falsafah muhammadiyah dalam gerakan sosial
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak awal, gerakan Muhammadiyah telah berkecimpung dalam bidang sosial, terutama
pendidikan. Sekolah yang pertama didirikan oleh K.H.A. Dahlan pada tahun 1911 di Yogyakarta
diselenggarakan dengan fasilitas yang amat sederhana. Sekolah kecil ini akhirnya menjadi
embrio munculnya organisasi secara formal pada tahun 1912 dibawah pimpinan K.H.A Dahlan
sendiri.
Setelah resmi menjadi organisasi, Muhammadiyah terus berangsur-angsur
mengembangkan sayapnya melalui berbagai aktivitas sosial. Mulai dari pendidikan, pelayanan
masyarakat, kesehatan dan lain-lain sehingga pada akhirnya aktivitas dalam bidang sosial ini
dapat menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan yang memperoleh sukses
besar.
Ditinjau dari aspek tertentu, berdirinya Muhammadiyah merupakan suatu kemunculan
gerakan Iman, Ilmu, dan Amal. Sebagai gerakan Iman, Muhammadiyah dapat dilihat
kepeloporannya dalam usaha mengembalikan paham agama kepada ajaran Tauhid murni tanpa
dicampuri oleh unsur-unsur syirik, takhayul, dan khufarat. Dalam versi lain gerakan ini sering
disebut “gerakan purifikasi.” Sedangkan indikasinya sebagai gerakan Ilmu dapat dilihat pada
komitmennya terhadap persoalan pendidikan, disamping keberaniannya mendobrak tradisi lama
untuk membuka kembali pintu ijtihad yang telah dinyatakan tertutup sejak Abad Pertengahan.
Secara implisit, kedua komitmen terakhir ini mempunyai implikasi yang besar dalam aktivitas
Muhammadiyah selanjutnya. Sementara itu, sebagai gerakan Amal, Muhammadiyah berhasil
mengubah pola amal individu menjadi amalan kelompok dalam kehidupan masyarakat, terutama
dapat dilihat dalam usaha menyantuni kaum dhu’afa, pelayanan kesehatan dan lain-lain.
Keberhasilan Muhammadiyah dalam gerakan sosial itu tidak dapat dilepaskan dari hal-
hal yang menajdi dasar dan pedoman gerakan itu sendiri. Sebagai organisasi religius,
muhammadiyah menjadikan agama sebagai azaz gerakan untuk menciptakan tatanan sosial yang
baru dengan warna keagamaan. Dalam konteks sosiologis, harapan Muhammadiyah itu dapat
saja dibenarkan, oleh karena agama dalam perspektif sosial dapat dilestarikan oleh masyarakat
serta memeliharanya dihadapan manusia, karena ia memberi nilai bagi manusia. Dengan
2
demikian, gerakan sosial Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan paham
keagamaanya secara intensif.
Dalam makalah ini akan diusahakan usaha menjelaskan pandangan filosofis dan dasar-
dasar gerakan sosialnya serta amal usahanya yang telah dilaksanakan sebagai konsekuensi
implikatif dari paham keagmaannya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat di tarik dari penjelasan latar belakang adalah bagaimana
Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya sebagaimana prinsip-prinsip yang
tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar-Nya?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan ini adalah melakukan diskusi yang di harapkan dapat
menjelaskan dan memahami bagaimana Filsafah Muhammadiya dalam bidang sosial.
D. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan, yaitu dalam
mencari bahan-bahan yang diperlukan dan sesuai dengan judul makalah ini melalui buku
Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis.
E. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab yang secara sistematis disusun menurut urutan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Pembahasan
Bab III : Penutupan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Filsafah dan Dasar-dasar Gerakan Sosial Muhammadiyah
Menurut teori fungtional dalam telaah sosiologis, masyarakat dipandang sebagai lembaga
sosial yang berada dalam keseimbangan. Lembaga sosial tersebut menciptakan pola kegiatan
manusia berdasarkan norma-norma atau nilai-nilai yang dianut bersama serta dianggap sah dan
mengikat peran serta manusia itu sendiri. Lembaga-lembaga sosial yang terbentuk berdasarkan
tatanan nilai tertentu di dalam masyarakat merupakan bagian-bagian yang saling memiliki
ketergantungan satu sama lain. Dengan demikian, adanya perubahan pada salah satu
bagian(lembaga), akan mempunyai dampak kepada yang lainnya.
