filsafat hukum islam muhammad rasyid ridha · pdf filefilsafat hukum islam adalah salah satu...
TRANSCRIPT
1
FILSAFAT HUKUM ISLAM
MUHAMMAD RASYID RIDHA
I. PENDAHULUAN
Filsafat Hukum Islam adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
penting untuk dipelajari. Filsafat hukum akan memulai tugasnya jika ilmu
pengetahuan hukum berakhir, artinya dia tidak mampu lagi menjawab berbagai
masalah. Dan yang menjadi objek pemikiran filsafat ini adalah semua masalah
hukum. Keterkaitan pembahasan ilmu ini dengan pembahasan ilmu-ilmu lain yang
searah seperti ilmu ushul fiqh, filsafat, hukum dan sebagainya, memang sangat
jelas dan sangat diperlukan, dalam rangka saling melengkapi dan bahkan dalam
keadaan tertentu sulit dibedakan mana filsafatnya dan mana pula ushul fiqhnya.
Dengan mempelajari hukum Islam dari segi falsafahnya, akan diketemukan
rahasia-rahasia hukum Allah (Asrar ahkam al-syar’i) yang akan dapat
memperkokoh keyakinan dan keimanan seseorang. Dalam berbagai tulisan
tentang filsafat Hukum Islam banyak sekali ulama ushul (usuliyun) telah
merangkum beberapa filosofi ketetapan hukum dalam Islam seperti al-Ghazali
dalam al-Mustasfa membahas tentang Kuliyatul Khams (pokok-pokok ajaran yang
lima), al-Syatibi dalam al-Muwafaqat mengkaji masalah maqasid al-syariah
(tujuan Hukum Islam), Ibn Hazm di dalam al-Ihkam membahas tentang logika
Hukum Islam tentang teori al-dalil dan sebagainya.
2
Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah: 269;
ومن يؤت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا
Dan sesungguhnya siapa yang diberikan kepadanya hikmah, maka sungguh
telah dianugerahkan kepadanya kebajikan yang banyak. 1
II. PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Muhammad Rasyid Rida
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan
Tarablus Syam pada tahun 1282-1354 H/1865-1935 M. Dia adalah Muhammad
Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Muhamad Bahauddin Ibn
Manla Ali Khalifah. Keluarganya dari keturunan terhormat berhijrah dari Bagdad
dan menetap di Qalmun. Kelahirannya tepat pada 27 Jumadil Tsani tahun
1282 H/18 Oktober tahun 1865 M.2
Ayah dan ibu Ridha berasal dari keturunan Al-husayn, Putera Ali Bin Abi
At-thalib dengan Fatimah, puteri Rasulullah saw. Itulah sebabnya, Ridha
menyandang gelar Al-sayyid di depan namanya dan sering menyebut tokoh-tokoh
Ahl-Al-bayt, seperti Ali ibn Abi Thalib, Al-Husayn, dan Ja’far Al-Shadiq dengan
jadduna (nenek moyang kami).
1 Asmawi, Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. VI-VII
2 Muhammad Imarah, Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami diterjemahkan oleh Muhammad
Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari Format Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 1
3
Setelah mendapat asuhan yang religius dari keluarganya dan mencapai usia
tujuh tahun, Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke sebuah lembaga pendidikan
dasar tradisional yang disebut kuttab yang ada di desanya. Di lembaga itulah,
Ridha mulai belajar membaca, menghapal Al-Qur’an, menulis, dan matematika.
Setelah menamatkan pelajarannya di kuttab, Ridha tidak langsung
melanjutkan pelajarannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi, tetapi hanya
melanjutkannya dengan belajar pada orang tuanya dan para ulama setempat. Baru
beberapa tahun kemudian setelah itu, Ridha meneruskan pelajarannya di madrasah
Ibtidaiyah Al-Rusydiah di Tripoli. Di madrasah itu diajarkan ilmu nahwu, ilmu
sharaf, ilmu tauhid, ilmu fiqh, ilmu bumi, dan matematika. Namun, bahasa
pengantar yang dipakai di madrasah tersebut bukanlah bahasa arab, melainkan
bahasa Turki.3
Dalam pembentukan intelektual dan keilmuan, ia lebih cenderung pada
materi-materi klasik. Kemudian corak pemikirannya berubah setelah membaca
buku Hujjat Al-Islam Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H/1111-1058 M), Ihya
Ulumuddin. Buku itulah yang membuat ia mengenal zuhud, tasawuf, serta
ubudiyah. Kemudian ia bergabung dalam suluk “Tarekat Naqsyabandiyah.” .4
Di umurnya yang kedua puluh delapan (1310 H/1892 M) terjadilah
perubahan besar dalam orientasi pemikirannya. Hal tersebut terjadi setelah ia
membaca beberapa lembaran majalah Al-urwah Al-wutsqa koleksi ayahnya yang
diterbitkan di Paris (1301 H/1884 M) oleh Jamaluddin Al-afghani
(1254-1314 H/1838-1897 M) dan Muhammad Abduh (1265-1323 H/1849-1905
3 A. Athaillah, Rasyid Ridha, konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-manar, (TK,
Penerbit Erlangga, 2006), h. 26-27 4 Muhammad Imarah, Op Cit, h. 1-2
4
M). kemudian ia mulai mencari dan menyempurnakan lembaran-lembaran
tersebut untuk menjadi sebuah eksemplar ke delapan belas yang sempurna.
