fakultas hukum universitas semarang
TRANSCRIPT
USM
RELEVANSI KEDUDUKAN TAP MPR DALAM SISTEM PERUNDANG-
UNDANGAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan memenuhi syarat – syarat guna
menyelesaikan Program Studi S1 Hukum
MOHAMAD KHUSNUL MUBAROQ
A.111.15.0003
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
TAHUN 2019
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‘alamin, dengan segala kerendahan hati, penulis
panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas izin, rahmat serta
hidayahNya, penulisan skripsi yang berjudul “RELEVANSI KEDUDUKAN TAP
MPR DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN PASCA AMANDEMEN
1945” dapat diselesaikan.
Penulis memahami karya ilmiah ini masih jauh dari standar ilmiah yang
tinggi. Segala kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini baik dalam segi
penyusunan laporan, data dan fakta, konsep-konsep serta kerangka pemikiran
akan menjadi bahan refleksif bagi penulis untuk terus meningkatkan kualitas
ilmiah dan intelektual sebagai rasa cinta penulis terhadap ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari, berhasilnya studi dan penelitian skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak yang telah memberikan semangat dan doa kepada peulis
dalam menghadapi setiap tantangan, sehingga sepatutnya pada kesempatan ini
penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Semarang Bapak Andy Kridasusila, S.E., M.M
2. Ibu B. Rini Heryanti, S.H.,M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Semarang;
3. Bapak Dr. Amri P. Sihotang, S.S.,S.H.,M.Hum,selaku Ketua Program studi
S1 Ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Semarang
4. Ibu Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H., selaku Sekretaris Program Studi S1
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Semarang;
5. Bapak Dr. Muhammad Junaidi, S.Hi, M.H, selaku dosen Pembimbing I dan
Bapak Heru Nuswanto, S.H, M.H selaku dosen pembimbing II, yang telah
meluangkan waktunya serta memberikan bimbingan dalam menyusun
skripsi ini;
6. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Semarang atas bantuan
informasi dan kerjasamanya;
7. Kedua Orang Tua tercinta yang telah membesarkan penulis sejak dalam
buaian hingga saat ini dengan segala rasa cinta dan kasih sayang yang tidak
vi
pernah surut dan juga yang telah mendidik, membina, memberikan dorongan
dan doa kepada penulis;
8. Kawan seperjuangan saya yang satu idealisme dalam Forum Intelektual
Muda (FIM) dan Literasi yang selalu menjadi teman dialektika.
9. Rekan-rekan dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat USM
10. Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2015 yang telah berjuang
bersama dalam melaksanakan bimbingan;
11. Kepada seluruh kaum intelektual dan filsuf yang selalu menjadi sumber
pencerahan bagi penulis dalam menemukan hakekat kehidupan.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan dan dapat memberikan
sumbangsih pemikiran untuk perkembangan pengetahuan bagi penulis maupun bagi
pihak yang berkepentingan.
Semarang, 23 Januari 2019
Penulis,
Mohamad Khusnul Mubaroq
vii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah dan setiap waktu adalah
kebijaksanaan”
PERSEMBAHAN
1. Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunia serta Nabi
Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman.
2. Ayah, Ibu, dan kakak tercinta yang selalu mendukung dan mendoakan
yang terbaik dan selalu menginspirasi saya untuk setiap langkah yang
telah saya ambil.
3. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang yang
telah tulus dan ikhlas memberikan ilmu yang dimiliki.
4. Bapak Dr.Muhammad Junaidi, S.Hi, M.H dan Bapak Heru Nuswanto,
S.H, M.H yang telah berkenan membimbing saya dalam menempuh
perjalanan intelektual.
5. Ibu Dr. Widayati, S.H, M.H yang telah berkenan untuk diwawacara
dan diberikan buku disertasi sebagai data yang penting dalam
penelitian ini.
6. Kawan seperjuangan di HMI Komisariat USM, Korkom Sultan
Agung, serta BPL Cabang Semarang yang memberikan dorongan
moral agar penelitian ini segera terselesaikan.
7. Kawan seperjuangan di FIM-Literasi.
8. Kepada seluruh intelektual dan filsuf yang selalu memberikan pencerahan
kepada penulis.
viii
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menghapus kedudukan TAP MPR dari hierarki peraturan
perundang-undangan yang diatur pada Pasal 7. Hal ini disebabkan kewenangan
MPR yang tidak lagi merumuskan GBHN sehingga MPR tidak lagi mengeluarkan
produk hukum yang mengatur ( regeling) tetapi menetapkan (beschiking) dan
mengikat kedalam. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan mencabut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Dalam Pasal 7, TAP MPR kembali dimasukan sebagai hierarki peraturan
perundang-undangan dibawah UUD 1945 dan diatas Undang-Undang/Perppu.
Kembalinya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan mengubah
sistem perundang-undangan Indonesia. Penelitian ini fokus pada permasalahan (1)
bagaimana kedudukan TAP MPR sebelum amandemen UUD 1945, (2) bagaimana
kedudukan TAP MPR setelah amandemen UUD 1945. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui kedudukan TAP MPR sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 serta
mengetahui relevansi TAP MPR dalam sistem perundangan-undangan pasca
amandemen UUD 1945. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, spesifikasi
penelitian deskriptif analitis, data yang digunakan adalah data sekunder. Metode
analisis data yang digunakan kualitatif. Kedudukan TAP MPR sebelum amandemen
UUD 1945 diatur dalam Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966. Kewenangan MPR
merumuskan GBHN berdampak pada muatan TAP MPR yang mengatur (regeling)
dan sebagian menetapkan (beschiking). Setelah amandemen UUD 1945 kedudukan
TAP MPR menjadi problematis karena menempatkan TAP MPR dibawah UUD
1945 dan diatas Undang-Undang/Perppu tidak relevan disebabkan perubahan
kewenangan MPR yang tidak lagi merumuskan GBHN serta tidak ada lembaga
yang berwenang melakukan judicial review terhadap TAP MPR yang masih
berlaku.
Kata Kunci : Kedudukan TAP MPR, Sistem Perundang-Undangan, UUD 1945
ix
ABSTRACT
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 concerning the Establishment of
Legislation Regulations removes the position of the TAP MPR from the hierarchy of
legislation regulated in Article 7. This is due to the authority of the MPR which no
longer formulates the GBHN so that the MPR no longer issues regulating legal
products (regeling ) but sets (beschiking) and binds into. Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2012 concerning the Establishment of Legislation Regulations revokes
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. In Article 7, the TAP MPR is again
included as a hierarchy of legislation under UUD 1945 and above Undang-Undang
/ Perppu. The return of the TAP MPR in the hierarchy of laws and regulations
changed Indonesia's legal system. This study focuses on the problem (1) how the
position of the TAP MPR before the UUD 1945 amendment, (2) how the position of
the TAP MPR after the UUD 1945 amendment. legislation after the amendment to
the UUD 1945. This type of research is normative juridical, analytical descriptive
research specifications, data used are secondary data. Data analysis method used
is qualitative. The position of the TAP MPR before the amendment to the UUD
1945 was regulated in Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966. The authority of the
MPR to formulate the GBHN has an impact on the MPR TAP content that regulates
(regeling) and partly stipulates (beschiking). After the amendments to the 1945
Constitution the position of the TAP MPR was problematic because placing the
TAP MPR under UUD 1945 and above Undang-Undang / Perppu was irrelevant due
to changes in MPR authority that no longer formulated the GBHN and no institution
authorized to conduct judicial review of the TAP MPR.
Keyword : the position of TAP MPR, Indonesia’s legal system, UUD 19
x
DAFTAR ISI
HALAMAN ORISINALITIAS .................................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................... vii
ABSTRAK ................................................................................................................ viii
DAFTAR ISI................................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A .Latar Belakang Penelitian .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................... 10
C .Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 10
1. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 10
2. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 11
D. Keaslian Penelitian ............................................................................................. 11
E. Sistematika .......................................................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 14
A. Tinjauan Umum Tentang Keputusan dan Ketetapan ......................................... 14
B. Sistem Peraturan Perundang-undangan .............................................................. 18
C. Kedudukan TAP MPR ........................................................................................ 27
D. Keberlakuan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-undangan ........................... 30
E. Wewenang MPR Dalam Menjalankan TAP MPR ............................................. 35
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 40
A. Jenis Penelitian ................................................................................................... 40
B. Spesifikasi Penelitian .......................................................................................... 41
C. Metode Pengumpulan Data ................................................................................ 42
D. Metode Analisis Data ......................................................................................... 42
BAB IV PEMBAHASAN ......................................................................................... 43
A. Kedudukan TAP MPR Sebelum Amandemen UUD 1945 ................................ 43
B. Kedudukan dan Relevansi TAP MPR Setelah Amandemen UUD 1945 ........... 68
BAB V PENUTUP..................................................................................................... 99
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 99
xi
B. Saran ................................................................................................................. 101
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 103
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Reformasi tahun 1998 menjadi awal dari suatu masa transisi dan perubahan
dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Perubahan tersebut mengubah
tatanan kehidupan bernegara yang berbeda dari era sebelumnya. Tatanan sosial,
politik, pemerintahan, budaya dan hukum mengalami transformasi yang cepat pasca
reformasi yang mengalami momentum ketika Presiden Soeharto lengser setelah
menjabat selama 32 tahun. Secara konseptual dan strategis, ada empat pilar
reformasi yang semestinya menjadi acuan dalam pembaharuan yaitu politik,
ekonomi, sosial dan lain-lain, termasuk pembaharuan bidang hukum.1
Pembaharuan dalam bidang hukum salah satunya adalah amandemen Undang-
Undang Dasar 1945. Salah satu berkah dari reformasi adalah perubahan UUD 1945.
Sejak keluarnya Dekrit 5 Juli 1959 yang memerintahkan kembali ke UUD 1945
belum pernah diubah untuk disempurnakan.2 UUD 1945 sebagai konstitusi Negara
Indonesia mengalami proses politisasi pada pemerintahan Orde Baru sehingga
UUD 1945 mengalami sakralisasi. Pemerintahan Orde Baru mengambil kebijakan
tafsir tunggal terhadap UUD 1945.3 Pemerintahan Orde Baru yang bersemboyan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen juga
1 Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi ( Yogyakarta : UII
Press, 2007 ), hlm 43. 2 Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia ( Bandung : Refika Aditama,
2011), hlm 45. 3 Ibid.
2
melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter terutama pelanggaran terhadap hak-
hak sipil dan hak-hak politik rakyat sebagaimana diatur di dalam UUD 1945.4
Implikasi dari kebijakan pemerintah Orde Baru yang cenderung otoritarianisme
membuka peluang sistem pemerintahan dan ketatanageraan yang berjalan tanpa
adanya pengawasan dan kontrol ( check and balances).
Lembaga negara di era pemerintahan Orde Baru tidak berfungsi sebagaimana
mestinya sesuai dengan kekuasaan yang telah ditetapkan oleh UUD 1945. Dewan
Perwakilan Rakyat ( DPR) yang diberi kewenangan legislatif dalam membuat
peraturan perundang-undangan tidak menjalankan kewenangannya sesuai amanah
konstitusi. Produk hukum yang diciptakan oleh DPR didasarkan atas inisiatif
pemerintah selaku pemegang kekuasaan eksekutif.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai representasi kedaulatan
rakyat di era pemerintahan Orde Baru merupakan lembaga tertinggi negara.
Supremasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara cenderung menjadi alat
legitimasi kebijakan pemerintah. Penyelewangan atas UUD 1945 membawa akibat
yang buruk bagi kondisi demokrasi, politik dan hukum di Indonesia. Amademen
UUD 1945 menimbulkan perubahan signifikan dalam aspek hukum tata negara.
Perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain
dalam posisi setara dengan saling melakukan checks and balances,
mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak
4 Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, ( Jakarta : RajaGrafindo
Persada, Cetakan ke-3, 2012 ), hlm 135
3
asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah
negara demokrasi dan negara hukum.5
Pasca amandemen UUD 1945 yang keempat tahun 2002 kedudukan MPR
sebagai lembaga tertinggi negara mengalami perubahan dalam sistem
ketatanegaaran Indonesia yang menyebabkan MPR tidak lagi sebagai lembaga
tertinggi negara melainkan sama kedudukannya dengan DPR, DPD, BPK, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial sebagai lembaga tinggi negara.
Transformasi kewenangan MPR pasca Reformasi 1998 mempengaruhi kedudukan,
fungsi dan tugas MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Fungsi dan tugas MPR
termaktub dalam Pasal 3 Ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 yang menegaskan MPR
memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik
Presiden dan/atau Wakil presiden, memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden
dalam masa jababatannya menurut Undang-Undang Dasar.6
Sebelum amandemen UUD 1945, MPR menjadi lembaga penting dalam
merumuskan GBHN yang secara formal dituangkan dalam bentuk produk hukum
yang disebut Ketetapan MPR. Ketetapan MPR atau yang biasa disingkat dengan TAP
MPR adalah ketetapan-ketetapan yang dikeluarkan oleh MPR yang secara substansi-
materiil mengandung muatan yang bersifat mengatur (regeling) dengan daya ikat
umum ( abstract). Setelah perubahan UUD, MPR tidak lagi memiliki
kewenangan menetapkan GBHN dan tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR
5 Titik Triwulan Tutik, “Analisis Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPR RI
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan“ (Jurnal Ius Quia Iustum, Nomor 1, Volume 2, Maret 2013 ),hlm 2.
6 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
4
(TAP MPR), kecuali berkenaan dengan menetapkan Wapres menjadi Presiden,
memilih Wapres apabila terjadi kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan
Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersama-sama. Dengan demikian MPR tidak lagi mengeluarkan peraturan
yang bersifat mengatur (regeling) seperti sebelum UUD 1945 diamandemen.
Pasca amandemen UUD 1945, MPR mengeluarkan Ketetapan MPR
Nomor/I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960
Sampai Dengan Tahun 2002. Konsideran menimbang huruf b dan c Ketetapan
MPR Nomor I/MPR/2003 menunjukan bahwa ketetapan ini lahir karena perubahan
struktur kelembagaan negara dan perubahan kedudukan, fungsi, tugas dan lembaga
negara. Masuknya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan untuk
meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan
keberadaan (eksistensi) dari TAP MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang
akan datang, serta untuk memberi kepastian hukum.7 Peninjauan materi Ketetapan
MPR diperlukan untuk melakuan evaluasi terhadap TAP MPR yang telah berlaku
semenjak tahun 1960 sampai 2002. Beberapa ketentuan TAP MPR ada yang habis
masa berlakunya, telah dicabut, berlaku sampai terbentuknya pemerintahan hasil
pemilu, atau pun berlaku sampai terbentunya undang-undang yang mengatur. MPR
sendiri telah melakukan inventarisasi terhadap TAP MPR
sebagai implikasi perubahan fungsi dan kewenangan kelembagaan MPR.
7 Ery Wisita Wongku, “Status Ketetapan MPR Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan
Di Indonesia Dan Kaitannya Dalam Pranata Pengujian “, Fakultas Hukum, Universitas Kristen Satya
Wacana, 2013, hlm 3
5
Sebagai sebuah produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) dan bersifat
umum, TAP MPR masuk kedalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Hierarki peraturan perundang-undangan diatur pertama kali dalam Ketetapan
MPRS No.XX /MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber
Tertib Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik
Indonesia. Ketetapan MPRS ini merupakan pengukuhan dari Memorandum DPR- GR
tanggal 9 Juni 1966 yang merupakan hasil peninjauan kembali dan penyempurnaan
dari Memorandum MPRS tanggal 12 Mei 1961 No. ll68/U/MPRS/61 mengenai
Penentuan Tata Urutan Perundang-undangan Republik Indonesia. Menurut
Memorandum DPRGR yang telah dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 tersebut bentuk-bentuk peraturan perundangan Republik Indonesia
menurut UUD 1945 adalah: (l) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia 1945:
(2) Ketetapan MPR; (3) Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Keputusan Presiden; (6) Peraturan-
peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan
lain-lainnya. 8 Setelah amandemen UUD 1945 terjadi perdebatan mengenai
kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Perdebatan ini
disebabkan oleh perubahan kedudukan fungsi dan kewenangan MPR sebagai realisasi
agenda reformasi. Perubahan kedudukan TAP MPR menimbulkan pro dan kontra
sehingga terjadi tarik-ulur tentang kedudukan TAP MPR. 9 Kemudian untuk
menegaskan eksistensi TAP MPR maka pada tahun 2000 MPR mencabut
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan
diganti dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
8 A. Rosyid Altok, “Ketetapan MPR Dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan”,(Jurnal
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 25, Nomor 1, Februari, 2012 ), hlm 4 9 Loc.it., Irfandi, hlm 91
6
Perundang-undangan. Pada prinsipnya Tap MPR No.III/MPR/2000 secara materiil
mengandung muatan yang sama dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sebagai upaya menciptakan produk peraturan perundang-
undangan yang sesuai dengan asas Pancasila dan memberikan landasan yuridis bagi
hierarki peraturan perundang-undangan mengingat selama ini tata uratan hierarki
peraturan perundang-undangan masih terbatas diatur oleh Tap MPR
No.III/MPR/2000 yang status hukum maupun kedudukan TAP MPR masih menjadi
perdebatan akademis dan politis. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pasal yang mengatur
hierarki peraturan perundang-undangan.
TAP MPR yang sebelumnya berada dibawah UUD 1945 sesuai dengan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Tap MPR No.III/MPR/2000 tidak
dimasukan lagi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dapat dipahami mengingat
MPR tidak berwenang lagi membentuk TAP MPR yang bersifat mengatur setelah
hapusnya kewenangan menetapkan GBHN. Namun menurut TAP MPR No.
I/MPR/2003 masih terdapat tiga ketetapan yang masih berlaku dengan enam
ketentuan dan sebelas ketetapan yang masih berlaku sampai terbentuknya undang-
undang.10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
setelah berlaku selama hampir tujuh tahun. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor
10 Tyan Adi Kurniawan dan Wilda Prihatiningtyas,” Problematika Kedudukan TAP MPR
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan”, ( Jurnal Yuridika, Volume 27 No.2, Mei-Agustus, 2012 ), hlm 125
7
11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kembali
memasukan TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan dibawah
Undang-Undang Dasar 1945 dan diatas Undang-Undang/ Perppu. Naskah
akademik Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak menjelaskan rasio yuridis
TAP MPR dimasukan kembali ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Berlakunya kembali TAP MPR sebagai produk hukum yang eksis dalam
hierarki peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memunculkan
berbagai problem hukum tersendiri mengingat MPR secara kelembagaan
mengalami reduksi kewenangan pasca amandemen UUD 1945 dengan tidak
diberikan lagi kekuasaan untuk membuat produk hukum yang bersifat mengatur
(regeling) dan mencakup umum ( abstract). Implikasi hukum dimasukkannnya
kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan, jelas membawa
konsekuensi-konsekuensi logis dalam penataaan sistem hukum Indonesia, baik
norma, kedudukan, maupun ruang pengujian akibat pertentangan antara sesama
produk perundang-undangan lainnya. Keberadaan Undang-udang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengakibatkan TAP
MPR secara otomatis (ex-officio) menjadi rujukan dalam pembentukan dan penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dalam hal ini
UU/Perpu, PP. Perpres, dan Perda. Pemberlakuan TAP MPR dengan segala implikasi
hukumnya menjadi salah satu permasalah hukum yang menarik dari segi yuridis,
filosofis maupun sosiologis.
