fenomena pengangkatan anak (studi kasus di...
TRANSCRIPT
-
FENOMENA PENGANGKATAN ANAK (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh: FATKILATUL KASANAH
212-12-004
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA 2017
i
-
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Fatkilatul Kasanah
NIM : 212-12-004
Judul : FENOMENA PENGANGKATAN ANAK (Studi Kasus di
Dusun Dawung Desa Candirejo Kabupaten Semarang)
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 13 Maret 2017
Pembimbing,
Evi Aryani, S.H., M.H.
ii
-
NIP. 19731117 200003 2 002KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH
Jl. Nakula Sadewa V no.9 Telp (0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722 Website: www.iainsalatiga.ac.id E-mail : [email protected]
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
FENOMENA PENGANGKATAN ANAK (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)
Tahun 2017
Oleh: Fatkilatul Kasanah NIM: 212-12-004
Telah dipertahankan di depan sidang munaqosyah skripsi Fakultas Syari’ah,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Jum’at, 24 Maret
2017 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana
dalam hukum Islam
Dewan Sidang Munaqosyah
Ketua Sidang : Muh. Khafidz, M.Ag. (.........................)
Sekretaris Sidang : Evi Ariyani, M.H. (.........................)
Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M. Si. (.........................)
Penguji II : Sukron Makmun, M. Si. (.........................)
Salatiga, 24 Maret 2017 Dekan Fakultas Syari’ah
iii
-
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. NIP. 19670115 199803 2 002
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Fatkilatul Kasanah
NIM : 212-12-004
Jurusan : Ahwal Al-Syakhsiyyah
Fakultas : Syari’ah
Judul : Fenomena Pengangkatan Anak
(Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo
Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri,
bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan dalam
skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 10 Maret 2017
Yang menyatakan,
Fatkilatul Kasanah.
iv
-
MOTTO
“ MAN JADDA WAJADA”
“Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan apa yang di inginkannya”
Karena tidak ada hasil yang mengkhianati proses.
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada:
Bapak dan Ibuku yang telah memberikan do’a, kasih
sayang dan dukungannya.
Suami dan putraku Zidane tercinta.
Adik-adikku tersayang (Lely dan Richa)
Untuk seluruh sahabat-sahabatku, terutama mahasiswa
Ahwal al-Syakhsiyyah non reguler 2012
Untuk teman-teman seperjuanganku, mahasiswa program
studi Ahwal al Syakhshiyyah IAIN Salatiga angkatan 2012
Almamater
v
-
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah membrikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam
semoga tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW yang selalu
kami harapkan syafa’atnya di yaumil qiyamah. Penulis menyadari
keterbatasan pengetahuan yang di miliki, sehingga bimbingan, arahan dan
bantuan telah banyak diperoleh penulis dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Salatiga
3. Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang
telah membimbing penulis dalam perkuliahan.
4. Evi Ariyani, S.H., M.H., selaku pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan ide-idenya guna membimbing penulis
hingga terselesaikannya skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan staff IAIN Salatiga, terima kasih atas ilmu yang
diberikan.
6. Kedua orang tuaku yang senantiasa mendoakan dan memberi
dukungan.
vi
-
7. Suami dan putraku yang selalu memberikan semangat.
8. Teman-teman ahwal al-syakhsiyyah angkatan 2012.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan saatu persatu yang
telah berperan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, sehingga
masih banyak ditemui kekurangan dan ketidaksempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan. Namun demikian sekecil apapun karya ini, penulis berharap
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi ilmu yang berkah.
Teriring do’a dan harapan, semoga amal baik dan jasa semua pihak
tersebut diatas akan mendapat balasan melimpah dari Allah SWT. Aamiin.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Penulis
vii
-
ABSTRAK
Kasanah, Fatkilatul. 2017. Fenomena Pengangkatan Anak (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang). Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Evi Ariyani, S.H., M.H.
Kata Kunci: Prosedur dan Faktor Pengangkatan Anak
Dalam sebuah perkawinan, salah satu tujuannya yaitu ingin memiliki keturunan. Akan tetapi tidak semua keinginan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan ini menjadi kenyataan. Salah satu upaya yang dilakukan pasangan suami istri untuk mendapatkan anak yaitu dengan cara mengangkat anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Prosedur pengangkatan anak, (2) faktor yang mempengaruhi pengangkatan anak, (3) Pandangan Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan Indonesia Tentang Prosedur Pengangkatan Anak.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research) yang dilakukan di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Pelaksanaannya menggunakan metode dskriptif analisis yang umumnya menggunakan strategi multi metode yaitu pengamatan, wawancara dan penelaahan dokumen.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah prosedur pengangkatan anak yang terjadi di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang tidak sesuai dengan hukum Islam maupun undang-undang sesuai pasal 9 ayat (2) PP No. 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak, karena terjadi manipulasi data anak angkat seolah menjadi anak kandung. Faktor yang mempengaruhi pengangkatan anak ini antara lain faktor ekonomi, tolong menolong, ketidaktahuan hukum dan administrasi. Akibat hukum dari prosedur pengangkatan anak adalah pemutusan nasab dengan orang tua kandungnya, dalam hal ini hukum Islam melarangnya karena nantinya akan berdampak pada kemahraman, perwalian anak angkat perempuan dan kewarisan. Dalam undang-undang hal ini dibuktikan dari terbitnya akta kelahiran tanpa adanya proses penetapan pengadilan tetapi bisa mendapatkan status sebagai anak kandung dari orang tua angkatnya.
viii
-
DAFTAR ISI
SAMPUL
LEMBAR BERLOGO
JUDUL ................................................................................................................... i
NOTA PEMBIMBING ........................................................................................ii
PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
ABSTRAK ........................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Fokus Penelitian .................................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ........................................................................... .. 6
E. Telaah Pustaka ................................................................................... 6
F. Metode Penelitian .............................................................................. 8
G. Sistematika
Penulisan...................................................................... 15
BAB II LANDASAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian Anak ....................................... ..........................................17
ix
-
B. Konsep Pengangkatan Anak dalam Islam ........................................ 23
C. Konsep Pengangkatan Anak dalam Perundangan. ...............................42
D. Konsep Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat ........ ........................52
E. Pendaftaran Akta Kelahiran di Catatan Sipil ........................................60
BAB III PENGANGKATAN ANAK DI DUSUN DAWUNG DESA
CANDIREJO KEC. PRINGAPUS KAB. SEMARANG
A. Gambaran Umum ............................................................................... 63
B. Profil Pasangan Suami Istri Pengangkatan Anak ............................... 68
C. Prosedur Pengangkatan Anak di Dusun Dawung ............................... 73
D. Faktor- Faktor Terjadinya Pengangkatan Anak .................................. 87
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-
UNDANGAN TENTANG PROSEDUR PENGANGKATAN
ANAK
A. Tinjauan Hukum Islam Tentang Prosedur dan Faktor
Pengangkatan Anak ............................................................................. 91
B. Tinjauan Perundang-undangan Tentang Prosedur dan Faktor
Pengangkatan Anak ............................................................................. 97
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 104
B. Saran ................................................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
-
DAFTAR LAMPIRAN
1. Permohonan Penunjukan Pembimbing Skripsi
2. Permohonan Izin Penelitian
3. Foto Copy Lembar Konsultasi
4. Daftar Pertanyaan Wawancara
5. Daftar Riwayat Hidup
xi
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam sebuah perkawinan, salah satu tujuannya yaitu ingin
memiliki keturunan. Hal tersebut merupakan naluri manusia dan
alamiah. Akan tetapi, keterbatasan manusia tentu tidak dapat
melampaui kehendak Tuhan. Pembahasan mengenai perkawinan
dalam hukum, baik hukum Islam maupun Undang-undang selalu
dilengkapi dengan pembahasan mengenai hak dan kewajiban orang
tua terhadap anak.
Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Anak memiliki kedudukan yang istimewa dalam sebuah
keluarga. Selain itu, anak merupakan potensi generasi muda penerus
cita-cita bangsa dan kita wajib melindunginya.
Adanya keinginan manusia memiliki anak tetapi Tuhan tidak
menghendaki merupakan sebuah kenyataan yang harus di hadapi
oleh sebagian pasangan manusia. Pada umumnya, manusia tidak
puas dengan apa yang dialaminya sehingga berbagai upaya
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Salah satu upaya yang dilakukan banyak keluarga untuk
mendapatkan anak yaitu dengan mengangkat anak atau adopsi.
1
-
Pengangkatan anak merupakan salah satu upaya perlindungan dan
penyejahteraan anak baik untuk masa sekarang maupun masa
depannya. Hal ini untuk menjamin hak anak yang merupakan bagian
dari hak asasi manusia yang wajib di jamin, di lindungi dan di
penuhi oleh orang tua, masyarakat, pemerintah dan negara.