Lembaran-lembaran tersebut ia temukan di perpustakaan gurunya Husin al-Jisr
(1261-1327 H/1845-1909 M) yang kemudian ia salin kembali dan ia tekuni dalam
mempelajarinya baik dari segi metode, pemikiran maupun tujuan-tujuannya.5
Majalah Al-Urwah al-Wutsqa lah yang membuatnya berubah dari sifat zuhud
(Tarekat Naqsyabandiyah) di dunia menuju sifat keislaman yang moderat. 6
Sepeninggalnya Al-Afghani (1314 H/1897 M), Rasyid Ridha berkeinginan
untuk hijrah ke Mesir. Di sana ia menemui Muhammad Abduh sebagai pengganti
Al-Afghani. Ia menemukan bahwa iklim kebebasan yang ada di Mesir sangat
penting dalam mewujudkan ambisinya yang baru. Sebagaimana yang ia katakan,
“aku yakin seandainya aku tetap di Syria maka obsesiku ini akan pudar.
Kesiapanku ini tidak bisa aku realisasikan kecuali di Mesir, karena di sana
terdapat iklim kebebasan yang tidak didapatkan di wilayah-wilayah kekuasaan
Daulah Utsmaniyah.”7
Di Mesir, beliau menerbitkan majalah Al-Manar. Ia menjadi juru bicara
dalam aliran pemikiran yang diusungnya. Al-Manar dijadikan sarana dalam
menyampaikan metode-metode pembaruan ke seluruh penjuru Negara muslim.
Rasyid Ridha berkeinginan untuk menjadikan Al-Manar sebagai “kawat listrik”
yang menyengat dan menggugah umat Islam, sebagaimana yang ia lakukan
dengan penerbitan majalah Al-Urwah al-Wutsqa.8
5 Ibid, h. 2-3
6 Ibid, h. 3
7 Ibid, h. 5
8 Ibid, h. 6
5
Rasyid Ridha mendirikan sekolah yang bernama Ad-Da’wah wa Al-Irsyad
untuk membekali para dai dengan berbagai keahlian. Murid-murid tamatan
sekolah tersebut seperti Sayyid Amin Al-Husaini yang menjadi mufti Palestina,
Syaikh Muhammad Abd az-Zhahir Abu As-Samh yang menjadi imam Masjid Al-
Haram dan yang mendirikan Dar Al-Hadits dan lain-lainnya.9
Di antara karangan-karangan Rasyid Ridha adalah Tafsir Al-Manar,
Syubuhat An-Nashara dan Hujaj Al-Islam, Al-Wahyu Al-Muhammadi, Nida li Al-
Jinsi Al-Lathif dan Yusru Al-Islam wa Ushulu At-Tasyri’ Al-Am. Ketika Rasyid
Ridha meninggal dunia dia belum sempat menyelesaikan Tafsir Al-Manar. Dia
baru sampai menafsirkan firman Allah dalam surat Yusuf ayat 101 yang artinya,
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugrahkan kepadaku
sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian tabir mimpi.
(ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di
akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan
orang-orang yang shaleh.” Tafsirnya tersebut kemudian diteruskan oleh Imam
Hasan Al-Banna.
Rasyid Ridha meninggal dunia pada tahun 1935 karena mengalami
kecelakaan mobil. Kecelakaan tersebut terjadi ketika dia sedang dalam perjalanan
pulang dari kota Suez menuju kota Kairo.10
9 Muhammad Said Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah diterjemahkan
oleh Khoirul Amru Harahap, LC, MHI dan Achmad Fauzan, LC, M. Ag, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 303
10 Ibid, h. 304
6
B. Metode-Metode Filsafat Hukum Islam Muhammad Rasyid Ridha
Dalam merumuskan hukum Islam, Rasyid Ridha menggunakan metode-
metode dengan perjenjangan dari atas ke bawah. Kalau tidak ditemukan dalil dari
Al-Qur’an maka dicari dalam hadis, kalau tidak ada dalam hadis beliau
menggunakan akal begitu seterusnya. Hal tersebut serupa dengan pendapat Hans
Kelsen dalam teorinya yang terkenal dengan nama stufen theorie yang
mengatakan bahwa dasar berlakunya dan legalitet suatu peraturan terletak pada
suatu peraturan yang lebih tinggi. Seperti misalnya dasar berlakunya suatu
peraturan pemerintah adalah undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi
(undang-undang dalam arti kata formal) dan dasar berlakunya undang-undang
tersebut adalah undang-undang dasar.11
Adapun penjenjangan Rasyid Ridha
adalah sebagai berikut:
a) Al-Qur’an
Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum
Islam. Yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah Al-Qur’an harus menjadi
sumber dan rujukan bagi semua mazhab dan pemikiran keagamaan, bukannya Al-
Qur’an yang melegatimasi mazhab dan pemikiran tersebut.
