fasilitasi legislasi dalam penguatan ... file/buku...dan daerah pada undang-undang nomor 32 tahun...

88
FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL [Otonomi Daerah dan Desentralisasi] Isharyanto Maria Madalina Adriana G. Firdaussy Jadmiko Anom Husodo Andina Elok Puri Maharani

Upload: others

Post on 09-Feb-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN

    PERLINDUNGAN SOSIAL[Otonomi Daerah dan Desentralisasi]

    Isharyanto ■ Maria Madalina ■ Adriana G. FirdaussyJadmiko Anom Husodo ■ Andina Elok Puri Maharani

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL i■

    [Otonomi Daerah dan Desentralisasi]

    FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN

    PERLINDUNGAN SOSIAL

    Penulis:Isharyanto

    Maria Madalina Adriana G. FirdaussyJadmiko Anom Husodo

    Andina Elok Puri Maharani

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasiii ■

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL iii■

    [Otonomi Daerah dan Desentralisasi]

    FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL

    Penulis:Isharyanto

    Maria Madalina Adriana G. Firdaussy

    Jadmiko Anom HusodoAndina Elok Puri Maharani

    Diterbitkan dalam versi ebookJakarta, November 2020

    ISBN: 978-602-269-412-0

    Editor:Catur Sukono

    Desain: Tim HalamanMoeka.Com

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasiiv ■

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL v■

    Kata Pengantar

    Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka Daerah diberikan pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu, melalui otonomi luas dalam lingkungan strategis globalisasi. Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sendiri sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya, maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya daerah ketika membentuk kebijakan daerah baik dalam bentuk Peraturan daerah maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional.

    Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam membentuk peraturan daerah mempunyai legitimasi secara yuridis formal didasari dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasivi ■

    tugas pembantuan.” Pasal 242 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa “Rancangan peraturan daerah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.” Serta Pasal 317 dan 366 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyatakan bahwa “DPRD mempunyai wewenang dan tugas dalam membentuk peraturan daerah, membahas dan menyetujui rancangan peraturan daerah (raperda) bersama dengan Kepala Daerah.”

    DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah memegang peranan penting dalam sistem demokrasi, berkaitan erat dengan otonomi daerah. Otonomi daerah menempatkan DPRD sebagai institusi atau lembaga perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung melalui pemilu, yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. Walaupun dalam kenyataannya DPRD masih belum sepenuhnya dapat menjalankan fungsinya dengan baik, bahkan dalam prakteknya DPRD sering mengaburkan makna demokrasi itu sendiri.

    Kepada tim peneliti/penulis dan semua pihak yang sudah membantu diterbitkannya buku ini diucapkan terimakasih. Karena masih banyak kekurangan dan kelemahan, maka tegur sapa dan kritik yang membangun dari semua pihak akan diterima dengan senang hati. Semoga buku ini dapat memenuhi fungsinya.

    Surakarta, September 2020

    Penulis

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL vii■

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ....................................................................vDAFTAR ISI ................................................................................vii

    BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................1A. Latar Belakang ............................................................1B. Permasalahan ...............................................................4 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ..................................4

    BAB 2. METODE PENELITIAN ................................................6A. Jenis Penelitian ............................................................6B. Kebaruan Penelitian ....................................................6 C. Data Penelitian ............................................................7D. Teknik Analisis Data Penelitian ................................7

    BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..............8 A. Fungsi Legislasi dan Pembentukan Peraturan Daerah .........................................................................8

    1. Legislasi ................................................................81.1 Definisi Legislasi ...........................................81.2 Fungsi Legislasi DPR ....................................131.3 Fungsi Legislasi .............................................16

    2. Peraturan Daerah ...................................................221.1 Definisi dan Muatan Peraturan Daerah ..........221.2 Ruang Lingkup Produk Hukum Peraturan

    Daerah ............................................................271.3 Indikator Kualitas Pembentukan Peraturan

    Daerah ............................................................32B. Negara Kesejahteraan dan Investasi Sosial ................39

    1. Definisi Negara Kesejahteraan ............................392. Sejarah Negara Kesejahteraan ...............................403. Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia ..............454. Investasi Sosial ......................................................51

    C. Respon DPRD Kota Madiun Terkait Pelaksanaan Fungsi

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasiviii ■

    Legislasi Berbasis Investasi Sosial .............................561. Profil Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota

    Madiun ................................................................562. Peraturan Daerah tentang Santunan Kematian dalam

    Analisis Investasi Sosial ........................................62

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................71

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 1■

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan

    bagian dari pemerintah daerah, karena di dalam negara kesatuan tidak ada legislatif daerah, oleh karena itu DPRD dimasukkan ke dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.1 Namun demikian kewenangan DPRD tidak seperti Kepala Daerah.2 Kewenangan DPRD dibatasi hanya menjalankan fungsinya sesuai dengan Undang-Undang.3 Diantara fungsi yang ditetapkan oleh undang-undang adalah fungsi pembentukan Peraturan Daerah (Perda).4 Dalam konteks ini, Perda merupakan instrumen peraturan perundang-undangan dalam rangka menjalankan urusan Daerah.

    Ada perbedaan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yaitu pada Undang-1 J. Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press,

    2006. 2 A. Soemarmi, R. Herawati, dan E. Riyani, 2016 , “Pelaksanaan Urusan Pemerintahan Bidang Kelautan dan Perikanan Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah di Kabupaten Batang,” Diponegoro Law Review, vol. 5, no. 2, Hal. 1–13,.

    3 S. N. Wijayanti, “Hubungan Antara Pusat dan Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,” Jurnal Media Hukum, vol. 23, no. 2, hlm. 187–199, 2016, doi: 10.18196/jmh.2016.0079.186-199.

    4 Syauqi dan Habibullah, “Implikasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial,” Sosio Informa, vol. 2, no. 1, hlm. 20– 32, 2016.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi2 ■

    Undang Nomor 32 tahun 2004, urusan pemerintahan hanya terbagi dua yaitu urusan absolut dan urusan konkuren, sedangkan pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 urusan pemerintahan terbagi menjadi urusan absolut, urusan pemerintahan umum, dan urusan konkuren.

    Pada urusan pemerintahan konkuren yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan yang dibagi antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan wajib dibagi dalam urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar dan urusan pemerintahan wajib yang tidak terkait pelayanan dasar. Untuk urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.

    Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, ada 6 urusan wajib pelayanan dasar yaitu: 1) Pendidikan, 2) Kesehatan, 3) Pekerjaan umum dan penataan ruang, 4) Perumahan rakyat dan kawasan permukiman, 5) Ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat dan 6) Sosial. Ada 18 urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi: 1) Tenaga kerja, 2) Pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak, 3) Pangan, 4) Pertanahan 5) Lingkungan hidup 6) Administrasi kependudukan dan pencatatan sipil,

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 3■

    7) Pemberdayaan masyarakat dan desa, 8) Pengendalian penduduk dan keluarga berencana, 9) Perhubungan, 10) Komunikasi dan informatika, 11) Koperasi, usaha kecil, dan menengah, 12) Penanaman modal, 13) Kepemudaan dan olah raga, 14) statistik, 15) Persandian, 16) Kebudayaan, 17) Perpustakaan, dan 18) Kearsipan. Urusan pemerintahan pilihan meliputi: 1) Kelautan dan perikanan 2) Pariwisata, 3) Pertanian, 4) Kehutanan, 5) Energi dan sumber daya mineral 6) Perdagangan, 7) Perindustrian dan 8) Transmigrasi.

    Fokus penelitian ini adalah pelaksanaan urusan dasar yaitu urusan sosial. Urusan sosial sebagai urusan wajib dan pelayanan dasar memberi konsekuensi tanggungjawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial lebih bertumpu pada pemerintah daerah. Salah satu program yang akan diinisiasi pemerintahan daerah adalah perlindungan sosial.5Program perlindungan sosial yang dilakukan oleh Pemerintah merupakan amanat Konstitusi. Perlindungan ini dilakukan sepanjang hayat karena sejak dalam kandungan sampai dengan tua, manusia menghadapi berbagai macam risiko, termasuk kematian. Program perlindungan sosial yang efektif dapat berkontribusi pada 14 dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB atau SDGs).

    Kota Madiun merupakan salah satu pemerintahan daerah yang berkomitmen untuk menjalankan urusan sosial dengan baik. Namun pemerintah dan DPRD berpandangan bahwa perlindungan sosial itu merupakan hal yang harus memberdayakan masyarakat. Sekurang-kurangnya

    5 A. Firmansyah, L. Jamilah, dan S. R. Suminar, “Alternative Model For Corporate Social and Environmental Responsibility: Active, Participative, and Just,” Mimbar Hukum, vol. 28, no. 1, hlm. 186–198, 2016.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi4 ■

    perlindungan sosial bertujuan untuk membantu masa transisi pasca risiko, sehingga dimungkinkan pelaksanaan oleh pemerintah daerah adalah pemberian santunan. Untuk itu, maka dalam program pembentukan Perda, perlindungan sosial itu direncanakan akan diatur dalam tahun 2020.

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilaksanakan penelitian dengan judul “Pendampingan Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Investasi Sosial di DPRD Kota Madiun.”

    B. PermasalahanPenelitian dirancang untuk dilaksanakan dalam 1 (satu)

    tahun penelitian. Untuk tahun 1, fokus penelitian diarahkan kepada rancang bangun kebijakan dan konstruksi dalam memetakan dan menyusun Peraturan Daerah sebagai payung hukum yang responsif bagi masyarakat.

    Tahun 1 : Bagaimanakah konstruksi ideal pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Investasi Sosial di DPRD Kota Madiun?

    C. Tujuan dan Manfaat PenelitianPenelitian ini diharapkan memberikan tujuan untuk

    menghimpun bahan dan data yang memberikan panduan konstruksi ideal pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Investasi Sosial di DPRD Kota Madiun. Adapun manfaat penelitian mencakup manfaat bagi ilmu pengetahuan, manfaat bagi pengambil kebijakan, dan manfaat bagi peneliti lainnya.1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan, yaitu dapat memberikan

    referensi tambahan yang menyangkut wewenang urusan

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 5■

    pemerintahan dalam melaksanakan urusan sosial.2. Manfaat bagi pengambil kebijakan, yaitu dapat memberikan

    sumbangan konkrit dalam bentuk naskah akademik yang berhubungan konstruksi ideal pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Investasi Sosial di DPRD Kota Madiun kepada DPRD Kota Madiun.

    3. Manfaat bagi peneiti lain, yaitu memberikan informasi yang dapat ditindaklanjut dalam pelaksanana wewenang atau urusan-urusan pemeritnahan lainnya.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi6 ■

    METODE PENELITIAN

    A. Jenis PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian socio legal research.

    Dalam penelitian ini, Hukum, preskripsi hukum dan definisi hukum tidak diasumsikan atau diterima begitu saja, tetapi dianalisis secara problematik dan dianggap penting untuk dikaji kemunculan, artikulasi, dan tujuannya.6

    B. Kebaruan PenelitianPenelitian ini menawarkan hal baru dari segi pendekatan

    yang partisipatoris. Penelitian dilaksanakan dengan memasuki proses legislasi yang terjadi pada DPRD Kota Madiun. Penelitian ini dianggap inkonvensional karena mengambil sikap yang tegas-tegas memihak pada subjek penelitian, sementara penelitian konvensional berupaya objektif dengan cara menjaga jarak sosial antara peneliti dan subjek penelitian. Penelitian partisipatoris ini diharapkan dapat menjadi pendekatan baru yang membawa hasil-hasil positif, baik bagi peneliti maupun yang diteliti, yaitu sebagai peserta dalam proses partisipatoris dalam transformasi sosial dan pengembangan pengetahuan.

    6 R. Banakar dan M. Travers, “Law, Sociology and Method,” dalam Theory and Method in Socio-Legal Research, R. Banakar dan M. Travers, Ed. Onati: Hart Publishing Oxford and Portland Oregon, 2005.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 7■

    C. Data PenelitianData Penelitian adalah segala fakta dan angka yang

    dapat dijadikan bahan untuk menyusun suatu informasi.7 Dalam kerangka penelitian, maka data penelitian meliputi data primer dan data sekunder.8 Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian berupa informasi yang berkaitan dengan permasalahan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari bahan-bahan pustaka yang berupa peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

    D. Teknik Analisis Data Penelitian

    7 S. Arikunto, Metodologi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.8 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.

    Jakarta:Rineka Cipta, 2006

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi8 ■

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    1. Fungsi Legislasi dan Pembentukan Peraturan Daerah

    a. Legislasi1.) Definisi Legislasi

    Demokrasi merupakan suatu pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan mayoritas warga negara dijalankan. Dalam demokrasi modern, demokrasi yang dijalankan tersebut adalah melalui perwakilan, dimana rakyatlah yang memilih wakil-wakilnya, menurut dasar demokrasi keputusan tertinggi dalam pemerintahan negara terletak ditangan rakyat melalui perantara badan perwakilan, anggota masyarakat yang mewakili disebut wakil politik9

    Wakil Politik dijalankan melalui lembaga yang berfungsi sebagai badan perwakilan rakyat –yang disebut sebagai parlemen atau lembaga legislatif atau lembaga pembuat undang-undang. Melalui fungsi ini parlemen menunjukkan bahwa dirinya sebagai wakil rakyat dengan memasukkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya ke dalam pasal-pasal undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang sangat penting di Indoneia, di samping perangkat kenegaraan lain yang melaksanakan sistem

    9 Andi Gadjong. 2007. Pemerintahan Daerah (Kajian Politik dan Hukum). Bogor: Ghalia Indonesia. hlm. 82..

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 9■

    demokrasi.10 Kedudukan DPR dalam sistem penyelenggaraan

    kekuasaan negara mengalami perubahan yang signifikan sejak amandemen keempat UUD 1945 disahkan. Hal ini tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Meskipun kewenangan membentuk UU ada di DPR, namun pembahasan sebuah RUU harus dilakukan secara bersama-sama dengan pemerintah, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 20 ayat (2), “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.”11

    Berdasarkan pasal 20A UUD 1945 DPR merupakan lembaga tinggi negara yang bertugas menjalankan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsinya, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat (Pasal 20A ayat [2] UUD 1945). Lebih lanjut, DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hal imunitas (Pasal 20A ayat (3) UUD 1945).12

    Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai hak anggota DPR diatur dalam undang-undang (Pasal 20A ayat [4] UUD 1945). Namun secara spesifik, DPR sebenarnya memiliki 4 (empat) fungsi dasar sebagai lembaga tinggi 10 Op.Cit. hlm. 83.11 Ratnia Solihah. 2016. “Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan

    Perwakilan Rakyat Pasca Pemilu 2014: Permasalahan dan Upaya Mengatasinya”. COSMOGOV: Jurnal Ilmu Pemerintahan Volume 2 Nomo4 2 2016. Bandung: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran. hlm. 292.

    12 Ibid.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi10 ■

    negara yang menjalankan fungsi perwakilan, yaitu: Pertama, Fungsi Legislasi. Fungsi ini berhubungan dengan upaya menerjemahkan aspirasi masyarakat menjadi keputusan-keputusan politik yang nantinya dilaksanakan oleh pihak eksekutif (pemerintah).13

    Di sini kualitas anggota DPR diuji. Mereka harus mampu merancang dan menentukan arah serta tujuan aktivitas pemerintahan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kedua, Fungsi Pengawasan; Fungsi yang berkaitan dengan upaya memastikan pelaksanaan keputusan politik yang telah diambil tidak menyimpang dari arah dan tujuan yang telah ditetapkan. Idealnya anggota DPR tidak sekadar mendeteksi adanya penyimpangan yang bersifat prosedural, juga diharapkan dapat mendeteksi penyimpangan teknis, seperti dalam kasus bangunan fisik yang daya tahannya di luar perhitungan normal. Ketiga, Fungsi Anggaran. Fungsi ini berkaitan dengan kemampuan DPR mendistribusikan anggaran sesuai dengan skala prioritas yang secara politis telah ditetapkan. Keempat, Fungsi Representasi.yaitu Terkait dengan fungsi representasi. Fungsi representasi DPR dapat dipahami sebagai fungsi substantif yang melekat dalam diri DPR sebagai wakil rakyat yang diembannya melalui pemilu.14

    Fungsi representasi DPR tersebut sebagaimana mengacu pada pemikiran Pitkin. Menurut Pitkin, representasi politik diartikan dalam arti yang substantif yaitu “bertindak untuk

    13 Heriyono Tardjono. 2016. “Degradasi Kewenangan Legislasi Badan Legislasi DPR RI Pasca Revisi UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD”. Jurnal Renaissance Volume 1 Nomor 1 2016. hlm. 12.

    14 Ratnia Solihah. Op.Cit. hlm. 293.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 11■

    yang diwakili dan dengan cara yang responsif terhadap mereka15. Terkait dengan fungsi DPR, B.N Marbun mengemukakan ada empat fungsi utama yang dimiliki oleh DPR, pertama fungsi legislasi atau pembuat undang-undang, kedua fungsi kontrol atau pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan ketiga fungsi budget atau persetujuan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta keempat penampung dan penyalur aspirasi masyarakat.16

    Dari fungsi-fungsi DPR tersebut, maka fungsi pokok DPR adalah membuat undang-undang yang berarti menjadi landasan hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Menurut Miriam Budiardjo “lembaga legislatif adalah lembaga yang “legislate” atau membuat undang-undang. Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat17. (Budiardjo, 1989: 173). Sementara itu, menurut David E. After, badan legislatif terdiri dari wakil-wakil rakyat dan semua penetapan undangundang harus disetujui oleh legislatif18.

    Dengan demikian melalui fungsi legislasi akan tercermin juga bagaimana wakil rakyat dapat menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, melalui kebijakan-kebijakan (Undang-undang) yang dibuatnya. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor

    15 Hanna Fenichel Pitkin. 2004. “Representation and Democracy: Uneasy Alliance”. Scandinavian Political Studies Volume 27 Nomor 3 2004. hlm. 209.