8
TAP MPR yang telah dicabut dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 20014
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimasukan kembali dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mencabut Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk melakukan kajian
terhadap inkonsistensi lembaga legislatif ( DPR) terhadap status hukum TAP MPR.
Sehingga akan ditemukan jawaban apakah produk hukum TAP MPR/S masih relevan
untuk dijadikan salah satu sumber hukum yang secara konkret dimasukan ke dalam
hierarki peraturan perundang-undangan.
Pemberlakukan kembali TAP MPR membawa implikasi hukum terhadap
prosedur pengujian hukum ( judicial review) yaitu lembaga negara mana kah yang
akan berwenang menguji materi TAP MPR apabila terdapat materi muatan yang tidak
sesuai dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji Undang-
Undang terhadap UUD 1945 sesuai Pasal 24 C ayat (1), “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Sementara Mahkamah Agung
berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang- undang
sesuai Pasal 24 A ayat (1), “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-
undang”. Pemberlakuan kembali TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-
undangan akan menimbulkan potensi terjadinya kekosongan hukum
9
(rechtvacuum). Selain itu wacana yang mendukung revitalisasi kembali
kewenangan MPR untuk merumuskan GBHN melalui produk hukum TAP MPR
menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Oleh karena itu, penulis tertarik
melakukan penelitian hukum dengan judul “RELEVANSI KEDUDUKAN TAP
MPR DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN PASCA AMANDEMEN
UUD 1945’ untuk dikaji secara mendalam seberapa relevan TAP MPR dalam konteks
pemberlakuannya di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang .
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka penelitian ini fokus pada :
1. Bagaimana kedudukan TAP MPR dalam Sistem Perundang-Undangan
sebelum amandemen UUD 1945 ?
2. Bagaimana kedudukan dan relevansi TAP MPR dalam Sistem
Perundang-Undangan setelah amandemen UUD 1945 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kedudukan TAP MPR dalam Sistem Perundang-
Undangan sebelum amandemen UUD 1945.
2. Untuk mengetahui kedudukan dan relevansi TAP MPR dalam Sistem
Perundang-Undangan setelah amandemen UUD 1945.
10
Tujuan khusus penelitian ini mencoba menjawab kedudukan TAP MPR dalam
sistem perundang-undangan dalam konteks masa lalu, masa kini sehingga akan
diketahui seberapa relevan pemberlakuan TAP MPR di masa depan.
b. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini akan menambah khazanah akademik dalam
bidang kajian hukum khususnya hukum tata negara. Harapannya
penelitian ini akan membuka perspektif kelimuaan baru untuk menambah
referensi ilmiah bagi mahasiswa hukum.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini memiliki manfaat praktis bagi anggota legislatif agar
mempertimbangkan kembali TAP MPR/S sebagai salah satu produk
hukum yang masih berlaku hingga hari ini. Bagi akademisi, penelitian
ini akan membuka bagi penelitian-penelitian baru yang lebih
komprehensif.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang “Relevansi Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem
Perundang-Undangan Pasca Amandemen UUD 1945” yang diangkat menjadi judul
skripsi ini merupakan karya ilmiah yang serupa tetapi tidak sama, yaitu :
11
1. Judul Skripsi
Analisis Hukum Kedudukan TAP MPR RI Dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan
Identitas Penulis : Andi Fauziah Nurul Utami
Tahun Lulus : 2013 (Fakultas Hukum Universitas Hassanudin )
Permasalahan dari penelitian Andi Fauziah Nuruh Utami merumuskan
tentang analisa secara yuridis tentang pemaknaan ranah kedudukan TAP
MPR RI di dalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan
pasal 7 ayat 1 (a) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang peraturan
perundang-undangan dan menguraikan implikasi yuridis yang dapat
timbul akibat dimasukkannya kembali TAP MPR RI dalam hierarki
peraturan perundang-undangan.
2. Judul Skripsi
Status Ketetapan MPR Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Di
Indonesia Dan Kaitannya Dalam Pranata Pengujian.
Identitas Penulis : Esy Riwista Wongku.
Tahun lulus : 2013 (Fakultas Hukum Universitas Kristen
Satya Wacana)
Dari kedua penelitian diatas, penelitian penulis lebih membahas kedudukan
TAP MPR secara komprehensif pada aspek-aspek yang mempengaruhi kedudukan
TAP MPR dalam sistem perundang-undangan yakni muatan TAP MPR sebelum
dan setelah amandemen, dinamika hirarki peraturan-perundangan, analisa teori norma
hukum serta tranfromasi kewenangan MPR dari segi teori hukum tata negara
12
sehingga penulis mendapatkan kesimpulan kedudukan TAP MPR masih
mengandung relavansi atau tidak untuk dijadikan peraturan-perundang-undangan.
E. Sistematika
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan latar belakang,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika
BAB II : Merupakan bab tinjauan pustaka yang berisikan uraian kedudukan
TAP MPR, keberlakuan TAP MPR dalam sistem perundang-
undangan dan wewenang MPR dalam menjalankan TAP MPR.
BAB III : Merupakan bab metode yang berisikan uraian jenis/tipe Penelitian,
spesifikasi penelitian, metode pengumpulan dan dan metode
analisis data
BAB IV: Merupakan bab yang menjawab permasalahan penelitian.
Menjabarkan, menjelaskan serta menguraikan analisa hukum
terhadap permasalahan dengan menggunakan sumber-sumber
data yang akurat. Bab ini membahas dua permasalahan yakni : (a)
kedudukan TAP MPR sebelum amandemen UUD 1945 ; (b)
Kedudukan TAP MPR setelah amandemen UUD 1945. Kedua
permasalahan tersebut akan dianalisa secara yuridis dan filosofis
menggunakan teori hukum khususnya teori norma hukum serta
mendeskripsikan secara koheren dengan berpedoman pada bahan
hukum primer, sekunder maupun tersier.
13
BAB V : Merupakan bab penutup yang menguraikan kesimpulan dari
penelitian dan saran dari penulis terhadap solusi atas
permasalahan yang dibahas.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Ketetapan dan Keputusan
Pengertian antara ketetapan dan keputusan seringkali dipertukarkan antara satu
sama lain sehingga terkadang timbul multi penafsiran. Menurut Jimmly Asshidiqie
istilah keputusan dan ketetapan adalah sama. Penetapan menghasilkan ketetapan
atau keputusan (beschiking). Hasil kegiatan penetapan dan pengambilan keputusan
administratif disebut sebagai keputusan atau ketetapan merujuk kepada hasil
keputusan-keputusan di bidang yudisial.11 Secara konsepsional, antara ketetapan
dan keputusan tidak ada perbedaannya.12 Ketetapan atau keputusan yang berarti
beshickking sebenarnya sangat terkait dengan tindakan hukum
penguasa/pemerintah yang mempunyai sifat bersegi satu. Ketetapan mengandung
unsur individual dan konkret ( beshicking). Lawan dari sebuah produk hukum yang
konkret adalah mengatur (regeling). Bentuk keputusan atau ketetapan menjadi
pembeda dari bentuk aturan yang bersifat mengatur seperti undang-undang
(regeling). Disini secara essensial maupun substantif ketetapan tidak sejenis dengan
undang-undang atau produk hukum lain yang memiliki muatan mengatur (regeling)
dan umum (abstract). Berdasarkan definisi-definisi yang diberikan beberapa
sarjana, S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD., menyimpulkan beberapa unsur dari
ketetapan, antara lain13:
11Ibid., hlm 8 12S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara
(Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm 74. 13Dian Agung Wicaksono, “Implikasi Re-Eksistensi Tap Mpr dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan terhadap Jaminan Atas Kepastian Hukum yang Adil di Indonesia”, Jurnal Kosntitusi, Voulume 10, Nomor 1, 2003, hlm 173
15
1. Merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau perbuatan
sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan hasil persetujuan oleh dua
belah pihak;
2. Sifat hukum publik diperoleh dari/berdasarkan wewenang atau kekuasaan
istimewa; dan
3. Dengan maksud terjadinya perubahan dalam lapangan hubungan hukum.
Produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR secara nomenklatur disebut
Ketetapan MPR atau disingkat TAP MPR. Dalam praktik ketatanegaraan di masa
orde baru MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Bentuk Ketetapan
MPR berkembang dalam praktik ketatanegaraan yang menjadi konvensi
ketatanegaraan. 14 Pada praktiknya, MPR tetap eksis menngeluarkan TAP MPR
sampai UUD 1945 diamandemen dan mengubah kewenangan MPR selanjutnya.
Dasar hukum pembentukan Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 yang
utama adalah Pasal I Aturan Tambahan, Pasal I dan Pasal II Aturan Peralihan Undang
- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan oleh MPR
dalam Sidang Tahunan MPR pada bulan Agustus 2002.
1) Pasal I Aturan Tambahan:
“Majelis Pemusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis
14 Widayati, “ Perbandingan Materi Muatan Ketetapan MPR Pada Masa Pemerintahan Orde
Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III No.1, 2016, hlm
127
16
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”
2) Pasal I Aturan Peralihan:
“Segala peraturan perundang - undangan yang ada masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.
3) Pasal II Aturan Peralihan:
“Semua lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi
sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang dasar
dan belum diadakan yang baru menurut Undang - Undang Dasar
ini”.
4) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2002.
5) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor III/MPR/2002 tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Tahun 2003.
Ketetapan MPRS dan ketetapan MPR yang ada dapat ditemukan beberapa jenis
materi yang termuat di dalamnya sebagai berikut:
17
1) Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat
mengatur sekaligus memberikan tugas kepada Presiden.
2) Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat
penetapan (beschikking).
3) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat
mengatur kedalam (interneregelingen).
4) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat
deklaratif.
5) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat
rekomendasi.
6) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat
perundang - undangan.
Untuk mengetahui apakah suatu norma hukum yang terdapat dalam
aturan/keputusan merupakan Regeling atau Beschikking, yang menjadi tolok
ukurannya adalah, apabila materi muatan dalam wujud aturan/keputusan itu
sasarannya adalah berlaku dan mengikat keluar kepada warga masyarakat secara
umum, tidak ditujukan kepada objek, peristiwa atau gejala konkret tertentu (umum-
abstrak), maka Keputusan itu adalah Regeling),sebaliknya apabila suatu Keputusan
18
itu dengan ciri atau bersifat individual-konkret, artinya mengatur obyek, peristiwa
atau gejala konkret tertentu, maka Keputusan itu adalah Beschikking, misal untuk
mengetahui suatu Keputusan Administratif yang bersifat Peraturan PerUndang-
Undangan (Regeling) harus memuat unsur-unsur sebagaimana yang dikemukakan
oleh P.J.P.Tak15, yang dikutup dari Bagir Manan, yaitu:
1) Peraturan PerUndang-Undangan berbentuk keputusan tertulis.
Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perUndang-
Undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis
(geschrevenrecht, written law);
2) Peraturan PerUndang-Undangan dibentuk oleh pejabat atau
lingkungan jabatan (badan,organ) yang mempunyai wewenang
membuat “peraturan” yang berlaku atau mengikat umum; dan
3) Peraturan PerUndang-Undangan bersifat mengikat umum, tidak
selalu dimaksudkan selalu mengikat semua orang.
B. Sistem Peraturan Perundang-Undangan
Dalam beberapa literatur peraturan perundang-undangan disejajarkan
dengan undang-undang. Menurut Bagir Manan, banyak kalangan yang menganggap
hukum, peraturan perundang-undangan dan undang-undang adalah hal yang sama.
Padahal, hal tersebut tidaklah sama. Undang-undang adalah bagian dari peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari undang-undang
dan berbagai peraturan perundang-undangan lain, sedangkan hukum bukan hanya
15 P.J.P Tak, Rechtsfoorming in Nederland, Samson H.D Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn
Karel Boungenaar, Sari Kuliah Hukum Tata Negara oleh Prof.Dr. Philipus M. Hadjon pada FH
Unair tahun 1998
19
undang-undang, melainkan termasuk juga beberapa kaidah hukum seperti hukum
adat, kebiasaan, dan hukum yurisprudensi. 16 Perundang-undangan yang dalam
bahasa Inggris adalah legislation atau dalam bahasa Belanda wetgeving atau
gesetzgebung dalam bahasa Jerman, mempunyai pengertian sebagai berikut:
1) perundang-undangan sebagai proses pembentukan atau proses
membentuk peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah; dan
2) perundang-undangan sebagai segala peraturan negara yang
merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah17.
Sedangkan Satjipto Rahardjo, memberikan batasan mengenai perundang-
undangan yang menghasilkan peraturan, dengan cirri-ciri sebagai berikut :
1) bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian
merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2) Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-
peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya.
Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi
peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3) Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya
sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan
klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan
kembali.
Dari pendapat Satjipto Rahardjo menimbulkan sebuah konsekuensi bahwa
segala bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga negara akan masuk sebagai
peraturan perundangan-undangan apabila memenuhi sifat mengatur (regeling) dan
mencakup umum (abstract). Hal tersebut dibedakan dengan sifat yang melekat
16 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, ( Jakarta: Ind. Hill.Co, 1992)
Hlm. 2-3. 17 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan,(Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm 10
20
dalam suatu keputusan (becshikking) yang bersifat konkret, individual dan berlaku
sekali waktu (einmalig).
Regeling= Besluiten van Algemene Strekking merupakan “pengaturan yang
bersifat umum” , dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan dinyatakan” Peraturan
Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan” dalam Penjelasan Pasal 2 huruf b Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
beberapa kali dan yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009
(UU PERATUN) yang dimaksud dengan “pengaturan yang bersifat umum “ ialah
pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk
peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
Sejalan dengan hal tersebut, Prof.Dr. Bagir Manan, SH, M.Cl berpendapat
“Aturan-aturan tingkah laku yang mengikat secara umum itu dapat berisi ketentuan-
ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan. Hal-hal yang
diatur bersifat umum, maka Peraturan PerUndang-Undangan adalah abstrak-umum
atau umum-abstrak. Ciri-ciri tersebut dimaksudkan untuk membedakan dengan
Keputusan tertulis Pejabat atau lingkungan jabatan berwenang yang individual-
konkret yang lazim disebut Beschikking. Umum berarti ditujukan untuk umum,
abstrak(tidak konkret) berarti ditujukan untuk objek/ peristiwa yang tidak tertentu/
21
tidak dapat ditentukan.18 Dengan merujuk pada rumusan pengertian tersebut,
terdapat korelasi hukum yang berkesinambungan diantaranya, dengan demikian
“pengaturan yang bersifat mengikat secara umum (Besluiten van Algemene
Strekking)” adalah identik dengan “peraturan PerUndang-Undangan (Algemene
verbindende voorschriften)”, sebagaimana dipertegas dalam Penjelasan Pasal 1 angka
2 UU PERATUN yang menyatakan ”yang dimaksud dengan Peraturan PerUndang-
Undangan ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang
dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik ditingkat
Pusat maupun di tingkat Daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, baik ditingkat Pusat maupun di tingkat Daerah yang juga bersifat
mengikat secara umum”.
Beschikking, dalam terminologi Hukum Administrasi (Negara) Beschikking
diartikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yang pengertiannya
dalam UU PERATUN dinyatakan “Keputusan Tata Usaha Negara adalah
Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan PerUndang-
Undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final yang berakibat
hukum bagi seseorang/ Badan hukum perdata”. Dalam penjelasan UU PERATUN
dinyatakan bahwa konkret itu berarti tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau
dapat ditentukan sedangkan individual artinya tidak ditujukan untuk umum, tetapi
tertentu baik alamat maupun hal yang dituju, dan final adalah Keputusan tersebut
bersifat definitif. Oleh karena itu suatu KTUN selalu dianggap
sah dan dapat langsung dilaksanakan, sepanjang tidak ada Putusan yang
18 Maria Farida Indrarti S., Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya (
Yogyakarta : Kanisius, 200), hlm 40
22
menyatakan bahwa KTUN tersebut adalah tidak sah dan sudah sepatutnya
dibatalkan (Azas Vermoeden van Rechtmatigheid).19
Sistem perundang-undangan merupakan suatu rangkaian unsur-unsur hukum
tertulis yang saling terkait, pengaruh-mempengaruhi, dan terpadu yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya yang terdiri atas : asas-asas, pembentuk dan
pembentukannya, jenis, hierarki, fungsi, materi muatan, pengundangan,
penyebarluasan, penegakan dan pengujian yang semuanya dilandasi oleh falsafah
Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 194520. Berdasarkan definisi
tersebut maka unsur-unsur sistem peraturan perundangan-undangan adalah :
1) asas-asas pembentukan;
2) pembentukan dan proses pembentukannya;
3) jenis dan hierarki;
4) fungsi;
5) materi muatan;
6) pengundangan;
7) penyebarluasan;
8) penegakan dan pengujian.
Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
19 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi (Yogyakarta : Gajah Mada Press, 1992), hlm 176
20 HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, ( Jakarta : Konpress dan
Tata Nusa, 2008), hlm 30
23
1) Asas kejelasan tujuan dalam pembentukan perundang-undangan
dimaknai bahwa harus ada kejelasan tujuan yang hendak dicapai
melalui pembentukan UU yang bersangkutan;
2) Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat yaitu DPR
bersama-sama dengan Pemerintah, dan dengan keterlibatan DPD
untuk RUU tertentu. Setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga pembentuk peraturan perundang-
undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut
dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang;
3) Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan yaitu
bahwa untuk jenis UU harus berisi materi muatan yang memang
seharusnya dituangkan dalam bentuk UU;
4) Asas dapat dilaksanakan, yaitu bahwa ketentuan yang diatur dalam
UU itu harus dapat dilaksanakan sebagaiman mestinya dan harus
memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun
sosiologis;
5) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap
peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
6) Asas kejelasan rumusan, yaitu bahwa pengaturan suatu materi
ketentuan tertentu dalam UU yang bersangkutan memang
24
mempunyai tujuan yang jelas dan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan
terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti,
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya;
7) Asas keterbukaan, yaitu bahwa dalam pembentukan perundang-
undangan itu dilakukan secarab terbuka, mulai dari perencanaan,
persiapan, penyusunan, dan pembahasannya.
Sementara hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebuah tingkatan
produk perundang-undangan dari tertinggi sampai terendah. Menurut TAP MPRS
Nomor XX/ MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia (TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966), dimana dalam lampiran IIA tentang “Tata urutan perundangan di
Indonesia menurut UUD 1945” dirumuskan bentuk dan tata urutan peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,
2. TAP MPR,
3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang,
4. Peraturan Pemerintah,
5. Keputusan Presiden,
6. Peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
25
- Peraturan Menteri,
- Instruksi Menteri,
- dan lain-lainnya.
Setelah selama 34 (tiga puluh empat) tahun, maka pada sidang MPR tahun
2000 ditetapkanlah Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (TAP MPR No. III/MPR/2000),
yang menggantikan TAP MPRS/TAP MPRS No. XX/MPRS /1966. Dimana dalam
Pasal 2 TAP MPR tersebut masalah hierarki peraturan perundang-undangan
dirumuskan sebagai berikut :
“Tata urutan peraturan perundangundangan merupakan pedoman dalam
pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan peraturan
perundangundangan Republik Indonesia adalah :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
DPR pada tahun 2004 memberlakukan Undang-Undang 10 Tahun 2014 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan untuk menegaskan hierarki
26
peraturan perundangan-undangan sebelumnya dengan mencabut TAP MPR/S
dalam susunan hierarki. Pasal 7 Undang-Undang tersebut menjabarkan susunan
hierarki peraturan perundang-undangan :
1. Undang-Undang Dasar dan Perubahan Undang-Undang
Dasar;
2. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Materi susunan hierarki dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
dimaksudkan untuk menggantkan dan mengadopsi materi Ketetapan
No.III/MPR/2000.21 Dicabutnya TAP MPR/S dalam hierarki peraturan perundang-
undangan menimbulkan kontroversi dikalangan akademisi dan politisi. Terdapat
anggapan dicabutnya TAP MPR/S sebagai sesuatu yang tidak didasarkan pada
pertimbangan yuridis karena masih ada beberapa TAP MPR/S yang masih berlaku.
Sebagai respon atas kritik tersebut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dicabut
dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 dalam Undang-Undang tersebut kembali
memasukan TAP MPR/S dalam hierarki peraturan perundang-undangan :
1. Undang-Undang Dasar Negaran Republik Indonesia Tahun
1945;
21 Op.cit., Jilmy Asshidiqie, hlm 35
27
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia;
3. Undang-Undang atau PERPU;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan daerah provinsi;
7. Peraturan Daerah Kab/Kota.
Diberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menjadikan TAP
MPR/S masih eksis sampai sekarang meskipun MPR sudah tidak lagi
mengeluarkan TAP MPR/S.
C. Kedudukan TAP MPR
Pada tahun 1966 dengan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 pada
Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia
adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPRS
3. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden;
6. Peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti:
- Peraturan Menteri;
28
- Instruksi Menteri;
- Dan lain-lainnya.
Pasca amandemen UUD 1945 terjadi transformasi kewenangan MPR yang
sebelumnya menjalankan fungsi GBHN dihapuskan sehingga berdampak pada
kedudukan TAP MPR. Menurut Ketetapan MPR RI No. III/MPR/ 2000 sebagai
pengganti dari Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/I966, tata urutan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1. Undang-UndangDasar 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik
Indonesia;
3.
Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
(PERPPU)
5.
Peraturan Pemerintah;
6.
Keputusan Presiden;
7.
Peraturan Daerah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan diberlakukan sebagai penegasan terhadap Ketetapan MPR RI
No. III/MPR/ 2000. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
dijabarkan hierarki peraturan perundang-undangan :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang - Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
29
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
TAP MPR dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dihapuskan sebagai
implikasi perubahan UUD 1945 yang salah satu agenda perubahan menghapuskan
kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN. Perubahan kewenangan TAP MPR
menyebabkan kedudukan TAP MPR tidak lagi berada dalam hierarki peraturan
perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan diberlakukan untuk mencabut Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004. Kedudukan TAP MPR kembali dimasukan dalam hierarki peraturan
perundang-undangan. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur
hierarki peraturan perundang-undangan :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti;
4. Undang-Undang;
5. Peraturan Pemerintah;
6. Peraturan Presiden;
7. Peraturan Daerah Provinsi;
8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
30
D. Keberlakuan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan
Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia sejak tahun 1960-an,
keberadaan Tap MPR menunjukkan perkembangan dan perubahan materi muatan dari
waktu ke waktu. Hal itu ditunjukkan dengan judul-judul dan materi muatan dari
produk hukum MPR yang pernah ada sejak pertama kali dikeluarkan pada tahun
1960 sampai dengan terakhir kali dikeluarkan pada tahun 2002. Berkaitan dengan
materi muatan Tap MPR, terdapat beberapa pakar yang mengelompokkan Tap MPR
berdasarkan materi muatannya.
Menurut hasil penelitian Sri Soemantri, materi muatan Tap MPR sampai tahun
1985 dikelompokkan ke dalam 9 (sembilan) kelompok sebagai berikut22:
1. Tentang Dasar Negara.
2. Tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan.
3. Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
4. Tentang Pemilihan Umum.
5. Tentang Lembaga-lembaga Negara (Umum).
6. Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat.
7. Tentang Presiden dan Wakil Presiden.
8. Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
9. Tentang Hal-hal Lain.
Sementara itu, menurut Bagir Manan materi muatannya Tap MPR dapat
dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu23:
22 Sri Soemantri, Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara
(Bandung : Remadja Karya CV, 1985 ) hlm. 30.
31
a. Tap MPR yang memenuhi unsur-unsur sebagai peraturan
perundang-undangan.
b. Tap MPR yang materi muatannya semacam materi muatan
ketetapan atau penetapan administrasi negara (beschikking).
c. Tap MPR yang berupa perencanaan (het plan) yaitu tentang Garis-
garis Besar Haluan Negara (GBHN).
d. Tap MPR yang bersifat pedoman, sehingga semacam peraturan
kebijakan di bidang administrasi negara.
Dalam buku lain, Bagir Manan juga mengidentifikasi materi muatan Tap MPR
ke dalam 4 (empat) kelompok yaitu:
1. Yang bersifat mengatur.
2. Yang sifat materinya mengikat umum secara langsung.
3. Yang materinya merupakan penetapan (beschikking).
4. Yang materinya bersifat pernyataan (deklarasi).
Setelah UUD 1945 diamandemen yang menyebabkan transformasi
kewenangan MPR. Perubahan kewenangan MPR membawa implikasi terhadap
peninjauan status materi TAP MPR/S yang telah berlaku selama 34 tahun. Peninjauan
tersebut dilakukan melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Kembali TAP MPR/S. Sejak Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 (TAP MPR
No. I/MPR/2003) yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus
2003. Berdasarkan TAP MPR tersebut, TAP MPR/S Tahun 1960 sampai dengan
Tahun 2002 diklasifikasikan ke dalam 6 (enam) kelompok, yaitu:
23 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (
Bandung : Alumni,Bandung, 1997) hlm. 100.
32
1. Kelompok TAP MPR/S yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
(8 ketetapan);
2. TAP MPR/S yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan
tertentu (3 ketetapan);
3. TAP MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
pemerintahan
hasil pemilihan umum tahun 2004 (8 ketetapan);
4. TAP MPR/S yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
undang- undang (11 ketetapan);
5. TAP MPR yang masih berlaku sampai dengan ditetapkannya
Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR-RI hasil pemilihan umum
tahun 2004 (5 ketetapan);
6. TAP MPR/S yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih
lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun
telah selesai dilaksanakan (104 ketetapan).
Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut ternyata masih terdapat beberapa
Ketetapan MPRS dan MPR yangmasih harus berlaku, baik berlaku dengan
ketentuan maupun berlaku sampai dengan dibentuknya UU yang mengatur materi
muatannya. Hal ini berarti masih terdapat beberapa Ketetapan MPRS dan MPR
yang secara substansial masih harus diberlakukan dan pemberlakuannya pun harus
mempunyai dasar hukum. Sampai dewasa ini terdapat 13 TAP MPR yang masih
berlaku dan dijadikan dasar dari Undang-Undang Tahun 2012 tahun 2011
menetapkan kedudukan TAP MPR menjadi salah satu jenis hierarki peraturan
33
perundang-undangan. Rincian dari 13 TAP MPR yang masih berlaku adalah
sebagai berikut24:
1. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS.1966 Tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di
seluruh Wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan
larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan
Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
2. Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
3. Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di
Timor-Timor
4. Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan
Pahlawan Ampera. (dalam perkembangan terakhir telah terbentuk UU
No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda
Kehormatan)
5. MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas KKN.
6. Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya
Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah dalam NKRI.
7. Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan
dan Kesatuan Nasional.
24 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam
Pembinaan Hukum Nasional ( Bandung : Armico, 1987), hlm. 31-34.
34
8. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia.
9. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran
Polri.
10. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa.
11. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa
Depan.
12. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
13. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria
dan Pengelolahan Sumber Daya Alam.
E. Wewenang MPR Dalam Menjalankan TAP MPR
Pasal 3 UUD 1945 mengatur wewenang MPR :
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan Undang•-Undang Dasar;
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau
Wakil Presiden;
3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang•Undang Dasar.
Wewenang dan tugas MPR diatur lebih spesifik dalam Pasal 4,5 dan 6 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah :
35
MPR berwenang:
Pasal 4
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan
umum;
c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh
Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden
dalam masa jabatannya; dan
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2
(dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir
masa jabatannya.
MPR bertugas:
Pasal 5
a. memasyarakatkan ketetapan MPR;
b. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
c. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan
d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 6
(1). Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 MPR memiliki kemandirian
dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program
36
dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas
bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2). Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR
dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya
kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
(3). Anggaran MPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4). MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran
MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dari penjabaran dalam Pasal 4,5 dan 6 UU MD3 dan Pasal 3 UUD 1945 MPR
sudah tidak lagi memiliki wewenang menetapkan GBHN. Kewenangan MPR yang
dihapus setelah UUD 1945 diamendemen adalah penetapan Garis-Garis Besar Haluan
Negara ( GBHN) sebagai penjabaran dari UUD 1945.
“Menurut ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 37 UUD 1945 yang asli (sebelum
perubahan), Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang (i) menetapkan
undang-undang dasar, (ii) mengubah undang-undang dasar, (iii) memilih
Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan (iv) menetapkan garis-garis besar
daripada haluan negara. Mengapa MPR diberi kewenangan menetapkan
garis-garis besar haluan (daripada) negara? Selain untuk memberikan
pedoman kerja bagi Presiden dalam melaksanakan tugasnya, garis-garis
besar haluan (daripada) negara itu diperluan karena pedoman atau haluan-
haluan kebijakan bernegara itu diperlukan karena pedoman atau haluan-
nhaluan kebijakan bernegara yang ditentukan oleh UUD 1945 sangat atau
bahkan terlalu ringkas dan sederhana. Oleh karena itu, di samping haluan-
haluan yang telah ditentukan dalam UUD 1945, masih diperlukan haluan-
haluan negara yang lebih jelas di luar UUD 1945.25
Implikasi dari perubahan kewenangan membawa dimensi baru bagi sistem
kerja MPR yaitu tidak lagi membuat produk hukum TAP MPR sebagai salah satu
peraturan perundang-undangan yang cukup signifikan seperti era sebelumnya.
Perubahan ini diwujudkan sebagai salah satu tuntutan reformasi agar supremasi
MPR dihapuskan. Hilangnya supremasi MPR berarti berhentinya MPR
25 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-
2, 2011 ), hlm 33
37
merumuskan GBHN dalam bentuk sebuah ketetapan yang secara nomenklatur
disebut TAP MPR. Sementara MPR dahulu mempunyai kewenangan menjalankan
GBHN yang diasumsikan artikulator dari UUD 1945 maka MPR sebelum
amandemen UUD 1945 menetapkan TAP MPR sebagai wujud fungsi menjalankan
GBHN. TAP MPR sendiri secara nomenklatur tidak diatur dalam UUD 1945.
Eksistensi TAP MPR mulai mengalami penerimaan dalam hukum tata negara
semenjak MPR rutin mengeluarkan TAP MPR sehingga keberadaan produk hukum
TAP MPR diterima sebagai sebuah kebiasaan hukum. Dari perspektif filosofis
hakekat TAP MPR bisa dianalisa menggunakan pendekatan teori piramida hukum
yang digagas oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Hans Kelsen adalah salah satu pemikir hukum besar yang dikenal sebagai
penganut mazhab positivisme hukum. Dari beberapa pemikiran Hans Kelsen yang
terkenal adalah teori tentang piramida hukum atau Stufenbautheorie. Gagasan Hans
Kelsen dengan Stufenbautheorie pada hakikatnya merupakan usaha untuk membuat
kerangka suatu bangunan hukum yang dapat dipakai di manapun, dalam
perkembangan selanjutnya diuraikan Hans Nawiasky dengan theorie von stufenfbau
der rechtsordnung yang menggariskan bahwa selain susunan norma dalam negara
adalah berlapis-lapis dan berjenjang dari yang tertinggi sampai terendah.
Berkaitan dengan hierarki norma, Hans Nawiasky mengelompokkannya ke
dalam empat kelompok besar, yaitu:
(1). Kelompok I: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);
(2). Kelompok II: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
Negara);
38
(3). Kelompok III: Formell Gesetz (Undang- Undang "formal");
(4). Kelompok IV: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana &
Aturan otonom ).
Pengelompokkan hierarki norma hukum ini lazim disebut dengan die Theorie
vom Stufenordnung der Rechtsnormen.
Ketetapan MPR dapat dikategorikan sebagai Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara) meskipun kedudukannya berada di bawah UUD
1945. Meskipun kedudukannya di bawah UUD 1945, Ketetapan MPR tidak dapat
dikategorikan sebagai Formell Gesetz (Undang-Undang). Kedudukan Ketetapan
MPR yang demikian ini memang unik, khas, dan tidak ditemui dalam norma-norma
hukum pada umumnya di kebanyakan negara.
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis/Tipe Penelitian
Jenis atau tipe penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yuridis
normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu
penelitian terhadap data sekunder.26 Hal yang akan diteliti penulis adalah
bagaimana kedudukan TAP MPR sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945
sehingga akan menghasilkan kesimpulaan apakah produk hukum TAP MPR yang
saat ini secara yuridis masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sesuai
Pasal 7 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan-
Perundang-Undangan masih relevan atau tidak sebagai produk hukum yang
mengikat.
B. Spesifikasi Penelitian
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka hasil
penelitian ini nantinya akan bersifat deskriptif analitis yaitu bertujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau untuk
menentukan penyebaran suatu gejala lain dalam masyrakat.27 Pendekatan yang
digunakan adalah peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian akan
menjelaskan bagaimana pemberlakuan TAP MPR sebelumd an sesudah amandemen
UUD 1945 dan ketika TAP MPR tidak dimasukan dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tetapi kemudian dimasukan kembali
26 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta : Ghalia, 1983), hlm 24 27 Zainal Asikin dan Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum ( Jakarta : Rajawali Pers,
2004 ), hlm 118
40
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai hierarki peraturan
perundangan-undangan. Selain itu, penelitian ini akan melakukan analisa secara
yuridis dan filosofis terhadap TAP MPR sehingga akan menghasilkan kesimpulan
apakah kedudukan TAP MPR memiliki relevansi atau tidak pasca amanden UUD
1945 terkait kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah cara pengadaan dan pengumpulan data untuk
kepentingan penelitian. Proses ini sangat penting untuk mendukung dan
memperjelas hasil penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder. Data sekunder
adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan konsepsi-
konsepsi, teori-teori atau pendapat-pendapat atau landasan teoritis yang
berhubungan erat dengan permasalahan. Data sekunder meliputi :
a) Bahan Hukum Primer :
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-
GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Peraturan Perundangan-undangan Republik Indonesia
3) TAP MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
41
5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
b) Bahan Hukum Sekunder :
1) buku-buku literasi yang mendukung penelitian
2) karya ilmiah/karya tulis yang berkaitan dengan permasalan yang
diteliti berupa skripsi, jurnal dan artikel ilmiah
3) Hasil-hasil penelitian kontemporer
4) Wawancara
D. Metode Analisis Data
Metode analisis data yaitu bentuk analisis bagaimana dalam menafsirkan data
yang diperoleh sesuai dengan apa yang direncanakan dalam penelitian.28 Analisis
data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang
diteliti berdasarkan data yang diperoleh. Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan metode kualitatif yaitu analisis yang sifatnya
non statistik dan non matematis. Metode penelitian kualitaif diartikan sebagai
penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Data yang diperolehkan di Analisa
dengan menggunakan asas-asas hukum, teori-teori hukum, pendapat para ahli, dan
peraturan perundang-undangan yang ada kemudian dianalisis secara kualitatif yang
akan memberikan gambaran menyeluruh tentang aspek hukum yang berhubungan
dengan masalah yang akan diteliti, yaitu relevansi kedudukan TAP MPR/S pasca
amandemen UUD 1945.
28 Abdurahmandan Soejono, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan ( Jakarta :
Rineka Cipta, 2006 ), hlm 47
42
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Kedudukan TAP MPR Sebelum Amandemen UUD 1945
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga yang dibentuk
sebagai wujud penjelmaan kedaulatan rakyat. UUD 1945 pra-amandemen Pasal I
ayat (2) menyebutkan,”kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh
MPR”. MPR merupakan lembaga yang menjalankan fungsi legislatif. Pada saat
pembentukannya, MPR diharapkan akan menjadi sebuah lembaga yang mewakili
rakyat secara keseluruhan sebagai tempat rakyat bermusyawarah.29 Soepomo
menegaskan bahwa MPR ialah penyelenggara negara yang tertinggi dan
penjelmaan seluruh rakyat seluruh daerah dan seluruh golongan mempunyai wakil
di situ.30 Konstruksi MPR mendasarkan pada konsep negara integralistik yang
dipengaruhi oleh pemikiran Hegel. Soepomo menegaskan bahwa MPR ialah
penyelenggara negara yang tertinggi dan penjelmaan seluruh rakyat seluruh daerah
dan seluruh golongan mempunyai wakil di situ.31 Sebagai konsekuensinya, menurut
Sri Soemantri bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat berada dalam satu tangan atau
badan. Oleh karena itu, MPR diberi tugas untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
sepenuhnya, sehingga MPR adalah satu-satunya lembaga negara yang
melaksanakan kedaulatan rakyat pada tingkatan yang tertinggi.32
29 Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, penyunting, Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 201 30 Ibid., hlm 293-294 31 Ibid, hlm. 293-294. 32 Rosjidi Ranggawidjaja, Hubungan Tata Kerja Antara Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997), hlm 19
43
MPR merupakan lembaga legislatif33, akan tetapi MPR tidak memiliki kesamaan
dengan lembaga legislatif di negara-negara lain. Secara umum sudah dipahami
bahwa MPR memiliki keunikan yang berbeda dengan lembaga dari negara-
negara lainnya di dunia. Hampir tidak ada lembaga pembanding di negara lain yang
memiliki kesamaan dengan MPR, meskipun pada saat sidang BPUPKI Muhammad
Yamin membandingkan unsur MPR yang terdiri dari wakil daerah dan wakil rakyat
sebagaimana halnya lembaga yang diatur dalam konstitusi Republik Rusia dan
Tiongkok.34 Dengan kata lain, meskipun ada lembaga di negara lain yang mirip
dengan MPR, kedudukan dan kewenangannya ternyata berbeda. Oleh karena itu,
MPR dianggap merupakan lembaga yang murni dan berasal dari Indonesia sendiri.
Konsekuensi konstitusional MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat dan
lembaga tertinggi membawa implikasi kewenangan MPR dalam stuktur
ketatanegaraan Indonesia. MPR diberi tugas dan wewenang untuk menetapkan
Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara35serta memilih
Presiden dan Wakil Presiden.36 Selain itu, MPR juga diberi wewenang
mengeluarkan produk hukum yang disebut putusan MPR berupa Ketetapan dan
Keputusan MPR.37
Berkaitan dengan kewenangan MPR tersebut, sebenarnya pada saat
pembentukan MPR tidak dimaksudkan sebagai badan pembuat peraturan (apalagi
33 Embrio untuk membentuk sebuah badan perwakilan sebagai wadah aspirasi rakyat
diinspirasi oleh pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 dalam Rapat BPUPKI. Sebelum
MPR dikukuhkan sebagai lembaga perwakilan rakyat, kekuasaan dipegang oleh Komite Nasional
Indonesia Pusat ( KNIP). Lihat Riri Nazriyah, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan
Prospek Dimasa Depan (Yogyakarta: UII PRES, 2007), hlm 50 34 Op.cit., Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, hlm 201 35 Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemn 36 Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen 37 Pasal 102 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1973 Tentang Peraturan Tata Tertib MPR
44
sebagai legislatif), kecuali menetapkan dan mengubah UUD.38 Oleh karena itu,
menurut Bagir Manan, tidak tepat MPR menetapkan berbagai peraturan atau
regulasi di luar wewenang yang telah ditetapkan UUD. Namun demikian, dalam
perjalanannya justru MPR dianggap berwenang membuat produk hukum yang
bersifat mengatur yang dikenal dengan nama Ketetapan MPR.39 Kewenangan tersebut
mendapatkan legitimasi yuridis karena MPR diberi tugas untuk merumuskan
GBHN sehingga produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR disebut Ketetapan MPR
atau TAP MPR.40
Selama ini terdapat beberapa negara yang mempunyai suatu lembaga tertinggi
seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, misalnya Uni Republik Soviet Sosialis
(Soyuz Sovyetskikh Sotsialisticneskikh Respublik) atau disebut secara singkat Uni
Soviet yang memiliki Soviet Tertinggi Uni Republik-Republik Soviet Sosialis (The
Supreme Soviet of the USSR)41, dan Republik Rakyat China ( Chung Huan Jen Min
Kung Ho Kuo) yang memiliki Konggres Rakyat Nasional dari Republik Rakyat
Cina (The National People’s Conggres of the People’s Republic of China)42 sebagai
lembaga tertinggi negara. Walaupun kedua negara tersebut mempunyai suatu
lembaga tertinggi, namun keduanya tidak dapat disetarakan dengan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan kedua negara tersebut tidak mengenal adanya
38 Bagir Manan, 2012, Membedah UUD 1945, Universitas Brawijaya Press, Malang, hlm. 72. 39 Hernadi Affandi, “Prospek Kewenangan MPR Dalam Menetapkan Kembali Ketetapan
MPR Yang Bersifat Mengatur, ( Jurnal Positum, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Vol. 1, No. 1, Desember 2016), hlm 50
40 Sebenarnya nomenklatur Ketetapan MPR secara eksplisit tidak ada dalam teks UUD 1945.
Bentuk Ketetapan MPR merupakan hasil dari penafsiran terhadap Pasal 3 UUD sebelum
amandemen yang menyatakan,” “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menetapkan
Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara”. Berdasarkan kata
“menetapkan” dari bunyi Pasal 3 tersebut maka ketika MPR mengeluarkan produk hukum diberi
bentuk “ketetapan”. Bentuk Ketetapan MPR berkembang dalam praktik ketatanegaraan yang
menjadi konvensi ketatanegaraan. 41 S.Prajudi Atmosudirdjo, et.al, Konstitusi Soviet. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hlm 32
42 S.Prajudi Atmosudirdjo, et.al, Konstitusi RRC. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1987, hlm 21
45
suatu peraturan yang mempunyai eksistensi seperti Ketetapan MPR. Pada masa
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama (1945-1949), Ketetapan
MPR belum dikenal karena lembaga MPR sendiri memang belum terbentuk. Begitu
pula pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (1949-
1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (1950-1959), Ketetapan MPR
tidak dikenal karena dalam Konstitusi RIS 1949dan UUDS 1950 tidak dikenal
lembaga MPR.
Menurut teori ilmu hukum tata negara Indonesia, MPR43 merupakan satu-
satunya lembaga yang mempunyai supremasi, yang mengandung dua prinsip yaitu
sebagai badan yang berdaulat yang memegang kekuasaan berdasarkan hukum
untuk menetapkan segala sesuatu yang telah ditegaskan oleh UUD 1945, disebut
“legal power”; dan No rival authority, artinya tidak ada suatu otoritas tandingan
baik perseorangan maupun badan yang mempunyai kekuasaan untuk melanggar
atau mengeyampingkan sesuatu yang telah diputuskan oleh MPR.44 Ketetapan MPR
menjadi produk hukum yang menunjang kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi
negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Ketetapan MPR mulai dikenal pada tahun 1960 pada masa berlakunya kembali
Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.45 Pada saat
pertama kali Ketetapan MPRS dibentuk, di Indonesia belum mengenal hierarki
peraturan perundang-undangan, sehingga tidak ada perdebatan para ahli mengenai
43 Pembentukan MPRS pertama kali dilakukan dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun
1959 tanggal 22 Juli 1959. Pembentukan MPRS ini merupakan perintah Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, yang salah satu isinya adalah “Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan- utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara,
akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. 44 Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta; Aksara Baru, 1978), hal. 16. 45 Loc.it., Widyawati, hlm 128
46
penempatan Ketetapan MPR, apakah sejajar dengan Undang-Undang Dasar 1945
atau setingkat lebih rendah dari Undang-Undang Dasar 1945.
Kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan
semenjak dikeluarkannya TAP MPR No. XX/MPR/1966 tentang Memorandum
DPRGR mengenai Sumber Tata Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia mengukuhkan kedudukan TAP MPR
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam Lampiran II
TAP MPRS mencantumkan muatan dari Ketetapan MPR yaitu memuat garis-garis
besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan Undang-undang dan memuat
garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan
Presiden.46 Disamping itu dalam Lampiran II TAP MPR No. XX/MPR/1966,
dikatakan bahwa bentuk peraturan perundang-undangan Indonesia menurut UUD
1945 yaitu UUD 1945, Tap MPR, Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang; Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan-
peraturan pelaksananya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-
lainnya. Terkait Ketetapan MPR, dalam Lampiran II TAP MPR No. XX/MPR/1966
secara tegas menyebutkan muatan yang menjadi substansi TAP MPR yaitu47 :
a) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif
dilaksanakan dengan Undang-Undang.
b) Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif
dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
46 Op.cit., Maria Farida Indrarti, hlm 70-73 47Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
XX/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia.
47
Konstruksi hukum TAP MPR No. XX/MPR/1966 Tentang Memorandum
DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan selain menjadi dasar bagi kedudukan TAP MPR juga
menjadi landasan terbentuknya sistem hierarki peraturan-perundangan. Hierarki
mengindikasikan sebuah tingkatan norma seperti yang dikonsepsikan oleh Hans
Kelsen dan Hans Nawiasky sebagai teori hierarki norma hukum.
Teori hierarki norma hukum dikemukakan oleh Hans Kelsen48. Kelsen
berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu
norma dasar (Grundnorm). Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam
sistem norma tersebut, tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi
tetapi norma itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang
merupakan gantungan bagi norma yang berada dibawahnya.49 Teori ini dilanjutkan
oleh murid Hans Kelsen, Hans Nawiasky dengan beberapa pengembanga
konsep. Kemudian teori hierarki norma hukum dikenal sebagai
Stufenbau Theorie.
48 Hans Kelsen lahir pada tanggal 11 Oktober 1881. Dia adalah seorang ahli filsafat hukum
dan politik. Tahun 1920 Hans Kelsen merupakan orang yang ditunjuk untuk membuat konstitusi
Austria. Kelsen merupakan tokoh hukum yang paling berpengaruh dalam abad 20. Salah satu
teorinya yang terkenal adalah ‘Teori Hukum Murni’. Lihat Drishya Syam,” Review on Hans kelsen’s
Hierachy of Norms and Law Making Process”, International Journal of Legal Development and
Allies Issues, Volome 2 Issue 5, Symbiosis Law School, hlm 39 49 Hans Kelsen adalah seorang ahli hukum mazhab positivisme. Pendekatan hukum yang
digunakan oleh Hans Kelsen dikategorikan oleh para pakar hukum sebagai pendekatan positivistik. Beberapa penulis menyatakan bahwa teori hirarki norma dipengaruhi oleh teori Adolf Merkl, atau paling tidak Merkl telah menulis teori terlebih dahulu yang disebiut Juliae dengan Stairwell structure of legal order. Teori Merkl adalah tentang tahapan hukum, yaitu bahwa hukum adalah suatu sistem hirarkis, suatu sistem norma yang mengkondisikan dan dikondisikan dan
tindakan hukum. Lihat Jimly Assiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 109
48
Teori Hierarki merupakan teori yang menyatakan bahwa sistem hukum disusun
secara berjenjang dan bertingkat-tingkat seperti anak tangga. Hubungan antara norma
yang yang mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut disebut sebagai
hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial. Norma yang menentukan
perbuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang melakukan perbuatan
disebut norma inferior. Oleh sebab itu, perbuatan yang dilakukan oleh norma yang
lebih tinggi (superior) menjadi alasan validitas keseluruhan tata hukum yang
membentuk satu kesatuan.50
Penempatan hierarki peraturan dalam peraturan perundang-undangan
sebagaimana dianut di Indonesia sejak Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 hingga
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 terbilang cukup unik, karena tidak ada suatu
sistem hukum positif di dunia ini yang secara khusus mengatur tata urutan
peraturan perundang-undangan. Kalaupun ada pengaturan hanya sebatas pada asas
yang menyebutkan misalnya : Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya” atau dalam UUD ada
ungkapan “the supreme law of the land”. Mengapa tidak diatur? Antara lain karena
tata urutan mempunyai konsekuensi. Bahkan setiap peraturan perundang-
undangan harus memiliki dasar hukum pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
Peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila ternyata peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan, bahkan
batal demi hukum. Konsekuensi ini telah dianggap ada walaupun tidak diatur,
50 Op.cit.,Maria Farida Indrati, hlm 25
49
kecuali ada ketentuan sebaliknya, misalnya dalam UUD (UUDS 1950 dan KRIS)
disebutkan “undang-undang tidak dapat diganggu gugat” bertalian dengan ajaran
“supremasi parlemen”. Disini UUD lebih dipandang sebagai “asas-asas umum”
daripada sebagai kaidah hukum.51
Peraturan perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo bisa diidentifikasi
dengan ciri-ciri :
1. bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian
merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2. bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-
peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya.
Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi
peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya
sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan
klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan
kembali.
Pendapat Satjipto Rahardjo tersebut melahirkan konsekuensi, bahwa
pengertian dan definisi peraturan perundang-undangan dikunci pada aspek
ketentuan yang mengatur (regeling) dengan sifat berlaku umum, tidak kongkrit dan
ditunjukan untuk publik. Hal tersebut berbeda dengan sifat yang melekat dalam
suatu keputusan (becshikking) yang bersifat konkret, individual dan berlaku sekali
waktu (einmalig). Jika ditarik dalam konteks sistem perundang-undangan
Indonesia, maka suatu produk hukum dalam setiap tingkatan kelembagaan Negara
dapat dikatakan sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan, jika memenuhi
unsur peraturan (regeling) sebagaimana yang disebutkan oleh Satjipto Rahardjo
tersebut.
51 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004), hlm201-202
50
Produk hukum TAP MPR merupakan produk legislasi yang dikeluarkan secara
konsisten oleh MPR melalui fungsi dan wewenang untuk menetapkan garis-garis
besar haluan negara. TAP MPR secara yuridis-formal termasuk salah satu jenis
peraturan-perundang-undangan dengan landasan TAP MPR No. XX/MPR/1966
Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Secara umum
ketetapan MPR dapat diartikan sebagai bentuk produk legislatif yang merupakan
keputusan musyawarah MPR, yang ditujukan keluar yaitu mengatur tentang garis-
garis besar dalam bidang legislatif dan eksekutif. Putusan-putusan MPR itu selama
ini dinamakan Ketetapan ataupun Keputusan. Ketetapan bersifat ke luar dan ke
dalam, sedangkan Keputusan bersifat internal.52
Muatan TAP MPR apabila dianalisa sesuai pendapat Satjipto Rahardjo, belum
sepenuhnya dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan. Disisi
lain nomenklatur ketetapan/keputusan menimbulkan ambiguitas dan kerancuan
filosofis antara teori dengan praktik. TAP MPR yang dikeluarkan semenjak pada
masal awal persidangan mengindikasikan inkonsistensi dalam mengatur muatan TAP
MPR apakah sebagai sebuah produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) atau
menetapkan (beschiking). Berdasarkan peninjauan yang dilakukan, tidak semua
Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR memiliki norma hukum yang sejenis untuk
keseluruhan pasalnya dan juga sifat yang dimiliki Ketetapan tersebut. Dalam
suatu Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR tidak jarang pasal - pasalnya
258
52 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.
51
merupakan campuran dari norma hukum yang bersifat pengaturan (regeling) dan
norma hukum yang bersifat penetapan (beschikking).53
Untuk mengetahui kedudukan TAP MPR dibutuhkan Analisa terhadap muatan
TAP MPR. Istilah materi muatan pertama kali digunakan oleh Hamid S. Attamimi
sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “het onderwerp”.54 Secara doktrinal,
materi muatan adalah muatan yang sesuai dengan bentuk peraturan perundang-
undangan tertentu
Sementara itu, dalam hukum positif materi muatan peraturan perundang-
undangan diartikan sebagai materi yang dimuat dalam peraturan perundang-
undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-
undangan.55Berkaitan dengan produk hukum MPR, materi muatannya akan
berkaitan dengan jenis, fungsi, dan hierarki dari produk hukum MPR. Dengan
demikian, materi muatan Tap MPR juga akan berkaitan erat dengan bentuk Tap MPR
itu sendiri, sehingga akan berbeda dengan materi muatan serta hierarki peraturan
perundang-undangan lainnya.
Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia sejak tahun 1960-an, keberadaan
Tap MPR menunjukkan perkembangan dan perubahan materi muatan dari waktu ke
waktu. Hal itu ditunjukkan dengan judul-judul dan materi muatan dari produk hukum
MPR yang pernah ada sejak pertama kali dikeluarkan pada tahun 1960
sampai dengan terakhir kali dikeluarkan pada tahun 2002. Berkaitan dengan materi
53 Andi Fauziah Nurul Utami, “ Analisa Hukum Kedudukan TAP MPR RI Dalam Hirarki
Pembentukan Perundang-Undangan”, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Hassanudin, 2013,
hlm 18 54 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (
Bandung : Alumni, 1997), hlm 144.
52
muatan Tap MPR, terdapat beberapa pakar yang mengelompokkan Tap MPR
berdasarkan materi muatannya, seperti Sri Soemantri dan Bagir Manan.
Menurut hasil penelitian Sri Soemantri, materi muatan Tap MPR sampai tahun
1985 dikelompokkan ke dalam 9 (sembilan) kelompok sebagai berikut:56
1. Tentang Dasar Negara.
2. Tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan.
3. Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
4. Tentang Pemilihan Umum.
5. Tentang Lembaga-lembaga Negara (Umum).
6. Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat.
7. Tentang Presiden dan Wakil Presiden.
8. Tentang Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
9. Tentang Hal-hal Lain.
Ketetapan MPRS dan ketetapan MPR yang ada dapat ditemukan
beberapa jenis materi yang termuat di dalamnya sebagai berikut57:
1) Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
yang bersifat mengatur sekaligus memberikan tugas kepada
Presiden. Contoh : Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
56 Sri Soemantri, Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara,
(Bandung : Remaja Karya CV, 1980), hlm. 62-293 57 Ibid., hlm 21-23
53
2) Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
yang bersifat penetapan (beschikking). Contoh: Ketetapan MPR RI
Nomor III/MPR/2001 tentang Penetapan Wakil Presiden Megawati
Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia.
3) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat
mengatur kedalam (interneregelingen). Contoh: Ketetapan MPR
RI Nomor I/MPR/1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR.
4) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang
bersifat deklaratif Contoh: Ketetapan MPRS Nomor
VII/MPRS/1965 tentang “GESURI” “TAVIP The Fifth Freedom
is ous Weapon” dan “The Era of Confrontation” sebagai
Pedoman-pedoman Pelaksanaa Manifesto Politik Republik
Indonesia.
5) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang
bersifat rekomendasi. Contoh: Ketetapan MPR RI Nonor
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
6) Ketetapan Majelis Pemusyaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat
perundang - undangan. Contoh: Ketetapan MPR RI Nomor
54
VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan
Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia
Muatan dan jenis TAP MPR berdasarkan klasifikasi diatas menunjukan TAP
MPR semenjak konsep awal MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang mempunyai
produk hukum dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak bersandar pada
teori hukum pada umumnya (mainstrem) melainkan lebih pada wujud praktik
konvensi ketatanegaraan. Menurut Riri Nazriyah, kehadiran Ketetapan MPR
dapat didasarkan pada dua hal yaitu ketentuan hukum yang tersirat dalam UUD 1945
dan dasar bentuk hukum TAP MPR yaitu praktik ketatanegaraan atau kebiasaan
ketatanegaraan. Praktik atau kebiasaan ketatanegaraan merupakan salah satu sumber
hukum tata negara yang terdapat di setiap negara.58 Pada dasarnya sistem
ketatanegaraan Indonesia mengakui keberadaan praktik atau kebiasaan
ketatanegaraan seperti yang disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945, yang berbunyi:
“Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari
hukumnya dasar Negara itu, Undang-Undang Dasar ialah hukum
dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu
berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis”
Dalam teori hierarki norma hukum Hans Nawiasky membagi empat tingkatan
hukum berdasarkan jenis muatan, diantara lain59 :
58 Jimly Asshidddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum”, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2012), hal. 100 59 A. Hamid A. Attamimi, 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm. 287
55
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en
autonome satzung)
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi mencoba
mengaplikasikannya kedalam struktur hierarki perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia. Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, maka tata urutan perundang-
undangan di Indonesi adalah sebagai berikut60 :
1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan
Konvensi Ketatanegaraan.
3. Formell gesetz : Undang-Undang.
4. Verordnung en Autonome Satzung : Secara hierarkis mulai dari
Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Berdasarkan pendapat A. Hamid S. Attamimi, TAP MPR merupakan jenis
peraturan perundangan-undangan yang mengandung muatan aturan-aturan dasar
negara. Pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh kewenangan MPR sebelum
amandemen yang menjadi lembaga tertinggi negara. MPR selain memiliki fungsi
mengubah dan menetapkan UUD 1945 juga mengeluarkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) sehingga produk hukum TAP MPR secara substasial bersifat
mengatur (regeling) meskipun pada faktanya beberapa TAP MPR bersifat
menetapkan (beschiking). Semua materi muatan dapat dituangkan dalam Ketetapan
60 Ibid., hlm 359
56
MPR sesuai dengan keinginan MPR, tidak terbatas pada materi yang bersifat
pengaturan ataupun penetapan (beschikking). Kedudukannya sebagai lembaga
tertinggi negara menyebabkan MPR mempunyai kewenangan yang tidak terbatas.61
Padahal sebenarnya, berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh MPR dalam UUD
1945, materi muatan Ketetapan MPR hanyalah materi muatan untuk menetapkan
garis-garis besar daripada haluan negara, pengangkatan dan pemberhentian
Presiden dan Wakil Presiden. Untuk kewenangan menetapkan Undang-Undang Dasar
tidak dilakukan lagi karena UUD 1945 sudah ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945, dan oleh Presiden melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945.
Istilah Ketetapan yang digunakan sebagai nomenklatur produk hukum MPR
menimbulkan permasalahan secara konsep. Ketetapan atau keputusan yang berarti
beshickking sebenarnya sangat terkait dengan tindakan hukum
penguasa/pemerintah yang mempunyai sifat bersegi satu. Ketetapan mengandung
unsur individual dan konkret ( beshicking). Lawan dari sebuah produk hukum yang
konkret adalah mengatur (regeling). Bentuk keputusan atau ketetapan menjadi
pembeda dari bentuk aturan yang bersifat mengatur seperti undang-undang
(regeling). Disini secara essensial maupun substantif ketetapan tidak sejenis dengan
undang-undang atau produk hukum lain yang memiliki muatan mengatur (regeling)
dan umum (abstract). Menurut Sri Soemantri pada saat UUD 1945 belum diubah
tidak ada dasar hukum dalam UUD 1945 secara jelas dan tegas untuk Ketetapan
MPR(S) seperti halnya undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-
61 Penjelasan Pasal 3 UUD 1945,“Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang
kedaulatan negara maka kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali
dalam 5 tahun, Majelis memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu
dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari”
57
undang, dan peraturan pemerintah.62 Bentuk TAP MPR(S) tumbuh dalam praktik
ketatanegaraan, sejak MPRS bersidang pertama kali tahun 1960.63
Menurut Bagir Manan, terdapat dua alasan kehadiran Tap MPR pada waktu
lalu, yaitu64:
1. Ketentuan-ketentuan yang tersurat dalam UUD 1945.
2. Praktik ketatanegaraan atau kebiasaan ketatanegaraan
Kelahiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut dimaksudkan untuk
menertibkan kerancuan peraturan perundang-undangan yang ada saat itu. Namun,
sebagaimana dikemukakan oleh Maria Farida Indriati S., dimasukkannya UUD
1945 dan Ketetapan MPR sebagai bagian dari bentuk peraturan perundang- undangan
adalah tidak tepat. Karena UUD 1945 terdiri dari dua kelompok norma hukum, yaitu
Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945, dan Staatsgrundgesetz atau Norma Dasar Negara/Aturan
Pokok Negara yang tertuang dalam Batang Tubuh UUD 1945.
Sedang Ketetapan MPR yang meskipun kedudukannya di bawah UUD 1945 juga
berisi garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan negara juga sebagai
Staatsgrundgesetz yang mengandung norma yang masih bersifat garis besar dan
merupakan normaa hukum tunggal yang belum dilekati oleh sanksi. Hal tersebut
berbeda dengan materi muatan perafuran perundang-undangan yang lazim disebut
dengan Formell Gesetz yang berisi peraturan-peraturan untuk mengatur warga
negara dan penduduk secara langsung yang di dalamnya dilekati oleh sanksi pidana
62 Op.cit., Sri Soemantri, Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata
Negara, hlm. 30. 63 Op.cit., Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, hlm 100 64 Loc.it., Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, hlm 14
58
dan sanksi pemaksa bagi pelanggamya. Dengan demikian UUD 1945 dan
Ketetapan MPR tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan, tetapi
masuk dalam kategori Statsgrundgesetz, sehingga menempatkan UUD 1945 dan
Ketetapan MPR ke dalam jenis peraturan-perundangundangan adalah terlalu
rendah. 65
Disamping itu Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tersebut juga
mengandung kelemahan-kelamahan lainnya, diantaranya adalah dimasukkannya
Keputusan Presiden yang bersifateinmahlig dan tidak dimasukkennya Peraturan
Daerah dalam tata urutan perundang-undangan. Karena itu pada Sidang Umum
MPR Tahun 1973 dietapkan bahwa meskipun tetap dinyatakan berlaku agar
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/I966 tersebut disempurnakan, bahkan penetapan
perlunya penyempurnaan tersebut ditetapkan kembali pada Sidang Umum MPR pada
Tahun 1978.
Muatan TAP MPR pada masa sebelum amandemen UUD 1945 dibagi menjadi
dua masa yaitu masa Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa pemerintahan Orde Lama,
terdapat dua periode keanggotaan MPRS yaitu MPRS Periode 1960-1965, dan MPRS
periode 1966-1972. Ketetapan MPRS yang dihasilkan oleh MPRS periode 1960-
1965,terdapat Ketetapan MPRS yang materi muatannya berupa pengaturan, dan ada
pula materi muatan yang berupa penetapan. Bahkan terdapat materi muatan
Ketetapan MPRS yang hanya merupakan penegasan kembali pidato Presiden. Hal ini
terjadi karena MPRS pembentukannya dengan Penetapan Presiden sehingga MPRS
periode ini bukan sebagai pemegang kedaulatan rakyat
sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Bahkan, Ketua MPRS (Chairul Saleh)
65 Op.cit., Maria Farida Indrati, hlm 72-75
59
diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri yang kedudukannya berada di bawah
Presiden. Posisi ini jelas menempatkan lembaga MPRS berada di bawah Presiden
sehingga Presiden tidak bertanggungjawab kepada MPRS, yang berarti sistem
ketatanegaraan seperti ini tidak sesuai dengan maksud UUD 1945. Meskipun
demikian, hubungan antara MPRS dengan Presiden dapat dikatakan harmonis.66
Ketetapan MPR No. 1/MPR/1973 tentang Peraturan Tata Tertib MPR
mempertegas kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan. Pasal 102
menentukan tentang bentuk-bentuk Keputusan MPR: pertama, Ketetapan MPR
yaitu putusan MPR yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam
Majelis; kedua, Keputusan MPR yaitu putusan MPR yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat ke dalam majelis.67
Materi muatan Ketetapan MPRS yang merupakan penegasan kembali pidato
Presiden :
a. Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik
Republik Indonesia Sebagai Garis-Garis Besar dari pada Haluan
Negara, merupakan penegasan dari pidato Presiden yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang terkenal sebagai Manifesto
Politik Republik Indonesia (merupakan amanat Presiden yang
disampaikan pada tanggal 17 Agustus 1959), pidato Presiden yang
berjudul “Jalannya Revolusi Kita” yang merupakan pedoman
pertama Manifesto Politik Republik Indonesia (merupakan amanat
66 Loc.it., Widyawati, hlm 130 67 Ketetapan MPR memiliki kekuatan hukum mengikat keluar dan kedalam berarti Ketetapan
MPR mengikat untuk seluruh bangsa Indonesia termasuk MPR beserta seluruh anggotanya.
60
Presiden yang disampaikan pada tanggal 17 Agustus 1960), pidato
Presiden yang berjudul “The Build the world a new” (membangun
dunia kembali) yang disampikan di muka Sidang Umum PBB
pada tanggal 30 September 1960.
b. Ketetapan MPRS Nomor IV/ MPRS/1963 tentang
Pedomanpedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara
dan Haluan Pembangunan, merupakan penegasan pidato Presiden
yang berjudul “Resopim” (Revolusi-Sosialisme Indonesia
Pimpinan Nasional, pidato kenegaraan yang disampaikan oleh
Presiden pada tanggal 17 Agustus 1961) dan pidato Presiden yang
berjudul “Tahun Kemenangan” (Takem, pidato kenegaraan yang
disampaikan oleh Presiden pada taanggal 17 Agustus 1962),
“Deklarasi Ekonomi” (Dekon), diucapkan oleh Presiden pada
tanggal 28 Maret 1963) dan “Ambeg Parama Arta” (Berwatak pandai
mendahulukan urusan yang penting, amanat pengantar Laporan
Berkala Presiden/Mandataris MPRS yang diucapkan oleh Presiden
pada pembukaan Sidang kedua MPRS pada tanggal 15
Mei 1963 di Bandung).
c. Ketetapan MPRS Nomor V/ MPRS/1965 tentang Amanat Politik
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS yang
berjudul “Berdikari” sebagai Penegasan Revolusi Indonesia dalam
bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan
Program Perjuangan Rakyat Indonesia, materi muatannya didasarkan
pada amanat politik Presiden yang berjudul “Berdiri di
61
atas Kaki Sendiri” (Berdikari, merupakan amanat Presiden yang
disampaikan pada Pembukaan Sidang Umum MPRS Ketiga pada
tanggal 11 April 1965).
d. Ketetapan MPRS Nomor VI/ MPRS/1965 tentang Banting Stir
untuk Berdiri di atas Kaki Sendiri di bidang Ekonomi dan
Pembangunan, materi muatannya didasarkan pada amanat politik
Presiden yang berjudul “Berdikari”.
e. Ketetapan MPRS Nomor VII/ MPRS/1965 tentang “GESURI”,
“TAVIP”, “The Fifth Freedom is our Weapon”, dan “The Era of
Confrontation” sebagai Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto
Politik Republik Indonesia, materi muatannya berdasarkan pada
empat pidato Presiden yaitu: pertama, pidato berjudul “GESURI”
(Genta Revolusi Indonesia, pidato kenegaraan yang disampaikan
oleh Presiden pada tanggal 17 Agustus 1963). Kedua, pidato yang
berjudul “TAVIP” (Tahun Vivere Pericoloso, pidato kenegaraan
yang disampaikan oleh Presiden pada tanggal 17 Agustus 1964).
Ketiga, pidato yang berjudul “The Fifth Freedom is our Weapon”
(diucapkan oleh Presiden di depan musyawarah para menteri
negara-negara Asia Afrika pada tanggal 10 April 1964). Keempat,
pidato yang berjudul “The Era of Confrontation” (diucapkan oleh
Presiden di Konferensi Tingkat Tinggi nonblok kedua di Kairo
pada tanggal 6 Oktober 1964).
Materi muatan Ketetapan MPRS yang hanya merupakan penegasan kembali
pidato Presiden menempatkan MPR sekedar sebagai legislator dari haluan-haluan
62
yang disampaikan oleh Presiden dalam pidatonya yang berupa manifesto politik,
haluan pembangunan, Pemimpin Besar Revolusi, dan sebagainya.68
Pada masa ini juga terdapat materi muatan Ketetapan MPRS yang
bertentangan dengan UUD 1945, yaitu Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963
tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi
Presiden Seumur Hidup. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 7 UUD 1945
yang membatasi masa jabatan Presiden selama 5 (lima) tahun. Pengangkatan Bung
Karno sebagai Presiden seumur hidup didasarkan pada beberapa pertimbangan
berikut ini.
a. Presiden Soekarno telah diangkat menjadi Pemimpin Besar
Revolusi Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor
I/MPRS/1960.
b. Presiden Soekarno telah diangkat menjadi Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan kekuasaan penuh
berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960.
c. Selama perjalanan Revolusi Nasional Indonesia, Bung Karno
sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia telah berhasil
memimpin Revolusi hingga mencapai kemenangankemenangan.
d. Pribadi Bung Karno merupakan perwujudan perpaduan
pimpinan Revolusi dan pimpinan negara serta merupakan
pemersatu dari seluruh kekuatan rakyat revolusioner.
Materi muatan Ketetapan MPRS produk MPRS periode 1966-1972 terdapat
materi muatan yang bersifat pengaturan dan materi muatan yang bersifat penetapan.
68 Ibid., hlm 131
63
MPRS pada periode ini juga mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 untuk terwujudnya kepastian dan keserasian hukum. Untuk
pertama kalinya dibentuk sebuah produk hukum tentang jenis dan tata urutan
peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, materi muatan Ketetapan MPRS yang
dibentuk oleh MPRS periode 1966- 1972 ini lebih merupakan kekecewaan MPRS
terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno.69
Pada masa pemerintahan Orde Baru, terdapat enam periode keanggotaan MPR
yaitu MPR periode1972-1977, MPR periode 1977-1982, MPR periode 1982-1987,
MPR periode 1987-1992, MPR periode 1992-1997, dan MPR periode 1997-2002.
Hampir seluruh materi muatan Ketetapan MPR pada masa pemerintahan Orde Baru
sama, yaitu berisi Peraturan Tata Tertib MPR, penetapan GBHN, dan Pengangkatan
Presiden dan Wakil Presiden. Hanya pada MPR periode tertentu saja menghasilkan
Ketetapan MPR yang materi muatannya berbeda dari yang lain.70
Materi muatan Ketetapan MPR periode 1972-1977 ada yang bersifat
pengaturan dan ada yang bersifat penetapan. Berbeda dengan materi muatan
Ketetapan MPR sebelumnya, pada masa ini materi muatan Ketetapan MPR lebih pada
usaha untuk mencegah agar kekuatan politik orde lama tidak muncul lagi. Materi
muatan Ketetapan MPR periode 1977-1982 sama dengan materi muatan Ketetapan
MPR periode sebelumnya. Pada periode ini terdapat Ketetapan MPR
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka prasetya
69 Ibid., hlm 132 70 Ibid.
64
Pancakarsa). Ketetapan MPR ini dimaksudkan untuk mencegah bangkitnya bahaya
laten komunis yang berupaya untuk mengubah dasar negara Pancasila.71
Sesuai dengan makna dan maksud dibentuknya Tap MPR, maka sebagai
sumber hukum, Ketetapan MPR berisi antara lain: pertama, Ketetapan MPR yang
memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan undang-
undang; kedua, Ketetapan MPR yang memuat GBHN dalam bidang ekskutif
dilaksanakan dengan Keputusan Presiden. Hal ini berarti bahwa Ketetapan MPR di
satu pihak dapat dilaksanakan dengan Keputusan Presiden. Sedangkan dari segi
subtansi, Ketetapan MPR memiliki isi mengatur (regeling) dan merupakan keputusan
(beschikking).
Meskipun TAP MPR merupakan keputusan (beschiking), MPR secara resmi
menggunakan istilah Ketetapan untuk merujuk pada produk hukum yang bersifat
mengatur (regeling). Ketidakjelasan penggunaan istilah ketetapan MPR dan
keputusan MPR dapat mengaburkan tujuan serta pengertian masing-masing. Jika
arti ketetapan MPR itu berbeda dengan keputusan MPR, karena menurut Pasal 3
Undang-Undang Dasar 1945 Ketetapan MPR hanya untuk produk hukum yang materi
muatannya adalah Undang- Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan
negara, sebaiknya hal-hal yang berada di luar Pasal 3 Undang-Undang Dasar
1945 tidak digunakan istilah ketetapan MPR tetapi digunakan istilah Keputusan
MPR.72 Sampai pada amandemen UUD 1994, posisi TAP MPR dalam sistem
perundangan-undangan memegang peran yang signifikan. Kedudukan TAP MPR
71 Ibid., hlm 135 72 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem
Undang-Undang Dasar 1945, ( Jakarta : Gramedia, 1980), hlm 49
65
semenjak tahun 1960 sampai 2003 merupakan produk hukum yang diakui sebagai
wujud praktik ketatanegaraan.
Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan MPR secara kontinuitas
mengeluarkan GBHN melalui produk hukum TAP MPR. Dokumen GBHN sendiri
pertama kali ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Perpres No. 1 Tahun 1960
tentang Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara. Dalam Pasal 1 Perpres tersebut
dinyatakan bahwa “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat terbentuk, maka
Manifesto Politik Republik Indonesia yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus
1959 oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang adalah garis-garis besar
daripada haluan negara”. Salah satu pertimbangan ditetapkannya GBHN ini adalah
perlunya arah tujuan dan pedoman tertentu dan jelas untuk “melancarkan kelanjutan
revolusi kita dalam keinsyafan demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin”.
Selain itu dalam Penpres itu juga dijelaskan bahwa “arah tujuan dan pedoman
yang jelas menyeluruh itu terdapat pada Amanat Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berkepala “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”, dan yang berisi pengupasan dan penjelasan persoalan
persoalan beserta usaha usaha pokok dari pada revolusi kita yang menyeluruh”.
Perpres ini kemudian diperkuat lagi melalui Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal
19 November 1960 tentang “Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-
garis Besar daripada Haluan Negara”. Dalam ketetapan ini dijelaskan bahwa
Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama “Jalannya
Revolusi Kita” dan Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di muka Sidang
Umum PBB yang berjudul “To Build the World a New” (Membangun Dunia
66
kembali) adalah pedoman-pedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik
Indonesia. Sebagai rincian dari ketetapan ini kemudian Dewan Perancang Nasional
(Depernas) membuat Rancangan Pembangunan Nasional Semesta Berencana
Delapan Tahun 1961 – 1969. Rancangan ini kemudian diterima dan ditetapkan oleh
MPRS sebagai Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana
Tahapan Pertama 1961-1969 melalui Tap MPRS No.II/MPRS/1960 tanggal 3
Desember 1960. Dokumen GBHN yang terakhir dihasilkan pada era demokrasi
terpimpin ditetapkan melalui Ketetapan MPRS No. IV/MPRS/1963 tentang Pedoman
Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. GBHN ini
juga mengacu pada Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1961 berjudul “Resopim”
(Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional) dan Pidato Presiden
tanggal 17 Agustus 1962 berjudul “Tahun Kemenangan” yang dijadikan sebagai
pedomanpedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia.73
Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru menjadi titik tolak (turning
point) pembangunan bangsa Indonesia. MPR selama masa Orde Baru secara
berkala mengeluarkan TAP MPR yang mengatur GBHN sebagai pedoman Presiden
melaksanakan program kerja. Rencana pembangunan pada era Orde Baru dikenal
sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun ( REPELITA). Proses perencanaan
pada era Repelita selalu didasarkan kepada GBHN yang dihasilkan oleh MPR yang
bersidang lima tahun sekali.
Selanjutnya pada kurun waktu 1969–1998 bangsa Indonesia berhasil
menyusun rencana pembangunan nasional secara sistematis melalui tahapan lima
73 Imam Subkhan,” GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan Indonesia”, Jurnal
Aspirasi, Volume 5 No.2, Desember, 2014, hlm 135
67
tahunan. Pembangunan tersebut merupakan penjabaran dari Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang memberikan arah dan pedoman bagi pembangunan negara
untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejak
1 April 1969 hingga 21 Mei 1998, tidak kurang dari enam Tap MPR tentang
GBHN. Enam Tap MPR tersebut, yaitu: (i) Tap MPR No. IV/MPR/1973; (ii) Tap
MPR No. II/MPR/ 1978; (iii) Tap MPR No. IV/ MPR/1983; (iv) Tap MPR No.
II/MPR/1988; (v) Tap MPR No. II/MPR/1993; dan terakhir (vi) Tap MPR No.
II/MPR/1998. Untuk konteks pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota),
dokumen GBHN ini diterjemahkan ke dalam dokumen Pola Dasar Pembangunan
Daerah (Poldasbangda).74 Tahapan pembangunan yang disusun dalam masa itu
telah meletakkan dasar-dasar bagi suatu proses pembangunan berkelanjutan dan
berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti tercermin dalam berbagai
indikator ekonomi dan sosial. Pemerintah Orde Baru melakukan konsolidasi negara
melalui berbagai proyek pembangunan yang mereka jalankan seperti pembangunan
waduk dan irigasi, pembangunan infrastruktur jalan, penataan pranata sosial, hingga
pengaturan media. Semua itu dilakukan dalam rangka menciptakan stabilitas politik
sebagai prasarat bagi pembangunan ekonomi. Secara garis besar, TAP MPR dalam
periode sebelum amandemen UUD 1945 adalah produk hukum yang dijadikan
aturan dasar negara, patokan serta pedoman seluruh lembaga-lembaga kekuasaan
sampai pada perubahan amandemen UUD 1945 yang dimotivasi gerakan reformasi
dalam berbangsa dan bernegara.
74 Ibid., 136-137
68
B. Kedudukan TAP MPR Sesudah Amandemen UUD 1945
Reformasi tahun 1998 telah membawa perubahan mendasar pada aspek
kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Reformasi yang menandai awal dari sebuah
era demokrasi di Indonesia mengharuskan adanya perubahan-perubahan khususnya
pada tatanan hukum karena di masa Orde Baru telah banyak terjadi praktik-praktik
pelanggaran hukum seperti kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Selain itu,
lembaga-lembaga negara juga mengalai defungsionalisasi yang berdampak pada
tidak berjalannya fungsi-fungsi kekuasaaan sebagaimana mestinya. Lembaga DPR
sebagai pelaksana fungsi legislatif di masa Orde Baru menjadi objek dari kekuasaan
eksekutif. Gema pembaharuan yang disuarakan oleh kalangan politikus, akademik
dan aktivis mencapai momentumnya saat UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis
diamandemen untuk menampung perubahan-perubahan tersebut. Reformasi hukum
yang terjadi sejak 1998 dilembagakan melalui, antara lain, pranata perubahan UUD
1945 (baca: UUD NRI 1945). Semangat UUD NRI 1945 adalah mendorong
terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis. Perubahan UUD 1945
sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali, yaitu: pertama, perubahan
pertama disahkan pada 19 Oktober 1999; kedua, perubahan kedua disahkan pada 18
Agustus 2000; ketiga, perubahan ketiga disahkan pada 10 November 2001;
keempat, perubahan keempat disahkan pada 10 Agustus 2002.
Amandemen UUD 1945 membawa perubahan pada struktur ketatanegaraan
Indonesia. Perubahan signifikan terjadi pada fungsi dan wewenang lembaga- lembaga
negara. Ada lembaga negara baru yang dibuat seperti Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial. Selain penambahan lembaga baru, lembaga negara yang sudah ada
mengalami refungsionalisasi seperti MPR. Perubahan Undang-
69
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tataran implementasi,
telah membawa perubahan baik penghapusan pembentukan lembaga-lembaga negara.
Dampak perubahan terhadap MPR sebagai lembaga negara terutama pada fungsi,
kedudukan, tugas dan wewenangnya. Kedudukan MPR setelah perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak lagi menjadi sebuah
lembaga yang memegang dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat.75
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebelum perubahan menyatakan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Ketentuan tersebut
berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar” .76 Perubahan kewenangan MPR adalah wujud dari
aspirasi reformasi yang mengingikan struktur kekuasaan negara lebih demokratis
dengan melakukan penyeimbangan kekuasaan. Sebelum amandemen MPR
merupakan lembaga tertinggi rakyat. Implikasi MPR sebagai lembaga tertinggi
negara membuat kedudukan semua lembaga negara dibawah MPR termasuk
kekuasaan eksekutif yang hanya memegang mandat dari MPR.
Adanya perubahan implementasi prinsip kedaulatan rakyat dalam UUD 1945
mengakibatkan perubahan kedudukan dan wewenang MPR Sejak semua lembaga
negara mendapatkan kekuasaan dari UUD 1945, maka MPR tidak lagi memiliki
wewenang membentuk Ketetapan MPR. MPR lebih berfungsi sebagai lembaga
konstituante (berwenang mengubah dan menetapkan UUD) dan berfungsi semacam
75 Sekretariat Jendral Mpr RI, Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawratan Rakyat
Republik Indonesia (Sekretariat Jendral: Jakarta, 2001), Cetakan Ke-9, Hlm. 1. 76 Titik Triwulan, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Prestasi Pustaka: Jakarta,
2005), Hlm. 128.
70
joint session dari dua lembaga parlemen, yaitu DPR dan DPD. Oleh karena itu
Ketentuan Pasal 3 UUD 1945 berubah menjadi “Majelis Permusyawaratan Rakyat
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Pasal 3 UUD 1945 mengatur wewenang MPR :
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan Undang•Undang Dasar;
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau
Wakil Presiden;
3) ajelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang•-Undang Dasar.
Wewenang dan tugas MPR diatur lebih spesifik dalam Pasal 4,5 dan 6 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah :
MPR berwenang:
Pasal 4
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan
umum;
c. memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh
Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden
dalam masa jabatannya; dan
71
f. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2
(dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir
masa jabatannya.
Pasal 5
MPR bertugas:
a. memasyarakatkan ketetapan MPR;
b. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
c. mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan
d. menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 6
(1). Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 MPR memiliki kemandirian
dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program
dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama
DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2). Dalam menyusun program dan kegiatan MPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, MPR
dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya
kepada Pemerintah untuk dibahas bersama.
(3). Anggaran MPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal MPR sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4). MPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran
MPR dalam peraturan MPR sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Setelah perubahan UUD 1945, status MPR bukan lagi sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat seperti sebelumnya, sehingga membawa konsekuensi MPR tidak
lagi sebagai lembaga negara tertinggi. Akibat perubahan UUD 1945, MPR menjadi
lembaga tinggi yang sejajar dengan lembaga lainnya yaitu Presiden, DPR, MA, BPK,
MK, dan DPD. Akibat adanya perubahan status dan kedudukan MPR tersebut
72
membawa pula konsekuensi terhadap kewenangan MPR dalam pembentukan
produk hukum. Pembentukan Ketetapan MPRS/MPR tersebut menjadi tidak
diperlukan lagi oleh karena dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945
(perubahan) Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi mempunyai kewenangan
memilih Presiden/Wakil Presiden, sehingga Presiden tidak lagi bertugas
melaksanakan ketetapan-ketetapan MPRS/MPR yang merupakan mandat
Presiden.77
Adanya perubahan kewenangan MPR tersebut kemudian diikuti dengan
penetapan Pasal I Aturan Tambahan dalam UUD 1945 (perubahan) yang menyatakan
sebagai berikut :
“Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan
peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis
Permusyawaratn Rakyat tahun 2003”
Secara umum, implikasi dari perubahan UUD 1945 memberikan akibat
perubahan kedudukan dan kewenangan MPR. Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi
mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR,
antara lain :
1. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara sebagai
perwujudan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, yakni menjadi representasi
absolut dari kedaulatan rakyat Indonesia. MPR pasca perubahan
UUD 1945, kini memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga
tinggi Negara lainnya, yakni Lembaga Kepresidenan, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
77 Maria Farida Indrarti, “Tinjaun Terhadap Materi Ketetapan MPR/MPRS Dalam
Staatsgrundgesetz ( Hasil Penelitian terhadap Ketetapan MPR/MPRS sejak Tahun 1960 s/d 2002,” (
Jurnal Hukum Internasional, Volume 2 No.4, Juli, 2005), hlm 776
73
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
2. Sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga
tertinggi Negara, maka MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan
tetapi cendrung menjadi “joint sesion” antara anggota DPR dan
anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga konstituante
yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
Secara implisit, roh atau eksistensi MPR menjadi ada atau diadakan
jika berkenaan dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana pendapat
Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ MPR itu sendiri
baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau
functie-nya sedang dilaksanakan78. Dalam pola Negara kesatuan
sebagaimana dianut oleh Indonesia, supremasi parlemen yang
memegang fungsi legislasi, hanya ada ditangan DPR dan DPD
bukan ditangan MPR lagi.
3. MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan
yang bersifat mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD
1945 hanya diberikan kewenangan dalam membuat ketetapan
yang bersifat keputusan (beshickking). Dihilangkannya
kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan
Negara, berarti aturan dasar Negara kita berlaku secara singular
atau tunggal yang bertumpu kepada UUD Negara Republik
78 Jimly Asshidiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta :
Konstitusi Pers (cetakan ke-3), 2006), hlm 87
74
Indonesia Tahun 1945. MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan
aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI Tahun 1945
yang bersifat mengatur.
TAP MPR menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli hukum disebabkan
perubahan kewenangan MPR secara simultan membuat TAP MPR tidak lagi eksis
dalam sistem perundangan-undangan. Namun, banyak ahli hukum yang
mempertanyakan dan mempermasalahkan eksistensi TAP MPR setelah amandemen
UUD 1945 baik dari segi status, kedudukan, muatan maupun hubungannya dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Peninjauan terhadap seluruh Ketetapan MPRS/MPR dilakukan dengan
melakukan pengkajian dan analisis tentang materi atau substansi yang dirumuskan
dalam setiap Ketetapan MPRS/MPR, yang dibentuk antara tahun 1960 sampai dengan
2002, dan kemudian memisahkannya dalam kelompok-kelompok yang mempunyai
kesamaan materi. Sedangkan peninjauan terhadap status hukum Ketetapan
MPRS/MPR dilakukan dengan melakukan pengkajian dan analisis terhadap sifat-sifat
norma yang terdapat dalam setiap Ketetapan MPRS/MPR tersebut dan kemudian
menentukannya dalam kelompok-kelompok yang mempunyai kesamaan dari segi
hukumnya.
Berdasarkan kajian yang dilakukan melalui berbagai teori kenegaraan dan teori
perundang-undangan maka ditemukan berbagai jenis ketetapan MPRS/MPR,
misalnya :
1. Ketetapan MPRS/MPR yang secara hukum masih berlaku tersebut
kadang-kadang secara nyata tetap menjadi suatu pedoman bagi
masyarakat, ataupun bagi pejabat dalam membentuk berbagai peraturan
75
perundang-undangan dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan
negara, misalnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
2. Selain itu, terdapat juga Ketetapan MPRS/MPRyang masih diinginkan
oleh masyarakat luas untuk tetap dipertahankan eksistensinya, misalnya,
Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi terlarang di Seluruh
Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan
Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan
Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Hasil penelitian dan kajian yang dilakukan terhadap Ketetapan MPRS/MPR
sejak 1960 sampai dengan 2003 tersebut secara keseluruhan dapat digolongkan ke
dalam 6 (enam) golongan yaitu :
1. Ketetapan MPRS/MPR yang sudah tidak berlaku, karena jangka waktu
berlakunya atau karena sifat normanya yang individual, konkret dan
sekali selesai;
2. Ketetapan MPRS/MPR yang masih dapat tetap berlaku karena belum
terpenuhinya ketentuan di dalam pasal-pasalnya;
3. Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku sampai terbentuknya
pemerintahan hasil Pemilihan Umum 2004;
4. Ketetapan MPRS/MPR yang masih dapat tetap berlaku sampai
terbentuknya undang-undang yang diamanatkan;
76
5. Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku sampai ditetapkannya
Peraturan Tatat Tertib yang baru oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
hasil Pemilihan Umum 2004; dan
6. Ketetapan MPRS/MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih
lanjut, karena bersifat final, telah dicabut, ataupun telah selesai
dilaksanakan.
Penjabaran dari keenam penggolongan TAP MPR diatas sebagai berikut79:
1. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, Pasal 1 TAP MPRS/TAP MPR
yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku yang terdiri 8 (delapan) TAP,
yaitu:
a. Ketetapan MPRS RI Nomor X/MPRS/1966 tentang
Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat
Pusat Dab Daerah Pada Posisi Dan Fungsi Yang Diatur
Dalam Undang - Undang Dasar 1945.
b. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/1973 tentang
Kedudukan Dan Hubungan Tata- Kerja Lembaga
Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga - Lembaga
Tinggi Negara.
c. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR.1973 tentang
Keadaan Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Republik
Indonesia Berhalangan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI Tahun 1945
79 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI Tahun
1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sekretarian Jendral
MPR RI 2012, hlm 54
77
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia.
d. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentang
Kedudukan Dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi
Negara dengan/atau Antar Lembaga - Lembaga Tinggi
Negara.
e. Kertetapan MPR RI Nomor III/MPR/1988 tentang
Pemilihan Umum.
f. Ketetapan MPR RI Nomor XIII/MPR/1998 tentang
Pembatasan Masa Jabatan Presiden Dan Wakil Presiden
Republik Indonesia.
g. Ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998 tentang
Perubahan Dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis
Permusyawaran Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum.
h. Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak
Asasi Manusia Kedelapan TAP tersebut telak berakhir
masa berlakunya dan/atau telah diatur di dalam Undang -
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, Pasal 2 TAP MPRS/TAP MPR
yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan. Dalam hal ini ada 3(tiga)
TAP yaitu 80:
80 Ibid., hlm 55
78
a. Ketetapan MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang
Pembubaran Partai Politik Komunis Indonesia, Pernyataan
Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara
Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan
Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau
Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme
/Marxixme-Leninisme.(tetap berlaku dengan ketentuan:
seluruh ketentuan dalam Ketetapan MPRS RI Nomor
XXV/MPRS 1966 ini, ke depan diberlakukan dengan
BERKEADILAN dan MENGHORMATI HUKUM,
PRINSIP DEMOKRASI dan HAK ASASI MANUSIA.
b. Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik
Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.(tetap
berlaku dengan ketentuan: pemerintah berkewajiban
mendorong keberpihakan poltik ekonomi yang lebih
memberikan kesempatan dukungan dan pengembangan
ekonomi, usaha kecil menegah, dan koperasi sebagai pilar
ekonomi dalam membangkitkan terlaksananya
pembangunan nasional dalam rangka demokrasi ekonomi
sesuai dengan hakikat Pasal 33 UUD NKRI Tahun 1945)
c. Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999 Tentang
Penentuan Pendapat di Timor Timur. (tetap berlaku
dengan ketentuan: ketetapan ini tetap berlaku sampai
terlaksananya ketentuan dalam Pasal 5 dan Pasal 6
81 Ibid., hlm 59
79
Ketetapan MPR RI Nomor V/MPR/1999.( karena masih
adanya masalah-masalah kewarganegaraan, pengungsian,
pengembalian asset Negara, dan hak perdata
perseorangan)
3. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003, Pasal 3 TAP MPRS/TAP MPR
yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan
hasil pemilu 2004. Dalam hal ini ada 8 (delapan) TAP, yaitu81:
a. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis
Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004
b. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang
Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah.
c. Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2000 Tentang
Laporan Tahunan Lembaga - Lembaga Tinggi Negara
Pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 2000.
d. Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2001 tentang
Penetapan Wakil Pesiden Republic Indonesia Megawati
Soekarno Putri Sebagai Presiden Republik Indonesia.
e. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2001 tentang
Pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia.
f. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan
Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
82 Ibid., hlm 60
80
Republik Indonesia Oleh Lembaga Tinggi Negara Pada
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Tahun 2001.
g. Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/2002 tentang
Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemilihan
Ekonomi Nasional
h. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2002 tentang
Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR,
BPK, MA Pada Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Kedelapan TAP tersebut tidak berlaku kerena pemerintahan hasil pemilu 2004
telah terbentuk.
4. TAP MPRS/TAP MPR, Pasal 4 yang dinyatakan tetap berlau sampai
dangan terbentuknya undang - undang. Dalam hal ini ada 11(sebelas)
TAP, yaitu82:
a. TAP MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang
pengangkatan pahlawan ampera.
b. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
Negara yang bersih dan bebas korupsi, Kolusi dan
nepotisme.
c. TAP MPR Nomr XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan; serta
81
perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka
Negara kesatuan republik Indonesia.
d. TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan
tata urutan peraturan perundang – undangan.
e. TAP MPR Nomor/MPR/2000 tentang pemantapan
persatuan dan kesatuan nasional.
f. TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan
tentara nasional Indonesia dan kepolisian Negara Republik
Indonesia.
g. TAP MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang peran tentara
nasional Indonesia dan peran kepolisian Negara Republik
Indonesia.
h. TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan
berbangsa.
i. TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang visi Indonesia
masa depan.
j. Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang
rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan
KKN.
k. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2000 tentang pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
5. Pasal 5, TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan
ditetapkanya peraturan tata tertib yang baru oleh MPR hasil pemilu 2004.
83 Ibid., hlm 72
82
Kelima TAP MPR yang terdapat di dalam Pasal 5 tentang Peraturan Tata
Tertib MPR, yaitu83:
1) TAP MPR No.II/MPR/1999
2) TAP MPR No.I/MPR/2000
3) TAP MPR No.II/MPR/2000
4) TAP MPR No.V/MPR/2001
5) TAP MPR No.V/MPR/2002
TAP ini dinyatakan sudah tidak berlaku lagi karena telah terbentuknya
peraturan tata tertib MPR hasil Pemilu 2004.
6. Pasal 6, TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu lagi
dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final(Einmalig),
telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Ketetapan di dalam Pasal
ini berjumlah 104 ketetapan.
Setelah selama 34 (tiga puluh empat) tahun, maka pada sidang MPR tahun 2000
ditetapkanlah Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (TAP MPR No. III/MPR/2000), yang
menggantikan TAP MPRS/TAP MPRS No. XX/MPRS /1966. Dimana dalam TAP
MPR tersebut masalah hierarki peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai
berikut:
Pasal 2
Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam
pembuatan aturan hukum dibawahnya. Tata urutan peraturan perundang-
undangan Republik Indonesia adalah :
83
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia84;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti
5. Undang-Undang (PERPU);
6. Peraturan Pemerintah;
7. Keputusan Presiden;
8. Peraturan Daerah
Kedudukan Ketetapan MPR tidak mengalami perubahan, sama sebagaimana yang
diatur di dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966. Meskipun proses
amandemen UUD 1945 sudah dilakukan dan MPR hasil pemilu pasca reformasi
sudah terbentuk, akan tetapi pada saat Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
dibentuk, MPR masih berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan
pelaksana penuh kedaulatan rakyat, sehingga kewenangan dan fungsi MPR pun
belum berubah. Justru kewenangan MPR bertambah, yaitu melakukan pengujian
terhadap undang-undang jika bertentangan dengan UUD 1945 dan Ketetapan MPR,
sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 yang
menyatakan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.” (Pada waktu Ketetapan MPR ini dibentuk, lembaga
Mahkamah Konstitusi belum dibentuk. Berdasarkan ketentuan Pasal III Aturan
Peralihan dalam amandemen keempat UUD 1945, Mahkamah Konstitusi dibentuk
84 Huruf tebal dari penulis.
84
selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk, segala
kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung).85
Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya tetap mengukuhkan kedudukan
TAP MPR dibawah UUD 1945 dan diatas Undang-Undang. Pada dasarnya,
kedudukan TAP MPR setelah amandemen menuai banyak kritik dari para ahli hukum.
Kritik tersebut didasari oleh perubahan kewenangan MPR yang sudah tidak lagi
memiliki wewenang dalam menetapkan GHBN seperti di masa sebelumnya.
Lahirnya Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah wujud dari perkembang sistem perundangan-undangan
Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diatur hierarki peraturan perundang-
undangan yang sebelumnya diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966, Ketetapan MPR No. 1/MPR/1973 dan Ketetapan MPR Nomor
III/ MPR/2000. Pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut yang menyatakan, Jenis dan Hierarki
Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang atau PERPU;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah
85 Widayati, Absori & Aidul Fitriciaida Azhari,”Rekonstruksi Kedudukan TAP MPR Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Jurnal Media Hukum No.2 Vol.21, Desember, 2014), hlm 267
85
Dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa TAP MPR/S tidak dimasukkan lagi
kedalam hierarki sebagai jenis peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat
dipahami mengingat MPR tidak berwenang lagi membentuk TAP MPR yang
bersifat mengatur setelah hapusnya kewenangan menetapkan GBHN. Namun
menurut TAP MPR No. I/MPR/2003 masih terdapat tiga ketetapan yang masih
berlaku dengan ketentuan86 dan sebelas ketetapan yang masih berlaku sampai
terbentuknya undang-undang87.
Penghapusan kedudukan TAP MPR dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak serta merta
menghilangkan eksistensi TAP MPR. Mengutip pendapat Mahfud MD, bahwa TAP
MPR tetap saja boleh ada dan dikeluarkan oleh MPR, tetapi terbatas hanya untuk
penetapan yang bersifat beschikking (konkret dan individual).88 Seperti TAP
tentang pengangkatan Presiden, TAP tentang pemberhentian Presiden dan
sebagainya. Bahkan TAP MPR tetap dijadikan sebagai sumber hukum yang bersifat
materiil. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahfud MD, bahwa sebagai sumber
hukum, TAP MPR dapat dijadikan sebagai sumber hukum materiil (bahan pembuatan
hukum), namun bukan sumber hukum formal (peraturan perundang- undangan).
Sebagai sumber hukum materiil, TAP MPR bisa menjadi bahan hokum seperti halnya
nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, keadaan
sosial dan ekonomi masyarakat, warisan sejarah dan budaya
bangsa dan lain-lain.
86 Lihat TAP MPR No. I/MPR/2003 pasal 2 87 Lihat TAP MPR No. I/MPR/2003 pasal 4 88 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta
: Rajawali Pers, 2010), hlm 34
86
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, merupakan produk hukum setelah
perubahan UUD 1945 sekaligus sebagai salah satu aturan hukum operasional dari
UUD NRI 1945. Hal yang perlu dicermati bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tidak dikenal lagi adanya Tap MPR dalam hierarki peraturan
perundang-undangan. Tetapi ironisnya, masih ada beberapa Tap MPR yang tetap
diberlakukan meskipun kedudukan dan status hukumnya telah dianulir menurut
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Misalnya, Tap MPR RI No. VI/MPR/2000
tentang Pemisahan TNI dan POLRI. Walaupun ketentuan ini telah diakomodasi
dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI,
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-
Undang Nomor 34 tentang Tentara Nasional Indonesia, tetapi Tap MPR RI No.
VI/MPR/2000 tersebut dinyatakan tetap berlaku karena peraturan kerjasama dan
saling membantu antara TNI dan POLRI masih perlu diatur lebih lanjut oleh Undang-
Undang. Berdasarkan kenyataan demikian terjadi permasalahan hukum terhadap
keberadaan Tap MPR tersebut. Jenis dan hierarki peraturan perundang- undangan
menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 adalah berikut ini.
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
87
Tidak dimasukan kembali TAP MPR kedalam hierarki peraturan perundang-
undangan menimbulkan pertanyaan dari para ahli hukum. Tidak jelas pertimbangan
dari pembentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak memasukan Ketetapan
MPR ke dalam jenis dan hiraki peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, hal
tersebut dapat dipahami karena setelah Undang-Undang Dasar 1945 dimandemen,
MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk membuat ketetapan yang isinya
bersifat mengatur. Kewenangan MPR sebagaimana diatur dalam Pasal
3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu mengubah
dan menetapkan undang-undang dasar, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden,
memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-
undang dasar, adalah bersifat beschiking.89 Dapat dipahami apabila kemudian
pembentuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengeluarkan Ketetapan MPR
dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Ketetapan MPR masuk ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan. Ketetapan MPR yang dimaksud di sini adalah Ketetapan MPRS dan
Ketetapan MPR yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. Tap MPR kembali menjadi sumber
hukum formal dan material. Tap MPR harus kembali menjadi rujukan atau salah
satu rujukan selain UUD 1945 bukan hanya dalam pembentukan perundang-
undangan di negeri ini, melainkan juga dalam pembentukan kebijakan-kebijakan
publik lainnya. DPR dan Pemerintah (Presiden) mutlak harus memperhatikan Tap-
Tap MPR yang masih berlaku, bahkan merujuk kepadanya dalam pembentukan
undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
89 Widayati, Rekonstruksi Kedudukan Ketetapan MPR Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, ( Yogyakarta : Genta, 2015), hlm 3
88
Kembalinya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundangan-undangan
menimbulkan permasalahan hukum tersendiri. Kedudukan Tap MPR yang kembali
berada dibawah UUD dan diatas Undang-Undang membawa implikasi seandainya
terdapat subtansi TAP MPR yang tidak sesuai dengan konstitusi maka akan
dipertanyakan lembaga mana yang berhak melakukan pengujian kembali (judicial
review). Suatu konsekuensi logis, mengingat mekanisme judicial review dan
constitutional review merupakan upaya konstitusional yang disediakan oleh UUD
1945 apabila mekanisme legislative review tidak atau belum diadakan, sedangkan
ketentuan yang terkandung di dalam suatu produk peraturan telah menimbulkan
kerugian konstitusonal bagi warga negara atau subyek hukum yang dilindungi hak
dan kewenangan konstitusionalnya oleh UUD 1945. Menurut Jimmly
Asshiddiqie90, Jika TAP MPR yang ada pada saat ini diperlakukan diatas undang-
undang, maka tidak ada lembaga yang berwenang mengubahnya. Sebab, DPR dan
pemerintah hanya berwenang mengubah UU dan MPR hanya mengubah UUD.
90 Jimmly Asshidiqie, “Keliru TAP MPR Masuk Peraturan Perundang-undangan”,
https://m.detik.com/news/beria/1687583, Di akses 17 Januari 2011.
89
TABEL 1 : PENGATURAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
Ketetapan MPRS
No.XX/MPRS/1996
Ketetapan MPR
No.III/MPR/2000
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
2. Ketetapan MPR RI
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya
seperti :
- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri
dan lain-lainnya
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR RI
3. Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu)
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Undang-Undang RI
No.10 Tahun 2004
Undang-Undang RI
No.12 Tahun 2011
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
1. Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945
2. Ketetapan MPR RI
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah kabupaten/Kota
90
Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
menyatakan,” Yang dimaksud “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalan Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dengan
demikian kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam
Pasal 7 membawa implikasi pada eksistensi TAP MPR yang berlaku sebatas pada
TAP MPR yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR RI Nomor
I/MPR/2003. Hal tersebut membawa akibat “mengunci” eksistensi TAP MPR
disebabkan tidak adanya mekanisme pengujian undang-undang (judicial review)
terhadap TAP MPR dan MPR sendiri setelah amandemen UUD 1945 tidak lagi
mengeluarkan produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) sehingga
menimbulkan pemberlakukan abadi terhadap TAP MPR tersebut.91
Semenjak perubahan kewenangan yang disebabkan amandemen UDU 1945,
MPR tidak dapat lagi mengeluarkan ketetapanketetapan yang bersifat mengatur
(regeling). MPR tidak boleh lagi membuat ketetapan yang bersifat mengatur dalam
bentuk peraturan perundang-undangan kecuali pengaturan yang bersifat internal
seperti tentang Tata Tertib. MPR memang masih dapat mengeluarkan ketetapan,
tetapi tidak boleh berbentuk peraturan perundang-undangan (regeling) melainkan
berbentuk penetapan (beschikking) atau, kalau mengatur, sifatnya internal. Materi
91 Wawancara dengan Widayati, tanggal 20 Januari 2018 di kediaman Jalan Pucang Jajar
Timur No.40, Pucang Gading, Semarang.
91
muatan Ketetapan MPR pada era reformasi ada yang bersifat pengaturan, dan ada
pula materi muatan yang berupa penetapan, akan tetapi sebagian besar isinya
dimaksudkan untuk mengadakan pembatasan-pembatasan kekuasaan eksekutif
Presiden dan pemberdayaan lembaga-lembaga negara yang lain.92 Menurut
Widayati, MPR seharusnya menjelma sebagai lembaga yang paling
merepresentasikan kedaulatan rakyat. Setelah amandemen UUD 1945 mekanisme
check and balances belum baik seperti ketidakjelasan pertanggungjawaban
eksekutif terhadap rakyat. Jika MPR sebelum amandemen UDU 1945 berhak
meminta pertanggungjawaban maka sekarang MPR tidak lagi memiliki
kewenangan tersebut karena semua lembaga negara sederajat dan sejajar. Selain itu,
jika sebelumnya eksekutif dalam menjalankan pemerintahannya harus berpedoman
pada GHN, sekarang eksekutif cenderung mengalami disorientasi kebijakan.
Kebijakan pada masa reformasi mengalami diskontinuitas karena tidak adanya
pedoman seperti GBHN. Disisi lain, tidak adanya ‘batu uji’ terhadap kinerja
menimbulkan pertanggungjawaban eksekutif terhadap rakyat menjadi kabur dan tidak
jelas. Oleh sebab itu, wacana mengembalikan kewenangan MPR untuk merumuskan
GBHN muncul dalam diskursus setelah MPR mengeluarkan Rekomendasi Nomor
2 Keputusan MPR RI Nomor 4/MPR/2014 tentang
Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan 2009-2014.93 Dihapuskannya kewenangan
92 Loc.it., Widayati, Perbandingan Materi Muatan Ketetapan MPR Pada Masa Pemerintahan
Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi, hlm 135 93 Tujuh rekomendsi MPR masa jabatan 2009-2014 kepada MPR periode 2014-2019, yaitu (1)
melaksanakan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD 1945 dengan tetap berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai segala sumber hukum negara; (2) melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara; (3)melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila UUD 1945, NKRI, dan bhinneka tunggal ika secara melembaga melalui semua tingkatan pendidikan nasional dalam rangka pembangunan karakter bangsa; (4) membentuk lembaga kajian yang secara fungsional
bertugas mengkaji sistem ketatanegaraan, UUD 1945, NKRI, dan bhinneka tunggal ika serta
implementasinya; (5) mewujudkan akuntabilitas publik lembaga negara dalam melaksanakan tugas
92
MPR untuk membuat GBHN sendiri sejalan dengan perubahan sistem hubungan
antara MPR dengan Presiden, dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat (direct
popular vote), yang meniadakan hubungan tanggungjawab Presiden kepada MPR,
sehingga GBHN sebagai instrumen pengukur pertanggungjawaban Presiden tidak
diperlukan lagi.
Penempatan Ketetapan MPR ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
ternyata terabaikan, karena meskipun Ketetapan MPR telah dimasukkan lagi ke
dalam jenis dan hierarki peraturan perundangundangan dan ditempatkan lebih
tinggi dari pada Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang,
tetapi faktanya Ketetapan MPR belum dijadikan sebagai dasar hukum dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Ketetapan MPR, seperti
dalam pembentukan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang. Padahal salah satu makna hierarki peraturan perundang-undangan adalah
bahwa peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih tinggi dijadikan
landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
atau dibawahnya, sehingga isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Sistem perundang-undangan Indonesia yang mengatur hierarki peraturan
perundang-undangan adalah kasus unik dan khas yang tidak memiliki kemiripan di
negara-negara lain. Kalau kita bandingkan dengan negara lain, tidak ada negara
konstitusional yang diamanatkan UUD 1945 melalui laporan kinerja pelaksanaan tugas dalam
Sidang Tahunan MPR; (6) melakukan penataan sistem peraturan perundang-undangan dengan
berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara; (7) memperkuat status hukum
Ketetapan MPRS dan MPR dalam sistem hukum Indonesia.
93
yang merumuskan pola hierarki peraturan perundang-undangan seperti Tap MPRS
No. XX/MPRS/1966, Tap No. III/MPR/2000 dan Pasal 7 ayat (1) UU No. 10
Tahun 2004, maupun UU No. 12 Tahun 2011. Dari studi perbandingan konstitusi
yang telah dilakukan, tidak ada suatu negara pun dari negara Uni Eropa yang
merumuskan bentuk aturan hukum seperti tersebut di atas. Latar belakang pola
perumusan yang demikian menurut Philipus M. Hadjon, ialah historis konstitusi
negara-negara tersebut dengan pola bottom up dan bukan pola top down. Dengan
demikian konstitusi hanya mengkonstatir apa yang dikenal dalam praktek
ketatanegaraan dan di sisi lain memungkinkan perkembangan bentuk baru aturan
hukum secara konstitusional. 94 Prospek TAP MPR sendiri dibutuhkan dewasa ini
mengingat dalam sejarah peraturan perundang-undangan Indonesia TAP MPR
menjadi aturan dasar yang memperjelas maksud UUD 1945. Menguatnya wacana
memperkuat kewenangan MPR melalui amandemen merupakan wacana yang
timbul dari fakta bahwa melemahnya eksistensi TAP MPR dan MPR tidak
mengindikasikan reformasi hukum yang signifikan melainkan memunculkan
permasalahan hukum baru sehingga kedudukan TAP MPR setelah amandemen
UUD 1945 semakin kompleks dan problematis.
Selain permasalahan hirarki peraturan-perundangan, pasca amandemen muncul
desakan agar kedudukan TAP MPR kembali direvitalisasi agar MPR kembali
merumuskan GBHN sebagai pedoman dasar Presiden dalam penyelenggaran negara
khususnya soal pembangunan nasional. Rekomendasi Nomor 2 Keputusan MPR RI
Nomor 4/MPR/2014 tentang Rekomendasi MPR-RI Masa Jabatan 2009-2014 salah
satunya ”Melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model
94 Philipus M. Hadjon, “Analisis Terhadap UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang- Undangan”, Makalah, disampaikan pada Seminar, hlm. 5.
94
GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara”.95 Kondisi demikian diakibatkan
model kepemimpinan negara Indonesia yang saat ini menggunakan sistem
presidensil, dimana Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat dalam pemilihan umum, membuat Presiden dan Wakil Presiden terpilih
sibuk menerjemahkan visi-misi dan janji politik yang dibuatnya ketika pemilihan
umum, tanpa kemudian memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan. Menurut
Mega, gagasan pemilihan langsung ditelurkan untuk mendekatkan rakyat kepada
calon pemimpinnya itu adalah suatu hal yang positif dalam demokrasi. Namun, ketika
terjadi pergantian pemimpin, berganti pula kebijakan yang dilahirkan di dalam
pembangunan. Inilah kelemahan yang mengancam pembangunan nasional yang
berkelanjutan. Atas kritik tersebut, disarankanlah wacana menghidupkan kembali
Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang dulu pernah ada ketika Orde Lama,
ataupun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah ada ketika Orde
Baru.
Alur penyusunan rencana pembangunan pada era reformasi ditetapkan sedemikian
rupa guna menghasilkan susunan perencanaan yang bersifat sistematis,
berkesinambungan, dan aplikatif sesuai dengan aspirasi dengan partisipasi berbagai
elemen bangsa didalamnya. Sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004, perencanaan pembangunan terdiri dari empat tahapan yakni penyusunan
rencana; penetapan rencana; pengendalian pelaksanaan rencana; dan
evaluasi pelaksanaan rencana. Keempat tahapan diselenggarakan secara
95 Wacana agar GBHN diaktifkan kembali menguat setelah Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua
Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam Rapat Kerja Nasional PDI-P,pada 10-12 Januari 2016 di Jakarta menyampaikan pidato yang menyindir model perencanaan pembangunan saat ini yang diibaratkannya seperti poco-poco. Lihat http://nasional.kompas.com/read/2016/ 01/10/16053561/Kritik.Demokrasi.Indonesia.Megawati.Sebut.seperti.Pocopoco,diakses 23 Januari
2018.
95
berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan
yang utuh. Materi yang dimuat di dalam kedua landasan pola pembangunan
tersebut tidak jauh berbeda yakni mengenai asas-asas pembangunan, tujuan
pembangunan nasional. Asas-asas pembangunan yang dimuat dalam SPPN hampir
sama dengan GBHN hanya menggunakan redaksional yang lebih sederhana dan
efisien. Untuk tujuan dan ruang lingkup pembangunan nasional yang ditentukan, pada
hakikatnya mengandung kesamaan unsur, karena berpedoman pada tujuan negara
dalam UUD 1945.
Perbedaan yang krusial dan kini menjadi dilema di masyarakat mengenai
landasan hukum perencanaan pembangunan nasional adalah formulasi kebijakan
melalui produk hukum yang ada. Sebelum amandeman TAP MPR/S dianggap lebih
tinggi dari undang-undang karena dibuat oleh lembaga tertinggi negara yang
menetapkan undang-undang. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa TAP MPR
merupakan bentuk dari penafsiran terhadap konstitusi. Pada masa setelah amandemen
UUD 1945 karena MPR tidak lagi membuat GBHN untuk dilaksanakan
oleh Presiden, maka perubahan kewenangan MPR yang berlaku keluar membawa
akibat perubahan pada kedudukan dan status hukum Ketetapan MPR. Perubahan tata
urutan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, TAP
MPR bukan lagi termasuk peraturan perundang- undangan, karena TAP MPR yang
masih diberlakukan adalah ketetapan yang
bersifat penetapan dan tidak mengenai ketatanegaraan.96
96 Yessi Anggraini, Amir Yasir & Zulkarnain Ridlwan,” Perbandingan Perencanaan
Pembangunan Sebelum dan Sesudan Amandemen UUD 1945”, Jurnal Fiat Justicia, Volume 9
No. 1, Januari-Maret 2015, hlm 80
96
Pola dasar pembangunan pada masa sebelum amandemen UUD 1945 dimuat
dalam dokumen GBHN diformulasikan dalam TAP MPR yang tetapkan setiap lima
tahun sekali mengingat dinamik masyarakat yang diperhatikan oleh majelis. GBHN
menentukan arah kebijakan pembangunan yang hendak dilaksanakan Presiden.
TAP MPR menjadi formulasi GBHN pada masa itu adalah sebagai keputusan
negara yang merupakan peraturan perundang-undangan di bidang ketatanegaraan dan
memunyai kekuatan hukum mengikat keluar dan ke dalam MPR. TAP MPR tentang
GBHN bersifat abstrak dan mengikat secara umum, dan dari segi keberlakuannya
bersifat tidak sekali jalan (einmalig) namun tetap berlaku dengan ketentuan.97
Sedangkan aturan mengenai pola pembangunan nasional setelah amandemen
UUD 1945 diformulasikan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan (SPPN) yang dibuat oleh lembaga legislatif
berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Undang-undang SPPN tersebut dirancang oleh
DPR sebagai badan dengan prinsip keterwakilan rakyat dan disahkan bersama dengan
Presiden.
Pola pembangunan jangka panjang yang diatur melalui TAP MPR, pada dasarnya
adalah norma yang bersifat umum. Akan tetapi kebijakan pengaturan tersebut
dikeluarkan melalui ketetapan yang sacara hakikat adalah sama dengan keputusan.
Ketetapan hanya merupakan tindakan hukum yang memunyai akibat menciptakan,
mengubah, membatalkan suatu hubungan hukum. Produk hukum yang bersifat
penetapan dan digunakan penyebutan “Ketetapan” tidak dapat
mengandung materi normatif yang bersifat pengaturan.
97 Ibid., hlm 81
97
Seharusnya, pengaturan mengenai haluan pembangunan jangka panjang
ditetapkan melalui suatu bentuk hukum sendiri karena merupakan perencanaan
yang menggambarkan visi, misi, tujuan, sasaran, program pembangunan untuk
kurun waktu tertentu dan tetap berlaku dengan ketentuan. Arahan pembangunan
jangka panjang adalah suatu bentuk peraturan pelaksana dari apa yang telah atur
dalam Kebijakan dalam pola dasar pembangunan dalam dokumen GBHN di TAP
MPR .
Sedangkan pada haluan pembangunan jangka panjang di era reformasi
kebijakan peraturan ditetapkan dengan undang-undang untuk tingkat pusat, dan
peraturan daerah di tingkat daerah. Undang-Undang RPJP Nasional menyebutkan
dengan tegas ruang lingkup materi yang diatur yakni penjabaran dari Undang-
Undang SPPN, sebagai teknis yang mengarahkan kebijakan pada jangka waktu 20
tahun mendatang. Dengan demikian TAP MPR jauh efisien dan efektik dalam
mengarahkan pada pembangunan yang berkelanjutan.
TAP MPR menjadi problematika dalam sistem perundang-undangan dewasa
ini. Eksistensi TAP MPR apakah masih dijadikan sebagai peraturan-perundangan
atau dihapuskan tidak bisa dilepaskan dari kewenangan MPR. TAP MPR akan
menjadi relevan jika MPR memiliki kewenangan seperti sebelum amandemen
UUD. Setelah amandemen UUD 1945 TAP MPR tidak lagi memiliki relevansi
terhadap sistem perundang-undangan kecuali TAP MPR yang bermuatan menetapkan
(beschiking) dan mengikat kedalam. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan
kewenangan MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Kedudukan
TAP MPR sendiri di era reformasi mengalami penguatan wacana agar kembali
diberlakukan sehingga TAP MPR kembali diberi kewenangan
98
merumuskan GBHN sebagai ‘batu uji’ kinerja Presiden dan pedoman
melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.
Mencermati dinamika TAP MPR selama masa-masa produktif dari tahun 1966
sampai 2003 menunjukan fakta signifikansi kedudukan TAP MPR sebagai pilar
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Apabila saat ini TAP MPR tidak bisa
lagi bisa eksis disebabkan perubahan kewenangan MPR, peraturan yang bersifat dasar
dibutuhkan sehingga akan berimplikasi dalam acuan pemerintah dan legislatif dalam
menjalankan fungsi kekuasaannya masing-masing. Nomenklatur TAP MPR yang
menimbulkan multi tafsir dan ambivalen bisa dilakukan revisi dengan nama peraturan
dasar negara atau peraturan Republik Indonesia yang pada hakekatnya sama yakni
produk hukum yang bersifat dasar sebagai penjabaran UUD 1945.
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kedudukan TAP MPR sebelum amandemen UUD 1945 berdasarkan Ketetapan
MPRS No.XX/MPRS/1966 Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tata
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia menempatkan TAP MPR dibawah UUD 1945 dan diatas Undang
Undang. Eksistensi TAP MPR lahir karena adanya fungsi MPR yang
berwewenang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar
daripada haluan negara serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Kewenangan
MPR mempengaruhi eksistensi TAP MPR sebagai produk hukum vital
khususnya dalam mengeluarkan GBHN dengan muatan mengatur (regeling).
Disisi lain, MPR juga mengeluarkan TAP MPR dengan muatan menetapkan
(beschiking). MPR sebelum amandemen adalah lembaga penjelmaan rakyat
sehingga kedudukan MPR menjadi lembaga tertinggi. Muatan TAP MPR sulit
untuk dicarikan kesamaan di negara-negara lain disebabkan TAP MPR
merupakan wujud konvensi ketatanegaran yang tumbuh pada masa-masa awal
kemerdekaan yakni pada Sidang MPRS tahun 1966. Ditempatkannya
Ketetapan MPR dalam tata urutan peraturan perundang- undangan dapat
disimpulkan bahwa menurut Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966,
Ketetapan MPR termasuk peraturan perundang-undangan. Padahal apabila
dikaji, tidak semua Ketetapan MPR materi muatannya bersifat pengaturan.
Terdapat pula materi muatan Ketetapan MPR yang bersifat
100100100
penetapan (beschikking), yang bersifat konkrit individual, misalnya Ketetapan
MPR tentang pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden.
2. Kedudukan TAP MPR setelah amandemen UUD 1945 mengalami beberapa
perubahan karena MPR mengalami reduksi kewenangan dan tidak lagi menjadi
lembaga tertinggi melainkan lembaga tinggi yang sejajar dengan lembaga-
lembaga tinggi lainnya. Lahirnya Undang-Undang Nomer 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menghapus kedudukan
TAP MPR dalam hierarki peraturan perundangan-undangan. Dihapuskannya
TAP MPR didasarkan pada perubahan kewenangan MPR yang sesudah
amandemen UUD 1945 tidak lagi mengeluarkan TAP MPR yang bersifat
mengatur (regeling). Namun, TAP MPR kembali dimasukan dalam hierarki
peraturan perundangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mencabut Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004. Kembalinya TAP MPR dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 semakin mempertegas kedudukan TAP MPR semenjak
dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 Memorandum DPRGR
mengenai Sumber Tata Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia. Berbeda dari waktu sebelum amanden,
kedudukan TAP MPR yang berada dibawah UUD dan diatas Undang-Undang
menimbulkan permasalahan hukum tersendiri yakni tidak jelasnya mekanisme
pengujian TAP MPR, MPR yang tidak lagi memiliki wewenang merumuskan
GHBN serta mengunci pemberlakuan TAP MPR Pasal 2 dan Pasal 4 TAP
MPR No.I/MPR/2003 disebabkan kewenangan MPR yang sudah tidak lagi
mengelurkan produk hukum yang mengatur (regeling) .
101101101
TAP MPR menjadi problematika dalam sistem perundang-undangan dewasa
ini. Eksistensi TAP MPR apakah masih dijadikan sebagai peraturan-perundangan
atau dihapuskan tidak bisa dilepaskan dari kewenangan MPR. TAP MPR akan
menjadi relevan jika MPR memiliki kewenangan seperti sebelum amandemen
UUD. Setelah amandemen UUD 1945 TAP MPR tidak lagi memiliki relevansi
terhadap sistem perundang-undangan kecuali TAP MPR yang bermuatan menetapkan
(beschiking) dan mengikat kedalam. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan
kewenangan MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Kedudukan TAP
MPR sendiri di era reformasi mengalami penguatan wacana agar kembali
diberlakukan sehingga TAP MPR kembali diberi kewenangan merumuskan
GBHN sebagai ‘batu uji’ kinerja Presiden dan pedoman melaksanakan
pembangunan yang berkelanjutan.
B. Saran
1. Seyogyanya TAP MPR yang masih berlaku sekarang ini di dorong ke Program
Legislasi Nasional (PROGLENAS) untuk dijadikan atau ditransformasikan
kedalam undang-undang agar supaya tidak lagi menimbulkan multitafsir oleh
berbagai pihak. Keberlakuan TAP MPR juga tidak relevan lagi apabila MPR
tidak mempunyai kewenangan dalam merumuskan GBHN. Selain itu, semenjak
awal kelahiran TAP MPR lebih didasarkan pada konvensi ketatanegaraan alih-
alih melakukan penyelewengan sistem perundangan-undangan sehingga analisa
TAP MPR menggunakan teori norma hukum semakin menambah kompleksitas
permasalahan. Sebagai aturan dasar negara TAP MPR bagaimanapun sangat
penting untuk menjadi penafsir UUD 1945 meskipun nomenklatur TAP MPR
102102102
bisa direvisi menjadi peraturan negara, peraturan MPR dan sebagainya tetapi
mengandung substansi dan muatan yang sama yakni mengatur (regeling).
2. Harus ada lembaga yang berwenang untuk menguji ketetapan MPR RI jika
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 hal ini untuk menghindari agar tidak terjadi kekosongan hukum dan
menjamin keadilan substansif. Maka Penulis merokemendasikan Mahkamah
Konstitusi yang mengambil peran ini, karena Penulis melihat kapasitas Mahkamah
Konstitusi sebagai pengawal demokrasi dan penegak konstitusi.
103103103
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang,. Jakarta. RajaGrafindo Persada.
Cetakan ke-2, 2011.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta. Sinar Grafika,
2010.
Asshidiqie , Jimly. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
Jakarta. Konstitusi Pers. cetakan ke-3, 2013.
Atmosudirdjo, S.Prajudi, et.al. Konstitusi Soviet. Jakarta. Ghalia Indonesia, 1986.
. Konstitusi RRC.Jakarta. Ghalia Indonesia, 1987.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar. Peranan Peraturan Perundang- undangan
Dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung. Armico, 1987.
. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia. Bandung. Alumni,Bandung, 1997.
Huda, Ni’matul. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi .
Yogyakarta. UII Press, 2007.
Indra, Mexsasai. Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung. Refika
Aditama, 2011.
Indrarti, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan
Pembentukannya . Yogyakarta. Kanisius, 2000.
. Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan. Yogyakarta. Kanisius, 2007.
Jimly Asshidddiqie dan M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen tentang Hukum”. Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.
M. Hadjon, Philipus. Pengantar Hukum Administrasi. Yogyakarta. Gajah Mada
Press, 1992.
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD NRI
Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, Sekretariat Jendral MPR RI, 2012.
Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta. Ind.
Hill.Co, 1992.
. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta. FH-UII Press, 2004.
104104104
. Membedah UUD 1945, Universitas Brawijaya Press, Malang,
2012.
MD, Mahfud. Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu. Jakarta.
RajaGrafindo Persada. Cetakan ke-3, 2012
. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.
Jakarta. Rajawali Pers, 2010
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut
Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta. Gramedia, 1980
Natabaya, HAS. Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Jakarta.
Konpress dan Tata Nusa, 2008
Nazriyah , Riri. MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek Dimasa
Depan. Yogyakarta. UII PRES, 2007.
S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara.
Yogyakarta. Liberty, 2003.
Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Jakarta, 1998.
Sekretariat Jendral Mpr RI. Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawratan
Rakyat Republik Indonesia. Sekretariat Jendral. Jakarta. Cetakan Ke-9,
2001.
Soejono, Abdurahmandan. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan.
Jakarta. Rineka Cipta, 2006.
Soemantri, Sri. Ketetapan MPR(S) Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata
Negara,. Bandung. Remaja Karya CV, 1985
Soemitro , Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta. Ghalia, 1983.
Sunny, Ismail. Mekanisme Demokrasi Pancasila. Jakarta. Aksara Baru, 1978
Triwulan, Titik. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Prestasi Pustaka.
Jakarta, 2005.
Widayati. Rekonstruksi Kedudukan Ketetapan MPR Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta.Genta, 2015
Zainal Asikin dan Amirudin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta.
Rajawali Pers, 2004.
105105105
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-GR Mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Peraturan
Perundangan-undangan Republik Indonesia
TAP MPR Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Karya Ilmiah
A. Attamimi , Hamid. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–
Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, 1980.
Affandi ,Hernadi.“Prospek Kewenangan MPR Dalam Menetapkan Kembali
Ketetapan MPR Yang Bersifat Mengatur,”. Jurnal Positum. Fakultas
Hukum Universitas Padjajaran, Vol. 1, No. 1, 2016.
Altok, A. Rosyid. “Ketetapan MPR Dalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan”. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 25,
Nomor 1, Februari, 2012.
Indrarti , Maria Farida. “Tinjauan Terhadap Materi Ketetapan MPR/MPRS Dalam
Staatsgrundgesetz ( Hasil Penelitian terhadap Ketetapan MPR/MPRS sejak
Tahun 1960 s/d 2002,”. Jurnal Hukum Internasional, Volume 2 No.4, 2005.
Nurul Utami, Andi Fauziah.“Analisa Hukum Kedudukan TAP MPR RI Dalam
Hierarki Pembentukan Perundang-Undangan”. Skripsi, Fakultas Hukum,
Universitas Hassanudin
P.J.P Tak. Rechtsfoorming in Nederland, Samson H.D Tjeenk Willink, Alphen
aan den Rijn Karel Boungenaar. Sari Kuliah Hukum Tata Negara oleh
Prof.Dr. Philipus M. Hadjon, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1998.
Philipus M. Hadjon. “Analisis Terhadap UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan”. Makalah disampaikan pada
Seminar
106106106
Subkhan, Imam.” GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan Indonesia”.
Jurnal Aspirasi, Volume 5 No.2. Desember, 2014
Syam, Drishya.” Review on Hans kelsen’s Hierachy of Norms and Law Making
Process”. International Journal of Legal Development and Allies Issues,
Volome 2 Issue 5, Symbiosis Law School, 2015
Triwulan, Titik.“Analisis Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPR RI
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan“. Jurnal Ius Quia Iustum, Nomor 1,Volume
2, 2013.
Tyan Adi Kurniawan dan Wilda Prihatiningtyas.” Problematika Kedudukan TAP
MPR Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan”. Jurnal Yuridika, Volume 27 No.2, Mei-
Agustus, 2012.
Wicaksono , Dian Agung.“Implikasi Re-Eksistensi Tap Mpr dalam Hierarki
Peraturan Perundang-Undangan terhadap Jaminan Atas Kepastian Hukum
yang Adil di Indonesia”. Jurnal Kosntitusi, Voulume 10, Nomor 1, 2003.
Widayati, Absori & Aidul Fitriciaida Azhari.”Rekonstruksi Kedudukan TAP
MPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Media Hukum No.2
Vol.21, 2014.
Widayati. “Perbandingan Materi Muatan Ketetapan MPR Pada Masa
Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi”. Jurnal
Pembaharuan Hukum, Volume III No.1.2016.
Wisita Wongku, Ery. “Status Ketetapan MPR Dalam Sistem Peraturan
Perundang-undangan Di Indonesia Dan Kaitannya Dalam Pranata Pengujian
“. Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Kristen Satya Wacana, 2013.
Yessi Anggraini, Amir Yasir & Zulkarnain Ridlwan. ”Perbandingan Perencanaan
Pembangunan Sebelum dan Sesudan Amandemen UUD 1945”. Jurnal Fiat
Justicia, Volume 9 No. 1, Januari-Maret, 2015
Wawancara
Widayati. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Semarang.
Wawancara. Semarang, 20 Januari 2018.
Internet
Jimmly Asshidiqie. “Keliru TAP MPR Masuk Peraturan Perundang undangan”,
https://m.detik.com/news/beria/1687583, Di akses 17 Januari 2011.
Http://nasional.kompas.com/read/2016/01/10/16053561/Kritik.Demokrasi.Indone
sia.Megawati.Sebut.seperti.Pocopoco, Diakses 23 Januari 2018.