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak diatur di dalam Al-
Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi:
...
...Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang adil pada sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian. Tidak ada dosa padamu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu, Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
2
-
Hal ini menunjukkan bahwa pengangkatan anak tidak boleh
dijadikan anak kandung dengan alasan apapun. Orang tua angkat
wajib memberitahukan tentang asal-usul si anak dan orang tua
kandungnya serta pengangkatan anak tidak boleh memutus
hubungan nasab antara anak yang di angkat dengan orang tua
kandungnya.
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tata cara
pengangkatan anak telah diatur dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan peraturan pelaksana
berupa Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
pelaksanaan pengangkatan anak. Peraturan pengangkatan anak
khusus bagi warga negara Tionghoa (Cina) diatur dalam Staatsblaad
1917 No. 129 tentang Pengangkatan Anak. Pengangkatan anak
dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada pasal 171 huruf H.
Supaya mendapatkan kepastian hukum, pelaksanaan pengangkatan
anak harus melalui Pengadilan Negeri diatur dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 tahun 1983 jo SEMA No. 4 tahun
1989 jo SEMA No. 3 tahun 2005 tentang pengangkatan anak.
Kemudian setelah berlakunya Undang-Undang No. 3 tahun 2006,
membolehkan Pengadilan Agama untuk menangani permohonan
pengangkatan anak.
Pengangkatan anak biasanya (pada realitanya) dilakukan
sesuai dengan hukum adat yang hidup dan berkembang di daerah
3
-
yang bersangkutan. Pada umumnya kebiasaan yang dilakukan adalah
adanya persetujuan kedua belah pihak antara orang tua kandung dan
orang tua yang mengangkatnya kemudian disaksikan oleh perangkat
desa serta diadakan acara adat berupa selamatan. Dengan demikian
pengangkatan anak telah resmi secara adat. Dengan terjadinya
pengangkatan anak maka terjalin hubungan antara orang tua angkat
dengan anak angkat. Dengan demikian hubungan dengan orang tua
kandung menjadi terputus.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat,
banyak dijumpai warga masyarakat yang melakukan pengangkatan
anak tanpa melalui prosedur hukum (persidangan di pengadilan)
akan tetapi mendapatkan akta kelahiran anak dengan status sebagai
anak kandung. Dari sinilah penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian mengenai hal tersebut dan ingin mengetahui lebih jauh
alasan mereka mengangkat anak tanpa melalui persidangan dan
bagaimana prosedur pengangkatan anak tersebut dalam masyarakat.
Adanya praktik pengangkatan anak ini sangatlah menarik
untuk diteliti. Oleh sebab itu, penulis mengangkat persoalan yang
terjadi dalam masyarakat ini yang kemudian dirumuskan dalam
sebuah judul penelitian “FENOMENA PENGANGKATAN ANAK
DI DUSUN DAWUNG, DESA CANDIREJO, KECAMATAN
PRINGAPUS, KABUPATEN SEMARANG”.
4
-
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, masalah-masalah
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah prosedur pengangkatan anak di Dusun Dawung
Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
pengangkatan anak di Dusun Dawung Desa Candirejo
Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang?
3. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam dan Peraturan Perundang-
undangan Indonesia tentang prosedur pengangkatan anak di
Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui prosedur pengangkatan anak di Dusun
Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten
Semarang.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
pengangkatan anak di Dusun Dawung Desa Candirejo
Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang.
3. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan Indonesia tentang prosedur pengangkatan
anak di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang.
5
-
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dapat diambil dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk melatih kemampuan akademis sekaligus penerapan
ilmu yang telah diperoleh selama kuliah;
b. Diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian
selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dengan masalah
dalam penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat dapat
mengetahui dengan jelas bagaimana konsep Islam dan
perundang-undangan mengenai anak angkat dan memberikan
kontribusi dan masukan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dalam memberikan perlindungan terhadap anak-
anak terutama anak angkat. Menyadarkan pelaku pengangkatan
anak agar melaksanakan aturan sesuai aturan hukum yang
berlaku.
E. Telaah Pustaka
Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas,
menegaskan, melihat kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang
digunakan oleh penulis lain dalam penelitian atau pembahasan
masalah yang serupa. Selain itu, penelitian terdahulu perlu
6
-
disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan pembaca
melihat dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan
perbedaan kesimpulan oleh penulis dan peneliti lain dalam
melakukan pembahasan tema yang hampir serupa.
Penelitian ini tentu bukan penelitian pertama mengenai
pengangkatan anak yang terjadi di kehidupan masyarakat. Ada
beberapa penelitian terkait dengan pengangkatan anak diantaranya
telah dilakukan oleh mahasiswa fakultas Syari’ah, Jurusan Ahwal al-
Syakhsiyyah IAIN Salatiga dengan fokus dan permasalahan yang
berlainan.
Dalam penelitian lain yang berjudul Keabsahan Anak
Menurut Hukum Perdata dan Akibat Hukumnya, Imam Mukhlis
(2005) hanya menjelaskan tentang bukti keabsahan anak dengan akta
yang diperoleh dari catatan sipil. Dalam penelitian tersebut Imam
Mukhlis memberikan 3 rumusan masalah berupa: 1. Bagaimana
ketentuan keabsahan anak dalam hukum Islam? 2. Bagaimana
ketentuan keabsahan anak dalam hukum perdata? 3. Bagaimana
akibat hukum dari kedua sebab hukum tersebut?
Hasil dari penelitian tersebut ialah: pertama, keabsahan anak
itu berdasarkan perkawinan orang tuanya. Segala anak yang
dilahirkan diluar perkawinan yang sah merupakan anak yang tidak
sah. Kedua, asal keturunan anak-anaksah menurut hukum perdata
bisa dibuktikan dengan akta-akta kelahiran yang didaftarkan dalam
7
-
daftar catatansipil. Ketiga, akibat hukum dari kedua sebab hukum
tersebut adalah bagi anak yang tidak sah jelas terkendala dengan
hukum kewarisan dan perwalian.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini secara
khusus membahas mengenai prosedur pengangkatan anak secara
adat tanpa melalui proses persidangan. Mengingat bahwa
pengangkatan anak ini pada umumnya dilakukan oleh masyarakat
dengan tetangganya sendiri tetapi tidak memiliki hubungan darah
atau pertalian nasab.
Jadi, keunikan dari penelitian ini yaitu penulis ingin menggali
lebih dalam bagaimana proses untuk mendapatkan akta kelahiran si
anak tersebut. Mengingat bahwa dia (si anak) bukanlah anak
kandung dari orang tua angkat tetapi bisa mendapatkan status anak
kandung dalam akta kelahirannya.
F. Metode Penelitian
Untuk mengetahui adanya segala sesuatu yang berhubungan
dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian
yang disebut metodologi penelitian yaitu cara yang dipakai untuk
mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyususn laporan
guna mencapai satu tujuan. Untuk mencapai sasaran yang tepat
dalam penelitian, penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
8
-
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian kualitatif lebih menekankan analisisnya
pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada
analisis terhadap dinamika hubungan antarfenomena yang
diamati dengan menggunakan logika ilmiah (Azwar, 1997: 5).
Penelitian ini adalah studi kasus dengan metode deskriptif-
analisis, yakni sebuah metode penelitian dimana peneliti
menjelaskan objek yang diteliti (orang, lembaga dan lainnya)
berdasarkan kenyataan yang didapatkan dari kasus-kasus di
lapangan. Dalam penelitian ini ada 4 kasus pengangangkatan
anak yang diteliti oleh penulis yang terdiri dari 4 pasangan
suami istri.
2. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan pada penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis-normatif.
3. Kehadiran Peneliti
Penelitian ini dilakukan secara terbuka dengan
memberitahukan kepada para objek penelitian dan para informan
mengenai penelitian yang dilakukan. Peneliti bertindak sebagai
instrumen dan pengumpul data, sehingga antara peneliti dan
informan terjadi interaksi secara wajar dan menghindari adanya
kesalahpahaman antara para pihak.
9
-
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Dusun Dawung Desa
Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang.
Penelitian ini mengambil lokasi tersebut karena peneliti
mendapatkan informasi mengenai pengangkatan anak tanpa
mengikuti prosedur hukum yang berlaku, sehingga peneliti
dapat memperoleh data dan gambaran yang jelas sesuai dengan
permasalahan yang akan diteliti yaitu Fenomena Pengangkatan
Anak di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus
Kabupaten Semarang.
5. Sumber Data
Data penelitian diperoleh dengan cara sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung
dari informan melalui pengamatan dan wawancara.
