fatikha 2017.docx · web viewsehingga dari pemerintahan hingga masyarakat lebih cenderung...

31
JURNAL PENGGAMBARAN KETIDAKADILAN DALAM FILM DOKUMENTER JAKARTA UNFAIR (Analisis Semiotika terhadap Film Dokumenter Jakarta Unfair mengenai Penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta kepada Warga Bukit Duri dan Kampung Akuarium) Oleh: FATIKHA RIZKY ASTERIA NURHIDAYAH PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK 1

Upload: vankhanh

Post on 28-Mar-2018

219 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

JURNAL

PENGGAMBARAN KETIDAKADILAN DALAM FILM DOKUMENTER

JAKARTA UNFAIR

(Analisis Semiotika terhadap Film Dokumenter Jakarta Unfair mengenai

Penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta kepada Warga

Bukit Duri dan Kampung Akuarium)

Oleh:

FATIKHA RIZKY ASTERIA NURHIDAYAH

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2017

1

PENGGAMBARAN KETIDAKADILAN DALAM FILM DOKUMENTER

JAKARTA UNFAIR

(Analisis Semiotika dalam Film Dokumenter Jakarta Unfair mengenai

Penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta kepada Warga

Bukit Duri dan Kampung Akuarium)

Fatikha Rizky Asteria Nurhidayah

Aryanto Budhy Sulihyantoro

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

Jakarta is always evictions every year, this is encourage Watchdoc with the students to documentation how the lives of Jakarta citizens when the evictions occurred in real and without engineering. They follow the citizens daily lives of eviction victims. The film contains the aspirations of the citizens to the Provinvial Goverment of DKI Jakarta about evicitions carried out in their area, but it also shows how the lives of citizens after the eviction. This study aims to determine the meanings contained in the film. In addition, to find out what the messages to be conveyed by citizens of evition victims through the documentary film Jakarta Unfair. From the analysis results found two cores based on the sig that appears. First, the sign that appears in the sequence of Evicting the Citizens of Bukit Duri is a visualization of the condition Bukit Duri citizens affected by evictions fot the Ciliwung River normalization project. Second, the sign that appears in the sequence of Evicting the citizens of Kampung Akuarium is a visualization of the post-evistion condition of Citizens of Kampung Akuarium who live in towers, or who reject it. The conclusion of this study is the film contains several meaning of dissapointment, sadness, loss, satire adn resistance. In addition, there is a message to be conveyed that citizens ask the Provincial Goverment of DKI Jakarta to fix their lives after the eviction, especially in terms of their economy.

Keywords: Eviction, Jakarta, Bukit Duri, Kampung Akuarium, Semiotic, Film, Pierce.

2

Pendahuluan

Media massa sebagai alat untuk menyampaikan komunikasi massa

menjadi media yang paling efektif dalam menyalurkan informasi kepada

masyarakat. Perkembangan teknologi saat ini memberikan pengaruh pada

munculnya berbagai media baru untuk menyampaikan pesan bahkan aspirasi.

Dahulu, radio, televisi maupun surat kabar merupakan media komunikasi yang

banyak digunakan oleh khalayak untuk menyampaikan pesan. Masyarakat dunia

termasuk Indonesia merupakan masyarakat informasi dimana mereka akan terus

mencari dan mendapatkan segala bentuk informasi dari media massa maupun

cetak. Pesan melalui media massa memang lebih cepat tersampaikan kepada

masyarakat daripada media cetak. Sehingga dari Pemerintahan hingga masyarakat

lebih cenderung menggunakan media massa untuk medianya dalam

berkomunikasi seperti menerima maupun menyampaikan pesan. Tak terkecuali,

para pelaku industri media memanfaatkan ini untuk ladang berbisnisnya.

Media massa atau bisa dikatakan industri media massa menggambarkan

delapan jenis usaha atau bisnis media seperti buku, surat kabar, majalah, rekaman,

radio, film, televisi, dan internet. Kata industri, ketika dipakai untuk

menggambarkan usaha/bisnis media, menekankan tujuan utama dari media massa

untuk menghasilkan uang (Biagi, 2010 : 11). Salah satu bisnis dari media massa

adalah industri film. Industri ini telah disebut sebagai “industri yang dibangun dari

mimpi” karena sifatnya yang imajinatif dan sebagai media kreatif. Sesuatu yang

mudah juga untuk menganggap industri film merupakan salah satu bisnis media

terbesar karena publisitas di sekitarnya seperti selebriti film yang menangkap

banyak perhatian. Sehingga, orang-orang sering terkejut mengetahui bahwa

industri film merupakan usaha yang sebenarnya tidak lebih banyak menghasilkan

uang setiap tahun dari industri koran, televisi, atau buku bisnis (Biagi, 2010 : l69).