Agama, disamping mengandung nilai-nilai yang dapat menjadi dasar pembentukan
lembaga sosial, ia juga mengatur seperangkat tingkah laku yang bisa melembaga. Oleh sebab itu,
maka tidak diragukan lagi bahwa secara fungsional, agama akan memainkan peran penting
dalam pembentukan perilaku sosial. Baik itu berupa perilaku yang secara eksplisit telah diatur
dan ditentukan oleh agama, maupun yang terbentuk berdasarkan nilai-nilai yang dibawahnya.
Hal ini dapat dibuktikan sendiri oleh aksioma dari teori fungsional yang menyatakan bahwa
segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Oleh karena dalam kenyataannya
agama dari dahulu hingga sekarang masih tetap eksis, maka jelaslah bahwa ia memiliki fungsi,
atau bahkan memerankan sejumlah fungsi dalam kehidupan manusia(sosial).
Jika agama secara fungsional memainkan peran penting dalam kehidupan sosial, maka
berarti bahwa ia telah menjadi dasar komunikasi manusia. Dalam hal inilah implikasi
nilai(agama) dapat muncul dalam seperangkat pola tingkah laku atau gerakan. Kaitannya dengan
masalah ini, Muhammadiyah yang muncul sebagai gerakan sosial, yang dapat ditafsirkan sebagai
salah satu bentuk protes terhadap kondisi sosial yang telah mapan dengan seperangkat tatanan
nilai, baik nilai agama maupun budaya, jelas mempengaruhi tatanan sosial yang ada ketika itu.
Terutama sekali dari pihak-pihak yang telah merasa”damai” dengan suasana kemapanan itu.
Namun karena beberapa hal Muhammadiyah sanggup menawarkan solusi, baik secara
filosofis maupun praktis, yang mampu memberikan harapan bagi perbaikan pola tingkah laku
dan taraf kehidupuan sosial, maka dalam waktu yang relatif singkat gerakan ini dapat
memperoleh simpati dari berbagai kalangan. Sehingga kemudian dalam hal ini, Muhammadiyah
4
telah mampu membentuk pola lembaga sosial baru dengan berdasarkan pada seperangkat tata
nilai yang ditawarkannya, yang berbeda dari pola sebelumnya.
Sebagai gerakan islam, tata nilai yang ditawarkan Muhammadiyah untuk merubah pola
kehidupan sosial itu secara filosofis berdasarkan atas pemahamannya terhadap ajaran islam, yang
disesuaikan dengan jiwa zamannya. Hal ini tentu tidak terlepas dari identitas gerakan ini, yaitu
sebagai gerakan tajdid(pembaruan).
Menurut Muhammadiyah, secara umum kehidupan sosial termasuk ke dalam bidang
gerakannya, berkenaan dengan masalah Mu’amalah Duniyawiyah. Dalam persoalan ini,
Muhammadiyah berusaha mencurahkan kemampuan akal secara optimal dengan berdasarkan
pada ruh ajaran Islam untuk kemaslahatan kehidupan sosial. Jadi, perubahan sosial yang
diharapkan oleh Muhamamdiyah adalah berperannya nilai-nilai agama(al-islam) secara
fungsional dalam segala segi kehidupan, sehingga tidak ada celah-celah kehidupan yang sunyi
dari nilai-nilai Ibadah.
Untuk merealisasikan dasar pemikiran ini, Muhammadiyah menetapkan nilai-nilai dasar,
baik yang berkenaan dengan aspek filosofis maupun yang berkenaan dengan aspek praktis
(operasional). Nilai-nilai dasar yang berkenaan dengan aspek filosofis dirumuskan dalam
Muqqadimah Anggaran Dasar, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah serta
Kepribadian Muhammadiyah. Sedangkan yang menyangkut aspek praktik (operasional)
dirumuskan dalam Khittah Perjuangan Muhammadiyah.
Dalam realisasinya, nilai-nilai dasar tersebut akan dapat dilihat dalam identitas gerakan
Muhammadiyah itu sendiri. Yaitu sebagai gerakan Islam, dakwah, dan tajdid (perbaruan).
Dengan demikian, maka Muhammadiyah dalam setiap gerakannya selalu terkandung tiga
maksud yaitu:
1. Sebagai pengamalan Islam itu sendiri.
2. Sebagai ajakan (dakwah) kepada segenap umat manusia untuk memahami dan
mengamalkan ajaran Islam.
