fakultas hukum universitas semarang

120
USM RELEVANSI KEDUDUKAN TAP MPR DALAM SISTEM PERUNDANG- UNDANGAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas tugas dan memenuhi syarat syarat guna menyelesaikan Program Studi S1 Hukum MOHAMAD KHUSNUL MUBAROQ A.111.15.0003 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG TAHUN 2019

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

USM

RELEVANSI KEDUDUKAN TAP MPR DALAM SISTEM PERUNDANG-

UNDANGAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan memenuhi syarat – syarat guna

menyelesaikan Program Studi S1 Hukum

MOHAMAD KHUSNUL MUBAROQ

A.111.15.0003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEMARANG

TAHUN 2019

Page 2: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG
Page 3: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG
Page 4: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG
Page 5: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‘alamin, dengan segala kerendahan hati, penulis

panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas izin, rahmat serta

hidayahNya, penulisan skripsi yang berjudul “RELEVANSI KEDUDUKAN TAP

MPR DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN PASCA AMANDEMEN

1945” dapat diselesaikan.

Penulis memahami karya ilmiah ini masih jauh dari standar ilmiah yang

tinggi. Segala kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini baik dalam segi

penyusunan laporan, data dan fakta, konsep-konsep serta kerangka pemikiran

akan menjadi bahan refleksif bagi penulis untuk terus meningkatkan kualitas

ilmiah dan intelektual sebagai rasa cinta penulis terhadap ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari, berhasilnya studi dan penelitian skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak yang telah memberikan semangat dan doa kepada peulis

dalam menghadapi setiap tantangan, sehingga sepatutnya pada kesempatan ini

penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Semarang Bapak Andy Kridasusila, S.E., M.M

2. Ibu B. Rini Heryanti, S.H.,M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Semarang;

3. Bapak Dr. Amri P. Sihotang, S.S.,S.H.,M.Hum,selaku Ketua Program studi

S1 Ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Semarang

4. Ibu Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H., selaku Sekretaris Program Studi S1

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Semarang;

5. Bapak Dr. Muhammad Junaidi, S.Hi, M.H, selaku dosen Pembimbing I dan

Bapak Heru Nuswanto, S.H, M.H selaku dosen pembimbing II, yang telah

meluangkan waktunya serta memberikan bimbingan dalam menyusun

skripsi ini;

6. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Semarang atas bantuan

informasi dan kerjasamanya;

7. Kedua Orang Tua tercinta yang telah membesarkan penulis sejak dalam

buaian hingga saat ini dengan segala rasa cinta dan kasih sayang yang tidak

Page 6: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

vi

pernah surut dan juga yang telah mendidik, membina, memberikan dorongan

dan doa kepada penulis;

8. Kawan seperjuangan saya yang satu idealisme dalam Forum Intelektual

Muda (FIM) dan Literasi yang selalu menjadi teman dialektika.

9. Rekan-rekan dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat USM

10. Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2015 yang telah berjuang

bersama dalam melaksanakan bimbingan;

11. Kepada seluruh kaum intelektual dan filsuf yang selalu menjadi sumber

pencerahan bagi penulis dalam menemukan hakekat kehidupan.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan dan dapat memberikan

sumbangsih pemikiran untuk perkembangan pengetahuan bagi penulis maupun bagi

pihak yang berkepentingan.

Semarang, 23 Januari 2019

Penulis,

Mohamad Khusnul Mubaroq

Page 7: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

vii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah dan setiap waktu adalah

kebijaksanaan”

PERSEMBAHAN

1. Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunia serta Nabi

Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman.

2. Ayah, Ibu, dan kakak tercinta yang selalu mendukung dan mendoakan

yang terbaik dan selalu menginspirasi saya untuk setiap langkah yang

telah saya ambil.

3. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang yang

telah tulus dan ikhlas memberikan ilmu yang dimiliki.

4. Bapak Dr.Muhammad Junaidi, S.Hi, M.H dan Bapak Heru Nuswanto,

S.H, M.H yang telah berkenan membimbing saya dalam menempuh

perjalanan intelektual.

5. Ibu Dr. Widayati, S.H, M.H yang telah berkenan untuk diwawacara

dan diberikan buku disertasi sebagai data yang penting dalam

penelitian ini.

6. Kawan seperjuangan di HMI Komisariat USM, Korkom Sultan

Agung, serta BPL Cabang Semarang yang memberikan dorongan

moral agar penelitian ini segera terselesaikan.

7. Kawan seperjuangan di FIM-Literasi.

8. Kepada seluruh intelektual dan filsuf yang selalu memberikan pencerahan

kepada penulis.

Page 8: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

viii

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan menghapus kedudukan TAP MPR dari hierarki peraturan

perundang-undangan yang diatur pada Pasal 7. Hal ini disebabkan kewenangan

MPR yang tidak lagi merumuskan GBHN sehingga MPR tidak lagi mengeluarkan

produk hukum yang mengatur ( regeling) tetapi menetapkan (beschiking) dan

mengikat kedalam. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan mencabut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Dalam Pasal 7, TAP MPR kembali dimasukan sebagai hierarki peraturan

perundang-undangan dibawah UUD 1945 dan diatas Undang-Undang/Perppu.

Kembalinya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan mengubah

sistem perundang-undangan Indonesia. Penelitian ini fokus pada permasalahan (1)

bagaimana kedudukan TAP MPR sebelum amandemen UUD 1945, (2) bagaimana

kedudukan TAP MPR setelah amandemen UUD 1945. Tujuan penelitian ini untuk

mengetahui kedudukan TAP MPR sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 serta

mengetahui relevansi TAP MPR dalam sistem perundangan-undangan pasca

amandemen UUD 1945. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, spesifikasi

penelitian deskriptif analitis, data yang digunakan adalah data sekunder. Metode

analisis data yang digunakan kualitatif. Kedudukan TAP MPR sebelum amandemen

UUD 1945 diatur dalam Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966. Kewenangan MPR

merumuskan GBHN berdampak pada muatan TAP MPR yang mengatur (regeling)

dan sebagian menetapkan (beschiking). Setelah amandemen UUD 1945 kedudukan

TAP MPR menjadi problematis karena menempatkan TAP MPR dibawah UUD

1945 dan diatas Undang-Undang/Perppu tidak relevan disebabkan perubahan

kewenangan MPR yang tidak lagi merumuskan GBHN serta tidak ada lembaga

yang berwenang melakukan judicial review terhadap TAP MPR yang masih

berlaku.

Kata Kunci : Kedudukan TAP MPR, Sistem Perundang-Undangan, UUD 1945

Page 9: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

ix

ABSTRACT

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 concerning the Establishment of

Legislation Regulations removes the position of the TAP MPR from the hierarchy of

legislation regulated in Article 7. This is due to the authority of the MPR which no

longer formulates the GBHN so that the MPR no longer issues regulating legal

products (regeling ) but sets (beschiking) and binds into. Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2012 concerning the Establishment of Legislation Regulations revokes

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. In Article 7, the TAP MPR is again

included as a hierarchy of legislation under UUD 1945 and above Undang-Undang

/ Perppu. The return of the TAP MPR in the hierarchy of laws and regulations

changed Indonesia's legal system. This study focuses on the problem (1) how the

position of the TAP MPR before the UUD 1945 amendment, (2) how the position of

the TAP MPR after the UUD 1945 amendment. legislation after the amendment to

the UUD 1945. This type of research is normative juridical, analytical descriptive

research specifications, data used are secondary data. Data analysis method used

is qualitative. The position of the TAP MPR before the amendment to the UUD

1945 was regulated in Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966. The authority of the

MPR to formulate the GBHN has an impact on the MPR TAP content that regulates

(regeling) and partly stipulates (beschiking). After the amendments to the 1945

Constitution the position of the TAP MPR was problematic because placing the

TAP MPR under UUD 1945 and above Undang-Undang / Perppu was irrelevant due

to changes in MPR authority that no longer formulated the GBHN and no institution

authorized to conduct judicial review of the TAP MPR.

Keyword : the position of TAP MPR, Indonesia’s legal system, UUD 19

Page 10: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

x

DAFTAR ISI

HALAMAN ORISINALITIAS .................................................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... iii

KATA PENGANTAR ................................................................................................. v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................... vii

ABSTRAK ................................................................................................................ viii

DAFTAR ISI................................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

A .Latar Belakang Penelitian .................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................... 10

C .Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 10

1. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 10

2. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 11

D. Keaslian Penelitian ............................................................................................. 11

E. Sistematika .......................................................................................................... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 14

A. Tinjauan Umum Tentang Keputusan dan Ketetapan ......................................... 14

B. Sistem Peraturan Perundang-undangan .............................................................. 18

C. Kedudukan TAP MPR ........................................................................................ 27

D. Keberlakuan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-undangan ........................... 30

E. Wewenang MPR Dalam Menjalankan TAP MPR ............................................. 35

BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 40

A. Jenis Penelitian ................................................................................................... 40

B. Spesifikasi Penelitian .......................................................................................... 41

C. Metode Pengumpulan Data ................................................................................ 42

D. Metode Analisis Data ......................................................................................... 42

BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................................... 43

A. Kedudukan TAP MPR Sebelum Amandemen UUD 1945 ................................ 43

B. Kedudukan dan Relevansi TAP MPR Setelah Amandemen UUD 1945 ........... 68

BAB V PENUTUP..................................................................................................... 99

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 99

Page 11: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

xi

B. Saran ................................................................................................................. 101

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 103

Page 12: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Reformasi tahun 1998 menjadi awal dari suatu masa transisi dan perubahan

dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Perubahan tersebut mengubah

tatanan kehidupan bernegara yang berbeda dari era sebelumnya. Tatanan sosial,

politik, pemerintahan, budaya dan hukum mengalami transformasi yang cepat pasca

reformasi yang mengalami momentum ketika Presiden Soeharto lengser setelah

menjabat selama 32 tahun. Secara konseptual dan strategis, ada empat pilar

reformasi yang semestinya menjadi acuan dalam pembaharuan yaitu politik,

ekonomi, sosial dan lain-lain, termasuk pembaharuan bidang hukum.1

Pembaharuan dalam bidang hukum salah satunya adalah amandemen Undang-

Undang Dasar 1945. Salah satu berkah dari reformasi adalah perubahan UUD 1945.

Sejak keluarnya Dekrit 5 Juli 1959 yang memerintahkan kembali ke UUD 1945

belum pernah diubah untuk disempurnakan.2 UUD 1945 sebagai konstitusi Negara

Indonesia mengalami proses politisasi pada pemerintahan Orde Baru sehingga

UUD 1945 mengalami sakralisasi. Pemerintahan Orde Baru mengambil kebijakan

tafsir tunggal terhadap UUD 1945.3 Pemerintahan Orde Baru yang bersemboyan

melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen juga

1 Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi ( Yogyakarta : UII

Press, 2007 ), hlm 43. 2 Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia ( Bandung : Refika Aditama,

2011), hlm 45. 3 Ibid.

Page 13: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

2

melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter terutama pelanggaran terhadap hak-

hak sipil dan hak-hak politik rakyat sebagaimana diatur di dalam UUD 1945.4

Implikasi dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang cenderung otoritarianisme

membuka peluang sistem pemerintahan dan ketatanageraan yang berjalan tanpa

adanya pengawasan dan kontrol ( check and balances).

Lembaga negara di era pemerintahan Orde Baru tidak berfungsi sebagaimana

mestinya sesuai dengan kekuasaan yang telah ditetapkan oleh UUD 1945. Dewan

Perwakilan Rakyat ( DPR) yang diberi kewenangan legislatif dalam membuat

peraturan perundang-undangan tidak menjalankan kewenangannya sesuai amanah

konstitusi. Produk hukum yang diciptakan oleh DPR didasarkan atas inisiatif

pemerintah selaku pemegang kekuasaan eksekutif.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai representasi kedaulatan

rakyat di era pemerintahan Orde Baru merupakan lembaga tertinggi negara.

Supremasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara cenderung menjadi alat

legitimasi kebijakan pemerintah. Penyelewangan atas UUD 1945 membawa akibat

yang buruk bagi kondisi demokrasi, politik dan hukum di Indonesia. Amademen

UUD 1945 menimbulkan perubahan signifikan dalam aspek hukum tata negara.

Perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain

dalam posisi setara dengan saling melakukan checks and balances,

mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak

4 Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, ( Jakarta : RajaGrafindo

Persada, Cetakan ke-3, 2012 ), hlm 135

Page 14: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

3

asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah

negara demokrasi dan negara hukum.5

Pasca amandemen UUD 1945 yang keempat tahun 2002 kedudukan MPR

sebagai lembaga tertinggi negara mengalami perubahan dalam sistem

ketatanegaaran Indonesia yang menyebabkan MPR tidak lagi sebagai lembaga

tertinggi negara melainkan sama kedudukannya dengan DPR, DPD, BPK, Mahkamah

Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial sebagai lembaga tinggi negara.

Transformasi kewenangan MPR pasca Reformasi 1998 mempengaruhi kedudukan,

fungsi dan tugas MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Fungsi dan tugas MPR

termaktub dalam Pasal 3 Ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 yang menegaskan MPR

memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik

Presiden dan/atau Wakil presiden, memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden

dalam masa jababatannya menurut Undang-Undang Dasar.6

Sebelum amandemen UUD 1945, MPR menjadi lembaga penting dalam

merumuskan GBHN yang secara formal dituangkan dalam bentuk produk hukum

yang disebut Ketetapan MPR. Ketetapan MPR atau yang biasa disingkat dengan TAP

MPR adalah ketetapan-ketetapan yang dikeluarkan oleh MPR yang secara substansi-

materiil mengandung muatan yang bersifat mengatur (regeling) dengan daya ikat

umum ( abstract). Setelah perubahan UUD, MPR tidak lagi memiliki

kewenangan menetapkan GBHN dan tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR

5 Titik Triwulan Tutik, “Analisis Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPR RI

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan“ (Jurnal Ius Quia Iustum, Nomor 1, Volume 2, Maret 2013 ),hlm 2.

6 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Page 15: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

4

(TAP MPR), kecuali berkenaan dengan menetapkan Wapres menjadi Presiden,

memilih Wapres apabila terjadi kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan

Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,

diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya

secara bersama-sama. Dengan demikian MPR tidak lagi mengeluarkan peraturan

yang bersifat mengatur (regeling) seperti sebelum UUD 1945 diamandemen.

Pasca amandemen UUD 1945, MPR mengeluarkan Ketetapan MPR

Nomor/I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960

Sampai Dengan Tahun 2002. Konsideran menimbang huruf b dan c Ketetapan

MPR Nomor I/MPR/2003 menunjukan bahwa ketetapan ini lahir karena perubahan

struktur kelembagaan negara dan perubahan kedudukan, fungsi, tugas dan lembaga

negara. Masuknya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan untuk

meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan

keberadaan (eksistensi) dari TAP MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang

akan datang, serta untuk memberi kepastian hukum.7 Peninjauan materi Ketetapan

MPR diperlukan untuk melakuan evaluasi terhadap TAP MPR yang telah berlaku

semenjak tahun 1960 sampai 2002. Beberapa ketentuan TAP MPR ada yang habis

masa berlakunya, telah dicabut, berlaku sampai terbentuknya pemerintahan hasil

pemilu, atau pun berlaku sampai terbentunya undang-undang yang mengatur. MPR

sendiri telah melakukan inventarisasi terhadap TAP MPR

sebagai implikasi perubahan fungsi dan kewenangan kelembagaan MPR.

7 Ery Wisita Wongku, “Status Ketetapan MPR Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan

Di Indonesia Dan Kaitannya Dalam Pranata Pengujian “, Fakultas Hukum, Universitas Kristen Satya

Wacana, 2013, hlm 3

Page 16: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

5

Sebagai sebuah produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) dan bersifat

umum, TAP MPR masuk kedalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Hierarki peraturan perundang-undangan diatur pertama kali dalam Ketetapan

MPRS No.XX /MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber

Tertib Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik

Indonesia. Ketetapan MPRS ini merupakan pengukuhan dari Memorandum DPR- GR

tanggal 9 Juni 1966 yang merupakan hasil peninjauan kembali dan penyempurnaan

dari Memorandum MPRS tanggal 12 Mei 1961 No. ll68/U/MPRS/61 mengenai

Penentuan Tata Urutan Perundang-undangan Republik Indonesia. Menurut

Memorandum DPRGR yang telah dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No.

XX/MPRS/1966 tersebut bentuk-bentuk peraturan perundangan Republik Indonesia

menurut UUD 1945 adalah: (l) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia 1945:

(2) Ketetapan MPR; (3) Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Keputusan Presiden; (6) Peraturan-

peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan

lain-lainnya. 8 Setelah amandemen UUD 1945 terjadi perdebatan mengenai

kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Perdebatan ini

disebabkan oleh perubahan kedudukan fungsi dan kewenangan MPR sebagai realisasi

agenda reformasi. Perubahan kedudukan TAP MPR menimbulkan pro dan kontra

sehingga terjadi tarik-ulur tentang kedudukan TAP MPR. 9 Kemudian untuk

menegaskan eksistensi TAP MPR maka pada tahun 2000 MPR mencabut

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan

diganti dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata

8 A. Rosyid Altok, “Ketetapan MPR Dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan”,(Jurnal

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 25, Nomor 1, Februari, 2012 ), hlm 4 9 Loc.it., Irfandi, hlm 91

Page 17: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

6

Perundang-undangan. Pada prinsipnya Tap MPR No.III/MPR/2000 secara materiil

mengandung muatan yang sama dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan sebagai upaya menciptakan produk peraturan perundang-

undangan yang sesuai dengan asas Pancasila dan memberikan landasan yuridis bagi

hierarki peraturan perundang-undangan mengingat selama ini tata uratan hierarki

peraturan perundang-undangan masih terbatas diatur oleh Tap MPR

No.III/MPR/2000 yang status hukum maupun kedudukan TAP MPR masih menjadi

perdebatan akademis dan politis. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pasal yang mengatur

hierarki peraturan perundang-undangan.

TAP MPR yang sebelumnya berada dibawah UUD 1945 sesuai dengan

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Tap MPR No.III/MPR/2000 tidak

dimasukan lagi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dapat dipahami mengingat

MPR tidak berwenang lagi membentuk TAP MPR yang bersifat mengatur setelah

hapusnya kewenangan menetapkan GBHN. Namun menurut TAP MPR No.

I/MPR/2003 masih terdapat tiga ketetapan yang masih berlaku dengan enam

ketentuan dan sebelas ketetapan yang masih berlaku sampai terbentuknya undang-

undang.10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

setelah berlaku selama hampir tujuh tahun. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor

10 Tyan Adi Kurniawan dan Wilda Prihatiningtyas,” Problematika Kedudukan TAP MPR

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan”, ( Jurnal Yuridika, Volume 27 No.2, Mei-Agustus, 2012 ), hlm 125

Page 18: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

7

11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kembali

memasukan TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan dibawah

Undang-Undang Dasar 1945 dan diatas Undang-Undang/ Perppu. Naskah

akademik Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak menjelaskan rasio yuridis

TAP MPR dimasukan kembali ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Berlakunya kembali TAP MPR sebagai produk hukum yang eksis dalam

hierarki peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memunculkan

berbagai problem hukum tersendiri mengingat MPR secara kelembagaan

mengalami reduksi kewenangan pasca amandemen UUD 1945 dengan tidak

diberikan lagi kekuasaan untuk membuat produk hukum yang bersifat mengatur

(regeling) dan mencakup umum ( abstract). Implikasi hukum dimasukkannnya

kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan, jelas membawa

konsekuensi-konsekuensi logis dalam penataaan sistem hukum Indonesia, baik

norma, kedudukan, maupun ruang pengujian akibat pertentangan antara sesama

produk perundang-undangan lainnya. Keberadaan Undang-udang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengakibatkan TAP

MPR secara otomatis (ex-officio) menjadi rujukan dalam pembentukan dan penerapan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dalam hal ini

UU/Perpu, PP. Perpres, dan Perda. Pemberlakuan TAP MPR dengan segala implikasi

hukumnya menjadi salah satu permasalah hukum yang menarik dari segi yuridis,

filosofis maupun sosiologis.