Menurut Moleong (2006:157) data primer adalah data
yang diperoleh langsung dari lapangan dengan mengadakan
peninjauan langsung pada objek yang diteliti. Data ini
didapat dari informan atau peristiwa-peristiwa yang diamati
seperti wawancara, dokumentasi dan observasi.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi
pustaka yang bertujuan untuk memperoleh landasan teori
10
-
yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadist, perundang-
undangan, buku dan literatur yang ada kaitannya dengan
materi yang diteliti. Al-Qur’an menjadi landasan utama teori
dalam data sekunder ini. Disamping itu, data pustaka juga
digali dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang
perlindungan anak dengan aturan pelaksana berupa PP No.54
tahun 2007, Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam, buku-buku mengenai pengangkatan anak dan
artikel-artikel dari website.
6. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Observasi
Dalam penelitian ini peneliti mengamati kondisi sosial-
ekonomi pelaku praktik pengangkatan anak atau objek yang
berada dalam kesehariannya ketika wawancara di Dusun
Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten
Semarang. Kondisi sosial pelaku pengangkatan anak dalam
kesehariannya sangat interaktif dalam berkomunikasi dengan
para tetangganya. Mereka saling bertegur sapa ketika
bertemu siapa saja dan dimana saja. Sedangkan kondisi
ekonominya sendiri, mereka memiliki rumah berdinding
kayu, berlantaikan tanah dan ada yang berlantaikan kayu
11
-
“jrambah”. Mata pencaharian mereka adalah bertani bagi si
suami sedangkan si istri mengurus rumah tangga, terkadang
juga ikut membantu suami bertani.
b. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan
jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis
berlandaskan pada tujuan penelitian. Data diperoleh dengan
mewawancarai masyarakat khususnya 4 pasangan suami istri
yang melakukan pengangkatan anak serta mewawancarai
perangkat desa setempat yakni Kepala Dusun Dawung dan
Kepala Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten
Semarang.
Dalam hal ini penulis menggunakan teknik wawancara
mendalam (indept interviewing) secara tertutup karena
informan tidak menghendaki identitas aslinya diketahui
banyak orang.
Wawancara dalam penelitian ini menggunakan cara
antara lain:
1. Menggunakan metode diskusi antara informan dan
peneliti
2. Peneliti memberikan pertanyaan kepada informan
mengenai pokok permasalahan
12
-
3. Informan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh
peneliti
4. Peneliti memberikan feedback atas jawaban dari
informan yang belum jelas
5. Informan kembali menjelaskan feedback dari peneliti
6. Sebelum mengakhiri wawancara, peneliti kembali
menegaskan jawaban yang diberikan oleh informan
7. Wawancara diakhiri setelah peneliti benar-benar
mendapatkan data yang dianggap peneliti dapat
mendukung penelitiannya.
7. Analisis Data
Setelah data dikumpulkan dengan lengkap, tahapan
selanjutnya yaitu analisis data. Pada tahap ini data akan
dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kebenaran-
kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang
diajukan dalam penelitian. Pada analisis data ini menggunakan
cara deduktif sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang
mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang
hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian rupa
sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.
13
-
b. Sajian Data
Sajian data adalah suatu rangkaian informasi yang
memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan dengan
melihat suatu penyajian data. Peneliti akan mengerti apa yang
terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada
analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian
tersebut.
c. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan yaitu kesimpulan yang ditarik
dari semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian
data. Pada dasarnya makna data harus diuji validitasnya
supaya kesimpulan yang diambil menjadi lebih kokoh.
Adapun proses analisisnya adalah sebagai berikut:
Langkah pertama adalah pengumpulan data, setelah data
terkumpul kemudian data direduksi artinya diseleksi,
disederhanakan, menimbang hal-hal yang tidak relevan,
kemudian diadakan penyajian data yaitu rangkaian informasi
atau data sehingga memungkinkan untuk ditarik kesimpulan.
8. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan kejelasan langkah-langkah
penelitian dari awal hingga akhir. Penelitian ini dilakukan
melalui beberapa tahap:
14
-
a. Tahap Pra Lapangan
Tahap ini dilakukan dengan kegiatan mulai dari
penentuan lokasi penelitian, peninjauan lokasi penelitian,
pengurusan proposal dan pengurusan perizinan penelitian.
b. Tahap Pelaksanaan Lapangan
Tahap ini dilakukan dengan kegiatan mengumpulkan
data lokasi penelitian dengan cara wawancara terhadap
informan dan pelaku pengangkatan anak serta observasi.
c. Tahap Analisis Data
Tahap ini dilakukan dengan menganalisis data,
melakukan verifikasi dan pengayaan untuk selanjutnya
merumuskan kesimpulan sebagai temuan penelitian
d. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian
Tahap ini dilakukan dengan menyusun laporan,
memaparkan dengan menggunakan metode deskriptif analisis
dan menggunakan pendekatan yuridis normatif sehingga
menjadi bentuk laporan penelitian yang ilmiah.
G. Sistematika Penulisan
Dalam rangka mempermudah proses pembahasan dan
pencapaian ide dan tema dalam penelitian ini, maka penulis
merangkai pembahasan dan sistematika dalam lima bab, yaitu
sebagai berikut:
15
-
BAB I pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II berisi tentang pengertian anak, konsep anak angkat
menurut hukum Islam, perundang-undangan dan hukum
adat, syarat dan tujuan pengangkatan anak, prosedur
pengangkatan anak serta akibat hukum dari
pengangkatan anak.
BAB III berisi tentang pemaparan seluruh hasil penelitian yang
peneliti lakukan meliputi letak geografis, gambaran
penduduk, kehidupan beragama, kondisi ekonomi sosial,
profil pelaku pengangkatan anak serta proses
pengangkatan anak.
BAB IV berisi tentang analisis hukum Islam dan perundang-
undangan terhadap prosedur pengangkatan anak dan
faktor-faktor pengangkatan anak.
BAB V penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian ini
dan saran yang diberikan penulis kepada pihak-pihak
yang terkait dengan penelitian ini.
16
-
BAB II
LANDASAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian Anak
1. Anak Menurut Islam, Perundang-Undangan dan Hukum Adat
Dalam pandangan Islam, anak adalah keturunan yang lahir
dari hubungan yang sah yaitu perkawinan antara laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri.
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
pasal 330 dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum
dewasa yaitu belum genap berusia dua puluh satu tahun dan belum
pernah kawin.
Pengertian anak sebagaimana tertuang dalam Undang-
Undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (2)
bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh
satu) tahun dan belum pernah kawin”.
Pengertian anak menurut Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka (5) bahwa “Anak
adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas)
17
-
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.
Pengertian anak sebagaimana tertuang dalam Undang-
Undang RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 1
ayat (1) bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam hukum adat anak merupakan ketunggalan leluhur,
artinya ada hubungan darah antara seseorang dengan orang lain yang
terikat dalam sebuah ikatan keluarga.
Berdasarkan jenisnya, anak dapat dibedakan menjadi dua:
a. Anak kandung, yaitu anak yang lahir dalam suatu
perkawinan sehingga timbul hubungan hukum antara orang
tua dengan anak baik dalam pemeliharaan atau harta
kekayaan. Anak kandung akan menjadi ahli waris dari orang
tuanya yang meninggal dunia.
b. Anak bukan kandung, yaitu anak yang tidak dilahirkan dari
suatu perkawinan yang telah ada (pewaris), terdiri atas:
1) Anak angkat, yaitu anak orang lain yang diangkat
menjadi anak sendiri. Akan tetapi tidak semua anak
angkat berhak menjadi ahli waris. Misal di Bali, anak
angkat berhak mewarisi harta orang tua angkat karena
pengangkatan anak di Bali mengakibatkan putusnya
hubungan pertalian keluarga. Sedangkan di Jawa,
18
-
pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan
keluarga atau orang tua kandungnya.
2) Anak piara, yaitu anak orang lain yang dipelihara baik
dengan sukarela atau perjanjian. Anak piara tidak berhak
menjadi ahli waris yang memeliharanya.
3) Anak gampang, yaitu anak yang dilahirkan tanpa ayah
sehingga anak tersebut berhak menjadi ahli waris dari
ibunya saja.
4) Anak tiri, yaitu anak yang dibawa oleh suami atau istri
kedalam suatu perkawinan yang baru. Anak tiri hanya
menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya saja.
2. Pengertian Pengangkatan Anak
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia secara terminologis
pengertian anak angkat adalah anak orang lain yang diambil dan
disahkan sebagai anaknya sendiri (Poerwadarminta, 1976: 38)
Pengertian anak angkat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam menyatakan “Anak angkat adalah
anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua
asal kepada orang tua angkatnya berdasar putusan pengadilan”
Pengertian anak angkat dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah
19
-
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut kelingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
Menurut Hilman Hadikusumo (1983: 149) “Anak angkat
adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua
angkat resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan
untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta
kekayaan rumah tangga”.