Film sendiri diklasifikiasikan menjadi fiksi dan non fiksi. Salah satu jenis

film non fiksi adalah film dokumenter. Film jenis ini selain fakta, juga

mengandung subyetifitas pembuat yang diartikan sebagai sikap atau opini

terhadap peristiwa sehingga persepsi tentang kenyataan akan sangat tergantung

pada si pembuat film dokumenter tersebut. Film dokumenter saat ini dapat

3

digunakan untuk memahami persoalan dan gejala yang sedang terjadi di

lingkungan atau dunia luar tanpa rekayasa filmis, dan sepenuhnya bertumpu pada

hasil riset, karena dokumenter adalah sebuah film nyata yang menghadirkan

informasi mutlak. Hal inilah yang menjadikan watchdoc, sebuah rumah produksi

audio visual memproduksi film Jakarta Unfair untuk menyajikan kepada

masyarakat luas tentang kehidupan pasca penggusuran yang dilakukan oleh

Pemprov DKI Jakarta. Dokumenter melewati periode utama perubahan yang

dibawa tidak dengan teknologi digital itu sendiri, tetapi oleh bagaimana ia

digunakan. Dokumenter saat ini sudah bergerak ke fase ketiga dalam

pengembangan documenter, pertama adalah dokumenter bioskop, kedua adalah

dokumenter observasional, yang menanggapi peluang baru dan tuntutan televise

dan tahap ketiga adalah hasil dari sikap baru untuk fotografi pada umumnya, yang

telah dikembangkan sejak tahun 1990-an (Ellis, 2012 : 2).

Jakarta Unfair berdurasi 52 menit 13 detik ini merupakan karya 16

mahasiswa UI, UIN dan UMN yang didukung oleh Watchdoc dengan sutradara

Sindy Febriani dan Dhuha Ramadhani. Film ini rilis pada tanggal 28 Oktober

2016 di Bukit Duri, Jakarta Selatan dimana daerah tersebut merupakan salah satu

yang digusur dengan alasan penertiban dan normalisasi. Film ini mengisahkan

bagaimana kehidupan warga teluk Jakarta yang tempat tinggalnya digusur oleh

Pemprov DKI Jakarta. Selain itu juga menayangkan janji Joko Widodo dan

Basuki Tjahaja Purnama saat berkampanye menjadi calon Gurbernur dan Wakil

Gubernur DKI Jakarta 2012 silam tentang penggusuran. Masyarakat yang tergusur

dipindahkan ke rusun-rusun yang jaraknya jauh dari tempat tinggalnya dahulu.

Meskipun mereka menempati rumah baru yang lebih nyaman dan bersih dari

tempatnya dahulu, mereka tetap saja resah dan kecewa dengan penggusuran

tersebut. Mata pencaharian hilang, dan harus memulai usaha dari awal sedangkan

disisi lain mereka juga harus membayar rusun tersebut sebesar Rp. 300.000 (tiga

ratus ribu rupiah) per bulan. Banyak dari warga rusun yang menunggak selama 3

bulan lebih karena uang hasil dari pekerjaannya tidak cukup untuk membayar,

padahal jika mereka tidak membayar sampai 3 bulan, rumah yang ditempati

tersebut akan disegel oleh petugas. Menurut petugas rusun, terdapat variatif

4

keterlambatan warga dalam membayar, ada yang 3 bulan hingga 4 bulan lebih.

Dari pihak pemerintah tidak ada dispensasi. Mutlak, bahwa yang tinggal di rusun

harus membayar sesuai peraturan yang telah ditentukan. Sebanyak 6.516 dari

13.896 penghuni rumah susun di Jakarta menunggak lebih dari 3 bulan.

Berdasarkan uraian diatas, maka film Jakarta Unfair ini menarik untuk

diteliti karena makna yang terkandung didalamnya multitafsir, sehingga terdapat

banyak pemaknaan dari berbagai sudut pandang tentang film ini. Film Jakarta

Unfair dianggap lebih efektif untuk memperlihatkan kondisi dan juga dampak

akibat penggusuran yang terjadi di Jakarta terutama Bukit Duri dan Kampung

Akuarium. Hal ini dikarenakan video (film) merupakan perpaduan antara media

audio dan visual. Di dalam film tersebut terdapat potongan gambar yang berisi

pesan untuk disampaikan kepada khalayak umum. Film ini seolah menjadi pesan

utama yang ingin disampaikan kepada khalayak, sehingga dianggap penting untuk

diteliti. Menurut Effendy (2003) pesan komunikasi jika dianalisis terdiri dari dua

aspek yaitu isi pesan dan lambing (symbol) (Sumadiria, 2014 : 7). Isi pesan adalah

pikiran atau perasaan yang ingin disampaikan dan lambing adalah bahasa yang

digunakan untuk menyampaikan isi pesan. Peneliti menganggap film ini menarik

untuk diteliti lebih mendalam tentang pesan yang ingin disampaikan oleh

komunikator dalam hal ini adalah warga yang tergusur kepada komunikannya

yaitu masyarakat luas dan Pemerintah Indonesia baik secara tersirat maupun

tersurat.

