fenomena pengangkatan anak (studi kasus di...

128
FENOMENA PENGANGKATAN ANAK (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam Oleh: FATKILATUL KASANAH 212-12-004 JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017 i

Upload: others

Post on 22-Oct-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • FENOMENA PENGANGKATAN ANAK (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

    Oleh: FATKILATUL KASANAH

    212-12-004

    JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

    FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

    SALATIGA 2017

    i

  • NOTA PEMBIMBING

    Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

    Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga.

    Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:

    Nama : Fatkilatul Kasanah

    NIM : 212-12-004

    Judul : FENOMENA PENGANGKATAN ANAK (Studi Kasus di

    Dusun Dawung Desa Candirejo Kabupaten Semarang)

    Dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah.

    Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.

    Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Salatiga, 13 Maret 2017

    Pembimbing,

    Evi Aryani, S.H., M.H.

    ii

  • NIP. 19731117 200003 2 002KEMENTERIAN AGAMA

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH

    Jl. Nakula Sadewa V no.9 Telp (0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722 Website: www.iainsalatiga.ac.id E-mail : [email protected]

    PENGESAHAN

    Skripsi Berjudul:

    FENOMENA PENGANGKATAN ANAK (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)

    Tahun 2017

    Oleh: Fatkilatul Kasanah NIM: 212-12-004

    Telah dipertahankan di depan sidang munaqosyah skripsi Fakultas Syari’ah,

    Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Jum’at, 24 Maret

    2017 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana

    dalam hukum Islam

    Dewan Sidang Munaqosyah

    Ketua Sidang : Muh. Khafidz, M.Ag. (.........................)

    Sekretaris Sidang : Evi Ariyani, M.H. (.........................)

    Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M. Si. (.........................)

    Penguji II : Sukron Makmun, M. Si. (.........................)

    Salatiga, 24 Maret 2017 Dekan Fakultas Syari’ah

    iii

  • Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. NIP. 19670115 199803 2 002

    PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : Fatkilatul Kasanah

    NIM : 212-12-004

    Jurusan : Ahwal Al-Syakhsiyyah

    Fakultas : Syari’ah

    Judul : Fenomena Pengangkatan Anak

    (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo

    Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)

    Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri,

    bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan dalam

    skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

    Salatiga, 10 Maret 2017

    Yang menyatakan,

    Fatkilatul Kasanah.

    iv

  • MOTTO

    “ MAN JADDA WAJADA”

    “Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan apa yang di inginkannya”

    Karena tidak ada hasil yang mengkhianati proses.

    PERSEMBAHAN

    Skripsi ini dipersembahkan kepada:

    Bapak dan Ibuku yang telah memberikan do’a, kasih

    sayang dan dukungannya.

    Suami dan putraku Zidane tercinta.

    Adik-adikku tersayang (Lely dan Richa)

    Untuk seluruh sahabat-sahabatku, terutama mahasiswa

    Ahwal al-Syakhsiyyah non reguler 2012

    Untuk teman-teman seperjuanganku, mahasiswa program

    studi Ahwal al Syakhshiyyah IAIN Salatiga angkatan 2012

    Almamater

    v

  • KATA PENGANTAR

    Assalamu’alaikum wr. wb.

    Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang

    telah membrikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat

    menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam

    semoga tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW yang selalu

    kami harapkan syafa’atnya di yaumil qiyamah. Penulis menyadari

    keterbatasan pengetahuan yang di miliki, sehingga bimbingan, arahan dan

    bantuan telah banyak diperoleh penulis dari berbagai pihak. Oleh karena

    itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.

    2. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN

    Salatiga

    3. Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang

    telah membimbing penulis dalam perkuliahan.

    4. Evi Ariyani, S.H., M.H., selaku pembimbing skripsi yang telah

    meluangkan waktu, tenaga dan ide-idenya guna membimbing penulis

    hingga terselesaikannya skripsi ini.

    5. Seluruh dosen dan staff IAIN Salatiga, terima kasih atas ilmu yang

    diberikan.

    6. Kedua orang tuaku yang senantiasa mendoakan dan memberi

    dukungan.

    vi

  • 7. Suami dan putraku yang selalu memberikan semangat.

    8. Teman-teman ahwal al-syakhsiyyah angkatan 2012.

    9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan saatu persatu yang

    telah berperan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, sehingga

    masih banyak ditemui kekurangan dan ketidaksempurnaan.

    Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis

    harapkan. Namun demikian sekecil apapun karya ini, penulis berharap

    skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi ilmu yang berkah.

    Teriring do’a dan harapan, semoga amal baik dan jasa semua pihak

    tersebut diatas akan mendapat balasan melimpah dari Allah SWT. Aamiin.

    Wassalamu’alaikum wr. wb.

    Penulis

    vii

  • ABSTRAK

    Kasanah, Fatkilatul. 2017. Fenomena Pengangkatan Anak (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang). Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Evi Ariyani, S.H., M.H.

    Kata Kunci: Prosedur dan Faktor Pengangkatan Anak

    Dalam sebuah perkawinan, salah satu tujuannya yaitu ingin memiliki keturunan. Akan tetapi tidak semua keinginan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan ini menjadi kenyataan. Salah satu upaya yang dilakukan pasangan suami istri untuk mendapatkan anak yaitu dengan cara mengangkat anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Prosedur pengangkatan anak, (2) faktor yang mempengaruhi pengangkatan anak, (3) Pandangan Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan Indonesia Tentang Prosedur Pengangkatan Anak.

    Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research) yang dilakukan di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Pelaksanaannya menggunakan metode dskriptif analisis yang umumnya menggunakan strategi multi metode yaitu pengamatan, wawancara dan penelaahan dokumen.

    Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah prosedur pengangkatan anak yang terjadi di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang tidak sesuai dengan hukum Islam maupun undang-undang sesuai pasal 9 ayat (2) PP No. 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak, karena terjadi manipulasi data anak angkat seolah menjadi anak kandung. Faktor yang mempengaruhi pengangkatan anak ini antara lain faktor ekonomi, tolong menolong, ketidaktahuan hukum dan administrasi. Akibat hukum dari prosedur pengangkatan anak adalah pemutusan nasab dengan orang tua kandungnya, dalam hal ini hukum Islam melarangnya karena nantinya akan berdampak pada kemahraman, perwalian anak angkat perempuan dan kewarisan. Dalam undang-undang hal ini dibuktikan dari terbitnya akta kelahiran tanpa adanya proses penetapan pengadilan tetapi bisa mendapatkan status sebagai anak kandung dari orang tua angkatnya.

    viii

  • DAFTAR ISI

    SAMPUL

    LEMBAR BERLOGO

    JUDUL ................................................................................................................... i

    NOTA PEMBIMBING ........................................................................................ii

    PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................ iii

    PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... iv

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v

    KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi

    ABSTRAK ........................................................................................................ viii

    DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix

    DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

    B. Fokus Penelitian .................................................................................. 5

    C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 5

    D. Manfaat Penelitian ........................................................................... .. 6

    E. Telaah Pustaka ................................................................................... 6

    F. Metode Penelitian .............................................................................. 8

    G. Sistematika

    Penulisan...................................................................... 15

    BAB II LANDASAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK

    A. Pengertian Anak ....................................... ..........................................17

    ix

  • B. Konsep Pengangkatan Anak dalam Islam ........................................ 23

    C. Konsep Pengangkatan Anak dalam Perundangan. ...............................42

    D. Konsep Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat ........ ........................52

    E. Pendaftaran Akta Kelahiran di Catatan Sipil ........................................60

    BAB III PENGANGKATAN ANAK DI DUSUN DAWUNG DESA

    CANDIREJO KEC. PRINGAPUS KAB. SEMARANG

    A. Gambaran Umum ............................................................................... 63

    B. Profil Pasangan Suami Istri Pengangkatan Anak ............................... 68

    C. Prosedur Pengangkatan Anak di Dusun Dawung ............................... 73

    D. Faktor- Faktor Terjadinya Pengangkatan Anak .................................. 87

    BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-

    UNDANGAN TENTANG PROSEDUR PENGANGKATAN

    ANAK

    A. Tinjauan Hukum Islam Tentang Prosedur dan Faktor

    Pengangkatan Anak ............................................................................. 91

    B. Tinjauan Perundang-undangan Tentang Prosedur dan Faktor

    Pengangkatan Anak ............................................................................. 97

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ....................................................................................... 104

    B. Saran ................................................................................................. 106

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

    x

  • DAFTAR LAMPIRAN

    1. Permohonan Penunjukan Pembimbing Skripsi

    2. Permohonan Izin Penelitian

    3. Foto Copy Lembar Konsultasi

    4. Daftar Pertanyaan Wawancara

    5. Daftar Riwayat Hidup

    xi

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Dalam sebuah perkawinan, salah satu tujuannya yaitu ingin

    memiliki keturunan. Hal tersebut merupakan naluri manusia dan

    alamiah. Akan tetapi, keterbatasan manusia tentu tidak dapat

    melampaui kehendak Tuhan. Pembahasan mengenai perkawinan

    dalam hukum, baik hukum Islam maupun Undang-undang selalu

    dilengkapi dengan pembahasan mengenai hak dan kewajiban orang

    tua terhadap anak.

    Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

    Esa, dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia

    seutuhnya. Anak memiliki kedudukan yang istimewa dalam sebuah

    keluarga. Selain itu, anak merupakan potensi generasi muda penerus

    cita-cita bangsa dan kita wajib melindunginya.