Mengenai pengertian anak angkat, ada pula yang
mengartikan sebagai berikut:
Pertama, penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya
bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluarganya. Ia
diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah,
pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan
diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.
Kedua, tabanni (mengangkat anak secara mutlak) menurut syari’at
adat dan kebiasaan pada manusia, memasukkan anak yang
diketahuinya sebagai orang lain kedalam keluarganya yang tidak ada
pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak sah tetapi mempunyai
hak dan ketentuan hukum sebagai anaknya.
Akan tetapi Yusuf Qardhawi (2000: 314) dalam bukunya
Halal Haram dalam Islam berpendapat bahwa “Islam melihat bahwa
tabanni (adopsi) adalah pemalsuan atas realita konkret. Pemalsuan
20
-
yang menjadikan seseorang yang sebenarnya orang lain bagi suatu
keluarga menjadi salah seorang anggotanya”. Hal ini dikarenakan ia
bebas saja berduaan dengan kaum perempuannya, dengan anggapan
bahwa mereka adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka
adalah orang lain baginya.
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang
haknya dialihkan dari lingkungan keluarga orang tua yang
bertanggungjawab mengenai pendidikan dan pelayanan segala
kebutuhan kepada orang tua yang mengangkatnya.
Beberapa ahli telah memberikan rumusan tentang pengertian
pengangkatan anak. Menurut Surojo Wignjodipuro (1973: 123)
sebagaimana telah dikutip Irma Setyowati Soemitro (1990: 33)
menyatakan bahwa mengangkat anak atau adopsi adalah suatu
perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri
sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan
anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang
sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya
sendiri.
Adopsi dapat dibedakan menjadi dua macam:
a. Adopsi langsung, yaitu untuk keperluan hukum, maka
seorang anak langsung diangkat menjadi anaknya.
21
-
b. Adopsi tidak langsung, yaitu adopsi yang dilakukan
ketika seseorang kawin atau mengawinkan kemudian ia
mengangkat anak atau anak tirinya atau anak mantunya
sebagai anak sendiri.
Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan mengangkat
anak yang dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam
kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang
seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. Adopsi harus
dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata
untuk pemeliharaan anak saja (Soekanto, 1980: 52).
Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan:
Pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang -undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi yang tidak beranak. Akibat dari adopsi yang sedemikian itu ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian memiliki status anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi, calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk dapat benar-benar menjamin kesejahteraan bagi anak (Zaini, 1999: 5).
Di Jawa Tengah, pengangkatan anak menurut Mr. M.M.
Djojodiguno dan Mr. Raden Tirtawinata adalah pengangkatan anak
orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang
tua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi itu dilakukan sedemikian
rupa, sehingga anak itu baik secara lahir (uiterlijk) maupun batin
(innerlijk) merupakan anak sendiri (Tafal, 1983: 47).
22
-
pengangkatan anak adalah timbulnya hubungan hukum
antara anak angkat dengan orang tua yang mengangkatnya yang
sama hubungannya dengan orang tua anak kandung. Akibat
pengangkatan tersebut timbullah hak dan kewajiban timbal balik
antara anak angkat dan orang tua angkat tersebut. Orang tua angkat
berhak untuk menyuruh anaknya untuk melakukan segala sesuatu
yang dikehendakinya dan ia pun berkewajiban untuk memelihara
anak tersebut sampai dia besar. Sebaliknya, si anak disamping
berhak atas pemeliharaan yang ditanggung oleh orang tuanya,
diapun berkewajiban pula untuk taat dan patuh kepada orang tua
angkatnya dan memelihara orang tua tersebut hingga hari tuanya
sampai mereka meninggal dunia.
Dari pengertian pengangkatan anak diatas, dapat dikatakan
bahwa dalam pengangkatan anak terjadi perpindahan anak orang lain
kedalam satu keluarga yang mengangkatnya beserta hak dan
kewajibannya seperti halnya anak kandung sendiri yang juga berhak
mendapat warisan dari orang tua kandungnya.
B. Konsep Pengangkatan Anak dalam Islam
1. Pengertian Pengangkatan Anak dalam Islam
Ada beberapa sumber dalam Islam mengenai pengangkatan
anak:
23
-
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama
dan utama yang memuat kaidah-kaidah hukum yang
fundamental (asasi).
Pengangkatan anak dalam Islam sebenarnya tidak
memberikan makna apapun. Hanya sebuah ucapan yang
mungkin menggeser realitas yang ada, tidak mendekatkan yang
jauh dan tidak pula menjadikan orang asing sebagai keluarga
dan dapat mengubah status anak. Hal ini diperjelas dengan
firman Allah SWT surat Al-Ahzab ayat 4-5, yaitu:
...
...dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu menjadi anak kandungmu (sendiri) yang demikian itu hanyalah perkataan di mulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak mereka, itulah yang adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah (mereka) sebagai
24
-
saudara-saudaramu dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya Halal Haram
dalam Islam (2000:319) Sistem adopsi yang dihapuskan Islam
yaitu adopsi yang menjadikan seseorang menjadi anak secara
hukum, padahal diketahui bahwa sesungguhnya ia bukanlah
anak sendiri namun dinisbatkan pada keturunan dan
keluarganya. Bahkan dikukuhkan oleh hukum yang mengatur
tentang anak, dengan menetapkan berbagai dampaknya, seperti
dibolehkannya bercampur baur, haram dinikahi juga hak-hak
pewarisan.
b. Al-Hadist
Sebagaimana Islam telah mengharamkan seorang ayah
mengingkari anaknya tanpa suatu alasan yang dapat dibenarkan,
begitu juga Islam tidak membenarkan seorang anak
menyandarkan nasab kepada orang lain bukan dengan panggilan
ayahnya sendiri. Seperti halnya anak angkat, bahwa anak angkat
tidak boleh menyandarkan nasabnya kepada orang tua
angkatnya. Rasulullah SAW menilai perbuatan tersebut sebagai
kemungkaran yang menyebabkan kutukan dari Allah dan
makhluk-Nya.
25
-
Dalam sebuah hadist yang terdapat dalam bukunya Yusuf
Qardhawi yang berjudul Halal Haram dalam Islam (2000: 321)
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
او تولّى غیر موالیھ فعایھ لعنة هللا من اّدعى الى غیر ابیھ
والمالئكة والنّاس اجمعین.
“Barang siapa mengaku sebagai ayah selain ayahnya, atau
menisbatkan diri kepada selain walinya, ia mendapat laknat
Allah, malaikat dan seluruh umat manusia” (HR. Bukhori
Muslim)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Rasulullah SAW bahwa
beliau bersabda:
من اّدعى الى غیر ابیھ وھو یعلم انّھ غیر ابیھ.
“Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain bapaknya,
padahal ia tahu kalau ia bukan bapaknya, maka surga
diharamkan baginya” (HR. Bukhori Muslim)
Pengangkatan anak menurut Islam adalah boleh (mubah)
sejauh tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hal ini
penggunaan istilah “anak angkat” boleh-boleh saja selama yang
dimaksud dengan istilah itu tidak mengandung kriteria yang
dilarang dalam Islam. Misalnya, seseorang memungut anak
yatim atau anak yang diperoleh dijalan kemudian dijadikan
26
-
sebagai anaknya dalam hal pemeliharaan, kasih sayang ataupun
pendidikanya. Dia diasuh, diberi makan, pakaian, dan diajak
bergaul seperti anaknya sendiri. Namun demikian,
pengangkatannya tidak menisbatkan kepada dirinya dan tidak
pula mengukuhkan hukum anak tersebut sebagaimana anaknya
sendiri.
Ini merupakan suatu cara yang terpuji dalam pandangan
Islam, barang siapa yang melakukannya maka surga menjadi
balasannya. Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW dalam
hadistnya:
السبابة والوسطى وفّرج وكافل الیتیم فى الجنّة ھكذا ( واشار انا
بینھما شیئا)
“Aku dan penyantun anak yatim di surga seperti ini”
beliau memberi isyarat dengan jari tengah dan telunjuknya
sambil menggerak-gerakkannya ( HR. Bukhori, Abu Daud dan
Turmudzi).
Anak terlantar sama halnya dengan anak yatim, anak
semacam ini lebih berhak disebut sebagai ibnu sabil dan Islam
memerintahkan kita untuk menyantuninya. Jika seseorang tidak
mempunyai anak, lalu berkeinginan menyisishkan sebagaian
hartanya bagi anak terlantar itu, ia bisa menghibahkan apa saja
dimasa hidupnya. Sebelum meninggal ia boleh berwasiat
27
-
maksimal sepertiga dari peninggalannya untuk anak yang
disantuninya.
c. Ijma’
Ijma’ adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para
ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa.
