fenomena pencalegan di kalangan artis -...

21
FENOMENA PENCALEGAN DI KALANGAN ARTIS Oleh : Dedet Erawati e-mail : [email protected] Universitas Padjdjaran Politik sejatinya adalah cara untuk mencapai kekuasaan yang dilandasi oleh semangat pengabdian perjuangan dalam mewujudkan kebaikan umum. Hal inilah yang kemudian menjadi ruh dari politik itu sendiri, yakni sebuah perjuangan untuk mencapai kepentingan umum. Tidak terasa sudah 15 tahun sejak rezim Soeharto diruntuhkan, demokrasi di Indonesia benar-benar di jalankan. Tentunya terdapat perbedaan sistem pemilihan kepala negara, daerah, dan anggota legislatifnya. Oleh karena itu diperlukannya pendidikan politik yang baik agar pelaku serta partisipan dari pemilihan tersebut dapat bersikap dewasa Tidak terasa 1 tahun lagi kita akan menyambut pemilihan umum. Kondisi tersebut bisa kita rasakan dimulai dari tahun 2013 ini. Tahun 2013 sering disebut sebagai tahun politik. Pernyataan tersebut sangatlah beralasan mengingat kurang dari satu tahun lagi, Indonesia akan menggelar pesta akbar demokrasi yakni pemilihan umum 2014.. Tentunya dalam kesempatan tersebut masyarakat Indonesia akan memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk di legislatif baik tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat selain itu juga berkesempatan untuk memilih langsung kepala negara yang akan memimpin negara Indonesia lima tahun ke depan. Fenomena yang dapat kita jumpai akhir-akhir ini, dimana sudah banyak baligho-baligho, spanduk, serta papan iklan yang telah memuat foto- foto dari para calon tersebut. Bukan hanya mengiklankan dirinya saja melalui media-media tersebut, tetapi para calon tersebut telah melakukan kegiatan-kegiatan kampanye tidak resmi di lingkungan sekitar mereka. Banyak sekali kegiatan-kegiatan tersebut kita jumpai, seperti : pengobatan gratis, bagi-bagi uang, hingga hal-hal sosial lainnya. Kegiatan-kegiatan yang telah dijabarkan di atas, dilakukan para calon tersebut bertujuan untuk memunculkan citra positif pada diri mereka. Para calon tersebut, beranggapan jika masyarakat menilai citra mereka positif maka semakin memudahkan para calon menang dalam PEMILU 2014. Hal yang penulis amati disini adalah partai politik sudah berbondong-bondong mendaftakan bakal calon legislatifnya untuk “siap tempur” pada pemilu 2014 mendatang. Para

Upload: hoangdieu

Post on 13-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

FENOMENA PENCALEGAN DI KALANGAN ARTIS

Oleh :

Dedet Erawati

e-mail : [email protected]

Universitas Padjdjaran

Politik sejatinya adalah cara untuk mencapai kekuasaan yang dilandasi oleh semangat

pengabdian perjuangan dalam mewujudkan kebaikan umum. Hal inilah yang kemudian menjadi

ruh dari politik itu sendiri, yakni sebuah perjuangan untuk mencapai kepentingan umum. Tidak

terasa sudah 15 tahun sejak rezim Soeharto diruntuhkan, demokrasi di Indonesia benar-benar di

jalankan. Tentunya terdapat perbedaan sistem pemilihan kepala negara, daerah, dan anggota

legislatifnya. Oleh karena itu diperlukannya pendidikan politik yang baik agar pelaku serta

partisipan dari pemilihan tersebut dapat bersikap dewasa Tidak terasa 1 tahun lagi kita akan

menyambut pemilihan umum. Kondisi tersebut bisa kita rasakan dimulai dari tahun 2013 ini.

Tahun 2013 sering disebut sebagai tahun politik. Pernyataan tersebut sangatlah beralasan

mengingat kurang dari satu tahun lagi, Indonesia akan menggelar pesta akbar demokrasi yakni

pemilihan umum 2014.. Tentunya dalam kesempatan tersebut masyarakat Indonesia akan

memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk di legislatif baik tingkat kabupaten, provinsi,

hingga pusat selain itu juga berkesempatan untuk memilih langsung kepala negara yang akan

memimpin negara Indonesia lima tahun ke depan. Fenomena yang dapat kita jumpai akhir-akhir

ini, dimana sudah banyak baligho-baligho, spanduk, serta papan iklan yang telah memuat foto-

foto dari para calon tersebut. Bukan hanya mengiklankan dirinya saja melalui media-media

tersebut, tetapi para calon tersebut telah melakukan kegiatan-kegiatan kampanye tidak resmi di

lingkungan sekitar mereka. Banyak sekali kegiatan-kegiatan tersebut kita jumpai, seperti :

pengobatan gratis, bagi-bagi uang, hingga hal-hal sosial lainnya.

Kegiatan-kegiatan yang telah dijabarkan di atas, dilakukan para calon tersebut bertujuan

untuk memunculkan citra positif pada diri mereka. Para calon tersebut, beranggapan jika

masyarakat menilai citra mereka positif maka semakin memudahkan para calon menang dalam

PEMILU 2014. Hal yang penulis amati disini adalah partai politik sudah berbondong-bondong

mendaftakan bakal calon legislatifnya untuk “siap tempur” pada pemilu 2014 mendatang. Para

politisi yang sudah terdaftar sebagai calegpun sudah memulai mempersiapkan diri secara mental

maupun materi untuk bertarung dikancah perpolitikan tanah air. Akhir-akhir ini kita melihat

banyaknya banyak artis yang maju sebagai calon anggota legislatif. Sesungguhnya bukan

keberadaan artisnya yang menjadi masalah, tetapi dijadikannya artis sebagai alat oleh partai

politik untuk memperoleh kursi, hal itulah yang menjadi masalah. Partai politik menjadikan artis

sebagai jawaban atas permintaan masyarakat yang telah bosan dan apatis terhadap politisi-

politisi lama dan menginginkan wajah-wajah baru. Sehingga tentunya terlintas di benak pikiran

kita, apakah caleg yang berasal dari kalangan artis itu memiliki kemampuan atau kualitas yang

baik untuk dijadikan perwakilan suara rakyat yang dapat memperjuangkan aspirasi suara rakyat.

