bab i pendahuluan 1.1. latar belakang - sinta.unud.ac.id i skripsi...perwakilan rakyat daerah...

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga negara memiliki kesamaan hak dan kedudukan didalam pemerintahan. maka dari itu setiap warga negara memiliki kekuasaan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Menurut Mahfud M.D., demokrasi sebagai suatu sistem politik sangat erat kaitannya dengan hukum. Demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan baik, bahkan mungkin menimbulkan anarki, sebaliknya hukum tanpa sistem politik yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elitis dan represif. 1 Seiring berjalannya waktu demokrasi dalam arti rakyat terlibat secara langsung dalam pemerintahan sudah tidak mungkin dilaksanakan lagi, karena demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat secara sepenuhnya hanya mungkin terjadi pada negara yang wilayah dan jumlah warga negaranya sangat kecil. Dari hal tersebut lahirlah sistem demokrasi perwakilan yang bertujuan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menjadi bahan pembuat keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka. Didalam sistem demokrasi perwakilan, kekuasan tertinggi tetap ditangan rakyat, tetapi dijalankan oleh wakil-wakil yang di pilih oleh rakyat sendiri 2 . Hans Kelsen menyatakan bahwa dalam demokrasi perwakilan fungsi pemerintahan dialihkan dari warga negara kepada orang-orang yang akan duduk di organ-organ negara. Untuk mengisi organ-organ negara dilakukan nominasi yang demokratis, yaitu Pemilihan 1 Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, 1999, Gama Media, Yogyakarta, h. 1 2 ibid, h. 5

Upload: dodung

Post on 04-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai

upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara

tersebut. Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga negara

memiliki kesamaan hak dan kedudukan didalam pemerintahan. maka dari itu setiap warga negara

memiliki kekuasaan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Menurut Mahfud M.D.,

demokrasi sebagai suatu sistem politik sangat erat kaitannya dengan hukum. Demokrasi tanpa

hukum tidak akan terbangun dengan baik, bahkan mungkin menimbulkan anarki, sebaliknya

hukum tanpa sistem politik yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elitis dan represif.1

Seiring berjalannya waktu demokrasi dalam arti rakyat terlibat secara langsung dalam

pemerintahan sudah tidak mungkin dilaksanakan lagi, karena demokrasi sebagai pemerintahan

oleh rakyat secara sepenuhnya hanya mungkin terjadi pada negara yang wilayah dan jumlah

warga negaranya sangat kecil. Dari hal tersebut lahirlah sistem demokrasi perwakilan yang

bertujuan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menjadi bahan pembuat

keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka. Didalam sistem demokrasi perwakilan,

kekuasan tertinggi tetap ditangan rakyat, tetapi dijalankan oleh wakil-wakil yang di pilih oleh

rakyat sendiri2. Hans Kelsen menyatakan bahwa dalam demokrasi perwakilan fungsi

pemerintahan dialihkan dari warga negara kepada orang-orang yang akan duduk di organ-organ

negara. Untuk mengisi organ-organ negara dilakukan nominasi yang demokratis, yaitu Pemilihan

1 Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, 1999, Gama Media, Yogyakarta, h. 1

2 ibid, h. 5

Umum (Pemilu). Dengan demikian Pemilu merupakan salah satu ciri utama dari negara

demokrasi modern dan cara yang demokratis untuk membentuk dan mentransfer kekuasaan dari

rakyat kepada otoritas negara. Pemilu dijadikan indikator kualitas demokrasi dari sebuah bangsa,

apabila Pemilu mampu dilaksanakan secara transparan, akuntabel dan partisipatif, maka hal

tersebut menunjukan proses demokratisasi berlangsung secara positif.3 Hasil Pemilu yang

dilaksanakan dalam suasana keterbukaan dan kebebasan dianggap akurat mencerminkan

partisipasi dan aspirasi masyarakat.4

Secara umum, pelaksanaan Pemilu bertujuan untuk memilih wakil rakyat dan

terselenggaranya pemerintahan yang benar dan sesuai dengan pilihan rakyat, maka dari itu

pemilu yang demokratis merupakan pemilu yang dilakukan secara berkala, dan diselenggarakan

berdasarkan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur, dan adil. Indonesia yang

menganut prinsip negara hukum yang demokratis5 yang mengatur ketentuan mengenai Pemilu

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yaitu

dituangkan dalam ketentuan Pasal 22E disana diatur secara khusus ketentuan mengenai

pelaksanaan pemilu secara berkala, yaitu setiap 5 (lima) tahun sekali untuk memilih anggota

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD), serta Presiden dan Wakil Presiden.

Agar pelaksanaan Pemilu mencapai hasil yang benar-benar demokratis, UUD NRI 1945

menetukan asas Pemilu, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kemudian dalam

ketentuan Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing

sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Kemudian dalam

3 Irvan Marwadi, 2014, Dinamika Sengketa Hukum Administrasi di Pemilukada, Rangkang Education,

Yogyakarta, h. 79

4 Miriam Budiarjo, 1999, Demokrasi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 243

5 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi, 2011, Sinar Grafika, Jakarta, h. 132

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

menterjemahkan kata “dipilih secara demokratis” sebagai Pemilihan Langsung. Namun

sesungguhnya dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang

menjadi dasar pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilakukan melalui pemilihan langsung oleh

rakyat. Ketentuan tegas tentang pemilihan secara langsung oleh rakyat terdapat dalam Penjelasan

Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 angka 4, dengan pertimbangan antara lain karena

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan kewenangan

untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah6.

Sehingga sejak tahun 2004, rakyat Indonesia memilih langsung kepala daerah dan wakil

kepala daerah (Pilkada). Walaupun Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, namun

pilkada tidak diletakan dalam bagian dari Pemilu, melainkan diletakkan dalam bagian

Pemerintahan Daerah. Hal ini dilihat dari beberapa aspek, yaitu dilihat dari istilah yang

digunakan bukan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, melainkan

Pemilihan Kepala Daerah, penyelenggara pemilihan Pilkada dilaksanakan oleh Komisi

Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan penyelesaian perselisihan hasil Pilkada adalah

wewenang Mahkamah Agung (MA). Beberapa aspek tersebut menjadi dasar permohonan

pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kemudian MK menerbitkan Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang

Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

6 Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia, Konpress, Jakarta, h. 177

Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusan

ini MK menyatakan secara formal pembentuk Undang-Undang menentukan rezim Pilkada

secara langsung memang bukan merupakan rezim Pemilu. Sekalipun demikian, secara substantif

Pilkada adalah Pemilu, sehingga penyelenggaraannya harus memenuhi asas-asas konstitusional

Pemilu. Dengan dikeluarkannya putusan ini, pemerintah yang berwenang membentuk Undang-

Undang kemudian membentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan

Pemilu dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu secara tegas

menyatakan bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk

memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Kemudian dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu ditegaskan bahwa Penyelenggara Pemilihan

Umum adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Presiden

dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan demikian sejak

tanggal 29 Oktober 2008 penyelesaian sengketa penetapan hasil Pemilukada menjadi wewenang

Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya merupakan wewenang Mahkamah Agung (MA).

Kewenangan MK dalam penyelesaian sengketa Pemilukada diatur dalam ketentuan Pasal

24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Perkara atau sengketa pemilu mencakup 3 ranah, yaitu: sengketa hasil pemilu, perkara pidana

pemilu, dan sengketa administrasi pemilu. Apabila merujuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah , untuk sengketa hasil pemilu diselesaikan di

MK, sedangkan penyelesaian perkara pidana pemilu diselesaikan melalui Pengadilan Negeri

(PN), sementara penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu (Pasal 254 (3) UU No. 8 Tahun

2012) dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota

berdasarkan laporan Bawaslu dan Panwaslu, dimana apabila tidak puas dalam hal tertentu dapat

menggugat ke PTUN.

Dengan dijadikannya MK sebagai lembaga yang berwenang dalam penyelesaian sengketa

Pemilukada, maka segala perkara terkait dengan sengketa penetapan hasil pemilukada langsung

masuk ke MK dan tentu saja hal ini mempengaruhi kinerja dari MK karena sebelumnya MK

hanya menangani masalah terkait pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-

Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum. Terhitung sejak tahun 2008 hingga 2013 MK telah menangani 685 perkara

terkait dengan sengketa Pemilukada. Jika dilihat dari jumlah perkara yang ada, MK cenderung

menjadi Mahkamah Sengketa Pemilu (Election Court) karena jumlah perkara sengketa pemilu

yang ditangani lebih banyak dibanding dengan pengujian Undang-Undang (Judicial Review)

yang merupakan kewenangan utama sebuah Mahkamah Konstitusi. Komite Pemilih Indonesia

mencatat, 85 persen lebih Pemilukada berujung sengketa di MK. Berdasarkan pada fakta

tersebut, kemudian muncul asumsi bahwa konsistensi majelis hakim MK mulai hilang, karena di

MK seorang hakim bisa menggelar empat hingga lima sidang perhari, dan bahkan pada bulan

Agustus 2010, MK bersidang sebanyak 221 kali, yang berarti dalam 1 hari MK bersidang 11

kali. Intensitas persidangan seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan dari sisi efektifitas dan

kualitas proses persidangan, yang pada ujung berpengaruh terhadap kualitas pelayanan terhadap

pencari keadilan.

Beragam putusan terkait dengan sengketa Pemilukada telah dikeluarkan oleh MK, salah

satu contoh putusan yang telah dikeluarkan MK terkait dengan sengketa Pemilukada yaitu

putusan sengketa Pemilukada Gubernur Jawa Timur. MK mengabulkan sebagian

permohonan yang diajukan oleh pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mujiono. MK

memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jawa Timur untuk melakukan

pemungutan suara ulang di Kabupaten Sampang dan Bangkalan. Sedangkan di Kabupaten

Pamekasan harus dilakukan penghitungan suara ulang. Terjadi kontroversi terhadap putusan

tersebut, dimana MK seharusnya tak mempunyai kewenangan memerintahkan pemungutan suara

ulang, karena MK hanya berewenang mengadili sengketa atas hasil Pemilukada. Namun MK

berpendapat bahwa MK dapat menerobos Undang-Undang dalam menjalankan tugasnya

mengawal konstitusi pada Pemilukada Jawa Timur, MK melihat adanya pelanggaran asas-asas

dalam UUD NRI 1945 yang menyangkut pemilu yang jujur, adil, bebas dan rahasia. Putusan

pemungutan suara ulang bukan hanya terjadi pada Pemilukada Jawa Timur saja, hal yang sama

juga terjadi pada Pemilukada Tapanuli Utara, bahkan MK memerintahkan untuk melakukan

pemungutan suara ulang pada Pemilukada di Tapanuli Utara. Dari 15 kecamatan yang ada di

Tapanuli Utara, MK memerintahkan agar pemungutan suara di 14 kecamatan diulang.7

Kemudian pada tahun 2013, Akil Mochtar selaku ketua MK ditahan akibat kasus suap dalam

penyelesaian 15 sengketa Pemilukada.8 Hal tersebut menyebabkan hilangnya kepercayaan

masyarakat terhadap MK, kasus yang melibatkan Ketua MK tersebut dijadikan momentum untuk

mengevaluasi kewenangan MK dalam penyelesaian sengketa Pemilukada. Jika dilihat kembali

awal pembentukan MK, sangat jelas bahwa yang menjadi tugas utama MK adalah menguji

Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945, dan kewenangan-

kewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD NRI 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 24C ayat (1) UUD

NRI 1945. Selain itu ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa Pemilukada paling lambat 14

hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Permasalahan

lainnya akibat pelimpahan kewenangan ini adalah putusan MK yang bersifat final dan mengikat

(upaya pertama dan terakhir) dalam penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Artinya setelah MK memutus tidak ada lagi upaya lain yang dapat ditempuh. Banyaknya gugatan

yang masuk, sempitnya waktu penyelenggaraan (14 hari), dan sifat putusan yang final dan

mengikat inilah yang membuat MK tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus

sengketa Pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memainkan

kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di MK, karena itu akan menjadi

upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari keadilan.

7 Ali, 2009, “Sengketa Pilkada, Kewenangan Baru Bikin sibuk MK”, hukumonline.com, URL :

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20823/sengketa-pilkada-kewenangan-baru-bikin-sibuk-mk-. diakses

tanggal 16 Maret 2015.

8 Henry Lopulalan, “Kasus Suap Penanganan Sengketa Pilkada Akil Mochtar Yang Menggurita”, kompas.com,

URL :

http://nasional.kompas.com/read/2014/12/27/15533261/Kasus.Suap.Penanganan.Sengketa.Pilkada.Akil.Mochtar.yan

g.Menggurita. diakses tanggal 16 Maret 2015.

Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas Esa Unggul, dan

Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) mengajukan gugatan terkait dengan pengujian

Undang-Undang ke MK, yaitu Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, bertentangan dengan UUD NRI 1945. Yang kemudian MK mengabulkan

permohonan tersebut dan membatalkan wewenangnya memutus sengketa Pemilukada dengan

mengeluarkan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam

pertimbangan hukumnya Mahkamah berpendapat, Pemilu menurut Pasal 22E UUD NRI 1945

harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih

anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap lima

tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun

sekali pada Pasal 22E UUD NRI 1945 adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD serta

Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima

kotak suara. MK berpendapat jika memasukkan Pemilukada menjadi bagian dari pemilihan

umum sehingga menjadi kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya, bukan

saja tidak sesuai dengan makna dari pemilihan umum sebagaimana telah diuraikan di atas, tetapi

juga akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali, karena

pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun dengan waktu yang

berbeda-beda. Di samping itu, sebagaimana telah menjadi pendirian MK dalam pertimbangan

putusannya Nomor 1-2/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Undang-Undang No. 4 Tahun 2014

Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Februari 2014, kewenangan

lembaga negara yang secara limitatif ditentukan oleh UUD NRI 1945 tidak dapat ditambah atau

dikurangi oleh Undang-Undang maupun putusan Mahkamah karena akan mengambil peran

sebagai pembentuk UUD NRI 1945. Dengan demikian, menurut MK, penambahan kewenangan

Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah

dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah

inkonstitusional.

Untuk menindaklanjuti putusan tersebut, kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

mengembalikan kewenangan mengadili sengketa Pilkada ke badan peradilan di bawah MA,

melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014.

Kewenangan ini diatur dalam Pasal 157 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi

perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan

permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan

KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.

Dari pemaparan di atas muncul dua pendapat mengenai peralihan kewenangan

penyelesaian sengketa Pemilukada dari MK ke MA. Di satu pihak menanggapi wewenang

penyelesaian sengketa terhadap penetapan hasil Pemilukada haruslah tetap menjadi wewenang

dari MK, karena selain memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi, MK juga berfungsi sebagai

pengawal demokrasi. Maka dari itu penyelesaian sengketa Pemilukada oleh MK merupakan

suatu upaya untuk mengawal proses demokrasi dalam kerangka konstitusi. Merujuk pada

pendapat salah satu hakim MK Fadlil Sumadi, beliau menjelaskan bahwa karena sistem dan

mekanisme rekrutmen pengisian kepala daerah adalah Pemilu sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 22E maka perselisihan hasil pemilihan kepala daerah berdasarkan uraian di atas adalah

perselisihan hasil pemilu (PHPU).

Di lain pihak menanggapi secara positif peralihan kewenangan penyelesaian sengketa

Pemilukada dari MK ke MA, karena kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan

hasilnya, bukan saja tidak sesuai dengan makna dari pemilihan umum sebagaimana telah

diuraikan di atas, tetapi juga akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi

berkali-kali, karena pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun

dengan waktu yang berbeda-beda. Selain itu MK dalam putusannya menyatakan bahwa

kewenangan MK dalam memutus sengketa hasil Pemilukada adalah Inskonstitusional.

Dengan adanya peralihan kewenangan dalam penyelesaian sengketa Pilkada dari MK

kepada MA, maka hal tersebut menarik untuk diteliti dan dituangkan dalam tulisan yang berjudul

“Implikasi Peralihan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah dari

Mahkamah Konstitusi Kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota”.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Apa latar belakang yuridis kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala

Daerah oleh Mahkamah Agung ?

2. Bagaimana implikasi peralihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan

Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Agung berdasarkan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan

batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang

lingkup permasalahan yang akan dibahas, yaitu terkait dengan permasalahan pertama yaitu

menelusuri dasar yuridis kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh

Mahkamah Agung terutama setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan permasalahan

kedua yaitu implikasi dari kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah

dari Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan

Walikota.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai implikasi peralihan kewenangan penyelesaian

sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Agung

berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Selain itu dalam penelitian ini dibahas mengenai

dasar yuridis kewenangan Mahkamah Agung dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilihan

Kepala Daerah. Dalam penulisan penelitian ini, penulis menemukan beberapa kemiripan dengan

penelitian lain, adapun perbandingan penelitian penulis dengan penelitian lainnya adalah sebagai

berikut:

No. Nama Penulis Judul Rumusan Masalah

1 Hendri Budi Yanto

(Mahasiswa Fakultas Hukum,

Universitas Sebelas Maret,

Surakarta)

Implikasi Tugas Dan

Kewenangan Mahkamah

Konstitusi Dalam

Penyelesaian Sengketa

Hasil Pemilukada (Studi

Kasus Putusan

Mahkamah Konstitusi

Nomor

57/Phpu.Dvi/2008

Tentang Pemilukada

Kabupaten Bengkulu

Selatan)

1. Bagaimana Pelaksanaan

Penyelesaian Sengketa

Hasil Pemilukada Di

Mahkamah Konstitusi

(Studi Kasus Putusan

Mahkamah Konstitusi

Nomor 57/PHPU.D-

VI/2008 Dalam Perkara

Perselisihan Pemilihan

Umum Kepala Daerah Dan

Wakil Kepala Daerah

(Pilkada) Kabupaten

Bengkulu Selatan?

2. Bagaimana Implikasi Tugas

Dan Wewenang Mahkamah

Konstitusi Dalam

Penyelesaian Sengketa

Hasil Pemilukada (Studi

Kasus Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor

57/PHPU.D-VI/2008

Dalam Perkara Perselisihan

Pemilihan Umum Kepala

Daerah Dan Wakil Kepala

Daerah (Pilkada)

Kabupaten Bengkulu

Selatan)?

2 Siswantana Putri Rachmatika

(Mahasiswi Program Magister

Fakultas Hukum, Universitas

Indonesia, Jakarta)

Peralihan Kewenangan

Penyelesaian Sengketa

Pilkada Dari Mahkamah

Agung Ke Mahkamah

Konstitusi

1. Bagaimana Penyelesaian

Sengketa Pilkada Sebelum

Perubahan Kedua Undang-

Undang Pemerintahan

Daerah?

2. Bagaimana Implikasi

Peralihan Kewenangan

Penyelesaian Sengketa

Pilkada Dari Mahkamah

Agung Ke Mahkamah

Konstitusi?

3 I Putu Dedy Putra Laksana

(Mahasiswa Fakultas Hukum,

Unversitas Udayana, Bali)

Implikasi Peralihan

Kewenangan

Penyelesaian Sengketa

Pemilihan Kepala Daerah

Dari Mahkamah

Konstitusi Ke Mahkamah

Agung

1. Apa Dasar Yuridis

Kewenangan Penyelesaian

Sengketa Pemilihan Kepala

Daerah Oleh Mahkamah

Agung?

2. Bagaimana Implikasi

Peralihan Kewenangan

Penyelesaian Sengketa

Pemilihan Kepala Daerah

Dari Mahkamah Konstitusi

Ke Mahkamah Agung?

Dilihat dari tabel perbadingan penelitian di atas, kemiripan penelitian ini dengan penelitian

lainnya tidak terlalu signifikan. Penelitian ini lebih menitiberatkan pada implikasi peralihan

kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi

Kepada Mahkamah Agung setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota serta latar belakang

yuridis kewenangan Mahkhamah Agung dalam peneyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala

Daerah.

1.5. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas maka tujuan dari

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut;

1.5.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah untuk dapat memahami dasar

yuridis kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh Mahkamah

Agung dan implikasi dari kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah

dari Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Agung.

1.5.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengkaji dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang latar belakang

yuridis kewenangan penyelesaian sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh

Mahkamah Agung.

2) Untuk mengkaji dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang implikasi dari

peralihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Kepala Daerah dari Mahkamah

Konstitusi kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota.

1.6. Manfaat Penulisan

1.6.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi atau kontribusi

dalam aspek teoritis (keilmuan) seiring dengan berkembangnya masyarakat serta permasalahan-

permasalahan yang ada di masyarakat. Serta juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk

penelitian-penelitian di bidang hukum tata negara. Sehingga, melalui penelitian ini dapat dilihat

perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum tata negara, khususnya mengenai

penyelesaian sengketa hasi Pemilihan Kepala Daerah.

1.6.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian

sebagai bahan acuan, pertimbangan, perbandingan, dan penyempurnaan bagi penelitian

selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian terhadap penyelesaian sengketa hasil

Pemilihan Kepala Daerah.

1.7. Landasan Teoritis

Untuk membahas permasalahan yang telah dipaparkan skripsi ini secara lebih mendalam,

perlu kiranya dikemukakan teori, konsep atau landasan-landasan terhadap permasalahan tersebut

yang didasarkan pada literatur – literatur yang dimungkinkan untuk menunjang pembahasan

permasalahan yang ada. Dengan adanya teori-teori yang menunjang, diharapkan dapat

memperkuat, memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang

dikemukakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini

meliputi teori negara hukum, teori demokrasi, teori pembagian kekuasaan, dan teori kewenangan

atribusi.

1.7.1. Teori Negara Hukum

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Djokosutomo mengatakan, bahwa negara

hukum menurut UUD NRI 1945 adalah berdasarkan pada kedaulatan hukum.9 Hal ini ditegaskan

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Oleh

karena itu, negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi

harus berdasarkan pada hukum. Secara teori, negara hukum (rechstaat) adalah negara bertujuan

untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum

yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu,

dan agar semua berjalan menurut hukum.10

Seiring dengan perkembangan negara hukum itu sendiri, kini suatu negara dapat dikategorikan

sebagai negara hukum asalkan memenuhi dua belas prinsip, yakni:

1) Supremasi Hukum (supremacy of law);

2) Persamaan dalam Hukum (equality before The Law);

3) Asas legalitas (due process of law);

4) Pembatasan kekuasaan;

9 C.S.T Kansil dan Christine S.T., 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Pengertian Hukum Tata

Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 Hingga Kini), cetakan I,

PT Rineka Cipta, Jakarta, h. 86.

10 Hans Kelsen, 2006, Teori Tentang Hukum dan Negara, cetakan I, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa,

Bandung, h. 382.

5) Organ-organ eksekutif independen;

6) Peradilan bebas dan tidak memihak;

7) Peradilan tata usaha negara;

8) Peradilan tata negara;

9) Perlindungan hak asasi manusia;

10) Bersifat demokratis (democratische rechtstaat);

11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara.

12) Transparansi dan kontrol sosial.11

Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI

1945 disebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Lembaga Yudikatif sejak

masa reformasi dan adanya amandemen UUD NRI 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung,

Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim.

Lembaga Yudikatif di era reformasi di Indonesia terjadi perubahan dan telah sejalan dengan

amandemen terhadap UUD NRI 1945, Bab IX, tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 24 ayat (2)

menetapkan bahwa Lembaga Yudikatif yang menjalankan kekuasaan kehakiman adalah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, agama, militer, tata usaha negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi.

Dalam menjalankan fungsinya lembaga peradilan harus memenuhi unsur-unsur sebagai

berikut :

1) Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat secara umum yang dapat

diterapkan pada suatu persoalan,

2) Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret,

3) Ada sekurang-kurangnya 2 pihak, dan

4) Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutus perselisihan.

11 Jimly Assiddhiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitualisme, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata

Negara FH UI, Jakarta, h.124.

5) Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan

menemukan hukum (rechtsvinding) “in concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum

materiil.12

Sedangkan menurut Abdul Mukhti Fajar, ciri-ciri lembaga peradilan yaitu :

1) Merupakan lembaga independen atau lembaga yang bebas dari kekuasaan lembaga

lain baik secara fungsional maupun struktural;

2) Adanya hukum yang bersifat umum yang merupakan sumber hukum yang akan

diterapkan oleh lembaga peradilan;

3) Adanya pihak yang bersengketa yang mempunyai kepentingan secara langsung atas

putusan yang disengketakan yang dapat memberikan dasar bagi pemberian status

untuk mengajukan gugatan atau permohonan;

4) Adanya perkara konkrit yang terjadi yang diajukan untuk mendapatkan putusan;

5) Keputusan lembaga mempunyai sifat eksekutorial, tanpa perlunya persetujuan penuh

dan resmi dari lembaga lain.13

Utrecht dan Rachmat Soemitro memberikan dua macam asas yang merupakan ciri negara

hukum, yaitu asas legalitas dan asas perlindungan terhadap kebebasan setiap orang dan terhadap

hak-hak asasi manusia lainnya.14 Dari sejarah kelahiran, perkembangan, maupun pelaksanaannya

di berbagai negara, konsep negara hukum sangat dipengaruhi dan tidak dapat dipisahkan dari

asas kedaulatan rakyat, asas demokrasi, serta asas konstitusional.15 Hukum yang hendak

ditegakkan dalam negara hukum agar hak-hak asasi warganya benar-benar terlindungi hendaklah

hukum yang benar dan adil, yaitu hukum yang bersumber dari aspirasi rakyat, untuk rakyat, dan

oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang dibuat secara konstitusional.

12 Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural, 2012. Profil Lembaga Negara

Rumpun Yudikatif, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, h. 14.

13 Ibid, h. 15. 14 E. Utrecht, 1966, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan IX, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, h.

305.

15 Murtir Jeddawi, 2012, Hukum Administrasi Negara, cetakan I, Penerbit Total Media, Yogyakarta, h. 44.

1.7.2. Teori Demokrasi

Terdapat dua jenis demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan.

Demokrasi langsung adalah pemerintah dijalankan oleh rakyat sendiri, dimana segala keputusan

diambil oleh seluruh rakyat pada waktu dan tempat yang sama dan hal ini hanya mungkin terjadi

pada negara kecil. Sedangkan demokrasi perwakilan dilaksanakan dengan permusyawaratan

dimana warganegaranya melaksanakan hak yang sama, tetapi melalui wakil-wakil yang dipilih

mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui proses-proses pemilihan yang bebas, ini

dikenal sebagai representative government, suatu pemerintahan yang berdasarkan perwakilan16.

Dalam sistem demokrasi perwakilan, Pemilihan Umum adalah suatu kemestian dan suatu

lembaga yang sangat vital untuk demokrasi. Suatu pemilihan yang bebas berarti bahwa dalam

suatu jangka waktu tertentu rakyat akan mendapat kesempatan untuk menyatakan hasratnya

terhadap garis-garis politik yang harus diikuti oleh negara dan masyarakat dan terhadap orang-

orang yang harus melaksanakan kebijakan itu17. Dengan demikian pemilihan umum merupakan

salah satu ciri utama dari negara demokrasi modern dan cara yang demokratis untuk membentuk

dan mentransfer kekuasaan dari rakyat kepada otoritas negara.

1.7.3. Teori Pembagian Kekuasaan

Dalam sebuah praktek ketatanegaraan perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan,

sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Pembagian

kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk menjadi

beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga

16 Ismail Suny, 1978, Mekanisme Demokrasi Panca Sila, Cetakan Ke III, Radar Jaya Offset, Jakarta, h. 20.

17 Ibid. h. 21.

Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga. Jimly

Asshiddiqie mengatakan bahwa kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan

kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang

sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada

kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama.

Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu:

1) Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian

kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat

dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan

pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.

2) Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini

lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat

legislatif, eksekutif dan yudisial.

Pencetus teori pembagian kekuasaan diantaranya :

1) John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Second Treaties of Goverment” mengusulkan

agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai

fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya harus ada pembagian pemegang kekuasaan ke

dalam tiga macam kekuasaan,yaitu, Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang),

Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan Kekuasaaan Federatif

(melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).18 Pendapat John Locke

inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk

menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.

18 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 15.

2) Montesquieu mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang

berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda

dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu

diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu Kekuasaan Legislatif

(membuat undang-undang), Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan

Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).19

Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of

power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut.20

Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo menegaskan bahwa UUD NRI 1945 tidak

menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut

sistem pembagian kekuasaan.

Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama

empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara

nyata21. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :

1) adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.

2) diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk

legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat

diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai

undang-undang.

3) diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan

semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan

kedaulatan rakyat.

4) MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga

negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.

5) hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama

lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

19 Ibid h. 21.

20 Ibid h. 22.

21 Ibid

Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut

prinsip ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif,

eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling

mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD NRI

1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks

and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.22

1.7.4. Teori Kewenangan

Wewenang merupakan hal yang esensial dalam kajian hukum tata negara karena

berhubungan dengan pertanggungjawaban hukum dan penggunaan wewenang tertentu. Prajudi

Atmosudirdjo berpendapat bahwa kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,

kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberikan oleh Undang-Undang ) atau dari

Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-

orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan)

tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di

dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk

melakukan sesuatu tindak hukum publik.23

Secara teori kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh dengan

tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Dalam hal ini, Van Wijk mendefinisikan hal-hal

tersebut sebagai berikut:

1. Atribusi; adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada

organ pemerintahan.

22 ibid, h. 24. 23 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 29.

2. Delegasi; adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada

organ pemerintahan lainnya.

3. Mandat; terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh

organ lain atas namanya.24

Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-

Undang Dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal

dari “pelimpahan”.25 Menurut Philipus M. Hadjon terdapat tiga sumber kewenangan yaitu

atribusi, delegasi, dan mandat26. Atribusi merupakan wewenang yang melekat pada suatu

jabatan. Dalam tinjauan Hukum Tata Negara atribusi ditunjukkan dalam wewenang yang

dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan

yang ditunjuk oleh pembuat Undang-Undang.

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian pada skripsi ini, digunakan jenis penelitian yuridis normatif. Penelitian

yuridis normatif adalah penelitian yang menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk

selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori – teori hukum kemudian dikaitkan

dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku dalam praktek hukum.27

1.7.2. Jenis Pendekatan

24 M. Hutanuruk, 1978, Asas-Asas Ilmu Negara, Erlangga, Jakarta, h.102.

25 Ni Nyoman Mariadi, “Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah

Pertanian”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2011, h.27.

26 Philipus M. Hadjon, dkk, 2005, Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,

h.140

27 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Edisi I, Cet

ke-V, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.13.

Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute

Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach).

Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan

hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini. 28 Selanjutnya

dilanjutkan dengan menganalisis permasalahan yang ada sesuai dengan konsep – konsep hukum

yang ada.

1.7.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan

penelitian kepustakaan, sehingga bahan dari penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder

oleh Soerjono Soekanto dikelompokkan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

dan bahan hukum tersier.

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas atau bersifat

mengikat. Contohnya Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Putusan hakim.29

Contoh bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : UUD NRI

1945, Undang-Undang, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Agung

dan Putusan Mahkamah Konstitusi.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library

research). Library research digunakan untuk menggali data melalui buku-buku yang

terkait dengan masalah hukum tata negara, Undang-Undang, Putusan hakim maupun

data-data lainnya.

28 Ibrahim dan Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,

h. 302. 29 Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 47

1.7.4. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk, penunjang ataupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder30, contohnya : kamus bahasa

hukum, dan ensiklopedi

1.7.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan bahan hukum yang memiliki

hubungan dengan masalah yang diteliti dan digolongkan sesuai dengan katagori. Selanjutnya

data yang diperoleh kemudian dipelajari, dicatat dan diklasifikasikan sesuai dengan tujuan dan

permasalahan penelitian.

1.7.6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

deskripsi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi.

1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari kegunaannya.

Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-

proposisi hukum atau non hukum.31

2. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa, tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju,

benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proporsi,

pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer

maupun dalam bahan hukum sekunder.32

30 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13.

31 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana,

Denpasar Bali, 2013, Bali, h. 76. 32 Ibid.

3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus

didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan

permasalahan hukum makin banyak argument makin menunjukkan kedalaman penalaran

hukum.33

Dari ketiga teknik analisis bahan hukum diatas, maka akan dituangkan dalam tulisan yang

bersifat deskriptif analisis.

33 Ibid h. 77.