Pendapat Majelis Ulama Indonesia yang dituangkan dalam
Surat Nomor U-335/MUI/VI/tanggal 18 Sya’ban 1402 H/ 10
Juni 1982 yang ditandatangani oleh ketua umum K.H. M.
Syukeri Ghazali didalam bukunya Muderis Zaini yang berjudul
Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum (1999: 57)
adalah sebagai berikut:
1.) Pengangkatan anak yang tujuan pemeliharaan, pemberian
bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan
anak angkat dimaksud adalah boleh saja menurut hukum
Islam
2.) Anak-anak yang beragama Islam hendaknya dijadikan
anak angkat (adopsi) oleh Ayah atau Ibu yang beragama
Islam supaya keIslamannya ada jaminan terpelihara.
3.) Pengangkatan anak angkat tidak akan mengakibatkan hak
kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasab keturunan.
Oleh karena itu pengangkatan anak tidak menyebabkan
hak waris atau wali-mewali. Jika Ayah atau Ibu angkat
hendak memberikan sesuatu kepada anak angkat
28
-
hendaknya dilakukan pada waktu masih hidup sebagai
hibah biasa.
4.) Adapun pengangkatan anak yang dilarang adalah
pengangkatan anak oleh orang-orang yang berbeda agama
dan pengangkatan anak Indonesia yang dilakukan oleh
warga negara asing karena biasanya berlatar belakang
sama seperti diatas (beda agama).
d. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak
terdapat ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-sunnah dengan
hal (lain) yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan as-
sunnah karena persamaan penyebab dan alasannya.
Penerapan hukum Islam mengenai masalah adopsi salah
satunya dapat dilihat dari rumusan team Pengkajian Bidang
Hukum Islam pada Pembinaaan Hukum Nasional dalam seminar
evaluasi pengkajian hukum 1980/1981 di Jakarta yang
mengusulkan pokok-pokok pikiran sebagai bahan menyusun
RUU tentang anak angkat yang dipandang dari sudut hukum
Islam sebagai berikut:
1.) Lembaga pengangkatan anak tidak dilarang dalam Islam,
bahkan agama Islam membenarkan dan menganjurkan
dilakukan pengangkatan anak untuk kesejahteraan anak
dan kebahagiaan orang tua.
29
-
2.) Ketentuan mengenai pengangkatan anak perlu diatur
dengan Undang-Undang yang memadai.
3.) Istilah yang dipergunakan hendaknya disatukan dalam
perkataan pengangkatan anak dengan berusaha
meniadakan istilah-istilah lain.
4.) Pengangkatan anak tidak menjadikan putusnya hubungan
darah antara anak angkat dengan orang tuanya dan
keluaraga orang tua anak yang bersangkutan.
5.) Hubungan mengangkat dianjurkan dalam hubungan hibah
dan wasiat.
6.) Dalam melanjutkan kenyataan yang terdapat di
masyarakat hukum adat kita, mengenai pengangkatan
anak hendaknya diusahakan agar tidak berlawanan
dengan hukum agama.
7.) Hendaknya diberikan pembatas yang lebih ketat dalam
pengangkatan anak yang dilakukan oleh warga asing.
8.) Pengangkatan anak oleh orang yang berlaianan agama
tidak dibenarkan (Muderis Zaini, 1999: 58).
Pengangkatan anak dalam Islam adalah mubah atau
diperbolehkan. Namun sesuai dengan sifatnya yang mubah,
dalam Islam tergantung pada situasi dan kondisi serta isi dari
pengangkatan anak itu sendiri, maka kedudukannya menjadi
sunnah atau dianjurkan yaitu pengangkatan anak dengan tujuan
30
-
pemeliharaan, pemberian bantuan yang sifatnya untuk
kepentingan anak angkat, atau bisa saja sebaliknya menjadi
haram atau dilarang yaitu pengangkatan anak dengan memberi
status yang sama dengan anak kandung sendiri dan memutus
hubungan kekeluargaan dengan keluarga kandung anak angkat
(Zaini, 1999: 58).
2. Syarat dan Tujuan Pengangkatan Anak dalam Islam
Menurut hukum Islam, pengangkatan anak dapat
dibenarkan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Tidak memutus hubungan darah antara anak angkat
dengan orang tua biologisnya dan keluarganya
b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari
orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari
orang tua kandungnya. Demikian juga orang tua
angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak
angkatnya.
c. Anak angkat tidak diperbolehkan menggunakan nama
orang tua angkatnya secara langsung, kecuali sekedar
sebagai pengenal atau alamat.
d. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali
dalam perkawinan terhadap anak angkatnya. (Muderis
Zaini, 1999: 54)
31
-
Dari ketentuan tersebut bahwa prinsip mengangkat anak
dalam Islam hanyalah bersifat pengasuhan atau pemeliharaan
anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar
atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Tujuan pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan
keturunan manakala dalam suatu perkawinan tidak memperoleh
keturunan. Ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan dan
salah satu jalan yang positif serta manusiawi terhadap naluri
kehadiran seorang anak dalam keluarga setelah bertahun-tahun
belum dikaruniai anak.
Selain itu juga bertujuan untuk menambah jumlah
keluarga dengan maksud agar si anak angkat mendapat
pendidikan yang baik untuk mempererat hubungan keluarga.
Disisi lain juga merupakan suatu kewajiban bagi orang yang
mampu terhadap anak yang tidak memiliki orang tua, sebagai
misi kemanusiaan dan pengamalan ajaran agama.
3. Prosedur dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak dalam Islam
Sebelum Islam datang, pemungutan anak telah banyak
dijumpai dikalangan bangsa Arab. Pemungutan anak ini
diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain dengan status
sebagai anak kandung.
Menurut sejarah, Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi
rasul mempunyai seorang anak angkat bernama Zayd Ibn
32
-
Haritsah dalam status budak hadiah dari Khadijah Binti
Khuwailid. Dihadapan kaum Quraisy Nabi Muhammad berkata,
“Saksikanlah olehmu bahwa Zayd kuangkat menjadi anak
angkatku, ia mewarisiku dan aku mewarisinya”.
Beberapa waktu kemudian, setelah diutus menjadi rasul
turunlah wahyu al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang
menjelaskan hal tersebut. Ayat ini menerangkan kasus Zayd dan
menjelaskan bahwa:
a. Pengangkatan anak dalam tradisi zaman jahiliyyah yang
memberi status kepada anak angkat sama dengan anak
kandung tidak dibenarkan dalam Islam.
b. Hubungan antara anak angkat, orang tua angkat dan
keluarga anak yang diangkat tetap seperti sebelum
pengangkatan yang tidak mempengaruhi kemahraman dan
kewarisan.
Dalam Islam tidak ada prosedur khusus mengenai hal ini,
yang terpenting yaitu memenuhi syarat seperti yang dijelaskan
diatas. pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang
mengalihkan seorang anak dari kekuasaan orang tua, wali yang
sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan
keluarga angkat. Setelah lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun
2006 perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1986 tentang
33
-
Peradilan Agama, semakin jelas bahwa pengangkatan anak bagi
yang beragama Islam ditujukan ke Pengadilan Agama,
sedangkan yang non muslim ke Pengadilan Negeri.
Adapun akibat hukum pengangkatan anak dalam Islam
yaitu:
a. Kewarisan
Ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling
mewarisi dalam Islam yaitu karena hubungan kekerabatan
atau keturunan hasil perkawinan, karena hubungan perwalian
antara hamba sahaya dengan wali yang memerdekakannya
dan karena saling tolong menolong antara seseorang dengan
orang yang diwarisinya semasa hidupnya. Sedangkan anak
angkat tidak termasuk dalam tiga kategori tersebut, dengan
demikian tidak mengurangi hak anak kandung dalam hal
pewarisan
Hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.
Dalam lapangan hukum perdata non Islam, menurut A.
Pitlo (1971: 1) hukum waris didefinisikan dengan kumpulan
peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena
34
-
wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan
yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini
bagi orang-orang yang memperolehnya baik dalam hubungan
antara mereka dengan merka, atau mereka dengan pihak
ketiga.
Sehubungan dengan itu, Prof. Muhammad Amin
Summa (2005: 108) merumuskan sebagai berikut: “Hukum
waris adalah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian
masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan waktu
pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan”.
Definisi ini terutama diilhami oleh isi kandungan surat An-
nisa’.
Dalam Islam pengangkatan anak tidak mengakibatkan
pada pewarisan terhadap anak angkat tersebut, sebab anak
angkat tidak berubah statusnya menjadi anak kandung. Dia
tetap mewaris kepada orang tua kandungnya..