    Adanya keinginan manusia memiliki anak tetapi Tuhan tidak

    menghendaki merupakan sebuah kenyataan yang harus di hadapi

    oleh sebagian pasangan manusia. Pada umumnya, manusia tidak

    puas dengan apa yang dialaminya sehingga berbagai upaya

    dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

    Salah satu upaya yang dilakukan banyak keluarga untuk

    mendapatkan anak yaitu dengan mengangkat anak atau adopsi.

    1

  • Pengangkatan anak merupakan salah satu upaya perlindungan dan

    penyejahteraan anak baik untuk masa sekarang maupun masa

    depannya. Hal ini untuk menjamin hak anak yang merupakan bagian

    dari hak asasi manusia yang wajib di jamin, di lindungi dan di

    penuhi oleh orang tua, masyarakat, pemerintah dan negara.

    Dalam hukum Islam, pengangkatan anak diatur di dalam Al-

    Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi:

    ...

    ...Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang adil pada sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian. Tidak ada dosa padamu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu, Allah maha pengampun lagi maha penyayang.

    2

  • Hal ini menunjukkan bahwa pengangkatan anak tidak boleh

    dijadikan anak kandung dengan alasan apapun. Orang tua angkat

    wajib memberitahukan tentang asal-usul si anak dan orang tua

    kandungnya serta pengangkatan anak tidak boleh memutus

    hubungan nasab antara anak yang di angkat dengan orang tua

    kandungnya.

    Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tata cara

    pengangkatan anak telah diatur dalam Undang-Undang No. 35

    Tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan peraturan pelaksana

    berupa Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang

    pelaksanaan pengangkatan anak. Peraturan pengangkatan anak

    khusus bagi warga negara Tionghoa (Cina) diatur dalam Staatsblaad

    1917 No. 129 tentang Pengangkatan Anak. Pengangkatan anak

    dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada pasal 171 huruf H.

    Supaya mendapatkan kepastian hukum, pelaksanaan pengangkatan

    anak harus melalui Pengadilan Negeri diatur dalam Surat Edaran

    Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 tahun 1983 jo SEMA No. 4 tahun

    1989 jo SEMA No. 3 tahun 2005 tentang pengangkatan anak.

    Kemudian setelah berlakunya Undang-Undang No. 3 tahun 2006,

    membolehkan Pengadilan Agama untuk menangani permohonan

    pengangkatan anak.

    Pengangkatan anak biasanya (pada realitanya) dilakukan

    sesuai dengan hukum adat yang hidup dan berkembang di daerah

    3

  • yang bersangkutan. Pada umumnya kebiasaan yang dilakukan adalah

    adanya persetujuan kedua belah pihak antara orang tua kandung dan

    orang tua yang mengangkatnya kemudian disaksikan oleh perangkat

    desa serta diadakan acara adat berupa selamatan. Dengan demikian

    pengangkatan anak telah resmi secara adat. Dengan terjadinya

    pengangkatan anak maka terjalin hubungan antara orang tua angkat

    dengan anak angkat. Dengan demikian hubungan dengan orang tua

    kandung menjadi terputus.

    Berdasarkan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat,

    banyak dijumpai warga masyarakat yang melakukan pengangkatan

    anak tanpa melalui prosedur hukum (persidangan di pengadilan)

    akan tetapi mendapatkan akta kelahiran anak dengan status sebagai

    anak kandung. Dari sinilah penulis tertarik untuk mengadakan

    penelitian mengenai hal tersebut dan ingin mengetahui lebih jauh

    alasan mereka mengangkat anak tanpa melalui persidangan dan

    bagaimana prosedur pengangkatan anak tersebut dalam masyarakat.

    Adanya praktik pengangkatan anak ini sangatlah menarik

    untuk diteliti. Oleh sebab itu, penulis mengangkat persoalan yang

    terjadi dalam masyarakat ini yang kemudian dirumuskan dalam

    sebuah judul penelitian “FENOMENA PENGANGKATAN ANAK

    DI DUSUN DAWUNG, DESA CANDIREJO, KECAMATAN

    PRINGAPUS, KABUPATEN SEMARANG”.

    4

  • B. Fokus Penelitian

    Berdasarkan latar belakang diatas, masalah-masalah

    penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah prosedur pengangkatan anak di Dusun Dawung

    Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang?

    2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

    pengangkatan anak di Dusun Dawung Desa Candirejo

    Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang?

    3. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam dan Peraturan Perundang-

    undangan Indonesia tentang prosedur pengangkatan anak di

    Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus

    Kabupaten Semarang?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Untuk mengetahui prosedur pengangkatan anak di Dusun

    Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten

    Semarang.

    2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

    pengangkatan anak di Dusun Dawung Desa Candirejo

    Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang.

    3. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam dan Peraturan

    Perundang-undangan Indonesia tentang prosedur pengangkatan

    anak di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus

    Kabupaten Semarang.

    5

  • D. Manfaat Penelitian

    Manfaat penelitian yang dapat diambil dalam penelitian ini

    adalah sebagai berikut:

    1. Manfaat Teoritis

    a. Untuk melatih kemampuan akademis sekaligus penerapan

    ilmu yang telah diperoleh selama kuliah;

    b. Diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian

    selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dengan masalah

    dalam penelitian ini.

    2. Manfaat Praktis

    Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat dapat

    mengetahui dengan jelas bagaimana konsep Islam dan

    perundang-undangan mengenai anak angkat dan memberikan

    kontribusi dan masukan kepada pihak-pihak yang

    berkepentingan dalam memberikan perlindungan terhadap anak-

    anak terutama anak angkat. Menyadarkan pelaku pengangkatan

    anak agar melaksanakan aturan sesuai aturan hukum yang

    berlaku.

    E. Telaah Pustaka

    Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas,

    menegaskan, melihat kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang

    digunakan oleh penulis lain dalam penelitian atau pembahasan

    masalah yang serupa. Selain itu, penelitian terdahulu perlu

    6

  • disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan pembaca

    melihat dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan

    perbedaan kesimpulan oleh penulis dan peneliti lain dalam

    melakukan pembahasan tema yang hampir serupa.

    Penelitian ini tentu bukan penelitian pertama mengenai

    pengangkatan anak yang terjadi di kehidupan masyarakat. Ada

    beberapa penelitian terkait dengan pengangkatan anak diantaranya

    telah dilakukan oleh mahasiswa fakultas Syari’ah, Jurusan Ahwal al-

    Syakhsiyyah IAIN Salatiga dengan fokus dan permasalahan yang

    berlainan.

    Dalam penelitian lain yang berjudul Keabsahan Anak

    Menurut Hukum Perdata dan Akibat Hukumnya, Imam Mukhlis

    (2005) hanya menjelaskan tentang bukti keabsahan anak dengan akta

    yang diperoleh dari catatan sipil. Dalam penelitian tersebut Imam

    Mukhlis memberikan 3 rumusan masalah berupa: 1. Bagaimana

    ketentuan keabsahan anak dalam hukum Islam? 2. Bagaimana

    ketentuan keabsahan anak dalam hukum perdata? 3. Bagaimana

    akibat hukum dari kedua sebab hukum tersebut?

    Hasil dari penelitian tersebut ialah: pertama, keabsahan anak

    itu berdasarkan perkawinan orang tuanya. Segala anak yang

    dilahirkan diluar perkawinan yang sah merupakan anak yang tidak

    sah. Kedua, asal keturunan anak-anaksah menurut hukum perdata

    bisa dibuktikan dengan akta-akta kelahiran yang didaftarkan dalam

    7

  • daftar catatansipil. Ketiga, akibat hukum dari kedua sebab hukum

    tersebut adalah bagi anak yang tidak sah jelas terkendala dengan

    hukum kewarisan dan perwalian.

    Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini secara

    khusus membahas mengenai prosedur pengangkatan anak secara

    adat tanpa melalui proses persidangan. Mengingat bahwa

    pengangkatan anak ini pada umumnya dilakukan oleh masyarakat

    dengan tetangganya sendiri tetapi tidak memiliki hubungan darah

    atau pertalian nasab.

    Jadi, keunikan dari penelitian ini yaitu penulis ingin menggali

    lebih dalam bagaimana proses untuk mendapatkan akta kelahiran si

    anak tersebut. Mengingat bahwa dia (si anak) bukanlah anak

    kandung dari orang tua angkat tetapi bisa mendapatkan status anak

    kandung dalam akta kelahirannya.

    F. Metode Penelitian

    Untuk mengetahui adanya segala sesuatu yang berhubungan

    dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian

    yang disebut metodologi penelitian yaitu cara yang dipakai untuk

    mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyususn laporan

    guna mencapai satu tujuan. Untuk mencapai sasaran yang tepat

    dalam penelitian, penulis menggunakan metode penelitian sebagai

    berikut:

    8

  • 1. Jenis Penelitian

    Jenis Penelitian kualitatif lebih menekankan analisisnya

    pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada

    analisis terhadap dinamika hubungan antarfenomena yang

    diamati dengan menggunakan logika ilmiah (Azwar, 1997: 5).

    Penelitian ini adalah studi kasus dengan metode deskriptif-

    analisis, yakni sebuah metode penelitian dimana peneliti

    menjelaskan objek yang diteliti (orang, lembaga dan lainnya)

    berdasarkan kenyataan yang didapatkan dari kasus-kasus di

    lapangan. Dalam penelitian ini ada 4 kasus pengangangkatan

    anak yang diteliti oleh penulis yang terdiri dari 4 pasangan

    suami istri.

    2. Jenis Pendekatan

    Jenis pendekatan pada penelitian ini menggunakan

    pendekatan yuridis-normatif.