Sebagai sebuah bentuk pesan, film ini terdiri dari berbagai tanda dan

simbol yang membentuk sebuah sistem makna. Oleh sebab itu analisis semiotika

sangat berperan. Dengan semiotika, tanda-tanda dan simbol dianalisis dengan

kaidah-kaidah berdasarkan sistem-sitem pengkodean yang berlaku. Semiotika

yang merupakan penanda berupa gambar, tanda, bersama dengan ekpresi dan

bahasa tubuh merupakan alat untuk mengungkapkan kebenaran, seperti dari

fotografi untuk rekaman film. (Porcar, 2012 : 24)

Secara relevan, film merupakan bidang kajian bagi analisis semiotika, karena

film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai

sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek bersamaan

5

dengan tanda asitektur, terutama indeksikal pada film (video) digunakan tanda-

tanda ikonis yaitu tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Mudjiono, 2011 :

132).

Rumusan Masalah

“Apa makna dari tanda dalam film dokumenter Jakarta Unfair terkait dengan

pesan tentang ketidakadilan yang dirasakan warga Bukit Duri dan Kampung

Akuarium akibat penggusuran?”

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dengan jelas makna dari tanda

dalam film dokumenter Jakarta Unfair terkait dengan pesan tentang ketidakadilan

yang dirasakan warga Bukit Duri dan Kampung Akuarium akibat penggusuran.

Tinjauan Pustaka

1. Komunikasi Massa

Bittner (1980:10) menyebutkan bahwa komunikasi massa

merupakan penyampaian pesan yang di komunikasikan melalui media

kepada sejumlah besar orang (Sumadiria, 2014: 19). Jadi, komunikasi

massa adalah komunikasi melalui media massa atau komunikasi kepada

banyak orang dengan menggunakan sarana media.

Menurut Alexix S. Tan, ada empat fungsi komunikasi massa yang

dikatakan secara eksplisit yaitu (1) memberi informasi, (2) mendidik, (3)

mempersuasi, dan (4) menyenangkan, memuaskan kebutuhan komunikan.

Sedangkan menurut Dominick (2001), fungsi komunikasi massa terdiri

dari surveillance (pengawasan), interpretation (penafsiran), lingkage

(keterkaitan), transmission of values (penyebaran nilai) dan entertainment

(hiburan) (Ardianto, 2011 : 16).

Sumber komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu

organisasi formal, dan “sang pengirim”-nya seringkali merupakan

komunikator profesional. Pesannya tidak unik dan beraneka ragam, serta

dapat diperkirakan. Di samping itu, pesan tersebut seringkali “diproses”,

6

distandarisasi, dan selalu di perbanyak. Pesan itu juga merupakan suatu

produk dan komoditi yang mempunyai nilai tukar, serta acuan simbolik

yang mengandung nilai “kegunaan”. Hubungan antara pengirim dan

penerima bersifat satu arah dan jarang sekali bersifat interaktif. Hubungan

tersebut juga bersifat impersonal, bahkan mungkin sekali sering bersifat

non-moral dan kalkulatif, dalam pengertian bahwa sang pengirim biasanya

tidak bertanggung jawab atas konsekuensi yang terjadi pada para individu

dan pesan yang dijualbelikan dengan uang atau ditukar dengan perhatian

tertentu (McQuail, 1987 : 33-34).

Proses komunikasi massa bekerja sepeti pengirim (sumber)

menaruh pesan dalam sebuah saluran (medium) yang mengirim pesan

tersebut ke penerima. Umpan balik muncul ketika si penerima membalas,

dan balasan tersebut mengubah pesan berikut dari sumber. Suara (seperti

statis atau sambungan yang turun) dapat mengganggu atau mengubah

pesan selama pengiriman. Jika menggunakan definisi umum, komunikasi

massa saat ini dibagi menjadi tiga karakteristik (Biagi, 2010 : 10-11):

1) Sebuah pesan dikirim melalui suatu bentuk sistem komunikasi

massa (seperti internet, cetak, atau penyiaran)

2) Pesan tersebut dikirim secara cepat

3) Pesan tersebut mencapai kelompok besar yang terdiri atas

berbagai macam orang atau dalam periode waktu yang singkat.

2. Film sebagai Media Massa

Meskipun film sebagai penemuan teknologi baru telah muncul pada akhir

abad kesembilan belas, tetapi apa yang dapat diberikannya sebenarnya tidak

terlalu baru dilihat dari segi ini atau fungsi. Film berperan sebagai sarana baru

yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan

terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian

teknis lainnya kepada masyarakat umum. Kehadiaran film sebagian merupakan

respon terhadap “penemuan” waktu luang dari luar jam kerja dan jawaban

terhadap kebutuhan menikmati waktu senggang secara hemat dan sehat bagi

seluruh anggota keluarga. Jadi, film membuka kemungkinan bagi kelas pekerja

7

untuk menikmati unsur budaya yang sebelumnya telah dinikmati oleh orang-

orang yang berbeda di ‘atas’ mereka. Dalam sejarah perkembangan film

terdapat tiga tema besar dari satu atau dua tonggak sejarah yang penting. Tema

pertama ialah pemanfaatan film sebagai alat propaganda. Tema ini penting

terutama dalam kaitannya dengan upaya pencapaian tujuan nasional dan

masyarakat. Hal tersebut berkenaan dengan pandnagan yang menilai bahwa

film memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang

hebat. Upaya membaurkan pengembangan pesan dengan hiburan memang

sudah lama diterapkan dalam kesusastraan dan drama, namun unsur-unsur baru

dalam film memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya menjangkau sekian

banyak orang dalam waktu yang cepat dan kemampuannya memanipulasi

kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis, tanpa kehilangan kredibilitas.

Kedua tema lainnya dalam sejarah film ialah munculnya beberapa aliran seni

film dan lahirnya aliran film dokumentasi sosial. Kedua kecenderungan

tersebut merupakan suatu penyimpangan dalam pengertian bahwa keduanya

hanya menjangkau minoritas penduduk dan berorientasi ke realisme. Terlepas

dari hal itu, keduanya mempunyai kaitan dengan tema “film sebagai alat

propaganda”, kenyataan tersebut sebagian terjadi secara kebetulan saja. Itulah

sebabnya keduanya kadang-kadang menimbulkan krisis sosial di beberapa

negara (McQuail, 1987 : 13-14).

Film bisa dikatakan sebagai salah satu media massa karena film mampu

menyampaikan pesan kepada khalayak. Film dapat menggambarkan realitas

atau suatu peristiwa sehingga secara tidak langsung dapat membentuk dan

mempengaruhi persepsi masyarakat berdasarkan pesn yang ingin disampaikan.

Media film digunakan untuk membentuk suatu realitas yang dihadirkan di

masyarakat. Namun, saat ini film dianggap sebagai media hiburan daripada

media persuasi. Namun, pada nyatanya film sebenarnya memiliki kekuatan

persuasi yang sangat besar. Namun film juga bukan hanya dapat menghibur

khalayaknya tetapi juga memiliki fungsi sebagai sebuah media massa.

8

3. Film Dokumenter sebagai Media Penyampai Pesan

Film memiliki kekuatan besar dari segi estetika karena menjajarkan dialog,

musik, pemandangan dan tindakan bersama-sama secara visual dan naratif.

Dalam bahasa semiotik, film dapat didefinisikan sebagai sebuah teks yang,

pada tingkat penanda, terdiri dari atas serangkaian imaji yang

merepresentasikan aktifitas dalam kehidupan nyata (Danesi, 2012 : 100).

Film dokumenter saat ini bisa menciptakan attention atau perhatian dari

khalayak sehingga mereka dapat dengan mudah menerima pesan. Hal ini

dikarenakan isi dari film tersebut melihatkan sisi-sisi yang disenangi bahkan

dapat menyentuh sisi emosional khalayak. Biasanya untuk menyentuh sisi

emosional khalayak, isi film tersebut terdapat imbauan pesan emosional yaitu

menggunakan pernyataan atau bahasa yang menyentuh emosi khalayak. Film

juga dapat menggambarkan suatu peristiwa dengan gambaran yang deskriptif

mengenai sesuatu hal dapat membawa khalayak merasakan apa yang sedang

dialami oleh gambaran tersebut, biasanya film selalu dikemas dengan strategi

pesan yang baik, sehingga khalayak akan mengerti tentang pesan yang

diterimanya.

Setiap gambar yang ditampilkan di sebuah film memiliki pesan yang

dirangkaikan ke dalam sebuah cerita. Potongan gambar dalam sebuah film

disebut shot. Shot adalah sebuah bagian dasar dari pembuatan film atau video,

namun jika dilihat secara mendalam shot memiliki beberapa elemen yang dapat

mengungkapkan makna dan peran sebuah shot.

4. Pesan untuk Menyampaikan Makna

Sebuah pesan dapat mempunyai lebih dari satu makna, dan beberapa pesan

dapat mempunyai makna yang sama. Dalam media massa, seperti dalam seni,

kasusnya lebih sering berupa beberapa lapis makna yang terbangun dari pesan

yang sama. Maknanya hanya dapat ditentukan atau diuraikan dengan merujuk

pada makna lainnya. Hal ini menimbulkan masalah penafsiran dan pemahaman

yang sejenisnya. Untuk menghindari permasalahan ini, ahli semiotika sering

menggunakan teknik oposisi biner untuk menjaring makna tertentu, dalam

relasinya dengan sesuatu yang lain. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa

9

makna adalah sesuatu yang tidak dapat ditemukan secara mutlak, melain selalu

dalam relasi dengan tanda yang lain (Danesi, 2012 : 19-20).

Ada tiga hal yang dicobajelaskan oleh para filsuf dan linguis sehubungan

dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal itu yakni: (1) menjelaskan

makna kata secara alamiah, (2) mendeskripsikan kalimat secara alamiah, dan

(3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi (Kempson, 1977 : 11 dalam

Sobur, 2009 : 256).

