Menurut Ridha, sistem kenegaraan yang benar adalah sistem yang

menjadikan syura sebagai prinsip dasar dalam menentukan kebijaksanaan dan

mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan umat secara luas. Apabila

prinsip syura dijalankan dengan baik dan benar, pemerintahan akan berfungsi

dengan baik serta dapat terhindar dari ekses-ekses yang tidak diinginkan, seperti

perselisihan, perpecahan dan sebagainya.30

29

http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--

ahsyiblien-1559

30http://kontekstualita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=72:konse

psi-muhammad-rasyid-ridha-tentang-syura-sebagai-azas-pemerintahan-

islam&catid=36:kontekstualita-volume-22-nomor-2-desember-2007&Itemid=54

18

Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:

Kebenaran

Keadilan mutlak yang umum

Persamaan (dalam hak, kesaksian, dan hukum)

Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi

sumber kerusakan.

Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan

menjauhi keburukan.

c) Ahlul Halli Wal Aqdi

Menurut Ridha, Ahl Halli wa al-Aqd tidak hanya terdiri dari ulama atau

(ahli agama) yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja - sebagimana pandangan

para ulama zaman klasik dan pertengahan - tetapi juga dari pemuka-pemuka

masyarakat dari berbagai bidang profesi dan keahlian, seperti ekonom, pengusaha,

politisi, militer, dan sebagainya.31

Ahl al-Halli wa al-Aqd adalah suatu lembaga yang mewakili rakyat dalam

melaksanakan haknya untuk memilih kepala negara (Ridha, t.t: 15). Jadi Ahl al-

Halli wa al-Aqd adalah wakil-wakil rakyat dalam melaksanakan hak pilih. Dengan

demikian, pilihan Ahl al-Halli wa al-Aqd adalah pilihan rakyat itu sendiri.32

31

Ibid 32

Ibid

19

Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:

Kebenaran

Keadilan mutlak yang umum

Persamaan (dalam hak, kesaksian, dan hukum)

Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi

sumber kerusakan.

Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan

menjauhi keburukan.

d) Bunga Bank

Menurut Muhammad Rasyid Ridha tidaklah termasuk ke dalam pengertian

riba bila seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk

diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu baginya dari hasil usaha tersebut.

Hal ini disebabkan karena transaksi seperti itu menguntungkan kedua belah

pihak.33

Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:

Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi

sumber kerusakan.

Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang.

33

http://media-silaturahim.blogspot.com/2009/10/hukum-bunga-bank.html

20

Selain itu, contoh pendapat lain Rasyid Ridha adalah:

a) Menurut Rasyid Ridha sebagaimana juga pendapat Jamaluddin al-Afghani

bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam

yang sebenarnya. Pemahaman umat Islam terhadap ajaran-ajaran salah dan

perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang

sebenarnya. Ke dalam Islam telah masuk segala khurafat dan takhayul serta

bid’ah-bid’ah. Karena itu menurut analisis Rasyid Ridha ajaran Islam yang

murni akan membawa kemajuan umat Islam, itulah sebabnya segala macam

khurafat, takhayyul, bid’ah, ajaran-ajaran yang menyeleweng dari ajaran Islam

harus dikikis dan disingkirkan.34

Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:

Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi

sumber kerusakan

Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan

menjauhi keburukan.

b) Hukum–hukum fikih mengenai hidup kemasyarakatan, sungguhpun itu

didasarkan atas Al-Qur’an dan Hadis tidak boleh dianggap absolut dan tidak

dapat dirubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan

zaman ia timbul.35

34

Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III: Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h. 84

35 A. Athaillah, Op Cit

21

Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:

Terjaganya urf (tradisi yang positif) dengan persyaratannya

Terpeliharanya kemaslahatan

Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan

menjauhi keburukan.

c) Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk

kekhalifahan yang tidak absolut, khalifah hanya bersifat koordinator, tidaklah

mungkin menyatukan umat Islam ke dalam satu sistem pemerintahan yang

tunggal, karena khalifah hanya menciptakan Hukum Perundang-undangan dan

menjaga pelaksanaannya. Di samping itu khalifah adalah seorang mujtahid

sehingga ia dapat menerapkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan dengan

bantuan para ulama mendorong umat maju sesuai dengan tuntutan zaman.36

Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:

Keadilan mutlak yang umum

Persamaan (dalam hak, kesaksian, dan hukum)

Terpeliharanya kemaslahatan

Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan

menjauhi keburukan.

36

Yusran Asmuni, Op cit, h. 86

22

D. Pendapat Rasyid Ridha mengenai Kekuasaan, Kehendak, dan Keadilan

Tuhan.

Rasyîd Ridhâ berpendapat, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak berlaku

mutlak semutlak-mutlaknya sebagaimana pendapat Asy’ariyyah. Sebab kekuasaan

dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi Sunatullah, qada dan qadar, serta hukum

kausalitas yang telah ditetapkan Tuhan. Qadar tidak bermakna bahwa sesuatu

terjadi tanpa sebab atau perbuatan Allah dalam menciptakan sesuatu menyalahi

peraturan dan sunnah. Lebih jauh dikatakan Ridhâ, dalam melaksanakan

kehendak, Tuhan tidak menjalankan semena-mena tetapi dengan sunnatullah yang

telah berlaku pada makhluk dan alam. Hal di atas berbeda pula dengan pemikiran

Mu’tazilah yang menyatakan, tuhan hanya menghendaki hamba-hamba mendapat

petunjuk, beriman, dan menjadi orang-orang yang baik dan tidak pernah

menghendaki mereka tersesat, kufur, dan menjadi orang jahat.