    3. Kehadiran Peneliti

    Penelitian ini dilakukan secara terbuka dengan

    memberitahukan kepada para objek penelitian dan para informan

    mengenai penelitian yang dilakukan. Peneliti bertindak sebagai

    instrumen dan pengumpul data, sehingga antara peneliti dan

    informan terjadi interaksi secara wajar dan menghindari adanya

    kesalahpahaman antara para pihak.

    9

  • 4. Lokasi Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di wilayah Dusun Dawung Desa

    Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang.

    Penelitian ini mengambil lokasi tersebut karena peneliti

    mendapatkan informasi mengenai pengangkatan anak tanpa

    mengikuti prosedur hukum yang berlaku, sehingga peneliti

    dapat memperoleh data dan gambaran yang jelas sesuai dengan

    permasalahan yang akan diteliti yaitu Fenomena Pengangkatan

    Anak di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus

    Kabupaten Semarang.

    5. Sumber Data

    Data penelitian diperoleh dengan cara sebagai berikut:

    a. Data Primer

    Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung

    dari informan melalui pengamatan dan wawancara.

    Menurut Moleong (2006:157) data primer adalah data

    yang diperoleh langsung dari lapangan dengan mengadakan

    peninjauan langsung pada objek yang diteliti. Data ini

    didapat dari informan atau peristiwa-peristiwa yang diamati

    seperti wawancara, dokumentasi dan observasi.

    b. Data Sekunder

    Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi

    pustaka yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori

    10

  • yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadist, perundang-

    undangan, buku dan literatur yang ada kaitannya dengan

    materi yang diteliti. Al-Qur’an menjadi landasan utama teori

    dalam data sekunder ini. Disamping itu, data pustaka juga

    digali dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang

    perlindungan anak dengan aturan pelaksana berupa PP No.54

    tahun 2007, Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi

    Hukum Islam, buku-buku mengenai pengangkatan anak dan

    artikel-artikel dari website.

    6. Teknik Pengumpulan data

    Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian

    ini adalah sebagai berikut:

    a. Observasi

    Dalam penelitian ini peneliti mengamati kondisi sosial-

    ekonomi pelaku praktik pengangkatan anak atau objek yang

    berada dalam kesehariannya ketika wawancara di Dusun

    Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten

    Semarang. Kondisi sosial pelaku pengangkatan anak dalam

    kesehariannya sangat interaktif dalam berkomunikasi dengan

    para tetangganya. Mereka saling bertegur sapa ketika

    bertemu siapa saja dan dimana saja. Sedangkan kondisi

    ekonominya sendiri, mereka memiliki rumah berdinding

    kayu, berlantaikan tanah dan ada yang berlantaikan kayu

    11

  • “jrambah”. Mata pencaharian mereka adalah bertani bagi si

    suami sedangkan si istri mengurus rumah tangga, terkadang

    juga ikut membantu suami bertani.

    b. Wawancara

    Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan

    jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis

    berlandaskan pada tujuan penelitian. Data diperoleh dengan

    mewawancarai masyarakat khususnya 4 pasangan suami istri

    yang melakukan pengangkatan anak serta mewawancarai

    perangkat desa setempat yakni Kepala Dusun Dawung dan

    Kepala Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten

    Semarang.

    Dalam hal ini penulis menggunakan teknik wawancara

    mendalam (indept interviewing) secara tertutup karena

    informan tidak menghendaki identitas aslinya diketahui

    banyak orang.

    Wawancara dalam penelitian ini menggunakan cara

    antara lain:

    1. Menggunakan metode diskusi antara informan dan

    peneliti

    2. Peneliti memberikan pertanyaan kepada informan

    mengenai pokok permasalahan

    12

  • 3. Informan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh

    peneliti

    4. Peneliti memberikan feedback atas jawaban dari

    informan yang belum jelas

    5. Informan kembali menjelaskan feedback dari peneliti

    6. Sebelum mengakhiri wawancara, peneliti kembali

    menegaskan jawaban yang diberikan oleh informan

    7. Wawancara diakhiri setelah peneliti benar-benar

    mendapatkan data yang dianggap peneliti dapat

    mendukung penelitiannya.

    7. Analisis Data

    Setelah data dikumpulkan dengan lengkap, tahapan

    selanjutnya yaitu analisis data. Pada tahap ini data akan

    dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kebenaran-

    kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang

    diajukan dalam penelitian. Pada analisis data ini menggunakan

    cara deduktif sebagai berikut:

    a. Reduksi Data

    Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang

    mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang

    hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian rupa

    sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.

    13

  • b. Sajian Data

    Sajian data adalah suatu rangkaian informasi yang

    memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan dengan

    melihat suatu penyajian data. Peneliti akan mengerti apa yang

    terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada

    analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian

    tersebut.

    c. Penarikan Kesimpulan

    Penarikan kesimpulan yaitu kesimpulan yang ditarik

    dari semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian

    data. Pada dasarnya makna data harus diuji validitasnya

    supaya kesimpulan yang diambil menjadi lebih kokoh.

    Adapun proses analisisnya adalah sebagai berikut:

    Langkah pertama adalah pengumpulan data, setelah data

    terkumpul kemudian data direduksi artinya diseleksi,

    disederhanakan, menimbang hal-hal yang tidak relevan,

    kemudian diadakan penyajian data yaitu rangkaian informasi

    atau data sehingga memungkinkan untuk ditarik kesimpulan.

    8. Prosedur Penelitian

    Prosedur penelitian merupakan kejelasan langkah-langkah

    penelitian dari awal hingga akhir. Penelitian ini dilakukan

    melalui beberapa tahap:

    14

  • a. Tahap Pra Lapangan

    Tahap ini dilakukan dengan kegiatan mulai dari

    penentuan lokasi penelitian, peninjauan lokasi penelitian,

    pengurusan proposal dan pengurusan perizinan penelitian.

    b. Tahap Pelaksanaan Lapangan

    Tahap ini dilakukan dengan kegiatan mengumpulkan

    data lokasi penelitian dengan cara wawancara terhadap

    informan dan pelaku pengangkatan anak serta observasi.

    c. Tahap Analisis Data

    Tahap ini dilakukan dengan menganalisis data,

    melakukan verifikasi dan pengayaan untuk selanjutnya

    merumuskan kesimpulan sebagai temuan penelitian

    d. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian

    Tahap ini dilakukan dengan menyusun laporan,

    memaparkan dengan menggunakan metode deskriptif analisis

    dan menggunakan pendekatan yuridis normatif sehingga

    menjadi bentuk laporan penelitian yang ilmiah.

    G. Sistematika Penulisan

    Dalam rangka mempermudah proses pembahasan dan

    pencapaian ide dan tema dalam penelitian ini, maka penulis

    merangkai pembahasan dan sistematika dalam lima bab, yaitu

    sebagai berikut:

    15

  • BAB I pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

    rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

    telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika

    penulisan.

    BAB II berisi tentang pengertian anak, konsep anak angkat

    menurut hukum Islam, perundang-undangan dan hukum

    adat, syarat dan tujuan pengangkatan anak, prosedur

    pengangkatan anak serta akibat hukum dari

    pengangkatan anak.

    BAB III berisi tentang pemaparan seluruh hasil penelitian yang

    peneliti lakukan meliputi letak geografis, gambaran

    penduduk, kehidupan beragama, kondisi ekonomi sosial,

    profil pelaku pengangkatan anak serta proses

    pengangkatan anak.

    BAB IV berisi tentang analisis hukum Islam dan perundang-

    undangan terhadap prosedur pengangkatan anak dan

    faktor-faktor pengangkatan anak.

    BAB V penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian ini

    dan saran yang diberikan penulis kepada pihak-pihak

    yang terkait dengan penelitian ini.

    16

  • BAB II

    LANDASAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK

    A. Pengertian Anak

    1. Anak Menurut Islam, Perundang-Undangan dan Hukum Adat

    Dalam pandangan Islam, anak adalah keturunan yang lahir

    dari hubungan yang sah yaitu perkawinan antara laki-laki dan

    perempuan sebagai suami istri.

    Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

    Perkawinan menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang

    dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

    Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    pasal 330 dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum

    dewasa yaitu belum genap berusia dua puluh satu tahun dan belum

    pernah kawin.

    Pengertian anak sebagaimana tertuang dalam Undang-

    Undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (2)

    bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh

    satu) tahun dan belum pernah kawin”.

    Pengertian anak menurut Undang-Undang No. 39 Tahun

    1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka (5) bahwa “Anak

    adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas)

    17

  • tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam

    kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

    Pengertian anak sebagaimana tertuang dalam Undang-

    Undang RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 1

    ayat (1) bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

    (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

    Dalam hukum adat anak merupakan ketunggalan leluhur,

    artinya ada hubungan darah antara seseorang dengan orang lain yang

    terikat dalam sebuah ikatan keluarga.

    Berdasarkan jenisnya, anak dapat dibedakan menjadi dua:

    a. Anak kandung, yaitu anak yang lahir dalam suatu

    perkawinan sehingga timbul hubungan hukum antara orang

    tua dengan anak baik dalam pemeliharaan atau harta

    kekayaan. Anak kandung akan menjadi ahli waris dari orang

    tuanya yang meninggal dunia.

    b. Anak bukan kandung, yaitu anak yang tidak dilahirkan dari

    suatu perkawinan yang telah ada (pewaris), terdiri atas:

    1) Anak angkat, yaitu anak orang lain yang diangkat

    menjadi anak sendiri. Akan tetapi tidak semua anak

    angkat berhak menjadi ahli waris. Misal di Bali, anak

    angkat berhak mewarisi harta orang tua angkat karena

    pengangkatan anak di Bali mengakibatkan putusnya

    hubungan pertalian keluarga. Sedangkan di Jawa,

    18

  • pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan

    keluarga atau orang tua kandungnya.

    2) Anak piara, yaitu anak orang lain yang dipelihara baik

    dengan sukarela atau perjanjian. Anak piara tidak berhak

    menjadi ahli waris yang memeliharanya.

    3) Anak gampang, yaitu anak yang dilahirkan tanpa ayah

    sehingga anak tersebut berhak menjadi ahli waris dari

    ibunya saja.

    4) Anak tiri, yaitu anak yang dibawa oleh suami atau istri

    kedalam suatu perkawinan yang baru. Anak tiri hanya

    menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya saja.

    2. Pengertian Pengangkatan Anak

    Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia secara terminologis

    pengertian anak angkat adalah anak orang lain yang diambil dan

    disahkan sebagai anaknya sendiri (Poerwadarminta, 1976: 38)

    Pengertian anak angkat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991

    tentang Kompilasi Hukum Islam menyatakan “Anak angkat adalah

    anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya

    pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua

    asal kepada orang tua angkatnya berdasar putusan pengadilan”

    Pengertian anak angkat dalam Undang-Undang No. 35

    Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:

    Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah

    19

  • atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut kelingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

    Menurut Hilman Hadikusumo (1983: 149) “Anak angkat

    adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua

    angkat resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan

    untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta

    kekayaan rumah tangga”.

    Mengenai pengertian anak angkat, ada pula yang

    mengartikan sebagai berikut:

    Pertama, penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya

    bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluarganya. Ia

    diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah,

    pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan

    diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.

    Kedua, tabanni (mengangkat anak secara mutlak) menurut syari’at

    adat dan kebiasaan pada manusia, memasukkan anak yang

    diketahuinya sebagai orang lain kedalam keluarganya yang tidak ada

    pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak sah tetapi mempunyai

    hak dan ketentuan hukum sebagai anaknya.

    Akan tetapi Yusuf Qardhawi (2000: 314) dalam bukunya

    Halal Haram dalam Islam berpendapat bahwa “Islam melihat bahwa

    tabanni (adopsi) adalah pemalsuan atas realita konkret. Pemalsuan

    20

  • yang menjadikan seseorang yang sebenarnya orang lain bagi suatu

    keluarga menjadi salah seorang anggotanya”. Hal ini dikarenakan ia

    bebas saja berduaan dengan kaum perempuannya, dengan anggapan

    bahwa mereka adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka

    adalah orang lain baginya.

    Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat

    menyimpulkan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang

    haknya dialihkan dari lingkungan keluarga orang tua yang

    bertanggungjawab mengenai pendidikan dan pelayanan segala

    kebutuhan kepada orang tua yang mengangkatnya.

    Beberapa ahli telah memberikan rumusan tentang pengertian

    pengangkatan anak. Menurut Surojo Wignjodipuro (1973: 123)

    sebagaimana telah dikutip Irma Setyowati Soemitro (1990: 33)

    menyatakan bahwa mengangkat anak atau adopsi adalah suatu

    perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri

    sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan

    anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang

    sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya

    sendiri.

    Adopsi dapat dibedakan menjadi dua macam:

    a. Adopsi langsung, yaitu untuk keperluan hukum, maka

    seorang anak langsung diangkat menjadi anaknya.

    21

  • b. Adopsi tidak langsung, yaitu adopsi yang dilakukan

    ketika seseorang kawin atau mengawinkan kemudian ia

    mengangkat anak atau anak tirinya atau anak mantunya

    sebagai anak sendiri.

    Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan mengangkat

    anak yang dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam

    kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang

    seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. Adopsi harus

    dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata

    untuk pemeliharaan anak saja (Soekanto, 1980: 52).

    Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan:

    Pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang -undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi yang tidak beranak. Akibat dari adopsi yang sedemikian itu ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian memiliki status anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi, calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk dapat benar-benar menjamin kesejahteraan bagi anak (Zaini, 1999: 5).

    Di Jawa Tengah, pengangkatan anak menurut Mr. M.M.

    Djojodiguno dan Mr. Raden Tirtawinata adalah pengangkatan anak

    orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang

    tua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi itu dilakukan sedemikian

    rupa, sehingga anak itu baik secara lahir (uiterlijk) maupun batin

    (innerlijk) merupakan anak sendiri (Tafal, 1983: 47).

    22

  • pengangkatan anak adalah timbulnya hubungan hukum

    antara anak angkat dengan orang tua yang mengangkatnya yang

    sama hubungannya dengan orang tua anak kandung. Akibat

    pengangkatan tersebut timbullah hak dan kewajiban timbal balik

    antara anak angkat dan orang tua angkat tersebut. Orang tua angkat

    berhak untuk menyuruh anaknya untuk melakukan segala sesuatu

    yang dikehendakinya dan ia pun berkewajiban untuk memelihara

    anak tersebut sampai dia besar. Sebaliknya, si anak disamping

    berhak atas pemeliharaan yang ditanggung oleh orang tuanya,

    diapun berkewajiban pula untuk taat dan patuh kepada orang tua

    angkatnya dan memelihara orang tua tersebut hingga hari tuanya

    sampai mereka meninggal dunia.

    Dari pengertian pengangkatan anak diatas, dapat dikatakan

    bahwa dalam pengangkatan anak terjadi perpindahan anak orang lain

    kedalam satu keluarga yang mengangkatnya beserta hak dan

    kewajibannya seperti halnya anak kandung sendiri yang juga berhak

    mendapat warisan dari orang tua kandungnya.

    B. Konsep Pengangkatan Anak dalam Islam

    1. Pengertian Pengangkatan Anak dalam Islam

    Ada beberapa sumber dalam Islam mengenai pengangkatan

    anak:

    23

  • a. Al-Qur’an

    Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama

    dan utama yang memuat kaidah-kaidah hukum yang

    fundamental (asasi).

    Pengangkatan anak dalam Islam sebenarnya tidak

    memberikan makna apapun. Hanya sebuah ucapan yang

    mungkin menggeser realitas yang ada, tidak mendekatkan yang

    jauh dan tidak pula menjadikan orang asing sebagai keluarga

    dan dapat mengubah status anak. Hal ini diperjelas dengan

    firman Allah SWT surat Al-Ahzab ayat 4-5, yaitu:

    ...

    ...dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu menjadi anak kandungmu (sendiri) yang demikian itu hanyalah perkataan di mulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak mereka, itulah yang adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah (mereka) sebagai

    24

  • saudara-saudaramu dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang.

    Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya Halal Haram

    dalam Islam (2000:319) Sistem adopsi yang dihapuskan Islam

    yaitu adopsi yang menjadikan seseorang menjadi anak secara

    hukum, padahal diketahui bahwa sesungguhnya ia bukanlah

    anak sendiri namun dinisbatkan pada keturunan dan

    keluarganya. Bahkan dikukuhkan oleh hukum yang mengatur

    tentang anak, dengan menetapkan berbagai dampaknya, seperti

    dibolehkannya bercampur baur, haram dinikahi juga hak-hak

    pewarisan.

    b. Al-Hadist

    Sebagaimana Islam telah mengharamkan seorang ayah

    mengingkari anaknya tanpa suatu alasan yang dapat dibenarkan,

    begitu juga Islam tidak membenarkan seorang anak

    menyandarkan nasab kepada orang lain bukan dengan panggilan

    ayahnya sendiri. Seperti halnya anak angkat, bahwa anak angkat

    tidak boleh menyandarkan nasabnya kepada orang tua

    angkatnya. Rasulullah SAW menilai perbuatan tersebut sebagai

    kemungkaran yang menyebabkan kutukan dari Allah dan

    makhluk-Nya.

    25

  • Dalam sebuah hadist yang terdapat dalam bukunya Yusuf

    Qardhawi yang berjudul Halal Haram dalam Islam (2000: 321)

    bahwa Rasulullah SAW bersabda:

    او تولّى غیر موالیھ فعایھ لعنة هللا من اّدعى الى غیر ابیھ

    والمالئكة والنّاس اجمعین.

    “Barang siapa mengaku sebagai ayah selain ayahnya, atau

    menisbatkan diri kepada selain walinya, ia mendapat laknat

    Allah, malaikat dan seluruh umat manusia” (HR. Bukhori

    Muslim)

    Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Rasulullah SAW bahwa

    beliau bersabda:

    من اّدعى الى غیر ابیھ وھو یعلم انّھ غیر ابیھ.

    “Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain bapaknya,

    padahal ia tahu kalau ia bukan bapaknya, maka surga

    diharamkan baginya” (HR. Bukhori Muslim)

    Pengangkatan anak menurut Islam adalah boleh (mubah)

    sejauh tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hal ini

    penggunaan istilah “anak angkat” boleh-boleh saja selama yang

    dimaksud dengan istilah itu tidak mengandung kriteria yang

    dilarang dalam Islam. Misalnya, seseorang memungut anak

    yatim atau anak yang diperoleh dijalan kemudian dijadikan

    26

  • sebagai anaknya dalam hal pemeliharaan, kasih sayang ataupun

    pendidikanya. Dia diasuh, diberi makan, pakaian, dan diajak

    bergaul seperti anaknya sendiri. Namun demikian,

    pengangkatannya tidak menisbatkan kepada dirinya dan tidak

    pula mengukuhkan hukum anak tersebut sebagaimana anaknya

    sendiri.

    Ini merupakan suatu cara yang terpuji dalam pandangan

    Islam, barang siapa yang melakukannya maka surga menjadi

    balasannya. Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW dalam

    hadistnya:

    السبابة والوسطى وفّرج وكافل الیتیم فى الجنّة ھكذا ( واشار انا

    بینھما شیئا)

    “Aku dan penyantun anak yatim di surga seperti ini”

    beliau memberi isyarat dengan jari tengah dan telunjuknya

    sambil menggerak-gerakkannya ( HR. Bukhori, Abu Daud dan

    Turmudzi).

    Anak terlantar sama halnya dengan anak yatim, anak

    semacam ini lebih berhak disebut sebagai ibnu sabil dan Islam

    memerintahkan kita untuk menyantuninya. Jika seseorang tidak

    mempunyai anak, lalu berkeinginan menyisishkan sebagaian

    hartanya bagi anak terlantar itu, ia bisa menghibahkan apa saja

    dimasa hidupnya. Sebelum meninggal ia boleh berwasiat

    27

  • maksimal sepertiga dari peninggalannya untuk anak yang

    disantuninya.

    c. Ijma’

    Ijma’ adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para

    ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa.

    Pendapat Majelis Ulama Indonesia yang dituangkan dalam

    Surat Nomor U-335/MUI/VI/tanggal 18 Sya’ban 1402 H/ 10

    Juni 1982 yang ditandatangani oleh ketua umum K.H. M.

    Syukeri Ghazali didalam bukunya Muderis Zaini yang berjudul

    Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum (1999: 57)

    adalah sebagai berikut:

    1.) Pengangkatan anak yang tujuan pemeliharaan, pemberian

    bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan

    anak angkat dimaksud adalah boleh saja menurut hukum

    Islam

    2.) Anak-anak yang beragama Islam hendaknya dijadikan

    anak angkat (adopsi) oleh Ayah atau Ibu yang beragama

    Islam supaya keIslamannya ada jaminan terpelihara.

    3.) Pengangkatan anak angkat tidak akan mengakibatkan hak

    kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasab keturunan.

    Oleh karena itu pengangkatan anak tidak menyebabkan

    hak waris atau wali-mewali. Jika Ayah atau Ibu angkat

    hendak memberikan sesuatu kepada anak angkat

    28

  • hendaknya dilakukan pada waktu masih hidup sebagai

    hibah biasa.

    4.) Adapun pengangkatan anak yang dilarang adalah

    pengangkatan anak oleh orang-orang yang berbeda agama

    dan pengangkatan anak Indonesia yang dilakukan oleh

    warga negara asing karena biasanya berlatar belakang

    sama seperti diatas (beda agama).

    d. Qiyas

    Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak

    terdapat ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-sunnah dengan

    hal (lain) yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan as-

    sunnah karena persamaan penyebab dan alasannya.

    Penerapan hukum Islam mengenai masalah adopsi salah

    satunya dapat dilihat dari rumusan team Pengkajian Bidang

    Hukum Islam pada Pembinaaan Hukum Nasional dalam seminar

    evaluasi pengkajian hukum 1980/1981 di Jakarta yang

    mengusulkan pokok-pokok pikiran sebagai bahan menyusun

    RUU tentang anak angkat yang dipandang dari sudut hukum

    Islam sebagai berikut:

    1.) Lembaga pengangkatan anak tidak dilarang dalam Islam,

    bahkan agama Islam membenarkan dan menganjurkan

    dilakukan pengangkatan anak untuk kesejahteraan anak

    dan kebahagiaan orang tua.

    29

  • 2.) Ketentuan mengenai pengangkatan anak perlu diatur

    dengan Undang-Undang yang memadai.

    3.) Istilah yang dipergunakan hendaknya disatukan dalam

    perkataan pengangkatan anak dengan berusaha

    meniadakan istilah-istilah lain.

    4.) Pengangkatan anak tidak menjadikan putusnya hubungan

    darah antara anak angkat dengan orang tuanya dan

    keluaraga orang tua anak yang bersangkutan.

    5.) Hubungan mengangkat dianjurkan dalam hubungan hibah

    dan wasiat.

    6.) Dalam melanjutkan kenyataan yang terdapat di

    masyarakat hukum adat kita, mengenai pengangkatan

    anak hendaknya diusahakan agar tidak berlawanan

    dengan hukum agama.

    7.) Hendaknya diberikan pembatas yang lebih ketat dalam

    pengangkatan anak yang dilakukan oleh warga asing.

    8.) Pengangkatan anak oleh orang yang berlaianan agama

    tidak dibenarkan (Muderis Zaini, 1999: 58).

    Pengangkatan anak dalam Islam adalah mubah atau

    diperbolehkan. Namun sesuai dengan sifatnya yang mubah,

    dalam Islam tergantung pada situasi dan kondisi serta isi dari

    pengangkatan anak itu sendiri, maka kedudukannya menjadi

    sunnah atau dianjurkan yaitu pengangkatan anak dengan tujuan

    30

  • pemeliharaan, pemberian bantuan yang sifatnya untuk

    kepentingan anak angkat, atau bisa saja sebaliknya menjadi

    haram atau dilarang yaitu pengangkatan anak dengan memberi

    status yang sama dengan anak kandung sendiri dan memutus

    hubungan kekeluargaan dengan keluarga kandung anak angkat

    (Zaini, 1999: 58).

    2. Syarat dan Tujuan Pengangkatan Anak dalam Islam

    Menurut hukum Islam, pengangkatan anak dapat

    dibenarkan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

    a. Tidak memutus hubungan darah antara anak angkat

    dengan orang tua biologisnya dan keluarganya

    b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari

    orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari

    orang tua kandungnya. Demikian juga orang tua

    angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak

    angkatnya.

    c. Anak angkat tidak diperbolehkan menggunakan nama

    orang tua angkatnya secara langsung, kecuali sekedar

    sebagai pengenal atau alamat.

    d. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali

    dalam perkawinan terhadap anak angkatnya. (Muderis

    Zaini, 1999: 54)

    31

  • Dari ketentuan tersebut bahwa prinsip mengangkat anak

    dalam Islam hanyalah bersifat pengasuhan atau pemeliharaan

    anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar

    atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

    Tujuan pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan

    keturunan manakala dalam suatu perkawinan tidak memperoleh

    keturunan. Ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan dan

    salah satu jalan yang positif serta manusiawi terhadap naluri

    kehadiran seorang anak dalam keluarga setelah bertahun-tahun

    belum dikaruniai anak.

    Selain itu juga bertujuan untuk menambah jumlah

    keluarga dengan maksud agar si anak angkat mendapat

    pendidikan yang baik untuk mempererat hubungan keluarga.

    Disisi lain juga merupakan suatu kewajiban bagi orang yang

    mampu terhadap anak yang tidak memiliki orang tua, sebagai

    misi kemanusiaan dan pengamalan ajaran agama.

    3. Prosedur dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak dalam Islam

    Sebelum Islam datang, pemungutan anak telah banyak

    dijumpai dikalangan bangsa Arab. Pemungutan anak ini

    diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain dengan status

    sebagai anak kandung.

    Menurut sejarah, Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi

    rasul mempunyai seorang anak angkat bernama Zayd Ibn

    32

  • Haritsah dalam status budak hadiah dari Khadijah Binti

    Khuwailid. Dihadapan kaum Quraisy Nabi Muhammad berkata,

    “Saksikanlah olehmu bahwa Zayd kuangkat menjadi anak

    angkatku, ia mewarisiku dan aku mewarisinya”.

    Beberapa waktu kemudian, setelah diutus menjadi rasul

    turunlah wahyu al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang

    menjelaskan hal tersebut. Ayat ini menerangkan kasus Zayd dan

    menjelaskan bahwa:

    a. Pengangkatan anak dalam tradisi zaman jahiliyyah yang

    memberi status kepada anak angkat sama dengan anak

    kandung tidak dibenarkan dalam Islam.

    b. Hubungan antara anak angkat, orang tua angkat dan

    keluarga anak yang diangkat tetap seperti sebelum

    pengangkatan yang tidak mempengaruhi kemahraman dan

    kewarisan.

    Dalam Islam tidak ada prosedur khusus mengenai hal ini,

    yang terpenting yaitu memenuhi syarat seperti yang dijelaskan

    diatas. pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang

    mengalihkan seorang anak dari kekuasaan orang tua, wali yang

    sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,

    pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan

    keluarga angkat. Setelah lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun

    2006 perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1986 tentang

    33

  • Peradilan Agama, semakin jelas bahwa pengangkatan anak bagi

    yang beragama Islam ditujukan ke Pengadilan Agama,

    sedangkan yang non muslim ke Pengadilan Negeri.

    Adapun akibat hukum pengangkatan anak dalam Islam

    yaitu:

    a. Kewarisan

    Ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling

    mewarisi dalam Islam yaitu karena hubungan kekerabatan

    atau keturunan hasil perkawinan, karena hubungan perwalian

    antara hamba sahaya dengan wali yang memerdekakannya

    dan karena saling tolong menolong antara seseorang dengan

    orang yang diwarisinya semasa hidupnya. Sedangkan anak

    angkat tidak termasuk dalam tiga kategori tersebut, dengan

    demikian tidak mengurangi hak anak kandung dalam hal

    pewarisan

    Hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu

    hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan

    harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa

    yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya

    masing-masing.

    Dalam lapangan hukum perdata non Islam, menurut A.

    Pitlo (1971: 1) hukum waris didefinisikan dengan kumpulan

    peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena

    34

  • wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan

    yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini

    bagi orang-orang yang memperolehnya baik dalam hubungan

    antara mereka dengan merka, atau mereka dengan pihak

    ketiga.

    Sehubungan dengan itu, Prof. Muhammad Amin

    Summa (2005: 108) merumuskan sebagai berikut: “Hukum

    waris adalah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta

    peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang

    berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian

    masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan waktu

    pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan”.

    Definisi ini terutama diilhami oleh isi kandungan surat An-

    nisa’.

    Dalam Islam pengangkatan anak tidak mengakibatkan

    pada pewarisan terhadap anak angkat tersebut, sebab anak

    angkat tidak berubah statusnya menjadi anak kandung. Dia

    tetap mewaris kepada orang tua kandungnya..

    Meskipun begitu, di dalam Kompilasi Hukum Islam

    (KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua

    angkat terbina hubungan saling mewarisi (berwasiat). Dalam

    pasal 209 ayat 1 dan 2 dijelaskan:

    35

  • (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan

    pasal pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut diatas,

    sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima

    wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3dari

    harta wasiat anak angkatnya.

    (2) terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat

    diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta

    warisan orang tua angkatnya.

    Berdasarkan pasal ini harta warisan seorang anak

    angkat atau orang tua angkat harus dibagi sesuai aturan

    warisan biasa yaitu dibagi-bagikan kepada orang yang

    mempunyai pertalian darah (kerabat) yang menjadi ahli

    warisnya. Berdasarkan aturan ini orang tua angkat atau anak

    angkat tidak akan memperoleh harta kewarisan karena dia

    bukan ahli waris. Menurut KHI, orang tua angkat tersebut

    dianggap telah meninggalkan wasiat (wasiat wajibah)

    maksimal sebanyak sepertiga harta untuk anak angkatnya,

    atau sebaliknya. Dengan demikian sebelum pembagian

    warisan kepada para pihak yang berhak, wasiat ini harus

    ditunaikan terlebih dahulu.

    Peraturan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan

    aturan dalam fiqh lama bahkan perundang-undangan

    kewarisan yang berlaku di berbagai dunia Islam kontemporer.

    36

  • Al-Qur’an secara tegas menolak penyamaan hubungan

    karena pengangkatan anak yang telah berkembang di adat

    masyarakat arab waktu itu dengan hubungan karena pertalian

    darah. Karena secara tegas al-Qur’an telah menolaknya, maka

    pembahasan di dalam fiqh cenderung terabaikan.

    Pengangkatan anak dianggap sebagai perbuatan yang tidak

    sah secara hukum dan karena itu anak angkat tetap sebagai

    orang asing yang tidak mempunyai hubungan hukum

    dengan orang tua angkatnya.

    Ketentuan anak angkat maupun orang tua angkat yang

    memperoleh harta warisan lebih didasarkan pada

    pertimbangan kemanusiaan, keadilan dan adanya keinginan

    untuk memilih alternatif yang terbaik meskipun dalam Islam

    sebenarnya antara orang tua angkat dan anak angkat tidak

    bisa saling mewarisi. Melalui wasiat wajibah semata-mata

    didasarkan pada pandangan Ulama’ Indonesia menganggap

    adanya hak yang harus diberikan kepada orang tua angkat

    maupun anak angkatnya atas jasa dan pengabdiannya. Oleh

    karena itu, melalui proses wasiat wajibah maka kadarnyapun

    hanya dibatasi 1/3 saja, sehingga menutup adanya klaim

    pengakuan anak angkat terhadap seluruh harta ayah

    angkatnya begitupun sebaliknya.

    37

  • b. Kemahraman

    Mahram adalah orang yang tidak halal untuk dinikahi

    dan tidak membatalkan wudlu jika bersentuhan kulit.

    Sedangkan anak angkat bukanlah mahram, sehingga wajib

    bagi orang tua angkatnya maupun anak kandungnya menutup

    aurat di depan anak angkat tersebut.

    Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 23:

    “diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan

    38

  • sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara kecuali yang telah terjadi di masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. Tentang siapa saja yang menjadi mahram, para Ulama’

    membagi menjadi dua klasifikasi yaitu mahram yang bersifat

    abadi dan mahram yang bersifat sementara (bisa menjadi

    tidak mahram terkait tindakan-tindakan syari’ah yang

    terjadi). Mahram yang bersifat abadi ini berdasarkan

    penyebabnya dibagi menjadi tiga:

    Mahram karena nasab:

    1). Ibu kandung dan seterusnya keatas

    2). Anak wanita dan seterusnya kebawah

    3). Saudara kandung wanita

    4). Bibi dari ayah

    5). Bibi dari ibu

    6). Bibi dari ibu

    7). Anak wanita dari saudara laki-laki

    8). Anak wanita dari saudara wanita

    Mahram karena mushaharah atau sebab pernikahan:

    1). Ibu dari istri (mertua)

    2). Anak wanita dari istri (anak tiri)

    3). Istri dari anak laki-laki (menantu)

    4). Istri dari ayah (ibu tiri)

    39

  • Mahram karena persusuan:

    1). Ibu yang menyusui

    2). Saudara wanita sepersusuan

    Kemahraman yang bersifat sementara contohnya adalah

    suadara ipar atau saudara wanita dari istri dan bibi dari istri,

    tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau

    melihat sebagian auratnya. Namun jika hubungan suami-istri

    sudah selesai baik karena meninggal atau bercerai, maka ipar

    atau bibi yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh

    dinikahi.

    Karena anak angkat tidak bisa menjadi mahram,

    diperbolehkan bagi ayah angkatnya menikahi mantan istri

    anak angkatnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt surat

    Al- Ahzab ayat 37 yang mengisahkan Rasulullah menikahi

    Zainab binti Jahsy yang tidak lain adalah mantan istri Zayd

    bin Haritsah (anak angkat Rasulullah).

    40

  • dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

    Pengertian perwalian dalam terminologi para fuqaha

    (pakar hukum Islam) seperti yang diformulasikan Wahbah

    Al-Zuhayli (1989: 186) ialah “Kekuasaan/ otoritas (yang

    dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu

    tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin

    orang lain”.

    Dalam literatur fiqih Islam, perwalian disebut dengan

    al-walayah yang berarti mengurus atau mengurusi sesuatu.

    Sedangkan al-wali yaitu orang yang mempunyai kekuasaan

    (summa, 2005: 134).

    Orang yang mengurusi/ menguasai sesuatu

    (akad/transaksi), disebut wali. Seperti penggalan ayat dalam

    surat Al-Baqarah ayat 282: Falyumlil waliyyuhu bil ‘adl

    secara harfiyah kata waliyy berarti yang mencintai, teman

    41

  • dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh

    dan orang yang mengurus perkara orang lain.

    Atas dasar pengertian semantik kata wali di atas,

    dapatlah dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam

    menetapkan bahwa orang yang paling berhak menjadi wali

    bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya karena

    ayah adalah orang yang paling dekat dan siap menolong

    bahkan yang selama ini mengasuh dan membiayai anak-

    anaknya. Jika tidak ada ayahnya, barulah hak perwaliannya

    digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah

    sebagaimana dibahas tuntas dalam buku-buku fiqih.

    Jadi, ketika anak angkat perempuan mau menikah maka

    yang menjadi wali nikah adalah ayah kandungnya atau wali

    nasabnya. Pasal 19 sampai 23 Kompilasi Hukum Islam

    menjelaskan apabila wali nasabnya tidak ada atau tidak

    mungkin menghadirkannya atu tidak diketahui tempat

    tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan, maka yang

    bertindak sebagai wali nikah adalah wali hakim. Dalam hal

    wali adlal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak

    sebagai wali nikah setelah ada keputusan Pengadilan Agama

    tentang wali tersebut.

    42

  • C. Konsep Pengangkatan Anak dalam Perundang-Undangan

    1. Pengertian Pengangkatan Anak dalam Perundang-Undangan

    Pengangkatan anak merupakan salah satu bentuk

    perlindungan terhadap anak, oleh karena itu dalam pengangkatan

    anak maka anak angkat harus mendapat kepastian hukum agar

    terjamin hak-haknya. Anak angkat bisa mendapatkan kepastian

    hukum setelah adanya penetapan dari putusan pengadilan.

    Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang

    Kesejahteraan Anak, pengangkatan anak diatur dalam pasal 12

    yang selengkapnya berbunyi:

    a. Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan

    dilaksanakan dengan mengutamakan kesejahteraan anak

    b. Kepentingan kesejateraaan anak yang termaksud dalam

    ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

    c. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak

    yang dilakukan diluar adat dan kebiasaan, dilaksanakan

    berdasarkan peraturan perundang-undangan.

    Adapun pengangkatan anak dalam Undang-Undang No.

    35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun

    2002 Tentang Perlindungan Anak yang diatur dalam pasal 39,

    yang telah mengalami perubahan yaitu ketentuan ayat (1), ayat

    (2), dan ayat (5) diubah, diantara ayat (2) dan ayat (3)

    disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), dan diantara ayat (4)

    43

  • dan ayat (5) disisipkan satu ayat yakni ayat (4a), sehingga pasal

    39 selengkapnya berbunyi berikut:

    1.) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk

    kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan

    berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan

    peraturan perundang-undangan.

    2.) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak

    memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat

    dengan orang tua kandungnya.

    2a. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    wajib dicatatkan dalam akta kelahiran, dengan tidak

    menghilangkan identitas awal anak.

    3.) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama

    yang dianut oleh calon anak angkat.

    4.) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat

    dilakukan sebagai upaya terakhir.