Ada beberapa pandangan yang menjelaskan tentang teori atau konsep

makna salah satunya teori makna yang dikemukakan oleh Alston (1964). Teori

Alston (dalam Sobur, 2009 : 259-362) mencakup 3 teori, yaitu:

1) Teori Acuan (Referential Theory)

Teori ini merupakan salah satu jenis teori makna yang mengenali atau

mengidentifikasikan makna suatu ungkapan dengan apa yang diacunya

atau dengan hubungan acuan itu. Referen atau acuan boleh saja benda,

peristiwa, proses, atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yang ditunjuk

oleh lambang.

2) Teori Ideasional (The Ideational Theory)

Teori ini merupakan salah satu jenis teori makna yang menawarkan

alternatif lain untuk memecahkan masalah makna ungkapan ini. Menurut

Altson, teori ideasional ini adalah suatu jenis teori makna yang

mengenali atau mengidentifikasi makna ungkapan dengan gagasan-

gagasan yang berhubungan dengan ungkapan tersebut. Dalam hal ini,

teori ideasional menghubungkan makna atau ungkapan dengan suatu ide

atau representasi psikis yang ditimbulkan kata atau ungkapan tersebut

kepada kesadaran. Jadi, pada dasarnya teori ideasional meletakkan

gagasan (ide) sebagai titik sentral yang menentukan makna suatu

ungkapan.

3) Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory)

Menurut Altson, teori ini merupakan salah satu jenis teori makna

mengenai rangsangan (stimuli) yang menimbulkan ucapan tersebut, dan

atau tanggapan-tanggapan (responses) yang ditimbulkan oleh ucapan

10

tersebut. Teori ini menanggapi bahasa sebagai semacam kelakuan yang

meng mengembalikannya kepada teori stimulus dan respons. Makna,

menurut teori ini, merupakan ransangan untuk menimbulkan perilaku

tertentu sebagai respons kepada rangsangan itu tadi.

5. Semiotika

Dalam sebuah komunikasi, komunikator akan menyampaikan pesan

kepada komunikan menggunakan tanda atau lambang tertentu. Kemudian tanda

atau lambang tersebut akan dimaknai oleh komunikan sehingga muncullah

sebuah pesan yang dimaksudkan. Namun, tidak jarang jika sebuah tanda atau

lambang yang digunakan mendapatkan perbedaan pemaknaan dari

komunikannya. Hal ini akan membuat multitafsir dan ambiguitas mengenai

pesan yang disampaikan. Maka dari itu semiotika ini membantu khalayak

untuk memaknai tanda atau lambang sehinga dapat menghasilkan pesan yang

dimaksudkan. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk

mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya

mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama

manusia (Porcar, 2011 : 23).

Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi

dengan sesamanya. Banyak hal bisa dikomunikasikan di dunia ini. Kajian

semiotika sampai saat ini telah membedakan dua jenis semiotika yaitu

semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan

pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan

adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem

tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang di bicarakan) dan yang

kedua memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu

konteks tertentu (Sobur, 2009 : 19).

Istilah semeiotics (dilafalkan demikian) diperkenalkan oleh Hippocrates

(460-337 SM), penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala. Gejala,

menurut Hippocrates, merupakan semeion-bahasa Yunani untuk “penunjuk”

(mark) atau “tanda” (sign) fisik. Untuk membahas apa yang di presentasikan

oleh gejala, bagaimana ia mengejawantah secara fisik, dan mengapa ia

11

mengindikasikan penyakit atau kondisi tertentu merupakan esensi dari

diagnosis medis. Sekarang, walaupun tujuan semiotika hari ini adalah untuk

menyelusuri sesuatu yang cukup berbeda, ia tetap mempertahankan metode

dasar dan penelaahan yang sama (Danesi, 2012 : 6).

Secara singkat semiotika dapat dikatakan bahwa studi semiotika disusun

dalam tiga poros. Poros horizontal menyajikan tigas jenis penyelidikan

semiotika (murni, deskriptif, dan terapan); poros verikal menyajikan tiga

tataran hubungan semiotik (sintaktik, semantik, dan pragmatik); dan poros

yang menyajikan tiga kategori saranan informasi (signals, signs, dan symbols)

(Sobur, 2009 : 19).