3. Sebagai evaluasi, koreksi dan interpretasi baru terhadap berbagai aktivitas pemikiran dan
pengalaman yang pernah dilakukan.
Sasaran utama gerakan dan amal usaha Muhammadiyah dalam kehidupan sosial itu
adalah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dimana kesejahteraan,
kebaikan, dan kebahagiaan tersebar luas secara merata. Untuk mencapai cita-cita itu,
5
Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya sebagaimana prinsip-prinsip yang
tersimpul dalam Muqqaddimah Anggaran Dasar-nya.
Pertama, hidup berdasarkan Tauhid, Ibadah dan taat kepada Allah. Makna yang
terkandung dalam prinsip ini adalah bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan sosial, segala
pemikiran dan tindakan yang dimunculkannya harus merupakan gerakan Ibadah yang
berdasarkan Tauhid. Jika Tauhid berperan sebagai jiwa, maka Ibadah merupakan wujud nyata
dan bangunan yang berdiri di atas pola dasar Tauhid itu. Dari sinilah kelihatan munculnya
perumusan-perumusan tentang Ibadah dalam pemahaman keagamaan Muhamamdiyah itu.
Dalam hal ini, Ibadah dirumuskan dalam dua pengertian, yaitu Ibadah dalam arti
khusus (Ibadah Mahdhah) dan Ibadah dalam arti umum (Ibadah Ghairu Mahdhah). Ibadah
dalam arti khusus adalah segala amal Ibadah yang perincian, tingkah-laku dan tata caranya telah
ditetapkan oleh Allah. Jadi, baik secara prinsip maupun teknisnya telah ditetapkan dan diatur
oleh Allah, baik secara langsung maupun melalui Nabi Muhammad s.a.w. Sementara Ibadah
dalam pengertian umum adalah segala amal perbuatan yang diizinkan oleh Allah, tanpa
ditunjukkan teknis pelaksanaannya.
Dalam pengertian Ibadah umum yang juga disebut Mu'amalah Duniawiyah itulah segala
gerakan dan amal usaha Muhammadiyah memperoleh dasar-dasar filosofis secara luas. Dasar
pemikiran ini dengan merujuk di antaranya kepada firman Allah, surat al-Anbiya:25 yang
berbunyi :
Kedua, hidup bermasyarakat. Hidup bermasyarakat merupakan Sunnatullah, sesuai
dengan hukum Qudrat dan Iradat-Nya bagi manusia. Dalam membangun masyarakat utama, adil
dan makmur yang diridhai oleh Allah s.w.t. tentu Muhammadiyah tidak mungkin dapat bekerja
dengan sendirian. Oleh sebab itu, hal ini mesti diusahakan dengan menjalin kerjasama dengan
6
kekuatan-kekuatan sosial lainnya, terutama sekali yang memiliki hubungan aspiratif dengan
Muhammadiyah. Sebagai gerakan sosial, Muhammadiyah dalam setiap langkah gerakannya
harus secara sadar menempatkan diri sebagai suatu potensi umat. Adapun dalam konteks
nasional, Muhammadiyah menempatkan diri sebagai unsur kekuatan bangsa. Sedangkan pada
peringkat individu sebagai anggota Persyarikatan, dalam hal ini berarti apa yang dilakukan harus
dalam kerangka hidup bermasyarakat.
Keharusan dasar gerak dengan hidup bermasyarakat bagi Muhammadiyah juga dilandasi
atas kondisi subyektif dan obyektif organisasi itu sendiri. Kondisi subjektifnya adalah bahwa
organisasi tersebut muncul dari kekuatan masyarakat. Oleh sebab itu, ia harus bergerak dalam
masyarakat yang sekaligus sebagai obyek gerakannya.
Ketiga, mematuhi dan meyakini ajaran Islam sebagai satu-satunya landasan kepribadian
dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Muhammadiyah berkeyakinan
sepenuhnya bahwa hanya dengan ajaran Islamlah kebaikan dan kebahagiaan bersama itu akan
tercapai, baik di dunia maupun di akhirat. Agama islam mengandung ajaran yang sempurna dan
penuh kebenaran, merupakan petunjuk dan rakhmat Allah kepada manusia untuk mendapatkan
kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat. Keyakinan ini berdasarkan firman Allah
dalam surat Al-Imran: 19 dan 85 yang berbunyi :
7
Keyakinan inilah agaknya yang turut mendorong Muhammadiyah bersikap kritis
terhadap ajaran Islam, sehingga menolak segala bentuk atau nilai-nilai baru ciptaan manusia,
seperti lada nilai-nilai Akhlak yang diperjuangkannya. Namun di satu sisi, hal semacam ini akan
menjadi basis pertahanan tetap tegak dan utuhnya ajaran Islam.
Keempat, berjuang untuk menegakkan dan menjujung tinggi ajaran Islam.
Muhammadiyah menjadikan perjuangannya untuk menjunjung tinggi, menyebarluaskan dan
mempertahankan agama Islam sebagai dasar filosofis gerakannya. Semangat perjuangan itu
muncul karena adanya sejumlah perintah dan gambaran keutamaan berjuang di jalan Allah,
seperti ditunjukkan dalam surat al-Hujarat:15 yang berbunyi :
Berjuang di jalan Allah memang selalu menjadi tuntutan sepanjang masa. Tuntutan itu
muncul karena adanya dua faktor penting, yaitu :
a. Faktor yang secara subyektif muncul dari diri seorang yang beriman, meliputi:
1. Kesadaran akan kewajiban beribadah kepada Allah untuk berbuat Ikhsan dan Ishlah
kepada manusia/masyarakat.
8
2. Pahamnya akan Islam dengan sebenar-benarnya, dengan keyakinan akan keutamaan
dan tepatnya sebagai sendi untuk mengatur hidup dan kehidupan
manusia/masyarakat.
b. Faktor kondisi obyektif umat. Secara jelas dalam Penjelasan Muqqaddimah
Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan:
"Rusaknya masyarakat Islam khususnya dan masyarakat umumnya, dikarenakan
meninggalkan atau menyeleweng dari ajaran Islam baik karena tidak mengetahui,
salah atau kurang memahami ajaran Islam yang sebenarnya, atau karena adanya usaha
dari luar yang sengaja ingin merusak dan mengalahkan Islam."
Kelima, ittiba' kepada langkah dan perjuangan Nabi s.a.w. Muhammadiyah menjadikan
Rasulullah s.a.w sebagai "tauladan" (uswah) perjuangan yang diikuti, sesuai dengan nama
organisasi itu sendiri. Dasar filosofinya merujuk kepada surat al-Ahzab:21 yang berbunyi :
Dalam berbuat sesuatu, tauladan dari orang-orang terdahulu sangat penting artinya.
Dengan adanya tauladan itu, orang akan dapat memahami dan menghayati kenyataan sejarah atas
norma-norma yang diyakini dan dijadikan pedoman hidupnya, bahkan ia akan mengikuti jejak-
jejak mereka. Islam datang dengan ajaran yang lengkap, sekaligus Rasul sebagai tauladan
pelaksanaan bagi umatnya. Perjuangan Rasul dalam menegakkan agama penuh dengan
kesungguhan, pengorbanan, rintangan, kesabaran dan ketabahan, hanya semata-mata menuntut
keridhaan Allah.
Hal seperti itulah yang mesti dihadapi oleh Muhammadiyah yang menamakan diri
sebagai pengembang risalah Rasulullah. Semenjak kelahirannya, Muhammadiyah telah
menghadapi banyak rintangan, baik yang dating dari kalangan umat islam seendiri, maupun dari
9
kalangan non-Islam. Hanya penuh dengan kesabaran dan ketabahan dengan mengharap ridha
Allah serta semangat ittiba’ kepada Rasul-Nya, perjuangan Muhammadiyah telah banyak
membuahkan hasil dan tetap berlanjut hingga sekarang.
Keenam, keharusan berorganisasi. Organisasi merupakan fenomena modern bagi umat
islam. Walaupun pada zaman Rasulullah belum terdapat tauladan untuk itu, namun kelihatannya
nilai-nilainya sudah ada, seperti musyawarah untuk mufakat, tolong-menolong untuk berbuat
baik dan taqwa dan lain-lain. Penyiaran dan pengembangan agama Islam tidak mungkin hanya
dilaksanakan secara individual. Oleh sebab itu kehadiran suatu organisasi merupakan alternative
yang baik. Dengan memandang karena nilai-nilai positif dari organisasi itu, serta dengan dijiwai
oleh firman Allah Surat Ali Imran ayat 104, maka Muhammadiyah menjadikan organisasi
sebagai satu-satunya alat atau cara perjuangan yang sebaik-baiknya.
Ketegasan Muhammadiyah untuk menjadikan organisasi sebagai satu-satunya alat,
berdasarkan pula atas pemikiran tidak akan tegaknya amal baik yang wajib dilakukan tanpa
organisasi, mendorong Muhammadiyah ber-ijtihad dengan menetapkan bahwa organisasi untuk
melakukan (perintah agama) adalah wajib. Pemikiran ini berdasarkan kaidah Ushul FIqh, yaitu:
“Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib” (sesuatu kewajiban tidak selesai kecuali
dengan adanya suatu barang, maka barang itu hukumnya wajib).
Pemahaman Muhammadiyah tentang perintah pembentukan “ummah” dalam surat Ali
Imran ayat 104 itu adalah bahwa “ummah” berarti satu golongan atau kelompok yang memiliki
satu kesamaan kondisi, naksud, dan tujuan. Dalam usaha mencapai maksudnya, mereka mesti
bekerjasama. Oleh karena itu jelas memerlukan adanya pemimpin, pembagian tugas dan bidang,
serta tata tertib atau tata peraturan. Itulah yang dinamakan organisasi.
Namun doktrin keharusan berorganisasi ini sering dipahami tidak tepat. Hal ini dapat
dilihat adanya kecenderungan akhir-akhir ini untuk menjadikan organisasi bukan sebagai alat
lagi, tetapi bahkan telah bergeser dijadikan sebagai tujuan. Kecenderungan yang demikian bukan
hanya muncul dari sebagian kalangan Muhammadiyah, tetapi juga pada organisasi-organisasi
islam lainnya. Sehingga hal ini sering menjadikan suasana diharmonis atau disintegrasi umat
dalam skala yang luas. Agaknya, kecenderungan ini menyebabkan perlu adanya penyegaran
kembali terhadap pemahaman doktrin secara komprehensif, terutama di kalangan
Muhammadiyah, sehingga misi suci dari organisasi ini dapat menjadi semakin nyata.
10
BAB III
KESIMPULAN
Muhammadiyah yang muncul sebagai gerakan sosial, yang dapat ditafsirkan sebagai
salah satu bentuk protes terhadap kondisi sosial yang telah mapan dengan seperangkat tatanan
nilai, baik nilai agama maupun budaya, jelas mempengaruhi tatanan sosial yang ada ketika itu.
Muhammadiyah telah mampu membentuk pola lembaga sosial baru dengan berdasarkan pada
seperangkat tata nilai yang ditawarkannya, yang berbeda dari pola sebelumnya.
Sebagai gerakan islam, tata nilai yang ditawarkan Muhammadiyah untuk merubah pola
kehidupan sosial itu secara filosofis berdasarkan atas pemahamannya terhadap ajaran islam, yang
disesuaikan dengan jiwa zamannya. Hal ini tentu tidak terlepas dari identitas gerakan ini, yaitu
sebagai gerakan tajdid(pembaruan).
Untuk merealisasikan dasar pemikiran ini, Muhammadiyah menetapkan nilai-nilai dasar,
baik yang berkenaan dengan aspek filosofis maupun yang berkenaan dengan aspek praktis
(operasional). Nilai-nilai dasar yang berkenaan dengan aspek filosofis dirumuskan dalam
Muqqadimah Anggaran Dasar, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah serta
Kepribadian Muhammadiyah. Sedangkan yang menyangkut aspek praktik (operasional)
dirumuskan dalam Khittah Perjuangan Muhammadiyah. Untuk mencapai cita-cita itu,
Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya sebagaimana prinsip-prinsip yang
tersimpul dalam Muqqaddimah Anggaran Dasar-nya.
1. Hidup berdasarkan Tauhid, Ibadah dan taat kepada Allah.
2. Hidup bermasyarakat.
3. Mematuhi dan meyakini ajaran Islam sebagai satu-satunya landasan kepribadian dan
ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
4. Berjuang untuk menegakkan dan menjujung tinggi ajaran Islam. Muhammadiyah
menjadikan perjuangannya untuk menjunjung tinggi, menyebarluaskan dan
mempertahankan agama Islam sebagai dasar filosofis gerakannya.
5. Ittiba' kepada langkah dan perjuangan Nabi s.a.w. Muhammadiyah menjadikan Rasulullah
s.a.w sebagai "tauladan" (uswah) perjuangan yang diikuti, sesuai dengan nama organisasi
itu sendiri.
6. Keharusan berorganisasi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Sutarmo.2005.Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis.Yogyakarta:Suara Muhammadiyah.