Meskipun begitu, di dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menetapkan bahwa antara anak angkat dan orang tua
angkat terbina hubungan saling mewarisi (berwasiat). Dalam
pasal 209 ayat 1 dan 2 dijelaskan:
35
-
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan
pasal pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut diatas,
sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3dari
harta wasiat anak angkatnya.
(2) terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya.
Berdasarkan pasal ini harta warisan seorang anak
angkat atau orang tua angkat harus dibagi sesuai aturan
warisan biasa yaitu dibagi-bagikan kepada orang yang
mempunyai pertalian darah (kerabat) yang menjadi ahli
warisnya. Berdasarkan aturan ini orang tua angkat atau anak
angkat tidak akan memperoleh harta kewarisan karena dia
bukan ahli waris. Menurut KHI, orang tua angkat tersebut
dianggap telah meninggalkan wasiat (wasiat wajibah)
maksimal sebanyak sepertiga harta untuk anak angkatnya,
atau sebaliknya. Dengan demikian sebelum pembagian
warisan kepada para pihak yang berhak, wasiat ini harus
ditunaikan terlebih dahulu.
Peraturan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan
aturan dalam fiqh lama bahkan perundang-undangan
kewarisan yang berlaku di berbagai dunia Islam kontemporer.
36
-
Al-Qur’an secara tegas menolak penyamaan hubungan
karena pengangkatan anak yang telah berkembang di adat
masyarakat arab waktu itu dengan hubungan karena pertalian
darah. Karena secara tegas al-Qur’an telah menolaknya, maka
pembahasan di dalam fiqh cenderung terabaikan.
Pengangkatan anak dianggap sebagai perbuatan yang tidak
sah secara hukum dan karena itu anak angkat tetap sebagai
orang asing yang tidak mempunyai hubungan hukum
dengan orang tua angkatnya.
Ketentuan anak angkat maupun orang tua angkat yang
memperoleh harta warisan lebih didasarkan pada
pertimbangan kemanusiaan, keadilan dan adanya keinginan
untuk memilih alternatif yang terbaik meskipun dalam Islam
sebenarnya antara orang tua angkat dan anak angkat tidak
bisa saling mewarisi. Melalui wasiat wajibah semata-mata
didasarkan pada pandangan Ulama’ Indonesia menganggap
adanya hak yang harus diberikan kepada orang tua angkat
maupun anak angkatnya atas jasa dan pengabdiannya. Oleh
karena itu, melalui proses wasiat wajibah maka kadarnyapun
hanya dibatasi 1/3 saja, sehingga menutup adanya klaim
pengakuan anak angkat terhadap seluruh harta ayah
angkatnya begitupun sebaliknya.
37
-
b. Kemahraman
Mahram adalah orang yang tidak halal untuk dinikahi
dan tidak membatalkan wudlu jika bersentuhan kulit.
Sedangkan anak angkat bukanlah mahram, sehingga wajib
bagi orang tua angkatnya maupun anak kandungnya menutup
aurat di depan anak angkat tersebut.
Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 23:
“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan
38
-
sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara kecuali yang telah terjadi di masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. Tentang siapa saja yang menjadi mahram, para Ulama’
membagi menjadi dua klasifikasi yaitu mahram yang bersifat
abadi dan mahram yang bersifat sementara (bisa menjadi
tidak mahram terkait tindakan-tindakan syari’ah yang
terjadi). Mahram yang bersifat abadi ini berdasarkan
penyebabnya dibagi menjadi tiga:
Mahram karena nasab:
1). Ibu kandung dan seterusnya keatas
2). Anak wanita dan seterusnya kebawah
3). Saudara kandung wanita
4). Bibi dari ayah
5). Bibi dari ibu
6). Bibi dari ibu
7). Anak wanita dari saudara laki-laki
8). Anak wanita dari saudara wanita
Mahram karena mushaharah atau sebab pernikahan:
1). Ibu dari istri (mertua)
2). Anak wanita dari istri (anak tiri)
3). Istri dari anak laki-laki (menantu)
4). Istri dari ayah (ibu tiri)
39
-
Mahram karena persusuan:
1). Ibu yang menyusui
2). Saudara wanita sepersusuan
Kemahraman yang bersifat sementara contohnya adalah
suadara ipar atau saudara wanita dari istri dan bibi dari istri,
tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau
melihat sebagian auratnya. Namun jika hubungan suami-istri
sudah selesai baik karena meninggal atau bercerai, maka ipar
atau bibi yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh
dinikahi.
Karena anak angkat tidak bisa menjadi mahram,
diperbolehkan bagi ayah angkatnya menikahi mantan istri
anak angkatnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt surat
Al- Ahzab ayat 37 yang mengisahkan Rasulullah menikahi
Zainab binti Jahsy yang tidak lain adalah mantan istri Zayd
bin Haritsah (anak angkat Rasulullah).
40
-
dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Pengertian perwalian dalam terminologi para fuqaha
(pakar hukum Islam) seperti yang diformulasikan Wahbah
Al-Zuhayli (1989: 186) ialah “Kekuasaan/ otoritas (yang
dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu
tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin
orang lain”.
Dalam literatur fiqih Islam, perwalian disebut dengan
al-walayah yang berarti mengurus atau mengurusi sesuatu.
Sedangkan al-wali yaitu orang yang mempunyai kekuasaan
(summa, 2005: 134).
Orang yang mengurusi/ menguasai sesuatu
(akad/transaksi), disebut wali. Seperti penggalan ayat dalam
surat Al-Baqarah ayat 282: Falyumlil waliyyuhu bil ‘adl
secara harfiyah kata waliyy berarti yang mencintai, teman
41
-
dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh
dan orang yang mengurus perkara orang lain.
Atas dasar pengertian semantik kata wali di atas,
dapatlah dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam
menetapkan bahwa orang yang paling berhak menjadi wali
bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya karena
ayah adalah orang yang paling dekat dan siap menolong
bahkan yang selama ini mengasuh dan membiayai anak-
anaknya. Jika tidak ada ayahnya, barulah hak perwaliannya
digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah
sebagaimana dibahas tuntas dalam buku-buku fiqih.
Jadi, ketika anak angkat perempuan mau menikah maka
yang menjadi wali nikah adalah ayah kandungnya atau wali
nasabnya. Pasal 19 sampai 23 Kompilasi Hukum Islam
menjelaskan apabila wali nasabnya tidak ada atau tidak
mungkin menghadirkannya atu tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan, maka yang
bertindak sebagai wali nikah adalah wali hakim. Dalam hal
wali adlal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak
sebagai wali nikah setelah ada keputusan Pengadilan Agama
tentang wali tersebut.
42
-
C. Konsep Pengangkatan Anak dalam Perundang-Undangan
1. Pengertian Pengangkatan Anak dalam Perundang-Undangan
Pengangkatan anak merupakan salah satu bentuk
perlindungan terhadap anak, oleh karena itu dalam pengangkatan
anak maka anak angkat harus mendapat kepastian hukum agar
terjamin hak-haknya. Anak angkat bisa mendapatkan kepastian
hukum setelah adanya penetapan dari putusan pengadilan.
Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak, pengangkatan anak diatur dalam pasal 12
yang selengkapnya berbunyi:
a. Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan
dilaksanakan dengan mengutamakan kesejahteraan anak
b. Kepentingan kesejateraaan anak yang termaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
c. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak
yang dilakukan diluar adat dan kebiasaan, dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Adapun pengangkatan anak dalam Undang-Undang No.
35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak yang diatur dalam pasal 39,
yang telah mengalami perubahan yaitu ketentuan ayat (1), ayat
(2), dan ayat (5) diubah, diantara ayat (2) dan ayat (3)
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), dan diantara ayat (4)
43
-
dan ayat (5) disisipkan satu ayat yakni ayat (4a), sehingga pasal
39 selengkapnya berbunyi berikut:
1.) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2.) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya.
2a. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dicatatkan dalam akta kelahiran, dengan tidak
menghilangkan identitas awal anak.
3.) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama
yang dianut oleh calon anak angkat.
4.) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
4a. Dalam hal anak tidak diketahui asal-usulnya, orang yang
akan mengangkat anak tersebut harus menyertakan
identitas anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat
(4).
5.) Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, agama anak
disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
44
-
2. Syarat dan Tujuan Pengangkatan Anak dalam Perundang-
undangan.
Dalam ketentuan PP No. 54 Tahun 2007 pasal 12 tentang
pelaksanaan pengangkatan anak disebutkan bahwa syarat anak
yang akan diangkat, meliputi:
a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun
b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan
c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga
pengasuhan anak dan
d. memerlukan perlindungan khusus
Berkaitan usia si anak angkat, ada beberapa pembagian
meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakn prioritas
utama
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12
(dua belas) tahun sepanjang ada alasan mendesak, dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak
memerlukan perlindungan khusus.