    16 B.N. Marbun. 2002. DPR RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 1.

    17 Mirian Budiardjo. 1989. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia. hlm. 173.

    18 David E. Apter. 1985. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: CV Rajawali. hlm. 230-234.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi12 ■

    17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Untuk selanjutnya disebut UUMD3) menyatakan bahwa : Fungsi Legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa dengan diberlakukannya UUMD3 ini maka kekuasaan untuk membentuk undang-undang ada di tangan DPR.19

    Fungsi legislasi merupakan fungsi paling dasar dari sebuah lembaga legisatif. Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk perundang-undangan. Melalui DPR aspirasi masyarakat ditampung, kemudian kehendak rakyat tersebut diimplementasikan dalam undang-undang sebagai representasi rakyat banyak20. Menurut Jimly Assidiqie, fungsi legislasi menyangkut empat kegiatan, yaitu21: (1) prakarsa pembuatan undang-undang (legislative intiation); (2) pembahasan rancangan Undangundang (law making process); (3) persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval); dan (4) pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents). (Assidiqie, 2009:

    19 Ratnia Solihah. Loc.Cit. hlm. 293.20 Ibid.21 Jimly Assiddiqie. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.

    Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 300.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 13■

    300). Berdasarkan hal di atas, maka pada hakekatnya fungsi

    utama dari legislatif adalah membuat undang-undang (legislasi). Hal ini juga sejalan dengan fungsi-fungsi yang lain seperti, fungsi pengawasan (controlling) juga merupakan bagian dari fungsi legislasi, karena dalam menjalankan fungsi pengawasan tentunya terlebih dahulu melahirkan peraturan perundangan-undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Begitu juga fungsi anggaran (budgeting) yang merupakan sebagian dari fungsi legislasi karena untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga ditetapkan dengan Peraturan Perundang-Undangan setiap tahun anggaran.22

    2.) Fungsi Legislasi DPRSebagaimana dinyatakan di atas bahwa fungsi legislasi

    adalah fungsi DPR untuk membuat undang-undang. Di Indonesia undang-undang dibuat atas kerjasama DPR dan Presiden. Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945 (ayat 1), bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan pada ayat 2 dinyatakan bahwa, setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.23

    Hak-hak DPR yang menyertai fungsi ini adalah hak

    22 Ratnia Solihah. Op.Cit. hlm. 296.23 Sunarto. 2017. “Fungsi Legislasi DPR Pasca Amandemen

    UUD 1945”. Jurnal Integralistik Nomor 1 Tahun XVIII/2017. Semarang: Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Semarang. hlm. 59.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi14 ■

    inisiatif yang merupakan hak dari anggota-anggota DPR. Hak inisiatif adalah hak untuk memprakarsai pembuatan undang-undang dengan mengusulkan rancangan undangundang. Dalam UUD NRI Tahun 1945 hak ini terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.24

    Dalam UU. No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 42 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UU. No. 17 Tahun 2014 tentang MD3), dinyatakan bahwa DPR berwenang membentuk Undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 71 huruf a). DPR juga berwenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang. (Pasal 71 huruf b).25

    Sampai pada Era Orde Baru, proses pembuatan undang-undang dan cara mengundangkannya masih mengacu pada Undang-undang Darurat No. 2 Tahun 1950 tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang mengeluarkan, mengumumkan, dan mulai berlakunya Undang-undang Federal dan Peraturan Pemerintah. Dalam dinamika dan pergeseran ketatanegaraan yang terjadi semenjak itu, undang-undang tersebut diterapkan dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu26.

    24 Ibid.25 Op.Cit. hlm. 60.26 Soehino. 1990. Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-Undangan.

    Yogyakarta: Liberty. hlm. 44.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 15■

    Selanjutnya keluarlah Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan UndangUndang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Secara garis besar ketentuan tersebut mengatur bahwa masing-masing departemen dan lembaga dapat mengambil prakarsa untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah sepanjang menyangkut bidang tugasnya.27

    Prakarsa tersebut terlebih dahulu perlu dilaporkan kepada Presiden. Setelah Presiden menyetujui, menteri yang bersangkutan melakukan langkahlangkah seperlunya dan membentuk suatu panitia. Panitia tersebut bisa internal departemen atau inter departemen. Rancangan Undang-Undang hasil kerja panitia tersebut sebelum diajukan kepada Presiden harus disampaikan terlebih dahulu kepada para menteri atau pemimpin departemen yang berkaitan erat dengan materi yang diatur untuk mendapatkan tanggapan dan pertimbangan, kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh tanggapan dari segi hukum, dan kepada Sekretaris Kabinet untuk mempersiapkan kelanjutan dari rancangan tersebut. Dalam rangka mengolah tanggapan dan pertimbangan dari menteri-menteri terkait dapat dilakukan pertemuan-pertemuan konsultasi dan koordinasi.

    Hasil akhir dari penyusunan rancangan tersebut oleh menteri yang bersangkutan diserahkan kepada Presiden disertai penjelasan tentang pokok-pokok materi dan proses penggarapannya. Dalam pembuatan undang-undang, usul rancangan undang-undang juga bisa datang dari DPR. Usul

    27 Sunarto. Op.Cit. hlm. 61.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi16 ■

    rancangan undangundang bisa datang dari anggota, komisi, atau gabungan komisi. Dalam penyusunan rancangan undang-undang, komisi atau gabungan komisi dapat membentuk panitia kerja. Anggota, komisi, atau gabungan komisi dalam penyusunan rancangan undang-undang dibantu oleh Badan Keahlian DPR.28

    Dalam penyusunan rancangan undang-undang, anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi dapat minta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panitia kerja untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang. Pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang dilakukan oleh Badan Legislasi, dan untuk keperluan itu dapat dibentuk panitia kerja. Rancangan undang-undang yang telah dilakukan pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi, diajukan oleh pengusul kepada Pimpinan DPR dengan dilengkapi keterangan pengusul dan/atau naskah akademik untuk selanjutnya disampaikan dalam rapat paripurna yang diselenggarakan oleh DPR.29

    3) Fungsi LegislasiJohn Struart Mill mengemukakan 2 (dua) argumen

    pentingnya lembaga perwakilan rakyat pada tingkat daerah (Consideration on Representation Government), yaitu30:

    First, that local political institutions would be an essential element in a system of democratic government, because they widen

    28 Ibid.29 Op.Cit. 62.30 Desmond King dan Gerry Stoker. 1996. Rehinking Local

    Democracy. London: Maxmillan Press Ltd. hlm. 5.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 17■

    the opportunity to participate and provide the capacity to educate the nitizen in the practice of politics government. Second, that substantial scope for local administration made practical sense because local interest, knowledge and capacity to eversee made the prospect of likely: “In the details of management, therefore, the local bodies will generally have the advantage”

    (Pertama, institusi politik lokal merupakan unsur penting dalam suatu sistem pemerintahan demokrasi, karena mereka memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dan mengadakan pendidikan kepada warga negara dalam praktek politik pemerintahan. Kedua, lingkup substansi pemerintah lokal memberi pengertian praktek, karena kepentingan lokal, pengetahuan dan kemampuan untuk melihat prospek pemerintahan yang efektif dan efisien jauh lebih baik mungkin dalam rangka keberhasilan pelayana: Dalam seluk beluk manajemen, oleh karena itu, emrupakan keuntungan pemerintah lokal secara umum).

    S. H Sarundajang sebagaimana yang telah dikutip oleh Marzuki Lubis mengatakan bahwa diperlukannya pemerintahan perwakilan daerah yang mempunyai dua kegunaan.35 Salah satunya adalah “administratif ”, yaitu menyediakan fasilitas dan pelayanan. Yang lainnya adalah “perwakilan”, yang melibatkan warga negara dalam menentukan keperluan umum daerah tertentu dan cara memperolehnya. Pemerintahan perwakilan daerah (atau saat ini adalah seperti DPRD) merupakan hasil dari suatu proses yang merentangkan dan menghubungkan unsur-unsur “perwakilan” dan “administrasi” tersebut di tingkat daerah sehingga dapat sampai dengan baik dan merata

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi18 ■

    kepada masyarakat. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. Pemahaman ini memberikan cara pandang, bahwa DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah31.

    DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Konsekuensi hukum sebagai mitra sejajar, maka dalam mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah. Konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undangundang namun cukup diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara keseluruhan guna memudahkan pengaturannya secara terintegrasi32.

    31 Marzuki Lubis. 2011. Pergeseran Garis Peraturan Perundang-Undangan tentang DPRD dan Kepala Daerah dalam Ketatanegaraan Indonesia. Bandung: Mandar Maju. hlm. 12.

    32 Nanda Pratama Sukoco. 2012. Peran Badan Legislasi dalam Pembentukan Peraturan Daerah Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Timur. Jurnal Administrasi Publik Volume II Nomor 8. Surabaya: Universitas Airlangga. hlm. 92.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 19■

    Konstruksi hukum terhadap Urusan Pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipetakan sebagai berikut33: 1. Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi

    kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut. Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan absolut terdiri dari politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama;

    2. Urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota;

    3. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan umum.

    Fungsi legislasi berdasarkan Dictionary of Law karya John M. Echols adalah berawal dari kata “legislasi” berasal dari bahasa inggris yaitu “legislation” yang berarti (1) perundang-undangan dan (2) pembuatan undang-undang. Sementara itu kata “legislation” berasal dari kata kerja “to legislate” yang berarti mengatur atau membuat undang-undang. 39 Sebagai salah satu fungsi untuk membentuk undang-undang, legislasi merupakan sebuah proses (legislation as a process). Oleh karena itu, Woddrow Wilson mengatakan bahwa “legislation is an 33 Ibid.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi20 ■

    aggregate, not a simple production”34. Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa fungsi legislasi

    menyangkut empat bentuk kegiatan, yaitu: (1) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initation); (2) Pembahasan rancangan undang-undang (law making process); (3) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactement approval); (4) Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya35.

    Fungsi legislasi merupakan fungsi anggota DPRD Provinsi, Kabupaten atau Kota untuk membentuk Peraturan Daerah bersama Gubernur/ Bupati/ Walikota. Fungsi legislasi atau dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah disebut dengan fungsi pembentukan peraturan daerah, harus dilaksanakan dengan cara36: 1. Membahas bersama kepala daerah dan menyetujui atau

    tidak menyetujui rancangan peraturan daerah; 2. Mengajukan usul rancangan peraturan daerah; 3. Menyusun program pembentukan peraturan daerah

    bersama kepala daerah.

    Fungsi anggaran, dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD provinsi/kabupaten/

    34 Woddrow Wilson, sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi. Jakarta: Raja Grafindo. hlm. 79.

    35 Jimly Assiddiqie. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 307.

    36 Mengacu pada Pasal 97 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 21■

    kota yang diajukan oleh Kepala Daerah. Fungsi anggaran dilaksanakan dengan cara: 1. Membahas KUA dan PPAS yang disusun oleh Kepala

    Daerah berdasarkan RKPD; 2. Membahas rancangan Perda Provinsi tentang APBD

    Provinsi/Kabupaten/Kota; 3. Membahas rancangan Perda Provinsi/Kabupaten/Kota

    tentang perubahan APBD Provinsi/Kabupaten/Kota; dan

    4. Membahas rancangan Perda Provinsi/Kabupaten/Kota tentang Pertanggungjawaban APBD Provinsi/Kabupaten/Kota.

    Fungsi legislasi oleh DPRD merupakan serangkaian tanggung jawab untuk ikut berperan dalam penyusunan peraturan daerah bersama kepala daerah. Kedudukan yang sama antara DPRD dan kepala daerah seharusnya mampu membentuk Perda yang berkualitas, up to date dan sesuai dengan kondisi zaman. Namun hubungan legislatif dan pemerintah daerah ini belum bisa berjalan dengan baik karena kurang optimalnya sumber daya manusia yang ada.

    Anggota DPRD yang memiliki otoritas dalam legislasi terkadang tidak memiliki kompetensi dalam bidang perancangan undang-undang, sehingga kinerja DPRD dipertanyakan. Di samping itu, pengukuran kinerja DPRD dari fungsi legislasi bisa diukur dari berapa banyak Peraturan daerah yang disahkan secara konteks membela kepentingan masyarakat, berkualitas, mendorong kemajuan dunia usaha yang ujungnya menggerakkan sektor ekonomi daerah dan tidak bertentangan dengan undang-undang diatasnya. Maka,

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi22 ■

    pentingnya anggota DPRD dalam meningkatkan kompetensi di bidang legal drafting.

    b. Peraturan Daerah1.) Definisi dan Muatan Peraturan Daerah

    Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, Pemerintahan daerah diberikan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Dalam rangka melaksanakan otonomi luas di daerah, maka pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dimaksud dengan Peraturan daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.37

    Ketentuan lebih lanjut mengenai peraturan daerah ini diatur dalam pasal 136 sampai pasal 149 UU No. 32 Tahun 2004. Peraturan daerah dibuat oleh pemerintah daerah dalam rangka untuk menjalankan otonomi daerah dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan peraturan daerah merupakan penjewatahan dari pemberian kewenangan kepada daerah dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, karena adabagian dari urusan-urusan daerah selain diatur dalam undang-undang dan harus diatur lebih lanjut

    37 A. Zarkasi. -. Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/43188-ID-pembentukan-peraturan-daerah-berdasarkan-peraturan-perundang-undangan.pdf Pada tanggal 1 September 2020 Pukul 06.07 WIB.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 23■

    dengan peraturan daerah.38

    Berkaitan dengan kewenangan membentuk Peraturan Daerah (Perda) telah dipertegas dalam. UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 42 ayat (1) huruf a ditentukan bahwa: “DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama”. Selanjutnya dipertegas lagi dengan UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR,DPD dan DPRD ditentukan: DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang: membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur, membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur.39

    Sedangkan kewenangan DPRD Kabupaten/Kota ditegaskan dalam Pasal 344 ditentukan : (1) DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang, membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota, membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota. DPRD dan Kepala Daerah secara bersama-sama menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Peraturan Daerah lainnya.40

    Kepala Daerah memimpin Pemerintahan Daerah untuk

    38 Ibid.39 Ibid.40 Alfan Gaffar Syaukani dan M. Ryass Rasyid. 2002. Otonomi

    Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Pusat Agama Kajian dan Peradaban (PUSKAP). hlm. 47.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi24 ■

    melaksanakan APBD dan peraturan-peraturan lainnya. Disamping itu DPRD juga melakukan pengawasan. terhadap Kepala Daerah dalam melaksanakan APBD dan Peraturan Daerah lainnya. Dalam konteks tugas dan wewenang Kepala Daerah, melakukan pengarahan dan pengendalian birokrasi daerah. Ada beberapa tugas yang mesti dilakukan adalah: implementasi kebijakan daerah, penegakan Perda, memberikan pelayanan publik kepada warga masyarakat daerah, dan mengumpulkan, dan mengolah informasi untuk kemudian disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada Kepala Daerah.41

    Daerah adalah sebagai daerah otonom sebagai satuan pemerintah di daerah dan yang memiliki wewenang bersifat atributif berwenang untuk membuat peraturan-peraturan untuk menyelenggarakan rumah tangganya. Wewenang mengatur ada pada Pemerintah Daerah dan DPRD sebagai pemegang fungsi DPRD di daerah. Perda merupakan pelaksanaan fungsi DPRD.42

    Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan dengan tegas bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa segala tindakan pemerintah maupun masyarakat harus berdasarkan hukum. Dalam mengatur kehidupan masyarakat produk hukum yang dapat dihasilkan adalah produk hukum nasional maupun produk hukum daerah. Pembentukan peraturan perundang-undangan (legal drafting) adalah merupakan istilah yang lazim dipakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan kata “legal” berarti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-41 Ibid.42 Op.Cit. hlm. 49.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 25■

    undangan atau (berarti) hukum43. Kata “draft” dalam Kamus InggrisIndonesia, diartikan

    sebagai “konsep”, dengan penambahan kata “ing”, maka “drafting” berarti “pengonsepan”, “perancangan”44. Jadi “legal drafting” adalah pengonsepan hukum atau perancangan hukum yang berarti “cara penyusunan rancangan peraturan sesuai tuntutan teori, asas dan kaidah perancangan peraturan perundang-undangan”45

    Burkhardt Krems, menyatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (Staatliche Rechtssetzung) meliputi dua hal pokok yaitu kegiatan menentukan isi peraturan (inhalt der regeling) di satu pihak, dan kegiatan yang menyangkut pemenuhan bentuk peraturan (form der regeling). Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan kegiatan interdisipliner46.

    T. Koopman menyatakan fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan itu semakin terasa diperlukan kehadirannya, karena di dalam negara yang berdasarkan atas hukum modern (verzorgingsstaat),5 tujuan utama pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodifikasi bagi nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat melainkan menciptakan modifikasi atau

    43 Sulchan Syahid. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. hlm. 651.44 John M. Echholis dan Hasan Shadily. 2000. Kamus Inggris-

    Indonesia. hlm. 196.45 Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakrulloh. 2005. Legal Drafting

    Berporos Hukum Humanis Partisipatoris. Jakarta: PT Perca. hlm. 13.46 A. Hamid S. Attamimi. 1990. Peranan Keputusan Presiden RI dalam

    Penyelenggaraaan Pemerintahan Negara. Jakarta: Disertasi Program Doktor Universitas Indonesia. hlm. 317.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi26 ■

    perubahan dalam kehidupan masyarakat47. Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan

    bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Sedangkan yang dimaksud dengan pembentukan produk hukum daerah adalah pembuatan peraturan perundang-undangan daerah yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, pengundangan,dan penyebarluasan.Dengan demikian, kata “pembentukan” berarti “proses, perbuatan, cara membentuk.48”

    Hal tersebut menunjukkan bahwa, kata pembentukan memiliki makna yang luas, tidak sekedar berkaitan dengan hal-hal yang bersifat teknis, melainkan juga mencakup aspek substansial. Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Dari definisi tersebut maka suatu peraturan baru dapat disebut sebagai peraturan perundang-undangan jika49: 47 Mahendra Putra Kurnia. 2007. Pedoman Naskah Akademis

    Perda Partisipatif. Yogyakarta: Kreasi Total Media. hlm. 5.48 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan

    Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 119.

    49 I Nengah Suantra dan Made Nurmawati. 2016. Naskah

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 27■

    a. merupakan keputusan tertulis, b. memuat norma hukum; c. mengikat umum; d. dibentuk oleh pejabat yang berwenang; dan e. dengan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan

    perundang-undangan.

    Sedangkan yang dimaksud dengan produk hukum daerah adalah Produk hukum yang berbentuk peraturan meliputi peraturan daerah (Perda) atau nama lainnya, Peraturan Kepala Daerah (Perkada), Peraturan Bersama Kepala Daerah (PB KDH), Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Peraturan DPRD) dan berbentuk keputusan meliputi keputusan kepala daerah, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan DPRD50.

    2.) Ruang Lingkup Produk Hukum Peraturan DaerahProduk Hukum daerah menurut Pasal 2 Peraturan

    Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah berbentuk peraturan dan penetapan. Pasal 3 menentukan bahwa produk hukum daerah yang berbentuk peraturan terdiri dari51:

    a. Peraturan daerah (Perda) atau nama lainnya; b. Peraturan Kepala Daerah (Perkada);

    Tutorial Teori Legislasi dalam Pembentukan Peraturan Daerah. Bali: Universitas Udayana. hlm. 5.

    50 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 19 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

    51 I Nengah Suantra dan Made Nurmawati. 2016. Naskah Tutorial Teori Legislasi dalam Pembentukan Peraturan Daerah. Bali: Universitas Udayana. hlm. 13.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi28 ■

    c. Peraturan Bersama Kepala Daerah (PB KDH); dan d. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

    Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, terdiri dari perda propinsi dan perda kabupaten/kota (Pasal 4 ayat 1). Sedangkan Perkada terdiri dari Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota (Pasal 6 Permendagri No.80 Tahun 2015). PB KDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terdiri atas: peraturan bersama gubernur, Peraturan bersama bupati, dan Peraturan bersama walikota. Peraturan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d terdiri atas: Peraturan DPRD Provinsi, Peraturan DPRD kabupaten, dan Peraturan DPRD kota. Produk hukum daerah yang bersifat penetapan menurut ketentuan Pasal 9 Permendagri No. 80 Tahun 2015 berbentuk: Keputusan Kepala Daerah; Keputusan DPRD; Keputusan Pimpinan DPRD; dan Keputusan Badan Kehormatan DPRD52.

    Peraturan perundang-undangan yang baik (good legislation) sangat diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan baik ditingkat pusat maupun di daerah, karena akan dapat menunjang pemerintahan dan pembangunan sehingga akan lebih memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Untuk dapat membuat peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan adanya/dimilikinya pengetahuan tentang perundang-undangan, antara lain berkaitan dengan bentuk/jenis, materi muatan yang akan diatur serta bagaimana materi tersebut dituangkan dalam peraturan perundangundangan secara singkat, jelas dan mudah dipahami serta sistimatis

    52 Ibid.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 29■

    sehingga peraturan tersebut ditaati dan dapat dilaksanakan. Dalam membentuk peraturan perundang-undangan

    termasuk perda, dalam kaitannya dengan keberlakuan norma menurut I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, maka harus memenuhi tiga landasan yakni: landasan berlaku secara Filosofis, landasan berlaku secara sosiologis dan landasan berlaku secara yuridis.19 Landasan berlaku secara filosofis adalah bahwa rumusan atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardiging) apabila dikaji secara filosofis, atau dapat dikatakan bahwa perundang-undangan harus mencerminkan sistem nilai dari masyarakat yang bersangkutan yuridis adalah suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya dan berdasarkan pada hukum yang lebih tinggi53.

    Landasan keberlakuan secara sosiologis (sociologische grondslag) adalah, bahwa peraturan perundang-undangan harus mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat termasuk pula kecendrungan dan harapan-harapan masyarakat. Sedangkan landasan keberlakuan secara yuridis (juridische grondslag) adalah suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat pembentukannya dan berdasarkan pada hukum yang lebih tinggi. Selain itu yang perlu diperhatikan pula dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah Bahasa dalam peraturan perundang-undangan.

    Pada prinsipnya bahwa semua produk hukum yang dihasilkan harus dapat dikomunikasikan secara efektif kepada masyarakat yang menjadi sasarannya. Jika suatu peraturan 53 Made Pantja Astawa dan Suprin Na’a. 2008. Dinamika Hukum

    dan Ilmu Perundang-Undangan di Indonesia. Bandung: Alumni. hlm. 78.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi30 ■

    perundang-undangan tidak dapat ditransformasikan dengan baik kepada masyarakat, maka hal ini jelas akan berdampak kepada kepada ketaatan maupun kepatuhan masyarakat itu sendiri. Demikian halnya dengan Peraturan daerah , yang mengatur kehidupan masyarakat suatu daerah, maka harus dapat dipahami dan dimengerti oleh masyarakat daerah yang bersangkutan, sehingga hal-hal yang diatur dapat dilaksanakan54.

    Bahasa yang dipergunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus lugas dalam arti kalimatnya harus tegas, jelas, dan pengertiannya mudah ditangkap oleh semua orang, tidak berbelit-belit, serta kalimat yang dirumuskan tidak menimbulkan multitafsir bagi yang membaca. Demikian pula dalam perumusannya harus sinkron antara norma yang satu dengan norma yang lainnya. Bahasa peraturan perundang-undangan harus tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik dalam pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun pengejaannya55.

    Menurut Leon Fuller ada 8 kriteria hukum yang baik yaitu56:

    1. Hukum harus dituruti semua orang, termasuk oleh penguasa negara;

    2. Hukum harus dipublikasikan; 3. Hukum harus berlaku ke depan, bukan berlaku surut; 4. Kaidah hukum harus ditulis secara jelas, sehingga dapat

    54 Made Pantja Astawa dan Suprin Na’a. Op.Cit. hlm. 79.55 Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakrulloh. Op.Cit. hlm. 50.56 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera. 2009. Cara

    Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan praktis Disertai Manual) Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris. Jakarta: Kencana Media Group. hlm. 34.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 31■

    diketahui dan diterapkan secara benar; 5. Hukum harus menghindari diri dari kontradiksi-

    kontradiksi; 6. Hukum jangan mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin

    dipenuhi; 7. Hukum harus bersifat konstan sehingga ada kepastian

    hukum. Tetapi hukum harus juga diubah jika situasi politik dan sosial telah berubah;

    8. Tindakan para aparat pemerintah dan penegak hukum haruslah konsisten dengan hukum yang berlaku.

    Peraturan perundang-undangan yang baik merupakan pondasi Negara Hukum yang akan menjamin hak-hak warga negra, membatasi kekuasaan penguasa, menjamin kepastian dan keadilan hukum untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Sedangkan untuk membentuk keputusan yang baik, menurut ketentuan

    Pasal 97 UU No. 12 Tahun 2011 menentukan bahwa57: “Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam

    Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD

    57 I Nengah Suantra dan Made Nurmawati. hlm. 16.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi32 ■

    Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat”

    Dengan demikian maka jelas bahwa dalam membentuk keputusan yang baik pada dasarnya adalah sama dengan membentuk peraturan perundangundangan sebagaimana diatur dalam UUNo.12 Tahun 2011, dan khusus untuk produk hukum daerah juga berdasarkan Permendagri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Produk Hukum Daerah. Selain itu di dalam merancang

    3.) Indikator Kualitas Pembentukan Peraturan DaerahPerda adalah semua peraturan yang dibuat oleh

    pemerintah setempat untuk melaksanakan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi derajatnya58. Oleh karema itu materi Perda secara umum memuat antara lain59: 1. Hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga daerah

    dan halhal yang berkaitan dengan organisasi pemerintah daerah;

    2. Hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan pembantuan (Mendebewindl dengan demikian Perda merupakan produk hukum dari pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah, yaitu melaksanakan hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri sekaligus juga Perda merupakan legalitas untuk mendukung Pemerintah Provinsi sebagai

    58 Bagir Manan. 2004 Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press. hlm. 92.

    59 Rosjidi Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia. Bandung: Penerbit Mandar Maju. hlm. 118.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 33■

    daerah otonom.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengatur

    beberapa prinsip mengenai Perda60: 1. Kepala Daerah menetapkan Perda dengan persetujuan

    DPRD; 2. Perda dibentuk dalam penyelenggaraan otonomi, tugas

    pembantuan dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

    3. Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perda lain, atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

    4. Perda dapat memuat ketentuan beban biaya paksaan penegakan hukum atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyakbanyaknya lima juta rupiah.

    5. Keputusan Kepala Daerah ditetapkan untuk melaksanakan Perda.

    6. Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang mengatur, dimuat dalam lembaran daerah.

    7. Perda dapat menunjuk pejabat tertentu sebagai pejabat penyidik pelanggaran Perda (PPNS Perda dan Keputusan Kepala Daerah).

    Perda merupakan hasil kerja bersama antara Gubernur/Bupati/Walikota dengan DPRD, karena itu tata cara membentuk Perda harus ditinjau dari beberapa

    60 A. Zarkasi. -. Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/43188-ID-pembentukan-peraturan-daerah-berdasarkan-peraturan-perundang-undangan.pdf. Pada tanggal 1 September 2020 Pukul 06.27 WIB.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi34 ■

    Unsur pemerintahan tersebut, yaitu Unsur DPRD adalah Peraturan Daerah merupakan sutu bentuk produk legislatif tingkat daerah, karena itu tidak dapat terlepas dari DPRD. Keikutsertaan DPRD membentuk Perda bertalian dengan wewenang DPRD dibidang legislatif atau yang secara tidak langsung dapat dipergunakan sebagai penunjang fungsi legislatif, yaitu hak penyidikan., hak inisiatif, hak amandemen, persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda). Unsur Partisipasi adalah partisipasi dimaksudkan sebagai keikutsertaan pihak-pihak luar DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menyusun dan membentuk Ranperda atau Perda61.

    A. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa kedudukan, yang penting, karena sebagai unsur dari pemerintah daerah dalam penyelenggarakan pemerintahan daerah. Kedudukan DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah, sekaligus menjalankan fungsi kontrol atau pengawasan terhadap Pemerintah Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang DPRD5 antara lain62: a. Membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah

    untuk mendapat persetujuan bersama; b. Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama dengan Kepala Daerah;

    c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan 61 Ibid.62 Bagir Manan. 2001. Meyongsong Fajar Otonomi Daerah.

    Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII. hlm. 70.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 35■

    Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lain, Keputusan Gubernur. Bupati dan Walikota, Anggarap Pendapatan dan Belanja Daerah, Kebijakan Pemerintah Daerah, dan Kedasama Intemasional di daerah;

    d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhenrian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada Presiders melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubemur bagi DPRD Kabupaten/Kota;

    e. Memilih Wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah;

    f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian Internasional di daerah;

    g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama Internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah;

    h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;

    i. Membentuk Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah; j. Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD

    dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah; k. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama

    antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.Suatu peraturan perundangan tidak berlaku abadi, karena

    perkembangan masyarakat, maka peraturan juga mengalami perubahan ataupun dinyatakan tidak berlaku. Suatu peraturan

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi36 ■

    perundang-undangan dinyatakan tidak berlaku apabila63: 1. Pembatalan peraturan perundang-undangan dapat secara

    nyata artinya peraturan perundangan yang barn secara tegas menyebutkan peraturan perundangan yang lama dicabut.

    2. Undang-Undang dinyatakan tidak berlaku apabila waktu berlakunya telah lampau.

    3. Pada kenyataannya peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diberlakukan lagi yang sesuai dengan pekembangan zaman.

    Dalam rangka membuat peraturan perundang-undangan maupun peraturan daerah ada 3 (tiga) dasar atau landasan sebagai berikut64: 1. Landasan Filosofis; perundang-undangan dihasilkan

    mempunyai landasan filosofis (filisofische groundslag) apabila rumusannya atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardiging) dikaji secara filosofis. Jadi undang-undang tersebut mempunyai alasan yang dapat dibenarkan apabila dipikirkan secara mendalam.

    2. Landasan Sosiologis; suatu perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis (sociologische groundslog) apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.

    3. Landasan Yuridis; landasan yuridisn (rechtground) atau 63 A. Zarkasi. -. Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan

    Peraturan Perundang-Undangan. Diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/43188-ID-pembentukan-peraturan-daerah-berdasarkan-peraturan-perundang-undangan.pdf. Pada tanggal 1 September 2020 Pukul 06.58 WIB.

    64 Amiroeddin Syarif. 1987. Perundang-Undangan Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya. Jakarta: Bina Aksara.hlm. 31.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 37■

    disebut juga dengan landasan hukum adalah dasar yang terdapat dalam ketentuanketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Landasan yuridis dibedakan pula menjadi dua macam, yaitu:a. Segi Formal yaitu ketentuan hukum yang memberikan

    wewenang kepada badan pembentuknya.b. Segi Material adalah ketentuan-ketentuan hukum

    tentang masalah atau persoalan apa yang harus diatur.

    Bertitik tolak dari landasan dan asas perundang-undangan tersebut diatas, maka disusunlah kerangka dasar peraturan perundang-undangan. Secara umum kerangka dasar perundang-undangan memuat hal-hal sebagai berikut65:1. Judul/ penamaan yaitu memberi tanda khusus bahwa

    peraturan perundang-undangan sudah diketahui jenis besarnya sejak awal. Dengan membaca judul setiap pembaca sudah dapat mencermati kemungkinan isi dan tujuan selanjutnya. Pada bagian judul ini memuat hat-hal sebagai berikut: (a). Jenis peraturan perundang-undangan (b). Nomor peraturan perundang-undangan (c). Tahun pembuatan peraturan perundang-undangan (d). Nama peraturan perundangundangan.

    2. Pembukaan yaitu suatu peraturan perundang-undangan terdiri dari: (a). Konsideran (b). Dasar hukum.

    3. Batang tubuh yang memuat rumusan peraturan perundang-undangan.

    4. Penutup, yaitu peraturan perundang-undangan yang mengakhiri peraturan yang dibuat tersebut yang memuat: (a). Rumusan perundangan (b). Tanggal pengesahan (c).

    65 Bagir Manan. 1999. Dasar-Daasar Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Indonesia Hll. Co. hlm. 63.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi38 ■

    Penandatanganan pejabat yang berwenang.Selanjutnya Bagir Manan dalam Hamid, mengajukan 5

    (lima) ukuran untuk menetapkan materi atau objek yang hares diatur dengan undang-undang, yaitu66: 1. Materi yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar

    1945, terdapat ketentuan yang menyatakan hal-hal tertentu diatur dengan undangundang. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, ada 16 materi muatan yang secara tegas diperintahkan Undang-Undang Dasar 1945 untuk diatur dengan undang-undang. Pada saat ini setelah amandemen keempat, Undang-Undang dasar 1945 ada 36 materi muatan yang diperintahkan untuk diatur dengan undang-undang.

    2. Materi yang oleh undang-undang terdahulu akan dibentuk dengan Undang-Undang Kehakiman terdapat ketentuan, susunan, kekuasaan Berta acara dari badan peradilan seperti tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) diatur dalam Undang-undang tersendiri. Kemudian dibentuk undang-undang tentang Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama.

    3. Undang-undang dibentuk dalam rangka mencabut atau menambah undang-undang yang sudah ada.

    4. Undang-undang dibentuk karena menyangkut hal yang berkaitan denganhak-hak- dasar atau hak asasi manusia. Jadi mater muatan undang-undang adalah hal-hal yang menyangkut hak asasi manusia.

    5. Hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan atau kewajiban orang banyak.

    66 Hamid Attamimi S.A. 11990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Disertasi Program Pascasarjana. Jakarta: Universitas Indonesia. hlm. 120.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 39■

    1. Negara Kesejahteraan dan Investasi Sosiala. Definisi Negara Kesejahteraan

    Negara kesejahteraan (welfare state) dianggap sebagai jawaban yang paling tepat atas bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat. Keyakinan ini diperkuat oleh munculnya kenyataan empiris mengenai kegagalan pasar (market failure) dan kegagalan negara (government failure) dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat67.

    Tujuan pendirian Negara Republik Indonesia pada dasarnya untuk mensejahterakan seluruh rakyat tanpa kecuali. Dengan kata lain negara Indonesia bertujuan untuk membentuk negara kesejahteraan. Tujuan pembangunan nasional adalah peningkatan kesejahteraan sosial bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata tetapi untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang minimal.68

    Pasal-pasal tentang kesejahteraan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) dan amandemennya lebih banyak, jika dibandingkan dengan konstitusi negara lain yang bertujuan kesejahteraan seperti Norwegia, Jepang, Amerika, dan Malaysia yang memiliki indeks pembangunan manusia relatif tinggi. Indonesia memiliki 14 pasal

    67 William R. Keech. 2012. “Market Failure and Government Failure” Paper submitted for presentation to Public Choice World Congress Public Version. hlm. 5.

    68 Elviandri, Khuzdaifah Dimyati, dan Absori. 2019. “Qua Vadis Negara Kesejahteraan: Meneguhkan Ideologi Welfare State Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia”. Jurnal Mimbar Hukum Volume 31 Nomor 2 2019. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. hlm. 253.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi40 ■

    kesejahteraan dalam UUD 1945 namun tidak memiliki kekuatan untuk membentuk masyarakat yang sejahtera jika dibandingkan dengan konstitusi negara lain yang bertujuan kesejahteraan seperti Norwegia, Jepang, Amerika, dan Malaysia yang memiliki indeks pembangunan manusianya relatif tinggi.69

    Norwegia hanya mencantumkan 3 pasal dalam konstitusinya Pasal 110, 110a dan Pasal 110b70 tapi mampu mencapai IPM yang hampir sempurna. Begitu juga dengan Jepang yang hanya mencantumkan 1 pasal saja tentang kesejahteraan dalam konstitusi negara Jepang.71 Rakyat mempunyai legitimasi untuk menuntut negara untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Maka seharusnya rakyat dapat menuntut apa yang menjadi haknya yang telah diatur begitu jelas dan tegas oleh konstitusi. Inilah yang mendorong penulis untuk merekonstruksi hukum keindonesiaan dengan meneguhkan ideologi welfare state negara hukum kesejahteraan indonesia sehingga negara benar-benar dapat bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan.72

    b. Sejarah Historis Negara KesejahteraanMenurut kamus online Merriam-Webster Dictionary, kata

    69 70 Diakses pada tanggal 1 September 2020 Pukul 16.40 WIB dari

    http://publicofficialsfinancialdisclosure.worldbank.org/sites/fdl/files/assets/law-libraryfiles/Norway_Constitution_1814_(as%20amended)_ en.pdf

    71 The Constitution of Japan. Diakses pada tanggal 1 September 2020 Pukul 16.51 WIB dari http://japan.kantei.go.jp/constitution_and_government_of _japan/constitution_e.html.

    72 Elviandri, Khuzdaifah Dimyati, dan Absori. Ibid.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 41■

    ‘welfare’ diartikan sebagai ‘the state of being happy, healthy, or successful ’. Dalam terjemahan bebas, kata ‘welfare’ mengandung beberapa makna, yakni keadaan bahagia, sehat, atau sukses. Dalam salah satu studinya, Andersen mengungkapkan bahwa welfare state73:

    “A welfare state is a state in which organized power is deliberately used (through politics and administration) in an effort to modify the play of the market forces in at least three directions - first, by guaranteeing individuals and families a minimum income irrespective of the market value of their work or their property; - second, by narrowing the extent of insecurity by enabling individualsand families to meet certain “social contingencies” (for example, sickness, old age and unemployment) which lead otherwise to individual and family crisis; and - third, by ensuring that all citizens without distinction of status or class are offered the best standards available in relation to a certain agreed range of social services.”

    Welfare state merupakan institusi negara dimana kekuasaan yang dimilikinya (dalam hal kebijakan ekonomi dan politik) ditujukan untuk memastikan setiap warga negara beserta keluarganya memperoleh pendapatan minimum sesuai dengan standar kelayakan. Memberikan layanan sosial bagi setiap permasalahan yang dialami warga negara (baik dikarenakan sakit, tua, atau menganggur), serta kondisi lain semisal krisis ekonomi. Memastikan setiap warga negara mendapatkan hak-haknya tanpa memandang perbedaan

    73 J.G. Andersen. 2007. “Welfare States and Welfare State Theory”. Aalborg: Center for Comparative Welfare Studies Instittu for Okonomi, Politik og Fortvalning. Denmark: CCWS Working Paper, Aalborg Universitet. hlm. 4.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi42 ■

    status, kelas ekonomi, dan perbedaan lain74. Penelitian yang dilakukan Assar Lindbeck tentang

    Research Institute of Industrial Economics, menyatakan75: Welfare state. According to a narrow definition, the welfare

    state comprises two types of government spending arrangements: (i) cash benefits to households (transfers, including mandatory income insurance) and (ii) subsidies or direct government provision of human services (such as child care, pre-schooling, education, health care, and oldage care). By broader definitions, the welfare state may also include price regulation (such as rent control and agricultural price support), housing policies, regulation of the work environment, job-security legislation, and environmen-tal policies. This essay is confined to the narrow definition.

    Welfare state bisa dilihat dari sudut pandang terbatas dan sudut pandang luas. Dari perspektif terbatas, welfare state merupakan tata kelola keuangan pemerintah yang ditujukan untuk sektor rumah tangga (konsumsi dalam negeri, penghasilan, asuransi), serta subsidi atau dana sosial untuk kesehatan anak, pendidikan, kesehatan umum, dan perawatan orang tua. Dari sudut pandang yang luas, welfare state bisa digambarkan sebagai intervensi pemerintah melalui kebijakan publik, termasuk diantaranya kebijakan perumahan, peraturan tenaga kerja, undang-undang perpajakan, serta kebijakan lingkungan, dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat.76

    Konsep kesejahteraan (welfare) sering diartikan berbeda 74 Elviandri, Khuzdaifah Dimyati, dan Absori. Op.Cit. hlm. 254.75 Assar Lindbeck. 2006. The Welfare State-Background,

    Achievements, Problems, Research Institute of Industrial Economics. IFN Working Paper Nomor 662. Stockholm: Research Institute of Industrial Economics Sweden. hlm. 2.

    76 Elviandri, Khuzdaifah Dimyati, dan Absori. Op.Cit. hlm. 255.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 43■

    oleh orang dan negara yang berbeda. Merujuk pada Spicker, Midgley, Tracy dan Livermore, Thompson, dan Suharto, pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna; Pertama, sebagai kondisi sejahtera (well being). Pengertian ini biasanya merujuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan nonmaterial. Midgley, mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being”77.

    Kedua, sebagai pelayanan sosial, di Inggris, Australia, dan Selandia Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal social services). Ketiga, sebagai tunjangan sosial yang, khususnya di Amerika Serikat (AS), diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian besar penerima welfare adalah orang-orang miskin, cacat, pengangguran, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut“social illfare” ketimbang “social welfare”78.

    Keempat, sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan,lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk

    77 James Midgley. 2000. The Handbook of Social Policy. Londom: Sage. hlm. xi.

    78 Edi Suharto. 2006. “Negara Kesejahteraan dan Reinveting Depsos”. Seminar “Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi-Otonomi di Indonesia”. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta. hlm. 4.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi44 ■

    meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan sosial (pengertian kedua) dan tunjangan sosial (pengertian ketiga)79.

    Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets)80.

    Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets). International Tiscali Encyclopaedia menjelaskan welfare state pertama kali dipopulerkan oleh Alfred Zimern tahun 1930-an untuk membedakan antara kebijakan demokratis dengan welfare state dibeberapa kawasan Eropa yang diktator. Bagian-bagian welfare state dibangun di Jerman (1883), New Zeland (1898), AustriaHungaria (akhir abad 19), Norwegia (1909), Swedia (1910), Italia dan Rusia (1911), serta Amerika Serikat (1935)81.

    79 Ibid.80 Elviandri, Khuzdaifah Dimyati, dan Absori. Ibid.81 International Tiscali Encyclopaedia (On-Line). “Welfare State”.

    Diakses pada tanggal 1 September 2020 Pukul 18.31 WIB dari http://www.tiscali.co.uk/reference/welfarestate

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 45■

    c. Negara Hukum Kesejahteraan IndonesiaBerkenaan dengan tema sentral yang akan diangkat pada

    penulisan ini, maka terlebih dahulu akan dijelaskan konsepsi negara hukum kesejahteraan. Menurut penulis, konsepsi negara hukum kesejahteraan merupakan landasan pemikiran dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan. Sebab, di dalam konsepsi negara hukum kesejahteraan termuat nilai-nilai keadilan yang merupakan rohnya pembangunan ekonomi. Paham negara hukum kesejahteraan sering juga disebut sebagai negara hukum modern dalam arti material. Bagir Manan mengatakan bahwa konsep Negara hukum kesejahteraan adalah82:

    “Negara atau pemerintah tidak sematamata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.

    Negara Hukum kesejahteraan menurut Bagir Manan terebut menempatkan negara atau pemerintah tidak saja sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan umum bagi rakyatnya. Bagir Manan dalam karyanya yang lain menyatakan bahwa konsepsi negara hukum modern atau negara hukum kesejahteraan mengandung tiga aspek yaitu: aspek politik, hukum, dan sosialekonomi. Aspek politik menghendaki adanya pembatasan kekuasaan negara dalam kehidupan politik. Aspek hukum mengharuskan

    82 Bagir Manan. 1996. Politik Perundang-Undangan dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisme Perekonomian. Lampung: Fakultas Hukum Universitas Lampung. hlm. 9.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi46 ■

    negara adanya prinsip supremasi hukum dalam proses penegakkan hukum, asas legalitas dan rule of law, sedangkan aspek sosial menghendaki terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan umum83.

    Ciri-ciri negara hukum kesejahteraan menurut Muchsan adalah, Negara bertujuan mensejahterakan kehidupan warganya secara merata, dan negara dituntut untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan seluas-luasnya kepada masyarakat. Tanpa pelayanan yang baik dan merata mustahil akan terwujud kesejahteraan pada kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan ciriciri tersebut maka ada dua gejala yang pasti muncul dalam negara kesejahteraan, yakni Pertama campur tangan pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat sangat luas dan Kedua dalam pelaksanaan fungsi pemerintah sering digunakan asas diskresi. Intervensi pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat ini dituntut demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang merata, bukan kesejahteraan menurut konsepsi liberal. Dengan adanya campur tangan ini, dapat dihindari terjadinya free fight liberalism, yang hanya akan menguntungkan pihak yang kuat saja”84.

    Apabila diamati, konsepsi negara hukum kesejahteraan sesungguhnya merupakan pengembangan dari konsepsi negara hukum material. Dalam upaya menciptakan kesejahteraan rakyat muncul konsepsi negara hukum kesejahteraan yang diintrodusir oleh Otto Bar sebagaimana dikutip oleh Amran Muslimin, bahwa: Negara hukum modern menjadi 83 Bagir Manan. Op.Cit. hlm. 10.84 Muchsan. 1992. Sistem Pengawasan Terhaddap Perbuatan Pemerintah

    dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. hlm. 4.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 47■

    Negara yang bersifat Negara Kebudayaan (culturstaaf) atau Negara Kesejahteraan (welvaarstaat). Negara dianggap sebagai perusahaan yang medatangkan manfaat bagi rakyat, karena menyelenggarakan kepentingan umum dan melalui (wetmatigheid van udministratie). Saluran-saluran hukum dibuat oleh Raja bersama-sama dengan rakyat. Jadi rakyat ikut menentukan kepentingan umum, bukan raja sendiri seperti dalam polizeistaat85.

    Menurut Mac Iver, negara tidak dipandang lagi sebagai alat kekuasaan (instrument of power) semata, tetapi lebih dari itu, dipandang sebagai alat pelayanan (an agency of services). Paham yang pragmatis ini, kemudian melahirkan konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) atau negara hukum modern atau negara hukum material, yang menurutnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut86: 1) Dalam negara hukum kesejahteraan, yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak asasi sosial ekonomi rakyat; 2) Pertimbangan-pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih diutamakan daripada pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peran eksekutif lebih besar daripada peran legislatif; 3) Hak milik tidak bersifat mutlak; 4) Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi juga turut serta dalam usaha-usaha sosial dan ekonomi; 5) Kaidah-kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial ekonomi dan membebankan kewajiban tertentu kepada warga negara; 6) Peran hukum publik condong

    85 Amran Muslimin. 1982. Beberapa Asas-Asas dan Pengertian-Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi. Bandung: Alumni. hlm. 87

    86 Mac Iver. 1950. The Modern State. London: Oxford University Press. hlm. 4.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi48 ■

    mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi semakin luasnya peran negara; 7) Lebih bersifat negara hukum material yang mengutamakan keadilan sosial yang material pula.

    Tampak dari uraian di atas, bahwa peran negara telah ditempatkan pada posisi yang kuat dan lebih besar dalam menciptakan kesejahteraan umum (public welfare) dan keadilan sosial (social justice). Konsepsi negara demikian, dalam berbagai literatur disebut dengan istilah, antara lain: social services state atau an agency of services (negara sebagai alat pelayanan) atau social reehtsstaat (negara hukum sosial). Lemaire menyebutnya dengan terminologi “bestuurzor” (negara menyelenggarakan kesejahteraan umum) atau “verzorgingstaat” (negara kesejahteraan). Konsepsi negara hukum modern ini, selain menghendaki setiap tindakan negara atau pemerintah harus berdasarkan hukum, juga negara diserahi peran, tugas, dan tanggung jawab yang lebih luas untuk mensejahterakan rakyat.

    Oleh karena itu, tugas negara in case pemerintah adalah merumuskan dalam setiap undang-undang agar tujuan tersebut yaitu kesejahteraan masyarakat dapat terwujud sehingga akan terlihat dan dapat dirasakan secara nyata bahwa hukum sangat berperan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Inilah yang oleh Satjipto Raharjo bahkan lebih jauh lagi mengatakan bahwa, “Hukum hendaknya membuat bahagia’’87.

    Cita negara hukum kesejahteraan dimana negara berperan aktif dalam mengatur perekonomian termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945. Banyak istilah yang digunakan dan semuanya mengarah kepada kesejahteraan 87 Satjipto Rahardjo. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta:

    Penerbit Buku Kompas. hlm. 9-11.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 49■

    masyarakat. Para ‘founding fathers” negara kita menggunanakan istilah ‘’adil dan makmur’’ sebagaimana tertuang dalam Alinea kedua pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Istilah lain adalah “kesejahteraan umum” dan keadilan sosial yang tertuang dalam Alinea keempat pembukaan UUD NRI 1945. Dalam Pasal 33 UUD NRI 194588.

    Alinea ke IV pembukaan UUD NRI 1945 yang menyatakan “untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Selain itu dalam alinea keempat juga terdapat Pancasila yang didalam sila ke lima menyatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika dimaknai dalam bidang ekonomi maka rakyat berhak diperlakukan adil secara ekonomi dan dapat mengakses kesejahteraan dalam hidupnya. Dalam UUD NRI 1945 konsepsi negara

    hukum kesejahteraan Indonesia juga diakomodir dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34. Pasal 33 UUD NRI 1945 yang menyatakan diatur secara rinci sebagai landasan konstitusional bagi ikut sertanya negara dalam perekonomian nasional. Ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa89: 88 Yohanes Suhardin. 2007. “Peranan Hukum dalam Mewujudkan

    Kesejahteraan Masyarakat”. Jurnal Hukum Pro Justisia Volume 25 Nomor 3 2007. hlm 272.

    89 Berbagai ketentuan kesejahteraan rakyat terdapat didalam Pasal 27 ayat (2), 31, 32, 33, dan 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 27 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; Pasal 31 menentukan bahwa tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran; Pasal 32 menentukan mengenai tugas pemerintah

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi50 ■

    1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;

    2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

    3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

    4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar pada demokrasi atas ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

    Pencantuman ketentuan sistem perekonomian nasional dalam konstitusi merupakan peletakan landasan konstitusional bagi kebijakan perekonomian nasional. Konstitusi merupakan acuan kebijakan bagi pemerintah dari sebuah negara hukum kesejahteraan dalam mengambil setiap kebijakan ekonomi. Konstitusi tidak boleh dilanggar dan dikalahkan demi kepentingan ekonomi. Sedangkan Pasal 34 menekankan, filantropi negara harus dilakukan untuk mereka yang tidak mampu bekerja karena kefakiran, kemiskinan, dan keterlantaran. Dalam UUD NRI 1945, yang telah diamandemen, hak sosial dan ekonomi warga negara yang harus dipenuhi negara semakin diperluas, menuju extensive

    untuk memajukan kebudayaan nasional; dan Pasal 34 menentukan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Sedang Pasal 33 mengatur mengenai masalah ekonomi, yang menganut sistem kekeluargaan, dan menentukan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi rakyat dan bumi dan air, dan kekayaan alam yang ada diatasnya dikuasai oleh negara.

  • FASILITASI LEGISLASI DALAM PENGUATAN PERLINDUNGAN SOSIAL 51■

    positive rights. Menurut Jimly Ashidiqqie ketentuan tentang ekonomi dalam UUD NRI 1945 merupakan instrumen pengendalian terhadap dinamika pasar sekaligus sarana perekayasaan perkembangan ekonomi untuk mencapai cita-cita bersama yaitu terciptanya keadilan (justice), terciptanya kemakmuran bersama dan kebebasan. Konstitusi berfungsi sebagai penyeimbang antara kepentingan negara, masyarakat dan pasar.

    d. Investasi SosialDalam tinjauan akademik, konsep tentang investasi sosial

    lahir dalam khazanah pemikiran tentang pembangunan sosial (social development) yang berkembang pada dekade 1990-an. Sejumlah nama yang cukup terkenal dalam perkembangan konsep ini antara lain Anthony Giddens (2003), Ruth Lister (2004), dan Anthony Giddens (1998).

    Giddens mendefinisikan pembangunan sosial sebagai suatu perspektif alternatif untuk meredistribusikan sumber daya dengan menekankan prioritas alokasi pada program-program sosial yang berorientasi pada produktivitas dan investasi untuk memperluas partisipasi dalam bidang ekonomi dan memberikan kontribusi positif pada pembangunan. Menurutnya, strategi yang digunakan dalam pembangunan sosial mencakup investasi pada pengembangan sumber daya manusia, program-program perluasan lapangan kerja dan kewirausahaan, pembentukan modal sosial, pengembangan aset, penghematan, dan penghapusan berbagai pembatasan terhadap partisipasi di bidang ekonomi90. 90 Anthony Giddens. 2003. Jalan Ketiga dan kritik-Kritiknya. Edisi

    Terjemahan dari Buku “The Third Way and Its Critiques” yang diterbitkan oleh Polity Press Cambridge 2000. Penerjemah. Yogyakarta: IRCiSoD.

  • Otonomi Daerah dan Desentralisasi52 ■

    Sejalan dengan pendapat tersebut, Ruth Lister (2004) memperkuat argumentasi diperlukannya investasi sosial karena dalam konteks globalisasi ekonomi, tidak mungkin lagi tercapai kondisi tersedianya lapangan kerja yang memadai, redistribusi pendapatan yang adil, dan semakin mahalnya biaya pelayanan publik, sehingga peran negara (pemerintah) dalam mewujudkan kesejahteraan hanya dapat dilakukan melalui pembiayaan-pembiayaan sosial berbentuk investasi pada sumber daya manusia dan perluasan peluang-peluang bagi setiap individu anggota masyarakat. Investasi sosial harus difokuskan pada upaya penjaminan agar tiap-tiap individu punya kemampuan dan kualitas yang diperlukan untuk bekerja, bertahan hidup, dan menjalankan fungsinya sebagai warga negara di masa kini dan mendatang. Strategi yang dapat diterapkan adalah dengan mengalokasikan anggaran publik untuk program-program pemberdayaan dan pendidikan bagi anak-anak yang berkaitan dengan life skill education karena anak-anak inilah calon tenaga kerja di masa mendatang, sehingga dengan menyiapkan mereka sejak dini maka di masa mendatang akan lahir tenaga-tenaga kerja yang berkualitas dan memiliki daya saing global91.

    Berbeda dengan pendapat Ruth Lister yang menekankan