Apa yang telah dinyatakan oleh Abduh tersebut telah pula menjadi
pegangan Ridha dalam mengemukakan pemikirannya tentang masalah-masalah
akidah dan hukum.12
Selanjutnya Ridha juga menjelaskan bahwa untuk masalah-
masalah yang murni agama, seperti akidah dan ibadah harus diambil dari nash-
11
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 58-59 12
A. Athaillah, Op Cit, h. 44
7
nash Al-Qur’an, penjelasan dan sunnah Rasulullah saw, dan keterangan dari para
sahabat. Jika keterangan itu mereka sepakati, tidak ada alasan bagi seseorang
untuk menentang dan meninggalkannya. Namun jika keterangan tersebut masih
mereka perselisihkan, argumen-argumennya perlu terlebih dahulu diteliti dan
ditarjih mana di antaranya yang terkuat. Karena itu kata Ridha dalam hal apapun,
tidak dibenarkan orang membuat ibadah baru atau melakukan ibadah yang
diperoleh melalui riwayat, yang tidak dipraktikkan oleh Rasulullah dan mayoritas
sahabat. Demikian pula, tidak dapat dibenarkan kalau ibadah itu hanya didasarkan
pada kias atau ijmak orang-orang sesudah mereka, kemaslahatan dan illat-illat
atau teori-teori hukum.13
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa Al-Qur’an menurut
Ridha adalah sumber utama akidah dan hukum Islam, sedangkan sunnah Rasul
adalah sumber penjelasan terhadap apa yang telah dikemukakan di dalam kitab
suci itu.14
Kalau kelihatannya antara penjelasan di dalam sunnah Rasul
bertentangan atau berbeda dengan pernyataan di dalam Al-Qur’an, Ridha akan
mengutamakan pernyataan di dalam Al-Qur’an daripada penjelasan yang terdapat
pada sunnah Rasul itu. Misalnya, surah Al-an’am menyebutkan empat jenis
makanan yang haram dikonsumsi oleh kaum muslimin
“Katakanlah (Hai Muhammad), “aku tidak mendapatkan di dalam apa yang
telah diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan atas orang yang
memakannya, kecuali bangkai, darah mengalir, atau daging babi, karena
13
Ibid h. 45 14
Ibid, h. 46-47
8
sesungguhnya semuanya itu kotor, atau binatang yang disembelih atas
nama selain Allah…(Al-An’am : 146)
Di samping itu telah disebutkan di dalam Al-Qur’an tersebut, di dalam
beberapa hadis telah pula dijelaskan beberapa jenis binatang lain, yang haram
dimakan kaum muslim. Hadis-hadis itu antara lain seperti yang diriwayatkan oleh
Ibn Umar RA :
“Nabi saw telah melarang (kaum muslim) memakan daging himar piaraan
pada hari perang khaybar “
Hadis yang lain adalah riwayat oleh Abu Tsa’labah :
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang (kaum muslim) memakan
setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar “
Menurut Rasyid Ridha, setiap hadis sahih yang melarang kaum muslim
mengonsumsi makanan yang tidak termasuk ke dalam empat jenis makanan yang
telah diharamkan di dalam Al-Qur’an secara definitif, tidak berarti telah
menunjukkan bahwa makanan itu haram dimakan, tetapi hanya menunjukkan
bahwa makanan tersebut makruh dimakan, atau jika dianggap haram juga,
haramnya itu adalah haram yang bersifat temporer, lantaran adanya illah aridhah,
(sebab yang bersifat sementara), seperti dilarangnya orang memakan himar
piaraan. Kalaupun di dalam hadis-hadis tersebut terdapat lafal yang menunjuk
9
kepada tahrim (mengharamkan), hadis-hadis itu sendiri diriwayatkan dengan
makna, bukan dengan lafal dan redaksi dari Rasulullah saw. sendiri.15