Menafsirkan ayat yang menjadi pegangan alasan bagi aliran Asy’ariyyah, Rasyîd

Ridhâ tidak secara harfiah. Misalnya dalam menafsirkan Surat Yunus [10] ayat

99.

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang

di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia

supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?

Rasyîd Ridhâ menafsirkan ayat tersebut, bahwa ayat tersebut

menjelaskan kepada kaum muslimin bahwa tidak ada seorang pun yang dapat

beriman dengan hanya bermodalkan pada kebebasannya dalam berbuat dan

berkehendak yang telah dianugrahkan Allah kepadanya kecuali dengan izin Allah.

23

Yang dimaksud dengan izin Allah di sini adalah, yang sesuai dengan kehendak

dan sunnah-Nya dalam kemampuan menarjih salah satu dari dua hal yang

kontrakdiktif. Hal itu karena ia hanya dapat memilih hal-hal yang masih dalam

wilayah hubungan sebab akibat, tetapi tidak dapat lagi bebas dalam memilihnya

secara mumpuni, karena ia selalu terikat dan dibatasi oleh sunatullah dan takdir-

Nya. Kebebasan yang dinafikan dari seseorang itu adalah kemampuan keluar dari

aturan-aturan umum tersebut, bukan kemampuan yang khusus yang sesuai dengan

dirinya.37

III. PENUTUP

Dari makalah di atas Penulis mengambil kesimpulan bahwa :

1. Metode Filsafat Hukum Islam Rasyid Ridha dalam bidang ibadah yaitu :

a. Al-Qur’an, karena Al-Qur’an merupakan Sumber Utama Akidah dan

Hukum Islam

b. Hadis, namun beliau selektif terhadap hadis dan penolakan mutlak atas

riwayat yang bersifat Israilliyat

c. Akal

2. Adapun pada bidang muamalah menurut pendapat Rasyid Ridha hukum-

hukum yang berkenaan dengannya kebanyakan diambil dari kaidah-kaidah,

pokok-pokok dan cabang-cabangnya yang terdapat di dalam Al-Qur’an, baik

37 http://sarmidihusna.blogspot.com/2008/12/m-rasyid-ridha.html

24

melalui nash maupun melalui pengertian yang terkandung di dalamnya, atau

diambil melalui cara berikut:

Kias, seperti yang diterapkan oleh kalangan Hanafiyyah dan Syafiiyyah

Mashalih al-mursalah, seperti yang diterapkan oleh kalangan Malikiyyah

dan Hanabilah.

3. Menurut Rasyid Ridha, yang berkenaan dengan kaidah-kaidah umum adalah

peraturan-peraturan umum yang wajib diperhatikan dalam menetapkan

berbagai hukum melalui ijtihad. Kaidah-kaidah tersebut, yaitu:

a. Kebenaran

b. Keadilan mutlak yang umum

c. Persamaan (dalam hak, kesaksian, dan hukum)

d. Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi

sumber kerusakan

e. Terjaganya urf (tradisi yang positif) dengan persyaratannya

f. Perlunya dihindari pelaksanaan had apabila terdapat syubhat (keraguan

dan kesangsian)

g. Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang

dan penilaian terhadap darurat tersebut harus sesuai dengan kriterianya

h. Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan

dan menjauhi keburukan.

25

4. Rasyîd Ridhâ berpendapat, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak berlaku

mutlak semutlak-mutlaknya sebagaimana pendapat Asy’ariyyah. Sebab

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi Sunatullah, qada dan qadar,

serta hukum kausalitas yang telah ditetapkan Tuhan.

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Makalah ini telah penulis persentasikan pada mata kuliah Filsafat Hukum Islam.

Penulis adalah Calon Hakim Pengadilan Agama Palangka Raya dan mahasiswa

S2 IAIN Antasari Banjarmasin. Penulis pernah aktif menjadi wartawan di Buletin

“Pahabaran Papadaan” KMKM (Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir) di Cairo

selama 2 tahun.

26

DAFTAR PUSTAKA

Asmawi. 2009. Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: Teras

Asmuni, M. Yusran. 1998. Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran dan

Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: RajaGrafindo

Persada

Arrasjid, Chainur. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Athaillah, A. 2006. Rasyid Ridha, konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-

manar. TK: Penerbit Erlangga

http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--

ahsyiblien-1559

http://kontekstualita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=72:k

onsepsi-muhammad-rasyid-ridha-tentang-syura-sebagai-azas-pemerintahan-

islam&catid=36:kontekstualita-volume-22-nomor-2-desember-2007&Itemid=54

http://media-silaturahim.blogspot.com/2009/10/hukum-bunga-bank.html

http://sarmidihusna.blogspot.com/2008/12/m-rasyid-ridha.html

Imarah, Muhammad. 2005. Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami diterjemahkan oleh

Muhammad Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul

Mencari Format Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada

27

Said Mursi, Muhammad. 2005. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah

diterjemahkan oleh Khoirul Amru Harahap, LC, MHI dan Achmad Fauzan,

LC, M. Ag. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.