kewenangan dewan perwakilan daerah dalam...
TRANSCRIPT
KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM LEGISLASI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH ANALISIS
PUTUSAN MK 93/PUU/-X/203
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Fikri Abdullah
NIM: 10904800048
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
i
KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM LEGISLASI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH ANALISIS
PUTUSAN MK 93/PUU/-X/203
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Fikri Abdullah
NIM : 109048000048
Pembimbing:
Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H
NIP : 19591231 198609 1003
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
ii
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H/2014 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (SI) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika suatu saat terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 April 2014
Fikri Abdullah
109048000048
iv
ABSTRAK
FIKRI ABDULLAH NIM 109048000048, TINJAUAN YURIDIS
KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM LEGISLASI
RNCNGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH PASCA PUTUSAN MK
93/PUU/-X/2013. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Klembagaan
Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1434 H/2014 M. Xi + 100 halaman + 4 halaman daftar pustaka.
Penelitian ini dilakukan untuk mencari dasar ketentuan dikabulkan untuk
seluruhnya dari kasus pada perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XI/2013
yang diajukan oleh seorang anggota Dewan Perwkilan Derah (DPD) dalam
kewenangan legislasi di parlemen yang teretuang dalam ketentuan didalam UU No.
27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU No.12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan adanya ketentuan
pada pasal tersebut pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya sebagai
bagian dari warga negara Indonesia yang dilindungi oleh UUD NRI 1945.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
metode penelitian normatif dengan analisis data kualitatif. Penelitian normatif dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
doktrin (doctrinal approach). Selanjutnya sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain bahan hukum primer yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93/PUU-XI/2013 dan risalah sidangnya, serta peraturan perundang-undangan,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa beberapa ketentuan yang ada didalam UU MD3, serta UU P3 mengenai
kewenangan legislasi bertentangan dengan UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi
mengembalikan kembali kewenangan legislasi DPD dalam prolegnas. Selain itu
penguatan peran legislatif DPD pun semakin menguat dengan adanya putusan MK
tersebut, sehingga putusan tersebut dianggap membawa pembaharuan bagi
kedudukan DPD sebagai lembaga kenegaraan.
Kata Kunci : Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Legislasi RUU, Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang P3, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pembimbing : Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, SH., MH.
Daftar Pustaka : Tahun 1994 s.d Tahun 2013
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang mana atas limpahan nikmat
karunia Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan tak lupa shalawat serta
salam penulis haturkan kepada junjugan kita baginda Nabi Muhammad SAW.
Penulis menyadari dengan setulus hati bahwa skripsi yang dibuat oleh penulis
masih sangat jauh dari kata sempurna. Hal tersebut didasari pada keterbatasan waktu,
tenaga, maupun pengetahuan yang penulis miliki. Akan tetapi penulis berupaya
semaksimalkan mungkin untuk memberikan yang terbaik kepada para pembaca
khususnya mahasiswa ilmu hukum UIN Jakarta untuk memberikan pengetahuan dan
sebagai tambahan refrensi mengenai apa yang telah penulis buat. Serta penulis sangat
bersyukur atas pengalaman serta wawasan yang semakin bertambah ketika menyusun
skripsi ini.
Dalam kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. J.M Muslimin S.H., M.H., selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Terima kasih kepada Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku ketua program
studi ilmu hukum serta Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. selaku sekretaris
program studi Ilmu Hukum atas segala petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
3. Terima kasih yang tak terhingga kepada Prof. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H.,
yang telah berkenan menjadi pembimbing dalam penyusunan skripsi ini dengan
penuh kesabaran, ketelitian, serta banyak memberikan masukan yang sangat
positif sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
vi
4. Terima kasih kepada segenap dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Terima kasih kepada Abdurauf, Lc. Selaku dosen pembimbing akademik, yang
telah membimbing dan mengarahkan, baik dalam perkuliahan maupun dalam hal
akademik lainnya.
6. Terima kasih kepada Nur Rohim Yunus, L.L.M yang bersedia meluangkan waktu
dan memberikan masukan serta saran untuk penulis.
7. Terima kasih kepada Nur Habibi, S.H., M.H., yang selama ini telah meluangkan
waktu dan memberikan masukan serta saran untuk penulis, serta membimbing
penulis sejak awal perkuliahan;
8. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Abdul Karim dan Ibunda
Imriti yang selalu berdoa dan tiada henti mendukung penulis untuk
menyelesaikan studi nya, dan berjuang dengan sangat keras untuk penulis.
semoga Allah SWT senantiasa memberikan nikmat iman, islam, dan sehat kepada
keduanya.
9. Terima kasih kepada adik-adik penulis Malik Khaidir serta Dimyati, serta para
sepupu Abi Wafa, Moch. Iqbal, Sasha, Siti Faizah, Siti Soleha, Sari Maimunah,
Cak Genchar, Silby, Dika, serta beberapa saudara-saudara penulis yang tak bisa
penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan motivasi dan doa kepada
penulis.
10. Terima Kasih kepada seluruh kerabat-kerabat seperti Hary Restu H, Budi
Nugraha, Farhan, Yulya, serta beberapa kerabat dekat yang senantiasa
memberikan suntikan moril kepada penulis.
11. Terima Kasih kepada Cangkir The Gank Riviantha, Yudi, Prayoza, Akhmad
vii
Kholil, dkk yang selama ini telah setia menemani perjuangan kuliah hingga masa
berlaku perkuliahan sebentar lagi habis;
12. Terima Kasih kepada , Ilmu Hukum B angkatan 2009 Jajang, Maul, Farhan B,
Roma, Arif , Imam, Gagat, Zaki, Saddam, dkk yang selama ini juga telah
memberikan doa dan dukungannya kepada penulis.
13. Terima Kasih kepada Anti, Ujoh, Nazia, Fikka, Ocha, Defi, Bibil, Jakim, Gerry,
Jentel, Icang, Doble Ilham, dll segenap ilmu hukum angkatan 2010 yang selama
ini telah memberikan dukungan secara moril serta doa kepada penulis;
14. Terima kasih kepada Ichsan Beler, Tholib, Arman, Mail, Dika, Boceng, Tika,
Citra, Irha, Pipih, Dimas RD, Farhan Subhi, Rezha, Eja, Fitroh, Hanif kancing,
Agus bewox, Mbah Dobleh, dan segenap sahabat/i PMII angkatan 2009 lainnya
yang selama ini telah berjuang bersama penulis dan memberikan dukungan serta
doa kepada penulis;
15. Terima Kasih kepada keluarga besar IRMADA khususnya Faisal, Rio, Nurul,
Ajeng, Idrus, Amel, Ode, Vera, Rina dkk yang terus memberikan dukungan serta
doa kepada penulis;
16. Terima kasih kepada keluarga besar SAMASTHA BUANA dan LSM
SAMASTHA BUANA khususnya Arwan, Farry, Eko, Ateng, Jambe, Bang
jangga, bang jati, bang erizal (Ketum LSM SB), bang febri ( bf ) , bang rudi,
ucup, keset, okta, dll yang terus memberikan dukungan dan doa tiada henti
kepada penulis;
17. Terima kasih kepada keluarga besar LBH MATA HATI, Bang benu, Bang
Badrul, Bang azis, Bang Nuzul, Nurul, Vani, Iwan, Uci, dll yang terus
memberikan dukungan serta mendorong penulis lebih berkembang;
viii
18. Terima kasih kepada segenap Pengurus KARANG TARUNA CIREUNDEU, Om
tibet, Bang Abdhi, Cepoy, Bang Zabier, Nandya, Ayu, Handi, Bang Ayang,
manarul dll yang selama ini juga telah memberikan doa dan dukungannya kepada
penulis.
19. Terima kasih kepada segenap rekan-rekan Sekolah Anti Korupsi angkatan I,
Isram, Pohan, Bianca, Ryan, Ingdam, Sarah, uswah, dll yang telah memberikan
doa serta dukungannya kepada penulis;
20. Terima Kasih kepada rekan-rekan Gooners UIN, Apong, Daeng, Monic, Tatang,
Temon, Alfian, Bagus, Poltak, dll yang juga telah memberikan doa dan dukungan
kepada penulis;
21. Terima kasih kepada Keluarga besar FOKDEM, Ayas, Dani, Shela, Izul, dll yang
juga telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis selama ini;
22. Tak lupa, penulis sangat berterima kasih kepada seluruh direksi JIMLY SCHOOL
OF LAW AND GOVERNMENT Bpk. Qomarudin (Direktur JSLG), Sdr. Hamdy
(Manager JSLG), Mas Faqih (IT JSLG), Mba Dwi (Bendahara JSLG), Ibu Ida
(Marketing JSLG) yang selama ini terus memberikan masukan serta dukungannya
terhadap penulis, serta berbagai refrensi pun penulis temukan di JSLG.
Jakarta, 15 April 2014
Fikri Abdullah
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ....................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iii
ABSTRAK .................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR................................................................................. ................. iv
DAFTAR ISI.......................................................................................... ....................... ix
DATA LAMPIRAN ................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 8
C. Pembatasan Dan Rumusan Masalah ....................................................... 9
D. Tinjauan Dan Manfaat Penelitian ......................................................... 10
E. Tinjauan (review) kajian terdahulu ....................................................... 11
F. Metode Penelitian ................................................................................ 12
G. Analisis Data ......................................................................................... 15
H. Sistematika Penulisan ............................................................................ 15
BAB II KONSEP PERAN DPD SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF
A. Teori Legislatif ..................................................................................... 18
1. Pengertian Legislatif ........................................................................ 18
2. Legislatif dalam perspektif Bicameral ............................................. 22
x
B. Check and Balance ............................................................................... 27
1. Pengertian Check and Balances ........................................................ 27
2. Penerapan Check and Balances di Lembaga legislatif
Indonesia .......................................................................................... 29
C. Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang- Undang ...................... 34
1. Sejarah Pembentukan MK ................................................................ 34
2. Kedudukan MK ................................................................................ 38
3. Fungsi dan Peran MK ....................................................................... 41
BAB III KEDUDUKAN HUKUM DEWAN PERWAKILAN DAERAH
BERDASARKAN KONSTITUSI
A. Sejarah dan Dasar Hukum Pembentukan Dewan Perwakilan
Daerah.................................................................................................... 44
1. Sejarah Pembentukan DPD .............................................................. 44
2. Dasar Hukum Pembentukan DPD ................................................... 47
B. Kinerja DPD RI Dalam Bidang Legislasi ............................................ 49
C. Konsepsi Mengenai Legislasi Yang Ideal Menurut Anggota DPD
dan Para Ahli ........................................................................................ 52
D. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah berdasarkan UUD 1945 ......... 60
1. Kedudukan DPD dalam Pembentukan Undang-Undang Pasca
amandemen UUD 1945 NRI ........................................................... 60
2. Kewenangan legislasi DPD dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia ........................................................................................... 62
3. Implementasi Kewenangann Legislasi Dewan Perwakilan
Daerah dalam Undang-Undang No. 27 Tahun Tentang MPR,
xi
DPR, DPD, dan DPRD serta Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan
Khususnya dalam Proses Pengajuan dan Pembahasan RUU
Otonomi Daerah ............................................................................... 69
BAB IV KEWENANGAN HUKUM DEWAN PERWAKILAN DAERAH
DALAM LEGISLASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG
OTONOMI DAERAH ANALISIS PUTUSAN MK 92/PUU/-
X/2013
A. Kedudukan dan kewenangan DPD dalam pembahasan RUU
Otonomi Daerah sesudah diputuskannya Putusan MK Nomor
92/PUU-X/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU
Otonomi Daerah .................................................................................... 73
B. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memberikan
putusan MK Nomor 92/PUU- X/2013 tentang kewenangan DPD
dalam legislasi RUU Otonomi Daerah ................................................. 79
C. Analisis dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU
Otonomi Daerah ................................................................................... 88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 101
B. Saran ................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 107
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lembaga legislatif adalah badan deliberatif pemerintah dengan kuasa
untuk membuat hukum yang dalam hal ini disebut dengan peraturan perundang–
undangan. Legislatif dikenal dengan beberapa nama, yakni parlemen, kongres
dan asembli nasional. Dalam system parlemen, legislatif sebagai badan tertinggi
dan menunjuk eksekutif. Sedangkan dalam system presidensiil, legislatif sebagai
cabang pemerintahan yang sama dan bebas dari eksekutif.
Di indonesia dikenal sistem bicameral, yang mana cabang kekuasaan
legislatif dibagi atas dua bagian yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya
disebut DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD). Sistem
bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen
sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (majelis). Majelis yang anggotanya
dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik
disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of
Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain
(bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan
di sebagian besar negara (60%) disebut sebagai Senat.
Sistem perwakilan politik menghasilkan wakil-wakil politik, sistem
perwakilan teritorial menghasilkan wakil-wakil daerah, sedangkan sistem
2
perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan fungsional. DPD
merupakan perwujudan sistem perwakilan teritorial dan DPR sebagai perwakilan
politik.1
Untuk mengoptimalkan sistem tersebut pemerintah terus berupaya
melakukan reformasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Peran Pemerintah
Daerah yang sebelumnya kurang diberdayakan, didorong untuk dapat
berpartisipasi demi mengakomodir kepentingan daerah. Sesuai dengan amanat
UUD NRI 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Dalam perkembangannya, pemerintahan daerah diawali oleh adanya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945
dan tidak berlakunya UUDS 1950. Sebagai kelanjutan dari Dekrit tersebut maka
dibidang pemerintahan daerah pun terjadi perubahan fundamental dengan
dikeluarkannya Penetapan Presiden (Penpres) No. 6 Tahun 1959 tentang
Pemerintahan daerah.2 Serta disempurnakan dengan UU. No. 18 Tahun 1965
Tentang Pemerintahan Daerah menggantikan posisi UU. No. 1 Tahun 1957, dan
1 Dwi Reni Purnomowati, "Implementasi Sistem Parlemen Bikameral dalam Parlemen di
Indonesia," (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 102.
2 Prajudi Atmosudirjo, "Hukum Administrsi Negara," ( Jakarta : Ghalia Indonesia,1994), h.
126.
3
melanjutkan ide Penpres No. 6 Tahun 1959. Kemudian pasca amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah membawa reformarsi
dalam bidang ketatanegaraan Indonesia.
DPD dibentuk dan kemudian disejajarkan kedudukannya dengan
lembaga-lembaga lainnya seperti DPR, dan Presiden demi mewujudkan
keseimbangan antara pusat dan daerah. Hal ini kemudian diperkuat dengan
munculnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
serta Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(Selanjutnya disebut UU MD3).
Ide pembentukan DPD dalam kerangka sistem legislatif Indonesia
memang tidak terlepas dari ide pembentukan struktur dua kamar parlemen atau
bikameral. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat
diselenggarkan dengan sistem double check yang memungkinkan representasi
seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.
DPR merupakan representasi politik (political representation) sedangkan DPD
mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional
representation).3
Secara lebih rinci, UUD NRI 1945 mengatur kewenangan DPD sebagai
berikut:
3 Jimly Asshiddiqie, "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi," (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 138.
4
(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD):
a. ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
b. memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang
berkaitan dengan pajak, RUU yang berkaitan dengan pendidikan, dan RUU yang
berkaitan dengan agama.
(3) DPD dapat melakukan pengawasan atas:
a. pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama; serta
b. menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Haruslah dibedakan antara fungsi DPD dalam bidang legislatif dan
bidang pengawasan. Meskipun dalam bidang pengawasan, keberadaan DPD
5
bersifat utama (main constitutional organ) yang sederajat dan sama penting
dengan DPR, tetapi dalam bidang legislasi, fungsi DPD hanya menunjang tugas
konstitutional DPR.4 Atau Dengan kata lain, DPD hanya memberikan masukan,
sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut
sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan
pertimbangan kepada DPR.5
Diundangkannya UU MD3 menjadi semangat baru dalam ketatangaraan
Indonesia khususnya dalam sruktur kelembagaan. Dimana melahirkan DPD
sebagai lembaga yang mempunyai fungsi dan kedudukan yang setara dengan
DPR dan lembaga-lembaga lainnya. Kelahiran DPD sangat didasari oleh
keinginan semua pihak termasuk pemerintah pusat dan daerah untuk
memperbaiki hubungan kerja dan penyaluran kepentingan antara kedua level
pemerintahan tersebut. Dalam hal ini, DPD juga diharapakan hadir sebagai
lembaga yang mampu membantu untuk mengatasi kesenjangan antara pusat dan
daerah sesuai semangat otonomi daerah yang menjamin keadilan, demokrasi, dan
jaminan keutuhan integritas wilayah negara.6
4 Jimly Asshiddiqie , "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi," (Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 140-141.
5 Jimly Asshiddiqie, "Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
UUD Tahun 1945, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII" (Jakarta: BPHN,
2003), h. 20.
6 Jimly Asshiddiqie, "Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945", (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 172.
6
Semangat reformasi kelembagaan yang muncul dari Undang-Undang
tersebut seakan ternodai dengan pengikisan fungsional Dewan Perwakilan
Daerah dalam pembahasan RUU khususnya Pasal 102 ayat (1) huruf a, d, e, dan,
h, serta pada Pasal 147 UU MD3. Walaupun pada dasarnya secara kedudukan
Dewan Perwakilan Darah mempunyai kedudukan yang setara dengan lembaga
lainnya sepreti DPR dan Presiden akan tetapi kewenangannya masih terkesan
dibatasi dan terkesan samar khususnya dalam proses Pengajuan Rancangan
Undang-Undang Otonomi Daerah serta dalam pembahasannya di Program
Legislasi Nasional.
Hal itu semakin diperparah dengan kerancuan dan tidak ditegaskannya
kewenangan DPD dalam pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah di
dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (Selanjutnya disebut UU P3).
Mengingat fundamentalnya peran DPD dalam mengawal dan
menjembatani kepentingan daaerah, maka kemudian muculah inisiatif dari DPD
mengajukan gugatan dari kedua Undang-Undang tersebut untuk mengembalikan
efektifitas dari peranan DPD itu sendiri dan mengembalikan hak-hak
konstitusional lembaga tersebut kepada Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal
konstitusi khususnya di kelembagaan negara..
Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi 92/PUU/-X/2013 membawa
angin segar bagi DPD. Jika selama ini DPD yang selama ini hanya menjadi
bayang-bayang di bawah dominasi DPR. Dominasi berlebihan yang mencederai
7
sistem bikameral yang konon dibentuk tujuan mulia, yaitu terciptanya sistem
check and balances.
Mahkamah Konstitusi memutuskan DPD berhak dan/atau berwenang
mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tertentu dan ikut membahas
RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan namun DPD tidak memberi
persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU). MK juga
memutuskan DPR, DPD, dan Pemerintah menyusun program legislasi nasional
(prolegnas).
RUU tertentu dimaksud adalah RUU mengenai otonomi daerah;
hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dengan putusan tersebut, maka saat ini peranan DPD kembali
kekhittanyah dalam mengawal dan menjembatani aspirasi serta kepentingan
daerah khususnya dalam pengajuan serta pembahasan RUU ditataran legislatif
dimana kedudukannya setara dengan Presiden dan DPR serta mempunyai hak
dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Otonomi Daerah
khususnya di dalam Program Legislasi Nasional
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam berkenaan dengan hal ini,
sekaligus juga sebagai bentuk pemenuhan tugas akhir guna memperoleh gelar
sarjana setrata satu (S1) dengan mengangkat judul skripsi tentang:
8
“KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM
LEGISLASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH
ANALISIS PUTUSAN MK 92/PUU/-X/2013.”
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, dapat dipetik beberapa
persoalan yang berkaitan dengan peran dan fungsi kelembagaan dibidang
legislative yang dimiliki oleh DPD didalam UU MD3 serta UU P3 terkait dengan
proses pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-undang.
Dari latar berfikir tersebut di atas ternyata terdapat berbagai masalah yang
muncul yaitu:
1. Pasca Amandemen UUD NRI 1945 Ke-4 negara lebih mengoptimalkan
peranan Daerah khususnya dalam mengawal pemerintahan dengan
dibentuknya DPD akan tetapi seolah tereduksi oleh UU MD3 dan UU P3
khususnya dalam bidang legislasi;
2. Peran DPD seolah-olah dikerdilkan dengan tidak diikutsertakannya DPD
dalam proses pembahasan RUU Otonomi Daerah. Padahal secara
kelembagaan DPD mempunyai kedudukan yang sama dengan Presiden
dan DPR.
3. Dengan dibatasinya kewenangan DPD dalam proses pengajuan dan
pembahasan RUU Otonomi Daerah maka terlihat semakin samarnya
kedudukan DPD dalam bidang legislative, serta minimnya konstribusi
9
daerah dalam proses perancangan dan pembentukan Peraturan
PerUndang-Undangan Otonomi Daerah.
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat begitu banyaknya permasalahan yang penulis singgung dalam
identifikasi masalah, maka dalam pembatasan masalah ini penulis membatasi
pada pembahasan mengenai kewenangan DPD di bidang legislative khususnya
dalam pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah sebelum dan sesudah
diputuskannya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013.
2. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu di buat
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana konsep peran DPD sebagai lembaga legislatif ?
b. Bagaimana kedudukan hukum DPD berdasarkan konstitusi tertulis di
Indonesia ?
c. Bagaimana kewenangan hukum DPD dalam pengajuan dan pembahasan
RUU Otonomi Daerah sesudah diputuskannya Putusan MK Nomor
92/PUU-X/2013 ?
10
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berkenaan dengan pokok permasalahan di atas, maka tujuan penelitian
dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Posisi hukum keberadaan DPD di Indonesia
b. Mengetahui kewenangan DPD dalam proses pengajuan dan pembahasan
RUU Otonomi Daerah sesudah dikeluarkannya putusan MK Nomor
92/PUU-X/2013 .
c. Untuk mengetahui landasan dan pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi dalam memutuskan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013
2. Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan manfaat
dalam segi akademisi dan praktisi, yaitu:
Secara akdemisi: Dapat menjadi aspek pendukung dalam pengembangan
Ilmu Hukum Kelembagaan Negara, agar penelitian ini dapat menjadi
tambahan referensi dan peningkatan wawasan akademis para akademisi di
bidang hukum, khususnya dalam hal Kewenangan DPD di bidang legislative
khususnya dalam proses pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah.
Secara praktisi: memberikan informasi bagi para akademisi dan
masyarakat luas mengenai Kewenangan DPD dalam proses pengajuan dan
pembahasan RUU Otonomi Daerah setelah keluarnya putusan MK Nomor
92/PUU-X/2013.
11
E. Tinjauan (Review) Kajian terdahulu
Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian yang
sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian
lainnya yang pernah membahas seputar kewenangan DPD yaitu:
1. “REVITALISASI PERANAN DPD DALAM SISTEM PARLEMEN DI
INDONESIA” (Kajian Yuridis UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22C Dan
22D Serta UU N0. 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Skripsi ini ditulis oleh Januar
Muttaqien dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Dalam
sekripsi ini penulis menjelaskan tentang posisi DPD dalam kelembagaan saat
ini serta upaya memaksimalkan peran DPD didalam parlemen. Sedangkan di
skripsi yang saya tulis, kajian yuridisnya terhadap Putusan MK Nomor
92/PUU-X/2013 tentang kewenangan legislasi DPD terhadap Proses
Pengajuan dan Pembahasan RUU Otonomi Daerah.
2. “REVITALISASI DPD DALAM PENINGKATAN OTONOMI
DAERAH PROPINSI BANTEN”. Skripsi ini ditulis oleh Ade Nubzatus
Tsaniyah jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Jakarta. Pada skripsi ini penulis lebih menjelaskan mengenai hubungan
DPD dengan Pemerintah Daerah, DPRD, serta sejauh mana peranan DPD saat
ini terhadap peningkatan Otonomi Daerah di Propinsi Banten. Sedangkan
dalam skripsi yang saya tulis lebih membahas kepada kewenangan legislasi
12
DPD dalam proses pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi Daerah dan
bersifat menyeluruh terhadap seluruh DPD bukan terfokus kepada DPD di
satu daerah.
3. “EKSISTENSI DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) DALAM
SISTEM BIKAMERAL DI INDONESIA”. Skripsi ini ditulis oleh Miki
Pirmansyah dari Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Jakarta. Pada skripsi ini penulis menjelaskan tentang
fungsi dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam
penyelenggaraan sistem Bikameral di Indonesia. Serta sejauh mana eksistensi
DPD dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Sedangkan dalam skripsi saya tulis saya lebih menyoroti mengenai
kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah disertai dengan
objek pada putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013, sehingga lebih terfokus
pada pembahasan mengenai kewengan legislasi DPD. Dan hal tersebut jelas
berbeda dengan apa yang dibahas oleh skripsi di atas yang lebih bersifat
universal terhadap DPD dan tidak ada objek yang dikajinya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
13
kepustakaan.7 Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai penelitian yang
mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan pengadilan. Disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu
penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder.8 Alat pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research)
untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran
konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan
penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah
lainnya.
2. Sumber dan Jenis Data
Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder adalah berupa bahan hukum, yang terdiri dari:
Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukum Kewenangan Presiden terhadap Kementerian Negara,
antara lain:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasca
amandemen;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MD3;
7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, "Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat," (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 23.
8 Ronny Hanitijo Soemitro, "Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri," (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1998), h. 10.
14
c. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
PerUndang-Undangan
d. PUTUSAN MK 92/PUU/-X/2013
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
tentang bahan hukum primer, antara lain adalah tulisan berupa pendapat para
pakar Hukum Tata Negara yang terdapat dalam buku-buku, tesis, makalah, jurnal
hukum.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain
kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, majalah, artikel, koran dan
lainnya.9
Sumber data sekunder diperoleh dari hasil penelusuran pustaka dan
dokementasi di berbagai lembaga atau instansi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti adalah:
a. Observasi
Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap
gejala-gejala yang diteliti. Peneliti mengawasi dengan cermat setiap
perkembangan yang berkaitan dengan peneliti ini.
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, "Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat," (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 33.
15
b. Dokumentasi
Pada tahap dokumentasi, penulis mengumpulkan buku-buku, majalah,
artikel-artikel dan lain-lain untuk memudahkan penulis dalam mencari teori-teori
yang berkaitan dengan judul skripsi.
G. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu
setelah data diklasifikasikan sesuai aspek data yang terkumpul lalu
diinterpretasikan secara logis. dengan melihat data-data yang diperoleh penulis
melalui observasi dan dokumentasi setelah itu dianalisis kemudian disusun dalam
laporan penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Buku pedoman yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah
buku pedoman sekripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, terbitan tahun 2013.
Untuk mempermudah pemahaman dan memperoleh gambaran yang jelas
mengenai keseluruhan dari penulisan skripsi ini, berikut sistematikanya:
BAB I Berisi mengenai Pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar
belakang masalah kajian skripsi ini, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, tinjauan kepustakaan, dan sistematika
penulisan.
16
BAB II Berisi mengenai konsep DPD sebagai lembaga legislatif yang
menjabarkan tentang teori-teori untuk mendukung penelitian ini.
Tinjauan umum bab ini adalah tentang Pengertian tentang teori
legislatif dan penerapannya di Indonesia , serta pengertian system
check and balance dan penerapannya di Indonesia, serta sejarah
pembentukan MK, kedudukan, dan kewenangan pengujian Undang-
Undang yang dilakukan oleh MK.
BAB III Berisi mengenai bab yang menjelaskan mengenai kedudukan hukum
DPD berdasarkan UUD NRI 1945 pasca amandemen, kinerja DPD
dalam bidang legislasi, konsepsi legislasi yang ideal menurut anggota
DPD, dan para ahli, serta implementasinya di dalam UU MD3 serta
UU P3 terhadap proses pengajuan dan pembahasan RUU Otonomi
Daerah , dan perbedaan antara DPD dengan DPRD.
BAB IV Merupakan bab pembahasan kewenangan hukum DPD dalam
Rancangan Perundang-undangan otonomi daerah pasca putusan MK
93/PUU/-X/2013. Adapun bagian sub bab pada bab ini akan
berbicara mengenai:
a. Kedudukan dan kewenangan DPD dalam pembahasan RUU
Otonomi Daerah sesudah diputuskannya Putusan MK Nomor
92/PUU-X/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU
Otonomi Daerah
17
b. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memberikan
putusan MK Nomor 92/PUU- X/2013 tentang kewenangan DPD
dalam legislasi RUU Otonomi Daerah
c. Analisis dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU
Otonomi Daerah
BAB V Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran dari penulis
18
BAB II
KONSEP PERAN DPD SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF
A. Teori Legislatif
1. Pengertian Legislatif
Dalam proses pembuatan Undang-Undang, keberadaan lembaga legislatif
begitu berperan mengingat kewenangan yang dimandatkannya sebagai legisltor.
Di Indonesia, lembaga tersebut dimiliki oleh MPR, DPR ,serta DPD. Walaupun
Presiden memiliki sedikit kewenangan legislasi juga, akan tetapi Presiden bukan
disebut sebagai lembaga legislatif, melainkan lembaga eksekutif. mengenai
pembuat Legislasi biasanya diartikan sebagai suatu kewenangan dalam pembuatan
undang-undang. Definisi tersebut tidaklah salah, melainkan memiliki pengertian
yang sempit. Bahkan ada yang menganggap bahwa yang memiliki kewenangan
undang-undang itu hanya DPR saja, DPD hanya sebagian fungsi dari DPR. Oleh
karenanya sebelum penulis membahas lebih mendalam mengenai DPD sebagai
lembaga legislatif, perlu penulis jelaskan secara ringkas mengenai pengertian
legislatif.
Dalam berbagai banyak pendapat para tokoh, legislatif tak jauh diartian
sebagai pembuat undang-undang atau pembuat kebijakan. Kemudian apabila kita
mengacu pada pendapat Frank Goodnow, kekuasaan negara dapat dibedakan
antara fungsi pembuatan kebijakan (policy making) dan pelaksanaan kebijakan
(policy executing). Teori Goodnow ini dapat dinamakan sebagai teori „duo-
19
politica‟. Berbeda dari Goodnow, fungsi-fungsi kekuasaan, menurut Montesquieu,
terdiri atas tiga cabang atau „trias politica‟ yaitu legislature, executive, dan
judiciary. Executive adalah pelaksana, sedangkan judiciary menegakkannya jika
timbul sengketa atau pelanggaran terhadap kebijakan. Namun, baik menurut
Goodnow maupun menurut Montesquieu, yang dimaksud dengan fungsi legislatif
atau legislature itu berkaitan dengan semua kegiatan yang dengan
mengatasnamakan atau mewakili rakyat membuat kebijakan-kebijakan negara.
Inilah yang disebut sebagai legislature atau fungsi legislatif.10
Dari kedua pendapat tokoh tersebut dapat dilihat, bahwa legislatif memiliki
makna yang lluas. Tidak hanya sebatas pembuat kebijakan atau pembuat undang-
undang saja, lebih jauh bahwa legislatif merupakan resprentatif seluruh kegiatan
yang dipangku oleh parlemen. Dalam hal ini, di Indonesia kombinasi ketiga
lembaga parlemen MPR, DPR, dan DPD diharapkan mampu memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap kebijakan-kebijakan yang dilahirkan. DPR
sebagai lembaga perwakilan partai politik, DPD sebagai lembaga perwakilan
daerah, sementara MPR perwujudan dari perwakilan politik dan daerah. Kemudian
secara fungisional, DPR memiliki fungsi sebagai pembuat undang-undang , DPD
juga memiliki kewenangan tersebut, akan tetapi hanya terbatas pada undang-
undang otonomi daerah, serta MPR sebagai legitimate dari UUD NRI 1945.
Dengan komposisi tersebut diharapkan mampu, meningkatkan kinerja parlemen
10
Makalah Lembaga Perwakilan Dan Permusyawaratan Rakyat Tingkat Pusat. Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie, SH, h.2
20
dalam meweujudkan berbagai aspirasi serta secara umum memberikan hasil yang
maksimal terhadap kebijakan-kebijakan yang dihasilkan untuk kepentingan
seluruh rakyat Indonesia. Dalam berbagai negara yang menganut sistem bicameral,
umumnya DPD biasa disebut sebagai Senat. Bahkan banyak yang menyebutkan
bahwa keberadaan DPD saat ini mencontoh konsep tersebut. Di Amerika Senat
merupakan perwujudan perwalian dari negara-negara bagian. Senat mempunyai
peranan dalam pengambilan keputusan pembentukan undang-undang tertentu.
Akan tetapi di Indonesia, DPD tidak mempunyai peranan selayaknya senat di
Amerika melainkan hanya sebatas pengajuan serta pembahasan rancangan undang-
undang otonomi daerah dan tidak memiliki kewenangan dalam pengesahan
undang-undang tersebut.
Selain itu Hans Kelsen mempunyai pandangan tersendiri mengenai definisi
legislatif dibandingkan Frank Goodnow dan Montesqiue. Menurutnya, kekuasaan
legislatif ( pembuatan undang-undang) orang tidak memahami keseluruhan fungsi
membuat hukum, melainkan satu aspek khusus dari fungsi ini , yaitu pembentukan
norma-norma umum. “Hukum” sebagai suatu produk dari proses legislatif pada
hakekatnya adalah norma umum, atau sekumpulan norma umum. Fungsi legislatif
dipahami bukan sebagai pemberntukan dari semua norma umum, melainkan
hanya pembentukan norma umum oleh organ khusus, yang disebut “lembaga
legislatif.11
11
Hans Kelsen.,”Teori Umum Tentang Hukum dan Negara”,(Bandung:Penerbit Nusa
Media,2009) h.362
21
Pembuatan norma-norma umum oleh suatu organ selain lembaga legislatif,
yakni, organ-organ dari kekuasan eksekutif tau yudikatif biasanya dipandang
sebagai fungsi eksekutif atau yudikatif. Ditinjau dari sudut fungsinya, tidak ada
perbedaan esensial antara norma-norma yang dibuat oleh organ eksekutif atau
yudikatif ini dengan hukum-hukum atau undang-undang (norma-norma umum)
yang dibuat oleh lembaga legislatif. Norma-norma umum yang dibuat oleh
lembaga legislatif disebut “undang-undang” (statuta) yang dibedakan dari norma-
norma umum yang secara pengecualian, mungkin dibuat oleh suatu organ selain
lembaga legislatif. Sementara, norma-norma umum yang diterbitkan oleh organ-
organ kekuasaan eksekutif biasanya tidak disebut dengan undang-undang
melainkan “peraturan” atau “ordinasi”. Peraturan atau ordinsi diterbitkan sebagai
pengganti udnang-undang, dalam terminologi Perancis disebut “decrets-lois”, dan
dalam terminologi Jerman disebut Verordnungen mit Gesetzeskraft. .12
Penjabaran tersebut seolah-olah menegaskan bahwa kekuasaan legislatif
bukan hanya dibangun oleh pembentukan hukum semata melainkan menekankan
kepada eksistensi dari norma-norma hukum secara khusus dalam pembuatan
produk hukum yang kewenangannya dimiliki oleh lembaga legislatif. Sehingga
dapat dikatakan bahwa yang disebut sebagai lembaga legislatif ini adalah sumber
dari semua norma umum, sebagian secara langsung dan tidak langsung melalui
organ-organ yang mendapat kompetensi legislatif yang didelegasikan kepadanya
oleh lembaga legislatif. Suatu organ adalah organ legislatif sepanjang organ ini
diberi wewenang untuk membuat norma-norma hukum yang umum.
12
Kelsen Hans.,”Teori Umum Tentang Hukum dan Negara”, h.363
22
Dalam tatanan pemerintahan Indonesia, peran serta lembaga legislatif
mempunyai peran yang signifikan dalam proses ketatanegaraan. Bukan hanya
sebagai lembaga pembentuk produk hukum saja, akan tetapi lembaga legisltif
didorong untuk lebih berperan aktif dalam pengawasan-pengawasan lembaga
eksekutif maupun yudikatif. Hal ini tak terlepas dari implementasi check and
balances guna menciptakan good governance. Selain itu secara umum, demokrasi
menghendaki bahwa organ legislatif harus diberi kekuasaan pengawasan atas
organ-organ eksekutif dan yudikatif.
2. Legislatif dalam perspektif Bicameral
Setelah menjabarkan secara umum mengenai definisi secara umum tentang
Legislatif, penulis kemudian mencoba menskrinosiasikan antara legislatif dengan
bicameral. Pasca amandemen UUD NRI 1945 terjadi perubahan sistem
ketatanegaraan terkait munculnya DPD. Indonesia yang awalnya menerapkan
unikameral berubah menjadi bicameral. Penerapan ini memunculkan banyak
polemik. Penerapan sistem bikameral tersebut diharapkan mampu memaksimalkan
keterwakilan (respresentation) dan membangun sistem check and balances dalam
lembaga perwakilan.13
Akan tetapi muncul banyak perdebatan mengenai penerapan sistem
ini. Banyak yang beranggapan bahwa sistem bicameral ini tidak cocok diterapkan
dinegara kita yang meerupakan negara kesatuan. Hal tersebut dilandasi dengan
13
Kelompok DPD di MPR RI,”Bikameral Bukan Federal”, artikel DPD dan Perwakilan
Politik Daerah oleh M. Ichsan Loulembah., 2006,hal.139
23
mayoritas negara yang menganut sistem ini, negaranya berbentuk negara federal.
Namun, dalam perkembangannya , akibat tuntutan desentralisasi kekuasan sistem
bicameral saat ini dipraktekkan di beberapa negara kesatuan.
Ahli hukum tata negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie menjelaskan ada dua
alasan utama yang sering digunakan untuk menerapkan sistem bikameral ini :
1. Adanya kebutuhan untuk menjamin keseimbangan yang lebih stabil,
2. Keinginan untuk membuat sistem pemerintahan benar-benar
berjala lebih efisien dan setidaknya lebih lancar.14
Parlemen bikameral mengandung konsepsi dasar mengenai parlemen yang
mempunyai tiga fungsi utama parlemen yaitu legislatif, pengawasan, dan
anggaran. Adanya sistem dua kamar dalam satu parlemen itu sendiri diciptakan
untuk mengakomodasi semangat check and balance didalam parlemen itu sendiri.
Pengalaman sistem bikameral mampu mencegah kolusi negartif dan eksekutif.
Dan saat ini, semakin banyak negara-negara berkembang yang menerapkan sistem
tersebut, contoh : Jerman, Australia, Jepang, Belanda, bahkan Malaysia dan
Filipina menggunakan sistem ini. Amerika yang dikenal sebagai negara federal
pun menerapkan sistem ini. Tak kurang dari 67 negara menerapkan sistem ini dan
puluhan lainnya pun tengah bersiap seperti Kamerun, Uxbekistan, Lebanon, serta
Oman.15
14
Jimly Asshidiqie,”Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi”,(Jakarta:. Sekjen MK, 2006).
15
Kelompok DPD di MPR RI,”Untuk Apa DPD RI",2007, h. 24
24
Giovanni Sartori membagi sistem parlemen bikameral menjadi tiga jenis
yaitu :
1. Sistem bikameral yang lemah (asymmetric bicameralism atau weak
bicameralism atau soft bicameral) yaitu apabila kekuatan salah satu
kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya.
2. Sistem bikameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strong
bicameralism) yaitu apabila antara kedua kamarnya nyaris sama kuat.
3. Perfect Bicameralism yaitu apabila kekuatan di antara kedua kamarnya
betul-betul seimbang.16
Lebih lanjut lagi Sartori mengklasifikasikan bikameral tersebut berdasarkan
komposisi atau sturktur keanggotannya diantara kedua kamarnya yaitu (1)
bikameral yang unsurnya sama (similiar bicameralism); (2) bikameral yang
unsurnya agak berbeda (likely bicameralism); (3) bikameral yang unsurnya sangat
berbeda (differentianted bicameralism).17
Dari klasifikasi yang dilakukan oleh Giovanni Sartori tersebut, maka
bikameral yang ideal sebaiknya mengarah kepada perpaduan antara strong
bicameralism dengan likely bicameralism. Hal tersebut guna menggeser bikameral
ke arah unikameral dan meminimalisir kebuntuan proses kerja parlemen.
Setelah diatas dibahas mengenai penjabaran sekilas mengenai sistem
bikameral, maka dalam sub ini akan sedikit dibahas mengenai penerapan sistem
16
Giovanni Sartori, “Comparative Constitutional Engineering”, (1997). h. 184
17
Ibid. hal.185
25
bikameral di Indonesia. Penerapan sistem bikameral di Indonesia saat ini memang
sudah diterapkan. Hal ini berpacu pada munculnya DPD serta melihat struktur
ketatanegaraan setelah perubahan UUD NRI 194518
. Dalam dinamika
ketatanegaraan saat ini memang seharusnya antara DPR serta DPD dituntut
menjadi harmonis dan berperan saling mengawasi. Hal tersebut tidak terlepas dari
harapan penerapan sistem bikameral tersebut. Namun pada nyatanya sistem
tersebut saat ini dinilai belum sepenuhnya terlihat , atau para ahli tata negara biasa
menyebutnya soft bicameral. Saldi Isra membantah bahwa parlemen kita
menganut soft bikameral. Menurutnya, bahwa dengan kewenangan yang dimiliki
MPR, disamping kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR dan DPD, maka
sebenarnya Indonesia menganut sistem parlemen tiga kamar (trikameral). Bahkan
Sri Soemantri menyebut bahwa sistem parlemen yang kita anut menggunakan
konsep „bukan-bukan‟. Karena menurutnya sistem parlemen yang dihasilkan
bukan unikameral, bukan pula pada bikameral, tetapi cenderung trikameral. 19
Ekspetasi banyak pihak dengan diterapkannya sistem bikameral khususnya
bagi rakyat didaerah tidak terlepas karena DPD saat ini dinilai benar-benar
merupakan wujud respresentatif lembaga aspirasi rakyat. Mengapa demikian?
Karena DPD merupakan satu-satunya lembaga legslatif yang sistem pemilihanny
dipilih secara langsung oleh rakyat tanpa melalui wadah partai politik. Ini
18
Sekjen DPD RI, “Sekilas Mengenal dan Memahami Dewan Perwakilan Daerah RI:, 2006,
h.15
19
Saldi Isra, “Penataan Lembga Perwakilan Rakyat : Sistem Trikameral di Tengah
Supermasi Dewan Perwakilan Rakyat,” Jurnal Konstitusi vol.1: No. 1,Juli 2004, h.129-132
26
dibuktikan dalam pasal 22E ayat 4 UUD NRI 1945. Hal tersebut menandakan
bahwa DPD memang merupakan lembaga aspirasi rakyat, yang saat ini masih
steril dari kepentingan partai politik. Selain itu, adanya sistem dua kamar ini
memunculkan perdebatan-perdebatan mengenai susunan kedudukan MPR. Dalam
perdebatan Komisi Konstitusi ada tiga alasan yang mennyebutkan perlunya
penyesuaian terhadap susunan kedudukan dan kekuasan MPR yaitu :
a. Kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan sehubungan dengan
berbagai permasalahan dalam sistem MPR yang lama.
b. Kebutuhan untuk mengakomodasikan kepentingan masyarakat daerah
secara struktural.
c. Kebutuhan bagi reformasi Indonesia saati ini untuk memulai menerapkan
sistem check and balance dalam rangka memperbaiki kehidupan
ketatanegran dan mendorong demokratisasi. 20
Terhadap adanya dua kamar di MPR seperti yang tercantum dalam pasal 2
(1) UUD NRI 1945 Jo Pasal 2 UU No. 22 Th.2003 tentang Susduk masih terdapat
perbedaan interpretasi apakah MPR sungguh-sunggu sistem bikameral. Jadi, jika
mengacu pada sistem bikameral di Jerman, dapat dikatakan saat ini sistem
bikameral yang dianut Indonesia bersifat “Quasi Federal”. Dianutnya bikameral-
lembaga MPR terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih langsung oleh rakyat dalam
perubahan UUD NRI 1945 mencerminkan bahwa kita memasuki alam demokrasi
20
Kelompok DPD RI, “Konstitusi RI Menuju Perubahan ke 5”,(Jakarta: PT. Grafitri, 2009),
h. 133
27
yang semuanya harus dipilih. Kewengangan DPR berbeda dengan kewenangan
DPD, restrukturisasi MPR dan rekonstruksi menuju legislator bikameral itu
hendak memperjelas jenis parlemen dalam tipologi unikameral atau bikameral.
Proses baru legislasi di Indonesia melibatkan Presiden, DPR, dan DPD. Ini
mengubah proses legislasi antara DPR dan Presiden menjadi pola hubungan tiga
kamar yang asimentrik. Presiden dan DPR dengan melibatkan DPD hanya terjadi
dengan DPR. Watak asimentrik juga ditandai dengan prosedur pengambilan
keputusan yang hanya melibatkan DPR-Presiden. Prosedur ini sekaligus
berpotensi memacetkan legislasi.
Sistem bikameral dinilai banyak pihak sebagai penjelmaan dan esensi dari
Trias Politica. Adanya sistem bikameral dimaksudkan untuk meminimalisir
kewenangan yang terlalu luas bagi lembaga serta memaksimalkan fungsi
pengawasan antar lembaga. Salah satu cara membatasi dan mengendalikan
kekuasaan itu dengan cara menggunakan sistem saling mengawsi dan
mengimbangi diantara berbagai lembaga.
B. Check and Balances
1. Pengertian Check and Balances
Amandemen UUD NRI 1945 telah menghasilkan relasi baru dalam sistem
pemerintahan Indonesia. Relasi yang dimaksud disini mengenai pemisahan
kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip check and balances. Prinsip
ini didasarkan atas berbagai macam pertimbangan, khususnya terhadap kolerasi
antar seluruh lembaga negara. Secara umum, prinsip check and balances ini
28
dimaksudkan agar seluruh lembaga negara saling mengimbangi dan mengawasi
antar cabang kekuasaan yang satu dengan yang lain. Maksud dan tujuan dari
konsepsi ini adalah untuk meminimalisir dan menghindari hegemoni kekuasaan
pada satu cabang tertentu. Secara istilah kata “check” ialah suatu pengontrolan
yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat
sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan. Adapun
“balance,” merupakan suatu keseimbangan kekuasaan, agar masing-masing
pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat (konsentrasi kekuasaan)
sehingga menimbulkan tirani. Kemudian secara umum, Munir Fuadi menjelaskan
operasional dari teori check and balances melalui cara-cara tertentu. Cara-cara itu
meliputi :
a. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu
cabang pemerintahan.
b. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari
satu cabang pemerintahan.
c. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan satu terhadap
cabang pemerintahan lainnya.
d. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan yang satu terhadap
yang lainnya.
e. Pemberian wewenang kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir (the
last word) jika ada pertikaian antara badan eksekutif dan legislatif.21
21
Munir Fuadi, “Teori Negara Hukum Modern”, (Bandung:PT. Refika Aditama, 2006)
29
Untuk lebih memaksimalkan prinsip tersebut, check and balances bukan
hanya diterapkan antar lembaga negara, melainkan dilakukan juga di internal
lembaga negara. Dalam perspektif lain, prof Jimly Asshidiqie memberikan
pandangannya mengenai check and balances. Menurutnya, Check and Balances
merupakan sistem yang saling mengimbangi antar lembaga-lembaga kekuasaan
negara. Sistem ini memberikan pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara
sesuai undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah,
semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing22
.
Sehingga menurut penulis, dapat dikatakan bahwa check and balances
merupakan sistem saling mengawasi antar lembaga negara baik dilakukan antar
lembaga negara maupun di internal lembaga negara, guna memaksimalkan fungsi
dari lembaga-lembaga negara yang ada dan meminimalisir timbulnya lembaga
super body guna mewujudkan good governance. Dengan prinsip check and
balances seluruh lembaga mempunyai kewenangan dalam hal mengawasi antar
lembaga sesuai fungsinya.
2. Penerapan Check and Balances di Lembaga legislatif Indonesia
a. Check and Balances MPR
MPR merupakan lembaga resprentatif dari DPR dan DPD. Sebelum
amandemen UUD NRI 1945 MPR merupakan lembaga tertinggi dalam sturuktur
ketatanegaraan. Namun, pasca amandemen MPR mempunyai kedudukan yang
sama dengan seluruh lembaga negara. Baik DPR, MK, MA, BPK, dsb. Sebelum
22
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta
30
amandemen, MPR mempunyai kewenangan absolut dalam memberhentikan
Presiden walaupun harus melalui sidang paripurna DPR. Pasca amandemen, dalam
kewenangannya memberhentikan Presiden, MPR harus menunggu pendapat DPR
dan Proses persidangan oleh MK. Disinilah yang menurut penulis terjadi
mekanisme prinsip check and balances di tubuh MPR dalam wewenangnya
memberhentikan Presiden. MPR tidak dapat begitu saja memberhentikan Presiden
sebelum ada pendapat DPR melalui proses hak menyatakan pendapat yang
dimiliki yang kemudian dengan mekanisme dimana diatur pada pasal 7B UUD
NRI 1945. Begitupun dengan DPR, tidak begitu saja berpendapat sebelum adanya
keputusan MK yang membenarkan pendapat DPR. Oleh karenanya dalam hal ini,
menurut penulis terjadi proses Check and Balances dalam hal Pemberhentian
Presiden atau yang lebih dikenal dengan sebutan Impeachment.
b. Check and Balances DPR
Mekanisme Check and Balances pada DPR, terkait dengan fungsi pengawasan
dan controling yang diatur dalam Pasal 20A ayat (1) UUD NRI 1945 . Akan tetapi
banyak yang menilai bahwa fungsi ini mengindikasikan bahwa DPR mempunyai
pengawasan yang jauh lebih luas dibandingkan lembaga-lembaga negara lainnya.
Hal tersebut dapat dilihat dalam tindakan pengawasan DPR terhadap DPD dilihat
dari tugas DPD yitu pasal 22D ayat (3) UUD NRI 1945 dimana hasil pengawasan
yang dilakukan oleh DPD dalam mengawasi undang-undang itu harus melaporkan
kepada DPR, dan tidak ada pasal sebaliknya. Dalam konteks check and balances
31
maka hal tersebut dapat dikatakan tidak terjadi check and balances bahkan
terkesan menghegemoni kewenangan DPR dan menggerus prinsip check and
balances.
Selain terhadap DPD, dalam wewenang legislasi yang saat ini dimiliki oleh
DPR Berdasarkan Pasal 20A UUD NRI 1945 DPR lah yang memberikan
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-
undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Dalam konteks Check and
Balances terlihat adanya otoritas fungsi lembaga yang dimiliki oleh DPR.
Walaupun mekanisme check and balances dalam prolegnas sudah semakin baik
dengan adanya keterlibatan Pemerintah, DPR, DPD, serta Presiden, akan tetapi ada
beberapa ketentuan yang menurut penulis memperlihatkan otoritas DPR
dibandingkan seluruh lembaga negara yang ada. Dan dalam hal internal DPR,
terdapat BK sebagai lembaga controling dalam mengawal kode etik seluruh
anggota DPR.
c. Check and Balances DPD
Salah satu pembentukan DPD pasca amandemen UUD NRI 1945 NRI ialah
untuk menciptakan prinsip check and balances di parlemen. Dalam hal ini DPD
sebagai lembaga resprentatif dari daerah yang dibentuk bukan hanya sebagai untuk
pelengkap keanggotaan MPR semata, melainkan benar-benar memaksimalkan
fungsi check and balances khususnya dalam prolgnas. Akan tetapi seiring
32
berjalannya waktu, hingga saat ini keberadaan DPD seolah-olah samar dan
seringkali tergerus oleh kewenangan DPR maupun Presiden. Hal ini tercemin
dalam pada Pasal 22D UUD NRI 1945 dimana kewenangan DPD hanya terbatas pada
kekuasaan-kekuasaan yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta masalah perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Di luar itu, kekuasaan DPD hanya memberi
pertimbangan kepada DPR. hal tersebut terlihat seolah-olah DPD sebagai Dewan
pertimbangan dari DPR dan tidak mencerminkan fungsi check and balances dalam
proses legislasi. Dalam ketentuan lain tepatnya di dalam Sesuai dengan pasal 22D
ayat (1) yang menyatakan DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sda
dan sumber daya ekonomi laenya, serta berkaitan dengan perimbangan pusat dan
daerah.
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan pasal 21 UUD NRI 1945
yang menyatakan Presiden dan DPR berhak mengajukan rancangan undang-
undang. Terlihat seolah-olah DPD hanya dianggap pelengkap saja, dan kurang
menccerminkan prinsip check and balances antar lembaga negara. Bahkan lebih
tegas, Saldi Isra mengatakan bahwa DPD tidak dapat dikatakan mempunyai fungsi
legislasi. Dalam bukunya Saldi Isra mengatakan bahwa bahwa "fungsi legislasi
33
harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui
rancangan undang-undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata
tersebut dimana kekuasaan membentuk undang-undang berada ditangan DPR.
Dengan menggunakan cara a contrario, sebagai bagian dari lembaga perwakilan
rakyat yang dapat mengajukan dan ikut membahas RUU bidang tertentu
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22D ayat (2) DPD tidak mempunyai fungsi
legislasi.23
Oleh karenanya, keberadaan DPD saat ini dalam aplikasi check and balances,
menurut penulis belum mampu menunjukkan penerapan prinsip tersebut dalam
tubuh DPD. Dalam fungsi pengawasan yang diberikan DPD masih terlihat
timpang dengan DPR dan Presiden khususnya dalam prolegnas. Oleh karenanya
timbulnya inisiatif DPD untuk memperkuat peran dengan mengajukan Uji Materiil
terhadap UU MD3 serta UU P3 terhadap UUD NRI 1945 ke MK, dianggap
banyak kalangan sudah tepat. Bahkan ada yang berpendapat, selain uji materiil
DPD perlu mengupayakan mendorong amandemen kelima UUD NRI 1945 demi
penguatan peran, serta mengembalikan fungsi check and balances di tubuh DPD
dalam kapasitasnya sebagai lembaga perwakilan daerah.
23
Isra. Saldi, “Pergeseran Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945”.(Yogyakarta:UGM, 2006), h. 87
34
C. Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang
1. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis sejak
reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai alasan dan
kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk,meskipun ada juga lembaga
yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah Konstitusi
(Selanjutnya disebut MK). MK didesain menjadi pengawal dan sekaligus penafsir
terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan
tugas konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu
tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi
demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut
menjadi pedoman bagi MK dalam menjalankan kekuasaan kehakiman secara
merdeka dan bertanggung jawab sesuai amanat konstitusi.
Kiprah MK sejak kehadirannya enam tahun silam banyak dinilai cukup
signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan mengembangkan
demokrasi. Namun usianya yang masih belia, membuat MK belum begitu dikenal
oleh khalayak luas. Berbagai hal, istilah dan konsep yang terkait dengan MK dan
segenap kewenangannya belum begitu dipahami oleh masyarakat. Sejalan dengan
misi MK untuk membangun konstitusionalitas Indonesia serta budaya sadar
berkonstitusi maka upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai
kedudukan, fungsi dan peran MK terus menerus dilakukan. Penulis akan
menjelaskan sekilas tentang sejarah pembentukan MK. Membicarakan MK di
35
Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai
judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga
MK. Empat momen dari jelajah histories yang patut dicermati antara lain kasus
Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad
Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang
dalam rangka amandemen UUD NRI 1945.
Sejarah judicial review muncul pertama kali di Amerika Serikat melalui
putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison”
pada 1803. Meskipun Undang-Undang Dasar Amerika Serikat tidak
mencantumkan judicial review, Supreme Court Amerika Serikat membuat putusan
yang mengejutkan. Chief Justice John Marshall didukung empat hakim agung
lainnya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang
yang bertentangan dengan konstitusi. Keberanian John Marshall dalam kasus itu
menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas
terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak
undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court. .24
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius
memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan
semangat penegakan konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya
24
Jurnal Mahkamah Konstitusi, “Profil Mahkamah Konstitusi”, edisi Oktober 2010, (Jakarta:
MK, 2010), h. 2, cetakan pertama.
36
segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh
bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi
merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people)
kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian
sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan
dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan
maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud
nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
Ide demikian yang turut melandasi pembentukan MK di Indonesia. Pasal 1
ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan
kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui
berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde
Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh
hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit
konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu
undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya
memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-
undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu
kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan
amandemen ketiga UUD NRI 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama
MK.
37
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi
oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari
perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang
berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai
dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku
sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang
menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan
Perubahan Ketiga, UUD NRI 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan
menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip
checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap negara. Sementara itu,
perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada
lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa
antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk
menyelesaikan sengketa tersebut.25
Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment)
Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001,
mengilhami 9 pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam
proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata
didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum
yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau
Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.
25
Jurnal Legislasi : “Eksistensi Lembaga Negara”, Vol.4 September 2007, (Jakarta,
Kemenkumham, 2007). h.11
38
Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga
pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan
masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan
mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR
2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 itu merumuskan ketentuan
mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat
(2) dan Pasal 24C UUD NRI 1945.26
2. Kedudukan MK
Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan
separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar
terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD NRI 1945.
Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun
secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga
tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebelum perubahan menyatakan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan 10 dilakukan sepenuhnya oleh
MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan
sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan
dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing
diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
26
HAS Natabaya, “Menjaga Denyut Konstitusi”, Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konsitusi,
Jakarta.2004. h.17
39
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga
negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara.
Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di
saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD NRI 1945,
kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga
melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada
satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya
sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau
sederajat.27
Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan
berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945. MK
menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan
sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya
kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak
beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-
lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan
kekuasaan yang 11 tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara
satu sama lain.
Selanjutnya, UUD NRI 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk
menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi
27
Jimly Assiddiqie, “Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004. h. 25
40
yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD NRI
1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di
Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban
konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna
tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi
negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK9 dalam sistem
ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-
undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan
Indonesia sebab UUD NRI 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi
supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di
negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan
kemudian berubah menjadi negara demokrasi. MK dibentuk dengan fungsi untuk
menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi
sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal
konstitusionalitasnya28
Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan
konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi
kewenangan MK. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya
dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan
28
Jurnal Mahkamah Konstitusi, “Profil Mahkamah Konstitusi”, edisi Oktober 2010, (Jakarta:
MK, 2010), h. 31, cetakan pertama.
41
dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh
bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, MK
menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang
keluar dari koridor konstitusi.
3. Fungsi dan Peran MK
Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus sengketa
antarlembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus
sengketa hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya
mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara)
yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil
pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam
itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem
politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian
atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan
kewenangan MK
Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat
(1) UUD NRI 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan
konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban
konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10
ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:
42
1. Menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945
2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.29
Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C
ayat (2) UUD NRI 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24
Tahun 2003, kewajiban MK adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau
perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945
Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24
Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60.11 Undang-undang adalah
produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik
para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung
kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki
hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah
bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah
suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang
disepakati adalah judicial review. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu
29
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat 1
huruf a sampai huruf e.
43
dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu
dibatalkan MK. Melalui kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga negara
yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor
konstitusi.
44
BAB III
KEDUDUKAN HUKUM DEWAN PERWAKILAN DAERAH
BERDASARKAN KONSTITUSI
A. Sejarah dan Dasar Hukum Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah
1. Sejarah Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah ( DPD )
Dalam UUD NRI 1945 sebelum diubah, dikenal adanya Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Keduanya sering dianggap lembaga legislatif berdasarkan UUD NRI 1945. Kedua
lembaga tersebut memang diakui sebagai parlemen Indonesia.. masalahnya
kemudian bagaimanaakah kedua lembaga tersebut, baik MPR maupun DPR
dalam struktur organisasi parlemen Indonesia menurut Harun Al- Rasyid dalam
bukunya UUD NRI 1945 sudah dirubah empat kali oleh MPR mengatakan badan-
badan Negara yang dibentuk oleh para pembuat UUD NRI 1945 merupakan
transformasi dari aparatur negara zaman Hindia Belanda.22
Akan tetapi apabila
ditinjau dali sisi historis, pembentukan lembaga DPD pada saat itu masih
menimbulkan banyak polemik khususnya di tataran parlemen.
Pada saat proses amandemen, muncul pro kontra terkait pembentukan
lembaga DPD.Pihak yang setuju dengan lahirnya DPD, beranggapan bahwa
upaya pembentukan DPD ini lebih disebabkan kepada terkait dengan kewenangan
22
Harun Al-Rasyid, “Naskah UUD 1945 Sudah Empat Kali Diubah oleh MPR”,(Jakarta:UI-
Press, 2003) h. 38
45
yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagaimana diatur
oleh UUD 1945 sebelum perubahan.
Unsur utusan daerah dalam susunan keanggotan MPR sebelum UUD 1945
diubah sebagaimana disebut dalam Pasal 2 ayat (1), adalah merupakan embrio
bagi lahirnya DPD. Dengan demikian, keberadaan DPD fungsinya lebih terkait
dengan lembaga MPR yang perlu penambahan keanggotaan disamping dari
anggota DPR, agar terbentuk kelembagaan MPR. 23
Hal tersebut dibuktikan dengan perubahan pada tata cara pemilihan
anggota MPR sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) perubahan UUD
1945 yang berbunyi : “Majelis Permussyawaratan Rakyat terdiri atas anggpta
Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dalam
undang-undang”. Ketentuan ini dinilai untuk memperkuat delegasi dari daerah
dan mendorong pemilihan MPR yang lebih demokratis dengan melibatkan utusan
daerah.
Selain itu, bagi pihak yang menentang akan munculnya DPD menilai
bahwa dengan munculnya DPD akan mereformasi tatanan ketatanegaraan serta
merusak sistem presidensial. Bahkan mereka beranggapan bahwa dengan
munculnya DPD negara akan semakin bergeser ke arah federal, seperti yang
dianut oleh Amerika Serikat. Penolakan akan munculnya DPD ini terpotret dalam
23
Jurnal Legislasi indonesia, “Peran Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan
Undang-Undang”,(Jakarta:Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM
RI),h.9
46
formulir tanda tangan yang menolak Perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945
berkenan denan adopsi Dewan Perwakilan Derah dalam UUD 1945. Formulir itu
dibukukan dengan Sikap Politik Para Anggota MPR-RI, tanggal 7 November
2001, diterbitkan oleh Yayasan Kepada Bangsaku dan Yayasan Pendidikan
Tinggi 17 Agustus 1945. 24
Dalam formulir tersebut dikumpulkan tanda tangan hingga mencapai 200-
an orang, dan mayoritas bersal dari F-PDIP dan anggota F-UG MPR , dan adapun
dari F-KB, serta F-KKI dan kemudian mereka menamakan diri dengan Gerakan
Nurani Parlemen (GNP). Sehingga peulis berasumsi bahwa munculnya gagasan
pembentukan DPD, tidaklah berjalan dengan mudah dan melalui proses yang
berliku. Polemik yang muncul ketika itu berlangsung alot. Dinamika yang terjadi
di parlemen membuktikan bahwa proses pembentukan DPD ini sangat
memerlukan upaya keras. Sehingga apabila kita telaah secara eksplisit, maka
keberadaan DPD saat ini, perlulah didorong secara maksimal mengingat secara
history pun dalam pembentukannya memerlukan jalan yang berliku. Dan hal
tersebut semata-mata demi menjembatani hubungan Pusat-Daerah, serta dalam
rangka memaksimalkan peran daerah khususnya dalam mengharmonisasikan
seluruh daerah yang ada di Negara ini, dalam konteks memaksimalkan Negara
Kesatuan
24
Jurnal legislasi Indonesia.” Peran Dewan Perwakilan Daerah dalam pembentukan undang-
undang”, (Jakarta:Dirjen peraturan perundang-undangan departemen hukum dan ham RI),h.1
47
2. Dasar Hukum Dewan Perwakilan Daerah ( DPD )
Pembentukan DPD adalah salah satu proses mereformasi sturuktur dan
tatanan kelembagaan negara yang ada di Indonesia. Pembentukan DPD tersebut
telah mengubah konsep parlemen di Indonesia yang sebelumnya merupakan
konsep satu kamar (unikameral) kemudian berubah menjadi konsep dua kamar
(bikameral). Perubahan ini tentu membuat perubahan mendasar dalam hal
pembuatan peraturan perundan– undangan. Peranan legislasi yang sebelumnya
dilakukan sepenuhnya oleh DPR bersama– sama presiden, kemudian berkembang
dengan memberikan sebagian kewenangan legislasi tersebut kepada DPD. Ide
pemikiran dari lahirnya DPD sebagai kamar baru dalam sistem parlemen di
Indonesia ialah untuk memberikan sebuah double check sehingga lebih
representatif terhadap kepentingan rakyat. Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa
DPR merupakan suatu perwakilan politik (Political representation) sedangkan
DPD merupakan (Regional representation). 25
Dikatakan juga oleh Jimly Asshiddiqie bahwa walaupun DPD mempunyai
kewenangan terbatas seputar kepentingan daerah, akan tetapi dapat dikatakan
bahwa DPD mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan fungsi pengawasan
terhadap kinerja pemerintahan. Oleh karena itu DPD mempunyai fungsi penunjang atau
auxiliary terhadap fungsi DPR dalam fungsi legislasi atau disebut juga sebagai co-
legislator, daripada legislator sepenuhnya. Kembali kepada Sejarah awal lahirnya
25
Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan Dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi” (Jakarta:
Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), h. 139
48
DPD adalah ketika muncul amandemen UUD NRI Tahun 1945, tepatnya pada
saat amandemen ketiga UUD NRI Tahun 1945. Di dalam perubahan UUD NRI
Tahun 1945 amandemen ketiga disebutkan tentang pengaturan DPD yaitu pasal
Pasal 22C dan Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945.
Walaupun terdapat suatu progress atau kemajuan dalam rangka penguatan
peranan DPD yang dilakukan oleh pemerintah bersama–sama dengan DPD, yakni
pergantian UU No 22 Tahun 2003 menjadi UU MD3, Akan tetapi menurut
penulis masih perlu penguatan kembali. Hal tersebut dikarenakan bahwa
pelaksanaan UU MD3 masih kurang dan jauh dari harapan terhadap cita-cita
pertama kali dibentuknya DPD dalam sistem parlemen di Indonesia.
Bahwa DPD merupakan bentuk dari representasi keterwakilan rakyat yang
ada di daerah, menjadi hal yang sangat mutlak apabila DPD harus mempunyai
peranan penuh terhadap pembuatan peraturan perundang–undangan yang
berkaitan dengan kepentingan daerah. Oleh karena itu suatu revitalisasi terhadap
peraturan yang berkaitan dengan DPD menjadi harga mati demi memberikan
pelayanan yang lebih baik serta lebih merepresentasikan kepentingan daerah yang
lebih baik. Pergeseran paradigma corak sistem sentralisasi menjadi desentralisasi
dalam sistem pemerintahan di Indonesia juga menjadi bahan pertimbangan
mengapa perlu suatu revitalisasi peranan DPD dalam sistem parlemen di
Indonesia.
49
B. Kinerja DPD RI Dalam Bidang Legislasi
Setelah di atas dibahas mengenai pandangan tentang konsepsi legislasi,
dalam sub bab kali ini penulis mencoba menjabarkan secara umum mengenai
hasil kinerja DPD dalam bidang legislasi. Jumlah rancangan undang-undang yang
diprakarsai oleh DPD RI pada perode 2004-2009 berjumlah 19 buah yang berasal
dari PAH I, PAH II, dan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU). Jumlah
RUU usulan DPD RI berdasarkan pembidangan dapat dilihat dalam uraian
berikut:
a. PAH I : Membidangi Otonomi DAERAH, Hubungan Pusat dan Daerah,
Pemekaran dan Penggabungan Daerah, Pemukiman dan Penduduk,
Pertanahan dan Tata Ruang
Beberapa produk panitia Ad Hoc I antara lain usulan RUU pembentukan
Kabupaten Gorontalo Utara ke DPR pada tanggal 13 Oktober 2005. DPD RI juga
berinisiatif mengajukan RUU tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 3 Tahun
1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Usul RUU ini diajukan
ke DPR pada tanggal 26 September 2007.
Inisiatif DPD RI juga menyampaikan usul revisi terhadap Undang-Undang
Nomor 5 Thun 1960 tentang UUPA. Usulan RUU ini diajukan DPD RI ke DPR
padda tanggal 19 Juli 2009. Selain itu DPD saat ini masih terus menggodok upaya
revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara signifikan, mengingat masih
terdapatnya berbagai kekurangan atau kelemahan undang-undang ini. Hal yang
paling disorot ialah mengenai tentang pemilihan kepala daerah dan pemerintahan
desa.
50
b. PAH II : Membidangi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya
Ekonomi Lainnya
Beberapa hasil kerja Panitia Ad hoc II antara lain dalam masalah
pegelolaan hutan, berhasil merampungkan RUU tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan ke DPR
pada tahun 2007. Untuk mensinergikan dengan perkembangan situasi terutama
setelah reformasi dan amandemen UUD 1945, DPD RI memandang perlu untuk
dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aspek-aspek penguatan sumber daya ekonomi
yang turut menjadi sorotan DPD RI pada periode 2004-2009 adalah masalah
lembaga keuangan mikro, ketahanan oangan, dan jasa lingkungan. Dasar
pemikiran penyususnan RUU tentang lembaga keuangan mikro dimaksudkan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor rill indrusti kreatif melalui
ketersediaan jasa keuangan dengan tingkat suku bunga rendah, prosesnya cepat,
dan mudah. RUU berhasil dirampungkan dan hasilnya disampaikan kepada DPR
pada tahun 2009.
c. Panitia Perancang Undang-Undang ( PPUU )
Salah satu kelengkapan DPD RI yang membidangi perancangan undang-
undang adalah Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU). Meskipun semua
PAH dapat mengkaji hingga mengeluarkan RUU tetapi secara kelembagaan
finalisasi seluruh bentuk RUU berada di PPUU. Beberapa hasil kerja PPUU
antara lain ialah RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
51
DPD RI menyadari bahwa permasalahan mendasar dalam RUU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menempatkan DPD RI sekedar supporting system
bagi DPR. Selain itu juga RUU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD. Dalam UU DPD ini DPD RI juga diposiisikan sekedar sebagai
supporting system bagi DPR. RUU tentang Administrasi Pemerintahan. RUU ini
diinisiasi oleh PPUU sehubungan dengan meningkatnya spirasi masyarakat terkait
dengan perbaikan administrasi sebagai salh satu indikator perangkat penciptaan
good governance. Dan RUU tentang Mahkamah Agung. PPUU memberikan
perhatian yang besar antara lain terhadap penyempurnaan penataan sistem
rekurtmen hakim agung agar dapat dihasilkan hakim-hakim agung yang
berintregitas tinggi, profesional, dan menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.26
Dapat dilihat bahwa kinerja DPD dalam fungsi legislasi sudah berjalan
dengan baik, dan juga telah memperoleh beberapa hasil yang menurut penulis
merupakan hasil dari usulan maupun aspirasi daerah. Oleh karenanya wajar
apabila DPD selama ini agak resah, mengingat apa yang telah dihasilkan oleh
DPD selama ini seolah-olah diklaim oleh DPR yang dalam hal ini seolah-olah
mengenyampingkan keberadaan DPD. Bahkan tak banyak yang mengetahui
bahwa beberapa hasil legislasi yang dihasilkan oleh DPD. Seluruh elemen
masyarakat seolah-olah hanya melihat DPR yang menjalankan fungsi
legislasinya, serta Presiden walaupun dalam hal ini Presiden sebagai lembaga
26
Kelompok DPD di MPR, “Eksistensi DPD RI 2009-2013, Untuk Daerah Dan
NKRI”,(Jakarta,Sekjen DPD 2005), h. 8
52
Eksekutif akan tetapi juga mempunyai fungsi legislasi. Artinya, dengan penulis
melampirkan beberapa hasil yang telah dicapai oleh DPD daiatas, maka sudah
sekiranya kita mampu memahami dan memaknai lebih dalam mengenai fungsi
legislasi DPD secara gamblang. Dan penulis juga ingin memberikan pandangan
kepada semua khayalak bahwa DPD sampai sejauh ini telah menjalankan fungsi
legislasinya secara on the track, bahkan beberapa hasil yang dihasilkan oleh DPD
pun sampai sejauh ini cukup signifikan dalam penguatan instrumen Undang-
Undang di berbagai sektor, yang khususnya demi kepentingan masyarakat
khususnya di beberapa daerah.
C. Konsepsi Mengenai Legislasi Yang Ideal Menurut Anggota DPD dan Para
Ahli
Konsepsi legislasi pada dasarnya telah dijabarkan secara ringkas oleh
penulis pada Bab II mengenai teori legislatif. Akan tetapi hal tersebut, merupakan
penjabaran secara umum yang diulas oleh penulis berkaitan dengan konsep
legislasi yang ada di Indonesia. Lebih lanjutnya, untuk menyeimbangkan dan
menskinronisasikan pembahasan tersebut dengan skripsi yang disusun oleh
penulis ini, penulis kemudian mencoba menjabarkan beberapa pandangan ataupun
pendapat yang dikemukakan oleh beberapa anggota DPD maupun beberapa para
ahli hukum mengenai konsepsi yang ideal dalam proses legislasi. Berikut
beberapa kutipan pandangan yang dikemukakan oleh para tokoh tersebut :
53
1. Irman Gusman, S.E., M.BA ( Ketua DPD RI Periode 2009-2014)
“Betapapun kami, para wakil daerah dalam DPD – RI mencoba arif
dengan kewenagnan terbatas di atas, ternyata dalam praksisnya
kewenangan terbatas itu pun masih belum dapat dioperasikan secara
maksimal. Setidaknya sesuai dengan idealitas yang dicetuskan oleh para
pejuang reformasi (the second founding patents). Di masa reformasi tahun
1998, kita harus menyaksikan dan mengalami lagi betapa bagi daerah
setelah sekian lama dinafikan, diabaikan, bila tidak dapat dikatakan dihina
oleh sentralisme kekuasaan di masa lalu ternyata kini masih hidup dikebiri
atau dipasung dalam aktualisasi dan pelaksanaan praksisnya. 27
Praksis tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak mula diundangkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dua produk regulatif
yang telah ditetapkan, bahkan sebelum anggota DPD hasil pemilu pertama
tahun 2004 dilantik. Kedua undang-undang tersebut karenanya bukanlah
merupakan aspirasi sejati dari para wakil daerah dan akibatnya banyak hal
yang luput dari kondisi konstitutional yang seharusnya terjadi.
Inkonstitutionalitas itu membuat proses legislasi DPD dalam semua proses
legislasi menjadi tidak terlaksana dengan baik.
Proses pembuatan Undang-Undang hampir sama sekali tidak
27
Kelompok DPD di MPR RI, Eksistensi DPD RI 2009-2013, Untuk Daerah Dan
NKRI”, (Jakarta, 2013), h.152
54
menyentuh DPD. Begitupun DPD hampir tidak pernah mendapat kesempatan
dalam menyentuh proses penting yang menentukan hajat hidup orang banyak,
hajat hidup masyarakat daerah. Selanjutnya terjadi perubahan dimana
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 berganti menjadi Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 berganti menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU P3).
Walau belum menyentuh mandat konstitutional yang digariskan ada kemajuan
konsep yang digariskan, ada kemajuan konsep keterlibatan DPD dalam law
making processdibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya. Namun,
kemajuan kecil itu pun tidak dapat diimplementasikan karena
ketidaksepakatan akan makna normatif dari kedua Undang-Undang baru
tersebut ditingkat praksis.
DPD seolah sudah memperoleh wewenang, tetapi sesungguhnya tidak.
Karena wewenang tersebut diikat dalam ruang-ruang aktualisasi tertentu dan
terbatas saja. DPD masih terpasung oleh konstitusi karenanya kami
berpendapat kedua Undang-Undang baru diatas, masih bertentangan dengan
konstitusi.”28
2. I Wayan Sudirta, S.H.
“Ada dua masalah besar dalam mekanisme legislasi yang sampai saat ini
dihadapi oleh DPD. Masalah ini dikarenakan pengaturan dalam UU MD3 dan
28
Irman Gusman ( Ketua DPD RI Periode 2009-2014),” Eksistensi DPD RI 2009-2013 Untuk
Daerah Dan NKRI”,.h.154
55
UU P3 yang belum sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 22D UUD NRI
1945,yaitu :
a. Terkait dengan Prolegnas. Keterlibatan DPD dalam pembahasan prolegnas
hanya sampai pada pembahasan awal dengan Badan Legislasi. Tidak ada
tindak lanjut dari usulan DPD, dan DPD juga tidak pernah diberikan peran
sesuai dengan pembagian RUU di Prolegnas.
b. DPD sampai masa sidang tanggal 14 November 2012 yang lalu, DPD telah
menghsilkan sebanyak 38 RUU dan tidak ada yang ditindak lanjuti oelh
DPR. Bahkan tidak ada penjelsan tertulis dari DPR kepada DPD mengenai
38 RUU yang telah diajukan oleh DPD tersebut.
c. Dalam keterlibatan DPD pada pembahssan RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan darah, pembentukan, pemekran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan seumber daya
ekonomi lainnya sampai saat ini masih belum sepenuhnya bulat. Beberapa
pembahasan RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD, tidak
melibatkan DPD seperti pembahasan RUU tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangungan Untuk Kepentingan Umum yang telah diundangkan menjadi
UU Nomor 2 Tahun 2012
d. Dalam kaitan pembahasan RUU di DPR, pada praktiknya terdapat dua
mekanisme keterlibatan DPD yang berlaku pada waktu pembahasan RUU di
DPR. Menyangkut DIM, DPD sama sekali tidak dilibatkan dalam proses
pembahasan DIM. Pada pembahsan RUU tentang Keistimewaan DIY,
56
Komisi II menggunakan ketentuan-ketentuan dalam UU MD3 yang tidak
memberikan kesemptan sama sekali kepada DPD untuk menyampaikan
DIM, namun menyampaikan pendapat akhir mini dalam tahapan tngkat I.
Kami terus terang kesulitan menyusun pendapat mini tersebut karena tidak
mengikuti pembahasan dan perdebatan dalam pembahasan DIM. Untuk
pembahasan RUU tentang Pemerintahan Daerah, RUU tentang Pemilu
Kepala Daerah, dan RUU tentang Desa, Komisi II menggunakan ketentuan-
ketentuan dalam UU P3 ( Pasal 68 ayat (3) huruf b) setelah kami
menyampaikan bahwa DPD dapat menyampaikan DIM dan DIM tersebut
menjadi bahan bagi DPR. Namun, untuk pembahasan daerah otonomi baru,
DPD hanya dilibatkan dalam awal pembahasan seperti praktik pada waktu
UU Susduk seperti praktik pada waktu UU Susduk.”29
3. Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.
Pembentukan parlemen bikameral menempatkan dua kamar pada
kedudukan kelembagaan yang setra dan harmonis. Kamar yang satu
mengimbangi dan membatasi supermasi kamar yang lain, demikian
sebaliknya. Kewenangan DPD termasuk soft bicameral. Kata “dapat”
merupakan constitutional choice yang diberikan konstitusi kepada DPD.
Manakala DPD menempuh pilihan mengajukan rancangan undang-undang
kepada DPR, atau menggunakan pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang a quo maka pilihan yang ditempuh tersebut mengandung sifat
29
I Wayan Sudirta S.H. Eksistensi DPD Ri 2009-2013 Untuk Daerah Dan NKRI”,.h..155
57
impresif, tidak disimpangi, apalagi di-negasi oleh DPR dan pemerintah.
Dalam kata “dapat” itu terkandung hak dan kewenangan konstitutional DPD.
Secara konstitutional, hanya ada tiga rancangan undang-undang yang bakal
dibahas menjadi undang-undang yakni, RUU dari DPR, Pemerintah, dan
DPD.30
4. Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA
“Pokok awal sekarang, bagaimana memberikan pemaknaan yang tepat
atas kewenangan DPD sehingga kehadirannya tidak menjadi sebuah lembaga
yang berada pda posisi antara ada dan tiada. Karena desain Pasal 22D UUD
1945, adalah tidak mungkin pula memberikan kewenangan lebih luas kepada
DPD untuk semua kategori itu hanya dapat dilakukan dengan melakukan
Perubahan Kelima UUD 1945. Dengan batasan yang dipandu dalam Pasal
22D UUD 1945itu, desain legislasi ke depan harusnya diupayakan
memebrikan tafsir yang tepat merujuk dengan wewenang legislasi DPD.
Dengan memberikan tafsir yang tepat, wewenang DPD tidak hanya sebatas
mengajukan dan ikut membahas sebagaimana peran yang dilakukan oleh DPR
dan Presiden. Bahkan, apabila MK mau memberikan tafsir yang lebih
progresif, apabila makna persetujuan dinilai sebagai konsekuensi dari
pembahasan bersama, tidak keliru apabila DPD dilibatkan dalam proses
pembentukan UU sampai pada persetujuan bersama.
30
Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.. Eksistensi DPD Ri 2009-2013 Untuk Daerah Dan
NKRI”,.h..156
58
Memberikan pemaknaan baru yang lebih progresif terhadap DPD dalam
proses legislasi sangat berpotensi menjawab keprihatinan kita terhadap produk
legislasi yang kian hari kian menurun kualitasnya.”31
5. Ir. H. Isran Noor, M. Si. ( Saksi ahli dalam persidangan MK )
Dalam keterangannya sebagai saksi ahli dari DPD dalam persidangan Uji
Materi UU MD3 dan UU P3 beliau mengemukakan beberapa pandangan dan
gagasan sebagai berikut :
a. Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia sepakat dengan tujuan
pengujian UU MD3 dan UU P3 bahwa undang-undang yang dimaksud
telah mereduksi kewenangan DPD dengan tidak melibatkan lembaga
negara ini dengan pengajuan maupun persetujuan RUU di tengah proses
legislasi sekarang yang mengharuskan peran DPD RI.
b. Di luar teks, beliau mendaptkan pesan dari para walikota dan gubernur
bahwa DPD RI bukan menginginkan kewenangan dan mengharapkan
kekuasaan di luar ketentuan aturan yang sudah mereka miliki. Yang
menginginkan ini, kewenangan dan peran ini adalah para bupati, para
walikota, para gubernur, dan seluruh rakyat di seluruh Nusantara ini
menginginkan adanya peran DPD RI, jauh lebih banyak sesuai dengan
respresentasi perwakilannya dan kepercayaannya yang diberikan oleh
seluruh bangsa dan negara. 32
31
Prof. Dr. H.Saldi Isra, S.H,MPA. Eksistensi DPD Ri 2009-2013 Untuk Daerah Dan
NKRI”,.h..164
32
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, hal. 142-144
59
Dari berbagai opini serta gagasan pra anggota, para ahli hukum, serta saksi
ahli diatas maka dapat penulis katakan bahwa peran DPD dalam proses legislasi
nasional begitu signifikan. Dimensi maupun instrumen hukum yang dibangun
selama ini belum mampu untuk mengangkat DPD menjadi lembaga legislasi yang
diharapkan. Fungsi legislasi yang dimiliki DPD saat ini seolah-olah hanya
memberikan harapan kosong belaka terhadap kinerja DPD dalam bidang legislasi.
Bahkan beberapa opini yang dikutip penulis diatas menunjukkan adanya
sentimentil peran yang diberikan DPR dalam proses legislasi nasional. DPR
selama ini seolah-olah menghegemoni peran legislasi di tataran pemerintah pusat,
serta dalam rangka program legislasi nasional. Hal itu dibuktikan dengan tidak
diresponnya maupun ditanggapinya secara serius beberapa usulan maupun RUU
yang selama ini telah diajukan oleh para anggota DPD. Kemudian hal ini semakin
diperparah dengan tidak dilibatkannya DPD dalam beberapa kesempatan
pembahasan RUU yang seharusnya menjadi kewenangan DPD juga. Disini
terlihat seolah-olah DPD hanya sebagai lembaga legislatif pelengkap saja dan
hanya menjadi pelengkap dalam sistem bikameral. Oleh karenanya beberapa
gagasan diatas, sekiranya dapat dijadikan acuan maupun pemahaman kepada kita
mengenai fakta proses legislasi yang selama ini terjadi dilapangan.
Beberapa fakta tersebut seolah-olah bukan hanya bualan belaka maupun
agenda terselubung dari anggota DPD dalam keseriusannya dalam melakukan
upaya untuk memperkuat kedudukan DPD dan melebarkan kewenangan DPD
yang seolah-olah selama ini terkekang oleh aturan maupun praksis. Dan juga hal
60
ini membuktikan bahwa usulan amandemen kelima yang selama ini digaungkan
oleh anggota DPD semata-mata dilakukan untuk mengembalikkan DPD pada
posisi yang selayaknya bukan semata-mata agenda politik atau bahkan
tunggangan kepentingan oknum semata. Sehingga, penulis berpendapat bahwa
sudah selayaknya MK mengabulkan permohonan DPD tersebut, serta dalam
rangka penguatan lembaga DPD, usul amandemen kelima yang selama ini terus
diupayakan, menjadi bahan pertimbangan kembali bagi semua kalangan.
Khususnya bagi semula elemen perangkat daerah guna mengawal dan menyokong
kinerja DPD ditingkatan parlemen.
D. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah berdasarkan UUD 1945 NRI
1. Kedudukan DPD dalam Pembentukan Undang-Undang Pasca
amandemen UUD NRI 1945
Pasca amandemen terjadi perubahan yang signifikan terhadap proses
pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dilatarbelakangi
dengan munculnya lembaga DPD sebagai lembaga baru dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia. Dalam UUD pasca amandemen termaktub 2 pasal pada
Bab VII A yang secara langsung mengatur tentang DPD yaitu Pasal 22 C dan
Pasal 22 D. Dalam hal pembentukan Undang-Undang, kewenangan yang dimiliki
oleh DPD ialah dalam Pasal 22 D, yaitu :
1. DPD dapat ikut mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, penggabungan daerah,
61
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah
2. DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengeluaran sumber daya alam, dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah
3. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, dan
RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Dari ketentuan tersebut telah disebutkan mengenai beberapa kewenangan
DPD dalam proses pembentukan Undang-Undang. Walaupun hanya sebatas
Undang-Undang yang berkaitan dengan Otonomi Daerah. Akan tetapi, hal
tersebut merupakan transformasi baru dalam konstitusi serta ketatanegaraan
Indonesia. Jika selama ini mekanisme pembentukan Undang-Undang hanya
melibatkan Presiden serta DPR saja, dengan munculnya DPD pasca amandemen
UUD 1945 menimbulkan harapan baru, khususnya bagi masyarakat daerah dalam
menjembatani kepentingan daerah melalui Undang-Undang. Setelah munculnya
amandemen tersebut, beberapa Undang-Undang muncul yang ikut menguatkan
DPD dalam proses pembuatan Undang-Undang. Penulis tidak akan membedah
keseluruhan Undang-Undang tersebut, akan tetapi penulis hanya akan sedikit
menjabarkan mengenai beberapa Undang-Undang yang muncul pasca
amandemen, yakni antara lain sebagai berikut :
62
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD ( yang dibentuk atas dasar
delegasi dari Pasal 22 C ayat (4) UUD 1945)
Kedua Undang-Undang tersebut muncul setelah amandemen UUD 1945 ,
dan merupakan amanat dari amandemen UUD 1945. Dari kedua instrumen
Undang-Undang tersebut, peranan DPD dlam pembentukan peraturan perundang-
undangan baik pada saat pengajuan RUU mapun pembahasan RUU terbatas pada
bidang-bidang tertentu yang dibatasi oleh konstitusi, serta UU sebagai peraturan
pelaksanaan dari konstitusi tersebut. 33
Sehingga penulis berpendapat, bahwa konstruksi amandemen UUD 1945 saat
ini belum sepenuhnya menguatkan DPD khususnya dalam proses pembuatan
Undang-Undang.
2. Kewenangan Legislasi DPD dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia
Setelah disahkannya Perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945 pada
sidang Tahunan MPR tahun 2002 yang lalu, agenda reformasi konstitusi
Indonesia untuk kurun waktu sekarang ini dipandang telah tuntas. Mengingat
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia dilakukan secara adendum34
.
Substansi pokok pascaperubahan UUD 1945 antara lain ialah :
33
Jurnal Legislasi Indonesia. “Peran Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang”. (Jakarta:Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI,2005). h..iv
34 M .Fatwa, “Potret konstitusi pasca amandemen UUD 1945”.( Kompas,Jakarta,2009), h. 8
63
1. Pembagian kekuasaan Berdasarkan UUD 1945
2. Hubungan Antar Lembaga
3. Otonomi Daerah seluas-luasnya
4. Penegakan Hukum dan Supermasi Hukum
Dari keempat substansi tersebut, tentulah penulis tidak akan menjabarkan
secara spesifik satupersatu substansi tersebut. Akan tetapi terkait dengan
pembahasan penulis pada kali ini, sebagai pengantar sedianya penulis akan sedikit
menjelaskan secara singkat mengenai hubungan antar lembaga yang mana lebih
mengarah kepada DPD. Setelah amandemen tersebut hubungan antar lembaga
mengalami perubahan yang cukup signifikan. Seluruh lembaga, memiliki
kedudukan yang sama dan mempunyai kewenangan saling mengawasi dalam
mewujudkan check and balance. Baik lembaga eksekutif ( Presiden ), Legislatif (
MPR, DPR, DPD ),serta Yudikatif ( MA, MK, KY ) dituntut untunk terus
berkordinasi dan saling ,mengawasi kinerja masing-masing lembaga. Jika
sebelumnya MPR yang mempunyai kekuasaan tertinggi, maka pasca amandemen
ini semua lembaga mempunyai kedudukan yang sama, bahkan Presiden pun
sebagai eksekutif di tempatkan pada kedudukan yang sama dengan lembaga-
lembaga lainnya.
DPD yang dalam hal ini sebagai anak baru dalam ketatanegaraan Indonesia
pun diberikan porsi yang sama dengan lembaga lainnya. Dalam legislasi
misalnya, DPD mempunyai tugas dan kewenangn dalam hal mengajukan RUU
tertentu yang berkaitan dengan Otonomi Daerah dan ikut membahs dengan DPR,
64
memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, serta menyampaikan
hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu kepada DPR35
. Dengan penjelasan
tersebut, jelas bahwa saat ini kewenangan legislasi DPD setara dengan DPR
bahkan Presiden. Akan tetapi, yang membedakannya ialah mengeanai ruang
lingkupnya. Dalam hal ini DPD diberikan luang lingkup sejauh RUU yang
berkaitan dengan Otonomi Daerah. Hal itu wajar, mengingat DPD sebagai
lembaga perwakilan daerah yang diberikan emban untuk mengakomodir
kepentingan daerah.
Prosees baru legislasi di Indonesia saat ini berarti melibatkan Presiden,
DPR, dan DPD. DPD merupakan pelembagaan wakil daerah-daerah tetapi bukan
seperti pola “utusan daerah” semasa Orde Baru. Pemilihan anggota DPD lebih
berat dibandingkan pemilihan anggota DPR yaitu sistem distrik, sehingga lebih
akuntabel kepada pemilih. Namun, dibalik itu semua, ternyata kompetensi DPD
sangat terbatas, baik dalam hubungan dengan DPR maupun lembaga-lembaga
lain. DPD tidak terlibat dalam pengambilan keputusan dibidang legislasi36
.
Selain itu, banyak pertanyaan muncul terkait pola hubungan antara MPR,
DPR, dan DPD dalam fungsi legislator ini. Dalam konteks ini ketika berlangsung
fungsi inter-kameral antara DPR-DPD , proses itu dapat disebut sebagai “arena”
joint session DPR-DPD : ketika mengundang DPD untuk ikut membahas RUU
35
M Fatwa, “Potret konstitusi pasca amandemen UUD 1945”. h. 8
36
Kelompok DPD RI, “Konstitusi Ri Menuju Perubahan Ke 5”. (Jakarta, PT. GRAFITRI,
2009), h. 135
65
yang terkait dengan Otonomi Daerah; ketika kepada DPR pihak DPD mengajukan
RUU yang terkait dengan Otonomi Daerah atau meminta pertimbangan RAPBN,
ketika DPD meminta pertimbangan dalam pemilihan anggota BPK, dan ketika
DPR-DPD menerima Haptah BPK. Dalam pembahasan dan pengambilan
keputusan atas RUU (Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ), fungsi legislatif diipegang
oleh DPR dan Presiden, DPD hanya memiliki fungsi konsultatif. Jelas bahwa
hubungan DPD-DPR-Presiden bukan merupakan MPR sebagai joint session,
karena wewenang bersama ketiga lembaga tersebut bukan merupakan wewenang
MPR dan pola hubungan ketiganya bukan dibawah naungan MPR.
Ada yang mengatakan pola hubungan kamar-kamar legislatif ini boleh saja
disebut tipe hibrida yaiitu “legislatif tiga kamar” ( three-chumber legislature), tapi
dengan fungsi pengambilan keputusan hanya ada ditangan dua kamar ( DPR dan
Presiden ). Akan tetapi tentu saja tidak dapat menyebut pola hubungan MPR-
DPR-DPD sebagai parlemen tiga kamar37
. Melihat fenomena diatas , penulis
beranggapan bahwa peran serta DPD dalam proses legislasi saat ini masih sangat
terbatas. Hal itu, memunculkan banyak opini terkait lemahnya fungsi legislasi
DPD sebagai lembaga legislatif. DPD terkesan dimonopoli oleh DPR dalam
proses legislasi. Beberapa penjelasan berikut dapat membuktikan superioritas
DPR atas DPD, antara lain :
37
Kelompok DPD RI, “Konstitusi Ri Menuju Perubahan Ke 5”. h. 134
66
1. Dalam fungsi legislasi perubahan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dari tiap
undang-undang menghendaki persetujuan DPR menjadi DPR mempunyai
kekuasaan membentuk undang-undang.
2. Penambahan pasal 20A, ayat (1) bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan pengawsan tidak saja berakibat pada melemahkan fungsi
legislasi DPR terhadap DPD.38
Oleh karena itu, ruang untuk dapat mengajukan dan ikut membahas
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonmi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam Pasal
22 Dayat (1) dan (2) UUD 1945 tidak cukup untuk mengatakan bahwa DPD
mempunyai fungsi legislasi. Bagaimnapun, fungsi legislasi harus dilihat secara
utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah rancangan
undang-undang menjadi undang-undang. Selain itu, banyak pendapat
mengatakan, perubahan Pasal 20 Ayat (1) dan kehadiran Pasal 20A Ayat (1)
memberi garis yang sangat tegas bahwa kekuasaan membuat Undang-Undang
hanya menjadi monopili DPR. Padahal, dalam lembaga perwakilan rakyat
bikameral, kalu tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang, Majelis
Tinggi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto)
38
Soewoto Mulyosudarmo,. Pembaruan ketatanegaraan melalui perubahan konsititusi.
(Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN. Jawa Timur. Surabaya,2009), h. 98
67
rancangan undang-undang dari Majelis Rendah39
. Selain itu, Kevin Evans dalam
bukunya “Seputar Bikameral” menambahkan bahwa Majelis Tinggi diberi hak
menunda pengesahan rancangan undang-undang yang disetujui Majelis rendah.
Hak menuda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika Majelis
Tinggi jika tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-
undang40
.
Melihat pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 yang mengatur DPD, lembaga
ini tidak memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama dengan
DPR dan Presiden. Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya
untuk memberikan pertimbangan, seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai
Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945
pasca amandemen secara eksplisit telah memangkas penggunaan fungsi legislasi
oleh DPD. Pasal 20 ayat (1) dan 20 A ayat (1) menentukan bahwa kekuasaan
membuat undang-undang (legislasi) hanya dimiliki oleh DPR. Selain itu, dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang SUSDUK MPR, DPR, DPD, dan
DPRD amat membatasi kewenangan DPD. Dalam pasal 22 D ayat (1) dan Ayat
(2) UUD NRI 1945 maupun pasal 42 dan 43 UU No.22 Tahun 2004 menunjukkan
betapa terbatasnya wewenang DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang
berkaitan dengan Otonomi Daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR
39
Saldi Isra,. “Lembaga Legislatif Pasca Amandemen UUD 1945”. (Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, 2004),h. 67
40
Kevin Evans,. Seputar Sistem Bikameral, dalam. CPPS PARMADINA DAN
PARTNERSHIP GOVERNANCE IN INDONESIA, Jakarta, 2002.
68
saat DPR melaksanakan kewenangannya. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat
bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD NRI 1945 pasca
amandemen tidak seusai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori
ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara
berimbang dalam proses legislasi maupun pengawasan.
Dengan demikian dalam fungsi legislasi , DPD tidak bisa ketahap
persetujuan Rancangan Undang-Undang. Disamping itu, dalam bidang legislasi,
DPD juga berfungsi sebagai pemberi pertimbangan atas perancangan dan
pembahasan RUU di bidang-bidang tertentu serta dibidang pengawasan yaitu
mengawasi pelaksanaan UU di bidang-bidang yang terkait dengan kepentingan
daerah.
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis beranggapan bahwa guna
membangun prinsip check and balance dalam lembaga perwakilan rakyat
Indonesia harus ada perubahan radikal terhadap fungsi legislasi yaitu dengan
tidak membatasi DPD seperti sekarang ini. Kalau ini dilakukan, gagasan
menciptakan kamar kedua dilembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi
kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan dapat
diwujudkan. Bagaimanapun, dengan pola legislasi sekarang ini, DPD tidak
mungkin mampu mengartikulasikan kepentingan politk daerah pada setiap proses
pembuatan keputusan di tingkat nasional terutama dalam membuat Undang-
Undang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Untuk menata
fungsi legislasi, yang diperlukan tidak hanya terbatas pada penguatan fungsi
69
legislasi DPD tetapi juga dengan membatasi peran atau keterlibatan presiden
dalam fungsi legislasi. Kalau memang punya political will yang kuat untuk
melakukan pembenahan sistem presidensial, presiden tidak lagi dilibatkan dalam
proses pembahasan Rancangan Undang-Undang. Dengan demikian, mekanisme
check and balance dalam pembahasan Rancangan Undang-undang hanya terjadi
antara DPR dan DPD.
3. Implementasi Kewenangann Legislasi Dewan Perwakilan Daerah dalam
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan PerUndang-Undangan Khususnya dalam Proses Pengajuan
dan Pembahasan RUU Otonomi Daerah
Pengajuan uji materiil UU No.27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (UU MD3) serta UU No. 12 Tahun 2011 (UU P3) yang dilakukan oleh
DPD ke MK, tidak serta merta dilakukan DPD secara membabibuta. Akan tetapi
hal fundamental yang diupayakan oleh DPD ialah terkait dengan beberapa pokok-
pokok yang berkaitan dengan fungsi legislasi DPD diparlemen. Adapun pokok-
pokok tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Pasal 18 huruf g, Pasal 20 ayat (1 ), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3),Pasal 2ayat
(1), dan Pasal 23 ayat (2) UU P3 Telah Meniadakan Kewenangan Pemohon
untuk Dapat Mengajukan Rancangan Undang-Undang baik di Dalam maupun
di Luar Program Legislasi Nasional
70
2. Pasal 102 ayat (1) huruf (d) dan huruf (e) UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan ayat
(4) UU P3 telah Mereduksi Kewenangan Legislasi Pemohon Menjadi Setara
dengan Kewenangan Legislasi Anggota, Komisi, dan Gabungan Komisi DPR
Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU MD3 secara Sistematis Meniadakan
Kewenangan Pemohon sejak Awal Proses Pengajuan Rancangan Undang-
Undang
3. Pasal 147 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU MD3 telah Mendistorsi
Rancangan Undang-Undang Pemohon Menjadi Rancangan UndangUndang
Usul DPR
4. Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 46 ayat (1) UU P3 telah
Merendahkan Kedudukan Pemohon Menjadi Lembaga yang SubOrdinat di
bawah DPR41
Beberapa pokok diatas terkait dengan kewenangan DPD dalam pengajuan
RUU. DPD berpendapat bahwa kewenangan legislasi DPD dalam konteks
pengajuan RUU Otonomi daerah sangat terbatas, dan hal tersebut diperparah
dengan disamakannya lembaga DPD dengan alat kelengkapan DPR. Hal tersebut
bagi DPD sangat merendahkan kelembagaan DPD, khususnya dalam konteks
lembaga legislatif. Kemudian adapun terkait pembahasan RUU DPD juga
mengajukan beberapa permohonan terkait kewenangan dalam melakukan
pembahasan RUU Otonomi Daerah. Adapun beberapa pokok permohonannya
ialah sebagai berikut :
41
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 92/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 ,dan Undang-Undang nomor 12 Tahun 2001 tentang PU3, h. 14-
23
71
Dalam hal pembahasan RUU :
1. Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4) UU P3 Tidak Melibatkan Pemohon dalam
Seluruh Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang
2. Pasal 150 ayat (3) UU MD3 dan Pasal 68 ayat (3) UU P3 telah
mengecualikan Pemohon dari Pengajuan dan Pembahasan Daftar
Inventaris Masalah yang Justru Merupakan ”Inti” dari Pembahasan
Rancangan Undang-Undang.
3. Pasal 147 ayat (7), Pasal 150 ayat (5) UU MD3, serta Pasal 68 ayat (5)
UU P3 telah Mereduksi Kewenangan Pemohon dengan Mengatur
Bahwa Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tetap Dilaksanakan
Meski Tanpa Keterlibatan Pemohon
4. Pasal 71 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g dan Pasal 107
ayat (1) huruf c UU MD3 dan Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU P3
telah Mereduksi Kewenangan Pemohon untuk Ikut Serta dalam
Memberikan Persetujuan Suatu Rancangan Undang-Undang yang
Terkait denganKewenangannya
5. Pasal 150 ayat (4) huruf a, Pasal 151 ayat (1) huruf a dan huruf b UU
MD3, serta Pasal 68 ayat (2) huruf c dan huruf d, dan ayat (4) huruf a
6. Pasal 69 ayat (1)huruf a dan huruf b, serta ayat (3) UU P3 Bertentangan
dengan Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 karena
Seharusnya Setiap RUU Dibahas oleh DPR, Presiden, dan Pemohon
Sepanjang yang Berkaitan dengan RUU Kewenangan Pemohon, bukan
oleh Fraksi dan Presiden
72
Beberapa pokok diatas terkait pembahasan RUU, DPD menilai bahwa
implementasi yang diberikan UU MD3 serta UU P3 sangatlah mengekang
kewenangan legislasi DPD dalam hal pembahasan RUU Otonomi Daerah.
Sehingga DPD menilai bahwa semangat penguatan kelembagaan DPD pasca
lahirnya UU MD3 serta UU P3 terkesan hanya formalitas belaka. Dalam hal
pembahasan RUU kewenangan DPD seolah-olah dibatasi dan hanya sebagai
pelengkap saja. Pada faktanya hegemoni antara Presiden dengan DPR masih tetap
berlangsung. Padahal secara kelembagaan baik DPR, Presiden, serta DPD
mempunyai kedudukan yang sama khususnya sebagai lembaga legislatif,
walaupun ada pembatasan terkait kewenangannya akan tetapi secara kedudukan
ketiga lembaga ini mempunyai porsi yang setara.
Oleh karenanya, DPD bersikeras agar UU MD3 serta UU P3 terkait
kewenangan legislasinya dibatalkan oleh MK. DPD ingin MK memberikan
sebuah jalan baru bagi DPD dalam proses legislasi nasional.
73
BAB IV
KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM LEGISLASI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH PASCA PUTUSAN
MK 92/PUU/-X/2013
A. Kedudukan dan Kewenangan DPD dalam Pembahasan RUU Otonomi
Daerah sesudah di Putuskannya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013
Tentang Kewenangan DPD dalam Legislasi RUU Otonomi Daerah
Setelah penulis membedah fungsi DPD dalam legislasi pasca amandemen
UUD NRI 1945, dan masih banyak pihak yang menganggaap bahwa amandemen
UUD NRI 1945 belum mengakomodir dan mengefektifkan peranan DPD dalam
bidang legislasi, maka pada sub bab ini penulis berusaha mencoba memaparkan
secara ringkas mengenai kedudukan dan kewenangan DPD dalam pembahasan
RUU Otonomi Daerah sesudah di Putuskannya Putusan MK Nomor 92/PUU-
X/2013 Tentang Kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah. Upaya
para anggota DPD untuk mendorong pemerintah memaksimalkan fungsi DPD
dalam legslasi terus diupayakan sejak lama. Berbagai upaya terus dilakukan
dengan membawa isu amandemen ke -5 UUD NRI 1945 yang digagas sekitar
tahun 2006. Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh para anggota DPD dilalui
dengan jalan yang berliku. Pola yang dikembangkan dengan cara terstruktur dan
sistematis demi mengupayakan amandemen ke 5 UUD NRI 1945. Mekanisme
pola pengajuan amandemen yang digagas oleh anggota DPD antara lain sebagai
berikut :
74
1. Naskah Akademik
2. Opini Building : media cetak, media elektronik, serta polling
3. Penetrasi Parpol : Pimpinan Parpol, Pimpinan Fraksi, dan Anggota
DPR dan MPR
4. Penetrasi Non Parpol : Gubernur/Bupati,Walikota, Perguruan Tinggi,
Organisasi Masyarakat, LSM , Opini para tokoh masyarakat.41
Pola tersebut terus digencarkan guna mendorong MPR RI melaksanakan
amandemen UUD NRI 1945. Namun berbagai upaya tersebut tidak mendapat
sambutan positif dari pimpinan MPR yang tidak berkenan menyampaikan kepada
seluruh anggota MPR RI karena dianggap belum memenuhi ketentuan dalam
UUD NRI 1945. Setelah gagal melalui pola tersebut DPD tak patah arang,
kemudian DPD semakin gencar bersosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat
mengenai pentingnya agenda amandemen UUD NRI 1945 ke – 5. Hingga
akhirnya, dalam rapat gabungan MPR RI pda tanggal 19 Juli 2012, disepakati
pembentukan Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan tim kerja Pimpinan MPR RI. Tugas Tim Kerja adalah melakukan
kajian yang komprehensif mengenai sistem Ketatanegaraan Indonesia, dimana
salah satunya membahas berkembangnya aspirasi yang meminta dilakukannya
amandemen kelima oleh MPR.42
41
Kelompok DPD di MPR RI, “Eksistensi Dpd Ri 2009-2013 Untuk Daerah Dan NKRI”,
(Jakarta:Sekjen DPD), h. 99
42 Kelompok DPD di MPR RI, “Eksistensi Dpd Ri 2009-2013 Untuk Daerah Dan NKRI”,
h.133
75
Namun hingga saat ini, tim kerja tersebut masih terus berjalan guna
menggagas dan merumuskan konsep mengenai amandemen UUD NRI 1945.
Sambil berharap amandemen UUD NRI 1945 dapat segera terlaksana, DPD terus
berupaya keras untuk mendorong perubahan kewenagan legislasi DPD saat ini.
Hal tersebut dilatar belakangi dengan kondisi DPD RI dalam sistem
ketatanegaaan Indonesia, khususnya ketika berhubungan dengan DPR dapat
dilihat dengan realitas sebagai berikut :
1. DPD RI dalam kurun waktu dari 1 Oktober 2004 sampai dengan Maret
2013 telah mengajukan 39 RUU, 184 Pandangan dan Pendapat, 60
Pertimbangan, dan 110 Hasil pengawasan.
2. Seluruh RUU, Pandangan, dan Pendapat,serta Pertimbangan DPD RI
yang telah disampaikan ke DPR tersebut tidak ada tindak lanjutnya
sebagaimana amanat UUD NRI 1945 untuk melibatkan DPD RI dalam
proses pengajuan, pembahasan, dan pertimbangan RUU. 43
Dari fakta tersebut semua pihak termasuk rakyat dapat melihat betapa
hasil kerja DPD tidak memperoleh respon memadai dari DPR. DPD telah
berupaya melakukan berbagai langkah komunikasi politik dengan DPR untuk
mencari solusi terhadap masalah yang terjadi ini. Namun demikian walau telah
bertahun-tahun komunikasi politik itu dilakukan oleh DPD namun pihak DPR
tidak memberi respon memadai dan menerima berbagai usul solusi yng
43
Sekjen DPD RI, “Fungsi Legislasi DPD Pasca Putusan MK”, (Jakarta:Sekjen DPD RI,
2013).h..2
76
ditawarkan DPD. Atas dasar tersebut, maka DPD melakukan Judicial Review
terhadap UU MD3 dan UU P3.
Setelah melalui proses yang berliku dan panjang, maka pada tanggal 27
Maret 2013 MK menggelar sidang pleno dengan agenda pembacaan putusan.
Dalam sidang pleno tersebut, MK memutuskan untuk menerima permohonan
yang diajukan oleh DPD RI tersebut. Dalam putusannya tersebut, MK
meneguhkan lima hal, yakni :
1. DPD RI terlibat dalam pembahasan Program Legislasi Nasional
2. DPD RI berhak mengajukan RUU yanng dimaksud dalam Pasal 2D
ayat (1) UUD NRI 1945 sebagaimana halnya atau bersama-sama
dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3. DPD RI berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal
22D ayat (2) UUD NRI 1945.
4. Pembukaan RUU dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945
bersifat tiga pihak (tripartit) yaitu antara DPR, DPD RI , dan Presiden
5. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam UU MD3 DAN UU P3 yang
tidak sesuai dengan tafsir MK atas kewenangan DPD RI dengan
sendirinya bertentangan dengan UUD NRI 1945, baik yang diminta
atupun tidak.44
44 Putusan MK selengkapnya dpat dibaca di situs www.dpd.go.id dan
www.mahkamahkonstitusi.go.id (diakses pada tanggal 15 Januari 2014 )
77
Dengan keluarnya putusan MK tersebut sebagaimana diketahui dalam
UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Atas dasar itu, sebagai konsekuensi logisnya maka terhitung sejak wktu tersebut
maka proses pembentukan UU di DPR sudah harus dilaksanakann sesuai dengan
Putusan MK tersebut. Apabila proses pembentukan UU di DPR tidak mengacu
kepda putusan MK tersebut, maka proses pembentukan UU tersebut cacat
hukum,dan produk yang dihasilkan menjadi tidak sah atau batal demi hukum.
Dalam konteks ini, pada tahun 2007 dalam tulisannya di sebuah buku, ketua MK
Periode pertama Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H menyebutkan bahwa
berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945, pengadilan MK adalah
pengadilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat dinal.
Pasal 47 UU MK menyatakan bahwa putusan MK memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Ketentuan
tersebut menunjukkan bahwa dengan sendirinya putusan MK tidak memerlukan
pelaksanaan lain, karena sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno, putusan itu
telah memiliki kekuatan hukum tetap. 45
Hakim Konstitusi Dr. Haryono, S.H, MCL , dalam sebuah bukunya
menulis, peradilan di MK sebagai “tingkat pertama dan terakhir” tersebut
dimaksudkan bahwa terhadap putusan MK tidak dapat dilakukan upaya hukum
45
Jimly Asshiddiqie, “pasal 50 uu mk dan pelaksanaan putusan mk”, dalam rofiqul umam
ahmad,dkk (editor), konstitusi dan ketatanegaraan indonesia kontemporer, pemikiran prof.dr. Jimly
asshiddiqie, s.h dan para pakar hukum ,(Jakarta.:The biography institute,2007), h. 91
78
sebagaimana ada dipengadilan tingkat pertama yang dapat dilakukan banding di
pengadiln tingkat banding, dan dapat dilanjutkan dengan upaya hukum berupa
kasasi, bahkan penunjauan kemballi di MA sehingga putusan itu bersifat final.
Putusan MK yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final
harus diterima sebgai res judicata facit ius ( Putusan pengadilan diterina sebagai
hukum dalam kenyataan ). 46
Dari beberapa penjelasan para pakar hukum diatas telah jelas bahwa
putusan MK tersebut harus segera dilaksanakan oleh DPR. Selain itu DPR dan
Presiden harus lebih menempatkan posisi DPD pada posisi yang semestinya. Jika
selama ini, DPD hanya dicap sebagai dewan pertimbangan DPR / Presiden dalm
proses legislasi, saat ini DPD mempunyai kedudukan dan kewenangan yang
setara dengan DPR dan Presiden dalam pembahasan dan pengambilan keputusan
dalam setiap RUU yang terkait dengan Otonomi Daerah. Selain itu, jika selama
ini setiap usul RUU yang berasal dari DPD diklaim sebagai usul RUU DPR,
untuk selanjutnya usul RUU yang berasal dari DPD tetaplah dinamakan sebagai
RUU DPD.
46
Haryono, “Transformasi demokrasi”, (Jakarta:Sekjen dan kepaniteraan MK, 2009), h. 140-
141
79
B. Dasar Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memberikan Putusan
MK Nomor 92/PUU-X/2013 Tentang Kewenangan DPD dalam Legislasi
RUU Otonomi Daerah
Dalam memutuskan putusan MK tersebut, MK memiliki beberapa
pertimbangan sebelum memutuskan putusan tersebut, beberapa pertimbangan
tersebut seperti yang tercantum dalam putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 ialah:
1. Mengenai Kewenangan DPD dalam mengajukan RUU.
MK berpandangan kewenangan konstitutional DPD mengenai
pengajuan RUU, ditegaskan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945 yang
menyatakan : “DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan
dengan RUU Otonomi Daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dn
pemekran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan Sumber daya
ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah”.47
Menurut MK, kata dapat dalam Pasal 22 D ayat (1)
UUD NRI 1945 tersebut merupakan pilihan subjektif DPD untuk mengajukan
atau tidak mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pust dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan pusat dan daerah sesuai dengan
pilihan dan kepentingan DPD.
47
UUD NRI 1945 Pasal 22D ayat 1
80
Kata dapat tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau
kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak kewenangan
konstitutional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 yang
menyatakan “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang
kepada DPR”. Dengan demikian DPD memiliki posisi dan kedudukan yang
sama dengan Presiden dan DPR dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan
dengan Otonomi Daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan Sumber daya
ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah. MK menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul
DPD, kemudian dibahas di badan legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR
adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU
yang telah ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD NRI 1945.48
2. Mengenai Kewenangan DPD Ikut Membahas RUU
Menurut Mahkamah Konstitusi kewenangan DPD untuk membahas RUU
telah diatur dengan tegas dalam Pasal 22 D ayat (2) UUD NRI 1945 yang
menyatakan : “DPD ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah ; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
48
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 244
81
pusat dan daerah. Serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas
Rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama. Berdasarkan ketentuan tersebut DPD sebagai lembaga negara
mempunyai hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR dengan
Presiden dalam hal yang disebutkan diatas. Penggunaan frasa “ikut
membahas” dalam Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 karena Pasal 20 ayat
(2) UUD NRI 1945 telah menentukan secara tegas bahwa setiap RUU
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Penggunaan frasa “ikut membahas” adalah wajar karena Pasal 20 ayat (2)
UUD 1945 disahkan pada Perubahan Pertama UUD 1945 tahun 1999,
sedangkan Pasal 22D UUD NRI 1945 disahkan pada Perubahan Ketiga
UUD 1945 pada tahun 2001.49
Hal itu berarti bahwa, “ikut membahas” harus dimaknai DPD ikut
membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, bersama DPR dan Presiden.
Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak
memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus
49
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 246
82
DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan
membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat
mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I.
Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II
dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.
Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan
sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari
Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan,
sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap
RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan,
sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal yang sama
juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan
kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden
memberikan pandangan. Konstruksi UUD NRI 1945 mengenai pembahasan
RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal terkait RUU
tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga DIM, diajukan oleh
masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi DPR seharusnya DIM
diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan oleh fraksi.50
Walaupun demikian, Mahkamah dapat memahami bahwa mekanisme
pembahasan RUU dengan membahas DIM yang diajukan oleh fraksi
50
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 247
83
adalah praktik pembahasan RUU sebelum perubahan UUD NRI 1945.
Selanjutnya pembahasan pada tingkat Alat Kelengkapan DPR yang sudah
mengundang Presiden dan/atau sudah mengundang DPD, maka DPR dalam
pembahasan DIM hanya diwakili oleh Alat Kelengkapan DPR sebagai satu
kesatuan kelembagaan;
3. Mengenai Kewenangan Ikut Menyetujui RUU
Terhadap dalil permohonan tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 22D
ayat (2) UUD NRI 1945 telah menentukan dengan jelas bahwa DPD hanya
berwenang ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dan tidak ikut serta
pada pemberian persetujuan akhir yang lazimnya dilakukan pada rapat
paripurna DPR pembahasan Tingkat II. Artinya, DPD dapat saja ikut
membahas dan memberi pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang
membahas RUU pada Tingkat II, tetapi tidak memiliki hak memberi
persetujuan terhadap RUU yang bersangkutan. 51
Persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang, terkait
dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menegaskan
bahwa hanya DPR dan Presidenlah yang memiliki hak memberi
51
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 248
84
persetujuan atas semua RUU. Kewenangan DPD yang demikian, sejalan
dengan kehendak awal (original intent) pada saat pembahasan
pembentukan DPD pada Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 yang
berlangsung sejak tahun 2000 sampai tahun 2001. Semula, terdapat usulan
bahwa kewenangan DPD termasuk memberi persetujuan terhadap RUU
untuk menjadi Undang-Undang, tetapi usulan tersebut ditolak.
Pemahaman yang demikian sejalan dengan penafsiran sistematis atas
Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 dikaitkan dengan Pasal 20 ayat (2)
UUD NRI 1945. Bahwa Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengandung dua
kewenangan, yaitu kewenangan untuk membahas dan kewenangan untuk
menyetujui bersama antara DPR dan Presiden, sedangkan Pasal 22D ayat
(2) UUD NRI 1945 hanya menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut
memberi persetujuan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut
Mahkamah, DPD tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU untuk
menjadi Undang-Undang;
4. Mengenai Keterlibatan DPD dalam Penyusunan Prolegnas
Menurut Mahkamah, keikutsertaan dan keterlibatan DPD dalam
penyusunan Prolegnas seharusnya merupakan konsekuensi dari norma Pasal
22D ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah
dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
85
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.”
Penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program
pembentukan Undang- Undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki
DPD.52
Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011, perencanaan
penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan
skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka
mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan demikian, RUU yang tidak
masuk dalam Prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas. Apabila
DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta menentukan Prolegnas, maka
sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya untuk
mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD NRI
1945, karena dapat saja RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga
tidak akan dibahas.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, norma
Undang-Undang yang tidak melibatkan DPD dalam penyusunan
Prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD yang ditentukan oleh UUD
NRI 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon beralasan menurut
hukum;
52
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 249
86
5. Mengenai Kewenangan DPD dalam memberikan pertimbangan terhadap RUU
Menurut Mahkamah, makna “memberikan pertimbangan” sebagaimana
yang dimaksud Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 adalah tidak sama dengan
bobot kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Artinya, DPD
memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam pembahasan dan
merupakan kewenangan DPR dan Presiden untuk menyetujui atau tidak
menyetujui pertimbangan DPD sebagian atau seluruhnya. Hal terpenting
adalah adanya kewajiban dari DPR dan Presiden untuk meminta
pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama53
Analisa Penulis
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka menurut penulis
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi , seluruh ketentuan UU 27/2009 dan
UU 12/2011 yang telah mereduksi atau mengurangi kewenangan Pemohon
yang ditentukan oleh UUD NRI 1945 atau telah mengurangi fungsi, tugas,
dan kewenangan DPD sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi dan
sebagaimana dimaksudkan pada saat DPD dibentuk dan diadakan dalam
konstitusi haruslah dinyatakan inkonstitusional dan diposisikan sebagaimana
mestinya sesuai dengan UUD 1945.
53
Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2013 , h. 250
87
Lagi pula, sebuah lembaga negara yang cukup besar seperti DPD
dengan anggaran biaya negara yang cukup besar adalah sangat tidak
seimbang dengan kewenangan yang diberikan menurut kedua Undang-
Undang a quo. Dengan anggota yang dipilih secara langsung oleh rakyat di
masing-masing provinsi, tetapi tanpa kewenangan yang memadai sebagaimana
diatur dalam kedua Undang-Undang a quo dapat mengecewakan para pemilih
di masing-masing daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, seluruh
ketentuan yang mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD dalam kedua
Undang-Undang a quo, baik yang dimohonkan atau yang tidak dimohonkan
oleh Pemohon, tetapi berkaitan dengan kewenangan DPD harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau dinyatakan bertentangan secara
bersyarat dengan UUD NRI 1945 apabila tidak sesuai dengan pemahaman
atau penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap penjelasan
umum dan penjelasan pasal demi pasal kedua Undang-Undang a quo yang
terkait dengan kewenangan konstitusional DPD, harus pula dianggap
menyesuaikan dengan pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh
Mahkamah. Keluarnya putusan MK tersebut dapat dijadikan pijakan awal bagi
DPD demi memperkuat eksistensinya dalam struktur ketatanegaraan. Selain itu
penguatan prinsip check and balances dengan DPR maupun Presiden dalam
proses legislasi, menjadi salah satu isu penting dari putusan MK tersebut.
Selain itu, hal ini menjadi cambuk bagi DPR guna lebih kembali
memberdayakan peranan DPD dalam proses legislasi. Selama ini DPR kerap
mengenyampingkan peran DPD dalam berbagai proses legislasi. Hal itu terbukti,
88
dari beberapa temuan penulis yang telah sedikit penulis jabarkan di bab
sebelumnya. Tak banyak yang menilai bahwa selama ini DPD telah menjalankan
fungsi dan kinerjanya sebagaimana mestinya. Apabila DPD masih terus
terbelenggu oleh kesewenang-wenangan DPR yang kerap kali memainkan UUD
NRI 1945 sebagai acuannya, maka sudah sepatutnya perlu ada upaya lebih keras
lagi bagi DPD guna mendorong amandemen UUD NRI 1945 kelima. DPD tidak
lekas terbuai oleh putusan MK ini. DPD harus terus melakukan penetrasi yang
selama ini telah dilakukan. Penetrasi ini bukan sekedar untuk memprovokasi,
melainkan hanya sekedaar upaya sosialisasi peran kelembagaan DPD, serta dalam
rangka memaksimalkan fungsi DPD.
Bukan hanya DPD yang harus berupaya, MK juga harus terus mengawal
dan bekerja sama dengan DPD guna mengontrol dan mengawasi apakah putusan
ini dilakasanakan atau tidak. Karena apabila DPR masih terus mengacuhkan
bahkan mengabaikan putusan MK ini, maka hal ini merupakan preseden buruk
bagi penegakan hukum. Oleh karenanya, MK harus terus berkordinasi dengan
DPD dalam mengawal putusan ini.
C. Analisis dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-
X/2013 tentang kewenangan DPD dalam legislasi RUU Otonomi Daerah
Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Pasal 24C ayat
(1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa putusan MK bersifat final. Artinya, tidak
ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana
putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan
89
Kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan MK memiliki kekuatan hukum
tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk
dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan
ketentuan yang diputus oleh MK harus patuh dan tunduk terhadap putusan MK.
Dalam perkara pengujian UU misalnya, yang diuji adalah norma UU yang
bersifat abstrak dan mengikat umum.
Meskipun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional
pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah
mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi.
Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau
termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan.
Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang
latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu
dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan
pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh
keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Oleh karena
itu, yang terikat dan harus melaksanakan Putusan MK tidak hanya dan tidak harus
selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang
diputus oleh MK.
Kemudian lebih lanjut lagi diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
90
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, ditentukan bahwa Putusan MK memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka
untuk umum. Dengan demikian putusann MK harus langsung dilaksanakan sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Penjelasan Pasal 60 Undang – Undang Nomor 7 tahun 1989 memberi
definisi tentang putusan sebagai berikut: "Putusan adalah keputusan pengadilan
atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa." Sedangkan Drs. H.A.
Mukti Arto, SH. Memberi definisi terhadap putusan yaitu:
putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam siding terbuka untuk umum,
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan.
Suatu putusan hakim mengandung perintah kepada suatu pihak
supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu
perbuatan54
.
Sebagaimana putusan peradilan pada umumnya putusan peradilan konstitusi
di MK juga mempunyai akibat hukum. Untuk putusan pengujian undang-undang
bentuk putusannya adalah declarator constitutief. Artinya putusan MK dapat
menciptakan suatu keadaan hukum baru atau meniadakan suatu kedaan hukum.
54
Gemala Dewi, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama DiIndonesia”, (Jakarta: Prenada
media,2005).
91
Posisi yang demikian menempatkan MK sebagai negative legislator. Putusan MK
mempunyai tiga kekuatan yakni kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan
kekuatan eksekutorial.
1. Kekuatan Mengikat
Sebuah putusan pengadilan bertujuan untuk menyelesaikan suatu persoalan
atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Para pihak yang telah
menyerahkan perkaranya pada pengadilan berarti menyerahkan dan
mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau
diadili. Konsekuensi yang timbul adalah pihak-pihak yang bersangkutan akan
tunduk dan patuh pada putusan hakim. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah
dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak
bertentangan dengan putusan.
MK mendapatkan dukungan publik dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya terutama memutus pengjian undang-undang. Meskipun demikian
tak jarang MK mengeluarkan putusan yang dianggap aneh dan revolusioner
dalam dunia peradilan. Ada yang mendukung dan sepakat dengan putusan MK.
Adapula yang menentang putusan MK dengan dalih tidak mempunyai kekuatan
hukum. Beberapa kalangan mempertanyakan mengenai kekuatan hukum yang
dimiliki oleh subuah putusan MK.
Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui konstitusi
MK juga mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga terletak pada
putusan MK yang bersifat final dan mengikat. MK berwenang mengadili perkara
92
konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat
putusan yang bersifat final tersebut berarti putusan MK mau tidak mau harus
dilaksanakan. Tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas putusan
MK. Yang demikian dikarenakan MK adalah pengadilan terakhir bagi masyarakat
untuk mengadukan hak konstitusionalnya.
Sifat final tersebut berarti bahwa putusan MK langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam persidangan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh. Sifat mengikat putusan MK berbeda dengan putusan
peradilan pada umumnya. Jika di peradilan umum putusan hanya mengikat bagi
para pihak berperkara (interpartes) maka putusan MK juga mengikat bagi semua
orang dan badan hukum yang ada di Indonesia. Sehingga putusan MK dikatakan
sebagai negative legislator yang bersifat erga omnes. Mengenai kekuatan
mengikat putusan MK kita dapat menengok kembali pada Pasal 10 UU MK
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir serta putusannya bersifat final.
Kekuatan hukum yang mengikat memiliki arti positif maupun negatif.
Sebuah putusan bersifat mengikat dalam arti positif yakni bahwa apa yang telah
diputuskan hakim harus dianggap benar dan tidak dimungkinkan pembuktian
lawan. Mengikat dalam arti negatif, artinya bahwa hakim tidak boleh memutus
lagi perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta
mengenai pokok perkara yang sama.
93
2. Kekuatan Pembuktian
Dalam proses pengadilan akan membutuhkan alat bukti sebagai sarana
penemuan fakta dan kebenaran. Sebuah putusan pengadilan, khususnya putusan
MK memiliki kekuatan pembuktian. Dalam Pasal 60 UU MK menyatakan setiap
muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak
dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian putusan MK tersebut
merupakan sebagai lat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh
kekuatan hukum yang pasti.
Kekuatan hukum pasti yang terdapat dalam putusan MK ada dua sisi yakni
positif dan negatif. Sisi positif adalah bahwa apa yang diputus oleh hakim
dianggap telah benar sehingga tidak diperlukan pembuktian. Sedangkan sifat
negatifnya adalah hakim tidak diperbolehkan memutus perkara yang pernah
diajukan sebelumnya. Putusan pengadilan yang isinya menghukum dan telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti, dapat digunakan sebagai bukti dalam
perkara mengenai peristiwa yang telah terjadi.
3. Kekuatan Eksekutorial
Putusan MK dimaksudkan sebagai perbuatan hukum pejabat negara untuk
mengakhiri sengketa yang akan menidakan atau menciptakan hukum. Sehingga
diharapkan putusan MK tak hanya untaian kata yang tertulis di atas kertas.
Kekuatan eksekutorial putusan MK adalah ketika putusan itu diumumkan.
MK adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan konstitusi. Konstitusi
sebagai dasar dan pedoman paraktik ketatanegaraan harus ditaati sebagai dasar
94
hukum bernegara. Kewenangan MK untuk menguji apakah suatu undang-undang
telah memenuhi syarat konstitusional diadakan melalui konstitusi. Sehingga MK
dalam setiap putusannya mengandung nilai hukum yang mesti ditaati dan
langsung dapat dieksekusi.
Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku,
sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Setiap putusan MK yang membatalkan dalam pengujian undang-undang
ditempatkan pada berita negara.
Implikasinya terhadap uji materi yang diajukan oleh DPD ini maka
terhitung sejak 27 Maret 2013 pukul 15.20 WIB proses pembentukan undang-
undang sudah harus dilaksanakan sesuai dengan putusan MK yaitu :
a. DPD RI terlibat dalam pembahasan Program Legislasi Nasional
b. DPD RI berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22D ayat
(1) UUD NRI 1945 sebagaimana halnya atau bersama-sama dengan DPR
dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c. DPD RI berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22D
ayat (2) UUD NRI 1945
d. Pembukaan RUU dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945
bersifat tiga pihak (tripartit) yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden
95
e. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang
MD3 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang P3 yang tidak sesuai dengan
tafsir MK atas kewenangan DPD RI dengan sendirinya bertentangan
dengan UUD NRI 1945, baik yang diminta ataupun tidak55
Apabila putusan MK tidak dijalankan maka proses pembentukan undang-
undang cacat hukum yang akhirnya produk undang-undang yang dihasilkan
menjadi tidak sah atau batal demi hukum. Selain itu, dalam hal upaya
amandemen UUD 1945 NRI dalam konteks penguatan DPD terletak pada
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 NRI yang berbunyi : “Setiap rancangan undang-
undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama”.
Disinilah letak urgensinya, bahwa dengan adanya amandemen UUD NRI
1945 , nantinya DPD akan diberikan atau mempunyai andil dalam menentukan
undang-undang yang berlaku. Tak hanya sebatas mengajukan sampai
pembahasan, akan tetapi apabila ingin mensejajarkan fungsi legislasi DPD dengan
DPR maupun Presiden maka tak ada jalan lain selain amandemen UUD NRI
1945. Karena pada dasarnya, apabila DPD hanya mempunyai fungsi pengajuan
serta pembahasan, maka dikhawatirkan ada beberapa RUU yang diajukan oleh
DPD dan hal tersebut tidak dikehendaki oleh DPR atau Presiden maka RUU
tersebut tidak disahkan bahkan hanya sampai tingkat pembahasan. Dan dalam
55
Sekjen DPD RI, “Fungsi Legislasi DPD Pasca Putusan MK”, (Jakarta:Sekjen DPD RI,
2013). h.6
96
rangka memaksimalkan prinsip check and balances dalam proses legislasi maka
sekiranya perlu adanya amandemen UUD 1945 NRI.
Namun satu tahun pasca putusan MK tersebut pada nyatanya belum seutuhnya
berjalan atau terkesan masih dipandang sebelah mata. Hal ini dibuktikan dengan
beberapa pernyataan yang penulis kutip dimedia cetak beberapa waktu silam oleh
salah I Wayan Sudirta S.H yang merupakan salah satu anggota DPD. Ia
menegaskan bahwa sampai sejauh ini DPR belum secara sungguh-sungguh
menerima kehadiran DPD. Dalam kutipannya beliau menyatakan : “Karena DPD
dihadirkan sebagai institusi resmi, putusan melalui amandemen, anggarannya
melalui APBN, tentu DPD juga harus diberikan ruang secukupnya, ngak usah
berlebihan dan tidak usah sama dengan DPR. Sudah ada Putusan MK masih
tidak diajak,”56
I Wayan menambahkan, seharusnya, aturan tentang DPD sudah direvisi
karena itu kewajiban dan isinya tinggal diadopsi dari putusan MK yang sudah
mengatur tentang itu. Sejak keputusan MK ditetapkan sudah memakan waktu satu
tahun lebih dan sepertinya DPR tidak berniat mengakomodir keputusan itu.
Selain itu pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan bahwa Model
legislasi tripartit yang dijalankan pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) akan memudahkan proses pembuatan undang-undang (law making
process). Dengan adanya putusan MK tanggal 27 maret 2013, presiden, DPR, dan
DPD seharusnya memiliki posisi yang sama.
56
http://atjehlink.com/untuk-mempercepat-proses-legislasi-dpr-harus-menerima-kehadiran-dpd/
(diakses pada tanggal 03 September 2014)
97
“Presiden seharusnya punya satu suara yang diwakili menteri-
menterinya, DPR punya satu suara diwakili pokja atau panjanya, dan DPD
punya satu suara diwakili pokja atau panjanya,” ucap Pengamat Hukum
Tatanegara Refly Harun kepada INDOPOS, Jakarta, Jumat (4/7).57
Dengan proses semacam ini, sambungnya, ke depan pembahasan undang-
undang bisa hanya dilakukan oleh DPR dan DPD saja. “Ke depan malah presiden
tidak perlu lagi ikut dalam pembahasan undang-undang. Karena suara presiden
itu sudah dititipkan dalam agenda di DPR.” kata Refly.
Beberapa pendapat tersebut meneguhkan bahwa Pasca putusan MK
92/PUU/-X/2013 terlihat bahwa upaya DPR belum terlihat serius dalam
melibatkan DPD dalam proses legislasi nasional. Bahkan DPR telah membuat
Revisi UU MD3 yang menurut DPD masih terkesan mengikis fungsi legislasi
DPD. Hal tersebut dikemukakan Ketua DPD saat ini Irman Gusman yang akan
mencoba kembali menguji konstitutionalitas UU tersebut ke MK. 58
DPD merasa ditinggalkan oleh DPR saat pembahasan pasal-pasal krusial
yang mengatur kedudukan dan kewenangannya. Irman pun merujuk pada putusan
MK Maret tahun lalu yang memberikan tambahan kewenangan kepada DPD.
DPD berhak mengusulkan dan membahas RUU tertentu meski tidak memberikan
pengesahan akhir.
57
http://www.indopos.co.id/2014/07/model-legislasi-tripartit-mudahkan-pembuatan-uu.html (diakses
pada tanggal 04 September 2014)
58 Koran Jawa Pos , Jakarta, 15 Juli 2014
98
Jika dicermati, setidaknya ada tiga hal mendasar yang membuat UU MD3
perlu direvisi. Pertama, sesuai dengan penjelasan umum, revisi UU MD3
bertujuan mewujudkan lembaga permusyawaratan/perwakilan yang demokratis,
efektif, dan akuntabel. Namun, semangat mulia itu terpatahkan dengan dominasi
peran DPR dalam penyusunannya.
DPR menempatkan DPD pada posisi subordinat. Dengan begitu, prinsip
checks and balances yang dikehendaki dalam sistem bikameral tidak terjadi.
Sepanjang tidak ada kemauan politik (political will) dari DPR yang
notabeneberisi orang-orang partai untuk berbagi kewenangan, posisi lembaga
senator daerah tersebut akan serbatanggung.
Kedua, seperti disebut sebelumnya, UU MD3 memfasilitasi diskriminasi
yang dilegalkan bagi anggota DPR saat berhadapan dengan kasus hukum terkait
dengan diperlukannya izin dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD). Ketua DPR
Marzuki Alie mengatakan, ketentuan tersebut bertujuan mengangkat lagi wibawa
lembaga perwakilan. Selama ini, menurut dia, aparat hukum seenaknya saja
memanggil anggota DPR dan menggeledah ruang kerja mereka.
Seperti tak sambung antara pertanyaan dan jawaban, bukannya menaikkan
wibawa (self-preservation), proteksi ekstra itu justru akan makin merusak
kewibawaan lembaga perwakilan (self-destruction). Seperti ular memakan
ekornya sendiri. Kesan kebal hukum, mengulur waktu, dan memperpanjang rantai
birokrasi justru lebih kental dalam mekanisme izin MKD tersebut. Mestinya
kewibawaan DPR bisa ditingkatkan dengan memperbaiki kinerja anggota dan
melaporkannya secara transparan kepada publik. Gampangnya, jujurlah.
99
Terakhir, UU MD3 itu terlihat sangat bias politik pusat dan tidak pro
kepentingan daerah. DPR yang berisi politisi tingkat nasional seolah berupaya
memuaskan diri sendiri dengan revisi pasal-pasal yang berpotensi
menguntungkan kelompok mereka. Salah satunya, menghapus dua kursi jatah
DPD untuk menduduki pimpinan MPR. Kepentingan daerah yang dititipkan lewat
empat anggota DPD per provinsi akan tetap kalah dengan kepentingan parpol-
parpol di Senayan.59
Dari pandangan dan pendapat para ahli tersebut menjelaskan bahwa
putusan MK tersebut belum memberikan luang gerak yang mumpuni terhadap
DPD, bahkan DPR masih terkesan mencampakkan DPD. Revisi UU MD3 yang
telah dilaksanakan oleh DPR terkesan bukan sebagai melaksanakan amanah dari
putusan MK, akan tetapi terlihat lebih condong kepada kepentingan politik semata
para anggota DPR dan menguatkan peranan DPR di tataran parlemen.
Oleh karenanya penulis berpendapat bahwa demi menguatkan dan
mengokohkan eksistensi DPD dalam bidang legislasi, bukan hanya bersandar
pada putusan MK, dan revisi UU MD3 dan P3 akan tetapi amandemen UUD NRI
1945 ke 5 menjadi salah satu agenda penting guna menguatkan kewenangan
legislasi DPD dalam proses legislasi nasional.
Walaupun DPD saat ini mencoba kembali mengajukan judicial review ke
MK terkait revisi UU MD3, akan tetapi hal tersebut dikhawatirkan sama seperti
59
http://www.jawapos.com/baca/artikel/4980/Saat-DPR-Memakan-Ekor-Sendiri (diakses pada
tanggal 04 September 2014)
100
judicial review sebelumnya yang terkesan tidak diseriusi oleh DPR. Akan tetapi
dengan adanya upaya DPD tersebut, kita patut mengapresiasi kejelian dan
keseriusan DPD sebagai lembaga resprentatif daerah demi menjembatani
kepentingan daerah dan penguatan kewenangan legislasinya. Oleh karenanya
DPD harus mendapatkan banyak dukungan dari berbagai elemen masyarakat
mengenai urgensi kewenangan legislasinya di tataran parlemen. Apabila pasca
judicial review dan hasilnya tetap sama saja, maka tak ada upaya lain selain
menseriusi mendorong amandemen UUD NRI 1945 ke-5. Walaupun muncul
issue bahwa DPD akan mengajukan gugatan sengketa antar kelembagaan negara
ke MK, akan tetapi menurut penulis uapaya amandemen UUD NRI 1945 jauh
lebih berarti bagi memperkokoh kewenangan legislasi DPD.
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah Penulis mengkaji dan memaparkan pembahasan skripsi ini, maka dari
hasil analisis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Konsep peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif
dari daerah sampai saat ini belum menunjukkan apa yang menjadi harapan
bagi para kepentingan daerah. DPD yang merupakan harapan terbesar dari
daerah dalam menjembatani aspirasi serta kepentingan daerah masih dianggap
kurang bertaji dan seolah hanya lembaga pelengkap dan sering kali terlihat
seolah-olah terhegemoni oleh DPR maupun Presiden. Sehingga tak ayal,
banyak yang menyebutkan bahwa DPD makan gaji buta karena banyak yang
menilai fungsi DPD seolah-olah tidak ada. Walaupun pada hakekatnya DPD
dapat dikatakan sebagai lembaga legislatif selain DPR dan anggota MPR
merupakan bagian dari anggota DPD akan tetapi sampai sejauh ini peran DPD
kurang begitu signifikan dalam proses legislasi di tataran pusat. DPD secara
kelembagaan masih jauh dari harapan masyarakat daerah dalam menjembatani
kepentingan daerah.
2. Penguatan kedudukan hukum kelembagaan DPD berdasarkan konstitusi
menjadi salah satu isu yang sedang dikumandangkan di tataran internal DPD.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, mengingat tumpulnya peranan DPD dalam
102
mengawal proses legislasi sehingga wacana penguatan kelembagaan DPD
tersebut menjadi isu yang terus dilemparkan oleh anggota DPD ke pemerintah
guna memaksimalkan fungsi DPD sendiri. Tak ayal , dari beberapa data yang
saya sertakan dalam skripsi saya terlihat jelas bahwa upaya anggota DPD
dalam hal penguatan kelembagaan DPD sendiri sangatlah serius dan terukur.
Hal tersebut didorong dengan upaya dari DPD sendiri dalam mengambil
simpati publik serta beberapa dukungan baik dari masyarakat maupun
organisasi-organisasi masyarakat. Karena dasar hukum yang ada saat ini
dinilai belum mampu mengakomodir peran dan fungsi DPD secara efektif.
Sehingga para anggota DPD menilai bahwa penguatan kelembagaan DPD
dirasa sangatlah diperlukan guna meruntuhkan hegemoni DPR maupun
Presiden dalam proses legislasi Nasional. UU No. 32 Tahun 2004, UU MD3,
UU P3 yang merupakan dasar hukum dari lembaga tersebut masih dianggap
kurang memberikan kewenangan yang semestinya. Sehingga DPD
menganggap bahwa perlu ada upaya penguatan kembali, khususnya dalam
instrumen hukum. Bahkan desas-desus amandemen kelima UUD NRI 1945,
merupakan salah satu usulan yang diajukan oleh DPD demi lebih memperkuat
lembaga tersebut. Walaupun, pada akhirnya ditolak, akan tetapi anggota-
anggota DPD tidak putus asa demi mewujudkan penguatan lembaga DPD, dan
hal tersebut terus diupayakan hingga saat ini.
3. Kewenangan DPD dalam legislasi RUU otonomi daerah Pasca putusan MK
yang mengabulkan permohonan dari DPD, telah sedikit membuka jalan bagi
103
DPD sendiri untuk terus memperbaiki dan memaksimalkan fungsi legislasi
DPD. Walaupun hanya 5 kewenangan yang dikabulkan oleh MK, akan tetapi
hal tersebut merupakan modal awal yang sangat berharga bagi DPD untuk
terus melakukan upaya penguatan kelembagaan DPD. Akan tetapi, setelah
dikabulkannya putusan tersebut tidak menjadikan DPD terbuai, hal tersebut
dianggap lebih memotivasi DPD untuk menjadi lembaga perwakilan daerah
yang diharapkan. DPD semakin bersemangat dalam mengawal kepentingan
daerah, khususnya dalam proses legislasi nasional. Dalam proses legislasi saat
ini DPD turut terlibat hingga proses Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang
menurut sebagian anggota DPD, hal tersebutlah yang paling fundamental
dalam proses legislasi nasional. Walaupun DPD saat ini belum diberikan
kewenangan dalam proses pengesahan UU, akan tetapi hal tersebut tidak
melunturkan semangat DPD untuk terus berupaya dan menjadikan DPD
lembaga perwakilan daerah yang diharapkan masyarakat daerah untuk terus
mengawal aspirasi daerah sampai tingkatan akhir.
Pasca putusan MK tersebut, yang mengabulkan beberapa permohonan
mengenai kewenangan DPD dalam proses legislasi, sedikit mengubah dan
memperbaharui sistem ketatanegaraan. Yang dimaksud penulis disini, yang
awalnya negara menganut sistem bikameral, pasca putusan MK tersebut
menurut penulis, saat ini sistem yang terbangun ialah bukan sistem bikameral
lagi, akan tetapi sistem “Tripartit”. Dimana bukan hanya dua kamar , akan
tetapi saat ini sudah tercipta tiga kamar, dimana melibatkan : DPR, DPD, dan
104
Presiden khususnya dalam program legislasi Nasional. Artinya, upaya yang
dilakukan DPD saat ini bukan hanya demi menguatkan peranan DPD saja,
akan tetapi secara tidak langsung telah sedikit merubah dan memperbaharui
sistem ketatanegaraan yang ada di negara ini.
B. Saran-saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini ialah :
1. Pemerintah khususnya DPR dan Presiden hendaklah lebih memaksimalkan
peran DPD dalam setiap proses legislasi yang ada. Walaupun DPD saat ini
sudah terus berupaya memaksimalkan peranannya, akan tetapi terkadang DPR
dan Presiden seringkali mengacuhkan bahkan terkesan mengesampingkan
lembaga DPD. Padahal kalau kita melihat secara kelembagaan, dibanding
DPR dan Presiden, hanya DPD yang merupakan lembaga independen ( tanpa
perwakilan partai politik ) yang ada di parlemen. Sehingga dapat dikatakan,
apa yang diusulkan, maupun direkomendasikan oleh DPD merupakan murni
dari aspirasi daerah dan tanpa kepentingan parpol yang selama ini terlihat di
DPR maupun oleh Presiden.
2. Selain DPR maupun Presiden, hendaklah DPD terus mensosialisasikan
mengenai peran dan fungsi lembaga DPD tersebut kepada seluruh elemen
masyarakat. Hal tersebut sangatlah diperlukan agar masyarakat awam
mengetahui keberadaan dan peranan DPD sendiri ditingkatan pusat,
khususnya di seluruh daerah di Indonesia.
105
Karena saat ini, hanya DPR dan Presiden seolah-olah yang terlihat
kinerja dan fungsinya, akan tetapi sebagian masyarakat kurang mengetahui
keberadaan lembaga DPD sendiri, sehingga memunculkan berbagai polemik
tentang efektifitas fungsi DPD sebagai lembaga perwakilan daerah ditingkatan
pusat. Bahkan keberadaan DPD seolah-olah tergeser oleh popularitas dari
lembaga DPRD yang ada didaerah-daerah. Jadi masyarakat lebih mengetahui
tentang DPRD dan anggotanya dibandingkan mengetahui DPD serta
anggotanya. Memang, dibeberapa kesempatan pimpinan DPD terlihat muncul
di beberapa media massa, akan tetapi perlu ditingkatkan kembali upaya DPD
dalam mensosialisasikan fungsi, peranan, serta kedudukan DPD dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia. Dan guna membantu dukungan kepada
seluruh elemen masyarkat mengenai pentingnya DPD sebagai lembaga
perwakilan daerah.
3. Dan DPD seharusnya lebih meningkatkan dan menngontrol seluruh elemen
perangkat daerah, seperti gubernur dan walikota. Dampak dari Otonomi
Daerah berperan sangat positif dalam upaya memajukan setiap daerah, akan
tetapi hal tersebut pun seolah ternodai berkat beberapa aksi KKN yang dewasa
ini marak dilakukan di berbagai daerah.
Memang, DPD tidak mempunyai peran controling kepada perangkat-
perangkat tersebut, akan tetapi setidaknya DPD lebih cermat melihat dinamika
KKN tersebut di beberapa daerah yang juga merupakan tempat para anggota-
anggota DPD berasal. Kalau DPD bisa melakukan upaya good governance
106
kepada seluruh perangkat daerah, bukan tidak mungkin DPD semakin
diperhitungkan keberadaannya di parlemen. Dan hal tersebut pun akan
berdampak baik bagi lembaga DPD khususnya respon masyarakat sendiri.
DPD dalam hal ini bisa bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang sifatnya
mengawasi seperti KPK, BPK, PPATK, OMBUDSMAN, serta lain-lain guna
mengikis tingkat KKN didaerah-daerah yang semakin hari semakin
membabibuta serta seolah-olah memanfaatkan sistem Otonomi Daerah guna
melakukan tindakan tersebut.