b) Hadis
Ridha bersikap selektif dalam memakai hadits-hadits. Tidak semua hadits
yang telah diperolehnya, dipakainya untuk menafsirkan Al-Qur’an dan
menerangkan ajaran-ajaran Islam. Riwayat-riwayat yang berasal dari Rasulullah
dan sahih, tidak dapat dikalahkan oleh riwayat-riwayat lain. Peringkat berikutnya
adalah dari para ulama sahabat yang berkenaan dengan pengertian-pengertian
bahasa atau amaliah yang ada pada masa mereka. Namun, riwayat-riwayat yang
sahih dari mereka itu sedikit sekali jumlahnya. Kebanyakan tafsir bi al-ma’tsur
(tafsir dengan riwayat) bersumber dari para periwayat yang memperolehnya dari
kalangan zindik Yahudi dan Persia atau ahli kitab yang telah memeluk Islam. Hal
itu terlihat jelas pada cerita-cerita para Rasul bersama kaum mereka, kitab-kitab
suci dan mukjizat-mukjizat mereka. 16
Meskipun menurut kaidah yang dipegangi
Ahli Sunnah, semua sahabat adalah adil, kaidah tersebut bukanlah kaidah umum,
melainkan kaidah pada aghlabiyyah (pada umumnya) saja. Sebab, pada masa
Rasulullah saw sendiri terdapat orang-orang munafik. Selain itu realitas juga
menunjukkan bahwa kebanyakan hadis diriwayatkan dengan makna.17
Karena itu
Rasyid Ridha apa saja yang tidak dapat diketahui, kecuali dengan riwayat dari
Rasulullah saw, seperti yang berkenaan dengan informasi tentang hal-hal yang
ghaib, baik yang telah terjadi pada masa lalu maupun yang akan terjadi pada masa
15
Ibid, h. 47-49 16
Ibid, h. 53 17
Ibid, h. 54
10
yang akan datang, tidak dapat diterima, kecuali jika riwayat tersebut benar-benar
berupa hadis sahih yang marfu’ (sampai) kepada beliau.
Meskipun menurut Rasyid Ridha, hadis-hadis yang dapat diterima harus
hadis-hadis sahih, ternyata tidak semua hadis sahih yang telah disepakati oleh
mayoritas pakar hadis dapat diterimanya dan menjadi rujukan baginya meski
hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.18
Misalnya pada hadis berikut ini :
“Rasulullah saw memegang tanganku, kemudian bersabda, “Allah yang
Mahamulia lagi Mahaagung telah menciptakan tanah pada hari Sabtu,
menciptakan gunung pada hari Ahad, menciptakan pohon pada hari Senin,
menciptakan yang tidak disukai pada hari Selasa, menciptakan cahaya
pada hari Rabu, menciptakan binatang-binatang melata pada hari Kamis,
menciptakan Adam pada hari Jum’at….(H. R. Muslim)
Muslim dan yang lainnya meriwayatkan hadis tersebut dari Hajjaj dari
Muhammad al-A’war al-Mashish dari Ibnu Jurayj, sedangkan orang itu telah
pikun pada akhir usianya. Sebagaimana yang telah diterangkan dalam Tahdzib al-
Tahdzib dan kitab-kitab lainnya bahwa ia sudah terbukti telah meriwayatkan hadis
tersebut setelah berubah pikirannya. Ibn katsir ketika menafsirkan surah al-A’raf
ayat 54 mengatakan bahwa di dalam hadis disebutkan tujuh hari penuh untuk
penciptaan, sedangkan Allah menyatakan selama enam hari.19
18
Ibid, h. 54-55 19
Ibid, h. 56-57
11
c) Akal
Dia antara anugrah Allah yang tak ternilai harganya kepada manusia adalah
akal. Sebab dengan adanya akal itu, manusia tidak hanya berbeda dengan makhluk
lainnya, tetapi juga dapat mengunggulinya dalam berbagai hal. Dengan adanya
akal itu pula, manusia dapat melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat berguna bagi keselamatan dan kesejahteraan hidupnya, baik sebagai
pribadi maupun sebagai komunitas dan umat.
Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat yang menyuruh kaum muslim
agar memfungsikan akal mereka. Misalnya dalam surah Al-Baqarah ayat 73 yang
berbunyi :
“Seperti itulah Allah menghidupkan orang yang sudah mati dan
memperlihatkan tanda-tanda kekuasaannya kepadamu, agar kamu
menggunakan akal (mengerti dan memahami).20
Sesuai dengan fungsi akal di atas, maka yang menjadi persoalan di sini
adalah bagaimanakah solusi yang harus diambil jika terdapat pertentangan antara
hasil pertimbangan akal dengan arti lahir nas, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah
Rasul yang menjelaskan ajaran-ajaran Islam tersebut. 21
Menurut Ridha yang mengutip perkataan Ibnu Taymiyah bahwa dalil naqal
dan dalil akal itu ada kalanya keduanya qath’i, dan ada kalanya pula keduanya
zhanni. Kalau kedua dalil itu qath’i, tidak mungkin terjadi pertentangan sampai
kita dapat menarjihkan mana di antara kedua dalil itu yang lebih kuat. Namun jika
20
Ibid, h. 60 21
Ibid, h. 62
12
salah satunya yang zhanni bertentangan dengan yang lainnya yang qath’i, kita
wajib menarjihkan yang qath’i secara mutlak. Akan tetapi jika kedua dalil itu
zhanni dan saling bertentangan, kita wajib menguatkan dalil naqal zhanni sebab
apa yang dapat kita ketahui dari Allah dan Rasul-Nya secara zhanni lebih utama
daripada mengikuti apa yang dapat kita ketahui melalui teori ilmiah yang
diperoleh secara zhanni, mengingat teori-teori tersebut sering keliru. Misalnya
dalam masalah akidah, pernyataan tentang ayat penciptaan Adam harus
didahulukan dari toeri-teori yang berlawanan dengan pernyataan ayat itu.22
Adapun pada bidang muamalah menurut pendapat Rasyid Ridha hukum-
hukum yang berkenaan dengannya kebanyakan diambil dari kaidah-kaidah,
pokok-pokok dan cabang-cabangnya yang terdapat di dalam Al-Qur’an, baik
melalui nash maupun melalui pengertian yang terkandung di dalamnya, atau
diambil melalui cara berikut:
a) Kias, seperti yang diterapkan oleh kalangan Hanafiyyah dan Syafiiyyah
b) Mashalih al-mursalah, seperti yang diterapkan oleh kalangan Malikiyyah
dan Hanabilah.23
Menurut Rasyid Ridha, hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an
dan sunnah tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, hukum
yang khusus berkenaan dengan perbuatan dan kejadian. Kedua, hukum yang
berkenaan dengan akidah-akidah atau peraturan-peraturan umum.
22
Ibid, h. 67 23
Ibid, h. 46
13
Hukum-hukum yang khusus itu sendiri ada yang qath’i al-riwayah dan
al-dilalah (pengertian)-nya, ada pula yang tidak qath’i. Pada hukum-hukum yang
qath’i tidak ada yang dapat dijadikan objek ijtihad dan diubah hukumnya, kecuali
karena ada halangan syar’i, seperti tidak terpenuhinya semua syarat bagi
terlaksananya hukum tersebut atau karena darurat. Misalnya, khalifah Umar
pernah menginstruksikan agar orang yang mencuri pada musim paceklik tidak
perlu dijatuhi sangsi (hukuman) had potong tangan. Sebaliknya, hukum-hukum
yang tidak qath’i baru dapat dilaksanakan apabila sudah dirumuskan melalui
ijtihad. Orang-orang yeng berwenang untuk itu adalah orang yang terlibat dalam
pelaksanaan hukum, seperti amir (gubernur), hakim, dan panglima perang.
Menurut Rasyid Ridha, yang berkenaan dengan kaidah-kaidah umum adalah
peraturan-peraturan umum yang wajib diperhatikan dalam menetapkan berbagai
hukum melalui ijtihad. Kaidah-kaidah tersebut, yaitu:
a) Kebenaran
b) Keadilan mutlak yang umum
c) Persamaan (dalam hak, kesaksian, dan hukum)
d) Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang
menjadi sumber kerusakan
e) Terjaganya urf (tradisi yang positif) dengan persyaratannya
f) Perlunya dihindari pelaksanaan had apabila terdapat syubhat (keraguan
dan kesangsian)
g) Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang
dan penilaian terhadap darurat tersebut harus sesuai dengan kriterianya
14
h) Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan
dan menjauhi keburukan.
Berbeda dengan Rasyid Ridha yang menggunakan kaidah-kaidah di atas,
menurut Radbruch hukum terbatas memenuhi pada tiga macam yaitu keadilan,
kegunaan, dan kepastian hukum.24
Sedangkan menurut Bellefroid isi hukum harus
ditentukan menurut dua asas yaitu keadilan dan faedah. 25
C. Filsafat Hukum Islam Muhammad Rasyid Ridha
Dalam bidang fiqih, Ridha sering mengutip pendapat-pendapat dan
pemikiran-pemikiran teruatama ulama-ulama Salafiyah, seperti Ibn Taymiyah, Ibn
al-Qayyim al-Jawziah, Ibn al-Katsir dan Muhammad ibn Abdulwahhab,26
namun
tidak berarti ia bertaklid kepada mereka. Sikapnya terhadap pemikiran-pemikiran
mereka itu menurut Ridha tidak keluar dari apa yang dikatakan oleh Imam Malik
bahwa setiap orang boleh diterima, diikuti, atau ditolak ucapannya, kecuali ucapan
Nabi Muhammad saw.27
Dan dengan sikap kritisnya Ridha juga sering berbeda
pendapat dengan mereka.