Sedangkan calon orang tua angkat dalam ketentuan PP
No. 54 tahun 2007 pasal 13 harus memenuhi syarat-syarat:
a. sehat jasmani dan rohani
45
-
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling
tinggi 55 (lima puluh lima) tahun
c. beragama sama dengan agama calon si anak angkat
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak kejahatan
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun
f. tidak merupakan pasangan sejenis
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki
satu orang anak
h. keadaan mampu ekonomi dan sosial
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua
atau wali anak
j. dalam akta kelahiran tercantum nama orang tua kandung
bukan nama calon orang tua angkat.
k. Surat penyerahan anak dari ibu kandung atau wali kepada
calon orang tua angkat.
l. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak
adalah demi kepentingan yang terbaik bagi anak,
kesejahteraan dan perlindungan anak
m. membuat pernyataan tertulis bermaterai bahwa jika
COTA memiliki anak kandung maka COTA akan
memperlakukan CAA sama tanpa diskriminasi.
46
-
n. membuat pernyataan tertulis bermaterai bahwa COTA
akan memberitahukan asal usul anak kandungnya dan
orang tua kandungnya melihat kesiapan anak.
o. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat atau
surat keterangan COTA mengenai kronologis anak
hingga berada dalam asuhannya.
p. Surat pernyataan dan jaminan COTA bermaterai bahwa
seluruh dokumen yang diajukan adalah sah dan sesuai
fakta yang sebenarnya.
q. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6
(enam) bulan sejak izin pengasuhan diberikan, dan
r. memperoleh izin menteri dan/ atau kepala instansi sosial
propinsi.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak bertujuan untuk kepentingan
terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan
perlindungan anak berdasarkan adat kebiasaan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Untuk menjamin kepastian hukum hanya didapat setelah
memperoleh putusan pengadilan, baik Pengadilan Negeri atau
Pengadilan Agama. Di dalam hasil putusan antara Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama itu berbeda. Dimana, dalam
putusan Pengadilan Negeri memberikan konsekuensi semua
47
-
tanggung jawab orang tua kandung beralih kepada orang tua
yang mengangkatnya. Sedangkan dalam putusan Pengadilan
Agama, tidak semua tanggung jawab orang tua kandung beralih
kepada orang tua yang mengangkatnya.
Dengan demikian, pengangkatan anak di Indonesia dapat
diakasanakan menurut adat dan kebiasaan dan perundang-
undangan yang berlaku, semuanya berkekuatan hukum sama
dan dilakukan demi kepentingan yang terbaik bagi anak angkat.
3. Prosedur dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut
Perundang-Undangan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Pasal 20 ayat:
(1) Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi
persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan
penetapan pengadilan
(2) pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan
anak ke instansi terkait.
Tata Cara Pengangkatan Anak
Berdasarkan SEMA RI No. 6 Tahun 1983 jo No. 4 Tahun
1989 jo no. 4 tahun 2005 yang mengatur tentang pengangkatan
anak menyatakan bahwa untuk mengangkat anak harus lebih
48
-
dahulu mengajukan permohonan atau pengesahan di pengadilan
yang berwenang dimana anak itu berada.
Adapun syarat formilnya yaitu:
a. Bentuk permohonan bisa secara tertulis atau lisan
kemudian diajukan ke panitera.
b. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh
pemohon atau kuasanya, dengan dibubuhi materai
secukupnya
c. Permohonan ditujukan kepada Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal anak yang
akan diangkat.
Adapun mengenai isi permohonan yang dapat diajukan
adalah:
a. Motivasi mengangkat anak, semata-mata berkaitan
dengan masa depan anak tersebut.
b. Penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut
di masa yang akan datang.
Karena putusan yang dimintakan ke pengadilan bersifat
tunggal, maka ada beberapa hal yang dilarang dalam
permohonan yaitu:
a. Menambah permohonan selain pengesahan
pengangkatan anak
49
-
b. Pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi
ahli warisnya.
Setelah permohonan disetujui Pengadilan dan
mendapatkan Keputusan Pengadilan mengenai pengangkatan
anak, langkah selanjutnya yaitu membawa salinan tersebut ke
kantor Catatan Sipil untuk menambahkan dalam akta
kelahirannya. Dalam akta tersebut dinyatakan bahwa anak
tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan disebutkan nama
orang tua angkatnya.
Jadi berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut diatas,
dalam menjamin kepastian hukum anak angkat maka prosedur
pengangkatan anak yang baik dan benar haruslah diajukan ke
pengadilan yang berwenang untuk mendapatkan penetapan dari
pengadilan. Setelah mendapatkan putusan penetapan dari
pengadilan maka status anak menjadi jelas dan sah serta
berkekuatan hukum pasti.
Dalam staatblaad 1917 No. 129 menjelaskan, akibat
hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut
memperoleh nama bapak angkatnya, dijadikan sebagai anak
yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi
ahli waris dari orang tua angkat. Itu artinya, akibat
pengangkatan anak tersebut maka terputus semua hubungan
50
-
perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran yaitu
antara orang tua kandung dengan anak tersebut.
Dalam pasal 852 KUHPerdata, anak angkat tidak menjadi
pewaris sebagaimana bunyi pasal tersebut:
Anak-anak atau keturunan-keturunan sekalipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan orang tua mereka atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis ke atas tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri, mereka mewarisi pancang demi pancangjika merka semua atau sebagian mereka mewarisi sebagai pengganti.
Dalam pengangkatan anak dengan akibat dalam hukum
kewarisan, anak angkat ikut menjadi ahli waris karena sudah
dianggap sebagai anak. Bahkan ia juga menjadi hajib
(penghalang), sehingga kerabat yang asli justru tidak mendapat
jatah warisan karena terhalang olehnya. Padahal jika tidak ada
dia, tentu mereka mendapat bagian.
Ketentuan mengenai perwalian juga diatur dalam Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 50
menyatakan:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali.
51
-
2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan
maupun harta bendanya.
Dalam BW (Burgerlijk Wetboek), perwalian diatur dalam
pasal 331 sampai dengan pasal 344. Pada setiap perwalian hanya
boleh ada satu orang wali saja (pasal 331 BW).
D. Konsep Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat
1. Pengertian Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan
darah antara seseorang dengan yang lain. Keturunan merupakan
unsur yang hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku ataupun kerabat
yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya
ada generasi penerusnya. Oleh karena itu, apabila ada suatu klan,
suku ataupun kerabat yang khawatir akan mengahadapi kepunahan
klan, suku atau kerabat pada umumnya melakukan adopsi
(pengangkatan anak) untuk menghindari kepunahannya.
Secara garis besar di Indonesia pengangkatan anak atau
adopsi menurut hukum adat dapat digolongkan dalam dua macam
adopsi:
a. Adopsi umum, maksudnya mengangkat anak dengan
cara:
1) Terang dan tunai, pelaksanaan pengangkatan anak
dengan kesaksian dan pembayaran.
52
-
2) Terang saja, pelaksanaan pengangkatan anak
disaksikan oleh Kepala Desa
3) Tunai saja, pelaksanaan pengangkatan anak dengan
pembayaran benda-benda magis sebagai gantinya
4) Tidak terang dan tidak tunai, pelaksanaan
pengangkatan anak tanpakesaksian dan pembayaran.
b. Adopsi khusus yang antara lain mencakup:
1) Mengangkat orang lain (luar) menjadi warga suatu
clan
2) Mengangkat anak tiri menjadi anak kandung
3) Pengangkatan derajat anak (Soerjono Soekanto, 1980:
52).
Dari berbagai macam adopsi yang dikenal di Indonesia,
mempunyai akibat hukum yang berbeda karena setiap daerah
mempunyai kebiasaan yang berbeda antara daerah yang satu
dengan yang lainnya. Demikian pula akibatnya dalam bidang
waris, anak angkat di Indonesia tidak selamanya mempunyai
hak untuk mewarisi seluruh kekayaan orang tua angkatnya.
Pada derah yang mengikuti sistem kebapakan (patrilinial)
pada prinsipnya pengangkatan anak hanya pada laki-laki dengan
tujuan utama untuk menerusskan keturunan. Di daerah yang
mengikuti garis keibuan (matrilinial) pada prinsipnya tidak
mengenal lembaga pengangkatan anak karena yang mewarisi
53
-
adalah anak-anak saudaranya yang perempuan dan sekandung,
maka tidak terjadi pengangkatan anak. Sedangkan di daerah
yang mengikuti garis keibuan atau kebapakan (parental) pada
umumnya ditujukan pada keponakannya sendiri meskipun ada
juga yang mengangkat anak bukan dari keponakan atau famili.