6. Semiotika Komunikasi Charles S. Pierce

Charles S. Pierce atau biasa dipanggil Pierce dilahirkan di Cambrgidge,

Massachusetts pada tahun 1839. Ia menjalani pendidikan di Harvard

University, dan memberi kuliah mengenai logika dan filsafat di Univeristas

John Hopkins dan Harvand. Pierce berargumen bahwa fenomena seperti

simbolisme bunyi pada kenyataannya mengungkapkan sebuah kecenderungan

tak sadar mendasar dalam penciptaan tanda. Ia menyebutkan tanda sebagai

representamen dan konsep, benda, gagasan dan seterusnya, yang diacunya

sebagai objek. Makna (impresi, kogitasi, perasaan, dan seterusnya) yang kita

peroleh dari sebuah tanda oleh pierce diberi istilah interpretan. Tiga dimensi

ini selalu hadir dalam signifasi. Oleh karena itu, Pierce memandang sebagai

sebuah struktur tiadik, bukan biner (Danesi, 2012 : 33):

Gambar 1.1 Tanda “Piercean”

12

Bagi Pierce tanda “is something which stands to somebody for something is

some respect or capacity”. Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi,

oleh Pierce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen)

selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan intrepretant.

Atas dasar ini Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan

dengan ground dibagi menjadi qualisign, sinsign, dan legisingn. Qualisign

adalah kualitas yang ada pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda

atau peristiwa yang ada pada tanda. Legisign adalah norma yang dikandung

oleh tanda. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon),

index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara

penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata

lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat

kemiripan, misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan

adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau

hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan.

Dan simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda

dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer atau semena,

hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Berdasarkan

interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rheme, dicent sign atau

dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang

menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai

kenyataan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang

sesuatu.

Analisis Data

Analasis ikon, indeks dan simbol yang terdapat di analisis data tersebut akan di

bahas secara keseluruhan. Pembahasan tersebut akan terbagi menjadi dua bagian,

yaitu pembahasan analisis Bukti Duri dan pembahasan analisis Kampung

Akuarium. Analisis-analisis tersebut akan merangkum analisis ikon, indeks, dan

simbol pada masing-masing scene dalam sequence yang akan dibahas.

13

Pembahasan ini akan memaparkan makna secara keseluruhan dari pesan-pesan

yang disampaikan melalui tanda-tanda tersebut.

1. Pembahasan Analisis Bukit Duri

Warga Bukit Duri yang digusur pada bulan September 2016 lalu

sebelumnya telah mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Jakarta

Pusat dimana gugatan tersebut telah diterima oleh hakim. Namun, meskipun

begitu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap melakukan penggusuran terhadap

Bukit Duri. Ketika persidangan, para warga melakukan aksi protes terhadap

apa yang dilakukan Pemprov. Protes tersebut berisikan permintaan mereka

kepada Pemprov agar penggusuran dihentikan, atau setidaknya ditunda sampai

keputusan ditetapkan oleh Pengadilan. Warga pun juga menagih janji Jokowi

yang akan merevitaliasi Bukit Duri bukan menggusurnya. Sandyawan Sumardi,

pendiri Sanggar Ciliwung memaparkan dalam pidatonya pada Kongres Warga

Bukit Duri tentang bagaimana politik yang ada di Indonesia. Ia mengatakan

seharusnya Pemprov DKI Jakarta mau berbicara langsung kepada warga Bukit

Duri tentang penggusuran tersebut sehingga mereka bisa mendengar langsung

bagaimana keluhan-keluhan warga dan memberikan solusi atas hal tersebut.

Bukan hanya berbicara di Balaikota tanpa mengetahui bagaimana kondisi

warga yang sebenarnya.

Ketika penggusuran terjadi, warga terlihat sangat sedih. Banyak warga

yang menangis ketika menyaksikan rumah-rumahnya dirobohkan oleh Satpol

PP dan beberapa petugas lainnya. Suasana penuh debu yang terlihat ketika alat

berat excavator merobohkan rumah-rumah warga Bukit Duri. Penggusuran

tersebut berjalan dengan lancar dan tidak ada aksi penolakan dari warga, hanya

saja mereka melakukan konvoy memainkan alat musik dengan menggunakan

barang-barang seadanya seperti perabotan rumah tangga dan juga bambu.

Mereka memainkan dengan menabuhnya menggunakan bambu kecil, dan

diiringi dengan nyanyian-nyanyian warga. Suasana kesedihan semakin terlihat

dengan jelas karena instrument lagu sedih menjadi pengisi backsound scene

tersebut. Raut wajah dan kekecewaan warga terlihat ketika mereka

menyaksikan sendiri penggusuran tersebut. Salah satu rumah yang dirobohkan

14

adalah Sanggar Ciliwung dimana dari cerita Sandyawan, sanggar tersebut telah

melahirkan orang-orang yang sukses seperti wartawan dan orang-orang sukses

lainnya.

Setelah penggusuran September 2016 tersebut, masih ada beberapa rumah yang

belum digusur sehingga beberapa warga masih menempati rumah-rumah

tersebut dan melakukan aktivitas seperti biasanya. Beberapa warga pun

memilih untuk tinggal di kontrakan daripada harus menempati rumah susun

yang sudah disediakan oleh Pemprov DKI Jakarta. Tidak sedikit yang

kehilangan mata pencahariannya setelah terjadi penggusuran sehingga mereka

harus memulai segala sesuatunya dari awal seperti pekerjaan.

2. Penggusuran Kampung Akuarium

Kampung Akuarium di gusur pada bulan April 2016 lalu untuk proyek

revitalisasi Kota Tua (Jerofah). Warga beberapa pindah ke rusun Rawa Bebek.

Bagi warga, tinggal di rusun memang nyaman karena tempat yang bersih dan

aman untuk anak-anak bermain namun dari segi penghasilan, warga sulit untuk

mendapatkan pekerjaan, terutama para ibu-ibu untuk menambah penghasilan.

Jika di Kampung Akuarium dahulu setiap gang ada saja pekerjaan yang bisa

dilakukan oleh ibu-ibu, berbeda dengan di rusun. Para ibu-ibu tersebut

menganggur dan hanya menghabiskan uang sisa dari pekerjaannya dahulu di

Kampung Akuarium. Hal ini dikarenakan tidak adanya ketrampilan khusus

yang dimiliki oleh ibu-ibu tersebut, warga juga menyarankan untuk kepala

rusun melakukan pelatihan bagi mereka. Dari segi tempat, rusun memang

terlihat megah namun didalamnya tidak ada kamar untuk anak-anak karena

sedikitnya ruangan. Terlihat rumah warga dalam satu ruangan terdapat banyak

barang-barang karena keterbatasannya tempat.

Warga Eks. Kampung Akuarium pada nyatanya tidak semua mau

menerima rusun yang diberikan oleh Pemprov DKI Jakarta, sebagian warga

memilih untuk tinggal dikawasan bekas penggusuran Kampung Akuarium.

Pada awalnya, mereka tinggal di perahu-perahu yang bersandar di tepi pantai

kawasan tersebut, sehingga mereka sering disebut “manusia perahu”. Namun,

kini beberapa “manusia perahu” tersebut sudah pindah menempati rumah-

15

rumah semi permanen yang mereka dirikan di kawasan bekas penggusuran.

Warga menolak untuk pindah ke rusun karena mata pencaharian mereka di

Kampung Akuarium karena lebih dekat dengan laut. Sebagian besar warga

memang bekerja sebagai nelayan, sehingga mereka lebih memilih tetap tinggal

di kawasan tersebut meskipun hanya menempati rumah-rumah terbuat dari

papan yang mereka sebut bedeng. Namun, ada juga warga yang tetap

mengambil rusun demi anaknya agar tinggal ditempat yang nyaman, meskipun

ia lebih sering di Kampung Akuarium dan sesekali kembali ke rusun hanya

untuk menengok anak dan istrinya. Alasan lainnya warga menolak pindah ke

rusun adalah berbayar. Sistem rusun yang ditawarkan oleh Pemprov DKI

Jakarta adalah 3 bulan awal gratis dan setelah itu dikenakan uang sewa sebesar

Rp. 300.000 per bulan. Warga keberatan karena tidak adanya uang untuk

membayar sewa tersebut. Ketika mereka memilih pindah ke rusun, mereka

akan kehilangan mata pencaharian sehingga mereka tidak akan mempunyai

cukup uang untuk membayar sewa tersebut. Warga mengatakan jika rusun

tersebut bisa gratis seumur hidup meskipun tempatnya kecil, mereka akan

menerimanya.

Warga Bukit Duri pun melakukan aksi demo turun ke jalan untuk

mengungkapkan keluhan mereka kepada Pemerintah. Mereka menuntut janji

Jokowi yang tidak akan menyengsarakan rakyat miskin. Warga menggunakan

baju yang seragam dengan bertuliskan “PENGGUSURAN BUKAN SOLUSI”

sebagai bentuk protes terhadap adanya penggusuran. Penggunaan pita putih

pada lengan salah satu warga pun memperlihatkan suatu harapan dari mereka

terhadap Pemerintah. Mereka mengharapkan Pemerintah agar mau

mengembalikan rumah-rumah mereka yang digusur atau setidaknya

Pemerintah mau membenahi perekonomian warga yang memburuk setelah

adanya penggusuran.

Kesimpulan

Film Jakarta Unfair menjadi sebuah media komunikasi bagi warga dampak

penggusuran di Jakarta khususnya Bukit Duri dan Kampung Akuarium untuk

16

menyampaikan suatu aspirasi atau pesan kepada Pemerintah. Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan terhadap film tersebut, maka dapat ditarik

beberapa kesimpulan bahwa:

1. Film tersebut mengusung makna warga Bukit Duri dan Kampung

Akuarium merasa ketidakadilan sikap Pemerintah dalam melakukan

penggusuran. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggusur wilayah Bukit

Duri untuk proyek normalisasi sungai Ciliwung, sedangkan Kampung

Akuarium untuk revitalisasi Kota Tua. Pemprov DKI Jakarta tidak mau

menemui warga secara langsung untuk menjelaskan bagaimana proses

penggusuran yang akan mereka lakukan dan bagaimana solusi terbaik atas

permasalahan yang muncul akibat penggusuran.

2. Film ini juga membawa makna bahwa warga ingin menyampaikan kepada

masyarakat Indonesia dan Pemerintah DKI Jakarta bagaimana kehidupan

mereka setelah terjadinya penggusuran. Warga Bukit Duri dan Kampung

Akuarium ingin Pemerintah juga memperhatikan kehidupan dan

kesejahteraan warganya setelah rumah-rumah dan mata pencaharian

mereka hilang akibat penggusuran. Selain itu, film ini juga menjadi bukti

nyata dari adanya berbagai pemberitaan di media tentang penggusuran

karena banyak warga yang berbicara langsung dan menyampaikan

aspirasinya dalam film ini. Selain itu, film ini juga menjadi pengingat

bahwa mencari pekerjaan itu memang tidak mudah. Bahkan, tanpa adanya

ketrampilan yang dimiliki maka seseorang cenderung lebih sukar untuk

membangun usaha demi menghasilkan pundi-pundi uang.

3. Film Jakarta Unfari ini memiliki pesan berkaitan dengan ketidakadilan

yang dirasakan oleh warga Bukit Duri dan Kampung Akuarium akibat

penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Film memiliki

kekuatan besar dari segi estetika karena menjajarkan dialog, musik,

pemandangan dan tindakan bersama-sama secara visual dan naratif. Dalam

bahasa semiotik, film dapat didefinisikan sebagai sebuah teks yang, pada

tingkat penanda, terdiri dari atas serangkaian imaji yang merepresentasikan

aktifitas dalam kehidupan nyata (Danesi, 2012 : 100). Pesan tersebut

17

ditujuken kepada Pemerintah agar menemui warganya dan memberikan

solusi terbaik sebelum mereka menggusur kawasan dimana mereka tinggal

dan menggantungkan hidupnya, karena sebagian besar dari warga Bukit

Duri dan Kampung Akuarium merasa dirugikan atas apa yang telah terjadi

di kampungnya masing-masing. Selain mereka kehilangan rumah, mereka

juga kehilangan mata pencahariannya yang selama ini menghidupi mereka.

Dan setelah warga pindah ke rusun, mereka harus memulai usaha dari awal

yang penghasilannya terkadang tidak cukup untuk membayar sewa rusun

yang mereka tempati. Warga menginginkan Pemprov DKI Jakarta untuk

memberikan solusi dari segala permasalahan yang muncul setelah kampung

mereka tergusur akibat pembangunan yang sedang di garap oleh

Pemerintah. Dalam video ini juga memiliki pesan bahwa Pemerintah

kurang menghormati aspirasi warganya seperti ketika warga Bukit Duri

mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan

diterima oleh hakim, proses penggusuran masih berlangsung meskipun

warga dan Komnas HAM meminta Pemprov DKI Jakarta untuk

menghentikan proses penggusuran sampai keputusan ditetapkan oleh

Pengadilan. Film Jakarta Unfair ini sebagai sebuah pesan yang sengaja

dibuat oleh para mahasiswa-mahasiswi Indonesia dan mengandung tanda-

tanda yang ada di dalamnya diatur sesuai dengan teori semiotika menurut

Charles S. Pierce yang berdasarkan objeknya membagi tanda atas ikon,

indeks dan simbolnya.

A. Saran

Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan terhadap film Jakarta

Unfair maka peneliti memiliki beberapa saran:

1. Penelitian ini diharapkan dapat diperluas dan dilengkapi dengan

menguraikan tanda berdasarkan pembagian tanda menurut gorund dan

interpretantnya sehingga akan menghasilkan analisis yang lebih

lengkap dan menyeluruh sesuai dengan konsep analisis data

menggunakau pisau analisis Pierce.

18

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi

khalayak mengenai kondisi warga penggusuran khususnya warga Eks.

Bukit Duri dan Kampung Akuarium serta dampak yang dialami warga

setelah terjadinya penggusuran. Selain itu juga dapat menjadi rujukan

untuk mengetahui apa yang diharapkan dan diinginkan oleh warga

yang terkena dampak penggusuran kepada Pemerintah terkait dengan

kehidupannya pasca penggusuran.

19

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, & Harun R. (2011). Komunikasi Pembangunan dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

Biagi, Shirley. (2010). Media/Impact: Pengantar Media Massa. Jakarta: Salemba Humanika.

Danesi, Marcel. (2012). Pesan, Tanda dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Ellis, John. (2012). Documentary: Withness and Self-Relevation. New York: Routledge

McQuail, Denis. (2012). Teori Komunikasi Massa. Yogyakarta: Salemba Haminka.

Mudjiono, Yoyon. (2011). Kajian Semiotika dalam Film. Jurnal Ilmu Komunikasi, 126-138.

Porcar, Codruta. (2011). Sign and Meaning: A Semiotics Approach to Communication”. Journal for Communication and Culture, 20-29.

Sobur, Alex. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sumadiria, Haris. (2014). Jurnalistik Indonesia: menulis berita dan feature panduan praktis jurnalis profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

20