Page 19: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

8

TAP MPR yang telah dicabut dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 20014

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimasukan kembali dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mencabut Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk melakukan kajian

terhadap inkonsistensi lembaga legislatif ( DPR) terhadap status hukum TAP MPR.

Sehingga akan ditemukan jawaban apakah produk hukum TAP MPR/S masih relevan

untuk dijadikan salah satu sumber hukum yang secara konkret dimasukan ke dalam

hierarki peraturan perundang-undangan.

Pemberlakukan kembali TAP MPR membawa implikasi hukum terhadap

prosedur pengujian hukum ( judicial review) yaitu lembaga negara mana kah yang

akan berwenang menguji materi TAP MPR apabila terdapat materi muatan yang tidak

sesuai dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji Undang-

Undang terhadap UUD 1945 sesuai Pasal 24 C ayat (1), “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Sementara Mahkamah Agung

berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang- undang

sesuai Pasal 24 A ayat (1), “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat

kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-

undang”. Pemberlakuan kembali TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-

undangan akan menimbulkan potensi terjadinya kekosongan hukum

Page 20: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

9

(rechtvacuum). Selain itu wacana yang mendukung revitalisasi kembali

kewenangan MPR untuk merumuskan GBHN melalui produk hukum TAP MPR

menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Oleh karena itu, penulis tertarik

melakukan penelitian hukum dengan judul “RELEVANSI KEDUDUKAN TAP

MPR DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN PASCA AMANDEMEN

UUD 1945’ untuk dikaji secara mendalam seberapa relevan TAP MPR dalam konteks

pemberlakuannya di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang .

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka penelitian ini fokus pada :

1. Bagaimana kedudukan TAP MPR dalam Sistem Perundang-Undangan

sebelum amandemen UUD 1945 ?

2. Bagaimana kedudukan dan relevansi TAP MPR dalam Sistem

Perundang-Undangan setelah amandemen UUD 1945 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kedudukan TAP MPR dalam Sistem Perundang-

Undangan sebelum amandemen UUD 1945.

2. Untuk mengetahui kedudukan dan relevansi TAP MPR dalam Sistem

Perundang-Undangan setelah amandemen UUD 1945.

Page 21: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

10

Tujuan khusus penelitian ini mencoba menjawab kedudukan TAP MPR dalam

sistem perundang-undangan dalam konteks masa lalu, masa kini sehingga akan

diketahui seberapa relevan pemberlakuan TAP MPR di masa depan.

b. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini akan menambah khazanah akademik dalam

bidang kajian hukum khususnya hukum tata negara. Harapannya

penelitian ini akan membuka perspektif kelimuaan baru untuk menambah

referensi ilmiah bagi mahasiswa hukum.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini memiliki manfaat praktis bagi anggota legislatif agar

mempertimbangkan kembali TAP MPR/S sebagai salah satu produk

hukum yang masih berlaku hingga hari ini. Bagi akademisi, penelitian

ini akan membuka bagi penelitian-penelitian baru yang lebih

komprehensif.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang “Relevansi Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem

Perundang-Undangan Pasca Amandemen UUD 1945” yang diangkat menjadi judul

skripsi ini merupakan karya ilmiah yang serupa tetapi tidak sama, yaitu :

Page 22: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

11

1. Judul Skripsi

Analisis Hukum Kedudukan TAP MPR RI Dalam Hierarki Peraturan

Perundang-Undangan

Identitas Penulis : Andi Fauziah Nurul Utami

Tahun Lulus : 2013 (Fakultas Hukum Universitas Hassanudin )

Permasalahan dari penelitian Andi Fauziah Nuruh Utami merumuskan

tentang analisa secara yuridis tentang pemaknaan ranah kedudukan TAP

MPR RI di dalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan

pasal 7 ayat 1 (a) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang peraturan

perundang-undangan dan menguraikan implikasi yuridis yang dapat

timbul akibat dimasukkannya kembali TAP MPR RI dalam hierarki

peraturan perundang-undangan.

2. Judul Skripsi

Status Ketetapan MPR Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Di

Indonesia Dan Kaitannya Dalam Pranata Pengujian.

Identitas Penulis : Esy Riwista Wongku.

Tahun lulus : 2013 (Fakultas Hukum Universitas Kristen

Satya Wacana)

Dari kedua penelitian diatas, penelitian penulis lebih membahas kedudukan

TAP MPR secara komprehensif pada aspek-aspek yang mempengaruhi kedudukan

TAP MPR dalam sistem perundang-undangan yakni muatan TAP MPR sebelum

dan setelah amandemen, dinamika hirarki peraturan-perundangan, analisa teori norma

hukum serta tranfromasi kewenangan MPR dari segi teori hukum tata negara

Page 23: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

12

sehingga penulis mendapatkan kesimpulan kedudukan TAP MPR masih

mengandung relavansi atau tidak untuk dijadikan peraturan-perundang-undangan.

E. Sistematika

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan latar belakang,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika

BAB II : Merupakan bab tinjauan pustaka yang berisikan uraian kedudukan

TAP MPR, keberlakuan TAP MPR dalam sistem perundang-

undangan dan wewenang MPR dalam menjalankan TAP MPR.

BAB III : Merupakan bab metode yang berisikan uraian jenis/tipe Penelitian,

spesifikasi penelitian, metode pengumpulan dan dan metode

analisis data

BAB IV: Merupakan bab yang menjawab permasalahan penelitian.

Menjabarkan, menjelaskan serta menguraikan analisa hukum

terhadap permasalahan dengan menggunakan sumber-sumber

data yang akurat. Bab ini membahas dua permasalahan yakni : (a)

kedudukan TAP MPR sebelum amandemen UUD 1945 ; (b)

Kedudukan TAP MPR setelah amandemen UUD 1945. Kedua

permasalahan tersebut akan dianalisa secara yuridis dan filosofis

menggunakan teori hukum khususnya teori norma hukum serta

mendeskripsikan secara koheren dengan berpedoman pada bahan

hukum primer, sekunder maupun tersier.

Page 24: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

13

BAB V : Merupakan bab penutup yang menguraikan kesimpulan dari

penelitian dan saran dari penulis terhadap solusi atas

permasalahan yang dibahas.

Page 25: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Ketetapan dan Keputusan

Pengertian antara ketetapan dan keputusan seringkali dipertukarkan antara satu

sama lain sehingga terkadang timbul multi penafsiran. Menurut Jimmly Asshidiqie

istilah keputusan dan ketetapan adalah sama. Penetapan menghasilkan ketetapan

atau keputusan (beschiking). Hasil kegiatan penetapan dan pengambilan keputusan

administratif disebut sebagai keputusan atau ketetapan merujuk kepada hasil

keputusan-keputusan di bidang yudisial.11 Secara konsepsional, antara ketetapan

dan keputusan tidak ada perbedaannya.12 Ketetapan atau keputusan yang berarti

beshickking sebenarnya sangat terkait dengan tindakan hukum

penguasa/pemerintah yang mempunyai sifat bersegi satu. Ketetapan mengandung

unsur individual dan konkret ( beshicking). Lawan dari sebuah produk hukum yang

konkret adalah mengatur (regeling). Bentuk keputusan atau ketetapan menjadi

pembeda dari bentuk aturan yang bersifat mengatur seperti undang-undang

(regeling). Disini secara essensial maupun substantif ketetapan tidak sejenis dengan

undang-undang atau produk hukum lain yang memiliki muatan mengatur (regeling)

dan umum (abstract). Berdasarkan definisi-definisi yang diberikan beberapa

sarjana, S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD., menyimpulkan beberapa unsur dari

ketetapan, antara lain13:

11Ibid., hlm 8 12S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara

(Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm 74. 13Dian Agung Wicaksono, “Implikasi Re-Eksistensi Tap Mpr dalam Hierarki Peraturan

Perundang-Undangan terhadap Jaminan Atas Kepastian Hukum yang Adil di Indonesia”, Jurnal Kosntitusi, Voulume 10, Nomor 1, 2003, hlm 173

Page 26: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

15

1. Merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau perbuatan

sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan hasil persetujuan oleh dua

belah pihak;

2. Sifat hukum publik diperoleh dari/berdasarkan wewenang atau kekuasaan

istimewa; dan

3. Dengan maksud terjadinya perubahan dalam lapangan hubungan hukum.

Produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR secara nomenklatur disebut

Ketetapan MPR atau disingkat TAP MPR. Dalam praktik ketatanegaraan di masa

orde baru MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Bentuk Ketetapan

MPR berkembang dalam praktik ketatanegaraan yang menjadi konvensi

ketatanegaraan. 14 Pada praktiknya, MPR tetap eksis menngeluarkan TAP MPR

sampai UUD 1945 diamandemen dan mengubah kewenangan MPR selanjutnya.

Dasar hukum pembentukan Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 yang

utama adalah Pasal I Aturan Tambahan, Pasal I dan Pasal II Aturan Peralihan Undang

- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan oleh MPR

dalam Sidang Tahunan MPR pada bulan Agustus 2002.

1) Pasal I Aturan Tambahan:

“Majelis Pemusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan

peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis

14 Widayati, “ Perbandingan Materi Muatan Ketetapan MPR Pada Masa Pemerintahan Orde

Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III No.1, 2016, hlm

127

Page 27: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

16

Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang

Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”

2) Pasal I Aturan Peralihan:

“Segala peraturan perundang - undangan yang ada masih tetap

berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.

3) Pasal II Aturan Peralihan:

“Semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi

sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang dasar

dan belum diadakan yang baru menurut Undang - Undang Dasar

ini”.

4) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah

diubah terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2002.

5) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang

Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Tahun 2003.

Ketetapan MPRS dan ketetapan MPR yang ada dapat ditemukan beberapa jenis

materi yang termuat di dalamnya sebagai berikut:

Page 28: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

17

1) Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat

mengatur sekaligus memberikan tugas kepada Presiden.

2) Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat

penetapan (beschikking).

3) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat

mengatur kedalam (interneregelingen).

4) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat

deklaratif.

5) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat

rekomendasi.

6) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat

perundang - undangan.

Untuk mengetahui apakah suatu norma hukum yang terdapat dalam

aturan/keputusan merupakan Regeling atau Beschikking, yang menjadi tolok

ukurannya adalah, apabila materi muatan dalam wujud aturan/keputusan itu

sasarannya adalah berlaku dan mengikat keluar kepada warga masyarakat secara

umum, tidak ditujukan kepada objek, peristiwa atau gejala konkret tertentu (umum-

abstrak), maka Keputusan itu adalah Regeling),sebaliknya apabila suatu Keputusan

Page 29: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

18

itu dengan ciri atau bersifat individual-konkret, artinya mengatur obyek, peristiwa

atau gejala konkret tertentu, maka Keputusan itu adalah Beschikking, misal untuk

mengetahui suatu Keputusan Administratif yang bersifat Peraturan PerUndang-

Undangan (Regeling) harus memuat unsur-unsur sebagaimana yang dikemukakan

oleh P.J.P.Tak15, yang dikutup dari Bagir Manan, yaitu:

1) Peraturan PerUndang-Undangan berbentuk keputusan tertulis.

Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perUndang-

Undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis

(geschrevenrecht, written law);

2) Peraturan PerUndang-Undangan dibentuk oleh pejabat atau

lingkungan jabatan (badan,organ) yang mempunyai wewenang

membuat “peraturan” yang berlaku atau mengikat umum; dan

3) Peraturan PerUndang-Undangan bersifat mengikat umum, tidak

selalu dimaksudkan selalu mengikat semua orang.

B. Sistem Peraturan Perundang-Undangan

Dalam beberapa literatur peraturan perundang-undangan disejajarkan

dengan undang-undang. Menurut Bagir Manan, banyak kalangan yang menganggap

hukum, peraturan perundang-undangan dan undang-undang adalah hal yang sama.

Padahal, hal tersebut tidaklah sama. Undang-undang adalah bagian dari peraturan

perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari undang-undang

dan berbagai peraturan perundang-undangan lain, sedangkan hukum bukan hanya

15 P.J.P Tak, Rechtsfoorming in Nederland, Samson H.D Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn

Karel Boungenaar, Sari Kuliah Hukum Tata Negara oleh Prof.Dr. Philipus M. Hadjon pada FH

Unair tahun 1998

Page 30: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

19

undang-undang, melainkan termasuk juga beberapa kaidah hukum seperti hukum

adat, kebiasaan, dan hukum yurisprudensi. 16 Perundang-undangan yang dalam

bahasa Inggris adalah legislation atau dalam bahasa Belanda wetgeving atau

gesetzgebung dalam bahasa Jerman, mempunyai pengertian sebagai berikut:

1) perundang-undangan sebagai proses pembentukan atau proses

membentuk peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di

tingkat daerah; dan

2) perundang-undangan sebagai segala peraturan negara yang

merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah17.

Sedangkan Satjipto Rahardjo, memberikan batasan mengenai perundang-

undangan yang menghasilkan peraturan, dengan cirri-ciri sebagai berikut :

1) bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian

merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.

2) Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-

peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya.

Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi

peristiwa-peristiwa tertentu saja.

3) Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya

sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan

klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan

kembali.

Dari pendapat Satjipto Rahardjo menimbulkan sebuah konsekuensi bahwa

segala bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga negara akan masuk sebagai

peraturan perundangan-undangan apabila memenuhi sifat mengatur (regeling) dan

mencakup umum (abstract). Hal tersebut dibedakan dengan sifat yang melekat

16 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, ( Jakarta: Ind. Hill.Co, 1992)

Hlm. 2-3. 17 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi dan Materi

Muatan,(Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm 10

Page 31: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

20

dalam suatu keputusan (becshikking) yang bersifat konkret, individual dan berlaku

sekali waktu (einmalig).

Regeling= Besluiten van Algemene Strekking merupakan “pengaturan yang

bersifat umum” , dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan dinyatakan” Peraturan

Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang

mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau

pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan

Perundang-undangan” dalam Penjelasan Pasal 2 huruf b Undang-Undang Nomor 5

tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah

beberapa kali dan yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009

(UU PERATUN) yang dimaksud dengan “pengaturan yang bersifat umum “ ialah

pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk

peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.

Sejalan dengan hal tersebut, Prof.Dr. Bagir Manan, SH, M.Cl berpendapat

“Aturan-aturan tingkah laku yang mengikat secara umum itu dapat berisi ketentuan-

ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan. Hal-hal yang

diatur bersifat umum, maka Peraturan PerUndang-Undangan adalah abstrak-umum

atau umum-abstrak. Ciri-ciri tersebut dimaksudkan untuk membedakan dengan

Keputusan tertulis Pejabat atau lingkungan jabatan berwenang yang individual-

konkret yang lazim disebut Beschikking. Umum berarti ditujukan untuk umum,

abstrak(tidak konkret) berarti ditujukan untuk objek/ peristiwa yang tidak tertentu/

Page 32: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

21

tidak dapat ditentukan.18 Dengan merujuk pada rumusan pengertian tersebut,

terdapat korelasi hukum yang berkesinambungan diantaranya, dengan demikian

“pengaturan yang bersifat mengikat secara umum (Besluiten van Algemene

Strekking)” adalah identik dengan “peraturan PerUndang-Undangan (Algemene

verbindende voorschriften)”, sebagaimana dipertegas dalam Penjelasan Pasal 1 angka

2 UU PERATUN yang menyatakan ”yang dimaksud dengan Peraturan PerUndang-

Undangan ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang

dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik ditingkat

Pusat maupun di tingkat Daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata

Usaha Negara, baik ditingkat Pusat maupun di tingkat Daerah yang juga bersifat

mengikat secara umum”.

Beschikking, dalam terminologi Hukum Administrasi (Negara) Beschikking

diartikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yang pengertiannya

dalam UU PERATUN dinyatakan “Keputusan Tata Usaha Negara adalah

Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang

berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan PerUndang-

Undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final yang berakibat

hukum bagi seseorang/ Badan hukum perdata”. Dalam penjelasan UU PERATUN

dinyatakan bahwa konkret itu berarti tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau

dapat ditentukan sedangkan individual artinya tidak ditujukan untuk umum, tetapi

tertentu baik alamat maupun hal yang dituju, dan final adalah Keputusan tersebut

bersifat definitif. Oleh karena itu suatu KTUN selalu dianggap

sah dan dapat langsung dilaksanakan, sepanjang tidak ada Putusan yang

18 Maria Farida Indrarti S., Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya (

Yogyakarta : Kanisius, 200), hlm 40

Page 33: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

22

menyatakan bahwa KTUN tersebut adalah tidak sah dan sudah sepatutnya

dibatalkan (Azas Vermoeden van Rechtmatigheid).19

Sistem perundang-undangan merupakan suatu rangkaian unsur-unsur hukum

tertulis yang saling terkait, pengaruh-mempengaruhi, dan terpadu yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lainnya yang terdiri atas : asas-asas, pembentuk dan

pembentukannya, jenis, hierarki, fungsi, materi muatan, pengundangan,

penyebarluasan, penegakan dan pengujian yang semuanya dilandasi oleh falsafah

Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 194520. Berdasarkan definisi

tersebut maka unsur-unsur sistem peraturan perundangan-undangan adalah :

1) asas-asas pembentukan;

2) pembentukan dan proses pembentukannya;

3) jenis dan hierarki;

4) fungsi;

5) materi muatan;

6) pengundangan;

7) penyebarluasan;

8) penegakan dan pengujian.

Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan tersebut dapat

diuraikan sebagai berikut:

19 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi (Yogyakarta : Gajah Mada Press, 1992), hlm 176

20 HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, ( Jakarta : Konpress dan

Tata Nusa, 2008), hlm 30

Page 34: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

23

1) Asas kejelasan tujuan dalam pembentukan perundang-undangan

dimaknai bahwa harus ada kejelasan tujuan yang hendak dicapai

melalui pembentukan UU yang bersangkutan;

2) Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat yaitu DPR

bersama-sama dengan Pemerintah, dan dengan keterlibatan DPD

untuk RUU tertentu. Setiap jenis peraturan perundang-undangan

harus dibuat oleh lembaga pembentuk peraturan perundang-

undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut

dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh

lembaga/pejabat yang tidak berwenang;

3) Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan yaitu

bahwa untuk jenis UU harus berisi materi muatan yang memang

seharusnya dituangkan dalam bentuk UU;

4) Asas dapat dilaksanakan, yaitu bahwa ketentuan yang diatur dalam

UU itu harus dapat dilaksanakan sebagaiman mestinya dan harus

memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan di

dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun

sosiologis;

5) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap

peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

6) Asas kejelasan rumusan, yaitu bahwa pengaturan suatu materi

ketentuan tertentu dalam UU yang bersangkutan memang

Page 35: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

24

mempunyai tujuan yang jelas dan harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan

terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti,

sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya;

7) Asas keterbukaan, yaitu bahwa dalam pembentukan perundang-

undangan itu dilakukan secarab terbuka, mulai dari perencanaan,

persiapan, penyusunan, dan pembahasannya.

Sementara hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebuah tingkatan

produk perundang-undangan dari tertinggi sampai terendah. Menurut TAP MPRS

Nomor XX/ MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata

Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia (TAP MPRS No.

XX/MPRS/1966), dimana dalam lampiran IIA tentang “Tata urutan perundangan di

Indonesia menurut UUD 1945” dirumuskan bentuk dan tata urutan peraturan

perundang-undangan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,

2. TAP MPR,

3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang,

4. Peraturan Pemerintah,

5. Keputusan Presiden,

6. Peraturan pelaksanaan lainnya seperti:

Page 36: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

25

- Peraturan Menteri,

- Instruksi Menteri,

- dan lain-lainnya.

Setelah selama 34 (tiga puluh empat) tahun, maka pada sidang MPR tahun

2000 ditetapkanlah Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum

dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (TAP MPR No. III/MPR/2000),

yang menggantikan TAP MPRS/TAP MPRS No. XX/MPRS /1966. Dimana dalam

Pasal 2 TAP MPR tersebut masalah hierarki peraturan perundang-undangan

dirumuskan sebagai berikut :

“Tata urutan peraturan perundangundangan merupakan pedoman dalam

pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan peraturan

perundangundangan Republik Indonesia adalah :

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU);

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden;

7. Peraturan Daerah.

DPR pada tahun 2004 memberlakukan Undang-Undang 10 Tahun 2014 tentang

Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan untuk menegaskan hierarki

Page 37: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

26

peraturan perundangan-undangan sebelumnya dengan mencabut TAP MPR/S

dalam susunan hierarki. Pasal 7 Undang-Undang tersebut menjabarkan susunan

hierarki peraturan perundang-undangan :

1. Undang-Undang Dasar dan Perubahan Undang-Undang

Dasar;

2. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah.

Materi susunan hierarki dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

dimaksudkan untuk menggantkan dan mengadopsi materi Ketetapan

No.III/MPR/2000.21 Dicabutnya TAP MPR/S dalam hierarki peraturan perundang-

undangan menimbulkan kontroversi dikalangan akademisi dan politisi. Terdapat

anggapan dicabutnya TAP MPR/S sebagai sesuatu yang tidak didasarkan pada

pertimbangan yuridis karena masih ada beberapa TAP MPR/S yang masih berlaku.

Sebagai respon atas kritik tersebut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dicabut

dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 dalam Undang-Undang tersebut kembali

memasukan TAP MPR/S dalam hierarki peraturan perundang-undangan :

1. Undang-Undang Dasar Negaran Republik Indonesia Tahun

1945;

21 Op.cit., Jilmy Asshidiqie, hlm 35

Page 38: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

27

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia;

3. Undang-Undang atau PERPU;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan daerah provinsi;

7. Peraturan Daerah Kab/Kota.

Diberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menjadikan TAP

MPR/S masih eksis sampai sekarang meskipun MPR sudah tidak lagi

mengeluarkan TAP MPR/S.

C. Kedudukan TAP MPR

Pada tahun 1966 dengan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 pada

Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia

adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan MPRS

3. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Keputusan Presiden;

6. Peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti:

- Peraturan Menteri;

Page 39: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

28

- Instruksi Menteri;

- Dan lain-lainnya.

Pasca amandemen UUD 1945 terjadi transformasi kewenangan MPR yang

sebelumnya menjalankan fungsi GBHN dihapuskan sehingga berdampak pada

kedudukan TAP MPR. Menurut Ketetapan MPR RI No. III/MPR/ 2000 sebagai

pengganti dari Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/I966, tata urutan peraturan

perundang-undangan Republik Indonesia adalah:

1. Undang-UndangDasar 1945;

2.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik

Indonesia;

3.

Undang-Undang;

4.

Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang

(PERPPU)

5.

Peraturan Pemerintah;

6.

Keputusan Presiden;

7.

Peraturan Daerah.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan diberlakukan sebagai penegasan terhadap Ketetapan MPR RI

No. III/MPR/ 2000. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

dijabarkan hierarki peraturan perundang-undangan :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang - Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

Page 40: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

29

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah.

TAP MPR dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dihapuskan sebagai

implikasi perubahan UUD 1945 yang salah satu agenda perubahan menghapuskan

kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN. Perubahan kewenangan TAP MPR

menyebabkan kedudukan TAP MPR tidak lagi berada dalam hierarki peraturan

perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan diberlakukan untuk mencabut Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004. Kedudukan TAP MPR kembali dimasukan dalam hierarki peraturan

perundang-undangan. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur

hierarki peraturan perundang-undangan :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti;

4. Undang-Undang;

5. Peraturan Pemerintah;

6. Peraturan Presiden;

7. Peraturan Daerah Provinsi;

8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Page 41: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

30

D. Keberlakuan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan

Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia sejak tahun 1960-an,

keberadaan Tap MPR menunjukkan perkembangan dan perubahan materi muatan dari

waktu ke waktu. Hal itu ditunjukkan dengan judul-judul dan materi muatan dari

produk hukum MPR yang pernah ada sejak pertama kali dikeluarkan pada tahun

1960 sampai dengan terakhir kali dikeluarkan pada tahun 2002. Berkaitan dengan

materi muatan Tap MPR, terdapat beberapa pakar yang mengelompokkan Tap MPR

berdasarkan materi muatannya.

Menurut hasil penelitian Sri Soemantri, materi muatan Tap MPR sampai tahun

1985 dikelompokkan ke dalam 9 (sembilan) kelompok sebagai berikut22:

1. Tentang Dasar Negara.

2. Tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan.

3. Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.

4. Tentang Pemilihan Umum.

5. Tentang Lembaga-lembaga Negara (Umum).

6. Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat.

7. Tentang Presiden dan Wakil Presiden.

8. Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

9. Tentang Hal-hal Lain.

Sementara itu, menurut Bagir Manan materi muatannya Tap MPR dapat

dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu23:

22 Sri Soemantri, Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara

(Bandung : Remadja Karya CV, 1985 ) hlm. 30.

Page 42: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

31

a. Tap MPR yang memenuhi unsur-unsur sebagai peraturan

perundang-undangan.

b. Tap MPR yang materi muatannya semacam materi muatan

ketetapan atau penetapan administrasi negara (beschikking).

c. Tap MPR yang berupa perencanaan (het plan) yaitu tentang Garis-

garis Besar Haluan Negara (GBHN).

d. Tap MPR yang bersifat pedoman, sehingga semacam peraturan

kebijakan di bidang administrasi negara.

Dalam buku lain, Bagir Manan juga mengidentifikasi materi muatan Tap MPR

ke dalam 4 (empat) kelompok yaitu:

1. Yang bersifat mengatur.

2. Yang sifat materinya mengikat umum secara langsung.

3. Yang materinya merupakan penetapan (beschikking).

4. Yang materinya bersifat pernyataan (deklarasi).

Setelah UUD 1945 diamandemen yang menyebabkan transformasi

kewenangan MPR. Perubahan kewenangan MPR membawa implikasi terhadap

peninjauan status materi TAP MPR/S yang telah berlaku selama 34 tahun. Peninjauan

tersebut dilakukan melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan

Kembali TAP MPR/S. Sejak Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 (TAP MPR

No. I/MPR/2003) yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus

2003. Berdasarkan TAP MPR tersebut, TAP MPR/S Tahun 1960 sampai dengan

Tahun 2002 diklasifikasikan ke dalam 6 (enam) kelompok, yaitu:

23 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (

Bandung : Alumni,Bandung, 1997) hlm. 100.

Page 43: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

32

1. Kelompok TAP MPR/S yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

(8 ketetapan);

2. TAP MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan

tertentu (3 ketetapan);

3. TAP MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya

pemerintahan

hasil pemilihan umum tahun 2004 (8 ketetapan);

4. TAP MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya

undang- undang (11 ketetapan);

5. TAP MPR yang masih berlaku sampai dengan ditetapkannya

Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR-RI hasil pemilihan umum

tahun 2004 (5 ketetapan);

6. TAP MPR/S yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih

lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun

telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).

Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut ternyata masih terdapat beberapa

Ketetapan MPRS dan MPR yangmasih harus berlaku, baik berlaku dengan

ketentuan maupun berlaku sampai dengan dibentuknya UU yang mengatur materi

muatannya. Hal ini berarti masih terdapat beberapa Ketetapan MPRS dan MPR

yang secara substansial masih harus diberlakukan dan pemberlakuannya pun harus

mempunyai dasar hukum. Sampai dewasa ini terdapat 13 TAP MPR yang masih

berlaku dan dijadikan dasar dari Undang-Undang Tahun 2012 tahun 2011

menetapkan kedudukan TAP MPR menjadi salah satu jenis hierarki peraturan

Page 44: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

33

perundang-undangan. Rincian dari 13 TAP MPR yang masih berlaku adalah

sebagai berikut24:

1. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS.1966 Tentang Pembubaran Partai

Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di

seluruh Wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan

larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan

Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

2. Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi

Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

3. Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di

Timor-Timor

4. Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan

Pahlawan Ampera. (dalam perkembangan terakhir telah terbentuk UU

No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda

Kehormatan)

5. MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih

dan Bebas KKN.

6. Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi

Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya

Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat

dan Daerah dalam NKRI.

7. Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan

dan Kesatuan Nasional.

24 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam

Pembinaan Hukum Nasional ( Bandung : Armico, 1987), hlm. 31-34.

Page 45: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

34

8. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara

Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia.

9. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran

Polri.

10. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan

Berbangsa.

11. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa

Depan.

12. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah

Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.

13. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria

dan Pengelolahan Sumber Daya Alam.

E. Wewenang MPR Dalam Menjalankan TAP MPR

Pasal 3 UUD 1945 mengatur wewenang MPR :

1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan

menetapkan Undang•-Undang Dasar;

2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau

Wakil Presiden;

3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut

Undang•Undang Dasar.

Wewenang dan tugas MPR diatur lebih spesifik dalam Pasal 4,5 dan 6 Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah :

Page 46: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

35

MPR berwenang:

Pasal 4

a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan

umum;

c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah

Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden;

d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden

mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan

kewajibannya dalam masa jabatannya;

e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh

Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden

dalam masa jabatannya; dan

f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat,

berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan

kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2

(dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan

oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon

presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama

dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir

masa jabatannya.

MPR bertugas:

Pasal 5

a. memasyarakatkan ketetapan MPR;

b. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;

c. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan

d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 6

(1). Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 MPR memiliki kemandirian

dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program

Page 47: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

36

dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas

bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(2). Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR

dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya

kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.

(3). Anggaran MPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai

dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(4). MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran

MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Dari penjabaran dalam Pasal 4,5 dan 6 UU MD3 dan Pasal 3 UUD 1945 MPR

sudah tidak lagi memiliki wewenang menetapkan GBHN. Kewenangan MPR yang

dihapus setelah UUD 1945 diamendemen adalah penetapan Garis-Garis Besar Haluan

Negara ( GBHN) sebagai penjabaran dari UUD 1945.

“Menurut ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 37 UUD 1945 yang asli (sebelum

perubahan), Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang (i) menetapkan

undang-undang dasar, (ii) mengubah undang-undang dasar, (iii) memilih

Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan (iv) menetapkan garis-garis besar

daripada haluan negara. Mengapa MPR diberi kewenangan menetapkan

garis-garis besar haluan (daripada) negara? Selain untuk memberikan

pedoman kerja bagi Presiden dalam melaksanakan tugasnya, garis-garis

besar haluan (daripada) negara itu diperluan karena pedoman atau haluan-

haluan kebijakan bernegara itu diperlukan karena pedoman atau haluan-

nhaluan kebijakan bernegara yang ditentukan oleh UUD 1945 sangat atau

bahkan terlalu ringkas dan sederhana. Oleh karena itu, di samping haluan-

haluan yang telah ditentukan dalam UUD 1945, masih diperlukan haluan-

haluan negara yang lebih jelas di luar UUD 1945.25

Implikasi dari perubahan kewenangan membawa dimensi baru bagi sistem

kerja MPR yaitu tidak lagi membuat produk hukum TAP MPR sebagai salah satu

peraturan perundang-undangan yang cukup signifikan seperti era sebelumnya.

Perubahan ini diwujudkan sebagai salah satu tuntutan reformasi agar supremasi

MPR dihapuskan. Hilangnya supremasi MPR berarti berhentinya MPR

25 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-

2, 2011 ), hlm 33

Page 48: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

37

merumuskan GBHN dalam bentuk sebuah ketetapan yang secara nomenklatur

disebut TAP MPR. Sementara MPR dahulu mempunyai kewenangan menjalankan

GBHN yang diasumsikan artikulator dari UUD 1945 maka MPR sebelum

amandemen UUD 1945 menetapkan TAP MPR sebagai wujud fungsi menjalankan

GBHN. TAP MPR sendiri secara nomenklatur tidak diatur dalam UUD 1945.

Eksistensi TAP MPR mulai mengalami penerimaan dalam hukum tata negara

semenjak MPR rutin mengeluarkan TAP MPR sehingga keberadaan produk hukum

TAP MPR diterima sebagai sebuah kebiasaan hukum. Dari perspektif filosofis

hakekat TAP MPR bisa dianalisa menggunakan pendekatan teori piramida hukum

yang digagas oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.

Hans Kelsen adalah salah satu pemikir hukum besar yang dikenal sebagai

penganut mazhab positivisme hukum. Dari beberapa pemikiran Hans Kelsen yang

terkenal adalah teori tentang piramida hukum atau Stufenbautheorie. Gagasan Hans

Kelsen dengan Stufenbautheorie pada hakikatnya merupakan usaha untuk membuat

kerangka suatu bangunan hukum yang dapat dipakai di manapun, dalam

perkembangan selanjutnya diuraikan Hans Nawiasky dengan theorie von stufenfbau

der rechtsordnung yang menggariskan bahwa selain susunan norma dalam negara

adalah berlapis-lapis dan berjenjang dari yang tertinggi sampai terendah.

Berkaitan dengan hierarki norma, Hans Nawiasky mengelompokkannya ke

dalam empat kelompok besar, yaitu:

(1). Kelompok I: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);

(2). Kelompok II: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok

Negara);

Page 49: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

38

(3). Kelompok III: Formell Gesetz (Undang- Undang "formal");

(4). Kelompok IV: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana &

Aturan otonom ).

Pengelompokkan hierarki norma hukum ini lazim disebut dengan die Theorie

vom Stufenordnung der Rechtsnormen.

Ketetapan MPR dapat dikategorikan sebagai Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar

Negara/Aturan Pokok Negara) meskipun kedudukannya berada di bawah UUD

1945. Meskipun kedudukannya di bawah UUD 1945, Ketetapan MPR tidak dapat

dikategorikan sebagai Formell Gesetz (Undang-Undang). Kedudukan Ketetapan

MPR yang demikian ini memang unik, khas, dan tidak ditemui dalam norma-norma

hukum pada umumnya di kebanyakan negara.

Page 50: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

39

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis/Tipe Penelitian

Jenis atau tipe penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yuridis

normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu

penelitian terhadap data sekunder.26 Hal yang akan diteliti penulis adalah

bagaimana kedudukan TAP MPR sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945

sehingga akan menghasilkan kesimpulaan apakah produk hukum TAP MPR yang

saat ini secara yuridis masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sesuai

Pasal 7 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan-

Perundang-Undangan masih relevan atau tidak sebagai produk hukum yang

mengikat.

B. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka hasil

penelitian ini nantinya akan bersifat deskriptif analitis yaitu bertujuan untuk

menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau untuk

menentukan penyebaran suatu gejala lain dalam masyrakat.27 Pendekatan yang

digunakan adalah peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian akan

menjelaskan bagaimana pemberlakuan TAP MPR sebelumd an sesudah amandemen

UUD 1945 dan ketika TAP MPR tidak dimasukan dalam Pasal 7

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tetapi kemudian dimasukan kembali

26 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta : Ghalia, 1983), hlm 24 27 Zainal Asikin dan Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum ( Jakarta : Rajawali Pers,

2004 ), hlm 118

Page 51: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

40

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai hierarki peraturan

perundangan-undangan. Selain itu, penelitian ini akan melakukan analisa secara

yuridis dan filosofis terhadap TAP MPR sehingga akan menghasilkan kesimpulan

apakah kedudukan TAP MPR memiliki relevansi atau tidak pasca amanden UUD

1945 terkait kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah cara pengadaan dan pengumpulan data untuk

kepentingan penelitian. Proses ini sangat penting untuk mendukung dan

memperjelas hasil penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder. Data sekunder

adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan konsepsi-

konsepsi, teori-teori atau pendapat-pendapat atau landasan teoritis yang

berhubungan erat dengan permasalahan. Data sekunder meliputi :

a) Bahan Hukum Primer :

1) Undang-Undang Dasar 1945

2) TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-

GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata

Peraturan Perundangan-undangan Republik Indonesia

3) TAP MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan

Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan

Page 52: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

41

5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan

b) Bahan Hukum Sekunder :

1) buku-buku literasi yang mendukung penelitian

2) karya ilmiah/karya tulis yang berkaitan dengan permasalan yang

diteliti berupa skripsi, jurnal dan artikel ilmiah

3) Hasil-hasil penelitian kontemporer

4) Wawancara

D. Metode Analisis Data

Metode analisis data yaitu bentuk analisis bagaimana dalam menafsirkan data

yang diperoleh sesuai dengan apa yang direncanakan dalam penelitian.28 Analisis

data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang

diteliti berdasarkan data yang diperoleh. Metode analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah dengan metode kualitatif yaitu analisis yang sifatnya

non statistik dan non matematis. Metode penelitian kualitaif diartikan sebagai

penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Data yang diperolehkan di Analisa

dengan menggunakan asas-asas hukum, teori-teori hukum, pendapat para ahli, dan

peraturan perundang-undangan yang ada kemudian dianalisis secara kualitatif yang

akan memberikan gambaran menyeluruh tentang aspek hukum yang berhubungan

dengan masalah yang akan diteliti, yaitu relevansi kedudukan TAP MPR/S pasca

amandemen UUD 1945.

