farmako tibia

13
LAKSATIF Difenilmetan Derivat difenilmetan yang biasa digunakan adalah bisakodil dan fenolptalein. Senyawa-senyawa ini merangsang sekresi cairan dan saraf pada mukosa kolon yang mengakibatkan kontraksi kolon sehingga terjadi pergerakan usus (peristaltik) dalam waktu 6- 12 jam setelah diminum, atau 15-60 menit setelah diberikan melalui rektal. Namun penggunaan fenilptalein sudah dilarang karena bersifat karsinogen. Senyawa ini tidak direkomendasikan untuk digunakan tiap hari. Jarak antara setiap kali penggunaan harus cukup lama, sekitar beberapa minggu, untuk mengobati konstipasi ataupun untuk mempersiapkan pengosongan kolon jika diperlukan untuk pembedahan. (Sjamsudin, 2013) Mekanisme Kerja. Bekerja langsung di usus dengan meningkatkan aktivitas motor; mengiritasi plexus intramural kolon, menstimuli PG, cAMP, sintesa vasoactif polipeptida. (Sjamsudin, 2013) Farmakokinetik (Sjamsudin, 2013) A: sedikit diabsorbsi, Onset 6-8 jam (oral), 15-60 menit (recal) D: tractus gastrointestinal M: menjadi metabolit aktif desacetyl bis (p-hy- droxyphenyl)piridyl-2-methane oleh enzim dari bakteri dan usus.

Upload: tibia-yudisa

Post on 10-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

mmmmmmmpayaa

TRANSCRIPT

Page 1: Farmako Tibia

LAKSATIF

Difenilmetan

Derivat difenilmetan yang biasa digunakan adalah bisakodil dan

fenolptalein. Senyawa-senyawa ini merangsang sekresi cairan dan saraf pada

mukosa kolon yang mengakibatkan kontraksi kolon sehingga terjadi

pergerakan usus (peristaltik) dalam waktu 6-12 jam setelah diminum, atau 15-

60 menit setelah diberikan melalui rektal. Namun penggunaan fenilptalein

sudah dilarang karena bersifat karsinogen. Senyawa ini tidak

direkomendasikan untuk digunakan tiap hari. Jarak antara setiap kali

penggunaan harus cukup lama, sekitar beberapa minggu, untuk mengobati

konstipasi ataupun untuk mempersiapkan pengosongan kolon jika diperlukan

untuk pembedahan. (Sjamsudin, 2013)

Mekanisme Kerja. Bekerja langsung di usus dengan meningkatkan aktivitas

motor; mengiritasi plexus intramural kolon, menstimuli PG, cAMP, sintesa

vasoactif polipeptida. (Sjamsudin, 2013)

Farmakokinetik (Sjamsudin, 2013)

A: sedikit diabsorbsi, Onset 6-8 jam (oral), 15-60 menit (recal)

D: tractus gastrointestinal

M: menjadi metabolit aktif desacetyl bis (p-hy-droxyphenyl)piridyl-2-methane

oleh enzim dari bakteri dan usus.

E: terutama melalui feses dan yang terabsorbsi melalui urine

IndikasiSemua bentuk konstipasi, gangguan perirenal yang bisa menyebabkan

konstipasi seperti hemoroid, sebelum dan sesudah operasi, persiapan barium

enema, proctosigmoidoskopi. (Sjamsudin, 2013)

Interaksi obat

Diuretik, Adreno-kortikosteroid, antasid, susu, obat lain yg meningkatkan pH

lambung. (Sjamsudin, 2013)

Efek Samping Rasa tidak nyaman di perut, kram, nyeri abdomen, diare, mual,

reaksi alergi, termasuk reaksi anafilaksis . (Sjamsudin, 2013)

Page 2: Farmako Tibia

Perhatian Penggunaan Kehamilan, laktasi, anak < 4 tahun, hindari

penggunaan bersama susu atau antasid. (Sjamsudin, 2013)

Bentuk Sediaan Obat Tablet 5 mg (Bicolax,Laxamex) Supp dewasa 10

mg(Dulcolax), Supp anak 5 mg (Dulcolax). (Sjamsudin, 2013)

Dosis untuk konstipasi per oral Dewasa 5-15 mg/hari, anak 3-12 tahun 5-10

mg atau 0,3 mg/kg saat akan tidur atau setelah sarapan, per rektal dewasa 10

mg untuk menginduksi pergerakan usus, anak 2-11 tahun 5-10 mg sebagai

dosis tunggal, < 2 tahun 5 mg, untuk orang tua 5-10 mg/hari.(Sjamsudin,

2013)