Perbedaan-perbedaan tersebut, antara lain terlihat pada pendapat-pendapat
Ridha tentang masalah-masalah berikut:
a) Tayamum
Dalam masalah tayamum, misalnya Ridha berpendapat bahwa orang yang
sedang musafir boleh bertayamum meski padanya ada air dan tidak ada halangan
yang menyebabkannya untuk memakai air.
24
Chainur Arrasjid, Op Cit, h. 15 25
Ibid, h. 42 26
A. Athaillah, Op Cit, h. 76 27
Ibid, h. 77
15
Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:
Terpeliharanya kemaslahatan
Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang
b) Ayat wasiat
Dalam masalah ayat wasiat, ia berpendapat ayat tersebut adalah ayat
muhkam dan tidak di mansukh oleh ayat mawarits (yang berkenaan dengan waris
mewaris).
Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:
Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi
sumber kerusakan.
Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang
Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan
menjauhi keburukan
c) Mukjizat
Dalam masalah mukjizat, ia berpendapat bahwa mukjizat yang indrawi
bukanlah mukjizat Rasulullah saw.
Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:
Kebenaran
Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi
sumber kerusakan.
16
d) Peringatan maulid Rasulullah saw.
Dalam masalah memperingati maulid Rasulullah saw, Ridha berpendapat
sangat baik dilaksanakan karena banyak mamfaat yang dapat diambil dari
peringatan tersebut. Bahkan, ia juga telah menulis sebuah risalah yang berjudul
Dzikra al-Mawlid al-Nabawi untuk dibaca dalam peringatan-peringatan tersebut.
Di dalam risalah tersebut diterangkan sejarah hidup Rasulullah saw, hadis-hadis,
dan keutamaan-keutamaan beliau. Semuanya itu dibaca agar dapat dijadikan
ikhtibar dan pelajaran bagi orang-orang yang membaca dan mendengarkannya.
Sebaliknya, Muhammad Ibn Abdulwahhab berpendapat bahwa melaksanakan
peringatan maulid Rasulullah saw dan menganggap hari kelahiran beliau adalah
hari istimewa termasuk perbuatan bid’ah dalam Islam, yang wajib dijauhi. Sebab,
jika hal itu baik, tentu para sahabat juga telah melaksanakannya, mengingat
kecintaan mereka kepada Rasulullah saw melebihi kecintaan kita kepada beliau.28
Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:
Terjaganya urf (tradisi yang positif) dengan persyaratannya
Terpeliharanya kemaslahatan
Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan
menjauhi keburukan.
28
Ibid, h. 77-78
17
Adapun pendapat-pendapat Rasyid Ridha yang lainnya yaitu:
a) Poligami
Rasyid Rida menyatakan bahwa diperbolehkannya poligami hanyalah
dalam keadaan darurat atau membutuhkan yang akan disesuaikan dengan konteks
tertentu. Oleh karena itu, poligami bukanlah merupakan kewajiban ataupun
kesunahan, akan tetapi sekedar rukhsah atau keringanan yang dapat diberlakukan
dengan syarat-syarat tertentu. 29
Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:
Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi
sumber kerusakan.
Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang.
b) Syura
Menurut Ridha, sistem kenegaraan yang benar adalah sistem yang
menjadikan syura sebagai prinsip dasar dalam menentukan kebijaksanaan dan
mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan umat secara luas. Apabila
prinsip syura dijalankan dengan baik dan benar, pemerintahan akan berfungsi
dengan baik serta dapat terhindar dari ekses-ekses yang tidak diinginkan, seperti
perselisihan, perpecahan dan sebagainya.30
29
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--
ahsyiblien-1559
30http://kontekstualita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=72:konse
psi-muhammad-rasyid-ridha-tentang-syura-sebagai-azas-pemerintahan-
islam&catid=36:kontekstualita-volume-22-nomor-2-desember-2007&Itemid=54
18
Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:
Kebenaran
Keadilan mutlak yang umum
Persamaan (dalam hak, kesaksian, dan hukum)
Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi
sumber kerusakan.
Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan
menjauhi keburukan.
c) Ahlul Halli Wal Aqdi
Menurut Ridha, Ahl Halli wa al-Aqd tidak hanya terdiri dari ulama atau
(ahli agama) yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja - sebagimana pandangan
para ulama zaman klasik dan pertengahan - tetapi juga dari pemuka-pemuka
masyarakat dari berbagai bidang profesi dan keahlian, seperti ekonom, pengusaha,
politisi, militer, dan sebagainya.31
Ahl al-Halli wa al-Aqd adalah suatu lembaga yang mewakili rakyat dalam
melaksanakan haknya untuk memilih kepala negara (Ridha, t.t: 15). Jadi Ahl al-
Halli wa al-Aqd adalah wakil-wakil rakyat dalam melaksanakan hak pilih. Dengan
demikian, pilihan Ahl al-Halli wa al-Aqd adalah pilihan rakyat itu sendiri.32
31
Ibid 32
Ibid
19
Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:
Kebenaran
Keadilan mutlak yang umum
Persamaan (dalam hak, kesaksian, dan hukum)
Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi
sumber kerusakan.
Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan
menjauhi keburukan.
d) Bunga Bank
Menurut Muhammad Rasyid Ridha tidaklah termasuk ke dalam pengertian
riba bila seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk
diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu baginya dari hasil usaha tersebut.
Hal ini disebabkan karena transaksi seperti itu menguntungkan kedua belah
pihak.33
Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:
Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi
sumber kerusakan.
Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang.
33
http://media-silaturahim.blogspot.com/2009/10/hukum-bunga-bank.html
20
Selain itu, contoh pendapat lain Rasyid Ridha adalah:
a) Menurut Rasyid Ridha sebagaimana juga pendapat Jamaluddin al-Afghani
bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam
yang sebenarnya. Pemahaman umat Islam terhadap ajaran-ajaran salah dan
perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya. Ke dalam Islam telah masuk segala khurafat dan takhayul serta
bid’ah-bid’ah. Karena itu menurut analisis Rasyid Ridha ajaran Islam yang
murni akan membawa kemajuan umat Islam, itulah sebabnya segala macam
khurafat, takhayyul, bid’ah, ajaran-ajaran yang menyeleweng dari ajaran Islam
harus dikikis dan disingkirkan.34
Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:
Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi
sumber kerusakan
Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan
menjauhi keburukan.
b) Hukum–hukum fikih mengenai hidup kemasyarakatan, sungguhpun itu
didasarkan atas Al-Qur’an dan Hadis tidak boleh dianggap absolut dan tidak
dapat dirubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan
zaman ia timbul.35
34
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III: Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h. 84
35 A. Athaillah, Op Cit
21
Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:
Terjaganya urf (tradisi yang positif) dengan persyaratannya
Terpeliharanya kemaslahatan
Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan
menjauhi keburukan.
c) Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk
kekhalifahan yang tidak absolut, khalifah hanya bersifat koordinator, tidaklah
mungkin menyatukan umat Islam ke dalam satu sistem pemerintahan yang
tunggal, karena khalifah hanya menciptakan Hukum Perundang-undangan dan
menjaga pelaksanaannya. Di samping itu khalifah adalah seorang mujtahid
sehingga ia dapat menerapkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan dengan
bantuan para ulama mendorong umat maju sesuai dengan tuntutan zaman.36
Menurut Penulis, pada kasus ini Rasyid Ridha berpegang pada kaidah:
Keadilan mutlak yang umum
Persamaan (dalam hak, kesaksian, dan hukum)
Terpeliharanya kemaslahatan
Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan dan
menjauhi keburukan.
36
Yusran Asmuni, Op cit, h. 86
22
D. Pendapat Rasyid Ridha mengenai Kekuasaan, Kehendak, dan Keadilan
Tuhan.
Rasyîd Ridhâ berpendapat, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak berlaku
mutlak semutlak-mutlaknya sebagaimana pendapat Asy’ariyyah. Sebab kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi Sunatullah, qada dan qadar, serta hukum
kausalitas yang telah ditetapkan Tuhan. Qadar tidak bermakna bahwa sesuatu
terjadi tanpa sebab atau perbuatan Allah dalam menciptakan sesuatu menyalahi
peraturan dan sunnah. Lebih jauh dikatakan Ridhâ, dalam melaksanakan
kehendak, Tuhan tidak menjalankan semena-mena tetapi dengan sunnatullah yang
telah berlaku pada makhluk dan alam. Hal di atas berbeda pula dengan pemikiran
Mu’tazilah yang menyatakan, tuhan hanya menghendaki hamba-hamba mendapat
petunjuk, beriman, dan menjadi orang-orang yang baik dan tidak pernah
menghendaki mereka tersesat, kufur, dan menjadi orang jahat.
Menafsirkan ayat yang menjadi pegangan alasan bagi aliran Asy’ariyyah, Rasyîd
Ridhâ tidak secara harfiah. Misalnya dalam menafsirkan Surat Yunus [10] ayat
99.
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang
di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?
Rasyîd Ridhâ menafsirkan ayat tersebut, bahwa ayat tersebut
menjelaskan kepada kaum muslimin bahwa tidak ada seorang pun yang dapat
beriman dengan hanya bermodalkan pada kebebasannya dalam berbuat dan
berkehendak yang telah dianugrahkan Allah kepadanya kecuali dengan izin Allah.
23
Yang dimaksud dengan izin Allah di sini adalah, yang sesuai dengan kehendak
dan sunnah-Nya dalam kemampuan menarjih salah satu dari dua hal yang
kontrakdiktif. Hal itu karena ia hanya dapat memilih hal-hal yang masih dalam
wilayah hubungan sebab akibat, tetapi tidak dapat lagi bebas dalam memilihnya
secara mumpuni, karena ia selalu terikat dan dibatasi oleh sunatullah dan takdir-
Nya. Kebebasan yang dinafikan dari seseorang itu adalah kemampuan keluar dari
aturan-aturan umum tersebut, bukan kemampuan yang khusus yang sesuai dengan
dirinya.37
III. PENUTUP
Dari makalah di atas Penulis mengambil kesimpulan bahwa :
1. Metode Filsafat Hukum Islam Rasyid Ridha dalam bidang ibadah yaitu :
a. Al-Qur’an, karena Al-Qur’an merupakan Sumber Utama Akidah dan
Hukum Islam
b. Hadis, namun beliau selektif terhadap hadis dan penolakan mutlak atas
riwayat yang bersifat Israilliyat
c. Akal
2. Adapun pada bidang muamalah menurut pendapat Rasyid Ridha hukum-
hukum yang berkenaan dengannya kebanyakan diambil dari kaidah-kaidah,
pokok-pokok dan cabang-cabangnya yang terdapat di dalam Al-Qur’an, baik
37 http://sarmidihusna.blogspot.com/2008/12/m-rasyid-ridha.html
24
melalui nash maupun melalui pengertian yang terkandung di dalamnya, atau
diambil melalui cara berikut:
Kias, seperti yang diterapkan oleh kalangan Hanafiyyah dan Syafiiyyah
Mashalih al-mursalah, seperti yang diterapkan oleh kalangan Malikiyyah
dan Hanabilah.
3. Menurut Rasyid Ridha, yang berkenaan dengan kaidah-kaidah umum adalah
peraturan-peraturan umum yang wajib diperhatikan dalam menetapkan
berbagai hukum melalui ijtihad. Kaidah-kaidah tersebut, yaitu:
a. Kebenaran
b. Keadilan mutlak yang umum
c. Persamaan (dalam hak, kesaksian, dan hukum)
d. Terpeliharanya kemaslahatan dan terhapusnya sebab-sebab yang menjadi
sumber kerusakan
e. Terjaganya urf (tradisi yang positif) dengan persyaratannya
f. Perlunya dihindari pelaksanaan had apabila terdapat syubhat (keraguan
dan kesangsian)
g. Keadaan darurat (terpaksa) dapat menyebabkan bolehnya yang dilarang
dan penilaian terhadap darurat tersebut harus sesuai dengan kriterianya
h. Pelaksanaan muamalah harus didasarkan pada mendatangkan kebaikan
dan menjauhi keburukan.
25
4. Rasyîd Ridhâ berpendapat, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak berlaku
mutlak semutlak-mutlaknya sebagaimana pendapat Asy’ariyyah. Sebab
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi Sunatullah, qada dan qadar,
serta hukum kausalitas yang telah ditetapkan Tuhan.
Wallahu a’lam bi ash-shawab
Makalah ini telah penulis persentasikan pada mata kuliah Filsafat Hukum Islam.
Penulis adalah Calon Hakim Pengadilan Agama Palangka Raya dan mahasiswa
S2 IAIN Antasari Banjarmasin. Penulis pernah aktif menjadi wartawan di Buletin
“Pahabaran Papadaan” KMKM (Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir) di Cairo
selama 2 tahun.
26
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. 2009. Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: Teras
Asmuni, M. Yusran. 1998. Dirasah Islamiah: Pengantar Studi Pemikiran dan
Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: RajaGrafindo
Persada
Arrasjid, Chainur. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Athaillah, A. 2006. Rasyid Ridha, konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-
manar. TK: Penerbit Erlangga
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--
ahsyiblien-1559
http://kontekstualita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=72:k
onsepsi-muhammad-rasyid-ridha-tentang-syura-sebagai-azas-pemerintahan-
islam&catid=36:kontekstualita-volume-22-nomor-2-desember-2007&Itemid=54
http://media-silaturahim.blogspot.com/2009/10/hukum-bunga-bank.html
http://sarmidihusna.blogspot.com/2008/12/m-rasyid-ridha.html
Imarah, Muhammad. 2005. Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami diterjemahkan oleh
Muhammad Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul
Mencari Format Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada