factsheet tatakelola lombok timur -...

2
Potret Tatakelola Kehutanan Studi Kasus di Kabupaten Lombok Timur GFI Indonesia berinisiatif melakukan sebuah rangkaian penilaian (assesment) terhadap kondisi pengelolaan hutan di Indonesia. Kajian ini difokuskan pada Provinsi Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Assessment Tata Kelola Hutan NTB dilakukan di Pulau Lombok yang berlokasi di dua kabupaten, yaitu Lombok Barat dan Lombok Timur. Kawasan hutan di Pulau Lombok tidak terlepas dari keberadaan kawasan Gunung Rinjani (125.000 ha), dimana sebagian besar, hampir setengahnya, berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Lombok Timur (60.329,67 ha). Secara keseluruhan, luas hutan di Kabupaten Lombok Timur, baik di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani maupun kawasan penyangga, mencapai 64.508,67 ha (31,21% dari 160.555 ha luas wilayah). Selain itu, dari 20 kecamatan yang ada, 50% diantaranya berada di sekitar dan berinteraksi langsung dengan kawasan hutan, yaitu Kecamatan Sambelia, Sembalun, Suela, Pringgabaya, Wanasaba, Aikmel, Pringgasela, Sikur, Montong Gading dan Jerowaru. Di 10 kecamatan yang didiami oleh 544.673 jiwa (197.516 KK) tersebut terdapat 93.464 KK prasejahtera (Lombok Timur dalam Angka; 2012). Berdasarkan data tersebut, tingkat kemiskinan masyarakat tergolong masih cukup tinggi (hampir 50%). Kondisi ini berbanding terbalik dengan potensi sumberdaya alam yang ada dikawasan. Oleh karena kondisi di atas, maka strategi pengentasan kemiskinan mesti juga dengan menatakelola hutan dengan baik (good forest governance). Keberadaan hutan seharusnya berkontribusi secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya di sekitar kawasan hutan. Terkait dengan perspektif good governance, assessment ini mencoba menilik tata kelola hutan pada asfek transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan koordinasi. Hal ini patut menjadi perhatian para pemangku kepentingan sebagai aktor tata kelola hutan untuk mewujudkan visi “Hutan lestari, Masyarakat sejahtera”, baik pemerintah, pemerhati/praktisi, akademisi maupun media/pers dan kelompok masyarakat serta parapihak lain yang terkait. Penilaian yang dilakukan oleh Jaringan Tata Kelola Hutan menggunakan instrument penilaian dalam bentuk kriteria dan indikator yang disebut dengan GFI 2.0. Penilaian ini tidak dimaksudkan untuk memberikan sebuah perbandingan index “baik” dan “buruk”, namun lebih menekankan pada analisa mendalam dari aspek kebijakan/peraturan, kesiapan aktor dan efektifitas/praktek dalam tata kelola kehutanan di Kabupaten Lombok Timur. Semua asfek tersebut dilihat dengan perspektif good governance (transparansi, partisifasi, akuntabilitas dan koordinasi). Pendekatan yang digunakan dalam penilaian ini adalah pendekatan kualitatif seperti kajian dokumen, wawancara dan Focus Group Discussion (FGD). B. Metode perlu didorong untuk dibenahi. Sebagai wujud pertanggungjawaban Dinas Kehutanan dalam pengelolaan keuangan, idealnya harus ada lembaga audit internal, dalam hal ini tidak ditemukan lembaga tersebut di Dinas Kehutanan Lombok Timur. Kondisi ini berimplikasi pada tidak adanya pengawasan secara berkala di internal instansi kehutanan, tidak adanya standar baku dan minimum yang menjadi acuan penilaian – mencakup standar layanan kepada publik. Pengelolaan potensi hutan, masyarakat juga berhak mengetahuinya dan pemerintah wajib untuk menjelaskan kepada masyarakat secara utuh, terutama dalam hal izin konsesi. Oleh karena itulah pemerintah daerah harus melakukan evaluasi secara berkala terhadap kinerja izin konsesi sehingga dapat dijelaskan secara utuk kepada publik. Saat ini terdapat izin konsesi HTI seluas 1.750 ha. Keberadaan izin konsesi diperlukan upaya pemantauan secara berkala untuk mengetahui sejauhmana perkembangannya dan apakah izin konsesi tersebut bekerja sesuai dengan RKL dan RKU. Kondisi di Lombok Timur, tidak ditemukan adanya evaluasi berkala terhadap izin konsesi oleh lembaga internal di lingkup instansi kehutanan. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukan adanya dokumen hasil evaluasi kinerja izin usaha kehutanan. Selain itu juga, tidak ditemukan adanya pedoman evaluasi kinerja, seperti kriteria dan indikator yang komprehensip yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemegang izin usaha kehutanan. Berdasarkan hasil penilaian diatas, maka 5 hal yang direkomendasikan sebagai upaya perbaikan tatakelola kehutanan di Kabupaten Lombok Timur, antara lain: 1. Perlu adanya Standard Operatinal Procedures (SOP) tentang penyediaan informasi publik beserta kriteria yang jelas dan terperinci terkait informasi yang boleh dan tidak boleh diakses oleh publik serta perangkat pelayanan informasi di tingkat SKPD; 2. Penting adanya upaya penguatan kapasitas, baik badan publik ataupun kelompok masyarakat, terkait keterbukaan informasi publik dan sistem anggaran pembangunan di sektor kehutanan; 3. Perlu adanya mekanisme yang jelas dan terperinci untuk menjaring masukan- masukan serta membangun partisipasi masyarakat dalam mengelola kawasan hutan, baik terkait program maupun anggaran, mulai tahap perencanaan, implementasi hingga pengawasan dan evaluasi; 4. Perlu adanya mekanisme koordinasi yang dilakukan secara sistematis dan berkala untuk memastikan sinergitas antar leading sector yang berkepentingan terhadap kaasan hutan;dan 5. Perlu adanya mekanisme penyelesaian sengketa terkait pemanfaatan ruang/lahan, khususnya tatabatas kawasan hutan. D. Rekomendasi Jaringan Tata Kelola Kehutanan The Governance of Forest Initiative Sekretariat: Forest Watch Indonesia Jl. Sempur Kaler No.62. Bogor 16129 Jawa Barat, Indonesia Telp. +62 251 8333 308, Fax. +62 251 8317 926 Email : [email protected], Website: www.fwi.or.id Website: www.tatakelolahutan.net A. Latar Belakang Lembar Informasi c FWI c FWI

Upload: doannhi

Post on 05-Mar-2018

228 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Factsheet Tatakelola Lombok Timur - tatakelolahutan.nettatakelolahutan.net/wp-content/uploads/2015/01/Factsheet... · akuntabilitas dan koordinasi). ... (SOP) tentang penyediaan

Potret Tatakelola Kehutanan

Studi Kasus di Kabupaten Lombok Timur

GFI Indonesia berinisiatif melakukan sebuah rangkaian penilaian (assesment) terhadap kondisi pengelolaan hutan di Indonesia. Kajian ini difokuskan pada Provinsi Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Assessment Tata Kelola Hutan NTB dilakukan di Pulau Lombok yang berlokasi di dua kabupaten, yaitu Lombok Barat dan Lombok Timur.Kawasan hutan di Pulau Lombok tidak terlepas dari keberadaan kawasan Gunung Rinjani (125.000 ha), dimana sebagian besar, hampir setengahnya, berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Lombok Timur (60.329,67 ha). Secara keseluruhan, luas hutan di Kabupaten Lombok Timur, baik di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani maupun kawasan penyangga, mencapai 64.508,67 ha (31,21% dari 160.555 ha luas wilayah). Selain itu, dari 20 kecamatan yang ada, 50% diantaranya berada di sekitar dan berinteraksi langsung dengan kawasan hutan, yaitu Kecamatan Sambelia, Sembalun, Suela, Pringgabaya, Wanasaba, Aikmel, Pringgasela, Sikur, Montong Gading dan Jerowaru. Di 10 kecamatan yang didiami oleh 544.673 jiwa (197.516 KK) tersebut terdapat 93.464 KK prasejahtera (Lombok Timur dalam Angka; 2012). Berdasarkan data tersebut, tingkat kemiskinan masyarakat tergolong masih cukup tinggi (hampir 50%). Kondisi ini berbanding terbalik dengan potensi sumberdaya alam yang ada dikawasan. Oleh karena kondisi di atas, maka strategi pengentasan kemiskinan mesti juga dengan menatakelola hutan dengan baik (good forest governance). Keberadaan hutan seharusnya

berkontribusi secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya di sekitar kawasan hutan. Terkait dengan perspektif good governance, assessment ini mencoba menilik tata kelola hutan pada asfek transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan koordinasi. Hal ini patut menjadi perhatian para pemangku kepentingan sebagai aktor tata kelola hutan untuk mewujudkan visi “Hutan lestari, Masyarakat sejahtera”, baik pemerintah, pemerhati/praktisi, akademisi maupun media/pers dan kelompok masyarakat serta parapihak lain yang terkait.

Penilaian yang dilakukan oleh Jaringan Tata Kelola

Hutan menggunakan instrument penilaian dalam

bentuk kriteria dan indikator yang disebut dengan

GFI 2.0. Penilaian ini tidak dimaksudkan untuk

memberikan sebuah perbandingan index “baik”

dan “buruk”, namun lebih menekankan pada

analisa mendalam dari aspek kebijakan/peraturan,

kesiapan aktor dan efektifitas/praktek dalam tata

kelola kehutanan di Kabupaten Lombok Timur.

Semua asfek tersebut dilihat dengan perspektif

good governance (transparansi, partisifasi,

akuntabilitas dan koordinasi).

Pendekatan yang digunakan dalam penilaian ini

adalah pendekatan kualitatif seperti kajian

dokumen, wawancara dan Focus Group Discussion

(FGD).

B. Metode

perlu didorong untuk dibenahi. Sebagai wujud

pertanggungjawaban Dinas Kehutanan dalam

pengelolaan keuangan, idealnya harus ada lembaga

audit internal, dalam hal ini tidak ditemukan

lembaga tersebut di Dinas Kehutanan Lombok

Timur. Kondisi ini berimplikasi pada tidak adanya

pengawasan secara berkala di internal instansi

kehutanan, tidak adanya standar baku dan

minimum yang menjadi acuan penilaian –

mencakup standar layanan kepada publik.

Pengelolaan potensi hutan, masyarakat juga berhak

mengetahuinya dan pemerintah wajib untuk

menjelaskan kepada masyarakat secara utuh,

terutama dalam hal izin konsesi. Oleh karena

itulah pemerintah daerah harus melakukan evaluasi

secara berkala terhadap kinerja izin konsesi

sehingga dapat dijelaskan secara utuk kepada

publik. Saat ini terdapat izin konsesi HTI seluas

1.750 ha. Keberadaan izin konsesi diperlukan

upaya pemantauan secara berkala untuk

mengetahui sejauhmana perkembangannya dan

apakah izin konsesi tersebut bekerja sesuai dengan

RKL dan RKU. Kondisi di Lombok Timur, tidak

ditemukan adanya evaluasi berkala terhadap izin

konsesi oleh lembaga internal di lingkup instansi

kehutanan. Hal ini dibuktikan dengan tidak

ditemukan adanya dokumen hasil evaluasi kinerja

izin usaha kehutanan. Selain itu juga, tidak

ditemukan adanya pedoman evaluasi kinerja,

seperti kriteria dan indikator yang komprehensip

yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja

pemegang izin usaha kehutanan.

Berdasarkan hasil penilaian diatas, maka 5 hal yang direkomendasikan sebagai upaya perbaikan tatakelola kehutanan di Kabupaten Lombok Timur, antara lain:

1. Perlu adanya Standard Operatinal

Procedures (SOP) tentang penyediaan

informasi publik beserta kriteria yang jelas

dan terperinci terkait informasi yang boleh

dan tidak boleh diakses oleh publik serta

perangkat pelayanan informasi di tingkat

SKPD;

2. Penting adanya upaya penguatan kapasitas,

baik badan publik ataupun kelompok

masyarakat, terkait keterbukaan informasi

publik dan sistem anggaran pembangunan

di sektor kehutanan;

3. Perlu adanya mekanisme yang jelas dan

terperinci untuk menjaring masukan-

masukan serta membangun partisipasi

masyarakat dalam mengelola kawasan

hutan, baik terkait program maupun

anggaran, mulai tahap perencanaan,

implementasi hingga pengawasan dan

evaluasi;

4. Perlu adanya mekanisme koordinasi yang

dilakukan secara sistematis dan berkala

untuk memastikan sinergitas antar leading

sector yang berkepentingan terhadap

kaasan hutan;dan

5. Perlu adanya mekanisme penyelesaian

sengketa terkait pemanfaatan ruang/lahan,

khususnya tatabatas kawasan hutan.

D. RekomendasiJaringan Tata Kelola Kehutanan

The Governance of Forest Initiative

Sekretariat:

Forest Watch Indonesia

Jl. Sempur Kaler No.62. Bogor 16129

Jawa Barat, Indonesia

Telp. +62 251 8333 308, Fax. +62 251 8317 926

Email : [email protected], Website: www.fwi.or.id

Website: www.tatakelolahutan.net

A. Latar Belakang

Lembar Informasic F

WI

c FWI

Page 2: Factsheet Tatakelola Lombok Timur - tatakelolahutan.nettatakelolahutan.net/wp-content/uploads/2015/01/Factsheet... · akuntabilitas dan koordinasi). ... (SOP) tentang penyediaan

Hasil assessment ini menunjukkan bahawa

tatakelola hutan Lombok Timur cukup lemah.

Dalam perspektif good governance menunjukkan

pentingnya penguatan pada aspek transparansi,

partisipasi, koordinasi dan akuntabilitas.

C. Kondisi Tatakelola Hutan Lombok Timur

Transparansi Partisipasi Koordinasi Akuntabilitas Ideal

1.79 1.60 1.75 1.71

3

Potret Tata Kelola Kehutanan di Kabupaten Lombok Timur Dalam Penerapan Prinsip Tata Kelola Yang Baik

4.00

3.00

2.00

1.00

0.00

Gambar 1.Grafik potret tata kelola hutan di Kabupaten Lombok Timur

Penerapan prinsiptransparansi dalam sistem

pemerintahan menjadi pilar penting dalam

mendorong tatakelola pemerintahan yang baik. Hal

ini sudah diatur dalam UU 14 tahun 2008 tentang

keterbukaan informasi publik. Lahirnya UU ini

telah direspon oleh Menteri Kehutanan dengan

menerbitkan Permenhut No.2/2010 tentang sisitem

informasi kehutanan dan Permenhut No.7/2011

tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan

Kementerian Kehutanan. Di Kabupaten Lombok

Timur telah terbit Peraturan Bupati Nomor

10/2013 tentang Pedoman Pengelolaan Informasi

Dan Dokumentasi. Perbup ini ditindaklanjuti

dengan SK Bupati Nomor

188.45/215/HUBKOMINFO/2013 tentang

Penunjukan Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi dan Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi Pembantu, dan SK Bupati Nomor

188.45/267/HUBKOMINFO/2013 tentang

Struktur Organisasi Pengelola Informasi dan

Dokumentasi. PERBUP dan SK Bupati di atas

mengatur dan menunjuk Pejabat Pengelola

Informasi Publik PPID Utama (Kabag Humas dan

Protokol) dan PPID Pembantu di lingkup SKPD,

termasuk Dinas Kehutanan Dan Perkebunan,

dalam hal ini yaitu Sekretaris Dinas sebagai pejabat

PPID, berikut job descripsion-nya. Meskipun begitu,

tidak ditemukan adanya pejabat yang mengelola

Informasi dan Dokumentasi di lingkugan Dinas

Kehutanan Kabupaten Lombok Timur. Malahan,

sekretaris dinas yang dimandatkan sebagai pejabat

PPID tidak memahami peran dan fungsi PPID.

Kondisi ini berimplikasi pada tidak tersedianya

informasi yang sistematis, mudah diakses dan

diperbaharui secara regular untuk menggambarkan

data terkini yang dikelola secara terpusat (centrally

maintained) untuk mendukung proses pengambilan

kebijakan manajemen kehutanan terbaru. Selain itu

juga data dan informasi yang akurat dan

konprehensif sangat terbatas, sehingga masyarakat,

terutama media tidak mendapatkan akses data

yang cukup. Dalam lampiran PERBUP Nomor

10/2013 terdapat ketentuan yang jelas dan tegas

mengenai penyebarluasan informasi secara berkala,

mudah, tepat waktu dan efisien. Aturan ini

mengindikasikan keharusan bagi pemerintah untuk

menyebarluaskan informasi secara berkala kepada

masyarakat, baik tentang rencana pembangunan

atapun keuangan daerah. Dalam prakteknya, tidak

ditemukan adanya upaya-upaya tersebut, meskipun

ada, namun masih sangat umum dan masyarakat

yang mengaksesnya terbatas.

1. Transparansi

Partsipasi adalah aspek yang harus diperhatikan

dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Tatakelola hutan yang baik mensyaratkan adanya

upaya-upaya sistematis dari pengambil kebijakan

untuk melibatkan parapihak terkait utuk ambil

bagian dalam proses perencanaan sampai pada

monitoring dan evaluasi pelaksanaannya. Potret

tatakelola kehutanan di Lombok Timur dilhat dari

aspek partisipasi berdasarkan penilaian ini menjadi

persoalan yang sangat serius.

Terdapat aturan di tingkat daerah yang mengatur

partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan

sebagaimana yang disebutkan dalam Perda No.2

tahun 2012. Akan tetapi aturan ini sangatlah

umum, tidak ditemukan aturan secara rinci

bagaimana mekanisme partisipasi masyarakat

dalam proaes pembangunan.Padahal, aturan yang

2. Partisipasi

jelas dan rinci mutlak dibutuhkan,karena untuk

dapat berpartisipasi secara ideal maka diperlukan

sebuah kejelasan mekanisme bagi masyarakat

untuk dapat berpartisipasi. Pengaturan yang

bersipat umum dan prinsipil akan cenderung

“mengaburkan” proses partipasi dan pada ahirnya

menjauhkan tujuan dari aspek partisipasi tersebut.

Pada kenyataannya, sebagai konsekwensi dari

ketiadaan aturan yang jelas dan rinci, partisipasi

dimaknai secara “gamang.” Misalnya saja,

kegiatan sosialisasi program ke masyarakat

dimaknai sebagai bentuk upaya pelibatan

masyarakat untuk memberikan masukan. Begitu

pula dengan kegiatan MURENBANG Desa

dipandang cukup sebagai basis acuan dalam

menyusun perencanaan. Padahal, efektifitasnya

diragukan oleh banyak kalangan, mengingat

praktek yang dilakukan dalam MUSRENBANG

Desatidak berbasis analisis kebutuhan, tetapi hanya

pengusulan program yang cenderung berupa

keinginan dari para elit desa.

Dalam Pasal 7 PERDA No. 1/2014 tentang

RPJMD menjamin hak masyarakat untuk

menyampaikan informasi, untuk selanjutnya

menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan proses

pembangunan, akan tetapi aturan ini tidak

menjelaskan secara jelas bagaimana masyarakat

memberikan masukan, bagaimana jika masukan

tersebut menjadi bahan pertimbangan dan

bagaimana jika masukan masyarakat ditolak, serta

sanksi apa yang diberikan kepada pemerintah jika

tidak menjalankan masukan masyarakat.Tidak

jelasnya aturan tersebut dipandang sebagai bukan

keharusan bagi pemerintah daerah, dalam hal ini

Dinas Kehutanan untuk meminta dan menjalankan

masukan masyarakat.Akibatnya, masukan-

Persoalan koordinasi bukanlah isu baru dalam

tatakelola kehutanan, namun sudah menjadi isu

basi.akan tetapi, pada kenyataannya sampai

sekarang masih menjadi isu yang terus bergulir.

Koordinasi merupakan aspek penting dalam

membangun komunikasi antar sektor dan lintas

sektor untuk bersinergi mengatasi persoalan di

sektor kehutanan. Mengingat persoalan hutan tidak

bisa ditangani sendiri oleh instansi kehutanan saja.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa aspek

koordinasi di Dinas Kehutanan Lombok Timur

sangat lemah, hal ini tidak hanya terjadi dengan

instnsi lain, akan tetapi juga terjadi di internal

Dinas Kehutanan. Misalnya, bagian Program dan

Pelaporan seharusnya mengetahui program dan

kegiatan bidang-bidang lainnya, akan tetapi pada

kenyataannya masing-masing bidang jalan sendiri

tanpa berkoordinasi dengan bagian program dan

pelaporan. Begitu pula dengan instansi lainnya,

koordinasi berkala hanya dilakukan dua kali dalam

setahun yang difasilitasi oleh BAPPEDA,

selebihnya bersipat sporadis ketika ada masalah

yang muncul.

masukan masyarakat seringkali diabaikan.

Malahan kecenderungan yang muncul justeru

“gengsi” pejabat.

Lemahnya pelibatan masyarakat dalam proses

perencanaan pembangunan berpotensi

menimbulkan konflik, antara masyarakat dengan

pemerintah ataupun masyarakat dengan pihak

swasta. Perencanaan yang mengabaikan

keterlibatan masyarakat seringkali akan berkendala

pada tataran implementasi di lapangan, karena apa

yang direncanakan oleh pemerintah belum tentu

juga mengakomodir dan memberikan keadilan di

masyarakat. Hal ini kemudian akan berimbas

kepada munculnya keberatan darii masyarakat.

Penyelesaian sengketa/keberatan menjadi tidak

efektif karena pemerintah tidak menyediakan desk

pengajuan sengketa/keberatan.

3. Koordinasi

4. Akuntabilitas

Proses-pross yang dijalankan pada empat aspek di

atas pada ahirnya akan dipertanyakan oleh

masyarakat, karena hal ini sudah diatur dalam

konstitusi, bahwa pemerintahan adalah mandat

rakyat kepada pemerintah untuk mengelola negara.

Sebagai konsekwensi logis dari hal ini, maka rakyat

berhak untuk mempertanyakan kepada pemerintah

terhadap pengelolaan negara ini, khususnya di

sektor kehutanan. Temuan di Kabupaten Lombok

Timur menunjukka bahwa aspek akuntabilitas c FWI

c FWI