ANTI EMETIK

Benzodiazepine

Benzodizepin merupakan salah satu obat yang bekerja di system saraf pusat, bersifat

hipnotik dan sedative. (Talbert, 2013)

Farmakodinamik

Hampir semua efek benzodiazepine merupakan hasil kerja golongan ini pada SSP

dengan efek utama : sedasi, hipnosis, pengurangan terhadap rangsangan

emosi/ansietas, relaksasi otot, dan anti konvulsi. Hanya dua efek saja yang merupakan

kerja golongan ini pada jaringan perifer : vasodilatasi koroner (setelah pemberian

dosis terapi golongan benzodiazepine tertentu secara iv), dan blokade neuromuskular

(yang hanya terjadi pada pemberian dosis tinggi). Berbagai efek yang menyerupai

benzodiazepine yang diberikan secara in vivo maupun in vitro telah digolongkan

sebagai : (Talbert, 2013)

a. Efek agonis penuh : senyawa yang sepenuhnya serupa efek benzodiazepine (misalnya

diazepam)

b. Efek agonis parsial : efek senyawa yang menghasilkan efek maksimum yang kurang

kuat dibandingkan diazepam

c. Efek inverse agonist : senyawa yang menghasilkan efek kebalikan dari efek diazepam

pada saat tidak adanya senyawa yang mirip benzodiazepine (benzodiazepine-like

agonist), dan efek invers-agonis parsial (partial inverse agonist).

Page 3: Farmako Tibia

Sebagian besar efek agonis dan invers-agonis dapat dilawan atau dicegah oleh

antagonis benzodiazepine flumazenil, melalui persaingan ikatannya dengan reseptor

benzodiazepine. Zat ini mewakili berbagai golongan senyawa yang bekerja memblok

secara spesifik efek agonis benzodiazepine. (Talbert, 2013)

Mekanisme kerja

Kerja benzodoazepine terutama merupakan interaksinya dengan reseptor penghambat

neurotransmitter yang diaktifkan oleh asam gamma amino butirat (GABA). Reseptor

GABA merupakan protein yang terikat pada membran dan dibedakan dalam 2 bagian

besar sub-tipe, yaitu reseptor GABAA dan reseptor GABAB. (Talbert, 2013)

Reseptor inotropik GABAA terdiri dari 5 atau lebih sub unit (bentuk majemuk α, β,

dan γ subunit) yang membentuk suatu reseptor kanal ion klorida kompleks. Resptor

ini berperan pada sebagian besar besar neurotransmitter di SSP.

Reseptor GABAB, terdiri dari peptide tunggal dengan 7 daerah transmembran,

digabungkan terhadap mekanisme signal transduksinya oleh protein-G.

Benzodiazepin bekerja pada reseptor GABAA, tidak pada reseptor GABAB.

Benzodiazepin berikatan langsung pada sisi spesifik (subunit γ) reseptor GABAA

(reseptor kanal ion Klorida kompleks), sedangkan GABA berikatan pada subunit α

atau β. Pengikatan ini akan menyebabkan pembukaan kanal klorida, memungkinkan

masuknya ion klorida kedalam sel, menyebabkan peningkatan potensial elektrik

sepanjang membran sel dan menyebabkan sel sulit tereksitasi. (Talbert, 2013)

a. Pernapasan

Benzodiazepine dosis hipnotik tidak berefek pada pernapasan orang normal.

Penggunaannya perlu diperhatikan pada anak-anak dan individu yang menderita

kelainan fungsi hati. Pada dosis yang lebih tinggi, misalnya pada anestesi premedikasi

atau pre endoskopi, benzodiazepine sedikit mendepresi ventilasi alveoli, dan

menyebabkan asidosis respiratoar, hal ini lebih karena penurunan keadaan hipoksia

daripada dorongan hiperkaptik; efek ini terutama terjadi pada pasien dengan PPOK

yang mengakibatkan hipoksia alveolar dan/atau narkosis CO2. Obat ini dapat

menyebabkan apnea selama anestesi atau bila diberi bersama opiat. Gangguan

pernapasan yang berat pada intoksikasi benzodiazepine biasanya memerlukan bantuan

pernapasan hanya bila pasien juga mengkonsumsi obat pendepresi SSP yang lain,

terutama alkohol.

b. Sistem Kardiovaskuler

Page 4: Farmako Tibia

Pada dosis praanestesia semua benzodiazepine dapat menurunkan tekanan darah dan

meningkatkan denyut jantung.

c. Saluran cerna

Diduga dapat memperbaiki berbagai gangguan saluran cerna yang berhubungan

dengan adanya ansietas. Diazepam secara nyata menurunkan sekresi cairan lambung

waktu malam.

Farmakokinetik

Sifat fisikokimia dan farmakokinetik benzodiazepine sangat mempengaruhi

penggunaannya dalam klinik karena menentukan lama kerjanya. Semua

benzodiazepine dalam bentuk nonionic memiliki koefesien distribusi lemak : air yang

tinggi; namun sifat lipofiliknya dapat bervariasi lebih dari 50 kali, bergantung kepada

polaritas dan elektronegativitas berbagai senyawa benzodiazepine. (Talbert, 2013)

Semua benzodiazepine pada dasarnya diabsorpsi sempurna,

kecuali klorazepat; obat ini cepat mengalami dekarboksilasi dalam cairan lambung

menjadi N-desmetil-diazepam (nordazepam), yang kemudian diabsorpsi sempurna.

Beberapa benzodiazepine (seperti prazepam dan flurazepam) mencapai sirkulasi

sistemik hanya dalam bentuk metabolit aktif. Golongan benzodiazepine menurut lama

kerjanya dapat dibagi dalam 4 golongan : (Talbert, 2013)

1. senyawa yang bekerja sangat cepat

2. senyawa yang bekerja cepat, dengan t ½ kurang dari 6 jam : triazolam dan

nonbenzodiazepin (zolpidem, zolpiklon).

3. senyawa yang bekerja sedang, dengan t ½ antara 6-24 jam : estazolam dan

temazepam.

4. senyawa yang bekerja dengan t ½ lebih lama dari 24 jam : flurazepam, diazepam, dan

quazepam.

Efek samping

Benzodiazepine dosis hipnotik pada kadar puncak dapat menimbulkan efek samping

berikut : (Talbert, 2013)

kepala ringan

malas/tak bermotivasi

lamban

inkordinasi motorik

Page 5: Farmako Tibia

ataksia

gangguan fungsi mental dan psikomotorik

gangguan koordinasi berpikir

bingung

disaritria

amnesia anterograd

Kemampuan motorik lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan berpikir.

Semua efek tersebut dapat sangat mempengaruhi keterampilan mengemudi dan

kemampuan psikomotor lainnya. Interaksi dengan etanol dapat menimbulkan depresi

berat. Efek residual terlihat pada beberapa benzodiazepine dan berhubungan erat

dengan dosis yang diberikan. Intensitas dan insiden intoksikasi SSP umumnya

meningkat sesuai dengan usia pasien; farmakokinetik dan farmakodinamik obat.

(Talbert, 2013)

Indikasi

Penggunaan untuk terapi atau indikasi serta posologi (cara pemberian/bentuk

sediaan), dan dosis) beberapa benzodiazepine yang ada di pasaran dapat dilihat pada

tabel berikut : (Talbert, 2013)

Nama obat

(nama Dagang)

Bentuk

sediaan

Penggunaan

Terapi

(sebagai contoh)

Keterangan t ½ (jam) Dosis (mg)

Hipnotik-

sedatif

Alprazolam

(XANAX)

Oral Ansietas Gejala putus

obat yang

terjadi cukup

berat

12,0 ±

2,0

--

Klorodiazepoksid

(LIBRIUM)

Oral, im,

iv

Ansietas,

penanganan

ketergantungan

alcohol, anestesi

premedikasi

Lama kerja

panjang, akibat

metabolit

aktifnya, dan

menurun secara

bertahap

10,0 ±

3,4

5,0 – 100,0;

1-3 x/hari

Klonazepam Oral Gejala

bangkitan,

Terjadi

toleransi

23,0 ± --

Page 6: Farmako Tibia

(KLONOPIN) tambahan terapi

pada mania

akut, dan

kelainan

pergerakan

tertentu

terhadap efek

antikonvulsi

5,0

Klorazepat

(TRAXENE)

Oral Ansietas

Gejala

bangkitan

Prodrug; aktif

setelah diubah

menjadi

nordazepam

2,0 ± 0,9 3,75 – 20,0;

2-4 x/hari

Diazepam

(VALIUM)

Oral, Iv,

Im, rectal

Ansietas, status

epilepsy,

relaksasi otot,

anestesi pre

medikasi.