Tampaknya, menjelang pemilu 2014, para artis akan lebih banyak jadi incaran partai

politik, apalagi tensi persaingan antar partai dalam meraup suara semakin tinggi. Untuk

memuluskan kompetisi tersebut, ada parpol yang sengaja memperlebar ruang buat artis untuk

dijadikan sebagai calon legislatif. Melihat kegencaran parpol dalam hal rekruitmen kalangan

artis, diperkirakan akan banyak artis mengikuti proses polititasi yang dilakukan parpol, dalam

rangka mentranformasi artis jadi politisi senayan. Dan belakangan ini rekrutman calon legislatif

dari kalangan artis untuk dicalonkan pada pemilu 2014, tampaknya akan lebih besar volumenya.

Sejumlah partai berkompetisi melakukan pantauan terhadap figur-figur artis. Latar belakangnya

dan dasar pemikirannya juga tak berbeda seperti saat pencalonan kalangan artis pada pemilu

2009 lalu. Substansi pertimbangannya adalah tingginya nilai popularitas figur artis untuk bisa

dijual ke publik. Memang tak ada salahnya jika parpol dinilai mempolitisasi artis untuk dijadikan

politisi, dan tak ada pula aturan yang melarang artis jadi politisi, meskipun ada sejumlah

kalangan yang menolak artis sebagai calon legislatif.

Secara konstitusional, setiap warga negara berhak untuk ikut terlibat dalam kegiatan

politik. Demikian halnya dengan kalangan artis yang notabene mereka juga warga negara biasa.

Sehingga tidak ada yang dapat melarang seorang artis untuk ikut terlibat dalam dunia politik.

Pertanyaan yang kemudian mucul adalah layakkah seorang artis menjadi anggota legislatif?.

Pertanyaan itu muncul mengingat seorang artis lebih identik dengan kehidupan yang glamor dan

hura-hura sehingga dirasa tidak memiliki kemampuan untuk menjadi anggota legislatif. Sering

kali juga seorang artis dianggap hanya mengandalkan sisi popularitas yang tinggi dan kadang

kurang memiliki kapasitas maupun kapabilitas yang mumpuni untuk mencalonkan diri sebagai

caleg. Faktor itulah yang yang membuat seorang artis yang ingin mencalonkan diri sebagai calon

anggota legislatif terkesan hanya aji mumpung. Idealnya siapapun anggota dewan legislatif yang

kelak terpilih, orang tersebut haruslah memiliki kapasitas serta kemampuan untuk mengemban

amanah dari rakyat. Tidak hanya mengandalkan faktor terkenal atau popularitas semata. Tetapi

lebih ditekankan kepada kemampuannya membangun negara dengan mewujudkan aspirasi serta

kesejahteraan rakyat.

Partai-partai politik di Indonesia tentunya memiliki alasan dari penunjukkan artis sebagai

caleg tersebut. Beragam alasan yang dikemukakan oleh partai tersebut, seperti : kualitas yang

dimiliki oleh artis yang nyaleg, memberikan kesempatan bagi siapapun warga negara Indonesia

untuk mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif, dan masih banyak alasan lainnya. Tetapi,

apakah hanya alasan itu saja tidak ada alasan terselubung dari penunjukkan tersebut? Banyak

stereotipe masyarakat kita yang menarik kesimpulan bahwa partai-partai politik menunjuk artis

sebagai calon legislatif bertujuan untuk meningkatkan popularitas partai politik tersebut dengan

menjadikan artis tersebut sebagai vote gatter (pengumpul suara). Hal tersebut diamini oleh

pernyataan dari Syamsudin Haris, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

menegaskan, meningkatnya jumlah artis yang maju sebagai caleg di berbagai partai politik

menunjukan fenomena kegagalan kaderisasi dan kepemimpinan parpol. "Ini menunjukkan bahwa

parpol tidak siap berdemokrasi dengan sehat, karena gagal melaksanakan kaderisasi," tuturnya.

Sudah bukan rahasia lagi, dia melanjutkan, saat ini hampir seluruh partai Politik berebut

meminang artis sebagai caleg. Tujuannya tentu saja sebagai penarik minat masyarakat untuk

memilih partai yang bersangkutan.

Kegagalan proses kaderisasi di lingkungan partai politik yang membawa dampak negatif

ganda. Rekrutmen para artis menjadi caleg berarti memotong mata rantai proses kaderisasi

internal partai politik. Hal ini akan menutup peluang para kader yang sejak awal merintis dan

menekuni kerja-kerja kepartaian di tingkat akar rumput. Jika kader-kader partai politik terhalang

melakukan mobilitas vertikal, maka akan melemahkan kerja-kerja kepartaian karena mereka

merasa tak mendapat penghargaan semestinya. Dalam jangka panjang hal ini dapat memicu

proses pelapukan internal, mengingat kader-kader partai politik yang jauh lebih menghayati

ideology dan memahami cita-cita perjuangan partai politik justru tersisih atau dikalahkan oleh

para artis yang mendapat privilege menjadi caleg. Dalam konteks ini, partai politik tak bisa lagi

dijadikan sebagai sumber rekrutmen kepemimpinan nasional karena tak mampu melakukan

proses kaderisasi secara konsisten, berjenjang, dan terstruktur.

Hal yang tidak kalah penting adalah membekalkan caleg dari kalangan artis tersebut

dengan pengetahuan di bidang organisasi, ekonomi, dan hukum agar tidak kalah dengan caleg

dari kalangan masyarakat non-artis. Karena bidang-bidang tersebut merupakan bidang yang

mendasar yang harus dikuasai oleh caleg dari kalangan manapun. Jika, hal itu tidak dikuasai

bagaimana mereka para anggota legislatif yang dapat mewakili kurang lebih suara 189 juta

rakyat Indonesia. Negara bukanlah suatu tempat latihan untuk para caleg tersebut ketika sudah

terpilih, karena negara ini sudah memiliki permasalahan yang kompleks sehingga tentu saja

dibutuhkan anggota-anggota legislatif yang cakap untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Selain kegagalan kaderisasi anggota partai terdapat alasan lain, yaitu sikap pragmatis

ketika partai politik berharap dapat mengumpulkan suara dalam jumlah banyak dengan

menempuh cara termudah. Salah satu fungsi utama partai politik sebagai mesin politik dalam

proses elektoral adalah mobilisasi konstituen dengan membujuk dan meyakinkan pemilih agar

bersedia menyalurkan aspirasi dan memberikan suara ke partai politik bersangkutan atas dasar

visi, agenda, dan program yang cocok dengan aspirasi mereka. Namun, partai politik gagal

menjalankan fungsi elementer ini sehingga mengambil jalan pragmatis dengan merekrut para

artis yang menjadi idola masyarakat.

Kita tak memungkiri, artis nyaleg merupakan hak politik pribadi masing-masing. Meski

begitu, kita pun punya hak untuk mengkritisi penggunaan hak politik tersebut. Hal tersebut

diamini oleh Kalau sejak awal caleg tak punya komitmen kuat bekerja untuk kesejahteraan

rakyat, niscaya takkan membawa kemaslahatan bagi rakyat yang diwakilinya. Contoh kasus yang

masih hangat adalah kasus korupsi yang membelit selebriti Angelina Sondakh alias Angie

menjadi preseden buruk bagi anggota dewan yang mengkhianati amanat rakyat. Semua orang tak

meragukan popularitas Angie, namun tak bisa menjamin kualitasnya untuk mengabdi kepada

rakyat. Bahkan sebaliknya, memanfaatkan popularitas untuk kepentingan pribadi. Diakui,

masyarakat kita makin kritis, sehingga bisa memilih mana caleg yang benar-benar berkualitas

dan mana yang hanya menjual popularitas, atau artis-artis 'petualang' yang mencoba mencari

peruntungan.

Memang antara partai dan artis tersebut adanya simbiosis mutualisme yang saling

menguntungkan satu dengan lainnya. Partai dapat dengan mudah diuntungkan untuk

memperoleh suara banyak melalui caleg artis tersebut. Sebaliknya bagi artis mendapat ruang

bisnis baru yaitu disamping sebagai artis di media juga bisnis yang berhubungan dengan dunia

politik. Namun idealisme ini bisa tergoyahkan ketika berhadapan dengan permainan uang.

Money politiK inilah yang mengotori demokrasi. Ya, praktik politik tercela ini telah mengotori

kehidupan demokrasi di Indonesia. Kita tentu sepakat politikus yang menggunakan segala cara,

termasuk permainan uang, dalam meraih tujuan, bisa digolongkan sebagai “politikus busuk”.

Kita tak sepenuhnya menentang artis nyaleg. Sebab, meski jumlahnya tak banyak, ada artis yang

punya kapasitas dan kualitas membawa perubahan di negeri.

Pada bulan april 2013, media cetak Kedaulatan Rakyat mengadakan survei mengenai

tingkat kepercayaan masyarakat terhadap artis yang sedang mencalonkan diri sebagai anggota

legislatif. Berikut ini, hasil dari survei tersebut 68,5 persen responden tidak percaya artis nyaleg

membawa aspirasi rakyat. Dari 216 responden itu, hanya 11,1 persen yang menjawab artis

mampu membawa aspirasi rakyat, dan sisanya (20,4 persen) menyatakan abstain. Hasil survei

yang telah digambarkan di atas memperlihatkan bahwa tak mudah mempercayakan lembaga

legislatif di tangan artis. Banyak faktor jadi penyebab, misalnya gaya hidup artis yang glamor,

kehidupan rumah tangga artis yang berantakan, lebih mementingkan keartisan atau popularitas

pribadi ketimbang rakyat serta kapasitas yang belum teruji. Kita memang harus fair menilai

fenomena artis nyaleg. Pepatah bijak jangan memilih kucing dalam karung, kiranya tepat

diterapkan. Janganlah berspekulasi memilih wakil rakyat kalau belum tahu kapasitasnya.

. Sebenarnya alangkah lebih baiknya lagi kalau artis yang mencalonkan diri sebagai

anggota legislatif hendaknya terlebuh dahulu mencari nama di mata masyarakat. Memang artis-

artis tersebut sudah memiliki nama di dunia ke artisannya, tetapi untuk dapat mewakili suara

rakyat diperlukan adanya wujud nyata kepada masyarakat. Sangat baik, bila sebelum

mencalonkan diri mereka terlebih dahulu memberikan prestasi melalui kontribusi membangun

daerah mereka minimal di daerah pemilihan mereka. Banyak cara sebenarnya jika artis-artis

tersebut itu ingin berkontribusi, salah satu contohnya adalah jadilah artis yang dikenal dengan

karyanya bukan karena sensasinya. Sebagai gambaran saja banyak sebenarnya seniman-seniman

yang memperkenalkan budaya daerah mereka untuk ditampilkan pada skala nasional dan

internasional. Hal itu sebenarnya sangat sederhana, tetapi efeknya bisa dirasakan oleh

masyarakat. Tetapi yang sangat disayangkan kontribusi yang mereka lakukan hanya sebatas

kegiatan-kegiatan seremonial saja dan hanya dilakukan mendekati pemilihan umum tersebut

saja.

Tentunya bukan perkara mudah untuk memenangkan artis tersebut dalam pencalonannya,

maka diperlukannya strategi-strategi khusus yang dilakukan partai-partai politik tersebut. Dalam

tulisan ini saya mengangkat dua strategi yang dilakukan partai politik untuk menenangkan caleg

arti tersebut, yaitu : iklan politik dan konsep dramaturgi yang disematkan oleh artis. Untuk

menciptakan kesan yang baik pada diri caleg artis tersebut, maka diperlukannya sebuah iklan

politik yang semakin menunjang mereka agar citra diri caleg tersebut semakin baik. Iklan politik

merupakan suatu bentuk pemasaran politik, yang biasanya disajikan secara berulang-ulang, akan

dapat menarik perhatian orang. Menurut Jalaludin Rakmat, apabila suatu hal disajikan secara

berulang-ulang akan dapat menarik perhatian dan akhirnya mempengaruhi bawah sadar

seseorang. Selain itu, Wells, Burnett & Moriarty (2000) menyatakan bahwa seseorang butuh

untuk mendengar atau melihat sesuatu minimal tiga kali sebelum hal yang didengar atau dilihat

menempel dalam memori seseorang. Informasi yang berasal dari terpaan iklan dan perasaan-

perasaan yang terbentuk daripadanya dapat mempengaruhi sikap terhadap obyek iklan dan

akhirnya dapat mempengaruhi tindakan khalayak.

Terkait penggunaaan iklan politik peneliti memiliki data biaya iklan politik, data AC

Nielsen menunjukkan bahwa belanja iklan 41 partai politik pada Pemilu tahun 1999 mencapai

Rp. 35,6 milyar dengan total dana kampanye partai politik dalam Pemilu tahun 1999 berdasarkan

iklan yang ditayangkan dari 10 partai politik yang paling besar mengalokasikan dana adalah

Rp.34,0 milyar. Sedangkan pada Pemilu 2004, penggunaan strategi periklanan dalam kampanye

politik makin semarak. Belanja iklan nasional partai politik mengalami peningkatan yang

signifikan. hasil riset Nielsen Media Research (NMR) periode Maret 2004 menunjukkan bahwa

total belanja iklan partai politik mencapai Rp. 112,2 milyar. Untuk Pemilu tahun 2009, total

belanja iklan partai politik peserta Pemilu diperkirakan naik menjadi sekitar Rp 2 triliun.

Semakin ketatnya aturan bagi partai politik yaitu dengan adanya aturan parliamentary threshold

dan electoral threshold berdasarkan UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Pasal 202

ayat 1, diyakini semakin membuat belanja iklan partai politik melonjak tajam.

Dengan iklan mereka tak hanya dapat melakukan perjumpaan dengan rakyat Indonesia

yang terlampau banyak itu, namun dengan iklan mereka mampu memanipulasi diri agar tampak

baik dan mengagumkan. Agaknya sebab itu pula, dalam penampilan mereka di iklan-iklan, para

politisi itu tak menjual programnya, tapi bagaimana menampilakan citra yang baik, dalam durasi

beberapa menit. Pesan-pesan politiknya dibuat sesingkat mungkin, supaya dapat mempengaruhi

kesadaran para pemilih yang mengambil kesimpulan berdasar low information rationality.

Sementara itu, terkait dengan kebijakan sebagian partai politik yang menetapkan calon legislatif

dari kalangan artis, banyak yang meyakini bahwa hal tersebut adalah upaya partai politik

memanfaatkan popularitas yang bersangkutan untuk mendongkrak perolehan suara partai

tersebut. Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa suara terbanyak menjadi dasar

penetapan anggota legislatif, maka tak ayal lagi kalau popularitas dari calon yang diusung

merupakan salah satu modal terbesar untuk meraup suara.

Strategi khusus yang kedua adalah strategi yang dibalut dengan konsep dramaturgi.

Menarik, jika kita amati bahwa strategi tersebut sering dibalut dengan konsep dramaturgi dari

artis tersebut. Dimana artis tersebut sangat piawai memainkan perannya sebagai calon legislatif

sehingga dapat meyakinkan masyarakat untuk memilih mereka. Dalam tulisan ini, saya akan

mengkaitkan fenomena pencalegan artis dengan konsep pendekatan dramaturgi yang dibahas

oleh Erving Goffman. Mengapa penulis memilih pendekatan dramaturgi Erving Goffman karena

pendekatan ini menggambarkan bagaimana seseorang memainkan peran sosialnya sehingga

menimbulkan citra diri yang dipengaruhi oleh lingkungan luar.

Sebelum terlampau jauh untuk mengetahui apa yang dinamakan konsep dramaturgi,

alangkah lebih baiknya kita membahas mengenai sejarahnya terlebih dahulu. Konsep dramaturgi

dimulai pada tahun 1945 oleh pria bernama Kenneth Duva Burke (Mei 5, 1897 – November 19,

1993) seorang teoritis literatur Amerika dan filosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai

metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan

kehidupan sosial. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami

motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan (Fox,

2002).Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang model

pengetahuan (Burke, 1978). Pandangan Burke adalah bahwa “hidup bukan seperti drama, tapi

hidup itu sendiri adalah drama”. 1959: The Presentation of Self in Everyday Life Tertarik dengan

teori dramatisme Burke, Erving Goffman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang sosiolog

interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut dan menyempurnakannya

dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu

sosial The Presentation of Self in Everyday Life. Dalam buku ini Goffman yang mendalami

fenomena interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi.

Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau pertunjukan fiksi diatas

panggung dimana seorang aktor memainkan karakter manusia-manusia yang lain sehingga

penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur

cerita dari drama yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga digunakan dalam istilah teater

namun term dan karakteristiknya berbeda dengan dramaturgi yang akan kita pelajari. Dramaturgi

dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles. Sekitar tahun 350 SM, Aristoteles, seorang

filosof asal Yunani, menelurkan, Poetics, hasil pemikirannya yang sampai sekarang masih

dianggap sebagai buku acuan bagi dunia teater. Dalam Poetics, Aristoteles menjabarkan

penelitiannya tentang penampilan/drama-drama berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah

komedi. Untuk menghasilkan Poetics Aristoteles meneliti hampir seluruh karya penulis Yunani

pada masanya. Kisah tragis merupakan obyek penelitian utamanya dan dalam Poetic juga

Aristoteles menyanjung Kisah Oedipus Rex, sebagai kisah drama yang paling dapat

diperhitungkan. Meskipun Aristoteles mengatakan bahwa drama merupakan bagian dari puisi,

namun Aristoteles bekerja secara utuh menganalisa drama secara keseluruhan. Bukan hanya dari

segi naskahnya saja tapi juga menganalisa hubungan antara karakter dan akting, dialog, plot dan

cerita.

Bila Aristoteles mengungkapkan Dramaturgi dalam artian seni. Maka, Goffman

mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui, Goffman memperkenalkan

dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The

Presentation of Self In Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam perilaku interaksi

yang kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita

sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain

dalam sebuah pertunjukan drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang

berarti ada pertunjukan yang ditampilkan. Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka Goffman

mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk memberi

kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah

penerimaan penonton akan manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat

aktor sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin

mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat

dikatakan sebagai bentuk lain dari komunikasi. Kenapa komunikasi? Karena komunikasi

sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia

berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai

tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dramaturgis,

yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga

dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari

konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil

dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manusia ada

“kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari

maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu

kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi permainan peran dalam

kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah

mekanisme tersendiri, dimana dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-

sosok tertentu.

Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan

merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri.

Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah

dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi

sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk

menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan

dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia

akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya

pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan

pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata

(dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang

baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan

diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada

perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (front stage) dan di belakang

panggung (back stage) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton

(yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha

untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita.

Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama

yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management diatas). Sedangkan back

stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada

penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana

yang harus kita bawakan

Menurut Goffman, Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi

dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut.

Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah

aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain

melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep

dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya

tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus

mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting,

kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan

untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai

tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman

juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front

stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage

adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan.

Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami

tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan

untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut pada impression management

diatas). Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan

kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan

plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan.

Konsep yang dikemukakan oleh Erving Goffman ini sebenarnya hampir sama dengan

konsep diri yang dikemukakan oleh Herbert Mead. Meskipun hampir sama, tetap saja ada

perbedaannya. Jika Mead menganggap diri pada dasarnya bersifat sosial, sedangkan menurut

Goffman bukan seperti itu. Bagi Goffman, individu tidak sekadar mengambil peran orang lain,

melainkan bergantung pada orang lain untuk melengkapkan citra diri tersebut. Kontras dengan

konsep diri dari Mead, yang stabil dan sinambung selagi membentuk dan dibentuk masyarakat

berdasarkan basis jangka panjang, diri dari Goffman jelas bersifat temporer dalam arti bahwa

diri tersebut berjangka pendek, bermain peran karena selalu dituntut oleh peran-peran sosial

yang berlainan yang interaksinya dengan masyarakat langsung dalam episode-episode pendek.

Orang lain dalam interaksi itulah yang turut mengisi dan terkadang membentuk gambaran

diri melalui perlakuan mereka terhadap individu. Bila kita kaitkan dengan fenomena pencalegan

artis dimana kita bisa melihat bagaimana artis-artis tersebut berlomba-lomba untuk menarik

simpati kepada masyarakat dengan cara merubah tampilan atau cara bertutur kata mereka. Hal itu

sangat sesuai dengan konsep diri yang di bahas Erving Goffman. Karena dengan cara mereka

sering berinteraksi dengan masyarakat, maka masyarakat akan simpati terhadap mereka dan hal

itu tentu saja akan berpengaruh pada sikap masyarakat untuk memilih mereka sebagai anggota

legislative dan menimbulkan citra yang positif. Membangun citra diri yang positif dimata

masyarakat dengan investasi pencitraan sedini mungkin layak dipertimbangkan setiap bakal

calon anggota legislatif sebelum mereka memutuskan ikut berkompetisi di pemilu agar nantinya

tidak membuang-buang duit saat kampanye nanti.

Untuk membangun citra bukanlah hal yang mudah membutuhkan proses lama agar dapat

dikenal masyarakat. Agar dapat dipilih masyarakat bukanlah sekedar jualan pada saat kampanye

saja karena waktunya hanya sebentar, paling penting disini bagaimana membangun citra yang

positif di mata masyarakat. Mengingat pentingnya untuk menjaga citra tersebut, karena bisa saja

citra yang sudah dibangun dengan susah payah, dalam sekejap hancur karena kelakuan kita

sendiri. Hal tersebut seperti, cerai akibat selingkuh atau kedapatan di kamar hotel merupakan

salah satu contoh yang membuat citra positif yang sudah capek-capek dibangun hancur

berantakan. Oleh karena itu pembangunan citra diri melalui interaksi dengan lingkungan sekitar

hendaknya dibangun serta dijaga dengan baik oleh para calon legislatif tersebut dari kalangan

artis

Bagi Goffman, diri bukanlah sesuatu yang dimiliki individu, melainkan yang

dipinjamkan orang lain kepadanya. Pandangan Goffman terhadap realitas kehidupan manusia

jelas menunjukkan kedekatannya dengan interaksionisme simbolik mazhab Chicago daripada

mazhab Iowa. Presentasi diri, seperti yang ditunjukkan Goffman bertujuan memproduksi definisi

situasi dan identitas sosial bagi para aktor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam

interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada. Dalam perspektif

dramaturgi, Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin

menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai

pengelolaan kesan (impression management), yakni teknik-teknik yang digunakan oleh caleg

dari kalangan artis khususnya pada tulisan ini untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi

tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.

Menurut Goffman, untuk mencapai tujuan tertentu, maka seseorang akan menampilkan

beberapa hal untuk menampilkan dirinya, seperti : cara berpakaian, tempat tinggal, cara berjalan,

cara berbicara, dan hal lainnya yang berhubungan dengan penampilan diri. Contoh cara

berpakaian bisa kita lihat dari contoh yang nyata yaitu, belum lama ini Angel Lelga caleg wanita

dari partai PKB ini merubah cara berpakaiannya sekarang ia menggunakan hijab. Terdapat suara

sumbang mengenai perubahan cara berpakaian tersebut, ada yang berkomentar kalau apa yang

dilakukan oleh Angel Lelga tersebut adalah sebuah pencitraan belaka agar masyarakat simpatik

untuk memilih dia. Tetapi terlepas dari masalah pencitraan atau tidaknya bila kita kaitkan dengan

konsep dramaturgi ini, apa yang dilakukan oleh Angel Lelga ini bisa dikatakan sebagai sarana

untuk menampilkan dirinya dengan kesan yang positif. Karena kita lihat anggapan masyarakat

bila wanita yang berhijab memiliki kepribadian serta ketaatan pada agama yang baik.

Selain itu ada contoh lagi yang menggambarkan pemakaian konsep dramaturgi dalam

kegiatan kampanye. Seperti, konsep dramaturgi diatas sangat cocok untuk mencitrakan Indonesia

pada saat ini tepatnya setelah selesainya pemilu legislatif dan menjelang berlangsungnya pemilu

presiden pada juni mendatang atau lebih tepatnya ketika bangsa ini sedang berada pada masa

kampanye. Fenomena permainan peran di musim kampanye bergulir kian kencang sejak Jusuf

Kalla (JK) dan Partai Golkar melakukan serangkaian manuver. Sebuah pola bermain drama yang

mencoba memalingkan perhatian khalayak pada sosok JK dan partai beringin sebagai

representasi “kekuatan penting” yang siap menggandeng atau digandeng oleh kekuatan politik

mana pun. Kita masih ingat di Pemilu 1999, Golkar babak belur di serang habis-habisan oleh

berbagai pihak. Tak lama berselang, Golkar pun kembali ke jalur kemenangan di Pemilu 2004

dan bisa jadi akan kian kokoh di Pemilu kali ini. Terutama, jika pola bermain “dari kaki ke kaki

“yang diterapkan JK tak mampu dibaca dan dihentikan oleh kekuatan politik lain. Inilah yang

menurut kami contoh paling menarik dan paling aktual dari sebuah peran di panggung depan

(front stage) pentas drama politik kita. Sebuah ranah bermain peran yang menuntut aktor

melakukan serangkaian tindakan yang telah diskenariokan. Artinya, tindakan yang telah diatur

guna memalingkan perhatian khalayak akan peran yang sedang dipentaskan. Berbeda dengan

back stage yang memungkinkan orang bebas dan semaunya berbuat, panggung depan menuntut

konsistensi dan penghayatan yang terukur serta matang.

Beda lagi dengan apa yang dilakukan oleh Fauzi Bowo atau yang di akarab disapa Foke.

perubahan karakter Foke yang sebelumnya ceplas-ceplos, emosional, terkesan arogan, elitis, dan

kawan-kawan. Justru di pilgub kali inilah karakteristik Foke mengalami perubahan yang sangat

drastis 180 derajat yaitu sosok Foke yang terlihat kalem, sabar, santun, dan sifat-sifat baik yang

selama ini kesannya jauh dari seorang Foke. Perubahan ini memang belum bisa

memenangkannya namun jika dianalisis perubahan-perubahan karakter ini sangat menarik untuk

dicermati karena kebanyakan para kandidat pemimpin di Indonesia dan mungkin di dunia ketika

membutuhkan dukungan dari rakyat terutama ketika pemilu seolah-olah mereka menjadi pribadi

yang sangat baik dan dekat dengan rakyat bahkan bisa dikatakan pada waktu kampanye mereka

bisa berubah bagaikan seorang malaikat yang mendengarkan keluh kesah masyarakat dan begitu

banyak mengumbar janji-janji manis pada masyarakat. Mungkin inilah yang disebut konsep

dramaturgi Erving Gofmann yaitu antara front stage dan Back Stage bisa selaras dan bahkan

justru keduanya saling bertolak belakang.

Perlu dicermati, semenjak pilgub DKI Jakarta berakhir dan menghasilkan sosok Jokowi-

Ahok sebagai pemenang. Pemberitaan mengenai Foke di media massa, baik cetak, televisi

maupun online justru semakin banyak dan semakin membawa simpati dan pencitraan yang baik

bagi Foke. Bahkan beberapa komentar dari tokoh-tokoh elit dan masyarakat menyebutkan bahwa

Foke adalah sosok yang Gentlemen dan Negarawan. Hal ini muncul karena sikap Foke yang

secara legowo menerima hasil keputusan KPUD DKI Jakarta yang memutuskan bahwa Foke

kalah dalam pilgub DKI Jakarta. Padahal kebanyakan fenomena yang berkembang di berbagai

daerah Indonesia adalah setelah pilkada berakhir selalu muncul gugatan-gugatan ke MK ataupun

lembaga hukum lainnya. Namun hal yang berbeda justru terjadi pada Foke, ia justru secara

gentleman mengucapkan selamat kepada Jokowi bahkan Foke mau membantu Jokowi untuk

menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di Ibukota ini.

Fenomena ini tak pelak menimbulkan kegemparan di masyarakat dan dunia pers maka

tak mengherankan nama Foke-pun sempat menjadi headline news di beberapa media massa.

Sebenarnya jika fenomena ini dianalisis dengan pendekatan yang berbeda. Bisa jadi ini bukan

murni dari hati Foke dan bisa jadi merupakan bentuk strategi Foke atau bahkan partai di mana

Foke bernaung (Partai Demokrat) untuk membentuk dan mengubah citra Foke di publik.

Memang langkah Foke tersebut terbukti lumayan ampuh dan berhasil untuk membentuk opini

publik mengenai citra Foke yang saat ini identik dengan sosok yang Gentleman dan Negarawan.

Padahal sebelumnya ketika Foke menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sosok Foke identik

dengan sosok yang Arogan dan bahkan sering terlibat konfrontasi dengan media massa.

Perubahan citra Foke ini tak pelak bisa dikaitkan dengan bursa Capres dan Cawapres RI

2014 nanti, walaupun analisis ini terkesan mengada-ada namun sebenarnya beberapa kabar sudah

beredar mengenai isu tentang kursi cawapres bisa jadi merupakan target dari Foke selanjutnya.

Hal ini bisa saja terealisasi, karena toh! Berdasarkan hasil survei berbagai lembaga survei di

Indonesia menunjukkan bahwa rakyat Indonesia masih kebingungan dan belum menemukan

sosok yang tepat untuk mengisi kursi presiden dan wakil presiden. Bisa jadi langkah yang

dilakukan Foke sekarang ini yang dengan mudah ‘mengikhlaskan’ kursi gubernur DKI Jakarta

merupakan bentuk strategi dari Foke untuk mendapatkan posisi yang lebih prestise dari jabatan

gubernur DKI Jakarta. Jika dihitung-hitung posisi wakil presiden merupakan posisi yang sangat

mungkin untuk Foke dapatkan. Karena untuk jabatan presiden rasa-rasanya masih sulit untuk

Foke raih apalagi Foke saat ini bernaung di Partai Demokrat yang notabene tidak menyinggung

nama Foke untuk calon presiden selanjutnya. Namun dunia politik adalah dunia yang dapat

begitu gampang berubah dan sangat mungkin menimbulkan kejutan-kejutan yang tak diduga.

Mungkin saja jika citra dan dukungan bagi Foke terus meningkat di Masyarakat maka tak

mustahil Foke akan dijadikan calon presiden atau calon wakil presiden nanti.

Manusia pada dasarnya merupakan seorang aktor kehidupan dalam menjalani peran

kesehariannya. Mereka selalu bergerak aktif dan dinamis dalam polarisasi ruang hidupnya.

Seperti yang dikatakan seorang sosiolog asal Kanada, Erving Goffman: kehidupan sebenarnya

adalah laksana panggung sandiwara, dan disana memang kita pamerkan serta kita sajikan

kehidupan kita, dan memang itulah seluruh waktu yang kita miliki. Dalam perspektif dramaturgi,

kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi wilayah depan (front region) dan wilayah belakang

(back region). Wilayah depan merujuk pada peristiwa sosial yang memungkinkan individu

bergaya atau menampilkan peran formalnya. Sedangkan wilayah belakang merujuk kepada

tempat dan peristiwa yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan.

Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi (personal front)

dan setting, yakni situasi fisik yang harus ketika aktor harus melakukan petunjukkan. Tanpa

setting aktor biasanya tidak dapat melakukan pertunjukkan. Front pribadi terdiri dari alat-alat

yang dianggap oleh khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting.

Contohnya, seorang caleg menggunakan kemeja atau jas dalam kampanyenya serta

menggunakan bahasa yang sopan dan mengatur intonasi suara. sehingga dapat meyakinkan

masyarakat melalui penampilannya tersebut. Bukan hanya sebatas itu saja, personal front ini

mencakup juga bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor, misalnya berbicara sopan,

pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan

usia, ciri-ciri fisik, dan sebagainya. Hal ini banyak kita jumpai bagaimana ketika si artis

melakukan perubahan dengan gaya berbicara. Mereka berbicara dengan intonasi yang pelan dan

mendadak menjadi sopan dalam pemilihan kata.

Kontras dengan panggung depan, panggung belakang memungkinkan pembicaraan

dengan menggunakan kata-kata kasar atau tidak senonoh, komentar-komentar yang terbuka,

merokok, berpakaian seenaknya, mengomel, berteriak, dan masih banyak hal lainnya. Panggung

belakang biasanya berbeda dengan panggung depan, tetapi tersembunyi dari pandangan

khalayak. Memang pepatah inggris menyebutkan don’t judge the book from the cover ada

benaranya kita janganlah tertipu oleh apa yang ditunjukkan di depannya, karena bisa saja yang

dilihatkan di depan sangat berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi dibelakang.

Goffman, mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir structural dalam arti

bahwa panggung depan cenderung terlembagakan alias mewakili kepentingan kelompok atau

organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga

tempat ia bernaung. Artinya, panggung depan dipilih alih-alih diciptakan. Ia berpendapat bahwa

karena umumnya orang-orang berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam

pertunjukkan mereka di panggung depan, mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan

hal-hal tertentu dalam pertunjukkan mereka.

Penjelasan lebih konkrit ini dapat dijelaskan dalam lima cara. Pertama, seorang caleg

mungkin ingin menyembunyikan kesenagan-kesenangan yang tersebunyi, seperti kawin cerai

atau kehidupan masa lalu. Kedua, seorang caleg mungkin ingin menyembunyikan kesalahan

yang dibuat saat persiapan pertunjukkan, juga langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki

kesalahan tersebut Ketiga, seorang mungkin merasa perlu menunjukkan hasil akhir dan

menyembunyikannya prosesnya. Banyak caleg disini yang baru di briefing oleh partai politik

yang mengusungnya mengenai permasalahan yang terjadi di daerah tempat mereka kampanye.

Tetapi apakah cukup di briefing dengan cara yang instan mererka mampu menyelesaikan

permasalahan yang ada. Keempat, banyak caleg yang menggunakan cara-cara yang “nakal” agar

memuluskan mereka untuk terpilih menjadi anggota legislative. Kelima, seorang caleg terkadang

harus mengabaikan standar lain

Aspek lain dalam konsep dramaturgi di panggung depan adalah bahwa aktor atau caleg

dalam konteks ini sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan yang

khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya.

Contohnya sekarang lagi musim sekali istilah “blusukan” yang dipopulerkan oleh Gubernu

Jakarta Jokowi, kita bisa lihat bagaimana cara tersebut juga dicontoh oleh para caleg artis dengan

mengunjungi daerah-daerah kecil kemudian menawarkan janji-janji untuk memberikan bantuan

atau menyelesaikan masalah yang ada. Padahal kenyataannya banyak juga yang berawal pada

janji dan berujung pada omong kosong belaka.

Drama politik pasca pemilihan legislatif belumlah berakhir bahkan hal tersebut adalah

awal pertunjukan untuk menuju ke pentas drama yang sesungguhnya. Prosesi menuju Pilpres

pada bulan Juli mendatang, mempertontonkan drama politik kian rumit, menarik sekaligus

memiliki plot cerita yang tak lagi datar. Banyak kejutan politik dari peran-peran yang dimainkan

para elit. Manajemen kehormatan dibangun di atas fondasi citra dan lobi politik dengan

mengembangkan jejaring (political network), mulai dari lingkaran elit hingga menembus jauh ke

simpul-simpul. Dramaturgi melihat fenomena diatas manipulasi penonton semata dimana Bila

seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin

diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk

mencapai tujuan dari pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari

komunikasi. Karena komunikasi sebenarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Bila dalam

komunikasi konvensional manusia berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal

dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan

kita.

Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep menyeluruh bagaimana

kita menghayati peran sehingga dapat memberikan feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat,

dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan

untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi

antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada

tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang

dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Maka dari itu konsep ini berpandangan

bahwa untuk melihat seorang aktor maka penonton tidak hanya melihat sang aktor dalam front

stage semata, namun penonton juga harus melihat bagaiman sang aktor meaminkan perannya

didalam back stage agar penonton tidak salh dalm melihat sang aktor.

Ada beberapa tahapa jika kita mau mengkolaborasikan antara kampanye politik yang

efektif dengan konsep dramaturgi tersebut. Berikut ini tahapannya :

1 Image Buikdins (membangun citra)

Menciptakan identitas atau image dari politisi merupakan unsur yang sangat penting dari

kampanye politik dimana image ini nantinnya akan membuat dia lebih "terlihat" atau lebih

diperhatikan di publik. Munculnya sosial media juga membawa perubahan bagi para politisi

tentang bagaimana harus berkomunikasi dengan publik. Untuk mengambil hati dan pikiran

masyarakat/voters, setiap politisi harus mengadopsi pendekatan yang lebih personal. Dimana

cara berkomunikasi yang digunakan adalah komunikasi yang menyoroti kondisi masyarakat

dan komunikasi yang bertujuan untuk mengembangkan personal image yang menarik bagi

masyarakat.

2 Komunikasi internal

Komunikasi yang baik dalam partai adalah faktor yang penting yang bisa mempengaruhi

jumlah suara pemilu. Komunikasi yang buruk antar anggota partai dapat membahayakan

kredibilitas partai dan menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap partai tersebut.

3 Message management

Pesan kampanye harus berkaitan dengan harapan rakyat untuk kehidupan yang lebih baik di

masa depan. Contohnya : Obama dengan slogan "Yes We Can" dan poster kampanye yang

memiliki unsur gagasan perdamaian berhubungan dengan pemilih membutuhkan

perubahan.Pesan dari kampanye nya juga dirancang untuk menarik hati para pemilih yang

masih tidak tahu akan memilih siapa, untuk memilih Obama sehingga bisa menambah jumlah

suara Obama.

4 Community engagement

Efek yang istimewa dan luar biasa dari sebuah kampanye adalah penggunaan sosial media.

Sosial media platform yang digunakan tidak hanya untuk mengkomunikasikan pesan, tapi

untuk menghubungkan para voters satu sama lain sehingga bisa membantu mereka

mengorganisir saat diadakan aksi lokal di dalam suatu komunitas – komunitas yang ada.

Disini melalui sosial media kita mampu untuk mengukur bagaimana efektifnya konsep

dramaturgi yang dipakai.

5 Information and media management

Media di era sekarang, sulit rasanya untuk mengendalikan pesan, tetapi di sisi lain teknologi

yang ada sekarang membuat kita semakin mudah untuk tetap terhubung dengan komunitas

online para praktisi PR sehingga dapat memberikan kekuatan untuk membangun hubungan

yang solid dengan para voters dan tentunya dapat terhubung langsung dengan voters pada

tingkat yang lebih personal.

Sebenarnya jika kita mengabungkan antara konsep dramaturgi yang dikemukakan oleh

Erving Goffman dengan konsep pencitraan yang dibalut oleh strategi kampanye yang baik oleh

bakal calon kepala daerah atau anggota legislatif. Lebih sempurna lagi jika pengkaderan anggota

partai yang merupakan tanggung jawab dari partai politik hendaknya lebih diperhatikan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Novel. Peradaban Komunikasi Politik. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 1999

Amal, Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.

1996.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT DIAN RAKYAT. 2002.

Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi

Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.

Kuswarno, Engkus. 2009. Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi; Konsepsi,

Pedoman, dan Contoh Penelitian. Bandung: Widya Padjadjaran.

Mulyana, Deddy. 1999. Nuansa-nuansa Komunikasi; Meneropong Politik dan Budaya

Komunikasi Masyarakat Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

_____________. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan

Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy., dkk. 2006. Jurnal Komunikasi dan Informasi; Dunia Komunikasi Dunia Kita;

Edisi Khusus. Jatinangor: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.

Morissan, Z. 1990. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Tangerang : Ramdina Prakarsa. 2005.

Nimmo, D. 2001. Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Rachbini, D.J. 2006. Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik. Bogor : Ghalia Indonesia

Rahman, H.I. 2007. Sistem Politik Indonesia. Jakarta : Graha Ilmu

Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi; Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Sugiyono, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Grasindo. 1992.