Adapun alasan pengangkatan anak ditujukan pada
keponakannya sendiri yaitu:
a. Untuk memperkuat tali kekeluargaan dengan orang tua
angkat.
b. Untuk menolong anak yang diangkat atau berdasakan atas
dasar belas kasihan
c. Untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat membantu
pekerjaan dirumah sehari-hari.
d. Sebagai pancingan untuk mempunyai anak (Muderis
Zaini, 1999: 65).
Pengangkatan anak menurut adat dapat dilihat sebagai
berikut:
Pengangkatan anak di Indonesia ada yang pelaksanaanya
dilakukan dengan memakai upacara keagamaan serta
pengumuman dan penyaksian pejabat dan tokoh agama agar
terang (clear) statusnya. Setelah selesai upacara pengangkatan,
si anak menjadi anggota penuh dari kerabat yang
54
-
mengangkatnya dan terputus hak warisnya dengan kerabat yang
lama, seperti di Bali.
Di Sulawesi Selatan, anak angkat masih ada hubungan
waris dengan orang tua kandung dan keluarganya. Orang tua
angkat dan keluarganya tidak berhak menjadi orang tua angkat,
tetapi si anak bisa diberi hibah dan wasiat. Praktek hukum
keluarga atau hukum waris semacam ini di Sulawesi Selatan
adalah akibat pengaruh Islam yang cukup kuat di daerah ini.
Demikian pula di Jawa, anak angkat masih tetap menjadi
ahli waris dari orang tua kandungnya dan keluarganya. Iapun
berhak pula sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya tetapi
hanya terbatas pada kerabat si suami atau kerabat si istri.
Menurut B Ter Haar Bzh, hak waris anak angkat seperti di Jawa
tersebut (tidak penuh hak warisnya atas harta peninggalan orang
tua angkat) adalah karena pengangkaatan anak di Jawa itu bukan
urusan kerabat dan pelaksanaannya tidak dibuat “terang”,
artinya tidak pakai upacara keagamaan dan disaksikan oleh
pejabat dan tokoh agama. Menurut B. Ter Haar Bzh, di
Minangkaabau tampaknya tidak ada adopsi karena pengaruh
agama Islam yang cukup kuat di daerah itu( Muderis Zaini,
1999:37).
55
-
2. Syarat dan Tujuan Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat
Secara garis besar dari berbagai macam cara pengangkatan
anak yang dikenal di Indonesia dapat disimpulkan sebagai
alasannya antara lain:
1) Karena tidak mempunyai anak,
2) Karena belas kasihan kepada anak karena orang tuanya
tidak mampu membiayai anaknya,
3) Karena yatim piatu
4) Telah mempunyai anak kandung sendiri tetapi semuanya
laki-laki atau semuanya perempuan,
5) Sebagai ‘pancingan’ karena belum mempunyai anak,
6) Untuk mempererat hubungan kekeluargaan,
7) Untuk suatu jaminan hari tua,
8) Karena unsur kepercayaan tertentu (Soemitro, 1990:36)
Adapun tujuan dari pengangkatan anak itu sendiri yaitu
ingin mempunyai keturunan yang dapat merawat di hari tuanya
serta dapat meneruskan perjuangan atau usaha di keluarga
tersebut.
3. Prosedur dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Di Jawa Tengah hukum adatnya sendiri tidak memberi
ketentuan tentang cara mengangkat anak. Pada umumnya
kebiasaan yang dilakukan ialah adanya persetujuan kedua belah
56
-
pihak antara orang tua kandung dengan orang tua yang akan
mengangkatnya. Dengan terjadinya pengangkatan anak maka
terjalin hubungan orang tua angkat dengan anak angkat seperti
halnya orang tua kandung dengan anak kandung. Dengan
demikian hubungan dengan orang tua kandung menjadi terputus,
seperti halnya di Semarang dan Magelang. Akan tetapi tidak
semua hubungan antara orang tua kandung dengan anaknya
terputus, seperti di Banyumas bahwa hubungan antara anak
dengan orang tua kandungnya masih ada. Tetapi orang tua tidak
boleh ikut campur dalam hal perawatan, pemeliharaan dan
pendidikan si anak.
Di Jawa dan Sulawesi adopsi jarang dilakukan dengan
sepengetahuan kepala desa. Mereka mengangkat anak dari
kalangan keponakan atau tetangga. Lazimnya adopsi tanpa
disertai pembayaran uang atau pemberian barang kepada orang
tua si anak.
Mengenai pewarisan di Jawa Tengah seorang anak angkat
itu “ngangsu sumur loro” yang artinya dia mendapat warisan
dari kedua orang tuanya, baik orang tua kandung atau orang tua
angkat (Bastian Tafal, 1983:72-74).
Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat,
antara lain:
57
-
a. Dengan Orang Tua Kandung
Anak yang sudah diadopsi orang lain mengakibatkan
hubungan dengan orang tua kandungnya menjadi putus. Hal ini
berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tatacara pengangkatan
anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung
telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal ini seperti terdapat di
daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan (Teer Haar, 1974:
182).
Sedangkan di daearah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Sumatra Timur perbuatan pengangkatan anak
hanyalah memasukkan anak itu kedalam kehidupan rumah
tangga, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu
dengan orang tua kandung. Namun hubungan dalam arti
kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan orang
tua kandung tidak boleh ikut campur dalam urusan perawatan,
pemeliharaan dan pendidikan si anak.
b. Dengan Orang Tua Angkat
Anak angkat terhadap orang tua angkat mempunyai
kedudukan sebagai anak kandung. Anak angkat berhak mewaris
dan keperdataan. Hal ini dapat dibuktikan di beberapa daerah di
Indonesia seperti di Bali, adopsi merupakan perbuatan hukum
melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya sendiri serta
58
-
memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat sehingga
selanjutnya menjadi anak kandung.
Dalam buku Hukum Kekerabatan Adat, Hilman
Hadikusuma (1987: 114) menyatakan “Selain pengurusan dan
perwalian anak dimaksud bagi keluarga yang mempunyai anak,
apalagi yang tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi
yaitu pengangkatan anak berdasar adat kebiasaan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Adopsi
dimaksud tidak memutus hubungan darah antara anak dengan
orang tua kandungnya berdasar hukum yang berlaku bagi anak
yang bersangkutan”.
Selanjutnya mengenai hak mewaris anak angkat, menurut
keputusan Mahkamah Agung tidak semua harta peninggalan
bisa diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas harta gono-
gini orang tua angkat, sedangkan terhadap harta asal anak
angkat tidak berhak mewaris.
Beberapa yurisprudensi berikut ini akan menunjukkan
kedudukan anak angkat sebagai ahli waris:
Putusan Mahkamah Agung RI Tanggal 18 Maret 1959
Nomor 37 K/Sip/1959:
Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.
59
-
Melalui putusan Mahkamah Agung itu, satu azas
pewarisan adat tetap dipertahankan yakni bahwa harta asal
(harta pusaka) harus tetap dimiliki oleh kerabat karena
hubungan darah atau nasab.
Dalam pengangkatan anak terdapat banyak sistem
tergantung pada adat setempat, namun perlu diingat bahwa
pengangkatan anak secara adat belum mempunyai kekuatan
hukum sepanjang belum disahkan sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku.
E. Pendaftaran Akta Kelahiran di Kantor Catatan Sipil
Akta merupakan surat yang diperbuat sedemikian rupa oleh
atau di hadapan pegawai yang berwenang untuk membuatnya
menjadi bukti yang cukup sebagai hubungan hukum tentang segala
hal yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan
langsung dengan perihal pada akta itu.
Pencatatan sipil adalah pencatatan peristiwa penting yang
dialami oleh seseorang dalam register pencatatan sipil pada instansi
pelaksana. Catatan kependudukan atau kewarganegaraan tersebut
oleh pemerintah untuk memberikan kedudukan hukum terhadap
peristiwa yang membawa akibat hukum keperdataan dari diri
seorang dimulai sejak kelahiran sampai peristiwa kematian. Akta
pencatatan sipil terdiri atas register akta pencatatan sipil dan kutipan
akta pencatatan sipil.
60
-
Seluruh peristiwa yang terjadi dalam keluarga yang
mempunyai aspek hukum harus didaftarkan dan dibukukan sehingga
baik yang bersangkutan sendiri atau orang lain yang berkepentingan
mempunyai bukti yang autentik tentang peristiwa tersebut sehingga
kedudukan hukum seseorang menjadi tegas dan jelas.
Apabila dilihat dari segi hukum administrasi negara, bahwa
pengeluaran akta-akta oleh catatan sipil adalah suatu perbuatan
administrasi negara dari suat