    4a. Dalam hal anak tidak diketahui asal-usulnya, orang yang

    akan mengangkat anak tersebut harus menyertakan

    identitas anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat

    (4).

    5.) Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, agama anak

    disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

    44

  • 2. Syarat dan Tujuan Pengangkatan Anak dalam Perundang-

    undangan.

    Dalam ketentuan PP No. 54 Tahun 2007 pasal 12 tentang

    pelaksanaan pengangkatan anak disebutkan bahwa syarat anak

    yang akan diangkat, meliputi:

    a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun

    b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan

    c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga

    pengasuhan anak dan

    d. memerlukan perlindungan khusus

    Berkaitan usia si anak angkat, ada beberapa pembagian

    meliputi:

    a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakn prioritas

    utama

    b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12

    (dua belas) tahun sepanjang ada alasan mendesak, dan

    c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum

    berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak

    memerlukan perlindungan khusus.

    Sedangkan calon orang tua angkat dalam ketentuan PP

    No. 54 tahun 2007 pasal 13 harus memenuhi syarat-syarat:

    a. sehat jasmani dan rohani

    45

  • b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling

    tinggi 55 (lima puluh lima) tahun

    c. beragama sama dengan agama calon si anak angkat

    d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena

    melakukan tindak kejahatan

    e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun

    f. tidak merupakan pasangan sejenis

    g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki

    satu orang anak

    h. keadaan mampu ekonomi dan sosial

    i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua

    atau wali anak

    j. dalam akta kelahiran tercantum nama orang tua kandung

    bukan nama calon orang tua angkat.

    k. Surat penyerahan anak dari ibu kandung atau wali kepada

    calon orang tua angkat.

    l. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak

    adalah demi kepentingan yang terbaik bagi anak,

    kesejahteraan dan perlindungan anak

    m. membuat pernyataan tertulis bermaterai bahwa jika

    COTA memiliki anak kandung maka COTA akan

    memperlakukan CAA sama tanpa diskriminasi.

    46

  • n. membuat pernyataan tertulis bermaterai bahwa COTA

    akan memberitahukan asal usul anak kandungnya dan

    orang tua kandungnya melihat kesiapan anak.

    o. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat atau

    surat keterangan COTA mengenai kronologis anak

    hingga berada dalam asuhannya.

    p. Surat pernyataan dan jaminan COTA bermaterai bahwa

    seluruh dokumen yang diajukan adalah sah dan sesuai

    fakta yang sebenarnya.

    q. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6

    (enam) bulan sejak izin pengasuhan diberikan, dan

    r. memperoleh izin menteri dan/ atau kepala instansi sosial

    propinsi.

    Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2007 tentang

    Pelaksanaan Pengangkatan Anak bertujuan untuk kepentingan

    terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan

    perlindungan anak berdasarkan adat kebiasaan dan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku.

    Untuk menjamin kepastian hukum hanya didapat setelah

    memperoleh putusan pengadilan, baik Pengadilan Negeri atau

    Pengadilan Agama. Di dalam hasil putusan antara Pengadilan

    Negeri dan Pengadilan Agama itu berbeda. Dimana, dalam

    putusan Pengadilan Negeri memberikan konsekuensi semua

    47

  • tanggung jawab orang tua kandung beralih kepada orang tua

    yang mengangkatnya. Sedangkan dalam putusan Pengadilan

    Agama, tidak semua tanggung jawab orang tua kandung beralih

    kepada orang tua yang mengangkatnya.

    Dengan demikian, pengangkatan anak di Indonesia dapat

    diakasanakan menurut adat dan kebiasaan dan perundang-

    undangan yang berlaku, semuanya berkekuatan hukum sama

    dan dilakukan demi kepentingan yang terbaik bagi anak angkat.

    3. Prosedur dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut

    Perundang-Undangan

    Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007

    Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Pasal 20 ayat:

    (1) Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi

    persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan

    penetapan pengadilan

    (2) pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan

    anak ke instansi terkait.

    Tata Cara Pengangkatan Anak

    Berdasarkan SEMA RI No. 6 Tahun 1983 jo No. 4 Tahun

    1989 jo no. 4 tahun 2005 yang mengatur tentang pengangkatan

    anak menyatakan bahwa untuk mengangkat anak harus lebih

    48

  • dahulu mengajukan permohonan atau pengesahan di pengadilan

    yang berwenang dimana anak itu berada.

    Adapun syarat formilnya yaitu:

    a. Bentuk permohonan bisa secara tertulis atau lisan

    kemudian diajukan ke panitera.

    b. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh

    pemohon atau kuasanya, dengan dibubuhi materai

    secukupnya

    c. Permohonan ditujukan kepada Pengadilan Negeri yang

    daerah hukumnya meliputi tempat tinggal anak yang

    akan diangkat.

    Adapun mengenai isi permohonan yang dapat diajukan

    adalah:

    a. Motivasi mengangkat anak, semata-mata berkaitan

    dengan masa depan anak tersebut.

    b. Penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut

    di masa yang akan datang.

    Karena putusan yang dimintakan ke pengadilan bersifat

    tunggal, maka ada beberapa hal yang dilarang dalam

    permohonan yaitu:

    a. Menambah permohonan selain pengesahan

    pengangkatan anak

    49

  • b. Pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi

    ahli warisnya.

    Setelah permohonan disetujui Pengadilan dan

    mendapatkan Keputusan Pengadilan mengenai pengangkatan

    anak, langkah selanjutnya yaitu membawa salinan tersebut ke

    kantor Catatan Sipil untuk menambahkan dalam akta

    kelahirannya. Dalam akta tersebut dinyatakan bahwa anak

    tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan disebutkan nama

    orang tua angkatnya.

    Jadi berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut diatas,

    dalam menjamin kepastian hukum anak angkat maka prosedur

    pengangkatan anak yang baik dan benar haruslah diajukan ke

    pengadilan yang berwenang untuk mendapatkan penetapan dari

    pengadilan. Setelah mendapatkan putusan penetapan dari

    pengadilan maka status anak menjadi jelas dan sah serta

    berkekuatan hukum pasti.

    Dalam staatblaad 1917 No. 129 menjelaskan, akibat

    hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut

    memperoleh nama bapak angkatnya, dijadikan sebagai anak

    yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi

    ahli waris dari orang tua angkat. Itu artinya, akibat

    pengangkatan anak tersebut maka terputus semua hubungan

    50

  • perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran yaitu

    antara orang tua kandung dengan anak tersebut.

    Dalam pasal 852 KUHPerdata, anak angkat tidak menjadi

    pewaris sebagaimana bunyi pasal tersebut:

    Anak-anak atau keturunan-keturunan sekalipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan orang tua mereka atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis ke atas tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri, mereka mewarisi pancang demi pancangjika merka semua atau sebagian mereka mewarisi sebagai pengganti.

    Dalam pengangkatan anak dengan akibat dalam hukum

    kewarisan, anak angkat ikut menjadi ahli waris karena sudah

    dianggap sebagai anak. Bahkan ia juga menjadi hajib

    (penghalang), sehingga kerabat yang asli justru tidak mendapat

    jatah warisan karena terhalang olehnya. Padahal jika tidak ada

    dia, tentu mereka mendapat bagian.

    Ketentuan mengenai perwalian juga diatur dalam Undang-

    Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 50

    menyatakan:

    1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun

    atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak

    berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah

    kekuasaan wali.

    51

  • 2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan

    maupun harta bendanya.

    Dalam BW (Burgerlijk Wetboek), perwalian diatur dalam

    pasal 331 sampai dengan pasal 344. Pada setiap perwalian hanya

    boleh ada satu orang wali saja (pasal 331 BW).

    D. Konsep Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat

    1. Pengertian Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat

    Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan

    darah antara seseorang dengan yang lain. Keturunan merupakan

    unsur yang hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku ataupun kerabat

    yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya

    ada generasi penerusnya. Oleh karena itu, apabila ada suatu klan,

    suku ataupun kerabat yang khawatir akan mengahadapi kepunahan

    klan, suku atau kerabat pada umumnya melakukan adopsi

    (pengangkatan anak) untuk menghindari kepunahannya.

    Secara garis besar di Indonesia pengangkatan anak atau

    adopsi menurut hukum adat dapat digolongkan dalam dua macam

    adopsi:

    a. Adopsi umum, maksudnya mengangkat anak dengan

    cara:

    1) Terang dan tunai, pelaksanaan pengangkatan anak

    dengan kesaksian dan pembayaran.

    52

  • 2) Terang saja, pelaksanaan pengangkatan anak

    disaksikan oleh Kepala Desa

    3) Tunai saja, pelaksanaan pengangkatan anak dengan

    pembayaran benda-benda magis sebagai gantinya

    4) Tidak terang dan tidak tunai, pelaksanaan

    pengangkatan anak tanpakesaksian dan pembayaran.

    b. Adopsi khusus yang antara lain mencakup:

    1) Mengangkat orang lain (luar) menjadi warga suatu

    clan

    2) Mengangkat anak tiri menjadi anak kandung

    3) Pengangkatan derajat anak (Soerjono Soekanto, 1980:

    52).

    Dari berbagai macam adopsi yang dikenal di Indonesia,

    mempunyai akibat hukum yang berbeda karena setiap daerah

    mempunyai kebiasaan yang berbeda antara daerah yang satu

    dengan yang lainnya. Demikian pula akibatnya dalam bidang

    waris, anak angkat di Indonesia tidak selamanya mempunyai

    hak untuk mewarisi seluruh kekayaan orang tua angkatnya.

    Pada derah yang mengikuti sistem kebapakan (patrilinial)

    pada prinsipnya pengangkatan anak hanya pada laki-laki dengan

    tujuan utama untuk menerusskan keturunan. Di daerah yang

    mengikuti garis keibuan (matrilinial) pada prinsipnya tidak

    mengenal lembaga pengangkatan anak karena yang mewarisi

    53

  • adalah anak-anak saudaranya yang perempuan dan sekandung,

    maka tidak terjadi pengangkatan anak. Sedangkan di daerah

    yang mengikuti garis keibuan atau kebapakan (parental) pada

    umumnya ditujukan pada keponakannya sendiri meskipun ada

    juga yang mengangkat anak bukan dari keponakan atau famili.

    Adapun alasan pengangkatan anak ditujukan pada

    keponakannya sendiri yaitu:

    a. Untuk memperkuat tali kekeluargaan dengan orang tua

    angkat.

    b. Untuk menolong anak yang diangkat atau berdasakan atas

    dasar belas kasihan

    c. Untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat membantu

    pekerjaan dirumah sehari-hari.

    d. Sebagai pancingan untuk mempunyai anak (Muderis

    Zaini, 1999: 65).

    Pengangkatan anak menurut adat dapat dilihat sebagai

    berikut:

    Pengangkatan anak di Indonesia ada yang pelaksanaanya

    dilakukan dengan memakai upacara keagamaan serta

    pengumuman dan penyaksian pejabat dan tokoh agama agar

    terang (clear) statusnya. Setelah selesai upacara pengangkatan,

    si anak menjadi anggota penuh dari kerabat yang

    54

  • mengangkatnya dan terputus hak warisnya dengan kerabat yang

    lama, seperti di Bali.

    Di Sulawesi Selatan, anak angkat masih ada hubungan

    waris dengan orang tua kandung dan keluarganya. Orang tua

    angkat dan keluarganya tidak berhak menjadi orang tua angkat,

    tetapi si anak bisa diberi hibah dan wasiat. Praktek hukum

    keluarga atau hukum waris semacam ini di Sulawesi Selatan

    adalah akibat pengaruh Islam yang cukup kuat di daerah ini.

    Demikian pula di Jawa, anak angkat masih tetap menjadi

    ahli waris dari orang tua kandungnya dan keluarganya. Iapun

    berhak pula sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya tetapi

    hanya terbatas pada kerabat si suami atau kerabat si istri.

    Menurut B Ter Haar Bzh, hak waris anak angkat seperti di Jawa

    tersebut (tidak penuh hak warisnya atas harta peninggalan orang

    tua angkat) adalah karena pengangkaatan anak di Jawa itu bukan

    urusan kerabat dan pelaksanaannya tidak dibuat “terang”,

    artinya tidak pakai upacara keagamaan dan disaksikan oleh

    pejabat dan tokoh agama. Menurut B. Ter Haar Bzh, di

    Minangkaabau tampaknya tidak ada adopsi karena pengaruh

    agama Islam yang cukup kuat di daerah itu( Muderis Zaini,

    1999:37).

    55

  • 2. Syarat dan Tujuan Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat

    Secara garis besar dari berbagai macam cara pengangkatan

    anak yang dikenal di Indonesia dapat disimpulkan sebagai

    alasannya antara lain:

    1) Karena tidak mempunyai anak,

    2) Karena belas kasihan kepada anak karena orang tuanya

    tidak mampu membiayai anaknya,

    3) Karena yatim piatu

    4) Telah mempunyai anak kandung sendiri tetapi semuanya

    laki-laki atau semuanya perempuan,

    5) Sebagai ‘pancingan’ karena belum mempunyai anak,

    6) Untuk mempererat hubungan kekeluargaan,

    7) Untuk suatu jaminan hari tua,

    8) Karena unsur kepercayaan tertentu (Soemitro, 1990:36)

    Adapun tujuan dari pengangkatan anak itu sendiri yaitu

    ingin mempunyai keturunan yang dapat merawat di hari tuanya

    serta dapat meneruskan perjuangan atau usaha di keluarga

    tersebut.

    3. Prosedur dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak

    Di Jawa Tengah hukum adatnya sendiri tidak memberi

    ketentuan tentang cara mengangkat anak. Pada umumnya

    kebiasaan yang dilakukan ialah adanya persetujuan kedua belah

    56

  • pihak antara orang tua kandung dengan orang tua yang akan

    mengangkatnya. Dengan terjadinya pengangkatan anak maka

    terjalin hubungan orang tua angkat dengan anak angkat seperti

    halnya orang tua kandung dengan anak kandung. Dengan

    demikian hubungan dengan orang tua kandung menjadi terputus,

    seperti halnya di Semarang dan Magelang. Akan tetapi tidak

    semua hubungan antara orang tua kandung dengan anaknya

    terputus, seperti di Banyumas bahwa hubungan antara anak

    dengan orang tua kandungnya masih ada. Tetapi orang tua tidak

    boleh ikut campur dalam hal perawatan, pemeliharaan dan

    pendidikan si anak.

    Di Jawa dan Sulawesi adopsi jarang dilakukan dengan

    sepengetahuan kepala desa. Mereka mengangkat anak dari

    kalangan keponakan atau tetangga. Lazimnya adopsi tanpa

    disertai pembayaran uang atau pemberian barang kepada orang

    tua si anak.

    Mengenai pewarisan di Jawa Tengah seorang anak angkat

    itu “ngangsu sumur loro” yang artinya dia mendapat warisan

    dari kedua orang tuanya, baik orang tua kandung atau orang tua

    angkat (Bastian Tafal, 1983:72-74).

    Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat,

    antara lain:

    57

  • a. Dengan Orang Tua Kandung

    Anak yang sudah diadopsi orang lain mengakibatkan

    hubungan dengan orang tua kandungnya menjadi putus. Hal ini

    berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tatacara pengangkatan

    anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung

    telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal ini seperti terdapat di

    daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan (Teer Haar, 1974:

    182).

    Sedangkan di daearah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa

    Barat dan Sumatra Timur perbuatan pengangkatan anak

    hanyalah memasukkan anak itu kedalam kehidupan rumah

    tangga, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu

    dengan orang tua kandung. Namun hubungan dalam arti

    kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan orang

    tua kandung tidak boleh ikut campur dalam urusan perawatan,

    pemeliharaan dan pendidikan si anak.

    b. Dengan Orang Tua Angkat

    Anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai

    kedudukan sebagai anak kandung. Anak angkat berhak mewaris

    dan keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan di beberapa daerah di

    Indonesia seperti di Bali, adopsi merupakan perbuatan hukum

    melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta

    58

  • memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat sehingga

    selanjutnya menjadi anak kandung.

    Dalam buku Hukum Kekerabatan Adat, Hilman

    Hadikusuma (1987: 114) menyatakan “Selain pengurusan dan

    perwalian anak dimaksud bagi keluarga yang mempunyai anak,

    apalagi yang tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi

    yaitu pengangkatan anak berdasar adat kebiasaan dengan

    mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Adopsi

    dimaksud tidak memutus hubungan darah antara anak dengan

    orang tua kandungnya berdasar hukum yang berlaku bagi anak

    yang bersangkutan”.

    Selanjutnya mengenai hak mewaris anak angkat, menurut

    keputusan Mahkamah Agung tidak semua harta peninggalan

    bisa diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas harta gono-

    gini orang tua angkat, sedangkan terhadap harta asal anak

    angkat tidak berhak mewaris.

    Beberapa yurisprudensi berikut ini akan menunjukkan

    kedudukan anak angkat sebagai ahli waris:

    Putusan Mahkamah Agung RI Tanggal 18 Maret 1959

    Nomor 37 K/Sip/1959:

    Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.

    59

  • Melalui putusan Mahkamah Agung itu, satu azas

    pewarisan adat tetap dipertahankan yakni bahwa harta asal

    (harta pusaka) harus tetap dimiliki oleh kerabat karena

    hubungan darah atau nasab.

    Dalam pengangkatan anak terdapat banyak sistem

    tergantung pada adat setempat, namun perlu diingat bahwa

    pengangkatan anak secara adat belum mempunyai kekuatan

    hukum sepanjang belum disahkan sesuai dengan prosedur

    hukum yang berlaku.

    E. Pendaftaran Akta Kelahiran di Kantor Catatan Sipil

    Akta merupakan surat yang diperbuat sedemikian rupa oleh

    atau di hadapan pegawai yang berwenang untuk membuatnya

    menjadi bukti yang cukup sebagai hubungan hukum tentang segala

    hal yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan

    langsung dengan perihal pada akta itu.

    Pencatatan sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang

    dialami oleh seseorang dalam register pencatatan sipil pada instansi

    pelaksana. Catatan kependudukan atau kewarganegaraan tersebut

    oleh pemerintah untuk memberikan kedudukan hukum terhadap

    peristiwa yang membawa akibat hukum keperdataan dari diri

    seorang dimulai sejak kelahiran sampai peristiwa kematian. Akta

    pencatatan sipil terdiri atas register akta pencatatan sipil dan kutipan

    akta pencatatan sipil.

    60

  • Seluruh peristiwa yang terjadi dalam keluarga yang

    mempunyai aspek hukum harus didaftarkan dan dibukukan sehingga

    baik yang bersangkutan sendiri atau orang lain yang berkepentingan

    mempunyai bukti yang autentik tentang peristiwa tersebut sehingga

    kedudukan hukum seseorang menjadi tegas dan jelas.

    Apabila dilihat dari segi hukum administrasi negara, bahwa

    pengeluaran akta-akta oleh catatan sipil adalah suatu perbuatan

    administrasi negara dari suat