Prototip

benzodiazepine

43,0 ±

13,0

5,0 – 10,0

3-4 x/hari

Estazolam

(PROZOM)

oral Insomnia Efek

sampingnya

menyerupai

triazolam

10,0 ±

24,0

1,0 – 2,0

Flurazepam

(DALMANE)

Oral Insomnia Pada

penggunaan

kronik terjadi

akumulasi

metabolit aktif

74,0 ±

24,0

15,0 – 30,0

Halazepam

(PAXIPAM)

Oral Ansietas Aktif terutama

sebab diubah

jadi metabolit

nordazepam

14,0 --

Lorazepam

(ATIVAN)

Oral, im,

iv

Ansietas,

anestesi, pre

medikasi

Hanya

dimetabolisme

lewat konjugasi

14,0 ±

5,0

2,0 – 4,0

Midazolam

(VERSED)

Iv, im Pre anestesi dan

intraoperatif-

anestesi

Benzodiazepin

yang sangat

cepat

1,9 ± 0,6 -- *

Page 7: Farmako Tibia

diinaktifkan

Oksazepam

(SERAX)

Oral ansietas Hanya

dimetabolisme

lewat konjugasi

8,0 ± 2,4 15,0 – 30,0;

**

3-4 x/hari

Quazepam

(DORAL)

Oral Insomnia Pada

penggunaan

kronik terjadi

akumulasi

metabolit aktif

39.0 7,5 – 15,0

Temazepam

(RESTORIL)

Oral Insomnia Hanya

dimetabolisme

lewat konjugasi

11,0 ±

6,0

7,5 – 30,0

Triazolam

(HALCION)

Oral insomsia Benzodiazepine

yang sangat

cepat

diinaktifkan :

dapat

menimbulkan

gangguan di

siang hari.

2,9 ± 1,0 0,125 – 0,25

OBAT GANGGUAN ASAM LAMBUNG

Antagonis reseptor H2

Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung.

Burimamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali

ditemukan, namun karena toksik tidak digunakan dalam klinik. Antagonis reseptor

H2 yang ada dewasa ini adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.

( Farmakologi dan Terapi FKUI, 2011)

SIMETIDIN DAN RANITIDIN

FARMAKODINAMIK

Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan

reversibel. Perangsangan reseptor Hz akan merangsang sekresi cairan lambung,

Page 8: Farmako Tibia

sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat.

Simetidin dan ranitidin dapat menghambat sekresi asam lambung akibat

perangasangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin. Simetidin dan

ranitidin juga menggangu kadar pepsin cairan lambung. (Brunton et.al, 2011)

FARMAKOKINETIK

Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70%, ikatan protein plasmanya hanya

20%. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin diberikan

saat makan atau segera setelah makan dimaksudkan untuk memperpanjang dari efek

obat ini. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal sekitar

20% dari kadar serum. (Brunton et.al, 2011)

Bioavailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan

meningkat pada pasien dengan penyakit hati. Masa paruhnya kira - kira 1 - 3 jam

setelah penggunaan 150 mg ranitidin oral dan memanjang pada pasien gagal ginjal

dan orang tua. Ranitidin mengalami metabilisme lintas pertama di hepar yang cukup

besar setelah pemberian oral. (Brunton et.al, 2011)

INDKASI

Simetidin, ranitidin, dan antagonios reseptor H2 lainnya efektif untuk

mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya. Dengan

dosis lebih kecil umumnya dapat membantu mencegah kambuhnya tukak duodenum.

Antagonis reseptor H2 satu kali sehari yang diberikan pada malam hari efektif untuk

mengatasi gejala akut tukak duodenum. Penyembuhan tukak duodenum umumnya

diperceoat dengan pemberian simetidin 800mg, ranitidin 300mg, famotidin 40 mg,

atau nizatidin 300mg satu kali sehari selama 8 minggu. (Brunton et.al, 2011)

Antagonis reseptor H2 juga diindikasikan untuk gangguan refluks lambung -

esofagus (GERD), meskipun lebih sulit diatasi, memerlukan frekuensi pemberian

yang lebih sering, dan dosis perhari yang lebih besar. (Brunton et.al, 2011)

DAPUS

Page 9: Farmako Tibia

1. Arif, A., Sjamsudin, U., 2013, Obat Lokal dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi

4, hal. 509, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta

2. Brunton, Laurence. 2011. GOODMAN & GILMAN : MANUAL FARMAKOLOGI.

Jakarta: EGC

3. Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.

(editors), 2013, Pharmacotherapy: A Phatophysiologic Approach, 6th Edition,

p.684-689, McGraw-Hill, United States of America.

4. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2011. FARMAKOLOGI DAN

TERAPI EDISI 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI