fakultas keguruan dan ilmu pendidikan …eprints.uns.ac.id/5102/1/209151812201105431.pdfsurakarta...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820
(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)
SKRIPSI
Oleh :
SITI ZULAIHAH
K4407040
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820
(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)
Oleh:
SITI ZULAIHAH
NIM: K4407040
SKRIPSI
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Siti Zulaihah. K4407040. ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli. 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta pada tahun 1788-1820, (2) Idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan yang ada di Keraton Surakarta tahun 1788-1820, (3) Dampak idealisme Paku Buwana IV di dalam pemerintahan Keraton Surakarta tahun 1788-1820.
Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman, terlihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Keraton menjadi pusat pengkajian ilmu agama Islam, oleh sebab itu raja meraih dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan. Islam yang diamut bercorak mistik atau sinkretik. Hal ini merupakan konsekuensi dari masih bertahannya tradisi agama terdahulu (Hindu-Budha), serta usaha untuk menghindari terjadinya gesekan antara dua tradisi (Hindu-Jawa) dengan terciptanya budaya kearifan lokal. (2) Raja dianggap sebagai pusat dari kekuatan alam (kosmos). Raja adalah wakil Tuhan (Kinarya Wakil Hyang Agung atau Sabda Pandeta Ratu), tidak boleh ditentang (absolut) , dibangkang apalagi diberontak. Idealisme tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung Paku Buwana IV untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan berwibawa di banding dengan raja di sekitarnya (Kasultanan dan Mangkunegaran) serta VOC dan para abdi dalem. Sifat raja menguasai, memegang teguh syarat agama, dan melaksanakan syariat. Raja adalah sebagai pemimpin umat, itulah sebabnya ia disebut sebagai Khalifatullah. (3) Akibat dari idealisme Paku Buwana IV yang meletakkan dasar agama Islam dan menempatkan para kyai ke dalam posisi sentral birokrasinya, maka Belanda melakukan pengepungan terhadap keraton Surakarta. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1790 disebut dengan peristiwa Pakepung. Keraton Surakarta dikepung oleh tentara gabungan yang terdiri atas tentara Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran dan Belanda karena pengaruh dan kekuasaan para ulama yang besar dalam sistem pemerintahan keraton Surakarta yang diusung Paku Buwana IV pada tahun 1788-1820.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Siti Zulaihah. K4407040. ISLAMIZATION IN THE PALACE OF SURAKARTA AN ANALYSIS (Islamic Political Thought of Paku Buwana IV). Thesis, Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University of Surakarta, July. 2011. The purpose of this study was to determine: (1) A religious life at the Surakarta Palace in the year 1788-1820, (2) Paku Buwana IV Idealism about religious life in Surakarta Palace in 1788-1820, (3) The impact of Paku Buwana IV idealism in the government of the palace of Surakarta in 1788-1820. This study uses historical methods. The steps of the methods include heuristics, criticism, interpretation and historiography. The data used primary sources and secondary sources. Data collection techniques using technique of literature study. The Analytical techniques was accuracy historical analysis which emphasizes on the sharpen in interpreting historical facts. Based on the research results, it can be recognized some conclusious as the following: (1) Kasunanan Surakarta is characterized as an Islamic empire, seen from the position penghulu and abdi dalem ngulama in the royal bureaucracy, the existence of peradilan serambi based on the Islamic law and doctrine, the use of Sayidin Panatagama title (The leader is the leader it self and the Manager of Religious Affairs at the same time) by Sunan, and the establishment of the Great Mosque in the palace environment. The palace became the center of the study about Islamic religion, therefore, the king reached the moral support of the clergy as a form of coexistence. Islam which was held was mystical Islam or syncretic. This is a consequence of the persistence of the previous traditional religion (Hindu-Buddhist), and the effort to avoid friction between the two traditions (Hindu-Javanese) by the creation of local wisdom. (2) King is considered as the center of the forces of nature (cosmos). The king is the representative of God (Kinarya Wakil Hyang Agung or Sabda Pandeta Ratu), should not be challenged (absolute), moreover rebellious rebel. This idealism about the demands of compliance was carried out by Paku Buwana IV to achieve a higher level of power and authority than that of the other kings surrounding (Sultanate and Mangkunegaran) and the VOC also the abdi dalem. The characters of the king were mastering, upholding religious Shari'a, and implementing the Shari'a. The king was as the leader of the people, that is why he was referred to Khalifatullah. (3) As the impact of Paku Buwana IV idealism who laid the foundations of Islam and put the clerics into the position of the central bureaucracy, the Dutch sieged the Surakarta palace. This incident occurred in 1790 was called pakepung event. Surakarta palace was surrounded by an unified army consisting the soldiers of Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, and the Dutch because of the great influence and power of the clerics in the Surakarta palace government system carried by Paku Buwana IV in 1788-1820.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Bila Sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa.
(Ahmad Mansur Suryanegara)
Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad
Perhatikan sejarahmu untuk hari esok
(QS. Al-Hasyr : ayat 18)
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai-berai….
(QS. Ali Imran: ayat 103)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan:
1. Ibunda tercinta yang selalu mendoakan disetiap
sujud dan tahajudnya.
2. Buat kakakku: mbak Kurni dan mas Dwi, mbak
Rahma dan mas Danang serta adikku tersayang,
Febriana.
3. Teman-teman Motivasi: Anjar, Mufti, Desi,
Djoko, Fitri, Margi, Duwi, Miko, mbak Tutut,
mbak Septi dan semuanya yang selalu memberi
semangat.
4. Buat Nadia, mbak Puji, Bety, Wulan, Iis, Dian,
Nora, mas Iben’z, mas Andi dan semua teman2
Hiscom’07 yang tak bisa disebutkan satu persatu
terimakasih.
5. Almamater FKIP dan UNS.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah...
Puji syukur penulis panjatkan ke Illahi rabbi, atas rahmat dan hidayah-
Nya, skripsi ini dapat diselesaikan.
Banyak hambatan yang penulis hadapi dalam penyelesaikan penulisan
skripsi ini, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka skripsi
ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberi ijin penyusunan skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah
menyetujui atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang telah
memberikan pengarahan dan ijin penyusunan skripsi.
4. Prof. Dr. Mulyoto, M.Pd. selaku Pembimbing I atas arahan dan bimbingan
sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
5. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. selaku Pembimbing II atas arahan dan
bimbingan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
6. Staf dan serta karyawan Reksa Pustaka Mangkunegaran, perpustakaan
Monumen Pers Surakarta, perpustakaan UIN Yogyakarta, perpustakaan UGM
Yogyakarta, perpustakaan Pusat UNS, dan perpustakaan Program Studi
Sejarah, yang membantu penulis dalam memperoleh sumber data.
7. Temen-teman di Program Studi Sejarah dan kawan-kawan LPM Motivasi.
8. Berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih ada kekurangan
sehingga segala kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Harapan penulis
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan.
Surakarta, Juli 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PENGAJUAN ........................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv
ABSTRAK .. ......….. ................................................................................... v
ABSTRACT . .......................................................................................... .... vi
HALAMAN MOTTO ................................................................................ vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ viii
KATA PENGANTAR ................................................................................ ix
DAFTAR ISI .............. ................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 8
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 9
1. Hinduisme .......................................................................... . 9
2. Islamisasi .............................................................................. 12
B. Kerangka Berfikir ....................................................................... 19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................... 21
B. Metode Penelitian....................................................................... . 22
C. Sumber Data ............................................................................... 23
D. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 24
E. Teknik Analisis Data ............................................................... ... 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
F. Prosedur Penelitian ...................................................................... 26
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-
1820.............................................................................................
31
1. Islamisasi di Keraton Surakarta ............................................. 31
2. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Masa Paku
Buwana IV (1788-1820)......................................................... 35
B. Idealisme Paku Buwana IV dalam Kehidupan Keagamaan di
Keraton Surakarta Tahun 1788-1820...........................................
43
C. Dampak Idealisme Paku Buwana IV dalam Pemerintahan
Keraton Surakarta Tahun 1788-1720............................................ 48
1. Pengaruh Islam Terhadap Pemerintahan di Keraton
Surakarta Tahun 1788-1820 .................................................. 52
2. Munculnya Kritik Akibat Idealisme Paku Buwana IV Pada
Masa Pemerintahannya ……………………...……………. 56
3. Dampak Idealisme Paku Buwana Terhadap Pemerintahan
di Keraton Surakarta ............................................................. 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 65
B. Implikasi ..................................................................................... 66
C. Saran ............................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 69
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Jawa Tahun 1760 ............................................................... 73
Lampiran 2. Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggulo..................................... 74
Lampiran 3. Transkripsi Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggulo................. 78
Lampiran 4. Artikel Joko Lodang................................................................... 79
Lampiran 5. Struktur Birokrasi ...................................................................... 81
Lampiran 6. Foto ........................................................................................... 82
Lampiran 7. Serat Wicara Keras Pupuh Sinom ............................................. 88
Lampiran 8. Transkripsi Serat Wicara Keras Pupuh Sinom .......................... 92
Lampiran 9. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ............................... 95
Lampiran 10. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan ................................................................................. 96
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedatangan Islam pertama-tama di Jawa tidak diketahui dengan pasti dan
sulit diteliti, karena kurangnya sumber data yang mendukung. Bukti-bukti proses
Islamisasi baru dapat diketahui lebih banyak sejak akhir abad ke-13 hingga abad
berikutnya. Pada waktu itu kebudayaan spiritual orang Jawa telah menyerap
pikiran Hindu dan Budha Mahayana paling sedikit selama seribu tahun
(MC.Ricklefs, 1984: 14).
Islam yang datang dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang
dipengaruhi oleh ajaran mistik, yaitu Islam Sufi bukan Islam Sunni yang syar’i.
Islam Sufi mempunyai dasar pemikiran yang sejajar dengan religi asli animisme
dan dinamisme. Ajaran budaya Hindu-Kejawen yang dikembangkan oleh
kerajaan-kerajaan Jawa pedalaman juga bersifat mistik, sehingga dasar
pemikirannya sejalan dengan Islam Sufi. Dasar pemikiran tersebut adalah manusia
bisa menjalin hubungan langsung dengan daya-daya dan roh-roh gaib. Bahkan
dalam mistik samadi atau perantaraan dzikir manusia bisa dikatakan makrifat
(berhadapan dengan Allah) atau bahkan bisa mengalami manunggal (bersatu)
kembali dengan Tuhan-nya (Simuh, 2000: 9).
Ajaran-ajaran Islam Sufi kemudian berakulturasi dengan ajaran-ajaran
kebudayaan Jawa asli dan kebudayan Hindu-Kejawen, sehingga terbentuk Islam
Kejawen. Di Indonesia pemeluk agama Islam merupakan golongan mayoritas.
Dalam masa perkembangan agama Islam di Jawa muncul aliran yang mengarah
ke agama Islam Kejawen, yaitu agama Islam hasil sinkretisme dari paham ajaran
Hindu dan Islam. Proses Pengislaman Kejawen ini sudah berlangsung sejak masa
Kesultanan Demak (Rustopo, 2007: 28-29).
Pada akhir abad ke-18 hampir seluruh pulau Jawa secara resmi beragama
Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda. Pusat Islam yang paling sadar adalah
kota-kota pesisir utara, di situlah titik berat kebudayaan santri. Kebudayaan santri
berhadapan dengan kebudayaan Keraton dan pedalaman Jawa. Keraton-keraton
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
secara resmi memeluk agama Islam, namun dalam gaya kehidupan pengaruh
tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol (Franz Magnis, 2001: 31).
Peran ulama dalam Islamisasi juga bisa dilihat dalam sejarah Jawa. Lebih
dari sekedar mengislamkan raja, ulama di Jawa sekaligus sebagai raja. Kisah
legenda walisongo, sembilan orang wali (ulama) yang diyakini paling berjasa
dalam menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-15 adalah penguasa di wilayah-
wilayah pantai Utara Jawa yang memang tengah berkembang menjadi kota-kota
dagang (Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi, 2003:3).
Taufik Abdullah (1987:119) mengatakan bahwa ”Islamisasi telah
mencapai suatu proses konsolidasi politik yang lebih lanjut, dimana dagang,
kekuasaan, dan agama telah terintegrasikan”. Maksudnya susunan kekuasaan yang
dibangun bukanlah lagi semata-mata kekuatan dagang, melainkan juga kekuatan
politik dan agama.
Hubungan antara Islam dan politik di Indonesia memiliki akar sejarah
yang sangat panjang, yakni sejak pertamakali Islam disebarkan di kepulauan
nusantara pada abad ke-13 dan 14 Masehi. Sepanjang perjalannnya tersebut, Islam
terlibat dalam masalah-masalah politik. Pada masa ini politik Islam memperoleh
bentuknya yang sangat nyata. Di bawah pengaruh kekuatan kolonialisme Barat
yang hegemonik secara politik, militer, ekonomi dan budaya, kekuatan Islam yang
laten dan tidak pernah mau tertundukkan dalam posisi tersudut, lebih
tertransformasi ke dalam bentuk politik dan ideologi. Dalam hal ini, bukan saja
pemimpin-pemimpin Islam tingkat lokal yang merupakan lawan utama serta
simbol perjuangan melawan penjajah. Namun di atas itu semua, Islam memiliki
kekayaan doktrinal dan pengalaman politik yang segera dapat ditransformasi atau
direkonstruksi menjadi ideologi dan keyakinan politik, tanpa harus meminjam
kepada ideologi manapun.
Islam juga mencoba untuk menjembatani berbagai partikularisme
kesukuan dan daerah, dengan melakukan persatuan Islam. Dalam konteks ini,
Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi
politik, sehingga menimbulkan kekuatan politik luar biasa. Seperti yang
diwujudkan dalam gerakan Sabilillah, Perang Jihad dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Perjuangan kaum Islam di Nusantara melawan penjajah Belanda dapat
dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, oposisi atau perlawanan yang dipimpin
para Sultan. Fase kedua, perlawanan yang dipimpin para bangsawan keraton. Fase
ketiga, perlawanan yang dipimpin para pemuka agama (ulama). Perang
Diponegoro (1825-1830), perang Banjarmasin (1858), dan Perang Aceh (akhir
abad ke-19 dan awal abad 20 ) merupakan bentuk nyata perlawanan terhadap
penguasa Belanda, meskipun Islam bukan satu-satunya alasan. Dengan
mengibarkan bendera Islam dan mengobarkan perang suci (jihad), Islam semakin
memperoleh peran dalam sejarah politik di Indonesia (Faisal Bakti, 1993:53-54).
Kasunanan Surakarta secara formal memang merupakan sebuah kerajaan
yang bercirikan keislaman. Ciri sebagai kerajaan Islam dapat dilihat dari adanya
jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya
peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan
gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur
Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton.
Disamping itu banyak upacara keraton yang juga mencerminkan sifat Islami,
seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar (Darsiti
Soeratman, 1989:139).
Nuansa keislaman telah mewarnai simbol-simbol budaya keraton
Kasunanan Surakarta, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan
masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik, berbagai kepercayaan
pra Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, kepercayaan pada
makhluk halus, dan upacara ritual pra Islam lainnya merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan keagaman masyarakat keraton. Akhirnya
menjadi ciri keagamaan masyarakat keraton yang oleh para peneliti kemudian
dikenal dengan istilah Agami Jawa (Koentjaraningrat, 1956: 310).
Sifat Sinkretisme agama yang dihayati oleh masyarakat keraton
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses Islamisasi di pedalaman Jawa itu
sendiri. Agama Islam masuk ke pedalaman Jawa tidaklah dalam bentuk murni
yang mementingkan hukum syariah, namun lebih banyak bercampur dengan
sufisme atau mistik Islam (H.J de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, 1985: 256-275).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Penekanan pada unsur mistik atau sufisme pada awal penyebaran Islam di
pedalaman Jawa dapat dilihat dari tokoh-tokoh penyebarnya, seperti Sunan
Kalijaga dan Sunan Pandanaran (J.J. Raas, 1987: 56-60). Kedua tokoh penyebaran
agama Islam ini memang mempunyai warna sufisme yang kental karena ingin
menyesuaikan Islam dengan alam pemikiran masyarakat pedalaman Jawa. Oleh
karena tekanannya pada tasawuf, maka proses Islamisasi di pedalaman Jawa tidak
mengalami hambatan yang berarti. Hal ini berkaitan dengan adanya beberapa
kesamaan antara pandangan dunia tradisional Jawa dan ajaran mistik atau tasawuf
Islam.
Keharmonisan pola integrasi agama Islam di pedalaman Jawa dapat dilihat
dari pandangan masyarakat Jawa terhadap para wali dan kyai penganjur agama
Islam. Mereka tidak saja dianggap sebagai penyebar agama, melainkan juga
dianggap sebagai penjaga budaya Jawa. Masyarakat Jawa bahkan percaya bahwa
kesenian Wayang dan Gamelan merupakan sebagai puncak budaya Jawa
merupakan karya para wali (Solochin Salam,1975). Ciri sufisme atau mistik Islam
dengan demikian telah menemukan kecocokannya dalam pandangan dunia
tradisional Jawa sehingga dapat mempercepat proses integrasi dan penyebaran
agama Islam.
Sultan Agung berhasil meletakkan simbol Islam dalam sistem politik,
terlihat bahwa Sultan Agung untuk membuat kerjasama dengan birokrasi non-
sarjana Muslim. Ide Sultan Agung adalah bahwa Muslim sarjana non-birokrasi
dimanfaatkan untuk menghubungkan perbedaan politik antara Sultan Agung dan
bupati setelah invasi ke Batavia. Setelah kematian Sultan Agung, Amangkurat I
(1645-1677) dan Amangkrat II (1677-1703) mulai dekonstruksi sistem politik
Mataram. Maksudnya, politik keagamaan (religio-polical power) yang dibangun
oleh Sultan Agung, telah ditinggalkan oleh raja penerusnya dengan memilih
sistem sekularisme, sebagai upaya untuk mepertahankan perlengkapan magis-
religius dari pengaruh Islam.
Amangkurat I membunuh ulama dan santri (siswa di sekolah Islam
tradisional) di alun-alun kota Pleret (Karel A. Steenbrink, 1984 : 29-31).
Sedangkan Amangkurat II dan para penguasa berikutnya tidak membutuhkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
legitimasi politik dari ulama dan pesantren (tradisional Muslim sekolah),
meskipun pesantren yang mewakili basis massa dan memiliki ikatan perkawinan
dengan Mataram (Soemarsaid Moertono, 1985 : 37-39).
Raja yang sukses harus menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang
berlawanan di dalam kerajaannya tanpa mengurangi otonomi esensial mereka.
Bahkan suatu oposisi yang relative kecil jika tidak segera ditumpas, mungkin pada
akhirnya akan membawa pada keruntuhan total kekuasaan raja. Tiap raja yang
memerintah merasa berkewajiban untuk mengemban misi memperkuat dinasti,
sebab bilamana usahanya berhasil, maka itu sekaligus akan dapat memperkuat
kedudukannya sendiri di dalam dinasti. Para anggota dinasti Mataram akan
hormat kepada raja yang sedang memerintah bila ia berhasil membuat dinasti itu
jaya. Sebaliknya, kalau ia gagal mengemban misi, ia akan ditentang oleh sesama
anggota dinasti Mataram sendiri.
Bangsawan dan keraton adalah satu kesatuan integral yang saling
menguatkan kebangsawanan tidak akan berarti secara politis kalau ia tidak
dikokohkan oleh keraton. Bangsawan yang tidak memiliki keraton akan
mengalami kemerosotan status social. Demikian pula dengan keraton tidak akan
bisa menjadi institusi penting kalau tidak diperkuat oleh keterampilan politik dari
bangsawan yang setiap saat dengan daya kreasi mereka akan meningkatkan
“kewibawaan” keraton (Ari Dwipayana, 2004 : 245).
Perseteruan, intrik dan bahkan konflik dalam pergantian kekuasaan selalu
menyertai pergantian dalam sejarah Kerajaan di Jawa. Raja yang baru bertahta
selalu merasa terancam kedudukannya. Kekuasaan dianggap menjadi sesuatu
yang harus utuh dan bulat, tidak boleh tersaingi, terkotak-kotak ataupun terbagi-
bagi dengan orang lain. Keterlibatan Belanda dalam urusan-urusan Kesultanan
Mataram mencapai tahapnya yang kritis pada tahun 1740. Belanda tidaklah secara
konsekuen melaksanakan politik devide et empera di Mataram seperti halnya yang
mereka lakukan di Ternate dan Tidore. Percecokan dalam negeri antar keluarga-
keluarga kerajaan membuat setiap usaha Belanda untuk mengukuhkan sultan
menjadi lenyap dan khayal (C.R. Boxer, 1983:102).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Di keraton Surakarta masalah-masalah intern terus berkembang.
Ketidakcakapan Paku Buwana III secara umum, berbagai persengkokolan istana,
dan perilaku pejabat-pejabat VOC mulai mengancam keamanan dan stabilitas
istana, Pihak Belanda sepenuhnya mempercayai kesetiaan Paku Buwana III, tetapi
mencemaskan kondisi kerajaan yang nyata-nyata lemah (M.C Ricklefs, 2002:
228). Paku Buwana III merasa sangat takut melukai perasaan VOC dan mudah
terpengaruh oleh VOC (sesungguhnya, ia mudah sekali dipengaruhi oleh hampir
semua orang).
Pada tahun 1788 Paku Buwana III wafat dan kedudukannya sebagai
Susuhunan Surakarta digantikan oleh putranya yang baru berusia 19 tahun, Paku
Buwana IV (1788-1820). Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat
Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga
dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam
menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat
jumat, mengharamkan minuman keras dan candu sudah terlihat sejak muda ketika
masih berstatus sebagai putra mahkota.
Kegemaran Paku Buwana IV dalam mencari ilmu agama telah
mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Adakalanya
kyai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta, sehingga
tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya.
Pada awal tahun 1789, Paku Buwana IV mulai mengangkat kelompok
baru yang disenangi untuk menjadi pejabat-pejabat tinggi. Orang-orang ini
menganut ide-ide keagamaan yang ditentang oleh hierarki keagamaan yang sudah
mapan di Surakarta. Pengangkatan ulama bernama Bahman, Nur Saleh,
Wiradigda menjadi guru rohani keraton Surakarta. Pengaruh dan kekuasaan para
ulama tadi sangat besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tindakan Paku
Buwana IV mengganti dua temenggung yaitu Mangkuyuda dan Pringgalaya,
diganti oleh Wiradigda dan Sujana Pura (Serat Tus Pajang, 1935:56).
Setiap kerajaan melakukan konsolidasi, apakah itu bersifat internal
maupun eksternal. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem kinasih (abdi
dalem kepercayaan) merupakan upaya konsolidasi yang dilakukan oleh Paku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam birokrasi
kerajaannya. Paradigma Din-Dawlah merupakan keterkaitan antara agama dan
negara. Agama kebutuhan negara, karena melalui negara, agama memiliki
kemampuan untuk memperluas, dan Islam norma-norma dan nilai-nilai dapat
dibuat sebagai dasar etika dan juga politik moral.
Paku Buwana IV merupakan raja yang terkenal santri. Melalui pemikiran
atas dasar agama, Paku Buwana IV ingin menyeimbangkan antara agama dan
politik dalam menjalankan birokrasi kerajaannya. Berdasarkan latar belakang
masalah di atas maka penulis mengangkat suatu pokok penelitian dengan judul
”ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788 -1820
(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820?
2. Bagaimana idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan di
Keraton Surakarta tahun 1788-1820?
3. Bagaimana dampak idealisme Paku Buwana IV dalam pemerintahan
Keraton Surakarta tahun 1788-1820?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-
1820.
2. Untuk mengetahui idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan
keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820.
3. Untuk mengetahui dampak idealisme Paku Buwana IV dalam
pemerintahan Keraton Surakarta tahun 1788-1820.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
a. Dapat memberikan gambaran mengenai kehidupan keagamaan di
Keraton Surakarta tahun 1788-1820.
b. Dapat menambah referensi pengetahuan tentang peran Islam di
Keraton Surakarta tahun 1788-1820.
Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
a. Memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana
pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
b. Bagi pembaca, khususnya mahasiswa Program Studi Sejarah FKIP
UNS agar digunakan sebagai bahan awal untuk meneliti tentang
Islamisasi yang terjadi di Keraton Surakarta pada umumnya dan
pemikiran politik Islam Paku Buwana IV khususnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hinduisme
a. Pengaruh Hindu
Pengaruh Hinduisme yang paling mengakar dalam adalah di Jawa, dan
terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga Bali. Hinduisme memberikan
tata tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat
keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Hinduisme memberikan dan
mengangkat budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan kerajaan-
kerajaan besar dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli dan telah
mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya.
Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa dalam abad ke-VI dan ke-VII
Masehi terdapat beberapa negara Hindu di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Raja
menjadi poros seluruh kerajaan. Sejarah lebih dari seribu tahun perkembangan
kebudayaan Hindu-Jawa menghasilkan suatu pembagian masyarakat Jawa ke
dalam rakyat di desa-desa di satu pihak dan keraton di lain pihak, yang
daripadanya kekuasaan ghaib mengalir ke daerah membawa kesuburan,
pembagian mana dalam pemisahan antara rakyat kecil dan elite terdidik tetap
bertahan sampai sekarang. Apabila dalam lingkungan keraton mengalami banyak
perubahan dari segi politik, budaya, dan keagamaan, sebaliknya desa Jawa justru
mempertahankan ciri-ciri tradisionalnya seperti kepercayaan pada roh-roh, rasa
kekeluargaan, dan konservativismenya, namun kedua lingkungan itu tidak
bereksistensi berdampingan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan mereka
juga saling melengkapi. Bentuk pertanian intensif yang berdasarkan persawahan
merupakan prestasi asli orang Jawa. Sedangkan pengaruh-pengaruh kebudayaan
India menunjang perkembangan lingkungan keraton ke arah yang telah diambil
sebelumnya.
Hinduisme tidak mematikan budaya Jawa asli, akan tetapi justru memupuk
dan menyuburkan kebudayaan Jawa asli. Tidak hanya itu, Hinduisme
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
meningkatkan filsafat hidup dan wawasan tentang alam raya beserta teori-teori
kenegaraan yang diperintahkan oleh raja-raja yang keramat sebagai wakil para
dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang diberkati oleh para dewa. Oleh
karena itu, Hinduisme kemudian mengakar dalam dan menjadi penyangga
kebudayaan priyayi Kejawen yang menjulang di lingkungan istana kerajaan-
kerajaan, serta membentuk tradisi besar, sedangkan masyarakat desa Jawa yang
hanya tersentuh sedikit kebudayaan Hinduisme tetap buta huruf dan mewujudkan
tradisi kecil dalam budaya Jawa. Kebudayaan animisme dan dinamisme
masyarakat Jawa tetap bertahan serta ikut menjiwai pula dalam pola kebudayaan
priyayi di lingkungan tradisi besar (Simuh, 2000: 6).
Bagi Legge, dalam Franz Magnis ( 2001: 30) hubungan timbal balik antara
desa dan raja merupakan sumbangan zaman Hindu Jawa yang menentukan kepada
masyarakat Indonesia. Pada akhir zaman Hindu Jawa semangat Jawa asli semakin
berjaya. Sesudah unsur-unsur berharga dari Siwaisme, Wisnuisme, dan Budhiisme
ditampung, unsur-unsur itu dijadikan wahana bagi paham-paham Jawa asli seperti
penghormatan terhadap nenek moyang, pandangan-pandangan tentang kematian
dan penebusan, kepercayaan pada kekuasaan kosmis, dan mitos-mitos suku kuno.
Agama-agama impor diresapi oleh kebudayaan Jawa sampai menjadi ungkapan
identitas Jawa sendiri.
2. Islamisasi
a. Pengaruh Islam
Agama berasal dari kata a yang artinya tidak, dan gama yang artinya
rusak. Suatu keyakinan bila dipatuhi ajarannya tidak akan membuat pribadi dan
masyarakat rusak. Agama dalam pandangan orang Jawa sama dengan busana, atau
ageman yang berarti pakaian. Warga negara yang mulia tentu akan
memperhatikan ajaran agama, ajaran leluhur sebagai yang tertera dalam Kitab
Suci. Kewibawaan seorang pemimpin yang dituntun oleh ajaran agama akan
terbebas dari perbuatan aniaya, nista dan hina yang dapat meruntuhkan derajat dan
martabatnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Prinsip kepemimpinan orang Jawa menuntut agar pemimpin selain
memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di
depan pengikutnya. Kepemimpinan yang agamis selalu mementingkan
kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Sehingga pada
hakekatnya, orang Jawa lampau tidak membedakan antara sikap-sikap religius dan
bukan religius. Bahkan interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap
terhadap alam. Sebaliknya sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevan
sosial. Antara pekerja, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki
(Fachry Ali, 1986).
Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat bagi
alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan
manusia di dunia. Dalam Al-Qur’an surat Toha ayat 2 menerangkan bahwa “Kami
tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah”. Dari
firman Allah tersebut menjelaskan bahwa umat manusia yang mau mengikuti
petunjuk Al Qur’an, akan dijamin oleh Allah kehidupan mereka akan bahagia dan
sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan
mengingkari ajaran Islam, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit
dan penuh penderitaan.
Dalam penyebaran agama Islam ada dua lembaga yang memegang
peranan penting, yakni langgar dan pesantren (Darusuprapto, 1976). Langgar
merupakan pengajaran agama permulaan, sedangkan pelajaran lanjut dan
mendalam diberikan di pesantren.
Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an,
berati tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja (2004:26-27), yang dikutip
oleh Haidar Putra Daulay, mengatakan pesantren dari kata santri yaitu seseorang
yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunya arti
tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengatakan
pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat
tradisional untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya
sebagai pedoman hidup keseharian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan
pengertian lain pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama
yakni kepribadian muslim, kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam,
memilih, memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan
bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam merupakan
pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak
diri, berderajad tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah
mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin, 1999:9)
Sejak masa muda Paku Buwana IV mempunyai hubungan dengan para
ulama di sekitar Surakarta, dan ketika menjadi Sunan memudahkan membangun
ikatan politik. Paku Buwana IV pernah memperdalam agama dengan Kyai Imam
Syuhada (1745-1843) dari Pesantren Wanareja, Bekonang. Imam Syuhada adalah
putra Kyai Trunasura, Bagelen, dan cucu Kyai Ageng Baidlowi, Purwareja. Imam
Syuhada mendapat pendidikan keagamaan dari orangtuanya dan pesantren
kakeknya di Purwareja. Imam Syuhada selanjutnya menimba ilmu di Pesantren
Jatisaba asuhan Kyai Khotib Iman. Pemimpin Pesantren Jatisaba ini juga sebagai
abdi dalem ulama Keraton Kasunanan bertugas menjadi Khatib Masjid Agung.
Imam Syuhada ketika diperintah mendirikan pesantren di Wanareja, mendapat
bantuan Paku Buwana IV, meliputi ompak (penyangga tiang), soko (tiang),
mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol (Supariadi, 2001: 146-159).
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan
pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial.
Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak
bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta
ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia
adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa
(Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis
gelar yang berbeda, yaitu: 1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang
dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
kereta emas yang ada di Keraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan bagi orang-
orang tua pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang
ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar
kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier, 1985:55).
Santri merupakan unsur yang penting dalam perkembangan sebuah
pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren
adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau
murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa
disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri
mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok
tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran
di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren
jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera
atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari
daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah
pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus
penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri
tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).
b. Hakekat Islam
Hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan
ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia
dan akhirat. Menurut Fitzgerald bahwa: "Islam bukanlah semata agama (a
religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system).
Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam,
yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan modernis, yang berusaha
memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di
atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang
tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain". Seperti yang dikemukakan oleh
Gibb bahwa Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual, namun ia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia
mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan
dan institusi (Dhiauddin Rais, 2001:4-5).
Dalam sejarah Kerajaan di Surakarta, raja dan bangsawan menyukai Islam
lokal daripada Islam trans-nasional. Penerimaan Islam lokal bukan disebabkan
menjalankan syariat, tetapi kekuatan Islam telah mengatasi sosial budaya, masalah
sosial politik ekonomi dan sosial. Pembangunan Islam lokal menghasilkan tiga
varian pemimpin yang cendekiawan muslim birokrasi, non-birokrasi, dan
sinkretisme (Fachry Ali, 2004). Muslim birokrasi sarjana berada di istana,
sementara sarjana Muslim non-birokrasi dan pemimpin sinkretisme mereka
berada di masyarakat. sarjana Muslim non-birokrasi dan sinkretisme adalah
oposisi dari istana dan pemerintah Belanda.
Dalam sistem Kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai konsep bahwa
kekuasaan raja adalah absolut (mutlak), dimana raja adalah segala-galanya. Raja
memiliki kekuasaan yang sangat besar, tidak hanya seorang dari kawula-nya,
tetapi juga harta bendanya. Raja juga dianggap seorang wenang sisesa ing
sanagari, yang berwenang tertinggi di seluruh negeri, sehingga rakyat harus
dherek kersa dalem (mengikuti apa kehendak raja). Doktrin semacam itu
kemudian melahirkan sistem pemerintahan yang mengarah pada tiran. Setiap raja
akan berusaha sendiri-sendiri untuk menghadapai pesaing yang datang.
Moedjanto (1987) menyebutkan dua alasan utama:
1) Hukum adat waris tahta tidak menjamin kedudukan penguasa atau raja yang
bersangkutan,
2) Sejarah membuktikan, bahwa raja Mataram yang memperoleh kedudukan
dengan melakukan pergeseran kekuasaan.
Proses alih kekuasaan di Kerajaan Mataram cukup bervariasi, dengan
berbagai latar belakang konflik yang mengiringi. Tidak hanya dari internal
kerajaan, campur tangan pihak luar pun juga dominan dalam proses pergantian
tahta di Kerajaan Mataram. Tentu saja pihak luar itu mempunyai maksud untuk
memuluskan kepentingan politik mereka. Oleh karena itu, penelitian ini
menggunakan pendekatan politik untuk mengungkapkan masalah-masalah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
berhubungan dengan distribusi kekuasaan di antar berbagai kelompok masyarakat.
Koalisi-koalisi politik, intrik-intrik, manuver-manuver politik, dan konflik-konflik
yang ada.
Menurut Isjwara (1966: 344) “politik merupakan perjuangan untuk
memperoleh kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, masalah-masalah
pelaksanaan atau control kekuasaan, dan pembentukan atau penggunaan
kekuasaan”. Ada beberapa konsep pokok dalam politik, seperti dijelaskan oleh
Miriam Budiardjo (2004: 9) bahwa: “Politik mengandung konsep-konsep pokok,
yaitu negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan
(decisionmaking), kebijaksanaan (policy, beleid), dan pembagian (distribution)
atau alokasi (allocation)”.
Menurut Miriam Budiarjo teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai
beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai
konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pikiran manusia dan karena itu bersifat
abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Teori politik
adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan
perkataan lain teori politik adalah renungan atas: (a). Tujuan dari kegiatan politik;
(b). Cara-cara mencapai tujuan itu; (c). Kemungkinan-kemungkinan dan
kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu; dan (d).
Kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.
Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain
masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban,
kemerdekaan, lembaga-lembaga Negara, perubahan social, pembangunan politik,
modernisasi, dan sebagainya (Budiarjo, 2005: 3).
Dalam peter worsley 1973:247. berpendapat istilah politik adalah:
… kita dapat dikatakan bertindak secara politis apabila kita mengahalangi orang lain sehingga mereka bertindak sesuai dengan apa yang kita inginkan dari mereka…. Dengan definisi ini , tindakan menghalangi dalam hubungan apa pun bersifat politis. Semua jenis tekanan, mulai dari perang massal penyiksaan yang terorganisir, sampai pada nilai-nilai yang tersembunyi dalam pembicaraan antar pribadi, semua itu merupakan dimensi yang bersifat politis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Setiap masyarakat mempunyai organisasi baik formal maupun non-formal,
dan untuk menjalankannya dibutuhkan pelaksana. Pelaksana membutuhkan
kekuasaan untuk mewujudkan rencana-rencana masyarakat. Kekuasaan diberikan
untuk mengatur cara hidup bersama. Kekuasaan menjadi penting larena kekuasaan
adalah kemampuan seorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku
orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Mariam
Budiardjo, 1998:10).
Kekuasaan erat sekali dengan kebijaksanaan atau kebijakan. Kekuasaan
memunculkan kebijakan, dan kebijakan akan berlaku apabila disertai dengan
kekuasaan. Dalam suatu kawanan politik (negara atau kerajaan), kekuasaan
seseorang akan mempengaruhi kebijakasanaannya dalam mencapai suatu tujuan.
Pencapai tujuan dilakukan melalui interaksi sosial, komunikasi politik dan
hubungan lainnya dengan masyarakat yang dipimpinnya.
Sistem politik suatu masyarakat berkaitan dengan aktivitas-aktivitas
lainnya. Di Jawa, para raja memerintah dipengaruhi oleh faktor kedudukan, status
dan simbol-simbol tertentu yang tujuannya untuk memperkuat kekuasaan.
Kekuasaan yang kuat mempunyai otoritas penuh untuk memerintah rakyat,
kehidupan politik suatu masyarakat merupakan sistem aktivitas-aktivitas yang
saling berkaitan. Di samping itu, politik erat kaitannya dengan wewenang. Suatu
hak yang telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial untuk menetapkan
kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah
yang penting untuk menyelesaikan pertentangan-pertentanga (Soerjono Soekanto,
1977:172). Para raja di Jawa mempunyai wewenang tak terbatas yang diperoleh
dari rakyat, wong cilik yang dipimpinnya.
Kekuasaan dan wewenang menjadi unsur pokok dalam menjalankan suatu
roda pemerintahan. Untuk memperolehnya diperlukan suatu kekuatan dari
pemegang kekuasaan. Menurut pemikiran tradisional Jawa, kekuasaan terletak
pada keberhasilan dan kegagalan para penguasa untuk memusatkan ”kuasa”
batinnya melalui cara-cara tertentu (Benedict Anderson, 1983:3). Agar raja atau
pemegang kekuasaan mempunyai kekuatan adi kodrati, supranatural bahkan
cenderung mistik-mitologis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Kuatnya kultus nenek moyang terutama para raja yang memerintah,
mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Raja dianggap sebagai pusat dari
kekuatan alam (kosmos). Keistimewaan raja mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap sosok raja, hal itu yang menimbulkan kekaguman,
kewibawaan dan menambah bobot segala titahnya. Raja adalah pemimpin, oleh
kerena itu jika berbicara harus dipikirkan benar, karena apa yang telah dikatakan
tidak boleh ditarik kembali. Itulah sebabnya ia disebut raja (Sabda Pandita Ratu)
(Depdikbud, 1992:158).
Setiap apa yang menjadi keputusan, perintah dan kebijakan raja bahkan
segala macam benda pusaka yang bernilai bertuah “sakti”, karya sastra akan
mempengaruhi kekuatan politik seorang raja. Kekuatan sastra raja juga dapat
mempengaruhi politik, kultus terhadap raja menambah pamor dari karya sastra,
karena ada anggapan karya sastra mempunyai sifat keramat, keyakinan tersebut
tidak terlepas dari pandangan masyarakat pada waktu itu yang menganggap
benda-benda termasuk karta sastra yang bersifat sacral (Maharsi, 2001: 102).
Politik dapat mempengaruhi aktivitas-aktivitas manusia dibidang kehidupan
lainnya termasuk dalam sastra.
Karya sastra sebagai cara memberi kesadaran dan motivasi kepada orang-
orang yang diperintah salah satu caranya dengan internalized motivations, yaitu
suatu pendekatan untuk memotivasi bawahan dan masyarakat yang memerlukan
penanaman kerja kepada mereka…cara ini dapat bertahan sepanjang kesadaran itu
muncul dari niat yang tulus (Inu Kencana Syafi’i, 1997:60).
Menurut Duverger (1993:XII-XIII), terdapat dua corak pengaruh yang
ditimbulkan oleh kekuasaan, yaitu: 1). Orang melihat politik sebagai arena
pertarungan atau medan pertempuran. Kekuasaan digunakan orang yang berhasil
merebut dan mengotrol politik untuk berkuasa dan mempertahankan
kekuasaannya di dalam masyarakat. Di samping itu, ada pihak lain yang ingin
menentang dan merebut kekuasaan untuk tujuan yang sama sehingga kekuasaan
memainkan peranan sebagai biang konflik politik. 2). Orang menganggap bahwa
politik adalah suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan
dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum untuk melawan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan, Sehingga kekuasaan
memainkan peranan integrative, memihak, dan melindungi kepentingan bersama.
Kedua dimensi kekuasaan tersebut selalu muncul dalam kehidupan politik.
Kekuasaan sebagai biang konflik atau perpecahan selalu disertai oleh kekuasaan
sebagai benih integrasi. Jadi, kekuasaan bisa mendorong orang untuk berkonflik,
tetapi pada waktu yang sama juga bisa mendorong kerjasama atau integritas.
Menurut Webster (1966), istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti
perkelahian, peperangan, atau perjuangan, yaitu berupa konfrontasi fisik antara
beberapa pihak. Menurut Webster lebih lanjut, konflik berarti persepsi mengenai
perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan
bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.
Dalam sejarah konflik politik antara Paku Buwana II, Pangeran
Mangkubumi, dan Raden Mas Said, juga menyeret orang ke dalam konflik politik.
Konflik butuh waktu lama dan tidak bisa selesai, dan juga mengajak koloni untuk
menjadi bagian dari konflik ini. Akibat dari konflik tersebut Mataram terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan
Kadipaten Mangkunegaran.
Di Surakarta, masalah-masalah intern terus berkembang. Ketidakcakapan
Paku Buana III secara umum, berbagai persengkokolan istana, dan perilaku
pajabat-pejabat VOC yang buruk telah mengancam keamanan dan kestabilitas
kerajaan. Keresahan politik dan ekonomi akibat pembagian kekuasaan Mataram
memaksa Paku Buwana IV memperkenalkan pemikiran Politik Islam dalam
menjalankan pemerintahannya. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem
kinasih (abdi dalem kepercayaan) merupakan upaya konsolidasi yang dilakukan
oleh Paku Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam
birokrasi kerajaannya. Konsolidasi internal adalah meminta seluruh sentana dan
abdi dalem untuk memperkuat nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup,
sementara konsolidasi eksternal membuat hubungan politik dengan pesantren di
sekitar Surakarta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Paku Buwana IV mencoba
membangun kekuatan berdasarkan keseimbangan antara kekuasaan politik dan
kekuasaan sosial. Paku buwana IV politiknya pro-Islam dan anti Belanda dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
pergi ke masjid dan memberikan khotbah (Aan Kumar, 1990:105). Melalui
idealisme Paku Buwana IV ini, Islam dijadikan legitimasi politik yang awalnya
dipengaruhi oleh para ulama kharismatik yang ada di Keraton.
B. Kerangka Berpikir
Keterangan:
Masuknya agama Islam ke keraton Surakarta, turut membantu dalam
pembentukan perpolitikan yang terjadi di dalam kerajaan Surakarta. Mulai dari
Sultan Agung, Islam menjadi dasar untuk melakukan dan menyebarkan legitimasi
kekuasaan. Setelah turunnya Sultan Agung, agaknya politik yang dibangun atas
dasar Islam mulai lemah dan menurun. Seiring dengan menurutnya kredibilitas
raja yang cenderung memihak dan bersekutu dengan VOC. Melihat kondisi
seperti itu, Paku Buwana IV mulai bangkit dan mengembalikan Islam sebagai
kekuatan politik dengan mengadakan konsolidasi Islam, yakni dengan melakukan
kerjasama dengan ulama kharismatik yang ada di Surakarta. Paku Buwana IV
berharap melalui idealismenya, konflik yang terjadi setelah palihan nagari
Ulama Kharismatik
Paku Buwana IV
Keraton Surakarta
Pesantren
Konsolidasi Belanda
Islamisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
mampu diredam serta ingin mengangkat kekuasaan atas Keraton Kasunanan
Surakarta yang telah mengalami penurunan sejak palihan nagari.
Selain itu pemikiran Paku Buwana IV tentang politik Islam melihat bahwa
Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang
sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua entitas yang menyatu.
Hubungan Islam dan Negara betul-betul organik dimana negara berdasarkan
syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan
pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik
Islam. Tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang
sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan
untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik.
Di tengah kondisi keraton yang tidak stabil akibat adanya intrik dan
provokasi dari VOC serta adanya perseteruan baik intern maupun ekstern
membuat Paku Buwana IV melakukan strategi politik dengan mengadakan
hubungan dengan para kyai (ulama) di Pesantren di sekitar Surakarta. Keleluasaan
kyai di dunia pesantren, baik dari segi politik maupun sosial-keagamaan, telah
menjadikan mereka dengan mudah tampil sebagai kelompok elit dengan
seperangkat ideologi dan aura kebesaran, yang kerap dirumuskan dalam terma-
terma keagamaan. Selain itu Paku Buwana IV yang sejak kecil sudah mendalami
ilmu agama dengan pergi ke masjid untuk memberikan khotbah dan dekat dengan
para kyai, hal itu membuat mudah untuk melakukan politik konsolidasi. Politik
Islam tersebut oleh Paku Buwana IV diharapkan mampu mengatasi masalah yang
sedang terjadi di Kerajaan akibat dari palihan nagari. Mulai dari masalah intern
kerajaan, yakni adanya peristiwa pakepung tahun 1790 serta campurtangannya
VOC dalam setiap kebijakan yang diluarkan raja. Konsolidasi tersebut yakni
dengan meminta seluruh sentana dan abdi dalem untuk memperkuat nilai-nilai
Islam sebagai pedoman hidup, dan menjalin hubungan politik dengan pesantren di
sekitar Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul ”Analisis Islamisasi Di Keraton Surakarta Tahun
1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)” dilakukan
dengan metode studi pustaka melalui literatur-literatur yang ada di perpustakaan,
koleksi pribadi maupun perseorangan. Adapun tempat untuk memperoleh data
yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain:
a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS
b. Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
c. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta
d. Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran
e. Museum Keraton Kasunanan Surakarta
f. Yayasan Sastra Jawa Surakarta
g. Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
h. Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
2. Waktu Penelitian
N
o Kegiatan
Bulan
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli
1. Persiapan
a. Pengajuan Judul
b. Pengajuan proposal
V
V
2. Pelaksanaan
a. Pengumpulan data
b. Analisis data
V
V
V
V
3. Evaluasi
a. Penulisan laporan
b. Ujian
V
V
V
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Sesuai dengan tabel di atas, waktu yang diperlukan dalam penelitian ini
adalah selama 7 bulan (bulan ke-1 sampai bulan ke-7) yaitu dimulai dengan
kegiatan pembuatan proposal penelitian, pengumpulan sumber, kritik untuk
menyelidiki keabsahan sumber, menganalisis sumber yang diperoleh dengan
menguraikan kemudian menyatukan, dan tahap terakhir menyusun laporan hasil
penelitian.
B. Metode Penelitian
Dalam penyusunan rencana penelitian, peneliti akan dihadapkan pada
pemilihan metode atau teknik pelaksanaan penelitian. Metode penelitian
merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan penelitian dengan menggunakan
teknik tertentu. Dengan kata lain, metode adalah cara atau jalan sehubungan
dengan upaya ilmiah yang menyangkut masalah kerja, yaitu cara untuk dapat
memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan
(Koentjaraningrat, 1983: 7).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode historis, karena
obyek kajiannya berupa peristiwa masa lampau. Menurut Gilbert J. Garraghan
yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 43). Metode historis berarti
”seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber
sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-
hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Metode sejarah dapat juga berarti sebagai
proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang
autentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi
kisah sejarah yang dapat dipercaya (Louis Gottschalk, 1983 : 32).
Gottschalk (1983:18), mensistematisasikan langkah-langkah metode
penelitian sejarah sebagai berikut:
1) Pengumpulan obyek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan-
bahan tertulis dan lisan yang relevan;
2) Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak autentik;
3) Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau
penyajian yang berarti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Metode penelitian sejarah ini bertumpu pada empat langkah kegiatan: heuristik,
kritik atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
Menurut Basri MS (2006:35), yang dimaksud metode historis adalah
seperangkat aturan atau prinsip-prinsip dasar yang sistematis yang digunakan
dalam proses pengumpulan data atau sumber-sumber, mengerti dan
menafsirkannya serta menyajikan secara sintesis dalam bentuk sebuah cerita
sejarah (historiografi). Sedangkan tujuan penelitian historis adalah untuk
membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif dengan cara
mengumpulkan, mengevaluasi, serta mensintesiskan bukti-bukti untuk
menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat (Sumadi Suryabrata
1997: 16).
Berdasarkan masalah di atas penulis akan merekonstruksikan peristiwa
yang terjadi di keraton Surakarta pada masa Paku Buwana IV, yaitu “Analisis
Islamisasi di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV
Tentang Pilitik Islam). Sedangkan untuk obyek penelitian dan waktu terjadinya
peristiwa yang diteliti adalah Serat Wulang Reh karangan Paku Buwana IV berisi
tentang ajaran beragama yang lebih menekankan pada ajaran moral dan etika,
dalam arti berusaha memperbaiki akhlak berdasarkan pada ajaran syariah agama
Islam. Dari sikap Paku Buwana IV tersebut membuat Paku Buwana IV dekat
dengan para ulama atau kyai kharismatik di sekitar Surakarta, sehingga dalam
pemerintahannya pun dipengaruhi oleh para ulama. Hal itu membuat kompeni
membenci Paku Buwana IV dan mempengaruhi Ksultanan Yogyakarta dan
Mangkunegaran untuk melakukan pengepungan terhadap Keraton Surakarta,
peristiwa ini dijelaskan dalam babad Pakepung terjemahan Endang Saparinah.
C. Sumber Data
Sumber sejarah disebut juga data sejarah, bahasa Inggris dalam bentuk
tunggal, data bentuk jamak; bahasa Latin dalam berarti pemberian”
(Kuntowijoyo, 1995:94). Sumber sejarah menurut Helius Sjamsudin (1994:73)
ialah ” segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past
actuality).
Menurut bahannya, sumber sejarah dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis
dan tidak tertulis atau dokumen dan artifact (artefak). Sedangkan menurut
penyampaiannya dibagi menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer
apabila disampaikan oleh saksi mata. Sumber sekunder ialah yang disampaikan
oleh orang bukan saksi mata, misalnya buku-buku (Kuntowijoyo, 1995:96).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber primer dan sekunder.
Sumber primer dalam penelitian ini adalah serat Wulang Reh karangan Paku
Buwana IV. Sumber sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku literatur
yang relevan dengan penelitian ini. Melalui pengumpulan data berdasarkan
sumber data yang ditetapkan yaitu teknik studi pustaka, yakni mengumpulkan
data tertulis dengan menggali data dari serat dan babad, buku-buku literatur dan
bentuk pustaka lainnya yang mendukung. Sumber-sumber ini diperoleh melalui
kunjungan pustaka dan analisis. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini adalah buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian, antara
lain: ”Masyarakat Istana Jawa dan Politik Dalam Akhir Abad ke-18” karangan
Aan Kumar, ”Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah
Pembagian Jawa” karangan M.C Ricklefs, ”Kehidupan Dunia Keraton Surakarta
1830-1939” Darsiti Soeratman, ”Kyai dan Priyayi di Masa Transisi” karangan
Supariadi, ”Babad Pakepung” terjemahan Endang Saparinah.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang ditempuh untuk
memperoleh data yang diperlukan sehingga data yang diperoleh menjadi
sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan sumber data yang
digunakan, maka dalam melakukan pengumpulan data digunakan teknik
kepustakaan atau studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis
dengan membaca dan menganalisis kumpulan dokumen atau literatur. Kumpulan
dokumen dan buku-buku tersebut diperoleh dari perpustakaan-perpustakaan yang
ada di Surakarta dan Yogyakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Dalam penelitian ini, kegiatan studi pustaka dilaksanakan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Mencari dan mengumpulkan sumber primer maupun sekunder dari
perpustakaan, koleksi pribadi maupun perseorangan.
2. Membaca, mencatat, meminjam dan menfotokopi sumber-sumber yang
penting dan relevan dengan tema penelitian, terutama untuk sumber-sumber
yang diperoleh dari perpustakaan.
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data sejarah. Teknik analisis
data sejarah adalah analisis data yang mengutamakan ketajaman dalam melakukan
interpretasi data sejarah. Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah tidak bisa
berbicara sendiri. Kategori dari fakta-fakta sejarah bersifat sangat kompleks,
sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri.
Fakta merupakan bahan utama yang digunakan sejarawan dalam menyusun
historiografi, dan fakta itu sendiri merupakan hasil pemikiran dari para sejarawan,
sehingga fakta terkumpul mengandung kadar subyektifitas.
Sartono Kartodirjo (1992) berpendapat bahwa untuk menganalisis suatu
karya sejarah diperlukan adanya kritik eksternal dan internal. Dalam penelitian ini
analisis data dilaksanakan setelah kegiatan pengumpulan data. Dari data yang
terkumpul kemudian dibandingkan antara sumber data yang satu dengan sumber
data yang lain. Dari hasil perbandingan sumber data yang satu dengan sumber
data yang lain akan menghasilkan fakta sejarah. Fakta-fakta tersebut kemudian
diseleksi, diklasifikasi, kemudian ditafsirkan sehingga fakta tersebut dapat
dijadikan bahan dalam penulisan ini. Salah satunya melakukan analisis terhadap
Babad Pakepung hasil terjemahan Endang Saparinah. Tulisannya membahas
mengenai peristiwa pakepung, yakni pengepungan terhadap keraton Surakarta
pada masa Paku Buwana IV oleh tentara kompeni, Kasultanan Yogyakarta dan
Mangkunegaran karena idealisme Paku Buwana IV dalam mengatur
pemerintahannya. Selain itu masih ada sumber pustaka lain yang melengkapi data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dari penelitian sejarah tentang Islamisasi di Keraton Surakarta tahun 1788-1820,
pemikiran Paku Buwana IV tentang politik Islam.
F. Prosedur Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, perlu dibuat prosedur penelitian karena
dapat mempermudah cara kerja dan memperlancar jalannya proses penelitian.
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah secara rinci dalam penelitian dari
awal sampai akhir. Langkah pertama dalam prosedur penelitian ini adalah
membuat proposal untuk mengurus perijinan penelitian. Setelah judul penelitian
ditentukan dan disetujui, dilanjutkan dengan penulisan proposal yang berisi
rumusan masalah yang akan diteliti. Langkah selanjutnya yaitu mengadakan
penelitian dengan menggunakan metode penelitian sejarah. Secara lebih jelas
metode penelitian sejarah tersebut dapat disajikan dalam bagan berikut:
Tabel 2. Bagan Prosedur Penelitian
Keterangan:
Penelitian ini adalah penelitian sejarah, maka prosedur penelitian ini pun
menggunakan 4 tahapan dalam metode sejarah (Sartono, 1993: 60-62) yaitu:
heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi dengan penjelasan sebagai
berikut:
Heuristik
Intern
Kritik
Fakta Sejarah
Ekstern
Historiografi Interpretasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
1. Heuristik
Heuristik adalah suatu proses mencari dan menemukan sumber-sumber
atau data-data baik dokumen hasil wawancara maupun buku-buku. Sumber-
sumber tertulis dalam penelitian ini diperoleh dari: perpustakaan Program Studi
Sejarah FKIP UNS, perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta,
perpustakaan Monumen Pers Surakarta, perpustakaan Reksa Pustaka
Mangkunegaran, perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada
Yogyakarta.
Pada tahapan ini ditemukan sumber-sumber yang sesuai dengan
permasalahan yang akan diteliti dengan studi kepustakaan. Sumber primer berupa
serat Wulang Reh yang diperoleh dari hasil penelusuran ke berbagai
perpustakaan. Sedangkan sumber sekunder seperti ”Masyarakat Istana Jawa dan
Politik Dalam Akhir Abad ke-18” karangan Aan Kumar, ”Yogyakarta di Bawah
Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa” dan ”Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004” karangan M.C Ricklefs, ”Kehidupan Dunia
Keraton Surakarta 1830-1939” Darsiti Soeratman, ”Kyai dan Priyayi di Masa
Transisi” karangan Supariadi, ”Babad Pakepung” terjemahan Endang Saparinah.
2. Kritik
Kritik sumber yaitu memilih dan memilah sumber yang akurat dan
menyeleksi sumber-sumber yang ada untuk memperoleh informasi yang valid.
Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah untuk menyeleksi data menjadi sebuah
fakta. Kritik terhadap sumber ini terdiri dari dua jenis yaitu kritik intern dan kritik
ekstern.
a). Kritik Intern
Kritik intern dilakukan untuk mencari kesahihan. Kritik ini digunakan
untuk membuktikan apakah kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber dapat
dipercaya atau tidak. Dalam penelitian ini kritik intern dilakukan dengan cara
mengidentifikasikan watak dan sifatnya, membandingkan isi dari sumber yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
satu dengan sumber lain sehingga didapatkan fakta sejarah yang relevan
dengan tema penelitian.
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap buku yang satu dengan yang
lain, terdapat perbedaan penjelasan yakni gambaran kepribadian Paku Buwana
IV. Dalam babad Tutur banyak memuat sikap dan kepribadian dari Sunan
Paku Buwana IV yang positif, meskipun Paku Buwana IV dalam
menghadapai persoalan-persoalan mudah emosional, namun raja ini
mempunyai sikap yang teguh, watak yang tegas dan keras, serta taat
menjalankan ibadah agama Islam, sedang dalam buku The Sepoy Conspiracy
of 1815 in Java karangan Peter carey, menurut Raffles menjelaskan tentang
sikap dan kepribadian Sunan Paku Buwana IV sebagai laki-laki yang berjiwa
lemah, tidak punya pendirian, berakal licik dan kejam. Sehingga untuk
menghindari kesalahan dan keterangan yang kurang akurat, maka diperlukan
kehati-hatian supaya tidak mengandalkan data dari satu sumber saja
melainkan perlu sumber yang lain sebagai pelengkap dan pembanding. Supaya
hasil dari penelitian bersifat obyektif.
b). Kritik Ekstern
Adalah kritik terhadap keaslian sumber yang berkenaan dengan
keberadaan sumber, apakah sumber tersebut dikehendaki atau tidak, masih asli
atau sudah jiplakan. Kritik ekstern juga memberikan penilaian terhadap
kredibilitas sumber dengan melihat sumber itu utuh atau sudah diubah. Uji
keaslian sumber minimal dilakukan dengan pertanyaan berupa: kapan,
dimana, siapa, bahan apa, serta bentuknya bagaimana sumber dibuat. (Dudung
Abdurrahman, 1999: 38).
Dalam penelitian ini kritik ekstern terhadap sumber primer yakni
Serah wulang Reh karangan paku Buwana IV (1788-1820). Keaslian sumber
dilihat dari tahun pembuatan yakni abad ke-18, dibuat di Keraton Surakarta,
bahan terbuat dari kertas yang bertekstur kasar dengan huruf Jawa yang terdiri
dari tembang-tembang Macapat. Melihat dari jenis tulisan yang dipakai,
sehingga terlihat keaslihan sumber.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Keaslihan dan kesahihan sumber dilakukan guna menghasilnya penulisan
sejarah yang valid, dengan melalui kritik terhadap sumber data yang didapat.
3. Interpretasi
Interpretasi yaitu menafsirkan keterangan yang saling berhubungan
dengan fakta-fakta yang diperoleh setelah melakukan kritik baik itu kritik intren
maupun kritik ekstern. Maka penulis berusaha menjelaskan apa yang telah
diperolehnya dari data-data dokumen dengan pemikiran dan analisis. Karena fakta
itu terletak pada pikiran seseorang maka itu menjadi bagian dari waktu sekarang.
Sehingga interpretasi masing-masing sejarawan berbeda-beda (Dudung
Abdurrahman, 1999: 22).
Tahapan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu analisis dan sintesis. Analisis
adalah menguraikan data dengan memperhatikan aspek kualitas, sedangkan
sintesis adalah penyatuan keduanya. Teknis Analisis data merupakan proses
pencarian dan perancangan sistematis semua data yang telah diperoleh
(terkumpul), sehingga peneliti mengetahui makna yang telah ditemukan dan
disajikan kepada orang lain secara jelas dan utuh. Dalam penelitian ini analisis
data yang digunakan adalah analisis historis, yaitu penyusunan cerita sejarah
berdasarkan fakta sejarah yang berhasil dikumpulkan dengan menulis sekumpulan
data yang akurat dengan obyek penelitian, kemudian dianalisis dan disusun yang
akhirnya didiskripsikan kedalam bentuk cerita sejarah. Menurut Nugroho
Notosusanto analisis historis adalah analisis sejarah dengan menggunakan kritik
sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang dibutuhkan untuk
mengadakan penulisan sejarah (Louis Gottchalk, 1983: 36)
4. Historiografi
Historigrafi adalah penyusunan atau penulisan sejarah atau historiografi,
yaitu menyusun fakta-fakta dalam suatu sintesis sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Pada tahap ini merupakan langkah terakhir dalam prosedur penelitian sejarah
yaitu berupa penulisan, pemaparan, atau penyusunan fakta sejarah menjadi suatu
kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Pada saat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
sejarawan memasuki tahap menulis, maka sejarawan mengerahkan seluruh daya
pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan
catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan
analisisnya karena pada akhirnya sejarawan harus menghasilkan suatu sintesis
dari seluruh hasil penelitian dan penemuannya secara utuh yang disebut
historiografi (Helius Sjamsuddin, 1996). Dalam hal ini historiografi diwujudkan
dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul “Analisis Islamisasi di
Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik
Islam)”. Penulisan dimulai dari permulaan dengan batasan-batasan tempat dan
waktu secara kronologis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820
Kondisi struktur budaya masyarakat Kasunanan Surakarta merupakan
proses sedimentasi dari masuknya budaya-budaya besar (Hindu-Budha)
percampuran antara budaya asli (Jawa). Proses pengislaman dengan model
asimilasi budaya oleh beberapa ahli menyebabkan munculnya tradisi sinkretisme.
Secara universal pengertian sinkretisme adalah percampuran antara tradisi Hindu
dengan tradisi Islam tanpa melihat apakah percampuran tersebut benar atau salah,
murni tidaknya suatu agama. Paham ini hanya menekankan bahwa semua agama
dipandang sebagai baik dan benar (Simuh, 1988:12). Pola ini pula yang
meletakkan seni budaya sebagai medium dari ajaran Islam, khususnya yang
dilakukan oleh kerajaan.
Kenyataan tersebut akhirnya menempatkan keraton sebagai pusat
pemerintahan dan aktivitas keagamaan, dan juga sebagai sentral pengembangan
budaya. Pola kebudayaan Hindu Jawa, seperti pertunjukan wayang, tari-tarian,
musik, gamelan masih dominan mewarnai setiap kegiatan. Percampuran warna
Islam dengan Hindu tersebut secara nyata dapat dilihat pada peringatan hari-hari
besar Islam, tetapi isi kegiatan yang dilakukan tetap saja berpola budaya Hindu-
Jawa. Perayaan sekaten, grebeg, maupun malam satu Sura yang masih berlaku
sampai sekarang.
1. Islamisasi di Keraton Surakarta
Pada jaman kerajaan, Rustopo (1986) menerangkan bahwa keraton
merupakan sumber, pembina dan penyebaran kebudayaan kerajaan. Sehingga
segala sesuatu yang dipancarkan oleh keraton (istana), apalagi kalau sumber yang
menciptakan adalah raja, akan dianut oleh para kawula bukan saja yang ada di
bawah naungan kerajaan melainkan menyebar luas ke daerah-daerah yang
dipancarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Menurut Moedjanto (1987), dalam segala persoalan, raja memiliki
kekuasaan tertinggi sehingga tergambarkan kekuasaan itu sentralistik tidak
terbagi-bagi dan merupakan kebulatan yang tunggal serta tidak mampu
menandingi diungkapkan dalam bahasa Jawa, endi ana surya kembar, berarti
tidak membenarkan adanya kekuasaan lain yang sederajat dengannya (Mari,
1995). Menurut Wirodiningrat, ada tujuh pengertian makna keraton atau
saptaweda: 1) Keraton berati kerajaan. 2) Keraton berarti kekuasaan raja yang
mengandung dua aspek: kenegaraan dan magischreligieus. 3) Keraton berarti
penjelmaan wahyu nurbuwat dan oleh sebab itu menjadi pepunden dalam
kajawen. 4) Keraton berarti istana, kedaton atau datulaya. 5) Bentuk bangunan
keraton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang tinggi, yang
menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan. 6) Keraton sebagai
cultuur historische instelling atau lembaga sejarah kebudayaan yang menjadi
sumber dan pemancar kebudayaan. 7) Keraton sebagai badan juridische
instellingen, artinya keraton mempunyai barang-barang hak milik atau wilayah
kekuasaan sebagai dinasti (Ageng Pangestu Rama, 2007: 344-345).
Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan
keislaman. Yakni dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama
dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada
hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya
Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan
berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak upacara
yang juga mencerminkan sifat Islami, seperti upacara garebeg yang dipandang
sebagai upacara besar, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan
masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik atau oleh para peneliti
kemudian dikenal dengan istilah Agami Jawi (Koentjaraningrat, 1984:310).
Agami Jawi (Kejawen) merupakan bentuk agama Islam orang Jawa yang
merupakan suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang
cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama
Islam. Maksudnya orang Jawa dari golongan ini selain yakin akan adanya Allah,
Nabi Muhammad sebagai nabi-Nya, sadar orang yang baik jalan hidupnya akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
naik ke surga (minggah suargi) dan sebaliknya jika berbuat dosa akan dibuang ke
neraka. Mereka tahu akan adanya Kitab Al-qur’an dan Hadist sebagai pedoman
hidup, namun mereka juga yakin pada konsep-konsep keagamaan lain, pada
makhluk-makhluk ghaib, serta kekuatan sakti dan mereka juga melakukan
berbagai ritus dan upacara keagamaan yang tidak ada atau sangat sedikit sangkut-
pautnya dengan doktrin-doktrin agama Islam yang resmi. Seterusnya
Koentjaraningrat mengatakan bahwa ”Para pujangga dan cendekiawan keraton
Mataram yang berusaha menjaga kelestarian peradaban Jawa Hindu-Budha kuno
itu, dengan demikian dihadapkan suatu agama Islam sinkretik yang berasal dari
daerah pedesaan ....” (Koentjaraningrat, 1994:312).
Munculnya Islam sinkretik menurut Kuntowijoyo (1987), menyatakan
bahwa dalam penyiaran Islam para wali banyak memberikan kelonggaran dan
toleransi terhadap tradisi yang sudah berlaku di masyarakat. Hal demikian
merupakan usaha para penyebar agama Islam (para wali) agar Islam dapat
diterima oleh masyarakat tanpa harus ada gesekan antara kedua tradisi (Hindu-
Jawa) yang dapat mempengaruhi kestabilan kehidupan sosial, ekonomi maupun
politik.
Sebagai agama resmi kerajaan, Islam yang dikembangkan lebih banyak
muncul melalui media seni budaya. Seni yang begitu dominan dalam proses
keagamaan di kerajaan Hindu, akhirnya mendominasi pula proses ritualisme
Islam. Tari-tarian yang selama masa Hindu sering dikaitkan prosesi ritual atau
keagaman, dan dikembangkan pula pada jaman Islam. Contohnya, tari Bedhaya
Ketawang atau musik gendhing seperti Gadung Melati juga gamelan pada acara
sekaten yang dianggap sakral merupakan bukti bahwa dalam masa kerajaan Islam,
seni budaya tidak lepas dari prosesi keagamaan.
Setelah Mataram berhasil mematahkan perlawanan para penguasa lokal
pesisiran yang mendapat dukungan masyarakat pesantren, akhirnya timbul
masalah baru bagaimana menciptakan stabilitas bagi pemerintahan Mataram.
Yakni bagaimana menciptakan bentuk kebudayaan intelektual yang bisa
mengurangi ketegangan antara lingkungan budaya pesantren dengan kejawen.
Usaha ini dimulai dengan mengubah perhitungan tahun kabisat Saka, menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
tahun Jawa Sultan Agungan sesuai dengan tahun Hijriah yang didasarkan atas
peredaran bulan. Nama bulan disesuaikan dengan kelender Hijriah, sedang hari
Mingguan Islam dipertemukan dengan nama-nama hari kejawen, misalnya Senen
Wage, Selasa Kliwon, dan seterusnya. Dengan demikian, perhitungan tahun Jawa
ini bisa diterima dengan perasaan lega oleh masyarakat pesantren. Hanya untuk
kepentingan berlangsungnya upacara-upacara kerajaan, tahun Jawa ini
melestarikan tahun satu Saka sebagai awal tahun pertamanya, yaitu tahun 78
Masehi. Dengan demikian, peralihan perhitungan tahun Jawa ini tidak
menimbulkan masalah di kalangan pendukung ilmu kejawen (Simuh, 2003: 73-
74).
Kebijakan yang mendorong keberhasilan retrukturisasi politik adalah
kerajaan Mataram sebagai agen Islamisasi di Jawa, dan agama Islam sebagai
wadah rekonsiliasi budaya Jawa. (M.C. Ricklefs, 1998:469-482). Dua kebijakan
Sultan agung di atas bermakan: 1) keraton sebagai pusat pengkajian ilmu agama
Islam (M.C Ricklefs , 1998: xvii-xix), dengan melalui kebijakan itu Sultan Agung
meraih dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan
(Abdurrahman Masud, 2004:55-58), 2) Islam merupakan alat politik untuk
mengatasi persoalan sosio-budaya dan sosio-ekonomi yang sedang dihadapi
Mataram. Dengan landasan itu, Sultan Agung berharap meraih legitimasi politik
dari basis massa yang lebih luas (Azyumardi Azra, 2004: 142-1430, 3) Islam yang
dianut bercorak mistik atau sinkretik, sehingga Islamisasi di pedalaman Jawa
bercorak sama. Hal ini merupakan konsekuensi dari masih bertahannya tradisi
agama terdahulu (Hindu-Budha), dan corak itu merupakan ‘arus bawah’ yang
menjadi esensi kebudayaan mereka (Niels Mulder, 1992:4-19).
Sebagai pusat pengkajian ilmu agama Islam, di samping keraton Surakarta
dibangun Masjid Agung dengan dalih untuk memusatkan segala aktivitas
keagamaan rakyat di dalam masjid Agung. Usaha yang dilakukan pihak keraton
tersebut merupakan usaha untuk mendatangkan basis massa dari rakyat untuk
melakukan legitimasi politik. Melalui bangunan keagamaan dan perekonomian
(pasar dan alun-alun) di sekeliling keraton akan menjadi daya tarik bagi kawula
untuk menempatkan keraton sebagai pusat untuk memenuhi segala kebutuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
sehari-hari baik dari segi religius, sosial, budaya maupun ekonomi. Sedangkan
usaha yang dilakukan Sultan Agung untuk memadukan antara budaya hinduisme
dengan budaya lokal Jawa merupakan usaha untuk mencapai suatu integritas
sosial yang berpedoman untuk menciptakan budaya yang bersifat kearifan lokal.
Karena prinsip kepemimpinan orang Jawa menuntut agar pemimpin selain
memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di
depan pengikutnya. Kepemimpinan yang agamis selalu mementingkan
kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah.
Koentjaraningrat mengutip dari hasil penelitian tentang literatur Jawa,
yaitu Pigeaud. Ia mengatakan:
Menurut Pigeaud keyakinan akan sifat keramat dari kesembilan orang guru agama tadi agaknya mulai berkembang dalam abad ke-17....
Para penyiar agama yang dalam legenda-legenda rakyat digambarkan sebagai suatu kelompok yang sezaman, terdiri dari orang-orang saleh, berjumlah delapan atau sembilan orang. Angka sembilan itu mungkin disebabkan karena adanya konsep Hindu-Budha Jawa mengenai delappan dewa Lokapala yang menjaga kedelapan sudut dari alam semesta, dengan seorang lagi yang berda di pusatnya ....
Gagasan ini sampai kini masih berlaku dalam konsep Debata Nawa Sanga, yakni konsep mengenai sembilan dewa dalam agama Hindu Dharma di Bali (Koentjaraningrat, 1994: 325-326).
Dari kutipan di atas nampak bagi priyayi Jawa peralihan agama bukanlah
masalah yang mendasar, tetapi yang terpenting adalah melestarikan tradisi budaya
kejawen yang tidak menimbulkan benturan diantara keduanya. Sebab, budaya
intelektual kejawen yang bersifat hinduistik merupakan sendi kebesaran sebuah
kerajaan di Jawa, khususnya di keraton Surakarta.
2. Kehidupan Keagamaan Keraton Surakarta Masa
Paku Buwana IV (1788-1820)
Kasunanan Surakarta yang berdiri akibat peristiwa palihan nagari tahun
1755 merupakan salah satu kerajaan penerus tahta Mataram. Posisi (Kasunanan)
sebagai penerus tahta Mataram menjadikan Kasunanan Surakarta mewarisi sifat-
sifat Mataram, baik dilihat dari segi struktur birokrasi, struktur masyarakat,
perekonomian, maupun tradisi. Struktur birokrasi Kasunanan yakni tetap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
menunjukkan kelanjutan birokrasi Mataram yang bersifat patrimonial dan
konsentris. Sifat birokrasi seperti ini meletakkan Sunan atau raja di puncak
hierarki dan dipandang sakral karena mempunyai kasekten. Keraton sebagai
tempat tinggal Sunan dan keluarganya menjadi pusat segala-galanya dan
penyelenggaraan negara tidak lain merupakan perluasan rumah tangga pribadi
Sunan. Semuanya mempunyai sifat konsentris yang memusat pada Sunan.
Raja dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari konsep spiritual yang
berasal dari kultur India, yaitu kepercayaan adanya kesejajaran antara
makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Menurut
kepercayaan itu manusia selalu berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang
bersumber penjuru mata angin, pada bintang-bintang, dan pada planet-planet.
Tenaga itu dapat menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, tetapi juga
sebaliknya, dapat membawa kehancuran. Hasil dari tenaga yang diperoleh itu
tergantung pada kemampuan atau tidaknya individu atau kelompok-kelompok
masyarakat, terutama raja, dalam menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka
dengan jagat raya. Keselarasan antara kerajaan dan jagat raya dapat dicapai
dengan cara menyusun kerajaan itu sebagai jagat raya dalam bentuk kecil (Darsiti
Soeratman, 1989: 4).
Ibu kota atau kota istana tidak hanya merupakan pusat politik dan
kebudayaan, tetapi juga sebagai pusat magis bagi kerajaan. Berhubung jagat raya,
yang menurut kosmologi Brahma atau Budhis berpusat di Gunung Meru, maka
kerajaan, yang merupakan jagat kecil harus pula memiliki Gunung Meru pada
pusat kotanya, dan Gunung Meru di pusat kota ini akan menjadi pusat magis bagi
kerajaan. Raja sering diibaratkan sebagai Dewa atau bahkan Tuhan yang memiliki
kekuasaan, kesaktian dan kebijaksanaan yang sangat sempurna mistik dan
mitologi (Maharsi, 2001:107). Kesempurnaan ini diperoleh melalui berbagai cara,
yang paling umum adalah memakai lelaku dan membangun kepercayaan rakyat.
Selain itu, kewibawaan raja diperbesar dengan adanya benda-benda pusaka
keraton yang dianggap keramat sehingga menempatkan raja tidak hanya sebagai
manusia biasa, tetapi manusia yang mempunyai kemampuan dan kekuatan di atas
kodrat (Nugroho Notosusanto dkk, 1977: 17).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Kekuatan adikodrati tersebut disimbolkan untuk memperkuat pengaruh
kekuasaan, sehingga dalam kebudayaan Jawa yang sarat simbol penuh tata krama
dan sangat menghormati pemimpinnya (Musa Asyari, 1996: 212). Maksudnya
dari kekuatan adikodrati, yakni menuntut penghormatan tulus terhadap pemimpin
atau raja yang hampir setarap dengan penghormatan terhadap Tuhan.
Negara kosmis erat hubungannya dengan konsep raja yang bersifat dewa,
yaitu beranggapan bahwa raja adalah titisan atau keturunan dewa. Konsep raja-
dewa atau ratu-binathara ini pada periode kerajaan Islam tidak menempatkan raja
pada kedudukan yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai Khalifatullah,
sebagai wakil Tuhan di dunia. Namun demikian, penurunan kedudukan ini tidak
mengubah kekuasaan raja terhadap rakyatnya (Darsiti Soertatman, 1989:4). Suatu
cerminan hubungan patron-client relation ship yang dalam bahasa politik
kerajaan Jawa disebut sebagai manunggaling Kawula Gusti (M.C. Ricklefs,
1974).
Keraton bagi orang Jawa mempunyai makna yang dalam. Orang Jawa
menganggap Keraton sebagai pusat kosmos. Permasalahan yang ada di keraton
tidak dapat di pisahkan dari persoalan legitimasi kekuasaan raja. Kekuasaan
tradisional Jawa dengan konsep negara gung sebagai pusat kosmologis
pemerintahan, dan manca negara yang merupakan subordinasi negara gung,
memperlihatkan bagaimana legitimasi kekuasaan raja terhadap kerabat dan
rakyatnya.
Ratu-binathara memiliki tiga macam wahyu, yaitu wahyu nubuwah,
wahyu kukumah, dan wahyu wilayah. Yang dimaksud dengan wahyu nubuah
adalah wahyu yang mendudukkan raja sebagai wakil Tuhan; wahyu kukumah
menempatkan raja sebagai sumber hukum dengan wewenang murbamisesa,
artinya menguasai dan bertindak dengan kekerasan; kedudukannya sebagai sang
bawisesa ini mengakibatkan raja memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan
segala keputusannya tidak boleh ditentang, karena dianggap sebagai kehendak
Tuhan. Wahyu wilayah, yang melengkapi dua macam wahyu yang telah disebut di
atas, memberi pandam pangauban, artinya memberi penerangan dan perlindungan
kepada rakyatnya. Dengan perkataan lain kekuasaan seorang raja yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
terbatas itu harus diimbangi dengan tindakan memberi perlindungan kepada
rakyatnya. Seperti dijelaskan dalam pupuh Megatruh: 13-14, sebagai berikut:
Tan mangkono etunge kang sampun weruh, mapan ta datan denpikir, ganjaran pan wis karuhun, among naur sihing gusti, winales ing lair batos
Setya tuhu saparentahe pan manut, ywa lenggana karseng gusti, wong ngawula pamanipun, lir sarah munggeng jaladri, darma lumaku sapakon
(Setia dalam segala perintah dan taat menyadari kehendak raja orang mengabdi misalnya seperti sampah dalam air menurut saja segala perintah
Sedangkan untung malang atau luhur hina itu memang sudah digariskan dalam dirimu jangan suka marah-marah kepada raja yang memimpinmu).
Dari kutipan Pupuh Megatruh 13-14 diatas, mencontohkan perumpamaan
orang yang mengabdi kepada raja seperti sampah yang patuh terhadap apa saja
yang dikehendaki raja dan apabila tidak sesuai dengan keinginan, maka hal itu
adalah takdir dan tidak boleh mara-marah kepada raja.
Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja
dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja yang
taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam,
seperti tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, shalat Jum’at,
mengharamkan minuman keras dan candu, sudah terlihat sejak usia muda dan
masih berstatus sebagai putra mahkota (Supariadi, 2001:191). Sebagai tanda
bahwa raja beragama Islam, dipergunakan sebutan Sampeyan Dalam Hingkang
Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Hingkang Kaping IV Ngabdulrakman
Sayidin Panata Gama. Sebab ajaran-ajarannya pun tidak bisa terlepas dari ajaran
agama Islam dalam serat Wulang Reh (Ageng Pangestu Rama, 2007:354).
Ditinjau dari Serat wulang Reh bahwa:
”Paku Buwana IV adalah seorang raja di Surakarta, pemerintahan berbentuk kerajaan. Berlakunya ajaran-ajaran Islam sebagai agama raja. Kegemarannya dalam menimba ilmu agama dari kyai dan guru agama menjadikan dirinya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agama Islam”.
Keluasan pengetahuan Islam yang dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat
dilihat dari serat-serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulang Reh, Wulang
Putri, Wulang Tatakrama, Wulang Sunu, Wulang dalem, dan Wulang Brata Sunu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Sebagian besar isi serat piwulang Sunan Paku Buwana IV disesuaikan dengan
ajaran agama Islam, yaitu Al-Qur-an dan Hadits. Semua ini menunjukkan bahwa
Sunan Paku Buwana IV memang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang
sangat dalam tentang ajaran agama Islam, sehingga mendapat sebutan sebagai
ratu ambeg wali mukmin (pemimpin agama) (Darusuprapto, 1992:25-27).
Serat Piwulang Sunan Paku Buwana IV dilihat dari isinya menunjukkan
warna keislaman yang dalam. Nasehat-nasehat yang dikemukakan, sebagian besar
diambil dari ajaran agama Islam. Dari ajaran agama Islam disarikan dan digubah
dalam bentuk tembang, sehingga masyarakat Jawa akan mudah memahami. Hal
ini menunjukkan Sunan Paku Buwana IV memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang ajaran agama Islam. Serat Piwulang Sunan Paku Buwana IV lebih
menekankan pada ajaran moral dan etika, dalam arti berusaha memperbaiki
akhlak berdasarkan pada syariat agama Islam. Penekanan pada ajaran syariat
Islam dapat dilihat dari dasar nasehat yang dikembalikan pada Al-Qur’an dan
Hadist. Salah satu bait pemikiran Paku Buwana IV yang mengemukakan betapa
pentingnya ajaran Al-quran di dalam Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggula: 3,
sebagai berikut :
Jroning Quran ana rasa jati, nanging pilih manungsa weruha, kajaba lan daulate, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundhak kalunta-lunta, temah sasar-susur, yen sira hayun waskhita, sampurnane ing badanira punika, lah sira gurokna.
(Dalam al-Qur’an terletak ajaran kebenaran hakiki, Tetapi tidak sembarangan orang dapat mengetahui, Kecuali yang mendapat petunjuk Tuhan, Untuk itu tidak boleh dipelajari asal-asalan, Sebab nantinya pasti tidak akan berhasil, Apabila terlanjur salah jalan, Akibatnya akan tersesat, Jika kamu benar-benar ingin mengetahui, Hakekat kesempurnaan hidup, Kamu harus belajar pada seorang guru).
Kutipan bait-bait serat diatas menjelaskan bahwa Sunan Paku Buwana IV
meletakkan dasar nasehatnya pada ajaran al-Qur’an. Dalam pandangannya,
seorang yang ingin hidupnya tidak tersesak dan tercela, maka Al-Qur’an haruslah
menjadikan pedoman.
Al-qur’an dan Hadits merupakan pedoman bagi umat Islam. Dalam Al-
Qur’an surat Toha ayat 2 menerangkan bahwa “Kami tidak menurunkan Al
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah”. Dari firman Allah tersebut
menjelaskan bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an, akan
dijamin oleh Allah kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan
akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam,
niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.
Serat Wulang Reh merupakan hasil karya sastra Sunan Paku Buwana IV
pada tahun 1735 Jawa (tata guna awareng nata), bertepatan pada tahun Masehi
1808. menurut cerita tutur yang hingga kini masih dipercaya oleh masyarakat
Wanareja (Bekonang), penyusunan Serat Wulang Reh dilakukan di masjid
Wanareja. Serat Wulang Reh merupakan buku pedoman untuk putra-putra Sunan,
agar mereka selalu ingat akan adanya gejala-gejala kemerosotan moral pada saat
memegang tampuk pemerintahan. Wulang artinya ajar, Reh artinya perintah. Jadi
Wulang Reh artinya, ajaran dalam memerintah. Buku Wulang Reh berbentuk
Sekar Mocopat, yang terdiri dari sekar-sekar: Dangdanggula, Kinanti, Gambuh,
Pangkur, Maskumambang, Megatruh, Durmo, Pucung, Mijil, Asmorodona,
Sinom, dan ditambah dua sekar yaitu Wiranggrong dan Girisa (Ageng Pangestu
Rama, 2007:353-354). Jadi apabila semua tingkah laku dan cara berpikir dianggap
menyimpang dari adat istiadat dan nilai-nilai yang seharusnya dilakukan, maka
perlu adanya pegangan hidup yang seharusnya. Sunan Paku Buwana IV
menginginkan Serat Piwulang digunakan sebagai pedoman dalam bertingkah laku
dan beretika dalam hidup.
Ajaran etika dalam Serat Wulang Reh menganggap etika itu otonom dan
berpangkal pada dunia batiniah. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai
dunia batiniah. Sehingga nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam
menguasai batinnya. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak adalah
pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadar dapat mengendalikan
dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Mengurangi makan dan tidur,
segala macam keprihatinan, dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi
prasyarat menguasai dunia batin secara bertahap.
Ajaran etikanya tetap bersumber pada etika Jawa dengan mengacu pada
tokoh-tokoh leluhur dinasti Mataram (Ki Ageng Tarub, Panembahan Senapati dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Sultan Agung). Begitu juga larangan-larangan yang disebutkan adalah larangan-
larangan yang berasal dari leluhur dinasti Mataram. Hubungan sosial masih
berpegang pada sifat tradisional dengan urutan berdasarkan usia, pangkat,
kekayaan, dan kekerabatan. Konflik terbuka sedapat mungkin dihindari. Dunia
lahir yang ideal adalah dunia yang seimbang dan selaras, seperti keseimbangan
dan keselarasan lahir dan batin. Hidup orang tidak akan mempunyai cacat dan
cela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadaan batin yang terus menerus itu
akan mencegah tingkah laku, bicara dan ucapan yang tercela. Mengurangi makan
dan tidur itu merupakan latihan yang utama untuk mendapatkan kewaspadaan
batin http://heritageofjava.com/portal/article.php?story=20090309203212387
diunduh minggu, 5 Juni 2011 pukul 08.07 WIB.
Selain kewaspadaan batin juga dihindari watak yang tidak baik, yaitu
watak adigang, adigung dan adiguna. Sebaliknya seseorang itu haruslah
memelihara watak “reh” bersabar hati dan “ririh ” tidak tergesa-gesa dan berhati-
hati. Kelakuan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain harus
dihindari, berbohong, kikir, dan sewenang-wenang haruslah dijauhi. Jika batinnya
telah waspada, tingkah lakunya harus sopan, tingkah laku sopan itu ialah tingkah
laku yang : 1). Deduga, artinya dipertimbangkan masak-masak sebelum
melangkah. 2). Prayoga, artinya dipertimbangkan baik buruknya. 3). Watara,
artinya dipikir masak-masak sebelum memberi keputusan. 4). Reringa, artinya
sebelum yakin benar akan keputusan itu. Ada lima hal yang harus dan wajib
dihormati yaitu : Ayah dan Ibu, Mertua Laki-laki dan Perempuan, Saudara laki-
laki yang tertua, Guru dan raja. Pesan dan harapan penggubah kepada anak cucu
meliputi : a). Patuh lahir dan batin terhadap nasehat orang tua b). Jangan berpuas
diri atas nasib yang diterima. c). Bertanya kepada alim ulama mengenai soal-soal
agama dan Al Quran. d). Bertanya kepada sarjana atau orang pandai mengenai
sopan santun dan berbahasa yang baik agar dapat dipergunakan sebagai pegangan
hidup. e). Rajin membaca kitab-kitab lama yang berisi suri teladan dan berisi
cerita-cerita yang baik. f). bertanya kepada orang-orang tua tentang cara
membedakan tingkah laku yang baik dan buruk, yang hina dan yang terpuji, yang
rendah dan yang tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Berkaitan dengan pencarian guru, dalam serat Wulang Reh memberikan
gambaran tentang figur guru yang baik (guru utama), Pupuh Dandanggula: 4,
sebagai berikut:
Nanging yen sira nggugiru kaki, Amiliha manungsa kang nyata, Ingkang becik martabate, Sarta kang wruh ing kukum, Kang ngibadah lan kang wirangi, Sokur oleh kang tapa, Ingkang wus amungkul, Tan mikir pawewehing liyan, Iku pantes sira guronana kaki, Sartane kawruhana.
(Tetapi jika kamu berguru, pilihlah orang yang sudah nyata ilmunya, yang baik martabatnya, serta tau tentang hukum agama, yang ahli beribadah dan meninggalkan segala dosa, syukur jika mendapatkan seorang bertapa, yang sudah tidak terpengaruh kehidupan dunia, dan tidak memikirkan pemberian orang lain, orang seperti inilah yang pantas dijadikan guru, karena memenuhi pesyaratan).
Gambaran guru yang diberikan dalam Serat Wulang Reh di atas mengarah
pada figur yang taat terhadap ajaran syariat Islam. Sunan Paku Buwana IV
menyadari bahwa pada masa itu banyak orang yang mengangkat dirinya menjadi
guru dan mengajar ilmu kesempurnaan (mistik atau kebatinan Jawa). Bagi Sunan
Paku Buwana IV membecarakan tentang ilmu kesempurnaan haruslah didasarkan
pada dalil (ajaran al-qur’an)dan Hadits (sabda Rosul), ijma (kesepakatan para
ulama besar), dan kiyas (alasan yang berdasarkan perbandingan atau persamaan
tentang hukum Islam). Apabila ada orang yang mengajarkan ilmu kesempurnaan
tanpa didasarkan keempat hukum agama ini, khususnya Al-qur’an dan Hadits,
maka kebenarannya perlu disangsikan (Darusuprapto, 1992:49).
Melalui karya sastra (serat Wulang Reh) inilah Paku Buwana IV
menuangkan idealismenya dalam kehidupan keagamaan yang ada di keraton
Surakarta. Karena karya sastra sebagai cara memberi kesadaran dan motivasi
kepada orang-orang yang diperintah salah satu caranya dengan internalized
motivations, yaitu suatu pendekatan untuk memotivasi bawahan dan masyarakat
yang memerlukan penanaman kerja kepada mereka… cara ini dapat bertahan
sepanjang kesadaran itu muncul dari niat yang tulus (Inu Kencana Syafi’i,
1997:60).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
B. Idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan di Keraton
Surakarta tahun 1788-1820
Unsur-unsur sosial mempengaruhi struktur politik. Suatu struktur politik
dan perangkat kekuasaan berfungsi untuk pengelolaan kehidupan masyarakat.
Masyarakat berperan dalam mendukung infra dan supra struktur kekuasaan yang
dimiliki oleh raja, penguasa sebagai pusat kekuasaan dan konsentrasi sumber-
sumber kekuasaan. Pusat dan konsentrasi kekuasaan dapat dilihat dari tanda-tanda
sosial. Tanda-tanda sosial dari konsentrasinya kekuasaan dalam konsep Jawa
adalah kesuburan (fertility), kesejahteraan (prosperity), dan harmoni (stability)
dan kejayaan (glory) (Christina S. Handayani dan Novianto, 2002: 53). Sedang
yang mempunyai konsep kekuasaan tersebut adalah raja dan para priyayi, pegawai
dan keturannya. Raja memiliki tanda-tanda tersebut karena raja memiliki:
kedudukan, kekayaan, kepercayaan dan perangkat lainnya yang menunjang untuk
memerintah dan berkuasa atas dasar legitimasi secara sosial.
Struktur kehidupan sosial di Jawa terdapat sistem feodalistik. Realitas dan
fenomena tersebut terlihat dalam tingkatan atau hirarki sosial. Dalam hierarki
sosial raja terletak di puncak tertinggi dan orang-orang lainnya dihitung dari jarak
mereka dengan titik pusat itu. Keluarga raja (sentana),diukur secara bertingkat
sesuai dengan kedudukan geneologis dengan raja yang memerintah (Kuntowijoyo,
1994: 94). Status dan kekuasaan para priyayi dipengaruhi oleh raja yang
memerintah.
Dalam masyarakat Jawa ada kepercayaan bahwa seorang raja atau dinasti
harus memperlihatkan keunggulannya sebagai trahing kusuma, rembesing madu,
wijining atapa, tedhaking andana warih (keturunan bunga, titisan madu, benih
pertapa, turunan muli) menunjukkan bahwa raja harus selalu datang dari
keturunan leluhur yang suci dan agung (Maharsi, 2001: 105). Keunggulan ini
semakin memperkuat posisi raja dalam memerintah kerajaan. Sehingga untuk
memperoleh legitimasi maka raja-raja Jawa, terutama masa Mataram Islam,
membuat garis geneologis atau garis keturunan, silsilah dari garis keturunan dari
orang-orang berpengeruh dan berkuasa di tanah Jawa (garis panengen dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
pangiwa). Semua itu untuk kepentingan memperkuat pengaruh dan menanamkan
kekuasaan raja pada rakyat.
Raja merupakan pucuk pimpinan kekuasaan dalam suatu negara yang
berbentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan penuh dalam menjalankan
pemerintahan. Rajalah yang menentukan dan mewarnai jalannya pemerintahan.
Maju-mundur dan berkembang-merosotnya kehidupan dalam negara tergantung
pada kebijakan dan sikap perilaku raja (Suyami, 2008: 140-141).
Dalam kehidupan masyarakat raja dijadikan sebagai panutan, pusat
perhatian, bahkan pusat model perikehidupan. Semua orang yang berada di
lingkungan sekitarnya, seperti para pejabat, pegawai, prajurit, maupun rakyat
selalu berkeinginan untuk meniru apa yang diperbuat oleh rajanya. Hal tersebut
tampak dalam sistem kebudayaan yang bersifat istana sentris. Jadi apabila sang
raja bersikap dan berbuat kurang baik, niscaya rakyat dan pengikutnya pun akan
ikut berbuat yang tidak baik.
Kuatnya kultus terhadap nenek moyang terutama para raja yang
memerintah, mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Raja dianggap sebagai
pusat dari kekuatan alam (kosmos). Keistimewaan raja mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap sosok raja, hal itu yang menimbulkan kekaguman,
kewibawaan dan menambah bobot segala titahnya. Raja adalah pemimpin, oleh
karena itu jika berbicara harus dipikirkan benar, karena apa yang telah dikatakan
tidak boleh ditarik kembali. Itulah sebabnya ia disebut raja (Depdikbud, 1992:
158). Dalam istilahnya sabda pandita Ratu.
Hal yang lazim dalam kepustakaan kebudayaan Jawa adalah memberikan
keyakinan kepada rakyat, untuk memperoleh legitimasi. Konsep ”Manunggaling
Kawula-gusti” menjadi media untuk memperkuat dan membangun kepercayaan
dan ketaatan dari orang-orang yang diperintah oleh raja, termasuk didalamnya
para pejabat atau pegawai kerajaan, abdi dalem. Konsep ”Manunggaling Kawulo-
gusti” Paku Buwana IV terdapat dalam Pupuh Sinom: 11-15, sebagai berikut:
Pamoring Gusti kawula, pan iku kang sayekti, dadine sotya ludira, iku den waspada ugi, gampangane ta kaki, temabaga lan mas iku, linebur ing dahana, luluh amoh dadi siji, mari nama kencana miwah tembaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Puknika mapan upama, tepane badan puniki, lamun arsa ngrawuhana, apamore Kawula-Gusti, sayekti kudu resik, aja katempelan nepsu, luwamah lan amarah, sarta suci lair batin, dadi mene sarira bisaa tunggal.
(Bersatunya Pencipta dengan makhluk-Nya, itulah yang sesungguhnya, jadilah seperti darah, yang waspada juga, mudahnya, anakku, tembaga dan emas itu, dilebur dalam perapian, hancur lebur menjadi satu, hilang sifat tembag dan emasnya
Itulah yang utama, seperti badan ini, bila inginkau ketahui, persatuan rakyat-raja, sungguh harus bersih, jangan tertempeli hawa nafsu, lawamah dan amarah, suci lahir batin, agar diri bisa menyatu)
Pemikiran tersebut di atas merupakan bagian dari tingkatan proses
pencapai tasawuf. Proses tersebut mengarah ke pemikiran politik. Pemikiran
politik tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan penguasa untuk menjaga
legitimasi kekuasaannya dari para abdi dan rakyat. Istilah Manunggalnya Tuhan
dan hamba diracik sesuai kepentingan politik. Sejak masa kerajaan Surakarta,
konsep Manunggaling Kawuala-Gusti menurut penelitian G.W.J. Drewes dalam
bukunya ”Drie Javannsche Goeroe’s” merupakan salinan istilah dari ”abd” dan
”Rabb” dalam Islam (Simuh, 1996: 246), konsep tasawuf Islam yang kemudian
dipakai oleh penguasa dalam konteks politik maka konsep ini mempunyai
pengaruh kekuatan untuk menguasai dan memerintah yang berdasarkan nilai
spiritual.
Jumbuhing Kawula-Gusti (Manunggalnya rakyat dan raja) ini merupakan
pinjaman dari mistik agama, yang menunjuk kepada persatuan antar Tuhan dan
manusia (G. Moedjanto, 1998: 110). Konsep ini muncul karena menurunnya
kekuatan dan tenggelamnya kekuasaan para priyayi oleh pengaruh kekuasaan
kompeni Belanda. Situasi dan kondisi pada waktu itu memunculkan konsep
Mangunggaling Kawula-Gusti untuk mengembalikan kekuasaan raja dan elit
priyayi. Dan masyarakat pada masa itu menganggap adanya sakralitas terhadap
titah raja sebagai sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar.
”Manunggaling Kawula-Gusti” merupakan sistem kekuasaan raja yang
memerlukan loyalitas tinggi dari para abdi. Konsep tersebut adalah bentuk lain
dari cara perolehan kekuasaan raja yang berdasarkan wahyu. Wahyu atau pulung
diambil dari tradisi kuno, penerima pulung mendapat legitimasi untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
menjalankan kekuasaan serta kepemimpinannya. Otoritasnya bersifat kharismatik,
selama pulung ada di keraton para raja berhak menjalankan pemerintahan dan
menduduki kerajaan (Sartono Kartodirdjo, 1999: 47). Otoritas kekuasaan ini
menimbulkan monopoli kekuasaan raja dan para priyayi.
Gerak dan tingkah laku priyayi tidak terlepas dari politik. Ada cara
tertentu untuk membedakan pyiyayi dengan kawula, pembedaan ini semata-mata
untuk menjaga kewibawaannya. Kewibawaan atau kharisma secara tidal langsung
mengarah kepada kekuatan untuk memerintah atau bertujuan politis. Nilai politik
menjiwai seluruh aktivitas dalam bidang budaya dan moral. Kesemuanya untuk
mempertahankan kedudukan kelas yang berkuasa, yakni untuk mengeramatkan
kedudukan raja dan para pejabat kenegaraan sebagai priyayi atau niti praja
(Sartono Kartodirdjo, 1999: 143).
Raja bukan lagi orang dewasa, melainkan orang yang terpilih, orang yang
unggul, orang yang derajatnya di atas orang kebanyakan atau pidak pidarakan (G.
Moedjanto,1998: 111). Dengan istilah lain adalah ”darah biru”. Raja mempunyai
keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Keistimewaan ini
mendukung untuk memiliki kekuasaan.
Dalam kultur Jawa, kekuasaan adalah kemampuan untuk memberikan
kehidupan, kemampuan untuk mengolah ketegangan secara lembut dan untuk
bertindak seperti magnet yang menggabungkan besi-besi yang tersebar (Christina
S. Handayani, 2002: 52). Kekuatan ini ditunjang dengan kemampuan batin
seseorang.
Logika rasa merupakan mekanisme yang melandasi interpenetrasi etiket,
seni dan praktek mistik. Ia adalah yang mendasari kerumitan gagasan Jawa yang
berkaitan dengan watak, manifestasi dan kekuatan-kekuatan (kasekten) dibidang
politik (Paul Stange, 1998: 26). Gagasan yang mempengaruhi praktek politik ini
menuntut kepada abdi dalem atau pegawai kerajaan untuk patuh, tunduk secara
lahir-batin segalanya diserahkan untuk raja. Harus ada kemantapan dalam
pengabdian kepada raja, karena raja adalah wakil Tuhan.
Pemikiran Paku Buwana IV diterangkan dalam karyanya yakni Serat
Wulang Reh dalam Pupuh Megatruh: 1-3 sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Wong ngawula ing ratu luwih pekiwuh, nora kena minggrang-minggring, kudu mantep sartanipun, setya tuhu marang tuhu marang gusti, dipunmiturut sapakon Mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung, marentahken hukum adil, pramila wajib denenut, kanga sapa kang manut ugi, mring parentahe sang katong Aprasat mbadal ing karsa hyang agung, mulane babo wong urip, saparsa ngawuleng ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewoh (Mengabdi kepada raja itu sulit, tidak boleh ragu-ragu, harus mantap pengabdiannya, setia sungguh kepada Gusti , taatilah segala perintahnya Memang ratu sebagai wakil Tuhan, menerapkan hukum yang adil, maka wajib dianut, siapa yang tidak tunduk kepada titah raja Sama dengan melawan perintah Tuhan, maka ingat hai orang hidup, siapa yang mengabdi raja, harus ikhlas lahir batin, jangan sampai mengandung keraguan).
Dalam kultur Jawa, ada keyakinan bahwa orang yang berkuasa biasanya
tidak perlu berbicara keras, marah atu memukul meja. Akan tetapi untuk
diperhatikan cukup dengan memberi perintah secara tidak langsung dalam bentuk
sindiran, usul atau anjuran sebagai perintah halus (Christina S. Handayani, 2002:
52). Kultur kehalusan dalam memerintah tidak terlepas dari akar budaya Jawa
dalam memahami konsep kekuasaan.
Kekuasaan menuntut adanya tunduk, setia dan merasa dikuasai, serta
(merasa) diberi penghidupan oleh raja, secara lahir dan batin raja menguasai.
Dalih untuk menguasai adalah bahwa yang memerintah, raja adalah wakil Tuhan
(Kinarya Wakil Hyang Agung), tidak boleh ditentang, membangkang apalagi
memberontak. Idealisme tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung
Paku Buwana IV untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan
berwibawa di banding dengan raja di sekitarnya (Kasultanan dan Mangkunegaran)
serta VOC dan para abdi dalem.
Kepatuhan dan ketundukan terhadap raja tidak memandang umur,
siapapun yang berkuasa harus diikuti dan dipatuhi walaupun seorang raja tersebut
masih muda usianya. Dalam pupuh Mijil:16-18, sebagai berikut:
Lan maninge babo denpakeling, ing pitutur ingong, sira uga padha ngempek-empek, iya marang kang jumeneng aji, lair ing myang batin denngrasa kawengku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Kang jumeng iku kang mbawani, wus karsaning Manon, wajib padha wedi lan bektine, aja mampang parentahing aji, nadya anom ugi, lamun dadi ratu Nora kena iya denwaoni, parentahing katong, dhasar ratu bener parentahe, kaya kepriye nggonira sumingkir, yen tang anglakoni, pesthi tan rahayu. (Dan lagi ingatlah nasehatku, kau juga bersama-sama tunduk, setia kepada sang raja, lahir dan batin, merasalah dikuasai olehnya Yang menguasai itulah, menjadi kehendak Tuhan, wajib berbakti dan takut, jangan melawan perintah raja meski muda sekalipun, bila menjadi raja Tidak boleh dibantah, perintah sang raja, dasar raja perintahnya benar, bagaimanakah caramu menolak, bila tidak melaksanakan, pasti akan celaka).
Tuntutan untuk taat dan tunduk kepada raja didasarkan pada sosok raja
sebagai pemegang dan penjaga hukum yang adil. Sifat raja menguasai, memegang
teguh syarat agama, dan melaksanakan syariat. Ia harus sebagai pemimpin umat,
itulah sebabnya ia disebut sebagai Khalifatullah. Sebagai pemimpin umat, raja
tidak boleh diremehkan perintahnya dan apabila raja mempunyai rahasia maka
tidak boleh dibuka rahasia tersebut.
Melalui karya sastra (serat Wulang Reh) itulah Paku Buwana IV
meletakkan dasar idealisme yang bernuansa agama (Islam) untuk menjalankan
pemerintahan di keraton Surakarta, dicontohkan Paku Buwana IV sendiri, seperti
memberi ceramah di masjid dan tidak meninggalkan shalat lima waktu.
C. Dampak Idealisme Paku Buwana IV Dalam Pemerintahan Keraton
Surakarta Tahun 1788-1720
Sepanjang sejarah Mataram, dinamika kehidupan politik kerajaan
mengalami pasang surut. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pasang surut
kehidupan politik itu adalah: 1) tidak tersedianya struktur politik yang memberi
ruang keterlibatan politik dan mobilitas vertikal bagi kelompok-kelompok social;
2) birokrasi diciptakan hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan; 3) kebijakan
politik dirancang tanpa persetujuan wakil rakyat, pejabat istana, dan penasehat
raja (Karl D. Jackson, 1978:3-22). Kelemahan ini direstrukturisasi oleh Sultan
Agung (1613-1645). Retrukturisasi yang dilakukan cenderung menonjolkan nilai-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
nilai budaya Jawa, yang meliputi harmoni (rukun, hormat dan santu),
ketidaksederajatan (hierarkhikal) dan manunggaling kawula-gusti (Soemarsaid
Moertono, 1985:17).
Pada awal abad 18 Kerajaan Mataram sedang mengalami disintegrasi.
Wilayah Mataram yang diperintah Sultan Agung (1613-1645) yang meliputi
hampir seluruh Jawa, ternyata mulai digerogoti Belanda. Sultan Agung menyadari
keadaan tersebut sehingga ia mengambil sikap konfrontatif. Hal itu dibuktikan
dengan menyerang Batavia sebanyak dua kali pada tahun 1628 dan 1629.
Simbol-simbol Islam berhasil diletakkan dalam sistem politik Mataram.
Sejak dulu, ulama berperan meredakan ketegangan antara pemerintah pusat
dengan daerah (kadipaten) (Soemarsaid Moertono,1985:37). Dan fungsi itu tetap
dijalankan sepanjang masa pemerintahan Sultan agung. Akan tetapi struktur
politik Sultan Agung kemudian ditinggalakn oleh pewarisnya. Amangkurat II
(1677-1703) tidak membutuhkan legitimasi politik dari pusat kekuasaan Mataram
di Jawa, meskipun kawasan itu merupakan basis massa yang sangat kuat, bahkan
antara Mataram dan pesantren terdapat ikatan perkawinan (Soemarsaid Moertono,
1985: 37-39). Akan tetapi sebaliknya, Amangkurat I yang menggantikannya pada
tahun 1646, justru mengadakan perjanjian damai dengan Belanda (Zainuddin
Fananie, 1994: 4). Amangkurat I menggunakan gelar Susuhunan, dengan double
Su, artinya lebih tinggi kedudukannya dari Sunan dengan satu Su. Ia ingin
melepaskan diri dari pengaruh Islam atau Ulama dan Wali yang bergelar Suhunan
atau Sunan. Untuk membuktikannya, Amangkurat I bersikap anti ulama dan
melakukan pendekatan dan kerjasama dengan kolonial. Amangkurat I melakukan
pembunuhan terhadap 6000 ulama karena para ulama itu bersikap tidak
menyetujui kebijakan politiknya, yakni bekerjasama dengan VOC. Kebijakan
politik Amangkurat I pro kolonial ini dilanjutkan oleh penggantinya, Amangkurat
II (1677-1703 M) (Ahmad Mansur Suryanegara, 2009:182-183).
Sistem kuasa politik keagamaan (religio-politica power) yang dibangun
Sultan Agung ditinggalkan pewarisnya yang menggunakan sistem politik
sekularisme yang tidak membutuhkan dukungan politik ulama. Sehingga
kemunduran pemerintah kerajaan Jawa terus beranjut. Aneksasi yang dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Belanda ternyata tidak hanya mengurangi daerah kekuasaan dan wewenang raja,
tetapi juga dikuasainya daerah pesisir utara seperti Krawang, Cirebon, Priangan
dan sebagian Semarang. Semuanya tidak lepas dari strategi intervensi Belanda
untuk menguasai dan melemahkan kekuasaan raja. Puncak dari campur tangan
tersebut dengan model devide et impera, Belanda memaksakan perjanjian Giyanti
(palihan nagari) dengan cara memecah Mataram menjadi dua bagian yaitu
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta (Marwati, ed., 1984). Kemudian
pada tahun 1757 dan 1813, wilayah tersebut dipecah lagi dengan munculnya
kekuasaan baru yaitu Mangkunegaran dan Pakualaman.
Palihan nagari menunjukkan ketidakberdayaan elit politik dalam
membangun konsensus politik guna mengatasi berbagai persoalan yang sedang
dihadapi. Hal yang mendorong ketidakberdayaan tersebut adalah: 1). Lemahnya
hubungan antar elit politik pusat dan daerah, 2) lemahnya hubungan antar elit
politik dan kekuatan sosial lainnya, yang dapat dimanfaatkan sebagai jejaring
menciptakan stabilitas politik. Apabila stabilitas politik kuat, raja akan sangat
mudah menentukan sikap dalam hubungannya dengan VOC. Kemudian babak
akhir dari palihan nagari adalah menyisakan persoalan penataan birokrasi, batas
wilayah, militer, pembentukan pemerintahan desa, dan pemulihan perekonomian
kerajaan. Penataan birokrasi membutuhkan biaya besar, sedangkan masing-
masing kerajaan tidak memiliki anggaran (M.C. Ricklefs, 2002:158-159).
Menurut G. Moedjanto (1994:29), secara keseluruhan bisa dinilai bahwa
sepanjang sejarah, dinasti Mataram selalu dalam keadaan terancam. Keadaan
demikian dialami oleh setiap raja Mataram terlebih raja yang baru naik tahta dan
dapat dikatakan pula bahwa dinasti Mataram selalu terlibat dalam konflik intern.
Hal ini disebabkan hukum adat pewarisan tahta tidak menjamin kedudukan
seorang raja baru yang telah dinobatkan, semua warga atau kerabat keraton
merasa sama-sama mempunyai hak atas tahta itu. Adanya persaingan intern dan
perebutan kekuasaan itulah yang menimbulkan percekcokan dan puncaknya
terjadi kontak fisik (perang).
Terbaginya kerajaan Mataram menjadi tiga pusat kekuasaan yaitu
Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran tidak berarti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
telah mengakhiri konflik atau pertentangan di antara pangeran Jawa. Perang
memang telah mereda, namun ketegangan hubungan di antara ketiga pusat
kekuasaan ini masih tetap muncul. Ketegangan tersebut yaitu antara dua pusat
kekuasaan yang ada di Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) berhadapan
dengan Kasultanan Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara
Kasunanan Mangkunegaran lebih baik atau lebih dekat dibandingkan hubungan
antara Kasunanan dan Kasultanan atau hubungan antara Mangkunegaran dan
Kasultanan.
Faktor yang sering memicu ketegangan hubungan di antara tiga pusat
kekuasaan ini , diantaranya adalah persoalan perebutan wilayah, adanya keinginan
salah satu kerajaan untuk menjadi yang dipertuankan bagi kedua kerajaan lain,
persoalan perkawinan, dan juga adanya keinginan untuk merebut tahta kerajaan
saingannya (Supariadi, 2001: 111). Selain itu, campur tangan kompeni yang sudah
sedemikian mendalam di segala aspek kehidupan, baik dalam istana maupun di
luar istana menambah ketegangan yang terjadi di dalam kerajaan semakin sulit
diselesaikan. Campur tangan dan provokasi kompeni yang terlihat jelas pada masa
Paku Buwana IV adalah adanya peristiwa pakepung, yakni suatu peristiwa yang
sangat membekas dan semakin mengurangi kekuasaan raja.
Ketidakmampuan penguasa dalam menyelesaikan krisis politik
memunculkan budaya politik yang bertujuan untuk mengembalikan kebesaran
raja. Setelah palihan nagari, raja melakukan diplomasi dengan kelompok
masyarakat dalam rangka konsolidasi politik untuk menghimpun kekuatan dalam
mempertahankan kekuasaan. Konsolidasi yang dilakukan raja meliputi: a)
membangun ikatan dengan berbagai elit agama, baik para ulama maupun haji
yang memiliki basis massa kuat, b) memberi perintah kepada pujangga istana
untuk menulis atau mengubah sastra local dan sastra Islam yang berfungsi sebagai
landasan moral serta menjadi pedoman bagi para sentana, abdi dan bahkan
kawula dalem, c) mengembangkan budaya lokal yang diasumsikan dapat
membentuk identitas lokal atau daerah, misalnya seni keris, kain batik dan gaya
pakain (Alex Sadewa, 1995:243).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
1. Pengaruh Islam Terhadap Pemerintahan di Keraton
Surakarta Tahun 1788-1820
Menurut Geertz, agama adalah sebagai: “Suatu sistem simbol yang
bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi
secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri amnesia, dengan cara
memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku
umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti konsepsi-
konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga
perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara tersendiri
(unik) adalah nyata” (Clifford Geertz, 1989: xi). Sedangkan hakikat Islam yang
sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-
perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Menurut Fitzgerald
bahwa: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan
sebuah sistem politik (a political system) (Dhiauddin Rais, 2001:4-5). Maksudnya
Islam adalah agama yang dalam ajarannya terdapat tentang masalah-masalah
keduniawian (politik), selain itu Islam juga agama yang mencintai kesamaan,
solidaritas dan kekeluargaan.
Lawan politik masyarakat Islam Indonesia adalah penjajah Barat yang
mencoba mengembangkan ajaran agama Katolik dan Protestan melalui
pengembangan imperialisme. Dari berbagai kebijakan politik kolonial, yakni
dengan mengkondisikan pribumi sebagai bangsa terjajah dan bodoh. Pemerintah
Kolonial Belanda hanya memberi fasilitas pendidikan untuk anak bangsawan dan
anak raja seta anak Eropa. Pesantren dijadikan target serangannya ruthless
operation (operasi yang tidak kenal belas kasih). Kyai dan ulama digantung.
Bangunan dan sarana pendidikan lainnya dibakar dan dirusak. Santri-santri
ditangkap dan dibuang jauh dari tempat tinggalnya.
Latar belakang ini menjadikan pesantren berfungsi sebagai pusat
pembelajaran Islam. Menjadikan sentra pembangkit kesadaran nasional dan ulama
sebagai pemimpinnya, mengajarkan kepada santri dan masyarakat pendukungnya
tentang perlunya mempertahankan tanah air, menyelamatkan bangsa dan merebut
kemerdekaan. Tantanngan penjajah Barat yakni imperialisme barat pada abad ke-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
16 M, dijawab oleh ulama dan santri denagan masyarakat pesantren , bersama
para Sultan dengan kekuasaan politik Islam. (Ahmad mansur Suryanegara, 2009:
138-140).
Di keraton Surakarta, Paku Buwana IV dalam menghadapi persoalan
masih mudah emosional. Namun demikian dibalik kelabilan emosinya, Paku
Buwana IV mempunyai sikap yang teguh , tegas dan keras serta taat menjalankan
ibadah agama Islam. Ketegasan dan keteguhan Paku Buwana IV ditunjukkan
kepada raja Kasultanan Yogyakarta (Hamengku Buwana I) dan VOC, Inggris
maupun Belanda. Rasa ketidaksenangan ini, dikarenakan Paku Buwana IV selalu
berusaha untuk membebaskan kerajaannya dari campur tangan pihak asing.
Sunan Paku Buwana IV merupakan raja ketiga yang bertahta di keraton
Surakarta. Sunan Paku Buwana IV diangkat menjadi raja Surakarta pada tanggal
29 September 1788. Sebelum dinobatkan menjadi penguasa tertinggi di Surakarta,
raja ini memang telah berstatus sebagai putra mahkota dengan gelar Kanjeng
Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Nagara Sudibya Rajputra Mataram (II)
sehingga proses penobatannya tidak banyak menimbulkan gejolak politik, baik di
lingkungan keraton Surakarta sendiri maupun di luar keraton. Akan tetapi, karena
saat dinobatkan menjadi raja usianya masih muda (19 tahun) sehingga sering
disebut sebagai Nata Taruna Narpati atau Prabu Taruna. Nama kecil Paku
Buwana IV adalah Bendara Raden Mas Subadya, lahir dari permaisuri Sunan
Paku Buwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana, pada hari Kamis Wage, 18
Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768 Masehi. Memegang pemerintahan
selama 32 tahun (1788-1820), dan wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747
Saka atau 2 Oktober 1820 M (Purwadi, 2007:81).
Sunan Paku Buwana IV ketika masih sebagai putra mahkota, sikap
keagamaannya banyak dipengaruhi oleh Wiryakusuma, seorang guru agama yamg
mempunyai kecenderungan anti kompeni. Wiryakusuma adalah putra R.M. Kreta
(saudara seayah dan lain ibu Mangkunegara 1) yang dilahirkan dan dibesarkan di
Cape Town, Afrika Selatan (M.C. Ricklefs, 1974:270). Cape Town pada masa itu
menjadi tempat pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang
dominasi kompeni. Melalui kegemaran Sunan Paku Buwana IV dalam mencari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
ilmu agama, mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai.
Ada kalanya kyai dan guru agama ini mempunyai pengaruh kuat terhadap raja
Surakarta. Sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan
juga sikap politiknya. Peristiwa Pakepung yang terjadi di awal pemerintahannya
merupakan suatu bukti adanya pengaruh kyai dan guru agama terhadap sikap
politik yang dijalankannya.
Peristiwa Pakepung terjadi pada tahun 1790, ketika Sunan Paku Buwana
IV baru dua tahun dinobatkan sebagai raja Surakarta. Peristiwa ini tidak saja
mempunyai latar belakang politis yaitu adanya persaingan antara kerajaan-
kerajaan penerus dinasti Mataram, melainkan juga latar belakang keagamaan.
Kuatnya latar belakang keagamaan dalam peristiwa pakepung karena tokoh-tokoh
utama yang menggerakkkan kejadian ini mempunyai sikap dan semangat
keagamaan yang tinggi, khususnya agama Islam.
Pada masa Sunan Paku Buwana IV menempatkan ulama kepercayaan pada
posisi sentral dalam birokrasi kerajaan, yakni diartikan sebagai simbol identitas
dan kepentingan politik. Tindakan ini ditafsirkan sebagai simbol identitas dan
kepentingan politik (Endang Saparinah, 1989:24-37). Membangun politik dengan
ulama dilandasi kenyataan bahwa: 1) Selama ini tidak ada hubungan harmonis
antar ulama birokrasi dan non-birokrasi. Sunan sebagai pemimpin agama tidak
berusaha menjembatani hubungan kedua ulama, sehingga mereka hidup dalam
atmosfer struktur politik dan struktur social yang terpisah. 2) Ketika masyarakat
pingiran menghadapi tekanan politik dan ekonomi, tidak ada usaha ulama
birokrasi membelanya, tetapi justru ulama non-birokrasi berada di baris depan
untuk melakukan gerakan protes.
Sikap Paku Buwana IV yang membenci kompeni, sejalan dengan sikap
para kyai, yakni berusaha mengangkat wibawa kerajaan dengan cara menjadikan
Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua bekas kerajaan Mataram yang lain, dan
mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan kompeni. Bertemunya
dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah yang menjadi dasar penyebab
terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana
IV.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Dalam pemikiran Politik Paku Buwana IV, kerajaan yang sedang rapuh,
secara politis akan melakukan konsolidasi dengan kekuatan politik yang dimiliki,
misalnya melakukan ikatan politik dengan ulama yang memiliki basis massa kuat.
Dengan landasan konsolidasi politik tersebut diharapkan dapat menciptakan
keseimbangan kekuatan politik anta kerajaan hasil palihan nagari.
Selain adanya konsolidasi politik Islam dalam Serat Wulang Reh karangan
Paku Buwana IV juga mengajarkan tentang ajaran etika manusia ideal yang
ditujukan kepada keluarga raja, kaum bangsawan dan hamba di keraton Surakarta.
Ajaran etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang terdapat di
dalamnya merupakan etika yang ideal, yang dianggap sebagai pegangan hidup
yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, khususnya di
lingkungan Keraton Surakarta. Ajaran etika yang ditujukan kepada keluarga, abdi
dan rakyat tersebut diharapkan mampu mempererat hubungan sehingga
mendatangkan kekuatan untuk melawan penjajah Belanda.
Selain sebagai usaha untuk mendatangkan kekuatan massa, pada masa
Paku Buwana IV Islam juga mampu memunculkan tradisi di lingkungan keraton,
yakni dalam rangka menjawakan masyarakat yang bernuansa Islam, antara lain
sebagai berikut:
1) Busana prajurit yang sebelumnya seperti busana prajurit Belanda diganti
dengan busana prajurut Jawa.
2) Setiap hari Jum’at, Sunan bersembahyang di Masjig agung.
3) Setiap hari sabtu diadakan latihan warangan.
4) Setiap abdi dalem yang menghadap raja diwajibkan berbusana santri. Apabila
mereka yang tidak patuh dipecat.
5) Mengangkat adik-adiknya menjadi Pangeran, seperti Raden Mas Tala menjadi
Pangeran Mangkubumi; Raden Mas Sayidi menjadi Pangeran arya Buminata
tanpa izin sultan, Magkunegara, atau Kompeni (Mulyanto, dkk. 1990).
Dari sikap dan tradisi yang dibuat Paku Buwana IV mendapat tentangan
dari pihak kompeni yang merasa dirugikan karena sikap Islam yang cenderung
membenci kompeni (orang kafir). Orang Islam menganggap kompeni identik
dengan orang kafir yang harus dimusnahkan dari muka bumi (keraton Surakarta).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Gerakan Islam sangat ditakuti kompeni, karena gerakan tersebut dibalut dengan
pemikiran agama yang meliputi etika, kemanusiaan, dan ideologi (Hasan Hanafi,
2007:2). Ajaran yang terkandung dalam serta Wulang Reh pun disesuaikan
dengan ajaran yang terdapat dalam agama Islam. Demikian itu merupakan
idealisme Paku Buwana IV yang diwujudkan dalam karya sastra akibat pengaruh
Islam yang telah menjiwai Paku Buwana IV. Selain berpengaruh terhadap sikap,
Islam juga mejadi alat konsolidasi dengan para ulama, untuk menjalankan roda
pemerintahan selama tiga puluh dua tahun tonggak kepemimpinanannya.
2. Munculnya Kritik Akibat Idealisme Paku Buwana IV
Pada Masa Pemerintahannya
Perilaku dan tindakan tokoh-tokoh leluhur yang agung harus menjadi
pedoman bagi raja yang memerintah selanjutnya. Apabila raja yang memerintah
mempunyai tindakan dan tingkah laku yang kurang memperhatikan kepentingan
bawahan dan rakyatnya maka cara aman untuk mengingatkan atau mengkritik
adalah melalui pengungkapan kembali kisah-kisah leluhurnya. Model kritik
terhadap raja pernah dilakukan oleh pujangga Keraton Surakarta yaitu Yasadipura
II terhadap Sunan Paku Buwana IV ketika terjadi peristiwa pakepung. Melalui
karyanya berjudul Serat Wicara Keras melakukan koreksi terhadap tindakan dan
tingkah laku Sunan Paku Buwana IV yang dipandang telah melalaikan tugas
sebagai seorang raja ideal melalui cara memperbandingkan dengan tindakan dan
tingkah laku para leluhurnya. Kritik tersebut terdapat dalam bait-bait Serat
Wicara Keras, Sinom 11-12, sebagai berikut:
Malah mulya ing delahan Pinuju dadia gsti Asih ing para ngulama Welas marang pekir miskin Aweta den subi Tulusa dadia paku Buwana ing rat Jawa Aja mikir teki-teki Amikira tulus arjaning Negara Mokal tan anggraita Nanging keh padha kasisip
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Ngaku tendhak Brawijaya Retuning wong Majapahit Pagene nora sekti Teka sepi ing rahayu Mung gunane ta padha Kasukan lali ing dhiri Nora nganggo duga-duga lan watara (Bahkan di akhirat terpujilah menjadi raja Cinta kepada para ulama Sayang kepada fakir miskin Jadilah pelindung selamanya Tuluslah menjadi paku Buwana ing tanah Jawa Jangan berpikir macam-macam Berpikir tuluslah terhadap majunya Negara. Mustahol jika tidak tahu Namun banyak yang keliru Mengaku keturunan Brawijaya Raja orang-orang Majapahit Tetapi mengapa tidak sakti Meninggalkan kebajikan Hanya mengejar kesenangan Lupa pada dirinya Tanpa mengindahkan kebenaran dan masa depan).
Adanya kritik yang dilontarkan Yasadipura II terhadap Sunan Paku
Buwana IV menunjukkan bahwa raja dalam pandangan masyarakat Jawa
meskipun dianggap memiliki sifat sakti namun sebagai manusia tetap dapat
berbuat kesalahan hingga perlu diingatkan. Dalam konteks mengingatkan ini
maka fungsi pujangga keraton sebagai orang yang dekat dengan raja mempunyai
peran yang sangat penting. Dengan demikian pencarian silsilah leluhur di samping
sebagai sarana legitimasi kekuasaan dan meningkatkan kewibawaan juga
dimaksudkan sebagai alat control bagi tindakan dan tingkah laku raja.
Selanjutnya sebagai akibat dari sikap Paku Buwana IV yang menempatkan
guru-guru agama atau kyai untuk menjadi abdi kinasih dan diberi jabatan serta
pangkat yang tinggi tanpa melalui kebiasaan yang ada. Pemberian pangkat dan
jabatan kepada kyai dilatarbelakangi oleh ketertarikan dan kesenangan raja akan
ilmu agama sehingga banyak kyai yang kemudian dijadikan penasehat atau guru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
spiritualnya. Diantaranya para kyai, ada yang pengaruhnya tidak terbatas pada
bidang spiritual atau keagamaan saja, melainkan juga pada bidang politik
kerajaan. Seperti diantaranya, R. Wiradigda dan Kandhuruhan yang diberi
pangkat bupati atau tumenggung, kemudian Bahman, R. Santri, dan Nur Saleh
yang diberi jabatan wedana (Supariadi, 2001: 128). Beberapa kyai yang diberi
jabatan tinggi dan memiliki pengaruh kuat di bidang politik, khususnya di awal
pemerintahan Sunan Paku Buwana IV. Pengaruh politik kyai inilah yang
kemudian banyak mengundang kritik dari abdi dalem lain, sebagai mana terlihat
dari salah satu karya Yasadipura II, Serat Wicara Keras, Pupuh Sinom 22-24:
Kaya alam Wiradigda Lali kalamun wong cilik Kudu angowahi adat …. Nursaleh kalawan Bahman Sayektine jaman iki Aja na guru mami Nagara iki wus ancur …. Kandhuruhan wiradigda Awisma aning nagari Yen ora dadi wedana Pasthi delayating bumi Yen kersane Sang Aji Karone dadi tumenggung (seperti perilaku Wiradigda Lupa jika dirinya orang kecil Lalu berubah tingkah lakunya .... Nur Saleh dan Bahman Sebenarnya jaman sekarang Jika tidak ada guru kami Negara ini sudah hancur …. Kandhuruhan fan Wiradigda Bertempat tinggal di ibu kota Jika tidak menjadi wedana Pasti sudah menjadi gelandangan Jika tidak dikehendaki sang raja Kedua menjadi tumenggung).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Bait serat diatas memberikan gambaran bahwa Wiradigda, Kandhuruhan,
dan murid-muridnya mempunyai asal-usul dari rakyat biasa. Mereka mendapatkan
pangkat atau jabatan tinggi dengan dapat memasuki dunia pyiyayi karena dekat
nya hubungan dengan raja. Adanya mobilitas vertikal yang dialami oleh para kyai
menunjukkan bahwa raja memiliki wewenang mutlak untuk memberi pangkat dan
jabatan kepad siapa saja yang dikendaki.
3. Dampak Idealisme Paku Buwana Terhadap Pemerintahan
di Keraton Surakarta
Kyai dalam struktur sosial masyarakat tradisional Surakarta mempunyai
status sosial yang tinggi. Mereka merupakan bagian dari golongan elite dalam
masyarakat yang dalam berbagai kehidupannya dapat dibedakan dari wong cilik
(masyarakat kebanyakan). Berbeda dengan priyayi yang mendapat status sosial
berdasarkan jabatannya dalam birokrasi pemerintahan, maka kyai memperoleh
status sosial yang tinggi karena pengetahuan dan pemahamannya terhadap ajaran
agama Islam. Kyai dibedakan menjadi dua kelompok yaitu, kyai birokrasi (kyai
yang menduduki jabatan birokrasi, seperti yang bergabung dalam reh pangulon
atau abdi dalem ngulama) dan kyai bebas (kyai yang berada di luar birokrasi dan
sebagian besar merupakan pemimpin dan guru di pesantren) (azyumardi azra (ed),
1991: 125).
Kyai merupakan guru dan penganjur agama Islam sekaligus juga
pemimpin yang memiliki kedudukan dan fungsi sosial dalam masyarakat.
Berdasaran peran inilah yang menyebabkan kyai selalu identik dengan pemimpin
pesantren. Kedudukan kyai sebagai pemimpin komunitas Islam pedesaan telah
menjadikan mereka simbol solidaritas di kalangan rakyat dan sekaligus pembela
bagi kepentingan-kepentingannya. Hukum agama Islam yang menjadi dasar
pemikiran dan tindakan para kyai tidak saja mengatur hubungan antara individu
dengan Tuhan, melainkan hampir kekuasaan, yang luas pada kyai dalam
masyarakat.
Menurut Clifford Geertz (1975:204-220) ideologi Islam berperan
membentuk solidaritas sosial yang dapat digunakan untuk kepentingan pergerakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
kebangsaan, dan saluran melampiaskan gerakan melalui: 1) penampilan simbol
perlawanan secara kekerasan; dan 2) membangun jejaring politik dan sosial yang
berideologi sama, sehingga aksi perlawanan yang dilakukan akan tetap sasaran.
Perlawanan berpijak pada ideologi Islam dibedakan menjadi dua katagori,
yaitu: 1) kelompok politik yang meyakini perjuangan melawan kolonialisme dapat
dilakkan di bawah panji atau doktrin Islam. Artinya, kemenangan yang diraih
akan memacu penerapan ideologi Islam sebagai ideologi Negara, dan yang
berjuang di luar doktrin itu adalah orang lemah iman atau kafir 2) kelompok
politik yang dipengaruhi keragaman, sehingga artikulasi ideologi Islam adalah
membentuk basis solidaritas yang ditujukan untuk menghadapi hegemoni
Belanda, tetapi doktrin Islam tidak dijadikan ideologi Negara (Qodri Azizy, 165).
Maksudnya kekuatan yang berdasarkan ideologi Islam digunakan untuk
menumbangkan kekuatan Belanda, namun ideologi Islam tidak dijadikan ideology
Negara.
Dalam kondisi seperti ini, pesantren akhirnya menjadi tempat persemaian
semangat anti kafir, dan kyai sebagai pemimpin pesantren ditempatkan pada
posisi sosial yang semakin tinggi. Sentimen-sentimen yang dibangun atas dasar
keagamaan ini pada gilirannya telah menghubungkan para kyai dengan para
bangsawan dan priyayi kerajaan yang mempunyai sikap anti kekuasaan kolonial.
Seperti perang Dipanegara pada tahun 1825-1830, merupakan manifestasi
bertemunya dua kepentingan, yaitu antara kepentingan kyai dengan semangat anti
kafirnya dan kepentingan politik yang lebih besar dari kaum aristokrat.
Pada mulanya peristiwa pakepung diawali dari pengangkatan ulama
bernama Bahman, Nur Saleh, Wiradigda menjadi guru rohani keraton Surakarta.
Pengaruh dan kekuasaan para ulama yang besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan
adanya tindakan Paku Buana IV mengganti dua temenggung yaitu Mangkuyuda
dan Pringgalaya, diganti oleh Wiradigda dan Sujana Pura (Serat Tus Pajang,
1935:56). Kyai ini mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Sunan Paku
Buwana IV, sehingga menjadi abdi dalem kinasih (abdi dalem terpercaya).
Kyai memendam kebencian terhadap meningkatnya kekuasaan kolonial
yang dipandang identik dengan kekuasaan kafir, seperti halnya Paku Buwana IV
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
yang juga memendam kebencian terhadap kompeni karena ikut campurnya dalam
urusan pemerintahan kerajaan. Istilah kekuasaan kafir ini kemudian mengalami
perluasan arti, karena tidak saja dikenakan pada pihak Belanda melainkan juga
penguasa tradisional Jawa yang mau bekerja sama dengan Belanda.
Idealisme Paku Buwana IV dengan meletakkan dasar agama Islam dan
menempatkan para kyai ke dalam posisi sentral dalam birokrasinya, menimbulkan
kekhawatiran pihak kompeni dan Kasultanan Yogyakarta. Pengangkatan adik-
adik Paku Buwana IV menjadi pangeran tanpa ijin Sultan, Mangkunegaran dan
kompeni, ditengarai adanya intimidasi dari kyai Bahman, Wiradigda, Panengah,
Nursaleh, Paden Santri dan Kandhuruwan (Purwadi dan Rahmat Fajri, 2005:51).
Oleh sebab itu, kompeni menuntut agar keenam kyai yang mendalangi sunan
diserahkan sebagai tawanan. Apabila tidak dipenuhi, keraton Surakarta akan
diserbu oleh tentara gabungan yang terdiri atas tentara Kasultanan Yogyakarta,
Mangkunegaran dan Belanda. Untuk memperoleh kejelasan tentang perubahan
dan situasi yang ada di keraton Kasunanan Surakarta, Kompeni kemudian
mengirim utusannya. Utusan ini dipimpin langsung oleh Gubernur dan Direktur
Java’s Noord-en Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu Jan Greeve (Martinus
Nijhoff,1909:209-228). Dari tanggal 16 September hingga 6 Oktober 1790, Jan
Greeve berada di Surakarta. Tuntutannya satu, yakni Sunan Surakarta harus
menyerahkan keenam orang abdi dalem kepercayaannya karena mereka inilah
yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa. Akan tetapi karena negosiasi gagal,
pasukan Kompeni dengan dibantu oleh pasukan Kasultanan Yogyakarta, pasukan
Mangkunegaran, dan Pasisiran melakukan mengepung terhadap Keraton
Surakarta dari segala penjuru. Di sebelah timur, pasukan pasisiran telah
melakukan persiapan di desa Grompol, sedangkan pasukan Kompeni telah siap di
sebelah barat yaitu di Boyolali. Di sebelah utara pasukan Mangkunegaran dan
Kompeni juga mempersiapkan diri di benteng masing-masing. Adapun pasukan
Kasultanan Yogyakarta telah ditempatkan di Gondang untuk mengepung arah
selatan.
Sunan Paku Buana IV melihat kuatnya pengepungan terhadap Keratonnya
merasa gentar juga. Akhirnya atas bujukan dan usaha Kyai Yasadipura I, Sunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
bersedia menyerahkan abdi dalem kepercayaannya yang dianggap sebagai biang
keladi kekacauan. Kelima orang yang diserahkan ini terdiri dari kyai Wiradigda,
Kandhuruhan, Panengah, Bahman, dan Nur Saleh. Dengan ditangkap dan
dibuangnya kelima abdi dalem kepercayaan Sunan, maka pengepungan terhadap
Keraton Surakarta dihentikan. Peristiwa ini berakhir setelah ulama tadi diserahkan
kepada pemerintah kolonial. Pada tanggal 29 November 1790, mereka dibuang ke
Pulau Onrest, dan di pulau ini kelimanya dihukum kerja paksa untuk
menebangkayu hutan (Endang Saparinah, 1990:3). Akibat peristiwa pakepung ini
banyak wilayah Kasunanan yang jatuh ke tangan penguasa kolonial.
Akibat tekanan tersebut, akhirnya Sunan tunduk kepada Belanda. Demi
pengaman daerah, pada tanggal 22 September 1788 Sunan Paku Buwana IV
menandatangani perjanjian yang isinya sebagai berikut:
a. Dalam setiap menghadapi segala soal, Sunan dan Belanda harus menghadapi
bersama dalam ikatan persaudaraan.
b. Pengangkatan Patih dan Pangeran Adipati Anom harus mendapat persetujuan
dari Kompeni melalui gubernur di Semarang atau residen di Surakarta.
c. Berdasarkan perjanjian pada tanggal 11 November 1743 dan 18 Mei 1746
antara kompeni dan paku Buwana II, Sunan Paku Buwana IV tidak boleh
memohon kembali Pulau Madura dan daerah pesisir. Sunan juga tidak boleh
memohon kembali tanah desa berdasarkan perjanjian tanggal 24 April 1744.
Apabila Sunan melanggar perjanjian ini, segala harta miliknya dicabut dan
diambil alih oleh kompeni (Serta Perjanjian Dalem Nata, 66-75).
Sikap yang melatarbelakangi peristiwa pekepung menyebabkan pada masa
Paku Buwana IV banyak terjadi pengurangan wilayah, baik masa kolonial Inggris
maupun Belanda. Pada tagun 1808 , saat gubernur Jendral Daendels berkuasa,
beberapa wilayah Kasunanan berkuasa, beberapa wilayah Kasunanan diserahkan
kepada pemerintahan Belanda. Diantaranya: Jipang, Semarang, Demak, Salatiga,
Grobogan, Blora dan Kedu. Pada masa Gubernur Jendral Raffles daerah yang
diserahkan antara lain Kedu, Wirasaba, Blora dan Pagerwaja. Dengan demikian,
keamanan kerajaan Kasunanan dan diri Paku Buana IV di bawah kekusaan
Inggris.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Ketika berkuasa di Jawa pada tahun 1816, kebijakan politik dan ekonomi
yang diterapkan oleh Daendels dan raffles terus dilajutkan. Kondisi seperti ini
memungkinkan meningkatnya keresahan-keresahan dalam masyarakat Jawa
karena semakin kuatnya penetrasi kolonial. Rasa tidak puas dan keresahan ini
telah merasuki seluruh lapisan masyarakat. Golongan bangsawan dan priyayi
kerajaan merasa tidak senang karena pihak Belanda semakin kuat campur
tangannya dalam urusan intern kerajaan. Di pihak lain eksploitasi yang semakin
meningkat pada masyarakat pedesaan menjadi lahan subur bagi munculnya
keresahan-keresahan agraris (Supariadi, 2001: 211)
Kegagalan politik yang dibangun Paku Buwana IV dalam menghadapi
pemerintah kolonial Belanda, karena adanya golongan priyayi dan pihak istana
sering bersikap mendua. Hal ini lantaran watak priyayi selalu mengutamakan nilai
kedudukan dan kekuasaan. Karena VOC dapat melindungi seorang penguasa
dengan imbalan pembayaran dan konsensi-konsensi, VOC dapat menumpas
kelompok-kelompok pemberontak yang besar dan mempertahankan tempat-
tempat yang trategis, tetapi tidak mampu memelihara ketertiban di seluruh Jawa.
Misalnya, ketika mereka menghadapi pemberontakan Trunojoyo. Ketika
mengahadapi pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Samber
Nyawa (Mangkenegara I). Islam lah eksponen yang paling gigih melawan
kelaliman penjajah Belanda, dan mengobarkan semangat nasionalisme religius di
Indonesia (kerajaan) (Simuh, 2003: 98-99).
Nasionalis religius dalam arti menghadapi pemerintahan atas dasar
kebangsaan yang bersikap positif terhadap agama, yakni jadi pelindung dan
pendukung siar agama. Itulah yang terjadi dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa
mulai zaman pengaruh Hindu-Budha sampai zaman kemerdekaan. Seperti
menurut Ann Kumar penempatan ulama di birokrasi kerajaan seperti yang
dilakukan Paku Buwana IV, mempermudah penciptaan ikatan politik atau aliansi
politik. Aliansi politik berubah menjadi asosiasi yang berperan untuk memperkuat
semangat keislaman di kalangan elit politik Jawa (Ann Kumar, 1985:3). Tindakan
itu merupakan sinyal penentangan terhadap kekuasaan kolonial Belanda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Pada dasarnya peristiwa pakepung dapat dipandang sebagai cerminan
terpolarisasinya pandangan politik priyayi dan kyai. Polarisasi itu terbentuk
karena adanya dikotomi kehidupan antara priyayi yang cenderung
mengembangkan sikap budaya sinkretis dan kompromistis, serta para kyai
(khususnya kyai-kyai bebas atau merdeka di pedesaan) yang lebih
mengembangkan sikap kesalehan dalam menjalankan ajaran Islam. Para kyai ini
memperoleh kewibawaan dan kharisma dalam masyarakat bukan berdasarkan
pengangkatan atau keputusan dari penguasa, melainkan dari kemampuan atau
pengetahuan keislaman dan kesalehannya. Sikap bebas yang juga didukung oleh
sumber ekonomi mandiri menjadi pendorong bagi tumbuhnya rasa ketidakpuasan
kyai terhadap ketidakmandirian para penguasa tradisional akibat campur tangan
bangsa asing. Bangsa asing (Belanda) di mata para kyai identik dengan kekafiran
yang harus dilawan. Sikap para kyai tersebut sejalan dengan sikap Paku Buwana
IV yang berusaha mengangkat wibawa kerajaannya dengan cara menjadikan
Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua kerajaan bekas kerajaan Mataram yang
lain, dan mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan kompeni.
Bertemunya dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah yang menjadi dasar
penyebab terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa pemerintahan Sunan
Paku Buwana IV.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Politik adalah kekuasaan untuk mencapai sebuah tujuan, memerintah dan
mengatur segala aspek kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara. Melalui
politik Islam Paku Buwana IV membangun kekuatan untuk melakukan legitimasi
kekuasaan. Dalam koridor membangun kekukuatan dan memperluas kekuasaan,
Paku Buwana IV menulis Serat Wulang Reh. Berpijak dari hasil penelitian, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman.
Yakni dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam
birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada
hokum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya
Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan
berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak
upacara yang juga mencerminkan sifat Islami, seperti upacara garebeg yang
dipandang sebagai upacara besar, namun pada kenyataannya perilaku dan
sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik
atau oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah Agami Jawi. Keraton
menjadi pusat pengkajian ilmu agama Islam, oleh sebab itu raja meraih
dukungan moral para ulama sebagai wujud hidup berdampingan. Islam yang
diamut bercorak mistik atau sinkretik. Hal ini merupakan konsekuensi dari
masih bertahannya tradisi agama terdahulu (Hindu-Budha), dan corak itu
merupakan arus bawah yang menjadi esensi kebudayaan mereka.
2. Manunggaling Kawula-Gusti merupakan sistem kekuasaan raja yang
memerlukan loyalitas tinggi dari para abdi. Konsep tersebut adalah bentuk lain
dari cara perolehan kekuasaan raja yang berdasarkan wahyu. Wahyu atau
pulung diambil dari tradisi kuno, penerima pulung mendapat legitimasi untuk
menjalankan kekuasaan serta kepemimpinannya. Raja dianggap sebagai pusat
dari kekuatan alam (kosmos). Raja adalah wakil Tuhan (Kinarya Wakil Hyang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Agung), tidak boleh ditentang, membangkang apalagi memberontak. Idealisme
tentang adanya tuntutan kepatuhan inilah yang diusung Paku Buwana IV
untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi dan berwibawa di
banding dengan raja di sekitarnya (Kasultanan dan Mangkunegaran) serta
VOC dan para abdi dalem. Sifat raja menguasai, memegang teguh syarat
agama, dan melaksanakan syariat. Raja adalah sebagai pemimpin umat, itulah
sebabnya disebut sebagai Khalifatullah.
3. Peristiwa pakepung yakni suatu peristiwa pengepungan keraton Kasunanan
oleh kekuatan militer VOC, Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta.
Peristiwa pekepung dilatarbelakangi oleh tuntutan pihak kompeni kepada
Sunan PB IV untuk menyerahkan para kyai (guru agama Islam) yang menjadi
penasehat politiknya. Tuntutan kompeni tersebut menunjukkan bahwa
peristiwa pakepung tidak saja dilatarbelakangi persoalan politik melainkan
juga keagamaan. Sikap Paku Buwana IV yang membenci kompeni, sejalan
dengan sikap para kyai, yakni berusaha mengangkat wibawa kerajaan dengan
cara menjadikan Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua bekas kerajaan
Mataram yang lain, dan mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang
kekuasaan kompeni. Bertemunya dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah
yang menjadi dasar penyebab terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa
pemerintahan Sunan Paku Buwana IV. Hubungan dekat Paku Buwana IV dan
idealisme yang sejalan dengan para kyai (ulama), membuat Paku Buwana
melakukan legitimasi kekuasaan dengan jalan konsolidasi dengan para ulama
keraton.
B. Implikasi
1. Teoritis
Agama yang terbentuk di Jawa, dan di keraton Surakarta pada khususnya
adalah perpaduan anatara budaya Jawa yang sejak zaman Hindu-Budha telah
mengakar kuat kemudian membentuk suatu agama baru yang di sebut dengan
agama Jawi. Agami Jawi (Kejawen) merupakan bentuk agama Islam orang Jawa
yang biasa disebut adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Budha yang cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui
sebagai agama Islam. Kegiatan pengislaman warisan ilmu kejawen dipelopori
oleh Sultan Agung, yakni dengan mengubah perhitungan tahun kabisat Saka,
menjadi tahun Jawa Sultan Agungan sesuai dengan tahun Hijriah yang didasarkan
atas peredaran bulan. Nama bulan disesuaikan dengan dengan kelender Hijriah,
sedang hari Mingguan Islam dptertemukan dengan nama-nama hari kejawen,
misalnya Senen Wage, Selasa Kliwon, dan seterusnya. Dengan demikian,
perhitungan tahun Jawa ini bisa diterima dengan perasaan lega oleh masyarakat
pesantren. Hanya untuk kepentingan berlangsungnya upacara-upacara kerajaan,
tahun Jawa ini melestarikan tahun satu Saka sebagai awal tahun pertamanya, yaitu
tahun 78 Masehi. Dengan demikian, peralihan perhitungan tahun Jawa ini tidak
menimbulkan masalah di kalangan pendukung ilmu kejawen.
2. Praktis
Sunan Paku Buwana IV adalah raja yang berusia muda, sehingga dalam
menghadapi persoalan-persoalan masih mudah emosional. Namun demikian
dibalik kelabilan emosinya, Paku Buwana IV mempunyai sikap yang teguh, watak
yang tegas dan keras, serta taat dalam menjalankan ibadah agama Islam.
Ketegasan dan keteguhan sikapnya ditunjukkan pada pihak kolonial, baik VOC,
Inggris maupun Belanda. Campur tangan pihak asing terhadap pemerintahan
menyebabkan rasa ketidaksenangan Paku Buwana IV terhadap pemerintah
Kolonial. Selain sikapnya yang keras dan tegas, akibat dari kegemaran Sunan
Paku Buwana IV mencari ilmu agama Islam maka Sunan dekat dengan para
ulama. Oleh sebab itu Paku Buwana IV melakukan konsolidasi politik dengan
para ulama untuk melawan kolonial Belanda. Karena raja mempunyai angan-
angan untuk menjadikan Surakarta sebagai yang dipertuankan bagi kedua bekas
kerajaan Mataram lain, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran,
sehingga kewibawaan Keraton Surakarta yang sudah menurun akibat pecahnya
kerajaan (palihan nagari) dapat diangkat kembali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat diajukan saran sebagai
berikut:
1. Bagi peneliti yang lain
Penelitian tentang Islamisasi di Indonesia masih bersifat kompleks. Oleh
karena itu, bagi peneliti yang lain untuk melakukan penelitian tentang Islamisasi
yang bersifat khusus dalam suatu daerah atau suatu masa tertentu dengan
menggunakan sumber primer berupa babad atau serat sesuai dengan masa yang
ingin diteliti.
2. Bagi mahasiswa sejarah
Dalam memahami dan mengetahui isi serat atau babad memang sulit,
sehingga membutuhkan pemahaman yang tajam dengan menerjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia terlebih dahulu. Akan tetapi, sebagai mahasiswa jurusan sejarah
sebaiknya lebih memilih karya sastra kuno (serat atau babad) untuk dijadikan
bahan penelitian. Melalui serat-serat atau babad akan memperkaya penelitian
tentang sejarah Indonesia karena penelitian yang bersumber pada naskah kuno
masih kurang atau belum banyak yang terungkap. Selain itu, sebagai warga negara
Indonesia haruslah mengetahui tentang sejarah masuknya Islam serta politik Islam
yang digunakan para pemimpin (raja) untuk melawan kekuasaan penjajah
(kolonialisme Belanda). Karena dengan begitu akan menumbuhkan sikap
nasionalisme yang tinggi untuk terus membela negara dan bangsa dari incaran
penjajah.