fakultas keguruan dan ilmu pendidikan …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfsurakarta...

80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam) SKRIPSI Oleh : SITI ZULAIHAH K4407040 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Upload: dangthien

Post on 07-May-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820

(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)

SKRIPSI

Oleh :

SITI ZULAIHAH

K4407040

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 2: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820

(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)

Oleh:

SITI ZULAIHAH

NIM: K4407040

SKRIPSI

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar

Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 3: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

Page 4: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

Page 5: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

ABSTRAK

Siti Zulaihah. K4407040. ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli. 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta pada tahun 1788-1820, (2) Idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan yang ada di Keraton Surakarta tahun 1788-1820, (3) Dampak idealisme Paku Buwana IV di dalam pemerintahan Keraton Surakarta tahun 1788-1820.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman, terlihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Keraton menjadi pusat pengkajian ilmu agama Islam, oleh sebab itu raja meraih dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan. Islam yang diamut bercorak mistik atau sinkretik. Hal ini merupakan konsekuensi dari masih bertahannya tradisi agama terdahulu (Hindu-Budha), serta usaha untuk menghindari terjadinya gesekan antara dua tradisi (Hindu-Jawa) dengan terciptanya budaya kearifan lokal. (2) Raja dianggap sebagai pusat dari kekuatan alam (kosmos). Raja adalah wakil Tuhan (Kinarya Wakil Hyang Agung atau Sabda Pandeta Ratu), tidak boleh ditentang (absolut) , dibangkang apalagi diberontak. Idealisme tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung Paku Buwana IV untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan berwibawa di banding dengan raja di sekitarnya (Kasultanan dan Mangkunegaran) serta VOC dan para abdi dalem. Sifat raja menguasai, memegang teguh syarat agama, dan melaksanakan syariat. Raja adalah sebagai pemimpin umat, itulah sebabnya ia disebut sebagai Khalifatullah. (3) Akibat dari idealisme Paku Buwana IV yang meletakkan dasar agama Islam dan menempatkan para kyai ke dalam posisi sentral birokrasinya, maka Belanda melakukan pengepungan terhadap keraton Surakarta. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1790 disebut dengan peristiwa Pakepung. Keraton Surakarta dikepung oleh tentara gabungan yang terdiri atas tentara Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran dan Belanda karena pengaruh dan kekuasaan para ulama yang besar dalam sistem pemerintahan keraton Surakarta yang diusung Paku Buwana IV pada tahun 1788-1820.

Page 6: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

ABSTRACT

Siti Zulaihah. K4407040. ISLAMIZATION IN THE PALACE OF SURAKARTA AN ANALYSIS (Islamic Political Thought of Paku Buwana IV). Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University of Surakarta, July. 2011. The purpose of this study was to determine: (1) A religious life at the Surakarta Palace in the year 1788-1820, (2) Paku Buwana IV Idealism about religious life in Surakarta Palace in 1788-1820, (3) The impact of Paku Buwana IV idealism in the government of the palace of Surakarta in 1788-1820. This study uses historical methods. The steps of the methods include heuristics, criticism, interpretation and historiography. The data used primary sources and secondary sources. Data collection techniques using technique of literature study. The Analytical techniques was accuracy historical analysis which emphasizes on the sharpen in interpreting historical facts. Based on the research results, it can be recognized some conclusious as the following: (1) Kasunanan Surakarta is characterized as an Islamic empire, seen from the position penghulu and abdi dalem ngulama in the royal bureaucracy, the existence of peradilan serambi based on the Islamic law and doctrine, the use of Sayidin Panatagama title (The leader is the leader it self and the Manager of Religious Affairs at the same time) by Sunan, and the establishment of the Great Mosque in the palace environment. The palace became the center of the study about Islamic religion, therefore, the king reached the moral support of the clergy as a form of coexistence. Islam which was held was mystical Islam or syncretic. This is a consequence of the persistence of the previous traditional religion (Hindu-Buddhist), and the effort to avoid friction between the two traditions (Hindu-Javanese) by the creation of local wisdom. (2) King is considered as the center of the forces of nature (cosmos). The king is the representative of God (Kinarya Wakil Hyang Agung or Sabda Pandeta Ratu), should not be challenged (absolute), moreover rebellious rebel. This idealism about the demands of compliance was carried out by Paku Buwana IV to achieve a higher level of power and authority than that of the other kings surrounding (Sultanate and Mangkunegaran) and the VOC also the abdi dalem. The characters of the king were mastering, upholding religious Shari'a, and implementing the Shari'a. The king was as the leader of the people, that is why he was referred to Khalifatullah. (3) As the impact of Paku Buwana IV idealism who laid the foundations of Islam and put the clerics into the position of the central bureaucracy, the Dutch sieged the Surakarta palace. This incident occurred in 1790 was called pakepung event. Surakarta palace was surrounded by an unified army consisting the soldiers of Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, and the Dutch because of the great influence and power of the clerics in the Surakarta palace government system carried by Paku Buwana IV in 1788-1820.

Page 7: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

MOTTO

Bila Sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa.

(Ahmad Mansur Suryanegara)

Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad

Perhatikan sejarahmu untuk hari esok

(QS. Al-Hasyr : ayat 18)

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah

kamu bercerai-berai….

(QS. Ali Imran: ayat 103)

Page 8: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan:

1. Ibunda tercinta yang selalu mendoakan disetiap

sujud dan tahajudnya.

2. Buat kakakku: mbak Kurni dan mas Dwi, mbak

Rahma dan mas Danang serta adikku tersayang,

Febriana.

3. Teman-teman Motivasi: Anjar, Mufti, Desi,

Djoko, Fitri, Margi, Duwi, Miko, mbak Tutut,

mbak Septi dan semuanya yang selalu memberi

semangat.

4. Buat Nadia, mbak Puji, Bety, Wulan, Iis, Dian,

Nora, mas Iben’z, mas Andi dan semua teman2

Hiscom’07 yang tak bisa disebutkan satu persatu

terimakasih.

5. Almamater FKIP dan UNS.

Page 9: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah...

Puji syukur penulis panjatkan ke Illahi rabbi, atas rahmat dan hidayah-

Nya, skripsi ini dapat diselesaikan.

Banyak hambatan yang penulis hadapi dalam penyelesaikan penulisan

skripsi ini, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka skripsi

ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberi ijin penyusunan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah

menyetujui atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang telah

memberikan pengarahan dan ijin penyusunan skripsi.

4. Prof. Dr. Mulyoto, M.Pd. selaku Pembimbing I atas arahan dan bimbingan

sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

5. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. selaku Pembimbing II atas arahan dan

bimbingan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

6. Staf dan serta karyawan Reksa Pustaka Mangkunegaran, perpustakaan

Monumen Pers Surakarta, perpustakaan UIN Yogyakarta, perpustakaan UGM

Yogyakarta, perpustakaan Pusat UNS, dan perpustakaan Program Studi

Sejarah, yang membantu penulis dalam memperoleh sumber data.

7. Temen-teman di Program Studi Sejarah dan kawan-kawan LPM Motivasi.

8. Berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih ada kekurangan

sehingga segala kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Harapan penulis

semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan.

Surakarta, Juli 2011

Page 10: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

HALAMAN PENGAJUAN ........................................................................ ii

HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv

ABSTRAK .. ......….. ................................................................................... v

ABSTRACT . .......................................................................................... .... vi

HALAMAN MOTTO ................................................................................ vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ viii

KATA PENGANTAR ................................................................................ ix

DAFTAR ISI .............. ................................................................................. x

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Perumusan Masalah .................................................................. 7

C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8

D. Manfaat Penelitian .................................................................... 8

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 9

1. Hinduisme .......................................................................... . 9

2. Islamisasi .............................................................................. 12

B. Kerangka Berfikir ....................................................................... 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 21

B. Metode Penelitian....................................................................... . 22

C. Sumber Data ............................................................................... 23

D. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 24

E. Teknik Analisis Data ............................................................... ... 25

Page 11: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

F. Prosedur Penelitian ...................................................................... 26

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-

1820.............................................................................................

31

1. Islamisasi di Keraton Surakarta ............................................. 31

2. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Masa Paku

Buwana IV (1788-1820)......................................................... 35

B. Idealisme Paku Buwana IV dalam Kehidupan Keagamaan di

Keraton Surakarta Tahun 1788-1820...........................................

43

C. Dampak Idealisme Paku Buwana IV dalam Pemerintahan

Keraton Surakarta Tahun 1788-1720............................................ 48

1. Pengaruh Islam Terhadap Pemerintahan di Keraton

Surakarta Tahun 1788-1820 .................................................. 52

2. Munculnya Kritik Akibat Idealisme Paku Buwana IV Pada

Masa Pemerintahannya ……………………...……………. 56

3. Dampak Idealisme Paku Buwana Terhadap Pemerintahan

di Keraton Surakarta ............................................................. 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................. 65

B. Implikasi ..................................................................................... 66

C. Saran ............................................................................................ 68

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 69

LAMPIRAN

Page 12: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Jawa Tahun 1760 ............................................................... 73

Lampiran 2. Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggulo..................................... 74

Lampiran 3. Transkripsi Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggulo................. 78

Lampiran 4. Artikel Joko Lodang................................................................... 79

Lampiran 5. Struktur Birokrasi ...................................................................... 81

Lampiran 6. Foto ........................................................................................... 82

Lampiran 7. Serat Wicara Keras Pupuh Sinom ............................................. 88

Lampiran 8. Transkripsi Serat Wicara Keras Pupuh Sinom .......................... 92

Lampiran 9. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ............................... 95

Lampiran 10. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan ................................................................................. 96

Page 13: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedatangan Islam pertama-tama di Jawa tidak diketahui dengan pasti dan

sulit diteliti, karena kurangnya sumber data yang mendukung. Bukti-bukti proses

Islamisasi baru dapat diketahui lebih banyak sejak akhir abad ke-13 hingga abad

berikutnya. Pada waktu itu kebudayaan spiritual orang Jawa telah menyerap

pikiran Hindu dan Budha Mahayana paling sedikit selama seribu tahun

(MC.Ricklefs, 1984: 14).

Islam yang datang dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang

dipengaruhi oleh ajaran mistik, yaitu Islam Sufi bukan Islam Sunni yang syar’i.

Islam Sufi mempunyai dasar pemikiran yang sejajar dengan religi asli animisme

dan dinamisme. Ajaran budaya Hindu-Kejawen yang dikembangkan oleh

kerajaan-kerajaan Jawa pedalaman juga bersifat mistik, sehingga dasar

pemikirannya sejalan dengan Islam Sufi. Dasar pemikiran tersebut adalah manusia

bisa menjalin hubungan langsung dengan daya-daya dan roh-roh gaib. Bahkan

dalam mistik samadi atau perantaraan dzikir manusia bisa dikatakan makrifat

(berhadapan dengan Allah) atau bahkan bisa mengalami manunggal (bersatu)

kembali dengan Tuhan-nya (Simuh, 2000: 9).

Ajaran-ajaran Islam Sufi kemudian berakulturasi dengan ajaran-ajaran

kebudayaan Jawa asli dan kebudayan Hindu-Kejawen, sehingga terbentuk Islam

Kejawen. Di Indonesia pemeluk agama Islam merupakan golongan mayoritas.

Dalam masa perkembangan agama Islam di Jawa muncul aliran yang mengarah

ke agama Islam Kejawen, yaitu agama Islam hasil sinkretisme dari paham ajaran

Hindu dan Islam. Proses Pengislaman Kejawen ini sudah berlangsung sejak masa

Kesultanan Demak (Rustopo, 2007: 28-29).

Pada akhir abad ke-18 hampir seluruh pulau Jawa secara resmi beragama

Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda. Pusat Islam yang paling sadar adalah

kota-kota pesisir utara, di situlah titik berat kebudayaan santri. Kebudayaan santri

berhadapan dengan kebudayaan Keraton dan pedalaman Jawa. Keraton-keraton

Page 14: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

secara resmi memeluk agama Islam, namun dalam gaya kehidupan pengaruh

tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol (Franz Magnis, 2001: 31).

Peran ulama dalam Islamisasi juga bisa dilihat dalam sejarah Jawa. Lebih

dari sekedar mengislamkan raja, ulama di Jawa sekaligus sebagai raja. Kisah

legenda walisongo, sembilan orang wali (ulama) yang diyakini paling berjasa

dalam menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-15 adalah penguasa di wilayah-

wilayah pantai Utara Jawa yang memang tengah berkembang menjadi kota-kota

dagang (Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi, 2003:3).

Taufik Abdullah (1987:119) mengatakan bahwa ”Islamisasi telah

mencapai suatu proses konsolidasi politik yang lebih lanjut, dimana dagang,

kekuasaan, dan agama telah terintegrasikan”. Maksudnya susunan kekuasaan yang

dibangun bukanlah lagi semata-mata kekuatan dagang, melainkan juga kekuatan

politik dan agama.

Hubungan antara Islam dan politik di Indonesia memiliki akar sejarah

yang sangat panjang, yakni sejak pertamakali Islam disebarkan di kepulauan

nusantara pada abad ke-13 dan 14 Masehi. Sepanjang perjalannnya tersebut, Islam

terlibat dalam masalah-masalah politik. Pada masa ini politik Islam memperoleh

bentuknya yang sangat nyata. Di bawah pengaruh kekuatan kolonialisme Barat

yang hegemonik secara politik, militer, ekonomi dan budaya, kekuatan Islam yang

laten dan tidak pernah mau tertundukkan dalam posisi tersudut, lebih

tertransformasi ke dalam bentuk politik dan ideologi. Dalam hal ini, bukan saja

pemimpin-pemimpin Islam tingkat lokal yang merupakan lawan utama serta

simbol perjuangan melawan penjajah. Namun di atas itu semua, Islam memiliki

kekayaan doktrinal dan pengalaman politik yang segera dapat ditransformasi atau

direkonstruksi menjadi ideologi dan keyakinan politik, tanpa harus meminjam

kepada ideologi manapun.

Islam juga mencoba untuk menjembatani berbagai partikularisme

kesukuan dan daerah, dengan melakukan persatuan Islam. Dalam konteks ini,

Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi

politik, sehingga menimbulkan kekuatan politik luar biasa. Seperti yang

diwujudkan dalam gerakan Sabilillah, Perang Jihad dan sebagainya.

Page 15: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

Perjuangan kaum Islam di Nusantara melawan penjajah Belanda dapat

dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, oposisi atau perlawanan yang dipimpin

para Sultan. Fase kedua, perlawanan yang dipimpin para bangsawan keraton. Fase

ketiga, perlawanan yang dipimpin para pemuka agama (ulama). Perang

Diponegoro (1825-1830), perang Banjarmasin (1858), dan Perang Aceh (akhir

abad ke-19 dan awal abad 20 ) merupakan bentuk nyata perlawanan terhadap

penguasa Belanda, meskipun Islam bukan satu-satunya alasan. Dengan

mengibarkan bendera Islam dan mengobarkan perang suci (jihad), Islam semakin

memperoleh peran dalam sejarah politik di Indonesia (Faisal Bakti, 1993:53-54).

Kasunanan Surakarta secara formal memang merupakan sebuah kerajaan

yang bercirikan keislaman. Ciri sebagai kerajaan Islam dapat dilihat dari adanya

jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya

peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan

gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur

Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton.

Disamping itu banyak upacara keraton yang juga mencerminkan sifat Islami,

seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar (Darsiti

Soeratman, 1989:139).

Nuansa keislaman telah mewarnai simbol-simbol budaya keraton

Kasunanan Surakarta, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan

masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik, berbagai kepercayaan

pra Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, kepercayaan pada

makhluk halus, dan upacara ritual pra Islam lainnya merupakan bagian yang tidak

dapat dipisahkan dari kehidupan keagaman masyarakat keraton. Akhirnya

menjadi ciri keagamaan masyarakat keraton yang oleh para peneliti kemudian

dikenal dengan istilah Agami Jawa (Koentjaraningrat, 1956: 310).

Sifat Sinkretisme agama yang dihayati oleh masyarakat keraton

sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses Islamisasi di pedalaman Jawa itu

sendiri. Agama Islam masuk ke pedalaman Jawa tidaklah dalam bentuk murni

yang mementingkan hukum syariah, namun lebih banyak bercampur dengan

sufisme atau mistik Islam (H.J de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, 1985: 256-275).

Page 16: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

Penekanan pada unsur mistik atau sufisme pada awal penyebaran Islam di

pedalaman Jawa dapat dilihat dari tokoh-tokoh penyebarnya, seperti Sunan

Kalijaga dan Sunan Pandanaran (J.J. Raas, 1987: 56-60). Kedua tokoh penyebaran

agama Islam ini memang mempunyai warna sufisme yang kental karena ingin

menyesuaikan Islam dengan alam pemikiran masyarakat pedalaman Jawa. Oleh

karena tekanannya pada tasawuf, maka proses Islamisasi di pedalaman Jawa tidak

mengalami hambatan yang berarti. Hal ini berkaitan dengan adanya beberapa

kesamaan antara pandangan dunia tradisional Jawa dan ajaran mistik atau tasawuf

Islam.

Keharmonisan pola integrasi agama Islam di pedalaman Jawa dapat dilihat

dari pandangan masyarakat Jawa terhadap para wali dan kyai penganjur agama

Islam. Mereka tidak saja dianggap sebagai penyebar agama, melainkan juga

dianggap sebagai penjaga budaya Jawa. Masyarakat Jawa bahkan percaya bahwa

kesenian Wayang dan Gamelan merupakan sebagai puncak budaya Jawa

merupakan karya para wali (Solochin Salam,1975). Ciri sufisme atau mistik Islam

dengan demikian telah menemukan kecocokannya dalam pandangan dunia

tradisional Jawa sehingga dapat mempercepat proses integrasi dan penyebaran

agama Islam.

Sultan Agung berhasil meletakkan simbol Islam dalam sistem politik,

terlihat bahwa Sultan Agung untuk membuat kerjasama dengan birokrasi non-

sarjana Muslim. Ide Sultan Agung adalah bahwa Muslim sarjana non-birokrasi

dimanfaatkan untuk menghubungkan perbedaan politik antara Sultan Agung dan

bupati setelah invasi ke Batavia. Setelah kematian Sultan Agung, Amangkurat I

(1645-1677) dan Amangkrat II (1677-1703) mulai dekonstruksi sistem politik

Mataram. Maksudnya, politik keagamaan (religio-polical power) yang dibangun

oleh Sultan Agung, telah ditinggalkan oleh raja penerusnya dengan memilih

sistem sekularisme, sebagai upaya untuk mepertahankan perlengkapan magis-

religius dari pengaruh Islam.

Amangkurat I membunuh ulama dan santri (siswa di sekolah Islam

tradisional) di alun-alun kota Pleret (Karel A. Steenbrink, 1984 : 29-31).

Sedangkan Amangkurat II dan para penguasa berikutnya tidak membutuhkan

Page 17: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

legitimasi politik dari ulama dan pesantren (tradisional Muslim sekolah),

meskipun pesantren yang mewakili basis massa dan memiliki ikatan perkawinan

dengan Mataram (Soemarsaid Moertono, 1985 : 37-39).

Raja yang sukses harus menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang

berlawanan di dalam kerajaannya tanpa mengurangi otonomi esensial mereka.

Bahkan suatu oposisi yang relative kecil jika tidak segera ditumpas, mungkin pada

akhirnya akan membawa pada keruntuhan total kekuasaan raja. Tiap raja yang

memerintah merasa berkewajiban untuk mengemban misi memperkuat dinasti,

sebab bilamana usahanya berhasil, maka itu sekaligus akan dapat memperkuat

kedudukannya sendiri di dalam dinasti. Para anggota dinasti Mataram akan

hormat kepada raja yang sedang memerintah bila ia berhasil membuat dinasti itu

jaya. Sebaliknya, kalau ia gagal mengemban misi, ia akan ditentang oleh sesama

anggota dinasti Mataram sendiri.

Bangsawan dan keraton adalah satu kesatuan integral yang saling

menguatkan kebangsawanan tidak akan berarti secara politis kalau ia tidak

dikokohkan oleh keraton. Bangsawan yang tidak memiliki keraton akan

mengalami kemerosotan status social. Demikian pula dengan keraton tidak akan

bisa menjadi institusi penting kalau tidak diperkuat oleh keterampilan politik dari

bangsawan yang setiap saat dengan daya kreasi mereka akan meningkatkan

“kewibawaan” keraton (Ari Dwipayana, 2004 : 245).

Perseteruan, intrik dan bahkan konflik dalam pergantian kekuasaan selalu

menyertai pergantian dalam sejarah Kerajaan di Jawa. Raja yang baru bertahta

selalu merasa terancam kedudukannya. Kekuasaan dianggap menjadi sesuatu

yang harus utuh dan bulat, tidak boleh tersaingi, terkotak-kotak ataupun terbagi-

bagi dengan orang lain. Keterlibatan Belanda dalam urusan-urusan Kesultanan

Mataram mencapai tahapnya yang kritis pada tahun 1740. Belanda tidaklah secara

konsekuen melaksanakan politik devide et empera di Mataram seperti halnya yang

mereka lakukan di Ternate dan Tidore. Percecokan dalam negeri antar keluarga-

keluarga kerajaan membuat setiap usaha Belanda untuk mengukuhkan sultan

menjadi lenyap dan khayal (C.R. Boxer, 1983:102).

Page 18: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

Di keraton Surakarta masalah-masalah intern terus berkembang.

Ketidakcakapan Paku Buwana III secara umum, berbagai persengkokolan istana,

dan perilaku pejabat-pejabat VOC mulai mengancam keamanan dan stabilitas

istana, Pihak Belanda sepenuhnya mempercayai kesetiaan Paku Buwana III, tetapi

mencemaskan kondisi kerajaan yang nyata-nyata lemah (M.C Ricklefs, 2002:

228). Paku Buwana III merasa sangat takut melukai perasaan VOC dan mudah

terpengaruh oleh VOC (sesungguhnya, ia mudah sekali dipengaruhi oleh hampir

semua orang).

Pada tahun 1788 Paku Buwana III wafat dan kedudukannya sebagai

Susuhunan Surakarta digantikan oleh putranya yang baru berusia 19 tahun, Paku

Buwana IV (1788-1820). Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat

Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga

dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam

menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat

jumat, mengharamkan minuman keras dan candu sudah terlihat sejak muda ketika

masih berstatus sebagai putra mahkota.

Kegemaran Paku Buwana IV dalam mencari ilmu agama telah

mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Adakalanya

kyai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta, sehingga

tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya.

Pada awal tahun 1789, Paku Buwana IV mulai mengangkat kelompok

baru yang disenangi untuk menjadi pejabat-pejabat tinggi. Orang-orang ini

menganut ide-ide keagamaan yang ditentang oleh hierarki keagamaan yang sudah

mapan di Surakarta. Pengangkatan ulama bernama Bahman, Nur Saleh,

Wiradigda menjadi guru rohani keraton Surakarta. Pengaruh dan kekuasaan para

ulama tadi sangat besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tindakan Paku

Buwana IV mengganti dua temenggung yaitu Mangkuyuda dan Pringgalaya,

diganti oleh Wiradigda dan Sujana Pura (Serat Tus Pajang, 1935:56).

Setiap kerajaan melakukan konsolidasi, apakah itu bersifat internal

maupun eksternal. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem kinasih (abdi

dalem kepercayaan) merupakan upaya konsolidasi yang dilakukan oleh Paku

Page 19: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam birokrasi

kerajaannya. Paradigma Din-Dawlah merupakan keterkaitan antara agama dan

negara. Agama kebutuhan negara, karena melalui negara, agama memiliki

kemampuan untuk memperluas, dan Islam norma-norma dan nilai-nilai dapat

dibuat sebagai dasar etika dan juga politik moral.

Paku Buwana IV merupakan raja yang terkenal santri. Melalui pemikiran

atas dasar agama, Paku Buwana IV ingin menyeimbangkan antara agama dan

politik dalam menjalankan birokrasi kerajaannya. Berdasarkan latar belakang

masalah di atas maka penulis mengangkat suatu pokok penelitian dengan judul

”ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788 -1820

(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820?

2. Bagaimana idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan di

Keraton Surakarta tahun 1788-1820?

3. Bagaimana dampak idealisme Paku Buwana IV dalam pemerintahan

Keraton Surakarta tahun 1788-1820?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-

1820.

2. Untuk mengetahui idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan

keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820.

3. Untuk mengetahui dampak idealisme Paku Buwana IV dalam

pemerintahan Keraton Surakarta tahun 1788-1820.

Page 20: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

a. Dapat memberikan gambaran mengenai kehidupan keagamaan di

Keraton Surakarta tahun 1788-1820.

b. Dapat menambah referensi pengetahuan tentang peran Islam di

Keraton Surakarta tahun 1788-1820.

Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

a. Memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana

pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

b. Bagi pembaca, khususnya mahasiswa Program Studi Sejarah FKIP

UNS agar digunakan sebagai bahan awal untuk meneliti tentang

Islamisasi yang terjadi di Keraton Surakarta pada umumnya dan

pemikiran politik Islam Paku Buwana IV khususnya.

Page 21: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hinduisme

a. Pengaruh Hindu

Pengaruh Hinduisme yang paling mengakar dalam adalah di Jawa, dan

terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga Bali. Hinduisme memberikan

tata tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat

keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Hinduisme memberikan dan

mengangkat budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan kerajaan-

kerajaan besar dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli dan telah

mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya.

Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa dalam abad ke-VI dan ke-VII

Masehi terdapat beberapa negara Hindu di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Raja

menjadi poros seluruh kerajaan. Sejarah lebih dari seribu tahun perkembangan

kebudayaan Hindu-Jawa menghasilkan suatu pembagian masyarakat Jawa ke

dalam rakyat di desa-desa di satu pihak dan keraton di lain pihak, yang

daripadanya kekuasaan ghaib mengalir ke daerah membawa kesuburan,

pembagian mana dalam pemisahan antara rakyat kecil dan elite terdidik tetap

bertahan sampai sekarang. Apabila dalam lingkungan keraton mengalami banyak

perubahan dari segi politik, budaya, dan keagamaan, sebaliknya desa Jawa justru

mempertahankan ciri-ciri tradisionalnya seperti kepercayaan pada roh-roh, rasa

kekeluargaan, dan konservativismenya, namun kedua lingkungan itu tidak

bereksistensi berdampingan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan mereka

juga saling melengkapi. Bentuk pertanian intensif yang berdasarkan persawahan

merupakan prestasi asli orang Jawa. Sedangkan pengaruh-pengaruh kebudayaan

India menunjang perkembangan lingkungan keraton ke arah yang telah diambil

sebelumnya.

Hinduisme tidak mematikan budaya Jawa asli, akan tetapi justru memupuk

dan menyuburkan kebudayaan Jawa asli. Tidak hanya itu, Hinduisme

Page 22: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

meningkatkan filsafat hidup dan wawasan tentang alam raya beserta teori-teori

kenegaraan yang diperintahkan oleh raja-raja yang keramat sebagai wakil para

dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang diberkati oleh para dewa. Oleh

karena itu, Hinduisme kemudian mengakar dalam dan menjadi penyangga

kebudayaan priyayi Kejawen yang menjulang di lingkungan istana kerajaan-

kerajaan, serta membentuk tradisi besar, sedangkan masyarakat desa Jawa yang

hanya tersentuh sedikit kebudayaan Hinduisme tetap buta huruf dan mewujudkan

tradisi kecil dalam budaya Jawa. Kebudayaan animisme dan dinamisme

masyarakat Jawa tetap bertahan serta ikut menjiwai pula dalam pola kebudayaan

priyayi di lingkungan tradisi besar (Simuh, 2000: 6).

Bagi Legge, dalam Franz Magnis ( 2001: 30) hubungan timbal balik antara

desa dan raja merupakan sumbangan zaman Hindu Jawa yang menentukan kepada

masyarakat Indonesia. Pada akhir zaman Hindu Jawa semangat Jawa asli semakin

berjaya. Sesudah unsur-unsur berharga dari Siwaisme, Wisnuisme, dan Budhiisme

ditampung, unsur-unsur itu dijadikan wahana bagi paham-paham Jawa asli seperti

penghormatan terhadap nenek moyang, pandangan-pandangan tentang kematian

dan penebusan, kepercayaan pada kekuasaan kosmis, dan mitos-mitos suku kuno.

Agama-agama impor diresapi oleh kebudayaan Jawa sampai menjadi ungkapan

identitas Jawa sendiri.

2. Islamisasi

a. Pengaruh Islam

Agama berasal dari kata a yang artinya tidak, dan gama yang artinya

rusak. Suatu keyakinan bila dipatuhi ajarannya tidak akan membuat pribadi dan

masyarakat rusak. Agama dalam pandangan orang Jawa sama dengan busana, atau

ageman yang berarti pakaian. Warga negara yang mulia tentu akan

memperhatikan ajaran agama, ajaran leluhur sebagai yang tertera dalam Kitab

Suci. Kewibawaan seorang pemimpin yang dituntun oleh ajaran agama akan

terbebas dari perbuatan aniaya, nista dan hina yang dapat meruntuhkan derajat dan

martabatnya.

Page 23: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

Prinsip kepemimpinan orang Jawa menuntut agar pemimpin selain

memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di

depan pengikutnya. Kepemimpinan yang agamis selalu mementingkan

kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Sehingga pada

hakekatnya, orang Jawa lampau tidak membedakan antara sikap-sikap religius dan

bukan religius. Bahkan interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap

terhadap alam. Sebaliknya sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevan

sosial. Antara pekerja, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki

(Fachry Ali, 1986).

Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat bagi

alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan

manusia di dunia. Dalam Al-Qur’an surat Toha ayat 2 menerangkan bahwa “Kami

tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah”. Dari

firman Allah tersebut menjelaskan bahwa umat manusia yang mau mengikuti

petunjuk Al Qur’an, akan dijamin oleh Allah kehidupan mereka akan bahagia dan

sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan

mengingkari ajaran Islam, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit

dan penuh penderitaan.

Dalam penyebaran agama Islam ada dua lembaga yang memegang

peranan penting, yakni langgar dan pesantren (Darusuprapto, 1976). Langgar

merupakan pengajaran agama permulaan, sedangkan pelajaran lanjut dan

mendalam diberikan di pesantren.

Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an,

berati tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja (2004:26-27), yang dikutip

oleh Haidar Putra Daulay, mengatakan pesantren dari kata santri yaitu seseorang

yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunya arti

tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengatakan

pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat

tradisional untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya

sebagai pedoman hidup keseharian.

Page 24: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju

terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan

pengertian lain pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama

yakni kepribadian muslim, kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam,

memilih, memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan

bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam merupakan

pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak

diri, berderajad tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah

mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin, 1999:9)

Sejak masa muda Paku Buwana IV mempunyai hubungan dengan para

ulama di sekitar Surakarta, dan ketika menjadi Sunan memudahkan membangun

ikatan politik. Paku Buwana IV pernah memperdalam agama dengan Kyai Imam

Syuhada (1745-1843) dari Pesantren Wanareja, Bekonang. Imam Syuhada adalah

putra Kyai Trunasura, Bagelen, dan cucu Kyai Ageng Baidlowi, Purwareja. Imam

Syuhada mendapat pendidikan keagamaan dari orangtuanya dan pesantren

kakeknya di Purwareja. Imam Syuhada selanjutnya menimba ilmu di Pesantren

Jatisaba asuhan Kyai Khotib Iman. Pemimpin Pesantren Jatisaba ini juga sebagai

abdi dalem ulama Keraton Kasunanan bertugas menjadi Khatib Masjid Agung.

Imam Syuhada ketika diperintah mendirikan pesantren di Wanareja, mendapat

bantuan Paku Buwana IV, meliputi ompak (penyangga tiang), soko (tiang),

mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol (Supariadi, 2001: 146-159).

Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan

pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial.

Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak

bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta

ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia

adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).

Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa

(Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis

gelar yang berbeda, yaitu: 1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang

dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan

Page 25: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

kereta emas yang ada di Keraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan bagi orang-

orang tua pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang

ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar

kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier, 1985:55).

Santri merupakan unsur yang penting dalam perkembangan sebuah

pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren

adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau

murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa

disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.

Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri

mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok

tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran

di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren

jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera

atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari

daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah

pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus

penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri

tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).

b. Hakekat Islam

Hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan

ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia

dan akhirat. Menurut Fitzgerald bahwa: "Islam bukanlah semata agama (a

religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system).

Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam,

yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan modernis, yang berusaha

memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di

atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang

tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain". Seperti yang dikemukakan oleh

Gibb bahwa Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual, namun ia

Page 26: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia

mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan

dan institusi (Dhiauddin Rais, 2001:4-5).

Dalam sejarah Kerajaan di Surakarta, raja dan bangsawan menyukai Islam

lokal daripada Islam trans-nasional. Penerimaan Islam lokal bukan disebabkan

menjalankan syariat, tetapi kekuatan Islam telah mengatasi sosial budaya, masalah

sosial politik ekonomi dan sosial. Pembangunan Islam lokal menghasilkan tiga

varian pemimpin yang cendekiawan muslim birokrasi, non-birokrasi, dan

sinkretisme (Fachry Ali, 2004). Muslim birokrasi sarjana berada di istana,

sementara sarjana Muslim non-birokrasi dan pemimpin sinkretisme mereka

berada di masyarakat. sarjana Muslim non-birokrasi dan sinkretisme adalah

oposisi dari istana dan pemerintah Belanda.

Dalam sistem Kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai konsep bahwa

kekuasaan raja adalah absolut (mutlak), dimana raja adalah segala-galanya. Raja

memiliki kekuasaan yang sangat besar, tidak hanya seorang dari kawula-nya,

tetapi juga harta bendanya. Raja juga dianggap seorang wenang sisesa ing

sanagari, yang berwenang tertinggi di seluruh negeri, sehingga rakyat harus

dherek kersa dalem (mengikuti apa kehendak raja). Doktrin semacam itu

kemudian melahirkan sistem pemerintahan yang mengarah pada tiran. Setiap raja

akan berusaha sendiri-sendiri untuk menghadapai pesaing yang datang.

Moedjanto (1987) menyebutkan dua alasan utama:

1) Hukum adat waris tahta tidak menjamin kedudukan penguasa atau raja yang

bersangkutan,

2) Sejarah membuktikan, bahwa raja Mataram yang memperoleh kedudukan

dengan melakukan pergeseran kekuasaan.

Proses alih kekuasaan di Kerajaan Mataram cukup bervariasi, dengan

berbagai latar belakang konflik yang mengiringi. Tidak hanya dari internal

kerajaan, campur tangan pihak luar pun juga dominan dalam proses pergantian

tahta di Kerajaan Mataram. Tentu saja pihak luar itu mempunyai maksud untuk

memuluskan kepentingan politik mereka. Oleh karena itu, penelitian ini

menggunakan pendekatan politik untuk mengungkapkan masalah-masalah yang

Page 27: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

berhubungan dengan distribusi kekuasaan di antar berbagai kelompok masyarakat.

Koalisi-koalisi politik, intrik-intrik, manuver-manuver politik, dan konflik-konflik

yang ada.

Menurut Isjwara (1966: 344) “politik merupakan perjuangan untuk

memperoleh kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, masalah-masalah

pelaksanaan atau control kekuasaan, dan pembentukan atau penggunaan

kekuasaan”. Ada beberapa konsep pokok dalam politik, seperti dijelaskan oleh

Miriam Budiardjo (2004: 9) bahwa: “Politik mengandung konsep-konsep pokok,

yaitu negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan

(decisionmaking), kebijaksanaan (policy, beleid), dan pembagian (distribution)

atau alokasi (allocation)”.

Menurut Miriam Budiarjo teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai

beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai

konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pikiran manusia dan karena itu bersifat

abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Teori politik

adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan

perkataan lain teori politik adalah renungan atas: (a). Tujuan dari kegiatan politik;

(b). Cara-cara mencapai tujuan itu; (c). Kemungkinan-kemungkinan dan

kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu; dan (d).

Kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.

Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain

masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban,

kemerdekaan, lembaga-lembaga Negara, perubahan social, pembangunan politik,

modernisasi, dan sebagainya (Budiarjo, 2005: 3).

Dalam peter worsley 1973:247. berpendapat istilah politik adalah:

… kita dapat dikatakan bertindak secara politis apabila kita mengahalangi orang lain sehingga mereka bertindak sesuai dengan apa yang kita inginkan dari mereka…. Dengan definisi ini , tindakan menghalangi dalam hubungan apa pun bersifat politis. Semua jenis tekanan, mulai dari perang massal penyiksaan yang terorganisir, sampai pada nilai-nilai yang tersembunyi dalam pembicaraan antar pribadi, semua itu merupakan dimensi yang bersifat politis.

Page 28: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

Setiap masyarakat mempunyai organisasi baik formal maupun non-formal,

dan untuk menjalankannya dibutuhkan pelaksana. Pelaksana membutuhkan

kekuasaan untuk mewujudkan rencana-rencana masyarakat. Kekuasaan diberikan

untuk mengatur cara hidup bersama. Kekuasaan menjadi penting larena kekuasaan

adalah kemampuan seorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku

orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Mariam

Budiardjo, 1998:10).

Kekuasaan erat sekali dengan kebijaksanaan atau kebijakan. Kekuasaan

memunculkan kebijakan, dan kebijakan akan berlaku apabila disertai dengan

kekuasaan. Dalam suatu kawanan politik (negara atau kerajaan), kekuasaan

seseorang akan mempengaruhi kebijakasanaannya dalam mencapai suatu tujuan.

Pencapai tujuan dilakukan melalui interaksi sosial, komunikasi politik dan

hubungan lainnya dengan masyarakat yang dipimpinnya.

Sistem politik suatu masyarakat berkaitan dengan aktivitas-aktivitas

lainnya. Di Jawa, para raja memerintah dipengaruhi oleh faktor kedudukan, status

dan simbol-simbol tertentu yang tujuannya untuk memperkuat kekuasaan.

Kekuasaan yang kuat mempunyai otoritas penuh untuk memerintah rakyat,

kehidupan politik suatu masyarakat merupakan sistem aktivitas-aktivitas yang

saling berkaitan. Di samping itu, politik erat kaitannya dengan wewenang. Suatu

hak yang telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial untuk menetapkan

kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah

yang penting untuk menyelesaikan pertentangan-pertentanga (Soerjono Soekanto,

1977:172). Para raja di Jawa mempunyai wewenang tak terbatas yang diperoleh

dari rakyat, wong cilik yang dipimpinnya.

Kekuasaan dan wewenang menjadi unsur pokok dalam menjalankan suatu

roda pemerintahan. Untuk memperolehnya diperlukan suatu kekuatan dari

pemegang kekuasaan. Menurut pemikiran tradisional Jawa, kekuasaan terletak

pada keberhasilan dan kegagalan para penguasa untuk memusatkan ”kuasa”

batinnya melalui cara-cara tertentu (Benedict Anderson, 1983:3). Agar raja atau

pemegang kekuasaan mempunyai kekuatan adi kodrati, supranatural bahkan

cenderung mistik-mitologis.

Page 29: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Kuatnya kultus nenek moyang terutama para raja yang memerintah,

mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Raja dianggap sebagai pusat dari

kekuatan alam (kosmos). Keistimewaan raja mempengaruhi pandangan

masyarakat terhadap sosok raja, hal itu yang menimbulkan kekaguman,

kewibawaan dan menambah bobot segala titahnya. Raja adalah pemimpin, oleh

kerena itu jika berbicara harus dipikirkan benar, karena apa yang telah dikatakan

tidak boleh ditarik kembali. Itulah sebabnya ia disebut raja (Sabda Pandita Ratu)

(Depdikbud, 1992:158).

Setiap apa yang menjadi keputusan, perintah dan kebijakan raja bahkan

segala macam benda pusaka yang bernilai bertuah “sakti”, karya sastra akan

mempengaruhi kekuatan politik seorang raja. Kekuatan sastra raja juga dapat

mempengaruhi politik, kultus terhadap raja menambah pamor dari karya sastra,

karena ada anggapan karya sastra mempunyai sifat keramat, keyakinan tersebut

tidak terlepas dari pandangan masyarakat pada waktu itu yang menganggap

benda-benda termasuk karta sastra yang bersifat sacral (Maharsi, 2001: 102).

Politik dapat mempengaruhi aktivitas-aktivitas manusia dibidang kehidupan

lainnya termasuk dalam sastra.

Karya sastra sebagai cara memberi kesadaran dan motivasi kepada orang-

orang yang diperintah salah satu caranya dengan internalized motivations, yaitu

suatu pendekatan untuk memotivasi bawahan dan masyarakat yang memerlukan

penanaman kerja kepada mereka…cara ini dapat bertahan sepanjang kesadaran itu

muncul dari niat yang tulus (Inu Kencana Syafi’i, 1997:60).

Menurut Duverger (1993:XII-XIII), terdapat dua corak pengaruh yang

ditimbulkan oleh kekuasaan, yaitu: 1). Orang melihat politik sebagai arena

pertarungan atau medan pertempuran. Kekuasaan digunakan orang yang berhasil

merebut dan mengotrol politik untuk berkuasa dan mempertahankan

kekuasaannya di dalam masyarakat. Di samping itu, ada pihak lain yang ingin

menentang dan merebut kekuasaan untuk tujuan yang sama sehingga kekuasaan

memainkan peranan sebagai biang konflik politik. 2). Orang menganggap bahwa

politik adalah suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan

dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum untuk melawan

Page 30: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan, Sehingga kekuasaan

memainkan peranan integrative, memihak, dan melindungi kepentingan bersama.

Kedua dimensi kekuasaan tersebut selalu muncul dalam kehidupan politik.

Kekuasaan sebagai biang konflik atau perpecahan selalu disertai oleh kekuasaan

sebagai benih integrasi. Jadi, kekuasaan bisa mendorong orang untuk berkonflik,

tetapi pada waktu yang sama juga bisa mendorong kerjasama atau integritas.

Menurut Webster (1966), istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti

perkelahian, peperangan, atau perjuangan, yaitu berupa konfrontasi fisik antara

beberapa pihak. Menurut Webster lebih lanjut, konflik berarti persepsi mengenai

perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan

bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.

Dalam sejarah konflik politik antara Paku Buwana II, Pangeran

Mangkubumi, dan Raden Mas Said, juga menyeret orang ke dalam konflik politik.

Konflik butuh waktu lama dan tidak bisa selesai, dan juga mengajak koloni untuk

menjadi bagian dari konflik ini. Akibat dari konflik tersebut Mataram terbagi

menjadi tiga bagian, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan

Kadipaten Mangkunegaran.

Di Surakarta, masalah-masalah intern terus berkembang. Ketidakcakapan

Paku Buana III secara umum, berbagai persengkokolan istana, dan perilaku

pajabat-pejabat VOC yang buruk telah mengancam keamanan dan kestabilitas

kerajaan. Keresahan politik dan ekonomi akibat pembagian kekuasaan Mataram

memaksa Paku Buwana IV memperkenalkan pemikiran Politik Islam dalam

menjalankan pemerintahannya. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem

kinasih (abdi dalem kepercayaan) merupakan upaya konsolidasi yang dilakukan

oleh Paku Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam

birokrasi kerajaannya. Konsolidasi internal adalah meminta seluruh sentana dan

abdi dalem untuk memperkuat nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup,

sementara konsolidasi eksternal membuat hubungan politik dengan pesantren di

sekitar Surakarta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Paku Buwana IV mencoba

membangun kekuatan berdasarkan keseimbangan antara kekuasaan politik dan

kekuasaan sosial. Paku buwana IV politiknya pro-Islam dan anti Belanda dengan

Page 31: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

pergi ke masjid dan memberikan khotbah (Aan Kumar, 1990:105). Melalui

idealisme Paku Buwana IV ini, Islam dijadikan legitimasi politik yang awalnya

dipengaruhi oleh para ulama kharismatik yang ada di Keraton.

B. Kerangka Berpikir

Keterangan:

Masuknya agama Islam ke keraton Surakarta, turut membantu dalam

pembentukan perpolitikan yang terjadi di dalam kerajaan Surakarta. Mulai dari

Sultan Agung, Islam menjadi dasar untuk melakukan dan menyebarkan legitimasi

kekuasaan. Setelah turunnya Sultan Agung, agaknya politik yang dibangun atas

dasar Islam mulai lemah dan menurun. Seiring dengan menurutnya kredibilitas

raja yang cenderung memihak dan bersekutu dengan VOC. Melihat kondisi

seperti itu, Paku Buwana IV mulai bangkit dan mengembalikan Islam sebagai

kekuatan politik dengan mengadakan konsolidasi Islam, yakni dengan melakukan

kerjasama dengan ulama kharismatik yang ada di Surakarta. Paku Buwana IV

berharap melalui idealismenya, konflik yang terjadi setelah palihan nagari

Ulama Kharismatik

Paku Buwana IV

Keraton Surakarta

Pesantren

Konsolidasi Belanda

Islamisasi

Page 32: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

mampu diredam serta ingin mengangkat kekuasaan atas Keraton Kasunanan

Surakarta yang telah mengalami penurunan sejak palihan nagari.

Selain itu pemikiran Paku Buwana IV tentang politik Islam melihat bahwa

Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang

sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua entitas yang menyatu.

Hubungan Islam dan Negara betul-betul organik dimana negara berdasarkan

syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan

pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik

Islam. Tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang

sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan

untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik.

Di tengah kondisi keraton yang tidak stabil akibat adanya intrik dan

provokasi dari VOC serta adanya perseteruan baik intern maupun ekstern

membuat Paku Buwana IV melakukan strategi politik dengan mengadakan

hubungan dengan para kyai (ulama) di Pesantren di sekitar Surakarta. Keleluasaan

kyai di dunia pesantren, baik dari segi politik maupun sosial-keagamaan, telah

menjadikan mereka dengan mudah tampil sebagai kelompok elit dengan

seperangkat ideologi dan aura kebesaran, yang kerap dirumuskan dalam terma-

terma keagamaan. Selain itu Paku Buwana IV yang sejak kecil sudah mendalami

ilmu agama dengan pergi ke masjid untuk memberikan khotbah dan dekat dengan

para kyai, hal itu membuat mudah untuk melakukan politik konsolidasi. Politik

Islam tersebut oleh Paku Buwana IV diharapkan mampu mengatasi masalah yang

sedang terjadi di Kerajaan akibat dari palihan nagari. Mulai dari masalah intern

kerajaan, yakni adanya peristiwa pakepung tahun 1790 serta campurtangannya

VOC dalam setiap kebijakan yang diluarkan raja. Konsolidasi tersebut yakni

dengan meminta seluruh sentana dan abdi dalem untuk memperkuat nilai-nilai

Islam sebagai pedoman hidup, dan menjalin hubungan politik dengan pesantren di

sekitar Surakarta.

Page 33: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian yang berjudul ”Analisis Islamisasi Di Keraton Surakarta Tahun

1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)” dilakukan

dengan metode studi pustaka melalui literatur-literatur yang ada di perpustakaan,

koleksi pribadi maupun perseorangan. Adapun tempat untuk memperoleh data

yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain:

a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS

b. Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

c. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta

d. Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran

e. Museum Keraton Kasunanan Surakarta

f. Yayasan Sastra Jawa Surakarta

g. Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

h. Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

2. Waktu Penelitian

N

o Kegiatan

Bulan

Jan Feb Maret April Mei Juni Juli

1. Persiapan

a. Pengajuan Judul

b. Pengajuan proposal

V

V

2. Pelaksanaan

a. Pengumpulan data

b. Analisis data

V

V

V

V

3. Evaluasi

a. Penulisan laporan

b. Ujian

V

V

V

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian

Page 34: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

Sesuai dengan tabel di atas, waktu yang diperlukan dalam penelitian ini

adalah selama 7 bulan (bulan ke-1 sampai bulan ke-7) yaitu dimulai dengan

kegiatan pembuatan proposal penelitian, pengumpulan sumber, kritik untuk

menyelidiki keabsahan sumber, menganalisis sumber yang diperoleh dengan

menguraikan kemudian menyatukan, dan tahap terakhir menyusun laporan hasil

penelitian.

B. Metode Penelitian

Dalam penyusunan rencana penelitian, peneliti akan dihadapkan pada

pemilihan metode atau teknik pelaksanaan penelitian. Metode penelitian

merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan penelitian dengan menggunakan

teknik tertentu. Dengan kata lain, metode adalah cara atau jalan sehubungan

dengan upaya ilmiah yang menyangkut masalah kerja, yaitu cara untuk dapat

memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan

(Koentjaraningrat, 1983: 7).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode historis, karena

obyek kajiannya berupa peristiwa masa lampau. Menurut Gilbert J. Garraghan

yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 43). Metode historis berarti

”seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber

sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-

hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Metode sejarah dapat juga berarti sebagai

proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang

autentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi

kisah sejarah yang dapat dipercaya (Louis Gottschalk, 1983 : 32).

Gottschalk (1983:18), mensistematisasikan langkah-langkah metode

penelitian sejarah sebagai berikut:

1) Pengumpulan obyek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan-

bahan tertulis dan lisan yang relevan;

2) Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak autentik;

3) Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau

penyajian yang berarti.

Page 35: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

Metode penelitian sejarah ini bertumpu pada empat langkah kegiatan: heuristik,

kritik atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi.

Menurut Basri MS (2006:35), yang dimaksud metode historis adalah

seperangkat aturan atau prinsip-prinsip dasar yang sistematis yang digunakan

dalam proses pengumpulan data atau sumber-sumber, mengerti dan

menafsirkannya serta menyajikan secara sintesis dalam bentuk sebuah cerita

sejarah (historiografi). Sedangkan tujuan penelitian historis adalah untuk

membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif dengan cara

mengumpulkan, mengevaluasi, serta mensintesiskan bukti-bukti untuk

menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat (Sumadi Suryabrata

1997: 16).

Berdasarkan masalah di atas penulis akan merekonstruksikan peristiwa

yang terjadi di keraton Surakarta pada masa Paku Buwana IV, yaitu “Analisis

Islamisasi di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV

Tentang Pilitik Islam). Sedangkan untuk obyek penelitian dan waktu terjadinya

peristiwa yang diteliti adalah Serat Wulang Reh karangan Paku Buwana IV berisi

tentang ajaran beragama yang lebih menekankan pada ajaran moral dan etika,

dalam arti berusaha memperbaiki akhlak berdasarkan pada ajaran syariah agama

Islam. Dari sikap Paku Buwana IV tersebut membuat Paku Buwana IV dekat

dengan para ulama atau kyai kharismatik di sekitar Surakarta, sehingga dalam

pemerintahannya pun dipengaruhi oleh para ulama. Hal itu membuat kompeni

membenci Paku Buwana IV dan mempengaruhi Ksultanan Yogyakarta dan

Mangkunegaran untuk melakukan pengepungan terhadap Keraton Surakarta,

peristiwa ini dijelaskan dalam babad Pakepung terjemahan Endang Saparinah.

C. Sumber Data

Sumber sejarah disebut juga data sejarah, bahasa Inggris dalam bentuk

tunggal, data bentuk jamak; bahasa Latin dalam berarti pemberian”

(Kuntowijoyo, 1995:94). Sumber sejarah menurut Helius Sjamsudin (1994:73)

ialah ” segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada

Page 36: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past

actuality).

Menurut bahannya, sumber sejarah dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis

dan tidak tertulis atau dokumen dan artifact (artefak). Sedangkan menurut

penyampaiannya dibagi menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer

apabila disampaikan oleh saksi mata. Sumber sekunder ialah yang disampaikan

oleh orang bukan saksi mata, misalnya buku-buku (Kuntowijoyo, 1995:96).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber primer dan sekunder.

Sumber primer dalam penelitian ini adalah serat Wulang Reh karangan Paku

Buwana IV. Sumber sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku literatur

yang relevan dengan penelitian ini. Melalui pengumpulan data berdasarkan

sumber data yang ditetapkan yaitu teknik studi pustaka, yakni mengumpulkan

data tertulis dengan menggali data dari serat dan babad, buku-buku literatur dan

bentuk pustaka lainnya yang mendukung. Sumber-sumber ini diperoleh melalui

kunjungan pustaka dan analisis. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini adalah buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian, antara

lain: ”Masyarakat Istana Jawa dan Politik Dalam Akhir Abad ke-18” karangan

Aan Kumar, ”Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah

Pembagian Jawa” karangan M.C Ricklefs, ”Kehidupan Dunia Keraton Surakarta

1830-1939” Darsiti Soeratman, ”Kyai dan Priyayi di Masa Transisi” karangan

Supariadi, ”Babad Pakepung” terjemahan Endang Saparinah.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang ditempuh untuk

memperoleh data yang diperlukan sehingga data yang diperoleh menjadi

sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan sumber data yang

digunakan, maka dalam melakukan pengumpulan data digunakan teknik

kepustakaan atau studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis

dengan membaca dan menganalisis kumpulan dokumen atau literatur. Kumpulan

dokumen dan buku-buku tersebut diperoleh dari perpustakaan-perpustakaan yang

ada di Surakarta dan Yogyakarta.

Page 37: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Dalam penelitian ini, kegiatan studi pustaka dilaksanakan dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

1. Mencari dan mengumpulkan sumber primer maupun sekunder dari

perpustakaan, koleksi pribadi maupun perseorangan.

2. Membaca, mencatat, meminjam dan menfotokopi sumber-sumber yang

penting dan relevan dengan tema penelitian, terutama untuk sumber-sumber

yang diperoleh dari perpustakaan.

E. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data sejarah. Teknik analisis

data sejarah adalah analisis data yang mengutamakan ketajaman dalam melakukan

interpretasi data sejarah. Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah tidak bisa

berbicara sendiri. Kategori dari fakta-fakta sejarah bersifat sangat kompleks,

sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri.

Fakta merupakan bahan utama yang digunakan sejarawan dalam menyusun

historiografi, dan fakta itu sendiri merupakan hasil pemikiran dari para sejarawan,

sehingga fakta terkumpul mengandung kadar subyektifitas.

Sartono Kartodirjo (1992) berpendapat bahwa untuk menganalisis suatu

karya sejarah diperlukan adanya kritik eksternal dan internal. Dalam penelitian ini

analisis data dilaksanakan setelah kegiatan pengumpulan data. Dari data yang

terkumpul kemudian dibandingkan antara sumber data yang satu dengan sumber

data yang lain. Dari hasil perbandingan sumber data yang satu dengan sumber

data yang lain akan menghasilkan fakta sejarah. Fakta-fakta tersebut kemudian

diseleksi, diklasifikasi, kemudian ditafsirkan sehingga fakta tersebut dapat

dijadikan bahan dalam penulisan ini. Salah satunya melakukan analisis terhadap

Babad Pakepung hasil terjemahan Endang Saparinah. Tulisannya membahas

mengenai peristiwa pakepung, yakni pengepungan terhadap keraton Surakarta

pada masa Paku Buwana IV oleh tentara kompeni, Kasultanan Yogyakarta dan

Mangkunegaran karena idealisme Paku Buwana IV dalam mengatur

pemerintahannya. Selain itu masih ada sumber pustaka lain yang melengkapi data

Page 38: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

dari penelitian sejarah tentang Islamisasi di Keraton Surakarta tahun 1788-1820,

pemikiran Paku Buwana IV tentang politik Islam.

F. Prosedur Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, perlu dibuat prosedur penelitian karena

dapat mempermudah cara kerja dan memperlancar jalannya proses penelitian.

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah secara rinci dalam penelitian dari

awal sampai akhir. Langkah pertama dalam prosedur penelitian ini adalah

membuat proposal untuk mengurus perijinan penelitian. Setelah judul penelitian

ditentukan dan disetujui, dilanjutkan dengan penulisan proposal yang berisi

rumusan masalah yang akan diteliti. Langkah selanjutnya yaitu mengadakan

penelitian dengan menggunakan metode penelitian sejarah. Secara lebih jelas

metode penelitian sejarah tersebut dapat disajikan dalam bagan berikut:

Tabel 2. Bagan Prosedur Penelitian

Keterangan:

Penelitian ini adalah penelitian sejarah, maka prosedur penelitian ini pun

menggunakan 4 tahapan dalam metode sejarah (Sartono, 1993: 60-62) yaitu:

heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi dengan penjelasan sebagai

berikut:

Heuristik

Intern

Kritik

Fakta Sejarah

Ekstern

Historiografi Interpretasi

Page 39: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

1. Heuristik

Heuristik adalah suatu proses mencari dan menemukan sumber-sumber

atau data-data baik dokumen hasil wawancara maupun buku-buku. Sumber-

sumber tertulis dalam penelitian ini diperoleh dari: perpustakaan Program Studi

Sejarah FKIP UNS, perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta,

perpustakaan Monumen Pers Surakarta, perpustakaan Reksa Pustaka

Mangkunegaran, perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada

Yogyakarta.

Pada tahapan ini ditemukan sumber-sumber yang sesuai dengan

permasalahan yang akan diteliti dengan studi kepustakaan. Sumber primer berupa

serat Wulang Reh yang diperoleh dari hasil penelusuran ke berbagai

perpustakaan. Sedangkan sumber sekunder seperti ”Masyarakat Istana Jawa dan

Politik Dalam Akhir Abad ke-18” karangan Aan Kumar, ”Yogyakarta di Bawah

Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa” dan ”Sejarah

Indonesia Modern 1200-2004” karangan M.C Ricklefs, ”Kehidupan Dunia

Keraton Surakarta 1830-1939” Darsiti Soeratman, ”Kyai dan Priyayi di Masa

Transisi” karangan Supariadi, ”Babad Pakepung” terjemahan Endang Saparinah.

2. Kritik

Kritik sumber yaitu memilih dan memilah sumber yang akurat dan

menyeleksi sumber-sumber yang ada untuk memperoleh informasi yang valid.

Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah untuk menyeleksi data menjadi sebuah

fakta. Kritik terhadap sumber ini terdiri dari dua jenis yaitu kritik intern dan kritik

ekstern.

a). Kritik Intern

Kritik intern dilakukan untuk mencari kesahihan. Kritik ini digunakan

untuk membuktikan apakah kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber dapat

dipercaya atau tidak. Dalam penelitian ini kritik intern dilakukan dengan cara

mengidentifikasikan watak dan sifatnya, membandingkan isi dari sumber yang

Page 40: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

satu dengan sumber lain sehingga didapatkan fakta sejarah yang relevan

dengan tema penelitian.

Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap buku yang satu dengan yang

lain, terdapat perbedaan penjelasan yakni gambaran kepribadian Paku Buwana

IV. Dalam babad Tutur banyak memuat sikap dan kepribadian dari Sunan

Paku Buwana IV yang positif, meskipun Paku Buwana IV dalam

menghadapai persoalan-persoalan mudah emosional, namun raja ini

mempunyai sikap yang teguh, watak yang tegas dan keras, serta taat

menjalankan ibadah agama Islam, sedang dalam buku The Sepoy Conspiracy

of 1815 in Java karangan Peter carey, menurut Raffles menjelaskan tentang

sikap dan kepribadian Sunan Paku Buwana IV sebagai laki-laki yang berjiwa

lemah, tidak punya pendirian, berakal licik dan kejam. Sehingga untuk

menghindari kesalahan dan keterangan yang kurang akurat, maka diperlukan

kehati-hatian supaya tidak mengandalkan data dari satu sumber saja

melainkan perlu sumber yang lain sebagai pelengkap dan pembanding. Supaya

hasil dari penelitian bersifat obyektif.

b). Kritik Ekstern

Adalah kritik terhadap keaslian sumber yang berkenaan dengan

keberadaan sumber, apakah sumber tersebut dikehendaki atau tidak, masih asli

atau sudah jiplakan. Kritik ekstern juga memberikan penilaian terhadap

kredibilitas sumber dengan melihat sumber itu utuh atau sudah diubah. Uji

keaslian sumber minimal dilakukan dengan pertanyaan berupa: kapan,

dimana, siapa, bahan apa, serta bentuknya bagaimana sumber dibuat. (Dudung

Abdurrahman, 1999: 38).

Dalam penelitian ini kritik ekstern terhadap sumber primer yakni

Serah wulang Reh karangan paku Buwana IV (1788-1820). Keaslian sumber

dilihat dari tahun pembuatan yakni abad ke-18, dibuat di Keraton Surakarta,

bahan terbuat dari kertas yang bertekstur kasar dengan huruf Jawa yang terdiri

dari tembang-tembang Macapat. Melihat dari jenis tulisan yang dipakai,

sehingga terlihat keaslihan sumber.

Page 41: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

Keaslihan dan kesahihan sumber dilakukan guna menghasilnya penulisan

sejarah yang valid, dengan melalui kritik terhadap sumber data yang didapat.

3. Interpretasi

Interpretasi yaitu menafsirkan keterangan yang saling berhubungan

dengan fakta-fakta yang diperoleh setelah melakukan kritik baik itu kritik intren

maupun kritik ekstern. Maka penulis berusaha menjelaskan apa yang telah

diperolehnya dari data-data dokumen dengan pemikiran dan analisis. Karena fakta

itu terletak pada pikiran seseorang maka itu menjadi bagian dari waktu sekarang.

Sehingga interpretasi masing-masing sejarawan berbeda-beda (Dudung

Abdurrahman, 1999: 22).

Tahapan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu analisis dan sintesis. Analisis

adalah menguraikan data dengan memperhatikan aspek kualitas, sedangkan

sintesis adalah penyatuan keduanya. Teknis Analisis data merupakan proses

pencarian dan perancangan sistematis semua data yang telah diperoleh

(terkumpul), sehingga peneliti mengetahui makna yang telah ditemukan dan

disajikan kepada orang lain secara jelas dan utuh. Dalam penelitian ini analisis

data yang digunakan adalah analisis historis, yaitu penyusunan cerita sejarah

berdasarkan fakta sejarah yang berhasil dikumpulkan dengan menulis sekumpulan

data yang akurat dengan obyek penelitian, kemudian dianalisis dan disusun yang

akhirnya didiskripsikan kedalam bentuk cerita sejarah. Menurut Nugroho

Notosusanto analisis historis adalah analisis sejarah dengan menggunakan kritik

sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang dibutuhkan untuk

mengadakan penulisan sejarah (Louis Gottchalk, 1983: 36)

4. Historiografi

Historigrafi adalah penyusunan atau penulisan sejarah atau historiografi,

yaitu menyusun fakta-fakta dalam suatu sintesis sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Pada tahap ini merupakan langkah terakhir dalam prosedur penelitian sejarah

yaitu berupa penulisan, pemaparan, atau penyusunan fakta sejarah menjadi suatu

kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Pada saat

Page 42: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

sejarawan memasuki tahap menulis, maka sejarawan mengerahkan seluruh daya

pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan

catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan

analisisnya karena pada akhirnya sejarawan harus menghasilkan suatu sintesis

dari seluruh hasil penelitian dan penemuannya secara utuh yang disebut

historiografi (Helius Sjamsuddin, 1996). Dalam hal ini historiografi diwujudkan

dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul “Analisis Islamisasi di

Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik

Islam)”. Penulisan dimulai dari permulaan dengan batasan-batasan tempat dan

waktu secara kronologis.

Page 43: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820

Kondisi struktur budaya masyarakat Kasunanan Surakarta merupakan

proses sedimentasi dari masuknya budaya-budaya besar (Hindu-Budha)

percampuran antara budaya asli (Jawa). Proses pengislaman dengan model

asimilasi budaya oleh beberapa ahli menyebabkan munculnya tradisi sinkretisme.

Secara universal pengertian sinkretisme adalah percampuran antara tradisi Hindu

dengan tradisi Islam tanpa melihat apakah percampuran tersebut benar atau salah,

murni tidaknya suatu agama. Paham ini hanya menekankan bahwa semua agama

dipandang sebagai baik dan benar (Simuh, 1988:12). Pola ini pula yang

meletakkan seni budaya sebagai medium dari ajaran Islam, khususnya yang

dilakukan oleh kerajaan.

Kenyataan tersebut akhirnya menempatkan keraton sebagai pusat

pemerintahan dan aktivitas keagamaan, dan juga sebagai sentral pengembangan

budaya. Pola kebudayaan Hindu Jawa, seperti pertunjukan wayang, tari-tarian,

musik, gamelan masih dominan mewarnai setiap kegiatan. Percampuran warna

Islam dengan Hindu tersebut secara nyata dapat dilihat pada peringatan hari-hari

besar Islam, tetapi isi kegiatan yang dilakukan tetap saja berpola budaya Hindu-

Jawa. Perayaan sekaten, grebeg, maupun malam satu Sura yang masih berlaku

sampai sekarang.

1. Islamisasi di Keraton Surakarta

Pada jaman kerajaan, Rustopo (1986) menerangkan bahwa keraton

merupakan sumber, pembina dan penyebaran kebudayaan kerajaan. Sehingga

segala sesuatu yang dipancarkan oleh keraton (istana), apalagi kalau sumber yang

menciptakan adalah raja, akan dianut oleh para kawula bukan saja yang ada di

bawah naungan kerajaan melainkan menyebar luas ke daerah-daerah yang

dipancarkan

Page 44: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Menurut Moedjanto (1987), dalam segala persoalan, raja memiliki

kekuasaan tertinggi sehingga tergambarkan kekuasaan itu sentralistik tidak

terbagi-bagi dan merupakan kebulatan yang tunggal serta tidak mampu

menandingi diungkapkan dalam bahasa Jawa, endi ana surya kembar, berarti

tidak membenarkan adanya kekuasaan lain yang sederajat dengannya (Mari,

1995). Menurut Wirodiningrat, ada tujuh pengertian makna keraton atau

saptaweda: 1) Keraton berati kerajaan. 2) Keraton berarti kekuasaan raja yang

mengandung dua aspek: kenegaraan dan magischreligieus. 3) Keraton berarti

penjelmaan wahyu nurbuwat dan oleh sebab itu menjadi pepunden dalam

kajawen. 4) Keraton berarti istana, kedaton atau datulaya. 5) Bentuk bangunan

keraton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang tinggi, yang

menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan. 6) Keraton sebagai

cultuur historische instelling atau lembaga sejarah kebudayaan yang menjadi

sumber dan pemancar kebudayaan. 7) Keraton sebagai badan juridische

instellingen, artinya keraton mempunyai barang-barang hak milik atau wilayah

kekuasaan sebagai dinasti (Ageng Pangestu Rama, 2007: 344-345).

Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan

keislaman. Yakni dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama

dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada

hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya

Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan

berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak upacara

yang juga mencerminkan sifat Islami, seperti upacara garebeg yang dipandang

sebagai upacara besar, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan

masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik atau oleh para peneliti

kemudian dikenal dengan istilah Agami Jawi (Koentjaraningrat, 1984:310).

Agami Jawi (Kejawen) merupakan bentuk agama Islam orang Jawa yang

merupakan suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang

cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama

Islam. Maksudnya orang Jawa dari golongan ini selain yakin akan adanya Allah,

Nabi Muhammad sebagai nabi-Nya, sadar orang yang baik jalan hidupnya akan

Page 45: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

naik ke surga (minggah suargi) dan sebaliknya jika berbuat dosa akan dibuang ke

neraka. Mereka tahu akan adanya Kitab Al-qur’an dan Hadist sebagai pedoman

hidup, namun mereka juga yakin pada konsep-konsep keagamaan lain, pada

makhluk-makhluk ghaib, serta kekuatan sakti dan mereka juga melakukan

berbagai ritus dan upacara keagamaan yang tidak ada atau sangat sedikit sangkut-

pautnya dengan doktrin-doktrin agama Islam yang resmi. Seterusnya

Koentjaraningrat mengatakan bahwa ”Para pujangga dan cendekiawan keraton

Mataram yang berusaha menjaga kelestarian peradaban Jawa Hindu-Budha kuno

itu, dengan demikian dihadapkan suatu agama Islam sinkretik yang berasal dari

daerah pedesaan ....” (Koentjaraningrat, 1994:312).

Munculnya Islam sinkretik menurut Kuntowijoyo (1987), menyatakan

bahwa dalam penyiaran Islam para wali banyak memberikan kelonggaran dan

toleransi terhadap tradisi yang sudah berlaku di masyarakat. Hal demikian

merupakan usaha para penyebar agama Islam (para wali) agar Islam dapat

diterima oleh masyarakat tanpa harus ada gesekan antara kedua tradisi (Hindu-

Jawa) yang dapat mempengaruhi kestabilan kehidupan sosial, ekonomi maupun

politik.

Sebagai agama resmi kerajaan, Islam yang dikembangkan lebih banyak

muncul melalui media seni budaya. Seni yang begitu dominan dalam proses

keagamaan di kerajaan Hindu, akhirnya mendominasi pula proses ritualisme

Islam. Tari-tarian yang selama masa Hindu sering dikaitkan prosesi ritual atau

keagaman, dan dikembangkan pula pada jaman Islam. Contohnya, tari Bedhaya

Ketawang atau musik gendhing seperti Gadung Melati juga gamelan pada acara

sekaten yang dianggap sakral merupakan bukti bahwa dalam masa kerajaan Islam,

seni budaya tidak lepas dari prosesi keagamaan.

Setelah Mataram berhasil mematahkan perlawanan para penguasa lokal

pesisiran yang mendapat dukungan masyarakat pesantren, akhirnya timbul

masalah baru bagaimana menciptakan stabilitas bagi pemerintahan Mataram.

Yakni bagaimana menciptakan bentuk kebudayaan intelektual yang bisa

mengurangi ketegangan antara lingkungan budaya pesantren dengan kejawen.

Usaha ini dimulai dengan mengubah perhitungan tahun kabisat Saka, menjadi

Page 46: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

tahun Jawa Sultan Agungan sesuai dengan tahun Hijriah yang didasarkan atas

peredaran bulan. Nama bulan disesuaikan dengan kelender Hijriah, sedang hari

Mingguan Islam dipertemukan dengan nama-nama hari kejawen, misalnya Senen

Wage, Selasa Kliwon, dan seterusnya. Dengan demikian, perhitungan tahun Jawa

ini bisa diterima dengan perasaan lega oleh masyarakat pesantren. Hanya untuk

kepentingan berlangsungnya upacara-upacara kerajaan, tahun Jawa ini

melestarikan tahun satu Saka sebagai awal tahun pertamanya, yaitu tahun 78

Masehi. Dengan demikian, peralihan perhitungan tahun Jawa ini tidak

menimbulkan masalah di kalangan pendukung ilmu kejawen (Simuh, 2003: 73-

74).

Kebijakan yang mendorong keberhasilan retrukturisasi politik adalah

kerajaan Mataram sebagai agen Islamisasi di Jawa, dan agama Islam sebagai

wadah rekonsiliasi budaya Jawa. (M.C. Ricklefs, 1998:469-482). Dua kebijakan

Sultan agung di atas bermakan: 1) keraton sebagai pusat pengkajian ilmu agama

Islam (M.C Ricklefs , 1998: xvii-xix), dengan melalui kebijakan itu Sultan Agung

meraih dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan

(Abdurrahman Masud, 2004:55-58), 2) Islam merupakan alat politik untuk

mengatasi persoalan sosio-budaya dan sosio-ekonomi yang sedang dihadapi

Mataram. Dengan landasan itu, Sultan Agung berharap meraih legitimasi politik

dari basis massa yang lebih luas (Azyumardi Azra, 2004: 142-1430, 3) Islam yang

dianut bercorak mistik atau sinkretik, sehingga Islamisasi di pedalaman Jawa

bercorak sama. Hal ini merupakan konsekuensi dari masih bertahannya tradisi

agama terdahulu (Hindu-Budha), dan corak itu merupakan ‘arus bawah’ yang

menjadi esensi kebudayaan mereka (Niels Mulder, 1992:4-19).

Sebagai pusat pengkajian ilmu agama Islam, di samping keraton Surakarta

dibangun Masjid Agung dengan dalih untuk memusatkan segala aktivitas

keagamaan rakyat di dalam masjid Agung. Usaha yang dilakukan pihak keraton

tersebut merupakan usaha untuk mendatangkan basis massa dari rakyat untuk

melakukan legitimasi politik. Melalui bangunan keagamaan dan perekonomian

(pasar dan alun-alun) di sekeliling keraton akan menjadi daya tarik bagi kawula

untuk menempatkan keraton sebagai pusat untuk memenuhi segala kebutuhan

Page 47: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

sehari-hari baik dari segi religius, sosial, budaya maupun ekonomi. Sedangkan

usaha yang dilakukan Sultan Agung untuk memadukan antara budaya hinduisme

dengan budaya lokal Jawa merupakan usaha untuk mencapai suatu integritas

sosial yang berpedoman untuk menciptakan budaya yang bersifat kearifan lokal.

Karena prinsip kepemimpinan orang Jawa menuntut agar pemimpin selain

memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di

depan pengikutnya. Kepemimpinan yang agamis selalu mementingkan

kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah.

Koentjaraningrat mengutip dari hasil penelitian tentang literatur Jawa,

yaitu Pigeaud. Ia mengatakan:

Menurut Pigeaud keyakinan akan sifat keramat dari kesembilan orang guru agama tadi agaknya mulai berkembang dalam abad ke-17....

Para penyiar agama yang dalam legenda-legenda rakyat digambarkan sebagai suatu kelompok yang sezaman, terdiri dari orang-orang saleh, berjumlah delapan atau sembilan orang. Angka sembilan itu mungkin disebabkan karena adanya konsep Hindu-Budha Jawa mengenai delappan dewa Lokapala yang menjaga kedelapan sudut dari alam semesta, dengan seorang lagi yang berda di pusatnya ....

Gagasan ini sampai kini masih berlaku dalam konsep Debata Nawa Sanga, yakni konsep mengenai sembilan dewa dalam agama Hindu Dharma di Bali (Koentjaraningrat, 1994: 325-326).

Dari kutipan di atas nampak bagi priyayi Jawa peralihan agama bukanlah

masalah yang mendasar, tetapi yang terpenting adalah melestarikan tradisi budaya

kejawen yang tidak menimbulkan benturan diantara keduanya. Sebab, budaya

intelektual kejawen yang bersifat hinduistik merupakan sendi kebesaran sebuah

kerajaan di Jawa, khususnya di keraton Surakarta.

2. Kehidupan Keagamaan Keraton Surakarta Masa

Paku Buwana IV (1788-1820)

Kasunanan Surakarta yang berdiri akibat peristiwa palihan nagari tahun

1755 merupakan salah satu kerajaan penerus tahta Mataram. Posisi (Kasunanan)

sebagai penerus tahta Mataram menjadikan Kasunanan Surakarta mewarisi sifat-

sifat Mataram, baik dilihat dari segi struktur birokrasi, struktur masyarakat,

perekonomian, maupun tradisi. Struktur birokrasi Kasunanan yakni tetap

Page 48: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

menunjukkan kelanjutan birokrasi Mataram yang bersifat patrimonial dan

konsentris. Sifat birokrasi seperti ini meletakkan Sunan atau raja di puncak

hierarki dan dipandang sakral karena mempunyai kasekten. Keraton sebagai

tempat tinggal Sunan dan keluarganya menjadi pusat segala-galanya dan

penyelenggaraan negara tidak lain merupakan perluasan rumah tangga pribadi

Sunan. Semuanya mempunyai sifat konsentris yang memusat pada Sunan.

Raja dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari konsep spiritual yang

berasal dari kultur India, yaitu kepercayaan adanya kesejajaran antara

makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Menurut

kepercayaan itu manusia selalu berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang

bersumber penjuru mata angin, pada bintang-bintang, dan pada planet-planet.

Tenaga itu dapat menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, tetapi juga

sebaliknya, dapat membawa kehancuran. Hasil dari tenaga yang diperoleh itu

tergantung pada kemampuan atau tidaknya individu atau kelompok-kelompok

masyarakat, terutama raja, dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka

dengan jagat raya. Keselarasan antara kerajaan dan jagat raya dapat dicapai

dengan cara menyusun kerajaan itu sebagai jagat raya dalam bentuk kecil (Darsiti

Soeratman, 1989: 4).

Ibu kota atau kota istana tidak hanya merupakan pusat politik dan

kebudayaan, tetapi juga sebagai pusat magis bagi kerajaan. Berhubung jagat raya,

yang menurut kosmologi Brahma atau Budhis berpusat di Gunung Meru, maka

kerajaan, yang merupakan jagat kecil harus pula memiliki Gunung Meru pada

pusat kotanya, dan Gunung Meru di pusat kota ini akan menjadi pusat magis bagi

kerajaan. Raja sering diibaratkan sebagai Dewa atau bahkan Tuhan yang memiliki

kekuasaan, kesaktian dan kebijaksanaan yang sangat sempurna mistik dan

mitologi (Maharsi, 2001:107). Kesempurnaan ini diperoleh melalui berbagai cara,

yang paling umum adalah memakai lelaku dan membangun kepercayaan rakyat.

Selain itu, kewibawaan raja diperbesar dengan adanya benda-benda pusaka

keraton yang dianggap keramat sehingga menempatkan raja tidak hanya sebagai

manusia biasa, tetapi manusia yang mempunyai kemampuan dan kekuatan di atas

kodrat (Nugroho Notosusanto dkk, 1977: 17).

Page 49: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Kekuatan adikodrati tersebut disimbolkan untuk memperkuat pengaruh

kekuasaan, sehingga dalam kebudayaan Jawa yang sarat simbol penuh tata krama

dan sangat menghormati pemimpinnya (Musa Asyari, 1996: 212). Maksudnya

dari kekuatan adikodrati, yakni menuntut penghormatan tulus terhadap pemimpin

atau raja yang hampir setarap dengan penghormatan terhadap Tuhan.

Negara kosmis erat hubungannya dengan konsep raja yang bersifat dewa,

yaitu beranggapan bahwa raja adalah titisan atau keturunan dewa. Konsep raja-

dewa atau ratu-binathara ini pada periode kerajaan Islam tidak menempatkan raja

pada kedudukan yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai Khalifatullah,

sebagai wakil Tuhan di dunia. Namun demikian, penurunan kedudukan ini tidak

mengubah kekuasaan raja terhadap rakyatnya (Darsiti Soertatman, 1989:4). Suatu

cerminan hubungan patron-client relation ship yang dalam bahasa politik

kerajaan Jawa disebut sebagai manunggaling Kawula Gusti (M.C. Ricklefs,

1974).

Keraton bagi orang Jawa mempunyai makna yang dalam. Orang Jawa

menganggap Keraton sebagai pusat kosmos. Permasalahan yang ada di keraton

tidak dapat di pisahkan dari persoalan legitimasi kekuasaan raja. Kekuasaan

tradisional Jawa dengan konsep negara gung sebagai pusat kosmologis

pemerintahan, dan manca negara yang merupakan subordinasi negara gung,

memperlihatkan bagaimana legitimasi kekuasaan raja terhadap kerabat dan

rakyatnya.

Ratu-binathara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah,

wahyu kukumah, dan wahyu wilayah. Yang dimaksud dengan wahyu nubuah

adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan; wahyu kukumah

menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan wewenang murbamisesa,

artinya menguasai dan bertindak dengan kekerasan; kedudukannya sebagai sang

bawisesa ini mengakibatkan raja memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan

segala keputusannya tidak boleh ditentang, karena dianggap sebagai kehendak

Tuhan. Wahyu wilayah, yang melengkapi dua macam wahyu yang telah disebut di

atas, memberi pandam pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan

kepada rakyatnya. Dengan perkataan lain kekuasaan seorang raja yang tidak

Page 50: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

terbatas itu harus diimbangi dengan tindakan memberi perlindungan kepada

rakyatnya. Seperti dijelaskan dalam pupuh Megatruh: 13-14, sebagai berikut:

Tan mangkono etunge kang sampun weruh, mapan ta datan denpikir, ganjaran pan wis karuhun, among naur sihing gusti, winales ing lair batos

Setya tuhu saparentahe pan manut, ywa lenggana karseng gusti, wong ngawula pamanipun, lir sarah munggeng jaladri, darma lumaku sapakon

(Setia dalam segala perintah dan taat menyadari kehendak raja orang mengabdi misalnya seperti sampah dalam air menurut saja segala perintah

Sedangkan untung malang atau luhur hina itu memang sudah digariskan dalam dirimu jangan suka marah-marah kepada raja yang memimpinmu).

Dari kutipan Pupuh Megatruh 13-14 diatas, mencontohkan perumpamaan

orang yang mengabdi kepada raja seperti sampah yang patuh terhadap apa saja

yang dikehendaki raja dan apabila tidak sesuai dengan keinginan, maka hal itu

adalah takdir dan tidak boleh mara-marah kepada raja.

Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja

dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja yang

taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam,

seperti tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, shalat Jum’at,

mengharamkan minuman keras dan candu, sudah terlihat sejak usia muda dan

masih berstatus sebagai putra mahkota (Supariadi, 2001:191). Sebagai tanda

bahwa raja beragama Islam, dipergunakan sebutan Sampeyan Dalam Hingkang

Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Hingkang Kaping IV Ngabdulrakman

Sayidin Panata Gama. Sebab ajaran-ajarannya pun tidak bisa terlepas dari ajaran

agama Islam dalam serat Wulang Reh (Ageng Pangestu Rama, 2007:354).

Ditinjau dari Serat wulang Reh bahwa:

”Paku Buwana IV adalah seorang raja di Surakarta, pemerintahan berbentuk kerajaan. Berlakunya ajaran-ajaran Islam sebagai agama raja. Kegemarannya dalam menimba ilmu agama dari kyai dan guru agama menjadikan dirinya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agama Islam”.

Keluasan pengetahuan Islam yang dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat

dilihat dari serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulang Reh, Wulang

Putri, Wulang Tatakrama, Wulang Sunu, Wulang dalem, dan Wulang Brata Sunu.

Page 51: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

Sebagian besar isi serat piwulang Sunan Paku Buwana IV disesuaikan dengan

ajaran agama Islam, yaitu Al-Qur-an dan Hadits. Semua ini menunjukkan bahwa

Sunan Paku Buwana IV memang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang

sangat dalam tentang ajaran agama Islam, sehingga mendapat sebutan sebagai

ratu ambeg wali mukmin (pemimpin agama) (Darusuprapto, 1992:25-27).

Serat Piwulang Sunan Paku Buwana IV dilihat dari isinya menunjukkan

warna keislaman yang dalam. Nasehat-nasehat yang dikemukakan, sebagian besar

diambil dari ajaran agama Islam. Dari ajaran agama Islam disarikan dan digubah

dalam bentuk tembang, sehingga masyarakat Jawa akan mudah memahami. Hal

ini menunjukkan Sunan Paku Buwana IV memiliki pengetahuan dan pemahaman

tentang ajaran agama Islam. Serat Piwulang Sunan Paku Buwana IV lebih

menekankan pada ajaran moral dan etika, dalam arti berusaha memperbaiki

akhlak berdasarkan pada syariat agama Islam. Penekanan pada ajaran syariat

Islam dapat dilihat dari dasar nasehat yang dikembalikan pada Al-Qur’an dan

Hadist. Salah satu bait pemikiran Paku Buwana IV yang mengemukakan betapa

pentingnya ajaran Al-quran di dalam Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggula: 3,

sebagai berikut :

Jroning Quran ana rasa jati, nanging pilih manungsa weruha, kajaba lan daulate, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundhak kalunta-lunta, temah sasar-susur, yen sira hayun waskhita, sampurnane ing badanira punika, lah sira gurokna.

(Dalam al-Qur’an terletak ajaran kebenaran hakiki, Tetapi tidak sembarangan orang dapat mengetahui, Kecuali yang mendapat petunjuk Tuhan, Untuk itu tidak boleh dipelajari asal-asalan, Sebab nantinya pasti tidak akan berhasil, Apabila terlanjur salah jalan, Akibatnya akan tersesat, Jika kamu benar-benar ingin mengetahui, Hakekat kesempurnaan hidup, Kamu harus belajar pada seorang guru).

Kutipan bait-bait serat diatas menjelaskan bahwa Sunan Paku Buwana IV

meletakkan dasar nasehatnya pada ajaran al-Qur’an. Dalam pandangannya,

seorang yang ingin hidupnya tidak tersesak dan tercela, maka Al-Qur’an haruslah

menjadikan pedoman.

Al-qur’an dan Hadits merupakan pedoman bagi umat Islam. Dalam Al-

Qur’an surat Toha ayat 2 menerangkan bahwa “Kami tidak menurunkan Al

Page 52: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah”. Dari firman Allah tersebut

menjelaskan bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an, akan

dijamin oleh Allah kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan

akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam,

niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.

Serat Wulang Reh merupakan hasil karya sastra Sunan Paku Buwana IV

pada tahun 1735 Jawa (tata guna awareng nata), bertepatan pada tahun Masehi

1808. menurut cerita tutur yang hingga kini masih dipercaya oleh masyarakat

Wanareja (Bekonang), penyusunan Serat Wulang Reh dilakukan di masjid

Wanareja. Serat Wulang Reh merupakan buku pedoman untuk putra-putra Sunan,

agar mereka selalu ingat akan adanya gejala-gejala kemerosotan moral pada saat

memegang tampuk pemerintahan. Wulang artinya ajar, Reh artinya perintah. Jadi

Wulang Reh artinya, ajaran dalam memerintah. Buku Wulang Reh berbentuk

Sekar Mocopat, yang terdiri dari sekar-sekar: Dangdanggula, Kinanti, Gambuh,

Pangkur, Maskumambang, Megatruh, Durmo, Pucung, Mijil, Asmorodona,

Sinom, dan ditambah dua sekar yaitu Wiranggrong dan Girisa (Ageng Pangestu

Rama, 2007:353-354). Jadi apabila semua tingkah laku dan cara berpikir dianggap

menyimpang dari adat istiadat dan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan, maka

perlu adanya pegangan hidup yang seharusnya. Sunan Paku Buwana IV

menginginkan Serat Piwulang digunakan sebagai pedoman dalam bertingkah laku

dan beretika dalam hidup.

Ajaran etika dalam Serat Wulang Reh menganggap etika itu otonom dan

berpangkal pada dunia batiniah. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai

dunia batiniah. Sehingga nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam

menguasai batinnya. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak adalah

pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadar dapat mengendalikan

dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Mengurangi makan dan tidur,

segala macam keprihatinan, dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi

prasyarat menguasai dunia batin secara bertahap.

Ajaran etikanya tetap bersumber pada etika Jawa dengan mengacu pada

tokoh-tokoh leluhur dinasti Mataram (Ki Ageng Tarub, Panembahan Senapati dan

Page 53: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

Sultan Agung). Begitu juga larangan-larangan yang disebutkan adalah larangan-

larangan yang berasal dari leluhur dinasti Mataram. Hubungan sosial masih

berpegang pada sifat tradisional dengan urutan berdasarkan usia, pangkat,

kekayaan, dan kekerabatan. Konflik terbuka sedapat mungkin dihindari. Dunia

lahir yang ideal adalah dunia yang seimbang dan selaras, seperti keseimbangan

dan keselarasan lahir dan batin. Hidup orang tidak akan mempunyai cacat dan

cela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadaan batin yang terus menerus itu

akan mencegah tingkah laku, bicara dan ucapan yang tercela. Mengurangi makan

dan tidur itu merupakan latihan yang utama untuk mendapatkan kewaspadaan

batin http://heritageofjava.com/portal/article.php?story=20090309203212387

diunduh minggu, 5 Juni 2011 pukul 08.07 WIB.

Selain kewaspadaan batin juga dihindari watak yang tidak baik, yaitu

watak adigang, adigung dan adiguna. Sebaliknya seseorang itu haruslah

memelihara watak “reh” bersabar hati dan “ririh ” tidak tergesa-gesa dan berhati-

hati. Kelakuan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain harus

dihindari, berbohong, kikir, dan sewenang-wenang haruslah dijauhi. Jika batinnya

telah waspada, tingkah lakunya harus sopan, tingkah laku sopan itu ialah tingkah

laku yang : 1). Deduga, artinya dipertimbangkan masak-masak sebelum

melangkah. 2). Prayoga, artinya dipertimbangkan baik buruknya. 3). Watara,

artinya dipikir masak-masak sebelum memberi keputusan. 4). Reringa, artinya

sebelum yakin benar akan keputusan itu. Ada lima hal yang harus dan wajib

dihormati yaitu : Ayah dan Ibu, Mertua Laki-laki dan Perempuan, Saudara laki-

laki yang tertua, Guru dan raja. Pesan dan harapan penggubah kepada anak cucu

meliputi : a). Patuh lahir dan batin terhadap nasehat orang tua b). Jangan berpuas

diri atas nasib yang diterima. c). Bertanya kepada alim ulama mengenai soal-soal

agama dan Al Quran. d). Bertanya kepada sarjana atau orang pandai mengenai

sopan santun dan berbahasa yang baik agar dapat dipergunakan sebagai pegangan

hidup. e). Rajin membaca kitab-kitab lama yang berisi suri teladan dan berisi

cerita-cerita yang baik. f). bertanya kepada orang-orang tua tentang cara

membedakan tingkah laku yang baik dan buruk, yang hina dan yang terpuji, yang

rendah dan yang tinggi.

Page 54: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Berkaitan dengan pencarian guru, dalam serat Wulang Reh memberikan

gambaran tentang figur guru yang baik (guru utama), Pupuh Dandanggula: 4,

sebagai berikut:

Nanging yen sira nggugiru kaki, Amiliha manungsa kang nyata, Ingkang becik martabate, Sarta kang wruh ing kukum, Kang ngibadah lan kang wirangi, Sokur oleh kang tapa, Ingkang wus amungkul, Tan mikir pawewehing liyan, Iku pantes sira guronana kaki, Sartane kawruhana.

(Tetapi jika kamu berguru, pilihlah orang yang sudah nyata ilmunya, yang baik martabatnya, serta tau tentang hukum agama, yang ahli beribadah dan meninggalkan segala dosa, syukur jika mendapatkan seorang bertapa, yang sudah tidak terpengaruh kehidupan dunia, dan tidak memikirkan pemberian orang lain, orang seperti inilah yang pantas dijadikan guru, karena memenuhi pesyaratan).

Gambaran guru yang diberikan dalam Serat Wulang Reh di atas mengarah

pada figur yang taat terhadap ajaran syariat Islam. Sunan Paku Buwana IV

menyadari bahwa pada masa itu banyak orang yang mengangkat dirinya menjadi

guru dan mengajar ilmu kesempurnaan (mistik atau kebatinan Jawa). Bagi Sunan

Paku Buwana IV membecarakan tentang ilmu kesempurnaan haruslah didasarkan

pada dalil (ajaran al-qur’an)dan Hadits (sabda Rosul), ijma (kesepakatan para

ulama besar), dan kiyas (alasan yang berdasarkan perbandingan atau persamaan

tentang hukum Islam). Apabila ada orang yang mengajarkan ilmu kesempurnaan

tanpa didasarkan keempat hukum agama ini, khususnya Al-qur’an dan Hadits,

maka kebenarannya perlu disangsikan (Darusuprapto, 1992:49).

Melalui karya sastra (serat Wulang Reh) inilah Paku Buwana IV

menuangkan idealismenya dalam kehidupan keagamaan yang ada di keraton

Surakarta. Karena karya sastra sebagai cara memberi kesadaran dan motivasi

kepada orang-orang yang diperintah salah satu caranya dengan internalized

motivations, yaitu suatu pendekatan untuk memotivasi bawahan dan masyarakat

yang memerlukan penanaman kerja kepada mereka… cara ini dapat bertahan

sepanjang kesadaran itu muncul dari niat yang tulus (Inu Kencana Syafi’i,

1997:60).

Page 55: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

B. Idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan di Keraton

Surakarta tahun 1788-1820

Unsur-unsur sosial mempengaruhi struktur politik. Suatu struktur politik

dan perangkat kekuasaan berfungsi untuk pengelolaan kehidupan masyarakat.

Masyarakat berperan dalam mendukung infra dan supra struktur kekuasaan yang

dimiliki oleh raja, penguasa sebagai pusat kekuasaan dan konsentrasi sumber-

sumber kekuasaan. Pusat dan konsentrasi kekuasaan dapat dilihat dari tanda-tanda

sosial. Tanda-tanda sosial dari konsentrasinya kekuasaan dalam konsep Jawa

adalah kesuburan (fertility), kesejahteraan (prosperity), dan harmoni (stability)

dan kejayaan (glory) (Christina S. Handayani dan Novianto, 2002: 53). Sedang

yang mempunyai konsep kekuasaan tersebut adalah raja dan para priyayi, pegawai

dan keturannya. Raja memiliki tanda-tanda tersebut karena raja memiliki:

kedudukan, kekayaan, kepercayaan dan perangkat lainnya yang menunjang untuk

memerintah dan berkuasa atas dasar legitimasi secara sosial.

Struktur kehidupan sosial di Jawa terdapat sistem feodalistik. Realitas dan

fenomena tersebut terlihat dalam tingkatan atau hirarki sosial. Dalam hierarki

sosial raja terletak di puncak tertinggi dan orang-orang lainnya dihitung dari jarak

mereka dengan titik pusat itu. Keluarga raja (sentana),diukur secara bertingkat

sesuai dengan kedudukan geneologis dengan raja yang memerintah (Kuntowijoyo,

1994: 94). Status dan kekuasaan para priyayi dipengaruhi oleh raja yang

memerintah.

Dalam masyarakat Jawa ada kepercayaan bahwa seorang raja atau dinasti

harus memperlihatkan keunggulannya sebagai trahing kusuma, rembesing madu,

wijining atapa, tedhaking andana warih (keturunan bunga, titisan madu, benih

pertapa, turunan muli) menunjukkan bahwa raja harus selalu datang dari

keturunan leluhur yang suci dan agung (Maharsi, 2001: 105). Keunggulan ini

semakin memperkuat posisi raja dalam memerintah kerajaan. Sehingga untuk

memperoleh legitimasi maka raja-raja Jawa, terutama masa Mataram Islam,

membuat garis geneologis atau garis keturunan, silsilah dari garis keturunan dari

orang-orang berpengeruh dan berkuasa di tanah Jawa (garis panengen dan

Page 56: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

pangiwa). Semua itu untuk kepentingan memperkuat pengaruh dan menanamkan

kekuasaan raja pada rakyat.

Raja merupakan pucuk pimpinan kekuasaan dalam suatu negara yang

berbentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan penuh dalam menjalankan

pemerintahan. Rajalah yang menentukan dan mewarnai jalannya pemerintahan.

Maju-mundur dan berkembang-merosotnya kehidupan dalam negara tergantung

pada kebijakan dan sikap perilaku raja (Suyami, 2008: 140-141).

Dalam kehidupan masyarakat raja dijadikan sebagai panutan, pusat

perhatian, bahkan pusat model perikehidupan. Semua orang yang berada di

lingkungan sekitarnya, seperti para pejabat, pegawai, prajurit, maupun rakyat

selalu berkeinginan untuk meniru apa yang diperbuat oleh rajanya. Hal tersebut

tampak dalam sistem kebudayaan yang bersifat istana sentris. Jadi apabila sang

raja bersikap dan berbuat kurang baik, niscaya rakyat dan pengikutnya pun akan

ikut berbuat yang tidak baik.

Kuatnya kultus terhadap nenek moyang terutama para raja yang

memerintah, mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Raja dianggap sebagai

pusat dari kekuatan alam (kosmos). Keistimewaan raja mempengaruhi pandangan

masyarakat terhadap sosok raja, hal itu yang menimbulkan kekaguman,

kewibawaan dan menambah bobot segala titahnya. Raja adalah pemimpin, oleh

karena itu jika berbicara harus dipikirkan benar, karena apa yang telah dikatakan

tidak boleh ditarik kembali. Itulah sebabnya ia disebut raja (Depdikbud, 1992:

158). Dalam istilahnya sabda pandita Ratu.

Hal yang lazim dalam kepustakaan kebudayaan Jawa adalah memberikan

keyakinan kepada rakyat, untuk memperoleh legitimasi. Konsep ”Manunggaling

Kawula-gusti” menjadi media untuk memperkuat dan membangun kepercayaan

dan ketaatan dari orang-orang yang diperintah oleh raja, termasuk didalamnya

para pejabat atau pegawai kerajaan, abdi dalem. Konsep ”Manunggaling Kawulo-

gusti” Paku Buwana IV terdapat dalam Pupuh Sinom: 11-15, sebagai berikut:

Pamoring Gusti kawula, pan iku kang sayekti, dadine sotya ludira, iku den waspada ugi, gampangane ta kaki, temabaga lan mas iku, linebur ing dahana, luluh amoh dadi siji, mari nama kencana miwah tembaga

Page 57: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Puknika mapan upama, tepane badan puniki, lamun arsa ngrawuhana, apamore Kawula-Gusti, sayekti kudu resik, aja katempelan nepsu, luwamah lan amarah, sarta suci lair batin, dadi mene sarira bisaa tunggal.

(Bersatunya Pencipta dengan makhluk-Nya, itulah yang sesungguhnya, jadilah seperti darah, yang waspada juga, mudahnya, anakku, tembaga dan emas itu, dilebur dalam perapian, hancur lebur menjadi satu, hilang sifat tembag dan emasnya

Itulah yang utama, seperti badan ini, bila inginkau ketahui, persatuan rakyat-raja, sungguh harus bersih, jangan tertempeli hawa nafsu, lawamah dan amarah, suci lahir batin, agar diri bisa menyatu)

Pemikiran tersebut di atas merupakan bagian dari tingkatan proses

pencapai tasawuf. Proses tersebut mengarah ke pemikiran politik. Pemikiran

politik tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan penguasa untuk menjaga

legitimasi kekuasaannya dari para abdi dan rakyat. Istilah Manunggalnya Tuhan

dan hamba diracik sesuai kepentingan politik. Sejak masa kerajaan Surakarta,

konsep Manunggaling Kawuala-Gusti menurut penelitian G.W.J. Drewes dalam

bukunya ”Drie Javannsche Goeroe’s” merupakan salinan istilah dari ”abd” dan

”Rabb” dalam Islam (Simuh, 1996: 246), konsep tasawuf Islam yang kemudian

dipakai oleh penguasa dalam konteks politik maka konsep ini mempunyai

pengaruh kekuatan untuk menguasai dan memerintah yang berdasarkan nilai

spiritual.

Jumbuhing Kawula-Gusti (Manunggalnya rakyat dan raja) ini merupakan

pinjaman dari mistik agama, yang menunjuk kepada persatuan antar Tuhan dan

manusia (G. Moedjanto, 1998: 110). Konsep ini muncul karena menurunnya

kekuatan dan tenggelamnya kekuasaan para priyayi oleh pengaruh kekuasaan

kompeni Belanda. Situasi dan kondisi pada waktu itu memunculkan konsep

Mangunggaling Kawula-Gusti untuk mengembalikan kekuasaan raja dan elit

priyayi. Dan masyarakat pada masa itu menganggap adanya sakralitas terhadap

titah raja sebagai sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar.

”Manunggaling Kawula-Gusti” merupakan sistem kekuasaan raja yang

memerlukan loyalitas tinggi dari para abdi. Konsep tersebut adalah bentuk lain

dari cara perolehan kekuasaan raja yang berdasarkan wahyu. Wahyu atau pulung

diambil dari tradisi kuno, penerima pulung mendapat legitimasi untuk

Page 58: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

menjalankan kekuasaan serta kepemimpinannya. Otoritasnya bersifat kharismatik,

selama pulung ada di keraton para raja berhak menjalankan pemerintahan dan

menduduki kerajaan (Sartono Kartodirdjo, 1999: 47). Otoritas kekuasaan ini

menimbulkan monopoli kekuasaan raja dan para priyayi.

Gerak dan tingkah laku priyayi tidak terlepas dari politik. Ada cara

tertentu untuk membedakan pyiyayi dengan kawula, pembedaan ini semata-mata

untuk menjaga kewibawaannya. Kewibawaan atau kharisma secara tidal langsung

mengarah kepada kekuatan untuk memerintah atau bertujuan politis. Nilai politik

menjiwai seluruh aktivitas dalam bidang budaya dan moral. Kesemuanya untuk

mempertahankan kedudukan kelas yang berkuasa, yakni untuk mengeramatkan

kedudukan raja dan para pejabat kenegaraan sebagai priyayi atau niti praja

(Sartono Kartodirdjo, 1999: 143).

Raja bukan lagi orang dewasa, melainkan orang yang terpilih, orang yang

unggul, orang yang derajatnya di atas orang kebanyakan atau pidak pidarakan (G.

Moedjanto,1998: 111). Dengan istilah lain adalah ”darah biru”. Raja mempunyai

keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Keistimewaan ini

mendukung untuk memiliki kekuasaan.

Dalam kultur Jawa, kekuasaan adalah kemampuan untuk memberikan

kehidupan, kemampuan untuk mengolah ketegangan secara lembut dan untuk

bertindak seperti magnet yang menggabungkan besi-besi yang tersebar (Christina

S. Handayani, 2002: 52). Kekuatan ini ditunjang dengan kemampuan batin

seseorang.

Logika rasa merupakan mekanisme yang melandasi interpenetrasi etiket,

seni dan praktek mistik. Ia adalah yang mendasari kerumitan gagasan Jawa yang

berkaitan dengan watak, manifestasi dan kekuatan-kekuatan (kasekten) dibidang

politik (Paul Stange, 1998: 26). Gagasan yang mempengaruhi praktek politik ini

menuntut kepada abdi dalem atau pegawai kerajaan untuk patuh, tunduk secara

lahir-batin segalanya diserahkan untuk raja. Harus ada kemantapan dalam

pengabdian kepada raja, karena raja adalah wakil Tuhan.

Pemikiran Paku Buwana IV diterangkan dalam karyanya yakni Serat

Wulang Reh dalam Pupuh Megatruh: 1-3 sebagai berikut:

Page 59: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

Wong ngawula ing ratu luwih pekiwuh, nora kena minggrang-minggring, kudu mantep sartanipun, setya tuhu marang tuhu marang gusti, dipunmiturut sapakon Mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung, marentahken hukum adil, pramila wajib denenut, kanga sapa kang manut ugi, mring parentahe sang katong Aprasat mbadal ing karsa hyang agung, mulane babo wong urip, saparsa ngawuleng ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewoh (Mengabdi kepada raja itu sulit, tidak boleh ragu-ragu, harus mantap pengabdiannya, setia sungguh kepada Gusti , taatilah segala perintahnya Memang ratu sebagai wakil Tuhan, menerapkan hukum yang adil, maka wajib dianut, siapa yang tidak tunduk kepada titah raja Sama dengan melawan perintah Tuhan, maka ingat hai orang hidup, siapa yang mengabdi raja, harus ikhlas lahir batin, jangan sampai mengandung keraguan).

Dalam kultur Jawa, ada keyakinan bahwa orang yang berkuasa biasanya

tidak perlu berbicara keras, marah atu memukul meja. Akan tetapi untuk

diperhatikan cukup dengan memberi perintah secara tidak langsung dalam bentuk

sindiran, usul atau anjuran sebagai perintah halus (Christina S. Handayani, 2002:

52). Kultur kehalusan dalam memerintah tidak terlepas dari akar budaya Jawa

dalam memahami konsep kekuasaan.

Kekuasaan menuntut adanya tunduk, setia dan merasa dikuasai, serta

(merasa) diberi penghidupan oleh raja, secara lahir dan batin raja menguasai.

Dalih untuk menguasai adalah bahwa yang memerintah, raja adalah wakil Tuhan

(Kinarya Wakil Hyang Agung), tidak boleh ditentang, membangkang apalagi

memberontak. Idealisme tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung

Paku Buwana IV untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan

berwibawa di banding dengan raja di sekitarnya (Kasultanan dan Mangkunegaran)

serta VOC dan para abdi dalem.

Kepatuhan dan ketundukan terhadap raja tidak memandang umur,

siapapun yang berkuasa harus diikuti dan dipatuhi walaupun seorang raja tersebut

masih muda usianya. Dalam pupuh Mijil:16-18, sebagai berikut:

Lan maninge babo denpakeling, ing pitutur ingong, sira uga padha ngempek-empek, iya marang kang jumeneng aji, lair ing myang batin denngrasa kawengku

Page 60: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

Kang jumeng iku kang mbawani, wus karsaning Manon, wajib padha wedi lan bektine, aja mampang parentahing aji, nadya anom ugi, lamun dadi ratu Nora kena iya denwaoni, parentahing katong, dhasar ratu bener parentahe, kaya kepriye nggonira sumingkir, yen tang anglakoni, pesthi tan rahayu. (Dan lagi ingatlah nasehatku, kau juga bersama-sama tunduk, setia kepada sang raja, lahir dan batin, merasalah dikuasai olehnya Yang menguasai itulah, menjadi kehendak Tuhan, wajib berbakti dan takut, jangan melawan perintah raja meski muda sekalipun, bila menjadi raja Tidak boleh dibantah, perintah sang raja, dasar raja perintahnya benar, bagaimanakah caramu menolak, bila tidak melaksanakan, pasti akan celaka).

Tuntutan untuk taat dan tunduk kepada raja didasarkan pada sosok raja

sebagai pemegang dan penjaga hukum yang adil. Sifat raja menguasai, memegang

teguh syarat agama, dan melaksanakan syariat. Ia harus sebagai pemimpin umat,

itulah sebabnya ia disebut sebagai Khalifatullah. Sebagai pemimpin umat, raja

tidak boleh diremehkan perintahnya dan apabila raja mempunyai rahasia maka

tidak boleh dibuka rahasia tersebut.

Melalui karya sastra (serat Wulang Reh) itulah Paku Buwana IV

meletakkan dasar idealisme yang bernuansa agama (Islam) untuk menjalankan

pemerintahan di keraton Surakarta, dicontohkan Paku Buwana IV sendiri, seperti

memberi ceramah di masjid dan tidak meninggalkan shalat lima waktu.

C. Dampak Idealisme Paku Buwana IV Dalam Pemerintahan Keraton

Surakarta Tahun 1788-1720

Sepanjang sejarah Mataram, dinamika kehidupan politik kerajaan

mengalami pasang surut. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pasang surut

kehidupan politik itu adalah: 1) tidak tersedianya struktur politik yang memberi

ruang keterlibatan politik dan mobilitas vertikal bagi kelompok-kelompok social;

2) birokrasi diciptakan hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan; 3) kebijakan

politik dirancang tanpa persetujuan wakil rakyat, pejabat istana, dan penasehat

raja (Karl D. Jackson, 1978:3-22). Kelemahan ini direstrukturisasi oleh Sultan

Agung (1613-1645). Retrukturisasi yang dilakukan cenderung menonjolkan nilai-

Page 61: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

nilai budaya Jawa, yang meliputi harmoni (rukun, hormat dan santu),

ketidaksederajatan (hierarkhikal) dan manunggaling kawula-gusti (Soemarsaid

Moertono, 1985:17).

Pada awal abad 18 Kerajaan Mataram sedang mengalami disintegrasi.

Wilayah Mataram yang diperintah Sultan Agung (1613-1645) yang meliputi

hampir seluruh Jawa, ternyata mulai digerogoti Belanda. Sultan Agung menyadari

keadaan tersebut sehingga ia mengambil sikap konfrontatif. Hal itu dibuktikan

dengan menyerang Batavia sebanyak dua kali pada tahun 1628 dan 1629.

Simbol-simbol Islam berhasil diletakkan dalam sistem politik Mataram.

Sejak dulu, ulama berperan meredakan ketegangan antara pemerintah pusat

dengan daerah (kadipaten) (Soemarsaid Moertono,1985:37). Dan fungsi itu tetap

dijalankan sepanjang masa pemerintahan Sultan agung. Akan tetapi struktur

politik Sultan Agung kemudian ditinggalakn oleh pewarisnya. Amangkurat II

(1677-1703) tidak membutuhkan legitimasi politik dari pusat kekuasaan Mataram

di Jawa, meskipun kawasan itu merupakan basis massa yang sangat kuat, bahkan

antara Mataram dan pesantren terdapat ikatan perkawinan (Soemarsaid Moertono,

1985: 37-39). Akan tetapi sebaliknya, Amangkurat I yang menggantikannya pada

tahun 1646, justru mengadakan perjanjian damai dengan Belanda (Zainuddin

Fananie, 1994: 4). Amangkurat I menggunakan gelar Susuhunan, dengan double

Su, artinya lebih tinggi kedudukannya dari Sunan dengan satu Su. Ia ingin

melepaskan diri dari pengaruh Islam atau Ulama dan Wali yang bergelar Suhunan

atau Sunan. Untuk membuktikannya, Amangkurat I bersikap anti ulama dan

melakukan pendekatan dan kerjasama dengan kolonial. Amangkurat I melakukan

pembunuhan terhadap 6000 ulama karena para ulama itu bersikap tidak

menyetujui kebijakan politiknya, yakni bekerjasama dengan VOC. Kebijakan

politik Amangkurat I pro kolonial ini dilanjutkan oleh penggantinya, Amangkurat

II (1677-1703 M) (Ahmad Mansur Suryanegara, 2009:182-183).

Sistem kuasa politik keagamaan (religio-politica power) yang dibangun

Sultan Agung ditinggalkan pewarisnya yang menggunakan sistem politik

sekularisme yang tidak membutuhkan dukungan politik ulama. Sehingga

kemunduran pemerintah kerajaan Jawa terus beranjut. Aneksasi yang dilakukan

Page 62: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

Belanda ternyata tidak hanya mengurangi daerah kekuasaan dan wewenang raja,

tetapi juga dikuasainya daerah pesisir utara seperti Krawang, Cirebon, Priangan

dan sebagian Semarang. Semuanya tidak lepas dari strategi intervensi Belanda

untuk menguasai dan melemahkan kekuasaan raja. Puncak dari campur tangan

tersebut dengan model devide et impera, Belanda memaksakan perjanjian Giyanti

(palihan nagari) dengan cara memecah Mataram menjadi dua bagian yaitu

Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta (Marwati, ed., 1984). Kemudian

pada tahun 1757 dan 1813, wilayah tersebut dipecah lagi dengan munculnya

kekuasaan baru yaitu Mangkunegaran dan Pakualaman.

Palihan nagari menunjukkan ketidakberdayaan elit politik dalam

membangun konsensus politik guna mengatasi berbagai persoalan yang sedang

dihadapi. Hal yang mendorong ketidakberdayaan tersebut adalah: 1). Lemahnya

hubungan antar elit politik pusat dan daerah, 2) lemahnya hubungan antar elit

politik dan kekuatan sosial lainnya, yang dapat dimanfaatkan sebagai jejaring

menciptakan stabilitas politik. Apabila stabilitas politik kuat, raja akan sangat

mudah menentukan sikap dalam hubungannya dengan VOC. Kemudian babak

akhir dari palihan nagari adalah menyisakan persoalan penataan birokrasi, batas

wilayah, militer, pembentukan pemerintahan desa, dan pemulihan perekonomian

kerajaan. Penataan birokrasi membutuhkan biaya besar, sedangkan masing-

masing kerajaan tidak memiliki anggaran (M.C. Ricklefs, 2002:158-159).

Menurut G. Moedjanto (1994:29), secara keseluruhan bisa dinilai bahwa

sepanjang sejarah, dinasti Mataram selalu dalam keadaan terancam. Keadaan

demikian dialami oleh setiap raja Mataram terlebih raja yang baru naik tahta dan

dapat dikatakan pula bahwa dinasti Mataram selalu terlibat dalam konflik intern.

Hal ini disebabkan hukum adat pewarisan tahta tidak menjamin kedudukan

seorang raja baru yang telah dinobatkan, semua warga atau kerabat keraton

merasa sama-sama mempunyai hak atas tahta itu. Adanya persaingan intern dan

perebutan kekuasaan itulah yang menimbulkan percekcokan dan puncaknya

terjadi kontak fisik (perang).

Terbaginya kerajaan Mataram menjadi tiga pusat kekuasaan yaitu

Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran tidak berarti

Page 63: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

telah mengakhiri konflik atau pertentangan di antara pangeran Jawa. Perang

memang telah mereda, namun ketegangan hubungan di antara ketiga pusat

kekuasaan ini masih tetap muncul. Ketegangan tersebut yaitu antara dua pusat

kekuasaan yang ada di Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) berhadapan

dengan Kasultanan Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara

Kasunanan Mangkunegaran lebih baik atau lebih dekat dibandingkan hubungan

antara Kasunanan dan Kasultanan atau hubungan antara Mangkunegaran dan

Kasultanan.

Faktor yang sering memicu ketegangan hubungan di antara tiga pusat

kekuasaan ini , diantaranya adalah persoalan perebutan wilayah, adanya keinginan

salah satu kerajaan untuk menjadi yang dipertuankan bagi kedua kerajaan lain,

persoalan perkawinan, dan juga adanya keinginan untuk merebut tahta kerajaan

saingannya (Supariadi, 2001: 111). Selain itu, campur tangan kompeni yang sudah

sedemikian mendalam di segala aspek kehidupan, baik dalam istana maupun di

luar istana menambah ketegangan yang terjadi di dalam kerajaan semakin sulit

diselesaikan. Campur tangan dan provokasi kompeni yang terlihat jelas pada masa

Paku Buwana IV adalah adanya peristiwa pakepung, yakni suatu peristiwa yang

sangat membekas dan semakin mengurangi kekuasaan raja.

Ketidakmampuan penguasa dalam menyelesaikan krisis politik

memunculkan budaya politik yang bertujuan untuk mengembalikan kebesaran

raja. Setelah palihan nagari, raja melakukan diplomasi dengan kelompok

masyarakat dalam rangka konsolidasi politik untuk menghimpun kekuatan dalam

mempertahankan kekuasaan. Konsolidasi yang dilakukan raja meliputi: a)

membangun ikatan dengan berbagai elit agama, baik para ulama maupun haji

yang memiliki basis massa kuat, b) memberi perintah kepada pujangga istana

untuk menulis atau mengubah sastra local dan sastra Islam yang berfungsi sebagai

landasan moral serta menjadi pedoman bagi para sentana, abdi dan bahkan

kawula dalem, c) mengembangkan budaya lokal yang diasumsikan dapat

membentuk identitas lokal atau daerah, misalnya seni keris, kain batik dan gaya

pakain (Alex Sadewa, 1995:243).

Page 64: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

1. Pengaruh Islam Terhadap Pemerintahan di Keraton

Surakarta Tahun 1788-1820

Menurut Geertz, agama adalah sebagai: “Suatu sistem simbol yang

bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi

secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri amnesia, dengan cara

memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku

umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti konsepsi-

konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga

perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara tersendiri

(unik) adalah nyata” (Clifford Geertz, 1989: xi). Sedangkan hakikat Islam yang

sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-

perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Menurut Fitzgerald

bahwa: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan

sebuah sistem politik (a political system) (Dhiauddin Rais, 2001:4-5). Maksudnya

Islam adalah agama yang dalam ajarannya terdapat tentang masalah-masalah

keduniawian (politik), selain itu Islam juga agama yang mencintai kesamaan,

solidaritas dan kekeluargaan.

Lawan politik masyarakat Islam Indonesia adalah penjajah Barat yang

mencoba mengembangkan ajaran agama Katolik dan Protestan melalui

pengembangan imperialisme. Dari berbagai kebijakan politik kolonial, yakni

dengan mengkondisikan pribumi sebagai bangsa terjajah dan bodoh. Pemerintah

Kolonial Belanda hanya memberi fasilitas pendidikan untuk anak bangsawan dan

anak raja seta anak Eropa. Pesantren dijadikan target serangannya ruthless

operation (operasi yang tidak kenal belas kasih). Kyai dan ulama digantung.

Bangunan dan sarana pendidikan lainnya dibakar dan dirusak. Santri-santri

ditangkap dan dibuang jauh dari tempat tinggalnya.

Latar belakang ini menjadikan pesantren berfungsi sebagai pusat

pembelajaran Islam. Menjadikan sentra pembangkit kesadaran nasional dan ulama

sebagai pemimpinnya, mengajarkan kepada santri dan masyarakat pendukungnya

tentang perlunya mempertahankan tanah air, menyelamatkan bangsa dan merebut

kemerdekaan. Tantanngan penjajah Barat yakni imperialisme barat pada abad ke-

Page 65: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

16 M, dijawab oleh ulama dan santri denagan masyarakat pesantren , bersama

para Sultan dengan kekuasaan politik Islam. (Ahmad mansur Suryanegara, 2009:

138-140).

Di keraton Surakarta, Paku Buwana IV dalam menghadapi persoalan

masih mudah emosional. Namun demikian dibalik kelabilan emosinya, Paku

Buwana IV mempunyai sikap yang teguh , tegas dan keras serta taat menjalankan

ibadah agama Islam. Ketegasan dan keteguhan Paku Buwana IV ditunjukkan

kepada raja Kasultanan Yogyakarta (Hamengku Buwana I) dan VOC, Inggris

maupun Belanda. Rasa ketidaksenangan ini, dikarenakan Paku Buwana IV selalu

berusaha untuk membebaskan kerajaannya dari campur tangan pihak asing.

Sunan Paku Buwana IV merupakan raja ketiga yang bertahta di keraton

Surakarta. Sunan Paku Buwana IV diangkat menjadi raja Surakarta pada tanggal

29 September 1788. Sebelum dinobatkan menjadi penguasa tertinggi di Surakarta,

raja ini memang telah berstatus sebagai putra mahkota dengan gelar Kanjeng

Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Nagara Sudibya Rajputra Mataram (II)

sehingga proses penobatannya tidak banyak menimbulkan gejolak politik, baik di

lingkungan keraton Surakarta sendiri maupun di luar keraton. Akan tetapi, karena

saat dinobatkan menjadi raja usianya masih muda (19 tahun) sehingga sering

disebut sebagai Nata Taruna Narpati atau Prabu Taruna. Nama kecil Paku

Buwana IV adalah Bendara Raden Mas Subadya, lahir dari permaisuri Sunan

Paku Buwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana, pada hari Kamis Wage, 18

Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768 Masehi. Memegang pemerintahan

selama 32 tahun (1788-1820), dan wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747

Saka atau 2 Oktober 1820 M (Purwadi, 2007:81).

Sunan Paku Buwana IV ketika masih sebagai putra mahkota, sikap

keagamaannya banyak dipengaruhi oleh Wiryakusuma, seorang guru agama yamg

mempunyai kecenderungan anti kompeni. Wiryakusuma adalah putra R.M. Kreta

(saudara seayah dan lain ibu Mangkunegara 1) yang dilahirkan dan dibesarkan di

Cape Town, Afrika Selatan (M.C. Ricklefs, 1974:270). Cape Town pada masa itu

menjadi tempat pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang

dominasi kompeni. Melalui kegemaran Sunan Paku Buwana IV dalam mencari

Page 66: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

ilmu agama, mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai.

Ada kalanya kyai dan guru agama ini mempunyai pengaruh kuat terhadap raja

Surakarta. Sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan

juga sikap politiknya. Peristiwa Pakepung yang terjadi di awal pemerintahannya

merupakan suatu bukti adanya pengaruh kyai dan guru agama terhadap sikap

politik yang dijalankannya.

Peristiwa Pakepung terjadi pada tahun 1790, ketika Sunan Paku Buwana

IV baru dua tahun dinobatkan sebagai raja Surakarta. Peristiwa ini tidak saja

mempunyai latar belakang politis yaitu adanya persaingan antara kerajaan-

kerajaan penerus dinasti Mataram, melainkan juga latar belakang keagamaan.

Kuatnya latar belakang keagamaan dalam peristiwa pakepung karena tokoh-tokoh

utama yang menggerakkkan kejadian ini mempunyai sikap dan semangat

keagamaan yang tinggi, khususnya agama Islam.

Pada masa Sunan Paku Buwana IV menempatkan ulama kepercayaan pada

posisi sentral dalam birokrasi kerajaan, yakni diartikan sebagai simbol identitas

dan kepentingan politik. Tindakan ini ditafsirkan sebagai simbol identitas dan

kepentingan politik (Endang Saparinah, 1989:24-37). Membangun politik dengan

ulama dilandasi kenyataan bahwa: 1) Selama ini tidak ada hubungan harmonis

antar ulama birokrasi dan non-birokrasi. Sunan sebagai pemimpin agama tidak

berusaha menjembatani hubungan kedua ulama, sehingga mereka hidup dalam

atmosfer struktur politik dan struktur social yang terpisah. 2) Ketika masyarakat

pingiran menghadapi tekanan politik dan ekonomi, tidak ada usaha ulama

birokrasi membelanya, tetapi justru ulama non-birokrasi berada di baris depan

untuk melakukan gerakan protes.

Sikap Paku Buwana IV yang membenci kompeni, sejalan dengan sikap

para kyai, yakni berusaha mengangkat wibawa kerajaan dengan cara menjadikan

Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua bekas kerajaan Mataram yang lain, dan

mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan kompeni. Bertemunya

dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah yang menjadi dasar penyebab

terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana

IV.

Page 67: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Dalam pemikiran Politik Paku Buwana IV, kerajaan yang sedang rapuh,

secara politis akan melakukan konsolidasi dengan kekuatan politik yang dimiliki,

misalnya melakukan ikatan politik dengan ulama yang memiliki basis massa kuat.

Dengan landasan konsolidasi politik tersebut diharapkan dapat menciptakan

keseimbangan kekuatan politik anta kerajaan hasil palihan nagari.

Selain adanya konsolidasi politik Islam dalam Serat Wulang Reh karangan

Paku Buwana IV juga mengajarkan tentang ajaran etika manusia ideal yang

ditujukan kepada keluarga raja, kaum bangsawan dan hamba di keraton Surakarta.

Ajaran etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang terdapat di

dalamnya merupakan etika yang ideal, yang dianggap sebagai pegangan hidup

yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, khususnya di

lingkungan Keraton Surakarta. Ajaran etika yang ditujukan kepada keluarga, abdi

dan rakyat tersebut diharapkan mampu mempererat hubungan sehingga

mendatangkan kekuatan untuk melawan penjajah Belanda.

Selain sebagai usaha untuk mendatangkan kekuatan massa, pada masa

Paku Buwana IV Islam juga mampu memunculkan tradisi di lingkungan keraton,

yakni dalam rangka menjawakan masyarakat yang bernuansa Islam, antara lain

sebagai berikut:

1) Busana prajurit yang sebelumnya seperti busana prajurit Belanda diganti

dengan busana prajurut Jawa.

2) Setiap hari Jum’at, Sunan bersembahyang di Masjig agung.

3) Setiap hari sabtu diadakan latihan warangan.

4) Setiap abdi dalem yang menghadap raja diwajibkan berbusana santri. Apabila

mereka yang tidak patuh dipecat.

5) Mengangkat adik-adiknya menjadi Pangeran, seperti Raden Mas Tala menjadi

Pangeran Mangkubumi; Raden Mas Sayidi menjadi Pangeran arya Buminata

tanpa izin sultan, Magkunegara, atau Kompeni (Mulyanto, dkk. 1990).

Dari sikap dan tradisi yang dibuat Paku Buwana IV mendapat tentangan

dari pihak kompeni yang merasa dirugikan karena sikap Islam yang cenderung

membenci kompeni (orang kafir). Orang Islam menganggap kompeni identik

dengan orang kafir yang harus dimusnahkan dari muka bumi (keraton Surakarta).

Page 68: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

Gerakan Islam sangat ditakuti kompeni, karena gerakan tersebut dibalut dengan

pemikiran agama yang meliputi etika, kemanusiaan, dan ideologi (Hasan Hanafi,

2007:2). Ajaran yang terkandung dalam serta Wulang Reh pun disesuaikan

dengan ajaran yang terdapat dalam agama Islam. Demikian itu merupakan

idealisme Paku Buwana IV yang diwujudkan dalam karya sastra akibat pengaruh

Islam yang telah menjiwai Paku Buwana IV. Selain berpengaruh terhadap sikap,

Islam juga mejadi alat konsolidasi dengan para ulama, untuk menjalankan roda

pemerintahan selama tiga puluh dua tahun tonggak kepemimpinanannya.

2. Munculnya Kritik Akibat Idealisme Paku Buwana IV

Pada Masa Pemerintahannya

Perilaku dan tindakan tokoh-tokoh leluhur yang agung harus menjadi

pedoman bagi raja yang memerintah selanjutnya. Apabila raja yang memerintah

mempunyai tindakan dan tingkah laku yang kurang memperhatikan kepentingan

bawahan dan rakyatnya maka cara aman untuk mengingatkan atau mengkritik

adalah melalui pengungkapan kembali kisah-kisah leluhurnya. Model kritik

terhadap raja pernah dilakukan oleh pujangga Keraton Surakarta yaitu Yasadipura

II terhadap Sunan Paku Buwana IV ketika terjadi peristiwa pakepung. Melalui

karyanya berjudul Serat Wicara Keras melakukan koreksi terhadap tindakan dan

tingkah laku Sunan Paku Buwana IV yang dipandang telah melalaikan tugas

sebagai seorang raja ideal melalui cara memperbandingkan dengan tindakan dan

tingkah laku para leluhurnya. Kritik tersebut terdapat dalam bait-bait Serat

Wicara Keras, Sinom 11-12, sebagai berikut:

Malah mulya ing delahan Pinuju dadia gsti Asih ing para ngulama Welas marang pekir miskin Aweta den subi Tulusa dadia paku Buwana ing rat Jawa Aja mikir teki-teki Amikira tulus arjaning Negara Mokal tan anggraita Nanging keh padha kasisip

Page 69: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

Ngaku tendhak Brawijaya Retuning wong Majapahit Pagene nora sekti Teka sepi ing rahayu Mung gunane ta padha Kasukan lali ing dhiri Nora nganggo duga-duga lan watara (Bahkan di akhirat terpujilah menjadi raja Cinta kepada para ulama Sayang kepada fakir miskin Jadilah pelindung selamanya Tuluslah menjadi paku Buwana ing tanah Jawa Jangan berpikir macam-macam Berpikir tuluslah terhadap majunya Negara. Mustahol jika tidak tahu Namun banyak yang keliru Mengaku keturunan Brawijaya Raja orang-orang Majapahit Tetapi mengapa tidak sakti Meninggalkan kebajikan Hanya mengejar kesenangan Lupa pada dirinya Tanpa mengindahkan kebenaran dan masa depan).

Adanya kritik yang dilontarkan Yasadipura II terhadap Sunan Paku

Buwana IV menunjukkan bahwa raja dalam pandangan masyarakat Jawa

meskipun dianggap memiliki sifat sakti namun sebagai manusia tetap dapat

berbuat kesalahan hingga perlu diingatkan. Dalam konteks mengingatkan ini

maka fungsi pujangga keraton sebagai orang yang dekat dengan raja mempunyai

peran yang sangat penting. Dengan demikian pencarian silsilah leluhur di samping

sebagai sarana legitimasi kekuasaan dan meningkatkan kewibawaan juga

dimaksudkan sebagai alat control bagi tindakan dan tingkah laku raja.

Selanjutnya sebagai akibat dari sikap Paku Buwana IV yang menempatkan

guru-guru agama atau kyai untuk menjadi abdi kinasih dan diberi jabatan serta

pangkat yang tinggi tanpa melalui kebiasaan yang ada. Pemberian pangkat dan

jabatan kepada kyai dilatarbelakangi oleh ketertarikan dan kesenangan raja akan

ilmu agama sehingga banyak kyai yang kemudian dijadikan penasehat atau guru

Page 70: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

spiritualnya. Diantaranya para kyai, ada yang pengaruhnya tidak terbatas pada

bidang spiritual atau keagamaan saja, melainkan juga pada bidang politik

kerajaan. Seperti diantaranya, R. Wiradigda dan Kandhuruhan yang diberi

pangkat bupati atau tumenggung, kemudian Bahman, R. Santri, dan Nur Saleh

yang diberi jabatan wedana (Supariadi, 2001: 128). Beberapa kyai yang diberi

jabatan tinggi dan memiliki pengaruh kuat di bidang politik, khususnya di awal

pemerintahan Sunan Paku Buwana IV. Pengaruh politik kyai inilah yang

kemudian banyak mengundang kritik dari abdi dalem lain, sebagai mana terlihat

dari salah satu karya Yasadipura II, Serat Wicara Keras, Pupuh Sinom 22-24:

Kaya alam Wiradigda Lali kalamun wong cilik Kudu angowahi adat …. Nursaleh kalawan Bahman Sayektine jaman iki Aja na guru mami Nagara iki wus ancur …. Kandhuruhan wiradigda Awisma aning nagari Yen ora dadi wedana Pasthi delayating bumi Yen kersane Sang Aji Karone dadi tumenggung (seperti perilaku Wiradigda Lupa jika dirinya orang kecil Lalu berubah tingkah lakunya .... Nur Saleh dan Bahman Sebenarnya jaman sekarang Jika tidak ada guru kami Negara ini sudah hancur …. Kandhuruhan fan Wiradigda Bertempat tinggal di ibu kota Jika tidak menjadi wedana Pasti sudah menjadi gelandangan Jika tidak dikehendaki sang raja Kedua menjadi tumenggung).

Page 71: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

Bait serat diatas memberikan gambaran bahwa Wiradigda, Kandhuruhan,

dan murid-muridnya mempunyai asal-usul dari rakyat biasa. Mereka mendapatkan

pangkat atau jabatan tinggi dengan dapat memasuki dunia pyiyayi karena dekat

nya hubungan dengan raja. Adanya mobilitas vertikal yang dialami oleh para kyai

menunjukkan bahwa raja memiliki wewenang mutlak untuk memberi pangkat dan

jabatan kepad siapa saja yang dikendaki.

3. Dampak Idealisme Paku Buwana Terhadap Pemerintahan

di Keraton Surakarta

Kyai dalam struktur sosial masyarakat tradisional Surakarta mempunyai

status sosial yang tinggi. Mereka merupakan bagian dari golongan elite dalam

masyarakat yang dalam berbagai kehidupannya dapat dibedakan dari wong cilik

(masyarakat kebanyakan). Berbeda dengan priyayi yang mendapat status sosial

berdasarkan jabatannya dalam birokrasi pemerintahan, maka kyai memperoleh

status sosial yang tinggi karena pengetahuan dan pemahamannya terhadap ajaran

agama Islam. Kyai dibedakan menjadi dua kelompok yaitu, kyai birokrasi (kyai

yang menduduki jabatan birokrasi, seperti yang bergabung dalam reh pangulon

atau abdi dalem ngulama) dan kyai bebas (kyai yang berada di luar birokrasi dan

sebagian besar merupakan pemimpin dan guru di pesantren) (azyumardi azra (ed),

1991: 125).

Kyai merupakan guru dan penganjur agama Islam sekaligus juga

pemimpin yang memiliki kedudukan dan fungsi sosial dalam masyarakat.

Berdasaran peran inilah yang menyebabkan kyai selalu identik dengan pemimpin

pesantren. Kedudukan kyai sebagai pemimpin komunitas Islam pedesaan telah

menjadikan mereka simbol solidaritas di kalangan rakyat dan sekaligus pembela

bagi kepentingan-kepentingannya. Hukum agama Islam yang menjadi dasar

pemikiran dan tindakan para kyai tidak saja mengatur hubungan antara individu

dengan Tuhan, melainkan hampir kekuasaan, yang luas pada kyai dalam

masyarakat.

Menurut Clifford Geertz (1975:204-220) ideologi Islam berperan

membentuk solidaritas sosial yang dapat digunakan untuk kepentingan pergerakan

Page 72: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

kebangsaan, dan saluran melampiaskan gerakan melalui: 1) penampilan simbol

perlawanan secara kekerasan; dan 2) membangun jejaring politik dan sosial yang

berideologi sama, sehingga aksi perlawanan yang dilakukan akan tetap sasaran.

Perlawanan berpijak pada ideologi Islam dibedakan menjadi dua katagori,

yaitu: 1) kelompok politik yang meyakini perjuangan melawan kolonialisme dapat

dilakkan di bawah panji atau doktrin Islam. Artinya, kemenangan yang diraih

akan memacu penerapan ideologi Islam sebagai ideologi Negara, dan yang

berjuang di luar doktrin itu adalah orang lemah iman atau kafir 2) kelompok

politik yang dipengaruhi keragaman, sehingga artikulasi ideologi Islam adalah

membentuk basis solidaritas yang ditujukan untuk menghadapi hegemoni

Belanda, tetapi doktrin Islam tidak dijadikan ideologi Negara (Qodri Azizy, 165).

Maksudnya kekuatan yang berdasarkan ideologi Islam digunakan untuk

menumbangkan kekuatan Belanda, namun ideologi Islam tidak dijadikan ideology

Negara.

Dalam kondisi seperti ini, pesantren akhirnya menjadi tempat persemaian

semangat anti kafir, dan kyai sebagai pemimpin pesantren ditempatkan pada

posisi sosial yang semakin tinggi. Sentimen-sentimen yang dibangun atas dasar

keagamaan ini pada gilirannya telah menghubungkan para kyai dengan para

bangsawan dan priyayi kerajaan yang mempunyai sikap anti kekuasaan kolonial.

Seperti perang Dipanegara pada tahun 1825-1830, merupakan manifestasi

bertemunya dua kepentingan, yaitu antara kepentingan kyai dengan semangat anti

kafirnya dan kepentingan politik yang lebih besar dari kaum aristokrat.

Pada mulanya peristiwa pakepung diawali dari pengangkatan ulama

bernama Bahman, Nur Saleh, Wiradigda menjadi guru rohani keraton Surakarta.

Pengaruh dan kekuasaan para ulama yang besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan

adanya tindakan Paku Buana IV mengganti dua temenggung yaitu Mangkuyuda

dan Pringgalaya, diganti oleh Wiradigda dan Sujana Pura (Serat Tus Pajang,

1935:56). Kyai ini mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Sunan Paku

Buwana IV, sehingga menjadi abdi dalem kinasih (abdi dalem terpercaya).

Kyai memendam kebencian terhadap meningkatnya kekuasaan kolonial

yang dipandang identik dengan kekuasaan kafir, seperti halnya Paku Buwana IV

Page 73: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

yang juga memendam kebencian terhadap kompeni karena ikut campurnya dalam

urusan pemerintahan kerajaan. Istilah kekuasaan kafir ini kemudian mengalami

perluasan arti, karena tidak saja dikenakan pada pihak Belanda melainkan juga

penguasa tradisional Jawa yang mau bekerja sama dengan Belanda.

Idealisme Paku Buwana IV dengan meletakkan dasar agama Islam dan

menempatkan para kyai ke dalam posisi sentral dalam birokrasinya, menimbulkan

kekhawatiran pihak kompeni dan Kasultanan Yogyakarta. Pengangkatan adik-

adik Paku Buwana IV menjadi pangeran tanpa ijin Sultan, Mangkunegaran dan

kompeni, ditengarai adanya intimidasi dari kyai Bahman, Wiradigda, Panengah,

Nursaleh, Paden Santri dan Kandhuruwan (Purwadi dan Rahmat Fajri, 2005:51).

Oleh sebab itu, kompeni menuntut agar keenam kyai yang mendalangi sunan

diserahkan sebagai tawanan. Apabila tidak dipenuhi, keraton Surakarta akan

diserbu oleh tentara gabungan yang terdiri atas tentara Kasultanan Yogyakarta,

Mangkunegaran dan Belanda. Untuk memperoleh kejelasan tentang perubahan

dan situasi yang ada di keraton Kasunanan Surakarta, Kompeni kemudian

mengirim utusannya. Utusan ini dipimpin langsung oleh Gubernur dan Direktur

Java’s Noord-en Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu Jan Greeve (Martinus

Nijhoff,1909:209-228). Dari tanggal 16 September hingga 6 Oktober 1790, Jan

Greeve berada di Surakarta. Tuntutannya satu, yakni Sunan Surakarta harus

menyerahkan keenam orang abdi dalem kepercayaannya karena mereka inilah

yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa. Akan tetapi karena negosiasi gagal,

pasukan Kompeni dengan dibantu oleh pasukan Kasultanan Yogyakarta, pasukan

Mangkunegaran, dan Pasisiran melakukan mengepung terhadap Keraton

Surakarta dari segala penjuru. Di sebelah timur, pasukan pasisiran telah

melakukan persiapan di desa Grompol, sedangkan pasukan Kompeni telah siap di

sebelah barat yaitu di Boyolali. Di sebelah utara pasukan Mangkunegaran dan

Kompeni juga mempersiapkan diri di benteng masing-masing. Adapun pasukan

Kasultanan Yogyakarta telah ditempatkan di Gondang untuk mengepung arah

selatan.

Sunan Paku Buana IV melihat kuatnya pengepungan terhadap Keratonnya

merasa gentar juga. Akhirnya atas bujukan dan usaha Kyai Yasadipura I, Sunan

Page 74: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

bersedia menyerahkan abdi dalem kepercayaannya yang dianggap sebagai biang

keladi kekacauan. Kelima orang yang diserahkan ini terdiri dari kyai Wiradigda,

Kandhuruhan, Panengah, Bahman, dan Nur Saleh. Dengan ditangkap dan

dibuangnya kelima abdi dalem kepercayaan Sunan, maka pengepungan terhadap

Keraton Surakarta dihentikan. Peristiwa ini berakhir setelah ulama tadi diserahkan

kepada pemerintah kolonial. Pada tanggal 29 November 1790, mereka dibuang ke

Pulau Onrest, dan di pulau ini kelimanya dihukum kerja paksa untuk

menebangkayu hutan (Endang Saparinah, 1990:3). Akibat peristiwa pakepung ini

banyak wilayah Kasunanan yang jatuh ke tangan penguasa kolonial.

Akibat tekanan tersebut, akhirnya Sunan tunduk kepada Belanda. Demi

pengaman daerah, pada tanggal 22 September 1788 Sunan Paku Buwana IV

menandatangani perjanjian yang isinya sebagai berikut:

a. Dalam setiap menghadapi segala soal, Sunan dan Belanda harus menghadapi

bersama dalam ikatan persaudaraan.

b. Pengangkatan Patih dan Pangeran Adipati Anom harus mendapat persetujuan

dari Kompeni melalui gubernur di Semarang atau residen di Surakarta.

c. Berdasarkan perjanjian pada tanggal 11 November 1743 dan 18 Mei 1746

antara kompeni dan paku Buwana II, Sunan Paku Buwana IV tidak boleh

memohon kembali Pulau Madura dan daerah pesisir. Sunan juga tidak boleh

memohon kembali tanah desa berdasarkan perjanjian tanggal 24 April 1744.

Apabila Sunan melanggar perjanjian ini, segala harta miliknya dicabut dan

diambil alih oleh kompeni (Serta Perjanjian Dalem Nata, 66-75).

Sikap yang melatarbelakangi peristiwa pekepung menyebabkan pada masa

Paku Buwana IV banyak terjadi pengurangan wilayah, baik masa kolonial Inggris

maupun Belanda. Pada tagun 1808 , saat gubernur Jendral Daendels berkuasa,

beberapa wilayah Kasunanan berkuasa, beberapa wilayah Kasunanan diserahkan

kepada pemerintahan Belanda. Diantaranya: Jipang, Semarang, Demak, Salatiga,

Grobogan, Blora dan Kedu. Pada masa Gubernur Jendral Raffles daerah yang

diserahkan antara lain Kedu, Wirasaba, Blora dan Pagerwaja. Dengan demikian,

keamanan kerajaan Kasunanan dan diri Paku Buana IV di bawah kekusaan

Inggris.

Page 75: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

Ketika berkuasa di Jawa pada tahun 1816, kebijakan politik dan ekonomi

yang diterapkan oleh Daendels dan raffles terus dilajutkan. Kondisi seperti ini

memungkinkan meningkatnya keresahan-keresahan dalam masyarakat Jawa

karena semakin kuatnya penetrasi kolonial. Rasa tidak puas dan keresahan ini

telah merasuki seluruh lapisan masyarakat. Golongan bangsawan dan priyayi

kerajaan merasa tidak senang karena pihak Belanda semakin kuat campur

tangannya dalam urusan intern kerajaan. Di pihak lain eksploitasi yang semakin

meningkat pada masyarakat pedesaan menjadi lahan subur bagi munculnya

keresahan-keresahan agraris (Supariadi, 2001: 211)

Kegagalan politik yang dibangun Paku Buwana IV dalam menghadapi

pemerintah kolonial Belanda, karena adanya golongan priyayi dan pihak istana

sering bersikap mendua. Hal ini lantaran watak priyayi selalu mengutamakan nilai

kedudukan dan kekuasaan. Karena VOC dapat melindungi seorang penguasa

dengan imbalan pembayaran dan konsensi-konsensi, VOC dapat menumpas

kelompok-kelompok pemberontak yang besar dan mempertahankan tempat-

tempat yang trategis, tetapi tidak mampu memelihara ketertiban di seluruh Jawa.

Misalnya, ketika mereka menghadapi pemberontakan Trunojoyo. Ketika

mengahadapi pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Samber

Nyawa (Mangkenegara I). Islam lah eksponen yang paling gigih melawan

kelaliman penjajah Belanda, dan mengobarkan semangat nasionalisme religius di

Indonesia (kerajaan) (Simuh, 2003: 98-99).

Nasionalis religius dalam arti menghadapi pemerintahan atas dasar

kebangsaan yang bersikap positif terhadap agama, yakni jadi pelindung dan

pendukung siar agama. Itulah yang terjadi dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa

mulai zaman pengaruh Hindu-Budha sampai zaman kemerdekaan. Seperti

menurut Ann Kumar penempatan ulama di birokrasi kerajaan seperti yang

dilakukan Paku Buwana IV, mempermudah penciptaan ikatan politik atau aliansi

politik. Aliansi politik berubah menjadi asosiasi yang berperan untuk memperkuat

semangat keislaman di kalangan elit politik Jawa (Ann Kumar, 1985:3). Tindakan

itu merupakan sinyal penentangan terhadap kekuasaan kolonial Belanda.

Page 76: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

Pada dasarnya peristiwa pakepung dapat dipandang sebagai cerminan

terpolarisasinya pandangan politik priyayi dan kyai. Polarisasi itu terbentuk

karena adanya dikotomi kehidupan antara priyayi yang cenderung

mengembangkan sikap budaya sinkretis dan kompromistis, serta para kyai

(khususnya kyai-kyai bebas atau merdeka di pedesaan) yang lebih

mengembangkan sikap kesalehan dalam menjalankan ajaran Islam. Para kyai ini

memperoleh kewibawaan dan kharisma dalam masyarakat bukan berdasarkan

pengangkatan atau keputusan dari penguasa, melainkan dari kemampuan atau

pengetahuan keislaman dan kesalehannya. Sikap bebas yang juga didukung oleh

sumber ekonomi mandiri menjadi pendorong bagi tumbuhnya rasa ketidakpuasan

kyai terhadap ketidakmandirian para penguasa tradisional akibat campur tangan

bangsa asing. Bangsa asing (Belanda) di mata para kyai identik dengan kekafiran

yang harus dilawan. Sikap para kyai tersebut sejalan dengan sikap Paku Buwana

IV yang berusaha mengangkat wibawa kerajaannya dengan cara menjadikan

Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua kerajaan bekas kerajaan Mataram yang

lain, dan mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan kompeni.

Bertemunya dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah yang menjadi dasar

penyebab terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa pemerintahan Sunan

Paku Buwana IV.

Page 77: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Politik adalah kekuasaan untuk mencapai sebuah tujuan, memerintah dan

mengatur segala aspek kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara. Melalui

politik Islam Paku Buwana IV membangun kekuatan untuk melakukan legitimasi

kekuasaan. Dalam koridor membangun kekukuatan dan memperluas kekuasaan,

Paku Buwana IV menulis Serat Wulang Reh. Berpijak dari hasil penelitian, maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman.

Yakni dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam

birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada

hokum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya

Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan

berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak

upacara yang juga mencerminkan sifat Islami, seperti upacara garebeg yang

dipandang sebagai upacara besar, namun pada kenyataannya perilaku dan

sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik

atau oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah Agami Jawi. Keraton

menjadi pusat pengkajian ilmu agama Islam, oleh sebab itu raja meraih

dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan. Islam yang

diamut bercorak mistik atau sinkretik. Hal ini merupakan konsekuensi dari

masih bertahannya tradisi agama terdahulu (Hindu-Budha), dan corak itu

merupakan arus bawah yang menjadi esensi kebudayaan mereka.

2. Manunggaling Kawula-Gusti merupakan sistem kekuasaan raja yang

memerlukan loyalitas tinggi dari para abdi. Konsep tersebut adalah bentuk lain

dari cara perolehan kekuasaan raja yang berdasarkan wahyu. Wahyu atau

pulung diambil dari tradisi kuno, penerima pulung mendapat legitimasi untuk

menjalankan kekuasaan serta kepemimpinannya. Raja dianggap sebagai pusat

dari kekuatan alam (kosmos). Raja adalah wakil Tuhan (Kinarya Wakil Hyang

Page 78: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

Agung), tidak boleh ditentang, membangkang apalagi memberontak. Idealisme

tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung Paku Buwana IV

untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan berwibawa di

banding dengan raja di sekitarnya (Kasultanan dan Mangkunegaran) serta

VOC dan para abdi dalem. Sifat raja menguasai, memegang teguh syarat

agama, dan melaksanakan syariat. Raja adalah sebagai pemimpin umat, itulah

sebabnya disebut sebagai Khalifatullah.

3. Peristiwa pakepung yakni suatu peristiwa pengepungan keraton Kasunanan

oleh kekuatan militer VOC, Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta.

Peristiwa pekepung dilatarbelakangi oleh tuntutan pihak kompeni kepada

Sunan PB IV untuk menyerahkan para kyai (guru agama Islam) yang menjadi

penasehat politiknya. Tuntutan kompeni tersebut menunjukkan bahwa

peristiwa pakepung tidak saja dilatarbelakangi persoalan politik melainkan

juga keagamaan. Sikap Paku Buwana IV yang membenci kompeni, sejalan

dengan sikap para kyai, yakni berusaha mengangkat wibawa kerajaan dengan

cara menjadikan Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua bekas kerajaan

Mataram yang lain, dan mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang

kekuasaan kompeni. Bertemunya dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah

yang menjadi dasar penyebab terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa

pemerintahan Sunan Paku Buwana IV. Hubungan dekat Paku Buwana IV dan

idealisme yang sejalan dengan para kyai (ulama), membuat Paku Buwana

melakukan legitimasi kekuasaan dengan jalan konsolidasi dengan para ulama

keraton.

B. Implikasi

1. Teoritis

Agama yang terbentuk di Jawa, dan di keraton Surakarta pada khususnya

adalah perpaduan anatara budaya Jawa yang sejak zaman Hindu-Budha telah

mengakar kuat kemudian membentuk suatu agama baru yang di sebut dengan

agama Jawi. Agami Jawi (Kejawen) merupakan bentuk agama Islam orang Jawa

yang biasa disebut adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-

Page 79: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

Budha yang cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui

sebagai agama Islam. Kegiatan pengislaman warisan ilmu kejawen dipelopori

oleh Sultan Agung, yakni dengan mengubah perhitungan tahun kabisat Saka,

menjadi tahun Jawa Sultan Agungan sesuai dengan tahun Hijriah yang didasarkan

atas peredaran bulan. Nama bulan disesuaikan dengan dengan kelender Hijriah,

sedang hari Mingguan Islam dptertemukan dengan nama-nama hari kejawen,

misalnya Senen Wage, Selasa Kliwon, dan seterusnya. Dengan demikian,

perhitungan tahun Jawa ini bisa diterima dengan perasaan lega oleh masyarakat

pesantren. Hanya untuk kepentingan berlangsungnya upacara-upacara kerajaan,

tahun Jawa ini melestarikan tahun satu Saka sebagai awal tahun pertamanya, yaitu

tahun 78 Masehi. Dengan demikian, peralihan perhitungan tahun Jawa ini tidak

menimbulkan masalah di kalangan pendukung ilmu kejawen.

2. Praktis

Sunan Paku Buwana IV adalah raja yang berusia muda, sehingga dalam

menghadapi persoalan-persoalan masih mudah emosional. Namun demikian

dibalik kelabilan emosinya, Paku Buwana IV mempunyai sikap yang teguh, watak

yang tegas dan keras, serta taat dalam menjalankan ibadah agama Islam.

Ketegasan dan keteguhan sikapnya ditunjukkan pada pihak kolonial, baik VOC,

Inggris maupun Belanda. Campur tangan pihak asing terhadap pemerintahan

menyebabkan rasa ketidaksenangan Paku Buwana IV terhadap pemerintah

Kolonial. Selain sikapnya yang keras dan tegas, akibat dari kegemaran Sunan

Paku Buwana IV mencari ilmu agama Islam maka Sunan dekat dengan para

ulama. Oleh sebab itu Paku Buwana IV melakukan konsolidasi politik dengan

para ulama untuk melawan kolonial Belanda. Karena raja mempunyai angan-

angan untuk menjadikan Surakarta sebagai yang dipertuankan bagi kedua bekas

kerajaan Mataram lain, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran,

sehingga kewibawaan Keraton Surakarta yang sudah menurun akibat pecahnya

kerajaan (palihan nagari) dapat diangkat kembali.

Page 80: FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfSURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

C. Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat diajukan saran sebagai

berikut:

1. Bagi peneliti yang lain

Penelitian tentang Islamisasi di Indonesia masih bersifat kompleks. Oleh

karena itu, bagi peneliti yang lain untuk melakukan penelitian tentang Islamisasi

yang bersifat khusus dalam suatu daerah atau suatu masa tertentu dengan

menggunakan sumber primer berupa babad atau serat sesuai dengan masa yang

ingin diteliti.

2. Bagi mahasiswa sejarah

Dalam memahami dan mengetahui isi serat atau babad memang sulit,

sehingga membutuhkan pemahaman yang tajam dengan menerjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia terlebih dahulu. Akan tetapi, sebagai mahasiswa jurusan sejarah

sebaiknya lebih memilih karya sastra kuno (serat atau babad) untuk dijadikan

bahan penelitian. Melalui serat-serat atau babad akan memperkaya penelitian

tentang sejarah Indonesia karena penelitian yang bersumber pada naskah kuno

masih kurang atau belum banyak yang terungkap. Selain itu, sebagai warga negara

Indonesia haruslah mengetahui tentang sejarah masuknya Islam serta politik Islam

yang digunakan para pemimpin (raja) untuk melawan kekuasaan penjajah

(kolonialisme Belanda). Karena dengan begitu akan menumbuhkan sikap

nasionalisme yang tinggi untuk terus membela negara dan bangsa dari incaran

penjajah.