28 Abdurahmandan Soejono, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan ( Jakarta :

Rineka Cipta, 2006 ), hlm 47

Page 53: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

42

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Kedudukan TAP MPR Sebelum Amandemen UUD 1945

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga yang dibentuk

sebagai wujud penjelmaan kedaulatan rakyat. UUD 1945 pra-amandemen Pasal I

ayat (2) menyebutkan,”kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh

MPR”. MPR merupakan lembaga yang menjalankan fungsi legislatif. Pada saat

pembentukannya, MPR diharapkan akan menjadi sebuah lembaga yang mewakili

rakyat secara keseluruhan sebagai tempat rakyat bermusyawarah.29 Soepomo

menegaskan bahwa MPR ialah penyelenggara negara yang tertinggi dan

penjelmaan seluruh rakyat seluruh daerah dan seluruh golongan mempunyai wakil

di situ.30 Konstruksi MPR mendasarkan pada konsep negara integralistik yang

dipengaruhi oleh pemikiran Hegel. Soepomo menegaskan bahwa MPR ialah

penyelenggara negara yang tertinggi dan penjelmaan seluruh rakyat seluruh daerah

dan seluruh golongan mempunyai wakil di situ.31 Sebagai konsekuensinya, menurut

Sri Soemantri bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat berada dalam satu tangan atau

badan. Oleh karena itu, MPR diberi tugas untuk melaksanakan kedaulatan rakyat

sepenuhnya, sehingga MPR adalah satu-satunya lembaga negara yang

melaksanakan kedaulatan rakyat pada tingkatan yang tertinggi.32

29 Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, penyunting, Risalah Sidang Badan Penyelidik

Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 201 30 Ibid., hlm 293-294 31 Ibid, hlm. 293-294. 32 Rosjidi Ranggawidjaja, Hubungan Tata Kerja Antara Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997), hlm 19

Page 54: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

43

MPR merupakan lembaga legislatif33, akan tetapi MPR tidak memiliki kesamaan

dengan lembaga legislatif di negara-negara lain. Secara umum sudah dipahami

bahwa MPR memiliki keunikan yang berbeda dengan lembaga dari negara-

negara lainnya di dunia. Hampir tidak ada lembaga pembanding di negara lain yang

memiliki kesamaan dengan MPR, meskipun pada saat sidang BPUPKI Muhammad

Yamin membandingkan unsur MPR yang terdiri dari wakil daerah dan wakil rakyat

sebagaimana halnya lembaga yang diatur dalam konstitusi Republik Rusia dan

Tiongkok.34 Dengan kata lain, meskipun ada lembaga di negara lain yang mirip

dengan MPR, kedudukan dan kewenangannya ternyata berbeda. Oleh karena itu,

MPR dianggap merupakan lembaga yang murni dan berasal dari Indonesia sendiri.

Konsekuensi konstitusional MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat dan

lembaga tertinggi membawa implikasi kewenangan MPR dalam stuktur

ketatanegaraan Indonesia. MPR diberi tugas dan wewenang untuk menetapkan

Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara35serta memilih

Presiden dan Wakil Presiden.36 Selain itu, MPR juga diberi wewenang

mengeluarkan produk hukum yang disebut putusan MPR berupa Ketetapan dan

Keputusan MPR.37

Berkaitan dengan kewenangan MPR tersebut, sebenarnya pada saat

pembentukan MPR tidak dimaksudkan sebagai badan pembuat peraturan (apalagi

33 Embrio untuk membentuk sebuah badan perwakilan sebagai wadah aspirasi rakyat

diinspirasi oleh pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 dalam Rapat BPUPKI. Sebelum

MPR dikukuhkan sebagai lembaga perwakilan rakyat, kekuasaan dipegang oleh Komite Nasional

Indonesia Pusat ( KNIP). Lihat Riri Nazriyah, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan

Prospek Dimasa Depan (Yogyakarta: UII PRES, 2007), hlm 50 34 Op.cit., Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, hlm 201 35 Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemn 36 Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen 37 Pasal 102 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1973 Tentang Peraturan Tata Tertib MPR

Page 55: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

44

sebagai legislatif), kecuali menetapkan dan mengubah UUD.38 Oleh karena itu,

menurut Bagir Manan, tidak tepat MPR menetapkan berbagai peraturan atau

regulasi di luar wewenang yang telah ditetapkan UUD. Namun demikian, dalam

perjalanannya justru MPR dianggap berwenang membuat produk hukum yang

bersifat mengatur yang dikenal dengan nama Ketetapan MPR.39 Kewenangan tersebut

mendapatkan legitimasi yuridis karena MPR diberi tugas untuk merumuskan

GBHN sehingga produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR disebut Ketetapan MPR

atau TAP MPR.40

Selama ini terdapat beberapa negara yang mempunyai suatu lembaga tertinggi

seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, misalnya Uni Republik Soviet Sosialis

(Soyuz Sovyetskikh Sotsialisticneskikh Respublik) atau disebut secara singkat Uni

Soviet yang memiliki Soviet Tertinggi Uni Republik-Republik Soviet Sosialis (The

Supreme Soviet of the USSR)41, dan Republik Rakyat China ( Chung Huan Jen Min

Kung Ho Kuo) yang memiliki Konggres Rakyat Nasional dari Republik Rakyat

Cina (The National People’s Conggres of the People’s Republic of China)42 sebagai

lembaga tertinggi negara. Walaupun kedua negara tersebut mempunyai suatu

lembaga tertinggi, namun keduanya tidak dapat disetarakan dengan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan kedua negara tersebut tidak mengenal adanya

38 Bagir Manan, 2012, Membedah UUD 1945, Universitas Brawijaya Press, Malang, hlm. 72. 39 Hernadi Affandi, “Prospek Kewenangan MPR Dalam Menetapkan Kembali Ketetapan

MPR Yang Bersifat Mengatur, ( Jurnal Positum, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Vol. 1, No. 1, Desember 2016), hlm 50

40 Sebenarnya nomenklatur Ketetapan MPR secara eksplisit tidak ada dalam teks UUD 1945.

Bentuk Ketetapan MPR merupakan hasil dari penafsiran terhadap Pasal 3 UUD sebelum

amandemen yang menyatakan,” “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menetapkan

Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara”. Berdasarkan kata

“menetapkan” dari bunyi Pasal 3 tersebut maka ketika MPR mengeluarkan produk hukum diberi

bentuk “ketetapan”. Bentuk Ketetapan MPR berkembang dalam praktik ketatanegaraan yang

menjadi konvensi ketatanegaraan. 41 S.Prajudi Atmosudirdjo, et.al, Konstitusi Soviet. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hlm 32

42 S.Prajudi Atmosudirdjo, et.al, Konstitusi RRC. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1987, hlm 21

Page 56: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

45

suatu peraturan yang mempunyai eksistensi seperti Ketetapan MPR. Pada masa

berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama (1945-1949), Ketetapan

MPR belum dikenal karena lembaga MPR sendiri memang belum terbentuk. Begitu

pula pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (1949-

1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (1950-1959), Ketetapan MPR

tidak dikenal karena dalam Konstitusi RIS 1949dan UUDS 1950 tidak dikenal

lembaga MPR.

Menurut teori ilmu hukum tata negara Indonesia, MPR43 merupakan satu-

satunya lembaga yang mempunyai supremasi, yang mengandung dua prinsip yaitu

sebagai badan yang berdaulat yang memegang kekuasaan berdasarkan hukum

untuk menetapkan segala sesuatu yang telah ditegaskan oleh UUD 1945, disebut

“legal power”; dan No rival authority, artinya tidak ada suatu otoritas tandingan

baik perseorangan maupun badan yang mempunyai kekuasaan untuk melanggar

atau mengeyampingkan sesuatu yang telah diputuskan oleh MPR.44 Ketetapan MPR

menjadi produk hukum yang menunjang kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi

negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

Ketetapan MPR mulai dikenal pada tahun 1960 pada masa berlakunya kembali

Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.45 Pada saat

pertama kali Ketetapan MPRS dibentuk, di Indonesia belum mengenal hierarki

peraturan perundang-undangan, sehingga tidak ada perdebatan para ahli mengenai

43 Pembentukan MPRS pertama kali dilakukan dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun

1959 tanggal 22 Juli 1959. Pembentukan MPRS ini merupakan perintah Dekrit Presiden tanggal 5

Juli 1959, yang salah satu isinya adalah “Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan- utusan dari

daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara,

akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. 44 Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta; Aksara Baru, 1978), hal. 16. 45 Loc.it., Widyawati, hlm 128

Page 57: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

46

penempatan Ketetapan MPR, apakah sejajar dengan Undang-Undang Dasar 1945

atau setingkat lebih rendah dari Undang-Undang Dasar 1945.

Kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan

semenjak dikeluarkannya TAP MPR No. XX/MPR/1966 tentang Memorandum

DPRGR mengenai Sumber Tata Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan

Peraturan Perundangan Republik Indonesia mengukuhkan kedudukan TAP MPR

dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam Lampiran II

TAP MPRS mencantumkan muatan dari Ketetapan MPR yaitu memuat garis-garis

besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan Undang-undang dan memuat

garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan

Presiden.46 Disamping itu dalam Lampiran II TAP MPR No. XX/MPR/1966,

dikatakan bahwa bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia menurut UUD

1945 yaitu UUD 1945, Tap MPR, Undang-undang atau Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang; Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan-

peraturan pelaksananya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-

lainnya. Terkait Ketetapan MPR, dalam Lampiran II TAP MPR No. XX/MPR/1966

secara tegas menyebutkan muatan yang menjadi substansi TAP MPR yaitu47 :

a) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif

dilaksanakan dengan Undang-Undang.

b) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif

dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.

46 Op.cit., Maria Farida Indrarti, hlm 70-73 47Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor

XX/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia.

Page 58: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

47

Konstruksi hukum TAP MPR No. XX/MPR/1966 Tentang Memorandum

DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan

Peraturan Perundang-Undangan selain menjadi dasar bagi kedudukan TAP MPR juga

menjadi landasan terbentuknya sistem hierarki peraturan-perundangan. Hierarki

mengindikasikan sebuah tingkatan norma seperti yang dikonsepsikan oleh Hans

Kelsen dan Hans Nawiasky sebagai teori hierarki norma hukum.

Teori hierarki norma hukum dikemukakan oleh Hans Kelsen48. Kelsen

berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis

dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku,

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya

norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu

norma dasar (Grundnorm). Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam

sistem norma tersebut, tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi

tetapi norma itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang

merupakan gantungan bagi norma yang berada dibawahnya.49 Teori ini dilanjutkan

oleh murid Hans Kelsen, Hans Nawiasky dengan beberapa pengembanga

konsep. Kemudian teori hierarki norma hukum dikenal sebagai

Stufenbau Theorie.

48 Hans Kelsen lahir pada tanggal 11 Oktober 1881. Dia adalah seorang ahli filsafat hukum

dan politik. Tahun 1920 Hans Kelsen merupakan orang yang ditunjuk untuk membuat konstitusi

Austria. Kelsen merupakan tokoh hukum yang paling berpengaruh dalam abad 20. Salah satu

teorinya yang terkenal adalah ‘Teori Hukum Murni’. Lihat Drishya Syam,” Review on Hans kelsen’s

Hierachy of Norms and Law Making Process”, International Journal of Legal Development and

Allies Issues, Volome 2 Issue 5, Symbiosis Law School, hlm 39 49 Hans Kelsen adalah seorang ahli hukum mazhab positivisme. Pendekatan hukum yang

digunakan oleh Hans Kelsen dikategorikan oleh para pakar hukum sebagai pendekatan positivistik. Beberapa penulis menyatakan bahwa teori hirarki norma dipengaruhi oleh teori Adolf Merkl, atau paling tidak Merkl telah menulis teori terlebih dahulu yang disebiut Juliae dengan Stairwell structure of legal order. Teori Merkl adalah tentang tahapan hukum, yaitu bahwa hukum adalah suatu sistem hirarkis, suatu sistem norma yang mengkondisikan dan dikondisikan dan

tindakan hukum. Lihat Jimly Assiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum

(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 109

Page 59: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

48

Teori Hierarki merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem hukum disusun

secara berjenjang dan bertingkat-tingkat seperti anak tangga. Hubungan antara norma

yang yang mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut disebut sebagai

hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial. Norma yang menentukan

perbuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang melakukan perbuatan

disebut norma inferior. Oleh sebab itu, perbuatan yang dilakukan oleh norma yang

lebih tinggi (superior) menjadi alasan validitas keseluruhan tata hukum yang

membentuk satu kesatuan.50

Penempatan hierarki peraturan dalam peraturan perundang-undangan

sebagaimana dianut di Indonesia sejak Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 hingga

Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 terbilang cukup unik, karena tidak ada suatu

sistem hukum positif di dunia ini yang secara khusus mengatur tata urutan

peraturan perundang-undangan. Kalaupun ada pengaturan hanya sebatas pada asas

yang menyebutkan misalnya : Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya” atau dalam UUD ada

ungkapan “the supreme law of the land”. Mengapa tidak diatur? Antara lain karena

tata urutan mempunyai konsekuensi. Bahkan setiap peraturan perundang-

undangan harus memiliki dasar hukum pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.

Peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila ternyata peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan, bahkan

batal demi hukum. Konsekuensi ini telah dianggap ada walaupun tidak diatur,

50 Op.cit.,Maria Farida Indrati, hlm 25

Page 60: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

49

kecuali ada ketentuan sebaliknya, misalnya dalam UUD (UUDS 1950 dan KRIS)

disebutkan “undang-undang tidak dapat diganggu gugat” bertalian dengan ajaran

“supremasi parlemen”. Disini UUD lebih dipandang sebagai “asas-asas umum”

daripada sebagai kaidah hukum.51

Peraturan perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo bisa diidentifikasi

dengan ciri-ciri :

1. bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian

merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.

2. bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-

peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya.

Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi

peristiwa-peristiwa tertentu saja.

3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya

sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan

klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan

kembali.

Pendapat Satjipto Rahardjo tersebut melahirkan konsekuensi, bahwa

pengertian dan definisi peraturan perundang-undangan dikunci pada aspek

ketentuan yang mengatur (regeling) dengan sifat berlaku umum, tidak kongkrit dan

ditunjukan untuk publik. Hal tersebut berbeda dengan sifat yang melekat dalam

suatu keputusan (becshikking) yang bersifat konkret, individual dan berlaku sekali

waktu (einmalig). Jika ditarik dalam konteks sistem perundang-undangan

Indonesia, maka suatu produk hukum dalam setiap tingkatan kelembagaan Negara

dapat dikatakan sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan, jika memenuhi

unsur peraturan (regeling) sebagaimana yang disebutkan oleh Satjipto Rahardjo

tersebut.

51 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004), hlm201-202

Page 61: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

50

Produk hukum TAP MPR merupakan produk legislasi yang dikeluarkan secara

konsisten oleh MPR melalui fungsi dan wewenang untuk menetapkan garis-garis

besar haluan negara. TAP MPR secara yuridis-formal termasuk salah satu jenis

peraturan-perundang-undangan dengan landasan TAP MPR No. XX/MPR/1966

Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik

Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Secara umum

ketetapan MPR dapat diartikan sebagai bentuk produk legislatif yang merupakan

keputusan musyawarah MPR, yang ditujukan keluar yaitu mengatur tentang garis-

garis besar dalam bidang legislatif dan eksekutif. Putusan-putusan MPR itu selama

ini dinamakan Ketetapan ataupun Keputusan. Ketetapan bersifat ke luar dan ke

dalam, sedangkan Keputusan bersifat internal.52

Muatan TAP MPR apabila dianalisa sesuai pendapat Satjipto Rahardjo, belum

sepenuhnya dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan. Disisi

lain nomenklatur ketetapan/keputusan menimbulkan ambiguitas dan kerancuan

filosofis antara teori dengan praktik. TAP MPR yang dikeluarkan semenjak pada

masal awal persidangan mengindikasikan inkonsistensi dalam mengatur muatan TAP

MPR apakah sebagai sebuah produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) atau

menetapkan (beschiking). Berdasarkan peninjauan yang dilakukan, tidak semua

Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR memiliki norma hukum yang sejenis untuk

keseluruhan pasalnya dan juga sifat yang dimiliki Ketetapan tersebut. Dalam

suatu Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR tidak jarang pasal - pasalnya

258

52 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.

Page 62: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

51

merupakan campuran dari norma hukum yang bersifat pengaturan (regeling) dan

norma hukum yang bersifat penetapan (beschikking).53

Untuk mengetahui kedudukan TAP MPR dibutuhkan Analisa terhadap muatan

TAP MPR. Istilah materi muatan pertama kali digunakan oleh Hamid S. Attamimi

sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “het onderwerp”.54 Secara doktrinal,

materi muatan adalah muatan yang sesuai dengan bentuk peraturan perundang-

undangan tertentu

Sementara itu, dalam hukum positif materi muatan peraturan perundang-

undangan diartikan sebagai materi yang dimuat dalam peraturan perundang-

undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-

undangan.55Berkaitan dengan produk hukum MPR, materi muatannya akan

berkaitan dengan jenis, fungsi, dan hierarki dari produk hukum MPR. Dengan

demikian, materi muatan Tap MPR juga akan berkaitan erat dengan bentuk Tap MPR

itu sendiri, sehingga akan berbeda dengan materi muatan serta hierarki peraturan

perundang-undangan lainnya.

Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia sejak tahun 1960-an, keberadaan

Tap MPR menunjukkan perkembangan dan perubahan materi muatan dari waktu ke

waktu. Hal itu ditunjukkan dengan judul-judul dan materi muatan dari produk hukum

MPR yang pernah ada sejak pertama kali dikeluarkan pada tahun 1960

sampai dengan terakhir kali dikeluarkan pada tahun 2002. Berkaitan dengan materi

53 Andi Fauziah Nurul Utami, “ Analisa Hukum Kedudukan TAP MPR RI Dalam Hirarki

Pembentukan Perundang-Undangan”, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Hassanudin, 2013,

hlm 18 54 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (

Bandung : Alumni, 1997), hlm 144.

Page 63: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

52

muatan Tap MPR, terdapat beberapa pakar yang mengelompokkan Tap MPR

berdasarkan materi muatannya, seperti Sri Soemantri dan Bagir Manan.

Menurut hasil penelitian Sri Soemantri, materi muatan Tap MPR sampai tahun

1985 dikelompokkan ke dalam 9 (sembilan) kelompok sebagai berikut:56

1. Tentang Dasar Negara.

2. Tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan.

3. Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.

4. Tentang Pemilihan Umum.

5. Tentang Lembaga-lembaga Negara (Umum).

6. Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat.

7. Tentang Presiden dan Wakil Presiden.

8. Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

9. Tentang Hal-hal Lain.

Ketetapan MPRS dan ketetapan MPR yang ada dapat ditemukan

beberapa jenis materi yang termuat di dalamnya sebagai berikut57:

1) Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

yang bersifat mengatur sekaligus memberikan tugas kepada

Presiden. Contoh : Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

56 Sri Soemantri, Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara,

(Bandung : Remaja Karya CV, 1980), hlm. 62-293 57 Ibid., hlm 21-23

Page 64: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

53

2) Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan

Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

yang bersifat penetapan (beschikking). Contoh: Ketetapan MPR RI

Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Megawati

Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia.

3) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat

mengatur kedalam (interneregelingen). Contoh: Ketetapan MPR

RI Nomor I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR.

4) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang

bersifat deklaratif Contoh: Ketetapan MPRS Nomor

VII/MPRS/1965 tentang “GESURI” “TAVIP The Fifth Freedom

is ous Weapon” dan “The Era of Confrontation” sebagai

Pedoman-pedoman Pelaksanaa Manifesto Politik Republik

Indonesia.

5) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang

bersifat rekomendasi. Contoh: Ketetapan MPR RI Nonor

VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan

Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

6) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat

perundang - undangan. Contoh: Ketetapan MPR RI Nomor

Page 65: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

54

VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan

Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia

Muatan dan jenis TAP MPR berdasarkan klasifikasi diatas menunjukan TAP

MPR semenjak konsep awal MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang mempunyai

produk hukum dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak bersandar pada

teori hukum pada umumnya (mainstrem) melainkan lebih pada wujud praktik

konvensi ketatanegaraan. Menurut Riri Nazriyah, kehadiran Ketetapan MPR

dapat didasarkan pada dua hal yaitu ketentuan hukum yang tersirat dalam UUD 1945

dan dasar bentuk hukum TAP MPR yaitu praktik ketatanegaraan atau kebiasaan

ketatanegaraan. Praktik atau kebiasaan ketatanegaraan merupakan salah satu sumber

hukum tata negara yang terdapat di setiap negara.58 Pada dasarnya sistem

ketatanegaraan Indonesia mengakui keberadaan praktik atau kebiasaan

ketatanegaraan seperti yang disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945, yang berbunyi:

“Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari

hukumnya dasar Negara itu, Undang-Undang Dasar ialah hukum

dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu

berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis”

Dalam teori hierarki norma hukum Hans Nawiasky membagi empat tingkatan

hukum berdasarkan jenis muatan, diantara lain59 :

58 Jimly Asshidddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum”, (Jakarta:

Konstitusi Press, 2012), hal. 100 59 A. Hamid A. Attamimi, 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm. 287

Page 66: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

55

1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);

2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);

3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan

4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en

autonome satzung)

Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi mencoba

mengaplikasikannya kedalam struktur hierarki perundang-undangan yang berlaku

di Indonesia. Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, maka tata urutan perundang-

undangan di Indonesi adalah sebagai berikut60 :

1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945).

2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan

Konvensi Ketatanegaraan.

3. Formell gesetz : Undang-Undang.

4. Verordnung en Autonome Satzung : Secara hierarkis mulai dari

Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Berdasarkan pendapat A. Hamid S. Attamimi, TAP MPR merupakan jenis

peraturan perundangan-undangan yang mengandung muatan aturan-aturan dasar

negara. Pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh kewenangan MPR sebelum

amandemen yang menjadi lembaga tertinggi negara. MPR selain memiliki fungsi

mengubah dan menetapkan UUD 1945 juga mengeluarkan Garis-Garis Besar

Haluan Negara (GBHN) sehingga produk hukum TAP MPR secara substasial bersifat

mengatur (regeling) meskipun pada faktanya beberapa TAP MPR bersifat

menetapkan (beschiking). Semua materi muatan dapat dituangkan dalam Ketetapan

60 Ibid., hlm 359

Page 67: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

56

MPR sesuai dengan keinginan MPR, tidak terbatas pada materi yang bersifat

pengaturan ataupun penetapan (beschikking). Kedudukannya sebagai lembaga

tertinggi negara menyebabkan MPR mempunyai kewenangan yang tidak terbatas.61

Padahal sebenarnya, berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh MPR dalam UUD

1945, materi muatan Ketetapan MPR hanyalah materi muatan untuk menetapkan

garis-garis besar daripada haluan negara, pengangkatan dan pemberhentian

Presiden dan Wakil Presiden. Untuk kewenangan menetapkan Undang-Undang Dasar

tidak dilakukan lagi karena UUD 1945 sudah ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18

Agustus 1945, dan oleh Presiden melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli

1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945.

Istilah Ketetapan yang digunakan sebagai nomenklatur produk hukum MPR

menimbulkan permasalahan secara konsep. Ketetapan atau keputusan yang berarti

beshickking sebenarnya sangat terkait dengan tindakan hukum

penguasa/pemerintah yang mempunyai sifat bersegi satu. Ketetapan mengandung

unsur individual dan konkret ( beshicking). Lawan dari sebuah produk hukum yang

konkret adalah mengatur (regeling). Bentuk keputusan atau ketetapan menjadi

pembeda dari bentuk aturan yang bersifat mengatur seperti undang-undang

(regeling). Disini secara essensial maupun substantif ketetapan tidak sejenis dengan

undang-undang atau produk hukum lain yang memiliki muatan mengatur (regeling)

dan umum (abstract). Menurut Sri Soemantri pada saat UUD 1945 belum diubah

tidak ada dasar hukum dalam UUD 1945 secara jelas dan tegas untuk Ketetapan

MPR(S) seperti halnya undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-

61 Penjelasan Pasal 3 UUD 1945,“Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang

kedaulatan negara maka kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali

dalam 5 tahun, Majelis memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu

dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari”

Page 68: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

57

undang, dan peraturan pemerintah.62 Bentuk TAP MPR(S) tumbuh dalam praktik

ketatanegaraan, sejak MPRS bersidang pertama kali tahun 1960.63

Menurut Bagir Manan, terdapat dua alasan kehadiran Tap MPR pada waktu

lalu, yaitu64:

1. Ketentuan-ketentuan yang tersurat dalam UUD 1945.

2. Praktik ketatanegaraan atau kebiasaan ketatanegaraan

Kelahiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut dimaksudkan untuk

menertibkan kerancuan peraturan perundang-undangan yang ada saat itu. Namun,

sebagaimana dikemukakan oleh Maria Farida Indriati S., dimasukkannya UUD

1945 dan Ketetapan MPR sebagai bagian dari bentuk peraturan perundang- undangan

adalah tidak tepat. Karena UUD 1945 terdiri dari dua kelompok norma hukum, yaitu

Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara yang tertuang dalam

Pembukaan UUD 1945, dan Staatsgrundgesetz atau Norma Dasar Negara/Aturan

Pokok Negara yang tertuang dalam Batang Tubuh UUD 1945.

Sedang Ketetapan MPR yang meskipun kedudukannya di bawah UUD 1945 juga

berisi garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan negara juga sebagai

Staatsgrundgesetz yang mengandung norma yang masih bersifat garis besar dan

merupakan normaa hukum tunggal yang belum dilekati oleh sanksi. Hal tersebut

berbeda dengan materi muatan perafuran perundang-undangan yang lazim disebut

dengan Formell Gesetz yang berisi peraturan-peraturan untuk mengatur warga

negara dan penduduk secara langsung yang di dalamnya dilekati oleh sanksi pidana

62 Op.cit., Sri Soemantri, Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata

Negara, hlm. 30. 63 Op.cit., Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara

Indonesia, hlm 100 64 Loc.it., Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, hlm 14

Page 69: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

58

dan sanksi pemaksa bagi pelanggamya. Dengan demikian UUD 1945 dan

Ketetapan MPR tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan, tetapi

masuk dalam kategori Statsgrundgesetz, sehingga menempatkan UUD 1945 dan

Ketetapan MPR ke dalam jenis peraturan-perundangundangan adalah terlalu

rendah. 65

Disamping itu Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tersebut juga

mengandung kelemahan-kelamahan lainnya, diantaranya adalah dimasukkannya

Keputusan Presiden yang bersifateinmahlig dan tidak dimasukkennya Peraturan

Daerah dalam tata urutan perundang-undangan. Karena itu pada Sidang Umum

MPR Tahun 1973 dietapkan bahwa meskipun tetap dinyatakan berlaku agar

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/I966 tersebut disempurnakan, bahkan penetapan

perlunya penyempurnaan tersebut ditetapkan kembali pada Sidang Umum MPR pada

Tahun 1978.

Muatan TAP MPR pada masa sebelum amandemen UUD 1945 dibagi menjadi

dua masa yaitu masa Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa pemerintahan Orde Lama,

terdapat dua periode keanggotaan MPRS yaitu MPRS Periode 1960-1965, dan MPRS

periode 1966-1972. Ketetapan MPRS yang dihasilkan oleh MPRS periode 1960-

1965,terdapat Ketetapan MPRS yang materi muatannya berupa pengaturan, dan ada

pula materi muatan yang berupa penetapan. Bahkan terdapat materi muatan

Ketetapan MPRS yang hanya merupakan penegasan kembali pidato Presiden. Hal ini

terjadi karena MPRS pembentukannya dengan Penetapan Presiden sehingga MPRS

periode ini bukan sebagai pemegang kedaulatan rakyat

sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Bahkan, Ketua MPRS (Chairul Saleh)

65 Op.cit., Maria Farida Indrati, hlm 72-75

Page 70: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

59

diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri yang kedudukannya berada di bawah

Presiden. Posisi ini jelas menempatkan lembaga MPRS berada di bawah Presiden

sehingga Presiden tidak bertanggungjawab kepada MPRS, yang berarti sistem

ketatanegaraan seperti ini tidak sesuai dengan maksud UUD 1945. Meskipun

demikian, hubungan antara MPRS dengan Presiden dapat dikatakan harmonis.66

Ketetapan MPR No. 1/MPR/1973 tentang Peraturan Tata Tertib MPR

mempertegas kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan. Pasal 102

menentukan tentang bentuk-bentuk Keputusan MPR: pertama, Ketetapan MPR

yaitu putusan MPR yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam

Majelis; kedua, Keputusan MPR yaitu putusan MPR yang mempunyai kekuatan

hukum mengikat ke dalam majelis.67

Materi muatan Ketetapan MPRS yang merupakan penegasan kembali pidato

Presiden :

a. Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik

Republik Indonesia Sebagai Garis-Garis Besar dari pada Haluan

Negara, merupakan penegasan dari pidato Presiden yang berjudul

“Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang terkenal sebagai Manifesto

Politik Republik Indonesia (merupakan amanat Presiden yang

disampaikan pada tanggal 17 Agustus 1959), pidato Presiden yang

berjudul “Jalannya Revolusi Kita” yang merupakan pedoman

pertama Manifesto Politik Republik Indonesia (merupakan amanat

66 Loc.it., Widyawati, hlm 130 67 Ketetapan MPR memiliki kekuatan hukum mengikat keluar dan kedalam berarti Ketetapan

MPR mengikat untuk seluruh bangsa Indonesia termasuk MPR beserta seluruh anggotanya.

Page 71: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

60

Presiden yang disampaikan pada tanggal 17 Agustus 1960), pidato

Presiden yang berjudul “The Build the world a new” (membangun

dunia kembali) yang disampikan di muka Sidang Umum PBB

pada tanggal 30 September 1960.

b. Ketetapan MPRS Nomor IV/ MPRS/1963 tentang

Pedomanpedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara

dan Haluan Pembangunan, merupakan penegasan pidato Presiden

yang berjudul “Resopim” (Revolusi-Sosialisme Indonesia

Pimpinan Nasional, pidato kenegaraan yang disampaikan oleh

Presiden pada tanggal 17 Agustus 1961) dan pidato Presiden yang

berjudul “Tahun Kemenangan” (Takem, pidato kenegaraan yang

disampaikan oleh Presiden pada taanggal 17 Agustus 1962),

“Deklarasi Ekonomi” (Dekon), diucapkan oleh Presiden pada

tanggal 28 Maret 1963) dan “Ambeg Parama Arta” (Berwatak pandai

mendahulukan urusan yang penting, amanat pengantar Laporan

Berkala Presiden/Mandataris MPRS yang diucapkan oleh Presiden

pada pembukaan Sidang kedua MPRS pada tanggal 15

Mei 1963 di Bandung).

c. Ketetapan MPRS Nomor V/ MPRS/1965 tentang Amanat Politik

Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS yang

berjudul “Berdikari” sebagai Penegasan Revolusi Indonesia dalam

bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan

Program Perjuangan Rakyat Indonesia, materi muatannya didasarkan

pada amanat politik Presiden yang berjudul “Berdiri di

Page 72: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

61

atas Kaki Sendiri” (Berdikari, merupakan amanat Presiden yang

disampaikan pada Pembukaan Sidang Umum MPRS Ketiga pada

tanggal 11 April 1965).

d. Ketetapan MPRS Nomor VI/ MPRS/1965 tentang Banting Stir

untuk Berdiri di atas Kaki Sendiri di bidang Ekonomi dan

Pembangunan, materi muatannya didasarkan pada amanat politik

Presiden yang berjudul “Berdikari”.

e. Ketetapan MPRS Nomor VII/ MPRS/1965 tentang “GESURI”,

“TAVIP”, “The Fifth Freedom is our Weapon”, dan “The Era of

Confrontation” sebagai Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto

Politik Republik Indonesia, materi muatannya berdasarkan pada

empat pidato Presiden yaitu: pertama, pidato berjudul “GESURI”

(Genta Revolusi Indonesia, pidato kenegaraan yang disampaikan

oleh Presiden pada tanggal 17 Agustus 1963). Kedua, pidato yang

berjudul “TAVIP” (Tahun Vivere Pericoloso, pidato kenegaraan

yang disampaikan oleh Presiden pada tanggal 17 Agustus 1964).

Ketiga, pidato yang berjudul “The Fifth Freedom is our Weapon”

(diucapkan oleh Presiden di depan musyawarah para menteri

negara-negara Asia Afrika pada tanggal 10 April 1964). Keempat,

pidato yang berjudul “The Era of Confrontation” (diucapkan oleh

Presiden di Konferensi Tingkat Tinggi nonblok kedua di Kairo

pada tanggal 6 Oktober 1964).

Materi muatan Ketetapan MPRS yang hanya merupakan penegasan kembali

pidato Presiden menempatkan MPR sekedar sebagai legislator dari haluan-haluan

Page 73: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

62

yang disampaikan oleh Presiden dalam pidatonya yang berupa manifesto politik,

haluan pembangunan, Pemimpin Besar Revolusi, dan sebagainya.68

Pada masa ini juga terdapat materi muatan Ketetapan MPRS yang

bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963

tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi

Presiden Seumur Hidup. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 UUD 1945

yang membatasi masa jabatan Presiden selama 5 (lima) tahun. Pengangkatan Bung

Karno sebagai Presiden seumur hidup didasarkan pada beberapa pertimbangan

berikut ini.

a. Presiden Soekarno telah diangkat menjadi Pemimpin Besar

Revolusi Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor

I/MPRS/1960.

b. Presiden Soekarno telah diangkat menjadi Mandataris Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan kekuasaan penuh

berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960.

c. Selama perjalanan Revolusi Nasional Indonesia, Bung Karno

sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia telah berhasil

memimpin Revolusi hingga mencapai kemenangankemenangan.

d. Pribadi Bung Karno merupakan perwujudan perpaduan

pimpinan Revolusi dan pimpinan negara serta merupakan

pemersatu dari seluruh kekuatan rakyat revolusioner.

Materi muatan Ketetapan MPRS produk MPRS periode 1966-1972 terdapat

materi muatan yang bersifat pengaturan dan materi muatan yang bersifat penetapan.

68 Ibid., hlm 131

Page 74: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

63

MPRS pada periode ini juga mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor

XX/MPRS/1966 untuk terwujudnya kepastian dan keserasian hukum. Untuk

pertama kalinya dibentuk sebuah produk hukum tentang jenis dan tata urutan

peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, materi muatan Ketetapan MPRS yang

dibentuk oleh MPRS periode 1966- 1972 ini lebih merupakan kekecewaan MPRS

terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno.69

Pada masa pemerintahan Orde Baru, terdapat enam periode keanggotaan MPR

yaitu MPR periode1972-1977, MPR periode 1977-1982, MPR periode 1982-1987,

MPR periode 1987-1992, MPR periode 1992-1997, dan MPR periode 1997-2002.

Hampir seluruh materi muatan Ketetapan MPR pada masa pemerintahan Orde Baru

sama, yaitu berisi Peraturan Tata Tertib MPR, penetapan GBHN, dan Pengangkatan

Presiden dan Wakil Presiden. Hanya pada MPR periode tertentu saja menghasilkan

Ketetapan MPR yang materi muatannya berbeda dari yang lain.70

Materi muatan Ketetapan MPR periode 1972-1977 ada yang bersifat

pengaturan dan ada yang bersifat penetapan. Berbeda dengan materi muatan

Ketetapan MPR sebelumnya, pada masa ini materi muatan Ketetapan MPR lebih pada

usaha untuk mencegah agar kekuatan politik orde lama tidak muncul lagi. Materi

muatan Ketetapan MPR periode 1977-1982 sama dengan materi muatan Ketetapan

MPR periode sebelumnya. Pada periode ini terdapat Ketetapan MPR

tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka prasetya

69 Ibid., hlm 132 70 Ibid.

Page 75: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

64

Pancakarsa). Ketetapan MPR ini dimaksudkan untuk mencegah bangkitnya bahaya

laten komunis yang berupaya untuk mengubah dasar negara Pancasila.71

Sesuai dengan makna dan maksud dibentuknya Tap MPR, maka sebagai

sumber hukum, Ketetapan MPR berisi antara lain: pertama, Ketetapan MPR yang

memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan undang-

undang; kedua, Ketetapan MPR yang memuat GBHN dalam bidang ekskutif

dilaksanakan dengan Keputusan Presiden. Hal ini berarti bahwa Ketetapan MPR di

satu pihak dapat dilaksanakan dengan Keputusan Presiden. Sedangkan dari segi

subtansi, Ketetapan MPR memiliki isi mengatur (regeling) dan merupakan keputusan

(beschikking).

Meskipun TAP MPR merupakan keputusan (beschiking), MPR secara resmi

menggunakan istilah Ketetapan untuk merujuk pada produk hukum yang bersifat

mengatur (regeling). Ketidakjelasan penggunaan istilah ketetapan MPR dan

keputusan MPR dapat mengaburkan tujuan serta pengertian masing-masing. Jika

arti ketetapan MPR itu berbeda dengan keputusan MPR, karena menurut Pasal 3

Undang-Undang Dasar 1945 Ketetapan MPR hanya untuk produk hukum yang materi

muatannya adalah Undang- Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan

negara, sebaiknya hal-hal yang berada di luar Pasal 3 Undang-Undang Dasar

1945 tidak digunakan istilah ketetapan MPR tetapi digunakan istilah Keputusan

MPR.72 Sampai pada amandemen UUD 1994, posisi TAP MPR dalam sistem

perundangan-undangan memegang peran yang signifikan. Kedudukan TAP MPR

71 Ibid., hlm 135 72 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem

Undang-Undang Dasar 1945, ( Jakarta : Gramedia, 1980), hlm 49

Page 76: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

65

semenjak tahun 1960 sampai 2003 merupakan produk hukum yang diakui sebagai

wujud praktik ketatanegaraan.

Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan MPR secara kontinuitas

mengeluarkan GBHN melalui produk hukum TAP MPR. Dokumen GBHN sendiri

pertama kali ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Perpres No. 1 Tahun 1960

tentang Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara. Dalam Pasal 1 Perpres tersebut

dinyatakan bahwa “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat terbentuk, maka

Manifesto Politik Republik Indonesia yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus

1959 oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang adalah garis-garis besar

daripada haluan negara”. Salah satu pertimbangan ditetapkannya GBHN ini adalah

perlunya arah tujuan dan pedoman tertentu dan jelas untuk “melancarkan kelanjutan

revolusi kita dalam keinsyafan demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin”.

Selain itu dalam Penpres itu juga dijelaskan bahwa “arah tujuan dan pedoman

yang jelas menyeluruh itu terdapat pada Amanat Presiden/Panglima Tertinggi

Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berkepala “Penemuan

Kembali Revolusi Kita”, dan yang berisi pengupasan dan penjelasan persoalan

persoalan beserta usaha usaha pokok dari pada revolusi kita yang menyeluruh”.

Perpres ini kemudian diperkuat lagi melalui Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal

19 November 1960 tentang “Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-

garis Besar daripada Haluan Negara”. Dalam ketetapan ini dijelaskan bahwa

Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama “Jalannya

Revolusi Kita” dan Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di muka Sidang

Umum PBB yang berjudul “To Build the World a New” (Membangun Dunia

Page 77: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

66

kembali) adalah pedoman-pedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik

Indonesia. Sebagai rincian dari ketetapan ini kemudian Dewan Perancang Nasional

(Depernas) membuat Rancangan Pembangunan Nasional Semesta Berencana

Delapan Tahun 1961 – 1969. Rancangan ini kemudian diterima dan ditetapkan oleh

MPRS sebagai Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana

Tahapan Pertama 1961-1969 melalui Tap MPRS No.II/MPRS/1960 tanggal 3

Desember 1960. Dokumen GBHN yang terakhir dihasilkan pada era demokrasi

terpimpin ditetapkan melalui Ketetapan MPRS No. IV/MPRS/1963 tentang Pedoman

Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. GBHN ini

juga mengacu pada Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1961 berjudul “Resopim”

(Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional) dan Pidato Presiden

tanggal 17 Agustus 1962 berjudul “Tahun Kemenangan” yang dijadikan sebagai

pedomanpedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia.73

Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru menjadi titik tolak (turning

point) pembangunan bangsa Indonesia. MPR selama masa Orde Baru secara

berkala mengeluarkan TAP MPR yang mengatur GBHN sebagai pedoman Presiden

melaksanakan program kerja. Rencana pembangunan pada era Orde Baru dikenal

sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun ( REPELITA). Proses perencanaan

pada era Repelita selalu didasarkan kepada GBHN yang dihasilkan oleh MPR yang

bersidang lima tahun sekali.

Selanjutnya pada kurun waktu 1969–1998 bangsa Indonesia berhasil

menyusun rencana pembangunan nasional secara sistematis melalui tahapan lima

73 Imam Subkhan,” GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan Indonesia”, Jurnal

Aspirasi, Volume 5 No.2, Desember, 2014, hlm 135

Page 78: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

67

tahunan. Pembangunan tersebut merupakan penjabaran dari Garis-garis Besar Haluan

Negara (GBHN) yang memberikan arah dan pedoman bagi pembangunan negara

untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejak

1 April 1969 hingga 21 Mei 1998, tidak kurang dari enam Tap MPR tentang

GBHN. Enam Tap MPR tersebut, yaitu: (i) Tap MPR No. IV/MPR/1973; (ii) Tap

MPR No. II/MPR/ 1978; (iii) Tap MPR No. IV/ MPR/1983; (iv) Tap MPR No.

II/MPR/1988; (v) Tap MPR No. II/MPR/1993; dan terakhir (vi) Tap MPR No.

II/MPR/1998. Untuk konteks pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota),

dokumen GBHN ini diterjemahkan ke dalam dokumen Pola Dasar Pembangunan

Daerah (Poldasbangda).74 Tahapan pembangunan yang disusun dalam masa itu

telah meletakkan dasar-dasar bagi suatu proses pembangunan berkelanjutan dan

berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti tercermin dalam berbagai

indikator ekonomi dan sosial. Pemerintah Orde Baru melakukan konsolidasi negara

melalui berbagai proyek pembangunan yang mereka jalankan seperti pembangunan

waduk dan irigasi, pembangunan infrastruktur jalan, penataan pranata sosial, hingga

pengaturan media. Semua itu dilakukan dalam rangka menciptakan stabilitas politik

sebagai prasarat bagi pembangunan ekonomi. Secara garis besar, TAP MPR dalam

periode sebelum amandemen UUD 1945 adalah produk hukum yang dijadikan

aturan dasar negara, patokan serta pedoman seluruh lembaga-lembaga kekuasaan

sampai pada perubahan amandemen UUD 1945 yang dimotivasi gerakan reformasi

dalam berbangsa dan bernegara.

74 Ibid., 136-137

Page 79: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

68

B. Kedudukan TAP MPR Sesudah Amandemen UUD 1945

Reformasi tahun 1998 telah membawa perubahan mendasar pada aspek

kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Reformasi yang menandai awal dari sebuah

era demokrasi di Indonesia mengharuskan adanya perubahan-perubahan khususnya

pada tatanan hukum karena di masa Orde Baru telah banyak terjadi praktik-praktik

pelanggaran hukum seperti kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Selain itu,

lembaga-lembaga negara juga mengalai defungsionalisasi yang berdampak pada

tidak berjalannya fungsi-fungsi kekuasaaan sebagaimana mestinya. Lembaga DPR

sebagai pelaksana fungsi legislatif di masa Orde Baru menjadi objek dari kekuasaan

eksekutif. Gema pembaharuan yang disuarakan oleh kalangan politikus, akademik

dan aktivis mencapai momentumnya saat UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis

diamandemen untuk menampung perubahan-perubahan tersebut. Reformasi hukum

yang terjadi sejak 1998 dilembagakan melalui, antara lain, pranata perubahan UUD

1945 (baca: UUD NRI 1945). Semangat UUD NRI 1945 adalah mendorong

terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis. Perubahan UUD 1945

sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali, yaitu: pertama, perubahan

pertama disahkan pada 19 Oktober 1999; kedua, perubahan kedua disahkan pada 18

Agustus 2000; ketiga, perubahan ketiga disahkan pada 10 November 2001;

keempat, perubahan keempat disahkan pada 10 Agustus 2002.

Amandemen UUD 1945 membawa perubahan pada struktur ketatanegaraan

Indonesia. Perubahan signifikan terjadi pada fungsi dan wewenang lembaga- lembaga

negara. Ada lembaga negara baru yang dibuat seperti Mahkamah Konstitusi dan

Komisi Yudisial. Selain penambahan lembaga baru, lembaga negara yang sudah ada

mengalami refungsionalisasi seperti MPR. Perubahan Undang-

Page 80: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

69

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tataran implementasi,

telah membawa perubahan baik penghapusan pembentukan lembaga-lembaga negara.

Dampak perubahan terhadap MPR sebagai lembaga negara terutama pada fungsi,

kedudukan, tugas dan wewenangnya. Kedudukan MPR setelah perubahan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak lagi menjadi sebuah

lembaga yang memegang dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat.75

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 sebelum perubahan menyatakan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan

dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Ketentuan tersebut

berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar” .76 Perubahan kewenangan MPR adalah wujud dari

aspirasi reformasi yang mengingikan struktur kekuasaan negara lebih demokratis

dengan melakukan penyeimbangan kekuasaan. Sebelum amandemen MPR

merupakan lembaga tertinggi rakyat. Implikasi MPR sebagai lembaga tertinggi

negara membuat kedudukan semua lembaga negara dibawah MPR termasuk

kekuasaan eksekutif yang hanya memegang mandat dari MPR.

Adanya perubahan implementasi prinsip kedaulatan rakyat dalam UUD 1945

mengakibatkan perubahan kedudukan dan wewenang MPR Sejak semua lembaga

negara mendapatkan kekuasaan dari UUD 1945, maka MPR tidak lagi memiliki

wewenang membentuk Ketetapan MPR. MPR lebih berfungsi sebagai lembaga

konstituante (berwenang mengubah dan menetapkan UUD) dan berfungsi semacam

75 Sekretariat Jendral Mpr RI, Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawratan Rakyat

Republik Indonesia (Sekretariat Jendral: Jakarta, 2001), Cetakan Ke-9, Hlm. 1. 76 Titik Triwulan, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Prestasi Pustaka: Jakarta,

2005), Hlm. 128.

Page 81: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

70

joint session dari dua lembaga parlemen, yaitu DPR dan DPD. Oleh karena itu

Ketentuan Pasal 3 UUD 1945 berubah menjadi “Majelis Permusyawaratan Rakyat

berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”.

Pasal 3 UUD 1945 mengatur wewenang MPR :

1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan

menetapkan Undang•Undang Dasar;

2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau

Wakil Presiden;

3) ajelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut

Undang•-Undang Dasar.

Wewenang dan tugas MPR diatur lebih spesifik dalam Pasal 4,5 dan 6 Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah :

MPR berwenang:

Pasal 4

a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan

umum;

c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah

Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden;

d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden

mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan

kewajibannya dalam masa jabatannya;

e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh

Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden

dalam masa jabatannya; dan

Page 82: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

71

f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat,

berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan

kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2

(dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan

oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon

presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama

dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir

masa jabatannya.

Pasal 5

MPR bertugas:

a. memasyarakatkan ketetapan MPR;

b. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;

c. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan

d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 6

(1). Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 MPR memiliki kemandirian

dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program

dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama

DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(2). Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR

dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya

kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.

(3). Anggaran MPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai

dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(4). MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran

MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Setelah perubahan UUD 1945, status MPR bukan lagi sebagai pelaksana

kedaulatan rakyat seperti sebelumnya, sehingga membawa konsekuensi MPR tidak

lagi sebagai lembaga negara tertinggi. Akibat perubahan UUD 1945, MPR menjadi

lembaga tinggi yang sejajar dengan lembaga lainnya yaitu Presiden, DPR, MA, BPK,

MK, dan DPD. Akibat adanya perubahan status dan kedudukan MPR tersebut

Page 83: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

72

membawa pula konsekuensi terhadap kewenangan MPR dalam pembentukan

produk hukum. Pembentukan Ketetapan MPRS/MPR tersebut menjadi tidak

diperlukan lagi oleh karena dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945

(perubahan) Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi mempunyai kewenangan

memilih Presiden/Wakil Presiden, sehingga Presiden tidak lagi bertugas

melaksanakan ketetapan-ketetapan MPRS/MPR yang merupakan mandat

Presiden.77

Adanya perubahan kewenangan MPR tersebut kemudian diikuti dengan

penetapan Pasal I Aturan Tambahan dalam UUD 1945 (perubahan) yang menyatakan

sebagai berikut :

“Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan

peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis

Permusyawaratn Rakyat tahun 2003”

Secara umum, implikasi dari perubahan UUD 1945 memberikan akibat

perubahan kedudukan dan kewenangan MPR. Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi

mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR,

antara lain :

1. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara sebagai

perwujudan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, yakni menjadi representasi

absolut dari kedaulatan rakyat Indonesia. MPR pasca perubahan

UUD 1945, kini memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga

tinggi Negara lainnya, yakni Lembaga Kepresidenan, Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

77 Maria Farida Indrarti, “Tinjaun Terhadap Materi Ketetapan MPR/MPRS Dalam

Staatsgrundgesetz ( Hasil Penelitian terhadap Ketetapan MPR/MPRS sejak Tahun 1960 s/d 2002,” (

Jurnal Hukum Internasional, Volume 2 No.4, Juli, 2005), hlm 776

Page 84: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

73

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi.

2. Sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga

tertinggi Negara, maka MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan

tetapi cendrung menjadi “joint sesion” antara anggota DPR dan

anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga konstituante

yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.

Secara implisit, roh atau eksistensi MPR menjadi ada atau diadakan

jika berkenaan dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana pendapat

Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ MPR itu sendiri

baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau

functie-nya sedang dilaksanakan78. Dalam pola Negara kesatuan

sebagaimana dianut oleh Indonesia, supremasi parlemen yang

memegang fungsi legislasi, hanya ada ditangan DPR dan DPD

bukan ditangan MPR lagi.

3. MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan

yang bersifat mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD

1945 hanya diberikan kewenangan dalam membuat ketetapan

yang bersifat keputusan (beshickking). Dihilangkannya

kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan

Negara, berarti aturan dasar Negara kita berlaku secara singular

atau tunggal yang bertumpu kepada UUD Negara Republik

78 Jimly Asshidiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta :

Konstitusi Pers (cetakan ke-3), 2006), hlm 87

Page 85: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

74

Indonesia Tahun 1945. MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan

aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI Tahun 1945

yang bersifat mengatur.

TAP MPR menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli hukum disebabkan

perubahan kewenangan MPR secara simultan membuat TAP MPR tidak lagi eksis

dalam sistem perundangan-undangan. Namun, banyak ahli hukum yang

mempertanyakan dan mempermasalahkan eksistensi TAP MPR setelah amandemen

UUD 1945 baik dari segi status, kedudukan, muatan maupun hubungannya dengan

peraturan perundang-undangan lainnya.

Peninjauan terhadap seluruh Ketetapan MPRS/MPR dilakukan dengan

melakukan pengkajian dan analisis tentang materi atau substansi yang dirumuskan

dalam setiap Ketetapan MPRS/MPR, yang dibentuk antara tahun 1960 sampai dengan

2002, dan kemudian memisahkannya dalam kelompok-kelompok yang mempunyai

kesamaan materi. Sedangkan peninjauan terhadap status hukum Ketetapan

MPRS/MPR dilakukan dengan melakukan pengkajian dan analisis terhadap sifat-sifat

norma yang terdapat dalam setiap Ketetapan MPRS/MPR tersebut dan kemudian

menentukannya dalam kelompok-kelompok yang mempunyai kesamaan dari segi

hukumnya.

Berdasarkan kajian yang dilakukan melalui berbagai teori kenegaraan dan teori

perundang-undangan maka ditemukan berbagai jenis ketetapan MPRS/MPR,

misalnya :

1. Ketetapan MPRS/MPR yang secara hukum masih berlaku tersebut

kadang-kadang secara nyata tetap menjadi suatu pedoman bagi

masyarakat, ataupun bagi pejabat dalam membentuk berbagai peraturan

Page 86: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

75

perundang-undangan dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan

negara, misalnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber

Hukum Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

2. Selain itu, terdapat juga Ketetapan MPRS/MPRyang masih diinginkan

oleh masyarakat luas untuk tetap dipertahankan eksistensinya, misalnya,

Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 tentang Pembubaran Partai

Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi terlarang di Seluruh

Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan

Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan

Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Hasil penelitian dan kajian yang dilakukan terhadap Ketetapan MPRS/MPR

sejak 1960 sampai dengan 2003 tersebut secara keseluruhan dapat digolongkan ke

dalam 6 (enam) golongan yaitu :

1. Ketetapan MPRS/MPR yang sudah tidak berlaku, karena jangka waktu

berlakunya atau karena sifat normanya yang individual, konkret dan

sekali selesai;

2. Ketetapan MPRS/MPR yang masih dapat tetap berlaku karena belum

terpenuhinya ketentuan di dalam pasal-pasalnya;

3. Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku sampai terbentuknya

pemerintahan hasil Pemilihan Umum 2004;

4. Ketetapan MPRS/MPR yang masih dapat tetap berlaku sampai

terbentuknya undang-undang yang diamanatkan;

Page 87: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

76

5. Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku sampai ditetapkannya

Peraturan Tatat Tertib yang baru oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

hasil Pemilihan Umum 2004; dan

6. Ketetapan MPRS/MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih

lanjut, karena bersifat final, telah dicabut, ataupun telah selesai

dilaksanakan.

Penjabaran dari keenam penggolongan TAP MPR diatas sebagai berikut79:

1. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, Pasal 1 TAP MPRS/TAP MPR

yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku yang terdiri 8 (delapan) TAP,

yaitu:

a. Ketetapan MPRS RI Nomor X/MPRS/1966 tentang

Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat

Pusat Dab Daerah Pada Posisi Dan Fungsi Yang Diatur

Dalam Undang - Undang Dasar 1945.

b. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/1973 tentang

Kedudukan Dan Hubungan Tata- Kerja Lembaga

Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga - Lembaga

Tinggi Negara.

c. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR.1973 tentang

Keadaan Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Republik

Indonesia Berhalangan Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI Tahun 1945

79 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI Tahun

1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretarian Jendral

MPR RI 2012, hlm 54

Page 88: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

77

dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia.

d. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentang

Kedudukan Dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi

Negara dengan/atau Antar Lembaga - Lembaga Tinggi

Negara.

e. Kertetapan MPR RI Nomor III/MPR/1988 tentang

Pemilihan Umum.

f. Ketetapan MPR RI Nomor XIII/MPR/1998 tentang

Pembatasan Masa Jabatan Presiden Dan Wakil Presiden

Republik Indonesia.

g. Ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998 tentang

Perubahan Dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis

Permusyawaran Rakyat Republik Indonesia Nomor

III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum.

h. Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak

Asasi Manusia Kedelapan TAP tersebut telak berakhir

masa berlakunya dan/atau telah diatur di dalam Undang -

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, Pasal 2 TAP MPRS/TAP MPR

yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan. Dalam hal ini ada 3(tiga)

TAP yaitu 80:

80 Ibid., hlm 55

Page 89: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

78

a. Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang

Pembubaran Partai Politik Komunis Indonesia, Pernyataan

Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara

Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan

Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau

Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme

/Marxixme-Leninisme.(tetap berlaku dengan ketentuan:

seluruh ketentuan dalam Ketetapan MPRS RI Nomor

XXV/MPRS 1966 ini, ke depan diberlakukan dengan

BERKEADILAN dan MENGHORMATI HUKUM,

PRINSIP DEMOKRASI dan HAK ASASI MANUSIA.

b. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik

Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.(tetap

berlaku dengan ketentuan: pemerintah berkewajiban

mendorong keberpihakan poltik ekonomi yang lebih

memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan

ekonomi, usaha kecil menegah, dan koperasi sebagai pilar

ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya

pembangunan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi

sesuai dengan hakikat Pasal 33 UUD NKRI Tahun 1945)

c. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 Tentang

Penentuan Pendapat di Timor Timur. (tetap berlaku

dengan ketentuan: ketetapan ini tetap berlaku sampai

terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6

Page 90: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

81 Ibid., hlm 59

79

Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999.( karena masih

adanya masalah-masalah kewarganegaraan, pengungsian,

pengembalian asset Negara, dan hak perdata

perseorangan)

3. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, Pasal 3 TAP MPRS/TAP MPR

yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan

hasil pemilu 2004. Dalam hal ini ada 8 (delapan) TAP, yaitu81:

a. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis

Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004

b. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang

Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan

Otonomi Daerah.

c. Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2000 Tentang

Laporan Tahunan Lembaga - Lembaga Tinggi Negara

Pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia Tahun 2000.

d. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2001 tentang

Penetapan Wakil Pesiden Republic Indonesia Megawati

Soekarno Putri Sebagai Presiden Republik Indonesia.

e. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2001 tentang

Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia.

f. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan

Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Page 91: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

82 Ibid., hlm 60

80

Republik Indonesia Oleh Lembaga Tinggi Negara Pada

Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Tahun 2001.

g. Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/2002 tentang

Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemilihan

Ekonomi Nasional

h. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2002 tentang

Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR,

BPK, MA Pada Sidang Tahunan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Kedelapan TAP tersebut tidak berlaku kerena pemerintahan hasil pemilu 2004

telah terbentuk.

4. TAP MPRS/TAP MPR, Pasal 4 yang dinyatakan tetap berlau sampai

dangan terbentuknya undang - undang. Dalam hal ini ada 11(sebelas)

TAP, yaitu82:

a. TAP MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang

pengangkatan pahlawan ampera.

b. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan

Negara yang bersih dan bebas korupsi, Kolusi dan

nepotisme.

c. TAP MPR Nomr XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan

otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan

sumber daya nasional yang berkeadilan; serta

Page 92: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

81

perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka

Negara kesatuan republik Indonesia.

d. TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan

tata urutan peraturan perundang – undangan.

e. TAP MPR Nomor/MPR/2000 tentang pemantapan

persatuan dan kesatuan nasional.

f. TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan

tentara nasional Indonesia dan kepolisian Negara Republik

Indonesia.

g. TAP MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang peran tentara

nasional Indonesia dan peran kepolisian Negara Republik

Indonesia.

h. TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan

berbangsa.

i. TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang visi Indonesia

masa depan.

j. Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang

rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan

KKN.

k. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000 tentang pembaruan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

5. Pasal 5, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan

ditetapkanya peraturan tata tertib yang baru oleh MPR hasil pemilu 2004.

Page 93: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

83 Ibid., hlm 72

82

Kelima TAP MPR yang terdapat di dalam Pasal 5 tentang Peraturan Tata

Tertib MPR, yaitu83:

1) TAP MPR No.II/MPR/1999

2) TAP MPR No.I/MPR/2000

3) TAP MPR No.II/MPR/2000

4) TAP MPR No.V/MPR/2001

5) TAP MPR No.V/MPR/2002

TAP ini dinyatakan sudah tidak berlaku lagi karena telah terbentuknya

peraturan tata tertib MPR hasil Pemilu 2004.

6. Pasal 6, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu lagi

dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final(Einmalig),

telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Ketetapan di dalam Pasal

ini berjumlah 104 ketetapan.

Setelah selama 34 (tiga puluh empat) tahun, maka pada sidang MPR tahun 2000

ditetapkanlah Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan

Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (TAP MPR No. III/MPR/2000), yang

menggantikan TAP MPRS/TAP MPRS No. XX/MPRS /1966. Dimana dalam TAP

MPR tersebut masalah hierarki peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai

berikut:

Pasal 2

Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam

pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan peraturan perundang-

undangan Republik Indonesia adalah :

Page 94: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

83

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia84;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti

5. Undang-Undang (PERPU);

6. Peraturan Pemerintah;

7. Keputusan Presiden;

8. Peraturan Daerah

Kedudukan Ketetapan MPR tidak mengalami perubahan, sama sebagaimana yang

diatur di dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966. Meskipun proses

amandemen UUD 1945 sudah dilakukan dan MPR hasil pemilu pasca reformasi

sudah terbentuk, akan tetapi pada saat Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000

dibentuk, MPR masih berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan

pelaksana penuh kedaulatan rakyat, sehingga kewenangan dan fungsi MPR pun

belum berubah. Justru kewenangan MPR bertambah, yaitu melakukan pengujian

terhadap undang-undang jika bertentangan dengan UUD 1945 dan Ketetapan MPR,

sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 yang

menyatakan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat.” (Pada waktu Ketetapan MPR ini dibentuk, lembaga

Mahkamah Konstitusi belum dibentuk. Berdasarkan ketentuan Pasal III Aturan

Peralihan dalam amandemen keempat UUD 1945, Mahkamah Konstitusi dibentuk

84 Huruf tebal dari penulis.

Page 95: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

84

selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk, segala

kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung).85

Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata

Urutan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya tetap mengukuhkan kedudukan

TAP MPR dibawah UUD 1945 dan diatas Undang-Undang. Pada dasarnya,

kedudukan TAP MPR setelah amandemen menuai banyak kritik dari para ahli hukum.

Kritik tersebut didasari oleh perubahan kewenangan MPR yang sudah tidak lagi

memiliki wewenang dalam menetapkan GHBN seperti di masa sebelumnya.

Lahirnya Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan adalah wujud dari perkembang sistem perundangan-undangan

Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diatur hierarki peraturan perundang-

undangan yang sebelumnya diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor

XX/MPRS/1966, Ketetapan MPR No. 1/MPR/1973 dan Ketetapan MPR Nomor

III/ MPR/2000. Pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut yang menyatakan, Jenis dan Hierarki

Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang atau PERPU;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah

85 Widayati, Absori & Aidul Fitriciaida Azhari,”Rekonstruksi Kedudukan TAP MPR Dalam

Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Jurnal Media Hukum No.2 Vol.21, Desember, 2014), hlm 267

Page 96: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

85

Dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa TAP MPR/S tidak dimasukkan lagi

kedalam hierarki sebagai jenis peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat

dipahami mengingat MPR tidak berwenang lagi membentuk TAP MPR yang

bersifat mengatur setelah hapusnya kewenangan menetapkan GBHN. Namun

menurut TAP MPR No. I/MPR/2003 masih terdapat tiga ketetapan yang masih

berlaku dengan ketentuan86 dan sebelas ketetapan yang masih berlaku sampai

terbentuknya undang-undang87.

Penghapusan kedudukan TAP MPR dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak serta merta

menghilangkan eksistensi TAP MPR. Mengutip pendapat Mahfud MD, bahwa TAP

MPR tetap saja boleh ada dan dikeluarkan oleh MPR, tetapi terbatas hanya untuk

penetapan yang bersifat beschikking (konkret dan individual).88 Seperti TAP

tentang pengangkatan Presiden, TAP tentang pemberhentian Presiden dan

sebagainya. Bahkan TAP MPR tetap dijadikan sebagai sumber hukum yang bersifat

materiil. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahfud MD, bahwa sebagai sumber

hukum, TAP MPR dapat dijadikan sebagai sumber hukum materiil (bahan pembuatan

hukum), namun bukan sumber hukum formal (peraturan perundang- undangan).

Sebagai sumber hukum materiil, TAP MPR bisa menjadi bahan hokum seperti halnya

nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, keadaan

sosial dan ekonomi masyarakat, warisan sejarah dan budaya

bangsa dan lain-lain.

86 Lihat TAP MPR No. I/MPR/2003 pasal 2 87 Lihat TAP MPR No. I/MPR/2003 pasal 4 88 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta

: Rajawali Pers, 2010), hlm 34

Page 97: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

86

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, merupakan produk hukum setelah

perubahan UUD 1945 sekaligus sebagai salah satu aturan hukum operasional dari

UUD NRI 1945. Hal yang perlu dicermati bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tidak dikenal lagi adanya Tap MPR dalam hierarki peraturan

perundang-undangan. Tetapi ironisnya, masih ada beberapa Tap MPR yang tetap

diberlakukan meskipun kedudukan dan status hukumnya telah dianulir menurut

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Misalnya, Tap MPR RI No. VI/MPR/2000

tentang Pemisahan TNI dan POLRI. Walaupun ketentuan ini telah diakomodasi

dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI,

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-

Undang Nomor 34 tentang Tentara Nasional Indonesia, tetapi Tap MPR RI No.

VI/MPR/2000 tersebut dinyatakan tetap berlaku karena peraturan kerjasama dan

saling membantu antara TNI dan POLRI masih perlu diatur lebih lanjut oleh Undang-

Undang. Berdasarkan kenyataan demikian terjadi permasalahan hukum terhadap

keberadaan Tap MPR tersebut. Jenis dan hierarki peraturan perundang- undangan

menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 adalah berikut ini.

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Page 98: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

87

Tidak dimasukan kembali TAP MPR kedalam hierarki peraturan perundang-

undangan menimbulkan pertanyaan dari para ahli hukum. Tidak jelas pertimbangan

dari pembentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak memasukan Ketetapan

MPR ke dalam jenis dan hiraki peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, hal

tersebut dapat dipahami karena setelah Undang-Undang Dasar 1945 dimandemen,

MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk membuat ketetapan yang isinya

bersifat mengatur. Kewenangan MPR sebagaimana diatur dalam Pasal

3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu mengubah

dan menetapkan undang-undang dasar, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden,

memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-

undang dasar, adalah bersifat beschiking.89 Dapat dipahami apabila kemudian

pembentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengeluarkan Ketetapan MPR

dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Ketetapan MPR masuk ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-

undangan. Ketetapan MPR yang dimaksud di sini adalah Ketetapan MPRS dan

Ketetapan MPR yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan

Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Tap MPR kembali menjadi sumber

hukum formal dan material. Tap MPR harus kembali menjadi rujukan atau salah

satu rujukan selain UUD 1945 bukan hanya dalam pembentukan perundang-

undangan di negeri ini, melainkan juga dalam pembentukan kebijakan-kebijakan

publik lainnya. DPR dan Pemerintah (Presiden) mutlak harus memperhatikan Tap-

Tap MPR yang masih berlaku, bahkan merujuk kepadanya dalam pembentukan

undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.

89 Widayati, Rekonstruksi Kedudukan Ketetapan MPR Dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia, ( Yogyakarta : Genta, 2015), hlm 3

Page 99: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

88

Kembalinya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundangan-undangan

menimbulkan permasalahan hukum tersendiri. Kedudukan Tap MPR yang kembali

berada dibawah UUD dan diatas Undang-Undang membawa implikasi seandainya

terdapat subtansi TAP MPR yang tidak sesuai dengan konstitusi maka akan

dipertanyakan lembaga mana yang berhak melakukan pengujian kembali (judicial

review). Suatu konsekuensi logis, mengingat mekanisme judicial review dan

constitutional review merupakan upaya konstitusional yang disediakan oleh UUD

1945 apabila mekanisme legislative review tidak atau belum diadakan, sedangkan

ketentuan yang terkandung di dalam suatu produk peraturan telah menimbulkan

kerugian konstitusonal bagi warga negara atau subyek hukum yang dilindungi hak

dan kewenangan konstitusionalnya oleh UUD 1945. Menurut Jimmly

Asshiddiqie90, Jika TAP MPR yang ada pada saat ini diperlakukan diatas undang-

undang, maka tidak ada lembaga yang berwenang mengubahnya. Sebab, DPR dan

pemerintah hanya berwenang mengubah UU dan MPR hanya mengubah UUD.

90 Jimmly Asshidiqie, “Keliru TAP MPR Masuk Peraturan Perundang-undangan”,

https://m.detik.com/news/beria/1687583, Di akses 17 Januari 2011.

Page 100: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

89

TABEL 1 : PENGATURAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN

Ketetapan MPRS

No.XX/MPRS/1996

Ketetapan MPR

No.III/MPR/2000

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

2. Ketetapan MPR RI

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Keputusan Presiden

6. Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya

seperti :

- Peraturan Menteri

- Instruksi Menteri

dan lain-lainnya

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Ketetapan MPR RI

3. Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perppu)

5. Peraturan Pemerintah

6. Keputusan Presiden

7. Peraturan Daerah

Undang-Undang RI

No.10 Tahun 2004

Undang-Undang RI

No.12 Tahun 2011

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang

3. Peraturan Pemerintah

4. Peraturan Presiden

5. Peraturan Daerah

1. Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia 1945

2. Ketetapan MPR RI

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi

7. Peraturan Daerah kabupaten/Kota

Page 101: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

90

Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

menyatakan,” Yang dimaksud “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku

sebagaimana dimaksud dalan Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : I/MPR/2003 tentang

Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dengan

demikian kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam

Pasal 7 membawa implikasi pada eksistensi TAP MPR yang berlaku sebatas pada

TAP MPR yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR RI Nomor

I/MPR/2003. Hal tersebut membawa akibat “mengunci” eksistensi TAP MPR

disebabkan tidak adanya mekanisme pengujian undang-undang (judicial review)

terhadap TAP MPR dan MPR sendiri setelah amandemen UUD 1945 tidak lagi

mengeluarkan produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) sehingga

menimbulkan pemberlakukan abadi terhadap TAP MPR tersebut.91

Semenjak perubahan kewenangan yang disebabkan amandemen UDU 1945,

MPR tidak dapat lagi mengeluarkan ketetapanketetapan yang bersifat mengatur

(regeling). MPR tidak boleh lagi membuat ketetapan yang bersifat mengatur dalam

bentuk peraturan perundang-undangan kecuali pengaturan yang bersifat internal

seperti tentang Tata Tertib. MPR memang masih dapat mengeluarkan ketetapan,

tetapi tidak boleh berbentuk peraturan perundang-undangan (regeling) melainkan

berbentuk penetapan (beschikking) atau, kalau mengatur, sifatnya internal. Materi

91 Wawancara dengan Widayati, tanggal 20 Januari 2018 di kediaman Jalan Pucang Jajar

Timur No.40, Pucang Gading, Semarang.

Page 102: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

91

muatan Ketetapan MPR pada era reformasi ada yang bersifat pengaturan, dan ada

pula materi muatan yang berupa penetapan, akan tetapi sebagian besar isinya

dimaksudkan untuk mengadakan pembatasan-pembatasan kekuasaan eksekutif

Presiden dan pemberdayaan lembaga-lembaga negara yang lain.92 Menurut

Widayati, MPR seharusnya menjelma sebagai lembaga yang paling

merepresentasikan kedaulatan rakyat. Setelah amandemen UUD 1945 mekanisme

check and balances belum baik seperti ketidakjelasan pertanggungjawaban

eksekutif terhadap rakyat. Jika MPR sebelum amandemen UDU 1945 berhak

meminta pertanggungjawaban maka sekarang MPR tidak lagi memiliki

kewenangan tersebut karena semua lembaga negara sederajat dan sejajar. Selain itu,

jika sebelumnya eksekutif dalam menjalankan pemerintahannya harus berpedoman

pada GHN, sekarang eksekutif cenderung mengalami disorientasi kebijakan.

Kebijakan pada masa reformasi mengalami diskontinuitas karena tidak adanya

pedoman seperti GBHN. Disisi lain, tidak adanya ‘batu uji’ terhadap kinerja

menimbulkan pertanggungjawaban eksekutif terhadap rakyat menjadi kabur dan tidak

jelas. Oleh sebab itu, wacana mengembalikan kewenangan MPR untuk merumuskan

GBHN muncul dalam diskursus setelah MPR mengeluarkan Rekomendasi Nomor

2 Keputusan MPR RI Nomor 4/MPR/2014 tentang

Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan 2009-2014.93 Dihapuskannya kewenangan

92 Loc.it., Widayati, Perbandingan Materi Muatan Ketetapan MPR Pada Masa Pemerintahan

Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi, hlm 135 93 Tujuh rekomendsi MPR masa jabatan 2009-2014 kepada MPR periode 2014-2019, yaitu (1)

melaksanakan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD 1945 dengan tetap berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai segala sumber hukum negara; (2) melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara; (3)melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila UUD 1945, NKRI, dan bhinneka tunggal ika secara melembaga melalui semua tingkatan pendidikan nasional dalam rangka pembangunan karakter bangsa; (4) membentuk lembaga kajian yang secara fungsional

bertugas mengkaji sistem ketatanegaraan, UUD 1945, NKRI, dan bhinneka tunggal ika serta

implementasinya; (5) mewujudkan akuntabilitas publik lembaga negara dalam melaksanakan tugas

Page 103: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

92

MPR untuk membuat GBHN sendiri sejalan dengan perubahan sistem hubungan

antara MPR dengan Presiden, dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat (direct

popular vote), yang meniadakan hubungan tanggungjawab Presiden kepada MPR,

sehingga GBHN sebagai instrumen pengukur pertanggungjawaban Presiden tidak

diperlukan lagi.

Penempatan Ketetapan MPR ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-

undangan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

ternyata terabaikan, karena meskipun Ketetapan MPR telah dimasukkan lagi ke

dalam jenis dan hierarki peraturan perundangundangan dan ditempatkan lebih

tinggi dari pada Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang,

tetapi faktanya Ketetapan MPR belum dijadikan sebagai dasar hukum dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR, seperti

dalam pembentukan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang. Padahal salah satu makna hierarki peraturan perundang-undangan adalah

bahwa peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi dijadikan

landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

atau dibawahnya, sehingga isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Sistem perundang-undangan Indonesia yang mengatur hierarki peraturan

perundang-undangan adalah kasus unik dan khas yang tidak memiliki kemiripan di

negara-negara lain. Kalau kita bandingkan dengan negara lain, tidak ada negara

konstitusional yang diamanatkan UUD 1945 melalui laporan kinerja pelaksanaan tugas dalam

Sidang Tahunan MPR; (6) melakukan penataan sistem peraturan perundang-undangan dengan

berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara; (7) memperkuat status hukum

Ketetapan MPRS dan MPR dalam sistem hukum Indonesia.

Page 104: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

93

yang merumuskan pola hierarki peraturan perundang-undangan seperti Tap MPRS

No. XX/MPRS/1966, Tap No. III/MPR/2000 dan Pasal 7 ayat (1) UU No. 10

Tahun 2004, maupun UU No. 12 Tahun 2011. Dari studi perbandingan konstitusi

yang telah dilakukan, tidak ada suatu negara pun dari negara Uni Eropa yang

merumuskan bentuk aturan hukum seperti tersebut di atas. Latar belakang pola

perumusan yang demikian menurut Philipus M. Hadjon, ialah historis konstitusi

negara-negara tersebut dengan pola bottom up dan bukan pola top down. Dengan

demikian konstitusi hanya mengkonstatir apa yang dikenal dalam praktek

ketatanegaraan dan di sisi lain memungkinkan perkembangan bentuk baru aturan

hukum secara konstitusional. 94 Prospek TAP MPR sendiri dibutuhkan dewasa ini

mengingat dalam sejarah peraturan perundang-undangan Indonesia TAP MPR

menjadi aturan dasar yang memperjelas maksud UUD 1945. Menguatnya wacana

memperkuat kewenangan MPR melalui amandemen merupakan wacana yang

timbul dari fakta bahwa melemahnya eksistensi TAP MPR dan MPR tidak

mengindikasikan reformasi hukum yang signifikan melainkan memunculkan

permasalahan hukum baru sehingga kedudukan TAP MPR setelah amandemen

UUD 1945 semakin kompleks dan problematis.

Selain permasalahan hirarki peraturan-perundangan, pasca amandemen muncul

desakan agar kedudukan TAP MPR kembali direvitalisasi agar MPR kembali

merumuskan GBHN sebagai pedoman dasar Presiden dalam penyelenggaran negara

khususnya soal pembangunan nasional. Rekomendasi Nomor 2 Keputusan MPR RI

Nomor 4/MPR/2014 tentang Rekomendasi MPR-RI Masa Jabatan 2009-2014 salah

satunya ”Melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model

94 Philipus M. Hadjon, “Analisis Terhadap UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang- Undangan”, Makalah, disampaikan pada Seminar, hlm. 5.

Page 105: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

94

GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara”.95 Kondisi demikian diakibatkan

model kepemimpinan negara Indonesia yang saat ini menggunakan sistem

presidensil, dimana Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh

rakyat dalam pemilihan umum, membuat Presiden dan Wakil Presiden terpilih

sibuk menerjemahkan visi-misi dan janji politik yang dibuatnya ketika pemilihan

umum, tanpa kemudian memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan. Menurut

Mega, gagasan pemilihan langsung ditelurkan untuk mendekatkan rakyat kepada

calon pemimpinnya itu adalah suatu hal yang positif dalam demokrasi. Namun, ketika

terjadi pergantian pemimpin, berganti pula kebijakan yang dilahirkan di dalam

pembangunan. Inilah kelemahan yang mengancam pembangunan nasional yang

berkelanjutan. Atas kritik tersebut, disarankanlah wacana menghidupkan kembali

Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang dulu pernah ada ketika Orde Lama,

ataupun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah ada ketika Orde

Baru.

Alur penyusunan rencana pembangunan pada era reformasi ditetapkan sedemikian

rupa guna menghasilkan susunan perencanaan yang bersifat sistematis,

berkesinambungan, dan aplikatif sesuai dengan aspirasi dengan partisipasi berbagai

elemen bangsa didalamnya. Sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2004, perencanaan pembangunan terdiri dari empat tahapan yakni penyusunan

rencana; penetapan rencana; pengendalian pelaksanaan rencana; dan

evaluasi pelaksanaan rencana. Keempat tahapan diselenggarakan secara

95 Wacana agar GBHN diaktifkan kembali menguat setelah Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua

Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P,pada 10-12 Januari 2016 di Jakarta menyampaikan pidato yang menyindir model perencanaan pembangunan saat ini yang diibaratkannya seperti poco-poco. Lihat http://nasional.kompas.com/read/2016/ 01/10/16053561/Kritik.Demokrasi.Indonesia.Megawati.Sebut.seperti.Pocopoco,diakses 23 Januari

2018.

Page 106: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

95

berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan

yang utuh. Materi yang dimuat di dalam kedua landasan pola pembangunan

tersebut tidak jauh berbeda yakni mengenai asas-asas pembangunan, tujuan

pembangunan nasional. Asas-asas pembangunan yang dimuat dalam SPPN hampir

sama dengan GBHN hanya menggunakan redaksional yang lebih sederhana dan

efisien. Untuk tujuan dan ruang lingkup pembangunan nasional yang ditentukan, pada

hakikatnya mengandung kesamaan unsur, karena berpedoman pada tujuan negara

dalam UUD 1945.

Perbedaan yang krusial dan kini menjadi dilema di masyarakat mengenai

landasan hukum perencanaan pembangunan nasional adalah formulasi kebijakan

melalui produk hukum yang ada. Sebelum amandeman TAP MPR/S dianggap lebih

tinggi dari undang-undang karena dibuat oleh lembaga tertinggi negara yang

menetapkan undang-undang. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa TAP MPR

merupakan bentuk dari penafsiran terhadap konstitusi. Pada masa setelah amandemen

UUD 1945 karena MPR tidak lagi membuat GBHN untuk dilaksanakan

oleh Presiden, maka perubahan kewenangan MPR yang berlaku keluar membawa

akibat perubahan pada kedudukan dan status hukum Ketetapan MPR. Perubahan tata

urutan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, TAP

MPR bukan lagi termasuk peraturan perundang- undangan, karena TAP MPR yang

masih diberlakukan adalah ketetapan yang

bersifat penetapan dan tidak mengenai ketatanegaraan.96

96 Yessi Anggraini, Amir Yasir & Zulkarnain Ridlwan,” Perbandingan Perencanaan

Pembangunan Sebelum dan Sesudan Amandemen UUD 1945”, Jurnal Fiat Justicia, Volume 9

No. 1, Januari-Maret 2015, hlm 80

Page 107: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

96

Pola dasar pembangunan pada masa sebelum amandemen UUD 1945 dimuat

dalam dokumen GBHN diformulasikan dalam TAP MPR yang tetapkan setiap lima

tahun sekali mengingat dinamik masyarakat yang diperhatikan oleh majelis. GBHN

menentukan arah kebijakan pembangunan yang hendak dilaksanakan Presiden.

TAP MPR menjadi formulasi GBHN pada masa itu adalah sebagai keputusan

negara yang merupakan peraturan perundang-undangan di bidang ketatanegaraan dan

memunyai kekuatan hukum mengikat keluar dan ke dalam MPR. TAP MPR tentang

GBHN bersifat abstrak dan mengikat secara umum, dan dari segi keberlakuannya

bersifat tidak sekali jalan (einmalig) namun tetap berlaku dengan ketentuan.97

Sedangkan aturan mengenai pola pembangunan nasional setelah amandemen

UUD 1945 diformulasikan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang

Sistem Perencanaan Pembangunan (SPPN) yang dibuat oleh lembaga legislatif

berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Undang-undang SPPN tersebut dirancang oleh

DPR sebagai badan dengan prinsip keterwakilan rakyat dan disahkan bersama dengan

Presiden.

Pola pembangunan jangka panjang yang diatur melalui TAP MPR, pada dasarnya

adalah norma yang bersifat umum. Akan tetapi kebijakan pengaturan tersebut

dikeluarkan melalui ketetapan yang sacara hakikat adalah sama dengan keputusan.

Ketetapan hanya merupakan tindakan hukum yang memunyai akibat menciptakan,

mengubah, membatalkan suatu hubungan hukum. Produk hukum yang bersifat

penetapan dan digunakan penyebutan “Ketetapan” tidak dapat

mengandung materi normatif yang bersifat pengaturan.

97 Ibid., hlm 81

Page 108: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

97

Seharusnya, pengaturan mengenai haluan pembangunan jangka panjang

ditetapkan melalui suatu bentuk hukum sendiri karena merupakan perencanaan

yang menggambarkan visi, misi, tujuan, sasaran, program pembangunan untuk

kurun waktu tertentu dan tetap berlaku dengan ketentuan. Arahan pembangunan

jangka panjang adalah suatu bentuk peraturan pelaksana dari apa yang telah atur

dalam Kebijakan dalam pola dasar pembangunan dalam dokumen GBHN di TAP

MPR .

Sedangkan pada haluan pembangunan jangka panjang di era reformasi

kebijakan peraturan ditetapkan dengan undang-undang untuk tingkat pusat, dan

peraturan daerah di tingkat daerah. Undang-Undang RPJP Nasional menyebutkan

dengan tegas ruang lingkup materi yang diatur yakni penjabaran dari Undang-

Undang SPPN, sebagai teknis yang mengarahkan kebijakan pada jangka waktu 20

tahun mendatang. Dengan demikian TAP MPR jauh efisien dan efektik dalam

mengarahkan pada pembangunan yang berkelanjutan.

TAP MPR menjadi problematika dalam sistem perundang-undangan dewasa

ini. Eksistensi TAP MPR apakah masih dijadikan sebagai peraturan-perundangan

atau dihapuskan tidak bisa dilepaskan dari kewenangan MPR. TAP MPR akan

menjadi relevan jika MPR memiliki kewenangan seperti sebelum amandemen

UUD. Setelah amandemen UUD 1945 TAP MPR tidak lagi memiliki relevansi

terhadap sistem perundang-undangan kecuali TAP MPR yang bermuatan menetapkan

(beschiking) dan mengikat kedalam. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan

kewenangan MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Kedudukan

TAP MPR sendiri di era reformasi mengalami penguatan wacana agar kembali

diberlakukan sehingga TAP MPR kembali diberi kewenangan

Page 109: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

98

merumuskan GBHN sebagai ‘batu uji’ kinerja Presiden dan pedoman

melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.

Mencermati dinamika TAP MPR selama masa-masa produktif dari tahun 1966

sampai 2003 menunjukan fakta signifikansi kedudukan TAP MPR sebagai pilar

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Apabila saat ini TAP MPR tidak bisa

lagi bisa eksis disebabkan perubahan kewenangan MPR, peraturan yang bersifat dasar

dibutuhkan sehingga akan berimplikasi dalam acuan pemerintah dan legislatif dalam

menjalankan fungsi kekuasaannya masing-masing. Nomenklatur TAP MPR yang

menimbulkan multi tafsir dan ambivalen bisa dilakukan revisi dengan nama peraturan

dasar negara atau peraturan Republik Indonesia yang pada hakekatnya sama yakni

produk hukum yang bersifat dasar sebagai penjabaran UUD 1945.

Page 110: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

99

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kedudukan TAP MPR sebelum amandemen UUD 1945 berdasarkan Ketetapan

MPRS No.XX/MPRS/1966 Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tata

Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik

Indonesia menempatkan TAP MPR dibawah UUD 1945 dan diatas Undang

Undang. Eksistensi TAP MPR lahir karena adanya fungsi MPR yang

berwewenang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar

daripada haluan negara serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Kewenangan

MPR mempengaruhi eksistensi TAP MPR sebagai produk hukum vital

khususnya dalam mengeluarkan GBHN dengan muatan mengatur (regeling).

Disisi lain, MPR juga mengeluarkan TAP MPR dengan muatan menetapkan

(beschiking). MPR sebelum amandemen adalah lembaga penjelmaan rakyat

sehingga kedudukan MPR menjadi lembaga tertinggi. Muatan TAP MPR sulit

untuk dicarikan kesamaan di negara-negara lain disebabkan TAP MPR

merupakan wujud konvensi ketatanegaran yang tumbuh pada masa-masa awal

kemerdekaan yakni pada Sidang MPRS tahun 1966. Ditempatkannya

Ketetapan MPR dalam tata urutan peraturan perundang- undangan dapat

disimpulkan bahwa menurut Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966,

Ketetapan MPR termasuk peraturan perundang-undangan. Padahal apabila

dikaji, tidak semua Ketetapan MPR materi muatannya bersifat pengaturan.

Terdapat pula materi muatan Ketetapan MPR yang bersifat

Page 111: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

100100100

penetapan (beschikking), yang bersifat konkrit individual, misalnya Ketetapan

MPR tentang pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden.

2. Kedudukan TAP MPR setelah amandemen UUD 1945 mengalami beberapa

perubahan karena MPR mengalami reduksi kewenangan dan tidak lagi menjadi

lembaga tertinggi melainkan lembaga tinggi yang sejajar dengan lembaga-

lembaga tinggi lainnya. Lahirnya Undang-Undang Nomer 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menghapus kedudukan

TAP MPR dalam hierarki peraturan perundangan-undangan. Dihapuskannya

TAP MPR didasarkan pada perubahan kewenangan MPR yang sesudah

amandemen UUD 1945 tidak lagi mengeluarkan TAP MPR yang bersifat

mengatur (regeling). Namun, TAP MPR kembali dimasukan dalam hierarki

peraturan perundangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mencabut Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004. Kembalinya TAP MPR dalam Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 semakin mempertegas kedudukan TAP MPR semenjak

dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 Memorandum DPRGR

mengenai Sumber Tata Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan

Perundangan Republik Indonesia. Berbeda dari waktu sebelum amanden,

kedudukan TAP MPR yang berada dibawah UUD dan diatas Undang-Undang

menimbulkan permasalahan hukum tersendiri yakni tidak jelasnya mekanisme

pengujian TAP MPR, MPR yang tidak lagi memiliki wewenang merumuskan

GHBN serta mengunci pemberlakuan TAP MPR Pasal 2 dan Pasal 4 TAP

MPR No.I/MPR/2003 disebabkan kewenangan MPR yang sudah tidak lagi

mengelurkan produk hukum yang mengatur (regeling) .

Page 112: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

101101101

TAP MPR menjadi problematika dalam sistem perundang-undangan dewasa

ini. Eksistensi TAP MPR apakah masih dijadikan sebagai peraturan-perundangan

atau dihapuskan tidak bisa dilepaskan dari kewenangan MPR. TAP MPR akan

menjadi relevan jika MPR memiliki kewenangan seperti sebelum amandemen

UUD. Setelah amandemen UUD 1945 TAP MPR tidak lagi memiliki relevansi

terhadap sistem perundang-undangan kecuali TAP MPR yang bermuatan menetapkan

(beschiking) dan mengikat kedalam. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan

kewenangan MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Kedudukan TAP

MPR sendiri di era reformasi mengalami penguatan wacana agar kembali

diberlakukan sehingga TAP MPR kembali diberi kewenangan merumuskan

GBHN sebagai ‘batu uji’ kinerja Presiden dan pedoman melaksanakan

pembangunan yang berkelanjutan.

B. Saran

1. Seyogyanya TAP MPR yang masih berlaku sekarang ini di dorong ke Program

Legislasi Nasional (PROGLENAS) untuk dijadikan atau ditransformasikan

kedalam undang-undang agar supaya tidak lagi menimbulkan multitafsir oleh

berbagai pihak. Keberlakuan TAP MPR juga tidak relevan lagi apabila MPR

tidak mempunyai kewenangan dalam merumuskan GBHN. Selain itu, semenjak

awal kelahiran TAP MPR lebih didasarkan pada konvensi ketatanegaraan alih-

alih melakukan penyelewengan sistem perundangan-undangan sehingga analisa

TAP MPR menggunakan teori norma hukum semakin menambah kompleksitas

permasalahan. Sebagai aturan dasar negara TAP MPR bagaimanapun sangat

penting untuk menjadi penafsir UUD 1945 meskipun nomenklatur TAP MPR

Page 113: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

102102102

bisa direvisi menjadi peraturan negara, peraturan MPR dan sebagainya tetapi

mengandung substansi dan muatan yang sama yakni mengatur (regeling).

2. Harus ada lembaga yang berwenang untuk menguji ketetapan MPR RI jika

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 hal ini untuk menghindari agar tidak terjadi kekosongan hukum dan

menjamin keadilan substansif. Maka Penulis merokemendasikan Mahkamah

Konstitusi yang mengambil peran ini, karena Penulis melihat kapasitas Mahkamah

Konstitusi sebagai pengawal demokrasi dan penegak konstitusi.

Page 114: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

103103103

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang,. Jakarta. RajaGrafindo Persada.

Cetakan ke-2, 2011.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta. Sinar Grafika,

2010.

Asshidiqie , Jimly. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.

Jakarta. Konstitusi Pers. cetakan ke-3, 2013.

Atmosudirdjo, S.Prajudi, et.al. Konstitusi Soviet. Jakarta. Ghalia Indonesia, 1986.

. Konstitusi RRC.Jakarta. Ghalia Indonesia, 1987.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar. Peranan Peraturan Perundang- undangan

Dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung. Armico, 1987.

. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara

Indonesia. Bandung. Alumni,Bandung, 1997.

Huda, Ni’matul. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi .

Yogyakarta. UII Press, 2007.

Indra, Mexsasai. Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung. Refika

Aditama, 2011.

Indrarti, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan

Pembentukannya . Yogyakarta. Kanisius, 2000.

. Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi dan

Materi Muatan. Yogyakarta. Kanisius, 2007.

Jimly Asshidddiqie dan M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen tentang Hukum”. Jakarta: Konstitusi Press, 2012.

Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.

M. Hadjon, Philipus. Pengantar Hukum Administrasi. Yogyakarta. Gajah Mada

Press, 1992.

Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI

Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia, Sekretariat Jendral MPR RI, 2012.

Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta. Ind.

Hill.Co, 1992.

. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta. FH-UII Press, 2004.

Page 115: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

104104104

. Membedah UUD 1945, Universitas Brawijaya Press, Malang,

2012.

MD, Mahfud. Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu. Jakarta.

RajaGrafindo Persada. Cetakan ke-3, 2012

. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.

Jakarta. Rajawali Pers, 2010

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut

Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta. Gramedia, 1980

Natabaya, HAS. Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Jakarta.

Konpress dan Tata Nusa, 2008

Nazriyah , Riri. MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek Dimasa

Depan. Yogyakarta. UII PRES, 2007.

S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara.

Yogyakarta. Liberty, 2003.

Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-

usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Jakarta, 1998.

Sekretariat Jendral Mpr RI. Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawratan

Rakyat Republik Indonesia. Sekretariat Jendral. Jakarta. Cetakan Ke-9,

2001.

Soejono, Abdurahmandan. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan.

Jakarta. Rineka Cipta, 2006.

Soemantri, Sri. Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata

Negara,. Bandung. Remaja Karya CV, 1985

Soemitro , Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta. Ghalia, 1983.

Sunny, Ismail. Mekanisme Demokrasi Pancasila. Jakarta. Aksara Baru, 1978

Triwulan, Titik. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Prestasi Pustaka.

Jakarta, 2005.

Widayati. Rekonstruksi Kedudukan Ketetapan MPR Dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta.Genta, 2015

Zainal Asikin dan Amirudin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta.

Rajawali Pers, 2004.

Page 116: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

105105105

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai

Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Peraturan

Perundangan-undangan Republik Indonesia

TAP MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

Karya Ilmiah

A. Attamimi , Hamid. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai

Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–

Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,

Jakarta, 1980.

Affandi ,Hernadi.“Prospek Kewenangan MPR Dalam Menetapkan Kembali

Ketetapan MPR Yang Bersifat Mengatur,”. Jurnal Positum. Fakultas

Hukum Universitas Padjajaran, Vol. 1, No. 1, 2016.

Altok, A. Rosyid. “Ketetapan MPR Dalam Hierarki Peraturan Perundang-

Undangan”. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 25,

Nomor 1, Februari, 2012.

Indrarti , Maria Farida. “Tinjauan Terhadap Materi Ketetapan MPR/MPRS Dalam

Staatsgrundgesetz ( Hasil Penelitian terhadap Ketetapan MPR/MPRS sejak

Tahun 1960 s/d 2002,”. Jurnal Hukum Internasional, Volume 2 No.4, 2005.

Nurul Utami, Andi Fauziah.“Analisa Hukum Kedudukan TAP MPR RI Dalam

Hierarki Pembentukan Perundang-Undangan”. Skripsi, Fakultas Hukum,

Universitas Hassanudin

P.J.P Tak. Rechtsfoorming in Nederland, Samson H.D Tjeenk Willink, Alphen

aan den Rijn Karel Boungenaar. Sari Kuliah Hukum Tata Negara oleh

Prof.Dr. Philipus M. Hadjon, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1998.

Philipus M. Hadjon. “Analisis Terhadap UU No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan”. Makalah disampaikan pada

Seminar

Page 117: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG

106106106

Subkhan, Imam.” GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan Indonesia”.

Jurnal Aspirasi, Volume 5 No.2. Desember, 2014

Syam, Drishya.” Review on Hans kelsen’s Hierachy of Norms and Law Making

Process”. International Journal of Legal Development and Allies Issues,

Volome 2 Issue 5, Symbiosis Law School, 2015

Triwulan, Titik.“Analisis Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPR RI

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan“. Jurnal Ius Quia Iustum, Nomor 1,Volume

2, 2013.

Tyan Adi Kurniawan dan Wilda Prihatiningtyas.” Problematika Kedudukan TAP

MPR Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan”. Jurnal Yuridika, Volume 27 No.2, Mei-

Agustus, 2012.

Wicaksono , Dian Agung.“Implikasi Re-Eksistensi Tap Mpr dalam Hierarki

Peraturan Perundang-Undangan terhadap Jaminan Atas Kepastian Hukum

yang Adil di Indonesia”. Jurnal Kosntitusi, Voulume 10, Nomor 1, 2003.

Widayati, Absori & Aidul Fitriciaida Azhari.”Rekonstruksi Kedudukan TAP

MPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Media Hukum No.2

Vol.21, 2014.

Widayati. “Perbandingan Materi Muatan Ketetapan MPR Pada Masa

Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi”. Jurnal

Pembaharuan Hukum, Volume III No.1.2016.

Wisita Wongku, Ery. “Status Ketetapan MPR Dalam Sistem Peraturan

Perundang-undangan Di Indonesia Dan Kaitannya Dalam Pranata Pengujian

“. Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Kristen Satya Wacana, 2013.

Yessi Anggraini, Amir Yasir & Zulkarnain Ridlwan. ”Perbandingan Perencanaan

Pembangunan Sebelum dan Sesudan Amandemen UUD 1945”. Jurnal Fiat

Justicia, Volume 9 No. 1, Januari-Maret, 2015

Wawancara

Widayati. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Semarang.

Wawancara. Semarang, 20 Januari 2018.

Internet

Jimmly Asshidiqie. “Keliru TAP MPR Masuk Peraturan Perundang undangan”,

https://m.detik.com/news/beria/1687583, Di akses 17 Januari 2011.

Http://nasional.kompas.com/read/2016/01/10/16053561/Kritik.Demokrasi.Indone

sia.Megawati.Sebut.seperti.Pocopoco, Diakses 23 Januari 2018.

Page 118: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG
Page 119: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG
Page 120: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG